versi elektronikhitpi.org/sites/default/files/pdf/prosiding hitpi 2015.pdf · 2017. 11. 13. ·...
TRANSCRIPT
versi
elek
tronik
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL IV HITPI
Purwokerto, Desember 2015
STRATEGI PENGEMBANGAN
HIJAUAN PAKAN LOKAL
Penyelenggara : Himpunan Ilmuan Tumbuhan Pakan Indonesia ( HITPI ) , Bekerja sama dengan, Direktorat Pakan, Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia , Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
ISBN : 978-602-1004-16-6
Versi online : http://fapet.unsoed.ac.id/
versi
elek
tronik
iii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL IV HITPI
(HIMPUNAN ILMUWAN TUMBUHAN PAKAN INDONESIA)
“Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas
Untuk Peningkatan Mutu Ternak”
Seminar dilaksanakan pada tanggal 18 - 20 Oktober 2015 di Fakultas
Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Versi elektronik prosiding ini dapat diakses melalui:
http://fapet.unsoed.ac.id/
Penerbit
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
2015
versi
elek
tronik
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya sehingga prosiding ini dapat disusun dengan baik. Prosiding ini memuat artikel-
artikel yang telah dipresentasikan pada Seminar Nasional IV HITPI dengan tema “ Strategi
Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” yang
diselenggarakan oleh HITPI (Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia) bekerjasama
dengan Fakultas Peternakan dan Direktorat Pakan Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Indonesia pada tanggal 18 Oktober sampai dengan
20 Oktober 2015.
Percepatan pemenuhan kebutuhan pangan asal ternak ruminansia sangat ditentukan
oleh ketersediaan hijauan pakan berkualitas pada sentra produksi ternak. Secara global telah
terbukti terbukti bahwa keberhasilan suatu negara dalam mensuplai hijauan pakan
berkualitas secara murah berdampak pada kemampuan negara tersebut dalam menjamin
keberlanjutan sistem stok ternak dan kontribusi produk pangannya secara nasional. Forum
eminar yang berskala nasional telah memberikan wahana bagi para peneliti untuk saling
berbagi dan berdiskusi mengenai hasil temuannya sekaligus membangun jejaring dan hasil-
hasilnya disajikan dalam prosiding ini.
Prosiding ini tersusun berkat kerjasama antara berbagai pihak, utamanya penulis,
dewan penyunting, sekretariat dan juga percetakan. Terimakasih disampaikan kepada
berbagai pihak yang telah berkontribusi. Semoga semua artikel yang dirangkm pada
prosiding ini dapat digunakan sebagai rujukan ilmiah dalam menetapkan strategi dan
langkah-langkah selanjutnya untuk mengembangkan sumberdaya peternakan di Indonesia,
guna menujuketahanan pangan hewani dan kesejahteraan masyarakat.
Purwokerto, Desember 2015
Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Jenderal Soedirman
Prof. Dr. Ir. Akhmad Sodiq, MSc.Agr.
versi
elek
tronik
v
PROSIDING SEMINAR NASIONAL IV HITPI
(HIMPUNAN ILMUWAN TUMBUHAN PAKAN INDONESIA)
“Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk
Peningkatan Mutu Ternak”
©Universitas Jenderal Soedirman
Cetakan pertama, 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang undang
All Right Reserved
Perancang Sampul : Panitia Seminar Nasional IV HITPI
Penata Letak : Panitia Seminar Nasional IV HITPI
Pracetak dan Produksi : Tim Percetakan dan Penerbitan Unsoed
Penerbit
ISBN 978-602-1004-16-6
versi
elek
tronik
vi
DEWAN PENYUNTING
Caribu Hadi Prayitno, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Sodirman
Dwi Retno Lukiwati, Fakultas Peternakan dan Pertanian UNDIP
I Wayan Suarna, Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Luki Abdullah, Fakultas Peternakan IPB
Ning Iriyanti, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Sodirman
Tri Rahardjo Sutardi, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Sodirman
Titin Widiyastuti, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Sodirman
SEKRETARIAT
Imbang Haryoko
Murniyatun
versi
elek
tronik
vii
DAFTAR ISI
Cover dalam ......................................................................................................................................... ii
Dewan Penyunting .............................................................................................................................. iii
Kata Pengantar .................................................................................................................................... iv
Daftar Isi ............................................................................................................................................. v
Makalah Utama Penulis Hal
Indigofera Sumber Konsentrat Hijau Prospektif Untuk
Bisnis Pakan dan Peningkatan Produktivitas Ternak
Luki Abdullah 1
Forage Production and Management In The Tropics“ Z.A. Jelan and J. Sumarmono 14
Potensi Sistem Integrasi Sawit – Sapi Di Kalimantan
Tengah(Study kasus di PT. Sulung Ranch)”
Dwi Rahayu Lestantini 22
Potensi Ekstrak Tanaman dalam Meningkatkan
Produktifitas Ternak Ruminansia
Caribu Hadi Prayitno 29
Makalah Penunjang Penulis Hal
Pola Penyediaan dan Potensi Hijauan Di Kawasan
Industri Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor.
Setiana MA, Ikmahwati S, Yakin
A, dan Prihantoro I
39
Pertumbuhan dan ProduktivitasKelor (Moringa oleifera)
Periode Vegetatif Awal dengan Pemupukan Sumber P
Yang Berbeda pada Tanah Ultisol
Simel Sowmen, Rusdimansyah, Siti
Zainab, dan Mari Santi
44
Pertumbuhan dan Produksi Jerami Kedelai Akibat
Inokulasi Bakteri Rhizobium dan Penambahan Hara Air
Laut
Eny Fuskhah dan Adriani
Darmawati
48
Produksi Jagung Manis dan Jerami pada Dua Periode
Tanam dengan Pupuk Kandang Diperkaya Fosfat Alam
dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak
Dwi Retno Lukiwati, Endang Dwi
Purbayanti, dan Retno Iswarin
Pujaningsih
54
Perhitungan MCV dan MCHC Untuk Menganalisis
Indikasi Anemia pada Kelinci yang Disuplementasi
Daun Katuk dalam Pakan
Mohandas Indradji, Sri Hastuti, dan
Diana Indrasanti
58
Pemurnian Benih Leguminosa Pakan Kalopo
(Calopogonium mucunoides)
Achmad Fanindi, I.Herdiawan, E.
Sutedi, Sajimin, dan
B.R. Prawiradiputra
62
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik, Kadar
VFA dan Amonia Silase Pakan Komplit Secara In
Vitro
Suparwi, Munasik dan Muhamad
Samsi
67
Penampilan Alfalfa (Medicago sativa) Defoliasi
Pertama pada Jarak Tanam dan Umur Defoliasi yang
Berbeda
Suwarno, Eko Hendarto, Nur
Hidayat, Bahrun, Anisa Dewi
Wardani Putri, dan Taufik Hidayat
71
Potensi Produksi Hijauan dan Komposisi Kimia
Rumput Sudan (Sorghum sudanense) Sebagai Sumber
Hijauan Pakan Lokal Di Wilayah Papua
Onesimus Yoku 76
Daya Dukung Hijauan dan Limbah Tanaman Pangan
Terhadap Pengembangan Populasi Ternak Sapi Potong
di Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa
Erwin Wantasen, S. Dalie dan
F.N.S. Oroh
81
versi
elek
tronik
viii
Makalah Penunjang Penulis Hal
Fenomena Tanaman Glirisidia (Glyrisidia maculata) di
Pantai Petanahan Kabupaten Kebumen
Eko Hendarto, Suwarno, dan
Pramono Soediarto
86
Edible Portion Karkas, Kadar Lemak dan Kolesterol
Daging Domba dengan Imbangan Ampas Bir dan
Rumput Gajah yang Berbeda
Agus Priyono dan Imbang
Haryoko
90
Pertumbuhan Kacang Pinto (Arachis pintoi)
yang Diberi Pupuk Kandang Sapi dan Mikoriza
Roni NGK, NN Candraasih K, NM
Witariadi dan NW Siti
94
Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Pemenuhan
Pakan Usaha Ternak Domba Skala Rumahtangga
Sri Nastiti Jarmani
99
Efisiensi Penggunaan Pakan Hijauan pada Usaha
Ternak Sapi Potong di Kabupaten Banjarnegara
Sri Mastuti, Yusmi Nur Wakhidati
dan Oentoeng Edy Djatmiko
104
Produktivitas Kerja, Gaya Kepemimpinan Ketua dan
Motivasi Berprestasi Anggota Kelompok Peternak Sapi
Perah di Kabupaten Banyumas
Muhammad Nuskhi dan Lucie
Setiana
109
Manajemen Padang Penggembalaan Di BPTUHPT
Padang Mengatas
Yoselanda Marta 114
Pengaruh Pola Pemangkasan Teh Terhadap Jenis
Keragaman Hijauan Pakan Di PTPN VIII Goalpara IV
Kabupaten Sukabumi
Setiana M.A., Saidah I. Prihantoro
I. dan Aryanto A.T.
122
Kualitas Fisik Karkas dan Kandungan Lemak Ayam
Broiler yang Mendapat Ransum Tepung Kulit Buah
Pepaya (Carica papaya) Sebagai Pengganti Kacang
Hijau
Gusti Ayu Mayani Kristina Dewi,
R.R. Indrawati dan N. Tirta Ariana
128
Pengaruh Tepung Kulit Bawang Putih (Allium sativum)
Dan Mineral Organik (Cr, Se Dan Zn Lysinat) pada
Pakan Terhadap Konsumsi Pakan, Produksi dan
Komponen Susu Kambing
Yusuf Subagyo, Tri Raharjo dan
Caribu Hadi Prayitno
135
Pengaruh Daun Turi (Sesbania grandiflora) dan
Lamtoro (Leucaena leucocephala) dalam Ransum Sapi
Berbasis Indeks Sinkronisasi Protein - Energi Terhadap
Sintesis Protein Mikroba Rumen
Afduha Nurus Syamsi, Fransisca
Maria Suhartati, dan Wardhana
Suryapratama
141
Pemberian Energi Ransum Yang Berbeda (Flushing)
Terhadap Konsentrasi Estrogen dan Progesteron pada
Kambing Jawarandu Setelah Kawin1
M. Socheh, D.M. Saleh, H.W.
Kinanti C.H. Rachmawati,WS. dan
H. Purwaningsih
151
Efektivitas Pupuk Organik Cair “USB” dan
Suplementasi Herbal Terhadap Produktivitas Rumput
Gadjah
Sufiriyanto, Sri Hastuti, dan Endro
Yuwono
156
Evaluasi In Vitro Ransum Konsentrat Berbasis
Indigofera zollingeriana dalam Sistem Rumen Kambing
Suharlina, L Abdullah, DA. Astuti,
Nahrowi, dan A. Jayanegara
165
Pertumbuhan Tanaman Arachis pintoy yang Diberi
Perlakuan Air Kelapa dan Panjang Stek
C.L. Kaunang dan M.I. Pontoh 169
Penggunaan Binder Tepung Limbah Ubi Jalar (Ipomoea
batatas) terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Pelet
Legum Indigofera sp.
Iin Susilawati, Hery Supratman,
Lizah Khairani, dan Muhamad
Alfin
175
versi
elek
tronik
ix
Makalah Penunjang Penulis Hal
Identifikasi Jenis-Jenis dan Kandungan Nutrisi Gulma
Di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara yang
Potensial Sebagai Bahan Pakan Ternak Ruminansia
P. Yuwono, T. Warsiti dan
M.Kasmiatmojo
179
Processing Properties Pembuatan Concentrated Yogurt
dari Susu Sapi Lemak Penuh dan Rendah, dengan dan
Tanpa Penambahan Inulin
Juni Sumarmono, Mardiati
Sulistyowati, Triana Yuni Astuti,
Nunung Noor Hidayat dan Kusuma
Widayaka
182
Saccharide Enrichment Dalam Optimalisasi
Fermentasi Bungkil Biji Jarak (Jatropha curcas)
Menggunakan Bifidobacterium bifidum
Titin Widiyastuti, Bahrun, dan
Hudri Aunurohman
185
Pengaruh Pemberian Pupuk Fospat Terhadap Produksi
Biji dan Hijauan Calopo (Calopogonium mucunoides)
pada Lahan Masam
Sajimin, I.Herdiawan, E.Sutedi dan
A.Fanindi
192
Efektifitas Perbanyakan Kultur Tunggal Cendawan
Mikoriza Arbuskula (Gigaspora margarita, Glomus
etinucatum, Acaulospora tuberculata) pada Inang
Centrosema bubescens
Prihantoro I., Rachim A.F., Aryanto
A.T. dan Karti P.D.M.H.
198
Respons Pertumbuhan, Produksi, dan Kualitas Rumput
Gajah Kate (Pennisetum purpureum cv. Mott) yang
diberi Pupuk Urea, Bio-Urine, dan Kombinasinya
I Dewa Nyoman Sudita, I Nyoman
Kaca, Luh Suariani, Ni Made
Yudiastar, dan I Gede Sutapa
203
Potensi Pengembangan Pastura pada Lahan Pasca
Tambang Timah Di Bangka Belitung
Karti, P.D.M.H, Prihantoro, I. dan
Novita C.I.
211
Program Pengembangan Klaster Sapi Potong : Pola
Pemeliharaan dan Penyediaan Lahan Tumbuhan Pakan
Akhmad Sodiq, Pambudi Yuwono
dan Novie Andri Setianto
216
Produktivitas Indigofera zollingeriana pada Berbagai
Taraf Naungan (Canopy) dan Kemasaman Tanah di
Lahan Perkebunan Kelapa Sawit
Iwan Herdiawan, Endang Sutedi
dan Sajimin
220
Kandungan Protein Kasar dan Kecernaan Protein Silase
Dalam Berbagai Perbandingan Campuran Jerami
Jagung-Legum Indigofera zollingeriana
Rahmi Dianita, A. Rahman Sy,
Ubaidillah, Ahmad Yani
234
Taraf Naungan Kelapa Sawit dan Penggunaan Pupuk
Terhadap Produksi Hijauan dan Benih Kalopo
(Calopogonium mucunoides) di Lahan Kering Masam
E. Sutedi, I. Herdiawan, dan
Sajimin
238
Daya Dukung Hijauan Pakan dalam Konservasi Sapi
Putih Taro
I W. Suarna, M.A.P. Duarsa, N.P.
Mariani, L.G. Sumardani, dan
S.A.Lindawati
246
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Sapi Bali
yang Diberi Pakan Mengandung Daun Waru
Muhamad Bata dan Sri Rahayu 252
Pengaruh Umur Pemotongan Terhadap Kualitas Hijauan
Sorgum Manis (Shorghum bicolor L. Moench) Varietas
RGV
Munasik
258
Peran Tanaman Pakan Gamal (Gliricidia sepium) dalam
Konservasi Lahan Pasca Tambang
I W. Suarna, N.N. Suryani, K.M.
Budiasa, A.A.A.S. Trisnadewi, dan
I.W. Wirawan
263
versi
elek
tronik
x
Makalah Penunjang Penulis Hal
Pertumbuhan Rumput Brachiaria humidicola dan
Stenotaphrum secundatum pada Interaksi Pemupukan
Unsur NPK
Nurhalan Bawole, W. Kaunang, S.
D. Anis dan D.A. Kaligis 270
Hasil Bahan Kering dan Pertumbuhan Vegetatif
Gliricidia sepium (Jacq) Steud pada Kepadatan Populasi
dan Pemotongan Berbeda
Selvie D. Anis, David A. Kaligis
dan Fredy Dompas
273
Penerapan Sistem Leisa (Low Exsternal Input and
Sustainable Agriculture) Terhadap Pertumbuhan
dan Produksi Rumput Raja (King grass) pada
Pemotongan Ketujuh
Suyitman, Lili Warly, Evitayani,
A. Rachmat, dan Dear R.R.
280
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
1
INDIGOFERA SUMBER KONSENTRAT HIJAU PROSPEKTIF UNTUK BISNIS PAKAN
DAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERNAK
Luki Abdullah
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Fakultas Peternakan – IPB, [email protected]
1. Pendahuluan
Daya saing produk peternakan Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan dan kualitas
pakan. Proporsi biaya pakan dari keseluruhan biaya produksi dari hasil kajian menunjukkan adanya
kenaikan yang signifikan dari dekade 80-an yaitu dari rataan 65% menjadi 76% untuk ruminansia, dan
dari 74% menjadi sekitar 80% untuk unggas pada saat ini. Peningkatan biaya pakan ini menyebabkan
kenaikan harga ternak dan produk ternak dalam negeri tinggi.
Tingginya harga bahan pakan bersumber dari serealia, biji-bijian dan limbah agro industri telah
memicu kenaikan harga ransum ternak. Tingginya harga bahan pakan konsentrat karena bahan pakan
strategis sumber protein dan karbohidrat seperti bungkil kedelai, jagung, pollard dan corn gluten meal
didatangkan dari luar negeri. Impor bungkil kedele dan jagung masing-masing dapat melebihi 2 juta
ton dan 2,95 juta ton tahun 2013, akibat peningkatan kapasitas produksi industri pakan nasional
mencapai 13,8 juta ton tahun 2013 (Sudirman. 2014), bahkan dengan semakin besarnya kebutuhan
industri pakan dengan target terpasang 15,5 juta ton ada kecenderungan kebutuhan bahan baku
tersebut akan terus meningkat.
Disisi lain beberapa contoh bahan baku konsentrat asal lokal seperti bungkil inti sawit juga ternyata
tidak mudah didapatkan oleh peternak, karena diperkirakan lebih dari 1,5 juta ton per tahun diekspor
untuk kebutuhan industri lain dengan harga tentunya lebih menguntungkan. Kalaupun tersedia
pembelian harus dengan kuantitas besar, yang sulit dijangkau oleh peternak menengah ke bawah.
Kesulitan mendapatkan bahan pakan konsentrat konvensional diprediksi akan terus berlanjut seiring
suksesnya pengembangan teknologi dan industri biorefinary. Teknologi biorefinary mampu
mengkonversi setiap biomassa menjadi lebih bernilai ekonomi dan berdaya guna untuk berbagai
industri seperti farmasi (obat dan kosmetik) dan pangan fungsional. Artinya, industri pakan akan
berkompetisi dengan industri lain dalam menggunakan bahan baku yang bernilai gizi tinggi. Industri
biorefinary tergolong industri dengan investasi tinggi saat ini, sehingga jarang investor dalam negeri
membangun industri berbasis teknologi biorefinary, sedangkan investor di luar negeri seperti di
Korea, Jepang, Malaysia, China saat ini membangun industri berbasis teknologi biorefinary yang
bahan bakunya dari Indonesia.
Upaya alternatif untuk mengurangi ketergantungan bahan baku konsentrat yang bersumber dari
serealia, biji-bijian dan limbah agroindustri terutama dari hasil import adalah mengoptimalkan
pemanfaatan hijauan pakan berkualitas tinggi dari tanaman pakan Leguminoseae atau dikenal dengan
nama Legum. Pengggunaan hijauan berkualitas tinggi berpeluang untuk menerapkan sistem produksi
ternak organik serta mengurangi ketergantungan bahan baku impor. Hal inilah yang mendorong
Australia mengembangkan areal lamtoro (McSweeney et al., 2011) hingga mencapai 200.000 ha,
karena di negara ini bahan konsentrat konvensional semakin hari semakin mahal akibat
berkembangnya industri berbasis biorefinary. Australia terus berupaya melakukan peningkatan
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
2
efisiensi produksi terutama dalam penyediaan pakan dengan memanfaatkan sumberdaya lokal dalam
skala industri.
Penggunaan legum pakan Lamtoro di Indonesia telah sukses dilakukan di NTT tepatnya di Amarasi.
Hasil kajian selama musim kemarau di desa Merbaun kecamatan Amarasi Barat dan desa Oesena
kecamatan Amarasi kabupaten Kupang menunjukan bahwa penggunaan daun lamtoro masing-masing
72% dan 53% dalam ransum dapat menghasilkan pertambahan bobot badan harian sapi bali masing-
masing 0,74 kg/hari dan 0.76 kg/hari (Lani, 2014), lebih tinggi 0,2-0,26 kg dari sapi bali dengan
pemeliharaan di desa lain yang tidak berbasis legum.
Pengembangan dan pemanfaatan leguminosa pakan di Indonesia sudah semakin mendesak untuk
mensubstitusi penggunaan bahan konsentrat asal serealia, biji-bijian dan limbah agroindustri. Legum
pakan merupakan anugerah dan maha karya Sang Pencipta sebagai sumber nutrien terbaik yang dapat
digunakan untuk mengoreksi kekurangan nutrisi pada berbagai bahan pakan lokal secara murah.
Kandungan protein legum pakan berkisar antara 20-38%. Daun merupakan sumber nutrien terbaik
dalam setiap jenis tanaman pakan. Kandungan protein kasar daun legum berkisar 21-38% dan bagian
batang sampai tangkai daun mengandung protein kasar dengan kisaran 10-18%. Produksi dan kualitas
Indigofera zollingeriana terlihat lebih tinggi dibandingkan legum lainnya, sehingga termasuk legum
yang mempunyai prospek tinggi untuk dikembangkan sebagai komoditi industri konsentrat hijau.
Legum sering dimanfaatkan oleh peternak selain sebagai sumber protein, juga sebagai sumber mineral
Ca dan P. Kalsium dalam leguminosa relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rumput, yang berkisar
antara 0,1- 0,3% dibandingkan dengan rumput yang rata-rata sekitar 0,13-0,21%. Demikian pula
dengan kandungan P pada legum relatif lebih tinggi. P pada legum sebagian besar berupa P organik
yang sangat penting terutama dalam proses metabolisme, karena P digunakan sebagai sumber energi
metabolisme seperti ATP (adenosin tri fosfat). Jenis P organik yang ditemukan antara lain asam
nukleat dan fosfolipid. Sekitar 70-90% P dari legum dapat larut dalam air, dan hanya sekitar 3-7% P
terikat dalam bahan dinding sel (Whitehead et al., 1985).
2. Pengembangan Konsentrat Hijau Berbasis Indigofera
Konsentrat merupakan pakan yang berasal dari campuran atau bahan pakan tunggal padat nutrisi
yang mengandung serat kasar kurang dari 18% (FAO, 1983). Pengertian ini secara teknis dapat
dikembangkan bukan hanya untuk bahan pakan yang berasal dari serealia, biji-bijian, limbah agro
industri dan mineral, yang secara konvensional sudah dikenal dan digunakan selama ini. Pengertian
konsentrat bisa dikembangkan menjadi Konsentrat Hijau, dengan mempertimbangkan sumber pakan
lain yaitu hijauan pakan sebagai komponen penyusunnya. Konsentrat pada umumnya memiliki
kandungan protein kasar > 14% dengan TDN >65%. Fungsi konsentrat pada ransum ternak adalah
sebagai penguat untuk mengoreksi kekurangan nutrisi pada ransum yang diberikan agar dapat
memenuhi kebutuhan untuk hidup (maintenance), produksi dan reproduksi.
Konsentrat Hijaun atau Green Concentrate merupakan istilah baru yang penulis munculkan dengan
pengertian “Pakan padat nutrisi dengan kandungan serat kasar kurang dari 18% yang bahan bakunya
berasal dari hijauan pakan”. Konsentrat hijau dapat berasal dari hijauan tunggal dari satu spesies
tanaman pakan atau beberapa campuran hijauan pakan yang berasal dari species tanaman pakan yang
berbeda sehingga memenuhi persyaratan sebagai konsentrat hijau. Sebagian besar bahan baku Kohi
berasal dari tanaman pakan lgum. Salah satu keunggulan dari Kohi selain padat nutrisi juga memiliki
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
3
fungsi herbal atau jamu bagi ternak karena mengandung klorofil dan senyawa sekunder yang
bermanfaat bagi ternak.
3. Indigofera sebagai Bahan Konsentrat
Indigofera telah dikenal sejak jaman kolonialisasi Jepang untuk industri pewarna alami. Sebanyak 64
spesies Indigofera ditemukan mengandung senyawa nitro alifatik dalam konsentrasi 2 sampai 12 mg
NO2/g tanaman (William et al., 1981), cukup beracun untuk umur anak ayam 1 minggu. Sekitar 20
spesies telah dipelajari untuk tanaman pakan antara lain : Indigofera zollingeriana, Indigofera
arrecta, Indigofera tinctoria, Indigofera. spicata and Indigofera nigritana yang telah diujikan pada
ternak dan tikus tidak menunjukan gejala abnormalitas secara histologi.
Salah satu jenis legum prospektif di Indonesia untuk bahan konsentrat hijau adalah Indigofera
zollingeriana yang disebut Indigofera (Abdullah et al., 2012a). Legum in merupakan salah satu famili
legumonoseae yang sudah dikembangkan risetnya sejak tahun 2006 oleh penulis dan tim untuk
menghasilkan bahan pakan setara konsentrat (konsentrat analog) secara tepat dan efisien. Roadmap
riset dapat dilihat pada Gambar 2. Indigofera dipilih sebagai sumber konsentrat hijau, karena memiliki
keunggulan dalam produksi dan kualitas hijauannya dibandingkan dengan legum lain. Rataan protein
kasar Indigofera berkisar antara 26%-31% (Tabel 1) dengan tingkat kecernaan protein mencapai 83%-
86,3%.
Dari hasil uji coba I. zollingeriana dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, karena selain nilai
nutrisinya tinggi, juga palatabilitasnya tinggi bagi semua ternak. Kualitas nutrisi I. zollingeriana
tergolong tinggi (Tabel 2) (Abdullah et al., 2010). Kualitas protein Indigofera ditentukan oleh
komposisi asam amino esensial nya. Nilai Indeks asam amino esensial Indigofera adalah 21,45% lebih
rendah dibandingkan asam amino bungkil kedele (36.34%) (Palupi et al., 2014).
Tabel 1. Kandungan nutrisi hijauan (daun dan bagian edible lainnya) Indigofera zollingeriana
Kandungan nutrisi Kisaran nilai
Bahan kering (%) 88.11 ± 2.7
Abu (%) 6,14 ± 1.45
Lemak kasar (%) 3.62 ± 0.23
Protein kasar (%) 29.16 ± 2.37
Serat kasar (%) 14.02 ± 2.48
Bahan Ekstrak tanpa N (%) 35.1 ± 2.54
NDF (%) 47- 61
ADF (%) 21- 39
TDN (%) 75-78
Selulosa (%) 11-16
Lignin (%) 2.4-4.6
Ca (%) 1.78 – 2.04
P(%) 0.34 – 0.46
K (%) 1.46 – 4.21
Mg (%) 0.32 - 0.51
Vitamin A (IU/100mg) 5054
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
4
Vitamin D (mg/100g) 34.7
Vitamin E (mg/100g) 13.32
Kecernaan bahan kering pada kambing (%) 78 – 82
Kecernaan bahan organic pada kambing (%) 77 – 80
Kecernaan protein (%) 82.3 – 86.3
Tanin (%) 0.03 – 0.14
Saponin (%) 2.24 – 4.20
Sumber : (Abdullah et al.,2010)
Bahan aktif yang paling sering ditemukan dalam genus Indigofera adalah Indospicin, seperti pada I.
spicata (Aylward et al., 1987) atau 3-nitro propionic acid pada I.carlessii dan I. kirilowii (Su et al.,
2008). I zollingeriana yang digunakan dalam pengembangan konsentrat mengandung tanin dan
saponin dalam jumlah relatif rendah dan tidak terdeteksi mengandung bahan berbahaya seperti 3-nitro
propionat. Berdasarkan informasi tersebut I. zollingeriana dilihat dari sudut pandang kualitas dan anti
kualitas dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan konsentrat hijau.
4. Karakteristik Agronomi dan Ekofisiologi Indigofera
Secara agronomis Indigofera merupakan tanaman pakan tahunan yang dapat berproduksi sampai 15
tahun. Tanaman pakan ini sangat mudah dikembangkan dan dibudidayakan, karena potensi
reproduksinya yang tinggi untuk menghasilkan polong dan benih dengan biji bernas. I. zollingeriana.
Jumlah polong dalam setiap tangkai bervariasi antara 7-17 buah dengan panjang polong antara 2.5-3.4
cm, jumlah benih per polong antara 5-7 butir dengan didominasi benih bernas 64-82%. Indigofera
mulai berbunga sejak umur 2 bulan setelah transplantasi, dan bunga berkembang menjadi polong
memerlukan waktu sekitar 3-4 minggu. Pematangan fisiologis benih terjadi hingga minggu ke-6
tergantung curah hujan. Warna polong yang sudah mengalami masak fisiologis adalah hitam
kecoklatan dan terdapat relief pada setiap segmen benih yang menunjukan benih bernas.
Secara fisik benih berwarna coklat dan coklat kehitaman serta bulat berisi lebih baik viabilitasnya
dibandingkan dengan benih berwarna kuning atau hijau kecoklatan. Pengeringan benih hingga 45 oC
dapat menurunkan daya kecambah benih hingga 29.85% dan 41.53% berturut-turut pada umur
kecambah 4 hari dan 14 hari. Kadar air benih Indigofera untuk penyimpanan bisa mencapai 8-9%.
Benih normal I. zollingeriana dapat berkecambah pada umur 4 hari dengan persentase perkecambahan
(daya kecambah) 28-35% (Girsang, 2012) jika benih disimpan lebih dari 2 bulan dan serangan jamur
saaat pembibitan. Pemberian pupuk organik pada media penyemaian dapat meningkatkan daya
kecambah menjadi 67%-74%.
Benih I. zollingeriana tergolong benih dengan sifat fotoblastik negative, karena benih yang
berkecambah pada germinator gelap lebih banyak dibandingkan germinator terang (44% - 57% vs
24% - 29%; P<0.05).
Kepadatan tanam optimal Indigofera sekitar 6.600 tanaman per ha, dengan jarak antar tanaman dalam
baris 1 m dan antar baris 1,5m. Untuk menghasilkan tajuk yang tinggi, diperlukan pemberian pupuk
kandang dalam lobang saat tanam sebanyak 250-300g/lobang dan pupuk cair organic INDIGO-
FERTILIZER, yang dibuat hasil penelitian di Laboratorium Agrostologi Fakultas Peternakan IPB
dalam kemasan 1 L/botol (Abdullah, 2010). Pupuk daun disemprotkan 4 kali selama periode
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
5
penanaman, yaitu pada saat tanaman berumur 30, 34, 38 dan 42 hari setelah pemangkasan atau panen
sebelumnya. Aplikasi INDIGO-FERTILIZER sebanyak 50 ppm juga dapat meningkatkan total asam
amino esensial pada hijauan Indigofera dari 1,31% menjadi 1,65% atau meningkat 25,47% (Abdullah
dan Kumalasari, 2012). Interval pemanenan 60 hari, dengan intensitas pemangkasan 75-100 cm
dengan bagian tanaman yang dipanen daun dan batang (edible).
Kisaran produksi hijauan Indigofera yang dicatat di kebun percobaan Darmaga dan Unit Pendidikan
dan Penelitian Peternakan IPB Jonggol antara 5-8 ton BK/ha/panen (catatan; bahwa produksi hijauan
ini diperoleh dari tanaman yang diberi pupuk daun) (Tabel 2 dan Gambar 1). Produksi kering hijauan
Indigofera adalah 33% dari produksi hijauan segarnya. Pemangkasan yang lebih tinggi hingga 1.5 m
dilaporkan oleh Andi et al (2010) menunjukan produksi hijauan lebih banyak dibandingkan
pemangkasan yang lebih pendek.
Tabel 2. Pengaruh dosis pupuk cair daun terhadap produksi hijauan dan pertumbuhan tanaman
Indigofera
Sumber : Abdullah et al (2010).
Produksi dan kualitas hijauan pakan sangat dipengaruhi oleh komposisi daun muda dan daun tua
tanaman Indigofera. Dinamika komposisi antara daun muda dan daun muda terjadi sesuai waktu
pemangkasan adalah sebagai berikut : semakin tua umur pemangkasan dari 38 hari menjadi 88 hari
semakin meningkat proporsi daun tua dari 58.4% menjadi 75.3% dan semakin menurun proporsi daun
muda dari 41.6% menjadi 24.7% (Abdullah dan Suharlina, 2010), meskipun produksi total hijauan
meningkat dari 2673 kg BK/ha/panen menjadi 5410 kg BK/ha/panen. Konsekuensi perubahan
komposisi ini adalah penurunan kualitas yang ditunjukan oleh penurunan kandungan protein dari 27-
31% menjadi 25%-27%, dan penurunan kecernaan bahan kering dari 74.52% menjadi 67.39% serta
penurunan kecernaan 73.79% menjadi 69.63%.
Jumlah cabang tanaman Indigofera pada umumnya berkisar antara 8-30 cabang sejak mengalami
pemangkasan pertama hingga pemangkasan ke-10. Setiap cabang memiliki sekitar 2-6 ranting yang
pada umumnya masih dapat dikonsumsi ternak terutama dalam keadaan segar. Produksi hijauan
sampai pada pemangkasan ke-6 masih mengikuti pola pembentukan cabang dan ranting, sehingga
korelasi keduanya positif (r=0.894). Peningkatan jumlah percabangan setelah pemangkasan ke-6
menyebabkan pertumbuhan daun (kanopi) saling menutupi dan banyak daun tidak efektif dalam
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
6
melakukan proses fotosintesis akibat ternaungi oleh daun diatasnya. Perbanyakan cabang ini
menyebabkan penurunan produksi sehingga korelasi keduanya negative (r=-0.979).
Berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan, kajian ekofisiologi menunjukkan bahwa Indigofera
zollingeriana toleran terhadap cekaman kekeringan. Kemampuan I. zollingeriana terhadap cekaman
kekeringan ditunjukan dengan nilai potensial air daun yang berkisar antara -1,8 mPa sampai – 7,9
mPa (Sowmen, 2013). Selang nilai potensial air daun ini menunjukkan bahwa tanaman ini memiliki
kemampuan adaptasi terhadap berbagai kondisi kekeringan yang ekstrim. Produksi tajuk dapat
menurun hingga 33,96% akibat pengurangan air hingga 25% kapasitas lapang, namun tanaman ini
tetap menghasilkan tajuk, dan mengalami pemulihan ketika tanaman mendapatkan air kembali
(Herdiawan et al., 2012).
Gambar 1. Dinamika produksi hijauan dan percabangan tanaman
Indigofera zollingeriana. Sumber : Abdullah et al (2010)
(tidak dipublikasi)
Indigofera terbukti sangat interaktif dengan Mychorriza dalam hal transfer unsur hara dari tanaman
Setaria italica yang ditanam bersamaan dalam pola tanam tumpang sari agar tetap produksi hijauannya
dipertahankan (Dianita, 2012). Indigofera juga mampu mempertahankan kandungan N, P dan C, serta
meningkatkan populasi bakteri pelarut fosfat dalam rhizosphere, (Suharlina dan Abdullah, 2012).
5. Pegujian Indigofeed dan Indifeed Pada Ternak
Uji in vivo pada ternak dilakukan di tingkat farm di Peternakan Kambing di Cikarawang Bogor,
Cijeruk Bogor dan di Lembang Bandung. Pemberian konsentrat hijauan Indigofeed sampai taraf
100% menunjukan peningkatan produksi susu 14-28% dan persistensi produksi menjelang masa
kering (Abdullah et al., 2012b). Produksi susu kambing menjelang masa kering dari ternak kambing
Saanen dan Peranakan Etawah (PE) yang diberi pelet Indigofeed menghasilkan susu berturut-turut
761 ml dan 675 ml 100% dan 70% lebih tinggi dibandingkan produksi susu kambing yang diberi
ransum komersial tanpa Indigofera pada waktu yang sama yaitu berturut-turut 379 ml dan 390 ml
(Gambar 2).
Pemberian 30% Indigofeed ransum domba menyebabkan konsumsi bahan pakan lebih rendah
(667±86 g/ekor/hr) dibandingkan dengan pemberian ransum yang mengandung 30% limbah tauge
(914±175 g/ekor/hr), namun kecernaan protein ransum dengan Indigofeed relatif lebih tinggi
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
7
dibandingkan dengan ransum dengan limbah tauge (73% vs 71%). Rataan pertambahan bobot badan
domba yang diberi ransum mengandung 30% Indigofeed 118 -151 g/ekor/hari dengan tingkat efisiensi
pakan 17,59% dan efisiensi penggunaan protein untuk daging 5,18% (Dewiyana, 2012).
Perhitungan secara ekonomis dilakukan untuk melihat apakah ransum dengan Indigofeed lebih
menguntungkan dibandingkan dengan ransum komersial yang diperoleh dari pasar. Hasil perhitungan
terhadap biaya pakan menunjukan bahwa untuk menghasilkan satu liter susu penggunaan Indigofeed
40% pada ransum menghemat 55% biaya pakan dibanding ransum komersial (Gambar 2).
Gambar 2. Produksi susu dan biaya pakan untuk menghasilkan 1 L susu
CF = 40% Ransum komersial + 60% Rumput Gajah, CIF = 40% Indigofeed
+ 60% Rumput Gajah
Tingkat efisiensi penggunaan protein untuk pembentukan protein susu kambing telah diuji. Ransum
yang mengandung Indigofeed tingkat efisiensi penggunaan proteinnya 30% lebih tinggi (6.5%)
dibandingkan dengan perlakuan kontrol (5%). Hasil pengujian produksi dan kualitas susu kambing
perah yang diberi Indifeed selama 3 bulan di peternakan di Cikarawang Bogor menunjukkan hasil
yang sama antara susu yang berasal dari kambing perah diberi ransum komersial maupun Indifeed.
Produksi susu dari kambing yang diberi ransum komersial menghasilkan rataan produksi yang
rendah selama pengukuran pada awal periode laktasi pertama, dan cenderung tidak mengalami
peningkatan produksi hingga akhir penelitian. Produksi susu dari kambing diberi Indifeed 20%
(IndifeedPB-20) dan 40% (IndifeedPB-40) menunjukkan total produksi kambing lebih tinggi antara 4
liter per ekor dibandingkan total produksi susu dari kambing yang diberi ransum komersial (Abdullah
et al., 2013b).
Pengujian kualitas dan nilai biologis dari produk ransum mengandung Indigofera dilakukan di
peternakan sapi perah di Lembang pada pertengahan periode produksi. Sapi diberi ransum dengan
komposisi Indigofera ditingkatkan menjadi 60% dan 80% dalam ransum. Hasil pengujian terhadap
produksi susu sapi perah menunjukkan pada awalnya produksi susu bervariasi antara 10-12,5 liter.
Pemberian Indigofera 60-80% dalam ransum komlit meningkatkan rataan produksi susu sapid an
cenderung menstabilkan produksi susu bahkan meningkatkannya dibandingkan dengan produksi susu
dari sapi yang diberi ransum komersial.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
8
Pengaruh penggunaan Indigofeed dalam ransum kambing terhadap populasi mikroba rumen dan
produksi gas metan diuji dalam rangkaian penelitian ini (Abdullah et al., 2013b). Hasilnya
menunjukkan bahwa ransum yang mengandung konsentrat hijauan Indigofeed hingga 40% dapat
meningkatkan populasi bakteri rumen dan menekan populasi protozoa, serta mampu menekan
produksi gas metan dengan taraf yang sama dengan ransum yang mengandung bungkil kedele dalam
konsentrat.
Pengujian tidak hanya terbatas pada ruminansia, tetapi juga pada monogastrik. Kualitas sperma
kelinci dapat dipertahankan dengan pemberian Indigofera hingga 30% dalam ransumnya. Motilitas
spermatozoa kelinci yang diberi Indigofeed 30% dapat meningkat 6 kali lebih tinggi dibandingkan
dibandingkan motilitas sperma kelinci yang diberi ransum komersial. Demikian juga daya hidup
spermatozoanya dapat diperbaiki dari 60% pada kelinci yang diberi pakan komersial menjadi 82%
jika diberi Indigofed 30% dalam ransumnya. Pemberian Indigofeed dengan jumlah itu dapat
menurunkan tingkat abnormalitas spermatozoa sebanyak 5% (Marina, 2012). Pada penelitian lain
kelinci yang diberi Indigofeed 30% dapat menghasilkan pertambahan bobot badan 27.3% lebih tinggi
dibandingkan dengan ransum komersial dan 25 kali lebih tinggi dari pada ransum yang diberi 30%
lamtoro (Nofisa, 2012). Kadar lemak daging kelinci yang diberi Indigofeed 30% pada ransum juga
lebih rendah 47% dibandingkan dengan ransum komersial namun sama dengan lemak daging kelinci
yang diberi lamtoro 30% dalam ransum. Income over feed cost (IOFC) ransum kelinci yang
mengandung Indigofeed 30% pada saat penelitian ini dilakukan adalah Rp. 9003, sedangkan ransum
kelinci komersial dan ransum mengandung 30% lamtoro nilai IOFC–nya berturut turut Rp. 1616 dan
Rp. 2931.
Konsentrat hijau Indigofeed yang berasal dari pucuk daun dapat meningkatkan produksi dan kualitas
telur ayam. Hasil studi yang dilakukan Palupi et al. (2014) menunjukkan bahwa pemberian Indigofeed
pada ransum ayam petelur 5%-15% dapat meningkatkan produksi telur ayam, warna kuning telur,
kandungan beta caroten kuning telur dan vitamin A kuning telur. Telur yang dihasilkan dari ayam
yang mengkonsumsi ransum mengandung konsentrat hijau Indigofeera sangat bermanfaat untuk
suplemen vitamin A dan menjaga ketahanan tubuh bagi anak-anak terutama balita secara murah dan
aman. Demikian juga karena kandungan kolesterolnya lebih rendah, maka telur ini dapat dikonsumsi
dengan aman untuk orang dengan resiko kolesterol. Indigofeed juga ditemukan dapat menghambat
aktivitas penyakit karena mengandung antioksidan (Tabel 3). Penggunaan Indigofeed pada ransum
ayam layer dalam penelitian ini dapat mensubstitusi penggunaan bungkil kedele 11%, tepung jagung
9% dan penggunaan dedak 7%.
Pengujian konsentrat hiauan Indigofera pada ikan Grass carp (Wahyuningsih, 2015 data dalam proses
publikasi) menunjukan hasil yang positif memperpendek pembentukan gonad, memperbesar ukuran
gonad dan meningkatkan protein gonad yang menrupakan indikator posotf tingginya daya dedar telur
ikan.
Tabel 3. Produksi dan kualitas telur ayam ras yang diberi konsentrat hijau Indigofera pada ransum
iso protein dan energi
Porsi Indigofera dalam ransum (%)
0 5 10 15
Produksi Hen day (%) 83,63 a 93,05 b 91,36 b 92,65 b
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
9
Bobot telur (g/butir) 43,00 51,90 49,50 49,60
Warna kuning telur 8,50 a 11,50 b 12,15 b 13,25 c
Β-caroten telur (mg/100g) 56,7 a 85,9 b 109,5 c 124,0 d
Vitamin A telur (mg/100g) 2297 a 2536 b 2776 c 3380 d
Kolesterol telur (mg/kuning telur) 375 d 280 c 220 b 172 a
Konsentrasi inhibisi (mg/g) 87,6 c 86,1 c 41,4 b 35,8 a
Konversi pakan 2.23 2.08 2.20 2.19
Sumber: Palupi et al., 2014
6. Kelayakan Ekonomis dan Komersialisasi Produk Konsentrat Hijau Indigofera
Indigofeed merupakan salah satu produk konsentrat hijau Indigofera yang relatif memiliki daya saing
bersaing tinggi dengan harga pokok produksi sekitar Rp. 2.372/kg, harga di tingkat peternak Rp.
3.300 – 4.000 tergantung tingkat kemurnian Indigoferanya. Harga ini terhitung murah dan dapat
diterima peternak karena kandungan protein mencapai 26-31%,
Hasil analisis kelayakan ekonomi dengan mengacu pada pengalaman produksi selama ini
menunjukkan bahwa usaha unit produksi konsentrat hijau Indigofera cukup menguntungkan. Analisis
kelayakan ekonomi untuk pengusahaan pabrik oleh swasta atau koperasi untuk produksi 1000
ton/tahun dengan luasan 30 ha, diperlukan Biaya investasi termasuk sewa lahan Rp. 2,32 miliar
dengan net B/C 2,29, NPV Rp. 2,81 miliar, IRR 43,95%, dengan HPP Rp. 2.372/kg keuntungan per
kg Rp. 1.228, dan pay back period 1,7 tahun. Untuk luas lahan 100 ha dengan perkiraan produksi
3000 ton/ha dengan HPP Rp. 1.989/kg, biaya investasi termasuk sewa lahan yang diperlukan sebesar
Rp. 4,95 miliar dan biaya operasional Rp. 1,99 miliar/tahun, menunjukkan NPV Rp. 16,8 miliar, IRR
121.17% menghasilkan keuntungan bersih Rp.1311/kg.
Secara nutrinomika dibandingkan dengan bungkil kedele dan tepung ikan produk Indigofeed
menunjukan prospek lebih baik, dapat dilihat perbandingannya sebagai berikut : harga protein bungkil
kedele sekitar Rp. 1.700/100 gram protein (protein kasar 45% harga Rp. 8.000 per kg), dan harga
protein tepung ikan Rp. 2.340/100g protein (protein kasar 47%, harga Rp. 11.000 per kg),
sedangkan harga protein Indigofeed berkisar antara Rp. 1.260-1.540/100 g protein (protein kasar 26-
31%, harga Rp. 3.300-4.000 per kg). Harg TDN Indigofeed Rp. 440-530/100g TDN (TDN 75%),
sedangkan bungkil kedele Rp. 1.950/100g TDN dan tepung ikan Rp. 1.860/100 g TDN.
Berdasarkan pengelaman di lapangan baik saat sosialisasi di kelompok peternak, koperasi Asosiasi
Peternak maupun Pameran Indolivestock 2012-2014 produk dan teknologi Kohi Indigofeed banyak
diminati masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya permintaan untuk mengembangkan usaha
ini di masyarakat. Selain itu permintaan ekspor sudah ada dari Korea, Malaysia dan India. Namun
sampai saat ini belum dapat dipenuhi karena produksi masih sangat terbatas untuk peternak disekitar
Bogor.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
10
7. Skala Pengusahaan
Dasar perhitungan produksi hijauan Indigofera bisa melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan luasan
lahan dan jumlah individu pohon. Pendekatan luas lahan dapat dilakukan untuk model usaha dalam
skala besar dan dilakukan secara full mekanik oleh perusahaan. Pendekatan individu tanaman dapat
dilakukan untuk usaha komunitas di kelompok peternak atau koperasi peternak. Minimum luasan
lahan yang dapat diusahakan oleh perusahaan adalah 30 ha, sedangkan minimum jumlah pohon untuk
kelompok peternak adalah 33.000 pohon. Lahan seluas 100 ha dapat menghasilkan produk konsentrat
hijau murni (Indigofeed) sebanyak 8,3 ton/hari dan produk Indifeed dengan kandungan Indigofera
30% dapat dihasilkan dengan kapasitas produksi 32 ton/hari.
Alternatif pengusahaan dapat dilakukan melalui peternak/petani yang tergabung dalam kelompok
yang langsung menjadi pemasok bahan baku dan koperasi (yang anggotanya pekelompok
peternak/petani) mengolah bahan hijauan pakan menjadi konsentrat hijau. Unit produksi dapat berupa
pabrik dengan skala kecil 2.5 ton/hari sehingga diperlukan lahan 15-20 ha per satu unit pabrik mini
pengolah daun Indigofera. Investasi pembuatan pabrik pakan mini untuk kapasitas 2.5 ton/hari sekitar
Rp. 290 juta diluar biaya lahan.
Alternatif lain yaitu pengusahaan yang dilakukan oleh BUMN atau perusahaan swasta bermitra
dengan petani/peternak sebagai pemasok bahan baku, petani/peternak pemasok bahan baku akan
menjadi pemegang saham dalam unit usaha tersebut. Kelompok peternak diberi pengetahuan tentang
teknologinya untuk memproduksi bahan baku daun berkualitas baik.
8. Model Industri Konsentrat Hijau
Pengembangan industri konsentrat hijauan berbasis komunitas nampaknya bisa menjadi alternatif
yang diminati oleh kelompok peternak atau koperasi. Hasil sosialisasi di beberapa lokasi kelompok
peternak di kabupaten Bogor, Garut, Bandung, Malang, Surabaya, Lamongan melalui kegiatan
RAPID dari Dikti selama 2012-2013 penulis mendapatkan gambaran bahwa model pengembangan
usahanya dilakukan sendiri langsung oleh kelompok atau koperasi peternak petani. Hal ini dipandang
oleh para peternak dapat membantu langsung meningkatkan pendapatan bagi peternak/petani melalui
penjualan hijauan pakan ke unit pengolah, dan meningkatkan performa ternak mereka karena adanya
konsentrat hijau yang dapat tersedia sepanjang waktu. Keuntungan lainnya nilai tambah dari
pengolahan hijauan pakan dapat dinikmati langsung oleh peternak/petani.
Aktivitas produksi konsentrat hijau adalah sebagai berikut : Peternak/petani yang tergabung kelompok
menanam Indigofera atau legum berkualitas lain dengan luasan lahan dan jumlah individu tanaman
yang telah direncanakan untuk memenuhi target produksi harian Konsentrat Hijau. Mereka
membudidayakan Indigofera, kemudian menjualnya ke unit pengolah (masih dalam satu
kopreasi/kelompok) dengan harga yang baik. Hasil perhitungan secara ekonomis harga hijauan
Indigofera segar yang memenuhi spesifikasi bahan baku dapat dinilai dengan harga Rp. 480-525 per
kg segar. Kelompok peternak/petani harus membudidayakan Indigofera secara berkesinambungan
sehingga menghasilkan hijauan Indigofera secara berkelanjutan dan menjadi pemasok unit
pengolahan hijauan pakan yang dikelola oleh mereka sendiri. Beberapa kelompok unit produksi
konsentrat hijau dengan skala pengusahaan yang disampaikan di atas kemudian bergabung menjadi
koperasi pengolah dan pemasar produk Indigofeed dan Indifeed.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
11
Jumlah kelompok pembudidaya dan pengolah konsentrat hijauan ini tersebar di beberapa wilayah
pengembangan ternak. Dukungan dari pemerintah daerah maupun pusat sangat diharapkan untuk
menfasilitasi penyediaan peralatan mesin pengering, mesin penepung dan mesin pelet serta pengemas
produk.
Pihak swasta atau BUMN dapat dilibatkan dalam pemasaran produk jika terdapat kelebihan produk
yang tidak sanggup dijual oleh kelompok ataun koperasi. Perguruan tinggi berperan sebagai
pendamping teknologi yang terus menerus melakukan kajian agar sistem produksi konsentrat hijau ini
lebih efisien. Kegiatan yang sudah dilakukan dalam bentuk proyek percontohan dengan dana RAPID
2014 yang dilakukan oleh penulis dan team di desa Ngepung Kabupaten Probolinggo dan desa
Cimande Kabupaten Bogor yang bekerjasama dengan kelompok peternak dan Himpunan Peternak
Domba dan KambingIndonesia.
9. Kesimpulan
Hijauan pakan adalah komoditi strategis yang signifikan mempengaruhi keberlanjutan usaha
peternakan, menciptakan sistem produksi yang efisien berbahan lokal dan mendorong indutri
peternakan nasional berdaya saing tinggi dan pemanfaatan sumberdaya lahan.
Konsentrat hijauan pakan berpeluang besar untuk menjadi komoditas green feed yang
pengusahaannya skala industri berbasis komunitas.
Dukungan dari pemerintah atau dunia bisnis diperlukan terutama dalam tahap inisiasi industri
konsentrat hijau agar bisa dikembangkan dengan baik dan diterima di masyarakat.
10. Daftar Pustaka
Abdullah, L., P.D.M. Karti dan S. Hardjosoewignjo. 2005. Reposisi Tanaman Pakan dalam
Kurikulum Fakultas Peternakan. Proc. Lokakarya Tanaman Pakan Ternak. Balai Penelitian
Ternak.
Abdullah, L. 2006. The Development of integrated forage production system for ruminants in rainy
tropical regions-the case of research and extension activity in Java, Indonesia. Bul. of Fac. of
Agric. Niigata University, 58(2): 125-128
Abdullah, L. 2010. Herbage production and quality of Indigofera treated by different concentration of
foliar fertilizer. J. Anim Sci and Tech.., 33(3): 169-175.
Abdullah, L and Suharlina, 2010. Herbage yield and quality of two vegetative parts of Indigofera at
different time of first regrowth defoliation. Med. Pet., 1(33): 44-49.
Abdullah, L. N.R. Kumalasari, Nahrowi dan Suharlina. 2010. Pengembangan Produk Hay, Tepung
dan Pelet Daun Indigoferasp.sebagai Alternatif Sumber Protein Murah Pakan Kambing Perah.
Laporan Penelitian Hibah Insentif. Fakultas Peternakan IPB.
Abdullah, L. and N.R.Kumalasari. 2012 Amino Acid Contents of Indigofera arrecta Leaves After
Application of Foliar Fertilizer. J. Agric. Sci. and Tech. 1(8), 1224-1227.
Abdullah, L., A. Tarigan, Suharlina, D. Budhi, I. Jovintry dan T.A. Apdini. 2012a. Indigofera
zollingeriana : A promising forage and shrubby legume crop for Indonesia. Proceeding the 2nd
International Seminar on Animal Industry, Jakarta, Indonesia p.149-153
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
12
Abdullah, L. Apdini T. and D.A. Astuti. 2012b. Use of Indigofera zollingeriana as a Forage Protein
Source in Dairy Goat Rations. Proceeding of the 1st Asia Dairy Goat Confetrence, Kuala
Lumpur, Malysia, 9-12 April 2012. ISBN 978-983-44426-2-0, :72-74.
Abdullah, L., D.A. Astuti, Suharlina, and A. Jayanegara. 2013a. Fermentation and methane
production of Indigofera based- ration in rumen stimulation technique. Proceeding of The 4th
International Conference on Sustainable Animal Agriculture for Developing Country, 27-31
July 2013 Lanzhou, China.
Abdullah, L., Nahrowi, D.A. Astuti dan Suharlina. 2013b. Pengembangan dan Komersialisasi Produk
Ransum Komplit Berbasis Hijauan Indigofera (Indifeed) sebagai Pakan Berkualitas Untuk
Kambing Perah. Laporan Penelitian RAPID. Fakultas Peternakan IPB (Proses publikasi).
Andi Tarigan, L. Abdullah, S.P. Ginting dan I.G. Permana. 2010 Produksi dan komposisi serta nutrisi
In vitro Indigofera sp. Pada interval dan tinggi pemotongan berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner, 15(3): 188-195.
Aylward, J.H.; Court, R.D.; Strickland, R.W.; and Hegarty, M.P. 1987. Indigofera species with
agronomic potential in the tropics. Rat toxicity studies.Australian Journal of Agricultural
Research. v. 38(1) p. 177-186.
Dewiyana I.S. 2012. Efisiensi Penggunaan Protein Ransum Komplit Mengandung Indigofera
zollingeriana dan Limbah Tauge pada Penggemukan Domba Lokal Jantan. Skripsi. Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, ps.35. (dibimbing oleh D.A.
Astuti dan L. Abdullah).
Dianita, R. 2012. Study of Nitrogen and Phosphorus Utilization on Legume and non Legume Plants in
Integrated System. Diss., Institut Pertanian Bogor. (Dibimbing oleh : L. Abdullah, S.
Harjosoewignjo, I. Mansyur dan H. Sumarsono).
FAO, 1983. The use of concentrate feeds in livestock production systems. http://www.
fao.org/ag/againfo/ programmes/en/lea /toolbox/Refer/fcrpsec1.pdf. Diunggah tanggal 16
September 2014.
Glatz, P. C., Y. J. Ru, Z. H. Miao, S. K. Wyatt, and B. J. Rodda. 2005. Integrating poultry into a crop
and pasture farming system. International Journal of Poultry Science 4(4): 187-191.
Girsang, R.C. 2012. Viabilitas Benih Indigofera (Indigofera zollingeriana) Setelah Injeksi CO2 dan
Penyimpanan. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan
IPB. ps.43. (dibimbing oleh L. Abdullah dan G.K. Wiryawan)
Herdiawan, I., L. Abdullah, D. Sopandi, P.D.M.H. Karti and N. Hidayati. 2012. Productivity of
Indigofera sp. at different drought stress level and defoliation interval. J. Anim. and Vet. Sci.
17(2):276-283.
Indonesian Commercial Newsletter (ICN), 2011. Industri Palm Oil di Indonesia.
http://www.datacon.co.id/Sawit-2011ProfilIndustri.html
Karsten, H. D., G. L. Crews, R. C. Stout, and P. H. Patterson. 2003. The impact of outdoor coop
housing and forage based diets vs. cage housing and mash diets on hen performance, egg
composition and quality. International Poultry Scientific Forum, Atlanta.
Lani, M.L. 2014. Evaluasi Ketersediaan dan Penggunaan Lamtoro (Leucaena lecocephala) pada
Sistem Amarasi di Kabupaten Kupang. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana-IPB. (Dibimbing oleh :
L. Abdullah dan R. Priyanto).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
13
McSweeney, C.S., N.T. Ngu., M.J. Halliday, S.R. Graham. H.E. Giles, S.A Dalzell and H.M Shelton.
2011. Enhanced ruminant production from leucaena – New insights into the role of ‘leucaena
bug’. Proc. Of the 3rd International Conference on Sustainable Animal Agriculture For
Development Countries, Nakhon Racthasima, Thailand, p: 88-89.
Noci, F., A.P. Moloney, P. French dan F.J. Monahan. 2003. Influence of duration of grazing on the
fatty acid profile of M longissimus dorsi from beef heifers. Proceeding of British Society of
Animal Sciience, Winter Meeting, York. ps.233.
Nofisa, D. 2012. Performa Produksi dan Organ Dalam Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan
yang Diberi Pelet Ransum Komplit Mengandung Daun Indigofera zollingeriana dan Leucaena
lecocephala. Skripsi Fakultas Peternakan IPB. 37 hal. (dibimbing oleh L. Abdullah dan A
Setiadi).
Marina D. 2012. Kualitas Spermatozoa Kelinci Peranakan New Zealand White yang Diberi Pelet
Ransum Komplit Mengandung Daun Indigofera zollingeriana dan Leucaena lecocephala.
Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB. 44 hal.
(dibimbing oleh L. Abdullah dan A Setiadi).
Palupi, R. L. Abdullah and D.A Astuti. 2014. High antioxidant egg production trough substitution of
soybean meal by Indigofera sp. Top leaf meal in laying hen diets. Int. J. Poult. Sci., 13(4):198-
203.
Sowmen, S., L. Abdullah, PDMH. Karti, dan D. Sopandie. 2013. Adaptasi Tanaman Legum Pakan
Terhadap Cekaman Kekeringan dan Inokulasi Mikoriza. Diss., Sekolah Pasca Sarjana IPB.
ps.70. (dibimbing oleh L. Abdullah, P.DM. Karti dan D. Sopandie).
Su, Y., C.Li, Y. Gao, L.Di, X.Zhang. J.Lu and D.Gou. 2008. Six new glucose esters of 3-nitro
propionic acid from Indigofera kirilowii. Fitoterapia. 79(6):451-455.
Sudirman. 2014. http://www.agrofarm.co.id/read/ pertanian/ 781/lampaui-rekor-tertinggi-impor-
jagung-capai-36-juta-ton/#. Diunggah tanggal 6 September 2014.
Suharlina dan L. Abdullah., 2012. Peningkatan produktivitas Indigofera sp. Sebagai pakan hijauan
berkualitas tinggi melalui aplikasi pupuk organic cair : 1. Produksi hijauan dan dampaknya
terhadap kondisi tanah. Pastura, Journal Tumbuhan Pakan Tropika, 1(2): 39-43.
Whitehead, D.C. K.M. Goulden and R.D. Hartley. 1985. The distribution of nutrient elements in cell
wall and other fractions of some grasses and legumes. Journal of the Science of Food and
Agriculture, 36:311-318.
Williams.,M. C 1981. Nitro Compounds in Indigofera Species.Agronomy Journal, Vol. 73 No. 3,
:434-436.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
14
FORAGE PRODUCTION AND MANAGEMENT IN THE TROPICS
Z.A. Jelan*) and J. Sumarmono**)
*) University Putra Malaysia. [email protected]; **) Faculty Animal Science, Jenderal Soedirman University, Purwokerto, Central Java, Indonesia
53123. [email protected]
INTRODUCTION
Forage is plant material (mainly plant leaves and stems) eaten by grazing livestock. Today, the term
is used more loosely to include plants that are cut or uncut, tree crops, legumes or non-legumes,
conserved or processed plants or fibrous cereal by-products/crop residues consumed directly by
animals or offered in stalls. The common similarity of these forages is the generally high fiber
content and they form the bulk feed for ruminants. Thus, these forages are commonly and firstly
categorized as roughage or fiber-rich feed.
Forage from pastures or natural grasslands largely provide the much needed fibre in the ration for
enhancing digestion in the rumen. It is most important to remind farmers on the fact that ruminants
need forages as dietary fiber sources and the consequences of inadequacy in their ration. On the other
reason, feed costs represent the single largest expense in operating cost in the farming of these
animals. These two underlying principles are sufficient for farm operator to recognize and emphasize
the importance of providing and managing forages in the ration. Though forage based feeding system
is considered to be the most cost-effective and sustainable system while taking into consideration of
its roles in digestion, the importance of forage quantity and quality is often overlooked in the feeding
practice for ruminants. In the smallholder dairy farming in Asia, farmers are generally not well aware
of the cost and options of feeding. Overstocking animals and underfeeding forages are most common
practice in dairy farms (Moran, 2009).
This paper looks at significance of forages, its production and managements that should be employed
to efficiently utilize them for a sustainable ruminant production by reference to the humid tropics.
SIGNIFICANCE OF FORAGE FIBRES IN RUMINANT DIGESTION
Forage quality:
Forages of good quality are the main asset of any ruminant farming as they are also the foundation of
most rations in a forage-based diet. Minimum amount of fiber from forage is necessary for optimum
rumen functions. Ruminants derive most of the energy requirement from products of rumen
fermentations of structural carbohydrates of the fibrous feed. The efficiency of fermentation is
dependent on the characteristics of carbohydrate and also the rumen ecology that is dominated by the
presence of microorganisms. The ability to degrade the complex structural fibers in plants and
metabolize them to make the energy required for animal’s productive functions will normally
determines the nutritional adequacy of the ruminant animals (Leng, 1991).
Rumen fermentation:
Fermentation is efficient when the ruminants consume long-form fibers that stimulate ruminal
movements and rumination. Cows fed a diet with long fibre particles such as pasture grasses and or
hay chew for more than 10 hours, ruminate for about 6 hours. Thorough mixing of the rumen contents
allows improved microbial attachment to the fiber particles for efficient and rapid breakdown.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
15
Rumination also stimulates salivation that sustains the rumen acidity between 6.2 and 6.8 that would
be ideal for microbial fiber digestion. If rumen pH falls below 6.0, fibre digestion declines. When
ruminal pH falls below 5.8, fibre digestion ceases completely and subsequent drop to below 5.5,
acidosis sets in.
In vitro rumen incubation study showed that ruminal pH is one of the important determinants of fiber
digestion, which is modulated via the effect on bacterial attachment to fiber substrates (Sung et al,
2007). Rate of ruminations or chewing the cud by animals is an indicator of adequacy of forage
intake. On the contrary, rumination slows with ration deficient in fiber, but high concentrate. As DM
of forage to concentrate ratio is reduced, the pH also reduced (Aguerre et al., 2009).
Rumen pH and acidosis:
The concerns for feeding forage as fibre source are strongly related to the occurrence of sub-acute
ruminal acidosis (SARA) in intensively reared dairy cows and goats with low fibre (forage)
consumption. Affected animals produce less milk and milk with low fat. Animal also develops
physical laminitis (cows with swollen feet and hocks, soreness), and shows reduced feed and forage
intakes, loose manure and reduced cud chewing. Increasing the dietary effective NDF contained in
alfalfa hay stimulated chewing activity and improved ruminal pH status, but reduced nutrient intake
and efficiency of feed use (Zhao et al. 2014). Feed with shorter particle sizes usually result in
reduced chewing time and ruminal pH (Grant et al, 1990).
PRODUCTION AND MANAGEMENT OF FORAGE PASTURES
Development of pasture land:
Many ruminant farms particularly the smallholders struggled to support the forage needs of their
animals. Many farmers depend on forages that can be collected from marginal lands such as river
banks and forest margins. They cut and carry forages on daily basis (Figure 1). It is always a
challenge to establish a pasture of grass or legumes as cost of pasture development can be prohibitive
and dependent on the conditions of soils, water resources and topography of the land. In addition,
costly and short period of land rental for pasture production can be a severe limiting factor to develop
pasture. Without security of tenure, it is unlikely that a farmer will invest into a long-term pasture
production or improvement.
Figure 1. This cut and carry system is a common practice in many developing countries to
support forage needs for ruminants
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
16
It is advisable to evaluate the condition of the soils before planting pasture. Soil testing will indicate
the strength of the soils and steps to correctly remediate before planting. The aims of a soil sampling
plan should be: (i) to identify manageable size pastures (according to animal number to feed) that
have similar characteristics and (ii) to outline the nutrient needs of your pasture. The high cost of
fertilizer justifies for a complete soil analysis in order to make efficient use of fertilizer nutrients. The
information derived from soil testing should be used in making fertilizer mixture sufficient for the soil
needs of your pasture. Excess application is not necessary as it causes heavy deposition of minerals in
the soil besides adding the cost.
Some key estimation is required on the size of pasture for development. This includes estimates of:
(i) numbers of animals (total body weight) to be fed with the forage, (ii) annual forage DM yield and
(iii) the level of forage DM to be offered to the animal. This ensures matching of forage produced
with the amount to be offered in the ration.
Growing quality forages:
Growing own good quality forages is important because it ensure that the animals get high quality
bulk feed and reduces the feeding of concentrate in the ration. In addition, cultivation of crops also
enriches the soil e.g. through N fixation, reduces soil erosion and suppress weed growth (Moran,
2005). Milking cow for example needs very high nutrient requirement and poor quality forage will
not support this need. This cow needs a minimum of 40% forage (on DM basis) and the balance
comes from concentrate feed. On the average, a milking cow needs at least 40-50kg/day fresh forage
containing 10MJ/kg DM of ME and 16% CP content. Similarly, a dairy goat needs 8-10kg of forages
daily. The volume and quality of this forage which is critical in the ration of dairy cows and goats is
possibly produced through good forage cultivation and management.
Forage species:
It is important to grow species that adapt well in local soils and climatic conditions. These include soil
fertility, temperatures, soil pH and drainage (Moran 2005). Over the years, new pasture species were
developed mainly in advanced livestock farming countries notably Australia. Such species may not
be productive in the humid tropical climate where pasture management is generally not a priority.
However, with increasing interest to farm ruminants and the need to produce forages, it has become
necessary to produce local forage seeds that adapt to local soil and climatic conditions. In order to
enhance livestock productivity in Thailand, Department of Livestock Development has stations or
centers and also private farmers in different regions of the country to conduct research and produce
popular forage crop seeds such as Ruzi (Brachiaria ruziziensis), Guinea (Panicum maximum) and
Hamil (P. maximum cv. Hamil) and legume species such as Stylo (Stylosanthes hamata cv. Verano),
Centrosema (Centrosema pubescens) and Siratro (Macroptilium atropurpureum). These seeds are
used for improving communal grazing ground including on unproductive and unattended lands for use
by the local farmers. It has been projected that demand for forage seeds will increase in the future
because of the expansion of the ruminant industry and farmers increasingly prefer over sowing seeds
compared to the more laborious task of vegetative planting.
Choice of plant species is important so that the plant growth and productivity are sustained over long
duration. Some the characteristics for the plant to be planted are: (i) high nutritive values, (ii) High
DM yield, (iii) ability to sustain growth after repeated harvest, (iv) rapid re-growth following harvest,
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
17
(v) draught resistant, (vi) pest resistant and (vii) easily established. Some examples of pasture
commonly grown in South East Asia are listed below:
Napier (Elephant grass) (Pennisetum purpureum): There are several varieties, one of the is shown in
Figure 2. It is the most popular forage among dairy farmers in SE Asia and is also the most productive
grass that typically yield 20-30mt DM/ ha/year depending on soil management and rate of
fertilization. Easily established and grows well in wet seasons, but does not tolerate dry months and
needs to be harvested regularly otherwise the stems become woody. It grows well with heavy
fertilization with animal manure, urea and also superphosphate. Due to its large stem and leaf blades,
it appears more suitable forage for the large ruminants. When chopped before feeding, the stems are
normally not eaten by the animals.
Figure 2. The napier or elephant grass is well adapted to the humid tropics and one of the
most popular and productive forage in Asia
Guinea grass: This species adapts well in the humid tropics and sub-tropics and tolerates shades. It has
smaller leaf blade and lower stem:leaf ratio compared to Napier. It is well-accepted and easier to eat
particularly by goats and sheep. The DM yield is approximately 20mt DM/ha/year. Like Napier,
Guinea grass should be harvested between 4 and 6 weeks depending on soil management and season
of the year. The nutritive values (CP content, digestibility) tend to decrease in the drier season.
Stylo (Stylosanthes species): Stylo forage is used in many ways in Asian farming systems. It adapts
to a range of environmental conditions, have high biomass yield and high protein content. The most
widely used legume species in Asia today are S. hamata Verano and S. guianensis CIAT 184, to a
lesser extent Graham in China, and recently S. seabrana for leaf meal production in India.
Stylosanthes hamata is used mainly in northeastern Thailand for cut-and-carry situations and
inclusion in heavily grazed pastures. In the last few years CIAT 184 became popular forage in many
countries in South-East Asia because of its broad adaptation, potential for multiple uses and high
productivity in acid and infertile soils. Stylosanthes seabrana has gained popularity in India because
of its adaptation to heavy soils and the ease of its seed production. Prospects for increased use of these
species, particularly in smallholder farming systems are excellent (Phaikaew et al, 2004).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
18
Forage tree legumes:
The hot and humid tropical climates are home to many varieties of forage trees such as Calliandra sp
(Figure 3) that are suitably planted in small or large scales. In recent times, legumes have become
important as high quality forages for livestock both in cultivated pastures and natural growth. Some
are not fully exploited, but their potential values and use has been highlighted. Though grass is more
important than legumes, it is the legumes that show the most promise for future exploitation and
development as feed for the expanding ruminant population.
Another advantage of legumes is their high nutritive value in terms of the potential intake of
digestible dry herbage, generally higher digestibility and higher intake than grasses. Their nutritive
value tends to remain higher as plants mature. The protein content of forage tree legume leaves is
usually high (12 to 30%) compared with that of mature grasses (3-10%). A major limitation to the use
of some species is the presence of toxic and/or anti-nutritive factors that limits nutrient utilization.
For this reason, depending on the species, tree legume foliage may be of lower nutritive value as a
sole feed than as a supplement to other feeds. The significance of secondary plant compounds
becomes more evident when tree foliage is the only feed consumed tree legumes are usually long-
lived, needs low maintenance and provide high quality forage for feeding of livestock. It should
sustain productivity over a long spell.
Figure 3. Forage tree such as this Calliandra calothyrsus is long lived and produce high
quality forage
Pasture improvement:
Good pastures provide high quality forage for your animals besides able to absorb heavy rain water,
filter runoff and reduce erosion. Tropical land is easily compacted by heavy rain and worsens with
heavy stamping by animals on an overstocked plot of pasture. Overgrazed pasture has bald patches
that encourage weed growth and erosion and reduces the forage yield. Though it sounds a big task, it
is feasible to have healthy pastures. Pasture improvement is often constrained by the lack of finance
and of knowledge by the farmers. It is therefore necessary to promote and provide the extension
service on pasture development and improvement practices to farmers who need to grow forages,
even in small scale farming.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
19
The need for pasture improvement is undoubtedly revealed initially by reduction of animal
productivity (e.g. milk yield, growth rate and body condition scores) as forage from pasture is the
major component of the ruminants’ diet. The ability to improve forage production is a function of
climate, soils and the production system. Under natural conditions improved forage production is
possible where rainfall is in excess of 650 mm/yr with a dry period not exceeding six months. In drier
regions or times, irrigation may be used.
The management of pasture is similar to a crop where a healthy vegetable crop will produce more
saleable vegetables as healthy pastures will increase the productivity of the livestock. Management
practices are designed to optimise forage productivity and maximise response to fertiliser application
while also minimising the impact on the environment. These are good agricultural practices for
sustainability of forage production as many animal farming whether large or smallholder types have
been unsustainable firstly due to poor management of the forages resulting in low DM yield, nitrogen
content and DM digestibility. Pasture is of poor value when infested with parasites and uncontrolled
weed growth. Some production practices on managing pasture can be summarized in Table 1.
Table 1: Some checklists on pasture/forage management.
Subject Comments
1. Soil testing (pH and N)
for optimum growing
conditions
‐ Results assist in selecting:
‐ correct type and amount of fertilizer
‐ amount of lime application (prevents acidification)
2. Nitrogen fertilizer
application
(urea grade or manure)
‐ Estimate the N needs & apply correct dose.
‐ Apply N on active growing pasture.
‐ Avoid applying N near water points.
‐ Best not to apply after rain due to loss of N from volatilisation
during hot days.
3. New pasture
establishment ‐ Assess soil pH and key nutrient content (to detect of mineral
imbalance i.e.-excess or deficient) – assist in estimation of
liming and fertilization types and rates.
4. Weed control ‐ Regular monitoring and treatment.
‐ Assessing weed population density
5. Parasite control ‐ Conduct rotational grazing; Leave empty for 6-8weeks’ If cut &
carry, also leave empty too for similar period.
‐ Conduct faecal egg count (Pasture larval count is less reliable)
occasionally.
6. Harvest at right stage of
maturity ‐ CP content and DM digestibility decrease rapidly with maturity
in the hot & humid tropics.
‐ Harvest at 6 weeks appears a good balance for DM yield, N
content and digestibility for most forage grown in the humid
tropics.
7. Cutting height (if cut
and carry) ‐ Depends on forage – ensure it allows quick re-growth within
6weeks (average).
‐ Do not cut less than 10cm from the stump (ground). If cut too
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
20
low, it takes longer time tore-grow. If too high, it will not
encourage spread of new stems/branches.
8. Do not allow forage to
over grow ‐ Harvest, make use wherever possible; manage the re-growth by
harvesting at right age.
9. Stocking rate (if
animals are turned out
into pasture)
‐ Keep correct stocking rate (kg body wt /ha).
‐ Depends on type and yield of pasture.
10. Estimation of yield ‐ Occasional measurement of DM yield.
‐ Useful guide to numbers of animal to upkeep.
11. Estimation of nutrient
contents of forage ‐ Occasional sampling – Contents of N, ADF & NDF.
CONCLUSION
Forages are essential for the successful operation of ruminants’ production systems. Feeding forages
is necessary for their health and production in a cost-effective and sustainable manner. Producing and
managing forage crops are very demanding task in the hot and humid tropics where heavy rainfall
causes nutrient losses from the pastures and forage quality drops rapidly in the hot climate. However,
when cultivating forage crop, irrespective of plant species, the objective must be to maximize yield of
DM per unit area of land and the crop has the expected nutritive values e.g. crude protein content and
high digestibility. These are important parameters that have impact on animal and farm productivity.
Future development of forage production must look into intensive growing of forage trees such as
Gliricidia, Mulberry and Calliandra. This includes closer planting density for greater biomass
production and harvesting every 6 weeks.
Producing and also conservation of good quality forages can assist in reducing the costs associated
with feeding of extra concentrate to make up for the total DM requirement of the animal. Successful
farmers have recognised the economic significance of producing high quality forage crops and thus
emphasize the production of high quality forages from pasture improvement or development. There is
a need to enhance the extension programme with inputs on the practical issues aiming to provide
farmers with practical solutions and hands-on advice on high quality forage production.
REFERENCES
Aguerre M, J. L. Repetto, Pérez-Ruchel, A., A. Mendoza, G. Pinnachio, and C. Cajarville. 2009.
Rumen pH and NH3-N concentration of sheep fed temperate pastures supplemented with
sorghum grain. South African J. of Anim. Sci. 39(1): 246 – 250.
Fageria, N.K. 1997. Growth and Mineral Nutrition of Field Crops. NY, NY: Marcel Dekker. p. 583.
Grant, R., V. Colenbrander and D. Mertens. 1990. Milk fat depression in dairy cows: Role of particle
size of alfalfa hay. J. Dairy Sci. 73:1823–1833.
John Moran 2005. In: Tropical Dairy Farming. Landlinks Press, Australia. p. 66.
Leng, R.A. 1991. Application of biotechnology to nutrition of animals in developing countries. FAO
Animal Production and Health Paper No. 90. Chapter 3.
Moran, J.B. 2009. Key performamce indicators to diagnose poor farm performance and profitability
of smallholder dairy farmers in Asia. Asian-Aust J. Anim. Sci. 22(12) 1709-1717.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
21
Phaikaew, C., Ramesh, C.R., Kexian, Yi and Stur, W. 2004. Utilisation of Stylosanthes as a forage
crop in Asia. In: High-yielding anthracnose-resistant Stylosanthes for agricultural systems.
ACIAR Monograph No 111. pp. 65-76.
Reynolds, S.G. 1988. Pastures and cattle under coconuts. FAO Plant Production and Protection Paper
91. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy.
Stillman, S.L., Mulder, J.C. and Cameron, D.G. 1984. Performance of nitrogen fertilized temperate
grasses and temperate grass-clover mixtures in south-east Queensland. Queensland J. of Agric.
and Anim. Sci. 41: 35–47.
Stobbs, T.H. and Thompson P.A.C. 1975. Milk production from tropical pastures. World Animal
Review 13: 3–7.
Sumberg, J.E. and Atta-Krah, A.N. 1988. The potential of alley farming in humid West Africa. A re-
evaluation. Agroforestry Systems. 6: 163–168.
Sung, H.G., Y. Kobayashi1, J. Chang, Ahnul Ha, Il Hwan Hwang and J.K. Ha. 2007. Low ruminal
pH reduces dietary fiber digestion via reduced microbial attachment. Asian-Aust. J. Anim. Sci.
20(2): 200-207.
Zhao, X.H., T. Zhang, T., Xu, M. and Yao, J.H. 2014. Effects of physically effective fibre on chewing
activity, ruminal fermentation, and digestibility in goats. J. Anim. Sci. 89(2): 501-5.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
22
POTENSI SISTEM INTEGRASI SAWIT – SAPI DI KALIMANTAN TENGAH
(Study kasus di PT. Sulung Ranch)
Ir. Dwi Rahayu Lestantini, MSi
PENDAHULUAN
Potensi Kalimantan Tengah mempunyai lahan perkebunan kelapa sawit cukup luas yaitu sebesar
1.304.125,5 ha, terluas kedua setelah Riau. Dari luas areal perkebunan tersebut proporsi pengelolaan
sebagian besar berupa perkebunan Swasta ( 1.115.824 ha) , sedang perkebunan rakyat seluas
188.301,5 ha. Selama periode waktu 2008 -2013, luas areal perkebunan kelapa sawit di Propinsi
Kalimantan Tengah berkembang meningkat sebesar 83,16% ( 712.028 ha menjadi 1,304.125,5 ha)
(BPS Kalimantan Tengah, 2013). Seiring meningkatnya luas perkebunan kelapa sawit meningkat pula
produksinya.
Biomassa tanaman kelapa sawit maupun tanaman rerumputan dan leguminosa yang tumbuh di
sekeliling tanaman pokokareal perkebunan tersebut sangat besar. Selain itu produk samping industri
kelapa sawit juga menghasilkan biomassa yang dapat diolah menjadi bahan pakan yang sangat
potensial untuk pengembangan ternak ruminansia.
Dalam rangka peningkatan produktivitas tanaman kelapa sawit agar dapat menghasilkan CPO yang
lebih efisien dan menguntungkan diperlukan zat hara yang memadai, dimana kebutuhan pupuk
organik dan anorganik sangat diperlukan untuk menjamin pertumbuhan dan produksi TBS (tandan
buah segar) yang tinggi dan berkualitas. Hal ini dikarenakan sebagian besar areal perkebunan kelapa
sawit berada dilahan yang relatif rendah kandungan hara ataupun tanah yang kurang mendukung
penyerapan unsur hara. Salah satu bahan utama yang dapat memperbaiki struktur tanah serta
menyediakan unsur hara yang diperlukan tanaman pokok adalah dengan menambahkan pupuk
organik. Pupuk organik tersebut dapat berasal dari kotoran ternak dan sisa pakan yang dikomposkan.
Pemberian kompos (pupuk organik) merupakan salah satu komponen input yang cukup besar dalam
agribisnis kelapa sawit.
Beberapa penelitian yang dilakukan , menunjukkan bahwa dengan sistem integrasi sawit-sapi dapat
meningkatkan efisiensi agribisnis kelapa sawit. Ternak dapat berproduksi dan atau berkembang biak
dengan memanfaatkan biomassa gulma dan limbah tanaman kelapa sawit.
Filosofi dari kegiatan pertanian berbasis sawit-sapi adalah pemanfaatan hasil samping industri
perkebunan kelapa sawit untuk pakan ternak dan hasil samping budidaya sapi berupa kotoran dan urin
digunakan sebagai pupuknya. Dengan demikian tidak ada siklus biologis yang terputus, dan akan
tercipta efisiensi produksi yang tinggi karena menerapkan zero waste. Manajemen pemeliharaan
biasanya tergantung kepada keinginan pemilik kebun sawit, namun pada prinsipnya dapat dilakukan
secara in situ atau ex situ (Djayanegara, 2005) yang terpenting adalah dalam pola integrasi siklus
biologis tidak terputus.
Strategi pengembangan pertanian melalui usaha peternakan sapi di perkebunan kelapa sawit menurut
Umar (2009) diarahkan pada (1) industri pakan ternak berbasis limbah dan produk samping kelapa
sawit, (2) industri perkembangbiakan sapi dan (3)industri penggemukan sapi potong serta (4) yang
juga sudah berkembang di masyarakat adalah industri pupuk organik.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
23
Tabel 1. Perkebunan kelapa sawit dan populasi sapi potong nasional
No Luas Perkebunan Kelapa sawit Potensi
populasi sapi
Populasi Sapi Potong
1 (Ha) % potong (ekor) (Ekor) %
2 Sumatera 5.485.106 65,41 8.227.659 2.961.987 21.81
3 Jawa 27.671 0,33 41.506 5.988.337 44.09
4 Bali+NTB+NTT - - - 1.980.674 14,58
5 Sulawesi 215.492 2,57 323.238 1.816.526 13,37
6 Maluku+Papua 57.920 0,70 8.688 245.346 13,37
. Total nasional 8.345.394 100 12.499.899 13.581.571 100
(Ditjenbun, 2012)
PT. Sulung Ranch
PT. Sulung Ranch berdiri tahun 2004 dengan luas 350 ha dan lokasi berada didalam lokasi
perkebunan sawit PT. Citra Borneo Indah ( dahulu PT. Tanjung Lingga) seluas 20.000 ha. Tujuan
awalnya adalah pembiakan sapi Bali dengan memanfaatkan limbah pabrik kelapa sawit. Awal
pengadaan sapi Bali sebanyak 100 ekor dengan sistem kawin alam 1: 20 ( pejantan 1 dan 20 betina) ,
dilakukan sistem kawin alam. Pola pemeliharaan dengan semi intensif, sebagian besar lahan
digunakan untuk hijauan ternak antara lain rumput gajah dan padang penggembalaan dengan tanaman
rendah dan kuat injakan yaitu brachiaria decumben dan brachiaria humidicola.
Model Kegiatan Integrasi sawit- sapi
Model pendekatan pertanian berbasis integrasi industri perkebunan kelapa sawit dengan ternak di PT.
Sulung Ranch disajikan pada Gambar 1. Hasil samping dari kegiatan subsistem produksi peternakan
yang berupa kotoran ternak sementara dimanfaatkan untuk pupuk guna meningkatkan produksi
hijauan pakan ternak, dan kedepan akan dioeruntukkan bagi upaya peningkatan produksi kelapa sawit.
Kotoran ternak juga dimanfaatkan untuk biogas.
Sesuai dengan tujuan pendekatan integrasi sapi dengan perkebunan kelapa sawit adalah
didekatkannya dengan sumberdaya pakan dan lahan, maka inovasi teknologi yang diintroduksikan
utamanya adalah pakan sedangkan untuk memacu populasi diitroduksikan teknologi reproduksi.
Inovasi teknologi yang diterapkan di PT. Sulung Ranch , yaitu :
a. Jenis ternak yang dikembangkan sapi Bali, namun sekarang berkembang jenis lain Brahman Cross.
b. Pemanfaatan pakan konsentrat dari hasil samping PKS yang berupa solid sawit.
c. Pengembangan hijauan makanan ternak (HMT) unggul yaitu rumput Brachiaria decumben (BD)
dan Brachiaria humidicola (BH), Gajah, Maxico, Setaria dan Rumput Raja.
d. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) dan Sinkronisasi Estrus (SE).
Pakan memegang peranan penting pada keberhasilan program pembiakan ternak. Pakan yang tidak
mencukupi sangat berpengaruh pada tingkat fertilitas ternak. Dari hasil penelitian Ella et al. (2003)
menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan ternak yang tinggi disebabkan karena ketersediaan pakan
baik kuantitas maupun kualitas sehingga kondisi fidiologis dapat mendukung respon birahi dan
tingkat kebuntingan ternak.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
24
Gambar 1. Model pertanian berbasis integrasi sawit-sapi di PT Sulung Ranch
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
25
Introduksi Hijauan Pakan Ternak Unggul
Kondisi lahan yang bergelombang seperti pegunungan , untuk pengembangan hijauan pakan ternak
dilakukan dengan dua tipe, yaitu grazing yaitu jenis BD dan BH sekaligus sebagai tempat kandang
dan padang penggembalaan dengan kemiringan < 150, sedangkan lahan dengan kemiringan > 150
digunakan untuk pengembangan hijauan pakan ternak jenis rumput Gajah, Raja, Setaria dan Mexico
untuk sistem cut and carry.
Hasil monitoring produksi di area grazing untuk jenis BD menghasilkan rumput 18.464 kg/tahun dan
untuk jenis BH sebanyak 17.100 kg/thn ( Utomo dan Widjaya, 2006) . Jumlah rumput tersebut masih
belum mencukupi kebutuhan ternak , sehingga masih disuplai dari luar yaitu dari HAT yang ada
disekitar area kelapa sawit dengan umur tanaman sekitar 2 tahun yang terdiri dari cover crop
Callopogonium dan rumput liar.
Pemanfaatan HAT (hijauan atar tanaman) cover crop legume Callopogonium sebagai pakan
sapi
Legume Callopogonium dapat tumbuh subur sampai tanaman kelapa sawit berumur 5 tahun dan akan
berkurang seiring dengan rendahnya intensitas sinar matahari yang masuk dibawah tajuk daun kelapa
sawit. Hasil monitoring oleh Widjaya (2005) secara ubinan bahwa produksi Callopogonium adalah 3
kg/m2 setara dengan 30.000kg/ha. Pemanenan dilakukan 2 bulan sekali sehingga produksinya adalah
30 ton x 6 bulan = 180 ton/ha/tahun. Dengan luas lahan perkebunan sawit 20.000 ha , maka potensi
biomasa Callopogonium sebanyak 20.000 x 180ton/ha/thn= 3.600.000 ton/tahun. Apabila lahan yang
bisa menghasilkan Callopogonium 50% dari luas area sawit, maka produksinya adalah 1.800.000
ton/thn. Kalau bobot sapi 200 kg/ekor , kebutuhan hijauan 20 kg/hari/ekor , maka memerlukan 7.300
kg/ekor/tahun, sehingga biomasa tersebut dapat menampung 248.575 ekor atau setiap hektar kebun
kelapa sawit dapat menampung 90.000 kg/ha/tahun: 7.300 kg/ekor/tahun= 12 ekor sapi dengan bobot
hidup rata-rata 200 kg. Pemberian legume di area grazing , dan sejauh ini belum ada laporan
keracunan ataupun gangguan kesehatan terank terkait dengan pemberian legum Callopogonium. Hasil
analisa biaya pakan antara sebelum dan sesudah memanfaatkan HAT diperkebunan kepala sawit
ternyata bisa lebih efisien 56,45% dibanding dengan pengadaan rumput dari luar ranch.
Pengenalan solid sawit sebagai pakan tambahan sapi
Solid sawit adalah salah satu hasil samping dari pengolahan kelapa sawit menjadi minyak sawit kasar
(CPO) yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak . Produksi solid rata-rata pada saat awal PKS 5
ton/hari diberikan ke ternak sapi 1.5% dari bobot badan , sehingga dapat mencukupi kebutuhan pakan
sekitar 416 ekor dengan bobot 200 kg/ekor. Dalam kondisi normal dapat dihasilkan 20 ton/hari dan
akan mampu mencukupi 1.666 ekor sapi. Sampai dengan hari ini PKS sudah mengolah minyak inti
sawit (PKO) , maka dihasilkan produk samping yaitu bungkil inti sawit (BIS) yang sangat baik
kondisi nutrisinya untuk pakan ternak.
Solid sawit diberikan 2 kali sehari dan tidak berlebihan karena palatabilitas yang tinggi sehingga
dikawatirkan ternak menjadi gemuk, dan tidak sesuai dengan program pembiakan. Selama pemberian
solid di lapangan secara tunggal belum ditemukan laporan mengenai gangguan kesehatan atau
pencernaan pada ternak sapi yang dipelihara. Dalam pemberiannya wajib diikuti dengan ketersediaan
air minum yang adlibitum.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
26
Pakan lengkap berbasis hasil samping industri perkebunan kelapa sawit
Sejak 2011 dilakukan penerapan integrasi sawit-sapi dengan pembuatan pakan konsentrat dengan
bahan dasar dari perkebunan sawit dan PKS yaitu mengugunakan solid sawit, bungkil inti sawit,
pelepah daun sawit , tetes dan onggok, dedak, mineral dengan kandungan PK 11-13%, TDN 64%
seharga Rp 1.150/kg. Dengan demikian ada efisiensi biaya pakan sebesar Rp. 3.550,-. Beberapa
produk samping industri kelapa sawit yang dapat dan sudah dimanfaatkan untuk usaha sapi potong ,
antara lain :
Janjang kosong (jangkos), yaitu tandan buah sawit yang telah diambil biji sawitnya untuk
diolah menjadi minyak sawit, dapat digunakan bahan pembuatan pupuk organik.
Fiber,yaitu limbah pengolahan biji sawit menjadi minyak sawit,digunakan sebagai bahan
bakar pabrik,alas kandang, atau litter ( sapi lebih nyaman, menyerap air kencing ), sebagai
bahan pupuk organik dan biogas.
Bungkil sawit yaitu limbah pengolahan kernel seed menjadi kernel oil.
Solid (lumpur`sawit) , yaitu limbah pengolahan minyak sawit atau produk akhir dalam proses
pengolahan , digunakan sebagai bahan penyusun ransum ternak.
POME yaitu Palm Oil Mill Effluent yang merupakan limbah cair,
Pelepah sawit, dipotong dan dichopper dapat dimanfaatkan pada musim kering ketika rumput
tidak mencukupi.
Kondisi Terkini
Hingga tahun 2014 , luas perkebunan kelapa sawit meningkat menjadi lebih kurang 70.000 ha dan
jumlah ternak sapi yang ada di PT. Sulung Ranch sebanyak 3.000 ekor, dengan dua jenis sapi yag
dipelihara dengan skala relatif besar, yaitu sapi Bali dan Sapi Brahman Cross dengan manajemen
pemeliharaan yang berbeda :
Manajemen pemeliharaan sapi Bali :
Sapi Bali dipelihara secara semi intensif yaitu di dalam kandang dan exercise diluar kandang. Sapi
betina digunakan untuk breeding sedangkan yang jantan digemukkan. Pakan yang diberikan adalah
pakan pabrikan buatan sendiri berasal dari 80% hasil samping perkebunan dan PKS, sedang 20%
didatangkan dari Jawa Timur.
Manajemen pemeliharaan sapi Brahman Cross
Sapi Brahman Cross didatangkan dari Australia sebanyak 2.000 ekor pada tahun 2014. Semua sapi
dipelihara di dalam perkebunan kelapa sawit dengan sistem Daily Rotation Grazing (rotasi grasing
berpindah setiap hari). Sistem rotasi ini ada 6 blok, setiap blok seluas 30 ha ( 1.000 m x 300 m)
dibatasi dengan eletric fencing (pita pembatas yang dialiri listrik) dengan jumlah sapi 300 – 400 ekor.
Vegetasi akan tumbuh normal setelah 60 hari, sehingga rotasi grazing akan kembali ke lokasi pertama
setelah 60 hari.
Tenaga kerja yang digunakan setiap blok hanya 5 orang ( 1 orang memindahkan sapi setiap pagi, 1
orang memindahkan electric fencing, 1 orang memberi minum dan pakan tambahan, 2 orang jaga
malam). Sistem pemeliharaan sapi masuk kebun kelapa sawit ini ternyata mematahkan anggapam
yang selama ini dialamatkan ke ternak sapi bahwa :
Sapi merusak tanaman sawit
Sapi penyebab penyakit orictes pada sawit
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
27
Sapi penyebab penyakit ganoderma pada sawit
Sapi memadatkan tanah perkebunan
Sapi sebagai hama
Masuknya ternak sapi ke kebun sawit dengan sistem rotasi setiap hari dapat menggemburkan dan
menyuburkan tanah karena akar halus kelapa sawit bergerak menuju feses. Feses sapi ternyata bukan
tempat berkembang biaknya hama yang menyebabkan penyakit orictes dan ganoderma karena feses
sapi akan terfementasi dan menghasilkan suhu sampai 700C , sehingga hama yang dimaksud tidak
dapat tumbuh atau mati pada suhu tersebut. Hama penyebab orictes dan ganoderma ternyata tumbuh
di batang sawit yang telah membusuk . Biaya herbisida menjadi 0 % karena semua gulma/vegetasi
yang ada dimakan sapi.
Pengelolaan Kotoran sapi
Kotoran yang berasal dari sapi yang dikandangkan sudah diolah menjadi biogas untuk kompor
diperumahan karyawan peternakan, dan diolah pula sebagai kompos, digunakan hanya untuk kebun
rumput. Rumput yang dikembangkan sampai dengan sekarang adalah jenis rumput Taiwan (
Pennisetum purpureum schumach), rumput Taiwan ini tumbuh dengan baik dan dapat tumbuh di
lahan apa saja kecuali lahan rawa.
Perencanaan ke depan
PT. Sulung Ranch berencana akan mengembangkan sapi sebanyak 40.000 ekor dengan dilengkapi
fasilitas RPH (rumah potong hewan) modern sehingga usaha peternakan sapi akan tertangani dari hulu
sampai hilir. PT. Sulung Ranch akan tetap melestarikan sapi Bali murni dan pelestarian sapi lokal
Kalimantan Tengah yang merupakan plasma nuftah Kalimantan Tengah yang tak terniai harganya
karena erat hubungan dengan masyarakat Dayak. Biogas yang telah dihasilkan ke depan akan
ditingkatkan teknologinya menjadi listrik sehingga tidak perlu lagi menggunakan listrik dari PLN.
Dengan demikian integrasi sawit-sapi di PT. Sulung Ranch pada akhirnya hemat energi, efisiensi
biaya produksi serta ramah lingkungan.
Potensi Daerah Kalimantan Tengah
Kalimantan Tengah ideal untuk pengembangan kegiatan integrasi sawit-sapi, karena ketersediaan
potensi sumberdaya pakan dari industri perkebunan kelapa sawit yang lengkap, yaitu berupa limbah
pelepah sawit, solid sawit dan bungkil inti sawit, juga pembuatan pupuk dari jenjang, serat perasan
buah dan abu dari boiler pabrik kelapa sawit , oleh karena itu perlu diperhatikan :
1. Peran aktif dari berbagai pihak terkait terutama pemerintah pusat dalam rangka mensukseskan
pengembangan integrasi sawit-sapi , peran tersebut antara lain : dukungan regulasi(peraturan)
kemudahan import , regulasi izin usaha peternakan di area perkebunan sawit, perbaikan
infrastruktur pendukung.
2. Peran pemerintah daerah adalah memberikan kemudahan akses permodalan, pemasaran ternak dan
pupuk organik, inovasi teknologi siap pakai terutama untuk limbah PKS serta meningkatkan peran
penyuluh di tingkat peternak.
3. Peran swasta memberikan kemudahan akses memperoleh by product PKS, penyediaan bibit
bakalan, membantu pemasaran ternak, memberdayakan masyarakat melalui pola inti plasma
ternak.
4. Peran kelompok tani adalah menerapkan manajemen pemeliharaan sapi pola integrasi sawit-sapi
secara baik dan benar, sehingga dihasilkan budidaya yang dapat bersaing dipasar.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
28
5. Dalam rangka mempersiapkan model integrasi sawit – sapi di seluruh propinsi di Indonesia sudah
saatnya pemerintah dan swasta duduk bersama mencari rumusan yang menguntungkan bagi usaha
perkebunan dan juga jangka panjang untuk budidaya ternak sapi potong dalam rangka memenuhi
kebutuhan daging dalam negeri.
KESIMPULAN :
1. Kegiatan integrasi sawit-sapi juga berpotensi untuk meningkatkan populasi sapi potong. Semakin
luas pengembangan perkebunan kelapa sawit semakin besar pula potensi untuk meningkatkan
populasi ternak.
2. Penyebaran perkebunan kelapa sawit dengan penyebaran ternak sapi ternyata tidak seimbang.
Perkebunan kelapa sawit banyak berkembang diluar jawa , sedang ternak sapi banyak di pulau
Jawa.
3. Dampak positif lain dari kegiatan integrasi sawit-sapi adalah : (a) meningkatkan efisiensi dan daya
saing produk , (b) potensial untuk menggerakkan perekonomian berbasis pertanian di pedesaan, (c)
menghasilkan komoditi ekspor, (d) memunculkan lapangan kerja, (e) memperkuat ketahan pangan,
(f) mendorong pertumbuhan perekonomian daerah, (g) memelihara keberlanjutan lingkungan dan
(h) mengurangi adanya konflik horizontal antara masyarakat dengan pihak perusahaan.
4. Hasil evaluasi sementara : adanya peningkatan populasi dengan tingkat kelahiran , ketersediaan
pupuk organik (padat dan cair), pengurangan biaya pembelian pupuk kimia dan pembersihan
gulma dan pertumbuhan tanaman sawit yang lebih baik dengan produksi meningkat 25-30%.
5. Ketersediaan produk samping industri sawit di PT Sulung Ranch yang dengan mudah diperoleh
secara kontinyu dan dapat dimanfaatkan sebagai penyusun ransum konsentrat sapi potong dan
dengan lokasi pabrik yang tidak begitu jauh menguntungkan usaha peternakan tanpa dibayangi
kekurangan penyediaan pakan dari hasil samping pabrik sawit. Hal tersebut yang seharusnya
dilakukan disetiap perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia untuk melakukan integrasi sawit
- sapi.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Kalimantan Tengah. 2013. Berita Resmi statistik No.
13/12/Th.VII.2 Desember 2013.
Dirjen Peternakan. 2005. Kebijakan Direktorat Jenderal Peternakan dalam mendukung sistem
integrasi sawit-sapi. Makalah disajikan pada Workshop Pengembangan Sistem Integrasi Sawit-
Sapi di Banjarbaru, 22-23 Agustus 2005.
Djajanegara, A. 2005. Pembentukan jejaring komunikasi sistem integrasi sawit-sapi. Makalah
disampaikan pada Workshop Pengembangan Sistem Integrasi Sawit-sapi di Banjarbaru, 22-23
Agustus 2005.
Utomo, B.N. dan Widjaja, E. 2006. Limbah padat pengolahan minyak sawit sebagai sumber nutisi
ternak ruminansia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian23(1): 22-28.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
29
POTENSI EKSTRAK TANAMAN DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS TERNAK
RUMINANSIA
Caribu Hadi Prayitno
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Jl. Dr. Suparno, Karangwangkal, Purwokerto
Telp/Facs. 0281-638792
E-mail:[email protected]
1. PENDAHULUAN
Pengembangan ternak ruminansia dewasa ini minimal menghadapi dua permasalahan utama, yaitu (1)
masalah penyediaan pakan yang berkualitas dan (2) masalah isu pemanasan global (global warming),
utamanya gas metan. Masalah penyediaan pakan berkualitas pada saat ini dihadapkan pada sifat
hijauan pakan di daerah tropis yang tinggi kandungan lignoselulosa dan selulosa, di samping masalah
lahan rumput yang makin menyempit. Pada isu pemanasan global, peternakan ruminansia diketahui
sebagai penyumbang gas metan terbesar. Data dari Amerika Serikat tahun 2007, menunjukan bahwa
pada tahun 2005 ternak sapi perah, sapi potong, domba dan kambing menyumbang metan sebesar
40,87 % dari 539 Tg (Behlke, 2007), sedangkan data dari Environment Canada (2002) menunjukan
bahwa sapi perah dewasa akan menghasilkan 118 kg CH4/ekor/tahun, sapi potong 72 kg CH4/ekor/th,
sapi jantan 47 kg CH4/ekor/tahun, domba 8 kg CH4/ekor/th. Data ini memperlihatkan bahwa potensi
sapi perah di Indonesia meskipun populasinya tidak sebanyak sapi potong, akan tetapi pengaruhnya
terhadap emisi metan hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan sapi potong per
ekornya.
Peternakan sapi perah di Indonesia berbasis peternakan rakyat yang mengandalkan pakan kualitas
rendah sebagai pakan utamanya. Gomez dan Fernandez (2009) melaporkan bahwa sapi yang
mengkonsumsi hijauan kualitas rendah (tinggi serat dan rendah Nitrogen) akan menghasilkan metan
yang lebih banyak. Sapi yang dikandangkan akan menghasilkan metan 0.015 -0.02 kg metan/kg susu,
lebih rendah jika dibandingkan sapi yang digembalakan yang akan menghasilkan metan 0.03 – 0.13
kg/kg susu. Kondisi ini terjadi karena sapi yang digembalakan menghasilkan asam asetat yang lebih
tinggi dibandingkan sapi yang dikandangkan. Asam asetat merupakan prekursor pembentukan metan
(Francis et al., 2002).
Tingginya kandungan selulosa dan hemiselulosa hijauan pakan mengakibatkan kerja mikroba rumen
(bakteri, protozoa, fungi) pendegradasi serat tidak optimal. Pada pakan berkualitas rendah, populasi
protozoa dalam ekosistem rumen cenderung lebih tinggi. Protozoa yang bersifat sebagai predator
bakteri, akan memangsa bakteri pendegradasi serat (bakteri selulolitik) (Hobson, 1997). Berdasarkan
hasil beberapa penelitian, keberadaan protozoa dalam rumen lebih banyak merugikan dibandingkan
keuntungannya (Eugene et a.l, 2004). Oleh karenanya telah diupayakan penekanan populasi protozoa,
sehingga terjadi perubahan komposisi mikroba dalam ekosistem rumen, diantaranya melalui
defaunasi, seperti yang dilakukan oleh beberapa peneliti (Hess et al., 2003; Lila et al., 2005; Wina et
al. 2005,Goel et al., 2008, Suharti dkk., 2009). Peningkatan kecernaan serat pada ternak ruminansia,
akan menyediakan precursor pembentukan Volatile Fatty Acids (VFA), utamanya asam asetat. Di sisi
lain peningkatan konsentrasi asam asetat juga akan berdampak penyediaan ion H+ yang menjadi
substrat sintesis metan. Miller (1995) menegaskan bahwa ion H+ merupakan substrat yang potensial
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
30
bagi metanogen dalam sintesis metan, meskipun ada asam format, asetat, metanol, mono, di dan tri-
metilamin. Artinya kalau pendekatan penurunan emisi metan hanya mengandalkan defaunasi
(penghilangan protozoa), ketersediaan ion H+ masih tinggi dan potensi untuk pembentukan metan
sangat besar. Oleh karenanya perlu dilakukan pendekatan baru, yaitu menghambat proses sintesis
metan dengan jalan menghambat enzim pensintessis metan dari metanogen. Pertimbangan ini sangat
tepat karena hanya 37% metanogen yang berasosiasi dengan protozoa (Newbold et al., 1995).
Artinya kalau hanya protozoa saja yang dihilangkan, populasi metanogen yang berkurang juga baru
37% dan masih tersisa 63% metanogen bebas yang akan menghasilkan metan, oleh karenanya mutlak
dibutuhkan pendekatan untuk menekan kerja metanogen. Dikemukan oleh Hart et al. (2006) bahwa
Allium sativum (Garlic) mempunyai kemampuan menurunkan produksi metan karena adanya Allicin
dan organosulfur yang secara langsung akan menurunkan metanogen, dan tidak berpengaruh
pengaruh pada populasi bakteri dalam fermentor Rusitec. Aktivitas antimetanogenik dari Garlic
karena mempengaruhi stabilitas membran sel dari Archea (metanogen) yang mengandung isoprenoid
alkohol. Sintesis isoprenoid metanogen Archea dikatalisis oleh HMG-CoA (Hidroxymethylglutaryl-
CoA) reduktase dan Organosulfur dari Garlic mempunyai kemampuan yang kuat dalam menghambat
HMG-CoA, sehingga akan menghambat metanogenesis.
II. METANOGENESIS PADA RUMINANSIA
Secara alami proses fermentasi monosakarida di dalam rumen, akan dihasilkan asam lemak volatil
(VFA) seperti : asetat, propionat dan butirat, metan, dan CO2 .Moss et al., 2000). Proses fermentasinya
sebagai berikut :
C6 H12O6 + 2H6O → 2C2 H4O2 (asetat) + 8H
C6 H12O6 + 4H → 2C3 H4O2 (propionat) + 2H2O
C6 H12O6 → C4 H8O2(butirat)+2CO2 + 4H
Metan yang dihasilkan di samping merupakan energi yang hilang, metan juga mempengaruhi
pemanasan global (global warming) (Wueblbles and Hayhoe, 2002; Sahakian et al., 2009, Aluwong et
al., 2011). Sirohi et al. (2009) melaporkan bahwa fermentasi di rumen akan dihasilkan hidrogen (H2)
selama fermentasi nutrien secara anaerob. Hidrogen digunakan untuk sintesis VFA (Volatile Fatty
Acids) dan sintesis protein mikrobial. Kelebihan H2 yang berasal dari NADPH akan dieleminasi dan
dibuat metan oleh metanogen. Oleh karenanya, maka upaya memanipulasi mikroba adalah langkah
yang tepat.
Kebreab et al. (2006) menyatakan bahwa reaksi fermentasi rumen melibatkan 3 reaksi yaitu :
(1) reaksi fermentasi yang menghasilkan H2, misalnya asetat, butirat dan untuk pertumbuhan mikroba
yang menggunakan asam amino,
(2) Reaksi fermentasi yang menggunakan H2, misalnya produksi asam propionat, dan VFA-lainnya
dan pertumbuhan mikroba yang menggunakan NH3,
(3) Overproduksi dari H2 dan CO2 menghasilkan methan oleh bakteri methanogenik.
Ditambahkan oleh Sahakian et al. (2009) bahwa metan dapat berakibat pada : menurunnya serotonin,
mempengaruhi transit pakan pada usus halus dan berkaitan dengan beberapa penyakit seperti : kanker
colon, syndrom bowel maupun diverticulosis. Pengaruh metan dalam pemanasan global adalah 23
kali lebih besar dibandingkan CO2. Metan juga membawa pengaruh buruk pada lapisan ozon dari
atmosphir (McGinn dan Beauchemin, 2006; Aluwong et al., 2011). Metanogenesis dapat
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
31
menyebabkan kehilangan energi hingga 2-15% dari energi tercerna (Bocazzi dan Patterson, 1995).
Clark et al. (2011) menyatakan bahwa beberapa faktor dapat mempengaruhi produksi methan,
meliputi : kualitas pakan, tipe hijauan dan feed additif.
Penghambatan metanogenesis dapat dilakukan dengan berbagai zat kimia dengan beberapa tipe
mekanisme, antara lain berdasarkan sifat toksik terhadap metanogen seperti senyawa-senyawa derivat
metan (Miller dan Wolin, 2001), berdasarkan reaksi hidrogenasi seperti senyawa asam-asam lemak
berantai panjang tidak jenuh (Fieves et al., 2003, Thalib, 2004; Machemuller, 2006); berdasarkan
pada senyawa-senyawa kimia yang affinitasnya terhadap hidrogen lebih tinggi daripada CO2 seperti
ion Ferri dan ion Sulfat (Obassi et al, 1995), probiotik Martin dan Nisbeth, 1992; Prayitno, 2011) dan
berdasarkan defaunasi/penekanan populasi protozoa seperti senyawa saponin ((Hess et al., 2003; Lila
et al., 2005; Wina et al. 2005,Goel et al., 2008, Suharti dkk., 2009), tanin (Jayanegara, 2013).
Prayitmo dkk. (2013) menginformasikan bahwa kombinasi 0,18% ekstrak Sapindus rarak dan 250
ppm ekstrak Allium sativum yang diperkaya 0,3 ppm Se + 1,5 ppm Cr dan 40 ppm Zn dalam pakan
sapi perah efektif menghambat methanogenesis, ditunjukan dengan rendahnya gas methan yang
dihasilkan selama fermentasi dan meningkatnya konsentrasi asam propionat.
III. EFEK HERBAL DALAM MEREDUKSI EMISI METHAN
Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa ekstrak herbal dapat menekan metanogenesis.
Szumaker-strabel and Cieslak (2010) melaporkan bahwa bioaktif tanaman merupakan phytofactor
sebagai feed aditif alami yang dapat memperbaiki proses fermentasi rumen, meningkatkan
metabolisme protein, menurunkan amonia dan emisi metan (Wanapat et al, 2011). Banyak ragam
bioaktif yang terdapat pada tanaman. Sirohi et al. (2009) menyatakan bahwa metabolit sekunder
tanaman dapat digunakan untuk memanipulasi fermentasi rumen, diantaranya adalah saponin.
Saponin dapat menekan protozoa, meningkatkan populasi bakteri dan fungi, meningkatkan propionat,
meningkatkan sintesis protein mikroba dan menurunkan metanogen. Ditambahkan oleh Sirohi et al.
(2009) bahwa untuk mengekstrak metabolit sekunder dapat menggunakan pelarut air, 50% metanol
atau 50% aseton. Wina et al. (2006) melaporkan bahwa buah Lerak (Sapindus rarak) merupakan
tanaman tropis yang mengandung saponin tinggi.
Patra et al. (2006) melaporkan bahwa ekstrak tanaman yang mempunyai metabolit sekunder tinggi
merupakan feed aditif yang mempunyai potensi untuk menurunkan emisi metan. Patra dan Saxena
(2010) menambahkan bahwa phytochenical tanaman dapat secara langsung menghambat metanogen.
Phytochemical akan menurunkan protozoa yang berdampak pada penurunan jumlah metanogen.
Phytochecimal akan menurunkan jumlah bakteri dan fungi, sehingga dapat menurunkan kecernaan
pakan dan komponen serat, dan akhirnya menurunkan metanogenesis dan akan meningkatkan rasio
propionat : asetat (Bodas et al., 2009). Gomez dan Fernandez (2009) menambahkan bahwa sapi yang
mengkonsumsi hijauan kualitas rendah (tinggi serat dan rendah Nitrogen) akan menghasilkan metan
yang lebih banyak. Sapi yang dikandangkan akan menghasilkan metan 0.015 -0.02 kg metan/kg susu,
lebih rendah jika dibandingkan sapi yang digembalakan yang akan menghasilkan metan 0.03 – 0.13
kg/kg susu. Kondisi ini terjadi karena sapi yang digembalakan menghasilkan asam asetat yang lebih
tinggi dibandingkan sapi yang dikandangkan. Padahal asam asetat merupakan prekursor pembentukan
metan (Francis et al., 2002). Berg dan Kern (2007) menambahkan bahwa emisi metan dapat berasal
dari dua sumber, yaitu fermentasi rumen, 26,9 gCH4/kg FCM (Fat Corrected Milk) dan dari feces
(manure) 25,9 g CH4/kg FCM. Iqbal et al. (2009) menyatakan bahwa di dalam rumen metanogen
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
32
akan memproduksi metan dengan menggunakan CO2 dan H2. H2 dan asam format merupakan produk
fermentasi intermediaet dari bakteri fibrolitik, protozoa dan fungi anaerob. Sahakian et al.(2009)
menambahkan bahwa metanogen akan memproduksi metan dan H2 dengan menggunakan energi -130
KJ/mol. Metanogen akan mengkonsumsi 4 mol H2 dan 1 mol CO2 menjadi 1 mol CH4 dengan
persamaan sebagai berikut : 4H2 + CO2 → CH4 + 2H2O
Ditambahkan oleh Newbold et al. (2005) bahwa 44% H2 digunakan untuk membentuk CH4. Mill et
al. (2001) melaporkan bahwa produksi hidrogen selama fermentasi rumen dapat dihitung dengan
persamaan :
PHfer/hari (mol H2/hari) : (P Ac x 2)+ (Pbu x 2),
dimana PAc dan Pbu adalah jumlah asam asetat dan butirat yang diproduksi selama fermentasi. 2
mol H2 diproduksi per mol asetat atau butirat.
Beberapa methanogen utama yang berada pada ekosistem rumen yaitu :
1. Methanobrevibacter ruminantium
2. Methanosarcina barkeri
3. Methanosarcina mazei
4. Methanobacterium formicicum
5. Methanocicrobium mobile (Morgawi et al., 2010).
IV. PENGARUH METABOLIT SEKUNDER TANAMAN PADA EKOSISTEM RUMEN
Pemanfatan tanaman yang mengandung saponin akhir-akhir ini sudah berkembang sebagai alternatif
penggunaan bahan-bahan kimia industri/sintetik untuk menekan populasi protozoa dalam rumen
(Thalib et al., 2004, Wina et al, 2006; Goel et al., 2006; Suharti et al., 2009; 2010). Pertimbangan
penekanan populasi protozoa rumen, mengingat mikroba ini sering menganggu bakteri rumen dalam
mendegradasi serat. Peningkatan populasi bakteri pendegradasi serat akan menghasilkan kecernaan
pakan dan produk fermentasi rumen, VFA (Asam lemak volatil) akan meningkat. Penelitian Thalib et
al (2004), Wina et al (2006) dan Suharti et al. (2010) memperlihatkan bahwa ekstrak Sapindus rarak
dengan metanol menghasilkan saponin lebih tinggi. Suharti et al (2010) menambahkan bahwa
penambahan ekstrak lerak akan mengubah proporsi dari komponen VFA utamanya asam propionat
dan perubahan nisbah asetat dan propionat. Goel et al (2008) melaporkan bahwa 47,9% jumlah
protozoa menurun secara in vitro dari saponin yang diekstrak dari Sesbania sesban dengan dosis 174
gr/kg hay. Das et al (2012) membagi saponin menjadi dua yaitu saponin netral dan saponin asam. Inti
saponin asam berupa steroid sedangkan inti saponin asam berupa triperpenoid. Suharti dkk. (2009)
menambahkan bahwa ekstrak buah lerak (Sapindus rarak) dengan metanol menghasilkan saponin
81,50%, sedangkan ekstrak air hanya menghasilkan 8,20 %. Level terbaik penggunaan ekstrak
Sapindus rarak pada percobaan in vitro dengan cairan rumen sapi sebesar 0.18% bahan kering dari
pakan. Berikut ini disajikan beberapa potensi ekstrak tanaman dalam menekan emisi methan
(Bunglavan et al., 2010).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
33
Tabel 1. Ranking berbagai ekstrak tanaman dalam menekan methan
S.No Nama of herb/ herbal
extract/ residue
Produksi Gas
Total (ml)*
Produksi
Carbon
dioxide
Produksi
Methane
(ml)*
Precent
methane
production*
Ran
king
1. Acacia concinna pods
methanol extract 45.6 ± 3.51 39.4 ± 2.61 6.2±1.87 13.3±1.33
1
2. Acacia concinna pods
methanol
residue
41.6±3.22 36.3±3.92 5.4±0.99 13.3±1.34
2
3. Allium sativum bulbs
water residue 35.3±3.38 29.9±2.97 5.4±2.03 15.0±1.00
3
4. Zingiber officinale
rhizomes water residue 40.3±4.17 34.1±2.55 6.3±1.81 15.0±1.08
4
5. Psidium guajava
leaves methanol
residue
32.6±4.04 27.4±2.16 5.3±2.34 15.1±1.11
5
6. Allium sativum bulbs
herb 42.6±3.78 35.7±4.43 6.9±1.12 16.7±1.33
6
7. Ferula assafoetida
resin water extract 48.3±4.48 40.4±4.34 7.9±1.69 16.7±1.34
6
8. Ferula assafoetida
resin water residue 46.3±4.71 38.1±2.34 8.3±4.07 16.7±1.46
6
9. Psidium guajava
leaves water extract 39.6±4.58 33.4±5.27 6.3±0.74
16.7±1.49
6
10. Psidium guajava
leaves water residue 40.9±4.09 34.3±4.87 6.7±2.61
16.7±1.67
6
11. Zingiber officinale
rhizomes methanol
extract
38.6±3.00 31.6±3.76 6.9±2.06 18.3±1.01
7
12. Emblicia officinalis
seeds methanol residue 43.3±3.18 34.7±1.73 8.6±2.35 20.0±1.71
8
13. Zingiber officinale
rhizomes herb 44.6±2.65 36.0±4.63 8.6±2.05 20.0±1.73
8
14. Terminalia chebula
seeds water extract 36.9±1.45 29.3±1.75 7.5±2.39 20.0±1.75
8
15. Terminalia chebula
seeds water residue 23.9±3.28 19.3±3.34 4.7±1.51 20.0±1.77
8
16. Terminalia chebula
seeds herb 26.3±3.71 20.9±3.08 5.3±1.58 20.0±1.78
8
Peranan Bawang Putih (Allium sativum) dalam Inhibisi Methanogenesis
Sesuai penjelasan dimuka, bahwa tidak cukup untuk meningkatkan produktifitas ternak hanya
mengandalkan penekanan emisi methan, karena maksimal hanya 15% DE (biasanya hilang untuk
sintesis methan) yang bisa digunakan untuk peningkatan produksi. Oleh kerenanya penulis, mencoba
mengkombinasikan antara penghambatan methanogenesis dengan suplementasi mineral organik
penstumulasi metabolic promotor.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
34
Kim et al. (2012) menginformasikan bahwa beberapa ekstrak tanaman dapat digunakan sebagai feed
additif yang mampu menurunkan emisi gas metan pada ruminansia dan meningkatkan sistem
fermentasi rumen. Ekstrak garlic secara in vitro efektif menurunkan metan (CH4) dibandingkan
bawang (onion), jahe, (Ginger). Garlic juga menurunkan ratio antara asetat: propionat (A:P). Emisi
metan pada fermentasi rumen mempunyai hubungan yang erat dengan ratio A:P. Menurunnya emisi
metan akan meningkatkan konsentrasi propionat, sehingga ratio A:P menjadi rendah (Mitsumori et
al., 2008). Wanapat et al. (2011) menyatakan bahwa tepung garlic mempunyai bahan kering, 93%,
protein kasar 19,2%, NDF 6,5% dan ADF 5,1%. Sedangkan Kongrum et al. (2011) yang memberikan
tepung garlic sebesar 100 gr/ekor per hari memperoleh hasil adanya peningkatan propionat dan
penurunan asetat. Annasori et al. (2012) menambahkan bahwa secara in vitro penggunaan 5 mg
tepung garlic pada waktu inkubasi 96 efektif menurunkan gas total dibandingkan pakan kontrol.
Tabel 2. Pengaruh suplementasi ekstrak garlic dan Sapindus rarak terhadap kecernaan pakan, VFA,
total gas dan mikroba rumen secara in vitro (Prayitno et al, 2013)
Items
Treatments
Prob. CARS G250 G250-SR G500-SR G750-
SR
G1000-
SR
SEM
pH 6.80 a 6.70 b 6.50 b 6.60 b 6.50 b 6.60 b .10 .000
IVDMD (%) 65.6a 64.6 a 64.9 a 62.9 b 61.40 b 60.42 c 2.29 .000
IVOMD (%) 65.8 a 63.4 a 64.4 a 63.5 a 61.8 b 61.6 b 2.14 .015
IVCFD (%) 77.8 a 74.9 b 70.08 c 71.8 c 70.8 c 72.8 bc 2.30 .000
TVFA (%) 160 a 150 c 146 c 153.2 b 140d 160 a 5.02 .000
Gas production
(ml)
10.02 a 6.82 c 2.13 d 11.09 a 7.11 c 9.10 b 0.55 .000
Protozoa (106
cell/ml)
31.5 a 15.00 c 10.42 d 11.4 d 16.00 bc 19.00 b 0.64 .000
Bacteria (log
10 cell/ml)
9.46 a 9.69 b 9.57 b 9.75 c 9.94 c 9.38 a 0.17 .000
IVDMD= In vitro dry matter digestibility, IVOMD = In vitro organic matter digestibility, IVCFD= In
vitro crude fiber digestibility, TVFA= total volatile fatty acids.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
35
Tabel 3. Pengaruh suplementasi ekstrak garlic dan mineral organik pada pakan sapi perah terhadap
kecernaan pakan
Item CTL OM OM-G Prob.
Kecernaan, % of intake
BK 61.57±3.15 64.44±2.85 63.98±1.74 .225
BO 53.58±2.40 55.53±0.79 55.33±1.17 .141
NDF 54.93±4.14b 56.00±6.37a 52.05±4.42a .005
TDN 74.09±3.58a 79.79±0.85b 75.67±0.69a .003
CTL: basal feed; OM: CTL + organic minerals (0.3 ppm Se, 1.5 ppm Cr, 40 ppm Zn-lysinate), OM-G
:OM + 0.25 ppm garlic extract.
Tabel 4. Pengaruh suplementasi ekstrak garlic dan mineral organik pada pakan sapi perah terhadap
produksi dan komponen susu.
Item CTL OM OM-G Prob.
Produksi susu Actual
(kg) 13.78±2.48a 15.93±2.23a 19.23±0.49b
.003
Produksi Susu (kg 4%
FCM) 12.87±2.04a 14.91±1.42a 20.11±1.23b
.000
Komposisi susu (%)
Lemak 3.55±0.21 3.53±0.24 3.71±0.24 .051
Protein 2.78±0.18 2.96±0.08 2.85±0.07 .094
Laktosa 4.05±0.15 4.18±0.20 4.12±0.15 .445
Solid Non Fat
(SNF) 7.94±0.12 8.01±0.23 8.06±0.19
.371
Produksi (g/d)
Lemak 490.89 ± 97.53a 563.80±94.40 a 713.56±10.50 b .002
Protein 439.09 ± 77.76a 569.54±22.80b 548.01±29.92 b .003
Laktosa 561.2 ± 115.77a 664.41±111.85b 793.06±29.20 b .003
SNF 1095 ± 204.85a 1278±203.43 ab 1551.17±67.62 c .004
SCC (105 cell/mL) 3.48±0.18 b 2.08± 0.18a 2.05± 0.13a .000
Glukosa darah(mg/dL) 73.33± 2.52 b 54.00 ± 1.04 a 48.67± 1.53 a .003
FCM = milk x (fat% x 0.15+0.4)
V. PENUTUP
Ekstrak tanaman dapat digunakan sebagai pakan aditif untuk menekan emisi methan ternak
ruminansia sehingga pemanasan global dapat ditekan, namun untuk meningkatkan produktifitas perlu
dikombinasikan dengan nutrient lain, seperti mineral organik.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
36
DAFTAR PUSTAKA
Aluwong, T., P.A. Wuyep, and L. Allam. 2011. Livestock-enviroment interactions : Methane
emissions from ruminants. African J.Biotechnology. 10(8): 1265-1269.
Anassori, E, B.Dalir-Naghadeh, and R. Pirmohammadi. 2012. In vitro assesment ot digestibility of
forage based sheep diet, supplemented with raw garlic, garlic oil and monensin. Veterinary
Res.Forum 3(1):5-11.
Beauchim, K.A. and S.M. McGinn. 2006. Methane emission from beef cattle : Effect of fumaric acid,
essential oil and canola. J.Anim.Sci.84:1489-1496.
Beauchim, K.A.,S.M. McGinn, T.F. Martinez, and T.A.McAllister. 2007. Use of condensed tannin
extract from quebracho trees to reduce methane emission from cattle.. J.Anim.Sci.85:1990-
1996.
Behlke, E.J. 2007. Attenuation of ruminal methanogenesis. Theses and Dissertation in Animal
Science Departement. University of Nebraska, Lincoln.
Behlke E. J, R. Dumitru, S. Ragsdale, J. Takacs, and J. L. Milner. 2006. Inhibition of Methanogenesis
in Rumen Fluid Cultures. Animal Science Departemen. Nebraska Beef Cattle Report.
University of Nebraska-Lincoln.http://digitalcommons.unl.edu/animalscinbcr/131.
Benchaar, C., T.A. McAllister, and P.Y. Choulnard. 2008. Digestion, ruminal fermentation, ciliate
protozoal populations, and milk production from dairy cows fed Cinnamaldehyde
Berg, W. And J. Kern. 2007. Influence of milk production level on methane emission from
dairy cattle. In 8th International conference, Contruction Technology and Enviroment in
Livestock Farming. Bonn, Germany, 9-10 October 2007.
Boboye, B.E. and A.J. Alli. 2008. Cellular effects of Garlic (Allium sativum) extract on Pseudomonas
aeruginosa and Staphylococcus aureus. Res.Journal of Medicinal Plant 2(2):79-85.
Bodas, R., S. Lopez, M. Fernandez, R. Garcia-Gonzales, R.J. Walace, and J.S.Gonzalez. 2009.
Phytogenic additives to decrease in vitro ruminal methanogenesis. Options
Mediterraneennes.85:279-283.
Bocazzi, P and J.A. Patterson. 1995. Potential for functional replacement of methanogenic bacteria by
acetogenic bacteria in the rumen enviroment. IV th International Symposium on the nutrition of
Herbivores, Sept,16-17. Clermont-Ferrand, France.
Bunglawan, S.J., C. Valli, M. Ramachandran, and V.Balakrishnan. 2010. Effect of supplementation of
herbal extracts on metahogenesis in ruminants. Livestock Res.RurDev. 22(11).
http://www.lrrd.org22/11/bung22216.htm.
Bunglawan, Valli, Ramachandran, and V. Balakrisnan. 2010. Effect of supplementation of herbal
extracts on methanogenesis in ruminant. Livestock Res for Rural Dev.22 (11):5-15
Carro, M.D. and M.J. Ranilla. 2003. Influence of different concentrations of disodium fumarate
methane production and fermentation of concentrate feeds by rumen micro-organisms in vitro.
British J.Nutrition.90:617-623.
Eugene, M., H. Archimede, B. Michalet-Doreau, and G. Fonty. 2004. Effect of defaunation on
microbial activities in the rumen of rams consuming a mixed diet (fresh Digitaria decumbens
grass and concentrate). Anim.Res.53:187-200.
Foley, P.A., D.A. Kenny, J.J. Callan, T.M. Boland, and F.P.O’Mara. 2009. Effect of DL-malic acid
supplementation on feed intake, methane emission, and rumen fermentation in beef cattle.
J.Anim.Sci. 1048-1057.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
37
Frankic, T., M. Voljc, J. Salobir, and V.Rezar. 2009. Use of herbs and speces and their extracts in
animal nutrition. Acta argiculturae Slovenica.94(2):95-102.
Goel, G., H.P.S. Makkar, and K. Becker. 2008. Changes in microbial community structure,
methanogenesis, and rumen fermentation in response to saponin-rich fraction from different
plant materials. J. Applied Microbiology, 105;770-777.
Gomez, C and M.Fernandez. 2009. Methane emissions from enteric fermentation of representative
dairies in Perus : Nutritional strategies to reduce the emissions. Synopses. Sustainable
improvement of animal production and health. FAO/IAEA International Symposium. Vienna,
Austria.
Gutierrez, J. 2007. Observation on bacterial feeding by the rumen ciliate Isotrica prostoma.
J.Eukaryotic Microb.5:122-126
Guan, H., K.M. Wittenberg, K.H. Ominski, and D.O. Krause. 2006. Efficacy of ionophore in cattle
diets for mitigation of enteric methane. J.Anim Sci.84:1896-1906.
Hart, K.J., S.E. Girwood, S. Taylor, D.R. Yanez-Ruiz, and C.J. Newbold. 2006. Effect of allicin on
fermentation and microbial populations in the rumen simulating fermentor Rusitec.
Reproduction Ntritition Development 46 (supplement 1):97-115.
Hess, H.D., M. Kreuzer, T.E. Diaz, C.E. Lascano, J.E. Carulla, Carla R.Soliva ,and A. Machmuller.
2003. Saponin rich tropical fruits affect fermentation and methanogenesis in faunated and
defaunated rumen fluid. Anim.Feed Sci. and Tech. 109:79-94.
Hobson, P.N.1997. The Rumen Microbial Ecosystem. C.S.Stewrt (Ed.) Blackie, London.
Iqbal, M.F, M. M. Hashim, N. Ulah, Wei-Yun Zhu and Yan-Fen Cheng. 2009. Molecular
identification of methanogenic archea and current approaches to alter the ruminal microbal
ecosystem for methane mitigation. Pakistan J.Zoo.Suppl.Ser.9.551-557.
Kebreab, E., K.A.Johnson, S.L. Archibeque, D.Pape, and T.Wirth. 2008. Model for estimating enteric
methane emissions from United States dairy and feedlot cattle. J.Anim.Sci.86:2738-2748.
Lila, Z.A., N. Mohammed, S. Kanda, M. Kurihara, and H. Itabashi. 2005. Sarsaponin effects on
ruminal fermentation and microbes, methane production, digestibility and blood metabolites in
steers. Asian-Aust.J.Anim.Sci. 12:1746-1751.
Mills J.A., J. Dijkstra, A.Bannink, S.B. Cammell, E. Kebreab and J. France. 2001. A mechanistic
model of whole-tract digestion and methanogenesis in the lactating dairy cow : model
development, evaluation, and application. J.Anim.Sci.79:1584-1597.
Mitsumori, M and W. Sun. 2008. Control of rumen microbial fermentation for mitigrating methane
emissions from the rumen. Asian-Aust.J.AnimSci.21:144-154.
Miller, T.L. 1995. Ecology of methane production and hydrogen sinks in the rumen. In: Engenhardt,
M.V., S. Leonard-Marek, G. Breves, and D. Giescke (Eds.), Ruminant Physiology: Digestion,
Metabolism, Growth and Reproduction. Ferdinand Enke Verlag,Stuttgart.p.317-331.
Morgawi, D.P. E. Forano, C. Martin, and C.J. Newbold. 2010. Microbial ecosystem and
methanogenesis in ruminants. Animal.4:7.1024-1036.
National Research Council. 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Update. 7th. Natl. Acad. Sci,
Washington. DC.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
38
Newbold, C.J. B. Lassalas, and J.P. Jouany. 1995. The importance of methanogens associated with
ciliate protozoa in ruminal methane production in vitro. Letters in Applied Microbiology.
4:230-234.
Patra, A.K., D.N. Kamra, and N. Agarwal. 2006. Effect of plant extracts on in vitro methanogenesis
enzyme activities and fermentation of feed in rumen liquor of buffalo. Anim Feed Sci.and
Tech.128:276-291.
Patra, A.K. and Saxena. 2010a. A new perspective on the use of plant secondary metabolites to inhbit
metahnogenesis in the rumen. Phytochemistry. 71 (11-12): 1198-1222.
Patra and Saxena. 2010b. Exploitation of dietary tannins to improve rumen metabolism and ruminant.
J. The Sci. of Food and Agri. 91(1):24-37.
Prayitno, C.H. dan T. Widiyastuti. 2010. Kecernaan Pakan Sapi Perah pada Kondisi Kecukupan
Selenium, Khromium dan Seng Organik. Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan.
Prosiding Fapet-Universitas Padjadjaran, Bandung.
Prayitno, C.H. 2011. Saccharomyces cerevisiae in goat feed affected rumen fermentation pattern but
did’not affected methane concentration. The 2-nd International Seminar, The 8-th biannual
meeting, the Conggress and Workhshop of AINI. The Faculty of Animal Husbandry,
Padjadjaran University, Sumedang,6-7July 2011.
Prayitno, C.H., Y. Subagyo, and Suwarno. 2013. Effect of Sapindus rarak Extract alone or Its
combination with garlic extract on in vitro ruminal fermentation. Media Peternakan.
Rayman, M.P. 2000. The importance of selenium to human health. The Lancet.356:233-241.
Sahakim A.S. , Sam-Ryong Jee, and M. Pimentel. 2009. Methane and the Gastrointestinal Tract.
Review. Dig Dis Sci.Springer.
Sarah, E.,H., G.W. Andre-Denis, and B.W. McBride.2010. Methanogens: Methane producers of the
rumen and mitigation strategies. Archaea. ID.945785, 11p. Hindawi Publ.Corp.
Sirohi, S.H., N.Pandey, N.Goel, B.Singh, M. Mohini, P.Pandey and P.P. Chaudhry. 2009. Microbial
activity and ruminal methanogenesis as affected by plant secondary metabolites in different
plant extracts. International J. Civil and Enviromental Enginering. 1:52-58.
Suharti, S., D.A. Astuti, dan E. Wina. 2008. Kecernaan nutrien dan performa produksi sapi potong
Peranakan Ongole (PO) yang diberi Tepung Lerak (Sapindus rarak) dalam ransum. JITV 14
(3):200-2007.
Suharti, A. Kurniawati, D.A. Astuti, and E. Wina. 2010. Microbial population and fermention
charactersitic in response to Sapindus rarak mineral block supplementation. Media Peternakan,
Hal. 150-154.
Szumacher-Strabel, M and A. Cieslak. 2010. Potential of phytofactors to mitigate rumen ammonia
and methane production. J. Anim.Feed Sci.19:319-337.
Ungerfield, E.,M., S.R. Rust, and R. Burnett. 2003. Attempts to inhibit ruminal methanogenesis by
blocking pyruvate oxidative decarboylation. Canadian J. Mibrobiol. 49(10): 650-654.
Wina, E., S. Muetzel, E.M. Hoffmann, H.P.S. Makkar, and K. Becker. 2005. Saponin containing
methanol extract of Sapindus rarak affect microbial fermentation, microbial activity and
microbial community structure in vitro. Anim.Feed.Sci.Technol. 121:59-174.
Wuebbles, D.J. and K. Hayhoe. 2002. Atmospheric methane and global change. Earth-Sci. Rev.57
:177-210.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
39
POLA PENYEDIAAN DAN POTENSI HIJAUAN DI KAWASAN INDUSTRI KECAMATAN
CITEUREUP KABUPATEN BOGOR
Setiana M.A., Ikmahwati S., Yakin A. dan Prihantoro I.
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Jl. Agatis Kampus IPB Dramaga Bogor 16680 – Indonesia
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis pola penyediaan dan potensi hijauan
di berbagai wilayah Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan
mengidentifikasi enam desa yang terletak di daerah padat industri dan padat penduduk dan satu desa
yang masih memiliki hijauan yang relatif banyak. Analisis yang dilakukan adalah analisis komposisi
botani dengan mengidentifikasi semua jenis hijauannya, analisis kapasitas tampung, pengukuran pH
tanah dan menganalisis kandungan logam Pb pada hijauan, air, dan tanah pada semua desa yang
digunakan. Hasil didapatkan bahwa daerah yang pembangunan industrinya tinggi dan terdapat banyak
pabrik sangat mempengaruhi proporsi dan jenis hijauan sehingga potensi hijauannya kurang. Pola
penyediaan hijauan desa ini, hijauannya cenderung didapatkan dari luar (cut and carry) dan potensi
hijauannya cukup rendah.
Kata kunci: Timbal (Pb), industri, hijauan, kapasitas tampung.
ABSTRACT
The aims of this research was to identify and analyze potential forage in different area of Citeureup
subdistrict, Bogor regency. This research done by identifying the six villages located in densely
populated area industry and one village still have relatively much forage. Analysis of botanical
composition is selected to identify the forage variety, capacity analysis, measurement of soil pH and
analyze the lead (Pb) content in forage, water and soil. The results is area that has great development
in industry affect proportion and forage variety and has forage potential less. The pattern of the
provision of forage for a village that has great development in industry, tending to obtained from
outside the village (cut and carry). This is because of the metal lead high on the ground in the village
so that the growth of forage disturbed and the quality of forage doubtful.
Keywords: Lead (Pb), industry, forage, and carrying capacity.
PENDAHULUAN
Hijauan merupakan sumber bahan pakan yang utama bagi ternak ruminansia. Hijauan makanan ternak
di Indonesia terutama dalam peternakan rakyat, diperoleh dari berbagai sumber antara lain, pematang
sawah, tepi hutan, perkebunan, sisa hasil pertanian, dan juga sering kali di tepi jalan yang mungkin
hijauan tercemar logam berat akibat dari polusi. Logam berat dapat terakumulasi dalam jumlah yang
cukup besar pada tanaman seperti padi, rumput, dan beberapa jenis leguminosa untuk pakan ternak.
Salah satu logam berat yang seringkali mencemari lingkungan adalah logam timbal (Pb). Timbal
merupakan logam berat yang sangat beracun, dan sebagian besar diakumulasi oleh organ tanaman,
yaitu daun, batang, akar dan umbi- umbian. Beberapa faktor yang menyebabkan kontaminasi logam
berat pada lingkungan antara lain: kondisi geologi tanah, kondisi air, kontaminan logam berat tertentu
yang berasal dari industry.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
40
Kecamatan Citeureup merupakan kawasan industri yang juga sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai peternak skala kecil. Pembanguan industri yang tinggi menyebabkan
keterbatasan hijauan. Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifikasi dan menganalisis pola penyediaan
dan potensi hijauan di kawasan industri Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember Tahun 2014 di tujuh desa di
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, yaitu Desa Citeureup, Desa Tarikolot, Desa Puspasari, Desa
Puspanegara, Desa Karang Asam Barat, Desa Karang Asam Timur, dan Desa Hambalang. Metode
penelitian yang digunakan yaitu observasi langsung di lapang terhadap hijauan pakan. Pada setiap
desa dilakukan identifikasi 3 blok (tiga tempat sebagai ulangan) yang mana satu blok itu terdiri empat
titik yang diambil sampel hijauan dan tanahnya, serta melakukan wawancara langsung pada peternak
kambing jawa, dimana ternak kambing jawa di Kecamatan Citeureup sangat mendominasi dibanding
ternak ruminansia lainnya.
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah komposisi botani hijauan pakan di lapang dan
kandang, identifikasi cemaran logam timbal (Pb) pada hijauan, pH tanah, dan kapasitas tampung
lahan, serta data pendukung lainnya (data sekunder) yang berhubungan dengan penelitian ini, seperti
data dari BPS Kabupaten Bogor. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif (hasil
wawancara peternak, gambaran keragaman dan pola penyediaan hijauan pakan di lokasi), analisis
komposisi botani (menggunakan metode “Dry Weight Rank”, analisis kapasitas tampung dengan
menggunakan kuadran ukuran 0,5 x 0,5 meter untuk mengetahui produksi BK hijauan setiap cuplikan
yang diambil, analisis kualitas hijauan (analisis proksimat), analisis kandungan timbal (Pb) pada
hijauan, tanah dan air dengan menggunakan alat Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) , serta
dilakukan pembuatan herbarium pada jenis hijauan pakan yang belum bisa diidentifikasi langsung
pada komposisi botani di setiap lokasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecamatan Citeureup merupakan kecamatan yang pembangunan industrinya cukup tinggi di
Kabupaten Bogor. Kecamatan Citeureup memiliki 14 desa dengan 6 desa yang penggunaan lahan
pertaniannya kurang seperti Desa Citeureup, Tarikolot, Puspasari, Puspanegara, Karang Asem Timur,
dan Karang Asem Barat, selain itu keenam desa tersebut merupakan desa yang padat industry dan
padat penduduk. Desa Hambalang kondisinya sangat berbeda jika dibandingkan dengan keenam desa
tersebut, lahan pertaniannya tersedia cukup luas. Ketersediaan lahan yang cukup luas ini, diharapkan
Desa Hambalang menjadi pembanding dalam ketersediaan hijauan.
Analisis Komposisi Botani
Hasil uji sidik ragam Rancangan Acak Kelompok (RAK) proporsi rumput, legum, dan rumbah untuk
tujuh desa yang diamati tidak berpengaruh nyata (P > 0.05) terhadap komposisi hijauan padang
penggembalaan pada desa di Kecamatan Citeureup. Hasil analisis komposisi botani menunjukkan
bahwa kualitas padang penggembalaan di tujuh desa lokasi penelitian tersebut kurang ideal. Menurut
Crowder dan Cheeda (1982), kualitas padang penggembalaan tergolong baik apabila proporsi antara
rumput, legum, dan rumbah (diluar rumputan dan kacangan) sebesar 3 : 2 : 0 atau 60% rumput, 40%
legum, dan 0% rumbah. Berdasarkan tabel 1, proporsi dari hijauan sangat beragam, dimana rumput
sangat mendominasi, diikuti dengan rumbah dan legum. Ketersediaan legum di tujuh desa tersebut
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
41
sangat sedikit, seperti di Desa Karang Asem Timur yang mencapai 1.88%, tetapi untuk Desa
Hambalang dan Desa Puspasari ketersediaannya relatif lebih tinggi yaitu 20.37% dan 15.14%. Desa
Hambalang dan Desa Puspasari menunjukkan bahwa proporsi ketersediaan hijauannya sangat
beragam.
Tabel 1. Komposisi hijauan di padang penggembalaan
Desa Hijauan (%)
Rumput Legum Rumbah
Hambalang 51.57 ± 6.60 20.37 ± 10.93 28.06 ±15.31
Citeureup 65.17 ± 2.30 3.67 ± 0.67 31.01 ± 2.23
Puspasari 56.31 ± 4.86 15.14 ± 9.73 25.55 ± 6.22
Puspanegara 69.36 ± 1.01 3.32 ± 0.30 27.32 ± 0.73
Tarikolot 66.93 ± 3.94 9.53 ± 6.18 23.54 ± 2.70
Karang Asem Barat 68.83 ± 4.64 6.57 ± 5.84 24.61 ± 1.97
Karang Asem Timur 58.73 ± 4.57 1.88 ± 0.46 39.39 ± 4.19
Tabel 2. Komposisi hijauan di kandang
Desa Hijauan (%)
Rumput Legum Rumbah
Hambalang 26.14 ± 12.64 55.98 ± 5.52 17.89 ± 7.65
Citeureup 25.94 ± 22.44 60.80 ± 22.22 13.27 ± 0.22
Puspasari 79.94 ± 6.98 1.43 ± 0.64 18.64 ± 6.35
Tarikolot 19.69 ± 2.89 71.84 ± 2.39 8.47 ± 0.50
Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 2, proporsi hijauan yang diberikan pada ternak kambing di
Desa Hambalang, Citeureup, dan Tarikolot relatif beragam, komposisi legum sangat mendominasi
dibandingkan rumput dan rumbah. Pada Desa Puspasari, hijauan yang diberikan pada ternak kambing
didominasi oleh rumput, pemberian legum sangat kecil, yaitu 1.43%, hal ini berbanding terbalik
dengan komposisi legum di padang penggembalaan di Desa Puspasari, yaitu 15.14%. Data tersebut
menunjukkan bahwa legum yang ada di Desa Puspasari tidak termanfaatkan secara optimal. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan peternak tentang jenis hijauan pakan ternak terutama ternak
kambing, dimana peternak di Desa Puspasari ini bekerja sebagai buruh, jadi kurang memahami jenis
hijauan pakan apa yang lebih disukai oleh ternak kambing. Sedangkan di Desa Hambalang, Citeureup,
dan Tarikolot, beternak merupakan pekerjaan utama peternak, sehingga hijauan yang diberikan pada
ternak relatif beragam.
Kapasitas tampung lahan padang penggembalaan di Kecamatan Citeureup berkisar 1.02 – 1.93 ST per
ha, tabel 3 menunjukkan bahwa Desa Citeureup memiliki nilai kapasitas tampung ternak tertinggi,
yaitu 1.93, sedangkan nilai terendah terdapat pada Desa Hambalang. Menurut Sinaga (2009), bahwa
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
42
daya tampung padang penggembalaan tergantung kemiringan lahan, jarak dengan sumber air,
kecepatan pertumbuhan atau produksi tanaman pakan, kerusakan lahan, ketersediaan hijauan yang
dapat dikonsumsi, dan keadaan ekologi padang penggembalaan. Peternak di Desa Citeureup
cenderung melakukan perawatan pada padang penggembalaan terutama pada hijauan pakan unggul
dengan cara pembasmian gulma dan penambahan pupuk kandang, sehingga produksinya tinggi.
Tabel 3. Kapasitas Tampung Padang Gembala
Desa Kapasitas Tampung (ST ha-1)
Hambalang 1.02 ± 0.09
Citeureup 1.93 ± 0.21
Puspasari 1.57 ± 0.06
Puspanegara 1.56 ± 0.40
Tarikolot 1.33 ± 0.21
Karang Asem Barat 1.46 ± 0.29
Karang Asem Timur 1.73 ± 0.32
Kondisi pH tanah berdasarkan hasil analisis di Kecamatan Citeureup rata-rata masuk dalam kategori
masam, yaitu berkisar 4.0 – 6.7, Desa Karang Asem Timur mempunyai pH tanah 6.7 dimana tanahnya
masih tergolong netral atau normal. Setiap tanaman membutuhkan pH yang spesifik agar
pertumbuhan tanamannya optimal. pH tanah yang ideal untuk semua jenis tanaman, perkebunanan,
dan hortikultura di Indonesia berkisar 6 – 7 (Pairunan et al. 1985). Rendahnya nilai pH tanah pada
enam desa lokasi penelitian ini dimungkinkan adanya cemaran polusi baik dari transportasi maupun
industri yang ada, terutama cemaran logam timbal (Pb) yang dapat mengganggu siklus hara dalam
tanah. Hasil penelitian (tabel 4) menunjukkan bahwa tanah dan air di semua lokasi penelitian
dinyatakan tercemar logam timbal (Pb), konsentrasi timbal dalam tanah berkisar 14.520 ppm – 25.102
ppm dan air berkisar 0.034 ppm – 0.12 ppm. Standar normal kandungan timbal (Pb) pada tanah dan
air adalah maksimal 10 ppm dan 0.001 – 0.01 ppm. Desa Karang Asem Timur cemarannya lebih
sedikit dibanding desa lainnya, karena pH tanah di desa tersebut masih dalam kisaran normal.
Konsentrasi timbal (Pb) pada hijauan menunjukkan hasil yang normal atau aman bagi ternak, yaitu
berkisar 0.539 ppm – 2.715 ppm sedangkan standar normal kandungan timbal (Pb) pada hijauan
adalah maksimal 3.0 ppm. Jadi, hijauan pakan di semua desa lokasi penelitian masih aman untuk
diberikan pada ternak, cemaran timbal (Pb) dari transportasi dan industri sekitarnya tidak berdampak
besar pada keamanan hijauan untuk dikonsumsi ternak, tetapi cemaran berdampak langsung pada
tanah dan air di lokasi tersebut. Hijauan pakan hanya terkena dampak tidak langsung dari cemaran
timbal (Pb), biasanya terhadap kuantitas dan kualitas hijauan. Berdasarkan hasil analisis proksimat
pada hijauan pakan di semua lokasi penelitian, kandungan protein kasar (PK) berkisar 4.94% - 7.20%,
hasil ini menunjukkan kualitas hijauan di Kecamatan Citeureup sangat rendah
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
43
Tabel 4. Konsentrasi timbal (Pb) pada hijauan, tanah, dan air
Desa Konsentrasi Timbal (Pb) (ppm)
Hijauan Tanah Air
Hambalang 0.838 ± 0.210 17.318 ± 0.231 0.03 ± 0.009
Citeureup 2.371 ± 0.456 25.102 ± 0.899 0.00
Puspasari 2.559 ± 0.339 16.161 ± 0.978 0.056 ± 0.000
Puspanegara 2.652 ± 0.209 18.387 ± 0.521 0.047 ± 0.000
Tarikolot 2.715 ± 0.059 15.372 ± 0.184 0.12 ± 0.047
Karang Asem Barat 1.439 ± 0.270 23.721 ± 0.408 0.00
Karang Asem Timur 0.539 ± 0.188 14.520 ± 0.225 0.034 ± 0.025
KESIMPULAN
Pola penyediaan hijauan pada desa padat industri di Kecamatan Citeureup bersifat cut and carry dan
potensi hijauan pada daerah tersebut pun cukup rendah. Kambing jawa merupakan jenis ternak yang
dominan diternakkan karena kambing memiliki daya tahan yang kuat dan mudah beradaptasi. Desa
Hambalang ketersediaan hijauan cukup baik dan bervariasi. Hal ini dikarenakan Desa Hambalang
sendiri meskipun kualitas hijauannya dinilai dari kandungan nutrisinya tidak jauh beda dengan yang
lainnya, namun pencemaran timbal pada hijauan lebih sedikit dibandingkan desa lainnya meskipun
desa lainnya secara umum aman untuk dikonsumsi ternak dan juga ketersediaan hijauan.
DAFTAR PUSTAKA
Crowder, L.V., H.R. Chheda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. London (GB) and New York
(US) : Longman
Pairunan,AKJ, Nanere L, Arifin S.S.R., Samosir, Romadulus Teingkaisari J.R. Lalo Pua, Bachrul
Ibrahim dan Hariadi Asmadi. 1985. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Makasar (ID): Badan
Kerjasama Perguruan Tinggi Negri Indonesia Timur.
Sinaga, S. 2009. Pertumbuhan Ternak. [internet]. [Diunduh tanggal 10 Januari 2015]. Tersedia pada
http://blogs.unpad.ac.id/Sauland Sinaga
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
44
PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS KELOR (Moringa oleifera) PERIODE
VEGETATIF AWAL DENGAN PEMUPUKAN SUMBER P YANG BERBEDA PADA
TANAH ULTISOL
Simel Sowmen, Rusdimansyah, Siti Zainab dan Mari Santi
Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Andalas
email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian rumah kaca dilakukan untuk mengetahui respon pertumbuhan kelor yang diberi sumber
pupuk fospor yang berbeda pada tanah ultisol. Desain percobaan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) dengan 7 perlakuan pemupukan pospor yaitu 0, 100 kg/ha SP36, 200 kg/ha SP36, 300 kg/ha
SP36, 100 kg/ha Rock Phospat (RP), 200 kg/ha RP, dan 300 kg/ha RP, dengan 5 ulangan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemupukan sumber P yang berbeda dengan berbagai level pemberian
tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan (tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah
ranting) dan produksi kelor (berat segar dan berat kering).
Kata kunci: kelor, Moringa oleifera, pertumbuhan, pupuk fospor
ABSTRACT
Greenhouse study was conducted to investigate the effects of phosporous fertilizer on the growth and
production of Moringa oleifera in ultisol. The experimental design was Completely Randomized
Design (CRD), 7 treatments which include 0 kg/ha, 100 kg/ha SP36, 200 kg/ha SP36, 300 kg/ha
SP36, 100 kg/ha Rock Phospat (RP), 200 kg/ha RP, and 300 kg/ha RP, in five replicates. The result
showed there wasn’t signicantly differences (P>0.05) of all phosporous fertilizer treatment to growth
and production of moringa in early vegetative periode.
Keywords: plants growth, Moringa oleifera, phosporous fertilizer
PENDAHULUAN
Kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman herba dan pada umumnya dipergunakan sebagai
sumber hijauan pakan bagi ternak ruminansia khususnya. Saat ini kelor dikenal sebagai miracle tree
yang mempunyai banyak kegunaan bukan hanya sebagai tanaman pakan tetapi juga sebagai tanaman
yang banyak khasiatnya dalam mengobati berbagai penyakit, bahkan juga dikenal sebagai tanaman
pengusir setan. Sekarang kelor sangat sulit dijumpai karena belum dibudidayakan secara optimal,
padahal dulu kelor ini sangat mudah dijumpai di perkampungan.
Saat ini penelitian tentang kelor banyak terfokus pada kualitas nutrisi dan nilai kesehatan yang
diperoleh , sedangkan penelitian tentang budidaya kelor yang optimal masih sangat sedikit. Budidaya
kelor saat ini gencar dikembangkan oleh peneliti di Zimbabwe (Gadzirayi et al, 2013), Kairo (Zayed,
2012), Pakistan (Anwar et al., 2006). Penelitian tentang teknik budidaya kelor yang optimal untuk
mendapatkan produktivitas tinggi masih perlu dikembangkan di Indonesia.
Beberapa permasalahan dalam budidaya tanaman di Indonesia pada umumnya adalah kondisi tanah
yang masam salah satunya ultisol. Ultisol tersebar cukup luas di Indonesia, yaitu sekitar 25% dari
luas daratan Indonesia (Subagyo et al., 2000). Pemanfaatan tanah ultisol untuk budidaya tanaman
terkendala karena memiliki kesuburan yang rendah dan hal ini dapat menghambat pertumbuhan dan
produksi tanaman. Rendahnya pertumbuhan dan produksi tanaman pada tanah ultisol ini disebabkan
unsure hara P yang tidak tersedia bagi tanaman karena terikat oleh senyawa lain.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
45
Salah satu alternative yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan
pemberian phosphor melalui pemupukan. Diharapkan pemberian pupuk sumber P dapat membantu
tanaman mendapatkan unsure P lebih banyak pada tanah ultisol. Pupuk sumber Phospor saat ini bisa
dari SP36 yang bersifat cepat release, dan juga dari Rock Phospat yang lebih bersifat slow release.
Banyak penelitian tentang pemanfaatan Phospor d pada tanah ultisol dapat memperbaiki sifat kimia
tanah dan pertumbuhan tanaman jagung (Rasyid, 2012; Haryanto et al., 2008), chickpea (Patil et al.,
2011). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian tentang pengaruh pupuk sumber phospor
yang berbeda terhadap pertumbuhan kelor periode pertumbuhan vegetatif awal pada tanah ultisol.
METODE PENELITIAN
Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman legume pakan Kelor (Moringa oleifera)
yang didapatkan dari suplier bibit PT Lembah Hijau Kediri; pupuk kandang, pupuk Rock phospat dan
SP36, KCl, dan urea.
Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan, dan 5
ulangan. Perlakuan pemupukan P yang diberikan adalah P1: 0 kg/ha, P2: 100kg/ha SP36, P3: 200
kg/ha SP36, P4: 300 kg/ha, P5: 100 kg RP/ha, P6: 200 kg/ha RP, dan P7: 300 kg/ha. Data yang
diperoleh dianalisis dengan ANOVA, jika terdapat pengaruh terhadap peubah yang diukur maka
dilanjutkan dengan uji LSMEAN.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi tanaman kelor
Pemberian pupuk sumber P cenderung meningkatkan tinggi tanaman kelor setiap minggunya,
walaupun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan dengan kontrol tanpa
pemupukan P (P1) (Tabel 1). Hasil ini dimungkinkan oleh adanya pengaruh dari pupuk kandang yang
diberikan pada seluruh perlakuan termasuk kontrol.
Tabel 1. Pengaruh pemupukan fospor terhadap tinggi tanaman kelor (cm)
Perlakuan 1 3 5 7
Minggu
P1 28.58 47.52 71.02 95.12
P2 27.66 46.90 66.23 92.03
P3 30.10 44.64 64.04 86.98
P4 29.46 46.58 66.48 92.74
P5 28.76 43.78 58.82 73.50
P6 28.80 41.90 61.83 83.58
P7 29.20 44.58 63.94 93.47
Jumlah daun per pot
Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan phospor tidak berpengaruh nyata (P>0.05)
terhadap jumlah daun kelor periode pertumbuhan vegetatif (Tabel 2).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
46
Tabel 2. Pengaruh pemupukan fospor terhadap jumlah daun kelor (helai)
Perlakuan 1 3 5 7
minggu
P1 74.8 154.2 272.4 479.2
P2 62 129.4 282 496.5
P3 69.8 132.6 238 423.2
P4 81.8 159.4 325 492.4
P5 67 120.8 201.8 339.75
P6 61 119.6 188.2 297.2
P7 69.8 127.4 155.2 435.67
Jumlah ranting
Tidak terlihat adanya pengaruh perlakuan pemupukan pospor (P>0.05) terhadap jumlah ranting
tanaman kelor dari hasil analisis ragam (Tabel 3). Secara umum terlihat adanya kecenderungan
peningkatan jumlah ranting kelor setiap minggu.
Tabel 3. Pengaruh pemupukan fospor terhadap jumlah ranting kelor
Perlakuan 1 3 5 7
minggu
P1 9.6 13.6 15 13
P2 8.4 12.2 15.5 17.25
P3 9.4 13.2 15.8 15.2
P4 9 13 16.4 16.8
P5 9.2 13 15.8 18
P6 8.4 11.8 14.25 16.5
P7 9.2 13 16.6 19
Produksi Kelor Periode Vegetatif Awal
Produksi kelor periode pertumbuhan vegetatif awal baik dalam berat segar maupun berat keringnya
tidak dipengaruhi oleh pemupukan pospor dari hasil analisis ragam (P>0.05) (Tabel 4).
Tabel 4. Pengaruh pemupukan fospor terhadap bobot kering kelor (g)
Perlakuan Akar Batang Daun Akar Batang Daun
Berat segar (g) Berat kering (g)
P1 7.00 14.00 14.67 0.88 2.56 1.82
P2 9.67 15.00 17.00 1.88 3.27 3.59
P3 6.00 13.00 14.00 1.02 2.76 2.34
P4 7.33 15.67 15.67 0.90 3.14 4.16
P5 6.67 8.67 11.00 0.69 1.96 1.28
P6 5.33 10.67 11.67 0.61 2.15 2.45
P7 6.00 12.00 16.00 0.83 2.53 4.13
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
47
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk sumber P (SP36 dan RP) tidak berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan produksi kelor periode vegetatif awal kemungkinan karena pada penelitian
adanya kontribusi dari pupuk kandang pada kontrol. Saran untuk penelitian lanjutan adalah penelitian
tanpa ada pemberian pupuk kandang sebagai pupuk dasar agar efektifitas pemupukan phospor yang
diteliti lebih terlihat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor:030/SP2H/PL/DIT.LITABMAS/II/2015. yang telah membantu pendanaan
penelitian ini dalam skim Hibah Fundamental tahun anggaran 2015.
Daftar Pustaka
Anwar F, Hussain A.I., Ashraf M., Jamail A. and Iqbal S. 2006. Effect of salinity on yield and quality
of Moringa oleifera seed oil. Grasas Y Aceites 57 (4):394-401
Gadzirayi C.T., Kubiku F.M.N., Mupangwa J.F., Mujuru L. and Chikuvire T.J. 2013. The Effect of
Plant Spacing and Cutting Interval on Growth of Moringa Oleifera. Journal of Agricultural
Science and Applications. 2(2):131-136
Haryanto, Idris K., Rafli I. Kawalusan dan Sisworo E.L. 2008. Pengaruh Pupuk Phospat Alam pada
tanah masam terhadap pertumbuhan jagung serta serapan N-Za dan N-Urea. Jurnal Ilmiah
Aplikasi Isotop dan Radiasi. Vol. 4 No. 2: 130-142.
Isaiah M.A. Effects of Inorganic Fertilizer on the Growth and Nutrient Composition of Moringa
(Moringa oleifera). Journal of Emerging Trends in Engineering and Applied Sciences
(JETEAS) 4(2): 341-343.
Patil S.V., Halikatti S.I., Hiremath S.M., Babalad H.B., Sreevina M.N., Hebsur N.S. dan
Somanagoudag G. 2011. Effect of organic manures and rock phosphate on growth and yield of
chickpea (Cicer arietinum L.) in vertisols. Karnataka J. Agric. Sci.,24 (5) : (636-638)
Rasyid B. 2012. Aplikasi kompos kombinasi zaeolit dan fosfat alam untuk peningkatan kualitas
tanah ultisol dan produktivitas tanaman jagung. Jurnal Agrisistem. Vol. 8 No. 1: 13-22
Subagyo, H., N. Suharta dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. Bogor : Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat: 21-66.
Zayed, M.S. 2012. Improvement of growth and nutritional quality of Moringa oleifera using different
biofertilizers. Annals of Agricultural Science 57(1): 53–62
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
48
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI JERAMI KEDELAI AKIBAT INOKULASI BAKTERI
RHIZOBIUM DAN PENAMBAHAN HARA AIR LAUT
Eny Fuskhah dan Adriani Darmawati
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang
Email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian bertujuan memanfaatkan air laut yang melimpah sebagai sumber hara bagi tanaman
khususnya kedelai sehingga menghemat penggunaan pupuk buatan serta dikombinasikan dengan
pemanfaatan gulma air eceng gondok sebagai mulsa, dan aplikasi bakteri Rhizobium. Penelitian
dilaksanakan di rumah kaca Laboratorium Ekologi dan Produksi Tanaman Fakultas Peternakan dan
Pertanian Universitas Diponegoro Semarang. Sampel air laut diambil dari Pantai Marina Semarang.
Benih kedelai yang digunakan adalah benih lokal Grobogan. Rancangan percobaan adalah
Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial 4 x 2 dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah kombinasi
air laut dan mulsa eceng gondok meliputi : L0 = tanpa air laut (air tawar) dan tanpa mulsa eceng
gondok (kontrol), L1 = Kombinasi level air laut 1 mmhos/cm dan 8 ton/ha mulsa eceng gondok, L2 =
Kombinasi level air laut 2 mmhos/cm dan 8 ton/ha mulsa eceng gondok, L3 = Kombinasi level air
laut 3 mmhos/cm dan 8 ton/ha mulsa eceng gondok. Faktor kedua adalah perlakuan inokulasi bakteri
Rhizobium meliputi : R1 = tanpa inokulasi bakteri Rhizobium, R2 = dengan inokulasi bakteri
Rhizobium. Parameter yang diamati meliputi panjang tanaman, jumlah daun, produksi berat segar
tajuk, dan produksi bahan kering tajuk. Data yang diperoleh dianalisis ragam dan untuk mengetahui
perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan (Steel dan Torrie,
1995). Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh interaksi antara level salinitas air laut dengan
inokulasi bakteri rhizobium terhadap panjang tanaman, jumlah daun, berat segar tajuk, dan produksi
bahan kering tajuk. Pemberian hara air laut dan inokulasi bakteri rhizobium cenderung meningkatkan
pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai.
Kata kunci : kedelai, hara air laut, rhizobium, pertumbuhan, produksi
ABSTRACT
The research aim is to use sea water as nutrient source of plant especially soybean, so it reduces
amount of anorganic fertilizer usage. The research held in green house of Ecology and Plant
Production Laboratory of Animal Husbandry and Agriculture Faculty, Diponegoro University
Semarang. Sea water as sample was taken from Semarang Marina Beach. Soybean which choosen is
local bean of Grobogan. The design arranged was completely randomized design with factorial design
4 x 2 in 4 replications. First factor was sea water salinity level, L0 = without sea water and without
mulch, L1 = sea water EC 1 mmhos/cm and water hyacinth mulch of 8 tons/ha, L2 = sea water EC 2
mmhos/cm and water hyacinth mulch of 8 tons/ha, L3 = sea water EC 3 mmhos/cm and water
hyacinth mulch of 8 tons/ha. The second factor was Rhizobium inoculation, R1 = without rhizobium
inoculation, and R2 = with Rhizobium inoculation. The parameters were length plant, number of
leaves, fresh weight production of shoot and dry matter production. Based on variant analysis, showed
no influenced between sea water salinity level and rhizobium inoculation againt to length plant,
number of leaves, fresh weight production of shoot and dry matter production. Sea water and
rhizobium inoculation tended to increase growth and production of soybean.
Key words : soybean, nutrient of sea water, rhizobium, growth, production.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
49
PENDAHULUAN
Tanaman kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi tinggi sebagai
sumber protein nabati dan rendah kolesterol. Kedelai juga merupakan komoditas pangan yang penting
setelah padi dan jagung. Konsumsi kedelai dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan dapat
meningkatkan gizi masyarakat. Di Indonesia, kedelai banyak diolah untuk berbagai macam bahan
pangan, seperti : tauge, susu kedelai, tahu, kembang tahu, kecap, oncom, tauco, tempe, dan tepung
kedelai. Selain itu, juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak
Tanaman kedelai merupakan tanaman leguminosa mempunyai kemampuan bersimbiosis secara
mutualistik dengan bakteri Rhizobium sp yang tumbuh di daerah perakarannya. Adanya bakteri ini
menyebabkan terbentuknya nodul/bintil akar yang mampu memfiksasi nitrogen bebas dari udara
sehingga dapat mensuplai kebutuhan tanaman akan unsur N. Kebutuhan nitrogen tanaman oleh
fiksasi nitrogen terjadi tidak pada awal fase vegetatif dan akhir masa reproduktif, tetapi terjadi setelah
pembentukan bintil yang terjadi karena kolonisasi rhizosfer dan infeksi rhizobia pada akar leguminosa
(Beck et al., 1991). Hasil simbiosis ini diharapkan mampu meningkatkan produksi hijauan tanaman.
Penelitian Fuskhah et al. (1997) menunjukkan bahwa penggunaan inokulum Rhizobium dari 20 – 60
g/kg benih dikombinasikan dengan pemupukan fosfor dapat meningkatkan produksi bahan kering
hijauan Centrosema pubescens Benth. Kemampuan untuk memfiksasi nitrogen dapat mengurangi
biaya pembelian pupuk N buatan, sehingga aplikasi inokulasi Rhizobium pada tanaman leguminosa
menjadi sangat penting untuk memacu fiksasi nitrogen.
Di sisi lain, air laut yang begitu melimpah di Indonesia ternyata mengandung banyak ion, termasuk
ion-ion yang dibutuhkan tanaman. Kandungan unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman seperti
magnesium (Mg), calcium (Ca), dan kalium (K) yang ada di air laut cukup tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa air laut dapat menjadi sumber alternatif hara atau nutrien bagi tanaman.
Rata-rata konsentrasi garam terlarut di air laut sekitar 3,5%, tergantung pada lokasi dan laju evaporasi
(Brown et al., 1989). Diantara garam-garam tersebut, konsentrasi natrium (Na) dan chloride (Cl)
adalah dominan dan terdapat dalam jumlah besar sehingga mengakibatkan tingginya salinitas (Pickard
dan Emery, 1990). Oleh karena itu, dalam penggunaannya, air laut perlu diencerkan terlebih dahulu
untuk mengurangi salinitasnya sampai ambang yang tidak membahayakan tanaman.
Air laut pada prakteknya banyak digunakan untuk mengairi tanaman yang toleran terhadap salinitas
(halophyte) pada daerah-daerah dekat pantai. Turi (Sesbania grandiflora) menurut hasil penelitian
Fuskhah et al. (2007) tahan terhadap tingkat NaCl tinggi, sampai 4000 ppm NaCl atau setara dengan
EC (electrical conductivity) 7,5 mmhos/cm masih menunjukkan peningkatan produksi. Hal ini diduga
turi termasuk tanaman halophyta yang tahan terhadap tingkat salinitas tinggi.
Penelitian bertujuan memanfaatkan air laut yang melimpah sebagai sumber hara bagi tanaman kedelai
sehingga menghemat penggunaan pupuk buatan serta dikombinasikan dengan pemanfaatan gulma air
eceng gondok sebagai mulsa, dan aplikasi bakteri Rhizobium.
Hipotesis penelitian adalah ada interaksi antara hara air laut dan eceng gondok sebagai mulsa juga
aplikasi bakteri Rhizobium untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi jerami kedelai.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
50
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro
Semarang.
Materi : air laut, eceng gondok, isolat bakteri Rhizobium, benih kedelai, EC meter, pot, oven, mistar,
pupuk N, P, dan K.
Metode : Sebanyak 32 pot diisi tanah dan disterilkan. Benih kedelai disiapkan. Pupuk dasar yang
digunakan adalah pupuk N, P, dan K masing-masing dengan dosis 100 kg N/ha, 150 kg P2O5/ha, dan
100 kg K2O/ha. Air laut digunakan untuk penyiraman dengan dosis pengenceran sesuai perlakuan.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial 4 x 2 dengan
4 ulangan.
Faktor pertama adalah kombinasi air laut dan mulsa eceng gondok yaitu :
L0 = tanpa air laut (air tawar) dan tanpa mulsa eceng gondok (kontrol)
L1 = Kombinasi level air laut 1 mmhos/cm dan 8 ton/ha mulsa eceng gondok
L2 = Kombinasi level air laut 2 mmhos/cm dan 8 ton/ha mulsa eceng gondok
L3 = Kombinasi level air laut 3 mmhos/cm dan 8 ton/ha mulsa eceng gondok
Faktor kedua adalah perlakuan inokulasi bakteri Rhizobium yaitu :
R1 = tanpa inokulasi bakteri Rhizobium
R2 = dengan inokulasi bakteri Rhizobium
Parameter yang diamati meliputi panjang tanaman, jumlah daun, produksi berat segar dan bahan
kering jerami. Data yang diperoleh dianalisis ragam dan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan
dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Kedelai
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara perlakuan penambahan air laut
dengan inokulasi bakteri rhizobium terhadap parameter pertumbuhan yaitu panjang tanaman, dan
jumlah daun (Tabel 1 dan 2).
Tabel 1. Rerata Panjang Tanaman Kedelai pada Berbagai Level Salinitas Air Laut dan Inokulasi
Bakteri Rhizobium
_______________________________________________________________________
Inokulasi Rhizobium Rerata
Level Salinitas Air Laut _________________________________________________
R1 (tanpa) R2 (dengan Inokulasi )
_______________________________________________________________________
------------------------- (cm) ----------------------------
L0 (tanpa air laut) 112,50 101,25 106,88
L1 (EC 1 mmhos/cm) 120,13 119,38 119,75
L2 (EC 2 mmhos/cm) 114,63 124,50 119,56
L3 (EC 3 mmhos/cm) 112,38 110,25 111,31
_______________________________________________________________________
Rerata 114,91 113,84
_______________________________________________________________________
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
51
Tabel 2. Rerata Jumlah Daun Tanaman Kedelai pada Berbagai Level Salinitas Air Laut dan Inokulasi
Bakteri Rhizobium
________________________________________________________________
Inokulasi Rhizobium Rerata
Level Salinitas Air Laut __________________________________________
R1 (tanpa) R2 (dengan Inokulasi )
________________________________________________________________
-------------------- (helai petiole) -------------------
L0 (tanpa air laut) 9,13 9,50 9,31
L1 (EC 1 mmhos/cm) 9,63 10,63 10,13
L2 (EC 2 mmhos/cm) 10,63 10,50 10,56
L3 (EC 3 mmhos/cm) 11,25 13,75 12,50
__________________________________________________________________
Rerata 10,16 11,09
__________________________________________________________________
Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa perlakuan penambahan air laut cenderung meningkatkan
pertumbuhan tanaman kedelai walaupun tidak signifikan. Air laut ternyata mengandung banyak ion.
Kandungan unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman seperti magnesium (Mg), calcium (Ca), dan kalium
(K) yang ada di air laut cukup tinggi (Yufdy dan Jumberi, 2011). Dengan penambahan air laut berarti
menambah pula hara yang diberikan tanaman. Namun air laut yang diberikan harus diencerkan
terlebih dahulu karena kandungan Na dan Cl yang sangat tinggi. Kandungan Na dan Cl yang terlalu
tinggi mengganggu pertumbuhan tanaman. Namun natrium pada level tertentu, dapat dimanfaatkan
sebagai unsur hara pada jenis-jenis tanaman tertentu yang membutuhkannya baik sebagai unsur
tambahan maupun sebagai pengganti sebagian dari kebutuhan unsur K (Yufdy dan Jumberi, 2011).
Tingkat salinitas media tanam dengan electrical conductivity (EC) 0 – 2 mmhos/cm umumnya belum
membahayakan bagi tanaman (Tan, 1991). Tingginya kandungan hara yang ada pada air laut
menunjukkan bahwa air laut dapat menjadi alternatif sumber hara atau nutrien bagi tanaman.
Produksi Kedelai
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara perlakuan penambahan air laut
dengan inokulasi bakteri rhizobium terhadap parameter produksi yaitu produksi bahan segar dan
produksi bahan kering jerami kedelai (Tabel 3 dan 4).
Tabel 3. Rerata Produksi Berat Segar Jerami Kedelai pada Berbagai Level Salinitas Air Laut dan
Inokulasi Bakteri Rhizobium
_______________________________________________________________________
Inokulasi Rhizobium Rerata
Level Salinitas Air Laut __________________________________________________
R1 (tanpa) R2 (dengan Inokulasi ) ______________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
-------------------- (g/pot) -------------------
L0 (tanpa air laut) 24,25 30,13 27,19
L1 (EC 1 mmhos/cm) 27,00 27,50 27,25
L2 (EC 2 mmhos/cm) 30,13 30,50 30,31
L3 (EC 3 mmhos/cm) 25,88 33,25 29,56 _________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Rerata 26,81 30,34 ______________ ___________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________ _____________________________________________________________________________________________________________________________ _____________________________________________________________
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
52
Tabel 4. Rerata Produksi Bahan Kering Jerami Kedelai pada Berbagai Level Salinitas Air Laut dan
Inokulasi Bakteri Rhizobium
________________________________________________________________________
Inokulasi Rhizobium Rerata
Level Salinitas Air Laut __________________________________________________
R1 (tanpa) R2 (dengan Inokulasi )
________________________________________________________________________
-------------------- (g/pot) -------------------
L0 (tanpa air laut) 7,72 8,38 8,05
L1 (EC 1 mmhos/cm) 8,97 7,50 8,23
L2 (EC 2 mmhos/cm) 9,88 8,65 9,27
L3 (EC 3 mmhos/cm) 7,38 9,35 8,36
________________________________________________________________________
Rerata 8,49 8,47
________________________________________________________________________
Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa penambahan hara air laut dan inokulasi bakteri rhizobium secara
sendiri cenderung meningkatkan produksi jerami kedelai dibandingkan dengan tanpa penambahan air
laut dan inokulasi rhizobium. Tanaman kedelai merupakan tanaman leguminosa mempunyai
kemampuan bersimbiosis secara mutualistik dengan bakteri Rhizobium sp yang tumbuh di daerah
perakarannya. Adanya bakteri ini menyebabkan terbentuknya nodul/bintil akar yang mampu
memfiksasi nitrogen bebas dari udara sehingga dapat mensuplai kebutuhan tanaman akan unsur N.
Akar tanaman menyediakan hara dan karbohidrat untuk energi bakterinya dan bakteri menyediakan
senyawa nitrogen yang ditambat (Handayanto dan Hairiah, 2007). Kebutuhan nitrogen tanaman oleh
fiksasi nitrogen terjadi tidak pada awal fase vegetatif dan akhir masa reproduktif, tetapi terjadi setelah
pembentukan bintil yang terjadi karena kolonisasi rhizosfer dan infeksi rhizobia pada akar leguminosa
(Beck et al., 1991). Hasil simbiosis ini diharapkan mampu meningkatkan produksi hijauan tanaman.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh interaksi antara level salinitas air laut dengan
inokulasi bakteri rhizobium terhadap panjang tanaman, jumlah daun, berat segar tajuk, dan produksi
bahan kering tajuk. Pemberian hara air laut dan inokulasi bakteri rhizobium cenderung meningkatkan
pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai.
DAFTAR PUSTAKA
Beck, D.P., J.Wery, M.C. Saxena and A.Ayadi. 1991. Dinitrogen fixation and nitrogen balance
in cool season food legumes. Agronomy Journal 83 : 334–341.
Brown, J., A. Colling, D. Park, J. Phillips, D. Rothery and J. Wright. 1989. Ocean Circulation. New
York. Pergamon Press.
Fuskhah, E, E.D. Purbayanti, F. Kusmiyati dan R.T. Mulatsih. 1997. Efek inokulasi Rhizobium Sp
dan pemberian fosfor terhadap derajat katalisis enzim nitrogenase nodul akar Centrosema
pubescens Benth. Majalah Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. IX(34): 19-
25
Fuskhah, E., R. D. Soetrisno, S. Anwar dan F. Kusmiyati. 2007. Rekayasa Ketahanan Bakteri
Rhizobium dan Tanaman Leguminosa Pakan terhadap Cekaman Salinitas di Daerah Salin Pantai
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
53
Utara Jawa Tengah. Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional.
Handayanto, E. dan K. Hairiah. 2007. Biologi Tanah Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Pustaka
Adipura. Yogyakarta.
Pickard, G.L. and K. O. Emery, 1990. Descriptive Physical Oceanography, Pergamon Press.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie.1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Alih
Bahasa : Bambang Sumantri. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tan, K. H. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
(Diterjemahkan D. H. Goenadi).
Yufdy, M.P. dan A. Jumberi. 2011. Pemanfaatan Hara Air Laut untuk memenuhi Kebutuhan
Tanaman. Http://www.dpi.nsw.gov.au. Access date 7 Maret 2011.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
54
PRODUKSI JAGUNG MANIS DAN JERAMI PADA DUA PERIODE TANAM DENGAN
PUPUK KANDANG DIPERKAYA FOSFAT ALAM DALAM SISTEM INTEGRASI
TANAMAN-TERNAK
Dwi Retno Lukiwati, Endang Dwi Purbayanti, dan Retno Iswarin Pujaningsih
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Sistem integrasi tanaman dan ternak dicirikan oleh hasil utama untuk pangan, jerami sebagai pakan
sedangkan feses ternak sebagai bahan baku pupuk kandang. Feses sapi juga dapat mempercepat
proses dekomposisi bahan organik, karena dalam feses juga mengandung bakteri atau cendawan
dekomposer (Saraswati dan Sumarno, 2008). Pupuk kandang diperkaya fosfat alam (FA) dapat
meningkatkan kualitas pukan dan menghemat biaya pemupukan. Lukiwati (2002) menyatakan bahwa
efisiensi pemupukan P untuk produksi jagung tertinggi dicapai pada dosis 66 kg P/ha atau 150 kg
P2O5/ha. Pupuk kandang diperkaya FA tersebut bersifat ‘slow release’, sehingga masih terdapat efek
sisa pada musim tanam berikutnya. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh beberapa macam
pupuk kandang diperkaya fosfat alam (pukan) terhadap produksi jagung dan jerami jagung manis
pada dua kali periode tanam.
METODE PENELITIAN
Penelitian lapang menggunakan rancangan acak lengkap dengan 7 perlakuan dan 4 kali ulangan.
Ukuran petak 2,5 m x 3 m atau seluas 7,5 m2 sebanyak 28 petak dengan jarak tanam 40 x 30 cm.
Perlakuan yang diberikan pada waktu tanam pertama adalah T0 (pukan), T1 (pukan+EM4), T2
(pukan+StarTmik), T3 (pukan+Stardec), T4 (pukan granul+EM4), T5 (pukan granul+StarTmik), TT6
(pukan granul+Stardec). Dosis unsur hara P (FA), N (urea), K (KCl) dan pukan, masing-masing 66 kg
P, 200 kg N, 125 kg K dan 30 ton/ha. Pupuk kandang diperkaya FA (pukan) hanya diberikan sekali
saja pada periode tanam I, sedangkan pada periode tanam kedua hanya mengandalkan efek sisa dari
pukan tersebut. Penyiraman dilakukan ketika diperlukan, sedangkan pendangiran/ penggemburan
dilakukan bersamaan dengan pengendalian gulma secara mekanis. Panen tongkol jagung manis
dilakukan pada umur 70 hari setelah tanam, dengan mengambil sampel sebanyak 4 tanaman dari dua
lubang tanam dan tiap tanaman berisi satu tongkol. Tongkol jagung manis berklobot selanjutnya
ditimbang untuk mengetahui produksi tiap petak. Jerami jagung manis dipotong untuk mendapatkan
data produksi segar dan bahan kering (BK) jerami. Semua data di analisis ragam dan dilanjutkan
dengan uji Duncan (DMRT).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian pada periode tanam pertama dan kedua berdasarkan uji Duncan masing-masing
menunjukkan bahwa beberapa macam pukan diperkaya FA menghasilkan produksi tongkol jagung
manis berklobot tidak nyata berbeda (Tabel 1).
Produksi tongkol jagung manis pada berbagai pemupukan pukan menunjukkan tidak berbeda. Dengan
demikian pupuk kandang di inokulasi biodekomposer (EM4, StarTmik, Stardec) memberikan hasil
produksi tongkol jagung manis yang setara dengan pemupukan pupuk kandang tanpa inokulasi
biodekomposer dalam bentuk granul maupun bukan granul
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
55
Tabel 1. Produksi tongkol jagung berklobot pada dua periode tanam dengan pemupukan beberapa
jenis pukan ‘plus’
Perlakuan Tanam I (kg/petak) Tanam II (kg/petak)
Pukan 18,31 ± 1,48 20,97 ± 3,08
Pukan+EM4 A 17,28 ± 1,46 22,59 ± 4,89
Pukan+StarTmik 18,09 ± 1,78 22,23 ± 3,85
Pukan+Stardec 17,28 ± 3,40 22,77 ± 2,70
Pukan granul+EM4 15,57 ± 1,06 19,89 ± 2,61
Pukan granul+StarTmik 18,72 ± 0,49 22,05 ± 4,74
Pukan granul+Stardec 15,25 ± 2,04 24,48 ± 1,36
Tabel 2. Produksi segar jerami jagung manis pada dua periode tanam dengan pemupukan beberapa
jenis pukan diperkaya fosfat alam
Perlakuan Tanam I (kg/petak) Tanam II (kg/ petak)
Pukan 30,78 ± 1,42 32,40 ± 7,66
Pukan+EM4 30,65 ± 1,32 34,29± 5,39
Pukan+StarTmik 38,03 ± 5,48 33,41± 4,76
Pukan+Stardec 36,63 ± 5,56 34,34± 5,08
Pukan granul+EM4 34,38 ± 1,99 31,05± 4,71
Pukan granul+StarTmik 30,87 ± 1,58 33,53± 7,47
Pukan granul+Stardec 27,99 ± 2,21 35,63± 2,98
Data Tabel 2 berdasarkan uji Duncan masing-masing periode tanam menunjukkan bahwa beberapa
macam pupuk kandang diperkaya FA menghasilkan produksi segar jerami jagung manis tidak nyata
berbeda. Dengan demikian pupuk kandang di inokulasi biodekomposer (EM4, StarTmik, Stardec)
memberikan hasil produksi segar jerami setara dengan tanpa inokulasi biodekomposer baik dalam
bentuk granul maupun non-granul.
Produksi bahan kering jerami jagung manis pada masing-masing periode tanam, berdasarkan uji
Duncan menunjukkan tidak nyata berbeda (Tabel 3). Dengan demikian pemberian berbagai macam
pukan, menghasilkan produksi BK jerami tidak berbeda sampai dengan hasil tanam kedua.
Tabel 3. Produksi bahan kering jerami jagung manis pada dua periode tanam dengan pemupukan
beberapa jenis pukan diperkaya fosfat alam
Perlakuan Tanam I (kg/petak) Tanam II (kg/ petak)
Pukan 7,17 ± 0,34 7,38 ± 4,58
Pukan+EM4 7,23 ± 0,35 7,85± 2,80
Pukan+StarTmik 8,25 ± 0,90 7,73± 3,35
Pukan+Stardec 7,70 ± 0,90 8,14± 3,51
Pukan granul+EM4 7,68 ± 0,22 7,00± 3,23
Pukan granul+StarTmik 7,52 ± 0,53 8,15± 7,04
Pukan granul+Stradec 6,47 ± 0,58 8,62± 2,56
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
56
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa pada periode tanam pertama maupun
kedua, produksi tongkol jagung manis (Tabel 1) dan jerami segar (Tabel 2) maupun bahan kering
jerami (Tabel 3) tidak nyata dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa pukan diperkaya FA dengan atau tanpa inokulasi biodekomposer menghasilkan
produksi tongkol jagung manis, jerami segar dan bahan kering jerami tidak berbeda pada periode
tanam pertama maupun efek sisanya pada periode tanam kedua. Telah dijelaskan oleh Saraswati dan
Sumarno (2008), bahwa feses sapi juga dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik, karena
dalam feses juga mengandung bakteri atau cendawan dekomposer. Pupuk kandang (:sapi) selain
mengandung unsur hara N, P dan K masing-masing 0,55; 0,12 dan 0,30 % (Soelaeman, 2008), juga
asam-asam humat dan fulfat yang dapat meningkatkan kelarutan pupuk FA (Sumida dan Yamamoto,
1997). Oleh karena itu penambahan FA dalam proses dekomposisi pukan akan meningkatkan
kelarutan FA dan dapat meningkatkan kualitas jerami jagung manis (Lukiwati, 2012). Lukiwati dan
Waluyanti (2001) menyatakan bahwa efek residu pupuk P menghasilkan produksi jagung dan BK
jerami tidak berbeda dibanding musim tanam pertama. Dengan demikian, berbagai macam pukan
tersebut setara kemampuannya dalam menghasilkan produksi tongkol jagung manis maupun jerami
pada periode tanam pertama maupun kedua.
KESIMPULAN
Disimpulkan bahwa pemberian pupuk kandang diperkaya FA dalam bentuk granular maupun non-
granular dengan inokulasi biodekomposer pada periode tanam pertama, menghasilkan produksi
tongkol jagung, jerami segar dan bahan kering jerami setara dengan tanpa inokulasi biodekomposer
hingga periode tanam kedua.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Ditlitabmas Ditjen Dikti Kemendikbud – BOPTN TA 2013-2014 atas dana
penelitian yang telah diberikan melalui DIPA Universitas Diponegoro, No. 154a-11/UN7.5/PG/2013
dan No.023.04.02.189185/2014. Terima kasih kepada Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan, serta
Kelompok Peternak ‘Sumber Subur’ Kecamatan Kedawung Kabupaten Sragen, yang telah membantu
dalam pelaksanaan penelitian ini hingga dapat diselesaikan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Lukiwati, D.R. 2002. Effect of rock phosphate and superphosphate fertilizer on the productivity of
maize var. Bisma. Proc.of International Workshop Food Security in Nutrient-Stressed
Environments: Exploiting Plant’s Genetic Capabilities. International Crops Research Institute
for Semi-Arid Tropics (ICRISAT). Patancheru, India, 27-30 September 1999. Kluwer Academic
Publishers. Netherlands. p. 183-187.
Lukiwati, D.R. 2012. Effect of organic and inorganic fertilizer combinations on yield, dry matter
production, and crude protein content in stover and cornhusk. Proc.of International Conf.
‘Agribusiness of Maize-Livestock Integration’. Gorontalo, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. November 21-23. p. 118-120.
Lukiwati, D.R. and Waluyanti, R. 2001. Response of maize to the residual effect of phosphorus
fertilization in Latosolic soil. In: 37th Croatian Symposium on Agriculture with an
International Participation. Opatija-Croatia, 19-23 February. p.183.
Saraswati, R. dan Sumarno. 2008. Pemanfaatan mikroba penyubur tanah. Iptek Tanaman Pangan.
3(1): 1-58.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
57
Soelaeman, Y. 2008. Efektivitas pupuk kandang dalam meningkatkan ketersediaan fosfat,
pertumbuhan dan hasil padi dan jagung pada lahan kering masam. J. Tanah Trop. 13(1): 41-47.
Sumida, H. and Yamamoto, K. 1997. Effect of decomposition of city refuse compost on the behaviour
of organic compounds in the particle size fractions. Proc. 13th Internat’l. Plant Nutr. Colloq.
Tokyo. p.599-600.
Winks, L. 1990. Phosphorus and beef production in northern Australia. 2. Responses to phosphorus
by ruminants-a review. Trop. Grassld. 24:140-158.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
58
PERHITUNGAN MCV DAN MCHC UNTUK MENGANALISIS INDIKASI ANEMIA
PADA KELINCI YANG DISUPLEMENTASI DAUN KATUK DALAM PAKAN
Mohandas Indradji, Sri Hastuti, dan Diana Indrasanti
Fakultas Peternakan UNSOED, PO BOX 110, Purwokerto 53123
Email : [email protected]
ABSTRACT
In this article we analyze the causes of anemia that occurs in groups of rabbits experiment. This study
is required relating the discovery of values below on the normal standards of the red blood cells
values, total hemoglobin and packed cell volume, that indicate the occurrence of anemia in rabbits.
The material used in this study are Rex female rabbits amount of 18 tails, aged 12-18 months with a
weight of 2-3 kg. The treatments were; the feed rabbits base (supplementation 0% ) and the feed
treatment (supplementation 5% anf 10% Sourapus androgenus leaves). The results of the study on
the evaluation of MCV and MCHC showed that all groups rabbits experience have suffered
hypochromic normocytic anemia due to iron deficiency in early stage.
Keywords: anemia, rabbit, Sourapus androgenus, MCV and MCHC.
PENDAHULUAN
Mean Corpuscular Volume/MCV dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration/MCHC
merupakan metode perhitungan parameter darah yang dapat digunakan dalam mengevaluasi suatu
status anemia pada ternak. Dalam penelitian ini perhitungan parameter-parameter darah tersebut
digunakan untuk menilai sebab-sebab terjadinya anemia dari induk kelinci yang diberi suplementasi
daun katuk dalam pakan.
Satu ekor induk kelinci dapat menghasilkan anak 3-14 ekor, dalam banyak kasus yang terjadi dalam
suatu peternakan kelinci, angka kematian anak kelinci sangatlah tinggi, terutama pada saat umur
kurang dari satu minggu. Suplementasi daun katuk diharapkan dapat memperbaiki kuantitas dan
kualitas air susu induk kelinci dengan harapan dapat menurunkan tingkat kematian anak kelinci,
sehubungan dengan kapasitas jumlah ambing yang fungsional atau jumlah litter size yang tinggi.
Jumlah “ambing” induk kelinci ada 4 pasang dan yang berfungsi/mengeluarkan air susu hanya 3
pasang.
Dalam artikel ini kami menganalisis sebab-sebab terjadinya anemia yang terjadi pada penelitian ini.
Kajian ini diperlukan berkaitan ditemukannya nilai-nilai parameter darah yang berada dibawah
standar normal, pada jumlah sel darah merah, total hemoglobin dan nilai packed cell volume, yang
dapat mengindikasikan terjadinya anemia pada kelinci percobaan.
METODE PENELITIAN
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci jenis Rek betina sebanyak 18 ekor, umur
12-18 bulan dengan bobot badan 2-3 kg. Peralatan yang digunakan meliputi kandang, tempat pakan,
tempat minum, alat kebersihan, timbangan, spuit, kontainer pembawa sampel, mesin pelet oven dll.
Perlakuan berupa pemberian pakan basal kelinci(suplementasi 0%/K0) dan pakan perlakuan
(suplementasi 5%/K1dan 10%/K2 daun katuk). Komposisi dan kandungan pakan basal mengacu pada
Widiyastuti et al. (2014).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
59
Tabel 1. Komposisi dan Kandungan Pakan Perlakuan
Bahan pakan K0(%) K1(%) K2(%)
Rumput alam 11 11 11
Jagung Giling 14 14 14
Dedak 16 16 16
bBungkil kelapa 27 27 27
Pollard 29 29 29
Molasis 2,6 2,6 2,6
Min Mix 0,4 0,4 0,4
Daun Katuk 0 5 10
Jumlah 100 105 110
Kandungan Nutrien (%)
Bahan Kering 80,06 84,17 88,29
Protein Kasar 15,9 17,09 18,37
Lemak 6,2 6,55 6,9
Serat Kasar 15,09 15,58 16,07
Total Digestible Nutrient 71,4 74,92 78,44
Ca 0,44 0,57 0,67
P 0,23 0,28 0,34
Variabel yang diamati : jumlah sel darah merah(SDM), Hemoglobin(Hb), packed cell volume(PCV).
Metode pengambilan dan pengamatan sampel mengacu pada Duncan et. al (1994).
Analisis Anemia
Metode yang digunakan dalam menganalisis sebab-sebab terjadinya anemia adalah dengan perhitungn
MCV dan MCHC. MCV(Mean Corpuscular Volume) menunjukkan ukuran dari sel darah merah, jika
ukuran sel membesar disebut makrositik, ukuran normal disebut normositik dan ukuran mengecil
disebut mikrositik. MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) menunjukkan rata-rata
konsentrasi hemoglobin dalam sel darah merah, dipresentasikan dalam bentuk warna dari sel
darah merah, jika warna sel darah merah dalam kondisai normal disebut normokromik atau
warna menjadi pucat disebut hipokromik, atau merah menyala disebut hiperkromik. Nilai
MCHC sangat akurat dan absolut untuk menilai indikasi anemia pada hewan (Thompson,
2006).
Untuk melakukan Interpretasi warna dan ukuran sel darah merah digunakan perhitungan MCV
dengan satuan fl atau 10-15L dan MCHC dengan satuan gr/100 ml.
MCV = PCV (%) x 10 dan MCHC = Hb(g/100 ml) x 100
SDM (mm3) PCV (%)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor-faktor yang menyebabkan kejadian anemia pada ternak dengan pengamatan ukuran dan warna
sel darah merah yang mengacu pada perhitungan MCV dan MCHC telah diuraikan dalam Duncan
et.al (1994), Thomson (2006), adapun penjelasannya dapat dilihat pada Tabel 2.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
60
Tabel 2. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologinya(Duncan et.al (1994; Thomson, 2006)
MCV MCHC Interpretasi
Normositik Normokromik Defisiensi nutrisi secara umum
Normositik Hipokromik Kekurangan Zat Besi pada tahap awal
Makrositik Normokromik Defisiensi Vit B12 dan Asam Folat, defisiensi
kobalt(ruminansia), gangguan pada sumsum tulang
Makrositik Hipokromik Perdarahan hebat
Mikrositik Normokromik Defisiensi Zat Besi yang parah
Mikrositik Hipokromik Defisiensi Zat besi, tembaga, Piridoksin dan perdarahan kronis
Hasil perhitungan MCV dan MCHC data penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Nilai Variabel Penelitian
SDM (juta/ µL) Hb (%) PCV (%) MCV MCHC
Standar* 5,1-7,9 10-17,4 33-50 60-69 30-35
K0 4,73 9,00 32,25 68,18 27,91
K1 4,99 9,90 35,98 72,10 27,52
K2 4,76 9,40 33,03 69,39 28,46
Secara laboratoris nyata sekali terlihat bahwa ketiga perlakuan (K0, K1dan K2 ) semua kelompok
mengalami anemia, yang terlihat dari nilai sel darah merah dan hemoglobin dibawah standar nilai
normal. Kemudian dari hasil perhitungan MCV dapat digambarkan bahwa semua kelompok
mengalami anemia normositik, karena ukuran sel darah merah masih dalam ukuran normal,
sedangkan dari hasil perhitungan MCHC, semua kelompok mengalami anemia hipokromik, karena
nilainya dibawah standar normal.
Anemia normositik hipokromik(Tabel 2) disebabkan oleh kekurangan zat besi pada tahap awal
(Duncan et.al (1994;Thomson, 2006; Weiser, 2012). Kandungan nutrien daun katuk memenuhi syarat
sebagai prekursor dalam pembentukan sel-sel darah merah seperti dicantumkan dalam Pilliang (2001)
dan Nugraha (2008).
Jadi semua kelompok perlakuan menderita anemia, anemia yang terdeteksi disebabkan oleh karena
rendahnya asupan zat besi pada tahap awal, hal ini tentu merupakan ironi jika mengacu pada nilai
kandungan nutrien daun katuk (Pilliang, 2001; Nugraha 2008), apalagi komposisi pakan basal sudah
sesuai dengan kebutuhan nutrien kelinci. Peneliti berpendapat bahwa terdapat faktor-faktor diluar
variabel/parameter uji ataupun perlakuan yang sangat berpengaruh dalam pengambilan kesimpulan.
Dari analisis jumlah konsumsi pakan, semua kelompok perlakuan menunjukkan kuantitas asupan
dibawah normal (kurang dari 200 gram/ekor/hari) dan tidak berbeda nyata, tetapi peneliti belum dapat
menyimpulkan mengapa konsumsi pakan begitu rendah, perlu kajian atau analisis lebih lanjut.
KESIMPULAN
Semua kelinci percobaan menglami anemia normositik hipokromik yang disebabkan kekurangan zat
besi dalam tahap awal.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
61
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada Pimpro Dana BOPTN UNSOED 2014 atas penyediaan
dananya, kepada tim riset penelitian atas bantuan pelaksanaan pemeliharaan kelinci, kepada staf
laboratorium Ilmu Bahan Pakan atas dukungan analisis pakan dll.
DAFTAR PUSTAKA
Duncan, J.R., K.W. Prasse dan E.A. Mahafey. 1994. Veterinary Laboratory Medicine. Clinical
Pathology. 3rd ed. Iowa State Universiti, Ames.
Nugraha, S. 2008. Pemanfaatan dan komposisi nutrisi daun katuk (Saurapous androgynus L.
Merr).http://www. Pustaka deptan.go.id/bppi/lengkap/bpp 08005.pdf. diakses 1 Oktober 2015.
Pilliang, W.G. 2001. Efek pemberian daun katuk (Sourapus androgenus) dalam ransum terhadap
kandungan kolesterol, karkas dan telur ayam lokal. LEMLIT IPB bekerja sama dengan BPPP,
Proyek ARMP II.
Thompson, R.B. 2006. A short textbook of hematology.7th ed. 217 p. Garden City Press Ltd.
Letchworth, Hertfordshire, UK.
Widiyastuti, T., Mohandas I., Agung W. dan Roy H. 2014. Biorefinery of jatropa seed cake by lactid
acid bacteria and the effects hematological profile of rex rabbit. Energy Procedia, Vol. 47.
Elsevier BV.
Weiser, G. 2012. Laboratory Technology for Veterinary Medicine in Veterinary Hematology and
Clinical Chemistry. Wiley-Blackwell pub. USA. Pp: 3-7.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
62
PEMURNIAN BENIH LEGUMINOSA PAKAN KALOPO (Calopogonium mucunoides)
Achmad Fanindi, I.Herdiawan, E. Sutedi, Sajimin, dan B.R. Prawiradiputra
Balai Penelitian Ternak Ciawi
Email: [email protected]
ABSTRAK
Perbanyakan benih leguminosa pakan yang dapat juga berfungsi sebagai tanaman penutup tanah
diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan bagi petani dan memberikan konstribusi bagi
sektor perkebunan. Tahapan awal untuk penelitian benih Kalopo adalah pemurniaan benih, yang
bertujuan untuk menghasilkan benih-benih yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai benih
sumber. Penelitian dilakukan di lahan Kebun percobaan Balitnak di Kaum Pandak (Bogor). Jumlah
petak yang digunakan adalah 36 petak, masing-masing berukuran 2x5 m2. Benih Kalopo yang
digunakan adalah hasil seleksi atau sortasi benih hasil panen tahun sebelumnya, yang akan
dimurnikan. Sortasi dilakukan di laboratorium Agrostologi di Ciawi. Benih yang dipilih untuk
ditanam di lapangan adalah benih yang berwarna kuning dan berukuran besar (berat 100 biji > 1,6 g).
Panen dilakukan selama lima kali dengan interval 2-3 minggu. Selanjutnya dilakukan seleksi biji yang
dihasilkan berdasarkan ukuran, warna, kekeriputan kulit dan tanda-tanda lain yang kasat mata. Peubah
lain yang diamati adalah produksi biji, waktu berbunga dan waktu terbentuknya polong. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa umur tanaman 5 minggu setelah tanam (MST), sekitar 50 % dari
populasi tanaman di semua petak yang diamati sudah mulai berbunga. Sedangkan pada Umur
tanaman 6 MST, persentase populasi yang berbunga sudah mencapai 80%. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa pada minggu ke-7 hampir 50% tanaman kalopo sudah membentuk polong, dan
pada minggu ke 8 polong yang terbentuk sudah meningkat hingga mencapai 70%. Hasil pemurnian
yang dilakukan menunjukkan bahwa daya hasil biji di setiap petak bervariasi dari 196,5 g per petak
sampai 544 g per petak. Produksi biji tertinggi terjadi pada panen ke 3, yaitu 6,4 kg sedangkan
terendah adalah pada panen ke 5 yaitu 378 gr. Total produksi benih panen 1-5 adalah 11,8 Kg. Hasil
pemurniaan benih menunjukkan bahwa hasil produksi biji berwarna kuning, yang menjadi sasaran
pemurnian meningkat sekitar 9%, yaitu dari 33% menjadi 42%. Penelitian selanjutnya diharapkan
dapat meningkatkan prosentase pemurnian benih yang diharapkan.
Kata Kunci : pemurnian, leguminosa, Kalopo
PENDAHULUAN
Dilihat dari segi bisnis, usaha untuk menghasilkan benih tanaman pakan ternak dan tanaman penutup
tanah ini mempunyai peluang yang sangat besar. Menurut Karyudi dan Siagian (2006), luas
perkebunan karet (tidak termasuk karet rakyat) yang memerlukan tanaman penutup tanah adalah
sekitar 500 ribu hektar. Dari luas itu setiap tahun kurang lebih 56.000 ha diremajakan yang berarti
memerlukan tanaman penutup tanah (Azmi dan Gunawan, 2005). Beaya yang dibutuhkan untuk
tanaman penutup tanah di Sumatera Utara menurut Karyudi dan Siagian (2005) berkisar antara Rp.
500 ribu sampai Rp. 1 juta per hektare tanaman.
Perbanyakan benih leguminosa pakan yang dapat juga berfungsi sebagai tanaman penutup tanah
diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan bagi petani secara signifikan selain memberikan
kontribusi terhadap sub sektor perkebunan, karena dengan adanya penangkar benih leguminosa penutup
tanah kebutuhan penutup tanah bisa dipenuhi dari dalam negeri, tidak perlu impor.
Salah satu masalah yang biasa dihadapi peternak (khususnya peternak ruminansia) adalah rendahnya
kualitas hijauan pakan (Devendra, 1990). Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan peternak untuk
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
63
memberikan konsentrat bermutu tinggi kepada ternaknya (Prawiradiputra dan Purwantari, 1996).
Dengan penghasilan dari usahatani yang rendah peternak biasanya tidak mampu membeli konsentrat
yang harganya cukup tinggi.
Diperlukan upaya untuk memperkenalkan hijauan pakan yang kandungan nutrisinya cukup tinggi
seperti halnya leguminosa (Humphreys, 1980; Prawiradiputra et al., 2006).
Beberapa jenis leguminosa sudah dikenal luas oleh peternak, seperti lamtoro dan gamal, ada juga
jenis-jenis yang sudah diketahui tetapi belum banyak dimanfaatkan seperti misalnya kaliandra (’t
Mannetje and Jones, 1992), namun sebagian besar leguminosa belum dikenal oleh peternak. Di antara
yang sudah dikenal peternak namun perlu lebih dimasyarakatkan lagi adalah Calopogonium
mucunoides (kalopo) (Fanindi dan Prawiradiputra, 2005). Leguminosa ini merupakan leguminosa
herba yang dapat juga dimanfaatkan sebagai penutup tanah atau pupuk hijau di perkebunan-
perkebunan seperti perkebunan karet dan kelapa sawit (Azwar, 2005; Karyudi dan Siagian, 2005).
Sampai saat ini sebagian besar kebutuhan benih kedua jenis leguminosa untuk penutup tanah tersebut
masih dipasok dari luar negeri, seperti dari Australia dengan harga yang sangat tinggi. Menurut Karyudi
dan Siagian (2005), pasokan dari dalam negeri semakin berkurang disamping mutu yang tidak terjamin
dan sering tidak tepat waktu, padahal Indonesia mempunyai potensi yang selama ini terabaikan untuk
memperbanyak benih leguminosa pakan ternak sekaligus sebagai penutup tanah ini. Menurut Abdullah
et al. (2005), sudah waktunya kita mengubah paradigma hijauan pakan ternak menjadi komoditas
komersial sehingga bisa meningkatkan penghasilan petani.
Perbanyakan benih leguminosa pakan yang dapat juga berfungsi sebagai tanaman penutup tanah
diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan bagi petani secara signifikan selain memberikan
kontribusi terhadap sub sektor perkebunan, karena dengan adanya penangkar benih leguminosa penutup
tanah kebutuhan penutup tanah bisa dipenuhi dari dalam negeri, tidak perlu impor. Tahapan awal untuk
penelitian produksi benih Kalopo adalah pemurniaan benih, yang bertujuan untuk menghasilkan benih-
benih yang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai benih sumber.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di lahan Kebun percobaan Balitnak di Kaum Pandak (Bogor). Jumlah petak yang
digunakan adalah 36 petak, masing-masing berukuran 2x5 m2. Benih Kalopo yang digunakan adalah
hasil seleksi atau sortasi benih hasil panen tahun sebelumnya, yang akan dimurnikan. Sortasi
dilakukan di laboratorium Agrostologi di Ciawi. Benih yang dipilih untuk ditanam di lapangan adalah
benih yang berwarna kuning dan berukuran besar (berat 100 biji > 1,6 g). Selanjutnya benih yang
terpilih disemaikan di dalam polybag dan disimpan di persemaian yang ternaungi. Media yang
digunakan di polybag adalah tanah yang sudah diayak dicampur dengan kompos halus (fine compost).
Setelah satu bulan, tanaman di persemaian yang morfologinya relatif seragam ditanam di lapangan.
Pemanenan biji dilakukan pada saat kulit polongnya sudah berwarna hijau kecoklatan atau terlihat
tanda-tanda akan pecah. Panen dilakukan selama lima kali dengan interval 2-3 minggu. Selanjutnya
dilakukan seleksi biji yang dihasilkan berdasarkan ukuran, warna, kekeriputan kulit dan tanda-tanda
lain yang kasat mata. Peubah lain yang diamati adalah produksi biji, waktu berbunga dan waktu
terbentuknya polong.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
64
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Umur berbunga
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 5 minggu setelah tanam sekitar 50 % dari populasi tanaman di
semua petak yang diamati sudah mulai berbunga. Pengamatan pada 6 minggu setelah tanam,
persentase populasi yang berbunga sudah mencapai 80%. Dengan demikan umur mulai berbunga
tanaman kalopo lebih cepat dibandingkan pada tahun sebelumnya. Kalopo pada tahun sebelumnya,
pada minggu ke-5 jumlah tanaman yang berbunga 47,8% dan pada minggu ke-6 75,8%. Namun
perbedaan ini tidak begitu nyata dan masih sesuai dengan yang dikemukakan oleh t’Mannetje dan
Jones (1992) dan Humphrey (1981) yang menyatakan bahwa di daerah tropis umur mulai berbunga
dari kalopo adalah sekitar 5 dan 6 minggu.
2. Umur pembentukan polong
Pengamatan pembentukan polong dilakukan pada minggu ke-7 dan ke-8. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa pada minggu ke-7 hampir 50% tanaman kalopo sudah membentuk polong, dan
pada minggu ke 8 polong yang terbentuk sudah meningkat hingga mencapai 70%. Dibandingkan
dengan hasil tahun sebelumnya, juga hampir sama dimana pada minggu ke-7, polong yang terbentuk
mencapai 49,2% dan pada minggu ke-8 72,7%. Kemampuan tanaman membentuk polong ini
berpengaruh terhadap produktivitas tanaman di dalam menghasilkan biji.
3. Produksi biji di lapangan
Hasil pemurnian yang dilakukan menunjukkan bahwa daya hasil biji di setiap petak bervariasi dari
196,5 g per petak sampai 544 g per petak. Pada Tabel 2 dan Gambar 1 terlihat bahwa produksi biji
tertinggi terjadi pada panen ke 3.
Hasil Sortasi berdasarkan warna
Tabel 1. Hasil sortasi berdasarkan warna biji.
No. Warna biji
Jumlah (%)
Selisih (%) Hasil tahun ini
(2008)
Hasil tahun
sebelumnya
1. Kuning 42,33 33,06 + 28,04
2. Coklat 30,42 32,36 - 6,00
3. Hitam 25,47 34,58 - 26,34
4. Hampa 1.78 -
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
65
Dibandingkan dengan pada tahun sebelumnya (2007), terlihat bahwa biji berwarna kuning yang
menjadi sasaran pemurnian meningkat sekitar 9%, yaitu dari 33% menjadi 42%, walaupun masih di
bawah 50%. Diharapkan hasil seleksi dan pemurnian pada tahun berikutnya prosentase peningkatan
benih kuning besar akan terus meningkat.
Tabel 2. Bobot biji bersih kalopo di Kaum Pandak (2008)
Bobot biji bersih Calopogonium mucunoides (g/petak)
No Petak
Panen ke
I II III IV V Jumlah
28 Agu 16-Sep 13 Okt 4-Nov 18-Nov
1 7.8 21 247 73 0 348.8
2 8.52 56 125 37 10 236.52
3 5.59 48 149 116 20 338.59
4 7.36 74 115 47 4 247.36
5 7.39 135 300 59 11 512.39
6 7.3 118 195 69 14 403.3
7 0 87 195 57 11 350
8 9.76 74 194 78 25 380.76
9 3.57 49 144 32 28 256.57
10 8.62 71 173 53 15 320.62
11 0 34 249 7 4 294
12 3.16 84 267 97 15 466.16
13 9.63 85 90 38 0 222.63
14 12.98 25 286 9 23 355.98
15 3.93 48 361 106 26 544.93
16 51.56 216 82 146 15 510.56
17 5.44 86 156 13 4 264.44
18 4.55 35 264 20 15 338.55
19 2.1 40 145 65 14 266.1
20 15.29 161 152 31 0 359.29
21 16.5 78 92 10 0 196.5
22 58.22 147 51 15 0 271.22
23 53.69 209 61 9 3 335.69
24 25.15 163 121 9 8 326.15
25 7.84 83 184 37 11 322.84
26 31.99 39 231 46 13 360.99
27 12.51 43 165 37 0 257.51
28 7.93 82 159 10 7 265.93
29 3.21 55 173 17 6 254.21
30 0 70 251 37 15 373
31 20.56 112 339 16 8 495.56
32 39.01 164 121 20 0 344.01
33 9.2 30 53 70 36 198.2
34 15.68 36 220 63 0 334.68
35 0 75 183 19 6 283
36 21.4 80 115 16 11 243.4
Jumlah 497,44 3.013 6.408 1.584 378 11.880,44
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
66
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Biji kalopo (Calopogonium mucunoides) yang ditanam dari benih hasil seleksi tahun 2007 masih
menghasilkan tiga warna biji, yaitu kuning, coklat dan hitam. Namun ukuranya sudah hampir
seragam.
b. Biji yang berwarna kuning merupakan biji yang dominan yaitu sekitar 42%, dibandingkan dengan
biji berwarna coklat dan hitam. Sedangkan biji yang berwarna coklat tidak begitu berbeda dengan
benih yang berwarna hitam.
c. Kegiatan ini memiliki prospek yang sangat baik. Untuk itu diperlukan dukungan yang kuat dari
berbagai pihak. Salah satu dukungan yang penting dan konkrit adalah penyediaan lahan yang
cukup luas untuk perbanyakan benih sebelum benih dilepas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, L., Panca Dewi M.H. Karti dan S. Hardjosoewignjo. 2005. Reposisi tanaman pakan dalam
kurikulum Fakultas Peternakan. Dalam Subandriyo et al. (eds). Prosiding Lokakarya Nasional
Tanaman Pakan Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang
Pertanian.
Azmi dan Gunawan. 2005. Potensi hijauan pakan lahan perkebunan untuk pengembangan sapi potong
di Bengkulu. Dalam Subandriyo et al. (eds). Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan
Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian.
Azwar, R. 2005. Peran tanaman pakan ternak sebagai tanaman konservasi dan penutup tanah di
perkebunan. Dalam Subandriyo et al. (eds). Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan
Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian.
Devendra, C. 1990. Feed resources development and utilization in crop-animal system in the Asian
region. Paper presented at the 3rd Crop-Animal Farming Systems Workshop. Dhaka,
Bangladesh.
Fanindi, A. dan B.R. Prawiradiputra. 2005. Karakteristik dan pemanfaatan kalopo (Callopogonium
sp.). Dalam Subandriyo et al. (eds). Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian.
Humphreys, L.R. 1980. A Guide to Better Pastures for the Tropics and Subtropics. 4th edition. Wright
Steplenson & Co. (Australia) Pty. Ltd.
Jayadi, S. 1991. Hijauan Makanan Ternak Tropika. Institut Pertanian Bogor
Karyudi dan N. Siagian. 2005. Peluang dan kendala dalam pengusahaan tanaman penutup tanah di
perkebunan karet. Dalam Subandriyo et al. (eds). Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman
Pakan Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Litbang Pertanian.
‘tMannetje, L. and R.M. Jones (eds), 1992. Plant Resources of South-East Asia. No. 4. Forages.
Prosea, Bogor, Indonesia
Prawiradiputra, B.R. dan N.D. Purwantari. 1996. Pengembangan potensi sumberdaya hijauan pakan
untuk menunjang produktivitas ternak di Indonesia. Dalam Hastiono et al. (eds). Proc. Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan
Litbang Pertanian.
Prawiradiputra, B.R., Sajimin dan Jan R. Hidayat. 2007. Pemurnian benih leguminosa pakan Pueraria
javanica dan Calopogonium mucunoides. Laporan Penelitian Internal Balai Penelitian Ternak
TA 2007. Belum diterbitkan.
Skerman , P.J. 1977. Tropical Forage Legumes. Food and Agriculture, United Nation
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
67
KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK, KADAR VFA DAN AMONIA
SILASE PAKAN KOMPLIT SECARA IN VITRO
Suparwi, Munasik dan Muhamad Samsi
Fakultas Peternakan Unsoed
Email: [email protected],
ABSTRACT.
Study on in vitro total mixed ration (TMR) silage was conducted from 10th Maret up to 20th Juni 2015
was conducted in Animal Nutrition Laboratory Faculty of Animal Science Unsoed. The aim of this
study are to evaluated the Dry Matter, Organic Matter Degradabilit, VFA and NH3 level of TMR
silage. Five types of treatments which P1 = concentrate 26% + molasses 1,50% + urea 0,50% + salt
0,50% + mineral mix 1,50% + elephant grass 70%; P2 = consentrate 36% + molasses 1,50% + urea
0,50% + salt 0,50% + mineral mix 1,50% + elephant grass 60%; P3 = concentrate 46% + molasses
1,50% + urea 0,50% + salt 0,50% + mineral mix 1,50% + elephant grass 50%; P4 = concentrate
56% + molasses 1,50% + urea0,50% + salt 0,50% + mineral mix 1,50% + elephant grass 40%; P5 =
concentrate 66% + molasses 1,50%% + urea 0,50% + salt 0,50% + mineral mix 1,50% + elephant
grass 30% are place in 20 fermentor tubes. Completely Randomized Design followed by orthogonal
poynomial test was used to analyzed the data. This study show that crude protein 13,14% - 16,57%
and crude fiber 33,10 -16,57%. In vitro: DMD 68.78 – 79,90%, OMD 68,86 – 81.53%, ammonia
11.55 – 17.30 mM and Total VFA 82 – 136.5 mM.
Keywords: TMR, DMD, OMD, amonia, VFA.
PENDAHULUAN
Pemberian pakan yang ekonomis, efisien dan efektif sangat diharapkan oleh para peternak. Di
Amerika Serikat, penggunaan pakan komplit (Total Mix Ration = TMR) sudah terbukti manfaatnya
bagi usaha peternakan sapi perah, sapi potong, domba perah dan domba potong. Pemberian pakan
konsentrat 90% ditambah pakan hijauan 10% pada sapi potong yang digemukkan seringkali
menimbulkan kembung perut (bloat) dan biaya pakan sangat mahal. Berarti biaya tinggi dan
fisiologis rendah. Sebaliknya pakan konsentrat hanya 10% dan pakan hijauan 90%, biaya pakan
murah, tetapi kinerja ternak ruminansia sangat rendah, berarti ekonomis, tetapi fisiologis rendah.
Pemberian pakan konsentrat, beberapa saat diberi pakan hijauan menimbulkan permasalahan, yaitu
cairan rumen bersifat asam (pH isi rumen turun, kurang dari 6), banyak mikroba yang mati,
akibatnya kinerja ternak ruminansia menurun. Untuk menjawab masalah tersebut, perlu menciptakan
kondisi mantap pada usaha ternak ruminansia khususnya pada domba lokal jantan, yaitu pemberian
silase pakan komplit (SPK) yang dapat meningkatkan kinerja domba lokal jantan. Pakan berupa
SPK sangat efisien, efektif dan manfaatnya tinggi bagi domba dan peternak. Efisien dan efektif bagi
peternak, karena membuat SPK cukup ngarit satu kali untuk kecukupan pakan selama satu bulan.
Manfaat bagi domba, SPK sangat disukai karena harum, nutrisinya lengkap, tidak menimbulkan
kembung perut dan cepat tumbuh. Demplot pakan komplit telah dilakukan oleh Suparwi dan Sri
Utami (2010) di Tegal, 2012 di Purbalingga, 2013 di Banyumas, dan 2015 di Purbalingga.
Palatabilitasnya sangat tinggi, karena harum, kadar protein kasar 13,50%.
Silase pakan komplit merupakan ransum tunggal yang sangat baik karena terjadi sinkronisasi nutrien.
Keseimbangan antara kebutuhan karbohidrat dan protein dapat tercapai dan sangat baik. Pemberian
pakan 3 – 4 kali per hari lebih baik, karena dapat mencegah terjadinya asidosis. Imbangan antara
hijauan dan konsentrat berdasarkan bahan kering 50:50 memberikan pengaruh yang paling baik
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
68
terhadap kinerja sapi perah laktasi. Imbangan BK 60: 40 atau 40 : 60 tidak berpengaruh nyata
terhadap kinerja sapi perah laktasi karena kecernaan ransum masih cukup tinggi ( Snowdon, 1991).
Kisaran kadar serat kasar yang dicerminkan dari ADF 19-21% dan NDF antara 25- 28% bahan
kering ransum ( Kung, 2007).
Total Mixed Ration digunakan secara luas di Amerika Serikat dan silase pakan komplit merupakan
pilihan tepat, ekonomis, tidak menimbulkan Sub-Acute Ruminal Acidoses (SARA), sehingga dapat
menaikkan performans ternak ruminansia, termasuk domba (Snowdon, 1991). Terjadinya asidosis
pada ruminansia akibat dari perubahan yang cepat pemberian pakan hijauan ke pakan konsentrat.
Apabila pakan hijauan dicampur dengan konsentrat tidak menyebabkan terjadinya asidosis di dalam
retikulo rumen (Norlund, 2003).
METODE PENELITIAN
Uji In Vitro untuk mengetahui Kecernaan Bahan Kering (KBK), Kecernaan Bahan Organik (KBO)
menurut metode Telley dan Terry (1963), Kadar VFA total, dan kadar amonia menggunakan metode
Mikrodifusi Conwey. Perlakuannya sebagai berikut:
P1 = konsentrat 26% + tetes 1,50% + urea 0,50% + garam 0,50% + mineral mix 1,50% + rumput
gajah 70%; P2 = konsentrat 36% + tetes 1,50% + urea 0,50% + garam 0,50% + mineral mix 1,50% +
rumput gajah 60%; P3 = Konsentrat 46% + tetes 1,50% + urea 0,50% + garam 0,50% + mineral mix
1,50% + rumput gajah 50%; P4 = konsentrat 56% + tetes 1,50% + 0,50% + garam 0,50% + mineral
mix 1,50% + rumput gajah 40%; P5 = konsentrat 66% + tetes 1,50%% + urea 0,50% + garam 0,50%
+ mineral mix 1,50% + rumput gajah 30%. Susunan pakan konsentrat terdiri atas tepung kedele
afkir 5, bran pollard 25, bungkil kelapa 25, onggok 28, dedak padi 15, mineral 2%. Berdasarkan hasil
analisis proksimat, bahan kering 78,09%, protein kasar 15,27%, dan energi (TDN) 76,20%.
Penelitian menggunakan 20 tabung fermentor dan inokulum dari cairan rumen domba untuk
menguji 5 macam silase pakan komplit: P1, P2, P3, P4 dan P5. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Steel dan Torrie, 1989), 5 macam silase pakan
komplit sebagai perlakuan, dengan 4 ulangan.
Silase pakan komplit setelah 21 hari diambil sampel 1 kg setiap drum untuk analisis proksimat dan in
vitro. Peubah yang diukur adalah KBK, KBO, kadar amonia dan VFA total. Data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA). Untuk membandingkan pengaruh taraf
konsentrat dan hijauan dalam silase pakan komplit menggunakan Uji Orthogonal Polinomial.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rataan kecernaan bahan kering, bahan organik, kadar amonia dan VFA total disajikan pada tabel1.
Tabel 1. Rataan kecernaan bahan kering, bahan organik, amonia dan VFA total
Perlakuan KBK,% KBO,% NH3 mM VFA mM
P1 68,78a 68,86a 11,55a 82a
P2 71,08b 70,84b 13,48b 98,8b
P3 71,86c 75,99c 13,98c 114,3c
P4 71,91d 77,17d 16,0d 120,8d
P5 79,90e 81,53e 17,3e 136,5e
Superskrip dalam kolom yang sama berbeda nyata (P<0,05).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
69
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kadar amonia
dan VFA total antar perlakuan berbeda nyata (P<0,05). Semakin tinggi persentase konsentrat
semakin tinggi pula kecernaan dan kadar amonia dan VFA total. Kadar konsentrat 30% dengan
hijauan 70% masih mampu menghasilkan kecernaan bahan kering 68,78%. Pakan dikatakan baik
apabila kecernaannya minimum 60%. Nilai kecernaan tersebut sangat mendukung pertumbuhan
mikroba rumen dan performans ternak ruminansia. Kecernaan bahan kering dan bahan organik
mempunayai hubungan yang erat, karena nutrien yang terkandung di dalam bahan organik ada pula
di dalam bahan kering. Bahan organik merupakan komponen yang paing banyak di dalam bahan
kering. Ranjhan (1981) menyatakan bahwa bahan pakan yang kadar nutriennya sama memungkinkan
kecernaan bahan organik mengikuti kecernaan bahan keringnya.
Kecernaan bahan kering mengikuti persamaan garis regresi: Y = 31,766625 + 0,6336875 X (r2 =
84,74%). Kecernaan bahan organik paling rendah 68,86%, mengikuti persamaan garis regresi: Y =
10,6209 + 0,491425 X (r2 = 64,19%).
Hasil penelitian untuk kadar amonia berkisar antara 11,55 – 17,30 mM. Kadar amonia tersebut cukup
untuk mendukung pertumbuhan mikroba rumen dan sintesis protein mikroba. Secara normal
konsentrasi amonia di dalam cairan rumen antara 4 – 12 mM (rataan 8 mM). Konsentrasi amonia
yang lebih dari 30 mM akan mengakibatkan konsentrasi amonia darah meningkat dan gejala
keracunan dapat terjadi apabila kadar amonia darah mencapai 0,5 mg/100 ml (Hungate, 1966).
Konsentrasi amonia hasil penelitian in vitro mengikuti persamaan garis regresi; Y = 8,15 + 0,109 X
(r2 = 28,59%). Sedangkan kadar VFA total berkisar antara 82,0 – 136,5 mM. Konsentrasi VFA total
dalam cairan rumen untuk mendukung pertumbuhan mikroba rumen adalah 80 -160 mM (rataan 120
mM). Hasil penelitian ini sangat baik, karena rataan VFA total 110,5 mM, masih mampu untuk
memdukung pertumbuhan mikroba dan proses sintesis protein mikroba. Konsentrasi VFA total
mengikuti persamaan garis regresi Y = 44,95 + 1,31 X (r2 = 93,79%).
KESIMPULAN
Imbangan pakan konsentrat dan hijauan dalam silase pakan komplit mulai dari komposisi konsentrat
30% + hijauan 70% sampai dengan konsentrat 70% + hijauan 30% dapat menghasilkan rataan
kecernaan bahan kering 72,71%, rataan kecernaan bahan organik 74,88%, rataan kadar amonia 14,46
mM dan rataan kadar VFA total 110,5 mM, dapat mendukung pertumbuhan mikroba rumen dan
performans domba lokal jantan maupun ternak ruminansia yang lain.
UCAPAN TERIMA KASIH
Atas pelaksanaan penelitian, peneliti mengucapkan terima kasih kepada Direktur Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat Ditjen Dikti yang telah memberi dana untuk penelitian hibah bersaing
tahun I ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hungate, R.E. 1966. The Rumen and Its Microbes. Academic Press, New York.
Kung, L. 2007. The Role of Fiber in Ruminant ration Formulation. http://ag.udel.edu/anfs/faculty
/kung/articles_of_fiber_in ruminant_ration.htm. diakses tanggal 26 Nopember 2012.
Norlund, K. 2003. Factors that Contribute to Subacute Ruminal Acidosis. University of Wisconsin,
School of Veterinary Medicine, 2015 Linden Drive, Madison, WI 53706.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
70
Ranjhan, J.K. 1981. Animal Nutrition in Tropic. Second Edition. Vicas Publishing House PVT Ltd,
New Delhi.
Snowdon, M. 1991. Livestock Nutrition. http://www.gnb.ca/0170/01700007-e.asp. diakses tanggal 25
Januari 2011.
Suparwi dan S. Utami. 2010. Teknologi Complete Feed untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak
Kambing di Kelompok Peternak Mugi Rahayu, Tegal. Laporan PKM Fakultas Peternakan
Unsoed, Purwokerto.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
71
PENAMPILAN ALFALFA (Medicago sativa) DEFOLIASI PERTAMA PADA JARAK
TANAM DAN UMUR DEFOLIASI YANG BERBEDA
Suwarno, Eko Hendarto, Nur Hidayat, Bahrun, Anisa Dewi Wardani Putri dan Taufik Hidayat
Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.
ABSTRACT
Forage, the main feedstuff for ruminants, includes grasses and legumes, browses, and side products of
food crops. However, legumes generally have greater crude protein content relative to other species
of forage plants. One of the species of legumes is alfalfa (Medicago sativa), a perennial crop that can
grow from the tropics up to sub tropics. In spite of its excellent nutrient content, In Indonesia alfalfa
is still not widely explored and used for feedstuff. A study was conducted to explore and evaluate
``alfalfa performances in terms of the height, number of tillers, dry matter (DM) and crude protein
(CP) productions under the effects of different plant densities and ages of defoliation”. The height of
the location of study was 200 m above sea level with an average temperature of 270 C. The results
showed that the ranges of the height of alfalfa, the numbers of tillers, DM and CP productions were
33.31-56.32 cm, 36.38-82.36 tillers/bunch, 556.9-1018.9 kg/ha/defoliation, and 149.75 – 291.79
kg/ha/defoliation, respectively. In general, the ages of plant at the time of defoliation and plant
distances affected (P<0.05) the variables being studied. The older plants resulted in greater DM and
CP yields, and more densely plantation resulted in greater DM and CP yields.
Keywords: alfalfa, plant density, defoliation age.
INTRODUCTION
Alfalfa (Medicago sativa L.) is grown both in temperate and subtropical regions. Although on the
global basis Alfalfa has been widely used for forage (Walton, 1983). In Indonesia, the biological
characteristics, distribution, exploration, and usage as feedstuff of this forage plant is not yet deeply
understood. According to Walton (1983), the center of origin of this forage plant is in Iran,
Transcaucasia, and Asia Minor, on where area Alfalfa has evolved to withstand the cold winters and
hot, dry summers. The common alfalfa (temperate tolerant) has a blue to purple-colored flowers,
relative to M. falcata, a cold-tolerant, that has yellow-colored flowers, has been widely known and has
been named “the queen of forages” (Walton,1983), and can be used for grazing, silage, or for hay
(Cheeke,1999).
Alfalfa may not grow well in acidic soils, presumably because the specific Rhizobia in alfalfa root
nodules are sensitive to pH values below 6.5 Walton, 1983). The root can penetrate the soil up to 3 to
6 m, therefore, alfalfa can relatively survive on dry lands. The part of the taproot just below the crown
forms a thick, fleshy storage region for carbohydrate material. The plant grows upright that may
reach 1 to 3 m height. There are over 100 alfalfa cultivars in common use, each of which having their
areas of adaptation, for instance, Vangard is adapted to live in south eastern US, Rambler, Roamer,
Dry lander, Titan are winter hardy, and Granda is disease and insect resistant, however, these cultivars
are not flooding tolerant. Crown root, a bacterial and fungal disease, makes a substantial contribution
to winterkill of alfalfa (Walton, 1983). Hanson et al., (1988) said, alfalfa is a perennial plant with a
high capacity of production and high forage nutrient content, 49.31 tons of DM/ha/y, and 26.6 % CP
content, respectively. Alfalfa is able to gain fast re growth after defoliation (Dhont et al.,2006).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
72
The ideal temperature for the growth of alfalfa is 27O C, however, in Alaska alfalfa can be adapted to
less than 25O C. (Frame, 1998). The defoliation of alfalfa can be conducted at the plant age of 28
days in the US (Habben and Folenec (1990), and 21 days in tropical regions (BBPTU or the Center
for the Breeding of Excellent Livestock), Baturraden, Central Java.
One of the factors that may affect the growth and production of alfalfa is management, including
planting distance and ages of defoliation. On the slope areas, sandy soils, and less fertile lands, it is
wise to plant alfalfa in a greater density in order to minimize soil erosion and maximize land use,
respectively. However, very high plant density may cause severe competition for alfalfa to obtain soil
minerals and sunlight, and greater possibility to contaminate plant disease from one to other plants.
Another factor that affects alfalfa production is the age of plant at the time of defoliation. Too old
plant at defoliation may product the highest dry matter, however, the nutrient content and feed quality
of the forage may suffer (Frame, 1998). On the contrary, too young age at the time of defoliation may
cause the least dry matter production and carbohydrate reserves for the re growth of alfalfa
(Undersander et al., 1997). Therefore, some studies are required to evaluate the performance of
alfalfa under various plant densities and ages of plant at the time of defoliation.
Some experiments indicated that alfalfa has been studied in terms of its growth and production under
the effects of various plant densities and the ages of plant at the time of defoliation, however, the
results are not conclusive. The density of alfalfa that was planted in Canada ranged from 11-172
holes of plants/m2 (Manitoba Agriculture, 1987). In Madison, USA, alfalfas that were planted at a
distance of (50 x 50) cm2 or 4 holes/m2, resulted in a fresh yield of 80 kg/ ha/defoliation (Shakra et
al., 1969), approximately 16 kg DM/ha/defoliation.
This study was conducted to evaluate the effect of alfalfa density and age of alfalfa at the time of
defoliation on the number of tillers and height of alfalfa.
MATERIALS AND METHOD
The materials of this study were alfalfa seeds, 5 seeds/hole, SP-36 fertilizer, 2.16 kg, urea as much as
2.7 kg, and 270 m2 area of land that was divided into 27 paddocks of 10 m2 each. The implements of
this study consisted of shovel, skits, meter roll, thermometer, soil tester, and oven.
The used design was nested (Montgomery, 1991), as followed:
The first factor as the group consisted of:
J1: ( 10x 20) cm2 planting distance or 50 holes of plantation/m2, (500,000 holes/ha)
J2: (15 x 20) cm2 planting distance or 33 holes of plantation/m2, (330,000 holes/ha)
J3: (20 x 20) cm2 planting distance or 25 holes of plantation/m2, (250,000holes/ha)
The second factor as sub-group, namely
D1: 21-day old alfalfa at the time of defoliation, (17 defoliations / year)
D2: 28-day old alfalfa at the time of defoliation, (13 defoliations / year)
D3: 35-day old alfalfa at the time of defoliation, (10 defoliations / year).
The measured variables were the number of tillers, height of plant, dry matter (DM) and crude protein
(CP) productions of alfalfa.
The study was conducted from10th of June until 25th of September 2008, in BPPTU Baturraden. Land
for cultivation as width as 400 m2 was divided in to 27 plots of 10m2 each and were fertilized with
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
73
organic fertilizer (Alvinas), 7 days before seed cultivation as much as 2.5 tons/ha/defoliation. Alfalfa
seeds were planted as many as 5 seeds /hole, and fertilized with urea as much as 100 kg /ha /
defoliation, 14-day post-planting. There were only 3 plants / hole for all experimental units that were
used for analysis and observations.
RESULTS AND DISCUSSION
The height of the study location was 758 m above the sea level, the soil was categorized as andosol
with the content of 0.75% total N, 88.26% available P, 0.35% total P, and 0.09% total potassium, with
an average pH of 6.6 and the moisture range of 62-74 % and an average soil moisture of 73.7%. The
temperature at the site of study location ranged from 23OC up to 30OC with an average weekly basis
of 25.5OC. The yearly water fall (rain intensity) at the site of study was 2000 mm. This kind of soil
and climatic condition is still favorable for alfalfa growth and adaptation (Frame, 1998).
b. The performances of alfalfa under different plant density and the age of plant at defoliation.
The means of heights, the number of tillers, an dry matter production of alfalfa under the effect of
plant densities and the ages of plant at the time of defoliation was shown in table. Table 1 indicated
that the range of height of alfalfa in this study was 38.05 cm to 54.94 cm, the number of tillers was
14.05 up to 24.33/bunch, DM production was (556.88 – 1018.85) kg/ha/defoliation, and CP
production was 149.75 up to 291.79 kg/ha/defoliation.
Table 1. The means of alfalfa heights, the number of tillers, dry matter and crude protein productions
of alfalfa under various plant densities and age of plant at defoliation.
Variable Age of plant at defoliation(D) Plant density
D1 D2 D3 J1 J2 J3
Height (cm) 38.05a 49.07b 54.94c 49.76 47.31 44.99
Number of tillers 14.05a 20.75b 24.50c 17.30 19.68 22.32
Dry matter yield (kg/ha/defol.) 556.88a 867.69b 1018.85c 1011.42a 773.66b 658.35c
Crude protein content (% DM) 26.89 27.58 26.78 28.85 26.04 26.35
Crude protein production,
kg/ha/defol
149.75a
239.31b
272.85bc
291.79a
201.46b
173.48c
Notes: Ages of plant at defoliation: means at the same row with different super scrip, differ (P
<0.05). Plant density: means at the same row with different super scrip, differ (P <0.05).
In general, the older the alfalfa at the time of defoliation, the greater the height, number of tillers, DM
and CP yields (P < 0.05). In case of plant density, less densely plants resulted in the tendencies to
decrease the height and increase the number of tiller, and decreased significantly (P< 0.5) DM and CP
productions. On yearly basis, when alfalfa was defoliated at 21-d old, 28-d, and 35-d, the means of
DM productions were assumed to be 9466.96 kg, 11279.97 kg, and 10188.50 kg, respectively, which
were still in the range reported by Manitoba Agriculture (1987), that yearly DM yield of alfalfa was
approximately 12000 kg. The means of height of alfalfa were shown in figure 1. Similarly, the means
of yearly CP productions of various ages of alfalfa at 21-d, 28-d, and 35-d were assumed to be
2595.67, 3111.03, and 2728.50 kg/ha, respectively.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
74
Figure 1. The means of alfalfa height (cm) under the effects of various ages of plant at defoliation
(D1, D2, D3) and plant density (J1, J2, J3).
The means of the number of tillers of alfalfa were shown in figure 2.
Figure 2. The means of the number of tillers of alfalfa under the effects of various age of
plant at defoliation ( D1, D2,D3), and plant density (J1,J2,J3).
The results of DM and CP yields in this study were approximately (75 – 50) % lower relative to those
of Caddel et al.,(2006) 4.5 tons of DM/ha/defoliation, and Hanson et al.,(1988), 4.9 tons of
DM/ha/defoliation, presumably because their alfalfa stands were much older than those in this study
and had been defoliated several times, meanwhile alfalfa stands in this study were still young and only
experienced first defoliation. The older the plants at the time of defoliation, the greater the DM and
CP productions.
CONCLUSIONS
The results of the study conclude, alfalfa that was planted in the area with the climate and soil
conditions similar to the location in this study, (1) the decrease of plant density from 50 bunches/1 m2
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
75
(500,000 bunches/ha) down to 25 bunches/ 1m2 (250,000 bunches/ha) tended to decrease the height
of alfalfa and increase the number of tillers, (2) on defoliation basis, the older the alfalfa from 21-d up
to 35-d at the time of defoliation, the higher DM and CP productions, (3) more densely populated
alfalfa yields greater DM and CP, and (4) on yearly basis, it is assumed that alfalfa achieves the
highest DM and CP production when it is defoliated at the age of 28 days, with plant density of
500,000 bunches/ha or at plant spacing of (10 x 20) cm2.
Acknowledgment: The authors would like to appreciate the BPPTU Baturraden for its generosity to
lend the grassland and alfalfa seeds for this study.
LIST OF REFERENCES Cheeke, P. R., 1999. Applied animal nutrition. Pp. 158-160. Prentice Hall, Upper Saddle River,
New Jersey, USA.
Frame, J., 1998. Medicago sativa L. Food and Agriculture Organization,UNO. PurdueUniversity.
http:/www.fao.org/ag/AGP/AGPC/doc/GBASE//data/htm.
Habben, J., and J. Folenec, 1990. Starch grain distribution in taproots of defoliated Medicago
sativa.Department of Agronomy, Purdue University, West Lafayette, Indiana, USA.
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi.
Hanson, A.A., D. K. Barnes, and R. R.Hill, Jr. 1988. The importance of alfalfa. The American Society
of Agronomy.Monograph number 29.http://www.usda.gov/nass/pubs/agr98/acro98.htm.
Manitoba Agriculture, 1987. Forage’87. Home Study Course, pp.7. Manitoba Agriculture, Manitoba,
Canada.
Montgomery,D. C., 1991. Design and analysis of experiments. Pp.439-452. JohnWilley & Sons Inc.
New York,USA.
Hidayat, N., Suwarno, and K. Ardani, 2012. The effects of planting distance and defoliation age on
production and quality of Alfalfa (Medicago sativa). Prosiding Seminar Nasional. Teknologi
dan agribisnis peternakan dalam menunjang pemenuhan kebutuhan protein hewani nasional.
Pp. 121-129. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Shakra, M.A.,M.Akhtar, and D.W. Bray, 1969. Influence of irrigation interval and plant density on
alfalfa seed production. American Society of Agronomy, Madison, USA.
http://agron.scijournals.org/cgi/content/abstract.
Undersander, D., P. Vssalotti, and D. Cosgrove, 1997. Germination and Growth. University of
Wisconsin-Extension, Cooperative Extension, St. Madison.
Walton, P. D.,1983. Production & Management of Cutivated Forages. Pp. 79-83. Reston Publishing
Company, Inc. Reston, Virginia, USA.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
76
POTENSI PRODUKSI HIJAUAN DAN KOMPOSISI KIMIA RUMPUT SUDAN (Sorghum
sudanense) SEBAGAI SUMBER HIJAUAN PAKAN LOKAL DI WILAYAH PAPUA
Onesimus Yoku
Fakultas Peternakan Universitas Papua
Email: [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Paper ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang potensi produksi hijauan, komposisi kimia
nutrein dan antinutrisi, dan potensi pengembangan rumput sudan (Sorghum sudanense) di kawasan
timur Indonesia dan khususnya wilayah Papua sebagai hijauan pakan lokal ternak ruminansia.
Hijauan pakan lokal ini sangat potensial dikembangkan di wilayah papua, karena cocok pada lahan
kering, tahan kekeringan, berkemampuan tumbuh kembali dan sangat responsif terhadap pemupukan
dan pengairan, serta tumbuh dan berkembang secara alamiah mulai dataran rendah hinggi dataran
tinggi diseluruh wilayah Papua. Perlakuan pemupukan nitrogen, phosfor, dan kalium berpengaruh
signifikann terhadap produksi bahan kering, bahan organik dan aplikasi pupuk anjuran sesuai hasil
penelitian adalah 300 kg N/ha; 300 kg P/ha; dan 150 kg P/ha.
Kata kunci: rumput sudan, pemupukan, produksi hijauan, nutrien dan antinutrisi
ABSTRACT
This paper aims to provide an overview of the potential forage production, nutrients and antinutrients
chemical composition, and the potential development of Sudan grass (Sorghum sudanense) in eastern
part of Indonesia, particularly in the Papua island as a local forage ruminant. Local forage is very
potential to be developed in Papua island, because it adapts to dry land and drought resistant, capable
of growing back, and is very responsive to fertilizer and irrigation, as well as can be growth either in
lowland and highland. Nitrogen, phosphorus and potassium fertilizer treatments have significant
effect to dry matter and organic matter productions of Sudan grass with their level dosage
recommendations are 300 kg N/ha, 300 kg P/ha, and 150 kg P/ha, respectively.
Keywords: sudan grass, fertilizer, forage production, nutrient and antinutrition
PENDAHULUAN
Rumput sudan (Sorghum sudanense) dinilai berpotensi untuk dikembangkan terutama pada musim
kering sebagai pakan alternative dan-atau dikembangkan untuk lahan-lahan kering, terutama di
kawasan Timur Indonesia (Utomo, 2003). Sebagai rumput potong, rumput sudan mempunyai
kemampuan tumbuh kembali (sehabis dipotong) yang lebih baik dibanding dengan rumput yang
berumur pendek lainnya dan sangat responsif terhadap pemupukan dan pengairan.
Penelitian rumput sudan telah lama ditinggalkan karena adanya jenis-jenis rumput baru yang
mempunyai keunggulan dalam produksi biomassa dan umur potongnya. Namun demikian jenis-jenis
rumput unggul tersebut sebagian besar membutuhkan lahan yang relatif subur dengan manajemen
pengelolaan yang intensif, maka penelitian terhadap rumput sudan sebagai jenis rumput yang tahan
hidup di lahan kering perlu dilanjutkan.
Kajian-kajian tentang potensi produksi dan nilai nutrisi rumput sudan sebagai jenis hijauan pakan
lokal masih sangat jarang terutama di wilayah papua, sementara hampir di seluruh wilayah Papua
dapat ditemukan rumput sudan mulai dataran rendah hingga pegunungan. Paper ini bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang potensi produksi hijauan, komposisi kimia nutrein dan antinutrisi
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
77
rumput sudan, serta potensi pengembangan rumput sudan di kawasan timur Indonesia dan khususnya
wilayah Papua sebagai hijauan pakan lokal ternak ruminansia.
DASAR PEMIKIRAN
Pada saat pertumbuhan vegetatif, tanaman banyak membutuhkan unsur N. Salah satu cara untuk
menjaga agar produksi hijauan tetap terjaga adalah dengan pemupukan. Unsur nitrogen (N), fosfor
(P) dan kalium (K) merupakan unsur hara makro yang sangat diperlukan oleh tanaman, bila ketiga
unsur hara ini terdapat dalam keseimbangan yang tidak sesuai maka pertumbuhan tanaman akan
terganggu atau tumbuh merana. Aplikasi pupuk anjuran untuk tanaman sorghum, masing-masing
dasar aplikasi pupuk nitrogen 200 lb per acre atau setara dengan 225 kg N per ha (Sumner et al.,
1965), dan teknologi anjuran untuk budidaya sorghum dengan rasio pupuk P dan K adalah 2:1
(Roesmarkam dan Soebandi, 1995).
Menurut Bogdan (1977) bahwa masih terdapat variasi jarak tanam dalam baris yaitu 15–100 cm,
namun demikian jarak tanam yang paling sesuai adalah 25–40 cm. Populasi tanaman sorghum per ha
adalah 100.000 tanaman atau berkisar antara 100.000–250.000 tanaman per ha (Roefaida, 1992; dan
Anonymous, 1990). Semakin besar unsur hara nitrogen yang tersedia maka pertumbuhan vegetatif
tanaman semakin dapat dipacu. Pemberian pupuk efektif meningkatkan produksi rumput sudan,
namun demikian tingginya pupuk nitrogen berakibat tingginya kandungan nitrat (NO3) dan asam
sianida (hydrocyanic acid atau HCN) pada hijauan.
HASIL PENELITIAN RUMPUT SUDAN
Penelitian produksi hijauan rumput sudan pada musim kemarau telah dilaksanakan di Kebun
Pendidikan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (KP4) UGM di Kalitirto-Berbah, Yogyakarta.
Analisis komposisi kimia nutrien atau analisis proksimat sampel hijauan (AOAC, 2005), serta analisis
zat/senyawa antinutrisi yaitu kandungan asam sianida dan nitrat menurut petunjuk Sudarmadji et al.
(1984) dilakukan di laboratorium Hijauan Makanan Ternak dan Pastura, Fapet UGM dan
laboratorium teknologi pertanian, Fateta UGM.
Pupuk yang digunakan berupa pupuk NPK (urea, 46% N; SP36, 36% P2O5; dan KCl, 60% K2O)
dilaksanakan dengan 3 (tiga) level dosis pupuk NPK yang berbeda pada level pupuk N (0, 150, 300,
dan 450 kg N/ha), pupuk P dan K pada level yang sama yaitu 300 kg P/ha dan 150 kg K/ha dengan
kode P0, P1, P2, dan P3, dengan jarak tanam 40x20 cm.
Serapan Unsur NPK dan Produksi Hijauan Rumput Sudan
Rata-rata serapan unsur N, P, dan K tertinggi masing-masing pada perlakuan P3 dan terendah pada
perlakuan P0. Hasil analisis statistik serapan unsur NPK jaringan rumput sudan menunjukkan bahwa
perlakuan dosis pupuk NPK berpengaruh signifikan dan uji DMRT untuk bahwa perlakuan pupuk
NPK berbeda nyata antar perlakuan P0 (0,0248 ton/ha), P1 (0,1423 ton/ha), P2 (0,2622 ton/ha), dan
P3(0,3578 ton/ha) untuk variabel serapan N. Secara umum serapan tertinggi pada unsur N kemudian
unsur K dan P. Serapan N tinggi karena pupuk N diberikan pada beberapa level, sedangkan pupuk P
dan K diberikan pada level yang sama untuk setiap level pupuk N. Hubungan serapan unsur NPK dan
produksi BK dan BO disajikan dengan grafik pada Gambar 1.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
78
16,32
21,35
10,44
3,19
14,18
9,08
18,75
2,76
0,000
0,050
0,100
0,150
0,200
0,250
0,300
0,350
0,400
P0 P1 P2 P3
Dosis Pupuk NPK
Ser
apan
NP
K (
ton/h
a)
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
Pro
duksi
B
K d
an B
O (
ton/h
a)
Serapan N Serapan P Serapan K Prod. BK Prod. BO
Gambar 1. Grafik serapan NPK dengan produksi BK dan BO.
Berdasarkan Gambar 1 diatas nampak bahwa serapan N berperanan menentukan serapan P dan K
serta produksi BK dan BO. Hasil analisis statistik produksi BK dan BO rumput sudan menunjukkan
bahwa perlakuan dosis pupuk NPK berpengaruh nyata dan hasil uji DMRT produksi BK dan BO
rumput sudan per ha dalam sekali potong menunjukkan bahwa masing-masing produksi BK dan BO
pada perlakuan P0 (3,19 ton/ha; 2,76 ton/ha) berbeda nyata dengan perlakuan P1 (10,44 ton/ha; 9,08
ton/ha), P2 (16,32 ton/ha; 14,18 ton/ha), dan P3 (21,35 ton/ha; 18,75 ton/ha). Perlakuan P1 berbeda
nyata dengan perlakuan P2 dan P3, tetapi antara perlakuan P2 dan P3 tidak berbeda nyata.
Berdasarkan persentase peningkatan produksi BK dibandingkan dengan perlakuan P0 (tanpa pupuk),
maka berturut-turut terjadi kenaikan produksi untuk P1, P2 dan P3 sebesar 69,44%, 80,45% dan
85,06%, dan persentase peningkatan untuk produksi BO adalah sebesar 69,60%, 80,54%, dan 85,28%.
Persentase peningkatan produksi ini menunjukan adanya penurunan persentase peningkatan pada
perlakuan P3. Dengan demikian pupuk nitrogen pada perlakuan P2 (300 kg N, 300 kg P dan 150 kg
K/ha) merupakan level optimal untuk produksi bahan kering dan produksi bahan organik rumput
sudan.
Komposisi Kimia Nutrien dan Antinutrisi Rumput Sudan
Analisis statistik komposisi PK, SK, BETN akibat perlakuan pupuk NPK pada musim kemarau
berpengaruh signifikan tetapi komposisi HCN berpengaruh tidak signifikan. Hasil DMRT kandungan
protein kasar rumput sudan menunjukkan bahwa perlakuan P0 (7,71%) berbeda nyata dengan P1
(12,29%), P2 (13,46%), dan P3 (13,60%). Perlakuan P1 berbeda nyata dengan P2 dan P3, sedangkan
antara perlakuan P2 dan P3 tidak berbeda nyata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlakuan
pupuk NPK meningkatkan kandungan protein kasar rumput sudan walaupun perlakuan P2 dan P3
berpengaruh sama terhadap kandungan PK. Uji DMRT serat kasar dan BETN rumput sudan
menunjukkan perlakuan P0 berbeda nyata dengan P1, P2, dan P3, dimana perlakuan pemupukan NPK
meningkatkan SK, tetapi sebaliknya menurunkan BETN.
Komposisi HCN rumput sudan tidak signifikan dipengaruhi oleh perlakuan pupuk NPK. HCN
tertinggi terdapat pada perlakuan P2 (295,50 ppm), disusul P1 (210,03 ppm), P3 (162,75 ppm) dan
terendah pada perlakuan P0 (115,63 ppm). Hasil DMRT kandungan nitrat rumput sudan menunjukkan
bahwa perlakuan P0 (5575,57 ppm) berbeda nyata dengan P1 (1704,36 ppm), P2 (1463,13 ppm) dan
P3 (1729,18 ppm), sedangkan antara perlakuan P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata. Walaupun
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
79
komposisi antinutrisi HCN dan nitrat pada level tidak toksik, masing-masing HCN lebih rendah dari
750 ppm dan nitrat lebih rendah dari 6000 ppm, tetapi terdapat indikasi bahwa perlakuan pupuk NPK
meningkatkan HCN dan sebaliknya menurunkan nitrat rumput sudan. Komposisi kedua antinutrisi ini
tidak pada level toksik menunjukkan bahwa rumput sudan tidak mengalami stres, karena Selk, et al.
(1995) yang mengemukakan bahwa aplikasi pupuk N akan meningkatkan konsentrasi nitrat rumput
sudan hybrida, cuaca panas menyebabkan tanaman stresss akibatnya terjadi akumulasi nitrat.
POTENSI PENGEMBANGAN RUMPUT SUDAN DI WILAYAH PAPUA
Rumput sudan (Sorghum sudanense) dinilai berpotensi untuk dikembangkan di kawasan Timur
Indonesia, dan secara khusus Papua. Produksi rumput sudan dapat dioptimalkan dengan pengelolaan
yang baik melalui pengaturan jarak tanam dan pemberian pupuk NPK (nitrogen, fosfor dan kalium).
Rumput sudan membutuhkan pupuk nitrogen dalam jumlah besar yang harus diberikan setiap kali
pemangkasan, disamping itu pupuk P diberikan tergantung kandungannya di dalam tanah. Pemberian
pupuk efektif meningkatkan produksi rumput sudan, namun demikian tingginya pupuk nitrogen
berakibat tingginya kandungan nitrat (NO3) dan asam sianida (hydrocyanic acid atau HCN) pada
hijauan.
Kandungan HCN rumput sudan dapat ditekan sekitar 50–75% bila dikeringkan (hay) karena asam
sianida bersifat mudah menguap, sedangkan penanggulangan bahaya nitrat adalah dengan pemberian
pakan suplemen. Penambahan pakan suplemen sebagai sumber energi bagi mikrobia rumen, agar
mampu mengubah nitrat menjadi nitrit, dan nitrit menjadi amonia dengan adanya enzim nitrat
reduktase dan nitrit reduktase yang dihasilkan mikrobia rumen.
Berdasarkan laporan hasil penelitian rumput sudan, maka jarak tanam yang dapat menjadi acuan
adalah antara 20–40 cm dengan level pupuk NPK masing-masing 300 kg N/ha, 300 kg P/ha, dan 150
kg K/ha. Khusus pemupukan N dapat ditingkatkan hingga 450 kg N/ha.
KESIMPULAN
Rumput sudan dinilai berpotensi untuk dikembangkan di wilayah Papua sebagai salah satu hijauan
pakan lokal dengan pengelolaan yang optimal melalui pemberian pupuk. Perlakuan level pupuk NPK
disarankan menjadi acuan patokan, masing-masing 300 kg N/ha, 300 kg P/ha, dan 150 kg K/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1990. Teknologi budidaya sorgum. Balai Informasi Pertanian Propinsi Irian Jaya.
Jayapura.
AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists.
Published by the Association of Official Analytical Chemists, Maryland, USA.
Bogdan, A.V. 1977. Tropical Pasture and Fodder Plants (Grasses and Legumes). First Published.
Longman Inc., New York.
Karniati, R. Soedradjad dan B.P. Utomo. 1995. Pengaruh formulasi, frekuensi pemberian dan takaran
pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil Sorgum. Risalah Simposium : Prospek Tanaman
Sorgum Untuk Pengembangan Agro-Industri. Edisi Khusus Balitkabi No. 4 : 153–160.
Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Cetakan Pertama. Agro Media Pustaka. Jakarta
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
80
Owen, F.G and W.J. Moline. 1970. Sorghum for Forage. In Sorghum Production and Utilization.
Major Feed and Food Crops in Agriculture and Food Series (Editors : Wall, J.S. and W.M.
Ross). The Avi Publishing Company, Inc. Westport Cennecticut.
Roefaida, E. 1992. Pengaruh Kadar Lengas Tanah pada Berbagai Fase Pertumbuhan Tanaman
Terhadap Hasil Sorghum (Sorghum vulgare L.). Tesis. Program Studi Agronomi, Jurusan
Ilmu-Ilmu Pertanian, program Pascasarjan UGM. Yogyakarta.
Rosmarkam, A dan N.W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Cetakan Pertama. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.
Roesmarkam, S dan Subandi. 1995. Prospek pengembangan sorgum sebagai penunjang swasembada
pangan dan pakan. Risalah Simposium : Prospek Tanaman Sorgum Untuk Pengembangan
Agro-Industri. Edisi Khusus Balitkabi No. 4 : 104–109.
Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Edisi Ketiga. Cetakan Pertama. Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Selk, G.E., G. L. Strickland, D. R. Wagner, dan S. Janloo. 1995. The relationship among nitrate
content and nutritional value in hybrid sudangrass hay. Agronomy Research Stations,
Oklahoma State University.
Utomo, R. 2003. Penyediaan Pakan di Daerah Tropik: Problematika, Kontinuitas, dan Kualitas.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Peternakan Univeritas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
81
DAYA DUKUNG HIJAUAN DAN LIMBAH TANAMAN PANGAN TERHADAP
PENGEMBANGAN POPULASI TERNAK SAPI POTONG DI KECAMATAN TOMPASO
KABUPATEN MINAHASA
Erwin Wantasen, S Dalie dan F.N.S. Oroh
Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi
Email : [email protected]
ABSTRAK
Pengembangan peternakan saat ini menunjukan adanya prospek yang sangat cerah dan mempunyai
peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi pertanian. Permasalahannya sejauh mana daya dukung
lahan sebagai sumber pakan ternak Berdasarkan permasalahan ini maka dilakukan penelitian dengan
tujuan untuk mengetahui daya dukung pengembangan ternak sapi di Kecamatan Tompaso Kabupaten
Minahasa . Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisa data sekunder dimana data
yang dianalisis diperoleh dari kantor Kecamatan dan Kantor BP3K (Balai penyuluhan, pertanian,
perikanan dan kehutanan) Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa antara lain data luas dan
penggunaan lahan pertanian, perkebunan, kehutanan dan populasi ternak sapi. Model analisis yang
digunakan yaitu analisis deskriptif, dan analisis potensi pengembangan ternak efektif. Hasil
penelitian menunjukan produksi hijauan efektif di Kecamatan Tompaso sebesar 1.811,86 ton/tahun,
produksi jerami efektif sebesar 6.630,39 ton/tahun. Kapasitas tampung maksimum dalam satuan
ternak berdasarkan sumberdaya lahan sebesar 4.020,11 ST dan kapasitas peningkatan populasi ternak
ruminansia (sapi) berdasarkan sumberdaya lahan (KPPTR) sebesar 1.459,65 ST, Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa wilayah Kecamatan Tompaso potensial untuk pengembangan
ternak sapi.
Kata Kunci : ternak sapi, daya dukung, hijauan, limbah tanaman pangan,
ABSTRACT
Farm development showed a good prospect and has an important role in the growth of the agricultural
economy . The problem is how far the supported of land resources, can increase the cattle population
in Tompaso district of Minahasa regency.. Based on this problems the study was applied. The aimed
of the research was to know potensial development of cattle in Tompaso sub district Minahasa
regency based on the availability of forages and agriculture by product. Secondary data analysis
methods was used to meet the objectif of the research such as planted area used by the farmers and
population of cattle in Tompaso sub district. The data was collected from extension office of
agriculture , fisheries and forestry (BP3K) and agriculture service of Minahasa regency. Potensial
livestock development analysis was used to find out the goal of the research. Result of this study
showed the effectif forages production were 1.811,86 ton p.a. Effectif production of agriculture by
product was 6.630,39 ton p.a.. Maximum carrying capacity of Tompaso sub district were 4.020,11
animal unit. Capacity increase of cattle population by land resources ( KPPTR) were 1.459,65
animal unit. Based on the research, Tompaso sub district has carrying capacity as developing area of
cattle in Minahasa Regency North Sulawesi.
Keywords : cattle , carrying capacity, forages , agriculture by product
PENDAHULUAN
Untuk memperoleh ternak yang memiliki kualitas baik diperlukan ketersediaan pakan yang memadai.
Mutu dan ketersediaan pakan dalam bentuk hijauan maupun pakan konsentrat yang mencukupi dan
berkelanjutan (kontinyu) sangat penting dalam menjaga kestabilan usaha pengembangan ternak
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
82
ruminansia termasuk sapi potong yang tergabung dalam wadah kelompok maupun usaha ternak skala
kecil. Ketersediaan pakan secara kontinyu (hijauan dan konsentrat), yang sesuai standar dalam
usaha sapi potong disepanjang waktu akan memberikan kemantapan dalam usaha dan nilai
keuntungan yang lebih baik bagi peternak. Disamping itu diketahuinya daya tampung HMT bagi
ternak akan menjamin kepastian berusaha dan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh peternak
(Thahar dkk., 1991; Puji 2006; Hidayat dkk., 2006).
Menurunnya daya dukung sumberdaya alam (pakan) untuk usaha ternak karena konversi lahan
pertanian, serta perubahan pola budidaya menjadi salah satu penyebab menurunnya populasi ternak.
Sementara itu subsektor peternakan diharapkan mampu memenuhi permintaan akan protein hewani
yang semakin meningkat, meningkatnya penyerapan tenaga kerja dan PDRB, ini berarti menuntut
sub-sektor peternakan untuk dapat memacu produksinya (baik kuantitas maupun kualitas). Sementara
disisi lain, sub-sektor peternakan dihadapkan kepada semakin menyempitnya lahan usaha akibat
persaingan yang semakin meningkat baik antar sektor maupun antar sub-sektor dalam penggunaan
lahan. Oleh karena itu potensi hijuan dan limbah tanaman pangan menjadi alternatif untuk
memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia seperti ternak sapi potong sekaligus menciptakan
usaha ternak ruminansia dalam pembangunan agribisnis yang berwawasan lingkungan ( Suryanto,
2004 ; Febrina dan Liana, 2008 ; Alfian dkk.., 2012 )
Beberapa upaya untuk meningkatkan produktivitas ternak , pengembangan usaha ternak ruminansia
sekaligus pendapatan petani adalah mengatahui faktor sosial, ekonomi dan demografi peternak,
wilayah basis ternak, daya dukung lahan dan ketersediaan pakan ternak, melalui pewilayahan
komoditi ternak dan integrasi tanaman dan ternak (Kreuter dan Workman, 1994; Djaenudin dkk..,
2002; Tanuwiria dkk.., 2006; Suyitman dkk.., 2009; Alfian dkk.., 2012; Hartono, 2012; Nugraha
dkk.., 2013). Karena itu untuk menunjang peningkatan ekonomi wilayah Kecamatan Tompaso
Kabupaten Minahasa maka pengembangan usaha ternak sapi harus ditunjang oleh kondisi
sumberdaya alam seperti ketersediaan pakan hijauan dan pakan dari limbah tanaman pangan. Hal ini
mengingat potensi ternak sapi yang dimilik wilayah Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa
cukup menjanjikan dimana pada tahun 2013 jumlah populasi ternak sapi yang tersedia adalah 2753
ekor yang terdiri atas 791 ekor sapi jantan dan 1962 ekor sapi betina ( BPS Sulut, 2014).
Permasalahannya adalah sejauh mana ketersediaan hijauan makanan ternak dan limbah tanaman
pangan dapat mendukung upaya pengembangan ternak sapi yang menjadi salah satu tulang
punggung ekonomi keluarga petani di wilayah Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa Propinsi Sulawesi Utara .
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2015, dengan menggunakan metode analisis data
sekunder yaitu menganalisa lebih lanjut data yang sudah tersedia untuk mencapai tujuan penelitian (
Singarimbun dan Effendi, 1986). Data diperoleh dari Badan Penyuluhan pertanian, perikanan dan
kehutanan (BP3K) Kecamatan Tompaso, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Minahasa dan
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Minahasa serta Kantor Statistik Kabupaten Minahasa.
Data yang dikumpulkan meliputi data populas ternak sapi, tata guna lahan, luas lahan, luas panen ,
produksi dan produktivitas tanaman pangan dan tanaman perkebunana, data iklim dan topografi.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
83
Analisis data menggunakan metode analisis potensi ketersediaan pakan berupa hijauan pakan dan
limbah tanaman pangan efektif untuk mengetahui kapasitas daya tampung ternak di wilayah
penelitian (Nell dan Rollinson, 1974 dalam Tanuwirya dkk., 2006)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Luas wilayah Kecamatan Tompaso 10.398 Km² yang diklasifikasikan menurut ekosistem dan
penggunaannya, sebagai berikut: Lahan kering 5533 ha yang terdiri dari lahan perkebunan 1087 ha,
tegalan 1657 ha dan hutan 2789 ha. Lahan rawa 677 ha yang terdiri dari lahan sawah 498 ha dan
kolam 79 ha dan padang rumput 293 ha . Data hasil penelitian menujukkan bahwa lahan kering
merupakan penggunaan lahan terbesar sedangkan penggunaan lahan terkecil adalah padang rumput
(BPS , Kabupaten Minahasa 2014). Sumberdaya pertanian yang terdapat di Kecamatan Tompaso
Kabupaten Minahasa yaitu padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah,
kacang hijau, kacang merah, kacang panjang, kedelai, bawang merah, dan daun bawang. Luas tanam
keseluruhannya berjumlah 1.956 ha dan luas panen keseluruhan berjumlah 1.708 ton. Sumberdaya
perkebunan terdiri dari kelapa, vanili, kopi, Aren, dan Cassiavera. Luas areal keseluruhannya
berjumlah 1087 ha dan produksi keseluruhan 697,5 ton (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
Minahasa 2014; Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Minahasa 2014)
Jumlah populasi ternak sapi di wilayah Kecamatan Tompaso dalam satuan ternak adalah 2560 ,46
ST dimana usaha ternak sapi masih merupakan usaha sampingan dengan kepemilikan 1-2 ST per
kepala keluarga padahal luas lahan dan potensi pakan hijauan dan limbah pertanian cukup besar. Hasil
analisis potensi maksimum sumber daya lahan di Kecamatan Tompaso dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Hasil analisis PMSL Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa
No. Koefisien/Variabel KecamataTompaso
1. a 0,7
2. LKrg 5533
3. b 0,8
4. PDG 307
5. c 1,8
6. R 435
7. KTM 4020,11
Sumber : Data diolah (2015)
Keterangan : KTM = Kapasitas Tampung Maksimum dalam satuan ternak sapi (ST) berdasarkan sumberdaya,
yaitu sapi dewasa = 1,00 ST/Ha, sapi muda = 0,75 ST/Ha dan sapi anak = 0,25 ST/Ha
a = Koefisien yang dihitung berdasarkan ratio populasi ternak ruminansia dalam satuan ternak (ST)
dengan luas lahan garapan atau lahan kering adalah 0,7 ST/Ha
LKrg = Luas lahan kering di Kecamatan Tompaso (Ha)
b = Koefisien yang dihitung sebagai kapasitas tampung padang rumput alam = 0,8 ST/Ha
PDG = Luas padang rumput (Ha)
c = Koefisien yang dihitung sebagai kapasitas tampung rawa (1,8 ST/Ha)
R = Luas Rawa
Hasil analisis kapasitas peningkatan populasi ternak sapi berdasarkan Sumberdaya lahan KPPTR
dilihat padaTabel 2. Data Tabel 2 menunjukkan kapasitas peningkatan populasi ternak sapi
berdasarkan sumberdaya lahan di Kecamatan Tompaso sebanyak 1459,65 ST. Artinya untuk
memenuhi kapasitas tampung maksimum lahan maka populasi ternak sapi di Kecamatan Tompaso
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
84
masih dapat ditingkatkan sebanyak 1459,65 ST. Tingkat ketersediaan hijauan makanan ternak pada
suatu wilayah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam meningkatkan populasi dalam
keberhasilan pengembangan ternak khususnya ternak sapi.
Tabel 2. Hasil Analisis KPPTR Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa
No. Koefisien/Variabel Satuan Ternak (ST)
1. KTM 4020,11
2. POP 2560,46
3. KPPTR 1459,65
Sumber. Data dioleh (2015).
Keterangan: KTM = Kapasitas Tampung Maksimum dalam satuan ternak sapi (ST) berdasarkan
sumberdaya, yaitu sapi dewasa = 1,00 ST/Ha, sapi muda = 0,75 ST/Ha dan sapi anak = 0,25 ST/Ha
KPPTR = Kapasitas peningkatan populasi ternak sapi (ST) berdasarkan sumberdaya lahan
POP = Populasi ternak sapi (ST) di Kecamatann Tompaso
Kapasitas tampung ternak ruminansia di Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan tanaman hijauan sebagai pakan ternak . Wilayah Kecamatan Tompaso
memiliki potensi ketersediaan pakan hijauan dan limbah berupa jerami tanaman pangan untuk ternak
ruminansia (sapi dan kambing) dan ternak non ruminansia ( ayam, dan itik) Produksi hijaua dan
produksi jerami efektif per tahun di Kecamatan Tompaso disajikan pada Tabel 3
Tabel 3. Produksi Hijauan dan jerami secara efektif di Kecamatan Tompaso
Nomor Sumber hijauan pakan
(Ha)
Produksi Hijauan
(Ton/Tahun)
Sumber pakan
jerami
Produksi Jerami
(Ton/tahun)
1. Padang rumput 208,18 Jerami padi 299,69
2 Sawah 25,03 Jerami jagung 6005,9
3 Ladang/tegalan 19,78 Jerami ubi kayu 146,45
4 Hutan 1.348 Jerami kedelai 138,03
5 Perkebunan 210,4 Jerami kacang tanah 40,32
Jumlah 1811,86 Jumlah 6.630,39
Sumber : Data diolah, 2015
Hasil penelitian pada Tabel 3 menunjukkan bahwa Kecamatan Tompaso memiliki jumlah produksi
hijauan efektif dari berbagai sumber lahan seperti padang rumput, sawah, lading, hutan dan tanah
perkebunan dengan jumlah produksi 1811,86 ton/tahun dan produksi limbah berupa jerami pakan
sebesar 6630,39 ton/tahun. Melalui potensi produksi jerami dari tanaman pangan maka akan
bermanfaat untuk penyediaan pakan ternak sapi disaat kekurangan pasokan makanan ternak seperti
saat musim kemarau melalui pemanfaatan teknologi pengawetan seperti penyimpanan, pengawetan
dan peningkatan nilai nutrisi agar sapi sapi yang dihasilkan akan memiliki nilai ekonomi yang tinggi
bagi keluarga petani (Zulbardi dkk., 2001)
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Tompaso Kabupaten Minahasa
mempunyai potensi daya dukung yang sangat besar dalam meningkatkan populasi ternak sapi dilihat
dari sumberdaya lahan yang tersedia, dan penyediaan makanan ternak.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
85
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Y., F. I. Hermansyah, E. Handayanta, Lutojo, dan W. P. S. Suprayogi. 2012. Analisis Daya
Tampung Ternak Ruminansia pada Musim Kemarau di Daerah Pertanian Lahan Kering
Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul . Trop. Anim. Husbandry 1 (1):33-42
BPS Kabupaten Minahasa. 2014. Kabupaten Minahasa Dalam Angka 2014. Kantor Statistik
Kabupaten Minahasa, Tondano.
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Minahasa. 2014. Luas Lahan, Luas Panen, Produksi dan
Produktivitas Tanaman Pangan Menurut Kecamatan di Kabupaten Minahasa. Laporan Tahunan
, Tondano.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Minahasa. 2014. Luas Lahan, Luas Panen, Produksi
TYanaman Perkebunan Menurut Kecamatan. Laporan Tahunan, Tondano
Djaenudin D., Y Sulaeman dan A. Abdurachman. 2002. Pendekatan Pewilayahan Pertanian Menurut
Pedro –Agroklimat di Kawasan Timur Indonesia. J. Litbang Pertanian 21 (1) : 1-10
Febrina, D. dan M. Liana. 2008. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ruminansia pada
Peternak Rakyat di Kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu. J.Peternakan. 5 (1) : 28
– 37.
Hartono. B. 2012. Peran Daya Dukung Wilayah Terhadap Pengembangan Usaha Peternakan Sapi
Madura. J. Ekonomi Pembangunan 13 (2) : 316-326
Hidayat, U.T., A Yulianti dan N Mayasari 2006. Potensi pakan asal lombah tanaman pangan dan
daya dukungnya tetrhadap populasi ternak ruminansia di wilayah Sumedang. J ilmu ternak 6
(2): 112-120
Kreuter, U.P dan J.P Workman. 1994. Costs of Overstocking on Cattle and Wildlife
Ranches in Zimbabwe. Ecological Economics 11 : 237-248
Nugraha. B.D., E. Handayanta dan E.T. Rahayu. 2013. Analisis Daya Tampung Ternak Ruminansia
Pada Musim Penghujan di Daerah Pertanian Lahan Kering Kecamatan Semin Kabupaten
Gunung Kidul. Trop. Anim. Husbandry 2 (1): 34-40
Puji F. A. 2006 Arahan Pewilayahan Komoditas Unggulan DI Kabupaten Kotawaringin Timur Thesis.
PPs Magister pembangunan wilayah dan kota UNDIP Semarang.
Suryanto, B. 2004. Peran Usahatani Ternak Ruminansia dalam Pembangunan Agribisnis Berwawasan
Lingkungan. Pidato pengukuhan: Upacara Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam
Ilmu Manajemen Usahatani. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.
Suyitman, Surjono, H.S., C. Herison dan Muladno. 2009. Status Keberlanjutan Wilayah Berbasis
Peternakan di kabupaten Situbondo untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan. Jurnal Agro
Ekonomi. 27 (2): 165-191.
Tanuwirya, A. U., A Yulianti dan Mayaari. 2006. Potensi Pakan Asal Limbah Tanaman Pangan dan
Daya Dukungnya Terhadap Populasi Ternak Ruminansia di Wilayah Sumedang. J. Ilmu Ternak
6(2) : 112-120
Thahar, A., Santoso, Sumanto, Hatomo dan Haryono. 1991 Daya Dukung Pakan Karang Agung
Sungai Lilin, Sumatera Selatan. Makalah Kerja No. 3 Proyek Ternak Kerja. Balai Penelitian
Ternak, Badan Litbang Pertanian. Disiapkan untuk Temu Lapang Departemen Pertanian, 7
Maret 1991 di Karang Agung Kabupaten Musibanyuasin, Sumatera Selatan
Zulbardi, M., A. A. Karto, U. Kusnadi dan A. Thalib. 2001. Pemanfaatan Jerami Padi Bagi Usaha
Pemeliharaan Sapi Peranakan Onggole di Daerah Irigasi Tanaman Padi. Dalam: Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan Departemen
Pertanian. Bogor. Hal. 256- 261.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
86
FENOMENA TANAMAN GLIRISIDIA (Glyrisidia maculata) DI PANTAI PETANAHAN
KABUPATEN KEBUMEN
Eko Hendarto, Suwarno, dan Pramono Soediarto
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Agar keberlanjutan kehidupan manusia dapat berlangsung dengan baik, diperlukan berbagai
dukungan, salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan protein hewani. Salah satu pemasok sumber
protein hewani adalah ternak ruminansia dengan produk berupa susu dan daging. Kebutuhan pakan
utama ternak ruminansia adalah hijauan yang dapat dipasok dari tanaman sliridia (Glerisia maculata),
yang salah satunya tumbuh di pantai Petanakan, Kabupaten Kebumen. Untuk mengetahui bagaimana
kondisi tanaman Sliridia (Glerisidia maculata) yang hidup dipantai. dilakukan penelitian. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode survey sebagai penelitian paradigma naturalistik dengan
prinsip yang digunakan yakni fenomenologi. Fenomena yang diamati adalah pertumbuhan dan
potensi pemanfaatan tanaman untuk kehidupan manusia terutama sebagai sumber hijauan pakan.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tanaman Sliridia (Glerisidia maculata) mampu tumbuh
dengan baik di daerah pantai hingga jarak sekitar 150 meter dari garis pantai, pada tanah berpasir,
tahan kering, tetap menghasilkan daun yang hijau, berbunga dan berbuah menghasilkan malai pada
kondisi kemarau yang kering dan memberikan daya dukung sebagai pakan untuk sekitar 400 ekor
kambing yang terdapat di Desa Tegalretno, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen.
Kata kunci : Fenomena, tanaman sliridia, tanah berpasir, ternak kambing.
PHENOMENON OF GLYRICIDIA (GLYRICIDIA MACULATA) ON THE COASTAL AREA
OF PETANAHAN, KEBUMEN DISTRICT
ABSTRACT In order to achieve sustainable prosperity of human being, some support factors are needed, one of
which is the fullfilment of animal protein requirement. One of the producers of animal protein is
ruminant whit its products in the forms of meat and milk. The main feedstuff for ruminant is forage
that can be supplied in part, by Glyricidia (Glyrisidia maculata), Petanahan a sub-district, coastal area
of Kebumen, is one of the locations where both tame or wild Glyricidia (Glyrisidia maculata)
flowishers. To know the condition of Glyricidia (Glyrisidia maculata) that grow in coastal area, a
study was conducted. Survey method was employed in this research as the study of naturalistic
paradigm. The study use phenomenology as its principts. The observed phenomena were the
Glyricidia (Glyrisidia maculata) growth ang its utilization potential for human life. The results of this
research showed that Glyricidia (Glyrisidia maculata) able to grow on coastal area up to the distance
of 150 meters from the brime of coastal on the sandyland, it withsands drought. The leaves of
Glyricidias (Glyrisidia maculata) are still green, the plants bear flowers and peas during dry seasons,
and they can supports the life of 400 adult goats that lived in village of Tegalretno, Petanahan sub-
district, the district of Kebumen.
Keywords : Phenomenon, Glyricidia (Glyrisidia maculata), sandy soil and goat.
PENDAHULUAN
Kegiatan peternakan merupakan salah satu bentuk dinamika kehidupan manusia untuk melanjutkan
keberadaannya (Hendarto, 2011). Hijauan merupakan pakan utama ternak ruminansia yang
dibutuhkan untuk menunjang produktivitasnya, sedangkan tanaman sliridia (Glerisida maculata)
merupakan salah satu sumber hijauan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia (Aminudin
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
87
dan Hendarto, 2000). Tanaman sliridia (Glerisida maculata) dalam pertumbuhannya, mampu tumbuh
pada jenis tanah yang cukup luas termasuk pada lahan yang tidak subur (Basri dan Hoesoen, 1991,
dalam Ruslanjari, 2006). Lahan pantai di Kecamatan Petanahan, Kebupaten Kebumen, banyak
tumbuh tanaman sliridia (Glerisida maculata) yang sengaja ditanam oleh masyarakat dalam upaya
pemenuhan kebutuhan sebagai kayu bakar dari batang tanaman. Namun demikian pada dasarnya
hijauannya dapat dimanfaatkan sebagai pakan hijauan untuk ternak sapi, kerbau, kambing dan domba
(Khulman, et al., 2003)
Hijauan dari tanaman sliridia (Glerisida maculata) mempunyai nilai nutrisi yang baik untuk pemasok,
penambah dan penyedia hijauan pakan (Aminudin dan Hendarto, 2000), namun masyarakat seringkali
menanam tanaman sliridia (Glerisida maculata) pada umumnya tertujuan untuk pagar pekarangan dan
kayu bakar (Hendarto, 2011). Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang
fenomena tanaman sliridia (Glerisida maculata) yang tumbuh di pantai Kecamatan Petanahan,
Kabupaten Kebumen untuk mengamati tingkat pertumbuhannya dan potensi pemanfaatannya untuk
kehidupan manusia terutama sebagai sumber hijauan pakan.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Penelitian tentang tanaman sliridia (Glerisida maculata) dilaksanakan guna mendapatkan
informasinya dalam upaya strategi untuk mendukung perkembangan dunia peternakan ruminansia.
Penelitian dilakukan di Desa Tegalretno, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa
Tengah. Salah satu alasan dipilihnya lokasi tersebut adalah dijumpainya tanaman sliridia (Glerisida
maculata) dalam jumlah banyak. Untuk mendapatkan informasi secara lebih komprehensif, maka
metoda penelitian yang digunakan adalah survei sebagai penelitian paradigma naturalistik dengan
prinsip yang digunakan yakni fenomenologi. Dalam pelaksanaannya disiapkan kuesener, diikuti oleh
pengamatan lapangan. Fenomena yang diamati adalah pertumbuhan dan potensi pemanfaatan
tanaman untuk kehidupan manusia terutama sebagai sumber hijauan pakan. Beberapa data sekunder
juga telah ikut menambah informasi tentang tanaman sliridia (Glerisida maculata).
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Kondisi Lokasi Penelitian.
Penelitian mengambil lokasi pengamatan di Desa Tegalretno, Kecamatan Petanahan, Kabupaten
Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Merupakan desa dengan posisi paling selatan pada wilayah
Kecamatan Petanahan. Batas sebelah selatan adalah Samodera Indonesia, sehingga mempunyai
perbatasan berupa lahan pantai didominasi pasir yang status lahannya dikuasai oleh negara, namun
dapat dimanfaatkan oleh warga setempat dengan sistem sewa. Sebelah utara pantai merupakan lahan
milik warga desa setempat dan sekitarnya. Hampir seluruh pekarangan warga dan lahan dengan status
tanah negara tersebut banyak dijumpai tumbuh secara tidak teratur tanaman sliridia (Glerisida
maculata), hingga areal 150 meter dari garis pantai, sehingga jumlahnya terdapat ribuan tanaman,
baik yang masih muda maupun yang sudah tua.
Berkaitan dengan lahan pantai yang berpasir, tidak dijumpai jaringan irigasi yang mengairi lahan
warga setempat, sehingga bentuk penggunaan lahan seluruhnya adalah tegalan dengan struktur tanah
didominasi oleh pasir. Porositas tanahnya tinggi. Hal tersebut juga dijumpai pada Desa Tegalretno
yang mempunyai luas 266 hektar, keseluruhannya berupa lahan pertanian bukan sawah dan kering
pada kondisi kemarau. Jumlah penduduknya 1.838 jiwa. Berdasarkan informasi dari pemerintahan
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
88
desa dan masyarakatnya, hijauan sliridia (Glerisida maculata), seandainya diberikan kepada ternak,
hanya diberikan untuk ternak kambing.
b. Pertumbuhan Tanaman Sliridia (Glerisida maculata)
Tanaman sliridia (Glerisida maculata) terlihat tumbuh dengan baik, tinggi dan hijau segar pada
kondisi kekeringan yang tajam, tidak terlihat adanya kondisi yang mencekam akibat kekeringan yang
berkepanjangan. Tanaman yang pendek yang telah mengalami pemotongan menampilkan tunas baru
yang segar dalam jumlah daun yang banyak dengan warna hijau muda hingga hijau tua. Tanaman
yang telah bertumbuh lama dan tuapun masih mampu hidup tegar, dengan batang bagian bawah yang
telah menjadi besar dan bersifat kayu. Hal di atas sesuai dengan pendapat Aminudin dan Hendarto
(2000) dan Khulman, et al., (2003)
Pada tanaman yang belum sempat ditebang oleh warga untuk kayu bakar, telah tumbuh tinggi hingga
lebih dari 2 meter, beberapa batang tumbuh tunas dan juga telah memunculkan bunga dan malainya.
Banyak dijumpai batang dengan diameter hingga 5 cm lebih, belum ditebang oleh pemilik pohon
karena dirasa belum membutuhkan untuk kayu bakar. Daun dari beberapa tanaman di antaranya,
telah menjadi rontok, namun tetap menghasilkan bunga dalam jumlah dari sedikit hingga banyak.
Deretan bunga tanaman Sliridia yang masih menempel di pohon berwarna ungu dan nampak indah.
Beberapa pohon yang berderet dan berbunga bersamaan juga nampak indah dipandang dari jarak agak
jauh. Pada kondisi kekeringan yang mencekam, tidak mematikan tanaman namun banyak tanaman
menggugurkan daunnya untuk mengurangi penguapkan, walaupun masih mampu menghasilkan
bunga dan malainya. Menurut Hendarto (2012) kondisi di atas, diduga setelah musim penghujan
datang tanaman akan segera tumbuh segar kembali seperti sedika kala.
c. Produksi Hijauan Sliridia (Glerisida maculata)
Produksi hijauan dari tanaman Sliridia (Glerisida maculata) berupa helai daun, tangkai daun dan
tunas muda yang masih dapat dimanfaatkan sebagai hijauan pakan. Sementara batang yang sudah tua
tidak dimanfaatkan untuk pakan karena sudah keras, akan digunakan oleh warga masyarakat untuk
kayu bakar atau dibuang sebagai sampah. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Hendarto dkk. (2013)
yang menyatakan bahwa ranting cabang tanaman Sliridia (Glerisida maculata) bagian ujungnya
hingga panjang sekitar 68 cm dapat digunakan untuk pakan sapi.
Dimungkinkan ujung ranting cabangnya dapat dimanfaatkan untuk ternak kambing pada jarak dari
ujung lebih pendek daripada untuk konsumsi ternak sapi. Berdasarkan informasi dari perangkat desa
dan masyarakat, menunjukkan bahwa hijauan dari tanaman Sliridia (Glerisida maculata) pada
umumnya dimanfaatkan untuk pakan kambing, tidak untuk ternak yang lain. Namun populasi
kambing di Desa Tegalretno, tidak dapat diperhitungkan secara pasti yang disebabkan adanya migrasi
ternak kambing yang dinamis, namun demikian tidak kurang dari 400 ekor populasi kambing.
Masyarakat telah mengetahui juga bahwa dalam penyajian sebagai hijauan pakan kambing, hijauan
dari Sliridia (Glerisida maculata) dijemur terlebih dahulu. Hal tersebut sesuai Aminudin dan Hendarto
(2000) bahwa untuk menghilangkan efek racun dari hijauan Sliridia (Glerisida maculata), pemberian
untuk pakan harus dijemur terlebih dahulu di bawah sinar matahari. Berkaitan dengan hal tersebut
hijauan tanaman Sliridia (Glerisida maculata) dapat sebagai sumber hijauan pakan yang baik bagi
ternak kambing di Desa Tegalretno.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
89
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa tanaman Sliridia (Glerisidia maculata) mampu
tumbuh dengan baik di daerah pantai hingga jarak sekitar 150 meter dari garis pantai, tanah berpasir,
tahan kering, tetap menghasilkan daun yang hijau, berbunga dan berbuah menghasilkan malai pada
kondisi kemarau yang kering dan memberikan daya dukung sebagai pakan untuk sekitar 400 ekor
kambing yang terdapat di Desa Tegalretno, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen.
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin, S. dan E. Hendarto. 2000. Ilmu Tanaman Pakan, Buku Ajar. Fakultas Peternakan
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Hendarto, E. 2011. Dimensi Lingkungan Tata Ruang Peternakan Sapi Perah Rakyat Di Kabupaten
Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Disertasi. Program Pascasarjana. Universtas Diponegoro.
Semarang
Hendarto, E. 2012. Keragaman Bentuk Lahan Lokasi Tanaman Sumber Hijauan Pakan pada
Peternakan Sapi Perah Rakyat Di Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas. Proseding
Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan Dalam Menunjang Pemenuhan Protein
Hewani Nasional. Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto
Hendarto, E., Suwarno dan N. Hidayat, 2013. Palatabilitas Hijauan Sliridia (Glerisidia Maculata)
Sebagai Tanaman Tahan Kering Pada Ternak Sapi Potong Untuk Keragaman Sumber Hijauan
Pakan. Proseding Seminar Nasional. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman.
Purwokerto
Khulman, T., E. Koomen, J. Groen and A. Bouwman. 2003. Simulating Agricultural Land Use
Change in The Netherlands. Paper presented at The International Workshop Transition in
Agriculture and Future Land Use Patterns. Wageningen
Ruslanjari D. 2006. Pengelolaan Lahan Untuk Meningkatkan Potensi Usaha Tani Berkelanjutan.
Disertasi. Tidak Dipublikasikan. Sekolah Pascasarjana. UGM. Yogyakarta.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
90
EDIBLE PORTION KARKAS, KADAR LEMAK DAN KOLESTEROL DAGING DOMBA
DENGAN IMBANGAN AMPAS BIR DAN RUMPUT GAJAH YANG BERBEDA
Agus Priyono dan Imbang Haryoko
Fakultas Peternakan UNSOED
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi kandungan edible portion karkas domba serta upaya untuk
menghasilkan daging domba yang berkualitas (rendah kandungan asam-asam lemak jenuh dan
kolesterol). Penelitian menggunakan domba lokal jantan sebanyak 16 ekor, umur 4 (empat) bulan
dengan bobot badan (BB) 5-10 kg. Bahan pakan yang digunakan adalah : konsetrat, rumput gajah,
dedak, ampas bir, garam dan mineral mix. Penelitian dilaksanakan dengan metode eksperimental
secara in vivo selama 150 hari. Rancangan yang digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan empat macam perlakuan. Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak empat
kali. Ransum perlakuan yaitu imbangan ampas bir dengan rumput gajah yang diberikan adalah
sebagai berikut : R1 = 12% ampas bir : 48 % rumput gajah; R2 = 24 % ampas bir : 36% rumput gajah;
R3 = 36% ampas Bir : 24% rumput gajah; dan R4 = 48 % ampas bir : 12% rumput gajah. Variabel yang
diukur adalah : edible portion karkas (% ) (bobot karkas, edible meat atas, dan edible meat bawah);
kadar lemak daging, kadar kolesterol daging dan hati domba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap persentase edible meat bawah, tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar lemak dan kolesterol daging domba. Kesimpulan hasil penelitian
bahwa imbangan 48 % ampas bir : 12% rumput gajah dapat digunakan sebagai campuran pakan
domba tanpa mengganggu aktivitas fisiologi dan metabolisme domba.
Kata Kunci : ampas bir, edible portion meat, kolesterol
ABSTRACK
The research was aimed to evaluated edible portion meat and as an effort to improve the quality of
lamb meat. (low content of saturated fatty acids and cholesterol), with brewery waste. The research
used 16 four months old local rams with body weight 5-10 kgs. The feed composition used was
Pennisetum purpureum grass, rice bran, beer solid waste, salt and minerals mix. The research used
experimental method in vivo for 150 days using Completely Randomized Design with four treatments.
Each treatment was with four repetition. Treatment rations were R1=12% brewery waste: 48 % grass;
R2 = 24% brewery waste: 36% grass; R3= 36% brewery waste: 24% grass; R4= 48 % brewery waste:
12% grass. The variables measured were : edible portion of carcass (%) (carcass weight, edible meat
proximal and edible meat distal); the fat content of meat, meat and liver cholesterol of lamb meat. The
results showed that the treatment significantly affect (P<0.05) to the percentage of edible meat distal,
but not significantly terhadapa levels of fat and cholesterol lamb. Conclusion of the research that the
balance 48% brewery waste: 12% of elephant grass can be used as a mixture of lamb feed without
disrupting the activity of the physiology and metabolism of lamb
Keywords : solid waste of beer, edible portion meat, cholesterol
PENDAHULUAN
Potensi untuk mengembangkan ternak domba sangat terbuka lebar, karena 30% kebutuhan pangan
dipenuhi oleh ternak. Konsumsi daging domba di Indonesia baru mencapai 0,24 g, sedangkan
konsumsi di Negara maju 3,33 g di Jerman, dan 81,11 g di New Zaeland, hal ini menunjukkan bahwa
masih terbuka luas untuk pengembanga ternak domba.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
91
Rendahnya konsumsi daging domba di Indonesia, dipengaruhi juga oleh pandangan konsumen bahwa
kandungan asam-asam lemak jenuh pada daging domba dapat menyebabkan gangguan kesehatan
seperti kolesterol, artherioskeloris, dan jantung koroner. Kandungan asam lemak jenuh pada daging
domba disebabkan karena adanya proses biohidrogenasi asam lemak tidak jenuh menjadi asam lemak
jenuh dalam rumen. Reaksi ini dapat dihambat menggunakan tannin. Tannin akan masuk dan
menempati pusat enzim pada otot, karena tannin mampu melewati saluran pencernaan tanpa diabsopsi
dan tidak menetap di vena porta. Tannin dapat meningkatkan pertambahan bobot badan, pertumbuhan
bulu, produksi susu dan performan reproduksi, mempengaruhi kualitas karkas, bobot karkas, serta
lemak karkas ( Priolo et al.,1998).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan domba lokal jantan sebanyak 16 ekor, umur 4 (empat) bulan dengan
bobot badan (BB) 5-10 kg. Bahan pakan yang digunakan adalah : HIjauan 60% terdiri dari rumput
gajah dan ampas bir. Konsentrat 40% yang terdiri dari : onggok 25%, dedak 73%, garam 1%, dan
mineral mix 1%. Penelitian dilaksanakan dengan metode eksperimental secara in vivo selama 150
hari. Metode eksperimen menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat macam
perlakuan. Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak empat kali. Ransum perlakuan
yang diberikan adalah sebagai berikut : R1= 12% Ampas Bir: 48% Rumput gajah; R2= 24% Ampas
Bir : 36 % Rumput gajah; R3= 36% Ampas Bir :24 % Rumput gajah; R4=48 % Ampas Bir : 12 %
Rumput gajah. Peubah respon : Bobot karkas, Edible Meat Atas, Edible Meat Bawah, Kadar
Lemak Daging (AOAC, 1995) dan Kadar Kolesterol Daging (Penentuan Kadar Kolesterol Daging
Metode Lieberman Dan Burchad Menggunakan Spektrofotometer. (Tranggono dan setiaji, 1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian imbangan ampas bir dengan rumput gajah yang berbeda disajikan pada Tabel 2. Tabel
2. Menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap bobot karkas, edible
meat atas. Bobot karkas yang diperoleh hasil penelitian berkisar 45,36 (R1) sampai 45,75% (R4),
hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Yosep, (2007) bahwa karkas domba yang diperoleh hasil
penelitian berkisar 40,82-56,93%. Rahmadi (2003) domba lokal jantan yang diberi pakan komplit,
selama 9 minggu diperoleh bobot karkas sebesar 49,68%. Perlakuan jenis pakan komplit tidak
menyebabkan perbedaan (P>0,05) terhadap bobot daging, lemak, dan edible portion karkas domba.
edible portion karkas sebesar 73,83% dari bobot karkas (Arifin et al., 2009).
Tabel 2. Rataan Hasil Penelitian
R1 R2 R3 R4
Bobot Karkas (%) ns 45,36 45,40 41,46 45,75
Edible meat atas (%) ns 30,15 31,98 31,50 29,48
Edible meat bawah (%) 24,36 31,56 29,28 25,26
Kadar lemak daging (%) 9,535 9,511 8,093 8,976
Kadar Kolesterol Daging (mg/g) 165,45 177,05 191,27 158,96
Kolesterol hati domba (mg/g) 235 274 245 237
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
92
Perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persentase edible meat bawah Perlakuan R1 nyata
menghasilkan edible meat bawah lebih besar dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan ampas bir 12 %, 48 % Rumput gajah dan 40 % Konsentrat dapat
digunakan untuk meningkatkan bobot edible meat. Hasil penelitian Arifin dkk. (2009), bahwa
persentase edible portion karkas hasil penelitian sebesar 73,83% dari bobot karkas. Persentase edible
portion karkas hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Lestari et al. (2001),
yaitu 75,64-78,96% atau hasil penelitian Ferrier et al. (1995), yaitu sebesar 89%.
Cividini et al. (2007) menemukan perbedaan karakeristik karkas domba yang disebabkan oleh sistem
produksi, domba yang dipelihara pada padang gembala menghasilkan karkas dengan lemak yang lebih
sedikit daripada dipelihara secara feedlot dengan pakan hijauan dan konsentrat.
Perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar lemak dan kadar kolesterol daging serta
kadar kolesterol hati (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa domba yang diberi ampas bir sebagai
campuran pakan domba belum mampu untuk menghambat proses biohidrogenasi dalam rumen
disebabkan karena tannin yang terkandung dalam pakan sebesar 20 g/kg BK, sedangkan untuk
menghambat proses biohidrogenasi dalam rumen dibutuhkan tannin sebesar 200 g/Kg BK. Tanin
dalam rumen dapat digunakan untuk menghambat proses pembentukan lemak maupun kolesterol.
Purchas and Keogh (1984) menyatakan bahwa proses lipogenesis akan menurunkan kandungan
lemak karkas domba yang diberi pakan hijauan mengandung tannin.
KESIMPULAN
Hasil penelitian bahwa imbangan 48 % ampas bir : 12% rumput gajah dapat digunakan sebagai
campuran pakan domba tanpa mengganggu aktivitas fisiologi dan metabolisme domba, dan pada
imbangan 12 % Ampas Bir: 48 % Rumput gajah serta 40 % Konsentrat dapat digunakan untuk
meningkatkan bobot edible meat.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1995. Official Method of Analysis. 13th ed. Association of Official Analytical Chemistry,
Washington DC.
Arifin,M., A. M. Hasibuan, C. M. S. Lestari, E. Purbowati, C.I. Sutrisno, E. Baliarti, S.P.S. Budhi
dan W. Lestariana. 2009. Produksi Edible Portion Karkas Domba Ekor Tipis Jantan Yang
Diberi Pakan Komplit Dengan Bahan Baku Berbagai Limbah Pertanian. ([Edible Carcass
Production of Thin Tail Lambs Fed Complete Feed Composed of Various Agricultural By-
products). J.Indon.Trop.Anim.Agric. 34 [2] June 2009
Barry, T.N., Manley, T.R. and Duncan, S.J. 1986. The role of condensed tannins in the nutritional
value of Lotus pedunculatus for sheep. 4. Sites of carbohydrate and protein digestion as
influenced by dietary reactive tannin concentration. Br. J. Nutr., 55: 123-137.
Cividini, A, D. Kompan, dan S. Žgur. 2007. The Effect Of Production System And Weaning On Lamb
Carcass Traits And Meat Characteristics Of Autochthous Jezerskosolcava Breed. Zootechnical
Department, University of Ljubljana. Slovenia
Ferrier, G.R., L.P. Thatcher, and K.L. Cooper. 1995. The effect of lamb growth manipulation on
carcass composition. CSIRO Meat Industry Ressearch Conference. 8A-18.
Lestari, C.M.S., E. Purbowati dan Mawarti 2001. Produksi edible portion karkas domba lokal jantan
akibat penggantian protein konsentrat dengan protein ampas tahu. Jurnal Pengembangan
Peternakan Tropis. Edisi Khusus : 228-235.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
93
Priolo, A., Lanza, M., Biondi, L., Pappalardo, P., Young, O.A. (1998). Effect of partially replacing
dietary barley with 20% Carob pulp on post-weaning growth, and carcass and meat
characteristics of Comisana lambs. Meat Science, 50:355-363
Rahmadi. D. 2003. Pemberian Bungkil Inti Sawit dan Konsentrat yang Dilindungi Formaldehida
untuk Meningkatkan Kandungan Asam Lemak Poli Tak Jenuh Daging Domba. Tesis. Sekolah
Pascasarjana. IPB. Bogor..
Tranggono, B. Setiaji, Suhardi, Sudarmanto, Y. Marsono, A. Murdiati, I.S. Utami dan Suparmo, 1989.
Petunjuk Laboratorium Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Joseph.G. 2007. Suplementasi Sabun Kalsium dalam Pakan Ternak Ruminansia sebagai Sumber
Energi Alternatif untuk Meningkatkan Produksi Daging yang Berkualitas. Disertasi. Sekolah
Pascasarjana. IPB. Bogor.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
94
PERTUMBUHAN KACANG PINTO (Arachis pintoi) YANG DIBERI PUPUK KANDANG
SAPI DAN MIKORIZA
Roni N.G.K., N.N Candraasih K, N.M Witariadi dan N.W Siti
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan kacang pinto (Arachis pintoi) yang diberi
pupuk kandang sapi dan mikoriza serta kombinasinya, dan mendapatkan taraf/level pupuk yang dapat
meningkatkan pertumbuhan kacang pinto, dilakukan di rumah kaca menggunakan Rancangan Acak
Lengkap pola factorial dua faktor. Faktor pertama adalah dosis pupuk kandang sapi yaitu tanpa (S0),
10 ton/ha, (S1), 20 ton/ha (S2) dan 30 ton/ha (S3). Faktor kedua adalah dosis mikoriza yaitu tanpa
(M0), 10 g/pot, (M1), 20 g/pot (M2) dan 30 g/pot (M3), dengan tiga ulangan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara pupuk kandang sapi dan mikoriza. Perlakuan pupuk
kandang sapi mampu meningkatkan Jumlah cabang, Jumlah Daun, Diameter Batang, Jumlah Bunga,
Jumlah Bintil Akar, dan Luas Daun Per Pot tanaman kacang pinto dibandingkan dengan kontrol, dan
level optimal pada dosis 20 ton/ha (S2) terjadi pada peubah diameter batang. Perlakuan mikoriza
mampu meningkatkan Jumlah Daun kacang pinto dengan level optimal pada dosis 20 g/pot (M2).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi interaksi antara pupuk kandang
sapi dan mikoriza. Perlakuan pupuk kandang sapi dan mikoriza mampu meningkatkan pertumbuhan
kacang pinto.
Kata kunci : Pupuk kandang sapi, pupuk hayati mikoriza, kacang pinto (Arachis pintoi)
ABSTRACT
The research aims to determine the growth of pinto beans (Arachis pintoi) were given the cow manure
and mycorrhizae and their combinations, and get a degree/level of fertilizer that can increase the
growth of pinto beans, carried out in a greenhouse using a completely randomized design factorial
pattern of two factors. The first factor is the dose of cow manure that is without (S0), 10 ton/ha (S1),
20 ton/ha (S2) and 30 ton/ha (S3). The second factor is the dose mycorrhizae ie without (M0), 10
g/pot, (M1), 20 g/pot (M2) and 30 g/pot (M3), with three replications. The results showed that no
interaction between cow manure and mycorrhizae. Cow manure treatments are able to increase the
number of branches, number of leaves, Diameter of steam, Number of Flowers, Number of nodule
and leaf area pinto bean compare to control, and there is optimal level at doses 20 ton/ha (S2) on
diameter of steam variable. Mycorrhizal treatment able to increase the amount of leaves of pinto
beans with optimal level on doses 20 g/pot (M2). Based on the results of this study concluded that
there was no interaction between cow manure and mycorrhizae. Cow manure and mycorrhizal
treatment are able to increase the growth of pinto beans.
Key words: cow manure, mycorrhizae, pinto beans (Arachis pintoi)
PENDAHULUAN
Dalam ransum ruminansia, porsi hijauan pakan mencapai 40-80% dari total bahan kering ransum atau
sekitar 1,5-3% dari bobot hidup ternak. Secara nutrisi hijauan pakan merupakan sumber serat, bahkan
hijauan pakan asal leguminosa menjadi suplementasi mineral dan protein murah bagi ternak
ruminansia. Hijauan pakan berperan sebagai faktor penggertak agar rumen sapi dapat berfungsi
normal (Abdullah et al., 2005).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
95
Kacang pinto (Arachis pintoi) merupakan salah satu tanaman pakan yang sangat disukai oleh ternak
(palatable), memiliki nilai nutrisi yang tinggi dan memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai pakan baik
untuk ruminansia maupun non ruminansia, meningkatkan kesuburan tanah, mencegah erosi, serta
menjadi tanaman hias (Ferguson, J.E. dan D.S. Loch, 1999). Kacang pinto juga dilaporkan memiliki
produktivitas yang tinggi pada naungan 55% dibandingkan tanpa naungan (Sirait, 2005). Hal ini
memiliki arti penting terkait permasalahan penyediaan hijauan yaitu kurangnya lahan khusus untuk
hijauan pakan.
Panen hijauan pakan berarti pengambilan unsur-unsur hara sehingga jumlahnya di dalam tanah
menurun. Pemupukan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jumlah hara yang tersedia
didalam tanah, namun penggunaan pupuk kimia (anorganik) secara terus menerus dalam jangka waktu
lama dapat menyebabkan tercemarnya kondisi lingkungan, juga dapat mengubah sifat fisik tanah
menjadi keras (Sugito, 1999). Pupuk hayati dan pupuk kandang adalah pupuk yang dapat
memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah serta lingkungan, dengan demikian pupuk hayati
dan pupuk kandang merupakan solusi yang sangat tepat. Salah satu Pupuk hayati yang sering
digunakan adalah Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA), yang merupakan suatu bentuk hubungan
simbiosis mutualisme antara cendawan dan perakaran tumbuhan tinggi. Jenis mikoriza ini membentuk
arbuskular dan vesikular dalam sel korteks akar.
Pupuk kandang sapi juga merupakan salah satu pupuk organik yaitu pupuk yang memiliki kandungan
hara yang lengkap (Sumarsono dkk., 2005), dapat memperbaiki struktur tanah dan membantu
perkembangan mikroorganisme tanah (Widjayanto dkk., 2001). Informasi tentang produktivitas
kacang pinto yang diberi pupuk hayati dan pupuk kandang sapi masih sangat terbatas, sehingga
berdasarkan kerangka pemikiran di atas, dengan dugaan adanya hubungan antara CMA dan pupuk
organik maka penelitian dengan menggabungkan kedua faktor tersebut perlu dilakukan yang
diarahkan pada peningkatan pertumbuhan kacang pinto (Arachis pintoi).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Tumbuhan Pakan, Fakultas Peternakan
Universitas Udayana, selama 3 bulan. Bahan yang digunakan adalah stek kacang pinto (Arachis
pintoi), tanah, pupuk kandang sapi, dan pupuk hayati mikoriza. Peralatan yang digunakan berupa
ayakan, pot plastik, timbangan buah, timbangan digital, meteran, sketmate digital, pisau, gunting, leaf
area meter, kantong kertas, dan oven.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial dua faktor. Faktor
pertama adalah pupuk kandang sapi yaitu S0 (tanpa pupuk kandang sapi), S1 (pupuk kandang sapi 10
ton/ha), S2 = (pupuk kandang sapi 20 ton/ha), dan S3 = (pupuk kandang sapi 30 ton/ha). Faktor kedua
adalah pupuk hayati mikoriza yaitu M0 (tanpa mikoriza), M1 (mikoriza 10 g/pot), M2 (mikoriza 20
g/pot), dan M3 (mikoriza 30 g/pot).
Pengamatan mulai dilakukan dua minggu setelah tanam yaitu setelah semua stek tumbuh dan
mempunyai daun yang sudah berkembang sempurna. Peubah yang Diamati adalah pertambahan
panjang tanaman, jumlah cabang, jumlah daun trifoliate, diameter batang, luas daun per pot, jumlah
bintil akar, dan jumlah bunga.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
96
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam. Apabila diantara nilai rata-rata perlakuan
menunjukkan perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan
(Program SPSS).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis Sidik Ragam menunjukkan bahwa tidak terjadi pengaruh interaksi antara perlakuan
mikoriza dengan pupuk kandang sapi. Perlakuan mikoriza secara nyata (P<0.05) dapat meningkatkan
jumlah daun kacang pinto (Tabel 1).
Tabel 1. Pertumbuhan kacang pinto (Arachis pintoi) yang diberi pupuk hayati Mikoriza
Ket : 1) Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05) 2) M0=tanpa mikoriza, M1=mikoriza 10 g/pot, M1=mikoriza 20 g/pot M1=mikoriza 30 g/pot 3) Standard Error of the Treatment Means
Hal ini menunjukkan peranan penting mikoriza dalam pertumbuhan tanaman karena kemampuannya
untuk menyerap unsur hara baik makro maupun mikro. Selain itu akar yang mempunyai mikoriza
dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman. Hifa eksternal
pada mikoriza dapat menyerap unsur fosfat dari dalam tanah, dan segera diubah menjadi senyawa
polifosfat. Senyawa polifosfat kemudian dipindahkan ke dalam hifa dan dipecah menjadi fosfat
organik yang dapat diserap oleh sel tanaman. Akar tanaman yang terbungkus oleh mikoriza akan
menyebabkan akar tersebut terhindar dari serangan hama dan penyakit. Infeksi patogen akar akan
terhambat, disamping itu mikoriza akan menggunakan semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar
lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok bagi pertumbuhan patogen. CMA menginfeksi
sistem perakaran tanaman inang dengan membentuk jalinan hifa secara intensif, sehingga tanaman
mampu meningkatkan penyerapan hara dan air. Peningkatan tersebut tidak hanya terhadap unsur hara
makro tetapi juga unsur mikro, namun yang lebih utama adalah unsur hara fosfor, karena infeksi
mikoriza pada tanaman dapat menghasilkan enzim fosfatase yang dapat berfungsi meningkatkan
ketersediaan fosfor tanah yang sebenarnya tidak tersedia (Beinroth, 2001). Cendawan mikoriza
arbuskular membentuk arbuskular dan vesikular dalam sel korteks akar. Cendawan ini dapat
meningkatkan kemampuan tanaman dalam pengambilan unsur hara (K, Mg, Ca, O, H, C, dan S)
No. Peubah Dosis Mikoriza2)
SEM3) M0 M1 M2 M3
1 Pertambahan panjang
Tanaman (cm) 4.66A 4.38A 4.34A 4.64A 0.76
2 Jumlah cabang (batang) 2.79X 2.92X 3.08X 2.42X 0.26
3 Jumlah Daun (helai) 13.92B 14.96AB 16.17A 13.29B 0.89
4 Diameter batang (cm) 2.97X 2.85X 3.29X 2.89X 0. 11
5 Jumlah bunga (kuntum) 0.42X 0.25X 0.29X 0.17X 0.26
6 Jumlah bintil akar (buah) 94.17X 87.42 X 93.17 X 87.58 X 13.60
7 Luas Daun per pot (cm2) 907.00.X 1,029.66 X 1,017.25 X 958.73 X 74.22
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
97
terutama fosfor (Yulipriyanto, 2010) yang berguna untuk dapat merangsang pertumbuhan dan
perkembangan akar (Hamidahmamur’s, 2010).
Dosis optimal terjadi pada dosis pemupukan 20 g/pot, yang terkait dengan ketersediaan sumber nutrisi
pada media tanam yang dapat dimanfaatkan oleh mikoriza sehingga pada dosis 30/pot.kemungkinan
terjadi persaingan sehingga terjadi penurunan produktivitasnya dalam membantu pertumbuhan
tanaman.
Pemberian pupuk kandang sapi mampu meningkatkan secara nyata (P<0.05) jumlah cabang, jumlah
daun, dimeter batang, jumlah bunga, jumlah bintil akar dan luas daun per pot tanaman kacang pinto
dibandingakan dengan kontrol (Tabel 2).
Tabel 2. Pertumbuhan kacang pinto (Arachis pintoi) yang diberi pupuk kandang sapi
No. Peubah Dosis Mikoriza2)
SEM3) S0 S1 S2 S3
1 Pertambahan panjang
Tanaman (cm) 3.57A 4.26A 4.47A 5.73A 0.76
2 Jumlah cabang (batang) 2.25B 3.17A 2.96A 2.83A 0.26
3 Jumlah Daun (helai) 11.96C 14.46B 15.50AB 16.42A 0.89
4 Diameter batang (cm) 2.85B 3.01AB 3.26A 2.88B 0.11
5 Jumlah bunga (kuntum) 0.08B 0.04B 0.21B 0.79A 0.26
6 Jumlah bintil akar (buah) 40.08B 92.08A 113.58 A 116.58A 13.60
7 Luas Daun per pot (cm2) 765.89B 1,009.66 A 1,031.73A 1,106.09A 74.22
Ket : 1) Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,05) 2) M0=tanpa pupuk kandang sapi (PKS), M1=PKS 10 ton/ha, M1= PKS 10 ton/ha, M1= PKS 10 ton/ha 3) Standard Error of the Treatment Means
Peningkatan pertumbuhaan tanaman yang diberi pupuk kandang sapi disebabkan oleh kemampuan
pupuk kandang dalam menambah hara, memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Hartatik dan
Widowati, 2006). Nilai pupuk kandang tidak saja ditentukan oleh kandungan nitrogen, asam fosfat,
dan kalium saja, tetapi juga mengandung hampir semua unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan
tanaman serta berperan dalam memelihara keseimbangan hara dalam tanah. Sutedjo (1999),
menambahkan bahwa pupuk kandang selain mengandung unsur-unsur makro (Nitrogen, Fosfor,
Kalium, Kalsium, Magnesium, dan Belerang) juga mengandung unsur-unsur mikro (Besi, Mangan,
Boron, Tembaga, Seng, Klor dan Molibdinum) yang kesemuanya membentuk pupuk, menyediakan
unsur-unsur atau zat-zat makanan bagi kepentingan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Di
samping itu, pupuk kandang yang digunakan adalah pupuk kandang sapi yang dihasilkan oleh sapi
yang diberi pakan limbah sagu terfermentasi sehingga mikroba yang digunakan untuk fermentasi
pakan masih ada saat sisa pakan keluar berupa feses, dan masih aktif ketika diaplikasikan ke dalam
media tanam.
KESIMPULAN
Tidak terjadi interaksi antara perlakuan mikoriza dengan pupuk kandang sapi. Perlakuan mikoriza
mampu meningkatkan jumlah daun kacang pinto dengan taraf optimal pada dosis 20 g/pot. Perlakuan
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
98
pupuk kandang sapi mampu meningkatkan pertumbuhan kacang pinto dengan taraf optimal pada
dosis 20 ton/ha terjadi pada peubah diameter batang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, L. Panca Dewi, M.H.K. dan Soedarmadi, H. 2005. Reposisi tanaman pakan dalam
kurikulum fakultas peternakan. Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak; Bogor,
16 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Hlm 11-17.
Beinroth, F.H. 2001. Land Resources for Forage Production in the Tropics In Sotomayor - Rios A.
Pitman Wd (eds) Tropical Forage Plants Development and Use CRC Press. Pp3-15.
Ferguson, J.E and D.S. Loch. 1999. Arachis pintoi in Australia and Latin America. In Loch DS and JE
Ferguson, editor. Forage seed Production. Tropical and Subtropical Species Volume 2.
Oxon.UK.CABI Publishing. hlm 427- 434.
Hartatik W. dan L.R.Widowati. 2006. Pupuk Kandang. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan
Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Sirait, J., S.P. Ginting dan A. Tarigan. 2005. Karakterisasi morfologi dan produksi legume pada tiga
taraf naungan di dua agroekosistem. Pros. Lokakarya Nasional tanaman Pakan Ternak Bogor,
16 September 2005.
Sugito, Y. 1999. Ekologi Tanaman:Pengaruh Factor Lingkungan Terhadap Pertumbuhan Tanaman
dan Beberapa aspeknya, UB Press. Malang.
Sumarsono, S. Anwar dan S. Budiyanto. 2005. Peranan Pupuk Organik untuk Keberhasilan
Pertumbuhan Tanaman Pakan Rumput Poliploid pada Tanah Masam dan Salin. Laporan
Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.
Sutedjo, M M. 1999. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Widjajanto, D.W., Honmura, T., Matsushita, K. and Miyauchi, N. 2001. Studies on the release N from
water hyacinth incorporated into soil-crop systems using 15N- labeling techniques. Pak. J. Biol.
Sci., 4 (9): 1075-1077.
Yulipriyanto, H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaannya, Graha Ilmu, Yogyakarta.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
99
OPTIMALISASI LAHAN PEKARANGAN UNTUK PEMENUHAN PAKAN USAHA
TERNAK DOMBA SKALA RUMAH TANGGA
Sri Nastiti Jarmani dan Sajimin
Balai Penelitian Ternak
Email: [email protected]
ABSTRAK
Masyarakat di pedesaan telah mengenal budidaya ternak ruminansia sejak puluhan tahun lalu, namun
hingga saat ini cara membudidayakannya masih seperti para pendahulunya yaitu tradisional, usaha
sambilan, sebagai tabungan atau status sosial. Domba merupakan ternak yang sangat populer untuk
dipelihara karena mudah pemeliharaannya, modal relatif lebih rendah dibanding sapi dan mudah
untuk dijual. Hasil pengamatan di Kabupaten Brebes, Kabupaten Blora dan Kabupaten Indramayu
menunjukkan bahwa rumput lapang adalah jenis pakan hijauan yang biasa diberikan selain rumput
“kalanjana” yang tidak dibudidaya, belum ada gerakan penghijauan pekarangan dan lahan diantara
tanaman utama dengan tanaman pakan ternak yang berfungsi banyak. Terdapat kecenderungan
produktivitas domba rendah dan sulit untuk mendapatkan domba dengan bobot lebih dari 40 kg.
Kekurangan pakan, manajemen perkawinan yang tidak terkontrol, pemasaran dan pemotongan domba
betina dibawah umur lima bulan merupakan sebagian faktor penyebabnya. Program penghijauan
dengan tanaman pakan jenis leguminosa berfungsi banyak seperti Sesbania grandiflora, Leucaena,
Gliricidia (turi, lamtoro, gamal) serta leguminosa herba Clitoria ternatea (kembang telang) diantara
tanaman pokok (jagung, sayuran) di ladang dan pekarangan secara intensif dan optimal diharapkan
dapat meningkatkan produksi hijauan, meningkatkan kualitas pakan, menambah kesuburan lahan dan
pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan gizi domba. Perbaikan manajemen dan pengawalan
teknologi menuju budidaya domba yang baik dan benar (good farming management) sangat
diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan pendapatan masyarakat peternak
domba skala rumah tangga. Selanjutnya pemenuhan kebutuhan pakan disertai dengan perbaikan
manajemen perkawinan yang terarah dapat mencegah terjadinya perkawinan inbreeding yang pada
akhirnya akan meningkatkan produktivitas domba dan menambah pendapatan keluarga peternak.
Kata kunci : optimalisasi, pakan, lahan, domba.
PENDAHULUAN
Populasi domba di Indonesia hampir mencapai 10,5 juta ekor di tahun 2013 (Ditjen PKH. 2013) yang
sebagian besar dibudidayakan masyarakat di pedesaan di Pulau Jawa dengan cara tradisional,
digembalakan di lahan sawah setelah panen, kawasan perkebunan dan lapangan, seperti yang
dilakukan oleh para pendahulunya meski ada beberapa daerah yang memelihara secara intensif
dimana pakannya disajikan yang terdiri dari rumput lapangan, dedaunan dan sisa panen tanaman
sayuran. Tanaman pakan ternak tidak dibudidaya oleh masyarakat karena bukan tanaman utama yang
dapat dikuonsumsi dan menambah pendapatan.
Keterbatasan tanaga kerja, kekurangan pakan, sistem perkawinan yang tidak terarah dan banyaknya
pemotongan anak domba betina dibawah umur lima (5) bulan menjadi bagian dari penyebab
rendahnya jumlah kepemilikan domba dan produktivitas rendah. Padahal dengan memelihara domba
kesulitan ekonomi dalam keluarga yang bersifat mendadak dapat teratasi karena domba mudah dijual
dibandingkan dengan sapi. Devendra (1993) menambahkan bahwa domba merupakan salah satu
penyumbang total pendapatan bagi keluarga.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
100
Domba di Indonesia termasuk dalam kategori domba prolifik dan mempunyai kemampuan
bereproduksi sepanjang tahun (Bradford, 1993) namun daya hidupnya rendah karena produksi
susunya sedikit (Bradford dan Inounu. 1996). Rendahnya daya hidup kemungkinan karena
pakan yang dikonsumsi terbatas jumlah dan kualitasnya. Peningkatan kualitas dan kuantitas pakan
dapat diatasi dengan penanaman dan sosialisasi aneka jenis tanaman pakan ternak dan manfaatnya
karena masih banyak masyarakat yang belum tahu. Penanaman tanaman leguminosa pohon (turi,
lamtoro, gamal) dan leguminosa herba (Centrosema pubescens) dan rumput gajah pada lahan
pekarangan, ladang diantara tanaman utama atau galengan secara optimal dapat meningkatkan
produksi hijauan sehingga kebutuhan pakan terpenuhi secara kalitas dan kuantitas, menyuburkan
lahan dan ada yang dapat dikonsumsi masyarakat (turi dan lamtoro) sehingga akan menambah
pendapatan peternak. Dampak dari kecukupan pakan dapat meningkatkan produktivitas domba
sehingga disarankan agar secara bersamaan dilakukan pencegahan ”pemasaran dan pemotongan
domba betina dibawah umur lima bulan” karena tingginya permintaan konsumen terhadap domba
betina muda umur dibawah 5 bulan harganya relatif jauh lebih murah dari anak domba jantan
sehingga dikawatirkan akan terjadi pengikisan pengganti induk.
METODE PENELITIAN
Tulisan ini merupakan hasil rangkuman dan pengamatan budidaya domba di peternak rakyat di desa
Pandansari Kecamatan Paguyangan Kabupaten Brebes dari tahun 2010 hingga 2013, desa Jomblang
Kecamatan Cepu dan desa Jepon Kecamatan Randublatung di Kabupaten Blora dari tahun 2007
hingga tahun 2011 dan desa Jambak Kecamatan Cikedung tahun 2002-2004 dan desa Kalensari di
Kabupaten Indramayu tahun 2015 (sedang berjalan). Informasi mendalam untuk megetahui
manajemen budidaya dilakukan melalui wawancara dengan ketua kelompok, petugas lapang dan
pedagang/blantik domba di pasar hewan dan pedagang/warung sate “domba”. Hasil wawancara di
telisik kembali (cross check) dengan pengamatan secara langsung tatacara pemeliharaan domba di
peternak terutama dalam pemberian pakan dan pengadaannya, pemeliharaan dan pemasaran.
Gerakan penghijauan dengan penanaman tanaman pakan ternak berfungsi banyak dan rumput
budidaya di lahan pekarangan, ladang dan galengan secara optimal diharapkan dapat membantu
memenuhi kecukupan pakan secara kuantitas dan kualitas. Data disajikan secara deskriptif.
Budidaya Tanaman Pakan Ternak
Ketersediaan pakan untuk domba di peternak rakyat perlu diusahakan agar keberlanjutan usahanya
dapat terjaga. Budidaya tanaman pakan jenis leguminosa sebagai sumber hijauan mempunyai
beberapa keuntungan yaitu dapat menyediakan protein yang cukup tinggi, murah, mudah didapat dan
tersedia sepanjang tahun selain itu tanaman legume sangat baik beradaptasi pada berbagai jenis lahan
dan banyak manfaatnya sehingga dikenal sebagai jenis pohon serba guna (JPSG). Penanaman legume
pohon seperti Leucaena (Lamtoro), Gliricidia (Gamal), Sesbania grandiflora (Turi) dan legume herba
Clitoria ternatea (Kembang Telang) di pekarangan, ladang diantara tanaman utama, galengan selain
dapat meningkatkan kesuburan lahan juga dapat meningkatkan produksi hijauan dibandingkan dengan
penanaman monokultur tanaman pangan (Sajimin. 1999). ) Ketiga jenis tanaman tersebut mudah
ditanam di segala jenis tanah, dapat digunakan sebagai pagar di pekarangan, pembatas pemilikan
lahan dan juga dapat digunakan sebagai pakan domba. Jarak tanam di antara tanaman pokok dan di
tegalan 50 x 100 cm memanjang sedangkan jarak 25 x 50 cm bila untuk pagar. Selain itu bunga turi
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
101
dan buah lamtoro juga dapat dikonsumsi. Sedangkan kembang telang bunganya berwarna ungu bagus
untuk tanaman hias dan juga dapat digunakan sebagai pewarna makanan. Budidaya kembang telang
di lahan kering kawasan hutan jati di desa Jomblang Kabupaten Blora tumbuh dengan baik dan
produksinya mencapai 0,17 ton/ha/panen pada panen umur 75 hari (Jarmani et al. 2013) demikian
pula dengan pertumbuhan percabangan turi dan lamtoro di kawasan hutan jati cukup berkembang
pada musim kemarau panjang. Dalam penerapannya Wina (1992) melaporkan bahwa pemberian daun
Gamal dan Lamtoro untuk pakan domba dalam bentuk segar hingga 30% tidak menimbulkan efek
negatif pada pertumbuhan domba. Gerakan penghijauan lahan pekarangan secara lebih optimal
dengan tanaman pakan ternak jenis leguminosa sangat diharapkan terutama untuk daerah-daerah padat
ternak ruminansia karena kurangnya ketersediaan pakan merupakan masalah utama dalam
meningkatkan produktivitas ternak. Dampak dari kecukupan pakan dapat meningkatkan
produktivitas domba sehingga disarankan agar secara bersamaan dilakukan pencegahan pemasaran
dan pemotongan domba betina dibawah umur lima bulan karena dikawatirkan akan terjadi pengikisan
domba pengganti induk.
Budidaya Tanaman Pakan Ternak
Ketersediaan pakan untuk domba di peternak rakyat perlu diusahakan agar keberlanjutan usahanya
dapat terjaga. Budidaya tanaman pakan jenis leguminosa sebagai sumber hijauan mempunyai
beberapa keuntungan yaitu dapat menyediakan protein yang cukup tinggi, murah, mudah didapat dan
tersedia sepanjang tahun selain itu tanaman legume sangat baik beradaptasi pada berbagai jenis lahan
dan banyak manfaatnya sehingga dikenal sebagai jenis pohon serba guna (JPSG). Penanaman legume
pohon seperti Leucaena (Lamtoro), Gliricidia (Gamal), Sesbania grandiflora (Turi) dan legume herba
Clitoria ternatea (Kembang Telang) di pekarangan, ladang diantara tanaman utama, galengan selain
dapat meningkatkan kesuburan lahan juga dapat meningkatkan produksi hijauan dibandingkan dengan
penanaman monokultur tanaman pangan (Sajimin. 1999). ) Ketiga jenis tanaman tersebut mudah
ditanam di segala jenis tanah, dapat digunakan sebagai pagar di pekarangan, pembatas pemilikan
lahan dan juga dapat digunakan sebagai pakan domba.
Jarak tanam di antara tanaman pokok dan di tegalan 50 x 100 cm memanjang sedangkan jarak 25 x 50
cm bila untuk pagar. Selain itu bunga turi dan buah lamtoro juga dapat dikonsumsi. Sedangkan
kembang telang bunganya berwarna ungu bagus untuk tanaman hias dan juga dapat digunakan
sebagai pewarna makanan. Budidaya kembang telang di lahan kering kawasan hutan jati di desa
Jomblang Kabupaten Blora tumbuh dengan baik dan produksinya mencapai 0,17 ton/ha/panen pada
panen umur 75 hari (Jarmani et al., 2013) demikian pula dengan pertumbuhan percabangan turi dan
lamtoro di kawasan hutan jati cukup berkembang pada musim kemarau panjang. Dalam
penerapannya Wina (1992) melaporkan bahwa pemberian daun Gamal dan Lamtoro untuk pakan
domba dalam bentuk segar hingga 30% tidak menimbulkan efek negatif pada pertumbuhan domba.
Gerakan penghijauan lahan pekarangan secara lebih optimal dengan tanaman pakan ternak jenis
leguminosa sangat diharapkan terutama untuk daerah-daerah padat ternak ruminansia karena
kurangnya ketersediaan pakan merupakan masalah utama dalam meningkatkan produktivitas ternak.
Dampak dari kecukupan pakan dapat meningkatkan produktivitas domba sehingga disarankan agar
secara bersamaan dilakukan pencegahan pemasaran dan pemotongan domba betina dibawah umur
lima bulan karena dikawatirkan akan terjadi pengikisan domba pengganti induk.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
102
Budidaya domba
Tabel 1. Budidaya domba di lokasi pengamatan
Parameter Kab. Blora Kab. Brebes Kab. Indramayu
Pemeliharan Intensif Intensif Ekstensif dan intensif
Pakan :
Jenis pakan
Sumber
Penyajian
Jumlah per hari
R. lapang, daun
nagka, lamtoro
Disajikan
Hutanjati, sawah,
galengan,
Dikandang
1keranjang untuk
semua domba (8 –
10 kg)
R.lapang,dedaunan
sejenis legume,, sisa
sayuran yang tidak
dijual, daun wortel air
minum dan garam
kadang diberikan
Hutanpinus,kebun,
tegalan,garam beli di
pasar
dikandang
2 - 4 karung untuk
semua domba (30 – 60
kg)
R.lapang, dedak, garam
Perkebunan
tebu,sawah,tegalan,
Dedak dan garam membeli
di pasar
Dedak,garam,air saat
digembalakan dan setelah
kemba-
li kekandang
dedak 1,0 – 1,5 kg;
garam 0,50 – 1,0 kg; air 5-
10 lter untuk semua domba
Kandang Lantai tanah, di
dalam rumah dan
atau di dapur
Panggung,tertutup
berkelompok, di
perkebunan teh
Panggung, berpindah-
pindah, mendekati sumber
pakan
Penanaman
Tanaman pakan
ternak
Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Dari Tabel 1 rumput merupakan pakan utama dan bila dicermati pakan di desa Pandansari lebih
bervariasi(sekitar 16 jenis tanaman) dibanding lokasi lain. Hasil analisa dari laboratorium pakan di
Balai Penelitian Ternak kandungan proteinnya 16% - 18% kemungkinan karena banyak dedaunannya
sejenis leguminosa. Tidak adanya budidaya tanaman pakan ternak di tiga lokasi pengamatan karena
domba adalah usaha sampingan dan dengan pakan “seadanya” tetap dapat berproduksi. Terbatasnya
ketersediaan pakan dimusim kemarau dan larangan menggembala dan merumput di kawasan
kehutanan dan perkebunan berdampak pada kurangnya pakan, selain itu menurut Setiadi et al. (2009)
waktu untuk mencari pakan akan lebih lama pada musim kemarau (3-4 jam) dibandingkan dari musim
hujan (1-2 jam) untuk sekali perjalanan.Oleh karena itu perlu gerakan penghijauan lahan pekarangan,
ladang dan galengan dengan tanaman pakan jenis leguminosa pohon dan leguminosa herba serta
rumput unggul dengan pendekatan “learning by doing” (belajar sambil melaksanakan) agar kebutuhan
pakan tercukupi.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
103
KESIMPULAN DAN SARAN
Budidaya domba di peternak rakyat perlu terus dijaga keberadaannya dengan memperbaiki tatacara
pengadaan dan penyediaan hijauan pakan yang berkualitas untuk meningkatkan produktivitas ternak
dan pendapatan peternak.
Gerakan penghijauan dengan mengoptimalkan lahan pekarangan, ladang dan galengan dengan
tanaman pakan ternak bergizi dan berproduksi tinggi seperti lamtoro, turi, gamal, kembang telang dan
rumput gajah dapat mencukupi ketersediaan kebutuhan pakan hijauan sepanjang tahun sehingga
dapat meningkatkan produktivitas
Peningkatan produktivitas perlu dibarengi dengan peningkatan pengawasan penjualan dan
pemotongan domba betina dibawah umur lima bulan untuk mencegah pengikisan calon betina
pengganti induk
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Setiadi, Subandriyo, S.N.Jarmani, D. Lubis dan Hastono. 2009. Open Nucleus Breeding
System Domba Komposit Resisten Nematoda, Adaptif Pakan Pedesaan di Jawa Tengah dan
Banten. Laporan hasil penelitian. Balitnak. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian.
Bradford,G.E. 1993. Small Ruminant Breeding Strategy for Indonesia. In. Subandryo and
Gatenby,R.M.(Eds). Advances in Small Ruminant Research In Indonesia. SR-SRCP, Central
Research Institute for Animal Science. Bogor. Indonesia.pp.88-94
Bradford,G.E and I.Inounu.1996. Prolific Breeds in Indonesia. In. M.H.Faling (ed). Prolific
Sheeps.CAB. International. Oxon,U.K.p 137 – 145
Devendra,C. 1993. Kambing dan Domba di Asia. Dalam Proceeding Kambing dan Domba Di
Indonesia. Editor M.W.Tawonszenka, I.M. Mastika, A.Djajanegara, S.Gardiner, dan T.R.
Wiradarya. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.
Jarmani, S.N., Sajimin dan A. Anggraeni. 2013. Integrasi Budidaya Sapi di Kawasan Hutan Jati.
Laporan Pengawalan Teknologi. Balai Penelitian Ternak.
Sajimin, B.R.Prawiradiputra dan M.Panjaitan. 1999. Integrasi tanaman pakan pada usahatani di
Kecamatan Bayongbong. Garut. JITV Vol 4(4). Puslitbangnak. Bogor.p 251-256, E. 1992.
Nilai gizi kaliandra, gamal dan lamtoro sebagai suplemen untuk domba yang diberi pakan
rumput gajah. Prosiding Pengolahan Hasil dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian “Teknologi
Pakan dan Tanaman Pakan”. Balai Penelitian Ternak. Pusat Wina Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Hal 13-20
Wina, E. 1992. Nilai gizi kaliandra, gamal dan lamtoro sebagai suplemen untuk domba yang diberi
pakan rumput gajah. Prosiding Pengolahan Hasil dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian
“Teknologi Pakan dan Tanaman Pakan”. Balai Penelitian Ternak. Pusat Wina Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Hal 13-20
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
104
EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN HIJAUAN PADA USAHA TERNAK SAPI POTONG DI
KABUPATEN BANJARNEGARA
Sri Mastuti, Yusmi Nur Wakhidati dan Oentoeng Edy Djatmiko
Fakultas Peternakan UNSOED
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui pengaruh penggunaan biaya input pakan hijauan dan
input obat dan vitamin terhadap kenaikan nilai produksi sapi potong di Kabupaten Banjarnegara; 2).
Mengetahui efisiensi penggunaan biaya hijauan pakan terhadap kenaikan nilai produksi pada usaha
ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode
survei (Survey Method) terhadap peternak sapi potong. Sampel wilayah dipilih secara stratified
random sampling berdasarkan populasi sapi potong, sehingga terpilih 5 kecamatan dari 20 kecamatan
yang ada di Kabupaten Banjarnegara yaitu Kecamatan Rakit, Susukan, Pagentan, Purwanegara dan
Wanayasa. Selanjutnya sampel peternak dipilih dengan metode Quota Sampling sebanyak 20 peternak
dari masing-masing kecamatan terpilih, sehingga terambil 100 responden. Analisis fungsi Cobb-
Douglas digunakan untuk melihat pengaruh biaya input terhadap kanaikan nilai produksi, sedangkan
efisiensi ekonomi dianalisis dengan membandingkan Nilai Produk Marginal (NPM) dengan Biaya
Korbanan Marginal (BKM). Biaya input dikatakan efisien jika nilainya = 1, belum efisien > 1, dan
tidak efisien < 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata NPM peternak sebesar Rp.
5.350.000,00. BKM pakan hijauan sebesar Rp 2. 028.487,50 dan obat dan vitamin sebesar Rp
201.800,00. Biaya pengadaan input pakan hijauan berpengaruh terhadap kenaikan nilai produksi
dengan koefisien sebesar 0,77 (P < 0.05), sedangkan biaya vitamin dan obat tidak berpengaruh secara
signifikan dengan R2 sebesar 0,76. Efisiensi penggunaan biaya pakan hijauan sebesar 2,024 yang
berarti penggunaan pakan oleh peternak belum efisien. Demikian pula penggunaan input obat dan
vitamin, belum efisien dengan nilai sebesar 1,832. Kenaikan nilai produksi sapi potong di Kabupaten
Banjarnegara dapat ditingkatkan dengan meningkatkan efisiensi penggunaan biaya pakan.
Kata kunci: efisiensi penggunaan biaya input, usaha ternak sapi potong
PENDAHULUAN
Pembangunan di subsektor peternakan antara lain bertujuan untuk meningkatkan konsumsi protein
hewani asal ternak, meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja dan lapangan kerja serta
diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap devisa daerah setempat. Ternak sapi merupakan
salah satu komoditas yang memiliki potensi cukup besar sebagai ternak penghasil daging dan menjadi
prioritas dalam pembangunan peternakan. Sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil
bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan penting artinya di dalam
kehidupan masyarakat. Disamping berperan sebagai penghasil daging, sapi potong juga berperan
sebagai sumber pendapatan, sarana investasi, tabungan, fungsi sosial, sumber pupuk, sumber tenaga
kerja dalam pengolahan tanah dan pemanfaat limbah pertanian (Tumewu dkk., 2014).
Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu sentra produksi dan pengembangan ternak sapi potong
berdasarkan potensi alam dan budaya tani yang dimiliki masyarakat. Berdasarkan data dari Badan
Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara (2013), populasi sapi potong dari tahun 2008 sampai 2013
berturut-turut adalah 40.426 ekor, 41.638 ekor, 41.842 ekor, 34.320 ekor, 37.067 ekor dan pada tahun
2013 populasi sapi potong sebanyak 32.222 ekor. Lokasi penyebaran sapi potong terdapat di seluruh
Kecamatan di Kabupaten Banjarnegara. Proses penyebaran tersebut didukung oleh luasnya lahan
penghasil hijauan makanan ternak (HMT) seluas 21.782 m2 (BPS, 2013)
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
105
Usaha ternak sapi potong dikatakan berhasil jika produksi yang dihasilkan optimal. Sedangkan
produksi dikatakan optimal jika penggunaan faktor produksi dilakukan seefisien mungkin. Pada
umumnya usaha ternak sapi potong di Indonesia masih dijalankan dengan cara tradisional dengan ciri
merupakan usaha sampingan, skala pemeliharaan kecil dan produktivitas yang rendah. Menurut
Kalangi (1014), produktivitas ternak dapat ditingkatkan dengan memperbaiki efisiensi usaha secara
berkesinambungan. Secara teoritis, produksi daging merupakan hasil interaksi antara faktor endogen
dan eksogen. Faktor endogen, sebagai faktor kemampuan biologis, baru dapat ditampilkan jika faktor
eksogen sebagai faktor kesempatan, memungkinkan faktor endogen berkembang. Tidak kalah penting
adalah faktor eksogen. Faktor ini sering disebut dengan faktor lingkungan terdiri atas tiga faktor yaitu
iklim, ketersedian pakan dan manajemen pemeliharaan. Kemampuan manajerial peternak yang
beragam seringkali mengakibatkan penggunaan input produksi tidak efisien sehingga menyebabkan
produksi menjadi tidak optimum. Di sisi lain, kabupaten Banjarnegara memiliki potensi lahan hijauan
pakan yang cukup menjanjikan. Besarnya potensi sumber ketersediaan pakan seperti limbah pertanian
dan luasnya lahan penghasil hijauan makanan ternak dapat menjadi faktor pendukung bagi
pengembangan usaha. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait penggunaan
faktor produksi khususnya pakan hijauan dalam usaha ternak sapi potong. Selanjutnya akan
teridentifikasi tingkat efisiensi penggunaan biaya pakan hijauan pada usaha ternak sapi potong di
Kabupaten Banjarnegara.
METODE PENELITIAN
Metode Pengambilan Sampel
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survei (Survey Method) terhadap rumah tangga
peternak sapi potong. Sampel wilayah dipilih secara stratified random sampling berdasarkan populasi
sapi potong, sehingga terpilih 5 kecamatan dari 20 kecamatan yang ada di Kabupaten Banjarnegara
yaitu Kecamatan Rakit, Susukan, Pagentan, Purwanegara dan Wanayasa. Selanjutnya sampel peternak
dipilih dengan metode Quota Sampling sebanyak 20 peternak dari masing-masing kecamatan terpilih,
sehingga terambil 100 responden.
Metode Analisis
a. Pengaruh penggunaan biaya input terhadap kenaikan nilai produksi dianalisis dengan
menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas, kemudian ditransformasikan dalam bentuk
logaritma natural. Rumus yang digunakan adalah: Y = a + 1 X1 + 2 X2 + e
Dimana Y merupakan kenaikan nilai produksi ternak, x1 adalah nilai penggunaan pakan hijauan,
x2 adalah nilai penggunaan obat dan vitamin. n merupakan koefisien regresi dan e adalah error.
Variabel Y dan x dinyatakan dalan satuan rupiah per tahun.
b. Efisiensi ekonomis dihitung dengan menggunakan perbandingan antara Nilai Produk Marginal
dengan nilai Biaya Korbanan Marginal. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:
Ep = n .
Jika nilai Ep > 1 maka penggunaan input belum efisien, dan jika nilai Ep < maka penggunaan
input tidak efisien lagi
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
106
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kenaikan Nilai Produksi dan Biaya Produksi Usaha Sapi Potong
Kenaikan nilai produksi merupakan pertambahan nilai ternak selama pemeliharaan satu tahun.
Kenaikan nilai ternak ini dapat berupa adanya pedet yang dilahirkan dan pertumbuhan ternak dari
pedet menjadi dara maupun pertumbuhan ternak dara menjadi ternak dewasa. Kenaikan nilai produksi
ternak dihitung dari nilai ternak pada akhir tahun dikurangi nilai ternak pada akhir tahun termasuk di
dalamnya penjualan ternak dikurangi dengan pembelian ternak selama satu tahun produksi. Sementara
itu, biaya produksi dihitung berdasarkan biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh peternak. Dalam
penelitian ini biaya yang benar-benar dikeluarkan peternak dalam usahanya adalah biaya pembelian
obat dan vitamin serta biaya yang digunakan untuk pengadaan pakan hijauan.
Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa rata-rata kenaikan nilai produksi ternak per tahun sebesar
Rp. 5.350.000,00. Kenaikan nilai produksi ternak tertinggi adalah sebesar Rp 24.000.000,00 per tahun
dan terrendah sebesar Rp 1.500.000,00 per tahun. Rata-rata biaya pengadaan pakan hijauan oleh
peternak adalah sebesar Rp 2.028.487,50. Biaya pengadaan pakan tertinggi sebesar Rp 7.592.000,00
per tahun dan terrendah sebesar Rp 711.750,00 per tahun. Rata-rata biaya pembelian obat dan vitamin
sebesar Rp 201.800,00 dengan biaya tertinggi sebesar Rp 2.675.000,00 dan terrendah Rp 15.000,00
per tahun. Hasil selengkapnya tersaji pada tabel 1.
Tabel 1. Statisik Deskriptif Kenaikan Nilai Ternak dan Biaya Produksi pada Usaha Ternak Sapi
Potong di Kabupaten Banjarnegara
Kenaikan nilai ternak Biaya pengadaan pakan
hijauan
Biaya pembelian obat
dan Vitamin
Rata-rata 5.350.000,00 2.028.487,50 201.800,00
Minimum 1.500.000,00 711.750,00 15.000,00
Maksimum 24.000.000,00 7.592.000,00 2.675.000,00
Standar deviasi 4.032.807,38 1.422.750,91 328.321,10
Sumber: data primer diolah
Pengaruh biaya input terhadap kenaikan nilai produksi ternak dan efisiensi ekonomis
Analisis regresi digunakan untuk melihat pengaruh penggunaan biaya faktor produksi atau input
pakan hijauan dan obat dan vitamin terhadap kenaikan nilai produksi ternak dan hasil selengkapnya
tersaji pada tabel 2. Hasil analisis menunjukkan nilai R2 sebesar 0,760. Besaran nilai R2 merupakan
koefisien determinasi yang menggambarkan ketepatan model yang digunakan. Nilai ini menunjukkan
bahwa 76 persen variasi dari kenaikan nilai produksi ternak sapi potong dapat dijelaskan oleh variabel
penjelas yaitu biaya hijauan dan biaya obat dan vitamin. Sedangkan sisa 24 persen dipengaruhi oleh
faktor lain diluar model analisis yang digunakan baik itu dari aspek sosial ataupun aspek ekonomi
yang terlibat didalam kegiatan usaha sapi potong tersebut. Dengan nilai F hitung sebesar 153,991 dan
signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen menggambarkan bahwa secara bersama-sama variabel
penjelas berpengaruh terhadap kenaikan nilai produksi ternak sapi potong.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
107
Tabel 2. Hasil Analisi Regresi penggunaan biaya faktor produksi terhadap kenaikan nilai produksi
ternak
Coefficients Standard Error t Stat P-value Ep
Intercept 1,521 0,301 5,045 2,1E-06
X1 (pakan hijauan) 0,767 0,059 12,918*** 8,3E-23 2,024
X2
(obatdanvitamin) 0,069 0,035 1,9705 0,05165
1,832
R Square = 0,760 F Hit = 153,991 F Sig. 7,9E-31
Sumber : Data Primer Diolah 2014. Keterangan : Ep : Efisiensi ekonomi; *** : nyata pada tingkat
kepercayaan 99 %
Pengaruh penggunaan biaya input pakan hijauan dan input obat dan vitamin terhadap kenaikan nilai
produksi ternak sapi potong dapat dilihat nilai koefisien faktor produksi pada tabel 2. Hasil analisis
menunjukkan bahwa penggunaan pakan hijauan memiliki koefisien sebesar 0,767 signifikan pada
tingkat kesalahan 1 persen. Nilai koefisien tersebut menggambarkan bahwa setiap peningkatan biaya
pakan hijauan sebesar 10 persen akan memberikan kenaikan nilai ternak sebesar 7,67 persen. Artinya,
peternak masih memungkinkan untuk mendapatkan kenaikan nilai ternak dengan menambah
penggunaan pakan. Dengan meningkatkan biaya hijauan maka produksi akan meningkat dan mampu
menutupi biaya produksi yang telah dikeluarkan. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Hanafie
(2010), yang menyatakan bahwa bertambahnya biaya diperlukan untuk menambah produksi. Selain
itu, hasil ini sesuai dengan hasil analisis efisiensi yang menunjukkan nilai 2,024. Yang berarti secara
ekonomi, penggunaan pakan hijauan belum efisien karena nilainya lebih besar dari satu. Diduga
kualitas pakan yang beragam, menyebabkan pemberian pakan oleh peternak menjadi belum efisien.
Supratman dan Iwan (2001), bahwa pertambahan berat badan yang maksimal akan bisa dicapai bila
pakan yang diberikan mencukupi baik kualitas maupun kuantitasnya. Hasil ini juga sejalan dengan
temuan Jones (2000), Trestini (2006), Krasachat (2007), dan Sidauruk (2010).
Pada penggunaan biaya input obat dan vitamin, analisis menunjukkan bahwa biaya input ini tidak
mempengaruhi kenaikan nilai produksi ternak sapi potong. Hal ini dimungkinkan karena peternak
menganggap bahwa obat dan vitamin bukan faktor produksi utama dalam usaha pemeliharaan sapi
potong dan hanya faktor produksi pendukung. Hal tersebut menyebabkan kecilnya penggunaan dan
biaya obat dan vitamin pada usaha ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara. Hal ini sesuai
dengan analisis efisiensi ekonomi, yang menunjukkan bahwa penggunaan biaya obat dan vitamin
belum efisien (bernilai 1,83). Peternak asih memungkinkan untuk menambah pemberian obat dan
vitamin guna memberi kenaikan nilai produk ternak yang lebih besar. Pemberian obat dan vitamin
memang tidak untuk menaikkan berat badan secara langsung, melainkan untuk pencegahan,
penyembuhan dan pemberantasan penyakit yang dapat mempengaruhi produksi. Kondisi ternak yang
sehat, kenaikan berat dan produksi telur diharapkan dapat tercapai dengan optimal (Dorland, 2002).
KESIMPULAN
Biaya pakan hijauan yang dikeluarkan oleh peternak berpengaruh positif terhadap kenaikan nilai
produksi ternak sapi potong. Penggunaan biaya pengadaan hijauan pakan ternak dan biaya obat dan
vaksin belum efisien. Kenaikan nilai produksi ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara dapat
ditingkatkan dengan memperbaiki efisiensi penggunaan biaya pakan hijauan dan biaya obat dan
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
108
vitamin guna mendukung kesehatan ternak sehingga kenaikan nilai ternak dapat tercapai secara
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2013. Banjarnegara Dalam Angka 2013. BPS Kabupaten Banjarnegara.
Dorland W. A. N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Terjemahan Huriawati Hartanto. Edisi pertama,
Jakarta : EGC. Hal : 1815.
Hanafie, R. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. C.V. Andi Offset, Yogyakarta.
Jones R. 2000. Costs, Distribution of Costs, and Factors Influencing Profitability in Cow-Calf
Production. Kansas State University.
Kalangi, L.S. 20014. Analisis Efisiensi Ekonomi Usaha Perkembangbiakan Ternak Sapi Potong
Rakyat di Propinsi Jawa Timur. Disertasi.Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Krasachat W. 2007. Economic Efficiency of Feedlot Cattle Farms in Thailand. Conference on
International Agricultural Research for Development. Tropentag University of Kassel-
Witzenhausen and University of Gottingen, October 9-11, 2007
Sidauruk R, Cyrilla L, Atmakusuma J. 2010. Analisis Efisiensi Pola Usaha Sapi Potong di Bekasi
Jawa Barat (Kasus di PT Lembu Jantan Perkasa). Media Peternkan, 24(1) : 128-135
Supratman dan Iwan. 2001. Manajemen Pakan Sapi Potong. Pelatihan Wirabisnis Feedlot Sapi
Potong Fakultas Peternakan UNPAD, Bandung
Trestini S. 2006. Technical Efficiency of Italian Beef Cattle Production Under a Heteroscedastic Non-
Neutral Production Frontier Approach. Conference Paper, Presented at the 10th Joint
Conference on Food, Agriculture and the Environment, August 27-30. Duluth, Minnesota
Tumewu, J.M, Panelewen, V.V.J, Mirah, A.D.P. 2014. Analisis Usaha Tani Terpadu Sapi Potong dan
Padi Sawah Kelompok Tani “Keong Mas” Kecamatan Sangkup, Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara. Journal Zootek. Vol. 34 No.2:1-9 (Juli 2014).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
109
PRODUKTIVITAS KERJA, GAYA KEPEMIMPINAN KETUA DAN MOTIVASI
BERPRESTASI ANGGOTA KELOMPOK PETERNAK SAPI PERAH DI KABUPATEN
BANYUMAS.
Muhammad Nuskhi dan Lucie Setiana
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Result showed that style of leadership level could be classified as moderate category with persentation
47,06 persen,level of motivation of achievementcould be classified as high category and level of
produtivitycould be classified as moderate categorywith persentation (54,16%) 54,16% persen. Rank
spearman correlation showed that variable who correlation to farmers motivation of achievement is
telling leadership (rs=0.610**), selling leadership (rs=0.639**), and participating leadership
(rs=0.627**) has a high significant correlation to farmers motivation of achievement, where as
delegating leadership has a moderate significant correlation to farmers motivation of achievement
(rs=0.590*). While variable who correlation to productivity is telling leadership (rs=0.244*), selling
leadership (rs=0.241), participating leadership (rs=0.242) and delegating leadership (rs=0.249)has a
low significant correlation to farmers.
Keywords:Productivity, Style of Leadership and Motivation of Achievement
PENDAHULUAN
Perkembangan usaha sapi perah di Indonesia belum mengalami kemajuan secara signifikan dan belum
dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, menghimpun peternak dalam kelompok
tani ternak merupakan upaya untuk memajukan peternakan sapi perah di Indonesia. Di Kabupaten
Banyumas populasi ternak sapi perah tahun 2012 sebesar 2.123 ekor, sementara tahun 2013 sebesar
2.087 ekor, ini menujukkan belum ada kemajuan yang signifikan bahkan terjadi penurunan sedikit
populasi ternak sapi perah.
Kelompok tani ternak merupakan suatu perhimpunan para peternak di tingkat peternak untuk
menghimpun modal dan mempermudah pembinaan. Diharapkan dengan adanya kelompok tani ternak
akan dapat pemupukan modal, adopsi teknologi, mempercepat proses penerimaam informasi dan
regenerasi peternak, sehingga dapat mempercepat kemajuan, perkembangan usaha, dan kreativitas
sekaligus sebagai wahana belajar dan bekerjasama peternak dalam meningkatkan produktivitasnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keeratan hubungan antara produktivitas kerja,
gaya kepemimpinan ketua dengan motivasi berprestasi peternak sapi perah.
METODE PENELITIAN
Sasaran dalam penelitian ini adalah keluarga peternak yang menjadi anggota kelompok peternak sapi
perah. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif korelatif dengan menggunakan
metode survey. Variabel-variabel yang diukur meliputi variabel X dan variabel Y. Variabel X, yaitu
gaya kepemimpinan meliputi gaya telling (X1), gaya selling (X2), gaya participating (X3), gaya
delegating (X4). Variabel Y1, yaitu motivasi berprestasi meliputi motivasi intrinsik (Y11), motivasi
ekstrinsik (Y12). Variabel Y2, yaitu dan produktivitas kerja meliputi penerimaan (Y21), curahan kerja
(Y22 ).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
110
Keeratan hubungan antara gaya kepemimpinan dengan motivasi berprestasi dan produktivitas kerja
peternak sapi perah di Kabupaten Banyumas, diukur dengan analisis Koefisien Korelasi Rangking
Spearman dengan rumus :
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tinjauan Umum
Mayoritas penduduk di Kabupaten Banyumas bermata pencaharian sebagai petani. Jenis usaha di
sektor pertanian yang dikelola penduduk merupakan pertanian tanaman pangan, perikanan dan
peternakan. Penduduk dengan mata pencaharian pertanian tanaman pangan sebanyak 137.646 jiwa
(60,23%), peternakan sebanyak 74.434 jiwa (32,57%) dan perikanan sebanyak 16.454 jiwa (7,20%)
(BPS Kabupaten Banyumas, 2010).
2. Tinjauan Khusus
2.1. Produktivitas Kerja
Berdasarkan data pada tabel 1, diketahui bahwa sebanyak 62,69 persen peternak memiliki
produktivitas kerja beternak yang sedang dan sebanyak 23,88 persen peternak memiliki produktivitas
kerja beternak yang tinggi. Hasil tersebut tidak sesuai dengan penelitian Purwanto (2007), yang
menyatakan bahwa tingkat produktivitas kerja peternak sapi perah di Kabupaten Banyumas pada
kategori tinggi sebesar 64,06 persen sedangkan kategori sedang sebanyak 35,94 persen. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa produktivitas kerja peternak dikagorikan sedang, ini disebabkan
karena tingkat pendidikan peternak yang masih rendah.
2.2. Gaya Kepemimpinan
Gaya telling merupakan gaya yang melibatkan pemimpin secara terus menerus memberikan perintah
tentang apa, bagaimana, kapan, dan dimana tugas–tugas yang harus dilaksanakan kepada yang
dipimpinnya (Sutarto, 2007). Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa sebanyak 35
peternak (52,00%) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan telling termasuk kategori sedang
(Kencana, 2009). Diketahui pula bahwa sebanyak 36 peternak (53,73%) menyatakan bahwa gaya
kepemimpinan selling termasuk dalam kategori tinggi dan 30 orang peternak (44,77%) menyatakan
termasuk dalam kategori sedang (Andratika, 2009).
Menurut Kartono (2006) Gaya kepemimpinan partisipasi merupakan respon ketua kelompok tani
yang harus diperankan ketika tingkat kemampuan peternak rendah akan tetapi tidak memiliki
kemauan untuk melakukan tanggung jawab, yang seringkali disebabkan karena kurang keyakinan.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa sebanyak 46 peternak (70,15%) menyatakan bahwa gaya
kepemimpinan ini termasuk dalam kategori tinggi (Indah, 2008). dapat Diketahui pula bahwa
sebanyak 36 peternak (53,73%) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan delegating termasuk dalam
kategori sedang dan 30 orang peternak (44,77%) menyatakan termasuk dalam kategori tinggi.
NN
d
r
N
i
i
s
3
1
26
1
Keterangan :
rs : Korelasi jenjang spearman
N : Jumlah data observasi
di : Beda antara dua himpunan rangking
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
111
2.3. Motivasi
Ninawati (2007) menyatakan bahwa keberhasilan suatu prestasi sangat dipengaruhi oleh faktor
motivasi. Berdasarkan data pada tabel 1 di atas, diketahui bahwa sebanyak 59,71 persen peternak
memiliki motivasi berprestasi beternak yang tinggi dan sebanyak 35,82 persen memiliki motivasi
berprestasi yang sedang. Haryadi dkk. (2008) menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap
usaha yang dijalankan seseorang adalah keuletan dan kerja kerasnya.
Tabel 1. Keragaan Peternak Berdasarkan Produktivitas Kerja , Gaya Kepemimpinan dan
Motivasi Berprestasi
No Keragaan Peternak
Kategori
Peternak
Jumlah
(jiwa)
Persentase (%)
1 Tingkat Produktivitas
Kerja
Tinggi (15.000-19.000)
Sedang (10.000-14.999)
Rendah (4.000-9.999)
16
42
9
23.88
62.69
13.43
Jumlah 67 100
2 Gaya Kepemimpinan Rendah (4-8)
Sedang (9-13)
Tinggi (14-20)
1
30
36
1,50
44,77
53,73
Jumlah 67 100,00
3 Tingkat Motivasi Tinggi (30-40)
Sedang (19-29)
Rendah (8-18)
40
24
3
59,71
35,82
04,47
Jumlah 67 100
3. Hubungan antar Variabel
3.1. Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Produktivitas Kerja.
Hubungan gaya kepemimpinan terdiri atas: gaya telling (X1), gaya telling (X2), gaya participating
(X3), dan gaya delegating (X4) dengan produktivitas kerja (Y2) anggota peternak sapi perah di
Kabupaten Banyumas dapat dilihat pada tabel 2.
Hubungan antara Gaya Telling (X1), Gaya Selling (X2) Gaya Participating (X3) dan Gaya Delegating
(X4) dengan Produktivitas Kerja (Y2) menunjukkan bahwa hasil analisis Korelasi Rank Spearman
adalah 0,244*, 0,241*, 0,242* dan 0,249*, artinya terdapat hubungan yang rendah pada tingkat
signifikansi 99 persen (P<0,01), hal ini menunjukkan bahwa korelasi antara gaya kepemimpinan
dengan produktivitas kerja hanya berkorelasi rendah yaitu semakin tinggi intensitas gaya
kepemimpinan ini dipakai maka akan meningkatkan produktivitas tetapi peningkatannya sedikit.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
112
Tabel 2. Hasil Analisis Korelasi Rank Spearman Antara Gaya Kepemimpinan dengan Produktivitas
Kerja Peternak.
Korelasi Y2 (Produktivitas Kerja) Kategori Keterangan
X1 (Gaya Telling)
X2 (Gaya Selling)
X3 (Gaya Participating)
X4 (Gaya Delegating)
0,244*
0,241*
0,242*
0,249*
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Positif
Positif
Positif
Positif
Sumber Data Primer Diolah, 2009
Keterangan :
** Korelasi sangat nyata pada taraf 0,01
* Korelasi sangat nyata pada taraf 0,05
3.2. Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Motivasi Berprestasi
Hubungan gaya kepemimpinan terdiri atas: gaya telling (X1), gaya telling (X2), gaya participating
(X3), dan gaya delegating (X4) dengan motivasi berprestasi (Y1) anggota peternak sapi perah di
Kabupaten Banyumas dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Korelasi Rank Spearman antara Gaya Kepemimpinan dengan Motivasi
Berprestasi
Korelasi Y1 (Motivasi Berprestasi) Kategori Keterangan
X1 (Gaya Telling)
X2 (Gaya Selling)
X3 (Gaya Participating)
X4 (Gaya Delegating)
0,610**
0,639**
0,627**
0,590*
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Positif
Positif
Positif
Positif
Sumber Data Primer Diolah, 2009
Keterangan :
** Korelasi sangat nyata pada taraf 0,01
* Korelasi sangat nyata pada taraf 0,05
Hubungan antara Gaya Telling (X1), Gaya Selling (X2), Gaya Participating (X3), Gaya Delegating
(X4) dengan Motivasi Berprestasi (Y1) menunjukkan bahwa hasil analisis Korelasi Rank Spearman
adalah 0,610**, 0,639**, 0,627** dan 0,590** artinya terdapat hubungan yang sangat nyata pada
tingkat signifikansi 99 persen (P<0,01), semakin tinggi intensitas penggunaan gaya kepemimpinan ini
berarti akan semakin tinggi pula motivasi berprestasi beternak peternak sapi perah, demikian pula
sebaliknya. Hasil penelitian menunjukkan yang dilakukan pemimpin dalam penelitian ini adalah
reorganisasi dalam kelompok tani ternak dilakukan untuk meningkatkan kualitas kerja anggotanya
agar anggota mengerti peran yang dijalankan dalam melaksanakan tugas kelompok, juga peran
pemimpim dalam menentukan arah kebijakan yang diambil dan dituntut profesional dalam
melaksanakan tugasnya. Hasil penelitian Surja (2005) menunjukkan bahwa ada korelasi rendah
sebesar 0,176 antara gaya kepemimpinan ini dengan motivasi berprestasi maka hanya sedikit
memberikan pengaruh dalam memotivasi kerja bawahan.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
113
KESIMPULAN
1). Tingkat Motivasi berprestasi peternak sapi perah termasuk dalam kategori tinggi, Gaya
kepemimpinan yang meliputi Gaya Telling, Gaya Selling, Gaya Participating, dan Gaya
Delegating terkategori sedang.
2). Variabel yang berhubungan dengan motivasi berprestasi dengan korelasinya nyata adalah gaya
telling, gaya selling dan gaya participating, sedangkan yang korelasinya sedang adalah gaya
delegating.
3). Variabel yang berhubungan dengan produktivitas kerja dengan korelasinya rendah adalah gaya
telling, gaya selling, gaya participating dan gaya delegating.
DAFTAR PUSTAKA
Andrarika, Rita. 2009. Hubungan Antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional dan
Transaksional dengan Kepuasan Kerja Karyawan Jurnal PSYCHE, Vol. 1 No. 1 Desember
2004. Fakultas Psikologi Universitas Bina Darma Palembang. Hal 35-49
Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas. 2010. Banyumas dalam Angka. BPS Kabupaten
Banyumas. Banyumas. Hal 187.
Haryadi, A. Haryanto, J.B. Sidik, A. Lukman. Halim, A dan Mulyadi, D. 2008. Penyusunan
Indikator Kemampuan SDM Agribisnis Pertanian. Jurnal Pengkajian. Volume 2. 2004. Pusat
Pengkajian SDM Pertanian, Badan Pengembangan SDM Pertanian. Jakarta. Hal : 43
Indah, W. 2008. Hubungan partisipasi anggota dengan dinamika kelompok pada kelompok tani
salak lawu ngremboko mulyo di Desa Nglebak Kecamatan Tawangmangu Kabupaten
Karanganyar. Jurnal Manajement Kewirausahaan. http//puslit.petra.ac.id/
journals/menejement/. Vol. 1, No. 1, September 1999 : 22 – 35. (Diakses 26 Februari 2009)
Kartono, K. 2001. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Mandar Maju. Bandung. Hal 22 – 24
Kencana, L. 2009 Hubungan Gaya Kepemimpinan Berorientasi Kondensasi dan Struktur Tugas
Dengan Kepuasan Kerja Pegawai Kantor. Jurnal kepemimpinan. Fakultas Ekonomi
Universitas Muhamadiyah Sumatra Utara no 1 vol. 04 april 2004 (diakses 10 Maret 2009).
Ninawati. 2007. Motivasi Berprestasi. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. Vol.4, No. 8. Hal : 77-78
Purwanto, E. 2007. Pengaruh Sosial Ekonomi Terhadap Produktivitas Tenaga Kerja Peternak Sapi
Perah di Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas. Fakultas Peternakan UNSOED.
Purwokerto. Hal 29-30.
Surja, A. (2005). What Can We Learn from Trait Theories and Charismatic - Transformational
Leadership?: A Note to Develop Personal Career Strategies. Jurnal manajemen dan
kewirausahaan. Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Vol 7 no 2 september 2005 hal 99-
112. (Diakses 17 Maret 2009).
Sutarto. 2007. Dasar–Dasar Kepemimpinan Administrasi. UGM press. Yogyakarta. Hal 137 – 138.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
114
MANAJEMEN PADANG PENGGEMBALAAN DI BPTUHPT PADANG MENGATAS
Yoselanda Marta
Balai Pembibitan Ternak Unggul Dan Hijauan Pakan Ternak (BPTUHPT) Padang Mengatas
email : [email protected]
ABSTRAK
Pemeliharaan ternak secara ekstensif sampai saat ini masih berhadapan dengan permasalahan
penyediaan pakan hijauan yang berkualitas dan berkesinambungan. Hampir 70% biaya produksi dan
pemeliharaan sapi pengeluarannya bersumber dari pakan. Efisensi tenaga kerja menjadi salah satu
permasalahan yang belum terselesaikan dengan baik. Berbagai metoda dikembangkan untuk mencari
solusi yang diharapkan mampu untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul.
Terobosan – terobasan yang dilakukan untuk menghadirkan solusi terus dikembangkan. Salah satunya
yang dilaksanakan oleh BPTUHPT Padang Mengatas adalah dengan dilakukannya sistem
penggembalaan dengan metoda rotasi grazzing. Dengan sistem ini di harapkan mampu untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada. Metoda ini dinilai tepat untuk diterapkan karena mampu
meminimalisir biaya pakan dan mengefisienkan tenaga kerja pada lahan peternakan yang cukup luas.
Kata kunci : Pakan, Tenaga Kerja, Padang Penggembalaan.
ABSTRACT
Extensive raising of livestock, especially cattle is still faced with problems of quality and a continuous
supply of green feed. Nearly 70% of production costs and maintenance expenditure sourced from
cattle feed. Labor efficiency being one of the problems that have not been resolved. Various methods
were developed to find a solution that will be able to resolve problems that arise. Breakthroughs were
made to bring the solution to be developed. One conducted by BPTUHPT Padang Mengatas is to do
with the method of pasture grazing system. With this system is expected able to resolve the issues.
This method is considered appropriate to be applied as to minimize feed costs and streamline
workforce on the vast farm lands.
Keywords : Feed, Workforce, Pasture.
PENDAHULUAN
Pakan hijauan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat produksi dan
produktivitas ternak sapi sehingga penyediaan pakan yang cukup sangat menentukan keberhasilan
suatu usaha peternakan. Pemberian pakan hijauan oleh peternak sangat tergantung pada kondisi sosial
ekonomi, motivasi dan tujuan beternak itu sendiri.
Sampai saat ini beternak sapi sebagian besar masih merupakan usaha sambilan bagi peternak dimana
peternak tidak mengalokasikan biaya khusus untuk pakan, sehingga pakan hijauan yang diberikan
pada ternak tidak mencukupi sehingga performance produksi tidak seperti yang diharapkan.
Penyediaan pakan hijauan sangat tergantung dengan tersedianya bibit yang mencukupi baik kuantitas
maupun kualitas.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam penyediaan hijauan pakan ternak sapi adalah tidak
tersedianya bibit hijauan unggul yang mudah diperoleh petani karena kurangnya pengetahuan serta
penyuluhan dari institusi yang khusus menangani pakan hijauan ternak, sehingga hijauan pakan ternak
yang dipelihara petani masih sangat terbatas dan kualitas masih sangat rendah.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
115
Pemeliharaan secara Ekstensif dimana ternak tidak dikandangkan kebanyakan masih dilakukan
dengan cara tradisional. Tidak adanya contoh nyata pola pemeliharaan ekstensif yang tepat dengan
perpaduan manajemen dan tekhnologi bagi masyarakat dalam beternak khususnya sapi potong
menjadi kendala utama dalam pengembangan usaha peternakan pembibitan sapi potong pada areal
lahan yang cukup luas.
Bertitik tolak dari hal diatas BPTUHPT Padang Mengatas hadir memberikan contoh dan inspirasi
dalam usaha pemeliharaan ternak sapi secara ekstensif dimana ternak digembalakan pada kebun
rumput setiap hari dengan pola rotasi grazing dimana ini diharap mampu menjadi terobosan dalam
pola pemeliharaan ternak secara ekstensif dimana penyediaan pakan hijauan ditingkatkan kualitas dan
kuantitasnya dengan mengoptimalkan fungsi lahan dan pengetahuan peternak tentang tata cara
pengelolaan padang penggembalaan baik sehingga diharapkan penyediaan pakan hijauan terpenuhi.
DASAR PEMIKIRAN PADANG PENGGEMBALAAN
Definisi Padang Penggembalaan : Padang penggembalaan adalah suatu daerah padangan di mana
tumbuh tanaman makanan ternak yang tersedia bagi ternak yang dapat menyenggutnya menurut
kebutuhannya dalam waktu singkat (Anonimus, 1990). Padang penggembalaan tersebut bisa terdiri
dari rumput atau leguminosa. Tetapi suatu padang rumput yang baik ekonomis adalah yang terdiri dari
campuran rumput dan leguminosa (Anonimus, 1995).
Macam padang penggembalaan
1. Padang Penggembalaan Alam.
Padangan yang terdiri dari tanaman dominan yang berupa rumput perennial, sedikit atau tidak ada
sama sekali belukar gulma (weed), tidak ada pohon, sering disebut padang penggembalaan
permanen, tidak ada campur tangan manusia terhadap susunan floranya, manusia hanya
mengawasi ternak yang digembalakan (Reksohadiprodjo, 1985).
2. Padang Penggembalaan Alam Yang Sudah Ditingkatkan.
Spesies-spesies hijauan makanan ternak dalam padangan belum ditanam oleh manusia, tetapi
manusia telah mengubah komposisi botaninya sehingga didapat spesies hijauan yang produktif dan
menguntungkan dengan jalan mengatur pemotongan (defoliasi) (Reksohadiprodjo, 1985).
3. Padang Penggembalaan Buatan
Tanaman makanan ternak dalam padangan telah ditanam, disebar dan dikembangkan oleh
manusia. Padangan dapat menjadi padangan permanen atau diseling dengan tanaman pertanian
(Reksohadiprodjo, 1985).
4. Padang Penggembalaan dengan Irigasi.
Padangan biasanya terdapat di daerah sepanjang sungai atau dekat sumber air. Penggembalaan
dijalankan setelah padangan menerima pengairan selama 2 sampai 4 hari (Reksohadiprodjo, 1985).
Fungsi padang penggembalaan
Fungsi padang penggembalaan adalah untuk menyediakan bahan makanan bagi hewan yang paling
murah, karena hanya membutuhkan tenaga kerja sedikit, sedangkan ternak menyenggut sendiri
makanannya di padang penggembalaan. Rumput yang ada di dalamnya dapat memperbaiki kesuburan
tanah. Hal ini disebabkan pengaruh tanaman rumput pada tanah, rumput yang dimakan oleh ternak
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
116
dikembalikan ke padang penggembalaan sebagai kotoran yang menyuburkan dan menstabilkan
produktivitas dari tanah itu sendiri (Anonimus, 1990).
Syarat padang penggembalaan
Syarat padang penggembalan yang baik adalah produksi hijauan tinggi dan kualitasnya baik,
persistensi biasa ditanam dengan tanaman yang lain yang mudah dikembangbiakkan (Reksohadiprojo,
1985). Pastura yang baik nilai cernanya adalah pastura yang tinggi canopinya yaitu 25 sampai 30 cm
setelah dipotong. Padang penggembalaan yang baik mempunyai komposisi botani 70% rumput dan
30% legum. Besarnya kadar air dan bahan kering yang harus dimiliki oleh suatu padangan adalah 70
sampai 80% untuk kadar air dan bahan keringnya 20 sampai 30%. Hijauan pastura membutuhkan
periode istirahat untuk tumbuh kembali 45 sampai 60 hari setelah dipotong. Oleh sebab itu, pastura
digembalai secara rotasi untuk memberi kesempatan bagi hijauan untuk tumbuh kembali, dan juga
untuk mencegah infeksi cacing. Untuk pastura alam sebaiknya dibakar secara periodik, karena hal ini
dapat memusnahkan rumput yang tidak palatabel dan kering, serta untuk merangsang pertumbuhan
tanaman muda yang lebih tinggi nilai gizinya dan lebih disukai ternak (Reksohadiprodjo dan Utomo,
1983).
Persiapan dan perbaikan padang penggembalaan
Menurut Anonimus (1990), ada beberapa tahapan dalam permbuatan padang penggembalaan, yaitu
meliputi :
1. Pemilihan lokasi.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dari segi kultur teknis dalam pemilihan lokasi untuk padang
penggembalaan adalah sumber air, kesuburan tanah, topografi, dan komunikasi.
2. Bahan penanaman.
Mempergunakan bahan penanaman yaitu bibit atau benih yang baik, sehingga efisien waktu, tenaga
dan biaya.
3. Waktu pengolahan tanah dan penanaman.
Pada keadaan irigasi saat penanaman ditentukan sedemikian rupa sehingga penanaman dapat
dilakukan pada saat musim hujan. Jarak yang terlampau lama antara akhir pengolahan dengan
penanaman dapat memadat kembali. Saat pengolahan tanah pada umumnya dilakukan pada akhir
musim kemarau sehingga dapat segera ditanami pada saat awal musim hujan.
4. Pengolahan tanah dan penanaman.
Pengolahan tanah bertujuan untuk mempersiapkan media tumbuh optimum bagi tanaman.
Pengolahan tanah secara baik menyangkut pengertian yaitu membersihkan tanah dari tumbuh-
tumbuhan pengganggu, menjamin perkembangan sistem perakaran yang sempurna, menjamin
peningkatan aviabilitas zat-zat, memperbaiki aerasi dan kelembaban tanah, memeperbaiki
kelestarian serta kesuburan tanah dan persediaan air.
Penggembalaan.
Dapat mulai dilakukan saat tanaman telah menutup tanah dengan baik dan cukup tahan terhadap
injakan dan senggutan. Lama penggembalaan tergantung pada jenis tanaman yang ditanam, tetapi
sebagai pegangan umum bagi hijauan yaitu kurang lebih 1 bulan.
Pemeliharaan.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
117
Pastura dibiarkan selama 12 bulan agar spesiesnya betul-betul establish. Pada waktu ini, pembersihan
terhadap weed mungkin perlu dilakukan untuk spesies-spesies yang lambat establishnya. Jika
pertumbuhan tidak merata, maka dapat dilakukan “slashing” atau memapasi ternak dalam waktu
singkat untuk meratakan pertumbuhan. Pada bulan pertama setelah penanaman mungkin perlu
dilakukan penyulaman terhadap spesies yang tidak mau tumbuh, sehingga keseimbangan rumput
dengan legum sesuai dengan yang dikehendaki. Pemeliharaan yang baik, pastura mampu tahan
berproduksi 10 sampai 20 tahun bahkan lebih.
Pemotongan dapat dilakukan dengan cara bergilir atau sistem rotasi. Sistem ini biasanya dilakukan
dengan cara membagi-bagi padang penanaman menjadi petak-petak (paddock). Sesuai dengan
maksud peternak sehubungan dengan jumlah ternak yang digembalakan, pertumbuhan hijauan serta
kelebatannya. Penggembalaan berat (over grazing) dan defoliasi yang terlalu ringan (under grazing)
harus dihindarkan, karena keduanya akan merugikan. Penggembalaan rendah dapat mengakibatkan
produksi berikutnya rendah, pertumbuhan kembali lemah, banyak tumbuh rumput liar dan bahkan
bisa menimbulkan erosi tanah. Sedangkan under grazing (defoliasi yang terlalu ringan) dapat
mengakibatkan hijauan menjadi terlalu tua, serat kasar tinggi, dan kurang palatable dan nilai gizinya
sangat rendah (Anonimus, 1985).
Pemupukan
adalah suatu cara yang bertujuan untuk menyelidiki tentang zat-zat apakah yang perlu diberikan
kepada tanah sehubungan dengan kekurangan zat-zat tersebut yang terkandung didalam tanah yang
yang terkandung didalam tanah yang berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam
rangka produksinya agar tercapai hasil yang maksimal. Didalam perlakuan-perlakuan yang harus
dilakukan terlebih dulu sebelum zat-zat itu diberikan atau ditambahkan kedalam tanah maka perlu
dilakukan penyelidikan tentang zat yang kurang apa, berapa besarnya kekurangan itu bagaimana
perbandingannya dan kapan waktu pemberiannya, kemudian perlu diselidiki tentang pengaruh yang
tidak langsung atau pengaruh apa yang timbul pada bagian-bagian atau sifat-sifat tanah serta tanaman-
tanaman yang dibudidayakan sehubungan dengan pemberian zat-zat tersebut kedalam tanah.
Perlakuan tersebut sangat penting dalam pemupukan (Sutejo dan Kartasapoetra, 1988).
Jenis-Jenis Pupuk
Pengembalian sisa-sisa tanaman dari musim panen pada tanah sebelum musim tanah berikutnya
ataupun yang didapat dari sumber lain sedapat mungkin harus dipadukan. Dengan kegiatan
pengolahan tanah yang dilakukan. Dengan teknik pembenaman sisa-sisa tanaman akan cepat
terombak, melalui pelapukan dan peranan jasad renik, akan kembali menjadi bahan organik tanah.
Sisa-sisa atau separuh tanaman, limbah atau kotoran hewan disebut pupuk alam atau pupuk organik.
Demikian juga halnya kompos yang dapat diubah dalam tanah menjadi bahan-bahan organik tanah
juga disebut pupuk organik. Sedangkan pupuk yang dibuat dipabrik disebut pupuk buatan atau pupuk
anorganik. Berdasarkan kandungan unsur haranya dibagi menjadi 2 yaitu pupuk tunggal dan pupuk
majemuk. Pupuk tunggal yaitu pupuk yang hanya mengandung 1 macam unsur hara misalnya urea
hanya mengandung N 2K hanya mempunyai kandungan K sedangkan TSP mempunyai kandungan P.
Kemudian pupuk majemuk yaitu pupuk yang mengandung lebih dari 1 macam unsur hara misalnya
DAP mempunyai kandungan N dan P dan Rustica yellow mengandung N, P dan K (Sutejo dan
Kartasapoetra, 1988). Klasifikasi pupuk berdasarkan pembuatannya ada dua yaitu pupuk alam dan
pupuk buatan. Pupuk alam seperti pupuk kandang, hijau, kompos, sedangkan pupuk buatan seperti
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
118
urea, TSP, KCL, ZA. Pupuk kandang mempunyai kemampuan mengubah berbagai faktor dalam tanah
sehingga menjadi faktor-faktor yang menjamin kesuburan tanah. Pupuk kandang dibedakan menjadi
dua yaitu pupuk kandang segar, biasanya merupakan kotoran-kotoran hewan yang baru diturunkan
oleh hewannya yang kadang-kadang tercampur pula oleh urine dan sisa-sisa makanan di kandang.
Kemudian pupuk kandang busuk, biasanya merupakan pupuk kandang yang telah disimpan atau
digundukan sehingga mengalami pembusukan. Pupuk hijau, pupuk hijau adalah tanaman atau bagian-
bagian tanaman yang masih muda terutama yang termasuk famili leguminosa, yang dibenamkan
kedalam tanah dengan maksud agar dapat meningkatkan tersedianya bahan-bahan organik dan unsur-
unsur hara bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pupuk kompos merupakan pupuk yang
dibuat dengan cara menumpukkan bahan-bahan yang mempunyai perbandingan C/N yang rendah
sebelum digunakan menjadi pupuk. Pupuk kompos juga merupakan zat akhir suatu proses fermentasi
tumpukan sampah atau sisa-sisa tanaman (Sutejo dan Kartasapoetra, 1988).
Pupuk buatan memiliki sifat-sifat yang sangat penting seperti urea terdiri dari 45% N, N yang paling
murah, mudah larut, cepat bereaksi, mudah tercuci bersifat agak asam : 0,5 kg kapur diperlukan untuk
menetralisir 1 kg urea. Amonium sulfat, ZA terdiri dari 21% N, bereaksi sedang, cepat, bersifat asam:
0,6 kg kapur diperlukan untuk menetralisir 1 kg amonium sulfat. Calcium amonium nitrat, CAN
terdiri dari 27% N, larut dalam air dan mudah tersedia serta mudah tercuci (kombinasi antara calcium
carbonat dan amonium nitrat). Potasium chlorida terdiri dari 40-60% K2O, mudah larut, bereaksi
cepat dan agak mudah tercuci. Potasium nitrat terdiri dari 14% N, 45% K2O, mudah larut dan
bereaksi cepat. TSP terdiri dari 45% P2O5, larut dalam air, bereaksi cepat dan tidak mudah tercuci
(Sutejo dan Kartasapoetra, 1988).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas dan Nilai Gizi Tanaman.
Reksohadiprodjo (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pastura adalah
tanah dan spesies.
1. Tanah.
Setyati (1983) mengemukakan bahwa ada 3 fungsi primer tanah dalam mendukung pertumbuhan
tanaman yaitu, memberikan unsur mineral, sebagai tempat cadangan makanan dan sebagai
tempat bertumpu untuk tegak. Dikatakan lebih lanjuk bahwa faktor lain yang berpengaruh
terhadap kesuburan tanah adalah tingkatan bentuk hara yang tersedia bagi tanaman. Tingkatan
tersebut tergantung banyak faktor diantaranya adalah kelarutan zat hara, PH, kapasitas pertukaran
kalori (KPK), tekstur tanah dan jumlah zat organiknya.
2. Spesies.
Kemampuan suatu tanaman untuk menyesuaiakan diri dengan lingkungannya dari faktor genetik
berpengaruh pada proses pertumbuhan dan produksi suatu tanaman. Disini dapat dikemukakan
suatu contoh bahwa familia gramineae (Rumput-rumputan) mempunyai pembawaan yang
berbeda dibandingkan dengan tanaman dai familia leguminoceae (Whiteman, 1980).
Faktor-faktor yang mempengaruhi padang penggembalaan
Menurut Susetyo et al. (1981), faktor-faktor yang mempengaruhi padang penggembalaan adalah
sebagai berikut :
1. Air
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
119
Air yang terbatas mempengaruhi fotosintesis dan perluasan daun karena tekanan air mempengaruhi
pembukaan stomata perluasan sel (Setyati, 1991). Air berfungsi untuk fotosintesis, penguapan, pelarut
zat hara dari atas ke daun. Jika ketersediaan air terpenuhi maka seluruh proses metabolisme tubuh
berlangsung, berakibat produksi tanaman tinggi (Anonimus, 1990).
2.Intensitas Sinar.
Intensitas sinar di bawah pohon atau tanaman pertanian tergantung pada bermacam-macam tanaman,
umur, dan jarak tanam, selain waktu penyinaran. Keadaan musim dan cuaca juga berpengaruh
terhadap intensitas sinar yang jatuh pada tanaman selain yang ada di bawah tanaman utama (Susetyo
et al., 1981). Menurut Crowder and Chedda (1982) bahwa peningkatan pertumbuhan tanaman sejalan
dengan peningkatan intensitas cahaya. Jumlah energi matahari yang diterima seawal mungkin pada
saat munculnya sampai periode pemasakan adalah penting untuk akumulasi berat kering selama
periode tersebut.
3.Kompetisi zat-zat makanan
Kompetisi terjadi antara “Companion Crop” dengan tanaman utama. Kompetisi ini akan nampak jelas
pada daerah-daerah yang kekurangan air atau di waktu-waktu musim kering. Kesulitan ini dapat
diatasi dengan menanam tanaman lain yang berbeda kebutuhan zat-zat makanan seperti nitrogen
(Susetyo et al., 1981).
4. Kekompakan tanah.
Pastura yang digembala dengan stocking rate yang tinggi (8 sampai 10 ekor/ha) akan menyebabkan
tanah menjadi kompak, padat dan berakibat mengurangi aerasi akar dan daya tembus air (Susetyo et
al., 1981). Menurut Anonimus (1990), tanah berhubungan dengan unsur-unsur hara yang terkandung
di dalamnya. Unsur-unsur N, P, K diperlukan tanaman dalam jumlah relatif besar. Jika kandungan ini
cukup besar dan seimbang dalam tanah maka akan mendukung tercapainya produksi pangan dalam
jumlah besar.
5.Inokulasi.
Untuk beberapa jenis legum tidak akan tumbuh dan berproduksi optimal kalau tidak diberikan
inokulum yang khusus terutama terjadi pada tempat-tempat yang belum pernah ditanami legum
(Susetyo et al., 1981).
6.Temperatur.
Menurut Anonimus (1990), tanaman memerlukan temperatur yang optimum agar dapat melakukan
aktivitas fotosintesis dengan baik, sedangkan pengaruh temperatur terhadap perluasan daun akan
mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara keseluruhan. Temperatur tanah berpengaruh terhadap
proses biokimia dimana terjadi pelepasan nutrien tanaman atau memproduksi toksik bagi tanaman,
dan berpengaruh juga terhadap kecepatan absorbsi air dan nutrien (Setyati, 1983). Jadi hanya tanaman
yang dapat menyesuaikan dengan temperatur lingkungan yang akan tumbuh sehingga menghasilkan
produksi tinggi.
7.Angin.
Pengaruh angin tergantung dari kelembaban dan kecepatan angin. Angin dapat merusak tanaman dan
mengurangi fotosintesis serta menyebarkan bakteri penyebar penyakit pada daun. Angin yang kering
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
120
menyebabkan pengeringan daun dan merusak daun-daun tersebut secara mekanis (Crowder and
Chedda, 1982).
8.Curah Hujan
Merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi bahan kering di
daerah tropik dan subtropik (Crowder and Chedda, 1982).
Jenis Rumput Padang Penggembalaan di BPTUHPT Padang Mengatas
1. Rumput BD (Brachiaria Decumbens)
Brachiaria decumbens atau yang lebih dikenal rumput BD, rumput signal merupakan rumput pakan
temak jenis unggul disamping jenis rumput lainnya . Rumput ini berasal dari daerah Uganda, Afrika .
Rumput bede termasuk rumput berumur panjang, dapat tumbuh dengan membentuk hamparan lebat
dan penyebarannya sangat cepat melalui stolon . Rumput bede berdaun kaku, pendek, berbulu halus,
warna hijau gelap dan berstruktur agak kasar . Rumput bede tahan penggembalaan berat, tahan
injakan dan renggutan serta tahan kekeringan dan responsif terhadap pemupukan nitrogen. Selain itu
rumput ini juga cepat tumbuh dan berkembang sehingga mudah menutup tanah, tetapi tidak tahan
terhadap genangan air. Rumput ini merupakan bahan hay yang balk, karena batangnya kecil mudah
menjadi kering. Rumput bede dapat tumbuh baik pada ketinggian 0-1200 m (dataran rendah sampai
dataran tinggi) dengan curah hujan 762-1500 mm/tahun, kemasaman tanah (pH) 6-7 (Kismono dan
Susetyo, 1977).
2. Star Grass
Rumput Stargrass /Rumput Bermuda awalnya berasal dari savana Afrika dan merupakan nama umum
untuk semua spesies Afrika Timur Cynodon. Tumbuh di daerah terbuka seperti padang
penggembalaan Meskipun sebagian besar spesies ini tetap di Afrika, saat ini Rumput Stargrass
ditemukan di iklim hangat di seluruh dunia antara 45° dan 45° selatan lintang utara. Hal ini dapat
ditemukan tumbuh di padang rumput dan hutan terbuka. Rumput ini dikenal juga sebagai rumput
bermuda di Amerika Serikat karena sudah diperkenalkan dari Pulau Bermuda.
Rumput Stargrass adalah rumput merayap, dan akan merayap di sepanjang tanah. Rumput ini
memiliki sistem akar yang mendalam, dan dalam situasi kekeringan sistem akar dapat tumbuh 47-59
inci (120-150 cm) mendalam. Sebagian besar massa akar terletak 24 inci (60 cm) di bawah
permukaan. Rumput Stargrass dapat tumbuh di tanah yang kualitasnya buruk. Selama kekeringan
bagian atasnya akan mati, tetapi rumput akan terus tumbuh dari rimpang nya. Rumput ini sangat
mudah tumbuh pada iklim lembab dan hangat, dengan curah hujan 16 inci (410 mm) per tahun.
Rumput Stargrass adalah rumput suksesi awal, dan pertama yang tumbuh kembali setelah kebakaran
rumput, yang membakar cukup sering di savana Afrika. Rumput Bermuda dulu dianggap sebagai
gulma yang sangat invasif dan kompetitif. Namun, pada saat ini rumput star grass menyelamatkan
ribuan hektar tanah pertanian dari erosi. Rumput star grass sangat tepat di kombinasikan dengan
hijauan untuk pakan ternak di padang penggembalaan
3. Leguminosa
Leguminosa mempunyai peranan yang sangat penting di dalam meningkatkan produktivitas pastura
dikarenakan kemampuan mereka dalam memfiksasi sejumlah nitrogen di udara. Kontribusi
langsungnya terhadap produktivitas ternak melalui penyediaan sumber pakan yang kaya akan
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
121
nitrogen. Selain itu, leguminosa dapat meningkatkan produktiivitas rumput melalui peningkatan
penyerapan nitrogen tanah oleh rumput apabila leguminosa ditanam bersamaan dengan rerumputan.
Namun di Indonesia pola penamanan campuran ini belum banyak diaplikasikan di dalam usaha ternak
ruminansia. Informasi tentang budidaya pertanamaan campuran terutama mengenai perbandingan
populasi antara populasi rumput dan leguminosa yang biasa tumbuh di Indonesia dan pengaruhnya
terhadap produksi dan kulitasnya belum banyak dipublikasi
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Peternakan secara ekstensif dengan menggunakan sistem padang penggembalaan yang baik dan sesuai
dengan teknis penanamam yang baik akan sangat bermanfaat untuk efisiensi tenaga kerja yang
digunakan, karena proses pemeliharaan tidak menuntut tenaga yang banyak di lapangan. Selain itu
dan efektifitas beterak tercapai. Hal ini berkaitan dengan nilai ekonomi untuk poses produksi. Metoda
pastura yang dilakukan akan sangat mengurangi pengeluaran untuk pakan ternak. Sampai saat ini
biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan ternak hampir 2/3 dari biaya produksi yang bersumber
dari penyedian pakan hijauan. Sistem penggembalaan (Pastura) mampu meningkatkan pertumbuhan
bobot badan dengan kisaran 0,5 s.d 0,6 kg/hari tanpa pemberian pakan tambahan lainnya.
Saran
Pemeliharaan ternak sapi dengan metoda pastura mampu mengefisienkan tenaga kerja, namun
pengawasan terhadap ternak harus lebih ekstra karena ternak akan lebih rentan terhadap cedera fisik
dan juga rentan terhadap penyebaran penyakit baik ekstoparasit maupun endoparasit.
UCAPAN TERIMAKASIH
Kepada Bapak Ir. Sugiono, M.P (Kepala BPTUHPT Padang Mengatas), Sdr. Rifqi Elfajri, S.Pt
(Pengawas Bibit Ternak Ahli), Tim Pengawas Mutu Pakan BPTUHPT Padang Mengatas dan semua
pihak yang telah membantu dalam pembuatan artikel ini, maka penulis ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous.1990. Usaha Peternakan, Perencanaan Usaha, Analisis dan Pengelolaan. Direktorat Bina
Usaha Petani Ternak dan Pengelolaan Hasil Peternakan.
Anonim. 2002. Rekalkulasi Penutupan Lahan Pada Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan
Lain.Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta.
Crowder L. V. and Chedda H. R. 1982 Tropical Grassland Husbandry. Longman Inc. New York.
Kismono, I . dan S . Susetyo . 1977 . Pengenalan Jenis Hijaun Tropika Penting Produksi Hijauan
Makanan Ternak Untuk Sapi Perah . BPLPP . Lembang, Bandung . 1977
Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropika. BPFE, Yogyakarta.
Kismono, I . dan S . Susetyo . 1977 . Pengenalan Jenis Hijaun Tropika Penting Produksi Hijauan
Makanan Ternak Untuk Sapi Perah . BPLPP . Lembang, Bandung . 1977
Setyati. 1983. Pengantar Agronomi. Cetakan ke -4. PT. Gramedia, Jakarta.
Susetyo, et.al. 1981. Hijauan Makanan Ternak. Direktorat Departemen Pertanian. Jakarta
Sutedjo, M. M., dan A. G. Kartasapoetra. 1988. Pengantar Ilmu Tanah. Terbentuknya Tanah dan
Tanah Pertanian. Bina Aksara. Jakarta
Whiteman P. C., 1980. Tropical Pasture Science. Ed. Oxford University Press, New York
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
122
PENGARUH POLA PEMANGKASAN TEH TERHADAP KERAGAMAN JENIS HIJAUAN
PAKAN Di PTPN VIII GOALPARA IV KABUPATEN SUKABUMI
Setiana MA, Saidah I. Prihantoro I. dan Aryanto AT.
Depertemen Ilmu Nutrisi danTeknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Email: [email protected]
ABSTRACT
Sukabumi regency has an area from the coast to the mountains. Cipetir, Sukamaju, Perbawati and
Sudajaya Girang Village each located in north Sukabumi District, that has high of dairy cattle, rabbits,
sheep and goats population. The aim of this experiment were identify and analyze the diversity of
forage domestical and determine the distribution of forage vegetation are given to livestock with
different tea pruning system of the area in Sukabumi. This experiment use survey method and
observation with descriptiveanalisis, composition of botany, vegetation analysis and diversity of
forage species. The results showed about the differences of trimming tea system caused kinds of
greenery, fields productivity, giving the greenery to different livestock. The composition of botany in
after trimming 1 (SPI)was dominated by grasses of Centotheca longilamina (L.) Desv. 30.18%, in
SP2 was Ageratum conyzoides L. 22.00%, in SP3 was Rumbah218.00%, and before trimming
(BP)was Ageratum conyzoides L. 25.04%. The simillarity index between SPI block with SP2 77.14
%.
Keywords: composition of botany, forage diversity, ruminants, trimming
PENDAHULUAN
Keragaman tanaman pakan yang berpotensi besar dalam mendukung penyediaan hijauan pakan
sepajang tahun. Perlunya pemanfaatan hijauan makanan ternak hasil samping pertanian maupun
hijauan pakan domestik sangat dibutuhkan ketika terjadi kelangkaan pada musim kemarau dan
semakin menyempitnya lahan.
Kabupaten Sukabumi, salah satu kabupaten di Jawa Barat yang memiliki potensi tinggi dalam
mengembangkan subsektor peternakan terutama ternak ruminansia (BPS 2014), karena memiliki
sumber daya pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang bisa mendukung ketersediaan hijauan pakan.
Perkebunan teh Goalpara IV berkontribusi dalam penyediaan hijauan pakan domestik, di Kecamatan
Sukabumi dan Kecamatan Kadudampit berupa hijauan pakan yang tumbuh di sekitar wilayah tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis keragaman hijauan pakan
berdasarkan pemangkasan teh yang berbeda serta mengetahui vegetasi hijauan pakan di Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat.
METODE PENELITIAN
Materi penelitian meliputi hijauan pakan domestik di dalam dan sekitar perkebunan the. Peralatan
yang digunakan meliputi kuadran (0.5m x 0.5m), pisau, gunting, alkohol 70%, timbangan, kamera,
label, tali rafia, kantong sampel, Global Positioning System (GPS), Luxmeter dan kuisioner.
Penelitian dilakukan di PT. Perkebunan Nusantara VIII Goalpara IV.Desa Sukamaju, Desa Cipetir,
Desa Perbawati, Desa Sudajaya girang. Analisis hijauan pakan dilakukan di Laboratorium
Agrostologi, Fakultas Peternakan, IPB, pada bulan September hingga Desember tahun 2014.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
123
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan observasi langsung keragaman hijauan pakan di perkebunan teh PTPN
VIII AFD Goalpara IV dan peternak di sekitarnya. Areal perkebunan teh dibagi menjadi empat blok
berdasarkan umur pangkas yaitu:
SP1 = Teh dengan umur pemangkasan rutin 0-20 bulan (Blok 4, Blok 5, Blok 8, Blok 10, Blok 17,
Blok 21 dan Blok 22)
SP2 = Teh dengan umur pemangkasan rutin 21-35 bulan (Blok 6, Blok 7, Blok 16, Blok 18, Blok 19,
Blok 20)
SP3 = Teh dengan umur pemangkasan rutin 36-45 bulan (Blok 11, Blok 15)
BP = Teh umur 2 tahun tanpa pemangkasan ( Blok 1, Blok 2, Blok 3)
Identifikasi Hijauan Pakan Identifikasi hijauan dilakuan melaui pembuatan herbarium (Stone 1983). Jenis hijauan diidentifikasi
dengan membandingkan ciri-ciri fisik pada pustaka terkait.
Analisis Data
Data hasil wawancara karakteristik peternak diolah secara deskriptif, sedangkan data hijauan pakan
menggunakan analisis komposisi botani metode dry weight rank (Mannetje dan Haydock 1963),
kapasitas tampung (Hall et al). dan analisis vegetasi (Kusmana 1997) dengan komposisi jenis
tumbuhan diolah menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), Magurran (1988).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Perkebunan PTPN VIII Goalpara IV terletak di Kecamatan Kadudampit dan Kecamatan Sukabumi
dengan Luas 228.45 ha, yang menerapkan empat pola pemangkasan berdasarkan umur pangkas.
Mayoritas masyarakat memanfaatkan hijauan domestik yang tumbuh di perkebunan teh untuk pakan
ternak, diantaranya ternak sapi perah, kambing, domba dan kelinci.
Peternak umumnya masih tergolong usia produktif dengan tingkat kepemilikan 0.01-4.25 ST orang-1
dan pengalaman beternak 3.00-10.37 tahun. Jenis ternak yang dipelihara yakni sapi perah, kambing,
domba dan kelinci dengan status kepemilikan sendiri dan gaduhan.
Komposisi Hijauan Pakan Berdasarkan Jenis Ternak
Komposisi hijauan pada tiap jenis ternak berbeda, umumnya didominasi oleh rumput (49.68-76.38
%), kecuali pada ternak kelinci (21.15 %). Rumput Setaria barbata mendominasi jenis hijauan yang
diberikan pada ternak sapi perah, kambing, domba dan kelinci; yang ketersediaannya sangat
melimpah. Dominasi jenis hijauan terutama disebabkan oleh ketersediaannya di sekitar kandang dan
palatabilitas ternak yang berbeda. Perbedaan komposisi hijauan pakan menunjukkan adanya
perbedaan vegetasi hijauan yang tumbuh, sehingga terjadi perbedaan hijauan pakan yang diberikan
oleh peternak (Rahmadani 2013).
Komposisi Botani Kebun Teh
Hasil perhitungan komposisi botani di perkebunan teh menunjukkan bahwa Centotheca longilamina
(L.) Desv dominan di SP1 (30.18%), Ageratum conyzoides L. dominan di SP2 (22.00%) dan BP
(25.04%), dan rumbah dominan di SP3 (18.00%). Santosa et al. (2009) menyatakan bahwa rumbah
Borreria latifoliasp. sering ditemukan pada perkebunan teh dan rumput Centotheca longilamina (L.)
Desv merupakan rumput tumbuhan bawah (Dianita 2012). Ottochloa nodosa merupakan rumput alam
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
124
yang disukai oleh ternak dan sangat tahan terhadap naungan, seperti kelapa sawit dan teh (Crowder
dan Chheda 1982); Suboh 1997).
Keragaman Jenis Hijauan Pakan berdasarkan Pemangkasan Teh
Keragaman jenis hijauan kebun teh disajikan pada Tabel Ageratum conyzoides L. memiliki nilai INP
tertinggi di blok SP1, SP2 dan BP, sedangkan Rumbah pada SP3 (Tabel 1). Nilai INP yang tinggi dari
suatu spesies menunjukkan daya adaptasi dan daya kompetisi tinggi (Alviyani 2013). Ageratum
conyzoides L. mendominasi hampir di seluruh Blok pengamatan, hal ini sesuai dengan (Dianita 2012)
yang menyatakan bahwa tanaman ini sering ditemukan di perkebunan kelapa sawit, kelapa, teh dan
karet. Ageratum conyzoides L. juga berpotensi sebagai pakan ternak dan bioherbisida karena
mempunyai senyawa alelopat yang mempu menghambat pertumbuhan tanaman lain sehingga
keberadaannya dominan pada suatu lahan (Fitri et al. 2008).
Tabel 1. Hijauan pakan dominan kebun teh
Nama Latin INP
Blok SP1
Ageratum conyzoides L. 14.93±7.10
Centotheca longilamina (L.) 14.46±3.96
Centrosema pubescens 14.11±8.12
Brachiaria mutica 13.10±0.82
Setaria barbata 12.26±6.63
Borreria latifolia sp. 11.44±7.19
Bidens pilosa L. var.minor (BI.) Sherff 11.14±3.37
Galinsoga parviflora Cav 9.58±1.16
Blok SP2
Ageratum conyzoides L. 16.11±10.48
Centotheca longilamina (L.) 14.97±5.64
Brachiaria mutica 13.00±1.46
Bidens pilosa L.var.minor (BI.)Sherff* 11.47±4.49
Ottochloa nodosa 9.97±12.51
Setaria barbata 9.76±5.80
Galinsoga parviflora Cav. 9.37±1.22
Centrosema pubescens 9.13±7.25
Borreria latifolia sp. 8.53±4.38
Blok SP3
Rumbah2 29.31±18.34
Ageratum conyzoides L. 27.93±15.07
Digitaria sanguinalis 14.73±8.86
Bidens pilosa L.var.minor (BI.) Sherff 12.41±2.77
Brachiaria mutica 11.17±6.78
Borreria latifolia sp. 10.98±0.30
Galinsoga parviflora Cav. 10.65±6.22
Centella asiatica (L.) Urb. 8.99±1.12
Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore 8.16±0.11
Blok BP
Ageratum conyzoides L. 38.48±10.56
Borreria latifolia sp. 33.25±6.71
Blumea tenella DC. 17.17±6.14
Crassocephalum crepidioides (Benth.) S. Moore 13.76±1.46
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
125
Drymaria villosa Cham dan Schlecht 10.24±0.37
Eragrostis leptostachya 9.00±3.56
Crotalaria sp 8.76±4.46 Keterangan : INP= indeks nilai penting.
Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) hijauan pakan blok BP tergolong sedang (2.86), sedangkan blok
SP1, SP2 dan SP3 tergolong tinggi (3.21-3.42). Indeks kemerataan jenis (E) di keempat blok
tergolong tinggi (>0,6), yang menunjukkan bahwa tidak ada dominasi suatu jenis hijauan. Indeks
Dominasi (ID) keempat blok mendekati nol, artinya beberapa jenis hijauan pakan mendominasi
ekosistem secara bersama-sama dan dominasi suatu jenisnya rendah. Tingkat kesamaan vegetasi di
blok SP1 dan SP2 tergolong tinggi (indeks kesamaan komunitas hijauan mendekati 100%).
Potensi Produktivitas Hijauan
Produksi hijauan sebelum dan sesudah pemotongan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05)
(Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman mampu tumbuh kembali dengan baik yang
disebabkan daya adaptasi dan ketersediaan hara yang mencukupi.
Produktivitas dipengaruhi oleh jumlah jenis pada suatu tanaman (Gambar 1), sedangkan jumlah jenis
dipengaruhi oleh jumlah individu (Gambar 2). Namun, produktivitas tidak dipengaruhi oleh jumlah
individu dari suatu tanaman.
Tabel 2 Produksi hijauan sebelum dan sesudah pemotongan (30 Hari)
Blok Produksi (g m-2)
Sebelum Pemotongan Sesudah Pemotongan
SP1 34.25±16.31 14.25±5.12
SP2 33.75±11.52 53.75±10.17
SP3 42.00±18.01 32.50±11.90
BP 27.25±10.53 32.00±12.54
Perbedaan produktivitas hijauan disebabkan adanya perbedaan laju pertumbuhan hijauan akibat
perbedaan intensitas cahaya dan kondisi pH tanah. Menurut Reijntjes et al. (1992) dalam Rahmadani
(2013), perbedaan lingkungan menyebabkan perbedaan ketersedian air, cahaya serta terjadi perbedaan
suhu dan kelembaban.
Gambar 1. Grafik regresi jumlah jenis dan produktivitas
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
126
Gambar 2. Grafik regresi jumlah jenis dan jumlah individu
Gambar 3. Pengaruh naungan teh
Blok BP menunjukkan kecilnya pengaruh naungan teh pada tanaman bawah, hal ini disebabkan
tanaman teh masih berumur dua tahun. Sedangkan pada blok SP3 pengaruh naungan teh sebesar
97.90%, karena tingkat kerapatan tanaman yang tinggi (Gambar 3). Pengaruh intensitas cahaya
berkaitan dengan kemampuan tanaman dalam melakukan fotosintesis. Tanaman yang toleran terhadap
naungan dapat memanfaatkan cahaya secara efisien melalui adaptasi, baik secara anatomi, morfologi,
fisiologi dan biokimia yang berkaitan dengan proses fotosintesis (Jufri, 2006).
KESIMPULAN
Pola pemangkasan teh yang berbeda berpengaruh pada keragaman vegetasi dan produktivitas hijauan
pakan yang dihasilkan. Keragaman jenis, kemerataan pada keempat blok tergolong tinggi namun
memiliki kekayaan jenis, kesamaan jenis yang sedang. Jenis hijauan pakan di kandang didominasi
rumput Setaria barbata, sedangkan rumbah Ageratum conyzoides L merupakan hijauan yang tumbuh
di berbagai pola pemangkasan teh.
DAFTAR PUSTAKA
Alviyani. 2013. Analisis potensi dan pemanfaatan hijauan pakan pada peternakan domba rakyat desa
Randobawa Ilir, Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukabumi [BPS]. 2014. Sukabumi dalam Angka. Sukabumi
(ID):Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukabumi. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/
[diunduh 2015 20 Januari].
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
127
Crowder L.V. dan Chheda H.R. 1982. Tropical Grassland Husbandry. New York (US): Longman
Group.
Dianita R.2012. Keragaman fungsi tanaman pakan dalam sistem perkebunan. J Past. 2 (2):66-69.
Fitri R, Mayta NI, Siti F. 2008. Uji ekstrak daun gulma babadotan (Ageratum conyzoides L) terhadap
perkecambahan dan pertumbuhan gulma Chromolena odorata L [skripsi]. Samarinda (ID):
Universitas Mulawarman.
Jufri A. 2006. Mekanisme adaptasi kedelai (Glysine max (L) Merrill) terhadap cekaman intensitas
cahaya rendah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kusmana C. 1997. Metode Survei Vegetasi. Bogor (ID): IPB Pr.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Princeton NJ (US): Princeton
University Press.
Mannetje L, Haydock KP. 1963. The dry weight rank method for the botanical analysis of Pasture. J
Brit Grassld Soc. 18 (4):268-275.
Rahmadani F. 2013.Keragaman Jenis Hijauan Pakan Domestik Berdasarkan Tingkat Ketinggian
Kawasan dalam Mendukung Usaha Peternakan Sapi di
Kabupaten Malang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Soerianegara I dan Andri I. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID). Laboratorium Ekologi
Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Stone BC. 1983. A guide to collecting Pandanaceae (Pandanus, Freycinetia, Sararanga). Ann.
Missouri Bot. Gard. 70 : 137-14.
Suboh I. 1997. Memaksimumkan pendapatan penanaman kelapa sawit integrasi tanaman/ternakan di
ladang sawit. Sabah (ML): Porim.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
128
KUALITAS FISIK KARKAS DAN KANDUNGAN LEMAK AYAM BROILER YANG
MENDAPAT RANSUM TEPUNG KULIT BUAH PEPAYA (Caricapapaya) SEBAGAI
PENGGANTI KACANG HIJAU
Gusti Ayu Mayani Kristina Dewi. R.R. Indrawati dan N. Tirta Ariana
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana , Jln.PB.Sudirman,Denpasar,Bali
Email: [email protected]
ABSTRACT
The research aims to study the physical quality of the carcass and the fat content of broilers which
received rations of papaya fruit skin meal (Carica papaya) as substitution of green pea meal has been
implemented for 3 months. The design is used, a completely randomized design (CRD) with 4
treatments and 4 replications, where each repetition consisted of four strains of broiler chickens
Hubbard strain were used for a total of as many as 64 individuals. The treatments were as follows:
RP0: flour ration without rind papaya (TKPB), RP1: ration with 33.3% papaya fruit peel flour
(TKPB), RP2: ration with 66.7% papaya fruit peel flour (TKPB), RP3 : 100% ration with papaya fruit
peel flour (TKPB) .Variabel observed: carcass weight, carcass quality and fat content of broilers. The
data obtained were analyzed by analysis of variance, if significantly different between treatments (P
<0.05), then continued with Duncan’s range test (Steel and Torrie, 1990). The results showed the
treatment RP0; RP1 and RP2 significantly different (P <0.05) to the RP3 on carcass weight and
physical quality of the carcass. Treatment RP0; RP1 RP2 and RP3, non significant (P>0.05) on the fat
content of broiler chickens. It can be concluded that ration with papaya fruit skin meal (TKBP) to
66% (RP2) had no effect on carcass quality and fat content of the body, while the use of 100%
(TKBP) significantly affect the meat quality of broilers.
Keywords: Broiler Chickens, Flour Papaya Fruit, Green Beans, The Quality Of The Meat, Fat.
PENDAHULUAN
Kebutuhan daging yang berasal dari ternak baik ternak sapi, kambing dan unggas semakin meningkat,
untuk mengejar kekurangan akan daging maka ternak ayam broiler dapat diharapkan sebagai
penghasil daging yang cepat dan produktif. Hal ini disebabkan karen ternak broiler mempunyai
potensi untuk dikembangkan serta dapat menghasilkan daging dalam waktu yang relative singkat
(Windhorst, 2006).
Pakan memegang peranan yang penting dalam usaha peternakan untuk menjamin produksi, bila
ternak kekurangan pakan mengakibatkan menurunnya produksi dan reproduksi ternak. Ketersediaan
bahan pakan yang sangat terbatas dan berfluktuasi serta harga relative tinggi, bersaing dengan
manusia, menyebabkan biaya pakan tinggi. Kacang hijau dalam ransum unggas merupakan salah satu
bahan makanan yang dibutuhkan dalam campuran ransum sebagai sumber protein. Disisi lain
masyarakat masih membutuhkan kacang hijau, selain itu juga harganya relative lebih mahal. Dengan
demikian maka perlu diupayakan bahan makanan lain sebagai pengganti kacang hijau yang juga
merupakan sumber protein bahan lebih murah, selalu tersedia, disukai ternak dan tidak
membahayakan kesehatan ternak yang mengkonsumsinya.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
129
Kulit buah papaya adalah bahan limbah dari proses pengupasan buah pepaya untuk konsumsi
masyarakat, banyak tersedia dapat digunakan sebagai pakan alternatif untuk ayam . Menurut Sinaga,
(2010) pada bagian buah pepaya terdapat beta carotin, pectin, papain dan fitokinase. Pepaya
memiliki banyak manfaat mulai dari bagian akar, batang, daun, bunga dan buahnya. Mengandung
getah berwarna putih , mengandung suatu enzim proteolitik yang disebut papain, enzim proteolitik
adalah enzim yang mengkatalis reaksi-reaksi hidrolisis substrat protein dan kandungan protein
berkisar 22.9% (Wahyu, 1992). Hasil penelitian Fouzder et al. (1999) mendapatkan tepung kulit
buah pepaya hijau mengandung 230 g/kg protein kasar. Selanjutnya penggunaan tepung kulit buah
pepaya hijau dalam ransum bentuk pellet tidak berpengaruh nyata pada konversi ransum, efisiensi
penggunaan protein dan konsumsi ransum, dapat memperbaiki performans ayam jika dicampur dalam
bentuk mash.
Bahan suplemen yang yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas karkas yang tinggi (rendah
kandungan lemak tubuh) maka ransum perlu ditambahkan bahan suplemen (Siti, 2013). Tepung kulit
buah pepaya merupakan salah satu bahan pakan yang mempunyai kemungkinan menggantikan
kacang hijau dalam ransum broiler. Nilai gizi dari tepung kulit buah pepaya hampir sama dengan
kacang hijau terutama kandungan protein berkisar 22,9% dan kacang hijau 24,2% (Wahyu, 1992) .
Sebagai sumber protein telah diketahui bahwa kacang hijau merupakan bahan pangan yang
mengandung protein tinggi namun harganya cukup mahal. Berdasarkan hal-hal tersebut maka telah
dilaksanakan suatu penelitian kualitas fisik karkas dan kandungan lemak ayam broiler yang mendapat
ransum tepung kulit buah (Carica papaya) sebagai pengganti tepung kacang hijau.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilaksanakan di Walikota Baru, kecamatan Kota, Kota Mady, Kupang selama 3
bulan. Penelitian ini menggunakan 64 ekor DOC ayam broiler strain Hubbard. Berat badan awal
385,27 ± 33,08 g. Kandang yang digunakan adalah kandang petak sebanyak 16 petak dan setiap petak
kandang berisi 4 ekor anak ayam.Bahan pakan yang digunakan adalah : jagung kuning, dedak padi
halus, tepung kacang hijau, tepung kulit buah pepaya, tepung ikan, kacang kedelai (Tabel 1).
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan , setiap
unit terdiri dari 4 ekor ayam sehingga total ayam yang digunakan sebanyak 64 ekor . Adapun
perlakuan yang diberikan R0 : ransum tanpa tepung kulit buah pepaya (TKBP); R1 : ransum dengan
33,3% tepung kulit buah pepaya (TKBP); R2 : ransum dengan 66,7% tepung kulit buah
pepaya(TKBP); dan R3 : ransum dengan 100% tepung kulit buah pepaya (TKBP).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
130
Tabel 1. Susunan dan Komposisi Ransum Broiler Umur 0 – 3 Minggu
Bahan Pakan (%)
Perlakuan
R0 R1 R2 R3
Jagung kuning
Dedak halus
Kacang kedelai
Tepung kulit buah pepaya***
Tepung hijau**
Kacang ikan
48
7
25
0
10
10
48
7
25
3.33
6.67
10
48
7
25
6.67
3.33
10
48
7
25
10
0
10
Total 100 100 100 100
Kandungan Nutrisi
Protein kasar (%)
Serat Kasar (%)
Lemak (%)
Energi Metabolis (Kkal/kg)
23.12
4.11
8.20
3236
23.06
4.32
8.29
3228.78
23
4.55
8.37
3221.47
22.95
4.77
8.46
3214.2
*Scott et al. (1992) **Nalle (2002) ***Foutzer et al. (1999)
Variabel yang diamati adalah : berat karkas, kualitas karkas dan kandungan lemak ayam broiler.
Tabel 2. Susunan dan Komposisi Ransum Broiler Umur 4– 6 Minggu
Bahan Pakan (%)*
Perlakuan
R0 R1 R2 R3
Jagung kuning
Dedak halus
Kacang kedelai
Tepung kulit buah pepaya***
Tepung kacang hijau**
Tepung ikan
58
7
15
0
10
10
58
7
15
3.33
6.67
10
58
7
15
6.67
3.33
10
58
7
15
10
0
10
Total 100 100 100 100
Kandungan Nutrisi
Protein kasar (%)
Serat Kasar (%)
Lemak (%)
Energi Metabolis (Kkal/kg)
20.36
3.79
6.80
3228
20.30
4.0
6.88
3220.76
20.24
4.23
6.96
3213.47
20.19
4.45
7.05
3206.2
*Scott et al. (1992) **Nalle (2002) ***Foutzer et al. (1999)
Data yang terkumpul dianalisis dengan sidik ragam dan setelah melihat adanya tingkat beda antar
perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1990).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
131
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Fisik Karkas
Rataan bobot karkas ayam dapat dilihat pada Tabel 3. Rataan bobot karkas tertinggi dicapai oleh
perlakuan R2 sebesar 1080,73 g/ekor dan terkecil R3 sebesar 1056,04 g/ekor. Ternak ayam yang
mendapat perlakuan kontrol (R0) , R1, dan R3 memiliki bobot karkas berturut-turut 1064,66 g/ekor ;
1073,00 g/ekor ; dan 1056,04 g/ekor.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggantian kacang hijau dengan tepung kulit buah pepaya
(TKBP) sampai 66,75% perlakuan R1 dan R2 memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap
bobot karkas ayam broiler.
Hal ini disebabkan karena ayam mempunyai pertumbuhan yang baik pada perlakuan R1, R2
memberikan bobot karkas yang lebih tinggi. Bobot karkas dihitung mengurangi bobot hidup dengan
bobot non karkas. Konsumsi ransum dapat digunakan sebagai sumber protein dan asam amino dalam
pembentukan daging sehingga meningkatkan jumlah karkas. Juga dipengaruhi imbangan zat-zat
nutrisi, tingkat energi kecepatan pertumbuhan dan non karkas ayam broiler (Dewi dan Sinlae, 2004
dan Dewi , 2010).
Hasil rataan persentase karkas dapat dilihat pada Tabel 3. , persentase karkas yang diberikan ransum
dengan perlakuan R2 tertinggi sebesar 67.01% dibanding perlakuan lain. Persentase karkas ayam
mendapat berlakuan R0, R1 dan R3 berturut-turut sebesar 63,71% , 66,10%, dan 64,79%. Hasil uji
lanjut didapatkan antara perlakuan R1, R2 dangan R0, 3berbeda nyata (P >0.05) sedangkan antara
perlakuan R0,R2 dengan R1, R3 berbeda nyata (P<0.05).
Kualitas fisik karkas daging, tulang dan kulit tidak berbeda nyata (P> 0,05) antar perlakuan R0, R1,
R2 dan R3. Dilaporkan oleh Basyir (1999) bahwa meningkatnya konsumsi protein akan
meningkatkan berat karkas, persentase daging dada (breast meat). Kualitas fisik daging dari perlakuan
pemberian tepung kulit pepaya sampai 100%, pengganti kacang hijau tidak berbeda nyata (P>0,05)
pada warna daging, pH dan susut masak.
Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Performan Produksi Daging Ayam Broiler
Variabel
Perlakuan
R0 R1 R2 R3 SEM
Bobot Karkas (g/ekor)
Persentase Karkas (%)
Komposisi fisik karkas
(% berat karkas)
Daging
Tulang
Kulit
Kualitas Fisik Daging
Warna daging dada
pH
Susut masak
1064,66a 1073,00a 1080,73a 1056,04b 46,34
63,716 66,10 a 67,01a 64,79b 1,59
56,49ª 56,00a 57,37ª 57,20ª 0,30
28,52a 29,6a 29,00a 28,70a 0,45
16, 20a 16,49a 16,51a 16,45a 0,25
6,90a 6,20 a 6,10a 6,0a 0,12
5,50a 5,06 a 5.56a 5,70ª 0,03
25,50a 24,6a 25,1a 25,40a 0,09
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
132
Keterangan : 1) R0= tanpa tepung kulit buah pepaya; R1= 33.3% kulit buah pepaya; R2 = 66.7% kulit buah
pepaya dan R3= 100% kulit buah pepaya.
2) Superskrip yang berbeda pada baris yang sama nyata pada (P<0.05)
3) SEM: Standard Error of Means
Persentase Lemak Tubuh
Persentase Lemak empedal yang didapatkan ayam dengan perlakuan R0 ,R1, R2 dan R3 berturut-
turut 1.81%, 1.79%, 1.73% dan 1.70% dapat dilihat pada Tabel 4. Lemak empedal yang tertinggi
diperoleh ayam broiler yang mendapat perlakuan kontrol (R0) sebesar 1.81% dan terendah R3
sebesar 1.70%.
Hasil uji statistik di dapatkan pengaruh perlakuan penggunaan tepung kulit buah pepaya sampai
100% tidak memberikan pengaruh nyata (P > 0.05) terhadap persentase lemak Empedal. Persentase
lemak empedal dipengaruhi oleh kandungan energi dari ransum ( Dewi, 1991), juga dipengaruhi oleh
umur ( North, 1998) dan bobot badan ayam ( Rasyaf, 2005).
Hasil penelitian menunjukkan persentase lemak abdominal ternak ayam yang mendapat perlakuan R0
tertinggi yaitu rata-rata 2.54% dan terendah diperoleh ayam mendapat perlakuan R3 sebesar 2.45%
(Tabel 3). Rataan persentase lemak abdomen ayam broiler yang mendapat perlakuan R0, R1, R2 dan
R3 masing-masing 2,54 %, 249 %, 2.51% dan 2.45% secara statistik tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (P > 0.05).
Penambahan tepung kulit buah pepaya dalam ransum ayam broiler tidak menyebabkan penimbunan
lemak abdomen ayam. Dalam hal ini ransum digunakan dapat digunakan dengan baik untuk
pertumbuhan. Dewi (1991) bahwa kandungan energi ransum dan lemak ransum cenderung
mempengaruhi penimbunan lemak pada ayam broiler, serta lemak abdomen cenderung meningkat
dengan meningkatnya umur dan bobot badan ayam broiler.
Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Performan Produksi Daging Ayam Broiler
Variabel
Perlakuan
R0 R1 R2 R3 1) SEM 2)
Kandungan Lemak Tubuh ayam
broiler (g)
Lemak Abdomen(g)
Lemak Bantalan (g)
Lemak Mesentrium(g)
Lemak Empedal(g)
0,18a 1) 0,17a 0,16a 0,16a 0,070
6,60 a 6,37a 6,01a 6,0a 0,150
1,81a 1,79a 1,73a 1,70a 0,011
2,54a 2,49a 2,51a 2,45a 0,010
Keterangan : 1) R0= tanpa tepung kulit buah pepaya; R1= 33.3% kulit buah pepaya; R2 = 66.7% kulit buah
pepaya dan R3= 100% kulit buah pepaya.
2) Superskrip yang berbeda pada baris yang sama nyata pada (P<0.05)
3) SEM: Standard Error of Means
Persentase karkas diukur berdasarkan bobot hidup. Juga hal yang sama didapatkan bahwa persentase
karkas diukur berdasarkan bobot hidup dari ayam sehingga tidak berbeda (Dewi dan Sinlae, 2004).
Tepung kulit buah pepaya mengandung enzim papain bersifat proteolitik sehingga mampu
memecahkan protein menjadi lebih sederhana (polipeptida) (Dewi, 1991 dan Siti, 2013). Selain itu
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
133
lemak yang berlebihan pada ransum dengan adanya kulit buah pepaya dapat ditransformasi menjadi
sumber protein tubuh (Sinaga, 2010).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh dapat disimpulkan tepung kulit buah papaya (TKBP) sampai
66% (RP2) dalam ransum pengganti tepung kacang hijau tidak berpengaruh terhadap kualitas karkas
dan kandungan lemak tubuh, sedangkan penggunaan 100% (TKBP) berpengaruh nyata terhadap
kualitas daging ayam broiler.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada teman Dosen dan Mahasiswa yang ikut dalam
penelitian atas bantua serta dalam pengambilan data, membantu baik material dalam pelaksanaan
penelitian demi kelancaran penyelesaian penulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Basyir, A. K. 1999. serat kasar dan pengaruhnya pada broiler. Poultry Indonesia.Okt 99 No.233, Hal
:43-45.
Dewi, G.A.M.K. 1991. Respos Ayam Broiler Terhadap Ransum Yang Mengandung Minyak Kelapa
Sawit Kasar dan Dedak Pengganti Energi Jagung. Thesis. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor.
Dewi,G.A.M. K and M. Sinlae. 2004. The Effect of Palm Fatty Acid (PFA) and Calcium – Palm
Fatty Acid (Ca-PFA) on Performance of Broiler Chicken. Proceed. Anim. Sci. Congress
(AAAP), 3 (I) : 135-137.
Dewi, G.A.M.K. 2010.Pengaruh penggunaan level energy =protein ransum terhadap produksi karkas
ayam kampung. Prosiding Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal ke IV. Hal .222 – 228..
Fouzder, S, K. S. C. Chowdhury, M. A. R. Ho Wlider and C. K. Podder. 1999. Use of dried papaya
skin in the diet of growing pullets. Brith. Poult. Sci. 40:88-90.
Nalle, C. L. 2002. Pemanfaatan Tepung Kulit Buah Pepaya Dalam Ransum Ayam Broiler. Laporan
Penelitian Politani Kupang.
North, M.O. 1998. Commercial Chicken Production Manual. 7nd Edition. Avi Publishing
Company,Inc.Westport, Connecticut.
Rasyaf, M. 2005. Beternak Ayam Pedaging. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Rukmana, R. 1995. Budidaya Pepaya Dan Pasca Panen. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Scott , M. L., M. C. Nesheim, and R. J. Young. 1992. Nutrition of The Chicken.3rd Ed.M. L. Scott
and Associates, Ithaca, New York.
Sinaga, S. 2010. Pengaruh Pemberian TepungKulit Buah Pepaya (Carica papaya) dalam Ransum Babi
Peroide Finisher Terhadap Presentase Karkas , Tebal Lebah Punggung dan Luas Urat Daging
Mata Rusuk. http://blogs.uppad.ac.id/saulandsinaga/2010/05/21. Diakses 7 September 2015.
Siregar, A. P. M., Sabrani, dan Pramu S. 1998. Teknik Beternak Ayam Ras di Indonesia. Cetakan I.
Margie Group. Jakarta.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
134
Siti, N, W. 2013. Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Pepaya (Carica papaya L.) dalam Ransum
Komersial Terhadap Penampilan ,Kualitas Karkas serta Profil Lipida Darah dan Daging Itik
Bali Jantan. Desertasi. Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1990. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik.
Alih Bahasa Ir.B. Soemantri. Ed II. Gramedia Jakarta.
Wahyu, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University. Press. Yogyakarta.
Windhorst, H.W. 2006. Changes in poultry production and trade worldwide. World’s Poultry Sci. J.
62 (4) : 584 – 602.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
135
PENGARUH TEPUNG KULIT BAWANG PUTIH (Allium sativum) DAN MINERAL
ORGANIK (Cr, Se Dan Zn Lysinat) PADA PAKAN TERHADAP KONSUMSI PAKAN,
PRODUKSI DAN KOMPONEN SUSU KAMBING
Yusuf Subagyo, Tri Rahardjo dan Caribu Hadi Prayitno
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Email: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk menentukan konsumsi pakan, produksi dan komponen susu dari pakan
kambing perah yang disuplementasi tepung kulit bawang putih (Allium sativum) dan mineral organik
(1,5 ppm Cr organik, 0,3 ppm selenium dan 40 ppm Zn Lysinat). Penelitian ini menggunakan 15 ekor
induk bunting Kambing Jawarandu, laktasi ke dua. Menggunakan tiga perlakuan dan lima kali
ulangan yaitu : R0 (Pakan Kontrol), R1 (R0 + Tepung Kulit Bawang Putih) dan R2 (R1 + Mineral
Organik meliputi Cr, Se dan Zn Lysinat. Data dianalisis menggunakan analisis variansi dengan
Rancangan acak lengkap (RAL). Jika hasil menunjukkan perbedaan nyata maka akan diuji lanjut
dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ). Hasil menunjukkan bahwa suplementasi tepung kulit bawang
putih dan mineral organik tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi pakan,
produksi dan komponen susu (lemak, protein dan laktosa susu). Suplementasi tepung kulit bawang
putih menghasilkan konsumsi pakan, produksi dan komponen susu kambing perah lebih tinggi kecuali
hasil kadar lemak susu rendah dibandingkan dengan pakan kontrol serta suplementasi mineral organik
dan tepung kulit bawang putih.
Kata Kunci : Kulit bawang putih, Kambing Perah, Mineral Organik, Konsumsi Pakan
PENDAHULUAN
Permasalahan yang dikhawatirkan dalam usaha peternakan dalam hal ini kambing perah antara lain
mengenai emisi gas metan (CH4) dan rendahnya kualitas hijauan di daerah tropis. Hal tersebut
mengakibatkan efisiensi penggunaan pakan menjadi rendah, menunjukkan konversi pakan menjadi
produk fermentasi rumen tidak optimal dengan kecenderungan menghasilkan produk samping yang
tinggi, berupa gas metan. Produksi gas metan perlu ditekan karena, energi dari pakan akan hilang
sekitar 2 – 12%. Sehingga perlu dilakukan upaya meningkatkan ketersediaan energi dalam rangka
menghasilkan produk fermentasi rumen secara optimal. Pemanfaatan tanaman herbal sudah banyak
dilakukan dalam beberapa penelitian, seperti halnya bawang putih (Allium sativum), namun dalam
penelitian ini digunakan limbah bawang putih berupa kulit bawang putih. Kulit bawang putih
mempunyai kandungan senyawa polyfenol 7 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan umbi bawang
putih (Kim et al., 2009). Kandungan Allicin dan organosulfur dalam kulit bawang putih meliputi
diallil sulfida, diallil disulfida dan allil mercaptan yang mampu menghambat pertumbuhan metanogen
yang masih bebas. Menurunnya produksi gas metan akan menurunkan populasi protozoa seiring
dengan meningkatnya populasi bakteri pendegradasi serat (bakteri selullolitik). Peningkatan bakteri
pendegradasi serat kasar akan diiringi dengan optimalisasi pemanfaatan dan kecernaan pakan dalam
rumen.
Rendahnya kualitas hijauan Indonesia disebabkan karena defisien terhadap kandungan mineral.
Menurut penelitian Raharjo et al. (1994), defisiensi mineral dalam pakan dapat menyebabkan
produksi maupun reproduksi ternak menjadi terhambat atau terganggu. Upaya yang dilakukan yaitu
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
136
dengan suplementasi mineral organik (chromium, selenium dan Zn lysinat) dalam pakan kambing
perah. Suplementasi mineral organik tersebut akan berperan juga dalam meningkatkan komponen
susu, menekan produksi gas metan dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Mineral chromium
berperan sebagai glucose tolerance factor (GTF) merupakan reseptor insulin (Schwartz and Mertz,
1959) sehingga akan meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel - sel tubuh. Suplementasi
bawang putih (Allium sativum) terhadap ternak rumianansia dalam hal ini ternak perah memberikan
dampak yang positif dan mengguntungkan. Penelitian sebelumnya Kurniawan et al. (2013)
menunjukkan hasil yang optimal terhadap produksi susu, kecernaan (bahan kering, bahan organik dan
energi) meskipun produksi metan masih cukup tinggi pada kambing perah yang formulasi pakannya
disuplementasi tepung bawang putih 375 ppm, 1,5 ppm chromium, 0,3 ppm selenium dan 40 ppm Zn
lysinat.
METODE PENELITIAN
Persiapan Materi Penelitian
Persiapan tepung kulit bawang putih, sebelumnya mengumpulkan kulit bawang putih yang diperoleh
dari Pasar Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Pembuatan tepung
kulit bawang putih (Allium sativum) menurut Prayitno et al. (2013) yaitu tahap pertama kulit bawang
putih diambil dari hasil bawang putih yang sudah dikupas, kemudian dikeringkan dibawah sinar
matahari sampai kering. Kulit bawang putih digiling sampai berbentuk tepung. Pembuatan mineral
organik menurut Prayitno dan Widyastuti (2010).
Ternak dan Perlakuan Pakan
Penelitian ini telah dilaksanakan di kandang Stasiun Percobaan, Fakultas Peternakan, Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia, 2014. Ternak yang digunakan ketika
penelitian yaitu 15 ekor induk bunting kambing Jawarandu, laktasi ke-2. Pakan yang diberikan
dengan perbandingan rumput gajah : konsentrat yaitu 70 : 30% berdasarkan bahan kering dan
diberikan sebanyak 4% bobot badan kambing. Formulasi pakan basal yaitu kandungan PK 11,8%, SK
25,20% dan TDN 56,60%, pakan diberikan sesuai jadwal pagi dan sore hari sedangkan air minum
diberikan secara ad libitum. Adapun tiga perlakuan yang dilakukan antara lain:
1. R0 : Pakan kontrol
2. R1 : R0 + 30 ppm tepung kulit bawang putih (Allium sativum)
3. R2 : R1 + mineral organik (1,5 ppm Cr + 0,3 ppm Se + 40 ppm Zn Lysinat)
Periode penelitian ini berlangsung selama sepuluh minggu meliputi empat minggu sebelum dan enam
minggu setelah partus. Periode adaptasi berlangsung selama dua minggu dan lima minggu untuk
pengambilan sampel dan penggumpulan data (tanpa periode kolostrum). Kambing di kandangkan
pada kandang individu dan pemberian pakan secara free choice dua kali sehari pada pukul 06.00 dan
15.00 WIB. Pemerahan susu dilakukan setiap hari pada pukul 07.00 dan 16.00 WIB. Kambing
dilakukan penimbangan badan ketika awal masuk kandang dan tujuh hari serta enam minggu setelah
partus.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
137
Sampel dan Analisis Laboratorium
Sampel pakan dari free choice dikoleksi selama sepuluh hari bersamaan dengan koleksi feses untuk
pengukuran kecernaan. Pakan pemberian dan sisa dikoleksi setiap hari dan dikomposit setiap sepuluh
hari untuk menentukan kadar bahan kering. Konsumsi pakan dihitung sebagai perbedaan antara pakan
pemberian dan sisa pakan. Sampel pakan pemberian dan sisa serta feses setelah dikomposit,
dikeringkan dalam oven pada suhu 55° C selama 48 jam dan digiling untuk menentukan pengukuran
kecernaan bahan kering, bahan organik.
Susu
Produksi susu diukur setiap hari selama tiga minggu periode penelitian, sampel susu sudah dikoleksi
selama tiga minggu dan setiap minggu dilakukan komposit setiap unit percobaan. Selanjutnya
dianalisis untuk kadar lemak, protein dan laktosa menggunakan Lactoscan Milk Analyzer MCC30
Serial Number 4060.
Analisis Statistika
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan unit
percobaan yang relatif homogen. Data hasil penelitian di analisis dengan analisis variansi (ANAVA).
Jika perlakuan dalam penelitian menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata P<0.05, maka akan
dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (BNJ). Analisis statistika yang telah dihasilkan menggunakan
software statistika SPSS versi 22.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Tepung Kulit Bawang Putih dan Mineral Organik terhadap Konsumsi Pakan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata (P>0.05) antara perlakuan
suplementasi tepung kulit bawang putih dan mineral organik terhadap konsumsi pakan kambing perah
selama penelitian baik untuk konsumsi harian maupun konsumsi per kg bobot badan kambing perah
ditunjukkan pada Tabel 1. Didukung oleh hasil penelitian Zakeri et al., 2014 bahwa pakan kambing
perah yang disuplementasi bawang putih tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi
bahan kering. Pengaruh pemberian bawang putih pada pakan atau komponen lain dari bawang putih
akan menunjukkan hasil yang berbeda – beda tergantung dari dosis dan tipe produk yang ditambahkan
pada ternak kambing perah. Penambahan level pemberian bawang putih pada pakan kambing perah
tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya dengan
pemberian pakan total mixed ratio (TMR) pada kambing, domba dan sapi.
Hasil tersebut tidak sesuai dengan penelitian Kholif et al. (2012) pada kambing perah bahwa
penambahan minyak bawang putih berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi bahan kering.
Bergman (1990) sesuai penelitian sebelumnya mengestimasikan sebanyak 27% sampai 55%,
metabolisme glukosa pada ruminansia melalui propionat (sebagai prekursor energi), mampu
menghasilkan asetat yang lebih rendah sedangkan jumlah propionat dan butirat lebih tinggi dalam
suplementasi bawang putih pada pakan. Senyawa yang terkandung pada bawang putih akan
membantu meningkatkan efisiensi penggunaan energi dalam rumen. Dosis tinggi dari minyak
bawang putih akan menghambat pengaruh dalam fermentasi rumen (Yang et al., 2007). Tingkat
konsumsi bahan kering dan bahan organik ditentukan oleh pemenuhan kebutuhan ternak terhadap
energi, kapasitas rumen dan interaksi keduanya (Putra, 2009). Walaupun suplementasi tepung kulit
bawang putih dan mineral organik pada pakan kambing perah tidak menunjukkan hasil berpengaruh
nyata terhadap konsumsi pakan. Namun, pada perlakuan R1 (penambahan pakan dengan tepung kulit
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
138
bawang putih) menunjukkan peningkatan nilai konsumsi pakan. Konsumsi pakan menunjukkan
angka yang lebih tinggi pada suplementasi tepung kulit bawang hal tersebut dapat didekati dari
beberapa faktor yaitu tingkat palatabilitas ransum, kandungan energi, protein kasar, dan nisbah
nitrogen dan sulfur. Substansi aktif dari bawang putih belum mampu menstimulasi aktivitas bakteri
selulolitik (Prayitno dan Hidayat, 2013). Suplementasi tepung kulit bawang putih mampu menaikkan
konsumsi pakan, menunjukkan bahwa suplementasi tepung kulit bawang putih cenderung
meningkatkan aktivitas bakteri selullolitik. Namun, untuk suplementasi mineral organik pada pakan
cenderung menurunkan aktivitas bakteri pendegradasi serat.
Pengaruh Tepung Kulit Bawang Putih dan Mineral Organik terhadap Produksi dan Komposisi
Susu
Hasil penelitian menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap produksi susu
dan komponen susu (protein, lemak dan laktosa susu) pada suplementasi tepung kulit bawang putih
dan mineral organik pada kambing perah (Tabel. 2). Hasil tersebut didukung oleh penelitian Zakeri et
al. (2014) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap produksi susu dan komponen susu.
Pemberian bawang putih pada pakan akan menghasilkan produksi susu lebih rendah dibandingkan
ternak yang tidak disuplementasi bawang putih.
Terjadi peningkatan produksi susu, protein dan laktosa susu pada perlakuan R1 (penambahan tepung
kulit bawang putih) namun, terjadi penurunan kadar lemak susu. Penurunan lemak susu akan
berkorelasi negatif dengan tingginya produksi susu. Lemak susu yang lebih rendah dikarenakan
jumlah asetat pada rumen lebih rendah dan rasio A:P rendah dibandingkan pada pakan kontrol.
Kholif et al. (2012) menunjukkan hasil bahwa suplementasi bawang putih tidak berpengaruh terhadap
komponen susu namun, juga terjadi penurunan kadar lemak susu. Namun, hasil tersebut tidak
didukung oleh penelitian Yang et al. (2007) bahwa suplementasi minyak bawang putih pada sapi
perah cenderung meningkat untuk kadar lemak susu. Zhu et al. (2012) pada suplementasi minyak
bawang putih pada kambing perah tidak berpengaruh pada kadar lemak, protein dan produksi susu
dibandingkan dengan pakan kontrol.
Tabel 1. Pengaruh Tepung Kulit Bawang Putih (Allium sativum) pada pakan terhadap Konsumsi
Pakan Kambing Perah
Variabel R0 R1 R2 p
Konsumsi Pakan (kg/hari) 0.098 ± 0.034 0.086 ± 0.025 0.100 ± 0.005 .669
Konsumsi Pakan
(kg/BB/hari) 3.622 ± 1.234 3.150 ± 0.767 3.826 ± 0.321 .454
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
139
Tabel 2. Pengaruh Tepung Kulit Bawang Putih (Alium sativum) pada pakan terhadap Produksi dan
Komposisi Susu Kambing
Variabel R0 R1 R2 p
Produksi Susu (kg) 0.33 ± 0.24 0.43 ± 0.406 0.435 ± 0.110 .744
Produksi Susu (kg 4% FCM) 0.339 ± 0.185 0.376 ± 0.256 0.351 ± 0.159 .959
Komposisi Susu (%)
Lemak 4.394 ± 1.474 3.172 ± 1.469 2.582 ± 1.583 .929
Protein 3.28 ± 0.413 3.172 ± 1.469 2.582 ± 1.583 .605
Laktosa 3.09 ± 0.388 3.472 ± 0.397 3.13 ± 0.480 .571
Produksi (g/hari)
Lemak 13.655 ± 7.205 13.584 ± 9.552 11.804 ± 8.846 .196
Protein 10.583 ± 6.226 14.706 ± 9.972 14.299 ± 3.073 .661
Laktosa 9.973 ± 5.88 14.106 ± 9.20 13.514 ± 2.858 .333
FCM = Produksi Susu x (Lemak % x 0.15 + 0.4)
R0 : Pakan kontrol; R1 : R0 + Tepung Kulit Bawang Putih (Allium sativum) 30 ppm; R2 : R1 + Mineral Organik
(1,5 ppm Cr + 0,3 ppm Se + 40 ppm Zn Lysinat).
KESIMPULAN
Suplementasi tepung kulit bawang putih (Allium sativum) dan mineral organik (Cr, Se dan Zn
Lysinat) tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan, produksi dan komposisi susu kambing.
Suplementasi tepung kulit bawang putih (Allium sativum) pada pakan kambing perah menghasilkan
konsumsi pakan, produksi dan komposisi susu tertinggi kecuali lemak susu yang rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Bergman EN. 1990. Energy Contribution of Volatile Fatty Acids from the Gastro-Intestinal Tract in
Various Species.Physiol Rev.70: 567-590.
Kholif SM, Morsy TA, Abdo MM, Matloup OH, and Abu El-Ella AA. 2012. Effect Of
Supplementing Jactating Goats Rations With Garlic, Cinnamon Or Ginger Oils On Milk Yield,
Milk Composition And Milk Fatty Ccids Profile. J. Life Sci. 4: 27-34.
Kim,Y., J.S.K. Jin and H.S. Yang. 2009. Processing, Products, and Food Safety: Effect of Dietary
Garlic Bulb and Husk on the Physicochemical Properties of Chicken Meat. Poultry Science.
88:398-405.
Kurniawan, D. 2013. Produksi dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Ettawa Pada Kondisi Pakan
Yang Disuplementasi Ekstrak Sapindus rarak dan Allium sativum. Tesis. Magister Ilmu
Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman.
Patra AK, Saxena J. 2010. A New Perspective on the Use of Plant Secondary Metabolites to Inhibit
Methanogenesis in the Rumen. Phytoch. 71:1198-222.
Prayitno, C.H dan T. Widiyastuti. 2010. Kajian Selenomethionin, Chromium Yeast dan Seng
Proteinat pada Pakan Sapi Perah (Tinjauan secara In-Vitro). Proseding Seminar Nasional:
Perspektif Pengembangan Agribisnis Peternakan. Fakultas Peternakan UNSOED. Purwokerto.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
140
Prayitno, C.H and N. Hidayat. 2013. The Efficacy of Methanol Extracts of Garlic (Allium sativum) to
Improve Rumen Fermentation Products. J. Anim. Prod. 15 : 69 – 75.
_________., Y. Subagyo and Suwarno. 2013. Supplementation of Sapindus rarak and Garlic Extract
in Feed Containing Adequate Cr, Se, and Zn on Rumen Fermentation. Media Peternakan. 52-
57.
Putra, S., N. N. Suryani dan I W. Subhagiana. 2009. Respons Metabolit Fermentasi Rumen dan
Performans Pertumbuhan Kambing PE terhadap Suplementasi Konsentrat Molamix.
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 34 [2].
Schwarz, K. and W. Mertz. 1959. Chromium (III) and Glucose Tolerance Factor. Arch. Biochem.
Biophys. 85: 292.
Yang WZ, Benchaar C, Ametaj BN, Chaves AV, He ML, McAllister TA. 2007. Effects of Garlic and
Juniper Berry Essential Oils on Ruminal Fermentation and on The Site and Extent of Digestion
in Lactating Cows. J. Dairy Sci. 90: 5671-5681.
Zakeri, Z. R. Pirmohammadi, E.Anassori and M.Tahmouzi. 2014. Feeding Raw Garlic to Dairy
Goats: Effects on Blood Metabolites and Lactation Performance Kafkas Univ Vet Fak Derg.
Vol 20 (3): 399 – 404.
Zhu Z, S. Hang ,H. Zhu , S. Zhong , S. Mao and W. Zhu.2013. Effects of Garlic Oil on Milk Fatty
Acid Profile and Lipogenesis-Related Gene Expression in Mammary Gland of Dairy Goats. J.
Sci Food Agriculture. 93 560-567.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
141
PENGARUH DAUN TURI (Sesbania grandiflora) DAN LAMTORO (Leucaena leucocephala)
DALAM RANSUM SAPI BERBASIS INDEKS SINKRONISASI PROTEIN - ENERGI
TERHADAP SINTESIS PROTEIN MIKROBA RUMEN
Afduha Nurus Syamsi, Fransisca Maria Suhartati dan Wardhana Suryapratama
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Email : [email protected]
ABSTRACT
An experiment was aimed to assess the use of the legume leaf as a source of protein feedstuff and
levels of synchronization protein-energy (SPE) index in the diet of cattles on ammonia (N-NH3) and
microbial protein synthesis (MPS). In vitro techniques was done. The research was used a completely
randomized design (CRD), with factorially pattern (2x3), the first factor was the two species of
legume (Sesbania leaves and Leucaena leaves) and the second factor was the three level of the SPE
index (0.4, 0.5, and 0.6), there were 6 treatment combinations and each was 4 replicates. The results
showed that no interaction between legume with SPE index, but each factor was significantly effect
(P<0.05) on N-NH3 of rumen fluid and MPS. The research concluded that Leucaena leaf is a legume
that is better than Sesbania leaf in terms of their ability to increase MPS. SPE index is the best in
producing MPS at level 0.6.
Key words: Legume, synchronization of protein and energy index, ammonia, microbial protein
synthesis
PENDAHULUAN
Sapi potong maupun sapi perah sebagai ternak ruminansia membutuhkan asupan nutrien pakan yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok dan produksinya. Pakan sapi umumnya terdiri dari hijauan
dan konsentrat. Tanaman hijauan yang potensial dan mempunyai nilai hayati tinggi adalah tanaman
leguminosa. Menurut Utomo (2012), leguminosa merupakan proteinceus roughages yaitu sumber
pakan serat berprotein tinggi. Kandungan protein leguminosa rata-rata mencapai 22 % (Kushartono
dan Iriani, 2004). Berlainan dengan sumber serat, sumber energi pakan sapi biasanya berasal dari
limbah pertanian dan hasil sisa pengolahan pangan seperti dedak, onggok, dan pollard. Cakra dan Siti
(2008) menyatakan bahwa pemberian sumber energi dalam pakan ternak penting untuk diperhatikan,
karena dapat meningkatkan koefisien cerna nutrien ransum. Oleh karena itu, pemberian leguminosa
dan bahan pakan sumber energi merupakan suatu kombinasi bahan pakan yang baik bagi sapi.
Pemberian leguminosa sebagai sumber protein dan pemberian bahan pakan sumber energi bagi sapi
harus mampu meningkatkan sintesis protein mikroba rumen (SPM), karena hewan ruminansia sangat
bergantung pada keberadaan mikroba rumen dalam proses fermentasi pakan. Sintesis protein mikroba
rumen (SPM) membutuhkan senyawa amonia yang tidak berlebihan dan energi sebagai rantai karbon
dari degradasi karbohidrat dalam jumlah yang cukup. Menurut Widyobroto et al. (2007), suplai
protein dan energi tersebut harus tersedia secara simultan (sinkron) agar proses SPM menjadi
optimum. Ginting (2005) manyatakan bahwa efek asynchronous antara protein dan energi akan
menimbulkan kerugian, apabila substansi protein terdegradasi lebih cepat dibandingkan sumber
energi, maka sebagain besar protein dalam bentuk amonia akan terbuang melalui urin. Sebaliknya,
apabila substansi sumber energi terfermentasi lebih cepat, maka akan terjadi akumulasi asam laktat
dan dapat memicu terjadinya penurunan pH rumen yang dapat menyebabkan asidosis. Suplai amonia
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
142
dan energi yang sinkron dapat dicapai dengan penyesuaian degradasi protein dan fermentabilitas
karbohidrat atau bahan organik (BO) dalam rumen.
Laju degradasi protein asal leguminosa rendah di dalam rumen karena berada dalam ikatan kompleks
bersama tanin (Hadi et al., 2011), sedangkan laju fermentabilitas BO pakan asal pengolahan pangan
berada pada taraf sedang hingga tinggi. Perbedaan laju degradasi tersebut dapat diatasi dengan
formulasi ransum berbasis indeks sinkronisasi protein-energi (SPE). Menurut Sinclair et al. (1993),
penyusunan ransum berbasis indeks SPE berusaha menunjukkan keharmonisan degradasi protein dan
fermentabilitas BO dalam rumen per jam yang dinyatakan secara kauntitatif dengan indeks optimum
yaitu 1. Baik laju degradasi protein atau BO, juga indeks SPE bahan pakan lokal (termasuk
leguminosa) belum terinventarisir dengan baik. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian tentang pengaruh
interaksi antara penggunaan leguminosa dan level indeks SPE terhadap produk fermentasi rumen
terutama kadar amonia cairan rumen dan sintesis protein mikroba (SPM) rumen.
METODE PENELITIAN
Penelitian diawali mengukur degradasi protein dan BO delapan jenis bahan pakan (rumput raja, daun
turi, daun lamtoro, onggok, dedak, pollard, ampas tahu, dan bungkil kelapa) secara in vitro menurut
metode Tilley dan Terry (1963) yang dimodifikasi dengan metode Orskov dan Mcdonald (1979)
untuk menetapkan indeks sinkronisasi protein-energi (SPE). Laju degradasi protein dan bahan organik
(BO) bahan pakan digunakan untuk menghitung indeks SPE menurut petunjuk Hermon et al. (2008).
Indeks Sinkronisasi =
Keterangan : n : waktu pengamatan, N/BO per jam : laju degradasi protein dibanding laju degradasi
bahan organik setiap jam (Hermon et al., 2008).
Penelitian eksperimental dilakukan untuk mengukur kadar amonia dan SPM cairan rumen sapi perah
secara in vitro (Tilley dan Terry, 1963). Materi yang digunakan adalah cairan rumen sapi Peranakan
Friesian Holstein (PFH) jantan yang diambil dari rumah potong hewan (RPH) Mersi, Purwokerto,
segera setelah sapi dipotong. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu rancangan acak lengkap
(RAL) dengan pola faktorial (2x3), faktor A adalah leguminosa (turi dan lamtoro), faktor B adalah
indeks SPE (0,4; 0,5; dan 0,6). Terdapat 6 kombinasi perlakuan dan masing-masing diulang sebanyak
4 kali. Pengukuran kadar N-NH3 menggunakan tekhnik mikrodifusi conwey (General Laboratory
Procedures, 1966), sedangkan sintesis protein mikroba rumen (SPM) diukur dengan metode Zinn dan
Owen (1986). Penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas
Peternakan Universitas Jenderal Soedirman pada medio Mei-Juli 2015.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan laju degradasi protein rumput raja, daun turi, daun lamtoro, onggok, dedak, pollard,
ampas tahu, dan bungkil kelapa masing-masing yaitu 2,2625, 5,4914, 4,7329, 1,2772, 3,2501, 7,0444,
6,5594, dan 7,5464 g N/jam, sedangkan laju degradasi bahan organik (BO) masing-masing bahan
pakan yaitu 0,0103, 0,0164, 0,0135, 0,0080, 0,0091, 0,0236, 0,0203, dan 0,0524 kg BO/jam, dapat
dilihat ilustrasinya pada Gambar 1.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
143
Gambar 1. Laju degradasi protein bahan pakan sumber protein (Kiri) dan BO bahan pakan sumber
energi (Kanan) pada interval waktu berbeda.
Grafik laju degradasi protein menunjukkan bahwa penurunan dan peningkatan degradasi protein
masing-masing bahan pakan sumber protein memiliki kecenderungan yang sama, namun berbeda
setelah jam ke 12. Menurut Hadi et al.(2011), degradasi protein leguminosa cenderung rendah karena
adanya ikatan matrix bersama tanin. Menurut Suryahadi (1990), ampas tahu memiliki degradasi
protein yang cukup tinggi di dalam rumen, degradasi protein akan tinggi sejak jam ke 0 hingga jam ke
4 dan konstan menurun pada jam berikutnya. Menurut Zamsari et al. (2012), protein bungkil kelapa
memiliki kecenderungan degradasi yang tinggi di dalam rumen. Berbeda dengan degradasi protein,
degradasi BO bahan pakan sumber energi memiliki kecenderungan trend yang sama pada setiap
interval waktu, yaitu meningkat pada jam ke dua hingga ke empat dan drastis menurun setelah jam
keempat dan stabil pada jam berikutnya, kecuali pada pollard. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Steven dan Hume (1998) yang menyatakan bahwa fermentasi bahan pakan sumber energi tertinggi
pada 0-4 jam dalam cairan rumen dan menurun
Data penelitian menunjukkan bahwa bahan pakan dengan indeks sinkronisasi rendah adalah dedak
(0,29), daun lamtoro (0,31), daun turi (0,34) dan ampas tahu (0,37). Bahan pakan dengan indeks
medium adalah pollard (0,42) dan rumput raja (0,58), sedangkan bahan pakan dengan indeks tinggi
adalah onggok (0,71) dan bungkil kelapa (0,74). Berdasarkan indeks SPE tersebut disusunlah ransum
berbasis indeks SPE seperti pada Tabel 1.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
144
Tabel 1. Susunan ransum perlakuan berbasis indeks sinkronisasi protein dan energi (SPE)
No Bahan Pakan R1 R2 R3 R4 R5 R6
......... % ..........
1 Rumput Raja 35 50 54 35 50 54
2 Daun Turi 10 10 10 0 0 0
3 Daun Lamtoro 0 0 0 10 10 10
4 Onggok 3 6 15 3 6 15
5 Dedak 26 14 1 26 14 1
6 Pollard 8 5 3 8 5 3
7 Ampas Tahu 14 9 3 14 9 3
8 Bungkil Kelapa 3 5 13 3 5 13
9 Mineral 1 1 1 1 1 1
Total 100 100 100 100 100 100
Indeks Sinkronisasi 0,4 0,5 0,6 0,4 0,5 0,6
Nutrien
Bahan Kering, % 92.61 93.30 92.75 92.58 93.27 92.71
Protein Kasar, % BK 12.29 12.24 12.53 12.25 12.19 12.49
Lemak Kasar, % BK 5.31 5.35 5.97 5.49 5.54 6.16
Serat Kasar, % BK 21.21 23.18 23.13 21.17 23.14 23.08
BETN, % BK 50.37 48.77 49.02 50.37 48.76 49.01
TDN, % 68.02 66.39 67.16 68.23 66.59 67.37
Keterangan : (R : Ransum Perlakuan), (Kadar nutrien dihitung berdasarkan: Hasil Analisis Laboratorium Ilmu
Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Unsoed, 2015), (TDN : dihitung dengan rumus %
TDN = 70,60 + 0,259 PK + 1,01 LK - 0,76 SK + 0,0991 BETN (Sutardi, 2001)).
Kadar Amonia (N-NH3) Cairan Rumen
Rataan kadar N-NH3 hasil pengamatan penelitian berada pada kisaran 12,15-13,53 mM cairan rumen
(Tabel 2). Menurut McDonald et al. (1987), kisaran konsentrasi amonia yang cukup untuk
pertumbuhan mikroba yang maksimal adalah 85-300 mg/L atau setara dengan 2,7 – 14,3 mM cairan
rumen. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara spesies leguminosa dan
indeks SPE terhadap kadar N-NH3, tetapi perlakuan leguminosa dan indeks sinkronisasi masing-
masing berpengaruh nyata terhadap kadar N-NH3 (P<0,05).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rataan kadar N-NH3 cairan rumen yang mendapat daun
turi lebih tinggi (12,79 mM) dibandingkan dengan yang mendapat daun lamtoro (12,10 mM). Hal
tersebut terjadi karena kecernaan protein daun turi lebih tinggi dibandingkan daun lamtoro (Hadi et
al., 2011). Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa daun lamtoro memiliki kadar tanin mencapai
6% (Pamungkas et al., 2008), sedangkan daun turi memiliki kadar tanin sebesar 0,1% (Soebarinoto,
1986), sehingga kecernaan protein daun lamtoro menjadi rendah dan sumbangan NH3 dalam cairan
rumen juga rendah.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
145
Tabel 2. Rataan kadar amonia cairan rumen dan sintesis protein mikroba rumen (SPM)
Peubah
Perlakuan
R1 R2 R3 R4 R5 R6
NH3(mM) 13,53±0,42 12,71±0,51 12,15±0,30 12,65±0,93 12,38±0,86 11,28±0,55
SPM
(mg/20ml) 103,7 ± 3,06 110,2±5,87 120,1±12,16 106,5±6,94 116,8±9,18 142,6±15,70
Keterangan : R1 = Turi + Indeks 0,4, R2 = Turi + Indeks 0,5, R3 = Turi + Indeks 0,6, R4 = Lamtoro + indeks
0,4, R5 = Lamtoro + indeks 0,5, R6 = Lamtoro + indeks 0,6,
Uji orthogonal polynomial pada faktor B menunjukkan bahwa indeks SPE berpengaruh secara linier
terhadap kadar N-NH3 dengan persamaan Y = 15,896 – 6,8937 X dengan koefisien determinasi (r2) =
0,42 (Gambar 2). Gambar tersebut menunjukkan bahwa kadarN-NH3 terus menurun sejalan dengan
meningkatnya indeks SPE. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Chumpawade et al. (2005)
dan Seo et al. (2010) yaitu bahwa indeks SPE tidak berpengaruh nyata terhadap kadar N-NH3. Hal
tersebut dapat terjadi karena perbedaan metode penelitian, kedua peneliti tersebut menggunakan
metode in vivo, sehingga terdapat faktor penyerapan N-NH3 pada dinding rumen. Selain itu, bahan
pakan, materi penelitian dan susunan ransum yang digunakan dalam penelitian tersebut juga berbeda
dengan penelitian ini. Basis penelitian Chumpawade et al. (2005) adalah bahan pakan berkualitas
rendah yaitu jerami padi, sedangkan Seo et al. (2010) menggunakan bahan pakan penyusun konsentrat
yang sangat beragam.
Penurunan kadar N-NH3 dari indeks SPE rendah (0,4) sampai indeks SPE tinggi (0,6) disebabkan oleh
peningkatan sintesis protein mikroba rumen. Bata dan Hidayat (2010) menyatakan bahwa kadar N-
NH3 dalam cairan rumen tergantung pada jenis sumber protein yang digunakan, tingkat degradabilitas
sumber protein dalam cairan rumen, dan SPM dalam cairan rumen. Semakin tinggi indeks SPE, maka
SPM semakin optimum. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ginting (2005) yang menyatakan
bahwa tujuan dari pengaturan indeks SPE adalah untuk menyediakan secara simultan N-NH3 dan
energi untuk kepentingan SPM, sehingga tidak banyak N-NH3 yang terbuang selama proses
fermentasi.
Gambar 2. Pengaruh indeks SPE terhadap kadar N-NH3 cairan rumen
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
146
Sintesis Protein Mikroba (SPM) Rumen
Rataan sintesis protein mikroba rumen (Tabel 2) berada pada kisaran 103,67-142,55 mg/20 ml cairan
rumen. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Suhartati (2005) yaitu SPM 140-
161,6 mg/20 ml cairan rumen, tetapi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Alwi et
al. (2013) yaitu 3,98-5,54 mg/20 ml cairan rumen. Kesamaan yang terjadi dengan penelitian Suhartati
(2005), karena sama-sama menggunakan leguminosa sebagai percobaan, sedangkan Alwi et al. (2013)
menggunakan bagasse tebu fermentasi dengan kandungan protein yang rendah. Hasil analisis variansi
menunjukkan bahwa perlakuan leguminosa berpengaruh nyata (P<0,05) dan perlakuan indeks SPE
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap SPM. Berdasarkan uji beda nyata jujur (BNJ) diketahui
bahwa rataan SPM cairan rumen yang mendapat daun lamtoro lebih tinggi (121,966 mg/20 ml)
dibandingkan dengan yang mendapat daun turi (111,310 mg/20 ml). Hal tersebut diduga disebabkan
karena pengaruh tanin yang menyebabkan lambatnya perubahan protein menjadi amonia pada
lamtoro. Namun, melambatnya pelepasan amonia tersebut menyebabkan tingkat keharmonisan yang
lebih baik dibandingkan dengan turi, sehingga proses sintesis protein mikroba lebih optimum pada
penggunaan daun lamtoro.
Hasil uji orthogonal polynomial menunjukkan bahwa indeks SPE berpengaruh secara linier terhadap
SPM dengan persamaan Y = 51,091 – 131,09 X dengan koefisien determinasi (r2) = 0,48. Gambar 3
menunjukkan bahwa SPM meningkat seiring dengan peningkatan indeks SPE. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Ginting (2005) bahwa intisari dari pengaturan indeks sinkronisasi protein dan
energi adalah untuk meningkatkan SPM. Sinkronisasi yang dimaksud adalah adanya keharmonisan
dalam penyedian dan atau pelepasan amonia dari protein serta energi dari karbohidrat untuk
memenuhi kebutuhan SPM. Sinclair et al. (1993) menyatakan bahwa indeks SPE 1 (satu),
menunjukkan adanya keharmonisan antara ketersediaan energi dan protein di dalam cairan rumen.
Semakin mendekati angka satu maka semakin meningkat SPM dalam cairan rumen. Menurut Elseed
(2005), pemberian sumber protein dan energi secara simultan akan meningkatkan pertumbuhan N
mikroorganisme, sedangkan menurut Rotger et al. (2006), angka sinkronisasi protein-energi yang
tinggi memiliki kecenderungan meningkatkan N mikroorganisme di dalam cairan rumen.
Gambar 3. Pengaruh indeks SPE terhadap SPM cairan rumen
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara pengamatan konsentrasi
amonia dengan SPM (Gambar 4) dengan persamaan Y = 2864,2-19,21X (r2=0,99)). Peningkatan
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
147
SPM dapat diikuti dengan penurunan kadar amonia di dalam cairan rumen. Penurunan kadar amonia
rumen bukan disebabkan karena produksinya yang menurun, tetapi karena amonia telah digunakan
oleh mikroorganisme dalam sintesis proteinya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Puastuti dan
Mathius (2005) bahwa menurunya konsentrasi NH3 dalam cairan rumen diiringi dengan
meningkatnya sintesis protein mikroba. Menurut Nolan (1993), amonia merupakan sumber utama
nitrogen yang sangat penting bagi hewan inang. Maynard et al. (1979) menyatakan bahwa 80%
mikroorganisme rumen menggunakan amonia sebagai satu-satunya sumber nitrogen.
Widyobroto et al. (2007) menyatakan bahwa sintesis protein mikroba sangat tergantung pada kadar
N-NH3 dan Alwi et al. (2013) menyatakan bahwa peningkatan sintesis protein mikroba akan diikuti
dengan penurunan kadar N-NH3 dalam cairan rumen. Yang et al. (2010) memiliki pendapat berbeda,
bahwa peningkatan sintesis protein mikroba rumen tidak selalu diikuti dengan penurunan kadar N-
NH3, sehingga kadar N-NH3 tidak selalu dapat menunjukkan tinggi rendahnya SPM. Menurut Bata
dan Hidayat (2010), konsentrasi N-NH3 dalam cairan rumen dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
jenis sumber protein yang digunakan, tingkat degradabilitasnya di dalam rumen dan SPM. Artinya
bahwa penurunan dan peningkatan N-NH3 tidak selalu disebabkan oleh SPM, pada suatu kejadian
dapat berlaku hal yang berbeda yaitu SPM tinggi dan diikuti dengan kadar N-NH3 yang tinggi atau
kejadian sebaliknya juga dapat berlaku yaitu SPM rendah diikuti dengan kadar N-NH3 yang rendah.
Cole dan Tood (2008) berpendapat bahwa penggunaan N-NH3 dalam SPM tergantung pada
ketersediaan energi, sehingga hubungan tersebut akan optimal ketika ketersedian energi juga
tercukupi. Produksi N-NH3 yang tinggi diikuti dengan ketersediaan energi yang tinggi serta keduanya
tersedia secara simultan akan meningkatkan SPM. Oleh karena itu, penerapan sinkronisasi protein dan
energi dalam penyusunan ransum ternak ruminansia sangat penting untuk diperhatikan, karena dapat
meningkatkan SPM dan SPM merupakan sumber protein utama bagi ternak ruminansia.
Gambar 4. Hubungan antara kadar amonia cairan rumen dan sintesis protein mikroba rumen
KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian yaitu bahwa daun lamtoro merupakan leguminosa yang lebih baik
dibandingkan dengan daun turi ditinjau dari kemampuanya dalam meningkatkan SPM. Indeks SPE
yang terbaik dalam menghasilkan SPM yaitu pada level 0,6.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
148
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, M., W. Suryapratama dan F.M. Suhartati. 2013. Fermentasi Ampas Tebu (Bagasse)
Menggunakan Phanerochaete chrysosporium Sebagai Upaya Meningkatkan Produk Fermentasi
Rumen Secara In Vitro. Jurnal ilmiah Peternakan. 1(2): 479-487.
Bata, M. dan N. Hidayat. 2010. Penambahan Molases untuk Meningkatkan Kualitas Amoniasi Jerami
Padi dan Pengaruhnya terhadap Produk Fermentasi Rumen Secara In-Vitro. Agripet. 10(2): 27-
33.
Cakra, I.G.L.O. dan N.W. Siti. 2008. Coefesien Digestibility of Dry Matter and Nutrition Content of
Etawah Cross Breed Goat Ration With Forage and Molamik Concentrate. Majalah Ilmiah
Peternakan. 11(1): 11-17.
Chumpawadee S., K. Sommart, T. Vongpralub, and V. Pattarajinda. 2005. Effect of Synchronizing
The Rate of Degradation of Dietary Energy and Nitrogen Release on Reproductive
Performance in Brahman-Thai Native Crossbred Beef Cattle. Songklanakarin Journal Science
Technol. 28: 59-68.
Cole, N.A. and R.W. Tood. 2008. Opportunities to Enhance Performance and Efficiency Through
Nutrients Synchrony in Concentrate-Fed Ruminants. Journal of Animal Science.86 : E 318-E
333.
Elseed, F.A.M.A. 2005. Effect of Supplemental Protein Feeding Frequency on Ruminal
Characteristics and Microbial N Production in Sheep Fed Treated Rice Straw. Small Rumin.
Res. 57:11-17.
General Laboratory Procedures. 1966. General Laboratory Procedures Department of Diary Science.
University of Wisconsin, Madison.
Ginting, S.P. 2005. Sinkronisasi Degradasi Protein dan Energi dalam Rumen untuk Memaksimalkan
Produksi Protein Mikroba. Wartazoa. 15(1): 1-10.
Hadi, F.H., Kustantinah, dan H. Hartadi. 2011. Kecernaan In Sacco Hijauan Leguminosa dan Hijauan
Non-Leguminosa dalam Rumen Sapi Peranakan Ongole. Buletin Peternakan. 35(2): 79-85.
Hermon, M., Suryahadi, K.G. Wiryawan dan S. Hardjosoewignjo. 2008. Nisbah Sinkronisasi Suplai
N-Protein dan Energi dalam Rumen Sebagai Basis Formulasi Ransum Ternak Ruminansia.
Media Peternakan. 31(3): 186-194.
Kushartono, B dan N. Iriani. 2004. Inventarisasi Keanekaragaman Pakan Hijauan Guna Mendukung
Sumber Pakan Ruminansia. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian,
Balai Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor.
Maynard, L. A., J.K Loosli,.H.F Hintz and R.G Warner. 1979. Animal Nutrition, 7th ed. Tata
McGraw Hill Publishing Company Limited. New Delhi.
McDonald, P., R.A. Edward, and J.F.D. Greenhalgh. 1987. Animal Nutrition, 8th edition. Longman
Group (FE) Ltd. Hongkong.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
149
Nolan. 1993. Nitrogen Kinetics. in : Quantitative Aspect of Ruminan Digestion and Metabolism.J.M
Forbes and J. France (Editors).C.A.B International. Wallingford.
Orskov E.R., and I. McDonald. 1979. The Estimating of Protein Degradability in The Rumen From
Incubation Measurement Weighted Activating to Rate of Passage. Journal of Agrculture
Science.Camb. 92: 499-503.
Pamungkas, D., Y.N. Anggraeni, Kusmartono dan N.H. Krishna. 2008. Produksi Asam Lemak
Terbang dan Amonia Rumen Sapi Bali pada Imbangan Daun Lamtoro (L. leucocephala) dan
Pakan Lengkap yang Berbeda. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Universitas Brawijaya. Malang.
Puastuti, W. dan I.W. Mathius.2005. Pengaruh Substitusi Bungkil Kedelai Terproteksi Getah Pisang
Sebagai Sumber Protein Tahan Degradasi Terhadap Fermentasi Rumen. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Rotger, A., A. Ferret, S. Calsamiglia, and X. Manteca. 2006. Effects of Nonstructural Carbohydrates
and Protein Sources on Intake, Apparent Total Tract Digestibility, and Ruminal Metabolism In
Vivo and In Vitro with High-Concentrate Beef Cattle Diets. Journal Animal Science. 84:1188-
1196.
Seo, J.K. ,J. Yang, H.J. Kim, S.D. Upadhaya, W.M. Cho, and J.K. Ha. 2010. Effect of
Synchronization of Carbohydrate and Protein Supplay on Ruminal Fermentation. Nitrogen
Metabolism and Microbial Protein Synthesis in Holstein Steers. Asian Australian Journal of
Animal Science. 23(11) : 1455 – 1461.
Sinclair, L.A., P.C. Garnsworthy, J.R. Newbold, and P.J. Buttery. 1993. Effects of Synchronizing The
Rate of Dietary Energy and N Release in Diets on Rumen Fermentation and Microbial Rumen
Protein Synthesis in Sheep. Journal of Agriculture Science.Camb. 120: 251-263.
Soebarinoto. 1986. Evaluasi Beberapa Hijauan Pohon Leguminosa Tropis Sebagai Sumber Protein
untuk Ternak. Disertasi. Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Steven, C.E. and I.D. Hume. 1998. Contributions of Microbes in Vertebrate Gastrointestinal Tract to
Production and Conservation of Nutrientss. American Psicological Society. 78(2): 393-427.
Suhartati, F.M. 2005. Proteksi Protein Daun Lamtoro (Leucane leucocephala) Menggunakan Tanin,
Saponin, Minyak dan Pengaruhnya Terhadap Ruminal Undegradable Dietary Protein (RUDP)
dan Sintesis Mikroba Rumen. Animal Production. 7(1): 52-58.
Suryahadi. 1990. Ruminant Nutrition. Inter-University Centre of Biological Sciences. Bogor
Agricultural University. Bogor.
Sutardi, T. 2001. Revitalisasi Peternakan Sapi Perah Melalui Penggunaan Ransum Berbasis Limbah
Perkebunan dan Suplementasi Mineral Organik. Laporan Penelitian Akhir RUT VIII 1. Kantor
Menteri Negara Riset dan Teknologi dan LIPI.
Tilley, J.M. A. and R.A. Terry, 1963. The Relationship Between The Soluble Constitutent Herbage
and Their Dry Matter Digestibility. Journal British Feed Science.18: 104-111.
Utomo, R. 2012. Evaluasi Pakan dengan Metode Noninvansif. Citra Ajiprama. Yogyakarta.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
150
Widyobroto, B.P., S.P.S. Budhi dan A. Agus. 2007. Effect of Undegraded Protein and Energy Level
on Rumen Fermentation Parameters and Microbial Protein Synthesis in Cattle. Journal
Indonesian Tropical Animal Agriculture. 32(3): 194-200.
Yang, J.Y., J. Seo, H.J. Kim, S.Seo and J.K. Ha. 2010. Nutrients Synchrony: Is it a Suitable Strategy
to Improve Nitrogen Utilization and Animal Performance. Asian Australian Journal Animal
Science. 23(7): 972-979.
Zamsari, M., Sunarso, dan Sutrisno. 2012. Utilization of Natural Tannins in Protecting Coconut Meal
Protein Judging from the Protein Fermentability In Vitro. Animal Agriculture Journal. 1(1):
405-416.
Zinn, R. and F. Owens. 1986. A Rapid Procedure for Purin Measurment and Its Use for Estimating
Net Ruminal Protein Syinthesis. Canadian Journal of Animal Science. 66: 157-166.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
151
PEMBERIAN ENERGI RANSUM YANG BERBEDA (FLUSHING) TERHADAP
KONSENTRASI ESTROGEN DAN PROGESTERON PADA KAMBING JAWARANDU
SETELAH KAWIN
M. Socheh, D.M. Saleh, H.W. Kinanti dan H. Purwaningsih
Fakultas Peternakan UNSOED
ABSTRACT
The purpose of this research was to determine the effect of different energy ration (flushing) into the
concentration of estrogen and progesterone of Jawarandu does post matted. The materials of research
used 18 heads of Jawarandu does which had born once, two heads of male was a teaser, the animal
feeds consisted of grassfield and concentrates (mix of rice bran, cassava meal, and mineral cows). The
research method was a completely randomized design (CRD). Three treatments were randomly
applied into the 18 heads of Jawarandu does, e.g: F0 = grass field as a basal feed (nonflushing, Mkal
1.02 Mcal /kg ME); F1= grass field + concentrate (flushing, Mcal 1.97/ kg ME); and F2= grass field +
concentrate (flushing, Mcal 2.09/kg ME). Those treatments was replicated into the six times. The
does was synchronized estrous using a Lutalyse (PGF2α)1 ml/head. Analysis of variance for the
concentration of estrogen and progesterone of the does post mating on day 14 determined by using
SPSS program. The result of research showed that the effect of different energy ration (flushing)
was a significantly effect ( P˂0.05 ) into the concentration of estrogen and progesterone in Jawarandu
does post mating on day 14. The conclusion of this research that highest of energy ration (flushing)
enhanced progesterone concentration in Jawarandu does post mating on day 14.
Key words: flushing, estrogen, progesterone, Jawarandu does, post mating on day 14
PENDAHULUAN
Pada umumnya, pemeliharaan kambing di pedesaan hanya diberi pakan hijauan yang akibatnya tidak
cukup untuk mendukung penampilan reproduksi ternak yang optimal. Peningkatan reproduktivitas
kambing dapat dilakukan dengan pemberian pakan tambahan kaya sumber energi.
Flushing adalah pemberian pakan berkualitas tinggi dengan tujuan perba-ikan kondisi tubuh,
meningkatkan hormon-hormon reproduksi, melancarkan estrus dan meningkatkan jumlah ovum yang
dilepaskan dari ovarium (Socheh, dkk, 2012). Selanjutnya, dikemukakan bahwa pemberian pakan
secara flushing adalah suatu cara pemberian pakan yang mengandung energi tinggi yang diberikan
kepada kambing betina 17 hari sebelum dan 17 hari setelah dikawinkan. Pakan yang mengandung
energi tinggi dapat meningkatkan hormon reproduksi seperti hormon estrogen dan progesteron pada
saat kambing betina setelah dikawinkan. Berdasarkan hal tersebut perlu diteliti apakah pemberian
energi ransum yang berbeda (flushing) dapat meningkatkan konsentrasi progesteron pada kambing
betina Jawarandu. Tujuan penelitian adalah mempelajari pengaruh energi ransum yang berbeda
(flushing) terhadap konsentrasi estrogen dan progesteron kambing betina Jawarandu setelah kawin
pada hari yang ke-14.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
152
METODE PENELITIAN
Materi Penelitian
Meteri penelitian yang digunakan adalah 18 ekor kambing betina Jawarandu dewasa yang pernah
beranak satu kali, 2 pejantan penggoda/pengusik, rumput lapang dan konsentrat (campuran dari dedak
padi, onggok, dan mineral sapi), hormon lutalyse untuk keperluan penyerentakan birahi.
Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan pakan (Tabel 1) yang
diberikan kepada ternak sebagai berikut: F0= rumput lapang sebagai pakan basal (kontrol) atau
nonflushing pakan 1,02 Mkal/kg ME; F1 = rumput lapang + 1,97 Mkal/kg ME (flushing); dan F2 =
rumput lapang sebagai pakan basal + 2,09 Mkal/kg ME (flushing).
Ketiga perlakuan ditempatkan secara acak kepada 18 ekor kambing dengan enam ulangan tiap
perlakuan. Pakan tambahan diberikan kepada ternak secara flushing, yaitu diberikan masing-masing
17 hari sebelum dan 17 hari setelah kambing betina dikawinkan (Socheh dkk., 2012). Hormon
lutalyse untuk keperluan penyerentakan birahi disuntikan secara intermuskular lewat vena jugularis
kambing dengan dosis 1 ml atau lima mg per ekor, dengan penyuntikan sebanyak dua kali dengan
jarak 11 hari.
Tabel 1. Komposisi dan Kandungan Kimia Ransum Penelitian
Bahan pakan Ransum penelitian
F0 F1 F2
-------------------------- (% as fed) -------------------------
Rumput lapang 100 60 50
Konsentrat
Dedak padi
Onggok
Ultra mineral1
─
─
─
40
22,22
17,78
0,02
50
18,31
31,69
0,02
Kandungan nutrien, %
PK
TDN
2,81
28,13
4,9
54,42
4,7
57,75 1Setiap satu bungkus (1 kg) Ultra mineral produksi Eka Farma Semarang, Jawa Tengah Indonesia, mengandung
Calcium Carbonat 50,00%; Phosphor 25,00%; Mangganese 0,35%; Jodium 0,20%; Kalium 0,10%; Cupprum
0,15%; Sodium Chlorine 23,05%; Iron 0,80%; Zincum 0,20%; Magnesium 0,15%
Konversi Energi dari TDN ke ME : ME (Mkal/kg) = (Hartadi dkk., 1990)
Macam Peubah
Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah konsentrasi hormon estrogen (pg/ml) dan progesteron
(ng/ml) kambing Jawarandu betina setelah kawin pada hari yang ke-14.
Analisis Data
Program SPSS digunakan untuk menganalisis variansi pengaruh energi ransum yang berbeda terhadap
konsentrasi estrogen dan progesteron kambing Jawarandu betina setelah kawin pada hari yang ke-14.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
153
Konsen
trasi estrog
enn p
g/m
l
Pengambilan darah
Pengambilan darah sebanyak 5 ml/ekor melalui vena jugularis terhadap untuk kambing betina yang
sudah dikawinkan pada hari yang ke-14. Pengambilan darah dilakukan pada pukul 08.00. Darah
dimasukkan kedalam tabung kemudian disentrifuge dengan kecepatan RPM x 1000 selama 15 menit
selanjutnya diambil serumnya. Serum darah kemudian dianalisis dengan mengikuti prosedur ELISA
(Enzim-linked immunosorbent assay) untuk mengetahui konsentrasi hormon progesteron dan
estrogen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Energi Ransum yang Berbeda (Flushing) Terhadap Konsentrasi Estrogen
Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa pemberian energi ransum yang berbeda (fluhshing)
berpengaruh nyata terhadap terhadap konsentrasi estrogen (P ˂ 0,05). Ternak kambing Jawarandu
betina yang mengkonsumsi energi ransum (flushing) mempunyai konsentrasi estrogen lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan nonflushing (Error! Reference source not found.).
Gambar 1. Konsentrasi Estrogen Kambing Betina Setelah Kawin Pada Hari yang ke-14
Pemberian energi ransum yang tinggi dapat meningkatkan nafsu makan pada ternak. Konsumsi
ransum yang tinggi, ternak dapat memperbaiki performans dan metabolisme tubuh men-jadi lebih
baik. Pemberian pakan bernutrisi tinggi dengan kandungan energi dan protein dapat meingkatkan
konsentrasi hormon reproduksi. Pemberian pakan dengan energi 1,97 Mkal/kg ME (flushing) dan
2,09 Mkal/kg ME diperoleh kosentrasi hormon 0,28 pg/ml dan 0,33. Pemberian pakan berupa rumput
lapang 1,02 Mkal/kg ME (nonflushing) mempunyai konsentrasi hormon 0,09 pg/ml. Namun,
peningkatan estrogen pada kambing Jawarandu setelah kawin pada hari yang ke-14 masih berada di
bawah titik basal.
Perbedaan rataan konsentrasi antara ternak kambing perlakuan flushing dengan nonflushing
menunjukan bahwa perlakuan flushing pakan dengan 1,02 Mkal/kg ME dan 1,97 Mkal/kg ME
berpengaruh nyata terhadap peningkatan hormon estrogen dalam darah. Flushing pakan berpengaruh
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
154
0
1
2
3
4
5
6
7
F0 F1 F2
pada konsentrasi estrogen karena kandungan energi ransum pakan yang tinggi. Kandungan nutrisi
yang tinggi pada pakan dapat memperbaiki kondisi tubuh. Apabila ternak diberi pakan dengan nutrisi
yang rendah maka dapat menurunkan tingkat dari kesuburan ternak tersebut. Hal ini sesuai dengan
hasil temuan Socheh dkk. (2012), pemberian pakan berenergi tinggi (flushing) pada kambing
Kejobong dapat meningkatkan hormon reproduksi (estrogen dan progesteron) baik pada saat birahi
maupun setelah ternak betina dikawinkan.
Berdasarkan uji lanjut beda nyata terkecil bahwa perlakuan nonflushing dengan energi 1,02 Mkal/kg
ME konsentrasi 0,09 pg/ml berbeda nyata pada perlakuan flushing dengan pemberian energi 1,97
Mkal/kg ME dan perlakuan flushing 2,09 Mkal/kg ME. Flushing dengan energi 1,97 Mkal/kg ME
mempunyai nilai rata-rata tidak berbeda nyata 0,28 pg/ml terhadap nilai rata-rata 0,33 pg/ml dengan
perlakuan flushing energi 2,09 Mkal/kg ME. Karena pemberian energi yang tidak begitu jauh berbeda
sehingga selisih konsentrasinya tidak terlalu jauh, dengan selisih konsentrasi sebesar 0,05 pg/ml.
Menurut Winugroho (2002) kondisi tubuh induk erat hubungannya dengan status cadangan energi
tubuhnya sedangkan cadangan energi tersebut erat hubungannya dengan gizi yang dikonsumsinya
sebelum bunting dan beranak. Pemberian pakan tambahan periode pre dan post-partum akan
mempengaruhi pemunculan estrus pertama setelah beranak yaitu kembali normal dalam waktu 35 hari
pertama post-partum, memperbaiki tingkat kebuntingan dan calving rate pada sapi.
Pengaruh Energi Ransum yang Berbeda (Flushing) Terhadap Konsentrasi Progesteron
Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa pemberian energi ransum yang berbeda (flushing)
berpengaruh nytata (P˂0,05) terhadap konsentrasi hormon progesteron kambing Jawarandu betina
setelah kawin pada hari yang ke-14. Konsentrasi hormon progesteron kambing betina dewasa hari
yang ke 14 setelah dikawinkan dapat dilihat pada Error! Reference source not found.. Hasil
penelitian dengan perlakuan pemberian energi 1,02 Mkal/kg ME; 1,97 Mkal/kg ME; 2,09 Mkal/kg
ME menunjukan masing-masing konsentrasi progestreon ialah 4,14; 6,31; 5,86 ng/ml. Konsentrasi
hormon progesteron dengan perlakuan flushing pakan lebih tinggi dibandingkan dari ternak kambing
yang nonflushing.
Gambar 2. Konsentrasi Hormon Progesteron Kambing Betina Setelah Kawin pada Hari Ke-14
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
155
Perbedaan konsentrasi hormon progesteron pada perlakuan pemberian energi 1,97 Mkal/kg ME lebih
tinggi dibandingkan perlakuan flushing dengan pemberian energi 2,24 Mkal/kg ME. Konsentrasi
hormon pada perlakuan flushing mengalami penurunan 45% dari 6,31 menjadi 5,86 ng/ml. Kadar
progeseteron pada plasma darah dipengaruhi oleh jumlah CL. Apabila CL dalam jumlah yang
banyak, maka hormon progesteron lebih banyak dihasilkan. Kemungkinan ternak dalam keadaan
bunting, karena hormon progesteron bekerja untuk mempertahankan kebuntingan pada induk.
Menurut Dionysius (1991) konsentrasi hormon progesteron dalam air susu kambing betina 3 minggu
setelah kawin menunjukan kambing yang tidak bunting mempunyai kosentrasi berkisar 0-4 ng/ml,
sedangkan konsentrasi kambing bunting dalam kisaran 6,5-35 ng/ml.
Berdasarkan uji beda nyata terkecil perlakuan nonflushing dengan energi 1,02 Mkal/kg ME berbeda
nyata terhadap perlakuan flushing pakan dengan 1,97 Mkal/kg ME dan 2,09Mkal/kg ME. Perlakuan
flushing pakan 1,97 Mkal/kg ME berbeda nyata terhadap 1,97 Mkal/kg ME. Pemberian energi 1,97
Mkal/kg ME dan 2,24 Mkal/kg ME berpengaruh nyata terhadap pertambahan konsentrasi progesteron
dalam darah. Pemberian pakan dengan nutrisi yang cukup pada ternak dapat memberikan pengaruh
positif pada ternak tersebut. Namun dengan pemberian energi yang tidak cukup dapat menyebabkan
gangguan reproduksi pada ternak.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ransum yang berenergi tinggi dan diberikan
secara flushing dapat meningkatkan hormon estrogen dan progesteron kambing betina setelah
dikawinkan pada hari yang ke-14. Namun, peningkatan hormon estrogen kambing betina setelah
dikawinkan pada hari yang ke-14 masih berada di bawah titik basal.
DAFTAR PUSTAKA
Dionysius D.A. 1991. Pregnancy diagnosis in dairy goats and cows using progesterone assay kits.
Australian Vet. Journal. 68 (1):14-16.
Hartadi H, S Reksohadiprojo dan A.D. Tillman. 1990. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. UGM
Press. Jogjakarta.
Socheh M, Ismaya, Budisatria I.G.S. dan Kustantinah. 2012. Pengaruh Flushing Berbasis Pakan
Lokal terhadap Pertumbuhan dan Birahi Kambing Kejobong Betina Dewasa. Sains
Peternakan. 9 (2). Hal 53-64.
Winugroho M. 2002. Strategi Pemberian Pakan Tambahan untuk Memperbaiki Efisiensi Reproduksi
induk Sapi. Jurnal Litbang Pertanian. 21(1) : 19-23.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
156
EFEKTIVITAS PUPUK ORGANIK CAIR “USB” DAN SUPLEMENTASI HERBAL
TERHADAP PRODUKTIVITAS RUMPUT GADJAH
Sufiriyanto, Sri Hastuti dan Endro Yuwono
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di Eksperimental Farm, membuat pupuk organik cair dari urine sapi betina
bunting difermentasi dengan penambahan herbal (buah nanas, temulawak dan mengkudu) . Untuk
mengetahui uji kualitas dilakukan uji pada produktivitas rumput gajah. Proses teknologi pembuatan
dimulai koleksi urine sapi bunting masing-masing 60 liter. P(0) tanpa perlakuan, P(1) urine ditambah
buah nanas sebanyak 6 kg , P((2) urine 60liter ditambah buah nanas 6 kg dan temulawak seberat 6 kg
dan P(3) urine ditambah buah nanas, temulawak dan mengkudu masing-masing 6 kg, diaduk setiap
hari sampai tidak mengalami fermentasi. Diuji keberhasilannya dengan eksperimental Rancangan
Acak Lengkap dilanjutkan Uji beda nyata jujur produktivitas rumput gajah Penelitian dengan tiga
perlakuan, aras dosis 0.5ml, 1,5ml dan 4,5ml per liter air, ulangan 3 kali per unit dan setiap unit berisi
5 stek tanaman. Variabel yang diamati meliputi : kandungan protein kasar, serat kasar, produksi
bobot basah, produksi bobot kering, imbangan daun dan batang, tinggi tanaman dan jumlah tunas
anakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan pupuk organik cair urine sapi bunting
dengan suplemntasi herbal menunjukkan produktivitas optimal 38 ton/ha (P<0,05) pada pupuk
organik cair suplementasi nanas (R3) dosis 4,5 ml/liter air selanjutnya R7, R9, R4, RR5 dan R8.
Kata kunci : pupuk organik cair, urine, produktivitas, tinggi tanaman, tunas anakan,rumput gajah
PENDAHULUAN
Eksperimental Farm Fapet berfungsi untuk mendukung program Tri Darma Perguruan tinggi,
mempunyai luas lahan 3,6 Ha, lahan rumput 3 ha, lokasi kandang ternak 0,4 ha, ternak sapi perah 22
ekor laktasidengan produksi sebanyak 180 liter /hari, sapi potong sebanyak 130 ekor, kambing 15
ekor dan domba 8 ekor, ayam 5000 ekor dan unit pelayanan meliputi penelitian, kunjungan anak
PAUD/TK sebanyak 1890 orang/tahun, anak siswa SD sekitar 400 orang, siswa SMP sekitar 200
orang dan SMA sekitar 150 orang. Sedangkan untuk praktikum mahasiswa peternakan sebanyak 1100
orang/tahun dan kunjungan masyarakat atau kelompok peternak sebanyak 135 orang.tahun.
Program pengembangan Eksperimental selama tiga tahun yaitu, pengolahan limbah padat (tahun
pertama), pengolahan limbah cair (tahun ke 2) dan peternakan berwawasan ramah lingkungan. Pada
tahun 2011 Eksperimental Farm sudah meneliti tentang pengolahan limbah membuat biogas menjadi
konversi listrik dan pembuatan pupuk granul yang ditelitikan pada rumput gajah, dilanjutkan tahun
2012 dilaksanakan penelitian pupuk cair organik dari urine sapi bunting dengan metode nanometer
(bekerjasama dengan Bapak Mutaqin Kudus). Adanya kunjungan kelompok peternak dan Petugas
Lapangan Pemalang dan peternak yang lain menyampaikan bahwa pupuk cair yang banyak
diperlukan dilapangan adalah yang dengan metode alami dan berfungsi ganda atau pupuk cair
merangkap anti insektisida atau anti bakterial dan atau anti tikus.Hal ini juga disampaikan oleh PPL
Tulungagung, bahwa di sana sudah marak menggunakan urine fermentasi digunakan untuk pupuk
padi, sebagai pupuk organik insektisida.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
157
Pengusul peneliti bermaksud untuk membuat pupuk cair organik bahan dasr urine sapi bunting umur
4-6 bulan,, ditrambah rimpang temulawak dan buah mengkudu, sesuai dengan penelitian yang
pengusul tahun 2003, 2007, 2008 dan 2009. Untuk mengurai bau amoniak urtine digunakan buah
nanas, dibiarkan satu minggu kemudian ditambahkan temulawak (Curcumae xanthoriza) dan
mengkudu (Morinda citrifolia). Dengan harapan, kandungan flavanoid dan sesquiterpentenoid
temulawak dan kandungan kimiawi fenol buah mengkudu yang matang dapat berfungsi sebagai
insektisida, pengujian kualitas pupuk cair organik USB diuji pada produktivitas rumput gajah.
METODE PENELITIAN
(1) Materi dan bahan penelitian
Rencana penelitian dibagi tiga kelompok , yaitu koleksi cairan sludge (1), koleksi nanas, temulawak
dan mengkudu (2) proses pembuatan pupuk cair(3)., uji kualitas pupuk cair untuk NPK (4) dan uji
produktivitas rumput gajah (5)
(2) Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental, dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL),
Adapun macam perlakuan yang diterapkan adalah sebagai berikut :
Ro = kontrol
R1 = Pupuk cair organik nanas dosis 0,5 ml/liter
R2 = Pupuk cair organik nanas dosis 1,5 ml/liter
R3 = Pupuk cair organik nanas dosis 4,5 ml/liter
R4 = Pupuk cair organik nanas + temulawak dosis 0,5 ml/ liter
R5 = Pupuk cair organik nanas + temulawaky dosis 1,5 ml/liter
R6 = Pupuk cair organik nanas + temulawak dosis 4,5 ml/liter air
R7 = Pupuk cair organik nanas + temulawak + mengkudu dosis 0,5 ml/ liter
R 8 = Pupukcair organik nanas + temulawak + mengkudu dosis 1,5 ml/liter
R 9 = Pupuk cair organik nanas + temulawak + mengkudu dosis 4,5 ml/liter
Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 (tiga) kali, penyemprotan ditujukan pada batang daun rumput
gajah, dilaksanakan satu kali per dua minggu.
(3) Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (anova), bila terdapat pengaruh perlakuan
dilanjutkan dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur) dengan model matematis sebagai berikut (Steel dan
Torrie, 1993) :
Yij = + i + ij
Yij : Nilai pengamatan
µ : Nilai tengah populasi
i : Pengaruh karbohidrat fermentabel dan bakteri asam laktat ke i
ij : Pengaruh galat percobaan
(4) Prosedur Cara Penelitian
a. Koleksi urine sapi perah betina bunting
b. Koleksi nanas, temulawak dan buah mengkudu
c. Membuat pupuk cair organik
d. Persiapan lahan rumput gajah, penanaman rumput gajah
e. Penyemprotan tanaman rumput gajah
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
158
f. Pemanenan rumput gajah
g. Analisis kualitas rumput gajah
(5) Adapun variabel yang diamati adalah :
1. Produksi rumput gadjah
2. Kandungan Protein kasar
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pupuk organik cair
Pembuatan pupuk cair organik dimulai dari koleksi urine sapi bunting umur 6 bulan, disimpan
kedalam jerigen untuk dilakukan pembuatan pupuk organik cair masing-masing 60 lieter (P0,P1,P2
dan P3) Pada waktu pembuatan pupuk bertahap pertama urine 60 liter ditambah nanas 6 kg untuk
P1,P2 dan P3 setelah urine dibiarkan 2 minggu , kedua ditambahkan temulawak sebanyak 6 kg untuk
drum P2 dan P3, fermentasi selama 2 minggu, selanjutnya ketiga penambahan buah mengkudu 6 kg
untuk drum P3, ditunggu sampai fermentasi selesai dengan tanda tidak ada panas, tutup drum tidak
cembung dan pupuk menjadi dingin atau ditumbuhi belatung. Setelah pupuk oeganik cair herbal jadi
, dilakukan analisis pupuk cair di Fakultas Pertanian bagian Laboratorium Sumber Daya Lahan/Ilmu
tanah dengan hasil sebagai berikut:
Parameter Satuan P0 P1 P2 P3 Permentan
2011
Karbon organik % 2,165 2,322 2,014 2,387 >6
Nitrogen total % 0,315 0,290 0,367 0,313 3 - 6
C/N ratio % 6,87 8,01 5,49 7,63
Bahan organik % 3,733 4,003 3,472 4,115
pH H20 % 4,41 3,98 4,05 4,04 4 - 9
P2O5 total % 0,133 0,113 0,074 0,075 3 – 6
K2O total % 0,723 0,697 0,729 0,674 3 - 6
Keterangan :
a. P0 urine kontrol tanpa herbal
b. P1 urine ditambah nanas
c. P2 urine ditambah nanas dan temulawak
d. P3 urine ditambah nanas, temulawak dan mengkudu
Berdasarkan hasil diatas menunjukkan bahwa pupuk cair urine sapi bunting suplemen nanas,
temulawak dan mengkudu mempunyai pH standart dan K2O total sebesar 0,729 lebih banyak
dibanding kontrol sehingga memberikan pertumbuhan yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan
Rinsema (1983) yang menyatakan bahwa tanaman akan tumbuh optimal pada sekitar netral sesuai
dengan jenis tanamannya dan apabila ph rendah kurang dari 5 tanaman tumbuh kurang baik.
Sedangakan Syarif (1989) menyatakan bahwa tanaman tumbuh optimal dengan ph tanah sekitar 5,5
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
159
sampai 7,5 Sedangkan. Pemanenan rumput pada umur 91 hari, atau rumput menjelang berbungan
sedikit mundur, hal ini dikarenakan kurangnya air pada umur 1 hari sampai 56 hari Pemotongan yang
berdasarkan umur akan mempengaruhi kualitas dan produktivitas rumput, produksi rumput gajah
optimal apabila dipotong umur sekitar 60 – 90 hari (Reksohadiprodjo, 1994).
Pada hasil analisa pupuk cair organik urine sapi bunting suplementasi atau penambahan herbal nanas
menunjukkan C/N rasio 10,01. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi C/N ratio maka semakin
banyak unsur Carbon sehingga dapat meningkatkan proses fotosintesis di daun dan pertumbuhan
tanaman serta dapat meningkatkan produktivitas tanaman, pada rumput gajah memberikan
produktivitas seberat 70 ton per Ha dengan dosis 4,5 ml per liter air (P< 0,05). Sesuai dengan
Amirullah (2008)yang menyatakan bahwa urine sapi bunting dapat digunakan sebagai pupuk cair,
sebaiknya urine dilakukan fermentasi lebih dahulu, fermentasi menggunakan gula merah, rempah2
dan bantuan mikroba dekomposer.Selain dapt meningkatkan perangsangan pertumbuhan akar dan
daun , juga dapat bersifat pembasmi hama atau pestisida untuk penyakit keriting daun akibat serangan
serangga (thrip) Pada hasil analisa pupuk organik cair menunjukkan N pada suplementasi nanas lebih
rendah dengan yang lainnya tetapi secara analisis menunjukkan signifikan berbeda (P<0,05) produksi
paling optimal apad R 3 atau suplementasi nanas. Hal ini sesuai dengan Unsur N diperlukan oleh
tanaman, salah satunya sebagai penyusun klorofil (Dwijoseputro, 1995). Tumbuhan menangkap
cahaya menggunakan pigmen klorofil yang memberi warna hijau pada tumbuhan. Klorofil menyerap
cahaya yang akan digunakan dalam proses fotosintesis meskipun seluruh bagian dalam tumbuhan
yang berwarna hijau mengandung kloroplas, namun sebagian energi dihasilkan di daun(Kimball,
1983). Peranan N bagi tanaman untuk merangsang pertumbuhan, pembentukan warna hijau daun
yang sangat berguna dalam proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses dimana H2O dan CO2
oleh klorofil dengan bantuan sinar matahari diubah menjadi zat organik karbohidrat. Tanaman 90 %
dari bobot bahan keringnya terdiri dari tiga macam elemen yaitu C, H, dan O (dari udara dan air) yang
ketiganya tergabung di dalam karbohidrat, hal ini berarti bobot kering tanaman sebagian besar
ditentukan oleh bobot dinding selnya, yang mana dinding sel sebagian besar tersusun dari selulosa
(Agustina, 1990).
Produktivitas rumput gajah meningkat akibat pengaruh unsur Nitrogen dari urine sapi bunting tersebut
pada R6 (P2 urine ditambah nanas dan temulawak) dengan dosis 4,5 ml/liter air, sesuai dengan Andi
Putranto (2009) yang mengatakan bahwa pupuk urine mempunyai kelebihan : mempunyai jumlah
kandungan Nitrogen, fosfor, kalium dan air lebih banyak dibanding pupuk dari kotoran ternak,
sebagai perangsang tumbuh, dan bau khas urine ternak dapat mencegah hama tanaman , serta urine
mengandung Nitrogen 1%, fosfor 0,5%, Kalium 1,5% dan air 92%. Didalam urine sapi mengandung
hormon auksin atau hormon pertumbuhan tanaman karena sapi makan rumput dan hormon auksin
letaknya di pelepah daun (Sudarto, 2005)
Hasil kualitas pupuk organik cair sangat dipengaruhi cara pembuatan pupuk cair tersebut, hal ini
sesuai dengan Martinsari (2010) bahwa jika limbah peternakan urin sapi diolah menjadi pupuk
organik mempunyai efek jangka panjang yang baik bagi tanah, yaitu dapat memperbaiki struktur
kandungan organik tanah karena memiliki bermacam-macam jenis kandungan unsur hara yang
diperlukan tanah selain itu juga menghasilkan produk pertanian yang aman bagi kesehatan. Sehingga,
diharapkan bahwa usaha peternakan sapi yang dilakukan merupakan usaha peternakan yang zero
waste dan ramah lingkungan.. Pupuk cair organik berada pada posisi antara pupuk organik padat dan
pupuk kompos. Pupuk organik cair mempunyai keistimewaan mengandung 16 unsur hara yang sangat
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
160
dibutuhkan oleh tanaman, yaitu : unsur hara makro primer meliputi C, H,O dan N ; unsur hara makro
sekunder meliputi Ca, S dan Mg; unsur hara mikro meliputi Br, Cl, Cu, Mn, Zn dan Mb (Kamariah,
dkk, 2008) Pemanfaatan pupuk cair dapat ditambahkan rempah2 supaya dapat berfungsi ganda
sebagai pupuk dan pestisida nabati (Sirajudin, 2006)
Produktivitas Rumput Gajah
Penelitian rumput gajah dimulai sejak 21 Juli 2013, dilakukan penyiraman pertama umur tanaman 17
hari, diharapkan akar sudah mulai tumbuh . Penyiraman dengan dosis 0,0 ml/l; 0,5 ml/l; 1,5ml/l dan
4,5ml/l, setiap unit berisi 5 tanaman, setiap tanaman disiram air pupuk cair sebanyak 1 liter.
Penyiraman dilaksanakan setiap minggu karena musin kemarau, apabila musim hujan penyiraman
dilakukan setiap 2 minggu sekali, karena musim kemarau maka penyiraman dilakukan 3X dalam satu
minggu . Hasil panen rumput gajah yang biasanya 60 hari sampai 90 hari defoliasi pertama ternyata
mundur sampai 112 hari, dalam arti rumput gajah dipanen setelah tinggi sekitar 1,5 meter bahkan
sudah ada yang mencapai 2 meter lebih,. Hal ini sesuai dengan Sumarsono dkk (2006) yang
menyatakan bahwa produktivitas dan nilai gizi rumput gajah dipengaruhi oleh banyak faktor, salah
satunya faktor umur dan faktor kesuburan tanah (Dhalika dkk., 2005).
Hasil analisa menunjukkan bahwa produktivitas optimal pada rumput gajah yang diberikan pupuk cair
urine sapi bunting dengan suplementasi nanas dosis 4,5 ml/liter air. Produksi rumput gajah per unit
sebanyak 70 ton/ha, sesuai dengan Reksohadiprodjo (1994) yang menyatakan bahwa produksi rumput
gajah pada interval pemotongan 60-90 hari adalah 62-72 ton/ha , diperkirakan penambahan nanas
berhasil membantu merombak protein sehingga terlihat kandungan Nitrogen sebanyak 0,290%
sedangkan kontrol sebanyak 0,315%. Buah nanas (Ananas ccomosus (L) Merr mempunyai efek
sebagai anti inflamasi, antioksidan, anti inmflamasi, antibakteri dan antifungi. Mengandung zat aktif
vitamin A, vit C, Calsium, Phospor, Mg, Fe, Na, K, dextraosa, sukrosa, enzim bromelin, saponin,
flavonoid dan polifenol. Saponin berefek anti fungi, antibakteri, anti inflamasi dan efek sitotoksik
sedangakn flavonoid bersifat anti bakteri, antifungi, anti viral, anticancer dan antioksidan, untuk
polifenal berfungsi sebagai antiinflamasi, antifungi, antibakteri, anticancer dan antioksidan. Hal ini
sesuai juga dengan Harjadi (1993) yang mengatakan bahwa produktivitas rumput dipengearuhi oleh
faktor vegetatif atau pertumbuhan karena pada waktu tanaman tumbuh sangat membutuhkan unsur
karbohidrat, apabila karbohidrat berkurang maka pembelahan sel menjadi lambat maka perkembangan
sel tanaman menjadi lambat. Unsur Nitrogen berfungsi untuk pertumbuhan dan pembentukan sel
vegetatif, meningkatkan pertumbuhan tanaman, menyehatkan pertumbuhan daun, meningkatkan kadar
protein dalam tubuh tanaman, meningkatkan kualitas tanaman penghasil daun serta meningkatkan
mikroorganisme dalam tanah
Hasil penelitian menunjukkan produktivitas cukup optimal pada pupuk organik cair dengan
suplementasi nanas, temulawak dan mengkudu (R7 dan R9) dengan produksi rumput basah sebesar 50
ton/ha , hal ini dikarenakan kandungan kimiawi temulawak (fitokimiawi) kurkuminoid (kurkumin,
desmetoksikurkumin), minyak atsiri (Kamfer, sikloisopren, mirsen, p-tolilmetilkarbonol) dan
xantoriza, dimanfaatkan untuk peningkatan nafsu makan (Sirait, l983; Atih, 1993 ), sebagai kolagoga,
menetralisir racun atau hepatotoksik dan untuk mengobati penyakit hati (Dalimarta, 2000; Sujono,
1993) Minyak atsiri (thymol dan carvacral) berfungsi sebagai anti bakteri, anti oksidan, anti sititoksik,
penghambat pertumbuhan sel kanker dan antikoksidiosis (Gill, 1999). Sedangkan Atih (1993)
mengatakan bahwa rimpang temulawak mengandung air sekitar 75 %, karbohidarat 29-34% dan
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
161
minyak atsiri 6-10 % dan pigmen kurkuminoid sekitar 0.02-2% (kurkumin sekitar 50-71% dan
desmeoksikurkumin sekitar 29-41%) Kurkumin dapat mencegah Flu burung karena bersifat
antisitokin, sedangkan ayam yang terinfeksi Flu burung terjadi peningkatan sitokin (Nidom, 2005).
Sedangkan Sumardi dan Lasmono (2006) mengatakan ekstrak rempah (temulawak, temu ireng, jahe,
cabe jawa) dan buah maja dapat untuk menanggulangi virus dari Flu burung. Sedangkan produktivitas
baik (P<05) terjadi pada R7 pemberian penambahan mengkudu pada pupuk organik cair dikarenakan
mengkudu bersifat antiviral, anti bakterial dan antikanker. Hal ini sesuai dengan penelitian Sufiriyanto
dkk (2002) bahwa pemberian ekstrak mengkudu dan temulawak 10 % b/v pada ayam broiler dapat
menurunkan kolesterol) dan meningkatkan titer antibodi terhadap penyakit ND (Pramono et.al.,
2002), menekan angka kematian atau mortalitas dan menekan konversi pakan (Guritno et al., 2002),
secara kualitatif memberikan hasil positif pada gambaran darah (nilai vital hematologis) yaitu jumlah
sel darah merah dan kadar hemoglobin (Sufiriyanto dan Indradji, 2002) Sedangkan pemberian ekstrak
mengkudu dosis 1 g per liter dan probiotik 1 ml per liter air minum dapat meningkatkan indeks
produksi dan sebagai imunostimulator penyakit ND (Sufiriyanto dan Indradji 2006), ekstrak
temulawak dan kunyit dapat meningkatkan titer kekebalan AI (Sufiriyanto dan Indradji, 2007).
Kandungan Protein kasar
Protein kasar hasil analisis menunjukkan optimal pada pupuk organik cair dengan suplementasi buah
nanas pada dosis 4,5 ml/liter air, karena C/N rasio menunjukkan 8,01. Hal ini sesuai dengan Isroi
(2009) yang menyatakan bahwa pemupukan tanaman dengan unsur Nitrogen dan pospor akan
mempercepat pertumbuhan bagian vegetatif tanaman, meningkatkan pertumbuhan tanaman,
menyehatkan tanaman, menyehatkan daun, meningkatkan kandungan protein dalam tanaman,
meningkatkan kualitas daun serta meningkatkan unsur hara tanah. Pada penelitian pemanenan mundur
22 hari dikarenakan awal tanam musin kemarau, sehingga kandungan protein kasar tampak menurun,
Hal ini sesuai dengan Tillman dkk. (1989) yang mengatakan bahwa penundaan panen selama sepuluh
hari akan menurunkan protein kasar tanaman sebesar 0,87%. Sedangkan Minson (1990) mengatakan
lebih lanjut bahwa semakin tua tanaman akan semakin menurun kandungan protein kasar pada daun
dan batang. Selanjutnya Johnson, et al. (1973) menyatakan bahwa pada musim kemarau terjadi
peningkatan kimiawi serat kasar dan selulose pada dinding sel tanaman. Hartadi, dkk. (1990)
menyatakan bahwa kandungan nutrien yang dicerminkan dari analisis rumput gajah (Pennisetum
pupureum) bagian aerial berumur dewasa (setelah 30 hari) dalam keadaan segar yaitu 16 % bahan
kering, 11,5% protein kasar, 31,3 % serat kasar, 40,1% BETN, 3,2% lemak dan 15,9% abu. Rumput
gajah merupakan jenis tanaman perenial, tumbuh tegak, mempunyai perakaran dalam kuat dan
berbentuk rumpun yang dapat mencapai tinggi 4 meter, serta tumbuh baik pada tanah yang subur dan
lembab.
KESIMPULAN
1. Kualitas pupuk organik cair bahan urine sapi bunting dengan suplementasi buah nanas lebih baik
dibanding suplementasi temulawak dan buah mengkudu dengan C/N rasio 8,01.
2. Produktivitas rumput gajah optimal pada pupuk organik cair dengan bahan dasar urine sapi
bunting suplementasi buah nanas pada dosis 4,5ml per liter air.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
162
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto. 2010. Pertumbuhan dan Nilai Gizi Tanaman Rumput Gajah pada Berbagai Interval
Pemotongan. J. Agroland. 17 (3) : 192 – 197.
Agustina, L. 1990. Dasar Nutrisi Tanaman. Rineka Cipta. Jakarta.
Amar A.L. 1991. Pengantar Pengenalan dan Budidaya Tanaman MakananTernak. Fakultas Ilmu-
Ilmu Pertanian Universitas Tadulako. Palu Amar A.L. 1991. Pengantar Pengenalan dan
Budidaya Tanaman Makanan Ternak. Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian Universitas Tadulako. Palu
Amirullah. 2006. Pupuk cair. Diakses dari html/cara mudah fermentasi urine sapi untuk, pp 180 2
yahoo.co.id
Andi Putranto. 2009.Pembuatan pupuk cair organik,File///d1.index.php.htm
Atih, 1993 Penggunaan Ekstrak Kunyit untuk infeksi bakteri saluran pencernaan Simposium
Temulawak . Universitas Padjajaran. Bandung
Dalimartha, S. 2000. Resep Tumbuhan Obat untuk Menurunkan Kolesterol. Panebar Swadaya, Jakarta
Dhalika,T.,B. Ayuningsih dan A.Budiman. 2005. Efisiensi Penggunaan Ransum Lengkap (Complete
Ration) Dengan Sumber Hijauan Daun Pucuk Tebu Pada Sapi Fries Holland Jantan Muda. J.
Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan .7.(2): 76-84 15 Mei 2012)
Dwijoseputro, D. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Jakarta. Gramedia.
Gardner, F.P., R.B. Perace dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiology TanamanBudidaya. Indonesia
University Press. Jakarta.
Gill,C. 2000. Botanical Feed Additive. J Feed Int. 21 (4) : 4
Gonggo, B. M, B. Hermawan dan D. Anggraeni. 2005. Pengaruh Jenis Tanaman Penutup dan
Pengolakan Tanah Terhadap Sifat Fisika Tanah pada Lahan Alang-Alang. Jurnal ilmu-
ilmupertanian Indonesia. 7(1):44-55.
Hartadi,H., S.Reksohadiprodjo dan AD Tillman. 1986. Tabel komposisi pakan Indonesia. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta
Isroi. 2009. Pupuk Organik Granul.http://isroi.wordpress.com/((diakses 15 Mei 2012)
Kamariah. 2009. Kombinasi Limbah Pertanian dan Peternakan sebagai Alternatif Pembuatan Pupuk
Organik Cair Melalui Proses Fermentasi Aerob. Htp/[email protected]
Kristanto, B. A, R. Kurniantono, dan D.W. Widjajanto. 2009. Karekteristik Fotosintesis umput Gajah
(Pennisetum purpureum) dengan Aplikasi Pupuk Organik Guano. Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro. Semarang
Lamb.J.F.S.,C.C. Sheaffer and D.A. Samac. (2003) Alfalfa: Population Density and Harvest Maturity
Effect on Leaf and Stem in Alfalfa. Agronomy Journal. Vol.95. P: 635-641
Minson,D.N. 1990. The Chemical Composition and Nutritive Value of Tropical Grasses.Tropikal
Grasses. Food and Agricultural Organization of TheUnited Nation. Roma
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
163
Murty, K.S., and G. Sahu. 1987. Impact of Low Ligh Stress on Growth and Yieldof Rice.p. 94.in S.K.
Dey and M.J. Baig (Eds), pp 94. Weather and Rice,Proc. International Workshop on impact of
Weather Parameters on Growth and Yield of Rice. IRRI. Los Banos. Phillipines.
Ni Ketut Sari, 2009. Produksi Bioethanol dari Rumput Gajah Secara Kimia.JurnalTeknik
imia,Vol.4.No.1
Nur Hidayat. 2010. Aplikasi Pupuk Organik Cair Terhadap Produksi Bahan Kering, kandungan
Protein Kasar, dan Serat Kasar Rumput Gajah Varietas Thailand. Jurnal Ilmiah Inkoma,
Volume 21. Nomor 3.
Poniman dan Mujiono. 2004. Bertanam Rumput Gajah. Balai Pustaka . Jakarta
Pramono. 2002. Pengaruh Pemberian Ekstrak Mengkudu (Morinda citrifolia) dan temulawak
(Curcumae xanthoriza) terhadap Jumlah Limfosit dan Titer Kekebalan ND pada Ayam Niaga
Pedaging
Purbajati E.D., S. Anwar, S. Widyati, dan F. Kusmiyati. 2008. Kandungan Protein dan Serat Kasar
Rumput Benggala (Panicum Maximum) dan Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum) Pada
Cekaman Stres Kering. Animal Production. 11(2) 109-115
Reksohadiprodjo,S. 1988. Pakan Ternak Gembala. BPFE. Yogyakarta
Rinsema, W.T. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bhatara Karya Aksara. Jakarta. Hal: 23-24
Syarief,S. 1989. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana . Bandung. Hal:3
Siregar, M. E. 1996. Produksi dan Nilai Nutrisi Tiga Jenis Rumput Pennisetum dengan Sistem Potong
Angkut. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid. I. Pusat
Siregar, M. E. 1989. Produksi dan Nilai Nutrisi Tiga Jenis Rumput Pennisetum Dengan Sistem
Potong Angkut.Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid. I. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
Soebarinoto. 2003. Substitusi Urea dengan Bokasih Terhadap Produksi Rumput Raja. Jurnal Protein.
Nomor 19 : 1259-1266.
Sofyan, L. A., L. Abunawan, E. B. Laconi, A. D. Hasjmi, N. Ramli, M. Ridla dan A. D. Lubis. 2000.
Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sufiriyanto, Indradji M dan Prayitno, 2002. Penggunaan Ekstraks Rimpang Temulawak dan Buah
Mengkudu Untuk Meningkatkan Kualitas Kolesterol dan Trigliserida Darah Ayam Pedaging.-
dipublikasikan di Media Kedokteran Hewan, UNAIR, Surabaya.
Sufiriyanto dan Indradji. M. 2005. Efektivitas Pemberian Ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia) dan
Probiotik terhadap Produktivitas dan Titer Kekebalan ND Pada Ayam Niaga Pedaging
Sufiriyanto dan Indradji, 2006. Uji Coba Lapang Efektivitas Vaksin Avian Influenza (Flu Burung)
Pada Ayam Kampung di Kabupaten Banyumas (Laporan Penelitian)
Sufiriyanto dan M. Indradji. 2006. Efektivitas Vaksinasi AI (Flu Burung) pada Ayam Petelur Pasca
Wabah di Kab. Banyumas.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
164
Sumarsono,S. Anwar,S Budiyanto, D Permatasari dan D.W.Widjajanto, 2006. Penampilan Rumput
Gajah (Pennisetum Purpureum) dan Kolonjono (Panicum muticum) pada Lahan Salin yang
diperbaiki dengan Aplikasi Pupuk Urea dan Organik. Seminar Nasional Pengembangan Usaha
Pembibitan Ternak. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Sumarsono. 2006.Peranan Pupuk Organik untuk Perbaikan Penampilan dan Produksi Hijauan
Rumput Gajah Pada Tanah Cekaman Salinitas dan Cekaman Kemasaman. Fakultas peternakan
Universitas Diponegoro. Semarang
Sirajuddin,S.Rohani,I.Rasyid.. Proses Adopsi Pembuatan Pupuk Cair Dari Urine Sapi Oleh Kelompok
Ternak Sapi Potong di Kabupaten Sinjai, Propinsi Sulawesi Selatan (Naskah Publikasi,
Universitas Muhamadiyah Malang)
Taiz,L and E.Zeiger. 1998. Plant Physiology. Sinauer Associates. Inc. Publisher, Sunderland.
Massachussetts
Tillman,A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan Lebdosukojo.1989. Ilmu
Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press. Yogyakarta
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
165
EVALUASI IN VITRO RANSUM KONSENTRAT BERBASIS Indigofera zollingeriana
DALAM SISTEM RUMEN KAMBING
Suharlina1, L Abdullah2, DA Astuti2, Nahrowi2 dan A. Jayanegara2 1)Konsentrasi Studi Peternakan, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur 2)Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengevaluasi fermentasi in vitro ransum konsentrat berbasis
Indigofera zollingeriana di dalam cairan rumen kambing. Desain penelitian menggunakan rancangan
acak kelompok pada 3 jenis konsentrat pakan dalam 4 kelompok cairan rumen yang berbeda. Ransum
konsentrat yang digunakan yaitu R1, R2 dan R2 masing-masing mengandung 0, 20 dan 40% I.
zollingeriana. Peubah yang diamati antara lain kecernaan nutrien (bahan kering, bahan organik, dan
protein), produksi gas total, VFA Parsial dan NH3. Data dianalisis menggunakan analisis ragam
(ANOVA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nilai kecernaan bahan kering (KCBK), bahan
organik (KCBO) dan protein (KCPK) memperlihatkan pola yang sama yaitu R3 tidak berbeda
(P>0,05) dengan R1 dan R2, namun R1 berbeda (P<0,01) dengan R2. Terdapat interaksi antara
perlakuan pakan dan kelompok rumen pada kecernaan protein. Tidak terdapat perbedaan (P>0,05)
produksi gas total pada ketiga jenis konsentrat pakan. VFA parsial masing-masing konsentrat pakan
tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi persentase asetat konsentrat pakan yang mengandung hijauan
Indigofera lebih tinggi dibanding kontrol. R3 memiliki konsentrasi NH3 paling tinggi (P<0,0%), dan
R1 juga lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan R2.
Kata kunci: Indigofera zollingeriana, fermentasi in vitro, konsentrat pakan
ABSTRACT
This study was conducted to evaluate the in vitro fermentation of concentrate ration formula-based I.
zollingeriana in goat rumen liquid. Randomized block design were used on 3 types of ration in the 4
groups of rumen liquid. The concentrate rations were R1, R2, R3 containing I. zollingeriana 0, 20
and 40 %, respectively. The variables observed were total gas production, in vitro digestibility of dry
matter digestibility (IVDMD), organic matter (IVDOM), and crude protein (IVDCP), partially
Volatile Fatty Acids (VFA) and NH3 concentration. The data were analyzed using analysis of
variance (ANOVA). The results showed the IVDMD, IVDOM an IVDCP showed similar trend that
R3 was no significantly difference with R1 and R2, but there was significantly difference (P<0,05)
between R1 and R2. There were interaction between feed treatments and groups of rumen liquid
within IVDCP. There were no significantly different (P>0,05) of total gas production of feeds. The
partially VFA of each concentrate feeds were not significantly different, but the percentage of acetic
acids of concentrate feeds containing Indigofera forages were higher than control. R3 had the highest
concentration of NH3 (P <0.0%), and R1 was also higher (P <0.05) than R2.
Key words : Indigofera zollingeriana, in vitro fermentation, feed concentrate
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
166
PENDAHULUAN
Usaha peningkatan produktivitas ternak perah sering terhambat oleh rendahnya kualitas pakan yang
diberikan yang memicu rendahnya produksi susu. Penggunaan rumput sebagai sumber utama pakan
tidak mencukupi kebutuhan nutrisi kambing perah berproduksi tinggi (Fujisaka et al. 2000),
kandungan protein rumput tropis relatif rendah berkisar 4-9%, sedangkan kebutuhan protein kambing
perah mencapai 18%. Pemberian konsentrat komersial untuk mencukupi kebutuhan kambing perah
harganya relatif mahal. Solusi alternatif untuk mengurangi penggunaan konsentrat untuk kambing
perah telah dilakukan mulai tahun 2008 menggunakan hijauan Indigofera zollingeriana. Tanaman ini
memiliki pertumbuhan yang cepat pada interval devoliasi 60 hari dengan produksi bahan kering 51
ton/ha/tahun (Abdullah, 2010). I. zollingeriana sangat adaptif terhadap kesuburan yang rendah,
mudah dan murah dalam pemeliharaan, protensi produksi biji tinggi sepanjang musim (Abdullah dan
Suharlina 2010). Penelitian menggunakan pellet daun I. zollingeriana murni meningkatkan produksi
susu, efisiensi pakan dan efisiensi nutrien berurutan 26%, 15-23% dan 5-9%, (Abdullah et al, 2012).
Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi fermentasi in vitro ransum konsentrat berbasis
Indigofera zollingeriana di dalam cairan rumen kambing.
METODE PENELITIAN
Umum: Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2015 di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan Fakultas Petemakan Institut Pertanian Bogor. Daun dan ranting I. zollingeriana
dikeringkan dibawah sinar matahari dan dioven pada suhu 60°C selama 24 jam. Hijauan indigofera
diformulasi dalam ransum konsentrat R1, R2, dan R3 dengan proporsi 0, 20 dan 40% I. zollingeriana,
R1 sebagai kontrol (Tabel 1). Semua bahan digiling hingga melewati saringan ukuran 1 mm dan
dicampur hingga homogen. Selanjutnya campuran bahan di pellet dengan diameter 4 mm. Komposisi
bahan kering (BK), bahan organik (BO), protein kasar (PK), lemak kasar (LK) dan serat kasar (LK)
masing-masing ransum dianalisis secara proksimat (AOAC 1990) (Tabel 2). Analisis in vitro
menggunakan metode Tilley dan Terry (1963), sedangkan produksi gas berdasarkan metode Menke et
al. (1979) yang dimodifkasi oleh Blümmel et al. (1997). Volatil fatty acids (VFA) ditentukan dengan
metode kromatografi gas, sedangkan NH3 menggunakan metode cawan conway. Cairan rumen
kambing peranakan etawah (PE) diambil dari rumah potong. Peubah yang diamati yaitu produksi gas
total, kecernaan nutrien (BK, BO, PK), VFA parsial, dan NH3.
Tabel 1 Komposisi Bahan Pakan*
*) Proporsi beberapa bahan tidak diinformasikan karena merupakan bagian dari formula
yang dipatenkan
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
167
Tabel 2 Komposisi Nutrien Pakan
BK ABU LK PK SK BETN Ca P
R1 89,95 10,23 7,93 12,56 9,44 49,78 1,32 0,24
R2 89,44 10,29 7,98 14,30 9,50 47,38 0,71 0,24
R3 87,43 10,52 8,16 14,99 9,72 44,04 1,87 0,27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecernaan bahan kering dan bahan organik merupakan penentu utama kualitas pakan maupun
hijauan. Semakin tinggi kecernaan maka semakin tinggi nutrien pakan yang dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh ternak. Kecernaan nutrien ditentukan oleh komposisi serat dalam
pakan. Kisaran nilai KCBK, KCBO dan KCPK ransum konsentrat yang diuji masing-masing secara
berurutan 65,45–71,46%, 63,03–68,07% dan 79,13–83,82% (Gambar 1). Terlihat pola yang sama
pada nilai KCBK, KCBO dan KCPK yaitu R1 lebih rendah (P<0,01) dibanding R2 tetapi tidak
berbeda (P>0,05) dengan R3, sedangkan R2 tidak berbeda (P>0,05) dengan R3. Hal itu menunjukkan
bahwa R2 dan R3 mengandung bahan organik terutama protein lebih tinggi dibandingkan R1
(kontrol). Penambahan I. zollingeriana sebanyak 20% sebagai sumber protein memperbaiki kualitas
R2 lebih baik dibanding R1. Kecernaan nutrien R3 tidak berbeda dengan R1 karena R3 meskipun
mengandung I. zollingeriana lebih tinggi namun mengandung serat yang sama dengan R1. Kecernaan
pakan mengandung hijauan juga ditentukan oleh komposisi serat yang terdapat dalam jaringan
tanaman. Selain itu I. zollingeriana sebagai tanaman leguminosa juga mengandung tannin yang dapat
memproteksi protein dari mikroba selama proses pencernaan berlangsung. Hal tersebut menyebabkan
tidak semua komponen organik tercerna oleh mikroba di dalam cairan rumen.
Perbedaan yang signifikan (P<0,01) antar kelompok cairan rumen pada masing-masing KCBK,
KCBO dan KCPK. Hal tersebut dikarenakan cairan rumen yang diambil dari RPH sehingga terdapat
variasi mikroba dalam rumen yang dipakai. Variasi mikroba rumen pada jenis kambing yang sama
dapat terjadi apabila makanan yang diberikan pada ternak berbeda. Terdapat interaksi (P<0,01) antara
perlakuan pakan dengan kelompok cairan rumen pada pengukuran KCPK. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa KCPK pakan percobaan sangat bergantung pada mikroba rumen. Variasi
mikroba rumen yang berbeda pada setiap kelompok cairan rumen mempengaruhi pemanfaatan protein
dari pakan perlakuan. Produksi gas total (Gambar 2) masing-masing perlakuan memiliki nilai yang
Gambar 1 Nilai kecernaan nutrien ransum Gambar 2 Nilai Produksi Gas Total
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
168
sama pada setiap waktu pengukuran. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ketiga pakan tersebut
memiliki nilai fermentabilitas in vitro yang sama, dalam arti pakan percobaan R1 dan R2 memiliki
kualitas yang sama dengan R0. Produksi gas total dari R2 pada 12 jam pertama sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan R0 dan R1, akan tetapi pada 12 jam berikutnya sedikit lebih tinggi dibanding
R0 dan R1.
Kandungan VFA parsial masing-masing konsentrat tidak berbeda nyata (P>0,05) (Tabel 3), karena
kandungan konsentrat sederhana (BETN) dari masing-masing konsentrat proporsinya sama. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa hijauan Indigofera tidak mengubah karakter pakan konsentrat.
Dengan demikian hijauan Indigofera dapat digunakan sebagai sumber konsentrat berasal dari hijauan.
Kandungan NH3 masing-masing pakan konsentrat juga menujukkan perbedaan (P<0,05) yang
signifikan. Kandungan NH3 pada R2 lebih rendah (P<0,05) lebih rendah dibanding R1 dan R3. Hal
tersebut dapat terjadi karena pengukuran NH3 dilakukan setelah 4 jam inkubasi. Jika dilihat dari
neraca produksi gas total, konsentrasi NH3 sinergis dengan produksi gas total.
KESIMPULAN
Konsentrat pakan yang mengandung Indigofera sebesar 20% (R2) memperlihatkan nilai biologi (in
vitro) terbaik dalam sistem rumen kambing.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah L. dan Suharlina. 2010. Herbage yield and quality of two vegetative parts of Indigofera at
different time of first regrowth defoliation. Med. Pet. 1(33): 44-49.
Abdullah L, T. Apdini and DA Astuti. 2012. Use of Indigofera zollingeriana as a Forage Protein
Source in Dairy Goat Rations. Proceeding of the 1st Asia Dairy Goat Confetrence, Kuala
Lumpur 9-12 April 2012. ISBN 978-983-44426-2-0 :72-74.
Abdullah L. 2010. Herbage production and quality of Indigofera treated by different concentration of
foliar fertilizer. J Anim Sci and Tech. 33(3): 169-175.
Fujisaka S, IK Rika, TM Ibrahim and Le Van An. 2000. Forage tree adoption and use in Asia. In:
WW Stur, PM Horne, JB Hacker, PC Kerridge Eds. Working with farmers: The key to adoption
of forage technologies. ACIAR Proceedings No. 95: 243-253
Tabel 3 Nilai VFA dan NH3
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
169
PERTUMBUHAN TANAMAN Arachis pintoy YANG DIBERI PERLAKUAN AIR KELAPA
DAN PANJANG STEK
C.L. Kaunang dan M.I. Pontoh
Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado
Email: [email protected]
ABSTRAK
Arachis pintoy dapat diperbanyak secara generatif dan vegetatif. Perbanyakan secara vegetatif
misalnya penyetekan. Permasalahan yang timbul dari proses penyetekan adalah sulitnya menbentuk
akar. Keberhasilan stek membentuk akar tergantung dari besar kecilnya daya pembentukan kallus.
Untuk melihat kandungan zat makanan yang terdapat pada batang stek maka dilakukan pemotongan
bagian batang. Dengan demikian perlu dicari tambahan faktor lain agar stek cepat membentuk kallus
dengan prosentase perakaran yang besar. Salah satu alternatif pemecahannya dengan pemberian air
kelapa yang ternyata mengandung berbagai zat makanan dan zat tumbuh. Oleh karena itu dilakukan
penelitian untuk melihat interaksi kedua faktor ini terhadap pertumbuhan Arachis pintoy. Maksud dan
tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui pertumbuhan Arachis pintoy yang
diberi perlakuan air kelapa dan panjang stek. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium
Agrostologi Kampus Fapet Unsrat Manado, dengan lama penelitian 60 hari. Materi peneltian hijauan
Arachis pintoy, air kelapa dan tanah. Sedangkan metode penelitian menggunakan percobaan faktorial
dengan 2 faktor A adalah air kelapa dan faktor B adalah stek tanaman Arachis pintoy yang disusun
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Masing-masing faktor terdiri dari 3 perlakuan dan diulang 3 kali.
Faktor tersebut adalah sebagai berikut:Faktor A = ukuran air kelapa A1 = 100 ml air kelapa; A2 =
200 ml air kelapa; dan A3 = 300 ml air kelapa sedangkan Faktor B = Panjang stek Arachis pintoy ;
B1= 10 cm ; B2 = 15 cm dan B3= 20 cm. Variabel yang diukur pada penelitian ini adalah tinggi
tanaman, pertambahan jumlah daun, berat kering akar dan volume akar. Hasil penelitian menunjukan
bahwa pemberian air kelapa dan panjang stek serta interaksi kedua faktor memberikan pengaruh yang
nyata (P<0.05) terhadap pertumbuhan jumlah daun dan berat kering akar tanaman Arachis pintoy.
Selanjutnya air kelapa tidak memberikan pengaruh terhadap volume akar serta kombinasi kedua
faktor tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Dari analisa data dan
pembahasan untuk semua variabel pada penelitian inidapat disimpulkan kombinasi yang terbaik untuk
pertumbuhan jumlah daun, berat kering akar dan volume akar adalah pemberian air kelapa 300 ml dan
panjang stek 10 cm.
Kata kunci : Arachis pintoy, air kelapa dan panjang stek
ABSTRACT
Arachis pintoy can be reproduced in generative but also vegetative way, for example through cuttage.
Problems arising from this reproduction method is the difficulty to form roots. The success rate of this
method depends significantly on the size of the formed callus. To analyze the content of nutrients
contained in the cuttage stem, we have to cut off the stem. And then it’s necessary to find out
additional factors that can influence the forming of the callus with a large percentage of rooting. One
alternative solution is the provision of coconut water which believed to contain a variety of nutrients
and growth substances. Therefore, we conducted a study to find out the interaction of these two
factors on the growth of Arachis pintoy The purpose and goal of this research is to study and identify
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
170
the growth Arachis pintoy which treated with coconut water its influences on the stem length. This
research has been performed in Agrostology Lab of Animal Husbandrys Faculty of Sam Ratulangi
University, during a period of 60 days. The research materials consists of Arachis pintoy, Coconut
Water and soil. While the research method use 2 experimental factors: Factor A is the Coconut water,
Factor B is the after-cuttage-stem length of Arachis pintoy, which arranged through completely
randomized design (CRD). Each factor consists of 3 treatments, which repeated 3 times. These
factors are as follows: A = volume of Coconut water, A1 = 100 ml of coconut water, A2 = 200 ml of
coconut water, and A3 = 300 ml of coconut water. Factor B = stem length of Arachis pintoy, B1 = 10
cm, B2 = 15 cm, and B3 = 20 cm. And the variables which measured in this study were plant height,
dry weight of roots and the roots volume. The results showed that administration of coconut water and
the length of the cuttings as well as the interaction of two factors give significant effect ( P < 0.05) to
the growth of the number of leaves and root dry weight of the Arachis pintoy . Furthermore, coconut
water does not give effect to the root volume and a combination of two factors do not impact on the
growth of plant height. From the data analysis and discussion for all variables in this study , we can
conclude that the best combination of growth in the number of leaves , dry weight of roots and root
volume is the provision of 300 ml of coconut water and 10 cm stem length.
Keywords: Arachis pintoy, coconut water and stem length
PENDAHULUAN
Hijauan sebagai pakan, besar manfaatnya terutama bagi bagi ternak ruminansia. Tersedianya hijauan
berkualitas baik dan berkesinambungan sangat mempengaruhi perkembangan peternakan. Dengan
demikian perlu dilakukan pemilihan jenis makanan ternak yang dapat tumbuh baik pada berbagai
musim,cepat menutup tanah dan berproduksi tinggi.
Arachis pintoy termasuk ke dalam jenis hijauan tahunan, memilki tipe pertumbuhan dimana pada
bagian pucuknya tumbuh terus, selalu menjalar rhizoma sehingga mampu bertahan tumbuh meskipun
pada tanah-tanah yang relatif kurang subur .
Aracis pintoy dapat diperbanyak dengan stek batang. Umumnya ukuran stek batang leguminosa yang
sering digunakan adalah 20-25 cm atau mengandung 2 buah buku. Permasalahannya apakah ukuran
stek berlaku pada tanaman Arachis pintoy yang memilki batang berkayu lunak dimana tingkat
pembentukan kallus lebih cepat. Untuk melihat terbentuknya ke kallus maka dilakukan variasi
pemotongan stek. Keberhasilan stek membentuk akar tergantung pada besar kecilnya daya
pembentukan kallus yang terdapat di bagian bawah stek. Kallus ini terbentuk karena adanya peranan
hormon auxin tanaman. Air kelapa sebagai zat pengatur tumbuh alami merupakan salah satu
alternatif karena mudah didapat, murah namun efektif (Purdyaningsih, 2015). Tujuan penelitian
adalah untuk mempelajari dan mengetahui pengaruh pemberian air kelapa dan panjang stek terhadap
pertumbuhan tanaman Arachis pintoy.
METODE PENELITIAN
Peneltian ini telah dilakukan di Laboratorium Agrostologi Kampus Fakultas Peternakan Unoiversitas
Sam Ratulangi Manado Lamanya penelitian 60 hari.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
171
Materi penelitian hijauan Arachis pintoy, air kelapa dan tanah. Perlengkapan : polybag dengan
diameter 10 cm dan tinggi 14 cm,, timbangan analitik, gelas ukur 1000 ml, mistar, jangka sorong,
plastik transparan, oven, ember plastik.
Metode penelitian menggunakan percobaan faktorial dengan 2 faktor A adalah air kelapa dan faktor B
adalah stek tanaman Arachis pintoy yang disusun rancangan acak lengkap (RAL). Masing-masing
faktor terdiri dari 3 perlakuan dan diulang 3 kali. Faktor tersebut adalah sebagai berikut:Faktor A =
ukuran air kelapa A1 = 100 ml air kelapa; A2 = 200 ml air kelapa; dan A3 = 300 ml air kelapa
sedangkan Faktor B = Panjang stek Arachis pintoy ; B1= 10 cm ; B2 = 15 cm dan B3= 20 cm.
Variabel yang diukur pada penelitian ini adalah pertambahan tinggi tanaman, pertambahan jumlah
daun, berat kering akar dan volume akar.
Prosedur Percobaan
Sebelum dimasukkaan dalam polybag terlebih dahulu tanah dan air dianalisa. Selanjutnya tanah
dicampur dengan air kelapa. Banyaknya air kelapa sesuai dengan perlakuan. Tanah yang sudah
dicampur dengan air kelapa dimasukkan dalam polybag, setiap polybag diisi 3 kg .
Stek tanaman Arachis pintoy diambil dari kebun percobaan Laboratorium Agrostologi dan stek
ditanam dalam polybag masing-masing dua batang dengan kedalaman yang masuk ke tanah tujuh
centimeter.
Pengukuran variabel tinggi tanaman, jumlah daun dan panjang daun dilakukan seminggu setelah
ditanaman. Sedangkan pengukuran berat kering akar dan volume akar dilakukan setelah tanaman
dipanen pada umur 60 hari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Tinggi Tanaman
Rataan perlakuan terhadap pertumbuhan tanaman Arachis pintoy yang akan dituinjukkan tabel 1.
Tabel 1. Rataan Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Tinggi Tanaman per Minggu Selama
Penelitian (Cm)
Panjang Stek
(Cm) B
Faktor (A) air kelapa (ml) Rataan
A1(100 A2 (200) A3 (300)
B1 (10) 10.34 10.17 12.67 11.06a
B2(15) 9.82 11.43 12.85 11.37a
B3(20) 8.23 9.18 8.57 8.66b
Rataan 9.46a 10.26ab 11.36b
Keterangan : Huruf yang tidak sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
Hasil analisis keragaman interaksi antara aik kelapa dan panjang stek dan panjang stek memberikan
pengaruh yang tidak nyata (P>0.05) terhadap panjang tanaman. Hal ini berarti setiap kombinasi
memberi pengartuh yang sama terhadap tinggi tanaman.Pemberian air kelapa berpengaruh nyata
(P<0.05 terhadap tinggi tanaman. Hasil uji BNT dieroleh hasil bahwa A1 berbeda tidak nyata
(P>0.05) dengan perlakuan A2 tetapi berbeda nyata dengan perlakuan A3.
Selanjutnya perlakuan A2 bebeda tidak nyata (P>0.05) dengan perlakuan A3. Hal ini berrarti
pemberian air kelapa sebanyak 200 ml tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman
atau jumlah tersebut sudah terwakilki 100 ml dan 300 ml air kelapa untuk merangsang sel-sel tanaman
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
172
sehingga dapat memanjang. Utami (2011) menyatakan zat pengatur tumbuh akan efektif dalam
jumlah tertentu, dan pemberian zat tumbuh diatas batas optimum menjadi tidak efektif terhadap stek
dalam merangsang pertumbuhan tanaman.
Panjang stek berpengaruh nyata lebih tinggi (P<0.05) terhadap tinggi tanaman. Dari uji BNT
diperoleh hasil bahwa perlakuan B1 berbeda tidak nyata (P>0.05) dengan perlakuan B21 tapi
perlakuan B1 berbeda nyata (P<0.05dengan perlakuan B3. Terlihat adanya kencenderungan tinggi
tanaman diikuti oleh panjang stek dan terlihat adanya penurunan tinggi tanaman dengan semakin
panjang ukuran stek. Pada percobaan ini rataan tinggi tanaman yang tertinggi dicapai pada perlakuan
panjang stek 15 cm yang menghasilkan tinggi tanaman 11.37 cm, kemudian 10 cm dan 20 cm.
Adanya kecenderungan penurunan panjang tanaman dari ukuran stek 20 cm, hal ini lebih disebabkan
kandungan karbohidrat yang terdapat pada stek 20 cm lebih banyak terbawa keudara melalui proses
transpirasi sehingga untuk membentuk sel-sel yang baru tidak terpenuhi. Karbohidrat yang terdapat
dalam jaringan tanaman akan membentuk energi. Pembentukan jaringan yang terjadi pada
perkembangan jaringan primer, memerlukan karbohidrat yang berfungsi untuk penebalan dinding sel,
pelindung pada epidermis batang dan perkembangan pembuluh baik dibatang maupun diakar jika
suatu tanaman membentuk sel-sel baru pemanjangan sel pembentukan daun serta sistem perakarannya
sangat membutuhkan pemakaian karbohidrat (Harjadi,1979). Pengaruh Perlakuan terhadap
Pertambahan Jumlah Daun. Pertambahan jumlah daun A.pintoy terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Jumlah daun per Minggu Selama
Penelitian (Helai)
Panjang Stek
(Cm) B
Faktor (A) air kelapa (ml) Rataan
A1(100 A2 (200) A3 (300)
B1 (10) 33abc 36a 24de 31
B2(15) 25cde 31abc 35ab 30
B3(20) 29cde 30bc 22e 27
Rataan 29 32 27
Keterangan : Huruf yang tidak sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
Adanya interaksi pemberian air kelapa dan panjang stek terhadaap jumlah daun A.pintoy. Kombinasi
daun tertinggi diperoleh pada perlakuan A2B1 (36 helai). Hal ini dapat diasumsikan stek berukuran 10
cm lebih cepat menyerap zat makanan zat nutrisi yang terkandung di dalam air kelapa. Purdyaningsih
(2015) mengatakan air kelapa selain mengandung unsur sitokinin juga auxin serta bahan-bahan
pembangun lainya seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral dan berbagai vitamin. Sitokinin selain
berperan dalam proses pembelahan sel juga memilki daya rangsang terhadap diferensiasi jaringan
terutma dalam hal pembentukan pucuk (Wattimena,1987).
Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Berat Kering Akar
Pertumbuhan tanaman didefinisikan bahwa pertumbuhan tanaman sebagai pertambahan dalam yang
diukur berdasarkan berat kering dari tanaman seluruhnya maupun bagian-bagianya (Fisher ,1984).
Rataan Pertumbuhan berat kering akar tanaman A.pintoy pada Tabel 3.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
173
Tabel 3. Rataan Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertumbuhan Berat Kering Akar per Minggu Selama
Penelitian (gram)
Panjang Stek
(Cm) B
Faktor (A) air kelapa (ml) Rataan
A1(100 A2 (200) A3 (300)
B1 (10) 0.070c 0.127a 0.063 0.087
B2(15) 0.123ab 0.099c 0.133a 0.188
B3(20) 0.077d 0.103cd 0.105abc 0.095
Rataan 0.090 0.110 0.100
Keterangan : Huruf yang tidak sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
Pemberian air kelapa dan panjang stek serta kedua faktor memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05)
terhadap berat kering akar tanaman A.pintoy. Kombinasi A3B2 adalah yang tertinggi nilai berat
keringnya yaitu sebesar 0.133 gram. Air kelapa selain berfungsi sebagai hormon juga mengandung
unsur mineral yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Unsur N air kelapa sebesar 0.02% dan N yang
terdapat dalam tanah sebesar 0.13%. Untuk pertumbuhan optimal tumbuhan dibutuhkan 0.15 N dalam
tanah. (Lakitan 1993).
Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Volume Akar Ratan pengaruh perlakuan terhadap
pertambahan volume akar tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Volume Akar per Minggu Selama
Penelitian (cm)
Panjang Stek
(Cm) B
Faktor (A) air kelapa (ml) Rataan
A1(100 A2 (200) A3 (300)
B1 (10) 0.51c 0.68 0.59bc 0.59
B2(15) 0.75a 0.58bc 0.71a 0.68
B3(20) 0.67ab 0.52c 0.54c 0.58
Rataan 0.090 0.59 0.61
Keterangan : Huruf yang tidak sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata
Interaksi kedua faktor berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap volume akar tanaman A.pintoy. A1b2
adalah interaksi tertinggi dengan demikian pemberian air kelapa 100 ml sudah mampu meningkatkan
volume akar untuk merangsang pertumbuhan stek tanaman.terbentuknya sistim perakaran yang lebih
baik akan menjamin pertumbuhan tanaman yang lebih baik pula karena mempunyai fungsi yang sanga
penting yaiitu selain menyerap air dan menral sari dalam tanah juga sebagai alat bernafas bagi
tanaman.
KESIMPULAN
Kombinasi yang terbaik untuk pertambahan jumlah daun, berat kering akar dan volume akar adalah
pemberian air kelapa 300 ml dan panjang stek 10 cm.
DAFTAR PUSTAKA
Fisher N.M dan P.R. Goldworthy., 1984. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gajah Press.
Yokyakarta.
Harjadi,S.S. 1993. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia. Jakarta
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
174
Lakitan B. 1993. Dasar-dasar Fisiologis Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Mandang, J.P. 1993. Peranan air kelapa dalam kultur jaringan tanaman krisan. Program Pasca sarjana
IPB. Bogor.
Purdyaningsih E. 2015. Kajian pengaruh pemberian air kelapa dan urine sapi terhadap pertumbuhan
stek nilam. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan
Utami,M.W. 2011. Respons pemberian hormon tumbuh dan mikoriza terhadap pertumbuhan stek
ramin. Bulletin kebun raya .Vol. 14, No.2.
Wattimena,G.A. 1987. Zat pengatur tumbuh. DITJEN Pendidikan Tinggi. Depdikbud. Jakarta
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
175
PENGGUNAAN BINDER TEPUNG LIMBAH UBI JALAR (Ipomoea batatas) TERHADAP
KUALITAS FISIK DAN KIMIA PELET LEGUM Indigofera sp.
Iin Susilawati, Hery Supratman, Lizah Khairani dan Muhamad Alfin
Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Bandung
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh penggunaaan binder tepung limbah ubi jalar
terhadap kualitas fisik (durabilitas) dan kandungan kimia (protein kasar, serat kasar) pelet legum
Indigofera sp. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4
perlakuan dan 5 kali ulangan. Perlakuan pertama (B0) yaitu pelet hijauan legum tanpa penambahan
binder tepung limbah ubi jalar, B1 = pelet hijauan legum dengan penambahan binder 5% tepung
limbah ubi jalar, B2 = pelet hijauan legum dengan penambahan 10% tepung limbah ubi jalar dan B3 =
pelet hijauan legum dengan penambahan 15% tepung limbah ubi jalar. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa penambahan binder tepung limbah ubi jalar sangat nyata meningkatkan kualitas
fisik (durabilitas) dan menurunkan kandungan serat kasar dan protein kasar pelet hijauan legum.
Dosis binder limbah tepung ubi jalar 15% menunjukkan durabilitas tertinggi yaitu 89,08%, tetapi serat
kasar dan protein kasar terendah yaitu 16,12% dan 24,47%. Kandungan protein kasar tertinggi
diperoleh pada perlakuan tanpa penambahan binder yaitu 30,48% tetapi kualitas fisiknya (durabilitas)
paling rendah yaitu 28,48%. Dosis optimum diperoleh pada penggunaan limbah tepung ubi jalar 10%,
dengan durabilitas 75,04%, kandungan protein kasar 26,54% dan kandungan serat kasar 18,39%.
Kata Kunci : Binder, Pelet, Indigofera sp., Ubi Jalar.
ABSTRACT
This study was conducted to assess the effect of binder from sweet potato waste on the physical
quality (durability) and chemical contents (crude protein and crude fiber) pellets of legume Indigofera
sp leaves. The experimental design used completely randomized design (CRD) with 4 treatments and
5 replications. The treatments were B0 = pellet of forage legume leaves without binder of sweet
potato waste, B1 = pellet of forage legume leaves with the addition of binders 5% sweet potato waste,
B2 = pellet of forage legume leaves with the addition of 10% sweet potato waste and B3 = pellet of
forage leaves with the addition of 15% sweet potato waste. Results from this study showed that the
addition of sweet potato waste binder markedly improved physical quality (durability) and reduce the
contents of crude fiber and crude protein pellet of forage legumes. Waste binders dose of 15% sweet
potato showed the highest durability (89.08%), but the contents of crude fiber and crude protein were
low, 16.12% and 24.47% respectively. The highest crude protein content was obtained without the
addition of binders which is 30.48% but its physical qualities (durability) most low at 28.48%. The
optimum dose obtained in the use of waste sweet potato are 10% which gave 75.04% of durability,
26.54% of crude protein content and 18.39% of crude fiber content.
Key words: Binder, Pellet, Indigofera sp., Sweet potato waste
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
176
PENDAHULUAN
Pengadaan hijauan makanan ternak di Indonesia sepanjang tahun masih merupakan problema sampai
saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak sulit didapat, baik di tingkat peternakan rakyat
maupun peternakan besar. Apalagi jika terjadi kemarau panjang. Hal ini menyebabkan kerugian-
kerugian yang sangat besar pada peternakan ruminansia. Padahal produksi hijauan makanan ternak ini
pada musim hujan sangat berlimpah. Berbagai cara pengawetan bisa dilakukan misalnya pengeringan
(hay) dan pembuatan silase (fermentasi hijauan). Namun salah satu kendala cara pengawetan hijauan
ini adalah diperlukannya tempat penyimpanan yang luas, padahal lahan yang dimiliki peternak
apalagi pada peternakan rakyat sangat terbatas. Kebutuhan hijauan pakan segar untuk ternak
ruminansia sekitar 10% dari berat badan ternak, maka untuk persediaan selama musim kemarau
tentulah harus banyak. Hal ini akan memakan banyak tempat. Setiap musim kemarau selalu terulang
kejadian peternak ruminansia kekurangan hijauan walaupun berbagai cara pengawetan hijauan
makanan ternak sudah disampaikan. Karena itulah diperlukan teknologi pengawetan hijauan makanan
ternak yang baru yaitu dengan membuat pelet yang hampir 100 % bahan kering. Volume hijauan
segar dengan bahan keringnya adalah sekitar 5 : 1 (Reksohadiprodjo, 1994). Apalagi dengan dibuat
pelet maka penyimpanannya tidak memerlukan banyak tempat. Dengan membuat pelet hijauan yang
hampir 100 % bahan kering dapat menghemat tempat penyimpanan pakan hijauan minimal lima kali
lipat karena hijauan segar mengandung sekitar 80 % air.
Jenis tanaman yang hijauannya akan dibuat pelet, harus dipilih yang produksi dan kualitasnya cukup
tinggi. Pada penelitian ini dipilih hijauan Indigofera sp. Menurut Akbarillah dkk. (2002), kandungan
nutrisi pada Indigofera sp. yaitu 27,90% protein kasar, serat kasar 15,25%, Kalsium 0,22%, Fosfor
0,18% dan energy 1600 kkal/kg. Pembuatan pelet, memerlukan binder (pengikat) supaya pelet hijauan
bisa terbentuk. Bahan pengikat ini berasal dari bahan-bahan yang mengandung pati. Dalam proses
pembuatan pelet, terjadi pemanasan sehingga pati ini akan meleleh membentuk gelatin yang akan
menjadi perekat terhadap pelet hijauan yang dibuat. Pada penelitian ini akan digunakan binder tepung
limbah ubi jalar yang merupakan limbah produk olahan dari ubi jalar yang ketersediaannya melimpah.
Limbah ubi jalar memiliki kandungan pati cukup timggi sehingga dapat digunakan sebagai binder
pelet hijauan legum, dan dapat mengurangi bahkan memanfaatkan limbah yang dihasilkan.
Kandungan nutrient tepung limbah ubi jalar yaitu: kadar air 12%, abu 4,88%, Protein kasar 9,4%,
serat kasar 13,3%, lemak kasar 3,64%, BETN 68,64%, TDN 80,42%, Kalsium 0,39% dan Fosfor
0,64%.
METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan yaitu: hijauan legum Indigofera sp. yang didapat dari Lahan Penelitian
Laboratorium Tanaman Makanan Ternak, Fakultas Peternakan UNPAD, Jatinangor, Sumedang, dan
Limbah ubi jalar dari perusahaan Fagum Jaya, Cirebon.
Alat yang digunakan yaitu: Mesin Hammer mill, Mixer, Mesin pembuat pelet tipe ulir, Tumbling
tester,Volumetrix, Golok, Baki sebagai tempat sampel, Terpal, Timbangan, Karung, Ember, Literan
Air dan Plastik.
Prosedur Percobaan
1) Pemanenan dan pencacahan legum Indigofera sp.
2) Pengeringan legum Indigofera sp.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
177
3) Penepungan legum Indigofera sp.
4) Pencampuran Legum Indigofera sp. dengan binder Tepung Limbah Ubi jalar
Legum Indigofera sp. yang sudah dalam bentuk tepung, kemudian dicampur dengan binder tepung
limbah ubi dengan dosis 0%, 5%, 10% dan 15% dari total tepung legum Indigofera sp. dengan
menggunakan mixer selama 10 menit dan ditambahkan air agar pelet mudah keluar dari mesin
pelet yaitu melalui dies pelet, air yang ditambahkan harus mencapai kadar air 30 – 40%.
5) Pembuatan Pelet
Campuran Indigofera sp. dan binder yang sudah tercampur sebelumnya dengan berbagai dosis
setiap perlakuannya, dimasukan ke dalam mesin pelet tipe ulir. Temperatur saat pembuatan pelet
perlu diperhatikan karena proses gelatinisasi terjadi pada suhu Dies pelet yang mencapai
temperatur 600C yang menghasilkan pelet yang baik. Pelet yang dihasilkan berdiameter 1 cm dan
panjang 2 cm.
Parameter yang Diamati
1) Durability (Ketahanan) menggunakan tumbling box
2) Density (Kepadatan)
Densitas (kg/m3)
3) Kandungan protein kasar
4) Kandungan serat kasar.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan 4 perlakuan dan diulang 5 kali. Rancangan
yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan menggunakan uji lanjut berganda
Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas Fisik dan Kimia Pelet Hijauan Legum Indigofera sp. pada Berbagai Perlakuan
_____________________________________________________________________________
Parameter Perlakuan
_____________________________________ Signifikansi
B0 B1 B2 B3
_____________________________________________________________________________
Densitas (kg/m3) 330,49 a 354,54 ab 377,34 b 413,78 c *
Durabilitas (%) 28,48 a 58,36 b 75,04 c 89.08 d *
Protein Kasar (%) 30,48 a 28,92 b 26,54 c 24,47 d *
Serat Kasar (%) 21,68 a 19,65 b 18,39 c 16,12 d *
______________________________________________________________________________ Keterangan : B0 = pelet hijauan legum tanpa penambahan binder tepung limbah ubi jalar, B1 = pelet hijauan
legum dengan penambahan binder 5 tepung limbah ubi jalar, B2 = pelet hijauan legum dengan
penambahan 10% tepung limbah ubi jalar dan B3 = pelet hijauan legum dengan penambahan
15% tepung limbah ubi jalar.
* Huruf yang sama ke arah baris, menunjukkan tidak berbeda sangat nyata.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
178
Dari data di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi penggunaan dosis binder tepung limbah ubi jalar,
semakin meningkat densitas dan durabilitasnya. Hal ini disebabkan karena semakin meningkat dosis
penggunaan tepung limbah ubi jalar pada campuran pelet, maka semakin besar kandungan patinya.
Pati ini akan tergelatinisasi pada saat pembuatan pelet, sehingga menyebabkan ikatan partikel
penyusun pelet lebih kompak dan padat. Menurunnya kandungan protein kasar dengan penambahan
binder limbah ubi jalar disebabkan karena kandungan protein ubi jalar lebih rendah daripada hijauan
Indigofera. Demikian juga menurunnya kandungan serat kasar pada pelet hijauan legum dengan
penambahan tepung limbah ubi jalar karena kandungan serat kasar pada tepung limbah ubi jalar lebih
rendah.
KESIMPULAN
1) Penambahan binder tepung limbah ubi jalar sangat nyata meningkatkan kualitas fisik (durabilitas)
dan menurunkan kandungan serat kasar dan protein kasar pelet hijauan legum.
2) Dosis binder limbah tepung ubi jalar 15% menunjukkan durabilitas tertinggi yaitu 89,08 %, tetapi
serat kasar dan protein kasar terendah yaitu 16,12% dan 24,47%. Kandungan protein kasar
tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa penambahan binder yaitu 30,48% tetapi kualitas fisiknya
(durabilitas) paling rendah yaitu 28,48%.
3) Dosis optimum diperoleh pada penggunaan limbah tepung ubi jalar 10%, dengan durabilitas
75,04%, kandungan protein kasar 26,54% dan kandungan serat kasar 18,39%.
DAFTAR PUSTAKA
Akbarillah TD, Kaharuddin dan Kususiyah. 2002. Kajian daun tepung Indigofera sebagai suplemen
pakan produksi dan kualitas telur. Dalam: Laporan penelitian. Bengkulu (Indonesia): Lembaga
Penelitian Universitas Bengkulu.
Reksohadiprodjo, S. 1994. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Bagian Penerbitan
Fakultas Ekonomi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
179
IDENTIFIKASI JENIS-JENIS DAN KANDUNGAN NUTRISI GULMA DI KECAMATAN
BATUR, KABUPATEN BANJARNEGARA YANG POTENSIAL SEBAGAI BAHAN PAKAN
TERNAK RUMINANSIA
P. Yuwono 1), T. Warsiti 1) dan M. Kasmiatmojo 2) 1) Fakultas Peternakan Unsoed, 2) Fakultas Pertanian Unsoed
Email : [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menambah informasi mengenai jenis-jenis gulma dan kandungan
nutrisinya yang tumbuh di areal pertanaman palawija di kecamatan Baturyang potensial sebagai bahan
pakan ternak ruminansia. Hasil penelitian menunjukan paling sedikit ada tujuh jenis/spesies gulma
yang tumbuh di desa Batur dan sering digunakan sebagai bahan pakan ternak yaitu Axonopus
compresus (Swarttz) Beauv, Alternanthera sesilis (L) D,C, Lantana camara L., Nasturtium montanum
Wall, Commelina benghalensis L., Cynodon dactylon (L.) Pers, Digitaria adscendens (H.B.K.)Henr.
Hasil analisis proksimat menunjukan bahwa gulma memiliki kandungan protein kasar berkisar 8,02 -
23,66 % dan kandungan serat kasar berkisar 19,87 - 39.36%. Dapat disimpulkan bahwa gulma
tersebut memiliki kandungan protein kasar dan serat kasar yang cukup baik untuk pakan ruminansia.
Kata kunci : gulma, ruminansia, protein kasar, serat kasar
ABSTRACT
The purpose of this study was to find out the types of weeds and their nutrition content that grow in
the planting area of crops in Batur district, Banjarnegara regency potential as ruminant feed. The
results showed that at least there were seven types / species of weeds that grows in the Batur village
and is often used as an animal feed that were Axonopus compresus (Swarttz) Beauv, Alternanthera
sesilis (L) D, C, Lantana camara L., Nasturtium montanum Wall, Commelina benghalensis L .,
Cynodon dactylon (L.) Pers, Digitaria adscendens (HBK) Henr. Results of the proximate analysis
showed that the weeds have crude protein content ranged from 8.02 to 23.66% and crude fiber content
ranged from 19.87 - 39.36%. It could be concluded that the weeds contain crude protein and crude
fiber that were pretty good for ruminants.
Keywords: weeds, ruminants, crude protein, crude fibe
PENDAHULUAN
Salah satu keuntungan komparatif daerah beriklim tropis seperti Indonesia adalah peluang
berlangsungnya proses fotosintesis tanaman sepanjang tahun. Kondisi ini menawarkan produksi
biomassa tanaman yang sangat besar yang dapat ditransformasikan menjadi bahan baku pakan ternak,
khususnya ruminansia seperti kambing dan domba. Biomassa yang tersedia sebagai bahan pakan
dapat berasal dari hijauan pakan ternak atau gulma.
Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh di tempat yang tidak dikehendaki, terutama di tempat
manusia mengusahakan tanaman lain sehingga manusia berusaha untuk mengendalikannya.
(Sastroutomo, 1982; Moenandi, 1988 dan Soerjani 1990). Gulma merugikan manusia karena
menyaingi pertumbuhan tanaman, mengeluarkan zat penghambat (racun), mengganggu proses
budidaya, menjadi inang hama dan pathogen penyakit, mengurangi efisiensi dalam sistem irigasi.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
180
Persaingan gulma terhadap pertumbuhan tanaman akan berakibat berkurangnya produksi baik
kuantitas maupun kualitasnya (Chisaka, 1977 dalam Birowo, 1977, Edowes, 1977 dan Kuntohartono,
1980).
Kecamatan Batur merupakan sentra pengembangan domba Batur yang merupakan ternak unggulan
untuk Kabupaten Banjarnegara. Kecamatan Batur terletak pada ketinggian 1663-2093 meter dpl
dengan curah hujan 394 mm. Faktor utama penghambat rendahnya kapasitas/skala usaha peternakan
domba Batur di Kecamatan Batur Kabupaten banjarnegara adalah karena keterbatasan lahan hijauan
(sebagian besar untuk tanaman sayuran). Disisi lain, gulma banyak dijumpai pada tanaman palawija
dan sepanjang tepian jalan yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan domba. Oleh karena itu tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mencari tambahan informasi mengenai jenis-jenis gulma yang tumbuh di
antara pertanaman palawija di daerah dataran tinggi Dieng yang potensial sebagai bahan pakan ternak
dan mengetahui kandungan nutrisi tanaman gulma tersebut
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di wilayah outreach Pilot Proyek Peternakan Domba di Kecamatan Batur,
terletak di dataran tinggi (1663-2093 meter dpl), Kabupaten Banjarnegara. Pengambilan sampel
gulma dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling), dan gulma diamati dengan
menggunakan metode kuadrat sensus. Gulma diamati jenis-jenisnya, kemudian dicatat nama-nama
daerah dan nama ilmiahnya. Bagi gulma yang belum diketahui namanya diambil gambarnya (foto)
dan dicabut, dimasukkan ke dalam kantong plastik berlabel untuk kemudian dibawa ke laboratorium
Agroekologi Fakultas Pertanian Unsoed untuk diidentifikasi dan dideterminasi dengan menggunakan
kunci determinasi dan pustaka yang tersedia. Gulma-gulma tersebut dianalisis proksimat untuk
kandungan protein kasar dan serat kasar menurut AOAC (1990).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat paling tidak tujuh jenis/spesies gulma yang dominan
tumbuh di daerah dataran tinggi Dieng khususnya di desa Batur Kabupaten Banjarnegara disajikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Jenis/spesies dan kandung protein kasar (PK) dan serat kasar (SK) gulma yang tumbuh di
desa Batur dataran tinggi Dieng
No Nama Daerah Nama Ilmiah PK (%) SK (%)
1 Blembem (Rumput pahit,
papahitan)
Axonopus compresus (Swarttz)
Beauv
8,02 39,36
2 Braja lintang (kremah hijau) Alternanthera sesilis (L) D,C 14,57 29,22
3 Daun Klathi (tahi ayam =
tembelekan)
Lantana camara L. 23,66 19,87
4 Gembos (Sawi tanah) Nasturtium montanum Wall 9,66 39,27
5 Gewor Commelina benghalensis L. 15,44 29,25
6 Grinting (kekawatan) Cynodon dactylon (L.) Pers 10,59 21,21
7 Jampang Digitaria adscendens (H.B.K.)Henr 10,38 30,39
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
181
Secara kualitas pakan lokal berserat tinggi merupakan yang terbesar. Pada dasarnya bahan tersebut
mengandung energi kasar yang relatif sebanding dengan biji jagung, namun struktur kimianya
membuat potensi energy menjadi tidak tersedia seluruhnya apabila diberikan apa adanya (Kerley et
al., 1985). Karakter umum pakan lokal berserat tinggi dan berprotein rendah merupakan beban yang
lebih berat bagi ternak ruminansia dengan ukuran tubuh kecil seperti domba. Mendasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa jenis/spesies gulma tersebut di atas banyak digunakan sebagai bahan
pakan ternak dengan kandungan protein kasar yang cukup baik Devendra dan Thomas (2002)
menyatakan bahwa sistem pertanian tanaman dan ternak sangat mendominasi di wilayah Asia
Tenggara, termasuk ditemukan di wilayah Batur. Ternak akan mengubah sumberdaya alam
berkualitas rendah menjadi produk yang sangat berkualitas berupa daging dan berkontribusi
mengendalikan pertumbuhan gulma dan menyediakan nutrien yang dibutuhkan oleh tanaman melalui
produksi pupuk untuk meningkatkan kesuburan tanah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Gulma banyak digunakan sebagai bahan pakan domba Batur dengan kandungan protein kasar dan
serat kasar cukup baik. Perlu dilakukan penelitian potensi produksi gulma secara kuantitas dan
kualitas untuk ternak ruminansia terutama domba Batur untuk mendukung peningkatan populasi dan
produktivitas.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Universitas Jenderal Soedirman yang telah mendanai penelitian dari sumber
DIPA Universitas Jenderal Soedirman Tahun Anggaran 2012, Nomor Kontrak :
1163/UN23.9/PN/2012
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis. Association of Official Agricultural Chemists.
Agricultural Chemical; Contaminats; Drugs Vol. 1. Asociation of Official Agricultural
Chemists, Inc. Virginia-USA.
Birowo, A.T. 1977. Economis aspescts in The Improvement of Weed Control Methods. Proc. of the
Workshop on Weed Control in Small Farms . p. 1-7
Devendra, C. and D. Thomas. 2002. Crop-Animal Interaction in Mixed Farming System in Asia.
Agricultural System : 71 (1-2) : 27-40
Edowes, M., 1977. Weed Control in Small Area Crops in Europe. Proc. of The Workshop on weed
Control in Small Farms, Jakarta, p. 15 - 24
Kerley, M.S., G.C. Fahey, L.L. Berger, N.R. Mewchen and J.M. Gould. 1985. Effects of Alkaline
Hydrogen Peroxide Treatment un lock energy in Agricultural by-products. Science, 230: 820
Kuntohartono, T. 1980. Pengantar Ilmu Gulma. Departemen Agronomi Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya, Malang, 43 p.
Moenandir, J. 1988. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma (Ilmu Gulma – Buku I). Rajawali
Press, Jakarta, 122 p.
Soerjani, M. 1990. Pengelolaan Hama berwawasan Lingkungan. Konferensi X Himpunan Ilmu
Gulma Indonesia. Malang, 13 – 15 Maret 1990, p. 9 – 24
Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. Penerbit PT Gramedia Utama. Jakarta, 217 p.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
182
PROCESSING PROPERTIES PEMBUATAN CONCENTRATED YOGURT DARI SUSU SAPI
LEMAK PENUH DAN RENDAH, DENGAN DAN TANPA PENAMBAHAN INULIN
Juni Sumarmono, Mardiati Sulistyowati, TrianaYuni Astuti, Nunung Noor Hidayat dan
Kusuma Widayaka
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Email: [email protected]
LATAR BELAKANG
Pengembangan produk susu olahan dengan kadar lemak rendah bertujuan untuk menyediakan
alternatif bagi konsumen yang mengurangi konsumsi lemak dalam dietnya. Pada produk makanan,
lemak memiliki peranan penting dalam menentukan citarasa, tekstur dan kandungan zat gizi,
khususnya asam-asam lemak dan vitamin yang larut dalam lemak. Oleh karena itu, pengurangan
lemak pada susu sebagai bahan dasar concentrated yogurt dapat mempengaruhi karakteristik proses
pengolahan maupun produk yang dihasilkan . Efek negatif pengurangan kadar lemak susu dapat
dikurangi dengan menambahkan bahan non-lemak seperti glukan (Elsanhoty et al., 2009) dan inulin
(Rezaei et al., 2012). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi karakteristik proses (processing
properties) pembuatan concentrated yogurt dari susu sapi lemak penuh dan lemak rendah dengan dan
tanpa penambahan inulin.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara eksperimental menggunakan rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap.
Terdapat empat perlakuan yang meliputi pembuatan concentrated yogurt dari susu lemak penuh atau
full fat tanpa penambahan inulin (T1), pembuatan concentrated yogurt dari susu lemak penuh dengan
penambahan inulin (T2), pembuatan concentrated yogurt dari susu lemak rendah atau low fat tanpa
penambahan inulin (T3), dan pembuatan concentrated yogurt dari susu lemak rendah dengan
penambahan inulin (T4). Proses fermentasi susu dilakukan dengan menambahkan kultur yogurt
kering yang telah diaktifkan dengan suhu inkubasi 43oC, yang dilanjutkan dengan pengeluaran whey
dengan teknik in-bag straining(Ozer, 2006) selama 20 jam sehingga dihasilkan concentrated yogurt.
Peubah yang diamati meliputi perubahan pH (%) dan kadar asam laktat (%) selama proses fermentasi,
whey bebas (%), pH whey, yield (%) dan kekentalan. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif-
kuantitatif, dan analisis variansi dengan menggunakan program statistik Systat.
HASIL PENELITIAN
Gambar 1 dan 2 menunjukan perubahan pH dan kadar asam laktat susu pada proses pembuatan yogurt
selama proses fermentasi mulai dari menit ke 30 sampai dengan menit ke 180. Secara umum, susu
mengalami penurunan pH secara gradual yang diimbangi dengan kenaikan kadar asam laktat. Secara
umum tidak terdapat perbedaan yang menonjol pada pola penurunan pH, sedangkan pada pola
peningkatan kadar asam laktat terdapat perubahan mulai menit ke 120.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
183
Gambar 1. Perubahan pH susu selama inkubasi 30 sampai dengan 180 menit pada proses
pembuatan yogurt sebagai bahan dasar concentrated yogurt.
Gambar 2. Perubahan kadar asam laktat susu selama inkubasi 30 sampai dengan 180 menit
pada proses pembuatan yogurt sebagai bahan dasar concentrated yogurt.
Data tentang beberapa processing properties, yang meliputi yield, whey bebas, pH whey dan
kekentalan disajikan pada Tabel 1. Yield yang merupakan rasio concentrated yogurt terhadap susu
(w/w,%) menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan (P>0.05) dengan rataan 21.6%. Susu lemak
penuh menghasilkan whey bebas terbanyak, sedangkan susu lemak rendah menghasilkan whey bebas
terendah, namun demikian nilai pH whey relatif tidak bervariasi dengan rataan 3.64. Penambahan
inulin meningkatkan tekstur (kekentalan) produk, baik pada susu lemak penuh maupun lemak rendah.
Tabel 1. Beberapa processing properties pengolahan concentrated yogurt dari susu lemak penuh dan
lemak rendah, dengan dan tanpa penambahan inulin.
Perlakuan Yield (%) Whey (%)*) pH Whey Kekentalan**)
Susu lemak penuh 21,24 26,35 3,68 3
Susu lemak penuh + inulin 21,62 30,47 3,59 4
Susu lemak rendah 21,57 33,32 3,70 1
Susu lemak rendah + inulin 21,97 31,86 3,59 2
*) Rasio whey yang didapatkan setelah 30 menit proses pemisahan whey (penggantungan) terhadap total whey.
**) Skor kekentalan yogurt 1: paling tidak kental (encer); 4: paling kental
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
184
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengurangan lemak susu mempengaruhi
processing properties pembuatan concentrated yogurt, utamanya dari segi whey bebas yang dihasilkan
dan tekstur produk. Kelemahan pada tekstur produk concentrated yogurt rendah lemak dapat
dikurangi dengan menambahkan inulin.
DAFTAR PUSTAKA
Elsanhoty, R., A. Zaghlol and A. Hassanein. 2009. The Manufacture of Low Fat Labneh Containing
Barley β-Glucan 1-Chemical Composition, Microbiological Evaluation and Sensory Properties.
Current Research in Dairy Sciences 1:1-12.
Ozer, B. 2006. Production of concentrated products. In A. Tamime (Ed.), Fermented Milks. New
York USA: Blackwell Science Ltd, pp. 28-155.
Rezaei, R., M. Khomeiri, M. Aalami and M. Kashaninejad. 2012. Effect of inulin on the
physicochemical properties, flow behavior and probiotic survival of frozen yogurt. Journal of
Food Science and Technology:1-6.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
185
SACCHARIDE ENRICHMENT DALAM OPTIMALISASI FERMENTASI BUNGKIL BIJI
JARAK (Jatropha curcas) MENGGUNAKAN Bifidobacterium bifidum
Titin Widiyastuti, Bahrun dan Hudri Aunurrohman
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Email: [email protected]
ABSTRAK
Upaya mengeksplorasi bungkil biji jarak (BBJ) sebagai bahan pakan alternatif sumber protein yang
murah dan aman merupakan salah satu strategi dalam menjaga ketersediaan pakan. Substrat
enrichment dalam proses fermentasi menggunakan Bifidobacterium bifidum, ditujukan untuk
mengoptimalkan kualitas nutrien BBJ paska fermentasi dengan mengkaji pengaruh penambahan
berbagai macam sakarida. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan
sumber sakarida yang berbeda (R1: gula jawa; R2: molases; R3: susu ber FOS) dengan ulangan
sebanyak 7 kali. Bila perlakuan berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (BNJ).
Peubah yang diamati adalah kadar nutrien (BK, protein, lemak, serat kasar, abu dan gross energi).
Fermentasi menggunakan Bifidobacterium spp yang diinkubasi selama 15 x 24 jam pada suhu 37oC.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa enrichment menggunakan molases dapat
mengoptimalkan proses fermentasi bungkil biji jarak ditinjau dari seluruh kandungan nutrien pasca
fermentasi.
Kata kunci : Bungkil biji jarak, Bifidobacterium bifidum, sakarida
PENDAHULUAN
Tanaman jarak merupakan satu diantara sekian banyak tanaman yang mampu tumbuh dengan baik di
wilayah Indonesia dari daerah dataran rendah hingga dataran tinggi. Eksplorasi terhadap biji jarak
sebagai sumber biodiesel memberi peluang dan harapan untuk tersedianya bahan pakan yang berasal
dari by product pengolahan minyak jarak berupa bungkil biji jarak. Namun demikian kajian yang
komprehensif sangat dibutuhkan untuk merekomendasikan bungkil biji jarak sebagai bahan pakan
alternatif sumber protein yang secure dan juga safety bagi ternak. Berdasarkan komposisi nutrien dan
kandungan asam aminonya bungkil biji jarak sangat potensial sebagai pakan ternak. Namun terdapat
beberapa kendala dalam pemanfaatannya, Makkar et al. (2008) menyatakan bahwa salah satu
antinutrisi yaitu hemaglutinin/lectin sebesar 102/mg untuk varietas toksik dan 51 /mg untuk varietas
non toksik. Efek toksik lectin salah satunya adalah mampu menggumpalkan sel darah merah. Selain
itu keberadaan phorbol ester, trypsin inhibitor, phytate serta tingginya cangkang dalam bungkil
membatasi penggunaannya sebagai pakan ternak.
Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa dengan berbagai macam metode pengolahan baik
fisik, kimiawi maupun biologis dapat meningkatkan nilai guna bungkil biji jarak. Teknologi
fermentasi saat ini merupakan teknologi yang masih relevan untuk diterapkan, karena mudah
dilakukan dan hasilnya cukup signifikan dalam menurunkan antinutrisi pada bungkil biji jarak.
Widiyastuti dan Caribu (2010), Widiyastuti dan indraji (2011) telah melaporkan penggunaan bungkil
biji jarak yang difermentasi menggunakan bakteri asam laktat (L.acidophillus dan Bifidobacterium
bifidum). Optimalisasi pada proses fermentasi perlu dilakukan untuk mendapatkan metode fermentasi
yang tepat, penggunaan berbagai macam sakarida sebagai substrat enrichment telah dilaporkan
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
186
Widiyastuti dan Prayitno (2010) yang menyatakan bahwa penggunaan FOS merupakan sumber
sakarida terbaik dibandingkan glukosa dan mannosa untuk mengoptimalkan bakteri asam laktat
dalam menggunakan lektin sebagai sumber glikoprotein, dimana lektin ini digunakan sebagai media
perlekatan dalam mucosa usus.
Faktor yang penting diperhatikan dalam proses fermentasi adalah formulasi media terutama
keberadaan senyawa-senyawa yang dapat mendukung pertumbuhan mikroba, seperti sumber karbon,
sumber nitrogen, mineral, vitamin serta komponen mikronutrien yang lain. Karantina (2008)
menyatakan bahwa sumber karbon merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan. Karbon
digunakan sebagai sumber energi dan bersama dengan protein (sumber N) merupakan bahan dasar
bagi pembentukan komponen-komponen sel, serta enzim-enzim yang dibutuhkan dalam metabolisme
sel. Gula sebagai sumber karbon merupakan senyawa organik yang penting bagi pertumbuhan sel
mikroba. Perbedaan kandungan pada beberapa jenis sumber gula akan menyebabkan hasil fermentasi
yang berbeda pula.
Gula sebagai sumber karbon merupakan senyawa organik yang penting bagi pertumbuhan sel
mikrobia. Penambahan gula yang berbeda memberikan hasil yang berbeda karena masing-masing
jenis gula mempunyai kandungan yang berbeda pula. Melalui penelitian akan dikaji penggunaan
berbagai sumber sakarida sebagai substrat pengkaya dalam fermentasi menggunakan BAL.
Penggunaan FOS dirasa mahal sehingga diperlukan sumber-sumber sakarida yang murah namun
efektif dalam mendukung pertumbuhan bakteri asam laktat selama fermentasi. Tujuan penelitian
adalah : Mengkaji metode saccharida enrichment pada proses fermentasi bungkil biji jarak (Jatropha
curcas) menggunakan bakteri asam laktat serta mengetahui jenis saccharida terbaik sebagai substrat
enrichment dalam proses fermentasi bungkil biji jarak menggunakan bakteri asam laktat.
METODE PENELITIAN
Eksperimental Design dan Analisys Statistik. Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak lengkap
(RAL), perlakuan terdiri dari 3 macam sakarida yang berbeda dalam fermentasi yaitu R1:
penambahan gula jawa 5%, R2: penambahan molases 5%, R3: penambahan susu ber FOS 5%. Setiap
perlakuan diulang 6 kali. Peubah yang diamati adalah pH dan kadar nutrien (kadar BK, abu, protein
kasar, lemak kasar, serat kasar dan gross energi). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan
Analisis variansi (Anova). Bila perlakuan berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji BNJ (Steel dan
Torie, 1993).
Preparasi mikroba dan proses fermentasi. Biakan Bifidobacterium bifidum diremajakan pada media
cair MRS Broth sebelum digunakan sebagai inokulum fermentasi. Selanjutnya diambil sebanyak 5 ml
Biakan Bifidobacterium bifidum ditumbuhkan pada 30 ml media susu murni dan diinkubasi selama
1x24 jam pada suhu 37°C. Selanjutnya inokulum dibuat dengan komposisi 25 g BBJ, 35 ml aquadest,
35 ml Bifidobacterium bifidum yang telah ditumbuhkan dalam media susu dan 5 ml MRS Broth.
Selanjutnya diinkubasi selama 2 x 24 jam pada suhu 37°C. Fermentasi dilakukan dengan metode
sebagai berikut: sebanyak 500 g BBJ ditambah dengan sumber sakarida sebanyak 5% yang dilarutkan
dalam 500 ml air sehingga perbandingan antara BBJ dan larutan KH fermentabel adalah 1:1.
Penambahan molases dilakukan dengan melarutkan 25 g molases dalam 500 ml air, untuk
penambahan gula jawa dilakukan dengan melarutkan 25 g gula jawa dalam 500 ml air dan
penambahan FOS dengan melarutkan 25 g susu berFOS dalam 500 ml air. Susu yang digunakan
adalah susu SGM 4. Campuran BBJ dan karbohidrat fermentabel kemudian disterilisasi dengan
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
187
autoclaf selam 15 menit pada suhu 121oC dan tekanan 1 atm. Setelah suhu menjadi 40oC, kemudian
diinokulasi dengan inokulum Bifidobacterium bifidum sebanyak 20%. Selanjutnya diinkubasi selama
15 x 24 jam pada suhu 37oC.
Pengambilan sampel dan analisis kimia. Analisis pH dilakukan dengan mengambil sampel BBJ paska
fermentasi sebanyak 1 gram kemudian dilarutkan dalam 50 ml aquadest. Pengukuran pH dilakukan
dengan pH meter merk HANNA. Analisis kadar nutrien paska fermentasi dilakukan menggunakan
metode proksimat menurut AOAC (2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Rataan Kadar Nutrien Bungkil Biji Jarak yang Difermentasi Menggunakan Berbagai Macam
Sumber Sakarida
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) atau sangat
nyata (P<0,01)
A. pH
Proses terjadinya penurunan pH dapat terjadi dari awal fermentasi diakibatkan terbentuknya asam-
asam selama proses fermentasi berlangsung. Asam-asam yang terbentuk seperti asam asetat, asam
piruvat, dan asam laktat dapat menurunkan pH (Muljono dan Daewis, 1990). Masuda et al. (2000)
menyatakan bahwa penambahan bahan yang kaya akan karbohidrat fermentable dapat mempercepat
penurunan pH.
Hasil penelitian menunjukkan range pH pasca fermentasi menggunakan berbagai sumber sakarida
berkisar antara 4,7 sampai dengan 5,08. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa penambahan
sumber sakarida pada proses fermentasi berpengaruh tidak nyata terhadap pH fermentasi. Hal ini
menunjukkan bahwa semua sumber sakarida mampu mensuplai energi untuk Bifidobacter bifidum
dalam fermentasi dengan menghasilkan asam laktat yang setara, meskipun rataan pH terendah
ditunjukkan pada penggunaan FOS sebagai substrat enrichment dalam fermentasi bungkil biji jarak.
Penurunan pH disebabkan pula oleh fermentasi oligosakarida yang menyebabkan terbentuknya gas
CO2, hidrogen yang dapat menurunkan pH. Fermentasi oligosakarida oleh bakteri akan menghasilkan
energi metabolisme dan asam lemak rantai pendek (terutama asam asetat dan asam laktat). Hampir
semua zat yang diproduksi oleh bakteri bersifat asam merupakan hasil fermentasi karbohidrat
oligosakarida (Tomomatsu, 1994 dan Bird, 1999). Adanya produksi asam tersebut akan menurunkan
pH.
Nutrien Sumber Sakarida
Gula Jawa (R1) Molases (R2) Susu ber FOS (R3)
BK (%) 42,93 ± 0,79 43,03 ± 0,74 42,82 ± 0,87
Abu (%) 9,36 ±0,21 9,42 ± 0,08 9,26 ± 0,23
LK (%) 15,93 ± 0,61 14,39 ± 2,42 15,48 ± 5,74
PK (%) 34,86a ± 0,22 36,02b ± 0,44 36,45b ± 0,45
SK (%) 20,20a ± 0,35 19,82ab ± 0,66 22,68c ± 0,63
GE (kal/g) 3621a ± 49 3788b ± 49 3173c ± 96
pH 5,08 5 4,7
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
188
B. Kandungan Nutrien Bungkil Biji Jarak Pasca Fermentasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar bahan kering bungkil biji jarak pasca fermentasi
menggunakan berbagai macam sakarida adalah berkisar antara 42,82 – 43,03%. BK tertinggi
ditunjukkan oleh perlakuan enrichment menggunakan molases (R2) dan BK terendah ditunjukkan
pada perlakuan menggunakan sumber skarida susu berFOS (R3). Hasil analisis variansi menunjukkan
bahwa perlakuan penambahan sumber sakarida berpengaruh tidak nyata terhadap kadar BK bungkil
biji jarak (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga macam sumber sakarida mempunyai pengaruh
yang sama terhadap perubahan BK bungkil biji jarak pasca fermentasi. Secara umum penurunan BK
akan terjadi pasca proses fermentasi, karena beberapa faktor. Diantaranya adalah peningkatan kadar
air dan juga penggunaan nutrien oleh bakteri selama proses fermentasi.
Kadar abu bungkil biji jarak pasca fermentasi adalah berkisar antara 9,26 – 9,42%. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan penambahanan sumber sakarida asal molasses (R2) mempunyai
kandungan kadar abu yang paling tinggi disusul oleh R1 (penambahan sumber sakarida asal gula
jawa) kemudian terendah adalah R3 (penambahan sumber sakarida asal susu ber FOS). Hasil analisis
sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan berbagai sumber sakarida pada substrat
fermentasi mempengaruhi kadar abu bungkil biji jarak secara tidak nyata (P>0,05).
Kisaran kadar lemak bungkil biji jarak setelah fermentasi dengan substrat enrichment berbagai
sumber sakarida adalah berkisar antara 14,39 -15,93%, dengan kadar lemak tertinggi ditunjukkan oleh
perlakuan penambahan sakarida asal gula jawa (R1) dan terendah adalah perlakuan penambahan
sakarida asal molases (R2). Perlakuan penambahan sumber sakarida asal molases mampu
menurunkan kadar lemak bungkil biji jarak meskipun secara statistik tidak nyata (P>0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa molases mampu menyediakan sumber nutrien lebih tersedia bagi
Bifidobacterium spp. dibanding sumber skarida yang lain, meskipun secara statistik tidak nyata
(P>0,05).
Kadar protein kasar bungkil biji jarak pasca fermentasi adalah berkisar antara 34,86 – 36,45%. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahanan sumber sakarida asal susu ber FOS (R3)
mempunyai kandungan kadar protein kasar yang paling tinggi disusul oleh R2 (penambahan symber
sakarida asal molases) kemudian terendah adalah R1 (penambahan sumber sakarida asal gula jawa).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan berbagai sumber sakarida pada
substrat fermentasi sangat nyata mempengaruhi kadar protein kasar bungkil biji jarak (P<0,01).
Hasil uji BNJ menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata kadar protein pada bungkil
biji jarak yang difermentasi dengan pengkaya media gula jawa (R1) dengan perlakuan R2 (sakarida
enrichment dengan molases) dan R3 (sakarida enrichment dengan FOS) (P<0,01). Sedangkan
perlakuan R2 dan R3 menunjukkan kandungan protein yang tidak berbeda nyata. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan molases dan FOS sebagai sumber sakarida pengkaya media
fermentasi mampu mendukung pertumbuhan bakeri asam laktat dalam memfermentasi bungkil biji
jarak. Hal ini sesuai dengan Irawan dan Utama (2012), bahwa pemberian molases bertujuan untuk
digunakan sebagai sumber energi bagi mikrobia, sehingga mikrobia bisa berkembang biak dengan
baik. Sintesis protein adalah proses memproduksi senyawa-senyawa polipeptida dalam tubuh sel
yang berguna untuk pewarisan sifat secara genetis kepada keturunannya. Sehingga miroorganisme
akan berkembang biak dan meningkatkan kandungan protein kasar pada bahan pakannya.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
189
Penelitian Xu et al. (2002) mendapatkan bahwa penambahan 4,0 g/kg FOS dapat meningkatkan
pertumbuhan Bifidobacteria dan Lactobacillus, tetapi menghambat Escherichia coli dalam usus besar
dan cecal digesta, juga secara nyata dapat meningkatkan rata-rata penambahan berat badan harian
broiler. Penambahan molases berfungsi sebagai sumber energi mikrobia sehingga mikrobia
berkembang lebih banyak dalam proses pemeraman dan dengan bertambahnya mikrobia maka
bermanfaat sebagai penyumbang kadar protein kasar. Purwadaria dkk. (2003) menyatakan bahwa
peningkatan protein kasar disebabkan oleh pertumbuhan mikrobia. Singh et al. (2009) menyatakan
bahwa sifat yang penting dari bakteri asam laktat adalah kemampuannya untuk memfermentasi gula
menjadi asam laktat (Lactobacillus lactis, Pediococcus atau Streptococcus, dan Acetobacter aceti).
Bakteri tersebut merupakan penyumbang protein asal mikrobia.
Kadar serat kasar bungkil biji jarak setelah fermentasi dengan substrat enrichment berbagai sumber
sakarida adalah berkisar antara 19,82 -22,68%, dengan kadar serat kasar tertinggi ditunjukkan oleh
perlakuan penambahan sakarida asal susu berFOS (R3) dan terendah adalah perlakuan penambahan
sakarida asal molases (R2). Perlakuan penambahan sumber sakarida asal molases sangat nyata
(P<0,01) menurunkan kadar serat kasar bungkil biji jarak. Hal ini menunjukkan bahwa molases
mampu menyediakan sumber nutrien lebih tersedia bagi Bifidobacterium spp. dibanding sumber
skarida yang lain. Meskipun berdasarkan uji BNJ tidak berbeda antara R2 dengan R1 (penambahan
gula jawa), namun kadar serat kasar pada perlakuan menggunakan molases cenderung lebih rendah.
Tetes ditambahkan untuk mempercepat terbentuknya asam laktat serta menyediakan sumber energi
yang cepat tersedia bagi bakteri, dan melalui proses fermentasi mampu merombak senyawa organik
kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga dapat dicerna dengan baik oleh ternak.
Menurut Winarno (1992) substrat yang mengalami fermentasi biasanya memiliki nilai nutrisi yang
lebih tinggi dari pada bahan asalnya. Sifat katabolik dan anabolik mikroorganisme sehingga mampu
memecah komponen yang lebih kompleks menjadi mudah tercerna. Proses ini diharapkan akan
merombak struktur jaringan kimia dinding sel, pemutusan ikatan lignoselulosa dan penurunan kadar
lignin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar gross energi (GE) bungkil biji jarak pasca fermentasi
menggunakan berbagai macam sakarida adalah berkisar antara 3173 kal/g – 3788 kal/g. GE tertinggi
ditunjukkan oleh perlakuan enrichment menggunakan molases (R2) dan GE terendah ditunjukkan
pada perlakuan menggunakan sumber sakarida susu berFOS (R3). Hasil analisis variansi
menunjukkan bahwa perlakuan penambahan sumber sakarida berpengaruh sangat nyata terhadap
kadar gross energi bungkil biji jarak (P<0,01). Hasil uji lanjut BNJ menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang sangat nyata diantara semua perlakuan (P<0,01). Bungkil biji jarak yang difermentasi
dengan penambahan molases menunjukkan kadar gross energi tertinggi. Tingginya kandungan gross
energi pada perlakuan R2 menunjukkan bahwa penguraian senyawa komplek menjadi sederhana
lebih banyak sehingga memungkinkan ketersediaan bahan organik yang mudah dirombak menjadi
energi juga lebih tinggi, disamping terbentuknya gas pasca fermentasi. Sebagaimana dinyatakan oleh
Winarno (1992) bahwa kadar nutrien bahan akan meningkat pasca fermentasi.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
190
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa enrichment menggunakan molases dapat
mengoptimalkan proses fermentasi bungkil biji jarak ditinjau dari seluruh kandungan nutrien pasca
fermentasi.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 2006. Official Methods of Analysis of AOAC International. 18th Edition. Published by:
AOAC International. Maryland. USA.
Bird, A.R.1999. Prebiotics: A role for dietary fibre and resistant starch. Asia Pacific J. Clin Nutr.:
1999: 8(Suppl.): S32-S36
Irawan, S. dan Utama. 2012. Komponen Proksimat pada Kombinasi Padatan Lumpur Organik Unit
Gas Bio dan Jerami Jagung yang Difermentasi dengan Berbagai Aras Isi Rumen Kerbau.
Animal Agriculture Journal. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. 1(2)
hal: 17 – 30.
Karantina, M. 2008. Aktivitas Antioksidan Kombucha dengan Variasi Jenis Gula. Eksplorasi Vol XX
No. 1. p:124-131
Makkar, HPS; G. Francis, and K. Beckers. 2008. Protein concentrate from Jatropha curcas screw-
pressed seed cake and toxic and antinutritional factors in protein concentrate. Journal of the
Science of Food and Agriculture, Volume 88, Number 9, July 2008 , pp. 1542-1548(7)
Purwadaria, T., I.P. Kompiang, J. Danna, Supriyati, dan E. Sudjatmika. 2003. Isolasi dan Penapisan
Probiotik Unggas dan Pertumbuhannya pada Berbagai Sumber Gula. Balai Penelitian Ternak.
Bogor.
Singh, S., P. Goswani, R. Singh and K.J. Heller. 2009. Application Of Molecular Identification
Lools for Lactobacillus, with a Focus on Discrimination between Closely Related Species.
Food and Technol. 42: 448- 457.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik.
Edisi kedua. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tomomatsu, H. 1994. Health Effects of Oligosaccharides.Food Technology.Oct: 61-64.
Widiyastuti, T. dan C.H. Prayitno. 2010. Manipulasi Lingkungan Mikrointestinal Menggunakan
Lectin Bungkil Biji Jarak Sebagai Media Perlekatan Bakteri Asam Laktat dalam Intestinum
Ayam. Proceeding Seminar Nasional Dies Natalis Fakultas Peternakan Unsoed 10 April2
2010. Purwokerto
Widiyastuti, T. dan M. Indradji. 2011. Kajian Complete Feed Berbahan Dasar Bungkil Biji Jarak
Terfermentasi dan Pengaruhnya Terhadap Performans Kelinci Lepas Sapih. Prosiding Seminar
Nasional Pengembangan Sumberdaya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan, Puslit
Pangan Gizi dan Kesehatan. LPPM UNSOED, 23-24 Nopember.
Widiyastuti, T., T.R. Sutardi dan M. Indradji. 2012. Optimalisasi Protein Concentrate Bungkil Biji
Jarak Melalui Kombinasi Teknik Kimiawi Dan Biologis Menggunakan Bal Serta
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
191
Pemanfaatannya Sebagai Pakan Ternak Kelinci. Laporan Penelitian Riset Unggulan Tahun ke-
1. Fakultas Peternakan UNSOED. Purwokerto
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Nutrisi. Penerbit PT Gramedia Jakarta.
Xu, Z.R., C.H. Hu, M.S. Xia, X.A. Zhan and M.Q.Wang. 2003. Effects Of Dietary
Fructooligosaccharide On Digestive Enzyme activities Intestinal Microflora and morphology of
Male Broilers. Poult. Sci. 82:1030 – 1036.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
192
PENGARUH PEMBERIAN PUPUK FOSPAT TERHADAP PRODUKSI BENIH KALOPO
(Calopogonium mucunoides Devs) PADA LAHAN MASAM
Sajimin, I.Herdiawan, E.Sutedi dan A.Fanindi
Balai Penelitian Ternak Bogor
Email : [email protected]
ABSTRAK
Kalopo (Calopogonium mucunoides) adalah termasuk tanaman pakan ternak leguminosa herba yang
berkualitas. Kalopo termasuk hijauan penting didunia peternakan dan termasuk tanaman serbaguna.
Tujuan penelitian untuk mempelajari produksi benih kalopo yang ditanam dilahan kering masam di
Sei Putih Sumatera Utara. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok pola
faktorial dengan perlakuan pupuk kandang 10 ton/ha dan 20 ton/ha serta diberi pupuk Fosfat (P)
sebagai perlakuan (P0 = kontrol, P1= Fosfat alam 180 kg/ha, P2 = Fosfat alam 360 kg/ha, P3 = TSP
110 kg/ha, P4 = Fosfat alam 220 kg/ha) dan perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Parameter yang
diamati produksi biji bernas tiap panen dipisahkan dengan brangkasannya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa produksi benih bahwa pengaruh pupuk fospat alam dengan TSp rata-rata
produksi biji lebih tinggi menggunakan pospat alam. Sedangkan pengaruh dosis 180 kg/ha pospat
alam produksi benihnya tertinggi 302,7 gram/plot kemudian diikuti dosis 360 kg/ha fospate alam
(224 gram/plot).
Kata kunci : Calopogonium mucunoides, produksi benih, fospat.
ABSTRACT
Calopo (Calopogonium mucunoides) is a perenial legumes shrubs herbaceous with superior forage
quality. It is the most important forage in the word and it was include legume multipurpose. Aims of
the study was to evaluated seed production calopo grown in acid soil at Sei Putih South Sumatera.
Treatment were arranged in randomized compled block design (RCBD) with factorial pattern.
Organic Fertilizer applied were doses 10 t/ha and 20 t/ha and combine with natural fosphat and TSP
as a treatment (P0 = control, P1= natural fosphate 180 kg/ha, P2 = natural fosphate 360 kg/ha, P3 =
TSP 110 kg/ha, P4 = natural TSp 220 kg/ha). The treatment was replicated five times. Parameter
measured were seed production and separated seed with pods. Results shows that the highest seed
production 302.7 gram/plot with fertilizer 180 kg natural fosphate and it was followed by 224
gram/plot fertilizer by 360 kg/ha natural fosphate.
Key Word : Calopogonium mucunoides, seed production, fosphate
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
193
PENDAHULUAN
Ketersediaan pakan ternak khususnya hijauan merupakan masalah yang sulit diatasi pada musim
kemarau. Lahan untuk tanaman pakan terus berkurang karena lebih diutamakan untuk tanaman
pangan dan pemukiman. Pemanfaatan lahan yang kurang subur untuk tanaman pakan menjadi sangat
penting. Ektensifikasi lahan kering masam mempunyai potensi yang besar apabila dikelola dengan
baik. Menurut Horst et al. (2006) tanah masam diperkirakan mencapai 1,7 milyard ha dan 43 %
dilahan tropis. Kemudian di Indonesia tanah masam 102,8 juta ha belum dimanfaatkan secara
optimal (Mulyani et al., 2004).
Lahan masam dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan mengakibatkan tanaman mengalami
kekeringan dengan gejala kekurangan hara yang tinggi dapat mempengaruhi palatabilitas hijauan
pakan.
Upaya peningkatan lahan masam dapat dilakukan dengan melalui budidaya tanaman pakan yang
toleran tanah masam dengan pemupukan seperti penggunaan fospat. Serapan hara P juga dipengaruhi
oleh pH, pada pH rendah tanaman toleran defisiensi P mampu menyerap P 10 kali lipat lebih tinggi
daripada pH tinggi dan kecepatan maksimum diperoleh pada pH 5.6 dan akan menurun dengan cepat
dengan semakin naiknya pH, dan P akan diserap secara aktif dalam bentuk ion H2PO4- (Sato et al.,
2009).
Selain itu penelitian hijauan pakan ternak ke arah peningkatan produktivitas biji (untuk benih) dan
peningkatan kualitasnya belum banyak dilakukan bahkan untuk pemenuhan masih import benih.
Menurut Sadjad et al. (2001) benih-benih varietas tanaman yang dikomersialkan harus memiliki mutu
genetik yang lebih baik daripada benih varietas-varietas yang sudah beredar dengan kelebihan vigor
atau keseragaman bentuk yang lebih homogen.
Penelitian teknologi produksi benih yang telah dilakukan antara lain pada Clitoria ternatea, Pueraria
javanica dan Macroptilium atropurpureum cv Siratro (Prawiradiputra et al., 2007, Prawiradiputra et
al., 2008). Hasil yang sudah dicapai sampai sejauh ini adalah diketahuinya bahwa pemupukan dengan
menggunakan N,P,K,Ca dan S nyata menghasilkan biji lebih tinggi.
Penelitian produksi dan kualitas biji Calopogonium mucunoides telah dilakukan sejak tahun 2007.
Tujuan utama dari penelitian itu adalah untuk mendapatkan benih yang murni, namun disamping itu
diambil juga data lain, seperti produktivitas dan kualitas benih. Dengan akan dilepasnya varietas C.
mucunoides diperlukan berbagai data pendukung untuk menunjukkan keunggulan calon kultivar ini
dibandingkan dengan varietas asalnya. Makalah ini menyajikan produktivitas benih kalopo pada lahan
masam untuk penyediaan benih.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian teknologi produksi benih dilakukan di kebun percobaan Loka Penelitian Kambing Potong
Sei Putih di Sumatera Utara. Luas lahan yang digunakan sekitar 5.000 m2. Petak-petak penelitian
berlokasi di lahan kering masam. Pada petak penelitian dibuat gulud berukuran lebar 1,20 m dan
panjang disesuaikan dengan kondisi lahan, yaitu 50 m sebagai gulud perlakuan dengan tiap plot
terdapat 100 tanaman.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan pupuk kandang 10 ton/ha dan
20 ton/ha serta pupuk Fosfat (P) sebagai perlakuan (P0= kontrol, P1= Fosfat alam 180 kg/ha, P2=
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
194
Fosfat alam 360 kg/ha, P3= TSP 110 kg/ha, P4= Fosfat alam 220 kg/ha) dan perlakuan diulang
sebanyak 5 kali.
Parameter yang diamati meliputi data produksi biji bernas tiap panen dipisahkan dengan
brangkasannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan produksi benih kalopo yang ditanam di lahan masam dengan pupuk fospat seperti
yang tertera pada Gambar 1
Pada Gambar 1 dan 2 terlihat selama pertumbuhan tanaman kalopo yang ditanam di lahan kering
masam dapat dipanen empat kali dengan puncak produksi pada panen kedua selanjutnya produksi
benih menurun. Penurunan produksi benih disebabkan pertumbuhan tanaman menurun dengan jumlah
daun berkurang sehingga tidak dapat membentuk biji.
Produksi yang menurun setelah puncak produksi juga dilaporkan Prawiradiputra et al. (2014) tanaman
kalopo yang ditanam di Ciawi maupun di Serang. Penurunan produksi biji menurut Murty dan Sahu
(1987) adanya kegagalan pembentukan protein disebabkan jumlah daun yang mulai berkurang.
Kemudian Galdswarthy (1996) penurunan produksi biji pada tanaman juga menurunnya indek luas
daun (ILD).
Data hasil penelitian produksi benih total yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Lolitkapo Sei Putih
seperti yang tertera pada Tabel 1 dan 2.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
195
Tabel 1. Produksi biji kalopo di Kebun Percobaan Lolitkapo Sei Putih dengan perlakuan pupuk
kandang 20 t/ha
Perlakuan Produksi benih gram/plot Persentase benih dan brangkasan
Biji Barngkasan biji Brangkasan
Tanpa pupuk (kontrol) 277,3 a 197,3 58,4 41,6
Fosfat alam 180 kg/ha 302,7 b 191,1 61,3 38,7
Fosfat alam 360 kg/ha 298,0 a 178,0 62,6 37,4
TSP 110 kg/ha 270,7 a 160,0 62,9 37,1
TSP 220 kg/ha 258,7 a 132,0 66,2 33,8
Rataan 281,5 171,7 62,3 37,7
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak beda nyata pada P<0.05
Pada Tabel 1 menujukkan bahwa pengaruh pupuk fospat alam dengan TSp rata-rata produksi biji
lebih tinggi menggunakan pospat alam. sedangkan pengaruh dosis 180 kg/ha pospat alam produksi
benihnya tertinggi 302,7 gram/plot kemudian diikuti dosis 380 kg/ha. Demikian juga pada perlakuan
pemberian TSP 110 kg/ha juga lebih tinggi dari dosis 220 kg/ha. hasil tersebut nampaknya kebutuhan
tanaman telah terpenuhi dari pemberian pupuk kandang 20 t/ha. sehingga dengan penembahan dosis
pupuk pospat tidak meningkatkan produksi benih. Hal tersebut diduga dengan pemberian pospat yang
ditingkatkan tidak meningkatkan produksi benih karena ada batas maksimum yang akan diserap oleh
tanaman. Selanjutnya dengan dosis lebih rendah pada pemberian pupuk kandang dengan pemberian
pospat alam dan TSP seperti pada Tabel 2.
Hasil kombinasi pemberian pupuk kandang dan pospat rata-rata lebih tinggi dari perlakuan kontrol
277,0 gram/plot sedangkan perlakuan pupuk kandang dan pospat mencapai 282,5 gram/plot atau
lebih tinggi 1,91 %. Hal ini juga brangkasan pada perlakuan kontrol rata-rata lebih tinggi dari
perlakuan pemberian pupuk. Nampaknya dengan pupuk yang cukup juga mempengaruhi
terbentuknya biji dalam polong dan itu terlihat dari brangkasanya yang lebih rendah.
Tabel 2. Produksi biji kalopo di Kebun Percobaan Lolitkapo Sei Putih dengan perlakuan pupuk
kandang 10 t/ha
Perlakuan Produksi benih gram/plot Persentase benih dan brangkasan
Biji Brangkasan biji Brangkasan
Tanpa pupuk (kontrol) 224,0 b 116,0 65,9 34,1
Fosfat alam 180 kg/ha 184,0 a 120,0 60,5 39,5
Fosfat alam 360 kg/ha 244,0 b 116,0 67,8 32,2
TSP 110 kg/ha 180,0 a 132,0 57,7 42.3
TSP 220 kg/ha 312,0 b 184,0 62,9 37,1
Rataan 228,8 133,6 63,0 37,0
Angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak beda nyata pada P<0.05
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
196
Pada Tabel 2 terlihat bahwa dengan pemberian pupuk kandang 10 t/ha dan diberi pospat alam rata-
rata lebih rendah dari yang diberi pupuk TSP dapat mencapai 312,0 gram/plot. Produksi tersebut
kemudian diikuti pemberian pospat alam 360 kg/ha mencapai 224 gram/plot.
Perlakuan pemberian pupuk kandang 10 t/ha dibanding perlakuan kontrol 244 gram/plot tidak banyak
berbeda dengan perlakuan lainnya dari 184,0 – 312,0 gram per plot. Pada perlakuan ini diduga lokasi
percobaan merupakan kebun produksi tanaman pakan sehingga telah dilakukan pemberian pupuk.
Selain itu tanaman yang digunakan jenis leguminosa herba yang dapat menambat nitrogen dari udara
melalui simbiose dengan bahteri Rhizobium. Sehingga nitrogen dapat dipergunakan untuk tanaman
itu sendiri dan produksi benih bisa baik dan tidak beda banyak dengan perlakuan pemberian pupuk
yang tidak beda nyata.
Jika dibandingkan perlakuan dosis dari Tabel 1 dan Tabel 2 rata-rata dengan dosis pupuk kandang 20
t/ha memberikan hasil benih yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini nampaknya pupuk kandang
berpengaruh nyata pada produksi benih daripada perlakuan pupuk pospat. Menurut Arsyad et al.
(2011) pupuk organik pada tanah dapat memperbaiki sifat tanah fisik, kimia, biologi seperti
kemasaman. Pupuk organik akan meningkatkan kemampuan tanah menyerap hara dan meningkatkan
kandungan air tanah. Air merupakan komponen penting dalam tanah yang berfungsi pelarut dan
pembawa ion hara pendistribusian kebagian tanaman.
KESIMPULAN
- Kalopo yang ditanam di lahan masam dengan pH 5,0 - 5,5 pertumbuh-annya kurang baik.
- Pengaruh pupuk fosfat alam serta TSP terhadap produksi biji pemberian pospat alam dengan
pemberian pupuk kandang 20 ton/ha lebih tinggi dari perlakuan lainnya.
- Pemberian pupuk kandang dan pospat juga menyebabkan terbentuknya biji yang lebih banyak dari
brangkasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, A.R., Y. Farni dan Ermadani. 2011. Aplikasi pupuk hijau (Calopogonium mucunoides dan
Pueraria javanica) terhadap air tanah tersedia dan hasil kedelai. J. Hidrolitan. Vol. 2(1): 31 –
39.
Horst, W.J., D.Eticha, M.Kamh, Y.Wang, A.L. Stival Da Silva and A.Stass. 2006. Identification And
Characterization Of Aluminium resistant, Phosphorus-Efficient Plant Genotypes Adapted To
Tropical Acid Soils. Institute for Plant Nutrition, University of Hannover, Hannover, Germany.
Proceeding series. Management practices for improving sustainable crop production in tropical
acid soil. IAEA.
Mulyani, A., Hikmatullah, dan H. Subagyo. 2004. Karakteristik dan potensi tanah masam lahan
kering di Indonesia. Prosiding Simposium Nasional Pendugaan Tanah Masam. Puslitanak.
Bogor. Hal 1 - 32.
Murty dan Sahu. 1987. Impact of low light stress on growth and yield of rice. Dalam: Fanindi Et al
(2013). Produksi hijauan dan benih Puero (Puraria javanica) pada taraf intensitas cahaya yang
berbeda. JITV. 18(2): 81 -87.
Prawiradiputra B.R., J.R. Hidayat, Nurhayati dan Sajimin. 2008. Pemurnian benih leguminosa pakan
Calopogonium mucunoides Desv. Laporan Penelitian Balai Penelitian Ternak.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
197
Prawiradiputra, B.R., A. Fanindi, E. Sutedi dan Sajimin. 2014. Pengaruh pupuk fospat terhadap daya
hasil benih kalopo (Calopogonium mucunoides Desv). Prosiding Seminar Teknologi
Peternakan dan Veteriner 2014. Puslitbangnak. Bogor. P : 726 – 730.
Sadjad, S., Faiza S. Suwarno dan Setia Hadi. 2001. Tiga Dekade Berindustri Benih di Indonesia.
Grasindo, Jakarta.
Sato, S., E.G.Neves, D. Solomon, B. Liang and J.Lahman. 2009. Biogenic Calcium phosphate
transformation in soils over millennial time scales. J. Soil Sediments .9: 194 – 205.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
198
EFEKTIFITAS PERBANYAKAN KULTUR TUNGGAL CENDAWAN MIKORIZA
ARBUSKULA (Gigaspora margarita, Glomus etinucatum, Acaulospora tuberculata) PADA
INANG CENTROSEMA PUBESCENS
Prihantoro I, Rachim AF, Aryanto AT dan Karti PDMH
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Email: [email protected]
ABSTRAK
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) merupakan jenis pupuk hayati yang efektif dalam
meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan mikro mineral, memperbaiki ketahanan inang dari
stress kekeringan, meningkatkan ketahanan inang dari pathogen dan menghasilkan hormone
pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan giberelin. Pemanfaatan CMA terkendala dalam penyediaan
kultur CMA berkualitas sebagai starter yang masih tergantung dengan tanaman inang dalam
produksinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur efektifitas perbanyakan kultur tunggal CMA
(Gigaspora margarita, Glomus etinucatum, Acaulospora tuberculata) pada inang Centrosema
pubescens. Penelitian didesain dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan tiga jenis
spora CMA dalam bentuk tunggal pada inang Centrosema pubescens dengan ulangan masing-masing
25. Parameter yang diamati adalah persentase keberhasilan infeksi CMA, jumlah spora dan infeksi
akar CMA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbanyakan Glomus etinucatum dan Acaulospora
tuberculata pada inang Centrosema pubescens lebih efektif dibandingkan Gigaspora margarita
(p<0,05).
Kata kunci : Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA), Gigaspora margarita, Glomus etinucatum,
Acaulospora tuberculata, starter, Centrosem apubescens
ABSTRACT
Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF), a biological fertilizer which is effective in improving the
absorption of macro and micro minerals, improve endurance host plant from drought stress and
pathogen; and produce growth hormone such as auxin, cytokinins and gibberellins. AMF utilization
constrained on provision of high quality starter culture that is still depend on it compatibility with host
plants. The aims of the study was to evaluate the effectiveness of the propagation of single culture
AMF (Gigaspora margarita, Glomus etinucatum, Acaulospora tuberculata) on Centrosema
pubescens as host plant. The research used a completely randomized design (CRD) with three types of
AMF spores in single form with 25 replications. The parameters measured were the percentage of
success AMF infection, total of AMF spores and AMF infection in host roots. The results showed that
the propagation of Glomus etinucatum and Acaulospora tuberculata on Centrosema pubescens more
effective than Gigaspora margarita (p <0.05).
Keywords: Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF), Gigaspora margarita, Glomus etinucatum,
Acaulospora tuberculata, starter, Centrosema pubescens
LATAR BELAKANG
Dominasi peternakan ruminansia di Indonesia diusahakan oleh peternakan rakyat dengan skala
kepemilikan yang relative rendah dan menetapkan sumber pakan utama berupa hijauan pakan ternak.
Status populasi ternak ruminansia, khususnya sapi potong cenderung meningkat dalam 5 tahun
terakhir. Berdasarkan data Ditjenak (2013), tingkat kenaikan populasi sapi potong sebesar 7.3% di
setiap tahunnya. Peningkatan populasi ini menuntut ketersediaan hijauan pakan yang semakin tinggi
dengan kontinuitas yang baik.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
199
Penyediaan hijauan pakan oleh peternak bersumber dari padang rumput alam, pinggir jalan, kebun
rumput maupun berintegrasi dengan pertanian perkebunan dan kehutanan. Secara umum, ketersediaan
hijauan cenderung melimpah pada musim penghujan dan kekurangan di musim kemarau sehingga
kontinuitas dan kualitas cenderung fluktuatif. Kondisi ini berkorelati pada menurunnya produktivitas
ternak. Kendala lain yang dihadapi dalam penyediaan hijauan oleh peternak adalah terbatasnya lahan
khusus untuk budidaya hijauan pakan dan tingginya alih fungsi lahan yang menyebabkan
menyusutnya produksi hijauan pakan. Selain itu, kualitas lahan/kesuburan lahan untuk budidaya
hijauan pakan relative rendah dan kurang subur sehingga produktivitas hijauan yang dihasilkan
menjadi rendah dibawah potensi genetik dari potensi HMT tersebut.
Upaya meningkatkan produktifitas lahan dalam menghasilkan HMT, menuntut teknologi pengolahan
lahan yang baik dan suplementasi pupuk hayati agar lahan tersebut memiliki tingkat produktivitas
yang tinggi. Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) merupakan salah satu mikroorganisme yang bisa
digunakan sebagai pupuk hayati untuk membantu meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas
hijauan. Tanaman yang terinfeksi hifa CMA mampu menyerap unsur hara makro-mikro mineral lebih
baik, terutama unsur P. CMA berperan juga dalam produksi enzim fosfatase yang dapat melepaskan
unsur P yang terikat unsur Al dan Fe pada lahan masam dan Ca pada lahan berkapur sehingga P akan
tersedia bagi tanaman (Rungkat 2009). CMA efektif memperbaiki ketahanan inang dari stress
kekeringan dan salinitas, meningkatkan ketahanan inang dari pathogen dan menghasilkan hormone
pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan giberelin (Imas .,1989). CMA juga berperan dalam
memperbaiki sifat fisik tanah melalui penggemburan. Menurut Wright dan Uphadhyaya (1998), CMA
menghasilkan senyawa glikoprotein dan asam organik melalui akar eksternalnya yang berguna untuk
mengikat butir-butir tanah menjadi agregat mikro. Kemudian, melalui proses mekanis oleh hifa
eksternal, agregat mikro akan membentuk agregat makro yang mudah diserap tanaman. Bolan (1991)
melaporkan bahwa kecepatan masuknya unsur P ke dalam tanaman yang terinfeksi hifa CMA dapat
mencapai enam kali lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi CMA.
Maksimalisasi penggunaan CMA yang tepat diharapkan mampu meningkatkan produktivitas lahan
dan hijauan yang ada di Indonesia. Pemanfaatan CMA terkendala dalam penyediaan kultur CMA
berkualitas sebagai starter yang masih tergantung dengan tanaman inang dalam produksinya.
Centrosema pubescens merupakan salah satu inang yang lazim digunakan sebagai inang dalam
perbanyakan kultur CMA dalam bentuk tunggal maupun kultur campuran. Lukiwati dan Supriyanto
(1995) menyatakan bahwa tanaman Centrosema pubescens dan Pueraria javanica merupakan
tanaman inang yang potensial untuk perbanyakan spora CMA. Penelitian ini bertujuan untuk
mengukur efektifitas perbanyakan kultur tunggal CMA (Gigaspora margarita, Glomus etinucatum,
Acaulospora tuberculata) pada inang Centrosema pubescens.
METODE PENELITIAN
Materi yang digunakan meliputi petri dish disposable, arloji glass, mikroskop, gelas preparat, cover
glass, tabung film, timbangan digital, spryer, spidol permanent, label, rak tanaman, lampu, bak
plastik, pinset, saringan, dan hand tally counter. Bahan yang digunakan meliputi Cendawan Mikoriza
Arbuskula (CMA) jenis Gigaspora margarita, Glomus etinucatum, Acaulospora tuberculata, zeolit,
Centrosema pubescens, aquades, alkohol 70%, sukrosa 60%, larutan KOH 10%, larutan HCl 2%,
larutan kloroks, dan larutan Staining Blue.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
200
Metode Penelitian meliputi beberapa tahapan : (1) persiapan media tanam media tanam berupa
zeolite yang dibersihkan dengan cara dicuci dikeringkan di bawah sinar matahari. Petri dish
disposable disterilisisasi dengan alkohol 70% dan diberi lubang dibagian ujung untuk tumbuhnya
tanaman inang. (2) Persiapan tanaman inang diawali dengan penyemaian benih Centrosema
pubescens. Sebelum disemai, dilakukan scarifikasi dengan larutan kloroks 100% selama 7 menit.
Tanaman yang tumbuh hingga umur 7 hari di gunakan sebagai inang dalam perbanyakan kultur
tunggal CMA. (3) Isolasi CMA tunggal dilakukan dengan metode tuang saring basah (Pacioni, 1992)
menggunakan saringan bertingkat (1000 μm, 250 μm, dan 45 μm). Dibawah mikroskop, spora CMA
diamati dan dipilih yang kondisinya baik (bulat, utuh, dan segar). Spora tunggal Gigaspora margarita,
Acaulospora tuberculata, dan Glomus etinucatum diinokulasikan pada akar Centrosema pubescens.
(4) Pemeliharaan tanaman dilakukan selama 3 bulan. Selama pemeliharaan tanaman disiram sebanyak
2 hari sekali. Pada minggu terakhir dalam masa pemeliharaan (umur 3 bulan) frekuensi penyiraman
dikurangi menjadi 3 hari sekali. Selanjutnya dilakukan pemanenen kultur tunggal mikoriza untuk di
ukur jumlah spora dan tingkat infeksinya.
Parameter yang diukur dalam penelitian ini meliputi : (1) jumlah tanaman mati, (2) jumlah tanaman
terinfeksi, (3) jumlah spora setiap tanaman dan (4) nilai infeksi CMA pada tanaman inang. Penelitian
didesain dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan tiga jenis spora CMA dalam bentuk
tunggal pada inang Centrosema pubescens dengan ulangan masing-masing 25 tanaman.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) memiliki kemampuan hidup dengan baik di rizosfer dengan
cara berasosiasi mutualisme antara tanaman dan CMA (Nuhamara 1993) dan mampu bersimbiosis
dengan baik pada sebagian besar tanaman (97%) famili tanaman. Centrosema pubescens merupakan
jenis tanaman tanaman pakan ternak kelompak leguminosa yang tahan kering, naungan dan tergenang
air (Ibrahim 1995), dengan kandungan protein kasar 23.6%, serat kasar 31.6%, abu 8.2%, lemak kasar
3.6% dan BETN 32.8% (Gohl 1981). Legum ini cocok dan potensial dijadikan tanaman inang dalam
perbanyakan CMA.
Tingkat kematian tanaman, keberhasilan infeksi CMA, jumlah spora yang berkembang dari kultur
tunggal, dan persentase infeksi CMA pada akar Centrosema pubescens disajikan pada Tabel 1, Tabel
2, Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 1 Tingkat Kematian Centrosema pubescens sebagai Tanaman Inang Kultur Tunggal CMA
Jenis CMA Kematian Tanaman (%)
Gigaspora margarita 0
Acaulospora tuberculata 4
Glomus etinucatum 52
Tabel 2 Efektivitas Infeksi CMA Kultur Tunggal dalam Menginfeksi Centrosema pubescens
Jenis CMA Tanaman Terinfeksi CMA (%)
Gigaspora margarita 12
Acaulospora tuberculata 88
Glomus etinucatum 50
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
201
Tabel 3 Tingkat Produksi Spora Kultur Tunggal CMA pada Centrosema pubescens
Jenis CMA Rataan Jumlah Spora
Gigaspora margarita 2.3 ± 0.58b
Acaulospora tuberculata 521.19 ± 238.99a
Glomus etinucatum 635.25 ± 282.29a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P
< 0.05)
Tabel 4 Tingkat Infektivitas CMA pada Centrosema pubescens
Jenis CMA Rataan Infeksi Akar (%)
Gigaspora margarita 12.303 ± 8.64b
Acaulospora tuberculata 57.703 ± 18.09a
Glomus etinucatum 51.124 ± 15.17a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P
< 0.05)
Persentase kematian tanaman terendah terdapat pada hasil inokulasi jenis CMA Gigaspora margarita
yaitu 0 %, sedangkan persentase kematian tertinggi dari inokulasi Glomus etinucatum (52 %).
Persentase infeksi CMA teringgi pada Acaulospora tuberculata yaitu 88%, yang menunjukkan bahwa
jenis CMA ini terbaik dalam menginfeksi Centrosema pubescens dalam bentuk kultur tunggal.
Inokulasi Acaulospora tuberculata dan Glomus etinucatum nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan
Gigaspora margarita terhadap jumlah spora dan tingkat infektifitas CMA pada inang Centrosema
pubescens. Hasil ini menunjukkan bahwa pengembangan kultur tunggal Glomus etinucatum dan
Acaulospora tuberculata sangat efektif menggunakan inang Centrosema pubescens.
KESIMPULAN
Perbanyakan kultur tunggal CMA (Glomus etinucatum dan Acaulospora tuberculata) pada inang
Centrosema pubescens lebih efektif dibandingkan Gigaspora margarita.
DAFTAR PUSTAKA
Bolan N.S. 1991. A critical review on the role of mycorrhizal fungi in the uptake of phosphorus by
plants. Plant Soil 134: 189−207.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2013. Populasi Ternak 2000-2013. Jakarta (ID): Badan Pusat
Statistik.
Gohl B.O. 1981. Tropical Feed: Feed Information, Summaries and Nutritive Value. Rome (IT): FAO.
Ibrahim. 1995. Daya adaptasi rumput dan legume asal CIAT (Columbia) dan CSIRO (Australia) di
Kalimantan Timur. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan 1995.
Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Imas T., R.S. Hadioetomo, A.W. Gunawan dan Y. Setiadi. 1989. Mikrobiologi Tanah II. Dirjen Dikti.
Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Lukiwati D.R. dan Supriyanto. 1995. Performance of three VAM species from India for inoculum
production in centro dan puero. International Workshop on Biotechnology and Development
Species for Industrial Timber Estates; Juni 27-29. Bogor (ID): LIPI Bogor. hlm 257-265.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
202
Nuhamara S.T. 1993. Peranan mikoriza untuk reklamasi lahan kritis. Program Pelatihan Biologi dan
Bioteknologi Mikoriza. Solo (ID): Universitas Sebelas Maret.
Pacioni G. 1992. Wet Sieving and Decanting Techniques for the Extraction of Spores of Vesicular-
Arbuscular Mycorrhizal Fungi. San Diego (US): Academic Press.
Rungkat J.A. 2009. Peranan MVA dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.
FORMAS 4: 270-276.
Wright S.F. dan Uphadhyaya A. 1998. Survey of soils for aggregate stability and glomalin, a
glycoprotein produced by hyphae of arbuscular mycorrhizal fungi. Plant Soil 198: 97−107
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
203
RESPONS PERTUMBUHAN, PRODUKSI, DAN KUALITAS RUMPUT GAJAH KATE
(Pennisetum purpureum cv. Mott) YANG DIBERI PEMUPUKAN UREA, BIO-URINE, DAN
KOMBINASINYA
I Dewa Nyoman Sudita, I Nyoman Kaca, Luh Suariani, Ni Made Yudiastar, dan I Gde Sutapa
Universitas Warmadewa-Denpasar, Bali
ABSTRAK
Upaya meningkatkan produktivitas dan kualitas hijauan pakan melalui penyediaan unsur hara yang
dibutuhkan untuk pertumbuhannya dengan memanfaatkan pupuk organik kotoran sapi sudah banyak
dilakukan. Sedangkan limbah cair (bio-urine) sapi yang banyak mengandung N yang dibutuhkan
tanaman perlu diberdayakan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh bio-urine
dibandingkan urea dan kombinasinya terhadap pertumbuhan, produksi, dan kualitas rumput gajah kate
(Pennisetum purpureum c.v. Mott). Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
terdiri dari 9 perlakuan (kontrol, urea 150 kg/Ha, urea 100 kg/Ha, bio-urine 300 l/Ha, bio-urine 450
l/Ha, dan kombinasi urea dengan bio-urine) dengan 3 ulangan (blok). Hasil penelitian menunjukkan
kombinasi pupuk urea dengan bio-urine nyata lebih baik (P<0,05) terhadap pertumbuhan dan produksi
dibandingkan hanya dengan pupuk urea saja. Semakin tinggi level kombinasi masing jenis pupuk
hasilnya semakin baik. Sedangkan pemupukan bio-urine nyata lebih baik (P<0,05) dibandingkan
dengan urea, dan berbeda tidak nyata (P>0,05) dibangkan pemupukan kombinasi. Secara kualitas sifat
fisik (bulk density, water regain capacity, dan water solubility) berbeda tidak nyata (P>0,05) diantara
perlakuan, namun pemupukan bio-urine dan kombinasinya cendrung lebih baik. Secara kualitas kimia
(kandungan protein dan serat kasar) juga berbeda tidak nyata diantara perlakuan, tetapi pemupukan
kombinasi kandungan protein cendrung paling tinggi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
penggunaan pupuk bio-urine memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pupuk urea terhadap
pertumbuhan dan produksi rumput gajah kate (Pennisetum purpureum c.v. Mott). Hasilnya akan lebih
baik kalau dikombinasikan pupuk urea dengan bio-urine.
Kata kunci : rumput gajah kate, urea, bio-urine, dan kombinasi, pertumbuhan, produksi, dan kualitas
ABSTRACT
Efforts to improve the productivity and quality of forage through the supply of nutrients needed for
growth by utilizing organic fertilizer of cow manure has been done. While the liquid waste (bio-urine)
beef that contains N needed plants need to be empowered. The purpose of this study was to determine
the effect of bio-urine compared to urea and combinations on the growth, production, and quality of
dwarf elephant grass (Pennisetum purpureum cv Mott). Research using Random Blok Design (RBD)
consisting of 9 treatments (control, urea 150 kg/ha, urea 100 kg/ha, bio-urine of 300 l/ha, bio-urine of
450 l/ha, and the combination of urea with bio-urine ) with 3 replications (blocks). The results showed
the combination of urea with bio-urine markedly better (P <0.05) on the growth and production
compared only with urea alone. The higher the level of the combination of each type of fertilizer, the
better the results. While the bio-urine fertilization markedly better (P <0.05) compared with urea, and
had no significant (P> 0.05) compared fertilization combination. In quality physical properties (bulk
density, water regain capacity and water solubility) is not significant (P> 0.05) between treatments,
but fertilization bio-urine and combinations thereof tends to be better. In quality chemical (protein and
crude fiber) is also not significant between treatments, but fertilization combination of protein content
tends to be highest. From this study it can be concluded that the use of bio-fertilizers urine gives better
results than urea fertilizer on the growth and production of dwarf elephant grass (Pennisetum
purpureum cv Mott). The result will be better if combined with urea fertilizer and bio-urine.
Keywords: dwarf elephant grass, urea, bio-urine, and the combination, growth, production, and quality
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
204
PENDAHULUAN
Setiap usaha peternakan tidak mencapai tujuan yang diharapkan tanpa menyediakan pakan secara
kontinyu, cukup dan bermutu (Wahyu. 1997). Selanjutnya Whitemen (1974) menyatakan.
tersedianya makanan ternak yang bermutu tinggi dalam jumlah yang memadai adalah salah satu
faktor yang penting dalam usaha peningkatan produksi ternak. Bagi peternak ruminansia hal ini
berarti penyediaan hijauan yang memadai, karena pakan ternak ruminansia lebih banyak berupa
hijauan dari pada konsentrat. Untuk mencapai hal tersebut telah dikembangkan beberapa hijauan
makanan ternak yang telah mengalami pengujian dan berkualitas serta produksi tinggi dari luar
negeri ke pulau Bali, salah satunya jenis rumput Gajah Kate (Panisetum purpureum cv. Mott).
Beberapa keunggulan rumput unggul baru ini sebagaimana dilaporkan Urribari ., (2003) antara lain
adalah : kandungan protein 10-15% tergantung umur panen. tanaman tahunan yang tinggi produksi.
dan tanaman rumput tropis yang tinggi nilai nutrisinya karena kandungan serat kasar yang rendah,
disamping itu pembiakan dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan polls ataupun stek. Sukria dan
Krisna (2009) menyatakan bahwa komposisi kimia bahan makanan ternak sangat beragam karena
bergantung pada varietas, kondisi tanah, pupuk, iklim, lama penyimpanan, waktu panen dan pola
tanam. Pengaruh iklim dan kondisi ekologi menurut Sajimin et.al. (2000) sangat menentukan
ketersediaan hijauan sebagai pakan ternak di suatu wilayah sehingga hijauan makanan ternak tidak
dapat tersedia sepanjang tahun.
Adanya persaingan didalam penggunaan lahan dengan tanaman pangan, maka usaha penyediaan
hijauan makanan ternak mengarah kepada pemanfaatan lahan-lahan kritis. Pemupukan adalah salah
satu cara dari intensifikasi pertanian yang perlu dilakukan untuk meningkatkan hasil dan kualitas
tanaman rumput. Pemupukan merupakan salah satu usaha untuk memperoleh pertumbuhan tanaman
rumput yang baik apabila diberikan dengan dosis dan saat yang tepat, yang lazim di berikan melalui
tanah juga dapat diberikan melalui daun.
Penggunaan pupuk anorganik (N.P.K) secara terus-menerus dan berlebihan, tidak diimbangi dengan
penggunaan pupuk organik menyebabkan tanah menjadi keras dan produktivitasnya menurun.
Pemupukan dengan pupuk anorganik secara terus-menerus akan menurunkan tingkat kesuburan tanah,
karena pupuk anorganik (N.P.K) merupakan salah satu unsur hara yang mudah tercuci, sehingga tanah
akan kekurangan unsur K yang dapat menurunkan kesuburan tanah (Dinata. 2012). Biourine
merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan ketersediaan, kecukupan, dan efisiensi serapan
hara bagi tanaman yang mengandung mikroorganisme sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk
anorganik dan meningkatkan hasil tanaman secara maksimal.
Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, maka dalam penelitian ini kami memcoba meneliti
pertumbuhan, produktivitas, dan kualitas tanaman rumput gajah kate (Pennisetum purpureum CV.
Mott) yang diberi pupuk urea, biourine dan kombinasinya. Tujuan dari penelitian adalah untuk
mengetahui perbedaan pertumbuhan, produksi, dan kualitas rumput gajah kate yang diberikan
pemupukan berbeda (urea, bio-urine, dan kombinasinya), dan apakah pemupukan bio-urin
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan urea.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
205
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Percobaan lapangan ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), yang
terdiri atas 9 perlakuan dan 3 ulangan (blok) sehingga didapatkan 27 petak percobaan. Adapun
perlakuan terdiri dari : U0BO (kontrol), U1BO (urea 100 kg/ha tanpa biourine), U2BO (urea 150 kg/ha
tanpa biourine), UOB1 (biourine 300 l/ha tanpa urea), UOB2 (biourine 450 l/ha tanpa urea), U1B1 (urea
100 kg/ha + biourine 300 l/ha), U1B2 (urea 100 kg/ha + biourine 450 l/ha), U2B1 (urea 150 kg/ha +
biourine 300 l/ha), dan U2B2 (urea 150 kg/ha + biourine 450 l/ha). Dalam setiap ulangan (blok)
dilakukan pengacakan antar perlakuan. Ukuran petak dalam setiap perlakuan 1 x 1 m, dan jarak antar
blok 1 m.
Tempat dan Waktu Penelitian
Percobaan lapangan dilakukan di Stasiun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa yang
berlokasi di daerah Tanjung Bungkak, Kelurahan Sumerta, Kota Denpasar. Analisis tanah dilokasi
dilakukan sebelum percobaan (Lampiran 1). Percobaan lapangan dilakukan pada tanggal 10 maret
2015 sampai dengan 10 mei 2015 selama 60 hari. Uji kadar bahan kering, kadar air, dan kualitas fisik
dilakukan di Laboratorium Fakultas Pertanian-Unwar, sedangkan uji kualitas kimia dilakukan di
Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian-Unud.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah bibit rumput Gajah Kate yang bersal dari BPTU
dan HPT Denpasar. Bibit ini diambil dalam bentuk stek. Pupuk yang digunakan adalah pupuk
organik biourine didapatkan dari Simantri Sangeh dengan hasil uji laboratorium di Balai Penelitian
Tanah Bogor. Urea didapatkan dari toko pertanian. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
cangkul, pita ukur, mistar, ember plastik, timbangan jongkok kapasitas 5 kg, timbangan elektik
kapasitas 5 kg, gelas ukur volume 600 ml dan 500 ml. pisau, gunting. kantong plastic, dan alat tulis.
Penanaman dan Pemupukan
Sebelum dilakukan penanaman, bibit (stek) dipilih ukuran yang sama pada setiap blok, dengan ukuran
stek 10 cm (3 buku). Setiap petak penelitian ditanam 4 stek dengan jarak 50 cm. setelah tanaman
berumur 1 minggu dilakukan pemupukan, dan sesuai dengan perlakuan maka dosis pupuk/petak yang
digunakan : U1 (10g/petak), U2 (15 g/petak), B1 (30 ml/petak), dan B2 (45 ml/petak).
Pemotongan dan Pengukuran
Setiap 1 minggu setelah pemupukan dilakukan pengukuran terhadap jumlah daun, tinggi tanaman, dan
jumlah anakan sampai waktu pemotongan. Pada umur tanaman 2 bulan (60 hari) dilakukan
pemotongan untuk mengetahui produksi berat segar/tanaman dan nisbah daun dan batang. Kemudian
diambil sampel tanaman setiap perlakuan, untuk dilakukan pengeringan dan oven 70 oC untuk
mendapatkan berat kering udara (DW). Sampel kemudian digiling untuk mengetahui bahan kering
(DM), kadar air, analisa sifat fisik (bulk/density, water regain capacity, water solubility), dan analisa
kimia (serat kasar, protein).
2.6 Analisa Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis dengan analisis sidik ragam. apabila terdapat hasil
yang berbeda nyata ( P<0.05) diantara perlakuan maka dilakukan uji jarak berganda dari Duncan
(Steel dan Torrie. 1989).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
206
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan dan Produksi Berat Segar
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi pemupukan urea dengan biourine nyata paling tinggi
(P<0,05) terhadap pertumbuhan rumput gajah kate (jumlah daun, tinggi tanaman dan jumlah anakan)
dan semakin tinggi dosis pupuk biourine dalam kombinasi semakin baik pertumbuhannya. Hal ini
menunjukkan bahwa pada pupuk bio urine disamping cukup tersedia unsure N, juga terdapat unsur
hara lain yang dibutuhkan tanaman. Dengan unsur hara yang lengkap dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman (Hakim ., 2007). Lengkapnya unsur hara yang terdapat pada pemupukan
biourine juga ditunjukkan oleh pertumbuhan tanaman nyata lebih baik (P<0,05) dibandingkan
pemupukan urea. Sutejo (1992) menyatakan bahwa unsur hara makro (N. P. K. Ca. dan Mg ) sangat
dibutuhkan untuk pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti akar, batang dan daun. dan
apa bila ketersediaan unsur hara makro dan mikro terpenuhi maka dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman.
Tabel 3.1: Pertumbuhan dan Produksi Rumput Gajah Kate (Pennisetum purpureum cv. Mott)
Perlakuan Variabel Pengamatan
Jml.daun
(helai)
Tinggi tnm.
(cm)
Jml.anakan
(bt)
Berat segar
(kg)
Berat daun
(g)
Berat
batang
(g)
U0B0 66,62h 70,30h 13,97g 0.96c 643,33a 316,67a
U1B0 97,37g 73,97fgh 17,93fg 1.07c 630,00a 356,67a
U2B0 109,37ef 76,60ef 18,90def 1.09c 653,33a 326,67a
U0B1 115,00f 72,17gh 18,70ef 1.00c 650,00a 350,00a
U0B2 123,80bcdef 92,50a 22,87abc 1.48bc 673,33a 360,00a
U1B1 110,23def 82,50cd 21,03bcdef 1.32bc 640,00a 346,67
U1B2 118,60bcdef 87,53b 21,73abcdef 1.29bc 643,33a 356,67a
U2B1 114,23cdef 82,47d 19,63cdef 1.30abc 663,33a 336,67a
U2B2 148,97a 95,17a 25,10a 1.89a 690,00a 370,00a
Keterangan : U0B0 = Kontrol (tanpa pemupukan)
U1B0 = pupuk urea 100 kg/ha, tanpa biourine
U2B0 = pupuk urea 150 kg/ha, tanpa biourine
U0B1 = tanpa urea, pupuk biourine 300 l/ha
U0B2 = tanpa urea, pupuk biourine 450 l/ha
U1B1 = urea 100 kg/ha, pupuk biourine 300 l/ha
U1B2 = urea 100 kg/ha, pupuk biourine 450 l/ha
U2B1 = urea 150 kg/ha, pupuk biourine 300 l/ha
U2B2 = urea 150 kg/ha, pupuk biourine 450 l/ha
Lebih baiknya kombinasi pemupukan biourine dengan urea terhadap pertumbuhan tanaman, terutama
terlihat dari jumlah anakan seperti terlihat pada Gambar 3.1. Dari minggu ke 3 sampai akhir penelitian
kombinasi perlakuan U2B2 selalu paling banyak, sedangkan U1B1 mulai meningkat jumlah anakan
pada minggu ke 4. Demikian pula pemupukan biourine, mulai minggu ke 5 cendrung meningkat lebih
tinggi dibandingkan pemupukan urea. Didukung pula oleh pendapat Hadinata, (2008) dalam Sutari,
(2010) yang menyatakan bahwa adanya bahan organik dalam biourine yang mampu memperbaiki
sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Lebih lanjut dikatakan bahwa biourine merupakan salah satu
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
207
alternatif untuk meningkatkan ketersediaan, kecukupan, dan efisiensi serapan hara bagi tanaman yang
mengandung mikroorganisme sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan
meningkatkan hasil tanaman secara maksimal.
Gambar 3.1: Grafik pertumbuhan jumlah anakan rumput gajah kate (Pennisetum purpureum cv. Mott)
Pada pengamatan produksi berat segar tanaman, kombinasi pemupukan urea dengan biourin
(perlakuan U2B2) nyata paling tinggi (P<0,05), hal ini erat kaitannya dengan pertumbuhannya, akan
tetapi perlakuan biourin tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dengan urea. Demikian pula pada
pengamatan nisbah berat daun dan batang tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) diantara
perlakuan, tapi cendrung pemupukan kombinasi dan biourine paling baik.
Produksi Bahan Kering
Terdapat hubungan berat segar dengan berat kering (DW) dan bahan kering (DM) tanaman, dimana
DW/segar basis dan DM/segar basis dan kadar air, kombinasi pemupukan urea dengan biourine
hasilnya lebih baik akan tetapi berbeda tidak nyata (P>0,05) (Tabel 3.2).
Tabel 3.2: Berat Kering, Bahan Kering dan Kadar Air Tanaman
Perlakuan
Variabel Pengamatan
Berat Segar ( Kg)
DW/Segar Basis
( % )
DM/DW
( % ) DM/Segar Basis ( % )
Kadar
Air
( % )
U0B0 0.96c 16.91a 94.19a 8.65a 91.35a
91.45a
91.71a
91.97a
91.77a
92.24a
91.93a
91.70a
91.72a
U1B0 1.07c 16.87a 93.33a 8.55a
U2B0 1.09c 16.29a 94.62a 8.29a
U0B1 1.00c 15.97a 94.62a 8.03a
U0B2 1.48bc 16.29a 94.84a 8.23a
U1B1 1.32bc 15.35a 94.62a 7.76a
U1B2 1.29bc 15.90a 94.62a 8.07a
U2B1 1.30abc 16.41a 93.55a 8.30a
U2B2 1.89a 15.76a 94.41a 8.28a
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
208
Hal ini menunjukkan bahwa walaupun secara prosentase bahan kering (DM) berbeda tidak nyata
(P>0,05) kemungkinan total produksi bahan keringnya berpengaruh nyata, karena berhubungan
dengan berta segar tanaman. Semua proses fisiologis tanaman dipengaruhi oleh suhu lingkungan,
sinar, air dan kesuburan tanah (Miller, 1984). Kesuburan tanah berhubungan dengan ketersediaan
unsure hara dalam tanah yang dibutuhkan oleh tanaman. Tersedianya unsure hara yang lebih banyak
dan lebih lengkap, menyebabkan meningkatnya intersepsi cahaya matahari oleh daun untuk
menghasilkan fotosintat, dan dalam perkembangan selanjutnya fotosintat ini akan ditransfer ke organ-
organ tanaman yang aktif mengadakan proses metabolisma sehingga pertumbuhan akar, batang dan
daun tanaman menjadi lebih baik dan selanjutnya akan mempengaruhi tinggi tanaman dan hasil
tanaman (Mulat, 2003). Proses fotosinteis berjalan lebih baik sehingga terbentuknya sel tanaman
lebih cepat. Sel tanaman merupakan behan dasar dalam pembentukan serat kasar, maka semakin
banyaknya terbentuknya sel semakin banyak pula serat kasarnya. Semakin tinggi serat kasar, maka
bahan kering tanaman juga semakin tinggi.
Kualitas Tanaman
Pentingnya nilai gizi hijauan dapat memiliki implikasi yang berbeda tergantung pada sistem produksi
ternak, dimana hijauan telah digunakan sebagai sumber serat untuk menjaga aktivitas rumen
(Vendramini, 2010). Wanapat . (2013) menyatakan bahwa sumber daya pakan lokal utama sangat
penting untuk pakan ruminansia terutama di daerah tropis dan daerah sub-tropis. Oleh karena itu
penyediaan bahan pakan untuk ternak tidak saja menyangkut jumlah yang tersedia, tetapi yang lebih
penting adalah kualitas. Kualitas dapat ditentukan oleh sifat bahan pakan tersebut dalam rumen seperti
bulk/density (sifat mengisi), water regain capacity (WRC) yaitu daya pegang air, dan water solubility
(WS) yaitu kelarutan. Secara kimiawi jumlah kandungan nutrient yang ada pada bahan pakan tersebut
terutama kandungan protein.
Berdasarkan data pada Tabel 3. menunjukkan bahwa kualitas fisik rumput gajah kate yang diberi
pupuk uea, biourine dan kombinasinya tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara perlakuan. Pada
pengukuran bulk density perlakuan kontrol (tanpa pemupukan cendung paling tinggi, demikian pula
pada perlakuan pupuk urea. Hal ini erat kaitannya kepadatan fisik dan pendewasaan dinding sel,
dimana perlakuan tanpa pupuk dan pemupukan urea menyebabkan terjadinya lignifikasi lebih cepat
akibat kurangnya unsure hara lain yang dibutuhkan ternak. Reksohadiprodjo (1996) menyatakan
bahwa pendewasaan dinding sel tanaman melibatkan penebalan lapisan sekunder bersamaan dengan
terjadinya lignifikasi, dan penebalan dinding terjadi diruang intraseluler sehingga berakibat kenaikan
kepadatan dinding dengan kedewasaan fisiologik. Volume fisik suatu tanaman merupakan sifat
struktural yang membangun isi sel. Bila bahan terlarut dan isi sel diambil dinding sel yang berongga
tetapi diisi oleh gas atau air, akibatnya kepadatan absolut struktur dinding menjadi hanya sedikit
bermakna dan sebaliknya vulume bulk dan kapasitas hidrasinya akan menentukan volume efektif
dalam rumen (Van Soest, 1994).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
209
Tabel 3.3 : Sifat Fisik dan Sifat Kimia Rumpu Gajah Kate (Pennisetum purpureum cv. Mott)
Perlakuan Sifat Fisik Sifat Kimia
Bulk density
(g/ml)
WRC
(ml/g)
WS
(%)
Serat Kasar
(%)
Protein
(%)
U0B0 253.31a 6.39a 22.0a 39,31a 10,35b
U1B0 240.89a 6.91a 21.0a 37,32a 12,08a
U2B0 252.59a 6.08a 20.7a 35,98a 12,61a
U0B1 243.67a 6.38a 25.7a 37,28a 11,96a
U0B2 232.10a 6.24a 24.3a 37,22a 12,93a
U1B1 243.19a 6.87a 21.3a 37,02a 12,54a
U1B2 249.22a 5.77a 27.0a 37,95a 12,98a
U2B1 237.41a 6.44a 24.7a 37,99a 12,68a
U2B2 234.27a 6.37a 23.3a 35,16a 13,95a
Apabila bulk density dikaitkan dengan kelarutan (solubility), maka cendrung perlakuan control (tanpa
pupuk) dan pemupukan urea paling rendah. Hal ini berkaitan dengan kepadatan dinding sel dan proses
lignifikasi yang menyebabkan terhambatnya daya larut bahan tersebut. Reksohadiprodjo (1996)
menyatakan bahwa fraksi dinding sel merupakan kontributor paling utama yang bermakna terhadap
hidrasi karena fraksi tersebut paling lamban mengalami pencernaan dan lintasannya juga paling
lambat serta mengandung komponen yang tak tercerna yang akan lolos menjadi faeces.
Hasil analisa kimia (serat kasar dan protein) menunjukkan tidak terjadi perbedaan (P>0,5) diantara
perlakuan, akan tetapi pada pengamatan kandungan protein perlakuan control (tanpa pupuk) nyata
paling rendah (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pupuk cair biourine mampu
meningkatkan kualitas rumput gajah kate (Pennisetum purpureum cv. Mott). Supardi (2001)
menyatakan pupuk organik cair dapat memberikan kebutuhan nutrisi pada tanaman terutama unsur
hara makro (N, P, K, S, Ca, Mg), zat pengatur tumbuh serta mikroorganisme tanah yang sangat
diperlukan oleh berbagai jenis tanaman. Biourine merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan
ketersediaan, kecukupan, dan efisiensi serapan hara bagi tanaman yang mengandung mikroorganisme
sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan meningkatkan hasil tanaman secara
maksimal (Dinata, 2012). Data penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan pupuk biourine
memberikan hasil yang sama terhadap kandungan proteinnya, dan hasil yang cendrung paling baik
kalau kombinasi pupuk urea dengan biourine.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Penggunaan pupuk organik biourine memberikan hasil yang lebih baik pada pertumbuhan dan
produksi berat segar rumput gajah kate (Pennisetum purpureum cv. Mott) dibandingkan
pemupukan urea, dan peling baik dikombinasikan pemupukan urea dengan biourine.
2. Lebih baiknya pertumbuhan dan produksi perlakuan biourine, tidak membeikan pengaruh nyata
(P>0,05) terhadap prosentase berat kering, bahan kering dan kualitas (fisik maupun kimia), akan
tetapi cendrung pemupukan biourine kasilnya lebih baik.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
210
DAFTAR PUSTAKA
Dinata. A. 2012. Hubungan Pupuk Kandang dan NPK terhadap Bakteri Azotobacter dan Azospirillum
dalam Tanah serta peran Gulma untuk Membantu Kesuburan Tanah. http://marco 58
dinata.blogspot.com /2012/10/hubungan – pupuk-kandang- dan-npk-terhadap.html.Tanggal
akses 17 Juni 2013.
Hakim. N. M. Y. Nyakpa. A.M. Lubis. S.G. Nugroho. M.A. Diha. G.B. Hong. dan H.H. Bailey.
2007. Dasar – dasar Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.
Miller, D.A. 1984. Forage Crops. Mc.Graw-Hill, Inc. United States of America
Mulat.T.S.P. 2003. Membuat dan Memanfaatkan Pupuk Organik Berkualitas. Agromedia Pustaka.
Jakarta 75 hal
Reksohadiprodjo, S. 1996. Serat dan Sifat Menciri Fisiokimia Hijauan Pakan. Kursus Singkat
Teknik Evaluasi Pakan Ruminansia. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada.
Sajimin. 2000. Pengaruh Iklim dan Kondisi Ekologi terhadap Ketersediaan Hijauan Pakan Ternak.
Steel. R.G.D. and J.H. Torrie. 1989. principles and procedures of statistic.2nd Ed. McGraw-Hill
International Book Co. London
Sukira, Krisna dan Wanapat (2009). Komposisi Kimia Bahan Makanan Ternak.
Supardi, A. 2001. Aplikasi Pupuk Cair hasil Fermentasi Kotoran Padat Kambing Terhadap
Pertumbuhan Tanaman Sawi (Brassica Junceal)”.Skripsi Surakarta:FKIP UMS.
Sutari. N. W. S. 2010. Pengujian Kualitas Biourine Hasil Fermentasi dengan Mikroba yang Berasal
dari Bahan Tanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi Hijau (Brassica juncea
L.). Tesis. Program Studi Bioteknologi Pertanian. Program Pasca sarjana. Fakultas Pertanian.
Universitas Udayana. Denpasar..
Sutedjo. M. M. 1992. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Ciptaan. Jakarta.
Urribari. L.. A. Ferrer. and A. Collina. 2003. Leaf protein from ammonia treated dwarf elephant grass
(Pennisetum purpureum Schum cv Mott). Journal of Applied Biochemistry and Biotechnology.
Humana Press Inc. Vo. 122. No. 1-3. p: 721-730
Wahyu. S. 1997. Produksi dan nilai nutrisi rumput gajah (Pennisetum purpureum CV. Mott) yang
diberi dosis pupuk N. P. K berbeda pada lahan kritis Tambang Batubara. Artikel. Program Studi
Ilmu Peternakan Pascasarjana Universitas Andalas Padang.
Wanapat, M., Kang,S. and Polyorach,S. 2013. Development of feeding syatem and strategies of
supplementation to enhance rumen fermentation and ruminant production in the tropic. Journal
of Animal Science and Biotecnology. http://www.jasbsci.com/content/4/1/32. Accepted : 21
Agustus 2013.
Whiteman, P.C. 1974. The Environment and Pasture Science.A.V.C.C.Watson Ferguson and Co. Ltd.
Brisbane.
Van Soest, P.J. 2006. Rice straw, the role of silica and treatments to improve quality. Journal Animal
Feed Science and Technology. Elsevier Vol. 130, p.137-171.
http://dx.doi.org/10.1016/j.anifeedsci.2006.01.023
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
211
POTENSI PENGEMBANGAN PASTURA PADA LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH DI
KABUPATEN BELITUNG TIMUR PROVINSI BANGKA BELITUNG
Karti P.D.M.H., Iwan P. dan Novita C.R.
Fakultas Peternakan IPB.Peternakan
Email : [email protected]
ABSTRAK
Kegiatan penambangan timah menimbulkan efek terhadap lingkungan seperti peningkatan fraksi
pasir, penurunan kandungan unsur hara, penurunan kesuburan tanah dan pencemaran logam berat.
Kondisi ini menghambat pertumbuhan tanaman, sedangkan lahan ini akan dikembangkan untuk
pembangunan pastura. Penggunaan fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat membantu pengembalian
kondisi lahan marginal. Tujuan penelitian ini yaitu mengukur tingkat keamanan penggunaan lahan,
kesuburan tanah dan mendapatkan spora FMA yang teradaptasi dengan lingkungan lahan pasca
tambang timah. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 5 perlakuan dan 3
ulangan. Perlakuan yang digunakan yaitu perbedaan jenis tanaman (rumput sp1, rumput sp2, rumput
sp3, gulma sp1, dan gulma sp2). Parameter yang diamati yaitu kesuburan tanah, kadar nutrisi dan
logam berat timah di jaringan tanaman, jumlah spora, persentase infeksi akar dan identifikasi spora.
Hasil menunjukkan lahan pasca tambang tidak tercemar timah sehingga aman untuk dikembangkan
menjadi pastura, akan tetapi kadar Protein kasar, Phosfor pada tanaman rendah. Kandungan unsur
hara makro (N,P,K, Ca, Mg) sangat rendah, Kapasitas Tukar kation dan Kejenuhan basa rendah,
Spora sudah banyak ditemukan di lahan pasca tambang timah terdiri dari 4 Genus yaitu Glomus (5
spesies), Acaulospora (2 spesies), Gigaspora dan Entropospora, dengan persentase infeksi akar yang
tinggi diatas 80 %. Glomus sp merupakan genus spora dominan dan terbukti berpotensi untuk
dikembangkan sebagai inokulum.
Kata kunci : Pastura, Lahan pasca tambang Timah, Fungi Mikoriza Arbuskula
ABSTRACT Tin mining activity caused the effect for environmental such as increased sand fraction, decreased
nutrient content, decreased soil fertility and heavy metal pollution. These conditions inhibit the plant
growth, while the land will be build the pasture. The use of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) can
returned the conditions of marginal land. The aim of this research was to measure the safe level of
land use, soil fertility and get the spores which are adapted to the environment post tin mining. This
research used Completely Randomized Design with 5 treatments and 3 replications. The treatment are
grass sp1, grass sp2, grass sp3, weed sp 1, and weed sp 2. Parameters observed that soil fertility,
nutrient and heavy metal content of tin in the plant shoot, the amount of spores, percentage of root
infection, and spores identification. The result showed that post tin-mining land safe for the pasture
because it was not content the tin in the shoot of plant, but the crude protein levels, phosphorus in the
shoot of plants were low. The content of macro nutrients in the soil (N, P, K, Ca, Mg) were very low,
presentage of cation exchange capacity and base saturation were low. Spores have been found in post
tin mining land consists of 4 Genus namely Glomus (5 species), Acaulospora (2 species), Gigaspora
and Entropospora, with a high percentage of root infection above 80%. Glomus sp was the dominant
genus with a high number of and proven potential to be developed as an inoculum.
Key words : Pasture, Post Tin Mining, Arbuscular Mycorrhizal Fungi
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
212
PENDAHULUAN
Provinsi Bangka Belitung merupakan provinsi penghasil timah. Luas lahan pasca tambang timah di
Bangka Belitung mencapai 400.000 ha yang terdiri dari 65% lahan tandus dan 35% dalam bentuk
telaga (Sitorus ., 2008). Lahan tersebut didominasi oleh tailing, overburden, dan kolong/telaga
(Tjahyana dan Ferry 2011). Setiadi (2006) menyatakan bahwa kondisi lahan pasca tambang
mengalami perubahan seperti gangguan terhadap vegetasi, hewan dan tanah. Beberapa tanaman
seperti rumput lokal ditemukan pada areal pasca tambang timah. Hal tersebut diduga adanya bantuan
dari agen pembenah tanah untuk membantu pertumbuhannya. Salah satu agen pembenah tanah
tersebut adalah Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) karena FMA dapat beradaptasi di pasir. Fungi
Mikoriza Arbuskula adalah bentuk hubungan simbiosis mutualisme fungi dengan perakaran tanaman.
Asosiasi simbiosis antara akar tanaman dengan jamur mikoriza membentuk luas serapan yang lebih
besar dan mampu masuk ke ruang pori yang lebih kecil sehingga meningkatkan kemampuan tanaman
untuk menyerap unsur hara seperti P, N, K, Ca dan Mg (Karti, 2004). Penggunaan Fungi Mikoriza
Arbuskula (FMA) dapat membantu pengembalian kondisi lahan marginal. Tujuan penelitian ini yaitu
mengukur tingkat keamanan penggunaan lahan, kesuburan tanah dan mendapatkan spora FMA yang
teradaptasi dengan lingkungan lahan pasca tambang timah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di lahan pasca tambang timah di Desa Lenggang, Kabupaten Belitung Timur,
Provinsi Bangka Belitung. Sampel tanah dan akar diambil dari beberapa titik lokasi penelitian yang
ditumbuhi jenis tanaman dominan. Tanaman dominan tersebut yaitu beberapa tanaman yang termasuk
ke dalam golongan rumput dan gulma. Bahan yang digunakan meliputi sampel tanah, akar dan
tanaman yang diambil dari beberapa titik lokasi penelitian yang ditumbuhi jenis tanaman dominan.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 3
ulangan. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : P1 : jenis rumput sp1. P2 : jenis
rumput sp2. P3 : jenis rumput sp3. P4 : Melastoma malabathricum P5 : Imperata cylindrical.
Parameter yang diamati yaitu kesuburan tanah, kadar nutrisi dan logam berat timah di jaringan
tanaman, jumlah spora, persentase infeksi akar dan identifikasi spora. Data yang diperoleh dari
penelitian dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan
(Steel dan Torrie 1993). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis Protein kasar, P dan Sn (timah) pada jaringan tanaman yang tumbuh pada lahan pasca
tambang timah dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis pada jaringan tanaman menunjukkan kadar
protein kasar yang rendah dibawah 7 %. Untuk kadar fosfor jaringan juga menunjukkan kadar yang
rendah, sedangkan kadar timah (Sn) tidak terdeteksi ini berarti lahan pasca tambang timah ini aman
dikembangkan menjadi pastura.
Tabel 1. Hasil Analisis Protein Kasar, P (fosfor) dan Sn (Timah) pada Jaringan Tanaman
Jenis Tanaman Protein Kasar (%) P (%) Sn (ppm)
Rumput sp1. 5.56±0.13 0.06±0.03 Td
Rumput sp2. 5.25±0.16 0.12±0.06 Td
Rumput sp3. 5.25±0.29 0.03±0.02 Td
Melastoma 6.63±0.06 0.06±0.02 Td
Alang-alang 4.06±0.03 0.05±0.01 Td Sumber : Hasil analisis di Balai Penelitian Tanah, Bogor
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
213
Hasil analisis tanah pada lahan pasca tambang timah dapat di lihat pada Tabel 2. Tekstur tanah pada
lahan tersebut di dominasi dengan pasir. pH tanah tesebut menunjukkan kriteria masam. Kadar C
organik dan unsur hara makro seperti N, P, K, Ca dan Mg yang sangat rendah. Kapasitas tukar kation
(KTK) yang sangat rendah. Kadar Al yang rendah, begitupula kadar Zn, Mn dan Cu, akan tetapi kadar
Fe yang sangat tinggi. Kadar timah (Sn) pada lahan tersebut tidak terdeteksi hal ini menunjukkan
kadar Sn yang sangat rendah, sehingga lahan tidak membahayakan untuk dijadikan kawasan pastura.
Kesuburan tanah pada lahan pasca tambang timah termasuk kategori rendah dan termasuk kedalam
lahan suboptimal.
Tabel 2. Hasil Analisis Tanah di bawah Tegakan Rumput, Melastoma dan Alang-Alang
Analisis Tanah
Jenis Tanaman
Rumput
sp1.
Rumput
sp2.
Rumput
sp3. Melastoma
Alang-
alang
Standar
rendah
Tektur (%)
Pasir/Debu/Liat 84/9/7 89/4/7 92/2/6 87/6/7 90/2/8
Tanah
berpasir
pH 5.5 5.4 5.4 5.4 4.5 4.5-5.5
C (%) 0.18 (sr) 0.22(sr) 0.14(sr) 0.11(sr) 0.47(sr) 1.00-2.00
N (%) 0.02(sr) 0.03(sr) 0.02(sr) 0.01(sr) 0.05(sr) 0.10-0.20
C/N 9(r) 9(r) 9(r) 9(r) 9(r) 5-10
P₂O₅ (ppm) 5.9(sr) 20.1(s) 18.6(s) 4.7(sr) 6.6(sr) 10-15
K₂O (ppm) 32(s) 20(r) 13(sr) 25(s) 40(s) 10-20
Ca(cmol/kg) 0.48(sr) 0.26(sr) 0.27(sr) 0.45(sr) 0.74(sr) 2-5
Mg(cmol/kg) 0.15(sr) 0.08(sr) 0.13(sr) 0.10(sr) 0.15(sr) 0.4-1.0
K(cmol/kg) 0.06(sr) 0.04(sr) 0.02(sr) 0.05(sr) 0.08(sr) 0.1-0.2
Na(cmol/kg) 0.02(sr) 0.06(sr) 0.05(sr) 0.02(sr) 0.05(sr) 0.1-0.2
KTK(cmol/kg) 2.04(sr) 1.93(sr) 1.57(sr) 1.73(sr) 2.39(sr) 5-16
KB (%) 35(s) 23(r) 30(r) 36(s) 43(s) 20-30
Al3⁺ (cmol/kg) 0.10(sr) 0.22(sr) 0.04(sr) 0.12(sr) 0.40(sr) 10-20
Fe (ppm) 318(st) 225(st) 165(st) 338(st) 554(st) <2
Mn (ppm) 0.60(sr) 1.05(sr) 2.20(sr) 0.25(sr) 0.90(sr) <9
Cu (ppm) 0.60(sr) 0.25(sr) 0.10(sr) 0.05(sr) 0.90(sr) <2
Zn (ppm) 0.05(sr) 2.36(t) 19.73(t) 3.20(t) 13.37(t) <0.6
Sn (ppm) Td Td td td td Sumber: Hasil Analisis di Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Dari Tabel 3 menunjukkan Jumlah spora disetiap tanaman memberikan hasil yang tidak signifikan
(P>0.05), hal ini membuktikan bahwa tidak ada perbedaan respon tanaman yang mendasar terhadap
jumlah spora karena secara umum tanaman yang tumbuh pada tailing timah membutuhkan FMA
sebagai pupuk hayati untuk membantu pertumbuhannya. Pertumbuhan dan produksi rumput dibantu
oleh keberadaan spora FMA karena FMA dapat beradaptasi, berasosiasi dan mempunyai tingkat
efektifitas yang tinggi (Karti, 2003). Jumlah spora dihitung untuk mengetahui kemampuan FMA
berkembang biak pada kondisi lahan dan tanaman lokal yang ada. Spora yang dihasilkan per 50 gram
tanah berjumlah sedikit (2-14). Hal ini diduga karena sudah banyak spora yang rusak (tidak bulat
utuh, kisut, dan hilangya lipid droplet). Dari Tabel 3 terlihat bahwa tanaman inang rumput sp2, sp3
dan gulma dari Melastoma dan alang-alang menunjukkan infeksi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan rumput sp.1. Jumlah infeksi yang tinggi menunjukkan bahwa tanaman memerlukan FMA
untuk dapat tumbuh dengan baik di lahan pasca tambang timah.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
214
Tabel 3. Rataan Jumlah Spora dan Persentase Infeksi Akar Pada Beberapa Jenis Tanaman Dominan
Di Lahan Pasca Tambang Timah Di Bangka Belitung
Jenis Tanaman Jumlah Spora(1) Infeksi Akar (%)(2)
Rumput sp1. 14±7.57 40±24.02b
Rumput sp2. 13±15.89 89±4.99a
Rumput sp3. 4±4.73 89±5.06a
Melastoma 2±2.08 98±2.02a
Alang-alang 3±4.62 95±5.63a Sumber: Hasil Analisis di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, PPSHB, IPB(1) dan
Laboratorium Agrostologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
IPB(2).
Identifikasi spora FMA dibatasi hingga tingkat genus. Genus yang ditemukan yaitu Entropospora,
Acaulospora, Gigaspora, dan Glomus. Spora dengan genus Glomus, Acaulospora, dan Gigaspora
merupakan genus yang teruji efektif dan mampu berkembang baik pada lahan revegetasi. Genus
dominan yang ditemukan pada lahan tailing timah ini yaitu Glomus. Hal ini didukung oleh penelitian
Nurtjahya . (2007) yang mengatakan bahwa di areal lahan tailing timah genus Glomus mencapai 44-
95%. Gigaspora yang ditemukan pada pengamatan yaitu berukuran >200μm, berwarna kuning, dan
terdapat boulbussuspensor yang ada pada bagian bawah specimen spora. Tanah berpasir sesuai untuk
perkembangan spora Gigaspora yang berukuran lebih besar dari pada spora Glomus (Budi . 2011).
Jenis Acaulospora sp1yang ditemukan memiliki ciri berukuran kecil (<100μm), berwarna bening,
lapisan germinal wall terpisah dari spore wall maupun cycatrix sedangkan pada jenis Acaulospora sp2
ditemukan spora yang berukuran >100μm, berwarna kuning, dan memiliki ornamen seperti kulit jeruk
pada lapisan spore wall. Jenis Entropospora spp. ditemukan dengan pada rumput sp1yang memiliki
ciri berukuran kecil >100μm, berwarna kekuningan, dan berkantung (saccule) dengan saccule
terdapat pada sisi yang berlawanan dari hyphae attachment.
Akar tanaman yang tidak terinfeksi oleh FMA memiliki warna yang terang dan sel-sel didalamnya
kosong, sedangkan akar tanaman yang terinfeksi sel-sel di dalamnya terisi oleh hifa, arbuskula,
vesikula dan spora internal. Hifa adalah salah satu struktur yang dihasilkan oleh FMA berupa benang-
benang halus. Diameter hifa FMA lebih kecil daripada akar tanaman dan hifa eksternal FMA dapat
mencapai 1-20 m per gram tanah. (Sylvia, 2005). Arbuskula adalah struktur yang bercabang banyak
seperti pohon dan letaknya didalam sel. Fungsinya sebagai pemindahan nutrisi antara FMA dan
tanaman inang. Vesikula merupakan struktur yang dibentuk dari hifa utama yang menggelembung
dengan bentuk seperti kantung atau bulat yang terdapat didalam atau diruang antar sel, berfungsi
sebagai tempan penyimpanan cadangan makanan (Smith dan Read, 1997).
KESIMPULAN
Lahan pasca tambang timah berpotensi dikembangkan menjadi kawasan pastura. Kesuburan tanah
pada lahan pasca tambang timah termasuk kategori rendah dan termasuk kedalam lahan suboptimal.
Empat genus FMA lokal yang terdapat pada areal lahan pasca tambang timah yaitu Glomus sp,
Acaulospora sp, Gigaspora sp dan Entropospora sp dengan dominasi spora genus Glomus. Keempat
genus spora ini sudah teradaptasi padalahan pasca timah dapat digunakan sebagai inokulum.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
215
UCAPAN TERIMA KASIH
Mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset
Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Hibah Kompetensi tahun 2015 dan
Kerjasama Pemanfaatan ex Tambang Timah di Provinsi Bangka Belitung tahun 2015 dari Direktorat
Pakan, Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Budi H, M Gulamadi, LK Darusman, SA Aziz dan I Mansur. 2011. Keanekaragaman Fungi Mikoriza
Arbuskula (FMA) Pada Rizosfer Tanaman Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban). Jurnal Litri
17(1): 32-40.
Karti PDMH. 2003. Respon Morfofisiologi Rumput Toleran dan Peka Aluminium terhadap
Penambahan Mikoorganisme dan Pembenahan Tanah. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Karti, P.D.M.H. 2004. Pengaruh Pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskula terhadap pertumbuhan
dan Produksi Rumput Setaria splendida Stapf yang Mengalami Cekaman Kekeringan.
Med.Pet. 27(2) : 63-68.
Nurtjahya E, Setiadi D, Guhardja E, Muhadiono, Setiadi Y dan Mardatin NF. 2007. Status Fungi
Mikoriza Arbusukla (FMA) pada suksesi lahan pasca tambang timah di Bangka. Prosiding
Seminar Nasional Mikoriza II. 151- 159.
Setiadi Y. 2006. The Revegetation Strategies for Rehabilitating Degraded Land after Mine Operation.
www.mm.helsinki.
Sitorus SKP, Kusumastuti E dan Badri LM. 2008. Karakteristik dan Teknik Rehabilitasi Lahan Pasca
Penambangan Timah di Pulau Bangka dan Singkep. Jurnal Tanah dan Iklim. No. 27. 2008: 57-
73.
Sylvia DM. 2005. Mycorrhizal symbioses. p. 263-282. In Principle and Applications of Soil
Microbiology. 2nd Edition. New Jersey (US): Pearson Prentice Hall, Upper Saddle River.
Smith, S. E. and D. J. Read. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press, UK.
Tjahyana BE dan Ferry Y. 2011. Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah dengan Tanaman Karet
(Hevea brasiliensis). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Perkebunan. Hal. 117-123.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
216
PROGRAM PENGEMBANGAN KLASTER SAPI POTONG: POLA PEMELIHARAAN
DAN PENYEDIAAN LAHAN TUMBUHAN PAKAN
Akhmad Sodiq, Pambudi Yuwono dan Novie Andri Setianto
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman
Email: [email protected]
ABSTRAK
Program klaster sapi potong dirancang untuk peningkatan populasi sapi potong dan mendukung
program nasional Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS). Implementasi program
pengembangan klaster sapi potong pada Kelompok Tani Ternak Sapi Potong (KTTSP) ditentukan
oleh pola pemeliharaan dan kondisi agroekoistem setempat. Tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan pola pemeliharaan dan penyediaan lahan yang dialokasikan untuk tumbuhan pakan.
Pola yang diterapkan meliputi (i) penggemukan 4 KTTSP, (ii) pembiakan 2 KTTSP, dan (iii)
kombinasi pembiakan dan pembesaran satu KTTSP. Rataan nilai penguasaan lahan (score) dan rasio
lahan tumbuhan pakan dengan populasi sapi (%) pada pola penggemukan cenderung memiliki nilai
lebih rendah (score 8; rasio 2,22%) dibandingkan pada pola pembiakan (score 9,5; rasio 9,12%) dan
pola kombinasi pembesaran dan pembiakan (score 9; rasio 7,56%).
Kata kunci: Sapi potong, pola pemeliharaan, lahan, hijauan pakan
ABSTRACT
The beef cattle cluster program designed for the increasing beef cattle population and to support the
national program of Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS). The implementation
for beef cattle cluster development program depend on the raising type and agroecological condition.
The objectives of this study was to describe the beef cattle raising type and land allocation for forage
production. Beef cattle raising type were (i) fattening type on 4 farmer groups, (ii) cow calf operation
type on 2 farmer groups , and (iii) combination type of cow calf operation and maturing type on 1
farmer group. This study found that average of land tenure (score) and the ration between land
allocation and animal unit population (%) in fattening type tend to lower (score 8; ratio 2.22%) than
in cow calf operation type (score 9.5; ratio 9.12%) and combination type of cow calf operation and
maturing beef cattle (score 9; ratio 7.56%).
Keywords: Beef cattle, raising type, land, forage
PENDAHULUAN
Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional termasuk swasembada daging sapi terus dilakukan
melalui berbagai program dan kegiatan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian telah melakukan Program Perceptan Pencapaian Swasembada Daging Sapi
(P2SDS) dan pada periode tersebut menjadi agenda prioritas pembangunan peternakan nasional.
Peningkatan ketersedian daging sapi domestik sebesar 90 persen menjadi target utama program
tersebut. Dukungan institusi lain seperti Bank Indonesia juga melakukan kegiatan sinergi untuk
mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan hewani secara berkelanjutan. Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Purwokerto melalui kerjasama dengan Universitas Jenderal Soedirman bersama
pemerintah kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara mengembangkan klaster
sapi potong.
Program pengembangan klaster sapi potong merupakan kegiatan yang dirancang multi tahun (tiga
tahun) dengan tujuan jangka panjang antara lain sebagai berikut (i) peningkatan populasi sapi potong
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
217
di wilayah klaster sebagai sumber daging sapi domestik, (ii) peningkatan jumlah UKM peternakan
sapi potong untuk tujuan penghasil pedet, (iii) peningkatan jumlah UKM peternakan sapi potong
untuk tujuan penggemukan, (iv) peningkatan skala usaha dan pendapatan UKM peternakan sapi
potong (Sodiq dkk., 2014). Untuk mewujudkan tujuan jangka panjang, secara bertahap dilakukan
pembinaan yang ditujukan kepada penguatan kelembagaan kelompok tani ternak sapi potong , alih
teknologi peternakan mencakup aspek breeding, feeding, management, serta penguatan modal dan
skala usaha melalui akses pembiayaan perbankan dan jalinan kerjasama dengan investor.
Implementasi program pengembangan klaster sapi potong di masing-masing wilayah ditentukan oleh
pola pemeliharaan dan kondisi agroekoistem setempat. Untuk keberhasilan program pengembangan
kawasan sapi potong diperlukan evaluasi terhadap komponen kawasan diantaranya adalah lahan dan
pakan (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2003). Tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan pola pemeliharaan dan penyediaan lahan tanaman yang dialokasikan untuk
tumbuhan hijauan pakan ternak yang diimplementasikan oleh peserta program pengembangan klaster
sapi potong.
METODE PENELITIAN
Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan lapang dan wawancara pada Kelompok Tani
Ternak Sapi Potong (KTTSP) yang menjadi peserta program pengembangan klaster sapi potong, yaitu
(i) KTTSP Lembu Sari Kecamatan Gandrungmangu Kabupaten Cilacap berserta Sub Kelompok, (ii)
KTTSP Mugi Barokah Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap, (iii) KTTSP Sari Widodo dan KTTSP
Tunas Sari Widodo Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara, (iv) KTTSP Ngudi Kamulyan
Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara, (v) KTTSP Lembu Makmur Kabupaten Banjarnegara.
Penilaian lahan mencakup dua kriteria yaitu penguasaan lahan dengan kategori <0,25Ha, 0,25-
1,25Ha, >1,25Ha, dan alokasi untuk Hijauan Makanan Ternak (Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan, 2003). Diterapkan analisis deskriptip kualitatip dan kuantitatip terhadap data pola
pemeliharaan dan penyediaan lahan untuk tumbuhan pakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola pemeliharaan sapi potong pada peserta klaster sapi potong dapat diklasifikasikan menjadi tiga
(Tabel 1) yaitu pola pembiakan yang didominasi oleh bangsa sapi Peranakan Ongole, pola
penggemukan yang didominasi oleh bangsa sapi Simental dan Limousine, dan pola pembiakan dan
pembesaran. Bangsa sapi Bali dan Madura dipelihara oleh KTTSP Lembsari beserta sub kelompok
utamanya untuk tujuan pasar pada Hari Raya I’dul Qurban. Sodiq dan Budiono (2012) melaporkan
dua pola pengembangan sapi potong di wilayah kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga dan
Banjarnegara yaitu Cow-Calf-Operation dan fattening.
Pada pola usaha pembiakan sapi potong kecenderungan diperlukan lahan relatip luas untuk tanaman
pakan ternak, dibandingkan pada pola usaha penggemukan. KTTSP Ngudi Kamulyan kabupaten
Banjarnegara memiliki lahan hijauan pakan ternak 7,4 Ha untuk memelihara populasi 82 Satuan
Ternak (ST), sedangkan KTTSP Sukamaju hanya memiliki lahan hijuan 2,8 Ha dengan populasi sai
potong 254 ST (Tabel 1). Rasio luasan lahan untuk hijauan pakan ternak dengan populasi sapi potong
tertinggi pada pola pembiakan, diikuti pola pembiakan dan pembesaran yaitu pada KTTSP Mugi
Barokah (9,84) dan KTTSP Ngudi Kamulyan (8,41) serta KTTSP Sari Widodo (7,56). Skor
penguasaaan lahan tertinggi (10) pada KTTSP Ngudi Kamulyan dengan penguasaan lahan 26,2 Ha.
Lahan tersebut, sebagian besar adalah milik pribadi peternak dan sebagian kecil adalah lahan bersama
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
218
yang disewa oleh kelompok. Sebagian besar tanaman yang dibudidayakan adalah rumput Odot dan
Raja.
Pola penggemukan sapi potong pada KTTSP Lembusari Sub Kelompok Sukamaju dilakukan dalam
rentang waktu 3-6 bulan dengan pemberian pakan konsentrat (5-8 kg/ekor/hari) untuk bobot hidup
600-1000kg. Amoniasi jerami padi diberikan untuk sapi potong dengan penambahan molases
dicampurkan pada air minum. Untuk efisiensi biaya pakan, optimalisasi sumber daya lokal melalui
penerapan Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) dan Crop Livestock System (CLS)
sangat direkomendasikan.
Tabel 1. Pola pemeliharaan dan populasi sapi potong serta alokasi lahan untuk tumbuhan pakan
Nama Kelompok
Tani Ternak Sapi
Potong (KTTSP)
Pola
Pemeliharaan
Populasi
Sapi (ST)
Luas Lahan & Rasio dengan Populasi
Penguasaan
Lahan (Ha)
dan Nilai
Alokasi
Lahan
HMT (Ha)
Rasio Lahan
HMT dengan
Populasi (%)
Lembu Sari Penggemukan 65 jantan 3,43
(nilai: 8)
1,05
1,62
Lembu Sari Sub
Sukamaju
Penggemukan 254 jantan 3,50
(nilai: 8)
2,80
1,10
Lembu Sari Sub
Mekarsari
Penggemukan 75 jantan 3,43
(nilai: 8)
2,94
3,92
Mugi Barokah Pembiakan 23 betina
2 jantan
4,43
(nilai: 9)
2,46
9,84
Sari Widodo Pembesaran &
Pembiakan
34 jantan
5 betina
3,35
(nilai 8)
2,95
7,56
Ngudi Kamulyan Pembiakan 60 betina
28 jantan
26,2
(nilai 10)
7,4
8,41
Lembu Makmur Penggemukan 50 jantan 1,12
(nilai 8)
1,12 2,24
KESIMPULAN
Pola pemeliharaan yang diterapkan peserta program pengembangan klaster sapi potong meliputi (i)
pola pembiakan 2 KTTSP, (ii) pola penggemukan 4 KTTSP, dan (iii) pola kombinasi pembiakan dan
pembesaran satu KTTSP. Rataan nilai penguasaan lahan (score) dan rasio lahan tumbuhan pakan
dengan populasi sapi (%) pada pola penggemukan cenderung memiliki nilai lebih rendah (score 8 dan
rasio 2,22%) dibandingkan pada pola pembiakan (score 9,5 dan rasio 9,12%) dan pola kombinasi
pembesaran dan pembiakan (score 9 dan rasio 7,56%).
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2003. Kriteria Teknis Kawasan Agribisnis Peternakan
Sapi Potong. Kerjasama Direktorat Pengembangan Peternakan dengan Fakultas Peternakan
IPB. Jakarta.
Sodiq, A. dan M. Budiono, 2012. Produktivitas Sapi Potong pada Kelompok Tani Ternak di
Pedesaan. Agripet, 12(1):28-33.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
219
Sodiq, A., P. Yuwono dan N.A. Setianto. 2014. Pengembangan Klaster Sapi Potong: Rancangan
Program dan Kegiatan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi dan Agribisnis Peternakan.
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
220
PRODUKTIVITAS Indigofera zollingeriana PADA BERBAGAI TARAF NAUNGAN DAN
KEMASAMAN TANAH DI LAHAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Iwan Herdiawan, E. Sutedi, dan Sajimin
Balai Penelitian Ternak PO. Box 221 Bogor
Email: [email protected]
ABSTRAK
Lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sangat luas dan umumnya berada pada lahan sub-optimal
yang berpeluang besar bagi pengembangan peternakan dalam penyediaan hijauan pakan. Penelitian
menggunakan rancangan split plot di tiga lokasi perkebunan kelapa sawit dengan 3 taraf naungan
(main plot) dan 2 taraf kemasaman tanah (sub plot), masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4
kali. Peubah yang diamati adalah produksi, dan kandungan nutrisi tanaman. Hasil penelitian
menunjukkan tidak terdapat interaksi antara taraf naungan kelapa sawit dengan kemasaman tanah
terhadap produksi segar daun, batang/ranting, biomasa, dan nisbah daun/ranting I. zollingeriana.
Produksi segar daun, batang, biomasa, dan nisbah daun/ranting I. zollingeriana sangat nyata (P<0,01)
menurun sejalan dengan taraf naungan kelapa sawit. Kemasaman tanah nyata (P<0,05) menurunkan
produksi segar daun, batang, biomasa, dan nisbah daun/ranting. Perlakuan naungan nyata (P<0,05)
meningkatkan kandungan protein kasar, serat kasar, dan energi, sebaliknya nilai kecernaan in vitro
bahan kering dan bahan organik menurun. Kemasaman tanah nyata (P<0,05) menurunkan kandungan
kasium, kecernaan bahan kering dan bahan organik I. zollingeriana.
Kata kunci : Indigofera zollingeriana, perkebunan kelapa sawit, naungan, tanah masam
ABSTRACT
Oil palm plantations in Indonesia is very broad and generally located in a sub-optimal land that has a
great opportunity for the development of livestock in the supply of forage. The study was used split
plot design in three locations oil palm plantations with 3 levels shade (main plot) and 2 soil acidity
level (sub-plots), each treatment was repeated 4 times. The parameters observed were production, and
nutrient content. The results showed there was no interaction between the level of shade palm oil with
soil acidity on the production of fresh leaves, stems/branches, biomass, and leaves/stem ratio I.
zollingeriana. Production of fresh leaves, stems, biomass, and leaves/stem ratio I. zollingeriana highly
significant (P <0.01) decreased in accordance with the level of palm oil shade. Soil acidity
significantly (P <0.05) decrease the production of fresh leaves, stems, biomass, and leaves/twigs ratio.
Level of shade treatment significantly (P <0.05) increase the content of crude protein, crude fiber, and
energy, otherwise the value of the in vitro dry matter digestibility (IVDMD) and organic matter
digestibilyity (IVOMD) were decline. Soil acidity significantly (P <0.05) lower the calcium content,
in vitro dry matter digestibility (IVDMD) and organic matter digestibility (IVOMD) I. zollingeriana.
Keywords: Indigofera zollingeriana, oil palm plantations, shading, acid soil
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Terbatasnya penyediaan hijauan tanaman pakan di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal antara lain
adalah terbatasnya lahan produksi hijauan, kompetisi penggunaan lahan produksi, dan tingginya
angka konversi lahan. Sejalan dengan hal itu Mulyani et al. (2011), menyatakan bahwa sebagian lahan
yang tersisa untuk pengembangan pertanian ke depan adalah lahan sub-optimal atau marjinal seperti
lahan tadah hujan, lahan kering masam, dan rawa dengan berbagai permasalahan biofisik yang ada.
Mendukung pernyataan tersebut Atman (2006), melaporkan bahwa hampir sebagian besar dari luas
total tanah yang tersedia di Indonesia yaitu sebesar 190.946.500 ha. untuk keperluan areal pertanian
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
221
diklasifikasikan sebagai tanah Ultisols atau tanah kering bersifat asam. Tanah Ultisols adalah tanah
kering yang memiliki cekaman abiotik tinggi antara lain pH tanah (<4), kandungan bahan organik
tanah, dan kapasitas tukar kation yang rendah, dan tingginya kandungan unsur Mn2+ dan aluminium
reaktif (Al3+) yang dapat meracuni akar tanaman dan menghambat pembentukan bintil akar tanaman
leguminosa (Hairiah, et al., 2005). Selanjutnya menurut Subagyo et al. (2004), tanah Ultisol lebih
banyak dimanfaatkan sebagai perkebunan dan kawasan hutan lindung mengingat cekaman abiotiknya
sangat tinggi. Seiring dengan berjalannya waktu, tanah tersebut kini banyak dimanfaatkan sebagai
lahan perkebunan kelapa sawit dengan luasan sekitar 5,3 juta hektar (BPS, 2012). Dengan demikian
lahan perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sumber lahan produksi bagi hijauan pakan
ternak.
Budidaya tanaman pakan di areal perkebunan kelapa sawit dihadapkan dua permasalahan utama, yaitu
intensitas cahaya matahari yang rendah dan tingginya cekaman kemasaman tanah. Intensitas cahaya di
bawah tegakan hutan sangat menentukan proses fotosintesis, komposisi botani, pertumbuhan, dan
kualitas nutrisi hijauan yang tersedia untuk ternak ruminansia sejenisnya (Blair et al. 1983). Seperti
dikatakan Das et al. (2008), bahwa budidaya tanaman pakan ternak di areal perkebunan kelapa sawit
terkendala dengan adanya faktor pembatas yaitu rendahnya pH tanah dan intensitas cahaya matahari
seiring bertambahnya umur kelapa sawit, yang menyebabkan penurunan produksi hijauan pakan
ternak. Secara fisiologis naungan (canopy) akan menurunkan intensitas cahaya matahari masuk, yang
mana dibutuhkan untuk proses asimilasi bagi tanaman yang ada di bawah tegakan. Lebih jauh
Crowder dan Chheda (1982), menyebutkan bahwa penurunan intensitas cahaya masuk, secara
signifikan berpengaruh pada penurunan laju asimilasi dan asupan CO2, yang pada gilirannya terjadi
penurunan kualitas dan kuantitas tanaman di bawah tegakan. Menurut Wilson and Ludlow (1990),
tingkat naungan oleh canopy tanaman perkebunan dapat mencapai 80%, tergantung dari jenis
tanaman, jarak tanam dan umur tanaman perkebunan.
Wong dan Chin (1998), menyebutkan bahwa bertambahnya umur tanaman kelapa sawit, produksi
hijauan yang tumbuh di bawahnya semakin menurun. Semakin betambahnya umur tanaman kelapa
sawit maka penetrasi cahaya yang menerobos daun kelapa sawit semakin rendah sehingga
berpengaruh terhadap produksi bahan kering tanaman yang tumbuh di bawahnya. Menurut Chin
(1998) bahwa produksi bahan kering hijauan pakan yang tumbuh di bawah pohon kelapa sawit muda
dapat mencapai 1.600 sampai 2.600 kg/ha dan menurun hingga mencapai 600 kg/ha dengan semakin
bertambahnya umur tanaman kelapa sawit. Pada transmisi yang rendah akan memberikan pengaruh
terhadap mikroklimat yang ada di bawah kanopi, yang kemudian menyebabkan suhu tanah menjadi
lebih rendah. Kondisi demikian berpeluang menghambat pertumbuhan dan akumulasi bahan kering
pada tanaman yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit (Abdullah, 2011). Menurut Horne et al.
(1994) ada dua cara untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas dan produksi hijauan di
perkebunan kelapa sawit dan karet, yaitu introduksi spesies hijauan yang tahan akan naungan dan
perubahan pola tanam guna mendukung produksi hijauan yang berkesinambungan. Untuk itu
diperlukan teknologi budidaya pada umur tanaman sawit tertentu dan jenis tanaman pakan yang
toleran pada kondisi tersebut, sehingga produktivitas tanaman pakan memberikan kontribusi positif
pada kedua belah pihak (Zakariah, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di rumah kaca, I. zollingeriana memiliki toleransi yang
tinggi terhadap cekaman tanah masam dibandingkan C.calothyrsus, dan G. sepium (Herdiawan dan
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
222
Sutedi, 2013). Tujuan penelitian untuk mengetahui produktivitas I. zollingeriana pada kondisi tanah
masam, dan taraf naungan kelapa sawit, dalam mendukung integrasi sapi-sawit.
METODE PENELITIAN
Pelaksanaan Kegiatan Penelitian
Penelitian dilakukan di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Deli Serdang wilayah kerja Lolitkapo,
Sumatera Utara dengan penanaman legum pohon I. zollingeriana sebagai tanaman tumpangsari.
Persiapan penanaman dilakukan dari mulai tahap persemaian pada seeding tray yang berisi media
tanah dan fine kompos, perbandingan 1 : 1 sampai umur 4 minggu, selanjutnya tanaman dipindahkan
ke polybag kecil sampai berumur 8 minggu. Setelah tanaman berumur 8 minggu, dipindahkan ke
lapangan sebagai bahan materi penelitian dengan jarak tanam 2x2 meter. Penanaman dilakukan
diantara tanaman kelapa sawit yang berumur 2, 5, dan 7 tahun pada kondisi tanah masam dan netral
dengan pemberian super dolomit 5 ton/ha.
Penelitian menggunakan Rancangan Split-Plot RAL (Gomez and Gomes, 1984), dengan perlakuan 3
taraf naungan (main plot) dan 2 taraf kemasaman tanah (sub plot), masing-masing diulang sebanyak 4
kali. Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan Solarimeter diperoleh rataan intensitas cahaya pada
umur kelapa sawit 2 tahun adalah 2632,90 kal/m2, umur tanaman kelapa sawit 5 tahun sebesar
1751,30 kal/m2, dan umur kelapa sawit 7 tahun sebesar 698,70 kal/m2. Kemasaman tanah di ukur
dengan pH tester dan kertas lakmus pada tanah yang diberi super dolomite dengan dosis 5 ton/ha,
derajat keasaman netral (pH 6,84) dan tanpa perlakuan super dolomite, derajat kemasaman masam
(pH 4,42). Pemangkasan pertama dilakukan pada umur 60 HST dan selanjutnya dipanen setiap 90
hari sekali dengan intensitas pemangkasan 1 meter diatas permukaan tanah agar tidak menganggu
tanaman utama. Peubah yang diamati dalam penelitian ini antara lain produksi (Biomasa, daun,
ranting, nisbah daun/ranting), dan kandungan nutrisi (PK, SK, Energi, Ca, P, KCBK dan KCBO in
vitro).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi I. zollingeriana
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara taraf naungan kelapa sawit dan
kemasaman tanah terhadap produksi segar biomasa I. zollingeriana (Tabel 1).
Tabel 1. Produksi segar Biomasa I. zollingeriana (g/tanaman) pada berbagai taraf naungan kelapa
sawit dan kemasaman tanah (g/tanaman)
Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan
2 tahun 5 tahun 7 tahun
Netral 6701,59 1020,00 355,11 2692,23a
Masam 6645,24 923,18 353,13 2640,52a
Rataan 6673,42a 971,59b 354,12c Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,01)
Produksi segar biomasa pada taraf naungan kelapa sawit umur 2 tahun nyata lebih tinggi sebesar
6701,59 g/pertanaman, dan terendah pada taraf naungan kelapa sawit umur 7 tahun yaitu 353.13
g/tanaman. Sementara itu taraf pemberian super dolomit (kemasaman tanah) tidak berbeda nyata.
Total produksi biomasa tanaman dan akar pada semua jenis tanaman dipengaruhi oleh naungan,
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
223
dimana produksi tanaman sangat rendah di bawah naungan yang diikuti pula oleh produksi biomasa
bagian atas tanaman (Congdon dan addison, 2003). Dilaporkan pula bahwa rataan produksi biomasa
tanaman pakan tropis tanpa naungan (kontrol) sebesar 40,11 kg/pot , mengalami penurunan pada taraf
naungan 63% sebesar 18,99 kg/pot, dan menurun cukup tajam pada taraf naungan 76% dan 84%,
berturut-turut sebesar 7,08 dan 6,27 kg/pot.
Menurut Farizaldi (2011), produksi bahan kering hijauan baik dari jenis rumput maupun jenis legum,
pada lahan tanaman kelapa sawit umur 8 tahun lebih rendah dari produksi bahan kering hijauan pada
lahan tanaman kelapa sawit 5 dan 2 tahun. Rendahnya produksi bahan kering hijauan baik dari jenis
rumput maupun jenis legume pada lahan tanaman kelapa sawit umur 8 tahun, karena semakin
bertambah umur tanaman kelapa sawit maka ukuran bentuk konopi tanaman kelapa sawit bertambah
besar, sehingga semakin berkurang cahaya yang dapat diterima tanaman rumput dan legume yang
tumbuh dibawahnya.
Batubara . (1999). Menyatakan bahwa sSemakin tua umur kelapa sawit kebutuhan akan cahaya, air
dan unsur hara semakin bertambah, sehingga ketersediaanya bagi tanaman yang ada di bawahnya
semakin berkurang. Rata-rata produksi hijauan di bawah kelapa sawit umur 5–10 tahun adalah 10,479
ton/ha/tahun, dan mengalami peningkatan produksi sebesar 14,827 ton/ha/tahun pada umur kelapa
sawit 10–20 tahun. Hal ini disebabkan kelapa sawit yang sudah berumur tua tingkat kanopi semakin
berkurang sehingga cahaya matahari lebih banyak masuk dibandingkan yang berumur 5-10 tahun.
Hanafi et al. (2005), melaporkan hasil penelitiannya bahwa produksi segar hijauan yang ditanam
secara monokultur pada tingkat naungan kelapa sawit sebesar 55% adalah 5890,73 kg/ha, lebih baik
dibandingkan pada naungan 75% sebesar 5347,26 ton/ha. Hasil pengukuran produksi hijauan segar
per m2 untuk vegetasi yang tumbuh di bawah tanaman kelapa sawit umur 2 tahun adalah 386,54 g/m2
dan pada umur 6 tahun adalah 189,29 g/m2 (Daru ., 2014).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara taraf naungan umur kelapa sawit
dan kemasaman tanah terhadap produksi segar daun I. zollingeriana (Tabel 2.). Hal ini sejalan dengan
pendapat Jamarillo . (2010), tidak terdapat interaksi yang nyata antara tingkat naungan dan aplikasi
kapur (limestone) terhadap produksi, dan luas permukaan daun per cabang.
Tabel 2. Rataan produksi segar daun I. zollingeriana (g/tanaman) pada berbagai taraf naungan kelapa
sawit dan kemasaman tanah (g/tanaman)
Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan
2 tahun 5 tahun 7 tahun
Netral 2800,30 301,17 97,08 1066,18a
Masam 2772,16 271,06 69,46 1037,56b
Rataan 2785,23a 286,12b 83,27c Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,01)
Produksi daun segar pada taraf naungan umur kelapa sawit 2 tahun sangat nyata (P<0,01) paling
tinggi yaitu sebesar 2800,30 g/tanaman, dan terendah dicapai pada perlakuan naungan kelapa sawit
umur 7 tahun sebesar 69,46 g/tanaman. Perlakuan taraf naungan dan kemasaman tanah berpengaruh
sangat nyata terhadap produksi daun segar I. zollingeriana,.
Menurut Dı'az-Pe'rez (2013), bobot daun, batang, dan biomasa bagian atas tanaman secara signifikan
berbeda antar tingkat naungan. Dikatakan pula bahwa pada kondisi naungan, tanaman mengalami
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
224
perubahan secara morfologis, daun lebih tipis dan lebar lebih lebar tetapi memiliki bobot yang rendah.
Sejalan dengan itu Atwell . (1999), melaporkan bahwa tanaman yang tumbuh di bawah naungan akan
memberikan respon adaptasi secara morfologis menunjukkan kutikula daun lebih tipis, umur daun
lebih panjang, posisi daun horizontal, bentuk chloroplast lebih kecil. Tingkat naungan 40% dapat
mengurangi bobot daun tomat sebesar 24% dibandingkan dengan tanaman tanpa naungan (Bertin dan
Gary, 1998).
Selanjutnya Ma . (2000), menyataka bahwa kandungan Al dalam tanah masam yang tinggi dapat
mengganggu pertumbuhan kedelai dan merusak perakaran tanaman, yang mengakibatkan tidak
efisiennya akar menyerap unsur hara dan air, sehingga menyebabkan produksi tanaman rendah.
Sejalan dengan itu Chen . (2005), manyatakan bahwa Al mengurangi asupan CO2 yang berguna dalam
proses asimilasi jeruk keprok (Citrus rehhni), yang berpengaruh pada aktivitas enzim yang terlibat
dalam siklus Calvin. Dengan terganggunya proses asimilasi akibat induksi Al, maka suplay nutrisi
bagi tanaman menjadi berkurang dan pada gilirannya produksi dan kualitas tanaman menurun
terutama pada tanaman yang peka cekaman Al. Hilman (2005), menyatakan bahwa pada lahan kering
masam, masalah ketersediaan fosfat (P) menjadi kendala utama dalam meningkatkan produksi
tanaman leguminosa.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara taraf naungan umur kelapa sawit
dan kemasaman tanah terhadap produksi segar batang/ranting I.zollingeriana (Tabel 3).
Tabel 3. Produksi segar batang/ranting I. zollingeriana (g/tanaman) pada berbagai taraf naungan
kelapa sawit dan kemasaman tanah (g/tanaman)
Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan
2 tahun 5 tahun 7 tahun
Netral 3901,29 718,83 258,03 1626,05a
Masam 3873,08 652,12 283,67 1602,96a
Rataan 3887,19a 685,48b 270,85c Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,01)
Produksi segar batang/ranting pada taraf perlakuan naungan kelapa sawit umur 2 tahun nyata lebih
tinggi sebesar 3887,19 g/tanaman, dan terendah pada taraf naungan kelapa sawit umur 7 tahun yaitu
sebesar 270,85 g/tanaman. Sedangkan pemberian super dolomit tidak berpengaruh nyata terhadap
produksi batang/ranting I. zollingeriana. Diameter batang tanaman yang ternaungi lebih kurus karena
mengalami pertumbuhan sel yang memanjang (elongated growth) dibandingkan dengan tidak
ternaungi, hal ini berpengaruh pada biomassa batang. Sejalan dengan pendapat Larcher (1995), bahwa
diameter batang berhubungan dengan bobot kering bagian atas tanaman, luas daun, dan kemampuan
tanaman untuk mengangkut air dari tanah ke daun. Wilson dan Ludlow (1991), menyatakan bahwa di
bawah naungan memberikan respon morfologi tanaman seperti peningkatan pemanjangan batang dan
berkurangnya percabangan dapat menyebabkan tunas ketiak lebih sedikit dan luas daun tetap, yang
pada gilirannya bobot kering menurun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cabe yang di bawah
naungan memiliki batang yang panjang, daun yang lebih besar luas daun seluruh tanaman, dan lebih
tipis dengan bobot daun rendah (Kittas ., 2009).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara naungan kelapa sawit dan
kemasaman terhadap nisbah daun/ranting I. zollingeriana (Tabel 4).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
225
Tabel 4. Nisbah daun/batang I. zollingeriana (g/tanaman) pada berbagai taraf naungan kelapa sawit
dan kemasaman tanah
Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan
2 tahun 5 tahun 7 tahun
Netral 0,72 0,42 0,38 0,51a
Masam 0,72 0,42 0,46 0,53a
Rataan 0,72a 0,42b 0,31c Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,01)
Nisbah daun/ranting pada taraf perlakuan tanpa naungan kelapa sawit umur 2 tahun nyata (p<0,01)
lebih tinggi sebesar 0,72, dibandingkan taraf perlakuan naungan umur 5 dan 7 tahun, berturut-turut
sebesar 0,42 dan 0,31. Nisabah daun/ranting pada taraf perlakuan tanah netral dan tanah masam tidak
menunjukkan perbedaan. Shehu . (2001) menyatakan bahwa rasio daun/batang pada leguminosa
pohon sangat penting karena daun merupakan organ metabolisme dan kualitas leguminosa pohon
dipengaruhi oleh rasio daun/batang. Semakin banyak jumlah daun, kualitas leguminosa tersebut
semakin baik, karena daun merupakan bagian jaringan tanaman yang memiliki kandungan nutrisi
paling tinggi dibandingkan batang/ranting.
Nisbah tajuk/akar meningkat pada tanaman di bawah naungan, hal ini sebagai akibat dari peningkatan
proporsi bagian tajuk dengan mengorbankan sistem perakaran guna mendapatkan kecukupan cahaya
matahari untuk proses asimilasi (Atwell ., 1999). Pengalokasian sumber daya secara berlebihan dari
akar ke tunas, dapat menyebabkan masalah di mana tanaman rentan mengalami stres air secara
periodik dan pemangkasan yang intensif.
Penurunan sistem perakaran yang terlalu tinggi menyebabkan penurunan produksi bahan kering dan
periode pemulihan lebih lama pada tanaman di mana pertumbuhan kembali setelah
defoliasi/penggembalaan berhubungan dengan cadangan karbohidrat dan mineral yang terletak pada
bagian akar (Wilson and Ludlow 1991). Menurut Kharim . (1991), bertambahnya umur tanaman
mengakibatkan perbandingan daun dengan batang semakin kecil. Rendahnya imbangan daun dan
batang berpengaruh terhadap kandungan protein kasar, dan energi. Karena kandungan protein dan
energi paling banyak didapat pada daun dibandingkan dengan batang, apabila rasio daun lebih besar
dibandingkan dengan batang maka jumlah protein dan energi pada tanaman semakin tinggi yang
sangat berperan dalam produktivitas ternak.
Kandungan Nutrisi Legum I. zollingeriana
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara naungan kelapa sawit dan
kemasaman tanah terhadap kandungan protein kasar I. zollingeriana (Tabel 5).
Tabel 5. Kandungan protein kasar I. zollingeriana pada berbagai taraf naungan kelapa sawit dan
kemasaman tanah (%)
Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan
2 tahun 5 tahun 7 tahun
Netral 23,94 26,01 27,14 25,71a
Masam 22,35 25,20 26,83 24,79a
Rataan 23,15c 25,61b 26,99a
Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
226
Kandungan protein kasar pada taraf perlakuan naungan naungan kelapa sawit umur 2 tahun nyata
(P<0,05) lebih tinggi sebesar 26,99%, dibandingkan taraf perlakuan naungan umur 5 dan 7 tahun,
berturut-turut sebesar 25,61 dan 23,15%. Kandungan protein kasar pada taraf perlakuan tanah netral
dan tanah masam tidak berbeda. Daru . (2014), melaporkan bahwa kandungan protein kasar pada
tanaman yang tumbuh di bawah kelapa sawit umur 6 tahun lebih tinggi. Naungan memilki pengaruh
langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas hijauan, sehingga dapat merubah komposisi kimia.
Selanjutnya menurut Wilson dan Wild (1995), bahwa konsentrasi N dalam bagian daun tanaman
secara konsisten lebih besar di bawah naungan dibandingkan dengan perlakuan tanpa naungan.
Umumnya peningkatan konsentrasi N yang cukup besar dalam daun pada perlakuan naungan yaitu
sebesar 63% dibandingkan dengan tanpa naungan. Bagaimanapun peningkatan naungan sampai 76
dan 84% memberikan sedikit peningkatan N pada daun, namun tidak pada tingkat sebelumnya.
Konsentrasi N pada material tanaman yang tumbuh di bawah naungan secara umum mengalami
peningkatan (Humphreys 1994). Demikian pula Congdon dan Addison (2003), menyatakan bahwa
konsentrasi N pada daun sangat dipengaruhi oleh kondisi naungan, dimana konsentrasinya meningkat
pada perlakuan dibawah naungan dibandingkan dengan kontrol, namun tidak ada perubahan yang
nyata terhadap konsentrasi P pada daun. Menurut Kephart and Buxton (1993) konsentrasi protein
kasar jauh lebih responsif terhadap naungan dibandingkan komponen kualitas lainnya. Disebutkan
pula bahwa naungan sebesar 63% dapat meningkatkan konsentrasi protein kasar sebesar 26% pada
rumput. Meningkatnya konsentrasi senyawa nitrogen akibat naungan biasanya dengan mengorbankan
karbohidrat terlarut. Norton . (1990) menyatakan tanaman pakan yang ditanam di bawah naungan
mempunyai kandungan nitrogen yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada
lahan terbuka.
Tingginya kandungan nitrogen disebabkan kondisi naungan yang membuat ketersediaan nitrogen
dalam tanah mudah diserap oleh tanaman yang pada akhirnya akan meningkatkan kandungan nitrogen
dalam jaringan tanaman (Wilson dan Ludlow, 1990; Wong dan Wilson, 1980). Yayneshet . (2009),
melaporkan bahwa kandungan protein kasar dari tanaman pakan dalam wilayah semi-arid di Ethiopia
secara drastis menurun, disebabkan cekaman kering dan kemasaman tanah. Kandungan komponen
struktural (NDF, ADF dan ADL) lebih tinggi ditemukan selama musim kemarau terutama pada tanah
masam kemungkinan disebabkan karena tingginya lignifikasi dan stadium kematangan tanaman
(Hussain dan Durrani, 2009). Khan et al. (2008), menyatakan bahwa terlalu sering menggunakan
pupuk anorganik akan merusak struktur tanah, meningkatkan keasaman tanah, menyebabkan
ketidakseimbangan nutrisi, dan menurunkan produksi dan kualitas tanaman.
Tabel 6. Kandungan serat kasar I. zollingeriana pada berbagai taraf naungan kelapa sawit dan
kemasaman tanah (%)
Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan
2 tahun 5 tahun 7 tahun
Netral 14,76 17,10 17,68 16,51a
Masam 12,37 18,22 18,12 16,24a
Rataan 13,57c 17,66b 17,90b
Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
227
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara naungan umur kelapa sawit dan
kemasaman tanah terhadap kandungan serat kasar I. zollingeriana (Tabel 6). Kandungan serat kasar
pada taraf perlakuan naungan umur kelapa sawit 2 tahun nyata (P<0,05) lebih rendah sebesar 13,57
%, dibandingkan taraf perlakuan naungan kelapa sawit umur 5 dan 7 tahun, berturut-turut sebesar
17,66 dan 17,90%. Serat kasar pada taraf naungan kelapa sawit umur 5 dan 7 tahun tidak berbeda
nyata. Selanjutnya kandungan serat kasar berdasarkan pada taraf perlakuan tanah netral dan masam
tidak menunjukkan perbedaan.
Blair et al. (1983), melaporkan bahwa kandungan protein kasar dan konstituen dinding sel seperti
ADF dan selulosa meningkat sejalan dengan kerapatan naungan. Menurut Humphreys (2005), derajat
kanopi tanaman akan mengubah kualitas spektrum cahaya yang akan sampai pada permukaan daun,
hal ini akan berefek pada proses tiller dan germinasi. Cahaya yang merupakan komponen dalam
proses fotosintesis yang mengkonversi karbon monoksida dan air menjadi glukosa, dan sturktur
karbon yang membentuk dinding sel, selulosa dan hemiselulosa. Penurunan intensitas cahaya tidak
mempengaruhi kadar lignin, namun, kandungan lignin tertinggi dicapai pada naungan rapat (Blair et
al., 1983).
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara naungan kelapa sawit dan
kemasaman tanah terhadap kandungan energi I. zollingeriana (Tabel 7).
Kandungan energi pada taraf perlakuan naungan kelapa sawit umur 7 tahun nyata (P<0,05) lebih
tinggi sebesar 4015,0 Kkal/kg, dibandingkan taraf perlakuan naungan umur 2 dan 5 tahun, masing-
masing sebesar 3749,0 dan 3895,3 Kkal/kg. Selanjutnya kandungan energi berdasarkan taraf
perlakuan tanah netral nyata lebih rendah sebesar 3790,3 Kkal/kg dibandingkan tanah masam yaitu
sebesar 3982,5 Kkal/kg.
Tabel 7. Kandungan energi I. zollingeriana pada berbagai taraf naungan kelapa sawit dan kemasaman
tanah (Kkal/kg)
Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan
2 tahun 5 tahun 7 tahun
Netral 3406,0 3875,0 4090,0 3790,3b
Masam 3623,0 3940,0 4384,5 3982,5a
Rataan 3514,5c 3907,5b 4237,25a
Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)
Dengan meningkatnya taraf naungan maka pembentukkan struktur karbon pada dinding sel tanaman
semakin meningkat pula, sehingga pada gilirannya kandungan serat kasar meningkat, yang akan
berdampak pada kandungan energi bahan tersebut. Energi merupakan hasil metabolisme makanan
yang berasal bahan makanan sumber energi seperti karbohidrat termasuk didalamnya serat kasar,
selulosa, hemiselulosa, dan lignin, dicerna oleh bakteri rumen dalam saluran pencernaan ternak
ruminansia (Dewurst et al.,2009).
Energi yang dihasilkan dari proses metabolisme tersebut dipergunakan untuk maintenan, pertumbuhan
dan produksi susu, daging, telur, dan wool (Wiliam, 2010). Energi kasar (GE) merupakan salah satu
hasil metabolisme serat kasar yang terjadi dalam saluran pencernaan ternak ruminansia dengan
bantuan enzim dan mikroba rumen. Seperti dinyatakan Dewhurst et al. (2009), kenaikan gross energi
dari hijauan pakan selalu sejalan dengan kenaikan serat kasar dari bahan kering hijauan, terutama
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
228
komponen selulosa yang mudah dihidrolisis asam atau enzim selulase yang dihasilkan oleh
mikroorganisme rumen menjadi monomer glukosa. Menurut Kharim . (1991), bertambahnya umur
tanaman dan cekaman kering mengakibatkan penurunan nisbah daun/batang sedangkan nisbah
batang/daun meningkat, hal ini berpengaruh terhadap penurunan kandungan protein kasar, tetapi
sebaliknya kandungan energi kasar mengalami peningkatan. Karena kandungan energi kasar paling
banyak didapat pada bagian batang karena terdiri atas karbohidrat dalam bentuk serat kasar (selulosa,
hemiselulosa, dan lignin).
Tabel 8. Kandungan Kalsium (Ca) I. zollingeriana pada berbagai taraf naungan kelapa sawit dan
kemasaman tanah (%)
Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan
2 tahun 5 tahun 7 tahun
Netral 0,92 0,94 1,71 1,19a
Masam 0,78 0,81 0,90 0.83b
Rataan 0,85c 0,88b 1,31a
Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara naungan kelapa sawit dan
kemasaman tanah terhadap kandungan kalsium (Ca) I. zollingeriana (Tabel 8). Kandungan Kalsium
(Ca) pada taraf perlakuan naungan umur kelapa sawit 7 tahun nyata (P<0,05) lebih tinggi sebesar
1,31 %, dibandingkan taraf perlakuan naungan 2 dan 5 tahun, berturut-turut sebesar 0,85 dan 0,88%.
Selanjutnya kandungan Kalsium (Ca) taraf perlakuan tanah netral nyata (P<0,05) lebih tinggi sebesar
1,19% dibandingkan tanah masam sebesar 0,83%. Menurut Balair et al. (1983), konsentrasi phosfor
dan kalsium nyata lebih tinggi pada perlakuan naungan rapat, dibandingkan naungan sedang dan
tanpa naungan.
Tabel 9. Kandungan Phosfor (P) I. zollingeriana pada berbagai taraf naungan kelapa sawit dan
kemasaman tanah (%).
Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan
2 tahun 5 tahun 7 tahun
Netral 0,25 0,27 0,28 0,27a
Masam 0,24 0,25 0,26 0,25b
Rataan 0,25c 0,26b 0,27a
Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara taraf naungan kelapa sawit dan
pemberian super dolomit terhadap kandungan phosfor (P) I. zollingeriana (Tabel 9). Kandungan
phosfor (P) pada taraf perlakuan naungan kelapa sawit umur 7 tahun nyata lebih tinggi sebesar 0,27%
dibandingkan taraf naungan kelapa sawit umur 2 dan 5 tahun, berturut-turut sebesar 0,25 dan 26%.
Selanjutnya pada kondisi tanah netral, kandungan phosfor (P) nyata lebih tinggi sebesar 0,27%
dibandingkan tanah masam sebesar 0,25%. Menurut Balair et al. (1983), konsentrasi phosfor (P) dan
kalsium (Ca) nyata lebih tinggi pada perlakuan naungan rapat, dibandinhgkan naungan sedang dan
sinar matahari penuh. Sedangkan Congdon dan Addison (2003), menyatakan bahwa konsentrasi N
pada daun sangat dipengaruhi oleh kondisi naungan, dimana konsentrasinya meningkat pada
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
229
perlakuan dibawah naungan dibandingkan dengan kontrol, namun tidak ada perubahan yang nyata
terhadap konsentrasi phosfor (P) pada daun.
Tabel 10. Kecernaan bahan kering (IVDMD) I. zollingeriana pada berbagai taraf naungan kelapa
sawit dan kemasaman tanah (%).
Kemasaman tanah Taraf naungan (umur kelapa sawit) Rataan
2 tahun 5 tahun 7 tahun
Netral 72,41 67,65 63,29 67,78a
Masam 70,65 63,25 62,27 65,39b
Rataan 71,53a 65,45a 62,78c
Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara naungan kelapa sawit dan
pemberian super dolomit terhadap kecernaan bahan kering (KCBK) I. zollingeriana (Tabel 10).
Kecernaan bahan kering pada taraf perlakuan kelapa sawit umur 2 tahun nyata (P<0,05) lebih tinggi
sebesar 71,53%, dibandingkan taraf perlakuan naungan kelapa sawit umur 5 dan 7 tahun, masing-
masing sebesar 65,45 dan 62,78 %. Selanjutnya kecernaan bahan kering pada taraf perlakuan tanah
netral nyata lebih tinggi sebesar 67,78% dibandingkan tanah masam yaitu sebesar 65,39%.
Kecernaan bahan kering menurun karena naungan semakin rapat akan meningkatkan nilai serat kasar
pada tanaman. Menurut Blair et al. (1983), nilai kecernaan bahan kering sangat baik di bawah sinar
matahari penuh atau naungan sedang. Nilai kecernaan bahan kering secara in vitro merupkan jumlah
bahan kering yang dapat dicerna dan tidak dieksresikan dalam bentuk feses serta diasumsikan sebagai
bagian yang diabsorpsi oleh ternak (Chuzaemi dan Bruchem, 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa
salah satu penyebab rendahnya kecernaan bahan kering adalah tingginya kandungan lignin yang
terdapat pada dinding sel kulit tanaman yang dapat menghambat enzim untuk mencerna serat dengan
normal. Sleugh et al. (2001), penurunan kecernaan bahan kering sejalan dengan frekuensi
pemangkasan, karena terjadinya akumulasi serat yang tidak dapat dicerna, peningkatan lignifikasi,
dan penurunan nisbah daun/batang, akan membentuk struktur dinding sel, sehingga sulit dicerna
mikroba rumen.
Nilai kecernaan rumput dan leguminosa pada umumnya mengalami penurunan dengan bertambahnya
umur tanaman, dan penurunan kadar air tanah, karena terjadi peningkatan konsentrasi serat kasar pada
bagian jaringan tanaman, peningkatan lignifikasi dan penurunan nisbah daun/batang (Nisa et al,
2004).
Tabel 11. Kecernaan bahan organik (IVOMD) I. zollingeriana pada berbagai taraf naungan kelapa
sawit dan kemasaman tanah (%)
Kemasaman tanah Taraf naungan kelapa sawit
Rataan 2 tahun 5 tahun 7 tahun
Netral 70,16 63,65 60,32 64,71a
Masam 68,62 61,25 60,86 63,58b
Rataan 69,39a 62,45b 60,59c Huruf yang tidak sama kearah kolom dan baris menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
230
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tidak terdapat interaksi antara naungan kelapa sawit dan
kemasaman tanah terhadap kecernaan bahan organik (KCBO) I. zollingeriana (Tabel 11). Kecernaan
bahan organik pada taraf perlakuan naungan kelapasawit umur 2 tahun nyata lebih tinggi sebesar
69,39 %, dibandingkan taraf perlakuan naungan kelapasawit umur 5 dan 7 tahun, masing-masing
sebesar 62,45 dan 60,59 %. Selanjutnya kecernaan bahan organik berdasarkan taraf perlakuan
pemberian super dolomit nyata (P<0,05) lebih tinggi sebesar 64,71% dibandingkan tanah tanpa super
dolomit yaitu sebesar 63,58%.
Kecernaan bahan organik hijauan pakan ternak merupakan nilai bahan organik termasuk protein
kasar, karbohidrat, lemak, yang dapat dicerna dan tidak di ekskresikan melalui feses, serta dapat
digunakan sebagai indikator kualitas dari hijauan pakan ternak secara keseluruhan. Rendahnya nilai
kecernaan bahan organik sama seperti halnya kecernaan bahan kering disebabkan oleh tingginya
kandungan serat kasar terutama lignin pada bahan dasar hijauan pakan ternak tersebut. Kecernaan
bahan organik tanaman I. zollingeriana tertinggi sebesar 76,02% dan terendah sebesar 63,86%, masih
lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kecernaan tanaman Gliricidia sepium yaitu sebesar 60,82%
(Sanchez et al. 2005). Menurut González dan Hanselka (2002), nilai kecernaan bahan organik hijauan
pakan ternak, dari musim hujan ke musim kemarau mengalami penurunan yang signifikan sejalan
dengan meningkatnya konsentrasi beberapa komponen pembentuk serat kasar. Menurut Hassen, et al.
(2007), semua spesies tanaman Indigofera memiliki konsentrasi abu, protein kasar, dan KCBO yang
lebih tinggi pada saat musim semi, tetapi kandungan NDF lebih rendah.
KESIMPULAN
Semakin rapat naungan kelapa sawit (5 dan 7 tahun), produksi segar I. zollingeriana mengalami
penurunan cukup tajam, baik pada kondisi tanah netral maupun masam. Kandungan nutrisi (PK, SK,
energi, Ca, dan P) Indigofera meningkat sejalan dengan kerapatan naungan (5 dan 7 tahun), tetapi
sebaliknya kecernaan bahan kering (IVDMD) dan bahan organik (IVOMD) mengalami penurunan.
I.zollingeriana tidak toleran terhadap naungan (Canopy) rapat kelapa sawit (5 dan 7 tahun), tetapi
pada taraf naungan rendah kelapa sawit (2 tahun) masih memberikan kualitas dan kuantitas yg lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, L. 2011. Prospek Integrasi Perkebunan Kelapa Sawit-Sapi Potong dalam Upaya Percepatan
Pencapaian Swasembada Daging Nasional 2014 : Sebuah Tinjauan Perspektif Penyediaan
Pakan. Orasi Ilmiah, disampaikan pada Sidang Senat Terbuka (Wisuda) V Sekolah Tinggi Ilmu
Pertanian Kutai Timur. Sangatta.
Atman. 2006. Pengelolaan tanaman kedelai di lahan kering masam. Jurnal Ilmiah Tambua, Vol. V,
No. 3: 281-287 .
Atwell B, Kriedemann P, Turnbull C. 1999. Plants in Action - Adaptation in Nature, Performance in
Cultivation. McMillan Education Australia Pty. Ltd., South Yarra.
Badan Pusat Statisik 2012. Statistik Indonesia 2012.Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.Jakarta.
Baihaki A. 2005. Pemuliaan Tanaman Pakan Ternak. Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan
Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Pp.34-44.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
231
Batubara, A., I. kasup, A.A. Kesma. A. irfan, H. Simanjuntak dan Harahap P. 1999. Kajian integrasi
penggemukan ternak sapi potong di lahan perkebunan kelapa sawit. Laporan Hasil Kegiatan
BPTP Riau. 2000
Bertin, N. and C. Gary. 1998. Short and long term fluctuations of the leaf mass per area of tomato
plants - Implications for growth models. Ann. Bot. (Lond.) 82:71–81.
Blair RM, Rene A, Austin H. 1983. Shade Intensity Influences the Nutrient Quality and Digestibility
of Southern Deer Browse Leaves. Journal of Range Management 36(2), March 1983.pp. 257-
263.
Chen LS. 2006. Physiological Responses and Tolerance of Plant Shoot to Aluminum Toxicity.
Journal of Plant Physiology and Molecular Biology 2006, 32 (2): 143-155 143.
Chin FY. 1998. Sustainable use of ground vegetation under mature oil palm and rubber trees fo
commercial beef production. Dalam: de la Vina, A.C., Moog, F.A., (eds). Proceedings of 6th
Meeting of the Regional Working Group on Grazing and Feed Resources for Shoutheast Asia.
Legaspi City, Philippines.
Chung GF. 1993. Herbicide evaluation for general weed control in immature oil palm with and
without EFN mulching. Dalam: Jalami Sukaimi et.al., (eds). PORIM International Palm Oil
Congress: Update are vision. Ministry of Primary Industries Malaysia.
Chuzaemi, S. dan J.V. Bruchem. 1990. Fisiologi Nutrisi Ruminansia. KPK UGM – Brawijaya.
Program Pasca Sarjana. Spesialisasi Pakan Ternak. Universitas Brawijaya . Malang.
Congdon B. and Addison H. 2003. Optimising nutrition for productive and sustainable farm forestry
systems. pasture legumes under shade. A report for the RIRDC/Land & Water
Australia/FWPRDCMDBC.Joint Venture Agroforestry Program.James Cook University,
Townsville. Pp. 1-99.
Crowder LV, HR. Chheda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longman group. New York.
Daru TP, Yulianti A, Widodo E. 2014. Potensi hijauan di perkebunan kelapa sawit sebagai pakan sapi
potong di Kabupaten Kutai Kartanegara. Media Sains, Volume 7 Nomor 1, April 2014 ISSN
2085-3548. P. 79-86.
Das DK, OP. Chaturvedi, MP Mandal, R Kumar. 2008. Effect of tree plantations on biomass and
primary productivity of herbaceous vegetation in eastern India. Tropical Ecology 49: 95-101.
Dewhurst RJ, L Delaby, A Moloney, T Boland and E Lewis. 2009. Nutritive value of forage legumes
used for grazing and silage. Irish Journal of Agricultural and Food Research, Vol. 48, No. 2.
Dewi IR, Miftahudin, Utut S, Hajrial A and Alex H. 2010. Karakter Root Re-Growth Sebagai
Parameter Toleransi Aluminium pada Tanaman Padi. Jurnal Natur Indonesia 13(1), 82-88.
Dı´az-Pe´rez JC. 2013. Bell Pepper (Capsicum annum L.) Crop as Affected by Shade Level:
Microenvironment, Plant Growth, Leaf Gas Exchange, and Leaf Mineral Nutrient
Concentration. HORTSCIENCE 48(2):175–182.
Farizaldi. 2011. Produktivitas Hijauan Makanan Ternak Pada Lahan Perkebunan Kelapa Sawit
berbagai Kelompok Umur di PTPN 6 Kabupaten Batanghari Propinsi Jambi. Jurnal Ilmiah
Ilmu-Ilmu Peternakan November 2011, Vol. XIV. No.2
Gomez KA, and Gomez AA. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. 2nd Edition.
University of the Philiphines at Los Banos, Philiphines. 139-154.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
232
González-V EA, and CW Hanselka. 2002. Ecología y manejo de matorrales. Caso provincia biótica
tamaulipeca. INIFAP-Texas A&M University. Social and Comercial Press. Cd. Victoria,
Tamps, Mexico.
Hanafi DN, Umar S, dan Bachari I. 2005. Pengaruh tingkat naungan pada berbagai pasture campuran
terhadap produksi hijauan. Jurnal Agribisnis Peternakan, vol. 1, no 3. Pp. 100-105.
Hassen A, Rethman NFG, Van Niekerk, and Tjelele TJ. 2007. Influence of Season/year and Species
on Chemical Composition and In Vitro Digestibility of Five Indigofera accessions. J Anim Feed
Sci Technol 136:312–322Heuer B and A Nadler. 1998. Physiological respone of potato plants
to soil salinity and water deficit. Science 43‐51.
Hilman Y, Kasno A, dan Saleh N. 2004. Kacang-kacangan dan umbi-umbian: Kontribusi terhadap
ketahanan pangan dan perkembangan teknologinya. Dalam Makarim, et al. (penyunting).
Inovasi pertanian tanaman pangan. Puslitbangtan Bogor:95-132 hlm.
Horne, P. M. 1994. Agroforestry Plantation System : Sustainable Forage And Animal In Rubber And
Oil Palm Plantation. Paper Presenten To ACIAR Sponsored Symposium “Agroforestry And
Animal Producton For Human Welfare” At 7th Animal Science Congress Of Australian-Asia
Animal Production System Societies, Bali –Indonesia, july 11-16.
Humphreys LR. 2005. Tropical Pasture Utilitisation. Cambridge university press. Cambridge.
Humphreys LR. 1994. Tropical Forages - their use in sustainable agriculture. Longman Scientific and
Technical, Bath.
Hussain F, dan Durrani MJ. 2009. Nutritional evaluation of some forage plants from Harboi
Rangeland , Kalat, Pakistan. Pakistan J. Bot. 41:1137-1154.
Jaramillo B, Ricardo Henrique Silva Santos, Herminia Emilia Prieto, Martinez, Paulo Roberto Cecon,
and Merci Pereira Fardin. 2010. Production and vegetative growth of coffee trees under
fertilization and shade levels Catalina Sci. Agric. (Piracicaba, Braz.), v.67, n.6, p.639-645.
Kephart KD, and Buxton DR. 1993. Forage quality responses of C3 and C4 perennial grasses to
shade. Crop. Sci. 33: 831-837
Khan HZ, Malik MA, and Saleem MF. 2008. Effect of rate and source of organic material on the
production potential of spring maize (Zea mays L.). Pak J Agric Sci 45: 40–43.
Kharim AB, Rhodes ER, and Savill PS. 1991. Effect of Cutting Interval on Dry Matter Yield of of
Leucaena leucocephala (Lam) De Wit. J Agroforest Syst 16: 129-137.
Kittas C, N Katsoulas, N Rigakis, T Bartzanas, and E Kitta. 2012. Effects on microclimate, crop
production and quality of a tomato crop grown under shade nets. J. Hort. Sci. Biotechnol. 87:7–
12.
Larcher W. 1995. Physiological plant ecology. Ecophysiological and stress physiology of functional
groups. Springer, Berlin, Germany.
Mulyani A, S Ritung, dan Irsal Las. 2011. Potensi dan ketersediaan sumber daya lahan untuk
mendukung ketahanan pangan. Jurnal Litbang Pertanian, 30(2) : 73-80.
Nisa M, M Sarwar, and MA Khan. 2004. Influence of urea treated wheat straw with or without corn
steep liquor on feed consumption, digestibility and milk yield and its composition in lactating
Nili-Ravi buffaloes. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 17:825-830.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
233
Norton BW, JR Wilson, HM Shelton, and KD Hill, 1990. The Effect of shade on forage quality. In:
H.M. Shelton and W.W Sturs (eds.). Forages for Plantation Crops. Proceeding of workshop,
Sanur, Bali, Indonesia. 83 – 88.
Sánchez MI, Green AJ, and Castellanos EM. 2005. Seasonal variation in the diet of the redshank
Tringa totanus in the Odiel Marshes, south-west Spain: a comparison of faecal and pellet
analysis. Bird Study 52:210–216
Shehu Y, Al-Hassan WS, Pal UR, and Philips CSJ. 2001. Yield and Chemical Composition Response
of Lablab purpureus to Nitrogen, Phosphorus and Potassium Fertilizers. J Trop Grassl 35: 180-
185.
Sleugh BB, KJ Moore, EC Brummer AD, Knapp, J Russell, and L Gibson. 2001. Forage nutritive
value of various Amaranth species at different harvest dates. Crop Sci. 41:466-472.
Subagyo H, Suhartab N, dan Siswanto AB. 2004. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. hlm. 21−66.
Dalam A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus, D. Djaenudin (Ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia
dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor
Ulfi N. 2005. Potensi dan peluang pengembangan sistem integrasisawit-sapi di Provinsi Jambi.
Prosiding Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
Umar S. 2009. Potensi perkebunan kelapa sawit sebagai pusat pengembangan sapi potong dalam
merevitalisasi dan mengakselerasi pembangunan peternakan berkelanjutan. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Reproduksi Ternak pada Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Utomo BN, dan E. Widjaja. 2012. Pengembangan sapi potong berbasis industri perkebunan kelapa
sawit. J. Litbang Pert. Vol. 31 No 4. Desember 2012 : 153-161.
William PW. 2010. Refining the Net Energy System. WCDS Advances in Dairy Technology (2010)
Volume 22: 191-202
Wilson JR, and Ludlow MM. 1991. The environment and potential growth of herbage under
plantations. In: ACIAR Proceedings - Forages for Plantation Crops, Sanur Beach, Bali,
Indonesia (ed. W. W. Stur) pp. 10 - 24. Australian Centre for International Agricultural
Research, Canberra.
Wilson JR, and Wild DWM. 1995 Nitrogen availability and grass yield under shade environments. In:
ACIAR 64 - Integration of Ruminants into Plantation Systems in Southeast Asia (eds B. F.
Mullen & H. M. Shelton) Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra.
Wong CC, and JR Wilson, 1980. Effect of shading on growth and nitrogen content of green panic and
siratro in pure and mixed swards defoliated at two frequencies. Australian Journal of
Agriculture Research. 31: 269-285.
Yayneshet T, LO Eik, and SR Moe. 2009. Seasonal variations in the chemical composition and dry
matter degradability of enclosure forages in the semi-arid region of Northern Ethiopia. Anim
Feed Sci Tech 148:12-33.
Zakariah MA. 2012. Pengembangan tanaman hijauan pakan dibawah naungan tanaman perkebunan.
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2012
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
234
KANDUNGAN PROTEIN KASAR DAN KECERNAAN PROTEIN SILASE DALAM
BERBAGAI PERBANDINGAN CAMPURAN JERAMI JAGUNG-LEGUM INDIGOFERA
ZOLLINGERIANA
Rahmi Dianita, A. Rahman Sy, Ubaidillah dan Ahmad Yani
Fakultas Peternakan Universitas Jambi
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui kandungan protein dan kecernaan protein silase dalam berbagai
perbandingan campuran jerami jagung-legum Indigofera zollingeriana. Penelitian dilaksanakan
dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan: P1 = 100% jerami jagung; P2 =
100% daun legum I. zollingeriana; P3 = 70% jerami jagung + 30% daun legum I. zollingeriana; P4 =
60% jerami jagung + 40% daun legum I. zollingeriana; dan P5 = 50% jerami jagung + 50% daun
legum I. zollingeriana. Peubah yang diamati adalah pH, kandungan protein kasar (% PK) dan
kercernaan in vitro protein kasar (% KcPK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa silase yang
dihasilkan mempunyai karakteristik fisik (warna, aroma dan tekstur) yang baik dan tidak terdapat
kerusakan akibat jamur. Perlakuan P1, P2, P3, P4, dan P5 menunjukkan hasil yang berbeda nyata
(P<0,05) untuk kandungan PK dan KcPK. Kandungan PK semakin meningkat dengan meningkatnya
proporsi legum dalam campuran silase, namun KcPK semakin menurun meskipun antara perlakuan
P3, P4 dan P5 tidak berbeda nyata (P>0,05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan silase campuran
jerami jagung- I. zollingeriana secara fisik mempunyai kualitas yang baik dan proporsi perbandingan
70:30 terbaik untuk kandungan protein kasar dan kecernaan protein kasar silase secara in vitro.
Kata kunci: Indigofera zollingeriana, jerami jagung, protein kasar, kecernaan protein kasar
ABSTRACT
The objective of this study was to determine protein content and in vitro protein digestibility of silage
in different proportions mixed maize-legume Indigofera zollingeriana. The experiment was conducted
using a completely randomized design with treatments as followed: P1 = 100% maize stover; P2 =
100% I. zollingeriana leaves; P3 = 70% maize stover + 30% I. zollingeriana leaves; P4 = 60% maize
stover + 40% I. Zollingeriana leaves; and P5 = 50% maize stover + 50% I. zollingeriana leaves.
Parameters measured were pH, crude protein content (% CP) and in vitro crude protein digestibility
(%CPD) of silage. The results showed that silage fermentation resulted a good physical characteristic
(color, flavor and texture). There was no damage caused by fungi. Treatment P1, P2, P3, P4, and P5
showed a significant difference (P <0.05) for the content of CP and CP. The content of CP increased
with increasing proportion of legumes in a mixture of silage, but IVCPD decreased although the
treatment P3, P4 and P5 are not significantly different (P> 0.05). From this study it can be concluded
silage mixture of maize stover - I. zollingeriana physically have a good quality and the best
proportion ratio 70:30 for protein content and in vitro digestibility.
Keywords: Indigofera zollingeriana, maize stover, crude protein, crude protein digestibility
PENDAHULUAN
Kecukupan pakan baik dari jumlah, kandungan nutrisi, dan kecernaannya akan menentukan
produktivitas ternak. Jerami jagung merupakan hijauan yang sering diberikan oleh petani/peternak
untuk ternak ruminansia setelah periode panen jagung. Pemanfaatan jerami jagung sebagai hijauan
pakan ternak tunggal tidak dapat memenuhi kebutuhan ternak karena kualitasnya yang sudah
menurun. Kandungan nutrisi jerami jagung yaitu protein 5,56%, serat kasar 33,58%, lemak kasar 1,25
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
235
% dan BETN 52,32% (Direktorat Biudidaya Ternak Ruminansia, 2006). Pengawetan jerami jagung
menjadi silase setelah panen jagung merupakan salah satu usaha untuk mempertahankan kualitas
jerami jagung. Penambahan leguminosa seperti I. zollingeriana dalam campuran silase diharapkan
dapat memperbaiki nilai nutrisi, khususnya protein silase jerami jagung-I. zollingeriana. Daun I.
zollingeriana mengandung protein kasar (PK) yang tinggi yaitu 27,89%, lemak kasar atau ekstrak eter
(EE) sebesar 3,70%, dan serat kasar (SK) sebesar 14,96% (Akbarillah et al., 2008). Penelitian ini
bertujuan mengetahui kandungan protein kasar dan kecernaan protein silase dalam berbagai
perbandingan campuran jerami jagung-legum Indigofera.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi dan. Analisis
kimia silase dilakukan di laboratorium Fakultas Peternakan IPB. Bahan yang digunakan adalah
jerami jagung yang dichopper berumur ± 70 hari, dedak, bakteri asam laktat (Lactobacilus plantarum
dan Lactobacillus fermentum) dan daun legum I. zollingeriana. Metode pembuatan silase yaitu jerami
jagung dan daun legume I. zollingeriana dikering anginkan. Kemudian jerami jagung dan daun legum
I. zollingeriana dicampurkan dan diaduk hingga rata. Setelah rata, sebanyak 3% BAL dan 5% dedak
ditambahkan ke dalam campuran jerami jagung dan legum I.zollingeriana dan kemudian diaduk,
dimasukkan ke dalam plastik silase dan dipadatkan kemudian ditutup. Setelah 3 minggu, silase
dibuka, diangin-anginkan, dan diamati karakteristik fisik meliputi bau, warna dan tekstur. Kemudian
silase digiling untuk dianalisis.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri atas 5 perlakuan (P1, P2, P3, P4
dan P5) dan 4 ulangan dengan jumlah total 20 unit percobaan. Perlakuan terdiri atas : P1 = 100%
jerami jagung; P2 = 100% daun I. zollingeriana; P3 = 70% jerami jagung + 30% daun I.
zollingeriana; P4 = 60% jerami jagung + 40% daun I. zollingeriana; P5 = 50% jerami jagung + 50%
daun I. zollingeriana
yang diamati adalah pH, protein kasar (PK) (Kjedahl method) dan kecernaan protein kasar (KCPK)
(Tilley dan Terry, 1963). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA). Jika
hasil analisis memperlihatkan pengaruh nyata (P <0,05) maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda
Duncan (Steel dan Torrie, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan karakteristik fisik silase menunjukkan hasil bahwa warna, aroma dan tekstur silase yang
dihasilkan sama pada hampir semua perlakuan yaitu berwarna kuning kehijauan, beraroma asam segar
dan bertekstur lembut dan halus. Aroma asam pada silase ditunjukkan oleh pH silase (Tabel 1) yang
rendah untuk setiap perlakuan dengan kisaran 3,75 - 4,5. Menurut Siregar (1996) silase yang baik
mempunyai ciri-ciri seperti rasa dan aroma yang asam, tetapi segar dan enak. Hanya pada perlakuan
P2 (100% legum), silase berwarna hijau kecoklatan. Hal ini disebabkan oleh warna hijau legum pada
saat awal fermentasi mengalami proses karamelisasi selama proses fermentasi sehingga menjadi
coklat. Reksohadiprodjo (1988) menyatakan bahwa perubahan warna yang terjadi pada tanaman yang
mengalami proses ensilase disebabkan oleh oksidasi gula, panas juga dihasilkan pada proses ini
sehingga temperatur naik dan akan menyebabkan silase berwarna coklat tua sampai hitam. Kerusakan
akibat jamur tidak ditemukan pada semua perlakuan silase.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
236
Tabel 1 menunjukkan kandungan protein kasar silase nyata (P<0,05) meningkat dengan meningkatnya
proporsi legum I. zollingeriana dalam campuran silase. Namun, jika dibandingkan dengan perlakuan
100% legum (P2), perlakuan P2 menghasilkan kandungan protein yang tertinggi dari semua
perlakuan. Hasil penelitian Phiri et al. (2007) menunjukkan bahwa kandungan protein kasar silase
campuran jagung dengan legum pohon (perbandingan 50:50) Acasia boliviana atau Laucaena
leucocephala lebih tinggi (masing-masing 156 dan 141 (g/kg BK) dibandingkan dengan silase jagung
tunggal (76 g/kgBK).
Tabel 1 Rata-rata pH, Kandungan Protein Kasar dan Nilai Kecernaaan Protein Kasar (KcPK) Silase
Campuran Jerami Jagung-I. zollingeriana
Perlakuan pH Protein Kasar (%) KcPK (%)
P1 3,75 8,34 e 57,25 c
P2 4,00 25,80 a 78,25 a
P3 4,25 14,80 d 74,25 ab
P4 4,50 17,07 c 71,75 b
P5 4,00 21,83 b 70,50 b
Keterangan: Huruf yang beda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05%) Uji Jarak
Berganda Duncan
Sementara itu, kecernaan protein kasar silase campuran jerami jagung-I. zollingeriana menurun
dengan meningkatnya proporsi legum, meskipun tidak berbeda nyata antara perlakuan P3, P4 dan P5.
Perlakuan P1 dan P2 berbeda nyata, dan perlakuan P2 beda dengan perlakuan P4 dan P5, namun tidak
berbeda dengan perlakuan P3. Hal ini diduga karena adanya kandungan tannin dalam legum I.
zollingeriana; dengan meningkatnya proporsi legum akan meningkatkan konsentrasi tannin dalam
silase sehingga menurunkan kecernaan protein silase. Broderick dan Abrecht (1997) menambahkan
bahwa perbedaan dalam laju degradasi protein dan lolosnya proten dalam rumen secara proporsional
berhubungan dengan konsentrasi tannnin.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa silase campuran jerami jagung- I. zollingeriana secara
fisik mempunyai kualitas yang baik dan proporsi perbandingan 70:30 terbaik untuk kandungan
protein kasar dan kecernaan protein kasar silase secara in vitro.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini terlaksana dengan dana DIPA Fakultas Peternakan Universitas Jambi.
Daftar Pustaka
Akbarillah T, Kususiyah, D. Kaharuddin dan Hidayat. 2008. Kajian tepung daun indigofera sebagai
suplemen pakan terhadap produksi dan kualitas telur puyuh. Jurnal Peternakan Indonesia. 3:20-
23.
Broderick G. A. dan Albrect K. A. 1997. Ruminal in vitro degradation of protein in tannin-free and
tannin containing forage legume species. J..Crops Sci. Vol. 37 No.36 p 1884 – 1891.
Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia. 2006. Limbah Tanaman Sebagai Pakan Ruminansia.
Jakarta.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
237
Phiri, M.S., Ngongoni, N.T., Maasdorp, B.V., Titterton, M., Mupangwa, J.F., Sebata A. 2007.
Ensiling characteristics and feeding value of silage made from browse tree legume-maize
mixtures. Tropical and Subtropical Agroecosystems, 7 (2007): 149 - 156
Reksohadiprodjo, S. 1988. Pakan Ternak Gembala. Bio Partening Future Europe, Yogyakarta.
Siregar, M.E. 1996. Daun Gamal sebagai Pakan Ternak. Departemen Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Ciawi, Bogor.
Steel, R G D dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Gramadia Pustaka Utama. Jakarta.
Tilley, J. M. A. dan R. A. Terry. 1963. A Two Stage Technique for the In vitro Digestion of Forage
Crops. J. Brit. Grassland Sci. 18:104-111.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
238
TARAF NAUNGAN KELAPA SAWIT DAN PENGGUNAAN PUPUK TERHADAP
PRODUKSI HIJAUAN DAN BENIH KALOPO (Calopogonium mucunoides) DI LAHAN
KERING MASAM
E. Sutedi, I. Herdiawan, dan Sajimin
Balai Penelitian Ternak PO. Box 221 Bogor
Email: [email protected]
ABSTRAK
Ketersediaan hijauan pakan untuk ruminansia di Indonesia sering terkendala oleh musim kemarau,
namun akhir-akhir ini di beberapa wilayah pada musim penghujan juga ketersediaan hijauan pakan
ternak tidak optimal. Hijauan yang tersedia hanya cukup untuk mempertahankan hidup
(maintenance), belum mencukupi untuk kebutuhan produktivitas ternak itu sendiri.. Penelitian
produktivitas hijauan pakan ternak di lahan masam termasuk di perkebunan kelapa sawit selama ini
belum pernah dilakukan. . Penelitian bertujuan untuk memperoleh teknologi produksi kalopo
(Calopogonium mucunoides) baik hijauan maupun benih pada kondisi perkebunan kelapa sawit di
lahan kering masam dalam upaya mendukung integrasi sapi-sawit. Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Anak Petak Terpisah (split plot). Perlakuan yang diberikan adalah dua taraf kemasaman
lahan (M0 = lahan netral dan M1= lahan masam) sebagai petak utama (main plot), dua taraf naungan
(umur kelapa sawit< 5 tahun dan > 5 tahun) sebagai anak petak (sub plot) dan dua taraf pemupukan
(K0 = tanpa pupuk kandang; K1 = 10 ton pupuk kandang per ha)sebagai Sub-anak Petak.Penelitian
teknologi produksi benih dilakukan di kebun percobaan Balitnak di Ciawi, Jawa Barat dan di Loka
Penelitian Kambing Potong Sei Putih di Sumatera Utara. Luas lahan yang digunakan di Ciawi sekitar
2.000 m2, sementara di Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih sekitar 5.000 m2. Petak-petak
penelitian di Sei Putih berlokasi di lahan kering masam. Pada petak penelitian dibuat gulud berukuran
lebar 1,20 cm dan panjang disesuaikan dengan kondisi lahan, yaitu sekitar 100 m sebagai gulud
perlakuan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan pupuk Fosfat (P)
sebagai perlakuan (P0=kontrol, P1=20 g/tanaman, P2=30 g/tanaman, P3=P1 yang displit dalam dua
aplikasi, P4=P2 yang displit dalam dua aplikasi). Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Peubah
yang diamtai adalah produksi bij dan biji + polong. Data hasil menunjukkan bahwa produksi hijauan
kalopo yang ditanam di bawah tegakan kelapa sawit pada lahan masam, baik untuk kelapa sawit yang
tajuknya masih terbuka maupun yang sudah tertutup (umur >5 tahun) hasil panen ke-2 meningkat.
Peningkatannya berkisar antara 150% untuk yang ditanam di bawah kelapa sawit berumur < 5 tahun
(tajuknya masih terbuka, sampai 30% untuk yang ditanam di bawah kelapa sawit yang tajuknya sudah
menaungi. Kalopo yang dipupuk dengan pupuk kandang sapi 10 ton/ha dan 20 t/ha menunjukkan
kenaikan hasil, tetapi tidak berbeda nyata, Hasil pengamatan produksi benih kalopo pada perlakuan
pupuk fosfat menunjukkan bahwa selama enam kali panen tidak terlihat adanya perbedaan yang
sangat nyata antara perlakuan satu dengan lainnya.
ABSTRACT
Availability of forage for ruminants in Indonesia are often plagued by drought, but lately in several
areas during the rainy season is also the availability of fodder is not optimal. Forage available is just
enough to sustain life (maintenance), insufficient for the needs of livestock productivity itself ..
Research productivity of forage land wry including oil palm plantations has not been done. , Research
aimed at obtaining production technology kalopo (Calopogonium mucunoides) both forage and seed
on the condition of oil palm plantations on dry land sour in an effort to support the integration of
cattle-palmThe design used was a draft Children Separated plots (split plot). Treatments are two levels
of acidity land (M0 = land neutral and M1 = land sour) as the main plot (main plot), two levels shade
(aged palm <5 years and> 5 years) as subplots (sub-plots) and two levels of fertilization (K0 =
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
239
without manure; K1 = 10 tons of manure per ha) as a sub-subsidiary Petak.Penelitian seed production
technology performed in experimental garden Balitnak in Ciawi, West Java and at the Research
Station Goat White Sei in North Sumatra, Area is used in Ciawi about 2,000 m2, while at the
Research Station Goat White Sei approximately 5,000 m2. Research plots in the White Sei located on
dry land sour. On the research plot was made swath swath width of 1.20 cm and a length adapted to
the conditions of land, which is about 100 m as the plot plot treatment. The design used was a
randomized block design with fertilizer Phosphate (P) as a treatment (P0 = control, P1 = 20 g / plants,
P2 = 30 g / plants, P3 = P1 displit in two applications, P4 = P2 displit in two application). Each
treatment was repeated 5 times. Variables diamtai is bij production and seed pods +. Data results
indicate that forage production kalopo planted under oil palm stands on land sour, good for oil palm
canopy is still open and those already closed (aged> 5 years) 2nd harvest increased. Improvements
ranged from 150% for the planted under oil palm aged <5 years (editorial still open, up to 30% for
grown under a canopy of palm oil that has been overshadowed. Kalopo fertilized with cow manure
10 ton / ha and 20 t / ha showed an increase yield, but not significantly different, observations kalopo
seed production in the treatment of phosphate fertilizers showed that over six times the harvest does
not look very real differences between the treatment of one another.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketersediaan hijauan pakan untuk ruminansia di Indonesia sering terkendala oleh musim kemarau,
namun akhir-akhir ini di beberapa wilayah pada musim penghujan juga ketersediaan hijauan pakan
ternak (HPT) tidak optimal. Hijauan yang tersedia hanya cukup untuk mempertahankan hidup saja,
tidak untuk meningkatkan produktivitas ternaknya sendiri. Hal ini disebabkan karena rendahnya daya
hasil rumput pakan disamping semakin berkurangnya lahan untuk pertanian, termasuk untuk produksi
hijauan pakan (Abdullah dkk., 2005) demikian juga halnya dengan padang rumput yang sudah
terdegradasi sehingga daya dukungnya semakin rendah (Bamualim, 2009), padahal di dalam sistem
pemeliharaan ternak ruminansia tradisional di Indonesia, HPT merupakan bagian terbesar dari seluruh
pakan yang diberikan.
Tidak kurang dari 80% pakan ternak ruminansia yang dipelihara petani di desa-desa adalah HPT.
Sampai sejauh ini, sebagian besar HPT yang diberikan kepada ternak di Indonesia berupa rumput
lokal atau rumput asli (native grass), baik yang berasal dari padang penggembalaan umum, maupun
dari tempat-tempat lain seperti pematang sawah, pinggir jalan, pinggir hutan, saluran irigasi atau
perkebunan (Prawiradiputra, 1986). Penelitian produktivitas hijauan pakan ternak di lahan masam
termasuk di perkebunan kelapa sawit selama ini belum pernah dilakukan. Penelitian di perkebunan
kelapa sawit baru meliputi komposisi vegetasi (Prawiradiputra, 2011).
Selain itu sampai sejauh ini penelitian hijauan pakan ternak ke arah peningkatan produktivitas biji
(untuk benih) dan peningkatan kualitasnya belum banyak dilakukan. Kalaupun pernah dilakukan
biasanya tidak sampai tuntas karena berbagai alasan.Penelitian untuk meningkatkan hasil biji tanaman
dapat dilakukan dengan jalan mengurangi kehilangan biji pada saat panen. Salah satu caranya adalah
dengan menggunakan mulsa plastik. Penggunaan mulsa plastik juga dimaksudkan untuk mengurangi
gulma yang sering tumbuh bersamaan dengan tanaman utama sehingga dapat mengurangi
produktivitas tanaman.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
240
Dasar pertimbangan
Dalam hal penelitian produktiitas hijauan pakan pada leguminosa, khususnya kalopo, di lahan masam
dan di perkebunan kelapa sawit perlu diteliti peranan pupuk organik terhadap peningkatan kesuburan
lahan dan dampaknya kepada kalopo. Hal ini disebabkan karena pupuk organik diduga mempunyai
kemampuan untuk menetralkan kemasaman tanah.Penelitian yang mengarah ke peningkatan produksi
biji, untuk mendapatkan benih bermutu tinggi baik bagi penangkar benih maupun untuk pengguna
sudah dilaksanakan di Balitnak sejak tahun 2001 (Yuhaeni dkk., 2002a), namun penelitian itu terbatas
pada beberapa spesies leguminosa saja.
METODOLOGI PENELITIAN
Produksi Hijauan
Penelitian teknologi produksi hijauan pakan telah dilakukan di kebun kelapa sawit milik masyarakat
yang memenuhi persyaratan di Sumatera Utara. Luas lahan yang digunakan sekitar 2 ha yang terdiri
atas empat lokasi (Gambar 1). Petak-petak penelitian tersebut berlokasi di lahan kering masam dan di
lahan dengan kemasaman normal (sebagai perlakuan).
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Anak Petak Terpisah. Perlakuan yang diberikan
adalah Kemasaman Lahan (dua perlakuan: M0 = lahan netral dan M1= lahan masam) sebagai Petak
Utama, Naungan (yang ditentukan oleh umur kelapa sawit) sebagai Anak Petak dan Pupuk kandang
sebagai Sub-anak Petak (K0 = tanpa pupuk kandang; K1 = 10 ton pupuk kandang per ha).
Denah Percobaan
Tanpa
Pukan
Pukan 10
t/ha
Pukan 20
t/ha
Tanpa
Pukan
Pukan 20
t/ha
Pukan 10
t/ha
Petak A: pH tanah 4-5;
umur kelapa sawit >5 tahun
Petak B: pH tanah 5-5,5;
umur kelapa sawit >5 tahun
Pukan 20
t/ha
Pukan 10
t/ha
Tanpa
Pukan
Pukan 10
t/ha
Tanpa
Pukan
Pukan 20
t/ha
Petak C: pH tanah 4-5;
umur kelapa sawit <5 tahun
Petak D: pH tanah 5-5,5;
umur kelapa sawit <5 tahun
Gambar 1. Denah percobaan produksi hijauan di lahan kering masam.
Produksi benih
Penelitian teknologi produksi benih dilakukan di kebun percobaan Balitnak di Ciawi, Jawa Barat dan
di Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih di Sumatera Utara. Luas lahan yang digunakan di Ciawi
sekitar 2.000 m2, sementara di Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih sekitar 5.000 m2. Petak-
petak penelitian di Sei Putih berlokasi di lahan kering masam. Pada petak penelitian dibuat gulud
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
241
berukuran lebar 1,20 cm dan panjang disesuaikan dengan kondisi lahan, yaitu sekitar 100 m sebagai
gulud perlakuan.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan pupuk Fosfat (P) sebagai
perlakuan (P0=kontrol, P1=20 g/tanaman, P2=30 g/tanaman, P3=P1 yang displit dalam dua aplikasi,
P4=P2 yang displit dalam dua aplikasi). Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Peubah yang
diamtai adalah produksi bij dan biji + polong
Denah Percobaan
P0 Dengan mulsa plastik Tanpa mulsa plastik
P1 Dengan mulsa plastik Tanpa mulsa plastik
P2 Tanpa mulsa plastik Dengan mulsa plastik Ulangan I
P3 Dengan mulsa plastik Tanpa mulsa plastik
P4 Tanpa mulsa plastik Dengan mulsa plastik
. 100 m
P0 Tanpa pupuk Tanpa pupuk 1,2 m
0,8 m
P1Pupuk P 20 g Pupuk P 20 g
P2 Pupuk P 20 g Pupuk P 20 g Ulangan V
P3 10 g +10g P 10 g +10g P
P4 15g P+15g P 15g P +15g P
Keterangan : P0 = tanpa pupuk P, P1 = 20 g pupuk P/tanaman, P2 = 20 g pupuk P/tanaman,
P3 = 10 g + 10 g pupuk P/tanaman, P4 = 15 g + 15 g pupuk P/tanaman
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh naungan dan pupuk kandang terhadap hasil hijauan kalopo
Hijauan pakan pada umumnya dipanen dengan interval waktu tertentu tergantung pada musim dan
umur tanaman. Unuk kalopo yang ditanam di bawah tegakan kelapa sawit panen pertama dilakukan
pada umur enam minggu diikuti panen kedua enam minggu kemudian.
Data menunjukkan bahwa kalopo yang ditanam di bawah tegakan kelapa sawit pada lahan masam,
baik untuk kelapa sawit yang tajuknya masih terbuka maupun yang sudah tertutup (umur >5 tahun)
hasil panen ke-2 meningkat. Peningkatannya berkisar antara 150% untuk yang ditanam di bawah
kelapa sawit berumur < 5 tahun (tajuknya masih terbuka, sampai 300% untuk yang ditanam di bawah
kelapa sawit yang tajuknya sudah menaungi (Gambar 1).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
242
Gambar 1. Hasil panen I dan II hijauan kalopo pada tanaman kelapa sawit umur 3 tahun dan
6 tahun di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.
Walaupun produktivitasnya antara panen pertama dan kedua meningkat, belum diketahui apakah
hasilnya masih meningkat pada panen-panen selanjutnya.
Tabel 1. Rata-rata hasil hijauan kalopo dua kali panen di tanah masam (g/10 m2)
Pupuk kandang Rata-rata
Kontrol 10 t/ha 20 t/ha
Terbuka 1658 1858 1358 1625
Ternaungi 437 670 1057 721
Rata-rata 1047,5 1264 1207,5
Pengaruh pupuk kandang terhadap hasil hijauan kalopo ternyata tidak terlihat. Kalopo yang dipupuk
dengan pupuk kandang sapi 10 ton/ha dan 20 t/ha menunjukkan kenaikan hasil, tetapi tidak berbeda
nyata (Gambar 2), artinya kenaikan hasil ini tidak disebabkan oleh pupuk kandang, tetapi oleh faktor
lain. Walaupun demikian perlu dilihat lebih lanjut apakah hasil panen ketiga dan selanjutnya masih
memperlihatkan trend yang sama atau tidak.
Sekalipun demikian pemberian pupuk kandang diperlukan, khususnya untuk tanaman kelapa sawit di
atas 5 tahun, karena apabila tidak dipupuk terdapat perbedaan hasil yang sangat tajam antara yang
ditanam di bawah kelapa sawit muda yang tajuknya masih terbuka dibandingkan dengan kelapa sawit
yang umurnya > 5 tahun (Gambar 3).
Kalopo yang dipupuk sebanyak 20 t/ha dapat meningkatkan hasil hijauannya terutama pada tanaman
yang berumur di atas 5 tahun.
Data rata-rata antara hasil kalopo yang ditanam di lahan tanpa naungan dan dengan naungan kelapa
sawit ditunjukkan pada Gambar 4.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
243
Gambar 2. Rata-rata hasil hijauan kalopo yang dipupuk kandang 10 t/ha dan 20 t/ha
Gambar 3. Rata-rata hasil hijauan kalopo pada naungankelapa sawit dan yang terbuka yang
dipupuk kandang 10 t/ha dan 20 t/ha
Gambar 4. Perbandingan hasil rata-rata hijauan kalopo yang ditanam di lahan tanpa naungan
dan dengan naungan kelapa sawit di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.
Pengaruh perlakuan pupuk fosfat terhadap produksi benih
Hasil pengamatan produksi benih kalopo pada perlakuan pupuk fosfat menunjukkan bahwa selama
enam kali panen tidak terlihat adanya perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan satu dengan
lainnya seperti yang terlihat pada Gambar 5.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
244
Gambar 5. Hasil benih kalopo yang diberi perlakuan pupuk fosfat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
a. Data menunjukkan bahwa hasil panen ke-2 hijauan kalopo yang ditanam di bawah tegakan kelapa
sawit pada lahan masam, baik untuk kelapa sawit yang tajuknya masih terbuka maupun yang
sudah tertutup (umur >5 tahun) meningkat dibandingkan dengan panen pertama;
b. Pengaruh pupuk kandang terhadap hasil hijauan kalopo ternyata tidak terlihat. Kalopo yang
dipupuk dengan pupuk kandang sapi 10 ton/ha dan 20 t/ha menunjukkan kenaikan hasil, tetapi
tidak berbeda nyata, namun pemberian pupuk kandang diperlukan, khususnya untuk tanaman
kelapa sawit di atas 5 tahun;
c. Hasil panen benih kalopo menunjukkan tidak terlihat adanya perbedaan yang sangat nyata antara
perlakuan satu dengan lainnya
Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disarankan agar tanaman penutup tanah pada tanah masam
dipupuk dengan pupuk kandang dengan dosis 10 t/ha khususnya pada kelapa sawit yang umurnya di
atas 5 tahun. Untuk memproduksi benih kalopo di lahan masam sebaiknya digunakan benih-benih
yang sudah benar-benar terseleksi dan umurnya tidak lebih dari 3 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, L., PDMH Karti, S. Hardjosoewignjo, 2005. Reposisi tanaman pakan dalam kurikulum
Fakultas Peternakan. Pros. Lokakarya Nasional Tanaman pakan Ternak. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Andrew, C.H. 1978. Production and maintenance of high quality soybean seed. MAFES Journal Seed
Tech. Lab. Missouri State Univ.
Bamualim, A., 2009. The dynamic of native grass resources in dryland area of Indonesia to support
beef cattle production: case study of Nusa Tenggara. Proc. of the International Seminar on
Sustainable management and Utilization of Forage-based Feed Resources for Small-scale
Livestock Farmers in Asia.
Buttler, J.E., 1999. Seed testing. In Loch and Ferguson (eds) Forage Seed Production Vol 2: Tropical
and Subtropical Species. CABI Publishing Oxon UK.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
245
Mamicpic, N.G. 1988. Seed Storage Syllabus, Lecture Notes and Laboratory Manual for S-O Seed
Study Program. IPB, Bogor. Seed II Project.
Prawiradiputra, B.R., 1986. Pola Penggunaan Hijauan Makanan Ternak di DAS Jratunseluna
dan Brantas. Seri Makalah Penelitian No. 1. P2LK2, Badan Litbang Pertanian.
Prawiradiputra, B.R. dan N.D. Purwantari, 1996. Pengembangan potensi sumber daya hijauan pakan
untuk menunjang produktivitas ternak di Indonesia. Dalam Hastiono . (eds). Prosiding Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan
Litbang Pertanian.
Prawiradiputra, B.R., N.D. Purwantari, A. Fanindi, I. Herdiawan, Sajimin dan E. Sutedi, 2006,
Teknologi produksi dan pasca panen benih tanaman pakan ternak terseleksi. Kumpulan hasil-
hasil penelitian APBN TA 2005. Edisi Khusus. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
Prawiradiputra, B.R., A. Fanindi dan S. Yuhaeni, 2007. Peningkatan produksi biji TPT dan kualitas
melalui penambahan pupuk Sulfur (S) dan metode penyimpanan yang tepat. Kumpulan hasil-
hasil penelitian APBN TA 2006. Edisi Khusus. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor
Prawiradiputra B.R., J.R. Hidayat, Nurhayati dan Sajimin., 2008. Pemurnian benih leguminosa pakan
Calopogonium mucunoides Desv. Laporan Penelitian Balai Penelitian Ternak. Belum Terbit.
Sadjad, S. 1974. Teknologi Benih dan Masalah-masalahnya. Proc. Kursus Singkat Pengujian Benih. IPB
Bogor,112-133.
Sadjad, S. 1993. Dari Benih kepada Benih. PT Grasindo, Jakarta. 144 hal.
Sadjad, S., Faiza S. Suwarno dan SetiaHadi, 2001. Tiga Dekade Berindustri Benih di Indonesia.
Grasindo, Jakarta.
Yuhaeni, S., E. Sutedi, N.D. Purwantari, B.R. Prawiradiputra, A. Semali dan Sajimin. 2002a.
Teknologi Produksi dan Pengujian Kualitas Benih. Laporan Tahunan 2002. Balai Penelitian
Ternak Ciawi, Bogor.
Yuhaeni, S., N.D. Purwantari, B.R. Prawiradiputra, A. Semali, E. Sutedi., Sajimin dan A. Fanindi
2003. Teknologi Produksi dan Pengujian Kualitas Benih Laporan Tahunan 2003. Balai
Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
246
DAYA DUKUNG HIJAUAN PAKAN DALAM KONSERVASI SAPI PUTIH TARO
I W. Suarna, M.A.P. Duarsa, N.P. Mariani, L.G. Sumardani, dan S.A.Lindawati
Puslitbang Tumbuhan Pakan Universitas Udayana
Email: [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Sapi Putih Taro adalah plasma nutfah asli Bali yang harus dilestarikan sesuai dengan amanat Tujuan
Pembangunan Millenium untuk mengurangi laju kehilangan keanekaragaman hayati sebagai
sumberdaya genetik yang sangat berharga. Sapi putih Taro saat ini populasinya sebanyak 34 ekor
dengan kondisi masih memprihatinkan karena meningkatnya tekanan dari berbagai faktor. Ketika sapi
putih menggembala di habitat aslinya (hutan Taro) sapi putih taro dapat mencapai populasi sebanyak
150 ekor (Tahun 2001). Tekanan terhadap sapi putih semakin meluas karena lahan yang menyempit
dan meningkatnya jumlah hijauan yang harus disediakan secara bergilir oleh mayarakat adat Desa
Taro. Desa Taro terletak di Kecamatan Tegalalang, berdekatan dengan kecamatan Payangan
Kabupaten Gianyar. Kedua kecamatan tersebut mengembangkan komuditas unggulan sapi bali.
Sementara sapi taro juga membutuhkan ketersediaan spesies hijauan yang sama dengan sapi bali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya dukung hijauan pakan untuk sapi putih taro mulai menurun
sehingga diperlukan pendekatan strategis dalam pelestarian sapi putih taro dalam rangka
mempercepat pencapaian pembangunan millenium. Upaya tersebut adalah: 1) meningkatkan efisiensi
produksi hijauan 2) optimalisasi pemanfaatan hijauan pakan 3) optimalisasi pemanfaatan lahan dan
budidaya tanaman pakan unggul dan 4) teknologi peningkatan kapasitas tanaman pakan lokal.
Kata Kunci: sapi putih taro, daya dukung hijauan, dan konservasi
ABSTRACT
White cattle Taro is a Bali native germplasm that must be preserved in accordance with the mandate
of the Millennium Development Goals to reduce the rate of loss of biodiversity as a valuable genetic
resources. At this time, the population of White cattle Taro is 34 heads, which the conditions still
cause for concern because of the increasing pressure of various factors. When the white cattle graze in
their natural habitat (forest Taro) White cattle Taro to reach a population of 150 animals (2001).
Pressure against white cow increasingly widespread because the land is narrow and increasing the
amount of forage that should be provided in rotation by traditional society village of Taro. Taro
village located in District Tegallalang, close to Districts Payangan Gianyar regency. Two districts are
developing leading commodity Bali cattle. While White cattle Taro also requires the availability of
forage species are the same as Bali cattle. The results showed that carrying capacity of forage for
White cattle Taro started to decline so that the necessary strategic approach to the conservation of taro
white cattle in order to accelerate the achievement of the millennium development. Such efforts are:
1) improving the efficiency of forage production 2) optimizing the utilization of forage 3)
optimization of land use and cultivation of superior feed and 4) technological capacity building of
local feed plant.
Keywords: White Cattle Taro, carrying capacity of forage and conservation
PENDAHULUAN
Memastikan kelestarian lingkungan hidup merupakan salah satu tujuan dari delapan tujuan
pembangunan milineum (Millenium Development Goals = MDGs). Salah satu fokus kegiatan pada
aspek melestarikan lingkungan hidup adalah mengurangi kehilangan sumberdaya hayati. Bali
memiliki cukup banyak sumberdaya hayati yang beberapa diantaranya sudah mengalami kepunahan
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
247
dan nyaris punah. Harimau bali dan itik bali sudah tidak ditemukan lagi, sedangkan babi bali, kakatua
jambul kuning, kambing gembrong, jalak bali kondisinya nyaris punah. Sapi putih taro yang sering
disebut lembu putih taro hanya ada di Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar dan
dimanfaatkan untuk kepentingan upacara agama di seluruh Bali. Terkait dengan komitmen dan
program Pemerintah Provinsi Bali untuk melaksanakan percepatan pelaksanaan pencapaian tujuan
MDGs sesuai Roadmap MDGs Bali, maka dukungan terhadap pelestarian lembu putih mutlak
diperlukan.
Dalam konteks konservasi sapi putih taro terdapat berbagai aktivitas riset yang harus dilakukan seperti
studi tentang aspek genomic sapi putih taro, behaviour, teknologi budidaya termasuk aspek
penyediaan pakannya. Berdasarkan atas tata guna lahan, komuditas ternak unggulan, dan
perkembangan pembangunan masyarakat Desa Taro maka sangat dipandang perlu mencermati
seberapa besar daya dukung hijauan pakan terhadap keberlanjutan asset plasma nutfah sapi putih taro.
Daya dukung hijauan pakan dikaji dengan tujuan untuk mengidentifikasi permasalahan ketersediaan
hijauan untuk sapi putih taro ditengah-tengah meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya plasma
nutfah Indonesia.
METODE PENELITIAN
Penentuan Lokasi menggunakan pendekatan Location Driven (kawasan yg memiliki potensi dan daya
dukung memadai untuk pengembangan suatu komoditas unggulan), yang ditetapkan keunggulan
komparatifnya dengan metode LQ (Location Quatient) (Permentan No 50 Th 2012). Komponen
utama yang dipertimbangkan: potensi lahan pertanian, sebaran komoditas unggulan, dan potensi
pengembangan komoditas unggulan, yang diperoleh dengan pelaksanaan survei, dan dianalisis secara
deskriptif. Pengukuran produksi hijauan menggunakan dry-weight rank method.
Status daya dukung hijauan pakan pendekatannya dicoba untuk memanfaatkan penentuan status daya
dukung lahan dimana:
1. Status daya dukung lahan terhadap ketersediaan hijauan pakan diperoleh dari pembandingan
antara ketersediaan lahan (SL) dan kebutuhan lahan (DL)
2. Bila SL > DL maka daya dukung lahan dinyatakan surplus
3. Bila SL<DL maka daya dukung lahan dinyatakan defisit atau terlampaui.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Eksisting Sapi Putih Taro
Sapi putih taro sangat rentan terhadap kondisi hujan dan panas demikian pula apabila dibiarkan lepas
(diumbar) maka sifat dominansinya terhadap sesama jenis akan muncul sehingga nampak sebagai
penomena sadisme pada ternak. Luas lahan hutan adat saat ini adalah 24 ha dengan luasan lahan
penggembalaan sapi (ranch) sekitar 4 ha. Kemungkinan lembu mendapatkan makanan di dalam
kandangnya secara alami sangat minim, karena rerumputan yang ada dan tumbuh di sini sudah sangat
tipis, sehingga harus mendapat suplai dari luar kadang Pemberian makanan setiap hari dilakukan oleh
sekitar 10 orang anggota masyarakat yang bertugas memberikan makan dan mencarikan rumput di
sekitar hutan. Masyarakat yang bertugas membawakan hijauan pakan sampai di kandang sebanyak 6
orang setiap hari, yang dilaksanakan secara bergiliran (Suarna . 2014).
Lembu putih merupakan sapi yang secara endemik terdapat di Desa Taro, Kabupaten Gianyar. Sapi
tersebut dipelihara oleh masyarakat adat Desa Taro dan dimanfaatkan oleh masyarakat Hindu di
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
248
seluruh Bali untuk kepentingan pelaksanaan upacara keagamaan (piranti upakara). Untuk tetap
lestarinya lembu putih baik sebagai sumber plasma nuftah ataupun sebagai warisan budaya yang
memiliki mitologi sebagai basis kearifan lokal, maka peran pemerintah daerah kabupaten dan provinsi
demikian pula majelis desa pakraman sangat diperlukan untuk mendukung upaya pelestarian lembu
putih tersebut. Program nasional seperti SDGs dan MP3EI juga mengisyaratkan bahwa pelestarian
terhadap lembu putih adalah upaya memastikan menurunnya kehilangan sumberdaya hayati.
Revitalisasi terhadap kearifan lokal masyarakat setempat, luasan dan vegetasi hutan, dan nilai historis
lembu putih taro akan meningkatkan potensi sumberdaya tersebut untuk dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat dengan mewujudkan lembu putih taro sebagai salah satu tujuan
kunjungan wisata (Suarna, 2014). Pada tahun 1967 terjadi konversi (pengalihfungsian) hutan yang
menjadi komunitas lembu putih. Mitos yang berkembang biasanya bermanfaat efektif sebagai
mekanisme kontrol terhadap lingkungan. Namun, di Desa Taro yang dulu memiliki Alas Duwe (hutan
taro) dengan sapi putih yang berkembang biak di dalamnya, sebagian telah dialihfungsikan menjadi
lahan pertanian dengan membabat hutan, sedangkan lembu putih dibiarkan berkeliaran di kampung-
kampung. Lembu putih taro pada awalnya dibiarkan lepas, tidak dikandangkan. Lembu ini
berkeliaran di Banjar Taro Kaja, namun akhir-akhir ini puluhan lembu putih tersebut telah dikurung di
dalam ranch dengan ukuran sekitar seluas lapangan sepak bola, yang letaknya di ujung selatan Banjar
Taro Kaja. Menurut Kelihan Adat Banjar Taro Kaja I Gede Riwa, Ketika lembu tersebut diumbar di
kawasan hutan Taro populasinya dapat mencapai 150 ekor pada tahun 2000. Populasi sapi putih pada
ahkir tahun 2014 tercatat sebanyak 34 ekor.
Ketersediaan Pakan
Jenis tanaman yang ada di padang gembalaan sapi putih (4 ha) sebagian besar tanaman lokal seperti
Brachiaria repens, Stenotaphrum sp, Soizia matrella, dan Centrocema sp. Sedangkan Arachis pintoi
dan Stenotaphrum secundatum baru diinroduksi pada lahan pengembalaan tersebut. Produksi hijauan
pada padang gembalaan tersebut hanya cukup untuk 4 ekor sapi saja (29.565 kg segar) per tahun.
Sehingga diperlukan pasokan hijauan yang diperoleh dari masyarakat secara bergiliran.
Hijauan yang disediakan masyarakat terdiri dari rumput raja, rumput gajah, dan terkadang ada yang
memberikan gamal. Berkurangnya lahan hutan, adanya wisata gajah, dan meningkatnya populasi
sapi bali yang dipelihara masayarakat Desa Taro dapat mengurangi ketersediaan hijauan pakan untuk
sapi putih taro.
Gambar 1 Penampilan Sapi Putih Taro
Lembu putih yang sehat ketika masih di umbar
(Foto: Suarna, 1982)
Lembu putih yang dikandangkan (Foto: Suarna,
2013)
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
249
Tabel 1. Populasi Ternak Sapi Bali di Kecamatan Tegalalang Tahun 2013
No Desa/
Kelurahan
SAPI BALI JANTAN SAPI BALI BETINA
Jumlah
Anak Muda Dewasa Jumlah Anak Muda
Dewasa
JUMLAH 2 - 4
tahun
5 - 6
tahun
> 6
tahun
1 Tegallalang 45 70 59 174 36 47 56 60 27 226 400
2 Kendran 3 4 4 11 74 98 116 125 64 477 488
3 Kedisan 18 29 25 72 86 114 136 147 76 559 631
4 Sebatu 76 123 107 306 112 147 176 190 96 721 1.027
5 Pupuan 356 567 482 1.405 201 266 319 345 173 1.304 2.709
6 Taro 414 630 562 1.606 356 472 564 612 311 2.315 3.921
7 Keliki 44 69 59 172 64 85 102 110 56 417 589
Jumlah 2013 956 1.492 1.298 3.746 929 1.229 1.469 1.589 803 6.019 9.765
Tabel 2. Nilai LQ Berbagai Jenis Ternak di Kabupaten Gianyar Tahun 2013
Sapi Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring
LQ 0,6 1,8 0,25 0,5 1,61 1,62 0,89
Babi Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring
LQ 0,51 0,67 0,71 0,99 1,91 1,07 0,78
Kambing Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring
LQ 3,93 0,41 0,51 0,34 0,14 0 0
Ayam Buras Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring
LQ 0,44 0,73 1,24 0,39 1,12 1,46 1,44
Itik Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring
LQ 1,46 1,05 0,89 0,98 0,6 0,72 1,34
Ayam Ras
Pedaging Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring
LQ 1,57 1,29 0,99 1,52 0,6 0,65 0,63
Ayam ras
Petelur Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring
LQ 0 0 0 2,45 3,78 0 0
Domba Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring
LQ 3,93 0,41 0,51 0,34 0,14 0 0
Babi Bali Gianyar Blahbatuh Sukawati Ubud Payangan Tegalalang Tampaksiring
LQ 0 1,17 0,93 0 0,33 4,38 0,51
Sapi putih taro terdapat di Desa Taro Kaja, Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar. Komuditas
unggulan Kec Tegalalang adalah adalah sapi bali. Pada Tabel 2 terlihat bahwa pemeliharaan sapi bali
terbanyak di kabupaten Gianyar adalah di Kecamatan Tegalalang dengan nilai LQ = 1,62. Kecamatan
Tegalalang selain memiliki sapi putih taro yang dilindungi, juga memiliki plasma ntfah babi bali dan
terbanyak populasinya dibandingkan dengan kecamatan lainnya, LQ untuk babi bali adalah 4,38.
Peningkatan populasi sapi bali akan meningkatkan penyediaan pakan hijauan, demikian pula
peningkatan populasi sapi putih taro.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
250
Kebutuhan Hijauan Untuk Sapi Bali
Kebutuhan hijauan pakan untuk sapi putih per tahun adalah 221.738 kg hijauan segar. Sapi putih
karena dipelihara di dalam kandang tidak dapat memanfaatkan hijauan pakan dari hutan pada habitat
aslinya. Pemeliharaan sapi putih saat ini sudah dilaksanakan dengan menajemen dari yayasan yang
dibentuk oleh masyarakat Desa Taro. Sapi Taro saat ini sedang dikemas untuk wisata sapi putih
berdampingan dengan wisata gajah. Populasi sapi putih sudah mengalai peningkatan lagi hingga pada
ahkir tahun 2014 berjumlah 34 ekor. Peningkatan populasi ternak tentunya akan meningkatkan
kebutuhan pakan hijauan.
Penyediaan hijauan pakan untuk ternak ruminansia di Kabupaten Gianyar masih sangat kurang dan
banyak petani peternak yang memanfaatkan jerama padi sebagai pakan serat utama bagi ternak
sapinya. Kendala pengembangan hijauan pakan di Kaupaten Gianyar menurut Suarna dan Suryani
(2013) adalah:
1. meningkatnya alih fungsi lahan;
2. hijauan pakan belum diolah secara bisnis;
3. pemanfaatan lahan utk penanaman hijauan belum optimal;
4. budidaya tanaman pakan unggul belum banyak dilakukan;
5. teknologi peningkatan kualitas tanaman pakan lokal belum banyak diterapkan, dan
6. belum tersedia data yg cukup tentang jenis tanaman pakan yang potensial dikembangkan.
Mengembalikan lembu putih ke habitat aslinya dapat memperbanyak populasi lembu putih dan sapi
akan terlihat sehat karena bebas bergerak dan mendapat pakan beranekaragam. Riset sumber bahan
pakan untuk ternak ruminansia termasuk sapi telah membuktikan bahwa meningkatnya keberagaman
sumber hijauan pakan akan dapat meningkatkan aktivitas mikrobia rumen sapi sehingga konversi
pakan menjadi semakin baik (nilai Feed Conversion Rasio menjadi semakin kecil). Sinergisme antara
kepentingan wisata gajah, hutan desa, budidaya tanaman masyarakat, dan pelestarian habitasi lembu
putih perlu diupayakan agar pengarusutamaan lingkungan dalam berbagai aspek pembangunan dapat
diwujudkan dengan serasi dan harmonis. Upaya yang diperlukan untuk meningkatkan daya dukung
hijauan pakan untuk pengembangan sapi putih taro adalah melalui pengadaan dan perbaikan vegetasi
hutan dan pemanfaatan lahan perkebunan yang ditumpangsarikan dengan tanaman pakan. Sebagian
besar tumbuhan di bawah lahan perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai sumber hijauan pakan tetapi
produktivitasnya masih rendah. Strategi penyediaan hijauan pakan memerlukan pendekatan/dukungan
seperti berikut:
1. meningkatkan jumlah, jenis, dan efektivitas berbagai kebun bibit;
2. melibatkan berbagai pemangku kepentingan;
3. meningkatkan efektivitas pemanfaatan sumber daya untuk pengembahan tumbuhan pakan;
4. menerapkan prinsip-prinsip bioteknologi lingkungan dalam, dan pembudidayaan dan
pengolahan HMT.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Hutan Desa Taro yang cukup luas perlu direvitalisasi sehingga sapi putih dapat dilepas secara
teratur dan berencana untuk meningkatkan behaviour sapi putih
2. Upaya konservasi sapi putih taro harus didukung dengan upaya pemanfaatan dan
pengembangan HMT secara berkelanjutan.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
251
3. Komuditas sapi bali sebagai komuditas unggulan di Kecamatan Tegalalang, Kabupaten
Gianyar harus dapat dikembangkan secara sinergis dengan upaya pelestarian dan konservasi
sapi putih taro.
Saran
1. Perlu dipertimbangkan untuk pengadaan kebun hijauan yang khusus diperuntukkan dalam
rangka konservasi sapi putih taro (jika sapi putih tidak dilepas/dipelihara di kandang).
2. Renovasi padang gembalaan dengan menambah pohon penaung merupakan upaya yang tepat
untuk konservasi sapi putih taro.
DAFTAR PUSTAKA
Permentan No 50. 2012. Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian. Menteri Pertanian Republik
Indonesia.
Suarna, I.W. 2014. Peternakan Yang Menekan Pencemaran. Arti Foundation. Denpasar
Suarna I W. dan N.N. Suryani. 2013. Potensi dan Pengembangan Tanaman Pakan pada Lahan
Perkebunan di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali. Prosiding Semnas II HITPI di Denpasar.
Suarna, W., K.M. Budiasa, I W. Wirawan, dan N.L.G. Sumardani. 2014. Daya Dukung Lahan dan
Tumbuhan Pakan dalam Pengembangan Komuditas Unggulan Peternakan di Kabupaten
Gianyar. Jurnal Pastura. 4 (1): 51 -55
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
252
KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK SAPI BALI YANG
DIBERI PAKAN JERAMI PADI AMONIASI DAN KONSENTRAT YANG
MENGANDUNG TEPUNG DAUN WARU
Muhamad Bata dan Sri Rahayu
Fakultas Peternakan, Unsoed, Purwokerto
ABSTRAK
Sebanyak delapan belas ekor sapi bali jantan yang berumur ± 2 (dua) tahun asal Pulau
Sumbawa dengan bobot awal 150 – 163 kg di tempat pada kandang individu. Sapi tersebut
diacak secara sempurna untuk menerima tiga macam pakan konsentrat yang disuplementasi
dengan tepung daun waru dengan dosis 0%, 0.24% dan 0.48% dari bahan kering (BK)
konsentrat untuk masing-masing perlakuan P0, P1 dan P2. Dengan demikian Racangan Acak
Lengkap (RAL) digunakan pada penelitian ini. Konsumsi BK untuk tiap sapi adalah 3.5%
dari bobot hidup dengan imbangan jerami padi amoniasi dan konsentrat 30 : 70% dan
frekwensi pemberian masing-masing dua kali per hari. Konsentrat diberikan pada jam 07.00
dan jam 14.00 yang disusul pemberian jerami padi amoniasi dua jam kemudian. Amoniasi
jerami padi menggunakan urea 4% dengan aditif onggok 2.5% dari bobot jerami padi kering
udara. Peubah yang diukur adalah konsumsi BK, kecernaan bahan kering (KBK) dan bahan
organik (KBO) dengan menggunakan koleksi total. Hasil penelitian menunjukan bahwa
penambahan tepung daun waru pada konsentrat tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap
konsumsi BK, KBK dan KBO. Rataan KBK dan KBO adalah masing-masing untuk
perlakuan P0, P1 dan P2. Data tersebut mengindikasikan ada kecenderungan peningkatan
KBK dan KBO pada sapi yang diberi tepung daun waru 0.24% dibandingkan denga kontrol
dan dosis 0.48%.
Kata kunci: kecernaan, daun waru, sapi bali, rumen
ABSTRACT
Eighteen of male Bali cattle of about two years old from Sumbawa island with initial body
weight of 150 -163 kg were placed in individual cages. They were completely randomized to
receive three kinds of concentrate feed containing Hibiscus tiliaceus leaf meal of 0%, 0.24%
and 0.48% of the dry matter of the concentrate for P0, P1 and P2 treatments. Completely
Randomized Design was used in this study. Dry matter intake (DMI)for each cattle was 3.5%
of live weight and DMI ratio of rice straw amoniation and concentrates were 30 : 70%.
Feeding frekuency of concentrate were two times of 07.00 and 14.00 pm and rice straw
amoniation fed after two hour of concentrate. Amoniation rice straw used urea of 4% added
with cassava waste of 2,5% from the weight of the air dry. The variables measured were dry
matter intake (DMI), dry matter (DMD and organic matter (OMD) digestibility using total
collection method. The results showed that the addition of Hibiscus leaf meal in concentrate
was not significant (P<0.05) on DMI, DMD and OMD. Mean of DMD and OMD for each
treatments were for P0, P1 and P2, respectively. The data indicates that DMD and OMD of
Bali Cattle fed concentrate diets containing Hibiscus leaf meal of 0.24% tended to increase as
compared to cattle both fed diets of 0% and 0.48%.
Key words: digestibility, Hibiscus tileaceus, bali cattle, rumen
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
253
PENDAHULUAN
Kendala utama dalam pemanfaatan jerami padi untuk pakan sapi potong adalah tigginya kadar lignian
dan rendahnya kadar nitrogen serta karbohidrat fermentable. Ketiganya merupakan pembatas utama
yang menjadikan jerami sangat sulit dicerna atau difermentasi oleh mikroba rumen. Mikroba rumen
membutuhkan nitrogen dan energi yang mudah tersedia untuk aktifitas dalam mencerna selulosa
maupun hemiselulosa yang terkandung pada jerami padi. Pemberian konsentrat yang mengandung
protein dan karbohidrat fermentable yang cukup tetap tidak akan meningkatkan kecernaan secara
optimal karena mikroba rumen maupun enzim yang dihasilkannya tidak dapat menembus dinding sel
jerami yang banyak mengandung lignin. Oleh karena itu, lignin harus diatasi baik secara fisik maupun
dengan kimiawi.
Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan amoniasi menggunakan urea dengan aditif onggok
sebagai sumber karbohidrat fermentable (Bata dkk. 2010). Amoniak yang dihasilkan pada proses ini
akan meregangkan ikatan ligno-selulosa sehingga dapat ditembus oleh enzim maupun mikroba rumen
untuk mencerna selulosa maupun hemiselulosa serta nutrien lainnya. Namun demikian peningkatan
kecernaan ini akan diikuti dengan peningkatan jumlah gas metan.
Salah satu upaya untuk mengurangi metan adalah melalui dengan defaunasi menggunakan senyawa
seperti saponin. Saponin adalah senyawa glikosidik yang tersusun dari suatu inti pembentuk saponin
(sapogenin) dari steroid (C27) atau triterpenoid (C30) dengan satu atau lebih rantai karbohidrat (Klita
et al ., 1996). Saponin mempunyai sifat antimikrobial, terutama menekan protozoa siliata, bakteri
yang mensekresikan peptidase (Wallace et al., 1994; Wang et al., 2000), dan bakteri selulolitik (Wang
et al., 2000). Kayouli et al. (1986) melaporkan defaunation mengakibatkan efisiensi pertumbuhan
bakteri yang lebih tinggi. Hsu et al. (1991) melaporkan defaunation menghasilkan spora jamur rumen
dan bakteri dua kali lipat.Bakteri metanogenik secara metabolik berhubungan dengan protozoa siliata.
Suherman (2013) melaporkan ekstrak etanol daun waru yang mengandung saponin dapat menurunkan
protozoa, gas metan dan meningkatkan propionat. Orskov et al. (1968) produksi metan mempunyai
hubungan negatif penggunaan energi pada ruminansia, sehingga upaya-upaya untuk mengalihkan
kembali hidrogen untuk memproduksi lebih banyak VFA dan biomasa mikroba rumen menjadi target
untuk meningkatkan produktfitas ternak ruminansia.
Penurunan populasi protozoa sebagai akibat dari penambahan saponin dalam pakan akan berdampak
positif terhadapa peningkatan populasi bakteri. Peningkatan populasi bakteri akan berdampak positif
untuk kecernaan khususnya bahan-bahan atau pakan yang berserat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penambahan saponin pada konsentrat terhadap kecernaan dan konsumsi bahan
kering dan bahan organik.
METODE PENELITIAN
Sebanyak 18 ekor sapi bali jantan yang berumur berumur ± 2 (dua) tahun, bobot awal 150 – 163 kg
dan konfisien keragaman (KK) 8.89%, asal Pulau Sumbawa. di tempat pada kandang individu dan
diberi obat cacing hati melalui sub cutan. Sapi tersebut diacak secara sempurna untuk menerima tiga
macam pakan konsentrat yang disuplementasi dengan tepung daun waru dengan dosis 0%, 0.24% dan
0.48% dari bahan kering (BK) konsentrat untuk masing-masing perlakuan P0, P1 dan P2. Dengan
demikian Racangan Acak Lengkap (RAL) dengan ulangan enam kali digunakan pada penelitian ini.
Konsumsi BK untuk tiap sapi adalah 3.5% dari bobot hidup dengan imbangan BK jerami padi
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
254
amoniasi dan konsentrat 30 : 70%. Sapi tersebut diberi pakan secara component feeding dengan
frekwensi masing-masing dua kali per hari. Konsentrat diberikan pada jam 07.00 dan jam 14.00 yang
disusul pemberian jerami padi amoniasi dua jam kemudian. Air minum disediakan secara ad libitum.
Amoniasi jerami padi menggunakan urea 4% dengan aditif onggok 2.5% dari bobot jerami padi
kering udara. Komposisi dan kandungan nutrien pakan tertera pada tabel 1. Peubah yang diukur
adalah konsumsi BK, kecernaan bahan kering (KBK) dan bahan organik (KBO) dengan menggunakan
koleksi total (Schnider and Flatt. 1975)
Tabel 1. Komposisi dan kandungan nutrien ransum penelitian
Komposisi Ransum Ransum Perlakuan (%)
P0 P1 P2
Jerami Padi Amoniasi 30 30 30
Konsentrat 70 70 70
Level penambahan
Tepung daun waru
0 0,24 0,48
Kandungan nutrien ransum (% BK)
Protein kasar 10,82 11,21 11,25
Lemak kasar 5,86 7,03 7,43
Serat kasar 20,77 22,55 23,81
TDN 70,60 70,99 70,94 Keterangan :
P0 : pakan konsentrat tidak mengandung daun waru (BK 84,8%)
P1 : P0 + tepung daun waru (0,24 % dari BK konsentrat)
P2 : P0 + tepung daun waru (0,48 % dari BK konsentrat)
Analisis kadar air, protein, serat kasar, lemak dan kadar abu terhadap feces pemberian dan sisa pakan
baik untuk jerami padi amoniasi dan konsentrat dilakukan menurut AOAC (1990). Data dianalisis
menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan dengan uji Orthogonal Polinomial.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rataan konsumsi dan kecernaan BK dan BO sapi yang diberi pakan yang mengandung berbagai level
tepung daun waru tertera pada Tabel 2. Analisis variansi menunjukkan bahwa konsumsi dan
kecernaan BK serta konsumsi dan kecernaan BO tidak dipengaruhi (P>0.05) oleh perlakuan. Ha ini
menunjukan bahwa saponin yang dikandung oleh tepung daun waru tidak menyebabkan perubahan
konidisi rumen terutama populasi protozoa, karena saponin sebagai agen defaunasi. Hasil ini sesuai
dengan yang dilaporkan oleh (Lovett et al., 2006; Pen et al., 2007 dan Wang et al., 2009) yang
melaporkan bahwa saponin tidak mempengaruhi kecernaan nutrient.
Hasil ini penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Ichwani dkk. (2013) bahwa penambahan
tepung daun waru sampai dengan 0.48% dari berat konsentrat yang diberikan pada sapi bali dengan
imbangan bahan kering jerami padi amoniasi dengan konsentrat 45 : 55 dapat meningkatkan
kecernaan bahan kering dan bahan organic. Perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan
imbangan konsentrat dan jerami padi amoniasi. Sejumlah peneliti juga melaporkan bahwa
penggunaan saponin dapat meningkatkan kecernaan bahan organic dan komponen serat. Goetsch and
Owens (1985) melaporkan terjadi peningkatan secara signifikan kecernaan bahan organic pada sapi
yang diberi pakan dengan 44 ppm Yucca saponin.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
255
Pen . (2007) melaporkan peningkatan kecernaan neutral detergent fiber (NDF) yang diberi pakan
yang disuplementasu dengan soponin dari Quillaja . Kecernaan bahan organic dan komponen serat
juga meningkat pada yang diberi saponin Lamtoro pada domba yang diberi pakan dasar konsentrat
(Lu . (1987). Perbedaan respon kecernaan akibat pemberian saponin disebabkan oleh berbagai factor.
Patra dan Saxena (2009) menyatakan bahwa beberapa factor yang mempengaruhi efektifitas saponin
dalam rumen adalah jenis saponin, komposisi pakan, adaptasi ternak, biokimia rumen, dosis saponin
dan komunitas mikroba dalam rumen. Saponin mempunyai jenis yang berbeda-beda tergantung dari
jenis tanaman.
Tabel 2. Rataan Konsumsi BK dan BO pada Berbagai Level Tepung Daun Waru
Perlakuan Konsumsi (kg) Kecernaan (%)
BK BO BK BO
P0 27.11 ± 5.64 23.16 ± 4.31 78.06 ± 2.67 80.86 ± 2.21
P1 26.97 ± 1.86 23.63 ± 1.25 79.79 ± 3.59 83.31 ± 3.07
P2 29.55 ± 2.63 25.99 ± 2.24 78.35 ± 0.98 81.79 ± 2.47
Keterangan :
P0 : pakan konsentrat tidak mengandung daun waru (BK 84,8%)
P1 : P0 + tepung daun waru (0,24 % dari BK konsentrat)
P2 : P0 + tepung daun waru (0,48 % dari BK konsentrat)
Efektifitas penggunaan tepung daun waru sebagai agen defaunasi dalam ransum sapi potong sangat
ditentukan oleh bahan basal ransum dan rasio hijauan konsentrat. Dalam penelitian ini, penggunaan
konsentrat dan jerami padi amoniasi dengan imbangan bahan kering 30 : 70 tidak menunjukkan
efektifitas terhadap peningkatan konsumsi dan kecernaan bahan kering dan bahan organic. Hal ini
disebabkan karena tingginya konsentrat menyebabkan menurunnya pH rumen sehingga berdampak
negative terhadap aktifitas rumen dan jumlah protozoa dalam rumen. Dengan demikian pemberian
saponin dalam pakan berapapun jumlahnya tidak akan efektif karena jumlah dan aktfitas protozoa
sudah menurun drastic.
Pengaruh defaunasi oleh daun waru yang mengandung saponin akan lebih efektik pada ransum yang
hanya terdiri dari hijauan saja, karena hijauan mampu mempertahankan pH rumen yang netral 6.8 –
7.0 karena kapasitas buffer pada hijauan lebih baik dari pada konsentrat. Putra (2011) melaporkan
bahwa terjadi penurunan protozoa 37,3% secara in-vitro pada substrat yang hanya hijauan saja.
Penurunan protozoa mungkin kurang nyata pada ternak ruminansia dengan diberi konsentrat yang
mengandung partikel terlarut misalnya gula, pati karena bahan tersebut mudah difermentasi sehingga
kondisi rumen menjadi lebih asam dan protozoa sangat peka terhadap perubahan pH rumen terutama
kondisi asam. Patra dan Saxena (2009) menyatakan bahwa pakan dengan kandungan konsentrat tinggi
menyebabkan terjadinya fermentasi pati yang cepat menjadi asam laktat. Kandungan asam laktat yang
tinggi mengakibatkan protozoa mati sebelum protozoa tersebut memakan pati.
Lama penggunaan saponin yang diberikan pada ternak juga menentukan efekfitas saponin terhadap
penurunan protozoa dalam rumen. Koleksi data untuk penelitian pencernaan pada penelitian ini
dilakukan setelah penelitian pemberian pakan atau dengan kata lain lama penggunaan saponin pada
penelitian ini adalah 3 bulan. Dengan demikian mikroba rumen mungkin lebih resisten terhadap
saponin dibandingkan dengan penggunaan dengan waktu yang lebih singkat. Salah satu tantangan dari
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
256
penggunaan saponin atau tanaman yang mengandung saponin adalah aktfitas anti protozoa yang
bersifat sementara (Newbold . 1997 dan Teferedegne el al. 1999).
Domba yang diberi pakan daun sengon (Sesbania sesban) selama 10 hari dan Enterolobium
cyclocarpum yang mengandung saponin tidak ditemukan dalam rumen domba (Newbold et al ., 1997
dan Ivan et al ., 2004). Teferedegne (2000) juga mencatat terjadi sebuah proses detoksifikasi dari
saponin di rumen cairan secara in vitro. Newbold et al. (1997) menyatakan bahwa protozoa per se
tidak menjadi resisten terhadap antiprotozoal senyawa saponin , melainkan rumen bakteri populasi
medegradasi saponin (Newbold et al ., 1997 dan Ivan et al ., 2004). Wina et al . (2006) menunjukkan
bahwa efek negatif dari saponin dari Sapindus rarak pada Ruminococcus albus, Ruminococcus
flavefaciens dan Chytridiomycetes untuk waktu yang singkat, tetapi efek inimenghilang setelah lama.
Lebih lanjut studi dari Wina et al. (2006), itu juga jelas menunjukkan bahwa protozoa populasi tidak
terpengaruh oleh Sapindus saponaria saponin pada hari 13 pada kambing, mungkin karena
detoksifikasi saponin oleh mikroba. Namun, sifat anti-protozoa saponin ini adalah terus-menerus
sampai 3 bulan pada domba.
Meskipun secara statistik pengaruh tepung daun waru terhadap konsumsi dan kecernaan bahan kering
dan bahan organic tidak nyata, tetapi ada kecenderungan peningkatan kecernaan bahan kering dan
bahan organic pada dosis penambahan tepung daun waru 0,24% akan tetapi konsumsinya cenderung
menurun. Peningkatan daun waru yang mengandung saponin menyebabkan pH rumen lebih netral,
sehingga aktifitas mikroorganisme tidak terganggu. Dengan demkian mampu meningkatkan
konsumsi bahan kering dan bahan organic. Peningkatan konsumi tersebut akan meningkatkan laju
digesta yang keluar dari rumen sehingga pada tingkat konsumsi yang tinggi dapat menurunkan
kecernaan nutrient karena waktu untuk kontak dengan enzim maupun mikroba menjadi lebih singkat.
KESIMPULAN
Penambahan tepung daun waru dalam ransum sapi bali tidak berpengaruh pada konsumsi dan
kecernaan bahan kering dan bahan organik, akan tetapi pada level 0.24% cenderung meningkatkan
kecernaan bahan kering maupun bahan organik.
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1990. Official, Methods of Assiciation of Chemical Contaminan; Drug. Vol 2 Assosiation of
official agricultural chemist. Inc. Virginia. P. : 932.
Bata, M., B. Rustomo, dan J. Sumarmono. 2010. Peningkatan Kinerja Produksi Sapi local di
Pedesaan Melalui Strategi Pemberian Pakan dan Total Mixed Ration Berbasis Limbah
Pertanian dan Agroindustri. Laporan Hasil Penelitian . Fakultas Peternakan , Unsoed,
Purwokerto.
Goetsch AL and Owens FN. 1985. Effects of sarsaponin on digestion and passage rates in cattle fed
medium to low concentrates. J Dairy Sci 68, 2377–2384.
Hsu JT, Fahey GC, Berger LL, Mackie RI, Merchen NR. 1991. Manipulation of nitrogen digestion by
sheep using defaunation and various nitrogen supplementation regimens. J Anim Sci, 1991.
69:1290-1299
Ichwani, F., Budi R., dan Muhamad B. 2013. Pengaruh Penambahan Tepung Daun Waru (Hibiscus
tiliaceus) dalam Ransum Sapi Lokal Berbasis Jerami Padi Amoniasi terhadap Kecernaan Bahan
Kering dan Bahan Organik. Jurnal Ilmiah Peternakan. Vol 1 : 554-560.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
257
Ivan M, Koenig KM, and Teferedegne B. 2004. Effect ofthe dietary Enterolobium cyclocarpum
foliage on the population dynamics of rumen ciliate protozoa in sheep. Small Rumin Res 52,
81–91
Klita, P.T., G.W. Mathison, T.W. Fenton and T.R. Hardin. 1996. Effects alfalfa root saponins
on digestive function in sheep. J. Anim. Sci.74:1144–1156.
Lovett DK, Stack L, and Lovell S. 2006. Effect of feeding Yucca schidigera extract on performance
of lactating dairy cows and ruminal fermentation parameters in steers. Livest Sci 102, 23–32.
Lu , C.D and N.A. Jorgensen.1987. Alfalfa saponins affect site and extent of nutrient digestion in
ruminants. J Nutr 117,919–927.
Newbold CJ, Hassan SME, and Wang J. 1997. Influence of foliage from African multipurpose tree
on activity of rumen protozoa and bacteria. Br J Nutr 78, 237–249.
Oktora, M. 2012. Suplementasi Ekstrak Daun Waru Pada Ransum Sapi Potong Dengan Rasio
Jerami Padi Amoniasi dan Konsentrasi Berbeda Pengaruhnya Terhadap Produk Fermentasi
Rumen. Thesis. Pascasarjana Ilmu Peternakan-Fapet UNSOED.
Orskov, E.R., W.P. Flatt and P.W. Moe. 1968. Fermentation Balance Approach to Estimate
Extent of Fermentation and Efficiency of Volatile Fatty Acid Formation in Ruminants.Animal
Husbandry Research Division, USDA, Beltsvilie, Maryland.
Patra,. A.K., and J. Saxena.2009 The effect and mode of action of saponins on the microbial
populations and fermentation in the rumen and ruminant production. Nutrition Research
Reviews (2009), 22, 204–219
Pen B, Takura K, and Yamaguchia S. 2007. Effects of Yucca schidigera and Quillaja saponaria with
or without b-1,4 galacto-oligosaccharides on ruminal fermentation, methane production and
nitrogen utilization in sheep. Anim Feed Sci Technol 138, 75–88.
Putra, D. T B. 2011. Pengaruh Suplementasi Daun Waru (Hibiscus tiliaceus L.). Skripsi. Jurusan
Biologi Fakultas MIPA UNS Surakarta.
Schnider, H. B and W. P. Flatt. 1975. Evauation of Feed through Digestibility Experiments.
University of Georgia Press, USA.
Teferedegne B. 2000. New perspectives on the use of tropical plants to improve ruminant nutrition.
Proc Nutr Soc 59, 209–214.
Teferedegne B., McIntosh F., and Osuji P.O. 1999. Influence of foliage from different accessions of
the subtropical leguminous tree, Sesbania sesban, on ruminal protozoa in Ethiopian and
Scottish sheep. Anim Feed Sci Technol 78, 11–20
Wang, Y., T.A. McAllister, L.J. Yanke and P.R. Cheeke. 2000. Effect of steroidal saponins from
Yucca schidigera extract on ruminal microbes. J. Appl. Microbiol. 88:887–896.
Wang C.J., Wang S.P. and Zhou H. 2009. Influences of flavomycin, ropadiar, and saponin on
nutrient digestibility, rumen fermentation, and methane emission from sheep. Anim Feed Sci
Technol 148, 157–166.
Wallace, R.J., L. Arthaud and C.J. Newbold. 1994. Influence of Yucca shcidigera extract on ruminal
ammonia concentrations and ruminal microorganisms. Appl. Environ. Microbiol. 60:1762–
1767.
Wina, E., Muetzel, S. and Becker, K. 2006. The Dynamics of Major Fibrolytic Microbes and Enzyme
Activity in The Rumen in Response to Short- And Long-Term Feeding of Sapindus rarak
Saponins. J Appl Microbiol. Vol100, 114–120.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
258
PRODUKSI HIJAUAN SORGUM MANIS (SHORGHUM BICOLOR L. MOENCH)
VARIETAS RGV SEBAGAI PAKAN TERNAK
Munasik
Fakultas Peternakan Unsoed Purwokerto
Email: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui potensi hijauan sorgum manis untuk pakan ternak ruminansia
terutama produksi bahan kering hijauan sorgum pada beberapa umur pemotongan. Penelitian
dilakukan di Experimental Farm Facultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.
Materi penelitian adalah hijauan sorghum manis varietas RGV yang dipotong pada umur 50, 75 dan
100 hari. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan acak lengkap dengan 3 faktor dan
6 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar bahan kering daun sorgum manis varietas
RGV pada umur pemotongan 50, 75 dan 100 hari masing-masing sebesar 15,87 persen, 21,03 persen
dan 27,61 persen. Produksi bahan kering daun pada umur pemotongan 50, 75 dan 100 hari masing-
masing sebanyak 1225,08 kg/ha, 3577,75 kg/ha dan 2617,08 kg/ha. Kandungan bahan kering batang
pada umur pemotongan 50, 75 dan 100 hari masing-masing sebesar 9.65 persen, 17,41 persen dan
23,05 persen. Produksi bahan kering batang pada umur pemotongan 50, 75 dan 100 hari masing-
masing sebanyak 3170,58 kg/ha; 6520,58 kg/ha dan 7874,83 kg/ha. Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa semakin tua umur pemotongan kadar bahan kering dan produksi hijauan sorgum
manis varietas RGV semakin meningkat.
Kata kunci : bahan kering, hijauan, produksi, Sorghum bicolor L. Moench, RGV
ABSTRACT
The aim of this research is to know the potensial of sweet sorghum forage as ruminant feed especially
dry matter yield of sweet sorghum forage on various defoliation. The research was conducted at The
Experimental Farm Faculty of Animal Science, Universitas Brawijaya, Malang, East Java. The
material was the sweet sorghum forage of RGV variety that 50, 75 and 100 days defoliation
respectively. Randomized Complete Design consisting of three factors and six replications was
applied in this experiment. The result of this research showed that dry matter content of leaf sweet
sorghum RGV variety at 50, 75 and 100 days defoliation that were 15.87%, 21.03% and 27.61%
respectively. Dry matter yield of leaf that were 1225.08 kg/ha, 3577.75 kg/ha and 2617.08 kg/ha
respectively. Dry matter content of steam sweet sorghum RGV variety at 50, 75 and 100 days
defoliation that were 9.67%, 17.41% and 23.05% respectively. Dry matter yield of steam that were
3170.58 kg/ha, 6520.58 kg/ha and 7874.83 kg/ha respectively. Base on the variable measured, the
result conclused that sweet sorghum forage of RGV variety, as the long depoliation increases, dry
matter content and dry matter yield of sweet sorghum forage increases.
Keywords : Dry matter, production, Sorghum bicolor L. Moench, RGV variety.
PENDAHULUAN
Pengembanagan tanaman sorgum kurang mendapat prioritas penanganan sehingga data
pengembangannya terbatas, karena sorgum merupakan tanaman palawija pilihan terakhir setelah
padi, jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian. Petani menanam sorgum sebagai pilihan terakhir,
ditanam setelah dua kali pertanaman padi atau hanya sebagai tanaman sela diantara tanaman palawija
lain.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
259
Setelah tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 dan pencapaian peningkatan produksi
palawija lainnya (jagung, kedele, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar) maka perhatian
budidaya tanaman sorgum perlu ditingkatkan. Hal ini perlu dilaksanakan sehubungan dengan
meningkatnya kebutuhan pangan, pakan ternak dan permintaan pangsa pasar, kaitannya dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk, bahan baku industri pangan dan pakan ternak ruminansia
(Sapi, Kerbau, Kambing dan domba) maupun ternak non ruminansia (unggas, babi) serta pemenuhan
pangsa pasar yang semakin terbuka. Dengan demikian komoditas sorgum mempunyai peluang yang
besar sebagai substitusi pangan dan bahan baku industri pangan dan pakan ternakmengingat nilai
nutrisinya tidak kalah dengan jagung sdan ubi kayu dan tanaman sorgum mempunyai adaptasi
lingkungan yang cukup luas (Kahar, 1995).
Kualitas daun sorgum manis tidak berbeda jauh dengan rumput Gajah atau pucuk tebu. Kandungan
protein daun sorgum manis 7,82 persen (Sumantri dan Suryani, 1995), rumput Gajah 9,1 persen
(Dasuki, Sumitro dan Susanto, 1990) dan pucuk tebu 5,63 persen (Poespodihardjo, 1982). Oleh
karena itu sorgum mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan baik sebagai bahan pangan,
industri dan pakan ternak ruminansia maupun ternak non ruminansia. Potensi hijauan sorgum untuk
pakan ternak ruminansia terutama produksi bahan kering hijauan sorgum pada beberapa umur
pemotongan (50, 75 dan 100 hari) perlu diteliti lebih jauh.
METODE PENELITIAN
1. Materi penelitian : hijauan sorgum manis yang dipotong pada umur 50, 75 dan 100 hari.
2. Metode penelitian
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental. Perlakuan disusun dalam rancangan acak
lengkap (completely randomized design) dengan tiga perlakuan umur pemotongan (50, 75 dan 100
hari) dengan 6 ulangan. Parameter yang diukur meliputi kandungan bahan kering dan produksi
bahan kering,
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Bahan kering daun
Rataan kandungan bahan kering daun sorgum manis varietas RGV pada umur pemotongan 50 hari,
75 hari dan 100 hari masing-masing sebesar 15.8754 persen, 21.0298 persen dan 27.6056 persen.
Hasil analisis kandungan bahan kering daun pada ketiga umur pemotongan dapat dilihat pada Tabel 1
berikut.
Tabel 1. Kandungan bahan kering daun sorgum manis varietas RGV (%)
Perlakuan Ulangan
1 2 3 4 5 6 Rataan
50 hari 14.9858 16.6033 16.0376 14.9855 16.6030 16.0372 15.8754a
75 hari 20.3140 22.3668 20.4090 20.3145 22.3660 20.4089 21.0298b
100 hari 28.4008 27.4130 26.9971 28.4100 27.4160 26.9970 27.6056c
Keterangan : Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukan beda nyata
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
260
Hasil analisis ragam bahan kering daun sorgum manis varietas RGV menunjukkan bahwa umur
pemotongan berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya kandungan bahan kering daun (P < 0,01).
Umur pemotongan 50 hari menghasilkan kandungan bahan kering daun terendah yaitu sebesar
15,8754 persen, pada umur pemotongan 75 hari sebesar 21,0298 persen dan tertinggi dicapai pada
umur pemotongan 100 hari sebesar 27,6056 persen. Hal ini berarti bahwa semakin tua umur
pemotongan bahan kering daun semakin meningkat. Peningkatan bahan kering daun ini menunjukkan
bahwa semakin tua umur tanaman kandungan airnya semakin rendah. Hal ini selaras dengan
pendapat McDonald et al., (1985) bahwa semakin tua umur tanaman maka kandungan airnya akan
semakin menurun.
2. Bahan kering batang
Rataan kandungan bahan kering batang sorgum manis varietas RGV pada umur pemotongan 50 hari,
75 hari dan 100 hari masing-masing sebesar 9.6506 persen, 17,4078 persen dan 23,0453 persen. Hasil
analisis kandungan bahan kering batang pada ketiga umur pemotongan dapat dilihat pada Tabel 2
berikut.
Tabel 2. Kandungan bahan kering batang sorgum manis varietas RGV (%)
Perlakuan Ulangan
1 2 3 4 5 6 Rataan
50 hari 8.7980 9.1494 11.0047 8.7979 9.1491 11.0043 9.6506a
75 hari 17.3180 16.2214 18.6847 17.3178 16.2210 18.6842 17.4078b
100 hari 22.9719 23.0267 23.1376 22.9720 23.0263 23.1372 23.0453c
Keterangan : Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukan beda nyata
Hasil analisis ragam bahan kering batang sorgum manis varietas RGV menunjukkan bahwa umur
pemotongan berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya kandungan bahan kering batang (P < 0,01).
Umur pemotongan 50 hari menghasilkan kandungan bahan kering batang terendah yaitu sebesar
9,6507 persen, pada umur pemotongan 75 hari sebesar 17,4078 persen dan tertinggi dicapai pada
umur pemotongan 100 hari sebesar 23,0453 persen. Hal ini berarti bahwa semakin tua umur
pemotongan bahan kering batang juga semakin meningkat sebagaimana halnya terjadi pada
kandungan bahan kering pada daun. Peningkatan bahan kering batang ini menunjukkan bahwa
semakin tua umur tanaman kandungan airnya semakin rendah. Hal ini selaras dengan pendapat
McDonald et al., (1985) bahwa semakin tua umur tanaman maka kandungan airnya akan semakin
menurun.
3. Produksi bahan kering daun
Rataan produksi bahan kering daun sorgum manis varietas RGV pada umur pemotongan 50 hari, 75
hari dan 100 hari masing-masing sebanyak 1,4701 kg/petak atau 1225,0833 kg/ha, 4,2933 kg/petak
atau 3577,75 kg/ha dan 3,1405 kg/petak atau 2617,0833 kg/ha. Hasil perhitungan produksi bahan
kering daun pada ketiga umur pemotongan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
261
Tabel 3. Produksi bahan kering daun sorgum manis varietas RGV (kg)
Perlakuan ulangan
1 2 3 4 5 6 Rataan
50 hari 1.4622 1.5304 1.4177 1.4624 1.5302 1.4175 1.4701a
75 hari 4.4466 4.3013 4.1319 4.4462 4.3015 4.1317 4.2933b
100 hari 3.0508 3.3721 2.9985 3.0506 3.3723 2.9986 3.1405c Keterangan : Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukan beda nyata
Hasil analisis ragam produksi bahan kering daun sorgum manis varietas RGV menunjukkan bahwa
umur pemotongan berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya kandungan bahan kering daun (P <
0,01). Umur pemotongan 50 hari menghasilkan produksi bahan kering daun terendah yaitu sebesar
1,4701 kg/petak, pada umur pemotongan 75 hari meningkat menjadi 4,2932 kg/petak dan selanjutnya
pada umur pemotongan 100 hari menurun meenjadi 3,1405 kg/petak. Hal ini berarti bahwa pada
umur 50 hari sampai 75 hari sorgum manis pertumbuhan daun masih meningkat sehingga produksi
bahan kering daun juga semakin meningkat. Sedangkan setelah umur 75 hari pertumbuhan daun
mulai menurun dan mulai banyak yang mengering sehingga walaupun kandungan bahan keringnya
tinggi akan tetapi produksi daun semakin sedikit sehingga total produksi bahan kering menjadi
menurun.
4. Produksi bahan kering batang
Rataan produksi bahan kering batang sorgum manis varietas RGV pada umur pemotongan 50 hari, 75
hari dan 100 hari masing-masing sebanyak 3,8047 kg/petak atau 3170,5833 kg/ha; 7,8247 kg/petak
atau 6520,5833 kg/ha dan 9,4498 kg/petak atau 7874,8333 kg/ha. Hasil perhitungan produksi bahan
kering batang pada ketiga umur pemotongan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Produksi bahan kering batang sorgum manis varietas RGV (kg)
Perlakuan Ulangan
1 2 3 4 5 6 Rataan
50 hari 3.5626 3.6014 4.2500 3.5623 3.6015 4.2502 3.8047a
75 hari 8.0359 7.2062 8.2321 8.0358 7.2063 8.2322 7.8247b
100 hari 9.4171 9.5283 9.4043 9.4172 9.5281 9.4042 9.4498c
Keterangan : Superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukan beda nyata
Hasil analisis ragam produksi bahan kering batang sorgum manis varietas RGV menunjukkan bahwa
umur pemotongan berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya kandungan bahan kering batang (P <
0,01). Hal ini berarti bahwa semakin tua umur
pemotongan produksi bahan kering batang juga semakin. Peningkatan produksi bahan kering batang
ini akibat dari peningkatan pertumbuhan batang dan tingginya kandungan bahan kering batang
tersebut.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin tua umur pemotongan bahan kering dan
produksi hijauan sorgum manis varietas RCV semakin meningkat.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
262
DAFTAR PUSTAKA
Dasuki, M.I., Sumitro dan Susanto. 1990. Pennisetum purpureum. BPT dan HMT Baturraden,
Purwokerto.
Kahar, A. 1995. Makalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri.
Balai Penelitian Tanaman Pangan, Malang.
McDonal, P., R.A. Edwards and J.F.D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition. Fourth Editions.
Longman Scientific and Technical. Copublished in The United States with John Willey &
Sons, Inc, New York.
Poespodihardjo, S. 1982. Inventarisasi Limbah Pertanian. Direktorat Bina Produksi Dirjen
Peternakan dan Fapet UGM, Yogyakarta.
Sumantri, A. dan A. Suryani. 1995. Budidaya Sorgum Manis (Sorghum bicolor L. Moench) Sebagai
Bahan Baku Industri Gula. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, Pasuruan.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
263
PERAN TANAMAN PAKAN GAMAL (Gliricidia sepium) DALAM KONSERVASI LAHAN
PASCA TAMBANG
I W. Suarna, N.N. Suryani, K.M. Budiasa, A.A.A.S. Trisnadewi, dan I.W. Wirawan
Puslitbang Tumbuhan Pakan Universitas Udayana
Email: [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Maraknya alih fungsi lahan melalui penambangan bahan galian C yang tidak terkendali telah merubah
bentang alam yang diprediksi akan menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan seperti erosi,
pengikisan biomasa, dan penurunan kualitas tanah dan lahan akibat penambangan. Sebuah penelitian
telah dilaksanakan untuk mengetahuai peran tanaman gamal sebagai tanaman penghasil hijauan pakan
dan konservasi lahan pasca tambang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dihutuhkan waktu yang
lebih panjang bagi tanaman gamal untuk menghasilkan hijauan pakan karena gamal lebih awal akan
memperbaiki sistem perakarannya untuk memperluas jangkauan mendapatkan air dan hara dari dalam
tanah. Poduksi hijauan gamal saat panen awal dapat mencapai 0,52 kg DW per batang dengan kualitas
hijauan yang baik. Hasil analisis kandungan protein daun gamal, kulit batang, dan batang gamal
berturut-turut adalah 22,16%, 13,34%, dan 11,55% dan kandungan Ca dan P yang cukup tinggi.
Perbaikan sistem perakaran gamal di lahan pasca tambang menyebabkan gamal lebih kuat memegang
butiran pasir dan bebatuan sehingga dapat mencegah erosi dan transport sedimen. Dengan demikian
gamal sangat berperan dalam konservasi lahan pasca tambang (pertambangan galian C) di Desa
Sebudi, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.
Kata Kunci: gamal, hijauan pakan, konservasi, dan pasca tambang.
ABSTRACT
The crowded of functional change of land through uncontrolled sand mining has change the landscape
that predicted cause environmental problems such as erosion, biomass erosion, soil and land quality
degradation because of the mining. A research have been done to evaluate the role of Gliricidia
sepium as tree forage and post-mining land conservation. Result of the research showed that it takes
longer for Gliricidia sepium to produce forage because for earlier time Gliricidia sepium will fix the
root system to expand reach to get water and nutrients from the soil. Forage production of Gliricidia
sepium on early harvest could reach 0.52 kg DW per stem with good quality forage. Analysis of
protein content of leaf, bark and stem of Gliricidia sepium are 22.16%, 13.34%, and 11.55%
respectively, and high content of Ca and P. Improving of root system in post-mining land
conservation cause Gliricidia sepium more stonger to hold sand and rocks, so could prevent erosion
and sediment transport. Therefore, Gliricidia sepium has a big role in post-mining land conservation
at Sebudi Village, Selat District, Karangasem Regency, Bali Province.
Key words: Gliricidia sepium, forage, conservation, post-mining
PENDAHULUAN
Aktivitas pertambangan galian C selain akan menyebabkan wajah kawasan menjadi bopeng, juga
dapat berdampak terhadap percepatan erosi, longsor, dan banjir. Lahan kering dan lahan marginal
bekas penambangan galian C umumnya ditinggalkan tanpa upaya untuk melaksanakan pemulihan.
Salah satu upaya untuk mengembalikan produktivitas lahan pasca tambang adalah dengan menanam
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
264
tanaman yang sangat adaptif terhadap lahan pasca tambang. Tanaman yang dipergunakan diharapkan
memiliki dampak multiguna yakni sebagai penutup tanah, sumber hijauan pakan, meningkatkan
kesuburan tanah, dan mencegah erosi, banjir dan sebagainya.
Tanaman gamal (Gliricidia sepium) merupakan tanaman yang sangat tahan terhadap kondisi
kekeringan (Nitis, 2007). Ketika musim kering berkepanjangan, di kawasan daerah Bukit Jimbaran,
Kabupaten Badung, Provinsi Bali pohon gamal masih terlihat hijau. Pada daerah tebing perbukitan
setelah ditambang kapurnya terlihat sulur-sulur perakaran gamal menutupi permukaan tebing hingga
sampai ke bagian dasar tebingnya. Jika di Bali Selatan (kawasan Bukit Jimbaran) eksploitasi
dilakukan untuk penambangan bahan galian kapur maka di Bali Timur (di kawasan Desa Sebudi,
Selat) eksploitasi dilakukan terhadap bahan galian C (pasir). Apakah dengan kondisi lahan pasca
penambanagan galian C di Desa Sebudi Karangasem, tanaman gamal dapat berperan sebagai sarana
padang gembala?.
Meluasnya eksploitasi lahan untuk penambangan galian C (batuan) mempercepat laju degradasi lahan
dengan demikian eksploitasi harus diimbangi/disertai dengan recovery lahan. Berbagai upaya dapat
dilakukan untuk recovery lahan salah satunya dengan peningkatan jenis dan tutupan vegetasi yang
berfungsi ganda sebagai cover crop dan penghasil hjauan pakan (As-syakur ., 2011). Berdasarkan hal
tersebut di atas maka permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah bagaimanakah produksi, kualitas
hijauan, dan model teknologi konservasi berbasis pastura campuran, dengan legum pohon dan pupuk
organik pada lahan pasca tambang di Kabupaten Karangasem?
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada lahan pasca tambang di Desa Sebudi Karangasem. Perlakuan terdiri
atas sistem tanam asosiasi rumput-legum herbasius dan legum pohon (gamal) dengan pupuk kandang
dan/atau pupuk bioslurry. Sistem tanam merupakan kombinasi dari 2 spesies rumput dan 2 spesies
legum. Dengan demikian akan terdapat 8 perlakuan kombinasi antara rumput, legum, dan pupuk
kandang. Percobaan menggunakan tiga kelompok sebagai ulangan, sehingga percobaan ini terdiri dari
8 x 3 = 24 petak/plot. Petak-petak percobaan dibuat dengan ukuran 3 x 3 meter. Adapun kedelapan
perlakuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kombinasi rumput Panikum, Paspalum, Centrosema, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk
kandang 10 t ha-1
2. Kombinasi rumput Panikum, Paspalum, Centrosema, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk
kandang 20 t ha-1
3. Kombinasi rumput Panikum, Paspalum, Centrosema, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk
bioslurry 10 t ha-1
4. Kombinasi rumput panikum, paspalum, centrosema, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk
bioslurry 20 t ha-1
5. Kombinasi rumput Panikum, Paspalum, Clitoria, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk
kandang 10 t ha-1
6. Kombinasi rumput Panikum, Paspalum, Clitoria, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk
kandang 20 t ha-1
7. Kombinasi rumput Panikum, Paspalum, Clitoria, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk
bioslurry 10 t ha-1
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
265
8. Kombinasi rumput panikum, paspalum, Clitoria, dan legum pohon dipupuk dengan pupuk
bioslurry 20 t ha-1
Stek gamal dengan panjang 1,5 m ditanam ditengah-tengah petak percobaan dalam sistem pagar
dengan arah timur-barat. Sisi utara dan selatan gamal ditanami sobekan rumpun rumput panikum dan
paspalum serta bibit centrocema dan clitoria. (Gambar 1). Triming terhadap tanaman herbasius di
atas dilakukan 2 bulan setelah tanam selanjutnya dilaksanakan pengambilan data setiap minggu
berikutnya. Dua belas petak menggunakan tanaman clitoria (seperti Gambar 1) dan pada dea belas
petak percobaan lainnya menggunakan tanaman centrocema.
Keterangan: = Gamal; = Clitoria; = Centrocema; = Panikum; = Paspalum.
Gambar 1. Tata letak pertanaman pada petak percobaan di lapangan
Data yang diperoleh selama percobaan berlangsung ditabulasi dan dianalisis menggunakan sidik
ragam univariat pada taraf nyata 5% (Gomez and Gomez, 1995) Perbedaan nilai rata-rata perlakuan
dianalisis dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Gomez and Gomez, 1995). Data disajikan alam bentuk
tabel.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
266
HASIL DAN PEMBAHASAN
Curah hujan rata-rata bulanan selama 10 tahun dari Stasiun pengamat curah hujan pada BPP
Kecamatan Selat sebesar 3.628 mm th-1 dengan 123 hari hujan. Curah hujan terendah pada bulan
Agustus sebesar 160 mm bulan-1 dengan 6 hari hujan dan tertinggi pada bulan Desember sebesar 419
mm bulan-1 dengan 12 hari hujan. Curah hujan ini mempengaruhi daerah penelitian pada sebagian
wilayah di Desa Sebudi.
Tipe iklim diperoleh dengan rasio antara jumlah rerata bulan kering dengan jumlah bulan basah dari
masing-masing stasiun penakar curah hujan. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai Q berada diantara
0<Q<0,143 artinya tipe iklim menurut Schmidht Ferguson pada kaasan Sub DAS Telagawaja
termasuk tipe iklim A (sangat basah). Namun pada tahun 2014 iklim telah mengalami perubahan
dimana hujan turun mulai akhir bulan November.
Gamal yang ditanam pada lahan pasca tambang tidak ada yang mengalami kematian, semua stek
gamal tumbuh dengan baik. Pengukuran pertumbuhan gamal yang dilakukan hingga akhir Desember
3014 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap penggunaan pupuk organic dan dalam
asosiasijya dengan tanaman herbasius (rumput-rumputan dan legume). Pertumbuhan lingkar batang
dan tinggi munculnya cabang dari permukaan tanah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
(P>0,05). Pertumbuhan yang lambat juga disebabkan oleh musim kemarau yang panjang hingga akhir
bulan November 2014.Jumlah cabang primer, cabang sekunder dan jumlah daun tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (P>0,05). JiKa dicermati perkembangan perakaran tanaman gamal, akar gamal
tumbuh cepat kebawah dan kesamping. Hal tersebut menunjukkan bahwa translokasi karbohidrat
yang dihasilkan di daun lebih banyak diarahkan ke bagian akar tanaman (Marschner, 1986). Kondisi
tersebut sangat menguntungkan dari sisi konservasi karena perakaran gamal akan dapat menghambat
terjadinya erosi permukaan tanah dan mencegah terjadinya longsor.
Tabel 1. Pertumbuhan tanaman gamal
Perlakuan Lingkar
Batang
Tinggi cabang
dari bawah
Jumlah Cab.
Primer
Jumlah Cab.
Sekunder Jumlah Daun
… mm … ….cm . ... ….. cabang…. ….. cabang…. …. helai …
T1 121,33 a 11,53 a 6,67 a 0,33 a 75,50 a
T2 125,50 a 10,67 a 11,67 a 0,33 a 62,67 a
T3 118,00 a 12,08 a 5,00 a 1,17 a 82,33 a
T4 123,83 a 11,25 a 4,17 a 0,17 a 72,00 a
T5 124,17 a 10,75 a 5,83 a 0,17 a 67,33 a
T6 117,50 a 13,08 a 6,17 a 0,00 a 67,67 a
T7 120,17 a 11,33 a 5,33 a 0,33 a 60,83 a
T8 123,83 a 13,67 a 4,67 a 0,00 a 83,83 a
KK=7,57 KK=13,53 KK=40,35 KK=36,15 20,25
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
267
Pertumbuhan tanaman rumput dan legume yang ditanam bersama tanaman gamal memperlihatkan
hubungan antara tinggi tanaman dengan area cover (volume tanaman) yang semakin meningkat.
Asosiasi tanaman paspalum dengan clitoria memberikan volume tanaman yang tertinggi kemudian
diikuti oleh asosiasi tanaman antara rumput paspalum dengan centrocema. Hal tersebut sangat
dimungkinkan karena pertumbuhan paspalum lebih cepat tinggi dan tegakan anakan lebih ke
horizontal pada awalnya sehingga area covernya menjadi lebih besar.
Hubungan antara jumlah anakan dengan lingkar rumpun tanaman mencerminkan kekompakan atau
densitas rumpun tanaman. Penomena densitas rumpun tanaman sama dengan volume tanaman.
Asosiasi rumput paspalum dengan legume clitoria juga memberikan densitas tertinggi. Densitas
rumpun rumput panikum dengan centrocema paling rendah hal tersebut disebabkan karena lingkar
rumpun rumput panikum yang lebih kecil dan sifat tumbuh yang erect meskipun centrocema
pertumbuhannya sangat baik.
Dari variabel pertumbuhan tanaman herbasius yang mencakup perkembangan volume tanaman dan
densitas tanaman terlihat bahwa keberadaan legume pohon gamal tidak mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan tanaman herbasius yang ditanam bersama gamal.
Sejalan dengan pola pertumbuhan tanaman gamal maka produksi berat kering oven cabang, daun, dan
total hijauan gamal juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Hal tersebut
membuktikan bahwa tanaman gamal tidak saja mampu beraaptasi dengan baik dengan kondisi lahan
yang kering tetapi juga mampu menggunakan pupuk organik dengan baik. Hal tersebut didukung oleh
pernyataan Nitis (2007) bahwa gamal memiliki rentang kesuburan dan kelembaban tanah yang cukup
luas. Penggunaan pupuk organik meskipun tiak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap
produksi hijauan tanaman herbasius, tetapi dapat meningkatkan kesuburan dan mempertahankan
kelembaban tanah sehingga tanaman herbasius masih dapat tumbuh di musim kemarau. Salisbury dan
Ross, 1992 menyatakan bahwa pemberian serasah ataupun pupuk organik dapat mempertahankan
kelembaban tanah. Dapat dikatakan bahwa model konservasi lahan pasca tambang berbasis asosiasi
hijauan pakan efektif sebagai upaya konservasi sekaligus meningkatkan ketersediaan hijauan pakan
bagi ternak ruminansia.
Tabel 2 Berat kering oven hijauan gamal
Perlakuan Berat Kering Oven
Cabang Berat Kering Oven Daun Berat Kering Oven Total
…………. g cabang-1
T1 156,483 a 38,767 a 195,25 a
T2 238,067 a 56,850 a 294,92 a
T3 219,033 a 50,950 a 269,98 a
T4 256,683 a 61,717 a 318,40 a
T5 175,542 a 67,400 a 242,94 a
T6 276,033 a 43,767 a 319,80 a
T7 174,517 a 46,617 a 221,13 a
T8 301,233 a 41,033 a 342,27 a
KK-35,9 KK=25,26 KK=28,93 Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
yang tidak nyata (p>0,05)
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
268
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu yang lebih panjang bagi tanaman gamal untuk
menghasilkan hijauan pakan karena gamal lebih awal akan memperbaiki sistem perakarannya untuk
memperluas jangkauan mendapatkan air dan hara dari dalam tanah. Poduksi berat kering oven hijauan
gamal saat panen awal dapat mencapai 275,9 g cabang-1 atau atau rata-rata 0,52 kg batang-1 dengan
kualitas hijauan yang baik. Hasil analisis kandungan protein daun gamal, kulit batang, dan batang
gamal berturut-turut adalah 22,16%, 13,34%, dan 11,55% dan kandungan Ca dan P yang cukup
tinggi. Perbaikan sistem perakaran gamal di lahan pasca tambang menyebabkan gamal lebih kuat
memegang butiran pasir dan bebatuan sehingga dapat mencegah erosi dan transport sedimen. Dengan
demikian gamal sangat berperan dalam konservasi lahan pasca tambang (pertambangan galian C) di
Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.
Tabel: 3 Berat kering oven hijauan herbasius dalam berbagai pola asosiasi
Perlakuan BK Daun BK Batang BK Total
.... t ha-1….
T1 3,66 a 3,48 a 7,15 ab
T2 3,94 a 3,25 a 7,19 ab
T3 4,41 a 3,32 a 7,73 a
T4 4,16 a 3,11 a 7,27 a
T5 2,92 ab 2,42 b 5,34 b
T6 2,70 ab 2,85 ab 5,55 b
T7 2,66 ab 2,71 ab 5,37 b
T8 2,42 b 2,45 ab 4,87 b
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak
nyata (p>0,05)
Berat kering oven hijauan panikum dan paspalum yang ditanam bersama centrosema (T4) dan
dipupuk dengan 20 t ha-1 bioslurry adalah tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan T3, T2, T1.
Kondisi tersebut disebabkan karena pupuk kandang yang dipergunakan adalah pupuk kandang yang
telah terdekomposisi dengan baik (hampir menyerupai tanah) sehingga penyerapan unsur hara
menjadi sangat efektif. Penomena tersebut hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Suarna dkk. (2014) Tidak ada perbedaan antara penggunaan pupuk kandang sapi dengan bioslurry.
Perbedaan tampak nyata antara tanaman Centrocema dengan Clitoria yang diasosiasikan dengan
rumput panikum, paspalum, dan gamal. Tingginya berat kering oven centrocema disebabkan oleh sifat
tumbuh centroema yang lebih cepat menutupi tanah dan akar yang tumbuh dari batang yang
menyentuh tanah lebih cepat. Sedangkan clitoria pertumbuhan awalnya adalah tegak dan lebih cepat
melilit pada daun rumput.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pertumbuhan dan hasil hijauan rumput tidak dipengaruhi oleh keberadaan legum yang ditanam
bersama rumput tersebut, rumput panikum yang ditanam bersama legum centrocema memberikan
hasil hijauan tertinggi. Aplikasi pupuk kandang dan pupuk bioslurry pada berbagai dosis pemberian
tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan dan hasil rumput yang ditanam
bersama legum. Centrocema yang diasosiasikan dengan rumput dan legume pohon memberikan hasil
hijauan yang lebih baik dibandingkan dengan Clitoria. Berat kering oven gamal mencapai 0,52 kg
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
269
batang-1 dengan kandungan protein kasar daun, kulit batang, dan batang gamal berturut-turut adalah
22,16%, 13,34%, dan 11,55%. Peran tanaman gamal sangat cocok sebagai model teknologi
konservasi lahan pasca tambang berbasis pastura campuran di Desa Sebudi Karangasem.
DAFTAR PUSTAKA
As-syakur, A.R., I.W. Suarna, I.W. Rusna, and I.N. Dibia. 2011. Pemetaan Kesesuaian Iklim
Tanaman Pakan serta Kerentanannya Terhadap Perubahan Iklim dengan Sistem Informasi
Geografi (SIG) di Provinsi Bali. Jurnal Pastura. Vol. 1:1 (9-15).
Gomez, K.A dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur statistik untuk penelitian pertanian. Terjemahan
E.Sjamsuddin dan J. S. Baharsjah. UI-Press. Jakarta, halaman 87-219.
Marschner, H. 1986. Mineral nutrition of higher plants. Acad. Press. London.
Nitis, I M. 2007. Gamal di Lahan Kering. Arti Fondation.Denpasar.
Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1992. Plant physiology. 4th Ed. Nadsworth Publ. Co.
Suarna, I W., Ni Nyoman Candraasih Kusumawati, dan Magna Anuraga Putra Duarsa. 2014.
Produksi dan Kualitas Hijauan Pakan pada Lahan Pasca Tambang Di Kabupaten Karangasem.
Jurnal Pastura. Vol 4(2): 74 – 77
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
270
PERTUMBUHAN RUMPUT Brachiaria humidicola DAN Stenotaphrum secundatum PADA
INTERAKSI PEMUPUKAN UNSUR NPK
Nurhalan Bawole, W. Kaunang, S. D. Anis dan D.A. Kaligis
Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi
Email: [email protected].
PENDAHULUAN
Rumput Brachiaria humidicola dan Stenotaphrum secundatum merupakan hijauan pakan yang
tersedia karena keunggulan tertentu yang dimiliki masing-masing jenis. Ginting dan Tarigan (2007)
melaporkan bahwa B. humidicola mengandung bahan kering sekitar 321,3 g/kg berat segar.
Kandungan nutrisi lainnya, dalam bahan kering, adalah bahan organik 916,2 g/kg, abu 83,6 g/kg,
protein kasar 87,5 g/kg, NDF 709,1 g/kg, dan ADF 358,6 g/kg. S. secundatum mengandung energy
bruto 4816 Kal/kg bahan kering, protein kasar 6-8%, dan NDF sebesar 82-85% (Mullen dan Shelton
1996).
Untuk menjamin produksi berkelanjutan dibutuhkan masukan unsur hara yang cukup, terutama unsur
makro nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K). Nitrogen dibutuhkan untuk meningkatkan
pertumbuhan tanaman, meningkatkan kandungan nitrogen dalam lingkungan risosfer perakaran
tanaman, serta berguna dalam proses fotosintesis sehingga dapat meningkatkan produktifitas hijuan
pakan. Unsur P berfungsi untuk respirasi dan fotosintesis, penyusunan asam nukleat, perangsang
perkembangan akar sehingga tanaman dapat tahan terhadap kekeringan serta mempercepat masa
panen sehingga dapat mengurangi resiko keterlambatan pemanenan. Sedangkan unsur K membantu
mengedarkan karbohidrat, serta mempercepat metabolisme unsur nitrogen. Berdasaran pemikiran di
atas, maka perlu dilakukan penelitian pengaruh kombinasi unsur makro NPK terhadap hasil, kualitas
dan filokron pada rumput B. humidicola dan S. secundatum.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Malalayang I Barat Lingkungan I
Kota Manado, dimulai sejak bulan Juni sampai dengan Oktober 2013.
Bahan dan Alat. Bahan yang akan digunakan : Bibit tanaman rumput B.humidicola dan S.
secundatum dalam bentuk anakan. Unsur nitrogen (150 kg Urea/ha), fosfor (75 kg TSP/ha) dan
kalium (75 kg KCl/ha).
Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan rancangan dasar acak lengkap (RAL). dan perlakuan
diatur secara faktorial, dengan konfigurasi 2x3 faktorial.
Faktor A adalah jenis rumput (R). R1. Brachiaria humidicola; R2. S. secundatum.
Faktor B adalah kombinasi unsur makro NPK (P). P1 = 150 kg urea/ha; P2 = 150 kg urea/ha + 75 kg
TSP/ha; P3 = 150 kg urea/ha + 75 kg TSP/ha + 75 kg KCl/ha.
Peubah yang diukur: A. Morfologi tanaman rumput. (Tinggi tanaman, panjang stolon, panjang
daun, bobot kering tajuk dan rasio tajuk/akar). B. Kualitas rumput uji (Kandungan protein kasar,
ADF, NDF dan Abu).
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
271
HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi tanaman.
Pengaruh perlakuan terhadap morfologis tanaman uji disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh kombinasi unsur makro terhadap morfologi tanaman uji.
Jenis Tanaman P1 P2 P3
B. humidicola
* Tinggi Tanaman (cm)
*. Panjang Daun (cm)
* Panjang Stolon (cm)
S. secundatum
* Tinggi Tanaman (cm)
* Panjang Daun (cm)
* Panjang Stolon (cm)
45,50c
29,12b
9,30b
20,25c
10,71b
5,70b
59,95b
37,97b
10,57b
27,27b
15,05a
5,95ba
65,10a
41,10a
11,20a
36,11a
17,25a
6,15a
Ket.: Angka dengan huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata P<0,05
Data menunjukkan bahwa hampir semua perlakuan mempengaruhi secara nyata (P<0,05) menaikkan
semua variabel yang diukur. Namun demikian terdapat juga kekecualian dimana panjang sotolon dan
panjang daun rumput B.humidicola pada perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata (P >0,05), tetapi
meningkat dengan nyata pada perlakuan P3.
Bobot Kering Tajuk
Pengaruh perlakuan terhadap hasil bobot kering tajuk tanaman uji disajikan pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Pengaruh jenis rumput dan pupuk terhadap bobot kering tajuk (gr/m2)
Jenis Tanaman Pupuk (P)
P1 P2 P3
B. humidicola
S. secundatum
1500,0c
850,7c
1759,3b
910,3b
1910,5a
950,6a
Ket.: Angka dengan huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata P<0,05
Data menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap hasil bobot kering tajuk berbeda nyata (P<0,01)
untuk kedua rumput uji, perlakuan P3 berpengaruh nyata paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan
P1 dan P3 dalam memberikan hasil bobot kering.
Rasio tajuk/akar
Pengaruh perlakuan terhadap rasio tajuk/akan tanaman uji disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Rasio tajuk/akar pada perlakuan pemupukan berbeda.
Jenis Tanaman Pupuk (P)
P1 P2 P3
B. humidicola
S. secundatum
2,51c
2,10b
2,60b
2,11b
3,59a
2,73a
Ket.: Angka dengan huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata P<0,05
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
272
Data menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan bervariasi pada masing-masing jenis rumput uji,
tetapi perlakuan P3 memberikan hasil rasio tajuk/akar nyata lebih tinggi (P<0,05) dari perlakuan
lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa rasio tajuk/akar dapat ditingkatkan dengan pemberian
kombinasi lengkap unsur makro NPK. Hal ini penting karena dengan meningkatnya rasio tajuk/akar
berarti hijauan pakan dengan porsi vegetatif akan lebih banyak tersedia untuk memenuhi kebutuhan
ternak ruminan.
Komposisi kimia
Pengaru perlakuan terhadap komposisi kimia disajikan pada Tabel 4. Data menunjukkan perlakuan
berpengaruh terhadap kandungan protein kasar pada kedua jenis rumput berpengaruh dimana
perlakuan P3 memberikan hasil yang nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Sedangkan terhadap kandungan NDF dan ADF tidak berpengaruh nyata (P>0,05).
Tabel 4. Kandungan protein kasar (PK), ADF, NDF dan Abu rumput uji.
Jenis Tanaman Kombinasi Pupuk (P)
P1 P2 P3
PK (%)
B. humidicola
S. secudatum
9,15c
7,70b
9,78b
8,11b
10,82a
9,56a
ADF (%)
B. humidicola
S. secudatum
35,76
37,54
36,12
36,79
35,89
37,84
NDF (%)
B. humidicola
S. secudatum
72,79
69,09
73,12
70,45
74,12
70,63
Abu (%)
B. humidicola
S. secundatum
7,17c
11,56b
8,89b
11,69b
9,97a
12,98a
Ket.: Angka dengan huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata P<0,05
Perlakuan berpengaruh nyata terhadap kandungan Abu pada kedua jenis rumput uji, dimana perlakuan
P3 memberikan hasil berbeda nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kombinasi pemupukan unsur makro NPK diperlukan
untuk menghasilkan produksi biomassa dan kualitas nutrisi hijauan pakan kedua rumput tropis.
DAFTAR PUSTAKA
Ginting, S.P. dan A. Tarigan. 2007. Kualitas nutrisi Stenotaphrum secundatum dan Brachiaria
humidicola pada Kambing. JITV 11(4): 273-279
Mullen, B.F., Rika, I.K., Kaligis, D.A and W.W. Stur. 1997. Performans of grass Legumes pastures
under coconut in Indonesia. Expt. Agric. 33: 409-423.
Mullen, B.F. and H.M. Shelton. 1996. Stenotaphrum secundatum : a valuable forage species for
shaded environments. Topical Grassland.30 : 289-297
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
273
HASIL BAHAN KERING DAN PERTUMBUHAN VEGETATIF Gliricidia sepium (Jacq)
STEUD PADA KEPADATAN POPULASI DAN PEMOTONGAN BERBEDA
Selvie D. Anis, David A. Kaligis dan Fredy Dompas
University of Sam Ratulangi, Manado City 95115. Indonesia.
Email: [email protected]
ABSTRAK
Legume pohon Gliricidia sepium (Jacq) Steud adalah hijauan pakan berkualitas yang digunakan
sebagai suplemen sumber protein untuk pakan miskin seperti rumput dan jerami padi. Jenis legume
pohon ini digunakan juga sebagai pagar hidup dan sumber pakan ternak ruminan di lahan perkebunan
kelapa. Namun demikian masih terbatas informasi ilmiah jika tanaman ini dipotong secara regular
pada kepadatan tertentu. Hal ini penting karena di areal perkebunan kelapa terjadi persaingan antara
tanaman kelapa dan tanaman tumpang sari. Penelitian ini dilakukan pada kebun percobaan BALITKA
(Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain) Manado dengan tujuan mempelajari mutu daun G.sepium
dan pertumbuhan vegetative pada kepadatan populasi dan jarak waktu pemotongan berbeda.
Digunakan stek batang ukuran panjang 30 cm dengan garis menengah 2-3 cm, disemaikan pada
polybag ukuran 15 x 25 cm. Lahan diberi pupuk dasar TSP dan KCl masing-masing sebanyak 75
kg/ha pada saat pengolahan tanah, dan pupuk urea sebanyak 100 kg/ha yang diberikan setelah
tanaman berumur tumbuh kembali 2 bulan. Perlakuan yang diuji kepadatan populasi tanaman G.
sepium sebanyak 20 ; 30 ; dan 40 tanaman /petak, dan jarak waktu potong 3, 6, 9 dan 12 minggu.
Perlakuan diatur secara faktorial pada rancangan dasar acak kelompok (RAK). Peubah yang diukur
hasil bahan kering dan pertumbuhan vegetative. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi
perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan bahan kering, tetapi iteraksi berpengaruh
nyata terhadap variable pertumbuhan vegetative. Dapat disimpulkan bahwa untuk dapatkan hasil
bahan kering G. sepium dan keberlanjutan produksi legume ini di areal perkebunan kelapa manajemen
penanaman dan defoliasi harus menjadi perhatian.
Kata kunci: Bahan kering, vegetative, Gliricidia, waktu potong, kelapa.
ABSTRACT
Legume plant of Gliricidia sepium (Jacq) Steud is high quality forage fed for ruminant animal as
source of protein supplementation for grass and paddy straw. This plant was used as live stick fence
around coconut plantation areas. The scientific information of regular cutting under certain density
had not been reported. The objective of this study was to dry matter yield and vegetative growth of
Gliricidia sepium (Jacq) Steud under different population density and cutting interval in coconut
plantation. Plant material of 30 cm length with diameter of 2-3 cm were planted in the poly-bag of 15
x 25 cm size. The area were fertilized using TSP and KCl fertilizer of 75 kg/ha during land plough
and using N fertilizer of 100 kg/ha applied at two month age of plant. Treatment of density study
using Gliricidia sepium (Jacq) Steud population of 20, 30 and 40 plants per area of 9 m2 combined
with cutting interval of 3; 6; 9 and 12 weeks were conducted in this study. Treatments were set in
factorial arrangement based on block randomized design. Variables measured in this study were
including dried matter production and vegetative growth. Results showed that dried matter yield were
dictated by cutting interval and vegetative growth significantly affected by the interaction of the
treatments. Therefore, it can be concluded that to produce high dry matter and the sustainability of
Gliricidia sepium (Jacq) Steud in coconut plantation should be focused on planting and defoliation
management.
Key word: Dry matter, cutting, coconut, gliricidia, vegetative growth.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
274
PENDAHULUAN
Legume pohon Gliricidia sepium telah lama dikenal di perdesaan oleh petani tetapi pemanfaatan dan
budidaya tanaman ini sebagai sumber hijauan pakan bermutu belum banyak dilakukan. Informasi
agronomi dan manajemen defoliasi tentang legume pohon ini sebagai sumber pakan masih sangat
terbatas, terutama yang tumbuh terintegrasi dengan tanaman kelapa. Di Indonesia G. sepium dikenal
dengan nama Gamal yang adalah singkatan dari “ganyang mati alang-alang” karena kemampuannya
membrantas alang-alng dengan cara penaungan yang lebat terhadap rumput liar itu. Legume pohon ini
sebagai tanaman perennial berukuran sedang. Tanaman yang tumbuh baik biasanya memberikan 7-15
pasang anak daun atau leaflets dalam satu daun majemuk atau compound leaf. Dekomposisi daun G.
sepium relative cepat dan memberikan sumbangan nitrogen dan potassium serta memperbaiki
moisture tanah pada tanah berpasir di perkebunan kelapa (Subramanian et al, 2005). Dengan
demikian dikatakan bahwa one ton of foliage is equivalent to 16 kg of urea, so 1 ha of G. sepium can
provide 128 kg of urea fertility and can increase economic fresh root weight of the coconuts (Solangi
et al., 2010).
Keterbatasan sumber pakan bermutu untuk ternak ruminant di semua daerah tropis termasuk
Indonesia, khususnya pada musim kemarau mengharuskan penyediaan hijauan pakan bermutu sebagai
suplemen untuk rerumputan dan jerami sisa hasil pertanian (Lukuyu et al., 2011). Promosi G. sepium
sebagai sumber nitrogen yang murah karena atribut agronominya yang mampu mengikat nitrogen
udara ke dalam tanah (Nygren, et al., 2000; Tuwei et al., 2003) dan produksi biomassa yang tinggi
selama musim kemarau (Tuwei et al., 2003). Daun G. sepium mengalami decomposisi relative cepat
dan dapat menyumbang green manure dimana 1 ton daun bernilai setara dengan 16 kg pupuk urea,
atau 1 ha dapat mengahsilkan 128 kg setara urea (Solangi et al,. 2010). Kendatipun masih terdapat
perdebatan persepsi tentang penggunaan dan palatabilitas untuk ternak ruminant, G. sepium masih
dipercaya sebagai satu dari banyak legume pohon multiguna setelah leucaena leucocephala di
wilayah tropis basah (Kabi and Lutakome, 2013). Selain resisten terhadap kutu loncat atau psyllid
pest (Heteropsylla cubana) G. sepium mampu menghasilkan sprouts sehingga tidak saja bertumbuh
vigorously tetapi juga toleran terhadap defoliasi berulang, sementara mempertahankan daun yang
hijau di musim kering.
Frekwensi panen G. sepium adalah factor manajemen yang critical yang mempengaruhi kualitas
nutrisi dan produksi biomassa yang berkelanjutan. Oleh sebab itu pengaturan defoliasi yang tepat
akan dapat meningkatkan kualitas dan jumlah hasil produksi hijauan dari 2,0–20 ton/ha/tahun (Simons
and Stewart, 1994). Sedangkan interval defoloasi direkomendasi 6-12 minggu untuk G. sepium yang
tumbuh di daerah tropis basah (Edwards et al., 2012), dan akan terjadi penurunan nilai nutrisi legume
pohon dengan meningkatnya maturity (Kabi and Bareeba, 2008).
Informasi kepadatan populasi dalam hubungannya dengan morfologi traits G. sepium di areal
pertanaman kelapa masih sangat terbatas. Ella et al. (1989) melaporkan pengaruh kepadatan tanaman
G. sepium di areal padang rumput terbuka menurunkan hasil bahan kering daun dan batang dengan
naiknya populasi tanaman dari 20.000 menjadi 40.000 pohon/ha.
Penelitian ini bertujuan mempelajari pertumbuhan vegetative G. sepium pada kepadatan populasi dan
frekwensi defoliasi yang berbeda di areal perkebunan kelapa.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
275
METODE PENELITIAN
Bahan dan Peralatan
Tanaman. Bibit G. sepium yang digunakan berupa stek batang dengan panjang stek 30 cm,
berdiameter 2-3 cm, disemai pada polybag berukuran 15 cm x 25 cm Selma 8 minggu.
Pupuk. Tida macam pupuk yang digunakan yaitu tripel super fosfat (TSP) dan kalium clorida (KCl)
dengan masing-masing 75 kg/ha diberikan pada saat pengolahan tanah. Pupuk urea sebanyak 100
kg/ha diberikan setelah 2 minggu tanaman dipindahkan dari polybag ke lapang.
Lahan. Digunakan lahan diareal pertanaman kelapa (underneath coconut) jenis kelapa dalam (tall)
dengan jarak tanam 10 cm x 10 cm yang berumur sekitar 60 tahun.
Peralatan yang digunakan diantaranya timbangan rumput, “Integrated Pyranometer” ex Queensland
University Australia dan oven pengering.
Metode Percobaan
Dalam percobaan ini perlakuan diatur secara factorial dalam rancangan acak kelompok. Dua factor
yang diuji berupa kepadatan populasi tanaman (KPT) sebagai factor A yang terdiri dari tiga tingkat
kepadatan:
a1. = 20 tanaman / petak 9 m2
a2 = 30 tanaman / petak 9 m2
a3 = 40 tanaman / petak 9 m2
dengan perincian teknik di lapangan sebagai berikut:
Tabel. 1. Jumlah baris, jarak tanam, tanaman/baris dan tanaman/perlakuan.
Jumlah jarak jarak tanaman baris
Tanaman/petak antar baris dalam baris dalam baris dalam petak
(m) (m)
___________________________________________________________________________
20 0,50 1,00 4 5
30 0,50 0,67 6 5
40 0,50 0,50 8 5
Factor kedua interval pemotongan (IP) sebagai factor B terdiri dari 4 (empat) tingkatan sebagai
berikut:
b1 = IP 3 minggu.
b2 = IP 6 minggu
b3 = IP 9 minggu
b4 = IP 12 minggu
dengan demikian terdapat 12kombinasi perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh
36 angka pengamatan.
Pelaksanaan
Persiapan lahan. Untuk meletakan petak-petak percobaan masing-masing seluas 9 m2 dibutuhkan
lahan seluas 324 m2, ditempatkan diantara tanaman kelapa dengan jarak 2 meter dari pohon kelapa.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
276
Dengan control gulma yang ketat, bibit G. sepium berupa stek batang dengan tinggi tunas 30 cm
dipilih yang terbaik dari semaian yang ada.
Penempatan perlakuan. Setelah stek batang G. sepium ditanam dalam polybag mencapai umur 8
minggu, dipindahkan ke petak-petak percobaan di lahan. Setelah berumur 12 minggu di petak
percobaan dilakukan trimming untuk dapatkan pertumbuhan kembali yang seragam. Penetapan
perlakuan umur interval pemotonga (IP) dilakukan prosedur sebagai berikut:
1. Perlakuan IP 12 minggu (b4): Setelah G. sepium berumur 8 minggu regrowth setelah
trimming, tanaman dipotong kembali kemudian dibiarkan tumbuh kembali selama 12 minggu
untuk dipanen.
2. Perlakuan IP 9 minggu (b3): Setelah G. sepium berumur 11 minggu regrowth setelah
trimming, tanaman dipotong kembali kemudian dibiarkan tumbuh kembali selama 9 minggu
untuk dipanen.
3. Perlakuan IP 6 minggu (b2): Setelah G. sepium berumur 14 minggu regrowth setelah
trimming, tanaman dipotong kembali kemudian dibiarkan tumbuh kembali selama 6 minggu
untuk dipanen.
4. Perlakuan IP 6 minggu (b1): Setelah G. sepium berumur 17 minggu regrowth setelah
trimming, tanaman dipotong kembali kemudian dibiarkan tumbuh kembali selama 3 minggu
untuk dipanen.
Dengan demikian perlakuan diterapkan pada umur regrowth yang berbeda setelah trimming,
sebaliknya panen dilakukan pada saat yang sama dengan umur interval pemotongan yang berbeda
sesuai perlakuan.
Panen. Panen dilakukan dengan cara memotong batang utama setinggi 100 cm dari permukaan tanah,
sedangkan cabang-cabang dipotong sepanjang 10 cm dari batang utama. Jumlah anak daun, daun
majemuk dan jumlah batang dihitung, kemudian daun ditimbang segar. Peubah yang diukur untuk
pertumbuhan vegetative berupa jumlah anak daun, jumlah daun majemuk, jumlah cabang dan rasio
daun/kayu, serta laju produksi bahan kering.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan bahan kering
Interaksi perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan bahan kering daun G.
sepium, tetapi secara terpisah tiap perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan bahan
kering. Perlakuan interval pemotongan 3 minggu (b1) mengandung bahan kering terendah sebanyak
18,42% dan nyata lebih rendah dibandingkan dengan interval pemotongan 12 minggu (b4) sebanyak
24,66%. Peningkatan kandungan bahan kering dari perlakuan b1 ke b4 sebesar 30%. Loncatan
kandungan bahan kering tersebut dapat diterangkan oleh perbedaan umur tanaman yang terkait
dengan lamanya tanaman memperoleh kesempatan untuk menimbun asimilat selama periode tersebut.
Hasil ini menunjang laporan penelitian sebelumnya yang merekomendasi bahwa di daerah tropis
basah tanaman G. sepium sebaiknya dipanen pada umur antara 6-12 minggu (Edwards et al, 2012),
sebab akan terjadi penurunan nilai nutrisi legume pohon pada umur yang semakin tua (Kabi and
Bareeba, 2008) terutama dengan naiknya komponen serat NDF (Thapa et al, 1997), kecuali
kandungan protein kasar (Kabi and Lutakome, 2013).
Pertumbuhan vegetative
Pertumbuhan vegetative diukur pada variabel jumlah anak daun, jumlah daun majemuk, jumlah
cabang, rasio daun/kayu dan laju produksi bahan kering.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
277
Tingginya jumlah anak daun dan daun majemuk tersebut semua terkait dengan perlakuan interval
pemotongan 12 minggu (b4) yang berhubungan erat dengan kandungan bahan kering tertinggi pada
perlakuan interval pemotongan (IP) 12 minggu. Meningkatnya hasil biomassa daun tersebut
kemungkinan disebabkan oleh terjadi perbaikan penentu produksi biomasa termasuk diantaranya lebih
panjang tersedia re-growth period, number of growing buds and branches, leaf area index and
prolonged shoot carbohydrate reserves all of which probably improved on photosynthetic efficiency
(Labri et al., 2000; Kabi and Lutakome, 2013). Jumlah cabang tertinggi pada interaksi perlakuan a1b1
sebanyak 17,94 nyata lebih tinggi dari interaksi perlakuan lainnya, dan yang terendah pada interaksi
perlakuan a3b3 sebanyak 6,02. Laju produksi bahan kering tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan
a3b3 dan a3b4 masing-masing sebanyak 28,34 dan 28,16 dan keduanya nyata lebih tinggi dibanding
interaksi perlakuan lainnya. Rasio daun/kayu tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan kepadatan
populasi tanaman terendah 20 tanaman / 9 m2 dengan umur interval pemotongan terpendek 3 minggu
(a1b1) senilai 4,72 nyata lebih tinggi dari interaksi perlakuan lainya. Tingginya rasio daun/kayu pada
interaksi ini lebih dipengaruhi oleh tingkat kepadatan populasi yang lebih rendah, sehingga tidak
terjadi overlaping dan cukup tersedia ruang untuk memberikan kesempatan growing buds
menghasilkan new branches. Hasil ini tidak sama dengan yang dilaporkan oleh Kabi and Lutakome
(2013) bahwa di Afrika leaf:stem ratio tertinggi G. sepium diperoleh pada optimum cutting frequency
of 8 weeks dan menurun dengan nyata pada umur potong 16 dan 24 minggu, dan diikuti dengan
meningkatnya nyata kandungan NDF. Perbedaan leaf:stem ratio dengan penelitian kami mungkin
disebabkan oleh perbedaan iklim terutama curah hujan dimana rataan curah hujan 2700 mm, sedang
di Afrika 1320 mm.
Kendatipun pada Tabel 2 terlihat maksimum dan minimum pertumbuhan vegetatif G. sepium
dipengaruhi dengan nyata oleh interaksi perlakuan tertentu, namun secara umum ritme pertumbuhan
vegetative lebih didikte oleh perlakuan interval pemotongan ketimbang perlakuan kepadatan populasi
tanaman (Figur 1-2). Management of G. sepium by looping influence not only biomassa yield but
also the fiber yield as well as leaf:stem ratio that greatly impact on its quality (Thapa et al., 1997)
kecuali kandungan protein kasar daun tidak terpengaruh sampai dengan interval pemotongan 24
minggu (Kabi and Lutakome, 2013). Kandungan protein kasar dapat dipertahankan karena G. sepium
trees subjected to periodic pruning actively fix atmospheric N2 dimana renodulation and onset of N2
fixation following pruning occurred rapidly at cutting regime 24 weeks and produced the highest
amount of fixed nitrogen in aboveground biomass (Nygren et al., 2000).
Figur 1. Pengaruh interaksi perlakuan terhadap jumlah anak daun.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
278
Figur 2. Pengaruh interaksi perlakuan terhadap jumlah daun majemuk, jumlah cabang, nisbah
daun/kayu, laju produksi bahan kering.
Ket: JAD = jumlah anak daun. JDM = jumlah daun majemuk. JC = jumlah cabang.
LPBK = laju produksi bahan kering dan ND/K = nisbah daun/kayu.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa untuk dapatkan mutu hijauan G. sepium dan keberlanjutan produksi legume
ini di areal perkebunan kelapa manajemen penanaman dan defoliasi harus menjadi perhatian.
DAFTAR PUSTAKA
Ella A, Jacobsen C, Stur W.W and G.J. Blair. 1989. Effect of plant density and cutting frequcy on the
productivity of four tree legumes. Tropical Grassland 23: 28-34
Edwards A, Mlambo V, Lallo C.H.O and G.W. Garcia. 2012. Yield, chemical composition and In-
vitro ruminal fermentation of leaves of L. leucocephala, G.sepium and Trichanthera gigatean
as influenced by harvesting frequency. J. Anim Sci Adv. 2: 321-331
Kabi F and F.B. Bareeba. 2008. Herbage biomass production and nutritive value of mulberry (Morus
alba) and Calliandra calothyrsus harvested at different cutting frequencies. Anim. Feed. Sci.
Technol., 140: 178-190.
Kabi F and P Lutakome. 2013. Effect of harvesting Gliricidia sepium (Jacq) Steud at different cutting
frequencies on quantity and quality of herbage biomass for dairy cattle nutrition. J. Anim Sci
Adv. 3(6): 321-336.
Larbi A, Awojide A.A, Adekunle I.O, Ladipo D.O and J.A. Akinlade. 2000. Fooder production
Responses to pruning height and fooder quality of some trees and shrubs in a forest- savanna
transition zone in Southwestern Nigeria. Agroforestry Systems 48: 157-168.
Lukuyu B, Franzel S, Ongadi. P.M and A.J. Duncan. 2011. Livestock feed resources: current
Production and management practices in central and northern rift valley provinces of Kenya.
Livestock Research for Rural Development, Vol. 23. Article 5.
http://www.Irrd.org/Irrd23/5/luku23112.htm.
Nygren P, Cruz P, Domenach A, Vaillant V and J. Sierra. 2000. Influence of forage harvesting
regimes on dynamic of biological dinitrogen fixation of a tropical woody legume. Tree
Physiology 20: 41-48.
Simons A.J and J.L. Stewart. 1994. Gliricidia sepium – a Multi Purpose Tree Legume. In: Gutteridge,
R.C and H.M. Shelton (Ed). Forage Tree Legume in Tropical Agriculture. CAB International,
Wallingford UK. 389 pp.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
279
Subramanian P, Dhanapal P and H.P. Maheswareppa. 2005. Gliricidia sepium as green manure in
improving fertility and productivity of coconut under coastal littrol sandy soil. Journal of
Plantation Crops. 33(3):179-183
Solangi A.H, Mal B, Kazmi A.R and M.z. Iqbal. 2010. Preliminary studies of the major
characteristics, agronomy feature and nutrient value of Gliricidia sepium in coconut
plantations in Pakistan. Pak. J. Bot. 42 (2): 825-832
Thapa B, Walker D.H, and F.L. Sinclair. 1997. Indigenous knowledge of feeding value of tree Fooder.
Anim. Feed Sci. technol. 67: 97-114
Tuwei P.K, Kangara J.N, Poole J, Ngugi F.K and J.L. Stewart. 2003. Factors affecting biomass
Production and nutritive value of Calliandra calothyrsus leaf as fooder for ruminants. J. Agri.
Sci. 141: 113-127.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
280
PENERAPAN SISTEM LEISA ( Low Exsternal Input and Sustainable Agriculture)
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT RAJA (King Grass) PADA
PEMOTONGAN KETUJUH
Suyitman, Lili Warly, Evitayani, A. Rachmat, dan Dear R.R.
Fakultas Peternakan Universitas Andalas
Kampus Universitas Andalas Limau Manis Padang (25163)
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan sistem LEISA (Low External Input and
Sustainable Agriculture) terhadap pertumbuhan dan produksi Rumput Raja pada pemotongan ketujuh.
Penelitian ini menggunakan Rumput Raja setelah pemotongan keenam, pupuk N, P, dan K, pupuk
kandang (pukan), CMA dan alat-alat pertanian. Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
metode eksperimen dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan.
Perlakuan dosis yang diberikan adalah: Pertanian anorganik: perlakuan A (100% N, P, dan K), B
(100% N, P, dan K + pukan ), Pertanian LEISA: perlakuan C (25% N, P, dan K + Pukan + CMA), D
(25% N, P, dan K + CMA), dan Pertanian organik: perlakuan E (pukan + CMA). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05)
terhadap pertumbuhan (tinggi tanaman, jumlah anakan, panjang daun) dan produksi (produksi segar &
bahan kering), serta Benefit Cost Ratio (BCR). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan
menggunakan sistem LEISA dan pertanian organik menghasilkan pertumbuhan dan produksi Rumput
Raja yang sama dengan pemberian dosis 100 % rekomendasi pupuk N, P, dan K (pertanian
anorganik). Perlakuan yang paling menguntungkan adalah perlakuan sistem pertanian LEISA dan
sistem pertanian organik.
Kata kunci: Rumput Raja, sistem LEISA, pertanian organik, CMA, pupuk NPK.
ABSTRACT This study aims to determine the effect of the application of the system of LEISA (Low External Input
and Sustainable Agriculture) on the growth and production of the seventh king grass cutting. This
study uses cuttings king grass, fertilizer N, P, K, manure, Arbuscular Mycorrhizal Fungi (FMA), and
the means of agriculture. The research method is a method of experimental design using analysis of
variance with Randomized Block Design (RBD) with 5 kinds of treatments and 4 replicates
(groups). The treatments were: A (200 kg N; 150 kg P; 100 kg K), B (200 kg N; 150 kg P; 100 kg K;
5,000 kg of manure), C (50 kg N; 37.5 kg P; 25 kg K; 5.000 kg of manure; 180 kg FMA), D (50 kg N;
37.5 kg P; 25 kg K; 180 kg FMA), E (5.000 kg of manure; 180 kg FMA). The results showed that the
treatment effect is not significant (P> 0.05) on the productivity parameters king grass. The results of
this study concluded that by using the system LEISA and organic farming king grass productivity
equal to 100% dosing recommendation fertilizer N, P, and K (200 kg urea/ha, SP-36 150 kg/ha, KCl
100 kg/ha). The most beneficial treatment is the treatment of LEISA farming systems (treatments C
and D) and organic farming systems (treatments E).
Keywords: King grass, LEISA systems, organic farming, FMA, NPK fertilizer.
PENDAHULUAN
Pada umumnya HMT ditanam pada lahan marginal yang mempunyai tingkat kesuburan rendah yang
dicirikan dengan sifat kimia, fisika, dan biologi yang kurang bagus, sehingga produktivitas tanaman
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
281
yang ditanam pada lahan ini agak rendah (Artise, 2011). Salah satu upaya untuk mengatasi
kekurangan tersebut diantaranya dengan menerapkan metode pertanian berkelanjutan yaitu sistem
LEISA. Sistem LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture) merupakan pertanian
berkelanjutan dengan input luar rendah yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam (tanah,
air, tumbuhan, tanaman, dan hewan) dan manusia (tenaga, pengetahuan, dan ketrampilan) yang
tersedia di tempat dan layak secara ekonomis, mantap secara ekologis, adil secara sosial dan sesuai
dengan budaya (Reijntjes et al., 1999).
Pelaksanaan metode pertanian berkelanjutan ini menggunakan beberapa jenis pupuk kimia, pupuk
organik dan CMA (Cendawan Mikoriza Arbuskula) dalam jumlah sedikit. Cendawan Mikoriza
Arbuskula (CMA) adalah hubungan simbiotik mutualisme antara cendawan (myko) dan akar tanaman
(rhiza). CMA memberikan manfaat pada tanaman, antara lain: meningkatkan kapasitas penyerapan
unsur hara, meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan dan ketahanan terhadap patogen akar
(Husin, 2002).
Pemberian dosis pupuk N (urea) 200 kg/ha, P (SP-36) 150 kg/ha, dan K (KCl) 100 kg/ha dapat
meningkatkan produksi dan kandungan gizi dari Rumput Raja (Peto, 2006). Selanjutnya dilaporkan
bahwa pemberian dosis 25 % rekomendasi pupuk N, P dan K dengan inokulasi CMA menghasilkan
pertumbuhan dan produksi yang relatif sama dibandingkan dengan dosis 100 % N, P, dan K tanpa
CMA.
Hasil penelitian Warly dkk. (2014) tentang penerapan sistem LEISA, pertanian anorganik dan
pertanian organik terhadap pertumbuhan dan produksi Rumput Raja pada pemotongan pertama
sampai dengan keenam menghasilkan produktivitas yang relative sama. Berdasarkan uraian di atas
penulis tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan tentang pertumbuhan dan produksi Rumput Raja
sampai umur satu tahun atau pemotongan ketujuh.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penerapan sistem LEISA terhadap pertumbuhan dan
produksi Rumput Raja pada pemotongan ketujuh (umur rumput Raja satu tahun). Kegunaan penelitian
ini antara lain: untuk memberikan informasi tentang sistem pertanian berkelanjutan dan mengetahui
pengaruh pemberian beberapa jenis pupuk terhadap pertumbuhan Rumput Raja serta untuk
mengetahui produksi kumulatif Rumput Raja selama setahun. Hipotesis penelitian ini adalah
penerapan sistem LEISA menghasilkan produktivitas Rumput Raja pada pemotongan ketujuh yang
sama dengan pemberian dosis 100 % rekomendasi pupuk N, P, dan K (200 kg/ha urea, 150 kg/ha SP-
36, 100 kg/ha KCl).
MATERI DAN METODE
Materi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian agronomis yang dilakukan di Blok A Sitiung II, Jorong Koto
Hilalang 2, Nagari Sungai Langkok, Kecamatan Tiumang Kabupaten Dharmasraya (Sumatera Barat).
Materi penelitian berupa: lahan, rumput Raja pemotongan keenam, pupuk urea, SP-36, KCl, dan alat
pertanian.
Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 macam perlakuan dan 4 ulangan (kelompok). CMA
yang diinokulasikan sebanyak 10 gram/rumpun (Peto, 2006). Rekomendasi dosis pupuk 100 % N, P,
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
282
dan K berdasarkan hasil penelitian Peto (2006) yaitu: 200 kg urea, 150 kg SP-36 dan 100 kg KCl
ha/panen serta CMA yang diinokulasikan adalah 10 gram/rumpun selama tanaman hidup. Perlakuan
yang diberikan adalah sebagai berikut: Perlakuan A = 100 % N, P, K (200 kg/ha urea + 150 kg/ha
SP-36 + 100 kg/ha KCl); B = A + 5 ton pupuk kandang; C = 25% A + 5 ton pupuk kandang + CMA
10 g/rumpun; D = 25% A + CMA 10 g/rumpun; dan perlakuan E = 5 ton pupuk kandang + CMA 10
g/rumpun.
Parameter yang diamati adalah: tinggi tanaman, jumlah anakan, panjang daun, produksi segar,
produksi bahan kering, dan Benefit Cost Ratio (BCR). Rancangan penelitian menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perbedaan antar perlakuan diuji dengan DMRT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Hasil penelitian penerapan sistem LEISA terhadap rataan pertumbuhan, produksi, dan BCR Rumput
Raja pemotongan ketujuh dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Pertumbuhan dan Produksi serta Nilai BCR Rumput Raja
Pemotongan Ketujuh
Perla
kuan
Tinggi
Tanaman
(m)
Jumlah
Anakan
(batang)
Panjang
Daun
(m)
Produksi
Segar
(ton/ha)
Produksi
B.K.
(ton/ha)
BCR
A 3,97 15,33 1,42 182,52 34,02 10,34
B 4,49 16,60 1,42 184,67 34,91 9,89
C 4,39 18,22 1,38 190,75 36,85 10,59
D 3,84 17,52 1,38 186,84 35,50 10,98
E 4,59 17,74 1,40 180,78 34,98 10,54
SE 0.19 1,22 0,02 10,96 2,78 0,41
Keterangan: antar perlakuan berbeda tidak nyata pada baris yang sama (P>0,05)
Perlakuan A & B: sistem pertanian anorganik
Perlakuan C & D: sistem pertanian LEISA
Perlakuan E: sistem pertanian organik
Pembahasan
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan sistem pertanian anorganik,
LEISA, dan organik memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan
tanaman, produksi, dan BCR Rumput Raja pada pemotongan ketujuh. Kondisi ini mengakibatkan
produktivitas Rumput Raja relatif sama pada setiap perlakuan. Hal ini disebabkan adanya fungsi
CMA yang dapat membantu penyerapan unsur-unsur hara dalam tanah yang diperlukan tanaman
untuk pertumbuhan optimal. Pemakaian CMA ternyata dalam penelitian ini bisa menghemat dosis
pupuk N, P, K, sebanyak 75 %. Sesuai pernyataan Abdullah et al. (2005) bahwa tanaman yang
terinfeksi CMA dapat lebih mudah menyerap unsur hara dan air yang tersedia dalam tanah, sehingga
dengan pengurangan jumlah pupuk N, P dan K pada tanah, tanaman tidak kekurangan makanan dan
mampu meningkatkan pertumbuhan daun. Selanjutnya Peto (2006) menyatakan bahwa Rumput Raja,
Gajah, dan Benggala yang diinokulasi dengan CMA dapat meningkatkan serapan P, pertumbuhan,
dan produksi tanaman tanpa menurunkan kandungan gizi tanaman. CMA juga mampu meningkatkan
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
283
pertumbuhan tanaman karena status nutrisi tanaman tersebut dapat ditingkatkan dan diperbaiki,
terutama untuk daerah yang bermasalah, seperti tanah masam. Husin (2002) juga membuktikan bahwa
CMA mampu mengurangi atau menghemat kira-kira 50% kebutuhan P, 40% N, dan 25% K, dan
meningkatkan efisiensi pemupukkan. Hal ini disebabkan CMA dapat memperpanjang dan
memperluas jangkauan akar terhadap penyerapan unsur hara di dalam tanah, terutama unsur fosfor.
CMA juga berperan penting dalam mengefektifkan daur ulang unsur hara sehingga dianggap sebagai
alat biologis yang paling efektif untuk mempertahankan stabilitas dan kelestarian ekosistem.
Pada Tabel 1 terlihat bahwa penerapan sistem pertanian organik (perlakuan E = pupuk kandang +
CMA) mampu menghasilkan pertumbuhan vegetatif tanaman, produksi, dan BCR Rumput Raja yang
sama dengan sistem pertanian anorganik (perlakuan A dan B). Hal ini disebabkan fungsi CMA dan
pupuk kandang yang mengandung beberapa unsur hara yang lebih komplit walau dalam kadar yang
rendah, sudah cukup untuk memenuhi aktifitas CMA yang akan sangat berpengaruh terhadap
fisiologis tanaman, sehingga pertumbuhan vegetatif tanaman dapat meningkat. Hal ini didukung oleh
pernyataan Husin (2002) dan Chalimah et al. (2007) bahwa penggunaan CMA dapat meningkatkan
pertumbuhan dan mendorong pertumbuhan anakan, inokulasi mikoriza juga mampu meningkatkan
pertambahan tinggi tanaman serta kandungan hara N, P, dan K, dan Ca pada daun tanaman.
Pemberian pupuk kandang yang mengandung beberapa unsur hara makro dan mikro walau dalam
kadar yang rendah, namun sudah bisa mencukupi kebutuhan pertumbuhan dari Rumput Raja.
Pemberian pupuk kandang menjadikan tanah subur secara fisik, kimia maupun biologis. Secara fisik
pupuk kandang membentuk agregat tanah yang mantap. Keadaan ini besar pengaruhnya terhadap
porositas dan aerasi persediaan air dalam tanah, sehingga berpengaruh terhadap perkembangan akar
tanaman. Secara kimia, pupuk kandang sebagai bahan organik dapat menyerap bahan yang bersifat
racun seperti alumunium (Al), besi (Fe) dan mangan (Mn) serta dapat meningkatkan pH tanah. Secara
biologi, pemberian pupuk kandang ke dalam tanah akan memperkaya jasad renik dalam tanah.
Organisme tersebut sangat membantu dalam penguraian bahan organik sehingga tanah lebih cepat
matang. Kandungan N, P, K dalam pupuk kandang tidak terlalu tinggi, tetapi jenis pupuk ini dapat
memperbaiki permeabilitas tanah, porositas, struktur tanah, daya menahan air, dan kandungan kation
rendah (Salikin, 2003 dan Mayadewi, 2007). Pupuk kandang sapi termasuk pupuk dingin karena
perubahan dari bahan yang terkandung dalam pupuk menjadi tersedia dalam tanah berlangsung secara
perlahan-lahan (Barus, 2012).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: penerapan sistem LEISA (Low
Exsternal Input and Sustainable Agriculture) dan pertanian organik menghasilkan pertumbuhan,
produksi, dan BCR Rumput Raja yang relative sama pada pemotongan ketujuh dengan pemberian
dosis 100 % rekomendasi pupuk N, P, dan K (200 kg/ha urea, 150 kg/ha SP-36, 100 kg/ha KCl).
Saran
Dalam rangka meningkatkan kesuburan tanah secara fisik, kimia, dan biologi secara
berkelanjutan serta menguntungkan, maka sistem pertanian LEISA dan sistem pertanian organik
perlu disosialisasikan dan segera diterapkan.
versi
elek
tronik
Seminar Nasional IV - HITPI. “Strategi Pengembangan Hijauan Pakan Lokal Berkualitas Untuk Peningkatan Mutu Ternak” Purwokerto 18 - 20 Oktober 2015 .ISBN.
284
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, yang
telah membiayai penelitian ini melalui skim Penelitian Unggulan Strategis Nasional (PUSNAS).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S., Y. Musa, dan Feranita. 2005. Perbanyakan Cendawan Mikoriza Arbuskula pada
berbagai varietas jagung (Zea mays L.) dan pemanfaatannya pada dua varitas tebu
(Saccharum officinarum L.). Jurnal Sains dan Teknologi 5: 12 – 20.
Artise, H.S.S. 2011. Pengembangan ternak sapi lokal berwawasan lingkungan di Sulawesi Utara.
Prosid. Semimar Nas. Penelit. dan PKM Sains, Teknologi, dan Kesehatan 2 (1): 545 – 552.
Barus, Y. 2012. Pengaruh aplikasi pupuk kandang dan sistim tanam terhadap hasil varietas unggul
padi gogo pada lahan kering masam di Lampung. Jurnal Lahan Suboptimal 1 (1): 102 – 106.
Chalimah, S., Muhadiono, L. Aznam, S. Harran, dan N. Toruan. 2007. Perbanyakan Gigaspora sp.
dan Aclauspora sp. dengan kultur pot di rumah kaca. Biodiversitas 7: 12 – 19.
Husin, E. F. 2002. Respon berbagai tanaman terhadap pupuk hayati Cendawan Mikoriza Arbuskula.
Pusat Studi dan Pengembangan Agen Hayati (PUSPAHATI). Universitas Andalas, Padang.
Mayadewi, N.N.A. 2007. Pengaruh jenis pupuk kandang dan jarak tanam terhadap pertumbuhan
gulma dan hasil jagung manis. Agritrop. 26 (4): 153 – 159.
Peto, M. 2006. Pengaruh dosis pupuk N, P, K terhadap produksi kumulatif dan kandungan gizi
Rumput Raja (Pennisetum purpupoides) pada tanah ultisol yang diinokulasi dengan
cendawan mikoriza arbuskula Glomus Manihottis. Penelitian dan Pengembangan Peternakan
(KRPP) UPT PeternakanUnand dan Laboratorium Hijauan Pakan Ternak Faterna Unand
Pascasarjana Universitas Andalas, Padang.
Reijntjes, C. B. Haverkort, dan A. Waters-bayer. 1999. Pertanian Masa Depan: Penghantar untuk
Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah (Terjemah). Kanisius: Yogyakarta.
Salikin, A. Karwan. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta.
Warly, L. Suyitman, Evitayani, Arif. A. 2014. Peningkatan Ketahanan Pangan melalui Pengembangan
Kawasan Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Dharmasraya. Laporan
Penelitian Unggulan Startegis Nasional. DP2M Dikti – Universitas Andalas. Padang.
versi
elek
tronik
285
INDEKS PENULIS
A. Fanindi 62, 192
A. Jayanegara 165
A. Rachmat 280
A. Rahman Sy 234
A.A.A.S. Trisnadewi 263
Adriani 48
Afduha Nurus Syamsi 141
Agus Priyono 90
Ahmad Yani 234
Akhmad Sodiq 216
Anisa Dewi Wardani Putri 71
Aryanto A.T. 122, 198
B.R. Prawiradiputra 62
Bahrun 71, 185
C.L. Kaunang 169
Caribu Hadi Prayitno 29, 135
D.A. Astuti 165
D.A. Kaligis 270, 273
D.M. Saleh 151
Darmawati 48
Dear R.R. 280
Diana Indrasanti 58
Dwi Rahayu Lestantini 22
Dwi Retno Lukiwati 54
E. Sutedi 62, 192, 220,
238
Eko Hendarto 71, 86
Endang Dwi Purbayanti 54
Endro Yuwono 156
Eny Fuskhah 48
Erwin Wantasen 81
Evitayani 280
F.N.S. Oroh 81
versi
elek
tronik
286
Fransisca Maria Suhartati 141
Fredy Dompas 273
Gusti Ayu Mayani Kristina Dewi 128
H. Purwaningsih 151
H.W. Kinanti 151
Hery Supratman 175
Hudri Aunurohman 185
I Dewa Nyoman Sudita 203
I Gede Sutapa 203
I Nyoman Kaca 203
I W. Suarna 246, 263
I. Herdiawan 62, 192,
220, 238
I.W. Wirawan 263
Iin Susilawati 175
Ikmahwati S. 39
Imbang Haryoko 90
J. Sumarmono 14, 182
K.M. Budiasa 263
Karti P.D.M.H. 198, 211
Kusuma Widayaka 182
L. Abdullah 165
L.G. Sumardani 265
Lili Warly 280
Lizah Khairani 175
Lucie Setiana 109
Luh Suariani 203
Luki Abdullah 1
M. Kasmiatmojo 179
M. Socheh 151
M.A.P. Duarsa 246
M.I. Pontoh 169
Mardiati Sulistyowati 182
Mari Santi 44
Mohandas Indradji 58
versi
elek
tronik
287
Muhamad Alfin 175
Muhamad Bata 252
Muhamad Samsi 67
Muhammad Nuskhi 109
Munasik 67, 258
N. Tirta Ariana 128
N.M. Witariadi 94
N.N. Candraasih K. 94
N.N. Suryani 263
N.P. Mariani 246
N.W. Siti 94
Nahrowi 165
Ni Made Yudiastar 203
Novie Andri Setianto 216
Novita, C.R. 211
Nunung Noor Hidayat 182
Nur Hidayat 71
Nurhalan Bawole 270
Oentoeng Edy Djatmiko 104
Onesimus Yoku 76
P. Yuwono 179, 216
Pramono Soediarto 86
Prihantoro I. 39, 122, 198
R.R. Indrawati 128
Rachim A.F. 198
Rahmi Dianita 234
Retno Iswarin Pujaningsih 54
Roni N.G.K. 94
Rusdimansyah 44
S. D. Anis 270, 273
S. Dalie 81
S.A. Lindawati 246
Saidah I. 122
Sajimin 62, 99, 192,
220, 238
versi
elek
tronik
288
Setiana M.A. 39, 122
Simel Sowmen 44
Siti Zainab 44
Sri Hastuti 58, 156
Sri Mastuti 104
Sri Nastiti Jarmani 99
Sri Rahayu 252
Sufiriyanto 156
Suharlina 165
Suparwi 67
Suwarno 71, 86
Suyitman 280
T. Warsiti 179
Taufik Hidayat 71
Titin Widiyastuti 185
Tri Rahardjo Sutardi 135
Triana Yuni Astuti 182
Ubaidillah 234
W. Kaunang 270
Wardhana Suryapratama 141
Yakin A. 39
Yoselanda Marta 114
Yusmi Nur Wakhidati 104
Yusuf Subagyo 135
Z.A. Jelan 14