web viewkegiatan manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar bekang
Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senatiasa
terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu
oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi
itu banyak yang berpaling kepada agama atau kepercayaan Ilahiah.
Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak
menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu
apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu
mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan. Jika
proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara
mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu
pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang disusun dengan menggunakan
metode, secara sistematis dan saling berkaitan antara bidang ilmu yang satu
dengan bidang ilmu yang lainya dimana terkadang adanya suatu realita yang
akhirnya mampu menjelaskan tanda-tanda bahwa ilmu pengetahuan tersebut
dapat dimanfaatkan oleh manusia atau dapat merugikan manusia.Makin ilmu
pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan
(realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh
kenyataan (realitas).
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita
sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu
kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu
memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka
lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah
jawaban filsafati.
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 1
Kegiatan manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah filsafat yang
merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh
mungkin bagi manusia . Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat
pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari
segala kebenaran (Al-Kindi, 801 - 873 M).
Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio
yang bertanya. Obyek materinya semua yang ada. Maka menjadi tugas
filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan
kebijaksanaan universal.
Sonny Keraf dan Mikhael Dua mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentag
bertanya atau berpikir tentang segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang
pemikiran itu sendiri) dari segala sudut pandang. Thinking about thinking.
Meski bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang
filsafat, sebenarnya masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret apa itu
filsafat dan apa kriteria suatu pemikiran hingga kita bisa memvonisnya,
karena filsafat bukanlah sebuah disiplin ilmu. Sebagaimana definisinya,
sejarah dan perkembangan filsafat pun takkan pernah habis untuk dikupas.
Tapi justru karena itulah mengapa fisafat begitu layak untuk dikaji demi
mencari serta memaknai esensi kehidupan .
Dengan adanya berbagai macam pertanyaan maka munculah ahli – ahli
filosof , dimana pada makalah ini akan membahas tentang Aristoteles (384-
322 SM) yang mengalami puncak kejayaan filsafat di Yunani yang terkernal
dengan Logika Aristoteles.
B. Tujuan
Mengenal lebih lanjut tentang ahli filsafat pada zaman yunani kuno yaitu
Aristoteles (384-322 SM)dimana pemikiran aristoteles hingga saat ini banyak
digunakan dalam kehidupan sehari – hari yaitu tentang logika, metafisika ,
fisika , etika dan ekonomi .
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 2
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti semesta dalam hal
makna (hakikat) dan nilai-nilainya (esensi) yang tidak cukup dijangkau
hanya dengan panca indera manusia sekalipun.Bidang filsafat sangatlah
luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh
pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa
yang merupakan tujuan hidupnya. Filsafat menggunakan bahan-bahan
dasar deskriptif yang disajikan bidang-bidang studi khusus dan
melampaui deskripsi tersebut dengan menyelidiki atau menanyakan sifat
dasarnya, nila-nilainya dan kemungkinannya.Tujuannya adalah
pemahaman dan kebijaksanaan. Karena itulah filsafat merupakan
pendekatan yang menyeluruh terhadap kehidupan dan dunia. Suatu
bidang yang berhubungan erat dengan bidang-bidang pokok pengalaman
manusia.
Menurut Aristoteles filsafat ilmu adalah sebab dan asas segala benda.
Oleh karena itu dia menamakan filsafat sebagai teologi. Filsafat sebagai
refleksi dari pemikiran sistematis manusia atas realitas dan sekitarnya,
tentunya tidak berdiri sendiri, tidak tumbuh diruang dan tempat yang
kosong. Lingkungan keluarga, sosial alam dan potensi diri akan ikut
mempengaruhi seseorang dalam melakukan refleksi filosofis. Oleh
karenanya dalam sejarah pemikiran manusia terdapat tokoh pemikir
ataupun filosof yang selalu saja muncul dari zaman ke zaman dengan
tema yang berbeda-beda . Aristoteles (381 SM-322 SM) mengatakan
bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung
didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan
estetika.
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 3
Pembagian filsafat menurut Aristoteles
1. Logika yaitu tentang bentuk susunan pikiran
2. Filososfi teoritika yang diperinci atas
a. Fisika yaitu tentang dunia materiil (ilmu alam dan sebagainya)
b. Matematika yaitu tentang barang menurut kuantitasnya.
c. Metafiska yaitu tentang ada
d. Filosofia praktika, tentang hidup kesusilaan (berbuat)
e. Etika yaitu tentang kesusilaan dalam hidup perorangan.
f. Ekonomi yaitu tentang kesusilaan dalam kekeluargaan.
g. Politika yaitu tentang kesusilaan dalam hidup kenegaraan.
h. Filosofia poetika/aktiva (pencipta).
Pembagian ini meliputi seluruh ilmu pengetahuan waktu itu, jadi
apa yang sekarang dipandang termasuk ilmu pengetahuan,
dimasukkan didalamnya (khususnya bagian fisika). Sekarang
dengan tugas dibedakan antara filsafat dan ilmu pengetahuan.
Maka pembagian filsafat seperti yang dikemukakan oleh
Aristoteles telah ketinggalan, jadi harus disesuaikan dengan
perkembangan.
B. Riwayat Aristoteles
Aristoteles lahir pada tahun 384 SM di Trasia, suatu kota di Yunani
Utara, bapaknya bernama Machon yang berpropesi sebagai dokter,
keluarganya adalagh orang-orang yang tertarik pada ilmu kedokteran, ia
banyak mempelajari filsafat, Matematika, Astronomi, Retorika dan ilmu-
ilmu lainnya. Pada usia 17/18 tahun Aristoteles dikirim ke Athena untuk
belajar di academia Plato. Ia tinggal disana sampai Plato meninggal dunia
pada tahun 347/348, jadi kita-kira 20 tahun ia belajar akepada Plato.
Sewaktu ia belajar di academia, ia menerbitkan beberapa karya. Selain itu
juga ia belajar ilmu astronomi kepada eudotos dan kaippos yang pada
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 4
masa itu terkenal asebagai ahli astronomi. Aristoteles juga menmgajarkan
anggota-anggota akademoa yang lebih muda tentang logika dan retorika.
Di Athena ia mendirikan sekolah yang bernama Lyceum. Dari sekolah itu
banyak menghasilkan hasil penelitian yang tidak hanya dapat
menjelaskan prinsip-prinsip sains tetapi juga politik, retorika dan lain
sebagainya. Namun lama kelamaan posisi Aristoteles di Athena tidak
aman, karena aia orang asing. Lebih dari itu ia diisukan sebagai pnyebar
pengaruh yang bersifat subversif dan dituduh Atheis. Kemudian akhirnya
ia meninggalkan Athena dan pindah ke Cahalcis dan meninggal disana
pada tahun 322 SM.
Aristoteles adalah salah seorang yang pernah mengalahkan pemikiran-
pemikiran orang Yunani secara ilmiah dengan pernyataan-pernyataan
yang logis dan brilian, pernyataan-pernyataan tersebut aia peroleh melalui
diskusi dengan murid-muridnya. Keberhasilannya mengahsilkan
menyusun tekhnik berfikir sistematis dan benar sekaligus hukum-
hukumnya, telah mengangkatnya mejadi guru pertama logika di dunia
sampaikemasaini.
C. Pandangan Aristoteles
Aristoteles sependapat dengan gurunya Plato, yaitu tujuan terakhir
daripada filosofi adalah pengetahuan tentang wujud/adanya dan yang
umum. Dia juga mempunyai keyakinan tentang kebenaran yang
sebenarnya hanya dapat dicapai dengan jelas pengertian, bagaimana
memikirkan adanya itu? Menurut Aristoteles adanya itu tidak dapat
diketahui dari materi benda belaka, tidak pula dari pemikiran yang
bersifat umum semata. Seperti pendapat Plato tentang adanya itu terletak
dalam barang satu-satunya, selama barang tersebut ditentukan oleh yang
umum. Pandangannya juga yang realis dari pandanganan Plato yang
selalu didasarkan pada yang abstrak. Ini semua disebabkan dari
pendidikannya diwaktu kecil yang senantiasa mengharapkan adanya bukti
dan kenyataan. Ia terlebih dahulu memandang yang konkrit, bermula dari
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 5
mengumpulkan fakta-fakta yang ada kemudian disusun menurut ragam
dan jenis atau sifatnya dalam suatu sistem setelah itu ia meninjaunya
kembali dan disangkutpautkan satu sama lain.
Bila orang-orang shopis banyak yang menganggap manusia tidak akan
mampu memperoleh kebenaran, Aristoteles dalam metaphysics
menyatakan abahwa manusia dapat mencapai kebenaran. Tuhan itu
menurut Aristoteles berhubungan dengan dirinya sendiri. Ia tidak
berhubungan dengan (idak memperdulikan) alam ini. Ia bukan pesona, ia
tidak memperhatikan doa dan keinginan manusia. Dalam mencintai tuhan
kita tidak usah mengharapkan ia mencintai kita. Ia adalah kesempurnaan
tertinggi dan kita mencontoh ke sana untuk perbuatan dan pikiran-pikiran
kita.
Pandangan filsafatnya tentang etika adalah bahwa etika adalah sarana
untuk mencapai kebahagiaan dan merupakan sebagai barang yang
tertinggi dalam kehidupan. Etika dapat mendidik manusia supaya
memiliki sikap ayang pantas dalam segala perbuatan. Lebih lanjut ia
menjelaskan bahwa kebaikan terletak ditengah-tengah antara dua ujung
yag paliang jauh. Contohnya pemberani adalah sifat baik yang terletak di
antara pengecut dan nekad, dermawan terletak di antara kikir adan
pemboros, renadah hati terletak diantara berjiwa budi dan sombong, dan
lain sebagainya. Orang harus pandai mengusai diri agar tidak terombang-
ambing oleh hawa nafsu.
Namun, dalam pemahamannya selain dalam permasalahan etik ia juga
menyinggung masalah tentang nilai-nilai matematika, fisika, astronomi
dan filsafat. Ia menyatakan bahwa putra-putri semu warga negara
sebaiknya diajar sesuai dengan kemampuan mereka, sesuatu pandangan
mereka yang sama dengan doktrin Plato tentang keberadaan individual,
disiplin merupakan hal yang essensial untuk mengajarkan para pemuda
dan kaum laki-laki muda untuk mematuhi perintah-perintah dan
Mengendalikan gerakan hati mereka.
Aristoteles seorang filusuf yang terbesar, memberikan definisi bahwa
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 6
manusia itu adalah hewan yang berakal sehat yang mengeluarkan
pendapatnya yang bebicara berdasarkan akal pikirannya. (the animal that
reasons)
Dia pun mengajukan rumusan lain yaitu manusia itu adalah hewan yang
berpolitik (zoon politicion, political animal) hewan yang membangun
masyarakat diatas family-family menjadi pengelompokkan yang
impersonal dari opada kamapung dan negara. Ditambahnya pula bahwa
manusia itu political karena dia memiliki bahasa. Hal ini membawa
kepada kesimpulan bahwa semua hewan sosial (social animal) seperti
lebah dan semut, mempunyai beberapa pengucapan atau komunikasi.
Akan tetapi Aristoteles selanjutnya menerangkan pula bahwa keadilan
umpamanya tanpa idea-idea termaksud maka jenis masyarakat hewan
sering mempunyai organisasi yang menarik perhatian dan prilaku para
anggotanya tertib dalam pengertian garis-garis insting yang terbatas, akan
tetapi kita tidak berpendapat bahwa hewan-hewan tersebut tidak
menginsafi aturan-aturan dan mengubahnya dari waktauke waktu mereka
tetap tidak pernah beruasaha memikirkan suatu cita keadilan.
D. Pemikiran Aristoteles Tentang Filsafat
Pemikiran kefilsafatan memiliki cirri-ciri khas (karateristik) tertentu,
sebagian besar filosof berbeda pendapat mengenai karateristik pemikiran
kefilsafatan. Apabila perbedaan pendapat tersebut dipahami secara teliti
dan mendalam, maka karateristik pemikiran kefilsafatan tersebut terdiri
dari:
1. Menyeluruh, artinya pemikiran yang luas, pemikiran yang meliputi
beberapa sudut pandang. Pemikiran kefilsafatan meliputi beberapa
cabang ilmu, dan pemikiran semacam ini ingin mengetahui hubungan
antara cabang ilmu yang satu dengan yang lainnya. Integralitas
pemikiran kefilsafatan juga memikirkan hubungan ilmu dengan moral,
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 7
Senidan pandanganhidup.
2. Mendasar, artinya pemikiran mendalam sampai kepada hasil yang
fundamental (keluar dari gejala). Hasil pemikiran tersebut dapat
dijadikan dasar berpijak segenap nilai dan masalah-masalah keilmuan
(science).
3. Spekulatif, artinya hasil pemikiran yang diperoleh dijadikan dasar
bagi pemikiran-pemikiran selanjutnya dan hasil pemikirannya selalu
dimaksudkan sebagai medan garapan (obyek) yang baru pula.
Keadaan ini senantiasa bertambah dan berkembang meskipun
demikian bukan berarti hasil pemikiran kefilsafatan itu meragukan,
karena tidak pernah selesai seperti ilmu-ilmu diluar filsafat.
Menurut Aristoteles filsafat ilmu adalah sebab dan asas segala benda.
Oleh karena itu dia menamakan filsafat sebagai teologi. Filsafat
sebagai refleksi dari pemikiran sistematis manusia atas realitas dan
sekitarnya, tentunya tidak berdiri sendiri, tidak tumbuh diruang dan
tempat yang kosong. Lingkungan keluarga, sosial alam dan potensi
diri akan ikut mempengaruhi seseorang dalam melakukan refleksi
filosofis. Oleh karenanya dalam sejarah pemikiran manusia terdapat
tokoh pemikir ataupun filosof yang selalu saja muncul dari zaman ke
zaman dengantemayangberbeda-beda.
Aristoteles (381 SM-322 SM) mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu
yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu
metafisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Pembagianfilsafat menurut Aristoteles
1. Logika yaitu tentang bentuk susunan pikiran.
2. Filosofia teoritika yang diperinci atas
a. Fisika yaitu tentang dunia materiil (ilmu alam dan sebagainya).
b. Matematika yaitu tentang barang menurut kuantitasnya.
c. Metafisika yaitu tentang ada.
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 8
3. Filosofia praktika, tentang hidup kesusilaan (berbuat)
a. Etika yaitu tentang kesusilaan dalam hidup perorangan.
b. Ekonomi yaitu tentang kesusilaan dalam kekeluargaan.
c. Politika yaitu tentang kesusilaan dalam hidup kenegaraan.
4.Filosofia poetika/aktiva (pencipta)
Pembagian ini meliputi seluruh ilmu pengetahuan waktu itu, jadi apa yang
sekarang dipandang termasuk ilmu pengetahuan, dimasukkan didalamnya
(khususnya bagian fisika). Sekarang dengan tugas dibedakan antara
filsafat dan ilmu pengetahuan. Maka pembagian filsafat seperti yang
dikemukakan oleh Aristoteles telah ketinggalan, jadi harus disesuaikan
dengan perkembangan modern.
E. Karya Aristoteles
Karya Aristoteles amat banyak dan terwariskan kepada kita. Ia bukan
saja ahli filsafat, akan tetapi ahli semua ilmu yang terkenal pada waktu
itu. Biasanya karya Aristoteles dibagi atas empat golongan:
1. Logika : biasanya disebut organon (alat) membentangkan tentang
pengertian, putusan, syllogismus, bukti dan lain-lainnya.
2. Fisika : tentang alam, langit, bintang, hewan, jiwa dan lain-lainnya.
3. Metafisika : buku-buku yang terutama tentang filsafat.
4. Pengetahuan praktis : Ethica Eudemia, Ethica Nichomachea, kedua-
keduanya tentang tingkah laku, Republica Atheniensium (tatanegara
Atena), Rhetorica (tentang berceramah dan berpidato) dan Poetica.
1) Logika
Buah ajaran Aristoteles tentang logika berdasarkan ajaran tentang
jalan pikiran (ratiocinium) dan bukti. Jalan pikiran itu baginya
berupa syllogismus, yaitu putusan dua yang tersusun demikian rupa
sehingga melahirkan putusan yang ketiga.
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 9
2) Ontologia
Ajaran Aristoteles tentang fisika dan metafisika umum (ontologia)
tidak selalu dapat dibeda-bedakan atau dipisah-pisahkan. Yang
penting bagi kita ialah metafisikanya. Menurutnya yang sungguh-
sungguh ada itu bukanlah yang umum, melainkan yang khusus,
satu per satu.
3) Hule dan Morfe
Unsur yang menjadi dasar permacam-macaman ini disebut oleh
Aristoteles hule, adapun unsur kesatuan itu sebutnya morfe. Tiap-
tiap benda yang konkrit terdiri dari hule dan morfe, karena hulenya
maka benda itu benda itulah (bukan benda yang lain), karena
morfenya mempunyai inti dan dari itu termasuk pada suatu macam
dan dapat ditangkap oleh budi. Jadi menurut saya hule dan morfe
saling mengisi dan ada keterkaitannya. Hule dan morfe ini
merupakan satu kesatuan dan tak dapat dipisahkan, tak ada hule
tanpa morfe, begitu pula sebaiknya.
4) Aktus dan Potensia
Pontesia ialah dasar kemungkinan, sedangkan aktus ialah dasar
kesungguhannya. Barang sesuatu mungkin karena potensinya. Ia
sudah ada karena aktusnya. Dalam hal yang konkrit itu maka hule
merupakan potensia sedangkan morfenya merupakan aktus
5) Abstraksi
Idea tidaklah merupakan realitas tersendiri didunia sendiri,
melainkan sifat-sifat yang sama terdapat pada hal-hal yang
kongkrit. Oleh karena semua hal yang semacam itu memiliki sifat
itu, maka umumlah, oleh karena semua hal yang semacam itu harus
memiliki sifat itu, maka mutlaklah ia, tetap tak berubah.
6) Antropologi dan Etika
Filsafat Aristoteles tentang manusia sebetulnya tidak begitu terang
seperti ajarannya tentang hal-hal diatas. Baginya manusia itu hal
yang istimewa ia membeda-bedakan ada menurut kesempurnaan
masing-masing. Ada terdapat ada segitu saja seperti logam dan
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 10
lain-lain, terdapat pula ada hidup vegetatif, seperti tumbuh-
tumbuhan, terdapat pula yang kecuali ada dan hidup vegetatif
masih berasa, jadi sensitif, seperti binatang. Manusia disamping
kesempurnaan ada yang ketiga diatas itu masihlah pula berbudi.
Manusia tidak hanya ada saja dan pula hidup vegeatif serta sensitif,
melainkan juga rasionil. Baginya yang sensitif dan vegetatif itu
kena rusak maka karena itu akan mati, adapun rasionil tidaklah
kena mati, karena merupakan roh. Bagian yang roh dan bagian
yang mendukung budinya ini akan terus ada, setelah manusia
meninggal.
Menurut Aristoteles tujuan tertinggi yang dicapai ialah
kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan ini bukan kebahagiaan
yang subjektif, tetapi suatu keadaan yang sedemikian rupa,
sehingga segala sesuatu yang termasuk keadaan bahagia itu
terdapat pada manusia. Tujuan yang dikejar adalah demi
kepentingan diri sendiri, bukan demi kepentingan orang lain. Isi
kebahagiaan tiap makhluk yang berbuat ialah, bahwa perbuatan
sendiri bersifatnya khusus itu disempurnakan. Jadi kebahagiaan
manusia terletak disini, bahwa aktifitas yang khas miliknya sebagai
manusia itu disempurnakan. Padahal cirri khas manusia ialah
bahwa ia adalah makhluk rasional. Jadi puncak perbuatan
kesusilaan manusia terletak dalam perkiraan murni. Kebahagiaan
manusia yang tertinggi, yang dikejar oleh tiap manusia ialah
berpikir murni. Tetapi puncak itu hanya dicapai oleh para dewa,
manusia hanya dapat mencoba mendekatinya dengan mengatur
keinginannya.
Aristoteles menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan
segalanya. Dia setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu
“berubah” (menjadi besar dan tegap, misalnya), dan bahwa tidak
ada kuda yang hidup selamanya. Dia juga setuju bahwa bentuk
nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi idea-kuda adalah konsep
yang dibentuk manusia sesudah melihat (mengamati, mengalami)
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 11
sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki eksistensinya sendiri:
idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada (sekurang-
kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam benda-
benda.
Pola pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal.
Menurut Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan
akal kita, sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang
kita lihat dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal
bahwa bahwa manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan
bukan sekedar akal yang masuk dalam kesadarannya oleh
pendengaran dan penglihatannya. Namun justru akal itulah yang
merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari makhluk-
makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia
mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia
tidak ada idea-bawaan.
Aristoteles menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan
kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru,
yaitu metode rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam
metode rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar,
dibuat konklusi yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung
unsur-unsur dalam kedua premis itu. Inilah silogisme, yang
merupakan fondasi penting dalam logika, yaitu cabang filsafat yang
secara khusus menguji keabsahan cara berfikir. Logika dibentuk
dari kata,, dan berarti sesuatu yang diutarakan.
Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau akal yang
dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Dalam metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi
yang sifatnya partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi
menyusun pernyataan yang berlaku universal.
Aristoteles mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis
untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari
Plato. Berbeda dari Plato pula, Aristoteles menolak dualisme
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 12
tentang manusia dan memilih “hylemorfisme”: apa saja yang
dijumpai di dunia secara terpadu merupakan pengejawantahan
material (“hyle”) sana-sini dari bentuk (“morphe”) yang sama.
Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam
individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi
kemungkinan (“dynamis”, Latin: “potentia”) untuk
pengejawantahan (aktualitas) bentuk dalam setiap individu dengan
cara berbeda-beda. Maka ada banyak individu yang berbeda-beda
dalam jenis yang sama. Pertentangan Herakleitos dan Parmendides
diatasi dengan menekankan kesatuan dasar antara kedua gejala
yang “tetap” dan yang “berubah”.
Dalam konteks ini dapat dimengerti bila Aristoteles ada pada
pandangan bahwa wanita adalah “pria yang belum lengkap”.
Dalam reproduksi, wanita bersifat pasif dan reseptif, sedang pria
aktif dan produktif. Semua sifat yang aktual ada pada anak
potensial terkumpul lengkap dalam sperma pria. Wanita adalah
“ladang”, yang menerima dan menumbuhkan benih, sementara pria
adalah “yang menanam”. Dalam bahasa filsafat Aristoteles, pria
menyediakan “bentuk”, sedang wanita menyumbangkan
“substansi”.
Dalam makluk hidup (tumbuhan, binatang, manusia), bentuk diberi
nama “jiwa” (“psyche”, Latin: anima). Tetapi jiwa pada manusia
memiliki sifat istimewa: berkat jiwanya, manusia dapat
“mengamati” dunia secara inderawi, tetapi juga sanggup
“mengerti” dunia dalam dirinya. Jiwa manusia dilengkapi dengan
“nous” (Latin: “ratio” atau “intellectus”) yang membuat manusia
mampu mengucapkan dan menerima “logoz”. Itu membuat
manusia memilki bahasa.
Pemikiran Aristoteles merupakan harta karun umat manusia yang
berbudaya. Pengaruhnya terasa sampai kini, — itu berkat kekuatan
sintesis dan konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya
yang berpangkal pada pengamatan dan pengumpulan data.
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 13
Singkatnya, ia berhasil dengan gemilang menggabungkan
(melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan rasional-deduktif
tersebut diatas.
Aristoteles adalah guru Iskandar Agung, raja yang berhasil
membangun kekaisaran dalam wilayah yang sangat besar dari
Yunani-Mesir sampai ke India-Himalaya. Dengan itu, Helenisme
(Hellas = Yunani) menjadi salah satu faktor penting bagi
perkembangan pemikiran filsafati dan kebudayaan di wilayah timur
tengah juga .
Aristoteles menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh
untuk mempelajari realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan
tentang penalaran, berperan sebagai organon (“alat”) untuk sampai
kepada pengetahuan yang lebih mendalam, untuk selanjutnya
diolah dalam theoria yang membawa kepada praxis. Aristoteles
mengawali, atau sekurang-kurangnya secara tidak langsung
mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani, zoologi,
ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang
nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang
ditulisnya), dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan
Opticks (dari Newton), serta Experiments on Electricity (oleh
Franklin), Chemistry (dari Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell),
dan The Origin of Species (hasil pemikiran Darwin). Masing-
masing merupakan produk refleksi para pemikir itu dalam situasi
dan tradisi yang tersedia dalam zamannya masing-masing.
Dari segi rujukan (reference), nama diri mengacu kepada
"substansi", sementara yang dirujuk oleh kata sifat yang universal
adalah nama kelompok. Bertrand Russell mengambil contoh
permainan sepak bola untuk menjelaskan teori universalitas dan
partikularitas ini. Permainan sepak bola adalah suatu universalitas
karena merujuk kepada suatu aspek global atau aspek yang
mendunia karena tidak terikat kepada kontek ruang dan waktu
dimana permainan itu dilansungkan. Sementara mengatakan bahwa
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 14
permainan sepak bola tanpa eksisnya pemain yang memainkan olah
raga itu, maka hal itu tidak bisa diterima akal. Pemain sepak bola
merupakan partikularitas sejauh dia terikat kepada person, manusia,
dalam kontek kapan dan dimana manusia itu bermain. Dan itu
merupakan hal yang partikular. Ronaldo, Zidane, Beckham dan
lain-lain merupakan partikularis.
Zidane akan tetap Zidane meski selama hidupnya dia tidak pernah
menjadi pemain sepak bola. Zidane tidak akan berhenti menjadi
dirinya hanya karena dia kebetulan tidak pernah senang olah raga
apapun. Begitu pun sebaliknya, sepak bola akan tetap eksis meski
Zidane atau Ronaldo tidak pernah lahir ke dunia. Dengan cara ini,
Aristoteles membuktikan ketiadaaan hubungan timbal balik antara
Universalitas dan partikularis.
Namun penting dicatat, tidak berarti universalitas bisa hadir tanpa
subyek yang partikular, begitupun partikularitas tidak mungkin
muncul tanpa universalitas. Dengan kata lain, sepak bola bisa tetap
eksis meski tanpa Zidane, akan tetapi tidak mungkin eksis tanpa
ada orang yang memainkannya sama sekali. Sama halnya dengan
kita mengatakan bahwa biru masih bisa eksis meski tidak ada langit
atau lautan yang merepresentasikan kualitas warna tersebut, karena
warna biru bisa melekat pada benda lain. Namun tidak mungkin
warna tersebut eksis tanpa suatu subyek yang menampung
keberadaannya. Suatu subyek itulah partikularitas, dan warna biru
adalah universalitas. Kualitas warna biru, dengan demikian,
merupakan universalitas yang melekat pada partilukularitas, seperti
langit, lautan, atau pada suatu baju.
Contoh lain, "Moh. Sanusi adalah mahasiswa Ushuluddin yang
Bodoh, Sementara Fulan adalah mahasiswa Ushuluddin yang
Pandai." Dengan cara pandang Aristoles, "Moh. Sanusi" dan
"Fulan" adalah partikular, dan karenanya merupakan substansi,
sementara "Bodoh" dan "Pandai" merupakan universalitas, dan
karenanya bukan merupakan substansi, sebab sewaktu-waktu bisa
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 15
hilang dari kedua orang tersebut, ketika Fulan belajar dengan giat
sementara Moh. Sanusi tidak lagi mau belajar.
Dalam analisis lebih jauh, setiap benda, selain mempunya dimensi
sifat-sifat universal yang melekat pada suatu subyek, dalam dirinya
subyek itu juga mempunyai bahan dasar (substratum) dimana
kepadanya aspek universal tadi melekat. Inilah yang diklaimnya
sebagai substansi. Suatu bahan dasar yang tidak lenyap meski sifat-
sifat unirvesal tadi telah lenyap. Contoh tambahan, misalnya
Aristoteles menjadi uban atau botak di hari tuanya, tidak seperti
ketika di masa muda dia memiliki rambut hitam yang lebat. Dalam
teori ini, dia akan tetap sebagai Aristoteles. Akan tetapi beda
apabila Aristoteles berubah menjadi seekor Kodok, dimana hal ini
tentu saja berbeda dengan ketika Aristoteles masih sebagai manusia
atau filosof, maka dia tidak lagi bisa dikatan Aristoteles, sebab
bahan dasar yang partikular tadi telah berubah atau lenyap.
Pemikiran ini menyisakan celah dan kelemahan, sebab
partikularitas yang diasumsikan Aristoteles sebagai substansi,
justru kabur dan tidak bisa teridentifikasi secara obyektif.
Mengatakan bahwa subyek yang menanggung atribut universalitas
bisa saja melepaskan universalitasnya itu tanpa kehilangan dimensi
partikularitasnya adalah pemikiran yang cacat, sebab bagaimana
kita bisa mendeteksi partikularitas itu kecuali sebuah entitas yang
juga dimiliki masing-maisng individu. Entitas personal pada diri
Moh. Sanusi misalnya, adalah entitas yang juga dimiliki oleh orang
lain. Katakanlah hidung, mata, alis, atau hal yang berkaitan dengan
organ tubuh adalah juga dimiliki orang lain. Dalam hal ini kedirian
(personality) Moh. Sanusi sama seperti kedirian Fulan, Aristoteles
atau orang lain, yang juga sama-sama memiliki mata, hidung,
mulut dan organ lainnya. Lalu dengan apa kita bisa mengatakan
bahwa Moh. Sanusi dan Fulan merukan dua pribadi yang masing-
masingnya diidentifikasi sebagai yang partikular, dan karenanya
memiliki substansi berbeda? Benarkah jika kita mengatakan bahwa
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 16
Moh. Sanusi dan Fulan merupakan universalitas, karena keduanya
tidak benar-benar memiliki hal yang partikular yang khas dalam
dirinya sendiri?.
Dalam hal ini, kesalahan Aristoteles adalah tidak merinci secara
detail mana atribut dari subyek yang diasumsikan sebagai
partikular. Pengaburan standar ini berbahaya karena berpotensi
terjebak kepada category mistake seperti yang disinyalir Gilbert
Ryle. Kategori hidung, mata, telinga, dan organ lainnya tidak
seharusnya dilihat sebagai yang partikular lagi karena dalam skop
manusia, organ-organ tersebut masih bersifat universal. Begitupun
jiwa, pengalaman, emosi, ide atau situasi mental yang terdapat
dalam masing-masing orang. Setiap orang memiliki hal tersebut,
dan dalam hal tertentu, pengalaman mereka masih bisa dikatakan
universal, bukan partikular. Pengalaman cinta, misalnya, adalah
gejala universal. Lalu sampai sejauh mana Moh. Sanusi dan Fulan
memiliki pengalaman cinta yang sama dan bersifat partikular?
Inilah yang dilalaikan Aristoteles, bahwa detail atau standar yang
obyektif belum dia upayakan dalam pembedaan (distance) yang
jelas (distinct).
Forma Dan materi
Persoalan selanjutnya dalam metafisika Aristoteles adalah
pembedaan forma (form) dan materi (matter). Materi di sini bukan
dalam pengertian materi yang berlawanan dengan jiwa, akan tetapi
materi yang berlawanan dengan forma atau bentuk. Sama seperti
kasus universalitas dan partikularitas di atas, persoalannya pada
mulanya sederhana. Yakni pilihan Aristoteles menarik garis
demarkasi atau pembedaan antara forma atau bentuk dengan
materi. Seperti yang dicontohkan Bertrand Russell, tentang sebuah
arca yang terbuat dari pualam. Dalam hal ini pualam adalah materi,
sementara bentuk arca yang diciptakan oleh seorang pemahat
merupakan forma. Atau mengambil contoh dari Aristoteles, jika
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 17
seorang membuat bola perunggu, maka perunggu adalah materi,
dan sifat kebolaan atau bundar adalah forma. Dalam kasus lain, kita
bisa mengatakan bahwa paku yang bentuk bulat-lonjong adalah
paku. Baja yang merupakan bahan dari paku adalah materi,
sementara bulat-lonjong yang merupakan dimensi dari paku adalah
forma.
Dalam pandangan Aristoteles, berkat forma, materi bisa menjadi
suatu tertentu, dan inilah substansi sesuatu. Sesuatu materi harus
terbatas, dan batas inilah yang dia sebut formanya. Kita tidak bisa
melihat materi tanpa sekaligus melihat formanya. Karena forma
adalah aktualitas dari setiap materi yang ditangkap oleh indera.
Perubahan dari pualam menuju arca adalah perubahan forma, yang
dengan itu berarti merupakan perubahan dari potensialitas menuju
aktualitas. Sebab, dalam bagian tertentu, pualam tadi tidak
mengalami perubahan seperti keadaannya semula sebagai
bongkahan batu.
Sejauh ini, konsep ini memang sangat masuk akal. Akan tetapi
dalam perkembangan selanjutnya, banyak kekeliruan yang patut
kita cermati. Seperti apa yang dikatakan Aristoteles bahwa forma
merupakan substansi, dan oleh karenanya bukan universal. Dan
kerena forma merupakan substansi, maka konsekuensi logisnya
forma tidak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, karena
semua substansi tidak akan pernah bisa dirujuk dalam konteks
universalitas. Kelemahannya adalah bahwa bukan mustahil
manusia menciptakan forma yang persis sama antara satu benda
dengan benda yang lain. Bukan hanya itu, manusia modern, dengan
bantuan mesin cetak atau mesin produksi berteknologi tinggi, bisa
menciptakan forma yang sama meski dengan materi yang berbeda.
Sebagai contoh, dua Patung tokoh terkenal yang terbuat dari lilin
dan patung yang terbuat dari perunggu bisa dijadikan contoh. Dari
segi materi, lilin dan perunggu jelas berbeda, akan tetapi bukan
perkara sulit membuat patung dari kedua bahan berbeda tersebut ke
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 18
dalam bentuk kembar yang persis sama.
Sampai di sini, pendirian Arisoteles bahwa tidak mungkin ada
forma yang persis sama, telah runtuh. Dan pandangan Aristoteles
sendiri bahwa forma merupakan substansi yang darinya benda-
benda mengaktualkan dirinya otomatis juga kehilangan
relevansinya secara signifikan. Jika forma betul-betul substansi,
tentu tidak ada kemiripan antara yang satu dengan yang lain karena
substansi tidak mungkin diduplikasi. Dengan catatan bahwa kita
menganalisa persoalan ini dengan kosisten mengadopsi sistem
pemikiran Aristoteles sendiri tentang partikularitas dan
universalitas seperti yang diuraikan di atas.
Selanjutnya dikatakan bahwa forma tidak diciptakan, yang
dilakukan hanyalah menyatukan materi dan forma, karena menurut
Aristoteles forma adalah eksis sebagai faktor mendasar untuk
mengaktualisasikan potensi materi. Dalam kasus arca pualam,
potensi adalah pualamnya, sementara aktualisasinya merupakan
forma atau bentuk arca. Yang dilakukan pemahat hanyalah
menggabungkan keduanya, yakni materi dan forma, bukan
menciptakan. Berbagai hal meningkat aktualisasinya karena
menerima forma; materi tanpa forma hanya berupa potensi,
demikian pemikiran Aristoteles.
Hal ini juga rancu karena bagaimana mungkin forma lebih real dari
materi hanya karena alasan bahwa forma merupakan substansi yang
terpisah dari materi. Dalam hal ini Aristoteles belum sampai
kepada alternatif pemikiran bahwa forma sebenarnya merupakan
aksiden saja dari adanya materi. Konsekuensi logis bahwa apa bila
materi ada, maka forma juga ada sebagai akibat dari eksistensinya.
Kedua hal ini tidak bisa saling mendahului, apa lagi dibalik, dengan
mengatakan ketika forma tercipta, maka eksistensi materi
kemudian teraktualisasi.
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 19
Indra kita tidak bisa berinteraksi dengan materi tertentu tanpa
berurusan dengan forma sekaligus materinya. Tangan manusia
tetap mampu menyentuh suatu materi dengan tangannya, atau
membaui dengan hidungnya, meski forma itu sendiri tidak
diketahui dengan jelas. Tapi bukan berarti formanya tidaka ada.
Begitupun bagi orang buta, forma bagi orang buta tidak bisa dinilai
eksis, atau minimal lebih eksis materinya ketimbang formanya,
namun jelas hal itu merupakan pandangan yang jauh dari sikap
obyektif.
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 20
BAB III
PENUTUP
Dengan demikian, persoalan forma dan dalam sistem filsafat Aristoteles kemudian
tidak bisa mengabaikan unifikasi, yakni saling hubungan, dan bukan distansi. Tidak
ada yang lebih real antara materi dan forma, karena semuanya satu tanpa dapat
didistorsi ke dalam superioritas satu entitas saja. Dalam hal ini, pernyataan
Aristoteles bahwa forma lebih real ketimbang materi telah tertolak.
Maka jelaslah, inkonsistensi dalam pemikiran metafisika Aristoteles, khususnya
dalam pembahasan tentang tema-tema yang dibahas seperti di atas. Diferensiasi yang
dibuat olehnya terbukti mulai tidak proporsional, seperti yang diuraikan dalam
pembahasan tentang forma dan materi di atas. Oleh karena itulah, kritik di sini layak
dilihat sebagai pembacaan terhadap kemungkinan lain dari seorang pemikir besar
Yunani Kuno.
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 21
BIOGRAFI PENULIS
NAMA : Ns. ARI SUSIANI,Skep
TEMPAT/TGL LAHIR : TEGAL/ 9 FEBRUARI 1979
ALAMAT KANTOR : JLN. CUMI NO.37 TANJUNG PRIOK JAKARTA
UTARA
NO HP : 085285093979/085718311218
E-MAIL : [email protected]
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 22
Daftar Pustaka
Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta : Kanisius
Russel, B. 1946. History of Western Philosophy. London : LTD
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 23
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas penyertaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga kelompok telah
menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul “PEMIKIRAN TOKOH
FILOSOFI YUNANI ARISTOTELES”. Penyusunan makalah ini untuk melengkapi
tugas . Lewat makalah ini Kelompok berharap dapat menambah wawasan dan
pengetahuan khususnya dalam bidang filsafat . Serta pembaca dapat mengetahui
tentang pemikiran ahli filsafat yunani Aristoteles . Menyadari banyaknya kekurangan
dalam penulisan makalah ini. Karena itu, kelompok sangat mengharapakan kritikan
dan saran dari para pembaca untuk melengkapi segala kekurangan dan kesalahan dari
makalah ini.
Kelompok juga mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang telah
membantu selama proses penyusunan makalah ini, baik secara moril maupun
material, anatara lain :
1. Dosen mata ajar Filsafat Ilmu sebagai dosesn pembimbing
2. kedua Orang Tua yang sangat Kami kasihi dan cintai
3.Teman-temanku sekalian angkatan I Program Magister Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta .
Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk smuanya. Amiin
Jakarta , Januari 2012
Penulis
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 24
PEMIKIRAN AHLI FILOSOFI YUNANIARISTOTELES
Dalam rangka memenuhi Tugas akhir Mata kuliah Filsafat
Disusun Oleh :
ARI SUSIANI
PROGRAM MAGISTER KEPERAWATANFAKULTAS ILMU KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 25
Dosen: Dr.H. Virgana, MA, UMJ Jakarta Page 26