vitiligo
DESCRIPTION
Laporan Kasus VitiligoTRANSCRIPT
BAB I
PRESENTASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN :
Nama : An. R
Usia : 5 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat badan : 20 Kg
Agama : Islam
Alamat : Pandak Bantul
Tanggal Pemeriksaan : 7 November 2012
B. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien di Poli Kulit & Kelamin RSUD Panembahan
Senopati Bantul
Keluhan utama : Bercak berwarna putih di tangan dan leher
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poliklinik penyakit kulit dan kelamin RSUD Salatiga dengan
keluhan bercak berwarna putih di tangan dan leher. Tidak terasa nyeri dan gatal.
Bercak berjumlah banyak, berbentuk tidak teratur, ukuran bermacam-macam.
Keluhan dirasakan sejak 1 bulan SMRS. Berawal dari bercak putih di tangan
kiri sebesar pentol korek, tanpa didahului oleh luka, kemudian bercak dirasakan
secara perlahan melebar dan bertambah di bagian tangan yang lain. Semenjak
keluhan dirasakan pasien belum pernah berobat.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah mengalami keluhan yang sama 6 bulan SMRS, kemudian pasien
berobat ke dokter spresialis kulit lalu diberi salep, kemudian bercak menghilang.
Riwayat mengkomsumsi obat-obatan tertentu sebelumnya di sangkal
Riwayat kontak dengan bahan alergi/iritan sebelumnya di sangkal
Riwayat alergi pada diri pasien disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
1
Keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti ini.
Riwayat alergi pada keluarga (+) (Asma, Biduran)
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
BB : 20 Kg
Status Gizi : Baik
Tanda-tanda Vital : Afebris
Status Dermatologikus
Predileksi : Antebrachii Dextra dan Sinistra (Regio Flexor)
UKK : Makula depigmentasi dengan batas tegas, berbentuk tidak
beraturan, tepi irreguler dan tidak meninggi, multiple, ukuran lentikular hingga
numular dengan persebaran regional.
D. RESUME
Seorang anak perempuan 5 tahun, datang ke Poli Kulit dan Kelamin
RSUD Panembahan Senopati Bantul pada tanggal 7 November 2012 dengan
keluhan utama adanya makula depigmentasi di regio antebrachii dextra sinistra
regio flexor, batas tegas, tepi irreguler tidak ada peninggian, berukuran lentikuler
hingga numular, jumlah multipel persebaran regional. Lesi tidak gatal dan tidak
nyeri, timbul 1 bulan SMRS. Berawal dari lesi kecil, kemudian secara perlahan
membesar. Lesi bersifat kronik residif. Riwayat pengobatan dilakukan 6 bulan
SMRS saat keluhan pertama kali terjadi, riwayat alergi disangkal, riwayat
penyakit keluarga disangkal.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
F. DIAGNOSIS BANDING
Vitiligo
2
Pityriasis Alba
Pityriasis Versicolor
Hipopigmentasi pasca inflamasi
Nevus Anemikus
Piebaldisme
G. DIAGNOSIS KERJA
Vitiligo
H. TERAPI
R/ Bergamote tinct 12,5% No. I
S 1 dd 1 (didiamkan 5’, dijemur 15’, dibilas dengan air)
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. PENDAHULUAN
Sejak zaman dahulu vitiligo telah dikenal dengan beberapa istilah yakni
shwetekusta, suitra, behak, dan beras1. Kata vitiligo sendiri berasal dan bahasa
latin, yakni vitellus yang berarti anak sapi, disebabkan karena kulit penderita
berwarna putih seperti kulit anak sapi yang berbercak putih. Istilah vitiligo
mulai diperkenalkan oleh Celsus, ia adalah seorang dokter Romawi pada abad
kedua2.
Insidensi Vitiligo rata-rata hanya 1% di seluruh dunia. Penyakit ini dapat
mengenai semua ras dan kedua jenis kelamin, Pernah dilaporkan bahwa vitiligo
yang terjadi pada perempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi perbedaan ini
dianggap berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan oleh karena
masalah kosmetik. Penyakit juga dapat terjadi sejak lahir sampai usia lanjut
dengan frekuensi tertinggi (50% dari kasus) pada usia 10–30 tahun3.
Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Namun,
diduga ini adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secarapoligenikatau
secara autosomal dominan. Berdasarkan laporan, didapatkan lebih dari30%
dari penderita vitiligomempunyai penyakit yang sama padaorangtua, saudara,
atau anak mereka. Pernah dilaporkan juga kasus vitiligo yang terjadi pada
kembar identik3,4.
Walaupun penyebab pasti vitiligo belum diketahui sepenuhnya. Namun,
beberapa faktor diduga dapat menjadi pencetus timbulnya vitiligo pada
seseorang2 :
1. Faktor mekanis
Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya
setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi
2. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A
Pada 7-15% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar matahari atau
4
UV A dan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada bagian kulit yang
Terpajan
3. Faktor emosi/psikis
Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah
mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat
4. Faktor hormonal
Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan
kontrasepsi oral. Tetapi pendapat tersebut masih diragukan.
2. DEFINISI
Vitiligo adalah gangguan depigmentasi idiopatik didapat yang ditandai
dengan gambaran makula putih tidak bersisik, hasil dari hancurnya melanosit
kulit secara selektif5,6.
Gambaran histologi pada lesi vitiligo, berupa bercak-bercak putih,
memperlihatkan akan hilangnya melanosit dan melanin dari lapisan kulit7.
Gambar 2.1. Melanosit pada histologi jaringan kulit normal8.
3. EPIDEMIOLOGI
Vitiligo terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi mencapai 1%3.
Survey epidemiologi pada kepulauan Bornholm di Denmark menemukan
prevalensi vitiligo mencapai 0,38%. Kemungkinan bahwa angka ini juga
berlaku untuk negara-negara lain di utara-barat Eropa4.
5
Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa
muda, dengan puncak onsetnya (50% kasus) pada usia 10-30 tahun, tetapi
kelainan ini dapat terjadi pada semua usia.Tidak dipengaruhi oleh ras, dengan
perbandingan laki-laki sama dengan perempuan. Pernah dilaporkan bahwa
vitiligo yang terjadi pada perempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi
perbedaan ini dianggap berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan
oleh karena masalah kosmetik3.
4. ETIOPATOGENESIS
Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Namun,
diduga ini adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan
secarapoligenikatau secara autosomal dominan.Berdasarkan laporan,
didapatkan lebih dari30% dari penderita vitiligomempunyai penyakit yang
sama pada orangtua, saudara, atau anak mereka. Pernah dilaporkan juga kasus
vitiligo yang terjadi pada kembar identik3,4.
Walaupun penyebab pasti vitiligo belum diketahui sepenuhnya. Namun,
beberapa faktor diduga dapat menjadi pencetus timbulnya vitiligo pada
seseorang2 :
1. Faktor mekanis
Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya
setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi
2. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A
Pada 7-15% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar matahari
atau UVA dan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada bagian kulit yang
terpajan
3. Faktor emosi / psikis
Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah
mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat
4. Faktor hormonal
Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan
kontrasepsi oral. Tetapi pendapat tersebut masih diragukan.
6
Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga
patofisiologi penyakit ini masih menjadi teka-teki. Sampai saat ini terdapat 3
hipotesis utama tentang mekanismepenghancuranmelanositpadavitiligo, yang
masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan, yaitu3,4:
1. Hipotesis autoimun, menyatakan bahwa melanosit yang terpilih
dihancurkan oleh limfosit tertentu yang telah diaktifkan. Namun, mekanisme
pengaktifan limfosit tersebut belum diketahui secara pasti. Teori ini juga
berdasarkan adanya temuan klinis terhadap hubungan antara vitiligo terhadap
gangguan autoimun. Autoantibodi organ spesifik untukt iroid, sel parietal
lambung, dan jaringan adrenal lebih sering ditemukan pada serum dengan
vitiligo dibandingkan dengan populasi umum. Antibodi terhadap melanosit
orang normal dapat dideteksi dengan menggunakan tes immunoprecipitation
spesifik yang memiliki pengaruh sitolisis. Didapati profil sel-T yang abnormal
pada pasien vitiligo dengan penurunan sel T-helper.
2. Hipotesis neurogenik, didasarkan pada interaksi dari melanosit dan sel
saraf. Hipotesis ini menyatakan bahwa adanya pelepasan mediator kimiawi
tertentu yang berasal dari akhiran saraf yang akan menyebabkan menurunnya
produksi melanin. Namun, studi baru pada penanda neuropeptida dan saraf
pada vitiligo menunjukkan bahwa neuropeptida Y mungkin memiliki peran
dalam proses terjadinya vitiligo.
3. Hipotesis neurogenik, menyatakan bahwa melanosit dihancurkan oleh zat-
zat beracun yang dibentuk sebagai bagian dari biosintesis melanin yang alami.
Penghancuran ini merupakan mekanisme proteksi alami untuk menyingkirkan
prekursor melanin yang beracun. Hipotesis ini berdasarkan temuan klinis dari
vitiligo dan penelitan eksperimen terhadap depigmentasi kulit oleh senyawa
kimia yang memilik efek mematikan pada fungsi melanosit. Senyawa ini juga
dapat menghasilkan leukoderma yang dibedakan dengan vitiligo idiopatik.
Sementara itu, mekanisme langsung terjadinya makula putih disebabkan
penghancuran melanosit yang progresif oleh sel-T sitotoksi, lainnya
7
ditentukan secara genetis melalui perubahan sitobiologika dan sitokin yang
terlibat3.
5. MANIFESTASI KLINIS
Vitiligo merupakan anomali pigmentasi kulit didapat. Kulit vitiligo
menunjukan gejala depigmentasi dengan bercak putih yang dibatasi oleh
warna kulit normal atau oleh hiperpigmentasi9. Pada vitiligo, ditemukan
makula dengan gambaran seperti “Kapur” atau putih pucat dengan tepi yang
tajam.
Progres dari penyakit ini bisa merupakan suatu pengembangan bertahap
dari makula lama atau pengembangan dari makula baru. Trichrome vitiligo
(tiga warna: putih,coklat muda,coklat tua) mewakili tahapan yang berbeda
dalam evolusi vitiligo3,9.
Tangan, pergelangan tangan, lutut, leher dan daerah sekitar lubang
(misalnya mulut) merupakan daerah-daerah yang sering ditemukan vitiligo5,6.
Kadang dapat juga ditemukan gambaran rambut yang memutih atau uban
prematur. Gambaran rambut putih pada vitiligo, dianalogikan dengan makula
putih, disebut dengan poliosis3.
Gambar 5.1. gambaran vitiligo pada wajah3.
8
6. KLASIFIKASI
Bermacam-macam klasifikasi dikemukakan oleh beberapa ahli. Koga
membagi vitiligo dalam 2 golongan yaitu7,2:
1. Vitiligo dengan distribusi sesuai dermatom.
2. Vitiligo dengan distribusi tidak sesuai dermatom.
Gambar 6.1. gambaran vitiligo bentuk fokal pada daerah lutut3.
Berdasarkan lokalisasi dan distribusinya, Nordlund membagi menjadi7:
1. Tipe lokalisata, yang terdiri atas:
a) Bentuk fokal : terdapat satu atau lebih makula pada satu daerah dan tidak
segmental.
b) Bentuk segmental : terdapat satu atau lebih makula dalam satu atau lebih
daerah dermatom dan selalu unilateral.
c) Bentuk mukosal : lesi hanya terdapat pada selaput lendir (genital dan
mulut).
2. Tipe generalisata, yang terdiri atas:
a) Bentuk akrofasial : lesi terdàpat pada bagian distal ekstremitas dan muka.
b) Bentuk vulgaris : lesi tersebar tanpa pola khusus.
c) Bentuk mixed : lesi campuran segmental dan vulgaris atau akrofasial
3. Bentuk universalis : lesi yang luas meliputi seluruh atauhampir seluruh
tubuh.
9
Gambar 6.2. Gambaran vitiligo universalis3
Gambar 6.3. Gambaran lokasi predileksi vitiligo3
7. DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis, serta ditunjang oleh pemeriksaan histopatologik serta pemeriksaan
dengan lampu Wood.
Biasanya, diagnosis vitiligo dapat dibuat dengan mudah pada
pemeriksaan klinis pasien, dengan ditemukannya gambaran bercak “kapur
putih”, bilateral (biasanya simetris), makula berbatas tajam pada lokasi yang
khas.
Pada pemeriksaan dengan lampu wood, lesi vitiligo tampak putih
berkilau dan hal ini berbeda dengan kelainan hipopigmentasi lainnya.
10
Dalam kasus-kasus tertentu, pemeriksaan histopatologik diperlukan
untuk melihat ada tidaknya melanosit dan granul melanin di epidermis3.
Kelainan kulit pada vitiligo juga dapat kita temukan pada pemeriksaan
dengan mikroskop elektron. Pada pemeriksaan ini terlihat hilangnya
melanosit, dan melanosom pada keratinosit, juga terdapat perubahan dalam
keratinosit: spongiosis, eksositosis, basilar vacuopathy, dan apoptosis.
Beberapa penulis menjumpai infiltrat limfositik di epidermis3.
Gambar 7.1.Perbandinganmelanosit normal(A) dan melanositvitiligo(B) menggunakanimmunocytochemistry. (C) analisisWestern blotmenegaskan
bahwaekspresiBcl-2 berkurangdalam dua barismelanositvitiligodibandingkandengan empatbarismelanositkontrol6.
8. DIAGNOSA BANDING
1. Pityriasis alba (berukuran kecil, tepi yang tidak berbatas tegas, dan warna
yang tidak terlalu putih )
2. Pityriasis versicolor (sisik halusdengan warna fluoresensikuning -
kehijauandi bawah lampuWood, KOHpositif)
3. Hipopigmentasi Pasca Inflamasi (makula tidak terlalu putih, biasanya
riwayat psoriasis atau eksim pada yang sama daerahmakula)
4. Nevus anemikus (tidak ada perubahan dengan wood lamp, tidak ada
eritema setelahdigosok).
5. Piebaldisme (kongenital, putih, stabil, garis berpigmenpada punggung,
pola khas dengan makula hiperpigmentasi besar ditengah daerah
hypomelanotik).
11
9. PENATALAKSANAAN
Ada banyak pilihan terapi yang bisa dilakukan pada pasien dengan
vitiligo. Hampir semua terapi bertujuan untuk mengembalikan pigmen pada
kulit. Seluruh pendekatan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing,
dan tidak semua terapi dapat sesuai dengan masing-masing penderita.
Tabir surya
Sunscreen atau tabir surya mencegah paparan sinar matahari berlebih pada
kulit dan hal ini dapat mengurangi kerusakan akibat sinar matahari dan dapat
mencegah terjadinya fenomena Koebner. Selain itu sunscreen juga dapat
mengurangi tanning dari kulit yang sehat dan dengan demikian mengurangi
kekontrasan antara kulit yang sehat dengan kulit yang terkena vitiligo3.
Kosmetik
Banyak penderita vitiligo, terutama jenis vitiligo fokal menggunakan
covermask kosmetik sebagai pilihan terapi. Area dengan lesi leukoderma,
khususnya pada wajah, leher, atau tangan dapat ditutup dengan make-up
konvensional, produk-produk self tanning, atau pengecatan topikal lain.
Pilihan untuk menggunakan kosmetik cukup menguntungkan pasien
dikarenakan biayanya yang murah, efek samping yang kecil, dan mudah
digunakan3,9.
Repigmentasi
1. Glukokortikoid topikal, sebagai awal pengobatan diberikan secara
intermiten (4 minggu pemakaian, 2 minggu tidak) glukokortikoid topikal
kelas I cukup praktis, sederhana, dan aman untuk pemberian pada makula
tunggal atau multipel. Jika dalam 2 bulan tidak ada respon, mungkin saja
terapi tidak berjalan efektif. Perlu dilakukan pemantauan tanda-tanda awal
atrofi akibat penggunaan kortikostreoid3. Pada beberapa penderita vitiligo,
terapi dengan kortikosteroid poten tinggi, misalnya betametason valerat
0,1% atau klobetasol propionat 0,05% efektif menimbulkan pigmen1.
12
2. Topikal inhibitor Kalsineurin. Tacrolimus dan pimecrolimus efektif
untuk repigmentasi vitiligo tetapi hanya didaerah yang terpapar sinar
matahari. Obat ini dilaporkan paling efektif bila dikombinasikan dengan
UVB atau terapi laserexcimer3. Terdapat juga hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa pimecrolimus 1% topikal sama efektifnya dengan
klobetasol propionat dalam memulihkan kulit akibat vitiligo10.
3. Topikal fotokemoterapi. Menggunakan topikal 8-methoxypsoralen (8-
MOP) dan UVA. Prosedur ini diindikasikan untuk makula berukuran
kecil dan hanya dilakukan oleh dokter yang berpengalaman. Hampir sama
dengan psoralen oral, mungkin diperlukan ≥15 kali terapi untuk inisiasi
respon dan ≥ 100 kali terapi untuk menyelesaikannya3.
4. Foto kemoterapi sistemik. PUVA oral lebih praktis digunakan untuk
vitiligo yang luas. PUVA oral dapat dilakukan bersamaan menggunakan
sinar matahari (di musim panas atau di daerah yang sepanjang tahun
disinari oleh matahari) dan 5-methoxypsoralen (5-MOP) (tersedia di
Eropa) atau sinar UVA buatandengan 5-MOP atau 8-MOP. Adanya
respon baik dari terapi dengan PUVA ini ditandai oleh munculnya
folikuler kecil yang berpigmen diatas lesi vitiligo. Foto kemoterapi PUVA
oral dengan 8-MOP atau 5-MOP keefektifannya mencapai 85%
untuk>70% pasien dengan vitiligo dikepala, leher, lengan atas, kaki, dan
di badan.3
5. UVB Narrow-band (311nm). Efektivitas terapi ini hampir sama dengan
PUVA, namun tidak memerlukan psoralen. UVB adalah terapi pilihan
untuk anak <6 tahun.
6. Laser Excimer (308nm). Terapi ini cukup efektif. Namun, sama seperti
pada PUVA, proses repigmentasi tergolong lambat. Terapi jenis ini sangat
efektif untuk vitiligo yang terdapat di wajah3.
13
Gambar 9.1. Gambar repigmentasi vitiligo. Tampak pola repigmentasifolikularsetelah diberikanterapiPUVA3.
7. Immunomudulator sistemik
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pada anak-anak dengan vitiligo,
betamethason telah diganti dengan oral methylprednisolon dan
dikombinasikan dengan topikal ointment fluticasone pada lesi vitiligo.
Tingkat keberhasilannya pada > 90% orang dewasa dan > 65% anak-anak
dengan vitiligo adalah dari tingkatan baik sampai sangat baik 12.
8. Topikal analog Vitamin D
Analog vitamin D, khususnya Calcipotriol, telah digunakan untuk terapi
tunggal atau dikombinasikan dengan topikal steroid pada managemen
vitiligo. Efek Vitamn D3 ini mampu menumbuhkan dan
mendiferensiasikan melanosit dan keratinosit kembali. Ini telah
dibuktikan pada suatu demonstrasi mengenai reseptor untuk 1-alpha
dihydroxyvitamin D3 pada melanosit. Dipercaya bahwa reseptor ini
mengatur stimulasi dari melanogenesis. Analog vitamin ini juga biasa
dikombinasikan dengan sinar UV (termasuk NB-UVB) dan topikal
steroid12.
9. Topikal 5-Fluorouracil
Topikal 5-Fluorouracil digunakan untuk menginduksi repigmentasi pada
lesi dengan vitiligo dengan memperbesar stimulasi migrasi dari folicular
melanosit ke epidermis selama proses epitelisasi. Bentuk topikal terapi ini
bisa dikombinasikan dengan titik dermabrasi dari lesi vitiligo untuk
meningkatkan respon dari repigmentasi. Didapatkan respon repigmentasi
14
mencapai 73,3% dengan menggunakan kombinasi ini setelah terapi
selama 6 bulan12.
Minigrafting
Teknik pembedahan dengan metode Minigrafting (Autolog Thin
Thierschgrafting, Suction Blister grafts,autologous minipunch grafts,
transplantation of cultured autologous melanocytes)cukup efektif untuk
mengatasi vitiligo dengan makula segmental yang stabil dan sulit diatasi3.
Depigmentasi
Tujuan dari depigmentasi adalah "kesatuan" warna kulit pada pasien dengan
vitiligo yang luas atau pasien dengan terapi PUVA yang gagal, yang tidak
dapat menggunakan PUVA, atau pasien yang menolak pilihan terapi PUVA3.
Bleaching, Pemutihan kulit normal dengan krimmonobenzyl ether dari
hydroquinone (MBEH) 20% ini bersifat permanen, artinya proses bleaching
(pemutihan) ini tidak reversible. Tingkat keberhasilan terapi ini >90%. Tahap
Akhir warna depigmentasi dengan MBEH adalah chalkwhite (kapur putih),
seperti pada makula vitiligo3. Monobenzon tersedia dalam bentuk cream 20%,
dioleskan 2 kali sehari selama 2 sampai 3 bulan pada daerah kulit yang masih
berpigmen. Terapi biasanya dianggap selesai setelah 10 bulan pemberian9.
15
Gambar 9.2. Algoritma penatalaksanaan vitiligo11.
10. PROGNOSIS
Vitiligo bukan penyakit yang membahayakan kehidupan, tetapi
prognosisnya masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran dan
kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang diberikan2.
16
BAB III
PEMBAHASAN
Vitiligo adalah gangguan depigmentasi idiopatik didapat. Tanda klinis
dari vitiligo adalah gambaran makula putih tidak bersisik, hasil dari
hancurnya melanosit kulit secara selektif. Diagnosis dapat ditegakkan
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan memberikan obat-obat yang
dapat memacu pembentukan pigmen kulit dan dapat pula dilakukan
prosedur pembedahan.
Pengenalan klinis dari vitiligo tidaklah sulit karena biasanya
memberikan gambaran yang khas.
Pemeriksaan penunjang tidak perlu dilakukan untuk menegakkan
diagnosa, akan tetapi dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti
dengan menggunakan woodlamp untuk menyingkirkan diagnosis lain.
Pada pasien ditemukan macula depigmentasi pada daerah tangan dan
leher, dengan batas jelas, irregular, tanpa didahului oleh perdangan
sebelumnya, dan tidak ada rasa gatal atau nyeri.
Tidak ditemukan riwayat pada keluarga dan riwayat alergi terhadap
obat, makanan, atau bahan tertentu disangkal, hal ini menunjukkan
bahwa tidak ada riwayat atopi pada diri pasien.
Pasien pernah mengalami hal serupa sebelumnya, tetapi sudah
melakukan pengobatan ke dokter spesialis, keluhan dirasakan
membaik, hingga timbul lagi beberapa bulan kemudian, yang
menunjukkan bahwa keadaan ini bersifat kronik dan residif.
Pytiriasis alba disingkirkan karena pada lesi pasien ini tidak
ditemukan skuama, dan berdasarkan anamnesis, lesi tidak diawali
dengan kemerahan, dan tidak gatal, lesi muncul secara tiba-tiba dari
ukuran kecil kemudian membesar secara perlahan
Pityriasis versicolor disingkirkan karena lesi yang ditemukan pada
pasien adalah macula depigmentasi, tidak dirasakan gatal, dengan
17
riwayat hygine yang baik, dan pasien juga megatakan tidak
mengalami keringat yang berlebihan.
Hipopigmentasi Pasca Inflamasi disingkirkan karena pada daerah
yang mengalami lesi sebelumnya adalah kulit yang intak, pasien tidak
mengalami peradangan ataupun luka pada daerah sekitar lesi
sebelumnya.
Piebaldisme disingkirkan karena lesi muncul secara tiba-tiba, dan
tidak ada riwayatkeluarga yang mengalami piebaldisme.
Terapi yang diberikan adalah jenis PUVA, dimana diberikan obat
Psoralen yang kemudian akan diinduksi dengan sinar UV-A untuk
menumbuhkan pigmen kulit.
Prognosis tergantung pada kesbaran dan kepatuhan pasien dalam
menjalani pengobatan.
18
BAB IV
KESIMPULAN
Vitiligo merupakan penyakit yang masih belum diketahui penyebabnya
secara pasti. Namun, beberapa faktor diduga bisa menjadi pencetus untuk
penyakit ini. Begitu juga, telah banyak hipotesis yang diungkapkan oleh para
peneliti untuk menyingkap misteri dibalik perjalanan penyakit ini.
Tidak adanya melanosit pada lapisan kulit, merupakan tanda khas
penyakit ini. Gambaran ruam vitiligo dapat berupa makula hipopigmentasi
yang lokal sampai universal. Daerah tangan, pergelangan tangan, lutut, leher
dan daerah sekitar lubang (misalnya mulut) adalah daerah-daerah predileksi
dari vitiligo.
Setelah anamnesis dan pemeriksaan klinis, pemeriksaan woodlamp dan
pemeriksaan laboratorium histopatologi dapat menjadi penunjang untuk
menegakkan diagnosis vitiligo.
Terapi vitiligo sendiri sampai saat ini masih kurang memuaskan. Tabir
surya dan kosmetik covermask bisa menjadi pilihan terapi yang murah dan
mudah serta dapat digunakan oleh pasien sendiri dibanding dengan terapi
lainnya. Kortikosteroid topikal juga dapat menjadi terapi inisial untuk vitiligo.
Tindakan pembedahan Minirafting pada vitiligo dapat menjadi pilihan terapi
apabila terapi lain memang tidak berhasil. Khusus untuk vitiligo dengan luas
permukaanya lebih dari 50% dan pengobatan psoralen tidak berhasil, dapat
dipilih terapi depigmentasi agar seluruh kulit memiliki warna yang seragam.
Prognosis vitiligo masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran
dan kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang diberikan.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi 5. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
296-298.
2. Hidayat D. 1997. Vitiligo. Cermin Dunia Kedokteran. 117: 33-35.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=Hidayat%2BJ.%2BVitiligo
%252C%2Btinjauan%2Bkepustakaan.%2BDalam%2BCermin%2Bdunia
%2Bkedokteran&source=web&cd=1&ved=0CBgQFjAA&url=http%3A%2F
%2Fwww.kalbe.co.id%2Ffiles%2Fcdk%2Ffiles%2F11Vitiligo117.pdf
%2F11Vitiligo117.pdf&ei=PNCqTtHiI5HirAeKyZDmDA&usg=AFQjCNG8
ZD_6X0lotzoP72Ztn85py_efgA&cad=rja
3. Wolff K, Johnson RA. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis Of
Clinical
Dermatology. 6th Ed. Mcgraw Hill Medical: Newyork. 335-341.
4. Rook A, Wilkinson DS, Ebling FJG. 1998. Textbook of Dermatology. 6th ed.
Blackwell Science: Malden. 1802-1805.
5. Gawkrodger DJ. 2003. Dermatology an Ilustrated Colour Text. 3rd ed.
Churchill Livingstone: London. 70.
6. Boissy RE, Manga P. 2004. Review On the Etiology of Contact/Occupational
Vitiligo. Pigment Cell Res. 17: 208–214.
7. Moretti S. 2003. Vitiligo. Orphanet Encyclopedia.
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-vitiligo.pdf.
8. Shimizu H. 2007. Shimizu's Textbook of Dermatology. Hokkaido University
Press: Japan. 9.
9. James WD, Berger TG, Elston DM. 2006. Andrews’ Disease of The Skin.
10th ed. Saunders Elsevier: Philadelpia. 860-862.
10. Coskun B, Saral Y, Turgut D. 2005. Topical 0.05% clobetasol propionate
versus 1%
pimecrolimus ointment in vitiligo.Eur J Dermatol. 15 (2): 88-91.
20
11. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. 2008.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. Mc Graw Hill:New
York. 616-622.
12. Majid I. 2010. Vitiligo Management : an Update. BJMP. 3(3): a332.
21