vitiligo referat fix

Upload: rakunn92

Post on 05-Mar-2016

262 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

dokter

TRANSCRIPT

19

VITILIGORamadhan Kurniawan, S.KedBagian / Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan KelaminFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Dr. Mohammad HoesinPalembang

PENDAHULUANSejak zaman dahulu, vitiligo telah dikenal dengan beberapa istilah yakni shwetekusta, suitra, behak, dan beras. Kata vitiligo sendiri berasal dan bahasa latin, yakni vitellus yang berarti anak sapi, disebabkan karena kulit penderita berwarna putih seperti kulit anak sapi yang berbercak putih. Istilah vitiligo mulai diperkenalkan oleh Celsus, ia adalah seorang dokter Romawi pada abad kedua.1Insidensi Vitiligo rata-rata hanya 1% di seluruh dunia. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan kedua jenis kelamin, Pernah dilaporkan bahwa vitiligo yang terjadi pada perempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi perbedaan ini dianggap berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan oleh karena masalah kosmetik. Penyakit juga dapat terjadi sejak lahir sampai usia lanjut dengan frekuensi tertinggi (50% dari kasus) pada usia 1030 tahun.2Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Namun, diduga ini adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secara poligenikatau secara autosomal dominan. Berdasarkan laporan, didapatkan lebih dari 30% dari penderita vitiligo mempunyai penyakit yang sama pada orang tua, saudara, atau anak mereka. Pernah dilaporkan juga kasus vitiligo yang terjadi pada kembar identik.3Saat ini vitiligo merupakan salah satu penyakit yang penting untuk diketahui dan dibedakan dengan penyakit hipopigmentasi lainnya. Hal ini dikarenakan vitiligo dapat menyebabkan masalah pada berbagai aspek seperti estetik, kosmetik, dan pada tahap lanjut akan berdampak pada aspek psikososial.4,5 Referat ini bertujuan untuk memahami lebih mendalam mengenai penyakit vitiligo agar dapat diaplikasikan dalam ilmu penyakit kulit dan kelamin dengan tepat, sehingga penegakkan diagnosis dan tindakan apa yang mesti dilakukan terhadap penderita penyakit ini dapat terlaksana dengan benar.

DEFINISIVitiligo adalah suatu penyakit kulit autoimun herediter yang didapat dan bersifat progresif, berbentuk makula-patch bulat berwarna putih seperti susu yang dapat mengenai kulit dan/atau membran mukosa akibat amelanosis kulit.3

EPIDEMIOLOGIVitiligo dapat menyerang setiap individu dengan berbagai ras di seluruh dunia. Diperkirakan prevalensinya sekitar 1-2% dari populasi dunia. Vitiligo utamanya menyerang anak-anak dan semua usia, akan tetapi setengah dari penderita berada pada usia dibawah 20 tahun. Onset tertinggi berada pada rentang usia 10-30 tahun dengan rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan setara.9-13 Berbeda dengan usia dewasa, vitiligo pada anak lebih cenderung mengenai perempuan. Hanya 8% vitiligo pada usia dewasa memiliki riwayat keluarga yang positif, sedangkan pada anak, riwayat positif sebanyak 12-35%.14

ETIOLOGI DAN PATOGENESISPenyebab pasti dari vitiligo hingga kini masih belum diketahui. Hipotesis terkini menyatakan bahwa faktor genetik memegang peranan penting terhadap perkembangan penyakit vitiligo. Pada pasien dengan vitiligo non-segmental dan riwayat keluarga positif menderita vitiligo, penyakit ini terjadi pada usia yang lebih muda (rata-rata pada usia 24,8 tahun), sedangkan pada pasien dengan riwayat keluarga negatif terjadi rata-rata pada usia 42,2 tahun.15 Vitiligo onset sangat dini (dibawah usia 7 tahun) juga didapat pada anak-anak dengan riwayat vitiligo yang positif.17Penelitian terkini menunjukkan bahwa terdapat dua cara yang memungkinkan penurunan vitiligo dalam keluarga dan kedua cara tersebut berhubungan dengan usia terkena vitiligo. Vitiligo diturunkan secara autosomal dominan pada pasien yang mengalami vitiligo onset dini (dibawah usia 30 tahun), tetapi dengan penetrasi yang tidak sempurna. Akan tetapi, pada pasien yang terkena vitiligo pada rentang usia diatas 30 tahun, vitiligo terjadi secara autosomal resesif dan diakibatkan oleh berbagai faktor pemicu eksternal.15,16 Bukti lain menyatakan bahwa terdapat beberapa haplotipe HLA (Human Leucocytes Antigen) yang berhubungan erat dengan vitiligo dengan riwayat keluarga yang positif, onset terjadinya, tingkat keparahan penyakit, dan latar belakang etnis. Patogenesis vitiligo dinyatakan dalam berbagai teori, yaitu teori autoimun, teori stress oksidatif, dan teori neurogenik.3Teori AutoimunTeori autoimun didukung pada investigasi yang bersifat dasar dan klinis.3 Beberapa peneliti menyatakan bahwa peningkatan insiden autoimmune thyroiditis pada pasien dengan vitiligo telah dideterminasi secara genetik. Lokus pada kromosom 1 yang mengalami gangguan (Autoimmune susceptibility locus on chromosome 1/AIS1), dikombinasi dengan faktor eksternal diduga memprovokasi terjadinya reaksi autoimun yang berkembang menjadi autoimmune thyroiditis atau yang lebih dikenal sebagai Tiroiditis Hashimoto.Salah satu gangguan pada gen yang terletak pada kromosom 17p13 berkontribusi terhadap perkembangan beberapa penyakit autoimun: vitiligo generalis, autoimmune thyroiditis, diabetes mellitus dengan ketergantungan insulin, rheumatoid arthritis, psoriasis, anemia pernisiosa, systemic lupus erythematosus, dan penyakit Addison. Berdasarkan penelitian terhadap protein NALP1, gen yang memegang peranan terhadap imunitas seluler, variasi sequence DNA pada gen ini berhubungan dengan peningkatan risiko untuk terkena vitiligo generalis dan atau tiroiditis.19 Teori mengenai mekanisme imunitas seluler yang berhubungan dengan kerusakan melanosit pada penyakit vitiligo kemungkinan disebabkan secara langsung oleh sel T sitotoksik yang autoreaktif. Peningkatan jumlah CD8+ limfosit sitotoksik reaktif terhadap MelanA/Mart1 (antigen melanoma yang dikenali sel T), glikoprotein 100, dan tirosinase, telah dilaporkan pada pasien dengan vitiligo. Sel T CD8+ yang telah aktif banyak ditemukan pada perilesi vitiligo.3

Teori Stres OksidatifTeori stres oksidatif berbasis pada hipotesis yang mengarah pada ketidakseimbangan antara kadar antioksidan dan radikal bebas toksik pada melanosit penderita vitiligo. Peningkatan kadar oksidan yang diiringi dengan penurunan kadar antioksidan menjadi penyebab kerusakan melanosit. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) seperti peroksida (H2O2) yang dapat berefek pada kerusakan komponen sel.20 Selain itu, Kadar nitrit oksida (NO) juga meningkat baik pada melanosit yang dikultur maupun serum penderita vitiligo. Hal ini juga memungkinkan hipotesis autodestruction melanosit akibat peningkatan kadar NO.3Teori NeurogenikPerkembangan vitiligo terutama vitiligo segmental dapat dijelaskan dengan teori neurogenik. Teori ini menyatakan bahwa lesi terjadi akibat dari pelepasan abnormal dari mediator neurokimia yang menghambat melanogenesis (proses pembentukan melanin) atau memiliki efek toksik yang menyebabkan kehancuran melanosit.15 Hipotesis yang berkembang saat ini menyatakan bahwa terjadi peningkatan kadar neuropeptida Y (NPY) dalam darah dan saraf pada lesi vitiligo. NPY berhubungan dengan noradrenalin pada saraf dermal manusia dan diketahui berpotensi untuk menghasilkan efek autonomik dan sebagai modulator potensial respon simpatetik. Perubahan reaktivitas NPY diduga berkaitan dengan faktor dalam onset dan progresi penyakit.21Beberapa laporan kasus menyatakan bahwa pada beberapa pasien yang menderita cedera saraf dan mengalami vitiligo memiliki area denervasi yang hipopigmentasi dan depigmentasi. Sebagai tambahan, vitiligo segmental lebih sering terjadi sesuai dengan dermatom, sehingga muncul hipotesis bahwa mediator kimia tertentu dilepaskan dari ujung saraf yang mempengaruhi produksi melanin. Lebih lanjut, produksi keringat dan vasokonstriksi meningkat pada patch depigmentasi vitiligo, menunjukkan peningkatan aktivitas adrenergik.25

MANIFESTASI KLINISTampilan terbanyak pada vitiligo adalah amelanotik total (sebagai contoh gambaran seperti susu atau kapur putih) berbentuk makula dan patch yang mengelilingi kulit normal. Karakteristik lesi memiliki sebaran yang biasanya diskret, dapat berbentuk bulat, oval, ireguler, bahkan linier. Tepinya biasanya konveks, seolah-olah proses depigmentasi menyebar mengelilingi kulit normal berpigmen. Lesi biasanya membesar secara sentrifugal seiring dengan berjalannya waktu, dan kisaran pembesarannya dapat berjalan dengan lambat ataupun cepat. Makula dan patch vitiligo berdiameter dari millimeter hingga sentimeter serta memiliki ukuran yang bervariasi dalam satu area. Akan tetapi, lesi inisial terjadi paling sering pada tangan, lengan bawah, kaki, dan wajah. Jika vitiligo terjadi pada wajah, seringkali distribusinya pada perioral dan periokular. Pada seseorang yang berkulit putih, lesinya mungkin sulit dideteksi tanpa penggunaan lampu Wood. Pada seseorang yang berkulit hitam, kontras antara area vitiligo dan sekeliling kulit sangatlah jelas. Vitiligo biasanya asimtomatik walaupun terkadang terasa gatal atau pruritus.1,2

KLASIFIKASIBanyak sistem klasifikasi yang digunakan untuk menjelaskan vitiligo secara umum. Ada dua bentuk klasifikasi mayor yang telah diketahui, yaitu vitiligo segmental dan non-segmental. Vitiligo segmental biasanya ditandai dengan amelanosis yang tidak melewati garis tengah tubuh, sedangkan vitiligo non-segmental cenderung lebih simetris.1 Vitiligo segmental dan non-segmental biasanya terdapat pada satu pasien yang sama, dengan keterlibatan >1% luas permukaan tubuh (Body Surface Area).Vitiligo non-segmental adalah bentuk penyakit yang tersering (85-90% dari keseluruhan kasus), tapi untuk vitiligo segmental, dikarenakan terjadi pada onset yang lebih awal, kasus ini mengenai sekitar 30% dari keseluruhan kasus anak.6,7

Gambar 1. Vitiligo Non-Segmental, ditandai dengan patch putih yang simetris dan meluas seiring dengan bertambahnya waktu8

Gambar 2.Vitiligo Segmental, Ditandai dengan Patch Putih yang asimetris, tidak melewati garis tengah tubuh8

Gambar 1. Distribusi lesi amelanotik pada vitiligo1

Klasifikasi yang ada saat ini juga membagi vitiligo menjadi 3 subklasifikasi, yaitu vitiligo lokalis, generalis, dan universalis.1

Vitiligo Lokalis1. Fokal, satu atau lebih makula pada satu area, tapi tidak menunjukkan distribusi segmental yang jelas.

Gambar 3.Vitiligo lokalis (fokal) pada permukaan bokong3tubuh3

2. Unilateral/segmental, satu atau lebih makula yang melibatkan segmen unilateral pada tubuh, lesi biasanya terhenti dan tidak meluas sampai melewati garis tengah tubuh.

Gambar 4. Vitiligo segmental pada sebagian muka dan leher3

3. Mukosal, Keterlibatan vitiligo hanya pada membran mukosa saja.

Vitiligo Generalis1. Vulgaris, patch depigmentasi meluas pada berbagai tempat pada tubuh yang biasanya simetris.

Gambar 5. Vitiligo vulgaris pada dewasa32. Akrofasial, keterlibatan vitiligo pada ektremitas dan wajah.

Gambar 5. Vitiligo akrofasial33. Mixed/campuran, variasi kombinasi dari vitiligo segmental, akrofasial, dan/atau vulgaris.

Vitiligo UniversalisPada tipe ini, depigmentasi terjadi pada hampir atau seluruh tubuh. Sekitar 90% pasien vitiligo adalah tipe generalis. Vitiligo lokalis jauh lebih sering ditemukan dibandingkan vitiligo universal. Vitiligo segmental lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15-30% dari vitiligo pada anak.

Gambar 6. Vitiligo mengenai hampir seluas permukaan tubuh3

PENEGAKKAN DIAGNOSISVitiligo sering dihubungkan dengan kelainan autoimun. Kelainan endokrinopati yang paling sering dihubungkan dengan vitiligo adalah disfungsi tiroid, baik itu hipertiroidisme (graves disease) atau hipotiroidisme (tiroiditis Hashimoto). Vitiligo biasanya mendahului onset dari disfungsi troid. Addison disease, anemia pernisiosa, alopecia areata, dan diabetes mellitus juga terjadi dengan meningkatnya pasien vitiligo. Vitiligo bisa jadi mempengaruhi melanosit yang aktif pada seluruh tubuh, termasuk sel pigmen pada rambut, telinga bagian dalam, dan retina. Poliosis (leukotrichia) terjadi pada beberapa pasien vitiligo. Rambut yang beruban terlalu dini dilaporkan terjadi pada pasien vitiligo dan pada kerabat dekat mereka, gangguan pendengaran dan penglihatan juga terjadi pada beberapa penderita vitiligo. Meningitis aseptik juga dapat terjadi, meskipun jarang, dan diduga sebagai akibat dari kerusakan melanosit leptomeningeal.Depigmentasi yang menyerupai vitiligo dapat terjadi pada pasien dengan melanoma maligna dan dipercaya sebagai akibat dari reaksi T cell mediated terhadap antigen sel melanoma.2

Kelainan PenglihatanMeskipun pasien dengan vitiligo biasanya tidak memiliki keluhan penglihatan, namun pada pasien ini dapat ditemukan adanya kelainan okuler. Abnormalitas pigmen pada iris dan retina dapat terjadi. Abnormalitas pada choroid dilaporkan sampai 30% pasien vitiligo dan iritis pada hampir 5% pasien. Uveitis sering mucul sebagai manifestasi okuler. Exophtalmus dapat terjadi pada Graves disease yang menyertai pada vitiligo. Tajam penglihatan secara umum tidak terpengaruh.2Pemeriksaan lampu Wood pada VitiligoPemeriksaan lampu Wood dilakukan pada jarak 10-12 cm dari lesi. Fungsi normal dari melanin adalah untuk memblok dan mengabsorbsi sinar. Oleh karena berkurangnya atau tidak adanya melanin pada epidermis pada lesi vitiligo, maka sinar tidak dapat diblok dan diteruskan ke lapisan kulit yang lebih dalam. Gambaran pada vitiligo dengan pemeriksaan lampu Wood ini adalah warna putih kebiruan yang nyata dengan tepi yang berbatas tegas.26

Gambar 7. Gambaran pemeriksaan dengan menggunakan lampu Wood pada penderita vitiligo26

Pemeriksaan LaboratoriumDiagnosis vitiligo yang paling utama berasal dari pemeriksaan klinis. Akan tetapi, dengan adanya hubungan antara vitiligo dengan kelainan autoimun lain, maka beberapa pemeriksaan laboratorium sebagai screening dapat membantu, meliputi pemeriksaan kadar TSH (thyroid stimulating hormone), antibodi antinuclear, dan hitung sel darah lengkap. Selain itu perlu juga dipertimbangkan pemeriksaan anti-tiroglobulin serum dan antibodi anti-tiroid peroksidase, terutama ketika pasien memiliki tanda-tanda dan gejala dari penyakit tiroid. Antibodi anti-tiroid peroksidase, dianggap sebagai marker yang sensitif dan spesifik pada kelainan tiroid autoimun.2HistologiSesuai dengan definisinya, pada vitiligo terjadi kekurangan melanosit pada kulit yang terkena lesi. Selain itu, infiltasi limfosit primer pada dermis superfisial, perivaskuler, dan perifolikuler dapat dilihat pada tepi lesi vitiligo dan pada lesi awal. Gambaran ini muncul karena terjadi proses cell-mediated immune berupa perusakan melanosit pada vitiligo.2Pemeriksaan Histopatologi

Gambar 6. Gambaran histopatologi pada vitiligo2Gambar diatas merupakan biopsi kulit pada vitiligo aktif. Pada (A) dan (B) tampak pigmentasi yang berkurang pada lapisan basalis (dengan pengecatan Hematoksilin Eosin/HE dan Fontana Masson/FM stain pembesaran 100x dan 400x). Pada gambar C tampak pigmentasi epidermis residual pada lesi vitiligo, dengan granul-granul melanin yang tersusun halus pada dermis bagian atas (pengecatan FM pembesaran 400x).2

Pemeriksaan dengan Mikroskop ElektronKelainan kulit pada vitiligo juga dapat kita temukan pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron. Pada pemeriksaan ini terlihat hilangnya melanosit dan melanosom pada keratinosit, juga terdapat perubahan dalam keratinosit: spongiosis, eksositosis, basilarvacuopathy, dan apoptosis. Beberapa penulis menjumpai infiltrat limfositik di epidermis.2

Gambar 8. Perbandingan melanosit normal(A) dan melanosit vitiligo(B) menggunakan immunocytochemistry. (C) analisis Western blot menegaskan bahwaekspresi Bcl-2 berkurangdalam dua baris melanosit vitiligo dibandingkan dengan empat baris melanosit kontrol.27

DIAGNOSIS BANDINGPenyakit-penyakit dengan hipomelanosis atau amelanosis dapat menjadi diagnosis banding vitiligo. Pitiriasis versikolor, hipopigmentasi pasca inlamasi, hipopigmentasi pasca inflamasi, ataupun morbus hansen tipe indeterminate. Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan yang cermat untuk membedakan vitiligo dengan diagnosis banding yang lain.Pitiriasis versikolor biasanya menyerang unexposed area, daerah tubuh yang lebih lembab dan efektif untuk pertumbuhan jamur. Lesi memiliki skuama halus, dan secara klinis ditemukan gejala khas yaitu gatal terutama saat berkeringat. Pada pemeriksaan lampu Wood menunjukkan floresensi kuning atau kuning kehijauan dan dengan pemeriksaan KOH, menunjukkan gambaran spaghetti and meat ball appearence.Beberapa kasus luka pasca trauma, seperti luka bakar, dapat ditemukan lesi kronik yang menyembuh dengan hipopigmentasi dan berwarna putih. Penyakit ini sulit dibedakan dengan vitiligo murni karena gambarannya yang hampir sama. Secara klinis bisa dibedakan dengan melihat adanya folikel rambut, biasanya pada vitiligo masih ditemukan folikel rambut.Penyakit-penyakit inflamasi seperti psoriasis, dermatitis atopik, erupsi obat, dan penyakit inflamasi pada kulit lainnya dapat menyebabkan proses penyembuhan dengan gambaran hipopigmentasi pada kulit. Diperlukan anamnesis mendalam untuk menyingkirkan diagnosis banding ini.Untuk morbus hansen tipe indeterminate, lesi biasanya berbentuk patch hingga plak hipopigmentasi, tetapi disertai dengan hipoestesi-anestesi pada lesi.

PENATALAKSANAANBanyak pilihan terapi yang tersedia untuk pasien dengan vitiligo. Kebanyakan dari terapi ditujukan untuk mengembalikan pigmen kulit. Semua pendekatan yang ada memiliki keuntungan dan kekurangan, dan tidak selalu tepat pada semua pasien dengan vitiligo.SunscreenSunscreen atau yang lebih dikenal sebagai tabir surya dapat mencegah luka terbakar akibat sinar matahari kemungkinan dapat mengurangi photodamage. Sunscreen juga mengurangi kulit yang terbakar akibat sinar matahari dan mengurangi kontras dengan lesi vitiligo.KosmetikBanyak diantara pasien terutama yang mengalami vitiligo fokal di wajah, leher, ataupun tangan berobat secara kosmetik sebagai treatment utama. Kebanyakan dari mereka mengharapkan dapat memperoleh kulit yang sama persis dengan kulit sehat setelah diobati secara kosmetik.Kortikosteroid TopikalPemakaian kortikosteroid topikal diindikasikan sebagai terapi untuk vitiligo dengan area yang terbatas dan seringkali digunakan sebagai terapi lini pertama untuk anak-anak. Lesi pada wajah, leher, dan ekstremitas (kecuali jari jari-jari tangan dan jempol kaki) berespon dengan sangat baik dengan penggunaan kortikosteroid topikal. Tidak diketahui secara pasti mengapa lesi kulit di wajah pada penderita vitiligo memiliki respon yang lebih baik dibandingkan daerah lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya permeabilitas kulit wajah terhadap kortikosteroid, jumlah melanosit residual yang lebih luas pada kulit wajah yang tidak terlibat, atau karena kerusakan melanosit lebih mudah diperbaiki.Lesi yang terlokalisir dapat diobati dengan kortikosteroid potensi tinggi dengan fluorinasi selama 1-2 bulan pemakaian, setelah adanya perbaikan dosis secara bertahap diturunkan dengan cara penggantian kortikosteroid topikal potensi tinggi menjadi yang berpotensi lebih rendah. Pada anak-anak dan pasien dengan lesi yang lebih luas, kortikosteroid topikal potensi sedang tanpa fluorinasi sering digunakan.Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat digunakan untuk memonitor respon terapi. Jika respon tidak tampak setelah penggunaan selama 3 bulan, terapi harus dihentikan. Semakin gelap kulit pasien dengan vitiligo, semakin besar kemungkinan responnya terhadap kortikosteroid topikal.3Imunomodulator TopikalTakrolimus topikal ointment 0,03 persen hingga 0,01 persen efektif untuk repigmentasi kulit pada penderita vitiligo jika digunakan dua kali sehari, terutama untuk lesi di wajah dan leher. Telah dilaporkan bahwa penggunaannya bersamaan dengan Ultraviolet B (UVB) atau terapi laser excimer (308 nm). Takrolimus ointment diperkirakan secara umum lebih aman untuk anak dibandingkan kortikosteroid topikal.3 Pada dewasa, efikasi penggunaan terapi imunomodulator hanya terbatas pada wajah dan leher saja, sedangkan untuk daerah tubuh lainnya seperti pada batang tubuh menunjukkan hasil yang bervariasi.22Kalsipotriol TopikalKalsipotriol topikal 0,005% menghasilkan repigmentasi yang bisa diterima secara kosmetik pada penderita vitiligo.3 Kalsipotriol topikal atau sintetik vitamin D3 ini bisa menginduksi hasil yang mirip saat diterapi radiasi dengan sinar UV (pembengkakan melanosit pada epidermis dan meningkatkan aktivitas enzim tirosinase yang berdampak pada peningkatan sintesis melanin pada epidermis).23 Terapi kalsipotriol ini juga bisa dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal misalnya betametason dipropionat 0,05%. Pada penelitian terkini, kombinasi keduanya menimbulkan efek repigmentasi dengan onset yang lebih cepat dan efek samping minimal.24FototerapiTerapi ini berprinsip untuk menginduksi pembentukan melanin dengan bantuan sinar ultraviolet (UV), baik A ataupun B. Secara biologis, UVB lebih efektif dibandingkan UVA. Mekanisme pasti bagaimana UVB bisa menginduksi repigmentasi masih belum diketahui pasti, tetapi diduga UVB memilik efek imunomodulasi, stimulasi pertumbuhan dan proliferasi melanosit.Pada tahun 1940, 8-metoxypsoralen dikombinasikan dengan UVA (PUVA) diperkenalkan sebagai terapi vitiligo. PUVA dapat diberikan secara topikal ataupun oral. Setelah lesi disinari dengan UVA, psoralen secara kovalen mengikat DNA dan menginduksi replikasi sel. PUVA juga dapat menstimulasi enzim aktivitas enzim tirosinase (enzim esensial untuk menginduksi sintesis melanin) pada kulit yang tidak terkena. Mekanisme bagaimana PUVA menimbulkan efek repigmentasi pada vitiligo masih belum sepenuhnya diketahui. Penggunaan PUVA bisa sering dan mencakup waktu hingga berbulan-bulan. Kira-kira sebesar 70-80% pasien yang diterapi dengan PUVA menunjukkan respon (repigmentasi), tetapi persentase pasien dengan repigmentasi total kurang dari 20%. Pada pasien dengan vitiligo generalis, terapi dengan UVB spektrum sempit (Narrow Band Ultra Violet B/NB-UVB) lebih efektif dibandingkan dengan terapi PUVA (67 berbanding 46 persen). Jika terapi dengan NB-UVB setelah 6 bulan tidak menunjukkan kemajuan, terapi ini sebaiknya dihentikan.3LaserTerapi laser telah dipelajari pada beberapa percobaan, dan ditemukan bahwa terapi ini paling efektif ketika diberikan tiga kali seminggu, dengan periode terapi lebih dari 12 minggu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil repigmentasi yang memuaskan. Dosis inisial adalah 50-100 ml/cm2. Sebagaimana standar fototerapi, laser menghasilkan hasil terapi paling baik pada wajah, dan area yang kurang responsif pada tangan dan kaki.DepigmentasiMonobenzil eter dari hidrokuinon (Monobenzon) merupakan satu-satunya agen depigmentasi yang ada untuk depigmentasi sisa kulit yang normal pada pasien dengan vitiligo berat. Monobenzon merupakan toksin fenol yang merusak melanosit epidermis setelah penggunaan yang lama. Monobenzon kemudian dapat menghasilkan depigmentasi yang seragam dan merata yang secara kosmetik dapat lebih diterima oleh banyak pasien. Monobenzon tersedia dalam bentuk cream 20% dan dapat diformulasikan pada konsentrasi hingga 40%. Individu yang menggunakan monobenzon harus menghindari kontak langsung dengan orang lain selama 1 jam setelah pemberian terapi, oleh karena kontak langsung dapat menyebabkan terjadinya depigmentasi pada kulit yang tersentuh. Monobenzon juga bisa jadi mengiritasi dan menimbulkan sensitisasi alergi.Autolog Thin Thiersch GraftingThin split-thickness grafts pada terapi vitiligo ini didapatkan dengan menggunakan skalpel atau dermatom dan kemudian ditempatkan diatas lokasi kulit resipien yang telah disiapkan dengan cara yang sama atau dengan dermabrasi. Luas area kulit yang dapat digunakan dengan terapi ini antara 6-100 cm2. teknik ini juga telah berhasil digunakan untuk vitiligo pada bibir. Keuntungan teknik ini adalah cangkok kulit yang dapat melibatkan area kulit yang cukup luas dengan waktu yang relatif singkat. Akan tetapi, pertimbangannya adalah terapi ini membutuhkan anestesi total dan ada resiko timbulnya scar hipertrofi pada lokasi donor maupun resipien.Suction Blister GraftsPada terapi ini dilakukan pemisahan antara epidermis yang viabel dari dermis dengan produksi suction blister yang akan memisahkan kulit secara langsung pada dermal-epidermal junction. Epidermis berpigmen kemudian diambil dan digunakan untuk menutup kulit resipien yang telah disiapkan dengan cara dikelupas dengan menggunakan liquid nitrogen blister. Keuntungan dari suction blister grafts adalah pembentukan scra yang minimal oleh karena bagian dermis tetap intak baik pada daerah donor maupun resipien. Akan tetapi, kebanyakan dokter tidak memiliki perlengkapan mekanis yang diperlukan untuk memproduksi blister pada daerah donor.3

Gambar 9. Algoritma penatalaksanaan vitiligo.3

PROGNOSISVitiligo merupakan penyakit kronis, dan prognosis vitiligo cukup beragam. Onset penyakit yang berkembang cepat dapat diikuti oleh periode stabil atau perkembangan lambat. Hingga 30% pasien dapat terjadi repigmentasi spontan pada beberapa area, khususnya area-area yang sering terekspos sinar matahari. Perkembangan penyakit yang cepat pada vitiligo dapat mengarah pada depigmentasi luas dengan kehilangan pigmen secara menyeluruh pada kulit dan rambut, tapi tidak pada mata. Pengobatan vitiligo yang disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya (seperti penyakit tiroid) tidak berpengaruh pada prognosis vitiligo. Satu hal yang cukup mengejutkan adalah rendahnya angka kejadian keratosis solaris, SCCIS, SCC infasif, atau BCE pada bercak vitiligo.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bolognia, J. L., Jorizzo, J. L., Schaver, J. V. Dermatology 3rd Edition. New York: Elsevier Saunders, 2012.2. Wolff, K., Johnson, R. A. Fitzpatricks Color Atlas And Synopsis Of Clinical Dermatology 6th Ed. New York: Mcgraw Hill, 2009, hal. 335-341.3. Ortonne J. P, Bahdoran P., Fitzpatrick T. B., Mosher D. B., Hori Y. Hypomelanoses dan Hypermelanoses. Dalam: Fitzpatrick T. B., Freedberg I. M., Eisen A. Z., Wolff, K., Austen, K. F., Goldsmith, L. A. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th ed. New York: Mc Graw-Hill, 2008.4. Shameer, P., Prasad, P. V. S., dan Kaviarasan, P. K. Serum Zinc Level in Vitiligo: A Case Control Study. Indian Journal of Dermatology, Venereology and Leprology, 2005; 71: (3), hal. 206207.5. Paller, A. S., Mancini, A. J. Hurwitz Pediatrics Dermatology. Toronto: Elsevier Saunders, 2011.6. Hann, S. K., Lee, H. J. Segmental Vitiligo: Clinical Findings in 208 Patients. J Am Acad Dermatol, 1998; 35: 671-4.7. Taeb, A., dan Picardo, M. The Definition and Assessment of Vitiligo: A Consensus Report of The Vitiligo European Task Force. Pigment Cell Res. 2007; 20: 27-35.8. Taeb, A., dan Picardo, M. Clinical Practice: Vitiligo. N Engl J Med, 2009; 360: 160-9.9. Kovacs, S. O. Vitiligo. J Am Acad Dermatol, 1998; 38: 647-66.10. Huggins, R. H., Schwartz, R. A., dan Janniger, C. K. Vitiligo. Acta Dermatovenerol APA, 2005; 4 (14):137-45.11. Halder, R. M. Childhood Vitiligo. Clin Dermatol, 1997; 15: 899-906.12. Hurwitz, S. dkk. Clinical Pediatric Dermatology. Philadelphia: W. B. Saunders Company, 1993, hal. 458-60.13. Huggins, R. H., Schwartz, R. A., dan Janniger, C. K. Childhood Vitiligo. Cutis, 2007; 79 (4): 277-80.14. Handa, S., Dogra, S. Epidemiology of Childhood Vitiligo: A Study of 625 Patients from North India. Pediatr Dermatol, 2003; 20: 207-10.15. Pri, S., uran, V., Katani, D. Vitiligo in Children and Adolescents: A Literature Review. Serbian Journal of Dermatology and Venereology, 2010; 2 (3): 95-104.16. Arcos-Burgos, M., Parodi, E., Salgar, M., et al. Vitiligo: Complex Segregation and Linkage Diseqilibrium Analyses with Respect to Microsatelite Loci Spanning The HLA. Hum Genet, 2002.; 110: 334-42.17. Pajvani, U., Ahmad, N., Wiley, A., Levy, R. M., Kundu, R., Mancini, A. J., et al. The Relationship Between Family Medical History and Childhood Vitiligo. J Am Acad Dermatol, 2006.; 55 (2): 238-44.18. Fain, P. R., Gowan, K., La Berge, G. S., Alkhateeb, A., Stetler, G. L., Talbert, J., et al. A Genomewide Screen for Generalized Vitiligo: Confirmation Of AIS1 on Chromosome 1p31 and Evidence for Additional Susceptibility Loci. Am J Hum Genet, 2003.; 72: 1560-4.19. Jin Y, Mailloux CM, Gowan K, et al. NALP 1 in Vitiligo Associated Multiple Autoimmune Disease. N Engl J Med, 2007; 356:1216-25.20. Khan, R., Satyam, A., Gupta, S., et al. Circulatory Levels of Antioxidants and Lipid Peroxidation in Indian Patients with Generalized and Localized Vitiligo. Archives of Dermatological Research, 2009.; 301 (10): 731-7.21. Al Abadie, M. S. K., Senior, H. J., Bleehen, S. S., et al. Neuropeptide and Neuronal Marker Studies in Vitiligo. British Journal of Dermatology, 1994; 131 (2): 160-5.22. Choi, C. W., Chang, S. E., Bak, H., et al. Topical Immunomodulators are Effective for Treatment of Vitiligo. J Dermatol, 2008.; 35 (8): 503507.23. Tomita Y, Torinuki W, Tagami H. Stimulation of Human Melanocytes by Vitamin D3 Possibly Mediates Skin Pigmentation After Sun Exposure. J Invest Dermatol, 1988; 90(6): 882884.24. Kumaran, M. S., Kaur, I., Kumar, B. Effect of Topical Calcipotriol, Betamethasone Dipropionate and Their Combination in The Treatment of Localized Vitiligo. J Eur Acad Dermatol Venereol, 2006; 20 (3): 269273.25. Kovacs, S. O. Vitiligo. J Am Acad Dermatol. 1998; 38: 647-66.26. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Disease of The Skin 10th ed. Saunders Elsevier: Philadelpia, 2006., hal. 860-862.27. Boissy, R. E., Manga, P. Review on the Etiology of Contact/Occupational Vitiligo. Pigment Cell Res, 2004; 17: 208214.1