versi elektronik - hitpi

297
versi elektronik PROSIDING SEMINAR NASIONAL IV HITPI Purwokerto, Desember 2015 STRATEGI PENGEMBANGAN HIJAUAN PAKAN LOKAL Penyelenggara : Himpunan Ilmuan Tumbuhan Pakan Indonesia ( HITPI ) , Bekerja sama dengan, Direktorat Pakan, Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia , Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman ISBN : 978-602-1004-16-6 Versi online : http://fapet.unsoed.ac.id/

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL IV HITPI

Purwokerto, Desember 2015

STRATEGI PENGEMBANGAN

HIJAUAN PAKAN LOKAL

Penyelenggara : Himpunan Ilmuan Tumbuhan Pakan Indonesia ( HITPI ) , Bekerja sama dengan, Direktorat Pakan, Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia , Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman

ISBN : 978-602-1004-16-6

Versi online : http://fapet.unsoed.ac.id/

Page 2: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

iii

PROSIDING SEMINAR NASIONAL IV HITPI

(HIMPUNAN ILMUWAN TUMBUHAN PAKAN INDONESIA)

“Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas

Untuk Peningkatan Mutu Ternak”

Seminar dilaksanakan pada tanggal 18 - 20 Oktober 2015 di Fakultas

Peternakan Universitas Jenderal Soedirman

Versi elektronik prosiding ini dapat diakses melalui:

http://fapet.unsoed.ac.id/

Penerbit

Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto

2015

Page 3: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayahNya sehingga prosiding ini dapat disusun dengan baik. Prosiding ini memuat artikel-

artikel yang telah dipresentasikan pada Seminar Nasional IV HITPI dengan tema “ Strategi

Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” yang

diselenggarakan oleh HITPI (Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia) bekerjasama

dengan Fakultas Peternakan dan Direktorat Pakan Direktorat Jenderal Peternakan dan

Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Indonesia pada tanggal 18 Oktober sampai dengan

20 Oktober 2015.

Percepatan pemenuhan kebutuhan pangan asal ternak ruminansia sangat ditentukan

oleh ketersediaan hijauan pakan berkualitas pada sentra produksi ternak. Secara global telah

terbukti terbukti bahwa keberhasilan suatu negara dalam mensuplai hijauan pakan

berkualitas secara murah berdampak pada kemampuan negara tersebut dalam menjamin

keberlanjutan sistem stok ternak dan kontribusi produk pangannya secara nasional. Forum

eminar yang berskala nasional telah memberikan wahana bagi para peneliti untuk saling

berbagi dan berdiskusi mengenai hasil temuannya sekaligus membangun jejaring dan hasil-

hasilnya disajikan dalam prosiding ini.

Prosiding ini tersusun berkat kerjasama antara berbagai pihak, utamanya penulis,

dewan penyunting, sekretariat dan juga percetakan. Terimakasih disampaikan kepada

berbagai pihak yang telah berkontribusi. Semoga semua artikel yang dirangkm pada

prosiding ini dapat digunakan sebagai rujukan ilmiah dalam menetapkan strategi dan

langkah-langkah selanjutnya untuk mengembangkan sumberdaya peternakan di Indonesia,

guna menujuketahanan pangan hewani dan kesejahteraan masyarakat.

Purwokerto, Desember 2015

Dekan Fakultas Peternakan

Universitas Jenderal Soedirman

Prof. Dr. Ir. Akhmad Sodiq, MSc.Agr.

Page 4: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

v

PROSIDING SEMINAR NASIONAL IV HITPI

(HIMPUNAN ILMUWAN TUMBUHAN PAKAN INDONESIA)

“Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk

Peningkatan Mutu Ternak”

©Universitas Jenderal Soedirman

Cetakan pertama, 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang undang

All Right Reserved

Perancang Sampul : Panitia Seminar Nasional IV HITPI

Penata Letak : Panitia Seminar Nasional IV HITPI

Pracetak dan Produksi : Tim Percetakan dan Penerbitan Unsoed

Penerbit

ISBN 978-602-1004-16-6

Page 5: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

vi

DEWAN PENYUNTING

Caribu Hadi Prayitno, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Sodirman

Dwi Retno Lukiwati, Fakultas Peternakan dan Pertanian UNDIP

I Wayan Suarna, Fakultas Peternakan Universitas Udayana

Luki Abdullah, Fakultas Peternakan IPB

Ning Iriyanti, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Sodirman

Tri Rahardjo Sutardi, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Sodirman

Titin Widiyastuti, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Sodirman

SEKRETARIAT

Imbang Haryoko

Murniyatun

Page 6: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

vii

DAFTAR ISI

Cover dalam ......................................................................................................................................... ii

Dewan Penyunting .............................................................................................................................. iii

Kata Pengantar .................................................................................................................................... iv

Daftar Isi ............................................................................................................................................. v

Makalah Utama Penulis Hal

Indigofera Sumber Konsentrat Hijau Prospektif Untuk

Bisnis Pakan dan Peningkatan Produktivitas Ternak

Luki Abdullah 1

Forage Production and Management In The Tropics“ Z.A. Jelan and J. Sumarmono 14

Potensi Sistem Integrasi Sawit – Sapi Di Kalimantan

Tengah(Study kasus di PT. Sulung Ranch)”

Dwi Rahayu Lestantini 22

Potensi Ekstrak Tanaman dalam Meningkatkan

Produktifitas Ternak Ruminansia

Caribu Hadi Prayitno 29

Makalah Penunjang Penulis Hal

Pola Penyediaan dan Potensi Hijauan Di Kawasan

Industri Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor.

Setiana MA, Ikmahwati S, Yakin

A, dan Prihantoro I

39

Pertumbuhan dan ProduktivitasKelor (Moringa oleifera)

Periode Vegetatif Awal dengan Pemupukan Sumber P

Yang Berbeda pada Tanah Ultisol

Simel Sowmen, Rusdimansyah, Siti

Zainab, dan Mari Santi

44

Pertumbuhan dan Produksi Jerami Kedelai Akibat

Inokulasi Bakteri Rhizobium dan Penambahan Hara Air

Laut

Eny Fuskhah dan Adriani

Darmawati

48

Produksi Jagung Manis dan Jerami pada Dua Periode

Tanam dengan Pupuk Kandang Diperkaya Fosfat Alam

dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak

Dwi Retno Lukiwati, Endang Dwi

Purbayanti, dan Retno Iswarin

Pujaningsih

54

Perhitungan MCV dan MCHC Untuk Menganalisis

Indikasi Anemia pada Kelinci yang Disuplementasi

Daun Katuk dalam Pakan

Mohandas Indradji, Sri Hastuti, dan

Diana Indrasanti

58

Pemurnian Benih Leguminosa Pakan Kalopo

(Calopogonium mucunoides)

Achmad Fanindi, I.Herdiawan, E.

Sutedi, Sajimin, dan

B.R. Prawiradiputra

62

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik, Kadar

VFA dan Amonia Silase Pakan Komplit Secara In

Vitro

Suparwi, Munasik dan Muhamad

Samsi

67

Penampilan Alfalfa (Medicago sativa) Defoliasi

Pertama pada Jarak Tanam dan Umur Defoliasi yang

Berbeda

Suwarno, Eko Hendarto, Nur

Hidayat, Bahrun, Anisa Dewi

Wardani Putri, dan Taufik Hidayat

71

Potensi Produksi Hijauan dan Komposisi Kimia

Rumput Sudan (Sorghum sudanense) Sebagai Sumber

Hijauan Pakan Lokal Di Wilayah Papua

Onesimus Yoku 76

Daya Dukung Hijauan dan Limbah Tanaman Pangan

Terhadap Pengembangan Populasi Ternak Sapi Potong

di Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa

Erwin Wantasen, S. Dalie dan

F.N.S. Oroh

81

Page 7: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

viii

Makalah Penunjang Penulis Hal

Fenomena Tanaman Glirisidia (Glyrisidia maculata) di

Pantai Petanahan Kabupaten Kebumen

Eko Hendarto, Suwarno, dan

Pramono Soediarto

86

Edible Portion Karkas, Kadar Lemak dan Kolesterol

Daging Domba dengan Imbangan Ampas Bir dan

Rumput Gajah yang Berbeda

Agus Priyono dan Imbang

Haryoko

90

Pertumbuhan Kacang Pinto (Arachis pintoi)

yang Diberi Pupuk Kandang Sapi dan Mikoriza

Roni NGK, NN Candraasih K, NM

Witariadi dan NW Siti

94

Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Pemenuhan

Pakan Usaha Ternak Domba Skala Rumahtangga

Sri Nastiti Jarmani

99

Efisiensi Penggunaan Pakan Hijauan pada Usaha

Ternak Sapi Potong di Kabupaten Banjarnegara

Sri Mastuti, Yusmi Nur Wakhidati

dan Oentoeng Edy Djatmiko

104

Produktivitas Kerja, Gaya Kepemimpinan Ketua dan

Motivasi Berprestasi Anggota Kelompok Peternak Sapi

Perah di Kabupaten Banyumas

Muhammad Nuskhi dan Lucie

Setiana

109

Manajemen Padang Penggembalaan Di BPTUHPT

Padang Mengatas

Yoselanda Marta 114

Pengaruh Pola Pemangkasan Teh Terhadap Jenis

Keragaman Hijauan Pakan Di PTPN VIII Goalpara IV

Kabupaten Sukabumi

Setiana M.A., Saidah I. Prihantoro

I. dan Aryanto A.T.

122

Kualitas Fisik Karkas dan Kandungan Lemak Ayam

Broiler yang Mendapat Ransum Tepung Kulit Buah

Pepaya (Carica papaya) Sebagai Pengganti Kacang

Hijau

Gusti Ayu Mayani Kristina Dewi,

R.R. Indrawati dan N. Tirta Ariana

128

Pengaruh Tepung Kulit Bawang Putih (Allium sativum)

Dan Mineral Organik (Cr, Se Dan Zn Lysinat) pada

Pakan Terhadap Konsumsi Pakan, Produksi dan

Komponen Susu Kambing

Yusuf Subagyo, Tri Raharjo dan

Caribu Hadi Prayitno

135

Pengaruh Daun Turi (Sesbania grandiflora) dan

Lamtoro (Leucaena leucocephala) dalam Ransum Sapi

Berbasis Indeks Sinkronisasi Protein - Energi Terhadap

Sintesis Protein Mikroba Rumen

Afduha Nurus Syamsi, Fransisca

Maria Suhartati, dan Wardhana

Suryapratama

141

Pemberian Energi Ransum Yang Berbeda (Flushing)

Terhadap Konsentrasi Estrogen dan Progesteron pada

Kambing Jawarandu Setelah Kawin1

M. Socheh, D.M. Saleh, H.W.

Kinanti C.H. Rachmawati,WS. dan

H. Purwaningsih

151

Efektivitas Pupuk Organik Cair “USB” dan

Suplementasi Herbal Terhadap Produktivitas Rumput

Gadjah

Sufiriyanto, Sri Hastuti, dan Endro

Yuwono

156

Evaluasi In Vitro Ransum Konsentrat Berbasis

Indigofera zollingeriana dalam Sistem Rumen Kambing

Suharlina, L Abdullah, DA. Astuti,

Nahrowi, dan A. Jayanegara

165

Pertumbuhan Tanaman Arachis pintoy yang Diberi

Perlakuan Air Kelapa dan Panjang Stek

C.L. Kaunang dan M.I. Pontoh 169

Penggunaan Binder Tepung Limbah Ubi Jalar (Ipomoea

batatas) terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Pelet

Legum Indigofera sp.

Iin Susilawati, Hery Supratman,

Lizah Khairani, dan Muhamad

Alfin

175

Page 8: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

ix

Makalah Penunjang Penulis Hal

Identifikasi Jenis-Jenis dan Kandungan Nutrisi Gulma

Di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara yang

Potensial Sebagai Bahan Pakan Ternak Ruminansia

P. Yuwono, T. Warsiti dan

M.Kasmiatmojo

179

Processing Properties Pembuatan Concentrated Yogurt

dari Susu Sapi Lemak Penuh dan Rendah, dengan dan

Tanpa Penambahan Inulin

Juni Sumarmono, Mardiati

Sulistyowati, Triana Yuni Astuti,

Nunung Noor Hidayat dan Kusuma

Widayaka

182

Saccharide Enrichment Dalam Optimalisasi

Fermentasi Bungkil Biji Jarak (Jatropha curcas)

Menggunakan Bifidobacterium bifidum

Titin Widiyastuti, Bahrun, dan

Hudri Aunurohman

185

Pengaruh Pemberian Pupuk Fospat Terhadap Produksi

Biji dan Hijauan Calopo (Calopogonium mucunoides)

pada Lahan Masam

Sajimin, I.Herdiawan, E.Sutedi dan

A.Fanindi

192

Efektifitas Perbanyakan Kultur Tunggal Cendawan

Mikoriza Arbuskula (Gigaspora margarita, Glomus

etinucatum, Acaulospora tuberculata) pada Inang

Centrosema bubescens

Prihantoro I., Rachim A.F., Aryanto

A.T. dan Karti P.D.M.H.

198

Respons Pertumbuhan, Produksi, dan Kualitas Rumput

Gajah Kate (Pennisetum purpureum cv. Mott) yang

diberi Pupuk Urea, Bio-Urine, dan Kombinasinya

I Dewa Nyoman Sudita, I Nyoman

Kaca, Luh Suariani, Ni Made

Yudiastar, dan I Gede Sutapa

203

Potensi Pengembangan Pastura pada Lahan Pasca

Tambang Timah Di Bangka Belitung

Karti, P.D.M.H, Prihantoro, I. dan

Novita C.I.

211

Program Pengembangan Klaster Sapi Potong : Pola

Pemeliharaan dan Penyediaan Lahan Tumbuhan Pakan

Akhmad Sodiq, Pambudi Yuwono

dan Novie Andri Setianto

216

Produktivitas Indigofera zollingeriana pada Berbagai

Taraf Naungan (Canopy) dan Kemasaman Tanah di

Lahan Perkebunan Kelapa Sawit

Iwan Herdiawan, Endang Sutedi

dan Sajimin

220

Kandungan Protein Kasar dan Kecernaan Protein Silase

Dalam Berbagai Perbandingan Campuran Jerami

Jagung-Legum Indigofera zollingeriana

Rahmi Dianita, A. Rahman Sy,

Ubaidillah, Ahmad Yani

234

Taraf Naungan Kelapa Sawit dan Penggunaan Pupuk

Terhadap Produksi Hijauan dan Benih Kalopo

(Calopogonium mucunoides) di Lahan Kering Masam

E. Sutedi, I. Herdiawan, dan

Sajimin

238

Daya Dukung Hijauan Pakan dalam Konservasi Sapi

Putih Taro

I W. Suarna, M.A.P. Duarsa, N.P.

Mariani, L.G. Sumardani, dan

S.A.Lindawati

246

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Sapi Bali

yang Diberi Pakan Mengandung Daun Waru

Muhamad Bata dan Sri Rahayu 252

Pengaruh Umur Pemotongan Terhadap Kualitas Hijauan

Sorgum Manis (Shorghum bicolor L. Moench) Varietas

RGV

Munasik

258

Peran Tanaman Pakan Gamal (Gliricidia sepium) dalam

Konservasi Lahan Pasca Tambang

I W. Suarna, N.N. Suryani, K.M.

Budiasa, A.A.A.S. Trisnadewi, dan

I.W. Wirawan

263

Page 9: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

x

Makalah Penunjang Penulis Hal

Pertumbuhan Rumput Brachiaria humidicola dan

Stenotaphrum secundatum pada Interaksi Pemupukan

Unsur NPK

Nurhalan Bawole, W. Kaunang, S.

D. Anis dan D.A. Kaligis 270

Hasil Bahan Kering dan Pertumbuhan Vegetatif

Gliricidia sepium (Jacq) Steud pada Kepadatan Populasi

dan Pemotongan Berbeda

Selvie D. Anis, David A. Kaligis

dan Fredy Dompas

273

Penerapan Sistem Leisa (Low Exsternal Input and

Sustainable Agriculture) Terhadap Pertumbuhan

dan Produksi Rumput Raja (King grass) pada

Pemotongan Ketujuh

Suyitman, Lili Warly, Evitayani,

A. Rachmat, dan Dear R.R.

280

Page 10: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

1

INDIGOFERA SUMBER KONSENTRAT HIJAU PROSPEKTIF UNTUK BISNIS PAKAN

DAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERNAK

Luki Abdullah

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Fakultas Peternakan – IPB, [email protected]

1. Pendahuluan

Daya saing produk peternakan Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan dan kualitas

pakan. Proporsi biaya pakan dari keseluruhan biaya produksi dari hasil kajian menunjukkan adanya

kenaikan yang signifikan dari dekade 80-an yaitu dari rataan 65% menjadi 76% untuk ruminansia, dan

dari 74% menjadi sekitar 80% untuk unggas pada saat ini. Peningkatan biaya pakan ini menyebabkan

kenaikan harga ternak dan produk ternak dalam negeri tinggi.

Tingginya harga bahan pakan bersumber dari serealia, biji-bijian dan limbah agro industri telah

memicu kenaikan harga ransum ternak. Tingginya harga bahan pakan konsentrat karena bahan pakan

strategis sumber protein dan karbohidrat seperti bungkil kedelai, jagung, pollard dan corn gluten meal

didatangkan dari luar negeri. Impor bungkil kedele dan jagung masing-masing dapat melebihi 2 juta

ton dan 2,95 juta ton tahun 2013, akibat peningkatan kapasitas produksi industri pakan nasional

mencapai 13,8 juta ton tahun 2013 (Sudirman. 2014), bahkan dengan semakin besarnya kebutuhan

industri pakan dengan target terpasang 15,5 juta ton ada kecenderungan kebutuhan bahan baku

tersebut akan terus meningkat.

Disisi lain beberapa contoh bahan baku konsentrat asal lokal seperti bungkil inti sawit juga ternyata

tidak mudah didapatkan oleh peternak, karena diperkirakan lebih dari 1,5 juta ton per tahun diekspor

untuk kebutuhan industri lain dengan harga tentunya lebih menguntungkan. Kalaupun tersedia

pembelian harus dengan kuantitas besar, yang sulit dijangkau oleh peternak menengah ke bawah.

Kesulitan mendapatkan bahan pakan konsentrat konvensional diprediksi akan terus berlanjut seiring

suksesnya pengembangan teknologi dan industri biorefinary. Teknologi biorefinary mampu

mengkonversi setiap biomassa menjadi lebih bernilai ekonomi dan berdaya guna untuk berbagai

industri seperti farmasi (obat dan kosmetik) dan pangan fungsional. Artinya, industri pakan akan

berkompetisi dengan industri lain dalam menggunakan bahan baku yang bernilai gizi tinggi. Industri

biorefinary tergolong industri dengan investasi tinggi saat ini, sehingga jarang investor dalam negeri

membangun industri berbasis teknologi biorefinary, sedangkan investor di luar negeri seperti di

Korea, Jepang, Malaysia, China saat ini membangun industri berbasis teknologi biorefinary yang

bahan bakunya dari Indonesia.

Upaya alternatif untuk mengurangi ketergantungan bahan baku konsentrat yang bersumber dari

serealia, biji-bijian dan limbah agroindustri terutama dari hasil import adalah mengoptimalkan

pemanfaatan hijauan pakan berkualitas tinggi dari tanaman pakan Leguminoseae atau dikenal dengan

nama Legum. Pengggunaan hijauan berkualitas tinggi berpeluang untuk menerapkan sistem produksi

ternak organik serta mengurangi ketergantungan bahan baku impor. Hal inilah yang mendorong

Australia mengembangkan areal lamtoro (McSweeney et al., 2011) hingga mencapai 200.000 ha,

karena di negara ini bahan konsentrat konvensional semakin hari semakin mahal akibat

berkembangnya industri berbasis biorefinary. Australia terus berupaya melakukan peningkatan

Page 11: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

2

efisiensi produksi terutama dalam penyediaan pakan dengan memanfaatkan sumberdaya lokal dalam

skala industri.

Penggunaan legum pakan Lamtoro di Indonesia telah sukses dilakukan di NTT tepatnya di Amarasi.

Hasil kajian selama musim kemarau di desa Merbaun kecamatan Amarasi Barat dan desa Oesena

kecamatan Amarasi kabupaten Kupang menunjukan bahwa penggunaan daun lamtoro masing-masing

72% dan 53% dalam ransum dapat menghasilkan pertambahan bobot badan harian sapi bali masing-

masing 0,74 kg/hari dan 0.76 kg/hari (Lani, 2014), lebih tinggi 0,2-0,26 kg dari sapi bali dengan

pemeliharaan di desa lain yang tidak berbasis legum.

Pengembangan dan pemanfaatan leguminosa pakan di Indonesia sudah semakin mendesak untuk

mensubstitusi penggunaan bahan konsentrat asal serealia, biji-bijian dan limbah agroindustri. Legum

pakan merupakan anugerah dan maha karya Sang Pencipta sebagai sumber nutrien terbaik yang dapat

digunakan untuk mengoreksi kekurangan nutrisi pada berbagai bahan pakan lokal secara murah.

Kandungan protein legum pakan berkisar antara 20-38%. Daun merupakan sumber nutrien terbaik

dalam setiap jenis tanaman pakan. Kandungan protein kasar daun legum berkisar 21-38% dan bagian

batang sampai tangkai daun mengandung protein kasar dengan kisaran 10-18%. Produksi dan kualitas

Indigofera zollingeriana terlihat lebih tinggi dibandingkan legum lainnya, sehingga termasuk legum

yang mempunyai prospek tinggi untuk dikembangkan sebagai komoditi industri konsentrat hijau.

Legum sering dimanfaatkan oleh peternak selain sebagai sumber protein, juga sebagai sumber mineral

Ca dan P. Kalsium dalam leguminosa relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rumput, yang berkisar

antara 0,1- 0,3% dibandingkan dengan rumput yang rata-rata sekitar 0,13-0,21%. Demikian pula

dengan kandungan P pada legum relatif lebih tinggi. P pada legum sebagian besar berupa P organik

yang sangat penting terutama dalam proses metabolisme, karena P digunakan sebagai sumber energi

metabolisme seperti ATP (adenosin tri fosfat). Jenis P organik yang ditemukan antara lain asam

nukleat dan fosfolipid. Sekitar 70-90% P dari legum dapat larut dalam air, dan hanya sekitar 3-7% P

terikat dalam bahan dinding sel (Whitehead et al., 1985).

2. Pengembangan Konsentrat Hijau Berbasis Indigofera

Konsentrat merupakan pakan yang berasal dari campuran atau bahan pakan tunggal padat nutrisi

yang mengandung serat kasar kurang dari 18% (FAO, 1983). Pengertian ini secara teknis dapat

dikembangkan bukan hanya untuk bahan pakan yang berasal dari serealia, biji-bijian, limbah agro

industri dan mineral, yang secara konvensional sudah dikenal dan digunakan selama ini. Pengertian

konsentrat bisa dikembangkan menjadi Konsentrat Hijau, dengan mempertimbangkan sumber pakan

lain yaitu hijauan pakan sebagai komponen penyusunnya. Konsentrat pada umumnya memiliki

kandungan protein kasar > 14% dengan TDN >65%. Fungsi konsentrat pada ransum ternak adalah

sebagai penguat untuk mengoreksi kekurangan nutrisi pada ransum yang diberikan agar dapat

memenuhi kebutuhan untuk hidup (maintenance), produksi dan reproduksi.

Konsentrat Hijaun atau Green Concentrate merupakan istilah baru yang penulis munculkan dengan

pengertian “Pakan padat nutrisi dengan kandungan serat kasar kurang dari 18% yang bahan bakunya

berasal dari hijauan pakan”. Konsentrat hijau dapat berasal dari hijauan tunggal dari satu spesies

tanaman pakan atau beberapa campuran hijauan pakan yang berasal dari species tanaman pakan yang

berbeda sehingga memenuhi persyaratan sebagai konsentrat hijau. Sebagian besar bahan baku Kohi

berasal dari tanaman pakan lgum. Salah satu keunggulan dari Kohi selain padat nutrisi juga memiliki

Page 12: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

3

fungsi herbal atau jamu bagi ternak karena mengandung klorofil dan senyawa sekunder yang

bermanfaat bagi ternak.

3. Indigofera sebagai Bahan Konsentrat

Indigofera telah dikenal sejak jaman kolonialisasi Jepang untuk industri pewarna alami. Sebanyak 64

spesies Indigofera ditemukan mengandung senyawa nitro alifatik dalam konsentrasi 2 sampai 12 mg

NO2/g tanaman (William et al., 1981), cukup beracun untuk umur anak ayam 1 minggu. Sekitar 20

spesies telah dipelajari untuk tanaman pakan antara lain : Indigofera zollingeriana, Indigofera

arrecta, Indigofera tinctoria, Indigofera. spicata and Indigofera nigritana yang telah diujikan pada

ternak dan tikus tidak menunjukan gejala abnormalitas secara histologi.

Salah satu jenis legum prospektif di Indonesia untuk bahan konsentrat hijau adalah Indigofera

zollingeriana yang disebut Indigofera (Abdullah et al., 2012a). Legum in merupakan salah satu famili

legumonoseae yang sudah dikembangkan risetnya sejak tahun 2006 oleh penulis dan tim untuk

menghasilkan bahan pakan setara konsentrat (konsentrat analog) secara tepat dan efisien. Roadmap

riset dapat dilihat pada Gambar 2. Indigofera dipilih sebagai sumber konsentrat hijau, karena memiliki

keunggulan dalam produksi dan kualitas hijauannya dibandingkan dengan legum lain. Rataan protein

kasar Indigofera berkisar antara 26%-31% (Tabel 1) dengan tingkat kecernaan protein mencapai 83%-

86,3%.

Dari hasil uji coba I. zollingeriana dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, karena selain nilai

nutrisinya tinggi, juga palatabilitasnya tinggi bagi semua ternak. Kualitas nutrisi I. zollingeriana

tergolong tinggi (Tabel 2) (Abdullah et al., 2010). Kualitas protein Indigofera ditentukan oleh

komposisi asam amino esensial nya. Nilai Indeks asam amino esensial Indigofera adalah 21,45% lebih

rendah dibandingkan asam amino bungkil kedele (36.34%) (Palupi et al., 2014).

Tabel 1. Kandungan nutrisi hijauan (daun dan bagian edible lainnya) Indigofera zollingeriana

Kandungan nutrisi Kisaran nilai

Bahan kering (%) 88.11 ± 2.7

Abu (%) 6,14 ± 1.45

Lemak kasar (%) 3.62 ± 0.23

Protein kasar (%) 29.16 ± 2.37

Serat kasar (%) 14.02 ± 2.48

Bahan Ekstrak tanpa N (%) 35.1 ± 2.54

NDF (%) 47- 61

ADF (%) 21- 39

TDN (%) 75-78

Selulosa (%) 11-16

Lignin (%) 2.4-4.6

Ca (%) 1.78 – 2.04

P(%) 0.34 – 0.46

K (%) 1.46 – 4.21

Mg (%) 0.32 - 0.51

Vitamin A (IU/100mg) 5054

Page 13: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

4

Vitamin D (mg/100g) 34.7

Vitamin E (mg/100g) 13.32

Kecernaan bahan kering pada kambing (%) 78 – 82

Kecernaan bahan organic pada kambing (%) 77 – 80

Kecernaan protein (%) 82.3 – 86.3

Tanin (%) 0.03 – 0.14

Saponin (%) 2.24 – 4.20

Sumber : (Abdullah et al.,2010)

Bahan aktif yang paling sering ditemukan dalam genus Indigofera adalah Indospicin, seperti pada I.

spicata (Aylward et al., 1987) atau 3-nitro propionic acid pada I.carlessii dan I. kirilowii (Su et al.,

2008). I zollingeriana yang digunakan dalam pengembangan konsentrat mengandung tanin dan

saponin dalam jumlah relatif rendah dan tidak terdeteksi mengandung bahan berbahaya seperti 3-nitro

propionat. Berdasarkan informasi tersebut I. zollingeriana dilihat dari sudut pandang kualitas dan anti

kualitas dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan konsentrat hijau.

4. Karakteristik Agronomi dan Ekofisiologi Indigofera

Secara agronomis Indigofera merupakan tanaman pakan tahunan yang dapat berproduksi sampai 15

tahun. Tanaman pakan ini sangat mudah dikembangkan dan dibudidayakan, karena potensi

reproduksinya yang tinggi untuk menghasilkan polong dan benih dengan biji bernas. I. zollingeriana.

Jumlah polong dalam setiap tangkai bervariasi antara 7-17 buah dengan panjang polong antara 2.5-3.4

cm, jumlah benih per polong antara 5-7 butir dengan didominasi benih bernas 64-82%. Indigofera

mulai berbunga sejak umur 2 bulan setelah transplantasi, dan bunga berkembang menjadi polong

memerlukan waktu sekitar 3-4 minggu. Pematangan fisiologis benih terjadi hingga minggu ke-6

tergantung curah hujan. Warna polong yang sudah mengalami masak fisiologis adalah hitam

kecoklatan dan terdapat relief pada setiap segmen benih yang menunjukan benih bernas.

Secara fisik benih berwarna coklat dan coklat kehitaman serta bulat berisi lebih baik viabilitasnya

dibandingkan dengan benih berwarna kuning atau hijau kecoklatan. Pengeringan benih hingga 45 oC

dapat menurunkan daya kecambah benih hingga 29.85% dan 41.53% berturut-turut pada umur

kecambah 4 hari dan 14 hari. Kadar air benih Indigofera untuk penyimpanan bisa mencapai 8-9%.

Benih normal I. zollingeriana dapat berkecambah pada umur 4 hari dengan persentase perkecambahan

(daya kecambah) 28-35% (Girsang, 2012) jika benih disimpan lebih dari 2 bulan dan serangan jamur

saaat pembibitan. Pemberian pupuk organik pada media penyemaian dapat meningkatkan daya

kecambah menjadi 67%-74%.

Benih I. zollingeriana tergolong benih dengan sifat fotoblastik negative, karena benih yang

berkecambah pada germinator gelap lebih banyak dibandingkan germinator terang (44% - 57% vs

24% - 29%; P<0.05).

Kepadatan tanam optimal Indigofera sekitar 6.600 tanaman per ha, dengan jarak antar tanaman dalam

baris 1 m dan antar baris 1,5m. Untuk menghasilkan tajuk yang tinggi, diperlukan pemberian pupuk

kandang dalam lobang saat tanam sebanyak 250-300g/lobang dan pupuk cair organic INDIGO-

FERTILIZER, yang dibuat hasil penelitian di Laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan IPB

dalam kemasan 1 L/botol (Abdullah, 2010). Pupuk daun disemprotkan 4 kali selama periode

Page 14: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

5

penanaman, yaitu pada saat tanaman berumur 30, 34, 38 dan 42 hari setelah pemangkasan atau panen

sebelumnya. Aplikasi INDIGO-FERTILIZER sebanyak 50 ppm juga dapat meningkatkan total asam

amino esensial pada hijauan Indigofera dari 1,31% menjadi 1,65% atau meningkat 25,47% (Abdullah

dan Kumalasari, 2012). Interval pemanenan 60 hari, dengan intensitas pemangkasan 75-100 cm

dengan bagian tanaman yang dipanen daun dan batang (edible).

Kisaran produksi hijauan Indigofera yang dicatat di kebun percobaan Darmaga dan Unit Pendidikan

dan Penelitian Peternakan IPB Jonggol antara 5-8 ton BK/ha/panen (catatan; bahwa produksi hijauan

ini diperoleh dari tanaman yang diberi pupuk daun) (Tabel 2 dan Gambar 1). Produksi kering hijauan

Indigofera adalah 33% dari produksi hijauan segarnya. Pemangkasan yang lebih tinggi hingga 1.5 m

dilaporkan oleh Andi et al (2010) menunjukan produksi hijauan lebih banyak dibandingkan

pemangkasan yang lebih pendek.

Tabel 2. Pengaruh dosis pupuk cair daun terhadap produksi hijauan dan pertumbuhan tanaman

Indigofera

Sumber : Abdullah et al (2010).

Produksi dan kualitas hijauan pakan sangat dipengaruhi oleh komposisi daun muda dan daun tua

tanaman Indigofera. Dinamika komposisi antara daun muda dan daun muda terjadi sesuai waktu

pemangkasan adalah sebagai berikut : semakin tua umur pemangkasan dari 38 hari menjadi 88 hari

semakin meningkat proporsi daun tua dari 58.4% menjadi 75.3% dan semakin menurun proporsi daun

muda dari 41.6% menjadi 24.7% (Abdullah dan Suharlina, 2010), meskipun produksi total hijauan

meningkat dari 2673 kg BK/ha/panen menjadi 5410 kg BK/ha/panen. Konsekuensi perubahan

komposisi ini adalah penurunan kualitas yang ditunjukan oleh penurunan kandungan protein dari 27-

31% menjadi 25%-27%, dan penurunan kecernaan bahan kering dari 74.52% menjadi 67.39% serta

penurunan kecernaan 73.79% menjadi 69.63%.

Jumlah cabang tanaman Indigofera pada umumnya berkisar antara 8-30 cabang sejak mengalami

pemangkasan pertama hingga pemangkasan ke-10. Setiap cabang memiliki sekitar 2-6 ranting yang

pada umumnya masih dapat dikonsumsi ternak terutama dalam keadaan segar. Produksi hijauan

sampai pada pemangkasan ke-6 masih mengikuti pola pembentukan cabang dan ranting, sehingga

korelasi keduanya positif (r=0.894). Peningkatan jumlah percabangan setelah pemangkasan ke-6

menyebabkan pertumbuhan daun (kanopi) saling menutupi dan banyak daun tidak efektif dalam

Page 15: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

6

melakukan proses fotosintesis akibat ternaungi oleh daun diatasnya. Perbanyakan cabang ini

menyebabkan penurunan produksi sehingga korelasi keduanya negative (r=-0.979).

Berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan, kajian ekofisiologi menunjukkan bahwa Indigofera

zollingeriana toleran terhadap cekaman kekeringan. Kemampuan I. zollingeriana terhadap cekaman

kekeringan ditunjukan dengan nilai potensial air daun yang berkisar antara -1,8 mPa sampai – 7,9

mPa (Sowmen, 2013). Selang nilai potensial air daun ini menunjukkan bahwa tanaman ini memiliki

kemampuan adaptasi terhadap berbagai kondisi kekeringan yang ekstrim. Produksi tajuk dapat

menurun hingga 33,96% akibat pengurangan air hingga 25% kapasitas lapang, namun tanaman ini

tetap menghasilkan tajuk, dan mengalami pemulihan ketika tanaman mendapatkan air kembali

(Herdiawan et al., 2012).

Gambar 1. Dinamika produksi hijauan dan percabangan tanaman

Indigofera zollingeriana. Sumber : Abdullah et al (2010)

(tidak dipublikasi)

Indigofera terbukti sangat interaktif dengan Mychorriza dalam hal transfer unsur hara dari tanaman

Setaria italica yang ditanam bersamaan dalam pola tanam tumpang sari agar tetap produksi hijauannya

dipertahankan (Dianita, 2012). Indigofera juga mampu mempertahankan kandungan N, P dan C, serta

meningkatkan populasi bakteri pelarut fosfat dalam rhizosphere, (Suharlina dan Abdullah, 2012).

5. Pegujian Indigofeed dan Indifeed Pada Ternak

Uji in vivo pada ternak dilakukan di tingkat farm di Peternakan Kambing di Cikarawang Bogor,

Cijeruk Bogor dan di Lembang Bandung. Pemberian konsentrat hijauan Indigofeed sampai taraf

100% menunjukan peningkatan produksi susu 14-28% dan persistensi produksi menjelang masa

kering (Abdullah et al., 2012b). Produksi susu kambing menjelang masa kering dari ternak kambing

Saanen dan Peranakan Etawah (PE) yang diberi pelet Indigofeed menghasilkan susu berturut-turut

761 ml dan 675 ml 100% dan 70% lebih tinggi dibandingkan produksi susu kambing yang diberi

ransum komersial tanpa Indigofera pada waktu yang sama yaitu berturut-turut 379 ml dan 390 ml

(Gambar 2).

Pemberian 30% Indigofeed ransum domba menyebabkan konsumsi bahan pakan lebih rendah

(667±86 g/ekor/hr) dibandingkan dengan pemberian ransum yang mengandung 30% limbah tauge

(914±175 g/ekor/hr), namun kecernaan protein ransum dengan Indigofeed relatif lebih tinggi

Page 16: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

7

dibandingkan dengan ransum dengan limbah tauge (73% vs 71%). Rataan pertambahan bobot badan

domba yang diberi ransum mengandung 30% Indigofeed 118 -151 g/ekor/hari dengan tingkat efisiensi

pakan 17,59% dan efisiensi penggunaan protein untuk daging 5,18% (Dewiyana, 2012).

Perhitungan secara ekonomis dilakukan untuk melihat apakah ransum dengan Indigofeed lebih

menguntungkan dibandingkan dengan ransum komersial yang diperoleh dari pasar. Hasil perhitungan

terhadap biaya pakan menunjukan bahwa untuk menghasilkan satu liter susu penggunaan Indigofeed

40% pada ransum menghemat 55% biaya pakan dibanding ransum komersial (Gambar 2).

Gambar 2. Produksi susu dan biaya pakan untuk menghasilkan 1 L susu

CF = 40% Ransum komersial + 60% Rumput Gajah, CIF = 40% Indigofeed

+ 60% Rumput Gajah

Tingkat efisiensi penggunaan protein untuk pembentukan protein susu kambing telah diuji. Ransum

yang mengandung Indigofeed tingkat efisiensi penggunaan proteinnya 30% lebih tinggi (6.5%)

dibandingkan dengan perlakuan kontrol (5%). Hasil pengujian produksi dan kualitas susu kambing

perah yang diberi Indifeed selama 3 bulan di peternakan di Cikarawang Bogor menunjukkan hasil

yang sama antara susu yang berasal dari kambing perah diberi ransum komersial maupun Indifeed.

Produksi susu dari kambing yang diberi ransum komersial menghasilkan rataan produksi yang

rendah selama pengukuran pada awal periode laktasi pertama, dan cenderung tidak mengalami

peningkatan produksi hingga akhir penelitian. Produksi susu dari kambing diberi Indifeed 20%

(IndifeedPB-20) dan 40% (IndifeedPB-40) menunjukkan total produksi kambing lebih tinggi antara 4

liter per ekor dibandingkan total produksi susu dari kambing yang diberi ransum komersial (Abdullah

et al., 2013b).

Pengujian kualitas dan nilai biologis dari produk ransum mengandung Indigofera dilakukan di

peternakan sapi perah di Lembang pada pertengahan periode produksi. Sapi diberi ransum dengan

komposisi Indigofera ditingkatkan menjadi 60% dan 80% dalam ransum. Hasil pengujian terhadap

produksi susu sapi perah menunjukkan pada awalnya produksi susu bervariasi antara 10-12,5 liter.

Pemberian Indigofera 60-80% dalam ransum komlit meningkatkan rataan produksi susu sapid an

cenderung menstabilkan produksi susu bahkan meningkatkannya dibandingkan dengan produksi susu

dari sapi yang diberi ransum komersial.

Page 17: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

8

Pengaruh penggunaan Indigofeed dalam ransum kambing terhadap populasi mikroba rumen dan

produksi gas metan diuji dalam rangkaian penelitian ini (Abdullah et al., 2013b). Hasilnya

menunjukkan bahwa ransum yang mengandung konsentrat hijauan Indigofeed hingga 40% dapat

meningkatkan populasi bakteri rumen dan menekan populasi protozoa, serta mampu menekan

produksi gas metan dengan taraf yang sama dengan ransum yang mengandung bungkil kedele dalam

konsentrat.

Pengujian tidak hanya terbatas pada ruminansia, tetapi juga pada monogastrik. Kualitas sperma

kelinci dapat dipertahankan dengan pemberian Indigofera hingga 30% dalam ransumnya. Motilitas

spermatozoa kelinci yang diberi Indigofeed 30% dapat meningkat 6 kali lebih tinggi dibandingkan

dibandingkan motilitas sperma kelinci yang diberi ransum komersial. Demikian juga daya hidup

spermatozoanya dapat diperbaiki dari 60% pada kelinci yang diberi pakan komersial menjadi 82%

jika diberi Indigofed 30% dalam ransumnya. Pemberian Indigofeed dengan jumlah itu dapat

menurunkan tingkat abnormalitas spermatozoa sebanyak 5% (Marina, 2012). Pada penelitian lain

kelinci yang diberi Indigofeed 30% dapat menghasilkan pertambahan bobot badan 27.3% lebih tinggi

dibandingkan dengan ransum komersial dan 25 kali lebih tinggi dari pada ransum yang diberi 30%

lamtoro (Nofisa, 2012). Kadar lemak daging kelinci yang diberi Indigofeed 30% pada ransum juga

lebih rendah 47% dibandingkan dengan ransum komersial namun sama dengan lemak daging kelinci

yang diberi lamtoro 30% dalam ransum. Income over feed cost (IOFC) ransum kelinci yang

mengandung Indigofeed 30% pada saat penelitian ini dilakukan adalah Rp. 9003, sedangkan ransum

kelinci komersial dan ransum mengandung 30% lamtoro nilai IOFC–nya berturut turut Rp. 1616 dan

Rp. 2931.

Konsentrat hijau Indigofeed yang berasal dari pucuk daun dapat meningkatkan produksi dan kualitas

telur ayam. Hasil studi yang dilakukan Palupi et al. (2014) menunjukkan bahwa pemberian Indigofeed

pada ransum ayam petelur 5%-15% dapat meningkatkan produksi telur ayam, warna kuning telur,

kandungan beta caroten kuning telur dan vitamin A kuning telur. Telur yang dihasilkan dari ayam

yang mengkonsumsi ransum mengandung konsentrat hijau Indigofeera sangat bermanfaat untuk

suplemen vitamin A dan menjaga ketahanan tubuh bagi anak-anak terutama balita secara murah dan

aman. Demikian juga karena kandungan kolesterolnya lebih rendah, maka telur ini dapat dikonsumsi

dengan aman untuk orang dengan resiko kolesterol. Indigofeed juga ditemukan dapat menghambat

aktivitas penyakit karena mengandung antioksidan (Tabel 3). Penggunaan Indigofeed pada ransum

ayam layer dalam penelitian ini dapat mensubstitusi penggunaan bungkil kedele 11%, tepung jagung

9% dan penggunaan dedak 7%.

Pengujian konsentrat hiauan Indigofera pada ikan Grass carp (Wahyuningsih, 2015 data dalam proses

publikasi) menunjukan hasil yang positif memperpendek pembentukan gonad, memperbesar ukuran

gonad dan meningkatkan protein gonad yang menrupakan indikator posotf tingginya daya dedar telur

ikan.

Tabel 3. Produksi dan kualitas telur ayam ras yang diberi konsentrat hijau Indigofera pada ransum

iso protein dan energi

Porsi Indigofera dalam ransum (%)

0 5 10 15

Produksi Hen day (%) 83,63 a 93,05 b 91,36 b 92,65 b

Page 18: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

9

Bobot telur (g/butir) 43,00 51,90 49,50 49,60

Warna kuning telur 8,50 a 11,50 b 12,15 b 13,25 c

Β-caroten telur (mg/100g) 56,7 a 85,9 b 109,5 c 124,0 d

Vitamin A telur (mg/100g) 2297 a 2536 b 2776 c 3380 d

Kolesterol telur (mg/kuning telur) 375 d 280 c 220 b 172 a

Konsentrasi inhibisi (mg/g) 87,6 c 86,1 c 41,4 b 35,8 a

Konversi pakan 2.23 2.08 2.20 2.19

Sumber: Palupi et al., 2014

6. Kelayakan Ekonomis dan Komersialisasi Produk Konsentrat Hijau Indigofera

Indigofeed merupakan salah satu produk konsentrat hijau Indigofera yang relatif memiliki daya saing

bersaing tinggi dengan harga pokok produksi sekitar Rp. 2.372/kg, harga di tingkat peternak Rp.

3.300 – 4.000 tergantung tingkat kemurnian Indigoferanya. Harga ini terhitung murah dan dapat

diterima peternak karena kandungan protein mencapai 26-31%,

Hasil analisis kelayakan ekonomi dengan mengacu pada pengalaman produksi selama ini

menunjukkan bahwa usaha unit produksi konsentrat hijau Indigofera cukup menguntungkan. Analisis

kelayakan ekonomi untuk pengusahaan pabrik oleh swasta atau koperasi untuk produksi 1000

ton/tahun dengan luasan 30 ha, diperlukan Biaya investasi termasuk sewa lahan Rp. 2,32 miliar

dengan net B/C 2,29, NPV Rp. 2,81 miliar, IRR 43,95%, dengan HPP Rp. 2.372/kg keuntungan per

kg Rp. 1.228, dan pay back period 1,7 tahun. Untuk luas lahan 100 ha dengan perkiraan produksi

3000 ton/ha dengan HPP Rp. 1.989/kg, biaya investasi termasuk sewa lahan yang diperlukan sebesar

Rp. 4,95 miliar dan biaya operasional Rp. 1,99 miliar/tahun, menunjukkan NPV Rp. 16,8 miliar, IRR

121.17% menghasilkan keuntungan bersih Rp.1311/kg.

Secara nutrinomika dibandingkan dengan bungkil kedele dan tepung ikan produk Indigofeed

menunjukan prospek lebih baik, dapat dilihat perbandingannya sebagai berikut : harga protein bungkil

kedele sekitar Rp. 1.700/100 gram protein (protein kasar 45% harga Rp. 8.000 per kg), dan harga

protein tepung ikan Rp. 2.340/100g protein (protein kasar 47%, harga Rp. 11.000 per kg),

sedangkan harga protein Indigofeed berkisar antara Rp. 1.260-1.540/100 g protein (protein kasar 26-

31%, harga Rp. 3.300-4.000 per kg). Harg TDN Indigofeed Rp. 440-530/100g TDN (TDN 75%),

sedangkan bungkil kedele Rp. 1.950/100g TDN dan tepung ikan Rp. 1.860/100 g TDN.

Berdasarkan pengelaman di lapangan baik saat sosialisasi di kelompok peternak, koperasi Asosiasi

Peternak maupun Pameran Indolivestock 2012-2014 produk dan teknologi Kohi Indigofeed banyak

diminati masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya permintaan untuk mengembangkan usaha

ini di masyarakat. Selain itu permintaan ekspor sudah ada dari Korea, Malaysia dan India. Namun

sampai saat ini belum dapat dipenuhi karena produksi masih sangat terbatas untuk peternak disekitar

Bogor.

Page 19: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

10

7. Skala Pengusahaan

Dasar perhitungan produksi hijauan Indigofera bisa melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan luasan

lahan dan jumlah individu pohon. Pendekatan luas lahan dapat dilakukan untuk model usaha dalam

skala besar dan dilakukan secara full mekanik oleh perusahaan. Pendekatan individu tanaman dapat

dilakukan untuk usaha komunitas di kelompok peternak atau koperasi peternak. Minimum luasan

lahan yang dapat diusahakan oleh perusahaan adalah 30 ha, sedangkan minimum jumlah pohon untuk

kelompok peternak adalah 33.000 pohon. Lahan seluas 100 ha dapat menghasilkan produk konsentrat

hijau murni (Indigofeed) sebanyak 8,3 ton/hari dan produk Indifeed dengan kandungan Indigofera

30% dapat dihasilkan dengan kapasitas produksi 32 ton/hari.

Alternatif pengusahaan dapat dilakukan melalui peternak/petani yang tergabung dalam kelompok

yang langsung menjadi pemasok bahan baku dan koperasi (yang anggotanya pekelompok

peternak/petani) mengolah bahan hijauan pakan menjadi konsentrat hijau. Unit produksi dapat berupa

pabrik dengan skala kecil 2.5 ton/hari sehingga diperlukan lahan 15-20 ha per satu unit pabrik mini

pengolah daun Indigofera. Investasi pembuatan pabrik pakan mini untuk kapasitas 2.5 ton/hari sekitar

Rp. 290 juta diluar biaya lahan.

Alternatif lain yaitu pengusahaan yang dilakukan oleh BUMN atau perusahaan swasta bermitra

dengan petani/peternak sebagai pemasok bahan baku, petani/peternak pemasok bahan baku akan

menjadi pemegang saham dalam unit usaha tersebut. Kelompok peternak diberi pengetahuan tentang

teknologinya untuk memproduksi bahan baku daun berkualitas baik.

8. Model Industri Konsentrat Hijau

Pengembangan industri konsentrat hijauan berbasis komunitas nampaknya bisa menjadi alternatif

yang diminati oleh kelompok peternak atau koperasi. Hasil sosialisasi di beberapa lokasi kelompok

peternak di kabupaten Bogor, Garut, Bandung, Malang, Surabaya, Lamongan melalui kegiatan

RAPID dari Dikti selama 2012-2013 penulis mendapatkan gambaran bahwa model pengembangan

usahanya dilakukan sendiri langsung oleh kelompok atau koperasi peternak petani. Hal ini dipandang

oleh para peternak dapat membantu langsung meningkatkan pendapatan bagi peternak/petani melalui

penjualan hijauan pakan ke unit pengolah, dan meningkatkan performa ternak mereka karena adanya

konsentrat hijau yang dapat tersedia sepanjang waktu. Keuntungan lainnya nilai tambah dari

pengolahan hijauan pakan dapat dinikmati langsung oleh peternak/petani.

Aktivitas produksi konsentrat hijau adalah sebagai berikut : Peternak/petani yang tergabung kelompok

menanam Indigofera atau legum berkualitas lain dengan luasan lahan dan jumlah individu tanaman

yang telah direncanakan untuk memenuhi target produksi harian Konsentrat Hijau. Mereka

membudidayakan Indigofera, kemudian menjualnya ke unit pengolah (masih dalam satu

kopreasi/kelompok) dengan harga yang baik. Hasil perhitungan secara ekonomis harga hijauan

Indigofera segar yang memenuhi spesifikasi bahan baku dapat dinilai dengan harga Rp. 480-525 per

kg segar. Kelompok peternak/petani harus membudidayakan Indigofera secara berkesinambungan

sehingga menghasilkan hijauan Indigofera secara berkelanjutan dan menjadi pemasok unit

pengolahan hijauan pakan yang dikelola oleh mereka sendiri. Beberapa kelompok unit produksi

konsentrat hijau dengan skala pengusahaan yang disampaikan di atas kemudian bergabung menjadi

koperasi pengolah dan pemasar produk Indigofeed dan Indifeed.

Page 20: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

11

Jumlah kelompok pembudidaya dan pengolah konsentrat hijauan ini tersebar di beberapa wilayah

pengembangan ternak. Dukungan dari pemerintah daerah maupun pusat sangat diharapkan untuk

menfasilitasi penyediaan peralatan mesin pengering, mesin penepung dan mesin pelet serta pengemas

produk.

Pihak swasta atau BUMN dapat dilibatkan dalam pemasaran produk jika terdapat kelebihan produk

yang tidak sanggup dijual oleh kelompok ataun koperasi. Perguruan tinggi berperan sebagai

pendamping teknologi yang terus menerus melakukan kajian agar sistem produksi konsentrat hijau ini

lebih efisien. Kegiatan yang sudah dilakukan dalam bentuk proyek percontohan dengan dana RAPID

2014 yang dilakukan oleh penulis dan team di desa Ngepung Kabupaten Probolinggo dan desa

Cimande Kabupaten Bogor yang bekerjasama dengan kelompok peternak dan Himpunan Peternak

Domba dan KambingIndonesia.

9. Kesimpulan

Hijauan pakan adalah komoditi strategis yang signifikan mempengaruhi keberlanjutan usaha

peternakan, menciptakan sistem produksi yang efisien berbahan lokal dan mendorong indutri

peternakan nasional berdaya saing tinggi dan pemanfaatan sumberdaya lahan.

Konsentrat hijauan pakan berpeluang besar untuk menjadi komoditas green feed yang

pengusahaannya skala industri berbasis komunitas.

Dukungan dari pemerintah atau dunia bisnis diperlukan terutama dalam tahap inisiasi industri

konsentrat hijau agar bisa dikembangkan dengan baik dan diterima di masyarakat.

10. Daftar Pustaka

Abdullah, L., P.D.M. Karti dan S. Hardjosoewignjo. 2005. Reposisi Tanaman Pakan dalam

Kurikulum Fakultas Peternakan. Proc. Lokakarya Tanaman Pakan Ternak. Balai Penelitian

Ternak.

Abdullah, L. 2006. The Development of integrated forage production system for ruminants in rainy

tropical regions-the case of research and extension activity in Java, Indonesia. Bul. of Fac. of

Agric. Niigata University, 58(2): 125-128

Abdullah, L. 2010. Herbage production and quality of Indigofera treated by different concentration of

foliar fertilizer. J. Anim Sci and Tech.., 33(3): 169-175.

Abdullah, L and Suharlina, 2010. Herbage yield and quality of two vegetative parts of Indigofera at

different time of first regrowth defoliation. Med. Pet., 1(33): 44-49.

Abdullah, L. N.R. Kumalasari, Nahrowi dan Suharlina. 2010. Pengembangan Produk Hay, Tepung

dan Pelet Daun Indigoferasp.sebagai Alternatif Sumber Protein Murah Pakan Kambing Perah.

Laporan Penelitian Hibah Insentif. Fakultas Peternakan IPB.

Abdullah, L. and N.R.Kumalasari. 2012 Amino Acid Contents of Indigofera arrecta Leaves After

Application of Foliar Fertilizer. J. Agric. Sci. and Tech. 1(8), 1224-1227.

Abdullah, L., A. Tarigan, Suharlina, D. Budhi, I. Jovintry dan T.A. Apdini. 2012a. Indigofera

zollingeriana : A promising forage and shrubby legume crop for Indonesia. Proceeding the 2nd

International Seminar on Animal Industry, Jakarta, Indonesia p.149-153

Page 21: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

12

Abdullah, L. Apdini T. and D.A. Astuti. 2012b. Use of Indigofera zollingeriana as a Forage Protein

Source in Dairy Goat Rations. Proceeding of the 1st Asia Dairy Goat Confetrence, Kuala

Lumpur, Malysia, 9-12 April 2012. ISBN 978-983-44426-2-0, :72-74.

Abdullah, L., D.A. Astuti, Suharlina, and A. Jayanegara. 2013a. Fermentation and methane

production of Indigofera based- ration in rumen stimulation technique. Proceeding of The 4th

International Conference on Sustainable Animal Agriculture for Developing Country, 27-31

July 2013 Lanzhou, China.

Abdullah, L., Nahrowi, D.A. Astuti dan Suharlina. 2013b. Pengembangan dan Komersialisasi Produk

Ransum Komplit Berbasis Hijauan Indigofera (Indifeed) sebagai Pakan Berkualitas Untuk

Kambing Perah. Laporan Penelitian RAPID. Fakultas Peternakan IPB (Proses publikasi).

Andi Tarigan, L. Abdullah, S.P. Ginting dan I.G. Permana. 2010 Produksi dan komposisi serta nutrisi

In vitro Indigofera sp. Pada interval dan tinggi pemotongan berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan

Veteriner, 15(3): 188-195.

Aylward, J.H.; Court, R.D.; Strickland, R.W.; and Hegarty, M.P. 1987. Indigofera species with

agronomic potential in the tropics. Rat toxicity studies.Australian Journal of Agricultural

Research. v. 38(1) p. 177-186.

Dewiyana I.S. 2012. Efisiensi Penggunaan Protein Ransum Komplit Mengandung Indigofera

zollingeriana dan Limbah Tauge pada Penggemukan Domba Lokal Jantan. Skripsi. Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, ps.35. (dibimbing oleh D.A.

Astuti dan L. Abdullah).

Dianita, R. 2012. Study of Nitrogen and Phosphorus Utilization on Legume and non Legume Plants in

Integrated System. Diss., Institut Pertanian Bogor. (Dibimbing oleh : L. Abdullah, S.

Harjosoewignjo, I. Mansyur dan H. Sumarsono).

FAO, 1983. The use of concentrate feeds in livestock production systems. http://www.

fao.org/ag/againfo/ programmes/en/lea /toolbox/Refer/fcrpsec1.pdf. Diunggah tanggal 16

September 2014.

Glatz, P. C., Y. J. Ru, Z. H. Miao, S. K. Wyatt, and B. J. Rodda. 2005. Integrating poultry into a crop

and pasture farming system. International Journal of Poultry Science 4(4): 187-191.

Girsang, R.C. 2012. Viabilitas Benih Indigofera (Indigofera zollingeriana) Setelah Injeksi CO2 dan

Penyimpanan. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan

IPB. ps.43. (dibimbing oleh L. Abdullah dan G.K. Wiryawan)

Herdiawan, I., L. Abdullah, D. Sopandi, P.D.M.H. Karti and N. Hidayati. 2012. Productivity of

Indigofera sp. at different drought stress level and defoliation interval. J. Anim. and Vet. Sci.

17(2):276-283.

Indonesian Commercial Newsletter (ICN), 2011. Industri Palm Oil di Indonesia.

http://www.datacon.co.id/Sawit-2011ProfilIndustri.html

Karsten, H. D., G. L. Crews, R. C. Stout, and P. H. Patterson. 2003. The impact of outdoor coop

housing and forage based diets vs. cage housing and mash diets on hen performance, egg

composition and quality. International Poultry Scientific Forum, Atlanta.

Lani, M.L. 2014. Evaluasi Ketersediaan dan Penggunaan Lamtoro (Leucaena lecocephala) pada

Sistem Amarasi di Kabupaten Kupang. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana-IPB. (Dibimbing oleh :

L. Abdullah dan R. Priyanto).

Page 22: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

13

McSweeney, C.S., N.T. Ngu., M.J. Halliday, S.R. Graham. H.E. Giles, S.A Dalzell and H.M Shelton.

2011. Enhanced ruminant production from leucaena – New insights into the role of ‘leucaena

bug’. Proc. Of the 3rd International Conference on Sustainable Animal Agriculture For

Development Countries, Nakhon Racthasima, Thailand, p: 88-89.

Noci, F., A.P. Moloney, P. French dan F.J. Monahan. 2003. Influence of duration of grazing on the

fatty acid profile of M longissimus dorsi from beef heifers. Proceeding of British Society of

Animal Sciience, Winter Meeting, York. ps.233.

Nofisa, D. 2012. Performa Produksi dan Organ Dalam Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan

yang Diberi Pelet Ransum Komplit Mengandung Daun Indigofera zollingeriana dan Leucaena

lecocephala. Skripsi Fakultas Peternakan IPB. 37 hal. (dibimbing oleh L. Abdullah dan A

Setiadi).

Marina D. 2012. Kualitas Spermatozoa Kelinci Peranakan New Zealand White yang Diberi Pelet

Ransum Komplit Mengandung Daun Indigofera zollingeriana dan Leucaena lecocephala.

Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB. 44 hal.

(dibimbing oleh L. Abdullah dan A Setiadi).

Palupi, R. L. Abdullah and D.A Astuti. 2014. High antioxidant egg production trough substitution of

soybean meal by Indigofera sp. Top leaf meal in laying hen diets. Int. J. Poult. Sci., 13(4):198-

203.

Sowmen, S., L. Abdullah, PDMH. Karti, dan D. Sopandie. 2013. Adaptasi Tanaman Legum Pakan

Terhadap Cekaman Kekeringan dan Inokulasi Mikoriza. Diss., Sekolah Pasca Sarjana IPB.

ps.70. (dibimbing oleh L. Abdullah, P.DM. Karti dan D. Sopandie).

Su, Y., C.Li, Y. Gao, L.Di, X.Zhang. J.Lu and D.Gou. 2008. Six new glucose esters of 3-nitro

propionic acid from Indigofera kirilowii. Fitoterapia. 79(6):451-455.

Sudirman. 2014. http://www.agrofarm.co.id/read/ pertanian/ 781/lampaui-rekor-tertinggi-impor-

jagung-capai-36-juta-ton/#. Diunggah tanggal 6 September 2014.

Suharlina dan L. Abdullah., 2012. Peningkatan produktivitas Indigofera sp. Sebagai pakan hijauan

berkualitas tinggi melalui aplikasi pupuk organic cair : 1. Produksi hijauan dan dampaknya

terhadap kondisi tanah. Pastura, Journal Tumbuhan Pakan Tropika, 1(2): 39-43.

Whitehead, D.C. K.M. Goulden and R.D. Hartley. 1985. The distribution of nutrient elements in cell

wall and other fractions of some grasses and legumes. Journal of the Science of Food and

Agriculture, 36:311-318.

Williams.,M. C 1981. Nitro Compounds in Indigofera Species.Agronomy Journal, Vol. 73 No. 3,

:434-436.

Page 23: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

14

FORAGE PRODUCTION AND MANAGEMENT IN THE TROPICS

Z.A. Jelan*) and J. Sumarmono**)

*) University Putra Malaysia. [email protected]; **) Faculty Animal Science, Jenderal Soedirman University, Purwokerto, Central Java, Indonesia

53123. [email protected]

INTRODUCTION

Forage is plant material (mainly plant leaves and stems) eaten by grazing livestock. Today, the term

is used more loosely to include plants that are cut or uncut, tree crops, legumes or non-legumes,

conserved or processed plants or fibrous cereal by-products/crop residues consumed directly by

animals or offered in stalls. The common similarity of these forages is the generally high fiber

content and they form the bulk feed for ruminants. Thus, these forages are commonly and firstly

categorized as roughage or fiber-rich feed.

Forage from pastures or natural grasslands largely provide the much needed fibre in the ration for

enhancing digestion in the rumen. It is most important to remind farmers on the fact that ruminants

need forages as dietary fiber sources and the consequences of inadequacy in their ration. On the other

reason, feed costs represent the single largest expense in operating cost in the farming of these

animals. These two underlying principles are sufficient for farm operator to recognize and emphasize

the importance of providing and managing forages in the ration. Though forage based feeding system

is considered to be the most cost-effective and sustainable system while taking into consideration of

its roles in digestion, the importance of forage quantity and quality is often overlooked in the feeding

practice for ruminants. In the smallholder dairy farming in Asia, farmers are generally not well aware

of the cost and options of feeding. Overstocking animals and underfeeding forages are most common

practice in dairy farms (Moran, 2009).

This paper looks at significance of forages, its production and managements that should be employed

to efficiently utilize them for a sustainable ruminant production by reference to the humid tropics.

SIGNIFICANCE OF FORAGE FIBRES IN RUMINANT DIGESTION

Forage quality:

Forages of good quality are the main asset of any ruminant farming as they are also the foundation of

most rations in a forage-based diet. Minimum amount of fiber from forage is necessary for optimum

rumen functions. Ruminants derive most of the energy requirement from products of rumen

fermentations of structural carbohydrates of the fibrous feed. The efficiency of fermentation is

dependent on the characteristics of carbohydrate and also the rumen ecology that is dominated by the

presence of microorganisms. The ability to degrade the complex structural fibers in plants and

metabolize them to make the energy required for animal’s productive functions will normally

determines the nutritional adequacy of the ruminant animals (Leng, 1991).

Rumen fermentation:

Fermentation is efficient when the ruminants consume long-form fibers that stimulate ruminal

movements and rumination. Cows fed a diet with long fibre particles such as pasture grasses and or

hay chew for more than 10 hours, ruminate for about 6 hours. Thorough mixing of the rumen contents

allows improved microbial attachment to the fiber particles for efficient and rapid breakdown.

Page 24: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

15

Rumination also stimulates salivation that sustains the rumen acidity between 6.2 and 6.8 that would

be ideal for microbial fiber digestion. If rumen pH falls below 6.0, fibre digestion declines. When

ruminal pH falls below 5.8, fibre digestion ceases completely and subsequent drop to below 5.5,

acidosis sets in.

In vitro rumen incubation study showed that ruminal pH is one of the important determinants of fiber

digestion, which is modulated via the effect on bacterial attachment to fiber substrates (Sung et al,

2007). Rate of ruminations or chewing the cud by animals is an indicator of adequacy of forage

intake. On the contrary, rumination slows with ration deficient in fiber, but high concentrate. As DM

of forage to concentrate ratio is reduced, the pH also reduced (Aguerre et al., 2009).

Rumen pH and acidosis:

The concerns for feeding forage as fibre source are strongly related to the occurrence of sub-acute

ruminal acidosis (SARA) in intensively reared dairy cows and goats with low fibre (forage)

consumption. Affected animals produce less milk and milk with low fat. Animal also develops

physical laminitis (cows with swollen feet and hocks, soreness), and shows reduced feed and forage

intakes, loose manure and reduced cud chewing. Increasing the dietary effective NDF contained in

alfalfa hay stimulated chewing activity and improved ruminal pH status, but reduced nutrient intake

and efficiency of feed use (Zhao et al. 2014). Feed with shorter particle sizes usually result in

reduced chewing time and ruminal pH (Grant et al, 1990).

PRODUCTION AND MANAGEMENT OF FORAGE PASTURES

Development of pasture land:

Many ruminant farms particularly the smallholders struggled to support the forage needs of their

animals. Many farmers depend on forages that can be collected from marginal lands such as river

banks and forest margins. They cut and carry forages on daily basis (Figure 1). It is always a

challenge to establish a pasture of grass or legumes as cost of pasture development can be prohibitive

and dependent on the conditions of soils, water resources and topography of the land. In addition,

costly and short period of land rental for pasture production can be a severe limiting factor to develop

pasture. Without security of tenure, it is unlikely that a farmer will invest into a long-term pasture

production or improvement.

Figure 1. This cut and carry system is a common practice in many developing countries to

support forage needs for ruminants

Page 25: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

16

It is advisable to evaluate the condition of the soils before planting pasture. Soil testing will indicate

the strength of the soils and steps to correctly remediate before planting. The aims of a soil sampling

plan should be: (i) to identify manageable size pastures (according to animal number to feed) that

have similar characteristics and (ii) to outline the nutrient needs of your pasture. The high cost of

fertilizer justifies for a complete soil analysis in order to make efficient use of fertilizer nutrients. The

information derived from soil testing should be used in making fertilizer mixture sufficient for the soil

needs of your pasture. Excess application is not necessary as it causes heavy deposition of minerals in

the soil besides adding the cost.

Some key estimation is required on the size of pasture for development. This includes estimates of:

(i) numbers of animals (total body weight) to be fed with the forage, (ii) annual forage DM yield and

(iii) the level of forage DM to be offered to the animal. This ensures matching of forage produced

with the amount to be offered in the ration.

Growing quality forages:

Growing own good quality forages is important because it ensure that the animals get high quality

bulk feed and reduces the feeding of concentrate in the ration. In addition, cultivation of crops also

enriches the soil e.g. through N fixation, reduces soil erosion and suppress weed growth (Moran,

2005). Milking cow for example needs very high nutrient requirement and poor quality forage will

not support this need. This cow needs a minimum of 40% forage (on DM basis) and the balance

comes from concentrate feed. On the average, a milking cow needs at least 40-50kg/day fresh forage

containing 10MJ/kg DM of ME and 16% CP content. Similarly, a dairy goat needs 8-10kg of forages

daily. The volume and quality of this forage which is critical in the ration of dairy cows and goats is

possibly produced through good forage cultivation and management.

Forage species:

It is important to grow species that adapt well in local soils and climatic conditions. These include soil

fertility, temperatures, soil pH and drainage (Moran 2005). Over the years, new pasture species were

developed mainly in advanced livestock farming countries notably Australia. Such species may not

be productive in the humid tropical climate where pasture management is generally not a priority.

However, with increasing interest to farm ruminants and the need to produce forages, it has become

necessary to produce local forage seeds that adapt to local soil and climatic conditions. In order to

enhance livestock productivity in Thailand, Department of Livestock Development has stations or

centers and also private farmers in different regions of the country to conduct research and produce

popular forage crop seeds such as Ruzi (Brachiaria ruziziensis), Guinea (Panicum maximum) and

Hamil (P. maximum cv. Hamil) and legume species such as Stylo (Stylosanthes hamata cv. Verano),

Centrosema (Centrosema pubescens) and Siratro (Macroptilium atropurpureum). These seeds are

used for improving communal grazing ground including on unproductive and unattended lands for use

by the local farmers. It has been projected that demand for forage seeds will increase in the future

because of the expansion of the ruminant industry and farmers increasingly prefer over sowing seeds

compared to the more laborious task of vegetative planting.

Choice of plant species is important so that the plant growth and productivity are sustained over long

duration. Some the characteristics for the plant to be planted are: (i) high nutritive values, (ii) High

DM yield, (iii) ability to sustain growth after repeated harvest, (iv) rapid re-growth following harvest,

Page 26: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

17

(v) draught resistant, (vi) pest resistant and (vii) easily established. Some examples of pasture

commonly grown in South East Asia are listed below:

Napier (Elephant grass) (Pennisetum purpureum): There are several varieties, one of the is shown in

Figure 2. It is the most popular forage among dairy farmers in SE Asia and is also the most productive

grass that typically yield 20-30mt DM/ ha/year depending on soil management and rate of

fertilization. Easily established and grows well in wet seasons, but does not tolerate dry months and

needs to be harvested regularly otherwise the stems become woody. It grows well with heavy

fertilization with animal manure, urea and also superphosphate. Due to its large stem and leaf blades,

it appears more suitable forage for the large ruminants. When chopped before feeding, the stems are

normally not eaten by the animals.

Figure 2. The napier or elephant grass is well adapted to the humid tropics and one of the

most popular and productive forage in Asia

Guinea grass: This species adapts well in the humid tropics and sub-tropics and tolerates shades. It has

smaller leaf blade and lower stem:leaf ratio compared to Napier. It is well-accepted and easier to eat

particularly by goats and sheep. The DM yield is approximately 20mt DM/ha/year. Like Napier,

Guinea grass should be harvested between 4 and 6 weeks depending on soil management and season

of the year. The nutritive values (CP content, digestibility) tend to decrease in the drier season.

Stylo (Stylosanthes species): Stylo forage is used in many ways in Asian farming systems. It adapts

to a range of environmental conditions, have high biomass yield and high protein content. The most

widely used legume species in Asia today are S. hamata Verano and S. guianensis CIAT 184, to a

lesser extent Graham in China, and recently S. seabrana for leaf meal production in India.

Stylosanthes hamata is used mainly in northeastern Thailand for cut-and-carry situations and

inclusion in heavily grazed pastures. In the last few years CIAT 184 became popular forage in many

countries in South-East Asia because of its broad adaptation, potential for multiple uses and high

productivity in acid and infertile soils. Stylosanthes seabrana has gained popularity in India because

of its adaptation to heavy soils and the ease of its seed production. Prospects for increased use of these

species, particularly in smallholder farming systems are excellent (Phaikaew et al, 2004).

Page 27: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

18

Forage tree legumes:

The hot and humid tropical climates are home to many varieties of forage trees such as Calliandra sp

(Figure 3) that are suitably planted in small or large scales. In recent times, legumes have become

important as high quality forages for livestock both in cultivated pastures and natural growth. Some

are not fully exploited, but their potential values and use has been highlighted. Though grass is more

important than legumes, it is the legumes that show the most promise for future exploitation and

development as feed for the expanding ruminant population.

Another advantage of legumes is their high nutritive value in terms of the potential intake of

digestible dry herbage, generally higher digestibility and higher intake than grasses. Their nutritive

value tends to remain higher as plants mature. The protein content of forage tree legume leaves is

usually high (12 to 30%) compared with that of mature grasses (3-10%). A major limitation to the use

of some species is the presence of toxic and/or anti-nutritive factors that limits nutrient utilization.

For this reason, depending on the species, tree legume foliage may be of lower nutritive value as a

sole feed than as a supplement to other feeds. The significance of secondary plant compounds

becomes more evident when tree foliage is the only feed consumed tree legumes are usually long-

lived, needs low maintenance and provide high quality forage for feeding of livestock. It should

sustain productivity over a long spell.

Figure 3. Forage tree such as this Calliandra calothyrsus is long lived and produce high

quality forage

Pasture improvement:

Good pastures provide high quality forage for your animals besides able to absorb heavy rain water,

filter runoff and reduce erosion. Tropical land is easily compacted by heavy rain and worsens with

heavy stamping by animals on an overstocked plot of pasture. Overgrazed pasture has bald patches

that encourage weed growth and erosion and reduces the forage yield. Though it sounds a big task, it

is feasible to have healthy pastures. Pasture improvement is often constrained by the lack of finance

and of knowledge by the farmers. It is therefore necessary to promote and provide the extension

service on pasture development and improvement practices to farmers who need to grow forages,

even in small scale farming.

Page 28: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

19

The need for pasture improvement is undoubtedly revealed initially by reduction of animal

productivity (e.g. milk yield, growth rate and body condition scores) as forage from pasture is the

major component of the ruminants’ diet. The ability to improve forage production is a function of

climate, soils and the production system. Under natural conditions improved forage production is

possible where rainfall is in excess of 650 mm/yr with a dry period not exceeding six months. In drier

regions or times, irrigation may be used.

The management of pasture is similar to a crop where a healthy vegetable crop will produce more

saleable vegetables as healthy pastures will increase the productivity of the livestock. Management

practices are designed to optimise forage productivity and maximise response to fertiliser application

while also minimising the impact on the environment. These are good agricultural practices for

sustainability of forage production as many animal farming whether large or smallholder types have

been unsustainable firstly due to poor management of the forages resulting in low DM yield, nitrogen

content and DM digestibility. Pasture is of poor value when infested with parasites and uncontrolled

weed growth. Some production practices on managing pasture can be summarized in Table 1.

Table 1: Some checklists on pasture/forage management.

Subject Comments

1. Soil testing (pH and N)

for optimum growing

conditions

‐ Results assist in selecting:

‐ correct type and amount of fertilizer

‐ amount of lime application (prevents acidification)

2. Nitrogen fertilizer

application

(urea grade or manure)

‐ Estimate the N needs & apply correct dose.

‐ Apply N on active growing pasture.

‐ Avoid applying N near water points.

‐ Best not to apply after rain due to loss of N from volatilisation

during hot days.

3. New pasture

establishment ‐ Assess soil pH and key nutrient content (to detect of mineral

imbalance i.e.-excess or deficient) – assist in estimation of

liming and fertilization types and rates.

4. Weed control ‐ Regular monitoring and treatment.

‐ Assessing weed population density

5. Parasite control ‐ Conduct rotational grazing; Leave empty for 6-8weeks’ If cut &

carry, also leave empty too for similar period.

‐ Conduct faecal egg count (Pasture larval count is less reliable)

occasionally.

6. Harvest at right stage of

maturity ‐ CP content and DM digestibility decrease rapidly with maturity

in the hot & humid tropics.

‐ Harvest at 6 weeks appears a good balance for DM yield, N

content and digestibility for most forage grown in the humid

tropics.

7. Cutting height (if cut

and carry) ‐ Depends on forage – ensure it allows quick re-growth within

6weeks (average).

‐ Do not cut less than 10cm from the stump (ground). If cut too

Page 29: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

20

low, it takes longer time tore-grow. If too high, it will not

encourage spread of new stems/branches.

8. Do not allow forage to

over grow ‐ Harvest, make use wherever possible; manage the re-growth by

harvesting at right age.

9. Stocking rate (if

animals are turned out

into pasture)

‐ Keep correct stocking rate (kg body wt /ha).

‐ Depends on type and yield of pasture.

10. Estimation of yield ‐ Occasional measurement of DM yield.

‐ Useful guide to numbers of animal to upkeep.

11. Estimation of nutrient

contents of forage ‐ Occasional sampling – Contents of N, ADF & NDF.

CONCLUSION

Forages are essential for the successful operation of ruminants’ production systems. Feeding forages

is necessary for their health and production in a cost-effective and sustainable manner. Producing and

managing forage crops are very demanding task in the hot and humid tropics where heavy rainfall

causes nutrient losses from the pastures and forage quality drops rapidly in the hot climate. However,

when cultivating forage crop, irrespective of plant species, the objective must be to maximize yield of

DM per unit area of land and the crop has the expected nutritive values e.g. crude protein content and

high digestibility. These are important parameters that have impact on animal and farm productivity.

Future development of forage production must look into intensive growing of forage trees such as

Gliricidia, Mulberry and Calliandra. This includes closer planting density for greater biomass

production and harvesting every 6 weeks.

Producing and also conservation of good quality forages can assist in reducing the costs associated

with feeding of extra concentrate to make up for the total DM requirement of the animal. Successful

farmers have recognised the economic significance of producing high quality forage crops and thus

emphasize the production of high quality forages from pasture improvement or development. There is

a need to enhance the extension programme with inputs on the practical issues aiming to provide

farmers with practical solutions and hands-on advice on high quality forage production.

REFERENCES

Aguerre M, J. L. Repetto, Pérez-Ruchel, A., A. Mendoza, G. Pinnachio, and C. Cajarville. 2009.

Rumen pH and NH3-N concentration of sheep fed temperate pastures supplemented with

sorghum grain. South African J. of Anim. Sci. 39(1): 246 – 250.

Fageria, N.K. 1997. Growth and Mineral Nutrition of Field Crops. NY, NY: Marcel Dekker. p. 583.

Grant, R., V. Colenbrander and D. Mertens. 1990. Milk fat depression in dairy cows: Role of particle

size of alfalfa hay. J. Dairy Sci. 73:1823–1833.

John Moran 2005. In: Tropical Dairy Farming. Landlinks Press, Australia. p. 66.

Leng, R.A. 1991. Application of biotechnology to nutrition of animals in developing countries. FAO

Animal Production and Health Paper No. 90. Chapter 3.

Moran, J.B. 2009. Key performamce indicators to diagnose poor farm performance and profitability

of smallholder dairy farmers in Asia. Asian-Aust J. Anim. Sci. 22(12) 1709-1717.

Page 30: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

21

Phaikaew, C., Ramesh, C.R., Kexian, Yi and Stur, W. 2004. Utilisation of Stylosanthes as a forage

crop in Asia. In: High-yielding anthracnose-resistant Stylosanthes for agricultural systems.

ACIAR Monograph No 111. pp. 65-76.

Reynolds, S.G. 1988. Pastures and cattle under coconuts. FAO Plant Production and Protection Paper

91. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy.

Stillman, S.L., Mulder, J.C. and Cameron, D.G. 1984. Performance of nitrogen fertilized temperate

grasses and temperate grass-clover mixtures in south-east Queensland. Queensland J. of Agric.

and Anim. Sci. 41: 35–47.

Stobbs, T.H. and Thompson P.A.C. 1975. Milk production from tropical pastures. World Animal

Review 13: 3–7.

Sumberg, J.E. and Atta-Krah, A.N. 1988. The potential of alley farming in humid West Africa. A re-

evaluation. Agroforestry Systems. 6: 163–168.

Sung, H.G., Y. Kobayashi1, J. Chang, Ahnul Ha, Il Hwan Hwang and J.K. Ha. 2007. Low ruminal

pH reduces dietary fiber digestion via reduced microbial attachment. Asian-Aust. J. Anim. Sci.

20(2): 200-207.

Zhao, X.H., T. Zhang, T., Xu, M. and Yao, J.H. 2014. Effects of physically effective fibre on chewing

activity, ruminal fermentation, and digestibility in goats. J. Anim. Sci. 89(2): 501-5.

Page 31: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

22

POTENSI SISTEM INTEGRASI SAWIT – SAPI DI KALIMANTAN TENGAH

(Study kasus di PT. Sulung Ranch)

Ir. Dwi Rahayu Lestantini, MSi

PENDAHULUAN

Potensi Kalimantan Tengah mempunyai lahan perkebunan kelapa sawit cukup luas yaitu sebesar

1.304.125,5 ha, terluas kedua setelah Riau. Dari luas areal perkebunan tersebut proporsi pengelolaan

sebagian besar berupa perkebunan Swasta ( 1.115.824 ha) , sedang perkebunan rakyat seluas

188.301,5 ha. Selama periode waktu 2008 -2013, luas areal perkebunan kelapa sawit di Propinsi

Kalimantan Tengah berkembang meningkat sebesar 83,16% ( 712.028 ha menjadi 1,304.125,5 ha)

(BPS Kalimantan Tengah, 2013). Seiring meningkatnya luas perkebunan kelapa sawit meningkat pula

produksinya.

Biomassa tanaman kelapa sawit maupun tanaman rerumputan dan leguminosa yang tumbuh di

sekeliling tanaman pokokareal perkebunan tersebut sangat besar. Selain itu produk samping industri

kelapa sawit juga menghasilkan biomassa yang dapat diolah menjadi bahan pakan yang sangat

potensial untuk pengembangan ternak ruminansia.

Dalam rangka peningkatan produktivitas tanaman kelapa sawit agar dapat menghasilkan CPO yang

lebih efisien dan menguntungkan diperlukan zat hara yang memadai, dimana kebutuhan pupuk

organik dan anorganik sangat diperlukan untuk menjamin pertumbuhan dan produksi TBS (tandan

buah segar) yang tinggi dan berkualitas. Hal ini dikarenakan sebagian besar areal perkebunan kelapa

sawit berada dilahan yang relatif rendah kandungan hara ataupun tanah yang kurang mendukung

penyerapan unsur hara. Salah satu bahan utama yang dapat memperbaiki struktur tanah serta

menyediakan unsur hara yang diperlukan tanaman pokok adalah dengan menambahkan pupuk

organik. Pupuk organik tersebut dapat berasal dari kotoran ternak dan sisa pakan yang dikomposkan.

Pemberian kompos (pupuk organik) merupakan salah satu komponen input yang cukup besar dalam

agribisnis kelapa sawit.

Beberapa penelitian yang dilakukan , menunjukkan bahwa dengan sistem integrasi sawit-sapi dapat

meningkatkan efisiensi agribisnis kelapa sawit. Ternak dapat berproduksi dan atau berkembang biak

dengan memanfaatkan biomassa gulma dan limbah tanaman kelapa sawit.

Filosofi dari kegiatan pertanian berbasis sawit-sapi adalah pemanfaatan hasil samping industri

perkebunan kelapa sawit untuk pakan ternak dan hasil samping budidaya sapi berupa kotoran dan urin

digunakan sebagai pupuknya. Dengan demikian tidak ada siklus biologis yang terputus, dan akan

tercipta efisiensi produksi yang tinggi karena menerapkan zero waste. Manajemen pemeliharaan

biasanya tergantung kepada keinginan pemilik kebun sawit, namun pada prinsipnya dapat dilakukan

secara in situ atau ex situ (Djayanegara, 2005) yang terpenting adalah dalam pola integrasi siklus

biologis tidak terputus.

Strategi pengembangan pertanian melalui usaha peternakan sapi di perkebunan kelapa sawit menurut

Umar (2009) diarahkan pada (1) industri pakan ternak berbasis limbah dan produk samping kelapa

sawit, (2) industri perkembangbiakan sapi dan (3)industri penggemukan sapi potong serta (4) yang

juga sudah berkembang di masyarakat adalah industri pupuk organik.

Page 32: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

23

Tabel 1. Perkebunan kelapa sawit dan populasi sapi potong nasional

No Luas Perkebunan Kelapa sawit Potensi

populasi sapi

Populasi Sapi Potong

1 (Ha) % potong (ekor) (Ekor) %

2 Sumatera 5.485.106 65,41 8.227.659 2.961.987 21.81

3 Jawa 27.671 0,33 41.506 5.988.337 44.09

4 Bali+NTB+NTT - - - 1.980.674 14,58

5 Sulawesi 215.492 2,57 323.238 1.816.526 13,37

6 Maluku+Papua 57.920 0,70 8.688 245.346 13,37

. Total nasional 8.345.394 100 12.499.899 13.581.571 100

(Ditjenbun, 2012)

PT. Sulung Ranch

PT. Sulung Ranch berdiri tahun 2004 dengan luas 350 ha dan lokasi berada didalam lokasi

perkebunan sawit PT. Citra Borneo Indah ( dahulu PT. Tanjung Lingga) seluas 20.000 ha. Tujuan

awalnya adalah pembiakan sapi Bali dengan memanfaatkan limbah pabrik kelapa sawit. Awal

pengadaan sapi Bali sebanyak 100 ekor dengan sistem kawin alam 1: 20 ( pejantan 1 dan 20 betina) ,

dilakukan sistem kawin alam. Pola pemeliharaan dengan semi intensif, sebagian besar lahan

digunakan untuk hijauan ternak antara lain rumput gajah dan padang penggembalaan dengan tanaman

rendah dan kuat injakan yaitu brachiaria decumben dan brachiaria humidicola.

Model Kegiatan Integrasi sawit- sapi

Model pendekatan pertanian berbasis integrasi industri perkebunan kelapa sawit dengan ternak di PT.

Sulung Ranch disajikan pada Gambar 1. Hasil samping dari kegiatan subsistem produksi peternakan

yang berupa kotoran ternak sementara dimanfaatkan untuk pupuk guna meningkatkan produksi

hijauan pakan ternak, dan kedepan akan dioeruntukkan bagi upaya peningkatan produksi kelapa sawit.

Kotoran ternak juga dimanfaatkan untuk biogas.

Sesuai dengan tujuan pendekatan integrasi sapi dengan perkebunan kelapa sawit adalah

didekatkannya dengan sumberdaya pakan dan lahan, maka inovasi teknologi yang diintroduksikan

utamanya adalah pakan sedangkan untuk memacu populasi diitroduksikan teknologi reproduksi.

Inovasi teknologi yang diterapkan di PT. Sulung Ranch , yaitu :

a. Jenis ternak yang dikembangkan sapi Bali, namun sekarang berkembang jenis lain Brahman Cross.

b. Pemanfaatan pakan konsentrat dari hasil samping PKS yang berupa solid sawit.

c. Pengembangan hijauan makanan ternak (HMT) unggul yaitu rumput Brachiaria decumben (BD)

dan Brachiaria humidicola (BH), Gajah, Maxico, Setaria dan Rumput Raja.

d. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) dan Sinkronisasi Estrus (SE).

Pakan memegang peranan penting pada keberhasilan program pembiakan ternak. Pakan yang tidak

mencukupi sangat berpengaruh pada tingkat fertilitas ternak. Dari hasil penelitian Ella et al. (2003)

menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan ternak yang tinggi disebabkan karena ketersediaan pakan

baik kuantitas maupun kualitas sehingga kondisi fidiologis dapat mendukung respon birahi dan

tingkat kebuntingan ternak.

Page 33: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

24

Gambar 1. Model pertanian berbasis integrasi sawit-sapi di PT Sulung Ranch

Page 34: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

25

Introduksi Hijauan Pakan Ternak Unggul

Kondisi lahan yang bergelombang seperti pegunungan , untuk pengembangan hijauan pakan ternak

dilakukan dengan dua tipe, yaitu grazing yaitu jenis BD dan BH sekaligus sebagai tempat kandang

dan padang penggembalaan dengan kemiringan < 150, sedangkan lahan dengan kemiringan > 150

digunakan untuk pengembangan hijauan pakan ternak jenis rumput Gajah, Raja, Setaria dan Mexico

untuk sistem cut and carry.

Hasil monitoring produksi di area grazing untuk jenis BD menghasilkan rumput 18.464 kg/tahun dan

untuk jenis BH sebanyak 17.100 kg/thn ( Utomo dan Widjaya, 2006) . Jumlah rumput tersebut masih

belum mencukupi kebutuhan ternak , sehingga masih disuplai dari luar yaitu dari HAT yang ada

disekitar area kelapa sawit dengan umur tanaman sekitar 2 tahun yang terdiri dari cover crop

Callopogonium dan rumput liar.

Pemanfaatan HAT (hijauan atar tanaman) cover crop legume Callopogonium sebagai pakan

sapi

Legume Callopogonium dapat tumbuh subur sampai tanaman kelapa sawit berumur 5 tahun dan akan

berkurang seiring dengan rendahnya intensitas sinar matahari yang masuk dibawah tajuk daun kelapa

sawit. Hasil monitoring oleh Widjaya (2005) secara ubinan bahwa produksi Callopogonium adalah 3

kg/m2 setara dengan 30.000kg/ha. Pemanenan dilakukan 2 bulan sekali sehingga produksinya adalah

30 ton x 6 bulan = 180 ton/ha/tahun. Dengan luas lahan perkebunan sawit 20.000 ha , maka potensi

biomasa Callopogonium sebanyak 20.000 x 180ton/ha/thn= 3.600.000 ton/tahun. Apabila lahan yang

bisa menghasilkan Callopogonium 50% dari luas area sawit, maka produksinya adalah 1.800.000

ton/thn. Kalau bobot sapi 200 kg/ekor , kebutuhan hijauan 20 kg/hari/ekor , maka memerlukan 7.300

kg/ekor/tahun, sehingga biomasa tersebut dapat menampung 248.575 ekor atau setiap hektar kebun

kelapa sawit dapat menampung 90.000 kg/ha/tahun: 7.300 kg/ekor/tahun= 12 ekor sapi dengan bobot

hidup rata-rata 200 kg. Pemberian legume di area grazing , dan sejauh ini belum ada laporan

keracunan ataupun gangguan kesehatan terank terkait dengan pemberian legum Callopogonium. Hasil

analisa biaya pakan antara sebelum dan sesudah memanfaatkan HAT diperkebunan kepala sawit

ternyata bisa lebih efisien 56,45% dibanding dengan pengadaan rumput dari luar ranch.

Pengenalan solid sawit sebagai pakan tambahan sapi

Solid sawit adalah salah satu hasil samping dari pengolahan kelapa sawit menjadi minyak sawit kasar

(CPO) yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak . Produksi solid rata-rata pada saat awal PKS 5

ton/hari diberikan ke ternak sapi 1.5% dari bobot badan , sehingga dapat mencukupi kebutuhan pakan

sekitar 416 ekor dengan bobot 200 kg/ekor. Dalam kondisi normal dapat dihasilkan 20 ton/hari dan

akan mampu mencukupi 1.666 ekor sapi. Sampai dengan hari ini PKS sudah mengolah minyak inti

sawit (PKO) , maka dihasilkan produk samping yaitu bungkil inti sawit (BIS) yang sangat baik

kondisi nutrisinya untuk pakan ternak.

Solid sawit diberikan 2 kali sehari dan tidak berlebihan karena palatabilitas yang tinggi sehingga

dikawatirkan ternak menjadi gemuk, dan tidak sesuai dengan program pembiakan. Selama pemberian

solid di lapangan secara tunggal belum ditemukan laporan mengenai gangguan kesehatan atau

pencernaan pada ternak sapi yang dipelihara. Dalam pemberiannya wajib diikuti dengan ketersediaan

air minum yang adlibitum.

Page 35: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

26

Pakan lengkap berbasis hasil samping industri perkebunan kelapa sawit

Sejak 2011 dilakukan penerapan integrasi sawit-sapi dengan pembuatan pakan konsentrat dengan

bahan dasar dari perkebunan sawit dan PKS yaitu mengugunakan solid sawit, bungkil inti sawit,

pelepah daun sawit , tetes dan onggok, dedak, mineral dengan kandungan PK 11-13%, TDN 64%

seharga Rp 1.150/kg. Dengan demikian ada efisiensi biaya pakan sebesar Rp. 3.550,-. Beberapa

produk samping industri kelapa sawit yang dapat dan sudah dimanfaatkan untuk usaha sapi potong ,

antara lain :

Janjang kosong (jangkos), yaitu tandan buah sawit yang telah diambil biji sawitnya untuk

diolah menjadi minyak sawit, dapat digunakan bahan pembuatan pupuk organik.

Fiber,yaitu limbah pengolahan biji sawit menjadi minyak sawit,digunakan sebagai bahan

bakar pabrik,alas kandang, atau litter ( sapi lebih nyaman, menyerap air kencing ), sebagai

bahan pupuk organik dan biogas.

Bungkil sawit yaitu limbah pengolahan kernel seed menjadi kernel oil.

Solid (lumpur`sawit) , yaitu limbah pengolahan minyak sawit atau produk akhir dalam proses

pengolahan , digunakan sebagai bahan penyusun ransum ternak.

POME yaitu Palm Oil Mill Effluent yang merupakan limbah cair,

Pelepah sawit, dipotong dan dichopper dapat dimanfaatkan pada musim kering ketika rumput

tidak mencukupi.

Kondisi Terkini

Hingga tahun 2014 , luas perkebunan kelapa sawit meningkat menjadi lebih kurang 70.000 ha dan

jumlah ternak sapi yang ada di PT. Sulung Ranch sebanyak 3.000 ekor, dengan dua jenis sapi yag

dipelihara dengan skala relatif besar, yaitu sapi Bali dan Sapi Brahman Cross dengan manajemen

pemeliharaan yang berbeda :

Manajemen pemeliharaan sapi Bali :

Sapi Bali dipelihara secara semi intensif yaitu di dalam kandang dan exercise diluar kandang. Sapi

betina digunakan untuk breeding sedangkan yang jantan digemukkan. Pakan yang diberikan adalah

pakan pabrikan buatan sendiri berasal dari 80% hasil samping perkebunan dan PKS, sedang 20%

didatangkan dari Jawa Timur.

Manajemen pemeliharaan sapi Brahman Cross

Sapi Brahman Cross didatangkan dari Australia sebanyak 2.000 ekor pada tahun 2014. Semua sapi

dipelihara di dalam perkebunan kelapa sawit dengan sistem Daily Rotation Grazing (rotasi grasing

berpindah setiap hari). Sistem rotasi ini ada 6 blok, setiap blok seluas 30 ha ( 1.000 m x 300 m)

dibatasi dengan eletric fencing (pita pembatas yang dialiri listrik) dengan jumlah sapi 300 – 400 ekor.

Vegetasi akan tumbuh normal setelah 60 hari, sehingga rotasi grazing akan kembali ke lokasi pertama

setelah 60 hari.

Tenaga kerja yang digunakan setiap blok hanya 5 orang ( 1 orang memindahkan sapi setiap pagi, 1

orang memindahkan electric fencing, 1 orang memberi minum dan pakan tambahan, 2 orang jaga

malam). Sistem pemeliharaan sapi masuk kebun kelapa sawit ini ternyata mematahkan anggapam

yang selama ini dialamatkan ke ternak sapi bahwa :

Sapi merusak tanaman sawit

Sapi penyebab penyakit orictes pada sawit

Page 36: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

27

Sapi penyebab penyakit ganoderma pada sawit

Sapi memadatkan tanah perkebunan

Sapi sebagai hama

Masuknya ternak sapi ke kebun sawit dengan sistem rotasi setiap hari dapat menggemburkan dan

menyuburkan tanah karena akar halus kelapa sawit bergerak menuju feses. Feses sapi ternyata bukan

tempat berkembang biaknya hama yang menyebabkan penyakit orictes dan ganoderma karena feses

sapi akan terfementasi dan menghasilkan suhu sampai 700C , sehingga hama yang dimaksud tidak

dapat tumbuh atau mati pada suhu tersebut. Hama penyebab orictes dan ganoderma ternyata tumbuh

di batang sawit yang telah membusuk . Biaya herbisida menjadi 0 % karena semua gulma/vegetasi

yang ada dimakan sapi.

Pengelolaan Kotoran sapi

Kotoran yang berasal dari sapi yang dikandangkan sudah diolah menjadi biogas untuk kompor

diperumahan karyawan peternakan, dan diolah pula sebagai kompos, digunakan hanya untuk kebun

rumput. Rumput yang dikembangkan sampai dengan sekarang adalah jenis rumput Taiwan (

Pennisetum purpureum schumach), rumput Taiwan ini tumbuh dengan baik dan dapat tumbuh di

lahan apa saja kecuali lahan rawa.

Perencanaan ke depan

PT. Sulung Ranch berencana akan mengembangkan sapi sebanyak 40.000 ekor dengan dilengkapi

fasilitas RPH (rumah potong hewan) modern sehingga usaha peternakan sapi akan tertangani dari hulu

sampai hilir. PT. Sulung Ranch akan tetap melestarikan sapi Bali murni dan pelestarian sapi lokal

Kalimantan Tengah yang merupakan plasma nuftah Kalimantan Tengah yang tak terniai harganya

karena erat hubungan dengan masyarakat Dayak. Biogas yang telah dihasilkan ke depan akan

ditingkatkan teknologinya menjadi listrik sehingga tidak perlu lagi menggunakan listrik dari PLN.

Dengan demikian integrasi sawit-sapi di PT. Sulung Ranch pada akhirnya hemat energi, efisiensi

biaya produksi serta ramah lingkungan.

Potensi Daerah Kalimantan Tengah

Kalimantan Tengah ideal untuk pengembangan kegiatan integrasi sawit-sapi, karena ketersediaan

potensi sumberdaya pakan dari industri perkebunan kelapa sawit yang lengkap, yaitu berupa limbah

pelepah sawit, solid sawit dan bungkil inti sawit, juga pembuatan pupuk dari jenjang, serat perasan

buah dan abu dari boiler pabrik kelapa sawit , oleh karena itu perlu diperhatikan :

1. Peran aktif dari berbagai pihak terkait terutama pemerintah pusat dalam rangka mensukseskan

pengembangan integrasi sawit-sapi , peran tersebut antara lain : dukungan regulasi(peraturan)

kemudahan import , regulasi izin usaha peternakan di area perkebunan sawit, perbaikan

infrastruktur pendukung.

2. Peran pemerintah daerah adalah memberikan kemudahan akses permodalan, pemasaran ternak dan

pupuk organik, inovasi teknologi siap pakai terutama untuk limbah PKS serta meningkatkan peran

penyuluh di tingkat peternak.

3. Peran swasta memberikan kemudahan akses memperoleh by product PKS, penyediaan bibit

bakalan, membantu pemasaran ternak, memberdayakan masyarakat melalui pola inti plasma

ternak.

4. Peran kelompok tani adalah menerapkan manajemen pemeliharaan sapi pola integrasi sawit-sapi

secara baik dan benar, sehingga dihasilkan budidaya yang dapat bersaing dipasar.

Page 37: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

28

5. Dalam rangka mempersiapkan model integrasi sawit – sapi di seluruh propinsi di Indonesia sudah

saatnya pemerintah dan swasta duduk bersama mencari rumusan yang menguntungkan bagi usaha

perkebunan dan juga jangka panjang untuk budidaya ternak sapi potong dalam rangka memenuhi

kebutuhan daging dalam negeri.

KESIMPULAN :

1. Kegiatan integrasi sawit-sapi juga berpotensi untuk meningkatkan populasi sapi potong. Semakin

luas pengembangan perkebunan kelapa sawit semakin besar pula potensi untuk meningkatkan

populasi ternak.

2. Penyebaran perkebunan kelapa sawit dengan penyebaran ternak sapi ternyata tidak seimbang.

Perkebunan kelapa sawit banyak berkembang diluar jawa , sedang ternak sapi banyak di pulau

Jawa.

3. Dampak positif lain dari kegiatan integrasi sawit-sapi adalah : (a) meningkatkan efisiensi dan daya

saing produk , (b) potensial untuk menggerakkan perekonomian berbasis pertanian di pedesaan, (c)

menghasilkan komoditi ekspor, (d) memunculkan lapangan kerja, (e) memperkuat ketahan pangan,

(f) mendorong pertumbuhan perekonomian daerah, (g) memelihara keberlanjutan lingkungan dan

(h) mengurangi adanya konflik horizontal antara masyarakat dengan pihak perusahaan.

4. Hasil evaluasi sementara : adanya peningkatan populasi dengan tingkat kelahiran , ketersediaan

pupuk organik (padat dan cair), pengurangan biaya pembelian pupuk kimia dan pembersihan

gulma dan pertumbuhan tanaman sawit yang lebih baik dengan produksi meningkat 25-30%.

5. Ketersediaan produk samping industri sawit di PT Sulung Ranch yang dengan mudah diperoleh

secara kontinyu dan dapat dimanfaatkan sebagai penyusun ransum konsentrat sapi potong dan

dengan lokasi pabrik yang tidak begitu jauh menguntungkan usaha peternakan tanpa dibayangi

kekurangan penyediaan pakan dari hasil samping pabrik sawit. Hal tersebut yang seharusnya

dilakukan disetiap perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia untuk melakukan integrasi sawit

- sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Kalimantan Tengah. 2013. Berita Resmi statistik No.

13/12/Th.VII.2 Desember 2013.

Dirjen Peternakan. 2005. Kebijakan Direktorat Jenderal Peternakan dalam mendukung sistem

integrasi sawit-sapi. Makalah disajikan pada Workshop Pengembangan Sistem Integrasi Sawit-

Sapi di Banjarbaru, 22-23 Agustus 2005.

Djajanegara, A. 2005. Pembentukan jejaring komunikasi sistem integrasi sawit-sapi. Makalah

disampaikan pada Workshop Pengembangan Sistem Integrasi Sawit-sapi di Banjarbaru, 22-23

Agustus 2005.

Utomo, B.N. dan Widjaja, E. 2006. Limbah padat pengolahan minyak sawit sebagai sumber nutisi

ternak ruminansia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian23(1): 22-28.

Page 38: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

29

POTENSI EKSTRAK TANAMAN DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS TERNAK

RUMINANSIA

Caribu Hadi Prayitno

Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman

Jl. Dr. Suparno, Karangwangkal, Purwokerto

Telp/Facs. 0281-638792

E-mail:[email protected]

1. PENDAHULUAN

Pengembangan ternak ruminansia dewasa ini minimal menghadapi dua permasalahan utama, yaitu (1)

masalah penyediaan pakan yang berkualitas dan (2) masalah isu pemanasan global (global warming),

utamanya gas metan. Masalah penyediaan pakan berkualitas pada saat ini dihadapkan pada sifat

hijauan pakan di daerah tropis yang tinggi kandungan lignoselulosa dan selulosa, di samping masalah

lahan rumput yang makin menyempit. Pada isu pemanasan global, peternakan ruminansia diketahui

sebagai penyumbang gas metan terbesar. Data dari Amerika Serikat tahun 2007, menunjukan bahwa

pada tahun 2005 ternak sapi perah, sapi potong, domba dan kambing menyumbang metan sebesar

40,87 % dari 539 Tg (Behlke, 2007), sedangkan data dari Environment Canada (2002) menunjukan

bahwa sapi perah dewasa akan menghasilkan 118 kg CH4/ekor/tahun, sapi potong 72 kg CH4/ekor/th,

sapi jantan 47 kg CH4/ekor/tahun, domba 8 kg CH4/ekor/th. Data ini memperlihatkan bahwa potensi

sapi perah di Indonesia meskipun populasinya tidak sebanyak sapi potong, akan tetapi pengaruhnya

terhadap emisi metan hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan sapi potong per

ekornya.

Peternakan sapi perah di Indonesia berbasis peternakan rakyat yang mengandalkan pakan kualitas

rendah sebagai pakan utamanya. Gomez dan Fernandez (2009) melaporkan bahwa sapi yang

mengkonsumsi hijauan kualitas rendah (tinggi serat dan rendah Nitrogen) akan menghasilkan metan

yang lebih banyak. Sapi yang dikandangkan akan menghasilkan metan 0.015 -0.02 kg metan/kg susu,

lebih rendah jika dibandingkan sapi yang digembalakan yang akan menghasilkan metan 0.03 – 0.13

kg/kg susu. Kondisi ini terjadi karena sapi yang digembalakan menghasilkan asam asetat yang lebih

tinggi dibandingkan sapi yang dikandangkan. Asam asetat merupakan prekursor pembentukan metan

(Francis et al., 2002).

Tingginya kandungan selulosa dan hemiselulosa hijauan pakan mengakibatkan kerja mikroba rumen

(bakteri, protozoa, fungi) pendegradasi serat tidak optimal. Pada pakan berkualitas rendah, populasi

protozoa dalam ekosistem rumen cenderung lebih tinggi. Protozoa yang bersifat sebagai predator

bakteri, akan memangsa bakteri pendegradasi serat (bakteri selulolitik) (Hobson, 1997). Berdasarkan

hasil beberapa penelitian, keberadaan protozoa dalam rumen lebih banyak merugikan dibandingkan

keuntungannya (Eugene et a.l, 2004). Oleh karenanya telah diupayakan penekanan populasi protozoa,

sehingga terjadi perubahan komposisi mikroba dalam ekosistem rumen, diantaranya melalui

defaunasi, seperti yang dilakukan oleh beberapa peneliti (Hess et al., 2003; Lila et al., 2005; Wina et

al. 2005,Goel et al., 2008, Suharti dkk., 2009). Peningkatan kecernaan serat pada ternak ruminansia,

akan menyediakan precursor pembentukan Volatile Fatty Acids (VFA), utamanya asam asetat. Di sisi

lain peningkatan konsentrasi asam asetat juga akan berdampak penyediaan ion H+ yang menjadi

substrat sintesis metan. Miller (1995) menegaskan bahwa ion H+ merupakan substrat yang potensial

Page 39: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

30

bagi metanogen dalam sintesis metan, meskipun ada asam format, asetat, metanol, mono, di dan tri-

metilamin. Artinya kalau pendekatan penurunan emisi metan hanya mengandalkan defaunasi

(penghilangan protozoa), ketersediaan ion H+ masih tinggi dan potensi untuk pembentukan metan

sangat besar. Oleh karenanya perlu dilakukan pendekatan baru, yaitu menghambat proses sintesis

metan dengan jalan menghambat enzim pensintessis metan dari metanogen. Pertimbangan ini sangat

tepat karena hanya 37% metanogen yang berasosiasi dengan protozoa (Newbold et al., 1995).

Artinya kalau hanya protozoa saja yang dihilangkan, populasi metanogen yang berkurang juga baru

37% dan masih tersisa 63% metanogen bebas yang akan menghasilkan metan, oleh karenanya mutlak

dibutuhkan pendekatan untuk menekan kerja metanogen. Dikemukan oleh Hart et al. (2006) bahwa

Allium sativum (Garlic) mempunyai kemampuan menurunkan produksi metan karena adanya Allicin

dan organosulfur yang secara langsung akan menurunkan metanogen, dan tidak berpengaruh

pengaruh pada populasi bakteri dalam fermentor Rusitec. Aktivitas antimetanogenik dari Garlic

karena mempengaruhi stabilitas membran sel dari Archea (metanogen) yang mengandung isoprenoid

alkohol. Sintesis isoprenoid metanogen Archea dikatalisis oleh HMG-CoA (Hidroxymethylglutaryl-

CoA) reduktase dan Organosulfur dari Garlic mempunyai kemampuan yang kuat dalam menghambat

HMG-CoA, sehingga akan menghambat metanogenesis.

II. METANOGENESIS PADA RUMINANSIA

Secara alami proses fermentasi monosakarida di dalam rumen, akan dihasilkan asam lemak volatil

(VFA) seperti : asetat, propionat dan butirat, metan, dan CO2 .Moss et al., 2000). Proses fermentasinya

sebagai berikut :

C6 H12O6 + 2H6O → 2C2 H4O2 (asetat) + 8H

C6 H12O6 + 4H → 2C3 H4O2 (propionat) + 2H2O

C6 H12O6 → C4 H8O2(butirat)+2CO2 + 4H

Metan yang dihasilkan di samping merupakan energi yang hilang, metan juga mempengaruhi

pemanasan global (global warming) (Wueblbles and Hayhoe, 2002; Sahakian et al., 2009, Aluwong et

al., 2011). Sirohi et al. (2009) melaporkan bahwa fermentasi di rumen akan dihasilkan hidrogen (H2)

selama fermentasi nutrien secara anaerob. Hidrogen digunakan untuk sintesis VFA (Volatile Fatty

Acids) dan sintesis protein mikrobial. Kelebihan H2 yang berasal dari NADPH akan dieleminasi dan

dibuat metan oleh metanogen. Oleh karenanya, maka upaya memanipulasi mikroba adalah langkah

yang tepat.

Kebreab et al. (2006) menyatakan bahwa reaksi fermentasi rumen melibatkan 3 reaksi yaitu :

(1) reaksi fermentasi yang menghasilkan H2, misalnya asetat, butirat dan untuk pertumbuhan mikroba

yang menggunakan asam amino,

(2) Reaksi fermentasi yang menggunakan H2, misalnya produksi asam propionat, dan VFA-lainnya

dan pertumbuhan mikroba yang menggunakan NH3,

(3) Overproduksi dari H2 dan CO2 menghasilkan methan oleh bakteri methanogenik.

Ditambahkan oleh Sahakian et al. (2009) bahwa metan dapat berakibat pada : menurunnya serotonin,

mempengaruhi transit pakan pada usus halus dan berkaitan dengan beberapa penyakit seperti : kanker

colon, syndrom bowel maupun diverticulosis. Pengaruh metan dalam pemanasan global adalah 23

kali lebih besar dibandingkan CO2. Metan juga membawa pengaruh buruk pada lapisan ozon dari

atmosphir (McGinn dan Beauchemin, 2006; Aluwong et al., 2011). Metanogenesis dapat

Page 40: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

31

menyebabkan kehilangan energi hingga 2-15% dari energi tercerna (Bocazzi dan Patterson, 1995).

Clark et al. (2011) menyatakan bahwa beberapa faktor dapat mempengaruhi produksi methan,

meliputi : kualitas pakan, tipe hijauan dan feed additif.

Penghambatan metanogenesis dapat dilakukan dengan berbagai zat kimia dengan beberapa tipe

mekanisme, antara lain berdasarkan sifat toksik terhadap metanogen seperti senyawa-senyawa derivat

metan (Miller dan Wolin, 2001), berdasarkan reaksi hidrogenasi seperti senyawa asam-asam lemak

berantai panjang tidak jenuh (Fieves et al., 2003, Thalib, 2004; Machemuller, 2006); berdasarkan

pada senyawa-senyawa kimia yang affinitasnya terhadap hidrogen lebih tinggi daripada CO2 seperti

ion Ferri dan ion Sulfat (Obassi et al, 1995), probiotik Martin dan Nisbeth, 1992; Prayitno, 2011) dan

berdasarkan defaunasi/penekanan populasi protozoa seperti senyawa saponin ((Hess et al., 2003; Lila

et al., 2005; Wina et al. 2005,Goel et al., 2008, Suharti dkk., 2009), tanin (Jayanegara, 2013).

Prayitmo dkk. (2013) menginformasikan bahwa kombinasi 0,18% ekstrak Sapindus rarak dan 250

ppm ekstrak Allium sativum yang diperkaya 0,3 ppm Se + 1,5 ppm Cr dan 40 ppm Zn dalam pakan

sapi perah efektif menghambat methanogenesis, ditunjukan dengan rendahnya gas methan yang

dihasilkan selama fermentasi dan meningkatnya konsentrasi asam propionat.

III. EFEK HERBAL DALAM MEREDUKSI EMISI METHAN

Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa ekstrak herbal dapat menekan metanogenesis.

Szumaker-strabel and Cieslak (2010) melaporkan bahwa bioaktif tanaman merupakan phytofactor

sebagai feed aditif alami yang dapat memperbaiki proses fermentasi rumen, meningkatkan

metabolisme protein, menurunkan amonia dan emisi metan (Wanapat et al, 2011). Banyak ragam

bioaktif yang terdapat pada tanaman. Sirohi et al. (2009) menyatakan bahwa metabolit sekunder

tanaman dapat digunakan untuk memanipulasi fermentasi rumen, diantaranya adalah saponin.

Saponin dapat menekan protozoa, meningkatkan populasi bakteri dan fungi, meningkatkan propionat,

meningkatkan sintesis protein mikroba dan menurunkan metanogen. Ditambahkan oleh Sirohi et al.

(2009) bahwa untuk mengekstrak metabolit sekunder dapat menggunakan pelarut air, 50% metanol

atau 50% aseton. Wina et al. (2006) melaporkan bahwa buah Lerak (Sapindus rarak) merupakan

tanaman tropis yang mengandung saponin tinggi.

Patra et al. (2006) melaporkan bahwa ekstrak tanaman yang mempunyai metabolit sekunder tinggi

merupakan feed aditif yang mempunyai potensi untuk menurunkan emisi metan. Patra dan Saxena

(2010) menambahkan bahwa phytochenical tanaman dapat secara langsung menghambat metanogen.

Phytochemical akan menurunkan protozoa yang berdampak pada penurunan jumlah metanogen.

Phytochecimal akan menurunkan jumlah bakteri dan fungi, sehingga dapat menurunkan kecernaan

pakan dan komponen serat, dan akhirnya menurunkan metanogenesis dan akan meningkatkan rasio

propionat : asetat (Bodas et al., 2009). Gomez dan Fernandez (2009) menambahkan bahwa sapi yang

mengkonsumsi hijauan kualitas rendah (tinggi serat dan rendah Nitrogen) akan menghasilkan metan

yang lebih banyak. Sapi yang dikandangkan akan menghasilkan metan 0.015 -0.02 kg metan/kg susu,

lebih rendah jika dibandingkan sapi yang digembalakan yang akan menghasilkan metan 0.03 – 0.13

kg/kg susu. Kondisi ini terjadi karena sapi yang digembalakan menghasilkan asam asetat yang lebih

tinggi dibandingkan sapi yang dikandangkan. Padahal asam asetat merupakan prekursor pembentukan

metan (Francis et al., 2002). Berg dan Kern (2007) menambahkan bahwa emisi metan dapat berasal

dari dua sumber, yaitu fermentasi rumen, 26,9 gCH4/kg FCM (Fat Corrected Milk) dan dari feces

(manure) 25,9 g CH4/kg FCM. Iqbal et al. (2009) menyatakan bahwa di dalam rumen metanogen

Page 41: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

32

akan memproduksi metan dengan menggunakan CO2 dan H2. H2 dan asam format merupakan produk

fermentasi intermediaet dari bakteri fibrolitik, protozoa dan fungi anaerob. Sahakian et al.(2009)

menambahkan bahwa metanogen akan memproduksi metan dan H2 dengan menggunakan energi -130

KJ/mol. Metanogen akan mengkonsumsi 4 mol H2 dan 1 mol CO2 menjadi 1 mol CH4 dengan

persamaan sebagai berikut : 4H2 + CO2 → CH4 + 2H2O

Ditambahkan oleh Newbold et al. (2005) bahwa 44% H2 digunakan untuk membentuk CH4. Mill et

al. (2001) melaporkan bahwa produksi hidrogen selama fermentasi rumen dapat dihitung dengan

persamaan :

PHfer/hari (mol H2/hari) : (P Ac x 2)+ (Pbu x 2),

dimana PAc dan Pbu adalah jumlah asam asetat dan butirat yang diproduksi selama fermentasi. 2

mol H2 diproduksi per mol asetat atau butirat.

Beberapa methanogen utama yang berada pada ekosistem rumen yaitu :

1. Methanobrevibacter ruminantium

2. Methanosarcina barkeri

3. Methanosarcina mazei

4. Methanobacterium formicicum

5. Methanocicrobium mobile (Morgawi et al., 2010).

IV. PENGARUH METABOLIT SEKUNDER TANAMAN PADA EKOSISTEM RUMEN

Pemanfatan tanaman yang mengandung saponin akhir-akhir ini sudah berkembang sebagai alternatif

penggunaan bahan-bahan kimia industri/sintetik untuk menekan populasi protozoa dalam rumen

(Thalib et al., 2004, Wina et al, 2006; Goel et al., 2006; Suharti et al., 2009; 2010). Pertimbangan

penekanan populasi protozoa rumen, mengingat mikroba ini sering menganggu bakteri rumen dalam

mendegradasi serat. Peningkatan populasi bakteri pendegradasi serat akan menghasilkan kecernaan

pakan dan produk fermentasi rumen, VFA (Asam lemak volatil) akan meningkat. Penelitian Thalib et

al (2004), Wina et al (2006) dan Suharti et al. (2010) memperlihatkan bahwa ekstrak Sapindus rarak

dengan metanol menghasilkan saponin lebih tinggi. Suharti et al (2010) menambahkan bahwa

penambahan ekstrak lerak akan mengubah proporsi dari komponen VFA utamanya asam propionat

dan perubahan nisbah asetat dan propionat. Goel et al (2008) melaporkan bahwa 47,9% jumlah

protozoa menurun secara in vitro dari saponin yang diekstrak dari Sesbania sesban dengan dosis 174

gr/kg hay. Das et al (2012) membagi saponin menjadi dua yaitu saponin netral dan saponin asam. Inti

saponin asam berupa steroid sedangkan inti saponin asam berupa triperpenoid. Suharti dkk. (2009)

menambahkan bahwa ekstrak buah lerak (Sapindus rarak) dengan metanol menghasilkan saponin

81,50%, sedangkan ekstrak air hanya menghasilkan 8,20 %. Level terbaik penggunaan ekstrak

Sapindus rarak pada percobaan in vitro dengan cairan rumen sapi sebesar 0.18% bahan kering dari

pakan. Berikut ini disajikan beberapa potensi ekstrak tanaman dalam menekan emisi methan

(Bunglavan et al., 2010).

Page 42: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

33

Tabel 1. Ranking berbagai ekstrak tanaman dalam menekan methan

S.No Nama of herb/ herbal

extract/ residue

Produksi Gas

Total (ml)*

Produksi

Carbon

dioxide

Produksi

Methane

(ml)*

Precent

methane

production*

Ran

king

1. Acacia concinna pods

methanol extract 45.6 ± 3.51 39.4 ± 2.61 6.2±1.87 13.3±1.33

1

2. Acacia concinna pods

methanol

residue

41.6±3.22 36.3±3.92 5.4±0.99 13.3±1.34

2

3. Allium sativum bulbs

water residue 35.3±3.38 29.9±2.97 5.4±2.03 15.0±1.00

3

4. Zingiber officinale

rhizomes water residue 40.3±4.17 34.1±2.55 6.3±1.81 15.0±1.08

4

5. Psidium guajava

leaves methanol

residue

32.6±4.04 27.4±2.16 5.3±2.34 15.1±1.11

5

6. Allium sativum bulbs

herb 42.6±3.78 35.7±4.43 6.9±1.12 16.7±1.33

6

7. Ferula assafoetida

resin water extract 48.3±4.48 40.4±4.34 7.9±1.69 16.7±1.34

6

8. Ferula assafoetida

resin water residue 46.3±4.71 38.1±2.34 8.3±4.07 16.7±1.46

6

9. Psidium guajava

leaves water extract 39.6±4.58 33.4±5.27 6.3±0.74

16.7±1.49

6

10. Psidium guajava

leaves water residue 40.9±4.09 34.3±4.87 6.7±2.61

16.7±1.67

6

11. Zingiber officinale

rhizomes methanol

extract

38.6±3.00 31.6±3.76 6.9±2.06 18.3±1.01

7

12. Emblicia officinalis

seeds methanol residue 43.3±3.18 34.7±1.73 8.6±2.35 20.0±1.71

8

13. Zingiber officinale

rhizomes herb 44.6±2.65 36.0±4.63 8.6±2.05 20.0±1.73

8

14. Terminalia chebula

seeds water extract 36.9±1.45 29.3±1.75 7.5±2.39 20.0±1.75

8

15. Terminalia chebula

seeds water residue 23.9±3.28 19.3±3.34 4.7±1.51 20.0±1.77

8

16. Terminalia chebula

seeds herb 26.3±3.71 20.9±3.08 5.3±1.58 20.0±1.78

8

Peranan Bawang Putih (Allium sativum) dalam Inhibisi Methanogenesis

Sesuai penjelasan dimuka, bahwa tidak cukup untuk meningkatkan produktifitas ternak hanya

mengandalkan penekanan emisi methan, karena maksimal hanya 15% DE (biasanya hilang untuk

sintesis methan) yang bisa digunakan untuk peningkatan produksi. Oleh kerenanya penulis, mencoba

mengkombinasikan antara penghambatan methanogenesis dengan suplementasi mineral organik

penstumulasi metabolic promotor.

Page 43: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

34

Kim et al. (2012) menginformasikan bahwa beberapa ekstrak tanaman dapat digunakan sebagai feed

additif yang mampu menurunkan emisi gas metan pada ruminansia dan meningkatkan sistem

fermentasi rumen. Ekstrak garlic secara in vitro efektif menurunkan metan (CH4) dibandingkan

bawang (onion), jahe, (Ginger). Garlic juga menurunkan ratio antara asetat: propionat (A:P). Emisi

metan pada fermentasi rumen mempunyai hubungan yang erat dengan ratio A:P. Menurunnya emisi

metan akan meningkatkan konsentrasi propionat, sehingga ratio A:P menjadi rendah (Mitsumori et

al., 2008). Wanapat et al. (2011) menyatakan bahwa tepung garlic mempunyai bahan kering, 93%,

protein kasar 19,2%, NDF 6,5% dan ADF 5,1%. Sedangkan Kongrum et al. (2011) yang memberikan

tepung garlic sebesar 100 gr/ekor per hari memperoleh hasil adanya peningkatan propionat dan

penurunan asetat. Annasori et al. (2012) menambahkan bahwa secara in vitro penggunaan 5 mg

tepung garlic pada waktu inkubasi 96 efektif menurunkan gas total dibandingkan pakan kontrol.

Tabel 2. Pengaruh suplementasi ekstrak garlic dan Sapindus rarak terhadap kecernaan pakan, VFA,

total gas dan mikroba rumen secara in vitro (Prayitno et al, 2013)

Items

Treatments

Prob. CARS G250 G250-SR G500-SR G750-

SR

G1000-

SR

SEM

pH 6.80 a 6.70 b 6.50 b 6.60 b 6.50 b 6.60 b .10 .000

IVDMD (%) 65.6a 64.6 a 64.9 a 62.9 b 61.40 b 60.42 c 2.29 .000

IVOMD (%) 65.8 a 63.4 a 64.4 a 63.5 a 61.8 b 61.6 b 2.14 .015

IVCFD (%) 77.8 a 74.9 b 70.08 c 71.8 c 70.8 c 72.8 bc 2.30 .000

TVFA (%) 160 a 150 c 146 c 153.2 b 140d 160 a 5.02 .000

Gas production

(ml)

10.02 a 6.82 c 2.13 d 11.09 a 7.11 c 9.10 b 0.55 .000

Protozoa (106

cell/ml)

31.5 a 15.00 c 10.42 d 11.4 d 16.00 bc 19.00 b 0.64 .000

Bacteria (log

10 cell/ml)

9.46 a 9.69 b 9.57 b 9.75 c 9.94 c 9.38 a 0.17 .000

IVDMD= In vitro dry matter digestibility, IVOMD = In vitro organic matter digestibility, IVCFD= In

vitro crude fiber digestibility, TVFA= total volatile fatty acids.

Page 44: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

35

Tabel 3. Pengaruh suplementasi ekstrak garlic dan mineral organik pada pakan sapi perah terhadap

kecernaan pakan

Item CTL OM OM-G Prob.

Kecernaan, % of intake

BK 61.57±3.15 64.44±2.85 63.98±1.74 .225

BO 53.58±2.40 55.53±0.79 55.33±1.17 .141

NDF 54.93±4.14b 56.00±6.37a 52.05±4.42a .005

TDN 74.09±3.58a 79.79±0.85b 75.67±0.69a .003

CTL: basal feed; OM: CTL + organic minerals (0.3 ppm Se, 1.5 ppm Cr, 40 ppm Zn-lysinate), OM-G

:OM + 0.25 ppm garlic extract.

Tabel 4. Pengaruh suplementasi ekstrak garlic dan mineral organik pada pakan sapi perah terhadap

produksi dan komponen susu.

Item CTL OM OM-G Prob.

Produksi susu Actual

(kg) 13.78±2.48a 15.93±2.23a 19.23±0.49b

.003

Produksi Susu (kg 4%

FCM) 12.87±2.04a 14.91±1.42a 20.11±1.23b

.000

Komposisi susu (%)

Lemak 3.55±0.21 3.53±0.24 3.71±0.24 .051

Protein 2.78±0.18 2.96±0.08 2.85±0.07 .094

Laktosa 4.05±0.15 4.18±0.20 4.12±0.15 .445

Solid Non Fat

(SNF) 7.94±0.12 8.01±0.23 8.06±0.19

.371

Produksi (g/d)

Lemak 490.89 ± 97.53a 563.80±94.40 a 713.56±10.50 b .002

Protein 439.09 ± 77.76a 569.54±22.80b 548.01±29.92 b .003

Laktosa 561.2 ± 115.77a 664.41±111.85b 793.06±29.20 b .003

SNF 1095 ± 204.85a 1278±203.43 ab 1551.17±67.62 c .004

SCC (105 cell/mL) 3.48±0.18 b 2.08± 0.18a 2.05± 0.13a .000

Glukosa darah(mg/dL) 73.33± 2.52 b 54.00 ± 1.04 a 48.67± 1.53 a .003

FCM = milk x (fat% x 0.15+0.4)

V. PENUTUP

Ekstrak tanaman dapat digunakan sebagai pakan aditif untuk menekan emisi methan ternak

ruminansia sehingga pemanasan global dapat ditekan, namun untuk meningkatkan produktifitas perlu

dikombinasikan dengan nutrient lain, seperti mineral organik.

Page 45: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

36

DAFTAR PUSTAKA

Aluwong, T., P.A. Wuyep, and L. Allam. 2011. Livestock-enviroment interactions : Methane

emissions from ruminants. African J.Biotechnology. 10(8): 1265-1269.

Anassori, E, B.Dalir-Naghadeh, and R. Pirmohammadi. 2012. In vitro assesment ot digestibility of

forage based sheep diet, supplemented with raw garlic, garlic oil and monensin. Veterinary

Res.Forum 3(1):5-11.

Beauchim, K.A. and S.M. McGinn. 2006. Methane emission from beef cattle : Effect of fumaric acid,

essential oil and canola. J.Anim.Sci.84:1489-1496.

Beauchim, K.A.,S.M. McGinn, T.F. Martinez, and T.A.McAllister. 2007. Use of condensed tannin

extract from quebracho trees to reduce methane emission from cattle.. J.Anim.Sci.85:1990-

1996.

Behlke, E.J. 2007. Attenuation of ruminal methanogenesis. Theses and Dissertation in Animal

Science Departement. University of Nebraska, Lincoln.

Behlke E. J, R. Dumitru, S. Ragsdale, J. Takacs, and J. L. Milner. 2006. Inhibition of Methanogenesis

in Rumen Fluid Cultures. Animal Science Departemen. Nebraska Beef Cattle Report.

University of Nebraska-Lincoln.http://digitalcommons.unl.edu/animalscinbcr/131.

Benchaar, C., T.A. McAllister, and P.Y. Choulnard. 2008. Digestion, ruminal fermentation, ciliate

protozoal populations, and milk production from dairy cows fed Cinnamaldehyde

Berg, W. And J. Kern. 2007. Influence of milk production level on methane emission from

dairy cattle. In 8th International conference, Contruction Technology and Enviroment in

Livestock Farming. Bonn, Germany, 9-10 October 2007.

Boboye, B.E. and A.J. Alli. 2008. Cellular effects of Garlic (Allium sativum) extract on Pseudomonas

aeruginosa and Staphylococcus aureus. Res.Journal of Medicinal Plant 2(2):79-85.

Bodas, R., S. Lopez, M. Fernandez, R. Garcia-Gonzales, R.J. Walace, and J.S.Gonzalez. 2009.

Phytogenic additives to decrease in vitro ruminal methanogenesis. Options

Mediterraneennes.85:279-283.

Bocazzi, P and J.A. Patterson. 1995. Potential for functional replacement of methanogenic bacteria by

acetogenic bacteria in the rumen enviroment. IV th International Symposium on the nutrition of

Herbivores, Sept,16-17. Clermont-Ferrand, France.

Bunglawan, S.J., C. Valli, M. Ramachandran, and V.Balakrishnan. 2010. Effect of supplementation of

herbal extracts on metahogenesis in ruminants. Livestock Res.RurDev. 22(11).

http://www.lrrd.org22/11/bung22216.htm.

Bunglawan, Valli, Ramachandran, and V. Balakrisnan. 2010. Effect of supplementation of herbal

extracts on methanogenesis in ruminant. Livestock Res for Rural Dev.22 (11):5-15

Carro, M.D. and M.J. Ranilla. 2003. Influence of different concentrations of disodium fumarate

methane production and fermentation of concentrate feeds by rumen micro-organisms in vitro.

British J.Nutrition.90:617-623.

Eugene, M., H. Archimede, B. Michalet-Doreau, and G. Fonty. 2004. Effect of defaunation on

microbial activities in the rumen of rams consuming a mixed diet (fresh Digitaria decumbens

grass and concentrate). Anim.Res.53:187-200.

Foley, P.A., D.A. Kenny, J.J. Callan, T.M. Boland, and F.P.O’Mara. 2009. Effect of DL-malic acid

supplementation on feed intake, methane emission, and rumen fermentation in beef cattle.

J.Anim.Sci. 1048-1057.

Page 46: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

37

Frankic, T., M. Voljc, J. Salobir, and V.Rezar. 2009. Use of herbs and speces and their extracts in

animal nutrition. Acta argiculturae Slovenica.94(2):95-102.

Goel, G., H.P.S. Makkar, and K. Becker. 2008. Changes in microbial community structure,

methanogenesis, and rumen fermentation in response to saponin-rich fraction from different

plant materials. J. Applied Microbiology, 105;770-777.

Gomez, C and M.Fernandez. 2009. Methane emissions from enteric fermentation of representative

dairies in Perus : Nutritional strategies to reduce the emissions. Synopses. Sustainable

improvement of animal production and health. FAO/IAEA International Symposium. Vienna,

Austria.

Gutierrez, J. 2007. Observation on bacterial feeding by the rumen ciliate Isotrica prostoma.

J.Eukaryotic Microb.5:122-126

Guan, H., K.M. Wittenberg, K.H. Ominski, and D.O. Krause. 2006. Efficacy of ionophore in cattle

diets for mitigation of enteric methane. J.Anim Sci.84:1896-1906.

Hart, K.J., S.E. Girwood, S. Taylor, D.R. Yanez-Ruiz, and C.J. Newbold. 2006. Effect of allicin on

fermentation and microbial populations in the rumen simulating fermentor Rusitec.

Reproduction Ntritition Development 46 (supplement 1):97-115.

Hess, H.D., M. Kreuzer, T.E. Diaz, C.E. Lascano, J.E. Carulla, Carla R.Soliva ,and A. Machmuller.

2003. Saponin rich tropical fruits affect fermentation and methanogenesis in faunated and

defaunated rumen fluid. Anim.Feed Sci. and Tech. 109:79-94.

Hobson, P.N.1997. The Rumen Microbial Ecosystem. C.S.Stewrt (Ed.) Blackie, London.

Iqbal, M.F, M. M. Hashim, N. Ulah, Wei-Yun Zhu and Yan-Fen Cheng. 2009. Molecular

identification of methanogenic archea and current approaches to alter the ruminal microbal

ecosystem for methane mitigation. Pakistan J.Zoo.Suppl.Ser.9.551-557.

Kebreab, E., K.A.Johnson, S.L. Archibeque, D.Pape, and T.Wirth. 2008. Model for estimating enteric

methane emissions from United States dairy and feedlot cattle. J.Anim.Sci.86:2738-2748.

Lila, Z.A., N. Mohammed, S. Kanda, M. Kurihara, and H. Itabashi. 2005. Sarsaponin effects on

ruminal fermentation and microbes, methane production, digestibility and blood metabolites in

steers. Asian-Aust.J.Anim.Sci. 12:1746-1751.

Mills J.A., J. Dijkstra, A.Bannink, S.B. Cammell, E. Kebreab and J. France. 2001. A mechanistic

model of whole-tract digestion and methanogenesis in the lactating dairy cow : model

development, evaluation, and application. J.Anim.Sci.79:1584-1597.

Mitsumori, M and W. Sun. 2008. Control of rumen microbial fermentation for mitigrating methane

emissions from the rumen. Asian-Aust.J.AnimSci.21:144-154.

Miller, T.L. 1995. Ecology of methane production and hydrogen sinks in the rumen. In: Engenhardt,

M.V., S. Leonard-Marek, G. Breves, and D. Giescke (Eds.), Ruminant Physiology: Digestion,

Metabolism, Growth and Reproduction. Ferdinand Enke Verlag,Stuttgart.p.317-331.

Morgawi, D.P. E. Forano, C. Martin, and C.J. Newbold. 2010. Microbial ecosystem and

methanogenesis in ruminants. Animal.4:7.1024-1036.

National Research Council. 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Update. 7th. Natl. Acad. Sci,

Washington. DC.

Page 47: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

38

Newbold, C.J. B. Lassalas, and J.P. Jouany. 1995. The importance of methanogens associated with

ciliate protozoa in ruminal methane production in vitro. Letters in Applied Microbiology.

4:230-234.

Patra, A.K., D.N. Kamra, and N. Agarwal. 2006. Effect of plant extracts on in vitro methanogenesis

enzyme activities and fermentation of feed in rumen liquor of buffalo. Anim Feed Sci.and

Tech.128:276-291.

Patra, A.K. and Saxena. 2010a. A new perspective on the use of plant secondary metabolites to inhbit

metahnogenesis in the rumen. Phytochemistry. 71 (11-12): 1198-1222.

Patra and Saxena. 2010b. Exploitation of dietary tannins to improve rumen metabolism and ruminant.

J. The Sci. of Food and Agri. 91(1):24-37.

Prayitno, C.H. dan T. Widiyastuti. 2010. Kecernaan Pakan Sapi Perah pada Kondisi Kecukupan

Selenium, Khromium dan Seng Organik. Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan.

Prosiding Fapet-Universitas Padjadjaran, Bandung.

Prayitno, C.H. 2011. Saccharomyces cerevisiae in goat feed affected rumen fermentation pattern but

did’not affected methane concentration. The 2-nd International Seminar, The 8-th biannual

meeting, the Conggress and Workhshop of AINI. The Faculty of Animal Husbandry,

Padjadjaran University, Sumedang,6-7July 2011.

Prayitno, C.H., Y. Subagyo, and Suwarno. 2013. Effect of Sapindus rarak Extract alone or Its

combination with garlic extract on in vitro ruminal fermentation. Media Peternakan.

Rayman, M.P. 2000. The importance of selenium to human health. The Lancet.356:233-241.

Sahakim A.S. , Sam-Ryong Jee, and M. Pimentel. 2009. Methane and the Gastrointestinal Tract.

Review. Dig Dis Sci.Springer.

Sarah, E.,H., G.W. Andre-Denis, and B.W. McBride.2010. Methanogens: Methane producers of the

rumen and mitigation strategies. Archaea. ID.945785, 11p. Hindawi Publ.Corp.

Sirohi, S.H., N.Pandey, N.Goel, B.Singh, M. Mohini, P.Pandey and P.P. Chaudhry. 2009. Microbial

activity and ruminal methanogenesis as affected by plant secondary metabolites in different

plant extracts. International J. Civil and Enviromental Enginering. 1:52-58.

Suharti, S., D.A. Astuti, dan E. Wina. 2008. Kecernaan nutrien dan performa produksi sapi potong

Peranakan Ongole (PO) yang diberi Tepung Lerak (Sapindus rarak) dalam ransum. JITV 14

(3):200-2007.

Suharti, A. Kurniawati, D.A. Astuti, and E. Wina. 2010. Microbial population and fermention

charactersitic in response to Sapindus rarak mineral block supplementation. Media Peternakan,

Hal. 150-154.

Szumacher-Strabel, M and A. Cieslak. 2010. Potential of phytofactors to mitigate rumen ammonia

and methane production. J. Anim.Feed Sci.19:319-337.

Ungerfield, E.,M., S.R. Rust, and R. Burnett. 2003. Attempts to inhibit ruminal methanogenesis by

blocking pyruvate oxidative decarboylation. Canadian J. Mibrobiol. 49(10): 650-654.

Wina, E., S. Muetzel, E.M. Hoffmann, H.P.S. Makkar, and K. Becker. 2005. Saponin containing

methanol extract of Sapindus rarak affect microbial fermentation, microbial activity and

microbial community structure in vitro. Anim.Feed.Sci.Technol. 121:59-174.

Wuebbles, D.J. and K. Hayhoe. 2002. Atmospheric methane and global change. Earth-Sci. Rev.57

:177-210.

Page 48: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

39

POLA PENYEDIAAN DAN POTENSI HIJAUAN DI KAWASAN INDUSTRI KECAMATAN

CITEUREUP KABUPATEN BOGOR

Setiana M.A., Ikmahwati S., Yakin A. dan Prihantoro I.

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Jl. Agatis Kampus IPB Dramaga Bogor 16680 – Indonesia

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis pola penyediaan dan potensi hijauan

di berbagai wilayah Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan

mengidentifikasi enam desa yang terletak di daerah padat industri dan padat penduduk dan satu desa

yang masih memiliki hijauan yang relatif banyak. Analisis yang dilakukan adalah analisis komposisi

botani dengan mengidentifikasi semua jenis hijauannya, analisis kapasitas tampung, pengukuran pH

tanah dan menganalisis kandungan logam Pb pada hijauan, air, dan tanah pada semua desa yang

digunakan. Hasil didapatkan bahwa daerah yang pembangunan industrinya tinggi dan terdapat banyak

pabrik sangat mempengaruhi proporsi dan jenis hijauan sehingga potensi hijauannya kurang. Pola

penyediaan hijauan desa ini, hijauannya cenderung didapatkan dari luar (cut and carry) dan potensi

hijauannya cukup rendah.

Kata kunci: Timbal (Pb), industri, hijauan, kapasitas tampung.

ABSTRACT

The aims of this research was to identify and analyze potential forage in different area of Citeureup

subdistrict, Bogor regency. This research done by identifying the six villages located in densely

populated area industry and one village still have relatively much forage. Analysis of botanical

composition is selected to identify the forage variety, capacity analysis, measurement of soil pH and

analyze the lead (Pb) content in forage, water and soil. The results is area that has great development

in industry affect proportion and forage variety and has forage potential less. The pattern of the

provision of forage for a village that has great development in industry, tending to obtained from

outside the village (cut and carry). This is because of the metal lead high on the ground in the village

so that the growth of forage disturbed and the quality of forage doubtful.

Keywords: Lead (Pb), industry, forage, and carrying capacity.

PENDAHULUAN

Hijauan merupakan sumber bahan pakan yang utama bagi ternak ruminansia. Hijauan makanan ternak

di Indonesia terutama dalam peternakan rakyat, diperoleh dari berbagai sumber antara lain, pematang

sawah, tepi hutan, perkebunan, sisa hasil pertanian, dan juga sering kali di tepi jalan yang mungkin

hijauan tercemar logam berat akibat dari polusi. Logam berat dapat terakumulasi dalam jumlah yang

cukup besar pada tanaman seperti padi, rumput, dan beberapa jenis leguminosa untuk pakan ternak.

Salah satu logam berat yang seringkali mencemari lingkungan adalah logam timbal (Pb). Timbal

merupakan logam berat yang sangat beracun, dan sebagian besar diakumulasi oleh organ tanaman,

yaitu daun, batang, akar dan umbi- umbian. Beberapa faktor yang menyebabkan kontaminasi logam

berat pada lingkungan antara lain: kondisi geologi tanah, kondisi air, kontaminan logam berat tertentu

yang berasal dari industry.

Page 49: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

40

Kecamatan Citeureup merupakan kawasan industri yang juga sebagian besar penduduknya bermata

pencaharian sebagai peternak skala kecil. Pembanguan industri yang tinggi menyebabkan

keterbatasan hijauan. Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifikasi dan menganalisis pola penyediaan

dan potensi hijauan di kawasan industri Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember Tahun 2014 di tujuh desa di

Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, yaitu Desa Citeureup, Desa Tarikolot, Desa Puspasari, Desa

Puspanegara, Desa Karang Asam Barat, Desa Karang Asam Timur, dan Desa Hambalang. Metode

penelitian yang digunakan yaitu observasi langsung di lapang terhadap hijauan pakan. Pada setiap

desa dilakukan identifikasi 3 blok (tiga tempat sebagai ulangan) yang mana satu blok itu terdiri empat

titik yang diambil sampel hijauan dan tanahnya, serta melakukan wawancara langsung pada peternak

kambing jawa, dimana ternak kambing jawa di Kecamatan Citeureup sangat mendominasi dibanding

ternak ruminansia lainnya.

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah komposisi botani hijauan pakan di lapang dan

kandang, identifikasi cemaran logam timbal (Pb) pada hijauan, pH tanah, dan kapasitas tampung

lahan, serta data pendukung lainnya (data sekunder) yang berhubungan dengan penelitian ini, seperti

data dari BPS Kabupaten Bogor. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif (hasil

wawancara peternak, gambaran keragaman dan pola penyediaan hijauan pakan di lokasi), analisis

komposisi botani (menggunakan metode “Dry Weight Rank”, analisis kapasitas tampung dengan

menggunakan kuadran ukuran 0,5 x 0,5 meter untuk mengetahui produksi BK hijauan setiap cuplikan

yang diambil, analisis kualitas hijauan (analisis proksimat), analisis kandungan timbal (Pb) pada

hijauan, tanah dan air dengan menggunakan alat Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) , serta

dilakukan pembuatan herbarium pada jenis hijauan pakan yang belum bisa diidentifikasi langsung

pada komposisi botani di setiap lokasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kecamatan Citeureup merupakan kecamatan yang pembangunan industrinya cukup tinggi di

Kabupaten Bogor. Kecamatan Citeureup memiliki 14 desa dengan 6 desa yang penggunaan lahan

pertaniannya kurang seperti Desa Citeureup, Tarikolot, Puspasari, Puspanegara, Karang Asem Timur,

dan Karang Asem Barat, selain itu keenam desa tersebut merupakan desa yang padat industry dan

padat penduduk. Desa Hambalang kondisinya sangat berbeda jika dibandingkan dengan keenam desa

tersebut, lahan pertaniannya tersedia cukup luas. Ketersediaan lahan yang cukup luas ini, diharapkan

Desa Hambalang menjadi pembanding dalam ketersediaan hijauan.

Analisis Komposisi Botani

Hasil uji sidik ragam Rancangan Acak Kelompok (RAK) proporsi rumput, legum, dan rumbah untuk

tujuh desa yang diamati tidak berpengaruh nyata (P > 0.05) terhadap komposisi hijauan padang

penggembalaan pada desa di Kecamatan Citeureup. Hasil analisis komposisi botani menunjukkan

bahwa kualitas padang penggembalaan di tujuh desa lokasi penelitian tersebut kurang ideal. Menurut

Crowder dan Cheeda (1982), kualitas padang penggembalaan tergolong baik apabila proporsi antara

rumput, legum, dan rumbah (diluar rumputan dan kacangan) sebesar 3 : 2 : 0 atau 60% rumput, 40%

legum, dan 0% rumbah. Berdasarkan tabel 1, proporsi dari hijauan sangat beragam, dimana rumput

sangat mendominasi, diikuti dengan rumbah dan legum. Ketersediaan legum di tujuh desa tersebut

Page 50: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

41

sangat sedikit, seperti di Desa Karang Asem Timur yang mencapai 1.88%, tetapi untuk Desa

Hambalang dan Desa Puspasari ketersediaannya relatif lebih tinggi yaitu 20.37% dan 15.14%. Desa

Hambalang dan Desa Puspasari menunjukkan bahwa proporsi ketersediaan hijauannya sangat

beragam.

Tabel 1. Komposisi hijauan di padang penggembalaan

Desa Hijauan (%)

Rumput Legum Rumbah

Hambalang 51.57 ± 6.60 20.37 ± 10.93 28.06 ±15.31

Citeureup 65.17 ± 2.30 3.67 ± 0.67 31.01 ± 2.23

Puspasari 56.31 ± 4.86 15.14 ± 9.73 25.55 ± 6.22

Puspanegara 69.36 ± 1.01 3.32 ± 0.30 27.32 ± 0.73

Tarikolot 66.93 ± 3.94 9.53 ± 6.18 23.54 ± 2.70

Karang Asem Barat 68.83 ± 4.64 6.57 ± 5.84 24.61 ± 1.97

Karang Asem Timur 58.73 ± 4.57 1.88 ± 0.46 39.39 ± 4.19

Tabel 2. Komposisi hijauan di kandang

Desa Hijauan (%)

Rumput Legum Rumbah

Hambalang 26.14 ± 12.64 55.98 ± 5.52 17.89 ± 7.65

Citeureup 25.94 ± 22.44 60.80 ± 22.22 13.27 ± 0.22

Puspasari 79.94 ± 6.98 1.43 ± 0.64 18.64 ± 6.35

Tarikolot 19.69 ± 2.89 71.84 ± 2.39 8.47 ± 0.50

Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 2, proporsi hijauan yang diberikan pada ternak kambing di

Desa Hambalang, Citeureup, dan Tarikolot relatif beragam, komposisi legum sangat mendominasi

dibandingkan rumput dan rumbah. Pada Desa Puspasari, hijauan yang diberikan pada ternak kambing

didominasi oleh rumput, pemberian legum sangat kecil, yaitu 1.43%, hal ini berbanding terbalik

dengan komposisi legum di padang penggembalaan di Desa Puspasari, yaitu 15.14%. Data tersebut

menunjukkan bahwa legum yang ada di Desa Puspasari tidak termanfaatkan secara optimal. Hal ini

disebabkan oleh kurangnya pengetahuan peternak tentang jenis hijauan pakan ternak terutama ternak

kambing, dimana peternak di Desa Puspasari ini bekerja sebagai buruh, jadi kurang memahami jenis

hijauan pakan apa yang lebih disukai oleh ternak kambing. Sedangkan di Desa Hambalang, Citeureup,

dan Tarikolot, beternak merupakan pekerjaan utama peternak, sehingga hijauan yang diberikan pada

ternak relatif beragam.

Kapasitas tampung lahan padang penggembalaan di Kecamatan Citeureup berkisar 1.02 – 1.93 ST per

ha, tabel 3 menunjukkan bahwa Desa Citeureup memiliki nilai kapasitas tampung ternak tertinggi,

yaitu 1.93, sedangkan nilai terendah terdapat pada Desa Hambalang. Menurut Sinaga (2009), bahwa

Page 51: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

42

daya tampung padang penggembalaan tergantung kemiringan lahan, jarak dengan sumber air,

kecepatan pertumbuhan atau produksi tanaman pakan, kerusakan lahan, ketersediaan hijauan yang

dapat dikonsumsi, dan keadaan ekologi padang penggembalaan. Peternak di Desa Citeureup

cenderung melakukan perawatan pada padang penggembalaan terutama pada hijauan pakan unggul

dengan cara pembasmian gulma dan penambahan pupuk kandang, sehingga produksinya tinggi.

Tabel 3. Kapasitas Tampung Padang Gembala

Desa Kapasitas Tampung (ST ha-1)

Hambalang 1.02 ± 0.09

Citeureup 1.93 ± 0.21

Puspasari 1.57 ± 0.06

Puspanegara 1.56 ± 0.40

Tarikolot 1.33 ± 0.21

Karang Asem Barat 1.46 ± 0.29

Karang Asem Timur 1.73 ± 0.32

Kondisi pH tanah berdasarkan hasil analisis di Kecamatan Citeureup rata-rata masuk dalam kategori

masam, yaitu berkisar 4.0 – 6.7, Desa Karang Asem Timur mempunyai pH tanah 6.7 dimana tanahnya

masih tergolong netral atau normal. Setiap tanaman membutuhkan pH yang spesifik agar

pertumbuhan tanamannya optimal. pH tanah yang ideal untuk semua jenis tanaman, perkebunanan,

dan hortikultura di Indonesia berkisar 6 – 7 (Pairunan et al. 1985). Rendahnya nilai pH tanah pada

enam desa lokasi penelitian ini dimungkinkan adanya cemaran polusi baik dari transportasi maupun

industri yang ada, terutama cemaran logam timbal (Pb) yang dapat mengganggu siklus hara dalam

tanah. Hasil penelitian (tabel 4) menunjukkan bahwa tanah dan air di semua lokasi penelitian

dinyatakan tercemar logam timbal (Pb), konsentrasi timbal dalam tanah berkisar 14.520 ppm – 25.102

ppm dan air berkisar 0.034 ppm – 0.12 ppm. Standar normal kandungan timbal (Pb) pada tanah dan

air adalah maksimal 10 ppm dan 0.001 – 0.01 ppm. Desa Karang Asem Timur cemarannya lebih

sedikit dibanding desa lainnya, karena pH tanah di desa tersebut masih dalam kisaran normal.

Konsentrasi timbal (Pb) pada hijauan menunjukkan hasil yang normal atau aman bagi ternak, yaitu

berkisar 0.539 ppm – 2.715 ppm sedangkan standar normal kandungan timbal (Pb) pada hijauan

adalah maksimal 3.0 ppm. Jadi, hijauan pakan di semua desa lokasi penelitian masih aman untuk

diberikan pada ternak, cemaran timbal (Pb) dari transportasi dan industri sekitarnya tidak berdampak

besar pada keamanan hijauan untuk dikonsumsi ternak, tetapi cemaran berdampak langsung pada

tanah dan air di lokasi tersebut. Hijauan pakan hanya terkena dampak tidak langsung dari cemaran

timbal (Pb), biasanya terhadap kuantitas dan kualitas hijauan. Berdasarkan hasil analisis proksimat

pada hijauan pakan di semua lokasi penelitian, kandungan protein kasar (PK) berkisar 4.94% - 7.20%,

hasil ini menunjukkan kualitas hijauan di Kecamatan Citeureup sangat rendah

Page 52: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

43

Tabel 4. Konsentrasi timbal (Pb) pada hijauan, tanah, dan air

Desa Konsentrasi Timbal (Pb) (ppm)

Hijauan Tanah Air

Hambalang 0.838 ± 0.210 17.318 ± 0.231 0.03 ± 0.009

Citeureup 2.371 ± 0.456 25.102 ± 0.899 0.00

Puspasari 2.559 ± 0.339 16.161 ± 0.978 0.056 ± 0.000

Puspanegara 2.652 ± 0.209 18.387 ± 0.521 0.047 ± 0.000

Tarikolot 2.715 ± 0.059 15.372 ± 0.184 0.12 ± 0.047

Karang Asem Barat 1.439 ± 0.270 23.721 ± 0.408 0.00

Karang Asem Timur 0.539 ± 0.188 14.520 ± 0.225 0.034 ± 0.025

KESIMPULAN

Pola penyediaan hijauan pada desa padat industri di Kecamatan Citeureup bersifat cut and carry dan

potensi hijauan pada daerah tersebut pun cukup rendah. Kambing jawa merupakan jenis ternak yang

dominan diternakkan karena kambing memiliki daya tahan yang kuat dan mudah beradaptasi. Desa

Hambalang ketersediaan hijauan cukup baik dan bervariasi. Hal ini dikarenakan Desa Hambalang

sendiri meskipun kualitas hijauannya dinilai dari kandungan nutrisinya tidak jauh beda dengan yang

lainnya, namun pencemaran timbal pada hijauan lebih sedikit dibandingkan desa lainnya meskipun

desa lainnya secara umum aman untuk dikonsumsi ternak dan juga ketersediaan hijauan.

DAFTAR PUSTAKA

Crowder, L.V., H.R. Chheda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. London (GB) and New York

(US) : Longman

Pairunan,AKJ, Nanere L, Arifin S.S.R., Samosir, Romadulus Teingkaisari J.R. Lalo Pua, Bachrul

Ibrahim dan Hariadi Asmadi. 1985. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Makasar (ID): Badan

Kerjasama Perguruan Tinggi Negri Indonesia Timur.

Sinaga, S. 2009. Pertumbuhan Ternak. [internet]. [Diunduh tanggal 10 Januari 2015]. Tersedia pada

http://blogs.unpad.ac.id/Sauland Sinaga

Page 53: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

44

PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS KELOR (Moringa oleifera) PERIODE

VEGETATIF AWAL DENGAN PEMUPUKAN SUMBER P YANG BERBEDA PADA

TANAH ULTISOL

Simel Sowmen, Rusdimansyah, Siti Zainab dan Mari Santi

Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Andalas

email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian rumah kaca dilakukan untuk mengetahui respon pertumbuhan kelor yang diberi sumber

pupuk fospor yang berbeda pada tanah ultisol. Desain percobaan adalah rancangan acak lengkap

(RAL) dengan 7 perlakuan pemupukan pospor yaitu 0, 100 kg/ha SP36, 200 kg/ha SP36, 300 kg/ha

SP36, 100 kg/ha Rock Phospat (RP), 200 kg/ha RP, dan 300 kg/ha RP, dengan 5 ulangan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pemupukan sumber P yang berbeda dengan berbagai level pemberian

tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan (tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah

ranting) dan produksi kelor (berat segar dan berat kering).

Kata kunci: kelor, Moringa oleifera, pertumbuhan, pupuk fospor

ABSTRACT

Greenhouse study was conducted to investigate the effects of phosporous fertilizer on the growth and

production of Moringa oleifera in ultisol. The experimental design was Completely Randomized

Design (CRD), 7 treatments which include 0 kg/ha, 100 kg/ha SP36, 200 kg/ha SP36, 300 kg/ha

SP36, 100 kg/ha Rock Phospat (RP), 200 kg/ha RP, and 300 kg/ha RP, in five replicates. The result

showed there wasn’t signicantly differences (P>0.05) of all phosporous fertilizer treatment to growth

and production of moringa in early vegetative periode.

Keywords: plants growth, Moringa oleifera, phosporous fertilizer

PENDAHULUAN

Kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman herba dan pada umumnya dipergunakan sebagai

sumber hijauan pakan bagi ternak ruminansia khususnya. Saat ini kelor dikenal sebagai miracle tree

yang mempunyai banyak kegunaan bukan hanya sebagai tanaman pakan tetapi juga sebagai tanaman

yang banyak khasiatnya dalam mengobati berbagai penyakit, bahkan juga dikenal sebagai tanaman

pengusir setan. Sekarang kelor sangat sulit dijumpai karena belum dibudidayakan secara optimal,

padahal dulu kelor ini sangat mudah dijumpai di perkampungan.

Saat ini penelitian tentang kelor banyak terfokus pada kualitas nutrisi dan nilai kesehatan yang

diperoleh , sedangkan penelitian tentang budidaya kelor yang optimal masih sangat sedikit. Budidaya

kelor saat ini gencar dikembangkan oleh peneliti di Zimbabwe (Gadzirayi et al, 2013), Kairo (Zayed,

2012), Pakistan (Anwar et al., 2006). Penelitian tentang teknik budidaya kelor yang optimal untuk

mendapatkan produktivitas tinggi masih perlu dikembangkan di Indonesia.

Beberapa permasalahan dalam budidaya tanaman di Indonesia pada umumnya adalah kondisi tanah

yang masam salah satunya ultisol. Ultisol tersebar cukup luas di Indonesia, yaitu sekitar 25% dari

luas daratan Indonesia (Subagyo et al., 2000). Pemanfaatan tanah ultisol untuk budidaya tanaman

terkendala karena memiliki kesuburan yang rendah dan hal ini dapat menghambat pertumbuhan dan

produksi tanaman. Rendahnya pertumbuhan dan produksi tanaman pada tanah ultisol ini disebabkan

unsure hara P yang tidak tersedia bagi tanaman karena terikat oleh senyawa lain.

Page 54: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

45

Salah satu alternative yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan

pemberian phosphor melalui pemupukan. Diharapkan pemberian pupuk sumber P dapat membantu

tanaman mendapatkan unsure P lebih banyak pada tanah ultisol. Pupuk sumber Phospor saat ini bisa

dari SP36 yang bersifat cepat release, dan juga dari Rock Phospat yang lebih bersifat slow release.

Banyak penelitian tentang pemanfaatan Phospor d pada tanah ultisol dapat memperbaiki sifat kimia

tanah dan pertumbuhan tanaman jagung (Rasyid, 2012; Haryanto et al., 2008), chickpea (Patil et al.,

2011). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian tentang pengaruh pupuk sumber phospor

yang berbeda terhadap pertumbuhan kelor periode pertumbuhan vegetatif awal pada tanah ultisol.

METODE PENELITIAN

Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman legume pakan Kelor (Moringa oleifera)

yang didapatkan dari suplier bibit PT Lembah Hijau Kediri; pupuk kandang, pupuk Rock phospat dan

SP36, KCl, dan urea.

Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan, dan 5

ulangan. Perlakuan pemupukan P yang diberikan adalah P1: 0 kg/ha, P2: 100kg/ha SP36, P3: 200

kg/ha SP36, P4: 300 kg/ha, P5: 100 kg RP/ha, P6: 200 kg/ha RP, dan P7: 300 kg/ha. Data yang

diperoleh dianalisis dengan ANOVA, jika terdapat pengaruh terhadap peubah yang diukur maka

dilanjutkan dengan uji LSMEAN.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi tanaman kelor

Pemberian pupuk sumber P cenderung meningkatkan tinggi tanaman kelor setiap minggunya,

walaupun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan kontrol tanpa

pemupukan P (P1) (Tabel 1). Hasil ini dimungkinkan oleh adanya pengaruh dari pupuk kandang yang

diberikan pada seluruh perlakuan termasuk kontrol.

Tabel 1. Pengaruh pemupukan fospor terhadap tinggi tanaman kelor (cm)

Perlakuan 1 3 5 7

Minggu

P1 28.58 47.52 71.02 95.12

P2 27.66 46.90 66.23 92.03

P3 30.10 44.64 64.04 86.98

P4 29.46 46.58 66.48 92.74

P5 28.76 43.78 58.82 73.50

P6 28.80 41.90 61.83 83.58

P7 29.20 44.58 63.94 93.47

Jumlah daun per pot

Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan phospor tidak berpengaruh nyata (P>0.05)

terhadap jumlah daun kelor periode pertumbuhan vegetatif (Tabel 2).

Page 55: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

46

Tabel 2. Pengaruh pemupukan fospor terhadap jumlah daun kelor (helai)

Perlakuan 1 3 5 7

minggu

P1 74.8 154.2 272.4 479.2

P2 62 129.4 282 496.5

P3 69.8 132.6 238 423.2

P4 81.8 159.4 325 492.4

P5 67 120.8 201.8 339.75

P6 61 119.6 188.2 297.2

P7 69.8 127.4 155.2 435.67

Jumlah ranting

Tidak terlihat adanya pengaruh perlakuan pemupukan pospor (P>0.05) terhadap jumlah ranting

tanaman kelor dari hasil analisis ragam (Tabel 3). Secara umum terlihat adanya kecenderungan

peningkatan jumlah ranting kelor setiap minggu.

Tabel 3. Pengaruh pemupukan fospor terhadap jumlah ranting kelor

Perlakuan 1 3 5 7

minggu

P1 9.6 13.6 15 13

P2 8.4 12.2 15.5 17.25

P3 9.4 13.2 15.8 15.2

P4 9 13 16.4 16.8

P5 9.2 13 15.8 18

P6 8.4 11.8 14.25 16.5

P7 9.2 13 16.6 19

Produksi Kelor Periode Vegetatif Awal

Produksi kelor periode pertumbuhan vegetatif awal baik dalam berat segar maupun berat keringnya

tidak dipengaruhi oleh pemupukan pospor dari hasil analisis ragam (P>0.05) (Tabel 4).

Tabel 4. Pengaruh pemupukan fospor terhadap bobot kering kelor (g)

Perlakuan Akar Batang Daun Akar Batang Daun

Berat segar (g) Berat kering (g)

P1 7.00 14.00 14.67 0.88 2.56 1.82

P2 9.67 15.00 17.00 1.88 3.27 3.59

P3 6.00 13.00 14.00 1.02 2.76 2.34

P4 7.33 15.67 15.67 0.90 3.14 4.16

P5 6.67 8.67 11.00 0.69 1.96 1.28

P6 5.33 10.67 11.67 0.61 2.15 2.45

P7 6.00 12.00 16.00 0.83 2.53 4.13

Page 56: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

47

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk sumber P (SP36 dan RP) tidak berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan produksi kelor periode vegetatif awal kemungkinan karena pada penelitian

adanya kontribusi dari pupuk kandang pada kontrol. Saran untuk penelitian lanjutan adalah penelitian

tanpa ada pemberian pupuk kandang sebagai pupuk dasar agar efektifitas pemupukan phospor yang

diteliti lebih terlihat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Nomor:030/SP2H/PL/DIT.LITABMAS/II/2015. yang telah membantu pendanaan

penelitian ini dalam skim Hibah Fundamental tahun anggaran 2015.

Daftar Pustaka

Anwar F, Hussain A.I., Ashraf M., Jamail A. and Iqbal S. 2006. Effect of salinity on yield and quality

of Moringa oleifera seed oil. Grasas Y Aceites 57 (4):394-401

Gadzirayi C.T., Kubiku F.M.N., Mupangwa J.F., Mujuru L. and Chikuvire T.J. 2013. The Effect of

Plant Spacing and Cutting Interval on Growth of Moringa Oleifera. Journal of Agricultural

Science and Applications. 2(2):131-136

Haryanto, Idris K., Rafli I. Kawalusan dan Sisworo E.L. 2008. Pengaruh Pupuk Phospat Alam pada

tanah masam terhadap pertumbuhan jagung serta serapan N-Za dan N-Urea. Jurnal Ilmiah

Aplikasi Isotop dan Radiasi. Vol. 4 No. 2: 130-142.

Isaiah M.A. Effects of Inorganic Fertilizer on the Growth and Nutrient Composition of Moringa

(Moringa oleifera). Journal of Emerging Trends in Engineering and Applied Sciences

(JETEAS) 4(2): 341-343.

Patil S.V., Halikatti S.I., Hiremath S.M., Babalad H.B., Sreevina M.N., Hebsur N.S. dan

Somanagoudag G. 2011. Effect of organic manures and rock phosphate on growth and yield of

chickpea (Cicer arietinum L.) in vertisols. Karnataka J. Agric. Sci.,24 (5) : (636-638)

Rasyid B. 2012. Aplikasi kompos kombinasi zaeolit dan fosfat alam untuk peningkatan kualitas

tanah ultisol dan produktivitas tanaman jagung. Jurnal Agrisistem. Vol. 8 No. 1: 13-22

Subagyo, H., N. Suharta dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. Bogor : Pusat

Penelitian Tanah dan Agroklimat: 21-66.

Zayed, M.S. 2012. Improvement of growth and nutritional quality of Moringa oleifera using different

biofertilizers. Annals of Agricultural Science 57(1): 53–62

Page 57: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

48

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JERAMI KEDELAI AKIBAT INOKULASI BAKTERI

RHIZOBIUM DAN PENAMBAHAN HARA AIR LAUT

Eny Fuskhah dan Adriani Darmawati

Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang

Email : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian bertujuan memanfaatkan air laut yang melimpah sebagai sumber hara bagi tanaman

khususnya kedelai sehingga menghemat penggunaan pupuk buatan serta dikombinasikan dengan

pemanfaatan gulma air eceng gondok sebagai mulsa, dan aplikasi bakteri Rhizobium. Penelitian

dilaksanakan di rumah kaca Laboratorium Ekologi dan Produksi Tanaman Fakultas Peternakan dan

Pertanian Universitas Diponegoro Semarang. Sampel air laut diambil dari Pantai Marina Semarang.

Benih kedelai yang digunakan adalah benih lokal Grobogan. Rancangan percobaan adalah

Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial 4 x 2 dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah kombinasi

air laut dan mulsa eceng gondok meliputi : L0 = tanpa air laut (air tawar) dan tanpa mulsa eceng

gondok (kontrol), L1 = Kombinasi level air laut 1 mmhos/cm dan 8 ton/ha mulsa eceng gondok, L2 =

Kombinasi level air laut 2 mmhos/cm dan 8 ton/ha mulsa eceng gondok, L3 = Kombinasi level air

laut 3 mmhos/cm dan 8 ton/ha mulsa eceng gondok. Faktor kedua adalah perlakuan inokulasi bakteri

Rhizobium meliputi : R1 = tanpa inokulasi bakteri Rhizobium, R2 = dengan inokulasi bakteri

Rhizobium. Parameter yang diamati meliputi panjang tanaman, jumlah daun, produksi berat segar

tajuk, dan produksi bahan kering tajuk. Data yang diperoleh dianalisis ragam dan untuk mengetahui

perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan (Steel dan Torrie,

1995). Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh interaksi antara level salinitas air laut dengan

inokulasi bakteri rhizobium terhadap panjang tanaman, jumlah daun, berat segar tajuk, dan produksi

bahan kering tajuk. Pemberian hara air laut dan inokulasi bakteri rhizobium cenderung meningkatkan

pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai.

Kata kunci : kedelai, hara air laut, rhizobium, pertumbuhan, produksi

ABSTRACT

The research aim is to use sea water as nutrient source of plant especially soybean, so it reduces

amount of anorganic fertilizer usage. The research held in green house of Ecology and Plant

Production Laboratory of Animal Husbandry and Agriculture Faculty, Diponegoro University

Semarang. Sea water as sample was taken from Semarang Marina Beach. Soybean which choosen is

local bean of Grobogan. The design arranged was completely randomized design with factorial design

4 x 2 in 4 replications. First factor was sea water salinity level, L0 = without sea water and without

mulch, L1 = sea water EC 1 mmhos/cm and water hyacinth mulch of 8 tons/ha, L2 = sea water EC 2

mmhos/cm and water hyacinth mulch of 8 tons/ha, L3 = sea water EC 3 mmhos/cm and water

hyacinth mulch of 8 tons/ha. The second factor was Rhizobium inoculation, R1 = without rhizobium

inoculation, and R2 = with Rhizobium inoculation. The parameters were length plant, number of

leaves, fresh weight production of shoot and dry matter production. Based on variant analysis, showed

no influenced between sea water salinity level and rhizobium inoculation againt to length plant,

number of leaves, fresh weight production of shoot and dry matter production. Sea water and

rhizobium inoculation tended to increase growth and production of soybean.

Key words : soybean, nutrient of sea water, rhizobium, growth, production.

Page 58: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

49

PENDAHULUAN

Tanaman kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi tinggi sebagai

sumber protein nabati dan rendah kolesterol. Kedelai juga merupakan komoditas pangan yang penting

setelah padi dan jagung. Konsumsi kedelai dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan dapat

meningkatkan gizi masyarakat. Di Indonesia, kedelai banyak diolah untuk berbagai macam bahan

pangan, seperti : tauge, susu kedelai, tahu, kembang tahu, kecap, oncom, tauco, tempe, dan tepung

kedelai. Selain itu, juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak

Tanaman kedelai merupakan tanaman leguminosa mempunyai kemampuan bersimbiosis secara

mutualistik dengan bakteri Rhizobium sp yang tumbuh di daerah perakarannya. Adanya bakteri ini

menyebabkan terbentuknya nodul/bintil akar yang mampu memfiksasi nitrogen bebas dari udara

sehingga dapat mensuplai kebutuhan tanaman akan unsur N. Kebutuhan nitrogen tanaman oleh

fiksasi nitrogen terjadi tidak pada awal fase vegetatif dan akhir masa reproduktif, tetapi terjadi setelah

pembentukan bintil yang terjadi karena kolonisasi rhizosfer dan infeksi rhizobia pada akar leguminosa

(Beck et al., 1991). Hasil simbiosis ini diharapkan mampu meningkatkan produksi hijauan tanaman.

Penelitian Fuskhah et al. (1997) menunjukkan bahwa penggunaan inokulum Rhizobium dari 20 – 60

g/kg benih dikombinasikan dengan pemupukan fosfor dapat meningkatkan produksi bahan kering

hijauan Centrosema pubescens Benth. Kemampuan untuk memfiksasi nitrogen dapat mengurangi

biaya pembelian pupuk N buatan, sehingga aplikasi inokulasi Rhizobium pada tanaman leguminosa

menjadi sangat penting untuk memacu fiksasi nitrogen.

Di sisi lain, air laut yang begitu melimpah di Indonesia ternyata mengandung banyak ion, termasuk

ion-ion yang dibutuhkan tanaman. Kandungan unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman seperti

magnesium (Mg), calcium (Ca), dan kalium (K) yang ada di air laut cukup tinggi. Hal ini

menunjukkan bahwa air laut dapat menjadi sumber alternatif hara atau nutrien bagi tanaman.

Rata-rata konsentrasi garam terlarut di air laut sekitar 3,5%, tergantung pada lokasi dan laju evaporasi

(Brown et al., 1989). Diantara garam-garam tersebut, konsentrasi natrium (Na) dan chloride (Cl)

adalah dominan dan terdapat dalam jumlah besar sehingga mengakibatkan tingginya salinitas (Pickard

dan Emery, 1990). Oleh karena itu, dalam penggunaannya, air laut perlu diencerkan terlebih dahulu

untuk mengurangi salinitasnya sampai ambang yang tidak membahayakan tanaman.

Air laut pada prakteknya banyak digunakan untuk mengairi tanaman yang toleran terhadap salinitas

(halophyte) pada daerah-daerah dekat pantai. Turi (Sesbania grandiflora) menurut hasil penelitian

Fuskhah et al. (2007) tahan terhadap tingkat NaCl tinggi, sampai 4000 ppm NaCl atau setara dengan

EC (electrical conductivity) 7,5 mmhos/cm masih menunjukkan peningkatan produksi. Hal ini diduga

turi termasuk tanaman halophyta yang tahan terhadap tingkat salinitas tinggi.

Penelitian bertujuan memanfaatkan air laut yang melimpah sebagai sumber hara bagi tanaman kedelai

sehingga menghemat penggunaan pupuk buatan serta dikombinasikan dengan pemanfaatan gulma air

eceng gondok sebagai mulsa, dan aplikasi bakteri Rhizobium.

Hipotesis penelitian adalah ada interaksi antara hara air laut dan eceng gondok sebagai mulsa juga

aplikasi bakteri Rhizobium untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi jerami kedelai.

Page 59: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

50

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

Semarang.

Materi : air laut, eceng gondok, isolat bakteri Rhizobium, benih kedelai, EC meter, pot, oven, mistar,

pupuk N, P, dan K.

Metode : Sebanyak 32 pot diisi tanah dan disterilkan. Benih kedelai disiapkan. Pupuk dasar yang

digunakan adalah pupuk N, P, dan K masing-masing dengan dosis 100 kg N/ha, 150 kg P2O5/ha, dan

100 kg K2O/ha. Air laut digunakan untuk penyiraman dengan dosis pengenceran sesuai perlakuan.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial 4 x 2 dengan

4 ulangan.

Faktor pertama adalah kombinasi air laut dan mulsa eceng gondok yaitu :

L0 = tanpa air laut (air tawar) dan tanpa mulsa eceng gondok (kontrol)

L1 = Kombinasi level air laut 1 mmhos/cm dan 8 ton/ha mulsa eceng gondok

L2 = Kombinasi level air laut 2 mmhos/cm dan 8 ton/ha mulsa eceng gondok

L3 = Kombinasi level air laut 3 mmhos/cm dan 8 ton/ha mulsa eceng gondok

Faktor kedua adalah perlakuan inokulasi bakteri Rhizobium yaitu :

R1 = tanpa inokulasi bakteri Rhizobium

R2 = dengan inokulasi bakteri Rhizobium

Parameter yang diamati meliputi panjang tanaman, jumlah daun, produksi berat segar dan bahan

kering jerami. Data yang diperoleh dianalisis ragam dan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan

dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Kedelai

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara perlakuan penambahan air laut

dengan inokulasi bakteri rhizobium terhadap parameter pertumbuhan yaitu panjang tanaman, dan

jumlah daun (Tabel 1 dan 2).

Tabel 1. Rerata Panjang Tanaman Kedelai pada Berbagai Level Salinitas Air Laut dan Inokulasi

Bakteri Rhizobium

_______________________________________________________________________

Inokulasi Rhizobium Rerata

Level Salinitas Air Laut _________________________________________________

R1 (tanpa) R2 (dengan Inokulasi )

_______________________________________________________________________

------------------------- (cm) ----------------------------

L0 (tanpa air laut) 112,50 101,25 106,88

L1 (EC 1 mmhos/cm) 120,13 119,38 119,75

L2 (EC 2 mmhos/cm) 114,63 124,50 119,56

L3 (EC 3 mmhos/cm) 112,38 110,25 111,31

_______________________________________________________________________

Rerata 114,91 113,84

_______________________________________________________________________

Page 60: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

51

Tabel 2. Rerata Jumlah Daun Tanaman Kedelai pada Berbagai Level Salinitas Air Laut dan Inokulasi

Bakteri Rhizobium

________________________________________________________________

Inokulasi Rhizobium Rerata

Level Salinitas Air Laut __________________________________________

R1 (tanpa) R2 (dengan Inokulasi )

________________________________________________________________

-------------------- (helai petiole) -------------------

L0 (tanpa air laut) 9,13 9,50 9,31

L1 (EC 1 mmhos/cm) 9,63 10,63 10,13

L2 (EC 2 mmhos/cm) 10,63 10,50 10,56

L3 (EC 3 mmhos/cm) 11,25 13,75 12,50

__________________________________________________________________

Rerata 10,16 11,09

__________________________________________________________________

Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa perlakuan penambahan air laut cenderung meningkatkan

pertumbuhan tanaman kedelai walaupun tidak signifikan. Air laut ternyata mengandung banyak ion.

Kandungan unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman seperti magnesium (Mg), calcium (Ca), dan kalium

(K) yang ada di air laut cukup tinggi (Yufdy dan Jumberi, 2011). Dengan penambahan air laut berarti

menambah pula hara yang diberikan tanaman. Namun air laut yang diberikan harus diencerkan

terlebih dahulu karena kandungan Na dan Cl yang sangat tinggi. Kandungan Na dan Cl yang terlalu

tinggi mengganggu pertumbuhan tanaman. Namun natrium pada level tertentu, dapat dimanfaatkan

sebagai unsur hara pada jenis-jenis tanaman tertentu yang membutuhkannya baik sebagai unsur

tambahan maupun sebagai pengganti sebagian dari kebutuhan unsur K (Yufdy dan Jumberi, 2011).

Tingkat salinitas media tanam dengan electrical conductivity (EC) 0 – 2 mmhos/cm umumnya belum

membahayakan bagi tanaman (Tan, 1991). Tingginya kandungan hara yang ada pada air laut

menunjukkan bahwa air laut dapat menjadi alternatif sumber hara atau nutrien bagi tanaman.

Produksi Kedelai

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara perlakuan penambahan air laut

dengan inokulasi bakteri rhizobium terhadap parameter produksi yaitu produksi bahan segar dan

produksi bahan kering jerami kedelai (Tabel 3 dan 4).

Tabel 3. Rerata Produksi Berat Segar Jerami Kedelai pada Berbagai Level Salinitas Air Laut dan

Inokulasi Bakteri Rhizobium

_______________________________________________________________________

Inokulasi Rhizobium Rerata

Level Salinitas Air Laut __________________________________________________

R1 (tanpa) R2 (dengan Inokulasi ) ______________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________

-------------------- (g/pot) -------------------

L0 (tanpa air laut) 24,25 30,13 27,19

L1 (EC 1 mmhos/cm) 27,00 27,50 27,25

L2 (EC 2 mmhos/cm) 30,13 30,50 30,31

L3 (EC 3 mmhos/cm) 25,88 33,25 29,56 _________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Rerata 26,81 30,34 ______________ ___________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________ _____________________________________________________________________________________________________________________________ _____________________________________________________________

Page 61: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

52

Tabel 4. Rerata Produksi Bahan Kering Jerami Kedelai pada Berbagai Level Salinitas Air Laut dan

Inokulasi Bakteri Rhizobium

________________________________________________________________________

Inokulasi Rhizobium Rerata

Level Salinitas Air Laut __________________________________________________

R1 (tanpa) R2 (dengan Inokulasi )

________________________________________________________________________

-------------------- (g/pot) -------------------

L0 (tanpa air laut) 7,72 8,38 8,05

L1 (EC 1 mmhos/cm) 8,97 7,50 8,23

L2 (EC 2 mmhos/cm) 9,88 8,65 9,27

L3 (EC 3 mmhos/cm) 7,38 9,35 8,36

________________________________________________________________________

Rerata 8,49 8,47

________________________________________________________________________

Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa penambahan hara air laut dan inokulasi bakteri rhizobium secara

sendiri cenderung meningkatkan produksi jerami kedelai dibandingkan dengan tanpa penambahan air

laut dan inokulasi rhizobium. Tanaman kedelai merupakan tanaman leguminosa mempunyai

kemampuan bersimbiosis secara mutualistik dengan bakteri Rhizobium sp yang tumbuh di daerah

perakarannya. Adanya bakteri ini menyebabkan terbentuknya nodul/bintil akar yang mampu

memfiksasi nitrogen bebas dari udara sehingga dapat mensuplai kebutuhan tanaman akan unsur N.

Akar tanaman menyediakan hara dan karbohidrat untuk energi bakterinya dan bakteri menyediakan

senyawa nitrogen yang ditambat (Handayanto dan Hairiah, 2007). Kebutuhan nitrogen tanaman oleh

fiksasi nitrogen terjadi tidak pada awal fase vegetatif dan akhir masa reproduktif, tetapi terjadi setelah

pembentukan bintil yang terjadi karena kolonisasi rhizosfer dan infeksi rhizobia pada akar leguminosa

(Beck et al., 1991). Hasil simbiosis ini diharapkan mampu meningkatkan produksi hijauan tanaman.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh interaksi antara level salinitas air laut dengan

inokulasi bakteri rhizobium terhadap panjang tanaman, jumlah daun, berat segar tajuk, dan produksi

bahan kering tajuk. Pemberian hara air laut dan inokulasi bakteri rhizobium cenderung meningkatkan

pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai.

DAFTAR PUSTAKA

Beck, D.P., J.Wery, M.C. Saxena and A.Ayadi. 1991. Dinitrogen fixation and nitrogen balance

in cool season food legumes. Agronomy Journal 83 : 334–341.

Brown, J., A. Colling, D. Park, J. Phillips, D. Rothery and J. Wright. 1989. Ocean Circulation. New

York. Pergamon Press.

Fuskhah, E, E.D. Purbayanti, F. Kusmiyati dan R.T. Mulatsih. 1997. Efek inokulasi Rhizobium Sp

dan pemberian fosfor terhadap derajat katalisis enzim nitrogenase nodul akar Centrosema

pubescens Benth. Majalah Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. IX(34): 19-

25

Fuskhah, E., R. D. Soetrisno, S. Anwar dan F. Kusmiyati. 2007. Rekayasa Ketahanan Bakteri

Rhizobium dan Tanaman Leguminosa Pakan terhadap Cekaman Salinitas di Daerah Salin Pantai

Page 62: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

53

Utara Jawa Tengah. Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,

Departemen Pendidikan Nasional.

Handayanto, E. dan K. Hairiah. 2007. Biologi Tanah Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Pustaka

Adipura. Yogyakarta.

Pickard, G.L. and K. O. Emery, 1990. Descriptive Physical Oceanography, Pergamon Press.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie.1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Alih

Bahasa : Bambang Sumantri. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tan, K. H. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

(Diterjemahkan D. H. Goenadi).

Yufdy, M.P. dan A. Jumberi. 2011. Pemanfaatan Hara Air Laut untuk memenuhi Kebutuhan

Tanaman. Http://www.dpi.nsw.gov.au. Access date 7 Maret 2011.

Page 63: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

54

PRODUKSI JAGUNG MANIS DAN JERAMI PADA DUA PERIODE TANAM DENGAN

PUPUK KANDANG DIPERKAYA FOSFAT ALAM DALAM SISTEM INTEGRASI

TANAMAN-TERNAK

Dwi Retno Lukiwati, Endang Dwi Purbayanti, dan Retno Iswarin Pujaningsih

Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

Email: [email protected]

PENDAHULUAN

Sistem integrasi tanaman dan ternak dicirikan oleh hasil utama untuk pangan, jerami sebagai pakan

sedangkan feses ternak sebagai bahan baku pupuk kandang. Feses sapi juga dapat mempercepat

proses dekomposisi bahan organik, karena dalam feses juga mengandung bakteri atau cendawan

dekomposer (Saraswati dan Sumarno, 2008). Pupuk kandang diperkaya fosfat alam (FA) dapat

meningkatkan kualitas pukan dan menghemat biaya pemupukan. Lukiwati (2002) menyatakan bahwa

efisiensi pemupukan P untuk produksi jagung tertinggi dicapai pada dosis 66 kg P/ha atau 150 kg

P2O5/ha. Pupuk kandang diperkaya FA tersebut bersifat ‘slow release’, sehingga masih terdapat efek

sisa pada musim tanam berikutnya. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh beberapa macam

pupuk kandang diperkaya fosfat alam (pukan) terhadap produksi jagung dan jerami jagung manis

pada dua kali periode tanam.

METODE PENELITIAN

Penelitian lapang menggunakan rancangan acak lengkap dengan 7 perlakuan dan 4 kali ulangan.

Ukuran petak 2,5 m x 3 m atau seluas 7,5 m2 sebanyak 28 petak dengan jarak tanam 40 x 30 cm.

Perlakuan yang diberikan pada waktu tanam pertama adalah T0 (pukan), T1 (pukan+EM4), T2

(pukan+StarTmik), T3 (pukan+Stardec), T4 (pukan granul+EM4), T5 (pukan granul+StarTmik), TT6

(pukan granul+Stardec). Dosis unsur hara P (FA), N (urea), K (KCl) dan pukan, masing-masing 66 kg

P, 200 kg N, 125 kg K dan 30 ton/ha. Pupuk kandang diperkaya FA (pukan) hanya diberikan sekali

saja pada periode tanam I, sedangkan pada periode tanam kedua hanya mengandalkan efek sisa dari

pukan tersebut. Penyiraman dilakukan ketika diperlukan, sedangkan pendangiran/ penggemburan

dilakukan bersamaan dengan pengendalian gulma secara mekanis. Panen tongkol jagung manis

dilakukan pada umur 70 hari setelah tanam, dengan mengambil sampel sebanyak 4 tanaman dari dua

lubang tanam dan tiap tanaman berisi satu tongkol. Tongkol jagung manis berklobot selanjutnya

ditimbang untuk mengetahui produksi tiap petak. Jerami jagung manis dipotong untuk mendapatkan

data produksi segar dan bahan kering (BK) jerami. Semua data di analisis ragam dan dilanjutkan

dengan uji Duncan (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian pada periode tanam pertama dan kedua berdasarkan uji Duncan masing-masing

menunjukkan bahwa beberapa macam pukan diperkaya FA menghasilkan produksi tongkol jagung

manis berklobot tidak nyata berbeda (Tabel 1).

Produksi tongkol jagung manis pada berbagai pemupukan pukan menunjukkan tidak berbeda. Dengan

demikian pupuk kandang di inokulasi biodekomposer (EM4, StarTmik, Stardec) memberikan hasil

produksi tongkol jagung manis yang setara dengan pemupukan pupuk kandang tanpa inokulasi

biodekomposer dalam bentuk granul maupun bukan granul

Page 64: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

55

Tabel 1. Produksi tongkol jagung berklobot pada dua periode tanam dengan pemupukan beberapa

jenis pukan ‘plus’

Perlakuan Tanam I (kg/petak) Tanam II (kg/petak)

Pukan 18,31 ± 1,48 20,97 ± 3,08

Pukan+EM4 A 17,28 ± 1,46 22,59 ± 4,89

Pukan+StarTmik 18,09 ± 1,78 22,23 ± 3,85

Pukan+Stardec 17,28 ± 3,40 22,77 ± 2,70

Pukan granul+EM4 15,57 ± 1,06 19,89 ± 2,61

Pukan granul+StarTmik 18,72 ± 0,49 22,05 ± 4,74

Pukan granul+Stardec 15,25 ± 2,04 24,48 ± 1,36

Tabel 2. Produksi segar jerami jagung manis pada dua periode tanam dengan pemupukan beberapa

jenis pukan diperkaya fosfat alam

Perlakuan Tanam I (kg/petak) Tanam II (kg/ petak)

Pukan 30,78 ± 1,42 32,40 ± 7,66

Pukan+EM4 30,65 ± 1,32 34,29± 5,39

Pukan+StarTmik 38,03 ± 5,48 33,41± 4,76

Pukan+Stardec 36,63 ± 5,56 34,34± 5,08

Pukan granul+EM4 34,38 ± 1,99 31,05± 4,71

Pukan granul+StarTmik 30,87 ± 1,58 33,53± 7,47

Pukan granul+Stardec 27,99 ± 2,21 35,63± 2,98

Data Tabel 2 berdasarkan uji Duncan masing-masing periode tanam menunjukkan bahwa beberapa

macam pupuk kandang diperkaya FA menghasilkan produksi segar jerami jagung manis tidak nyata

berbeda. Dengan demikian pupuk kandang di inokulasi biodekomposer (EM4, StarTmik, Stardec)

memberikan hasil produksi segar jerami setara dengan tanpa inokulasi biodekomposer baik dalam

bentuk granul maupun non-granul.

Produksi bahan kering jerami jagung manis pada masing-masing periode tanam, berdasarkan uji

Duncan menunjukkan tidak nyata berbeda (Tabel 3). Dengan demikian pemberian berbagai macam

pukan, menghasilkan produksi BK jerami tidak berbeda sampai dengan hasil tanam kedua.

Tabel 3. Produksi bahan kering jerami jagung manis pada dua periode tanam dengan pemupukan

beberapa jenis pukan diperkaya fosfat alam

Perlakuan Tanam I (kg/petak) Tanam II (kg/ petak)

Pukan 7,17 ± 0,34 7,38 ± 4,58

Pukan+EM4 7,23 ± 0,35 7,85± 2,80

Pukan+StarTmik 8,25 ± 0,90 7,73± 3,35

Pukan+Stardec 7,70 ± 0,90 8,14± 3,51

Pukan granul+EM4 7,68 ± 0,22 7,00± 3,23

Pukan granul+StarTmik 7,52 ± 0,53 8,15± 7,04

Pukan granul+Stradec 6,47 ± 0,58 8,62± 2,56

Page 65: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

56

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa pada periode tanam pertama maupun

kedua, produksi tongkol jagung manis (Tabel 1) dan jerami segar (Tabel 2) maupun bahan kering

jerami (Tabel 3) tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan. Dengan demikian dapat

diketahui bahwa pukan diperkaya FA dengan atau tanpa inokulasi biodekomposer menghasilkan

produksi tongkol jagung manis, jerami segar dan bahan kering jerami tidak berbeda pada periode

tanam pertama maupun efek sisanya pada periode tanam kedua. Telah dijelaskan oleh Saraswati dan

Sumarno (2008), bahwa feses sapi juga dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik, karena

dalam feses juga mengandung bakteri atau cendawan dekomposer. Pupuk kandang (:sapi) selain

mengandung unsur hara N, P dan K masing-masing 0,55; 0,12 dan 0,30 % (Soelaeman, 2008), juga

asam-asam humat dan fulfat yang dapat meningkatkan kelarutan pupuk FA (Sumida dan Yamamoto,

1997). Oleh karena itu penambahan FA dalam proses dekomposisi pukan akan meningkatkan

kelarutan FA dan dapat meningkatkan kualitas jerami jagung manis (Lukiwati, 2012). Lukiwati dan

Waluyanti (2001) menyatakan bahwa efek residu pupuk P menghasilkan produksi jagung dan BK

jerami tidak berbeda dibanding musim tanam pertama. Dengan demikian, berbagai macam pukan

tersebut setara kemampuannya dalam menghasilkan produksi tongkol jagung manis maupun jerami

pada periode tanam pertama maupun kedua.

KESIMPULAN

Disimpulkan bahwa pemberian pupuk kandang diperkaya FA dalam bentuk granular maupun non-

granular dengan inokulasi biodekomposer pada periode tanam pertama, menghasilkan produksi

tongkol jagung, jerami segar dan bahan kering jerami setara dengan tanpa inokulasi biodekomposer

hingga periode tanam kedua.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Ditlitabmas Ditjen Dikti Kemendikbud – BOPTN TA 2013-2014 atas dana

penelitian yang telah diberikan melalui DIPA Universitas Diponegoro, No. 154a-11/UN7.5/PG/2013

dan No.023.04.02.189185/2014. Terima kasih kepada Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan, serta

Kelompok Peternak ‘Sumber Subur’ Kecamatan Kedawung Kabupaten Sragen, yang telah membantu

dalam pelaksanaan penelitian ini hingga dapat diselesaikan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Lukiwati, D.R. 2002. Effect of rock phosphate and superphosphate fertilizer on the productivity of

maize var. Bisma. Proc.of International Workshop Food Security in Nutrient-Stressed

Environments: Exploiting Plant’s Genetic Capabilities. International Crops Research Institute

for Semi-Arid Tropics (ICRISAT). Patancheru, India, 27-30 September 1999. Kluwer Academic

Publishers. Netherlands. p. 183-187.

Lukiwati, D.R. 2012. Effect of organic and inorganic fertilizer combinations on yield, dry matter

production, and crude protein content in stover and cornhusk. Proc.of International Conf.

‘Agribusiness of Maize-Livestock Integration’. Gorontalo, Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. November 21-23. p. 118-120.

Lukiwati, D.R. and Waluyanti, R. 2001. Response of maize to the residual effect of phosphorus

fertilization in Latosolic soil. In: 37th Croatian Symposium on Agriculture with an

International Participation. Opatija-Croatia, 19-23 February. p.183.

Saraswati, R. dan Sumarno. 2008. Pemanfaatan mikroba penyubur tanah. Iptek Tanaman Pangan.

3(1): 1-58.

Page 66: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

57

Soelaeman, Y. 2008. Efektivitas pupuk kandang dalam meningkatkan ketersediaan fosfat,

pertumbuhan dan hasil padi dan jagung pada lahan kering masam. J. Tanah Trop. 13(1): 41-47.

Sumida, H. and Yamamoto, K. 1997. Effect of decomposition of city refuse compost on the behaviour

of organic compounds in the particle size fractions. Proc. 13th Internat’l. Plant Nutr. Colloq.

Tokyo. p.599-600.

Winks, L. 1990. Phosphorus and beef production in northern Australia. 2. Responses to phosphorus

by ruminants-a review. Trop. Grassld. 24:140-158.

Page 67: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

58

PERHITUNGAN MCV DAN MCHC UNTUK MENGANALISIS INDIKASI ANEMIA

PADA KELINCI YANG DISUPLEMENTASI DAUN KATUK DALAM PAKAN

Mohandas Indradji, Sri Hastuti, dan Diana Indrasanti

Fakultas Peternakan UNSOED, PO BOX 110, Purwokerto 53123

Email : [email protected]

ABSTRACT

In this article we analyze the causes of anemia that occurs in groups of rabbits experiment. This study

is required relating the discovery of values below on the normal standards of the red blood cells

values, total hemoglobin and packed cell volume, that indicate the occurrence of anemia in rabbits.

The material used in this study are Rex female rabbits amount of 18 tails, aged 12-18 months with a

weight of 2-3 kg. The treatments were; the feed rabbits base (supplementation 0% ) and the feed

treatment (supplementation 5% anf 10% Sourapus androgenus leaves). The results of the study on

the evaluation of MCV and MCHC showed that all groups rabbits experience have suffered

hypochromic normocytic anemia due to iron deficiency in early stage.

Keywords: anemia, rabbit, Sourapus androgenus, MCV and MCHC.

PENDAHULUAN

Mean Corpuscular Volume/MCV dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration/MCHC

merupakan metode perhitungan parameter darah yang dapat digunakan dalam mengevaluasi suatu

status anemia pada ternak. Dalam penelitian ini perhitungan parameter-parameter darah tersebut

digunakan untuk menilai sebab-sebab terjadinya anemia dari induk kelinci yang diberi suplementasi

daun katuk dalam pakan.

Satu ekor induk kelinci dapat menghasilkan anak 3-14 ekor, dalam banyak kasus yang terjadi dalam

suatu peternakan kelinci, angka kematian anak kelinci sangatlah tinggi, terutama pada saat umur

kurang dari satu minggu. Suplementasi daun katuk diharapkan dapat memperbaiki kuantitas dan

kualitas air susu induk kelinci dengan harapan dapat menurunkan tingkat kematian anak kelinci,

sehubungan dengan kapasitas jumlah ambing yang fungsional atau jumlah litter size yang tinggi.

Jumlah “ambing” induk kelinci ada 4 pasang dan yang berfungsi/mengeluarkan air susu hanya 3

pasang.

Dalam artikel ini kami menganalisis sebab-sebab terjadinya anemia yang terjadi pada penelitian ini.

Kajian ini diperlukan berkaitan ditemukannya nilai-nilai parameter darah yang berada dibawah

standar normal, pada jumlah sel darah merah, total hemoglobin dan nilai packed cell volume, yang

dapat mengindikasikan terjadinya anemia pada kelinci percobaan.

METODE PENELITIAN

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci jenis Rek betina sebanyak 18 ekor, umur

12-18 bulan dengan bobot badan 2-3 kg. Peralatan yang digunakan meliputi kandang, tempat pakan,

tempat minum, alat kebersihan, timbangan, spuit, kontainer pembawa sampel, mesin pelet oven dll.

Perlakuan berupa pemberian pakan basal kelinci(suplementasi 0%/K0) dan pakan perlakuan

(suplementasi 5%/K1dan 10%/K2 daun katuk). Komposisi dan kandungan pakan basal mengacu pada

Widiyastuti et al. (2014).

Page 68: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

59

Tabel 1. Komposisi dan Kandungan Pakan Perlakuan

Bahan pakan K0(%) K1(%) K2(%)

Rumput alam 11 11 11

Jagung Giling 14 14 14

Dedak 16 16 16

bBungkil kelapa 27 27 27

Pollard 29 29 29

Molasis 2,6 2,6 2,6

Min Mix 0,4 0,4 0,4

Daun Katuk 0 5 10

Jumlah 100 105 110

Kandungan Nutrien (%)

Bahan Kering 80,06 84,17 88,29

Protein Kasar 15,9 17,09 18,37

Lemak 6,2 6,55 6,9

Serat Kasar 15,09 15,58 16,07

Total Digestible Nutrient 71,4 74,92 78,44

Ca 0,44 0,57 0,67

P 0,23 0,28 0,34

Variabel yang diamati : jumlah sel darah merah(SDM), Hemoglobin(Hb), packed cell volume(PCV).

Metode pengambilan dan pengamatan sampel mengacu pada Duncan et. al (1994).

Analisis Anemia

Metode yang digunakan dalam menganalisis sebab-sebab terjadinya anemia adalah dengan perhitungn

MCV dan MCHC. MCV(Mean Corpuscular Volume) menunjukkan ukuran dari sel darah merah, jika

ukuran sel membesar disebut makrositik, ukuran normal disebut normositik dan ukuran mengecil

disebut mikrositik. MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) menunjukkan rata-rata

konsentrasi hemoglobin dalam sel darah merah, dipresentasikan dalam bentuk warna dari sel

darah merah, jika warna sel darah merah dalam kondisai normal disebut normokromik atau

warna menjadi pucat disebut hipokromik, atau merah menyala disebut hiperkromik. Nilai

MCHC sangat akurat dan absolut untuk menilai indikasi anemia pada hewan (Thompson,

2006).

Untuk melakukan Interpretasi warna dan ukuran sel darah merah digunakan perhitungan MCV

dengan satuan fl atau 10-15L dan MCHC dengan satuan gr/100 ml.

MCV = PCV (%) x 10 dan MCHC = Hb(g/100 ml) x 100

SDM (mm3) PCV (%)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-faktor yang menyebabkan kejadian anemia pada ternak dengan pengamatan ukuran dan warna

sel darah merah yang mengacu pada perhitungan MCV dan MCHC telah diuraikan dalam Duncan

et.al (1994), Thomson (2006), adapun penjelasannya dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 69: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

60

Tabel 2. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologinya(Duncan et.al (1994; Thomson, 2006)

MCV MCHC Interpretasi

Normositik Normokromik Defisiensi nutrisi secara umum

Normositik Hipokromik Kekurangan Zat Besi pada tahap awal

Makrositik Normokromik Defisiensi Vit B12 dan Asam Folat, defisiensi

kobalt(ruminansia), gangguan pada sumsum tulang

Makrositik Hipokromik Perdarahan hebat

Mikrositik Normokromik Defisiensi Zat Besi yang parah

Mikrositik Hipokromik Defisiensi Zat besi, tembaga, Piridoksin dan perdarahan kronis

Hasil perhitungan MCV dan MCHC data penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Nilai Variabel Penelitian

SDM (juta/ µL) Hb (%) PCV (%) MCV MCHC

Standar* 5,1-7,9 10-17,4 33-50 60-69 30-35

K0 4,73 9,00 32,25 68,18 27,91

K1 4,99 9,90 35,98 72,10 27,52

K2 4,76 9,40 33,03 69,39 28,46

Secara laboratoris nyata sekali terlihat bahwa ketiga perlakuan (K0, K1dan K2 ) semua kelompok

mengalami anemia, yang terlihat dari nilai sel darah merah dan hemoglobin dibawah standar nilai

normal. Kemudian dari hasil perhitungan MCV dapat digambarkan bahwa semua kelompok

mengalami anemia normositik, karena ukuran sel darah merah masih dalam ukuran normal,

sedangkan dari hasil perhitungan MCHC, semua kelompok mengalami anemia hipokromik, karena

nilainya dibawah standar normal.

Anemia normositik hipokromik(Tabel 2) disebabkan oleh kekurangan zat besi pada tahap awal

(Duncan et.al (1994;Thomson, 2006; Weiser, 2012). Kandungan nutrien daun katuk memenuhi syarat

sebagai prekursor dalam pembentukan sel-sel darah merah seperti dicantumkan dalam Pilliang (2001)

dan Nugraha (2008).

Jadi semua kelompok perlakuan menderita anemia, anemia yang terdeteksi disebabkan oleh karena

rendahnya asupan zat besi pada tahap awal, hal ini tentu merupakan ironi jika mengacu pada nilai

kandungan nutrien daun katuk (Pilliang, 2001; Nugraha 2008), apalagi komposisi pakan basal sudah

sesuai dengan kebutuhan nutrien kelinci. Peneliti berpendapat bahwa terdapat faktor-faktor diluar

variabel/parameter uji ataupun perlakuan yang sangat berpengaruh dalam pengambilan kesimpulan.

Dari analisis jumlah konsumsi pakan, semua kelompok perlakuan menunjukkan kuantitas asupan

dibawah normal (kurang dari 200 gram/ekor/hari) dan tidak berbeda nyata, tetapi peneliti belum dapat

menyimpulkan mengapa konsumsi pakan begitu rendah, perlu kajian atau analisis lebih lanjut.

KESIMPULAN

Semua kelinci percobaan menglami anemia normositik hipokromik yang disebabkan kekurangan zat

besi dalam tahap awal.

Page 70: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

61

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terima kasih kepada Pimpro Dana BOPTN UNSOED 2014 atas penyediaan

dananya, kepada tim riset penelitian atas bantuan pelaksanaan pemeliharaan kelinci, kepada staf

laboratorium Ilmu Bahan Pakan atas dukungan analisis pakan dll.

DAFTAR PUSTAKA

Duncan, J.R., K.W. Prasse dan E.A. Mahafey. 1994. Veterinary Laboratory Medicine. Clinical

Pathology. 3rd ed. Iowa State Universiti, Ames.

Nugraha, S. 2008. Pemanfaatan dan komposisi nutrisi daun katuk (Saurapous androgynus L.

Merr).http://www. Pustaka deptan.go.id/bppi/lengkap/bpp 08005.pdf. diakses 1 Oktober 2015.

Pilliang, W.G. 2001. Efek pemberian daun katuk (Sourapus androgenus) dalam ransum terhadap

kandungan kolesterol, karkas dan telur ayam lokal. LEMLIT IPB bekerja sama dengan BPPP,

Proyek ARMP II.

Thompson, R.B. 2006. A short textbook of hematology.7th ed. 217 p. Garden City Press Ltd.

Letchworth, Hertfordshire, UK.

Widiyastuti, T., Mohandas I., Agung W. dan Roy H. 2014. Biorefinery of jatropa seed cake by lactid

acid bacteria and the effects hematological profile of rex rabbit. Energy Procedia, Vol. 47.

Elsevier BV.

Weiser, G. 2012. Laboratory Technology for Veterinary Medicine in Veterinary Hematology and

Clinical Chemistry. Wiley-Blackwell pub. USA. Pp: 3-7.

Page 71: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

62

PEMURNIAN BENIH LEGUMINOSA PAKAN KALOPO (Calopogonium mucunoides)

Achmad Fanindi, I.Herdiawan, E. Sutedi, Sajimin, dan B.R. Prawiradiputra

Balai Penelitian Ternak Ciawi

Email: [email protected]

ABSTRAK

Perbanyakan benih leguminosa pakan yang dapat juga berfungsi sebagai tanaman penutup tanah

diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan bagi petani dan memberikan konstribusi bagi

sektor perkebunan. Tahapan awal untuk penelitian benih Kalopo adalah pemurniaan benih, yang

bertujuan untuk menghasilkan benih-benih yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai benih

sumber. Penelitian dilakukan di lahan Kebun percobaan Balitnak di Kaum Pandak (Bogor). Jumlah

petak yang digunakan adalah 36 petak, masing-masing berukuran 2x5 m2. Benih Kalopo yang

digunakan adalah hasil seleksi atau sortasi benih hasil panen tahun sebelumnya, yang akan

dimurnikan. Sortasi dilakukan di laboratorium Agrostologi di Ciawi. Benih yang dipilih untuk

ditanam di lapangan adalah benih yang berwarna kuning dan berukuran besar (berat 100 biji > 1,6 g).

Panen dilakukan selama lima kali dengan interval 2-3 minggu. Selanjutnya dilakukan seleksi biji yang

dihasilkan berdasarkan ukuran, warna, kekeriputan kulit dan tanda-tanda lain yang kasat mata. Peubah

lain yang diamati adalah produksi biji, waktu berbunga dan waktu terbentuknya polong. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa umur tanaman 5 minggu setelah tanam (MST), sekitar 50 % dari

populasi tanaman di semua petak yang diamati sudah mulai berbunga. Sedangkan pada Umur

tanaman 6 MST, persentase populasi yang berbunga sudah mencapai 80%. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa pada minggu ke-7 hampir 50% tanaman kalopo sudah membentuk polong, dan

pada minggu ke 8 polong yang terbentuk sudah meningkat hingga mencapai 70%. Hasil pemurnian

yang dilakukan menunjukkan bahwa daya hasil biji di setiap petak bervariasi dari 196,5 g per petak

sampai 544 g per petak. Produksi biji tertinggi terjadi pada panen ke 3, yaitu 6,4 kg sedangkan

terendah adalah pada panen ke 5 yaitu 378 gr. Total produksi benih panen 1-5 adalah 11,8 Kg. Hasil

pemurniaan benih menunjukkan bahwa hasil produksi biji berwarna kuning, yang menjadi sasaran

pemurnian meningkat sekitar 9%, yaitu dari 33% menjadi 42%. Penelitian selanjutnya diharapkan

dapat meningkatkan prosentase pemurnian benih yang diharapkan.

Kata Kunci : pemurnian, leguminosa, Kalopo

PENDAHULUAN

Dilihat dari segi bisnis, usaha untuk menghasilkan benih tanaman pakan ternak dan tanaman penutup

tanah ini mempunyai peluang yang sangat besar. Menurut Karyudi dan Siagian (2006), luas

perkebunan karet (tidak termasuk karet rakyat) yang memerlukan tanaman penutup tanah adalah

sekitar 500 ribu hektar. Dari luas itu setiap tahun kurang lebih 56.000 ha diremajakan yang berarti

memerlukan tanaman penutup tanah (Azmi dan Gunawan, 2005). Beaya yang dibutuhkan untuk

tanaman penutup tanah di Sumatera Utara menurut Karyudi dan Siagian (2005) berkisar antara Rp.

500 ribu sampai Rp. 1 juta per hektare tanaman.

Perbanyakan benih leguminosa pakan yang dapat juga berfungsi sebagai tanaman penutup tanah

diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan bagi petani secara signifikan selain memberikan

kontribusi terhadap sub sektor perkebunan, karena dengan adanya penangkar benih leguminosa penutup

tanah kebutuhan penutup tanah bisa dipenuhi dari dalam negeri, tidak perlu impor.

Salah satu masalah yang biasa dihadapi peternak (khususnya peternak ruminansia) adalah rendahnya

kualitas hijauan pakan (Devendra, 1990). Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan peternak untuk

Page 72: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

63

memberikan konsentrat bermutu tinggi kepada ternaknya (Prawiradiputra dan Purwantari, 1996).

Dengan penghasilan dari usahatani yang rendah peternak biasanya tidak mampu membeli konsentrat

yang harganya cukup tinggi.

Diperlukan upaya untuk memperkenalkan hijauan pakan yang kandungan nutrisinya cukup tinggi

seperti halnya leguminosa (Humphreys, 1980; Prawiradiputra et al., 2006).

Beberapa jenis leguminosa sudah dikenal luas oleh peternak, seperti lamtoro dan gamal, ada juga

jenis-jenis yang sudah diketahui tetapi belum banyak dimanfaatkan seperti misalnya kaliandra (’t

Mannetje and Jones, 1992), namun sebagian besar leguminosa belum dikenal oleh peternak. Di antara

yang sudah dikenal peternak namun perlu lebih dimasyarakatkan lagi adalah Calopogonium

mucunoides (kalopo) (Fanindi dan Prawiradiputra, 2005). Leguminosa ini merupakan leguminosa

herba yang dapat juga dimanfaatkan sebagai penutup tanah atau pupuk hijau di perkebunan-

perkebunan seperti perkebunan karet dan kelapa sawit (Azwar, 2005; Karyudi dan Siagian, 2005).

Sampai saat ini sebagian besar kebutuhan benih kedua jenis leguminosa untuk penutup tanah tersebut

masih dipasok dari luar negeri, seperti dari Australia dengan harga yang sangat tinggi. Menurut Karyudi

dan Siagian (2005), pasokan dari dalam negeri semakin berkurang disamping mutu yang tidak terjamin

dan sering tidak tepat waktu, padahal Indonesia mempunyai potensi yang selama ini terabaikan untuk

memperbanyak benih leguminosa pakan ternak sekaligus sebagai penutup tanah ini. Menurut Abdullah

et al. (2005), sudah waktunya kita mengubah paradigma hijauan pakan ternak menjadi komoditas

komersial sehingga bisa meningkatkan penghasilan petani.

Perbanyakan benih leguminosa pakan yang dapat juga berfungsi sebagai tanaman penutup tanah

diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan bagi petani secara signifikan selain memberikan

kontribusi terhadap sub sektor perkebunan, karena dengan adanya penangkar benih leguminosa penutup

tanah kebutuhan penutup tanah bisa dipenuhi dari dalam negeri, tidak perlu impor. Tahapan awal untuk

penelitian produksi benih Kalopo adalah pemurniaan benih, yang bertujuan untuk menghasilkan benih-

benih yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai benih sumber.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di lahan Kebun percobaan Balitnak di Kaum Pandak (Bogor). Jumlah petak yang

digunakan adalah 36 petak, masing-masing berukuran 2x5 m2. Benih Kalopo yang digunakan adalah

hasil seleksi atau sortasi benih hasil panen tahun sebelumnya, yang akan dimurnikan. Sortasi

dilakukan di laboratorium Agrostologi di Ciawi. Benih yang dipilih untuk ditanam di lapangan adalah

benih yang berwarna kuning dan berukuran besar (berat 100 biji > 1,6 g). Selanjutnya benih yang

terpilih disemaikan di dalam polybag dan disimpan di persemaian yang ternaungi. Media yang

digunakan di polybag adalah tanah yang sudah diayak dicampur dengan kompos halus (fine compost).

Setelah satu bulan, tanaman di persemaian yang morfologinya relatif seragam ditanam di lapangan.

Pemanenan biji dilakukan pada saat kulit polongnya sudah berwarna hijau kecoklatan atau terlihat

tanda-tanda akan pecah. Panen dilakukan selama lima kali dengan interval 2-3 minggu. Selanjutnya

dilakukan seleksi biji yang dihasilkan berdasarkan ukuran, warna, kekeriputan kulit dan tanda-tanda

lain yang kasat mata. Peubah lain yang diamati adalah produksi biji, waktu berbunga dan waktu

terbentuknya polong.

Page 73: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

64

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Umur berbunga

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 5 minggu setelah tanam sekitar 50 % dari populasi tanaman di

semua petak yang diamati sudah mulai berbunga. Pengamatan pada 6 minggu setelah tanam,

persentase populasi yang berbunga sudah mencapai 80%. Dengan demikan umur mulai berbunga

tanaman kalopo lebih cepat dibandingkan pada tahun sebelumnya. Kalopo pada tahun sebelumnya,

pada minggu ke-5 jumlah tanaman yang berbunga 47,8% dan pada minggu ke-6 75,8%. Namun

perbedaan ini tidak begitu nyata dan masih sesuai dengan yang dikemukakan oleh t’Mannetje dan

Jones (1992) dan Humphrey (1981) yang menyatakan bahwa di daerah tropis umur mulai berbunga

dari kalopo adalah sekitar 5 dan 6 minggu.

2. Umur pembentukan polong

Pengamatan pembentukan polong dilakukan pada minggu ke-7 dan ke-8. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa pada minggu ke-7 hampir 50% tanaman kalopo sudah membentuk polong, dan

pada minggu ke 8 polong yang terbentuk sudah meningkat hingga mencapai 70%. Dibandingkan

dengan hasil tahun sebelumnya, juga hampir sama dimana pada minggu ke-7, polong yang terbentuk

mencapai 49,2% dan pada minggu ke-8 72,7%. Kemampuan tanaman membentuk polong ini

berpengaruh terhadap produktivitas tanaman di dalam menghasilkan biji.

3. Produksi biji di lapangan

Hasil pemurnian yang dilakukan menunjukkan bahwa daya hasil biji di setiap petak bervariasi dari

196,5 g per petak sampai 544 g per petak. Pada Tabel 2 dan Gambar 1 terlihat bahwa produksi biji

tertinggi terjadi pada panen ke 3.

Hasil Sortasi berdasarkan warna

Tabel 1. Hasil sortasi berdasarkan warna biji.

No. Warna biji

Jumlah (%)

Selisih (%) Hasil tahun ini

(2008)

Hasil tahun

sebelumnya

1. Kuning 42,33 33,06 + 28,04

2. Coklat 30,42 32,36 - 6,00

3. Hitam 25,47 34,58 - 26,34

4. Hampa 1.78 -

Page 74: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

65

Dibandingkan dengan pada tahun sebelumnya (2007), terlihat bahwa biji berwarna kuning yang

menjadi sasaran pemurnian meningkat sekitar 9%, yaitu dari 33% menjadi 42%, walaupun masih di

bawah 50%. Diharapkan hasil seleksi dan pemurnian pada tahun berikutnya prosentase peningkatan

benih kuning besar akan terus meningkat.

Tabel 2. Bobot biji bersih kalopo di Kaum Pandak (2008)

Bobot biji bersih Calopogonium mucunoides (g/petak)

No Petak

Panen ke

I II III IV V Jumlah

28 Agu 16-Sep 13 Okt 4-Nov 18-Nov

1 7.8 21 247 73 0 348.8

2 8.52 56 125 37 10 236.52

3 5.59 48 149 116 20 338.59

4 7.36 74 115 47 4 247.36

5 7.39 135 300 59 11 512.39

6 7.3 118 195 69 14 403.3

7 0 87 195 57 11 350

8 9.76 74 194 78 25 380.76

9 3.57 49 144 32 28 256.57

10 8.62 71 173 53 15 320.62

11 0 34 249 7 4 294

12 3.16 84 267 97 15 466.16

13 9.63 85 90 38 0 222.63

14 12.98 25 286 9 23 355.98

15 3.93 48 361 106 26 544.93

16 51.56 216 82 146 15 510.56

17 5.44 86 156 13 4 264.44

18 4.55 35 264 20 15 338.55

19 2.1 40 145 65 14 266.1

20 15.29 161 152 31 0 359.29

21 16.5 78 92 10 0 196.5

22 58.22 147 51 15 0 271.22

23 53.69 209 61 9 3 335.69

24 25.15 163 121 9 8 326.15

25 7.84 83 184 37 11 322.84

26 31.99 39 231 46 13 360.99

27 12.51 43 165 37 0 257.51

28 7.93 82 159 10 7 265.93

29 3.21 55 173 17 6 254.21

30 0 70 251 37 15 373

31 20.56 112 339 16 8 495.56

32 39.01 164 121 20 0 344.01

33 9.2 30 53 70 36 198.2

34 15.68 36 220 63 0 334.68

35 0 75 183 19 6 283

36 21.4 80 115 16 11 243.4

Jumlah 497,44 3.013 6.408 1.584 378 11.880,44

Page 75: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

66

KESIMPULAN DAN SARAN

a. Biji kalopo (Calopogonium mucunoides) yang ditanam dari benih hasil seleksi tahun 2007 masih

menghasilkan tiga warna biji, yaitu kuning, coklat dan hitam. Namun ukuranya sudah hampir

seragam.

b. Biji yang berwarna kuning merupakan biji yang dominan yaitu sekitar 42%, dibandingkan dengan

biji berwarna coklat dan hitam. Sedangkan biji yang berwarna coklat tidak begitu berbeda dengan

benih yang berwarna hitam.

c. Kegiatan ini memiliki prospek yang sangat baik. Untuk itu diperlukan dukungan yang kuat dari

berbagai pihak. Salah satu dukungan yang penting dan konkrit adalah penyediaan lahan yang

cukup luas untuk perbanyakan benih sebelum benih dilepas.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, L., Panca Dewi M.H. Karti dan S. Hardjosoewignjo. 2005. Reposisi tanaman pakan dalam

kurikulum Fakultas Peternakan. Dalam Subandriyo et al. (eds). Prosiding Lokakarya Nasional

Tanaman Pakan Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang

Pertanian.

Azmi dan Gunawan. 2005. Potensi hijauan pakan lahan perkebunan untuk pengembangan sapi potong

di Bengkulu. Dalam Subandriyo et al. (eds). Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan

Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian.

Azwar, R. 2005. Peran tanaman pakan ternak sebagai tanaman konservasi dan penutup tanah di

perkebunan. Dalam Subandriyo et al. (eds). Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan

Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian.

Devendra, C. 1990. Feed resources development and utilization in crop-animal system in the Asian

region. Paper presented at the 3rd Crop-Animal Farming Systems Workshop. Dhaka,

Bangladesh.

Fanindi, A. dan B.R. Prawiradiputra. 2005. Karakteristik dan pemanfaatan kalopo (Callopogonium

sp.). Dalam Subandriyo et al. (eds). Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian.

Humphreys, L.R. 1980. A Guide to Better Pastures for the Tropics and Subtropics. 4th edition. Wright

Steplenson & Co. (Australia) Pty. Ltd.

Jayadi, S. 1991. Hijauan Makanan Ternak Tropika. Institut Pertanian Bogor

Karyudi dan N. Siagian. 2005. Peluang dan kendala dalam pengusahaan tanaman penutup tanah di

perkebunan karet. Dalam Subandriyo et al. (eds). Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman

Pakan Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian.

‘tMannetje, L. and R.M. Jones (eds), 1992. Plant Resources of South-East Asia. No. 4. Forages.

Prosea, Bogor, Indonesia

Prawiradiputra, B.R. dan N.D. Purwantari. 1996. Pengembangan potensi sumberdaya hijauan pakan

untuk menunjang produktivitas ternak di Indonesia. Dalam Hastiono et al. (eds). Proc. Seminar

Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan

Litbang Pertanian.

Prawiradiputra, B.R., Sajimin dan Jan R. Hidayat. 2007. Pemurnian benih leguminosa pakan Pueraria

javanica dan Calopogonium mucunoides. Laporan Penelitian Internal Balai Penelitian Ternak

TA 2007. Belum diterbitkan.

Skerman , P.J. 1977. Tropical Forage Legumes. Food and Agriculture, United Nation

Page 76: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

67

KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK, KADAR VFA DAN AMONIA

SILASE PAKAN KOMPLIT SECARA IN VITRO

Suparwi, Munasik dan Muhamad Samsi

Fakultas Peternakan Unsoed

Email: [email protected],

ABSTRACT.

Study on in vitro total mixed ration (TMR) silage was conducted from 10th Maret up to 20th Juni 2015

was conducted in Animal Nutrition Laboratory Faculty of Animal Science Unsoed. The aim of this

study are to evaluated the Dry Matter, Organic Matter Degradabilit, VFA and NH3 level of TMR

silage. Five types of treatments which P1 = concentrate 26% + molasses 1,50% + urea 0,50% + salt

0,50% + mineral mix 1,50% + elephant grass 70%; P2 = consentrate 36% + molasses 1,50% + urea

0,50% + salt 0,50% + mineral mix 1,50% + elephant grass 60%; P3 = concentrate 46% + molasses

1,50% + urea 0,50% + salt 0,50% + mineral mix 1,50% + elephant grass 50%; P4 = concentrate

56% + molasses 1,50% + urea0,50% + salt 0,50% + mineral mix 1,50% + elephant grass 40%; P5 =

concentrate 66% + molasses 1,50%% + urea 0,50% + salt 0,50% + mineral mix 1,50% + elephant

grass 30% are place in 20 fermentor tubes. Completely Randomized Design followed by orthogonal

poynomial test was used to analyzed the data. This study show that crude protein 13,14% - 16,57%

and crude fiber 33,10 -16,57%. In vitro: DMD 68.78 – 79,90%, OMD 68,86 – 81.53%, ammonia

11.55 – 17.30 mM and Total VFA 82 – 136.5 mM.

Keywords: TMR, DMD, OMD, amonia, VFA.

PENDAHULUAN

Pemberian pakan yang ekonomis, efisien dan efektif sangat diharapkan oleh para peternak. Di

Amerika Serikat, penggunaan pakan komplit (Total Mix Ration = TMR) sudah terbukti manfaatnya

bagi usaha peternakan sapi perah, sapi potong, domba perah dan domba potong. Pemberian pakan

konsentrat 90% ditambah pakan hijauan 10% pada sapi potong yang digemukkan seringkali

menimbulkan kembung perut (bloat) dan biaya pakan sangat mahal. Berarti biaya tinggi dan

fisiologis rendah. Sebaliknya pakan konsentrat hanya 10% dan pakan hijauan 90%, biaya pakan

murah, tetapi kinerja ternak ruminansia sangat rendah, berarti ekonomis, tetapi fisiologis rendah.

Pemberian pakan konsentrat, beberapa saat diberi pakan hijauan menimbulkan permasalahan, yaitu

cairan rumen bersifat asam (pH isi rumen turun, kurang dari 6), banyak mikroba yang mati,

akibatnya kinerja ternak ruminansia menurun. Untuk menjawab masalah tersebut, perlu menciptakan

kondisi mantap pada usaha ternak ruminansia khususnya pada domba lokal jantan, yaitu pemberian

silase pakan komplit (SPK) yang dapat meningkatkan kinerja domba lokal jantan. Pakan berupa

SPK sangat efisien, efektif dan manfaatnya tinggi bagi domba dan peternak. Efisien dan efektif bagi

peternak, karena membuat SPK cukup ngarit satu kali untuk kecukupan pakan selama satu bulan.

Manfaat bagi domba, SPK sangat disukai karena harum, nutrisinya lengkap, tidak menimbulkan

kembung perut dan cepat tumbuh. Demplot pakan komplit telah dilakukan oleh Suparwi dan Sri

Utami (2010) di Tegal, 2012 di Purbalingga, 2013 di Banyumas, dan 2015 di Purbalingga.

Palatabilitasnya sangat tinggi, karena harum, kadar protein kasar 13,50%.

Silase pakan komplit merupakan ransum tunggal yang sangat baik karena terjadi sinkronisasi nutrien.

Keseimbangan antara kebutuhan karbohidrat dan protein dapat tercapai dan sangat baik. Pemberian

pakan 3 – 4 kali per hari lebih baik, karena dapat mencegah terjadinya asidosis. Imbangan antara

hijauan dan konsentrat berdasarkan bahan kering 50:50 memberikan pengaruh yang paling baik

Page 77: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

68

terhadap kinerja sapi perah laktasi. Imbangan BK 60: 40 atau 40 : 60 tidak berpengaruh nyata

terhadap kinerja sapi perah laktasi karena kecernaan ransum masih cukup tinggi ( Snowdon, 1991).

Kisaran kadar serat kasar yang dicerminkan dari ADF 19-21% dan NDF antara 25- 28% bahan

kering ransum ( Kung, 2007).

Total Mixed Ration digunakan secara luas di Amerika Serikat dan silase pakan komplit merupakan

pilihan tepat, ekonomis, tidak menimbulkan Sub-Acute Ruminal Acidoses (SARA), sehingga dapat

menaikkan performans ternak ruminansia, termasuk domba (Snowdon, 1991). Terjadinya asidosis

pada ruminansia akibat dari perubahan yang cepat pemberian pakan hijauan ke pakan konsentrat.

Apabila pakan hijauan dicampur dengan konsentrat tidak menyebabkan terjadinya asidosis di dalam

retikulo rumen (Norlund, 2003).

METODE PENELITIAN

Uji In Vitro untuk mengetahui Kecernaan Bahan Kering (KBK), Kecernaan Bahan Organik (KBO)

menurut metode Telley dan Terry (1963), Kadar VFA total, dan kadar amonia menggunakan metode

Mikrodifusi Conwey. Perlakuannya sebagai berikut:

P1 = konsentrat 26% + tetes 1,50% + urea 0,50% + garam 0,50% + mineral mix 1,50% + rumput

gajah 70%; P2 = konsentrat 36% + tetes 1,50% + urea 0,50% + garam 0,50% + mineral mix 1,50% +

rumput gajah 60%; P3 = Konsentrat 46% + tetes 1,50% + urea 0,50% + garam 0,50% + mineral mix

1,50% + rumput gajah 50%; P4 = konsentrat 56% + tetes 1,50% + 0,50% + garam 0,50% + mineral

mix 1,50% + rumput gajah 40%; P5 = konsentrat 66% + tetes 1,50%% + urea 0,50% + garam 0,50%

+ mineral mix 1,50% + rumput gajah 30%. Susunan pakan konsentrat terdiri atas tepung kedele

afkir 5, bran pollard 25, bungkil kelapa 25, onggok 28, dedak padi 15, mineral 2%. Berdasarkan hasil

analisis proksimat, bahan kering 78,09%, protein kasar 15,27%, dan energi (TDN) 76,20%.

Penelitian menggunakan 20 tabung fermentor dan inokulum dari cairan rumen domba untuk

menguji 5 macam silase pakan komplit: P1, P2, P3, P4 dan P5. Rancangan percobaan yang

digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Steel dan Torrie, 1989), 5 macam silase pakan

komplit sebagai perlakuan, dengan 4 ulangan.

Silase pakan komplit setelah 21 hari diambil sampel 1 kg setiap drum untuk analisis proksimat dan in

vitro. Peubah yang diukur adalah KBK, KBO, kadar amonia dan VFA total. Data yang diperoleh

dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA). Untuk membandingkan pengaruh taraf

konsentrat dan hijauan dalam silase pakan komplit menggunakan Uji Orthogonal Polinomial.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan kecernaan bahan kering, bahan organik, kadar amonia dan VFA total disajikan pada tabel1.

Tabel 1. Rataan kecernaan bahan kering, bahan organik, amonia dan VFA total

Perlakuan KBK,% KBO,% NH3 mM VFA mM

P1 68,78a 68,86a 11,55a 82a

P2 71,08b 70,84b 13,48b 98,8b

P3 71,86c 75,99c 13,98c 114,3c

P4 71,91d 77,17d 16,0d 120,8d

P5 79,90e 81,53e 17,3e 136,5e

Superskrip dalam kolom yang sama berbeda nyata (P<0,05).

Page 78: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

69

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kadar amonia

dan VFA total antar perlakuan berbeda nyata (P<0,05). Semakin tinggi persentase konsentrat

semakin tinggi pula kecernaan dan kadar amonia dan VFA total. Kadar konsentrat 30% dengan

hijauan 70% masih mampu menghasilkan kecernaan bahan kering 68,78%. Pakan dikatakan baik

apabila kecernaannya minimum 60%. Nilai kecernaan tersebut sangat mendukung pertumbuhan

mikroba rumen dan performans ternak ruminansia. Kecernaan bahan kering dan bahan organik

mempunayai hubungan yang erat, karena nutrien yang terkandung di dalam bahan organik ada pula

di dalam bahan kering. Bahan organik merupakan komponen yang paing banyak di dalam bahan

kering. Ranjhan (1981) menyatakan bahwa bahan pakan yang kadar nutriennya sama memungkinkan

kecernaan bahan organik mengikuti kecernaan bahan keringnya.

Kecernaan bahan kering mengikuti persamaan garis regresi: Y = 31,766625 + 0,6336875 X (r2 =

84,74%). Kecernaan bahan organik paling rendah 68,86%, mengikuti persamaan garis regresi: Y =

10,6209 + 0,491425 X (r2 = 64,19%).

Hasil penelitian untuk kadar amonia berkisar antara 11,55 – 17,30 mM. Kadar amonia tersebut cukup

untuk mendukung pertumbuhan mikroba rumen dan sintesis protein mikroba. Secara normal

konsentrasi amonia di dalam cairan rumen antara 4 – 12 mM (rataan 8 mM). Konsentrasi amonia

yang lebih dari 30 mM akan mengakibatkan konsentrasi amonia darah meningkat dan gejala

keracunan dapat terjadi apabila kadar amonia darah mencapai 0,5 mg/100 ml (Hungate, 1966).

Konsentrasi amonia hasil penelitian in vitro mengikuti persamaan garis regresi; Y = 8,15 + 0,109 X

(r2 = 28,59%). Sedangkan kadar VFA total berkisar antara 82,0 – 136,5 mM. Konsentrasi VFA total

dalam cairan rumen untuk mendukung pertumbuhan mikroba rumen adalah 80 -160 mM (rataan 120

mM). Hasil penelitian ini sangat baik, karena rataan VFA total 110,5 mM, masih mampu untuk

memdukung pertumbuhan mikroba dan proses sintesis protein mikroba. Konsentrasi VFA total

mengikuti persamaan garis regresi Y = 44,95 + 1,31 X (r2 = 93,79%).

KESIMPULAN

Imbangan pakan konsentrat dan hijauan dalam silase pakan komplit mulai dari komposisi konsentrat

30% + hijauan 70% sampai dengan konsentrat 70% + hijauan 30% dapat menghasilkan rataan

kecernaan bahan kering 72,71%, rataan kecernaan bahan organik 74,88%, rataan kadar amonia 14,46

mM dan rataan kadar VFA total 110,5 mM, dapat mendukung pertumbuhan mikroba rumen dan

performans domba lokal jantan maupun ternak ruminansia yang lain.

UCAPAN TERIMA KASIH

Atas pelaksanaan penelitian, peneliti mengucapkan terima kasih kepada Direktur Penelitian dan

Pengabdian kepada Masyarakat Ditjen Dikti yang telah memberi dana untuk penelitian hibah bersaing

tahun I ini.

DAFTAR PUSTAKA

Hungate, R.E. 1966. The Rumen and Its Microbes. Academic Press, New York.

Kung, L. 2007. The Role of Fiber in Ruminant ration Formulation. http://ag.udel.edu/anfs/faculty

/kung/articles_of_fiber_in ruminant_ration.htm. diakses tanggal 26 Nopember 2012.

Norlund, K. 2003. Factors that Contribute to Subacute Ruminal Acidosis. University of Wisconsin,

School of Veterinary Medicine, 2015 Linden Drive, Madison, WI 53706.

Page 79: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

70

Ranjhan, J.K. 1981. Animal Nutrition in Tropic. Second Edition. Vicas Publishing House PVT Ltd,

New Delhi.

Snowdon, M. 1991. Livestock Nutrition. http://www.gnb.ca/0170/01700007-e.asp. diakses tanggal 25

Januari 2011.

Suparwi dan S. Utami. 2010. Teknologi Complete Feed untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak

Kambing di Kelompok Peternak Mugi Rahayu, Tegal. Laporan PKM Fakultas Peternakan

Unsoed, Purwokerto.

Page 80: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

71

PENAMPILAN ALFALFA (Medicago sativa) DEFOLIASI PERTAMA PADA JARAK

TANAM DAN UMUR DEFOLIASI YANG BERBEDA

Suwarno, Eko Hendarto, Nur Hidayat, Bahrun, Anisa Dewi Wardani Putri dan Taufik Hidayat

Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.

ABSTRACT

Forage, the main feedstuff for ruminants, includes grasses and legumes, browses, and side products of

food crops. However, legumes generally have greater crude protein content relative to other species

of forage plants. One of the species of legumes is alfalfa (Medicago sativa), a perennial crop that can

grow from the tropics up to sub tropics. In spite of its excellent nutrient content, In Indonesia alfalfa

is still not widely explored and used for feedstuff. A study was conducted to explore and evaluate

``alfalfa performances in terms of the height, number of tillers, dry matter (DM) and crude protein

(CP) productions under the effects of different plant densities and ages of defoliation”. The height of

the location of study was 200 m above sea level with an average temperature of 270 C. The results

showed that the ranges of the height of alfalfa, the numbers of tillers, DM and CP productions were

33.31-56.32 cm, 36.38-82.36 tillers/bunch, 556.9-1018.9 kg/ha/defoliation, and 149.75 – 291.79

kg/ha/defoliation, respectively. In general, the ages of plant at the time of defoliation and plant

distances affected (P<0.05) the variables being studied. The older plants resulted in greater DM and

CP yields, and more densely plantation resulted in greater DM and CP yields.

Keywords: alfalfa, plant density, defoliation age.

INTRODUCTION

Alfalfa (Medicago sativa L.) is grown both in temperate and subtropical regions. Although on the

global basis Alfalfa has been widely used for forage (Walton, 1983). In Indonesia, the biological

characteristics, distribution, exploration, and usage as feedstuff of this forage plant is not yet deeply

understood. According to Walton (1983), the center of origin of this forage plant is in Iran,

Transcaucasia, and Asia Minor, on where area Alfalfa has evolved to withstand the cold winters and

hot, dry summers. The common alfalfa (temperate tolerant) has a blue to purple-colored flowers,

relative to M. falcata, a cold-tolerant, that has yellow-colored flowers, has been widely known and has

been named “the queen of forages” (Walton,1983), and can be used for grazing, silage, or for hay

(Cheeke,1999).

Alfalfa may not grow well in acidic soils, presumably because the specific Rhizobia in alfalfa root

nodules are sensitive to pH values below 6.5 Walton, 1983). The root can penetrate the soil up to 3 to

6 m, therefore, alfalfa can relatively survive on dry lands. The part of the taproot just below the crown

forms a thick, fleshy storage region for carbohydrate material. The plant grows upright that may

reach 1 to 3 m height. There are over 100 alfalfa cultivars in common use, each of which having their

areas of adaptation, for instance, Vangard is adapted to live in south eastern US, Rambler, Roamer,

Dry lander, Titan are winter hardy, and Granda is disease and insect resistant, however, these cultivars

are not flooding tolerant. Crown root, a bacterial and fungal disease, makes a substantial contribution

to winterkill of alfalfa (Walton, 1983). Hanson et al., (1988) said, alfalfa is a perennial plant with a

high capacity of production and high forage nutrient content, 49.31 tons of DM/ha/y, and 26.6 % CP

content, respectively. Alfalfa is able to gain fast re growth after defoliation (Dhont et al.,2006).

Page 81: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

72

The ideal temperature for the growth of alfalfa is 27O C, however, in Alaska alfalfa can be adapted to

less than 25O C. (Frame, 1998). The defoliation of alfalfa can be conducted at the plant age of 28

days in the US (Habben and Folenec (1990), and 21 days in tropical regions (BBPTU or the Center

for the Breeding of Excellent Livestock), Baturraden, Central Java.

One of the factors that may affect the growth and production of alfalfa is management, including

planting distance and ages of defoliation. On the slope areas, sandy soils, and less fertile lands, it is

wise to plant alfalfa in a greater density in order to minimize soil erosion and maximize land use,

respectively. However, very high plant density may cause severe competition for alfalfa to obtain soil

minerals and sunlight, and greater possibility to contaminate plant disease from one to other plants.

Another factor that affects alfalfa production is the age of plant at the time of defoliation. Too old

plant at defoliation may product the highest dry matter, however, the nutrient content and feed quality

of the forage may suffer (Frame, 1998). On the contrary, too young age at the time of defoliation may

cause the least dry matter production and carbohydrate reserves for the re growth of alfalfa

(Undersander et al., 1997). Therefore, some studies are required to evaluate the performance of

alfalfa under various plant densities and ages of plant at the time of defoliation.

Some experiments indicated that alfalfa has been studied in terms of its growth and production under

the effects of various plant densities and the ages of plant at the time of defoliation, however, the

results are not conclusive. The density of alfalfa that was planted in Canada ranged from 11-172

holes of plants/m2 (Manitoba Agriculture, 1987). In Madison, USA, alfalfas that were planted at a

distance of (50 x 50) cm2 or 4 holes/m2, resulted in a fresh yield of 80 kg/ ha/defoliation (Shakra et

al., 1969), approximately 16 kg DM/ha/defoliation.

This study was conducted to evaluate the effect of alfalfa density and age of alfalfa at the time of

defoliation on the number of tillers and height of alfalfa.

MATERIALS AND METHOD

The materials of this study were alfalfa seeds, 5 seeds/hole, SP-36 fertilizer, 2.16 kg, urea as much as

2.7 kg, and 270 m2 area of land that was divided into 27 paddocks of 10 m2 each. The implements of

this study consisted of shovel, skits, meter roll, thermometer, soil tester, and oven.

The used design was nested (Montgomery, 1991), as followed:

The first factor as the group consisted of:

J1: ( 10x 20) cm2 planting distance or 50 holes of plantation/m2, (500,000 holes/ha)

J2: (15 x 20) cm2 planting distance or 33 holes of plantation/m2, (330,000 holes/ha)

J3: (20 x 20) cm2 planting distance or 25 holes of plantation/m2, (250,000holes/ha)

The second factor as sub-group, namely

D1: 21-day old alfalfa at the time of defoliation, (17 defoliations / year)

D2: 28-day old alfalfa at the time of defoliation, (13 defoliations / year)

D3: 35-day old alfalfa at the time of defoliation, (10 defoliations / year).

The measured variables were the number of tillers, height of plant, dry matter (DM) and crude protein

(CP) productions of alfalfa.

The study was conducted from10th of June until 25th of September 2008, in BPPTU Baturraden. Land

for cultivation as width as 400 m2 was divided in to 27 plots of 10m2 each and were fertilized with

Page 82: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

73

organic fertilizer (Alvinas), 7 days before seed cultivation as much as 2.5 tons/ha/defoliation. Alfalfa

seeds were planted as many as 5 seeds /hole, and fertilized with urea as much as 100 kg /ha /

defoliation, 14-day post-planting. There were only 3 plants / hole for all experimental units that were

used for analysis and observations.

RESULTS AND DISCUSSION

The height of the study location was 758 m above the sea level, the soil was categorized as andosol

with the content of 0.75% total N, 88.26% available P, 0.35% total P, and 0.09% total potassium, with

an average pH of 6.6 and the moisture range of 62-74 % and an average soil moisture of 73.7%. The

temperature at the site of study location ranged from 23OC up to 30OC with an average weekly basis

of 25.5OC. The yearly water fall (rain intensity) at the site of study was 2000 mm. This kind of soil

and climatic condition is still favorable for alfalfa growth and adaptation (Frame, 1998).

b. The performances of alfalfa under different plant density and the age of plant at defoliation.

The means of heights, the number of tillers, an dry matter production of alfalfa under the effect of

plant densities and the ages of plant at the time of defoliation was shown in table. Table 1 indicated

that the range of height of alfalfa in this study was 38.05 cm to 54.94 cm, the number of tillers was

14.05 up to 24.33/bunch, DM production was (556.88 – 1018.85) kg/ha/defoliation, and CP

production was 149.75 up to 291.79 kg/ha/defoliation.

Table 1. The means of alfalfa heights, the number of tillers, dry matter and crude protein productions

of alfalfa under various plant densities and age of plant at defoliation.

Variable Age of plant at defoliation(D) Plant density

D1 D2 D3 J1 J2 J3

Height (cm) 38.05a 49.07b 54.94c 49.76 47.31 44.99

Number of tillers 14.05a 20.75b 24.50c 17.30 19.68 22.32

Dry matter yield (kg/ha/defol.) 556.88a 867.69b 1018.85c 1011.42a 773.66b 658.35c

Crude protein content (% DM) 26.89 27.58 26.78 28.85 26.04 26.35

Crude protein production,

kg/ha/defol

149.75a

239.31b

272.85bc

291.79a

201.46b

173.48c

Notes: Ages of plant at defoliation: means at the same row with different super scrip, differ (P

<0.05). Plant density: means at the same row with different super scrip, differ (P <0.05).

In general, the older the alfalfa at the time of defoliation, the greater the height, number of tillers, DM

and CP yields (P < 0.05). In case of plant density, less densely plants resulted in the tendencies to

decrease the height and increase the number of tiller, and decreased significantly (P< 0.5) DM and CP

productions. On yearly basis, when alfalfa was defoliated at 21-d old, 28-d, and 35-d, the means of

DM productions were assumed to be 9466.96 kg, 11279.97 kg, and 10188.50 kg, respectively, which

were still in the range reported by Manitoba Agriculture (1987), that yearly DM yield of alfalfa was

approximately 12000 kg. The means of height of alfalfa were shown in figure 1. Similarly, the means

of yearly CP productions of various ages of alfalfa at 21-d, 28-d, and 35-d were assumed to be

2595.67, 3111.03, and 2728.50 kg/ha, respectively.

Page 83: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

74

Figure 1. The means of alfalfa height (cm) under the effects of various ages of plant at defoliation

(D1, D2, D3) and plant density (J1, J2, J3).

The means of the number of tillers of alfalfa were shown in figure 2.

Figure 2. The means of the number of tillers of alfalfa under the effects of various age of

plant at defoliation ( D1, D2,D3), and plant density (J1,J2,J3).

The results of DM and CP yields in this study were approximately (75 – 50) % lower relative to those

of Caddel et al.,(2006) 4.5 tons of DM/ha/defoliation, and Hanson et al.,(1988), 4.9 tons of

DM/ha/defoliation, presumably because their alfalfa stands were much older than those in this study

and had been defoliated several times, meanwhile alfalfa stands in this study were still young and only

experienced first defoliation. The older the plants at the time of defoliation, the greater the DM and

CP productions.

CONCLUSIONS

The results of the study conclude, alfalfa that was planted in the area with the climate and soil

conditions similar to the location in this study, (1) the decrease of plant density from 50 bunches/1 m2

Page 84: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

75

(500,000 bunches/ha) down to 25 bunches/ 1m2 (250,000 bunches/ha) tended to decrease the height

of alfalfa and increase the number of tillers, (2) on defoliation basis, the older the alfalfa from 21-d up

to 35-d at the time of defoliation, the higher DM and CP productions, (3) more densely populated

alfalfa yields greater DM and CP, and (4) on yearly basis, it is assumed that alfalfa achieves the

highest DM and CP production when it is defoliated at the age of 28 days, with plant density of

500,000 bunches/ha or at plant spacing of (10 x 20) cm2.

Acknowledgment: The authors would like to appreciate the BPPTU Baturraden for its generosity to

lend the grassland and alfalfa seeds for this study.

LIST OF REFERENCES Cheeke, P. R., 1999. Applied animal nutrition. Pp. 158-160. Prentice Hall, Upper Saddle River,

New Jersey, USA.

Frame, J., 1998. Medicago sativa L. Food and Agriculture Organization,UNO. PurdueUniversity.

http:/www.fao.org/ag/AGP/AGPC/doc/GBASE//data/htm.

Habben, J., and J. Folenec, 1990. Starch grain distribution in taproots of defoliated Medicago

sativa.Department of Agronomy, Purdue University, West Lafayette, Indiana, USA.

http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi.

Hanson, A.A., D. K. Barnes, and R. R.Hill, Jr. 1988. The importance of alfalfa. The American Society

of Agronomy.Monograph number 29.http://www.usda.gov/nass/pubs/agr98/acro98.htm.

Manitoba Agriculture, 1987. Forage’87. Home Study Course, pp.7. Manitoba Agriculture, Manitoba,

Canada.

Montgomery,D. C., 1991. Design and analysis of experiments. Pp.439-452. JohnWilley & Sons Inc.

New York,USA.

Hidayat, N., Suwarno, and K. Ardani, 2012. The effects of planting distance and defoliation age on

production and quality of Alfalfa (Medicago sativa). Prosiding Seminar Nasional. Teknologi

dan agribisnis peternakan dalam menunjang pemenuhan kebutuhan protein hewani nasional.

Pp. 121-129. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Shakra, M.A.,M.Akhtar, and D.W. Bray, 1969. Influence of irrigation interval and plant density on

alfalfa seed production. American Society of Agronomy, Madison, USA.

http://agron.scijournals.org/cgi/content/abstract.

Undersander, D., P. Vssalotti, and D. Cosgrove, 1997. Germination and Growth. University of

Wisconsin-Extension, Cooperative Extension, St. Madison.

Walton, P. D.,1983. Production & Management of Cutivated Forages. Pp. 79-83. Reston Publishing

Company, Inc. Reston, Virginia, USA.

Page 85: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

76

POTENSI PRODUKSI HIJAUAN DAN KOMPOSISI KIMIA RUMPUT SUDAN (Sorghum

sudanense) SEBAGAI SUMBER HIJAUAN PAKAN LOKAL DI WILAYAH PAPUA

Onesimus Yoku

Fakultas Peternakan Universitas Papua

Email: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Paper ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang potensi produksi hijauan, komposisi kimia

nutrein dan antinutrisi, dan potensi pengembangan rumput sudan (Sorghum sudanense) di kawasan

timur Indonesia dan khususnya wilayah Papua sebagai hijauan pakan lokal ternak ruminansia.

Hijauan pakan lokal ini sangat potensial dikembangkan di wilayah papua, karena cocok pada lahan

kering, tahan kekeringan, berkemampuan tumbuh kembali dan sangat responsif terhadap pemupukan

dan pengairan, serta tumbuh dan berkembang secara alamiah mulai dataran rendah hinggi dataran

tinggi diseluruh wilayah Papua. Perlakuan pemupukan nitrogen, phosfor, dan kalium berpengaruh

signifikann terhadap produksi bahan kering, bahan organik dan aplikasi pupuk anjuran sesuai hasil

penelitian adalah 300 kg N/ha; 300 kg P/ha; dan 150 kg P/ha.

Kata kunci: rumput sudan, pemupukan, produksi hijauan, nutrien dan antinutrisi

ABSTRACT

This paper aims to provide an overview of the potential forage production, nutrients and antinutrients

chemical composition, and the potential development of Sudan grass (Sorghum sudanense) in eastern

part of Indonesia, particularly in the Papua island as a local forage ruminant. Local forage is very

potential to be developed in Papua island, because it adapts to dry land and drought resistant, capable

of growing back, and is very responsive to fertilizer and irrigation, as well as can be growth either in

lowland and highland. Nitrogen, phosphorus and potassium fertilizer treatments have significant

effect to dry matter and organic matter productions of Sudan grass with their level dosage

recommendations are 300 kg N/ha, 300 kg P/ha, and 150 kg P/ha, respectively.

Keywords: sudan grass, fertilizer, forage production, nutrient and antinutrition

PENDAHULUAN

Rumput sudan (Sorghum sudanense) dinilai berpotensi untuk dikembangkan terutama pada musim

kering sebagai pakan alternative dan-atau dikembangkan untuk lahan-lahan kering, terutama di

kawasan Timur Indonesia (Utomo, 2003). Sebagai rumput potong, rumput sudan mempunyai

kemampuan tumbuh kembali (sehabis dipotong) yang lebih baik dibanding dengan rumput yang

berumur pendek lainnya dan sangat responsif terhadap pemupukan dan pengairan.

Penelitian rumput sudan telah lama ditinggalkan karena adanya jenis-jenis rumput baru yang

mempunyai keunggulan dalam produksi biomassa dan umur potongnya. Namun demikian jenis-jenis

rumput unggul tersebut sebagian besar membutuhkan lahan yang relatif subur dengan manajemen

pengelolaan yang intensif, maka penelitian terhadap rumput sudan sebagai jenis rumput yang tahan

hidup di lahan kering perlu dilanjutkan.

Kajian-kajian tentang potensi produksi dan nilai nutrisi rumput sudan sebagai jenis hijauan pakan

lokal masih sangat jarang terutama di wilayah papua, sementara hampir di seluruh wilayah Papua

dapat ditemukan rumput sudan mulai dataran rendah hingga pegunungan. Paper ini bertujuan untuk

memberikan gambaran tentang potensi produksi hijauan, komposisi kimia nutrein dan antinutrisi

Page 86: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

77

rumput sudan, serta potensi pengembangan rumput sudan di kawasan timur Indonesia dan khususnya

wilayah Papua sebagai hijauan pakan lokal ternak ruminansia.

DASAR PEMIKIRAN

Pada saat pertumbuhan vegetatif, tanaman banyak membutuhkan unsur N. Salah satu cara untuk

menjaga agar produksi hijauan tetap terjaga adalah dengan pemupukan. Unsur nitrogen (N), fosfor

(P) dan kalium (K) merupakan unsur hara makro yang sangat diperlukan oleh tanaman, bila ketiga

unsur hara ini terdapat dalam keseimbangan yang tidak sesuai maka pertumbuhan tanaman akan

terganggu atau tumbuh merana. Aplikasi pupuk anjuran untuk tanaman sorghum, masing-masing

dasar aplikasi pupuk nitrogen 200 lb per acre atau setara dengan 225 kg N per ha (Sumner et al.,

1965), dan teknologi anjuran untuk budidaya sorghum dengan rasio pupuk P dan K adalah 2:1

(Roesmarkam dan Soebandi, 1995).

Menurut Bogdan (1977) bahwa masih terdapat variasi jarak tanam dalam baris yaitu 15–100 cm,

namun demikian jarak tanam yang paling sesuai adalah 25–40 cm. Populasi tanaman sorghum per ha

adalah 100.000 tanaman atau berkisar antara 100.000–250.000 tanaman per ha (Roefaida, 1992; dan

Anonymous, 1990). Semakin besar unsur hara nitrogen yang tersedia maka pertumbuhan vegetatif

tanaman semakin dapat dipacu. Pemberian pupuk efektif meningkatkan produksi rumput sudan,

namun demikian tingginya pupuk nitrogen berakibat tingginya kandungan nitrat (NO3) dan asam

sianida (hydrocyanic acid atau HCN) pada hijauan.

HASIL PENELITIAN RUMPUT SUDAN

Penelitian produksi hijauan rumput sudan pada musim kemarau telah dilaksanakan di Kebun

Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM di Kalitirto-Berbah, Yogyakarta.

Analisis komposisi kimia nutrien atau analisis proksimat sampel hijauan (AOAC, 2005), serta analisis

zat/senyawa antinutrisi yaitu kandungan asam sianida dan nitrat menurut petunjuk Sudarmadji et al.

(1984) dilakukan di laboratorium Hijauan Makanan Ternak dan Pastura, Fapet UGM dan

laboratorium teknologi pertanian, Fateta UGM.

Pupuk yang digunakan berupa pupuk NPK (urea, 46% N; SP36, 36% P2O5; dan KCl, 60% K2O)

dilaksanakan dengan 3 (tiga) level dosis pupuk NPK yang berbeda pada level pupuk N (0, 150, 300,

dan 450 kg N/ha), pupuk P dan K pada level yang sama yaitu 300 kg P/ha dan 150 kg K/ha dengan

kode P0, P1, P2, dan P3, dengan jarak tanam 40x20 cm.

Serapan Unsur NPK dan Produksi Hijauan Rumput Sudan

Rata-rata serapan unsur N, P, dan K tertinggi masing-masing pada perlakuan P3 dan terendah pada

perlakuan P0. Hasil analisis statistik serapan unsur NPK jaringan rumput sudan menunjukkan bahwa

perlakuan dosis pupuk NPK berpengaruh signifikan dan uji DMRT untuk bahwa perlakuan pupuk

NPK berbeda nyata antar perlakuan P0 (0,0248 ton/ha), P1 (0,1423 ton/ha), P2 (0,2622 ton/ha), dan

P3(0,3578 ton/ha) untuk variabel serapan N. Secara umum serapan tertinggi pada unsur N kemudian

unsur K dan P. Serapan N tinggi karena pupuk N diberikan pada beberapa level, sedangkan pupuk P

dan K diberikan pada level yang sama untuk setiap level pupuk N. Hubungan serapan unsur NPK dan

produksi BK dan BO disajikan dengan grafik pada Gambar 1.

Page 87: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

78

16,32

21,35

10,44

3,19

14,18

9,08

18,75

2,76

0,000

0,050

0,100

0,150

0,200

0,250

0,300

0,350

0,400

P0 P1 P2 P3

Dosis Pupuk NPK

Ser

apan

NP

K (

ton/h

a)

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

Pro

duksi

B

K d

an B

O (

ton/h

a)

Serapan N Serapan P Serapan K Prod. BK Prod. BO

Gambar 1. Grafik serapan NPK dengan produksi BK dan BO.

Berdasarkan Gambar 1 diatas nampak bahwa serapan N berperanan menentukan serapan P dan K

serta produksi BK dan BO. Hasil analisis statistik produksi BK dan BO rumput sudan menunjukkan

bahwa perlakuan dosis pupuk NPK berpengaruh nyata dan hasil uji DMRT produksi BK dan BO

rumput sudan per ha dalam sekali potong menunjukkan bahwa masing-masing produksi BK dan BO

pada perlakuan P0 (3,19 ton/ha; 2,76 ton/ha) berbeda nyata dengan perlakuan P1 (10,44 ton/ha; 9,08

ton/ha), P2 (16,32 ton/ha; 14,18 ton/ha), dan P3 (21,35 ton/ha; 18,75 ton/ha). Perlakuan P1 berbeda

nyata dengan perlakuan P2 dan P3, tetapi antara perlakuan P2 dan P3 tidak berbeda nyata.

Berdasarkan persentase peningkatan produksi BK dibandingkan dengan perlakuan P0 (tanpa pupuk),

maka berturut-turut terjadi kenaikan produksi untuk P1, P2 dan P3 sebesar 69,44%, 80,45% dan

85,06%, dan persentase peningkatan untuk produksi BO adalah sebesar 69,60%, 80,54%, dan 85,28%.

Persentase peningkatan produksi ini menunjukan adanya penurunan persentase peningkatan pada

perlakuan P3. Dengan demikian pupuk nitrogen pada perlakuan P2 (300 kg N, 300 kg P dan 150 kg

K/ha) merupakan level optimal untuk produksi bahan kering dan produksi bahan organik rumput

sudan.

Komposisi Kimia Nutrien dan Antinutrisi Rumput Sudan

Analisis statistik komposisi PK, SK, BETN akibat perlakuan pupuk NPK pada musim kemarau

berpengaruh signifikan tetapi komposisi HCN berpengaruh tidak signifikan. Hasil DMRT kandungan

protein kasar rumput sudan menunjukkan bahwa perlakuan P0 (7,71%) berbeda nyata dengan P1

(12,29%), P2 (13,46%), dan P3 (13,60%). Perlakuan P1 berbeda nyata dengan P2 dan P3, sedangkan

antara perlakuan P2 dan P3 tidak berbeda nyata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlakuan

pupuk NPK meningkatkan kandungan protein kasar rumput sudan walaupun perlakuan P2 dan P3

berpengaruh sama terhadap kandungan PK. Uji DMRT serat kasar dan BETN rumput sudan

menunjukkan perlakuan P0 berbeda nyata dengan P1, P2, dan P3, dimana perlakuan pemupukan NPK

meningkatkan SK, tetapi sebaliknya menurunkan BETN.

Komposisi HCN rumput sudan tidak signifikan dipengaruhi oleh perlakuan pupuk NPK. HCN

tertinggi terdapat pada perlakuan P2 (295,50 ppm), disusul P1 (210,03 ppm), P3 (162,75 ppm) dan

terendah pada perlakuan P0 (115,63 ppm). Hasil DMRT kandungan nitrat rumput sudan menunjukkan

bahwa perlakuan P0 (5575,57 ppm) berbeda nyata dengan P1 (1704,36 ppm), P2 (1463,13 ppm) dan

P3 (1729,18 ppm), sedangkan antara perlakuan P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata. Walaupun

Page 88: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

79

komposisi antinutrisi HCN dan nitrat pada level tidak toksik, masing-masing HCN lebih rendah dari

750 ppm dan nitrat lebih rendah dari 6000 ppm, tetapi terdapat indikasi bahwa perlakuan pupuk NPK

meningkatkan HCN dan sebaliknya menurunkan nitrat rumput sudan. Komposisi kedua antinutrisi ini

tidak pada level toksik menunjukkan bahwa rumput sudan tidak mengalami stres, karena Selk, et al.

(1995) yang mengemukakan bahwa aplikasi pupuk N akan meningkatkan konsentrasi nitrat rumput

sudan hybrida, cuaca panas menyebabkan tanaman stresss akibatnya terjadi akumulasi nitrat.

POTENSI PENGEMBANGAN RUMPUT SUDAN DI WILAYAH PAPUA

Rumput sudan (Sorghum sudanense) dinilai berpotensi untuk dikembangkan di kawasan Timur

Indonesia, dan secara khusus Papua. Produksi rumput sudan dapat dioptimalkan dengan pengelolaan

yang baik melalui pengaturan jarak tanam dan pemberian pupuk NPK (nitrogen, fosfor dan kalium).

Rumput sudan membutuhkan pupuk nitrogen dalam jumlah besar yang harus diberikan setiap kali

pemangkasan, disamping itu pupuk P diberikan tergantung kandungannya di dalam tanah. Pemberian

pupuk efektif meningkatkan produksi rumput sudan, namun demikian tingginya pupuk nitrogen

berakibat tingginya kandungan nitrat (NO3) dan asam sianida (hydrocyanic acid atau HCN) pada

hijauan.

Kandungan HCN rumput sudan dapat ditekan sekitar 50–75% bila dikeringkan (hay) karena asam

sianida bersifat mudah menguap, sedangkan penanggulangan bahaya nitrat adalah dengan pemberian

pakan suplemen. Penambahan pakan suplemen sebagai sumber energi bagi mikrobia rumen, agar

mampu mengubah nitrat menjadi nitrit, dan nitrit menjadi amonia dengan adanya enzim nitrat

reduktase dan nitrit reduktase yang dihasilkan mikrobia rumen.

Berdasarkan laporan hasil penelitian rumput sudan, maka jarak tanam yang dapat menjadi acuan

adalah antara 20–40 cm dengan level pupuk NPK masing-masing 300 kg N/ha, 300 kg P/ha, dan 150

kg K/ha. Khusus pemupukan N dapat ditingkatkan hingga 450 kg N/ha.

KESIMPULAN

Rumput sudan dinilai berpotensi untuk dikembangkan di wilayah Papua sebagai salah satu hijauan

pakan lokal dengan pengelolaan yang optimal melalui pemberian pupuk. Perlakuan level pupuk NPK

disarankan menjadi acuan patokan, masing-masing 300 kg N/ha, 300 kg P/ha, dan 150 kg K/ha.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 1990. Teknologi budidaya sorgum. Balai Informasi Pertanian Propinsi Irian Jaya.

Jayapura.

AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists.

Published by the Association of Official Analytical Chemists, Maryland, USA.

Bogdan, A.V. 1977. Tropical Pasture and Fodder Plants (Grasses and Legumes). First Published.

Longman Inc., New York.

Karniati, R. Soedradjad dan B.P. Utomo. 1995. Pengaruh formulasi, frekuensi pemberian dan takaran

pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil Sorgum. Risalah Simposium : Prospek Tanaman

Sorgum Untuk Pengembangan Agro-Industri. Edisi Khusus Balitkabi No. 4 : 153–160.

Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Cetakan Pertama. Agro Media Pustaka. Jakarta

Page 89: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

80

Owen, F.G and W.J. Moline. 1970. Sorghum for Forage. In Sorghum Production and Utilization.

Major Feed and Food Crops in Agriculture and Food Series (Editors : Wall, J.S. and W.M.

Ross). The Avi Publishing Company, Inc. Westport Cennecticut.

Roefaida, E. 1992. Pengaruh Kadar Lengas Tanah pada Berbagai Fase Pertumbuhan Tanaman

Terhadap Hasil Sorghum (Sorghum vulgare L.). Tesis. Program Studi Agronomi, Jurusan

Ilmu-Ilmu Pertanian, program Pascasarjan UGM. Yogyakarta.

Rosmarkam, A dan N.W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Cetakan Pertama. Penerbit

Kanisius. Yogyakarta.

Roesmarkam, S dan Subandi. 1995. Prospek pengembangan sorgum sebagai penunjang swasembada

pangan dan pakan. Risalah Simposium : Prospek Tanaman Sorgum Untuk Pengembangan

Agro-Industri. Edisi Khusus Balitkabi No. 4 : 104–109.

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan

Pertanian. Edisi Ketiga. Cetakan Pertama. Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Selk, G.E., G. L. Strickland, D. R. Wagner, dan S. Janloo. 1995. The relationship among nitrate

content and nutritional value in hybrid sudangrass hay. Agronomy Research Stations,

Oklahoma State University.

Utomo, R. 2003. Penyediaan Pakan di Daerah Tropik: Problematika, Kontinuitas, dan Kualitas.

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Peternakan Univeritas Gadjah Mada.

Yogyakarta.

Page 90: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

81

DAYA DUKUNG HIJAUAN DAN LIMBAH TANAMAN PANGAN TERHADAP

PENGEMBANGAN POPULASI TERNAK SAPI POTONG DI KECAMATAN TOMPASO

KABUPATEN MINAHASA

Erwin Wantasen, S Dalie dan F.N.S. Oroh

Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi

Email : [email protected]

ABSTRAK

Pengembangan peternakan saat ini menunjukan adanya prospek yang sangat cerah dan mempunyai

peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi pertanian. Permasalahannya sejauh mana daya dukung

lahan sebagai sumber pakan ternak Berdasarkan permasalahan ini maka dilakukan penelitian dengan

tujuan untuk mengetahui daya dukung pengembangan ternak sapi di Kecamatan Tompaso Kabupaten

Minahasa . Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisa data sekunder dimana data

yang dianalisis diperoleh dari kantor Kecamatan dan Kantor BP3K (Balai penyuluhan, pertanian,

perikanan dan kehutanan) Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa antara lain data luas dan

penggunaan lahan pertanian, perkebunan, kehutanan dan populasi ternak sapi. Model analisis yang

digunakan yaitu analisis deskriptif, dan analisis potensi pengembangan ternak efektif. Hasil

penelitian menunjukan produksi hijauan efektif di Kecamatan Tompaso sebesar 1.811,86 ton/tahun,

produksi jerami efektif sebesar 6.630,39 ton/tahun. Kapasitas tampung maksimum dalam satuan

ternak berdasarkan sumberdaya lahan sebesar 4.020,11 ST dan kapasitas peningkatan populasi ternak

ruminansia (sapi) berdasarkan sumberdaya lahan (KPPTR) sebesar 1.459,65 ST, Berdasarkan hasil

penelitian dapat disimpulkan bahwa wilayah Kecamatan Tompaso potensial untuk pengembangan

ternak sapi.

Kata Kunci : ternak sapi, daya dukung, hijauan, limbah tanaman pangan,

ABSTRACT

Farm development showed a good prospect and has an important role in the growth of the agricultural

economy . The problem is how far the supported of land resources, can increase the cattle population

in Tompaso district of Minahasa regency.. Based on this problems the study was applied. The aimed

of the research was to know potensial development of cattle in Tompaso sub district Minahasa

regency based on the availability of forages and agriculture by product. Secondary data analysis

methods was used to meet the objectif of the research such as planted area used by the farmers and

population of cattle in Tompaso sub district. The data was collected from extension office of

agriculture , fisheries and forestry (BP3K) and agriculture service of Minahasa regency. Potensial

livestock development analysis was used to find out the goal of the research. Result of this study

showed the effectif forages production were 1.811,86 ton p.a. Effectif production of agriculture by

product was 6.630,39 ton p.a.. Maximum carrying capacity of Tompaso sub district were 4.020,11

animal unit. Capacity increase of cattle population by land resources ( KPPTR) were 1.459,65

animal unit. Based on the research, Tompaso sub district has carrying capacity as developing area of

cattle in Minahasa Regency North Sulawesi.

Keywords : cattle , carrying capacity, forages , agriculture by product

PENDAHULUAN

Untuk memperoleh ternak yang memiliki kualitas baik diperlukan ketersediaan pakan yang memadai.

Mutu dan ketersediaan pakan dalam bentuk hijauan maupun pakan konsentrat yang mencukupi dan

berkelanjutan (kontinyu) sangat penting dalam menjaga kestabilan usaha pengembangan ternak

Page 91: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

82

ruminansia termasuk sapi potong yang tergabung dalam wadah kelompok maupun usaha ternak skala

kecil. Ketersediaan pakan secara kontinyu (hijauan dan konsentrat), yang sesuai standar dalam

usaha sapi potong disepanjang waktu akan memberikan kemantapan dalam usaha dan nilai

keuntungan yang lebih baik bagi peternak. Disamping itu diketahuinya daya tampung HMT bagi

ternak akan menjamin kepastian berusaha dan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh peternak

(Thahar dkk., 1991; Puji 2006; Hidayat dkk., 2006).

Menurunnya daya dukung sumberdaya alam (pakan) untuk usaha ternak karena konversi lahan

pertanian, serta perubahan pola budidaya menjadi salah satu penyebab menurunnya populasi ternak.

Sementara itu subsektor peternakan diharapkan mampu memenuhi permintaan akan protein hewani

yang semakin meningkat, meningkatnya penyerapan tenaga kerja dan PDRB, ini berarti menuntut

sub-sektor peternakan untuk dapat memacu produksinya (baik kuantitas maupun kualitas). Sementara

disisi lain, sub-sektor peternakan dihadapkan kepada semakin menyempitnya lahan usaha akibat

persaingan yang semakin meningkat baik antar sektor maupun antar sub-sektor dalam penggunaan

lahan. Oleh karena itu potensi hijuan dan limbah tanaman pangan menjadi alternatif untuk

memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia seperti ternak sapi potong sekaligus menciptakan

usaha ternak ruminansia dalam pembangunan agribisnis yang berwawasan lingkungan ( Suryanto,

2004 ; Febrina dan Liana, 2008 ; Alfian dkk.., 2012 )

Beberapa upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak , pengembangan usaha ternak ruminansia

sekaligus pendapatan petani adalah mengatahui faktor sosial, ekonomi dan demografi peternak,

wilayah basis ternak, daya dukung lahan dan ketersediaan pakan ternak, melalui pewilayahan

komoditi ternak dan integrasi tanaman dan ternak (Kreuter dan Workman, 1994; Djaenudin dkk..,

2002; Tanuwiria dkk.., 2006; Suyitman dkk.., 2009; Alfian dkk.., 2012; Hartono, 2012; Nugraha

dkk.., 2013). Karena itu untuk menunjang peningkatan ekonomi wilayah Kecamatan Tompaso

Kabupaten Minahasa maka pengembangan usaha ternak sapi harus ditunjang oleh kondisi

sumberdaya alam seperti ketersediaan pakan hijauan dan pakan dari limbah tanaman pangan. Hal ini

mengingat potensi ternak sapi yang dimilik wilayah Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa

cukup menjanjikan dimana pada tahun 2013 jumlah populasi ternak sapi yang tersedia adalah 2753

ekor yang terdiri atas 791 ekor sapi jantan dan 1962 ekor sapi betina ( BPS Sulut, 2014).

Permasalahannya adalah sejauh mana ketersediaan hijauan makanan ternak dan limbah tanaman

pangan dapat mendukung upaya pengembangan ternak sapi yang menjadi salah satu tulang

punggung ekonomi keluarga petani di wilayah Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa Propinsi Sulawesi Utara .

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2015, dengan menggunakan metode analisis data

sekunder yaitu menganalisa lebih lanjut data yang sudah tersedia untuk mencapai tujuan penelitian (

Singarimbun dan Effendi, 1986). Data diperoleh dari Badan Penyuluhan pertanian, perikanan dan

kehutanan (BP3K) Kecamatan Tompaso, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Minahasa dan

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Minahasa serta Kantor Statistik Kabupaten Minahasa.

Data yang dikumpulkan meliputi data populas ternak sapi, tata guna lahan, luas lahan, luas panen ,

produksi dan produktivitas tanaman pangan dan tanaman perkebunana, data iklim dan topografi.

Page 92: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

83

Analisis data menggunakan metode analisis potensi ketersediaan pakan berupa hijauan pakan dan

limbah tanaman pangan efektif untuk mengetahui kapasitas daya tampung ternak di wilayah

penelitian (Nell dan Rollinson, 1974 dalam Tanuwirya dkk., 2006)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas wilayah Kecamatan Tompaso 10.398 Km² yang diklasifikasikan menurut ekosistem dan

penggunaannya, sebagai berikut: Lahan kering 5533 ha yang terdiri dari lahan perkebunan 1087 ha,

tegalan 1657 ha dan hutan 2789 ha. Lahan rawa 677 ha yang terdiri dari lahan sawah 498 ha dan

kolam 79 ha dan padang rumput 293 ha . Data hasil penelitian menujukkan bahwa lahan kering

merupakan penggunaan lahan terbesar sedangkan penggunaan lahan terkecil adalah padang rumput

(BPS , Kabupaten Minahasa 2014). Sumberdaya pertanian yang terdapat di Kecamatan Tompaso

Kabupaten Minahasa yaitu padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah,

kacang hijau, kacang merah, kacang panjang, kedelai, bawang merah, dan daun bawang. Luas tanam

keseluruhannya berjumlah 1.956 ha dan luas panen keseluruhan berjumlah 1.708 ton. Sumberdaya

perkebunan terdiri dari kelapa, vanili, kopi, Aren, dan Cassiavera. Luas areal keseluruhannya

berjumlah 1087 ha dan produksi keseluruhan 697,5 ton (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten

Minahasa 2014; Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Minahasa 2014)

Jumlah populasi ternak sapi di wilayah Kecamatan Tompaso dalam satuan ternak adalah 2560 ,46

ST dimana usaha ternak sapi masih merupakan usaha sampingan dengan kepemilikan 1-2 ST per

kepala keluarga padahal luas lahan dan potensi pakan hijauan dan limbah pertanian cukup besar. Hasil

analisis potensi maksimum sumber daya lahan di Kecamatan Tompaso dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Hasil analisis PMSL Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa

No. Koefisien/Variabel KecamataTompaso

1. a 0,7

2. LKrg 5533

3. b 0,8

4. PDG 307

5. c 1,8

6. R 435

7. KTM 4020,11

Sumber : Data diolah (2015)

Keterangan : KTM = Kapasitas Tampung Maksimum dalam satuan ternak sapi (ST) berdasarkan sumberdaya,

yaitu sapi dewasa = 1,00 ST/Ha, sapi muda = 0,75 ST/Ha dan sapi anak = 0,25 ST/Ha

a = Koefisien yang dihitung berdasarkan ratio populasi ternak ruminansia dalam satuan ternak (ST)

dengan luas lahan garapan atau lahan kering adalah 0,7 ST/Ha

LKrg = Luas lahan kering di Kecamatan Tompaso (Ha)

b = Koefisien yang dihitung sebagai kapasitas tampung padang rumput alam = 0,8 ST/Ha

PDG = Luas padang rumput (Ha)

c = Koefisien yang dihitung sebagai kapasitas tampung rawa (1,8 ST/Ha)

R = Luas Rawa

Hasil analisis kapasitas peningkatan populasi ternak sapi berdasarkan Sumberdaya lahan KPPTR

dilihat padaTabel 2. Data Tabel 2 menunjukkan kapasitas peningkatan populasi ternak sapi

berdasarkan sumberdaya lahan di Kecamatan Tompaso sebanyak 1459,65 ST. Artinya untuk

memenuhi kapasitas tampung maksimum lahan maka populasi ternak sapi di Kecamatan Tompaso

Page 93: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

84

masih dapat ditingkatkan sebanyak 1459,65 ST. Tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak pada

suatu wilayah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam meningkatkan populasi dalam

keberhasilan pengembangan ternak khususnya ternak sapi.

Tabel 2. Hasil Analisis KPPTR Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa

No. Koefisien/Variabel Satuan Ternak (ST)

1. KTM 4020,11

2. POP 2560,46

3. KPPTR 1459,65

Sumber. Data dioleh (2015).

Keterangan: KTM = Kapasitas Tampung Maksimum dalam satuan ternak sapi (ST) berdasarkan

sumberdaya, yaitu sapi dewasa = 1,00 ST/Ha, sapi muda = 0,75 ST/Ha dan sapi anak = 0,25 ST/Ha

KPPTR = Kapasitas peningkatan populasi ternak sapi (ST) berdasarkan sumberdaya lahan

POP = Populasi ternak sapi (ST) di Kecamatann Tompaso

Kapasitas tampung ternak ruminansia di Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa sangat

dipengaruhi oleh ketersediaan tanaman hijauan sebagai pakan ternak . Wilayah Kecamatan Tompaso

memiliki potensi ketersediaan pakan hijauan dan limbah berupa jerami tanaman pangan untuk ternak

ruminansia (sapi dan kambing) dan ternak non ruminansia ( ayam, dan itik) Produksi hijaua dan

produksi jerami efektif per tahun di Kecamatan Tompaso disajikan pada Tabel 3

Tabel 3. Produksi Hijauan dan jerami secara efektif di Kecamatan Tompaso

Nomor Sumber hijauan pakan

(Ha)

Produksi Hijauan

(Ton/Tahun)

Sumber pakan

jerami

Produksi Jerami

(Ton/tahun)

1. Padang rumput 208,18 Jerami padi 299,69

2 Sawah 25,03 Jerami jagung 6005,9

3 Ladang/tegalan 19,78 Jerami ubi kayu 146,45

4 Hutan 1.348 Jerami kedelai 138,03

5 Perkebunan 210,4 Jerami kacang tanah 40,32

Jumlah 1811,86 Jumlah 6.630,39

Sumber : Data diolah, 2015

Hasil penelitian pada Tabel 3 menunjukkan bahwa Kecamatan Tompaso memiliki jumlah produksi

hijauan efektif dari berbagai sumber lahan seperti padang rumput, sawah, lading, hutan dan tanah

perkebunan dengan jumlah produksi 1811,86 ton/tahun dan produksi limbah berupa jerami pakan

sebesar 6630,39 ton/tahun. Melalui potensi produksi jerami dari tanaman pangan maka akan

bermanfaat untuk penyediaan pakan ternak sapi disaat kekurangan pasokan makanan ternak seperti

saat musim kemarau melalui pemanfaatan teknologi pengawetan seperti penyimpanan, pengawetan

dan peningkatan nilai nutrisi agar sapi sapi yang dihasilkan akan memiliki nilai ekonomi yang tinggi

bagi keluarga petani (Zulbardi dkk., 2001)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa

mempunyai potensi daya dukung yang sangat besar dalam meningkatkan populasi ternak sapi dilihat

dari sumberdaya lahan yang tersedia, dan penyediaan makanan ternak.

Page 94: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

85

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Y., F. I. Hermansyah, E. Handayanta, Lutojo, dan W. P. S. Suprayogi. 2012. Analisis Daya

Tampung Ternak Ruminansia pada Musim Kemarau di Daerah Pertanian Lahan Kering

Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul . Trop. Anim. Husbandry 1 (1):33-42

BPS Kabupaten Minahasa. 2014. Kabupaten Minahasa Dalam Angka 2014. Kantor Statistik

Kabupaten Minahasa, Tondano.

Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Minahasa. 2014. Luas Lahan, Luas Panen, Produksi dan

Produktivitas Tanaman Pangan Menurut Kecamatan di Kabupaten Minahasa. Laporan Tahunan

, Tondano.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Minahasa. 2014. Luas Lahan, Luas Panen, Produksi

TYanaman Perkebunan Menurut Kecamatan. Laporan Tahunan, Tondano

Djaenudin D., Y Sulaeman dan A. Abdurachman. 2002. Pendekatan Pewilayahan Pertanian Menurut

Pedro –Agroklimat di Kawasan Timur Indonesia. J. Litbang Pertanian 21 (1) : 1-10

Febrina, D. dan M. Liana. 2008. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ruminansia pada

Peternak Rakyat di Kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu. J.Peternakan. 5 (1) : 28

– 37.

Hartono. B. 2012. Peran Daya Dukung Wilayah Terhadap Pengembangan Usaha Peternakan Sapi

Madura. J. Ekonomi Pembangunan 13 (2) : 316-326

Hidayat, U.T., A Yulianti dan N Mayasari 2006. Potensi pakan asal lombah tanaman pangan dan

daya dukungnya tetrhadap populasi ternak ruminansia di wilayah Sumedang. J ilmu ternak 6

(2): 112-120

Kreuter, U.P dan J.P Workman. 1994. Costs of Overstocking on Cattle and Wildlife

Ranches in Zimbabwe. Ecological Economics 11 : 237-248

Nugraha. B.D., E. Handayanta dan E.T. Rahayu. 2013. Analisis Daya Tampung Ternak Ruminansia

Pada Musim Penghujan di Daerah Pertanian Lahan Kering Kecamatan Semin Kabupaten

Gunung Kidul. Trop. Anim. Husbandry 2 (1): 34-40

Puji F. A. 2006 Arahan Pewilayahan Komoditas Unggulan DI Kabupaten Kotawaringin Timur Thesis.

PPs Magister pembangunan wilayah dan kota UNDIP Semarang.

Suryanto, B. 2004. Peran Usahatani Ternak Ruminansia dalam Pembangunan Agribisnis Berwawasan

Lingkungan. Pidato pengukuhan: Upacara Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam

Ilmu Manajemen Usahatani. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.

Suyitman, Surjono, H.S., C. Herison dan Muladno. 2009. Status Keberlanjutan Wilayah Berbasis

Peternakan di kabupaten Situbondo untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan. Jurnal Agro

Ekonomi. 27 (2): 165-191.

Tanuwirya, A. U., A Yulianti dan Mayaari. 2006. Potensi Pakan Asal Limbah Tanaman Pangan dan

Daya Dukungnya Terhadap Populasi Ternak Ruminansia di Wilayah Sumedang. J. Ilmu Ternak

6(2) : 112-120

Thahar, A., Santoso, Sumanto, Hatomo dan Haryono. 1991 Daya Dukung Pakan Karang Agung

Sungai Lilin, Sumatera Selatan. Makalah Kerja No. 3 Proyek Ternak Kerja. Balai Penelitian

Ternak, Badan Litbang Pertanian. Disiapkan untuk Temu Lapang Departemen Pertanian, 7

Maret 1991 di Karang Agung Kabupaten Musibanyuasin, Sumatera Selatan

Zulbardi, M., A. A. Karto, U. Kusnadi dan A. Thalib. 2001. Pemanfaatan Jerami Padi Bagi Usaha

Pemeliharaan Sapi Peranakan Onggole di Daerah Irigasi Tanaman Padi. Dalam: Prosiding

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan Departemen

Pertanian. Bogor. Hal. 256- 261.

Page 95: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

86

FENOMENA TANAMAN GLIRISIDIA (Glyrisidia maculata) DI PANTAI PETANAHAN

KABUPATEN KEBUMEN

Eko Hendarto, Suwarno, dan Pramono Soediarto

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Agar keberlanjutan kehidupan manusia dapat berlangsung dengan baik, diperlukan berbagai

dukungan, salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan protein hewani. Salah satu pemasok sumber

protein hewani adalah ternak ruminansia dengan produk berupa susu dan daging. Kebutuhan pakan

utama ternak ruminansia adalah hijauan yang dapat dipasok dari tanaman sliridia (Glerisia maculata),

yang salah satunya tumbuh di pantai Petanakan, Kabupaten Kebumen. Untuk mengetahui bagaimana

kondisi tanaman Sliridia (Glerisidia maculata) yang hidup dipantai. dilakukan penelitian. Metode

penelitian yang digunakan adalah metode survey sebagai penelitian paradigma naturalistik dengan

prinsip yang digunakan yakni fenomenologi. Fenomena yang diamati adalah pertumbuhan dan

potensi pemanfaatan tanaman untuk kehidupan manusia terutama sebagai sumber hijauan pakan.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tanaman Sliridia (Glerisidia maculata) mampu tumbuh

dengan baik di daerah pantai hingga jarak sekitar 150 meter dari garis pantai, pada tanah berpasir,

tahan kering, tetap menghasilkan daun yang hijau, berbunga dan berbuah menghasilkan malai pada

kondisi kemarau yang kering dan memberikan daya dukung sebagai pakan untuk sekitar 400 ekor

kambing yang terdapat di Desa Tegalretno, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen.

Kata kunci : Fenomena, tanaman sliridia, tanah berpasir, ternak kambing.

PHENOMENON OF GLYRICIDIA (GLYRICIDIA MACULATA) ON THE COASTAL AREA

OF PETANAHAN, KEBUMEN DISTRICT

ABSTRACT In order to achieve sustainable prosperity of human being, some support factors are needed, one of

which is the fullfilment of animal protein requirement. One of the producers of animal protein is

ruminant whit its products in the forms of meat and milk. The main feedstuff for ruminant is forage

that can be supplied in part, by Glyricidia (Glyrisidia maculata), Petanahan a sub-district, coastal area

of Kebumen, is one of the locations where both tame or wild Glyricidia (Glyrisidia maculata)

flowishers. To know the condition of Glyricidia (Glyrisidia maculata) that grow in coastal area, a

study was conducted. Survey method was employed in this research as the study of naturalistic

paradigm. The study use phenomenology as its principts. The observed phenomena were the

Glyricidia (Glyrisidia maculata) growth ang its utilization potential for human life. The results of this

research showed that Glyricidia (Glyrisidia maculata) able to grow on coastal area up to the distance

of 150 meters from the brime of coastal on the sandyland, it withsands drought. The leaves of

Glyricidias (Glyrisidia maculata) are still green, the plants bear flowers and peas during dry seasons,

and they can supports the life of 400 adult goats that lived in village of Tegalretno, Petanahan sub-

district, the district of Kebumen.

Keywords : Phenomenon, Glyricidia (Glyrisidia maculata), sandy soil and goat.

PENDAHULUAN

Kegiatan peternakan merupakan salah satu bentuk dinamika kehidupan manusia untuk melanjutkan

keberadaannya (Hendarto, 2011). Hijauan merupakan pakan utama ternak ruminansia yang

dibutuhkan untuk menunjang produktivitasnya, sedangkan tanaman sliridia (Glerisida maculata)

merupakan salah satu sumber hijauan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia (Aminudin

Page 96: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

87

dan Hendarto, 2000). Tanaman sliridia (Glerisida maculata) dalam pertumbuhannya, mampu tumbuh

pada jenis tanah yang cukup luas termasuk pada lahan yang tidak subur (Basri dan Hoesoen, 1991,

dalam Ruslanjari, 2006). Lahan pantai di Kecamatan Petanahan, Kebupaten Kebumen, banyak

tumbuh tanaman sliridia (Glerisida maculata) yang sengaja ditanam oleh masyarakat dalam upaya

pemenuhan kebutuhan sebagai kayu bakar dari batang tanaman. Namun demikian pada dasarnya

hijauannya dapat dimanfaatkan sebagai pakan hijauan untuk ternak sapi, kerbau, kambing dan domba

(Khulman, et al., 2003)

Hijauan dari tanaman sliridia (Glerisida maculata) mempunyai nilai nutrisi yang baik untuk pemasok,

penambah dan penyedia hijauan pakan (Aminudin dan Hendarto, 2000), namun masyarakat seringkali

menanam tanaman sliridia (Glerisida maculata) pada umumnya tertujuan untuk pagar pekarangan dan

kayu bakar (Hendarto, 2011). Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang

fenomena tanaman sliridia (Glerisida maculata) yang tumbuh di pantai Kecamatan Petanahan,

Kabupaten Kebumen untuk mengamati tingkat pertumbuhannya dan potensi pemanfaatannya untuk

kehidupan manusia terutama sebagai sumber hijauan pakan.

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Penelitian tentang tanaman sliridia (Glerisida maculata) dilaksanakan guna mendapatkan

informasinya dalam upaya strategi untuk mendukung perkembangan dunia peternakan ruminansia.

Penelitian dilakukan di Desa Tegalretno, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa

Tengah. Salah satu alasan dipilihnya lokasi tersebut adalah dijumpainya tanaman sliridia (Glerisida

maculata) dalam jumlah banyak. Untuk mendapatkan informasi secara lebih komprehensif, maka

metoda penelitian yang digunakan adalah survei sebagai penelitian paradigma naturalistik dengan

prinsip yang digunakan yakni fenomenologi. Dalam pelaksanaannya disiapkan kuesener, diikuti oleh

pengamatan lapangan. Fenomena yang diamati adalah pertumbuhan dan potensi pemanfaatan

tanaman untuk kehidupan manusia terutama sebagai sumber hijauan pakan. Beberapa data sekunder

juga telah ikut menambah informasi tentang tanaman sliridia (Glerisida maculata).

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Kondisi Lokasi Penelitian.

Penelitian mengambil lokasi pengamatan di Desa Tegalretno, Kecamatan Petanahan, Kabupaten

Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Merupakan desa dengan posisi paling selatan pada wilayah

Kecamatan Petanahan. Batas sebelah selatan adalah Samodera Indonesia, sehingga mempunyai

perbatasan berupa lahan pantai didominasi pasir yang status lahannya dikuasai oleh negara, namun

dapat dimanfaatkan oleh warga setempat dengan sistem sewa. Sebelah utara pantai merupakan lahan

milik warga desa setempat dan sekitarnya. Hampir seluruh pekarangan warga dan lahan dengan status

tanah negara tersebut banyak dijumpai tumbuh secara tidak teratur tanaman sliridia (Glerisida

maculata), hingga areal 150 meter dari garis pantai, sehingga jumlahnya terdapat ribuan tanaman,

baik yang masih muda maupun yang sudah tua.

Berkaitan dengan lahan pantai yang berpasir, tidak dijumpai jaringan irigasi yang mengairi lahan

warga setempat, sehingga bentuk penggunaan lahan seluruhnya adalah tegalan dengan struktur tanah

didominasi oleh pasir. Porositas tanahnya tinggi. Hal tersebut juga dijumpai pada Desa Tegalretno

yang mempunyai luas 266 hektar, keseluruhannya berupa lahan pertanian bukan sawah dan kering

pada kondisi kemarau. Jumlah penduduknya 1.838 jiwa. Berdasarkan informasi dari pemerintahan

Page 97: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

88

desa dan masyarakatnya, hijauan sliridia (Glerisida maculata), seandainya diberikan kepada ternak,

hanya diberikan untuk ternak kambing.

b. Pertumbuhan Tanaman Sliridia (Glerisida maculata)

Tanaman sliridia (Glerisida maculata) terlihat tumbuh dengan baik, tinggi dan hijau segar pada

kondisi kekeringan yang tajam, tidak terlihat adanya kondisi yang mencekam akibat kekeringan yang

berkepanjangan. Tanaman yang pendek yang telah mengalami pemotongan menampilkan tunas baru

yang segar dalam jumlah daun yang banyak dengan warna hijau muda hingga hijau tua. Tanaman

yang telah bertumbuh lama dan tuapun masih mampu hidup tegar, dengan batang bagian bawah yang

telah menjadi besar dan bersifat kayu. Hal di atas sesuai dengan pendapat Aminudin dan Hendarto

(2000) dan Khulman, et al., (2003)

Pada tanaman yang belum sempat ditebang oleh warga untuk kayu bakar, telah tumbuh tinggi hingga

lebih dari 2 meter, beberapa batang tumbuh tunas dan juga telah memunculkan bunga dan malainya.

Banyak dijumpai batang dengan diameter hingga 5 cm lebih, belum ditebang oleh pemilik pohon

karena dirasa belum membutuhkan untuk kayu bakar. Daun dari beberapa tanaman di antaranya,

telah menjadi rontok, namun tetap menghasilkan bunga dalam jumlah dari sedikit hingga banyak.

Deretan bunga tanaman Sliridia yang masih menempel di pohon berwarna ungu dan nampak indah.

Beberapa pohon yang berderet dan berbunga bersamaan juga nampak indah dipandang dari jarak agak

jauh. Pada kondisi kekeringan yang mencekam, tidak mematikan tanaman namun banyak tanaman

menggugurkan daunnya untuk mengurangi penguapkan, walaupun masih mampu menghasilkan

bunga dan malainya. Menurut Hendarto (2012) kondisi di atas, diduga setelah musim penghujan

datang tanaman akan segera tumbuh segar kembali seperti sedika kala.

c. Produksi Hijauan Sliridia (Glerisida maculata)

Produksi hijauan dari tanaman Sliridia (Glerisida maculata) berupa helai daun, tangkai daun dan

tunas muda yang masih dapat dimanfaatkan sebagai hijauan pakan. Sementara batang yang sudah tua

tidak dimanfaatkan untuk pakan karena sudah keras, akan digunakan oleh warga masyarakat untuk

kayu bakar atau dibuang sebagai sampah. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Hendarto dkk. (2013)

yang menyatakan bahwa ranting cabang tanaman Sliridia (Glerisida maculata) bagian ujungnya

hingga panjang sekitar 68 cm dapat digunakan untuk pakan sapi.

Dimungkinkan ujung ranting cabangnya dapat dimanfaatkan untuk ternak kambing pada jarak dari

ujung lebih pendek daripada untuk konsumsi ternak sapi. Berdasarkan informasi dari perangkat desa

dan masyarakat, menunjukkan bahwa hijauan dari tanaman Sliridia (Glerisida maculata) pada

umumnya dimanfaatkan untuk pakan kambing, tidak untuk ternak yang lain. Namun populasi

kambing di Desa Tegalretno, tidak dapat diperhitungkan secara pasti yang disebabkan adanya migrasi

ternak kambing yang dinamis, namun demikian tidak kurang dari 400 ekor populasi kambing.

Masyarakat telah mengetahui juga bahwa dalam penyajian sebagai hijauan pakan kambing, hijauan

dari Sliridia (Glerisida maculata) dijemur terlebih dahulu. Hal tersebut sesuai Aminudin dan Hendarto

(2000) bahwa untuk menghilangkan efek racun dari hijauan Sliridia (Glerisida maculata), pemberian

untuk pakan harus dijemur terlebih dahulu di bawah sinar matahari. Berkaitan dengan hal tersebut

hijauan tanaman Sliridia (Glerisida maculata) dapat sebagai sumber hijauan pakan yang baik bagi

ternak kambing di Desa Tegalretno.

Page 98: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

89

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa tanaman Sliridia (Glerisidia maculata) mampu

tumbuh dengan baik di daerah pantai hingga jarak sekitar 150 meter dari garis pantai, tanah berpasir,

tahan kering, tetap menghasilkan daun yang hijau, berbunga dan berbuah menghasilkan malai pada

kondisi kemarau yang kering dan memberikan daya dukung sebagai pakan untuk sekitar 400 ekor

kambing yang terdapat di Desa Tegalretno, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen.

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin, S. dan E. Hendarto. 2000. Ilmu Tanaman Pakan, Buku Ajar. Fakultas Peternakan

Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Hendarto, E. 2011. Dimensi Lingkungan Tata Ruang Peternakan Sapi Perah Rakyat Di Kabupaten

Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Disertasi. Program Pascasarjana. Universtas Diponegoro.

Semarang

Hendarto, E. 2012. Keragaman Bentuk Lahan Lokasi Tanaman Sumber Hijauan Pakan pada

Peternakan Sapi Perah Rakyat Di Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas. Proseding

Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan Dalam Menunjang Pemenuhan Protein

Hewani Nasional. Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto

Hendarto, E., Suwarno dan N. Hidayat, 2013. Palatabilitas Hijauan Sliridia (Glerisidia Maculata)

Sebagai Tanaman Tahan Kering Pada Ternak Sapi Potong Untuk Keragaman Sumber Hijauan

Pakan. Proseding Seminar Nasional. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman.

Purwokerto

Khulman, T., E. Koomen, J. Groen and A. Bouwman. 2003. Simulating Agricultural Land Use

Change in The Netherlands. Paper presented at The International Workshop Transition in

Agriculture and Future Land Use Patterns. Wageningen

Ruslanjari D. 2006. Pengelolaan Lahan Untuk Meningkatkan Potensi Usaha Tani Berkelanjutan.

Disertasi. Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana. UGM. Yogyakarta.

Page 99: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

90

EDIBLE PORTION KARKAS, KADAR LEMAK DAN KOLESTEROL DAGING DOMBA

DENGAN IMBANGAN AMPAS BIR DAN RUMPUT GAJAH YANG BERBEDA

Agus Priyono dan Imbang Haryoko

Fakultas Peternakan UNSOED

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi kandungan edible portion karkas domba serta upaya untuk

menghasilkan daging domba yang berkualitas (rendah kandungan asam-asam lemak jenuh dan

kolesterol). Penelitian menggunakan domba lokal jantan sebanyak 16 ekor, umur 4 (empat) bulan

dengan bobot badan (BB) 5-10 kg. Bahan pakan yang digunakan adalah : konsetrat, rumput gajah,

dedak, ampas bir, garam dan mineral mix. Penelitian dilaksanakan dengan metode eksperimental

secara in vivo selama 150 hari. Rancangan yang digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)

dengan empat macam perlakuan. Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak empat

kali. Ransum perlakuan yaitu imbangan ampas bir dengan rumput gajah yang diberikan adalah

sebagai berikut : R1 = 12% ampas bir : 48 % rumput gajah; R2 = 24 % ampas bir : 36% rumput gajah;

R3 = 36% ampas Bir : 24% rumput gajah; dan R4 = 48 % ampas bir : 12% rumput gajah. Variabel yang

diukur adalah : edible portion karkas (% ) (bobot karkas, edible meat atas, dan edible meat bawah);

kadar lemak daging, kadar kolesterol daging dan hati domba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap persentase edible meat bawah, tetapi tidak

berpengaruh nyata terhadap kadar lemak dan kolesterol daging domba. Kesimpulan hasil penelitian

bahwa imbangan 48 % ampas bir : 12% rumput gajah dapat digunakan sebagai campuran pakan

domba tanpa mengganggu aktivitas fisiologi dan metabolisme domba.

Kata Kunci : ampas bir, edible portion meat, kolesterol

ABSTRACK

The research was aimed to evaluated edible portion meat and as an effort to improve the quality of

lamb meat. (low content of saturated fatty acids and cholesterol), with brewery waste. The research

used 16 four months old local rams with body weight 5-10 kgs. The feed composition used was

Pennisetum purpureum grass, rice bran, beer solid waste, salt and minerals mix. The research used

experimental method in vivo for 150 days using Completely Randomized Design with four treatments.

Each treatment was with four repetition. Treatment rations were R1=12% brewery waste: 48 % grass;

R2 = 24% brewery waste: 36% grass; R3= 36% brewery waste: 24% grass; R4= 48 % brewery waste:

12% grass. The variables measured were : edible portion of carcass (%) (carcass weight, edible meat

proximal and edible meat distal); the fat content of meat, meat and liver cholesterol of lamb meat. The

results showed that the treatment significantly affect (P<0.05) to the percentage of edible meat distal,

but not significantly terhadapa levels of fat and cholesterol lamb. Conclusion of the research that the

balance 48% brewery waste: 12% of elephant grass can be used as a mixture of lamb feed without

disrupting the activity of the physiology and metabolism of lamb

Keywords : solid waste of beer, edible portion meat, cholesterol

PENDAHULUAN

Potensi untuk mengembangkan ternak domba sangat terbuka lebar, karena 30% kebutuhan pangan

dipenuhi oleh ternak. Konsumsi daging domba di Indonesia baru mencapai 0,24 g, sedangkan

konsumsi di Negara maju 3,33 g di Jerman, dan 81,11 g di New Zaeland, hal ini menunjukkan bahwa

masih terbuka luas untuk pengembanga ternak domba.

Page 100: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

91

Rendahnya konsumsi daging domba di Indonesia, dipengaruhi juga oleh pandangan konsumen bahwa

kandungan asam-asam lemak jenuh pada daging domba dapat menyebabkan gangguan kesehatan

seperti kolesterol, artherioskeloris, dan jantung koroner. Kandungan asam lemak jenuh pada daging

domba disebabkan karena adanya proses biohidrogenasi asam lemak tidak jenuh menjadi asam lemak

jenuh dalam rumen. Reaksi ini dapat dihambat menggunakan tannin. Tannin akan masuk dan

menempati pusat enzim pada otot, karena tannin mampu melewati saluran pencernaan tanpa diabsopsi

dan tidak menetap di vena porta. Tannin dapat meningkatkan pertambahan bobot badan, pertumbuhan

bulu, produksi susu dan performan reproduksi, mempengaruhi kualitas karkas, bobot karkas, serta

lemak karkas ( Priolo et al.,1998).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan domba lokal jantan sebanyak 16 ekor, umur 4 (empat) bulan dengan

bobot badan (BB) 5-10 kg. Bahan pakan yang digunakan adalah : HIjauan 60% terdiri dari rumput

gajah dan ampas bir. Konsentrat 40% yang terdiri dari : onggok 25%, dedak 73%, garam 1%, dan

mineral mix 1%. Penelitian dilaksanakan dengan metode eksperimental secara in vivo selama 150

hari. Metode eksperimen menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat macam

perlakuan. Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak empat kali. Ransum perlakuan

yang diberikan adalah sebagai berikut : R1= 12% Ampas Bir: 48% Rumput gajah; R2= 24% Ampas

Bir : 36 % Rumput gajah; R3= 36% Ampas Bir :24 % Rumput gajah; R4=48 % Ampas Bir : 12 %

Rumput gajah. Peubah respon : Bobot karkas, Edible Meat Atas, Edible Meat Bawah, Kadar

Lemak Daging (AOAC, 1995) dan Kadar Kolesterol Daging (Penentuan Kadar Kolesterol Daging

Metode Lieberman Dan Burchad Menggunakan Spektrofotometer. (Tranggono dan setiaji, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian imbangan ampas bir dengan rumput gajah yang berbeda disajikan pada Tabel 2. Tabel

2. Menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap bobot karkas, edible

meat atas. Bobot karkas yang diperoleh hasil penelitian berkisar 45,36 (R1) sampai 45,75% (R4),

hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Yosep, (2007) bahwa karkas domba yang diperoleh hasil

penelitian berkisar 40,82-56,93%. Rahmadi (2003) domba lokal jantan yang diberi pakan komplit,

selama 9 minggu diperoleh bobot karkas sebesar 49,68%. Perlakuan jenis pakan komplit tidak

menyebabkan perbedaan (P>0,05) terhadap bobot daging, lemak, dan edible portion karkas domba.

edible portion karkas sebesar 73,83% dari bobot karkas (Arifin et al., 2009).

Tabel 2. Rataan Hasil Penelitian

R1 R2 R3 R4

Bobot Karkas (%) ns 45,36 45,40 41,46 45,75

Edible meat atas (%) ns 30,15 31,98 31,50 29,48

Edible meat bawah (%) 24,36 31,56 29,28 25,26

Kadar lemak daging (%) 9,535 9,511 8,093 8,976

Kadar Kolesterol Daging (mg/g) 165,45 177,05 191,27 158,96

Kolesterol hati domba (mg/g) 235 274 245 237

Page 101: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

92

Perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persentase edible meat bawah Perlakuan R1 nyata

menghasilkan edible meat bawah lebih besar dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini

menunjukkan bahwa penggunaan ampas bir 12 %, 48 % Rumput gajah dan 40 % Konsentrat dapat

digunakan untuk meningkatkan bobot edible meat. Hasil penelitian Arifin dkk. (2009), bahwa

persentase edible portion karkas hasil penelitian sebesar 73,83% dari bobot karkas. Persentase edible

portion karkas hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Lestari et al. (2001),

yaitu 75,64-78,96% atau hasil penelitian Ferrier et al. (1995), yaitu sebesar 89%.

Cividini et al. (2007) menemukan perbedaan karakeristik karkas domba yang disebabkan oleh sistem

produksi, domba yang dipelihara pada padang gembala menghasilkan karkas dengan lemak yang lebih

sedikit daripada dipelihara secara feedlot dengan pakan hijauan dan konsentrat.

Perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar lemak dan kadar kolesterol daging serta

kadar kolesterol hati (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa domba yang diberi ampas bir sebagai

campuran pakan domba belum mampu untuk menghambat proses biohidrogenasi dalam rumen

disebabkan karena tannin yang terkandung dalam pakan sebesar 20 g/kg BK, sedangkan untuk

menghambat proses biohidrogenasi dalam rumen dibutuhkan tannin sebesar 200 g/Kg BK. Tanin

dalam rumen dapat digunakan untuk menghambat proses pembentukan lemak maupun kolesterol.

Purchas and Keogh (1984) menyatakan bahwa proses lipogenesis akan menurunkan kandungan

lemak karkas domba yang diberi pakan hijauan mengandung tannin.

KESIMPULAN

Hasil penelitian bahwa imbangan 48 % ampas bir : 12% rumput gajah dapat digunakan sebagai

campuran pakan domba tanpa mengganggu aktivitas fisiologi dan metabolisme domba, dan pada

imbangan 12 % Ampas Bir: 48 % Rumput gajah serta 40 % Konsentrat dapat digunakan untuk

meningkatkan bobot edible meat.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1995. Official Method of Analysis. 13th ed. Association of Official Analytical Chemistry,

Washington DC.

Arifin,M., A. M. Hasibuan, C. M. S. Lestari, E. Purbowati, C.I. Sutrisno, E. Baliarti, S.P.S. Budhi

dan W. Lestariana. 2009. Produksi Edible Portion Karkas Domba Ekor Tipis Jantan Yang

Diberi Pakan Komplit Dengan Bahan Baku Berbagai Limbah Pertanian. ([Edible Carcass

Production of Thin Tail Lambs Fed Complete Feed Composed of Various Agricultural By-

products). J.Indon.Trop.Anim.Agric. 34 [2] June 2009

Barry, T.N., Manley, T.R. and Duncan, S.J. 1986. The role of condensed tannins in the nutritional

value of Lotus pedunculatus for sheep. 4. Sites of carbohydrate and protein digestion as

influenced by dietary reactive tannin concentration. Br. J. Nutr., 55: 123-137.

Cividini, A, D. Kompan, dan S. Žgur. 2007. The Effect Of Production System And Weaning On Lamb

Carcass Traits And Meat Characteristics Of Autochthous Jezerskosolcava Breed. Zootechnical

Department, University of Ljubljana. Slovenia

Ferrier, G.R., L.P. Thatcher, and K.L. Cooper. 1995. The effect of lamb growth manipulation on

carcass composition. CSIRO Meat Industry Ressearch Conference. 8A-18.

Lestari, C.M.S., E. Purbowati dan Mawarti 2001. Produksi edible portion karkas domba lokal jantan

akibat penggantian protein konsentrat dengan protein ampas tahu. Jurnal Pengembangan

Peternakan Tropis. Edisi Khusus : 228-235.

Page 102: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

93

Priolo, A., Lanza, M., Biondi, L., Pappalardo, P., Young, O.A. (1998). Effect of partially replacing

dietary barley with 20% Carob pulp on post-weaning growth, and carcass and meat

characteristics of Comisana lambs. Meat Science, 50:355-363

Rahmadi. D. 2003. Pemberian Bungkil Inti Sawit dan Konsentrat yang Dilindungi Formaldehida

untuk Meningkatkan Kandungan Asam Lemak Poli Tak Jenuh Daging Domba. Tesis. Sekolah

Pascasarjana. IPB. Bogor..

Tranggono, B. Setiaji, Suhardi, Sudarmanto, Y. Marsono, A. Murdiati, I.S. Utami dan Suparmo, 1989.

Petunjuk Laboratorium Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Joseph.G. 2007. Suplementasi Sabun Kalsium dalam Pakan Ternak Ruminansia sebagai Sumber

Energi Alternatif untuk Meningkatkan Produksi Daging yang Berkualitas. Disertasi. Sekolah

Pascasarjana. IPB. Bogor.

Page 103: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

94

PERTUMBUHAN KACANG PINTO (Arachis pintoi) YANG DIBERI PUPUK KANDANG

SAPI DAN MIKORIZA

Roni N.G.K., N.N Candraasih K, N.M Witariadi dan N.W Siti

Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan kacang pinto (Arachis pintoi) yang diberi

pupuk kandang sapi dan mikoriza serta kombinasinya, dan mendapatkan taraf/level pupuk yang dapat

meningkatkan pertumbuhan kacang pinto, dilakukan di rumah kaca menggunakan Rancangan Acak

Lengkap pola factorial dua faktor. Faktor pertama adalah dosis pupuk kandang sapi yaitu tanpa (S0),

10 ton/ha, (S1), 20 ton/ha (S2) dan 30 ton/ha (S3). Faktor kedua adalah dosis mikoriza yaitu tanpa

(M0), 10 g/pot, (M1), 20 g/pot (M2) dan 30 g/pot (M3), dengan tiga ulangan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara pupuk kandang sapi dan mikoriza. Perlakuan pupuk

kandang sapi mampu meningkatkan Jumlah cabang, Jumlah Daun, Diameter Batang, Jumlah Bunga,

Jumlah Bintil Akar, dan Luas Daun Per Pot tanaman kacang pinto dibandingkan dengan kontrol, dan

level optimal pada dosis 20 ton/ha (S2) terjadi pada peubah diameter batang. Perlakuan mikoriza

mampu meningkatkan Jumlah Daun kacang pinto dengan level optimal pada dosis 20 g/pot (M2).

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi interaksi antara pupuk kandang

sapi dan mikoriza. Perlakuan pupuk kandang sapi dan mikoriza mampu meningkatkan pertumbuhan

kacang pinto.

Kata kunci : Pupuk kandang sapi, pupuk hayati mikoriza, kacang pinto (Arachis pintoi)

ABSTRACT

The research aims to determine the growth of pinto beans (Arachis pintoi) were given the cow manure

and mycorrhizae and their combinations, and get a degree/level of fertilizer that can increase the

growth of pinto beans, carried out in a greenhouse using a completely randomized design factorial

pattern of two factors. The first factor is the dose of cow manure that is without (S0), 10 ton/ha (S1),

20 ton/ha (S2) and 30 ton/ha (S3). The second factor is the dose mycorrhizae ie without (M0), 10

g/pot, (M1), 20 g/pot (M2) and 30 g/pot (M3), with three replications. The results showed that no

interaction between cow manure and mycorrhizae. Cow manure treatments are able to increase the

number of branches, number of leaves, Diameter of steam, Number of Flowers, Number of nodule

and leaf area pinto bean compare to control, and there is optimal level at doses 20 ton/ha (S2) on

diameter of steam variable. Mycorrhizal treatment able to increase the amount of leaves of pinto

beans with optimal level on doses 20 g/pot (M2). Based on the results of this study concluded that

there was no interaction between cow manure and mycorrhizae. Cow manure and mycorrhizal

treatment are able to increase the growth of pinto beans.

Key words: cow manure, mycorrhizae, pinto beans (Arachis pintoi)

PENDAHULUAN

Dalam ransum ruminansia, porsi hijauan pakan mencapai 40-80% dari total bahan kering ransum atau

sekitar 1,5-3% dari bobot hidup ternak. Secara nutrisi hijauan pakan merupakan sumber serat, bahkan

hijauan pakan asal leguminosa menjadi suplementasi mineral dan protein murah bagi ternak

ruminansia. Hijauan pakan berperan sebagai faktor penggertak agar rumen sapi dapat berfungsi

normal (Abdullah et al., 2005).

Page 104: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

95

Kacang pinto (Arachis pintoi) merupakan salah satu tanaman pakan yang sangat disukai oleh ternak

(palatable), memiliki nilai nutrisi yang tinggi dan memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai pakan baik

untuk ruminansia maupun non ruminansia, meningkatkan kesuburan tanah, mencegah erosi, serta

menjadi tanaman hias (Ferguson, J.E. dan D.S. Loch, 1999). Kacang pinto juga dilaporkan memiliki

produktivitas yang tinggi pada naungan 55% dibandingkan tanpa naungan (Sirait, 2005). Hal ini

memiliki arti penting terkait permasalahan penyediaan hijauan yaitu kurangnya lahan khusus untuk

hijauan pakan.

Panen hijauan pakan berarti pengambilan unsur-unsur hara sehingga jumlahnya di dalam tanah

menurun. Pemupukan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jumlah hara yang tersedia

didalam tanah, namun penggunaan pupuk kimia (anorganik) secara terus menerus dalam jangka waktu

lama dapat menyebabkan tercemarnya kondisi lingkungan, juga dapat mengubah sifat fisik tanah

menjadi keras (Sugito, 1999). Pupuk hayati dan pupuk kandang adalah pupuk yang dapat

memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah serta lingkungan, dengan demikian pupuk hayati

dan pupuk kandang merupakan solusi yang sangat tepat. Salah satu Pupuk hayati yang sering

digunakan adalah Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA), yang merupakan suatu bentuk hubungan

simbiosis mutualisme antara cendawan dan perakaran tumbuhan tinggi. Jenis mikoriza ini membentuk

arbuskular dan vesikular dalam sel korteks akar.

Pupuk kandang sapi juga merupakan salah satu pupuk organik yaitu pupuk yang memiliki kandungan

hara yang lengkap (Sumarsono dkk., 2005), dapat memperbaiki struktur tanah dan membantu

perkembangan mikroorganisme tanah (Widjayanto dkk., 2001). Informasi tentang produktivitas

kacang pinto yang diberi pupuk hayati dan pupuk kandang sapi masih sangat terbatas, sehingga

berdasarkan kerangka pemikiran di atas, dengan dugaan adanya hubungan antara CMA dan pupuk

organik maka penelitian dengan menggabungkan kedua faktor tersebut perlu dilakukan yang

diarahkan pada peningkatan pertumbuhan kacang pinto (Arachis pintoi).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Tumbuhan Pakan, Fakultas Peternakan

Universitas Udayana, selama 3 bulan. Bahan yang digunakan adalah stek kacang pinto (Arachis

pintoi), tanah, pupuk kandang sapi, dan pupuk hayati mikoriza. Peralatan yang digunakan berupa

ayakan, pot plastik, timbangan buah, timbangan digital, meteran, sketmate digital, pisau, gunting, leaf

area meter, kantong kertas, dan oven.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial dua faktor. Faktor

pertama adalah pupuk kandang sapi yaitu S0 (tanpa pupuk kandang sapi), S1 (pupuk kandang sapi 10

ton/ha), S2 = (pupuk kandang sapi 20 ton/ha), dan S3 = (pupuk kandang sapi 30 ton/ha). Faktor kedua

adalah pupuk hayati mikoriza yaitu M0 (tanpa mikoriza), M1 (mikoriza 10 g/pot), M2 (mikoriza 20

g/pot), dan M3 (mikoriza 30 g/pot).

Pengamatan mulai dilakukan dua minggu setelah tanam yaitu setelah semua stek tumbuh dan

mempunyai daun yang sudah berkembang sempurna. Peubah yang Diamati adalah pertambahan

panjang tanaman, jumlah cabang, jumlah daun trifoliate, diameter batang, luas daun per pot, jumlah

bintil akar, dan jumlah bunga.

Page 105: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

96

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam. Apabila diantara nilai rata-rata perlakuan

menunjukkan perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan

(Program SPSS).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis Sidik Ragam menunjukkan bahwa tidak terjadi pengaruh interaksi antara perlakuan

mikoriza dengan pupuk kandang sapi. Perlakuan mikoriza secara nyata (P<0.05) dapat meningkatkan

jumlah daun kacang pinto (Tabel 1).

Tabel 1. Pertumbuhan kacang pinto (Arachis pintoi) yang diberi pupuk hayati Mikoriza

Ket : 1) Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05) 2) M0=tanpa mikoriza, M1=mikoriza 10 g/pot, M1=mikoriza 20 g/pot M1=mikoriza 30 g/pot 3) Standard Error of the Treatment Means

Hal ini menunjukkan peranan penting mikoriza dalam pertumbuhan tanaman karena kemampuannya

untuk menyerap unsur hara baik makro maupun mikro. Selain itu akar yang mempunyai mikoriza

dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman. Hifa eksternal

pada mikoriza dapat menyerap unsur fosfat dari dalam tanah, dan segera diubah menjadi senyawa

polifosfat. Senyawa polifosfat kemudian dipindahkan ke dalam hifa dan dipecah menjadi fosfat

organik yang dapat diserap oleh sel tanaman. Akar tanaman yang terbungkus oleh mikoriza akan

menyebabkan akar tersebut terhindar dari serangan hama dan penyakit. Infeksi patogen akar akan

terhambat, disamping itu mikoriza akan menggunakan semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar

lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok bagi pertumbuhan patogen. CMA menginfeksi

sistem perakaran tanaman inang dengan membentuk jalinan hifa secara intensif, sehingga tanaman

mampu meningkatkan penyerapan hara dan air. Peningkatan tersebut tidak hanya terhadap unsur hara

makro tetapi juga unsur mikro, namun yang lebih utama adalah unsur hara fosfor, karena infeksi

mikoriza pada tanaman dapat menghasilkan enzim fosfatase yang dapat berfungsi meningkatkan

ketersediaan fosfor tanah yang sebenarnya tidak tersedia (Beinroth, 2001). Cendawan mikoriza

arbuskular membentuk arbuskular dan vesikular dalam sel korteks akar. Cendawan ini dapat

meningkatkan kemampuan tanaman dalam pengambilan unsur hara (K, Mg, Ca, O, H, C, dan S)

No. Peubah Dosis Mikoriza2)

SEM3) M0 M1 M2 M3

1 Pertambahan panjang

Tanaman (cm) 4.66A 4.38A 4.34A 4.64A 0.76

2 Jumlah cabang (batang) 2.79X 2.92X 3.08X 2.42X 0.26

3 Jumlah Daun (helai) 13.92B 14.96AB 16.17A 13.29B 0.89

4 Diameter batang (cm) 2.97X 2.85X 3.29X 2.89X 0. 11

5 Jumlah bunga (kuntum) 0.42X 0.25X 0.29X 0.17X 0.26

6 Jumlah bintil akar (buah) 94.17X 87.42 X 93.17 X 87.58 X 13.60

7 Luas Daun per pot (cm2) 907.00.X 1,029.66 X 1,017.25 X 958.73 X 74.22

Page 106: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

97

terutama fosfor (Yulipriyanto, 2010) yang berguna untuk dapat merangsang pertumbuhan dan

perkembangan akar (Hamidahmamur’s, 2010).

Dosis optimal terjadi pada dosis pemupukan 20 g/pot, yang terkait dengan ketersediaan sumber nutrisi

pada media tanam yang dapat dimanfaatkan oleh mikoriza sehingga pada dosis 30/pot.kemungkinan

terjadi persaingan sehingga terjadi penurunan produktivitasnya dalam membantu pertumbuhan

tanaman.

Pemberian pupuk kandang sapi mampu meningkatkan secara nyata (P<0.05) jumlah cabang, jumlah

daun, dimeter batang, jumlah bunga, jumlah bintil akar dan luas daun per pot tanaman kacang pinto

dibandingakan dengan kontrol (Tabel 2).

Tabel 2. Pertumbuhan kacang pinto (Arachis pintoi) yang diberi pupuk kandang sapi

No. Peubah Dosis Mikoriza2)

SEM3) S0 S1 S2 S3

1 Pertambahan panjang

Tanaman (cm) 3.57A 4.26A 4.47A 5.73A 0.76

2 Jumlah cabang (batang) 2.25B 3.17A 2.96A 2.83A 0.26

3 Jumlah Daun (helai) 11.96C 14.46B 15.50AB 16.42A 0.89

4 Diameter batang (cm) 2.85B 3.01AB 3.26A 2.88B 0.11

5 Jumlah bunga (kuntum) 0.08B 0.04B 0.21B 0.79A 0.26

6 Jumlah bintil akar (buah) 40.08B 92.08A 113.58 A 116.58A 13.60

7 Luas Daun per pot (cm2) 765.89B 1,009.66 A 1,031.73A 1,106.09A 74.22

Ket : 1) Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05) 2) M0=tanpa pupuk kandang sapi (PKS), M1=PKS 10 ton/ha, M1= PKS 10 ton/ha, M1= PKS 10 ton/ha 3) Standard Error of the Treatment Means

Peningkatan pertumbuhaan tanaman yang diberi pupuk kandang sapi disebabkan oleh kemampuan

pupuk kandang dalam menambah hara, memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Hartatik dan

Widowati, 2006). Nilai pupuk kandang tidak saja ditentukan oleh kandungan nitrogen, asam fosfat,

dan kalium saja, tetapi juga mengandung hampir semua unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan

tanaman serta berperan dalam memelihara keseimbangan hara dalam tanah. Sutedjo (1999),

menambahkan bahwa pupuk kandang selain mengandung unsur-unsur makro (Nitrogen, Fosfor,

Kalium, Kalsium, Magnesium, dan Belerang) juga mengandung unsur-unsur mikro (Besi, Mangan,

Boron, Tembaga, Seng, Klor dan Molibdinum) yang kesemuanya membentuk pupuk, menyediakan

unsur-unsur atau zat-zat makanan bagi kepentingan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Di

samping itu, pupuk kandang yang digunakan adalah pupuk kandang sapi yang dihasilkan oleh sapi

yang diberi pakan limbah sagu terfermentasi sehingga mikroba yang digunakan untuk fermentasi

pakan masih ada saat sisa pakan keluar berupa feses, dan masih aktif ketika diaplikasikan ke dalam

media tanam.

KESIMPULAN

Tidak terjadi interaksi antara perlakuan mikoriza dengan pupuk kandang sapi. Perlakuan mikoriza

mampu meningkatkan jumlah daun kacang pinto dengan taraf optimal pada dosis 20 g/pot. Perlakuan

Page 107: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

98

pupuk kandang sapi mampu meningkatkan pertumbuhan kacang pinto dengan taraf optimal pada

dosis 20 ton/ha terjadi pada peubah diameter batang.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, L. Panca Dewi, M.H.K. dan Soedarmadi, H. 2005. Reposisi tanaman pakan dalam

kurikulum fakultas peternakan. Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak; Bogor,

16 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Hlm 11-17.

Beinroth, F.H. 2001. Land Resources for Forage Production in the Tropics In Sotomayor - Rios A.

Pitman Wd (eds) Tropical Forage Plants Development and Use CRC Press. Pp3-15.

Ferguson, J.E and D.S. Loch. 1999. Arachis pintoi in Australia and Latin America. In Loch DS and JE

Ferguson, editor. Forage seed Production. Tropical and Subtropical Species Volume 2.

Oxon.UK.CABI Publishing. hlm 427- 434.

Hartatik W. dan L.R.Widowati. 2006. Pupuk Kandang. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan

Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Sirait, J., S.P. Ginting dan A. Tarigan. 2005. Karakterisasi morfologi dan produksi legume pada tiga

taraf naungan di dua agroekosistem. Pros. Lokakarya Nasional tanaman Pakan Ternak Bogor,

16 September 2005.

Sugito, Y. 1999. Ekologi Tanaman:Pengaruh Factor Lingkungan Terhadap Pertumbuhan Tanaman

dan Beberapa aspeknya, UB Press. Malang.

Sumarsono, S. Anwar dan S. Budiyanto. 2005. Peranan Pupuk Organik untuk Keberhasilan

Pertumbuhan Tanaman Pakan Rumput Poliploid pada Tanah Masam dan Salin. Laporan

Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Sutedjo, M M. 1999. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Widjajanto, D.W., Honmura, T., Matsushita, K. and Miyauchi, N. 2001. Studies on the release N from

water hyacinth incorporated into soil-crop systems using 15N- labeling techniques. Pak. J. Biol.

Sci., 4 (9): 1075-1077.

Yulipriyanto, H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaannya, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Page 108: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

99

OPTIMALISASI LAHAN PEKARANGAN UNTUK PEMENUHAN PAKAN USAHA

TERNAK DOMBA SKALA RUMAH TANGGA

Sri Nastiti Jarmani dan Sajimin

Balai Penelitian Ternak

Email: [email protected]

ABSTRAK

Masyarakat di pedesaan telah mengenal budidaya ternak ruminansia sejak puluhan tahun lalu, namun

hingga saat ini cara membudidayakannya masih seperti para pendahulunya yaitu tradisional, usaha

sambilan, sebagai tabungan atau status sosial. Domba merupakan ternak yang sangat populer untuk

dipelihara karena mudah pemeliharaannya, modal relatif lebih rendah dibanding sapi dan mudah

untuk dijual. Hasil pengamatan di Kabupaten Brebes, Kabupaten Blora dan Kabupaten Indramayu

menunjukkan bahwa rumput lapang adalah jenis pakan hijauan yang biasa diberikan selain rumput

“kalanjana” yang tidak dibudidaya, belum ada gerakan penghijauan pekarangan dan lahan diantara

tanaman utama dengan tanaman pakan ternak yang berfungsi banyak. Terdapat kecenderungan

produktivitas domba rendah dan sulit untuk mendapatkan domba dengan bobot lebih dari 40 kg.

Kekurangan pakan, manajemen perkawinan yang tidak terkontrol, pemasaran dan pemotongan domba

betina dibawah umur lima bulan merupakan sebagian faktor penyebabnya. Program penghijauan

dengan tanaman pakan jenis leguminosa berfungsi banyak seperti Sesbania grandiflora, Leucaena,

Gliricidia (turi, lamtoro, gamal) serta leguminosa herba Clitoria ternatea (kembang telang) diantara

tanaman pokok (jagung, sayuran) di ladang dan pekarangan secara intensif dan optimal diharapkan

dapat meningkatkan produksi hijauan, meningkatkan kualitas pakan, menambah kesuburan lahan dan

pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan gizi domba. Perbaikan manajemen dan pengawalan

teknologi menuju budidaya domba yang baik dan benar (good farming management) sangat

diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan pendapatan masyarakat peternak

domba skala rumah tangga. Selanjutnya pemenuhan kebutuhan pakan disertai dengan perbaikan

manajemen perkawinan yang terarah dapat mencegah terjadinya perkawinan inbreeding yang pada

akhirnya akan meningkatkan produktivitas domba dan menambah pendapatan keluarga peternak.

Kata kunci : optimalisasi, pakan, lahan, domba.

PENDAHULUAN

Populasi domba di Indonesia hampir mencapai 10,5 juta ekor di tahun 2013 (Ditjen PKH. 2013) yang

sebagian besar dibudidayakan masyarakat di pedesaan di Pulau Jawa dengan cara tradisional,

digembalakan di lahan sawah setelah panen, kawasan perkebunan dan lapangan, seperti yang

dilakukan oleh para pendahulunya meski ada beberapa daerah yang memelihara secara intensif

dimana pakannya disajikan yang terdiri dari rumput lapangan, dedaunan dan sisa panen tanaman

sayuran. Tanaman pakan ternak tidak dibudidaya oleh masyarakat karena bukan tanaman utama yang

dapat dikuonsumsi dan menambah pendapatan.

Keterbatasan tanaga kerja, kekurangan pakan, sistem perkawinan yang tidak terarah dan banyaknya

pemotongan anak domba betina dibawah umur lima (5) bulan menjadi bagian dari penyebab

rendahnya jumlah kepemilikan domba dan produktivitas rendah. Padahal dengan memelihara domba

kesulitan ekonomi dalam keluarga yang bersifat mendadak dapat teratasi karena domba mudah dijual

dibandingkan dengan sapi. Devendra (1993) menambahkan bahwa domba merupakan salah satu

penyumbang total pendapatan bagi keluarga.

Page 109: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

100

Domba di Indonesia termasuk dalam kategori domba prolifik dan mempunyai kemampuan

bereproduksi sepanjang tahun (Bradford, 1993) namun daya hidupnya rendah karena produksi

susunya sedikit (Bradford dan Inounu. 1996). Rendahnya daya hidup kemungkinan karena

pakan yang dikonsumsi terbatas jumlah dan kualitasnya. Peningkatan kualitas dan kuantitas pakan

dapat diatasi dengan penanaman dan sosialisasi aneka jenis tanaman pakan ternak dan manfaatnya

karena masih banyak masyarakat yang belum tahu. Penanaman tanaman leguminosa pohon (turi,

lamtoro, gamal) dan leguminosa herba (Centrosema pubescens) dan rumput gajah pada lahan

pekarangan, ladang diantara tanaman utama atau galengan secara optimal dapat meningkatkan

produksi hijauan sehingga kebutuhan pakan terpenuhi secara kalitas dan kuantitas, menyuburkan

lahan dan ada yang dapat dikonsumsi masyarakat (turi dan lamtoro) sehingga akan menambah

pendapatan peternak. Dampak dari kecukupan pakan dapat meningkatkan produktivitas domba

sehingga disarankan agar secara bersamaan dilakukan pencegahan ”pemasaran dan pemotongan

domba betina dibawah umur lima bulan” karena tingginya permintaan konsumen terhadap domba

betina muda umur dibawah 5 bulan harganya relatif jauh lebih murah dari anak domba jantan

sehingga dikawatirkan akan terjadi pengikisan pengganti induk.

METODE PENELITIAN

Tulisan ini merupakan hasil rangkuman dan pengamatan budidaya domba di peternak rakyat di desa

Pandansari Kecamatan Paguyangan Kabupaten Brebes dari tahun 2010 hingga 2013, desa Jomblang

Kecamatan Cepu dan desa Jepon Kecamatan Randublatung di Kabupaten Blora dari tahun 2007

hingga tahun 2011 dan desa Jambak Kecamatan Cikedung tahun 2002-2004 dan desa Kalensari di

Kabupaten Indramayu tahun 2015 (sedang berjalan). Informasi mendalam untuk megetahui

manajemen budidaya dilakukan melalui wawancara dengan ketua kelompok, petugas lapang dan

pedagang/blantik domba di pasar hewan dan pedagang/warung sate “domba”. Hasil wawancara di

telisik kembali (cross check) dengan pengamatan secara langsung tatacara pemeliharaan domba di

peternak terutama dalam pemberian pakan dan pengadaannya, pemeliharaan dan pemasaran.

Gerakan penghijauan dengan penanaman tanaman pakan ternak berfungsi banyak dan rumput

budidaya di lahan pekarangan, ladang dan galengan secara optimal diharapkan dapat membantu

memenuhi kecukupan pakan secara kuantitas dan kualitas. Data disajikan secara deskriptif.

Budidaya Tanaman Pakan Ternak

Ketersediaan pakan untuk domba di peternak rakyat perlu diusahakan agar keberlanjutan usahanya

dapat terjaga. Budidaya tanaman pakan jenis leguminosa sebagai sumber hijauan mempunyai

beberapa keuntungan yaitu dapat menyediakan protein yang cukup tinggi, murah, mudah didapat dan

tersedia sepanjang tahun selain itu tanaman legume sangat baik beradaptasi pada berbagai jenis lahan

dan banyak manfaatnya sehingga dikenal sebagai jenis pohon serba guna (JPSG). Penanaman legume

pohon seperti Leucaena (Lamtoro), Gliricidia (Gamal), Sesbania grandiflora (Turi) dan legume herba

Clitoria ternatea (Kembang Telang) di pekarangan, ladang diantara tanaman utama, galengan selain

dapat meningkatkan kesuburan lahan juga dapat meningkatkan produksi hijauan dibandingkan dengan

penanaman monokultur tanaman pangan (Sajimin. 1999). ) Ketiga jenis tanaman tersebut mudah

ditanam di segala jenis tanah, dapat digunakan sebagai pagar di pekarangan, pembatas pemilikan

lahan dan juga dapat digunakan sebagai pakan domba. Jarak tanam di antara tanaman pokok dan di

tegalan 50 x 100 cm memanjang sedangkan jarak 25 x 50 cm bila untuk pagar. Selain itu bunga turi

Page 110: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

101

dan buah lamtoro juga dapat dikonsumsi. Sedangkan kembang telang bunganya berwarna ungu bagus

untuk tanaman hias dan juga dapat digunakan sebagai pewarna makanan. Budidaya kembang telang

di lahan kering kawasan hutan jati di desa Jomblang Kabupaten Blora tumbuh dengan baik dan

produksinya mencapai 0,17 ton/ha/panen pada panen umur 75 hari (Jarmani et al. 2013) demikian

pula dengan pertumbuhan percabangan turi dan lamtoro di kawasan hutan jati cukup berkembang

pada musim kemarau panjang. Dalam penerapannya Wina (1992) melaporkan bahwa pemberian daun

Gamal dan Lamtoro untuk pakan domba dalam bentuk segar hingga 30% tidak menimbulkan efek

negatif pada pertumbuhan domba. Gerakan penghijauan lahan pekarangan secara lebih optimal

dengan tanaman pakan ternak jenis leguminosa sangat diharapkan terutama untuk daerah-daerah padat

ternak ruminansia karena kurangnya ketersediaan pakan merupakan masalah utama dalam

meningkatkan produktivitas ternak. Dampak dari kecukupan pakan dapat meningkatkan

produktivitas domba sehingga disarankan agar secara bersamaan dilakukan pencegahan pemasaran

dan pemotongan domba betina dibawah umur lima bulan karena dikawatirkan akan terjadi pengikisan

domba pengganti induk.

Budidaya Tanaman Pakan Ternak

Ketersediaan pakan untuk domba di peternak rakyat perlu diusahakan agar keberlanjutan usahanya

dapat terjaga. Budidaya tanaman pakan jenis leguminosa sebagai sumber hijauan mempunyai

beberapa keuntungan yaitu dapat menyediakan protein yang cukup tinggi, murah, mudah didapat dan

tersedia sepanjang tahun selain itu tanaman legume sangat baik beradaptasi pada berbagai jenis lahan

dan banyak manfaatnya sehingga dikenal sebagai jenis pohon serba guna (JPSG). Penanaman legume

pohon seperti Leucaena (Lamtoro), Gliricidia (Gamal), Sesbania grandiflora (Turi) dan legume herba

Clitoria ternatea (Kembang Telang) di pekarangan, ladang diantara tanaman utama, galengan selain

dapat meningkatkan kesuburan lahan juga dapat meningkatkan produksi hijauan dibandingkan dengan

penanaman monokultur tanaman pangan (Sajimin. 1999). ) Ketiga jenis tanaman tersebut mudah

ditanam di segala jenis tanah, dapat digunakan sebagai pagar di pekarangan, pembatas pemilikan

lahan dan juga dapat digunakan sebagai pakan domba.

Jarak tanam di antara tanaman pokok dan di tegalan 50 x 100 cm memanjang sedangkan jarak 25 x 50

cm bila untuk pagar. Selain itu bunga turi dan buah lamtoro juga dapat dikonsumsi. Sedangkan

kembang telang bunganya berwarna ungu bagus untuk tanaman hias dan juga dapat digunakan

sebagai pewarna makanan. Budidaya kembang telang di lahan kering kawasan hutan jati di desa

Jomblang Kabupaten Blora tumbuh dengan baik dan produksinya mencapai 0,17 ton/ha/panen pada

panen umur 75 hari (Jarmani et al., 2013) demikian pula dengan pertumbuhan percabangan turi dan

lamtoro di kawasan hutan jati cukup berkembang pada musim kemarau panjang. Dalam

penerapannya Wina (1992) melaporkan bahwa pemberian daun Gamal dan Lamtoro untuk pakan

domba dalam bentuk segar hingga 30% tidak menimbulkan efek negatif pada pertumbuhan domba.

Gerakan penghijauan lahan pekarangan secara lebih optimal dengan tanaman pakan ternak jenis

leguminosa sangat diharapkan terutama untuk daerah-daerah padat ternak ruminansia karena

kurangnya ketersediaan pakan merupakan masalah utama dalam meningkatkan produktivitas ternak.

Dampak dari kecukupan pakan dapat meningkatkan produktivitas domba sehingga disarankan agar

secara bersamaan dilakukan pencegahan pemasaran dan pemotongan domba betina dibawah umur

lima bulan karena dikawatirkan akan terjadi pengikisan domba pengganti induk.

Page 111: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

102

Budidaya domba

Tabel 1. Budidaya domba di lokasi pengamatan

Parameter Kab. Blora Kab. Brebes Kab. Indramayu

Pemeliharan Intensif Intensif Ekstensif dan intensif

Pakan :

Jenis pakan

Sumber

Penyajian

Jumlah per hari

R. lapang, daun

nagka, lamtoro

Disajikan

Hutanjati, sawah,

galengan,

Dikandang

1keranjang untuk

semua domba (8 –

10 kg)

R.lapang,dedaunan

sejenis legume,, sisa

sayuran yang tidak

dijual, daun wortel air

minum dan garam

kadang diberikan

Hutanpinus,kebun,

tegalan,garam beli di

pasar

dikandang

2 - 4 karung untuk

semua domba (30 – 60

kg)

R.lapang, dedak, garam

Perkebunan

tebu,sawah,tegalan,

Dedak dan garam membeli

di pasar

Dedak,garam,air saat

digembalakan dan setelah

kemba-

li kekandang

dedak 1,0 – 1,5 kg;

garam 0,50 – 1,0 kg; air 5-

10 lter untuk semua domba

Kandang Lantai tanah, di

dalam rumah dan

atau di dapur

Panggung,tertutup

berkelompok, di

perkebunan teh

Panggung, berpindah-

pindah, mendekati sumber

pakan

Penanaman

Tanaman pakan

ternak

Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Dari Tabel 1 rumput merupakan pakan utama dan bila dicermati pakan di desa Pandansari lebih

bervariasi(sekitar 16 jenis tanaman) dibanding lokasi lain. Hasil analisa dari laboratorium pakan di

Balai Penelitian Ternak kandungan proteinnya 16% - 18% kemungkinan karena banyak dedaunannya

sejenis leguminosa. Tidak adanya budidaya tanaman pakan ternak di tiga lokasi pengamatan karena

domba adalah usaha sampingan dan dengan pakan “seadanya” tetap dapat berproduksi. Terbatasnya

ketersediaan pakan dimusim kemarau dan larangan menggembala dan merumput di kawasan

kehutanan dan perkebunan berdampak pada kurangnya pakan, selain itu menurut Setiadi et al. (2009)

waktu untuk mencari pakan akan lebih lama pada musim kemarau (3-4 jam) dibandingkan dari musim

hujan (1-2 jam) untuk sekali perjalanan.Oleh karena itu perlu gerakan penghijauan lahan pekarangan,

ladang dan galengan dengan tanaman pakan jenis leguminosa pohon dan leguminosa herba serta

rumput unggul dengan pendekatan “learning by doing” (belajar sambil melaksanakan) agar kebutuhan

pakan tercukupi.

Page 112: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

103

KESIMPULAN DAN SARAN

Budidaya domba di peternak rakyat perlu terus dijaga keberadaannya dengan memperbaiki tatacara

pengadaan dan penyediaan hijauan pakan yang berkualitas untuk meningkatkan produktivitas ternak

dan pendapatan peternak.

Gerakan penghijauan dengan mengoptimalkan lahan pekarangan, ladang dan galengan dengan

tanaman pakan ternak bergizi dan berproduksi tinggi seperti lamtoro, turi, gamal, kembang telang dan

rumput gajah dapat mencukupi ketersediaan kebutuhan pakan hijauan sepanjang tahun sehingga

dapat meningkatkan produktivitas

Peningkatan produktivitas perlu dibarengi dengan peningkatan pengawasan penjualan dan

pemotongan domba betina dibawah umur lima bulan untuk mencegah pengikisan calon betina

pengganti induk

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Setiadi, Subandriyo, S.N.Jarmani, D. Lubis dan Hastono. 2009. Open Nucleus Breeding

System Domba Komposit Resisten Nematoda, Adaptif Pakan Pedesaan di Jawa Tengah dan

Banten. Laporan hasil penelitian. Balitnak. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian.

Bradford,G.E. 1993. Small Ruminant Breeding Strategy for Indonesia. In. Subandryo and

Gatenby,R.M.(Eds). Advances in Small Ruminant Research In Indonesia. SR-SRCP, Central

Research Institute for Animal Science. Bogor. Indonesia.pp.88-94

Bradford,G.E and I.Inounu.1996. Prolific Breeds in Indonesia. In. M.H.Faling (ed). Prolific

Sheeps.CAB. International. Oxon,U.K.p 137 – 145

Devendra,C. 1993. Kambing dan Domba di Asia. Dalam Proceeding Kambing dan Domba Di

Indonesia. Editor M.W.Tawonszenka, I.M. Mastika, A.Djajanegara, S.Gardiner, dan T.R.

Wiradarya. Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal

Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.

Jarmani, S.N., Sajimin dan A. Anggraeni. 2013. Integrasi Budidaya Sapi di Kawasan Hutan Jati.

Laporan Pengawalan Teknologi. Balai Penelitian Ternak.

Sajimin, B.R.Prawiradiputra dan M.Panjaitan. 1999. Integrasi tanaman pakan pada usahatani di

Kecamatan Bayongbong. Garut. JITV Vol 4(4). Puslitbangnak. Bogor.p 251-256, E. 1992.

Nilai gizi kaliandra, gamal dan lamtoro sebagai suplemen untuk domba yang diberi pakan

rumput gajah. Prosiding Pengolahan Hasil dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian “Teknologi

Pakan dan Tanaman Pakan”. Balai Penelitian Ternak. Pusat Wina Penelitian dan

Pengembangan Peternakan. Hal 13-20

Wina, E. 1992. Nilai gizi kaliandra, gamal dan lamtoro sebagai suplemen untuk domba yang diberi

pakan rumput gajah. Prosiding Pengolahan Hasil dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian

“Teknologi Pakan dan Tanaman Pakan”. Balai Penelitian Ternak. Pusat Wina Penelitian dan

Pengembangan Peternakan. Hal 13-20

Page 113: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

104

EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN HIJAUAN PADA USAHA TERNAK SAPI POTONG DI

KABUPATEN BANJARNEGARA

Sri Mastuti, Yusmi Nur Wakhidati dan Oentoeng Edy Djatmiko

Fakultas Peternakan UNSOED

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui pengaruh penggunaan biaya input pakan hijauan dan

input obat dan vitamin terhadap kenaikan nilai produksi sapi potong di Kabupaten Banjarnegara; 2).

Mengetahui efisiensi penggunaan biaya hijauan pakan terhadap kenaikan nilai produksi pada usaha

ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode

survei (Survey Method) terhadap peternak sapi potong. Sampel wilayah dipilih secara stratified

random sampling berdasarkan populasi sapi potong, sehingga terpilih 5 kecamatan dari 20 kecamatan

yang ada di Kabupaten Banjarnegara yaitu Kecamatan Rakit, Susukan, Pagentan, Purwanegara dan

Wanayasa. Selanjutnya sampel peternak dipilih dengan metode Quota Sampling sebanyak 20 peternak

dari masing-masing kecamatan terpilih, sehingga terambil 100 responden. Analisis fungsi Cobb-

Douglas digunakan untuk melihat pengaruh biaya input terhadap kanaikan nilai produksi, sedangkan

efisiensi ekonomi dianalisis dengan membandingkan Nilai Produk Marginal (NPM) dengan Biaya

Korbanan Marginal (BKM). Biaya input dikatakan efisien jika nilainya = 1, belum efisien > 1, dan

tidak efisien < 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata NPM peternak sebesar Rp.

5.350.000,00. BKM pakan hijauan sebesar Rp 2. 028.487,50 dan obat dan vitamin sebesar Rp

201.800,00. Biaya pengadaan input pakan hijauan berpengaruh terhadap kenaikan nilai produksi

dengan koefisien sebesar 0,77 (P < 0.05), sedangkan biaya vitamin dan obat tidak berpengaruh secara

signifikan dengan R2 sebesar 0,76. Efisiensi penggunaan biaya pakan hijauan sebesar 2,024 yang

berarti penggunaan pakan oleh peternak belum efisien. Demikian pula penggunaan input obat dan

vitamin, belum efisien dengan nilai sebesar 1,832. Kenaikan nilai produksi sapi potong di Kabupaten

Banjarnegara dapat ditingkatkan dengan meningkatkan efisiensi penggunaan biaya pakan.

Kata kunci: efisiensi penggunaan biaya input, usaha ternak sapi potong

PENDAHULUAN

Pembangunan di subsektor peternakan antara lain bertujuan untuk meningkatkan konsumsi protein

hewani asal ternak, meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja dan lapangan kerja serta

diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap devisa daerah setempat. Ternak sapi merupakan

salah satu komoditas yang memiliki potensi cukup besar sebagai ternak penghasil daging dan menjadi

prioritas dalam pembangunan peternakan. Sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil

bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan penting artinya di dalam

kehidupan masyarakat. Disamping berperan sebagai penghasil daging, sapi potong juga berperan

sebagai sumber pendapatan, sarana investasi, tabungan, fungsi sosial, sumber pupuk, sumber tenaga

kerja dalam pengolahan tanah dan pemanfaat limbah pertanian (Tumewu dkk., 2014).

Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu sentra produksi dan pengembangan ternak sapi potong

berdasarkan potensi alam dan budaya tani yang dimiliki masyarakat. Berdasarkan data dari Badan

Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara (2013), populasi sapi potong dari tahun 2008 sampai 2013

berturut-turut adalah 40.426 ekor, 41.638 ekor, 41.842 ekor, 34.320 ekor, 37.067 ekor dan pada tahun

2013 populasi sapi potong sebanyak 32.222 ekor. Lokasi penyebaran sapi potong terdapat di seluruh

Kecamatan di Kabupaten Banjarnegara. Proses penyebaran tersebut didukung oleh luasnya lahan

penghasil hijauan makanan ternak (HMT) seluas 21.782 m2 (BPS, 2013)

Page 114: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

105

Usaha ternak sapi potong dikatakan berhasil jika produksi yang dihasilkan optimal. Sedangkan

produksi dikatakan optimal jika penggunaan faktor produksi dilakukan seefisien mungkin. Pada

umumnya usaha ternak sapi potong di Indonesia masih dijalankan dengan cara tradisional dengan ciri

merupakan usaha sampingan, skala pemeliharaan kecil dan produktivitas yang rendah. Menurut

Kalangi (1014), produktivitas ternak dapat ditingkatkan dengan memperbaiki efisiensi usaha secara

berkesinambungan. Secara teoritis, produksi daging merupakan hasil interaksi antara faktor endogen

dan eksogen. Faktor endogen, sebagai faktor kemampuan biologis, baru dapat ditampilkan jika faktor

eksogen sebagai faktor kesempatan, memungkinkan faktor endogen berkembang. Tidak kalah penting

adalah faktor eksogen. Faktor ini sering disebut dengan faktor lingkungan terdiri atas tiga faktor yaitu

iklim, ketersedian pakan dan manajemen pemeliharaan. Kemampuan manajerial peternak yang

beragam seringkali mengakibatkan penggunaan input produksi tidak efisien sehingga menyebabkan

produksi menjadi tidak optimum. Di sisi lain, kabupaten Banjarnegara memiliki potensi lahan hijauan

pakan yang cukup menjanjikan. Besarnya potensi sumber ketersediaan pakan seperti limbah pertanian

dan luasnya lahan penghasil hijauan makanan ternak dapat menjadi faktor pendukung bagi

pengembangan usaha. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait penggunaan

faktor produksi khususnya pakan hijauan dalam usaha ternak sapi potong. Selanjutnya akan

teridentifikasi tingkat efisiensi penggunaan biaya pakan hijauan pada usaha ternak sapi potong di

Kabupaten Banjarnegara.

METODE PENELITIAN

Metode Pengambilan Sampel

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survei (Survey Method) terhadap rumah tangga

peternak sapi potong. Sampel wilayah dipilih secara stratified random sampling berdasarkan populasi

sapi potong, sehingga terpilih 5 kecamatan dari 20 kecamatan yang ada di Kabupaten Banjarnegara

yaitu Kecamatan Rakit, Susukan, Pagentan, Purwanegara dan Wanayasa. Selanjutnya sampel peternak

dipilih dengan metode Quota Sampling sebanyak 20 peternak dari masing-masing kecamatan terpilih,

sehingga terambil 100 responden.

Metode Analisis

a. Pengaruh penggunaan biaya input terhadap kenaikan nilai produksi dianalisis dengan

menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas, kemudian ditransformasikan dalam bentuk

logaritma natural. Rumus yang digunakan adalah: Y = a + 1 X1 + 2 X2 + e

Dimana Y merupakan kenaikan nilai produksi ternak, x1 adalah nilai penggunaan pakan hijauan,

x2 adalah nilai penggunaan obat dan vitamin. n merupakan koefisien regresi dan e adalah error.

Variabel Y dan x dinyatakan dalan satuan rupiah per tahun.

b. Efisiensi ekonomis dihitung dengan menggunakan perbandingan antara Nilai Produk Marginal

dengan nilai Biaya Korbanan Marginal. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:

Ep = n .

Jika nilai Ep > 1 maka penggunaan input belum efisien, dan jika nilai Ep < maka penggunaan

input tidak efisien lagi

Page 115: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

106

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kenaikan Nilai Produksi dan Biaya Produksi Usaha Sapi Potong

Kenaikan nilai produksi merupakan pertambahan nilai ternak selama pemeliharaan satu tahun.

Kenaikan nilai ternak ini dapat berupa adanya pedet yang dilahirkan dan pertumbuhan ternak dari

pedet menjadi dara maupun pertumbuhan ternak dara menjadi ternak dewasa. Kenaikan nilai produksi

ternak dihitung dari nilai ternak pada akhir tahun dikurangi nilai ternak pada akhir tahun termasuk di

dalamnya penjualan ternak dikurangi dengan pembelian ternak selama satu tahun produksi. Sementara

itu, biaya produksi dihitung berdasarkan biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh peternak. Dalam

penelitian ini biaya yang benar-benar dikeluarkan peternak dalam usahanya adalah biaya pembelian

obat dan vitamin serta biaya yang digunakan untuk pengadaan pakan hijauan.

Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa rata-rata kenaikan nilai produksi ternak per tahun sebesar

Rp. 5.350.000,00. Kenaikan nilai produksi ternak tertinggi adalah sebesar Rp 24.000.000,00 per tahun

dan terrendah sebesar Rp 1.500.000,00 per tahun. Rata-rata biaya pengadaan pakan hijauan oleh

peternak adalah sebesar Rp 2.028.487,50. Biaya pengadaan pakan tertinggi sebesar Rp 7.592.000,00

per tahun dan terrendah sebesar Rp 711.750,00 per tahun. Rata-rata biaya pembelian obat dan vitamin

sebesar Rp 201.800,00 dengan biaya tertinggi sebesar Rp 2.675.000,00 dan terrendah Rp 15.000,00

per tahun. Hasil selengkapnya tersaji pada tabel 1.

Tabel 1. Statisik Deskriptif Kenaikan Nilai Ternak dan Biaya Produksi pada Usaha Ternak Sapi

Potong di Kabupaten Banjarnegara

Kenaikan nilai ternak Biaya pengadaan pakan

hijauan

Biaya pembelian obat

dan Vitamin

Rata-rata 5.350.000,00 2.028.487,50 201.800,00

Minimum 1.500.000,00 711.750,00 15.000,00

Maksimum 24.000.000,00 7.592.000,00 2.675.000,00

Standar deviasi 4.032.807,38 1.422.750,91 328.321,10

Sumber: data primer diolah

Pengaruh biaya input terhadap kenaikan nilai produksi ternak dan efisiensi ekonomis

Analisis regresi digunakan untuk melihat pengaruh penggunaan biaya faktor produksi atau input

pakan hijauan dan obat dan vitamin terhadap kenaikan nilai produksi ternak dan hasil selengkapnya

tersaji pada tabel 2. Hasil analisis menunjukkan nilai R2 sebesar 0,760. Besaran nilai R2 merupakan

koefisien determinasi yang menggambarkan ketepatan model yang digunakan. Nilai ini menunjukkan

bahwa 76 persen variasi dari kenaikan nilai produksi ternak sapi potong dapat dijelaskan oleh variabel

penjelas yaitu biaya hijauan dan biaya obat dan vitamin. Sedangkan sisa 24 persen dipengaruhi oleh

faktor lain diluar model analisis yang digunakan baik itu dari aspek sosial ataupun aspek ekonomi

yang terlibat didalam kegiatan usaha sapi potong tersebut. Dengan nilai F hitung sebesar 153,991 dan

signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen menggambarkan bahwa secara bersama-sama variabel

penjelas berpengaruh terhadap kenaikan nilai produksi ternak sapi potong.

Page 116: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

107

Tabel 2. Hasil Analisi Regresi penggunaan biaya faktor produksi terhadap kenaikan nilai produksi

ternak

Coefficients Standard Error t Stat P-value Ep

Intercept 1,521 0,301 5,045 2,1E-06

X1 (pakan hijauan) 0,767 0,059 12,918*** 8,3E-23 2,024

X2

(obatdanvitamin) 0,069 0,035 1,9705 0,05165

1,832

R Square = 0,760 F Hit = 153,991 F Sig. 7,9E-31

Sumber : Data Primer Diolah 2014. Keterangan : Ep : Efisiensi ekonomi; *** : nyata pada tingkat

kepercayaan 99 %

Pengaruh penggunaan biaya input pakan hijauan dan input obat dan vitamin terhadap kenaikan nilai

produksi ternak sapi potong dapat dilihat nilai koefisien faktor produksi pada tabel 2. Hasil analisis

menunjukkan bahwa penggunaan pakan hijauan memiliki koefisien sebesar 0,767 signifikan pada

tingkat kesalahan 1 persen. Nilai koefisien tersebut menggambarkan bahwa setiap peningkatan biaya

pakan hijauan sebesar 10 persen akan memberikan kenaikan nilai ternak sebesar 7,67 persen. Artinya,

peternak masih memungkinkan untuk mendapatkan kenaikan nilai ternak dengan menambah

penggunaan pakan. Dengan meningkatkan biaya hijauan maka produksi akan meningkat dan mampu

menutupi biaya produksi yang telah dikeluarkan. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Hanafie

(2010), yang menyatakan bahwa bertambahnya biaya diperlukan untuk menambah produksi. Selain

itu, hasil ini sesuai dengan hasil analisis efisiensi yang menunjukkan nilai 2,024. Yang berarti secara

ekonomi, penggunaan pakan hijauan belum efisien karena nilainya lebih besar dari satu. Diduga

kualitas pakan yang beragam, menyebabkan pemberian pakan oleh peternak menjadi belum efisien.

Supratman dan Iwan (2001), bahwa pertambahan berat badan yang maksimal akan bisa dicapai bila

pakan yang diberikan mencukupi baik kualitas maupun kuantitasnya. Hasil ini juga sejalan dengan

temuan Jones (2000), Trestini (2006), Krasachat (2007), dan Sidauruk (2010).

Pada penggunaan biaya input obat dan vitamin, analisis menunjukkan bahwa biaya input ini tidak

mempengaruhi kenaikan nilai produksi ternak sapi potong. Hal ini dimungkinkan karena peternak

menganggap bahwa obat dan vitamin bukan faktor produksi utama dalam usaha pemeliharaan sapi

potong dan hanya faktor produksi pendukung. Hal tersebut menyebabkan kecilnya penggunaan dan

biaya obat dan vitamin pada usaha ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara. Hal ini sesuai

dengan analisis efisiensi ekonomi, yang menunjukkan bahwa penggunaan biaya obat dan vitamin

belum efisien (bernilai 1,83). Peternak asih memungkinkan untuk menambah pemberian obat dan

vitamin guna memberi kenaikan nilai produk ternak yang lebih besar. Pemberian obat dan vitamin

memang tidak untuk menaikkan berat badan secara langsung, melainkan untuk pencegahan,

penyembuhan dan pemberantasan penyakit yang dapat mempengaruhi produksi. Kondisi ternak yang

sehat, kenaikan berat dan produksi telur diharapkan dapat tercapai dengan optimal (Dorland, 2002).

KESIMPULAN

Biaya pakan hijauan yang dikeluarkan oleh peternak berpengaruh positif terhadap kenaikan nilai

produksi ternak sapi potong. Penggunaan biaya pengadaan hijauan pakan ternak dan biaya obat dan

vaksin belum efisien. Kenaikan nilai produksi ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara dapat

ditingkatkan dengan memperbaiki efisiensi penggunaan biaya pakan hijauan dan biaya obat dan

Page 117: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

108

vitamin guna mendukung kesehatan ternak sehingga kenaikan nilai ternak dapat tercapai secara

optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2013. Banjarnegara Dalam Angka 2013. BPS Kabupaten Banjarnegara.

Dorland W. A. N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Terjemahan Huriawati Hartanto. Edisi pertama,

Jakarta : EGC. Hal : 1815.

Hanafie, R. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. C.V. Andi Offset, Yogyakarta.

Jones R. 2000. Costs, Distribution of Costs, and Factors Influencing Profitability in Cow-Calf

Production. Kansas State University.

Kalangi, L.S. 20014. Analisis Efisiensi Ekonomi Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong

Rakyat di Propinsi Jawa Timur. Disertasi.Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Krasachat W. 2007. Economic Efficiency of Feedlot Cattle Farms in Thailand. Conference on

International Agricultural Research for Development. Tropentag University of Kassel-

Witzenhausen and University of Gottingen, October 9-11, 2007

Sidauruk R, Cyrilla L, Atmakusuma J. 2010. Analisis Efisiensi Pola Usaha Sapi Potong di Bekasi

Jawa Barat (Kasus di PT Lembu Jantan Perkasa). Media Peternkan, 24(1) : 128-135

Supratman dan Iwan. 2001. Manajemen Pakan Sapi Potong. Pelatihan Wirabisnis Feedlot Sapi

Potong Fakultas Peternakan UNPAD, Bandung

Trestini S. 2006. Technical Efficiency of Italian Beef Cattle Production Under a Heteroscedastic Non-

Neutral Production Frontier Approach. Conference Paper, Presented at the 10th Joint

Conference on Food, Agriculture and the Environment, August 27-30. Duluth, Minnesota

Tumewu, J.M, Panelewen, V.V.J, Mirah, A.D.P. 2014. Analisis Usaha Tani Terpadu Sapi Potong dan

Padi Sawah Kelompok Tani “Keong Mas” Kecamatan Sangkup, Kabupaten Bolaang

Mongondow Utara. Journal Zootek. Vol. 34 No.2:1-9 (Juli 2014).

Page 118: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

109

PRODUKTIVITAS KERJA, GAYA KEPEMIMPINAN KETUA DAN MOTIVASI

BERPRESTASI ANGGOTA KELOMPOK PETERNAK SAPI PERAH DI KABUPATEN

BANYUMAS.

Muhammad Nuskhi dan Lucie Setiana

Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Result showed that style of leadership level could be classified as moderate category with persentation

47,06 persen,level of motivation of achievementcould be classified as high category and level of

produtivitycould be classified as moderate categorywith persentation (54,16%) 54,16% persen. Rank

spearman correlation showed that variable who correlation to farmers motivation of achievement is

telling leadership (rs=0.610**), selling leadership (rs=0.639**), and participating leadership

(rs=0.627**) has a high significant correlation to farmers motivation of achievement, where as

delegating leadership has a moderate significant correlation to farmers motivation of achievement

(rs=0.590*). While variable who correlation to productivity is telling leadership (rs=0.244*), selling

leadership (rs=0.241), participating leadership (rs=0.242) and delegating leadership (rs=0.249)has a

low significant correlation to farmers.

Keywords:Productivity, Style of Leadership and Motivation of Achievement

PENDAHULUAN

Perkembangan usaha sapi perah di Indonesia belum mengalami kemajuan secara signifikan dan belum

dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, menghimpun peternak dalam kelompok

tani ternak merupakan upaya untuk memajukan peternakan sapi perah di Indonesia. Di Kabupaten

Banyumas populasi ternak sapi perah tahun 2012 sebesar 2.123 ekor, sementara tahun 2013 sebesar

2.087 ekor, ini menujukkan belum ada kemajuan yang signifikan bahkan terjadi penurunan sedikit

populasi ternak sapi perah.

Kelompok tani ternak merupakan suatu perhimpunan para peternak di tingkat peternak untuk

menghimpun modal dan mempermudah pembinaan. Diharapkan dengan adanya kelompok tani ternak

akan dapat pemupukan modal, adopsi teknologi, mempercepat proses penerimaam informasi dan

regenerasi peternak, sehingga dapat mempercepat kemajuan, perkembangan usaha, dan kreativitas

sekaligus sebagai wahana belajar dan bekerjasama peternak dalam meningkatkan produktivitasnya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keeratan hubungan antara produktivitas kerja,

gaya kepemimpinan ketua dengan motivasi berprestasi peternak sapi perah.

METODE PENELITIAN

Sasaran dalam penelitian ini adalah keluarga peternak yang menjadi anggota kelompok peternak sapi

perah. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif korelatif dengan menggunakan

metode survey. Variabel-variabel yang diukur meliputi variabel X dan variabel Y. Variabel X, yaitu

gaya kepemimpinan meliputi gaya telling (X1), gaya selling (X2), gaya participating (X3), gaya

delegating (X4). Variabel Y1, yaitu motivasi berprestasi meliputi motivasi intrinsik (Y11), motivasi

ekstrinsik (Y12). Variabel Y2, yaitu dan produktivitas kerja meliputi penerimaan (Y21), curahan kerja

(Y22 ).

Page 119: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

110

Keeratan hubungan antara gaya kepemimpinan dengan motivasi berprestasi dan produktivitas kerja

peternak sapi perah di Kabupaten Banyumas, diukur dengan analisis Koefisien Korelasi Rangking

Spearman dengan rumus :

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tinjauan Umum

Mayoritas penduduk di Kabupaten Banyumas bermata pencaharian sebagai petani. Jenis usaha di

sektor pertanian yang dikelola penduduk merupakan pertanian tanaman pangan, perikanan dan

peternakan. Penduduk dengan mata pencaharian pertanian tanaman pangan sebanyak 137.646 jiwa

(60,23%), peternakan sebanyak 74.434 jiwa (32,57%) dan perikanan sebanyak 16.454 jiwa (7,20%)

(BPS Kabupaten Banyumas, 2010).

2. Tinjauan Khusus

2.1. Produktivitas Kerja

Berdasarkan data pada tabel 1, diketahui bahwa sebanyak 62,69 persen peternak memiliki

produktivitas kerja beternak yang sedang dan sebanyak 23,88 persen peternak memiliki produktivitas

kerja beternak yang tinggi. Hasil tersebut tidak sesuai dengan penelitian Purwanto (2007), yang

menyatakan bahwa tingkat produktivitas kerja peternak sapi perah di Kabupaten Banyumas pada

kategori tinggi sebesar 64,06 persen sedangkan kategori sedang sebanyak 35,94 persen. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa produktivitas kerja peternak dikagorikan sedang, ini disebabkan

karena tingkat pendidikan peternak yang masih rendah.

2.2. Gaya Kepemimpinan

Gaya telling merupakan gaya yang melibatkan pemimpin secara terus menerus memberikan perintah

tentang apa, bagaimana, kapan, dan dimana tugas–tugas yang harus dilaksanakan kepada yang

dipimpinnya (Sutarto, 2007). Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa sebanyak 35

peternak (52,00%) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan telling termasuk kategori sedang

(Kencana, 2009). Diketahui pula bahwa sebanyak 36 peternak (53,73%) menyatakan bahwa gaya

kepemimpinan selling termasuk dalam kategori tinggi dan 30 orang peternak (44,77%) menyatakan

termasuk dalam kategori sedang (Andratika, 2009).

Menurut Kartono (2006) Gaya kepemimpinan partisipasi merupakan respon ketua kelompok tani

yang harus diperankan ketika tingkat kemampuan peternak rendah akan tetapi tidak memiliki

kemauan untuk melakukan tanggung jawab, yang seringkali disebabkan karena kurang keyakinan.

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa sebanyak 46 peternak (70,15%) menyatakan bahwa gaya

kepemimpinan ini termasuk dalam kategori tinggi (Indah, 2008). dapat Diketahui pula bahwa

sebanyak 36 peternak (53,73%) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan delegating termasuk dalam

kategori sedang dan 30 orang peternak (44,77%) menyatakan termasuk dalam kategori tinggi.

NN

d

r

N

i

i

s

3

1

26

1

Keterangan :

rs : Korelasi jenjang spearman

N : Jumlah data observasi

di : Beda antara dua himpunan rangking

Page 120: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

111

2.3. Motivasi

Ninawati (2007) menyatakan bahwa keberhasilan suatu prestasi sangat dipengaruhi oleh faktor

motivasi. Berdasarkan data pada tabel 1 di atas, diketahui bahwa sebanyak 59,71 persen peternak

memiliki motivasi berprestasi beternak yang tinggi dan sebanyak 35,82 persen memiliki motivasi

berprestasi yang sedang. Haryadi dkk. (2008) menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap

usaha yang dijalankan seseorang adalah keuletan dan kerja kerasnya.

Tabel 1. Keragaan Peternak Berdasarkan Produktivitas Kerja , Gaya Kepemimpinan dan

Motivasi Berprestasi

No Keragaan Peternak

Kategori

Peternak

Jumlah

(jiwa)

Persentase (%)

1 Tingkat Produktivitas

Kerja

Tinggi (15.000-19.000)

Sedang (10.000-14.999)

Rendah (4.000-9.999)

16

42

9

23.88

62.69

13.43

Jumlah 67 100

2 Gaya Kepemimpinan Rendah (4-8)

Sedang (9-13)

Tinggi (14-20)

1

30

36

1,50

44,77

53,73

Jumlah 67 100,00

3 Tingkat Motivasi Tinggi (30-40)

Sedang (19-29)

Rendah (8-18)

40

24

3

59,71

35,82

04,47

Jumlah 67 100

3. Hubungan antar Variabel

3.1. Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Produktivitas Kerja.

Hubungan gaya kepemimpinan terdiri atas: gaya telling (X1), gaya telling (X2), gaya participating

(X3), dan gaya delegating (X4) dengan produktivitas kerja (Y2) anggota peternak sapi perah di

Kabupaten Banyumas dapat dilihat pada tabel 2.

Hubungan antara Gaya Telling (X1), Gaya Selling (X2) Gaya Participating (X3) dan Gaya Delegating

(X4) dengan Produktivitas Kerja (Y2) menunjukkan bahwa hasil analisis Korelasi Rank Spearman

adalah 0,244*, 0,241*, 0,242* dan 0,249*, artinya terdapat hubungan yang rendah pada tingkat

signifikansi 99 persen (P<0,01), hal ini menunjukkan bahwa korelasi antara gaya kepemimpinan

dengan produktivitas kerja hanya berkorelasi rendah yaitu semakin tinggi intensitas gaya

kepemimpinan ini dipakai maka akan meningkatkan produktivitas tetapi peningkatannya sedikit.

Page 121: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

112

Tabel 2. Hasil Analisis Korelasi Rank Spearman Antara Gaya Kepemimpinan dengan Produktivitas

Kerja Peternak.

Korelasi Y2 (Produktivitas Kerja) Kategori Keterangan

X1 (Gaya Telling)

X2 (Gaya Selling)

X3 (Gaya Participating)

X4 (Gaya Delegating)

0,244*

0,241*

0,242*

0,249*

Rendah

Rendah

Rendah

Rendah

Positif

Positif

Positif

Positif

Sumber Data Primer Diolah, 2009

Keterangan :

** Korelasi sangat nyata pada taraf 0,01

* Korelasi sangat nyata pada taraf 0,05

3.2. Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Motivasi Berprestasi

Hubungan gaya kepemimpinan terdiri atas: gaya telling (X1), gaya telling (X2), gaya participating

(X3), dan gaya delegating (X4) dengan motivasi berprestasi (Y1) anggota peternak sapi perah di

Kabupaten Banyumas dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisis Korelasi Rank Spearman antara Gaya Kepemimpinan dengan Motivasi

Berprestasi

Korelasi Y1 (Motivasi Berprestasi) Kategori Keterangan

X1 (Gaya Telling)

X2 (Gaya Selling)

X3 (Gaya Participating)

X4 (Gaya Delegating)

0,610**

0,639**

0,627**

0,590*

Tinggi

Tinggi

Tinggi

Sedang

Positif

Positif

Positif

Positif

Sumber Data Primer Diolah, 2009

Keterangan :

** Korelasi sangat nyata pada taraf 0,01

* Korelasi sangat nyata pada taraf 0,05

Hubungan antara Gaya Telling (X1), Gaya Selling (X2), Gaya Participating (X3), Gaya Delegating

(X4) dengan Motivasi Berprestasi (Y1) menunjukkan bahwa hasil analisis Korelasi Rank Spearman

adalah 0,610**, 0,639**, 0,627** dan 0,590** artinya terdapat hubungan yang sangat nyata pada

tingkat signifikansi 99 persen (P<0,01), semakin tinggi intensitas penggunaan gaya kepemimpinan ini

berarti akan semakin tinggi pula motivasi berprestasi beternak peternak sapi perah, demikian pula

sebaliknya. Hasil penelitian menunjukkan yang dilakukan pemimpin dalam penelitian ini adalah

reorganisasi dalam kelompok tani ternak dilakukan untuk meningkatkan kualitas kerja anggotanya

agar anggota mengerti peran yang dijalankan dalam melaksanakan tugas kelompok, juga peran

pemimpim dalam menentukan arah kebijakan yang diambil dan dituntut profesional dalam

melaksanakan tugasnya. Hasil penelitian Surja (2005) menunjukkan bahwa ada korelasi rendah

sebesar 0,176 antara gaya kepemimpinan ini dengan motivasi berprestasi maka hanya sedikit

memberikan pengaruh dalam memotivasi kerja bawahan.

Page 122: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

113

KESIMPULAN

1). Tingkat Motivasi berprestasi peternak sapi perah termasuk dalam kategori tinggi, Gaya

kepemimpinan yang meliputi Gaya Telling, Gaya Selling, Gaya Participating, dan Gaya

Delegating terkategori sedang.

2). Variabel yang berhubungan dengan motivasi berprestasi dengan korelasinya nyata adalah gaya

telling, gaya selling dan gaya participating, sedangkan yang korelasinya sedang adalah gaya

delegating.

3). Variabel yang berhubungan dengan produktivitas kerja dengan korelasinya rendah adalah gaya

telling, gaya selling, gaya participating dan gaya delegating.

DAFTAR PUSTAKA

Andrarika, Rita. 2009. Hubungan Antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional dan

Transaksional dengan Kepuasan Kerja Karyawan Jurnal PSYCHE, Vol. 1 No. 1 Desember

2004. Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma Palembang. Hal 35-49

Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas. 2010. Banyumas dalam Angka. BPS Kabupaten

Banyumas. Banyumas. Hal 187.

Haryadi, A. Haryanto, J.B. Sidik, A. Lukman. Halim, A dan Mulyadi, D. 2008. Penyusunan

Indikator Kemampuan SDM Agribisnis Pertanian. Jurnal Pengkajian. Volume 2. 2004. Pusat

Pengkajian SDM Pertanian, Badan Pengembangan SDM Pertanian. Jakarta. Hal : 43

Indah, W. 2008. Hubungan partisipasi anggota dengan dinamika kelompok pada kelompok tani

salak lawu ngremboko mulyo di Desa Nglebak Kecamatan Tawangmangu Kabupaten

Karanganyar. Jurnal Manajement Kewirausahaan. http//puslit.petra.ac.id/

journals/menejement/. Vol. 1, No. 1, September 1999 : 22 – 35. (Diakses 26 Februari 2009)

Kartono, K. 2001. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Mandar Maju. Bandung. Hal 22 – 24

Kencana, L. 2009 Hubungan Gaya Kepemimpinan Berorientasi Kondensasi dan Struktur Tugas

Dengan Kepuasan Kerja Pegawai Kantor. Jurnal kepemimpinan. Fakultas Ekonomi

Universitas Muhamadiyah Sumatra Utara no 1 vol. 04 april 2004 (diakses 10 Maret 2009).

Ninawati. 2007. Motivasi Berprestasi. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. Vol.4, No. 8. Hal : 77-78

Purwanto, E. 2007. Pengaruh Sosial Ekonomi Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Peternak Sapi

Perah di Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas. Fakultas Peternakan UNSOED.

Purwokerto. Hal 29-30.

Surja, A. (2005). What Can We Learn from Trait Theories and Charismatic - Transformational

Leadership?: A Note to Develop Personal Career Strategies. Jurnal manajemen dan

kewirausahaan. Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Vol 7 no 2 september 2005 hal 99-

112. (Diakses 17 Maret 2009).

Sutarto. 2007. Dasar–Dasar Kepemimpinan Administrasi. UGM press. Yogyakarta. Hal 137 – 138.

Page 123: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

114

MANAJEMEN PADANG PENGGEMBALAAN DI BPTUHPT PADANG MENGATAS

Yoselanda Marta

Balai Pembibitan Ternak Unggul Dan Hijauan Pakan Ternak (BPTUHPT) Padang Mengatas

email : [email protected]

ABSTRAK

Pemeliharaan ternak secara ekstensif sampai saat ini masih berhadapan dengan permasalahan

penyediaan pakan hijauan yang berkualitas dan berkesinambungan. Hampir 70% biaya produksi dan

pemeliharaan sapi pengeluarannya bersumber dari pakan. Efisensi tenaga kerja menjadi salah satu

permasalahan yang belum terselesaikan dengan baik. Berbagai metoda dikembangkan untuk mencari

solusi yang diharapkan mampu untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul.

Terobosan – terobasan yang dilakukan untuk menghadirkan solusi terus dikembangkan. Salah satunya

yang dilaksanakan oleh BPTUHPT Padang Mengatas adalah dengan dilakukannya sistem

penggembalaan dengan metoda rotasi grazzing. Dengan sistem ini di harapkan mampu untuk

menyelesaikan permasalahan yang ada. Metoda ini dinilai tepat untuk diterapkan karena mampu

meminimalisir biaya pakan dan mengefisienkan tenaga kerja pada lahan peternakan yang cukup luas.

Kata kunci : Pakan, Tenaga Kerja, Padang Penggembalaan.

ABSTRACT

Extensive raising of livestock, especially cattle is still faced with problems of quality and a continuous

supply of green feed. Nearly 70% of production costs and maintenance expenditure sourced from

cattle feed. Labor efficiency being one of the problems that have not been resolved. Various methods

were developed to find a solution that will be able to resolve problems that arise. Breakthroughs were

made to bring the solution to be developed. One conducted by BPTUHPT Padang Mengatas is to do

with the method of pasture grazing system. With this system is expected able to resolve the issues.

This method is considered appropriate to be applied as to minimize feed costs and streamline

workforce on the vast farm lands.

Keywords : Feed, Workforce, Pasture.

PENDAHULUAN

Pakan hijauan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat produksi dan

produktivitas ternak sapi sehingga penyediaan pakan yang cukup sangat menentukan keberhasilan

suatu usaha peternakan. Pemberian pakan hijauan oleh peternak sangat tergantung pada kondisi sosial

ekonomi, motivasi dan tujuan beternak itu sendiri.

Sampai saat ini beternak sapi sebagian besar masih merupakan usaha sambilan bagi peternak dimana

peternak tidak mengalokasikan biaya khusus untuk pakan, sehingga pakan hijauan yang diberikan

pada ternak tidak mencukupi sehingga performance produksi tidak seperti yang diharapkan.

Penyediaan pakan hijauan sangat tergantung dengan tersedianya bibit yang mencukupi baik kuantitas

maupun kualitas.

Salah satu kendala yang dihadapi dalam penyediaan hijauan pakan ternak sapi adalah tidak

tersedianya bibit hijauan unggul yang mudah diperoleh petani karena kurangnya pengetahuan serta

penyuluhan dari institusi yang khusus menangani pakan hijauan ternak, sehingga hijauan pakan ternak

yang dipelihara petani masih sangat terbatas dan kualitas masih sangat rendah.

Page 124: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

115

Pemeliharaan secara Ekstensif dimana ternak tidak dikandangkan kebanyakan masih dilakukan

dengan cara tradisional. Tidak adanya contoh nyata pola pemeliharaan ekstensif yang tepat dengan

perpaduan manajemen dan tekhnologi bagi masyarakat dalam beternak khususnya sapi potong

menjadi kendala utama dalam pengembangan usaha peternakan pembibitan sapi potong pada areal

lahan yang cukup luas.

Bertitik tolak dari hal diatas BPTUHPT Padang Mengatas hadir memberikan contoh dan inspirasi

dalam usaha pemeliharaan ternak sapi secara ekstensif dimana ternak digembalakan pada kebun

rumput setiap hari dengan pola rotasi grazing dimana ini diharap mampu menjadi terobosan dalam

pola pemeliharaan ternak secara ekstensif dimana penyediaan pakan hijauan ditingkatkan kualitas dan

kuantitasnya dengan mengoptimalkan fungsi lahan dan pengetahuan peternak tentang tata cara

pengelolaan padang penggembalaan baik sehingga diharapkan penyediaan pakan hijauan terpenuhi.

DASAR PEMIKIRAN PADANG PENGGEMBALAAN

Definisi Padang Penggembalaan : Padang penggembalaan adalah suatu daerah padangan di mana

tumbuh tanaman makanan ternak yang tersedia bagi ternak yang dapat menyenggutnya menurut

kebutuhannya dalam waktu singkat (Anonimus, 1990). Padang penggembalaan tersebut bisa terdiri

dari rumput atau leguminosa. Tetapi suatu padang rumput yang baik ekonomis adalah yang terdiri dari

campuran rumput dan leguminosa (Anonimus, 1995).

Macam padang penggembalaan

1. Padang Penggembalaan Alam.

Padangan yang terdiri dari tanaman dominan yang berupa rumput perennial, sedikit atau tidak ada

sama sekali belukar gulma (weed), tidak ada pohon, sering disebut padang penggembalaan

permanen, tidak ada campur tangan manusia terhadap susunan floranya, manusia hanya

mengawasi ternak yang digembalakan (Reksohadiprodjo, 1985).

2. Padang Penggembalaan Alam Yang Sudah Ditingkatkan.

Spesies-spesies hijauan makanan ternak dalam padangan belum ditanam oleh manusia, tetapi

manusia telah mengubah komposisi botaninya sehingga didapat spesies hijauan yang produktif dan

menguntungkan dengan jalan mengatur pemotongan (defoliasi) (Reksohadiprodjo, 1985).

3. Padang Penggembalaan Buatan

Tanaman makanan ternak dalam padangan telah ditanam, disebar dan dikembangkan oleh

manusia. Padangan dapat menjadi padangan permanen atau diseling dengan tanaman pertanian

(Reksohadiprodjo, 1985).

4. Padang Penggembalaan dengan Irigasi.

Padangan biasanya terdapat di daerah sepanjang sungai atau dekat sumber air. Penggembalaan

dijalankan setelah padangan menerima pengairan selama 2 sampai 4 hari (Reksohadiprodjo, 1985).

Fungsi padang penggembalaan

Fungsi padang penggembalaan adalah untuk menyediakan bahan makanan bagi hewan yang paling

murah, karena hanya membutuhkan tenaga kerja sedikit, sedangkan ternak menyenggut sendiri

makanannya di padang penggembalaan. Rumput yang ada di dalamnya dapat memperbaiki kesuburan

tanah. Hal ini disebabkan pengaruh tanaman rumput pada tanah, rumput yang dimakan oleh ternak

Page 125: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

116

dikembalikan ke padang penggembalaan sebagai kotoran yang menyuburkan dan menstabilkan

produktivitas dari tanah itu sendiri (Anonimus, 1990).

Syarat padang penggembalaan

Syarat padang penggembalan yang baik adalah produksi hijauan tinggi dan kualitasnya baik,

persistensi biasa ditanam dengan tanaman yang lain yang mudah dikembangbiakkan (Reksohadiprojo,

1985). Pastura yang baik nilai cernanya adalah pastura yang tinggi canopinya yaitu 25 sampai 30 cm

setelah dipotong. Padang penggembalaan yang baik mempunyai komposisi botani 70% rumput dan

30% legum. Besarnya kadar air dan bahan kering yang harus dimiliki oleh suatu padangan adalah 70

sampai 80% untuk kadar air dan bahan keringnya 20 sampai 30%. Hijauan pastura membutuhkan

periode istirahat untuk tumbuh kembali 45 sampai 60 hari setelah dipotong. Oleh sebab itu, pastura

digembalai secara rotasi untuk memberi kesempatan bagi hijauan untuk tumbuh kembali, dan juga

untuk mencegah infeksi cacing. Untuk pastura alam sebaiknya dibakar secara periodik, karena hal ini

dapat memusnahkan rumput yang tidak palatabel dan kering, serta untuk merangsang pertumbuhan

tanaman muda yang lebih tinggi nilai gizinya dan lebih disukai ternak (Reksohadiprodjo dan Utomo,

1983).

Persiapan dan perbaikan padang penggembalaan

Menurut Anonimus (1990), ada beberapa tahapan dalam permbuatan padang penggembalaan, yaitu

meliputi :

1. Pemilihan lokasi.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dari segi kultur teknis dalam pemilihan lokasi untuk padang

penggembalaan adalah sumber air, kesuburan tanah, topografi, dan komunikasi.

2. Bahan penanaman.

Mempergunakan bahan penanaman yaitu bibit atau benih yang baik, sehingga efisien waktu, tenaga

dan biaya.

3. Waktu pengolahan tanah dan penanaman.

Pada keadaan irigasi saat penanaman ditentukan sedemikian rupa sehingga penanaman dapat

dilakukan pada saat musim hujan. Jarak yang terlampau lama antara akhir pengolahan dengan

penanaman dapat memadat kembali. Saat pengolahan tanah pada umumnya dilakukan pada akhir

musim kemarau sehingga dapat segera ditanami pada saat awal musim hujan.

4. Pengolahan tanah dan penanaman.

Pengolahan tanah bertujuan untuk mempersiapkan media tumbuh optimum bagi tanaman.

Pengolahan tanah secara baik menyangkut pengertian yaitu membersihkan tanah dari tumbuh-

tumbuhan pengganggu, menjamin perkembangan sistem perakaran yang sempurna, menjamin

peningkatan aviabilitas zat-zat, memperbaiki aerasi dan kelembaban tanah, memeperbaiki

kelestarian serta kesuburan tanah dan persediaan air.

Penggembalaan.

Dapat mulai dilakukan saat tanaman telah menutup tanah dengan baik dan cukup tahan terhadap

injakan dan senggutan. Lama penggembalaan tergantung pada jenis tanaman yang ditanam, tetapi

sebagai pegangan umum bagi hijauan yaitu kurang lebih 1 bulan.

Pemeliharaan.

Page 126: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

117

Pastura dibiarkan selama 12 bulan agar spesiesnya betul-betul establish. Pada waktu ini, pembersihan

terhadap weed mungkin perlu dilakukan untuk spesies-spesies yang lambat establishnya. Jika

pertumbuhan tidak merata, maka dapat dilakukan “slashing” atau memapasi ternak dalam waktu

singkat untuk meratakan pertumbuhan. Pada bulan pertama setelah penanaman mungkin perlu

dilakukan penyulaman terhadap spesies yang tidak mau tumbuh, sehingga keseimbangan rumput

dengan legum sesuai dengan yang dikehendaki. Pemeliharaan yang baik, pastura mampu tahan

berproduksi 10 sampai 20 tahun bahkan lebih.

Pemotongan dapat dilakukan dengan cara bergilir atau sistem rotasi. Sistem ini biasanya dilakukan

dengan cara membagi-bagi padang penanaman menjadi petak-petak (paddock). Sesuai dengan

maksud peternak sehubungan dengan jumlah ternak yang digembalakan, pertumbuhan hijauan serta

kelebatannya. Penggembalaan berat (over grazing) dan defoliasi yang terlalu ringan (under grazing)

harus dihindarkan, karena keduanya akan merugikan. Penggembalaan rendah dapat mengakibatkan

produksi berikutnya rendah, pertumbuhan kembali lemah, banyak tumbuh rumput liar dan bahkan

bisa menimbulkan erosi tanah. Sedangkan under grazing (defoliasi yang terlalu ringan) dapat

mengakibatkan hijauan menjadi terlalu tua, serat kasar tinggi, dan kurang palatable dan nilai gizinya

sangat rendah (Anonimus, 1985).

Pemupukan

adalah suatu cara yang bertujuan untuk menyelidiki tentang zat-zat apakah yang perlu diberikan

kepada tanah sehubungan dengan kekurangan zat-zat tersebut yang terkandung didalam tanah yang

yang terkandung didalam tanah yang berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam

rangka produksinya agar tercapai hasil yang maksimal. Didalam perlakuan-perlakuan yang harus

dilakukan terlebih dulu sebelum zat-zat itu diberikan atau ditambahkan kedalam tanah maka perlu

dilakukan penyelidikan tentang zat yang kurang apa, berapa besarnya kekurangan itu bagaimana

perbandingannya dan kapan waktu pemberiannya, kemudian perlu diselidiki tentang pengaruh yang

tidak langsung atau pengaruh apa yang timbul pada bagian-bagian atau sifat-sifat tanah serta tanaman-

tanaman yang dibudidayakan sehubungan dengan pemberian zat-zat tersebut kedalam tanah.

Perlakuan tersebut sangat penting dalam pemupukan (Sutejo dan Kartasapoetra, 1988).

Jenis-Jenis Pupuk

Pengembalian sisa-sisa tanaman dari musim panen pada tanah sebelum musim tanah berikutnya

ataupun yang didapat dari sumber lain sedapat mungkin harus dipadukan. Dengan kegiatan

pengolahan tanah yang dilakukan. Dengan teknik pembenaman sisa-sisa tanaman akan cepat

terombak, melalui pelapukan dan peranan jasad renik, akan kembali menjadi bahan organik tanah.

Sisa-sisa atau separuh tanaman, limbah atau kotoran hewan disebut pupuk alam atau pupuk organik.

Demikian juga halnya kompos yang dapat diubah dalam tanah menjadi bahan-bahan organik tanah

juga disebut pupuk organik. Sedangkan pupuk yang dibuat dipabrik disebut pupuk buatan atau pupuk

anorganik. Berdasarkan kandungan unsur haranya dibagi menjadi 2 yaitu pupuk tunggal dan pupuk

majemuk. Pupuk tunggal yaitu pupuk yang hanya mengandung 1 macam unsur hara misalnya urea

hanya mengandung N 2K hanya mempunyai kandungan K sedangkan TSP mempunyai kandungan P.

Kemudian pupuk majemuk yaitu pupuk yang mengandung lebih dari 1 macam unsur hara misalnya

DAP mempunyai kandungan N dan P dan Rustica yellow mengandung N, P dan K (Sutejo dan

Kartasapoetra, 1988). Klasifikasi pupuk berdasarkan pembuatannya ada dua yaitu pupuk alam dan

pupuk buatan. Pupuk alam seperti pupuk kandang, hijau, kompos, sedangkan pupuk buatan seperti

Page 127: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

118

urea, TSP, KCL, ZA. Pupuk kandang mempunyai kemampuan mengubah berbagai faktor dalam tanah

sehingga menjadi faktor-faktor yang menjamin kesuburan tanah. Pupuk kandang dibedakan menjadi

dua yaitu pupuk kandang segar, biasanya merupakan kotoran-kotoran hewan yang baru diturunkan

oleh hewannya yang kadang-kadang tercampur pula oleh urine dan sisa-sisa makanan di kandang.

Kemudian pupuk kandang busuk, biasanya merupakan pupuk kandang yang telah disimpan atau

digundukan sehingga mengalami pembusukan. Pupuk hijau, pupuk hijau adalah tanaman atau bagian-

bagian tanaman yang masih muda terutama yang termasuk famili leguminosa, yang dibenamkan

kedalam tanah dengan maksud agar dapat meningkatkan tersedianya bahan-bahan organik dan unsur-

unsur hara bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pupuk kompos merupakan pupuk yang

dibuat dengan cara menumpukkan bahan-bahan yang mempunyai perbandingan C/N yang rendah

sebelum digunakan menjadi pupuk. Pupuk kompos juga merupakan zat akhir suatu proses fermentasi

tumpukan sampah atau sisa-sisa tanaman (Sutejo dan Kartasapoetra, 1988).

Pupuk buatan memiliki sifat-sifat yang sangat penting seperti urea terdiri dari 45% N, N yang paling

murah, mudah larut, cepat bereaksi, mudah tercuci bersifat agak asam : 0,5 kg kapur diperlukan untuk

menetralisir 1 kg urea. Amonium sulfat, ZA terdiri dari 21% N, bereaksi sedang, cepat, bersifat asam:

0,6 kg kapur diperlukan untuk menetralisir 1 kg amonium sulfat. Calcium amonium nitrat, CAN

terdiri dari 27% N, larut dalam air dan mudah tersedia serta mudah tercuci (kombinasi antara calcium

carbonat dan amonium nitrat). Potasium chlorida terdiri dari 40-60% K2O, mudah larut, bereaksi

cepat dan agak mudah tercuci. Potasium nitrat terdiri dari 14% N, 45% K2O, mudah larut dan

bereaksi cepat. TSP terdiri dari 45% P2O5, larut dalam air, bereaksi cepat dan tidak mudah tercuci

(Sutejo dan Kartasapoetra, 1988).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas dan Nilai Gizi Tanaman.

Reksohadiprodjo (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pastura adalah

tanah dan spesies.

1. Tanah.

Setyati (1983) mengemukakan bahwa ada 3 fungsi primer tanah dalam mendukung pertumbuhan

tanaman yaitu, memberikan unsur mineral, sebagai tempat cadangan makanan dan sebagai

tempat bertumpu untuk tegak. Dikatakan lebih lanjuk bahwa faktor lain yang berpengaruh

terhadap kesuburan tanah adalah tingkatan bentuk hara yang tersedia bagi tanaman. Tingkatan

tersebut tergantung banyak faktor diantaranya adalah kelarutan zat hara, PH, kapasitas pertukaran

kalori (KPK), tekstur tanah dan jumlah zat organiknya.

2. Spesies.

Kemampuan suatu tanaman untuk menyesuaiakan diri dengan lingkungannya dari faktor genetik

berpengaruh pada proses pertumbuhan dan produksi suatu tanaman. Disini dapat dikemukakan

suatu contoh bahwa familia gramineae (Rumput-rumputan) mempunyai pembawaan yang

berbeda dibandingkan dengan tanaman dai familia leguminoceae (Whiteman, 1980).

Faktor-faktor yang mempengaruhi padang penggembalaan

Menurut Susetyo et al. (1981), faktor-faktor yang mempengaruhi padang penggembalaan adalah

sebagai berikut :

1. Air

Page 128: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

119

Air yang terbatas mempengaruhi fotosintesis dan perluasan daun karena tekanan air mempengaruhi

pembukaan stomata perluasan sel (Setyati, 1991). Air berfungsi untuk fotosintesis, penguapan, pelarut

zat hara dari atas ke daun. Jika ketersediaan air terpenuhi maka seluruh proses metabolisme tubuh

berlangsung, berakibat produksi tanaman tinggi (Anonimus, 1990).

2.Intensitas Sinar.

Intensitas sinar di bawah pohon atau tanaman pertanian tergantung pada bermacam-macam tanaman,

umur, dan jarak tanam, selain waktu penyinaran. Keadaan musim dan cuaca juga berpengaruh

terhadap intensitas sinar yang jatuh pada tanaman selain yang ada di bawah tanaman utama (Susetyo

et al., 1981). Menurut Crowder and Chedda (1982) bahwa peningkatan pertumbuhan tanaman sejalan

dengan peningkatan intensitas cahaya. Jumlah energi matahari yang diterima seawal mungkin pada

saat munculnya sampai periode pemasakan adalah penting untuk akumulasi berat kering selama

periode tersebut.

3.Kompetisi zat-zat makanan

Kompetisi terjadi antara “Companion Crop” dengan tanaman utama. Kompetisi ini akan nampak jelas

pada daerah-daerah yang kekurangan air atau di waktu-waktu musim kering. Kesulitan ini dapat

diatasi dengan menanam tanaman lain yang berbeda kebutuhan zat-zat makanan seperti nitrogen

(Susetyo et al., 1981).

4. Kekompakan tanah.

Pastura yang digembala dengan stocking rate yang tinggi (8 sampai 10 ekor/ha) akan menyebabkan

tanah menjadi kompak, padat dan berakibat mengurangi aerasi akar dan daya tembus air (Susetyo et

al., 1981). Menurut Anonimus (1990), tanah berhubungan dengan unsur-unsur hara yang terkandung

di dalamnya. Unsur-unsur N, P, K diperlukan tanaman dalam jumlah relatif besar. Jika kandungan ini

cukup besar dan seimbang dalam tanah maka akan mendukung tercapainya produksi pangan dalam

jumlah besar.

5.Inokulasi.

Untuk beberapa jenis legum tidak akan tumbuh dan berproduksi optimal kalau tidak diberikan

inokulum yang khusus terutama terjadi pada tempat-tempat yang belum pernah ditanami legum

(Susetyo et al., 1981).

6.Temperatur.

Menurut Anonimus (1990), tanaman memerlukan temperatur yang optimum agar dapat melakukan

aktivitas fotosintesis dengan baik, sedangkan pengaruh temperatur terhadap perluasan daun akan

mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara keseluruhan. Temperatur tanah berpengaruh terhadap

proses biokimia dimana terjadi pelepasan nutrien tanaman atau memproduksi toksik bagi tanaman,

dan berpengaruh juga terhadap kecepatan absorbsi air dan nutrien (Setyati, 1983). Jadi hanya tanaman

yang dapat menyesuaikan dengan temperatur lingkungan yang akan tumbuh sehingga menghasilkan

produksi tinggi.

7.Angin.

Pengaruh angin tergantung dari kelembaban dan kecepatan angin. Angin dapat merusak tanaman dan

mengurangi fotosintesis serta menyebarkan bakteri penyebar penyakit pada daun. Angin yang kering

Page 129: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

120

menyebabkan pengeringan daun dan merusak daun-daun tersebut secara mekanis (Crowder and

Chedda, 1982).

8.Curah Hujan

Merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi bahan kering di

daerah tropik dan subtropik (Crowder and Chedda, 1982).

Jenis Rumput Padang Penggembalaan di BPTUHPT Padang Mengatas

1. Rumput BD (Brachiaria Decumbens)

Brachiaria decumbens atau yang lebih dikenal rumput BD, rumput signal merupakan rumput pakan

temak jenis unggul disamping jenis rumput lainnya . Rumput ini berasal dari daerah Uganda, Afrika .

Rumput bede termasuk rumput berumur panjang, dapat tumbuh dengan membentuk hamparan lebat

dan penyebarannya sangat cepat melalui stolon . Rumput bede berdaun kaku, pendek, berbulu halus,

warna hijau gelap dan berstruktur agak kasar . Rumput bede tahan penggembalaan berat, tahan

injakan dan renggutan serta tahan kekeringan dan responsif terhadap pemupukan nitrogen. Selain itu

rumput ini juga cepat tumbuh dan berkembang sehingga mudah menutup tanah, tetapi tidak tahan

terhadap genangan air. Rumput ini merupakan bahan hay yang balk, karena batangnya kecil mudah

menjadi kering. Rumput bede dapat tumbuh baik pada ketinggian 0-1200 m (dataran rendah sampai

dataran tinggi) dengan curah hujan 762-1500 mm/tahun, kemasaman tanah (pH) 6-7 (Kismono dan

Susetyo, 1977).

2. Star Grass

Rumput Stargrass /Rumput Bermuda awalnya berasal dari savana Afrika dan merupakan nama umum

untuk semua spesies Afrika Timur Cynodon. Tumbuh di daerah terbuka seperti padang

penggembalaan Meskipun sebagian besar spesies ini tetap di Afrika, saat ini Rumput Stargrass

ditemukan di iklim hangat di seluruh dunia antara 45° dan 45° selatan lintang utara. Hal ini dapat

ditemukan tumbuh di padang rumput dan hutan terbuka. Rumput ini dikenal juga sebagai rumput

bermuda di Amerika Serikat karena sudah diperkenalkan dari Pulau Bermuda.

Rumput Stargrass adalah rumput merayap, dan akan merayap di sepanjang tanah. Rumput ini

memiliki sistem akar yang mendalam, dan dalam situasi kekeringan sistem akar dapat tumbuh 47-59

inci (120-150 cm) mendalam. Sebagian besar massa akar terletak 24 inci (60 cm) di bawah

permukaan. Rumput Stargrass dapat tumbuh di tanah yang kualitasnya buruk. Selama kekeringan

bagian atasnya akan mati, tetapi rumput akan terus tumbuh dari rimpang nya. Rumput ini sangat

mudah tumbuh pada iklim lembab dan hangat, dengan curah hujan 16 inci (410 mm) per tahun.

Rumput Stargrass adalah rumput suksesi awal, dan pertama yang tumbuh kembali setelah kebakaran

rumput, yang membakar cukup sering di savana Afrika. Rumput Bermuda dulu dianggap sebagai

gulma yang sangat invasif dan kompetitif. Namun, pada saat ini rumput star grass menyelamatkan

ribuan hektar tanah pertanian dari erosi. Rumput star grass sangat tepat di kombinasikan dengan

hijauan untuk pakan ternak di padang penggembalaan

3. Leguminosa

Leguminosa mempunyai peranan yang sangat penting di dalam meningkatkan produktivitas pastura

dikarenakan kemampuan mereka dalam memfiksasi sejumlah nitrogen di udara. Kontribusi

langsungnya terhadap produktivitas ternak melalui penyediaan sumber pakan yang kaya akan

Page 130: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

121

nitrogen. Selain itu, leguminosa dapat meningkatkan produktiivitas rumput melalui peningkatan

penyerapan nitrogen tanah oleh rumput apabila leguminosa ditanam bersamaan dengan rerumputan.

Namun di Indonesia pola penamanan campuran ini belum banyak diaplikasikan di dalam usaha ternak

ruminansia. Informasi tentang budidaya pertanamaan campuran terutama mengenai perbandingan

populasi antara populasi rumput dan leguminosa yang biasa tumbuh di Indonesia dan pengaruhnya

terhadap produksi dan kulitasnya belum banyak dipublikasi

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Peternakan secara ekstensif dengan menggunakan sistem padang penggembalaan yang baik dan sesuai

dengan teknis penanamam yang baik akan sangat bermanfaat untuk efisiensi tenaga kerja yang

digunakan, karena proses pemeliharaan tidak menuntut tenaga yang banyak di lapangan. Selain itu

dan efektifitas beterak tercapai. Hal ini berkaitan dengan nilai ekonomi untuk poses produksi. Metoda

pastura yang dilakukan akan sangat mengurangi pengeluaran untuk pakan ternak. Sampai saat ini

biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan ternak hampir 2/3 dari biaya produksi yang bersumber

dari penyedian pakan hijauan. Sistem penggembalaan (Pastura) mampu meningkatkan pertumbuhan

bobot badan dengan kisaran 0,5 s.d 0,6 kg/hari tanpa pemberian pakan tambahan lainnya.

Saran

Pemeliharaan ternak sapi dengan metoda pastura mampu mengefisienkan tenaga kerja, namun

pengawasan terhadap ternak harus lebih ekstra karena ternak akan lebih rentan terhadap cedera fisik

dan juga rentan terhadap penyebaran penyakit baik ekstoparasit maupun endoparasit.

UCAPAN TERIMAKASIH

Kepada Bapak Ir. Sugiono, M.P (Kepala BPTUHPT Padang Mengatas), Sdr. Rifqi Elfajri, S.Pt

(Pengawas Bibit Ternak Ahli), Tim Pengawas Mutu Pakan BPTUHPT Padang Mengatas dan semua

pihak yang telah membantu dalam pembuatan artikel ini, maka penulis ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous.1990. Usaha Peternakan, Perencanaan Usaha, Analisis dan Pengelolaan. Direktorat Bina

Usaha Petani Ternak dan Pengelolaan Hasil Peternakan.

Anonim. 2002. Rekalkulasi Penutupan Lahan Pada Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan

Lain.Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta.

Crowder L. V. and Chedda H. R. 1982 Tropical Grassland Husbandry. Longman Inc. New York.

Kismono, I . dan S . Susetyo . 1977 . Pengenalan Jenis Hijaun Tropika Penting Produksi Hijauan

Makanan Ternak Untuk Sapi Perah . BPLPP . Lembang, Bandung . 1977

Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropika. BPFE, Yogyakarta.

Kismono, I . dan S . Susetyo . 1977 . Pengenalan Jenis Hijaun Tropika Penting Produksi Hijauan

Makanan Ternak Untuk Sapi Perah . BPLPP . Lembang, Bandung . 1977

Setyati. 1983. Pengantar Agronomi. Cetakan ke -4. PT. Gramedia, Jakarta.

Susetyo, et.al. 1981. Hijauan Makanan Ternak. Direktorat Departemen Pertanian. Jakarta

Sutedjo, M. M., dan A. G. Kartasapoetra. 1988. Pengantar Ilmu Tanah. Terbentuknya Tanah dan

Tanah Pertanian. Bina Aksara. Jakarta

Whiteman P. C., 1980. Tropical Pasture Science. Ed. Oxford University Press, New York

Page 131: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

122

PENGARUH POLA PEMANGKASAN TEH TERHADAP KERAGAMAN JENIS HIJAUAN

PAKAN Di PTPN VIII GOALPARA IV KABUPATEN SUKABUMI

Setiana MA, Saidah I. Prihantoro I. dan Aryanto AT.

Depertemen Ilmu Nutrisi danTeknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Email: [email protected]

ABSTRACT

Sukabumi regency has an area from the coast to the mountains. Cipetir, Sukamaju, Perbawati and

Sudajaya Girang Village each located in north Sukabumi District, that has high of dairy cattle, rabbits,

sheep and goats population. The aim of this experiment were identify and analyze the diversity of

forage domestical and determine the distribution of forage vegetation are given to livestock with

different tea pruning system of the area in Sukabumi. This experiment use survey method and

observation with descriptiveanalisis, composition of botany, vegetation analysis and diversity of

forage species. The results showed about the differences of trimming tea system caused kinds of

greenery, fields productivity, giving the greenery to different livestock. The composition of botany in

after trimming 1 (SPI)was dominated by grasses of Centotheca longilamina (L.) Desv. 30.18%, in

SP2 was Ageratum conyzoides L. 22.00%, in SP3 was Rumbah218.00%, and before trimming

(BP)was Ageratum conyzoides L. 25.04%. The simillarity index between SPI block with SP2 77.14

%.

Keywords: composition of botany, forage diversity, ruminants, trimming

PENDAHULUAN

Keragaman tanaman pakan yang berpotensi besar dalam mendukung penyediaan hijauan pakan

sepajang tahun. Perlunya pemanfaatan hijauan makanan ternak hasil samping pertanian maupun

hijauan pakan domestik sangat dibutuhkan ketika terjadi kelangkaan pada musim kemarau dan

semakin menyempitnya lahan.

Kabupaten Sukabumi, salah satu kabupaten di Jawa Barat yang memiliki potensi tinggi dalam

mengembangkan subsektor peternakan terutama ternak ruminansia (BPS 2014), karena memiliki

sumber daya pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang bisa mendukung ketersediaan hijauan pakan.

Perkebunan teh Goalpara IV berkontribusi dalam penyediaan hijauan pakan domestik, di Kecamatan

Sukabumi dan Kecamatan Kadudampit berupa hijauan pakan yang tumbuh di sekitar wilayah tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis keragaman hijauan pakan

berdasarkan pemangkasan teh yang berbeda serta mengetahui vegetasi hijauan pakan di Kabupaten

Sukabumi, Jawa Barat.

METODE PENELITIAN

Materi penelitian meliputi hijauan pakan domestik di dalam dan sekitar perkebunan the. Peralatan

yang digunakan meliputi kuadran (0.5m x 0.5m), pisau, gunting, alkohol 70%, timbangan, kamera,

label, tali rafia, kantong sampel, Global Positioning System (GPS), Luxmeter dan kuisioner.

Penelitian dilakukan di PT. Perkebunan Nusantara VIII Goalpara IV.Desa Sukamaju, Desa Cipetir,

Desa Perbawati, Desa Sudajaya girang. Analisis hijauan pakan dilakukan di Laboratorium

Agrostologi, Fakultas Peternakan, IPB, pada bulan September hingga Desember tahun 2014.

Page 132: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

123

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan observasi langsung keragaman hijauan pakan di perkebunan teh PTPN

VIII AFD Goalpara IV dan peternak di sekitarnya. Areal perkebunan teh dibagi menjadi empat blok

berdasarkan umur pangkas yaitu:

SP1 = Teh dengan umur pemangkasan rutin 0-20 bulan (Blok 4, Blok 5, Blok 8, Blok 10, Blok 17,

Blok 21 dan Blok 22)

SP2 = Teh dengan umur pemangkasan rutin 21-35 bulan (Blok 6, Blok 7, Blok 16, Blok 18, Blok 19,

Blok 20)

SP3 = Teh dengan umur pemangkasan rutin 36-45 bulan (Blok 11, Blok 15)

BP = Teh umur 2 tahun tanpa pemangkasan ( Blok 1, Blok 2, Blok 3)

Identifikasi Hijauan Pakan Identifikasi hijauan dilakuan melaui pembuatan herbarium (Stone 1983). Jenis hijauan diidentifikasi

dengan membandingkan ciri-ciri fisik pada pustaka terkait.

Analisis Data

Data hasil wawancara karakteristik peternak diolah secara deskriptif, sedangkan data hijauan pakan

menggunakan analisis komposisi botani metode dry weight rank (Mannetje dan Haydock 1963),

kapasitas tampung (Hall et al). dan analisis vegetasi (Kusmana 1997) dengan komposisi jenis

tumbuhan diolah menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), Magurran (1988).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Perkebunan PTPN VIII Goalpara IV terletak di Kecamatan Kadudampit dan Kecamatan Sukabumi

dengan Luas 228.45 ha, yang menerapkan empat pola pemangkasan berdasarkan umur pangkas.

Mayoritas masyarakat memanfaatkan hijauan domestik yang tumbuh di perkebunan teh untuk pakan

ternak, diantaranya ternak sapi perah, kambing, domba dan kelinci.

Peternak umumnya masih tergolong usia produktif dengan tingkat kepemilikan 0.01-4.25 ST orang-1

dan pengalaman beternak 3.00-10.37 tahun. Jenis ternak yang dipelihara yakni sapi perah, kambing,

domba dan kelinci dengan status kepemilikan sendiri dan gaduhan.

Komposisi Hijauan Pakan Berdasarkan Jenis Ternak

Komposisi hijauan pada tiap jenis ternak berbeda, umumnya didominasi oleh rumput (49.68-76.38

%), kecuali pada ternak kelinci (21.15 %). Rumput Setaria barbata mendominasi jenis hijauan yang

diberikan pada ternak sapi perah, kambing, domba dan kelinci; yang ketersediaannya sangat

melimpah. Dominasi jenis hijauan terutama disebabkan oleh ketersediaannya di sekitar kandang dan

palatabilitas ternak yang berbeda. Perbedaan komposisi hijauan pakan menunjukkan adanya

perbedaan vegetasi hijauan yang tumbuh, sehingga terjadi perbedaan hijauan pakan yang diberikan

oleh peternak (Rahmadani 2013).

Komposisi Botani Kebun Teh

Hasil perhitungan komposisi botani di perkebunan teh menunjukkan bahwa Centotheca longilamina

(L.) Desv dominan di SP1 (30.18%), Ageratum conyzoides L. dominan di SP2 (22.00%) dan BP

(25.04%), dan rumbah dominan di SP3 (18.00%). Santosa et al. (2009) menyatakan bahwa rumbah

Borreria latifoliasp. sering ditemukan pada perkebunan teh dan rumput Centotheca longilamina (L.)

Desv merupakan rumput tumbuhan bawah (Dianita 2012). Ottochloa nodosa merupakan rumput alam

Page 133: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

124

yang disukai oleh ternak dan sangat tahan terhadap naungan, seperti kelapa sawit dan teh (Crowder

dan Chheda 1982); Suboh 1997).

Keragaman Jenis Hijauan Pakan berdasarkan Pemangkasan Teh

Keragaman jenis hijauan kebun teh disajikan pada Tabel Ageratum conyzoides L. memiliki nilai INP

tertinggi di blok SP1, SP2 dan BP, sedangkan Rumbah pada SP3 (Tabel 1). Nilai INP yang tinggi dari

suatu spesies menunjukkan daya adaptasi dan daya kompetisi tinggi (Alviyani 2013). Ageratum

conyzoides L. mendominasi hampir di seluruh Blok pengamatan, hal ini sesuai dengan (Dianita 2012)

yang menyatakan bahwa tanaman ini sering ditemukan di perkebunan kelapa sawit, kelapa, teh dan

karet. Ageratum conyzoides L. juga berpotensi sebagai pakan ternak dan bioherbisida karena

mempunyai senyawa alelopat yang mempu menghambat pertumbuhan tanaman lain sehingga

keberadaannya dominan pada suatu lahan (Fitri et al. 2008).

Tabel 1. Hijauan pakan dominan kebun teh

Nama Latin INP

Blok SP1

Ageratum conyzoides L. 14.93±7.10

Centotheca longilamina (L.) 14.46±3.96

Centrosema pubescens 14.11±8.12

Brachiaria mutica 13.10±0.82

Setaria barbata 12.26±6.63

Borreria latifolia sp. 11.44±7.19

Bidens pilosa L. var.minor (BI.) Sherff 11.14±3.37

Galinsoga parviflora Cav 9.58±1.16

Blok SP2

Ageratum conyzoides L. 16.11±10.48

Centotheca longilamina (L.) 14.97±5.64

Brachiaria mutica 13.00±1.46

Bidens pilosa L.var.minor (BI.)Sherff* 11.47±4.49

Ottochloa nodosa 9.97±12.51

Setaria barbata 9.76±5.80

Galinsoga parviflora Cav. 9.37±1.22

Centrosema pubescens 9.13±7.25

Borreria latifolia sp. 8.53±4.38

Blok SP3

Rumbah2 29.31±18.34

Ageratum conyzoides L. 27.93±15.07

Digitaria sanguinalis 14.73±8.86

Bidens pilosa L.var.minor (BI.) Sherff 12.41±2.77

Brachiaria mutica 11.17±6.78

Borreria latifolia sp. 10.98±0.30

Galinsoga parviflora Cav. 10.65±6.22

Centella asiatica (L.) Urb. 8.99±1.12

Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore 8.16±0.11

Blok BP

Ageratum conyzoides L. 38.48±10.56

Borreria latifolia sp. 33.25±6.71

Blumea tenella DC. 17.17±6.14

Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore 13.76±1.46

Page 134: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

125

Drymaria villosa Cham dan Schlecht 10.24±0.37

Eragrostis leptostachya 9.00±3.56

Crotalaria sp 8.76±4.46 Keterangan : INP= indeks nilai penting.

Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) hijauan pakan blok BP tergolong sedang (2.86), sedangkan blok

SP1, SP2 dan SP3 tergolong tinggi (3.21-3.42). Indeks kemerataan jenis (E) di keempat blok

tergolong tinggi (>0,6), yang menunjukkan bahwa tidak ada dominasi suatu jenis hijauan. Indeks

Dominasi (ID) keempat blok mendekati nol, artinya beberapa jenis hijauan pakan mendominasi

ekosistem secara bersama-sama dan dominasi suatu jenisnya rendah. Tingkat kesamaan vegetasi di

blok SP1 dan SP2 tergolong tinggi (indeks kesamaan komunitas hijauan mendekati 100%).

Potensi Produktivitas Hijauan

Produksi hijauan sebelum dan sesudah pemotongan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05)

(Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman mampu tumbuh kembali dengan baik yang

disebabkan daya adaptasi dan ketersediaan hara yang mencukupi.

Produktivitas dipengaruhi oleh jumlah jenis pada suatu tanaman (Gambar 1), sedangkan jumlah jenis

dipengaruhi oleh jumlah individu (Gambar 2). Namun, produktivitas tidak dipengaruhi oleh jumlah

individu dari suatu tanaman.

Tabel 2 Produksi hijauan sebelum dan sesudah pemotongan (30 Hari)

Blok Produksi (g m-2)

Sebelum Pemotongan Sesudah Pemotongan

SP1 34.25±16.31 14.25±5.12

SP2 33.75±11.52 53.75±10.17

SP3 42.00±18.01 32.50±11.90

BP 27.25±10.53 32.00±12.54

Perbedaan produktivitas hijauan disebabkan adanya perbedaan laju pertumbuhan hijauan akibat

perbedaan intensitas cahaya dan kondisi pH tanah. Menurut Reijntjes et al. (1992) dalam Rahmadani

(2013), perbedaan lingkungan menyebabkan perbedaan ketersedian air, cahaya serta terjadi perbedaan

suhu dan kelembaban.

Gambar 1. Grafik regresi jumlah jenis dan produktivitas

Page 135: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

126

Gambar 2. Grafik regresi jumlah jenis dan jumlah individu

Gambar 3. Pengaruh naungan teh

Blok BP menunjukkan kecilnya pengaruh naungan teh pada tanaman bawah, hal ini disebabkan

tanaman teh masih berumur dua tahun. Sedangkan pada blok SP3 pengaruh naungan teh sebesar

97.90%, karena tingkat kerapatan tanaman yang tinggi (Gambar 3). Pengaruh intensitas cahaya

berkaitan dengan kemampuan tanaman dalam melakukan fotosintesis. Tanaman yang toleran terhadap

naungan dapat memanfaatkan cahaya secara efisien melalui adaptasi, baik secara anatomi, morfologi,

fisiologi dan biokimia yang berkaitan dengan proses fotosintesis (Jufri, 2006).

KESIMPULAN

Pola pemangkasan teh yang berbeda berpengaruh pada keragaman vegetasi dan produktivitas hijauan

pakan yang dihasilkan. Keragaman jenis, kemerataan pada keempat blok tergolong tinggi namun

memiliki kekayaan jenis, kesamaan jenis yang sedang. Jenis hijauan pakan di kandang didominasi

rumput Setaria barbata, sedangkan rumbah Ageratum conyzoides L merupakan hijauan yang tumbuh

di berbagai pola pemangkasan teh.

DAFTAR PUSTAKA

Alviyani. 2013. Analisis potensi dan pemanfaatan hijauan pakan pada peternakan domba rakyat desa

Randobawa Ilir, Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat [skripsi]. Bogor

(ID): Institut Pertanian Bogor.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukabumi [BPS]. 2014. Sukabumi dalam Angka. Sukabumi

(ID):Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukabumi. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/

[diunduh 2015 20 Januari].

Page 136: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

127

Crowder L.V. dan Chheda H.R. 1982. Tropical Grassland Husbandry. New York (US): Longman

Group.

Dianita R.2012. Keragaman fungsi tanaman pakan dalam sistem perkebunan. J Past. 2 (2):66-69.

Fitri R, Mayta NI, Siti F. 2008. Uji ekstrak daun gulma babadotan (Ageratum conyzoides L) terhadap

perkecambahan dan pertumbuhan gulma Chromolena odorata L [skripsi]. Samarinda (ID):

Universitas Mulawarman.

Jufri A. 2006. Mekanisme adaptasi kedelai (Glysine max (L) Merrill) terhadap cekaman intensitas

cahaya rendah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kusmana C. 1997. Metode Survei Vegetasi. Bogor (ID): IPB Pr.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Princeton NJ (US): Princeton

University Press.

Mannetje L, Haydock KP. 1963. The dry weight rank method for the botanical analysis of Pasture. J

Brit Grassld Soc. 18 (4):268-275.

Rahmadani F. 2013.Keragaman Jenis Hijauan Pakan Domestik Berdasarkan Tingkat Ketinggian

Kawasan dalam Mendukung Usaha Peternakan Sapi di

Kabupaten Malang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Soerianegara I dan Andri I. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID). Laboratorium Ekologi

Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

Stone BC. 1983. A guide to collecting Pandanaceae (Pandanus, Freycinetia, Sararanga). Ann.

Missouri Bot. Gard. 70 : 137-14.

Suboh I. 1997. Memaksimumkan pendapatan penanaman kelapa sawit integrasi tanaman/ternakan di

ladang sawit. Sabah (ML): Porim.

Page 137: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

128

KUALITAS FISIK KARKAS DAN KANDUNGAN LEMAK AYAM BROILER YANG

MENDAPAT RANSUM TEPUNG KULIT BUAH PEPAYA (Caricapapaya) SEBAGAI

PENGGANTI KACANG HIJAU

Gusti Ayu Mayani Kristina Dewi. R.R. Indrawati dan N. Tirta Ariana

Fakultas Peternakan, Universitas Udayana , Jln.PB.Sudirman,Denpasar,Bali

Email: [email protected]

ABSTRACT

The research aims to study the physical quality of the carcass and the fat content of broilers which

received rations of papaya fruit skin meal (Carica papaya) as substitution of green pea meal has been

implemented for 3 months. The design is used, a completely randomized design (CRD) with 4

treatments and 4 replications, where each repetition consisted of four strains of broiler chickens

Hubbard strain were used for a total of as many as 64 individuals. The treatments were as follows:

RP0: flour ration without rind papaya (TKPB), RP1: ration with 33.3% papaya fruit peel flour

(TKPB), RP2: ration with 66.7% papaya fruit peel flour (TKPB), RP3 : 100% ration with papaya fruit

peel flour (TKPB) .Variabel observed: carcass weight, carcass quality and fat content of broilers. The

data obtained were analyzed by analysis of variance, if significantly different between treatments (P

<0.05), then continued with Duncan’s range test (Steel and Torrie, 1990). The results showed the

treatment RP0; RP1 and RP2 significantly different (P <0.05) to the RP3 on carcass weight and

physical quality of the carcass. Treatment RP0; RP1 RP2 and RP3, non significant (P>0.05) on the fat

content of broiler chickens. It can be concluded that ration with papaya fruit skin meal (TKBP) to

66% (RP2) had no effect on carcass quality and fat content of the body, while the use of 100%

(TKBP) significantly affect the meat quality of broilers.

Keywords: Broiler Chickens, Flour Papaya Fruit, Green Beans, The Quality Of The Meat, Fat.

PENDAHULUAN

Kebutuhan daging yang berasal dari ternak baik ternak sapi, kambing dan unggas semakin meningkat,

untuk mengejar kekurangan akan daging maka ternak ayam broiler dapat diharapkan sebagai

penghasil daging yang cepat dan produktif. Hal ini disebabkan karen ternak broiler mempunyai

potensi untuk dikembangkan serta dapat menghasilkan daging dalam waktu yang relative singkat

(Windhorst, 2006).

Pakan memegang peranan yang penting dalam usaha peternakan untuk menjamin produksi, bila

ternak kekurangan pakan mengakibatkan menurunnya produksi dan reproduksi ternak. Ketersediaan

bahan pakan yang sangat terbatas dan berfluktuasi serta harga relative tinggi, bersaing dengan

manusia, menyebabkan biaya pakan tinggi. Kacang hijau dalam ransum unggas merupakan salah satu

bahan makanan yang dibutuhkan dalam campuran ransum sebagai sumber protein. Disisi lain

masyarakat masih membutuhkan kacang hijau, selain itu juga harganya relative lebih mahal. Dengan

demikian maka perlu diupayakan bahan makanan lain sebagai pengganti kacang hijau yang juga

merupakan sumber protein bahan lebih murah, selalu tersedia, disukai ternak dan tidak

membahayakan kesehatan ternak yang mengkonsumsinya.

Page 138: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

129

Kulit buah papaya adalah bahan limbah dari proses pengupasan buah pepaya untuk konsumsi

masyarakat, banyak tersedia dapat digunakan sebagai pakan alternatif untuk ayam . Menurut Sinaga,

(2010) pada bagian buah pepaya terdapat beta carotin, pectin, papain dan fitokinase. Pepaya

memiliki banyak manfaat mulai dari bagian akar, batang, daun, bunga dan buahnya. Mengandung

getah berwarna putih , mengandung suatu enzim proteolitik yang disebut papain, enzim proteolitik

adalah enzim yang mengkatalis reaksi-reaksi hidrolisis substrat protein dan kandungan protein

berkisar 22.9% (Wahyu, 1992). Hasil penelitian Fouzder et al. (1999) mendapatkan tepung kulit

buah pepaya hijau mengandung 230 g/kg protein kasar. Selanjutnya penggunaan tepung kulit buah

pepaya hijau dalam ransum bentuk pellet tidak berpengaruh nyata pada konversi ransum, efisiensi

penggunaan protein dan konsumsi ransum, dapat memperbaiki performans ayam jika dicampur dalam

bentuk mash.

Bahan suplemen yang yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas karkas yang tinggi (rendah

kandungan lemak tubuh) maka ransum perlu ditambahkan bahan suplemen (Siti, 2013). Tepung kulit

buah pepaya merupakan salah satu bahan pakan yang mempunyai kemungkinan menggantikan

kacang hijau dalam ransum broiler. Nilai gizi dari tepung kulit buah pepaya hampir sama dengan

kacang hijau terutama kandungan protein berkisar 22,9% dan kacang hijau 24,2% (Wahyu, 1992) .

Sebagai sumber protein telah diketahui bahwa kacang hijau merupakan bahan pangan yang

mengandung protein tinggi namun harganya cukup mahal. Berdasarkan hal-hal tersebut maka telah

dilaksanakan suatu penelitian kualitas fisik karkas dan kandungan lemak ayam broiler yang mendapat

ransum tepung kulit buah (Carica papaya) sebagai pengganti tepung kacang hijau.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini telah dilaksanakan di Walikota Baru, kecamatan Kota, Kota Mady, Kupang selama 3

bulan. Penelitian ini menggunakan 64 ekor DOC ayam broiler strain Hubbard. Berat badan awal

385,27 ± 33,08 g. Kandang yang digunakan adalah kandang petak sebanyak 16 petak dan setiap petak

kandang berisi 4 ekor anak ayam.Bahan pakan yang digunakan adalah : jagung kuning, dedak padi

halus, tepung kacang hijau, tepung kulit buah pepaya, tepung ikan, kacang kedelai (Tabel 1).

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan , setiap

unit terdiri dari 4 ekor ayam sehingga total ayam yang digunakan sebanyak 64 ekor . Adapun

perlakuan yang diberikan R0 : ransum tanpa tepung kulit buah pepaya (TKBP); R1 : ransum dengan

33,3% tepung kulit buah pepaya (TKBP); R2 : ransum dengan 66,7% tepung kulit buah

pepaya(TKBP); dan R3 : ransum dengan 100% tepung kulit buah pepaya (TKBP).

Page 139: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

130

Tabel 1. Susunan dan Komposisi Ransum Broiler Umur 0 – 3 Minggu

Bahan Pakan (%)

Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Jagung kuning

Dedak halus

Kacang kedelai

Tepung kulit buah pepaya***

Tepung hijau**

Kacang ikan

48

7

25

0

10

10

48

7

25

3.33

6.67

10

48

7

25

6.67

3.33

10

48

7

25

10

0

10

Total 100 100 100 100

Kandungan Nutrisi

Protein kasar (%)

Serat Kasar (%)

Lemak (%)

Energi Metabolis (Kkal/kg)

23.12

4.11

8.20

3236

23.06

4.32

8.29

3228.78

23

4.55

8.37

3221.47

22.95

4.77

8.46

3214.2

*Scott et al. (1992) **Nalle (2002) ***Foutzer et al. (1999)

Variabel yang diamati adalah : berat karkas, kualitas karkas dan kandungan lemak ayam broiler.

Tabel 2. Susunan dan Komposisi Ransum Broiler Umur 4– 6 Minggu

Bahan Pakan (%)*

Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Jagung kuning

Dedak halus

Kacang kedelai

Tepung kulit buah pepaya***

Tepung kacang hijau**

Tepung ikan

58

7

15

0

10

10

58

7

15

3.33

6.67

10

58

7

15

6.67

3.33

10

58

7

15

10

0

10

Total 100 100 100 100

Kandungan Nutrisi

Protein kasar (%)

Serat Kasar (%)

Lemak (%)

Energi Metabolis (Kkal/kg)

20.36

3.79

6.80

3228

20.30

4.0

6.88

3220.76

20.24

4.23

6.96

3213.47

20.19

4.45

7.05

3206.2

*Scott et al. (1992) **Nalle (2002) ***Foutzer et al. (1999)

Data yang terkumpul dianalisis dengan sidik ragam dan setelah melihat adanya tingkat beda antar

perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1990).

Page 140: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

131

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Fisik Karkas

Rataan bobot karkas ayam dapat dilihat pada Tabel 3. Rataan bobot karkas tertinggi dicapai oleh

perlakuan R2 sebesar 1080,73 g/ekor dan terkecil R3 sebesar 1056,04 g/ekor. Ternak ayam yang

mendapat perlakuan kontrol (R0) , R1, dan R3 memiliki bobot karkas berturut-turut 1064,66 g/ekor ;

1073,00 g/ekor ; dan 1056,04 g/ekor.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggantian kacang hijau dengan tepung kulit buah pepaya

(TKBP) sampai 66,75% perlakuan R1 dan R2 memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap

bobot karkas ayam broiler.

Hal ini disebabkan karena ayam mempunyai pertumbuhan yang baik pada perlakuan R1, R2

memberikan bobot karkas yang lebih tinggi. Bobot karkas dihitung mengurangi bobot hidup dengan

bobot non karkas. Konsumsi ransum dapat digunakan sebagai sumber protein dan asam amino dalam

pembentukan daging sehingga meningkatkan jumlah karkas. Juga dipengaruhi imbangan zat-zat

nutrisi, tingkat energi kecepatan pertumbuhan dan non karkas ayam broiler (Dewi dan Sinlae, 2004

dan Dewi , 2010).

Hasil rataan persentase karkas dapat dilihat pada Tabel 3. , persentase karkas yang diberikan ransum

dengan perlakuan R2 tertinggi sebesar 67.01% dibanding perlakuan lain. Persentase karkas ayam

mendapat berlakuan R0, R1 dan R3 berturut-turut sebesar 63,71% , 66,10%, dan 64,79%. Hasil uji

lanjut didapatkan antara perlakuan R1, R2 dangan R0, 3berbeda nyata (P >0.05) sedangkan antara

perlakuan R0,R2 dengan R1, R3 berbeda nyata (P<0.05).

Kualitas fisik karkas daging, tulang dan kulit tidak berbeda nyata (P> 0,05) antar perlakuan R0, R1,

R2 dan R3. Dilaporkan oleh Basyir (1999) bahwa meningkatnya konsumsi protein akan

meningkatkan berat karkas, persentase daging dada (breast meat). Kualitas fisik daging dari perlakuan

pemberian tepung kulit pepaya sampai 100%, pengganti kacang hijau tidak berbeda nyata (P>0,05)

pada warna daging, pH dan susut masak.

Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Performan Produksi Daging Ayam Broiler

Variabel

Perlakuan

R0 R1 R2 R3 SEM

Bobot Karkas (g/ekor)

Persentase Karkas (%)

Komposisi fisik karkas

(% berat karkas)

Daging

Tulang

Kulit

Kualitas Fisik Daging

Warna daging dada

pH

Susut masak

1064,66a 1073,00a 1080,73a 1056,04b 46,34

63,716 66,10 a 67,01a 64,79b 1,59

56,49ª 56,00a 57,37ª 57,20ª 0,30

28,52a 29,6a 29,00a 28,70a 0,45

16, 20a 16,49a 16,51a 16,45a 0,25

6,90a 6,20 a 6,10a 6,0a 0,12

5,50a 5,06 a 5.56a 5,70ª 0,03

25,50a 24,6a 25,1a 25,40a 0,09

Page 141: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

132

Keterangan : 1) R0= tanpa tepung kulit buah pepaya; R1= 33.3% kulit buah pepaya; R2 = 66.7% kulit buah

pepaya dan R3= 100% kulit buah pepaya.

2) Superskrip yang berbeda pada baris yang sama nyata pada (P<0.05)

3) SEM: Standard Error of Means

Persentase Lemak Tubuh

Persentase Lemak empedal yang didapatkan ayam dengan perlakuan R0 ,R1, R2 dan R3 berturut-

turut 1.81%, 1.79%, 1.73% dan 1.70% dapat dilihat pada Tabel 4. Lemak empedal yang tertinggi

diperoleh ayam broiler yang mendapat perlakuan kontrol (R0) sebesar 1.81% dan terendah R3

sebesar 1.70%.

Hasil uji statistik di dapatkan pengaruh perlakuan penggunaan tepung kulit buah pepaya sampai

100% tidak memberikan pengaruh nyata (P > 0.05) terhadap persentase lemak Empedal. Persentase

lemak empedal dipengaruhi oleh kandungan energi dari ransum ( Dewi, 1991), juga dipengaruhi oleh

umur ( North, 1998) dan bobot badan ayam ( Rasyaf, 2005).

Hasil penelitian menunjukkan persentase lemak abdominal ternak ayam yang mendapat perlakuan R0

tertinggi yaitu rata-rata 2.54% dan terendah diperoleh ayam mendapat perlakuan R3 sebesar 2.45%

(Tabel 3). Rataan persentase lemak abdomen ayam broiler yang mendapat perlakuan R0, R1, R2 dan

R3 masing-masing 2,54 %, 249 %, 2.51% dan 2.45% secara statistik tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata (P > 0.05).

Penambahan tepung kulit buah pepaya dalam ransum ayam broiler tidak menyebabkan penimbunan

lemak abdomen ayam. Dalam hal ini ransum digunakan dapat digunakan dengan baik untuk

pertumbuhan. Dewi (1991) bahwa kandungan energi ransum dan lemak ransum cenderung

mempengaruhi penimbunan lemak pada ayam broiler, serta lemak abdomen cenderung meningkat

dengan meningkatnya umur dan bobot badan ayam broiler.

Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Performan Produksi Daging Ayam Broiler

Variabel

Perlakuan

R0 R1 R2 R3 1) SEM 2)

Kandungan Lemak Tubuh ayam

broiler (g)

Lemak Abdomen(g)

Lemak Bantalan (g)

Lemak Mesentrium(g)

Lemak Empedal(g)

0,18a 1) 0,17a 0,16a 0,16a 0,070

6,60 a 6,37a 6,01a 6,0a 0,150

1,81a 1,79a 1,73a 1,70a 0,011

2,54a 2,49a 2,51a 2,45a 0,010

Keterangan : 1) R0= tanpa tepung kulit buah pepaya; R1= 33.3% kulit buah pepaya; R2 = 66.7% kulit buah

pepaya dan R3= 100% kulit buah pepaya.

2) Superskrip yang berbeda pada baris yang sama nyata pada (P<0.05)

3) SEM: Standard Error of Means

Persentase karkas diukur berdasarkan bobot hidup. Juga hal yang sama didapatkan bahwa persentase

karkas diukur berdasarkan bobot hidup dari ayam sehingga tidak berbeda (Dewi dan Sinlae, 2004).

Tepung kulit buah pepaya mengandung enzim papain bersifat proteolitik sehingga mampu

memecahkan protein menjadi lebih sederhana (polipeptida) (Dewi, 1991 dan Siti, 2013). Selain itu

Page 142: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

133

lemak yang berlebihan pada ransum dengan adanya kulit buah pepaya dapat ditransformasi menjadi

sumber protein tubuh (Sinaga, 2010).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh dapat disimpulkan tepung kulit buah papaya (TKBP) sampai

66% (RP2) dalam ransum pengganti tepung kacang hijau tidak berpengaruh terhadap kualitas karkas

dan kandungan lemak tubuh, sedangkan penggunaan 100% (TKBP) berpengaruh nyata terhadap

kualitas daging ayam broiler.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada teman Dosen dan Mahasiswa yang ikut dalam

penelitian atas bantua serta dalam pengambilan data, membantu baik material dalam pelaksanaan

penelitian demi kelancaran penyelesaian penulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Basyir, A. K. 1999. serat kasar dan pengaruhnya pada broiler. Poultry Indonesia.Okt 99 No.233, Hal

:43-45.

Dewi, G.A.M.K. 1991. Respos Ayam Broiler Terhadap Ransum Yang Mengandung Minyak Kelapa

Sawit Kasar dan Dedak Pengganti Energi Jagung. Thesis. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Dewi,G.A.M. K and M. Sinlae. 2004. The Effect of Palm Fatty Acid (PFA) and Calcium – Palm

Fatty Acid (Ca-PFA) on Performance of Broiler Chicken. Proceed. Anim. Sci. Congress

(AAAP), 3 (I) : 135-137.

Dewi, G.A.M.K. 2010.Pengaruh penggunaan level energy =protein ransum terhadap produksi karkas

ayam kampung. Prosiding Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal ke IV. Hal .222 – 228..

Fouzder, S, K. S. C. Chowdhury, M. A. R. Ho Wlider and C. K. Podder. 1999. Use of dried papaya

skin in the diet of growing pullets. Brith. Poult. Sci. 40:88-90.

Nalle, C. L. 2002. Pemanfaatan Tepung Kulit Buah Pepaya Dalam Ransum Ayam Broiler. Laporan

Penelitian Politani Kupang.

North, M.O. 1998. Commercial Chicken Production Manual. 7nd Edition. Avi Publishing

Company,Inc.Westport, Connecticut.

Rasyaf, M. 2005. Beternak Ayam Pedaging. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.

Rukmana, R. 1995. Budidaya Pepaya Dan Pasca Panen. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Scott , M. L., M. C. Nesheim, and R. J. Young. 1992. Nutrition of The Chicken.3rd Ed.M. L. Scott

and Associates, Ithaca, New York.

Sinaga, S. 2010. Pengaruh Pemberian TepungKulit Buah Pepaya (Carica papaya) dalam Ransum Babi

Peroide Finisher Terhadap Presentase Karkas , Tebal Lebah Punggung dan Luas Urat Daging

Mata Rusuk. http://blogs.uppad.ac.id/saulandsinaga/2010/05/21. Diakses 7 September 2015.

Siregar, A. P. M., Sabrani, dan Pramu S. 1998. Teknik Beternak Ayam Ras di Indonesia. Cetakan I.

Margie Group. Jakarta.

Page 143: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

134

Siti, N, W. 2013. Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Pepaya (Carica papaya L.) dalam Ransum

Komersial Terhadap Penampilan ,Kualitas Karkas serta Profil Lipida Darah dan Daging Itik

Bali Jantan. Desertasi. Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1990. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik.

Alih Bahasa Ir.B. Soemantri. Ed II. Gramedia Jakarta.

Wahyu, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University. Press. Yogyakarta.

Windhorst, H.W. 2006. Changes in poultry production and trade worldwide. World’s Poultry Sci. J.

62 (4) : 584 – 602.

Page 144: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

135

PENGARUH TEPUNG KULIT BAWANG PUTIH (Allium sativum) DAN MINERAL

ORGANIK (Cr, Se Dan Zn Lysinat) PADA PAKAN TERHADAP KONSUMSI PAKAN,

PRODUKSI DAN KOMPONEN SUSU KAMBING

Yusuf Subagyo, Tri Rahardjo dan Caribu Hadi Prayitno

Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Email: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk menentukan konsumsi pakan, produksi dan komponen susu dari pakan

kambing perah yang disuplementasi tepung kulit bawang putih (Allium sativum) dan mineral organik

(1,5 ppm Cr organik, 0,3 ppm selenium dan 40 ppm Zn Lysinat). Penelitian ini menggunakan 15 ekor

induk bunting Kambing Jawarandu, laktasi ke dua. Menggunakan tiga perlakuan dan lima kali

ulangan yaitu : R0 (Pakan Kontrol), R1 (R0 + Tepung Kulit Bawang Putih) dan R2 (R1 + Mineral

Organik meliputi Cr, Se dan Zn Lysinat. Data dianalisis menggunakan analisis variansi dengan

Rancangan acak lengkap (RAL). Jika hasil menunjukkan perbedaan nyata maka akan diuji lanjut

dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ). Hasil menunjukkan bahwa suplementasi tepung kulit bawang

putih dan mineral organik tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi pakan,

produksi dan komponen susu (lemak, protein dan laktosa susu). Suplementasi tepung kulit bawang

putih menghasilkan konsumsi pakan, produksi dan komponen susu kambing perah lebih tinggi kecuali

hasil kadar lemak susu rendah dibandingkan dengan pakan kontrol serta suplementasi mineral organik

dan tepung kulit bawang putih.

Kata Kunci : Kulit bawang putih, Kambing Perah, Mineral Organik, Konsumsi Pakan

PENDAHULUAN

Permasalahan yang dikhawatirkan dalam usaha peternakan dalam hal ini kambing perah antara lain

mengenai emisi gas metan (CH4) dan rendahnya kualitas hijauan di daerah tropis. Hal tersebut

mengakibatkan efisiensi penggunaan pakan menjadi rendah, menunjukkan konversi pakan menjadi

produk fermentasi rumen tidak optimal dengan kecenderungan menghasilkan produk samping yang

tinggi, berupa gas metan. Produksi gas metan perlu ditekan karena, energi dari pakan akan hilang

sekitar 2 – 12%. Sehingga perlu dilakukan upaya meningkatkan ketersediaan energi dalam rangka

menghasilkan produk fermentasi rumen secara optimal. Pemanfaatan tanaman herbal sudah banyak

dilakukan dalam beberapa penelitian, seperti halnya bawang putih (Allium sativum), namun dalam

penelitian ini digunakan limbah bawang putih berupa kulit bawang putih. Kulit bawang putih

mempunyai kandungan senyawa polyfenol 7 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan umbi bawang

putih (Kim et al., 2009). Kandungan Allicin dan organosulfur dalam kulit bawang putih meliputi

diallil sulfida, diallil disulfida dan allil mercaptan yang mampu menghambat pertumbuhan metanogen

yang masih bebas. Menurunnya produksi gas metan akan menurunkan populasi protozoa seiring

dengan meningkatnya populasi bakteri pendegradasi serat (bakteri selullolitik). Peningkatan bakteri

pendegradasi serat kasar akan diiringi dengan optimalisasi pemanfaatan dan kecernaan pakan dalam

rumen.

Rendahnya kualitas hijauan Indonesia disebabkan karena defisien terhadap kandungan mineral.

Menurut penelitian Raharjo et al. (1994), defisiensi mineral dalam pakan dapat menyebabkan

produksi maupun reproduksi ternak menjadi terhambat atau terganggu. Upaya yang dilakukan yaitu

Page 145: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

136

dengan suplementasi mineral organik (chromium, selenium dan Zn lysinat) dalam pakan kambing

perah. Suplementasi mineral organik tersebut akan berperan juga dalam meningkatkan komponen

susu, menekan produksi gas metan dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Mineral chromium

berperan sebagai glucose tolerance factor (GTF) merupakan reseptor insulin (Schwartz and Mertz,

1959) sehingga akan meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel - sel tubuh. Suplementasi

bawang putih (Allium sativum) terhadap ternak rumianansia dalam hal ini ternak perah memberikan

dampak yang positif dan mengguntungkan. Penelitian sebelumnya Kurniawan et al. (2013)

menunjukkan hasil yang optimal terhadap produksi susu, kecernaan (bahan kering, bahan organik dan

energi) meskipun produksi metan masih cukup tinggi pada kambing perah yang formulasi pakannya

disuplementasi tepung bawang putih 375 ppm, 1,5 ppm chromium, 0,3 ppm selenium dan 40 ppm Zn

lysinat.

METODE PENELITIAN

Persiapan Materi Penelitian

Persiapan tepung kulit bawang putih, sebelumnya mengumpulkan kulit bawang putih yang diperoleh

dari Pasar Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Pembuatan tepung

kulit bawang putih (Allium sativum) menurut Prayitno et al. (2013) yaitu tahap pertama kulit bawang

putih diambil dari hasil bawang putih yang sudah dikupas, kemudian dikeringkan dibawah sinar

matahari sampai kering. Kulit bawang putih digiling sampai berbentuk tepung. Pembuatan mineral

organik menurut Prayitno dan Widyastuti (2010).

Ternak dan Perlakuan Pakan

Penelitian ini telah dilaksanakan di kandang Stasiun Percobaan, Fakultas Peternakan, Universitas

Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia, 2014. Ternak yang digunakan ketika

penelitian yaitu 15 ekor induk bunting kambing Jawarandu, laktasi ke-2. Pakan yang diberikan

dengan perbandingan rumput gajah : konsentrat yaitu 70 : 30% berdasarkan bahan kering dan

diberikan sebanyak 4% bobot badan kambing. Formulasi pakan basal yaitu kandungan PK 11,8%, SK

25,20% dan TDN 56,60%, pakan diberikan sesuai jadwal pagi dan sore hari sedangkan air minum

diberikan secara ad libitum. Adapun tiga perlakuan yang dilakukan antara lain:

1. R0 : Pakan kontrol

2. R1 : R0 + 30 ppm tepung kulit bawang putih (Allium sativum)

3. R2 : R1 + mineral organik (1,5 ppm Cr + 0,3 ppm Se + 40 ppm Zn Lysinat)

Periode penelitian ini berlangsung selama sepuluh minggu meliputi empat minggu sebelum dan enam

minggu setelah partus. Periode adaptasi berlangsung selama dua minggu dan lima minggu untuk

pengambilan sampel dan penggumpulan data (tanpa periode kolostrum). Kambing di kandangkan

pada kandang individu dan pemberian pakan secara free choice dua kali sehari pada pukul 06.00 dan

15.00 WIB. Pemerahan susu dilakukan setiap hari pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB. Kambing

dilakukan penimbangan badan ketika awal masuk kandang dan tujuh hari serta enam minggu setelah

partus.

Page 146: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

137

Sampel dan Analisis Laboratorium

Sampel pakan dari free choice dikoleksi selama sepuluh hari bersamaan dengan koleksi feses untuk

pengukuran kecernaan. Pakan pemberian dan sisa dikoleksi setiap hari dan dikomposit setiap sepuluh

hari untuk menentukan kadar bahan kering. Konsumsi pakan dihitung sebagai perbedaan antara pakan

pemberian dan sisa pakan. Sampel pakan pemberian dan sisa serta feses setelah dikomposit,

dikeringkan dalam oven pada suhu 55° C selama 48 jam dan digiling untuk menentukan pengukuran

kecernaan bahan kering, bahan organik.

Susu

Produksi susu diukur setiap hari selama tiga minggu periode penelitian, sampel susu sudah dikoleksi

selama tiga minggu dan setiap minggu dilakukan komposit setiap unit percobaan. Selanjutnya

dianalisis untuk kadar lemak, protein dan laktosa menggunakan Lactoscan Milk Analyzer MCC30

Serial Number 4060.

Analisis Statistika

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan unit

percobaan yang relatif homogen. Data hasil penelitian di analisis dengan analisis variansi (ANAVA).

Jika perlakuan dalam penelitian menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata P<0.05, maka akan

dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (BNJ). Analisis statistika yang telah dihasilkan menggunakan

software statistika SPSS versi 22.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Tepung Kulit Bawang Putih dan Mineral Organik terhadap Konsumsi Pakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata (P>0.05) antara perlakuan

suplementasi tepung kulit bawang putih dan mineral organik terhadap konsumsi pakan kambing perah

selama penelitian baik untuk konsumsi harian maupun konsumsi per kg bobot badan kambing perah

ditunjukkan pada Tabel 1. Didukung oleh hasil penelitian Zakeri et al., 2014 bahwa pakan kambing

perah yang disuplementasi bawang putih tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi

bahan kering. Pengaruh pemberian bawang putih pada pakan atau komponen lain dari bawang putih

akan menunjukkan hasil yang berbeda – beda tergantung dari dosis dan tipe produk yang ditambahkan

pada ternak kambing perah. Penambahan level pemberian bawang putih pada pakan kambing perah

tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya dengan

pemberian pakan total mixed ratio (TMR) pada kambing, domba dan sapi.

Hasil tersebut tidak sesuai dengan penelitian Kholif et al. (2012) pada kambing perah bahwa

penambahan minyak bawang putih berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi bahan kering.

Bergman (1990) sesuai penelitian sebelumnya mengestimasikan sebanyak 27% sampai 55%,

metabolisme glukosa pada ruminansia melalui propionat (sebagai prekursor energi), mampu

menghasilkan asetat yang lebih rendah sedangkan jumlah propionat dan butirat lebih tinggi dalam

suplementasi bawang putih pada pakan. Senyawa yang terkandung pada bawang putih akan

membantu meningkatkan efisiensi penggunaan energi dalam rumen. Dosis tinggi dari minyak

bawang putih akan menghambat pengaruh dalam fermentasi rumen (Yang et al., 2007). Tingkat

konsumsi bahan kering dan bahan organik ditentukan oleh pemenuhan kebutuhan ternak terhadap

energi, kapasitas rumen dan interaksi keduanya (Putra, 2009). Walaupun suplementasi tepung kulit

bawang putih dan mineral organik pada pakan kambing perah tidak menunjukkan hasil berpengaruh

nyata terhadap konsumsi pakan. Namun, pada perlakuan R1 (penambahan pakan dengan tepung kulit

Page 147: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

138

bawang putih) menunjukkan peningkatan nilai konsumsi pakan. Konsumsi pakan menunjukkan

angka yang lebih tinggi pada suplementasi tepung kulit bawang hal tersebut dapat didekati dari

beberapa faktor yaitu tingkat palatabilitas ransum, kandungan energi, protein kasar, dan nisbah

nitrogen dan sulfur. Substansi aktif dari bawang putih belum mampu menstimulasi aktivitas bakteri

selulolitik (Prayitno dan Hidayat, 2013). Suplementasi tepung kulit bawang putih mampu menaikkan

konsumsi pakan, menunjukkan bahwa suplementasi tepung kulit bawang putih cenderung

meningkatkan aktivitas bakteri selullolitik. Namun, untuk suplementasi mineral organik pada pakan

cenderung menurunkan aktivitas bakteri pendegradasi serat.

Pengaruh Tepung Kulit Bawang Putih dan Mineral Organik terhadap Produksi dan Komposisi

Susu

Hasil penelitian menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap produksi susu

dan komponen susu (protein, lemak dan laktosa susu) pada suplementasi tepung kulit bawang putih

dan mineral organik pada kambing perah (Tabel. 2). Hasil tersebut didukung oleh penelitian Zakeri et

al. (2014) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap produksi susu dan komponen susu.

Pemberian bawang putih pada pakan akan menghasilkan produksi susu lebih rendah dibandingkan

ternak yang tidak disuplementasi bawang putih.

Terjadi peningkatan produksi susu, protein dan laktosa susu pada perlakuan R1 (penambahan tepung

kulit bawang putih) namun, terjadi penurunan kadar lemak susu. Penurunan lemak susu akan

berkorelasi negatif dengan tingginya produksi susu. Lemak susu yang lebih rendah dikarenakan

jumlah asetat pada rumen lebih rendah dan rasio A:P rendah dibandingkan pada pakan kontrol.

Kholif et al. (2012) menunjukkan hasil bahwa suplementasi bawang putih tidak berpengaruh terhadap

komponen susu namun, juga terjadi penurunan kadar lemak susu. Namun, hasil tersebut tidak

didukung oleh penelitian Yang et al. (2007) bahwa suplementasi minyak bawang putih pada sapi

perah cenderung meningkat untuk kadar lemak susu. Zhu et al. (2012) pada suplementasi minyak

bawang putih pada kambing perah tidak berpengaruh pada kadar lemak, protein dan produksi susu

dibandingkan dengan pakan kontrol.

Tabel 1. Pengaruh Tepung Kulit Bawang Putih (Allium sativum) pada pakan terhadap Konsumsi

Pakan Kambing Perah

Variabel R0 R1 R2 p

Konsumsi Pakan (kg/hari) 0.098 ± 0.034 0.086 ± 0.025 0.100 ± 0.005 .669

Konsumsi Pakan

(kg/BB/hari) 3.622 ± 1.234 3.150 ± 0.767 3.826 ± 0.321 .454

Page 148: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

139

Tabel 2. Pengaruh Tepung Kulit Bawang Putih (Alium sativum) pada pakan terhadap Produksi dan

Komposisi Susu Kambing

Variabel R0 R1 R2 p

Produksi Susu (kg) 0.33 ± 0.24 0.43 ± 0.406 0.435 ± 0.110 .744

Produksi Susu (kg 4% FCM) 0.339 ± 0.185 0.376 ± 0.256 0.351 ± 0.159 .959

Komposisi Susu (%)

Lemak 4.394 ± 1.474 3.172 ± 1.469 2.582 ± 1.583 .929

Protein 3.28 ± 0.413 3.172 ± 1.469 2.582 ± 1.583 .605

Laktosa 3.09 ± 0.388 3.472 ± 0.397 3.13 ± 0.480 .571

Produksi (g/hari)

Lemak 13.655 ± 7.205 13.584 ± 9.552 11.804 ± 8.846 .196

Protein 10.583 ± 6.226 14.706 ± 9.972 14.299 ± 3.073 .661

Laktosa 9.973 ± 5.88 14.106 ± 9.20 13.514 ± 2.858 .333

FCM = Produksi Susu x (Lemak % x 0.15 + 0.4)

R0 : Pakan kontrol; R1 : R0 + Tepung Kulit Bawang Putih (Allium sativum) 30 ppm; R2 : R1 + Mineral Organik

(1,5 ppm Cr + 0,3 ppm Se + 40 ppm Zn Lysinat).

KESIMPULAN

Suplementasi tepung kulit bawang putih (Allium sativum) dan mineral organik (Cr, Se dan Zn

Lysinat) tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan, produksi dan komposisi susu kambing.

Suplementasi tepung kulit bawang putih (Allium sativum) pada pakan kambing perah menghasilkan

konsumsi pakan, produksi dan komposisi susu tertinggi kecuali lemak susu yang rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Bergman EN. 1990. Energy Contribution of Volatile Fatty Acids from the Gastro-Intestinal Tract in

Various Species.Physiol Rev.70: 567-590.

Kholif SM, Morsy TA, Abdo MM, Matloup OH, and Abu El-Ella AA. 2012. Effect Of

Supplementing Jactating Goats Rations With Garlic, Cinnamon Or Ginger Oils On Milk Yield,

Milk Composition And Milk Fatty Ccids Profile. J. Life Sci. 4: 27-34.

Kim,Y., J.S.K. Jin and H.S. Yang. 2009. Processing, Products, and Food Safety: Effect of Dietary

Garlic Bulb and Husk on the Physicochemical Properties of Chicken Meat. Poultry Science.

88:398-405.

Kurniawan, D. 2013. Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Ettawa Pada Kondisi Pakan

Yang Disuplementasi Ekstrak Sapindus rarak dan Allium sativum. Tesis. Magister Ilmu

Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman.

Patra AK, Saxena J. 2010. A New Perspective on the Use of Plant Secondary Metabolites to Inhibit

Methanogenesis in the Rumen. Phytoch. 71:1198-222.

Prayitno, C.H dan T. Widiyastuti. 2010. Kajian Selenomethionin, Chromium Yeast dan Seng

Proteinat pada Pakan Sapi Perah (Tinjauan secara In-Vitro). Proseding Seminar Nasional:

Perspektif Pengembangan Agribisnis Peternakan. Fakultas Peternakan UNSOED. Purwokerto.

Page 149: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

140

Prayitno, C.H and N. Hidayat. 2013. The Efficacy of Methanol Extracts of Garlic (Allium sativum) to

Improve Rumen Fermentation Products. J. Anim. Prod. 15 : 69 – 75.

_________., Y. Subagyo and Suwarno. 2013. Supplementation of Sapindus rarak and Garlic Extract

in Feed Containing Adequate Cr, Se, and Zn on Rumen Fermentation. Media Peternakan. 52-

57.

Putra, S., N. N. Suryani dan I W. Subhagiana. 2009. Respons Metabolit Fermentasi Rumen dan

Performans Pertumbuhan Kambing PE terhadap Suplementasi Konsentrat Molamix.

J.Indon.Trop.Anim.Agric. 34 [2].

Schwarz, K. and W. Mertz. 1959. Chromium (III) and Glucose Tolerance Factor. Arch. Biochem.

Biophys. 85: 292.

Yang WZ, Benchaar C, Ametaj BN, Chaves AV, He ML, McAllister TA. 2007. Effects of Garlic and

Juniper Berry Essential Oils on Ruminal Fermentation and on The Site and Extent of Digestion

in Lactating Cows. J. Dairy Sci. 90: 5671-5681.

Zakeri, Z. R. Pirmohammadi, E.Anassori and M.Tahmouzi. 2014. Feeding Raw Garlic to Dairy

Goats: Effects on Blood Metabolites and Lactation Performance Kafkas Univ Vet Fak Derg.

Vol 20 (3): 399 – 404.

Zhu Z, S. Hang ,H. Zhu , S. Zhong , S. Mao and W. Zhu.2013. Effects of Garlic Oil on Milk Fatty

Acid Profile and Lipogenesis-Related Gene Expression in Mammary Gland of Dairy Goats. J.

Sci Food Agriculture. 93 560-567.

Page 150: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

141

PENGARUH DAUN TURI (Sesbania grandiflora) DAN LAMTORO (Leucaena leucocephala)

DALAM RANSUM SAPI BERBASIS INDEKS SINKRONISASI PROTEIN - ENERGI

TERHADAP SINTESIS PROTEIN MIKROBA RUMEN

Afduha Nurus Syamsi, Fransisca Maria Suhartati dan Wardhana Suryapratama

Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman

Email : [email protected]

ABSTRACT

An experiment was aimed to assess the use of the legume leaf as a source of protein feedstuff and

levels of synchronization protein-energy (SPE) index in the diet of cattles on ammonia (N-NH3) and

microbial protein synthesis (MPS). In vitro techniques was done. The research was used a completely

randomized design (CRD), with factorially pattern (2x3), the first factor was the two species of

legume (Sesbania leaves and Leucaena leaves) and the second factor was the three level of the SPE

index (0.4, 0.5, and 0.6), there were 6 treatment combinations and each was 4 replicates. The results

showed that no interaction between legume with SPE index, but each factor was significantly effect

(P<0.05) on N-NH3 of rumen fluid and MPS. The research concluded that Leucaena leaf is a legume

that is better than Sesbania leaf in terms of their ability to increase MPS. SPE index is the best in

producing MPS at level 0.6.

Key words: Legume, synchronization of protein and energy index, ammonia, microbial protein

synthesis

PENDAHULUAN

Sapi potong maupun sapi perah sebagai ternak ruminansia membutuhkan asupan nutrien pakan yang

cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok dan produksinya. Pakan sapi umumnya terdiri dari hijauan

dan konsentrat. Tanaman hijauan yang potensial dan mempunyai nilai hayati tinggi adalah tanaman

leguminosa. Menurut Utomo (2012), leguminosa merupakan proteinceus roughages yaitu sumber

pakan serat berprotein tinggi. Kandungan protein leguminosa rata-rata mencapai 22 % (Kushartono

dan Iriani, 2004). Berlainan dengan sumber serat, sumber energi pakan sapi biasanya berasal dari

limbah pertanian dan hasil sisa pengolahan pangan seperti dedak, onggok, dan pollard. Cakra dan Siti

(2008) menyatakan bahwa pemberian sumber energi dalam pakan ternak penting untuk diperhatikan,

karena dapat meningkatkan koefisien cerna nutrien ransum. Oleh karena itu, pemberian leguminosa

dan bahan pakan sumber energi merupakan suatu kombinasi bahan pakan yang baik bagi sapi.

Pemberian leguminosa sebagai sumber protein dan pemberian bahan pakan sumber energi bagi sapi

harus mampu meningkatkan sintesis protein mikroba rumen (SPM), karena hewan ruminansia sangat

bergantung pada keberadaan mikroba rumen dalam proses fermentasi pakan. Sintesis protein mikroba

rumen (SPM) membutuhkan senyawa amonia yang tidak berlebihan dan energi sebagai rantai karbon

dari degradasi karbohidrat dalam jumlah yang cukup. Menurut Widyobroto et al. (2007), suplai

protein dan energi tersebut harus tersedia secara simultan (sinkron) agar proses SPM menjadi

optimum. Ginting (2005) manyatakan bahwa efek asynchronous antara protein dan energi akan

menimbulkan kerugian, apabila substansi protein terdegradasi lebih cepat dibandingkan sumber

energi, maka sebagain besar protein dalam bentuk amonia akan terbuang melalui urin. Sebaliknya,

apabila substansi sumber energi terfermentasi lebih cepat, maka akan terjadi akumulasi asam laktat

dan dapat memicu terjadinya penurunan pH rumen yang dapat menyebabkan asidosis. Suplai amonia

Page 151: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

142

dan energi yang sinkron dapat dicapai dengan penyesuaian degradasi protein dan fermentabilitas

karbohidrat atau bahan organik (BO) dalam rumen.

Laju degradasi protein asal leguminosa rendah di dalam rumen karena berada dalam ikatan kompleks

bersama tanin (Hadi et al., 2011), sedangkan laju fermentabilitas BO pakan asal pengolahan pangan

berada pada taraf sedang hingga tinggi. Perbedaan laju degradasi tersebut dapat diatasi dengan

formulasi ransum berbasis indeks sinkronisasi protein-energi (SPE). Menurut Sinclair et al. (1993),

penyusunan ransum berbasis indeks SPE berusaha menunjukkan keharmonisan degradasi protein dan

fermentabilitas BO dalam rumen per jam yang dinyatakan secara kauntitatif dengan indeks optimum

yaitu 1. Baik laju degradasi protein atau BO, juga indeks SPE bahan pakan lokal (termasuk

leguminosa) belum terinventarisir dengan baik. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian tentang pengaruh

interaksi antara penggunaan leguminosa dan level indeks SPE terhadap produk fermentasi rumen

terutama kadar amonia cairan rumen dan sintesis protein mikroba (SPM) rumen.

METODE PENELITIAN

Penelitian diawali mengukur degradasi protein dan BO delapan jenis bahan pakan (rumput raja, daun

turi, daun lamtoro, onggok, dedak, pollard, ampas tahu, dan bungkil kelapa) secara in vitro menurut

metode Tilley dan Terry (1963) yang dimodifikasi dengan metode Orskov dan Mcdonald (1979)

untuk menetapkan indeks sinkronisasi protein-energi (SPE). Laju degradasi protein dan bahan organik

(BO) bahan pakan digunakan untuk menghitung indeks SPE menurut petunjuk Hermon et al. (2008).

Indeks Sinkronisasi =

Keterangan : n : waktu pengamatan, N/BO per jam : laju degradasi protein dibanding laju degradasi

bahan organik setiap jam (Hermon et al., 2008).

Penelitian eksperimental dilakukan untuk mengukur kadar amonia dan SPM cairan rumen sapi perah

secara in vitro (Tilley dan Terry, 1963). Materi yang digunakan adalah cairan rumen sapi Peranakan

Friesian Holstein (PFH) jantan yang diambil dari rumah potong hewan (RPH) Mersi, Purwokerto,

segera setelah sapi dipotong. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu rancangan acak lengkap

(RAL) dengan pola faktorial (2x3), faktor A adalah leguminosa (turi dan lamtoro), faktor B adalah

indeks SPE (0,4; 0,5; dan 0,6). Terdapat 6 kombinasi perlakuan dan masing-masing diulang sebanyak

4 kali. Pengukuran kadar N-NH3 menggunakan tekhnik mikrodifusi conwey (General Laboratory

Procedures, 1966), sedangkan sintesis protein mikroba rumen (SPM) diukur dengan metode Zinn dan

Owen (1986). Penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas

Peternakan Universitas Jenderal Soedirman pada medio Mei-Juli 2015.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan laju degradasi protein rumput raja, daun turi, daun lamtoro, onggok, dedak, pollard,

ampas tahu, dan bungkil kelapa masing-masing yaitu 2,2625, 5,4914, 4,7329, 1,2772, 3,2501, 7,0444,

6,5594, dan 7,5464 g N/jam, sedangkan laju degradasi bahan organik (BO) masing-masing bahan

pakan yaitu 0,0103, 0,0164, 0,0135, 0,0080, 0,0091, 0,0236, 0,0203, dan 0,0524 kg BO/jam, dapat

dilihat ilustrasinya pada Gambar 1.

Page 152: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

143

Gambar 1. Laju degradasi protein bahan pakan sumber protein (Kiri) dan BO bahan pakan sumber

energi (Kanan) pada interval waktu berbeda.

Grafik laju degradasi protein menunjukkan bahwa penurunan dan peningkatan degradasi protein

masing-masing bahan pakan sumber protein memiliki kecenderungan yang sama, namun berbeda

setelah jam ke 12. Menurut Hadi et al.(2011), degradasi protein leguminosa cenderung rendah karena

adanya ikatan matrix bersama tanin. Menurut Suryahadi (1990), ampas tahu memiliki degradasi

protein yang cukup tinggi di dalam rumen, degradasi protein akan tinggi sejak jam ke 0 hingga jam ke

4 dan konstan menurun pada jam berikutnya. Menurut Zamsari et al. (2012), protein bungkil kelapa

memiliki kecenderungan degradasi yang tinggi di dalam rumen. Berbeda dengan degradasi protein,

degradasi BO bahan pakan sumber energi memiliki kecenderungan trend yang sama pada setiap

interval waktu, yaitu meningkat pada jam ke dua hingga ke empat dan drastis menurun setelah jam

keempat dan stabil pada jam berikutnya, kecuali pada pollard. Hal tersebut sesuai dengan pendapat

Steven dan Hume (1998) yang menyatakan bahwa fermentasi bahan pakan sumber energi tertinggi

pada 0-4 jam dalam cairan rumen dan menurun

Data penelitian menunjukkan bahwa bahan pakan dengan indeks sinkronisasi rendah adalah dedak

(0,29), daun lamtoro (0,31), daun turi (0,34) dan ampas tahu (0,37). Bahan pakan dengan indeks

medium adalah pollard (0,42) dan rumput raja (0,58), sedangkan bahan pakan dengan indeks tinggi

adalah onggok (0,71) dan bungkil kelapa (0,74). Berdasarkan indeks SPE tersebut disusunlah ransum

berbasis indeks SPE seperti pada Tabel 1.

Page 153: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

144

Tabel 1. Susunan ransum perlakuan berbasis indeks sinkronisasi protein dan energi (SPE)

No Bahan Pakan R1 R2 R3 R4 R5 R6

......... % ..........

1 Rumput Raja 35 50 54 35 50 54

2 Daun Turi 10 10 10 0 0 0

3 Daun Lamtoro 0 0 0 10 10 10

4 Onggok 3 6 15 3 6 15

5 Dedak 26 14 1 26 14 1

6 Pollard 8 5 3 8 5 3

7 Ampas Tahu 14 9 3 14 9 3

8 Bungkil Kelapa 3 5 13 3 5 13

9 Mineral 1 1 1 1 1 1

Total 100 100 100 100 100 100

Indeks Sinkronisasi 0,4 0,5 0,6 0,4 0,5 0,6

Nutrien

Bahan Kering, % 92.61 93.30 92.75 92.58 93.27 92.71

Protein Kasar, % BK 12.29 12.24 12.53 12.25 12.19 12.49

Lemak Kasar, % BK 5.31 5.35 5.97 5.49 5.54 6.16

Serat Kasar, % BK 21.21 23.18 23.13 21.17 23.14 23.08

BETN, % BK 50.37 48.77 49.02 50.37 48.76 49.01

TDN, % 68.02 66.39 67.16 68.23 66.59 67.37

Keterangan : (R : Ransum Perlakuan), (Kadar nutrien dihitung berdasarkan: Hasil Analisis Laboratorium Ilmu

Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Unsoed, 2015), (TDN : dihitung dengan rumus %

TDN = 70,60 + 0,259 PK + 1,01 LK - 0,76 SK + 0,0991 BETN (Sutardi, 2001)).

Kadar Amonia (N-NH3) Cairan Rumen

Rataan kadar N-NH3 hasil pengamatan penelitian berada pada kisaran 12,15-13,53 mM cairan rumen

(Tabel 2). Menurut McDonald et al. (1987), kisaran konsentrasi amonia yang cukup untuk

pertumbuhan mikroba yang maksimal adalah 85-300 mg/L atau setara dengan 2,7 – 14,3 mM cairan

rumen. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara spesies leguminosa dan

indeks SPE terhadap kadar N-NH3, tetapi perlakuan leguminosa dan indeks sinkronisasi masing-

masing berpengaruh nyata terhadap kadar N-NH3 (P<0,05).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rataan kadar N-NH3 cairan rumen yang mendapat daun

turi lebih tinggi (12,79 mM) dibandingkan dengan yang mendapat daun lamtoro (12,10 mM). Hal

tersebut terjadi karena kecernaan protein daun turi lebih tinggi dibandingkan daun lamtoro (Hadi et

al., 2011). Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa daun lamtoro memiliki kadar tanin mencapai

6% (Pamungkas et al., 2008), sedangkan daun turi memiliki kadar tanin sebesar 0,1% (Soebarinoto,

1986), sehingga kecernaan protein daun lamtoro menjadi rendah dan sumbangan NH3 dalam cairan

rumen juga rendah.

Page 154: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

145

Tabel 2. Rataan kadar amonia cairan rumen dan sintesis protein mikroba rumen (SPM)

Peubah

Perlakuan

R1 R2 R3 R4 R5 R6

NH3(mM) 13,53±0,42 12,71±0,51 12,15±0,30 12,65±0,93 12,38±0,86 11,28±0,55

SPM

(mg/20ml) 103,7 ± 3,06 110,2±5,87 120,1±12,16 106,5±6,94 116,8±9,18 142,6±15,70

Keterangan : R1 = Turi + Indeks 0,4, R2 = Turi + Indeks 0,5, R3 = Turi + Indeks 0,6, R4 = Lamtoro + indeks

0,4, R5 = Lamtoro + indeks 0,5, R6 = Lamtoro + indeks 0,6,

Uji orthogonal polynomial pada faktor B menunjukkan bahwa indeks SPE berpengaruh secara linier

terhadap kadar N-NH3 dengan persamaan Y = 15,896 – 6,8937 X dengan koefisien determinasi (r2) =

0,42 (Gambar 2). Gambar tersebut menunjukkan bahwa kadarN-NH3 terus menurun sejalan dengan

meningkatnya indeks SPE. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Chumpawade et al. (2005)

dan Seo et al. (2010) yaitu bahwa indeks SPE tidak berpengaruh nyata terhadap kadar N-NH3. Hal

tersebut dapat terjadi karena perbedaan metode penelitian, kedua peneliti tersebut menggunakan

metode in vivo, sehingga terdapat faktor penyerapan N-NH3 pada dinding rumen. Selain itu, bahan

pakan, materi penelitian dan susunan ransum yang digunakan dalam penelitian tersebut juga berbeda

dengan penelitian ini. Basis penelitian Chumpawade et al. (2005) adalah bahan pakan berkualitas

rendah yaitu jerami padi, sedangkan Seo et al. (2010) menggunakan bahan pakan penyusun konsentrat

yang sangat beragam.

Penurunan kadar N-NH3 dari indeks SPE rendah (0,4) sampai indeks SPE tinggi (0,6) disebabkan oleh

peningkatan sintesis protein mikroba rumen. Bata dan Hidayat (2010) menyatakan bahwa kadar N-

NH3 dalam cairan rumen tergantung pada jenis sumber protein yang digunakan, tingkat degradabilitas

sumber protein dalam cairan rumen, dan SPM dalam cairan rumen. Semakin tinggi indeks SPE, maka

SPM semakin optimum. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ginting (2005) yang menyatakan

bahwa tujuan dari pengaturan indeks SPE adalah untuk menyediakan secara simultan N-NH3 dan

energi untuk kepentingan SPM, sehingga tidak banyak N-NH3 yang terbuang selama proses

fermentasi.

Gambar 2. Pengaruh indeks SPE terhadap kadar N-NH3 cairan rumen

Page 155: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

146

Sintesis Protein Mikroba (SPM) Rumen

Rataan sintesis protein mikroba rumen (Tabel 2) berada pada kisaran 103,67-142,55 mg/20 ml cairan

rumen. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Suhartati (2005) yaitu SPM 140-

161,6 mg/20 ml cairan rumen, tetapi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Alwi et

al. (2013) yaitu 3,98-5,54 mg/20 ml cairan rumen. Kesamaan yang terjadi dengan penelitian Suhartati

(2005), karena sama-sama menggunakan leguminosa sebagai percobaan, sedangkan Alwi et al. (2013)

menggunakan bagasse tebu fermentasi dengan kandungan protein yang rendah. Hasil analisis variansi

menunjukkan bahwa perlakuan leguminosa berpengaruh nyata (P<0,05) dan perlakuan indeks SPE

berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap SPM. Berdasarkan uji beda nyata jujur (BNJ) diketahui

bahwa rataan SPM cairan rumen yang mendapat daun lamtoro lebih tinggi (121,966 mg/20 ml)

dibandingkan dengan yang mendapat daun turi (111,310 mg/20 ml). Hal tersebut diduga disebabkan

karena pengaruh tanin yang menyebabkan lambatnya perubahan protein menjadi amonia pada

lamtoro. Namun, melambatnya pelepasan amonia tersebut menyebabkan tingkat keharmonisan yang

lebih baik dibandingkan dengan turi, sehingga proses sintesis protein mikroba lebih optimum pada

penggunaan daun lamtoro.

Hasil uji orthogonal polynomial menunjukkan bahwa indeks SPE berpengaruh secara linier terhadap

SPM dengan persamaan Y = 51,091 – 131,09 X dengan koefisien determinasi (r2) = 0,48. Gambar 3

menunjukkan bahwa SPM meningkat seiring dengan peningkatan indeks SPE. Hal tersebut sesuai

dengan pernyataan Ginting (2005) bahwa intisari dari pengaturan indeks sinkronisasi protein dan

energi adalah untuk meningkatkan SPM. Sinkronisasi yang dimaksud adalah adanya keharmonisan

dalam penyedian dan atau pelepasan amonia dari protein serta energi dari karbohidrat untuk

memenuhi kebutuhan SPM. Sinclair et al. (1993) menyatakan bahwa indeks SPE 1 (satu),

menunjukkan adanya keharmonisan antara ketersediaan energi dan protein di dalam cairan rumen.

Semakin mendekati angka satu maka semakin meningkat SPM dalam cairan rumen. Menurut Elseed

(2005), pemberian sumber protein dan energi secara simultan akan meningkatkan pertumbuhan N

mikroorganisme, sedangkan menurut Rotger et al. (2006), angka sinkronisasi protein-energi yang

tinggi memiliki kecenderungan meningkatkan N mikroorganisme di dalam cairan rumen.

Gambar 3. Pengaruh indeks SPE terhadap SPM cairan rumen

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara pengamatan konsentrasi

amonia dengan SPM (Gambar 4) dengan persamaan Y = 2864,2-19,21X (r2=0,99)). Peningkatan

Page 156: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

147

SPM dapat diikuti dengan penurunan kadar amonia di dalam cairan rumen. Penurunan kadar amonia

rumen bukan disebabkan karena produksinya yang menurun, tetapi karena amonia telah digunakan

oleh mikroorganisme dalam sintesis proteinya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Puastuti dan

Mathius (2005) bahwa menurunya konsentrasi NH3 dalam cairan rumen diiringi dengan

meningkatnya sintesis protein mikroba. Menurut Nolan (1993), amonia merupakan sumber utama

nitrogen yang sangat penting bagi hewan inang. Maynard et al. (1979) menyatakan bahwa 80%

mikroorganisme rumen menggunakan amonia sebagai satu-satunya sumber nitrogen.

Widyobroto et al. (2007) menyatakan bahwa sintesis protein mikroba sangat tergantung pada kadar

N-NH3 dan Alwi et al. (2013) menyatakan bahwa peningkatan sintesis protein mikroba akan diikuti

dengan penurunan kadar N-NH3 dalam cairan rumen. Yang et al. (2010) memiliki pendapat berbeda,

bahwa peningkatan sintesis protein mikroba rumen tidak selalu diikuti dengan penurunan kadar N-

NH3, sehingga kadar N-NH3 tidak selalu dapat menunjukkan tinggi rendahnya SPM. Menurut Bata

dan Hidayat (2010), konsentrasi N-NH3 dalam cairan rumen dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti

jenis sumber protein yang digunakan, tingkat degradabilitasnya di dalam rumen dan SPM. Artinya

bahwa penurunan dan peningkatan N-NH3 tidak selalu disebabkan oleh SPM, pada suatu kejadian

dapat berlaku hal yang berbeda yaitu SPM tinggi dan diikuti dengan kadar N-NH3 yang tinggi atau

kejadian sebaliknya juga dapat berlaku yaitu SPM rendah diikuti dengan kadar N-NH3 yang rendah.

Cole dan Tood (2008) berpendapat bahwa penggunaan N-NH3 dalam SPM tergantung pada

ketersediaan energi, sehingga hubungan tersebut akan optimal ketika ketersedian energi juga

tercukupi. Produksi N-NH3 yang tinggi diikuti dengan ketersediaan energi yang tinggi serta keduanya

tersedia secara simultan akan meningkatkan SPM. Oleh karena itu, penerapan sinkronisasi protein dan

energi dalam penyusunan ransum ternak ruminansia sangat penting untuk diperhatikan, karena dapat

meningkatkan SPM dan SPM merupakan sumber protein utama bagi ternak ruminansia.

Gambar 4. Hubungan antara kadar amonia cairan rumen dan sintesis protein mikroba rumen

KESIMPULAN

Kesimpulan penelitian yaitu bahwa daun lamtoro merupakan leguminosa yang lebih baik

dibandingkan dengan daun turi ditinjau dari kemampuanya dalam meningkatkan SPM. Indeks SPE

yang terbaik dalam menghasilkan SPM yaitu pada level 0,6.

Page 157: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

148

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, M., W. Suryapratama dan F.M. Suhartati. 2013. Fermentasi Ampas Tebu (Bagasse)

Menggunakan Phanerochaete chrysosporium Sebagai Upaya Meningkatkan Produk Fermentasi

Rumen Secara In Vitro. Jurnal ilmiah Peternakan. 1(2): 479-487.

Bata, M. dan N. Hidayat. 2010. Penambahan Molases untuk Meningkatkan Kualitas Amoniasi Jerami

Padi dan Pengaruhnya terhadap Produk Fermentasi Rumen Secara In-Vitro. Agripet. 10(2): 27-

33.

Cakra, I.G.L.O. dan N.W. Siti. 2008. Coefesien Digestibility of Dry Matter and Nutrition Content of

Etawah Cross Breed Goat Ration With Forage and Molamik Concentrate. Majalah Ilmiah

Peternakan. 11(1): 11-17.

Chumpawadee S., K. Sommart, T. Vongpralub, and V. Pattarajinda. 2005. Effect of Synchronizing

The Rate of Degradation of Dietary Energy and Nitrogen Release on Reproductive

Performance in Brahman-Thai Native Crossbred Beef Cattle. Songklanakarin Journal Science

Technol. 28: 59-68.

Cole, N.A. and R.W. Tood. 2008. Opportunities to Enhance Performance and Efficiency Through

Nutrients Synchrony in Concentrate-Fed Ruminants. Journal of Animal Science.86 : E 318-E

333.

Elseed, F.A.M.A. 2005. Effect of Supplemental Protein Feeding Frequency on Ruminal

Characteristics and Microbial N Production in Sheep Fed Treated Rice Straw. Small Rumin.

Res. 57:11-17.

General Laboratory Procedures. 1966. General Laboratory Procedures Department of Diary Science.

University of Wisconsin, Madison.

Ginting, S.P. 2005. Sinkronisasi Degradasi Protein dan Energi dalam Rumen untuk Memaksimalkan

Produksi Protein Mikroba. Wartazoa. 15(1): 1-10.

Hadi, F.H., Kustantinah, dan H. Hartadi. 2011. Kecernaan In Sacco Hijauan Leguminosa dan Hijauan

Non-Leguminosa dalam Rumen Sapi Peranakan Ongole. Buletin Peternakan. 35(2): 79-85.

Hermon, M., Suryahadi, K.G. Wiryawan dan S. Hardjosoewignjo. 2008. Nisbah Sinkronisasi Suplai

N-Protein dan Energi dalam Rumen Sebagai Basis Formulasi Ransum Ternak Ruminansia.

Media Peternakan. 31(3): 186-194.

Kushartono, B dan N. Iriani. 2004. Inventarisasi Keanekaragaman Pakan Hijauan Guna Mendukung

Sumber Pakan Ruminansia. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian,

Balai Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor.

Maynard, L. A., J.K Loosli,.H.F Hintz and R.G Warner. 1979. Animal Nutrition, 7th ed. Tata

McGraw Hill Publishing Company Limited. New Delhi.

McDonald, P., R.A. Edward, and J.F.D. Greenhalgh. 1987. Animal Nutrition, 8th edition. Longman

Group (FE) Ltd. Hongkong.

Page 158: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

149

Nolan. 1993. Nitrogen Kinetics. in : Quantitative Aspect of Ruminan Digestion and Metabolism.J.M

Forbes and J. France (Editors).C.A.B International. Wallingford.

Orskov E.R., and I. McDonald. 1979. The Estimating of Protein Degradability in The Rumen From

Incubation Measurement Weighted Activating to Rate of Passage. Journal of Agrculture

Science.Camb. 92: 499-503.

Pamungkas, D., Y.N. Anggraeni, Kusmartono dan N.H. Krishna. 2008. Produksi Asam Lemak

Terbang dan Amonia Rumen Sapi Bali pada Imbangan Daun Lamtoro (L. leucocephala) dan

Pakan Lengkap yang Berbeda. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Universitas Brawijaya. Malang.

Puastuti, W. dan I.W. Mathius.2005. Pengaruh Substitusi Bungkil Kedelai Terproteksi Getah Pisang

Sebagai Sumber Protein Tahan Degradasi Terhadap Fermentasi Rumen. Seminar Nasional

Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Rotger, A., A. Ferret, S. Calsamiglia, and X. Manteca. 2006. Effects of Nonstructural Carbohydrates

and Protein Sources on Intake, Apparent Total Tract Digestibility, and Ruminal Metabolism In

Vivo and In Vitro with High-Concentrate Beef Cattle Diets. Journal Animal Science. 84:1188-

1196.

Seo, J.K. ,J. Yang, H.J. Kim, S.D. Upadhaya, W.M. Cho, and J.K. Ha. 2010. Effect of

Synchronization of Carbohydrate and Protein Supplay on Ruminal Fermentation. Nitrogen

Metabolism and Microbial Protein Synthesis in Holstein Steers. Asian Australian Journal of

Animal Science. 23(11) : 1455 – 1461.

Sinclair, L.A., P.C. Garnsworthy, J.R. Newbold, and P.J. Buttery. 1993. Effects of Synchronizing The

Rate of Dietary Energy and N Release in Diets on Rumen Fermentation and Microbial Rumen

Protein Synthesis in Sheep. Journal of Agriculture Science.Camb. 120: 251-263.

Soebarinoto. 1986. Evaluasi Beberapa Hijauan Pohon Leguminosa Tropis Sebagai Sumber Protein

untuk Ternak. Disertasi. Pasca Sarjana IPB, Bogor.

Steven, C.E. and I.D. Hume. 1998. Contributions of Microbes in Vertebrate Gastrointestinal Tract to

Production and Conservation of Nutrientss. American Psicological Society. 78(2): 393-427.

Suhartati, F.M. 2005. Proteksi Protein Daun Lamtoro (Leucane leucocephala) Menggunakan Tanin,

Saponin, Minyak dan Pengaruhnya Terhadap Ruminal Undegradable Dietary Protein (RUDP)

dan Sintesis Mikroba Rumen. Animal Production. 7(1): 52-58.

Suryahadi. 1990. Ruminant Nutrition. Inter-University Centre of Biological Sciences. Bogor

Agricultural University. Bogor.

Sutardi, T. 2001. Revitalisasi Peternakan Sapi Perah Melalui Penggunaan Ransum Berbasis Limbah

Perkebunan dan Suplementasi Mineral Organik. Laporan Penelitian Akhir RUT VIII 1. Kantor

Menteri Negara Riset dan Teknologi dan LIPI.

Tilley, J.M. A. and R.A. Terry, 1963. The Relationship Between The Soluble Constitutent Herbage

and Their Dry Matter Digestibility. Journal British Feed Science.18: 104-111.

Utomo, R. 2012. Evaluasi Pakan dengan Metode Noninvansif. Citra Ajiprama. Yogyakarta.

Page 159: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

150

Widyobroto, B.P., S.P.S. Budhi dan A. Agus. 2007. Effect of Undegraded Protein and Energy Level

on Rumen Fermentation Parameters and Microbial Protein Synthesis in Cattle. Journal

Indonesian Tropical Animal Agriculture. 32(3): 194-200.

Yang, J.Y., J. Seo, H.J. Kim, S.Seo and J.K. Ha. 2010. Nutrients Synchrony: Is it a Suitable Strategy

to Improve Nitrogen Utilization and Animal Performance. Asian Australian Journal Animal

Science. 23(7): 972-979.

Zamsari, M., Sunarso, dan Sutrisno. 2012. Utilization of Natural Tannins in Protecting Coconut Meal

Protein Judging from the Protein Fermentability In Vitro. Animal Agriculture Journal. 1(1):

405-416.

Zinn, R. and F. Owens. 1986. A Rapid Procedure for Purin Measurment and Its Use for Estimating

Net Ruminal Protein Syinthesis. Canadian Journal of Animal Science. 66: 157-166.

Page 160: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

151

PEMBERIAN ENERGI RANSUM YANG BERBEDA (FLUSHING) TERHADAP

KONSENTRASI ESTROGEN DAN PROGESTERON PADA KAMBING JAWARANDU

SETELAH KAWIN

M. Socheh, D.M. Saleh, H.W. Kinanti dan H. Purwaningsih

Fakultas Peternakan UNSOED

ABSTRACT

The purpose of this research was to determine the effect of different energy ration (flushing) into the

concentration of estrogen and progesterone of Jawarandu does post matted. The materials of research

used 18 heads of Jawarandu does which had born once, two heads of male was a teaser, the animal

feeds consisted of grassfield and concentrates (mix of rice bran, cassava meal, and mineral cows). The

research method was a completely randomized design (CRD). Three treatments were randomly

applied into the 18 heads of Jawarandu does, e.g: F0 = grass field as a basal feed (nonflushing, Mkal

1.02 Mcal /kg ME); F1= grass field + concentrate (flushing, Mcal 1.97/ kg ME); and F2= grass field +

concentrate (flushing, Mcal 2.09/kg ME). Those treatments was replicated into the six times. The

does was synchronized estrous using a Lutalyse (PGF2α)1 ml/head. Analysis of variance for the

concentration of estrogen and progesterone of the does post mating on day 14 determined by using

SPSS program. The result of research showed that the effect of different energy ration (flushing)

was a significantly effect ( P˂0.05 ) into the concentration of estrogen and progesterone in Jawarandu

does post mating on day 14. The conclusion of this research that highest of energy ration (flushing)

enhanced progesterone concentration in Jawarandu does post mating on day 14.

Key words: flushing, estrogen, progesterone, Jawarandu does, post mating on day 14

PENDAHULUAN

Pada umumnya, pemeliharaan kambing di pedesaan hanya diberi pakan hijauan yang akibatnya tidak

cukup untuk mendukung penampilan reproduksi ternak yang optimal. Peningkatan reproduktivitas

kambing dapat dilakukan dengan pemberian pakan tambahan kaya sumber energi.

Flushing adalah pemberian pakan berkualitas tinggi dengan tujuan perba-ikan kondisi tubuh,

meningkatkan hormon-hormon reproduksi, melancarkan estrus dan meningkatkan jumlah ovum yang

dilepaskan dari ovarium (Socheh, dkk, 2012). Selanjutnya, dikemukakan bahwa pemberian pakan

secara flushing adalah suatu cara pemberian pakan yang mengandung energi tinggi yang diberikan

kepada kambing betina 17 hari sebelum dan 17 hari setelah dikawinkan. Pakan yang mengandung

energi tinggi dapat meningkatkan hormon reproduksi seperti hormon estrogen dan progesteron pada

saat kambing betina setelah dikawinkan. Berdasarkan hal tersebut perlu diteliti apakah pemberian

energi ransum yang berbeda (flushing) dapat meningkatkan konsentrasi progesteron pada kambing

betina Jawarandu. Tujuan penelitian adalah mempelajari pengaruh energi ransum yang berbeda

(flushing) terhadap konsentrasi estrogen dan progesteron kambing betina Jawarandu setelah kawin

pada hari yang ke-14.

Page 161: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

152

METODE PENELITIAN

Materi Penelitian

Meteri penelitian yang digunakan adalah 18 ekor kambing betina Jawarandu dewasa yang pernah

beranak satu kali, 2 pejantan penggoda/pengusik, rumput lapang dan konsentrat (campuran dari dedak

padi, onggok, dan mineral sapi), hormon lutalyse untuk keperluan penyerentakan birahi.

Rancangan Penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan pakan (Tabel 1) yang

diberikan kepada ternak sebagai berikut: F0= rumput lapang sebagai pakan basal (kontrol) atau

nonflushing pakan 1,02 Mkal/kg ME; F1 = rumput lapang + 1,97 Mkal/kg ME (flushing); dan F2 =

rumput lapang sebagai pakan basal + 2,09 Mkal/kg ME (flushing).

Ketiga perlakuan ditempatkan secara acak kepada 18 ekor kambing dengan enam ulangan tiap

perlakuan. Pakan tambahan diberikan kepada ternak secara flushing, yaitu diberikan masing-masing

17 hari sebelum dan 17 hari setelah kambing betina dikawinkan (Socheh dkk., 2012). Hormon

lutalyse untuk keperluan penyerentakan birahi disuntikan secara intermuskular lewat vena jugularis

kambing dengan dosis 1 ml atau lima mg per ekor, dengan penyuntikan sebanyak dua kali dengan

jarak 11 hari.

Tabel 1. Komposisi dan Kandungan Kimia Ransum Penelitian

Bahan pakan Ransum penelitian

F0 F1 F2

-------------------------- (% as fed) -------------------------

Rumput lapang 100 60 50

Konsentrat

Dedak padi

Onggok

Ultra mineral1

40

22,22

17,78

0,02

50

18,31

31,69

0,02

Kandungan nutrien, %

PK

TDN

2,81

28,13

4,9

54,42

4,7

57,75 1Setiap satu bungkus (1 kg) Ultra mineral produksi Eka Farma Semarang, Jawa Tengah Indonesia, mengandung

Calcium Carbonat 50,00%; Phosphor 25,00%; Mangganese 0,35%; Jodium 0,20%; Kalium 0,10%; Cupprum

0,15%; Sodium Chlorine 23,05%; Iron 0,80%; Zincum 0,20%; Magnesium 0,15%

Konversi Energi dari TDN ke ME : ME (Mkal/kg) = (Hartadi dkk., 1990)

Macam Peubah

Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah konsentrasi hormon estrogen (pg/ml) dan progesteron

(ng/ml) kambing Jawarandu betina setelah kawin pada hari yang ke-14.

Analisis Data

Program SPSS digunakan untuk menganalisis variansi pengaruh energi ransum yang berbeda terhadap

konsentrasi estrogen dan progesteron kambing Jawarandu betina setelah kawin pada hari yang ke-14.

Page 162: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

153

Konsen

trasi estrog

enn p

g/m

l

Pengambilan darah

Pengambilan darah sebanyak 5 ml/ekor melalui vena jugularis terhadap untuk kambing betina yang

sudah dikawinkan pada hari yang ke-14. Pengambilan darah dilakukan pada pukul 08.00. Darah

dimasukkan kedalam tabung kemudian disentrifuge dengan kecepatan RPM x 1000 selama 15 menit

selanjutnya diambil serumnya. Serum darah kemudian dianalisis dengan mengikuti prosedur ELISA

(Enzim-linked immunosorbent assay) untuk mengetahui konsentrasi hormon progesteron dan

estrogen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Energi Ransum yang Berbeda (Flushing) Terhadap Konsentrasi Estrogen

Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa pemberian energi ransum yang berbeda (fluhshing)

berpengaruh nyata terhadap terhadap konsentrasi estrogen (P ˂ 0,05). Ternak kambing Jawarandu

betina yang mengkonsumsi energi ransum (flushing) mempunyai konsentrasi estrogen lebih tinggi

dibandingkan dengan perlakuan nonflushing (Error! Reference source not found.).

Gambar 1. Konsentrasi Estrogen Kambing Betina Setelah Kawin Pada Hari yang ke-14

Pemberian energi ransum yang tinggi dapat meningkatkan nafsu makan pada ternak. Konsumsi

ransum yang tinggi, ternak dapat memperbaiki performans dan metabolisme tubuh men-jadi lebih

baik. Pemberian pakan bernutrisi tinggi dengan kandungan energi dan protein dapat meingkatkan

konsentrasi hormon reproduksi. Pemberian pakan dengan energi 1,97 Mkal/kg ME (flushing) dan

2,09 Mkal/kg ME diperoleh kosentrasi hormon 0,28 pg/ml dan 0,33. Pemberian pakan berupa rumput

lapang 1,02 Mkal/kg ME (nonflushing) mempunyai konsentrasi hormon 0,09 pg/ml. Namun,

peningkatan estrogen pada kambing Jawarandu setelah kawin pada hari yang ke-14 masih berada di

bawah titik basal.

Perbedaan rataan konsentrasi antara ternak kambing perlakuan flushing dengan nonflushing

menunjukan bahwa perlakuan flushing pakan dengan 1,02 Mkal/kg ME dan 1,97 Mkal/kg ME

berpengaruh nyata terhadap peningkatan hormon estrogen dalam darah. Flushing pakan berpengaruh

Page 163: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

154

0

1

2

3

4

5

6

7

F0 F1 F2

pada konsentrasi estrogen karena kandungan energi ransum pakan yang tinggi. Kandungan nutrisi

yang tinggi pada pakan dapat memperbaiki kondisi tubuh. Apabila ternak diberi pakan dengan nutrisi

yang rendah maka dapat menurunkan tingkat dari kesuburan ternak tersebut. Hal ini sesuai dengan

hasil temuan Socheh dkk. (2012), pemberian pakan berenergi tinggi (flushing) pada kambing

Kejobong dapat meningkatkan hormon reproduksi (estrogen dan progesteron) baik pada saat birahi

maupun setelah ternak betina dikawinkan.

Berdasarkan uji lanjut beda nyata terkecil bahwa perlakuan nonflushing dengan energi 1,02 Mkal/kg

ME konsentrasi 0,09 pg/ml berbeda nyata pada perlakuan flushing dengan pemberian energi 1,97

Mkal/kg ME dan perlakuan flushing 2,09 Mkal/kg ME. Flushing dengan energi 1,97 Mkal/kg ME

mempunyai nilai rata-rata tidak berbeda nyata 0,28 pg/ml terhadap nilai rata-rata 0,33 pg/ml dengan

perlakuan flushing energi 2,09 Mkal/kg ME. Karena pemberian energi yang tidak begitu jauh berbeda

sehingga selisih konsentrasinya tidak terlalu jauh, dengan selisih konsentrasi sebesar 0,05 pg/ml.

Menurut Winugroho (2002) kondisi tubuh induk erat hubungannya dengan status cadangan energi

tubuhnya sedangkan cadangan energi tersebut erat hubungannya dengan gizi yang dikonsumsinya

sebelum bunting dan beranak. Pemberian pakan tambahan periode pre dan post-partum akan

mempengaruhi pemunculan estrus pertama setelah beranak yaitu kembali normal dalam waktu 35 hari

pertama post-partum, memperbaiki tingkat kebuntingan dan calving rate pada sapi.

Pengaruh Energi Ransum yang Berbeda (Flushing) Terhadap Konsentrasi Progesteron

Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa pemberian energi ransum yang berbeda (flushing)

berpengaruh nytata (P˂0,05) terhadap konsentrasi hormon progesteron kambing Jawarandu betina

setelah kawin pada hari yang ke-14. Konsentrasi hormon progesteron kambing betina dewasa hari

yang ke 14 setelah dikawinkan dapat dilihat pada Error! Reference source not found.. Hasil

penelitian dengan perlakuan pemberian energi 1,02 Mkal/kg ME; 1,97 Mkal/kg ME; 2,09 Mkal/kg

ME menunjukan masing-masing konsentrasi progestreon ialah 4,14; 6,31; 5,86 ng/ml. Konsentrasi

hormon progesteron dengan perlakuan flushing pakan lebih tinggi dibandingkan dari ternak kambing

yang nonflushing.

Gambar 2. Konsentrasi Hormon Progesteron Kambing Betina Setelah Kawin pada Hari Ke-14

Page 164: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

155

Perbedaan konsentrasi hormon progesteron pada perlakuan pemberian energi 1,97 Mkal/kg ME lebih

tinggi dibandingkan perlakuan flushing dengan pemberian energi 2,24 Mkal/kg ME. Konsentrasi

hormon pada perlakuan flushing mengalami penurunan 45% dari 6,31 menjadi 5,86 ng/ml. Kadar

progeseteron pada plasma darah dipengaruhi oleh jumlah CL. Apabila CL dalam jumlah yang

banyak, maka hormon progesteron lebih banyak dihasilkan. Kemungkinan ternak dalam keadaan

bunting, karena hormon progesteron bekerja untuk mempertahankan kebuntingan pada induk.

Menurut Dionysius (1991) konsentrasi hormon progesteron dalam air susu kambing betina 3 minggu

setelah kawin menunjukan kambing yang tidak bunting mempunyai kosentrasi berkisar 0-4 ng/ml,

sedangkan konsentrasi kambing bunting dalam kisaran 6,5-35 ng/ml.

Berdasarkan uji beda nyata terkecil perlakuan nonflushing dengan energi 1,02 Mkal/kg ME berbeda

nyata terhadap perlakuan flushing pakan dengan 1,97 Mkal/kg ME dan 2,09Mkal/kg ME. Perlakuan

flushing pakan 1,97 Mkal/kg ME berbeda nyata terhadap 1,97 Mkal/kg ME. Pemberian energi 1,97

Mkal/kg ME dan 2,24 Mkal/kg ME berpengaruh nyata terhadap pertambahan konsentrasi progesteron

dalam darah. Pemberian pakan dengan nutrisi yang cukup pada ternak dapat memberikan pengaruh

positif pada ternak tersebut. Namun dengan pemberian energi yang tidak cukup dapat menyebabkan

gangguan reproduksi pada ternak.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ransum yang berenergi tinggi dan diberikan

secara flushing dapat meningkatkan hormon estrogen dan progesteron kambing betina setelah

dikawinkan pada hari yang ke-14. Namun, peningkatan hormon estrogen kambing betina setelah

dikawinkan pada hari yang ke-14 masih berada di bawah titik basal.

DAFTAR PUSTAKA

Dionysius D.A. 1991. Pregnancy diagnosis in dairy goats and cows using progesterone assay kits.

Australian Vet. Journal. 68 (1):14-16.

Hartadi H, S Reksohadiprojo dan A.D. Tillman. 1990. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. UGM

Press. Jogjakarta.

Socheh M, Ismaya, Budisatria I.G.S. dan Kustantinah. 2012. Pengaruh Flushing Berbasis Pakan

Lokal terhadap Pertumbuhan dan Birahi Kambing Kejobong Betina Dewasa. Sains

Peternakan. 9 (2). Hal 53-64.

Winugroho M. 2002. Strategi Pemberian Pakan Tambahan untuk Memperbaiki Efisiensi Reproduksi

induk Sapi. Jurnal Litbang Pertanian. 21(1) : 19-23.

Page 165: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

156

EFEKTIVITAS PUPUK ORGANIK CAIR “USB” DAN SUPLEMENTASI HERBAL

TERHADAP PRODUKTIVITAS RUMPUT GADJAH

Sufiriyanto, Sri Hastuti dan Endro Yuwono

Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di Eksperimental Farm, membuat pupuk organik cair dari urine sapi betina

bunting difermentasi dengan penambahan herbal (buah nanas, temulawak dan mengkudu) . Untuk

mengetahui uji kualitas dilakukan uji pada produktivitas rumput gajah. Proses teknologi pembuatan

dimulai koleksi urine sapi bunting masing-masing 60 liter. P(0) tanpa perlakuan, P(1) urine ditambah

buah nanas sebanyak 6 kg , P((2) urine 60liter ditambah buah nanas 6 kg dan temulawak seberat 6 kg

dan P(3) urine ditambah buah nanas, temulawak dan mengkudu masing-masing 6 kg, diaduk setiap

hari sampai tidak mengalami fermentasi. Diuji keberhasilannya dengan eksperimental Rancangan

Acak Lengkap dilanjutkan Uji beda nyata jujur produktivitas rumput gajah Penelitian dengan tiga

perlakuan, aras dosis 0.5ml, 1,5ml dan 4,5ml per liter air, ulangan 3 kali per unit dan setiap unit berisi

5 stek tanaman. Variabel yang diamati meliputi : kandungan protein kasar, serat kasar, produksi

bobot basah, produksi bobot kering, imbangan daun dan batang, tinggi tanaman dan jumlah tunas

anakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan pupuk organik cair urine sapi bunting

dengan suplemntasi herbal menunjukkan produktivitas optimal 38 ton/ha (P<0,05) pada pupuk

organik cair suplementasi nanas (R3) dosis 4,5 ml/liter air selanjutnya R7, R9, R4, RR5 dan R8.

Kata kunci : pupuk organik cair, urine, produktivitas, tinggi tanaman, tunas anakan,rumput gajah

PENDAHULUAN

Eksperimental Farm Fapet berfungsi untuk mendukung program Tri Darma Perguruan tinggi,

mempunyai luas lahan 3,6 Ha, lahan rumput 3 ha, lokasi kandang ternak 0,4 ha, ternak sapi perah 22

ekor laktasidengan produksi sebanyak 180 liter /hari, sapi potong sebanyak 130 ekor, kambing 15

ekor dan domba 8 ekor, ayam 5000 ekor dan unit pelayanan meliputi penelitian, kunjungan anak

PAUD/TK sebanyak 1890 orang/tahun, anak siswa SD sekitar 400 orang, siswa SMP sekitar 200

orang dan SMA sekitar 150 orang. Sedangkan untuk praktikum mahasiswa peternakan sebanyak 1100

orang/tahun dan kunjungan masyarakat atau kelompok peternak sebanyak 135 orang.tahun.

Program pengembangan Eksperimental selama tiga tahun yaitu, pengolahan limbah padat (tahun

pertama), pengolahan limbah cair (tahun ke 2) dan peternakan berwawasan ramah lingkungan. Pada

tahun 2011 Eksperimental Farm sudah meneliti tentang pengolahan limbah membuat biogas menjadi

konversi listrik dan pembuatan pupuk granul yang ditelitikan pada rumput gajah, dilanjutkan tahun

2012 dilaksanakan penelitian pupuk cair organik dari urine sapi bunting dengan metode nanometer

(bekerjasama dengan Bapak Mutaqin Kudus). Adanya kunjungan kelompok peternak dan Petugas

Lapangan Pemalang dan peternak yang lain menyampaikan bahwa pupuk cair yang banyak

diperlukan dilapangan adalah yang dengan metode alami dan berfungsi ganda atau pupuk cair

merangkap anti insektisida atau anti bakterial dan atau anti tikus.Hal ini juga disampaikan oleh PPL

Tulungagung, bahwa di sana sudah marak menggunakan urine fermentasi digunakan untuk pupuk

padi, sebagai pupuk organik insektisida.

Page 166: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

157

Pengusul peneliti bermaksud untuk membuat pupuk cair organik bahan dasr urine sapi bunting umur

4-6 bulan,, ditrambah rimpang temulawak dan buah mengkudu, sesuai dengan penelitian yang

pengusul tahun 2003, 2007, 2008 dan 2009. Untuk mengurai bau amoniak urtine digunakan buah

nanas, dibiarkan satu minggu kemudian ditambahkan temulawak (Curcumae xanthoriza) dan

mengkudu (Morinda citrifolia). Dengan harapan, kandungan flavanoid dan sesquiterpentenoid

temulawak dan kandungan kimiawi fenol buah mengkudu yang matang dapat berfungsi sebagai

insektisida, pengujian kualitas pupuk cair organik USB diuji pada produktivitas rumput gajah.

METODE PENELITIAN

(1) Materi dan bahan penelitian

Rencana penelitian dibagi tiga kelompok , yaitu koleksi cairan sludge (1), koleksi nanas, temulawak

dan mengkudu (2) proses pembuatan pupuk cair(3)., uji kualitas pupuk cair untuk NPK (4) dan uji

produktivitas rumput gajah (5)

(2) Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental, dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL),

Adapun macam perlakuan yang diterapkan adalah sebagai berikut :

Ro = kontrol

R1 = Pupuk cair organik nanas dosis 0,5 ml/liter

R2 = Pupuk cair organik nanas dosis 1,5 ml/liter

R3 = Pupuk cair organik nanas dosis 4,5 ml/liter

R4 = Pupuk cair organik nanas + temulawak dosis 0,5 ml/ liter

R5 = Pupuk cair organik nanas + temulawaky dosis 1,5 ml/liter

R6 = Pupuk cair organik nanas + temulawak dosis 4,5 ml/liter air

R7 = Pupuk cair organik nanas + temulawak + mengkudu dosis 0,5 ml/ liter

R 8 = Pupukcair organik nanas + temulawak + mengkudu dosis 1,5 ml/liter

R 9 = Pupuk cair organik nanas + temulawak + mengkudu dosis 4,5 ml/liter

Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 (tiga) kali, penyemprotan ditujukan pada batang daun rumput

gajah, dilaksanakan satu kali per dua minggu.

(3) Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (anova), bila terdapat pengaruh perlakuan

dilanjutkan dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur) dengan model matematis sebagai berikut (Steel dan

Torrie, 1993) :

Yij = + i + ij

Yij : Nilai pengamatan

µ : Nilai tengah populasi

i : Pengaruh karbohidrat fermentabel dan bakteri asam laktat ke i

ij : Pengaruh galat percobaan

(4) Prosedur Cara Penelitian

a. Koleksi urine sapi perah betina bunting

b. Koleksi nanas, temulawak dan buah mengkudu

c. Membuat pupuk cair organik

d. Persiapan lahan rumput gajah, penanaman rumput gajah

e. Penyemprotan tanaman rumput gajah

Page 167: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

158

f. Pemanenan rumput gajah

g. Analisis kualitas rumput gajah

(5) Adapun variabel yang diamati adalah :

1. Produksi rumput gadjah

2. Kandungan Protein kasar

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pupuk organik cair

Pembuatan pupuk cair organik dimulai dari koleksi urine sapi bunting umur 6 bulan, disimpan

kedalam jerigen untuk dilakukan pembuatan pupuk organik cair masing-masing 60 lieter (P0,P1,P2

dan P3) Pada waktu pembuatan pupuk bertahap pertama urine 60 liter ditambah nanas 6 kg untuk

P1,P2 dan P3 setelah urine dibiarkan 2 minggu , kedua ditambahkan temulawak sebanyak 6 kg untuk

drum P2 dan P3, fermentasi selama 2 minggu, selanjutnya ketiga penambahan buah mengkudu 6 kg

untuk drum P3, ditunggu sampai fermentasi selesai dengan tanda tidak ada panas, tutup drum tidak

cembung dan pupuk menjadi dingin atau ditumbuhi belatung. Setelah pupuk oeganik cair herbal jadi

, dilakukan analisis pupuk cair di Fakultas Pertanian bagian Laboratorium Sumber Daya Lahan/Ilmu

tanah dengan hasil sebagai berikut:

Parameter Satuan P0 P1 P2 P3 Permentan

2011

Karbon organik % 2,165 2,322 2,014 2,387 >6

Nitrogen total % 0,315 0,290 0,367 0,313 3 - 6

C/N ratio % 6,87 8,01 5,49 7,63

Bahan organik % 3,733 4,003 3,472 4,115

pH H20 % 4,41 3,98 4,05 4,04 4 - 9

P2O5 total % 0,133 0,113 0,074 0,075 3 – 6

K2O total % 0,723 0,697 0,729 0,674 3 - 6

Keterangan :

a. P0 urine kontrol tanpa herbal

b. P1 urine ditambah nanas

c. P2 urine ditambah nanas dan temulawak

d. P3 urine ditambah nanas, temulawak dan mengkudu

Berdasarkan hasil diatas menunjukkan bahwa pupuk cair urine sapi bunting suplemen nanas,

temulawak dan mengkudu mempunyai pH standart dan K2O total sebesar 0,729 lebih banyak

dibanding kontrol sehingga memberikan pertumbuhan yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan

Rinsema (1983) yang menyatakan bahwa tanaman akan tumbuh optimal pada sekitar netral sesuai

dengan jenis tanamannya dan apabila ph rendah kurang dari 5 tanaman tumbuh kurang baik.

Sedangakan Syarif (1989) menyatakan bahwa tanaman tumbuh optimal dengan ph tanah sekitar 5,5

Page 168: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

159

sampai 7,5 Sedangkan. Pemanenan rumput pada umur 91 hari, atau rumput menjelang berbungan

sedikit mundur, hal ini dikarenakan kurangnya air pada umur 1 hari sampai 56 hari Pemotongan yang

berdasarkan umur akan mempengaruhi kualitas dan produktivitas rumput, produksi rumput gajah

optimal apabila dipotong umur sekitar 60 – 90 hari (Reksohadiprodjo, 1994).

Pada hasil analisa pupuk cair organik urine sapi bunting suplementasi atau penambahan herbal nanas

menunjukkan C/N rasio 10,01. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi C/N ratio maka semakin

banyak unsur Carbon sehingga dapat meningkatkan proses fotosintesis di daun dan pertumbuhan

tanaman serta dapat meningkatkan produktivitas tanaman, pada rumput gajah memberikan

produktivitas seberat 70 ton per Ha dengan dosis 4,5 ml per liter air (P< 0,05). Sesuai dengan

Amirullah (2008)yang menyatakan bahwa urine sapi bunting dapat digunakan sebagai pupuk cair,

sebaiknya urine dilakukan fermentasi lebih dahulu, fermentasi menggunakan gula merah, rempah2

dan bantuan mikroba dekomposer.Selain dapt meningkatkan perangsangan pertumbuhan akar dan

daun , juga dapat bersifat pembasmi hama atau pestisida untuk penyakit keriting daun akibat serangan

serangga (thrip) Pada hasil analisa pupuk organik cair menunjukkan N pada suplementasi nanas lebih

rendah dengan yang lainnya tetapi secara analisis menunjukkan signifikan berbeda (P<0,05) produksi

paling optimal apad R 3 atau suplementasi nanas. Hal ini sesuai dengan Unsur N diperlukan oleh

tanaman, salah satunya sebagai penyusun klorofil (Dwijoseputro, 1995). Tumbuhan menangkap

cahaya menggunakan pigmen klorofil yang memberi warna hijau pada tumbuhan. Klorofil menyerap

cahaya yang akan digunakan dalam proses fotosintesis meskipun seluruh bagian dalam tumbuhan

yang berwarna hijau mengandung kloroplas, namun sebagian energi dihasilkan di daun(Kimball,

1983). Peranan N bagi tanaman untuk merangsang pertumbuhan, pembentukan warna hijau daun

yang sangat berguna dalam proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses dimana H2O dan CO2

oleh klorofil dengan bantuan sinar matahari diubah menjadi zat organik karbohidrat. Tanaman 90 %

dari bobot bahan keringnya terdiri dari tiga macam elemen yaitu C, H, dan O (dari udara dan air) yang

ketiganya tergabung di dalam karbohidrat, hal ini berarti bobot kering tanaman sebagian besar

ditentukan oleh bobot dinding selnya, yang mana dinding sel sebagian besar tersusun dari selulosa

(Agustina, 1990).

Produktivitas rumput gajah meningkat akibat pengaruh unsur Nitrogen dari urine sapi bunting tersebut

pada R6 (P2 urine ditambah nanas dan temulawak) dengan dosis 4,5 ml/liter air, sesuai dengan Andi

Putranto (2009) yang mengatakan bahwa pupuk urine mempunyai kelebihan : mempunyai jumlah

kandungan Nitrogen, fosfor, kalium dan air lebih banyak dibanding pupuk dari kotoran ternak,

sebagai perangsang tumbuh, dan bau khas urine ternak dapat mencegah hama tanaman , serta urine

mengandung Nitrogen 1%, fosfor 0,5%, Kalium 1,5% dan air 92%. Didalam urine sapi mengandung

hormon auksin atau hormon pertumbuhan tanaman karena sapi makan rumput dan hormon auksin

letaknya di pelepah daun (Sudarto, 2005)

Hasil kualitas pupuk organik cair sangat dipengaruhi cara pembuatan pupuk cair tersebut, hal ini

sesuai dengan Martinsari (2010) bahwa jika limbah peternakan urin sapi diolah menjadi pupuk

organik mempunyai efek jangka panjang yang baik bagi tanah, yaitu dapat memperbaiki struktur

kandungan organik tanah karena memiliki bermacam-macam jenis kandungan unsur hara yang

diperlukan tanah selain itu juga menghasilkan produk pertanian yang aman bagi kesehatan. Sehingga,

diharapkan bahwa usaha peternakan sapi yang dilakukan merupakan usaha peternakan yang zero

waste dan ramah lingkungan.. Pupuk cair organik berada pada posisi antara pupuk organik padat dan

pupuk kompos. Pupuk organik cair mempunyai keistimewaan mengandung 16 unsur hara yang sangat

Page 169: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

160

dibutuhkan oleh tanaman, yaitu : unsur hara makro primer meliputi C, H,O dan N ; unsur hara makro

sekunder meliputi Ca, S dan Mg; unsur hara mikro meliputi Br, Cl, Cu, Mn, Zn dan Mb (Kamariah,

dkk, 2008) Pemanfaatan pupuk cair dapat ditambahkan rempah2 supaya dapat berfungsi ganda

sebagai pupuk dan pestisida nabati (Sirajudin, 2006)

Produktivitas Rumput Gajah

Penelitian rumput gajah dimulai sejak 21 Juli 2013, dilakukan penyiraman pertama umur tanaman 17

hari, diharapkan akar sudah mulai tumbuh . Penyiraman dengan dosis 0,0 ml/l; 0,5 ml/l; 1,5ml/l dan

4,5ml/l, setiap unit berisi 5 tanaman, setiap tanaman disiram air pupuk cair sebanyak 1 liter.

Penyiraman dilaksanakan setiap minggu karena musin kemarau, apabila musim hujan penyiraman

dilakukan setiap 2 minggu sekali, karena musim kemarau maka penyiraman dilakukan 3X dalam satu

minggu . Hasil panen rumput gajah yang biasanya 60 hari sampai 90 hari defoliasi pertama ternyata

mundur sampai 112 hari, dalam arti rumput gajah dipanen setelah tinggi sekitar 1,5 meter bahkan

sudah ada yang mencapai 2 meter lebih,. Hal ini sesuai dengan Sumarsono dkk (2006) yang

menyatakan bahwa produktivitas dan nilai gizi rumput gajah dipengaruhi oleh banyak faktor, salah

satunya faktor umur dan faktor kesuburan tanah (Dhalika dkk., 2005).

Hasil analisa menunjukkan bahwa produktivitas optimal pada rumput gajah yang diberikan pupuk cair

urine sapi bunting dengan suplementasi nanas dosis 4,5 ml/liter air. Produksi rumput gajah per unit

sebanyak 70 ton/ha, sesuai dengan Reksohadiprodjo (1994) yang menyatakan bahwa produksi rumput

gajah pada interval pemotongan 60-90 hari adalah 62-72 ton/ha , diperkirakan penambahan nanas

berhasil membantu merombak protein sehingga terlihat kandungan Nitrogen sebanyak 0,290%

sedangkan kontrol sebanyak 0,315%. Buah nanas (Ananas ccomosus (L) Merr mempunyai efek

sebagai anti inflamasi, antioksidan, anti inmflamasi, antibakteri dan antifungi. Mengandung zat aktif

vitamin A, vit C, Calsium, Phospor, Mg, Fe, Na, K, dextraosa, sukrosa, enzim bromelin, saponin,

flavonoid dan polifenol. Saponin berefek anti fungi, antibakteri, anti inflamasi dan efek sitotoksik

sedangakn flavonoid bersifat anti bakteri, antifungi, anti viral, anticancer dan antioksidan, untuk

polifenal berfungsi sebagai antiinflamasi, antifungi, antibakteri, anticancer dan antioksidan. Hal ini

sesuai juga dengan Harjadi (1993) yang mengatakan bahwa produktivitas rumput dipengearuhi oleh

faktor vegetatif atau pertumbuhan karena pada waktu tanaman tumbuh sangat membutuhkan unsur

karbohidrat, apabila karbohidrat berkurang maka pembelahan sel menjadi lambat maka perkembangan

sel tanaman menjadi lambat. Unsur Nitrogen berfungsi untuk pertumbuhan dan pembentukan sel

vegetatif, meningkatkan pertumbuhan tanaman, menyehatkan pertumbuhan daun, meningkatkan kadar

protein dalam tubuh tanaman, meningkatkan kualitas tanaman penghasil daun serta meningkatkan

mikroorganisme dalam tanah

Hasil penelitian menunjukkan produktivitas cukup optimal pada pupuk organik cair dengan

suplementasi nanas, temulawak dan mengkudu (R7 dan R9) dengan produksi rumput basah sebesar 50

ton/ha , hal ini dikarenakan kandungan kimiawi temulawak (fitokimiawi) kurkuminoid (kurkumin,

desmetoksikurkumin), minyak atsiri (Kamfer, sikloisopren, mirsen, p-tolilmetilkarbonol) dan

xantoriza, dimanfaatkan untuk peningkatan nafsu makan (Sirait, l983; Atih, 1993 ), sebagai kolagoga,

menetralisir racun atau hepatotoksik dan untuk mengobati penyakit hati (Dalimarta, 2000; Sujono,

1993) Minyak atsiri (thymol dan carvacral) berfungsi sebagai anti bakteri, anti oksidan, anti sititoksik,

penghambat pertumbuhan sel kanker dan antikoksidiosis (Gill, 1999). Sedangkan Atih (1993)

mengatakan bahwa rimpang temulawak mengandung air sekitar 75 %, karbohidarat 29-34% dan

Page 170: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

161

minyak atsiri 6-10 % dan pigmen kurkuminoid sekitar 0.02-2% (kurkumin sekitar 50-71% dan

desmeoksikurkumin sekitar 29-41%) Kurkumin dapat mencegah Flu burung karena bersifat

antisitokin, sedangkan ayam yang terinfeksi Flu burung terjadi peningkatan sitokin (Nidom, 2005).

Sedangkan Sumardi dan Lasmono (2006) mengatakan ekstrak rempah (temulawak, temu ireng, jahe,

cabe jawa) dan buah maja dapat untuk menanggulangi virus dari Flu burung. Sedangkan produktivitas

baik (P<05) terjadi pada R7 pemberian penambahan mengkudu pada pupuk organik cair dikarenakan

mengkudu bersifat antiviral, anti bakterial dan antikanker. Hal ini sesuai dengan penelitian Sufiriyanto

dkk (2002) bahwa pemberian ekstrak mengkudu dan temulawak 10 % b/v pada ayam broiler dapat

menurunkan kolesterol) dan meningkatkan titer antibodi terhadap penyakit ND (Pramono et.al.,

2002), menekan angka kematian atau mortalitas dan menekan konversi pakan (Guritno et al., 2002),

secara kualitatif memberikan hasil positif pada gambaran darah (nilai vital hematologis) yaitu jumlah

sel darah merah dan kadar hemoglobin (Sufiriyanto dan Indradji, 2002) Sedangkan pemberian ekstrak

mengkudu dosis 1 g per liter dan probiotik 1 ml per liter air minum dapat meningkatkan indeks

produksi dan sebagai imunostimulator penyakit ND (Sufiriyanto dan Indradji 2006), ekstrak

temulawak dan kunyit dapat meningkatkan titer kekebalan AI (Sufiriyanto dan Indradji, 2007).

Kandungan Protein kasar

Protein kasar hasil analisis menunjukkan optimal pada pupuk organik cair dengan suplementasi buah

nanas pada dosis 4,5 ml/liter air, karena C/N rasio menunjukkan 8,01. Hal ini sesuai dengan Isroi

(2009) yang menyatakan bahwa pemupukan tanaman dengan unsur Nitrogen dan pospor akan

mempercepat pertumbuhan bagian vegetatif tanaman, meningkatkan pertumbuhan tanaman,

menyehatkan tanaman, menyehatkan daun, meningkatkan kandungan protein dalam tanaman,

meningkatkan kualitas daun serta meningkatkan unsur hara tanah. Pada penelitian pemanenan mundur

22 hari dikarenakan awal tanam musin kemarau, sehingga kandungan protein kasar tampak menurun,

Hal ini sesuai dengan Tillman dkk. (1989) yang mengatakan bahwa penundaan panen selama sepuluh

hari akan menurunkan protein kasar tanaman sebesar 0,87%. Sedangkan Minson (1990) mengatakan

lebih lanjut bahwa semakin tua tanaman akan semakin menurun kandungan protein kasar pada daun

dan batang. Selanjutnya Johnson, et al. (1973) menyatakan bahwa pada musim kemarau terjadi

peningkatan kimiawi serat kasar dan selulose pada dinding sel tanaman. Hartadi, dkk. (1990)

menyatakan bahwa kandungan nutrien yang dicerminkan dari analisis rumput gajah (Pennisetum

pupureum) bagian aerial berumur dewasa (setelah 30 hari) dalam keadaan segar yaitu 16 % bahan

kering, 11,5% protein kasar, 31,3 % serat kasar, 40,1% BETN, 3,2% lemak dan 15,9% abu. Rumput

gajah merupakan jenis tanaman perenial, tumbuh tegak, mempunyai perakaran dalam kuat dan

berbentuk rumpun yang dapat mencapai tinggi 4 meter, serta tumbuh baik pada tanah yang subur dan

lembab.

KESIMPULAN

1. Kualitas pupuk organik cair bahan urine sapi bunting dengan suplementasi buah nanas lebih baik

dibanding suplementasi temulawak dan buah mengkudu dengan C/N rasio 8,01.

2. Produktivitas rumput gajah optimal pada pupuk organik cair dengan bahan dasar urine sapi

bunting suplementasi buah nanas pada dosis 4,5ml per liter air.

Page 171: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

162

DAFTAR PUSTAKA

Adrianto. 2010. Pertumbuhan dan Nilai Gizi Tanaman Rumput Gajah pada Berbagai Interval

Pemotongan. J. Agroland. 17 (3) : 192 – 197.

Agustina, L. 1990. Dasar Nutrisi Tanaman. Rineka Cipta. Jakarta.

Amar A.L. 1991. Pengantar Pengenalan dan Budidaya Tanaman MakananTernak. Fakultas Ilmu-

Ilmu Pertanian Universitas Tadulako. Palu Amar A.L. 1991. Pengantar Pengenalan dan

Budidaya Tanaman Makanan Ternak. Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian Universitas Tadulako. Palu

Amirullah. 2006. Pupuk cair. Diakses dari html/cara mudah fermentasi urine sapi untuk, pp 180 2

yahoo.co.id

Andi Putranto. 2009.Pembuatan pupuk cair organik,File///d1.index.php.htm

Atih, 1993 Penggunaan Ekstrak Kunyit untuk infeksi bakteri saluran pencernaan Simposium

Temulawak . Universitas Padjajaran. Bandung

Dalimartha, S. 2000. Resep Tumbuhan Obat untuk Menurunkan Kolesterol. Panebar Swadaya, Jakarta

Dhalika,T.,B. Ayuningsih dan A.Budiman. 2005. Efisiensi Penggunaan Ransum Lengkap (Complete

Ration) Dengan Sumber Hijauan Daun Pucuk Tebu Pada Sapi Fries Holland Jantan Muda. J.

Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan .7.(2): 76-84 15 Mei 2012)

Dwijoseputro, D. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Jakarta. Gramedia.

Gardner, F.P., R.B. Perace dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiology TanamanBudidaya. Indonesia

University Press. Jakarta.

Gill,C. 2000. Botanical Feed Additive. J Feed Int. 21 (4) : 4

Gonggo, B. M, B. Hermawan dan D. Anggraeni. 2005. Pengaruh Jenis Tanaman Penutup dan

Pengolakan Tanah Terhadap Sifat Fisika Tanah pada Lahan Alang-Alang. Jurnal ilmu-

ilmupertanian Indonesia. 7(1):44-55.

Hartadi,H., S.Reksohadiprodjo dan AD Tillman. 1986. Tabel komposisi pakan Indonesia. Gajah Mada

University Press. Yogyakarta

Isroi. 2009. Pupuk Organik Granul.http://isroi.wordpress.com/((diakses 15 Mei 2012)

Kamariah. 2009. Kombinasi Limbah Pertanian dan Peternakan sebagai Alternatif Pembuatan Pupuk

Organik Cair Melalui Proses Fermentasi Aerob. Htp/[email protected]

Kristanto, B. A, R. Kurniantono, dan D.W. Widjajanto. 2009. Karekteristik Fotosintesis umput Gajah

(Pennisetum purpureum) dengan Aplikasi Pupuk Organik Guano. Fakultas Peternakan

Universitas Diponegoro. Semarang

Lamb.J.F.S.,C.C. Sheaffer and D.A. Samac. (2003) Alfalfa: Population Density and Harvest Maturity

Effect on Leaf and Stem in Alfalfa. Agronomy Journal. Vol.95. P: 635-641

Minson,D.N. 1990. The Chemical Composition and Nutritive Value of Tropical Grasses.Tropikal

Grasses. Food and Agricultural Organization of TheUnited Nation. Roma

Page 172: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

163

Murty, K.S., and G. Sahu. 1987. Impact of Low Ligh Stress on Growth and Yieldof Rice.p. 94.in S.K.

Dey and M.J. Baig (Eds), pp 94. Weather and Rice,Proc. International Workshop on impact of

Weather Parameters on Growth and Yield of Rice. IRRI. Los Banos. Phillipines.

Ni Ketut Sari, 2009. Produksi Bioethanol dari Rumput Gajah Secara Kimia.JurnalTeknik

imia,Vol.4.No.1

Nur Hidayat. 2010. Aplikasi Pupuk Organik Cair Terhadap Produksi Bahan Kering, kandungan

Protein Kasar, dan Serat Kasar Rumput Gajah Varietas Thailand. Jurnal Ilmiah Inkoma,

Volume 21. Nomor 3.

Poniman dan Mujiono. 2004. Bertanam Rumput Gajah. Balai Pustaka . Jakarta

Pramono. 2002. Pengaruh Pemberian Ekstrak Mengkudu (Morinda citrifolia) dan temulawak

(Curcumae xanthoriza) terhadap Jumlah Limfosit dan Titer Kekebalan ND pada Ayam Niaga

Pedaging

Purbajati E.D., S. Anwar, S. Widyati, dan F. Kusmiyati. 2008. Kandungan Protein dan Serat Kasar

Rumput Benggala (Panicum Maximum) dan Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum) Pada

Cekaman Stres Kering. Animal Production. 11(2) 109-115

Reksohadiprodjo,S. 1988. Pakan Ternak Gembala. BPFE. Yogyakarta

Rinsema, W.T. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bhatara Karya Aksara. Jakarta. Hal: 23-24

Syarief,S. 1989. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana . Bandung. Hal:3

Siregar, M. E. 1996. Produksi dan Nilai Nutrisi Tiga Jenis Rumput Pennisetum dengan Sistem Potong

Angkut. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid. I. Pusat

Siregar, M. E. 1989. Produksi dan Nilai Nutrisi Tiga Jenis Rumput Pennisetum Dengan Sistem

Potong Angkut.Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid. I. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.

Soebarinoto. 2003. Substitusi Urea dengan Bokasih Terhadap Produksi Rumput Raja. Jurnal Protein.

Nomor 19 : 1259-1266.

Sofyan, L. A., L. Abunawan, E. B. Laconi, A. D. Hasjmi, N. Ramli, M. Ridla dan A. D. Lubis. 2000.

Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan. Fakultas

Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Sufiriyanto, Indradji M dan Prayitno, 2002. Penggunaan Ekstraks Rimpang Temulawak dan Buah

Mengkudu Untuk Meningkatkan Kualitas Kolesterol dan Trigliserida Darah Ayam Pedaging.-

dipublikasikan di Media Kedokteran Hewan, UNAIR, Surabaya.

Sufiriyanto dan Indradji. M. 2005. Efektivitas Pemberian Ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia) dan

Probiotik terhadap Produktivitas dan Titer Kekebalan ND Pada Ayam Niaga Pedaging

Sufiriyanto dan Indradji, 2006. Uji Coba Lapang Efektivitas Vaksin Avian Influenza (Flu Burung)

Pada Ayam Kampung di Kabupaten Banyumas (Laporan Penelitian)

Sufiriyanto dan M. Indradji. 2006. Efektivitas Vaksinasi AI (Flu Burung) pada Ayam Petelur Pasca

Wabah di Kab. Banyumas.

Page 173: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

164

Sumarsono,S. Anwar,S Budiyanto, D Permatasari dan D.W.Widjajanto, 2006. Penampilan Rumput

Gajah (Pennisetum Purpureum) dan Kolonjono (Panicum muticum) pada Lahan Salin yang

diperbaiki dengan Aplikasi Pupuk Urea dan Organik. Seminar Nasional Pengembangan Usaha

Pembibitan Ternak. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Sumarsono. 2006.Peranan Pupuk Organik untuk Perbaikan Penampilan dan Produksi Hijauan

Rumput Gajah Pada Tanah Cekaman Salinitas dan Cekaman Kemasaman. Fakultas peternakan

Universitas Diponegoro. Semarang

Sirajuddin,S.Rohani,I.Rasyid.. Proses Adopsi Pembuatan Pupuk Cair Dari Urine Sapi Oleh Kelompok

Ternak Sapi Potong di Kabupaten Sinjai, Propinsi Sulawesi Selatan (Naskah Publikasi,

Universitas Muhamadiyah Malang)

Taiz,L and E.Zeiger. 1998. Plant Physiology. Sinauer Associates. Inc. Publisher, Sunderland.

Massachussetts

Tillman,A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan Lebdosukojo.1989. Ilmu

Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Page 174: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

165

EVALUASI IN VITRO RANSUM KONSENTRAT BERBASIS Indigofera zollingeriana

DALAM SISTEM RUMEN KAMBING

Suharlina1, L Abdullah2, DA Astuti2, Nahrowi2 dan A. Jayanegara2 1)Konsentrasi Studi Peternakan, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur 2)Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengevaluasi fermentasi in vitro ransum konsentrat berbasis

Indigofera zollingeriana di dalam cairan rumen kambing. Desain penelitian menggunakan rancangan

acak kelompok pada 3 jenis konsentrat pakan dalam 4 kelompok cairan rumen yang berbeda. Ransum

konsentrat yang digunakan yaitu R1, R2 dan R2 masing-masing mengandung 0, 20 dan 40% I.

zollingeriana. Peubah yang diamati antara lain kecernaan nutrien (bahan kering, bahan organik, dan

protein), produksi gas total, VFA Parsial dan NH3. Data dianalisis menggunakan analisis ragam

(ANOVA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nilai kecernaan bahan kering (KCBK), bahan

organik (KCBO) dan protein (KCPK) memperlihatkan pola yang sama yaitu R3 tidak berbeda

(P>0,05) dengan R1 dan R2, namun R1 berbeda (P<0,01) dengan R2. Terdapat interaksi antara

perlakuan pakan dan kelompok rumen pada kecernaan protein. Tidak terdapat perbedaan (P>0,05)

produksi gas total pada ketiga jenis konsentrat pakan. VFA parsial masing-masing konsentrat pakan

tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi persentase asetat konsentrat pakan yang mengandung hijauan

Indigofera lebih tinggi dibanding kontrol. R3 memiliki konsentrasi NH3 paling tinggi (P<0,0%), dan

R1 juga lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan R2.

Kata kunci: Indigofera zollingeriana, fermentasi in vitro, konsentrat pakan

ABSTRACT

This study was conducted to evaluate the in vitro fermentation of concentrate ration formula-based I.

zollingeriana in goat rumen liquid. Randomized block design were used on 3 types of ration in the 4

groups of rumen liquid. The concentrate rations were R1, R2, R3 containing I. zollingeriana 0, 20

and 40 %, respectively. The variables observed were total gas production, in vitro digestibility of dry

matter digestibility (IVDMD), organic matter (IVDOM), and crude protein (IVDCP), partially

Volatile Fatty Acids (VFA) and NH3 concentration. The data were analyzed using analysis of

variance (ANOVA). The results showed the IVDMD, IVDOM an IVDCP showed similar trend that

R3 was no significantly difference with R1 and R2, but there was significantly difference (P<0,05)

between R1 and R2. There were interaction between feed treatments and groups of rumen liquid

within IVDCP. There were no significantly different (P>0,05) of total gas production of feeds. The

partially VFA of each concentrate feeds were not significantly different, but the percentage of acetic

acids of concentrate feeds containing Indigofera forages were higher than control. R3 had the highest

concentration of NH3 (P <0.0%), and R1 was also higher (P <0.05) than R2.

Key words : Indigofera zollingeriana, in vitro fermentation, feed concentrate

Page 175: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

166

PENDAHULUAN

Usaha peningkatan produktivitas ternak perah sering terhambat oleh rendahnya kualitas pakan yang

diberikan yang memicu rendahnya produksi susu. Penggunaan rumput sebagai sumber utama pakan

tidak mencukupi kebutuhan nutrisi kambing perah berproduksi tinggi (Fujisaka et al. 2000),

kandungan protein rumput tropis relatif rendah berkisar 4-9%, sedangkan kebutuhan protein kambing

perah mencapai 18%. Pemberian konsentrat komersial untuk mencukupi kebutuhan kambing perah

harganya relatif mahal. Solusi alternatif untuk mengurangi penggunaan konsentrat untuk kambing

perah telah dilakukan mulai tahun 2008 menggunakan hijauan Indigofera zollingeriana. Tanaman ini

memiliki pertumbuhan yang cepat pada interval devoliasi 60 hari dengan produksi bahan kering 51

ton/ha/tahun (Abdullah, 2010). I. zollingeriana sangat adaptif terhadap kesuburan yang rendah,

mudah dan murah dalam pemeliharaan, protensi produksi biji tinggi sepanjang musim (Abdullah dan

Suharlina 2010). Penelitian menggunakan pellet daun I. zollingeriana murni meningkatkan produksi

susu, efisiensi pakan dan efisiensi nutrien berurutan 26%, 15-23% dan 5-9%, (Abdullah et al, 2012).

Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi fermentasi in vitro ransum konsentrat berbasis

Indigofera zollingeriana di dalam cairan rumen kambing.

METODE PENELITIAN

Umum: Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2015 di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan

Teknologi Pakan Fakultas Petemakan Institut Pertanian Bogor. Daun dan ranting I. zollingeriana

dikeringkan dibawah sinar matahari dan dioven pada suhu 60°C selama 24 jam. Hijauan indigofera

diformulasi dalam ransum konsentrat R1, R2, dan R3 dengan proporsi 0, 20 dan 40% I. zollingeriana,

R1 sebagai kontrol (Tabel 1). Semua bahan digiling hingga melewati saringan ukuran 1 mm dan

dicampur hingga homogen. Selanjutnya campuran bahan di pellet dengan diameter 4 mm. Komposisi

bahan kering (BK), bahan organik (BO), protein kasar (PK), lemak kasar (LK) dan serat kasar (LK)

masing-masing ransum dianalisis secara proksimat (AOAC 1990) (Tabel 2). Analisis in vitro

menggunakan metode Tilley dan Terry (1963), sedangkan produksi gas berdasarkan metode Menke et

al. (1979) yang dimodifkasi oleh Blümmel et al. (1997). Volatil fatty acids (VFA) ditentukan dengan

metode kromatografi gas, sedangkan NH3 menggunakan metode cawan conway. Cairan rumen

kambing peranakan etawah (PE) diambil dari rumah potong. Peubah yang diamati yaitu produksi gas

total, kecernaan nutrien (BK, BO, PK), VFA parsial, dan NH3.

Tabel 1 Komposisi Bahan Pakan*

*) Proporsi beberapa bahan tidak diinformasikan karena merupakan bagian dari formula

yang dipatenkan

Page 176: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

167

Tabel 2 Komposisi Nutrien Pakan

BK ABU LK PK SK BETN Ca P

R1 89,95 10,23 7,93 12,56 9,44 49,78 1,32 0,24

R2 89,44 10,29 7,98 14,30 9,50 47,38 0,71 0,24

R3 87,43 10,52 8,16 14,99 9,72 44,04 1,87 0,27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kecernaan bahan kering dan bahan organik merupakan penentu utama kualitas pakan maupun

hijauan. Semakin tinggi kecernaan maka semakin tinggi nutrien pakan yang dapat digunakan untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh ternak. Kecernaan nutrien ditentukan oleh komposisi serat dalam

pakan. Kisaran nilai KCBK, KCBO dan KCPK ransum konsentrat yang diuji masing-masing secara

berurutan 65,45–71,46%, 63,03–68,07% dan 79,13–83,82% (Gambar 1). Terlihat pola yang sama

pada nilai KCBK, KCBO dan KCPK yaitu R1 lebih rendah (P<0,01) dibanding R2 tetapi tidak

berbeda (P>0,05) dengan R3, sedangkan R2 tidak berbeda (P>0,05) dengan R3. Hal itu menunjukkan

bahwa R2 dan R3 mengandung bahan organik terutama protein lebih tinggi dibandingkan R1

(kontrol). Penambahan I. zollingeriana sebanyak 20% sebagai sumber protein memperbaiki kualitas

R2 lebih baik dibanding R1. Kecernaan nutrien R3 tidak berbeda dengan R1 karena R3 meskipun

mengandung I. zollingeriana lebih tinggi namun mengandung serat yang sama dengan R1. Kecernaan

pakan mengandung hijauan juga ditentukan oleh komposisi serat yang terdapat dalam jaringan

tanaman. Selain itu I. zollingeriana sebagai tanaman leguminosa juga mengandung tannin yang dapat

memproteksi protein dari mikroba selama proses pencernaan berlangsung. Hal tersebut menyebabkan

tidak semua komponen organik tercerna oleh mikroba di dalam cairan rumen.

Perbedaan yang signifikan (P<0,01) antar kelompok cairan rumen pada masing-masing KCBK,

KCBO dan KCPK. Hal tersebut dikarenakan cairan rumen yang diambil dari RPH sehingga terdapat

variasi mikroba dalam rumen yang dipakai. Variasi mikroba rumen pada jenis kambing yang sama

dapat terjadi apabila makanan yang diberikan pada ternak berbeda. Terdapat interaksi (P<0,01) antara

perlakuan pakan dengan kelompok cairan rumen pada pengukuran KCPK. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa KCPK pakan percobaan sangat bergantung pada mikroba rumen. Variasi

mikroba rumen yang berbeda pada setiap kelompok cairan rumen mempengaruhi pemanfaatan protein

dari pakan perlakuan. Produksi gas total (Gambar 2) masing-masing perlakuan memiliki nilai yang

Gambar 1 Nilai kecernaan nutrien ransum Gambar 2 Nilai Produksi Gas Total

Page 177: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

168

sama pada setiap waktu pengukuran. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketiga pakan tersebut

memiliki nilai fermentabilitas in vitro yang sama, dalam arti pakan percobaan R1 dan R2 memiliki

kualitas yang sama dengan R0. Produksi gas total dari R2 pada 12 jam pertama sedikit lebih rendah

dibandingkan dengan R0 dan R1, akan tetapi pada 12 jam berikutnya sedikit lebih tinggi dibanding

R0 dan R1.

Kandungan VFA parsial masing-masing konsentrat tidak berbeda nyata (P>0,05) (Tabel 3), karena

kandungan konsentrat sederhana (BETN) dari masing-masing konsentrat proporsinya sama. Hal

tersebut mengindikasikan bahwa hijauan Indigofera tidak mengubah karakter pakan konsentrat.

Dengan demikian hijauan Indigofera dapat digunakan sebagai sumber konsentrat berasal dari hijauan.

Kandungan NH3 masing-masing pakan konsentrat juga menujukkan perbedaan (P<0,05) yang

signifikan. Kandungan NH3 pada R2 lebih rendah (P<0,05) lebih rendah dibanding R1 dan R3. Hal

tersebut dapat terjadi karena pengukuran NH3 dilakukan setelah 4 jam inkubasi. Jika dilihat dari

neraca produksi gas total, konsentrasi NH3 sinergis dengan produksi gas total.

KESIMPULAN

Konsentrat pakan yang mengandung Indigofera sebesar 20% (R2) memperlihatkan nilai biologi (in

vitro) terbaik dalam sistem rumen kambing.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah L. dan Suharlina. 2010. Herbage yield and quality of two vegetative parts of Indigofera at

different time of first regrowth defoliation. Med. Pet. 1(33): 44-49.

Abdullah L, T. Apdini and DA Astuti. 2012. Use of Indigofera zollingeriana as a Forage Protein

Source in Dairy Goat Rations. Proceeding of the 1st Asia Dairy Goat Confetrence, Kuala

Lumpur 9-12 April 2012. ISBN 978-983-44426-2-0 :72-74.

Abdullah L. 2010. Herbage production and quality of Indigofera treated by different concentration of

foliar fertilizer. J Anim Sci and Tech. 33(3): 169-175.

Fujisaka S, IK Rika, TM Ibrahim and Le Van An. 2000. Forage tree adoption and use in Asia. In:

WW Stur, PM Horne, JB Hacker, PC Kerridge Eds. Working with farmers: The key to adoption

of forage technologies. ACIAR Proceedings No. 95: 243-253

Tabel 3 Nilai VFA dan NH3

Page 178: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

169

PERTUMBUHAN TANAMAN Arachis pintoy YANG DIBERI PERLAKUAN AIR KELAPA

DAN PANJANG STEK

C.L. Kaunang dan M.I. Pontoh

Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado

Email: [email protected]

ABSTRAK

Arachis pintoy dapat diperbanyak secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan secara vegetatif

misalnya penyetekan. Permasalahan yang timbul dari proses penyetekan adalah sulitnya menbentuk

akar. Keberhasilan stek membentuk akar tergantung dari besar kecilnya daya pembentukan kallus.

Untuk melihat kandungan zat makanan yang terdapat pada batang stek maka dilakukan pemotongan

bagian batang. Dengan demikian perlu dicari tambahan faktor lain agar stek cepat membentuk kallus

dengan prosentase perakaran yang besar. Salah satu alternatif pemecahannya dengan pemberian air

kelapa yang ternyata mengandung berbagai zat makanan dan zat tumbuh. Oleh karena itu dilakukan

penelitian untuk melihat interaksi kedua faktor ini terhadap pertumbuhan Arachis pintoy. Maksud dan

tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui pertumbuhan Arachis pintoy yang

diberi perlakuan air kelapa dan panjang stek. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium

Agrostologi Kampus Fapet Unsrat Manado, dengan lama penelitian 60 hari. Materi peneltian hijauan

Arachis pintoy, air kelapa dan tanah. Sedangkan metode penelitian menggunakan percobaan faktorial

dengan 2 faktor A adalah air kelapa dan faktor B adalah stek tanaman Arachis pintoy yang disusun

Rancangan Acak Lengkap (RAL). Masing-masing faktor terdiri dari 3 perlakuan dan diulang 3 kali.

Faktor tersebut adalah sebagai berikut:Faktor A = ukuran air kelapa A1 = 100 ml air kelapa; A2 =

200 ml air kelapa; dan A3 = 300 ml air kelapa sedangkan Faktor B = Panjang stek Arachis pintoy ;

B1= 10 cm ; B2 = 15 cm dan B3= 20 cm. Variabel yang diukur pada penelitian ini adalah tinggi

tanaman, pertambahan jumlah daun, berat kering akar dan volume akar. Hasil penelitian menunjukan

bahwa pemberian air kelapa dan panjang stek serta interaksi kedua faktor memberikan pengaruh yang

nyata (P<0.05) terhadap pertumbuhan jumlah daun dan berat kering akar tanaman Arachis pintoy.

Selanjutnya air kelapa tidak memberikan pengaruh terhadap volume akar serta kombinasi kedua

faktor tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Dari analisa data dan

pembahasan untuk semua variabel pada penelitian inidapat disimpulkan kombinasi yang terbaik untuk

pertumbuhan jumlah daun, berat kering akar dan volume akar adalah pemberian air kelapa 300 ml dan

panjang stek 10 cm.

Kata kunci : Arachis pintoy, air kelapa dan panjang stek

ABSTRACT

Arachis pintoy can be reproduced in generative but also vegetative way, for example through cuttage.

Problems arising from this reproduction method is the difficulty to form roots. The success rate of this

method depends significantly on the size of the formed callus. To analyze the content of nutrients

contained in the cuttage stem, we have to cut off the stem. And then it’s necessary to find out

additional factors that can influence the forming of the callus with a large percentage of rooting. One

alternative solution is the provision of coconut water which believed to contain a variety of nutrients

and growth substances. Therefore, we conducted a study to find out the interaction of these two

factors on the growth of Arachis pintoy The purpose and goal of this research is to study and identify

Page 179: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

170

the growth Arachis pintoy which treated with coconut water its influences on the stem length. This

research has been performed in Agrostology Lab of Animal Husbandrys Faculty of Sam Ratulangi

University, during a period of 60 days. The research materials consists of Arachis pintoy, Coconut

Water and soil. While the research method use 2 experimental factors: Factor A is the Coconut water,

Factor B is the after-cuttage-stem length of Arachis pintoy, which arranged through completely

randomized design (CRD). Each factor consists of 3 treatments, which repeated 3 times. These

factors are as follows: A = volume of Coconut water, A1 = 100 ml of coconut water, A2 = 200 ml of

coconut water, and A3 = 300 ml of coconut water. Factor B = stem length of Arachis pintoy, B1 = 10

cm, B2 = 15 cm, and B3 = 20 cm. And the variables which measured in this study were plant height,

dry weight of roots and the roots volume. The results showed that administration of coconut water and

the length of the cuttings as well as the interaction of two factors give significant effect ( P < 0.05) to

the growth of the number of leaves and root dry weight of the Arachis pintoy . Furthermore, coconut

water does not give effect to the root volume and a combination of two factors do not impact on the

growth of plant height. From the data analysis and discussion for all variables in this study , we can

conclude that the best combination of growth in the number of leaves , dry weight of roots and root

volume is the provision of 300 ml of coconut water and 10 cm stem length.

Keywords: Arachis pintoy, coconut water and stem length

PENDAHULUAN

Hijauan sebagai pakan, besar manfaatnya terutama bagi bagi ternak ruminansia. Tersedianya hijauan

berkualitas baik dan berkesinambungan sangat mempengaruhi perkembangan peternakan. Dengan

demikian perlu dilakukan pemilihan jenis makanan ternak yang dapat tumbuh baik pada berbagai

musim,cepat menutup tanah dan berproduksi tinggi.

Arachis pintoy termasuk ke dalam jenis hijauan tahunan, memilki tipe pertumbuhan dimana pada

bagian pucuknya tumbuh terus, selalu menjalar rhizoma sehingga mampu bertahan tumbuh meskipun

pada tanah-tanah yang relatif kurang subur .

Aracis pintoy dapat diperbanyak dengan stek batang. Umumnya ukuran stek batang leguminosa yang

sering digunakan adalah 20-25 cm atau mengandung 2 buah buku. Permasalahannya apakah ukuran

stek berlaku pada tanaman Arachis pintoy yang memilki batang berkayu lunak dimana tingkat

pembentukan kallus lebih cepat. Untuk melihat terbentuknya ke kallus maka dilakukan variasi

pemotongan stek. Keberhasilan stek membentuk akar tergantung pada besar kecilnya daya

pembentukan kallus yang terdapat di bagian bawah stek. Kallus ini terbentuk karena adanya peranan

hormon auxin tanaman. Air kelapa sebagai zat pengatur tumbuh alami merupakan salah satu

alternatif karena mudah didapat, murah namun efektif (Purdyaningsih, 2015). Tujuan penelitian

adalah untuk mempelajari dan mengetahui pengaruh pemberian air kelapa dan panjang stek terhadap

pertumbuhan tanaman Arachis pintoy.

METODE PENELITIAN

Peneltian ini telah dilakukan di Laboratorium Agrostologi Kampus Fakultas Peternakan Unoiversitas

Sam Ratulangi Manado Lamanya penelitian 60 hari.

Page 180: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

171

Materi penelitian hijauan Arachis pintoy, air kelapa dan tanah. Perlengkapan : polybag dengan

diameter 10 cm dan tinggi 14 cm,, timbangan analitik, gelas ukur 1000 ml, mistar, jangka sorong,

plastik transparan, oven, ember plastik.

Metode penelitian menggunakan percobaan faktorial dengan 2 faktor A adalah air kelapa dan faktor B

adalah stek tanaman Arachis pintoy yang disusun rancangan acak lengkap (RAL). Masing-masing

faktor terdiri dari 3 perlakuan dan diulang 3 kali. Faktor tersebut adalah sebagai berikut:Faktor A =

ukuran air kelapa A1 = 100 ml air kelapa; A2 = 200 ml air kelapa; dan A3 = 300 ml air kelapa

sedangkan Faktor B = Panjang stek Arachis pintoy ; B1= 10 cm ; B2 = 15 cm dan B3= 20 cm.

Variabel yang diukur pada penelitian ini adalah pertambahan tinggi tanaman, pertambahan jumlah

daun, berat kering akar dan volume akar.

Prosedur Percobaan

Sebelum dimasukkaan dalam polybag terlebih dahulu tanah dan air dianalisa. Selanjutnya tanah

dicampur dengan air kelapa. Banyaknya air kelapa sesuai dengan perlakuan. Tanah yang sudah

dicampur dengan air kelapa dimasukkan dalam polybag, setiap polybag diisi 3 kg .

Stek tanaman Arachis pintoy diambil dari kebun percobaan Laboratorium Agrostologi dan stek

ditanam dalam polybag masing-masing dua batang dengan kedalaman yang masuk ke tanah tujuh

centimeter.

Pengukuran variabel tinggi tanaman, jumlah daun dan panjang daun dilakukan seminggu setelah

ditanaman. Sedangkan pengukuran berat kering akar dan volume akar dilakukan setelah tanaman

dipanen pada umur 60 hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Tinggi Tanaman

Rataan perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman Arachis pintoy yang akan dituinjukkan tabel 1.

Tabel 1. Rataan Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Tinggi Tanaman per Minggu Selama

Penelitian (Cm)

Panjang Stek

(Cm) B

Faktor (A) air kelapa (ml) Rataan

A1(100 A2 (200) A3 (300)

B1 (10) 10.34 10.17 12.67 11.06a

B2(15) 9.82 11.43 12.85 11.37a

B3(20) 8.23 9.18 8.57 8.66b

Rataan 9.46a 10.26ab 11.36b

Keterangan : Huruf yang tidak sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata

Hasil analisis keragaman interaksi antara aik kelapa dan panjang stek dan panjang stek memberikan

pengaruh yang tidak nyata (P>0.05) terhadap panjang tanaman. Hal ini berarti setiap kombinasi

memberi pengartuh yang sama terhadap tinggi tanaman.Pemberian air kelapa berpengaruh nyata

(P<0.05 terhadap tinggi tanaman. Hasil uji BNT dieroleh hasil bahwa A1 berbeda tidak nyata

(P>0.05) dengan perlakuan A2 tetapi berbeda nyata dengan perlakuan A3.

Selanjutnya perlakuan A2 bebeda tidak nyata (P>0.05) dengan perlakuan A3. Hal ini berrarti

pemberian air kelapa sebanyak 200 ml tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman

atau jumlah tersebut sudah terwakilki 100 ml dan 300 ml air kelapa untuk merangsang sel-sel tanaman

Page 181: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

172

sehingga dapat memanjang. Utami (2011) menyatakan zat pengatur tumbuh akan efektif dalam

jumlah tertentu, dan pemberian zat tumbuh diatas batas optimum menjadi tidak efektif terhadap stek

dalam merangsang pertumbuhan tanaman.

Panjang stek berpengaruh nyata lebih tinggi (P<0.05) terhadap tinggi tanaman. Dari uji BNT

diperoleh hasil bahwa perlakuan B1 berbeda tidak nyata (P>0.05) dengan perlakuan B21 tapi

perlakuan B1 berbeda nyata (P<0.05dengan perlakuan B3. Terlihat adanya kencenderungan tinggi

tanaman diikuti oleh panjang stek dan terlihat adanya penurunan tinggi tanaman dengan semakin

panjang ukuran stek. Pada percobaan ini rataan tinggi tanaman yang tertinggi dicapai pada perlakuan

panjang stek 15 cm yang menghasilkan tinggi tanaman 11.37 cm, kemudian 10 cm dan 20 cm.

Adanya kecenderungan penurunan panjang tanaman dari ukuran stek 20 cm, hal ini lebih disebabkan

kandungan karbohidrat yang terdapat pada stek 20 cm lebih banyak terbawa keudara melalui proses

transpirasi sehingga untuk membentuk sel-sel yang baru tidak terpenuhi. Karbohidrat yang terdapat

dalam jaringan tanaman akan membentuk energi. Pembentukan jaringan yang terjadi pada

perkembangan jaringan primer, memerlukan karbohidrat yang berfungsi untuk penebalan dinding sel,

pelindung pada epidermis batang dan perkembangan pembuluh baik dibatang maupun diakar jika

suatu tanaman membentuk sel-sel baru pemanjangan sel pembentukan daun serta sistem perakarannya

sangat membutuhkan pemakaian karbohidrat (Harjadi,1979). Pengaruh Perlakuan terhadap

Pertambahan Jumlah Daun. Pertambahan jumlah daun A.pintoy terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Jumlah daun per Minggu Selama

Penelitian (Helai)

Panjang Stek

(Cm) B

Faktor (A) air kelapa (ml) Rataan

A1(100 A2 (200) A3 (300)

B1 (10) 33abc 36a 24de 31

B2(15) 25cde 31abc 35ab 30

B3(20) 29cde 30bc 22e 27

Rataan 29 32 27

Keterangan : Huruf yang tidak sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata

Adanya interaksi pemberian air kelapa dan panjang stek terhadaap jumlah daun A.pintoy. Kombinasi

daun tertinggi diperoleh pada perlakuan A2B1 (36 helai). Hal ini dapat diasumsikan stek berukuran 10

cm lebih cepat menyerap zat makanan zat nutrisi yang terkandung di dalam air kelapa. Purdyaningsih

(2015) mengatakan air kelapa selain mengandung unsur sitokinin juga auxin serta bahan-bahan

pembangun lainya seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral dan berbagai vitamin. Sitokinin selain

berperan dalam proses pembelahan sel juga memilki daya rangsang terhadap diferensiasi jaringan

terutma dalam hal pembentukan pucuk (Wattimena,1987).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Berat Kering Akar

Pertumbuhan tanaman didefinisikan bahwa pertumbuhan tanaman sebagai pertambahan dalam yang

diukur berdasarkan berat kering dari tanaman seluruhnya maupun bagian-bagianya (Fisher ,1984).

Rataan Pertumbuhan berat kering akar tanaman A.pintoy pada Tabel 3.

Page 182: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

173

Tabel 3. Rataan Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertumbuhan Berat Kering Akar per Minggu Selama

Penelitian (gram)

Panjang Stek

(Cm) B

Faktor (A) air kelapa (ml) Rataan

A1(100 A2 (200) A3 (300)

B1 (10) 0.070c 0.127a 0.063 0.087

B2(15) 0.123ab 0.099c 0.133a 0.188

B3(20) 0.077d 0.103cd 0.105abc 0.095

Rataan 0.090 0.110 0.100

Keterangan : Huruf yang tidak sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata

Pemberian air kelapa dan panjang stek serta kedua faktor memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05)

terhadap berat kering akar tanaman A.pintoy. Kombinasi A3B2 adalah yang tertinggi nilai berat

keringnya yaitu sebesar 0.133 gram. Air kelapa selain berfungsi sebagai hormon juga mengandung

unsur mineral yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Unsur N air kelapa sebesar 0.02% dan N yang

terdapat dalam tanah sebesar 0.13%. Untuk pertumbuhan optimal tumbuhan dibutuhkan 0.15 N dalam

tanah. (Lakitan 1993).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Volume Akar Ratan pengaruh perlakuan terhadap

pertambahan volume akar tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Volume Akar per Minggu Selama

Penelitian (cm)

Panjang Stek

(Cm) B

Faktor (A) air kelapa (ml) Rataan

A1(100 A2 (200) A3 (300)

B1 (10) 0.51c 0.68 0.59bc 0.59

B2(15) 0.75a 0.58bc 0.71a 0.68

B3(20) 0.67ab 0.52c 0.54c 0.58

Rataan 0.090 0.59 0.61

Keterangan : Huruf yang tidak sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata

Interaksi kedua faktor berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap volume akar tanaman A.pintoy. A1b2

adalah interaksi tertinggi dengan demikian pemberian air kelapa 100 ml sudah mampu meningkatkan

volume akar untuk merangsang pertumbuhan stek tanaman.terbentuknya sistim perakaran yang lebih

baik akan menjamin pertumbuhan tanaman yang lebih baik pula karena mempunyai fungsi yang sanga

penting yaiitu selain menyerap air dan menral sari dalam tanah juga sebagai alat bernafas bagi

tanaman.

KESIMPULAN

Kombinasi yang terbaik untuk pertambahan jumlah daun, berat kering akar dan volume akar adalah

pemberian air kelapa 300 ml dan panjang stek 10 cm.

DAFTAR PUSTAKA

Fisher N.M dan P.R. Goldworthy., 1984. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gajah Press.

Yokyakarta.

Harjadi,S.S. 1993. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia. Jakarta

Page 183: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

174

Lakitan B. 1993. Dasar-dasar Fisiologis Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Mandang, J.P. 1993. Peranan air kelapa dalam kultur jaringan tanaman krisan. Program Pasca sarjana

IPB. Bogor.

Purdyaningsih E. 2015. Kajian pengaruh pemberian air kelapa dan urine sapi terhadap pertumbuhan

stek nilam. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan

Utami,M.W. 2011. Respons pemberian hormon tumbuh dan mikoriza terhadap pertumbuhan stek

ramin. Bulletin kebun raya .Vol. 14, No.2.

Wattimena,G.A. 1987. Zat pengatur tumbuh. DITJEN Pendidikan Tinggi. Depdikbud. Jakarta

Page 184: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

175

PENGGUNAAN BINDER TEPUNG LIMBAH UBI JALAR (Ipomoea batatas) TERHADAP

KUALITAS FISIK DAN KIMIA PELET LEGUM Indigofera sp.

Iin Susilawati, Hery Supratman, Lizah Khairani dan Muhamad Alfin

Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Bandung

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh penggunaaan binder tepung limbah ubi jalar

terhadap kualitas fisik (durabilitas) dan kandungan kimia (protein kasar, serat kasar) pelet legum

Indigofera sp. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4

perlakuan dan 5 kali ulangan. Perlakuan pertama (B0) yaitu pelet hijauan legum tanpa penambahan

binder tepung limbah ubi jalar, B1 = pelet hijauan legum dengan penambahan binder 5% tepung

limbah ubi jalar, B2 = pelet hijauan legum dengan penambahan 10% tepung limbah ubi jalar dan B3 =

pelet hijauan legum dengan penambahan 15% tepung limbah ubi jalar. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa penambahan binder tepung limbah ubi jalar sangat nyata meningkatkan kualitas

fisik (durabilitas) dan menurunkan kandungan serat kasar dan protein kasar pelet hijauan legum.

Dosis binder limbah tepung ubi jalar 15% menunjukkan durabilitas tertinggi yaitu 89,08%, tetapi serat

kasar dan protein kasar terendah yaitu 16,12% dan 24,47%. Kandungan protein kasar tertinggi

diperoleh pada perlakuan tanpa penambahan binder yaitu 30,48% tetapi kualitas fisiknya (durabilitas)

paling rendah yaitu 28,48%. Dosis optimum diperoleh pada penggunaan limbah tepung ubi jalar 10%,

dengan durabilitas 75,04%, kandungan protein kasar 26,54% dan kandungan serat kasar 18,39%.

Kata Kunci : Binder, Pelet, Indigofera sp., Ubi Jalar.

ABSTRACT

This study was conducted to assess the effect of binder from sweet potato waste on the physical

quality (durability) and chemical contents (crude protein and crude fiber) pellets of legume Indigofera

sp leaves. The experimental design used completely randomized design (CRD) with 4 treatments and

5 replications. The treatments were B0 = pellet of forage legume leaves without binder of sweet

potato waste, B1 = pellet of forage legume leaves with the addition of binders 5% sweet potato waste,

B2 = pellet of forage legume leaves with the addition of 10% sweet potato waste and B3 = pellet of

forage leaves with the addition of 15% sweet potato waste. Results from this study showed that the

addition of sweet potato waste binder markedly improved physical quality (durability) and reduce the

contents of crude fiber and crude protein pellet of forage legumes. Waste binders dose of 15% sweet

potato showed the highest durability (89.08%), but the contents of crude fiber and crude protein were

low, 16.12% and 24.47% respectively. The highest crude protein content was obtained without the

addition of binders which is 30.48% but its physical qualities (durability) most low at 28.48%. The

optimum dose obtained in the use of waste sweet potato are 10% which gave 75.04% of durability,

26.54% of crude protein content and 18.39% of crude fiber content.

Key words: Binder, Pellet, Indigofera sp., Sweet potato waste

Page 185: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

176

PENDAHULUAN

Pengadaan hijauan makanan ternak di Indonesia sepanjang tahun masih merupakan problema sampai

saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak sulit didapat, baik di tingkat peternakan rakyat

maupun peternakan besar. Apalagi jika terjadi kemarau panjang. Hal ini menyebabkan kerugian-

kerugian yang sangat besar pada peternakan ruminansia. Padahal produksi hijauan makanan ternak ini

pada musim hujan sangat berlimpah. Berbagai cara pengawetan bisa dilakukan misalnya pengeringan

(hay) dan pembuatan silase (fermentasi hijauan). Namun salah satu kendala cara pengawetan hijauan

ini adalah diperlukannya tempat penyimpanan yang luas, padahal lahan yang dimiliki peternak

apalagi pada peternakan rakyat sangat terbatas. Kebutuhan hijauan pakan segar untuk ternak

ruminansia sekitar 10% dari berat badan ternak, maka untuk persediaan selama musim kemarau

tentulah harus banyak. Hal ini akan memakan banyak tempat. Setiap musim kemarau selalu terulang

kejadian peternak ruminansia kekurangan hijauan walaupun berbagai cara pengawetan hijauan

makanan ternak sudah disampaikan. Karena itulah diperlukan teknologi pengawetan hijauan makanan

ternak yang baru yaitu dengan membuat pelet yang hampir 100 % bahan kering. Volume hijauan

segar dengan bahan keringnya adalah sekitar 5 : 1 (Reksohadiprodjo, 1994). Apalagi dengan dibuat

pelet maka penyimpanannya tidak memerlukan banyak tempat. Dengan membuat pelet hijauan yang

hampir 100 % bahan kering dapat menghemat tempat penyimpanan pakan hijauan minimal lima kali

lipat karena hijauan segar mengandung sekitar 80 % air.

Jenis tanaman yang hijauannya akan dibuat pelet, harus dipilih yang produksi dan kualitasnya cukup

tinggi. Pada penelitian ini dipilih hijauan Indigofera sp. Menurut Akbarillah dkk. (2002), kandungan

nutrisi pada Indigofera sp. yaitu 27,90% protein kasar, serat kasar 15,25%, Kalsium 0,22%, Fosfor

0,18% dan energy 1600 kkal/kg. Pembuatan pelet, memerlukan binder (pengikat) supaya pelet hijauan

bisa terbentuk. Bahan pengikat ini berasal dari bahan-bahan yang mengandung pati. Dalam proses

pembuatan pelet, terjadi pemanasan sehingga pati ini akan meleleh membentuk gelatin yang akan

menjadi perekat terhadap pelet hijauan yang dibuat. Pada penelitian ini akan digunakan binder tepung

limbah ubi jalar yang merupakan limbah produk olahan dari ubi jalar yang ketersediaannya melimpah.

Limbah ubi jalar memiliki kandungan pati cukup timggi sehingga dapat digunakan sebagai binder

pelet hijauan legum, dan dapat mengurangi bahkan memanfaatkan limbah yang dihasilkan.

Kandungan nutrient tepung limbah ubi jalar yaitu: kadar air 12%, abu 4,88%, Protein kasar 9,4%,

serat kasar 13,3%, lemak kasar 3,64%, BETN 68,64%, TDN 80,42%, Kalsium 0,39% dan Fosfor

0,64%.

METODE PENELITIAN

Bahan yang digunakan yaitu: hijauan legum Indigofera sp. yang didapat dari Lahan Penelitian

Laboratorium Tanaman Makanan Ternak, Fakultas Peternakan UNPAD, Jatinangor, Sumedang, dan

Limbah ubi jalar dari perusahaan Fagum Jaya, Cirebon.

Alat yang digunakan yaitu: Mesin Hammer mill, Mixer, Mesin pembuat pelet tipe ulir, Tumbling

tester,Volumetrix, Golok, Baki sebagai tempat sampel, Terpal, Timbangan, Karung, Ember, Literan

Air dan Plastik.

Prosedur Percobaan

1) Pemanenan dan pencacahan legum Indigofera sp.

2) Pengeringan legum Indigofera sp.

Page 186: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

177

3) Penepungan legum Indigofera sp.

4) Pencampuran Legum Indigofera sp. dengan binder Tepung Limbah Ubi jalar

Legum Indigofera sp. yang sudah dalam bentuk tepung, kemudian dicampur dengan binder tepung

limbah ubi dengan dosis 0%, 5%, 10% dan 15% dari total tepung legum Indigofera sp. dengan

menggunakan mixer selama 10 menit dan ditambahkan air agar pelet mudah keluar dari mesin

pelet yaitu melalui dies pelet, air yang ditambahkan harus mencapai kadar air 30 – 40%.

5) Pembuatan Pelet

Campuran Indigofera sp. dan binder yang sudah tercampur sebelumnya dengan berbagai dosis

setiap perlakuannya, dimasukan ke dalam mesin pelet tipe ulir. Temperatur saat pembuatan pelet

perlu diperhatikan karena proses gelatinisasi terjadi pada suhu Dies pelet yang mencapai

temperatur 600C yang menghasilkan pelet yang baik. Pelet yang dihasilkan berdiameter 1 cm dan

panjang 2 cm.

Parameter yang Diamati

1) Durability (Ketahanan) menggunakan tumbling box

2) Density (Kepadatan)

Densitas (kg/m3)

3) Kandungan protein kasar

4) Kandungan serat kasar.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan 4 perlakuan dan diulang 5 kali. Rancangan

yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan menggunakan uji lanjut berganda

Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kualitas Fisik dan Kimia Pelet Hijauan Legum Indigofera sp. pada Berbagai Perlakuan

_____________________________________________________________________________

Parameter Perlakuan

_____________________________________ Signifikansi

B0 B1 B2 B3

_____________________________________________________________________________

Densitas (kg/m3) 330,49 a 354,54 ab 377,34 b 413,78 c *

Durabilitas (%) 28,48 a 58,36 b 75,04 c 89.08 d *

Protein Kasar (%) 30,48 a 28,92 b 26,54 c 24,47 d *

Serat Kasar (%) 21,68 a 19,65 b 18,39 c 16,12 d *

______________________________________________________________________________ Keterangan : B0 = pelet hijauan legum tanpa penambahan binder tepung limbah ubi jalar, B1 = pelet hijauan

legum dengan penambahan binder 5 tepung limbah ubi jalar, B2 = pelet hijauan legum dengan

penambahan 10% tepung limbah ubi jalar dan B3 = pelet hijauan legum dengan penambahan

15% tepung limbah ubi jalar.

* Huruf yang sama ke arah baris, menunjukkan tidak berbeda sangat nyata.

Page 187: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

178

Dari data di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi penggunaan dosis binder tepung limbah ubi jalar,

semakin meningkat densitas dan durabilitasnya. Hal ini disebabkan karena semakin meningkat dosis

penggunaan tepung limbah ubi jalar pada campuran pelet, maka semakin besar kandungan patinya.

Pati ini akan tergelatinisasi pada saat pembuatan pelet, sehingga menyebabkan ikatan partikel

penyusun pelet lebih kompak dan padat. Menurunnya kandungan protein kasar dengan penambahan

binder limbah ubi jalar disebabkan karena kandungan protein ubi jalar lebih rendah daripada hijauan

Indigofera. Demikian juga menurunnya kandungan serat kasar pada pelet hijauan legum dengan

penambahan tepung limbah ubi jalar karena kandungan serat kasar pada tepung limbah ubi jalar lebih

rendah.

KESIMPULAN

1) Penambahan binder tepung limbah ubi jalar sangat nyata meningkatkan kualitas fisik (durabilitas)

dan menurunkan kandungan serat kasar dan protein kasar pelet hijauan legum.

2) Dosis binder limbah tepung ubi jalar 15% menunjukkan durabilitas tertinggi yaitu 89,08 %, tetapi

serat kasar dan protein kasar terendah yaitu 16,12% dan 24,47%. Kandungan protein kasar

tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa penambahan binder yaitu 30,48% tetapi kualitas fisiknya

(durabilitas) paling rendah yaitu 28,48%.

3) Dosis optimum diperoleh pada penggunaan limbah tepung ubi jalar 10%, dengan durabilitas

75,04%, kandungan protein kasar 26,54% dan kandungan serat kasar 18,39%.

DAFTAR PUSTAKA

Akbarillah TD, Kaharuddin dan Kususiyah. 2002. Kajian daun tepung Indigofera sebagai suplemen

pakan produksi dan kualitas telur. Dalam: Laporan penelitian. Bengkulu (Indonesia): Lembaga

Penelitian Universitas Bengkulu.

Reksohadiprodjo, S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Bagian Penerbitan

Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Page 188: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

179

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS DAN KANDUNGAN NUTRISI GULMA DI KECAMATAN

BATUR, KABUPATEN BANJARNEGARA YANG POTENSIAL SEBAGAI BAHAN PAKAN

TERNAK RUMINANSIA

P. Yuwono 1), T. Warsiti 1) dan M. Kasmiatmojo 2) 1) Fakultas Peternakan Unsoed, 2) Fakultas Pertanian Unsoed

Email : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menambah informasi mengenai jenis-jenis gulma dan kandungan

nutrisinya yang tumbuh di areal pertanaman palawija di kecamatan Baturyang potensial sebagai bahan

pakan ternak ruminansia. Hasil penelitian menunjukan paling sedikit ada tujuh jenis/spesies gulma

yang tumbuh di desa Batur dan sering digunakan sebagai bahan pakan ternak yaitu Axonopus

compresus (Swarttz) Beauv, Alternanthera sesilis (L) D,C, Lantana camara L., Nasturtium montanum

Wall, Commelina benghalensis L., Cynodon dactylon (L.) Pers, Digitaria adscendens (H.B.K.)Henr.

Hasil analisis proksimat menunjukan bahwa gulma memiliki kandungan protein kasar berkisar 8,02 -

23,66 % dan kandungan serat kasar berkisar 19,87 - 39.36%. Dapat disimpulkan bahwa gulma

tersebut memiliki kandungan protein kasar dan serat kasar yang cukup baik untuk pakan ruminansia.

Kata kunci : gulma, ruminansia, protein kasar, serat kasar

ABSTRACT

The purpose of this study was to find out the types of weeds and their nutrition content that grow in

the planting area of crops in Batur district, Banjarnegara regency potential as ruminant feed. The

results showed that at least there were seven types / species of weeds that grows in the Batur village

and is often used as an animal feed that were Axonopus compresus (Swarttz) Beauv, Alternanthera

sesilis (L) D, C, Lantana camara L., Nasturtium montanum Wall, Commelina benghalensis L .,

Cynodon dactylon (L.) Pers, Digitaria adscendens (HBK) Henr. Results of the proximate analysis

showed that the weeds have crude protein content ranged from 8.02 to 23.66% and crude fiber content

ranged from 19.87 - 39.36%. It could be concluded that the weeds contain crude protein and crude

fiber that were pretty good for ruminants.

Keywords: weeds, ruminants, crude protein, crude fibe

PENDAHULUAN

Salah satu keuntungan komparatif daerah beriklim tropis seperti Indonesia adalah peluang

berlangsungnya proses fotosintesis tanaman sepanjang tahun. Kondisi ini menawarkan produksi

biomassa tanaman yang sangat besar yang dapat ditransformasikan menjadi bahan baku pakan ternak,

khususnya ruminansia seperti kambing dan domba. Biomassa yang tersedia sebagai bahan pakan

dapat berasal dari hijauan pakan ternak atau gulma.

Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh di tempat yang tidak dikehendaki, terutama di tempat

manusia mengusahakan tanaman lain sehingga manusia berusaha untuk mengendalikannya.

(Sastroutomo, 1982; Moenandi, 1988 dan Soerjani 1990). Gulma merugikan manusia karena

menyaingi pertumbuhan tanaman, mengeluarkan zat penghambat (racun), mengganggu proses

budidaya, menjadi inang hama dan pathogen penyakit, mengurangi efisiensi dalam sistem irigasi.

Page 189: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

180

Persaingan gulma terhadap pertumbuhan tanaman akan berakibat berkurangnya produksi baik

kuantitas maupun kualitasnya (Chisaka, 1977 dalam Birowo, 1977, Edowes, 1977 dan Kuntohartono,

1980).

Kecamatan Batur merupakan sentra pengembangan domba Batur yang merupakan ternak unggulan

untuk Kabupaten Banjarnegara. Kecamatan Batur terletak pada ketinggian 1663-2093 meter dpl

dengan curah hujan 394 mm. Faktor utama penghambat rendahnya kapasitas/skala usaha peternakan

domba Batur di Kecamatan Batur Kabupaten banjarnegara adalah karena keterbatasan lahan hijauan

(sebagian besar untuk tanaman sayuran). Disisi lain, gulma banyak dijumpai pada tanaman palawija

dan sepanjang tepian jalan yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan domba. Oleh karena itu tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mencari tambahan informasi mengenai jenis-jenis gulma yang tumbuh di

antara pertanaman palawija di daerah dataran tinggi Dieng yang potensial sebagai bahan pakan ternak

dan mengetahui kandungan nutrisi tanaman gulma tersebut

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di wilayah outreach Pilot Proyek Peternakan Domba di Kecamatan Batur,

terletak di dataran tinggi (1663-2093 meter dpl), Kabupaten Banjarnegara. Pengambilan sampel

gulma dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling), dan gulma diamati dengan

menggunakan metode kuadrat sensus. Gulma diamati jenis-jenisnya, kemudian dicatat nama-nama

daerah dan nama ilmiahnya. Bagi gulma yang belum diketahui namanya diambil gambarnya (foto)

dan dicabut, dimasukkan ke dalam kantong plastik berlabel untuk kemudian dibawa ke laboratorium

Agroekologi Fakultas Pertanian Unsoed untuk diidentifikasi dan dideterminasi dengan menggunakan

kunci determinasi dan pustaka yang tersedia. Gulma-gulma tersebut dianalisis proksimat untuk

kandungan protein kasar dan serat kasar menurut AOAC (1990).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat paling tidak tujuh jenis/spesies gulma yang dominan

tumbuh di daerah dataran tinggi Dieng khususnya di desa Batur Kabupaten Banjarnegara disajikan

dalam Tabel 1.

Tabel 1. Jenis/spesies dan kandung protein kasar (PK) dan serat kasar (SK) gulma yang tumbuh di

desa Batur dataran tinggi Dieng

No Nama Daerah Nama Ilmiah PK (%) SK (%)

1 Blembem (Rumput pahit,

papahitan)

Axonopus compresus (Swarttz)

Beauv

8,02 39,36

2 Braja lintang (kremah hijau) Alternanthera sesilis (L) D,C 14,57 29,22

3 Daun Klathi (tahi ayam =

tembelekan)

Lantana camara L. 23,66 19,87

4 Gembos (Sawi tanah) Nasturtium montanum Wall 9,66 39,27

5 Gewor Commelina benghalensis L. 15,44 29,25

6 Grinting (kekawatan) Cynodon dactylon (L.) Pers 10,59 21,21

7 Jampang Digitaria adscendens (H.B.K.)Henr 10,38 30,39

Page 190: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

181

Secara kualitas pakan lokal berserat tinggi merupakan yang terbesar. Pada dasarnya bahan tersebut

mengandung energi kasar yang relatif sebanding dengan biji jagung, namun struktur kimianya

membuat potensi energy menjadi tidak tersedia seluruhnya apabila diberikan apa adanya (Kerley et

al., 1985). Karakter umum pakan lokal berserat tinggi dan berprotein rendah merupakan beban yang

lebih berat bagi ternak ruminansia dengan ukuran tubuh kecil seperti domba. Mendasarkan hasil

penelitian menunjukkan bahwa jenis/spesies gulma tersebut di atas banyak digunakan sebagai bahan

pakan ternak dengan kandungan protein kasar yang cukup baik Devendra dan Thomas (2002)

menyatakan bahwa sistem pertanian tanaman dan ternak sangat mendominasi di wilayah Asia

Tenggara, termasuk ditemukan di wilayah Batur. Ternak akan mengubah sumberdaya alam

berkualitas rendah menjadi produk yang sangat berkualitas berupa daging dan berkontribusi

mengendalikan pertumbuhan gulma dan menyediakan nutrien yang dibutuhkan oleh tanaman melalui

produksi pupuk untuk meningkatkan kesuburan tanah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Gulma banyak digunakan sebagai bahan pakan domba Batur dengan kandungan protein kasar dan

serat kasar cukup baik. Perlu dilakukan penelitian potensi produksi gulma secara kuantitas dan

kualitas untuk ternak ruminansia terutama domba Batur untuk mendukung peningkatan populasi dan

produktivitas.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kepada Universitas Jenderal Soedirman yang telah mendanai penelitian dari sumber

DIPA Universitas Jenderal Soedirman Tahun Anggaran 2012, Nomor Kontrak :

1163/UN23.9/PN/2012

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1990. Official Methods of Analysis. Association of Official Agricultural Chemists.

Agricultural Chemical; Contaminats; Drugs Vol. 1. Asociation of Official Agricultural

Chemists, Inc. Virginia-USA.

Birowo, A.T. 1977. Economis aspescts in The Improvement of Weed Control Methods. Proc. of the

Workshop on Weed Control in Small Farms . p. 1-7

Devendra, C. and D. Thomas. 2002. Crop-Animal Interaction in Mixed Farming System in Asia.

Agricultural System : 71 (1-2) : 27-40

Edowes, M., 1977. Weed Control in Small Area Crops in Europe. Proc. of The Workshop on weed

Control in Small Farms, Jakarta, p. 15 - 24

Kerley, M.S., G.C. Fahey, L.L. Berger, N.R. Mewchen and J.M. Gould. 1985. Effects of Alkaline

Hydrogen Peroxide Treatment un lock energy in Agricultural by-products. Science, 230: 820

Kuntohartono, T. 1980. Pengantar Ilmu Gulma. Departemen Agronomi Fakultas Pertanian

Universitas Brawijaya, Malang, 43 p.

Moenandir, J. 1988. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma (Ilmu Gulma – Buku I). Rajawali

Press, Jakarta, 122 p.

Soerjani, M. 1990. Pengelolaan Hama berwawasan Lingkungan. Konferensi X Himpunan Ilmu

Gulma Indonesia. Malang, 13 – 15 Maret 1990, p. 9 – 24

Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. Penerbit PT Gramedia Utama. Jakarta, 217 p.

Page 191: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

182

PROCESSING PROPERTIES PEMBUATAN CONCENTRATED YOGURT DARI SUSU SAPI

LEMAK PENUH DAN RENDAH, DENGAN DAN TANPA PENAMBAHAN INULIN

Juni Sumarmono, Mardiati Sulistyowati, TrianaYuni Astuti, Nunung Noor Hidayat dan

Kusuma Widayaka

Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Email: [email protected]

LATAR BELAKANG

Pengembangan produk susu olahan dengan kadar lemak rendah bertujuan untuk menyediakan

alternatif bagi konsumen yang mengurangi konsumsi lemak dalam dietnya. Pada produk makanan,

lemak memiliki peranan penting dalam menentukan citarasa, tekstur dan kandungan zat gizi,

khususnya asam-asam lemak dan vitamin yang larut dalam lemak. Oleh karena itu, pengurangan

lemak pada susu sebagai bahan dasar concentrated yogurt dapat mempengaruhi karakteristik proses

pengolahan maupun produk yang dihasilkan . Efek negatif pengurangan kadar lemak susu dapat

dikurangi dengan menambahkan bahan non-lemak seperti glukan (Elsanhoty et al., 2009) dan inulin

(Rezaei et al., 2012). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi karakteristik proses (processing

properties) pembuatan concentrated yogurt dari susu sapi lemak penuh dan lemak rendah dengan dan

tanpa penambahan inulin.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan secara eksperimental menggunakan rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap.

Terdapat empat perlakuan yang meliputi pembuatan concentrated yogurt dari susu lemak penuh atau

full fat tanpa penambahan inulin (T1), pembuatan concentrated yogurt dari susu lemak penuh dengan

penambahan inulin (T2), pembuatan concentrated yogurt dari susu lemak rendah atau low fat tanpa

penambahan inulin (T3), dan pembuatan concentrated yogurt dari susu lemak rendah dengan

penambahan inulin (T4). Proses fermentasi susu dilakukan dengan menambahkan kultur yogurt

kering yang telah diaktifkan dengan suhu inkubasi 43oC, yang dilanjutkan dengan pengeluaran whey

dengan teknik in-bag straining(Ozer, 2006) selama 20 jam sehingga dihasilkan concentrated yogurt.

Peubah yang diamati meliputi perubahan pH (%) dan kadar asam laktat (%) selama proses fermentasi,

whey bebas (%), pH whey, yield (%) dan kekentalan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif-

kuantitatif, dan analisis variansi dengan menggunakan program statistik Systat.

HASIL PENELITIAN

Gambar 1 dan 2 menunjukan perubahan pH dan kadar asam laktat susu pada proses pembuatan yogurt

selama proses fermentasi mulai dari menit ke 30 sampai dengan menit ke 180. Secara umum, susu

mengalami penurunan pH secara gradual yang diimbangi dengan kenaikan kadar asam laktat. Secara

umum tidak terdapat perbedaan yang menonjol pada pola penurunan pH, sedangkan pada pola

peningkatan kadar asam laktat terdapat perubahan mulai menit ke 120.

Page 192: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

183

Gambar 1. Perubahan pH susu selama inkubasi 30 sampai dengan 180 menit pada proses

pembuatan yogurt sebagai bahan dasar concentrated yogurt.

Gambar 2. Perubahan kadar asam laktat susu selama inkubasi 30 sampai dengan 180 menit

pada proses pembuatan yogurt sebagai bahan dasar concentrated yogurt.

Data tentang beberapa processing properties, yang meliputi yield, whey bebas, pH whey dan

kekentalan disajikan pada Tabel 1. Yield yang merupakan rasio concentrated yogurt terhadap susu

(w/w,%) menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan (P>0.05) dengan rataan 21.6%. Susu lemak

penuh menghasilkan whey bebas terbanyak, sedangkan susu lemak rendah menghasilkan whey bebas

terendah, namun demikian nilai pH whey relatif tidak bervariasi dengan rataan 3.64. Penambahan

inulin meningkatkan tekstur (kekentalan) produk, baik pada susu lemak penuh maupun lemak rendah.

Tabel 1. Beberapa processing properties pengolahan concentrated yogurt dari susu lemak penuh dan

lemak rendah, dengan dan tanpa penambahan inulin.

Perlakuan Yield (%) Whey (%)*) pH Whey Kekentalan**)

Susu lemak penuh 21,24 26,35 3,68 3

Susu lemak penuh + inulin 21,62 30,47 3,59 4

Susu lemak rendah 21,57 33,32 3,70 1

Susu lemak rendah + inulin 21,97 31,86 3,59 2

*) Rasio whey yang didapatkan setelah 30 menit proses pemisahan whey (penggantungan) terhadap total whey.

**) Skor kekentalan yogurt 1: paling tidak kental (encer); 4: paling kental

Page 193: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

184

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengurangan lemak susu mempengaruhi

processing properties pembuatan concentrated yogurt, utamanya dari segi whey bebas yang dihasilkan

dan tekstur produk. Kelemahan pada tekstur produk concentrated yogurt rendah lemak dapat

dikurangi dengan menambahkan inulin.

DAFTAR PUSTAKA

Elsanhoty, R., A. Zaghlol and A. Hassanein. 2009. The Manufacture of Low Fat Labneh Containing

Barley β-Glucan 1-Chemical Composition, Microbiological Evaluation and Sensory Properties.

Current Research in Dairy Sciences 1:1-12.

Ozer, B. 2006. Production of concentrated products. In A. Tamime (Ed.), Fermented Milks. New

York USA: Blackwell Science Ltd, pp. 28-155.

Rezaei, R., M. Khomeiri, M. Aalami and M. Kashaninejad. 2012. Effect of inulin on the

physicochemical properties, flow behavior and probiotic survival of frozen yogurt. Journal of

Food Science and Technology:1-6.

Page 194: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

185

SACCHARIDE ENRICHMENT DALAM OPTIMALISASI FERMENTASI BUNGKIL BIJI

JARAK (Jatropha curcas) MENGGUNAKAN Bifidobacterium bifidum

Titin Widiyastuti, Bahrun dan Hudri Aunurrohman

Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman

Email: [email protected]

ABSTRAK

Upaya mengeksplorasi bungkil biji jarak (BBJ) sebagai bahan pakan alternatif sumber protein yang

murah dan aman merupakan salah satu strategi dalam menjaga ketersediaan pakan. Substrat

enrichment dalam proses fermentasi menggunakan Bifidobacterium bifidum, ditujukan untuk

mengoptimalkan kualitas nutrien BBJ paska fermentasi dengan mengkaji pengaruh penambahan

berbagai macam sakarida. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan

sumber sakarida yang berbeda (R1: gula jawa; R2: molases; R3: susu ber FOS) dengan ulangan

sebanyak 7 kali. Bila perlakuan berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (BNJ).

Peubah yang diamati adalah kadar nutrien (BK, protein, lemak, serat kasar, abu dan gross energi).

Fermentasi menggunakan Bifidobacterium spp yang diinkubasi selama 15 x 24 jam pada suhu 37oC.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa enrichment menggunakan molases dapat

mengoptimalkan proses fermentasi bungkil biji jarak ditinjau dari seluruh kandungan nutrien pasca

fermentasi.

Kata kunci : Bungkil biji jarak, Bifidobacterium bifidum, sakarida

PENDAHULUAN

Tanaman jarak merupakan satu diantara sekian banyak tanaman yang mampu tumbuh dengan baik di

wilayah Indonesia dari daerah dataran rendah hingga dataran tinggi. Eksplorasi terhadap biji jarak

sebagai sumber biodiesel memberi peluang dan harapan untuk tersedianya bahan pakan yang berasal

dari by product pengolahan minyak jarak berupa bungkil biji jarak. Namun demikian kajian yang

komprehensif sangat dibutuhkan untuk merekomendasikan bungkil biji jarak sebagai bahan pakan

alternatif sumber protein yang secure dan juga safety bagi ternak. Berdasarkan komposisi nutrien dan

kandungan asam aminonya bungkil biji jarak sangat potensial sebagai pakan ternak. Namun terdapat

beberapa kendala dalam pemanfaatannya, Makkar et al. (2008) menyatakan bahwa salah satu

antinutrisi yaitu hemaglutinin/lectin sebesar 102/mg untuk varietas toksik dan 51 /mg untuk varietas

non toksik. Efek toksik lectin salah satunya adalah mampu menggumpalkan sel darah merah. Selain

itu keberadaan phorbol ester, trypsin inhibitor, phytate serta tingginya cangkang dalam bungkil

membatasi penggunaannya sebagai pakan ternak.

Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa dengan berbagai macam metode pengolahan baik

fisik, kimiawi maupun biologis dapat meningkatkan nilai guna bungkil biji jarak. Teknologi

fermentasi saat ini merupakan teknologi yang masih relevan untuk diterapkan, karena mudah

dilakukan dan hasilnya cukup signifikan dalam menurunkan antinutrisi pada bungkil biji jarak.

Widiyastuti dan Caribu (2010), Widiyastuti dan indraji (2011) telah melaporkan penggunaan bungkil

biji jarak yang difermentasi menggunakan bakteri asam laktat (L.acidophillus dan Bifidobacterium

bifidum). Optimalisasi pada proses fermentasi perlu dilakukan untuk mendapatkan metode fermentasi

yang tepat, penggunaan berbagai macam sakarida sebagai substrat enrichment telah dilaporkan

Page 195: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

186

Widiyastuti dan Prayitno (2010) yang menyatakan bahwa penggunaan FOS merupakan sumber

sakarida terbaik dibandingkan glukosa dan mannosa untuk mengoptimalkan bakteri asam laktat

dalam menggunakan lektin sebagai sumber glikoprotein, dimana lektin ini digunakan sebagai media

perlekatan dalam mucosa usus.

Faktor yang penting diperhatikan dalam proses fermentasi adalah formulasi media terutama

keberadaan senyawa-senyawa yang dapat mendukung pertumbuhan mikroba, seperti sumber karbon,

sumber nitrogen, mineral, vitamin serta komponen mikronutrien yang lain. Karantina (2008)

menyatakan bahwa sumber karbon merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan. Karbon

digunakan sebagai sumber energi dan bersama dengan protein (sumber N) merupakan bahan dasar

bagi pembentukan komponen-komponen sel, serta enzim-enzim yang dibutuhkan dalam metabolisme

sel. Gula sebagai sumber karbon merupakan senyawa organik yang penting bagi pertumbuhan sel

mikroba. Perbedaan kandungan pada beberapa jenis sumber gula akan menyebabkan hasil fermentasi

yang berbeda pula.

Gula sebagai sumber karbon merupakan senyawa organik yang penting bagi pertumbuhan sel

mikrobia. Penambahan gula yang berbeda memberikan hasil yang berbeda karena masing-masing

jenis gula mempunyai kandungan yang berbeda pula. Melalui penelitian akan dikaji penggunaan

berbagai sumber sakarida sebagai substrat pengkaya dalam fermentasi menggunakan BAL.

Penggunaan FOS dirasa mahal sehingga diperlukan sumber-sumber sakarida yang murah namun

efektif dalam mendukung pertumbuhan bakteri asam laktat selama fermentasi. Tujuan penelitian

adalah : Mengkaji metode saccharida enrichment pada proses fermentasi bungkil biji jarak (Jatropha

curcas) menggunakan bakteri asam laktat serta mengetahui jenis saccharida terbaik sebagai substrat

enrichment dalam proses fermentasi bungkil biji jarak menggunakan bakteri asam laktat.

METODE PENELITIAN

Eksperimental Design dan Analisys Statistik. Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak lengkap

(RAL), perlakuan terdiri dari 3 macam sakarida yang berbeda dalam fermentasi yaitu R1:

penambahan gula jawa 5%, R2: penambahan molases 5%, R3: penambahan susu ber FOS 5%. Setiap

perlakuan diulang 6 kali. Peubah yang diamati adalah pH dan kadar nutrien (kadar BK, abu, protein

kasar, lemak kasar, serat kasar dan gross energi). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan

Analisis variansi (Anova). Bila perlakuan berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji BNJ (Steel dan

Torie, 1993).

Preparasi mikroba dan proses fermentasi. Biakan Bifidobacterium bifidum diremajakan pada media

cair MRS Broth sebelum digunakan sebagai inokulum fermentasi. Selanjutnya diambil sebanyak 5 ml

Biakan Bifidobacterium bifidum ditumbuhkan pada 30 ml media susu murni dan diinkubasi selama

1x24 jam pada suhu 37°C. Selanjutnya inokulum dibuat dengan komposisi 25 g BBJ, 35 ml aquadest,

35 ml Bifidobacterium bifidum yang telah ditumbuhkan dalam media susu dan 5 ml MRS Broth.

Selanjutnya diinkubasi selama 2 x 24 jam pada suhu 37°C. Fermentasi dilakukan dengan metode

sebagai berikut: sebanyak 500 g BBJ ditambah dengan sumber sakarida sebanyak 5% yang dilarutkan

dalam 500 ml air sehingga perbandingan antara BBJ dan larutan KH fermentabel adalah 1:1.

Penambahan molases dilakukan dengan melarutkan 25 g molases dalam 500 ml air, untuk

penambahan gula jawa dilakukan dengan melarutkan 25 g gula jawa dalam 500 ml air dan

penambahan FOS dengan melarutkan 25 g susu berFOS dalam 500 ml air. Susu yang digunakan

adalah susu SGM 4. Campuran BBJ dan karbohidrat fermentabel kemudian disterilisasi dengan

Page 196: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

187

autoclaf selam 15 menit pada suhu 121oC dan tekanan 1 atm. Setelah suhu menjadi 40oC, kemudian

diinokulasi dengan inokulum Bifidobacterium bifidum sebanyak 20%. Selanjutnya diinkubasi selama

15 x 24 jam pada suhu 37oC.

Pengambilan sampel dan analisis kimia. Analisis pH dilakukan dengan mengambil sampel BBJ paska

fermentasi sebanyak 1 gram kemudian dilarutkan dalam 50 ml aquadest. Pengukuran pH dilakukan

dengan pH meter merk HANNA. Analisis kadar nutrien paska fermentasi dilakukan menggunakan

metode proksimat menurut AOAC (2006).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Rataan Kadar Nutrien Bungkil Biji Jarak yang Difermentasi Menggunakan Berbagai Macam

Sumber Sakarida

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) atau sangat

nyata (P<0,01)

A. pH

Proses terjadinya penurunan pH dapat terjadi dari awal fermentasi diakibatkan terbentuknya asam-

asam selama proses fermentasi berlangsung. Asam-asam yang terbentuk seperti asam asetat, asam

piruvat, dan asam laktat dapat menurunkan pH (Muljono dan Daewis, 1990). Masuda et al. (2000)

menyatakan bahwa penambahan bahan yang kaya akan karbohidrat fermentable dapat mempercepat

penurunan pH.

Hasil penelitian menunjukkan range pH pasca fermentasi menggunakan berbagai sumber sakarida

berkisar antara 4,7 sampai dengan 5,08. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penambahan

sumber sakarida pada proses fermentasi berpengaruh tidak nyata terhadap pH fermentasi. Hal ini

menunjukkan bahwa semua sumber sakarida mampu mensuplai energi untuk Bifidobacter bifidum

dalam fermentasi dengan menghasilkan asam laktat yang setara, meskipun rataan pH terendah

ditunjukkan pada penggunaan FOS sebagai substrat enrichment dalam fermentasi bungkil biji jarak.

Penurunan pH disebabkan pula oleh fermentasi oligosakarida yang menyebabkan terbentuknya gas

CO2, hidrogen yang dapat menurunkan pH. Fermentasi oligosakarida oleh bakteri akan menghasilkan

energi metabolisme dan asam lemak rantai pendek (terutama asam asetat dan asam laktat). Hampir

semua zat yang diproduksi oleh bakteri bersifat asam merupakan hasil fermentasi karbohidrat

oligosakarida (Tomomatsu, 1994 dan Bird, 1999). Adanya produksi asam tersebut akan menurunkan

pH.

Nutrien Sumber Sakarida

Gula Jawa (R1) Molases (R2) Susu ber FOS (R3)

BK (%) 42,93 ± 0,79 43,03 ± 0,74 42,82 ± 0,87

Abu (%) 9,36 ±0,21 9,42 ± 0,08 9,26 ± 0,23

LK (%) 15,93 ± 0,61 14,39 ± 2,42 15,48 ± 5,74

PK (%) 34,86a ± 0,22 36,02b ± 0,44 36,45b ± 0,45

SK (%) 20,20a ± 0,35 19,82ab ± 0,66 22,68c ± 0,63

GE (kal/g) 3621a ± 49 3788b ± 49 3173c ± 96

pH 5,08 5 4,7

Page 197: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

188

B. Kandungan Nutrien Bungkil Biji Jarak Pasca Fermentasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar bahan kering bungkil biji jarak pasca fermentasi

menggunakan berbagai macam sakarida adalah berkisar antara 42,82 – 43,03%. BK tertinggi

ditunjukkan oleh perlakuan enrichment menggunakan molases (R2) dan BK terendah ditunjukkan

pada perlakuan menggunakan sumber skarida susu berFOS (R3). Hasil analisis variansi menunjukkan

bahwa perlakuan penambahan sumber sakarida berpengaruh tidak nyata terhadap kadar BK bungkil

biji jarak (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga macam sumber sakarida mempunyai pengaruh

yang sama terhadap perubahan BK bungkil biji jarak pasca fermentasi. Secara umum penurunan BK

akan terjadi pasca proses fermentasi, karena beberapa faktor. Diantaranya adalah peningkatan kadar

air dan juga penggunaan nutrien oleh bakteri selama proses fermentasi.

Kadar abu bungkil biji jarak pasca fermentasi adalah berkisar antara 9,26 – 9,42%. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa perlakuan penambahanan sumber sakarida asal molasses (R2) mempunyai

kandungan kadar abu yang paling tinggi disusul oleh R1 (penambahan sumber sakarida asal gula

jawa) kemudian terendah adalah R3 (penambahan sumber sakarida asal susu ber FOS). Hasil analisis

sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan berbagai sumber sakarida pada substrat

fermentasi mempengaruhi kadar abu bungkil biji jarak secara tidak nyata (P>0,05).

Kisaran kadar lemak bungkil biji jarak setelah fermentasi dengan substrat enrichment berbagai

sumber sakarida adalah berkisar antara 14,39 -15,93%, dengan kadar lemak tertinggi ditunjukkan oleh

perlakuan penambahan sakarida asal gula jawa (R1) dan terendah adalah perlakuan penambahan

sakarida asal molases (R2). Perlakuan penambahan sumber sakarida asal molases mampu

menurunkan kadar lemak bungkil biji jarak meskipun secara statistik tidak nyata (P>0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa molases mampu menyediakan sumber nutrien lebih tersedia bagi

Bifidobacterium spp. dibanding sumber skarida yang lain, meskipun secara statistik tidak nyata

(P>0,05).

Kadar protein kasar bungkil biji jarak pasca fermentasi adalah berkisar antara 34,86 – 36,45%. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahanan sumber sakarida asal susu ber FOS (R3)

mempunyai kandungan kadar protein kasar yang paling tinggi disusul oleh R2 (penambahan symber

sakarida asal molases) kemudian terendah adalah R1 (penambahan sumber sakarida asal gula jawa).

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan berbagai sumber sakarida pada

substrat fermentasi sangat nyata mempengaruhi kadar protein kasar bungkil biji jarak (P<0,01).

Hasil uji BNJ menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata kadar protein pada bungkil

biji jarak yang difermentasi dengan pengkaya media gula jawa (R1) dengan perlakuan R2 (sakarida

enrichment dengan molases) dan R3 (sakarida enrichment dengan FOS) (P<0,01). Sedangkan

perlakuan R2 dan R3 menunjukkan kandungan protein yang tidak berbeda nyata. Hal ini

menunjukkan bahwa penambahan molases dan FOS sebagai sumber sakarida pengkaya media

fermentasi mampu mendukung pertumbuhan bakeri asam laktat dalam memfermentasi bungkil biji

jarak. Hal ini sesuai dengan Irawan dan Utama (2012), bahwa pemberian molases bertujuan untuk

digunakan sebagai sumber energi bagi mikrobia, sehingga mikrobia bisa berkembang biak dengan

baik. Sintesis protein adalah proses memproduksi senyawa-senyawa polipeptida dalam tubuh sel

yang berguna untuk pewarisan sifat secara genetis kepada keturunannya. Sehingga miroorganisme

akan berkembang biak dan meningkatkan kandungan protein kasar pada bahan pakannya.

Page 198: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

189

Penelitian Xu et al. (2002) mendapatkan bahwa penambahan 4,0 g/kg FOS dapat meningkatkan

pertumbuhan Bifidobacteria dan Lactobacillus, tetapi menghambat Escherichia coli dalam usus besar

dan cecal digesta, juga secara nyata dapat meningkatkan rata-rata penambahan berat badan harian

broiler. Penambahan molases berfungsi sebagai sumber energi mikrobia sehingga mikrobia

berkembang lebih banyak dalam proses pemeraman dan dengan bertambahnya mikrobia maka

bermanfaat sebagai penyumbang kadar protein kasar. Purwadaria dkk. (2003) menyatakan bahwa

peningkatan protein kasar disebabkan oleh pertumbuhan mikrobia. Singh et al. (2009) menyatakan

bahwa sifat yang penting dari bakteri asam laktat adalah kemampuannya untuk memfermentasi gula

menjadi asam laktat (Lactobacillus lactis, Pediococcus atau Streptococcus, dan Acetobacter aceti).

Bakteri tersebut merupakan penyumbang protein asal mikrobia.

Kadar serat kasar bungkil biji jarak setelah fermentasi dengan substrat enrichment berbagai sumber

sakarida adalah berkisar antara 19,82 -22,68%, dengan kadar serat kasar tertinggi ditunjukkan oleh

perlakuan penambahan sakarida asal susu berFOS (R3) dan terendah adalah perlakuan penambahan

sakarida asal molases (R2). Perlakuan penambahan sumber sakarida asal molases sangat nyata

(P<0,01) menurunkan kadar serat kasar bungkil biji jarak. Hal ini menunjukkan bahwa molases

mampu menyediakan sumber nutrien lebih tersedia bagi Bifidobacterium spp. dibanding sumber

skarida yang lain. Meskipun berdasarkan uji BNJ tidak berbeda antara R2 dengan R1 (penambahan

gula jawa), namun kadar serat kasar pada perlakuan menggunakan molases cenderung lebih rendah.

Tetes ditambahkan untuk mempercepat terbentuknya asam laktat serta menyediakan sumber energi

yang cepat tersedia bagi bakteri, dan melalui proses fermentasi mampu merombak senyawa organik

kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga dapat dicerna dengan baik oleh ternak.

Menurut Winarno (1992) substrat yang mengalami fermentasi biasanya memiliki nilai nutrisi yang

lebih tinggi dari pada bahan asalnya. Sifat katabolik dan anabolik mikroorganisme sehingga mampu

memecah komponen yang lebih kompleks menjadi mudah tercerna. Proses ini diharapkan akan

merombak struktur jaringan kimia dinding sel, pemutusan ikatan lignoselulosa dan penurunan kadar

lignin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar gross energi (GE) bungkil biji jarak pasca fermentasi

menggunakan berbagai macam sakarida adalah berkisar antara 3173 kal/g – 3788 kal/g. GE tertinggi

ditunjukkan oleh perlakuan enrichment menggunakan molases (R2) dan GE terendah ditunjukkan

pada perlakuan menggunakan sumber sakarida susu berFOS (R3). Hasil analisis variansi

menunjukkan bahwa perlakuan penambahan sumber sakarida berpengaruh sangat nyata terhadap

kadar gross energi bungkil biji jarak (P<0,01). Hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan yang sangat nyata diantara semua perlakuan (P<0,01). Bungkil biji jarak yang difermentasi

dengan penambahan molases menunjukkan kadar gross energi tertinggi. Tingginya kandungan gross

energi pada perlakuan R2 menunjukkan bahwa penguraian senyawa komplek menjadi sederhana

lebih banyak sehingga memungkinkan ketersediaan bahan organik yang mudah dirombak menjadi

energi juga lebih tinggi, disamping terbentuknya gas pasca fermentasi. Sebagaimana dinyatakan oleh

Winarno (1992) bahwa kadar nutrien bahan akan meningkat pasca fermentasi.

Page 199: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

190

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa enrichment menggunakan molases dapat

mengoptimalkan proses fermentasi bungkil biji jarak ditinjau dari seluruh kandungan nutrien pasca

fermentasi.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 2006. Official Methods of Analysis of AOAC International. 18th Edition. Published by:

AOAC International. Maryland. USA.

Bird, A.R.1999. Prebiotics: A role for dietary fibre and resistant starch. Asia Pacific J. Clin Nutr.:

1999: 8(Suppl.): S32-S36

Irawan, S. dan Utama. 2012. Komponen Proksimat pada Kombinasi Padatan Lumpur Organik Unit

Gas Bio dan Jerami Jagung yang Difermentasi dengan Berbagai Aras Isi Rumen Kerbau.

Animal Agriculture Journal. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. 1(2)

hal: 17 – 30.

Karantina, M. 2008. Aktivitas Antioksidan Kombucha dengan Variasi Jenis Gula. Eksplorasi Vol XX

No. 1. p:124-131

Makkar, HPS; G. Francis, and K. Beckers. 2008. Protein concentrate from Jatropha curcas screw-

pressed seed cake and toxic and antinutritional factors in protein concentrate. Journal of the

Science of Food and Agriculture, Volume 88, Number 9, July 2008 , pp. 1542-1548(7)

Purwadaria, T., I.P. Kompiang, J. Danna, Supriyati, dan E. Sudjatmika. 2003. Isolasi dan Penapisan

Probiotik Unggas dan Pertumbuhannya pada Berbagai Sumber Gula. Balai Penelitian Ternak.

Bogor.

Singh, S., P. Goswani, R. Singh and K.J. Heller. 2009. Application Of Molecular Identification

Lools for Lactobacillus, with a Focus on Discrimination between Closely Related Species.

Food and Technol. 42: 448- 457.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik.

Edisi kedua. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tomomatsu, H. 1994. Health Effects of Oligosaccharides.Food Technology.Oct: 61-64.

Widiyastuti, T. dan C.H. Prayitno. 2010. Manipulasi Lingkungan Mikrointestinal Menggunakan

Lectin Bungkil Biji Jarak Sebagai Media Perlekatan Bakteri Asam Laktat dalam Intestinum

Ayam. Proceeding Seminar Nasional Dies Natalis Fakultas Peternakan Unsoed 10 April2

2010. Purwokerto

Widiyastuti, T. dan M. Indradji. 2011. Kajian Complete Feed Berbahan Dasar Bungkil Biji Jarak

Terfermentasi dan Pengaruhnya Terhadap Performans Kelinci Lepas Sapih. Prosiding Seminar

Nasional Pengembangan Sumberdaya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan, Puslit

Pangan Gizi dan Kesehatan. LPPM UNSOED, 23-24 Nopember.

Widiyastuti, T., T.R. Sutardi dan M. Indradji. 2012. Optimalisasi Protein Concentrate Bungkil Biji

Jarak Melalui Kombinasi Teknik Kimiawi Dan Biologis Menggunakan Bal Serta

Page 200: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

191

Pemanfaatannya Sebagai Pakan Ternak Kelinci. Laporan Penelitian Riset Unggulan Tahun ke-

1. Fakultas Peternakan UNSOED. Purwokerto

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Nutrisi. Penerbit PT Gramedia Jakarta.

Xu, Z.R., C.H. Hu, M.S. Xia, X.A. Zhan and M.Q.Wang. 2003. Effects Of Dietary

Fructooligosaccharide On Digestive Enzyme activities Intestinal Microflora and morphology of

Male Broilers. Poult. Sci. 82:1030 – 1036.

Page 201: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

192

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK FOSPAT TERHADAP PRODUKSI BENIH KALOPO

(Calopogonium mucunoides Devs) PADA LAHAN MASAM

Sajimin, I.Herdiawan, E.Sutedi dan A.Fanindi

Balai Penelitian Ternak Bogor

Email : [email protected]

ABSTRAK

Kalopo (Calopogonium mucunoides) adalah termasuk tanaman pakan ternak leguminosa herba yang

berkualitas. Kalopo termasuk hijauan penting didunia peternakan dan termasuk tanaman serbaguna.

Tujuan penelitian untuk mempelajari produksi benih kalopo yang ditanam dilahan kering masam di

Sei Putih Sumatera Utara. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok pola

faktorial dengan perlakuan pupuk kandang 10 ton/ha dan 20 ton/ha serta diberi pupuk Fosfat (P)

sebagai perlakuan (P0 = kontrol, P1= Fosfat alam 180 kg/ha, P2 = Fosfat alam 360 kg/ha, P3 = TSP

110 kg/ha, P4 = Fosfat alam 220 kg/ha) dan perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Parameter yang

diamati produksi biji bernas tiap panen dipisahkan dengan brangkasannya. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa produksi benih bahwa pengaruh pupuk fospat alam dengan TSp rata-rata

produksi biji lebih tinggi menggunakan pospat alam. Sedangkan pengaruh dosis 180 kg/ha pospat

alam produksi benihnya tertinggi 302,7 gram/plot kemudian diikuti dosis 360 kg/ha fospate alam

(224 gram/plot).

Kata kunci : Calopogonium mucunoides, produksi benih, fospat.

ABSTRACT

Calopo (Calopogonium mucunoides) is a perenial legumes shrubs herbaceous with superior forage

quality. It is the most important forage in the word and it was include legume multipurpose. Aims of

the study was to evaluated seed production calopo grown in acid soil at Sei Putih South Sumatera.

Treatment were arranged in randomized compled block design (RCBD) with factorial pattern.

Organic Fertilizer applied were doses 10 t/ha and 20 t/ha and combine with natural fosphat and TSP

as a treatment (P0 = control, P1= natural fosphate 180 kg/ha, P2 = natural fosphate 360 kg/ha, P3 =

TSP 110 kg/ha, P4 = natural TSp 220 kg/ha). The treatment was replicated five times. Parameter

measured were seed production and separated seed with pods. Results shows that the highest seed

production 302.7 gram/plot with fertilizer 180 kg natural fosphate and it was followed by 224

gram/plot fertilizer by 360 kg/ha natural fosphate.

Key Word : Calopogonium mucunoides, seed production, fosphate

Page 202: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

193

PENDAHULUAN

Ketersediaan pakan ternak khususnya hijauan merupakan masalah yang sulit diatasi pada musim

kemarau. Lahan untuk tanaman pakan terus berkurang karena lebih diutamakan untuk tanaman

pangan dan pemukiman. Pemanfaatan lahan yang kurang subur untuk tanaman pakan menjadi sangat

penting. Ektensifikasi lahan kering masam mempunyai potensi yang besar apabila dikelola dengan

baik. Menurut Horst et al. (2006) tanah masam diperkirakan mencapai 1,7 milyard ha dan 43 %

dilahan tropis. Kemudian di Indonesia tanah masam 102,8 juta ha belum dimanfaatkan secara

optimal (Mulyani et al., 2004).

Lahan masam dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan mengakibatkan tanaman mengalami

kekeringan dengan gejala kekurangan hara yang tinggi dapat mempengaruhi palatabilitas hijauan

pakan.

Upaya peningkatan lahan masam dapat dilakukan dengan melalui budidaya tanaman pakan yang

toleran tanah masam dengan pemupukan seperti penggunaan fospat. Serapan hara P juga dipengaruhi

oleh pH, pada pH rendah tanaman toleran defisiensi P mampu menyerap P 10 kali lipat lebih tinggi

daripada pH tinggi dan kecepatan maksimum diperoleh pada pH 5.6 dan akan menurun dengan cepat

dengan semakin naiknya pH, dan P akan diserap secara aktif dalam bentuk ion H2PO4- (Sato et al.,

2009).

Selain itu penelitian hijauan pakan ternak ke arah peningkatan produktivitas biji (untuk benih) dan

peningkatan kualitasnya belum banyak dilakukan bahkan untuk pemenuhan masih import benih.

Menurut Sadjad et al. (2001) benih-benih varietas tanaman yang dikomersialkan harus memiliki mutu

genetik yang lebih baik daripada benih varietas-varietas yang sudah beredar dengan kelebihan vigor

atau keseragaman bentuk yang lebih homogen.

Penelitian teknologi produksi benih yang telah dilakukan antara lain pada Clitoria ternatea, Pueraria

javanica dan Macroptilium atropurpureum cv Siratro (Prawiradiputra et al., 2007, Prawiradiputra et

al., 2008). Hasil yang sudah dicapai sampai sejauh ini adalah diketahuinya bahwa pemupukan dengan

menggunakan N,P,K,Ca dan S nyata menghasilkan biji lebih tinggi.

Penelitian produksi dan kualitas biji Calopogonium mucunoides telah dilakukan sejak tahun 2007.

Tujuan utama dari penelitian itu adalah untuk mendapatkan benih yang murni, namun disamping itu

diambil juga data lain, seperti produktivitas dan kualitas benih. Dengan akan dilepasnya varietas C.

mucunoides diperlukan berbagai data pendukung untuk menunjukkan keunggulan calon kultivar ini

dibandingkan dengan varietas asalnya. Makalah ini menyajikan produktivitas benih kalopo pada lahan

masam untuk penyediaan benih.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian teknologi produksi benih dilakukan di kebun percobaan Loka Penelitian Kambing Potong

Sei Putih di Sumatera Utara. Luas lahan yang digunakan sekitar 5.000 m2. Petak-petak penelitian

berlokasi di lahan kering masam. Pada petak penelitian dibuat gulud berukuran lebar 1,20 m dan

panjang disesuaikan dengan kondisi lahan, yaitu 50 m sebagai gulud perlakuan dengan tiap plot

terdapat 100 tanaman.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan pupuk kandang 10 ton/ha dan

20 ton/ha serta pupuk Fosfat (P) sebagai perlakuan (P0= kontrol, P1= Fosfat alam 180 kg/ha, P2=

Page 203: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

194

Fosfat alam 360 kg/ha, P3= TSP 110 kg/ha, P4= Fosfat alam 220 kg/ha) dan perlakuan diulang

sebanyak 5 kali.

Parameter yang diamati meliputi data produksi biji bernas tiap panen dipisahkan dengan

brangkasannya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan produksi benih kalopo yang ditanam di lahan masam dengan pupuk fospat seperti

yang tertera pada Gambar 1

Pada Gambar 1 dan 2 terlihat selama pertumbuhan tanaman kalopo yang ditanam di lahan kering

masam dapat dipanen empat kali dengan puncak produksi pada panen kedua selanjutnya produksi

benih menurun. Penurunan produksi benih disebabkan pertumbuhan tanaman menurun dengan jumlah

daun berkurang sehingga tidak dapat membentuk biji.

Produksi yang menurun setelah puncak produksi juga dilaporkan Prawiradiputra et al. (2014) tanaman

kalopo yang ditanam di Ciawi maupun di Serang. Penurunan produksi biji menurut Murty dan Sahu

(1987) adanya kegagalan pembentukan protein disebabkan jumlah daun yang mulai berkurang.

Kemudian Galdswarthy (1996) penurunan produksi biji pada tanaman juga menurunnya indek luas

daun (ILD).

Data hasil penelitian produksi benih total yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Lolitkapo Sei Putih

seperti yang tertera pada Tabel 1 dan 2.

Page 204: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

195

Tabel 1. Produksi biji kalopo di Kebun Percobaan Lolitkapo Sei Putih dengan perlakuan pupuk

kandang 20 t/ha

Perlakuan Produksi benih gram/plot Persentase benih dan brangkasan

Biji Barngkasan biji Brangkasan

Tanpa pupuk (kontrol) 277,3 a 197,3 58,4 41,6

Fosfat alam 180 kg/ha 302,7 b 191,1 61,3 38,7

Fosfat alam 360 kg/ha 298,0 a 178,0 62,6 37,4

TSP 110 kg/ha 270,7 a 160,0 62,9 37,1

TSP 220 kg/ha 258,7 a 132,0 66,2 33,8

Rataan 281,5 171,7 62,3 37,7

Angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak beda nyata pada P<0.05

Pada Tabel 1 menujukkan bahwa pengaruh pupuk fospat alam dengan TSp rata-rata produksi biji

lebih tinggi menggunakan pospat alam. sedangkan pengaruh dosis 180 kg/ha pospat alam produksi

benihnya tertinggi 302,7 gram/plot kemudian diikuti dosis 380 kg/ha. Demikian juga pada perlakuan

pemberian TSP 110 kg/ha juga lebih tinggi dari dosis 220 kg/ha. hasil tersebut nampaknya kebutuhan

tanaman telah terpenuhi dari pemberian pupuk kandang 20 t/ha. sehingga dengan penembahan dosis

pupuk pospat tidak meningkatkan produksi benih. Hal tersebut diduga dengan pemberian pospat yang

ditingkatkan tidak meningkatkan produksi benih karena ada batas maksimum yang akan diserap oleh

tanaman. Selanjutnya dengan dosis lebih rendah pada pemberian pupuk kandang dengan pemberian

pospat alam dan TSP seperti pada Tabel 2.

Hasil kombinasi pemberian pupuk kandang dan pospat rata-rata lebih tinggi dari perlakuan kontrol

277,0 gram/plot sedangkan perlakuan pupuk kandang dan pospat mencapai 282,5 gram/plot atau

lebih tinggi 1,91 %. Hal ini juga brangkasan pada perlakuan kontrol rata-rata lebih tinggi dari

perlakuan pemberian pupuk. Nampaknya dengan pupuk yang cukup juga mempengaruhi

terbentuknya biji dalam polong dan itu terlihat dari brangkasanya yang lebih rendah.

Tabel 2. Produksi biji kalopo di Kebun Percobaan Lolitkapo Sei Putih dengan perlakuan pupuk

kandang 10 t/ha

Perlakuan Produksi benih gram/plot Persentase benih dan brangkasan

Biji Brangkasan biji Brangkasan

Tanpa pupuk (kontrol) 224,0 b 116,0 65,9 34,1

Fosfat alam 180 kg/ha 184,0 a 120,0 60,5 39,5

Fosfat alam 360 kg/ha 244,0 b 116,0 67,8 32,2

TSP 110 kg/ha 180,0 a 132,0 57,7 42.3

TSP 220 kg/ha 312,0 b 184,0 62,9 37,1

Rataan 228,8 133,6 63,0 37,0

Angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak beda nyata pada P<0.05

Page 205: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

196

Pada Tabel 2 terlihat bahwa dengan pemberian pupuk kandang 10 t/ha dan diberi pospat alam rata-

rata lebih rendah dari yang diberi pupuk TSP dapat mencapai 312,0 gram/plot. Produksi tersebut

kemudian diikuti pemberian pospat alam 360 kg/ha mencapai 224 gram/plot.

Perlakuan pemberian pupuk kandang 10 t/ha dibanding perlakuan kontrol 244 gram/plot tidak banyak

berbeda dengan perlakuan lainnya dari 184,0 – 312,0 gram per plot. Pada perlakuan ini diduga lokasi

percobaan merupakan kebun produksi tanaman pakan sehingga telah dilakukan pemberian pupuk.

Selain itu tanaman yang digunakan jenis leguminosa herba yang dapat menambat nitrogen dari udara

melalui simbiose dengan bahteri Rhizobium. Sehingga nitrogen dapat dipergunakan untuk tanaman

itu sendiri dan produksi benih bisa baik dan tidak beda banyak dengan perlakuan pemberian pupuk

yang tidak beda nyata.

Jika dibandingkan perlakuan dosis dari Tabel 1 dan Tabel 2 rata-rata dengan dosis pupuk kandang 20

t/ha memberikan hasil benih yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini nampaknya pupuk kandang

berpengaruh nyata pada produksi benih daripada perlakuan pupuk pospat. Menurut Arsyad et al.

(2011) pupuk organik pada tanah dapat memperbaiki sifat tanah fisik, kimia, biologi seperti

kemasaman. Pupuk organik akan meningkatkan kemampuan tanah menyerap hara dan meningkatkan

kandungan air tanah. Air merupakan komponen penting dalam tanah yang berfungsi pelarut dan

pembawa ion hara pendistribusian kebagian tanaman.

KESIMPULAN

- Kalopo yang ditanam di lahan masam dengan pH 5,0 - 5,5 pertumbuh-annya kurang baik.

- Pengaruh pupuk fosfat alam serta TSP terhadap produksi biji pemberian pospat alam dengan

pemberian pupuk kandang 20 ton/ha lebih tinggi dari perlakuan lainnya.

- Pemberian pupuk kandang dan pospat juga menyebabkan terbentuknya biji yang lebih banyak dari

brangkasannya.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, A.R., Y. Farni dan Ermadani. 2011. Aplikasi pupuk hijau (Calopogonium mucunoides dan

Pueraria javanica) terhadap air tanah tersedia dan hasil kedelai. J. Hidrolitan. Vol. 2(1): 31 –

39.

Horst, W.J., D.Eticha, M.Kamh, Y.Wang, A.L. Stival Da Silva and A.Stass. 2006. Identification And

Characterization Of Aluminium resistant, Phosphorus-Efficient Plant Genotypes Adapted To

Tropical Acid Soils. Institute for Plant Nutrition, University of Hannover, Hannover, Germany.

Proceeding series. Management practices for improving sustainable crop production in tropical

acid soil. IAEA.

Mulyani, A., Hikmatullah, dan H. Subagyo. 2004. Karakteristik dan potensi tanah masam lahan

kering di Indonesia. Prosiding Simposium Nasional Pendugaan Tanah Masam. Puslitanak.

Bogor. Hal 1 - 32.

Murty dan Sahu. 1987. Impact of low light stress on growth and yield of rice. Dalam: Fanindi Et al

(2013). Produksi hijauan dan benih Puero (Puraria javanica) pada taraf intensitas cahaya yang

berbeda. JITV. 18(2): 81 -87.

Prawiradiputra B.R., J.R. Hidayat, Nurhayati dan Sajimin. 2008. Pemurnian benih leguminosa pakan

Calopogonium mucunoides Desv. Laporan Penelitian Balai Penelitian Ternak.

Page 206: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

197

Prawiradiputra, B.R., A. Fanindi, E. Sutedi dan Sajimin. 2014. Pengaruh pupuk fospat terhadap daya

hasil benih kalopo (Calopogonium mucunoides Desv). Prosiding Seminar Teknologi

Peternakan dan Veteriner 2014. Puslitbangnak. Bogor. P : 726 – 730.

Sadjad, S., Faiza S. Suwarno dan Setia Hadi. 2001. Tiga Dekade Berindustri Benih di Indonesia.

Grasindo, Jakarta.

Sato, S., E.G.Neves, D. Solomon, B. Liang and J.Lahman. 2009. Biogenic Calcium phosphate

transformation in soils over millennial time scales. J. Soil Sediments .9: 194 – 205.

Page 207: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

198

EFEKTIFITAS PERBANYAKAN KULTUR TUNGGAL CENDAWAN MIKORIZA

ARBUSKULA (Gigaspora margarita, Glomus etinucatum, Acaulospora tuberculata) PADA

INANG CENTROSEMA PUBESCENS

Prihantoro I, Rachim AF, Aryanto AT dan Karti PDMH

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Email: [email protected]

ABSTRAK

Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) merupakan jenis pupuk hayati yang efektif dalam

meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan mikro mineral, memperbaiki ketahanan inang dari

stress kekeringan, meningkatkan ketahanan inang dari pathogen dan menghasilkan hormone

pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan giberelin. Pemanfaatan CMA terkendala dalam penyediaan

kultur CMA berkualitas sebagai starter yang masih tergantung dengan tanaman inang dalam

produksinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur efektifitas perbanyakan kultur tunggal CMA

(Gigaspora margarita, Glomus etinucatum, Acaulospora tuberculata) pada inang Centrosema

pubescens. Penelitian didesain dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan tiga jenis

spora CMA dalam bentuk tunggal pada inang Centrosema pubescens dengan ulangan masing-masing

25. Parameter yang diamati adalah persentase keberhasilan infeksi CMA, jumlah spora dan infeksi

akar CMA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbanyakan Glomus etinucatum dan Acaulospora

tuberculata pada inang Centrosema pubescens lebih efektif dibandingkan Gigaspora margarita

(p<0,05).

Kata kunci : Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA), Gigaspora margarita, Glomus etinucatum,

Acaulospora tuberculata, starter, Centrosem apubescens

ABSTRACT

Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF), a biological fertilizer which is effective in improving the

absorption of macro and micro minerals, improve endurance host plant from drought stress and

pathogen; and produce growth hormone such as auxin, cytokinins and gibberellins. AMF utilization

constrained on provision of high quality starter culture that is still depend on it compatibility with host

plants. The aims of the study was to evaluate the effectiveness of the propagation of single culture

AMF (Gigaspora margarita, Glomus etinucatum, Acaulospora tuberculata) on Centrosema

pubescens as host plant. The research used a completely randomized design (CRD) with three types of

AMF spores in single form with 25 replications. The parameters measured were the percentage of

success AMF infection, total of AMF spores and AMF infection in host roots. The results showed that

the propagation of Glomus etinucatum and Acaulospora tuberculata on Centrosema pubescens more

effective than Gigaspora margarita (p <0.05).

Keywords: Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF), Gigaspora margarita, Glomus etinucatum,

Acaulospora tuberculata, starter, Centrosema pubescens

LATAR BELAKANG

Dominasi peternakan ruminansia di Indonesia diusahakan oleh peternakan rakyat dengan skala

kepemilikan yang relative rendah dan menetapkan sumber pakan utama berupa hijauan pakan ternak.

Status populasi ternak ruminansia, khususnya sapi potong cenderung meningkat dalam 5 tahun

terakhir. Berdasarkan data Ditjenak (2013), tingkat kenaikan populasi sapi potong sebesar 7.3% di

setiap tahunnya. Peningkatan populasi ini menuntut ketersediaan hijauan pakan yang semakin tinggi

dengan kontinuitas yang baik.

Page 208: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

199

Penyediaan hijauan pakan oleh peternak bersumber dari padang rumput alam, pinggir jalan, kebun

rumput maupun berintegrasi dengan pertanian perkebunan dan kehutanan. Secara umum, ketersediaan

hijauan cenderung melimpah pada musim penghujan dan kekurangan di musim kemarau sehingga

kontinuitas dan kualitas cenderung fluktuatif. Kondisi ini berkorelati pada menurunnya produktivitas

ternak. Kendala lain yang dihadapi dalam penyediaan hijauan oleh peternak adalah terbatasnya lahan

khusus untuk budidaya hijauan pakan dan tingginya alih fungsi lahan yang menyebabkan

menyusutnya produksi hijauan pakan. Selain itu, kualitas lahan/kesuburan lahan untuk budidaya

hijauan pakan relative rendah dan kurang subur sehingga produktivitas hijauan yang dihasilkan

menjadi rendah dibawah potensi genetik dari potensi HMT tersebut.

Upaya meningkatkan produktifitas lahan dalam menghasilkan HMT, menuntut teknologi pengolahan

lahan yang baik dan suplementasi pupuk hayati agar lahan tersebut memiliki tingkat produktivitas

yang tinggi. Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) merupakan salah satu mikroorganisme yang bisa

digunakan sebagai pupuk hayati untuk membantu meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas

hijauan. Tanaman yang terinfeksi hifa CMA mampu menyerap unsur hara makro-mikro mineral lebih

baik, terutama unsur P. CMA berperan juga dalam produksi enzim fosfatase yang dapat melepaskan

unsur P yang terikat unsur Al dan Fe pada lahan masam dan Ca pada lahan berkapur sehingga P akan

tersedia bagi tanaman (Rungkat 2009). CMA efektif memperbaiki ketahanan inang dari stress

kekeringan dan salinitas, meningkatkan ketahanan inang dari pathogen dan menghasilkan hormone

pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan giberelin (Imas .,1989). CMA juga berperan dalam

memperbaiki sifat fisik tanah melalui penggemburan. Menurut Wright dan Uphadhyaya (1998), CMA

menghasilkan senyawa glikoprotein dan asam organik melalui akar eksternalnya yang berguna untuk

mengikat butir-butir tanah menjadi agregat mikro. Kemudian, melalui proses mekanis oleh hifa

eksternal, agregat mikro akan membentuk agregat makro yang mudah diserap tanaman. Bolan (1991)

melaporkan bahwa kecepatan masuknya unsur P ke dalam tanaman yang terinfeksi hifa CMA dapat

mencapai enam kali lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi CMA.

Maksimalisasi penggunaan CMA yang tepat diharapkan mampu meningkatkan produktivitas lahan

dan hijauan yang ada di Indonesia. Pemanfaatan CMA terkendala dalam penyediaan kultur CMA

berkualitas sebagai starter yang masih tergantung dengan tanaman inang dalam produksinya.

Centrosema pubescens merupakan salah satu inang yang lazim digunakan sebagai inang dalam

perbanyakan kultur CMA dalam bentuk tunggal maupun kultur campuran. Lukiwati dan Supriyanto

(1995) menyatakan bahwa tanaman Centrosema pubescens dan Pueraria javanica merupakan

tanaman inang yang potensial untuk perbanyakan spora CMA. Penelitian ini bertujuan untuk

mengukur efektifitas perbanyakan kultur tunggal CMA (Gigaspora margarita, Glomus etinucatum,

Acaulospora tuberculata) pada inang Centrosema pubescens.

METODE PENELITIAN

Materi yang digunakan meliputi petri dish disposable, arloji glass, mikroskop, gelas preparat, cover

glass, tabung film, timbangan digital, spryer, spidol permanent, label, rak tanaman, lampu, bak

plastik, pinset, saringan, dan hand tally counter. Bahan yang digunakan meliputi Cendawan Mikoriza

Arbuskula (CMA) jenis Gigaspora margarita, Glomus etinucatum, Acaulospora tuberculata, zeolit,

Centrosema pubescens, aquades, alkohol 70%, sukrosa 60%, larutan KOH 10%, larutan HCl 2%,

larutan kloroks, dan larutan Staining Blue.

Page 209: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

200

Metode Penelitian meliputi beberapa tahapan : (1) persiapan media tanam media tanam berupa

zeolite yang dibersihkan dengan cara dicuci dikeringkan di bawah sinar matahari. Petri dish

disposable disterilisisasi dengan alkohol 70% dan diberi lubang dibagian ujung untuk tumbuhnya

tanaman inang. (2) Persiapan tanaman inang diawali dengan penyemaian benih Centrosema

pubescens. Sebelum disemai, dilakukan scarifikasi dengan larutan kloroks 100% selama 7 menit.

Tanaman yang tumbuh hingga umur 7 hari di gunakan sebagai inang dalam perbanyakan kultur

tunggal CMA. (3) Isolasi CMA tunggal dilakukan dengan metode tuang saring basah (Pacioni, 1992)

menggunakan saringan bertingkat (1000 μm, 250 μm, dan 45 μm). Dibawah mikroskop, spora CMA

diamati dan dipilih yang kondisinya baik (bulat, utuh, dan segar). Spora tunggal Gigaspora margarita,

Acaulospora tuberculata, dan Glomus etinucatum diinokulasikan pada akar Centrosema pubescens.

(4) Pemeliharaan tanaman dilakukan selama 3 bulan. Selama pemeliharaan tanaman disiram sebanyak

2 hari sekali. Pada minggu terakhir dalam masa pemeliharaan (umur 3 bulan) frekuensi penyiraman

dikurangi menjadi 3 hari sekali. Selanjutnya dilakukan pemanenen kultur tunggal mikoriza untuk di

ukur jumlah spora dan tingkat infeksinya.

Parameter yang diukur dalam penelitian ini meliputi : (1) jumlah tanaman mati, (2) jumlah tanaman

terinfeksi, (3) jumlah spora setiap tanaman dan (4) nilai infeksi CMA pada tanaman inang. Penelitian

didesain dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan tiga jenis spora CMA dalam bentuk

tunggal pada inang Centrosema pubescens dengan ulangan masing-masing 25 tanaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) memiliki kemampuan hidup dengan baik di rizosfer dengan

cara berasosiasi mutualisme antara tanaman dan CMA (Nuhamara 1993) dan mampu bersimbiosis

dengan baik pada sebagian besar tanaman (97%) famili tanaman. Centrosema pubescens merupakan

jenis tanaman tanaman pakan ternak kelompak leguminosa yang tahan kering, naungan dan tergenang

air (Ibrahim 1995), dengan kandungan protein kasar 23.6%, serat kasar 31.6%, abu 8.2%, lemak kasar

3.6% dan BETN 32.8% (Gohl 1981). Legum ini cocok dan potensial dijadikan tanaman inang dalam

perbanyakan CMA.

Tingkat kematian tanaman, keberhasilan infeksi CMA, jumlah spora yang berkembang dari kultur

tunggal, dan persentase infeksi CMA pada akar Centrosema pubescens disajikan pada Tabel 1, Tabel

2, Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 1 Tingkat Kematian Centrosema pubescens sebagai Tanaman Inang Kultur Tunggal CMA

Jenis CMA Kematian Tanaman (%)

Gigaspora margarita 0

Acaulospora tuberculata 4

Glomus etinucatum 52

Tabel 2 Efektivitas Infeksi CMA Kultur Tunggal dalam Menginfeksi Centrosema pubescens

Jenis CMA Tanaman Terinfeksi CMA (%)

Gigaspora margarita 12

Acaulospora tuberculata 88

Glomus etinucatum 50

Page 210: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

201

Tabel 3 Tingkat Produksi Spora Kultur Tunggal CMA pada Centrosema pubescens

Jenis CMA Rataan Jumlah Spora

Gigaspora margarita 2.3 ± 0.58b

Acaulospora tuberculata 521.19 ± 238.99a

Glomus etinucatum 635.25 ± 282.29a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P

< 0.05)

Tabel 4 Tingkat Infektivitas CMA pada Centrosema pubescens

Jenis CMA Rataan Infeksi Akar (%)

Gigaspora margarita 12.303 ± 8.64b

Acaulospora tuberculata 57.703 ± 18.09a

Glomus etinucatum 51.124 ± 15.17a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P

< 0.05)

Persentase kematian tanaman terendah terdapat pada hasil inokulasi jenis CMA Gigaspora margarita

yaitu 0 %, sedangkan persentase kematian tertinggi dari inokulasi Glomus etinucatum (52 %).

Persentase infeksi CMA teringgi pada Acaulospora tuberculata yaitu 88%, yang menunjukkan bahwa

jenis CMA ini terbaik dalam menginfeksi Centrosema pubescens dalam bentuk kultur tunggal.

Inokulasi Acaulospora tuberculata dan Glomus etinucatum nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan

Gigaspora margarita terhadap jumlah spora dan tingkat infektifitas CMA pada inang Centrosema

pubescens. Hasil ini menunjukkan bahwa pengembangan kultur tunggal Glomus etinucatum dan

Acaulospora tuberculata sangat efektif menggunakan inang Centrosema pubescens.

KESIMPULAN

Perbanyakan kultur tunggal CMA (Glomus etinucatum dan Acaulospora tuberculata) pada inang

Centrosema pubescens lebih efektif dibandingkan Gigaspora margarita.

DAFTAR PUSTAKA

Bolan N.S. 1991. A critical review on the role of mycorrhizal fungi in the uptake of phosphorus by

plants. Plant Soil 134: 189−207.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2013. Populasi Ternak 2000-2013. Jakarta (ID): Badan Pusat

Statistik.

Gohl B.O. 1981. Tropical Feed: Feed Information, Summaries and Nutritive Value. Rome (IT): FAO.

Ibrahim. 1995. Daya adaptasi rumput dan legume asal CIAT (Columbia) dan CSIRO (Australia) di

Kalimantan Timur. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan 1995.

Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Imas T., R.S. Hadioetomo, A.W. Gunawan dan Y. Setiadi. 1989. Mikrobiologi Tanah II. Dirjen Dikti.

Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Lukiwati D.R. dan Supriyanto. 1995. Performance of three VAM species from India for inoculum

production in centro dan puero. International Workshop on Biotechnology and Development

Species for Industrial Timber Estates; Juni 27-29. Bogor (ID): LIPI Bogor. hlm 257-265.

Page 211: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

202

Nuhamara S.T. 1993. Peranan mikoriza untuk reklamasi lahan kritis. Program Pelatihan Biologi dan

Bioteknologi Mikoriza. Solo (ID): Universitas Sebelas Maret.

Pacioni G. 1992. Wet Sieving and Decanting Techniques for the Extraction of Spores of Vesicular-

Arbuscular Mycorrhizal Fungi. San Diego (US): Academic Press.

Rungkat J.A. 2009. Peranan MVA dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.

FORMAS 4: 270-276.

Wright S.F. dan Uphadhyaya A. 1998. Survey of soils for aggregate stability and glomalin, a

glycoprotein produced by hyphae of arbuscular mycorrhizal fungi. Plant Soil 198: 97−107

Page 212: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

203

RESPONS PERTUMBUHAN, PRODUKSI, DAN KUALITAS RUMPUT GAJAH KATE

(Pennisetum purpureum cv. Mott) YANG DIBERI PEMUPUKAN UREA, BIO-URINE, DAN

KOMBINASINYA

I Dewa Nyoman Sudita, I Nyoman Kaca, Luh Suariani, Ni Made Yudiastar, dan I Gde Sutapa

Universitas Warmadewa-Denpasar, Bali

ABSTRAK

Upaya meningkatkan produktivitas dan kualitas hijauan pakan melalui penyediaan unsur hara yang

dibutuhkan untuk pertumbuhannya dengan memanfaatkan pupuk organik kotoran sapi sudah banyak

dilakukan. Sedangkan limbah cair (bio-urine) sapi yang banyak mengandung N yang dibutuhkan

tanaman perlu diberdayakan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh bio-urine

dibandingkan urea dan kombinasinya terhadap pertumbuhan, produksi, dan kualitas rumput gajah kate

(Pennisetum purpureum c.v. Mott). Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)

terdiri dari 9 perlakuan (kontrol, urea 150 kg/Ha, urea 100 kg/Ha, bio-urine 300 l/Ha, bio-urine 450

l/Ha, dan kombinasi urea dengan bio-urine) dengan 3 ulangan (blok). Hasil penelitian menunjukkan

kombinasi pupuk urea dengan bio-urine nyata lebih baik (P<0,05) terhadap pertumbuhan dan produksi

dibandingkan hanya dengan pupuk urea saja. Semakin tinggi level kombinasi masing jenis pupuk

hasilnya semakin baik. Sedangkan pemupukan bio-urine nyata lebih baik (P<0,05) dibandingkan

dengan urea, dan berbeda tidak nyata (P>0,05) dibangkan pemupukan kombinasi. Secara kualitas sifat

fisik (bulk density, water regain capacity, dan water solubility) berbeda tidak nyata (P>0,05) diantara

perlakuan, namun pemupukan bio-urine dan kombinasinya cendrung lebih baik. Secara kualitas kimia

(kandungan protein dan serat kasar) juga berbeda tidak nyata diantara perlakuan, tetapi pemupukan

kombinasi kandungan protein cendrung paling tinggi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa

penggunaan pupuk bio-urine memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pupuk urea terhadap

pertumbuhan dan produksi rumput gajah kate (Pennisetum purpureum c.v. Mott). Hasilnya akan lebih

baik kalau dikombinasikan pupuk urea dengan bio-urine.

Kata kunci : rumput gajah kate, urea, bio-urine, dan kombinasi, pertumbuhan, produksi, dan kualitas

ABSTRACT

Efforts to improve the productivity and quality of forage through the supply of nutrients needed for

growth by utilizing organic fertilizer of cow manure has been done. While the liquid waste (bio-urine)

beef that contains N needed plants need to be empowered. The purpose of this study was to determine

the effect of bio-urine compared to urea and combinations on the growth, production, and quality of

dwarf elephant grass (Pennisetum purpureum cv Mott). Research using Random Blok Design (RBD)

consisting of 9 treatments (control, urea 150 kg/ha, urea 100 kg/ha, bio-urine of 300 l/ha, bio-urine of

450 l/ha, and the combination of urea with bio-urine ) with 3 replications (blocks). The results showed

the combination of urea with bio-urine markedly better (P <0.05) on the growth and production

compared only with urea alone. The higher the level of the combination of each type of fertilizer, the

better the results. While the bio-urine fertilization markedly better (P <0.05) compared with urea, and

had no significant (P> 0.05) compared fertilization combination. In quality physical properties (bulk

density, water regain capacity and water solubility) is not significant (P> 0.05) between treatments,

but fertilization bio-urine and combinations thereof tends to be better. In quality chemical (protein and

crude fiber) is also not significant between treatments, but fertilization combination of protein content

tends to be highest. From this study it can be concluded that the use of bio-fertilizers urine gives better

results than urea fertilizer on the growth and production of dwarf elephant grass (Pennisetum

purpureum cv Mott). The result will be better if combined with urea fertilizer and bio-urine.

Keywords: dwarf elephant grass, urea, bio-urine, and the combination, growth, production, and quality

Page 213: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

204

PENDAHULUAN

Setiap usaha peternakan tidak mencapai tujuan yang diharapkan tanpa menyediakan pakan secara

kontinyu, cukup dan bermutu (Wahyu. 1997). Selanjutnya Whitemen (1974) menyatakan.

tersedianya makanan ternak yang bermutu tinggi dalam jumlah yang memadai adalah salah satu

faktor yang penting dalam usaha peningkatan produksi ternak. Bagi peternak ruminansia hal ini

berarti penyediaan hijauan yang memadai, karena pakan ternak ruminansia lebih banyak berupa

hijauan dari pada konsentrat. Untuk mencapai hal tersebut telah dikembangkan beberapa hijauan

makanan ternak yang telah mengalami pengujian dan berkualitas serta produksi tinggi dari luar

negeri ke pulau Bali, salah satunya jenis rumput Gajah Kate (Panisetum purpureum cv. Mott).

Beberapa keunggulan rumput unggul baru ini sebagaimana dilaporkan Urribari ., (2003) antara lain

adalah : kandungan protein 10-15% tergantung umur panen. tanaman tahunan yang tinggi produksi.

dan tanaman rumput tropis yang tinggi nilai nutrisinya karena kandungan serat kasar yang rendah,

disamping itu pembiakan dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan polls ataupun stek. Sukria dan

Krisna (2009) menyatakan bahwa komposisi kimia bahan makanan ternak sangat beragam karena

bergantung pada varietas, kondisi tanah, pupuk, iklim, lama penyimpanan, waktu panen dan pola

tanam. Pengaruh iklim dan kondisi ekologi menurut Sajimin et.al. (2000) sangat menentukan

ketersediaan hijauan sebagai pakan ternak di suatu wilayah sehingga hijauan makanan ternak tidak

dapat tersedia sepanjang tahun.

Adanya persaingan didalam penggunaan lahan dengan tanaman pangan, maka usaha penyediaan

hijauan makanan ternak mengarah kepada pemanfaatan lahan-lahan kritis. Pemupukan adalah salah

satu cara dari intensifikasi pertanian yang perlu dilakukan untuk meningkatkan hasil dan kualitas

tanaman rumput. Pemupukan merupakan salah satu usaha untuk memperoleh pertumbuhan tanaman

rumput yang baik apabila diberikan dengan dosis dan saat yang tepat, yang lazim di berikan melalui

tanah juga dapat diberikan melalui daun.

Penggunaan pupuk anorganik (N.P.K) secara terus-menerus dan berlebihan, tidak diimbangi dengan

penggunaan pupuk organik menyebabkan tanah menjadi keras dan produktivitasnya menurun.

Pemupukan dengan pupuk anorganik secara terus-menerus akan menurunkan tingkat kesuburan tanah,

karena pupuk anorganik (N.P.K) merupakan salah satu unsur hara yang mudah tercuci, sehingga tanah

akan kekurangan unsur K yang dapat menurunkan kesuburan tanah (Dinata. 2012). Biourine

merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan ketersediaan, kecukupan, dan efisiensi serapan

hara bagi tanaman yang mengandung mikroorganisme sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk

anorganik dan meningkatkan hasil tanaman secara maksimal.

Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, maka dalam penelitian ini kami memcoba meneliti

pertumbuhan, produktivitas, dan kualitas tanaman rumput gajah kate (Pennisetum purpureum CV.

Mott) yang diberi pupuk urea, biourine dan kombinasinya. Tujuan dari penelitian adalah untuk

mengetahui perbedaan pertumbuhan, produksi, dan kualitas rumput gajah kate yang diberikan

pemupukan berbeda (urea, bio-urine, dan kombinasinya), dan apakah pemupukan bio-urin

memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan urea.

Page 214: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

205

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Percobaan lapangan ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), yang

terdiri atas 9 perlakuan dan 3 ulangan (blok) sehingga didapatkan 27 petak percobaan. Adapun

perlakuan terdiri dari : U0BO (kontrol), U1BO (urea 100 kg/ha tanpa biourine), U2BO (urea 150 kg/ha

tanpa biourine), UOB1 (biourine 300 l/ha tanpa urea), UOB2 (biourine 450 l/ha tanpa urea), U1B1 (urea

100 kg/ha + biourine 300 l/ha), U1B2 (urea 100 kg/ha + biourine 450 l/ha), U2B1 (urea 150 kg/ha +

biourine 300 l/ha), dan U2B2 (urea 150 kg/ha + biourine 450 l/ha). Dalam setiap ulangan (blok)

dilakukan pengacakan antar perlakuan. Ukuran petak dalam setiap perlakuan 1 x 1 m, dan jarak antar

blok 1 m.

Tempat dan Waktu Penelitian

Percobaan lapangan dilakukan di Stasiun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa yang

berlokasi di daerah Tanjung Bungkak, Kelurahan Sumerta, Kota Denpasar. Analisis tanah dilokasi

dilakukan sebelum percobaan (Lampiran 1). Percobaan lapangan dilakukan pada tanggal 10 maret

2015 sampai dengan 10 mei 2015 selama 60 hari. Uji kadar bahan kering, kadar air, dan kualitas fisik

dilakukan di Laboratorium Fakultas Pertanian-Unwar, sedangkan uji kualitas kimia dilakukan di

Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian-Unud.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah bibit rumput Gajah Kate yang bersal dari BPTU

dan HPT Denpasar. Bibit ini diambil dalam bentuk stek. Pupuk yang digunakan adalah pupuk

organik biourine didapatkan dari Simantri Sangeh dengan hasil uji laboratorium di Balai Penelitian

Tanah Bogor. Urea didapatkan dari toko pertanian. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

cangkul, pita ukur, mistar, ember plastik, timbangan jongkok kapasitas 5 kg, timbangan elektik

kapasitas 5 kg, gelas ukur volume 600 ml dan 500 ml. pisau, gunting. kantong plastic, dan alat tulis.

Penanaman dan Pemupukan

Sebelum dilakukan penanaman, bibit (stek) dipilih ukuran yang sama pada setiap blok, dengan ukuran

stek 10 cm (3 buku). Setiap petak penelitian ditanam 4 stek dengan jarak 50 cm. setelah tanaman

berumur 1 minggu dilakukan pemupukan, dan sesuai dengan perlakuan maka dosis pupuk/petak yang

digunakan : U1 (10g/petak), U2 (15 g/petak), B1 (30 ml/petak), dan B2 (45 ml/petak).

Pemotongan dan Pengukuran

Setiap 1 minggu setelah pemupukan dilakukan pengukuran terhadap jumlah daun, tinggi tanaman, dan

jumlah anakan sampai waktu pemotongan. Pada umur tanaman 2 bulan (60 hari) dilakukan

pemotongan untuk mengetahui produksi berat segar/tanaman dan nisbah daun dan batang. Kemudian

diambil sampel tanaman setiap perlakuan, untuk dilakukan pengeringan dan oven 70 oC untuk

mendapatkan berat kering udara (DW). Sampel kemudian digiling untuk mengetahui bahan kering

(DM), kadar air, analisa sifat fisik (bulk/density, water regain capacity, water solubility), dan analisa

kimia (serat kasar, protein).

2.6 Analisa Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis dengan analisis sidik ragam. apabila terdapat hasil

yang berbeda nyata ( P<0.05) diantara perlakuan maka dilakukan uji jarak berganda dari Duncan

(Steel dan Torrie. 1989).

Page 215: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

206

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan dan Produksi Berat Segar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi pemupukan urea dengan biourine nyata paling tinggi

(P<0,05) terhadap pertumbuhan rumput gajah kate (jumlah daun, tinggi tanaman dan jumlah anakan)

dan semakin tinggi dosis pupuk biourine dalam kombinasi semakin baik pertumbuhannya. Hal ini

menunjukkan bahwa pada pupuk bio urine disamping cukup tersedia unsure N, juga terdapat unsur

hara lain yang dibutuhkan tanaman. Dengan unsur hara yang lengkap dapat meningkatkan

pertumbuhan tanaman (Hakim ., 2007). Lengkapnya unsur hara yang terdapat pada pemupukan

biourine juga ditunjukkan oleh pertumbuhan tanaman nyata lebih baik (P<0,05) dibandingkan

pemupukan urea. Sutejo (1992) menyatakan bahwa unsur hara makro (N. P. K. Ca. dan Mg ) sangat

dibutuhkan untuk pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti akar, batang dan daun. dan

apa bila ketersediaan unsur hara makro dan mikro terpenuhi maka dapat meningkatkan pertumbuhan

tanaman.

Tabel 3.1: Pertumbuhan dan Produksi Rumput Gajah Kate (Pennisetum purpureum cv. Mott)

Perlakuan Variabel Pengamatan

Jml.daun

(helai)

Tinggi tnm.

(cm)

Jml.anakan

(bt)

Berat segar

(kg)

Berat daun

(g)

Berat

batang

(g)

U0B0 66,62h 70,30h 13,97g 0.96c 643,33a 316,67a

U1B0 97,37g 73,97fgh 17,93fg 1.07c 630,00a 356,67a

U2B0 109,37ef 76,60ef 18,90def 1.09c 653,33a 326,67a

U0B1 115,00f 72,17gh 18,70ef 1.00c 650,00a 350,00a

U0B2 123,80bcdef 92,50a 22,87abc 1.48bc 673,33a 360,00a

U1B1 110,23def 82,50cd 21,03bcdef 1.32bc 640,00a 346,67

U1B2 118,60bcdef 87,53b 21,73abcdef 1.29bc 643,33a 356,67a

U2B1 114,23cdef 82,47d 19,63cdef 1.30abc 663,33a 336,67a

U2B2 148,97a 95,17a 25,10a 1.89a 690,00a 370,00a

Keterangan : U0B0 = Kontrol (tanpa pemupukan)

U1B0 = pupuk urea 100 kg/ha, tanpa biourine

U2B0 = pupuk urea 150 kg/ha, tanpa biourine

U0B1 = tanpa urea, pupuk biourine 300 l/ha

U0B2 = tanpa urea, pupuk biourine 450 l/ha

U1B1 = urea 100 kg/ha, pupuk biourine 300 l/ha

U1B2 = urea 100 kg/ha, pupuk biourine 450 l/ha

U2B1 = urea 150 kg/ha, pupuk biourine 300 l/ha

U2B2 = urea 150 kg/ha, pupuk biourine 450 l/ha

Lebih baiknya kombinasi pemupukan biourine dengan urea terhadap pertumbuhan tanaman, terutama

terlihat dari jumlah anakan seperti terlihat pada Gambar 3.1. Dari minggu ke 3 sampai akhir penelitian

kombinasi perlakuan U2B2 selalu paling banyak, sedangkan U1B1 mulai meningkat jumlah anakan

pada minggu ke 4. Demikian pula pemupukan biourine, mulai minggu ke 5 cendrung meningkat lebih

tinggi dibandingkan pemupukan urea. Didukung pula oleh pendapat Hadinata, (2008) dalam Sutari,

(2010) yang menyatakan bahwa adanya bahan organik dalam biourine yang mampu memperbaiki

sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Lebih lanjut dikatakan bahwa biourine merupakan salah satu

Page 216: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

207

alternatif untuk meningkatkan ketersediaan, kecukupan, dan efisiensi serapan hara bagi tanaman yang

mengandung mikroorganisme sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan

meningkatkan hasil tanaman secara maksimal.

Gambar 3.1: Grafik pertumbuhan jumlah anakan rumput gajah kate (Pennisetum purpureum cv. Mott)

Pada pengamatan produksi berat segar tanaman, kombinasi pemupukan urea dengan biourin

(perlakuan U2B2) nyata paling tinggi (P<0,05), hal ini erat kaitannya dengan pertumbuhannya, akan

tetapi perlakuan biourin tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dengan urea. Demikian pula pada

pengamatan nisbah berat daun dan batang tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) diantara

perlakuan, tapi cendrung pemupukan kombinasi dan biourine paling baik.

Produksi Bahan Kering

Terdapat hubungan berat segar dengan berat kering (DW) dan bahan kering (DM) tanaman, dimana

DW/segar basis dan DM/segar basis dan kadar air, kombinasi pemupukan urea dengan biourine

hasilnya lebih baik akan tetapi berbeda tidak nyata (P>0,05) (Tabel 3.2).

Tabel 3.2: Berat Kering, Bahan Kering dan Kadar Air Tanaman

Perlakuan

Variabel Pengamatan

Berat Segar ( Kg)

DW/Segar Basis

( % )

DM/DW

( % ) DM/Segar Basis ( % )

Kadar

Air

( % )

U0B0 0.96c 16.91a 94.19a 8.65a 91.35a

91.45a

91.71a

91.97a

91.77a

92.24a

91.93a

91.70a

91.72a

U1B0 1.07c 16.87a 93.33a 8.55a

U2B0 1.09c 16.29a 94.62a 8.29a

U0B1 1.00c 15.97a 94.62a 8.03a

U0B2 1.48bc 16.29a 94.84a 8.23a

U1B1 1.32bc 15.35a 94.62a 7.76a

U1B2 1.29bc 15.90a 94.62a 8.07a

U2B1 1.30abc 16.41a 93.55a 8.30a

U2B2 1.89a 15.76a 94.41a 8.28a

Page 217: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

208

Hal ini menunjukkan bahwa walaupun secara prosentase bahan kering (DM) berbeda tidak nyata

(P>0,05) kemungkinan total produksi bahan keringnya berpengaruh nyata, karena berhubungan

dengan berta segar tanaman. Semua proses fisiologis tanaman dipengaruhi oleh suhu lingkungan,

sinar, air dan kesuburan tanah (Miller, 1984). Kesuburan tanah berhubungan dengan ketersediaan

unsure hara dalam tanah yang dibutuhkan oleh tanaman. Tersedianya unsure hara yang lebih banyak

dan lebih lengkap, menyebabkan meningkatnya intersepsi cahaya matahari oleh daun untuk

menghasilkan fotosintat, dan dalam perkembangan selanjutnya fotosintat ini akan ditransfer ke organ-

organ tanaman yang aktif mengadakan proses metabolisma sehingga pertumbuhan akar, batang dan

daun tanaman menjadi lebih baik dan selanjutnya akan mempengaruhi tinggi tanaman dan hasil

tanaman (Mulat, 2003). Proses fotosinteis berjalan lebih baik sehingga terbentuknya sel tanaman

lebih cepat. Sel tanaman merupakan behan dasar dalam pembentukan serat kasar, maka semakin

banyaknya terbentuknya sel semakin banyak pula serat kasarnya. Semakin tinggi serat kasar, maka

bahan kering tanaman juga semakin tinggi.

Kualitas Tanaman

Pentingnya nilai gizi hijauan dapat memiliki implikasi yang berbeda tergantung pada sistem produksi

ternak, dimana hijauan telah digunakan sebagai sumber serat untuk menjaga aktivitas rumen

(Vendramini, 2010). Wanapat . (2013) menyatakan bahwa sumber daya pakan lokal utama sangat

penting untuk pakan ruminansia terutama di daerah tropis dan daerah sub-tropis. Oleh karena itu

penyediaan bahan pakan untuk ternak tidak saja menyangkut jumlah yang tersedia, tetapi yang lebih

penting adalah kualitas. Kualitas dapat ditentukan oleh sifat bahan pakan tersebut dalam rumen seperti

bulk/density (sifat mengisi), water regain capacity (WRC) yaitu daya pegang air, dan water solubility

(WS) yaitu kelarutan. Secara kimiawi jumlah kandungan nutrient yang ada pada bahan pakan tersebut

terutama kandungan protein.

Berdasarkan data pada Tabel 3. menunjukkan bahwa kualitas fisik rumput gajah kate yang diberi

pupuk uea, biourine dan kombinasinya tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara perlakuan. Pada

pengukuran bulk density perlakuan kontrol (tanpa pemupukan cendung paling tinggi, demikian pula

pada perlakuan pupuk urea. Hal ini erat kaitannya kepadatan fisik dan pendewasaan dinding sel,

dimana perlakuan tanpa pupuk dan pemupukan urea menyebabkan terjadinya lignifikasi lebih cepat

akibat kurangnya unsure hara lain yang dibutuhkan ternak. Reksohadiprodjo (1996) menyatakan

bahwa pendewasaan dinding sel tanaman melibatkan penebalan lapisan sekunder bersamaan dengan

terjadinya lignifikasi, dan penebalan dinding terjadi diruang intraseluler sehingga berakibat kenaikan

kepadatan dinding dengan kedewasaan fisiologik. Volume fisik suatu tanaman merupakan sifat

struktural yang membangun isi sel. Bila bahan terlarut dan isi sel diambil dinding sel yang berongga

tetapi diisi oleh gas atau air, akibatnya kepadatan absolut struktur dinding menjadi hanya sedikit

bermakna dan sebaliknya vulume bulk dan kapasitas hidrasinya akan menentukan volume efektif

dalam rumen (Van Soest, 1994).

Page 218: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

209

Tabel 3.3 : Sifat Fisik dan Sifat Kimia Rumpu Gajah Kate (Pennisetum purpureum cv. Mott)

Perlakuan Sifat Fisik Sifat Kimia

Bulk density

(g/ml)

WRC

(ml/g)

WS

(%)

Serat Kasar

(%)

Protein

(%)

U0B0 253.31a 6.39a 22.0a 39,31a 10,35b

U1B0 240.89a 6.91a 21.0a 37,32a 12,08a

U2B0 252.59a 6.08a 20.7a 35,98a 12,61a

U0B1 243.67a 6.38a 25.7a 37,28a 11,96a

U0B2 232.10a 6.24a 24.3a 37,22a 12,93a

U1B1 243.19a 6.87a 21.3a 37,02a 12,54a

U1B2 249.22a 5.77a 27.0a 37,95a 12,98a

U2B1 237.41a 6.44a 24.7a 37,99a 12,68a

U2B2 234.27a 6.37a 23.3a 35,16a 13,95a

Apabila bulk density dikaitkan dengan kelarutan (solubility), maka cendrung perlakuan control (tanpa

pupuk) dan pemupukan urea paling rendah. Hal ini berkaitan dengan kepadatan dinding sel dan proses

lignifikasi yang menyebabkan terhambatnya daya larut bahan tersebut. Reksohadiprodjo (1996)

menyatakan bahwa fraksi dinding sel merupakan kontributor paling utama yang bermakna terhadap

hidrasi karena fraksi tersebut paling lamban mengalami pencernaan dan lintasannya juga paling

lambat serta mengandung komponen yang tak tercerna yang akan lolos menjadi faeces.

Hasil analisa kimia (serat kasar dan protein) menunjukkan tidak terjadi perbedaan (P>0,5) diantara

perlakuan, akan tetapi pada pengamatan kandungan protein perlakuan control (tanpa pupuk) nyata

paling rendah (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pupuk cair biourine mampu

meningkatkan kualitas rumput gajah kate (Pennisetum purpureum cv. Mott). Supardi (2001)

menyatakan pupuk organik cair dapat memberikan kebutuhan nutrisi pada tanaman terutama unsur

hara makro (N, P, K, S, Ca, Mg), zat pengatur tumbuh serta mikroorganisme tanah yang sangat

diperlukan oleh berbagai jenis tanaman. Biourine merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan

ketersediaan, kecukupan, dan efisiensi serapan hara bagi tanaman yang mengandung mikroorganisme

sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan meningkatkan hasil tanaman secara

maksimal (Dinata, 2012). Data penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan pupuk biourine

memberikan hasil yang sama terhadap kandungan proteinnya, dan hasil yang cendrung paling baik

kalau kombinasi pupuk urea dengan biourine.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan beberapa

kesimpulan sebagai berikut :

1. Penggunaan pupuk organik biourine memberikan hasil yang lebih baik pada pertumbuhan dan

produksi berat segar rumput gajah kate (Pennisetum purpureum cv. Mott) dibandingkan

pemupukan urea, dan peling baik dikombinasikan pemupukan urea dengan biourine.

2. Lebih baiknya pertumbuhan dan produksi perlakuan biourine, tidak membeikan pengaruh nyata

(P>0,05) terhadap prosentase berat kering, bahan kering dan kualitas (fisik maupun kimia), akan

tetapi cendrung pemupukan biourine kasilnya lebih baik.

Page 219: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

210

DAFTAR PUSTAKA

Dinata. A. 2012. Hubungan Pupuk Kandang dan NPK terhadap Bakteri Azotobacter dan Azospirillum

dalam Tanah serta peran Gulma untuk Membantu Kesuburan Tanah. http://marco 58

dinata.blogspot.com /2012/10/hubungan – pupuk-kandang- dan-npk-terhadap.html.Tanggal

akses 17 Juni 2013.

Hakim. N. M. Y. Nyakpa. A.M. Lubis. S.G. Nugroho. M.A. Diha. G.B. Hong. dan H.H. Bailey.

2007. Dasar – dasar Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.

Miller, D.A. 1984. Forage Crops. Mc.Graw-Hill, Inc. United States of America

Mulat.T.S.P. 2003. Membuat dan Memanfaatkan Pupuk Organik Berkualitas. Agromedia Pustaka.

Jakarta 75 hal

Reksohadiprodjo, S. 1996. Serat dan Sifat Menciri Fisiokimia Hijauan Pakan. Kursus Singkat

Teknik Evaluasi Pakan Ruminansia. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada.

Sajimin. 2000. Pengaruh Iklim dan Kondisi Ekologi terhadap Ketersediaan Hijauan Pakan Ternak.

Steel. R.G.D. and J.H. Torrie. 1989. principles and procedures of statistic.2nd Ed. McGraw-Hill

International Book Co. London

Sukira, Krisna dan Wanapat (2009). Komposisi Kimia Bahan Makanan Ternak.

Supardi, A. 2001. Aplikasi Pupuk Cair hasil Fermentasi Kotoran Padat Kambing Terhadap

Pertumbuhan Tanaman Sawi (Brassica Junceal)”.Skripsi Surakarta:FKIP UMS.

Sutari. N. W. S. 2010. Pengujian Kualitas Biourine Hasil Fermentasi dengan Mikroba yang Berasal

dari Bahan Tanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi Hijau (Brassica juncea

L.). Tesis. Program Studi Bioteknologi Pertanian. Program Pasca sarjana. Fakultas Pertanian.

Universitas Udayana. Denpasar..

Sutedjo. M. M. 1992. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Ciptaan. Jakarta.

Urribari. L.. A. Ferrer. and A. Collina. 2003. Leaf protein from ammonia treated dwarf elephant grass

(Pennisetum purpureum Schum cv Mott). Journal of Applied Biochemistry and Biotechnology.

Humana Press Inc. Vo. 122. No. 1-3. p: 721-730

Wahyu. S. 1997. Produksi dan nilai nutrisi rumput gajah (Pennisetum purpureum CV. Mott) yang

diberi dosis pupuk N. P. K berbeda pada lahan kritis Tambang Batubara. Artikel. Program Studi

Ilmu Peternakan Pascasarjana Universitas Andalas Padang.

Wanapat, M., Kang,S. and Polyorach,S. 2013. Development of feeding syatem and strategies of

supplementation to enhance rumen fermentation and ruminant production in the tropic. Journal

of Animal Science and Biotecnology. http://www.jasbsci.com/content/4/1/32. Accepted : 21

Agustus 2013.

Whiteman, P.C. 1974. The Environment and Pasture Science.A.V.C.C.Watson Ferguson and Co. Ltd.

Brisbane.

Van Soest, P.J. 2006. Rice straw, the role of silica and treatments to improve quality. Journal Animal

Feed Science and Technology. Elsevier Vol. 130, p.137-171.

http://dx.doi.org/10.1016/j.anifeedsci.2006.01.023

Page 220: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

211

POTENSI PENGEMBANGAN PASTURA PADA LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH DI

KABUPATEN BELITUNG TIMUR PROVINSI BANGKA BELITUNG

Karti P.D.M.H., Iwan P. dan Novita C.R.

Fakultas Peternakan IPB.Peternakan

Email : [email protected]

ABSTRAK

Kegiatan penambangan timah menimbulkan efek terhadap lingkungan seperti peningkatan fraksi

pasir, penurunan kandungan unsur hara, penurunan kesuburan tanah dan pencemaran logam berat.

Kondisi ini menghambat pertumbuhan tanaman, sedangkan lahan ini akan dikembangkan untuk

pembangunan pastura. Penggunaan fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat membantu pengembalian

kondisi lahan marginal. Tujuan penelitian ini yaitu mengukur tingkat keamanan penggunaan lahan,

kesuburan tanah dan mendapatkan spora FMA yang teradaptasi dengan lingkungan lahan pasca

tambang timah. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 5 perlakuan dan 3

ulangan. Perlakuan yang digunakan yaitu perbedaan jenis tanaman (rumput sp1, rumput sp2, rumput

sp3, gulma sp1, dan gulma sp2). Parameter yang diamati yaitu kesuburan tanah, kadar nutrisi dan

logam berat timah di jaringan tanaman, jumlah spora, persentase infeksi akar dan identifikasi spora.

Hasil menunjukkan lahan pasca tambang tidak tercemar timah sehingga aman untuk dikembangkan

menjadi pastura, akan tetapi kadar Protein kasar, Phosfor pada tanaman rendah. Kandungan unsur

hara makro (N,P,K, Ca, Mg) sangat rendah, Kapasitas Tukar kation dan Kejenuhan basa rendah,

Spora sudah banyak ditemukan di lahan pasca tambang timah terdiri dari 4 Genus yaitu Glomus (5

spesies), Acaulospora (2 spesies), Gigaspora dan Entropospora, dengan persentase infeksi akar yang

tinggi diatas 80 %. Glomus sp merupakan genus spora dominan dan terbukti berpotensi untuk

dikembangkan sebagai inokulum.

Kata kunci : Pastura, Lahan pasca tambang Timah, Fungi Mikoriza Arbuskula

ABSTRACT Tin mining activity caused the effect for environmental such as increased sand fraction, decreased

nutrient content, decreased soil fertility and heavy metal pollution. These conditions inhibit the plant

growth, while the land will be build the pasture. The use of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) can

returned the conditions of marginal land. The aim of this research was to measure the safe level of

land use, soil fertility and get the spores which are adapted to the environment post tin mining. This

research used Completely Randomized Design with 5 treatments and 3 replications. The treatment are

grass sp1, grass sp2, grass sp3, weed sp 1, and weed sp 2. Parameters observed that soil fertility,

nutrient and heavy metal content of tin in the plant shoot, the amount of spores, percentage of root

infection, and spores identification. The result showed that post tin-mining land safe for the pasture

because it was not content the tin in the shoot of plant, but the crude protein levels, phosphorus in the

shoot of plants were low. The content of macro nutrients in the soil (N, P, K, Ca, Mg) were very low,

presentage of cation exchange capacity and base saturation were low. Spores have been found in post

tin mining land consists of 4 Genus namely Glomus (5 species), Acaulospora (2 species), Gigaspora

and Entropospora, with a high percentage of root infection above 80%. Glomus sp was the dominant

genus with a high number of and proven potential to be developed as an inoculum.

Key words : Pasture, Post Tin Mining, Arbuscular Mycorrhizal Fungi

Page 221: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

212

PENDAHULUAN

Provinsi Bangka Belitung merupakan provinsi penghasil timah. Luas lahan pasca tambang timah di

Bangka Belitung mencapai 400.000 ha yang terdiri dari 65% lahan tandus dan 35% dalam bentuk

telaga (Sitorus ., 2008). Lahan tersebut didominasi oleh tailing, overburden, dan kolong/telaga

(Tjahyana dan Ferry 2011). Setiadi (2006) menyatakan bahwa kondisi lahan pasca tambang

mengalami perubahan seperti gangguan terhadap vegetasi, hewan dan tanah. Beberapa tanaman

seperti rumput lokal ditemukan pada areal pasca tambang timah. Hal tersebut diduga adanya bantuan

dari agen pembenah tanah untuk membantu pertumbuhannya. Salah satu agen pembenah tanah

tersebut adalah Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) karena FMA dapat beradaptasi di pasir. Fungi

Mikoriza Arbuskula adalah bentuk hubungan simbiosis mutualisme fungi dengan perakaran tanaman.

Asosiasi simbiosis antara akar tanaman dengan jamur mikoriza membentuk luas serapan yang lebih

besar dan mampu masuk ke ruang pori yang lebih kecil sehingga meningkatkan kemampuan tanaman

untuk menyerap unsur hara seperti P, N, K, Ca dan Mg (Karti, 2004). Penggunaan Fungi Mikoriza

Arbuskula (FMA) dapat membantu pengembalian kondisi lahan marginal. Tujuan penelitian ini yaitu

mengukur tingkat keamanan penggunaan lahan, kesuburan tanah dan mendapatkan spora FMA yang

teradaptasi dengan lingkungan lahan pasca tambang timah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di lahan pasca tambang timah di Desa Lenggang, Kabupaten Belitung Timur,

Provinsi Bangka Belitung. Sampel tanah dan akar diambil dari beberapa titik lokasi penelitian yang

ditumbuhi jenis tanaman dominan. Tanaman dominan tersebut yaitu beberapa tanaman yang termasuk

ke dalam golongan rumput dan gulma. Bahan yang digunakan meliputi sampel tanah, akar dan

tanaman yang diambil dari beberapa titik lokasi penelitian yang ditumbuhi jenis tanaman dominan.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 3

ulangan. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : P1 : jenis rumput sp1. P2 : jenis

rumput sp2. P3 : jenis rumput sp3. P4 : Melastoma malabathricum P5 : Imperata cylindrical.

Parameter yang diamati yaitu kesuburan tanah, kadar nutrisi dan logam berat timah di jaringan

tanaman, jumlah spora, persentase infeksi akar dan identifikasi spora. Data yang diperoleh dari

penelitian dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan

(Steel dan Torrie 1993). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis Protein kasar, P dan Sn (timah) pada jaringan tanaman yang tumbuh pada lahan pasca

tambang timah dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis pada jaringan tanaman menunjukkan kadar

protein kasar yang rendah dibawah 7 %. Untuk kadar fosfor jaringan juga menunjukkan kadar yang

rendah, sedangkan kadar timah (Sn) tidak terdeteksi ini berarti lahan pasca tambang timah ini aman

dikembangkan menjadi pastura.

Tabel 1. Hasil Analisis Protein Kasar, P (fosfor) dan Sn (Timah) pada Jaringan Tanaman

Jenis Tanaman Protein Kasar (%) P (%) Sn (ppm)

Rumput sp1. 5.56±0.13 0.06±0.03 Td

Rumput sp2. 5.25±0.16 0.12±0.06 Td

Rumput sp3. 5.25±0.29 0.03±0.02 Td

Melastoma 6.63±0.06 0.06±0.02 Td

Alang-alang 4.06±0.03 0.05±0.01 Td Sumber : Hasil analisis di Balai Penelitian Tanah, Bogor

Page 222: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

213

Hasil analisis tanah pada lahan pasca tambang timah dapat di lihat pada Tabel 2. Tekstur tanah pada

lahan tersebut di dominasi dengan pasir. pH tanah tesebut menunjukkan kriteria masam. Kadar C

organik dan unsur hara makro seperti N, P, K, Ca dan Mg yang sangat rendah. Kapasitas tukar kation

(KTK) yang sangat rendah. Kadar Al yang rendah, begitupula kadar Zn, Mn dan Cu, akan tetapi kadar

Fe yang sangat tinggi. Kadar timah (Sn) pada lahan tersebut tidak terdeteksi hal ini menunjukkan

kadar Sn yang sangat rendah, sehingga lahan tidak membahayakan untuk dijadikan kawasan pastura.

Kesuburan tanah pada lahan pasca tambang timah termasuk kategori rendah dan termasuk kedalam

lahan suboptimal.

Tabel 2. Hasil Analisis Tanah di bawah Tegakan Rumput, Melastoma dan Alang-Alang

Analisis Tanah

Jenis Tanaman

Rumput

sp1.

Rumput

sp2.

Rumput

sp3. Melastoma

Alang-

alang

Standar

rendah

Tektur (%)

Pasir/Debu/Liat 84/9/7 89/4/7 92/2/6 87/6/7 90/2/8

Tanah

berpasir

pH 5.5 5.4 5.4 5.4 4.5 4.5-5.5

C (%) 0.18 (sr) 0.22(sr) 0.14(sr) 0.11(sr) 0.47(sr) 1.00-2.00

N (%) 0.02(sr) 0.03(sr) 0.02(sr) 0.01(sr) 0.05(sr) 0.10-0.20

C/N 9(r) 9(r) 9(r) 9(r) 9(r) 5-10

P₂O₅ (ppm) 5.9(sr) 20.1(s) 18.6(s) 4.7(sr) 6.6(sr) 10-15

K₂O (ppm) 32(s) 20(r) 13(sr) 25(s) 40(s) 10-20

Ca(cmol/kg) 0.48(sr) 0.26(sr) 0.27(sr) 0.45(sr) 0.74(sr) 2-5

Mg(cmol/kg) 0.15(sr) 0.08(sr) 0.13(sr) 0.10(sr) 0.15(sr) 0.4-1.0

K(cmol/kg) 0.06(sr) 0.04(sr) 0.02(sr) 0.05(sr) 0.08(sr) 0.1-0.2

Na(cmol/kg) 0.02(sr) 0.06(sr) 0.05(sr) 0.02(sr) 0.05(sr) 0.1-0.2

KTK(cmol/kg) 2.04(sr) 1.93(sr) 1.57(sr) 1.73(sr) 2.39(sr) 5-16

KB (%) 35(s) 23(r) 30(r) 36(s) 43(s) 20-30

Al3⁺ (cmol/kg) 0.10(sr) 0.22(sr) 0.04(sr) 0.12(sr) 0.40(sr) 10-20

Fe (ppm) 318(st) 225(st) 165(st) 338(st) 554(st) <2

Mn (ppm) 0.60(sr) 1.05(sr) 2.20(sr) 0.25(sr) 0.90(sr) <9

Cu (ppm) 0.60(sr) 0.25(sr) 0.10(sr) 0.05(sr) 0.90(sr) <2

Zn (ppm) 0.05(sr) 2.36(t) 19.73(t) 3.20(t) 13.37(t) <0.6

Sn (ppm) Td Td td td td Sumber: Hasil Analisis di Balai Penelitian Tanah, Bogor.

Dari Tabel 3 menunjukkan Jumlah spora disetiap tanaman memberikan hasil yang tidak signifikan

(P>0.05), hal ini membuktikan bahwa tidak ada perbedaan respon tanaman yang mendasar terhadap

jumlah spora karena secara umum tanaman yang tumbuh pada tailing timah membutuhkan FMA

sebagai pupuk hayati untuk membantu pertumbuhannya. Pertumbuhan dan produksi rumput dibantu

oleh keberadaan spora FMA karena FMA dapat beradaptasi, berasosiasi dan mempunyai tingkat

efektifitas yang tinggi (Karti, 2003). Jumlah spora dihitung untuk mengetahui kemampuan FMA

berkembang biak pada kondisi lahan dan tanaman lokal yang ada. Spora yang dihasilkan per 50 gram

tanah berjumlah sedikit (2-14). Hal ini diduga karena sudah banyak spora yang rusak (tidak bulat

utuh, kisut, dan hilangya lipid droplet). Dari Tabel 3 terlihat bahwa tanaman inang rumput sp2, sp3

dan gulma dari Melastoma dan alang-alang menunjukkan infeksi yang lebih tinggi dibandingkan

dengan rumput sp.1. Jumlah infeksi yang tinggi menunjukkan bahwa tanaman memerlukan FMA

untuk dapat tumbuh dengan baik di lahan pasca tambang timah.

Page 223: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

214

Tabel 3. Rataan Jumlah Spora dan Persentase Infeksi Akar Pada Beberapa Jenis Tanaman Dominan

Di Lahan Pasca Tambang Timah Di Bangka Belitung

Jenis Tanaman Jumlah Spora(1) Infeksi Akar (%)(2)

Rumput sp1. 14±7.57 40±24.02b

Rumput sp2. 13±15.89 89±4.99a

Rumput sp3. 4±4.73 89±5.06a

Melastoma 2±2.08 98±2.02a

Alang-alang 3±4.62 95±5.63a Sumber: Hasil Analisis di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, PPSHB, IPB(1) dan

Laboratorium Agrostologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

IPB(2).

Identifikasi spora FMA dibatasi hingga tingkat genus. Genus yang ditemukan yaitu Entropospora,

Acaulospora, Gigaspora, dan Glomus. Spora dengan genus Glomus, Acaulospora, dan Gigaspora

merupakan genus yang teruji efektif dan mampu berkembang baik pada lahan revegetasi. Genus

dominan yang ditemukan pada lahan tailing timah ini yaitu Glomus. Hal ini didukung oleh penelitian

Nurtjahya . (2007) yang mengatakan bahwa di areal lahan tailing timah genus Glomus mencapai 44-

95%. Gigaspora yang ditemukan pada pengamatan yaitu berukuran >200μm, berwarna kuning, dan

terdapat boulbussuspensor yang ada pada bagian bawah specimen spora. Tanah berpasir sesuai untuk

perkembangan spora Gigaspora yang berukuran lebih besar dari pada spora Glomus (Budi . 2011).

Jenis Acaulospora sp1yang ditemukan memiliki ciri berukuran kecil (<100μm), berwarna bening,

lapisan germinal wall terpisah dari spore wall maupun cycatrix sedangkan pada jenis Acaulospora sp2

ditemukan spora yang berukuran >100μm, berwarna kuning, dan memiliki ornamen seperti kulit jeruk

pada lapisan spore wall. Jenis Entropospora spp. ditemukan dengan pada rumput sp1yang memiliki

ciri berukuran kecil >100μm, berwarna kekuningan, dan berkantung (saccule) dengan saccule

terdapat pada sisi yang berlawanan dari hyphae attachment.

Akar tanaman yang tidak terinfeksi oleh FMA memiliki warna yang terang dan sel-sel didalamnya

kosong, sedangkan akar tanaman yang terinfeksi sel-sel di dalamnya terisi oleh hifa, arbuskula,

vesikula dan spora internal. Hifa adalah salah satu struktur yang dihasilkan oleh FMA berupa benang-

benang halus. Diameter hifa FMA lebih kecil daripada akar tanaman dan hifa eksternal FMA dapat

mencapai 1-20 m per gram tanah. (Sylvia, 2005). Arbuskula adalah struktur yang bercabang banyak

seperti pohon dan letaknya didalam sel. Fungsinya sebagai pemindahan nutrisi antara FMA dan

tanaman inang. Vesikula merupakan struktur yang dibentuk dari hifa utama yang menggelembung

dengan bentuk seperti kantung atau bulat yang terdapat didalam atau diruang antar sel, berfungsi

sebagai tempan penyimpanan cadangan makanan (Smith dan Read, 1997).

KESIMPULAN

Lahan pasca tambang timah berpotensi dikembangkan menjadi kawasan pastura. Kesuburan tanah

pada lahan pasca tambang timah termasuk kategori rendah dan termasuk kedalam lahan suboptimal.

Empat genus FMA lokal yang terdapat pada areal lahan pasca tambang timah yaitu Glomus sp,

Acaulospora sp, Gigaspora sp dan Entropospora sp dengan dominasi spora genus Glomus. Keempat

genus spora ini sudah teradaptasi padalahan pasca timah dapat digunakan sebagai inokulum.

Page 224: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

215

UCAPAN TERIMA KASIH

Mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset

Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Hibah Kompetensi tahun 2015 dan

Kerjasama Pemanfaatan ex Tambang Timah di Provinsi Bangka Belitung tahun 2015 dari Direktorat

Pakan, Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Budi H, M Gulamadi, LK Darusman, SA Aziz dan I Mansur. 2011. Keanekaragaman Fungi Mikoriza

Arbuskula (FMA) Pada Rizosfer Tanaman Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban). Jurnal Litri

17(1): 32-40.

Karti PDMH. 2003. Respon Morfofisiologi Rumput Toleran dan Peka Aluminium terhadap

Penambahan Mikoorganisme dan Pembenahan Tanah. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

Karti, P.D.M.H. 2004. Pengaruh Pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskula terhadap pertumbuhan

dan Produksi Rumput Setaria splendida Stapf yang Mengalami Cekaman Kekeringan.

Med.Pet. 27(2) : 63-68.

Nurtjahya E, Setiadi D, Guhardja E, Muhadiono, Setiadi Y dan Mardatin NF. 2007. Status Fungi

Mikoriza Arbusukla (FMA) pada suksesi lahan pasca tambang timah di Bangka. Prosiding

Seminar Nasional Mikoriza II. 151- 159.

Setiadi Y. 2006. The Revegetation Strategies for Rehabilitating Degraded Land after Mine Operation.

www.mm.helsinki.

Sitorus SKP, Kusumastuti E dan Badri LM. 2008. Karakteristik dan Teknik Rehabilitasi Lahan Pasca

Penambangan Timah di Pulau Bangka dan Singkep. Jurnal Tanah dan Iklim. No. 27. 2008: 57-

73.

Sylvia DM. 2005. Mycorrhizal symbioses. p. 263-282. In Principle and Applications of Soil

Microbiology. 2nd Edition. New Jersey (US): Pearson Prentice Hall, Upper Saddle River.

Smith, S. E. and D. J. Read. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press, UK.

Tjahyana BE dan Ferry Y. 2011. Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah dengan Tanaman Karet

(Hevea brasiliensis). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Perkebunan. Hal. 117-123.

Page 225: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

216

PROGRAM PENGEMBANGAN KLASTER SAPI POTONG: POLA PEMELIHARAAN

DAN PENYEDIAAN LAHAN TUMBUHAN PAKAN

Akhmad Sodiq, Pambudi Yuwono dan Novie Andri Setianto

Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman

Email: [email protected]

ABSTRAK

Program klaster sapi potong dirancang untuk peningkatan populasi sapi potong dan mendukung

program nasional Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS). Implementasi program

pengembangan klaster sapi potong pada Kelompok Tani Ternak Sapi Potong (KTTSP) ditentukan

oleh pola pemeliharaan dan kondisi agroekoistem setempat. Tujuan penelitian ini adalah

mendeskripsikan pola pemeliharaan dan penyediaan lahan yang dialokasikan untuk tumbuhan pakan.

Pola yang diterapkan meliputi (i) penggemukan 4 KTTSP, (ii) pembiakan 2 KTTSP, dan (iii)

kombinasi pembiakan dan pembesaran satu KTTSP. Rataan nilai penguasaan lahan (score) dan rasio

lahan tumbuhan pakan dengan populasi sapi (%) pada pola penggemukan cenderung memiliki nilai

lebih rendah (score 8; rasio 2,22%) dibandingkan pada pola pembiakan (score 9,5; rasio 9,12%) dan

pola kombinasi pembesaran dan pembiakan (score 9; rasio 7,56%).

Kata kunci: Sapi potong, pola pemeliharaan, lahan, hijauan pakan

ABSTRACT

The beef cattle cluster program designed for the increasing beef cattle population and to support the

national program of Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS). The implementation

for beef cattle cluster development program depend on the raising type and agroecological condition.

The objectives of this study was to describe the beef cattle raising type and land allocation for forage

production. Beef cattle raising type were (i) fattening type on 4 farmer groups, (ii) cow calf operation

type on 2 farmer groups , and (iii) combination type of cow calf operation and maturing type on 1

farmer group. This study found that average of land tenure (score) and the ration between land

allocation and animal unit population (%) in fattening type tend to lower (score 8; ratio 2.22%) than

in cow calf operation type (score 9.5; ratio 9.12%) and combination type of cow calf operation and

maturing beef cattle (score 9; ratio 7.56%).

Keywords: Beef cattle, raising type, land, forage

PENDAHULUAN

Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional termasuk swasembada daging sapi terus dilakukan

melalui berbagai program dan kegiatan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Kementerian Pertanian telah melakukan Program Perceptan Pencapaian Swasembada Daging Sapi

(P2SDS) dan pada periode tersebut menjadi agenda prioritas pembangunan peternakan nasional.

Peningkatan ketersedian daging sapi domestik sebesar 90 persen menjadi target utama program

tersebut. Dukungan institusi lain seperti Bank Indonesia juga melakukan kegiatan sinergi untuk

mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan hewani secara berkelanjutan. Kantor Perwakilan

Bank Indonesia Purwokerto melalui kerjasama dengan Universitas Jenderal Soedirman bersama

pemerintah kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara mengembangkan klaster

sapi potong.

Program pengembangan klaster sapi potong merupakan kegiatan yang dirancang multi tahun (tiga

tahun) dengan tujuan jangka panjang antara lain sebagai berikut (i) peningkatan populasi sapi potong

Page 226: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

217

di wilayah klaster sebagai sumber daging sapi domestik, (ii) peningkatan jumlah UKM peternakan

sapi potong untuk tujuan penghasil pedet, (iii) peningkatan jumlah UKM peternakan sapi potong

untuk tujuan penggemukan, (iv) peningkatan skala usaha dan pendapatan UKM peternakan sapi

potong (Sodiq dkk., 2014). Untuk mewujudkan tujuan jangka panjang, secara bertahap dilakukan

pembinaan yang ditujukan kepada penguatan kelembagaan kelompok tani ternak sapi potong , alih

teknologi peternakan mencakup aspek breeding, feeding, management, serta penguatan modal dan

skala usaha melalui akses pembiayaan perbankan dan jalinan kerjasama dengan investor.

Implementasi program pengembangan klaster sapi potong di masing-masing wilayah ditentukan oleh

pola pemeliharaan dan kondisi agroekoistem setempat. Untuk keberhasilan program pengembangan

kawasan sapi potong diperlukan evaluasi terhadap komponen kawasan diantaranya adalah lahan dan

pakan (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003). Tujuan penelitian ini adalah

mendeskripsikan pola pemeliharaan dan penyediaan lahan tanaman yang dialokasikan untuk

tumbuhan hijauan pakan ternak yang diimplementasikan oleh peserta program pengembangan klaster

sapi potong.

METODE PENELITIAN

Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan lapang dan wawancara pada Kelompok Tani

Ternak Sapi Potong (KTTSP) yang menjadi peserta program pengembangan klaster sapi potong, yaitu

(i) KTTSP Lembu Sari Kecamatan Gandrungmangu Kabupaten Cilacap berserta Sub Kelompok, (ii)

KTTSP Mugi Barokah Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap, (iii) KTTSP Sari Widodo dan KTTSP

Tunas Sari Widodo Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara, (iv) KTTSP Ngudi Kamulyan

Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara, (v) KTTSP Lembu Makmur Kabupaten Banjarnegara.

Penilaian lahan mencakup dua kriteria yaitu penguasaan lahan dengan kategori <0,25Ha, 0,25-

1,25Ha, >1,25Ha, dan alokasi untuk Hijauan Makanan Ternak (Direktorat Jenderal Bina Produksi

Peternakan, 2003). Diterapkan analisis deskriptip kualitatip dan kuantitatip terhadap data pola

pemeliharaan dan penyediaan lahan untuk tumbuhan pakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola pemeliharaan sapi potong pada peserta klaster sapi potong dapat diklasifikasikan menjadi tiga

(Tabel 1) yaitu pola pembiakan yang didominasi oleh bangsa sapi Peranakan Ongole, pola

penggemukan yang didominasi oleh bangsa sapi Simental dan Limousine, dan pola pembiakan dan

pembesaran. Bangsa sapi Bali dan Madura dipelihara oleh KTTSP Lembsari beserta sub kelompok

utamanya untuk tujuan pasar pada Hari Raya I’dul Qurban. Sodiq dan Budiono (2012) melaporkan

dua pola pengembangan sapi potong di wilayah kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga dan

Banjarnegara yaitu Cow-Calf-Operation dan fattening.

Pada pola usaha pembiakan sapi potong kecenderungan diperlukan lahan relatip luas untuk tanaman

pakan ternak, dibandingkan pada pola usaha penggemukan. KTTSP Ngudi Kamulyan kabupaten

Banjarnegara memiliki lahan hijauan pakan ternak 7,4 Ha untuk memelihara populasi 82 Satuan

Ternak (ST), sedangkan KTTSP Sukamaju hanya memiliki lahan hijuan 2,8 Ha dengan populasi sai

potong 254 ST (Tabel 1). Rasio luasan lahan untuk hijauan pakan ternak dengan populasi sapi potong

tertinggi pada pola pembiakan, diikuti pola pembiakan dan pembesaran yaitu pada KTTSP Mugi

Barokah (9,84) dan KTTSP Ngudi Kamulyan (8,41) serta KTTSP Sari Widodo (7,56). Skor

penguasaaan lahan tertinggi (10) pada KTTSP Ngudi Kamulyan dengan penguasaan lahan 26,2 Ha.

Lahan tersebut, sebagian besar adalah milik pribadi peternak dan sebagian kecil adalah lahan bersama

Page 227: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

218

yang disewa oleh kelompok. Sebagian besar tanaman yang dibudidayakan adalah rumput Odot dan

Raja.

Pola penggemukan sapi potong pada KTTSP Lembusari Sub Kelompok Sukamaju dilakukan dalam

rentang waktu 3-6 bulan dengan pemberian pakan konsentrat (5-8 kg/ekor/hari) untuk bobot hidup

600-1000kg. Amoniasi jerami padi diberikan untuk sapi potong dengan penambahan molases

dicampurkan pada air minum. Untuk efisiensi biaya pakan, optimalisasi sumber daya lokal melalui

penerapan Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) dan Crop Livestock System (CLS)

sangat direkomendasikan.

Tabel 1. Pola pemeliharaan dan populasi sapi potong serta alokasi lahan untuk tumbuhan pakan

Nama Kelompok

Tani Ternak Sapi

Potong (KTTSP)

Pola

Pemeliharaan

Populasi

Sapi (ST)

Luas Lahan & Rasio dengan Populasi

Penguasaan

Lahan (Ha)

dan Nilai

Alokasi

Lahan

HMT (Ha)

Rasio Lahan

HMT dengan

Populasi (%)

Lembu Sari Penggemukan 65 jantan 3,43

(nilai: 8)

1,05

1,62

Lembu Sari Sub

Sukamaju

Penggemukan 254 jantan 3,50

(nilai: 8)

2,80

1,10

Lembu Sari Sub

Mekarsari

Penggemukan 75 jantan 3,43

(nilai: 8)

2,94

3,92

Mugi Barokah Pembiakan 23 betina

2 jantan

4,43

(nilai: 9)

2,46

9,84

Sari Widodo Pembesaran &

Pembiakan

34 jantan

5 betina

3,35

(nilai 8)

2,95

7,56

Ngudi Kamulyan Pembiakan 60 betina

28 jantan

26,2

(nilai 10)

7,4

8,41

Lembu Makmur Penggemukan 50 jantan 1,12

(nilai 8)

1,12 2,24

KESIMPULAN

Pola pemeliharaan yang diterapkan peserta program pengembangan klaster sapi potong meliputi (i)

pola pembiakan 2 KTTSP, (ii) pola penggemukan 4 KTTSP, dan (iii) pola kombinasi pembiakan dan

pembesaran satu KTTSP. Rataan nilai penguasaan lahan (score) dan rasio lahan tumbuhan pakan

dengan populasi sapi (%) pada pola penggemukan cenderung memiliki nilai lebih rendah (score 8 dan

rasio 2,22%) dibandingkan pada pola pembiakan (score 9,5 dan rasio 9,12%) dan pola kombinasi

pembesaran dan pembiakan (score 9 dan rasio 7,56%).

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2003. Kriteria Teknis Kawasan Agribisnis Peternakan

Sapi Potong. Kerjasama Direktorat Pengembangan Peternakan dengan Fakultas Peternakan

IPB. Jakarta.

Sodiq, A. dan M. Budiono, 2012. Produktivitas Sapi Potong pada Kelompok Tani Ternak di

Pedesaan. Agripet, 12(1):28-33.

Page 228: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

219

Sodiq, A., P. Yuwono dan N.A. Setianto. 2014. Pengembangan Klaster Sapi Potong: Rancangan

Program dan Kegiatan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan.

Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Page 229: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

220

PRODUKTIVITAS Indigofera zollingeriana PADA BERBAGAI TARAF NAUNGAN DAN

KEMASAMAN TANAH DI LAHAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Iwan Herdiawan, E. Sutedi, dan Sajimin

Balai Penelitian Ternak PO. Box 221 Bogor

Email: [email protected]

ABSTRAK

Lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sangat luas dan umumnya berada pada lahan sub-optimal

yang berpeluang besar bagi pengembangan peternakan dalam penyediaan hijauan pakan. Penelitian

menggunakan rancangan split plot di tiga lokasi perkebunan kelapa sawit dengan 3 taraf naungan

(main plot) dan 2 taraf kemasaman tanah (sub plot), masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4

kali. Peubah yang diamati adalah produksi, dan kandungan nutrisi tanaman. Hasil penelitian

menunjukkan tidak terdapat interaksi antara taraf naungan kelapa sawit dengan kemasaman tanah

terhadap produksi segar daun, batang/ranting, biomasa, dan nisbah daun/ranting I. zollingeriana.

Produksi segar daun, batang, biomasa, dan nisbah daun/ranting I. zollingeriana sangat nyata (P<0,01)

menurun sejalan dengan taraf naungan kelapa sawit. Kemasaman tanah nyata (P<0,05) menurunkan

produksi segar daun, batang, biomasa, dan nisbah daun/ranting. Perlakuan naungan nyata (P<0,05)

meningkatkan kandungan protein kasar, serat kasar, dan energi, sebaliknya nilai kecernaan in vitro

bahan kering dan bahan organik menurun. Kemasaman tanah nyata (P<0,05) menurunkan kandungan

kasium, kecernaan bahan kering dan bahan organik I. zollingeriana.

Kata kunci : Indigofera zollingeriana, perkebunan kelapa sawit, naungan, tanah masam

ABSTRACT

Oil palm plantations in Indonesia is very broad and generally located in a sub-optimal land that has a

great opportunity for the development of livestock in the supply of forage. The study was used split

plot design in three locations oil palm plantations with 3 levels shade (main plot) and 2 soil acidity

level (sub-plots), each treatment was repeated 4 times. The parameters observed were production, and

nutrient content. The results showed there was no interaction between the level of shade palm oil with

soil acidity on the production of fresh leaves, stems/branches, biomass, and leaves/stem ratio I.

zollingeriana. Production of fresh leaves, stems, biomass, and leaves/stem ratio I. zollingeriana highly

significant (P <0.01) decreased in accordance with the level of palm oil shade. Soil acidity

significantly (P <0.05) decrease the production of fresh leaves, stems, biomass, and leaves/twigs ratio.

Level of shade treatment significantly (P <0.05) increase the content of crude protein, crude fiber, and

energy, otherwise the value of the in vitro dry matter digestibility (IVDMD) and organic matter

digestibilyity (IVOMD) were decline. Soil acidity significantly (P <0.05) lower the calcium content,

in vitro dry matter digestibility (IVDMD) and organic matter digestibility (IVOMD) I. zollingeriana.

Keywords: Indigofera zollingeriana, oil palm plantations, shading, acid soil

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Terbatasnya penyediaan hijauan tanaman pakan di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal antara lain

adalah terbatasnya lahan produksi hijauan, kompetisi penggunaan lahan produksi, dan tingginya

angka konversi lahan. Sejalan dengan hal itu Mulyani et al. (2011), menyatakan bahwa sebagian lahan

yang tersisa untuk pengembangan pertanian ke depan adalah lahan sub-optimal atau marjinal seperti

lahan tadah hujan, lahan kering masam, dan rawa dengan berbagai permasalahan biofisik yang ada.

Mendukung pernyataan tersebut Atman (2006), melaporkan bahwa hampir sebagian besar dari luas

total tanah yang tersedia di Indonesia yaitu sebesar 190.946.500 ha. untuk keperluan areal pertanian

Page 230: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

221

diklasifikasikan sebagai tanah Ultisols atau tanah kering bersifat asam. Tanah Ultisols adalah tanah

kering yang memiliki cekaman abiotik tinggi antara lain pH tanah (<4), kandungan bahan organik

tanah, dan kapasitas tukar kation yang rendah, dan tingginya kandungan unsur Mn2+ dan aluminium

reaktif (Al3+) yang dapat meracuni akar tanaman dan menghambat pembentukan bintil akar tanaman

leguminosa (Hairiah, et al., 2005). Selanjutnya menurut Subagyo et al. (2004), tanah Ultisol lebih

banyak dimanfaatkan sebagai perkebunan dan kawasan hutan lindung mengingat cekaman abiotiknya

sangat tinggi. Seiring dengan berjalannya waktu, tanah tersebut kini banyak dimanfaatkan sebagai

lahan perkebunan kelapa sawit dengan luasan sekitar 5,3 juta hektar (BPS, 2012). Dengan demikian

lahan perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sumber lahan produksi bagi hijauan pakan

ternak.

Budidaya tanaman pakan di areal perkebunan kelapa sawit dihadapkan dua permasalahan utama, yaitu

intensitas cahaya matahari yang rendah dan tingginya cekaman kemasaman tanah. Intensitas cahaya di

bawah tegakan hutan sangat menentukan proses fotosintesis, komposisi botani, pertumbuhan, dan

kualitas nutrisi hijauan yang tersedia untuk ternak ruminansia sejenisnya (Blair et al. 1983). Seperti

dikatakan Das et al. (2008), bahwa budidaya tanaman pakan ternak di areal perkebunan kelapa sawit

terkendala dengan adanya faktor pembatas yaitu rendahnya pH tanah dan intensitas cahaya matahari

seiring bertambahnya umur kelapa sawit, yang menyebabkan penurunan produksi hijauan pakan

ternak. Secara fisiologis naungan (canopy) akan menurunkan intensitas cahaya matahari masuk, yang

mana dibutuhkan untuk proses asimilasi bagi tanaman yang ada di bawah tegakan. Lebih jauh

Crowder dan Chheda (1982), menyebutkan bahwa penurunan intensitas cahaya masuk, secara

signifikan berpengaruh pada penurunan laju asimilasi dan asupan CO2, yang pada gilirannya terjadi

penurunan kualitas dan kuantitas tanaman di bawah tegakan. Menurut Wilson and Ludlow (1990),

tingkat naungan oleh canopy tanaman perkebunan dapat mencapai 80%, tergantung dari jenis

tanaman, jarak tanam dan umur tanaman perkebunan.

Wong dan Chin (1998), menyebutkan bahwa bertambahnya umur tanaman kelapa sawit, produksi

hijauan yang tumbuh di bawahnya semakin menurun. Semakin betambahnya umur tanaman kelapa

sawit maka penetrasi cahaya yang menerobos daun kelapa sawit semakin rendah sehingga

berpengaruh terhadap produksi bahan kering tanaman yang tumbuh di bawahnya. Menurut Chin

(1998) bahwa produksi bahan kering hijauan pakan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit muda

dapat mencapai 1.600 sampai 2.600 kg/ha dan menurun hingga mencapai 600 kg/ha dengan semakin

bertambahnya umur tanaman kelapa sawit. Pada transmisi yang rendah akan memberikan pengaruh

terhadap mikroklimat yang ada di bawah kanopi, yang kemudian menyebabkan suhu tanah menjadi

lebih rendah. Kondisi demikian berpeluang menghambat pertumbuhan dan akumulasi bahan kering

pada tanaman yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit (Abdullah, 2011). Menurut Horne et al.

(1994) ada dua cara untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas dan produksi hijauan di

perkebunan kelapa sawit dan karet, yaitu introduksi spesies hijauan yang tahan akan naungan dan

perubahan pola tanam guna mendukung produksi hijauan yang berkesinambungan. Untuk itu

diperlukan teknologi budidaya pada umur tanaman sawit tertentu dan jenis tanaman pakan yang

toleran pada kondisi tersebut, sehingga produktivitas tanaman pakan memberikan kontribusi positif

pada kedua belah pihak (Zakariah, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di rumah kaca, I. zollingeriana memiliki toleransi yang

tinggi terhadap cekaman tanah masam dibandingkan C.calothyrsus, dan G. sepium (Herdiawan dan

Page 231: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

222

Sutedi, 2013). Tujuan penelitian untuk mengetahui produktivitas I. zollingeriana pada kondisi tanah

masam, dan taraf naungan kelapa sawit, dalam mendukung integrasi sapi-sawit.

METODE PENELITIAN

Pelaksanaan Kegiatan Penelitian

Penelitian dilakukan di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Deli Serdang wilayah kerja Lolitkapo,

Sumatera Utara dengan penanaman legum pohon I. zollingeriana sebagai tanaman tumpangsari.

Persiapan penanaman dilakukan dari mulai tahap persemaian pada seeding tray yang berisi media

tanah dan fine kompos, perbandingan 1 : 1 sampai umur 4 minggu, selanjutnya tanaman dipindahkan

ke polybag kecil sampai berumur 8 minggu. Setelah tanaman berumur 8 minggu, dipindahkan ke

lapangan sebagai bahan materi penelitian dengan jarak tanam 2x2 meter. Penanaman dilakukan

diantara tanaman kelapa sawit yang berumur 2, 5, dan 7 tahun pada kondisi tanah masam dan netral

dengan pemberian super dolomit 5 ton/ha.

Penelitian menggunakan Rancangan Split-Plot RAL (Gomez and Gomes, 1984), dengan perlakuan 3

taraf naungan (main plot) dan 2 taraf kemasaman tanah (sub plot), masing-masing diulang sebanyak 4

kali. Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan Solarimeter diperoleh rataan intensitas cahaya pada

umur kelapa sawit 2 tahun adalah 2632,90 kal/m2, umur tanaman kelapa sawit 5 tahun sebesar

1751,30 kal/m2, dan umur kelapa sawit 7 tahun sebesar 698,70 kal/m2. Kemasaman tanah di ukur

dengan pH tester dan kertas lakmus pada tanah yang diberi super dolomite dengan dosis 5 ton/ha,

derajat keasaman netral (pH 6,84) dan tanpa perlakuan super dolomite, derajat kemasaman masam

(pH 4,42). Pemangkasan pertama dilakukan pada umur 60 HST dan selanjutnya dipanen setiap 90

hari sekali dengan intensitas pemangkasan 1 meter diatas permukaan tanah agar tidak menganggu

tanaman utama. Peubah yang diamati dalam penelitian ini antara lain produksi (Biomasa, daun,

ranting, nisbah daun/ranting), dan kandungan nutrisi (PK, SK, Energi, Ca, P, KCBK dan KCBO in

vitro).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi I. zollingeriana

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara taraf naungan kelapa sawit dan

kemasaman tanah terhadap produksi segar biomasa I. zollingeriana (Tabel 1).

Tabel 1. Produksi segar Biomasa I. zollingeriana (g/tanaman) pada berbagai taraf naungan kelapa

sawit dan kemasaman tanah (g/tanaman)

Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan

2 tahun 5 tahun 7 tahun

Netral 6701,59 1020,00 355,11 2692,23a

Masam 6645,24 923,18 353,13 2640,52a

Rataan 6673,42a 971,59b 354,12c Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,01)

Produksi segar biomasa pada taraf naungan kelapa sawit umur 2 tahun nyata lebih tinggi sebesar

6701,59 g/pertanaman, dan terendah pada taraf naungan kelapa sawit umur 7 tahun yaitu 353.13

g/tanaman. Sementara itu taraf pemberian super dolomit (kemasaman tanah) tidak berbeda nyata.

Total produksi biomasa tanaman dan akar pada semua jenis tanaman dipengaruhi oleh naungan,

Page 232: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

223

dimana produksi tanaman sangat rendah di bawah naungan yang diikuti pula oleh produksi biomasa

bagian atas tanaman (Congdon dan addison, 2003). Dilaporkan pula bahwa rataan produksi biomasa

tanaman pakan tropis tanpa naungan (kontrol) sebesar 40,11 kg/pot , mengalami penurunan pada taraf

naungan 63% sebesar 18,99 kg/pot, dan menurun cukup tajam pada taraf naungan 76% dan 84%,

berturut-turut sebesar 7,08 dan 6,27 kg/pot.

Menurut Farizaldi (2011), produksi bahan kering hijauan baik dari jenis rumput maupun jenis legum,

pada lahan tanaman kelapa sawit umur 8 tahun lebih rendah dari produksi bahan kering hijauan pada

lahan tanaman kelapa sawit 5 dan 2 tahun. Rendahnya produksi bahan kering hijauan baik dari jenis

rumput maupun jenis legume pada lahan tanaman kelapa sawit umur 8 tahun, karena semakin

bertambah umur tanaman kelapa sawit maka ukuran bentuk konopi tanaman kelapa sawit bertambah

besar, sehingga semakin berkurang cahaya yang dapat diterima tanaman rumput dan legume yang

tumbuh dibawahnya.

Batubara . (1999). Menyatakan bahwa sSemakin tua umur kelapa sawit kebutuhan akan cahaya, air

dan unsur hara semakin bertambah, sehingga ketersediaanya bagi tanaman yang ada di bawahnya

semakin berkurang. Rata-rata produksi hijauan di bawah kelapa sawit umur 5–10 tahun adalah 10,479

ton/ha/tahun, dan mengalami peningkatan produksi sebesar 14,827 ton/ha/tahun pada umur kelapa

sawit 10–20 tahun. Hal ini disebabkan kelapa sawit yang sudah berumur tua tingkat kanopi semakin

berkurang sehingga cahaya matahari lebih banyak masuk dibandingkan yang berumur 5-10 tahun.

Hanafi et al. (2005), melaporkan hasil penelitiannya bahwa produksi segar hijauan yang ditanam

secara monokultur pada tingkat naungan kelapa sawit sebesar 55% adalah 5890,73 kg/ha, lebih baik

dibandingkan pada naungan 75% sebesar 5347,26 ton/ha. Hasil pengukuran produksi hijauan segar

per m2 untuk vegetasi yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur 2 tahun adalah 386,54 g/m2

dan pada umur 6 tahun adalah 189,29 g/m2 (Daru ., 2014).

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara taraf naungan umur kelapa sawit

dan kemasaman tanah terhadap produksi segar daun I. zollingeriana (Tabel 2.). Hal ini sejalan dengan

pendapat Jamarillo . (2010), tidak terdapat interaksi yang nyata antara tingkat naungan dan aplikasi

kapur (limestone) terhadap produksi, dan luas permukaan daun per cabang.

Tabel 2. Rataan produksi segar daun I. zollingeriana (g/tanaman) pada berbagai taraf naungan kelapa

sawit dan kemasaman tanah (g/tanaman)

Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan

2 tahun 5 tahun 7 tahun

Netral 2800,30 301,17 97,08 1066,18a

Masam 2772,16 271,06 69,46 1037,56b

Rataan 2785,23a 286,12b 83,27c Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,01)

Produksi daun segar pada taraf naungan umur kelapa sawit 2 tahun sangat nyata (P<0,01) paling

tinggi yaitu sebesar 2800,30 g/tanaman, dan terendah dicapai pada perlakuan naungan kelapa sawit

umur 7 tahun sebesar 69,46 g/tanaman. Perlakuan taraf naungan dan kemasaman tanah berpengaruh

sangat nyata terhadap produksi daun segar I. zollingeriana,.

Menurut Dı'az-Pe'rez (2013), bobot daun, batang, dan biomasa bagian atas tanaman secara signifikan

berbeda antar tingkat naungan. Dikatakan pula bahwa pada kondisi naungan, tanaman mengalami

Page 233: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

224

perubahan secara morfologis, daun lebih tipis dan lebar lebih lebar tetapi memiliki bobot yang rendah.

Sejalan dengan itu Atwell . (1999), melaporkan bahwa tanaman yang tumbuh di bawah naungan akan

memberikan respon adaptasi secara morfologis menunjukkan kutikula daun lebih tipis, umur daun

lebih panjang, posisi daun horizontal, bentuk chloroplast lebih kecil. Tingkat naungan 40% dapat

mengurangi bobot daun tomat sebesar 24% dibandingkan dengan tanaman tanpa naungan (Bertin dan

Gary, 1998).

Selanjutnya Ma . (2000), menyataka bahwa kandungan Al dalam tanah masam yang tinggi dapat

mengganggu pertumbuhan kedelai dan merusak perakaran tanaman, yang mengakibatkan tidak

efisiennya akar menyerap unsur hara dan air, sehingga menyebabkan produksi tanaman rendah.

Sejalan dengan itu Chen . (2005), manyatakan bahwa Al mengurangi asupan CO2 yang berguna dalam

proses asimilasi jeruk keprok (Citrus rehhni), yang berpengaruh pada aktivitas enzim yang terlibat

dalam siklus Calvin. Dengan terganggunya proses asimilasi akibat induksi Al, maka suplay nutrisi

bagi tanaman menjadi berkurang dan pada gilirannya produksi dan kualitas tanaman menurun

terutama pada tanaman yang peka cekaman Al. Hilman (2005), menyatakan bahwa pada lahan kering

masam, masalah ketersediaan fosfat (P) menjadi kendala utama dalam meningkatkan produksi

tanaman leguminosa.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara taraf naungan umur kelapa sawit

dan kemasaman tanah terhadap produksi segar batang/ranting I.zollingeriana (Tabel 3).

Tabel 3. Produksi segar batang/ranting I. zollingeriana (g/tanaman) pada berbagai taraf naungan

kelapa sawit dan kemasaman tanah (g/tanaman)

Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan

2 tahun 5 tahun 7 tahun

Netral 3901,29 718,83 258,03 1626,05a

Masam 3873,08 652,12 283,67 1602,96a

Rataan 3887,19a 685,48b 270,85c Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,01)

Produksi segar batang/ranting pada taraf perlakuan naungan kelapa sawit umur 2 tahun nyata lebih

tinggi sebesar 3887,19 g/tanaman, dan terendah pada taraf naungan kelapa sawit umur 7 tahun yaitu

sebesar 270,85 g/tanaman. Sedangkan pemberian super dolomit tidak berpengaruh nyata terhadap

produksi batang/ranting I. zollingeriana. Diameter batang tanaman yang ternaungi lebih kurus karena

mengalami pertumbuhan sel yang memanjang (elongated growth) dibandingkan dengan tidak

ternaungi, hal ini berpengaruh pada biomassa batang. Sejalan dengan pendapat Larcher (1995), bahwa

diameter batang berhubungan dengan bobot kering bagian atas tanaman, luas daun, dan kemampuan

tanaman untuk mengangkut air dari tanah ke daun. Wilson dan Ludlow (1991), menyatakan bahwa di

bawah naungan memberikan respon morfologi tanaman seperti peningkatan pemanjangan batang dan

berkurangnya percabangan dapat menyebabkan tunas ketiak lebih sedikit dan luas daun tetap, yang

pada gilirannya bobot kering menurun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cabe yang di bawah

naungan memiliki batang yang panjang, daun yang lebih besar luas daun seluruh tanaman, dan lebih

tipis dengan bobot daun rendah (Kittas ., 2009).

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara naungan kelapa sawit dan

kemasaman terhadap nisbah daun/ranting I. zollingeriana (Tabel 4).

Page 234: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

225

Tabel 4. Nisbah daun/batang I. zollingeriana (g/tanaman) pada berbagai taraf naungan kelapa sawit

dan kemasaman tanah

Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan

2 tahun 5 tahun 7 tahun

Netral 0,72 0,42 0,38 0,51a

Masam 0,72 0,42 0,46 0,53a

Rataan 0,72a 0,42b 0,31c Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,01)

Nisbah daun/ranting pada taraf perlakuan tanpa naungan kelapa sawit umur 2 tahun nyata (p<0,01)

lebih tinggi sebesar 0,72, dibandingkan taraf perlakuan naungan umur 5 dan 7 tahun, berturut-turut

sebesar 0,42 dan 0,31. Nisabah daun/ranting pada taraf perlakuan tanah netral dan tanah masam tidak

menunjukkan perbedaan. Shehu . (2001) menyatakan bahwa rasio daun/batang pada leguminosa

pohon sangat penting karena daun merupakan organ metabolisme dan kualitas leguminosa pohon

dipengaruhi oleh rasio daun/batang. Semakin banyak jumlah daun, kualitas leguminosa tersebut

semakin baik, karena daun merupakan bagian jaringan tanaman yang memiliki kandungan nutrisi

paling tinggi dibandingkan batang/ranting.

Nisbah tajuk/akar meningkat pada tanaman di bawah naungan, hal ini sebagai akibat dari peningkatan

proporsi bagian tajuk dengan mengorbankan sistem perakaran guna mendapatkan kecukupan cahaya

matahari untuk proses asimilasi (Atwell ., 1999). Pengalokasian sumber daya secara berlebihan dari

akar ke tunas, dapat menyebabkan masalah di mana tanaman rentan mengalami stres air secara

periodik dan pemangkasan yang intensif.

Penurunan sistem perakaran yang terlalu tinggi menyebabkan penurunan produksi bahan kering dan

periode pemulihan lebih lama pada tanaman di mana pertumbuhan kembali setelah

defoliasi/penggembalaan berhubungan dengan cadangan karbohidrat dan mineral yang terletak pada

bagian akar (Wilson and Ludlow 1991). Menurut Kharim . (1991), bertambahnya umur tanaman

mengakibatkan perbandingan daun dengan batang semakin kecil. Rendahnya imbangan daun dan

batang berpengaruh terhadap kandungan protein kasar, dan energi. Karena kandungan protein dan

energi paling banyak didapat pada daun dibandingkan dengan batang, apabila rasio daun lebih besar

dibandingkan dengan batang maka jumlah protein dan energi pada tanaman semakin tinggi yang

sangat berperan dalam produktivitas ternak.

Kandungan Nutrisi Legum I. zollingeriana

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara naungan kelapa sawit dan

kemasaman tanah terhadap kandungan protein kasar I. zollingeriana (Tabel 5).

Tabel 5. Kandungan protein kasar I. zollingeriana pada berbagai taraf naungan kelapa sawit dan

kemasaman tanah (%)

Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan

2 tahun 5 tahun 7 tahun

Netral 23,94 26,01 27,14 25,71a

Masam 22,35 25,20 26,83 24,79a

Rataan 23,15c 25,61b 26,99a

Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)

Page 235: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

226

Kandungan protein kasar pada taraf perlakuan naungan naungan kelapa sawit umur 2 tahun nyata

(P<0,05) lebih tinggi sebesar 26,99%, dibandingkan taraf perlakuan naungan umur 5 dan 7 tahun,

berturut-turut sebesar 25,61 dan 23,15%. Kandungan protein kasar pada taraf perlakuan tanah netral

dan tanah masam tidak berbeda. Daru . (2014), melaporkan bahwa kandungan protein kasar pada

tanaman yang tumbuh di bawah kelapa sawit umur 6 tahun lebih tinggi. Naungan memilki pengaruh

langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas hijauan, sehingga dapat merubah komposisi kimia.

Selanjutnya menurut Wilson dan Wild (1995), bahwa konsentrasi N dalam bagian daun tanaman

secara konsisten lebih besar di bawah naungan dibandingkan dengan perlakuan tanpa naungan.

Umumnya peningkatan konsentrasi N yang cukup besar dalam daun pada perlakuan naungan yaitu

sebesar 63% dibandingkan dengan tanpa naungan. Bagaimanapun peningkatan naungan sampai 76

dan 84% memberikan sedikit peningkatan N pada daun, namun tidak pada tingkat sebelumnya.

Konsentrasi N pada material tanaman yang tumbuh di bawah naungan secara umum mengalami

peningkatan (Humphreys 1994). Demikian pula Congdon dan Addison (2003), menyatakan bahwa

konsentrasi N pada daun sangat dipengaruhi oleh kondisi naungan, dimana konsentrasinya meningkat

pada perlakuan dibawah naungan dibandingkan dengan kontrol, namun tidak ada perubahan yang

nyata terhadap konsentrasi P pada daun. Menurut Kephart and Buxton (1993) konsentrasi protein

kasar jauh lebih responsif terhadap naungan dibandingkan komponen kualitas lainnya. Disebutkan

pula bahwa naungan sebesar 63% dapat meningkatkan konsentrasi protein kasar sebesar 26% pada

rumput. Meningkatnya konsentrasi senyawa nitrogen akibat naungan biasanya dengan mengorbankan

karbohidrat terlarut. Norton . (1990) menyatakan tanaman pakan yang ditanam di bawah naungan

mempunyai kandungan nitrogen yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada

lahan terbuka.

Tingginya kandungan nitrogen disebabkan kondisi naungan yang membuat ketersediaan nitrogen

dalam tanah mudah diserap oleh tanaman yang pada akhirnya akan meningkatkan kandungan nitrogen

dalam jaringan tanaman (Wilson dan Ludlow, 1990; Wong dan Wilson, 1980). Yayneshet . (2009),

melaporkan bahwa kandungan protein kasar dari tanaman pakan dalam wilayah semi-arid di Ethiopia

secara drastis menurun, disebabkan cekaman kering dan kemasaman tanah. Kandungan komponen

struktural (NDF, ADF dan ADL) lebih tinggi ditemukan selama musim kemarau terutama pada tanah

masam kemungkinan disebabkan karena tingginya lignifikasi dan stadium kematangan tanaman

(Hussain dan Durrani, 2009). Khan et al. (2008), menyatakan bahwa terlalu sering menggunakan

pupuk anorganik akan merusak struktur tanah, meningkatkan keasaman tanah, menyebabkan

ketidakseimbangan nutrisi, dan menurunkan produksi dan kualitas tanaman.

Tabel 6. Kandungan serat kasar I. zollingeriana pada berbagai taraf naungan kelapa sawit dan

kemasaman tanah (%)

Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan

2 tahun 5 tahun 7 tahun

Netral 14,76 17,10 17,68 16,51a

Masam 12,37 18,22 18,12 16,24a

Rataan 13,57c 17,66b 17,90b

Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)

Page 236: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

227

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara naungan umur kelapa sawit dan

kemasaman tanah terhadap kandungan serat kasar I. zollingeriana (Tabel 6). Kandungan serat kasar

pada taraf perlakuan naungan umur kelapa sawit 2 tahun nyata (P<0,05) lebih rendah sebesar 13,57

%, dibandingkan taraf perlakuan naungan kelapa sawit umur 5 dan 7 tahun, berturut-turut sebesar

17,66 dan 17,90%. Serat kasar pada taraf naungan kelapa sawit umur 5 dan 7 tahun tidak berbeda

nyata. Selanjutnya kandungan serat kasar berdasarkan pada taraf perlakuan tanah netral dan masam

tidak menunjukkan perbedaan.

Blair et al. (1983), melaporkan bahwa kandungan protein kasar dan konstituen dinding sel seperti

ADF dan selulosa meningkat sejalan dengan kerapatan naungan. Menurut Humphreys (2005), derajat

kanopi tanaman akan mengubah kualitas spektrum cahaya yang akan sampai pada permukaan daun,

hal ini akan berefek pada proses tiller dan germinasi. Cahaya yang merupakan komponen dalam

proses fotosintesis yang mengkonversi karbon monoksida dan air menjadi glukosa, dan sturktur

karbon yang membentuk dinding sel, selulosa dan hemiselulosa. Penurunan intensitas cahaya tidak

mempengaruhi kadar lignin, namun, kandungan lignin tertinggi dicapai pada naungan rapat (Blair et

al., 1983).

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara naungan kelapa sawit dan

kemasaman tanah terhadap kandungan energi I. zollingeriana (Tabel 7).

Kandungan energi pada taraf perlakuan naungan kelapa sawit umur 7 tahun nyata (P<0,05) lebih

tinggi sebesar 4015,0 Kkal/kg, dibandingkan taraf perlakuan naungan umur 2 dan 5 tahun, masing-

masing sebesar 3749,0 dan 3895,3 Kkal/kg. Selanjutnya kandungan energi berdasarkan taraf

perlakuan tanah netral nyata lebih rendah sebesar 3790,3 Kkal/kg dibandingkan tanah masam yaitu

sebesar 3982,5 Kkal/kg.

Tabel 7. Kandungan energi I. zollingeriana pada berbagai taraf naungan kelapa sawit dan kemasaman

tanah (Kkal/kg)

Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan

2 tahun 5 tahun 7 tahun

Netral 3406,0 3875,0 4090,0 3790,3b

Masam 3623,0 3940,0 4384,5 3982,5a

Rataan 3514,5c 3907,5b 4237,25a

Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)

Dengan meningkatnya taraf naungan maka pembentukkan struktur karbon pada dinding sel tanaman

semakin meningkat pula, sehingga pada gilirannya kandungan serat kasar meningkat, yang akan

berdampak pada kandungan energi bahan tersebut. Energi merupakan hasil metabolisme makanan

yang berasal bahan makanan sumber energi seperti karbohidrat termasuk didalamnya serat kasar,

selulosa, hemiselulosa, dan lignin, dicerna oleh bakteri rumen dalam saluran pencernaan ternak

ruminansia (Dewurst et al.,2009).

Energi yang dihasilkan dari proses metabolisme tersebut dipergunakan untuk maintenan, pertumbuhan

dan produksi susu, daging, telur, dan wool (Wiliam, 2010). Energi kasar (GE) merupakan salah satu

hasil metabolisme serat kasar yang terjadi dalam saluran pencernaan ternak ruminansia dengan

bantuan enzim dan mikroba rumen. Seperti dinyatakan Dewhurst et al. (2009), kenaikan gross energi

dari hijauan pakan selalu sejalan dengan kenaikan serat kasar dari bahan kering hijauan, terutama

Page 237: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

228

komponen selulosa yang mudah dihidrolisis asam atau enzim selulase yang dihasilkan oleh

mikroorganisme rumen menjadi monomer glukosa. Menurut Kharim . (1991), bertambahnya umur

tanaman dan cekaman kering mengakibatkan penurunan nisbah daun/batang sedangkan nisbah

batang/daun meningkat, hal ini berpengaruh terhadap penurunan kandungan protein kasar, tetapi

sebaliknya kandungan energi kasar mengalami peningkatan. Karena kandungan energi kasar paling

banyak didapat pada bagian batang karena terdiri atas karbohidrat dalam bentuk serat kasar (selulosa,

hemiselulosa, dan lignin).

Tabel 8. Kandungan Kalsium (Ca) I. zollingeriana pada berbagai taraf naungan kelapa sawit dan

kemasaman tanah (%)

Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan

2 tahun 5 tahun 7 tahun

Netral 0,92 0,94 1,71 1,19a

Masam 0,78 0,81 0,90 0.83b

Rataan 0,85c 0,88b 1,31a

Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara naungan kelapa sawit dan

kemasaman tanah terhadap kandungan kalsium (Ca) I. zollingeriana (Tabel 8). Kandungan Kalsium

(Ca) pada taraf perlakuan naungan umur kelapa sawit 7 tahun nyata (P<0,05) lebih tinggi sebesar

1,31 %, dibandingkan taraf perlakuan naungan 2 dan 5 tahun, berturut-turut sebesar 0,85 dan 0,88%.

Selanjutnya kandungan Kalsium (Ca) taraf perlakuan tanah netral nyata (P<0,05) lebih tinggi sebesar

1,19% dibandingkan tanah masam sebesar 0,83%. Menurut Balair et al. (1983), konsentrasi phosfor

dan kalsium nyata lebih tinggi pada perlakuan naungan rapat, dibandingkan naungan sedang dan

tanpa naungan.

Tabel 9. Kandungan Phosfor (P) I. zollingeriana pada berbagai taraf naungan kelapa sawit dan

kemasaman tanah (%).

Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan

2 tahun 5 tahun 7 tahun

Netral 0,25 0,27 0,28 0,27a

Masam 0,24 0,25 0,26 0,25b

Rataan 0,25c 0,26b 0,27a

Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara taraf naungan kelapa sawit dan

pemberian super dolomit terhadap kandungan phosfor (P) I. zollingeriana (Tabel 9). Kandungan

phosfor (P) pada taraf perlakuan naungan kelapa sawit umur 7 tahun nyata lebih tinggi sebesar 0,27%

dibandingkan taraf naungan kelapa sawit umur 2 dan 5 tahun, berturut-turut sebesar 0,25 dan 26%.

Selanjutnya pada kondisi tanah netral, kandungan phosfor (P) nyata lebih tinggi sebesar 0,27%

dibandingkan tanah masam sebesar 0,25%. Menurut Balair et al. (1983), konsentrasi phosfor (P) dan

kalsium (Ca) nyata lebih tinggi pada perlakuan naungan rapat, dibandinhgkan naungan sedang dan

sinar matahari penuh. Sedangkan Congdon dan Addison (2003), menyatakan bahwa konsentrasi N

pada daun sangat dipengaruhi oleh kondisi naungan, dimana konsentrasinya meningkat pada

Page 238: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

229

perlakuan dibawah naungan dibandingkan dengan kontrol, namun tidak ada perubahan yang nyata

terhadap konsentrasi phosfor (P) pada daun.

Tabel 10. Kecernaan bahan kering (IVDMD) I. zollingeriana pada berbagai taraf naungan kelapa

sawit dan kemasaman tanah (%).

Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan

2 tahun 5 tahun 7 tahun

Netral 72,41 67,65 63,29 67,78a

Masam 70,65 63,25 62,27 65,39b

Rataan 71,53a 65,45a 62,78c

Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara naungan kelapa sawit dan

pemberian super dolomit terhadap kecernaan bahan kering (KCBK) I. zollingeriana (Tabel 10).

Kecernaan bahan kering pada taraf perlakuan kelapa sawit umur 2 tahun nyata (P<0,05) lebih tinggi

sebesar 71,53%, dibandingkan taraf perlakuan naungan kelapa sawit umur 5 dan 7 tahun, masing-

masing sebesar 65,45 dan 62,78 %. Selanjutnya kecernaan bahan kering pada taraf perlakuan tanah

netral nyata lebih tinggi sebesar 67,78% dibandingkan tanah masam yaitu sebesar 65,39%.

Kecernaan bahan kering menurun karena naungan semakin rapat akan meningkatkan nilai serat kasar

pada tanaman. Menurut Blair et al. (1983), nilai kecernaan bahan kering sangat baik di bawah sinar

matahari penuh atau naungan sedang. Nilai kecernaan bahan kering secara in vitro merupkan jumlah

bahan kering yang dapat dicerna dan tidak dieksresikan dalam bentuk feses serta diasumsikan sebagai

bagian yang diabsorpsi oleh ternak (Chuzaemi dan Bruchem, 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa

salah satu penyebab rendahnya kecernaan bahan kering adalah tingginya kandungan lignin yang

terdapat pada dinding sel kulit tanaman yang dapat menghambat enzim untuk mencerna serat dengan

normal. Sleugh et al. (2001), penurunan kecernaan bahan kering sejalan dengan frekuensi

pemangkasan, karena terjadinya akumulasi serat yang tidak dapat dicerna, peningkatan lignifikasi,

dan penurunan nisbah daun/batang, akan membentuk struktur dinding sel, sehingga sulit dicerna

mikroba rumen.

Nilai kecernaan rumput dan leguminosa pada umumnya mengalami penurunan dengan bertambahnya

umur tanaman, dan penurunan kadar air tanah, karena terjadi peningkatan konsentrasi serat kasar pada

bagian jaringan tanaman, peningkatan lignifikasi dan penurunan nisbah daun/batang (Nisa et al,

2004).

Tabel 11. Kecernaan bahan organik (IVOMD) I. zollingeriana pada berbagai taraf naungan kelapa

sawit dan kemasaman tanah (%)

Kemasaman tanah Taraf naungan kelapa sawit

Rataan 2 tahun 5 tahun 7 tahun

Netral 70,16 63,65 60,32 64,71a

Masam 68,62 61,25 60,86 63,58b

Rataan 69,39a 62,45b 60,59c Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)

Page 239: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

230

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara naungan kelapa sawit dan

kemasaman tanah terhadap kecernaan bahan organik (KCBO) I. zollingeriana (Tabel 11). Kecernaan

bahan organik pada taraf perlakuan naungan kelapasawit umur 2 tahun nyata lebih tinggi sebesar

69,39 %, dibandingkan taraf perlakuan naungan kelapasawit umur 5 dan 7 tahun, masing-masing

sebesar 62,45 dan 60,59 %. Selanjutnya kecernaan bahan organik berdasarkan taraf perlakuan

pemberian super dolomit nyata (P<0,05) lebih tinggi sebesar 64,71% dibandingkan tanah tanpa super

dolomit yaitu sebesar 63,58%.

Kecernaan bahan organik hijauan pakan ternak merupakan nilai bahan organik termasuk protein

kasar, karbohidrat, lemak, yang dapat dicerna dan tidak di ekskresikan melalui feses, serta dapat

digunakan sebagai indikator kualitas dari hijauan pakan ternak secara keseluruhan. Rendahnya nilai

kecernaan bahan organik sama seperti halnya kecernaan bahan kering disebabkan oleh tingginya

kandungan serat kasar terutama lignin pada bahan dasar hijauan pakan ternak tersebut. Kecernaan

bahan organik tanaman I. zollingeriana tertinggi sebesar 76,02% dan terendah sebesar 63,86%, masih

lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kecernaan tanaman Gliricidia sepium yaitu sebesar 60,82%

(Sanchez et al. 2005). Menurut González dan Hanselka (2002), nilai kecernaan bahan organik hijauan

pakan ternak, dari musim hujan ke musim kemarau mengalami penurunan yang signifikan sejalan

dengan meningkatnya konsentrasi beberapa komponen pembentuk serat kasar. Menurut Hassen, et al.

(2007), semua spesies tanaman Indigofera memiliki konsentrasi abu, protein kasar, dan KCBO yang

lebih tinggi pada saat musim semi, tetapi kandungan NDF lebih rendah.

KESIMPULAN

Semakin rapat naungan kelapa sawit (5 dan 7 tahun), produksi segar I. zollingeriana mengalami

penurunan cukup tajam, baik pada kondisi tanah netral maupun masam. Kandungan nutrisi (PK, SK,

energi, Ca, dan P) Indigofera meningkat sejalan dengan kerapatan naungan (5 dan 7 tahun), tetapi

sebaliknya kecernaan bahan kering (IVDMD) dan bahan organik (IVOMD) mengalami penurunan.

I.zollingeriana tidak toleran terhadap naungan (Canopy) rapat kelapa sawit (5 dan 7 tahun), tetapi

pada taraf naungan rendah kelapa sawit (2 tahun) masih memberikan kualitas dan kuantitas yg lebih

baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, L. 2011. Prospek Integrasi Perkebunan Kelapa Sawit-Sapi Potong dalam Upaya Percepatan

Pencapaian Swasembada Daging Nasional 2014 : Sebuah Tinjauan Perspektif Penyediaan

Pakan. Orasi Ilmiah, disampaikan pada Sidang Senat Terbuka (Wisuda) V Sekolah Tinggi Ilmu

Pertanian Kutai Timur. Sangatta.

Atman. 2006. Pengelolaan tanaman kedelai di lahan kering masam. Jurnal Ilmiah Tambua, Vol. V,

No. 3: 281-287 .

Atwell B, Kriedemann P, Turnbull C. 1999. Plants in Action - Adaptation in Nature, Performance in

Cultivation. McMillan Education Australia Pty. Ltd., South Yarra.

Badan Pusat Statisik 2012. Statistik Indonesia 2012.Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.Jakarta.

Baihaki A. 2005. Pemuliaan Tanaman Pakan Ternak. Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan

Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Pp.34-44.

Page 240: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

231

Batubara, A., I. kasup, A.A. Kesma. A. irfan, H. Simanjuntak dan Harahap P. 1999. Kajian integrasi

penggemukan ternak sapi potong di lahan perkebunan kelapa sawit. Laporan Hasil Kegiatan

BPTP Riau. 2000

Bertin, N. and C. Gary. 1998. Short and long term fluctuations of the leaf mass per area of tomato

plants - Implications for growth models. Ann. Bot. (Lond.) 82:71–81.

Blair RM, Rene A, Austin H. 1983. Shade Intensity Influences the Nutrient Quality and Digestibility

of Southern Deer Browse Leaves. Journal of Range Management 36(2), March 1983.pp. 257-

263.

Chen LS. 2006. Physiological Responses and Tolerance of Plant Shoot to Aluminum Toxicity.

Journal of Plant Physiology and Molecular Biology 2006, 32 (2): 143-155 143.

Chin FY. 1998. Sustainable use of ground vegetation under mature oil palm and rubber trees fo

commercial beef production. Dalam: de la Vina, A.C., Moog, F.A., (eds). Proceedings of 6th

Meeting of the Regional Working Group on Grazing and Feed Resources for Shoutheast Asia.

Legaspi City, Philippines.

Chung GF. 1993. Herbicide evaluation for general weed control in immature oil palm with and

without EFN mulching. Dalam: Jalami Sukaimi et.al., (eds). PORIM International Palm Oil

Congress: Update are vision. Ministry of Primary Industries Malaysia.

Chuzaemi, S. dan J.V. Bruchem. 1990. Fisiologi Nutrisi Ruminansia. KPK UGM – Brawijaya.

Program Pasca Sarjana. Spesialisasi Pakan Ternak. Universitas Brawijaya . Malang.

Congdon B. and Addison H. 2003. Optimising nutrition for productive and sustainable farm forestry

systems. pasture legumes under shade. A report for the RIRDC/Land & Water

Australia/FWPRDCMDBC.Joint Venture Agroforestry Program.James Cook University,

Townsville. Pp. 1-99.

Crowder LV, HR. Chheda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longman group. New York.

Daru TP, Yulianti A, Widodo E. 2014. Potensi hijauan di perkebunan kelapa sawit sebagai pakan sapi

potong di Kabupaten Kutai Kartanegara. Media Sains, Volume 7 Nomor 1, April 2014 ISSN

2085-3548. P. 79-86.

Das DK, OP. Chaturvedi, MP Mandal, R Kumar. 2008. Effect of tree plantations on biomass and

primary productivity of herbaceous vegetation in eastern India. Tropical Ecology 49: 95-101.

Dewhurst RJ, L Delaby, A Moloney, T Boland and E Lewis. 2009. Nutritive value of forage legumes

used for grazing and silage. Irish Journal of Agricultural and Food Research, Vol. 48, No. 2.

Dewi IR, Miftahudin, Utut S, Hajrial A and Alex H. 2010. Karakter Root Re-Growth Sebagai

Parameter Toleransi Aluminium pada Tanaman Padi. Jurnal Natur Indonesia 13(1), 82-88.

Dı´az-Pe´rez JC. 2013. Bell Pepper (Capsicum annum L.) Crop as Affected by Shade Level:

Microenvironment, Plant Growth, Leaf Gas Exchange, and Leaf Mineral Nutrient

Concentration. HORTSCIENCE 48(2):175–182.

Farizaldi. 2011. Produktivitas Hijauan Makanan Ternak Pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit

berbagai Kelompok Umur di PTPN 6 Kabupaten Batanghari Propinsi Jambi. Jurnal Ilmiah

Ilmu-Ilmu Peternakan November 2011, Vol. XIV. No.2

Gomez KA, and Gomez AA. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. 2nd Edition.

University of the Philiphines at Los Banos, Philiphines. 139-154.

Page 241: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

232

González-V EA, and CW Hanselka. 2002. Ecología y manejo de matorrales. Caso provincia biótica

tamaulipeca. INIFAP-Texas A&M University. Social and Comercial Press. Cd. Victoria,

Tamps, Mexico.

Hanafi DN, Umar S, dan Bachari I. 2005. Pengaruh tingkat naungan pada berbagai pasture campuran

terhadap produksi hijauan. Jurnal Agribisnis Peternakan, vol. 1, no 3. Pp. 100-105.

Hassen A, Rethman NFG, Van Niekerk, and Tjelele TJ. 2007. Influence of Season/year and Species

on Chemical Composition and In Vitro Digestibility of Five Indigofera accessions. J Anim Feed

Sci Technol 136:312–322Heuer B and A Nadler. 1998. Physiological respone of potato plants

to soil salinity and water deficit. Science 43‐51.

Hilman Y, Kasno A, dan Saleh N. 2004. Kacang-kacangan dan umbi-umbian: Kontribusi terhadap

ketahanan pangan dan perkembangan teknologinya. Dalam Makarim, et al. (penyunting).

Inovasi pertanian tanaman pangan. Puslitbangtan Bogor:95-132 hlm.

Horne, P. M. 1994. Agroforestry Plantation System : Sustainable Forage And Animal In Rubber And

Oil Palm Plantation. Paper Presenten To ACIAR Sponsored Symposium “Agroforestry And

Animal Producton For Human Welfare” At 7th Animal Science Congress Of Australian-Asia

Animal Production System Societies, Bali –Indonesia, july 11-16.

Humphreys LR. 2005. Tropical Pasture Utilitisation. Cambridge university press. Cambridge.

Humphreys LR. 1994. Tropical Forages - their use in sustainable agriculture. Longman Scientific and

Technical, Bath.

Hussain F, dan Durrani MJ. 2009. Nutritional evaluation of some forage plants from Harboi

Rangeland , Kalat, Pakistan. Pakistan J. Bot. 41:1137-1154.

Jaramillo B, Ricardo Henrique Silva Santos, Herminia Emilia Prieto, Martinez, Paulo Roberto Cecon,

and Merci Pereira Fardin. 2010. Production and vegetative growth of coffee trees under

fertilization and shade levels Catalina Sci. Agric. (Piracicaba, Braz.), v.67, n.6, p.639-645.

Kephart KD, and Buxton DR. 1993. Forage quality responses of C3 and C4 perennial grasses to

shade. Crop. Sci. 33: 831-837

Khan HZ, Malik MA, and Saleem MF. 2008. Effect of rate and source of organic material on the

production potential of spring maize (Zea mays L.). Pak J Agric Sci 45: 40–43.

Kharim AB, Rhodes ER, and Savill PS. 1991. Effect of Cutting Interval on Dry Matter Yield of of

Leucaena leucocephala (Lam) De Wit. J Agroforest Syst 16: 129-137.

Kittas C, N Katsoulas, N Rigakis, T Bartzanas, and E Kitta. 2012. Effects on microclimate, crop

production and quality of a tomato crop grown under shade nets. J. Hort. Sci. Biotechnol. 87:7–

12.

Larcher W. 1995. Physiological plant ecology. Ecophysiological and stress physiology of functional

groups. Springer, Berlin, Germany.

Mulyani A, S Ritung, dan Irsal Las. 2011. Potensi dan ketersediaan sumber daya lahan untuk

mendukung ketahanan pangan. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2) : 73-80.

Nisa M, M Sarwar, and MA Khan. 2004. Influence of urea treated wheat straw with or without corn

steep liquor on feed consumption, digestibility and milk yield and its composition in lactating

Nili-Ravi buffaloes. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 17:825-830.

Page 242: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

233

Norton BW, JR Wilson, HM Shelton, and KD Hill, 1990. The Effect of shade on forage quality. In:

H.M. Shelton and W.W Sturs (eds.). Forages for Plantation Crops. Proceeding of workshop,

Sanur, Bali, Indonesia. 83 – 88.

Sánchez MI, Green AJ, and Castellanos EM. 2005. Seasonal variation in the diet of the redshank

Tringa totanus in the Odiel Marshes, south-west Spain: a comparison of faecal and pellet

analysis. Bird Study 52:210–216

Shehu Y, Al-Hassan WS, Pal UR, and Philips CSJ. 2001. Yield and Chemical Composition Response

of Lablab purpureus to Nitrogen, Phosphorus and Potassium Fertilizers. J Trop Grassl 35: 180-

185.

Sleugh BB, KJ Moore, EC Brummer AD, Knapp, J Russell, and L Gibson. 2001. Forage nutritive

value of various Amaranth species at different harvest dates. Crop Sci. 41:466-472.

Subagyo H, Suhartab N, dan Siswanto AB. 2004. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. hlm. 21−66.

Dalam A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus, D. Djaenudin (Ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia

dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor

Ulfi N. 2005. Potensi dan peluang pengembangan sistem integrasisawit-sapi di Provinsi Jambi.

Prosiding Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan, Bogor.

Umar S. 2009. Potensi perkebunan kelapa sawit sebagai pusat pengembangan sapi potong dalam

merevitalisasi dan mengakselerasi pembangunan peternakan berkelanjutan. Pidato Pengukuhan

Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Reproduksi Ternak pada Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Utomo BN, dan E. Widjaja. 2012. Pengembangan sapi potong berbasis industri perkebunan kelapa

sawit. J. Litbang Pert. Vol. 31 No 4. Desember 2012 : 153-161.

William PW. 2010. Refining the Net Energy System. WCDS Advances in Dairy Technology (2010)

Volume 22: 191-202

Wilson JR, and Ludlow MM. 1991. The environment and potential growth of herbage under

plantations. In: ACIAR Proceedings - Forages for Plantation Crops, Sanur Beach, Bali,

Indonesia (ed. W. W. Stur) pp. 10 - 24. Australian Centre for International Agricultural

Research, Canberra.

Wilson JR, and Wild DWM. 1995 Nitrogen availability and grass yield under shade environments. In:

ACIAR 64 - Integration of Ruminants into Plantation Systems in Southeast Asia (eds B. F.

Mullen & H. M. Shelton) Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra.

Wong CC, and JR Wilson, 1980. Effect of shading on growth and nitrogen content of green panic and

siratro in pure and mixed swards defoliated at two frequencies. Australian Journal of

Agriculture Research. 31: 269-285.

Yayneshet T, LO Eik, and SR Moe. 2009. Seasonal variations in the chemical composition and dry

matter degradability of enclosure forages in the semi-arid region of Northern Ethiopia. Anim

Feed Sci Tech 148:12-33.

Zakariah MA. 2012. Pengembangan tanaman hijauan pakan dibawah naungan tanaman perkebunan.

Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2012

Page 243: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

234

KANDUNGAN PROTEIN KASAR DAN KECERNAAN PROTEIN SILASE DALAM

BERBAGAI PERBANDINGAN CAMPURAN JERAMI JAGUNG-LEGUM INDIGOFERA

ZOLLINGERIANA

Rahmi Dianita, A. Rahman Sy, Ubaidillah dan Ahmad Yani

Fakultas Peternakan Universitas Jambi

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui kandungan protein dan kecernaan protein silase dalam berbagai

perbandingan campuran jerami jagung-legum Indigofera zollingeriana. Penelitian dilaksanakan

dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan: P1 = 100% jerami jagung; P2 =

100% daun legum I. zollingeriana; P3 = 70% jerami jagung + 30% daun legum I. zollingeriana; P4 =

60% jerami jagung + 40% daun legum I. zollingeriana; dan P5 = 50% jerami jagung + 50% daun

legum I. zollingeriana. Peubah yang diamati adalah pH, kandungan protein kasar (% PK) dan

kercernaan in vitro protein kasar (% KcPK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa silase yang

dihasilkan mempunyai karakteristik fisik (warna, aroma dan tekstur) yang baik dan tidak terdapat

kerusakan akibat jamur. Perlakuan P1, P2, P3, P4, dan P5 menunjukkan hasil yang berbeda nyata

(P<0,05) untuk kandungan PK dan KcPK. Kandungan PK semakin meningkat dengan meningkatnya

proporsi legum dalam campuran silase, namun KcPK semakin menurun meskipun antara perlakuan

P3, P4 dan P5 tidak berbeda nyata (P>0,05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan silase campuran

jerami jagung- I. zollingeriana secara fisik mempunyai kualitas yang baik dan proporsi perbandingan

70:30 terbaik untuk kandungan protein kasar dan kecernaan protein kasar silase secara in vitro.

Kata kunci: Indigofera zollingeriana, jerami jagung, protein kasar, kecernaan protein kasar

ABSTRACT

The objective of this study was to determine protein content and in vitro protein digestibility of silage

in different proportions mixed maize-legume Indigofera zollingeriana. The experiment was conducted

using a completely randomized design with treatments as followed: P1 = 100% maize stover; P2 =

100% I. zollingeriana leaves; P3 = 70% maize stover + 30% I. zollingeriana leaves; P4 = 60% maize

stover + 40% I. Zollingeriana leaves; and P5 = 50% maize stover + 50% I. zollingeriana leaves.

Parameters measured were pH, crude protein content (% CP) and in vitro crude protein digestibility

(%CPD) of silage. The results showed that silage fermentation resulted a good physical characteristic

(color, flavor and texture). There was no damage caused by fungi. Treatment P1, P2, P3, P4, and P5

showed a significant difference (P <0.05) for the content of CP and CP. The content of CP increased

with increasing proportion of legumes in a mixture of silage, but IVCPD decreased although the

treatment P3, P4 and P5 are not significantly different (P> 0.05). From this study it can be concluded

silage mixture of maize stover - I. zollingeriana physically have a good quality and the best

proportion ratio 70:30 for protein content and in vitro digestibility.

Keywords: Indigofera zollingeriana, maize stover, crude protein, crude protein digestibility

PENDAHULUAN

Kecukupan pakan baik dari jumlah, kandungan nutrisi, dan kecernaannya akan menentukan

produktivitas ternak. Jerami jagung merupakan hijauan yang sering diberikan oleh petani/peternak

untuk ternak ruminansia setelah periode panen jagung. Pemanfaatan jerami jagung sebagai hijauan

pakan ternak tunggal tidak dapat memenuhi kebutuhan ternak karena kualitasnya yang sudah

menurun. Kandungan nutrisi jerami jagung yaitu protein 5,56%, serat kasar 33,58%, lemak kasar 1,25

Page 244: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

235

% dan BETN 52,32% (Direktorat Biudidaya Ternak Ruminansia, 2006). Pengawetan jerami jagung

menjadi silase setelah panen jagung merupakan salah satu usaha untuk mempertahankan kualitas

jerami jagung. Penambahan leguminosa seperti I. zollingeriana dalam campuran silase diharapkan

dapat memperbaiki nilai nutrisi, khususnya protein silase jerami jagung-I. zollingeriana. Daun I.

zollingeriana mengandung protein kasar (PK) yang tinggi yaitu 27,89%, lemak kasar atau ekstrak eter

(EE) sebesar 3,70%, dan serat kasar (SK) sebesar 14,96% (Akbarillah et al., 2008). Penelitian ini

bertujuan mengetahui kandungan protein kasar dan kecernaan protein silase dalam berbagai

perbandingan campuran jerami jagung-legum Indigofera.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi dan. Analisis

kimia silase dilakukan di laboratorium Fakultas Peternakan IPB. Bahan yang digunakan adalah

jerami jagung yang dichopper berumur ± 70 hari, dedak, bakteri asam laktat (Lactobacilus plantarum

dan Lactobacillus fermentum) dan daun legum I. zollingeriana. Metode pembuatan silase yaitu jerami

jagung dan daun legume I. zollingeriana dikering anginkan. Kemudian jerami jagung dan daun legum

I. zollingeriana dicampurkan dan diaduk hingga rata. Setelah rata, sebanyak 3% BAL dan 5% dedak

ditambahkan ke dalam campuran jerami jagung dan legum I.zollingeriana dan kemudian diaduk,

dimasukkan ke dalam plastik silase dan dipadatkan kemudian ditutup. Setelah 3 minggu, silase

dibuka, diangin-anginkan, dan diamati karakteristik fisik meliputi bau, warna dan tekstur. Kemudian

silase digiling untuk dianalisis.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri atas 5 perlakuan (P1, P2, P3, P4

dan P5) dan 4 ulangan dengan jumlah total 20 unit percobaan. Perlakuan terdiri atas : P1 = 100%

jerami jagung; P2 = 100% daun I. zollingeriana; P3 = 70% jerami jagung + 30% daun I.

zollingeriana; P4 = 60% jerami jagung + 40% daun I. zollingeriana; P5 = 50% jerami jagung + 50%

daun I. zollingeriana

yang diamati adalah pH, protein kasar (PK) (Kjedahl method) dan kecernaan protein kasar (KCPK)

(Tilley dan Terry, 1963). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA). Jika

hasil analisis memperlihatkan pengaruh nyata (P <0,05) maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda

Duncan (Steel dan Torrie, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan karakteristik fisik silase menunjukkan hasil bahwa warna, aroma dan tekstur silase yang

dihasilkan sama pada hampir semua perlakuan yaitu berwarna kuning kehijauan, beraroma asam segar

dan bertekstur lembut dan halus. Aroma asam pada silase ditunjukkan oleh pH silase (Tabel 1) yang

rendah untuk setiap perlakuan dengan kisaran 3,75 - 4,5. Menurut Siregar (1996) silase yang baik

mempunyai ciri-ciri seperti rasa dan aroma yang asam, tetapi segar dan enak. Hanya pada perlakuan

P2 (100% legum), silase berwarna hijau kecoklatan. Hal ini disebabkan oleh warna hijau legum pada

saat awal fermentasi mengalami proses karamelisasi selama proses fermentasi sehingga menjadi

coklat. Reksohadiprodjo (1988) menyatakan bahwa perubahan warna yang terjadi pada tanaman yang

mengalami proses ensilase disebabkan oleh oksidasi gula, panas juga dihasilkan pada proses ini

sehingga temperatur naik dan akan menyebabkan silase berwarna coklat tua sampai hitam. Kerusakan

akibat jamur tidak ditemukan pada semua perlakuan silase.

Page 245: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

236

Tabel 1 menunjukkan kandungan protein kasar silase nyata (P<0,05) meningkat dengan meningkatnya

proporsi legum I. zollingeriana dalam campuran silase. Namun, jika dibandingkan dengan perlakuan

100% legum (P2), perlakuan P2 menghasilkan kandungan protein yang tertinggi dari semua

perlakuan. Hasil penelitian Phiri et al. (2007) menunjukkan bahwa kandungan protein kasar silase

campuran jagung dengan legum pohon (perbandingan 50:50) Acasia boliviana atau Laucaena

leucocephala lebih tinggi (masing-masing 156 dan 141 (g/kg BK) dibandingkan dengan silase jagung

tunggal (76 g/kgBK).

Tabel 1 Rata-rata pH, Kandungan Protein Kasar dan Nilai Kecernaaan Protein Kasar (KcPK) Silase

Campuran Jerami Jagung-I. zollingeriana

Perlakuan pH Protein Kasar (%) KcPK (%)

P1 3,75 8,34 e 57,25 c

P2 4,00 25,80 a 78,25 a

P3 4,25 14,80 d 74,25 ab

P4 4,50 17,07 c 71,75 b

P5 4,00 21,83 b 70,50 b

Keterangan: Huruf yang beda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05%) Uji Jarak

Berganda Duncan

Sementara itu, kecernaan protein kasar silase campuran jerami jagung-I. zollingeriana menurun

dengan meningkatnya proporsi legum, meskipun tidak berbeda nyata antara perlakuan P3, P4 dan P5.

Perlakuan P1 dan P2 berbeda nyata, dan perlakuan P2 beda dengan perlakuan P4 dan P5, namun tidak

berbeda dengan perlakuan P3. Hal ini diduga karena adanya kandungan tannin dalam legum I.

zollingeriana; dengan meningkatnya proporsi legum akan meningkatkan konsentrasi tannin dalam

silase sehingga menurunkan kecernaan protein silase. Broderick dan Abrecht (1997) menambahkan

bahwa perbedaan dalam laju degradasi protein dan lolosnya proten dalam rumen secara proporsional

berhubungan dengan konsentrasi tannnin.

KESIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa silase campuran jerami jagung- I. zollingeriana secara

fisik mempunyai kualitas yang baik dan proporsi perbandingan 70:30 terbaik untuk kandungan

protein kasar dan kecernaan protein kasar silase secara in vitro.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini terlaksana dengan dana DIPA Fakultas Peternakan Universitas Jambi.

Daftar Pustaka

Akbarillah T, Kususiyah, D. Kaharuddin dan Hidayat. 2008. Kajian tepung daun indigofera sebagai

suplemen pakan terhadap produksi dan kualitas telur puyuh. Jurnal Peternakan Indonesia. 3:20-

23.

Broderick G. A. dan Albrect K. A. 1997. Ruminal in vitro degradation of protein in tannin-free and

tannin containing forage legume species. J..Crops Sci. Vol. 37 No.36 p 1884 – 1891.

Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia. 2006. Limbah Tanaman Sebagai Pakan Ruminansia.

Jakarta.

Page 246: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

237

Phiri, M.S., Ngongoni, N.T., Maasdorp, B.V., Titterton, M., Mupangwa, J.F., Sebata A. 2007.

Ensiling characteristics and feeding value of silage made from browse tree legume-maize

mixtures. Tropical and Subtropical Agroecosystems, 7 (2007): 149 - 156

Reksohadiprodjo, S. 1988. Pakan Ternak Gembala. Bio Partening Future Europe, Yogyakarta.

Siregar, M.E. 1996. Daun Gamal sebagai Pakan Ternak. Departemen Pertanian. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan. Ciawi, Bogor.

Steel, R G D dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Gramadia Pustaka Utama. Jakarta.

Tilley, J. M. A. dan R. A. Terry. 1963. A Two Stage Technique for the In vitro Digestion of Forage

Crops. J. Brit. Grassland Sci. 18:104-111.

Page 247: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

238

TARAF NAUNGAN KELAPA SAWIT DAN PENGGUNAAN PUPUK TERHADAP

PRODUKSI HIJAUAN DAN BENIH KALOPO (Calopogonium mucunoides) DI LAHAN

KERING MASAM

E. Sutedi, I. Herdiawan, dan Sajimin

Balai Penelitian Ternak PO. Box 221 Bogor

Email: [email protected]

ABSTRAK

Ketersediaan hijauan pakan untuk ruminansia di Indonesia sering terkendala oleh musim kemarau,

namun akhir-akhir ini di beberapa wilayah pada musim penghujan juga ketersediaan hijauan pakan

ternak tidak optimal. Hijauan yang tersedia hanya cukup untuk mempertahankan hidup

(maintenance), belum mencukupi untuk kebutuhan produktivitas ternak itu sendiri.. Penelitian

produktivitas hijauan pakan ternak di lahan masam termasuk di perkebunan kelapa sawit selama ini

belum pernah dilakukan. . Penelitian bertujuan untuk memperoleh teknologi produksi kalopo

(Calopogonium mucunoides) baik hijauan maupun benih pada kondisi perkebunan kelapa sawit di

lahan kering masam dalam upaya mendukung integrasi sapi-sawit. Rancangan yang digunakan adalah

Rancangan Anak Petak Terpisah (split plot). Perlakuan yang diberikan adalah dua taraf kemasaman

lahan (M0 = lahan netral dan M1= lahan masam) sebagai petak utama (main plot), dua taraf naungan

(umur kelapa sawit< 5 tahun dan > 5 tahun) sebagai anak petak (sub plot) dan dua taraf pemupukan

(K0 = tanpa pupuk kandang; K1 = 10 ton pupuk kandang per ha)sebagai Sub-anak Petak.Penelitian

teknologi produksi benih dilakukan di kebun percobaan Balitnak di Ciawi, Jawa Barat dan di Loka

Penelitian Kambing Potong Sei Putih di Sumatera Utara. Luas lahan yang digunakan di Ciawi sekitar

2.000 m2, sementara di Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih sekitar 5.000 m2. Petak-petak

penelitian di Sei Putih berlokasi di lahan kering masam. Pada petak penelitian dibuat gulud berukuran

lebar 1,20 cm dan panjang disesuaikan dengan kondisi lahan, yaitu sekitar 100 m sebagai gulud

perlakuan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan pupuk Fosfat (P)

sebagai perlakuan (P0=kontrol, P1=20 g/tanaman, P2=30 g/tanaman, P3=P1 yang displit dalam dua

aplikasi, P4=P2 yang displit dalam dua aplikasi). Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Peubah

yang diamtai adalah produksi bij dan biji + polong. Data hasil menunjukkan bahwa produksi hijauan

kalopo yang ditanam di bawah tegakan kelapa sawit pada lahan masam, baik untuk kelapa sawit yang

tajuknya masih terbuka maupun yang sudah tertutup (umur >5 tahun) hasil panen ke-2 meningkat.

Peningkatannya berkisar antara 150% untuk yang ditanam di bawah kelapa sawit berumur < 5 tahun

(tajuknya masih terbuka, sampai 30% untuk yang ditanam di bawah kelapa sawit yang tajuknya sudah

menaungi. Kalopo yang dipupuk dengan pupuk kandang sapi 10 ton/ha dan 20 t/ha menunjukkan

kenaikan hasil, tetapi tidak berbeda nyata, Hasil pengamatan produksi benih kalopo pada perlakuan

pupuk fosfat menunjukkan bahwa selama enam kali panen tidak terlihat adanya perbedaan yang

sangat nyata antara perlakuan satu dengan lainnya.

ABSTRACT

Availability of forage for ruminants in Indonesia are often plagued by drought, but lately in several

areas during the rainy season is also the availability of fodder is not optimal. Forage available is just

enough to sustain life (maintenance), insufficient for the needs of livestock productivity itself ..

Research productivity of forage land wry including oil palm plantations has not been done. , Research

aimed at obtaining production technology kalopo (Calopogonium mucunoides) both forage and seed

on the condition of oil palm plantations on dry land sour in an effort to support the integration of

cattle-palmThe design used was a draft Children Separated plots (split plot). Treatments are two levels

of acidity land (M0 = land neutral and M1 = land sour) as the main plot (main plot), two levels shade

(aged palm <5 years and> 5 years) as subplots (sub-plots) and two levels of fertilization (K0 =

Page 248: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

239

without manure; K1 = 10 tons of manure per ha) as a sub-subsidiary Petak.Penelitian seed production

technology performed in experimental garden Balitnak in Ciawi, West Java and at the Research

Station Goat White Sei in North Sumatra, Area is used in Ciawi about 2,000 m2, while at the

Research Station Goat White Sei approximately 5,000 m2. Research plots in the White Sei located on

dry land sour. On the research plot was made swath swath width of 1.20 cm and a length adapted to

the conditions of land, which is about 100 m as the plot plot treatment. The design used was a

randomized block design with fertilizer Phosphate (P) as a treatment (P0 = control, P1 = 20 g / plants,

P2 = 30 g / plants, P3 = P1 displit in two applications, P4 = P2 displit in two application). Each

treatment was repeated 5 times. Variables diamtai is bij production and seed pods +. Data results

indicate that forage production kalopo planted under oil palm stands on land sour, good for oil palm

canopy is still open and those already closed (aged> 5 years) 2nd harvest increased. Improvements

ranged from 150% for the planted under oil palm aged <5 years (editorial still open, up to 30% for

grown under a canopy of palm oil that has been overshadowed. Kalopo fertilized with cow manure

10 ton / ha and 20 t / ha showed an increase yield, but not significantly different, observations kalopo

seed production in the treatment of phosphate fertilizers showed that over six times the harvest does

not look very real differences between the treatment of one another.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ketersediaan hijauan pakan untuk ruminansia di Indonesia sering terkendala oleh musim kemarau,

namun akhir-akhir ini di beberapa wilayah pada musim penghujan juga ketersediaan hijauan pakan

ternak (HPT) tidak optimal. Hijauan yang tersedia hanya cukup untuk mempertahankan hidup saja,

tidak untuk meningkatkan produktivitas ternaknya sendiri. Hal ini disebabkan karena rendahnya daya

hasil rumput pakan disamping semakin berkurangnya lahan untuk pertanian, termasuk untuk produksi

hijauan pakan (Abdullah dkk., 2005) demikian juga halnya dengan padang rumput yang sudah

terdegradasi sehingga daya dukungnya semakin rendah (Bamualim, 2009), padahal di dalam sistem

pemeliharaan ternak ruminansia tradisional di Indonesia, HPT merupakan bagian terbesar dari seluruh

pakan yang diberikan.

Tidak kurang dari 80% pakan ternak ruminansia yang dipelihara petani di desa-desa adalah HPT.

Sampai sejauh ini, sebagian besar HPT yang diberikan kepada ternak di Indonesia berupa rumput

lokal atau rumput asli (native grass), baik yang berasal dari padang penggembalaan umum, maupun

dari tempat-tempat lain seperti pematang sawah, pinggir jalan, pinggir hutan, saluran irigasi atau

perkebunan (Prawiradiputra, 1986). Penelitian produktivitas hijauan pakan ternak di lahan masam

termasuk di perkebunan kelapa sawit selama ini belum pernah dilakukan. Penelitian di perkebunan

kelapa sawit baru meliputi komposisi vegetasi (Prawiradiputra, 2011).

Selain itu sampai sejauh ini penelitian hijauan pakan ternak ke arah peningkatan produktivitas biji

(untuk benih) dan peningkatan kualitasnya belum banyak dilakukan. Kalaupun pernah dilakukan

biasanya tidak sampai tuntas karena berbagai alasan.Penelitian untuk meningkatkan hasil biji tanaman

dapat dilakukan dengan jalan mengurangi kehilangan biji pada saat panen. Salah satu caranya adalah

dengan menggunakan mulsa plastik. Penggunaan mulsa plastik juga dimaksudkan untuk mengurangi

gulma yang sering tumbuh bersamaan dengan tanaman utama sehingga dapat mengurangi

produktivitas tanaman.

Page 249: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

240

Dasar pertimbangan

Dalam hal penelitian produktiitas hijauan pakan pada leguminosa, khususnya kalopo, di lahan masam

dan di perkebunan kelapa sawit perlu diteliti peranan pupuk organik terhadap peningkatan kesuburan

lahan dan dampaknya kepada kalopo. Hal ini disebabkan karena pupuk organik diduga mempunyai

kemampuan untuk menetralkan kemasaman tanah.Penelitian yang mengarah ke peningkatan produksi

biji, untuk mendapatkan benih bermutu tinggi baik bagi penangkar benih maupun untuk pengguna

sudah dilaksanakan di Balitnak sejak tahun 2001 (Yuhaeni dkk., 2002a), namun penelitian itu terbatas

pada beberapa spesies leguminosa saja.

METODOLOGI PENELITIAN

Produksi Hijauan

Penelitian teknologi produksi hijauan pakan telah dilakukan di kebun kelapa sawit milik masyarakat

yang memenuhi persyaratan di Sumatera Utara. Luas lahan yang digunakan sekitar 2 ha yang terdiri

atas empat lokasi (Gambar 1). Petak-petak penelitian tersebut berlokasi di lahan kering masam dan di

lahan dengan kemasaman normal (sebagai perlakuan).

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Anak Petak Terpisah. Perlakuan yang diberikan

adalah Kemasaman Lahan (dua perlakuan: M0 = lahan netral dan M1= lahan masam) sebagai Petak

Utama, Naungan (yang ditentukan oleh umur kelapa sawit) sebagai Anak Petak dan Pupuk kandang

sebagai Sub-anak Petak (K0 = tanpa pupuk kandang; K1 = 10 ton pupuk kandang per ha).

Denah Percobaan

Tanpa

Pukan

Pukan 10

t/ha

Pukan 20

t/ha

Tanpa

Pukan

Pukan 20

t/ha

Pukan 10

t/ha

Petak A: pH tanah 4-5;

umur kelapa sawit >5 tahun

Petak B: pH tanah 5-5,5;

umur kelapa sawit >5 tahun

Pukan 20

t/ha

Pukan 10

t/ha

Tanpa

Pukan

Pukan 10

t/ha

Tanpa

Pukan

Pukan 20

t/ha

Petak C: pH tanah 4-5;

umur kelapa sawit <5 tahun

Petak D: pH tanah 5-5,5;

umur kelapa sawit <5 tahun

Gambar 1. Denah percobaan produksi hijauan di lahan kering masam.

Produksi benih

Penelitian teknologi produksi benih dilakukan di kebun percobaan Balitnak di Ciawi, Jawa Barat dan

di Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih di Sumatera Utara. Luas lahan yang digunakan di Ciawi

sekitar 2.000 m2, sementara di Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih sekitar 5.000 m2. Petak-

petak penelitian di Sei Putih berlokasi di lahan kering masam. Pada petak penelitian dibuat gulud

Page 250: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

241

berukuran lebar 1,20 cm dan panjang disesuaikan dengan kondisi lahan, yaitu sekitar 100 m sebagai

gulud perlakuan.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan pupuk Fosfat (P) sebagai

perlakuan (P0=kontrol, P1=20 g/tanaman, P2=30 g/tanaman, P3=P1 yang displit dalam dua aplikasi,

P4=P2 yang displit dalam dua aplikasi). Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Peubah yang

diamtai adalah produksi bij dan biji + polong

Denah Percobaan

P0 Dengan mulsa plastik Tanpa mulsa plastik

P1 Dengan mulsa plastik Tanpa mulsa plastik

P2 Tanpa mulsa plastik Dengan mulsa plastik Ulangan I

P3 Dengan mulsa plastik Tanpa mulsa plastik

P4 Tanpa mulsa plastik Dengan mulsa plastik

. 100 m

P0 Tanpa pupuk Tanpa pupuk 1,2 m

0,8 m

P1Pupuk P 20 g Pupuk P 20 g

P2 Pupuk P 20 g Pupuk P 20 g Ulangan V

P3 10 g +10g P 10 g +10g P

P4 15g P+15g P 15g P +15g P

Keterangan : P0 = tanpa pupuk P, P1 = 20 g pupuk P/tanaman, P2 = 20 g pupuk P/tanaman,

P3 = 10 g + 10 g pupuk P/tanaman, P4 = 15 g + 15 g pupuk P/tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh naungan dan pupuk kandang terhadap hasil hijauan kalopo

Hijauan pakan pada umumnya dipanen dengan interval waktu tertentu tergantung pada musim dan

umur tanaman. Unuk kalopo yang ditanam di bawah tegakan kelapa sawit panen pertama dilakukan

pada umur enam minggu diikuti panen kedua enam minggu kemudian.

Data menunjukkan bahwa kalopo yang ditanam di bawah tegakan kelapa sawit pada lahan masam,

baik untuk kelapa sawit yang tajuknya masih terbuka maupun yang sudah tertutup (umur >5 tahun)

hasil panen ke-2 meningkat. Peningkatannya berkisar antara 150% untuk yang ditanam di bawah

kelapa sawit berumur < 5 tahun (tajuknya masih terbuka, sampai 300% untuk yang ditanam di bawah

kelapa sawit yang tajuknya sudah menaungi (Gambar 1).

Page 251: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

242

Gambar 1. Hasil panen I dan II hijauan kalopo pada tanaman kelapa sawit umur 3 tahun dan

6 tahun di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.

Walaupun produktivitasnya antara panen pertama dan kedua meningkat, belum diketahui apakah

hasilnya masih meningkat pada panen-panen selanjutnya.

Tabel 1. Rata-rata hasil hijauan kalopo dua kali panen di tanah masam (g/10 m2)

Pupuk kandang Rata-rata

Kontrol 10 t/ha 20 t/ha

Terbuka 1658 1858 1358 1625

Ternaungi 437 670 1057 721

Rata-rata 1047,5 1264 1207,5

Pengaruh pupuk kandang terhadap hasil hijauan kalopo ternyata tidak terlihat. Kalopo yang dipupuk

dengan pupuk kandang sapi 10 ton/ha dan 20 t/ha menunjukkan kenaikan hasil, tetapi tidak berbeda

nyata (Gambar 2), artinya kenaikan hasil ini tidak disebabkan oleh pupuk kandang, tetapi oleh faktor

lain. Walaupun demikian perlu dilihat lebih lanjut apakah hasil panen ketiga dan selanjutnya masih

memperlihatkan trend yang sama atau tidak.

Sekalipun demikian pemberian pupuk kandang diperlukan, khususnya untuk tanaman kelapa sawit di

atas 5 tahun, karena apabila tidak dipupuk terdapat perbedaan hasil yang sangat tajam antara yang

ditanam di bawah kelapa sawit muda yang tajuknya masih terbuka dibandingkan dengan kelapa sawit

yang umurnya > 5 tahun (Gambar 3).

Kalopo yang dipupuk sebanyak 20 t/ha dapat meningkatkan hasil hijauannya terutama pada tanaman

yang berumur di atas 5 tahun.

Data rata-rata antara hasil kalopo yang ditanam di lahan tanpa naungan dan dengan naungan kelapa

sawit ditunjukkan pada Gambar 4.

Page 252: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

243

Gambar 2. Rata-rata hasil hijauan kalopo yang dipupuk kandang 10 t/ha dan 20 t/ha

Gambar 3. Rata-rata hasil hijauan kalopo pada naungankelapa sawit dan yang terbuka yang

dipupuk kandang 10 t/ha dan 20 t/ha

Gambar 4. Perbandingan hasil rata-rata hijauan kalopo yang ditanam di lahan tanpa naungan

dan dengan naungan kelapa sawit di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.

Pengaruh perlakuan pupuk fosfat terhadap produksi benih

Hasil pengamatan produksi benih kalopo pada perlakuan pupuk fosfat menunjukkan bahwa selama

enam kali panen tidak terlihat adanya perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan satu dengan

lainnya seperti yang terlihat pada Gambar 5.

Page 253: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

244

Gambar 5. Hasil benih kalopo yang diberi perlakuan pupuk fosfat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

a. Data menunjukkan bahwa hasil panen ke-2 hijauan kalopo yang ditanam di bawah tegakan kelapa

sawit pada lahan masam, baik untuk kelapa sawit yang tajuknya masih terbuka maupun yang

sudah tertutup (umur >5 tahun) meningkat dibandingkan dengan panen pertama;

b. Pengaruh pupuk kandang terhadap hasil hijauan kalopo ternyata tidak terlihat. Kalopo yang

dipupuk dengan pupuk kandang sapi 10 ton/ha dan 20 t/ha menunjukkan kenaikan hasil, tetapi

tidak berbeda nyata, namun pemberian pupuk kandang diperlukan, khususnya untuk tanaman

kelapa sawit di atas 5 tahun;

c. Hasil panen benih kalopo menunjukkan tidak terlihat adanya perbedaan yang sangat nyata antara

perlakuan satu dengan lainnya

Saran

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disarankan agar tanaman penutup tanah pada tanah masam

dipupuk dengan pupuk kandang dengan dosis 10 t/ha khususnya pada kelapa sawit yang umurnya di

atas 5 tahun. Untuk memproduksi benih kalopo di lahan masam sebaiknya digunakan benih-benih

yang sudah benar-benar terseleksi dan umurnya tidak lebih dari 3 tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, L., PDMH Karti, S. Hardjosoewignjo, 2005. Reposisi tanaman pakan dalam kurikulum

Fakultas Peternakan. Pros. Lokakarya Nasional Tanaman pakan Ternak. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Andrew, C.H. 1978. Production and maintenance of high quality soybean seed. MAFES Journal Seed

Tech. Lab. Missouri State Univ.

Bamualim, A., 2009. The dynamic of native grass resources in dryland area of Indonesia to support

beef cattle production: case study of Nusa Tenggara. Proc. of the International Seminar on

Sustainable management and Utilization of Forage-based Feed Resources for Small-scale

Livestock Farmers in Asia.

Buttler, J.E., 1999. Seed testing. In Loch and Ferguson (eds) Forage Seed Production Vol 2: Tropical

and Subtropical Species. CABI Publishing Oxon UK.

Page 254: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

245

Mamicpic, N.G. 1988. Seed Storage Syllabus, Lecture Notes and Laboratory Manual for S-O Seed

Study Program. IPB, Bogor. Seed II Project.

Prawiradiputra, B.R., 1986. Pola Penggunaan Hijauan Makanan Ternak di DAS Jratunseluna

dan Brantas. Seri Makalah Penelitian No. 1. P2LK2, Badan Litbang Pertanian.

Prawiradiputra, B.R. dan N.D. Purwantari, 1996. Pengembangan potensi sumber daya hijauan pakan

untuk menunjang produktivitas ternak di Indonesia. Dalam Hastiono . (eds). Prosiding Seminar

Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan

Litbang Pertanian.

Prawiradiputra, B.R., N.D. Purwantari, A. Fanindi, I. Herdiawan, Sajimin dan E. Sutedi, 2006,

Teknologi produksi dan pasca panen benih tanaman pakan ternak terseleksi. Kumpulan hasil-

hasil penelitian APBN TA 2005. Edisi Khusus. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.

Prawiradiputra, B.R., A. Fanindi dan S. Yuhaeni, 2007. Peningkatan produksi biji TPT dan kualitas

melalui penambahan pupuk Sulfur (S) dan metode penyimpanan yang tepat. Kumpulan hasil-

hasil penelitian APBN TA 2006. Edisi Khusus. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor

Prawiradiputra B.R., J.R. Hidayat, Nurhayati dan Sajimin., 2008. Pemurnian benih leguminosa pakan

Calopogonium mucunoides Desv. Laporan Penelitian Balai Penelitian Ternak. Belum Terbit.

Sadjad, S. 1974. Teknologi Benih dan Masalah-masalahnya. Proc. Kursus Singkat Pengujian Benih. IPB

Bogor,112-133.

Sadjad, S. 1993. Dari Benih kepada Benih. PT Grasindo, Jakarta. 144 hal.

Sadjad, S., Faiza S. Suwarno dan SetiaHadi, 2001. Tiga Dekade Berindustri Benih di Indonesia.

Grasindo, Jakarta.

Yuhaeni, S., E. Sutedi, N.D. Purwantari, B.R. Prawiradiputra, A. Semali dan Sajimin. 2002a.

Teknologi Produksi dan Pengujian Kualitas Benih. Laporan Tahunan 2002. Balai Penelitian

Ternak Ciawi, Bogor.

Yuhaeni, S., N.D. Purwantari, B.R. Prawiradiputra, A. Semali, E. Sutedi., Sajimin dan A. Fanindi

2003. Teknologi Produksi dan Pengujian Kualitas Benih Laporan Tahunan 2003. Balai

Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.

Page 255: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

246

DAYA DUKUNG HIJAUAN PAKAN DALAM KONSERVASI SAPI PUTIH TARO

I W. Suarna, M.A.P. Duarsa, N.P. Mariani, L.G. Sumardani, dan S.A.Lindawati

Puslitbang Tumbuhan Pakan Universitas Udayana

Email: [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Sapi Putih Taro adalah plasma nutfah asli Bali yang harus dilestarikan sesuai dengan amanat Tujuan

Pembangunan Millenium untuk mengurangi laju kehilangan keanekaragaman hayati sebagai

sumberdaya genetik yang sangat berharga. Sapi putih Taro saat ini populasinya sebanyak 34 ekor

dengan kondisi masih memprihatinkan karena meningkatnya tekanan dari berbagai faktor. Ketika sapi

putih menggembala di habitat aslinya (hutan Taro) sapi putih taro dapat mencapai populasi sebanyak

150 ekor (Tahun 2001). Tekanan terhadap sapi putih semakin meluas karena lahan yang menyempit

dan meningkatnya jumlah hijauan yang harus disediakan secara bergilir oleh mayarakat adat Desa

Taro. Desa Taro terletak di Kecamatan Tegalalang, berdekatan dengan kecamatan Payangan

Kabupaten Gianyar. Kedua kecamatan tersebut mengembangkan komuditas unggulan sapi bali.

Sementara sapi taro juga membutuhkan ketersediaan spesies hijauan yang sama dengan sapi bali.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya dukung hijauan pakan untuk sapi putih taro mulai menurun

sehingga diperlukan pendekatan strategis dalam pelestarian sapi putih taro dalam rangka

mempercepat pencapaian pembangunan millenium. Upaya tersebut adalah: 1) meningkatkan efisiensi

produksi hijauan 2) optimalisasi pemanfaatan hijauan pakan 3) optimalisasi pemanfaatan lahan dan

budidaya tanaman pakan unggul dan 4) teknologi peningkatan kapasitas tanaman pakan lokal.

Kata Kunci: sapi putih taro, daya dukung hijauan, dan konservasi

ABSTRACT

White cattle Taro is a Bali native germplasm that must be preserved in accordance with the mandate

of the Millennium Development Goals to reduce the rate of loss of biodiversity as a valuable genetic

resources. At this time, the population of White cattle Taro is 34 heads, which the conditions still

cause for concern because of the increasing pressure of various factors. When the white cattle graze in

their natural habitat (forest Taro) White cattle Taro to reach a population of 150 animals (2001).

Pressure against white cow increasingly widespread because the land is narrow and increasing the

amount of forage that should be provided in rotation by traditional society village of Taro. Taro

village located in District Tegallalang, close to Districts Payangan Gianyar regency. Two districts are

developing leading commodity Bali cattle. While White cattle Taro also requires the availability of

forage species are the same as Bali cattle. The results showed that carrying capacity of forage for

White cattle Taro started to decline so that the necessary strategic approach to the conservation of taro

white cattle in order to accelerate the achievement of the millennium development. Such efforts are:

1) improving the efficiency of forage production 2) optimizing the utilization of forage 3)

optimization of land use and cultivation of superior feed and 4) technological capacity building of

local feed plant.

Keywords: White Cattle Taro, carrying capacity of forage and conservation

PENDAHULUAN

Memastikan kelestarian lingkungan hidup merupakan salah satu tujuan dari delapan tujuan

pembangunan milineum (Millenium Development Goals = MDGs). Salah satu fokus kegiatan pada

aspek melestarikan lingkungan hidup adalah mengurangi kehilangan sumberdaya hayati. Bali

memiliki cukup banyak sumberdaya hayati yang beberapa diantaranya sudah mengalami kepunahan

Page 256: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

247

dan nyaris punah. Harimau bali dan itik bali sudah tidak ditemukan lagi, sedangkan babi bali, kakatua

jambul kuning, kambing gembrong, jalak bali kondisinya nyaris punah. Sapi putih taro yang sering

disebut lembu putih taro hanya ada di Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar dan

dimanfaatkan untuk kepentingan upacara agama di seluruh Bali. Terkait dengan komitmen dan

program Pemerintah Provinsi Bali untuk melaksanakan percepatan pelaksanaan pencapaian tujuan

MDGs sesuai Roadmap MDGs Bali, maka dukungan terhadap pelestarian lembu putih mutlak

diperlukan.

Dalam konteks konservasi sapi putih taro terdapat berbagai aktivitas riset yang harus dilakukan seperti

studi tentang aspek genomic sapi putih taro, behaviour, teknologi budidaya termasuk aspek

penyediaan pakannya. Berdasarkan atas tata guna lahan, komuditas ternak unggulan, dan

perkembangan pembangunan masyarakat Desa Taro maka sangat dipandang perlu mencermati

seberapa besar daya dukung hijauan pakan terhadap keberlanjutan asset plasma nutfah sapi putih taro.

Daya dukung hijauan pakan dikaji dengan tujuan untuk mengidentifikasi permasalahan ketersediaan

hijauan untuk sapi putih taro ditengah-tengah meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya plasma

nutfah Indonesia.

METODE PENELITIAN

Penentuan Lokasi menggunakan pendekatan Location Driven (kawasan yg memiliki potensi dan daya

dukung memadai untuk pengembangan suatu komoditas unggulan), yang ditetapkan keunggulan

komparatifnya dengan metode LQ (Location Quatient) (Permentan No 50 Th 2012). Komponen

utama yang dipertimbangkan: potensi lahan pertanian, sebaran komoditas unggulan, dan potensi

pengembangan komoditas unggulan, yang diperoleh dengan pelaksanaan survei, dan dianalisis secara

deskriptif. Pengukuran produksi hijauan menggunakan dry-weight rank method.

Status daya dukung hijauan pakan pendekatannya dicoba untuk memanfaatkan penentuan status daya

dukung lahan dimana:

1. Status daya dukung lahan terhadap ketersediaan hijauan pakan diperoleh dari pembandingan

antara ketersediaan lahan (SL) dan kebutuhan lahan (DL)

2. Bila SL > DL maka daya dukung lahan dinyatakan surplus

3. Bila SL<DL maka daya dukung lahan dinyatakan defisit atau terlampaui.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Eksisting Sapi Putih Taro

Sapi putih taro sangat rentan terhadap kondisi hujan dan panas demikian pula apabila dibiarkan lepas

(diumbar) maka sifat dominansinya terhadap sesama jenis akan muncul sehingga nampak sebagai

penomena sadisme pada ternak. Luas lahan hutan adat saat ini adalah 24 ha dengan luasan lahan

penggembalaan sapi (ranch) sekitar 4 ha. Kemungkinan lembu mendapatkan makanan di dalam

kandangnya secara alami sangat minim, karena rerumputan yang ada dan tumbuh di sini sudah sangat

tipis, sehingga harus mendapat suplai dari luar kadang Pemberian makanan setiap hari dilakukan oleh

sekitar 10 orang anggota masyarakat yang bertugas memberikan makan dan mencarikan rumput di

sekitar hutan. Masyarakat yang bertugas membawakan hijauan pakan sampai di kandang sebanyak 6

orang setiap hari, yang dilaksanakan secara bergiliran (Suarna . 2014).

Lembu putih merupakan sapi yang secara endemik terdapat di Desa Taro, Kabupaten Gianyar. Sapi

tersebut dipelihara oleh masyarakat adat Desa Taro dan dimanfaatkan oleh masyarakat Hindu di

Page 257: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

248

seluruh Bali untuk kepentingan pelaksanaan upacara keagamaan (piranti upakara). Untuk tetap

lestarinya lembu putih baik sebagai sumber plasma nuftah ataupun sebagai warisan budaya yang

memiliki mitologi sebagai basis kearifan lokal, maka peran pemerintah daerah kabupaten dan provinsi

demikian pula majelis desa pakraman sangat diperlukan untuk mendukung upaya pelestarian lembu

putih tersebut. Program nasional seperti SDGs dan MP3EI juga mengisyaratkan bahwa pelestarian

terhadap lembu putih adalah upaya memastikan menurunnya kehilangan sumberdaya hayati.

Revitalisasi terhadap kearifan lokal masyarakat setempat, luasan dan vegetasi hutan, dan nilai historis

lembu putih taro akan meningkatkan potensi sumberdaya tersebut untuk dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat setempat dengan mewujudkan lembu putih taro sebagai salah satu tujuan

kunjungan wisata (Suarna, 2014). Pada tahun 1967 terjadi konversi (pengalihfungsian) hutan yang

menjadi komunitas lembu putih. Mitos yang berkembang biasanya bermanfaat efektif sebagai

mekanisme kontrol terhadap lingkungan. Namun, di Desa Taro yang dulu memiliki Alas Duwe (hutan

taro) dengan sapi putih yang berkembang biak di dalamnya, sebagian telah dialihfungsikan menjadi

lahan pertanian dengan membabat hutan, sedangkan lembu putih dibiarkan berkeliaran di kampung-

kampung. Lembu putih taro pada awalnya dibiarkan lepas, tidak dikandangkan. Lembu ini

berkeliaran di Banjar Taro Kaja, namun akhir-akhir ini puluhan lembu putih tersebut telah dikurung di

dalam ranch dengan ukuran sekitar seluas lapangan sepak bola, yang letaknya di ujung selatan Banjar

Taro Kaja. Menurut Kelihan Adat Banjar Taro Kaja I Gede Riwa, Ketika lembu tersebut diumbar di

kawasan hutan Taro populasinya dapat mencapai 150 ekor pada tahun 2000. Populasi sapi putih pada

ahkir tahun 2014 tercatat sebanyak 34 ekor.

Ketersediaan Pakan

Jenis tanaman yang ada di padang gembalaan sapi putih (4 ha) sebagian besar tanaman lokal seperti

Brachiaria repens, Stenotaphrum sp, Soizia matrella, dan Centrocema sp. Sedangkan Arachis pintoi

dan Stenotaphrum secundatum baru diinroduksi pada lahan pengembalaan tersebut. Produksi hijauan

pada padang gembalaan tersebut hanya cukup untuk 4 ekor sapi saja (29.565 kg segar) per tahun.

Sehingga diperlukan pasokan hijauan yang diperoleh dari masyarakat secara bergiliran.

Hijauan yang disediakan masyarakat terdiri dari rumput raja, rumput gajah, dan terkadang ada yang

memberikan gamal. Berkurangnya lahan hutan, adanya wisata gajah, dan meningkatnya populasi

sapi bali yang dipelihara masayarakat Desa Taro dapat mengurangi ketersediaan hijauan pakan untuk

sapi putih taro.

Gambar 1 Penampilan Sapi Putih Taro

Lembu putih yang sehat ketika masih di umbar

(Foto: Suarna, 1982)

Lembu putih yang dikandangkan (Foto: Suarna,

2013)

Page 258: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

249

Tabel 1. Populasi Ternak Sapi Bali di Kecamatan Tegalalang Tahun 2013

No Desa/

Kelurahan

SAPI BALI JANTAN SAPI BALI BETINA

Jumlah

Anak Muda Dewasa Jumlah Anak Muda

Dewasa

JUMLAH 2 - 4

tahun

5 - 6

tahun

> 6

tahun

1 Tegallalang 45 70 59 174 36 47 56 60 27 226 400

2 Kendran 3 4 4 11 74 98 116 125 64 477 488

3 Kedisan 18 29 25 72 86 114 136 147 76 559 631

4 Sebatu 76 123 107 306 112 147 176 190 96 721 1.027

5 Pupuan 356 567 482 1.405 201 266 319 345 173 1.304 2.709

6 Taro 414 630 562 1.606 356 472 564 612 311 2.315 3.921

7 Keliki 44 69 59 172 64 85 102 110 56 417 589

Jumlah 2013 956 1.492 1.298 3.746 929 1.229 1.469 1.589 803 6.019 9.765

Tabel 2. Nilai LQ Berbagai Jenis Ternak di Kabupaten Gianyar Tahun 2013

Sapi Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring

LQ 0,6 1,8 0,25 0,5 1,61 1,62 0,89

Babi Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring

LQ 0,51 0,67 0,71 0,99 1,91 1,07 0,78

Kambing Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring

LQ 3,93 0,41 0,51 0,34 0,14 0 0

Ayam Buras Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring

LQ 0,44 0,73 1,24 0,39 1,12 1,46 1,44

Itik Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring

LQ 1,46 1,05 0,89 0,98 0,6 0,72 1,34

Ayam Ras

Pedaging Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring

LQ 1,57 1,29 0,99 1,52 0,6 0,65 0,63

Ayam ras

Petelur Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring

LQ 0 0 0 2,45 3,78 0 0

Domba Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring

LQ 3,93 0,41 0,51 0,34 0,14 0 0

Babi Bali Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring

LQ 0 1,17 0,93 0 0,33 4,38 0,51

Sapi putih taro terdapat di Desa Taro Kaja, Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar. Komuditas

unggulan Kec Tegalalang adalah adalah sapi bali. Pada Tabel 2 terlihat bahwa pemeliharaan sapi bali

terbanyak di kabupaten Gianyar adalah di Kecamatan Tegalalang dengan nilai LQ = 1,62. Kecamatan

Tegalalang selain memiliki sapi putih taro yang dilindungi, juga memiliki plasma ntfah babi bali dan

terbanyak populasinya dibandingkan dengan kecamatan lainnya, LQ untuk babi bali adalah 4,38.

Peningkatan populasi sapi bali akan meningkatkan penyediaan pakan hijauan, demikian pula

peningkatan populasi sapi putih taro.

Page 259: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

250

Kebutuhan Hijauan Untuk Sapi Bali

Kebutuhan hijauan pakan untuk sapi putih per tahun adalah 221.738 kg hijauan segar. Sapi putih

karena dipelihara di dalam kandang tidak dapat memanfaatkan hijauan pakan dari hutan pada habitat

aslinya. Pemeliharaan sapi putih saat ini sudah dilaksanakan dengan menajemen dari yayasan yang

dibentuk oleh masyarakat Desa Taro. Sapi Taro saat ini sedang dikemas untuk wisata sapi putih

berdampingan dengan wisata gajah. Populasi sapi putih sudah mengalai peningkatan lagi hingga pada

ahkir tahun 2014 berjumlah 34 ekor. Peningkatan populasi ternak tentunya akan meningkatkan

kebutuhan pakan hijauan.

Penyediaan hijauan pakan untuk ternak ruminansia di Kabupaten Gianyar masih sangat kurang dan

banyak petani peternak yang memanfaatkan jerama padi sebagai pakan serat utama bagi ternak

sapinya. Kendala pengembangan hijauan pakan di Kaupaten Gianyar menurut Suarna dan Suryani

(2013) adalah:

1. meningkatnya alih fungsi lahan;

2. hijauan pakan belum diolah secara bisnis;

3. pemanfaatan lahan utk penanaman hijauan belum optimal;

4. budidaya tanaman pakan unggul belum banyak dilakukan;

5. teknologi peningkatan kualitas tanaman pakan lokal belum banyak diterapkan, dan

6. belum tersedia data yg cukup tentang jenis tanaman pakan yang potensial dikembangkan.

Mengembalikan lembu putih ke habitat aslinya dapat memperbanyak populasi lembu putih dan sapi

akan terlihat sehat karena bebas bergerak dan mendapat pakan beranekaragam. Riset sumber bahan

pakan untuk ternak ruminansia termasuk sapi telah membuktikan bahwa meningkatnya keberagaman

sumber hijauan pakan akan dapat meningkatkan aktivitas mikrobia rumen sapi sehingga konversi

pakan menjadi semakin baik (nilai Feed Conversion Rasio menjadi semakin kecil). Sinergisme antara

kepentingan wisata gajah, hutan desa, budidaya tanaman masyarakat, dan pelestarian habitasi lembu

putih perlu diupayakan agar pengarusutamaan lingkungan dalam berbagai aspek pembangunan dapat

diwujudkan dengan serasi dan harmonis. Upaya yang diperlukan untuk meningkatkan daya dukung

hijauan pakan untuk pengembangan sapi putih taro adalah melalui pengadaan dan perbaikan vegetasi

hutan dan pemanfaatan lahan perkebunan yang ditumpangsarikan dengan tanaman pakan. Sebagian

besar tumbuhan di bawah lahan perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai sumber hijauan pakan tetapi

produktivitasnya masih rendah. Strategi penyediaan hijauan pakan memerlukan pendekatan/dukungan

seperti berikut:

1. meningkatkan jumlah, jenis, dan efektivitas berbagai kebun bibit;

2. melibatkan berbagai pemangku kepentingan;

3. meningkatkan efektivitas pemanfaatan sumber daya untuk pengembahan tumbuhan pakan;

4. menerapkan prinsip-prinsip bioteknologi lingkungan dalam, dan pembudidayaan dan

pengolahan HMT.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Hutan Desa Taro yang cukup luas perlu direvitalisasi sehingga sapi putih dapat dilepas secara

teratur dan berencana untuk meningkatkan behaviour sapi putih

2. Upaya konservasi sapi putih taro harus didukung dengan upaya pemanfaatan dan

pengembangan HMT secara berkelanjutan.

Page 260: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

251

3. Komuditas sapi bali sebagai komuditas unggulan di Kecamatan Tegalalang, Kabupaten

Gianyar harus dapat dikembangkan secara sinergis dengan upaya pelestarian dan konservasi

sapi putih taro.

Saran

1. Perlu dipertimbangkan untuk pengadaan kebun hijauan yang khusus diperuntukkan dalam

rangka konservasi sapi putih taro (jika sapi putih tidak dilepas/dipelihara di kandang).

2. Renovasi padang gembalaan dengan menambah pohon penaung merupakan upaya yang tepat

untuk konservasi sapi putih taro.

DAFTAR PUSTAKA

Permentan No 50. 2012. Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian. Menteri Pertanian Republik

Indonesia.

Suarna, I.W. 2014. Peternakan Yang Menekan Pencemaran. Arti Foundation. Denpasar

Suarna I W. dan N.N. Suryani. 2013. Potensi dan Pengembangan Tanaman Pakan pada Lahan

Perkebunan di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali. Prosiding Semnas II HITPI di Denpasar.

Suarna, W., K.M. Budiasa, I W. Wirawan, dan N.L.G. Sumardani. 2014. Daya Dukung Lahan dan

Tumbuhan Pakan dalam Pengembangan Komuditas Unggulan Peternakan di Kabupaten

Gianyar. Jurnal Pastura. 4 (1): 51 -55

Page 261: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

252

KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK SAPI BALI YANG

DIBERI PAKAN JERAMI PADI AMONIASI DAN KONSENTRAT YANG

MENGANDUNG TEPUNG DAUN WARU

Muhamad Bata dan Sri Rahayu

Fakultas Peternakan, Unsoed, Purwokerto

ABSTRAK

Sebanyak delapan belas ekor sapi bali jantan yang berumur ± 2 (dua) tahun asal Pulau

Sumbawa dengan bobot awal 150 – 163 kg di tempat pada kandang individu. Sapi tersebut

diacak secara sempurna untuk menerima tiga macam pakan konsentrat yang disuplementasi

dengan tepung daun waru dengan dosis 0%, 0.24% dan 0.48% dari bahan kering (BK)

konsentrat untuk masing-masing perlakuan P0, P1 dan P2. Dengan demikian Racangan Acak

Lengkap (RAL) digunakan pada penelitian ini. Konsumsi BK untuk tiap sapi adalah 3.5%

dari bobot hidup dengan imbangan jerami padi amoniasi dan konsentrat 30 : 70% dan

frekwensi pemberian masing-masing dua kali per hari. Konsentrat diberikan pada jam 07.00

dan jam 14.00 yang disusul pemberian jerami padi amoniasi dua jam kemudian. Amoniasi

jerami padi menggunakan urea 4% dengan aditif onggok 2.5% dari bobot jerami padi kering

udara. Peubah yang diukur adalah konsumsi BK, kecernaan bahan kering (KBK) dan bahan

organik (KBO) dengan menggunakan koleksi total. Hasil penelitian menunjukan bahwa

penambahan tepung daun waru pada konsentrat tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap

konsumsi BK, KBK dan KBO. Rataan KBK dan KBO adalah masing-masing untuk

perlakuan P0, P1 dan P2. Data tersebut mengindikasikan ada kecenderungan peningkatan

KBK dan KBO pada sapi yang diberi tepung daun waru 0.24% dibandingkan denga kontrol

dan dosis 0.48%.

Kata kunci: kecernaan, daun waru, sapi bali, rumen

ABSTRACT

Eighteen of male Bali cattle of about two years old from Sumbawa island with initial body

weight of 150 -163 kg were placed in individual cages. They were completely randomized to

receive three kinds of concentrate feed containing Hibiscus tiliaceus leaf meal of 0%, 0.24%

and 0.48% of the dry matter of the concentrate for P0, P1 and P2 treatments. Completely

Randomized Design was used in this study. Dry matter intake (DMI)for each cattle was 3.5%

of live weight and DMI ratio of rice straw amoniation and concentrates were 30 : 70%.

Feeding frekuency of concentrate were two times of 07.00 and 14.00 pm and rice straw

amoniation fed after two hour of concentrate. Amoniation rice straw used urea of 4% added

with cassava waste of 2,5% from the weight of the air dry. The variables measured were dry

matter intake (DMI), dry matter (DMD and organic matter (OMD) digestibility using total

collection method. The results showed that the addition of Hibiscus leaf meal in concentrate

was not significant (P<0.05) on DMI, DMD and OMD. Mean of DMD and OMD for each

treatments were for P0, P1 and P2, respectively. The data indicates that DMD and OMD of

Bali Cattle fed concentrate diets containing Hibiscus leaf meal of 0.24% tended to increase as

compared to cattle both fed diets of 0% and 0.48%.

Key words: digestibility, Hibiscus tileaceus, bali cattle, rumen

Page 262: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

253

PENDAHULUAN

Kendala utama dalam pemanfaatan jerami padi untuk pakan sapi potong adalah tigginya kadar lignian

dan rendahnya kadar nitrogen serta karbohidrat fermentable. Ketiganya merupakan pembatas utama

yang menjadikan jerami sangat sulit dicerna atau difermentasi oleh mikroba rumen. Mikroba rumen

membutuhkan nitrogen dan energi yang mudah tersedia untuk aktifitas dalam mencerna selulosa

maupun hemiselulosa yang terkandung pada jerami padi. Pemberian konsentrat yang mengandung

protein dan karbohidrat fermentable yang cukup tetap tidak akan meningkatkan kecernaan secara

optimal karena mikroba rumen maupun enzim yang dihasilkannya tidak dapat menembus dinding sel

jerami yang banyak mengandung lignin. Oleh karena itu, lignin harus diatasi baik secara fisik maupun

dengan kimiawi.

Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan amoniasi menggunakan urea dengan aditif onggok

sebagai sumber karbohidrat fermentable (Bata dkk. 2010). Amoniak yang dihasilkan pada proses ini

akan meregangkan ikatan ligno-selulosa sehingga dapat ditembus oleh enzim maupun mikroba rumen

untuk mencerna selulosa maupun hemiselulosa serta nutrien lainnya. Namun demikian peningkatan

kecernaan ini akan diikuti dengan peningkatan jumlah gas metan.

Salah satu upaya untuk mengurangi metan adalah melalui dengan defaunasi menggunakan senyawa

seperti saponin. Saponin adalah senyawa glikosidik yang tersusun dari suatu inti pembentuk saponin

(sapogenin) dari steroid (C27) atau triterpenoid (C30) dengan satu atau lebih rantai karbohidrat (Klita

et al ., 1996). Saponin mempunyai sifat antimikrobial, terutama menekan protozoa siliata, bakteri

yang mensekresikan peptidase (Wallace et al., 1994; Wang et al., 2000), dan bakteri selulolitik (Wang

et al., 2000). Kayouli et al. (1986) melaporkan defaunation mengakibatkan efisiensi pertumbuhan

bakteri yang lebih tinggi. Hsu et al. (1991) melaporkan defaunation menghasilkan spora jamur rumen

dan bakteri dua kali lipat.Bakteri metanogenik secara metabolik berhubungan dengan protozoa siliata.

Suherman (2013) melaporkan ekstrak etanol daun waru yang mengandung saponin dapat menurunkan

protozoa, gas metan dan meningkatkan propionat. Orskov et al. (1968) produksi metan mempunyai

hubungan negatif penggunaan energi pada ruminansia, sehingga upaya-upaya untuk mengalihkan

kembali hidrogen untuk memproduksi lebih banyak VFA dan biomasa mikroba rumen menjadi target

untuk meningkatkan produktfitas ternak ruminansia.

Penurunan populasi protozoa sebagai akibat dari penambahan saponin dalam pakan akan berdampak

positif terhadapa peningkatan populasi bakteri. Peningkatan populasi bakteri akan berdampak positif

untuk kecernaan khususnya bahan-bahan atau pakan yang berserat. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh penambahan saponin pada konsentrat terhadap kecernaan dan konsumsi bahan

kering dan bahan organik.

METODE PENELITIAN

Sebanyak 18 ekor sapi bali jantan yang berumur berumur ± 2 (dua) tahun, bobot awal 150 – 163 kg

dan konfisien keragaman (KK) 8.89%, asal Pulau Sumbawa. di tempat pada kandang individu dan

diberi obat cacing hati melalui sub cutan. Sapi tersebut diacak secara sempurna untuk menerima tiga

macam pakan konsentrat yang disuplementasi dengan tepung daun waru dengan dosis 0%, 0.24% dan

0.48% dari bahan kering (BK) konsentrat untuk masing-masing perlakuan P0, P1 dan P2. Dengan

demikian Racangan Acak Lengkap (RAL) dengan ulangan enam kali digunakan pada penelitian ini.

Konsumsi BK untuk tiap sapi adalah 3.5% dari bobot hidup dengan imbangan BK jerami padi

Page 263: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

254

amoniasi dan konsentrat 30 : 70%. Sapi tersebut diberi pakan secara component feeding dengan

frekwensi masing-masing dua kali per hari. Konsentrat diberikan pada jam 07.00 dan jam 14.00 yang

disusul pemberian jerami padi amoniasi dua jam kemudian. Air minum disediakan secara ad libitum.

Amoniasi jerami padi menggunakan urea 4% dengan aditif onggok 2.5% dari bobot jerami padi

kering udara. Komposisi dan kandungan nutrien pakan tertera pada tabel 1. Peubah yang diukur

adalah konsumsi BK, kecernaan bahan kering (KBK) dan bahan organik (KBO) dengan menggunakan

koleksi total (Schnider and Flatt. 1975)

Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrien ransum penelitian

Komposisi Ransum Ransum Perlakuan (%)

P0 P1 P2

Jerami Padi Amoniasi 30 30 30

Konsentrat 70 70 70

Level penambahan

Tepung daun waru

0 0,24 0,48

Kandungan nutrien ransum (% BK)

Protein kasar 10,82 11,21 11,25

Lemak kasar 5,86 7,03 7,43

Serat kasar 20,77 22,55 23,81

TDN 70,60 70,99 70,94 Keterangan :

P0 : pakan konsentrat tidak mengandung daun waru (BK 84,8%)

P1 : P0 + tepung daun waru (0,24 % dari BK konsentrat)

P2 : P0 + tepung daun waru (0,48 % dari BK konsentrat)

Analisis kadar air, protein, serat kasar, lemak dan kadar abu terhadap feces pemberian dan sisa pakan

baik untuk jerami padi amoniasi dan konsentrat dilakukan menurut AOAC (1990). Data dianalisis

menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji Orthogonal Polinomial.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan konsumsi dan kecernaan BK dan BO sapi yang diberi pakan yang mengandung berbagai level

tepung daun waru tertera pada Tabel 2. Analisis variansi menunjukkan bahwa konsumsi dan

kecernaan BK serta konsumsi dan kecernaan BO tidak dipengaruhi (P>0.05) oleh perlakuan. Ha ini

menunjukan bahwa saponin yang dikandung oleh tepung daun waru tidak menyebabkan perubahan

konidisi rumen terutama populasi protozoa, karena saponin sebagai agen defaunasi. Hasil ini sesuai

dengan yang dilaporkan oleh (Lovett et al., 2006; Pen et al., 2007 dan Wang et al., 2009) yang

melaporkan bahwa saponin tidak mempengaruhi kecernaan nutrient.

Hasil ini penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Ichwani dkk. (2013) bahwa penambahan

tepung daun waru sampai dengan 0.48% dari berat konsentrat yang diberikan pada sapi bali dengan

imbangan bahan kering jerami padi amoniasi dengan konsentrat 45 : 55 dapat meningkatkan

kecernaan bahan kering dan bahan organic. Perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan

imbangan konsentrat dan jerami padi amoniasi. Sejumlah peneliti juga melaporkan bahwa

penggunaan saponin dapat meningkatkan kecernaan bahan organic dan komponen serat. Goetsch and

Owens (1985) melaporkan terjadi peningkatan secara signifikan kecernaan bahan organic pada sapi

yang diberi pakan dengan 44 ppm Yucca saponin.

Page 264: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

255

Pen . (2007) melaporkan peningkatan kecernaan neutral detergent fiber (NDF) yang diberi pakan

yang disuplementasu dengan soponin dari Quillaja . Kecernaan bahan organic dan komponen serat

juga meningkat pada yang diberi saponin Lamtoro pada domba yang diberi pakan dasar konsentrat

(Lu . (1987). Perbedaan respon kecernaan akibat pemberian saponin disebabkan oleh berbagai factor.

Patra dan Saxena (2009) menyatakan bahwa beberapa factor yang mempengaruhi efektifitas saponin

dalam rumen adalah jenis saponin, komposisi pakan, adaptasi ternak, biokimia rumen, dosis saponin

dan komunitas mikroba dalam rumen. Saponin mempunyai jenis yang berbeda-beda tergantung dari

jenis tanaman.

Tabel 2. Rataan Konsumsi BK dan BO pada Berbagai Level Tepung Daun Waru

Perlakuan Konsumsi (kg) Kecernaan (%)

BK BO BK BO

P0 27.11 ± 5.64 23.16 ± 4.31 78.06 ± 2.67 80.86 ± 2.21

P1 26.97 ± 1.86 23.63 ± 1.25 79.79 ± 3.59 83.31 ± 3.07

P2 29.55 ± 2.63 25.99 ± 2.24 78.35 ± 0.98 81.79 ± 2.47

Keterangan :

P0 : pakan konsentrat tidak mengandung daun waru (BK 84,8%)

P1 : P0 + tepung daun waru (0,24 % dari BK konsentrat)

P2 : P0 + tepung daun waru (0,48 % dari BK konsentrat)

Efektifitas penggunaan tepung daun waru sebagai agen defaunasi dalam ransum sapi potong sangat

ditentukan oleh bahan basal ransum dan rasio hijauan konsentrat. Dalam penelitian ini, penggunaan

konsentrat dan jerami padi amoniasi dengan imbangan bahan kering 30 : 70 tidak menunjukkan

efektifitas terhadap peningkatan konsumsi dan kecernaan bahan kering dan bahan organic. Hal ini

disebabkan karena tingginya konsentrat menyebabkan menurunnya pH rumen sehingga berdampak

negative terhadap aktifitas rumen dan jumlah protozoa dalam rumen. Dengan demikian pemberian

saponin dalam pakan berapapun jumlahnya tidak akan efektif karena jumlah dan aktfitas protozoa

sudah menurun drastic.

Pengaruh defaunasi oleh daun waru yang mengandung saponin akan lebih efektik pada ransum yang

hanya terdiri dari hijauan saja, karena hijauan mampu mempertahankan pH rumen yang netral 6.8 –

7.0 karena kapasitas buffer pada hijauan lebih baik dari pada konsentrat. Putra (2011) melaporkan

bahwa terjadi penurunan protozoa 37,3% secara in-vitro pada substrat yang hanya hijauan saja.

Penurunan protozoa mungkin kurang nyata pada ternak ruminansia dengan diberi konsentrat yang

mengandung partikel terlarut misalnya gula, pati karena bahan tersebut mudah difermentasi sehingga

kondisi rumen menjadi lebih asam dan protozoa sangat peka terhadap perubahan pH rumen terutama

kondisi asam. Patra dan Saxena (2009) menyatakan bahwa pakan dengan kandungan konsentrat tinggi

menyebabkan terjadinya fermentasi pati yang cepat menjadi asam laktat. Kandungan asam laktat yang

tinggi mengakibatkan protozoa mati sebelum protozoa tersebut memakan pati.

Lama penggunaan saponin yang diberikan pada ternak juga menentukan efekfitas saponin terhadap

penurunan protozoa dalam rumen. Koleksi data untuk penelitian pencernaan pada penelitian ini

dilakukan setelah penelitian pemberian pakan atau dengan kata lain lama penggunaan saponin pada

penelitian ini adalah 3 bulan. Dengan demikian mikroba rumen mungkin lebih resisten terhadap

saponin dibandingkan dengan penggunaan dengan waktu yang lebih singkat. Salah satu tantangan dari

Page 265: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

256

penggunaan saponin atau tanaman yang mengandung saponin adalah aktfitas anti protozoa yang

bersifat sementara (Newbold . 1997 dan Teferedegne el al. 1999).

Domba yang diberi pakan daun sengon (Sesbania sesban) selama 10 hari dan Enterolobium

cyclocarpum yang mengandung saponin tidak ditemukan dalam rumen domba (Newbold et al ., 1997

dan Ivan et al ., 2004). Teferedegne (2000) juga mencatat terjadi sebuah proses detoksifikasi dari

saponin di rumen cairan secara in vitro. Newbold et al. (1997) menyatakan bahwa protozoa per se

tidak menjadi resisten terhadap antiprotozoal senyawa saponin , melainkan rumen bakteri populasi

medegradasi saponin (Newbold et al ., 1997 dan Ivan et al ., 2004). Wina et al . (2006) menunjukkan

bahwa efek negatif dari saponin dari Sapindus rarak pada Ruminococcus albus, Ruminococcus

flavefaciens dan Chytridiomycetes untuk waktu yang singkat, tetapi efek inimenghilang setelah lama.

Lebih lanjut studi dari Wina et al. (2006), itu juga jelas menunjukkan bahwa protozoa populasi tidak

terpengaruh oleh Sapindus saponaria saponin pada hari 13 pada kambing, mungkin karena

detoksifikasi saponin oleh mikroba. Namun, sifat anti-protozoa saponin ini adalah terus-menerus

sampai 3 bulan pada domba.

Meskipun secara statistik pengaruh tepung daun waru terhadap konsumsi dan kecernaan bahan kering

dan bahan organic tidak nyata, tetapi ada kecenderungan peningkatan kecernaan bahan kering dan

bahan organic pada dosis penambahan tepung daun waru 0,24% akan tetapi konsumsinya cenderung

menurun. Peningkatan daun waru yang mengandung saponin menyebabkan pH rumen lebih netral,

sehingga aktifitas mikroorganisme tidak terganggu. Dengan demkian mampu meningkatkan

konsumsi bahan kering dan bahan organic. Peningkatan konsumi tersebut akan meningkatkan laju

digesta yang keluar dari rumen sehingga pada tingkat konsumsi yang tinggi dapat menurunkan

kecernaan nutrient karena waktu untuk kontak dengan enzim maupun mikroba menjadi lebih singkat.

KESIMPULAN

Penambahan tepung daun waru dalam ransum sapi bali tidak berpengaruh pada konsumsi dan

kecernaan bahan kering dan bahan organik, akan tetapi pada level 0.24% cenderung meningkatkan

kecernaan bahan kering maupun bahan organik.

DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1990. Official, Methods of Assiciation of Chemical Contaminan; Drug. Vol 2 Assosiation of

official agricultural chemist. Inc. Virginia. P. : 932.

Bata, M., B. Rustomo, dan J. Sumarmono. 2010. Peningkatan Kinerja Produksi Sapi local di

Pedesaan Melalui Strategi Pemberian Pakan dan Total Mixed Ration Berbasis Limbah

Pertanian dan Agroindustri. Laporan Hasil Penelitian . Fakultas Peternakan , Unsoed,

Purwokerto.

Goetsch AL and Owens FN. 1985. Effects of sarsaponin on digestion and passage rates in cattle fed

medium to low concentrates. J Dairy Sci 68, 2377–2384.

Hsu JT, Fahey GC, Berger LL, Mackie RI, Merchen NR. 1991. Manipulation of nitrogen digestion by

sheep using defaunation and various nitrogen supplementation regimens. J Anim Sci, 1991.

69:1290-1299

Ichwani, F., Budi R., dan Muhamad B. 2013. Pengaruh Penambahan Tepung Daun Waru (Hibiscus

tiliaceus) dalam Ransum Sapi Lokal Berbasis Jerami Padi Amoniasi terhadap Kecernaan Bahan

Kering dan Bahan Organik. Jurnal Ilmiah Peternakan. Vol 1 : 554-560.

Page 266: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

257

Ivan M, Koenig KM, and Teferedegne B. 2004. Effect ofthe dietary Enterolobium cyclocarpum

foliage on the population dynamics of rumen ciliate protozoa in sheep. Small Rumin Res 52,

81–91

Klita, P.T., G.W. Mathison, T.W. Fenton and T.R. Hardin. 1996. Effects alfalfa root saponins

on digestive function in sheep. J. Anim. Sci.74:1144–1156.

Lovett DK, Stack L, and Lovell S. 2006. Effect of feeding Yucca schidigera extract on performance

of lactating dairy cows and ruminal fermentation parameters in steers. Livest Sci 102, 23–32.

Lu , C.D and N.A. Jorgensen.1987. Alfalfa saponins affect site and extent of nutrient digestion in

ruminants. J Nutr 117,919–927.

Newbold CJ, Hassan SME, and Wang J. 1997. Influence of foliage from African multipurpose tree

on activity of rumen protozoa and bacteria. Br J Nutr 78, 237–249.

Oktora, M. 2012. Suplementasi Ekstrak Daun Waru Pada Ransum Sapi Potong Dengan Rasio

Jerami Padi Amoniasi dan Konsentrasi Berbeda Pengaruhnya Terhadap Produk Fermentasi

Rumen. Thesis. Pascasarjana Ilmu Peternakan-Fapet UNSOED.

Orskov, E.R., W.P. Flatt and P.W. Moe. 1968. Fermentation Balance Approach to Estimate

Extent of Fermentation and Efficiency of Volatile Fatty Acid Formation in Ruminants.Animal

Husbandry Research Division, USDA, Beltsvilie, Maryland.

Patra,. A.K., and J. Saxena.2009 The effect and mode of action of saponins on the microbial

populations and fermentation in the rumen and ruminant production. Nutrition Research

Reviews (2009), 22, 204–219

Pen B, Takura K, and Yamaguchia S. 2007. Effects of Yucca schidigera and Quillaja saponaria with

or without b-1,4 galacto-oligosaccharides on ruminal fermentation, methane production and

nitrogen utilization in sheep. Anim Feed Sci Technol 138, 75–88.

Putra, D. T B. 2011. Pengaruh Suplementasi Daun Waru (Hibiscus tiliaceus L.). Skripsi. Jurusan

Biologi Fakultas MIPA UNS Surakarta.

Schnider, H. B and W. P. Flatt. 1975. Evauation of Feed through Digestibility Experiments.

University of Georgia Press, USA.

Teferedegne B. 2000. New perspectives on the use of tropical plants to improve ruminant nutrition.

Proc Nutr Soc 59, 209–214.

Teferedegne B., McIntosh F., and Osuji P.O. 1999. Influence of foliage from different accessions of

the subtropical leguminous tree, Sesbania sesban, on ruminal protozoa in Ethiopian and

Scottish sheep. Anim Feed Sci Technol 78, 11–20

Wang, Y., T.A. McAllister, L.J. Yanke and P.R. Cheeke. 2000. Effect of steroidal saponins from

Yucca schidigera extract on ruminal microbes. J. Appl. Microbiol. 88:887–896.

Wang C.J., Wang S.P. and Zhou H. 2009. Influences of flavomycin, ropadiar, and saponin on

nutrient digestibility, rumen fermentation, and methane emission from sheep. Anim Feed Sci

Technol 148, 157–166.

Wallace, R.J., L. Arthaud and C.J. Newbold. 1994. Influence of Yucca shcidigera extract on ruminal

ammonia concentrations and ruminal microorganisms. Appl. Environ. Microbiol. 60:1762–

1767.

Wina, E., Muetzel, S. and Becker, K. 2006. The Dynamics of Major Fibrolytic Microbes and Enzyme

Activity in The Rumen in Response to Short- And Long-Term Feeding of Sapindus rarak

Saponins. J Appl Microbiol. Vol100, 114–120.

Page 267: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

258

PRODUKSI HIJAUAN SORGUM MANIS (SHORGHUM BICOLOR L. MOENCH)

VARIETAS RGV SEBAGAI PAKAN TERNAK

Munasik

Fakultas Peternakan Unsoed Purwokerto

Email: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui potensi hijauan sorgum manis untuk pakan ternak ruminansia

terutama produksi bahan kering hijauan sorgum pada beberapa umur pemotongan. Penelitian

dilakukan di Experimental Farm Facultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.

Materi penelitian adalah hijauan sorghum manis varietas RGV yang dipotong pada umur 50, 75 dan

100 hari. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan acak lengkap dengan 3 faktor dan

6 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar bahan kering daun sorgum manis varietas

RGV pada umur pemotongan 50, 75 dan 100 hari masing-masing sebesar 15,87 persen, 21,03 persen

dan 27,61 persen. Produksi bahan kering daun pada umur pemotongan 50, 75 dan 100 hari masing-

masing sebanyak 1225,08 kg/ha, 3577,75 kg/ha dan 2617,08 kg/ha. Kandungan bahan kering batang

pada umur pemotongan 50, 75 dan 100 hari masing-masing sebesar 9.65 persen, 17,41 persen dan

23,05 persen. Produksi bahan kering batang pada umur pemotongan 50, 75 dan 100 hari masing-

masing sebanyak 3170,58 kg/ha; 6520,58 kg/ha dan 7874,83 kg/ha. Dari hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa semakin tua umur pemotongan kadar bahan kering dan produksi hijauan sorgum

manis varietas RGV semakin meningkat.

Kata kunci : bahan kering, hijauan, produksi, Sorghum bicolor L. Moench, RGV

ABSTRACT

The aim of this research is to know the potensial of sweet sorghum forage as ruminant feed especially

dry matter yield of sweet sorghum forage on various defoliation. The research was conducted at The

Experimental Farm Faculty of Animal Science, Universitas Brawijaya, Malang, East Java. The

material was the sweet sorghum forage of RGV variety that 50, 75 and 100 days defoliation

respectively. Randomized Complete Design consisting of three factors and six replications was

applied in this experiment. The result of this research showed that dry matter content of leaf sweet

sorghum RGV variety at 50, 75 and 100 days defoliation that were 15.87%, 21.03% and 27.61%

respectively. Dry matter yield of leaf that were 1225.08 kg/ha, 3577.75 kg/ha and 2617.08 kg/ha

respectively. Dry matter content of steam sweet sorghum RGV variety at 50, 75 and 100 days

defoliation that were 9.67%, 17.41% and 23.05% respectively. Dry matter yield of steam that were

3170.58 kg/ha, 6520.58 kg/ha and 7874.83 kg/ha respectively. Base on the variable measured, the

result conclused that sweet sorghum forage of RGV variety, as the long depoliation increases, dry

matter content and dry matter yield of sweet sorghum forage increases.

Keywords : Dry matter, production, Sorghum bicolor L. Moench, RGV variety.

PENDAHULUAN

Pengembanagan tanaman sorgum kurang mendapat prioritas penanganan sehingga data

pengembangannya terbatas, karena sorgum merupakan tanaman palawija pilihan terakhir setelah

padi, jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian. Petani menanam sorgum sebagai pilihan terakhir,

ditanam setelah dua kali pertanaman padi atau hanya sebagai tanaman sela diantara tanaman palawija

lain.

Page 268: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

259

Setelah tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 dan pencapaian peningkatan produksi

palawija lainnya (jagung, kedele, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar) maka perhatian

budidaya tanaman sorgum perlu ditingkatkan. Hal ini perlu dilaksanakan sehubungan dengan

meningkatnya kebutuhan pangan, pakan ternak dan permintaan pangsa pasar, kaitannya dengan

meningkatnya pertumbuhan penduduk, bahan baku industri pangan dan pakan ternak ruminansia

(Sapi, Kerbau, Kambing dan domba) maupun ternak non ruminansia (unggas, babi) serta pemenuhan

pangsa pasar yang semakin terbuka. Dengan demikian komoditas sorgum mempunyai peluang yang

besar sebagai substitusi pangan dan bahan baku industri pangan dan pakan ternakmengingat nilai

nutrisinya tidak kalah dengan jagung sdan ubi kayu dan tanaman sorgum mempunyai adaptasi

lingkungan yang cukup luas (Kahar, 1995).

Kualitas daun sorgum manis tidak berbeda jauh dengan rumput Gajah atau pucuk tebu. Kandungan

protein daun sorgum manis 7,82 persen (Sumantri dan Suryani, 1995), rumput Gajah 9,1 persen

(Dasuki, Sumitro dan Susanto, 1990) dan pucuk tebu 5,63 persen (Poespodihardjo, 1982). Oleh

karena itu sorgum mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan baik sebagai bahan pangan,

industri dan pakan ternak ruminansia maupun ternak non ruminansia. Potensi hijauan sorgum untuk

pakan ternak ruminansia terutama produksi bahan kering hijauan sorgum pada beberapa umur

pemotongan (50, 75 dan 100 hari) perlu diteliti lebih jauh.

METODE PENELITIAN

1. Materi penelitian : hijauan sorgum manis yang dipotong pada umur 50, 75 dan 100 hari.

2. Metode penelitian

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental. Perlakuan disusun dalam rancangan acak

lengkap (completely randomized design) dengan tiga perlakuan umur pemotongan (50, 75 dan 100

hari) dengan 6 ulangan. Parameter yang diukur meliputi kandungan bahan kering dan produksi

bahan kering,

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Bahan kering daun

Rataan kandungan bahan kering daun sorgum manis varietas RGV pada umur pemotongan 50 hari,

75 hari dan 100 hari masing-masing sebesar 15.8754 persen, 21.0298 persen dan 27.6056 persen.

Hasil analisis kandungan bahan kering daun pada ketiga umur pemotongan dapat dilihat pada Tabel 1

berikut.

Tabel 1. Kandungan bahan kering daun sorgum manis varietas RGV (%)

Perlakuan Ulangan

1 2 3 4 5 6 Rataan

50 hari 14.9858 16.6033 16.0376 14.9855 16.6030 16.0372 15.8754a

75 hari 20.3140 22.3668 20.4090 20.3145 22.3660 20.4089 21.0298b

100 hari 28.4008 27.4130 26.9971 28.4100 27.4160 26.9970 27.6056c

Keterangan : Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukan beda nyata

Page 269: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

260

Hasil analisis ragam bahan kering daun sorgum manis varietas RGV menunjukkan bahwa umur

pemotongan berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya kandungan bahan kering daun (P < 0,01).

Umur pemotongan 50 hari menghasilkan kandungan bahan kering daun terendah yaitu sebesar

15,8754 persen, pada umur pemotongan 75 hari sebesar 21,0298 persen dan tertinggi dicapai pada

umur pemotongan 100 hari sebesar 27,6056 persen. Hal ini berarti bahwa semakin tua umur

pemotongan bahan kering daun semakin meningkat. Peningkatan bahan kering daun ini menunjukkan

bahwa semakin tua umur tanaman kandungan airnya semakin rendah. Hal ini selaras dengan

pendapat McDonald et al., (1985) bahwa semakin tua umur tanaman maka kandungan airnya akan

semakin menurun.

2. Bahan kering batang

Rataan kandungan bahan kering batang sorgum manis varietas RGV pada umur pemotongan 50 hari,

75 hari dan 100 hari masing-masing sebesar 9.6506 persen, 17,4078 persen dan 23,0453 persen. Hasil

analisis kandungan bahan kering batang pada ketiga umur pemotongan dapat dilihat pada Tabel 2

berikut.

Tabel 2. Kandungan bahan kering batang sorgum manis varietas RGV (%)

Perlakuan Ulangan

1 2 3 4 5 6 Rataan

50 hari 8.7980 9.1494 11.0047 8.7979 9.1491 11.0043 9.6506a

75 hari 17.3180 16.2214 18.6847 17.3178 16.2210 18.6842 17.4078b

100 hari 22.9719 23.0267 23.1376 22.9720 23.0263 23.1372 23.0453c

Keterangan : Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukan beda nyata

Hasil analisis ragam bahan kering batang sorgum manis varietas RGV menunjukkan bahwa umur

pemotongan berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya kandungan bahan kering batang (P < 0,01).

Umur pemotongan 50 hari menghasilkan kandungan bahan kering batang terendah yaitu sebesar

9,6507 persen, pada umur pemotongan 75 hari sebesar 17,4078 persen dan tertinggi dicapai pada

umur pemotongan 100 hari sebesar 23,0453 persen. Hal ini berarti bahwa semakin tua umur

pemotongan bahan kering batang juga semakin meningkat sebagaimana halnya terjadi pada

kandungan bahan kering pada daun. Peningkatan bahan kering batang ini menunjukkan bahwa

semakin tua umur tanaman kandungan airnya semakin rendah. Hal ini selaras dengan pendapat

McDonald et al., (1985) bahwa semakin tua umur tanaman maka kandungan airnya akan semakin

menurun.

3. Produksi bahan kering daun

Rataan produksi bahan kering daun sorgum manis varietas RGV pada umur pemotongan 50 hari, 75

hari dan 100 hari masing-masing sebanyak 1,4701 kg/petak atau 1225,0833 kg/ha, 4,2933 kg/petak

atau 3577,75 kg/ha dan 3,1405 kg/petak atau 2617,0833 kg/ha. Hasil perhitungan produksi bahan

kering daun pada ketiga umur pemotongan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Page 270: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

261

Tabel 3. Produksi bahan kering daun sorgum manis varietas RGV (kg)

Perlakuan ulangan

1 2 3 4 5 6 Rataan

50 hari 1.4622 1.5304 1.4177 1.4624 1.5302 1.4175 1.4701a

75 hari 4.4466 4.3013 4.1319 4.4462 4.3015 4.1317 4.2933b

100 hari 3.0508 3.3721 2.9985 3.0506 3.3723 2.9986 3.1405c Keterangan : Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukan beda nyata

Hasil analisis ragam produksi bahan kering daun sorgum manis varietas RGV menunjukkan bahwa

umur pemotongan berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya kandungan bahan kering daun (P <

0,01). Umur pemotongan 50 hari menghasilkan produksi bahan kering daun terendah yaitu sebesar

1,4701 kg/petak, pada umur pemotongan 75 hari meningkat menjadi 4,2932 kg/petak dan selanjutnya

pada umur pemotongan 100 hari menurun meenjadi 3,1405 kg/petak. Hal ini berarti bahwa pada

umur 50 hari sampai 75 hari sorgum manis pertumbuhan daun masih meningkat sehingga produksi

bahan kering daun juga semakin meningkat. Sedangkan setelah umur 75 hari pertumbuhan daun

mulai menurun dan mulai banyak yang mengering sehingga walaupun kandungan bahan keringnya

tinggi akan tetapi produksi daun semakin sedikit sehingga total produksi bahan kering menjadi

menurun.

4. Produksi bahan kering batang

Rataan produksi bahan kering batang sorgum manis varietas RGV pada umur pemotongan 50 hari, 75

hari dan 100 hari masing-masing sebanyak 3,8047 kg/petak atau 3170,5833 kg/ha; 7,8247 kg/petak

atau 6520,5833 kg/ha dan 9,4498 kg/petak atau 7874,8333 kg/ha. Hasil perhitungan produksi bahan

kering batang pada ketiga umur pemotongan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Produksi bahan kering batang sorgum manis varietas RGV (kg)

Perlakuan Ulangan

1 2 3 4 5 6 Rataan

50 hari 3.5626 3.6014 4.2500 3.5623 3.6015 4.2502 3.8047a

75 hari 8.0359 7.2062 8.2321 8.0358 7.2063 8.2322 7.8247b

100 hari 9.4171 9.5283 9.4043 9.4172 9.5281 9.4042 9.4498c

Keterangan : Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukan beda nyata

Hasil analisis ragam produksi bahan kering batang sorgum manis varietas RGV menunjukkan bahwa

umur pemotongan berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya kandungan bahan kering batang (P <

0,01). Hal ini berarti bahwa semakin tua umur

pemotongan produksi bahan kering batang juga semakin. Peningkatan produksi bahan kering batang

ini akibat dari peningkatan pertumbuhan batang dan tingginya kandungan bahan kering batang

tersebut.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin tua umur pemotongan bahan kering dan

produksi hijauan sorgum manis varietas RCV semakin meningkat.

Page 271: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

262

DAFTAR PUSTAKA

Dasuki, M.I., Sumitro dan Susanto. 1990. Pennisetum purpureum. BPT dan HMT Baturraden,

Purwokerto.

Kahar, A. 1995. Makalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri.

Balai Penelitian Tanaman Pangan, Malang.

McDonal, P., R.A. Edwards and J.F.D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition. Fourth Editions.

Longman Scientific and Technical. Copublished in The United States with John Willey &

Sons, Inc, New York.

Poespodihardjo, S. 1982. Inventarisasi Limbah Pertanian. Direktorat Bina Produksi Dirjen

Peternakan dan Fapet UGM, Yogyakarta.

Sumantri, A. dan A. Suryani. 1995. Budidaya Sorgum Manis (Sorghum bicolor L. Moench) Sebagai

Bahan Baku Industri Gula. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, Pasuruan.

Page 272: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

263

PERAN TANAMAN PAKAN GAMAL (Gliricidia sepium) DALAM KONSERVASI LAHAN

PASCA TAMBANG

I W. Suarna, N.N. Suryani, K.M. Budiasa, A.A.A.S. Trisnadewi, dan I.W. Wirawan

Puslitbang Tumbuhan Pakan Universitas Udayana

Email: [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Maraknya alih fungsi lahan melalui penambangan bahan galian C yang tidak terkendali telah merubah

bentang alam yang diprediksi akan menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan seperti erosi,

pengikisan biomasa, dan penurunan kualitas tanah dan lahan akibat penambangan. Sebuah penelitian

telah dilaksanakan untuk mengetahuai peran tanaman gamal sebagai tanaman penghasil hijauan pakan

dan konservasi lahan pasca tambang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dihutuhkan waktu yang

lebih panjang bagi tanaman gamal untuk menghasilkan hijauan pakan karena gamal lebih awal akan

memperbaiki sistem perakarannya untuk memperluas jangkauan mendapatkan air dan hara dari dalam

tanah. Poduksi hijauan gamal saat panen awal dapat mencapai 0,52 kg DW per batang dengan kualitas

hijauan yang baik. Hasil analisis kandungan protein daun gamal, kulit batang, dan batang gamal

berturut-turut adalah 22,16%, 13,34%, dan 11,55% dan kandungan Ca dan P yang cukup tinggi.

Perbaikan sistem perakaran gamal di lahan pasca tambang menyebabkan gamal lebih kuat memegang

butiran pasir dan bebatuan sehingga dapat mencegah erosi dan transport sedimen. Dengan demikian

gamal sangat berperan dalam konservasi lahan pasca tambang (pertambangan galian C) di Desa

Sebudi, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.

Kata Kunci: gamal, hijauan pakan, konservasi, dan pasca tambang.

ABSTRACT

The crowded of functional change of land through uncontrolled sand mining has change the landscape

that predicted cause environmental problems such as erosion, biomass erosion, soil and land quality

degradation because of the mining. A research have been done to evaluate the role of Gliricidia

sepium as tree forage and post-mining land conservation. Result of the research showed that it takes

longer for Gliricidia sepium to produce forage because for earlier time Gliricidia sepium will fix the

root system to expand reach to get water and nutrients from the soil. Forage production of Gliricidia

sepium on early harvest could reach 0.52 kg DW per stem with good quality forage. Analysis of

protein content of leaf, bark and stem of Gliricidia sepium are 22.16%, 13.34%, and 11.55%

respectively, and high content of Ca and P. Improving of root system in post-mining land

conservation cause Gliricidia sepium more stonger to hold sand and rocks, so could prevent erosion

and sediment transport. Therefore, Gliricidia sepium has a big role in post-mining land conservation

at Sebudi Village, Selat District, Karangasem Regency, Bali Province.

Key words: Gliricidia sepium, forage, conservation, post-mining

PENDAHULUAN

Aktivitas pertambangan galian C selain akan menyebabkan wajah kawasan menjadi bopeng, juga

dapat berdampak terhadap percepatan erosi, longsor, dan banjir. Lahan kering dan lahan marginal

bekas penambangan galian C umumnya ditinggalkan tanpa upaya untuk melaksanakan pemulihan.

Salah satu upaya untuk mengembalikan produktivitas lahan pasca tambang adalah dengan menanam

Page 273: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

264

tanaman yang sangat adaptif terhadap lahan pasca tambang. Tanaman yang dipergunakan diharapkan

memiliki dampak multiguna yakni sebagai penutup tanah, sumber hijauan pakan, meningkatkan

kesuburan tanah, dan mencegah erosi, banjir dan sebagainya.

Tanaman gamal (Gliricidia sepium) merupakan tanaman yang sangat tahan terhadap kondisi

kekeringan (Nitis, 2007). Ketika musim kering berkepanjangan, di kawasan daerah Bukit Jimbaran,

Kabupaten Badung, Provinsi Bali pohon gamal masih terlihat hijau. Pada daerah tebing perbukitan

setelah ditambang kapurnya terlihat sulur-sulur perakaran gamal menutupi permukaan tebing hingga

sampai ke bagian dasar tebingnya. Jika di Bali Selatan (kawasan Bukit Jimbaran) eksploitasi

dilakukan untuk penambangan bahan galian kapur maka di Bali Timur (di kawasan Desa Sebudi,

Selat) eksploitasi dilakukan terhadap bahan galian C (pasir). Apakah dengan kondisi lahan pasca

penambanagan galian C di Desa Sebudi Karangasem, tanaman gamal dapat berperan sebagai sarana

padang gembala?.

Meluasnya eksploitasi lahan untuk penambangan galian C (batuan) mempercepat laju degradasi lahan

dengan demikian eksploitasi harus diimbangi/disertai dengan recovery lahan. Berbagai upaya dapat

dilakukan untuk recovery lahan salah satunya dengan peningkatan jenis dan tutupan vegetasi yang

berfungsi ganda sebagai cover crop dan penghasil hjauan pakan (As-syakur ., 2011). Berdasarkan hal

tersebut di atas maka permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah bagaimanakah produksi, kualitas

hijauan, dan model teknologi konservasi berbasis pastura campuran, dengan legum pohon dan pupuk

organik pada lahan pasca tambang di Kabupaten Karangasem?

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan pada lahan pasca tambang di Desa Sebudi Karangasem. Perlakuan terdiri

atas sistem tanam asosiasi rumput-legum herbasius dan legum pohon (gamal) dengan pupuk kandang

dan/atau pupuk bioslurry. Sistem tanam merupakan kombinasi dari 2 spesies rumput dan 2 spesies

legum. Dengan demikian akan terdapat 8 perlakuan kombinasi antara rumput, legum, dan pupuk

kandang. Percobaan menggunakan tiga kelompok sebagai ulangan, sehingga percobaan ini terdiri dari

8 x 3 = 24 petak/plot. Petak-petak percobaan dibuat dengan ukuran 3 x 3 meter. Adapun kedelapan

perlakuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kombinasi rumput Panikum, Paspalum, Centrosema, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk

kandang 10 t ha-1

2. Kombinasi rumput Panikum, Paspalum, Centrosema, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk

kandang 20 t ha-1

3. Kombinasi rumput Panikum, Paspalum, Centrosema, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk

bioslurry 10 t ha-1

4. Kombinasi rumput panikum, paspalum, centrosema, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk

bioslurry 20 t ha-1

5. Kombinasi rumput Panikum, Paspalum, Clitoria, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk

kandang 10 t ha-1

6. Kombinasi rumput Panikum, Paspalum, Clitoria, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk

kandang 20 t ha-1

7. Kombinasi rumput Panikum, Paspalum, Clitoria, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk

bioslurry 10 t ha-1

Page 274: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

265

8. Kombinasi rumput panikum, paspalum, Clitoria, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk

bioslurry 20 t ha-1

Stek gamal dengan panjang 1,5 m ditanam ditengah-tengah petak percobaan dalam sistem pagar

dengan arah timur-barat. Sisi utara dan selatan gamal ditanami sobekan rumpun rumput panikum dan

paspalum serta bibit centrocema dan clitoria. (Gambar 1). Triming terhadap tanaman herbasius di

atas dilakukan 2 bulan setelah tanam selanjutnya dilaksanakan pengambilan data setiap minggu

berikutnya. Dua belas petak menggunakan tanaman clitoria (seperti Gambar 1) dan pada dea belas

petak percobaan lainnya menggunakan tanaman centrocema.

Keterangan: = Gamal; = Clitoria; = Centrocema; = Panikum; = Paspalum.

Gambar 1. Tata letak pertanaman pada petak percobaan di lapangan

Data yang diperoleh selama percobaan berlangsung ditabulasi dan dianalisis menggunakan sidik

ragam univariat pada taraf nyata 5% (Gomez and Gomez, 1995) Perbedaan nilai rata-rata perlakuan

dianalisis dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Gomez and Gomez, 1995). Data disajikan alam bentuk

tabel.

Page 275: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

266

HASIL DAN PEMBAHASAN

Curah hujan rata-rata bulanan selama 10 tahun dari Stasiun pengamat curah hujan pada BPP

Kecamatan Selat sebesar 3.628 mm th-1 dengan 123 hari hujan. Curah hujan terendah pada bulan

Agustus sebesar 160 mm bulan-1 dengan 6 hari hujan dan tertinggi pada bulan Desember sebesar 419

mm bulan-1 dengan 12 hari hujan. Curah hujan ini mempengaruhi daerah penelitian pada sebagian

wilayah di Desa Sebudi.

Tipe iklim diperoleh dengan rasio antara jumlah rerata bulan kering dengan jumlah bulan basah dari

masing-masing stasiun penakar curah hujan. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai Q berada diantara

0<Q<0,143 artinya tipe iklim menurut Schmidht Ferguson pada kaasan Sub DAS Telagawaja

termasuk tipe iklim A (sangat basah). Namun pada tahun 2014 iklim telah mengalami perubahan

dimana hujan turun mulai akhir bulan November.

Gamal yang ditanam pada lahan pasca tambang tidak ada yang mengalami kematian, semua stek

gamal tumbuh dengan baik. Pengukuran pertumbuhan gamal yang dilakukan hingga akhir Desember

3014 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap penggunaan pupuk organic dan dalam

asosiasijya dengan tanaman herbasius (rumput-rumputan dan legume). Pertumbuhan lingkar batang

dan tinggi munculnya cabang dari permukaan tanah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

(P>0,05). Pertumbuhan yang lambat juga disebabkan oleh musim kemarau yang panjang hingga akhir

bulan November 2014.Jumlah cabang primer, cabang sekunder dan jumlah daun tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata (P>0,05). JiKa dicermati perkembangan perakaran tanaman gamal, akar gamal

tumbuh cepat kebawah dan kesamping. Hal tersebut menunjukkan bahwa translokasi karbohidrat

yang dihasilkan di daun lebih banyak diarahkan ke bagian akar tanaman (Marschner, 1986). Kondisi

tersebut sangat menguntungkan dari sisi konservasi karena perakaran gamal akan dapat menghambat

terjadinya erosi permukaan tanah dan mencegah terjadinya longsor.

Tabel 1. Pertumbuhan tanaman gamal

Perlakuan Lingkar

Batang

Tinggi cabang

dari bawah

Jumlah Cab.

Primer

Jumlah Cab.

Sekunder Jumlah Daun

… mm … ….cm . ... ….. cabang…. ….. cabang…. …. helai …

T1 121,33 a 11,53 a 6,67 a 0,33 a 75,50 a

T2 125,50 a 10,67 a 11,67 a 0,33 a 62,67 a

T3 118,00 a 12,08 a 5,00 a 1,17 a 82,33 a

T4 123,83 a 11,25 a 4,17 a 0,17 a 72,00 a

T5 124,17 a 10,75 a 5,83 a 0,17 a 67,33 a

T6 117,50 a 13,08 a 6,17 a 0,00 a 67,67 a

T7 120,17 a 11,33 a 5,33 a 0,33 a 60,83 a

T8 123,83 a 13,67 a 4,67 a 0,00 a 83,83 a

KK=7,57 KK=13,53 KK=40,35 KK=36,15 20,25

Page 276: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

267

Pertumbuhan tanaman rumput dan legume yang ditanam bersama tanaman gamal memperlihatkan

hubungan antara tinggi tanaman dengan area cover (volume tanaman) yang semakin meningkat.

Asosiasi tanaman paspalum dengan clitoria memberikan volume tanaman yang tertinggi kemudian

diikuti oleh asosiasi tanaman antara rumput paspalum dengan centrocema. Hal tersebut sangat

dimungkinkan karena pertumbuhan paspalum lebih cepat tinggi dan tegakan anakan lebih ke

horizontal pada awalnya sehingga area covernya menjadi lebih besar.

Hubungan antara jumlah anakan dengan lingkar rumpun tanaman mencerminkan kekompakan atau

densitas rumpun tanaman. Penomena densitas rumpun tanaman sama dengan volume tanaman.

Asosiasi rumput paspalum dengan legume clitoria juga memberikan densitas tertinggi. Densitas

rumpun rumput panikum dengan centrocema paling rendah hal tersebut disebabkan karena lingkar

rumpun rumput panikum yang lebih kecil dan sifat tumbuh yang erect meskipun centrocema

pertumbuhannya sangat baik.

Dari variabel pertumbuhan tanaman herbasius yang mencakup perkembangan volume tanaman dan

densitas tanaman terlihat bahwa keberadaan legume pohon gamal tidak mempengaruhi pertumbuhan

dan perkembangan tanaman herbasius yang ditanam bersama gamal.

Sejalan dengan pola pertumbuhan tanaman gamal maka produksi berat kering oven cabang, daun, dan

total hijauan gamal juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Hal tersebut

membuktikan bahwa tanaman gamal tidak saja mampu beraaptasi dengan baik dengan kondisi lahan

yang kering tetapi juga mampu menggunakan pupuk organik dengan baik. Hal tersebut didukung oleh

pernyataan Nitis (2007) bahwa gamal memiliki rentang kesuburan dan kelembaban tanah yang cukup

luas. Penggunaan pupuk organik meskipun tiak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap

produksi hijauan tanaman herbasius, tetapi dapat meningkatkan kesuburan dan mempertahankan

kelembaban tanah sehingga tanaman herbasius masih dapat tumbuh di musim kemarau. Salisbury dan

Ross, 1992 menyatakan bahwa pemberian serasah ataupun pupuk organik dapat mempertahankan

kelembaban tanah. Dapat dikatakan bahwa model konservasi lahan pasca tambang berbasis asosiasi

hijauan pakan efektif sebagai upaya konservasi sekaligus meningkatkan ketersediaan hijauan pakan

bagi ternak ruminansia.

Tabel 2 Berat kering oven hijauan gamal

Perlakuan Berat Kering Oven

Cabang Berat Kering Oven Daun Berat Kering Oven Total

…………. g cabang-1

T1 156,483 a 38,767 a 195,25 a

T2 238,067 a 56,850 a 294,92 a

T3 219,033 a 50,950 a 269,98 a

T4 256,683 a 61,717 a 318,40 a

T5 175,542 a 67,400 a 242,94 a

T6 276,033 a 43,767 a 319,80 a

T7 174,517 a 46,617 a 221,13 a

T8 301,233 a 41,033 a 342,27 a

KK-35,9 KK=25,26 KK=28,93 Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan

yang tidak nyata (p>0,05)

Page 277: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

268

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu yang lebih panjang bagi tanaman gamal untuk

menghasilkan hijauan pakan karena gamal lebih awal akan memperbaiki sistem perakarannya untuk

memperluas jangkauan mendapatkan air dan hara dari dalam tanah. Poduksi berat kering oven hijauan

gamal saat panen awal dapat mencapai 275,9 g cabang-1 atau atau rata-rata 0,52 kg batang-1 dengan

kualitas hijauan yang baik. Hasil analisis kandungan protein daun gamal, kulit batang, dan batang

gamal berturut-turut adalah 22,16%, 13,34%, dan 11,55% dan kandungan Ca dan P yang cukup

tinggi. Perbaikan sistem perakaran gamal di lahan pasca tambang menyebabkan gamal lebih kuat

memegang butiran pasir dan bebatuan sehingga dapat mencegah erosi dan transport sedimen. Dengan

demikian gamal sangat berperan dalam konservasi lahan pasca tambang (pertambangan galian C) di

Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.

Tabel: 3 Berat kering oven hijauan herbasius dalam berbagai pola asosiasi

Perlakuan BK Daun BK Batang BK Total

.... t ha-1….

T1 3,66 a 3,48 a 7,15 ab

T2 3,94 a 3,25 a 7,19 ab

T3 4,41 a 3,32 a 7,73 a

T4 4,16 a 3,11 a 7,27 a

T5 2,92 ab 2,42 b 5,34 b

T6 2,70 ab 2,85 ab 5,55 b

T7 2,66 ab 2,71 ab 5,37 b

T8 2,42 b 2,45 ab 4,87 b

Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak

nyata (p>0,05)

Berat kering oven hijauan panikum dan paspalum yang ditanam bersama centrosema (T4) dan

dipupuk dengan 20 t ha-1 bioslurry adalah tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan T3, T2, T1.

Kondisi tersebut disebabkan karena pupuk kandang yang dipergunakan adalah pupuk kandang yang

telah terdekomposisi dengan baik (hampir menyerupai tanah) sehingga penyerapan unsur hara

menjadi sangat efektif. Penomena tersebut hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Suarna dkk. (2014) Tidak ada perbedaan antara penggunaan pupuk kandang sapi dengan bioslurry.

Perbedaan tampak nyata antara tanaman Centrocema dengan Clitoria yang diasosiasikan dengan

rumput panikum, paspalum, dan gamal. Tingginya berat kering oven centrocema disebabkan oleh sifat

tumbuh centroema yang lebih cepat menutupi tanah dan akar yang tumbuh dari batang yang

menyentuh tanah lebih cepat. Sedangkan clitoria pertumbuhan awalnya adalah tegak dan lebih cepat

melilit pada daun rumput.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pertumbuhan dan hasil hijauan rumput tidak dipengaruhi oleh keberadaan legum yang ditanam

bersama rumput tersebut, rumput panikum yang ditanam bersama legum centrocema memberikan

hasil hijauan tertinggi. Aplikasi pupuk kandang dan pupuk bioslurry pada berbagai dosis pemberian

tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan dan hasil rumput yang ditanam

bersama legum. Centrocema yang diasosiasikan dengan rumput dan legume pohon memberikan hasil

hijauan yang lebih baik dibandingkan dengan Clitoria. Berat kering oven gamal mencapai 0,52 kg

Page 278: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

269

batang-1 dengan kandungan protein kasar daun, kulit batang, dan batang gamal berturut-turut adalah

22,16%, 13,34%, dan 11,55%. Peran tanaman gamal sangat cocok sebagai model teknologi

konservasi lahan pasca tambang berbasis pastura campuran di Desa Sebudi Karangasem.

DAFTAR PUSTAKA

As-syakur, A.R., I.W. Suarna, I.W. Rusna, and I.N. Dibia. 2011. Pemetaan Kesesuaian Iklim

Tanaman Pakan serta Kerentanannya Terhadap Perubahan Iklim dengan Sistem Informasi

Geografi (SIG) di Provinsi Bali. Jurnal Pastura. Vol. 1:1 (9-15).

Gomez, K.A dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur statistik untuk penelitian pertanian. Terjemahan

E.Sjamsuddin dan J. S. Baharsjah. UI-Press. Jakarta, halaman 87-219.

Marschner, H. 1986. Mineral nutrition of higher plants. Acad. Press. London.

Nitis, I M. 2007. Gamal di Lahan Kering. Arti Fondation.Denpasar.

Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1992. Plant physiology. 4th Ed. Nadsworth Publ. Co.

Suarna, I W., Ni Nyoman Candraasih Kusumawati, dan Magna Anuraga Putra Duarsa. 2014.

Produksi dan Kualitas Hijauan Pakan pada Lahan Pasca Tambang Di Kabupaten Karangasem.

Jurnal Pastura. Vol 4(2): 74 – 77

Page 279: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

270

PERTUMBUHAN RUMPUT Brachiaria humidicola DAN Stenotaphrum secundatum PADA

INTERAKSI PEMUPUKAN UNSUR NPK

Nurhalan Bawole, W. Kaunang, S. D. Anis dan D.A. Kaligis

Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi

Email: [email protected].

PENDAHULUAN

Rumput Brachiaria humidicola dan Stenotaphrum secundatum merupakan hijauan pakan yang

tersedia karena keunggulan tertentu yang dimiliki masing-masing jenis. Ginting dan Tarigan (2007)

melaporkan bahwa B. humidicola mengandung bahan kering sekitar 321,3 g/kg berat segar.

Kandungan nutrisi lainnya, dalam bahan kering, adalah bahan organik 916,2 g/kg, abu 83,6 g/kg,

protein kasar 87,5 g/kg, NDF 709,1 g/kg, dan ADF 358,6 g/kg. S. secundatum mengandung energy

bruto 4816 Kal/kg bahan kering, protein kasar 6-8%, dan NDF sebesar 82-85% (Mullen dan Shelton

1996).

Untuk menjamin produksi berkelanjutan dibutuhkan masukan unsur hara yang cukup, terutama unsur

makro nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K). Nitrogen dibutuhkan untuk meningkatkan

pertumbuhan tanaman, meningkatkan kandungan nitrogen dalam lingkungan risosfer perakaran

tanaman, serta berguna dalam proses fotosintesis sehingga dapat meningkatkan produktifitas hijuan

pakan. Unsur P berfungsi untuk respirasi dan fotosintesis, penyusunan asam nukleat, perangsang

perkembangan akar sehingga tanaman dapat tahan terhadap kekeringan serta mempercepat masa

panen sehingga dapat mengurangi resiko keterlambatan pemanenan. Sedangkan unsur K membantu

mengedarkan karbohidrat, serta mempercepat metabolisme unsur nitrogen. Berdasaran pemikiran di

atas, maka perlu dilakukan penelitian pengaruh kombinasi unsur makro NPK terhadap hasil, kualitas

dan filokron pada rumput B. humidicola dan S. secundatum.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Malalayang I Barat Lingkungan I

Kota Manado, dimulai sejak bulan Juni sampai dengan Oktober 2013.

Bahan dan Alat. Bahan yang akan digunakan : Bibit tanaman rumput B.humidicola dan S.

secundatum dalam bentuk anakan. Unsur nitrogen (150 kg Urea/ha), fosfor (75 kg TSP/ha) dan

kalium (75 kg KCl/ha).

Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan rancangan dasar acak lengkap (RAL). dan perlakuan

diatur secara faktorial, dengan konfigurasi 2x3 faktorial.

Faktor A adalah jenis rumput (R). R1. Brachiaria humidicola; R2. S. secundatum.

Faktor B adalah kombinasi unsur makro NPK (P). P1 = 150 kg urea/ha; P2 = 150 kg urea/ha + 75 kg

TSP/ha; P3 = 150 kg urea/ha + 75 kg TSP/ha + 75 kg KCl/ha.

Peubah yang diukur: A. Morfologi tanaman rumput. (Tinggi tanaman, panjang stolon, panjang

daun, bobot kering tajuk dan rasio tajuk/akar). B. Kualitas rumput uji (Kandungan protein kasar,

ADF, NDF dan Abu).

Page 280: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

271

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi tanaman.

Pengaruh perlakuan terhadap morfologis tanaman uji disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh kombinasi unsur makro terhadap morfologi tanaman uji.

Jenis Tanaman P1 P2 P3

B. humidicola

* Tinggi Tanaman (cm)

*. Panjang Daun (cm)

* Panjang Stolon (cm)

S. secundatum

* Tinggi Tanaman (cm)

* Panjang Daun (cm)

* Panjang Stolon (cm)

45,50c

29,12b

9,30b

20,25c

10,71b

5,70b

59,95b

37,97b

10,57b

27,27b

15,05a

5,95ba

65,10a

41,10a

11,20a

36,11a

17,25a

6,15a

Ket.: Angka dengan huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata P<0,05

Data menunjukkan bahwa hampir semua perlakuan mempengaruhi secara nyata (P<0,05) menaikkan

semua variabel yang diukur. Namun demikian terdapat juga kekecualian dimana panjang sotolon dan

panjang daun rumput B.humidicola pada perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata (P >0,05), tetapi

meningkat dengan nyata pada perlakuan P3.

Bobot Kering Tajuk

Pengaruh perlakuan terhadap hasil bobot kering tajuk tanaman uji disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Pengaruh jenis rumput dan pupuk terhadap bobot kering tajuk (gr/m2)

Jenis Tanaman Pupuk (P)

P1 P2 P3

B. humidicola

S. secundatum

1500,0c

850,7c

1759,3b

910,3b

1910,5a

950,6a

Ket.: Angka dengan huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata P<0,05

Data menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap hasil bobot kering tajuk berbeda nyata (P<0,01)

untuk kedua rumput uji, perlakuan P3 berpengaruh nyata paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan

P1 dan P3 dalam memberikan hasil bobot kering.

Rasio tajuk/akar

Pengaruh perlakuan terhadap rasio tajuk/akan tanaman uji disajikan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Rasio tajuk/akar pada perlakuan pemupukan berbeda.

Jenis Tanaman Pupuk (P)

P1 P2 P3

B. humidicola

S. secundatum

2,51c

2,10b

2,60b

2,11b

3,59a

2,73a

Ket.: Angka dengan huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata P<0,05

Page 281: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

272

Data menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan bervariasi pada masing-masing jenis rumput uji,

tetapi perlakuan P3 memberikan hasil rasio tajuk/akar nyata lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan

lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa rasio tajuk/akar dapat ditingkatkan dengan pemberian

kombinasi lengkap unsur makro NPK. Hal ini penting karena dengan meningkatnya rasio tajuk/akar

berarti hijauan pakan dengan porsi vegetatif akan lebih banyak tersedia untuk memenuhi kebutuhan

ternak ruminan.

Komposisi kimia

Pengaru perlakuan terhadap komposisi kimia disajikan pada Tabel 4. Data menunjukkan perlakuan

berpengaruh terhadap kandungan protein kasar pada kedua jenis rumput berpengaruh dimana

perlakuan P3 memberikan hasil yang nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan

lainnya. Sedangkan terhadap kandungan NDF dan ADF tidak berpengaruh nyata (P>0,05).

Tabel 4. Kandungan protein kasar (PK), ADF, NDF dan Abu rumput uji.

Jenis Tanaman Kombinasi Pupuk (P)

P1 P2 P3

PK (%)

B. humidicola

S. secudatum

9,15c

7,70b

9,78b

8,11b

10,82a

9,56a

ADF (%)

B. humidicola

S. secudatum

35,76

37,54

36,12

36,79

35,89

37,84

NDF (%)

B. humidicola

S. secudatum

72,79

69,09

73,12

70,45

74,12

70,63

Abu (%)

B. humidicola

S. secundatum

7,17c

11,56b

8,89b

11,69b

9,97a

12,98a

Ket.: Angka dengan huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata P<0,05

Perlakuan berpengaruh nyata terhadap kandungan Abu pada kedua jenis rumput uji, dimana perlakuan

P3 memberikan hasil berbeda nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kombinasi pemupukan unsur makro NPK diperlukan

untuk menghasilkan produksi biomassa dan kualitas nutrisi hijauan pakan kedua rumput tropis.

DAFTAR PUSTAKA

Ginting, S.P. dan A. Tarigan. 2007. Kualitas nutrisi Stenotaphrum secundatum dan Brachiaria

humidicola pada Kambing. JITV 11(4): 273-279

Mullen, B.F., Rika, I.K., Kaligis, D.A and W.W. Stur. 1997. Performans of grass Legumes pastures

under coconut in Indonesia. Expt. Agric. 33: 409-423.

Mullen, B.F. and H.M. Shelton. 1996. Stenotaphrum secundatum : a valuable forage species for

shaded environments. Topical Grassland.30 : 289-297

Page 282: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

273

HASIL BAHAN KERING DAN PERTUMBUHAN VEGETATIF Gliricidia sepium (Jacq)

STEUD PADA KEPADATAN POPULASI DAN PEMOTONGAN BERBEDA

Selvie D. Anis, David A. Kaligis dan Fredy Dompas

University of Sam Ratulangi, Manado City 95115. Indonesia.

Email: [email protected]

ABSTRAK

Legume pohon Gliricidia sepium (Jacq) Steud adalah hijauan pakan berkualitas yang digunakan

sebagai suplemen sumber protein untuk pakan miskin seperti rumput dan jerami padi. Jenis legume

pohon ini digunakan juga sebagai pagar hidup dan sumber pakan ternak ruminan di lahan perkebunan

kelapa. Namun demikian masih terbatas informasi ilmiah jika tanaman ini dipotong secara regular

pada kepadatan tertentu. Hal ini penting karena di areal perkebunan kelapa terjadi persaingan antara

tanaman kelapa dan tanaman tumpang sari. Penelitian ini dilakukan pada kebun percobaan BALITKA

(Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain) Manado dengan tujuan mempelajari mutu daun G.sepium

dan pertumbuhan vegetative pada kepadatan populasi dan jarak waktu pemotongan berbeda.

Digunakan stek batang ukuran panjang 30 cm dengan garis menengah 2-3 cm, disemaikan pada

polybag ukuran 15 x 25 cm. Lahan diberi pupuk dasar TSP dan KCl masing-masing sebanyak 75

kg/ha pada saat pengolahan tanah, dan pupuk urea sebanyak 100 kg/ha yang diberikan setelah

tanaman berumur tumbuh kembali 2 bulan. Perlakuan yang diuji kepadatan populasi tanaman G.

sepium sebanyak 20 ; 30 ; dan 40 tanaman /petak, dan jarak waktu potong 3, 6, 9 dan 12 minggu.

Perlakuan diatur secara faktorial pada rancangan dasar acak kelompok (RAK). Peubah yang diukur

hasil bahan kering dan pertumbuhan vegetative. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi

perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan bahan kering, tetapi iteraksi berpengaruh

nyata terhadap variable pertumbuhan vegetative. Dapat disimpulkan bahwa untuk dapatkan hasil

bahan kering G. sepium dan keberlanjutan produksi legume ini di areal perkebunan kelapa manajemen

penanaman dan defoliasi harus menjadi perhatian.

Kata kunci: Bahan kering, vegetative, Gliricidia, waktu potong, kelapa.

ABSTRACT

Legume plant of Gliricidia sepium (Jacq) Steud is high quality forage fed for ruminant animal as

source of protein supplementation for grass and paddy straw. This plant was used as live stick fence

around coconut plantation areas. The scientific information of regular cutting under certain density

had not been reported. The objective of this study was to dry matter yield and vegetative growth of

Gliricidia sepium (Jacq) Steud under different population density and cutting interval in coconut

plantation. Plant material of 30 cm length with diameter of 2-3 cm were planted in the poly-bag of 15

x 25 cm size. The area were fertilized using TSP and KCl fertilizer of 75 kg/ha during land plough

and using N fertilizer of 100 kg/ha applied at two month age of plant. Treatment of density study

using Gliricidia sepium (Jacq) Steud population of 20, 30 and 40 plants per area of 9 m2 combined

with cutting interval of 3; 6; 9 and 12 weeks were conducted in this study. Treatments were set in

factorial arrangement based on block randomized design. Variables measured in this study were

including dried matter production and vegetative growth. Results showed that dried matter yield were

dictated by cutting interval and vegetative growth significantly affected by the interaction of the

treatments. Therefore, it can be concluded that to produce high dry matter and the sustainability of

Gliricidia sepium (Jacq) Steud in coconut plantation should be focused on planting and defoliation

management.

Key word: Dry matter, cutting, coconut, gliricidia, vegetative growth.

Page 283: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

274

PENDAHULUAN

Legume pohon Gliricidia sepium telah lama dikenal di perdesaan oleh petani tetapi pemanfaatan dan

budidaya tanaman ini sebagai sumber hijauan pakan bermutu belum banyak dilakukan. Informasi

agronomi dan manajemen defoliasi tentang legume pohon ini sebagai sumber pakan masih sangat

terbatas, terutama yang tumbuh terintegrasi dengan tanaman kelapa. Di Indonesia G. sepium dikenal

dengan nama Gamal yang adalah singkatan dari “ganyang mati alang-alang” karena kemampuannya

membrantas alang-alng dengan cara penaungan yang lebat terhadap rumput liar itu. Legume pohon ini

sebagai tanaman perennial berukuran sedang. Tanaman yang tumbuh baik biasanya memberikan 7-15

pasang anak daun atau leaflets dalam satu daun majemuk atau compound leaf. Dekomposisi daun G.

sepium relative cepat dan memberikan sumbangan nitrogen dan potassium serta memperbaiki

moisture tanah pada tanah berpasir di perkebunan kelapa (Subramanian et al, 2005). Dengan

demikian dikatakan bahwa one ton of foliage is equivalent to 16 kg of urea, so 1 ha of G. sepium can

provide 128 kg of urea fertility and can increase economic fresh root weight of the coconuts (Solangi

et al., 2010).

Keterbatasan sumber pakan bermutu untuk ternak ruminant di semua daerah tropis termasuk

Indonesia, khususnya pada musim kemarau mengharuskan penyediaan hijauan pakan bermutu sebagai

suplemen untuk rerumputan dan jerami sisa hasil pertanian (Lukuyu et al., 2011). Promosi G. sepium

sebagai sumber nitrogen yang murah karena atribut agronominya yang mampu mengikat nitrogen

udara ke dalam tanah (Nygren, et al., 2000; Tuwei et al., 2003) dan produksi biomassa yang tinggi

selama musim kemarau (Tuwei et al., 2003). Daun G. sepium mengalami decomposisi relative cepat

dan dapat menyumbang green manure dimana 1 ton daun bernilai setara dengan 16 kg pupuk urea,

atau 1 ha dapat mengahsilkan 128 kg setara urea (Solangi et al,. 2010). Kendatipun masih terdapat

perdebatan persepsi tentang penggunaan dan palatabilitas untuk ternak ruminant, G. sepium masih

dipercaya sebagai satu dari banyak legume pohon multiguna setelah leucaena leucocephala di

wilayah tropis basah (Kabi and Lutakome, 2013). Selain resisten terhadap kutu loncat atau psyllid

pest (Heteropsylla cubana) G. sepium mampu menghasilkan sprouts sehingga tidak saja bertumbuh

vigorously tetapi juga toleran terhadap defoliasi berulang, sementara mempertahankan daun yang

hijau di musim kering.

Frekwensi panen G. sepium adalah factor manajemen yang critical yang mempengaruhi kualitas

nutrisi dan produksi biomassa yang berkelanjutan. Oleh sebab itu pengaturan defoliasi yang tepat

akan dapat meningkatkan kualitas dan jumlah hasil produksi hijauan dari 2,0–20 ton/ha/tahun (Simons

and Stewart, 1994). Sedangkan interval defoloasi direkomendasi 6-12 minggu untuk G. sepium yang

tumbuh di daerah tropis basah (Edwards et al., 2012), dan akan terjadi penurunan nilai nutrisi legume

pohon dengan meningkatnya maturity (Kabi and Bareeba, 2008).

Informasi kepadatan populasi dalam hubungannya dengan morfologi traits G. sepium di areal

pertanaman kelapa masih sangat terbatas. Ella et al. (1989) melaporkan pengaruh kepadatan tanaman

G. sepium di areal padang rumput terbuka menurunkan hasil bahan kering daun dan batang dengan

naiknya populasi tanaman dari 20.000 menjadi 40.000 pohon/ha.

Penelitian ini bertujuan mempelajari pertumbuhan vegetative G. sepium pada kepadatan populasi dan

frekwensi defoliasi yang berbeda di areal perkebunan kelapa.

Page 284: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

275

METODE PENELITIAN

Bahan dan Peralatan

Tanaman. Bibit G. sepium yang digunakan berupa stek batang dengan panjang stek 30 cm,

berdiameter 2-3 cm, disemai pada polybag berukuran 15 cm x 25 cm Selma 8 minggu.

Pupuk. Tida macam pupuk yang digunakan yaitu tripel super fosfat (TSP) dan kalium clorida (KCl)

dengan masing-masing 75 kg/ha diberikan pada saat pengolahan tanah. Pupuk urea sebanyak 100

kg/ha diberikan setelah 2 minggu tanaman dipindahkan dari polybag ke lapang.

Lahan. Digunakan lahan diareal pertanaman kelapa (underneath coconut) jenis kelapa dalam (tall)

dengan jarak tanam 10 cm x 10 cm yang berumur sekitar 60 tahun.

Peralatan yang digunakan diantaranya timbangan rumput, “Integrated Pyranometer” ex Queensland

University Australia dan oven pengering.

Metode Percobaan

Dalam percobaan ini perlakuan diatur secara factorial dalam rancangan acak kelompok. Dua factor

yang diuji berupa kepadatan populasi tanaman (KPT) sebagai factor A yang terdiri dari tiga tingkat

kepadatan:

a1. = 20 tanaman / petak 9 m2

a2 = 30 tanaman / petak 9 m2

a3 = 40 tanaman / petak 9 m2

dengan perincian teknik di lapangan sebagai berikut:

Tabel. 1. Jumlah baris, jarak tanam, tanaman/baris dan tanaman/perlakuan.

Jumlah jarak jarak tanaman baris

Tanaman/petak antar baris dalam baris dalam baris dalam petak

(m) (m)

___________________________________________________________________________

20 0,50 1,00 4 5

30 0,50 0,67 6 5

40 0,50 0,50 8 5

Factor kedua interval pemotongan (IP) sebagai factor B terdiri dari 4 (empat) tingkatan sebagai

berikut:

b1 = IP 3 minggu.

b2 = IP 6 minggu

b3 = IP 9 minggu

b4 = IP 12 minggu

dengan demikian terdapat 12kombinasi perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh

36 angka pengamatan.

Pelaksanaan

Persiapan lahan. Untuk meletakan petak-petak percobaan masing-masing seluas 9 m2 dibutuhkan

lahan seluas 324 m2, ditempatkan diantara tanaman kelapa dengan jarak 2 meter dari pohon kelapa.

Page 285: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

276

Dengan control gulma yang ketat, bibit G. sepium berupa stek batang dengan tinggi tunas 30 cm

dipilih yang terbaik dari semaian yang ada.

Penempatan perlakuan. Setelah stek batang G. sepium ditanam dalam polybag mencapai umur 8

minggu, dipindahkan ke petak-petak percobaan di lahan. Setelah berumur 12 minggu di petak

percobaan dilakukan trimming untuk dapatkan pertumbuhan kembali yang seragam. Penetapan

perlakuan umur interval pemotonga (IP) dilakukan prosedur sebagai berikut:

1. Perlakuan IP 12 minggu (b4): Setelah G. sepium berumur 8 minggu regrowth setelah

trimming, tanaman dipotong kembali kemudian dibiarkan tumbuh kembali selama 12 minggu

untuk dipanen.

2. Perlakuan IP 9 minggu (b3): Setelah G. sepium berumur 11 minggu regrowth setelah

trimming, tanaman dipotong kembali kemudian dibiarkan tumbuh kembali selama 9 minggu

untuk dipanen.

3. Perlakuan IP 6 minggu (b2): Setelah G. sepium berumur 14 minggu regrowth setelah

trimming, tanaman dipotong kembali kemudian dibiarkan tumbuh kembali selama 6 minggu

untuk dipanen.

4. Perlakuan IP 6 minggu (b1): Setelah G. sepium berumur 17 minggu regrowth setelah

trimming, tanaman dipotong kembali kemudian dibiarkan tumbuh kembali selama 3 minggu

untuk dipanen.

Dengan demikian perlakuan diterapkan pada umur regrowth yang berbeda setelah trimming,

sebaliknya panen dilakukan pada saat yang sama dengan umur interval pemotongan yang berbeda

sesuai perlakuan.

Panen. Panen dilakukan dengan cara memotong batang utama setinggi 100 cm dari permukaan tanah,

sedangkan cabang-cabang dipotong sepanjang 10 cm dari batang utama. Jumlah anak daun, daun

majemuk dan jumlah batang dihitung, kemudian daun ditimbang segar. Peubah yang diukur untuk

pertumbuhan vegetative berupa jumlah anak daun, jumlah daun majemuk, jumlah cabang dan rasio

daun/kayu, serta laju produksi bahan kering.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan bahan kering

Interaksi perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan bahan kering daun G.

sepium, tetapi secara terpisah tiap perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan bahan

kering. Perlakuan interval pemotongan 3 minggu (b1) mengandung bahan kering terendah sebanyak

18,42% dan nyata lebih rendah dibandingkan dengan interval pemotongan 12 minggu (b4) sebanyak

24,66%. Peningkatan kandungan bahan kering dari perlakuan b1 ke b4 sebesar 30%. Loncatan

kandungan bahan kering tersebut dapat diterangkan oleh perbedaan umur tanaman yang terkait

dengan lamanya tanaman memperoleh kesempatan untuk menimbun asimilat selama periode tersebut.

Hasil ini menunjang laporan penelitian sebelumnya yang merekomendasi bahwa di daerah tropis

basah tanaman G. sepium sebaiknya dipanen pada umur antara 6-12 minggu (Edwards et al, 2012),

sebab akan terjadi penurunan nilai nutrisi legume pohon pada umur yang semakin tua (Kabi and

Bareeba, 2008) terutama dengan naiknya komponen serat NDF (Thapa et al, 1997), kecuali

kandungan protein kasar (Kabi and Lutakome, 2013).

Pertumbuhan vegetative

Pertumbuhan vegetative diukur pada variabel jumlah anak daun, jumlah daun majemuk, jumlah

cabang, rasio daun/kayu dan laju produksi bahan kering.

Page 286: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

277

Tingginya jumlah anak daun dan daun majemuk tersebut semua terkait dengan perlakuan interval

pemotongan 12 minggu (b4) yang berhubungan erat dengan kandungan bahan kering tertinggi pada

perlakuan interval pemotongan (IP) 12 minggu. Meningkatnya hasil biomassa daun tersebut

kemungkinan disebabkan oleh terjadi perbaikan penentu produksi biomasa termasuk diantaranya lebih

panjang tersedia re-growth period, number of growing buds and branches, leaf area index and

prolonged shoot carbohydrate reserves all of which probably improved on photosynthetic efficiency

(Labri et al., 2000; Kabi and Lutakome, 2013). Jumlah cabang tertinggi pada interaksi perlakuan a1b1

sebanyak 17,94 nyata lebih tinggi dari interaksi perlakuan lainnya, dan yang terendah pada interaksi

perlakuan a3b3 sebanyak 6,02. Laju produksi bahan kering tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan

a3b3 dan a3b4 masing-masing sebanyak 28,34 dan 28,16 dan keduanya nyata lebih tinggi dibanding

interaksi perlakuan lainnya. Rasio daun/kayu tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan kepadatan

populasi tanaman terendah 20 tanaman / 9 m2 dengan umur interval pemotongan terpendek 3 minggu

(a1b1) senilai 4,72 nyata lebih tinggi dari interaksi perlakuan lainya. Tingginya rasio daun/kayu pada

interaksi ini lebih dipengaruhi oleh tingkat kepadatan populasi yang lebih rendah, sehingga tidak

terjadi overlaping dan cukup tersedia ruang untuk memberikan kesempatan growing buds

menghasilkan new branches. Hasil ini tidak sama dengan yang dilaporkan oleh Kabi and Lutakome

(2013) bahwa di Afrika leaf:stem ratio tertinggi G. sepium diperoleh pada optimum cutting frequency

of 8 weeks dan menurun dengan nyata pada umur potong 16 dan 24 minggu, dan diikuti dengan

meningkatnya nyata kandungan NDF. Perbedaan leaf:stem ratio dengan penelitian kami mungkin

disebabkan oleh perbedaan iklim terutama curah hujan dimana rataan curah hujan 2700 mm, sedang

di Afrika 1320 mm.

Kendatipun pada Tabel 2 terlihat maksimum dan minimum pertumbuhan vegetatif G. sepium

dipengaruhi dengan nyata oleh interaksi perlakuan tertentu, namun secara umum ritme pertumbuhan

vegetative lebih didikte oleh perlakuan interval pemotongan ketimbang perlakuan kepadatan populasi

tanaman (Figur 1-2). Management of G. sepium by looping influence not only biomassa yield but

also the fiber yield as well as leaf:stem ratio that greatly impact on its quality (Thapa et al., 1997)

kecuali kandungan protein kasar daun tidak terpengaruh sampai dengan interval pemotongan 24

minggu (Kabi and Lutakome, 2013). Kandungan protein kasar dapat dipertahankan karena G. sepium

trees subjected to periodic pruning actively fix atmospheric N2 dimana renodulation and onset of N2

fixation following pruning occurred rapidly at cutting regime 24 weeks and produced the highest

amount of fixed nitrogen in aboveground biomass (Nygren et al., 2000).

Figur 1. Pengaruh interaksi perlakuan terhadap jumlah anak daun.

Page 287: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

278

Figur 2. Pengaruh interaksi perlakuan terhadap jumlah daun majemuk, jumlah cabang, nisbah

daun/kayu, laju produksi bahan kering.

Ket: JAD = jumlah anak daun. JDM = jumlah daun majemuk. JC = jumlah cabang.

LPBK = laju produksi bahan kering dan ND/K = nisbah daun/kayu.

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa untuk dapatkan mutu hijauan G. sepium dan keberlanjutan produksi legume

ini di areal perkebunan kelapa manajemen penanaman dan defoliasi harus menjadi perhatian.

DAFTAR PUSTAKA

Ella A, Jacobsen C, Stur W.W and G.J. Blair. 1989. Effect of plant density and cutting frequcy on the

productivity of four tree legumes. Tropical Grassland 23: 28-34

Edwards A, Mlambo V, Lallo C.H.O and G.W. Garcia. 2012. Yield, chemical composition and In-

vitro ruminal fermentation of leaves of L. leucocephala, G.sepium and Trichanthera gigatean

as influenced by harvesting frequency. J. Anim Sci Adv. 2: 321-331

Kabi F and F.B. Bareeba. 2008. Herbage biomass production and nutritive value of mulberry (Morus

alba) and Calliandra calothyrsus harvested at different cutting frequencies. Anim. Feed. Sci.

Technol., 140: 178-190.

Kabi F and P Lutakome. 2013. Effect of harvesting Gliricidia sepium (Jacq) Steud at different cutting

frequencies on quantity and quality of herbage biomass for dairy cattle nutrition. J. Anim Sci

Adv. 3(6): 321-336.

Larbi A, Awojide A.A, Adekunle I.O, Ladipo D.O and J.A. Akinlade. 2000. Fooder production

Responses to pruning height and fooder quality of some trees and shrubs in a forest- savanna

transition zone in Southwestern Nigeria. Agroforestry Systems 48: 157-168.

Lukuyu B, Franzel S, Ongadi. P.M and A.J. Duncan. 2011. Livestock feed resources: current

Production and management practices in central and northern rift valley provinces of Kenya.

Livestock Research for Rural Development, Vol. 23. Article 5.

http://www.Irrd.org/Irrd23/5/luku23112.htm.

Nygren P, Cruz P, Domenach A, Vaillant V and J. Sierra. 2000. Influence of forage harvesting

regimes on dynamic of biological dinitrogen fixation of a tropical woody legume. Tree

Physiology 20: 41-48.

Simons A.J and J.L. Stewart. 1994. Gliricidia sepium – a Multi Purpose Tree Legume. In: Gutteridge,

R.C and H.M. Shelton (Ed). Forage Tree Legume in Tropical Agriculture. CAB International,

Wallingford UK. 389 pp.

Page 288: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

279

Subramanian P, Dhanapal P and H.P. Maheswareppa. 2005. Gliricidia sepium as green manure in

improving fertility and productivity of coconut under coastal littrol sandy soil. Journal of

Plantation Crops. 33(3):179-183

Solangi A.H, Mal B, Kazmi A.R and M.z. Iqbal. 2010. Preliminary studies of the major

characteristics, agronomy feature and nutrient value of Gliricidia sepium in coconut

plantations in Pakistan. Pak. J. Bot. 42 (2): 825-832

Thapa B, Walker D.H, and F.L. Sinclair. 1997. Indigenous knowledge of feeding value of tree Fooder.

Anim. Feed Sci. technol. 67: 97-114

Tuwei P.K, Kangara J.N, Poole J, Ngugi F.K and J.L. Stewart. 2003. Factors affecting biomass

Production and nutritive value of Calliandra calothyrsus leaf as fooder for ruminants. J. Agri.

Sci. 141: 113-127.

Page 289: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

280

PENERAPAN SISTEM LEISA ( Low Exsternal Input and Sustainable Agriculture)

TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT RAJA (King Grass) PADA

PEMOTONGAN KETUJUH

Suyitman, Lili Warly, Evitayani, A. Rachmat, dan Dear R.R.

Fakultas Peternakan Universitas Andalas

Kampus Universitas Andalas Limau Manis Padang (25163)

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan sistem LEISA (Low External Input and

Sustainable Agriculture) terhadap pertumbuhan dan produksi Rumput Raja pada pemotongan ketujuh.

Penelitian ini menggunakan Rumput Raja setelah pemotongan keenam, pupuk N, P, dan K, pupuk

kandang (pukan), CMA dan alat-alat pertanian. Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah

metode eksperimen dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan.

Perlakuan dosis yang diberikan adalah: Pertanian anorganik: perlakuan A (100% N, P, dan K), B

(100% N, P, dan K + pukan ), Pertanian LEISA: perlakuan C (25% N, P, dan K + Pukan + CMA), D

(25% N, P, dan K + CMA), dan Pertanian organik: perlakuan E (pukan + CMA). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05)

terhadap pertumbuhan (tinggi tanaman, jumlah anakan, panjang daun) dan produksi (produksi segar &

bahan kering), serta Benefit Cost Ratio (BCR). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan

menggunakan sistem LEISA dan pertanian organik menghasilkan pertumbuhan dan produksi Rumput

Raja yang sama dengan pemberian dosis 100 % rekomendasi pupuk N, P, dan K (pertanian

anorganik). Perlakuan yang paling menguntungkan adalah perlakuan sistem pertanian LEISA dan

sistem pertanian organik.

Kata kunci: Rumput Raja, sistem LEISA, pertanian organik, CMA, pupuk NPK.

ABSTRACT This study aims to determine the effect of the application of the system of LEISA (Low External Input

and Sustainable Agriculture) on the growth and production of the seventh king grass cutting. This

study uses cuttings king grass, fertilizer N, P, K, manure, Arbuscular Mycorrhizal Fungi (FMA), and

the means of agriculture. The research method is a method of experimental design using analysis of

variance with Randomized Block Design (RBD) with 5 kinds of treatments and 4 replicates

(groups). The treatments were: A (200 kg N; 150 kg P; 100 kg K), B (200 kg N; 150 kg P; 100 kg K;

5,000 kg of manure), C (50 kg N; 37.5 kg P; 25 kg K; 5.000 kg of manure; 180 kg FMA), D (50 kg N;

37.5 kg P; 25 kg K; 180 kg FMA), E (5.000 kg of manure; 180 kg FMA). The results showed that the

treatment effect is not significant (P> 0.05) on the productivity parameters king grass. The results of

this study concluded that by using the system LEISA and organic farming king grass productivity

equal to 100% dosing recommendation fertilizer N, P, and K (200 kg urea/ha, SP-36 150 kg/ha, KCl

100 kg/ha). The most beneficial treatment is the treatment of LEISA farming systems (treatments C

and D) and organic farming systems (treatments E).

Keywords: King grass, LEISA systems, organic farming, FMA, NPK fertilizer.

PENDAHULUAN

Pada umumnya HMT ditanam pada lahan marginal yang mempunyai tingkat kesuburan rendah yang

dicirikan dengan sifat kimia, fisika, dan biologi yang kurang bagus, sehingga produktivitas tanaman

Page 290: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

281

yang ditanam pada lahan ini agak rendah (Artise, 2011). Salah satu upaya untuk mengatasi

kekurangan tersebut diantaranya dengan menerapkan metode pertanian berkelanjutan yaitu sistem

LEISA. Sistem LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture) merupakan pertanian

berkelanjutan dengan input luar rendah yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam (tanah,

air, tumbuhan, tanaman, dan hewan) dan manusia (tenaga, pengetahuan, dan ketrampilan) yang

tersedia di tempat dan layak secara ekonomis, mantap secara ekologis, adil secara sosial dan sesuai

dengan budaya (Reijntjes et al., 1999).

Pelaksanaan metode pertanian berkelanjutan ini menggunakan beberapa jenis pupuk kimia, pupuk

organik dan CMA (Cendawan Mikoriza Arbuskula) dalam jumlah sedikit. Cendawan Mikoriza

Arbuskula (CMA) adalah hubungan simbiotik mutualisme antara cendawan (myko) dan akar tanaman

(rhiza). CMA memberikan manfaat pada tanaman, antara lain: meningkatkan kapasitas penyerapan

unsur hara, meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan dan ketahanan terhadap patogen akar

(Husin, 2002).

Pemberian dosis pupuk N (urea) 200 kg/ha, P (SP-36) 150 kg/ha, dan K (KCl) 100 kg/ha dapat

meningkatkan produksi dan kandungan gizi dari Rumput Raja (Peto, 2006). Selanjutnya dilaporkan

bahwa pemberian dosis 25 % rekomendasi pupuk N, P dan K dengan inokulasi CMA menghasilkan

pertumbuhan dan produksi yang relatif sama dibandingkan dengan dosis 100 % N, P, dan K tanpa

CMA.

Hasil penelitian Warly dkk. (2014) tentang penerapan sistem LEISA, pertanian anorganik dan

pertanian organik terhadap pertumbuhan dan produksi Rumput Raja pada pemotongan pertama

sampai dengan keenam menghasilkan produktivitas yang relative sama. Berdasarkan uraian di atas

penulis tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan tentang pertumbuhan dan produksi Rumput Raja

sampai umur satu tahun atau pemotongan ketujuh.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penerapan sistem LEISA terhadap pertumbuhan dan

produksi Rumput Raja pada pemotongan ketujuh (umur rumput Raja satu tahun). Kegunaan penelitian

ini antara lain: untuk memberikan informasi tentang sistem pertanian berkelanjutan dan mengetahui

pengaruh pemberian beberapa jenis pupuk terhadap pertumbuhan Rumput Raja serta untuk

mengetahui produksi kumulatif Rumput Raja selama setahun. Hipotesis penelitian ini adalah

penerapan sistem LEISA menghasilkan produktivitas Rumput Raja pada pemotongan ketujuh yang

sama dengan pemberian dosis 100 % rekomendasi pupuk N, P, dan K (200 kg/ha urea, 150 kg/ha SP-

36, 100 kg/ha KCl).

MATERI DAN METODE

Materi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian agronomis yang dilakukan di Blok A Sitiung II, Jorong Koto

Hilalang 2, Nagari Sungai Langkok, Kecamatan Tiumang Kabupaten Dharmasraya (Sumatera Barat).

Materi penelitian berupa: lahan, rumput Raja pemotongan keenam, pupuk urea, SP-36, KCl, dan alat

pertanian.

Metode Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan

Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 macam perlakuan dan 4 ulangan (kelompok). CMA

yang diinokulasikan sebanyak 10 gram/rumpun (Peto, 2006). Rekomendasi dosis pupuk 100 % N, P,

Page 291: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

282

dan K berdasarkan hasil penelitian Peto (2006) yaitu: 200 kg urea, 150 kg SP-36 dan 100 kg KCl

ha/panen serta CMA yang diinokulasikan adalah 10 gram/rumpun selama tanaman hidup. Perlakuan

yang diberikan adalah sebagai berikut: Perlakuan A = 100 % N, P, K (200 kg/ha urea + 150 kg/ha

SP-36 + 100 kg/ha KCl); B = A + 5 ton pupuk kandang; C = 25% A + 5 ton pupuk kandang + CMA

10 g/rumpun; D = 25% A + CMA 10 g/rumpun; dan perlakuan E = 5 ton pupuk kandang + CMA 10

g/rumpun.

Parameter yang diamati adalah: tinggi tanaman, jumlah anakan, panjang daun, produksi segar,

produksi bahan kering, dan Benefit Cost Ratio (BCR). Rancangan penelitian menggunakan

Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perbedaan antar perlakuan diuji dengan DMRT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Hasil penelitian penerapan sistem LEISA terhadap rataan pertumbuhan, produksi, dan BCR Rumput

Raja pemotongan ketujuh dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Pertumbuhan dan Produksi serta Nilai BCR Rumput Raja

Pemotongan Ketujuh

Perla

kuan

Tinggi

Tanaman

(m)

Jumlah

Anakan

(batang)

Panjang

Daun

(m)

Produksi

Segar

(ton/ha)

Produksi

B.K.

(ton/ha)

BCR

A 3,97 15,33 1,42 182,52 34,02 10,34

B 4,49 16,60 1,42 184,67 34,91 9,89

C 4,39 18,22 1,38 190,75 36,85 10,59

D 3,84 17,52 1,38 186,84 35,50 10,98

E 4,59 17,74 1,40 180,78 34,98 10,54

SE 0.19 1,22 0,02 10,96 2,78 0,41

Keterangan: antar perlakuan berbeda tidak nyata pada baris yang sama (P>0,05)

Perlakuan A & B: sistem pertanian anorganik

Perlakuan C & D: sistem pertanian LEISA

Perlakuan E: sistem pertanian organik

Pembahasan

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan sistem pertanian anorganik,

LEISA, dan organik memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan

tanaman, produksi, dan BCR Rumput Raja pada pemotongan ketujuh. Kondisi ini mengakibatkan

produktivitas Rumput Raja relatif sama pada setiap perlakuan. Hal ini disebabkan adanya fungsi

CMA yang dapat membantu penyerapan unsur-unsur hara dalam tanah yang diperlukan tanaman

untuk pertumbuhan optimal. Pemakaian CMA ternyata dalam penelitian ini bisa menghemat dosis

pupuk N, P, K, sebanyak 75 %. Sesuai pernyataan Abdullah et al. (2005) bahwa tanaman yang

terinfeksi CMA dapat lebih mudah menyerap unsur hara dan air yang tersedia dalam tanah, sehingga

dengan pengurangan jumlah pupuk N, P dan K pada tanah, tanaman tidak kekurangan makanan dan

mampu meningkatkan pertumbuhan daun. Selanjutnya Peto (2006) menyatakan bahwa Rumput Raja,

Gajah, dan Benggala yang diinokulasi dengan CMA dapat meningkatkan serapan P, pertumbuhan,

dan produksi tanaman tanpa menurunkan kandungan gizi tanaman. CMA juga mampu meningkatkan

Page 292: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

283

pertumbuhan tanaman karena status nutrisi tanaman tersebut dapat ditingkatkan dan diperbaiki,

terutama untuk daerah yang bermasalah, seperti tanah masam. Husin (2002) juga membuktikan bahwa

CMA mampu mengurangi atau menghemat kira-kira 50% kebutuhan P, 40% N, dan 25% K, dan

meningkatkan efisiensi pemupukkan. Hal ini disebabkan CMA dapat memperpanjang dan

memperluas jangkauan akar terhadap penyerapan unsur hara di dalam tanah, terutama unsur fosfor.

CMA juga berperan penting dalam mengefektifkan daur ulang unsur hara sehingga dianggap sebagai

alat biologis yang paling efektif untuk mempertahankan stabilitas dan kelestarian ekosistem.

Pada Tabel 1 terlihat bahwa penerapan sistem pertanian organik (perlakuan E = pupuk kandang +

CMA) mampu menghasilkan pertumbuhan vegetatif tanaman, produksi, dan BCR Rumput Raja yang

sama dengan sistem pertanian anorganik (perlakuan A dan B). Hal ini disebabkan fungsi CMA dan

pupuk kandang yang mengandung beberapa unsur hara yang lebih komplit walau dalam kadar yang

rendah, sudah cukup untuk memenuhi aktifitas CMA yang akan sangat berpengaruh terhadap

fisiologis tanaman, sehingga pertumbuhan vegetatif tanaman dapat meningkat. Hal ini didukung oleh

pernyataan Husin (2002) dan Chalimah et al. (2007) bahwa penggunaan CMA dapat meningkatkan

pertumbuhan dan mendorong pertumbuhan anakan, inokulasi mikoriza juga mampu meningkatkan

pertambahan tinggi tanaman serta kandungan hara N, P, dan K, dan Ca pada daun tanaman.

Pemberian pupuk kandang yang mengandung beberapa unsur hara makro dan mikro walau dalam

kadar yang rendah, namun sudah bisa mencukupi kebutuhan pertumbuhan dari Rumput Raja.

Pemberian pupuk kandang menjadikan tanah subur secara fisik, kimia maupun biologis. Secara fisik

pupuk kandang membentuk agregat tanah yang mantap. Keadaan ini besar pengaruhnya terhadap

porositas dan aerasi persediaan air dalam tanah, sehingga berpengaruh terhadap perkembangan akar

tanaman. Secara kimia, pupuk kandang sebagai bahan organik dapat menyerap bahan yang bersifat

racun seperti alumunium (Al), besi (Fe) dan mangan (Mn) serta dapat meningkatkan pH tanah. Secara

biologi, pemberian pupuk kandang ke dalam tanah akan memperkaya jasad renik dalam tanah.

Organisme tersebut sangat membantu dalam penguraian bahan organik sehingga tanah lebih cepat

matang. Kandungan N, P, K dalam pupuk kandang tidak terlalu tinggi, tetapi jenis pupuk ini dapat

memperbaiki permeabilitas tanah, porositas, struktur tanah, daya menahan air, dan kandungan kation

rendah (Salikin, 2003 dan Mayadewi, 2007). Pupuk kandang sapi termasuk pupuk dingin karena

perubahan dari bahan yang terkandung dalam pupuk menjadi tersedia dalam tanah berlangsung secara

perlahan-lahan (Barus, 2012).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: penerapan sistem LEISA (Low

Exsternal Input and Sustainable Agriculture) dan pertanian organik menghasilkan pertumbuhan,

produksi, dan BCR Rumput Raja yang relative sama pada pemotongan ketujuh dengan pemberian

dosis 100 % rekomendasi pupuk N, P, dan K (200 kg/ha urea, 150 kg/ha SP-36, 100 kg/ha KCl).

Saran

Dalam rangka meningkatkan kesuburan tanah secara fisik, kimia, dan biologi secara

berkelanjutan serta menguntungkan, maka sistem pertanian LEISA dan sistem pertanian organik

perlu disosialisasikan dan segera diterapkan.

Page 293: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.

284

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat,

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, yang

telah membiayai penelitian ini melalui skim Penelitian Unggulan Strategis Nasional (PUSNAS).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S., Y. Musa, dan Feranita. 2005. Perbanyakan Cendawan Mikoriza Arbuskula pada

berbagai varietas jagung (Zea mays L.) dan pemanfaatannya pada dua varitas tebu

(Saccharum officinarum L.). Jurnal Sains dan Teknologi 5: 12 – 20.

Artise, H.S.S. 2011. Pengembangan ternak sapi lokal berwawasan lingkungan di Sulawesi Utara.

Prosid. Semimar Nas. Penelit. dan PKM Sains, Teknologi, dan Kesehatan 2 (1): 545 – 552.

Barus, Y. 2012. Pengaruh aplikasi pupuk kandang dan sistim tanam terhadap hasil varietas unggul

padi gogo pada lahan kering masam di Lampung. Jurnal Lahan Suboptimal 1 (1): 102 – 106.

Chalimah, S., Muhadiono, L. Aznam, S. Harran, dan N. Toruan. 2007. Perbanyakan Gigaspora sp.

dan Aclauspora sp. dengan kultur pot di rumah kaca. Biodiversitas 7: 12 – 19.

Husin, E. F. 2002. Respon berbagai tanaman terhadap pupuk hayati Cendawan Mikoriza Arbuskula.

Pusat Studi dan Pengembangan Agen Hayati (PUSPAHATI). Universitas Andalas, Padang.

Mayadewi, N.N.A. 2007. Pengaruh jenis pupuk kandang dan jarak tanam terhadap pertumbuhan

gulma dan hasil jagung manis. Agritrop. 26 (4): 153 – 159.

Peto, M. 2006. Pengaruh dosis pupuk N, P, K terhadap produksi kumulatif dan kandungan gizi

Rumput Raja (Pennisetum purpupoides) pada tanah ultisol yang diinokulasi dengan

cendawan mikoriza arbuskula Glomus Manihottis. Penelitian dan Pengembangan Peternakan

(KRPP) UPT PeternakanUnand dan Laboratorium Hijauan Pakan Ternak Faterna Unand

Pascasarjana Universitas Andalas, Padang.

Reijntjes, C. B. Haverkort, dan A. Waters-bayer. 1999. Pertanian Masa Depan: Penghantar untuk

Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah (Terjemah). Kanisius: Yogyakarta.

Salikin, A. Karwan. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta.

Warly, L. Suyitman, Evitayani, Arif. A. 2014. Peningkatan Ketahanan Pangan melalui Pengembangan

Kawasan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Dharmasraya. Laporan

Penelitian Unggulan Startegis Nasional. DP2M Dikti – Universitas Andalas. Padang.

Page 294: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

285

INDEKS PENULIS

A. Fanindi 62, 192

A. Jayanegara 165

A. Rachmat 280

A. Rahman Sy 234

A.A.A.S. Trisnadewi 263

Adriani 48

Afduha Nurus Syamsi 141

Agus Priyono 90

Ahmad Yani 234

Akhmad Sodiq 216

Anisa Dewi Wardani Putri 71

Aryanto A.T. 122, 198

B.R. Prawiradiputra 62

Bahrun 71, 185

C.L. Kaunang 169

Caribu Hadi Prayitno 29, 135

D.A. Astuti 165

D.A. Kaligis 270, 273

D.M. Saleh 151

Darmawati 48

Dear R.R. 280

Diana Indrasanti 58

Dwi Rahayu Lestantini 22

Dwi Retno Lukiwati 54

E. Sutedi 62, 192, 220,

238

Eko Hendarto 71, 86

Endang Dwi Purbayanti 54

Endro Yuwono 156

Eny Fuskhah 48

Erwin Wantasen 81

Evitayani 280

F.N.S. Oroh 81

Page 295: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

286

Fransisca Maria Suhartati 141

Fredy Dompas 273

Gusti Ayu Mayani Kristina Dewi 128

H. Purwaningsih 151

H.W. Kinanti 151

Hery Supratman 175

Hudri Aunurohman 185

I Dewa Nyoman Sudita 203

I Gede Sutapa 203

I Nyoman Kaca 203

I W. Suarna 246, 263

I. Herdiawan 62, 192,

220, 238

I.W. Wirawan 263

Iin Susilawati 175

Ikmahwati S. 39

Imbang Haryoko 90

J. Sumarmono 14, 182

K.M. Budiasa 263

Karti P.D.M.H. 198, 211

Kusuma Widayaka 182

L. Abdullah 165

L.G. Sumardani 265

Lili Warly 280

Lizah Khairani 175

Lucie Setiana 109

Luh Suariani 203

Luki Abdullah 1

M. Kasmiatmojo 179

M. Socheh 151

M.A.P. Duarsa 246

M.I. Pontoh 169

Mardiati Sulistyowati 182

Mari Santi 44

Mohandas Indradji 58

Page 296: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

287

Muhamad Alfin 175

Muhamad Bata 252

Muhamad Samsi 67

Muhammad Nuskhi 109

Munasik 67, 258

N. Tirta Ariana 128

N.M. Witariadi 94

N.N. Candraasih K. 94

N.N. Suryani 263

N.P. Mariani 246

N.W. Siti 94

Nahrowi 165

Ni Made Yudiastar 203

Novie Andri Setianto 216

Novita, C.R. 211

Nunung Noor Hidayat 182

Nur Hidayat 71

Nurhalan Bawole 270

Oentoeng Edy Djatmiko 104

Onesimus Yoku 76

P. Yuwono 179, 216

Pramono Soediarto 86

Prihantoro I. 39, 122, 198

R.R. Indrawati 128

Rachim A.F. 198

Rahmi Dianita 234

Retno Iswarin Pujaningsih 54

Roni N.G.K. 94

Rusdimansyah 44

S. D. Anis 270, 273

S. Dalie 81

S.A. Lindawati 246

Saidah I. 122

Sajimin 62, 99, 192,

220, 238

Page 297: versi elektronik - HITPI

versi

elek

tronik

288

Setiana M.A. 39, 122

Simel Sowmen 44

Siti Zainab 44

Sri Hastuti 58, 156

Sri Mastuti 104

Sri Nastiti Jarmani 99

Sri Rahayu 252

Sufiriyanto 156

Suharlina 165

Suparwi 67

Suwarno 71, 86

Suyitman 280

T. Warsiti 179

Taufik Hidayat 71

Titin Widiyastuti 185

Tri Rahardjo Sutardi 135

Triana Yuni Astuti 182

Ubaidillah 234

W. Kaunang 270

Wardhana Suryapratama 141

Yakin A. 39

Yoselanda Marta 114

Yusmi Nur Wakhidati 104

Yusuf Subagyo 135

Z.A. Jelan 14