vertigo laporan kasus
DESCRIPTION
Laporan KasusTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS BESAR
PUSKESMAS BATEALIT
SEORANG WANITA 70 TAHUN DENGAN VERTIGO VESTIBULAR PERIFER DAN
HIPERTENSI GRADE 1
Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan KomprehensifFakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
Duta Dhanabhalan
G6A 009 062
Pembimbing :
dr. Lia Apriliana Ekaningtyas
KEPANITERAAN KOMPREHENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
JEPARA2012
1
HALAMAN PENGESAHAN
Nama Mahasiswa : Duta Dhanabhalan
NIM : G6A 009 062
Bagian : Kepaniteraan Komprehensif Puskesmas Batealit
Judul Kasus Besar : Seorang Wanita 70 Tahun dengan Vertigo Vestibular
Perifer dan Hipertensi Grade 1
Pembimbing : Dr. Lia Apriliana Ekaningtyas
Jepara, 19 November 2012
Pembimbing, Kepala Puskesmas,
dr. Lia Apriliana Ekaningtyas dr. Murtono
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi syarat menempuh
Kepaniteraan Komprehensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang di Puskesmas Batealit Jepara.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Murtono selaku Kepala Puskesmas Batealit Jepara.
2. dr. Lia Apriliana Ekaningtyas selaku pembimbing.
3. Ny. Karlin dan keluarga yang telah bersikap kooperatif.
4. Keluarga besar Puskesmas Batealit Jepara.
5. Keluarga dan teman-teman atas bantuan dan doanya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
laporan ini, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak.
Semoga penulisan laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Semarang, 19 November 2012
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman Judul ..........................................................................................................1
Halaman Pengesahan ................................................................................................2
Kata Pengantar ..........................................................................................................3
Daftar Isi ...................................................................................................................4
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................5
B. Tujuan....................................................................................................6
C. Manfaat..................................................................................................6
BAB II. LAPORAN KASUS
I. Identitas Penderita............................................................................... 7
II. Daftar Masalah......................................................................................7
III. Data Dasar.............................................................................................7
IV. Resume................................................................................................12
V. Daftar Abnormalitas............................................................................13
VI. Daftar Masalah.....................................................................................14
VII. Rencana Awal......................................................................................14
VIII. Catatan Kemajuan................................................................................17
IX. Hasil Kunjungan Rumah........................................................................8
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................65
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar terasa seperti
berputar mengelilingi pasien, atau pasien merasa seperti berputar mengelilingi
lingkungan sekitar. Keluhan yang sering disampaikan pasien beragam, misalnya
puyeng, sempoyongan, mumet, muter, pusing, rasa seperti mengambang, dan rasa
seperti melayang.
Diagnosis banding vertigo meliputi penyebab vestibular perifer (berasal
dari sistem saraf perifer), vestibular sentral (berasal dari sistem saraf pusat) dan
kondisi lain. Sembilan puluh tiga persen pasien pada primary care mengalami
BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo), Acute Vestibular Neuronitis, atau
Meniere’s Disease.
Karena pasien dengan dizziness seringkali sulit menggambarkan gejala
mereka, menetukan penyebab akan menjadi sulit. Penting untuk membuat sebuah
pendekatan menggunakan pengetahuan dengan kunci anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan khusus, dan temuan radiologis. Hasil pemeriksaan tersebut
akan membantu dokter dalam menegakkan diagnosis dan memberikan terapi yang
tepat untuk pasien.
Sampai saat ini hipertensi masih tetap menjadi masalah, bahkan angka
kejadiannya terus meningkat. Hal ini bukan hanya disebabkan karena masih
banyak pasien hipertensi yang belum mendapatkan pengobatan, atau sudah pernah
mendapatkan pengobatan tetapi target tekanan darah belum tercapai, tetapi juga
karena masih banyak masyarakat yang belum mengetahui pentingnya perubahan
gaya hidup demi tercapainya target tekanan darah yang diharapkan.
Selain itu pengetahuan masyarakat akan resiko timbulnya penyakit
penyerta dan komplikasi hipertensi juga masih terbatas. Oleh karena itu deteksi
dini pada pasien yang memiliki resiko menderita hipertensi, pengendalian tekanan
darah, pencegahan timbulnya penyakit penyerta dan komplikasi hipertensi, serta
edukasi pada pasien dan keluarga agar dapat bekerja sama dengan tenaga
5
kesehatan sangat diperlukan dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas pasien hipertensi.
B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui cara
mendiagnosis dan mengelola pasien dengan vertigo dan hipertensi grade 1,
sekaligus untuk mengevaluasi tindakan yang telah diberikan dengan kepustakaan
yang ada.
C. MANFAAT
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan media belajar bagi
mahasiswa agar dapat mendiagnosis dan mengelola vertigo dan hipertensi grade 1
secara tepat.
6
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. Karlin
Usia : 70 tahun
Alamat : Desa Batealit RT 01/RW 01, Kec.Batealit, Kab.Jepara
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Tidak bekerja
Tanggal masuk : 11 November 2012
II. DAFTAR MASALAH
No. Masalah Aktif Tgl. No. Masalah Pasif Tgl.
1.
2.
Vertigo Vestibular
Perifer
Hipertensi Grade 1
11-11-2012
11-11-2012
III. DATA DASAR
A. SUBYEKTIF
ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis dengan keluarga pasien pada
tanggal 11 November 2012, pukul 13.00 WIB, di UGD Puskesmas
Batealit, Jepara.
Keluhan Utama :
Pusing berputar sejak pagi hari.
7
Riwayat Penyakit Sekarang :
Setelah jalan pagi, pasien mendadak mengeluh pusing berputar
yang dirasakan sangat berat, mual (+), muntah (+) tidak nyemprot,
keluar seperti makanan dan minuman yang dimakan sebelumnya, tidak
ada darah. Keluhan dirasakan semakin berat ketika pasien berjalan dan
menggerakkan kepala. Keluhan dirasakan berkurang ketika pasien
tiduran dengan mata tertutup. Telinga berdenging (-), telinga keluar
nanah (-), gangguan pendengaran (-), demam (-). BAB tidak ada
keluhan, diare (-), sulit buang air besar (-). BAK tidak ada keluhan.
Karena keluhan yang dirasakan tidak berkurang, pasien dibawa
oleh keluarga ke UGD Puskesmas Batealit, Jepara.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Pasien baru kali pertama sakit seperti ini.
- Riwayat kencing manis dan tekanan darah tinggi tidak tahu.
- Riwayat penyakit jantung disangkal.
- Riwayat trauma kepala dan daerah telinga disangkal.
- Riwayat operasi daerah kepala dan telinga disangkal.
- Riwayat tumor daerah kepala dan telinga disangkal.
- Riwayat gangguan pendengaran, infeksi telinga, sinusitis, sakit
gigi/ gigi berlubang disangkal.
- Riwayat berpergian jauh dengan kendaraan melalui jalur darat,
laut, dan udara sebelumnya disangkal.
- Riwayat konsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama
disangkal.
- Riwayat konsumsi alkohol dan rokok disangkal.
- Riwayat alergi makanan, obat-obatan, dan debu diangkal.
8
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini.
- Riwayat kencing manis dan tekanan darah tinggi dalam keluarga
tidak tahu.
- Riwayat penyakit jantung dalam keluarga disangkal.
- Riwayat sakit tumor dalam keluarga disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien sudah tidak bekerja, hidup sederhana, tinggal satu rumah
bersama seorang suami dan satu orang anak yang sudah berkeluarga.
Biaya pengobatan ditanggung pribadi.
Kesan : sosial ekonomi kurang.
B. OBYEKTIF
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 11 November 2012, pukul 13.05 WIB, di UGD
Puskesmas Batealit, Jepara.
Keadaan umum :
Tampak lemas, tidak mampu berjalan sendiri karena pusing.
Kesadaran :
Composmentis ( GCS = E4 M6 V5 = 15 )
Tanda Vital :
- Tekanan darah : 140/110 mmHg
- Frekuensi nadi : 96 x/menit, reguler
- Frekuensi napas: 20 x/menit, reguler
- Suhu : 36,5º C (axiller)
Antopometri :
TB : 155 cm, BB : 48 kg, BMI : 19,98 kg/m2
9
Kesan : normoweight
STATUS GENERALIS
Kepala : Normochepal
Mata : Pergerakan bola mata dalam batas normal, sklera ikterik
(-/-), konjungtiva anemis (-/-), pupil bulat isokor, diameter
pupil 3mm/3mm, reflex cahaya langsung dan tidak
langsung (+/+)
Telinga : Normotia, deformitas (-/-), discharge (-/-)
Hidung : Septum deviasi (-/-), deformitas (-/-), discharge (-/-)
Tenggorok : T 1-1, faring hiperemis (-)
Mulut : Mukosa bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah
tremor (-)
Leher : JVP tidak meningkat, trakea di tengah, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-), kaku
kuduk (-)
Thorax :
Pulmo: In: Pernapasan thorakoabdominal, bentuk dan
gerak dada simetris statis-dinamis, retraksi otot
bantuan pernafasan (-/-), sela iga melebar (-/-)
Pa: Stem fremitus kanan = kiri
Pe: Sonor di seluruh kedua lapangan paru
Au: Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-/-)
Cor : In: IC tak tampak
Pa: IC teraba di SIC V, 2 cm sebelah medial
LMCS, tidak kuat angkat, tidak melebar,
pulsasi epigastrial (-), pulsasi parasternal (-),
sternal lift (-)
Pe: batas kanan: linea para sternalis dextra
batas kiri: SIC V, 2 cm sebelah medial LMCS
batas atas: SIC II, linea parasternalis sinistra
10
kesan : konfigurasi jantung dalam batas normal
Au: BJ I – II normal, regular, bising (-), gallop (-)
Abdomen :
In : datar, venektasi (-)
Au : bising usus (+) normal, < 15 x/menit
Pe : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-),
nyeri ketok (-)
Pa : hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-),
nyeri tekan lepas (-)
Ekstremitas :
Superior Inferior
Oedema (-/-) (-/-)
Sianosis (-/-) (-/-)
Perabaan dingin (-/-) (-/-)
Capp. Refill <2” / <2” <2” / <2”
Motoris 555 / 555 555 / 555
Sensoris +N/+N +N/+N
Refleks fisiologis +N/+N +N/+N
Refleks patologis (-/-) (-/-)
Fungsi Otonom : Miksi, defekasi, dan sekresi keringat dalam batas
normal
PEMERIKSAAN KHUSUS
Romberg’s Sign : badan goyah saat mata tertutup
Heel-to-Toe Walking Test : badan goyah saat berjalan
Unterberger’s Stepping Test : badan menyimpang ke arah kanan
Post-pointing Test : lengan menyimpang ke arah kanan
Dix-Hallpike Manoeuvre : periode laten ± 5 detik,
nistagmus horizontal < 1 menit
11
Tes Kalori : tidak dilakukan
Tes Rinne : tidak dilakukan
Tes Weber : tidak dilakukan
Tes Schwabach : tidak dilakukan
Hennebert’s Sign : (-/-)
Valsava Manoeuvre : tidak timbul vertigo
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Rutin (11 November 2012)
- Hb : 12,9 gr% ( N: 12-14 gr% )
- Leukosit : 9.900/mm3 ( N: 5rb-10rb/mm3 )
- Trombosit : 256.000/mm3 ( N: 150rb-450rb/mm3 )
- Hematokrit : 42 vol% ( N: 37-43 vol% )
IV. RESUME
Seorang wanita 70 tahun datang ke UGD Puskesmas Batealit, Jepara
dengan keluhan pusing berputar sejak pagi hari. Keluhan dirasakan
mendadak, sangat berat, mual (+), muntah (+) tidak nyemprot, keluar
seperti makanan dan minuman yang dimakan sebelumnya, darah (-). Keluhan
semakin berat ketika pasien berjalan dan menggerakkan kepala. Keluhan
berkurang ketika pasien tiduran dengan mata tertutup. Telinga
berdenging (-), telinga keluar nanah (-), gangguan pendengaran (-), demam (-).
BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Keadaan umum : lemas, tidak mampu berjalan sendiri
Kesadaran : composmentis
Tanda Vital :
Tekanan darah : 140/110 mmHg
Frekuensi nadi : 96 x/menit, reguler
12
Frekuensi napas: 20 x/menit, reguler
Suhu : 36,5º C (axiller)
Antopometri : normoweight
Kepala : dalam batas normal
Mata : dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Tenggorok : dalam batas normal
Mulut : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : dalam batas normal
Fungsi Otonom : dalam batas normal
Pada pemeriksaan khusus didapatkan:
Romberg’s Sign : badan goyah saat mata tertutup
Heel-to-Toe Walking Test : badan goyah saat berjalan
Unterberger’s Stepping Test : badan menyimpang ke arah kanan
Post-pointing Test : lengan menyimpang ke arah kanan
Dix-Hallpike Manoeuvre : periode laten ± 5 detik,
nistagmus horizontal < 1 menit
Hennebert’s Sign : (-/-)
Valsava Manoeuvre : tidak timbul vertigo
V. DAFTAR ABNORMALITAS
1. Pusing berputar, mendadak, intensitas sangat berat
2. Mual dan muntah
3. Keluhan semakin berat ketika berjalan dan menggerakkan kepala
4. Keluhan lebih ringan ketika tiduran dengan mata tertutup
5. Tekanan darah 140/110 mmHg
13
6. Romberg’s sign (+) saat mata tertutup
7. Hee-to-Toe Walking Test (+)
8. Unterberger’s Stepping Test (+) ke arah kanan
9. Post-pointing Test (+) ke arah kanan
10. Dix-Hallpike Manoeuvre dengan periode laten ± 5 detik, nistagmus
horizontal < 1 menit
11. Hennebert’s Sign (-/-)
12. Valsava Manoeuvre (-)
VI. DAFTAR MASALAH
1. Vertigo Vestibular Perifer
2. Hipertensi Grade 1
VII. RENCANA PEMECAHAN MASALAH
1. Vertigo Vestibular Perifer
Assesment : DD. Acute Vestibular Disfunction
Benign Paroxysmal Positional Vertigo
Rencana Awal :
Dx : S : -
O : -
Rx : - Infus RL 30 tpm
- Inj. Ondansetron 4 mg extra (i.v)
- Inj. Neurobion 5000 1 ampul extra (i.m gluteal)
- Dimenhidrinat tab. 50 mg 4x1 (p.o)
- Anvomer B6 tab. 2x1 (p.o)
- Bed rest
Mx : Keadaan umum, tanda vital, efektivitas terapi dan efek samping,
keluhan pasien.
Ex : - Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kemungkinan
penyebab pusing berputar pada pasien.
14
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa keluhan pusing
berputar pada pasien ini hanya bersifat sementara, dan setelah
hilang masih ada kemungkinan untuk muncul kembali.
- Menjelaskan kepada keluarga pasien apabila keluhan muncul
kembali untuk segera membawa pasien ke puskesmas, mantri,
atau dokter terdekat.
- Menghimbau pasien untuk memperbanyak istirahat dan
mengurangi aktifitas yang berlebihan.
2. Hipertensi Grade 1
Assesment : Klasifikasi hipertensi: - Hipertensi Primer
- Hipertensi Sekunder
Pilihan terapi hipertensi sesuai indikasi dan
kontraindikasi.
Rencana Awal :
Dx : S : - Mencari indikasi hipertensi sekunder (anamnesis):
Riwayat penyakit ginjal pada pasien dan
keluarga.
Riwayat hematuri, ISK, pemakaian obat
penghilang rasa sakit sebelumnya, palpitasi,
banyak berkeringat, dan sakit kepala
sebelumnya.
- Mencari faktor resiko (anamnesis):
Pola makan pasien.
Tingkat aktivitas.
Kepribadian pasien.
- Mencari gejala kerusakan organ (anamnesis).
O : Darah lengkap, Glukosa darah (sewaktu dan puasa),
Kolesterol total, HDL, LDL, Trigliserida serum,
Kreatinin serum, Kalium serum, Urinalisis, EKG.
15
Rx : - Captopril tab. 25 mg 1x1 (p.o)
- Diet biasa (rendah garam, rendah kolesterol, dan rendah
lemak jenuh)
Mx : Keadaan umum, tanda vital (target tekanan darah 130/90
mmHg), efektifitas terapi dan efek samping, komplikasi
hipertensi, gejala kerusakan organ.
Ex : - Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit
tekanan darah tinggi yang dimiliki pasien, perlunya kontrol
dan berobat secara teratur, serta resiko komplikasi yang
mungkin terjadi apabila tekanan darah pasien tidak
dikendalikan.
- Menghimbau kepada pasien dan keluarga untuk mengurangi
asupan garam harian, sehari cukup ± 1 sendok teh garam
dapur.
- Menghimbau kepada pasien dan keluarga untuk mengurangi
asupan kolesterol dan lemak jenuh.
- Menghimbau kepada pasien dan keluarga pasien untuk
menambah konsumsi buah, sayur, dan kacang-kacangan
karena banyak mengandung potassium, kalsium,
magnesium, dan serat yang bermanffat untuk membantu
menurunkan tekanan darah.
- Menghimbau pasien untuk melakukan olahraga ringan
(jalan pagi) 3-4 kali seminggu.
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa tekanan
darah tinggi tidak dapat dikendalikan hanya dengan obat-
obatan, tetapi harus disertai dengan perubahan gaya hidup.
16
VIII. CATATAN KEMAJUAN
17
11-11-2012 12-11-2012 13-11-2012
Jam 13.00 WIB 07.00 WIB 07.00 WIB
Keluhan Pusing berputar (++),Mual (++), Muntah (+)
Pusing berputar (-),Mual (+),Muntah (-)
Pusing berputar (-),Mual (-),Muntah (-)
KU Lemah Baik BaikTanda Vital TD : 140/110
HR : 96x/’ regulerRR : 20x/’ regulerT : 36,5 °C
TD : 130/100HR : 98x/’ regulerRR : 20x/’ regulerT : 36,8 °C
TD : 130/100HR : 96x/’ regulerRR : 20x/’ regulerT : 36,5 °C
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin:Hb: 12,9 gr%Leukosit: 9.900/mm3
Trombosit: 256rb/mm3
Hematokrit: 42 vol%
- -
Terapi - Infus RL 30 tpm- Inj. Ondansetron 4mg
extra (i.v)- Inj. Neurobion 5000 1
ampul extra (i.m)- Dimenhidrinat tab. 50mg
4x1 (p.o) - Anvomer B6 tab. 2x1
(p.o)- Captopril tab. 25mg 1x1
(p.o)- Bed rest- Diet biasa (rendah
garam, rendah kolesterol, rendah asam lemak jenuh)
→ Dimenhidrinat stop
- Infus RL 30 tpm- Anvomer B6 tab. 1x1
(p.o)- Captopril tab. 25mg
1x0,5 (p.o)- Caviplex tab. 1x1 (p.o)- Bed rest- Diet biasa (rendah
garam, rendah kolesterol, rendah asam lemak jenuh)
→ Aff. Infus RL Anvomer B6 stop
- Captopril tab. 25mg 1x0,5 (p.o)
- Caviplex tab. 1x1 (p.o)- Bed rest- Diet biasa (rendah garam,
rendah kolesterol, rendah asam lemak jenuh)
Keterangan Jam 12.30 WIB,keluhan (-) → ACC pulang
R/ - Captopril tab. 25mg 1x0,5
(p.o)- Caviplex tab. 1x1 (p.o)- Edukasi + kontrol 3 hari
lagi
IX. HASIL KUNJUNGAN RUMAH
1. Keadaan Rumah
Status rumah : milik pribadi (atas nama anak I)
Ukuran : 6 x 9 m
Halaman rumah : ada
Teras rumah : ada
Dinding rumah : tembok
Lantai rumah : tanah
Ventilasi dan pencahayaan : ada, 3 jendela ukuran 0,5 x 1 m di ruang
tamu, 2 jendela ukuran 0,5 x 1 m di dapur
(di bagian belakang rumah), 1 jendela
ukuran 0,5 x 1 m di kamar penderita.
Kebersihan : cukup
Sumber air : sumur (terletak di kamar mandi), jumlah
air cukup, kebersihan air kurang baik
Tempat sampah : ada, 2 buah, di dapur dan di bagian
samping rumah, tidak ditutup
Kebiasaan sehari-hari :
Anggota keluarga dalam satu rumah meliputi penderita, suami penderita,
anak pertama penderita beserta seorang istri dan seorang anak. Penderita
sudah tidak bekerja, suami penderita bekerja sebagai pedagang, anak
pertama penderita bekerja sebagai tukang kayu, istri dari anak pertama
penderita tidak bekerja. Penderita suka berjalan-jalan santai di pagi hari
selama beberapa menit. Penerangan di dalam rumah sangat kurang.
Sirkulasi udara di dalam rumah kurang baik. Makanan dan minuman
dimasak di dapur, sumber air untuk minum dan mencuci berasal dari
sumur. Sehari-hari makan dengan lauk sederhana dan diberi garam agar
terasa lebih enak. Alat makan dan pakaian dicuci bersih dengan sabun.
Lantai rumah disapu sehari sekali. Bila ada anggota keluarga yang sakit
segera dibawa ke bidan, dokter, atau puskesmas terdekat.
18
2. Lingkungan
Rumah penderita terletak di desa Batealit. Jarak antar rumah tidak terlalu
berdempetan. Keadaan lingkungan sekitar rumah cukup bersih. Jalan di
depan rumah sudah diaspal.
Gambar 1. Penderita sedang berada di kamar.
Gambar 2. Anak pertama penderita dan istri sedang berada di samping dapur.
19
Gambar 3. Kondisi dapur di dalam rumah penderita.
Gambar 4. Kondisi sumur yang berada di dalam kamar mandi.
20
Gambar 5. Bagian samping rumah.
Gambar 6. Bagian depan rumah.
21
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. VERTIGO
I. DEFINISI
Vertigo berasal dari bahasa Latin vertere yang artinya memutar, merujuk
pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang,
umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistim keseimbangan. 3
Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness adalah sebuah istilah
non spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan empat subtipe tergantung gejala
yang digambarkan oleh pasien.1
Terdapat empat tipe dizziness yaitu vertigo, lightheadedness, presyncope,
dan disequilibrium. Yang paling sering adalah vertigo yaitu sekitar 54% dari
keluhan dizziness yang dilaporkan pada primary care. 2
II. KLASIFIKASI
1. Vertigo Fisiologis
Vertigo fisiologis adalah keadaan vertigo yang ditimbulkan oleh stimulasi
dari sekitar penderita, dimana sistem vestibulum, mata, dan somatosensorik
berfungsi baik. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain motion sickness,
space sickness, height vertigo.
2. Vertigo Patologis
a. Vertigo sentral, diakibatkan oleh kelainan pada batang batang otak
atau pada serebelum.
b. Vertigo perifer, disebabkan oleh kelainan pada telinga dalam atau pada
nervus vestibulocochlear (N. VIII).
c. Medical vertigo, dapat diakibatkan oleh penurunan tekanan darah, gula
darah yang rendah, atau gangguan metabolik akibat obat-obatan atau
akibat infeksi sistemik.
Red flag pada pasien dengan vertigo meliputi:7
22
Sakit kepala
Gejala neurologis
Tanda neurologis
Vertigo Sentral
Disebabkan oleh adanya gangguan di batang otak atau di serebelum.
Biasanya disertai dengan adanya gejala lain yang khas, misalnya diplopia,
parestesia, perubahan sensibilitas, gangguan fungsi motorik, rasa lemah.5
Vertigo Perifer
Berdasarkan lamanya serangan, dibagi menjadi:9
a. Episode vertigo yang berlangsung beberapa detik.
Paling sering disebabkan oleh vertigo posisional benigna. Dapat
dicetuskan oleh perubahan posisi kepala. Paling sering penyebabnya
idiopatik (tidak diketahui), namun dapat juga diakibatkan oleh trauma di
kepala, pembedahan telinga atau oleh neuronitis vestibular. Prognosis
umumnya baik, gejala menghilang secara spontan.
b. Episode vertigo yang berlangsung beberapa menit atau jam.
Dapat dijumpai pada penyakit meniere atau vestibulopati berulang.
Penyakit meniere mempunyai trias gejala khas, yaitu ketajaman
pendengaran menurun (tuli), vertigo, dan tinitus.
c. Serangan vertigo yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu.
Neuronitis vestibular merupakan kelainan yang paling sering. Ditandai
dengan vertigo, nausea, muntah, timbul mendadak. Gejala ini dapat
berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Fungsi
pendengaran tidak terganggu pada neuronitis vestibular. Pada
pemeriksaan fisik mungkin dijumpai nistagmus.
Perbedaan tanda klinis vertigo vestibular perifer dan sentral.
23
Perifer Sentral
Bangkitan vertigo Mendadak Lambat
Derajat vertigo Berat Ringan
Pengaruh gerakan kepala (+) (-)
Gejala otonom (++) (-)
Gangguan pendengaran (+) (-)
III. PATOFISIOLOGI
Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yang
mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen) dengan apa
yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Informasi yang berguna untuk
keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan
proprioseptik. Reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih
dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya
adalah proprioseptik.9
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat
keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik
kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan
wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-
otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang
menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi
alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak
fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses
pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala
otonom. Di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga
muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat
berdiri/ berjalan, dan gejala-gejala lainnya.10
Beberapa teori mengenai mekanisme terjadinya vertigo diantaranya adalah:
24
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation).
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis, akibatnya akan timbul
vertigo, nistagmus, mual, dan muntah.
2. Teori konflik sensorik.
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal
dari berbagai reseptor sensorik perifer, yaitu antara mata, vestibulum, dan
proprioseptik. Atau karena ketidakseimbangan masukan sensoris dari sisi
kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan
sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus,
ataksia, rasa melayang, berputar.
3. Teori neural mismatch.
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik. Menurut teori
ini otak mempunyai memori tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika
pada suatu saat dirasakan gerakan yang tidak sesuai dengan pola gerakan
yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola
gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi
mekanisme adaptasi, sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
4. Teori otonomik.
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai
usaha adaptasi perubahan posisi. Gejala klinis timbul jika sistem simpatis
terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistem parasimpatis mulai
berperan.
5. Teori neurohumoral.
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl), dan teori
serotonin (Lucat), yang masing-masing menekankan peranan
neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim saraf otonom yang
menyebabkan timbulnya gejala vertigo.
6. Teori sinaps.
25
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan
stres yang akan memicu sekresi CRF (Corticotropin Releasing Factor).
Peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf
simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa
meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat
menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat
di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, kemudian berkembang
menjadi mual, muntah, dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat
dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.
IV. GEJALA KLINIS
Gejala klinis pasien dengan dizziness dan vertigo dapat berupa gejala
primer, sekunder, ataupun gejala non spesifik. Gejala primer berupa vertigo,
impulsion, oscilopsia, ataxia, dan gejala pendengaran. Vertigo, diartikan sebagai
sensasi berputar. Vertigo horizontal merupakan tipe yang paling sering. Jika
bersamaan dengan nistagmus, pasien biasanya merasakan sensasi pergerakan dari
sisi yang berlawanan dengan komponen lambat nistagmus.12
Informasi penting yang didapatkan dari anamnesis dapat digunakan untuk
membedakan perifer atau sentral meliputi:2
Karekteristk dizziness
Perlu ditanyakan mengenai sensasi yang dirasakan pasien apakah
sensasi berputar atau sensasi non spesifik seperti giddiness, atau light
headness, atau hanya suatu perasaan yang berbeda (seperti kebingungan).
Keparahan
Keparahan suatu vertigo juga dapat membantu, misalnya pada
acute vestibular neuritis, gejala awal biasanya parah namun berkurang
dalam beberapa hari kedepan. Pada Ménière’s disease, awalnya keparahan
biasanya meningkat dan kemudian berkurang setelahnya.3
26
Onset dan durasi vertigo
Semakin lama durasi vertigo, maka kemungkinan ke arah vertigo
sentral menjadi lebih besar. Vertigo perifer umumnya memilki onset akut
dibandingkan vertigo sentral, kecuali pada cerebrovascular attack. 2
Vertigo sentral biasanya berkembang bertahap (kecuali yang
berasal dari vaskular). Lesi sentral biasanya menyebabkan tanda
neurologis tambahan, menyebabkan ketidakseimbangan yang parah,
nistagmus murni vertikal, horizontal, atau torsional, dan tidak dapat
dihambat oleh fiksasi mata pada objek.
Faktor Pencetus
Faktor pencetus dapat mempersempit diagnosis banding pada
vertigo vestibular perifer. Jika gejala terjadi hanya ketika perubahan posisi,
penyebab yang paling mungkin adalah BPPV. Infeksi virus pada saluran
pernapasan atas kemungkinan berhubungan dengan acute vestibular
neutritis atau acute labyrhintis. Vertigo dapat disebabkan oleh fistula
perilimfatik (karena post trauma langsung, barotraumas), biasanya muncul
saat pasien mengejan atau bersin). Adanya fenomena Tullio’s (nistagmus
dan vertigo yang disebabkan suara bising pada frekuensi tertentu)
mengarah kepada penyebab perifer. 3
Gejala Penyerta
Kebanyakan penyebab vertigo dengan gangguan pendengaran
berasal dari perifer, kecuali pada penyakit serebrovaskular yang mengenai
arteri auditorius interna atau arteri serebelar anterior inferior. Nyeri yang
menyertai vertigo dapat terjadi bersamaan dengan infeksi akut telinga
tengah, penyakit infasiv pada tulang temporal, atau iritasi meningeal.
Vertigo sering bersamaan dengan muntah dan mual pada acute vestibular
neuronitis, Meniere’s Disease yang parah, dan BPPV.
Pada vertigo sentral mual dan muntah tidak terlalu parah. Gejala
neurologis berupa kelemahan, disarthria, gangguan penglihatan dan
pendengaran, parestesia, penurunan kesadaran, ataksia, atau perubahan
lain pada fungsi sensori dan motoris lebih mengarahkan diagnosis ke
27
vertigo sentral, misalnya penyakit cererovascular, neoplasma, atau
multiple sklerosis.3
Riwayat keluarga
Adanya riwayat keluarga dengan migraine, kejang, Meniere’s
Disease, atau tuli pada usia muda perlu ditanyakan.
Riwayat pengobatan
Beberapa obat dapat menginduksi terjadinya vertigo, seperti obat-
obatan ototoksik, obat anti epilepsi, antihipertensi, dan sedatif.
V. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan neurologis, pemeriksaan leher, dan
system kardiovaskular.
Pemeriksaan Neurologik
Pemeriksaan nervus kranialis penting untuk mencari tanda paralisis, tuli
sensorineural, nistagmus. 2
Nistagmus vertikal 80% sensitif untuk lesi nukleus vestibular atau vermis
serebelar. Nistagmus horizontal yang spontan, dengan atau tanpa
nistagmus rotator, konsisten dengan acute vestibular neuronitis.
Gait test:
1. Romberg’s sign, pada sebuah studi, hanya 19% sensitive untuk
gangguan vestibular dan tidak berhubungan dengan penyebab yang
lebih serius dari dizziness (tidak terbatas hanya pada vertigo, misalnya
drug related vertigo, seizure, arrhythmia, atau cerebrovascular
event).3
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan
kedua mata terbuka, kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian
selama 20-30 detik. Pada kelainan vestibuler, hanya pada mata tertutup
badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah, kemudian
kembali lagi, sedangkan pada mata terbuka badan penderita tetap
tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan
bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.
28
Gambar 7. Romberg’s Sign.
2. Heel-to-Toe Walking Test
3. Unterberger's Sstepping Test, pasien berdiri dengan kedua lengan
lurus horisontal ke depan, kemudian jalan di tempat dengan
mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan
vestibuler, posisi penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi
dengan gerakan seperti orang melempar cakram, kepala dan badan
berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan
pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai
nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.
Gambar 8. Unterberger’s Stepping Test.
4. Post-pointing Test (Uji Tunjuk Barany), dengan jari telunjuk ekstensi
dan lengan lurus ke depan, penderita disuruh mengangkat lengannya
ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan
pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan
29
tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan
penderita ke arah lesi.
Gambar 9. Post-pointing Test.
Pemeriksaan Fungsi Vestibuler
Dix-Hallpike Manoeuvre
Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang
dengan cepat, sehingga kepalanya menggantung 45º di bawah garis horisontal,
kemudian kepalanya dimiringkan 45º ke kanan, lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul
dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah
lesinya perifer atau sentral.
Perifer: vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik,
hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes
diulang-ulang beberapa kali (fatigue).
Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih
dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).
Test hiperventilasi
Tes ini dilakukan jika pemeriksaan-pemeriksaan yang lain hasilnya
normal. Pasien diinstruksikan untuk bernapas kuat dan dalam 30 kali.
Tanyakan apakah prosedur tersebut menginduksi terjadinya vertigo. Jika
pasien merasakan vertigo tanpa nistagmus, maka didiagnosis sebagai
sindroma hiperventilasi. Jika nistagmus terjadi setelah hiperventilasi,
menandakan adanya tumor pada nervus VIII. 5
Tes Kalori
30
Tes ini membutuhkan peralatan yang sederhana. Kepala penderita
diangkat ke belakang, menengadah 60º. Tabung suntik berukuran 20 mL
dengan ujung jarum yang dilindungi oleh karet ukuran no.15 diisi dengan
air bersuhu 30ºC, air disemprotkan ke liang telinga dengan kecepatan 1
mL/detik.
Bola mata penderita segera diamati terhadap adanya nistagmus.
Arah gerak nistagmus ke sisi yang berlawanan dengan sisi telinga yang
dialiri (karena air yang disuntikkan lebih dingin dari suhu badan). Arah
gerak, frekuensi (biasanya 3-5 kali/detik), dan lamanya nistagmus
berlangsung dicatat (Biasanya antara ½-2 menit). Setelah istirahat 5 menit,
telinga ke-2 dites. Hal yang penting diperhatikan ialah membandingkan
lamanya nistagmus pada kedua sisi, yang pada keadaan normal hampir
serupa.
Pemeriksaan selanjutnya, 5 mL air es diinjeksikan ke telinga secara
lambat. Pada keadaan normal, hal ini akan mencetuskan nistagmus yang
berlangsung 2-2,5 menit. Bila tidak timbul nistagmus, dapat disuntikkan air
es 20 mL selama 30 detik. Bila ini juga tidak menimbulkan nistagmus, maka
dapat dianggap bahwa labirin tidak berfungsi. Tes ini memungkinkan kita
menentukan apakah keadaan labirin normal hipoaktif atau tidak berfungsi.
Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit untuk merekam
gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut dapat
dianalisis secara kuantitatif.
Posturografi
Tes ini dilakukan dengan 6 tahap :
a. Pertama, mata terbuka dan tempat berdiri terfiksasi.
b. Kedua, mata ditutup dan tempat berdiri terfiksasi.
31
c. Ketiga, melihat pemandangan yang bergoyang, berdiri pada tempat
yang terfiksasi. Dengan bergeraknya objek yang dipandang, maka
input visual tidak dapat digunakan sebagai patokan untuk orientasi
ruangan.
d. Keempat, objek yang dilihat diam, namun tumpuan untuk berdiri
digoyang. Dengan bergoyangnya tempat berpijak, maka input
somatosensorik dari bagian bawah badan dapat diganggu.
e. Kelima, mata ditutup dan tempat berdiri digoyang.
f. Keenam, melihat pemandangan yang bergoyang dan tempat berdiri
digoyang.
Fungsi Pendengaran
a. Tes garpu tala: Rinne, Weber, Schwabach (untuk membedakan tuli
konduktif dan tuli perseptif).
b. Audiometri: Loudness Balance Test, Bekesy Audiometry, Tone
Decay.
Pemeriksaan Kepala dan Leher
- Pemeriksaan membran timpani untuk menemukan vesikel, misalnya pada
Herpes Zooster Auticus (Ramsay Hunt Syndrome) atau kolesteatoma.
- Hennebert’s Sign, vertigo atau nistagmus akan terjadi ketika mendorong
tragus dan meatus akustikus eksternus mengindikasikan adanya fistula
perilimfatik.2
- Valsava Manoeuvre, hidung ditutup kemudian melakukan exhalasi
dengan mulut, untuk meningkat tekanan melawan tuba eusthacius dan
telinga dalam, akan menyebabkan vertigo pada pasien dengan fistula
perilimfatik.
- Head Impulses Test, pasien duduk tegak dengan mata terfiksasi pada
objek sejauh 3 m, pasien diinstruksikan untuk tetap melihat objek ketika
pemeriksa menolehkan kepala pasien. Dimulai dengan pemeriksa
32
menolehkan kepala pasien ke salah satu sisi pelan-pelan, setelah itu
pemeriksa menolehkan kepala pasien sisi lainnya dengan cepat (sejauh
20°). Pada orang yang normal tidak timbul nistagmus, mengindikasikan
pandangan mereka terfiksasi di objek. Jika ada nistagmus setelahnya maka
mengindikasikan bahwa terdapat lesi pada vestibular perifer.
Pemeriksaan Cardiovascular
Perubahan orthostatik pada tekanan darah sistolik (misalnya turun 20
mmHg atau lebih) dan nadi (misalnya meningkat 10 denyutan per menit)
pada pasien dengan vertigo menunjukkan masalah dehidrasi dan disfungsi
otonom.
Gambar 10. Head Impulses Test.
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada vertigo meliputi tes audiometri, tes
vestibular, evalusi hasil pemeriksaan lab, dan evalusi radiologis.
Tes audiometri tidak selalu diperlukan. Tes ini diperlukan jika pasien
mengeluhkan gangguan pendengaran.
33
Tes vestibular tidak dilakukan pada semua pasien dengan keluhan
dizziness . Tes vestibular dilakukan apabila hasil pemeriksaan lain meragukan.
Pemeriksaan lab yang meliputi pemeriksaan elekrolit, gula darah, dan
fungsi tiroid dapat membantu menentukan etiologi vertigo.
Pemeriksaan radiologi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan vertigo
yang memiliki tanda dan gejala neurologis dan tuli unilateral yang progresif. MRI
kepala mengevaluasi struktur dan integritas batang otak, serebelum,
periventricular white matter, dan kompleks nervus VIII. 11
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sekitar
20%-40% pasien dapat didiagnosis segera setelah anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Diagnosis juga dapat ditentukan berdasarkan komplek gejala yang terdapat
pada pasien dan durasi serangan.
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Vertigo dengan tuli Vertigo tanpa tuli Vertigo dengan tanda
intracranial
Ménière’s disease Vestibular neuritis Tumor Cerebellopontine
angle
34
Labyrinthitis Benign positional vertigo Vertebrobasilar insufficiency
dan thromboembolism
Labyrinthine trauma Acute vestiblar dysfunction Tumor otak
Acoustic neuroma Medication induced vertigo
e.g aminoglycosides
Migraine
Acute cochleo-
vestibular dysfunction
Cervical spondylosis Multiple sklerosis
Syphilis (rare) Following flexion-
extension injury
Aura epileptic attack-
terutama temporal lobe
epilepsy
Obat-obatan- misalnya,
phenytoin, barbiturate
Syringobulosa
IX. TERAPI
Medikamentosa
Karena penderita seringkali merasa terganggu dengan keluhan vertigo
maka seringkali diberikan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan
bervariasi. Beberapa golongan yang sering digunakan :
Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo. Antihistamin
yang dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat, difenhidramin,
meksilin, siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti vertigo juga memiliki
aktivitas anti-kholinergik di susunan saraf pusat. Efek samping yang umum
dijumpai ialah sedasi (mengantuk). Pada penderita vertigo yang berat efek
samping ini memberikan dampak yang positif.
Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat meningkatkan
sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk mengatasi gejala vertigo. Efek
samping Betahistin ialah gangguan di lambung dan sesekali timbul “rash” di kulit.
35
• Betahistin Mesylate (Merislon) 6 mg,
Diberikan 1-2 tablet, 3 kali sehari, per oral.
• Betahistin Hcl (Betaserc) 8 mg,
Diberikan 1 tablet, 3 kali sehari, per oral (maksimum 6 tablet).
Dimenhidrinat (Dramamine), lama kerja obat ini ialah 4–6 jam. Dapat
diberi per oral atau parenteral (suntikan intramuscular dan intravena). Dapat
diberikan dengan dosis 25–50 mg, 4 kali sehari. Efek samping ialah mengantuk.
Difhenhidramin Hcl (Benadryl), lama aktivitas obat ini ialah 4–6 jam,
diberikan dengan dosis 25–50 mg, 4 kali sehari. Obat ini dapat juga diberikan
parenteral. Efek samping mengantuk.
Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium seperti Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine
(Sibelium) sering digunakan. Merupakan obat supresan vestibular, karena sel
rambut vestibular mengandung banyak terowongan kalsium. Namun antagonis
kalsium sering mempunyai khasiat lain seperti anti kholinergik dan antihistamin.
Cinnarizine (Stugerone) mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular, mengurangi
respon terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis lazimnya 15–30 mg, 3 kali
sehari atau 1x75 mg sehari. Efek samping ialah rasa mengantuk, rasa lelah, diare
atau konstipasi, mulut terasa kering, dan “rash” di kulit.
Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti muntah).
Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo. Khlorpromazine (Largactil) dan
Prokhlorperazine (Stemetil) sangat efektif untuk nausea yang diakibatkan oleh
bahan kimiawi namun kurang berkhasiat terhadap vertigo. Promethazine
(Phenergan) merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif mengobati
vertigo. Lama aktivitas obat ini ialah 4–6 jam. Diberikan dengan dosis 12,5–25
mg, 4 kali sehari, per oral atau parenteral (intramuscular atau intravena). Efek
36
samping yang sering dijumpai ialah mengantuk, sedangkan efek samping
ekstrapiramidal lebih sedikit disbanding obat Fenotiazine lainnya.
Khlorpromazine (Largactil) dapat diberikan pada penderita dengan
serangan vertigo yang berat dan akut. Obat ini dapat diberikan per oral atau
parenteral (intramuscular atau intravena). Dosis lazimnya 25–50 mg, 3–4 kali
sehari. Efek samping mengantuk.
Obat Simpatomimetik
Salah satu obat simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan
vertigo ialah Efedrin. Lama aktivitas ialah 4–6 jam. Dosis dapat diberikan 10-25
mg, 4 kali sehari. Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi dengan obat
anti vertigo lainnya. Efek samping insomnia, palpitasi, dan gelisah/gugup.
Obat Penenang Minor
Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi kecemasan
yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo. Efek samping mulut kering
dan penglihatan kabur. Lorazepam, dosis dapat diberikan 0,5-1 mg. Diazepam, dosis
dapat diberikan 2-5 mg.
Obat Anti Kholinergik
Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas sistem
vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo. Skopolamin dapat dikombinasi
dengan Fenotiazine atau Efedrin dan mempunyai efek sinergis. Dosis skopolamin
0,3–0,6 mg, 3–4 kali sehari.
Non Medikamentosa
Susunan saraf pusat mempunyai kemampuan untuk mengkompensasi
gangguan keseimbangan. Namun dapat dijumpai beberapa penderita yang
kemampuan adaptasinya kurang baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh
37
adanya gangguan lain di susunan saraf pusat, atau didapatkan defisit
sistem visual atau proprioseptifnya. Apabila obat tidak banyak membantu,
maka diperlukan latihan fisik vestibular. Latihan bertujuan untuk
mengatasi gangguan vestibular, membiasakan, dan mengadaptasi diri
terhadap gangguan keseimbangan. Tujuan latihan ialah :
1. Melatih gerakan kepala yang mencetuskan vertigo atau disekuilibrium,
untuk meningkatkan kemampuan mengatasinya secara lambat laun.
2. Melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan mata.
3. Melatih meningkatkan kemampuan keseimbangan.
Contoh latihan:
1. Berdiri tegak dengan mata dibuka, kemudian dengan mata ditutup.
2. Olahraga yang menggerakkan kepala (gerakan rotasi, fleksi, ekstensi,
gerak miring).
3. Dari sikap duduk disuruh berdiri dengan mata terbuka, kemudian
dengan mata tertutup.
4. Jalan di kamar atau ruangan dengan mata terbuka kemudian dengan
mata tertutup.
5. Berjalan “tandem” (kaki dalam posisi garis lurus, tumit kaki yang satu
menyentuh jari kaki lainnya dalam melangkah).
6. Jalan menaiki dan menuruni permukaan miring.
7. Melirikkan mata kearah horizontal dan vertikal.
8. Melatih gerakan mata dengan mengikuti objek yang bergerak dan juga
memfiksasi pada objek yang diam.
Terapi Fisik Brand-Darrof
38
Gambar 11. Terapi fisik Brand-Darrof.
Keterangan Gambar:
• Pasien dalam posisi duduk.
• Arahkan kepala ke kiri, jatuhkan badan ke posisi kanan, kemudian balik
posisi duduk.
• Arahkan kepala ke kanan lalu jatuhkan badan ke sisi kiri. Masing-masing
gerakan lamanya sekitar satu menit, dapat dilakukan berulang kali.
• Untuk awal cukup 1-2 kali kiri-kanan, makin lama makin bertambah.
Terapi Spesifik
BPPV
Pada kondisi ini tidak direkomendasikan terapi obat-obatan. Vertigo
dapat membaik dengan manuver rotasi kepala. Hal ini akan memindahkan
deposit kalsium yang bebas ke belakang vestibulum. Manuver ini meliputi
reposisi kanalit berupa Epley’s Manoeuvre. Pasien perlu tetap tegak selama 1
samapi 2 jam setelah reposisi kanalit untuk mencegah deposit kalsium kembali
ke kanalis semisirkularis.
Vestibular Neuronitis - Vestibular Labirynthis
Terapi difokuskan pada gejala menggunakan terapi obat-obatan yang
diikuti dengan latihan vestibular.
Meniere’s Disease
Terapi dengan prinsip menurunkan tekanan endolimfatik. Walaupun
diet rendah garam dan diuretik seringkali mengurangi keluhan vertigo, tetapi
hal ini kurang efektif dalam mengobati ketulian dan tinnitus.
39
Pada kasus yang jarang, intervensi bedah seperti dekompresi dengan
endolimfatic shunt atau cochleosacculoctomy dibutuhkan jika penyakit ini
resisten terhadap pengobatan diuretik dan diet rendah garam.
Iskemik Vaskular
Terapi Transient Ischemic Attack dan stroke melalui kontrol tekanan
darah, menurunkan level kolesterol, inhibisi fungsi platelet (diantaranya
dengan aspirin, clopidogrel, dan warfarin), dapat mencegah terjadinya
serangan ulang.
Vertigo akut yang disebabkan oleh stroke pada batang otak atau
serebelum diobati dengan obat-obatan yang mensupresi vestibular. Sesegera
mungkin dilakukan tappering-off dosis obat anti vertigo dan latihan
rehabilitasi vestibular harus segera dimulai.
Pemasangan vertebrobasilar stent diperlukan pada pasien dengan
stenosis arteri vertebralis.
Perdarahan pada serebelum dan batang otak memberikan resiko
kompresi, sehingga diperlukan dekompresi melalui tindakan neurosurgery.
B. HIPERTENSI
I. DEFINISI
40
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg.
Hipertensi diklasifikasikan menjadi hipertensi primer/esensial (90-95%) dan
hipertensi sekunder (5-10%). Disebut hipertensi primer bila tidak ditemukan
penyebab dari peningkatan tekanan darah, dan disebut hipertensi sekunder bila
disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme
primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan
renovaskuler, serta akibat obat-obatan.
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal,
prahipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2.
Klasifikasi Tekanan
DarahTekanan Darah Sistolik
(mmHg)Tekanan Darah
Diastolik (mmHg)Normal < 120 < 80
Prahipertensi 120-139 80-89Hipertensi derajat 1 140-159 90-99Hipertensi derajat 2 > 160 > 100
II. ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
hipertensi primer/esensial dan hipertensi sekunder/renal.
1. Hipertensi Primer
Hipertensi primer/esensial tidak diketahui penyebabnya, disebut juga
hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang
mempengaruhinya, seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf
simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na
dan Ca intraseluler, serta faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti
obesitas, alkohol, merokok, dan polisitemia. Hipertensi primer biasanya
timbul pada umur 30 – 50 tahun.
41
2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder/renal terjadi pada sekitar 5 % kasus. Penyebab spesifik
diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular
renal, hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, feokromositoma,
koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-
lain.
III. GEJALA KLINIS
Peninggian tekanan darah terkadang merupakan satu-satunya gejala pada
hipertensi esensial, dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah, gejala
yang timbul dapat berbeda-beda. Hipertensi esensial dapat berjalan tanpa gejala,
dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target, seperti pada
ginjal, mata, otak, dan jantung.
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi
mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini
menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang
bermakna. Bila terdapat gejala, biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya sakit
kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah
marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata
berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat, maka
dapat mengakibatkan kematian yang disebabkan karena payah jantung, infark
miokardium, stroke, atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan perawatan
hipertensi dapat menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas.
IV. PATOFISIOLOGI
Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam
pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar:
42
Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer
Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan
hipertensi esensial antara lain:
1. Curah jantung dan tahanan perifer.
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh
terhadap tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial, curah
jantung biasanya normal, tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah
ditentukan oleh konsentrasi sel otot polos yang terdapat pada arteriol kecil.
Peningkatan konsentrasi sel otot polos akan berpengaruh pada peningkatan
konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot polos ini
semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol, hal ini
mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya
tahanan perifer yang irreversible.
2. Sistem Renin-Angiotensin.
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem
endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi
oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon dari adanya glomerulus
underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem
saraf simpatetik.
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE
memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah
mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin
akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II berpotensi besar
meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui
dua jalur, yaitu:
43
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus dan bekerja pada ginjal untuk mengatur
osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh, sehingga urin menjadi
pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga
meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk
mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal.
Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.
3. Sistem Saraf Otonom.
Sirkulasi sistem saraf simpatik dapat menyebabkan vasokonstriksi maupun
dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran penting dalam
pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi
antara sistem saraf otonom, sistem renin-angiotensin, dan faktor-faktor lain
termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon.
4. Disfungsi Endotelium.
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam
mengontrol pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif
lokal, yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi
endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis
44
pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan produksi
dari oksida nitrit.
5. Substansi Vasoaktif.
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transport natrium dalam
mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin
merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin
dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan
sistem Renin-Angiotensin lokal. Arterial Natriuretic Peptide merupakan
hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan
volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal
yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi.
6. Hiperkoagulasi.
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dinding pembuluh
darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium), ketidaknormalan
faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi dapat
menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan
semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah
dengan pemberian obat anti-hipertensi.
7. Disfungsi Diastolik.
Hipertrofi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika
terjadi tekanan diastolik. Hal ini terjadi guna memenuhi peningkatan
kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga dimana terjadi
peningkatan tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan
ventrikel.
V. FAKTOR RESIKO HIPERTENSI
45
Sampai saat ini penyebab hipertensi belum dapat diketahui dengan jelas.
Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi yang teridentifikasi antara lain:
1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
a. Keturunan.
Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa jika seseorang mempunyai orang tua
yang salah satu atau keduanya menderita hipertensi, maka orang tersebut
mempunyai risiko lebih besar untuk terkena hipertensi. Adanya riwayat
keluarga terhadap hipertensi dan penyakit jantung secara signifikan akan
meningkatkan risiko terjadinya hipertensi pada perempuan dibawah 65 tahun
dan laki–laki dibawah 55 tahun.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan darah.
Sejumlah fakta menyatakan hormon sex mempengaruhi sistem Renin-
Angiotensin. Secara umum tekanan darah pada laki–laki lebih tinggi daripada
perempuan. Pada perempuan, risiko hipertensi akan meningkat setelah masa
menopause yang mununjukkan adanya pengaruh penurunan hormon estrogen.
c. Umur
Menurut beberapa penelitian telah yang dilakukan, terbukti bahwa semakin
tinggi umur seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya. Hal ini
disebabkan elastisitas dinding pembuluh darah yang semakin menurun.
Sebagian besar hipertensi terjadi pada umur lebih dari 65 tahun. Sebelum
umur 55 tahun tekanan darah pada laki–laki lebih tinggi daripada perempuan.
Setelah umur 65 tahun, tekanan darah pada perempuan lebih tinggi daripada
laki-laki.
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
a. Merokok.
46
Menurut penelitian, diungkapkan bahwa merokok dapat meningkatkan beban
kerja jantung dan menaikkan tekanan darah. Nikotin yang terdapat dalam
rokok dapat meningkatkan penggumpalan darah dan menyebabkan
pengapuran pada dinding pembuluh darah. Nikotin bersifat toksik terhadap
jaringan saraf yang menyebabkan peningkatan tekanan darah baik sistolik
maupun diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti
dipaksa, pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh darah
koroner meningkat, dan terjadi vasokontriksi pada pembuluh darah perifer.
b. Obesitas.
Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal, erat kaitannya dengan
hipertensi. Tingginya peningkatan tekanan darah tergantung pada besarnya
penambahan berat badan. Tidak semua obesitas dapat terkena hipertensi.
Peningkatan tekanan darah di atas nilai optimal ( > 120/80 mmHg) akan
meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Penurunan berat
badan efektif untuk menurunkan hipertensi. Penurunan berat badan sekitar 5
kg dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan.
c. Stres.
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis yang
dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres
berlangsung lama maka dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang
menetap.
d. Aktifitas Fisik.
Aerobik yang cukup, misalnya berjalan cepat 30–45 menit setiap hari
membantu menurunkan tekanan darah secara langsung. Olahraga secara
teratur dapat menurunkan tekanan darah pada semua kelompok.
47
e. Asupan.
1) Asupan Natrium
Natrium adalah kation utama dalam cairan extraseluler konsentrasi serum
normal (136-145 mEq/L). Natrium berfungsi menjaga keseimbangan
cairan dan keseimbangan asam basa tubuh, serta berperan dalam transfusi
saraf dan kontraksi otot.
Perpindahan air antara cairan ekstraseluler dan intraseluler ditentukan oleh
kekuatan osmotik. Natrium klorida pada cairan ekstraseluler, kalium
dengan zat–zat organik pada cairan intraseluler, adalah zat–zat yang sangat
berperan dalam menentukan konsentrasi air pada kedua sisi membran.
Hampir seluruh natrium yang dikonsumsi (3-7 gram sehari) diabsorpsi
terutama di usus halus. Mekanisme pengaturan keseimbangan volume
tergantung pada perubahan volume sirkulasi efektif. Volume sirkulasi
efektif adalah bagian dari volume cairan ekstraseluler pada ruang vaskular
yang melakukan perfusi aktif pada jaringan. Pada orang sehat, volume
cairan ekstraseluler umumnya berubah–ubah sesuai dengan sirkulasi
efektifnya, dan berbanding secara proporsional dengan jumlah total
natrium dalam tubuh. Natrium diabsorpsi secara aktif, setelah itu dibawa
oleh aliran darah ke ginjal, natrium kemudian disaring dan dikembalikan
ke aliran darah dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan kadar
natrium dalam darah. Kelebihan natrium yang mencapai 90-99% akan
dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran urin ini diatur oleh hormon
aldosteron yng dikeluarkan kelenjar adrenal bila kadar natrium dalam
darah menurun. Aldosteron merangsang ginjal untuk mengasorpsi natrium
kembali. Jadi tinggi rendahnya jumlah natrium dalam urin berbanding
lurus dengan jumlah natrium yang dikonsumsi.
Garam dapat memperburuk hipertensi pada orang yang secara genetik
sensitif terhadap natrium, misalnya seperti pada orang Afro-Amerika, para
lansia, dan para penderita hipertensi atau diabetes. Asosiasi Jantung
Amerika menganjurkan setiap orang untuk membatasi asupan garam tidak
lebih dari 6 gram per hari. Pada populasi dengan asupan natrium lebih dari
48
6 gram per hari tekanan darahnya meningkat lebih cepat dengan
meningkatnya umur, serta kejadian hipertensi lebih sering ditemukan.
Hubungan antara restriksi garam dan pencegahan hipertensi masih belum
jelas. Namun berdasarkan studi epidemiologi diketahui terjadi kenaikan
tekanan darah ketika asupan garam ditambah.
2) Asupan Kalium.
Kalium merupakan ion utama dalam cairan intraseluler. Cara kerja kalium
adalah kebalikan dari cara kerja natrium. Konsumsi kalium yang banyak
akan meningkatkan konsentrasinya di dalam cairan intraseluler, sehingga
cenderung menarik cairan ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah.
Sekresi kalium pada nefron ginjal dikendalikan oleh aldosteron.
Peningkatan sekresi aldosteron selain menyebabkan reabsorbsi natrium
dan air, juga meningkatkan ekskresi kalium. Sebaliknya penurunan sekresi
aldosteron menyebabkan ekskresi natrium dan air, juga meningkatkan
penyimpanan kalium. Rangsangan utama sekresi aldosteron adalah
penurunan volume sirkulasi efektif atau penurunan kalium serum. Ekskresi
kalium juga dipengaruhi oleh keadaan asam basa dan kecepatan aliran di
tubulus distal.
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asupan rendah kalium akan
mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan renal vascular remodeling,
yang mengindikasikan terjadinya resistansi pembuluh darah pada ginjal.
Pada populasi dengan asupan tinggi kalium, tekanan darah dan prevalensi
hipertensi lebih rendah dibanding dengan populasi yang mengkonsumsi
kalium dalam jumlah rendah.
3) Asupan Magnesium.
Magnesium merupakan inhibitor yang kuat terhadap kontraksi vaskuler
otot polos, dan diduga berperan sebagai vasodilator dalam regulasi tekanan
darah. The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation
49
and Treatment of High Blood Presure (JNC) melaporkan bahwa terdapat
hubungan timbal balik antara magnesium dan tekanan darah.
Walaupun sebagian besar penelitian klinis menyebutkan bahwa
suplementasi magnesium tidak efektif untuk mengubah tekanan darah. Hal
ini dimungkinkan karena adanya efek pengganggu dari obat anti
hipertensi. Meskipun demikian, suplementasi magnesium
direkomendasikan untuk mencegah kejadian hipertensi.
VI. KERUSAKAN ORGAN TARGET
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, nbik secara
langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ target yang umum ditemui
pada pasien hipertensi adalah:
1. Penyakit ginjal kronis.
2. Penyakit jantung:
a. Hipertrofi ventrikel kiri.
b. Angina atau infark miokardium.
c. Gagal jantung.
3. Gangguan fungsional otak:
a. Stroke.
b. Transient Ischemic Attack (TIA).
4. Penyakit arteri perifer.
5. Retinopati hipertensi.
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ
tersebut dapat merupakan akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada
organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain karena adanya autoantibodi
terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dari ekspresi
nitric oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet
tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya
kerusakan organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya
ekspresi transforming growth factor-β (TGF-β).
50
VII. EVALUASI HIPERTENSI
Evaluasi hipertensi bertujuan untuk:
1. Menilai pola hidup, identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular,
menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis, dan
menentukan pengobatan.
2. Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.
3. Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit
kardiovaskular.
Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang
keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, pemeriksaan
fisik, serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis meliputi:
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah penderita.
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder:
a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal.
b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri,
pemakaian obat-obat analgesik dan obat/bahan lain.
c. Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
(feokromositoma).
d. Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme).
3. Faktor-faktor resiko:
a. Riwayat hipertensi atau penyakit kardiovaskular pada pasien
atau keluarga pasien.
b. Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya.
c. Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya.
d. Kebiasaan merokok.
e. Pola makan.
f. Kegemukan, intensitas aktivitas dan olahraga.
51
g. Kepribadian penderita.
4. Gejala kerusakan organ:
a. Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,
transient ischemic attack, defisit sensoris atau motoris.
b. Ginjal: rasa haus, poliuria, nokturia, hematuria.
c. Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, oedema ekstremitas
inferior.
d. Arteri perifer: perabaan ekstremitas dingin.
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya.
Pemeriksaan penunjang untuk pasien hipertensi terdiri dari:
a. Tes darah rutin.
b. Glukosa darah (sebaiknya glukosa darah puasa).
c. Kolesterol total serum.
d. LDL dan HDL serum.
e. Trigliserida serum (sebaiknya trigliserida serum puasa).
f. Asam urat serum.
g. Kreatinin serum.
h. Kalium serum.
i. Hemoglobin dan hematokrit.
j. Urinalisis.
k. Elektrokardiogram.
Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya
kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya
hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala.
Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target meliputi:
1. Fungsi ginjal:
52
a. Pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinuria
(mikro dan makro albuminuria) serta rasio albumin-kreatinin
urin.
b. Perkiraan Glomerulus Filtration Rate (GFR), yang untuk pasien
dalam kondisi stabil dapat diperkirakan dengan menggunakan
modifikasi rumus dari Cockroft-Gault sesuai dengan anjuran
National Kidney Foundation (NKF), yaitu:
Klirens Kreatinin= (140-Umur) x Berat Badan x (0,85 untuk perempuan)
72 x Kreatinin Serum
Formula MDRD (Modification of Diet in Renal Disease), GFR=
175 x Kreatinin Serum – 1,154 x Usia – 0,203 x (0,742 jika wanita) x (1,212 jika Afro-Amerika)
VIII. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI
A. Penatalaksanaan Farmakologis
Pedoman dari ESH 2007 merekomendasikan 5 golongan obat anti
hipertensi, yaitu diuretic thiazid, calcium antagonists, ACE inhibitors, angiotensin
receptor antagonists, dan beta blockers. Obat-obatan tersebut dapat digunakan
sebagai first-line treatment (initiation and maintenance), baik sebagai monoterapi
atau kombinasi.
ESH-2007 menganjurkan penggunaan beta blockers dan diuretic
thiazid sebaiknya tidak diberikan pada individu dengan sindroma metabolik dan
risiko tinggi diabetes, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi obat
tersebut dapat menimbulkan penyakit diabetes.
Terapi hipertensi sering memerlukan lebih dari satu macam obat anti
hipertensi, sehingga perlu dipertimbangkan pemilihan obat sebagai first
class sesuai dengan compelling indications. Keadaan khusus seperti hipertensi
pada usia lanjut, kehamilan, atau krisis hipertensi akan memerlukan penanganan
khusus dengan pilihan obat anti hipertensi tertentu.
53
Prinsip pengobatan hipertensi :
• Sekiranya tekanan darah tidak mencapai target yang
diinginkan,dosis obat dapat ditingkatkan hingga mencapai dosis
maksimum.Bisa juga digantikan dengan obat dari kelas yang lain,
atau ditambah obat kedua dari kelas yang lain.
• Sekiranya respon pengobatan inisial adekuat maka pengobatan
diteruskan.
• Untuk penambahan obat perlu pertimbangkan untuk menambah
obat golongan diuretik
• Apabila ada kelainan ginjal, pertimbangkan penggunaan loop
diuretic yang berbanding dengan diuretic tiazid.
• Jangan kombinasikan obat dari kelas yang sama.
Anti hipertensi lainnya, yakni vasodilator langsung seperti adrenolitik
sentral (α2 agonis) dan penghambat saraf adrenergik, tidak digunakan untuk
monoterapi tahap pertama, tetapi hanya antihipertensi tambahan.
Pilihan obat bagi masing-masing penderita bergantung pada:
1. Efek samping metabolik dan gejala subyektif.
2. Penyakit lain yang mungkin diperbaiki atau bahkan diperburuk
oleh pilihan anti hipertensi.
3. Pemberian obat lain yang mungkin berinteraksi dengan anti
hipertensi yang telah diberikan sebelumnya dan pertimbangan
biaya pengobatan.
Jenis-jenis obat anti hipertensi:
Diuretik.
Efek nyang ditimbulkan adalah peningkatan ekskresi natrium, klorida dan
air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel. Vasodilatasi perifer
yang terjadi disebabkan adanya penyesuaian pembuluh darah perifer terhadap
54
pengurangan volume plasma terus menerus. Selain itu, dapat pula terjadi
pengurangan kekakuan dinding pembuluh darah dan bertambahnya daya lentur
(compliance) vascular.
Diuretik tiazid dan sejenisnya.
Berbagai Tiazid (misal hidrokiorotiazid, bendroflumetiazid) merupakan
obat utama dalam terapi anti hipertensi pada penderita dengan fungsi ginjal yang
normal. Tiazid dapat dikombinasikan karena dapat meningkatkan efek hipotensif
obat lain. Selain itu, tiazid mencegah terjadinya retensi cairan yang disebabkan
anti hipertensi lain.
Namun, penggunaan obat ini dapat menimbulkan efek samping metabolik,
yakni hipokalemia, hipomagnesimia, hiponatremia, hiperisemia, hiperkalsemia,
hiperglikemia, hiperkolestrolemia, dan hipertrigliseridemia. Ditambah lagi,
gangguan fungsi seksual dan rasa lemah juga dapat terjadi.
Diuretik kuat dan diuretik hemat kalium.
Diuretik kuat, misalnya furosemid lebih efektif dibanding tiazid untuk
hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal dan gagal jantung. Mula kerjanya lebih
cepat dan efek diuretiknya lebih kuat. Namun, untuk jenis hipertensi lain, tiazid
lebih unggul. Diuretik kuat dicadangkan untuk penderita dengan kreatinin serum ≤
2.5 mg/dl atau gagal jantung. Efek samping mirip seperti tiazid, hanya saja tidak
menimbulkan hiperkalsemia. Diuretik kuat harus diberikan dalam dosis rendah
disertai dengan pengaturan diet.
Diuretik hemat kalium merupakan diuretik lemah. Penggunaannya dengan
diuretik lain berfungsi untuk mencegah hipokalemia. Namun, jenis ini dapat
menyebabkan hiperkalemia, terutama pada penderita gangguan fungsi ginjal atau
bila dikombinasikan dengan penghambat ACE, suplemen kalium atau AINS.
Penderita dengan kreatinin serum ≥ 2.5 mg/dl tidak dianjurkan mengkonsumsi
jenis ini.
Penghambat Adrenergik.
55
Penghambat adrenoreseptor β (β-bloker).
Mekanisme β-adrenergik sebagai anti hipertensi masih belum jelas.
Diperkirakan ada beberapa cara, yakni:
1. Pengurangan denyut jantung dan kontraktilitas miokard.
2. Hambatan pelepasan NE melalui hambatan reseptor β2 presinaps.
3. Hambatan sekresi renin melalui hambatan rereptor β1 di ginjal.
4. Efek sentral.
Penurunan TD oleh β-bloker yang diberikan per oral berlangsung lambat.
Efek tampak dalam 24 jam sampai 1 minggu. Pemberian pada orang normal tidak
akan menyebabkan hipotensi.
Β-bloker merupakan obat untuk hipertensi ringan-sedang dengan penyakit
jantung koroner atau dengan aritmia supraventrikuler maupun ventrikuler, dengan
kelainan induksi.
Efek samping yang mungkin muncul diantaranya adalah bronkospasme,
memperburuk gangguan pembuluh darah perifer, rasa lelah, insomnia,
eksaserebrasi gagal jantung, serta mengurangi kemampuan berolahraga. Efek
samping dapat dikurangi dengan pengaturan diet. Selain itu, pengurangan aliran
darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat memperburuk fungsi ginjal.
Rebound hypertension jarang terjadi pada penghentian β-bloker secara mendadak.
Penghambat adrenoreseptor α (α-bloker).
α-bloker yang selektif memblok adrenoreseptor α-1 dapat digunakan
sebagai antihipertensi. α-bloker yang non-selektif juga menghambat adrenoseptor
α-2 diujung saraf adrenergik, sehingga meningkatkan pelepasan norepinephrin,
akibatnya terjadi perangsangan jantung yang berlebihan.
α-bloker menghambat reseptor α-1 di pembuluh darah sehingga terjadi
dilatasi vena dan arteriol. α-bloker merupakan satu-satunya golongan
antihipertensi yang memberikan efek positif pada lipid darah, (mengurangi LDL
dan trigliserida, meningkatkan HDL). α-bloker juga dapat menurunkan resistensi
insulin, mengurangi gangguan vaskular perifer, memberikan sedikit efek
56
bronkodilatasi dan mengurangi serangan asma akibat kegiatan fisik, merelaksasi
otot polos prostat dan leher kandung kemih sehingga mengurangi gejala hipertrofi
prostat, tidak menggangu aktivitas fisik, dan tidak berinteraksi dengan AINS.
Oleh karena itu, obat ini dianjurkan untuk penderita hipertensi disertai diabetes,
dislipidemia, obesitas, gangguan resistensi perifer, asma, hipertrofi prostat,
perokok, serta penderita muda yang aktif secara fisik dan mereka yang
menggunakan AINS.
Efek samping yang mungkin muncul di antaranya adalah hipotensi
ortostatik yang dapat terjadi sejak pemberian beberapa dosis pertama atau saat
dilakukan penambahan dosis. Efek lebih besar ialah kehilangan kesadaran sesaat,
atau yang ringan ialah pusing kepala.
ACE Inhibitor
Penghambat ACE yang bekerja langsung yaitu captropil dan lisinopril,
namun ada pula yang tidak langsung (pro drug).
Renin disekresi oleh sel jukstaglomerular (di dinding arteriol aferen) dan
oleh glomerulus ke dalam darah bila perfusi ginjal menurun, deplesi natrium, atau
karena terjadi stimulasi adrenergik (melalui reseptor β-1).
Renin akan memecah angiotensinogen menjadi angiotensin I (AI). AI akan
dikonversi oleh ACE menjadi Angiotensin II (AII) yang sangat aktif. AII bekerja
pada reseptor otot polos vaskuler, korteks adrenal, jantung, dan SSP untuk
menimbulkan konstriksi arteriol dan venula, stimulasi konsumsi air dan
peningkatan sekresi ADH. Akibatnya terjadi resistensi perifer, reabsorpsi natrium
dan air, serta peningkatan denyut jantung dan curah jantung.
Sistem RAA berperan dalam mempertahankan tekanan darah dan volume
intravaskular saat terdapat deplesi natrium dan cairan.
Penghambatan ACE akan mengurangi pembentukan AII sehingga tekanan
darah turun. Karena efek vasokonstriksi paling kuat antara lain ada di pembuluh
darah ginjal, pengurangan AII akan menimbulkan vasodilatasi renal yang kuat.
Penurunan tekanan darah oleh penghambat ACE disertai pengurangan resistensi
perifer tanpa refleks takikardia.
57
Penghambat ACE efektif untuk hipertensi ringan, sedang , maupun berat.
Pemberian bersama dengan penghambat adrenergik akan menimbulkan hipotensi
berat berkepanjangan.
Efek samping yang mungkin muncul antara lain batuk kering, ganguan
pengecapan, rash eritromatosis maupun oedem angioneurotik.
Penghambat Reseptor Angiotensin II.
Sistem RAS mempunyai hubungan yang erat dengan patogenesis timbulnya
dan perjalanan hipertensi. Angiotensin II yang merupakan mediator utama dari
sistem RAS.
Angiotensin Receptor Blocker (ARB) merupakan kelompok obat yang
memodulasi sistem RAS dengan cara menginhibisi ikatan angiotensin II dengan
reseptornya. Penghambatan ini secara langsung memberikan efek vasodilatasi,
penurunan retensi air dan natrium, dan penurunan aktivitas seluler yang
merugikan (misalnya hipertrofi).
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah Valsartan (Diovan).
Efek samping yang mungkin timbul adalah sakit kepala, pusing, lemas, dan mual.
Antagonis Kalsium.
Golongan dihidropiridin (DHP, nifedipin, nikardipin, isradipin, felodipin,
amilodipin) bersifat vaskuloselektif dan generasi yang baru mempunyai
selektivitas yang lebih tinggi. Kombinasi antagonis kalsium dengan β-bloker,
penghambat ACE atatu α-bloker meberikan efek baik, tetapi hanya memberikan
penambahan efek yang kecil saat kombinasi dengan diuretik. Kombinasi
verapamil atau diltiazem dengan β-bloker memberikan efek antihipertensi yang
adiktif.
Efek samping yang mungkin dijumpai ialah penurunan tekanan darah yang
terlalu besar dan cepat, angina pektoris pada penyakit jantung koroner,
vasodilatasi, edema perifer, bradiaritmia maupun konstipasi.
Adrenolitik Sentral.
Klonidin.
58
Efek hipotensifnya disertai penurunan resistensi perifer. Klonidin juga dapat
menyebabkan penurunan denyut jantung, antara lain akibat peningkatan tonus
vagal. Klonidin berguna pula untuk hipertensi mendesak.
Efek samping yang sering muncul ialah mulut kering dan sedasi, pusing,
mual, konstipasi, atau impotensi. Gejala ortostatik kadang-kadang terjadi. Efek
samping sentral misalnya, mimpi buruk, insomnia, cemas dan depresi.
Penggunaan secara tunggal dapat menyebabkan retensi cairan sehingga
mengurangi efek hipotensinya. Oleh karena itu, obat ini paling baik jika
digunakan bersama diuretik.
Guanabenz dan Guanfasin.
Sifat farmakologik termasuk efek sampingnya mirip klonidin. Guanfasin
memiliki waktu paruh lebih panjang (14-18 jam).
Metildopa.
Metildolpa dapat mengurangi resistensi perifer tanpa banyak mengubah
denyut jantung dan curah jantung. Penurunan TD maksimal 6-8 jam setelah dosis
oral.
Obat ini juga efektif jika dikombinasikan dengan tiazid. Selain itu, obat ini
juga merupakan pilihan untuk hipertensi pada kehamilan.
Pada insufisiensi ginjal terjadi akumulasi obat dan metabolitnya. Waktu
paruh obat 2 jam dan meningkat pada penderita uremia.
Efek samping yang dapat muncul di antaranya adalah sedasi, hipotensi
postural, pusing, mulut kering, gangguan tidur, depresi mental, impotensi,
kecemasan, penglihatan kabur, hidung tersumbat, dan sakit kepala. Efek samping
yang lebih serius di antaranya adalah anemia hemolitik, trombositopenia,
leukopenia, hepatitis, dan Lupus-like syndrome. Penghentian mendadak dapat
menyebabkan rebound phenomenon (peningkatan tekanan darah).
Penghambat saraf Adrenergik.
Reserpin
59
Reserpin mengurangi resistensi perifer dan denyut jantung. Retensi cairan
dapat terjadi jika tidak diberikan bersama diuretik.
Efek samping yang dapat terjadi di antaranya adalah letargi, kongesti nasal,
bradikardia, mulut kering, diare, mual, muntah, anoreksia, bertambahnya nafsu
makan, hiperasiditas lambung, mimpi buruk, depresi mental, disfungsi sexual, dan
ginekomastia.
Karena reserpin dapat meningkatkan asam lambung, maka harus diberikan
dengan hati-hati pada penderita dengan riwayat ulkus peptikum.
Guanetidin.
Efek hipotensif obat ini disebabkan karena berkurangnya curah jantung dan
turunnya resistensi perifer. Guanetidin merupakan venodilator yang kuat sehingga
hipotensi ortostatik yang hebat dapat terjadi. Obat ini juga sering menimbulkan
diare dan kegagalan ejakulasi. Guanetidin sekarang jarang digunakan.
Guanadrel.
Mekanisme dan efek samping mirip dengan Guanetidin, hanya saja
intensitas diare lebih rendah.
Penghambat Ganglion.
Trimetafan.
Kerjanya singkat dan digunakan untuk menurunkan tekanan darah pada
hipertensi darurat dan menghasilkan hipotensi terkendali selama bedah saraf atau
bedah kardiovaskular untuk mengurangi pendarahan.
Efek samping yang dapat muncul ialah paresis usus dan kandung kemih,
hipotensi ortostatik, penglihatan kabur, dan mulut kering.
Vasodilator.
Hidralazin.
Hidralazin menurunkan tekanan darah diastolik lebih banyak daripada
tekanan darah sistolik dengan menurunkan resistensi perifer. Oleh karena itu,
60
hidralazin lebih selektif mendilatasi arteriol dari pada vena.
Hidralazin sekarang jarang digunakan. Hidralazin i.v digunakan untuk
hipertensi darurat, terutama glomerulonefritis akut atau eklamasia.
Efek samping yang dapat muncul ialah retensi natrium dan air, iskemia
miokard pada penderita penyakit jantung koroner, dan sindroma Lupus.
Minoksidil.
Minoksidil efektif untuk semua penderita, maka berguna untuk terapi jangka
panjang hipertensi berat yang refrakter, untuk hipertensi akselerasi, atau hipertensi
maligna dengan penyakit ginjal.
Efek samping yang sering muncul ialah retensi cairan, takikardia, sakit
kepala, angina pectoris, efusi pleural dan pericardial.
Penghentian minoksidil mendadak dapat menyebabkan rebound
hypertension.
Diazoksid.
Obat ini digunakan pada hipertensi darurat. Diazoksid efektif untuk
hipertrofi ensefalopati, hipertensi maligna dan hipertensi berat dengan
glomerunefritis akut dan kronik. Penurunan tekanan darah yang cepat dapat
beresiko iskemia koroner.
Efek samping yang ada misalnya hipotensi, takikardia, iskemia jantung dan
otak akibat hipotensi, azotemia, hipersensitifitas.
Natrium Nitroprusid.
Nitroprusid merupakan obat paling cepat dan selalu efektif untuk
pengobatan hipertensi darurat. Namun perlu infus kontinyu untuk
mempertahankan efek hipotensifnya.
Efek samping yang ada berupa vasodilatasi yang berlebihan, muntah, mual,
dan muscle twitching.
61
Monoterapi dan Terapi Kombinasi.
Menurut ESH-2007, monoterapi dapat diberikan sebagai terapi inisial untuk
hipertensi ringan (derajat 1), dengan dosis rendah, kemudian untuk mencapai
target tekanan darah yang diinginkan dosis dapat dinaikkan sampai dosis
maksimal, atau diganti dengan obat yang mempunyai titik tangkap berbeda
(dimulai dengan dosis rendah), kemudian dosis dinaikkan sampai dosis maksimal.
Bila masih belum tercapai target yang diinginkan, dapat ditambah 2 sampai 3
macam obat.
Terapi kombinasi 2 obat diberikan untuk terapi inisial pada hipertensi
derajat 2 dan 3, bila dengan 2 macam obat target tekanan tidak tercapai dapat
diberikan 3 macam obat anti hipertensi.
Monoterapi hanya bisa menurunkan tekanan darah ke tekanan darah target
pada penderita dalam jumlah kasus yang terbatas. Pada beberapa pasien dengan
tekanan darah yang tidak dapat dikontrol dengan dua jenis pengobatan, kombinasi
tiga obat atau lebih.
Beberapa kombinasi obat yang efektif dengan toleransi yang baik
diantaranya adalah:
- Diuretik tiazid dan ACE Inhibitor.
- Diuretik tiazid dan antagonis reseptor angiotensin.
- Antagonis kalsium dan ACE inhibitor.
- Antagonis kalsium dan antagonis reseptor angiotensin.
- Antagonis kalsium dan diuretik tiazid.
- B-blocker dan antagonis kalsium (dihidropiridin).
62
B. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis (diet) sering sebagai pelengkap
penatalaksanaan farmakologis. Selain pemberian obat-obatan antihipertensi perlu
terapi dietetik dan perubahan gaya hidup.
Tujuan dari penatalaksanaan diet :
a. Membantu menurunkan tekanan darah secara bertahap dan
mempertahankan tekanan darah menuju normal.
b. Menurunkan tekanan darah secara multifaktoral.
c. Menurunkan faktor risiko lain, seperti BB berlebih, tingginya kadar
asam lemak, kolesterol dalam darah.
d. Mendukung pengobatan penyakit penyerta, seperti penyakit ginjal
dan diabetes mellitus.
63
Prinsip diet penatalaksanaan hipertensi :
a. Makanan beraneka ragam dengan gizi seimbang.
b. Jenis dan komposisi makanan disesuaikan dengan kondisi
penderita.
c. Jumlah garam dibatasi. Konsumsi garam dapur tidak lebih dari ¼ -
½ sendok teh per hari, atau dapat menggunakan garam lain diluar
natrium.
64
DAFTAR PUSTAKA
1. Sura, DJ, Newell, S. 2010. Vertigo- Diagnosis and management in primary care, BJMP 2010;3(4):a351
2. Lempert, T, Neuhauser, H. 2009. Epidemiology of vertigo, migraine and vestibular migraine in Journal Nerology 2009:25:333-338
3. Labuguen, RH. 2006. Initial Evaluation of Vertigo ini Journal American Family Physician January 15, 2006. Volume 73, Number 2
4. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 20085. Marril KA. Central Vertigo [Internet]. WebMD LLC. 21 Januari 2011.
http://emedicine.medscape.com/article/794789-clinical#a02176. Turner, B, Lewis, NE. 2010. Symposium Neurology :Systematic Approach that
Needed for establish of Vetigo. The Practitioner September 2010 - 254 (1732): 19-23.
7. Mark, A. 2008. Symposium on Clinical Emergencies: Vertigo Clinical Assesment and Diagnosis. British Journal of Hospital Medicine, June 2008, Vol 69, No 6
8. Kovar, M, Jepson, T, Jones, S. 2006. Diagnosing and Treating: Benign Paroxysmal Positional Vertigo in Journal Gerontological of Nursing. December:2006
9. Swartz, R, Longwell, P. 2005. Treatment of Vertigo in Journal of American Family Physician March 15,2005:71:6.
10. Chain, TC.2009. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with Dizziness and Vertigo. Illnois:wolter kluwerlippincot William and wilkins)
11. Antunes MB. CNS Causes of Vertigo [Internet]. WebMD LLC. 10 September 2009. http://emedicine.medscape.com/article/884048-overview#a0104
12. Siregar TGM. Hipertensi Esensial. Dalam: Rilantono LI, Barass F, Karo SK, Roebiono PS, editor. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003. ISBN 979-496-077-2. h. 197-205
13. JNC-VII Classification and Management of Blood Pressure for Adults. Medicalcriteria.com
14. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report
15. Carretero OA, Oparil S (January 2000). "Essential hypertension. Part I: Definition and etiology". Circulation 101 (3): 329–35. doi:10.1161/01.CIR.101.3.329. PMID 10645931.
16. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. (December 2003). "Seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure". Hypertension 42 (6): 1206–52. doi:10.1161/01.HYP.0000107251.49515.c2. PMID 14656957.
17. Fisher ND, Williams GH (2005). "Hypertensive vascular disease". di dalam Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, et al.. Harrison's Principles of Internal Medicine (edisi ke-16th). New York, NY: McGraw-Hill. hlm. 1463–81. ISBN 0-07-139140-1.
65