vol 8 no. 2 agustus 2014 susunan redaksi pemimpin umum...
TRANSCRIPT
Vol. 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
i
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014
ISSN : 1907-5987
SUSUNAN REDAKSI
Pemimpin Umum
Noengki Prameswari
Ketua Penyunting
Sularsih
Sekretaris
Dwi Andriani, Carissa Endianasari
Bendahara
Maria Franciska
Penyunting Pelaksana
Kristanti Parisihni, Widyastuti, Rima Parwati Sari
Endah Wahjuningsih, Syamsulina Revianti, Dian Widya Damaiyanti, Sarianoferni
Penyunting Ahli (Mitra Bebestari)
Setyo Harnowo, Arifzan Razak,
Dian Mulawarmanti, Bambang Sucahyo,
Soetjipto, Achmad Gunadi, Udijanto Tedjosasongko, Iga Wahyu Ardani
Distribusi
Trias Djohar Wirawan
Jurnal Kedokteran Gigi diterbitkan setiap bulan Februari dan Agustus oleh Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah.
ALAMAT REDAKSI
Cp. Carissa Endianasari
Fakultas Kedokteran Gigi-Universitas Hang Tuah
Jl. Arief Rahman Hakim 150 Surabaya
Telp. 031-5945864, 5945894 psw 219/220 Fax. 031-5946261
E-mail: [email protected]/[email protected]
Vol. 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
ii
Vol. 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
iii
Website : www.fkg.hangtuah.ac.id
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014
______________________________________________________
ISSN : 1907-5987
DAFTAR ISI
Susunan redaksi
Daftar isi
Panduan Penulisan Naskah
Daya Hambat Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata, Linn) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Mixed periodontopatogen
Felicia Septiana Tenggara, Yoifah Rizka, Kristanti Parisihni
Daya Hambat Ekstrak Daun Pepaya Varietas Thailand (Carica papaya Cv.
Thailand) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Enterococcus faecalis Secara In
Vitro
Fifin Maryati Satryani, Soegianto Adi, Kristanti Parisihni
Efektivitas Ekstrak Daun Mangrove Avicennia Alba Terhadap Penurunan
Jumlah Koloni Candida albicans pada Basis Gigi Tiruan Akrilik
Meidhira Ratu Azaalea, Meinar Nur Ashrin, Widaningsih
Efektivitas Gel Lendir Bekicot (Achatina fulica) Dalam Mempercepat Proses
Penyembuhan Ulkus Traumatikus
Anna Riyani Suwono, Isidora Karsini Soewondo, Syamsulina Revianti
Kadar Kalsium Gigi Setelah Pengulasan Gel Ekstrak Cangkang Kerang
Darah (Anadara granosa)
Jennifer Wibowo, Puguh Bayu Prabowo, Twi Agnita Cevanti
Kepekaan Indra Rasa Asin Pada Penggunaan Obat Kumur Kombinasi Jahe
Merah dan Kayu Manis Dibanding Klorheksidin
Ria Harum Pertiwi, Endah Wajuningsih, Noengki Prameswari
Pengaruh Nilai Alkalin Fosfatase dengan Ketinggian Kortikal Mandibula
pada Pasien Suspek Osteoporosis Melalui Radiografi Panoramik
Farina Pramanik, Azhari, Lusi Epsilawati
Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Avicennia marina sp. Terhadap
Penurunan Kadar Malondialdehida Kelenjar Parotis Tikus Periodontitis
Novia Wiyono, Syamsulina Revianti, Widyastuti
i
iii
v
103
112
121
129
139
147
158
166
Vol. 8 No. 1 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
iv
Perbedaan Efektivitas Antara Ekstrak Air dan Ekstrak Etanol Teripang
Emas (Stichopus hermanii) Terhadap Penyembuhan Traumatic Ulcer Di
Rongga Mulut
Stevanus Chandra Sugiarto Budijono, Rima Parwati Sari, Dwi Setianingtyas
Perbedaan Jumlah Osteoblas pada Pergerakan Gigi Ortodonti yang Diberi
Terapi Oksigen Hiperbarik Selama 7 dan 10 Hari
Fakhma Zakki Ramadhani, Arya Brahmanta, Pambudi Rahardjo
Antifungal potentiality of Hibiscus rosa-sinensis, L. flower extract against
Candida albicans
Krista Devi P. Ivan, Ira Arundina, Istiati
Uji Efektifitas Aplikasi Topikal Ekstrak Daun Mangrove Avicennia marina
Terhadap Pertumbuhan Sel Fibroblas Pada Traumatic Ulcer
Onge Margareth Hendro, Dian Mulawarmanti, Dwi Setyaningtyas
Uji Sitotoksisitas Demineralized Freeze Dried Apical Tooth Allograft Terhadap
Viabilitas Sel Fibroblas dari Bhk-21
Stephanie Salim, Widyastuti, Soemartono
175
186
198
207
217
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Daya Hambat Ekstrak Daun Sirsak (Annona
muricata, Linn) Terhadap Pertumbuhan
Bakteri Mixed periodontopatogen
(The Inhibition Extract Leaves of the Soursop (Annona
muricata, Linn) to Bacteria Growth of Mixed
periodontopathogen)
Felicia Septiana Tenggara, Yoifah Rizka*, Kristanti Parisihni**
*Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
**Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
ABSTRACT
Background: Periodontitis is a periodontal disease caused by mixed periodontopathogen
bacteria. The bacteria were dominated by gram-negative bacteria. Soursop fruit (Annona muricata) leaves have been known having antibacterial effect against gram-positive and
gram-negative bacteria, thus assumed to have antibacterial effect on bacteria caused
periodontal disease. Purpose: To examine the inhibition effect of Annona muricata leaf
extract to the growth of mixed periodontopathogen bacteria. Materials and Methods:
Subjects were mixed periodontopathogen bacteria with total of 30 samples, divided into 6 groups (n=5). Four groups were given the extract with different concentrations of 15 mg/ml,
30 mg/ml, 45 mg/ml and 60 mg/ml, while two other groups served as positive and negative
controls. Extracts were prepared by maseration method. Sample of bacteria were innoculated in Mueller Hinton agar, tested by disk diffusion method. The inhibitory effect was observed by
measuring the diameter of inhibition zones on agar media. Data were analyzed by ANOVA
and LSD test. Result: The result of LSD test showed significant difference (p<0,05) between all concentrations and control except on the group concentration of 45 mg/ml and 60 mg/ml.
Conclusion: Annona muricata leaves extract could inhibit the growth of mixed periodontopathogen bacteria.
Keywords: Periodontitis, Mixed periodontopathogen bacteria, soursop leaves, extract, Annona muricata linn.
Correspondence: Yoifah Rizka, Department of Periodontology, Faculty of Dentistry, Hang
Tuah University, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Phone 031-5945864, 5912191, Email:
LAPORAN PENELITIAN
103
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
ABSTRAK
Latar belakang: Periodontitis adalah penyakit jaringan periodontal yang salah satu etiologi
utamanya adalah bakteri mixed periodontopathogen. Bakteri ini didominasi oleh bakteri gram negatif. Daun sirsak Annona muricata diketahui memiliki kemampuan antibakteri
terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif sehingga berpotensi dikembangkan sebagai antibakteri pada penyakit periodontal. Tujuan: Mengetahui apakah ekstrak daun
sirsak Annona muricata dapat menghambat pertumbuhan bakteri Mixed periodontopatogen.
Bahan dan Metode: Subyek penelitian adalah bakteri mixed periodontopathogen sebanyak 30 sampel yang dibagi menjadi 6 kelompok (n=5). Empat kelompok diberi ekstrak dengan
konsentrasi yang berbeda yaitu 15 mg/ml, 30 mg/ml, 45 mg/ml dan 60 mg/ml, sedangkan dua kelompok lain sebagai kontrol negatif dan positif. Ekstrak dibuat dengan metode maserasi,
sampel bakteri diinokulasikan dalam media agar Mueller Hinton dan dilakukan uji
antibakteri dengan metode difusi. Efek penghambatan diamati dengan menghitung diameter zona hambat pada media agar. Data dianalisis dengan ANOVA dan uji LSD. Hasil: Hasil uji
LSD menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05) antar seluruh kelompok kecuali pada
konsentrasi 45 dan 60 mg/ml. Simpulan: Ekstrak daun sirsak Annona muricata dapat menghambat pertumbuhan bakteri mixed periodontopathogen.
Kata Kunci: Periodontitis, bakteri Mixed periodontopatogen, ekstrak daun sirsak, Annona
muricata linn.
Korespondensi: Yoifah Rizka, Bagian Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas
Hang Tuah, Arief Rahman Hakim 150, Surabaya, Telepon 031-5945864, 5912191, Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Penyakit periodontal merupakan
masalah kesehatan gigi dan mulut
yang memiliki prevalensi cukup tinggi
di masyarakat. Di Indonesia, penyakit
periodontal menduduki peringkat
kedua setelah karies.1 Periodontitis
merupakan salah satu penyakit dengan
tingkat penyebaran yang luas dalam
masyarakat. Angka kejadian
periodontitis bervariasi pada berbagai
negara di dunia dan memperlihatkan
kecenderungan terjadinya
peningkatan.2 Di Indonesia, prevalensi
penyakit periodontal menurut hasil
survei Departemen Kesehatan sebesar
24,82%.3 Prevalensi penyakit
periodontal diperkirakan setinggi 75%
pada orang dewasa di Amerika
Serikat, di antaranya sekitar 20-30%
memiliki penyakit periodontal yang
parah.4 Pada tahun 2006 di Brazil,
ditemukan bahwa 25,9% menderita
periodontitis kronis dan agresif,2
sedangkan pada tahun 2005
menunjukkan prevalensi periodontitis
agresif pada usia 12-25 tahun sebesar
6,5% dan meningkat menjadi 9,9%.2
Penyakit periodontal adalah
suatu proses patologis yang mengenai
jaringan periodonsium seperti gingiva,
ligamen periodontal, sementum, dan
tulang alveolar.5 Penyakit yang paling
sering mengenai jaringan periodontal
adalah gingivitis dan periodontitis.
Gingivitis adalah infeksi bakteri yang
terbatas pada gingiva tanpa kehilangan
tulang alveolar. Penyakit ini bersifat
reversible yaitu jaringan gusi dapat
kembali normal apabila dilakukan
pembersihan plak secara teratur.
104
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Periodontitis adalah infeksi bakteri
pada seluruh jaringan periodonsium.
Penyakit ini bersifat progresif dan
irreversible, yang biasanya dijumpai
pada usia lanjut.6
Bakteri adalah faktor etiologi
utama pada penyakit periodontal. Ada
10-20 spesies yang berperan dalam
patogenesis penyakit periodontal
destruktif, yang selanjutnya disebut
bakteri Mixed periodontopatogen.
Bakteri yang paling dominan
ditemukan pada penyakit periodontal
adalah bakteri batang anaerob gram
negatif seperti Actinobacillus
actinomycetemcomitans (Aa),
Bacteroides forsythus, Porphyromonas
gingivalis (Pg).7 Lipopolisakarida
merupakan bagian dari dinding sel
kuman gram negatif Pg dan Aa.
Peningkatan LPS akan meningkatkan
produksi IL-1(interleukin-1), IL-3 dan
IL-6 yang dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan. Periodontitis
merupakan penyakit infeksi rongga
mulut yang didominasi oleh bakteri Pg
dan Aa.8 Periodontitis perlu diterapi
yang bertujuan untuk mengeliminasi
infeksi dan inflamasi sehingga tercapai
jaringan periodontal yang sehat.9
Prognosis penyakit periodontitis bila
tidak diterapi dapat berakibat baik
sampai dengan tidak ada harapan yang
akan menyebabkan kerusakan jaringan
periodonsium, resorbsi tulang alveolar
yang pada akhirnya akan berdampak
pada hilangnya gigi secara prematur
serta menimbulkan permasalahan
estetik.5 Selain menimbulkan masalah
di rongga mulut, penyakit periodontal
dapat menyebabkan akibat lebih jauh
terhadap organ vital seperti hati,
jantung, otak. Beberapa tahun terakhir
ini ada penelitian/artikel yang
mengkaitkan antara penyakit
periodontal dengan penyakit sistemik
antara lain penyakit kardiovaskuler,
endokarditis, diabetes melitus,
pneumonia bakterial dan stroke. Fokal
infeksi terutama yang disebabkan oleh
penyakit periodontal di permukaan
marginal maupun apikal merupakan
faktor risiko terjadinya penyakit
sistemik.10 Oleh karena itu, terapi
periodontal non surgical (NSPT)
digunakan untuk membantu
mengontrol penyakit periodontal
(gingivitis dan periodontitis) seperti
patient self care, scaling dan root
planing serta menggunakan bahan
topikal kimia.6 Keberhasilan dari
terapi periodontal tergantung pada
terhentinya proses kerusakan jaringan,
menghilangkan atau mengontrol faktor
penyebab serta perubahan kondisi
mikroba seperti pada kondisi jaringan
yang sehat dan normal.11 Akibat pola
kerusakan tulang yang luas serta
kelainan anatomi gigi sering kali
mempersulit scaling dan root planing,
di samping itu penyakit periodontal
merupakan penyakit infeksi, maka
pemberian antimikroba sering
digunakan untuk menunjang terapi
penyakit periodontal; tetapi dapat
menimbulkan efek samping yaitu
terjadi resistensi bakteri, reaksi alergi
dan reaksi toksik.5 Oleh karena itu,
perlu ditemukan metode alternatif
untuk mengontrol penyakit periodontal
yang ada di masyarakat dewasa ini.
Pemanfaatan sumber daya alam
sebagai obat alternatif akhir-akhir ini
semakin berkembang penggunaannya
karena sifatnya yang alami dan relatif
aman. Salah satu tanaman alami yang
telah lama dikenal sebagai bahan obat
tradisional adalah tanaman sirsak
(Annona muricata linn).12 Hingga saat
ini belum banyak masyarakat yang
mengetahui bahwa tanaman sirsak
memiliki khasiat yang luar biasa
terhadap kesehatan.13 Semua bagian
tumbuhan Annona muricata dapat
105
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
digunakan sebagai obat-obatan alami
seperti kulit kayu, daun, akar, buah,
dan biji.14
Dari seluruh bagian tumbuhan
Annona muricata, organ daunlah yang
paling banyak dimanfaatkan untuk
mengobati penyakit karena
mengandung kandungan kimia aktif
yang sangat tinggi seperti tanin dan
alkaloid.12 Selain itu bagian daun lebih
dipilih untuk digunakan karena
keberadaannya yang tidak terpengaruh
oleh musim. Senyawa tanin diduga
mampu mengganggu dinding sel
bakteri sehingga koloni bakteri
terdisintegrasi dan pertumbuhannya
terhambat. Senyawa alkaloid
dilaporkan memiliki berbagai aktivitas
biologis seperti aktivitas antibakteri
karena dapat mengganggu protein
kinase yang penting untuk sinyal jalur
transduksi. Dengan banyaknya
kandungan kimia terutama tanin dan
alkaloid, maka daun sirsak diduga
memiliki potensi sebagai antibakteri.15
Sesuai dengan penelitian sebelumnya,
Novianti yang meneliti tentang
aktivitas antibakteri ekstrak daun
sirsak terhadap pertumbuhan
Escherichia coli yang termasuk bakteri
gram negatif pada dosis 15, 30, 45 dan
60 mg/ml.16
Banyak sekali kandungan
senyawa bioaktif yang ditemukan
dalam daun sirsak seperti penelitian
yang dilakukan oleh Prachi dkk,
ekstrak metanol daun Annona
muricata mengandung metabolit
sekunder seperti tanin dan steroid.17
Sedangkan menurut penelitian Takashi
dkk, ekstrak etanol daun Annona
muricata mengandung senyawa
flavonoid.18 Dari sekian banyak zat
aktif yang ditemukan di dalam daun
sirsak, senyawa tanin, saponin dan
alkaloid diketahui memiliki sifat
antibakteri.18 Hal ini ditunjang dengan
penelitian yang dilakukan oleh Prachi
dkk, menemukan bahwa daun sirsak
memiliki aktivitas antibakteri yang
tinggi terhadap Staphylococcus
aureus, Escherichia coli, Proteus
vulgaris, Streptococcus pyogenes,
Bacillus subtilis, Salmonella
typhimurium, Klebsiella pneumonia,
dan Enterobacter aerogenes.17
Melihat kandungan di dalam
daun sirsak yang begitu besar serta
mudah didapatkan dan dimanfaatkan,
menarik minat peneliti untuk
mengetahui daya hambat ekstrak daun
Annona muricata sebagai agen
antibakteri alami yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri
Mixed periodontopatogen. Dalam hal
ini dipilih ekstrak karena kita benar-
benar dapat mengeksplorasi bahan
aktif yang terkandung dalam daun
sirsak tersebut.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini adalah penelitian
true eksperimental laboratoris dengan
rancangan the post test only control
group design. Subjek penelitian dibagi
dalam 2 kelompok. Dua kelompok
sebagai kelompok kontrol dan empat
kelompok diberi ekstrak daun sirsak
(Annona muricata, Linn) dari tanaman
sirsak yang ada di herbal ijem
Yogyakarta masing-masing dengan
konsentrasi 15 mg/ml, 30 mg/ml, 45
mg/ml, dan 60 mg/ml.16 Sampel
penelitian menggunakan bakteri Mixed
periodontopatogen yang diambil dari
penderita periodontitis dengan jumlah
keseluruhan sebanyak 30 sampel.19
Teknik pengambilan sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah
simple random sampling.
Suspensi bakteri Mixed
periodontopatogen diinokulasikan
106
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
pada media Brain Heart Infusion
(BHI) cair dalam tabung reaksi.
Kemudian biakan tersebut
diinkubasikan secara anaerob selama
24 jam dengan suhu 370C. Setelah
diinkubasikan, biakan diambil dengan
mikropipet yang diletakkan pada objek
glass untuk dibuat preparat yang
kemudian akan dilakukan pengecatan
Gram. Setelah pengecatan, suspensi
biakan tersebut disetarakan
kekeruhannya dengan larutan standar
Mc Farland 0,5.20 Selanjutnya
menyiapkan beberapa petri dish agar
Mueller Hinton (MH) steril dan
mengambil biakan bakteri Mixed
periodontopatogen dari BHI cair yang
telah disetarakan kekeruhannya.
Mengusapkan biakan tersebut pada
seluruh permukaan lempeng agar MH
steril menggunakan lidi kapas steril.20
Menyiapkan kertas saring yang
sebelumnya telah dicelupkan ke
ekstraksi daun sirsak selama 10 detik
pada kelompok perlakuan, sedangkan
pada kelompok kontrol kertas saring
dicelupkan pada DMSO 1% selama 10
detik. Meletakkan kertas saring
tersebut pada media nutrient agar yang
berisi bakteri Mixed
periodontopatogen dengan
menggunakan pinset steril agak
ditekan-tekan. Memasukkan petri dish
ke dalam inkubator selama 2x24 jam
dengan suhu 370C. Mengukur zona
hambat ekstrak berupa zona jernih di
sekitar kertas saring menggunakan
digital calipers. Besarnya diameter
zona hambat yang timbul
menunjukkan daya antibakteri
ekstraksi.20 Penelitian dilakukan di
Laboratorium Mikrobiologi
Universitas Hang Tuah Surabaya.
HASIL
Data hasil penelitian tentang
daya hambat ekstrak daun sirsak
terhadap pertumbuhan bakteri Mixed
periodontopatogen pada media MH
agar adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Diameter Zona Hambat pada
Ekstrak Daun Sirsak terhadap Pertumbuhan
Bakteri Mixed periodontopatogen pada MH
Agar
Pada tabel 4.1 dapat dilihat
bahwa terdapat zona hambat ekstrak
daun sirsak terhadap bakteri Mixed
periodontopatogen dengan beberapa
konsentrasi yaitu 15 mg/ml, 30 mg/ml,
45 mg/ml, dan 60 mg/ml pada media
MH agar. Hal ini menunjukkan bahwa
ekstrak daun sirsak mampu
menghambat pertumbuhan bakteri
Mixed periodontopatogen namun tidak
sebesar pada pemberian tetrasiklin.
Sa
mp
el
Diameter zona hambat dalam mm
K X1 X2 X3 X4 X5
I 0 6.17 6.83 8.52 9.40 17.09
II 0 6.17 6.84 8.50 9.39 16.94
III 0 6.54 7.84 8.24 8.58 17.36
IV 0 6.54 7.81 8.24 8.56 17.38
V 0 6.44 7.45 7.65 7.95 16.05
x
±
S
D
0 6.37
±
0.19
7.35
±
0.50
8.23
±
0.35
8.78
±
0.62
16.96
±
0.54
107
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Dari hasil penelitian perlu
dilakukan tes normalitas (uji Shapiro
Wilk karena besar sampel <50).
Setelah itu menggunakan uji One Way
ANOVA (satu arah) yang dilanjutkan
dengan uji LSD (Least Significant
Difference). Uji Anova menunjukkan
perbedaan yang bermakna, sedangkan
uji LSD menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna kecuali
kelompok 45 mg/ml dengan 60 mg/ml.
PEMBAHASAN
Penelitian ini, ekstrak daun
sirsak Annona muricata, Linn diteliti
pada berbagai konsentrasi yaitu 15
mg/ml, 30 mg/ml, 45 mg/ml, 60
mg/ml serta tetrasiklin digunakan
sebagai kontrol positif dan DMSO 1%
sebagai kontrol negatif. Peneliti
memilih konsentrasi ini didasarkan
pada penelitian sebelumnya oleh
Novianti, pemberian ekstrak daun
sirsak Annona muricata, Linn pada
konsentrasi 45 mg/ml mampu
menghambat bakteri Escherichia coli
yang merupakan bakteri gram negatif,
yang memiliki kesamaan karakteristik
dengan bakteri Mixed
periodontopatogen.16 Pengenceran
menggunakan DMSO 1% karena
DMSO 1% merupakan polar aprotic
solvent yang larut dalam senyawa
polar dan non polar, larut dalam
berbagai pelarut organik serta air.21
Selain itu, menurut Patel, DMSO 1%
tidak mempengaruhi pertumbuhan
kinetik dari berbagai mikroorganisme
yang diuji sehingga apabila digunakan
dalam penelitian tidak mempengaruhi
hasil dari penelitian.20 Tetrasiklin
digunakan sebagai kontrol positif
karena tetrasiklin telah digunakan
secara luas pada perawatan penyakit
periodontal serta efektif dalam
menghambat bakteri gram negatif
fakultatif anaerob.5
Penelitian ini menunjukkan
bahwa ekstrak daun sirsak Annona
muricata, Linn terbukti mampu
menghambat pertumbuhan bakteri
Mixed periodontopatogen pada semua
kelompok perlakuan dengan
konsentrasi 15 mg/ml, 30 mg/ml, 45
mg/ml, dan 60 mg/ml dikarenakan
adanya kandungan bahan aktif seperti
alkaloid, tanin, flavonoid serta
saponin.22 Hasil uji LSD menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan
(p<0,05) antara kelompok perlakuan
ekstrak daun sirsak dengan DMSO dan
tetrasiklin. Pada uji LSD, kelompok
konsentrasi ekstrak daun sirsak 45
mg/ml dengan 60 mg/ml tidak
memiliki perbedaan yang signifikan
(p=0,054). Oleh karena itu, pada
penelitian ini dapat dipilih konsentrasi
ekstrak daun sirsak 45 mg/ml karena
pada konsentrasi ini sudah mampu
menghambat bakteri Mixed
periodontopatogen dengan daya
hambat cukup besar. Namun, zona
hambat yang dihasilkan lebih kecil
dibandingkan tetrasiklin karena
terdapat mekanisme kerja yang
108
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
berbeda antara daun sirsak dan
tetrasiklin.
Alkaloid adalah senyawa
organik pada tumbuh-tumbuhan yang
sering digunakan sebagai bahan obat-
obatan. Kemampuan senyawa alkaloid
sebagai antibakteri Mixed
periodontopatogen dipengaruhi oleh
gugus basa yang mengandung 1 atau
lebih atom nitrogen. Apabila gugus
basa ini mengalami kontak dengan
bakteri Mixed periodontopatogen
maka, akan bereaksi dengan senyawa
asam amino yang menyusun dinding
bakteri. Reaksi ini mengakibatkan
terjadinya perubahan struktur asam
amino dan DNA bakteri akan
mengalami kerusakan. Kerusakan ini
akan mendorong terjadinya lisis pada
bakteri Mixed periodontopatogen.23
Flavonoid adalah suatu
kelompok senyawa fenol yang
terbanyak terdapat di alam. Aktivitas
biologis senyawa flavonoid terhadap
bakteri Mixed periodontopatogen
dilakukan dengan merusak dinding sel
dari bakteri yang terdiri atas lipid dan
asam amino.Dinding sel bakteri akan
bereaksi dengan gugus alkohol pada
senyawa flavonoid sehingga dinding
sel akan rusak dan senyawa tersebut
dapat masuk ke dalam inti sel bakteri.
Selanjutnya, gugus alkohol ini akan
kontak dengan DNA pada inti sel
bakteri Mixed periodontopatogen
melalui perbedaan kepolaran antara
lipid penyusun DNA dengan gugus
alkohol pada senyawa flavonoid.
Reaksi ini mengakibatkan struktur
lipid dari DNA bakteri Mixed
periodontopatogen akan rusak
sehingga inti sel bakteri juga akan
lisis dan bakteri Mixed
periodontopatogen juga akan
mengalami lisis dan mati.24
Selain itu, daun sirsak juga
mengandung bahan aktif saponin.
Saponin adalah glikosida triterpena
dan sterol yang merupakan senyawa
aktif pada permukaan daun. Senyawa
saponin dapat bekerja sebagai
antimikroba sebagai surfaktan atau
deterjen yang diduga akan menyerang
lapisan batas sel bakteri melalui ikatan
gugus polar dan non polar.25
Tetrasiklin memiliki mekanisme
berbeda dengan senyawa yang
dikandung dalam daun sirsak yaitu
dengan menghambat sintesis protein
pada bakteri Mixed
periodontopatogen.26 Tetrasiklin
bekerja dengan cara mengikatkan
dirinya pada subunit 30S dari ribosom
bakteri, sehingga dapat menghambat
sintesis protein dengan menghalangi
pelekatan tRNA-aminoasil yang
bermuatan. Dengan demikian,
tetrasiklin menghalangi penambahan
asam amino baru pada rantai peptida
yang terbentuk sehingga dapat
mengakibatkan kematian sel bakteri.
Menurut Rinawati, antibiotik yang
memiliki mekanisme kerja
menghambat sintesis protein,
mempunyai daya antibakteri sangat
kuat.27 Hal ini ditunjukkan dengan
ukuran rata-rata zona hambat
tetrasiklin yang lebih besar (17,8583)
dibandingkan rata-rata zona hambat
yang menggunakan ekstrak daun
sirsak Annona muricata (8,6617).
Meskipun zona hambat yang
dihasilkan tetrasiklin lebih besar,
tetapi dalam penggunaan jangka
panjang obat ini dapat menimbulkan
efek samping antara lain reaksi alergi,
reaksi pada kulit, reaksi toksik dan
iritatif serta dalam beberapa kasus
dapat menyebabkan perubahan warna
gigi.23 Oleh karena itu, berdasarkan
penelitian ini, ekstrak daun sirsak pada
konsentrasi 45% dapat
dipertimbangkan untuk digunakan
sebagai antibakteri alternatif berbahan
109
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
dasar alami dalam menghambat
bakteri Mixed periodontopatogen
penyebab penyakit periodontal, di
mana terapi utama seperti scaling dan
root planing harus tetap dilakukan.
Penelitian lebih lanjut untuk dapat
mendukung penggunaan ekstrak
sebagai terapi alternatif dalam
menangani penyakit periodontal.
Dalam hal ini, dapat dipertimbangkan
bentuk sediaan yang tepat sebagai
terapi alternatif periodontitis dalam
bentuk obat kumur karena melihat
banyaknya kandungan senyawa aktif
daun sirsak yang bersifat polar.
SIMPULAN
Ekstrak daun sirsak dapat
menghambat pertumbuhan bakteri
Mixed periodontopatogen. Konsentrasi
terbaik dalam menghambat bakteri
Mixed periodontopatogen pada
penelitian ini adalah 45 mg/ml.
DAFTAR PUSTAKA
1. Indirawati. 2002. Upaya Peningkatan
Status Kesehatan Gigi dan Mulut sesuai
Kebutuhan Masyarakat Setempat. Jurnal
Litbangkes. H. 3-1. Available from
http://digilib.litbang.depkes.go.id/gdl.php?
mod=browse&op=read&id=jkpkbppk-gdl-
res-2002-indirawati-1145-
dental&q=penyakit%20gigi%20dan%20mu
lut. Diakses 10 Agustus 2012. 2. Amalina R. 2010. Perbedaan Jumlah
Actinobacillus Actinomycetemcomitans
pada Periodontitis Agresif berdasarkan
Jenis Kelamin. Majalah Sultan Agung. H.
41-1. Available from
http://unissula.ac.id/newver/images/jurnal/J
uli/rizki%20-periodontitis%20agresif-.pdf.
Diakses 30 Juni 2012. 3. Wijayanti PM dan Setyopranoto I. 2008.
Hubungan Antara Periodontitis,
Aterosklerosis dan Stroke Iskemik Akut.
Mutiara Medika, 8(2): 128-120. 4. Humprey LL, Fu R, Buckley DI, Freeman
M, dan Helfand M. 2008. Periodontal
Disease and Coronary Heart Disease
Incidence: A Systematic Review and Meta-
analysis. Journal Gen Intern Med, 23(12):
2086-2079. Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/
PMC2596495/. Diakses 10 Juli 2012. 5. Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR
dan Carranza FA, 2006. Carranza’s
Clinical Periodontology, 10th ed., St.Louis:
W.B. Saunders. P. 106, 102. 6. Nield-Gehrig JS dan Willmann DE. 2003.
Foundations of Periodontics for the Dental
Hygienist., Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. P. 256-60, 91-89, 66,
62-59, 43, 39, 35. 7. Gani A dan Oktawati S. 2003. Antimikroba
Sistemik pada Periodontitis Lanjut. Dent J,
H. 491-4. 8. Indrawati R, Dachlan YP dan Devijanti R.
2009. Kandidat Biomarker Saliva sebagai
Deteksi Dini Kerusakan Tulang Alveolar.
H. 2-1. Diakses 11 Februari. 2013 9. Riani. 2012. Evaluasi Radiografis Tinggi
dan Densitas Tulang Alveolar pada Terapi
Periodontitis dengan Allograft
Dibandingkan Xenograft. Tesis,
Universitas Indonesia, Jakarta. H. 10-1. 10. Sudibyo. 2008. Penyakit Periodontal
sebagai Fokus Infeksi dan Faktor Risiko
terhadap Manifestasi Penyakit Sistemik.
Pidato, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. H. 2-1. 11. Widyastuti dan Rizka Y. 2006.
Pengurangan Kedalaman Poket Periodontal
dengan Terapi Non Bedah. Denta Jurnal
Kedokteran Gigi, 1(1): 13-9. 12. Mardiana L dan Ratnasari J. 2011. Ramuan
dan Khasiat Sirsak, Edisi ke-5. Jakarta:
Penebar Swadaya. H. 44-31, 17, 14, 3. 13. Zuhud EA. 2011. Bukti Kedahsyatan
Sirsak Menumpas Kanker, Edisi pertama.,
Jakarta: Agromedia Pustaka. H. 75, 69, 57,
54, 47, 3. 14. Taylor L. 2002. Technical Data Report for
Graviola (Annona muricata), 2nd ed. Texas:
Sage Press. P. 1. 15. Lal PB, Kumar N, Arif T, Mandal TK,
Verma KA, Sharma GL dan Dabur R.
2008. In Vitro Antibacterial Activity of A
Novel Isoquinoline Derivative and Its Post
Antibacterial Effects on Pseudomonas
aeruginosa. African Journal Of
Microbiology Research, 2(5): 130-126.
Available from
http://www.academicjournals.org/ajmr/abst
racts/abstracts/abstracts2008/May/Lal%20e
t%20al.html. Diakses 10 Juli 2012. 16. Novianti. 2009. Aktivitas Antibakteri dari
Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L.)
terhadap Pertumbuhan Staphylococcus
110
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
aureus secara In Vitro. Skripsi, Universitas
Pendidikan Indonesia. H. 10-1. 17. Prachi P, Saraswathy, Vora A dan J Savai.
2010. In Vitro Antimicrobial Activity and
Phytochemical Analysis of The Leaves of
Annona muricata. International Journal Of
Pharma, 2(2): 6-1. Available from
http://www.ijprd.com/in%20vitro%20antim
icrobial%20activity%20and%20phytochem
ical%20anaylsis%20of%20the%20leaves%
20of%20annona%20muricata.pdf. Diakses
10 Juli 2012. 18. Takashi JA, Pereira CR, Pimenta LPS,
Boaventura MAD dan Silva LFGE. 2006.
Antibacterial Activity of Eight Brazilian
Annonaceae Plants. Natural Product
Research, 20(1): 26-21. Available from
http://dx.doi.org/10.1080/14786410412331
280087. Diakses 6 Juni 2012. 19. Wakhida AR, 2010. Daya Hambat
Antibakteri Ekstrak Rimpang Temulawak
(Curcuma xanthorriza) terhadap
Pertumbuhan Bakteri Periodontal. Karya
Tulis Akhir, Universitas FKG Hang Tuah,
Surabaya. H. 10-1. 20. Patel JD, Shrivastava AK dan Kumar V.
2009. Evaluation of Some Medicinal Plants
Used in Traditional Wound Healing
Preparations for Antibacterial Property
Against Some Pathogenic Bacteria. Journal
of Clinical Immunology and
Immunopathology Research, 1(1): 12-7.
Available from
www.academicjournals.org. Diakses 8 Juli
2012.
21. Novak KM. 2002. Drug Facts and
Comparisons, 56thed. St.Louis: Walters
Kluwer Health. P. 619. 22. Adewole SO dan Caxton-Martins EA.
2006. Morphological Changes and
Hypoglycemic Effects of Annona muricata
linn Leaf Aqueous Extracts on Pancreatic-
B Cells of Streptozotocin-Treated Diabetic
Rats. African Journal of Biomedical
Research, 9: 187-173. Available from
http://www.bioline.org.br. Diakses 10 Juli
2012. 23. Gunawan SG, Setiabudy R dan Nafrialdi E.
2009. Farmakologi dan Terapi, Edisi ke-5.,
Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. H. 585-6. 24. Carlo GD, Mascolo N, Izzo AA dan
Capasso F. 1999. Flavonoids: Old and New
Aspects of A Class of Natural Therapeutic
Drugs. Life Sciences, 65(4): 353-337.
Available from
http://www.researchgate.net/publication/22
2246839FlavonoidsOldandnewaspectsof
aclasofnaturaltherapeuticdrugs/file/9fcfd50
17da646271.pdf. Diakses 10 Januari 2013. 25. Podolak I, Galanty A dan Sobolewska D.
2010. Saponin as Cytotoxic Agents: A
Review. Phytochem Rev, 9(3): 474-425. 26. Brooks GF, Butel JS dan Ornston LN.
2005. Jawets, Melnick & Adelberg’s
Mikrobiologi Kedokteran, Edisi ke-20.
Jakarta: Salemba Medika. H. 155-153. 27. Rinawati ND. 2011. Daya Antibakteri
Tumbuhan Majapahit (Crescentia cujete l)
terhadap Bakteri Vibrio Alginolyticus.
Tugas Akhir, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember, Surabaya. H. 10-1.
111
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Daya Hambat Ekstrak Daun Pepaya Varietas
Thailand (Carica papaya cv. Thailand)
Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Enterococcus Faecalis Secara
In Vitro
(The Inhibitory Effect of Thailand Varietas of Papaya Leaf
Extract To The Growth of Enterococcus Faecalis In Vitro)
Fifin Maryati Satryani, Soegianto Adi* , Kristanti Parisihni**
*Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
**Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
ABSTRACT
Background: Enterecoccus faecalis is one of resistant bacteria in the medication of root canal treatment. ChKM is mostly used as sterilization agent. Carica papaya leaf extract has
been reported having antibacterial effect to the gram-negative bacteria, so could be potentially developed as a root canal sterilization agent. Purpose: The aim of this study was
to determine the inhibitory effect of Thailand varietas of papaya leaf extract to the growth of
Enterococcus faecalis. Materials and Methods: This study was an experimental study with post test only control group design and were tested by diffusion methods of 3 groups
concentration one of each 25%, 50%, 75% and 2 controls groups:Aquadest as negative
control,and ChKM as positive control,each group consisted of 6 samples. The inhibition effect were examined by measuring the diameter of the clear zone around the disc. Data were
analyzed by One Way ANOVA test and followed by LSD test. Result: Result showed that there were clear zone around the disc,the greater concentration of the extract the greater diameter
of the clear zone.Mean of inhibitation zone at concentration of 25% (6,30 mm), 50% (7,54
mm), 75% (8,36 mm), Aquadest (6 mm), and ChKM (11,32 mm). It had been proved that papaya leaf extract could inhibit the growth of Enterococcus faecalis (p<0,05). The largest
diameter of the clear zone was it the concentration of 75%. Conclusion: Thailand varietas of papaya leaf extract could inhibit the growth of Enterococcus faecalis and the most effective
inhibitory concentration is 75% but is smaller than positive control (ChKM).
Keywords: Carica papaya cv. Thailand, antibacterial, Enterococcus faecalis.
Correspondence: Soegianto Adi, Bagian Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Phone 031-5945894, 031-
5945894, Email: [email protected]
JURNAL PENELITIAN
112
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
ABSTRAK
Latar belakang: Enterococcus faecalis merupakan salah satu bakteri yang resisten pada
perawatan saluran akar. Perawatan saluran akar terdiri dari beberapa tahapan, diantaranya
sterilisasi. ChKM merupakan obat yang sering digunakan pada tahapan ini. Ekstrak daun pepaya diketahui memiliki efek antibakteri terhadap bakteri gram-negatif, sehingga
berpotensial dikembangkan sebagai obat sterilisasi. Tujuan: untuk mengetahui kemampuan ekstrak daun pepaya varietas Thailand (Carica papaya cv thailand)dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Enterococcus faecalis. Bahan dan Metode: Penelitian eksperimental
dengan desain penelitian the post test only control group, serta diuji menggunakan metode difusi dengan 3 konsentrasi, yaitu 25%, 50%, 75% dan 2 kontrol: kontrol negatif Aquadest
serta kontrol positif menggunakan ChKM, dimana tiap kelompok terdiri dari 6 sampel. Daya hambat diperiksa dengan mengukur diameter zona jernih disekitar kertas saring. Analisis
data menggunakan uji one way ANOVA diikuti dengan uji LSD. Hasil: Hasil penelitian
menunjukkan adanya zona jernih disekitar kertas saring dari ekstrak daun pepaya, makin
besar konsentrasi makin besar diameter zona hambatnya. Rata-rata zona hambat pada
konsentrasi 25% (6.30 mm), 50% (7.54 mm), 75% (8.36 mm) untuk kontrol negative Aquadest
steril (6 mm), kontrol positif ChKM (11.32 mm), ini menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dapat menghambat pertumbuhan bakteri Enterococcus faecalis (p<0,05). Diameter terbesar
dari zona jernih di sekitar kertas saring terdapat pada konsentrasi 75%. Simpulan: Ekstrak daun pepaya varietas Thailand dapat menghambat pertumbuhan bakteri Enterococcus
faecalis dengan konsentrasi hambat yang paling efektif adalah 75%, namun daya hambatnya
masih lebih kecil bila dibandingkan kotrol positif (ChKM).
Kata Kunci: Carica papaya cv. thailand, antibakteri, Enterococcus faecalis
Korespondensi: Soegianto Adi, Bagian Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hang Tuah, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Telepon 031-5945894, 031-
5945894, Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Tujuan utama perawatan saluran
akar adalah menghilangkan bakteri
sebanyak mungkin dari saluran akar
dan menciptakan lingkungan yang
tidak mendukung bagi setiap
organisme yang tersisa untuk dapat
bertahan hidup.1 Faktor penentu dari
keberhasilan perawatan saluran akar
yaitu akses dan panjang kerja,
sterilisasi, obturasi atau pengisian
saluran akar.2 Sterilisasi saluran akar
diperlukan karena tindakan preparasi
saluran akar disertai irigasi tidak
dapat membebaskan saluran akar dari
semua bakteri, mengingat anatomi
ruang pulpa yang cukup rumit serta
jauhnya penetrasi bakteri ke dalam
tubulus dentin dan bertujuan untuk
memperoleh aktivitas antimikroba di
saluran akar, menetralkan sisa-sisa
debris di saluran akar, mengontrol dan
mencegah nyeri.3
Pada perawatan saluran akar
membutuhkan penggunaan obat
sterilisasi yang mampu mengeliminasi
endotoksin bakteri yang telah melekat
pada struktur gigi yang tidak
tereliminasi sempurna saat proses
instrumentasi saluran akar.
Penggunaan obat sterilisasi saluran
akar selama perawatan harus dapat
mensterilisasi dan mengurangi jumlah
mikroorganisme patogen dalam
saluran akar.2 Syarat dari obat
sterilisasi saluran akar adalah tidak
mengiritasi jaringan periapikal dan
113
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
mempunyai efek antimikroba. Obat
sterilisasi saluran akar yang paling
sering digunakan saat ini yaitu ChKM,
CMCP (camphorated
monoparachlorophenol), Ca(OH)2
dan formokresol. Obat sterilisasi
golongan fenol seperti ChKM paling
banyak digunakan karena memiliki
kelebihan yaitu mampu menyebar
karena memiliki spektrum yang luas
dan efektif terhadap mikroorganisme
sehingga mampu memusnahkan
berbagai mikroorganisme, namun
ChKM juga memiliki beberapa
kekurangan yaitu bau yang
menyengat, rasa tidak enak, dapat
terserap oleh tumpatan sementara dan
dapat menyebar ke rongga mulut
sehingga pasien akan mengeluhkan
rasa yang tidak enak dan bersifat
alergen sehingga dapat menyebabkan
reaksi imun yang dapat
membahayakan pulpa.4,2
Melihat kelemahan dari bahan
sterilisasi saluran akar itulah, saat ini
bahan sterilisasi saluran akar dengan
bahan alam mulai dikembangkan
karena murah, tahan lama, mudah
didapatkan,toksisitas rendah, dan
resisten terhadap mikroba.5 Bahan
alam yang dapat dikembangkan
sebagai alternatif bahan sterilisasi
saluran akar adalah daun pepaya.
Pepaya memang pohon yang
begitu berguna, selain buahnya yang
kaya akan vitamin, daunnya pun
begitu banyak manfaat dibalik rasa
pahit yang dikandungnya, itulah
mengapa kebiasaan orang-orang tua
yang sering menggunakan daun
pepaya baik sebagai sayur untuk
dimakan maupun direbus untuk obat.
Daun pepaya muda dapat juga
digunakan untuk melunakkan daging,
karena didalam getah daun pepaya
muda itu mengandung papain yang
merupakan salah satu enzim
proteolitik yang terdapat dalam getah
pepaya. Selain itu daun pepaya
mengandung karpain yang merupakan
senyawa alkaloid yang khas
dihasilkan oleh tanaman pepaya.
Alkaloid merupakan senyawa
nitrogen heterosiklik, yang memiliki
sifat toksik terhadap mikroba
sehingga efektif membunuh bakteri
dan virus, sebagai antiprotozoa dan
antidiare.6
Meskipun jenis pepaya sangat
banyak, namun yang sering
dibudidayakan petani adalah varietas
Thailand. Varietas Cibinong dan
Hawaii hanya dibudidayakan secara
terbatas. Budidaya pepaya Thailand
ini bisa ditemukan di wilayah Jawa
Timur misalnya di daerah kabupaten
Blitar. Salah satu usaha UMKM
(Usaha Mikro Kecil dan Menengah)
di sektor agribisnis di bidang
perkebunan budidaya pepaya yang
mempunyai prospek cerah adalah
budidaya pepaya Thailand karena
kelebihan yang dimiliki seperti
dagingnya yang manis dan berair,
serta buahnya yang berukuran besar.7
Ekstrak daun pepaya mampu
menghambat pertumbuhan bakteri
Streptococcus mutans,8 tetapi belum
diketahui aktivitas terhadap bakteri
Enterococcus faecalis. Pada
penelitian ini ingin mengetahui
apakah terdapat daya hambat ekstrak
daun pepaya varietas Thailand
terhadap bakteri Enterococcus
faecalis.. Tujuan umum penelitian ini
adalah untuk mengetahui daya hambat
ekstrak daun pepaya varietas Thailand
terhadap pertumbuhan bakteri
Enterococcus faecalis.
Oleh karena itu peneliti tertarik
dengan daun pepaya dari jenis pepaya
Thailand (Carica papaya cv.
thailand) sebagai bahan herbal yang
banyak dan mudah tumbuh di
114
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Indonesia sebagai antibakteri
terhadap pertumbuhan bakteri
Enterococcus faecalis
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini termasuk penelitian
true experimental dengan rancangan
penelitian the post test only control
group design.9 Bahan yang digunakan
meliputi suspensi bakteri Enterococcus
faecalis, BHI cair, agar BHI oxoid,
ekstrak daun pepaya varietas Thailand
dengan berbagai konsentrasi (25%,
50%, dan 75%), larutan Mc. Farland
0.5, ChKM dan Aquades steril.
Sampel daun pepaya varietas
Thailand diambil dari perkebunan
pepaya Dinas Pertanian Kabupaten
Blitar. Daun pepaya dicuci bersih,
ditimbang, dikeringkan. Pengeringan
dilakukan sampai sampel benar-benar
kering yang ditandai dengan warna
kecoklatan pada seluruh bagian daun
kemudian beratnya dicatat dan
selanjutnya dijadikan serbuk halus
dengan cara diblender dan diayak
dengan saringan halus, dan diblender
sampai menjadi serbuk.10
Serbuk dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer dan ditambahkan pelarut
etanol 96% dan digoyang dengan
menggunakan water bath dengan
kecepatan 120 rpm (rotation per
minutes) untuk mencapai kondisi
homogen selama 1 jam. Selanjutnya
larutan dimaserasi selama 24 jam pada
suhu kamar, lalu difiltrasi atau
dipisahkan dengan penyaring
Bunchner. Kemudian residu
penyaringan diangin-anginan dan
dilakukan ramaserasiulang selama 24
jam, maserasi diulang sampai 3 kali.
Hasil saringan 1-3 dicampur dan
dipekatkan dengan Rotary vakum
evaporator dengan suhu 50°C
sehingga menghasulkan ekstrak kental
daun pepaya. Ekstrak kental daun
pepaya dibuat tiga seri konsentrasi
(25%, 50%, dan 75%) dengan
menggunakan larutan pengencer
aquadest steril.6
Bakteri Enterococcus faecalis
biakan murni berupa biakkan dalam
BHI cair yang sudah diinkubasi selama
24 jam dalam suasana anaerob,
selanjutnya kekeruhannya disetarakan
dengan standar Mc Farland 0,5.
Penelitian dilakukan dengan
metode difusi pada media BHI agar
dilakukan inokulasi bakteri
Enterococcus faecalis yang sudah
disetarakan dengan larutan Mc
Farland 0,5 dengan cara mengusapkan
dan meratakan suspensi bakteri
Enterococcus faecalis pada seluruh
permukaan BHI (Brain Heart Infusion)
agar dengan menggunakan lidi kapas
steril. Selanjutnya kertas saring
diletakkan pada tiap zona media BHI
agar dengan menggunakan pinset steril
dan agak ditekan-tekan.
Pada kelompok kontrol negatif
kertas saring ditetesi aquades
menggunakan mikropipet dengan
ketelitian 10 μl. Pada kelompok
perlakuan kertas saring ditetesi ekstrak
daun pepaya varietas Thailand pada
berbagai konsentrasi menggunakan
mikropipet dengan ketelitian 10 μl,
lalu patridish dimasukkan dalam
anaerob jar dan diinkubasi dalam
inkubator selama 2x24 jam dengan
suhu 370C. Setelah itu mengukur
diameter zona hambat yang berupa
area jernih disekitar kertas saring
menggunakan digital calipers (dalam
satuan mm). Pengukuran dilakukan
dari batas jernih terakhir yang
berdekatan dengan koloni disebelah
kiri hingga disebelah kanan yang
diukur pada jarak daerah terpanjang.
Besar diameter zona hambat yang
115
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
timbul menunjukkan adanya daya
hambat antibakteri pada masing-
masing konsentrasi ekstrak daun
pepaya varietas Thailand.
HASIL
Tabel dibawah ini menunjukkan
rerata zona hambat ekstrak daun
pepaya varietas Thailand (Carica
papaya cv. Thailand) sesudah
perlakuan pada kelompok kontrol.
Tabel 1. Hasil uji statistik deskriptif
Kelompok N Rata-
rata
Standar
Deviasi
X0 6 6,00 0,00
X1 6 11,32 0,93
X2 6 6,30 0,68
X3 6 7,54 0,17
X4 6 8,36 0,10
30
Gambar 1. Grafik rerata diameter zona
hambat (mm)
Data hasil penelitian dianalisi
secara analisis deskriptif untuk
memperoleh gambaran distribusi dan
peringkasan data guna memperjelas
penyajian hasil. Data hasil penelitian
yang menunjukkan zona hambat
pertumbuhan bakteri Enterococcus
faecalis dengan pemberian ekstrak
daun pepaya varietas Thailand pada
berbagai konsentrasi selanjutnya
dianalisis statistik dengan program
SPSS versi 13 dan diuji signifikansinya
dengan taraf signifikan/kesalahan 5%
(p<0,05).
Setiap kelompok perlakuan dan
kontrol positif diuji normalitasnya
dengan menggunakan uji Shapiro-
Wilk.11 Hasil uji Shapiro–Wilk
menunjukkan bahwa data berdistribusi
normal dan hasil uji Levene didapatkan
nilai signifikansi 0.053, sehingga dapat
disimpulkan bahwa data hasil
penelitian homogen (p>0.05).
Data penelitian yang
terdistribusi normal dan variansnya
homogen kemudian dianalisis dengan
menggunakan uji parametrik yaitu one
way ANOVA untuk mengetahui adanya
perbedaan antara kelompok kontrol
positif dengan kelompok perlakuan
konsentrasi 25%, 50%, dan 75% dari
ekstrak daun pepaya varietas Thailand
pada masing-masing sampel.
Hasil uji one way ANOVA
menunjukkan nilai signifikansi sebesar
0.000 (p<0.05). Ini berarti terdapat
perbedaan makna antara kontrol positif
dengan masing–masing kelompok
perlakuan yang memiliki konsentrasi
berbeda–beda. Berdasarkan hal
tersebut maka dilanjutkan dengan uji
LSD. Dari hasil uji LSD diketahui
bahwa ekstrak daun pepaya varietas
Thailand terhadap semua perlakuan
menunjukkan perbedaan yang
bermakna (p<0.05). Semakin besar
konsentrasi ekstrak daun pepaya
varietas Thailand yang digunakan
dalam penelitian, maka semakin besar
pula diameter zona hambat yang
terbentuk disekitar paper disc.
PEMBAHASAN
Perawatan saluran akar (PSA)
adalah prosedur perawatan gigi yang
bertujuan untuk menghilangkan
bakteri yang menginfeksi saluran akar
0
5
10
15
X0 X1 X2 X3 X4
rerata
zona …
116
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
gigi dan kemudian mencegah gigi
tersebut terkena infeksi bakteri yang
berkelanjutan setelah perawatan.
Keberhasilan suatu perawatan saluran
akar tergantung pada pengurangan
atau penghilangan terhadap
mikroorganisme. Keberadaan
mikroorganisme setelah perawatan
saluran akar dapat menyebabkan
kegagalan perawatan saluran akar.
Dimana yang seringkali ditemukan
adalah tumbuhnya polimikroba pada
saluran akar yang didominasi oleh
bakteri anaerob obligat dan fakultatif
anaerob.12
Spesies bakteri anaerob seperti
Enterococcus faecalis, Streptococcus
anginosus, Bacteroides gracilis dan
Fusobacterium nucleatum terdapat
pada terapi saluran akar yang
mengalami kegagalan.13 Dimana
Enterococcus biasanya ditemukan
dalam jumlah sedikit pada saluran akar
yang belum dirawat tetapi bakteri ini
sering ditemukan pada perawatan
saluran akar yang gagal dan dapat
menyebabkan infeksi saluran akar
yang persisten.14 Oleh karena itu
dibutuhkan obat sterilisasi saluran akar
yang mampu mengeliminasi bakteri
Enterococcus faecalis dari dalam
saluran akar.
Pemberian obat sterilisasi
saluran akar dianggap penting bagi
keberhasilan perawatan saluran akar
karena dapat membantu mengeluarkan
mikroorganisme, mengurangi rasa
sakit, menghilangkan eksudat apikal,
mempercepat penyembuhan dan
pembentukan jaringan keras. Obat
sterilisasi saluran akar digunakan
dengan tujuan mengeliminasi bakteri
yang tidak dapat dihancurkan dengan
proses chemo-mechanical seperti
instrumental dan irigasi.15,1,2 Namun
obat sterilisasi seperti ChKM yang
sering digunakan juga memiliki
kelemahan yaitu bau yang menyengat,
rasa tidak enak, dapat oleh tumpatan
sementara dan dapat menyebar ke
rongga mulut sehingga pasien akan
mengeluhkan rasa yang tidak enak dan
bersifat alergen sehingga dapat
menyebabkan reaksi imun yang dapat
membahayakan pulpa.
Melihat kelemahan dari bahan
sterilisasi saluran akar itulah, saat ini
bahan sterilisasi saluran akar dengan
bahan alam mulai dikembangkan
karena murah, tahan lama, mudah
didapatkan, toksisitas rendah, dan
resisten terhadap mikroba.5 Bahan
alam yang dapat dikembangkan
sebagai alternatif bahan sterilisasi
saluran akar adalah daun pepaya.
Telah diketahui bahwa ekstrak
daun pepaya dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Streptococcus
mutans.8 Enterococcus faecalis
memiliki karakteristik yang sama yaitu
coccus gram positif , pada penelitian
ini diteliti daya hambat ekstrak daun
pepaya varietas Thailand pada
konsentrasi 25%, 50%, dan 75%.
Kontrol positif yang diperiksa adalah
ChKM karena memiliki spektrum
antibakteri luas dan efektif terhadap
bakteri dan mampu memusnahkan
berbagai mikroorganisme dalam
saluran akar. ChKM juga merupakan
bahan sterilisasi saluran akar yang
paling banyak digunakan, terdiri dari
dua bagian para-klorofenol dan tiga
bagian kamfer. Daya desinfektan dan
sifat mengiritasinya lebih kecil dari
pada formokresol.
Kamfer sebagai sarana
pengencer serta mengurangi sifat
iritasi dari para-klorofenol murni.
Selain itu memperpanjang efek sifat
antimikroba.16 Kontrol negatif yang
digunakan adalah Aquadest steril
karena tidak memiliki sifat antibakteri
yang akan mempengaruhi daya
117
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
penghambatan bakteri dan digunakan
sebagai pengencer ekstrak daun
pepaya berdasarkan hasil penelitian
pendahuluan yang telah dilakukan.2,4
Penelitian untuk melihat adanya
daya hambat ekstrak daun pepaya
varietas Thailand (Carica papaya cv
thailand) terhadap pertumbuhan
bakteri Enterococcus faecalis
dilakukan dengan metode difusi yang
menggunakan media agar BHI karena
cukup praktis dilakukan dengan
validitas tinggi dan efektif digunakan
untuk mengetahui pertumbuhan
bakteri Enterococcus faecalis yang
merupakan bakteri gram positif
anaerob.17 Pelarut ekstrak daun pepaya
varietas Thailand yang dipilih adalah
Aquades steril karena tidak memiliki
sifat antibakteri yang akan
mempengaruhi daya penghambatan
bakteri dan digunakan sebagai
pengencer ekstrak daun pepaya
berdasarkan hasil penelitian
pendahuluan yang telah dilakukan.
Pada penelitian ini terlihat
bahwa ekstrak daun pepaya varietas
Thailand mampu menghambat
pertumbuhan bakteri Enterococcus
faecalis, fakta ini disebabkan oleh
adanya komponen antibakteri
spektrum luas yang terdapat pada daun
pepaya diantaranya alkaloid,
tochopenol, dan flavonoid. Senyawa
alkaloid memiliki mekanisme kerja
yang dihubungkan dengan kemampuan
berinteraksi dengan DNA. Mekanisme
kerja penghambatan dengan cara
mengganggu komponen penyusun
peptidoglikan pada sel bakteri,
sehingga lapisan dinding sel tidak
terbentuk secara utuh dan
menyebabkan kematian sel tersebut.
Didalam senyawa alkaloid juga
terdapat gugus basa yang mengandung
unsur nitrogen yang akan bereaksi
dengan senyawa asam amino
menyusun dinding sel bakteri dan
DNA bakteri. Reaksi ini
mengakibatkan terjadinya perubahan
struktur dan susunan asam amino,
sehingga akan menimbulkan
perubahan keseimbangan genetik pada
rantai DNA maka akan mengalami
kerusakan yang mengakibatkan
terjadinya lisis sel bakteri dan
menyebabkan kematian sel bakteri.6
Tochopenol merupakan senyawa
fenol yang khas pada tanaman pepaya.
Dimana fenol ini dapat mengganggu
senyawa penyusun dinding sel yang
menyebabkan terjadinya peningkatan
permeabilitas membrane sel dan
menyebabkan kehilangan komponen
penyusun sel sehingga terjadi lisis
(terlarutnya) sel.6
Flavonoid merupakan golongan
terbesar dari senyawa fenol yang
memiliki satu kelompok carbonyl
dengan ekstrak sel dan larut protein,
dengan ikatan tersebut dapat
menghambat sintesis protein dari sel
bakteri. Hal ini lah yang memberikan
aktivitas antibakteri. Senyawa fenol
dari tumbuhan juga memiliki
kemampuan untuk membentuk
kompleks dengan protein melalui
ikatan hydrogen, sehingga dapat
merusak membrane sel bakteri.6
Mekanisme kerja ChKM dalam
menghambat bakteri sama dengan
mekanisme kerja flavonoid yang
terkandung di dalam daun pepaya
varietas Thailand yaitu dengan cara
mendenaturasi protein sel bakteri,
menghambat fungsi selaput sel
(transpor zat dari sel satu ke sel yang
lain), dan menghambat sintesis asam
nukleat sehingga pertumbuhan bakteri
dapat terhambat.16
Pada uji statistik yang sama,
didapatkan bahwa diameter zona
hambat pada pemberian ekstrak daun
pepaya varietas Thailand dengan
118
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
konsentrasi 75% menunjukkan
perbedaan yang bermakna bila
dibandingkan dengan kelompok
perlakuan yang lainnya. Dari hasil
penelitian terlihat bahwa makin besar
konsentrasi ekstrak daun pepaya
varietas Thailand maka makin besar
pula diameter zona hambatnya.
Konsentrasi 75% memiliki zona
hambat paling besar bila dibandingkan
dengan konsentrasi 25% dan 50%
dimana ( p<0,05). Hal ini diperkirakan
karena adanya kandungan flavonoid
yang berfungsi sebagai antimikroba
merupakan senyawa yang mudah larut
dalam air.6
Penelitian ini masih bersifat
kualitatif yaitu untuk menunjukkan
perbedaan daya hambat ekstrak daun
pepaya varietas Thailand terhadap
pertumbuhan bakteri Enterococcus
faecalis dengan menggunakan
konsentrasi 25%, 50%, dan 75%
dibandingkan dengan ChKM dimana
didapatkan hasil bahwa daya hambat
konsentrasi tertinggi yaitu 75% masih
lebih kecil daripada daya hambat
ChKM sebagai kontrol positif sehingga
perlu untuk dilakukan penelitian lebih
lanjut untuk membandingkan tingkat
toksisitas ekstrak daun pepaya varietas
Thailand dibandingkan dengan bahan
sterilisasi saluran akar ChKM.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa ekstrak daun pepaya
varietas Thailand dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Enterococcus
faecalis pada konsentrasi 25%, 50%
dan 75%. Ekstrak daun pepaya
varietas Thailand pada konsentrasi
terbesar (75%) merupakan konsentrasi
yang paling efektif untuk menghambat
pertumbuhan bakteri Enterococcus
faecalis, Konsentrasi terbesar pada
penelitian ini (75%) memiliki daya
hambat yang lebih kecil dibandingkan
ChKM sebagai kontrol positif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Athanassiadis B, Abbott PV, Walsh LJ.
2007. The Use of Calcium Hydroxide,
Antibiotics and Biocides as Antimicrobial
Medicaments In Endodontics. Australian
Dental Journal, 52(1): S82-S64.
2. Walton, Torabinejad. 2008. Prinsin dan
Praktik Ilmu Edodonsia. Alih Bahasa:
Sumawinata N. Ed ke 3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. H. 261-258.
3. Johnson WT, Noblett WC. 2009. Cleaning
and Shaping. In: Walton RE, Torabinejad
M. Endodontics principles and practice. 4th
ed. India: Thomson Press. P. 258-83.
4. Grossman, LI, Oliet S and Del Rio. CE.
1995. Ilmu Endodontik Dalam Praktek. Alih
Bahasa: Abyono R. Ed ke11. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. H. 262-
246, 84-65.
5. Dalimartha S. 2006. Atlas Tumbuhan Obat
Indonesia. Edisi 4. Puspa Swara, Anggota
Ikapi. Jakarta. H. 61-56.
6. Rahman, Mohammad Fiqrie. 2008. Potensi
Antibakteri Ekstrak Daun Pepaya Pada Ikan
Gurami yang diinfeksi Bakteri Aeromonas
Hydrophila. Skripsi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institute Pertanian Bogor. H. 18-14.
7. Kalie, M. B. 2008. Bertanam Pepaya. Edisi
XXV. Penebar Swadaya. Jakarta. h. 120
8. Muamar, Muhamad. 2011. Uji Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Daun Pepaya (Carica
papaya L. ) terhadap Streptococcus mutans
secara In vitro. Skripsi, Fakultas
Kedokteran, Universitas Sebelas Maret. H.
10-1. Available from
http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=sh
owview&id=23264. Diakses 22 April 2012.
9. Sudibyo. 2008. Metodologi Penelitian
Aplikasi penelitian di Bidang Kesehatan.
Surabaya: Unesa University Press.
10. Naiborhu, Parsiholan Effendy. Ekstraksi dan
Manfaat Ekstrak Mangrove (Sonneratia alba
dan Sonneratia caseolaris) Sebagai Bahan
Alami Antibakterial: Pada Patogen Udang
Windu, Vibrio harveyi. Available from
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789
/20041?show=full. Diakses 10 Juni 2012.
11. Dahlan, M Sopiyudin. 2010. Besar Sampel
dan Cara Pengambilan Sampel. Jakarta:
Salemba medika. H. 87
119
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
12. Suchitra U., Kundabala M., Sheney MM.
2006. In Search of Endodontic Pathogen.
Kathmandu University Medical Journal,
4(4): 525-9.
13. Charles HS, Scott AS, Thomas JB,
Christoper BO. 2006. Enterococcus
faecalis: Its Role In Root Canal Treatment
Failure and Current Concepts In
Retreatment. JOE, 32(2): 93-8.
14. Bodrumlu E and Semiz M. 2006.
Antibacterial Activity of a New Endodontic
Sealer Against Enterococcus faecalis. J Can
Dent Assoc,72(7): 637.
15. Mulyawati, Ema. 2011. Peran Bahan
Disinfeksi Pada Perawatan Saluran Akar.
Majalah Kedokteran Gigi, 18(2): 209-205.
16. Osswald, R. 2005. The Problem of
Endodotitisand Managing It Through
Conservative Dentistry. P. 144-134.
17. Uttley AHC, George RC, Naidoo J, 2009.
Epidemiology and Infection. Cambridge
University Press, 103(1): 181-173.
120
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Efektivitas Ekstrak Daun Mangrove Avicennia Alba
Terhadap Penurunan Jumlah Koloni Candida
albicans pada Basis Gigi Tiruan Akrilik
(The Effectiveness of Avicennia Alba Leaves Extract Againts
The Decreasing of Candida Albicans Colony
on Heat Cured Acrylic Denture Base)
Meidhira Ratu Azaalea, Meinar Nur Ashrin*, Widaningsih*
*Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
ABSTRACT
Background: Heat cured acrylic resin material is commonly used as denture base. Denture
cleaning is an important procedure to be done, otherwise can cause calculus accumulation and adhesion of Candida albicans to the denture. According to some researchs, Avicennia
alba leaves has an antifungi, antiseptic, and antimicrobial activity. Purpose: The purpose of
this study was to determine the effectiveness of Avicennia alba leaves extract againts the decreasing of Candida albicans colony on heat cured acrylic denture base. Materials and
Methods: The experimental was held by post test only control group design, and used thirty
six samples heat cured acrylic plates with the size of (10x10x1) mm. Avicennia alba leaves
extract was obtained from maceration process using 96% ethanol solvent and diluted with
Aquadest sterile at concentration of 10%, 20% and 40%. Anticandida test was done by immersing the heat cured acrylic plates into Avicennia alba leaves extract for 15 minutes. The
data were analyzed by Mann-Whitney test. Results: The results showed there were significant
differences in the number of Candida albicans colony between the control groups with treatment groups using concentration of 10%, 20% and 40%. There were significant
differences in the number of Candida albicans colony between the treatment groups using
concentrations of 10% and 40%. There were also significant differences in the number of Candida albicans colony between the treatment groups using concentrations of 20% and
40%. Conclusion: The extract of Avicennia alba leaves in 40% concentration effective to decreasing Candida albicans colony on heat cured acrylic denture base.
Keywords: Avicennia alba leaves, heat cured acrylic, Candida albicans
Correspondence: Meinar Nur Ashrin, Department of Prosthodontics, Faculty of Dentistry,
Hang Tuah University, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Phone 031-5945864, 5912191,
Email: [email protected]
LAPORAN PENELITIAN
121
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
ABSTRAK
Latar Belakang: Resin akrilik heat cured merupakan bahan yang umum dipakai sebagai
basis gigi tiruan. Pembersihan gigi tiruan adalah prosedur yang penting untuk dilakukan, bila tidak akan mengakibatkan akumulasi kalkulus dan perlekatan Candida albicans pada
gigi tiruan. Menurut beberapa penelitian, ekstrak daun Mangrove (Avicennia alba) mempunyai aktivitas antijamur, antiseptik dan antibakteri. Tujuan: Untuk mengetahui
efektifitas ekstrak daun Mangrove (Avicennia alba) terhadap penurunan jumlah koloni
Candida albicans pada basis gigi tiruan akrilik heat cured. Bahan dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan rancangan the post test only
control grup design. Penelitian ini menggunakan lempeng resin akrilik heat cured sebanyak
36 buah berukuran (10x10x1) mm. Ekstrak daun Mangrove (Avicennia alba) dihasilkan dengan cara maserasi dengan pelarut etanol 96%, dan dilarutkan dengan aquades steril
pada konsentrasi 10 %, 20%, dan 40% lalu dilakukan uji efek antifungi Candida albicans pada basis gigi tiruan akrilik heat cured dengan cara perendaman selama 15 menit. Data
yang didapatkan dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil: Terdapat perbedaan
jumlah koloni Candida albicans yang signifikan antar kelompok kontrol negatif dengan perlakuan ekstrak 10%, 20, dan 40%. Terdapat perbedaan jumlah koloni Candida albicans
yang signifikan antar kelompok perlakuan ekstrak 10% dan 40%. Terdapat perbedaan jumlah koloni Candida albicans yang signifikan antar kelompok perlakuan ekstrak 20% dan 40%.
Simpulan: Ekstrak daun Mangrove (Avicennia alba) efektif dalam menurunkan jumlah
koloni Candida albicans pada basis gigi tiruan akrilik heat cured pada konsentrasi 40%.
Kata kunci: Daun Mangrove (Avicennia alba), akrilik heat cured, Candida albicans
Korespondensi: Meinar Nur Ashrin, Bagian Prostodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Hang Tuah Arif Rahman Hakim, 150 Surabaya, Telepon 031-5945894,5912191, Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Gigi tiruan adalah suatu alat
yang berfungsi untuk menggantikan
sebagian atau seluruh gigi asli yang
hilang dan digunakan pada rahang atas
maupun rahang bawah.7 Basis gigi
tiruan adalah bagian yang penting dari
gigi tiruan, karena berperan sebagai
pengganti jaringan pendukung di
sekitar gigi.13 Material dasar gigi
tiruan telah dikembangkan untuk
memenuhi kriteria dasar gigi tiruan.
Gigi tiruan yang ideal harus memenuhi
beberapa persyaratan fisik dan
mekanik. Beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi antara lain ialah tidak
adanya perubahan warna, porositas
rendah, stabil terhadap perubaan
dimensi, tidak toksik, mempunyai
kekuatan depresi dan kekerasan tinggi,
penyerapan air rendah, dan kekakuan
untuk menghasilkan stabilitas yang
baik.4
Bahan gigi tiruan yang umum
dipakai sebagai basis gigi tiruan adalah
resin akrilik polymethyl methacrylate
(PMMA) jenis heat cured dimana cara
polimerisasinya dilakukan dengan
pemanasan.2 Resin akrilik dipilih
karena sifatnya yang tidak toksik,
memenuhi syarat estetik, harganya
yang relatif murah, mudah cara
manipulasinya, dan mudah untuk
direparasi, namun adapula kekurangan
dari resin akrilik yaitu porositas dan
absorbsi air.4 Sifat porositas ini dapat
122
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
mengakibatkan debris dan plak mudah
melekat pada basis gigi tiruan.15
Pembersihan gigi tiruan adalah
prosedur yang penting untuk
dilakukan, bila tidak akan
mengakibatkan bau yang tidak sedap,
timbulnya noda dan akumulasi
kalkulus pada gigi tiruan tersebut dan
mengakibatkan terjadinya denture
stomatitis. Denture stomatitis adalah
inflamasi pada mukosa mulut dengan
lesi erythematous dan lesi hiperplastik.
Etiologi lesi ini dihubungkan dengan
adanya mikroorganisme dan Candida
albicans. Monroy et al. (2005) telah
melakukan penelitian terhadap 105
pasien pemakai gigi tiruan, dan
menemukan adanya kolonialisasi
Candida albicans pada membran
mukosa 55 pasien. Dalam penelitian
Afrina (2007) terhadap 24 pasien
berusia 30-60 tahun yang memakai
gigi tiruan secara terus menerus
menderita denture stomatitis yang
disebabkan oleh Candida albicans
dengan prevalensi kejadian sebesar
53,85%.
Pembersihan gigi tiruan dapat
dilakukan dengan cara merendam
dalam larutan perendam atau kimia,
dan secara mekanik dengan menyikat
gigitiruan menggunakan sikat yang
lembut.11 Ekstrak daun Pohon
Mangrove Avicennia alba, Avicennia
marina dan Avicennia alba
mengandung senyawa saponin, tannin,
alkaloid, triterpenoid, dan fenolik yang
efektif sebagai anti inflamasi,
antibakteri, dan antivirus.17 Daun
Mangrove (Avicennia alba) mampu
menghambat pertumbuhan jamur
patogen dan menunjukkan aktivitas
sebagai anti bakteri, baik gram positif
maupun gram negatif dan antifungi
pada konsentrasi minimal 10%.3,15
Dewasa ini belum di teliti
tentang efektivitas ekstrak daun
Mangrove (Avicennia alba) terhadap
penurunan koloni Candida albicans.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui kegunaan ekstrak daun
Mangrove (Avicennia alba) yang
mempunyai aktivitas antifungi dan anti
mikroba sebagai larutan pembersih
gigi tiruan alami terhadap penurunan
jumlah koloni Candida albicans pada
basis gigi tiruan akrilik heat cured.
Apakah ekstrak daun Mangrove
(Avicennia alba) efektif terhadap
penurunan jumlah koloni Candida
albicans pada basis gigi tiruan akrilik
heat cured ?
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian analitik
eksperimental laboratoris. Penelitian
analitik adalah penelitian yang
berusaha mencari pengaruh variabel
tertentu terhadap variabel lain dalam
kondisi terkontrol secara ketat.11
Penelitian ini menggunakan rancangan
the post test only control group design.
Subyek dalam penelitian ini dibagi
dalam 4 kelompok, satu kelompok
kontrol, satu kelompok perlakuan yang
direndam dengan ekstrak daun
Mangrove Avicennia alba dengan
konsentrasi 10%, satu kelompok
perlakuan yang direndam dengan
ekstrak daun Mangrove Avicennia
alba dengan konsentrasi 20%, dan satu
kelompok perlakuan yang direndam
dengan ekstrak daun Mangrove
Avicennia alba dengan konsentrasi
40%, masing-masing selama 15 menit.
Ekstraksi daun Mangrove
(Avicennia alba) dengan cara
maserasi. Pengeskstrakan dilakukan
dengan cara memasukkan serbuk daun
Mangrove sebanyak 400gr yang sudah
dibungkus kertas saring kedalam
123
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
tabung kaca, lalu direndam dalam
pelarut etanol 96% sebanyak 1000 ml
kemudian diaduk dan didiamkan
selama 5x24 jam lalu disaring. Proses
ini diulangi sebanyak dua kali
sehingga didapatkan filtrat. Filtrat dari
hasil dua kali penyaringan dipekatkan
dengan rotary evaporator sehingga
didapatkan hasil ekstrak kental daun
Mangrove.6
Perlakuan sampel pada penelitian
ini dilakukan dengan cara merendam
lempeng akrilik berukuran (10x10x1)
mm dalam aquades steril selama 24
jam untuk mengurangi sisa monomer,
lalu disterilkan menggunakan
autoclave pada suhu 121°C selama 18
menit, lalu direndam dalam saliva
steril selama 1 jam dan dibilas dengan
phosphat buffer saline (PBS) sebanyak
dua kali untuk membersihkan kotoran
yang menempel. Selanjutnya lempeng
akrilik dikontaminasikan dengan
Candida albicans yang setara dengan
Mc Farland 0,5, lalu diinkubasikan
pada suhu 37°C selama 24 jam.
Lempeng akrilik dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang berisi ekstrak daun
Mangrove Avicennia alba dan berisi
aquades steril selama 15 menit.
Masing-masing tabung berisi 1
lempeng akrilik. Setelah 15 menit,
lempeng akrilik diambil dan dibilas
dengan PBS sebanyak dua kali untuk
menghilangkan sisa ekstrak yang
tertinggal. Selanjutnya lempeng akrilik
dimasukkan ke dalam media
Sabouraud Dextrose Liquid 5ml,
digetarkan mengunakan vortex selama
30 detik dengan tujuan agar Candida
albicans yang melekat pada lempeng
akrilik dapat lepas. Perbenihan
Candida albicans dilakukan dengan
cara spreading 0,5 ml suspensi
Candida albicans pada Sabouraud
Dextrose Agar, lalu diinkubasi selama
24 jam pada suhu 37°C. Setelah 24
jam dilakukan penghitungan koloni
Candida albicans dengan satuan
Colony Forming Unit per mililter
(CFU/ml).10,13
HASIL
Keterangan :
A : Hasil perbenihan pada kelompok
kontrol
B : Hasil pada kelompok perlakuan
menggunakan ekstrak daun Mangrove
Avicennia alba 10%
C : Hasil pada kelompok perlakuan
menggunakan ekstrak daun Mangrove
Avicennia alba 20%
D : Hasil pada kelompok perlakuan
menggunakan ekstrak daun Mangrove
Avicennia alba 40%
Analisis data yang diperoleh
pada penelitian ini diuji menggunakan
uji statistik dengan taraf signifikansi
95% (p=0,05) dan diolah dengan
program SPSS versi 17. Berdasarkan
hasil data penelitian yang diperoleh,
maka rata-rata tiap kelompok
perlakuan dapat dilihat pada tabel 1.
124
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Tabel 1. Hasil uji statistik deskriptif
Kelompok N Rerata Standar
Deviasi
K1 9 422,555 42,682
P1 9 371,222 36,106
P2
P3
9
9
340,222
280,777
36,499
15,872
36 353,694 61,552
Pada tabel 1 Diketahui bahwa
nilai rerata jumlah koloni Candida
albicans pada basis gigi tiruan akrilik
yang direndam pada ekstrak daun
Mangrove (Avicennia alba) dengan
konsentrasi 40% menunjukkan rerata
yang paling rendah, hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak daun
Mangrove (Avicennia alba) dengan
konsentrasi 40% mempunyai aktivitas
anticandida yang paling besar. Nilai
rerata yang rendah menunjukkan
jumlah koloni Candida albicans yang
lebih rendah.
Setelah itu dilakukan uji
normalitas menggunakan uji Shapiro-
Wilk, karena jumlah sampel kurang
dari 50. Hasil uji normalitas dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil uji normalitas
Variabel Statistik Sig
K1 0,793 0,017
P1 0,889 0,197
P2
P3
0,936
0,900
0,538
0,251
Tabel diatas memperlihatkan
bahwa pada kelompok K1 memiliki
distribusi tidak normal karena
memiliki nilai p<0,05.
Tabel 3. Hasil uji Kruskal-Wallis
Sumber Keragaman p
Antar perlakuan 0,000
Pada tabel 3 diperoleh nilai
signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05).
Hal ini menunjukkan adanya
perbedaan bermakna antara kelompok
kontrol dengan masing-masing
kelompok perlakuan yang memiliki
konsentrasi berbeda-beda yaitu 10%,
20% dan 40%. Berdasarkan hasil
tersebut maka dilanjutkan dengan
analisis Post Hoc, untuk melakukan
analisis Post Hoc dari uji Kruskal-
wallis adalah dengan menggunakan uji
Mann-Whitney.
Tabel 4. Hasil uji Mann-Whitney
Keterangan: *ada perbedaan bermakna
Dari hasil uji Mann-Whitney
diketahui bahwa jumlah koloni
Candida albicans pada basis gigi tiruan
yang paling bermakna terdapat antara
kelompok kontrol negatif
menggunakan Aquadest steril dengan
kelompok perlakuan menggunakan
ekstrak Mangrove (Avicennia alba)
konsentrasi 20% (p=0,000), antara
kelompok kontrol negatif
menggunakan Aquadest steril) dengan
kelompok perlakuan menggunakan
ekstrak Mangrove (Avicennia alba)
konsentrasi 40% (p=0,000), dan antara
kelompok perlakuan menggunakan
ekstrak Mangrove (Avicennia alba)
konsentrasi 10% dengan kelompok
perlakuan menggunakan ekstrak
Mangrove (Avicennia alba)
konsentrasi 40% (p=0,000).
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini digunakan
ekstrak daun Mangrove (Avicennia
Rerata
Kelompok
K
1
P1 P2
P3
K1 0,011* 0,000* 0,000*
P1 0,094 0,000*
P2 0,001*
P3
125
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
alba) dengan konsentrasi 10%, 20%,
dan 40%, daun Mangrove (Avicennia
alba) mampu menghambat
pertumbuhan jamur patogen dan
menunjukkan aktivitas sebagai anti
bakteri, baik gram positif maupun
gram negatif dan antifungi pada
konsentrasi minimal 10%.15 Pemilihan
daun Mangrove (Avicennia alba)
karena tumbuhan mangrove banyak di
Indonesia sehingga mudah didapat.9
Setelah dilakukan perhitungan
jumlah koloni Candida albicans dan
data telah diperoleh maka selanjutnya
dilakukan analisis data. Data tersebut
dianalisis dengan menggunakan uji
Kruskal-Wallis karena data
terdistribusi tidak normal dan
dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney.
Dari hasil uji Mann-Whitney
terdapat perbedaan yang bermakna
antara kelompok kontrol menggunakan
Aquadest steril dengan kelompok
perlakuan menggunakan ekstrak daun
Mangrove (Avicennia alba)
konsentrasi 10%, 20%, dan 40%
(p<0,05). Jumlah koloni pada
kelompok perlakuan menggunakan
ekstrak daun Mangrove (Avicennia
alba) konsentrasi 10%, 20%, dan 40%
lebih sedikit dibandingkan dengan
kelompok kontrol menggunakan
Aquadest steril. Penurunan jumlah
koloni Candida albicans pada basis
gigi tiruan akrilik heat cured yang
direndam dalam ekstrak daun
Mangrove (Avicennia alba)
disebabkan kontak antara sel Candida
albicans dengan senyawa aktif yang
terkandung dalam ekstrak daun
Mangrove (Avicennia alba).
Senyawa aktif yang terkandung
dalam ekstrak daun Mangrove
(Avicennia alba) antara lain adalah
alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin
dimana senyawa ini diketahui
mempunyai aktivitas anti fungi.15
Sedangkan Aquadest steril tidak dapat
menurunkan jumlah koloni Candida
albicans karena bersifat netral dan
tidak mempunyai sifat anticandida.
Senyawa flavonoid bekerja dengan
cara denaturasi protein sehingga
meningkatkan permeabilitas membran
sel. Denaturasi protein menyebabkan
gangguan dalam pembentukan sel
sehingga merubah komposisi
komponen protein. Fungsi membran
sel yang terganggu dapat
menyebabkan kerusakan sel jamur dan
akhirnya menyebabkan kematian sel.16
Senyawa alkaloid mempengaruhi
komponen sel Candida albicans
dengan cara mendenaturasi protein dan
merusak membran sel, sehingga
membran sel lisis dan mati. Saponin
memiliki mekanisme menganggu
membran sel jamur dengan cara
membentuk kompleks dengan protein
ekstraseluler, dinding sel dan juga
enzim-enzim yang terdapat pada sel
jamur sehingga membran sel rusak dan
sel Candida albicans mati. Sedangkan
mekanisme kerja tanin yaitu dengan
cara bereaksi dengan lipid dan asam
amino yang terdapat pada dinding sel,
lalu senyawa tersebut masuk ke dalam
inti sel, berkontak dengan DNA pada
inti sel dan merusaknya sehingga sel
lisis dan mati.5 Senyawa- senyawa
tersebut dapat mengakibatkan
kematian dari sel Candida albicans,
sehingga dapat menurunkan koloni
Candida albicans yang melekat pada
basis gigi tiruan akrilik heat cured.
Dari hasil uji Mann-Whitney
terdapat perbedaan yang bermakna
antara kelompok perlakuan
menggunakan ekstrak daun Mangrove
(Avicennia alba) 10% dan 20% dengan
40% (p<0,05). Hal ini menyatakan
bahwa jumlah koloni paling sedikit
terdapat pada perlakuan menggunakan
ekstrak daun Mangrove (Avicennia
126
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
alba) 40%. Artinya, ekstrak daun
Mangrove (Avicennia alba) 40%
mempunyai efektivitas paling tinggi
dalam menurunkan jumlah koloni
Candida albicans pada basis gigi
tiruan akrilik heat cured. Data hasil uji
Mann-Whitney antara kelompok
perlakuan menggunakan ekstrak daun
Mangrove (Avicennia alba) 10%
dengan 20% menunjukkan adanya
perbedaan yang tidak bermakna, hal
ini menunjukan bahwa ekstrak daun
Mangrove (Avicennia alba) 10% dan
20% mempunyai aktifitas antifungi
yang relatif sama. Perbedaan yang
tidak bermakna antara dua kelompok
ini dapat disebabkan karena jumlah
senyawa aktif yang terkandung dalam
ekstrak daun Mangrove (Avicennia
alba) 10% dan 20% tidak jauh
berbeda, bila dibandingkan dengan
konsentrasi 40%.
Semakin tinggi konsentrasi suatu
ekstrak maka semakin tinggi senyawa
aktif yang terkandung dalam ekstrak,
sehingga semakin tinggi efek
terapeautiknya dan lebih banyak sel
Candida albicans yang mati atau
lisis.16 Artinya ekstrak daun Mangrove
(Avicennia alba) dengan konsentrasi
40% mempunyai efektivitas paling
tinggi dalam menurunkan jumlah
koloni Candida albicans pada basis
gigi tiruan akrilik heat cured.
Berdasarkan penjelasan diatas,
didapatkan hasil yang sesuai dengan
hipotesis bahwa ekstrak daun
Mangrove (Avicennia alba) efektif
dalam menurunkan jumlah koloni
Candida albicans pada basis gigi tiruan
akrilik heat cured.
Ekstrak daun Mangrove
(Avicennia alba) dapat dikembangkan
sebagai bahan material kedokteran gigi
khususnya sebagai pembersih gigi
tiruan lepasan yang berasal dari bahan
alami yang mempunyai beberapa
keuntungan dimana ekstrak tidak
berpengaruh buruk pada bahan basis
gigi tiruan bila dibandingkan dengan
pembersih gigi tiruan kimia yang dapat
mempengaruhi sifat fisik dari bahan
basis gigi tiruan akrilik, lalu limbah
dari ekstrak ini bersifat organik
sehingga lebih mudah di uraikan dan
lebih ramah lingkungan. Keuntungan
lainnya yaitu bahan pembersih yang
terbuat dari ekstrak daun Mangrove
(Avicennia alba) cukup murah, dengan
perhitungan kurang lebih 120 gr
ekstrak kental dapat digunakan
menjadi 40 kali perendaman gigi
tiruan.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa
ekstrak daun Mangrove (Avicennia
alba) efektif dalam menurunkan
jumlah koloni Candida albicans pada
basis gigi tiruan akrlik heat cured pada
masing-masing konsentrasi. Ekstrak
daun Mangrove (Avicennia alba ) pada
konsentrasi 40% paling efektif dalam
menurunkan jumlah koloni Candida
albicans pada basis gigi tiruan akrlik
heat cured.
DAFTAR PUSTAKA
1. Afrina L. 2007. Prevalensi Denture
Stomatitis yang Disebabkan Kandida
Albikans Pada Pasien Gigi Tiruan Penuh
Rahang Atas di Klinik FKG USU Maret-
Mei 2007. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Anusavice KJ. 2004. Philips Buku Ajar
Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. Alih Bahasa;
Johan Arief Budiman, Susi Purwoko. Edisi
10. Jakarta: EGC.
3. Begum J, Yusuf M, Uddin J, Khan S.
2007. Antifungal Activity of Forty Higher
Plants against Phytopathogenic Fungi.
Bangladesh J Microbiol, 24: 78-76.
Available from
127
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
http://www.Banglajol.info/index.php/BJM/
article/view/1245/6719. Diakses 30
September 2013.
4. Combe, EC.1992. Sari Dental Material.
Jakarta: Balai Pustaka. H. 269-267.
5. Harnas E, Winarsih S, Nurdiana. 2012.
Efek Antifungi Ekstrak Etanol Rumput
Teki (Cyperus rotundus L.) Terhadap
Candida albicans Isolat Vaginitis Secara In
Vitro. Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya. Malang. Available from
http://old.fk.ub.ac.id/artikel/id/filedownloa
d/kebidanan/majalah%2520elya%2520devi
%2520mia%2520dwi%2520harnas.pdf.
Diakses 15 Februari 2014.
6. Gupta VK and Roy A. 2012. Comparative
Study of Antimicrobial Activities of Some
Mangrove Plants from Sundarban
Estuarine Regions of India. Journal of
Medicinal Plants Research, 6(42): 5488-
5480. Available from
http://www.academicjournals.org/JMPR.
Diakses 10 Maret 2013.
7. Mauliyani. 2012. Penggunaan Valplast
Dalam Pembuatan Gigi Tiruan Fleksibel
Sebagai Perawatan Alternative Kehilangan
Gigi. Makassar: Universitas Hasanuddin.
H. 7-6.
8. Monroy, et al. 2005. Candida albicans,
Staphylococcus aureus and Streptococcus
mutans Colonization in Patients Wearing
Dental Prothesis. Available from
http://www.medicinaoral.com/medoralfree
01/v10Suppl1i/medoralv10suppl1ip27.pdf.
Diakses 20 Januari 2013. P. 39-27.
9. Purnobasuki. 2004. Potensi Mangrove
Sebagai Tanaman Obat. Available from
http://www.irwantoshut.com. Diakses 10
September 2013.
10. Rifa’ah. 2008. Efektivitas Air Rebusan Biji
Jinten Hitam (Nigella sativa) Terhadap
Candida albicans Pada Lempeng Resin
Akrilik Heat Cured. Skripsi, Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah,
Surabaya. H. 3-1.
11. Salman M, Shata S. 2011. Effect of
Different Denture Cleanser Solutions on
Some Mechanical and Physical Properties
Of Nylon and Acrylic Denture Base
Materials. J Bagh College Dentistry, 2: 24-
19. Available from
http://www.codental.uobaghdad.edu.iq/upl
oads/journal/23Mohamad%2520F.pdf.
Diakses 25 Juli 2013.
12. Sudibyo. 2009. Metodologi Penelitian
Aplikasi Penelitian Bidang Kesehatan.
Ed2., Surabaya: Unesa University Press. H.
60-53.
13. Sunur Y. 2013. Daya Hambat Ekstrak
Daun Mangga Gadung (Mangifera indica
linn) Terhadap pertumbuhan Candida
Albicans Pada Lempeng Akrilik Heat
Cured. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hang Tuah, Surabaya.
14. Utami M, Febrida R, Djustiana N. 2009.
The Comparison Of Surface Hardness
Between Thermoplastic Nylon Resin and
Heat-cured Acrylic Resin. Padjajaran
Journal of Dentistry, 21(3): 203-200.
15. Vadlapudi V, Naidu KC. 2009. Bioactivity
of Marine Mangrove Plant Avicennia alba
on Selected Plant and Oral Pathogens.
International Journal of ChemTech
Research, 1(4): 1216-1213.
16. Wahyuningtyas E. 2008. Pengaruh Ekstrak
Grapthophylum pictum Terhadap
Pertumbuhan Candida albicans pada Plat
Gigi Tiruan Resin Akrilik. Indonesian
Journal of Dentistry, 15: 191-187.
17. Wibowo C, Kusuma C, Suryani A, Hartati.
2009. Pemanfaatan Pohon Mangrove Api-
api (Avicennia Spp.) Sebagai Bahan
Pangan dan Obat. Available from
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/
123456789/45052/Pemanfaatan%20Pohon
%20Mangrove.pdf?sequence=1. Diakses
30 Maret 2013.
128
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Efektivitas Gel Lendir Bekicot (Achatina fulica)
Dalam Mempercepat Proses Penyembuhan
Ulkus Traumatikus
(Effectivity of Snail Mucus Gel (Achatina fulica) In
Acceleration of Traumatic Ulcer Healing)
Anna Riyani Suwono, Isidora Karsini Soewondo*, Syamsulina Revianti**
*Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
*Biologi Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
ABSTRACT
Background: Traumatic ulcer is common mucosal lesion. The damage usually effecting the
epithelial layers and exceeds the basal membrane into the deeper layers with the
erythematous halo. Snails are easily found in Indonesia. Snail mucus contains protein,
glycosaminoglycan, water, electrolytes, mucus glycoprotein, lectins and hemocyanin which
can accelerate wound healing process. Purpose: To prove the effectiveness of Achatina fulica gel with concentration of 4.5%, 9% and 13% in accelerating the healing process of traumatic
ulcer, to compare all three concentration of Achatina fulica gel, and to compare Achatina
fulica gel with hialuronic acid gel in accelerating healing process of traumatic ulcer. Materials and Methods: The study was conducted using post-test only control group design.
The sample consisted of 6 groups. Each group contains 5 strain wistar rat. Traumatic ulcer was made in the middle of the rats’ lower labial mucosa. First group were treated using
sterile distilled water, second group were using hyaluronic acid gel 0,2%, third to fifth group
were using snail mucus gel with concentration of 4,5%, 9%, and 13%, respectively. Every group was applied on the first day after preparation of traumatic ulcer until one of the
traumatic ulcer healed. Data was analyzed with one-way ANOVA and LSD test. Result: The
data showed that the treatment group using hialuronic acid gel 0,2% and snail mucus extract gel 4,5%;9%;13% have no significant differences. Conclusion: Achatina fulica gels have
effectively increased the rate of healing process of traumatic ulcer.
Keywords: Achatina fulica, effectiveness, traumatic ulcer, wound healing
Correspondence: Isidora Karsini Soewondo, Departement of Oral Medicine, Faculty of
Dentistry, Hang Tuah University, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Phone 031-5912191,
Email: [email protected]
LAPORAN PENELITIAN
129
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
ABSTRAK
Latar belakang: Ulkus traumatikus adalah satu dari lesi mukosa yang paling umum.
Biasanya terjadi kerusakan epitelium melebihi membrana basalis dengan batas yang jelas.
Bekicot mudah ditemukan sekitar masyarakat Indonesia. Lendir bekicot mempunyai protein, glikosaminoglikan, air, elektrolit, lendir glikoprotein, lektin dan hemocyanin yang dapat
mempercepat proses penyembuhan luka. Tujuan: Membuktikan efektivitas gel ekstrak lendir bekicot (Achatina fulica) dengan konsentrasi 4,5%; 9%; dan 13% dalam mempercepat proses
penyembuhan ulkus traumatikus, membandingkan ketiga konsentrasi gel lendir berkicot
dalam mempercepat proses penyembuhan ulkus traumatikus, dan membandingkan gel asam hialuronat dengan gel lendir bekicot dalam mempercepat proses penyembuhan ulkus
traumatikus. Bahan dan metode: Penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan post test only control group design. Sampel terdiri dari 6 ekor tikus yang dibagi menjadi 5 kelompok.
Ulkus traumatikus dibuat di sentral mukosa labial bawah tikus strain wistar. Kelompok satu
diobati menggunakan aquades steril, kelompok dua diobati menggunakan gel asam
hialuronat 0,2%, kelompok tiga diobati menggunakan gel ekstrak lendir bekicot 4,5%,
kelompok empat diobati menggunakan gel ekstrak lendir bekicot 9%, dan kelompok lima
diobati menggunakan gel ekstrak lendir bekicot 13%. Setiap kelompok diaplikasikan pada hari pertama setelah pembuatan ulkus traumatikus sampai salah satu ulkus traumatikus
sembuh. Semua data dianalisis dengan uji one way ANOVA dan uji LSD. Hasil: Data penelitian menunjukkan bahwa efektivitas pada kelompok perlakuan menggunakan gel asam
hialuronat 0,2%, gel ekstrak lendir bekicot 4,5%; 9%; dan 13% tidak mempunyai perbedaan
yang signifikan. Simpulan: Gel ekstrak lendir bekicot efektif dalam mempercepat penyembuhan ulkus traumatikus.
Kata kunci: Achatina fulica, efektivitas, ulkus traumatikus, penyembuhan
Korespondensi: Isidora Karsini Soewondo, Bagian Ilmu Penyakit Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Hang Tuah, Arief Rahman Hakim 150, Surabaya, Telepon 031-
5912191, Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Ulkus traumatikus adalah satu
dari lesi mukosa yang paling umum
pada penyakit mulut.1 Ulkus
merupakan lesi dimana terjadinya
kerusakan pada epitelium melebihi
membrana basalis dengan batas yang
jelas.1,2 Ulkus traumatikus terjadi pada
setiap kelompok usia dan distribusi
yang sama antara pria dan wanita.3
Sebagian besar ulkus disebabkan oleh
trauma mekanik, akan tetapi juga ada
penyebab yang lain seperti diri sendiri
(kebiasaan abnormal dan masalah
psikologis), trauma termal, kimia,
radiasi, dan arus listrik.2,4 Ulkus
traumatikus sering terjadi disertai rasa
nyeri, single, permukaannya merah
halus atau putih kekuningan dengan
lingkaran merah di tepinya, ukurannya
bervariasi dari beberapa millimeter
sampai beberapa sentimeter.1
Proses penyembuhan luka
merupakan suatu proses kompleks dan
terkait satu sama lain, dari perbaikan
jaringan dan remodeling jaringan
sebagai respon atas terjadinya jejas.
Proses penyembuhan luka ini
bertujuan merekonstruksi suatu
jaringan semirip mungkin dengan
jaringan asli.5 Pada prinsipnya ulkus
traumatikus akan hilang pada hari ke-7
sampai hari ke-10 bila penyebabnya
dihilangkan.2 Kesembuhan ulkus
traumatikus dipengaruhi oleh beberapa
130
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
faktor, seperti usia, nutrisi, infeksi,
sirkulasi (hipovolemia) dan
oksigenasi, hematoma, benda asing,
iskemia, diabetes, keadaan luka, dan
obat.6
Belakangan ini, asam hialurnoat
0,2% banyak digunakan sebagai salah
satu obat terapi ulkus traumatikus
karena mengandung asam hialuronat,
xylitol dan dikombinasikan dengan
efek dasar bahan alami sebagai
regenerasi jaringan, anti edema, anti
inflamasi, analgesik dan hemostasis
sehingga dapat merangsang
penyembuhan luka migrasi dan mitosis
dari fibroblas dan sel epitel.2,7 Namun,
penggunaan asam hialuronat dapat
menyebabkan alergi atau
hipersensitivitas dan harganya masih
relatif mahal.8
Bekicot atau Achatina fulica
adalah salah satu hewan darat yang
dianggap menjijikkan dan belum
banyak dimanfaatkan dalam kehidupan
sehari-hari, karena belum banyak yang
mengetahui potensi dari bekicot
tersebut. Selama ini Achatina fulica
hanya digunakan sebagai campuran
makanan ternak dan sebagian kecil
untuk dikonsumsi misalnya dalam
bentuk keripik bekicot dan sate.9
Masyarakat Indonesia sudah sejak
zaman dahulu mengenal dan
memanfaatkan lendir bekicot
(Achatina fulica) yang berkhasiat
sebagai salah satu upaya dalam
menyembuhkan luka. Secara
tradisional penggunaannya adalah
lendir bekicot dioleskan pada luka
sampai lendir menutupi seluruh bagian
luka.10
Lendir yang diproduksi kelenjar
di dinding tubuh bekicot, maupun zat
getah bening yang mengalir dalam
tubuh bekicot mempunyai aktivasi
pembasmi bakteri dan benda asing.11
Lendir bekicot memiliki kandungan
glikoprotein, karbohidrat, protein,
glikosaminoglikan, air, elektrolit,
lektin, hemocyanin.12,13,14 Lendir
bekicot mempunyai nilai biologis yang
tinggi dalam penyembuhan dan
penghambatan proses inflamasi,
mengandung analgesik yaitu peptida
antimikroba (Achasin) serta antiseptik
yang dapat membantu mempercepat
penutupan jaringan kulit dan luka.10,11
Lendir bekicot Achatina fulica juga
mempunyai kandungan antibakteri
menghambat bakteri Escherichia coli
dan Streptococcus mutan dan
mempunyai kandungan Acharan
sulfate yang berkhasiat menurunkan
aktivitas mitogenik dari faktor
pertumbuhan dasar fibroblas yang
tergantung konsentrasi, yang
menunjukkan penghambatan
angiogenesis.11,14 Selain itu,
keuntungan bekicot disamping
harganya terjangkau dan sangat mudah
didapatkan, terutama untuk
masyarakat pedesaan yang jauh dari
sarana dan prasarana kesehatan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini adalah penelitian
true experiment laboratories dengan
rancangan post test only control group
design. Subjek penelitian ini sebanyak
30 ekor tikus yang terbagi dalam 5
kelompok, yaitu kelompok kontrol
negatif, kelompok kontrol positif (gel
asam hialuronat 0,2%), kelompok
perlakuan 1 (gel lendir bekicot 4,5%),
kelompok perlakuan 2 (gel lendir
bekicot 9%), dan kelompok perlakuan
3 (gel lendir bekicot 13%).
Pada penelitian dilakukan
pembuatan ulkus traumatikus yang
dibuat di sentral mukosa labial bawah
tikus strain wistar yang dibagi 5
kelompok, yaitu gel asam hialuronat
131
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
0,2% untuk 6 ekor tikus sebagai
kontrol negatif, aquades steril untuk 6
ekor tikus sebagai kontrol positif, gel
lendir bekicot 4,5% untuk 6 ekor tikus
sebagai perlakuan 1, gel lendir bekicot
9% untuk 6 ekor tikus sebagai
perlakuan 2, dan gel lendir bekicot
13% untuk 6 ekor tikus sebagai
perlakuan 3.
Sampel penelitian menggunakan
Ratus novergicus strain wistar yang
mempunyai kriteria sebagai berikut:
berjenis kelamin jantan, berusia 6
bulan, berat badan 300-350 gram,
mempunyai kondisi fisik sehat dengan
ciri-ciri mata jernih, bulu kaki
mengkilap, gerakan aktif, feses baik
tidak lembek, dan dipelihara dahulu
selama 7 hari untuk beradaptasi.
Teknik pengambilan sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah
simple random sampling.
Lendir bekicot yang digunakan
pada penelitian ini mudah didapat
dengan cara merangsang permukaan
tubuh bekicot menggunakan electric
shock pada tegangan listrik 6 volt
(menggunakan 4 buah batu baterai
@1,5 volt yang dirangkai dengan
kabel listrik) selama 60 detik dan
diletakkan di mortir dan
dihomogenkan.16 Sekali mendapatkan
lendir bekicot pada satu bekicot sekitar
± 2 ml. Setelah mendapatkan lendir
bekicot ini bekicot masih dalam
keadaan tetap hidup.
Setelah lendir bekicot homogen,
lendir dibuat gel. Resep pembuatan gel
lendir bekicot ini membutuhkan lendir
bekicot 4,5 pada K3, lendir bekicot 9
gram pada K4 dan lendir bekicot 13
gram pada K5, CMC-Na 3 gram untuk
K3, K4, K5, serta gliserol 1,5 gram,
metil paraben 0,18 gram, propil
paraben 0,02 gram, dan aquades ad
100 gram pada K3, K4, dan K5. Cara
pembuatan gel lendir bekicot dengan
cara air dimasukkan dalam mortir dan
ditaburkan CMC-Na, ditunggu
beberapa menit sampai mengembang
dan digerus sampai homogen. Setelah
itu memasukkan gliserol, metil
paraben, propil paraben secara
bergantian dan diaduk sampai
homogen. Lendir bekicot dimasukkan
lalu digerus sampai homogen.
Prosedur pertama dalam
pembuatan ulkus traumatikus adalah
mempersiapkan dan mensterilisasi alat
yang akan digunakan dalam
pembuatan ulkus traumatikus. Masing-
masing tikus strain wistar sebelum
mendapat perlakuan dilakukan
anastesi. Obat anastesi yang digunakan
adalah eter dengan metode inhalasi
dan pastikan tikus strain wistar sudah
teranastesi dengan ditandai adanya
reflek kornea hilang sebelum reflek
retraksi kaki hilang. Fiksasi pada
sentral mukosa labial bawah tikus
strain wistar dengan pinset anatomi
kemudian trauma dibuat pada mukosa
labial tikus wistar selama ± 3 detik.
Pada hari kedua dilakukan pengamatan
apakah sudah terbentuk ulkus atau
tidak. Jika sudah terbentuk ulkus yang
ditandai dengan adanya lesi berbentuk
bulat, berwarna putih dengan sentral
kekuningan yang berisi eksudat
fibrinosa dengan tepi kemerahan
(eritema).2
Ulkus traumatikus dikeringkan
dengan cotton pellet steril dan
dilakukan pengukuran diameter ulkus
terlebih dahulu dengan menggunakan
caliper digital dan dilakukan
pencatatan diameter ulkus traumatikus.
Gel diaplikasikan pada ulkus
traumatikus tikus strain wistar dengan
menggunakan plastic filling instrument
steril sebanyak 0,02 ml kemudian
diratakan dengan menggunakan plastic
filling instrument dan diamkan selama
beberapa saat (± 1 menit) untuk
132
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
memberi kesempatan pada gel untuk
meresap. Setelah itu, aplikasikan
topikal gel asam hialuronat 0,2% pada
kelompok K1, topikal aquades steril
pada kelompok K2, gel lendir bekicot
4,5% pada kelompok K3, gel lendir
bekicot 9% pada kelompok K4, dan
gel lendir bekicot 13% pada kelompok
K5. Aplikasi obat dilakukan secara
topikal dilakukan 1 kali sehari dan
lama pemberian dilakukan sampai
semua ulkus traumatikus sembuh.
Pengukuran dan pencatatan diameter
ulkus dilakukan setiap hari sampai
salah satu sampel dari kelompok uji
mengalami penyembuhan, yaitu
ditandai dengan semua permukaan
jejas tertutup epitel.
HASIL
Penelitian tentang efektivitas gel
ekstrak lendir bekicot (Achatina
fulica) dalam mempercepat proses
penyembuhan ulkus traumatikus
dilakukan dengan menghitung selisih
diameter penyembuhan. Analisis data
yang diperoleh diuji menggunakan uji
statistik dengan taraf signifikansi 95%
(p=0,05) dan diolah dengan program
SPSS versi 16.
Tabel 1. Hasil rata-rata dan standar deviasi
selisih diameter penyembuhan ulkus
traumatikus (satuan mm)
Kelompok Rata-rata ± Standar
Deviasi
K1 0.8467 ± 0.28275
K2 1.2800 ± 0.20591
K3 1.2167 ± 0.21547
K4 1.3067 ± 0.27558
K5 1.3200 ± 0.29072
Dari hasil rata-rata dan standar
deviasi selisih diameter penyembuhan
ulkus traumatikus diatas dapat dilihat
bahwa terjadi pengurangan diameter
ulkus traumatikus paling banyak pada
kelompok K5, yaitu menggunakan gel
lendir bekicot 13% sedangkan
pengurangan diameter ulkus
traumatikus yang paling sedikit terjadi
pada kelompok K1, yaitu kontrol
negatif.
Analisis Statistik Hasil Penelitian
Uji normalitas dilakukan
berdasarkan uji Shapiro-Wilk karena
jumlah sampel penelitian kurang dari
50. Pada tabel uji Shapiro-Wilk
menunjukkan bahwa data berdistribusi
normal (p>0,05) sehingga memenuhi
salah satu persyaratan menggunakan
uji parametrik.
Setelah uji normalitas, maka
dilakukan uji homogenitas
menggunakan analisis Levene statistic.
Tujuan uji homogenitas adalah untuk
memperlihatkan bahwa dua atau lebih
kelompok data sampel berasal dari
populasi yang memiliki variasi yang
sama.
Uji Levene statistic
menunjukkan nilai p>0,05 sehingga
dapat disimpulkan bahwa variasi data
antar kelompok pada penelitian ini
adalah homogen.
Data yang dihasilkan pada
penelitian ini adalah berdistribusi
normal dan homogen sehingga uji
statistik yang dipilih adalah uji
parametrik. Uji parametrik yang
digunakan adalah uji one way
ANOVA. One way ANOVA
digunakan untuk mengetahui
perbedaan efektivitas gel lendir
bekicot (Achatina fulica) dalam
mempercepat proses penyembuhan
ulkus traumatikus dengan taraf
signifikan 95% (0,05).
133
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Tabel 4. Hasil uji one way ANOVA
Kelompok F Sig.
Antar perlakuan
Dalam perlakuan
3.579 0.019*
Keterangan: *ada perbedaan yang
bermakna antar kelompok
Berdasarkan hasil uji One way
ANOVA pada tabel 4 diperoleh nilai
signifikansi sebesar 0,019 (p<0,05)
yang berarti H0 ditolak yang artinya
terdapat perbedaan efektivitas gel
ekstrak lendir bekicot (Achatina
fulica) dalam mempercepat proses
penyembuhan ulkus traumatikus
sehingga dapat dilanjutkan uji LSD
(Least Significant Difference).
Tabel 5. Hasil uji LSD (Least Significant
Difference) Kelom
pok
Rata-
rata
Kelo
mpok
Rata-
rata
Sig.
K1 0.8467 K2 1.2800 0.007*
K3 1.2167 0.019*
K4 1.3067 0.005*
K5 1.3200 0.004*
K2 1.2800 K3 1.2167 0.673
K4 1.3067 0.859
K5 1.3200 0.789
K3 1.2167 K4 1.3067 0.549
K5 1.3200 0.492
K4 1.3067 K5 1.3200 0.929
Uji LSD (Least Significant
Difference) digunakan untuk
menentukan perbedaan diantara setiap
kelompok perlakuan dengan
menggunakan derajat kemaknaan
p<0,05. Berdasarkan tabel 5 diketahui
bahwa tedapat perbedaan yang
bermakna pada kelompok perbadingan
K1 dengan K2; K1 dengan K3; K1
dengan K4; dan K1 dengan K5.
PEMBAHASAN
Bekicot jenis Achatina fulica
merupakan hewan lunak (moluska)
yang bercangkang ramping (runcing)
dan pola garis pada cangkangnya tidak
terlalu nyata (halus). Pada penelitian
ini mengunakan bekicot yang
diperoleh dari Krian, Jawa Timur.
Bekicot ini dipilih karena banyak di
temukan di lingkungan sekitar
masayarakat sejak zaman penjajahan
Jepang.15
Gel asam hialuronat 0,2%
merupakan produk jadi yang sudah
dipasarkan tetapi harganya kurang
terjangau. Peneliti ingin
membandingkan efektivitas gel lendir
bekicot dengan asam hialuronat dalam
memberikan kesembuhan pada ulkus
traumatikus. Hal ini disebabkan karena
gel asam hialuronat merupakan standar
yang jelas dalam memberikan
efektivitas penyembuhan pada ulkus
traumatikus.
Penelitian ini menggunakan
sampel tikus strain wistar berjenis
kelamin jantan sebanyak 30 ekor yang
berumur berusia 6 bulan. Tikus strain
wistar dipilih karena memiliki
metabolisme tubuh yang hampir sama
dengan manusia serta hasilnya dapat
digeneralisasikan pada manusia dan
memilih berjenis kelamin jantan
dengan pertimbangan lebih mudah
dikontrol dalam penelitian sehingga
diharapkan tidak ada pengaruh
hormonal dalam proses
penyembuhan.17 Umur yang
digunakan 4-6 bulan karena setara
dengan umur 18 tahun manusia
dewasa muda.18
134
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Pada fase penyembuhan luka
orang dewasa dibagi menjadi 3 fase,
antara lain fase inflamasi yang terjadi
sejak terjadinya luka sampai kira-kira
lima hari.19 fase proliferasi yang
terjadi pada hari ke 3-14 yang ditandai
dengan pembentukan jaringan
granulasi pada luka,20 fase maturasi
yang berlangsung pada hari ke-7
sampai 1 tahun dimana terjadi proses
pematangan yang terdiri atas
penyerapan kembali jaringan yang
berlebih, pengerutan sesuai dengan
gaya gravitasi, dan akhirnya
penyerupaan kembali jaringan yang
baru terbentuk.19,20
Hasil uji analitik dengan
menggunakan uji one way ANOVA
terdapat perbedaan efektivitas dalam
mempercepat proses penyembuhan
ulkus traumatikus yang signifikan
pada masing-masing kelompok
perlakuan (tabel 4.4). Hasil uji LSD
(tabel 4.5) menunjukkan bahwa pada
kontrol negatif dengan gel asam
hialuronat 0,2%; kontrol negatif
dengan gel lendir bekicot 4,5%;
kontrol negatif dengan gel lendir
bekicot 9%; dan kontrol negatif
dengan gel lendir bekicot 13%
didapatkan adanya perbedaan
bermakna karena nilai signifikannya
lebih kecil dari 0,05.
Pada penelitian ini didapatkan
hasil perbandingan antara kontrol
negatif dengan gel asam hialuronat
0,2%, yaitu pada hasil uji LSD
terdapat perbedaan yang bermakna.
Hal ini disebabkan oleh kandungan
dari gel asam hialuronat 0,2%
merupakan produk jadi yang sudah
dipasarkan dengan komposisi asam
hialuronat 0,2%, xylitol, dan bahan
tambahan lain. Pada gel asam
hialuronat 0,2% dikombinasikan
dengan efek dasar bahan alami sebagai
regenerasi jaringan, anti edema, anti
inflamasi, analgesik dan hemostasis.
Bahan tersebut dapat mempengaruhi
percepatan proses penyembuhan ulkus
traumatikus sehingga pada hasil rata-
rata jumlah fibroblas asam hialuronat
lebih tinggi dibandingkan kelompok
perlakuan kontrol. Asam hialuronat
merupakan komponen terbesar matriks
ekstraseluler yang sifatnya menarik air
dan banyak ditemukan pada jaringan
yang tumbuh atau rusak. Gel asam
hialuronat 0,2% merupakan salah satu
glikosaminoglikan (GAG) utama yang
dikeluarkan selama perbaikan jaringan
dimana diproduksi oleh fibroblas
selama fase proliferasi pada
penyembuhan luka merangsang
migrasi dan mitosis dari fibroblas dan
sel epitel.21
Hasil perbandingan antara
kontrol negatif dengan gel lendir
bekicot, yaitu pada hasil uji LSD
terdapat perbedaan yang bermakna.
Hal ini disebabkan karena mempunyai
kandungan yang sama seperti
glikosaminoglikan (GAG),
glikoprotein, karbohidrat, protein.
Kandungan tersebut saling berkaitan
dalam fase penyembuhan luka
sehingga memiliki peran penting
dalam memperbaiki jaringan.
Glikosaminoglikan yang
dikandung dalam lendir bekicot
memiliki berat molekul 29 kDa.
Glikosaminoglikan pada lendir bekicot
bukanlah heparin atau heparan sulfat
melainkan rangkaian disakarida
berulang Acharan sulfate dan
modifikasi kimia 4)-2-acetamido-2-
deoxy-α-D-glucopyranose (1 4)-2-
sulfo-α-L-idopyranosyluronic acid (1
( GlcNpAc IdoAp2s ).
Glikosaminoglikan adalah turunan dari
polisakarida linear anionik yang
diisolasi sebagai cabang dari
proteoglikan. Proteoglikan berperan
dalam pengaturan pertumbuhan sel
135
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
melalui interaksi rantai
glikosaminoglikan dalam proteoglikan
dengan protein, seperti growth factor
dan reseptornya. Proteoglikan dan
glikosaminoglikan adalah pengatur
aktif dari fungsi sel, berpartisipasi
dalam interaksi sel dan matriksnya dan
berperan penting dalam proliferasi
fibroblas, diferensiasi, dan migrasi
yang diatur secara efektif oleh fenotipe
seluler.11 Pada interaksi sel epitel
dalam matriks ekstraseluler yang salah
satunya adalah glikosaminoglikan
dapat menstimulasi proses re-
epitelisasi jaringan luka sehingga
dapat mempercepat penyembuhan luka
biasa, luka kronis akibat komplikasi
penyakit sepert diabetes militus atau
untuk mempercepat setiap
penyembuhan luka seperti terapi
dengan pembedahan.22
Glikoprotein merupakan salah
satu komponen dari matriks
ekstraseluler yang merupakan protein
yang berkaitan dengan karbohidrat dan
ikatan kovalen. Biasanya merupakan
rantai gula yang pendek, yaitu
oligosakarida (glikan) yang melekat
pada tulang punggung polipeptida.
Glikoprotein adhesif merupakan
molekul yang strukturnya bermacam-
macam, peran utamanya adalah
melekatkan komponen matriks
ekstraseluler satu sama lain dan
melekatkan matriks ekstraseluler pada
sel melalui integrin permukaan sel.
Glikoprotein adhesif meliputi
fibronektin (komponen utama matriks
ekstraseluler interstisial) dan laminin
(penyusun utama membran basalis).
Protein matriks adhesif dapat secara
langsung memerantarai perlekatan,
penyebaran, dan migrasi sel.23
Ternyata, dalam lendir bekicot
(Achatina fulica) ditemukan 40%
karbohidrat dan 60% protein.13
Karbohidrat menjadi komponen utama
glikoprotein dalam penyembuhan luka.
Karbohidrat yang terkandung di dalam
glikoprotein sangat penting dalam
pengenalan interseluler, dimana
karbohidrat ini terikat rantai
polipeptida melalui N-linked dan O-
linked oligosakarida. N-linked
oligosakarida merupakan formasi dari
bi-; tri-; dan tetra-antennarry sehingga
berat molekul dari karbohidrat dapat
mencapai 40% dari total berat molekul
glikoprotein.11
Protein pada lendir bekicot
(Achasin) sebagai peptida antimikroba
mempunyai berat molekul 71,3 kDa,
tersusun atas 17 asam amino yang
aktif sebagai antibakterial dengan
kondisi reaksi pada pH larutan 7,98-
8,0. Peptida sebagian besar merupakan
antimikroba yang poten dan
merupakan molekul efektor penting
dari innate immune system. Peptida
antimikroba mampu memperbaiki
fagositosis, merangsang lepasnya
prostaglandin, menetralkan efek septik
dari LPS, meningkatkan pengerahan
dan pengumpulan bermacam-macam
sel-sel imun pada sisi keradangan,
meningkatkan angiogenesis dan
merangsang perbaikan luka. Peptida
tersebut selain mempunyai efek
langsung pada mikroba seperti
merusak atau menginstabilisasi
bakteri, virus, atau bereaksi pada
membran fungi atau target lain, juga
terlibat secara luas pada innate
immune dan respon keradangan.11
Perbandingan antara gel lendir
bekicot 4,5%, gel lendir bekicot 9%
dan gel lendir bekicot 13% tidak
mempunyai perbedaan yang signifikan
karena nilai signifikannya lebih besar
dari 0,05. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa gel lendir bekicot mempunyai
efektivitas yang sama dalam
mempercepat proses penyembuhan
ulkus traumatikus dan dapat memakai
136
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
gel lendir bekicot konsentrasi 4,5%
sebagai obat karena pada konsentrasi
4,5% sudah dapat menyembuhkan
ulkus traumatikus. Kandungan dari gel
lendir bekicot mempunyai nutrisi yang
sama untuk mencukupi kebutuhan
metabolik terutama pada fase
proliferasi dimana membutuhkan
asupan energi untuk mempercepat
proses penyembuhan ulkus
traumatikus.
Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan, gel asam
hialuronat 0,2%, gel lendir bekicot
4,5%, gel lendir bekicot 9%, dan gel
lendir bekicot 13% tidak mempunyai
perbedaan yang signifikan berdasarkan
uji LSD. Hal ini disebabkan oleh
kandungan yang mirip antara satu
dengan yang lain seperti
glikosaminoglikan (GAG) yang
dikeluarkan selama perbaikan
jaringan.
Gel lendir bekicot dapat
digunakan sebagai alternatif
pengobatan pada penyembuhan ulkus
traumatikus karena memiliki banyak
kandungan yang berfungsi sebagai
reepitelisasi atau perbaikan jaringan
SIMPULAN
Gel lendir bekicot 4,5%; 9%;
dan 13% mempunyai efektivitas yang
sama dengan gel asam hialuronat 0,2%
dalam mempercepat proses
penyembuhan ulkus traumatikus. Gel
lendir bekicot konsentrasi 4,5% dapat
digunakan sebagai obat karena pada
konsentrasi 4,5% sudah dapat
menyembuhkan ulkus traumatikus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Laskaris G. 2005. Treatment of Oral
Dieases. New York: Thieme. P. 172-15.
2. Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. 2008.
Oral Pathologic Correlations. 5th edition.
St. Louis: WB Saunders. P. 24-21.
3. Delong L, et al. 2008. General and Oral
Pathology for The Dental Higienist.
Philadelphia, US: Lippincott Williams &
Wilkins. P. 297-295.
4. Ghom AG. 2005. Textbook of Oral
Medicine. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publisher (P) Ltd. P. 337
5. Ibelgaufts, H. 2002. Wound Healing.
COPE Available from
www.copewithcythokines.de/cope.cgi?key
=Wound%20healing. 2012. Diakses 12
Juni 2012.
6. Rahmawati. 2012. Makalah Luka.
Available from
http://www.scribd.com/doc/76621669/MA
KALAH-LUKA. Diakses 6 Juni 2012.
7. Douglas, MND and Alan LM. 2003.
Alternative Medicine Review. 8(4): 367-
366.
8. Kapoor, Pranav, Shabina Sachdeva, and
Silonie Sachdeva. 2010. Topical
Hyaluronic Acid in the Management of
Oral Ulcers. Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/
PMC3132908. Diakses 8 Agustus 2012.
9. Haryadi W dan Triono S. 2006. Fraksinasi
Asam Lemak Omega 3, 6, dan 9 dari
Daging Bekicot (Achatina Fulica)
Menggunakan Kolom Kromatografi. Indon.
J. Chem , 6(3): 321-316. Available from
http://pdm-
mipa.ugm.ac.id/ojs/index.php/ijc/article/vie
wFile/325/342. Diakses Mei 2012.
10. Swastini IGAAP. 2011. Pemberian Lendir
Bekicot (Achatina fulica) secara Topikal
Lebih Cepat Menyembuhkan Gingivitis
Grade 3 karena Calculus daripada Povidone
Iodine 10%. Tesis S2, Program Studi lmu
Biomedik, Program Pasca Sarjana,
Universitas Udayana, Denpasar.
11. Berniyanti T. 2007. Analisis Hambatan
Achasin Bekicot Galur Jawa sebagai Faktor
Antibakteri Terhadap Viabilitas Bakteri
Eschericia coli dan Streptococcus mutans.
Jurnal Airlangga University Press,
Surabaya.
12. Tripurnomorini DS, Suhadi R, Donatus IA.
2000. Daya Antiinflamasi Lendir Bekicot
Pada Mencit. Kongres Ilmiah Ikatan
Sarjana Farmasi Indonesia (8): 4-1.
13. Berniyanti T, Waskito EB and Suwarno.
2007. Bichemival Characterization of an
137
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Antibacterial Glycoprotein from Achatina
fulica ferussac Snail Mucus Local Isolate
and Their Implication on Bacterial Dental
Infection, Indonesian Journal of
Biotechnology, 12(1): 951-943.
14. Jeong J, Toida T, Muneta Y, Kosiishi I,
Imanari T, Linhardt RJ, Choi HS, Wu SJ
and Kim YS. 2001. Localization and
Characterization of Acharan Sulfate in the
Body of The Giant African Snail Achatina
Fulica. Comparative Biochemistry and
Physiology Part B 130: 519-513. Available
from
www.heparin.rpi.edu/main/files/papers/261
.pdf. Diakses 20 Mei 2012.
15. Tim Penulis Penebar Swadaya. 1995.
Budidaya dan Prospek Bisnis Bekicot.
Jakarta: Katalog Dalam Terbitan (KDT). P.
64-62, 13-4, 2-1.
16. Suartiningsih, A. 2011. Formulasi Sediaan
Gel Lendir Bekicot (Achatina fulica)
dengan Natrium Carboxymethyl Cellulose
sebagai Gelling Agent untuk Penyembuhan
Luka Bakar pada Kelinci Jantan. Skripsi,
Fakultas Farmasi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. H. 3-
1.
17. Rukmini Ambar. 2007. Regenerasi Minyak
Goreng Bekas dengan Arang Sekam
Menekan Kerusakan Organ Tubuh.
Available from
http://p3m.amikom.ac.id/p3m69%20-
%20REGENERASI%20MINYAK%20GO
RENG%20BEKAS%20DENGAN%20AR
ANG%20SEKAM%20MENEKAN%20KE
RUSAKAN%20ORGAN%20TUBUH.pdf.
Diakses 7 Desember 2012.
18. Andreollo NA, Elisvânia FD, Maria RA,
Luiz RL. 2012. Rat's age versus human's
age: what is the relationship? Available
from
http://www.scielo.br/pdf/abcd/v25n1/en_11
.pdf. Diakses 2 July 2012.
19. Sjamsuhidajat, R. dan Jong, W. D. 2004.
Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta:
EGC. P. 69-67.
20. Prabakti Y. 2005. Perbedaan Jumlah
Fibroblas di Sekitar Luka Insisi pada Tikus
yang Diberi Levobupivakain dan yang
Tidak Diberi Levobupivakain. Tesis S2,
Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Anestesiologi, Magister Ilmu Biomedik,
Universitas Diponegoro, Semarang. H. 3-1.
21. MacKay DND and Miller A.L.ND. 2003.
Nutritional Support for Wound Healing.
Alternative Medicine Review, 8(4): 377-
359. Available from
http://www.pilonidal.org/_assets/pdf/nutriti
on.pdf. Diakses 20 Juni 2012
22. Putri DK. 2010. Pemberian Ekstrak Lendir
Bekicot (Achatina fulica) Isolat Lokal
Kediri Terhadap Jumlah Sel Epitel Basalis
Luka Pada Tikus Putih Stain Wistar.
Skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya.
H. 3-1.
23. Mitchell RN, Kumar V, Abbas AK, Fausto
N. 2009. Robbins and Cotran. Buku Saku
Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7 (Pocjet
Companion to Robbins and Cotran
Pathologic Basis of Disease, 7th edition).
Alih bahasa: Andry Hartanto. Editor:
Inggrid Tania, et al. Jakarta: EGC. H. 75-
29.
138
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Kadar Kalsium Gigi Setelah Pengulasan Gel Ekstrak
Cangkang Kerang Darah (Anadara granosa)
(Calcium Level Difference Test In Teeth After Application of
Anadara Granosa Shell Gel Extract)
Jennifer Wibowo, Puguh Bayu Prabowo*, Twi Agnita Cevanti**
*IMTKG Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
**Konsevasi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
ABSTRACT
Background: Anadara granosa is one of the best fishery commodity in Indonesia. This shell
waste extract contains calcium and other minerals which is important to maintain tooth remineralization. Fluoride addition could bind calcium and prevent dental caries. Purpose:
To evaluate the calcium level after application of anadara granosa shell gel extract with
fluoride added. Materials and Methods: The sample consists of 36 bovine teeth which had been extracted, cleaned, and submerged in normal saline solution. The samples were
randomly assigned to three treatment and one control group. Group X01,X02,X03 (each of n=6)
as control groups were consisted of etched bovine teeth and then smeared with placebo for 3, 14, 28 days. Group X1,X2,X3 (each of n=6) as test groups consisted of etched bovine teeth,
and then smeared with anadara granosa shell gel extract with fluoride added for 3, 14, and 28 days. Application for control groups and test groups were done twice daily and the
samples were stored in artificial saliva. After 30 days, samples were analyzed for calcium
using titration method and statistically analyzed using one way anova. Result: There is no significant difference between group X1, X2, X3. Conclusion: There is no significant effect on
the calcium content of bovine teeth after the smearing of Anadara granosa shell gel extract with fluoride added for 3, 14, and 28 days.
Keywords: calcium level, Anadara granosa shell, fluoride, etch, placebo.
Correspondence: Puguh Bayu Prabowo, Bagian IMTKG, Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hang Tuah, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Phone 031-5945864, 5912191, Email: [email protected]
JURNAL PENELITIAN
139
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
ABSTRAK
Latar belakang: Kerang darah adalah salah satu komoditas perikanan terbaik di Indonesia.
Limbah kulit kerang darah mengandung kalsium dan mineral- mineral lain yang berfungsi
untuk remineralisasi gigi. Penambahan fluoride dapat berikatan dengan kalsium dan mencegah karies gigi. Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan kadar kalsium gigi sapi setelah
pengulasan dengan gel ekstrak cangkang kerang darah yang ditambahkan fluoride. Bahan
dan Metode: Sampel terdiri dari tiga puluh enam gigi sapi yang baru diekstraksi kemudian
dibersihkan dan direndam dalam normal saline. Sampel dipilih secara random dan dibagi
menjadi 3 kelompok perlakuan dan tiga kelompok kontrol. Kelompok X01,X02,X03 (masing-masing n=6) sebagai kelompok kontrol yang terdiri dari gigi sapi yang dietsa lalu dioles
placebo selama 3, 14, 28 hari. Kelompok X1,X2,X3 (masing-masing n=6) sebagai kelompok perlakuan yang terdiri dari gigi sapi yang dietsa, lalu dioles gel ekstrak cangkang kerang
darah yang ditambahkan fluoride selama 3, 14, 28 hari. Pengaplikasian kelompok kontrol,
kelompok perlakuan dilakukan sebanyak 2x sehari dan sampel disimpan dalam saliva buatan.
Setelah hari ke 30, sampel diuji kalsium dengan menggunakan uji titrasi, kemudian dianalisis
statistik dengan menggunakan one way anova. Hasil: Tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara kelompok X1, X2, X3. Simpulan: Tidak ada pengaruh yang signifikan pada kadar kalsium gigi sapi setelah pengulasan dengan gel ekstrak cangkang kerang darah yang
ditambahkan fluoride selama 3, 14, dan 28 hari.
Kata Kunci: Kadar kalsium, cangkang kerang darah, fluoride, etsa, plasebo
Korespondensi: Puguh Bayu Prabowo, Bagian IMTKG, Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hang Tuah, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Telepon 031-5945864, 5912191, Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Gigi tersusun menjadi 3 bagian
jaringan yaitu enamel, dentin, pulpa.1
Enamel mengandung hidroksiapatit
dan berbagai ikatan ionik bersama
dengan bahan kristal yang keras.
Enamel juga terdiri dari matriks
organik yang diperkuat dengan
endapan garam kalsium sebagai
komposisi utama bahan anorganik.2
Kalsium sangat penting untuk
proses mineralisasi gigi dan tulang.
Kalsifikasi terjadi saat kalsium fosfat
terdeposit terjadi hal yang penting
yaitu pengendapan ion kalsium fosfat
dari cairan jaringan yang jenuh.1
Proses terjadinya karies gigi
diawali oleh pelepasan kalsium pada
enamel yang menyebabkan timbulnya
bercak putih pada permukaan gigi
yang lambat laun tetutup oleh plak
gigi. Proses pelepasan kalsium pada
enamel disebut demineralisasi yang
terjadi pada jaringan keras gigi oleh
asam organik.3,4
Sedikit kristal pada awalnya larut
dan membuat daerah kecil pada
permukaan enamel menjadi berpori
dan tampak sebagai bercak putih. Pada
tahap ini, permukaan Kristal gigi
masih didukung oleh lapisan tipis
protein dan proses demineralisasi
masih dapat ditanggulangi dengan
pembentukan ulang Kristal yang
disebut remineralisasi.5
Di Indonesia, salah satu jenis hasil
laut yang umum dimakan oleh
masyarakat adalah kerang darah
(Anadara granosa). Namun
pengkonsumsian hasil laut ini belum
140
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
maksimal digunakan sebagai bahan
nutrisi.6
Cangkang kerang darah
mengandung mineral-mineral seperti
kalsium, sulfur, aluminium, besi,
tembaga, dan juga yodium. Dengan
kadar kalsium sebanyak 98% yang
merupakan kandungan terbesar.6
Melihat limbah cangkang kerang
darah kurang dimanfaatkan dan
menganggu kebersihan lingkungan
padahal memiliki kandungan kalsium
yang tinggi, maka timbul pemikiran
untuk menjadikan cangkang kerang
darah sebagai penambah kalsium gigi
secara topikal dengan penambahan
fluoride (sodium fluoride).
Penambahan fluoride (sodium
fluoride) didasarkan pada
kemampuannya untuk berikatan
dengan kalsium dan mencegah karies
gigi.7
Penelitian ini akan menggunakan
ekstrak kerang darah dan fluoride
(sodium fluoride) yang diproses
menjadi gel, kemudian dioleskan pada
gigi sapi (bovine) dan diamati kadar
kalsiumnya dalam jangka waktu 3, 14,
dan 28 hari. Diharapkan penelitian ini
dapat membuktikan adanya perbedaan
kadar kalsium pada gigi sapi dengan
pemberian gel ekstrak cangkang
kerang darah yang ditambahkan
dengan fluoride (sodium fluoride)
secara topikal.
Tujuan umum dari penelitian ini
adalah untuk membuktikan adanya
peningkatan kadar kalsium pada gigi
sapi setelah pengulasan dengan gel
ekstrak cangkang kerang darah yang
ditambahkan dengan fluoride (sodium
fluoride) selama 3, 14, dan 28 hari.
Tujuan khusus dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh
dari pemberian gel ekstrak cangkang
kerang darah yang ditambahkan
dengan fluoride (sodium fluoride)
selama 3, 14, dan 28 hari terhadap
kadar kalsium pada gigi sapi.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini adalah penelitian
eksperimental laboratoris dengan
rancangan post test only control group
design. Subjek penelitian dibagi dalam
2 kelompok, yaitu kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan yang masing-
masing terdiri dari 3, 14, dan 28 hari.
Sampel penelitian menggunakan gigi
sapi dengan kriteria sebagai berikut:
sapi berusia ± 3 tahun, gigi erupsi
dalam keadaan utuh, tidak abrasi, tidak
retak, tidak ada karies, yang telah
diekstraksi kemudian dibersihkan dan
dimasukkan dalam normal saline ± 1
minggu dengan jumlah keseluruhan
sebanyak 36 sampel. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan
pada penelitian ini adalah simple
random sampling.
Waktu penelitian mulai dari
bulan September sampai dengan bulan
Desember 2012. Tempat Penelitian
untuk menguji kadar kalsium gigi sapi
adalah Laboratorium Kimia Dasar
Universitas Hang Tuah Surabaya.
Cara Pembuatan Tepung Cangkang
Kerang
Cara pembuatan tepung
cangkang kerang adalah sebagai
berikut: cangkang yang telah dipisah
dari dagingnya dibersihkan kemudian
dipanaskan dengan panas matahari
selama 6-8 jam, lalu direbus dalam
NaOH 1N pada suhu 50C selama 3
141
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
jam. Kemudian cangkang yang telah
direbus dinetralisasi dengan
pencucian. Setelah dilakukan
pencucian, lalu cangkang dikeringkan
dalam oven pada suhu 121C selama
15 menit. Selanjutnya dihaluskan
dengan mortar and pestle. Cangkang
yang sudah dihaluskan diayak
menggunakan ayakan tepung dan
ayakan bertingkat.8
Cara Pembuatan Saliva Buatan
Pembuatan saliva buatan dengan
bahan-bahan yaitu NaCl sebanyak
36,00 gr; KCl sebanyak 1,69 gr; CaCl2
sebanyak 0,96 gr dan NaHCO3
sebanyak 0,80 gr yang dimasukkan ke
dalam gelas bekker dan ditambah 400
ml air destilata. Lalu kocok hingga
larut. Campuran ini akan
menghasilkan pH netral. Kemudian
diambil 200 ml campuran tersebut dan
dimasukkan ke dalam tempat larutan
pH 7 (6 buah) sampai volume masing-
masing tempat sama.9
Cara Pembuatan Sediaan Gel
Cangkang Kerang Darah
Pembuatan sediaan gel cangkang
kerang darah yang dilakukan di
Fakultas Farmasi Universitas Surabaya
dengan komposisi sebagai berikut:
Bahan tambahan (placebo) yang terdiri
atas: CMCNa (Carbaoksimetilcelulosa
Natrium) 10 gr, Nipagin 0,36 gr,
Nipasol 0,024 gr, Propilen Glikol 10
gr, Aquadem 79,6 gr.
Komposisi gel cangkang kerang
darah yang ditambahkan dengan
fluoride (sodium fluoride) terdiri dari
bahan aktif atau cangkang kerang
darah: 50 gr, fluoride (sodium fluoride
atau NaF): 0,2gr, kemudian
ditambahkan dengan bahan tambahan
(placebo) hingga komposisinya
mencapai 100gr.
Pembuatan gel kulit kerang
darah yang ditambahkan fluoride
dengan cara: mendidihkan aquadem
sebanyak 20x berat CMCNa
(Carboksimetilcelulosa Natrium).
Kemudian, aquadem diletakkan di atas
mortar dan dimasukkan CMCNa yang
sudah dilakukan penimbangan.
Tunggu sampai CMCNa larut. Setelah
itu dilakukan pengadukan sampai
CMCNa mengembang seluruhnya. Di
tempat lain, menyiapkan propilen
glikol yang sudah dicampur dengan
nipasin dan nipasol, kemudian
dicampur dengan ekstrak kulit kerang
darah dan aquadem sampai merata.
Kemudian terakhir mencampur
CMCNa dengan campuran propilen
glikol, nipasin, nipasol, cangkang
kerang darah, dan aquadem serta
menambahkan fluoride (sodium
fluoride).9
Cara Pembuatan Sampel
Gigi insisivus sapi dicabut
segera setelah penyembelihan,
dibersihkan, dan disimpan dalam
normal saline ± 1 minggu pada suhu
kamar.10
Cara Pengulasan Etsa
Menurut metode Cehreli, 2000
cara pengulasan etsa sebagai berikut:
permukaan enamel kelompok A, B, C,
D, E, dan F bagian labial dilakukan
pengulasan etsa dan dibiarkan selama
15 detik. Selanjutnya dilakukan
pencucian dengan normal saline
sampai bersih dan dikeringkan dengan
chip blower sampai berwarna putih.11
142
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Cara Pengulasan Dengan Gel
Ekstrak Cangkang Kerang Darah
Masing-masing gigi dari
kelompok D, E, dan F yang telah
dilakukan pengulasan etsa asam
diambil dan dilakukan pengulasan
dalam gel ekstrak cangkang kerang
darah yang telah ditambahkan fluoride
(sodium fluoride) satu persatu.
Pengulasan dalam gel ekstrak
cangkang kerang darah yang
ditambahkan fluoride (sodium
fluoride) dilakukan selama 10 menit
pada mahkota gigi sapi, kemudian
direndam dalam saliva buatan selama
3 hari, 14 hari, dan 28 hari. Pengulasan
gel pada gigi sapi menggunakan
microbrush.
Pengulasan dilakukan setiap 12
jam sekali dan saliva buatan diganti
setiap kali dilakukan pengulasan
berikutnya. Setiap pergantian, masing-
masing gigi dicuci dengan normal
saline dan dibiarkan di dalam
nierbekken selama ±10 menit. Setelah
permukaan gigi agak kering kemudian
diolesi dengan gel. Total pengulasan
dengan gel untuk 3 hari adalah 6 kali,
14 hari adalah 28 kali, dan 28 hari
adalah 56 kali.
Kelompok A, B, dan C sebagai
kontrol maka dilakukan pengulasan
dengan gel tanpa ekstrak cangkang
kerang darah (gel placebo). Masing-
masing kelompok direndam dalam ±
90 ml saliva buatan selama 1 hari (1
bekker glass berisi 6 gigi sapi).12
Cara Pengukuran Kadar Kalsium
Pada Gigi Sapi
1. Pembuatan filtrat
Gigi insisif sapi yang akan diukur
dididihkan dengan asam hidroklorid
kemudian difiltrasi. Filtrat tersebut
dianalisi mineralnya dengan Titrasi
permanganometri.13
2. Persiapan abu
Sampel gigi sapi dipersiapkan dan
bila sampel masih lembab atau basah,
diuapkan hingga kering dalam oven
100C, kemudian panaskan hingga
sampel menjadi gosong. Kemudian
lakukan pengabuan dengan suhu
sekitar 900C dan biarkan selama 5
jam sehingga dihasilkan abu berwarna
putih keabu-abuan, lalu didinginkan
dan dikeringkan.9
3. Persiapan larutan abu
Masukkan 5 ml hydrochloric acid
ke dalam wadah percobaan yang telah
berisi abu sampel dan didihkan selama
5 menit di atas hot plate kemudian
ditambahkan asam secukupnya untuk
mempertahankan volume. Pindahkan
dalam beaker dan cuci wadah
percobaan ke dalam beaker dengan
aquadest sampai volume 4 ml dan
didihkan 10 menit di atas bunsen
burner. Setelah mendidih, larutan
didinginkan dan saring campuran
tersebut ke dalam tabung volumetrik
dan cuci breaker dengan air suling ke
dalam tabung volumetrik dan
tambahkan volume hingga mencapai
100 ml. Gunakan lautan abu ini untuk
menentukan presentase kalsiumnya.9
4. Pengukuran kadar kalsium
Persiapkan larutan abu.
Netralkan 50 ml larutan abu dalam
beaker 250 ml dengan dilute
ammonium hydroxide acetic acid, lalu
asamkan dengan dilute acetic acid.
Kemudian larutan itu direbus dan
tambahkan dengan kelebihan dari
ammonium oxalate (sekitar 0,8 gr)
kemudian didihkan lagi dalam 1 menit
lalu direbus kembali dalam 30 menit.
Setelah itu tuangkan cairan
supernatant melalui kertas filter
Whatman no.1 (atau sejenis) dalam
corong dan cuci endapannya dua kali
143
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
dengan air panas ke dalam filter yang
sama. Kemudian pindahkan endapan
dari beaker tersebut ke kertas filter dan
cuci residu dalam kertas filter
beberapa kali dengan sejumlah kecil
air suling. Pencucian dilakukan sampai
filtrat tersebut bersih dari oksalat.
Endapan putih menunjukkan adanya
oksalat.
Filtratnya dibuang setelah tidak
ada lagi oksalat. Lalu lakukan
pencucian dan pindahkan kertas filter
bersama endapannya ke beaker yang
digunakan untuk pengendapan dan
tambahkan 60 ml dilute suiphuric acid
hangat, aduk isi beaker tersebut,
rendam kertas filter. Hangatkan dalam
suhu 70C kemudian larutan dapat
dititrasi dengan 0,01 M larutan
potassium permanganate sehingga
mencapai warna merah muda yang
tetap.9
HASIL
Tabel 1. Nilai rerata dan simpang baku hasil
uji kadar kalsium gigi sapi antara kontrol
dan perlakuan selama 3, 14, dan 28 hari
Variabel Ha
-ri
Mean ± SD
Kon
-trol
Perla
-kuan
3 15.9417 ±
1.18678
16.8900 ±
1.49147
17. 9400 ±
0.53385
17.7650 ±
2.68256
18.6750 ±
0.56776
16.4350 ±
0.63937
14
28
Di atas merupakn data hasil
penelitian tentang kadar kalsium gigi
sapi setelah pengulasan dengan gel
ekstrak cangkang kerang darah yang
ditambahkan fluoride selama 3, 14, 28
hari.
Analisa Statistik Hasil Penelitian
Rerata dan simpang baku hasil
kadar kalsium gigi sapi dianalisa
dengan uji saphirowilk menunjukkan
bahwa data berdistribusi normal
(p>0,05) sehingga memenuhi
persyaratan menggunakan uji
parametrik. Uji Levene menunjukkan
nilai probabilitas >0,05, maka asumsi
homogen terpenuhi, sehingga
memenuhi persyaratan menggunakan
uji parametrik.
Tabel 2. Taraf signifikan kadar kalsium gigi
sapi antara kelompok placebo dan gel
ekstrak cangkang kerang darah yang
ditambahkan fluoride selama 3, 14, dan 28
hari
Variabel Gel ekstrak cangkang
kerang darah yang
ditambahkan fluoride - gel
placebo
Kadar
Kalsium
3 hari 14 hari 28 hari
0,997 0,021* 0,001*
Keterangan: * ada perbedaan yang bermakna
antar kelompok
Pada uji independent sample test
antara kelompok placebo dan gel
ekstrak cangkang kerang darah yang
ditambahkan fluoride selama 3, 14,
dan 28 hari menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang bermakna pada hari ke
14 dan hari ke 28 (p<0,05) serta tidak
ada perbedaan yang bermakna pada
hari ke 3 (p>0,05).
Tabel 3. Taraf signifikan kadar
kalsium gigi sapi terhadap lama
pengulasan pada kelompok placebo
selama 3, 14, dan 28 hari
Variabel Lama
Pengulasan
Bahan
Gel placebo
Kadar
Kalsium
3 hari-14 hari 0,171
0,132
0,008* 14 hari-28
hari
28 hari-3 hari
Keterangan: * ada perbedaan yang bermakna
antar kelompok
144
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Pada uji one-way anova kadar
kalsium gigi sapi terhadap lama
pengulasan pada kelompok placebo
selama 3, 14, dan 28 hari
menunjukkan bahwa ada perbedaan
yang bermakna pada hari ke 3 sampai
hari ke 28 (p<0,05) dan tidak terdapat
perbedaan yang bermakna antara hari
ke 3 sampai hari ke 14 maupun antara
hari ke 14 sampai hari ke 28 (p>0,05).
PEMBAHASAN
Penelitian dengan menggunakan
ekstrak cangkang kerang darah yang
ditambahkan fluoride ini memiliki
tujuan untuk membuktikan adanya
peningkatan kadar kalsium gigi setelah
pengulasan dengan gel ekstrak kerang
darah yang ditambahkan dengan
fluoride. Digunakan gigi sapi yang
baru dicabut atau bovine fresh
extracted sebagai sampel. Gigi sapi
yang berumur 3 tahun dan tidak
dibedakan jenis kelaminnya.
Pemilihan gigi sapi sendiri harus
bagus, tidak ada karies atau rusak.
Penggunaan sampel gigi sapi ini dipicu
karena mudah didapatkan dalam
jumlah yang besar dan dalam kondisi
baik atau jarang terdapat karies.14
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan waktu 3 hari, 14 hari,
dan 28 hari karena berdasarkan
penelitian Oshiro dkk (2007)
membandingkan porositas tubuli
dentin dalam jangka waktu tersebut
dengan menggunakan SEM sudah
cukup efektif untuk mengetahui
pengaruh penggunaan Casein
Phosphopeptide- Amorphous Calcium
Phospate (CPP-ACP).10
Pada tabel 4.3 tentang taraf
signifikan kadar kalsium gigi sapi
antara kelompok placebo dan gel
ekstrak cangkang kerang darah yang
ditambahkan fluoride selama 3, 14,
dan 28 hari menggunakan uji
Independent Sample Test
menunjukkan bahwa ada peningkatan
kadar kalsium pada hari ke 14 dan hari
ke 28.
Pada tabel 4.4 tentang taraf
signifikan kadar kalsium gigi sapi
terhadap lama pengulasan pada
kelompok placebo selama 3, 14, dan
28 hari menggunakan uji One Way
Anova menunjukkan bahwa ada
peningkatan yang signifikan pada hari
ke 3 sampai hari ke 28 (p<0,05) dan
tidak ada peningkatan yang signifikan
antara hari ke 3 sampai hari ke 14
maupun antara hari ke 14 sampai hari
ke 28 (p>0,05).
Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu seperti
pengetsaan yang kurang maksimal,
berat dan ukuran sampel yang kurang
merata, konsistensi gel yang terlalu
padat sehingga gigi sapi yang teroles
tidak merata, fluoride yang berikatan
dengan kalsium membentuk CaF2
diikat sedikit oleh enamel karena CaF2
kebanyakan akan larut dan hilang
dalam beberapa jam karena gigi sapi
dalam satu kelompok direndam dalam
satu tempat dan juga karena ada
beberapa gigi yang rusak atau kurang
baik kondisinya pada bagian
mahkotanya, terutama pada sampel
kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan pada hari ke 28.15
Dengan pengulasan gel cangkang
kerang darah yaang ditambahkan
fluoride pada permukaan enamel
diharapkan akan mempercepat proses
remineralisasi dibandingkan dengan
proses normalnya. Hal ini karena
adanya ikatan fisika-kimia antara ion
Ca2+ dan PO43- serta senyawa
kompleks CaHPO4 yang terurai pada
proses demineralisasi. Email gigi
berikatan kuat dengan ion kalsium,
145
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
fosfat, dan fluoride yang kemudian
membentuk kristal fluorapatit
[Ca10(PO4)6(OH).F] yang lebih tahan
terhadap ion asam dengan pH diatas
4,5 dibandingkan hidroksiapatit murni
atau Ca10(PO4)6(OH)2 dengan pH kritis
5,5.16
Fluorapatit lebih mudah diikat
oleh enamel gigi dan melindungi gigi
dari karies daripada hidroksiapatit
sehingga pada penelitian ini, dengan
ditambahkannya fluoride maka
hidroksiapatit akan diubah menjadi
fluorapatit yang dapat membuat proses
remineralisasi menjadi lebih efektif.7,17
SIMPULAN
Hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa tidak ada
peningkatan kadar kalsium pada
pemberian gel ekstrak cangkang
kerang darah yang ditambahkan
dengan fluoride (sodium fluoride)
selama 3 hari dan ada peningkatan
kadar kalsium pada pemberian gel
ekstrak cangkang kerang darah yang
ditambahkan dengan fluoride (sodium
fluoride) selama 14 dan 28 hari
terhadap kadar kalsium pada gigi sapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nancy A. 2008. Oral Histology
Development, Structure, and Function,
Mosby Elsevier. Canada. P. 191-141.
2. Khoswanto C and Soeharjo I. 2005.
Pengaruh Peningkatan Konsentrasi Sukrosa
Dalam Diet Terhadap Kadar Kalsium Gigi
Tikus Wistar. Maj. Ked Gigi Universitas
Airlangga (Dent J), 38(1): 7-4.
3. Fejerskov O, Kidd E. 2008. Dental Caries:
The Disease and its Cllinical Management.
2nd ed. Blackwell Munksgaard Australia. P.
134, 124-6.
4. Cross KJ, Huq NL, Reynolds EC. 2007.
Casein Phosphopeptides in Oral Health-
Chemistry and Clinical Applications.
Current Pharmaceutical Design, 13: 800-
793.
5. Bestford, John. 1996. Mengenal Gigi Anda.
Petunjuk bagi orangtua. Alih bahasa: drg.
Johan Arif Budiman. Ed.2. Jakarta: Arcan.
H. 18-14.
6. PKSPL. 2004. Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Perikanan
(Kerang Darah) di Kabupaten Boalemo
Provinsi Gorontalo. Kerjasama BAPPEDA
dan PKSPL. Laporan Penelitian
7. Enanda DA. 2009. Efek Pemberian
Fluoride Varnish di Kedokteran Gigi.
Skripsi, Universitas Sumatera Utara. H. 17-
8.
8. Rohadi MB, Firdaus F, Agassi TN. 2010.
Fungsionalisasi Cangkang Kerang Hijau
(Perna Viridis) Sebagai Peningkat Kadar
Kalsium Susu Fermentasi. Program
Kreatifitas Mahasiswa, Universitas
Pertanian Bogor, Bogor. H 12.
9. Setiabudhi M. 2012. Kadar Kalsium Gigi
Sapi Setelah Pengulasan dengan Gel
Ekstrak Cangkang Kerang Darah. Skripsi,
Universitas Hang Tuah, Surabaya. H. 28-9.
10. Oshiro M, Yamaguchi K, Takamizawa T,
Inage H, Watanabe T, Irokawa A, Ando S,
Miyazaki M. 2006. Effect of CCP-ACP
paste on tooth mineralization: an FE-SEM
study. Journal of Science, 49(2): 120-115.
11. Cehreli ZC, Altay N, 2000. Effect Of
Nonrise Conditioner And 17 % Ethylene
Diaminetetracetic Acid on The Etch Pattern
of Intact Human Permanent Enamel. The
Angle Orthodontist, 70(1): 27-22.
12. Dahl J and Pallesen U, 2003. Tooth
Bleaching a Critical Review of the
Biological Aspects. Crot Rev Oral Biol
Med,14: 292-304.
13. James CS. 1999.Analytical Chemistry of
Foods. Gaithesburg: Aspen. P. 14-8.
14. Edmunds DH, Whittaker DK, Green RM.
1988. Suitability of Human, Bovine,
Equinine, and Bovine Tooth Enamel For
Studies of Artificial Bacterial Carious
Lesions. Caries Res, 22. P. 336-327.
15. Kidd E and Sally J. 1991. Dasar-dasar
Karies. Terjemahan Narlan Sumawinata
dan Safrida Faruk. Jakarta: EGC. H. 111-1.
16. Mount GJ, Hume WR. 2005. Preservation
and Restoration of Tooth Structure. 2nd ed.
Knowledge book and software. Australia.
P. 212,87,39,25,2.
17. Featherstone JDB. 2009.
Remineralizzation, the Natural Caries
Repair Process- The Need for New
Approaches. Advances in dental research.
Sagepub. P. 6, 4.
146
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Kepekaan Indra Rasa Asin Pada Penggunaan Obat
Kumur Kombinasi Jahe Merah dan Kayu Manis
Dibanding Klorheksidin
(Salty Taste Sensitivity During Use of Mouthwash Combination
of Red Ginger and Cinnamon Than Chlorhexidine)
Ria Harum Pertiwi, Endah Wajuningsih*, Noengki Prameswari**
*Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah Surabaya
**Biomedik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah Surabaya
ABSTRACT
Background: Using mouthwash is a solution for individuals with a high gag response, but
some mouthwash on the market proven decreasing sensitivity of taste. Red ginger and
cinnamon are easily found and commonly used as a traditional medicine in Indonesia. Studies show red ginger and cinnamon has antifungal,and antibacterial power. Purpose: to
determine differences in sensitivity of saltiness use a mouthwash combination of red ginger
and cinnamon than chlorhexidine. Materials and Methods: This research is using pretest
posttest control group design. 24 sample divided into four groups with one control group
using chlorhexidine 0,2% and 3 treatment groups using infusum of red ginger and cinnamon
0,5%; 0,75% and 1,0% for 5 days. Salty taste sensitivity test recorded using scoring index.
Data were analyzed with the Wilcoxon test and Kruskal Walis followed by Post hoc analyzes
with 95% significance (p<0,05). Result: There is a significant difference before and after using mouthwash combination of red ginger and cinnamon 0,75% (p=0,025) due to an
increasing in sensitivity score of saltiness, also there is a significant difference before and
after using chlorhexidine 0,2% (p=0,38) due to decreasing in sensitivity score of saltiness. In the Post Hoc analysis are significant differences between the mouthwash after rinsing with
chlorhexidine 0,2% compared with red ginger and cinnamon 0,75% (p=0,19). Conclusions:
Sensory sensitivity of saltiness use a mouthwash combination of red ginger and cinnamon 0,75% difference than chlorhexidine 0,2%.
Keywords: Sensitivity of saltiness, mouthwash, red ginger, cinnamon, chlorhexidine
Correspondence: Endah Wajuningsih, Deparment of Oral Biology, Faculty of Dentistry, Hang Tuah University, Arief Rahman Hakim 150, Surabaya, Phone 031-5945964, 5945894,
Email: [email protected]
LAPORAN PENELITIAN
147
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
ABSTRAK
Latar Belakang: Penggunaan obat kumur merupakan solusi bagi individu dengan respon
muntah yang tinggi, namun beberapa obat kumur dipasaran terbukti menurunkan kepekaan
indra rasa. Jahe merah dan kayu manis merupakan tumbuhan yang mudah ditemukan dan umum digunakan sebagai obat tradisional di Indonesia. Penelitian menunjukan jahe merah
dan kayu manis memiliki daya antibaketri dan antijamur. Tujuan: untuk mengetahui perbedaan kepekaan indra rasa asin pada penggunaan obat kumur kombinasi jahe merah
dan kayu manis dibanding klorheksidin. Bahan dan Metode: Desain penelitian ini adalah
pretest posttest control group design. 24 sampel dibagi menjadi empat kelompok dengan dengan 1 kelompok kontrol mengunakan klorheksidin 0,2% dan 3 kelompok perlakuan
mengunakan infusum jahe merah dan kayu manis 0,5%; 0,75%; dan 1,0% selama 5 hari. Dilakukan uji kepekaan rasa asin mengunakan indeks skoring. Data dianalisis dengan uji
Wilcoxon dan Kruskal Walis yang dilanjutkan analisis Post Hoc dengan kemaknaan 95%
(p<0,05). Hasil: Terdapat perbedaan bermakna sebelum dan sesudah mengunakan obat
kumur kombinasi jahe merah dan kayu manis 0,75% (p=0,025) karena terjadi peningkatan
skor kepekaan rasa asin, serta terdapat perbedaan bermakna sebelum dan sesudah
mengunakan klorheksidin 0,2% (p=0,38) karena terjadi penurunan skor kepekaan rasa asin. Pada analisis Post Hoc terdapat perbedaan bermakna sesudah berkumur dengan obat kumur
klorheksidin 0,2% dibanding jahe merah dan kayu manis 0,75% (p=0,19). Simpulan: Kepekaan indra rasa asin pada penggunaan obat kumur kombinasi jahe merah dan kayu
manis 0,75% berbeda dibanding obat kumur klorheksidin 0,2%.
Kata kunci: Kepekaan indra rasa asin, obat kumur, jahe merah, kayu manis, klorheksidin
Korespondensi: Endah Wajuningsih, Bagian Biologi Oral, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Hang Tuah, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Telepon 031-5945864, 5912191, Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Lidah merupakan jaringan lunak
yang memiliki bentuk anatomis
dengan banyak papila, adanya fisura di
bagian tengah, menyebabkan banyak
sekali bakteri bersembunyi di bagian
dorsum.1,2 Salah satu fungsi lidah
adalah sebagai reseptor indra rasa
pengecap. Lidah kita memiliki lima
dasar pengecap, yaitu rasa asin, asam,
manis, pahit, dan umami. Pada lidah
terdapat area yang berbeda-beda untuk
merasakan reseptor rasa.1
Pengecapan adalah sensasi yang
dirasakan oleh taste buds. Sel basal
pada taste bud berdiferensiasi menjadi
sel reseptor baru, dan sel reseptor lama
secara terus-menerus diganti dengan
waktu paruh sekitar 10 hari.3 Dalam
kondisi normal, regenerasi taste bud
terjadi pada kecepatan yang
konsisten.4 Kepekaan indra rasa
penting dalam dalam kelangsungan
hidup yakni sebagai penilaian atau
apresiasi terhadap makanan dan
minuman, secara khusus penting untuk
dokter gigi karena rasa merupakan
stimultan utama untuk stimulasi aliran
air liur yang penting dalam menjaga
kebersihan dan kesehatan mulut.5
Intensitas merasakan rasa asin pada
individu cukup tinggi. Menambahkan
garam pada makanan adalah hal yang
umum dilakukan sehari-hari karena
garam memiliki banyak sifat yang
diinginkan, seperti meningkatkan sifat-
sifat sensori positif dari hampir setiap
makanan yang dikonsumsi manusia.6
Perubahan rasa asin berhubungan
148
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
dengan tekanan darah. Hal ini berguna
untuk deteksi secara dini kondisi tubuh
seseorang.7
Pada penelitian indra rasa yang
diujikan adalah asin pada garam dapur,
dikarenakan intensitas merasakan rasa
asin cukup tinggi akibat penambahan
garam pada makanan sering dilakukan
dalam konsumsi sehari-hari.6
Penelitian ini tidak melakukan uji pada
rasa manis, pahit, umami, dan asam.
Kebanyakan zat rasa manis adalah zat
kimia organik yang sangat bervariasi
dimana perubahan yang sangat kecil
pada struktur kimia, dapat mengubah
zat dari rasa manis menjadi pahit.
Thresholds untuk rasa pahit oleh
kuinin paling rendah dibanding rasa
lain yakni 0,000008 M, sehingga
menyebabkan uji terhadap rasa pahit
sulit dilakukan. Umami secara
kualitatif berbeda dari rasa asam, asin,
manis, atau pahit, hal ini
mengakibatkan persepsi terhadap rasa
umami tergolong sulit dikarenakan
karena rasa umami sulit dibedakan
secara jelas dibanding rasa yang lain.1
Kebersihan lidah mempengaruhi
dalam proses penghantaran rangsang
rasa, oleh sebab itu penting bagi
seseorang untuk menjaga kebersihan
rongga mulut. Menyikat gigi
merupakan perawatan esensial untuk
kesehatan mulut, namun ada beberapa
perawatan tambahan lain yang perlu
dilakukan sendiri di rumah sehari-hari,
membersihkan lidah adalah salah satu
diantaranya.8
Membersihkan lidah umumnya
dilakukan secara mekanis yakni
mengunakan sikat gigi maupun tongue
scraper yang dirancang khusus sesuai
bentuk anatomi lidah. Beberapa orang
tidak membersihkan lidahnya secara
mekanis karena memiliki respon
muntah yang tinggi. Penggunaan obat
kumur sebagai pembersih rongga
mulut secara kimia merupakan solusi
bagi beberapa orang dengan respon
muntah yang tinggi.1,9
Sebagian besar obat kumur
dipasaran tidak dapat ditelan,
mengandung bahan kimia sintetika dan
alkohol dalam kadar yang tinggi dan
telah dilaporkan menimbulkan efek
samping seperti penurunan kepekaan
indra rasa, perubahan warna pada gigi
dan lidah, deskuamasi mukosa mulut,
mukositis, erytema multiforme,
pertumbuhan subur kandida albikan,
lesi aftosa, lidah terasa terbakar, black
hairy toungue, serta peningkatan
resiko kanker mulut.10
Back to nature merupakan
anjuran dari World Health
Organization (WHO). Pemanfaatan
ekstrak tumbuhan sebagai pengobatan
tradisional merupakan salah satu
tindakannya.11 Jahe dan kayu manis
telah secara luas digunakan sebagai
bahan tambahan dalam makanan,
minuman, serta banyak dimanfaatkan
dalam ramuan jamu yang dipercaya
memiliki banyak khasiat salah satunya
untuk kesehatan rongga mulut.12
Terdapat tiga jenis jahe yakni jahe
gajah, jahe emprit, dan jahe merah.
Dari ketiga Jenis jahe tersebut jahe
merah lebih banyak digunakan sebagai
obat dikarenakan kandungan minyak
atsiri dan oleoresinnya paling tinggi.13
Pada penelitian ini digunakan
obat kumur kombinasi jahe merah (Z.
officinalle var. amarum) dan kayu
manis (Cinnamomum burmannii),
dikarenakan penggunaan jahe secara
tunggal dalam konsentrasi tinggi dapat
menimbulkan rasa pedas sehingga
dikombinasikan dengan kayu manis
dikarenakan keduanya memiliki zat
aktif yang potensial digunakan sebagai
obat kumur dimana pada jahe merah
terdapat gingerol dan shogaol sebagai
antibakteri dan antioksidan;14
149
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Limonene dan asam aspartat sebagai
anti jamur,15 sedangkan pada kayu
manis terdapat sinamaldehid sebagai
anti bakteri; tanin dan flavonoid
sebagai antioksidan; dan eugenol
sebagai analgesik.12 Pemberian kayu
manis dapat meningkatkan aroma,
rasa, dan warna sehingga lebih dapat
diterima bila digunakan sebagai obat
kumur.16
Dosis yang disarankan untuk
jahe sebagai infusum atau dekok
adalah 0,25-1 gram dalam 150 ml air
mendidih,17 sedangkan dosis untuk
kayu manis dalam bentuk serbuk
kering sebagai infusum adalah 0,5-1
gram.18 Dari kedua refrensi diatas pada
penelitian ini dipergunakan
konsentrasi obat kumur kombinasi
jahe merah dan kayu manis sebesar
0,5%; 0,75%; dan 1,0%.
Salah satu obat kumur yang
secara umum digunakan adalah
klorheksidin. Klorheksidin merupakan
obat kumur anti bakterial yang sangat
populer saat ini. Klorheksidin
merupakan suatu turunan bisguanida
yang efektif untuk mengurangi
terjadinya radang gingiva dan
akumulasi plak. Penggunaan
klorheksidin memiliki efek samping
berupa stain, perubahan rasa (kecap
logam), iritasi mukosa, dan rasa obat
yang pahit.19 Waktu efektif berkumur
dengan obat kumur khlorheksidin
adalah selama 45 detik.20
Penggunaan obat kumur sebagai
pembersih rongga mulut sehari-hari
dapat berpengaruh terhadap mukosa
rongga mulut dan diduga berpengaruh
terhadap indra rasa dikarenakan
kandungan kimia didalamnya oleh
latar belakang tersebut peneliti ingin
mengetahui perbedaan kepekaan indra
rasa asin pada penggunaan obat kumur
herbal yang mengandung kombinasi
jahe merah dan kayu manis dibanding
klorheksidin.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini adalah penelitian
eksperimental dengan rancangan the
pre test post test control group design.
Sampel penelitian ini adalah
mahasiswa semester satu, tiga, lima,
dan tujuh pada tahun ajaran 2012-2013
di Fakultas Kedokteran Umum dan
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Hang Tuah Surabaya yang berjenis
kelamin laki-laki.
Subyek pada penelitian dibagi
dalam 4 kelompok yaitu kelompok
kontrol dengan klorheksidin 0,2% (K),
dan 3 kelompok perlakuan
mengunakan obat kumur jahe merah
(Z. officinalle var. amarum) dan kayu
manis (Cinnamomum burmannii)
dalam bentuk sediaan infusum dengan
konsentrasi 0,5% (P1); 0,75% (P2);
1,0% (P3) sehingga total sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah
28 sampel.
Sampel di instruksikan untuk
berkumur dengan obat kumur
sebanyak 10 ml selama 45 detik sesuai
pembagian kelompok setiap satu kali
sehari. Data diambil dua kali untuk
tiap sampel yakni sebelum perlakuan
(hari ke 0), dan setelah perlakuan (hari
ke 5). Cara pengambilan data sebagai
berikut: mula sampel diinstruksikan
untuk berkumur tiga kali dengan
aquades, kemudian meludah beberapa
kali sampai tidak ada sisa aquades
yang tertinggal di dalam mulutnya.
Selanjutnya sampel diinstruksikan
untuk menjulurkan lidah, kemudian
dikeringkan dengan cotton roll untuk
mencegah pengaruh saliva. Setiap
larutan NaCl diberi index scoring dari
0 hingga 7. Larutan garam (NaCl)
150
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
konsentrasi terendah 0,01 yakni
dengan skor 7 dioleskan bagian tepi
depan lidah pada daerah pinggiran
dorsum lidah dengan menggunakan
cotton buds hingga sampel merasakan
asin. Bila sampel belum merasakan
asin, maka diinstruksikan untuk
berkumur dengan aquades selama 20
detik kemudian istirahat selama kira-
kira lima menit sebelum perlakuan
berikutnya dengan konsentrasi yang
lebih pekat. Bila sampel sudah
merasakan asin memberi tanda dengan
mengangkat tangan.
HASIL
Dari dari penelitian tentang
kepekaan indra rasa asin pada
penggunaan obat kumur kombinasi
jahe merah dan kayu manis dibanding
klorheksidin dilakukan uji hipotesis
non parametrik dengan taraf signifikan
95% (p=0,05),dengan hasil sebagai
berikut:
Tabel 1. Hasil analisis deskriptif sebelum
dan sesudah menggunakan obat kumur
klorheksidin 0,2% (K); kombinasi jahe
merah dan kayu manis 0,5% (P1);
kombinasi jahe merah dan kayu manis
0,75% (P2); dan kombinasi jahe merah dan
kayu manis 1,0% (P3)
Obat
ku-
mur N
Mi-
ni-
mal
Mak-
si-
mal
Rata-
Rata ±
Standar
deviasi
Se-
be-
lum K 7 1 5 2,29±1,50
P1 7 1 5 2,86±1,57
P2 7 2 4 3,14±0,90
P3 7 1 5 2,86±1,57
Se-
su-
dah K 7 0 5 1,29±1,80
P1 7 1 6 3,29±1,60
P2 7 2 5 3,86±1,07
P3 7 0 4 2,14±1,57
Berdasarkan tabel 1. dapat dilihat
skor minimal sebelum perlakuan 1,
skor maksimal adalah 5, setelah
perlakuan skor minimal 0 sedangkan
skor maksimal adalah 6. Dapat
disimpulkan terdapat penuruan skor
minimal pada kelompok K dan P3 dan
terdapat peningkatan skor maksimal
pada kelompok P1 dan P2.
Berdasarkan hasil uji Wilcoxon
Test, menunjukkan bahwa nilai
signifikan sebelum dan sesudah
menggunakan obat kumur P1
menunjukkan hasil tidak terdapat
perbedaan yang bermakna karena
(p=0.083)>0,05, demikian pula pada
penggunaan obat kumur P3 karena
(p=0,102)>0,05, sedangkan nilai
signifikan penggunaan obat kumur
obat kumur P2 menunjukkan hasil
terdapat perbedaan yang bermakna
karena (p=0,025)<0,05, demikian pula
pada penggunaan obat kumur K
karena (p=0,38)<0,05.
Berdasarkan hasil uji Kruskal
Wallis diperoleh nilai p=0,033, karena
nilai p<0,05, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa terdapat perbedaan
selisih skor indra rasa asin sebelum
dan sesudah menggunakan obat kumur
antar kelompok.
Tabel 2. Hasil analisis Post-Hoc pada uji
Mann-Whitney
Perbandingan Asypm. Sig. (2-
tailed)
K dan P1 0,038*
K dan P2 0,019*
K dan P3 0,266
P1 dan P2 0,357
P1 dan P3 0,240
P2 dan P3 0,042*
Keterangan:
sig = nilai signifikan
* = terdapat perbedaan bermakna (p<0,05)
151
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Berdasarkan hasil analisis Post-
Hoc dari tabel 2. perbandingan
kelompok K dan P1; K dan P2; P2 dan
P3 terdapat perbedaan bermakna
p<0,05 sedangkan antar kelompok K
dan P3; P1 dan P2 ; P2 dan P3 tidak
terdapat perbedaan bermakna p>0,05.
Perbandingan skor kepekaan rasa asin
sesudah berkumur dengan obat kumur
K dan P2 memiliki nilai signifikan
yang paling bermakna dari
perbandingan kelompok obat kumur
lain dengan (p=0,19)<0,05.
PEMBAHASAN
Kebersihan lidah mempengaruhi
dalam persepsi rasa oleh sebab itu
penting bagi seseorang untuk menjaga
kebersihan rongga mulut.8
Pengecapan adalah sensasi yang
dirasakan oleh taste buds.3 Taste bud
memiliki lubang kecil disebut taste
pore, melalui taste pore zat rasa dapat
mencapai membran reseptor apikal
dari sel rasa, yang menyebabkan
aktivasi sel-sel rasa. Air liur yang
dikeluarkan pada rongga mulut juga
mencapai taste pore dimana air liur
mengandung zat mocous yang tinggi
seperti mukopolisakarida. Substansi
mocous di dalam dan pada taste pore
dapat mengganggu akses zat rasa
untuk mencapai membran reseptor.
Menyikat permukaan lidah secara
ringan dapat menghilangkan lendir
yang mungkin belum hilang hanya
dengan berkumur, namum pada
individu yang memiliki repson muntah
yang tinggi seperti pada lansia
berkumur dapat dijadikan solusi.
Peningkatan sensitivitas indra rasa asin
dan asam akibat membersihkan lidah
dapat disebabkan oleh akses yang
lebih besar dari zat rasa untuk
mencapai membran reseptor.21
Konsentrasi jahe yang terlalu
tinggi dalam pengunaannya sebagai
obat kumur dapat menyebabkan
penurunan kepakaan rasa asin karena
konsentrasi senyawa (6)-shogaol
dalam serbuk jahe kering yang
dipergunaakan sebagai bahan
pembuatan obat kumur menimbulkan
rasa pedas.22 Penelitian ini
dipergunakan kombinasi jahe merah
dan kayu manis dengan tujuan
meningkatkan efek farmakologi
sebagai obat kumur yakni
meningkatkan daya antibakteri,
antimikroba, antiseptik, antijamur.12
Pengunan kayu manis dapat
memperbaiki rasa dan menambah
aroma sehingga meminimalisir rasa
pedas akibat pengunaan konsentrasi
jahe merah dalam konsentrasi yang
tinggi.23
Pada penggunaan obat kumur
klorheksidin 0,2% terjadi penurunan
skor kepekaan indra rasa asin, yang
signifikan sebelum dan sesudah
menggunakan obat kumur
(p=0,38)<0,05. Hal ini diakibatkan
efek samping penggunaan klorheksidin
yang sering terjadi adalah gangguan
kepekaan indra rasa.24
Berkumur dengan klorheksidin
secara kronis sebagai oral-antiseptik,
telah menunjukkan adanya
pengurangan rasa asin garam dapur
(NaCl). Hal ini dikarenakan transduksi
rasa asin pada manusia melalui saluran
epitel yang sensitif terhadap kation
klorheksidin sehingga menghambat
transduksi rasa asin NaCl dan KCl
NH4Cl untuk melewati saluran epitel
pada lidah.25
Berdasarkan hasil analisis data
pada pengunaan obat kumur
kombinasi jahe merah dan kayu manis
0,5% tidak menunjukan perubahan
terhadap kepekaan skor indra rasa asin
(p=0.083)>0,05. Pada jahe merah
152
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
terdapat gingerol dan oleoresin yang
menyebabkan rasa pedas (Tim, 2002).
Pada konsentrasi 0,5% terlarut 0,25
gram jahe merah dan 0,25 gram kayu
manis yang merupakan konsentrasi
minimal sehingga kandungan gingerol
dan oleoresin tergolong sedikit yang
berkibat tidak mempengaruhi
kepekaan indra rasa asin.
Berdasarkan hasil analisis data
pada penggunaan obat kumur
kombinasi jahe merah dan kayu manis
0,75% terjadi peningkatan skor
kepekaan indra rasa asin, dengan nilai
signifikan sebelum dan sesudah
menggunakan obat kumur
(p=0,25)<0,05 yaitu dari analisis
deskriptif dari tujuh sampel terdapat
lima sampel yang mengalami
peningkatan skor kepekaan rasa
sebesar satu. Pada obat kumur
kombinasi jahe merah dan kayu manis
0,75% terlarut 0,375 gram jahe merah
dan 0,375 gram kayu manis dimana
pada konsentrasi tersebut sedikit
menimbulkan rasa pedas. Dalam jahe
merah terkandung zat aktif asam
aspartat yang memiliki efek
farmakologis yakni merangsang
syaraf, dan menimbulkan rasa yang
menyegarkan. Pada kayu manis
terdapat zat aktif tanin dan flavonoid
sebagai antioksidan.14 Zat aktif yang
terkandung dalam obat kumur
kombinasi jahe merah dan kayu manis
tersebut diduga berpengaruh terhadap
peningkatan kepekaan indra rasa asin
asin.
Berdasarkan hasil analisis
perbedaan skor kepekaan indra rasa
asin pada sebelum dan sesudah
pengunaan obat kumur kombinasi jahe
merah dan kayu manis 1,0% tidak
menunjukkan perbedaan
(p=0.102)>0,05. Pada konsentrasi
1,00% terlarut 0,5 gram jahe merah
dan 0,5 gram kayu manis, pada
konsentrasi tersebut sedikit
menimbulkan sensasi rasa pedas.
Kandungan borneol, sineol,
shogaol, zingiberol, dan gingerol pada
jahe merah merupakan unsur yang
menimbulkan rasa pedas dan hangat.23
Hal ini diduga bahwa penurunan
kepekaan indra rasa asin yang terjadi
belum nampak secara signifikan
dikarenakan perlakuan pada penelitian
hanya selama lima hari sehingga lama
kontak dan sensasi obat kumur
kombinasi jahe merah dan kayu manis
konsentrasi 1,0% terhadap papila lidah
belum bermakna mempengaruhi
kepekaan indra rasa asin, apabila
melihat efek samping yang
ditimbulkan akibat berkumur dengan
klorkeksidin, efek samping baru
muncul secara jelas setelah
penggunaan selama 17 minggu.24
Perbandingan skor kepekaan rasa
asin sesudah berkumur dengan obat
kumur klorheksidin 0,2% dan
kombinasi jahe merah dan kayu manis
0,75% memiliki nilai signifikan yang
paling bermakna dari perbandingan
kelompok obat kumur lain dengan
(p=0,19) 0,05. Pada analisis diskriptif
dapat dilihat sesudah mengunakan
obat kumur klorheksidin 0,2%
mengalami penuruanan total skor
kepekaan indra rasa asin sebesar tujuh,
sedangkan kelompok kombinasi jahe
merah dan kayu manis 0,75%
mengalami peningkatan total skor
kepekaan indra rasa asin sebesar lima.
Peningkatan skor kepekaan indra
rasa asin pada pengunaan obat
kombinasi jahe merah dan kayu manis
konsentrasi 0,75% diduga karena
kandungan antioksidan pada jahe.
Antioksidan utama yang terkandung
dalam jahe adalah gingerol, shogaol
dan gingeron. Ekstrak jahe
mempunyai sifat antioksidan, karena
dapat ”menangkap” anion superoksida
153
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
dan radikal hidroksil. Percobaan
menggunakan mikrosom hati tikus
yang dilakukan oleh Muchtadi dan
Hong pengunaan jahe dalam
konsentrasi tinggi menimbulkan efek
negatif pada kepekaan indra rasa
dikarenakan kandungan gingerol yang
tinggi dapat menghambat
pembentukan kompleks askorbat-besi
(ferro) yang dapat menginduksi
peroksidasi lipid yang menimbulkan
sensasi rasa logam pada kulit dan
lidah,26 namun pada konsentrasi kecil
yakni sebagai suplemen antioksidan
terbukti mengurangi kadar plasma
dari biomarker peroksidasi lipid
sehingga menimbulkan efek positif
pada kepekaan indra rasa.27
Penelitian yang dilakukan oleh
Fugio dalam Kusumaningati mengenai
sifat antioksidan komponen kimia
jahe, ditemukan shaogaol dan
zingiberene yang memperlihatkan
aktivitas antioksidan yang kuat. Fugio
juga menyimpulkan bahwa aktivitas
antioksidan ini tergantung pada
struktur rantai samping dan pola
substitusi cincin benzene. Selanjutnya
penelitian dilanjutkan oleh Tsushida,
et al. ditemukan 12 komponen pada
jahe yang memiliki aktivitas
antioksidan yang lebih tinggi
dibanding α-tokoferol. Dari 12
komponen tersebut, aktivitas
antioksidan jahe terutama dipengaruhi
oleh komponen gingerol dan
heksahidrokurkumen. Tsushida juga
membuktikan bahwa salah satu
komponen fenolik antioksidan jahe,
yakni shaogaol, merupakan komponen
dengan aktivitas antioksidan yang
tinggi.28
Penelitian yang dilakukan oleh
Boik pada tahun 1995 dalam
Kusumaningati juga menemukan
bahwa jahe merupakan sumber utama
melatonin, suatu antioksidan yang
poten, bahkan lebih poten dari pada
glutation dalam menangkap radikal
hidroksil, serta lebih poten dari pada
vitamin E dalam menangkap radikal
peroksil. Melatonin juga menstimulasi
ezim antioksidan otak, yakni glutation
peroksidase. Melatonin mampu
berdifusi ke dalam seluruh jaringan
dalam tubuh, termasuk membrane
intraseluler, karena strukturnya yang
lipofiliknya. Melatonin juga mampu
melindungi DNA dari kerusakan
radikal bebas.28
Jahe memiliki kandungan
minyak tidak menguap disebut
oleoresin.17 Komponen oleoresin jahe
segar yang bersifat sebagai pembawa
rasa pedas dan pahit. Rasa pedas
didominasi oleh gingerol dan
senyawa-senyawa homolognya.
Sedangkan kepedasan pada jahe yang
telah mengalami pengeringan
disebabkan oleh dominasi keberadaan
senyawa (6)-shogaol, yang merupakan
bentuk komponen gingerol yang
terdehidrasi. Senyawa (6)-gingerol
diketahui dapat menghambat aktivitas
motorik, mengurangi rasa sakit
(analgesic effect), efek antibatuk, dan
dapat memperpanjang waktu tidur
pada tikus percobaan.
Telah diketahui dari penelitian
sebelumnya bahwa jenis jahe merah
memiliki kandungan zat gingerol dan
oleoresin yang paling tinggi
dibandingkan jenis jahe yang lain.
Selain itu, komponen oleoresinnya
juga mempunyai efek farmakologis
seperti immunomodulator, anti-tumor,
antiinflamasi, anti-apoptotik, anti-
hiperglikemik, dan anti-lipidemik.13
Komponen oleoresin pada jahe
segar yang bersifat sebagai pembawa
rasa pedas dan pahit pada penelitian
ini tidak secara bermakna berpengaruh
terhadap penurunan kepekaan rasa asin
hal ini sesuai dengan penelitian yang
154
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
dilakukan oleh Talavera, dkk yang
menyatakan bahwa senyawa panas
pada oleoresin hanya berpengaruh
terhadap penurunan respon asam,
pahit, dan manis. Sensasi panas
(pedas) dan dingin pada zat seperti
capsaicin (komponen yang tajam pada
cabai) dan mentol menstimulasi
perubahan suhu pada mukosa rongga
mulut. Diketahui bahwa capsaicin
menekan respons manusia terhadap
manis, pahit dan umami tetapi tidak
pada rangsangan asam dan asin.
Senyawa “panas” yang lain seperti
oleoresin capsaicin, megurangi respon
terhadap senyawa asam, pahit, dan
manis, sedangkan piperin juga
memiliki efek pada tanggapan
terhadap garam.29
Penurunan kepekaan rasa asin
dapat menyebabkan peningkatan
konsumsi terhadap garam yang dapat
menyebabkan hipertensi dan penyakit
kardiovaskuler. Konsumsi kadar
garam yang tinggi meningkatkan
prevalensi hipertensi. Mengurangi
konsumsi garam secara komprehensif,
baik sendiri maupun dalam kombinasi
dengan peningkatan asupan kalium,
kalsium dan magnesium mampu
menurunkan kadar tekanan darah rata-
rata secara substansial. Individu yang
memiliki kepekaan rasa asin yang baik
dapat mengkontrol konsumsi garam
pada tingkat yang normal sehingga
dapat meminimalkan resiko terjadinya
hipertensi akibat kunsumsi garam yang
berlebih.30
Ganguan indra rasa pengecapan
dapat mengurangi kenikmatan hidup
dan dapat menyebabkan penderita
menjadi tidak nyaman karena
mempengaruhi kemampuannya untuk
menikmati makanan, minuman, dan
bau yang menyenangkan. Kelainan ini
juga berpengaruh terhadap
kemampuan penderita untuk
mengenali bahan kimia yang
berbahaya, sehingga dapat
menimbulkan akibat yang serius.17
Peningkatan skor kepekaan rasa
asin pada pengunaan obat kumur
kombinasi jahe merah dan kayu manis
0,75% menunjukkan hasil yang
bermakna dikarenakan baik jahe
merah maupun kayu manis memiliki
efek sebagai antioksidan, dimana pada
jahe terkandung zat zingiberene,
gingerol, gingeron,
heksahidrokurkumen, shaogaol dan
melatonin,26,28 sedangkan pada kayu
manis terdapat zat aktif tanin dan
flavonoid sebagai antioksidan.14
Ekstrak jahe mempunyai sifat
antioksidan, karena dapat
”menangkap” anion superoksida dan
radikal hidroksil.26
Disamping efek antioksidannya,
kandungan aspartic acid pada jahe
merah memiliki efek farmakologis
yakni merangsang syaraf, dan
menyegarkan. Chlorgenic acid pada
jahe merah dapat mencegah proses
penuaan, serta farnesol pada jahe
merah berfungsi merangsang
regenerasi sel.22 Jahe memiliki efek
jangka pendek yakni menstimulasi
peredaran, dan menstimulasi
vasomotorik, sedangkan kayu manis
memiliki efek jangka pendek yakni
menenangkan sistem saraf, dan
mengurangi rasa nyeri.31
Reseptor rasa asin yakni garam
(NaCl) berupa saluran epitel jenis Na+
pada membran apikal taste bud,32 hal
ini diduga menyebabkan pemberian
obat kumur kombinasi jahe merah dan
kayu manis 0,75% menyebabkan lima
dari tujuh sampel mengalami
peningkatan kepekaan rasa asin
dikarenakan pada jahe terdapat
mineral Na+ sejumlah 443 µg.g-1.28
Hal ini lah yang menyebabkan obat
kumur kombinasi jahe merah dan kayu
155
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
manis 0,75% memiliki respon yang
baik terhadap kepekaan indra rasa
karena dapat meningkatkan kepekaan
rasa asin garam dapur (NaCl).
SIMPULAN
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa:
1. Kepekaan indra rasa asin pada
penggunaan obat kumur
kombinasi jahe merah dan kayu
manis 0,75% berbeda dibanding
obat kumur klorheksidin 0,2%,
2. Penggunaan obat kumur
klorheksidin 0,2% menyebabkan
penurunan skor kepekaan indra
rasa asin.
3. Penggunaan obat kumur
kombinasi jahe merah dan kayu
manis 0,5% tidak menyebabkan
perbedaan skor kepekaan indra
rasa asin.
4. Penggunaan obat kumur
kombinasi jahe merah dan kayu
manis 0,75% menyebabkan
peningkatan skor kepekaan indra
rasa asin.
5. Penggunaan obat kumur
kombinasi jahe merah dan kayu
manis 1,0% tidak menyebabkan
perbedaan skor kepekaan indra
rasa asin.
6. Dari ke empat obat kumur yang
ujikan obat kumur kombinasi
jahe merah dan kayu manis
0,75% memiliki respon yang
baik terhadap kepekaan indra
rasa asin karena meningkatkan
kepekaan rasa asin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC and Hall JE. 2008. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Ed.11. Jakarta: EGC.
H. 696-649.
2. Keith LM, Arthur FD, and Anne MR. 2006.
Clinically Oriented Anatomy. 5th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins. P. 1003-1002.
3. Junqueira LC dan Carneiro J. 2007.
Histologi Dasar: Teks dan Atlas, Ed.10.
Jakarta: EGC. H. 122-90.
4. Miura H and Barlow LA. 2010. Taste Bud
Regeneration and the Search for Taste
Progenitor Cells. J Archives Italiennes de
Biologie, 148: 118-107.
5. Ferguson DB, 2006. Oral Bioscience.
London: Churchil Livibgstone. P. 245-235.
6. Henney JE, Taylor CL, and Boon CS.
2010. Strategies to Reduce Sodium Intake
in the United States. Institute of Medicine
(US) Committee on Strategies to Reduce
Sodium Intake. Washington (DC): National
Academies Press (US) Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK5
0958/. Diakses 25 Februari 2013.
7. Sunariani J, Yuliati, dan Aflah B. 2007.
Perbedaan Persepsi Pengecap Rasa Asin
Usia Subur dan Usia Lanjut. Majalah Ilmu
Faal Indonesia, 6(3): 191-182.
8. Harris NO and Godoy FG, 2004. Primary
Preventive Dentistry. 6 th ed. New Jersey:
Pearson Prentice Hall. P. 137-39.
9. Prijono E, Dewi W, Puspa TK. 2005.
Efektivitas Pembersihan Lidah secara
Mekanis Mangunakan Tongue Scraper
terhadap Jumlah Populasi Bakteri Anaerob
Lidah. The 22nd Indonesian Dental
Association Congres. Jurnal PDGI, 55(3):
100-95.
10. Yuliharsini. 2005 Kegunaan dan Efek
Samping Obat Kumur dalam Rongga
Mulut. Skripsi, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Sumatra Utara, Medan. H. 10-
1.
11. BPOMRI (Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia). 2010.
Acuan Sediaan Herbal, 5(1): 6-3.
12. Dalimartha S. 2009. Atlas Tumbuhan Obat
Indonesia Jilid 6. Jakarta: Pustaka Bunda.
H. 53-49.
13. Ahmad M. 2008. Pengaruh Ekstrak Jahe
Merah (Zingiber officinale Rubrum) dan
Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa
(Scheff) Boerl) terhadap Penghambatan
Proliferasi Sel Leukemia THP-1 secara in
vitro. Skripsi, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian, Bogor.
14. Azima F, Muchtadi D, Zakaria FR, dan
Priosoeryanto BP. 2004. Kandungan
Fitokimia dan Aktivitas Antioksi dan
Ekstrak Cassia Vera (Cinnamomum
burmanii). Stigma, 12(2): 236-232.
156
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
15. Tim L. 2002. Khasiat dan manfaat Jahe
Merah si Rimpang Ajaib. Jakarta: Agro
Media Pustaka. H. 76-1.
16. Firdausni, Failisnur, Diza YH. 2011.
Potensi Pigmen Cassiavera Pada Minuman
Jahe Instan Sebagai Minuman Fungsional.
Jurnal Litbang Industri, 1(1): 21-15.
17. Brickmann J and Wollschlaenger B. 2003.
The ABC Clinical Guide to Herbs. Austin,
Texas: American Botanical Council. P.
177-173.
18. Newall CA, Anderson LA, and Philipson
JD. 1996. Herbal Medicines a Guide for
Health-care Professionals. London: The
Pharmaceutical Press. P. 137-76.
19. Sibagariang N. 1997. Efek Samping
Pengunaan Khlorhexidine 0,2% pada
Penderita Gingivitis. Skripsi, Fakultas
Kedokteran Gigi, Universitas Sumatra
Utara, Medan. H. 10-1.
20. Mangundjaja S, Nisa RK, Lasaryna S,
Fauziah E, dan Mutya. 2000. Pengaruh
Obat Kumur Khlorheksidin terhadap
Populasi Kuman Streptococcus Mutans di
Dalam Air Liur. Pertemuan Ilmiah
Nasional, Universitas Indonesia, Jakarta. H.
5-1.
21. Ohno T, Uematsu H, Nozaki S, and
Sugimoto K. 2003. Improvement of Taste
Sensitivity of the Nursed Ederly by Oral
care. Journal Med Dent Sci, 50(1): 107-
101.
22. Redaksi Trubus. 2009. Herbal Indonesia
Berkhasiat Bukti Ilmiah dan Cara Racik.
Vol. 08. Depok: Trubus Swadaya. H. 98-
67.
23. Maryani H dan Kristiana L. 2002. Tanaman
Obat untuk Influenza. Jakarta: Agro Media
Pustaka. H. 25-20.
24. Pindborg JJ. 2004. Atlas Penyakit Mukosa
Mulut. Jakarta: Binarupa Aksara. H. 312-
310.
25. Breslin PAS and Tharp CD. 2001.
Reduction of Saltiness and Bitterness After
a Chlorhexidine Rinse. Journal Chem
Senses, 26(2): 105-16.
26. Mindasari R. 2010. Studi Aktivitas
Antioksidan pada Pembuatan Tempe dari
Kedelai, Jagung, dan Dedak Padi. Skripsi,
Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatra Utara,
Medan. H. 10-1.
27. Hong JH, Ozbek PO, Stanek BT, Dietrich
AM, Duncan SE, Lee YW, Lesser G. 2009.
Taste and Odor Abnormalities in Cancer
Patients. The Journal of Supportive
Oncology, 7(2): 65-58.
28. Kusumaningati RW. 2009. Analisis
Kandungan Fenol Total Jahe (Zingiber
officinale Roscoe) Secara In Vitro. Skripsi,
Universitas Indonesia, Jakarta. h. 10-
1.Talavera K, Ninomiya Y, Winkel C,
Voets T, and Nilius B. 2007. Visions &
Reflections (Minireview) Influence of
temperature on taste perception. J Cellular
and Molecular Life Sciences, 64(4): 381-
377.
29. Karppanen H, Mervaala E. 2006. Sodium
Intake and Hypertension. J Progress in
Cardiovascular Disease, 49(2): 75-59.
30. Carey SOM. 2010. Psychoactive
Substance. A Guide to Ethnobotanical
Plants and Herbs, Synthetic Chemicals,
Compounds and Products. Ed 1.1. P. 70-52.
157
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Pengaruh Nilai Alkalin Fosfatase dengan Ketinggian
Kortikal Mandibula pada Pasien Suspek
Osteoporosis Melalui Radiografi
Panoramik
(Influences Of The Alkaline Phosphatase Value with
Mandibular Cortical Bone Height in Patient
Suspect Osteoporosis with Panoramic
Radiography)
Farina Pramanik, Azhari, Lusi Epsilawati
Dentomaxillofacial Radiograph Padjadjaran University
ABSTRACT
Background: Osteoporosis was a metabolic bone disease characterized by the reduction of mass and deterioration of bone microarchitecture. One indication that a decrease in
height of the mandibular cortical bone through panoramic radiographs. Another way
that can help detect osteoporosis is to find levels of alkaline phosphatase in the blood.
Purpose: Of this article was to look at the effect of alkaline phosphatase levels with
mandibular cortical bone height in patients with osteoporosis. Materials and Methods: This
study used a descriptive analytical method. Population of 18 panoramic radiographs complete with blood tests that consisted of 14 patients with osteoporosis. The collected
data were analyzed with regression analysis and correlation. Result: The results obtained for the regression formula right mandible Y=0.00005+0.00128X with r= 0.60456 and for
mandibular left Y=0.00007+0.00132X with r= 0.60034. Conclusion: The value of
alkaline phosphatase affect the height of the mandibular cortical bone in patients with suspected osteoporosis through panoramic radiographs and there is a good correlation
between the value of alkaline phosphatase with cortical height in patients with suspected osteoporosis.
Keywords: Alkaline phosphatase, height cortical mandible, osteoporosis, panoramic radiograph
Correspondence: Farina Pramanik, Department of Radiology, Faculty of Dentistry, Padjadjaran University, Sekeloa Selatan I, Bandung, Phone 022-2532683, 08122172983,
Email: [email protected]
LAPORAN PENELITIAN
158
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
ABSTRAK
Latar belakang: Osteoporosis adalah suatu penyakit metabolisme tulang yang ditandai dengan adanya pengurangan massa dan kemunduran mikroarsitektur tulang. Salah satu
gejalanya yaitu penurunan ketinggian tulang kortikal mandibula melalui radiografi
panoramik. Cara lain yang dapat membantu mendeteksi kondisi osteoporosis adalah dengan mencari kadar alkaline phosphatase dalam darah. Tujuan: Untuk melihat pengararuh kadar
alkaline phosphatase dengan ketinggian tulang kortikal mandibula pada pasien osteoporosis. Bahan dan Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik. Populasi
berjumlah 18 buah radiografi panoramik lengkap dengan pemeriksaan darah yang terdiri
dari 14 penderita osteoporosis. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan analisis regresi dan korelasi. Hasil: Hasil penelitian diperoleh rumus regresi untuk mandibula kanan
Y=0,00005+0,00128X dengan nilai r=0,60456 dan untuk mandibula kiri
Y=0,00007+0,00132X dengan nilai r=0,60034. Simpulan: Adanya pengaruh nilai alkaline
phosphatase dengan ketinggian tulang kortikal mandibula pada pasien suspek osteoporosis
melalui radiografi panoramik dan terdapat korelasi yang tergolong kuat antara nilai alkalin posfatase dengan ketinggian kortikal pada pasien suspek osteoporosis.
Kata kunci: Alkaline phosphatase, ketinggian kortikal mandibula, osteoporosis, radiografi panoramik.
Korespondensi: Farina Pramanik, Bagian Radiologi, Kedokteran Gigi, Universitas
Padjadjaran, Sekeloa Selatan I, Bandung, Telepon 022-2532683, 08122172983, Email:
PENDAHULUAN
Penelitian dibidang kedokteran
gigi telah mengembangkan berbagai
macam analisa secara medis tentang
gigi.1 Beberapa macam penyakit
sistemik, ternyata banyak yang identik
dengan kondisi gigi dan mulut pasien.
Hal inilah yang mendorong banyak
peneliti medis maupun non medis
untuk melakukan pengkajian lebih jauh
tentang cara dalam diagnosa
penyakit.2,3
Osteoporosis adalah suatu
penyakit metabolisme tulang yang
ditandai dengan adanya pengurangan
massa dan kemunduran
mikroarsitektur tulang, sehingga
meningkatkan risiko fraktur karena
fragilitas tulang meningkat. Insiden
osteoporosis lebih banyak terjadi pada
wanita dibandingkan pria terutama
pada wanita pascamenopause.4
Osteoblas yang matang akan
mengekspresikan beberapa senyawa
kimia yang bisa digunakan identifikasi
aktivitas osteoblas dalam serum.
Pengetahuan mengenai marker
terutama yang berhubungan dengan
osteoporosis dalam hal ini yang
mempengaruhi perubahan tulang telah
berkembang selama dekade ini.
Berbagai penanda biokimia
(biochemical bone marker)
pembentukan tulang dan aktivitas
osteoblas sering dianalisa diantaranya
yaitu: kolagen tipe I, alkalin fosfatase,
osteopontin dan osteokalsin
memungkinkan penilaian spesifik dan
sensitif dari pembentukan tulang.5,6
Selain itu indikator terjadinya
peningkatan laju remodeling tulang
adalah peningkatan kadar alkalin
159
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
fosfatase dan tartrate-resistant acid
phosphatase. Serum Alkalin Fosfatase
(ALP) terdiri dari beberapa isoenzim
yang terdapat pada banyak organ
seperti hati, tulang, ginjal, usus dan
placenta. ALP hati dan tulang
kadarnya tinggi dalam serum sehingga
banyak dipakai untuk menilai proses
metabolisme tulang khususnya menilai
dan memantau aktivitas osteoblas dan
untuk menilai kelainan pada
hepatobilier.7
Bagian Klinik Veteriner Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas
Airlangga menyatakan Alkalin
Fosfatase memegang peranan penting
dalam mengendapkan kalsium dan
fosfat ke dalam matriks tulang.
Berdasarkan hal tersebut, maka
sebagian dari Alkalin Fosfatase di
dalam darah dapat menjadi indikator
yang baik tentang tingkat pembentukan
tulang setelah mengalami patah
tulang.8
Selain itu Alkalin Fosfatase
merupakan marker yang sering
digunakan dalam deteksi osteoporosis
karena kadarnya dalam serum banyak.
Untuk itu penelitian mengenai Alkalin
Fosfatase perlu di teliti kaitannya
dengan osteoporosis. Secara umum, tingkat kadar
Alkalin Fosfatase meningkat pada
pasien dengan penyakit osteoporosis
yang ditandai dengan tingkat
perubahan tulang yang tinggi dan
kadar serum mencerminkan perubahan
yang dilakukan selama pembentukan
tulang 9,10
Dokter gigi mempunyai peran
penting dalam skrining osteoporosis,
karena sejumlah besar radiografi
tulang rahang yang dibuat oleh dokter
gigi. Selain itu, dokter gigi adalah
dokter yang secara teratur dikunjungi
pasien termasuk pasien lanjut usia, dan
radiografi gigi adalah yang paling
sering digunakan sebagai alat bantu
perawatan pasien. Sekarang ada
sejumlah indeks rahang bawah
berdasarkan radiografi panoramic dan
pencitraan lain, teknik analisis yang
terus berkembang, hal ini
memungkinkan untuk dilakukan
penilaian massa tulang mandibula guna
membedakan individu dengan
osteoporosis dan tidak osteoporosis.
Radiografi panoramic digunakan
untuk menilai kualitas tulang dengan
menilai ketinggian tulang dengan
menggunakan mental indeks.
Berdasarkan latar belakang di
atas, maka akan dilakukan penelitian
mengenai pengaruh nilai Alkalin
Fosfatase dengan ketinggian kortikal
mandibula pada pasien suspek
osteoporosis melalui radiografi
panoramik.
Bagaimana nilai Alkalin
Fosfatase dan ketinggian kortikal
mandibula pada pasien suspek
osteoporosis melalui radiografi
panoramik. Bagaimana pengaruh nilai
Alkalin Fosfatase dengan ketinggian
kortikal mandibula pada pasien suspek
osteoporosis melalui radiografi
panoramik. Bagaimana korelasi antara
nilai Alkalin Fosfatase dengan
ketinggian kortikal mandibula pada
pasien suspek osteoporosis melalui
radiografi panoramik. Tujuan
Penelitian ini adalah untuk mengetahui
nilai Alkalin Fosfatase dan ketinggian
kortikal mandibula pada pasien suspek
osteoporosis melalui radiografi
panoramik. Untuk mengetahui
pengaruh nilai Alkalin Fosfatase
dengan ketinggian kortikal mandibula
pada pasien suspek osteoporosis
melalui radiografi panoramik. Untuk
mengetahui korelasi nilai Alkalin
Fosfatase dengan ketinggian kortikal
mandibula pada pasien suspek
160
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
osteoporosis melalui radiografi
panoramik.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini adalah penelitian
deskriptif analitik dimana hasil yang
diperoleh berupa data sekunder dari
arsip foto rongent dan pemeriksaan
laboratorium. Sampel penderita
osteopenia dan osteoporosis yang
berusia 50-70 tahun yang telah
melakukan foto rongent panoramik dan
pemeriksaan laboratorium dan berjenis
kelamin perempuan.
Dari hasil pemilihan, diperoleh
14 radiografi panoramik penderita
osteoporosis dan osteopenia yang
dibuktikan dari nilai T (-1 s/d >-2)
setelah pemeriksan DXA, berusia 50-
70 tahun dengan hasil pemeriksaan
laboratoium lengkap. Selain itu
dilakukan penilaian untuk 4 buah
radiograf panoramik pasien dengan
kondisi normal dibuktikan melalui
nilai T (0-(-1)).
Menggunakan pehitungan
statistik regresi linier sederhana
dengan rumus sebagai berikut:11
Rumus Regresi Linier Sederhana :
Y = a + bX
Y = Variabel terikat
a = Nilai intercept (konstanta)
b = Koefisien regresi
X = Variabel bebas
Harga a dan b dihitung dengan rumus:
a=
b=
Rumus Korelasi (r) :
r=
Alat dan Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah alat x-Ray
digital jenis Picasso Trio; merek Epx-
Impla, type B applied part Impla, no
seri 0165906; produksi Vatech & E-
woo Korea. Satu set komputer dan
printer dengan soft-ware yang
digunakan adalah Program Easy Dent
4 Viewer dari Vatech & E-woo Korea.
Perangkat pemriksaan laboratorium
darah untuk Alkalin Fosfatase. Metode
untuk mengukur ketinggian tulang
kortikal mandibula adalah mental
indeks. Skala yang digunakan untuk
pengukuran adalah mm.12 Metode
yang digunakan untuk pemeriksaan
Alkalin Fosfatase adalah dengan
menggunakan serum darah dan metode
pengukuran kadar Alkalin Fosfatase
adalah kolorimetri dengan
menggunakan alat (mis.
fotometer/spektrofotometer) manual
atau dengan analizer kimia otomatis.
Satuan Alkalin Fosfatase adalah U/L.13
Gambar 1. Tulang kortikal (a dan b)14 dan Cara penarikan garis pada mental indeks (c)12
B C A
161
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Seleksi data dari data sekunder
baik dari foto rongent panoramik dan
pemeriksaan alkalin phosfatase pada
pasien osteopenia atau osteoporosis
yang di foto rongent panoramik.
Pengukuran ketinggian tulang kortikal
dilakukan untuk sisi kanan dan kiri
dengan mental indeks. Mengambil data
dari arsip pemeriksaan alkalin
phosfatase. Mengumpulkan data,
membuat tabel dan menggunakan
analisa statistik yaitu regresi linier
sederhana dan korelasi.
HASIL
Dari 14 radiografi panoramik
penderita osteoporosis dan osteopenia
perempuan berusia 50-70 tahun dengan
hasil pemeriksaan laboratoium
lengkap, diperoleh hasil penelitian
pada tabel 1.
Tabel 1. Perhitungan Nilai Alkalin
Fosfatase dn Ketinggian Kortikal Mandibula
pada Pasien Osetoporosis melalui Radiografi
Panoramik
Tabel 2. Hasil perhitungan untuk regresi
linier sederhana
∑ X
∑ Y1
∑ Y2
X^2
Y1^2
XY1
Y2^2
XY2
1340
1,79
1,86
129634
0,235
173,100
0,254
179,85
Tabel 3. Hasil rata-rata pengukuran
ketinggian tulang kortical
Kanan Kiri
Kelainan Normal Kelainan Normal
1,27 2,58 1,32 2,54
Hasil dari penelitian dari 14
radiografi penderita osteopenia dan
osteoporosis diperoleh rata-rata
ketingian tulang kortikal mandibula
kanan berkurang untuk 0,131 cm dan
kiri berkurang 0,122 cm sedangkan
jika dibandingkan dengan pasien
normal pada pasien usia yang sama
dengan pemeriksaan DXA tanpa
kelainan osteopenia dan osteoporosis,
ketinggian kortikal kanan 2,58 cm dan
kirin 2,54 cm.15 Apabila ditampilkan
dalam bentuk grafik:
Gambar 2. Menunjukkan rata-rata
ketinggian tulang kortikal mandibula normal
dan osteoporosis.
Berdasarkan hasil penelitian,
nilai alkalin phosphatase pada pasien
Pasien
Al.
Fosfatase
(X)
Kortikal
kanan
(Y1)
Kortikal
Kiri
(Y2)
1 94 0,130 0,120
2 99 0,100 0,130
3 108 0,160 0,140
4 90 0,150 0,170
5 108 0,150 0,150
6 85 0,110 0,120
7 98 0,150 0,150
8 93 0,120 0,120
9 97 0,120 0,120
10 113 0,150 0,180
11 92 0,140 0,130
12 74 0,100 0,110
13 102 0,110 0,120
14 87 0,100 0,100
0
1
2
3
Kanan Kiri
2.58 2.54
1.27 1.32Normal
Osteoporos
is
162
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
osteoporosis masih dalam taraf normal
yaitu nilai rata-ratanya adalah 95,71
U/L. Nilai normal alkalin phosphatase
pada pria 90–239 U/L dan wanita di
bawah 45 tahun 76–196 U/L dan
wanita >45 tahun 87–250 U/L.7
Hasil perhitungan dengan
menggunakan rumus regresi linier
sederhana dan korelasi rampak pada
rabel 4 di bawah ini:
Tabel 4. Hasil regresi linier sederhana
Hasil penelitian tersebut
mempunyai arti nilai b positif, maka
terdapat hubungan positif atau searah
antara nilai Alkalin Fosfatase dengan
ketinggian kortikal mandibula kanan
dan kiri pada pasien suspek
osteoporosis, artinya jika nilai Alkalin
Fosfatase naik (tidak normal) maka
ketinggian kortikal mandibula pun
turun (tidak normal). Artinya nilai
alkalin phosphatase mempunyai
pengaruh dalam ketinggian kortikal
mandibula pada pasien suspek
osteoporosis. Dengan nilai
peningkatan (b) sebesar 0,00128 untuk
mandibula kanan dan 0,00132 untuk
mandibula kiri. Kekuatan hubungan
antara nilai alkalin phosphatase dengan
ketinggian kortikal mandibula kanan
dan kiri adalah kuat (0,600-0,799)
dengan nilai r kanan = 0,60456 dan r
kiri = 0,60034.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian di
atas, dapat dilihat bahwa kadar Alkalin
Fosfatase masih dalam taraf normal
pada pasien suspek osteoporosis
dengan pemeriksaan BMD rendah, hal
ini dapat dikarekan rentang nilai
Alkalin Fosfatase yang sangat besar,
yang memungkinkan pada nilai-nilai
tertentu sulit teridentifikasi
osteoporosis.
Ketinggian tulang kortikal
mandibula mengalami penurunan pada
pasien osteoporosis secara kualitatif
dan secara kuantitatif yang
diperlihatkan dalam hasil perhitungan
regresi linier sederhana yaitu terdapat
hubungan positif antara nilai alkalin
phosphatase dengan ketinggian
kortikal mandibula kanan dan kiri pada
pasien suspek osteoporosis, artinya
jika nilai Alkalin Fosfatase tinggi
(tidak normal) maka ketinggian
kortikal mandibula pun berkurang
(tidak normal) artinya nilai Alkalin
Fosfatase mempunyai pengaruh pada
ketinggian kortikal mandibula pada
pasien suspek osteoporosis. Kekuatan
hubungan antara nilai Alkalin
Fosfatase dengan ketinggian kortikal
mandibula kanan dan kiri tergolong
kuat.
Pendapat yang sejalan adalah
terdapat hubungan yang erat antara
aktifitas osteoblas dengan konsentrasi
Alkalin Fosfatase di dalam plasma, di
mana aktifitas enzim ini bertanggung
jawab terhadap proses kalsifikasi fibril
kolagen sebagai bahan dasar dari
tulang.16
Sekresi Alkalin Fosfatase akan
menurun jika proses mineralisasi
jaringan osteoid sudah selesai.17
Pendapat yang sama dinyatakan bahwa
enzim fosfatase lebih banyak berperan
pada saat pembentukan matriks tulang,
Kortikal
Mandibula
Kanan Kiri
Nilai a 0,00005 0,00007
Nilai b 0,00128 0,00132
Rumus regresi Y= 0,00005
+ 0,00128 X
Y= 0,00007
+ 0,00132 X
Nilai r 0,60456 0,60034
163
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
dan akan menurun aktifitasnya ketika
sudah terjadi proses mineralisasi
matriks tersebut.16
Berdasarkan penjelasan di atas,
hal ini terjadi karena berhubungan
dengan proses remodeling yang tidak
seimbang pada pasien osteoporosis,
sehingga resorpsi terjadi lebih dominan
dibandingkan aposisi. Proses
remodeling pada pasien osteoporosis
sebenarnya terjadi dengan laju yang
cepat, proses pembentukan tulang
sebagai respon dari tubuh terjadi
dengan cepat, sehingga melibatkan
peran osteblas. Jumlah osteblas
meningkat, osteoblast matang
menghasilkan ekspresi senyawa kimia
yaitu salah satunya Alkalin Fosfatase,
yang dapat digunakan sebagai marker
pengukuran aktifitas metabolisme
tulang termasuk aktifitas osteoblas.
Sehingga Alkalin Fosfatase
dianggap sebagai penanda spesifik
fungsi osteoblas yang berhubungan
dengan tingkat pembentukan tulang.
Ini adalah penanda yang sangat sensitif
untuk pembentukan tulang.18-19 Kadar
Alkalin Fosfatase yang tinggi,
mungkin terkait dengan meningkatnya
aktivitas osteoblas. Apabila kita
memperhatikan kadar alkalin
posfatase, maka kadar kalsium sebagai
marker pembentuk tulang akan terlihat.
Hal ini sesuai dengan beberapa
penelitian cross sectional
menunjukkan bahwa bone turn over
akan meningkat dengan cepat setelah
wanita memasuki usia menopause
dimana terjadi peningkatan kadar
osteokalsin dan Alkalin Fosfatase
sebesar 50 % dan penigkatan kadar C-
telopeptide sebesar 50 sampai 150 %. 20
Peranan enzim Alkalin Fosfatase
dalam proses mineralisasi adalah
bahwa enzim ini mempersiapkan
suasana alkalis (basa) pada jaringan
osteoid yang terbentuk, supaya
kalsium dapat dengan mudah
terdeposit pada jaringan tersebut.
Selain itu di dalam tulang enzim ini
menyebabkan meningkatnya
konsentrasi fosfat, sehingga
terbentuklah ikatan kalsium-fosfat
dalam bentuk kristal hidroksiapatit dan
berdasarkan hukum massa (law of
mass action ) kristal tersebut pada
akhirnya akan mengendap di dalam
tulang.16
Radiografi panoramik dapat
digunakan sebagai media pendeteksi
osteoporosis dan kadar Alkalin
Fosfatase merupakan salah satu marker
yang baik dalam mendeteksi
osteoporosis.
SIMPULAN
Adanya pengaruh antar nilai
Alkalin Fosfatase dengan ketinggian
tulang kortikal mandibula pada pasien
suspek osteoporosis melalui radiografi
panoramik dan korelasi yang tergolong
kuat antara nilai Alkalin Fosfatase
dengan ketinggian tulang kortikal
mandibula pada pasien suspek
osteoporosis melalui radiografi
panoramik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Naseem Shah, Nikhil Bansal, and Ajay
Logani. 2014. Recent Advance in imaging
Technologies in Dentistry. World J radiol,
6(10): 807-794.
2. Aya Kurusua, Mariko Horiuchib,
Kunimichi Soma. 2009. Relationship
between Occlusal Force and Mandibular
Condyle Morphology (Evaluated by
Limited Cone-Beam Computed
Tomography), Angle Orthodontist, 79(6):
1063-9.
3. A Donald, Tyndall, Sonali R. 2008. Cone-
Beam CT Diagnostic Applications: Caries,
Periodontal Bone Assessment, and
164
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Endodontic Applications. Dental Clincal
North Amercan Journal, 52: 841-825.
4. White SC, Atchison KA, Gornbein JA,
Nattiv A, Paganini-Hill A, Service SK, and
Yoon DC. 2005. Change in mandibular
trabecular pattern and hip fracture rate in
elderly women. Dentomaxillofacial
Radiology, 34: 174-168.
5. Robling AG, Castillo AB, Turner CH,
2006. Biomechanical and Molecular
Regulation of Bone Remodeling. Anual.
Riviews Biomed Eng 8:455-498.
6. Axelrod DW, Teitelbaum SL. 1994. Results
of long-term cyclical etidronate therapy:
bone histomorphometry and clinical
correlates. J Bone Miner Res, 9S1:136.
7. Blake GM, Fogelman I. 1998. Application
of bone densitometry for osteoporosis.
Endocrineol Metab Clin North Am, 27:
267-88.
8. Carter, M.A., 1992. Fraktur dan Dislokasi.
Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. S.A. Price dan L.M.
Wilson. EGC. Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta. P. 1188 -1175.
9. Dogan E, Posaci C. 2002. Monitoring
hormone replacement therapy by
biochemical marker of bone metabolism in
menopausal women. Post Graduate Med J,
78: 731-727. doi: 10.1136/pmj.78.926.727.
10. Bauer DC, Gluer CC, Cauley JA. 1997.
Broadband Ultrasound Attenuation Predicts
Fractures Strongly and Independently of
Densitometry in Older Women. Arch Int
Med, 157:634–629. doi:
10.1001/archinte.157.6.629.
11. Sitepu, Nirwana. 2004. Analisis Jalur.
Bandung : Unit Pelayanan statistika.
FMIPA UNPAD. H. 27-26.
12. Fox KM, Cummings SR, Powell-Threets K,
Stone K. Family,1998, History and risk of
osteoporotic fracture. Study of osteoporotic,
fractures research group. Osteoporos Int, 8:
562-557.
13. Ira Sari Yudaniayanti. 2005. Aktifitas
Alkaline Phosphatase pada Proses
Kesembuhan Patah Tulang Femur dengan
Terapi CaCO3 Dosis Tinggi pada Tikus
Jantan (Sprague Dawley). Media
Kedokteran Hewan, 21(1): 18-15.
14. Taguchi A, M Ohtsuka, Tsuda M,
Takamoto T, Kodama I, Inagaki K,
Noguchi T, Kudo Y, Suei Y, Tanimoto K.
2007. Risk of vertebral osteoporosis in
post-menopausal women with alterations of
the mandisible. J/ of Dentomaxillofacial
Radiology 36: 194-143.
15. Lusi E dan Azhari. 2012. Correlated of the
Mandible Cortical Highness with CTx and
Osteocalcin level in Patient Suspect
Osteoporosis with Panoramic Radiography.
Bandung : Dentomaxillofacial Radiograph,
Faculty of Denstistry. University of
Padjadjaran, Indonesia. H. 10-1.
16. Djojosoebagio, S. 1990. Fisiologi Kelenjar
Endokrin. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas.
Ilmu Hayati IPB. P. 227 -142.
17. Newton, C.D and Nunamaker, D.M. 1985.
Text Book of Small Animal Orthopaedics.
J.B. Lippincott Company. Philadelphia. P.
61 -35.
18. Lindh C, Petersson A, Klinge B, Nilsson
M.1997. Trabecular Bone Volume and
Bone Mineral Density in the mandible.
Dentomax- illofac Radiol, 26: 106-101.
19. Slemenda CW, Johnston CC, Hui S.1996.
Assessing fracture risk. In: Osteoporosis.
San Diego:Academic Press. P. 633-623.
20. Edianto D. 2011. Analisa Turnover Tulang
pada Wanita Usia Pasca Menopause
berdasarkan Pemeriksaan Penanda
Biokimia Turnover Tulang di Dalam Serum
dan Hubungannya dengan Beberapa Faktor
Risiko Terjadinya Peningkatan Aktivitas
Remodeling Tulang pada Wanita Pasca
Menopause. Departemen Obstetri dan
Ginekologi, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sumatera Utara, Indonesia.
Available from
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456
789/21390/4/Chapter%20II.pdf.
165
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Avicennia
marina sp. Terhadap Penurunan Kadar
Malondialdehida Kelenjar Parotis
Tikus Periodontitis
(The effect of Avicennia marina sp. leaf extract on decreased
malondyaldehyde level of parotid gland in
periodontitis Wistar rats)
Novia Wiyono, Syamsulina Revianti*, Widyastuti**
*Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
**Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
ABSTRAC
Background: Periodontal disease is the second largest oral disease in Indonesia population,
which caused by mixed periodontopathogen bacteria. The bacteria will trigger host’ respon
to kill the bacteria and also produce more free radical which can cause oxidative stress. Avicennia marina sp is a natural product that has beneficial effects. One of which is activity
of antioxidant. Objective: The aim of this study is to investigate the effect of Avicennia marina sp leaf extract on decreased malondyaldehyde level of parotid gland in periodontitis Wistar
rats. Materials and Methods: The experiment was held by post test only control group design.
Thirty five male Wistar rats divided into five group. K1 group was negative control group without any treatment, K2 group was a positive control group induced by mixed
periodontopathogen bacteria, and the other groups K3, K4, K5 were induced by mixed periodontopathogen bacteria and treated with Avicennia marina leaf extract on various dose:
K3 (0,25 gr/kg/day), K4 (0,5 gr/kg/day), K5 (1 gr/kg/day). After treatment, the rats were
sacrificed. Parotis gland malondyaldehyde level (mg/ml) of each group was measured by thiobarbituric acid (TBA) method. All of datas were analyzed by one way ANOVA and LSD
test (p<0,05). Result: This study showed that parotis gland malondyaldehyda level was
significantly higher in K2 group (11,104086±0,9009975) than K1 group (9,282800±0,9921072). K4 (9,599086±0,6413009) and K5 (9,127886±1,3362526) group was
significantly lower than K2 group (11,104086±0,9009975). Conclusion: Avicennia marina sp leaf extract can decrease malondyaldehyde level of parotid gland in periodontitis Wistar
rats at doses 1 gr/kg.
Keywords: Avicennia marina sp. leaf extract, periodontitis, malondyaldehyde
Correspondence: Syamsulina Revianti, Department of Oral Biology, Faculty of Dentistry,
Hang Tuah University, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Phone 031-5945864, 5912191,
Email: [email protected]
LAPORAN PENELITIAN
166
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit Periodontal menduduki urutan kedua yang masih merupakan
masalah di masyarakat Indonesia, dimana penyakit ini disebabkan bakteri mix periodontopatogen. Bakteri akan memicu respon hospes untuk membunuh bakteri dan juga
memproduksi lebih banyak radikal bebas yang dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif.
Avicennia marina sp merupakan kekayaan alam yang memiliki efek menguntungkan. Salah satunya adalah efek antioksidan. Tujuan: Membuktikan pengaruh pemberian ekstrak daun
Avicennia marina sp terhadap penurunan kadar malondialdehida kelenjar parotis tikus periodontitis. Bahan dan metode: Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian post test
only control group design. Tiga puluh lima tikus Wistar jantan dibagi menjadi lima kelompok.
K1 merupakan kelompok kontrol negatif yang tidak diberi perlakuan, K2 merupakan kelompok kontrol positif yang diinduksi bakteri mix periodontopatogen, dan kelompok K3,
K4, K5 diinduksi bakteri mix periodontopatogen dan diberi ekstrak daun Avicennia marina sp dengan beragam dosis: K3 (0,25 gr/kgBB/hari), K4 (0,5 gr/kgBB/hari), K5 (1 gr/kgBB/hari).
Setelah perawatan, semua kelompok tikus dikorbankan dan diukur kadar malondialdehida
kelenjar parotis (mg/ml) dengan metode TBA. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan one way ANOVA dan LSD (p<0,05). Hasil: Studi menunjukkan adanya kenaikan yang
signifikan pada kadar malondialdehida kelenjar parotis kelompok K2
(11,104086±0,9009975) dibandingkan kelompok K1 (9,282800±0,9921072). Kelompok K4 (9,599086±0,6413009) dan K5 (9,127886±1,3362526) menunjukkan penurunan signifikan
dibandingkan K2 (11,104086±0,9009975). Simpulan: Pemberian ekstrak daun Avicennia marina sp dapat menurunkan kadar malondialdehida kelenjar parotis tikus periodontitis pada
dosis 1 gr/kgBB.
Kata kunci: Ekstrak daun Avicennia marina sp., periodontitis, malondialdehida
Korespondensi: Syamsulina Revianti, Bagian Biology Oral, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Hang Tuah, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Telepon 031-5945864, 5912191,
Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Penyakit periodontal menduduki
urutan ke dua yang masih merupakan
masalah di masyarakat Indonesia dan
merupakan suatu penyakit inflamasi
pada jaringan periodonsium yang
terdiri dari jaringan keras dan jaringan
lunak yang mengelilingi gigi, meliputi
gingiva, ligamen periodontal, tulang
alveolar, dan sementum.1,2 Penyebab
periodontitis adalah bakteri anaerob
gram negatif, antara lain A.
actinomycetemcomitans, P. gingivalis,
Bacteroides forsythus, Treponema
denticola, T.socranskii, dan P.
Intermedia.3
Kolonisasi bakteri akan memicu
pengeluaran sitokin seperti IL-1α dan
β, IL-6, IL-8 dan TNF-α, dan PMN
pada inflamasi. Pengeluaran PMN
akan menghasilkan radikal bebas
seperti anion superoksida, radikal
hidroksil, nitrous oksida dan hidrogen
peroksida yang menyebabkan
kerusakan pada gingiva, ligamen
periodontal dan tulang alveolar. Hal
ini juga menyebabkan
ketidakseimbangan antara antioksidan
protektif dan peningkatan produksi
radikal bebas yang dikenal sebagai
stres oksidatif, dimana dapat
mengakibatkan kerusakan pada
membran lipid, protein, karbohidrat,
deoxyribonucleic acid (DNA).4,5,6
167
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Peroksidasi lipid adalah reaksi
rantai yang timbul akibat reaksi antara
radikal bebas (radikal hidroksil)
dengan Poly Unsuturated Fatty Acid
(PUFA) pada membran sel yang akan
menghasilkan senyawa toksik. Di
antara senyawa toksik tersebut, yang
utama terbentuk adalah
malondialdehida (MDA).7,8 Jadi,
peroksidasi lipid dapat dideteksi secara
tidak langsung dengan mengukur
kadar MDA.9,10,11 Bila kadar MDA
tinggi dalam plasma, maka dapat
dipastikan sel mengalami stres
oksidatif.12
Prinsip terapi periodontal adalah
dengan cara mengurangi plak supra
dan subgingiva serta kalkulus dengan
tindakan yang tepat dan menjaga
kebersihan mulut.13 Akan tetapi,
pembersihan plak dan bakteri hanya
dengan teknik mekanik saja kurang
menunjukkan hasil maksimal dalam
jangka waktu panjang dikarenakan
tidak bisa menghilangkan etiologi
primer secara tuntas sehingga bakteri
tersebut akan mengalami rekolonisasi.
Antibiotik digunakan sebagai
penunjang terapi periodontal secara
mekanik karena antibiotik akan
membunuh bakteri patogen subgingiva
yang masih ada pasca perawatan
mekanis.14,15 Sayangnya, banyaknya
penggunaan antibiotik dengan dosis
yang tidak adekuat dan pemakaian
antibiotik dalam jangka waktu lama
memberikan andil besar pada
peningkatan resistensi antibiotik.
Resistensi bakteri terhadap antibiotik
sudah menjadi masalah di rumah sakit
Indonesia dan dunia.16
Antibiotik terdiri atas antibiotik
alami dan sintesis. Antibiotik sintesis
memiliki efek buruk jika digunakan
secara sembarangan. Sedangkan
antibiotik alami pada umumnya
berasal dari metabolit sekunder yang
diperoleh dari ekstrak suatu tanaman
tertentu, yang diduga memiliki khasiat
untuk obat. Tingginya tingkat
keanekaragaman hayati flora di
Indonesia, banyak diantaranya yang
dimanfaatkan sebagai tanaman obat.17
Salah satunya adalah Avicennia
marina sp. Di Indonesia banyak
terdapat jenis Avicenna marina sp
yang merupakan jenis mangrove yang
toleran terhadap kisaran salinitas yang
luas dibandingkan jenis mangrove
lainnya.18 Bagian-bagian dari
Avicennia marina sp. mengandung
berbagai senyawa aktif seperti
flavonoid, tanin, dan saponin yang
merupakan senyawa potensial yang
bermanfaat sebagai antioksidan dan
anti-inflamasi.19
Tujuan dari penelitian ini adalah
Membuktikan pengaruh pemberian
ekstrak daun Avicennia marina sp.
terhadap penurunan kadar
malondialdehida kelenjar parotis tikus
periodontitis.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan 35
tikus jantan berusia 6 bulan (setara
dengan 18 tahun manusia) dengan
berat 200-300 gr yang di aklimatisasi
selama 7 hari. Kemudian pada hari ke-
7, tikus dibagi dan diberi tanda
menjadi 5 kelompok, yaitu :
Kelompok 1, 2, 3, 4, dan 5. Masing-
masing kelompok yang terdiri dari 7
tikus diletakkan dalam 1 kandang.
Setiap tikus dalam setiap kelompok
diberi pakan standar dan minum dalam
jumlah yang sama selama proses
percobaan berlangsung. Makanan
diberikan dengan diletakkan dalam
wadah kecil dan diberikan tiap pagi,
siang, dan malam. Sedangkan
minuman diberikan dalam botol 300
168
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
ml berisi air yang dilengkapi pipa kecil
dan diberikan secara ad libitum.20
Pada hari ke-8, semua kelompok tikus
diberi amoksisilin selama 4 hari dan
tetap diberi makan dan minum. Dosis
amoksisilin per hari untuk satu tikus
dengan berat badan 300 gram adalah
larutan amoksisilin sebanyak 81 mg
ditambahkan sampai dengan 1,8 ml
Carboxyl Methyl Cellulose (CMC).
Selanjutnya pada hari ke-12,
kelompok 2, 3, 4, dan 5 diinduksi mix
bakteri periodontopatogen.
Inokulasi dilakukan dengan
mencekokkan 2 ml dari 1x109 sel/ml
bakteri hidup dalam PBS ke 3 tempat,
yaitu ke dalam lambung menggunakan
spuit berkanula, di sepanjang tepi
gingiva buko-palatal/ lingual regio
molar atas dan bawah, kiri dan kanan
dengan cara diteteskan, dan yang
terakhir lewat anus ke daerah
kolorektal dengan spuit berkanula.
Pemberian dilakukan sebanyak 3 kali
dalam 4 hari. Selama itu, semua
kelompok tetap diberi makan standar
dan minum dalam jumlah yang sama.21
Kemudian, pada hari ke-12,
kelompok 3, 4, dan 5 juga bersamaan
diberi ekstrak daun Avicennia marina
sp. secara per oral selama 25 hari
dengan dosis bervariasi, yaitu K1
diberi ekstrak daun Avicennia marina
sp. dengan dosis 0,25 gram/kg BB
dalam suspensi CMC 1%, K2 diberi
ekstrak daun Avicennia marina sp.
dengan dosis 0,5 gram/kg BB dalam
suspensi CMC 1%, dan K3 diberi
ekstrak daun Avicennia marina sp
dengan dosis 1 gram/kg BB dalam
suspensi CMC 1%. Akhirnya pada hari
ke-37, semua kelompok tikus
dikorbankan setelah mendapat
persetujuan dan pengesahan dari Tim
Komisi Etik Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Hang Tuah dan diambil
kelenjar parotisnya. Setelah itu
dilakukan pengukuran kadar
malondialdehida kelenjar parotis tikus.
Setelah didapatkan data hasil
pengukuran, dilakukan tabulasi dan
analisis data.21
Daun Avicennia marina sp
diperoleh dari daerah Wonorejo,
Surabaya. Daun yang dipilih adalah
daun yang masih bagus dan segar.
Daun yang telah dipetik, diangin-
anginkan dan kemudian dimasukkan
oven pengering dengan suhu kurang
dari 500C selama 1 jam. Setelah
kering, daun digiling dengan alat
penggiling. Setelah digiling semua,
daun diayak dengan pengayak lalu
ditimbang. Hasil ayakan dibasahi
dengan cairan penyari (etanol 96%)
sampai kurang lebih 1 cm diatas
ayakan. Sebanyak 1 kg bahan kering
hasil ayakan dibasahi dengan etanol
96% yang telah didestilasi lalu diaduk
dan diratakan sehingga serbuk
terbasahi. Kemudian dipindahkan ke
perkolator sedikit demi sedikit untuk
dilakukan penampungan perkolat cair.
Etanol dituangkan secukupnya
sehingga bahan terendam semua dan
dibiarkan selama 24 jam. Bila bagian
atas bahan tersebut tidak terendam,
ditambahkan lagi etanol 96%.
Kemudian perkolat cair hasil
penampungan tersebut dimasukkan ke
dalam Rotatory Vacuum Evaporator
(Rotavapor) untuk dilakukan
pemekatan. Hasil dari Rotavapor
diuapkan di water bath selama kurang
lebih 5 jam dan disimpan di excicator.
Selanjutnya ditentukan dosis dan
dibuat suspensinya.22
Bakteri Mix periodontopatogen
didapat dari Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Airlangga Surabaya.
Bakteri penyebab penyakit periodontal
didapatkan dengan cara mengambil
bakteri pada plak subgingiva penderita
169
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
periodontitis yang dikembangkan pada
agar Brain Heart Infusion (BHI)
setelah inkubasi 5 hari dan suhu 370 C.
Setelah itu bakteri yang telah
terbentuk dikembangbiakkan di BHI
cair agar mudah disondekan ke tikus
dan disetarakan dengan larutan standar
0,5 Mc Farland.23
HASIL
Data yang diperoleh dari hasil
penelitian dilakukan analisis dengan
menggunakan uji statistik dengan taraf
signifikansi 95% (p=0,05) dan diolah
dengan program SPSS versi 19.
Tabel 1. Rata-rata dan simpangan baku
kadar MDA kelenjar parotis pada setiap
kelompok percobaan dengan satuan mg/ml
Gambar 1. Rata-rata kadar MDA kelenjar
parotis masing-masing kelompok
Dari tabel 1 dan gambar 1,
diketahui bahwa nilai kadar MDA
tertinggi pada kelompok K2 yaitu
kelompok tikus yang diberi induksi
bakteri Mix periodontopatogen selama
3 kali dalam 4 hari. Sedangkan nilai
kadar MDA terendah pada kelompok
K5 yaitu kelompok tikus yang diberi
induksi bakteri Mix periodontopatogen
selama 3 kali dalam 4 hari dan diberi
ekstrak daun Avicennia marina sp.
dengan dosis 1 gr/kg BB secara per
oral selama 25 hari.
Setelah data dianalisis
menggunakan statistik deskriptif,
dilakukan uji normalitas dan uji
homogenitas, yang akan dilanjutkan
uji one way ANOVA dan uji LSD.
Berdasarkan uji LSD, didapatkan
bahwa terdapat peningkatan kadar
MDA kelenjar parotis pada K2
dibandingkan dengan K1 yang
menunjukkan perbedaan bermakna
(p<0,05).
Hal ini menunjukkan bahwa
induksi bakteri pada K2 dapat
meningkatkan kadar MDA kelenjar
parotis. Selanjutnya, terlihat
penurunan kadar MDA kelenjar
parotis yang menunjukkan perbedaan
bermakna (p<0,05) pada K4 dan K5
jika dibandingkan dengan K2 dan
adapun perbedaan bermakna antara K3
dan K5.
PEMBAHASAN
Periodontitis diawali dengan
serangan bakteri. Bila organisme
terpapar dengan serangan bakteri,
bakteri akan mengeluarkan LPS dan
DNA dimana hal tersebut akan
memicu respon imun antara patogen
bakteri dan hospes. Respon imun ini
akan menyebabkan activated protein-1
(AP-1) dan faktor nuklir-kB (NF-kB),
serta meningkatkan produksi
prostaglandin. Hal ini akan
merangsang aktivitas osteoklas
sehingga terjadinya resorbsi tulang dan
akan menyebabkan terjadinya
Kelompok Rata-rata ± Standar
deviasi
K1
K2
K3
K4
K5
9.282800 ± 0.9921072
11.104086 ± 0.9009975
10.178971 ± 0.7851706
9.599086 ± 0.6413009
9.127886 ± 1.3362526
170
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
kerusakan jaringan periodonsium atau
disebut periodontitis. Selain itu, AP-1
dan NF-kB akan meningkatkan
konsentrasi metalloproteinase (MMPs)
yang akhirnya menghasilkan
kerusakan jaringan, dan juga
menyebabkan pengeluaran sitokin
proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8,
TNF- sehingga menyebabkan
aktivasi fibroblas dan hiperresponsif
polimorfonuklear (PMN) yang akan
mempercepat produksi reactive oxygen
species (ROS).24,25 Produksi ROS
yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan dengan berbagai
mekanisme seperti, melalui proses
peroksidasi lipid, merusak DNA,
merusak protein, dan mengeluarkan
proinflamatori sitokin dari monosit
dan makrofag. Apabila kadar ROS
terus meningkat dan tidak diimbangi
dengan kadar antioksidan dalam
tubuh, maka terjadilah stres oksidatif.
Pada periodontitis, stres oksidatif yang
terus menerus terjadi mengakibatkan
kerusakan jaringan periodontal.26
Pada tahap awal peroksidasi
lipid, target ROS adalah ikatan karbon
ganda asam lemak tak jenuh PUFA.
Ikatan karbon ganda ini akan
melemahkan ikatan karbon hidrogen
yang memudahkan pelepasan hidrogen
oleh radikal bebas. Akhirnya, radikal
bebas melepaskan atom hidrogen dan
terbentuklah lipid radikal bebas (lipid
free radical), yang mengakibatkan
oksidasi menghasilkan radikal
peroksil. Selanjutnya, radikal peroksil
dapat bereaksi dengan PUFA yang
lain, melepaskan elektron dan
menghasilkan lipid hidroperoksida dan
lipid radikal bebas yang lain. Proses
ini dapat terjadi terus menerus dalam
suatu reaksi rantai. Lipid
hidroperoksida ini tidak stabil dan
fragmentasinya menghasilkan produk
seperti malondialdehida, 4-
hidroksinonenal, dan lainnya.27
Pada penelitian ini, peningkatan
jumlah malondialdehida dapat
dijadikan indikator peningkatan
aktifitas radikal bebas dan oksidan,
dimana dapat dipastikan sel
mengalami stres oksidatif dan dapat
menyebabkan kerusakan sel yang
serius jika berlangsung secara masif
atau berkepanjangan.7,12,28 Pada
penelitian ini menunjukkan keadaan
periodontitis pada kelompok dengan
induksi bakteri (K2), dimana terjadi
peningkatan kadar MDA yang
bermakna yaitu 11.104086 mg/ml
dibandingkan dengan kelompok
kontrol (K1) yaitu 9,2828 mg/ml.
Pada saat terjadi stress oksidatif,
tubuh melakukan mekanisme
homeostatis dengan memproduksi
antioksidan endogen. Namun,
seberapa cepat dan seberapa banyak
antioksidan yang diproduksi
tergantung dari berbagai macam
faktor, sehingga tubuh perlu dibantu
dengan asupan senyawa antioksidan
eksogen. Beberapa komponen eksogen
yang memiliki zat antioksidan antara
lain, vitamin B, C dan senyawa
flavonoid, saponin, tanin.29 Ekstrak
daun Avicennia marina sp diketahui
memiliki kadar vitamin C yang tinggi
sebesar 15,32 mg dan kadar vitamin B
sebesar 2,64 mg, yang berperan
sebagai antioksidan.19 Berdasarkan
penelitian sebelumnya, diketahui
vitamin C memiliki peran dalam
periodontitis walaupun perannya tidak
diketahui dengan pasti. Meskipun
rendahnya asupan vitamin C tidak
menyebabkan periodontitis, diketahui
tambahan vitamin C dibutuhkan
selama regenerasi jaringan.
Kekurangan vitamin C dikaitkan
dengan kerusakan sintesis kolagen
yang menyebabkan disfungsi jaringan
171
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
seperti gangguan penyembuhan luka
dan pecahnya kapiler karena lemahnya
dinding kapiler jaringan ikat.
Regenerasi kolagen untuk menjaga
jaringan gigi sangat penting dalam
kesehatan periodontal, karena itulah
dapat dikatakan konsentrasi vitamin C
yang rendah merupakan faktor resiko
untuk penyakit periodontal.30 Vitamin
C merupakan antioksidan paling
penting dalam cairan ekstraseluler,
Vitamin C secara efisien dapat
mencegah terbetuknya superoksida,
hidrogen peroksida, hipoklorit, radikal
hidroksil, radikal peroksil, dan radikal
eksogen. Vitamin C juga efektif dalam
menghambat peroksidasi lemak oleh
radikal peroksil, mencegah peroksidasi
membran, dan mencegah kerusakan
sel akibat radikal oksigen.31 Selain
vitamin C, vitamin B pun memiliki
efek antioksidan. Berdasarkan
penelitian sebelumnya, telah diketahui
pemberian suplemen vitamin B dapat
mempengaruhi proses penyembuhan
pada jaringan periodontal. Sayangnya,
sedikit informasi pengaruh vitamin B
terhadap penyembuhan jaringan
periodontal.32
Selain itu, ekstrak daun
Avicennia marina sp. juga diketahui
memiliki senyawa saponin, tanin, dan
flavonoid, dimana komponen-
komponen tersebut berperan sebagai
antioksidan dan antiinflamasi.19
Aktifitas antioksidan yang dimiliki
senyawa aktif ini disebabkan adanya
gugus hidroksi fenolik dalam struktur
molekulnya, dimana akan
menghambat kerja enzim yang terlibat
dalam reaksi produksi anion
superoksida, misalnya xantin oksidase
dan protein kinase. Selain itu, senyawa
aktif ini juga menghambat
siklooksigenase, lipooksigenase,
mikrosomal monooksigenase,
glutation-S-transferase, mitokondrial
suksinoksidase, NADH oksidase.
Mekanisme flavonoid dalam
menghambat inflamasi yaitu dengan
menghambat permeabilitas kapiler dan
menghambat metabolisme asam
arakidonat serta sekresi enzim lisosom
dari sel neutrofil dan sel endothelial.
Sedangkan mekanisme antiinflamasi
saponin adalah dengan menghambat
pembentukan eksudat dan
menghambat kenaikan permeabilitas
vaskular. Selain flavonoid, tanin juga
mempunyai aktivitas antioksidan dan
antiinflamasi, namun mekanisme
kerjanya belum diketahui secara
pasti.31,33
Berbagai komponen antioksidan
dalam ekstrak daun Avicennia marina
sp. ini, memberikan gambaran bahwa
pemberian ekstrak daun Avicennia
marina sp. dengan dosis 0,5 gr/kg BB
sekali selama 25 hari pada penelitian
ini, sudah dapat memberikan efek
terapi pada kadar MDA kelenjar
parotis. Hal ini terlihat dengan adanya
penuruan kadar MDA kelenjar parotis
yang sangat baik dari kelompok K2
menuju K4. Selain itu, pemberian
ekstrak daun Avicennia marina sp.
dengan dosis 1 gr/kg BB sekali selama
25 hari juga dapat memberikan efek
terapi pada kadar MDA kelenjar
parotis. Hal ini terlihat dengan
menurunnya kadar MDA kelenjar
parotis dari kelompok K2 menuju K5
yang menunjukkan penurunan kadar
MDA sangat baik karena dapat
mengembalikan seperti keadaan awal
(K1). Adapun penurunan kadar MDA
kelenjar parotis antar kelompok
perlakuan yang mengalami perubahan
signifikan atau terdapat perubahan
yang bermakna antara kelompok yang
diberi ekstrak daun Avicennia marina
sp. dosis 0,25 gr/kg BB dan 1 gr/kg
BB.
172
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa pemberian
ekstrak daun Avicennia marina sp.
mampu menurunkan kadar
malondialdehida kelenjar parotis tikus
periodontitis pada dosis 1 gr/kg BB.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wahyukundari AM. 2009. Perbedaan kadar
matrix metalloproteinase-8 setelah scaling
dan pemberian tetrasiklin pada penderita
periodontitis kronis. Jurnal PDGI, 58(1): 1.
Diakses 14 April 2012.
2. Omeh YS and Uzoegwu PN. 2010.
Oxidative Stress Marker In Periodontal
Disease Patients. Nigerian Journal of
Biochemistry and Molecular Biology,
25(1): 50. Diakses 28 Mei 2012.
3. Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR,
Carranza FA. 2006. Carranza’s Clinical
Periodontology, 10thed. Philadelphia: WB
Saunder Company. P. 100-9.
4. Revianti S. 2007. Pengaruh Radikal Bebas
Pada Rokok Terhadap Timbulnya Kelainan
Di Rongga Mulut. Denta Jurnal Kedokteran
Gigi FKG-UHT, 1(2): 89-85. Diakses 21
Mei 2012.
5. Sculley V dan Langley-Evans SC. 2003.
Periodontal Disease is Associated With
Lower Antioxidant Capacity In Whole
Salive and Evidence of Increased Protein
Oxidation. Clinical Science, 105: 167-72.
Diakses 5 Mei 2012.
6. Pendyala G, Thomas B, Kumari S. 2008.
The Challenge of Antioxidants to Free
Radicals In Periodontitis. Journal of Indian
Society of Periodontology, 12(3): 83-19.
Diakses 17 Mei 2012.
7. Suryohuduyo P. 2000. Ilmu Kedokteran
Molekuler, 1sted. Jakarta: CV Sagung Seto.
Diakses 2 Mei 2012.
8. Prasetyo A. 2005. Profil Lipid dan
Ketebalan Dinding Arteri Abdominalis
Tikus Wistar Pada Injeksi Inisial Adrenalin
Intra Vena (IV) Dan Diet Kuning Telur
Intermitten. Media Medika Indonesiana,
35(3). Diakses 12 Mei 2012.
9. Mahboob M, Rahman MF, Grover P. 2005.
Serum Lipid Peroxidation and Antioxidant
Enzyme Levels in Male and Female
Diabetic Patients. Singapore Med J, 46(7):
324-322. Diakses 5 Mei 2012.
10. Gonzales-Clemente JM, Deulofeu R,
Mitjavila J, Galdon G, Ortega E, Caixas A,
Gimenez-Perez G, Mauricio D. 2002.
Plasma Homocysteine is Not Increased In
Microalbuminuric Patients With Type 2
Diabetes Without Clinical Cardiovascular
Disease. Diabetes Care, 25(3): 632-33.
Diakses 5 Mei 2012.
11. Kalaivanam KN, Dharmalingram M,
Marcus SR. 2006. Lipid Peroxidation in
Type 2 Diabetes Mellitus. Int J Diab Dev
Ctries, 26(1): 30-2. Diakses 5 Mei 2012.
12. Simanjuntak K. 2007. Radikal Bebas dari
Senyawa Toksik Karbon Tetraklorida
(CCL4). Bina Widya, 18(1): 31-25.
Diakses 25 April 2012.
13. Winkel EG, Van Winkelhoff AJ,
Timmerman MF, Van der Velden U, Van
der Weijden GA. 2001. Amoxicillin Plus
Metronidazole in the Treatment of Adult
Periodontitis Patients. Journal of Clinical
Periodontology, 28(4): 305-296. Diakses
5April 2012.
14. Dalimunthe SH. 2002. Terapi periodontal.
USU Press, 185-179. Diakses 5 Mei 2012.
15. Yek EC, Serdar C, Nursen T, Guven K,
Halim I, Alpdogan K. 2010. Afficacy Of
Amoxicillin and Metronidazole
Combination For the Management of
Generalized Aggressive Periodontitis.
Journal of Periodontology, 81(7): 974-964.
Diakses 6 Maret 2012.
16. Harniza Y. 2009. Pola resistensi bakteri
yang diisolasi dari bangsal bedah rumah
sakit cipto mangunkusumo pada tahun
2003-2006. Skripsi. Universitas Indonesia,
Indonesia. Diakses 20 Mei 2012.
17. Sari WE, Masrina R, Budiman VP. 2009.
Antibiotik Dari Mikroba Endofit Tanaman
Jawer Kotok: Anlternatif Solusi
Permasalahan Resistensi Bakteri Di
Indonesia. Tesis, Institut Pertanian Bogor,
Indonesia. Diakses 14 Mei 2012.
18. Yunasfi. 2006. Dekomposisi Serasa Daun
Avicennia Marina Oleh Bakteri dan Fungi
Pada Berbagai Tingkat Salinitas. Tesis,
Institut Pertanian Bogor, Indonesia.
Diakses 3 Februari 2013.
19. Wibowo C, Kusuma C, Suryani A, Hartati
Y, Oktadiyani P. 2009. Pemanfaatan Pohon
Mangrove Api-Api (Avicennia Spp.)
Sebagai Bahan Pangan dan Obat. Tesis,
Fakultas Kehutanan IPB, Indonesia.
Diakses 5 Mei 2012.
20. Kusumawati D. 2004. Bersahabat dengan
Hewan Coba, 1sted. Gadjah Mada
University Press.
21. Praptiwi. 2008. Inokulasi Bakteri dan
Pemasangan Cincin atau Ligature Untuk
Induksi Periodontitis Pada Tikus. Majalah
173
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Kedokteran Gigi, 15(1): 84-81. Diakses 20
Mei 2012.
22. Wijayanti ED. 2007. Pengaruh Pemberian
Ekstrak Daun Api-Api (Avicennia Marina)
Terhadap Resorpsi Embrio Berat Badan
dan Panjang Badan Janin Mencit (Mus
Musculus). Skripsi, Universitas Airlangga,
Indonesia. Diakses 2 April 2012.
23. Perinetti G. 2003. Clinical And
Microbiological Effects of Subgingival
Administration of Two Active Gel on
Persistent Pockets of Chronic Periodontitia
Patients. Journal of Clinical
Periodontology, 31: 273-81. Diakses 5 Mei
2012.
24. Dahiya P, Kamal R, Gupta R, Puri A. 2011.
Oxidative Stress in Chronis Periodontitis.
Chronicles of Young Scientists, 2(4): 178-
81. Diakses 5 Mei 2012.
25. Derek S, Kalangi SJR, Wangko S. 2007.
Kerja Osteoklas Pada Perombakan Tulang.
BIK Biomed, 3(3): 107-97. Diakses 30
Januari 2013.
26. Wresdiyati T, Astawan M, Adnyane IKM.
2003. Aktivitas Anti Inflamasi Oleoresin
Jahe (Zingiber Officinale) Pada Ginjal
Tikus yang Mengalami Perlakuan Stres.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan,
14(2): 113-20. Diakses 5 April 2012.
27. Grotto D, Maria LS, Valentini J, Paniz C,
Garcia GSSC. 2009. Importance of The
Lipid Peroxidation Biomarkers And
Methodological Aspects For
Malondialdehyde Quantification. Quim
Nova, 32(1): 174-169. Diakses 5 Mei 2012.
28. Murray RK, Granner DK, Mayes PA,
Rodwell VW. 2009. Biokimia Harper,
27thed. Jakarta: EGC.
29. Sies H and Stahl W. 2001. Vitamins E and
C, -carotene, and Other Carotenoids as
Antioxidants 1-3. American Journal
Clinical Nutrition, 62: 131. Diakses 5 Mei
2012.
30. Pussinen PJ, Laatikainen T, Alfthan G,
Asikainen S, Jousilahti P. 2003.
Periodontitis is Associated With a Low
Concentration of vitamin C in Plasma.
Clinical Diagnostic Laboratory
Immunology, 10(5): 902-897. Diakses 25
Mei 2012.
31. Hertiani T, Pramono S, Supardjan. 2000.
Uji Daya Antioksidan Senyawa Flavonoid
Daun Plantago major L. Majalah Farmasi
Indonesia, 11(4): 246-234. Diakses 16
April 2012.
32. Sahelian R. 2005. Effects of Vitamin-B
Complex Supplementation on Periodontal
Wound Healing. Journal Periodontal.
Diakses 5 Mei 2012.
33. Fitriyani A, Winarti L, Muslichah, Nuri.
2011. Uji Antiinflamasi Ekstrak Metanol
Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz &
Pav ) Pada Tikus Putih. Majalah Obat
Tradisional, 16(1): 42-34. Diakses 17 April
2012.
174
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Perbedaan Efektivitas Antara Ekstrak Air dan
Ekstrak Etanol Teripang Emas (Stichopus
hermanii) Terhadap Penyembuhan
Ulkus Traumatikus Di Rongga Mulut
(The effectiveness difference between water extract and ethanol
extract of Stichopus hermanii on traumatic ulcer
healing in oral cavity)
Stevanus Chandra Sugiarto Budijono, Rima Parwati Sari*, Dwi Setianingtyas**
*Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
** Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
ABSTRACT
Background: Traumatic Ulcer (TU) is the most common oral soft tissue lesion marked with
the loss of epithelium, mostly caused by trauma. Stichopus hermanii extract contains GAGs that is useful to improve healing and repairing process of wound tissue. However, one of the
contents of Stichopus hermanii is suspected can inhibit wound healing, it is triterpene
glycosides (TG). In water extract, the contents of TG is lower but the particle size is big, while in ethanol extract, the contents of TG is higher but more homogeny in muchoadhesive mixing.
Purpose: To know the effectiveness difference between water extract and ethanol extract of Stichopus hermanii on TU healing in oral cavity. Materials and Methods: This research
used the post test only control group design. 48 wistar rats were divided into 6 groups consist
of 8 rats in each group. Traumatic wounds are made at the central of all rats’ lower labial mucosa. Group 1 was treated with aquadest as negative control group, group 2 with
hyaluronic acid 0,2%, group 3 with water extract of Stichopus hermanii 60%, group 4 with
water extract of Stichopus hermanii 80%, group 5 with ethanol extract of Stichopus hermanii 60% and group 6 with ethanol extract of Stichopus hermanii 80%. Treatment was applied
once a day for 5 days. The TU healing diameter data were analized with Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test. Result: Result showed significant difference between treatment groups,
p=0,027 (p<0,05). Conclusion: The most effective Stichopus hermanii extract on TU healing
in oral cavity is ethanol extract of Stichopus hermanii 60%.
Keywords: Traumatic ulcer, wound healing, GAGs, Stichopus hermanii
Correspondence: Rima Parwati Sari, Departement of Biology Oral, Faculty of Dentistry,
Hang Tuah University, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Phone 031-5912191, Email: [email protected]
LAPORAN PENELITIAN
175
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
ABSTRAK
Latar belakang: Ulkus traumatikus adalah lesi jaringan lunak rongga mulut yang paling
umum terjadi, ditandai dengan kerusakan epitelium dan biasanya disebabkan oleh karena
trauma. Ekstrak Stichopus hermanii mengandung GAG yang berguna untuk meningkatkan proses penyembuhan dan perbaikan jaringan luka. Namun ada salah satu kandungan dari
Stichopus hermanii yang diduga dapat menghambat penyembuhan luka yaitu triterpen glikosid (TG). Pada ekstrak air, kandungan TG lebih rendah tetapi ukuran partikelnya besar,
sedangkan pada ekstrak etanol, kandungan TG lebih tinggi tetapi lebih homogen dalam
pencampuran mucoadhesive. Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan efektivitas antara ekstrak air dan ekstrak etanol Stichopus hermanii terhadap penyembuhan TU di rongga
mulut. Bahan dan Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan the post test only control
group design. 48 tikus wistar dibagi menjadi 6 kelompok yang terdiri dari 8 tikus dalam
setiap kelompok. Luka traumatik dibuat di sentral mukosa labial bawah semua tikus.
Kelompok 1 diberi perlakuan dengan aquades sebagai kelompok kontrol negatif, kelompok 2 dengan asam hialuronat (AH) 0,2%, kelompok 3 dengan ekstrak air Stichopus hermanii 60%,
kelompok 4 dengan ekstrak air Stichopus hermanii 80%, kelompok 5 dengan ekstrak etanol
Stichopus hermanii 60% dan kelompok 6 dengan esktrak etanol Stichopus hermanii 80%. Perlakuan diaplikasikan 1 kali sehari selama 5 hari. Data diameter penyembuhan TU
dianalisa dengan uji Kruskal-Wallis dan uji Mann-Whitney. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan, p=0,027 (p<0,05).
Simpulan: Ekstrak Stichopus hermanii yang paling efektif dalam penyembuhan TU di rongga
mulut adalah ekstrak etanol Stichopus hermanii 60%.
Kata kunci: Ulkus traumatikus, penyembuhan luka, GAG, Stichopus hermanii
Korespondensi: Rima Parwati Sari, Bagian Biologi Oral, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Hang Tuah, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Telepon 031-5912191, Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Ulcer merupakan salah satu
keadaan yang sering terjadi secara
berulang pada mukosa mulut
seseorang, dapat dikatakan bahwa
setiap orang pasti pernah mengalami
ulcer baik yang ringan maupun yang
berat. Meskipun tidak terlalu parah,
tetapi keadaan ini seringkali
mengganggu aktivitas penderita
karena terasa sakit.1 Ulcer
didefinisikan sebagai hilangnya
lapisan epitel oleh karena sebab
apapun, yakni hilangnya sebagian
struktur epitel dan sebagian jaringan
dibawahnya hingga melebihi
membrana basalis, yang berbatas
diffuse dan berbentuk cekungan.2
Traumatic ulcer (TU) dan
recurrent aphthous stomatitis (RAS)
merupakan bentuk ulcer yang paling
sering ditemukan di masyarakat.3
Traumatic ulcer (TU) adalah ulcer
yang disebabkan karena trauma akibat
trauma mekanis, kimia, termis atau
radiasi. Lokasi, ukuran dan bentuk lesi
tergantung trauma yang menjadi
penyebab. Paling sering berupa ulcer
tunggal yang terasa sakit, permukaan
lesi halus, berwarna merah atau putih
kekuningan dengan tepi eritem tipis.4,5
Recurrent aphthous stomatitis (RAS)
adalah ulcer yang terjadi berulang
176
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
tanpa disertai tanda gejala penyakit
lain, dapat disebabkan oleh karena
herediter, defisiensi zat besi (Fe),
kobalamin (B12), asam folat (B9),
gangguan imunologi (alergi), stres,
trauma, gangguan keseimbangan
hormonal (menstruasi wanita), infeksi
bakteri, serta oleh sebab lain yang
belum diketahui.5 Perbedaan yang
tampak antara TU dan RAS adalah
riwayat trauma yang harus ada pada
TU, sedangkan pada RAS biasanya
timbul dengan sendirinya tanpa sebab
yang jelas, tetapi juga dapat dipicu
oleh trauma.2
Terapi pada TU bervariasi
tergantung pada ukuran, durasi, dan
lokasinya. Terapi ulcer utama adalah
dengan segera menghilangkan
penyebab terjadinya ulcer, apabila
penyebabnya diketahui. Ulcer
semestinya akan sembuh jika
penyebabnya telah dihilangkan. Suatu
ulcer yang tidak sembuh dalam dua
sampai tiga minggu harus segera
dibiopsi untuk menyingkirkan dugaan
kearah keganasan.6
Proses penyembuhan luka
merupakan suatu proses kompleks dan
terkait satu sama lain, dari perbaikan
jaringan dan remodeling jaringan
sebagai respons atas terjadinya jejas.
Proses penyembuhan luka ini
bertujuan merekonstruksi suatu
jaringan agar semirip mungkin dengan
jaringan aslinya.7 Pada suatu proses
penyembuhan luka tubuh memerlukan
matriks ekstraseluler. Matriks
ekstraseluler berperan dalam
melakukan pengaturan dan membuat
kerangka kerja bagi banyak proses
penyembuhan luka. Komponen fibrous
terbesar dari matriks ekstraseluler
dibentuk oleh kolagen.8 Sintesis
kolagen akan segera dimulai pada hari
ke-3 setelah terjadi injury, yakni
setelah proliferasi fibroblas dimulai,
dimana fibroblas berperan untuk
memproduksi kolagen.9 Setelah 7
hari, sintesis kolagen akan berkurang
secara perlahan. Pada fase awal proses
penyembuhan luka, jumlah kolagenase
rendah, tetapi akan meningkat seiring
dengan maturasi dari luka. Maturasi
luka mengacu pada keseimbangan
antara sintesis kolagen dan
kolagenase, dimana apabila terjadi
peningkatan pada salah satu hasil
produk tersebut maka proses maturasi
tidak berjalan dengan baik.10,11
Adapun salah satu terapi yang
dapat membantu mempercepat
penyembuhan luka adalah asam
hialuronat (AH) yang berperan penting
dalam mempengaruhi kecepatan
migrasi sel pada proses penutupan
luka, inflamasi, angiogenesis,
reepitelisasi dan proliferasi sel.12
Obat dengan bahan alami kini
kembali populer dipilih sebagai obat
untuk menyembuhkan berbagai
penyakit karena disamping memiliki
efek samping minimal juga dinilai
memiliki khasiat yang cukup
menjanjikan. Salah satu bahan alami
yang dapat digunakan sebagai terapi
alternatif pengobatan yakni sebagai
agent terapi penyembuhan luka adalah
teripang emas.13
Teripang emas adalah spesies
yang memiliki nilai gizi tinggi, bersih
dan yang memiliki nilai pengobatan
tertinggi adalah yang berwarna kuning
keemasan. Teripang emas juga dikenal
dengan sebutan Stichopus hermanii
yang merupakan tata nama menurut
taksonominya.13 Senyawa dalam
teripang emas yang berfungsi pada
penyembuhan luka adalah kolagen,
glikosaminoglikan (GAG) yang
meliputi kondroitin sulfat (KS),
dermatan sulfat (DS), heparan sulfat
(HS), heparin dan asam hialuronat
(AH), protein, glikoprotein, asam
177
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
lemak yang meliputi eicosapentaenoic
acid (EPA) dan docosahexaenoic acid
(DHA), cell growth factor (CGF),
flavonoid, tanin, vitamin A, vitamin C,
superoxide dismustase (SOD) dan
mineral. Berbagai zat tersebut saling
berkaitan dalam fase penyembuhan
luka sehingga memiliki peranan
penting dalam repair jaringan.14,15
Ada salah satu kandungan dari
teripang emas yang diduga dapat
menghambat penyembuhan luka yaitu
saponin (triterpen glikosid). Pada
penelitian Amalia (2012), ditemukan
bahwa ekstrak teripang pasir yang
diberikan pada beberapa kelompok
tikus wistar yang ditelitinya, tidak
efektif dalam penyembuhan luka pada
TU.16 Walaupun teripang pasir
tersebut mempunyai kandungan GAG
yang lebih lengkap dibandingkan
dengan kelompok yang hanya diberi
kondroitin sulfat, tetapi tidak
menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Hal ini diduga disebabkan
karena adanya efek antiproliferatif
yang ditimbulkan dari triterpen
glikosid yang merupakan kandungan
utama dari toksin dalam Holothuria
atau sering disebut holothurins.14 Pada
teripang pasir kandungan saponinnya
sebesar 2.56%, sedangkan kandungan
saponin pada teripang emas jauh lebih
sedikit yaitu hanya 0.12%.15
Berdasarkan data di atas, untuk
membuktikan pernyataan tersebut
bahwa saponin ini menguntungkan
atau merugikan bagi penyembuhan
luka, maka pada penelitian ini perlu
dibandingkan perbedaan efektivitas
antara ekstrak air dan ekstrak etanol
teripang emas (Stichopus hermanii)
terhadap penyembuhan luka TU di
rongga mulut.
Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui perbedaan efektivitas
antara ekstrak air dan ekstrak etanol
teripang emas (Stichopus hermanii)
terhadap penyembuhan luka TU di
rongga mulut, sedangkan manfaat
penelitian ini adalah sebagai bukti
empiris tentang khasiat ekstrak air dan
ekstrak etanol teripang emas
(Stichopus hermanii) dalam
mempercepat penyembuhan TU di
rongga mulut serta sebagai dasar
pengembangan produk biota laut yang
dapat digunakan sebagai obat alternatif
pada penyembuhan TU di rongga
mulut.
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian ini bersifat true
experimental dengan menggunakan
rancangan penelitian the post test only
control group design. Parameter dari
penelitian ini adalah selisih diameter
TU terbesar pada mukosa labial tikus
wistar dari hari awal terbentuknya
ulcer sampai hari dimana salah satu
sampel mengalami penyembuhan.
Sampel penelitian sebanyak 48 yang
terbagi dalam 6 kelompok secara acak.
Kriteria sampel yang digunakan adalah
tikus wistar jantan, umur 5 bulan, berat
badan sekitar 200-300 gram.17
Sebelum tikus mendapat perlakuan
diadakan penyesuaian terhadap
lingkungan selama 1 bulan dan dijaga
kondisinya.
Alat yang digunakan adalah
tabung tempat teripang emas, kandang
tikus wistar, timbangan tikus wistar,
amalgam stopper, cotton pellet, pinset
anatomi, plastic filling instrument dan
kaliper digital. Bahan yang digunakan
adalah ekstrak air teripang emas,
ekstrak etanol teripang emas, sodium
carboxymethylcellulose (NaCMC),
dimethyl sulfoxide (DMSO) 5%,
larutan aquades steril, asam hialuronat
(AH) 0,2% (merk tertentu) dan larutan
178
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
eter. Pada penelitian ini menggunakan
ekstrak air dan ekstrak etanol teripang
emas dosis 60% dan 80%. Ekstrak air
teripang emas dibuat menggunakan
metode freeze drying, sedangkan
ekstrak etanol teripang emas dibuat
dari ekstrak teripang emas hasil freeze
drying yang dilarutkan dengan pelarut
etanol (polar).18,19
Penelitian dilakukan di
Laboratorium Biokimia Fakultas
Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya untuk pembuatan gel ekstrak
teripang emas dan melakukan
perlakuan pada hewan coba.
Prosedur penelitian ini dimulai
dengan aklimatisasi hewan coba
selama 1 bulan dalam lingkungan
laboratorium. Sebelum diberi
perlakuan, tikus wistar dianastesi
secara inhalasi dengan larutan eter
terlebih dahuhulu. Setelah tikus wistar
sudah teranastesi, pembuatan ulcer
dilakukan dengan menyentuhkan
amalgam stopper panas pada sentral
mukosa labial bawah semua tikus.20,21
Pada hari kedua dilakukan
pengamatan apakah sudah terbentuk
ulcer atau tidak. Jika sudah terbentuk
ulcer, kemudian ulcer dikeringkan
dengan cotton pellet steril dan
dilakukan pengukuran diameter ulcer
terlebih dahulu dengan menggunakan
kaliper digital dan dicatat. Kemudian
diberikan aplikasi topikal aquades
steril pada kelompok X1, aplikasi
topikal gel AH 0,2% pada kelompok
X2, aplikasi topikal gel ekstrak air
teripang emas 60% pada kelompok X3,
aplikasi topikal gel ekstrak air teripang
emas 80% pada kelompok X4, aplikasi
topikal gel ekstrak etanol teripang
emas 60% pada kelompok X5 dan
aplikasi topikal gel ekstrak etanol
teripang emas 80% pada kelompok X6
dengan menggunakan plastic filling
instrument sebanyak 0,02 ml
kemudian diratakan, lalu diamkan
selama beberapa saat (± 1 menit)
untuk memberi kesempatan pada gel
untuk meresap. Aplikasi obat secara topikal
dilakukan 1 kali sehari dan lama
pemberian obat dilakukan sampai
salah satu sampel dari kelompok uji
mengalami penyembuhan. Pengukuran
dan pencatatan diameter ulcer juga
dilakukan setiap hari sampai salah satu
sampel dari kelompok uji mengalami
penyembuhan.
Data rata-rata selisih diameter
TU pada masing-masing kelompok
ditabulasi. Kemudian data dilakukan
perhitungan statistik dengan
melakukan uji normalitas dan
homogenitas terlebih dahulu. Bila data
berdistribusi normal dan memiliki
varian yang homogen maka
dilanjutkan dengan uji hipotesis
menggunakan statistik parametrik
yaitu one way ANOVA dan LSD.
Hasil uji normalitas dan
homogenitas menunjukkan bahwa data
berdistribusi normal tetapi tidak
homogen, maka alternatifnya dipilih
uji Kruskal-Wallis dan dilanjutkan
dengan uji Mann-Whitney untuk
menguji perbedaan antar kelompok.
HASIL
Gambar 1, menunjukkan hasil
selisih pengurangan rata-rata TU pada
masing-masing kelompok yang
menunjukkan secara deskriptif bahwa
terdapat perbedaan selisih diameter
TU pada kelompok X1, X2, X3, X4, X5
dan X6.
179
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Gambar 1. Grafik perbandingan selisih
rata-rata pengurangan diameter TU pada
masing-masing kelompok perlakuan
Pada hasil uji Kruskal-Wallis
didapatkan bahwa ada perbedaan yang
signifikan antar kelompok perlakuan
dengan nilai p = 0,027 (p < 0,05),
kemudian dilanjutkan dengan uji
Mann-Whitney. Dari hasil uji Mann-
Whitney (tabel 2) didapatkan bahwa
selisih diameter pada kelompok X1
(kontrol negatif) memiliki perbedaan
bermakna dengan kelompok perlakuan
X5 (ekstrak etanol teripang emas 60%),
selisih diameter pada kelompok X2
(AH 0,2%) memiliki perbedaan
bermakna dengan kelompok
perlakuan X5 (ekstrak etanol teripang
emas 60%) dan selisih diameter pada
kelompok X3 (ekstrak air teripang
emas 60%) juga memiliki perbedaan
yang bermakna dengan kelompok
perlakuan X5 (ekstrak etanol teripang
emas 60%).
Tabel 1 Hasil uji Mann-Whitney
PEMBAHASAN
Teripang emas merupakan suatu
biota laut yang sejak zaman dahulu
dikenal sebagai obat berkhasiat.22
Dalam penelitian ini digunakan
teripang emas sebagai bahan alami
yang dapat berperan sebagai terapi
alternatif pengobatan yakni sebagai
agent terapi penyembuhan luka.
Teripang emas dipilih karena banyak
mengandung senyawa yang dapat
berperan dalam penyembuhan luka
seperti protein, kolagen, glikoprotein,
glikosaminoglikan (GAG) yang
meliputi kondroitin sulfat (KS), asam
hialuronat (AH), dermatan sulfat (DS),
heparan sulfat (HS) dan heparin,
glikoprotein, asam lemak yang
meliputi eicosapentaenoic acid (EPA)
dan docosahexaenoic acid (DHA),
cell growth factor (CGF), flavonoid,
tanin, vitamin A, vitamin C,
superoxide dismustase (SOD) dan
mineral. Zat tersebut saling berkaitan
dalam fase penyembuhan luka
sehingga memiliki peranan penting
dalam repair jaringan.14,15
Protein yang terdapat pada
teripang sebanyak 86%.22 Protein
sangat penting dalam pemeliharaan
dan perbaikan jaringan tubuh. Apabila
jumlah persediaan protein dalam tubuh
rendah akan menghambat
penyembuhan luka lewat hambatan
proliferasi fibroblas, sintesis
proteoglikan (PG) dan kolagen,
sedangkan apabila jumlah persediaan
protein cukup memadai maka proses
penyembuhan luka akan dapat
berlangsung secara cepat atau
optimal.23
Dari 86% protein yang
terkandung dalam teripang, sekitar
80% merupakan kolagen.22 Pada fase
hemostasis dan inflamasi kolagen
berperan membantu proses hemostasis,
180
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
menarik makrofag dengan kemampuan
kemotaksis, serta menyebabkan
pembersihan secara alami infiltrat
inflamasi. Pada fase proliferasi aksi
kolagen adalah sebagai lipatan untuk
penggabungan fibroblas, menarik
fibroblas ke daerah luka dan di dalam
struktur matriks akan menjadi model
untuk pertumbuhan jaringan baru,
sedangkan pada fase maturasi kolagen
berperan memberi kekuatan pada
jaringan baru dan meningkatkan
organisasi serabut kolagen yang khas
pada fase remodeling penyembuhan
luka.8
Berdasarkan penelitian Rizal
(2012), diketahui bahwa kandungan
glikoprotein pada teripang emas
(Stichopus hermanii) adalah sebanyak
3,18%.15 Glikoprotein adhesif
merupakan molekul yang strukturnya
bermacam-macam yang peran
utamanya adalah melekatkan
komponen matriks ekstraseluler satu
sama lain dan melekatkan matriks
ekstraseluler pada sel melalui integrin
permukaan sel. Glikoprotein adhesif
meliputi fibronektin (komponen utama
matriks ekstraseluler interstisial) dan
laminin (penyusun utama membrana
basalis).24
Teripang mengandung mineral
seperti zat besi (Fe), tembaga (Cu),
kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Fe
diperlukan untuk hidroksilasi prolin
dan lisin 23. Baik Fe maupun Zn sangat
penting untuk sintesis kolagen,
pertumbuhan jaringan dan membawa
oksigen ke luka.25 Cu berperan sebagai
kofaktor dalam oksidasi sitokrom,
untuk antioksidan sitosolik SOD dan
untuk ikatan silang kolagen.23 Ca
berperan dalam mengatur pembekuan
darah, sedangkan Mg dapat
meningkatkan jumlah fibroblas
sehingga sintesis kolagen juga
meningkat.26
Teripang mengandung vitamin A
dan vitamin C. Vitamin A berperan
sebagai antioksidan, meningkatkan
proliferasi fibroblas, memodulasi
diferensiasi dan proliferasi sel,
meningkatkan sintesis kolagen dan
hialuronat, menurunkan degradasi
matriks ekstraseluler yang di mediasi
matrix metalloproteinases (MMPs).23
Vitamin C berperan meningkatkan
migrasi neutrofil dan transformasi
limfosit., hidroksilasi residu prolin
menjadi hidroksiprolin pada
prokolagen untuk dilepaskan dan
diubah menjadi kolagen,
meningkatkan proses angiogenesis,
penyerapan zat besi dan sebagai
antioksidan yang penting untuk
imunomodulasi.25,27
Kandungan EPA dan DHA pada
teripang cukup tinggi yaitu masing-
masing 25,69% dan 3,69%.28 Hal ini
menyebabkan teripang mampu
mempercepat perbaikan jaringan yang
rusak dan mengurangi reaksi
inflamasi (nekroinflamasi) yakni
dengan cara menghalangi
pembentukan prostaglandin penyebab
radang tinggi sehingga mencegah
kerusakan sel yang lebih parah.29 Hal
ini bertujuan untuk melakukan
pengaturan agar respons inflamasi
dapat berjalan normal dan mencegah
kerusakan yang berlebihan pada
host.30
Teripang mengandung cell
growth factor (CGF) yang dapat
menstimulus regenerasi sel sehingga
mempercepat penyembuhan luka. Baik
luka luar, seperti luka akibat cedera,
sayatan benda tajam, maupun luka
gangren akibat DM 28. CGF terdiri dari
beberapa macam dan masing-masing
memiliki peran pada proses
penyembuhan luka diantaranya yaitu
TGF, PDGF, FGF, EGF, hepatocyte
growth factor (HGF), dan VEGF.31
181
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Senyawa glikosaminoglikan
(GAG) yang terkandung dalam
teripang meliputi kondroitin sulfat
(KS), asam hialuronat (AH), dermatan
sulfat (DS), heparan sulfat (HS) dan
heparin. KS berperan pada fase
proliferasi dan inflamasi. Pada
penelitian Zou et al. (2004) tentang
pengaplikasian KS pada mukosa
palatal rongga mulut, hasil penelitian
menunjukkan adanya peningkatan
migrasi, adesi, proliferasi sel fibroblas
palatal dan penutupan luka, sedangkan
dalam proses inflamasi KS dapat
mengurangi reaksi inflamasi
(nekroinflamasi) sehingga mencegah
kerusakan sel yang lebih parah.29,32
Asam hialuronat (AH) berperan pada
fase proliferasi. AH berperan penting
dalam mempengaruhi kecepatan
migrasi sel pada proses penutupan
luka, inflamasi, angiogenesis,
reepitelisasi dan proliferasi sel.12
Dermatan sulfat (DS) berperan pada
fase proliferasi dan maturasi. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Penc,
et al., 1998 (dalam Trowbridge and
Gallo, 2002), DS dapat mendukung
kemampuan FGF-2 untuk memberi
sinyal proliferasi sel.33 Heparan sulfat
(HS) dan heparin berperan dalam
angiogenesis pada tahap proliferasi.
Kehadiran HS pada permukaan sel dan
lingkungan ekstraseluler sangat
penting untuk proses fisiologis
termasuk dalam angiogenesis atau
pertumbuhan pembuluh darah baru,
disini HS memiliki efek mendalam
pada bioaktivasi faktor kunci
angiogenik, yaitu VEGF.34 Selain itu
HS diakui memiliki peranan penting
dalam proses pertumbuhan, migrasi
dan diferensiasi sel.35
Hasil selisih rata-rata
pengurangan diameter TU pada
kelompok X5 (ekstrak etanol teripang
emas 60%) dan X6 (ekstrak etanol
teripang emas 80%) lebih besar
daripada kelompok X3 (ekstrak air
teripang emas 60%) dan X4 (ekstrak
air teripang emas 80%). Hal ini
kemungkinan disebabkan karena
ekstrak air teripang emas masih
memiliki ukuran partikel yang besar
yaitu 30-40 mesh, sedangkan ekstrak
etanol teripang emas diketahui ukuran
partikelnya lebih kecil. Hal ini
memberikan pengaruh karena ukuran
partikel dapat mempengaruhi absorpsi
obat, dimana bertambah kecil ukuran
partikel obat maka bertambah mudah
larut obat tersebut.36 Selain itu ekstrak
air teripang emas kandungannya masih
beragam, sedangkan pada ekstrak
etanol teripang emas diketahui hanya
senyawa polar saja yang akan tertarik
didalamnya, dimana GAG dan saponin
(triterpen glikosid) merupakan
senyawa polar.37 Hal ini juga didukung
dengan hasil uji kandungan ekstrak
teripang emas yang dilakukan oleh
Saleh (2013), didapatkan bahwa
kandungan ekstrak etanol teripang
emas memiliki kandungan AH, KS,
DS dan HS yang lebih besar dibanding
kandungan dalam ekstrak air teripang
emas. Kandungan AH dalam ekstrak
etanol teripang emas adalah 0,693%,
sedangkan pada ekstrak air teripang
emas adalah 0,248%. Kandungan KS
dalam ekstrak etanol teripang emas
adalah 1,168%, sedangkan pada
ekstrak air teripang emas adalah
0,422%. Kandungan DS dalam ekstrak
etanol teripang emas adalah 0,635%,
sedangkan pada ekstrak air teripang
emas adalah 0,21% dan kandungan HS
dalam ekstrak etanol teripang emas
adalah 0,483%, sedangkan pada
ekstrak air teripang emas adalah
0,196%.37
Hasil selisih rata-rata
pengurangan diameter TU pada
kelompok X5 (ekstrak etanol teripang
182
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
emas 60%) lebih besar daripada
kelompok X2 (AH 0,2%), hal ini
terjadi karena kandungan AH yang
terkandung dalam ekstrak etanol
teripang emas adalah 0,693%, dimana
lebih tinggi dibandingkan dengan
kandungan AH yang terdapat dalam
produk yang dijual di pasaran yaitu
hanya 0,2%.
Hasil selisih rata-rata
pengurangan diameter TU pada
kelompok X5 (ekstrak etanol teripang
emas 60%) lebih besar daripada
kelompok X6 (ekstrak etanol teripang
emas 80%), hal ini terjadi karena
dengan bertambah besarnya
konsentrasi ekstrak teripang tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa
semakin besar pula saponin (triterpen
glikosid) yang terkandung didalamnya.
SIMPULAN
Pada penelitian ini secara umum
dapat disimpulkan bahwa ekstrak
etanol teripang emas (Stichopus
hermanii) lebih efektif dibandingkan
dengan ekstrak air teripang emas
(Stichopus hermanii) dalam
penyembuhan TU di rongga mulut.
Namun, secara lebih terperinci
penelitian ini dapat disimpulkan
sebagai berikut: 1) Ekstrak air teripang
emas (Stichopus hermanii) 60% dan
80% memiliki efektivitas yang sama
dengan asam hialuronat 0,2% dalam
penyembuhan TU di rongga mulut. 2)
Ekstrak etanol teripang emas
(Stichopus hermanii) 60% dan 80%
lebih efektif dibandingkan dengan
asam hialuronat 0,2% dalam
penyembuhan TU di rongga mulut. 3)
Ekstrak etanol teripang emas
(Stichopus hermanii) 60% dan 80%
lebih efektif dibandingkan dengan
ekstrak air teripang emas (Stichopus
hermanii) 60% dan 80% dalam
penyembuhan TU di rongga mulut. 4)
Ekstrak teripang emas yang paling
efektif dalam penyembuhan TU di
rongga mulut adalah ekstrak etanol
teripang emas 60%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiani T, Sari EF, Usri K. 2005. Penerapan
Penggunaan Daun Lidah Buaya (Aloe vera)
untuk Pengobatan Stomatitis Aftosa
(Sariawan) Di Desa Ciburial Kecamatan
Cimenyan Kabupaten Bandung. Karya
Tulis Akhir, Fakultas Kedokteran Gigi:
Universitas Padjadjaran, Bandung. H. 5-1.
2. Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. 2008.
Oral Pathology Clinical Pathologic
Correlations, 5th edition. St. Louis: WB
Sauders. P. 24-21.
3. DeLong L and Burkhart N. 2008. General
and Oral Pathology for the Dental
Hygienist. Philadelphia, US: Lippincott
Williams & Wilkins. P. 297-295.
4. Lewis M and Jordan R. 2004. A Colour
Handbook of Oral Medicine. London:
Manson Publishing Ltd. P. 22
5. Usri K, Riyanti E, Dwei TS, Aripin D,
Rusminah N, Arwana AJ, Syiarudin I.
2007. Diagnosis dan Terapi Penyakit Gigi
dan Mulut. Bandung: LSKI.
6. Dunlap CL and Barker BF. 2004. A Guide
to Common Oral Lesions. Dept. of Oral
and Maxillofacial Pathology, UMKC
School of Dentistry. Available from
http://dentistry.umkc.edu/Practicing_Com
munities/asset/OralLesions.pdf. Diakses 7
April 2012.
7. Ibelgaufts H. 2002. Wound Healing
Cytokines & Cell Online Pathfinder
Encyclopedia. www.cope.egi.htm. Diakses
7 April 2012.
8. Fitzgerald R and Steinberg J. 2009.
Collagen in Wound Healing: Are We Onto
Something New or Just Repeating the Past?
Available from
http://faoj.org/2009/09/01/collagen-in-
wound-healing-are-we-onto-something-
new-or-just-repeating-the-past/. Diakses 20
April 2012.
9. Velnar, Bailey T, Smrkolj V. 2009. The
Wound Healing Process: an Overview of
the Cellular and Molecular Mechanisms.
The Journal of International Medical
Research, 37: 1542-1528.
183
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
10. Mercandetti M. 2011. Wound Healing,
Healing and Repair. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/129
8129-overview. Diakses 21 April 2012.
11. Bakkara. 2012. Pengaruh Perawatan Luka
Bersih Menggunakan Sodium Klorida
0,9% dan Povidine Iodine 10% terhadap
Penyembuhan Luka Post Appendiktomi di
RSU Kota Tanjung Pinang Kepulauan
Riau. Karya Tulis Akhir, Fakultas
Keperawatan: Universitas Sumatera Utara,
Medan.
12. Gomes JAP, Amankwah R, Powel-
Richards A, Dua HS. 2004. Sodium
Hyaluronate (Hyaluronic Acid) Promotes
Migration of Human Corneal Epithelial
Cells in Vitro. British Journal of
Ophthalmology, 88: 825-821.
13. Grandha. 2006. Fact Sheets and
Identification Guide for Commercial Sea
Cucumber Species. SPC Beche-de-mer
Information Bulletin, 24.Bordbar S, Anwar
F, Saari N. 2011. High-Value Components
and Bioactives from Sea Cucumbers for
Functional Foods - A Review. Marine
Drugs, 9: 1805-1761.
14. Rizal B. 2012. Komposisi Senyawa
Organik dan Anorganik Ekstrak Teripang
Pasir dan Teripang Emas yang Berperan
dalam Proses Pulp Healing. Karya Tulis
Akhir. Fakultas Kedokteran Gigi:
Universitas Hang Tuah, Surabaya.
15. Amalia R. 2012. Perbedaan Pengaruh
Pemberian Konsentrasi Ekstrak Teripang
Pasir (Holothuria scabra) terhadap
Penyembuhan Ulkus Traumatikus. Karya
Tulis Akhir, Fakultas Kedokteran Gigi:
Universitas Hang Tuah, Surabaya.
16. Kusumawati D, 2004. Biologi Hewan
Coba. Bersahabat Dengan Hewan Coba.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
17. Batubara I. 2003. Saponin Akar Kuning
(Arcangelisia flava (L) Merr) sebagai
Hepatoprotektor: Ekstraksi, Pemisahan,
dan Bioaktivitasnya. Tesis, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam:
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
18. Ridzwan BH, Leong TC, Idid SZ. 2003.
The Antinociceptive Effect Of Water
Exracts From Sea Cucumber Holothuria
leucospilota Brandt, Bohadscia marmorata
vitiensis Jaeger and Coelomic Fluid from
Stichopus Hermanii. Pakistan Journal Of
Biological Science, 6(24): 2072-2068.
19. Nicolazzo JA and Finnin BC. 2008. In
Vivo and In Vitro Models for Assessing
Drug Absorption Across the Buccal
Mucosa. Biotechnology: Pharmaceutical
Aspects, 7: 111-89.
20. Ali ZH and Dahmoush HM. 2012. Propolis
Versus Daktarin in Mucosal Wound
Healing. Life Science Journal, 9(2): 636-
624.
21. Arlyza I. 2009. Teripang dan Bahan
Aktifnya. Oseana, 34(1): 17-9.
22. Guo S and DiPietro LA. 2010. Factors
Affecting Wound Healing. Journal of
Dental Research, 89: 229-219.
23. Mitchell RN, Kumar V, Abbas AK, Fausto
N. 2009. Buku Saku Dasar Patologis
Penyakit. Robbins & Cotran, Edisi 7
(Pocket Companion to Robbins & Cotran
Pathologic Basis of Disease, 7th edition).
Alih bahasa Andry Hartanto. Editor Inggrid
Tania dkk. Jakarta: EGC. H. 75-57.
24. Connected Wound Care. 2011. Nutrition
for People with Wounds. Available from
http://www.grhc.org.au/component/docman
/doc_download/280-cwc-nutrition-for-
wounds-print-version?Itemid=264. Diakses
21 Juni 2012.
25. Alimohammad A, Mohammadali M,
Mahmod K, Khadijeh S. 2010. A Study of
the Effect of Magnesium Hydroxide on the
Wound Healing Process in Rats. Medical
Journal of Islamic World Academy of
Sciences, 16(4): 170-165.
26. MacKay D and Miller AL. 2003.
Nutritional Support for Wound Healing.
Alternative Medicine Review, 8(4): 377-
359.
27. Kordi MGH. 2010. Cara Gampang
Membudidayakan Teripang. Yogyakarta:
Lily Publisher.
28. Nurhidayati. 2009. Efek Protektif Teripang
Pasir (Holothuria scabra) terhadap
Hepatotoksistas yang Diinduksi Karbon
Tetraklorida (CCl4). Tesis, Fakultas
Kedokteran: Universitas Airlangga,
Surabaya.
29. Angelo G. 2012. Essential Fatty Acids and
Skin Health. Available from
http://lpi.oregonstate.edu/infocenter/skin/E
FA/index.html. Diakses 15 Juni 2012.
30. Naude L. 2010. The Practice and Science
of Wound Healing: History and Physiology
of Wound Healing. Proffesional Nursing
Today, 14(3).
31. Zou XH, Foong WC, Cao T, Bay BH,
Ouyang HW, Yip GW. 2004. Chondroitin
Sulfate in Palatal Wound Healing. The
Journal Of Dental Research, 83(11): 885-
880.
32. Trowbridge G and Gallo RL. 2002.
Dermatan Sulfate: New Functions from an
Old Glycosaminoglycan. Glycobiology,
12(9): 125-117.
33. Stringer SE. 2006. The Role of Heparan
Sulphate Proteoglycans in Angiogenesis.
184
Vol 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Biochemical Society Transactions, 34(3):
453-451.
34. Olczyk P. 2012. Komosinska-Vassev K,
Winsz-Szczotka K, Kozma EM, Wisowski
G, Stojko J, Klimek K, Olczyk K. Propolis
Modulates Vitronectin, Laminin, and
Heparan Sulfate/Heparin Expression during
Experimental Burn Healing. Journal of
Zhejiang University, 13(11): 932-41.
35. Joenoes ZN. 2002. Ars Prescribendi Jilid 3.
Surabaya: Airlangga University Press.
36. Saleh MR. 2013. Perbandingan Ekstrak
Teripang Emas (Stichopus hermanii)
dengan Pelarut Ethanol (polar) dan Hexane
(non polar) terhadap Kadar
Glikosaminoglikan dan Triterpene
Glycoside. Karya Tulis Akhir, Fakultas Kedokteran Gigi: Universitas Hang Tuah,
Surabaya. H. 3-1.
185
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Perbedaan Jumlah Osteoblas pada Pergerakan Gigi
Ortodonti yang Diberi Terapi Oksigen Hiperbarik
Selama 7 dan 10 Hari
(The Comparisson of Osteoblast Number During Orthodontic
Tooth Movement with Hyperbaric Oxygen Therapy
For 7 and 10 Days)
Fakhma Zakki Ramadhani, Arya Brahmanta*, Pambudi Rahardjo*
*Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
ABSTRACT
Background: Orthodontic force would inhibit periodontal ligament vascularization and
blood flow, causing biochemical and cellular changes as well as changes in the contour of the alveolar bone. HBO is beneficial because it stimulates the growth of new blood vessels and
result in a substantial increase in tissue oxygenation. Purpose: To determine the effects of
Hyperbaric Oxygen (HBO) 7 and 10 days in increase of osteoblastic activity on bone remodelling during orthodontic tooth movement. Materials and Methods: This study was
conducted using a post test only control group design program. Thirty-two male adult Cavia cobaya were randomly divided into four groups. Negative group (n=8), positive group (n=8),
HBO 7 days was administered in first group (n=8), and HBO 10 days was administered in
second group (n=8). The maxillary incisors were moved distally by means of elastic separator in third groups (Positive, HBO 7 and HBO 10 days). Data on the number of cells were
analyzed by One-way ANOVA and LSD statistical test. Result: The data show that the number of cells increased in all treatment groups. The highest cell counts began in the group treated
with HBO 7 days (14.571) and the group treated with HBO 10 days (18.166). However, there
is no mean between the number of osteoblasts HBO 7 days and HBO 10 days (p 0.559). Conclusion: HBO therapy 7 days effective to increase of osteoblast number on bone
remodelling during orthodontic tooth movement.
Keywords: Hyperbaric Oxygen, tooth movement, bone remodeling, osteoblast
Correspondence: Arya Brahmanta, Department of Orthodonti, Faculty of Dentistry, Hang
Tuah University, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Phone 031-5945864, 5912191, Email:
LAPORAN PENELITIAN
186
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
ABSTRAK
Latar belakang: Tekanan ortodonti akan menghambat vaskularisasi di daerah tekanan pada
ligamen periodontal dan aliran darah sehingga menyebabkan terjadinya perubahan biokimia
dan seluler serta terjadi perubahan kontur tulang alveolar. HBO bermanfaat karena merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru dan menghasilkan peningkatan yang
substansial dalam oksigenasi jaringan. Tujuan: Untuk membuktikan pengaruh terapi oksigen hiperbarik 7 dan 10 hari terhadap aktifitas osteoblas selama pergerakan gigi pada marmut
jantan. Bahan dan Metode: Penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan post test only
control group design. Tiga puluh dua marmut jantan dewasa dibagi secara acak menjadi empat kelompok. Kelompok negatif (n=8), kelompok positif (n=8), HBO 7 hari sebagai
kelompok satu (n=8), dan HBO 10 hari sebagai kelompok kedua (n=8). Gigi seri rahang atas digerakkan ke distal dengan cara pemisah elastis dalam ketiga kelompok (Positif, HBO 7 dan
HBO 10 hari). Data jumlah sel dianalisis dengan One-way ANOVA dan uji statistik LSD.
Hasil: Data menunjukkan bahwa jumlah sel meningkat pada semua kelompok perlakuan.
Jumlah sel tertinggi dimulai pada kelompok perlakuan dengan terapi HBO 7 hari (14,571)
dan kelompok perlakuan dengan terapi HBO 10 hari (18,166). Namun tidak ada perbedaan
makna jumlah osteoblas antara terapi HBO 7 hari dan terapi HBO 10 hari (p 0,559). Simpulan: Pemberian terapi HBO 7 hari secara efektif dapat meningkatkan jumlah sel
osteoblas saat pergerakan gigi ortodonti.
Kata kunci: Oksigen hiperbarik, pergerakan gigi, remodeling tulang, osteoblas
Correspondence: Arya Brahmanta, Bagian Ortodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Hang Tuah, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Telepon 031-5945864, 5912191, Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Perawatan ortodonti yang
ditujukan untuk merawat maloklusi
bertujuan agar tercapai efisiensi
fungsional, keseimbangan struktur dan
keharmonisan estetik. Perawatan
ortodonti didasarkan pada sifat
biologis jaringan tulang. Jika pada gigi
diberikan suatu kekuatan maka
kekuatan ini akan diteruskan pada
jaringan yang menyangga gigi,
sehingga akan terjadi reaksi di dalam
jaringan periodontal dan tulang
alveolar.1
Pergerakan gigi dalam ortodonti
merupakan kombinasi antara resorpsi
dan aposisi tulang pada sisi tekanan
dan tarikan. Gaya ortodonti akan
menghambat vaskularisasi ligamen
periodontal dan aliran darah sehingga
menyebabkan terjadinya perubahan
biokimia dan seluler serta terjadi
perubahan kontur tulang alveolar.2
Remodeling tulang yang terjadi selama
pergerakan gigi ortodonti adalah
proses biologis yang melibatkan
respon inflamasi akut pada jaringan
periodontal. Penelitian histologis
menunjukkan bahwa tahap pertama
resorpsi terjadi dalam 3-5 hari diikuti
dengan pemulihan dalam 5-7 hari. Hal
ini diikuti oleh tahap akhir remodeling
tulang antara 7 dan 14 hari.3
Tulang merupakan jaringan keras
yang terdiri dari tiga komponen utama,
yaitu: 1) Matriks ektraseluler, terutama
terdiri dari kolagen tipe I dan
bermacam-macam protein spesifik
tulang; 2) Mineral inorganik,
merupakan 67 % bagian dari tulang
terdiri dari kalsium dan fosfat dalam
bentuk kristal hidroksiapatit; 3) Sel,
terdiri dari osteoblas untuk ineralisasi
187
Vol. 8 No. 2 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
matriks tulang; osteosit dan osteoklas
yang merupakan sel-sel multinukleat
berasal dari prekursor haematopoetic
dalam sirkulasi yang berfungsi untuk
resorbsi tulang.4 Osteoblas juga
berperan mengaktifkan osteoklas
melewati pembentukan berbagai
sitokin dan merupakan regulator
homeostasis tulang.5
Osteoblas merupakan sel
jaringan tulang yang berperan
mensintesis kolagen untuk membentuk
osteoid sebagai bahan dasar tulang.
Pada proses remodeling, osteoblas
akan menyusun zat interseluler tulang
yang mengandung kolagen untuk
sintesis serat kolagen baru dan
membentuk osteoid.6
Oksigen merupakan salah satu
unsur yang penting dalam proses
pembentukan kalus pada remodeling
tulang. Oksigen di dalam kondisi
hiperbarik mempunyai efek untuk a)
mengurangi radikal bebas setelah
pergerakkan gigi (fase hematom)
sehingga kematian jaringan dapat
dikurangi b) menstimulasi tumbuh
kembalinya pembuluh darah yang
rusak (neovaskularisasi) c)
meningkatkan aktifitas osteoblas
dalam pembentukan tulang
(osteogenesis) d) terjadinya
vasokontriksi pembuluh darah (kecil)
pada fase inflamasi disertai tingginya
kadar oksigen jaringan, sehingga
mencegah terjadinya udem dan
pembengkakan e) memelihara
angiogenesis pada proses remodeling.7
Hyperbaric Oxygen Therapy
(HBOT) adalah suatu metode
pengobatan dengan menghirup oksigen
murni (100%) secara terus-menerus
pada tubuh dengan tekanan udara lebih
besar dari tekanan atmosfer normal.
Pengobatan oksigen hiperbarik ini
berpengaruh pada pengiriman oksigen
yang mengalami peningkatan 2 sampai
3 kali lebih besar daripada atmosfer
biasa.8
Terapi HBO mengirimkan
oksigen secara cepat dan secara
sistemik dengan konsentrasi tinggi ke
daerah yang terkena cedera. Tekanan
yang meningkat akan mengubah
proses respirasi normal dalam sel dan
menyebabkan oksigen larut dalam
plasma. Terapi HBO bermanfaat
karena merangsang pertumbuhan
pembuluh darah baru dan
menghasilkan peningkatan yang
substansial dalam oksigenasi jaringan
yang dapat menangkap beberapa jenis
infeksi, dan meningkatkan
penyembuhan luka. Sebagai terapi
adjuvant, HBOT sesuai digunakan
dalam beberapa kondisi pembedahan.
Mekanisme berikut telah diidentifikasi
berfungsi untuk meningkatkan
penyembuhan dari kondisi
pengobatan: hiperoksigenasi,
vasokonstriksi, bakteriosid atau
bakteriostatik, angiogenesis,
neovaskularisasi, dan tekanan
langsung.7
Perawatan ortodonti rata-rata
memiliki lama waktu sekitar 15-24
bulan dan berbagai cara dilakukan
untuk dapat mempercepat waktu
perawatan ortodonti.9
Pemberian terapi oksigen
hiperbarik merangsang terbentuknya
pembuluh darah baru
(neovaskularisasi), sehingga
merangsang proses remodeling dengan
meningkatnya aktifitas osteoblas. Pada
penelitian sebelumnya (terdahulu),
pemberian oksigen hiperbarik 2,4
ATA, 90 menit sehari, selama 7 hari,
selama pergerakan gigi tikus, terdapat
peningkatan trabecular bone volume
dan trabecular bone number yang
menunjukkan adanya aktifitas
osteoblas.7 Sedangkan pemberian
pemberian terapi oksigen hiperbarik
188
Vol. 8 No. 2 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
2,4 ATA dengan oksigen 100% 90
menit selama 10 hari telah terbukti
dapat meningkatkan perfusi, sehingga
hal tersebut akan sangat membantu
dalam proses penyembuhan luka.10
Berdasarkan studi pustaka atau
referensi dan penelitian terdahulu,
maka penulis tertarik untuk
mengetahui apakah terapi oksigen
hiperbarik 2,4 ATA, 90 menit sehari
selama 7 dan 10 hari memiliki
pengaruh terhadap proses remodeling
selama pergerakan gigi dengan melihat
aktifitas osteoblas sebagai bahan dasar
pembentukan tulang.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini tergolong jenis
penelitian true experimental
laboratories11 dengan desain
penelitian Post Test Only Control
Group Design. Lokasi penelitian di: 1)
Laboratorium Biokimia Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga–
Surabaya; 2) Lembaga Kesehatan
Kelautan TNI-AL Rumkital
Dr.Ramelan–Surabaya; 3)
Laboratorium Patologi Anatomi
RSUD Dr.Sutomo - Surabaya. Untuk
binatang percobaan menggunakan
marmut jantan (Cavia cobaya). Untuk
percobaan ini ditentukan kriteria yaitu
: marmut, kelamin jantan, umur 3-4
bulan, berat badan 300-400 gram,
jumlah 32 ekor.
Bahan yang digunakan adalah
oksigen murni 100 % dalam animal
chamber, separator, ketamin 10%
dosis 0,1 ml/kg BB IM, betadine
solution, kapas, sekam, makanan
marmut, aquades, kandang anyaman
kawat ukuran 17x34x34 cm, kandang
plastik ukuran 60x40x20 cm (untuk
perpindahan), spuit 2 cc, force module
separator, scalpel dan handle yang
steril, gunting bedah, gelas reaksi,
timbangan, rotary microtome,
miskroskop.
Tiga puluh dua ekor marmut
jantan (2-3 bulan) berat badan 300-400
gram dibagi menjadi 4 kelompok
(Kelompok (-) sebagai kontrol negatif,
Kelompok (+) sebagai kontrol positif,
Kelompok 1 sebagai perlakuan 1, dan
Kelompok 2 sebagai perlakuan 2),
dikandangkan tiap 8 ekor (ukuran
kandang 60x40x34 cm), diberi sekam
dan ditutup dengan anyaman kawat.
Marmut diberi makanan yang banyak
mengandung serat kasar, umbi-umbian
jagung, serta hijau-hijauan yang lain
secara adlibitum. Kandang
ditempatkan pada suhu kamar, tidak
langsung terkena sinar matahari, di
tempat yang tidak bising, penerangan
yang cukup. Diadaptasikan selama 24
jam sebelum diberikan perlakuan.
Kelompok (+), Kelompok 1 dan
Kelompok 2 dilakukan pemasangan
separator pada gigi insisif rahang atas
yang sebelumnya di anastesi umum
dengan ketamin 10% dosis 0,1ml/kg
BB IM, separator dipasang selama 7
hari.
Pada kelompok 1 dan kelompok
2 (perlakuan) setelah pemasangan
separator selama 7 hari, selanjutnya
dilakukan pemberian oksigen
hiperbarik (dalam chamber) selama 7
hari untuk kelompok 1 dan 10 hari
untuk kelompok 2 tanpa melepaskan
separator pada hewan coba. Selama
dalam chamber, marmut akan
mengalami rasa tidak nyaman akibat
perubahan tekanan udara yang dapat
mengakibatkan rasa sakit pada telinga,
cara penanggulangannya dengan
memberikan pakan/minum sehingga
ada proses penelanan yang akan
mengurangi sakit.
Setelah kelompok 1 dan
kelompok 2 dimasukkan ke animal
189
Vol. 8 No. 2 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
chamber, kemudian dilakukan
peningkatan tekanan dalam chamber
sampai 2,4 ATA, dan dialirkan
oksigen murni (100%) selama 3x30
menit, setelah itu dihentikan dan
diturunkan sampai ke kondisi semula
(1 ATA). Marmut tersebut dikeluarkan
dari chamber dan dibawa ke kandang
semula. Perlakuan tersebut dilakukan
pada hari ke-1 sampai hari ke-7 untuk
kelompok 1 dan sampai hari ke-10
untuk kelompok 2.
Pada hari ke-7 setelah pemberian
oksigen hiperbarik, Kelompok (-),
Kelompok (+) dan Kelompok 1
sebelumnya dianastesi overdosis
(Overdose of Chemical Anesthetics)
lalu didekaputasi untuk diambil
maksilanya. Sedangkan untuk
kelompok 2 dikorbankan pada hari ke-
10. Kemudian maksilanya difiksasi
dalam larutan buffered formaline dan
EDTA. Hewan coba yang telah
dilakukan dekaputasi lalu dikuburkan.
Maksila yang telah difiksasi
dalam larutan buffered formalin dan
EDTA diberikan ke Laboratorium
Patologi Anatomi RSUD Dr.Sutomo-
Surabaya dan ditunggu hingga maksila
tadi melunak yang kemudian diproses
dan dibuat preparat dengan
menggunakan pewarnaan
Hematoksilin Eosin (HE) lalu diamati
menggunakan mikroskop dan dibuat
foto, dihitung jumlah sel osteoblas
yang terlihat pada mikroskop dengan
pembesaran 400x. Satu preparat
dihitung sebanyak 3x pada lapangan
pandang yang berbeda, kemudian
dibagi 3.
Gambar 1. Sel osteoblas
HASIL
Data yang diperoleh dari hasil
penelitian ditabulasi dan dianalisis
secara deskriptif yang bertujuan untuk
memperoleh gambaran distribusi dan
peringkasan data guna memperjelas
penyajian hasil, kemudian dilakukan
uji hipotesis menggunakan statistik
analitik dengan taraf signifikansi 95%
(p=0,05) dengan menggunakan
program SPSS versi 21.
Tabel 1. Hasil uji statistik deskriptif
Kelom
pok
N Rerata ±
Standar Deviasi
K- 8 3,142 ± 1,573
K+ 8 4,833 ± 1,602
K1 8 14,571 ± 6,320
K2 8 18,166 ± 6,615
32
Gambar 2. Grafik rerata jumlah osteoblas
190
Vol. 8 No. 2 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
Hasil uji Shapiro-Wilk
menunjukkan bahwa data berdistribusi
normal dan hasil uji Levene didapatkan
nilai signifikansi 0.139, sehingga dapat
disimpulkan bahwa data hasil
penelitian homogen (p>0,05).
Hasil data diketahui memiliki
distribusi data yang normal dan
memiliki varians yang homogen. Oleh
karena itu, uji dilanjutkan dengan
menggunakan uji one way ANOVA
karena desain atau rancangan
penelitian ini menggunakan lebih dari
2 kelompok yang tidak berpasangan
dengan skala pengukuran numerik
(rasio). Uji one way ANOVA ini
digunakan untuk mengetahui adanya
perbedaan pada tiap kelompok baik
secara terpisah maupun bersama-sama.
Pada uji one way ANOVA,
diperoleh nilai p=0.000 (p<0.05) yang
artinya terdapat perbedaan yang
bermakna (signifikan). Selanjutnya,
untuk melihat perbedaan jumlah
osteoblas masing-masing kelompok
perlakuan, maka dilakukan pengujian
LSD dengan signifikansi p<0.05.
Tabel 2. Hasil uji LSD
Rerata
Kelomp
ok
K-
(3,142)
K+
(4,833)
K1
(14,571)
K2
(18,166)
K-
(3,142)
0,049* 0,000* 0,000*
K+
(4,833)
0,008* 0,003*
K1
(14,571)
0,559
K2
(18,166)
Keterangan: *ada perbedaan bermakna
Dari hasil uji LSD diatas
didapatkan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan antara jumlah
osteoblas pada K1 dibandingkan
dengan K2 (p 0,049), K1 dibandingkan
dengan K3 (p 0,000) dan K1
dibandingkan dengan K4 (p 0,000).
Pada K2 dibandingkan dengan K3 (p
0,008) dan K2 dibandingkan dengan
K4 (p 0,003). Sedangkan pada K3
dibandingkan dengan K4 tidak
mengalami perbedaan yang bermakna.
PEMBAHASAN
Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah marmut (Cavia
cobaya) sebanyak 32 ekor.
Penggunaan marmut dengan dasar
pertimbangan utama bahwa hewan
percobaan ini merupakan yang paling
mudah memegangnya dan
mengendalikannya untuk penggunaan
di laboratorium.12 Pertimbangan
lainnya dalam pemilihan marmut
karena hewan ini sangat sesuai untuk
mempelajari pergerakan gigi ortodonti.
Selain itu, marmut relatif tidak terlalu
mahal dan persiapan histologinya lebih
mudah dari hewan lainnya.13
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perbedaan jumlah
osteoblas selama pergerakan gigi yang
diberi terapi oksigen hiperbarik 7 dan
10 hari pada tulang maksila marmut.
Objek penelitian dibagi dalam 4
kelompok, yaitu kelompok (-),
kelompok kontrol negatif tanpa adanya
perlakuan; kelompok (+), kelompok
kontrol positif hanya dilakukan
pemasangan separator; kelompok 1
merupakan kelompok perlakuan
dengan pemberian terapi HBO 2,4
ATA selama 7 hari; dan kelompok 2
merupakan kelompok perlakuan
dengan pemberian terapi HBO 2,4
ATA selama 10 hari.
Variabel terapi HBO dalam
penelitian ini merujuk pada konsep
berbagai sumber dan hasil penelitian,
salah satu yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pemberian terapi
HBO yang telah dikembangkan oleh
Lakesla-RSAL Surabaya yaitu
191
Vol. 8 No. 2 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
pemberian terapi HBO 2,4 ATA 100
% O2 3x30 menit interval 5 menit
menghirup udara biasa, yang
dilakukan setiap hari selama 10 hari
berturut-turut.10
Pemberian terapi HBO secara
umum sendiri antara 90 sampai 120
menit bernafas dengan okisgen murni
pada 2,0 - 2,5 ATA untuk variabel
terapi HBO dengan pemberian selama
7 hari didasari dengan adanya bukti
eksperimental7,8,14. Berdasarkan bukti
eksperimental, telah membuktikan
bahwa dengan pemberian terapi
oksigen hiperbarik selama 7 hari pada
pergerakan gigi terdapat peningkatan
trabecular bone volume dan
trabecular bone number yang
menunjukkan adanya aktifitas
osteoblas7 dan didapatkan perbedaan
yang signifikan antara jumlah
osteoblas pada marmut yang diberi
terapi oksigen hiperbarik selama 7 hari
dibandingkan dengan marmut yang
tidak diberi terapi oksigen hiperbarik.
Jumlah osteoblas pada marmut yang
diberi terapi oksigen hiperbarik selama
7 hari lebih banyak secara signifikan
dibandingkan dengan marmut yang
tidak diberi terapi oksigen hiperbarik.8
Hal ini disebabkan oksigen merupakan
salah satu unsur yang penting dalam
proses pembentukan kalus pada
remodeling tulang dengan
meningkatkan aktifitas osteoblas
dalam pembentukan tulang
(osteogenesis).7
Hasil analisis statistik deskriptif
didapatkan bahwa hasil penelitian
yang telah dilakukan kemudian
diproses dengan uji parametrik yaitu
uji one way ANOVA dan uji beda LSD,
pada kelompok 1 (HBO 7 hari) dan
kelompok 2 (HBO 10 hari) dengan
kelompok negatif (tanpa perlakuan)
dan kelompok positif (hanya dengan
pemberian separator) menunjukkan
adanya peningkatan rerata dan hasil
signifikan terdapat perbedaan yang
bermakna. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan adanya pemberian
separator atau gaya ortodonti akan
mengakibatkan perubahan jaringan
sekitar gigi yang akan membuat gigi
bergerak dan akan timbul daerah yang
tertekan dan daerah yang tertarik.15
Daerah yang tertekan dalam waktu
singkat akan terjadi resorpsi tulang di
daerah itu, sedangkan daerah yang
berlawanan yaitu daerah tarikan, gigi
akan menjauhi dinding alveolar
sehingga mengakibatkan daerah ini
terjadi aposisi tulang. Sel yang
melakukan proses aposisi ini sendiri
adalah osteoblas.16
Proses pembentukan tulang
akibat tekanan mekanik akan terjadi
dua reaksi: pertama secara lokal yang
meliputi reaksi biological electricity,
blood flow, microfractures yang akan
menghasilkan prostaglandin, sitokin,
cyclic adenosine monophosphat
(cAMP). Reaksi yang kedua adalah
reaksi sistemik yang akan melibatkan
aktivitas hormon paratiroid, vitamin D,
dan calcitonin. Gabungan dari kedua
reaksi tersebut akan menghasilkan sel-
sel osteoblas pada sisi tarikan yang
berperan dalam proses aposisi, dan
osteoklas pada sisi tekanan yang akan
berperan dalam proses resorpsi.
Osteoklas dan osteoblas merupakan
dua tipe sel utama yang ditemukan
dalam tulang sebagai penghasil utama
dalam pergantian bahan tulang.15
Fungsi dan aktivasi osteoblas
disebabkan oleh faktor-faktor
pertumbuhan, seperti hormon
paratiroid, dan sitokin, seperti
prostaglandin E2 (PGE2)17. Hormon
paratiroid meningkatkan aliran
kalsium dan mempertahankan kadar
kalsium ekstraseluler tubuh pada
tingkat yang relatif konstan. Osteoblas
192
Vol. 8 No. 2 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
adalah satu-satunya sel-sel tulang yang
memiliki reseptor hormon paratiroid.
Hormon ini dapat menyebabkan
perubahan cytoskeletal dalam
osteoblas.18
Terapi HBO merangsang
monosit, fungsi fibroblas, sintesis
kolagen dan meningkatkan densitas
vaskular.19 Terapi HBO meningkatkan
konsentrasi lokal dari Reaktif Nitrogen
Spesies (RNS) dan Reaktif Oksigen
Spesies (ROS) yang dapat
mempengaruhi diferensiasi dan
aktivitas osteoklas dan mengatur aspek
kritis lainnya dari metabolisme tulang.
Reaktif oksigen spesies meningkatkan
ekspresi Receptor Activation NFKB
Ligand (RANKL),20 mengubah rasio
RANKL atau osteoprotegrin dan
membantu diferensiasi osteoklas.
Terapi HBO menghasilkan ROS dan
RNS juga menginduksi mobilisasi sel
induk dan vaskulogenesis, efek ini
membantu mengurangi daerah yang
sedikit vaskularisasi pada tulang dan
meningkatkan remodeling pada daerah
nekrotik.21
Beberapa radikal bebas seperti
ROS diproduksi selama pengobatan
HBO, prosedur ini dianggap aman
karena aktivitas dari beberapa radikal
bebas meningkat. Di sisi lain menurut
Ozden, tekanan pengobatan HBO tidak
pernah melebihi 3 ATA dan biasanya
tidak berlangsung lebih lama dari 90
menit. Jika pedoman keselamatan ini
tidak diikuti, radikal bebas dapat
terakumulasi dan dapat menyebabkan
keracunan oksigen dalam sistem saraf
pusat atau di paru-paru. Dampak
perlindungan dari pengobatan HBO
dapat dimediasi oleh enzim tertentu
yang bertanggung jawab untuk
peroksidasi lipid seperti superoksida
dismutase. Radikal bebas pada
jaringan akan diimbangi oleh
Superoksida Dismutase (SOD) untuk
mencegah cedera jaringan yang
merupakan sistem pertahanan
antioksidan. Pengobatan HBO dapat
menyebabkan mekanisme antioksidan
dan mengurangi stres oksidatif.22
Osteoblas berperan pada sintesis
komponen organik matriks tulang
yaitu kolagen tipe I, proteoglikan dan
glikoprotein termasuk osteonektin23.
Sel mesenchymal berdiferensiasi
menjadi osteoblas dewasa, dimana
memperlihatkan protein tulang
matriks. Osteoblas yang belum
dewasa, dengan osteopontin tingkat
tinggi, berdiferensiasi menjadi
osteoblas dewasa, dengan osteokalcin
tingkat tinggi.24,25 Akhirnya osteoblas
dewasa yang tertanam dalam matriks
tulang menjadi osteosit.26
Resorpsi dan formasi tulang
terjadi pada saat yang bersamaan.
Osteoblas baru bekerja hanya pada
tempat dimana osteoklas sudah selesai
melakukan resorpsi. Pada jalur serial
beberapa faktor dilepaskan dari tulang
yang teresorpsi atau terjadi
peningkatan lokal akibat stimuli
mekanik yang dihasilkan dari resorpsi
tulang dapat merangsang sel prekursor
proliferasi dan diferensiasi osteoblas.27
Oksigen merupakan salah satu
unsur yang penting dalam proses
pembentukan kalus pada remodeling
tulang.7 Pada perawatan ortodonti
terjadi remodeling tulang pada tulang
alveolar dan ligamen periodontal.
Remodeling tulang adalah aposisi
tulang selektif oleh osteoblas dan
resorpsi oleh osteoklas.28 Tekanan
oksigen memiliki peran sebagai
pemicu dalam remodeling tulang.
Peningkatan tekanan oksigen
menyebabkan diferensiasi seluler ke
jaringan osseus, sedangkan penurunan
hasil tekanan oksigen menyebabkan
pembentukan tulang rawan. Ada
193
Vol. 8 No. 2 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
paralelisme antara kenaikan tekanan
osteoblastik dan osteoklastik.7
Terapi HBO dapat mempercepat
diferensiasi osteoblas dan menambah
tahap awal mineralisasi dan memiliki
efek yang lebih nyata daripada
hyperoxia atau tekanan saja. Terapi
HBO meningkatkan pembentukan
nodul tulang dan aktivitas alkaline
fosfatase dalam osteoblas manusia.
alkaline fosfatase adalah protein
permukaan yang dapat ikut serta dalam
regulasi proliferasi, migrasi, dan
diferensiasi sel osteoblastik. Terapi
HBO memiliki efek lebih besar untuk
diferensiasi osteoblas dari pada
hiperoksia atau tekanan saja.29,30
Terapi oksigen hiperbarik yang
biasanya melibatkan pemberian 100
persen oksigen di atmosfer dengan
tekanan yang lebih besar dari suasana
absolut (ATA), telah diusulkan sebagai
terapi tambahan untuk meningkatkan
hasil pasien yang menderita patah
tulang, osteoradionekrosis, gangguan
osteogenesis, serta pasien dengan
tulang cangkok dan gigi implan.
Penelitian pada hewan menunjukkan
bahwa terapi oksigen hiperbarik dapat
digunakan untuk mengobati
penyembuhan fraktur atau nonunion
patah tulang.31
Terapi oksigen hiperbarik
berfungsi untuk meningkatkan
konsentrasi oksigen pada seluruh
jaringan tubuh, bahkan pada aliran
darah yang berkurang, merangsang
pertumbuhan pembuluh darah baru
untuk meningkatkan aliran darah pada
sirkulasi yang berkurang,
menyebabkan pelebaran arteri rebound
sehingga meningkatkan pelebaran
pembuluh darah.32 Pembuluh darah
sendiri memegang peranan penting
dalam pemberian oksigen dan nutrisi
serta material lain yang penting untuk
sintesis tulang disamping juga sumber
dari sel osteoblas.16
Prosedur pemberian HBO yang
dilakukan pada tekanan 2-3 ATA
dengan O2 intermitten akan mencegah
keracunan O2.33 Hal ini disebabkan
bila berada dalam ruangan bertekanan
(hyperbaric chamber) dan ditekan
sampai 2,4 ATA, maka tekanan arteri
parsial (PO2) akan meningkat 10
kalinya sehingga konsentrasi oksigen
dalam darah akan meningkat 10 kali
dari normal. Keadaan ini terjadi pada
seluruh cairan tubuh (darah, lymph,
dan cerebrospinal) akan berjalan
sangat cepat, oksigen dapat mencapai
tulang dan jaringan lunak yang rusak
yang tidak dapat dimasuki oleh sel
darah merah, dapat meningkatkan
fungsi sel darah putih, meningkatkan
pembentukan kapiler-kapiler baru
(neovaskularisari) dan pembuluh darah
perifer sehingga mengakibatkan proses
penyembuhan berjalan cepat.7
Pada terapi oksigen hiperbarik,
oksigen dalam darah diangkut dalam
bentuk larut dalam cairan plasma dan
bentuk ikatan hemoglobin dan hanya
sebagian kecil (3%) dijumpai dalam
bentuk larut. Oksigen dalam bentuk
larut ini akan menjadi sangat penting
dalam terapi ini, karena disebabkan
sifat oksigen bentuk larut lebih mudah
dikonsumsi oleh jaringan lewat difusi
langsung daripada oksigen yang terikat
hemoglobin.10 Pemberian terapi
oksigen hiperbarik sendiri dapat
melawan efek hipoksia pada jaringan
yang mengalami luka dan
meningkatkan kualitas jaringan dapat
terbentuk. Dalam lingkungan hipoksia
laju resorpsi tulang melebihi tingkat
aposisinya, dikarenakan sel
mesenchymal multipotensial dalam
sumsum gagal berdiferensiasi menjadi
osteoblas.34
194
Vol. 8 No. 2 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
Penggunaan terapi oksigen
hiperbarik selama 7 hari tidak
mengalami perbedaan yang signifikan
dibandingkan dengan yang diberi
terapi oksigen hiperbarik selama 10
hari, sehingga bisa disimpulkan bahwa
hipotesis pada penelitian ini tidak
terjawab.
Pemberian terapi HBO 10 hari
tidak ada perbedaan dengan terapi
HBO 7 hari karena terjadi respon
adaptif dari sel, dimana manfaat
fisiologis utama respon adaptif jelas
untuk melindungi atau
mempertahankan sel-sel dan
organisme dari dosis tinggi zat
beracun. Respon adaptif terinduksi
oleh stres oksidatif. Sel-sel memiliki
dua pertahanan utama, yaitu enzim
antioksidan seperti Superoxide
Dismutase (SOD), glutation
peroksidase dan katalase yang terlibat
langsung dalam mencegah kerusakan
sel oksidatif dan enzim perbaikan yang
dapat menghilangkan atau
memperbaiki makromolekul yang
rusak secara oksidatif.35
Mekanisme selular efek terapi
oksigen hiperbarik pada penyembuhan
patah tulang, penelitian yang
dilakukan Dong Wu (2007), meneliti
efek dari terapi oksigen hiperbarik
pada proliferasi dan diferensiasi
osteoblas manusia secara in vitro
dengan menggunakan unit hiperbarik
skala laboratorium. Proliferasi sel
dievaluasi setiap hari oleh WST-1
assay selama 10 hari berturut-turut.
Pada penelitiannya, hari ke-8 dan ke-
10, terapi oksigen hiperbarik dan yang
tidak di terapi oksigen hiperbarik tidak
memiliki perbedaan dalam jumlah sel
yang tercatat antara kelompok. Hal ini
menunjukkan juga bahwa tidak ada
perubahan dalam integritas membran
sel sebelum atau setelah perawatan
terapi oksigen hiperbarik pada
kelompok perlakuan 8 dan 10 hari.31
Peneltian ini dilakukan pada
hewan coba, akan tetapi diharapkan
dapat dijadikan pertimbangan sebagai
terapi alternatif pada perawatan
ortodonti untuk mempercepat proses
remodeling tulang, setelah lebih
dahulu dilakukan pada manusia.8
SIMPULAN
Pemberian terapi oksigen
hiperbarik 2,4 ATA selama 7 hari dan
10 hari lebih efektif dibandingkan
dengan yang tidak diberi terapi
oksigen hiperbarik dilihat dari adanya
peningkatan jumlah osteoblas.
Sedangkan pemberian terapi oksigen
hiperbarik 2,4 ATA selama 10 hari
menunjukkan adanya peningkatan
jumlah osteoblas dibandingkan dengan
yang diberi terapi oksigen hiperbarik
selama 7 hari, akan tetapi tidak
mengalami perbedaan yang cukup
signifikan. Oleh karena itu, pemberian
terapi oksigen hiperbarik selama 7 hari
efektif dalam meningkatkan
vaskularisasi dalam jaringan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Proffit WR. 2007. Contemporary
Orthodontics, 4th ed. London: C.V Mosby
Company. P. 167-9.
2. Khrisnan V, Davidovitch Z. 2006. Cellular,
Molecular and Tissue-level Reaction to
Orthodontic Force. Am J Orthod
Dentofacial Orthop, 129: 469e. 32-1.
3. Husin E, Tjandrawinata R, Juliani M,
Roeslan BO. 2012. Orthodontic Force
Application in Correlation with Salivary
LactateDehydrogenase Activity. Journal of
Dentistry Indonesia 2012, 19(1): 13-10.
4. Cobourne MT, DiBiase AT. 2010.
Handbook of Orthodontics. Edinburg:
Mosby Elsevier. P. 107-12.
195
Vol. 8 No. 2 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
5. Rahardjo P. 2009. Ortodonti Dasar.
Surabaya: Airlangga University Press. H.
153-144.
6. Trenggono BS. 2009. Pengaruh
Penambahan Puder Dentin Sapi Pada
Media Kultur Sel Terhadap Pertumbuhan
Osteoblast Kranium Kelinci. FKG Trisakti.
Jakarta. P. 3-1.
7. Gokce S. 2008. Effects of Hyperbaric
Oxygen during Experimental Tooth
Movement. The Angle Orthodontist, 78(2)
8. Sutomo S, Rahardjo P, Sjafei A. 2012. Efek
Pemberian Oksigen Hiperbarik Terhadap
Peningkatan Osteoblast Pada Proses
Remodeling Selama Pergerakan Gigi Pada
Marmut Jantan. Orthodontic Dent J, (3):
32-22.
9. Kusumadewy W. 2012. Perbandingan
Kadar Interleukin-1β (IL-1 β) Dalam
Cairan Krevikular Gingiva Anterior
Mandibula Pasien Pada Tahap Awal
Perawatan Ortodonti Menggunakan Braket
Self-Ligating Pasif Dengan Braket
Konvensional Pre-Adjusted MBT. Tesis,
Universitas Indonesia, Jakarta.
10. Huda N. 2010. Pengaruh Hiperbarik
Oksigen (HBO) Terhadap Perfusi Perifer
Luka Gangren Pada Penderita DM Di
RSAL Dr. Ramelan Surabaya. Tesis,
Universitas Indonesia : Depok Khosla S.
Minireview : The OPG/RANKL/RANK
system. Endocrinology, 5050, 142.
11. Sudibyo. 2009. Metodologi Penelitian
Aplikasi Penelitian Bidang Kesehatan edisi
2. Universitas Negeri Surabaya: Surabaya,
University Press. H. 105.
12. Suryanto BR. 2012. Pemeliharaan Dan
Penggunaan Marmut Seabagai Hewan
Percobaan. Yogyakarta, Buletin
Laboratorium Veteriner, 12,(3).
13. Domenico DM, D’apuzzo F, Feola A, Cito
L, Monsurro A, Pierantoni GM, Berrino L,
Rosa AD, Polimeni A, Ferillo L. 2012.
Cytokines And VEGF Induction In
Orthodontic Movement In Animal Model. J
Biomedicine and Biotechnology, Vol 2012.
14. Dirckx JH. 2009. Hyperbaric Oxygen
Therapy. published by Health Professions
Institute.
15. Graber TM, Vanarsdall. 2000. Orthodontics
Current Principal and Techniques 2nd ed.
London : C.V Mosby Company
16. Iman P. 2008. Buku Ajar Ortodonsia II
Kgo II. Yogyakarta : Universitas Gadjah
Mada.
17. Sosroseno W, Sugiatno E. 2008. Cyclic-
AMP-Dependent Proliferation of a Human
Osteoblast Cell Line (HOS Cells) Induced
by Hydroxyapatite: Effect Of Exogenous
Nitric Oxide. ACTA BIOMED, 79: 116-
110.
18. Kalfas IH. 2001. Principles of Bone
Healing. Neurosurg. Focus, Volume 10.
19. Annane D, Depondt J, Aubert P, Villart M,
Gehanno P, Gajdos P, Chevret S. 2004.
Hyperbaric Oxygen Therapy for
Radionecrosis of the Jaw: A Randomized,
Placebo-Controlled, Double-Blind Trial
From the ORN96 Study Group. J Clin
Oncol, 22: 4900-4893.
20. Bai XC, Lu D, Liu AL, Ratisoontorn C.
2005. Reactive Oxygen Species Stimulates
Receptor Activator of NF-Kappa B Ligand
Expression in Osteoblast. J Biol Chem,
280: 17497.
21. Khosla S. 2001. Minireview : The
OPG/RANKL/RANK system.
Endocrinology, 142: 5050.
22. Ozden TA, Uzun H, Bohloli M, Toklu AS,
Paksoy M, Simsek G, Durak H, Issever H,
Ipek T. 2004. The Effects of Hyperbaric
Oxygen Treatment on Oxidant and
Antioxidants Levels During Liver
Regeneration in Rats. Tohoku J. Exp. Med.
P. 253-265, 203.
23. Hill PA. 1998. Bone Remodelling. British
Journal of Orthod, 25: 107–101.
24. Mescher AL. 2012. Histologi Dasar
Junqueira Edisi 12. Jakarta : EGC. H. 135-
118.
25. Karsenty G. 1999. The genetic
transformation of bone biology. Genes
Devel, 13: 3051-3037. Avalaible from
www.genesdev.cshlp.org. Diakses tanggal
2 Februari 2014.
26. Phan TC, Zheng MH. 2004. Intraction
Betwen Osteoblast and Osteoclast :Impact
In Bone Disease. Histol Histopathol. P.
1325-44,19.
27. Liu W, Toyosawa S, Furuichi T, Kanatani
N, Yoshida C, Liu Y, Himeno M, Narai S,
Yamaguchi A, Komori T. 2001.
Overexpression of Cbfa1 in osteoblasts
inhibits osteoblast maturation and causes
osteopenia with multiple fractures. J Cell
Biol. P. 157–166,155.
28. Brahmanta A, Prameswari N. 2009.
Fisiologi Resorpsi Tulang Pada Pergerakan
Gigi Ortodontik. DENTA Jurnal
Kedokteran Gigi FKG-UHT, 4(1).
29. Bishara SE. 2001. Textbook of
Orthodontic. Saunders Philadelpia. P. 330-
324.
30. Salim A, Nacamuli RP, Morgan EF,
Giaccia AJ, Longaker MT. 2004. Transient
Changes in Oxygen Tension Inhibit
Osteogenic Differentiation And Runx2
Expression in Osteoblasts. J Biol Chem,
279: 40007-16.
196
Vol. 8 No. 2 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
31. Fogelman I. 2012. Radionuclide and
Hybrid Bone Imaging. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg. P. 55-29.
32. Wu D, Malda J, Crawford RW, Xiao Y.
2007. Effects of Hyperbaric Oxygen on
Proliferation and Differentiation of
Osteoblasts Derived From Human Alveolar
Bone. Connective Tissue Research 48(4):
213-206.
33. Sucahyo B. 2005. Peranan Terapi Oksigen
Hiperbarik Pada Perkembangan
Penanganan Kasus-kasus Kedokteran Gigi.
Majalah Kedokteran Gigi edisi Khusus
Temu Ilmiah Nasional IV 11-13 Agustus.
34. Mathieu D. 2006. Handbook on Hyperbaric
Medicine. The Netherlands : Springer.
35. Cooney, Norma L, Parks S. 2012. Pro
Argument Avascular Necrosis HBO
Indications List. Available from
http://c.ymcdn.com/sites/membership.uhms
.org/resource/resmgr/ne11_pdf/cooney.pdf.
Diakses 1 Januari 2014.
36. Crawford DR, Davies KJA. 1994. Adaptive
Response and Oxidative Stress. Environ
Health Perspect 102(Suppl 10): 25-28.
Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/
PMC1567003. Diakses 20 Januari 2014.
197
Vol. 8 No. 2 Februari 2014 ISSN : 1907-5987
Potensi Anti jamur Ekstrak Bunga Kembang Sepatu
Terhadap Candida albicans
(Antifungal potentiality of Hibiscus rosa-sinensis, L. flower
extract against Candida albicans)
Krista Devi P. Ivan, Ira Arundina*, Istiati**
*Oral Biology Faculty of Dentistry Airlangga University
**Oral Patology and maxillofacial Faculty of Dentistry AirlanggaUniversity
ABSTRACT
Background: C. albicans can cause health problems in the oral cavity tissue. Therefore
require antifungal treatment. However, treatment with antifungal drug has side effects.
Hibiscus rosa-sinensis L. flower contain cyanidin and quercetin that have been reported to have antifungal activity against various fungal pathogens. By the study that have been done,
the concentration of 40% was not give significant result. So in this study was the concentration increased to 100%, 87.5%, 75%, 62.5%, 50%, for significant result. Purpose:
The aim of this study was to know the antifungal potentiality of Hibiscus rosa-sinensis L.
flower extract with a concentration of 100%, 87.5%, 75%, 62.5%, 50% against C. albicans. Materials and Methods: For each 25 grams of powdered dried flowers that have been placed
in 100 ml of methanol to get pure extract evapourator without solvent. This research using
multiple depletion to get a concentration of 50%, 62.5%, 75%, 87.5%, 100%. To ensure the growth of C. albicans, is done by culturing on Sabouraud Dextrose Agar medium. Result:
There were significant difference between positive control and a concentration of 50%, 62.5%. Conclusion: There are differences inhibitory effect of Hibiscus rosa-sinensis L. flower
extract against C. albicans and MIC at 75%.
Keywords: Hibiscus rosa-sinensis L., Candida albicans, antifungal
Correspondence: Ira Arundina, Department of Oral Biology, Faculty of Dentistry, Airlangga
University, Mayjend Prof Dr Moestopo No. 47, Surabaya, Phone 031-5030255, Email:
LAPORAN PENELITIAN
198
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
ABSTRAK
Latar Belakang: C. albicans dapat menyebabkan masalah kesehatan pada jaringan rongga
mulut dan memerlukan pengobatan dengan antijamur. Namun, pengobatan dengan obat
antijamur memiliki efek samping. Bunga kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) berisi cyanidin dan quercetin yang memiliki aktivitas antijamur terhadap berbagai jamur
patogen.Pada penelitian sebelumnya, konsentrasi 40% tidak memberikan hasil yang signifikan. Sehingga, penelitian ini harus dilakukan peningkatan konsentrasi 100%, 87,5%,
75%, 62,5%, 50%, diharapkan mendapatkan hasil yang signifikan. Tujuan: Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi antijamur dari ekstrak bunga kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) dengan konsentrasi 100%, 87,5%, 75%, 62,5%, 50% terhadap C.
albicans. Bahan dan Metode. Sebanyak 25 gram bubuk bunga kering direndam dalam100 ml metanol lalu di evaporator untuk mendapatkan ekstrak murni tanpa pelarut. Penelitian ini
menggunakan beberapa konsentrasi 50%, 62,5%, 75%, 87,5%, 100%. Untuk memastikan
pertumbuhan C. albicans, dilakukan dengan pembiakan pada media Sabouraud Dextrose
Agar. Hasil: Ada perbedaan yang signifikan antara kontrol positif dan konsentrasi 50%,
62,5%. Simpulan. Ada perbedaan efek penghambatan ekstrak bunga kembang sepatu
(Hibiscus rosa-sinensis L.) terhadap C. Albicans dan Konsentrasi Hambat Minimal (MIC) pada 75%.
Kata kunci: Hibiscus rosa-sinensis L., Candida albicans, antijamur
Korespondensi: Ira Arundina, Bagian Biologi Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga, Mayjend Prof Dr Moestopo No. 47, Surabaya, Telepon 031-5030255, Email:
PENDAHULUAN
C. albicans pada rongga mulut
dapat menyebabkan masalah kesehatan
pada jaringan rongga mulut. Tidak
sedikit yang terjadi dan membutuhkan
perawatan dengan antifungal.1
Amphotericin B merupakan obat
berspektrum luas yang sudah lama
digunakan dan salah satu dari beberapa
obat yang benar-benar membunuh sel
jamur, tetapi dapat menyebabkan
nefrotoksisitas pada pasien.2
Antifungal azole, seperti fluconazole,
merupakan obat yang biasa digunakan
untuk profilaksis dan pengobatan
candidiasis karena terbukti memiliki
aktivitas antifungal yang kuat dengan
menghambat sel jamur, juga toksisitas
yang lebih kecil dibandingkan
antifungal lain. Namun, terapi dengan
fluconazole memiliki efek samping
serta masih dapat menyebabkan
kekambuhan infeksi dan
perkembangan resistensi obat.2, 3
Bagian bunga kembang sepatu
mengandung cyanidin yang termasuk
dalam golongan anthocyanin dan
quercetin yang merupakan flavonoid.
Cyanidin merupakan anthocyanin
yang terdapat dalam konsentrasi paling
banyak pada kembang sepatu.4
Cyanidin dan quercetin telah
dilaporkan memiliki aktivitas
antifungal terhadap berbagai jamur
patogen karena memiliki kemampuan
untuk menghambat spora patogen, dan
diusulkan untuk digunakan sebagai
pengobatan jamur pathogen.5
Penelitian terbaru oleh Hena
(2010) menyatakan bahwa bagian
bunga dari tanaman kembang sepatu
memiliki efek antibakterial terhadap
Staphylococcus aureus, Bacillus
199
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
subtillis, dan Escherichia coli. Ekstrak
bunga sepatu dalam pelarut metanol
dengan konsentrasi 40% dibuktikan
memiliki aktivitas antibakterial6. Pada
penelitian pendahuluan yang dilakukan
oleh Hena terhadap C. albicans,
ekstrak bunga kembang sepatu dengan
konsentrasi 40%, 20%, 10%, 5%,
2.5%, 1.25%, 0.625%, 0.3125% tidak
memberikan hasil yang bermakna.
Dibandingkan bakteri, C. albicans
memiliki 2 cara berkembang biak
bergantung pada responnya terhadap
lingkungan, yaitu reproduksi dengan
tunas atau dengan membentuk hifa.
Hal ini merupakan salah satu yang
menyebabkan sel C. albicans lebih
tahan terhadap efek antifungal ekstrak
bunga kembang sepatu.7 Berdasarkan
penelitian pendahuluan tersebut,
selanjutnya dengan menggunakan
ekstrak bunga kembang sepatu dengan
konsentrasi 100%, 87.5%, 75%,
62.5%, 50% diharapkan dapat
memberikan hasil yang bermakna.
Untuk menghambat kolonisasi
C. albicans dan mengatasi masalah
resistensi obat antifungal, peneliti
ingin mengadakan penelitian tentang
daya antifungal bunga tanaman
kembang sepatu terhadap pertumbuhan
koloni C. albicans.
BAHAN DAN METODE
Bagian kembang sepatu yang
digunakan merupakan seluruh bagian
bunga, yaitu kelopak bunga beserta
putik dan benang sari. Bunga kembang
sepatu didapatkan dari Perkebunan
Trawas dan telah mendapatkan
sertifikasi dari Kebun Raya Purwodadi
sebagai spesies Hibiscus rosa-sinensis,
L.
Bagian bunga dipisahkan dari
badan utama tumbuhan dan
dibersihkan dengan air suling.
Dikeringkan dengan diangin-anginkan
tanpa terkena sinar matahari langsung
dan dihomogenisasi dengan cara
digiling atau ditumbuk menjadi bubuk
halus kemudian disimpan dalam botol
kedap udara.6
Untuk pembuatan dalam pelarut
organik (metanol), dari tiap 25 gram
bubuk bunga yang telah dikeringkan
ditempatkan dalam 100 ml metanol
dan disimpan dalam rotary shaker
pada 190-220 rpm selama 24 jam
kemudian diistirahatkan selama 5 jam
untuk mengendapkan material
tanaman.6,8,9 Hasilnya kemudian
disaring dan disentrifugasi pada
kecepatan 5000 rpm selama 15 menit.
Supernatan diambil dan pelarut
diuapkan pada suhu 45ºC dalam
vacuum evapourator hingga
didapatkan ekstrak murni tanpa
pelarut.6
Siapkan 12 tabung reaksi steril
yang akan digunakan untuk
mendapatkan konsentrasi yang
diinginkan melalui penipisan
berganda. Beri bahan ekstrak sebanyak
6 ml pada tabung pertama sehingga
didapatkan konsentrasi 100%, beri
tanda tabung dengan nomer 1.
Selanjutnya, ambil 3 ml dari tabung
reaksi pertama kemudian masukkan ke
dalam tabung reaksi kedua yang sudah
diisi dengan 3 ml media Sabouraud
Dextrose Broth sehingga didapatkan
konsentrasi 50%. Kemudian, ambil 3
ml dari tabung reaksi kedua kemudian
masukkan ke dalam tabung reaksi
ketiga yang sudah diisi dengan 3 ml
media Sabouraud Dextrose Broth
sehingga didapatkan konsentrasi 25%.
Untuk konsentrasi 12.5%, ambil 3 ml
dari tabung reaksi ketiga kemudian
masukkan ke dalam tabung reaksi
keempat yang sudah diisi dengan 3 ml
media Sabouraud Dextrose Broth.
200
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Ambil 3 ml dari tabung reaksi keempat
dengan konsentrasi 12.5% kemudian
masukkan ke dalam tabung reaksi
kelima. Masukkan isi tabung reaksi
ketiga dengan konsentrasi 25% ke
dalam tabung reaksi kedua dengan
konsentrasi 50% sehingga didapatkan
konsentrasi 75% sebanyak 6 ml.
Ambil 3 ml dari tabung reaksi kedua,
masukkan ke dalam tabung reaksi
keempat dengan konsentrasi 12.5%
sehingga didapatkan konsentrasi
87.5%, beri tanda tabung dengan
nomer 2. Terakhir, ambil 3 ml dari
tabung tersebut dan dibuang. Beri
tanda tabung reaksi kedua dengan
konsentrasi 75% sebanyak 3 ml
dengan nomer 3. Ulangi langkah-
langkah tersebut sehingga didapatkan
tabung reaksi keenam dengan
konsentrasi 100%, tabung reaksi
ketujuh dengan konsentrasi 50%, dan
tabung reaksi kedelapan dengan
konsentrasi 25% dan tabung reaksi
kesembilan dengan konsentrasi 12.5%.
Masukkan isi tabung reaksi kedelapan
ke dalam tabung reaksi keenam
sehingga didapatkan konsentrasi
62.5% kemudian ambil 3 ml dan
dibuang, beri tanda tabung tersebut
dengan nomer 4. Masukkan 3 ml
media Sabouraud Dextrose Broth pada
tabung reaksi keenam dengan
konsentrasi 100% sehingga didapatkan
konsentrasi 50% kemudian ambil 3 ml
dan dibuang, beri tanda tabung
tersebut dengan nomer 5. Tabung
reaksi dengan tanda nomer 6 dan 7
hanya berisi media Sabouraud
Dextrose Broth.
Setelah semua tabung reaksi
yang akan digunakan selesai
disiapkan, masukkan C. albicans dari
kultur murni sebanyak 0.3 ml, standar
Mc Farland 0.5 ke dalam tabung
nomer 1 hingga 6. Tabung nomer 6
merupakan kontrol positif yang hanya
berisi C. albicans dan media
Sabouraud Dextrose Broth, sedangkan
tabung nomer 7 hanya berisi media
Sabouraud Dextrose Broth merupakan
kontrol negatif. Inkubasikan ketujuh
tabung reaksi tersebut dalam inkubator
selama 24 jam pada suhu 37ºC.10
Setelah itu, lakukan pemeriksaan
pada tabung mana mulai terlihat ada
pertumbuhan fungi. Dapat dilihat
dengan ada atau tidaknya kekeruhan
pada tabung reaksi. Konsentrasi
Hambat Minimal (MIC) ekstrak bunga
Hibiscus rosa-sinensis L. terhadap C.
albicans adalah pada tabung dengan
konsentrasi tertinggi yang terdapat
pertumbuhan C. albicans. Untuk
memastikan adanya pertumbuhan C.
albicans, dilakukan pembiakan dengan
cara streaked pada Sabouraud
Dextrose Agar. Streaked dilakukan
pada media Sabouraud Dextrose Agar
dalam cawan petri dengan mengambil
kultur menggunakan oese dari masing-
masing tabung reaksi. Kemudian
diinkubasikan selama 24 jam pada
suhu 37°C. Bila ternyata didapatkan
pertumbuhan koloni C. albicans, dapat
dipastikan dalam tabung reaksi juga
terdapat pertumbuhan C. albicans.
Selanjutnya, dapat dilakukan
spreading sebanyak 0.1 ml pada
masing-masing cawan petri untuk
penghitungan koloni dengan
diinkubasikan selama 48 jam pada
suhu 37°C.10
HASIL
Dapat dilihat pada grafik 1 rata-
rata jumlah pertumbuhan koloni C.
albicans dari tiap kelompok perlakuan.
Kelompok kontrol memiliki rata-rata
jumlah pertumbuhan koloni sebanyak
90. Kelompok konsentrasi 50%, dan
62.5% masing-masing memiliki rata-
rata 23.7143 dan 7.1429. Kelompok
201
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
konsentrasi 75%, 87.5%, dan 100%
tidak terdapat pertumbuhan.
Grafik 1. Rata-rata jumlah pertumbuhan
koloni C. albicans pada kontrol positif,
konsentrasi 50%, 62.5%, 75%, 87.5%, dan
100%.
Gambar 1. Spreading untuk penghitungan
koloni pada masing-masing cawan petri
untuk kontrol positif dan negatif
Gambar 2. Spreading untuk penghitungan
koloni pada masing-masing cawan petri
untuk tabung yang berisi bahan ekstrak
bunga kembang sepatu (Hibiscus rosa-
sinensis L.) dengan konsentrasi no. 1=100%,
no. 2=87.5%, no. 3=75%, no. 4=62.5%, no.
5=50%.
Dari 7 kali replikasi dengan
menggunakan metode dan bahan yang sama
yang telah dilakukan pada penelitian ini,
dapat dilihat hasilnya pada gambar 1 bahwa
pada konsentrasi 100%, 87.5%, dan 75%
sama sekali tidak didapatkan pertumbuhan
koloni C. albicans, sedangkan pada
konsentrasi 62.5% dan 50% didapatkan
pertumbuhan koloni C. albicans dengan
jumlah koloni yang bervariasi. Hal ini
menunjukkan bahwa Konsentrasi
Hambat Minimal (MIC) ekstrak bunga
Hibiscus rosa-sinensis, L. terhadap C.
albicans adalah pada konsentrasi
62.5%.
Data yang diperoleh dari
penelitian ini kemudian dilakukan uji
normalitas yang hasilnya setiap
kelompok berdistribusi normal,
dengan p>α = 0.05. Kemudian
dilanjutkan dengan uji homogenitas
dari ketujuh sampel penelitian, yang
didapatkan p=0.341 > α=0.05, berarti
data tersebut homogen. Untuk
menentukan ada tidaknya perbedaan
bermakna antara kelompok sampel,
dilakukan uji statistik ANOVA satu
arah, dengan derajat kemaknaan
α=0.05, yang hasilnya dapat dilihat
pada tabel 3.
Hasil uji statistik ANOVA satu
arah yaitu p=0.000 < α=0.05,
menunjukkan bahwa ada perbedaan
bermakna pada pertumbuhan koloni
antara C. albicans yang dibiakkan
sebagai kontrol positif dengan C.
albicans yang dibiakkan pada ekstrak
bunga kembang sepatu (Hibiscus rosa-
sinensis, L.) dengan konsentrasi 62.5%
dan 50%.
Untuk menentukan perbedaan
antara kelompok konsentrasi,
selanjutnya dilakukan uji HSD dengan
derajat kemaknaan α=0.05. Terdapat
perbedaan yang signifikan antar
kelompok jika nilai signifikansi
<α=0.05. Hasilnya diketahui bahwa
pertumbuhan C. albicans antara
0
50
100
Rata-rata jumlah koloni
Rata
-rata
juml
ah
kolo
ni
202
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
kontrol positif dibanding ekstrak
bunga kembang sepatu (Hibiscus rosa-
sinensis, L.) dengan konsentrasi 50%
dan 62.5% terdapat perbedaan
bermakna. Ekstrak bunga kembang
sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.)
dengan konsentrasi 50% dibanding
kontrol positif dan konsentrasi 62.5%
ada perbedaan bermakna, demikian
juga ekstrak bunga kembang sepatu
(Hibiscus rosa-sinensis L.) dengan
konsentrasi 62.5% dibanding kontrol
positif dan konsentrasi 50% ada
perbedaan bermakna.
Ekstrak bunga kembang sepatu
(Hibiscus rosa-sinensis L.) dengan
konsentrasi 75%, 87.5%, dan 100%
dibanding kontrol positif ada
perbedaan bermakna.
PEMBAHASAN
Penelitian sebelumnya oleh
Hena (2010) menyatakan bahwa
ekstrak bunga tanaman kembang
sepatu dengan konsentrasi 40 mg/0.1
ml (40%) memiliki efek antibakterial
terhadap Staphylococcus aureus,
Bacillus subtillis, dan Escherichia coli.
Namun, pada trial yang dilakukan
penulis, konsentrasi 40% tidak
memberikan hasil yang bermakna
sehingga selanjutnya dilakukan
penelitian dengan meningkatkan
konsentrasi ekstrak bunga kembang
sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.)
mulai 50%, 62.5%, 75%, 82.5%
hingga 100% dengan penipisan
berganda.
Hasil yang berbeda ini
kemungkinan disebabkan oleh adanya
perbedaan antara bakteri dan jamur,
yaitu perbedaan struktural, morfologi,
dan spesies, perbedaan dinding sel,
serta cara berkembang biak.
Berdasarkan perbedaan struktural dan
morfologi, bakteri merupakan
prokariota. Genom dan kromosom
bakteri adalah tunggal, molekul
sirkularnya terdiri dari DNA double-
stranded, dan membran nuklear lebih
kecil, sedangkan jamur tergolong
eukariota, lebih mirip dengan sel pada
tubuh manusia, dengan beberapa
kromosom yang dikelilingi membran
nuclear.11 Membran plasma pada sel
jamur juga mengandung sterol yang
sering ditemukan sebagai pertahanan
pada kebocoran membran namun tidak
terdapat pada sel bakteri.12 Pada
penelitian oleh Hena (2010),
konsentrasi 40 mg/0.1 ml (40%)
memiliki efek antibakterial terhadap
Staphylococcus aureus, Bacillus
subtillis, dan Escherichia coli. Namun
hasilnya tidak bermakna pada
Pseudomonas aeruginosa meskipun
berasal dari kingdom yang sama. Jadi,
kemampuan antifungal ekstrak bunga
kembang sepatu (Hibiscus rosa-
sinensis L.) juga bergantung dari
macam spesies. Berdasarkan
perbedaan dinding sel, dinding sel
jamur merupakan organel sel yang
canggih. Dinding sel jamur berfungsi
untuk memberikan pertahanan secara
osmotik dan fisik, serta bersama-sama
dengan membran plasma, berfungsi
mempengaruhi dan meregulasi
masuknya material ke dalam sel.
Dinding sel jamur merupakan struktur
dinamis yang bermetabolisme secara
aktif dan komponen-komponennya
saling berinteraksi untuk
menyesuaikan dengan fungsi yang
dibutuhkan pada waktu tertentu,
misalnya permeabilitas yang selektif.
Sedangkan dinding sel bakteri di
bagian luar membran sitoplasmik
terstruktur berlapis-lapis namun
berpori dan permeabel terhadap
substansi dengan berat molekul rendah
203
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
dan tidak memiliki kemampuan
permeabilitas yang selektif.11, 13, 14, 15
C. albicans berkembang biak
dengan 2 cara, yaitu tunas sejati atau
membentuk hifa. Pembentukan hifa
terjadi karena respon in-vitro terhadap
lingkungan, seperti perubahan pH atau
suhu. Kemampuan untuk berganti cara
berkembang biak tersebut
meningkatkan kemampuan adaptasi C.
albicans sehingga lebih memiliki
ketahanan terhadap agen
antimikrobial.7,16 Ketiga faktor
tersebut kemungkinan dapat
mempengaruhi efek antifungal ekstrak
bunga kembang sepatu (Hibiscus rosa-
sinensis L.) terhadap pertumbuhan C.
albicans.
Ekstrak bunga kembang sepatu
(Hibiscus rosa-sinensis L.) yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
crude extract, namun terdapat 2
kandungan utama dalam bunga
kembang sepatu yang dapat bekerja
maksimal dalam menghambat aktivitas
antifungal, yaitu anthocyanin berupa
cyanidin dan flavonoid berupa
quercetin.4 Kedua kandungan tersebut
menghambat pertumbuhan koloni C.
albicans dengan 2 mekanisme yang
berbeda. Cyanidin merusak dinding sel
C. albicans dengan menghambat
enzim β(1, 3)-ᴅ-glucan synthase
sehingga sintesis β(1, 3)-glucan
terblokir. Pada komponen β(1, 3)-
glucan terdapat gen FKS1 dan FKS2
yang berfungsi untuk mengontrol
aktivitas enzim yang berguna untuk
viabilitas sel, serta gen RHO1 yang
menginstruksikan pembuatan protein
Rhodopsin untuk mekanisme regulasi
yang memungkinkan sel C. albicans
mampu bertahan terhadap perubahan
lingkungan. Penurunan atau tidak
adanya salah satu komponen utama
dinding sel, yaitu β(1, 3)-glucan,
seringkali menyebabkan pertumbuhan
sel C. albicans terpengaruh. Hal
tersebut dapat menimbulkan
ketidakutuhan seluler dinding sel C.
albicans baik secara struktural maupun
morfologi. Pada akhirnya terjadi lisis
osmotik sel C. albicans dan kematian
organisme karena sel kehilangan
kemampuan untuk meregulasi.17, 18, 19,
20
Kandungan flavonoid termasuk
quercetin dapat digunakan untuk
mencegah penyakit kardiovaskuler dan
membantu regenerasi sel pada tubuh
manusia.21 Pada penelitian ini,
flavonoid yang berupa quercetin dapat
digunakan untuk menghambat
pertumbuhan C. albicans dengan
sasaran 14α-demethylase pada jalur
biosintesis ergosterol2,5,22. Quercetin
melekat langsung pada ergosterol dan
membentuk channel ion
transmembran. Channel tersebut
menyebabkan peningkatan
permeabilitas membran yang
kemudian menyebabkan kebocoran
kandungan intraseluler, termasuk
kalium.19,23 Sasaran lainnya yaitu
enzim sitokrom P450 (CYP)-
dependent lanosterol 14α-demethylase,
produk gen ERG11 pada C. albicans
yang mengkatalisa prekursor
ergosterol. Penghambatan enzim
sitokrom P450 (CYP)-dependent
lanosterol 14α-demethylase
menyebabkan akumulasi prekursor
sterol dan penipisan ergosterol pada
membran plasma sterol. Padahal
diketahui bahwa membran plasma
sterol merupakan salah satu komponen
utama sel C. albicans yang berfungsi
sebagai pertahanan terhadap
kebocoran membran. Hasilnya terjadi
pembentukan membran plasma dengan
ketidakutuhan struktural dan
fungsional sehingga terjadi perubahan
fungsi membran plasma C. albicans
204
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
dan mengakibatkan pertumbuhan
koloni terhambat.3,22
Dari gambar 1 dapat dilihat
bahwa tidak ada pertumbuhan C.
albicans pada media dengan
konsentrasi ekstrak bunga kembang
sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.)
100%, 87.5%, dan 75%. Hal ini
membuktikan bahwa ekstrak bunga
kembang sepatu (Hibiscus rosa-
sinensis L.) memiliki daya antifungal
terhadap C. albicans. Sedangkan untuk
konsentrasi 62.5% dan 50% masih
didapatkan pertumbuhan koloni C.
albicans. Namun jumlah koloni yang
tumbuh bila dibandingkan dengan
kontrol positif, terdapat perbedaan
bermakna. Oleh karena itu, dapat
diketahui bahwa terdapat perbedaan
daya antifungal antara ekstrak bunga
kembang sepatu (Hibiscus rosa-
sinensis L.) sesuai dengan
konsentrasinya. Semakin tinggi
konsentrasi ekstrak bunga kembang
sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.),
jumlah koloni C. albicans yang
tumbuh semakin sedikit bahkan tidak
ada. Dalam penelitian ini, konsentrasi
yang mulai dapat menurunkan
pertumbuhan C. albicans adalah 50%.
Sedangkan, Konsentrasi Hambat
Minimal (MIC) ekstrak bunga
Hibiscus rosa-sinensis L. terhadap C.
albicans yaitu konsentrasi tertinggi
yang terdapat pertumbuhan C.
albicans adalah pada konsentrasi
62.5%. Hal ini berkaitan dengan
jumlah kandungan cyanidin dan
quercetin dalam kembang sepatu,
semakin besar konsentrasi ekstrak
maka semakin banyak kandungan
cyanidin dan quercetin dalam ekstrak,
yang mana merupakan kandungan
aktif antifungal dalam bunga kembang
sepatu yang utama.
Hasil penelitian daya hambat
ekstrak bunga kembang sepatu
(Hibiscus rosa-sinensis L.) terhadap
pertumbuhan C. albicans
menunjukkan bahwa ekstrak bunga
kembang sepatu (Hibiscus rosa-
sinensis L.) dengan konsentrasi 62.5%
merupakan Konsentrasi Hambat
Minimal (MIC) untuk C. albicans
karena merupakan konsentrasi
tertinggi yang terdapat pertumbuhan
C. albicans dan mampu menghambat
pertumbuhan koloni C. albicans.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cannon RD, Chaffin WL. 1999. Oral
Colonization by C. albicans. Critical
Reviews in Oral Biology and Medicine,
10(3): 383-359. 2. Arif T, Bhosale JD, Kumar N, Mandal TK,
Bendre RS, Lavekar GS, and Dabur R.
2009. Natural Products–Antifungal Agents
Derived From Plants. Journal of Asian
Natural Products Research, 11(7): 638–
621. 3. Casalinuovo IA, Di Francesco P, Garaci E.
2004. Fluconazole Resistance in C.
albicans: A Review Of Mechanisms.
European Review for Medical and
Pharmacological Sciences, 8: 77-69. 4. Jadhav VM, Thorat RM, Kadam VJ, and
Sathe NS. 2009b. Traditional medicinal
uses of Hibiscus rosa-sinensis. Journal of
Pharmacy Research, 2(8): 1222-1220. 5. Cushnie TPT, Lamb AJ. 2005.
Antimicrobial Activity of Flavonoids.
International Journal of Antimicrobial
Agents, 26: 356–343. 6. Hena JV. 2010. Antibacterial Potentiality
of Hibiscus rosa-sinensis Solvent Extract
and Aqueous Extracts Against Some
Pathogenic Bacteria. Herbal Tech Industry:
Research Article. P. 10-1. Accessed from:
http://www.herbaltechindustry.com/Antiba
cterial%20potentiality%20%2052.pdf.
Diakses 15 Maret 2010. 7. Molero G, Díez-Orejas R, Navarro-García
F, Monteoliva L, Pla J, Gil C, Sánchez-
Pérez M, Nombela C. 1998. C. albicans:
Genetics, Dimorphism And Pathogenicity.
Internatl Microbiol, 1: 106-95. 8. Cock IE. 2008. Antibacterial Activity of
Selected Australian Native Plant Extracts.
The Internet Journal of Microbiology, 4(2).
Diakses 1 December 2010.
205
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
9. Khan ZS, Shinde VN, Bhosle NP, and
Nasreen S. 2010. Chemical Composition
and Antimicrobial Activity of
Angiopspermic Plants. Middle-East Journal
of Scientific Research, 6(1): 61-56. 10. Brooks GF, Butel JS, and Morse SA. 2001.
Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba
Medika. P. 98-96. 11. Samaranayake LP. 2002. Essential
Microbiology for Dentistry. 2nd Ed. China:
Churchill Livingstone. P. 7-6. 12. Lambris JD. 2007. Current Topics in Innate
Immunity. New York: Springer. P. 146. 13. Bowman SM, Free SJ. 2006. The Structure
and Synthesis of The Fungal Cell Wall.
BioEssays, 28(8): 808-799. 14. Mainous AG, Pomeroy C. 2010.
Management of Antimicrobials in
Infectious Diseases: Impact of Antibiotic
Resistance. 2nd Ed. New York: Humana
Press. P. 129-128. 15. Moore D, Robson G, Trinci T. 2011. 21st
Century Guidebook to Fungi. New York:
Cambridge University Press. P. 137-136. 16. Salazar E, Chaloupka J, Muhlschlegel,
Levin L, Buck J. 2007. C. albicans
Adenylyl Cyclase as the Central Mediator
of Morphological Transition and Virulence.
American Society for Microbiology: Cell-
Cell Communication in Bacteria. P. 25. 17. Adekunle AA, Ikumapayi AM. 2006.
Antifungal Property and Phytochemical
Screening of The Crude Extracts of
Funtumia elastica and Mallotus
oppositifolius. West Indian Medical
Journal, 55(4): 223-219. 18. Schaefer HM, Rentzsch M, Breuer M.
2008. Anthocyanins Reduce Fungal
Growth in Fruits. Natural Product
Communications, 3(8): 1272-1267. 19. Anaissie EJ, McGinnis MR, Pfaller MA.
2009. Clinical Mycology. 2nd Ed.
Churchill Livingstone: Elsevier, Inc. P.
164-161. 20. Bacic A, Fincher GB, Stone BA. 2009.
Chemistry, Biochemistry and Biology of
(13)-β-glucans and Related
Polysaccharides. P. 273-264. 21. Shilpashree HP, Ravishankar R. 2009. In
Vitro Plant Regeneration and Accumulation
of Flavonoids in Hypericum mysorense.
International Journal of Integrative
Biology, 8(1): 49-43. 22. Uno J, Shigematsu ML, Arai T. 1982.
Primary Site of Action of Ketoconazole on
C. albicans. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy, 21(6): 918-912. 23. Cannon RD, Lamping E, Holmes AR,
Niimi K, Tanabe K, Niimi M, Monk BC.
2007. C. albicans Drug Resistance-
Another Way to Cope with Stress.
Microbiology, 153: 3217-3211.
206
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Uji Efektifitas Aplikasi Topikal Ekstrak Daun
Mangrove Avicennia marina Terhadap
Pertumbuhan Sel Fibroblas
Pada Traumatic Ulcer
(Effectivity of Topical Application Extract Mangrove Avicennia
marina Leaves On The Growth Of Fibroblast
Cell in Traumatic Ulcer)
Onge Margareth Hendro, Dian Mulawarmanti*, Dwi Setyaningtyas**
* Biokimia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
**Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
ABSTRACT
Background: Fibroblast play an important role in wound healing of traumatic ulcer. The
extract of mangrove Avicennia marina leaves which contains of flavonoid, tanin, alkaloid,
saponin, it useful to improving healing of wound tissue. Purpose: The aim of this study is to know the effectiveness of topical application extract mangrove Avicennia marina leaves on
the growth of fibroblasts cell in traumatic ulcers. Materials and Methods: 40 rats were
divided into 10 groups. Burn wound was made at the labial mucosa. Group K0 was treated with aquadest, group K1 with hyaluronic acid 0.2%, group P1 with an extract of mangrove
Avicennia marina 10%, group P2 with an extract of mangrove Avicennia marina 20%, group P3 with an extract of mangrove Avicennia marina 40%. Subject was given once daily topical
application until seven days. At the third and seventh days, labial mucosa being biopsied and
histopathological preparat were made to know the growth of fibroblast cell. Data were analyzed with one way ANOVA test (p <0.05). Result: Subject showed significant difference
the growth of fibroblast cell between topical application in group 1 (60,75±4,272), group 2 (53,75±3,862), and extract of Avicennia marina leaves. Generally not seen significant
differences between group 2 (53,75±3,862) and group 3 (54,75±3,304) (p=0,709). Between
group 4 (36,25±3,304) and group 5 (36±0,816) also not seen significant differences (p=0,926). Effectiveness of topical application in wound healing of traumatic ulcer is on
extract of mangrove Avicennia marina 20%. Conclusion: Topical application with extract of
mangrove Avicennia marina is effective on the growth of fibroblasts cell in traumatic ulcers.
Keywords: Traumatic ulcer, Wound healing, Fibroblast, Avicennia marina
Correspondence: Dian Mulawarmanti, Departement of Biology Oral, Faculty od Dentistry,
Hang Tuah University, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Phone 031-5912191, Email: [email protected]
LAPORAN PENELITIAN
207
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
ABSTRAK
Latar Belakang: Fibroblas memegang peranan penting dalam proses penyembuhan
traumatik ulser. Kandungan dari ekstrak Avicennia marina mengandung flavonoid, tanin,
alkaloid, saponin, yang berguna untuk mempercepat proses penyembuhan jaringan luka. Tujuan: Untuk mengetahui efektivitas aplikasi topikal ekstrak daun mangrove Avicennia
marina terhadap pertumbuhan sel fibroblas pada traumatik ulser tikus wistar. Bahan dan
Metode: 40 ekor tikus wistar yang dibagi kedalam 5 kelompok. Luka bakar dibuat di mukosa
labial. Kelompok 1 diberi perlakuan dengan aquades, kelompok 2 diberi perlakuan dengan
asam hialuronat 0,2%, kelompok 3 diberi perlakuan dengan ekstrak daun mangrove Avicennia marina 10%, kelompok 4 diberi perlakuan dengan ekstrak daun mangrove
Avicennia marina 20%, kelompok 5 diberi perlakuan dengan ekstrak daun mangrove Avicennia marina 40%. Setiap subyek diberi aplikasi topikal sekali sehari sampai tujuh hari.
Pada hari ketiga dan ketujuh, mukosa labial dibiopsi dan dibuat preparat histopatologi untuk
mengetahui pertumbuhan sel fibroblas. Data dianalisis menggunakkan uji one way ANOVA (p<0,05). Hasil: Terdapat perbedaan signifikan pertumbuhan sel fibroblas antara aplikasi
topikal Kelompok yang mempunyai perbedaan bermakna (p<0,05) adalah kelompok K0.3
dengan K1.3, P1.3, P2.3, P3.3, K0.7, K1.7, P1.7, P2.7, P3.7. Kelompok K1.3 dengan P1.3, P2.3, P3.3, K0.7, K1.7, P1.7, P2.7, P3.7. Kelompok P1.3 dengan P2.3, P3.3, K0.7, K1.7,
P1.7, P2.7. Kelompok P2.3 dengan P3.3, K1.7, P2.7, P3.7. Kelompok P3.3 dengan K0.7, K1.7, P1.7, P3.7. Kelompok K0.7 dengan K1.7, P1.7, P2.7, P3.7. Kelompok K1.7 dengan
P2.7, P3.7. Kelompok P1.7 dengan P2.7, P3.7.Dosis efektif aplikasi topikal dalam
penyembuhan traumatik ulser terdapat pada ekstrak daun Avicennia marina 20%. Simpulan: Aplikasi topikal ekstrak daun mangrove Avicennia marina efektif terhadap pertumbuhan sel
fibroblas pada traumatik ulser tikus wistar.
Kata Kunci: Ulkus traumatikus, Penyembuhan luka, Fibroblas, Avicennia marina
Korespondensi: Dian Mulawarmanti, Bagian Biologi Oral, Fakultas Kedokteran Gigi,
Universitas Hang Tuah, Arif Rahman Hakim 150, Sukolilo, Surabaya, Telepon 031-5912191,
Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Ulcer merupakan suatu kondisi
diskontinuitas pada jaringan mukosa
yang meluas sampai dermis hingga ke
subkutis dan menyebabkan hilangnya
sebagian struktur epitel melebihi
membran basalis atau dapat mencapai
lamina propia.1 Sedangkan Traumatic
ulcer (TU) adalah suatu lesi pada
rongga mulut yang dapat disebabkan
oleh trauma bahan kimia, trauma suhu,
maupun trauma fisik seperti pipi atau
lidah yang tergigit, iritasi bahan
akrilik, atau karena benda asing yang
masuk ke dalam rongga mulut seperti
sikat gigi yang terlalu kuat atau iritasi
akibat ada gigi yang patah.2 Walaupun
TU bisa sembuh sendiri pada hari
keenam atau kesepuluh baik secara
spontan atau dengan menghilangkan
penyebabnya tetapi, pengobatan sangat
diperlukan karena untuk mengurangi
rasa sakit, mempercepat proses
penyembuhan, dan menghindari
terjadinya komplikasi lebih lanjut.3
Prevalensi TU pada mukosa rongga
mulut cukup tinggi yaitu sekitar
83,6%.4
Pengobatan pada TU yang sering
digunakan adalah pemberian topikal
Hyaluronic acid (HA) 0,2%. Akan
tetapi, kelemahan dari gel HA 0,2%
adalah kontraindikasi bila diberikan
208
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
pada orang yang mempunyai riwayat
alergi terhadap bahan yang
mengandung polyvinylpyrrolidone
(PVP) dan harganya yang mahal.5
Hyaluronic acid merupakan suatu
bagian matriks ekstraselular dan
merupakan glikosaminoglikan utama
yang disekresikan selama perbaikan
jaringan. Hyaluronic acid dapat
merangsang penyembuhan luka,
migrasi dan mitosis dari fibroblas dan
sel epitel.6 Hyaluronic acid terdapat di
semua organ tubuh manusia, tetapi
lebih banyak di jaringan mesenkimal.7
Mangrove Avicennia marina
merupakan salah satu jenis mangrove
yang tersebar diseluruh Indonesia
dengan kondisi yang melimpah karena
kemampuan beradaptasinya yang
mudah.8 Daun mangrove Avicennia
marina telah lama digunakan dalam
pengobatan tradisional untuk
pengobatan penyakit kulit dan pakan
hewan di peternakan.9 Di Indonesia,
masyarakat pantai Cilincing Jakarta
Utara ada yang memanfaatkan daun
tumbuhan Api-api yang masih muda
sebagai bahan sayur urap, demikian
pula masyarakat pantai di Jawa
Timur.10 Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa mangrove
mengandung beberapa senyawa
metabolit sekunder. Senyawa
metabolit sekunder yang terkandung
dalam mangrove antara lain senyawa
nonsaponifiable lipids (NSL) yaitu
alkaloid, terpenoid, dan saponin.11
Pada jenis mangrove Avicennia
marina kandungan flavonoid
mempunyai persentase paling tinggi
pada daun dibandingkan bagian
lainnya. Flavonoid dapat menghambat
jalur siklooksigenase dan
lipoksigenase sehingga terjadi
pembatasan jumlah sel inflamasi yang
bermigrasi ke jaringan perlukaan.
Sehingga reaksi inflamasi akan
berlangsung lebih singkat dan
kemampuan proliferatif dari TGF-β
tidak terhambat dan proses proliferasi
dapat segera terjadi.12 Saponin
memiliki fungsi sebagai antiinflamasi,
antibakteri, dan antikarsinogenik.
Selain itu, saponin juga terbukti
mampu menstimulasi sintesis fibroblas
oleh fibronektin.13
Salah satu faktor yang
mempengaruhi penyembuhan luka
adalah fibroblas yang dirangsang
melalui pelepasan mediator sel radang
yang tercetus dengan adanya TU.14
Fibroblas mempunyai peranan penting
dalam penyembuhan luka serta
merupakan sel pembentuk jaringan
ikat yang utama.15 Pada keadaan
normal, aktivitas pembelahan
fibroblast sangat jarang telihat, namun
ketika terjadi perlukaan sel ini terlihat
lenih aktif dalm memproduksi matriks
ekstraseluler.13
BAHAN DAN METODE
Penelitian yang dilakukan
merupakan penelitian true
experimental laboratory. Rancangan
penelitian ini adalah post test only
control group design. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini
sebanyak 40 ekor tikus wistar jantan.
Pada penelitian ini tikus diadaptasi
selama 1 minggu dan ditempatkan
dalam ruangan yang cukup udara dan
cahaya.17
Pada hari pertama setiap tikus
Wistar diberi anastesi secara inhalasi
dengan menggunakan eter. Pembuatan
TU menggunakan amalgam stopper
yang mempunyai ukuran penampang ±
3 mm yang telah dipanaskan diatas
burner yang diberi spiritus.
Pada hari kedua sudah terbentuk
ulcer yang ditandai dengan adanya lesi
209
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
berbentuk bulat, berwarna putih
dengan sentral kekuningan yang berisi
eksudat fibrinosa dengan tepi
kemerahan (eritem).18 Ulcer
dikeringkan dengan cotton pellet steril
dan diukur diameternya dengan
menggunakan kaliper digital.
Kemudianlangsung diberi aplikasi
topikal berupa aquades, HA 0,2%, dan
ekstrak daun mangrove Avicennia
marina gel 10%, 20%, dan 40%.
Aplikasi topikal aquades steril
(KO), aplikasi topikal gel AH 0,2%
(K1), aplikasi topikal gel daun
mangrove Avicennia marina gel 10%
(P1), aplikasi topikal gel daun
mangrove Avicennia marina gel 20%
(P2), aplikasi topikal gel daun
mangrove Avicennia marina gel 40%
(P3). Aplikasi obat secara topikal
dilakukan 1 kali sehari selama 7 hari.
Pada hari ketiga dan ketujuh,
mukosa labial dibiopsi dan dibuat
preparat histopatologi untuk
mengetahui pertumbuhan sel fibroblas.
Jaringan mukosa labial kemudian
dimasukkan kedalam larutan formalin
10% dengan ketentuan seluruh bagian
potongan terendam minimal 1/3
bagian formalin. Waktu fiksasi
jaringan 18-24 jam. Setelah fiksasi
selesai, jaringan dimasukkan dalam
larutan aquades selama 1 jam untuk
proses penghilangan larutan fiksasi.
Sebelum dilakukan dekalsifikasi
terlebih dahulu dengan asam nitrat
2,5% selama ± 2 hari untuk menunggu
jaringan menjadi lunak dan dapat
dipotong berbentuk persegi panjang.
Hasil potongan mukosa labial yang
telah didelkalsifikasi dimasukkan ke
dalam formalin buffer 10% selama 24
jam pada suhu yang sama.
Sampel diiris menjadi bahan
yang berukuran 1x1x½ cm selanjutnya
dilakukan dehidrasi dengan cara
memasukkannya ke dalam alkohol
konsentrasi bertingkat yaitu alkohol
70% selama 15 menit, alkohol 80%
selama 15menit, alkohol 90% selama
15 menit, alkohol 95% selama 15
menit, alkohol 99% selama 15 menit,
dan alkohol 100% selama 15 menit.
Jaringan dibersihkan (clearing) dengan
cara dimasukkan dalam larutan xylol 2
x 30 menit. Setelah pembersihan
(clearing) dilakukan proses
penanaman (embedding) dengan cara
jaringan ditanam dalam parafin padat
yang mempunyai titik lebur 56 -58°C
selama 2 x 30menit. Jaringan dalam
parafin tersebut dipotong setebal 5
mikron dengan menggunakkan rotary
microtome.
Selanjutya sediaan dicat
dengan HE dengan cara sebagai
berikut, deparafinasi dilakukan dengan
larutan xylol selama 2 x 3 menit, sisa
xylol dicuci dengan menggunakan air
mengalir, pengecatan dengan HE
selama 5 menit, alkohol asam, air
ammonia, cunter stain dengan eosin
selama 15 detik sampai 2 menit. Lalu
cuci dengan alkohol 2 x 1, xylol 2 x 2
menit ditutup dengan glas penutup
yang sebelumnya ditetesi dengan
balsam Canada.
Perhitungan dengan
pembesaran 400 kali dengan bantuan
skala, kemudian diamati perubahan
jumlah fibroblas pada daerah TU.
Perhitungan jumlah fibroblas ini
dengan menggunakan program tool
image disertai dengan bantuan skala
per lapangan pandang.19
Analisis data menggunakan uji
statistik analitik disertai uji normalitas
dan homogenitas. Skala data berupa
skala data ratio. Data terdistribusi
normal dan memiliki varian homogen
sehingga dilanjutkan dengan uji
statistik parametrik yaitu One Way
ANOVA dan LSD.
210
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
HASIL
Rerata dan simpangan baku
jumlah pertumbuhan sel fibroblas pada
kelompok perlakuan serta kelompok
kontrol positif dan kelompok kontrol
negatif yang dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1. Hasil rerata dan simpang baku
jumlah fibroblas pada setiap kelompok
perlakuan
Hasil rerata dan simpang baku
jumlah fibroblas pada hari ketiga
jumlah yang paling banyak terdapat
pada kelompok perlakuan ekstrak daun
mangrove Avicennia marina 10%
sebanyak 83,75. Sedangkan jumlah
fibroblas yang paling sedikit terdapat
pada kelompok kontrol yaitu sebanyak
31,00.
Gambar berikut ini merupakan
gambaran pertumbuhan jumlah
fibroblas pada hari ketiga atau pada
awal fase proliferasi dan gambaran
pertumbuhan jumlah fibroblas pada
hari ketujuh atau pada akhir fase
proliferasi. Jumlah fibroblas yang
paling sedikit terdapat pada kelompok
perlakuan ekstrak daun mangrove
Avicennia marina 40% yaitu sebanyak
36. Pada jumlah fibroblas pada
kelompok kontrol masih mengalami
kenaikan yaitu sebanyak 60,75 dan
pada kelompok Hyaluronic Acid 0,2%
sebanyak 53,75.
Gambar 1. Rerata jumlah fibroblas pada
hari ketiga dan ketujuh
Uji Homogenitas dilakukan pada
kelima kelompok dengan hasil yang
homogen, sehingga analisis diteruskan
menggunakkan uji One Way ANOVA
yang hasilnya menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan bermakna jumlah
sel fibroblas pada masing-masing
kelompok perlakuan pada hari ketiga
dan ketujuh. Berikut ini adalah hasil
uji One Way ANOVA.
Tabel 2. Hasil uji One Way ANOVA
Kelompok F Sig
Antar Perlakuan
Dalam Perlakuan
69,186 0,000
Hasil uji One Way ANOVA
menunjukkan nilai p=0,00 (p<0,05)
yang artinya “paling tidak terdapat
Kelompok Rerata Simpang
baku
K0.3 31,00 4,546
K1.3 46,75 8,250
P1.3 83,75 5,737
P2.3 58,75 2,754
P3.3 41,25 4,031
K0.7 60,75 4,272
K1.7 53,75 3,862
P1.7 54,75 3,304
P2.7 36,25 3,304
P3.7 36,00 0,816
211
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
perbedaan jumlah fibroblas yang
bermakna pada dua kelompok”.
Selanjutnya dilakukan uji LSD untuk
menentukan perbedaan diantara setiap
kelompok perlakuan dengan derajat
kemaknaan p<0,05.
Hasil LSD didapatkan bahwa
pertumbuhan jumlah fibroblas terdapat
perbedaan bermakna pada hampir
semua kelompok perlakuan. Perbedaan
yang bermakna ini terdapat pada
seluruh kelompok kontrol yang diberi
aquades dengan kelompok perlakuan
yang lain. Kelompok kontrol negatif
yang diberi HA 0,2% mempunyai
perbedaan bermakna juga dengan
kelompok kontrol yang lain kecuali
kelompok kontrol negatif hari ketujuh
(K1.7) tidak mempunyai perbedaan
bermakna dengan kelompok perlakuan
yang diberi gel Avicennia marina 10%
hari ketujuh (P1.7) dengan nilai
p=0,709 (p<0,05). Pada kelompok
perlakuan yang diberi gel Avicennia
marina 20% hari ketujuh (P2.7)
dengan kelompok perlakuan yang
diberi gel Avicennia marina 40% hari
ketujuh (P3.7) juga tidak terdapat
perbedaan yang bermakna dengan nilai
p=0,926 (p>0,05).
PEMBAHASAN
Pengamatan jumlah fibroblas
pada TU tikus wistar menunjukkan
fibroblas sudah muncul pada hari
ketiga setelah perlakuan. Perbedaan
signifikan terdapat pada kelompok
kontrol negatif dengan kelompok
kontrol positif yang diberi HA 0,2%
baik pada hari ketiga maupun hari
ketujuh. Hal ini bisa disebabkan
karena pada kelompok kontrol negatif
tidak diberikan pengobatan sehingga
memungkinkan ulcer menjadi semakin
parah. Sedangkan pada kelompok
kontrol positif diberikan aplikasi
topikal menggunakkan HA 0,2% yang
telah dipasarkan dalam bentuk produk
jadi dengan komposisi asam hialuronat
0,2%, xylitol dan bahan tambahan lain.
Hyaluronic acid merupakan bagian
penting dari matriks ekstraseluler dan
juga salah satu GAG utama yang
dikeluarkan selama perbaikan
jaringan.6
Perbedaan signifikan (p<0,05)
antara kelompok kontrol negatif yang
tanpa diberi perlakuan apapun dengan
kelompok perlakuan yang diberi gel
Avicennia marina 10%, gel Avicennia
marina 20%, dan gel Avicennia
marina 40% pada hari ketiga maupun
pada hari ketujuh dengan nilai p=0,000
(p<0,05). Perbedaan hasil ini karena
kandungan yang ada di dalam
Avicennia marina yaitu flavonoid.
Flavonoid menghambat
siklooksigenase yang membuat
metabolisme asam arakhidonat
terhambat dan sel inflamasi yang
keluar ke jaringan yang luka juga
terhambat karena metabolisme ini
berhubungan dengan mediator
inflamasi seperti prostaglandin dan
tromboksan.12 Penggunaan HPMC
sebagai bahan basis sediaan topikal di
mukosa rongga mulut juga dapat
mempengaruhi perbedaan ini. Bahan
HPMC dapat melarutkan bahan
matriks ekstraseluler karena
mempunyai sifat yang mampu
melepaskan bahan aktif secara berkala
yang membuat efek kerja gel
Avicennia marina lebih panjang dan
maksimal daripada kelompok kontrol
negative.20 Berikut gambar HPA sel
fibroblas.
212
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Gambar 2. HPA sel fibroblas a.
Kelompok K0.3, b. Kelompok K0.7, c.
Kelompok K1.3, d. Kelompok K1. 7, e.
Kelompok P1.3, f. Kelompok P1.7, g.
Kelompok P2.3, h. Kelompok P2.7, i.
Kelompok P3.3, j. Kelompok P3.7
Perlakuan antara kelompok
kontrol positif HA 0,2% dengan
kelompok perlakuan gel Avicennia
marina 20% dan kelompok perlakuan
gel Avicennia marina 40% pada hari
ketiga dan ketujuh juga memberikan
perbedaan yang signifikan (p<0,05).
Akan tetapi, pada kelompok kontrol
positif HA 0,2% dengan kelompok
perlakuan gel Avicennia marina 10%
tidak mempunyai perbedaan bermakna
dengan nilai p=0,709 (p<0,05). Hal ini
disebabkan karena pada kelompok
kontrol positif HA 0,2% terdiri dari
HA yang merupakan bagian penting
dari matriks ekstraseluler dan
merupakan salah satu
glikosaminoglikan utama yang
dikeluarkan selama perbaikan
jaringan.
Hyaluronic acid diproduksi oleh
fibroblas selama fase proliferasi pada
penyembuhan luka merangsang
migrasi dan mitosis dari fibroblas dan
sel epitel.9 Pada kelompok perlakuan
yang diberi gel Avicennia marina 20%
dan kelompok perlakuan yang diberi
gel Avicennia marina 40%
mengandung senyawa aktif yang dapat
merangsang terjadinya proliferasi
fibroblas seperti tanin yang berperan
pada kontraksi luka dan peningkatan
epitelisasi. Alkaloid juga dapat
meningkatkan proses penyembuhan
luka karena aktifitas antioksidan dan
antimikrobial.21
Aktivitas antiinflamasi
flavonoid melalui penghambatan
siklooksigenase dan lipoksigenase
sehingga jumlah sel inflamasi yang
bermigrasi ke jaringan perlukaan
terbatas. Reaksi inflamasi berlangsung
lebih singkat dan kemampuan
proliferatif dari TGF-β tidak
terhambat, sehingga proses proliferasi
segera terjadi. Flavonoid juga
mempercepat proses penyembuhan
luka yang didukung oleh mekanisme
antioksidan dalam melakukan
penghambatan aktivitas radikal
bebas.12 Kelompok kontrol positif HA
0,2% dengan kelompok perlakuan gel
Avicennia marina 10% tidak
mempunyai perbedaan yang
bermakna, hal ini mungkin
dipengaruhi oleh jumlah senyawa aktif
A B
C D
E F
G H
I J
213
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
dan kandungan yang ada dalam whole
ekstrak pada konsentrasi ini.
Pada mangrove terdapat
kandungan flavonoid yang membatasi
jumlah sel inflamasi bermigrasi ke
jaringan perlukaan dan TGF-β dapat
segera dihasilkan dan mempercepat
proliferasi fibroblas. Senyawa saponin
dari tumbuhan adalah glikosida dan
triterpenoid dan steroid. Saponin
merupakan senyawa yang penting
dalam penyembuhan luka. Saponin
dapat memacu pembentukkan kolagen,
yaitu protein struktur yang berperan
dalam proses penyembuhan luka.23
Perbedaan jumlah sel fibroblas yang
signifikan antara kelompok perlakuan
yang diberi gel Avicennia marina 10%
dengan kelompok perlakuan yang
diberi gel Avicennia marina 20% dan
kelompok perlakuan yang diberi gel
Avicennia marina 40%. Hal ini
mungkin disebabkan karena perbedaan
jumlah komposisi dari whole ekstrak
yang ada di dalam gel.
Pada hari ketujuh jumlah sel
fibroblas pada semua kelompok
perlakuan sudah mulai menurun
terutama pada kelompok perlakuan
yang diberikan ekstrak gel daun
mangrove Avicennia marina 40%. Hal
ini terjadi karena proses sintesis
kolagen oleh fibroblas terjadi relatif
lebih awal karena dipengaruhi oleh
senyawa yang ada dalam daun
mangrove Avicennia marina.
Penurunan jumlah fibroblas ini
memang mulai terjadi pada hari
ketujuh saat kolagen mulai muncul
tetapi proliferasi ini dapat lebih singkat
apabila ada faktor yang
mempengaruhinya.14
Mangrove Avicennia marina
mengandung antiinflamasi yang
menyebabkan sitokin sepeti TNF α
,IL-1, IL-6, IL-8, TGF β aktivitasnya
ikut menurun. TGF β mempunyai
peran menstimulasi fibroblas,
meningkatkan matriks ekstraseluler
dan meningkatkan proses kolagenase
pada proses penyembuhan luka.
Penyembuhan luka sangat dipengaruhi
oleh reepitelisasi, karena semakin
cepat proses reepitelisasi semakin
cepat pula luka tertutup sehingga
semakin cepat penyembuhan luka.23
Pada tahap penyembuhan luka
fibroblas akan berkurang seiring
dengan penyembuhan luka.14 Secara
statitik tidak ada perbedaan yang
bermakna antara kelompok perlakuan
ekstrak daun mangrove Avicennia
marina 20% dengan kelompok
perlakuan ekstrak daun mangrove
Avicennia marina 40% dengan nilai
signifikansi p=0,925 (p>0,05)
sehingga disarankan ekstrak daun
mangrove Avicennia marina dosis
20% efektif untuk mempercepat
penyembuhan luka. Pemilihan dosis
20% ini berdasarkan pemahaman dari
penulis apabila dengan memberikan
dosis kecil saja sudah memberikan
efek yang sama dengan pemberian
dosis besar maka akan lebih baik
diberikan dalam dosis kecil.
Proses hemostasis terjadi cepat
setelah jaringan mengalami cedera,
dengan vasokonstriksi pembuluh darah
dan pembentukan clot fibrin.24
Kemudian terjadi vasodilatasi aktif
bersaman dengan peningkatan
permeabilitas kapiler.9 Sitokin pro-
inflamasi dan growth factors. Setelah
perdarahan dikendalikan fase inflamasi
dimulai, yang ditandai dengan
infiltrasi neutrofil, makrofag dan
limfosit.24 Komponen matriks ekstrasel
menstimulasi proliferasi monosit
menjadi makrofag untuk pembersihan
neutrofil dan debris dari area yang
luka, kemudian menghasilkan sitokin
(IL-1, IL-4, IL-6, TNF α) dan zat kimia
penarik fibroblas.25
214
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Tahapan paling penting dalam
tahap awal proses penyembuhan luka
adalah pembentukan jaringan
granulasi. Gambaran histologi jaringan
granulasi adalah angiogenesis dan
proliferasi fibroblas. Fibroblas pada
jaringan granulasi mensintesis matriks
ekstraseluler, termasuk glikoprotein,
proteoglikan, dan kolagen. Saponin
dapat menstimulasi proses
angiogenesis lewat peningkatan
aktivitas protease dan migrasi sel
endotel. Saponin menstimulasi sintesis
fibronektin dari fibroblas dan
memodifikasi ekspresi reseptor TGF-
β. Fibronektin adalah glikoprotein
besar yang multifungsi dapat berikatan
dengan makromolekul (kolagen, fibrin,
heparin, dan proteoglikan) serta dapat
berikatan dengan sel lewat reseptor
integrin, mengindikasikan bahwa
fibronektin berperan dalam interaksi
fibroblas dan matriks ekstraseluler.6
SIMPULAN
Aplikasi topikal ekstrak daun
mangrove Avicennia marina 10%,
20%, dan 40% efektif meningkatkan
pertumbuhan sel fibroblas pada TU
tikus wistar pada hari ketiga dan
menurunkan pertumbuhan sel fibroblas
pada TU tikus wistar pada hari
ketujuh. Dosis efektif dalam
pengaplikasian topikal gel ekstrak
daun mangrove Avicennia marina
pada TU adalah dengan dosis 20%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Neville, B.W., Damm, D.D., Allen, C.M.,
Bouquot, J.E. 2009. Oral and
Maxillofacial Pathology Third Edition.
Elsevier, India. H. 512-510.
2. Scully, C dan Felix, D. H. 2008.
Aphthous and Other Common Ulcers.
British Dental Journal, 190(5): 264-259.
3. Laskaris, George. 2006. Colour Atlas of
Oral Disease Second Edition. New York:
Thieme. Treatment of Oral Disease. New
York: Thieme.
4. De Long L dan Burkhart NW. 2008.
General and Oral Pathology for The
Dental Hygienisti. Philadelphia, US:
Lippincott Williams and Wilkins. P. 297-
295.
5. Kapoor P, Sachdeva A. 2011. Topical
hyaluronic acid in the management of
oral ulcers. Available from http://www.e-
ijd.org/article.asp?issn=00195154;year=2
011;volume=56;issue=3;spage=300;epag
e=302;aulast=Kapoor. Diakses Juli 2012.
6. MacKay DND and Miller A.L.ND. 2003.
Nutritional Support for Wound Healing.
Alternative Medicine Review, 8(4): 377-
359. Available from
http://www.pilonidal.org/_assets/pdf/nutri
tion.pdf. Diakses March 2012.
7. Topazian RG, Goldberg MH. 2002. Oral
and Maxillo Infection. 4th Edition.
Philadelphia : WB Saunders co. P. 25.
8. Noor, Y. R. Khazali, M, dan
Suryadiputra, I. N. N. 2006. Panduan
Pengenalan Mangrove di Indonesia.
Ditjen PHKA. Bogor. H. 3-1.
9. Bandaranayake W. 2002. Bioactivities,
Bioactive Compounds and Chemical
Constituents of Mangrove Plants.
Wetlands Ecology ang Management, 10:
452-421.
10. Santoso, N., B.C. Nurcahya, A.F. Siregar,
dan I. Farida. 2005. Resep Makanan
Berbahan Baku Mangrove dan
Pemanfaatan Nipah. LPP Mangrove,
Bogor.
11. Basyuni, M. 2008. Studies on Terpenoid
Biosynthesis of Mangrove Tree Species.
Dissertation Unite Graduate School of
Agricultural Sciences. Kagoshima
University, Japan.
12. Nijveldt R.J, Van Nood E, Van Hoorn E,
Boelens PG, Van Norren K, Van
Leeuwen. 2001. Flavonoids: a Review of
Probable Mechanisms of Action and
Potential Application. Am. J. Clin. Nutr.,
74: 418-25. Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11
566638. Diakses Juni 2012.
13. Froschle M, Pluss, Peter A, Etzweiler E,
Ruegg D. 2004. Phytosteroid for Skin
Care. Personal Care. P. 55-8.
14. Triyono Bambang. 2005. Perbedaan
Tampilan Kolagen di Sekitar Luka Insisi
pada Tikus Wistar yang diberi Infiltrasi
Penghilang Nyeri Levobupivakain dan
Yang Tidak Diberi Levobuvipakain
(Studi Histokimia). Available from
215
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
http://eprints.undip.ac.id/16709/1/Bamba
ng_Triyono.pdf. Diakses April 2012.
15. Jeon KM. 2009. International Review Of
Cell and Molecular Biology, Vol 276. 1st
edition. San Diego: Elsevier Academic
Press. P. 202-161.
16. Rukmini Ambar. 2007. Regenerasi
Minyak Goreng Bekas Dengan Arang
Sekam Menekan Kerusakan Organ
Tubuh. Available from
http://p3m.amikom.ac.id/p3m/69%20-
%20REGENERASI%20MINYAK%20G
ORENG%20BEKAS%20DENGAN%%2
0ARANG%20SEKAM%20MENEKAN
%20KERUSAKAN%20ORGAN%20TU
BUH.pdf. Diakses April 2012.
17. Kusumawati D. 2004. Biologi Hewan
Coba. Bersahabat Dengan Hewan Coba.
Gajah Mada University Press. H. 22-5.
18. Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK.
2008. Oral Pathologic Correlations 5th
edition. St.Louis : Mosby Elsevier. P. 24-
21.
19. Sachariva H. 2011. Perbedaan Aktivitas
Jelly Gamat dan Asam Hialuronat
Terhadap Jumlah Sel Fibroblas Pada
Ulkus Traumatikus. Skripsi Universitas
Hangtuah, Surabaya.
20. Chandra S, dkk. 2004. Textbook of
Dental and Oral Histology with
Embrionology and Multiple Choice
Questions. 1st editition. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers. P.
176-174.
21. Panda P., Tripathy G. 2009. Wound
healing activity of aqueous and
methanolic bark extract of Vernonia
arborea in Wistar rats. Natural Product
Radiance, 8: 11-6.
22. Sachin J., Neetesh J., Balekar T., Jain D.
2009. Simple Evaluation of Wound
healingactivity of polyherbal formulation
of roots of Ageratum conyzoides
L. Asian J. Research Chem, 2: 138-135.
23. Somantri I. 2007. Definisi Luka.
Available from
http://www.irmanthea.blogspot.com/2007
/07. Diakses Agustus 2012.
24. Guo S, DiPietro AL. 2010. Factors
Affwecting Wound Healing. Available at
http://jdr.sagepub.com/content/89/3/219.f
ull.pdf. Diakses Juni 2012.
25. Novriansyah, R. 2008. Perbedaan
Kepadatan Kolagen di Sekitar Luka Insisi
Tikus Wistar Yang Dibalut Kassa
Konvensional Dan Penutup Oklusif
Hidrokoloid Selama 2 dan 14 hari.
(Tesis). Program Pasca Sarjana Magister
Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan
Dokter Spesialis Ilmu Bedah Universitas
Diponegoro. H. 10-1.
216
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Uji Sitotoksisitas Demineralized Freeze Dried Apical
Tooth Allograft Terhadap Viabilitas Sel
Fibroblas dari Bhk-21
(Citotoxicity Test of Demineralized Freeze Dried Apical Tooth
Allograft On Fibroblast Cell Viability From BHK-21)
Stephanie Salim, Widyastuti*, Soemartono**
*Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
*Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah
ABSTRACT
Background: Bone graft is one of the regenerative therapy which is needed to treat
periodontal diseases. There are four kinds of bone grafts based on its donor, allograft, xenograft, alloplast and autograft. Demineralized Freeze-Dried Bone Allograft (DFDBA) is
one of the most commonly used allograft material in dentistry to form new bones because the
effect of bone induction protein which is BMP. BMP is produced by demineralisation. This
experiment used post-extraction teeth material which is considered having similar
composition with bone on dentin and cementum area, where collagen type 1 is found. Purpose: The aim of this research is to examine the cytotoxicity of DFDATA on the viability
fibroblast cell from BHK-21. Materials and Methods: This experiment used microplate with
44 wells of BHK-21 fibroblast culture which divided into 11 groups, cell control group without any treatment, media control group without cell and 9 treatment groups were treated
with DFDATA: 54mg/ml, 27mg/ml, 13,5 mg/ml, 6,75 mg/ml, 3,375 mg/ml, 1,6875 mg/ml, 0,8437 mg/ml, 0,4218 mg/ml dan 0,2109 mg/ml. These cells were incubated for 24 hours
before and after treatment. Then, these cells were read using Elisa reader and the cell
viability percentage were measured based on the OD (optical dencity) result and viable cell count. Result: There is significant difference (p=0,000) on all treatment group. All treatment
group had more than 50% of cell viability. Conclusion: Demineralized Freeze Dried Apical
Tooth Allograft is not toxic to fibroblast cell viability from BHK-21.
Keywords: Demineralized, tooth, allograft, graft, cytotoxicity
Correspondence: Widyastuti, Department of Periodontology, Faculty of Dentistry, Hang
Tuah University, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Phone 031-5945864, 5912191, Email:
LAPORAN PENELITIAN
217
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
ABSTRAK
Latar Belakang: Perawatan regeneratif akibat penyakit periodontal membutuhkan bahan regenerasi yang salah satunya adalah bone graft. Ada beberapa macam bone graft ditinjau
dari asal donornya, yaitu allograft, xenograft, alloplast dan autograft. Demineralized Freeze-
Dried Bone Allograft (DFDBA) merupakan salah satu bahan allograft yang paling sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi untuk pembentukan tulang baru karena pengaruh
protein penginduksi tulang yang disebut Bone Morphogenetic Protein (BMP) yang timbul karena adanya proses demineralisasi. Penelitian ini menggunakan bahan gigi pasca
pencabutan yang dianggap mempunyai komposisi kimia yang mirip dengan tulang pada
bagian dentin dan sementum dimana terdapat kolagen tipe 1. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui uji sitotoksisitas demineralized freeze dried apical tooth
allograft (DFDATA) terhadap viabilitas sel fibroblas dari Baby Hamster Kidney-21 (BHK-21). Bahan dan Metode: Penelitian ini menggunakan 44 sumuran kultur sel fibroblas/ BHK-
21, kemudian dibagi menjadi 11 kelompok, 1 kelompok kontrol media tanpa sel, 1 kelompok
kontrol sel tanpa diberi perlakuan, dan 9 kelompok perlakuan dengan DFDATA dalam berbagai konsentrasi: 54mg/ml, 27mg/ml, 13,5 mg/ml, 6,75 mg/ml, 3,375 mg/ml, 1,6875
mg/ml, 0,8437 mg/ml, 0,4218 mg/ml dan 0,2109 mg/ml. Seluruh kelompok dibaca
menggunakan Elisa reader dan presentase viabilitas sel fibroblas diukur menggunakan hasil OD (optical dencity). Hasil: Terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,000) pada seluruh
kelompok perlakuan. Seluruh kelompok mempunyai viabilitas sel lebih dari 50%. Simpulan:
Demineralized Freeze Dried Apical Tooth Allograft tidak toksik terhadap viabilitas sel
fibroblas dari BHK-21.
Kata Kunci: Demineralisasi, gigi, allograft, Graft, sitotoksisitas
Korespondensi: Widyastuti, Bagian Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas
Hang Tuah, Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, Telepon 031-5912191, Email:
PENDAHULUAN
Penyakit periodontal dan karies
gigi merupakan penyakit yang paling
banyak dijumpai di rongga mulut,
sehingga merupakan masalah utama
dalam kesehatan gigi dan mulut.1
Penyakit periodontal adalah penyakit
yang melibatkan struktur penyangga
gigi baik jaringan lunak maupun
jaringan keras.
Perubahan yang terjadi pada
jaringan keras, dalam hal ini tulang
alveol adalah penting karena
kerusakan tulang berpengaruh
terhadap keberadaan gigi.2
Penyakit periodontal yang dapat
menyebabkan hilangnya gigi
membutuhkan suatu terapi periodontal
regeneratif untuk mengganti jaringan
penyangga gigi yang hilang akibat
penyakit periodontal.3 Regenerasi
jaringan periodonsium secara
keseluruhan merupakan tujuan utama
perawatan periodontal. Regenerasi
periodontal adalah proses
penyembuhan yang terjadi, yaitu
terbentuknya tulang alveol, sementum
dan ligamen periodontal yang baru.4
Sel-sel aktif yang ada didalam ligamen
periodontal adalah osteoblas,
sementoblas, dan fibroblas. Sel
fibroblas adalah sel jaringan ikat yang
paling banyak terdapat di dalam pulpa
dan ligamen periodontal. Sel fibroblas
berfungsi sebagai sel pertahanan
karena mampu berdiferensiasi sebagai
osteoblas.5,6
218
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Menurut penelitian Masulili dkk
(2008), dua teknik yang paling
berhasil dalam regenerasi periodontal
adalah bone graft dan pemakaian
membran GTR (guide tissue
regeneration).3 Ada beberapa macam
bone graft dilihat dari asal donornya,
yaitu xenograft yang berasal dari
spesies yang berbeda dari resipien,
allograft yang berasal dari spesies
yang sama tetapi beda genetik,
autograft yang berasal dari resipien itu
sendiri dan, alloplastic graft yang
merupakan bahan sintetik.7,8 Dari
macam-macam graft tersebut yang
paling sering digunakan adalah
xenograft dan allograft.7
Bone graft selain dapat
digunakan untuk meregenerasi
kerusakan tulang akibat penyakit
periodontal dapat juga digunakan
sebagai cara untuk mengatasi adanya
resorbsi tulang pada perawatan implan
gigi. Sejak tiga dekade terakhir bahan
allograft telah digunakan dalam terapi
regenerasi periodontal. Allograft
umumnya digunakan dalam dua
bentuk, yaitu demineralized freeze
dried bone allograft (DFDBA) dan
Freeze Dried Bone Allograft
(FDBA).3,7,9
Demineralized freeze dried bone
allograft (DFDBA) merupakan salah
satu bahan allograft yang paling sering
digunakan dalam bidang periodonsia
karena ketersediaan bahan, keamanan
dan kemampuan osteokonduktifitas
serta osteoinduktifitasnya dalam
menginduksi pembentukan tulang
yang baru. Hal ini disebabkan karena
pengaruh protein penginduksi tulang
yang disebut bone morphogenetic
protein (BMP) yang timbul karena
adanya proses demineralisasi.10 BMP
mempunyai kapasitas osteoinduksi
sama dengan komposisi tulang
alveolar (Kolagen tipe 1).11
Umumnya, gigi manusia yang
merupakan bagian dari gigi post
ekstraksi akan dibuang begitu saja dan
menjadi limbah yang tidak terpakai.
Bagian dari akar gigi mengandung
dentin dan sementum yang dapat
melakukan regenerasi tulang melalui
proses osteokonduksi dan osteoinduksi
dimana bagian tersebut mempunyai
kandungan bahan organik kolagen tipe
1 yang tinggi. Sedangkan bagian
enamel tidak mengandung
kolagen.11,12 Biokompatibilitas graft
sangatlah penting agar tidak terjadi
kegagalan karena penolakan oleh host,
serta tidak mempunyai pengaruh
toksik atau menimbulkan jejas
terhadap fungsi biologis.7 Semua
bahan yang digunakan didalam mulut
idealnya bersifat biokompatibel. Salah
satu evaluasi biokompatibilitas suatu
bahan tingkat primer adalah uji
sitoksisitas.2
Berdasarkan hal-hal diatas,
peneliti ingin melakukan uji
sitotoksisitas bahan secara in vitro
yaitu akar gigi sehat manusia yang
didapat dari limbah gigi yang telah
diekstraksi dan telah diproses menjadi
demineralized freeze dried apical
tooth allograft terhadap viabilitas sel
fibroblas dari BHK-21.
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian ini adalah
penelitian eksperimental laboratoris in
vitro, dengan rancangan penelitian
menggunakan post test only control
group design.
Proses pembuatan DFDATA
dilakukan di Pusat Biomaterial/Bank
Jaringan RSUD Dr. Soetomo.
Persiapan gigi post ekstraksi sebagai
sampel penelitian dengan proses
demineralized freeze dried adalah
219
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
sebagai berikut, pengumpulan gigi
post ekstraksi yang sehat. Kemudian
bagian akar dikarantina di dalam
freezer kemudian dilakukan proses
pasteurisasi dengan suhu 60°C selama
1 jam, akar gigi disterilisasi sekaligus
pencucian menggunakan ultrasonik
pasteurization shaker. Setelah proses
sterilisasi selesai, dilanjutkan dengan
proses diseksi jaringan dari jaringan
lunak yang menempel.
Diseksi dapat dilakukan dengan
menggunakan pisau maupun knable
tang. Selanjutnya dilakukan pencucian
dengan menggunakan aquadest steril
dan dilakukan pencucian kembali
dengan menggunakan H2O2 dalam
ultrasonik shaker. Kemudian
dilanjutkan dengan pencucian
menggunakan aquadest steril lagi.
Proses dilanjutkan dengan
pengambilan lemak (Deffating) jika
bahan graft mengandung lemak.
Proses ini dilakukan dengan
menggunakan larutan Hexan. Setelah
proses deffating selesai, cuci dengan
menggunakan NaCl 0,9% atau
aquadest steril. Setelah itu bahan
allograft dibuat dalam bentuk powder
atau serbuk. Bahan yang telah diubah
dalam bentuk serbuk, dilakukan
pengayakan dengan menggunakan
Sifting Machine sehingga didapatkan 3
range ukuran powder yaitu 355-710
µm; 150-355 µm; <150 µm. Pada
penelitian ini digunakan ukuran 355-
710 µm. Lalu dilakukan proses
demineralisasi yaitu pengambilan
mineral tulang menggunakan HCL
0,5%, sehingga yang tersisa adalah
protein dan kolagennya saja. Setelah
dilakukan proses demineralisasi
dilakukan pencucian kembali hingga
bersih sampai pH menjadi netral
(pH=7). Setelah seluruh rangkaian
proses diatas selesai, jaringan
disimpan dalam Deep-Freezer (-
80°C).
Freeze-Drying (lyophilisation)
merupakan proses pengeringan
jaringan dengan cara sublimasi
(pengeringan cairan langsung dari fase
es tanpa melalui fase cair). Proses ini
merupakan proses yang sangat
penting. Jaringan yang telah dibekukan
di dalam Deep-Freezer dipindah
kedalam mesin Freeze-Dryer, proses
ini memakan waktu antara 8-36 jam
tergantung dari jenis dan besarnya
jaringan. Setelah proses Freeze-Drying
selesai, demineralized freeze dried
apical tooth allograft dipindahkan ke
Laminar Air Flow untuk dilakukan
pengepakan. Demineralized freeze
dried apical tooth allograft dibungkus
dalam 3 lapis plastic polyethylene
diberi label yang bersisi nama dan
alamat Bank Jaringan, nomor graft,
jenis graft, waktu kadaluarsa dan
diberi petunjuk pemakaian, serta
indikator sterilisasi.
Penutupan plastik dilakukan
dengan menggunakan Vacuum Sealer,
sehingga jaringan tertutup di dalam
kantong plastik yang telah di vakum.
Pusat biomaterial–Bank Jaringan Dr.
Soetomo melakukan sterilisasi dengan
cara kimiawi (Ethylene oxide) untuk
jaringan dimana kekuatannya sangat
dibutuhkan. Sedangkan allograft yang
telah dikeringkan (Freeze-Dried)
disteril dengan sinar γ.13, 14
Uji sitotoksisitas bahan
dilakukan di PUSVETMA Surabaya.
Kultur sel BHK-21 dalam bentuk cell-
line ditanam dalam botol. Setelah
confluent (penuh), kultur dipanen
dengan menggunakan larutan trypsine
versene. Hasil panen diambil sedikit
dan ditanam kembali dalam media
eagle yang mengandung 10% bovine
serum diinkubasi selama 24 jam.
Kemudian sel dipindahkan dalam
220
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
botol kecil dan dibuat dengan
kepadatan 2 x 105 sel/ml, sel tersebut
siap digunakan untuk pengujian
sampel. Setiap well berisi sel dengan
kepadatan 2 x 105 sel/ml. Sampel
sebelum diuji disterilkan terlebih
dahulu dengan ultra violet selama 15
menit, selanjutnya sampel dimasukkan
dalam microplate. Kemudian
microplate diinkubasi selama 20 jam
pada suhu 37°C.15
Microplate dikeluarkan dari
inkubator dan diletakkan ke dalam
laminar flow untuk diberi perlakuan.
Setelah itu DFDATA dengan ukuran
355-710 µm siap dimasukkan ke
dalam microplate yang telah berisi
media. DFDATA dimasukkan
kedalam well sesuai dengan
konsentrasi tiap kelompok perlakuan.
Selanjutnya microplate diinkubasi
dalam inkubator selama 24 jam dengan
suhu 37°C. Setelah 24 jam, kultur sel
dikeluarkan dari inkubator.
Media eagle’s MEM dibuang,
lalu ditambahkan MTT reagen
sebanyak 10 μl lalu microplate
diinkubasi selama 2-4 jam. Setelah
proses inkubasi selesai, dilakukan
penambahan DMSO (Dimethyl
sulfoxide) dan menyiapkan microplate,
kemudian dilakukan pembacaan
dengan memasukkan microplate
tersebut ke dalam Elisa reader dengan
panjang gelombang 620 λ dan
mengukur Optical Density (OD).16
Persentasi sel yang hidup dihitung
berdasarkan rumus:17
Keterangan:
- % Sel hidup = Persentase jumlah sel
hidup setelah pengujian.
- Perlakuan = Nilai Optical Density
formazan pada setiap sampel setelah
pengujian.
- Media = Nilai Optical Density
formazan pada kontrol media.
- Sel = Nilai Optical Density formazan
pada kontrol sel.
Data yang telah dikumpulkan
dilakukan perhitungan dengan
menggunakan rumus persentase.
Kemudian, dilakukan uji normalitas
data menggunakan uji Shapiro-Wilk,
karena penelitian ini menggunakan
sampel ≤50. Setelah melakukan uji
normalitas data dan data terdistribusi
secara normal, selanjutnya dilakukan
uji statistik analitik numerik tidak
berpasangan lebih dari 2 kelompok
yaitu uji one way ANOVA yang
dilanjutkan dengan uji LSD (Least
Significant Difference) dengan taraf
signifikansi 0,05 (95%) untuk
mengetahui kelompok uji mana saja
yang berbeda.
HASIL
Nilai rata-rata (mean) viabilitas
sel fibroblas, standar deviasi dan hasil
uji normalitas data dapat dilihat pada
tabel 1.
221
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
Tabel 1. Nilai rata-rata viabilitas sel fibroblas, standar deviasi dan hasil uji normalitas data.
Kelompok N Mean(%) ± SD Shapiro-Wilk (Sig.)
Kelompok 1 (54mg/ml) 4 88.29725 ± 2.438081 .729
Kelompok 2 (27mg/ml) 4 88.98900 ± 2.707813 .065
Kelompok 3 (13,5mg/ml) 4 92.66725 ± 2.980211 .388
Kelompok 4 (6,75mg/ml) 4 90.13750 ± 3.514843 .401
Kelompok 5 (3,375mg/ml) 4 100.65650 ± 6.286944 .899
Kelompok 6 (1,6875mg/ml) 4 88.82800± 2.556546 .164
Kelompok 7 (0,8437mg/ml)
Kelompok 8 (0,4218mg/ml)
Kelompok 9 (0,2109mg/ml)
4
4
4
90.08800 ± 3.928533
92.57700 ± 4.008748
97.61250 ± 3.110478
.186
.778
.473
Terlihat bahwa pada kelompok
perlakuan, menunjukkan rata-rata
viabilitas sel fibroblas rendah pada
kelompok 1 dan paling tinggi pada
kelompok 5. Hasil uji normalitas data
menggunakan Shapiro-Wilk Test
menunjukkan semua kelompok
perlakuan mempunyai distribusi yang
normal, karena didapatkan nilai
signifikansi lebih besar dari 0,05
(p>0,05). Selanjutnya dilakukan uji
homogenitas data untuk mengetahui
homogenitas dari varians data pada
setiap kelompok secara terpisah
maupun bersama-sama. Kemudian
dilakukan uji hipotesis komparatif
variabel numerik dengan lebih dari dua
kelompok yaitu uji one way ANOVA.
Tabel 2. Hasil uji statistik one way
ANOVA
Sig.
Viabilitas sel .000
Hasil uji LSD dapat dilihat pada
tabel 3. Kelompok perlakuan yang
mempunyai perbedaan bermakna
adalah yang mempunyai signifikansi
kurang dari 0,05,p<0,05).
Tabel 3. Hasil uji LSD viabilitas sel fibroblas dengan DFDATA
Kelompok 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kelompok
1
- 0,792 0,104 0,485 0,000* 0,840 0,497 0,111 0,001*
Kelompok
2
- - 0,169 0,662 0,000* 0,951 0,676 0,179 0,003*
Kelompok
3
- - - 0,339 0,005* 0,151 0,330 0,973 0,068
Kelompok
4
- - - - 0,000* 0,619 0,985 0,357 0,008*
Kelompok
5
- - - - - 0,000* 0,000* 0,004* 0,252
Kelompok
6
- - - - - - 0,632 0,161 0,002*
Kelompok
7
- - - - - - - 0,347 0,007*
Kelompok
8
- - - - - - - - 0,063
Kelompok
9
- - - - - - - - -
*p<0,05 mempunyai perbedaan yang bermakna
222
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
PEMBAHASAN
Limbah akar gigi post ekstraksi
banyak sekali ditemukan dan tidak
terpakai lagi. Namun sebenarnya,
komposisi kimia dari gigi mempunyai
kemiripan yang tinggi dengan tulang,
serta pada bagian dentin dan
sementumnya dapat melakukan
regenerasi tulang melalui proses
osteokonduksi dan osteoinduksi
dimana bagian tersebut mempunyai
kandungan bahan organik kolagen tipe
1 yang tinggi.11, 18
Gigi dapat mempunyai sejumlah
besar komponen organik meskipun
gigi tersebut telah lama ditinggalkan
setelah pencabutan, hal ini disebabkan
karena bagian luar dari gigi dapat
melindungi komponen organik dalam
waktu yang lama.19 Penggunaan
metode demineralisasi dengan asam
hidroklorik memperlihatkan protein-
protein yang dapat menginduksi tulang
yang terdapat pada matriks tulang.
Protein-protein itu disebut BMP yang
tersusun dari asam polipeptida karena
protein-protein ini mempunyai
kemampuan untuk merangsang stem
sel pada host untuk berdiferensiasi
menjadi osteoblas, maka DFDBA
lebih induktif dibanding dengan tulang
yang tidak didemineralisasi.20
Pada penelitian ini digunakan
ukuran DFDATA 355-710 µm karena
partikel DFDBA yang terlalu kecil
dapat menyebabkan terjadinya respon
makrofag sehingga DFDBA akan
diresorbsi, maka akan terjadi sedikit
pembentukan tulang atau tidak ada
pembentukan tulang sama sekali dan
bila lebih besar dari ukuran tersebut
tidak dapat membentuk suatu porositas
yang optimal serta tidak dapat
diletakkan dengan baik pada defek
tulang.2, 3 Uji sitotoksisitas merupakan
uji yang wajib dilakukan sebelum
penggunaan bahan kedokteran gigi.
Uji sitotoksisitas merupakan uji tahap
awal dari uji biokompatibilitas dan
bahan kedokteran gigi harus
memenuhi syarat biokompatibilitas
yang dapat diterima oleh tubuh atau
host dan tidak membahayakan
penderita.21
Penelitian ini menggunakan
konsentrasi DFDATA yang tertinggi
yaitu 54mg/ml dan yang terendah
0,2109mg/ml, berdasarkan pada
penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Takamori dkk (2007), yang
menggunakan mixed bovine bone
untuk melihat sitotoksisitasnya dan
menemukan bahwa pada konsentrasi
sekitar 54mg/ml terdapat lebih dari
50% kematian sel fibroblas.22 Setelah
dilakukan penelitian, kelompok
perlakuan dengan viabilitas sel
fibroblas tertinggi adalah kelompok
dengan konsentrasi DFDATA
3,375mg/ml dan kelompok dengan
konsentrasi DFDATA 0,2109 mg/ml.
Viabilitas sel pada kelompok tersebut
mengalami peningkatan viabilitas sel
fibroblas dibanding dengan kelompok
perlakuan lainnya dikarenakan adanya
beberapa kemungkinan yaitu terjadi
proliferasi pada sel fibroblas setelah
diberi DFDATA. Pada penelitian ini
menggunakan metode MTT assay
untuk mengukur kontak langsung dari
bahan uji (DFDATA) terhadap
viabilitas sel fibroblas dan dibaca
dengan Elisa reader untuk mengetahui
nilai optical dencity tiap kelompok
perlakuan kemudian diteruskan dengan
menghitung presentase viabilitas sel
menggunakan rumus. Hasil
perhitungan dikatakan tidak toksik jika
persentase viabilitas sel >50%, namun
bila presentase viabilitas sel <50%
maka bahan uji dikatakan toksik.6
Kultur Cell lines merupakan
bagian dari kultur sel yang telah
223
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
banyak digunakan dalam menguji
bahan-bahan serta obat-obatan di
bidang kedokteran gigi, antara lain sel
BHK-21 yang berasal dari fibroblas
ginjal hamster. Kultur cell lines BHK-
21 terbukti lebih menguntungkan
karena cell lines dapat dikultur ulang
sampai 50–70 kali, kecepatan
pertumbuhan sel yang tinggi, integritas
sel tetap terjaga dan sel mampu
bermultiplikasi dalam suspensi.17, 23, 24
Sel fibroblas berfungsi sebagai
sel pertahanan karena mampu
berdiferensiasi sebagai osteoblas.
Kemampuannya untuk berkembang
cepat dalam jaringan luka, serta
mampu hidup sendiri dapat
menjelaskan mengapa sel fibroblas
dapat dengan mudah dibiakkan
sehingga menjadi subjek sel yang
paling digemari untuk penelitian
biologis.6 Alasan lain yang membuat
peneliti memilih sel fibroblas adalah
karena regenerasi tulang
membutuhkan proliferasi sel dan
sintesis kolagen. Dari sudut pandang
pertimbangan peranan graft dalam
perbaikan, saat ini diketahui bahwa
osteogenesis terjadi dalam dua fase.
Pada awalnya, tulang yang terbentuk
dalam graft dihasilkan oleh sel-sel
transplan yang berproliferasi dan
membentuk osteoid baru. Fase ini
mendominasi selama 4 minggu
pertama, setelah itu akan terjadi
osteogenesis yang terutama dibentuk
dari sel-sel jaringan ikat host dan
tulang. Pada fase kedua terjadi resorbsi
dan remodelling, yang menghasilkan
struktur tulang yang terorganisir atau
teratur. Aksi pencetus dari fibroblas
host akan meluas ke graft tulang,
dipandu oleh protein yang diturunkan
dari matriks mineral graft,
menyebabkan sintesis kolagen dan
garam hidroksiapatit untuk produksi
matriks tulang.25
Bone Graft adalah pilihan yang
banyak digunakan untuk memperbaiki
kerusakan tulang periodontal.26 Graft
ada bermacam-macam berdasarkan
asal donornya, dan pada penelitian ini
menggunakan bahan allograft karena
berasal dari individu yang berbeda
tetapi satu spesies.27 Graft pengganti
tersebut akan digunakan untuk
melakukan terapi regeneratif pada
penderita dengan penyakit periodontal.
Ligamen periodontal mempunyai sel
terpenting yaitu sel fibroblas.23 Oleh
karena itu, pada penelitian ini
dilakukan uji sitotoksisitas dengan
menggunakan kultur sel fibroblas.
Selain digunakan untuk melakukan
terapi regeneratif, graft pengganti
tersebut juga dapat digunakan untuk
menambah tulang pada perawatan
implan, untuk meningkatkan estetik
daerah-daerah pada gingiva yang
hilang di daerah senyum dan
mempercepat proses penyembuhan.28
Penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa uji sitotoksisitas yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa
persentase viabilitas sel fibroblas pada
setiap kelompok perlakuan viabilitas
sel fibroblas adalah >50% yang artinya
bahan DFDATA aman untuk
digunakan dan terbukti tidak toksik.
Menurut hasil tersebut maka sangat
mungkin DFDATA dapat digunakan
sebagai bahan pengganti bone graft di
bidang bone grafting dalam
kedokteran gigi di masa mendatang
serta dapat membantu dalam
peninggian tulang alveol pada
perawatan implan.
SIMPULAN
Uji sitotoksisitas menunjukkan
bahwa Demineralized Freeze Dried
Apical Tooth Allograft (DFDATA)
224
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
tidak toksik terhadap viabilitas sel
fibroblas dari BHK-21.
DAFTAR PUSTAKA
1. Situmorang NT. 2005. Dampak Karies
Gigi Dan Penyakit Periodontal Terhadap
Kualitas Hidup. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang
Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/Ilmu
Kesehatan Gigi Masyarakat. Medan:
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara. P. 3-2.
2. Widyastuti dan Wedarti YR. 2008.
Perbandingan Genotoksisitas
Demineralized Freeze Dryed Bone
Allograft Dengan Xenograft
Menggunakan Kultur Sel Fibroblas. H. 3-
1.
3. Masulili SLC, Maulani C, Sukardi I.
2008. Evaluasi Radiografis Cangkok
Tulang Alograf Dan Membran
Periosteum Pada Terapi Regeneratif
Untuk Periodontitis Agresif. Maj Ked Gi,
15(2). P. 174-69.
4. Koerniadi AI, Natalina, Kemal Y,
Lessang R, Sukardi I, Masulili SLC.
2008. Perawatan bedah flep periodontal
dengan cangkok tulang pada kasus
periodontitis agresif. Maj Ked Gi, 15(2).
P. 130-25.
5. Walton RE dan Torabinejad M. 2008.
Prinsip dan praktik ilmu endodonsi. Alih
bahasa Sumawinata N, Sidharta, W. Edisi
ke 3. Jakarta: EGC. P. 21-3.
6. Rovani CA, Kamizar, Usman M. 2008.
Perbandingan sitotoksisitas
endomethasone, AH plus, dan apexit plus
terhadap sel fibroblas dengan teknik root
dipping. Dentofasial, 7(2). P. 70-8.
7. Wirjokusumo S. 2003. Bone graft dalam
perawatan kedokteran gigi. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam
Bidang Ilmu Bedah Mulut, Fakultas
Kedokteran gigi Universitas Airlangga,
Surabaya.H. 3-1.
8. Minichetti JC, Amore JCD, Hong AYJ,
Cleveland DB. 2004. Human histologic
analysis of mineralized bone allograft
(Puros) placement before implant surgery.
Journal of Oral Implantology, xxx (2). P.
75-7.
9. Grover V, Kapoor A, Malhotra R,
Sachdeva S. 2011. Bone allografts: A
review of safety and efficacy. Indian
Journal of Dental Research, 2(2). P. 496.
10. Tirtayanti Y. 2011. Penggunaan
demineralized freeze-dried bone allograft
(DFDBA) pada augmentasi linggir
alveolar. Skripsi, Universitas Sumatera
Utara, Medan. H. 3-1.
11. Sung Min P, In Woong U, Young Kyun
K, Kyung Wook K. 2012. Clinical
application of auto-tooth bone graft
material. J Korean Assoc Oral Maxillofac
Surg 38. P. 8-2.
12. Chatzistavrou X, Papagerakis S, X.Ma P.
2012. Papagerakis P. Innovative
Approaches to Regenerate Enamel and
Dentin. Int J Dent. P. 5.
13. Bank Jaringan. 2012. Buku pedoman
kerja bank jaringan. Surabaya: Instalasi
Pusat Biomaterial Bank Jaringan RSU DR
Soetomo Surabaya.
14. Ferdiansyah. 2001. Standard produksi
biomaterial. The 1st Indonesia Tissue
Bank Scientific Meeting & Workshop On
Biomaterial Application, Surabaya. P. 24-
19.
15. Yuliati A. 2004. Uji toksisitas resin
komposit sinar tampak pada kultur sel
dengan esei MTT. Maj.Ked.Gigi
(Dent.J.), 37(2). P. 83-6.
16. ATCC. 2001. MTT cell proliferation
assay. Manassas: American Type Culture
Collection. P. 6-1.
17. Meizarini A. 2005. Sitotoksisitas bahan
restorasi cyanoacrylate pada variasi
perbandingan powder dan liquid
menggunakan MTT assay. Maj. Ked.
Gigi. (Dent.J.), 38(1): 20-4.
18. Young Kyun K, Su Gwan K, Ju Hee B,
Hyo Jung L, In Ung U, Sung Chul L, Suk
Young K. 2010. Development of a novel
bone grafting material using autogenous
teeth. Oral Surg Oral Med Oral Phathol
Oral radiol Endod, 109(4). P. 503-496.
19. Young Kyun K. 2012. Bone graft material
using teeth. J Korean Assoc Oral
Maxillofac Surg, 38. P. 134-8.
20. Oktawati S. 2003. Regenerasi tulang
alveolar setelah terapi dengan bone graft
DFDBA. Maj Ked. Gigi (Dent.J.), Edisi
khusus Temu ilmiah Nasional. P. 190-3.
21. Nirwana I, Soekartono RH. 2005.
Sitotoksisitas resin akrilik hybrid setelah
penambahan glass fiber dengan metode
berbeda. Majalah Kedokteran Gigi, 38(2).
P. 56-9.
22. Takamori ER, Figueira EA, Taga R,
Sogayar MC, Granjeiro JM. 2007.
Evaluation of the cytocompatibility of
mixed bovine bone. Braz Dent J, 18(3). P.
179-84.
23. Ariani MD, Yuliati A, Ardiato T. 2009.
Toxicity testing of chitosan from tiger
225
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
prawn shell waste on cell culture. Dental
Journal, 42(1). P. 16.
24. Soenartyo H dan Rianti D. 2003. Uji
sitotoksisitas ekstrak Coleus amboinicus,
Lour menggunakan esei MTT. Maj. Ked.
Gigi (Dent. J.), 36(2). P. 54-7.
25. Pedersen GW. 1996. Buku ajar praktis
bedah mulut. Jakarta: EGC. P. 353.
26. Siregar NH. 2009. Keramik sebagai bahan
substitusi bone graft. Skripsi, Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara, Medan. P. 17-9.
27. Dumitrescu AL. 2011. Bone graft and
bone graft substitutes in periodontal
therapy. chemical in surgical periodontal
therapy. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg, 9(307). P. 144-73.
28. Dewi PS. 2007. Penatalaksanaan
kerusakan tulang pasca pencabutan
dengan teknik bone grafting. Interdental
Jurnal Kedokteran Gigi, 5(2). P. 21-17.
226
Panduan Penulisan Naskah
Denta “Jurnal Kedokteran Gigi” menerima
khusus naskah asli yang belum diterbitkan di
dalam maupun di luar negeri.
Ketentuan Naskah Penulisan
1. Naskah dapat berupa hasil penelitian,
konseptual ilmiah atau laporn kasus.
2. Naskah yang dikirim sebnayak 2 (dua)
rangkap disertai disket/CD/flash disk.
3. Naskah dapat ditulis dalam bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris.
4. Naskah diketik dengan program MS
Word dengan huruf Times New
Roman dengan besar huruf 12 dan
spasi 1 serta panjang halaman 7-15
halaman pada kertas HVS ukuran A4,
tidak bolak balik dengan batas pinggir
3-4 cm.
5. Naskah serta ilustrasi yang menyertai
menjadi milik sah penerbit dan tidak
dibenarkan untuk diterbitkan pada
publikasi lain selain ijin penerbit.
Naskah dapat diedit penyunting bila
diperlukan tanpa mengubah maksud
isinya.
Sistematika Penulisan
1. Naskah hasil penelitian disajikan
dengan sistematika sebagai berikut :
(a) Judul
(b) Abstrak
(c) Pendahuluan
(d) Bahan dan Metode
(e) Hasil
(f) Pembahasan (serta simpulan)
(g) Daftar Pustaka
2. Naskah Konseptual Ilmiah disajikan
dengan sistematika sebagai berikut :
(a) Judul
(b) Abstrak
(c) Pendahuluan
(d) Subjudul-subjudul tinjauan
pustaka
(e) Pembahasan (serta simpulan)
(f) Daftar pustaka
3. Laporan kasus:
(a) Judul
(b) Abstrak
(c) Pendahuluan
(d) Kasus dan tata laksana Kasus
(e) Pembahasan (serta simpulan)
(f) Daftar Pustaka
4. Judul:
(a) Dalam bahasa Indonesia dan
Inggris.
(b) Harus menggambarkan isi tulisan
secara ringkas dan jelas.
(c) Jumlah kata 10-15 kata.
(d) Ditulis dalam bahasa Indonesia
dengan huruf Times New Roman
besar-kecil ukuran 17,5 dan tebal,
dan dalam bahasa Inggris dengan
huruf Times New Roman besar-
kecil ukuran 15,5, miring dan
terletak di dalam kurung.
5. Nama penulis (tanpa gelar) ditulis
dengan huruf Times New Roman
ukuran 9,5 dan tebal.
6. Nama lembaga ditulis dengan huruf
Times New Roman ukuran 9,5.
7. Abstrak (Times New Roman besar,
tebal, font 10,5).
(a) Ditulis dalam bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia.
(b) Tidak lebih daari 250 kata.
(c) Menggunakan huruf Times New
Roman ukuran 10,5 dalam satu
alinea, spasi 1,5.
(d) Berisi intisari seluruh tulisan yang
terdiri dari:
Hasil penelitian:
Background, Purpose,
Material and Method, Result,
Conclucion
Studi pustaka:
Background, Purpose, Case,
Case Management,
Conclucion.
Laporan kasus:
Background, Purpose, Case,
Case Management,
Conclucion.
(e) Dicantumkan 2-5 kata kunci
(keywords) dan korespondensi
(correspondence) berisi nama,
instansi, alamat, nomor telepon,
dan faksimili serta email dengan
menggunakan huruf Times New
Roman 10,5.
8. Pendahuluan meliputi latar belakang,
rumusan masalah serta tujuan
penulisan.
9. Bahan dan metode meliputi bahan dan
alat yang digunakan, waktu, tempat,
rancangan, dan prosedur pelaksanaan
penelitian.
10. Hasil dikemukakan dengan jelas dan
bila perlu dilengkapi dengan tabel,
ilustrasi, dan foto yang diberi nomor
berurutan dalam teks. Judul tabel
ditulis di atasnya. Keterangan gambar
diberikan di bawahnya. Foto
berwarna/hitam putih menggunakan
kertas putih mengkilat dan harus
kontras, tajam, jelas.
11. Subjudul-subjudul berisi subtropik
studi pustaka dan pembahasan
disesuaikan dengan kebutuhan.
12. Kasus merupakan penjelasan kasus
yang meliputi anamnesis, pemeriksaan
klinis baik ekstra oral maupun intra
oral, pemeriksaan penunjang, dan
diagnosisnya.
13. Tata Laksana Kasus menjelaskan
prosedur penatalaksanaan yang
dilakukan pada penderita secara jelas.
14. Pembahasan menjelaskan hasil
penelitian sebagai pembacaan
masalah, dikaitkan dengan penelitian
terdahulu serta kemungkinan
pengembangannya. Memuat
kesimpulan yang merupakan bagian
akhir tulisan yang menunjukkan
jawaban atas tujuan yang telah
dikemukakan dalam pendahuluan.
15. Ucapan terima kasih ditulis apabila
memang ada pihak yang telah
membantu dalam kegiatan yang
dilakukan, maka ucapan terima kasih
dapat disampaikan di sini diletakkan
pada akhir naskah sebelum daftar
pustaka.
16. Daftar pustaka
(a) Daftar pustaka berisi informasi
tentang sumber pustaka yang
telah dirujuk dalam tubuh tulisan.
(b) Untuk setiap pustaka yang dirujuk
dalam naskah harus muncul
dalam daftar pustaka, begitu juga
sebaliknya setiap pustaka yang
muncul dalam daftar pustaka
harus pernah dirujuk dalam tubuh
tulisan
(c) Format perujukan pustaka di
dalam naskah disusun menurut
angka secara berurutan dari nama
pertama keluar dalam Daftar
Pustaka, mengikuti cara
Vancouver.
(d) Contoh penulisan kepustakaan
menurut Vancouver yaitu :
1. Bills DA, Handelman CS, Be
Gole EA. 2005. Bimaxillary
dentoalveolar protrusion:
Traits and Orthodontics
correction. Angle Orthod,
75(1): 339-333.
2. Newman MG, Takei HH,
Klokkevoid PR, Carranza
FA. 2006. Clinical
Periodontology, 10th edition,
St Louis: Saunders. p 245-
241.
3. Bayu A. 2009. Hutan
Mangrove Sebagai Salah
Satu Sumber Produk Alam
Laut. Oseana, 34(2): 23-15.
Available from
http://isdj.pdii.lipi.go.id/admi
n/jurnal/342091523.pdf.
Diakses 13 Juni 2012.
17. Penulis bertanggung jawab terhadap
isi naskah beserta data, pendapat, dan
pernyataan di dalamnya. Penerbit,
Dewan Redaksi dan Staf Majalah
denta tidak bertanggungjawab
terhadap kesalahan isi askah termasuk
data, pendapat, dan pernyataan di
dalamnya.
Vol. 8 No. 2 Agustus 2014 ISSN : 1907-5987
1
FORMULIR BERLANGGANAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS HANG TUAH
Alamat redaksi: Jl. Arief Rahman Hakim 150 Surabaya
Telp. 031-5945864, 5945894 psw 219/220 Fax. 031-5946261
E-mail: [email protected]/[email protected]
Website: www.fkg.hangtuah.ac.id
Negara 1 Tahun 2 Tahun
Pulau Jawa Rp 70.000,00 Rp 130.000,00
Luar Pulau Jawa Rp 90.000,00 Rp 150.000,00
Saya ingin berlangganan Denta Jurnal Kedokteran Gigi
Nama:. .............................................................................. Saya membayar majalah ini dengan:
Pekerjaan: .........................................................................
Institusi: ............................................................................ Tunai
Alamat surat: ....................................................................
.......................................................................................... Transfer
Kota: .................................................................................
Negara: .............................................................................
Telp: .................................................................................
Fax: ..................................................................................
E-mail: ..............................................................................
Periode langganan: Th..................... – Th. .......................
Tanda tangan: ...................................................................
No. Rekening : 00338-01-50-000315-1
Nama Bank : BTN Batara
Nama Penerima : Fakultas Kedokteran Gigi