repository.ub.ac.idrepository.ub.ac.id/9138/1/rembang, verry lengkong hanny.pdfi disertasi judul :...
TRANSCRIPT
ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TERNAK SAPI POTONG DI PROVINSI SULAWESI UTARA
DISERTASI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor
Oleh :
VERRY LENGKONG HANNY REMBANG NIM 107050100111019
PROGRAM DOKTOR ILMU TERNAK MINAT AGRIBISNIS PETERNAKAN
PASCASARJANA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
i
DISERTASI
JUDUL : Analisis Efisiensi Pemasaran Ternak Sapi Potong Di Provinsi
Sulawesi Utara
N A M A : Verry Lengkong Hanny Rembang N I M : 10 70 50 100 111 019
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Budi Hartono, MS Ketua
Ir. Hari Dwi Utami, MS., M.Appl.Sc.,Ph.D Prof.Ir.Vicky.V.J.Panelewen, MSc.,Ph.D Anggota Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Fakultas Peternakan Pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Prof. Dr. Ir. M. Nur Ihsan, MS Prof. Dr.Sc.Agr. Ir. Suyadi, MS NIP. 1953 0612 1981 031 003 NIP. 1962 0403 1987 011 001
Ujian terbuka : 21 Februari 2017
ii
IDENTITAS TIM PENGUJI
JUDUL DISERTASI : Analisis Efisiensi Pemasaran Ternak Sapi Potong Di
Provinsi Sulawesi Utara
Nama Mahasiswa : Verry Lengkong Hanny Rembang
N I M : 10 70 50 100 111 019
Program Studi : Ilmu Ternak
Minat : Agibisnis Peternakan
KOMISI PROMOTOR :
Promotor : Prof. Dr. Ir. Budi Hartono, MS
Ko–Promotor 1 : Ir. Hari Dwi Utami, MS., M.Appl.Sc., Ph.D
Ko–Promotor 2 : Prof. Ir. Vicky. V.J. Panelewen, MSc.,Ph.D
TIM PENGUJI :
Dosen Penguji 1 : Prof. Dr. Ir. Zaenal Fanani, MS.
Dosen Penguji 2 : Dr. Ir. Bambang Ali Nugroho, MS., DAA.
Dosen Penguji 3 : Dr. Ir. Hary Nugroho, MS.
Dosen Penguji Tamu : Dr. Ir Umi Wisapti Ningsih, MS
Tanggal Ujian : 21 Pebruari 2017
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI
Saya menyatakan dengan sebenar–benarnya bahwa sepanjang
pengetahuan saya, di dalam Naskah Disertasi ini tidak terdapat karya ilmiah yang
pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu
Perguruan Tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis
atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah
ini dan disebutkan dalam sumber kutiban dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah Disertasi ini dapat dibuktikan terdapat
unsur–unsur jiplakan, saya bersedia Disertasi ini digugurkan dan gelar akademik
yang telah saya peroleh (DOKTOR) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan
peraturan perundang–undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25
ayat 2 dan pasal 70).
Malang, Februari 2017
Mahasiswa,
Verry Lengkong Hanny Rembang NIM. 10 70 50 100 111 019
iv
MOTTO
Hidup Untuk Tuhan lewat Usaha Baku Beking Pande Agar Jadi Berkat Bagi Sesama Manusia;
Dimana ada Usaha, disitu ada jalan.
Amsal 1 : 7a, Takut Akan Tuhan adalah Permulaan Pengetahuan.
Disertasi ini ku persembahkan kepada
Anak – anak ku Vanly Verna Revieke Rembang, SPt, SPd, MSi ;
dr. Vivie Ireyke Rembang dan Vini Paskalini Rembang. SKep, serta
Istriku Dra. Meiske Ketty Elvien Olga Kesek, SPd
v
RIWAYAT HIDUP
Verry Lengkong Hanny Rembang, dilahirkan di Kawangkoan Kabupaten
Minahasa, 27 September 1955. Ayah : Herling Hart Rembang (Alm) dan Ibu :
Wilhelmina Non Bujung (Alm).
Pendidikan : SD Negeri Wuwuk Kabupaten Minahasa Selatan Tahun
1968. SMP Nasional Wuwuk Kabupaten Minahasa Selatan tahun 1971. SMA
Nasional Kawangkoan (jurusan Pas–Pal) tahun 1974. Tahun 1975 diterima pada
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado. Februari 1977 pindah
ke Fakultas Peternakan Unsrat Manado, lulus Sarjana Muda Ilmu Ternak
dengan gelar BSc, tahun 1982 dan lulus Sarjana Lengkap dibidang ilmu Ternak,
tahun 1985 dengan gelar Insinyur (Ir). Melanjutkan studi pada Program S–2
Program studi Studi Pembangunan di UKSW–Salatiga dan lulus pada tahun
1998 dengan gelar Magister Sains (MSi). Tahun 2010, melanjutkan studi ke
program Doktor (S–3) di Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Program
Studi Ilmu Ternak Minat Agribisnis Peternakan dengan sumber biaya dari usaha
sendiri.
Tahun 1977 – 1979 guru SMP dan SMA Pembangunan Bahu–Manado.
Tahun 1980 – 1984, guru SMP PGRI 1 dan SMA PGRI 2 Manado. Tahun 1984–
1987 selaku Kepala Sekolah SPP–PGRI dan Ketua Jurusan Pendidikan
Matematika pada PGSLTP Handayani di Manado. Tahun 1983 – 1986 sebagai
asisten dosen Biology di Laboratorium Dasar Unsrat dan Fakultas Peternakan
Unsrat (SK.Rektor Unsrat, Manado). Tahun 1987 sebagai staf Pengajar tetap
Fakultas Peternakan Unsrat Manado hingga sekarang. Matakuliah yang pernah
diampu di Fakultas Peternakan Unsrat : Biologi (Teori dan Praktikum), Ekology,
AMDAL, Perwilayahan Ternak, Perubahan Sosial, Perencanaan Pembangunan
Peternakan, Metode Penelitian Sosial Ekonomi Peternakan, Ekonomi Makro,
Tataniaga Hasil Ternak, dan Manajemen Pemasaran. Matakuliah di luar Fakultas
dalam lingkungan Unsrat adalah Ilmu Alamiah Dasar di Fakultas Hukum Unsrat.
Menikah dengan Dra Meiske Ketty Elvien Olga Kesek, S.Pd dan di
karuniai 3 (tiga) orang anak: 1) Vanly Verna Revieke Rembang, S.Pt, S.Pd, M.Si.
2) Dokter Vivie Ireyke Rembang. 3) Vini Paskalini Rembang S.Kep.
Malang, Februari 2017 Verry Lengkong Hanny Rembang
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji, syukur, hormat dan kemuliaan penulis persembahkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, Maha Tinggi, Maha Agung, Maha Mulia, Maha Kuasa
dan Maha Kasih, atas semua berkat, kasih dan anugerah–Nya bagi penulis.
Penulis menyadari kelemahan dan kekurangan yang dimiliki, sebab itu penulis
benar–benar merasakan dorongan dan bimbingan oleh Yang Terhormat Bapak
Prof. Dr. Ir. Budi Hartono, MS selaku Promotor, ibu Ir. Hari Dwi Utami, MS.,
M.Appl.Sc., Ph.D selaku Ko–Promotor dan bapak Prof.Ir.Vicky.V.V.J. Panelewen,
M.Sc., Ph.D selaku Ko–Promotor, dimana selain membimbing juga membuka
pintu yang selebar–lebarnya bagi penulis untuk berkonsultasi dan berdiskusi.
Sikap familiar, toleransi terhadap pandangan dan gagasan penulis, kemudian
memberikan motivasi, dorongan dan mengarahkan serta memberikan bimbingan
secara sungguh– sungguh dan ikhlas.
Kebaikan–kebaikan yang telah penulis terima, dirasakan sebagai hutang
budi yang tidak ternilai harganya. Pada kesempatan ini, perkenankan penulis
secara tulus dari lubuk hati yang dalam menghaturkan rasa syukur dan bangga
serta terima kasih yang sebesar–besarnya kepada bapak–bapak dan ibu
pembimbing bagi semua ketabahan, keteguhan dan keihlasannya memberikan
dorongan serta membimbing penulis sejak dari persiapan ujian kualifikasi hingga
pada pelaksanaan ujan terbuka untuk laporan penelitian Disertasi ini. Penulis
hanya mampu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kasih, Maha
Pemurah, dan Maha Penyayang, kiranya kepada bapak–bapak dan ibu
dicurahkan berkat, rahmat dan kesehatan.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang
membantu dan memungkinkan penulis mengikuti pendidikan Program Doktor
Ilmu Ternak ini hingga pelaksanaan Ujian Sidang Terbuka terhadap hasil
penelitian Disertasi ini, antara lain kepada :
1. Yang terhormat, Bapak Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri sebagai Rektor
Universitas Brawijaya dan Bapak Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito sebagai Rektor
Universitas Brawijaya periode 2010 – 2014, serta Bapak Prof. Dr.Sc.Agr. Ir.
Suyadi, MS sebagai Dekan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya dan
Bapak Prof. Dr. Ir. Kusmartono sebagai Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya periode 2011 – 2015 maupun Ibu Prof. Dr. Ir. Hartutik,
MP yang pada tahun 2010 selaku Dekan Fakultas Peternakan telah
memberi ijin, menerima, memberi kesempatan dan membina penulis
vii
menjadi mahasiswa Program Doktor Ilmu Ternak dan studi pada
Pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
2. Yang terhormat, Ibu Prof. Dr. Ir. Ellen Joan Kumaat, M.Sc. sebagai Rektor
Universitas Sam Ratulangi dan Bapak Prof. Dr. Donald A. Rumokoy SH.,MH
sebagai Rektor Universitas Sam Ratulangi periode 2008 – 2012, serta
Bapak Prof. Dr. Ir. Charles L. Kaunang, MS sebagai Dekan Fakultas
Peternakan Universitas Sam Ratulangi dan Ibu Prof. Dr. Ir. Marie Najoan,
MP sebagai Dekan Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi periode
2009 – 2013 yang telah memberi tugas belajar bagi penulis sebagai
mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya.
3. Yang terhormat, Tim Penguji disertasi, bapak Prof.Dr.Ir.Zaenal Fanani,MS.,
bapak Dr.Ir.Bambang Ali Nugroho, MS, DAA., bapak Dr.Ir.Hary Nugroho,MS.
Yang telah bersedia menguji untuk memberikan saran serta masukan sejak
pelaksanaan seminar hasil hingga dalam pelaksanaan Ujian Disertasi ini.
4. Yang terhormat ibu Dr. Ir Umi Wisapti Ningsih, MS selaku dosen tamu, telah
bersedia menguji untuk memberikan saran serta masukan pada
pelaksanaan Ujian Disertasi ini.
5. Bapak Gubernur dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik serta Dinas
Pertanian Provinsi Sulawesi Utara; bapak Bupati dengan Badan Kesatuan
Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat serta sub–Dinas Peternakan
Dinas Pertanian Kabupaten Minahasa; bapak Wali Kota dengan Badan
Kesatuan Bangsa dan Politik serta Dinas Pertanian–Perikanan dan
Peternakan Kota Tomohon; bapak Wali Kota dengan Badan Kesatuan
Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat serta Dinas Pertanian Kota
Manado; atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk
melakukan penelitian tentang Efisiensi Pemasaran ternak sapi potong di
daerah wilayah pemerintahannya.
6. Bapak–ibu teman–teman seperjuangan sebagai mahasiswa angkatan tahun
2010 pada Program Doktor Ilmu Ternak Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya, Malang.
7. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pengelola Rumah Potong
Hewan sapi (RPH), PD Pasar Kota Manado dan pemilik Tempat
Pemotongan Hewan sapi (TPH) di kota Manado; PD Pasar dan pemilik
Tempat Pemotongan Hewan (TPH) di Kota Tomohon; maupun PD Pasar
dan Pengelola Pasar “Pasar Blantek” sapi Kabupaten Minahasa di
viii
Kawangkoaan Kabupaten Minahasa, atas pelayanannya selama penulis
melakukan penelitian untuk penulisan Disertasi ini.
8. Studi program doktor saya ini tidak akan terlaksana tanpa restu, motivasi
maupun dukungan doa keluarga–ku terutama isteri dan anak–anak belahan
jiwaku yang tak henti–hentinya disertai linangan air mata memohon kasih
dan sayang Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
bagi keberhasilan studi ini. Terimalah ucapan terima kasih ini isteri–ku
tercinta Dra Meiske Ketty Elvien Kesek, SPd serta anak–anak belahan
jiwaku dan sangat kusayangi,Vanly Verna Revieke Rembang, SPt, SPd, MSi
dan Dokter Vivie Ireyke Rembang serta Vini Paskalini Rembang, SKep
maupun menantuku Juniar Fitria Situmorang, SE; yang telah sabar menanti
penyelesaian studi Program Doktor Ilmu Ternak di Universitas Brawijaya ini.
Kepada papi (Alm) dan mami (Alm) serta kakak ku {Dokter Christ H. L.
Rembang (Alm)},dan adik-adikku Lili A.J.Rembang,SE., Reflin S. Rembang,
SPd (Alm), Drita S. Rembang, SPd dan Ir Jane.H.W.Rembang, MP serta
adik ipar ku Dr.Ir.Tilly F.D.Lumi, MSi; terima kasih atas nasihat dan motivasi
serta dukungan doanya yang telah diberikan bagi keberhasilan studi penulis.
9. Teman–teman mahasiswa S-3 angkatan 2010 yang tinggal di asrama
Dinoyo {saat saya tidak berdaya (dua kali jatuh sakit), mengantarkan saya
ke Rumah sakit terdekat (RSI)} maupun teman–teman mahasiswa di Guest
House Pemda Sulawesi utara di kota Malang tahun 2015 – 2017, terima
kasih atas motivasi dan dukungan doanya bagi keberhasilan studi penulis.
10. Penulis menyadari sebagai manusia tentunya tidak luput dari kelemahan
dan kekurangan serta ketidak sempurnaannya, sebab itu dengan senang
hati, penulis menerima masukan yang konstruktif demi perbaikan penulisan
Disertasi ini. Semoga hasil penelitian pada Disertasi ini bermanfaat bagi
semua pembaca yang membutuhkan demi pengembangan ilmu dan
pengetahuan maupun pengembangan teknologi pemasaran bagi dunia
peternakan.
Malang, Februari 2017
Penulis,
Verry Lengkong Hanny Rembang
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih karunia–Nya
sehingga penulis diberikan kemampuan dalam menyelesaikan materi Hasil
Penelitian untuk Disertasi yang telah dibawa dalam Ujian Terbuka dengan judul :
Analisis Efisiensi Pemasaran Ternak Sapi Potong Di Provinsi Sulawesi Utara.
Penetapan judul tersebut dilatarbelakangi pemikiran bahwa usaha peternakan
sapi potong di Sulawesi Utara masih dilaksanakan secara sambilan dengan
model pemasaran konvensional yang merupakan ciri khas usaha yang bersifat
tradisional. Untuk menuju pada usaha yang bersifat modern dan komersial maka
salah satu upaya yang dilakukan adalah pembangunan usaha peternakan
berorientasi pada pasar sebagai terminal agribisnis guna mendukung
pengembangan usaha peternakan sapi potong. Secara empirik, usaha agribisnis
terdiri dari subsistem – subsistem agribisnis, maka peranan pemasaran
merupakan kunci keberhasilan agribisnis peternakan sapi potong. Model
pemasaran konvensional diduga menjadi penyebab inefisiensinya model
pemasaran sapi potong yang berdampak pada rendahnya pendapatan petani
peternak sapi dibanding pemasar ternak sapi / konsumen bisnis selaku
konsumen akhir ternak sapi potong. Untuk kepentingan tersebut, maka struktur
pasar dan pola integrasi pasar sebagai landasan mencapai tingkat efisiensi
pemasaran sapi potong sangat urgen dan perlu adanya penelitian kearah hal
tersebut..
Penelitian ini melihat sejauhmana model pemasaran ternak sapi potong
menciptakan efisiensi pemasaran dalam pengembangan agribisnis peternakan
sapi potong di Sulawesi Utara.
Penulis menyadari kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki penulis,
walaupun telah dikerahkan semua kemampuan untuk lebih teliti, tetapi masih
dirasakan banyak kekurangannya, sebab itu penulis mengucapkan terima kasih
atas saran yang bersifat konstruksif yang telah penulis terima bagi
penyempurnaan disertasi ini.
Malang, Februari 2017
Penulis,
Verry Lengkong Hanny Rembang
x
RINGKASAN
Verry Lengkong Hanny Rembang, Program Pascasarjana, Fakultas Peternakan,
Universitas Brawijaya Malang. Analisis Efisiensi Pemasaran Ternak Sapi Potong
di Provinsi Sulawesi Utara. Ketua Komisi Pembimbing: Prof.Dr.Ir.Budi Hartono,
MS; Anggota: Ir. Hari Dwi Utami, MS.,M.Appl.Sc.,Ph.D; Anggota: Prof. Ir. Vicky.
V. J. Panelewen, M.Sc., Ph.D.
Penelitiani ini bertujuan untuk Menganalisis struktur pasar ternak sapi potong, Menganalisis pola integrasi pemasaran ternak sapi potong, dan Menganalisis efisiensi pemasaran sapi potong di Sulawesi Utara. Kebutuhan ketersediaan ternak sapi di Sulawesi Utara hingga kini kenyataannya jauh dari harapan. Rendahnya laju ketersediaan ternak sapi tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan permintaan akibat pertumbuhan penduduk. Ketersediaan ternak sapi biasanya dipengaruhi oleh kegiatan lembaga pemasaran dari hulu kehilir sehingga berpengaruh pada struktur pasar, integrasi pemasaran, efisiensi pemasaran dan insentif yang diterima tiap lembaga pemasaran. Besarnya insentif yang diperoleh dari model pemasaran tersebut, diharapkan dapat menciptakan peningkatan penawaran ternak sapi, sehingga ikut mengimbangi permintaan pasar akan ternak sapi. Besarnya insentif ikut meningkatkan pendapatan yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan petani peternak khususnya di Sulawesi Utara.
Tinjauan pustaka dari penelitian ini bersumber dari hasil penelitian terdahulu mengenai pemasaran sapi potong, dan efisiensi pemasaran. Landasan teori berbasis pada pasar, pemasaran dan model pemasaran, strategi pengendalian saluran pemasaran dan integrasi pemasaran, struktur pasar, perilaku dan tampilan pasar, integrasi dan efisiensi pemasaran, dan agroindustri peternakan sapi.
Kerangka konseptual penelitian terlihat dari: Ternak sapi potong di Sulawesi Utara merupakan salah satu komoditi ekonomi yang berperan penting sebagai penyedia lapangan kerja, penyerap tenaga kerja keluarga, tenaga kerja ternak, alat transportasi, tabungan, hobi, penentu status sosial, dan sebagai ternak potong. Ternak sapi mampu merubah input yang kurang bernilai ekonomi berupa hijauan pakan ternak atau hasil ikutan pertanian menjadi produk bernilai tambah, sebab itu ternak sapi bernilai ekonomi. Ternak sapi bernilai ekonomi sebab dapat meningkatkan pendapatan rakyat dan berkedudukan penting dalam pemasaran hasil ternak. Model pemasaran yang hanya berorientasi produk akan membentuk pola integrasi pemasaran vertikal maupun horisontal yang rapuh akibatnya, peternak sapi dapat merugi bila terus berlanjut dan dapat mengakibatkan kebangkrutan / exit.
Penelitian ini dilakukan di Sulawesi Utara terhadap efisiensi pemasaran dari model pemasaran ternak sapi dengan sasaran untuk menganalisis struktur pasar, model integrasi pemasaran dan efisiensi pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi Utara dengan sampel kota Manado, kota Tomohon dan Kabupaten Minahasa (Kawangkoan). Penelitian ini berlangsung selama 4 (empat) bulan, yaitu dari 18 Desember 2014 – 18 April 2015.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, Struktur pasar dari pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi Utara, dengan melakukan Analisis struktur pasar melalui pendekatan matematis menggunakan alat analisis “Kr”, pasar ternak sapi di Sulawesi Utara cenderung mengarah pada oligopsoni konsentrasi tinggi. Kedua, Model Integrasi Pemasaran ternak sapi potong di
xi
Sulawesi utara secara umum masih menggunakan pola integrasi vertical yang tradisional / terputus–putus. Harga ternak sapi potong di tiap pasar masih ditentukan oleh harga dipasar itu sendiri pada bulan sebelumnya dan bukan oleh harga ternak sapi di pasar lainnya. Ketiga: Secara parsial, berdasarkan analisis transmsi harga, hanya pasar Tomohon yang menunjukkan pasar efisien untuk transmisi harga produsen ke pedagang perantara pemasaran dan ke konsumen akhir selaku konsumen bisnis. Secara keseluruhan, hasil analisis efisiensi pemasaran memperlihatkan nilai EP < 1, maka dapat disimpulkan bahwa model pemasaran adalah efisien.
Beberapa rekomendasi dari penelitian adalah: (1) Informasi pasar tentang harga ternak sapi belum sampai ke produsen dengan sempurna, sehingga harus ada upaya lebih efektif dari dinas terkait untuk menginformasikan harga ternak sapi potong. Secara lebih luas, ada upaya mengumpulkan dan menyebarkan harga ternak sapi potong menurut jenis dan kualitas yang berlaku di suatu wilayah., (2) Diperlukan suatu organsiasi yang menangani perencanaan produksi dan penjajakan pemasaran hasil ternak sapi potong, misalnya koperasi. Peternak sudah saatnya bergabung dengan kelompok usaha yang mampu memperkuat posisi tawar menawar terhadap konsumen akhir selaku konsumen bisnis ternak sapi potong., dan (3) Perlunya standarisasi produk (ternak sapi) yang konsisten untuk memperoleh segmentasi pasar yang relatif stabil sehingga dapat meningkatkan pendapatan peternak sapi. Untuk itu diperlukan perhatian dan kerjasama dari dinas terkait dalam hal pengembangan teknologi.
xii
SUMMARY
Verry Lengkong Hanny Rembang, Postgraduate Program, Faculty of Animal Husbandry, Brawijaya University Malang. Beef Cattle Marketing Efficiency Analysis at North Sulawesi Province. Promoter: Prof.Dr.Ir.Budi Hartono, MS; Co–Promoters : Ir. Hari Dwi Utami, MS.,M.Appl.Sc.,Ph.D and Prof. Ir. Vicky. V. J. Panelewen, M.Sc., Ph.D.
This study aims to analyze the structure of beef cattle market, marketing integration Analysing patterns of beef cattle, and analyze the efficiency of beef cattle marketing in North Sulawesi. Needs availability of cattle in North Sulawesi until now the reality is far from expectations. The low rate of availability of cattle was not able to keep pace with growth in demand due to population growth. Availability cattle are usually influenced by the activities of the upstream downstream marketing agencies that affect market structure, the integration of marketing, marketing efficiency and the incentives that each marketing agencies. The amount of the incentive obtained from the marketing model, is expected to create an increase in deals cattle and thus help offset the market demand for cattle. The amount of the incentive helps to improve incomes that lead to improving the welfare of livestock farmers, especially in North Sulawesi.
The literature review of the research comes from the results of previous research on beef cattle marketing, and marketing efficiency. The theoretical basis based on the market, marketing and marketing model, the control strategy of marketing channels and marketing integration, market structure, market behavior and appearance, integration and marketing efficiency, cattle farms and agro-industry.
The conceptual framework of the research looks of: Beef cattle in North Sulawesi is one of the commodities economy plays an important role as an employer, employer of the family, labor livestock, transportation, savings, hobbies, determinant of social status, and as livestock. Cattle are able to change the input of less economic value in the form of forage or agricultural by-products into value-added products cattle because it has economic value. Cattle economic value because it can increase the income of the people and domiciled important in the marketing of livestock products. Marketing model were oriented products will form a pattern of vertical and horizontal integration of marketing fragile as a result, cattle ranchers can lose if persists and can lead to bankruptcy / exit.This study was conducted in North Sulawesi to the marketing efficiency of marketing models cattle with the goal of analyzing the marketing structure, a model of integration of marketing and marketing efficiency of beef cattle in the North Sulawesi with sample area at the city of Manado, Tomohon and Minahasa (Kawangkoan). The study will last for four (4) months, namely from December 18, 2014 - April 18, 2015.
The results showed that: First, the market structure of the marketing of beef cattle in North Sulawesi, is mathematically using analysis tools "Cr", tends to lead to high concentrations oligopsony. Second, Model Integration Marketing beef cattle in northern Sulawesi in general are still using the traditional pattern of vertical integration / discontinuous. Prices of beef cattle slices in each market is determined by the price of beef cattle on the market itself in the previous month and not by the price of beef cattle in the other markets. Third Partially, based on the analysis transmsi price, the market just Tomohon which shows the efficient market for the transmission of producer prices to intermediaries and to consumers. Overall, the results show the value of marketing efficiency analysis EP <1, it can be concluded that the marketing model is efficient.
xiii
The recommendations of the study are: (1) information about the market price to the producer is not perfect, so there should be more effective efforts of relevant agencies to inform the price. More broadly, there is an attempt to collect and disseminate price of beef cattle according to the type and quality prevailing in the region. (2) It takes a organsiasi that handles production planning and assessment of the marketing of beef cattle, such as cooperatives. Breeders already time to join a business group that is able to strengthen the bargaining position of the direct consumer.; And (3) The need for standardization of products (beef cattle) which is consistent to obtain a relatively stable market segmentation so as to increase the income of cattle farmers. It required the attention and cooperation of the relevant agencies in terms of technological development.
xiv
DAFTAR SINGKATAN
RPH = Rumah Potong Hewan sapi (milik pemerintah, sifatnya legal)
TPH = Tempat Pemotongan Hewan sapi (milik perorangan / konsumen bisnis selaku konsumen akhir ternak sapi). TPH dikota Manado sifatnya illegal karena pemerintah sudah menyediakan RPH sapi potong.
HMS = Horizontal Marketing System / sistem pemasaran horisontal
VMS = Vertical Marketing System / sistem pemasaran vertikal
MCM = Multy Channel Marketing / sistem pemasaran multi saluran
MLM = Multy Level Marketing / pemasaran menggunakan banyak tingkatan
Kr = Konsentrasi Rasio (menggambarkan rasio penerimaan dan pengeluaran dan dinyatakan dalam satuan % (persentase)
Pr = Price of Retailer / harga ditingkat konsumen bisnis selaku konsumen akhir ternak sapi rangkap pengecer daging sapi. Mereka adalah pengguna RPH atau pemilik TPH
Pp = Price of jobber / harga ditingkat pedagang perantara pemasaran
Pf = Price of farmer / harga di tingkat petani peternak sapi selaku produsen ternak sapi.
BP = Biaya Pemasaran
EP = Efisiensi Pemasaran
MP 1 = Margin Pemasaran 1
MP 2 = Margin Pemasaran 2
Spf = Share harga di tingkat petani – peternak
Spp = Share harga di tingkat pedagang perantara pemasaran
Ski = Share keuntungan lembaga pemasaran ke i.
Sbi = Share biaya lembaga pemasaran ke i
xv
PI = Profitability Index dengan menggunakan satuan persentase (%)
Konsumen Akhir = Konsumen bisnis yaitu petani–peternak sapi pemilik tempat pemotongan hewan (TPH) atau pengguna rumah potong hewan (RPH) milik pemerintah sekaligus pembeli ternak sapi potong untuk di sembelih dan di jual dalam bentuk daging.
Konsumen Bisnis
= Konsumen akhir atau pembeli ternak sapi hidup untuk tujuan bisnis / disembeli untuk di jual dalam bentuk daging sapi
Saluran Pemasaran
= Lembaga – lembaga pemasaran yang menjadi sasaran dalam pemasaran. Simamora Bilson (2003) menyatakannya sebagai organisasi yang terkait satu sama lain dan terlibat dalam penyaluran produk sejak dari produsen sampai ke konsumen.
Rantai Pemasaran
= Lembaga – lembaga pemasaran yang saling berinteraksi dalam suatu model pemasaran vertical.
Jaring–jaring Pemasaran
= Lembaga – lembaga pemasaran yang saling berinteraksi dalam penyaluran suatu produk dari produsen hingga kekonsumen akhir baik secara vertikal maupun horizontal (antar lembaga pemasaran yang setingkat) sehingga membentuk suatu pola jaring – jaring pemasaran.
xvi
DAFTAR ISI
Isi Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................... i
IDENTITAS PENGUJI.............................................................................. ii
PERNYATAAN ORISINALITAS . .......................................................... iii
MOTTO ................................................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP. ................................................................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH . ................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................ ix
RINGKASAN. ...................................................................................... x
SUMMARY. ........................................................................................ xii
DAFTAR SINGKATAN. ....................................................................... xiv
DAFTAR ISI ............................................................................................. xvi
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xviii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xx
DAFTAR LAMPIRAN. .............................................................................. xxii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1. Latarbelakang ................................................................... 1
1.2. Masalah Penelitian ............................................................ 11
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................. 14
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................ 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 15
2.1. Hasil Penelitian Terdahulu ................................................ 15
2.1.1. Pemasaran Ternak Sapi Potong. ............................ 15
2.1.2. Efisiensi Pemasaran. ............................................... 19
2.1.2.1. Efisiensi Pemasaran Dalam Bidang Agribisnis. 19
2.1.2.2. Efisiensi Pemasaran Dalam Bidang Agribisnis
Peternakan. .............................................. 22
2.2. LandasanTeori .................................................................. 28
2.2.1. Pasar ..................................................................... 28
2.2.2. Pemasaran dan Model Pemasaran ........................ 31
2.2.3. Strategi Pengendalian Saluran Pemasaran dan
Integrasi Pemasaran. ............................................. 34
2.2.3.1 Saluran Pemasaran Konvensional...... ..... 39
2.2.3.2 Vertical Marketing System (VMS) ...... ...... 40
2.2.3.3 Horizontal Marketing System (HMS) ...... . 42
2.2.3.4 Sistem Distribusi Multisaluran Pemasaran/
Saluran Pemasaran Hibrida (Multy Channel
Marketing / MCM)...... ............................... 42
2.2.4. Struktur Pasar ........................................................ 44
2.2.5. Perilaku Dan Tampilan Pasar. ............................... 52
xvii
2.2.6. Integrasi dan Efisiensi Pemasaran. ........................ 58
2.2.6.1. Integrasi Pemasaran. .............................. 58
2.2.6.2. Efisiensi Pemasaran. .............................. 61
2.2.7. Agroindustri Peternakan Sapi. ............................... 71
2.2.8. Pemasaran Dalam Agroindustri Peternakan Sapi. . 73
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN ............................... 75
3.1. Kerangka Konsep Penelitian... .......................................... 75
3.2. Hipotesis Penelitian............................................................. 79
3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian .......................... 80
BAB IV METODE PENELITIAN. ........................................................ 86
4.1. Lokasi Penelitian. ........................................................ 86
4.2. Populasi dan sampel Penelitian. .................................. 91
4.3. Metode Pengambilan Data . ......................................... 93
4.4. Teknik Analisa Data. .................................................... 94
4.4.1. Struktur Pasar (Market Structure). ..................... 95
4.4.2. Model Integrasi Pemasaran. ............................. 100
4.4.2.1. Integrasi Pemasaran Horisontal. ......... 100
4.4.2.2. Integrasi Pemasaran Vertikal. ........... 101
4.4.3. Analisis Efisiensi Pemasaran. ........................... 109
4.4.4. Perbandingan Penggunaan Alat Analisis. ......... 111
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. ................................................. 114
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian. ............................ 114
5.2. Karakteristik Demografi Responden. ............................ 120
5.3. Struktur Pasar. .............................................................. 128
5.3.1. Pendekatan Kualitatif. ....................................... 128
5.3.2. Pendekatan Matematis. .................................... 141
5.4. Model Integrasi Pemasaran. ............................................ 172
5.5. Analisis Efisiensi Pemasaran. ........................................ 179
5.5.1. Pola Penentuan Harga Ternak Sapi Potong. ......... 179
5.5.2. Efisiensi Pemasaran. ........................................... 180
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. ................................................. 182
6.1. Kesimpulan. ................................................................. 182
6.2. Saran. .......................................................................... 182
DAFTAR PUSTAKA. ........................................................................... 184
DAFTAR LAMPIRAN. ......................................................................... 192
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1. Ciri – Ciri Persaingan Pasar. ................................................ 45 4.1. Jumlah Ternak Sapi Potong Di Sulawesi Utara Tahun 2014 .... 88 4.2. Jumlah Rumah Tangga, Pedagang (Perantara pemasaran)
Ternak Sapi Potong Menurut Kabupaten / Kota Tahun 2011 ... 89 4.3. Jumlah Ternak Sapi Menurut Kecamatan Di Kabupaten
Minahasa Tahun 2014 ............................................................. 91
4.4. Data Peternak Sampel dan Pedagang Ternak Sapi sampel. ... 93
5.1 Demografi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan. ..... 121 5.2 Demografi Responden Berdasarkan Usia. ......................... 122 5.3 Demografi Responden Berdasarkan Lama Beternak Sapi . .... 123. 5.4. Demografi Responden Berdasarkan Tingkat Penghasilan. .... 126 5.5 Demografi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan ... 127 5.6. Jarak Tempuh .......................................................................... 129 5.7. Data Peternak Sampel dan Pedagang Perantara Pemasaran
Ternak Sapi Sampel. ............................................................. 129 5.8. Konsumen Bisnis / Konsumen Akhir Ternak Sapi Selaku
Pemasar Daging Sapi. ........................................................... 130 5.9 Perhitungan Konsentrasi Rasio (Kr). ................................... 141 5.10. Hasil Analisis Transmisi Harga di Pasar Manado. ........... 142 5.11. Hasil Analisis Transmisi Harga di Pasar Tomohon. ........ 146 5.12 Hasil Analisis Transmisi Harga di Pasar Minahasa. ........... 150 5.13 Hasil Analisis Model Simultan Pasar Manado. ................ 155 5.14 Hasil Analisis Model Simultan Pasar Tomohon. ............. 158 5.15 Hasil Analisis Model Simultan Pasar Minahasa ................... 161 5.16 Index of Market Connection (IMC) Pasar Manado. .............. 165 5.17 Index of Market Connection (IMC) Pasar Tomohon. ......... 167
xix
5.18 Index of Market Connection (IMC) Pasar Minahasa. ............ 170 5.19 Model Integrasi Pemasaran. ............................................... 173 5.20 Pola Analisis Perkiraan Harga Ternak Sapi Dalam Pemasaran. 180 5.21 Analisis Efisiensi Pemasaran. ............................................. 180
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1. Model Pemasaran Sapi Potong di Malawi Tengah Dan Selatan. .................................................................. 25
2.2. Mekanisme Pasar ............................................................... 29 2.3. Bentuk – Bentuk Persaingan. .......................................... 45 2.4. Keadaan Pasar Persaingan Sempurna ............................... 46 2.5. Pasar Monopolistik .............................................................. 47 2.6. Pasar Monopoli. ................................................................. 48 2.7. Pasar Monopsoni. ............................................................... 49 2.8. Perusahan Pada Kondisi Oligopoli. ..................................... 50 2.9. Fungsi Primer, Turunan dan Marjin Pemasaran. ................. 57
2.10. Model Keseimbangan Dua Wilayah / Pasar......................... 66
2.11. Pertukaran Antara Dua Daerah Akibat Perbedaan Permintaan Dan Penawaran Dengan Mempertimbangkan Biaya Transportasi. Komoditi Mengalir dari Daerah Surplus Y ke Daerah Defisit X . ........ 69
2.12. Penentuan Harga keseimbangan, Jumlah Komoditi
Daerah Surplus Dan Defisit ................................................. 71
3.1. Kerangka Konseptual Penelitian Model Pemasaran ........ 78
4.1. Analisis Path : Elastisitas Transmisi. .............................. 97
4.2 Analisis Regresi : Integrasi Pemasaran Vertikal. ............. 102
4.3 Integrasi Pasar Jangka Pendek dan Jangka Panjang. ...... 105
4.4 Integrasi Pasar Secara Simultan. .................................. 107
5.1 Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan. ............................................................ 121
5.2. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan
Tingkat Usia. .................................................................... 122 5.3 Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Lama
Beternak Sapi. ................................................................... 124
xxi
5.4 Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Tingkat Penghasilan. ...................................................... 127
5.5 Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan
Jumlah Tanggungan. ..................................................... 128 5.6 Jaring – Jaring Pemasaran Ternak Sapi Potong di
Manado. ......................................................................... 132 5.7 Rantai Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kota Manado. 132 5.8 Jaring – Jaring Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kota
Tomohon. ......................................................................... 133 5.9 Rantai Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kota Tomohon. . 134
5.10 Jaring – Jaring Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kabupaten Minahasa. ....................................................... 135
5.11 Rantai Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kabupaten
Minahasa. ......................................................................... 135 5.12 Hasil Analisis Path : Elastisitas Transmisi di Pasar
Manado. ........................................................................... 145 5.13 Hasil Analisis Path : Elastisitas Transmisi di Pasar
Tomohon. ......................................................................... 149 5.14 Hasil Analisis Path : Elastisitas Transmisi di Pasar
Minahasa. ......................................................................... 153 5.15 Hasil Analisis Model Simultan di Pasar Manado. ........... 156
5.16 Hasil Analisis Model Simultan di Pasar Tomohon. ........ 159 5.17 Hasil Analisis Model Simultan di Pasar Minahasa. ........... 162 5.18 Index of Market Connection (IMC) Pasar Manado. .......... 166
5.19 Index of Market Connection (IMC) Pasar Tomohon. ....... 168
5.20 Index of Market Connection (IMC) Pasar Minahasa. ...... 170
5.21 Model Integrasi Pemasaran di Manado. ........................ 174
5.22 Model Integrasi Pemasaran di Tomohon. ......................... 176
5.23 Model Integrasi Pemasaran di Minahasa. ...................... 177
5.24 Model Integrasi Pemasaran Keseluruhan. ..................... 179
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Konsentrasi Rasio. .......................................................... 192 2. Elastisitas Transmisi. ........................................................ 194
3. Model Simultan. ............................................................... 202 4. Index Market Connection. ................................................ 208 5 Model Integrasi Pemasaran. ............................................ 210 6 Analisis Efisiensi Pemasaran. ............................................ 211 7 Demografi Responden. .................................................. 213 8 Photo Pasar “Blantek” Ternak Sapi di Kawangkoan
Kabupaten Minahasa. ..................................................... 214 9 Photo Ternak Sapi di Kota Tomohon. ............................ 216 10 Photo Ternak Sapi di Kota Manado. .............................. 217 11 Surat Ijin Penelitian dari Pemerintah Provinsi Sulawesi
Utara. ............................................................................. 218 12 Surat Ijin Penelitian dari Pemerintah Kabupaten
Minahasa. ....................................................................... 219 13 Surat Ijin Penelitian dari Pemerintah Kota Manado. ........ 220 14 Surat Ijin Penelitian dari Pemerintah Kota Tomohon. ...... 221
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Warga negara Indonesia sebagian besar tinggal dipedesaan serta hidup
dari sektor pertanian dan peternakan. Indonesia merupakan negara kepulauan
yang berada didaerah tropis, memiliki tumbuh tumbuhan hari netral (tumbuh
tumbuhan yang dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun di daerah tropis
karena panjang siang hari dan malam harinya adalah sama) sebab itu tumbuh
subur dan hijau sepanjang tahun. Pertanian dan industri pertanian (agroindustri)
dapat tumbuh kembang dengan baik karena adanya bahan baku lokal berupa
bibit tanaman yang di butuhkan sehingga ikut mendukung pembangunan
peternakan dan kesejahteraan masyarakatnya. Kenyataan ini sulit ditemukan di
belahan bumi lainnya karena itu masyarakatnya seharusnya hidup sejahtera.
Pembangunan sektor pertanian peternakan sangat perlu memperhatikan
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rakyatnya. Seluruh enersi perlu
diarahkan bagi kesejahteraan petani peternak dan pedesaan pada umumnya.
Revitalisasi pertanian bisa berhasil jika pembangunannya bisa mengentaskan
masyarakat petani peternak dan warga desa dari jeratan rantai kemiskinan.
Sasarannya ialah pembangunan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pendapatan petani peternak, pembangunan pertanian dan pedesaan.
Laju pertumbuhan ekonomi masyarakat desa perlu didukung adanya
kegiatan ekonomi guna menghasilkan komoditi pemuas kebutuhan yang sifatnya
sangat langka dan punya peluang bisnis. Kegiatan ekonomi itu dapat berupa
agribisnis peternakan termasuk didalamnya agroindustri peternakan sapi potong.
Kegiatan beternak sapi ini merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang
memenuhi kriteria tersebut. Kegiatan ekonomi ini harus dapat menyiapkan
2
lapangan kerja, menyerap tenaga kerja, dapat dipilih untuk menaikan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat desa.
Secara geografis, Sulawesi Utara adalah salah satu daerah yang sangat
strategis di kawasan Asia Pasifik karena merupakan pintu gerbang lalulintas
keluar masuknya aneka barang dagangan. Masyarakatnya terutama hidup dari
sektor pertanian dan menjadikan ternak sapi komplementer dengan usaha
taninya. Komplementer dalam hal ini saling melengkapi, artinya sektor pertanian
akan maju jika didukung adanya tenaga kerja ternak sapi, tetapi tenaga kerja
ternak sapi butuh hasil ikutan pertanian sebagai bahan pakannya. Ternak sapi
yang digunakan dalam bidang tani dikenal dengan ternah sapi pertanian.
Masyarakat Sulawesi Utara hidup dari usaha tani sebab ditunjang oleh budaya
beternak sapi terutama sapi pertanian, tersedianya lahan pertanian-peternakan
dan pusat pasar sapi. Ternak sapi merupakan salah satu jenis komoditi ekonomi
yang berpotensi dikembangkan karena kelangkaannya sebab itu memiliki nilai
ekonomi. Kelangkaan ternak sapi pertanian (sapi yang komplemen dengan
usaha tani) maupun sapi potong ikut membuka peluang pemasaran ternak sapi
yang sangat menjanjikan potensi peluang usaha kearah masa depan di Sulawesi
Utara.
Kelangkaan ternak sapi terutama sapi pertanian di Sulawesi diperlihatkan
oleh tingginya harga perekor ternak sapi pertanian yang jauh lebih mahal dari
harga sapi potong (bisa dua kali harga sapi potong bahkan lebih mahal lagi
sesuai negosiasi berdasarkan ciri khas lahiriahnya). Harga ternak sapi makin
tinggi bila keterampilannya menarik bajak di areal pertanian makin baik. Harga
ternak sapi turun saat berubah fungsinya sebagai ternak sapi potong karena
perhitungannya bukan berdasarkan kemampuan membantu kerja tani, tapi
berdasarkan perkiraan berat hidup dan jumlah kilogram daging yang dapat
diperoleh dari ternak itu. (Ka.sub.Din Peternakan Dinas Pertanian, Peternakan
3
dan Perkebunan Kabupaten Minahasa, consultation individual, 2015).
Perkembangan populasi ternak di Sulawesi Utara yaitu : tahun 2010 (98,522
ekor), tahun 2011 (105,225 ekor) dan tahun 2012 (119,889 ekor). Pemotongan
ternak sapi pada tahun 2012 sebanyak 23,205 ekor (Statistik Peternakan tahun
2013). Pemotongan ternak sapi pada tahun 2011 sebanyak 22,916 ekor)
(Statistik Peternakan tahun 2012). Produksi daging sapi di Sulawesi utara
berturut turut dari tahun 2010 (4,385,918 Kg), tahun 2011 (4,446,437 Kg) dan
tahun 2012 (4,500,958 Kg) (Statistik Peternakan tahun 2013). Artinya terjadi
peningkatan pemotongan ternak sapi sedangkan populasi ternak sapi sangat
berfluktuasi. Hasil prasurvey mengindikasikan bahwa pemotongan ternak sapi
tiap harinya oleh konsumen akhir ternak sapi (pemilik TPH maupun pengguna
RPH) selalu didasarkan atas kebutuhan permintaan daging sapi oleh rumah
makan, supermarket maupun pedagang asongan. Kosumen akhir ternak sapi
baik pengguna RPH maupun pemilik TPH secara keseluruhan mengatakan
bahwa pemotongan ternak sapi disesuaikan dengan kebutuhan permintaan para
pelanggan setiap hari perminggu sebab itu berapa kebutuhan konsumsi perhari
itulah yang ditawarkan ke pasar. Jumlah pemotongan ternak sapi dibatasi pada
kebutuhan harian pelanggan sebab para konsumen akhir ternak sapi (konsumen
bisnis) tidak menyiapkan tempat penyimpanan hasil jagalan ternak sapi (cool
storage) yang belum terjual sebab itu pukul 08.00 pagi semua jualan telah habis
terjual.. Berdasarkan data tersebut, maka Jumlah penawaran hasil ternak sapi
sama dengan jumlah permintaan untuk konsumsi.
Informasi ini belum begitu akurat karena data jumlah ternak sapi yang di
eksport keluar provinsi Sulawesi Utara oleh pedagang antar provinsi, belum
terdata lewat buku statistik tahun tersebut. Faktor faktor tadi berdampak pada
terjadinya kelangkaan ternak sapi dan ikut mempengaruhi tingkat kenaikan harga
ternak sapi di Sulawesi utara.
4
Dinas Pertanian dan Peternakan provinsi Sulawesi Utara (Anonimous,
2013) menyatakan, potensi wilayah Sulawesi Utara yang luas lahannya sekitar
1.527.219 Ha, dapat digunakan untuk areal tanaman pangan, hortikultura dan
perkebunan, merupakan sumber bahan baku pakan ternak. Produksi hijauan
yang dapat dihasilkan pertahun mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak
hingga 1.718.052 ekor yang bila dibandingkan populasi ternak sapi Sulawesi
utara Tahun 2012 sebesar 110.486 ekor, maka prospek pengembangan ternak
sapi daerah ini dapat mencapai satu juta ekor. Pemerintah daerah telah
menetapkan ternak sapi sebagai ternak andalan guna menaikkan pertumbuhan
ekonomi khususnya dari subsektor Peternakan.
Profil usaha peternakan sapi di Sulawesi Utara hingga kini masih
bertahan karena diusahakan oleh para petani pemilik ternak sapi secara
komplementer dengan usaha taninya (perkebunan kelapa, tani jagung, tani padi,
transportasi dalam usaha agribisnis). Ternak sapi di Sulawesi utara
komplementer dengan usaha pertanian sebab merupakan sumber tenaga kerja
untuk menggantikan sebagian tenaga kerja manusia. Tenaga ternak sapi tani /
kerja di Sulawesi Utara bermanfaat buat :
1. menarik bajak di lahan pertanian untuk ditanami jagung atau padi,
2. menarik sisir tani guna meratakan permukaan sawah untuk ditanami padi,
3. mengangkut bibit padi atau bibit jagung maupun pupuk dari rumah petani ke
areal pertanian,
4. mengangkut hasil pertanian (padi, jagung atau sayur mayur) maupun hasil
perkebunan (biji kelapa, kopra, cengkih) dari areal pertanian / perkebunan
ke tempat penampungan dan dari tempat penampungan ke rumah petani
atau ke pasar.
Ternak sapi yang kurang produktif atau kurang baik untuk mendukung
usaha pertanian (berusia diatas 7 tahun, betina minimal sudah tiga kali beranak),
5
di jual oleh petani peternak sapi sebagai sapi potong. Ternak sapi berfungsi
sebagai tabungan, sumber tenaga kerja ternak termasuk untuk transportasi
input output pertanian, memiliki makna prestise masyarakat dan sumber devisa
yang potensil. Ternak sapi berperan dalam penyediaan bahan makanan bergizi
tinggi berupa daging / protein hewani. Masyarakat memelihara ternak sapi
secara perorangan maupun dalam bentuk kelompok tani petani peternak sapi
pada skala usaha 1 3 ekor per kepala keluarga. Ternak sapi juga dipelihara
untuk tujuan penggemukan dan setelah 3 6 bulan kemudian, di jual ke pasar
dalam bentuk daging sapi. Jenis ternak sapi yang ada yaitu: sapi PO, sapi Bali,
dan sapi Bacan.Ternak sapi banyak dipelihara di bawah pohon kelapa atau
padang penggembalaan dan menjelang malam di bawah kerumah untuk
digembalakan ataupun dipekerjakan esoknya.
Setiap petani peternak pemilik ternak sapi adalah agribisnisman (usahawan
bidang pertanian termasuk usaha tani dan ternak sapi walau skala kecil / rumah
tangga), menginginkan perkembangan usahanya kearah masa depan
berkelanjutan. Model pemasaran berkelanjutan membutuhkan pola pengaturan
penawaran dan permintaan terintegrasi agar pemasaran lebih efisien. Pola
pengaturan penawaran dan permintaan terintegrasi bertujuan agar ditemukan
suatu model pemasaran berkelanjutan. Pemasaran merupakan aspek penting
dalam proses agribisnis; sebab dapat memacu berkembangnya program
penerapan teknologi sistem agribisnis. Pemasaran ternak sapi oleh petani /
produsen, biasanya menggunakan berbagai lembaga pemasaran agar sampai
ketangan konsumen akhir. Proses pemasaran membutuhkan biaya untuk
menjalankan fungsi fungsi pemasaran agar produk tiba ditangan konsumen
sesuai tempat dan waktunya secara efektif dan efisien. Model pemasaran ternak
sapi yang efisiens perlu perhatian agar ternak sampai ketangan konsumen
dengan harga yang wajar dan lembaga pemasaran yang terlibat dapat
6
menjalankan fungsi pemasaran secara baik. Pebisnis harus mengelola pola
integrasi pemasaran guna merebut peluang pasar dan menguasainya agar
model pemasaran berkelanjutan dapat dicapai.
Usaha beternak sapi sangat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat
untuk itu, ternak sapi harus dipasarkan. Permasalahan sistem pemasaran ternak
sapi yaitu ternak mudah mengalami stres, penurunan berat badan dan kematian,
sebab itu bagaimana model pemasaran yang baik agar dapat berkelanjutan perlu
diketahui. Secara empirik, model pemasaran bisa terdiri dari dua mata rantai
saluran distribusi atau lebih. Kodrat (2009) menjelaskan bahwa pemasaran
sebagai suatu model terbentuk oleh unsur-unsur saluran pemasaran yang
menghubungkan mata rantai pemasaran yang satu dengan lainnya. Saluran
pemasaran (saluran distribusi) menjadi salah satu penentu keberhasilan kegiatan
bisnis. Soekartawi (1993) berpendapat bahwa, pemasaran yang efisien adalah
sampainya produk kekonsumen akhir menurut tempat, waktu, dan bentuk yang
diinginkan konsumen dengan biaya serendah rendahnya, serta adanya distribusi
harga secara adil yang di bayar konsumen akhir sebagai insentif kepada semua
mata rantai pemasaran yang terkait dalam kegiatan pengadaan input dan
kegiatan produksi serta pemasaran tersebut. Kotler dan Keller (2009)
menyatakan tujuan kunci pemasaran adalah mengembangkan hubungan yang
dalam dan bertahan lama dengan orang dan organisasi yang secara langsung
mempengaruhi kesuksesan aktifitas pemasaran itu. Hasil akhir dari pemasaran
hubungan adalah modal perusahan berupa jaringan pemasaran.
Keberadaan pasar serta struktur pasar ternak sapi di Sulawesi Utara
didukung oleh ketersediaan pasar
Kabupaten Minahasa, rumah potong hewan (RPH) milik pemerintah daerah dan
pengguna RPH sebagai konsumen akhir ternak sapi di Kota Manado. Selain
adanya RPH, terdapat pula konsumen akhir pemilik tempat pemotongan hewan
7
(TPH) ternak sapi yang ramai terdapat di kota Manado dan kota Tomohon.
Tempat pemotongan sapi (TPH) di kota Manado sifatnya illegal karena sudah
ada RPH milik pemerintah kota Manado yang operasionalnya langsung dibawah
pengawasan pemerintah kota.
pusat pertemuan antara produsen ternak sapi dari daerah sekitar kecamatan
Kawangkoan, perantara pemasaran dari daerah sekitar kecamatan Kawangkoan,
konsumen akhir ternak sapi, dan pedagang dari daerah lainnya dalam provinsi
Sulawesi Utara maupun pedagang dari provinsi Sulawesi tengah dan provinsi
Gorontalo.
sebab sejak awal berdirinya pasar sapi ini adalah pasar barter sapi (bahasa
Manado pasar blantek ). Keberadaan pasar sejak zaman
penjajahan Belanda dan tidak ada catatan maupun informasi kapan berdirinya.
(Pusat
Kesehatan Hewan) dan fasilitas tempat AI sapi, tapi belum ada TPH dan RPH.
Ternak sapi yang diperjualbelikan disini terutama untuk ternak pertanian
kemudian untuk ternak potong. Di pasar ini, terdapat banyak penjual dan banyak
pembeli yang bebas masuk keluar lokasi pasar tanpa adanya pembagian tempat
menetap. Ternak yang ada dalam pasar blantek ini hanya terdiri dari ternak sapi.
Petani peternak sapi dan kelompok tani ternak sapi menempati wilayah
pedesaan dan daerah perifer perkotaan.
Mobilitas penduduk Sulawesi Utara cukup tinggi terutama di kota Manado
dan Tomohon karena di dukung adanya perguruan tinggi dan pusat
perekonomian. Masyarakat (pedagang, PNS, dan mahasiswa) banyak yang
bermukim di kota Manado tapi kerja maupun kuliah di Kota Tomohon dan ada
pula yang kerja maupun kuliah di Tondano (Ibu Kota Kabupaten Minahasa).
8
Mobilitas penduduk yang tinggi itu, ikut meningkatkan permintaan akan
hasil ternak sapi. Permintaan akan ternak sapi dan produk daging sapi di
Sulawesi utara berdasarkan data statistik: populasi ternak sapi potong di
Sulawesi utara pada tahun 2009 (106,598 ekor); tahun 2010 (998,522 ekor);
tahun 2011 (105,225 ekor). Sedangkan jumlah pemotogan ternak sapi pada
tahun 2011 (22,916 ekor) dan produksi daging ternak sapi tahun 2011 (4,446,437
Kg), sedangkan pemotongan ternak sapi tahun 2012 (23,205 ekor) dan produksi
daging tahun 2012 (4,500,958 Kg). Berdasarkan data statistik tahun 2013, jumlah
penduduk Sulawesi utara tahun 2011 (2,296,666 orang) dan tahun 2012
(2,319,916 orang) sedangkan konsumsi daging sapi pada tahun 2011 (4,446,437
Kg), dan tahun 2012 (4,500,958 Kg) dengan demikian, konsumsi daging sapi
perkapita tahun 2011 (1.936 Kg = 1,936 gram perkapita) dan tahun 2012 (1.940
Kg = 1.940 gram perkapita). Artinya terjadi kenaikan konsumsi perkapita sebesar
0,21 % pertahun. Kenyataan ini disebabkan daging ternak sapi di Sulawesi utara
bukanlah menu utama karena masih banyak menu alternatif sebagai sumber
protein hewani dan sumber protein nabatinya.
Profil pemasaran ternak sapi di Sulawesi utara mengikuti suatu model
yang secara alami berbeda ditiap daerah dan memperlihatkan model pemasaran
konvensional. Perbedaan model ini biasanya dipengaruhi oleh keberadaan
pedagang perantara dan jaraknya dari pusat pasar sapi (Kota Manado, kota
l Konvensional karena
produsen belum terintegrasi VMS (Vertical Marketting System / system
pemasaran yang vertical) dengan konsumen akhir ternak sapi, sebab itu
pemasaran ternaknya dikuasai perantara pemasaran (pedagang perantara).
Kegiatan penawaran dan pembelian ternak sapi antara produsen dan pembeli
sering dijumpai penentuan berat badannya hanya berdasarkan perkiraan. Pasar
hewan disana belum memiliki timbangan ternak, sebab itu peternak sapi sering
9
mengalami kerugian, karena penentuan berat badan sapi potong bukan
berdasarkan hasil timbangan, tapi atas dasar perkiraan dan kekuatan tawar
menawar. Teknologi pemasaran konvensional (terputus putus, belum terpadu /
belum terintegrasi) sifatnya sangat tradisional dan belum tertata dengan baik
serta mudah dipermainkan pedagang perantara. Perkembangan teknologi
pemasaran dewasa ini akan menggusur model pemasaran konvensional sebab
belum tertata baik dan produsen menempati kedudukan yang lemah. Posisi
petani peternak yang lemah dalam pemasaran menyebabkan mereka hanya
menerima harga (price taker) yang sangat fluktuatif sebab dipermainkan
pedagang, akhirnya mereka tetap dililit rantai kemiskinan. Petani peternak sapi
maupun konsumen akhir ternak sapi selaku konsumen bisnis ternak sapi potong
secara alami akan berusaha bertahan hidup, diantaranya melakukan pengaturan
permintaan dan penawaran secara terintegrasi (tertata dan terpadu dengan
kebutuhan serta permintaan pasar) agar lebih efisien sebagai suatu model
pemasaran. Pengaturan integrasi ini tercipta bila terdapat win win solution
usaha saling menguntungkan antar elemen lembaga pemasaran vertical sebagai
suatu model pembangunan ekonomi peternakan yang saling ketergantungan.
Harapan kearah masa depan jika dilihat dari letak geografis, budaya
beternak oleh masyarakat peternak sapi, ketersediaan lahan pertanian dan areal
peternakan sapi mencerminkan kebutuhan terhadap ternak dan tenaga kerja
ternak sapi. Adanya pasar ternak sapi maupun peningkatan permintaan akan
ternak sapi, maka Sulawesi utara dapat menjadi sentra pengembangan
peternakan sapi potong kearah masa depan yang dapat menyiapkan surplus
penawaran ternak sapi untuk kebutuhan lokal sehingga bisa melakukan eksport.
Tumbuh suburnya usaha rumah makan, restoran, perhotelan, pasar tradisional
maupun supermarket di kota Manado dan kota Tomohon serta keamanan yang
terjamin, ikut menaikan permintaan akan ternak sapi sebagai input RPH dan TPH
10
serta usaha tani. Kenaikan permintaan akan menaikan kelangkaan ternak sapi.
Makin langka ketersediaan ternak sapi di pasar, makin mendorong naiknya harga
dan nilai ekonomi ternak sapi maupun pendapatan dan kesejahteraan produsen
ternak sapi serta merubah model pemasaran ternak sapi. Naiknya nilai ekonomi
ternak sapi di suatu daerah, ikut menambah peluang agribisnis sapi potong
kearah masa depan di daerah bersangkutan.
Penelitian tentang struktur pasar dalam usaha pertanian telah menjadi
perhatian para peneliti karena sifat produk produk pertanian yang mudah rusak.
Hal ini terlihat dari penelitian tentang pemasaran panili di Bali oleh Idrus dan
Widyantara (1996) dengan kesimpulan bahwa: pemasaran panili di Bali tidak
terintegrasi, baik secara vertikal maupun horizontal sehingga struktur pasar yang
ada mengarah kepada pasar monopsoni. Penelitian tentang struktur pasar dalam
pemasaran buah anggur telah dilakukan di Bali oleh Wardhana (1993) yang
berkesimpulan bahwa struktur pasar buah anggur di Bali adalah oligopsoni.
Dalam kondisi ini, pembeli bertindak selaku price setter (penentu harga)
sedangkan petani hanya sebagai price taker (penerima harga) karena bargaining
positionnya lemah. Penelitian lain yang juga dilakukan di Bali oleh Darma
Setiawan (1997) tentang analisis pemasaran rumput laut yang mengkaji tentang
struktur, perilaku dan tampilan pasar diperoleh hasil bahwa pasar rumput laut di
Bali cenderung ke arah persaingan tidak sempurna (imperfect market) yakni
pasar oligopsoni.
Penelitian tentang pemasaran bunga potong telah dilakukan oleh Kiptiyah
dan Semaoen (1994) di Jawa Timur, bahwa nilai korelasi antara harga di tingkat
konsumen dan harga di tingkat produsen untuk setiap jenis bunga berkisar
antara 0.584 0.957. Artinya, semakin besar korelasi antara penawaran harga
ditingkat konsumen dan permintaan harga ditingkat produsen maka kedua pasar
tersebut semakin kuat terintegrasi.
11
Penelitian Afifuddin S dan S.I. Kusuma (2007) tentang pengaruh Struktur
Pasar CPO terhadap pengembangan ekonomi wilayah Sumatera Utara
menyimpulkan bahwa, Struktur pasar CPO di Sumatera Utara berbentuk
oligopsoni. Kelompok pedagang besar mendominasi perdagangan CPO dan
mereka telah mengintegrasikan dirinya secara vertikal mulai dari perkebunannya,
industri pengolahan hingga kepemasaran produknya. Pasar ekspor, harga
ekspor dan harga domestik berpengaruh secara nyata terhadap pengembangan
ekonomi wilayah (luas lahan kelapa sawit), namun pasar domestik tidak
berpengaruh secara nyata terhadap luas lahan.
Penelitian tentang rantai pasokan usaha tani ternak sapi penggemukan
oleh masyarakat, telah dilakukan oleh Wahyuni (2006) terhadap usaha
masyarakat peternak sapi potong di kabupaten Tuban. Hasil penelitian ini
berkesimpulan bahwa model pemasaran ternak sapi di Tuban telah mempolakan
suatu strategi pemasaran terintegrasi.
Penelitian terhadap efisiensi pemasaran hasil hasil usaha pertanian
diatas, telah dilakukan, tetapi penelitian terhadap efisiensi pemasaran ternak sapi
potong masih sangat kurang sebab itu sangat dibutuhkan penelitian kearah hal
tersebut.
Perbedaan model pemasaran (pola pengaturan permintaan penawaran
terintegrasi dengan saluran distribusi) pada tiap pemasar memunculkan
perbedaan efisiensi pemasaran. Informasi model pemasaran sapi potong yang
efisien di Sulawesi Utara, masih sangat kurang. Sebab itu penelitian untuk
menemukan model pemasaran ternak sapi potong yang efisien dirasa perlu.
1.2. Masalah Penelitian
Berdasarkan atas fenomena di atas, maka pada penelitian ini akan
membahas struktur pasar, pola integrasi pemasaran (kesatuan penawaran dan
12
permintaan), dan efisiensi pemasaran, yang menggambarkan model pemasaran
sapi potong yang efisien. Kodrat (2009), berpendapat bahwa, upaya
mendominasi pasar sesungguhnya adalah proses pengembangan hubungan
antara pemasar dan penyalur. Sistem pemasaran vertikal menggambarkan pola
hubungan interaksi antar lembaga: Produsen, grosir, dan pengecer berlaku
sebagai satu kesatuan bukan perusahan terpisah. Distribusi merupakan ujung
tombak dari pemasaran.
Ternak sapi memiliki fluktuasi harga dan resiko kerugian akibat
penurunan berat badan atau kematian jika manajemennya kurang baik. Fluktuasi
harga bisa disebabkan adanya variasi permintaan dan penawaran, bila jumlah
permintaan lebih kecil dari penawaran, maka harga cenderung menurun, petani
peternak tidak memiliki posisi tawar dan hanya sebagai penerima harga (Price
Taker). Petani peternak sapi selama ini kurang berpengalaman dalam
memasarkan ternaknya, sebab itu mudah tergantung pada jasa pedagang.
Pedagang memiliki pengetahuan tentang organisasi pemasaran dan konsumen
akhir ternak sapi sebab itu bisa mempermainkan harga di tingkat produsen.
Kebutuhan ketersediaan ternak sapi di Sulawesi Utara hingga kini
kenyataannya jauh dari harapan. Anonymous, 2012 tentang Statistik peternakan
menyatakan bahwa, produksi daging sapi provinsi Sulawesi Utara pada tahun
2010 adalah 4.385.918 Kg; ternak sapi yang dipotong 22,916 ekor. Penulis
berpendapat, bila rataan berat ternak sapi 300 Kg/ekor dan 32 %-nya (persentasi
daging sesuai hasil konsultasi dengan para pemilik TPH / pengguna RPH)
adalah daging, maka produksi daging sapi lokal adalah 2.199.936 Kg. Artinya,
dibandingkan produksi daging sapi tahun 2010, maka selisih 2.185.982 Kg
daging sapi pada tahun tersebut diperoleh dari import untuk keperluan Hotel.
Rendahnya laju ketersediaan ternak sapi tidak mampu mengimbangi laju
pertumbuhan permintaan akibat pertumbuhan penduduk. Ketersediaan ternak
13
sapi biasanya dipengaruhi oleh kegiatan lembaga pemasaran dari hulu kehilir
sehingga berpengaruh pada struktur pasar, integrasi pemasaran, efisiensi
pemasaran dan insentif yang diterima tiap lembaga pemasaran. Pemasaran sapi
disektor hulu didominasi oleh petani peternak karena budidaya ternak sapi
didominasi untuk usaha pertanian dan sebagai tabungan. Ternak sapi afkir dan
ternak sapi yang kurang produktif serta ternak sapi yang memiliki tanda lahiriah
yang tidak disenangi, dijual sebagai sapi potong dengan harga lebih rendah dari
sapi untuk keperluan pertanian. Harga ternak sapi potong lebih stabil karena
didasarkan pada perkiraan jumlah kandungan dagingnya dan harga daging
eceran dipasar untuk penentuan harga ternak sapi hidup. Harga ternak sapi
potong disektor hilir ditentukan oleh para konsumen bisnis (pemilik TPH /
pengguna RPH) berdasarkan tafsiran jumlah kilogram daging ternak sapi
bersangkutan. Besarnya insentif yang didapat dari model pemasaran tersebut,
diharapkan akan menciptakan peningkatan penawaran ternak sapi, sehingga ikut
mengimbangi permintaan pasar akan ternak sapi. Besarnya insentif ikut
meningkatkan pendapatan yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan
petani peternak khususnya di Sulawesi Utara. Nampaknya harapan itu masih
jauh dari kenyataannya, sebab masih banyak peternak sapi yang dililit lingkaran
setan kemiskinan, adanya pemasar ternak sapi / konsumen bisnis yang exit dan
mencari lapangan kerja lainnya. Adanya pemasar yang exit terlihat dari
berkurangnya pengguna RPH / konsumen bisnis (11 orang kini yang aktif tinggal
4 orang) dan beralih jadi pengecer daging sapi dari konsumen bisnis lainnya.
Struktur pasar yang bersifat monopoli, konfigurasi saluran distribusi pemasaran
yang konvensional (penawaran dan permintaan belum terintegrasi) serta
inefisiensi pemasaran sapi potong diduga menjadi penyebab menjauhnya
harapan dari kenyataan disana.
14
Berdasarkan permasalahan tersebut maka dirumuskan beberapa
persoalan, yaitu:
1. Bagaimana struktur pasar ternak sapi potong di Sulawesi Utara?
2. Bagaimana model integrasi pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi Utara?
3. Bagaimana efisiensi pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi Utara?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian tadi, maka yang menjadi tujuan
penelitian ini ialah untuk :
1. Menganalisis struktur pasar ternak sapi potong di Sulawesi Utara.
2. Menganalisis model integrasi pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi
Utara.
3. Menganalisis efisiensi pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi Utara.
1.4. Manfaat Penelitian
Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu manfaat
yang berguna yaitu :
1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah dalam merumuskan
kebijakan investasi, pemasaran dan pembangunan agribisnis peternakan.
2. Sebagai sumbangan pada pengembangan ilmu ekonomi peternakan, melalui
pengaturan penawaran dan permintaan ternak sapi potong yang terintegrasi
untuk mendapatkan model pemasaran yang efisien.
3. Dengan diketahuinya pengaruh model pemasaran ternak sapi potong yang
efisien, maka dapat diketahui pola perencanaan pemasaran bagi
keberlanjutan usaha agribisnis sapi potong.
15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hasil Penelitian Terdahulu
2.1.1. Pemasaran Ternak Sapi Potong
Produk agribisnis peternakan berupa ternak sapi, mudah mengalami
kerugian ekonomi akibat manajemen yang kurang baik, penurunan berat badan,
serangan kuman penyakit, gangguan kesehatan ternak, kecelakaan ternak,
kematian maupun pencurian. Sebab itu, perlu penanganan yang baik dan efektif
serta model pemasaran yang efisien.
Pellokila, dkk (1993) meneliti tentang pemasaran lewat permintaan
daging sapi di kota Administratif Kupang melalui analisis biaya pemasaran,
margin pemasaran, keuntungan pemasaran dan efisiensi pemasaran dengan
hasil yang cukup baik
Studi yang dilakukan oleh Sudhir and Today's
market has become consumer driven and the marketer has to delight the
customer to achieve success. To achieve this service firms have to identify needs
of the customer, design the product mix, communicate price to the public and
promote the services in such a way to position that in an attractive manner and in
different way than the competito
dan pemasar senang membuat pelanggan berhasil. Perusahan melakukan
pelayanan tersebut setelah mengidentifikasi kebutuhan pelanggan, membentuk
produk campuran, mengembangkan cara pelayanan menarik dalam setiap posisi
yang berbeda dari cara pesaing dan mengkomunikasikan harga kemasyarakat.
Pemasaran ternak sapi di provinsi Jawa Timur telah diteliti oleh Winarno,
dkk (2005) hasilnya, pemasarannya berlangsung secara lokal dan regional yaitu
antar wilayah kabupaten sebagai sentra-sentra ternak. Pemasaran tersebut juga
diwarnai adanya perdagangan ternak sapi potong antar wilayah provinsi maupun
16
antar pulau. Melalui pola pemasaran demikian, terdapat beberapa pola distribusi
rantai pemasaran ternak sapi potong di Provinsi Jawa Timur ke luar daerah.
Aspek geografis, aktivitas pemasaran sapi potong di Jawa Timur dapat di
kategorikan menjadi tiga wilayah pemasaran yaitu: aktivitas pemasaran lokal,
regional dan internasional. Secara lokal, transaksi jual-beli ternak sapi dilakukan
oleh peternak / pedagang lokal di pasar setempat. Transaksi juga terjadi baik
antara pemilik ternak dengan pedagang pengumpul tingkat desa / kecamatan, atau
kabupaten serta antar pedagang pengumpul di Jawa Timur.
Cruz, dkk (2003 2004), menuliskan hasil penelitiannya di Dili Timor Leste
bahwa, model pemasaran ternak sapi memiliki rantai distribusi baik langsung
maupun tidak langsung dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Penelitian ini
memperlihatkan pola interaksi sebagai pranata sosial yang membentuk pola
integrasi vertikal maupun horizontal antar lembaga pemasaran ternak sapi.
Model pemasaran ternak sapi mengandung suatu strategi distribusi pemasaran
terhadap konsumen ternak sapi. Petani peternak penggemukan, pedagang sapi,
maupun CCT/NCB di Dili Timor Leste telah membentuk suatu strategi distribusi
pemasaran yang terintegrasi.
Secara rasio, makin pendek rantai pemasaran, makin tinggi nilai transaksi
yang diterima peternak selaku produsen. Semakin panjang rantai pemasaran
semakin kecil nilai transaksi yang diterima produsen. Cruz, dkk (2003 2004),
menggambarkan lima pola integrasi saluran pemasaran ternak sapi di Covalima.
Keberadaan CCT / NCB yaitu sebagai lembaga penyangga keuangan bagi
peternak (penggemukan) sapi, mitra dalam pemasaran ternak sapi dan eksportir.
Keberadaannya memperpendek rantai distribusi pemasaran guna meningkatkan
penerimaan produsen / peternak ternak sapi. Penelitian ini memperlihatkan pula
pola integrasi saluran pemasaran sapi di distrik Bobonaro Timor Leste dengan
empat model rantai pemasaran. Konsumen dikelompokkan dalam tiga kategori:
17
yaitu konsumen lokal, konsumen di Dili dan konsumen di Indonesia. Konsumen
lokal di Bobonaro mendapatkan ternak sapi dari petani paronisasi dan secara
langsung dari peternak sapi. Ternak sapi dari distrik ini juga diangkut ke
konsumen di Dili melalui pedagang ternak sapi untuk dipelihara selama beberapa
hari sebelum dibawah ke tempat pemotongan hewan. Produsen ternak sapi
terdiri atas 2 (dua) bagian yaitu petani peternak dan petani penggemukan sapi.
Kelebihan petani penggemukan ternak sapi di distrik Bobonaro yaitu: punya
kesempatan mengekspor ternaknya ke Indonesia.
Wahyuni (2006), meneliti tentang rantai pasokan usaha tani ternak sapi
penggemukan oleh masyarakat peternak sapi potong di kabupaten Tuban pada
tahun 2006. Hasil penelian menunjukan bahwa, setidaknya ada delapan pola
integrasi saluran pemasaran ternak sapi yang membentuk model pemasaran
ternak hidup di Kabupaten Tuban. Pemasaran ternak sapi hidup ternyata
disamping untuk memenuhi kebutuhan lokal, juga kebutuhan luar daerah.
Adanya pemasukan ternak sapi ke wilayah Tuban guna memenuhi kebutuhan
ternak sapi masyarakat menceritakan peluang pemasaran ternak sapi potong di
wilayah Tuban cukup terbuka. Model pemasaran ternak sapi di Tuban
memperlihatkan pola integrasi vertikal maupun horizontal antar lembaga
pemasaran ternak sapi di kabupaten Tuban. Model pemasaran ternak sapi ini
melatarbelakangi suatu strategi distribusi pemasaran yang terintegrasi.
Hasil penelitian Suarda, A. (2009) menjelaskan bahwa aktivitas
pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi Selatan dijalankan melalui tiga tipe
saluran pemasaran yaitu: model pertama hanya terjadi saat petani peternak
memerlukan sesuatu untuk kebutuhan hidupnya. Saluran kedua adalah model
pemasaran yang ada pada pasaran lokal baik di tingkat desa, kecamatan,
maupun provinsi. Semua sampel petani peternak pada wilayah penelitian,
menjual langsung ternaknya pada pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul
18
tersebut menjual kembali ternak sapi kepada konsumen. Saluran ketiga untuk
pemasaran regional dan berfungsi saat pedagang pengumpul melakukan
aktifitas pembelian di desa-desa sampel dan kemudian di jual kepada pedagang
antar pulau di Makassar. Ternak sapi tersebut selanjutnya dijual kembali pada
konsumen atau pedagang yang berkedudukan di Kalimantan Timur maupun di
Jakarta. Penelitian ini berkesimpulan bahwa sistem saluran pemasaran ternak
sapi potong di Sulawesi Selatan telah efisien pada tiga tipe saluran pemasaran
yang ada.
Balafif (2010) menyatakan bahwa pada pemasaran hasil peternakan ke
konsumen akhir, banyak pihak yang terlibat yaitu, pedagang pengumpul,
pedagang besar, dan pengecer di pasar. Semakin panjang jalur pemasaran akan
semakin lemah posisi peternak. Keberadaan beberapa pihak dalam pemasaran
sangat membantu peternak, karena tidak semua peternak punya kemampuan
memasarkan sendiri ternaknya. Kendala tersebut disebabkan waktu, dana, jalur
pemasaran dan lainnya. Pedagang pengumpul, pedagang besar, maupun
pengecer biasanya lebih mampu dan lebih menjamin pemasaran hasil
peternakan dibanding peternak.
Daroini, A. (2013) meneliti tentang pola pemasaran sapi potong pada
peternak skala kecil di kabupaten Kediri bahwa, dalam proses menjual sapi
potong, peternak dapat memilih pembeli yang potensial guna memutus peran
belantik (makelar) sapi dalam proses penjualan, sebab adanya pendampingan
melalui kelompok dan tidak menerima pembayaran yang tidak tunai. Ternak sapi
pada awalnya ditimbang, tapi pada proses penentuan harga ternak sapi,
peternak hanya sebagai penerima harga yang tidak realistis (price taker), sebab
penentuan harga hanya didasarkan pada tampilan fisik. Petani telah
mempertimbangkan waktu kapan sapi yang dipelihara layak dijual tapi, saat
membutuhkan uang, ternak sapi sewaktu-waktu dapat dijual. Peternak menjual
19
ternak sapi guna memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, membiayai
pendidikan anak, membeli sepeda motor dan melakukan investasi usaha on farm
maupun off farm.
Jokosusilo B (2011), saat meneliti tentang integrasi pasar dan efisiensi
ekonomi usahatani sapi potong di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan
Kalimantan Timur berkesimpulan bahwa, usaha sapi potong didaerah surplus
belum tentu memiliki efisiensi ekonomi yang lebih tinggi dibanding usaha sapi
potong di daerah defisit. Efisiensi ekonomi usaha sapi potong menunjukan
tingkat keuntungan usaha yang diterima peternak dan keuntungan pada usaha
sapi potong ditentukan oleh pola usaha dan komposisi sapi potong yang
dipelihara.
2.1.2. Efisiensi Pemasaran
2.1.2.1. Efisiensi Pemasaran dalam bidang Agribisnis
Sasaran para ilmuan dan para ekonom termasuk pelaku kegiatan
ekonomi peternakan yaitu menganalisis tingkat efektifitas dan efisiensi dari suatu
kegiatan bisnis. Efektifitas mengarah pada kegiatan manajemen sedangkan
efisiensi mengarah pada pendekatan biaya sekecil kecilnya guna memperoleh
keuntungan sebesar besarnya. Makin besar keuntungan disertai makin kecilnya
biaya berarti makin efisien. Efisiensi pula dapat terlihat bila keuntungan tetap tapi
biaya menurun maupun biaya tetap tapi keuntungan meningkat. Kenyataan ini
bias terjadi dengan adanya pembubuhan teknologi pemasaran. Hal ini terlihat
pula dari beberapa hasil penelitian dalam bidang pertanian berikut ini. Dekayanti
dkk (2003), meneliti tentang efisiensi pemasaran ikan nila di kabupaten Banjar
provinsi Kalimantan Selatan berkesimpulan bahwa, struktur pasar ikan nila
mengarah pada struktur pasar tidak sempurna sebab itu pemasaran ikan nila,
tidak efisien. Marjin pada semua saluran pemasaran cukup besar, distribusi
20
marjin pada masing masing lembaga pemasaran tidak merata, rasio keuntungan
dan biaya yang diterima petani ikan sangat kecil sebab itu sistem pemasarannya
tidak efisien.
Penelitian yang dilakukan Fransiska Anna (2003) terhadap efisiensi
pemasaran ikan kembung di Muara Angke kecamatan Penjaringan Kota Madya
Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta menyimpulkan bahwa: struktur pasar menuju
pada persaingan tidak sempurna sebab para pedagang dapat mempengaruhi
harga pemasaran. Pada praktek pembelian dan penjualan, telah terjadi kerja
sama untuk menjaga stabilitas harga pasar. Penentuan harga ditentukan
lembaga pemasaran diatasnya. Marjin saluran pemasaran pertama lebih besar
dari saluran pemasaran kedua. Bagian harga yang diterima nelayan pada
saluran pemasaran pertama lebih kecil dari saluran pemasaran kedua artinya,
saluran pemasaran kedua lebih efisien.
Purnama, M. N. (2004), meneliti tentang efisiensi pemasaran ikan hias di
desa Cibuntu kecamatan Ciampa Kabupaten Bogor dengan simpulan bahwa,
terdapat dua pola saluran pemasaran ikan hias. Struktur pasar ditingkat
produsen (pembudidaya ikan) dan pemasaran ditingkat tengkulak serta di tingkat
agen, masing masing mengarah pada pasar oligopsonistik. Pasar di tingkat
pengecer mengarah pada pasar persaingan monopolistik. Pembudidaya
menerima bagian lebih rendah dari lembaga pemasaran lainnya; keuntungan
lembaga pemasaran belum merata sebab itu, pemasaran ikan hias di desa
Cibuntu kecamatan Ciampea kabupaten Bogor belum efisien.
Suatu penelitian tentang efisiensi pemasaran jeruk didesa Karang Duku
kecamatan Belawang Barito Kuala Kalimantan Selatan telah dilakukan oleh
Suherti, L., Z. Fanani dan A. W. Muhaimin (2009) menyatakan bahwa, struktur
pasarnya mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna dalam hal ini adalah
oligopsoni, masih ada tingkat pasar yang belum terintegrasi, distribusi marjin
21
belum merata, share harga pada petani masih rendah, rasio keuntungan dan
biayanya bervariasi sebab itu pemasaran jeruk didesa Karang Duku kecamatan
Belawang Barito Kuala Kalimantan Selatan belum efisien.
Safitri, D. R. (2002), melakukan penelitian tentang efisiensi pemasaran
pupuk urea pada pemasaran Pusri daerah Jawa Timur menyimpulkan bahwa,
marjin pemasaran pupuk urea di Jawa timur belum tersebar merata ke lembaga
lembaga pemasarannya, pasar masih tersekmentasi karenanya pasar belum
terintegrasi sebab itu pemasaran pupuk urea di Jawa timur belum efisien.
Setiorini, F. (2008) meneliti tentang Efisiensi Pemasaran Ikan Mas Di
Kecamatan Pagelaran Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung dengan
simpulan bahwa, pada saluran 2, pemasaran yang dilakukan pedagang
pengecer dalam kecamatan adalah efisien. bahwa rasio keuntungan dan biaya
sebesar 128,38 artinya, keuntungan yang diperoleh lebih besar dari biaya
pemasaran yang dikeluarkan. Rasio keuntungan dan biaya pemasaran
pedagang pengecer luar kecamatan yang terbesar terdapat pada saluran 1 yaitu
176,3%, sedangkan rasio keuntungan dan biaya terkecil berada pada saluran 3
yaitu 81,37%. Pada saluran 3 pemasaran yang dilakukan pedagang pengecer
luar kecamatan belum efisien kerena biaya yang dikeuarkan lebih besar dari
jumlah keuntungan yang diperoleh. Rasio keuntungan dan biaya pada rumah
makan pada saluran 1 sebesar 43,38% menunjukan bahwa pemasaran yang
dilakukan belum efisien karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pada
keuntungan yang diperoleh. Pada tingkat pemilik kolam pemancingan rasio
keuntungan dan biaya pada saluran 4 (empat) yang diperoleh sebesar 215,79%.
Nilai ini menunjukkan bahwa pemasaran yang dilakukan pemilik kolam
pemancingan efisien sebab keuntungan yang didapat lebih besar dari biaya yang
dikeluarkan.
22
2.1.2.2. Efisiensi Pemasaran Dalam Bidang Agribisnis Peternakan
Penelitian tentang pemasaran hasil usaha peternakan telah dilakukan
melalui beberapa penelitian berikut ini. Mukson, dkk (2005) meneliti tentang
efisiensi pemasaran telur ayam ras di Kabupaten Kendal Jawa Tengah dengan
kesimpulan bahwa, terdapat empat pola pemasaran yang digunakan oleh
produsen telur ayam ras. Besarnya marjin pemasaran tergantung dari panjang
pendeknya pola pemasaran yang digunakan. Makin panjang pola pemasaran
yang digunakan, makin besar marjin pemasarannya. Walaupun demikian, pola
pemasaran telur ayam ras baik yang digunakan oleh produsen maupun lembaga
perantara pemasaran, sudah efisien yaitu sebesar 86,7 %.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Kusuma, M.E.W., H.D. Utami dan
B.A. Nugroho (2013) mengenai efisiensi pemasaran telur ayam ras di kecamatan
Karangploso kabupaten Malang terlihat bahwa, terdapat tiga jalur saluran
pemasaran yang digunakan produsen telur ayam ras. Jalur pertama memiliki
lima mata rantai pemasaran; jalur kedua memiliki empat mata rantai pemasaran;
sedangkan yang ketiga, hanya menggunakan tiga mata rantai pemasaran.
Disimpulkan bahwa jalur ketigalah yang paling efisien sebab memiliki marjin
pemasaran yang terkecil tapi memiliki B/C - ratio tertinggi.
Nur, M. K. (2008), meneliti tentang efisiensi pemasaran pedet Jantan
Sapi Perah di kota Batu menyimpulkan bahwa, baik hasil analisis konsentrasi
rasio maupun analisis regresi memperlihatkan bahwa pemasaran sapi perah
jantan di kota Batu mengarah pada persaingan sempurna hal ini juga berarti
bahwa harga di tingkat pedagang terintegrasi secara sempurna dengan harga di
tingkat petani peternak. Share harga yang diterima petani peternak di daerah
penelitian mengindikasikan bahwa petani peternak di daerah ini sudah menerima
harga yang layak. Hasil analisis share keuntungan dan distribusi marjin yang
belum merata (marjin terbesar ada pada pedagang perantara sedangkan marjin
23
ditingkat petani petani sangat kecil), maka sistem pemasaran pedet di Kota Batu
belum efisien.
Arficho (2011) melakukan penelitian tentang price spread analysis of
cattle in Hadiya Pastoral Areas Spread harga sapi potong, di daerah
pastoral Hadiya) zona SNNPR, Ethiopia dengan tujuan menilai efisiensi
pemasaran ternak sapi. Data yang dianalisis bersumber dari data primer dan
data sekunder. Analisis marjin pemasaran menunjukkan bahwa, penggunaan
biaya tertinggi ada pada penjagal (tukang daging) ( 94 Birr per kepala) diikuti
oleh pedagang keliling dan amatir. Pendapatan terbesar diperoleh kolektor
pedesaan yang mendapatkan keuntungan terbesar (542 Birr per kepala) diikuti
oleh penjagal / tukang daging (506 Birr per kepala). Share terbesar didapat oleh
para produsen yang melakukan penjualan langsung ke konsumen diikuti oleh
penjualan langsung ke penjagal / tukang daging dan penjagal/tukang daging
melalui kolektor pedesaan. Penelitian ini memperlihatkan bahwa, keuntungan
bagi peternak dapat meningkatkan lebih baik saat terintegrasikan secara vertical.
Integrasi vertikal dibutuhkan karena menambah kegiatan akan menambah biaya
dan risiko, sebab itu perlu mengidentifikasi sebuah teknologi yang tepat,
pelatihan pada sistem pemasaran yang akan dilakukan, memberikan informasi
dan modal kerja akan mengatasi masalah dan meningkatkan keuntungan dari
pemasaran
Dayanandan (2011) telah meneliti tentang Production and Marketing
Efficiency of Dairy Farm in Highland of Ethiopia an Economic Analysis. Penelitian
ini menguji model produksi dan model pemasaran yang mampu meningkatkan
efisiensi usaha ternak sapi potong di Ethiopia. Adapun fungsi produksi berbasis
Coubb Douglass yaitu milk output ditentukan oleh concentrate, dry fodder, green
fodder, labor, cost of miscellaneous, dan stage of lactation. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa produk susu sapi ditentukan oleh pemberian konsentrat,
24
pakan kering, hijauan pakan ternak, tenaga kerja, biaya biaya lainnya, dan
tahapan laktasi, dimana pakan konsentrat adalah penentu yang dominan untuk
mendapatkan produk susu sapi secara maksimal.
Girei, Dire, and Bello (2013), telah melakukan penelitian tentang
Assessment of Cost and Returns of Cattle Marketing in Central Zone of
Adamawa State, Nigeria. Penelitian ini bertujuan untuk menguji biaya dan tingkat
pengembalian pada pemasaran ternak sapi potong di Nigeria. Metode yang
digunakan adalah Model Total Variable Cost (TVC), Total Revenue (TR), dan
Gross Margin (GM). Dari ketiganya diperoleh Gini Coefficient (GC) dan Market
Margin (MM) pemasaran sapi. Market Margin pada pemasaran ternak sapi di
Nigeria sebesar 9.09% dengan Gini Coefficent sebesar 0.65. Permasalahan
tingginya biaya transportasi menjadi permasalahan pelik dalam pemasaran
ternak sapi potong sehingga market margin yang diperoleh sangat kecil.
Dzanja, Kapondammgaga, dan Tchale (2013) meneliti tentang Value
Chain Analysis of Beef in Central and Southern Malawi (Case Studies of
Lilongwe and Chkhwawa Districts), 2013. Penelitian ini untuk menguji rantai nilai
pemasaran sapi potong di Malawi serta menguji efisiensi pasar yang terjadi.
Penelitian ini melihat jaringan pemasaran sapi dari input supply sebesar 1,12
USD per kilogram sapi atau 26% dari keseluruhan. Rantai kedua yaitu farm
production sebesar $ 1,25 per kilogram sapi atau 29%. Rantai ketiga yaitu
sebesar $ 1,64 per kilogram atau 38%. Processing sebesar $ 3,95 per kilogram
atau 92%, dan rantai kelima yaitu distribution yaitu sebesar $ 4,28 per kilogram
atau 100%. Penelitian merekomendasikan rantai sistematis dalam perdagangan
sapi potong yaitu sebagai berikut :
25
Gambar. 2.1. Model Pemasaran Sapi Potong di Malawi Tengah dan Selatan
Tibi And Aphunu (2015), telah melakukan penelitian tentang analysis of
the cattle market in Delta State- The Supply Determinant, 2015. Penelitian ini
bertujuan untuk meneliti pasar sapi potong berbasis pengukuran penawaran.
Pemodelan yang digunakan adalah jumlah sapi yang di pasarkan dipengaruhi
oleh modal, jumlah sapi yang di tawarkan, harga per sapi, biaya pemeliharaan
per sapi, biaya transportasi. Hasil analisis memperlihatkan jumlah sapi yang di
pasarkan sangat dipengaruhi oleh modal, jumlah sapi yang di tawarkan, harga
per sapi, biaya pemeliharaan per sapi, biaya transportasi.
Bushara (2015), menguji model efisiensi pemasaran sapi potong berbasis
model multivariate Co integration. Makalah ini membahas multivariat co-integrasi
hasil regresi atas harga ternak dengan menggunakan vektor auto-regresi (VAR)
dari Johansen. Analisis jangka panjang dari harga sapi di pasar yang dipilih
menunjukkan bukti kuat dari yang ada hubungan jangka panjang antara pasar
ternak di Sudan. Ternyata dari jangka panjang di Elobied dan Nyala hasilnya
adalah harga pasar Y dipengaruhi semua pasar lainnya, sementara harga pasar
lain tidak mempengaruhi mereka sama sekali. Interpretasi balik ini mungkin sifat
yang sama bahwa, Elobied dan Nyala sebagai sumber utama ternak, dalam arti
bahwa permintaan untuk ternak dipasar Omdurman dan Medani meningkat
26
dalam jangka panjang menyebabkan pasar ini menjadi pemimpin harga (demand
driven). Hasilnya ialah, ada hubungan jangka pendek antara pasar ternak di
Sudan kecuali untuk pasar Nyala yang tampaknya dipisahkan dari pasar lain
mungkin karena jarak yang jauh dari Nyala. Pasar Omdurman dalam jangka
pendek memiliki efek pada sebagian besar pasar ternak di Sudan namun tidak
terpengaruh oleh mereka karena arah peningkatan pertumbuhan investasi di
seluruh wilayah ibukota nasional. Artinya, ada diskriminasi pembangunan yang
tidak seimbang terhadap daerah lain di Sudan. Penyebab pemisahan pasar
Nyala dari sisa pasar mungkin karena konflik yang sedang berlangsung di
wilayah ini, membuat para pedagang sapi menahan diri memasuki pasar ini dan
memungkinkan ternak sapi berpindah dari pasar ini ke negara-negara tetangga
dalam bentuk penyelundupan.
Suardika, Ambarawati, dan Sudarma (2015), meneliti tentang Efektivitas
Kemitraan Ternak Sapi Potong terhadap Pendapatan Petani Peternak di
Kabupaten Timor Tengah Utara Propinsi NTT. Mereka berkesimpulan bahwa :
Kemitran usaha ternak sapi potong antara YMTM dengan petani-peternak di
Kabupaten TTU tercapai dengan kategori cukup efektif. Faktor karakteristik
petani-peternak, pendampingan YMTM dan teknik sapta usaha peternakan sapi
potong berpengaruh nyata terhadap efektivitas kemitran usaha ternak sapi
potong. Efektivitas kemitran usaha ternak sapi potong sebesar 87,69% oleh
ketiga faktor tersebut. Efektivitas kemitran berpengaruh nyata terhadap
pendapatan petani peternak, dimana pendapatan petani-peternak dapat
dijelaskan sebesar 38,13 % oleh efektivitas kemitran. Rata-rata kontribusi
pendapatan kemitran usaha ternak sapi potong sebesar 29,91% yang tergolong
kategori rendah terhadap pendapatan petani-peternak dari usahatani secara
keseluruhan (Rp 1.949.342). Saran penelitian: 1) Petani-peternak perlu
menaikkan penambahan berat badan ternak sapi potong per hari (daily gain),
27
menambah jumlah ternak sapi potong yang dipeliharanya, seleksi bibit ternak
sapi bali yang unggul dengan umur lebih dari 1,5 tahun. 2) YMTM perlu
meningkatkan pendidikan non formal petani-peternak dengan cara menambah
frekuensi latihan, praktek teknis dan manajemen usaha ternak sapi potong.
YMTM perlu meningkatkan bimbingan tenis kepada petani-peternak dalam hal
praktek pengolahan kotoran ternak sapi menjadi kompos, pemanfatan kotoran
ternak sapi segar untuk biogas, analisis ekonomi usaha ternak sapi potong dan
pemilhan bibit ternak sapi yang unggul. YMTM perlu meningkatkan kapasitas staf
lapangannya dan petani-peternak dalam hal pola pemberian pakan yang sesuai
berat badan ternak sapi potong, pengolahan sisa-sisa hasil pertanian menjadi
pakan ternak bergizi, peningkatan produksi tanaman yang dapat menjadi sumber
konsentrat lokal dan pemberian pelayanan vaksinasi untuk ternak sapi.
Semua hasil penelitian tadi memperlihatkan interaksi sosial yang
menggambarkan model integrasi pemasaran (permintaan penawaran) dengan
saluran distribusinya. Integrasi pemasaran ini mempolakan keterpaduan harga
ditingkat pembeli / peminta dengan harga ditingkat penawar / produsen /
pemasok. Keterpaduan harga pada permintaan dan penawaran dalam saluran
pemasaran ini dapat menciptakan saling ketergantungan antara pelaku
pemasaran, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemasaran, sebab itu
butuh perhatian yang mendalam.
Sulawesi Utara adalah lembaga pemasaran (petani peternak sapi, perantara
pemasaran, peternak sapi potong selaku konsumen akhir ternak sapi sebagai
pemilik tempat pemotongan sapi (TPH) atau pengguna RPH. Efisiensi
pemasaran sangat berpengaruh pada keberlanjutan usaha, sebab itu penelitian
kearah analisis struktur pasar, pola integrasi saluran pemasaran dan efisiensi
pemasaran dirasa sangat urgen karena merupakan kunci keberhasilan dan
keberlanjutan suatu model pemasaran termasuk pemasaran ternak sapi.
28
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Pasar
Tjiptono (2008) berpendapat bahwa pasar adalah tempat bertemunya
calon penjual dan calon pembeli barang dan jasa yang akan melakukan
transaksi. Transaksi adalah kesepakatan dalam kegiatan jual-beli. Syarat
terjadinya transaksi adalah ada barang yang diperjual belikan, ada pedagang,
ada pembeli, ada kesepakatan harga barang, dan tidak ada paksaan dari pihak
manapun. Tjiptono mendefinisikan pasar ditinjau dari sudut pandang ekonomika
adalah permintaan yang dibuat oleh sekelompok pembeli potensial terhadap
suatu barang atau jasa. Dilihat dari sudut pandang pemasaran, pasar terdiri dari
semua pelanggan potensial yang punya kebutuhan atau keinginan tertentu yang
mungkin bersedia dan sanggup untuk melibatkan diri dalam proses pertukaran
guna memuaskan kebutuhan atau keinginan tersebut. Besarnya pasar
tergantung jumlah orang yang memiliki kebutuhan, punya sumber daya yang
diminati orang / pihak lain, dan bersedia menawarkan sumber daya tersebut
untuk ditukar agar bisa memenuhi keinginan konsumen. Jenis pasar berdasarkan
bentuk kegiatannya, dibagi menjadi 2 bagian yaitu pasar nyata dan pasar tidak
nyata (abstrak). Jenis pasar berdasarkan atas cara transaksinya, dibedakan
menjadi pasar tradisional dan pasar modern. Pasar berdasarkan tujuan
pembeliannya yaitu:
1. Pasar konsumen akhir, dan
2. Pasar organisasional (pasar bisnis)
Konsumen akhir yaitu tiap individu dan rumah tangga yang tujuan pembeliannya
guna memenuhi kebutuhan sendiri atau untuk di konsumsi langsung
Lokasi fisik sebagai tempat terjadinya pembelian dan penjualan disebut
pasar, ini merupakan pengertian sederhana/sempit. Pengertian pasar dalam arti
luas atau pengertian menurut teori ekonomi adalah pertemuan antara penawaran
29
dan permintaan atau perpotongan antara kurva penawaran dan kurva
permintaan, pada titik potong tersebut terbentuklah harga yang merupakan
keseimbangan antara jumlah yang ditawarkan oleh produsen dan jumlah yang
diminta atau diinginkan konsumen (Lipsey,1985 dalam Widiyantara,1995).
Samuelson dan Nordhaus (1999), melukiskan peningkatan permintaan
konsumen kedalam bentuk kurva permintaan yang miring kekanan sedangkan
peningkatan penawaran digambarkannya kedalam bentuk kurva penawaran
yang miring ke kiri. Kedua kekuatan pasar ini akhirnya membentuk suatu
keseimbangan pada suatu titik yang disebut titik Equilibrium.
Kenyataan menunjukkan bahwa pasar itu terpisah dalam ruang (market
spatial) dan akan terjadi ketidakseimbangan pasar apabila diantara dua daerah,
di mana daerah yang satu mengalami kelebihan produksi (excess supply)
sedangkan daerah yang lain mengalami kelebihan permintaan (excess demand).
Kondisi seperti ini akan mengakibatkan arus perpindahan barang dari daerah
excess supply kedaerah excess demand pada akhirnya akan terjadi
keseimbangan, sebagaimana yang diperlihatkan pada grafik di bawah ini.
Gambar 2.2. Mekanisme Pasar
30
Gambar 2.2 memperlihatkan bahwa sebelum terjadi penjualan, harga di X
sebesar Px (gambar a) lebih murah dari harga barang di Y (gambar b) atau
dapat dinyatakan sebagai berikut Px < Py. Setelah terjadi penjualan dengan
asumsi bahwa tidak ada biaya transfer yang dikeluarkan oleh penjual, maka akan
terjadi kenaikan harga di X karena sebagian produk di bawa ke Y oleh penjual,
sebab itu harga pokok di Y akan turun. Proses penjualan akan berhenti pada
saat harga pokok di X sama dengan harga pokok produk tersebut di Y. Apabila
ada biaya transfer atau pajak maupun kendala lainnya, perpindahan produk akan
terus berlanjut dari pasar dengan harga produk yang lebih rendah ke pasar
dimana harga produk tersebut lebih tinggi. Penjualan akan terhenti atau telah
tercapai keseimbangan apabila perbedaan harga antara dua pasar tersebut
hanya sebesar biaya transfer (Azzaino, 1981).
Pasar merupakan terminal dari semua kegiatan bisnis seperti halnya
agrobisnis peternakan termasuk didalamnya industry peternakan sapi potong.
Simamora Bilson (2001) berpendapat bahwa, pasar adalah sekumpulan pembeli
aktual dan pembeli potensial terhadap suatu produk. Pasar penjual terjadi jika
penjual memiliki kekuatan tawar menawar yang lebih kuat, pembelilah yang aktif
mencari penjual. Pasar pembeli terjadi jika pembeli memiliki kekuatan tawar
menawar (bargaining power) lebih tinggi, penjualah yang aktif mencari pembeli.
Penelitian pemasaran dilakukan melalui analisis dengan pendekatan
organisasi pasar yang meliputi struktur, perilaku, tampilan pasar, dan dikenal
dengan analisis S C P (Structure, Conduct, Performance). Awalnya analisis ini
hanya digunakan menganalisis organisasi pasar dalam sektor industri di negara-
negara industri maju seperti Amerika Serikat, namun belakangan telah banyak
digunakan untuk menganalisis produk-produk pertanian (Alhusniduki, 1991).
31
2.2.2. Pemasaran dan Model Pemasaran
Sistem distribusi dalam kegiatan pemasaran di sebut juga sistem
pemasaran. Sistem distribusi hasil ternak ke pasar disebut juga sistem
pemasaran hasil ternak. Definisi tentang pemasaran telah banyak dikemukakan
oleh para ahli ekonomi. Pemasaran pada hakekatnya merupakan aktivitas yang
ditujukan terhadap barang dan jasa sehingga dapat berpindah dari tangan
produsen ketangan konsumen.
Kohl dan Uhl (1980) mendefinisikan pemasaran sebagai tampilan
aktivitas bisnis yang terlibat dalam arus barang dan jasa dari pintu gerbang
usahatani (farm gate) sampai ketangan konsumen. Saefuddin (1982)
mendefinisikan pemasaran sebagai aktivitas yang berkaitan dengan bergeraknya
barang dan jasa dari produsen kekonsumen. Tujuan pemasaran adalah agar
barang dan atau jasa yang dihasilkan petani maupun perusahaan sebagai
produsen sampai ke konsumen. Kegiatan kegiatan yang dilakukan agar barang
dan jasa dapat berpindah dari sektor produksi kesektor konsumsi disebut fungsi
pemasaran. Fungsi pemasaran ini mencakup : a) fungsi pertukaran yang meliputi
pembelian dan penjualan; b) fungsi fisik meliputi pengumpulan, pengolahan,
pengangkutan dan c) fungsi fasilitas yang meliputi standarisasi dan grading,
penanggungan resiko, pembiayaan dan informasi harga. Fungsi fungsi
pemasaran ini dilakukan oleh lembaga pemasaran sebagai upaya pemindahan
barang dan jasa dari sector produksi kesektor konsumsi.
Abdul (2008) memaparkan beberapa pendapat mengenai pemasaran
diantaranya: Kotler, pemasaran (Marketing) adalah kegiatan manusia yang
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran.
Kotler dan Amstrong, pemasaran adalah suatu proses sosial dan managerial
yang membuat individu dan kelompok memperoleh apa yang masyarakat
32
butuhkan dan inginkan lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik produk dan
nilai dengan orang lain.
Sobirin (1993), mengemukakan bahwa, model pemasaran merupakan
suatu kegiatan atau cara kerja untuk mendistribusikan sesuatu produk berupa
barang, bahan makanan, atau jasa kepada konsumen. Kegiatan utama model
pemasaran adalah pemantauan dan pengembangan informasi pasar domestik
dan luar negeri. Stanton (1996) mendefinisikan pemasaran adalah sistem
keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan,
menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang
dapat memuaskan kebutuhan pembeli. McDonald dan Keegan (1999)
menuliskan bahwa pada pemasaran garda depan, konsep pemasaran telah
diperpanjang dengan mengintegrasikan pemikiran untuk memuaskan konsumen
kepada setiap fungsi perusahan.
Pemasaran sebagai suatu model, terbentuk oleh unsur-unsur saluran
distribusi yang menghubungkan mata rantai pemasaran yang satu dengan
lainnya sehinga membentuk suatu pola kegiatan ekonomi yang menggambarkan
suatu model pemasaran. Model pemasaran berbeda berdasarkan jenis,
kebutuhan, ketahanan komoditi tersebut terhadap pengaruh lingkungan fisik,
serta penggunaan teknologi terhadap suatu komoditi ekonomi. Model pemasaran
dapat digambarkan secara verbal dalam bentuk saluran pemasaran tersebut.
Mubyarto, (1992, dalam Mee, 2010) berpendapat bahwa, saluran pemasaran
disebut juga saluran distribusi, menjadi salah satu tulang punggung keberhasilan
kegiatan bisnis. Pemasaran yang efisien adalah sampainya produk kekonsumen
akhir menurut tempat, waktu, dan bentuk yang diinginkan konsumen dengan
biaya serendah rendahnya serta adanya pembagian secara adil dari harga yang
di bayar konsumen akhir pada semua pihak yang terkait dalam kegiatan produksi
dan pemasaran
33
Penggunaan pasar sebagai saluran distribusi akan membentuk rantai
pemasaran. Secara empirik, rantai pemasaran bisa terdiri dari dua mata rantai
atau lebih. Penggunaan mata rantai pemasaran dapat membentuk sistem
distribusi sehingga dikenal adanya model pemasaran vertikal dan horizontal.
Sistem pemasaran dapat membentuk hubungan kepentingan distribusi dengan
mata rantai yang sederajat maupun tidak sederajat sehingga membentuk pola
distribusi pemasaran. Pola distribusi menggambarkan suatu rantai dan jaringan
pemasaran karena itu model pemasaran mencerminkan suatu rantai pemasaran
dan jaring jaring pemasaran. Salah satu bagian penting dari pemasaran adalah
saluran pemasaran, yakni saluran yang digunakan produsen untuk menyalurkan
barang ke konsumen atau pemakai produk. Kodrat (2009) menyatakan bahwa
pengelolaan saluran distribusi dan jalur pemasaran sangat krusial sebab
menentukan bagaimana produk tersedia bagi para pelanggan sebagai
pengguna. Hal ini biasanya melekat dengan tiga indikator yaitu: spreading,
coverage, dan penetration. Bila ini dilakukan dengan baik maka jaminannya
adalah produk tersedia dengan baik di pelanggan dan akan mendominasi pasar.
Model Pemasaran berkelanjutan selain berorientasi produk, juga
berorientasi pasar dan membentuk pola integrasi kelembagaan yang mendukung
retensi pasar aktual untuk tetap setia berbelanja padanya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Tjiptono (2002) bahwa pemasaran adalah sebuah proses sosial dalam
memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia. Jadi, segala kegiatan dalam
hubungannya dengan pemuasan kebutuhan manusia merupakan bagian dari
konsep pemasaran. Pemasaran dimulai dengan pemenuhan kebutuhan manusia
yang kemudian bertumbuh menjadi keinginan manusia. Pandangan ahli ekonomi
terhadap pemasaran adalah dalam menciptakan waktu dan tempat dimana
produk diperlukan atau diinginkan lalu menyerahkan produk tersebut untuk
memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen (konsep pemasaran).
34
2.2.3. Strategi Pengendalian Saluran Pemasaran dan Integrasi Pemasaran
Pemasaran merupakan ujung tombak dari semua kegiatan bisnis
termasuk dalamnya agribisnis sapi potong. Sebab itu pengelolaan saluran
pemasaran merupakan suatu hal yang sangat urgen untuk mengoptimumkan
keuntungan dan meningkatkan efisiensi pemasaran. Pengelolaan yang baik
terhadap saluran pemasaran dapat menciptakan suatu pola integrasi
pemasaran dan menciptakan tingkat efisiensi serta keberlanjutan usaha.
Saefuddin (1982) berpendapat, bahwa rantai pemasaran atau saluran
pemasaran merupakan aliran yang dilalui oleh barang dan jasa dari produsen
melalui lembaga pemasaran sampai barang dan jasa tersebut tiba ditangan
konsumen. Panjang pendeknya rantai pemasaran yang dilalui oleh suatu
komoditas tergantung dari : a) jarak antara produsen dan konsumen; b) cepat
atau tidaknya komoditas tersebut menjadi rusak; c) skala produksi dan posisi
keuangan produsen. Pola rantai pemasaran untuk komoditas pertanian berbeda
dengan pola rantai pemasaran untuk produk/komoditas industri.
Setiap pemasar butuh strategi guna memasuki peluang pasar baik untuk
membuka pasar baru, memasuki pasar yang sudah ada atau untuk bertahan
hidup. Terdapat beberapa macam manfaat yang dapat digunakan dalam strategi
untuk berhasil memasuki, dan bertahan hidup pada peluang pasar seperti
manfaat produk, manfaat harga, manfaat promosi, informasi, manfaat tempat dan
manfaat waktu. Kedua manfaat terakhir (tempat dan waktu) dapat dipadukan
menjadi satu kekuatan dalam strategi distribusi, sebab itu strategi distribusi
pemasaran merupakan gabungan dari usaha pemanfaatan waktu dan tempat
terhadap pelanggan/konsumen aktual. Strategi distribusi mengandung nilai utility
of place dan utility of time. Kodrat (2009) memaparkan bahwa produk produk
yang suksespun biasanya dipengaruhi oleh kemampuan pemasar menerapkan
strategi distribusinya. Pendistribusian produk secara fisik menjadi hal utama
35
dalam pelayanan ini dan dikenal dengan istilah DIFOTEF (Delivery in Full on
Time Error Free). Artinya, pelayanan yang baik adalah kecepatan dalam
penyediaan produk sesuai kebutuhan pelanggan, dalam jumlah yang dibutuhkan
tanpa ada kesalahan. Kecepatan dalam penyediaan produk ini akan menjadi
keunggulan bersaing suatu perusahan.
Kotler (2002) mengemukakan strategi bauran pemasaran berupa 4
(empat) P yaitu produk, price (harga), promosi, dan place (tempat) untuk
memasuki dan bertahan hidup dalam suatu pasar. Strategi ini dapat digunakan
pula untuk melakukan penyerangan terhadap kekuatan penguasaan pasar oleh
lawan bisnis. Tjiptono (2008) mengajukan 8 strategi yaitu: kepuasan pelanggan,
strategi pasar, strategi produk, strategi penetapan harga, strategi distribusi,
strategi promosi, strategi pemasaran dalam produk Life cycle (PLC), strategi
pemasaran dalam berbagai posisi persaingan.
Widodo (2008) menuliskan bahwa, kreativitas strategi adalah hal yang
penting dalam melakukan aktivitas demikian pula dalam dunia pemasaran,
kreativitas dipandang penting dalam setiap penyusunan strategi pemasaran.
Alvarado and Kotzab (2001) memaparkan pemberian contoh terbaik tentang
strategi distribusi dari perusahan Wal Wal Mart has consistently made
improvement to its bottom line by streamlining its distribution operations to better
. Secara konsisten Wal Mart melakukan kemajuan dalam
penyempurnaan kebutuhan dasar kegiatan distribusinya guna memberikan
pelayanan yang terbaik bagi para pelanggannya. Alvarado dan Kotzab (2001)
mengemukakan pula importantly, it is not only Wal
policy, bu
company
Wal Mart tapi juga pada kebijakan seluruh pengguna yang melakukan kegiatan
36
pengecer dan menterjemahkannya sendiri pada kemampulabaan yang besar
bagi perusahan.
Kodrat (2009) menuliskan bahwa keberhasilan dalam industri saat ini
tidak hanya ditentukan oleh inovasi produk dan harga yang murah saja, namun
yang lebih penting adalah inovasi distribusi. Keberhasilan pemasaran suatu
produk sangat dipengaruhi dukungan para penjual. Untuk itu, pemasar
berkepentingan mengelola para pengecer atau penjual yang berhadapan
langsung dengan pembeli akhir. Saluran distribusi merupakan perantara untuk
memindahkan produk atau jasa dari produsen ke konsumen. Inti saluran ditribusi
membicarakan dua kutub / sisi yaitu kutub prinsipal (produsen) dan kutub
konsumen. Kutub produsen adalah bagaimana produk tersebut dapat tersebar
secara luas. Kutub konsumen adalah bagaimana konsumen bisa memperoleh
produk dengan mudah. Titik temu kedua kutub ini yaitu faktor kedekatan dan
kemudahan. Produsen dan distributor ingin mendekatkan produknya ke
konsumen sehingga konsumen merasa mudah mendapatkan produk.
Swastha (1999) dalam Kodrat (2009) mengelompokan distribusi dalam
tiga fungsi yaitu: (1) fungsi pertukaran (transaction function), (2) fungsi
penyediaan fisik (logistical function), dan (3) fungsi penunjang (facilitating
function).
Rangkuti (2004) mengemukakan bahwa, strategi rantai pasokan (supply
chain) harus di dukung kegiatan yang dapat meningkatkan kinerja perusahan
maupun produk secara lebih baik, misalnya: melakukan inovasi produk, pilihan
produk, kecepatan pengiriman, kemudahan akses secara global, sehingga yang
diinginkan pelanggan dapat segera direalisasikan dan dipenuhi. Caranya yaitu
mengimplementasi pemasaran melalui desain yang fleksibel dan terintegrasi.
Lamb dkk (2001) menuliskan bahwa, banyak perusahan melihat siklus
waktu dari saat pesanan masuk sampai pengiriman dapat dikurangi hampir
37
setengahnya disebabkan interaksi langsung (dan segera) antara anggota saluran
dan fungsi produksi dalam suatu perusahan. Pengurangan dalam siklus waktu ini
membuat para pengecer membatasi jumlah persediaan yang dibutuhkan di
gudang yang akhirnya mengurangi biaya dan harga. Saluran pemasaran (disebut
juga channel of distribution) merupakan serangkaian dari organisasi yang saling
bergantung dan memudahkan pemindahan kepemilikan sebagaimana produk
bergerak dari produsen kepengguna bisnis atau pelanggan. Anggota saluran
adalah seluruh pihak dalam saluran pemasaran yang bernegosiasi satu dengan
lainnya, membeli dan menjual produk, serta memudahkan perubahan
kepemilikan antara pembeli dan penjual dalam memindahkan produk dari
fabrikan ketangan konsumen akhir. Saluran pemasaran membantu dalam
mengatasi perbedaan kuantitas, keragaman produk (assortment), waktu, dan
ruang yang diciptakan oleh skala ekonomis dalam produksi.
Strategi pengelolaan rantai pasokan dan distribusi pemasaran harus
diperhatikan guna menjamin keberlanjutan bisnis. Penguasaan rantai pasokan
(supply chain) secara terlanjutkan akan mendukung keberlanjutan usaha bisnis.
Strategi pengelolaan distribusi sangat berguna bagi para pemasar termasuk
pebisnis dalam agroindustri peternakan sapi potong sebagai alat dalam perang
bisnis guna memenangkan pemasaran. Rangkuti (2004) menuliskan bahwa
pendekatan saluran penawaran (supply chain) secara terpadu harus dapat
menggantikan cara berpikir konvensional dan fungsional. Perusahan harus
berfikir secara fleksibel baik dalam membuat desain secara terintegrasi sesuai
dengan keinginan pelanggan sampai pengiriman yang sangat cepat. Hal ini jadi
kebutuhan mutlak untuk bersaing. Faktor faktor yang harus dipertimbangkan
dalam menentukan desain saluran distribusi pemasaran yaitu: distribusi langsung
oleh produsen, pertimbangan pembeli, karakteristik produk dan jenis produk
yang dihasilkan. Produsen memiliki sifat yang unik pada distribusi pemasaran
38
langsung sebab dapat langsung mencapai pengguna akhir (end user). Produsen
memiliki alternatif pertimbangan distribusi pemasaran yaitu: (a) distribusi
pemasaran secara langsung, (b) pertimbangan pembeli (c) karakteristik produk,
(d) jenis produk yang dihasilkan. Ada tiga alternatif pilihan distribusi: (1) distribusi
secara langsung, (2) menggunakan perantara, (3) gunakan kedua duanya.
Di era globalisasi pasar dewasa ini para pemasar makin mengefektifkan
pemanfaatan saluran pemasaran guna meningkatkan efisiensi pemasaran.
Caranya yaitu melakukan konfigurasi saluran distribusi pemasaran agar menang
di tiap perang bisnis dan usahanya berkelanjutan. Tjiptono (2008), menyatakan
bahwa strategi pengendalian saluran distribusi (channel control strategy) adalah
menguasai semua anggota dalam saluran distribusi agar dapat mengendalikan
kegiatan mereka secara terpusat kearah pencapaian tujuan bersama. Tujuan
strategi ini yaitu: 1) Meningkatkan pengendalian. 2) Memperbaiki ketidak
efisienan. 3) Mengetahui efektifitas biaya lewat kurva pengalaman, 4) Mencapai
skala ekonomis.
Rangkuti (2004) mengkonfigurasikan model saluran distribusi pemasaran
yaitu: 1. Conventional channel, 2. Vertical marketing system (VMS). Sedangkan
Tjiptono F(2008), memodelkan tingkalaku saluran dalam tiga model konfigurasi
saluran distribusi pemasaran yaitu: 1. Convensional channel. 2. Vertical
marketing system (VMS). 3. Horisontal marketing system (HMS). Jenis jenis
strategi pengendalian saluran distribusi pemasaran yang biasa digunakan antara
lain: Vertical marketing system (VMS), horisontal marketing system (HMS). VMS
terdiri dari : corporate VMS, administered VMS, dan contractual VMS.
Kotler dan Armstrong (2008) membagi tingkat saluran pemasaran
kedalam dua bagian besar yaitu: 1) saluran pemasaran langsung, dan 2) saluran
pemasaran tidak langsung (menggunakan satu saluran atau lebih tingkat
pemasaran). Kotler dan Armstrong (2008), Kodrat (2009), menyatakan bahwa
39
tingkalaku saluran distribusi dibagi dalam empat model tingkalaku saluran
distribusi yaitu : 1) sistem konvensional (CMS). 2) sistem pemasaran vertikal
(VMS), 3) sistem pemasaran horisontal (HMS), dan 4) sistem pemasaran
multisaluran (multy channel marketing system / MMS)
Kodrat (2009) berpendapat bahwa pola hubungan antara produsen
dengan anggota saluran distribusi berkembang dari saluran pemasaran
konvensional menjadi sistem pemasaran vertical (Vertical marketing
system/VMS), sistem pemasaran horizontal (horizontal marketing system) dan
sistem pemasaran multi saluran (multy channel marketing system).
2.2.3.1. Saluran Pemasaran Konvensional.
Saluran distribusi konvensional adalah kelompok organisasi independen
yang berhubungan secara tradisional (Rangkuti, 2004). Saluran pemasaran
konvensional biasanya terdiri dari produsen, pedagang grosir, dan pengecer
bebas, yang berupaya memaksimalkan labanya masing masing (Tjiptono, 2008).
Masing masing organisasi lebih mementingkan dirinya sendiri dari pada saluran
distribusi secara keseluruhan. Hubungan antar saluran distribusi konvensional
lebih bersifat informal dan anggota-anggotanya tidak berkoordinasi secara ketat.
Fokusnya lebih pada transaksi pembeli penjual disbanding kolaburasi saluran
distribusi (Rangkuti, 2008).
Kotler dan Armstrong (2008) menyatakan bahwa, saluran distribusi
konvensional terdiri dari satu atau lebih produsen independen, pedagang grosir,
dan pengecer, masing masing merupakan bisnis terpisah yang berusaha
memaksimalkan labanya sendiri. Tidak ada anggota saluran yang mempunyai
kendali cukup besar atas anggota lain, dan tidak ada sarana formal untuk
menugaskan peran dan menyelesaikan konflik saluran. Kodrat (2009)
berpendapat bahwa saluran distribusi pemasaran konvensional mempunyai sifat
40
jual putus, tidak ada hubungan kerja sama antara penjual dan pembeli, dan
nasib produk tidak dapat ditelusuri oleh produsen setelah dijual kepada anggota
saluran. Pola hubungan produsen dan anggota saluran distribusi berkembang
dari saluran pemasaran konvensional ke sistem pemasaran vertikal (VMS),
2.2.3.2. Vertical marketing system (VMS)
Kebanyakan perusahan menganggap bahwa, pengendalian terhadap
anggota salurannya merupakan faktor penting sebab dapat menimbulkan skala
ekonomis usaha, pembelian barang menjadi murah, dapat menerapkan iklan
bersama, dan mampu mempekerjakan akhli pemasaran. Strategi pengendalian
saluran distribusi adalah menguasai semua anggota dalam saluran distribusi
agar dapat mengendalikan kegiatan masyarakat secara terpusat kearah
pencapaian tujuan bersama Kodrat (2009).
Rangkuti, (2008) berpendapat, saluran distribusi berupa Vertical
marketing system (VMS) adalah pengelolaan secara terkoordinasi dengan
dukungan sistem yang terprogram. VMS lebih banyak mendominasi sektor
pengecer (Retailing) dan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam
bisnis, produk industrial dan jasa. Kegiatan yang perlu dilakukan produsen
adalah menentukan:
a. Desain dan penanggung jawab saluran distribusi
b. Jenis dan efektivitas saluran distribusi
c. Konfigurasi saluran distribusi
VMS merupakan saluran distribusi yang paling dominan untuk consumer
product. Pilihan strategi saluran distribusi dimulai saat manajemen memutuskan
untuk ikut mengelola saluran atau memanfaatkan saluran yang sudah ada
(Rangkuti, 2004). Struktur saluran distribusi dimana produsen, pedagang grosir
41
dan pengecer bertindak sebagai sistem terpadu. VMS dapat didominasi oleh
produsen, pedagang grosir, atau pengecer (Kotler dan Armstrong, 2008).
Kotler dan Armstrong (2008) dan Tjiptono (2008) mengajukan tiga tipe
utama VMS yaitu: 1) Korporasi (Corporate), 2), teradministrasi 3) kontraktual.
1) Corporate VMS
Tjiptono (2002) menyatakan bahwa, Corporate VMS dapat berbentuk
integrasi kedepan dan integrasi kebelakang (backward and forward integration).
Kedua bentuk ini dapat dilakukan secara penuh atau parsial. Integrasi kedepan
terbentuk bila pedagang grosir mendirikan sendiri outlet retailnya. Pertimbangan
dipilihnya integrasi kedepan oleh supplier dan reseller, yaitu:
1. Perusahan perusahan dalam saluran distribusi dapat mencapai
efisiensi dan efektifitas yang lebih tinggi bila punya organisasi yang ikut
dalam aliran fisik dan kepemilikan barang.
2. Kegiatan distribusi lembaga lembaga dalam saluran dapat dikendalikan.
3. Integrasi kedepan memungkinkan supplier memiliki akses dalam saluran
pemasaran.
Integrasi ke belakang terjadi bila retailer atau wholesaler memiliki pemasok
barang dan jasa sendiri. Manfaat yang didapat dari integrasi kebelakang adalah:
1. Terjaminnya pasokan barang dagangan atau bahan mentah yang
kualitasnya konsisten secara berkesinambungan.
2. Aliran fisik, informasi, dan transaksi dapat dilakukan secara efektif dan
efisien.
3. Dapat menjadi faktor pendukung keunggulan bersaing.
2) Administred VMS.
Suatu jaringan yang kegiatan kegiatan pemasarannya terkoordinasi
dalam suatu program yang disusun oleh satu atau beberapa perusahan, dimana
perusahan bersangkutan tidak berstatus sebagai pemilik keseluruhan jaringan.
42
Perusahan tersebut dianggap sebagai pemimpin (leader) karena ukuran dan
kekuatannya yang besar. Lembaga lembaga pemasaran dalam Administred
VMS umumnya mengejar tujuannya sendiri sendiri dan tidak memiliki struktur
organisasi formal yang menyatukan mereka.
3) Contraktual VMS.
Suatu jaringan yang terdiri dari anggota anggota saluran independen
yang mengintegrasikan program program pemasarannya dalam perjanjian
(kontrak) untuk mencapai penghematan atau hasil pemasaran yang lebih baik.
2.2.3.3. Horizontal marketing system (HMS)
Sistem pemasaran horizontal adalah dua atau lebih perusahan terpisah
melakukan program bersama untuk memanfaatkan kesempatan pemasaran
yang muncul, bisa terjadi secara permanen atau sementara (Kodrat, 2009).
Tjiptono (2008) berpendapat bahwa, HMS ialah jaringan yang terbentuk
jika beberapa perusahan perantara yang tidak berkaitan menggabungkan
sumberdaya dan program pemasarannya guna memanfaatkan peluang pasar
yang ada, dalam hal ini mereka berada dibawah satu manajemen. Kotler dan
Armstrong (2008) menyatakan bahwa, sistem pemasaran horisontal (horizontal
marketing system, HMS) dimana dua atau lebih perusahan pada satu tingkat
bergabung bersama untuk meraih peluang pemasaran baru. Melalui bekerja
sama, perusahan dapat menggabungkan sumberdaya keuangan, produksi, atau
pemasaran mereka untuk mencapai lebih banyak dari pada yang dilakukan satu
perusahan saja.
2.2.3.4. Sistem Distribusi Multisaluran Pemasaran/Saluran Pemasaran Hibrida (multy channel marketing/MCM)
Kotler dan Armstrong (2008) berpendapat bahwa, sistem distribusi
multisaluran adalah sistem distribusi dimana sebuah perusahan menetapkan dua
43
atau lebih saluran pemasaran untuk menjangkau satu atau lebih segmen
pelanggan. Sistem distribusi multisaluran sering disebut saluran pemasaran
hibrida. Saluran pemasaran hibrida ini terjadi ketika satu perusahan menetapkan
dua atau lebih saluran pemasaran untuk menjangkau satu atau lebih segmen
pelanggan. Dewasa ini, penggunaan sistem multisaluran/saluran pemasaran
hibrida telah meningkat pesat digunakan oleh banyak perusahan besar dan kecil.
Secara empirik, pemasar dalam kegiatan pendistribusian pemasaran
akan menggunakan beberapa lembaga pemasaran guna menjangkau
konsumen. Gitosudarmo (2012) memperkenalkan beberapa saluran distribusi
(channell of distribution) yaitu :
1) Zero level distribution. Artinya, kita melakukan distribusi langsung, tanpa
menggunakan penyalur (direct distribution atau direct marketing).
2) One level distribution. Artinya menggunakan satu penyalur tunggal atau agen
tunggal dalam memasarkan produknya.
3) Two level distribution. Artinya, menggunakan saluran distribusi bertingkat dua.
Biasanya dilakukan oleh wholesaler atau pedagang besar (grosir) pada level
pertama kemudian dilanjutkan pada tingkat penyaluran kedua yaitu pengecer.
4) Multy Level Distribution / Multy Level Marketing (MLM). Artinya menggunakan
banyak sekali tingkatan penyaluran agar menjangkau konsumen yang lebih
intensif. Banyak dilakukan untuk keperluan sehari hari seperti: sabun,
kosmetik, dan perlengkapan rumah tangga lainnya.
Logika MLM yaitu : a) makin banyak penyalur, makin efektif menjangkau
konsumen. b) makin banyak menjangkau konsumen, makin banyak hasil
penjualan, c) makin banyak penjualan, makin besar keuntungan.
44
2.2.4. Struktur pasar
Di pasar biasanya ada barang-barang tertentu yang hanya dikuasai oleh
satu atau beberapa penjual atau pembeli, kondisi ini menggambarkan struktur
pasar. Struktur pasar adalah kondisi yang menggambarkan keadaan penting
suatu pasar seperti jumlah penjual (perusahan), keseragaman produk antar
penjual, kemudahan keluar masuk pasar dan bentuk persaingannya (Kasmadi,
2008).
Struktur pasar ialah karakteristik organisasional suatu pasar yang dalam
pelaksanaannya ialah menentukan hubungan antara pembeli dan penjual di
pasar, dengan penjual potensial yang akan masuk pasar. Azzaino (1981),
mengemukakan bahwa, struktur pasar ialah suatu dimensi yang menjelaskan
definisi industri dan jumlah perusahaan yang ada di pasar, distribusi perusahaan
dengan berbagai ukuran diferensiasi, produk dan syarat-syarat keluar masuk
pasar. Taken dan Asnawi (1977) berpendapat bahwa, pada kondisi pasar yang
berbeda, sistem pemasarannya pun berbeda. Taken dan Asnawi (1977) serta
Azzaino (1981) membedakan struktur pasar atas persaingan sempurna dan
persaingan tidak sempurna. Pasar persaingan tidak sempurna dibedakan
menjadi pasar monopoli, pasar monopsoni, pasar oligopoli, dan pasar oligopsoni.
Struktur pasar dikatakan berada pada kondisi persaingan sempurna atau
tidak sempurna ditentukan oleh homogenitas barang dan / atau jasa yang
ditawarkan serta jumlah pembeli dan penjual yag ada di pasar saat itu.
Handerson dan Quandt (1980) menyatakan bahwa struktur pasar terdiri
dari pasar persaingan sempurna, monopsoni dan oligopsoni. Koutsoyiannis
(1982) membedakan struktur pasar pada pasar persaingan sempurna, pasar
monopoli dan persaingan monopolistik. Miller dan Meiners (1994) membedakan
struktur pasar kedalam pasar persaingan sempurna, pasar monopoli, persaingan
monopolistik dan pasar oligopoli.
45
Gitosudarmo, H. I. (2012) menyatakan bahwa posisi monopoli merupakan
posisi yang selalu diinginkan pengusaha karena dalam posisi ini mereka akan
memiliki penguasaan pasar serta comparative advantage yang tinggi. Kondisi
persaingan pasar dan pemasaran digambarkan pada Gambar (2.3) berikut ini :
Persaingan Sempurna
Persaingan Monopolistis
Persaingan Oligopoli Monopoli
Gambar 2.3. Bentuk bentuk Persaingan
Masing masing bentuk persaingan pasar tadi, memiliki ciri serta sifat
sifat sendiri sendiri yang dapat ditunjukan dalam suatu Tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1. Ciri Ciri Persaingan Pasar
Keterangan Persaingan Sempurna
Persaingan Monopolistik
PersainganOligopoli Monopoli
Jumlah Pengusaha Sangat banyak Banyak Sedikit Satu
Jenis Kecil Agak besar besar Raksasa
Persaingan harga Tajam cukup Ringan Tanpa persaingan
Suatu pasar disebut persaingan sempurna jika: (1) jumlah pembeli dan
penjual sangat banyak sehingga peranan pembeli maupun penjual secara
individual tidak mampu mempengaruhi harga pasar yang ada dengan
meningkatkan jumlah pembelian maupun jumlah penjualan; (2) Produk yang
dihasilkan, homogen. Homogenitas di sini dimaksudkan sebagai karakteristik
teknis maupun jasa yang diperlukan pemasarannya sama; (3) mobilitas faktor
produksi ke dalam pasar tidak ada hambatan sama sekali; (4) informasi pasar
sempurna dan diperoleh secara gratis, baik saat ini maupun waktu yang akan
datang. Contoh: petani padi yang menghasilkan beras. Produsen terdiri dari
banyak sekali petani yang menghasilkan beras terstandar untuk dijual di pasar.
Petani seperti halnya pimpinan perusahaan, menghadapi macam-macam biaya
46
yang dikeluarkan untuk menghasilkan padi. Biaya tersebut meliputi biaya tetap
(BT), biaya varibel (BV) dan biaya marginal (BM) sedangkan harga pokok beras
tetap. Pada pasar persaingan sempurna, petani tidak mungkin dapat
mempengaruhi harga pasar secara individu, (dengan asumsi tidak ada campur
tangan pemerintah). Secara grafik keadaan ini digambarkan dengan kurva-kurva:
biaya rata-rata (BR) dan biaya marginal (BM) seperti berikut (Masyrofie, 1993).
Gambar 2.4. Keadaan Pasar Persaingan Sempurna
Keterangan : BR = Biaya rata-rata; BM = Biaya marginal MR = Marginal Revenue (Penerimaan Marginal)
Melalui Gambar 2.4. di atas, dilukiskan bahwa petani akan berproduksi
pada titik Q saat BM = MR. Keadaan ini merupakan keseimbangan jangka
panjang. Bila harga naik, maka produsen lain akan masuk pasar sampai BM =
MR = BR, sebaliknya bila harga turun maka petani atau produsen akan keluar
dari pasar sampai BM = MR = BR kembali. Kondisi seperti ini petani tidak punya
kekuatan mempengaruhi harga pasar, jadi hanya menerima harga yang berlaku
di pasar (hanya price taker saja). Satu-satunya cara meningkatkan pendapatan,
yaitu menekan biaya produksiyang dikeluarkan untuk menghasilkan produk.
Sebab itu, pasar persaingan sempurna biaya rata-ratanya terendah.
Bentuk pasar persaingan monopolistik, mungkin bisa dilihat dari pasar
pakan ternak. Produk ini untuk kebutuhan yang sama tapi bisa terjadi perbedaan
konsentrasi bahan yang digunakan atau mungkin pula pembeli yakin pakan yang
47
dihasilkan perusahaan A berbeda dari yang dihasilkan perusahaan B, kendati
kenyataannya sama saja. Sebab itu pembeli mau saja membeli walau harga
berbeda dari yang ditawarkan oleh para produsen lainnya.Melalui perbedaan
produk, suatu perusahaan kecil akan dapat beroperasi sebagaimana perusahaan
monopoli. Perusahaan akan mempunyai BM dan BR sebagai kendala biaya pada
persaingan murni. Tetapi produknya yang berbeda bedadari perusahaan lain,
maka bentuk kurva permintaannya (D) menurun dari kiri atas ke kanan bawah.
Artinya, perusahaan harus menerima harga rendah jikamau menambah produk
yang akan ditawarkan guna menaikan volume penjualan. Bentuk pasar
monopolistik ini dapat ditunjukkan pada grafik berikut.
Gambar 2.5. Pasar Monopolistik
Keterangan: BM = Biaya Marginal; BR = Biaya rata-rata; MR = Marginal Revenue
Jumlah permintaan adalah sebesar OQ1 pada BM = MR, dan harga
produk sebesar H. Produsen dapat merubah harga dengan merubah produksi,
iklan atau aktivitas promosi lainnya.
Pasar monopoli ialah suatu struktur pasar dimana hanya satu perusahaan
yang menjual produk di pasar dan perusahaan lain sulit masuk pasar tersebut.
Sukirno (1995) mengemukakan alasan perusahaan bersifat monopoli sebab :
a) menguasai bahan baku strategis guna menghasilkan produk yang akan dijual;
BM
48
b) menguasai teknik produksi yang spesifik; c) hak paten; d) adanya lisensi
pemerintah; e) skala perusahaan besar. Cara monopolis memperoleh laba
maksimum terlukis melalui grafik berikut ini.
Gambar 2.6. Pasar Monopoli
Keterangan : Hrg = Harga BTR = Biaya Total Rata-Rata BM = Biaya Marginal MR = Marginal Revenue
Pada Gambar 2.6. nampak bahwa keuntungan maksimum tercapai pada
saat BM = MR dengan jumlah produksi dan permintaan pasar sebesar OQ pada
harga H1. Perbedaan harga H1 dan H2 adalah keuntungan monopolis.Apabila
monopolis memproduksi sebanyak Q akan dijual dengan harga yang lebih tinggi
yakni H1. Padahal dalam keadaan keuntungan maksimum (BM = MR) harga
produk yang sebenarnya hanya sebesar H3. Ditetapkannya harga sejumlah
produk (Q) sebesar H1, perusahaan berada dalam keadaan kelebihan laba
(excess profit) yaitu seluas daerah H1H2AB, hal inilah yang menyebabkan
inefisiensi karena factor factor penyebab monopoli.
Azzaino (1981) berpendapat bahwa, suatu pasar dikatakan sebagai pasar
monopsoni bila di dalam pasar tersebut hanya ada satu pembeli, sedangkan
penjual atau produsennya banyak, hal ini dijumpai pada pemasaran hasil
pertanian ditingkat petani produsen. Struktur pasar ini kurva penawarannya
BM
49
mempunyai slope positif, yang berarti bahwa harga produk dipengaruhi oleh
pembelian monopsoni. Makin besar pembelian monopsoni akan suatu produk
maka harga produk tersebut makin tinggi dan sebaliknya. Perusahaan
monopsoni yang mau memaksimumkan keuntungannya,maka penggunaan input
sampai pada suatu jumlah di mana nilai produk marginal dari faktor produksi
tersebut (NPMF) sama dengan biaya faktor marginalnya (NPMF = BFM),
sedangkan harga dari input ditentukan oleh titik titik sepanjang kurva
penawaran. MRP adalah tambahan terhadap total revenue sebagai sumbangan
dalam menggunakan satu input. BFM adalah tambahan terhadap biaya total
sebagai akibat tambahan penggunaan satu satuan input. Selama MRP > BFM,
penambahan penggunaan input akan tetap meningkatkan keuntungan.
Sebaliknya, bila MRP < BFM, kerugian akan bertambah dalam menambah
produksi dengan menggunakan input tersebut. Keuntungan penggunaan input
akan maksimum jika berproduksi pada BFM = MRP. Kesamaan ini terjadi pada
titik potong E dalam gambar di bawah ini.
Gambar 2.7. Pasar Monopsoni
Gambar 2.7. memperlihatkan OQ adalah jumlah input yang digunakan,
berhubungan dengan titik F pada kurva penawaran karena itu, OQ satuan input
BFM
50
akan ditawarkan pada harga H2 per satuan. H2 adalah harga keseimbangan
pasar input berhubung penggunaan input sebanyak OQ (Azzaino,1981).
Pasar oligopoli adalah suatu keadaan pasar di mana hanya terdapat
beberapa penjual, masing-masing pengusaha berusaha mempengaruhi harga
pasar dan harus memperhatikan tindakan rivalnya, baik dalam bentuk produksi
maupun aktivitas penjualan produk serta harga. Kurva permintaan akan putus
(kinked demand curve) karena setiap pesaing gagal mengikuti kenaikan harga,
bahkan selalu bersesuaian dalam keadaan harga turun,sebab itu menyebabkan
ketidakberlanjutan kurva MR (Gambar 2.8).
Gambar 2.8: Perusahaan pada kondisi oligopoli
Saat harganya H1, produk yang dijual perusahaan adalah OQ. Oligopolis
yakin bila menurunkan harga penjualan maka rivalnya akan ikutmenurunkan
harga dan jumlah penjualan akan meningkat sesuai kurva permintaan BF. Bila
oligopolis menaikkan harga, sedangkan rivalnya tidak menaikkan harga maka
kurva permintaan yang dihadapi oligopolis adalah AB (relatif datar). Jadi kurva
ABF ialah kurva permintaan oligopolis (Sudarsono,1995).
Sudarsono (1995), menyatakan kurva permintaan marginal (PM) sebagai
kurva terputus ACDF. Oligopolis dapat mencapai keuntungan maksimum saat
BM = BR. Pada kondisi ini produk dijual dengan harga H1 dengan jumlah produk
A
51
sebanyak OQ. Jika oligopolis menurunkan harga maka harga akan mengikuti
kurva permintaan BF, bukan kelanjutan kurva AB dan Q bertambah banyak.
Kurva permintaan untuk penurunan harga ini lebih curam dari kurva permintaan
pada saat harga naik. Pada pasar oligopsoni akan terjadi sebaliknya. Jika
oligopsonis meningkatkan harga pembelian inputnya, maka rivalnya akan ikut
menaikkan harga pembelian input, apabila terjadi sebaliknya maka rivalnya tidak
akan menurunkan harga pembeliannya.
Stiffel (1975) berpendapat, struktur pasar menunjukkan karakteristik
yang mempengaruhi perilaku pedagang dan tampilannya, yang dapat diamati
dari 3 unsur masing-masing : a) ratio konsentrasi, b) elastisitas suplai dan c)
keadaan masuk pasar. Sedangkan Dahl dan Hammond (1977) menyatakan,
struktur pasar dapat diukur melalui : 1) konsentrasi penjual; 2) konsentrasi
pembeli; 3) kendala masuk pasar dan 4) diferensiasi produk.
Struktur pasar persaingan sempurna dapat dilihat dari koefisien regresi
harga antara tingkat pasar tertentu dengan tingkat pasar yang lebih rendah.
Sexton, et al, (1991) menyatakan, untuk mengetahui dua pasar terintegrasi atau
tidak, dapat dilakukan dengan analisis regresi dimana harga di tingkat pasar ke-i
sebagai variabel terikat sedangkan harga di tingkat pasar ke-i + 1 dan selisih
biaya transportasi sebagai variabel bebas. Apabila koefisien regresinya sama
dengan satu, maka dapat dikatakan bahwa pasar dalam keadaan persaingan
sempurna, sedangkan apabila koefisien regresinya < 1, maka pasar cenderung
ke arah monopoli dan jika > 1 maka pasar cenderung ke arah monopsoni.
Dahl dan Hammond (1977), Purcell (1979) menyatakan bahwa untuk
mengukur struktur pasar dapat dilakukan dengan : a) konsentrasi penjual,
yaitu apabila 4 : 10 perusahaan menjual 82 % dari total produk (konsentrasi
produk 82 %) berarti dalam industri atau perusahaan 82 % aktivitas
ekonomi dikendalikan oleh 4 perusahaan tersebut; b) konsentrasi pembeli
52
merupakan kebalikan dari konsentrasi penjual yaitu apabila konsentrasi pembeli
82 % berarti 82 % dari produk yang ada dikuasai oleh 4 perusahaan tersebut; c)
kendala masuk pasar dan d) diferensiasi produk.
2.2.5. Perilaku dan Tampilan Pasar
Perilaku pasar merupakan pola tingkah laku lembaga pemasaran dalam
menyesuaikan diri dengan pasar di mana ia melakukan pembelian dan penjualan
produk. Clindiff (1988) dalam Widiyantara (1995) menyatakan, ada dua pengaruh
pokok yang mempengaruhi pembeli yakni pengaruh individu dan pengaruh
lingkungan. Pengaruh individu adalah kebutuhan, motivasi, persepsi, belajar dan
sikap. Pengaruh lingkungan adalah pengaruh keluarga, budaya, ekonomi, sosial
dan bisnis. Berkaitan dengan pengaruh, baik individu maupun lingkungan
tersebut maka Lawang (1986) dalam Widiyantara (1995) menyatakan bahwa
perilaku manusia bila dikaitkan dengan pertukaran, maka perilaku tersebut
dipengaruhi oleh faktor biaya, imbalan dan keuntungan. Sekelompok atau
seseorang mempunyai perilaku tertentu merupakan refleksi dari pertimbangan-
pertimbangan terhadap biaya yang telah dikeluarkan, kemungkinan imbalan yang
akan diterima / diperoleh dan bentuk keuntungan diperoleh atau diharapkan.
Saefuddin (1982) mengemukakan salah satu kriteria yang cocok untuk
merumuskan suatu situasi pasar yang dapat mengoptimumkan keuntungan
sosial dan memaksimumkan efisiensi pemasaran adalah perilaku pasar yang
meliputi: 1) praktek-praktek penentuan harga yang mendorong terjadinya
grading dan standarisasi produk; 2) seragamnya biaya pemasaran; 3) praktek-
praktek penentuan harga bebas dari kolusi dan taktik-taktik yang tidak jujur,
maupun perdagangan gelap; 4) kebijaksanaan harga yang mendorong perbaikan
mutu produk dan meningkatkan kepuasan konsumen.
53
Perilaku pasar dapat juga dilihat dari integrasi pasar, yang meliputi
integrasi vertikal dan integrasi horizontal. Integrasi adalah penggabungan
kegiatan dalam pemasaran pada satu sistem manajemen. Integrasi vertikal
merupakan penggabungan proses dan fungsi dua atau lebih lembaga
pemasaran pada tahap distribusi ke dalam satu sistem manajemen. Secara
empirik, terjadi bila pelaku ekonomi (pengusaha / konsumen bisnis) memiliki
pelanggan yang secara tetap memasukkan bahan baku usahanya / rantai pasok
sehingga bisa terjamin penyediaan bahan baku usahanya (integrasi kebelakang).
Integrasi kedepan terjadi bila pengusaha / konsumen bisnis memiliki / menguasai
beberapa penjual / pengecer terhadap produk yang ia tawarkan kepasar yang
menyebabkan produknya mudah dipasarkan (integrasi kedepan).
Integrasi horizontal adalah penggabungan dua atau lebih lembaga
pemasaran yang melakukan fungsi yang sama pada tahap distribusi yang sama
pula ke dalam satu sistem manajemen. Secara empirik, hal ini terjadi bila dua
orang atau lebih yang merupakan sesama produsen atau sesama konsumen
bisnis untuk produk yang sejenis menggabungkan usahanya untuk membentuk
suatu kekuatan ekonomi yang lebih baik.
Makna penting dari integrasi vertikal yaitu akan menurunkan biaya
pemasaran sehingga menguntungkan konsumen. Sebaliknya integrasi horizontal
akan dapat memperkuat posisi produsen atau perusahaan dan menghindarkan
persaingan dengan perusahaan sejenis (Hanafiah dan Saefuddin, 1986).
Sementara itu Alhusniduki (1991) menyatakan bahwa analisis integrasi pasar
secara horizontal digunakan untuk melihat apakah mekanisme harga berjalan
secara serentak atau tidak. Alat analisis yang digunakan adalah korelasi harga
antara pasar yang satu dengan yang lainnya. Analisis integrasi pasar secara
vertikal digunakan untuk melihat secara kasar keadaan pasar pada tingkatan
lokal, kecamatan, kabupaten, kota dan provinsi. Analisis ini mampu menjelaskan
54
kekuatan tawar menawar antara petani dengan lembaga pemasaran, atau
antara lembaga tingkat bawah dengan lembaga perantara yang di atasnya.
Secara teoritis bila pasar bersaing sempurna, maka dapat dijabarkan
dalam formula matematis berikut :
Pj = (b1 + b2) + Pi
Keterangan: Pj = Harga pada tingkat pasar ke-i
Pi = Harga pada tingkat pasar ke-I + 1 b1 = Biaya pemasaran (biaya transportasi) b2 = Keuntungan lembaga pemasaran
Asumsinya b1 dan b2 konstan terhadap satuan komoditas yang dijual maka,
Pj = a + Pi
Sebab itu bila pasar berada dalam keadaan bersaing sempurna, maka:
Pj = a0 + a1Pi
Berdasarkan pandangan tersebut di atas disimpulkan bahwa, bila:
a1 < erjadi monopoli penjualan pada lembaga pemasaran dari tingkat pasar yang satu dengan tingkat pasar yang di atasnya
a1 = Pasar berjalan dalam keadaan bersaing sempurna. a1 > erjadi monopsoni pembelian dari lembaga pemasaran yang diatas
dengan yang dibawahnya.
Tampilan pasar adalah hasil akhir yang muncul akibat penyesuaian-
penyesuaian yang dilakukan lembaga pemasaran pada struktur pasar tertentu di
mana perusahaan beroperasi. Stiffel (1975) menyatakan bahwa tampilan pasar
adalah hubungan struktur pasar dengan perilaku pasar dalam hal kebijaksanaan
harga dan produk. Tampilan diukur dari efisiensi penggunaan sumber daya, tidak
adanya keuntungan monopsoni, perbaikan sistem pemasaran yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tampilan pasar bisa pula dipengaruhi
oleh persaingan non harga, seperti upaya promosi, adanya perbaikan produk
sehingga lebih tahan lama, lebih mudah diperbaiki dan sebagainya.
55
Azzaino (1981) menyatakan bahwa tampilan pasar dapat dilihat dari
tingkat harga, margin, keuntungan investasi dan pengembangan produk.
Tampilan pasar ini juga dapat diukur dari bagian harga yang diterima oleh petani
). Bagian harga yang diterima merupakan ratio antara harga
penjualan petani dengan harga penjualan pengecer atau harga konsumen.
Secara matematis dapat dinyatakan :
Fs = Pf x 100% Pr
Keterangan: Fs = Farmer s share
Pf = Harga jual di tingkat petani Pr = Harga jual di tingkat pengecer
Share keuntungan, lembaga pemasaran ke-i:
Ski=. Ki
x 100% Pr Pf
Ki = Pji Pbi bij
Keterangan: Ski = Share keuntungan lembaga pemasaran
Ki = Keuntungan lembaga pemasaran Pr = Harga beli konsumen Pf = Harga jual petani Pji = Harga jual lembaga pemasaran ke-i Pbi = Harga beli lembaga pemasaran ke-i bij = Biaya yang dikeluarkan lembaga pemasaran
Margin pemasaran dimaksudkan sebagai perbedaan harga suatu
komoditas yang diterima produsen dengan harga yang dibayar konsumen.
Margin pemasaran terdiri dari biaya untuk menyalurkan atau mendistribusikan
atau memasarkan dan keuntungan lembaga pemasaran.
Umumnya margin pemasaran bersifat dapat berubah menurut waktu dan
keadaan ekonomi dan tergantung pula pada harga yang dibayar konsumen. Bila
harga konsumen itu kecil, turun/berkurang maka produsen menerima harga yang
relatif rendah/kecil. Bila harga yang dibayar oleh konsumen naik, maka produsen
akan menerima harga yang relatif lebih besar. Biasanya margin pemasaran itu
56
bersifat fleksibel secara relatif atau tidak banyak berubah, misalnya harga suatu
barang naik, tetapi biaya pemasaran tetap, maka harga yang diterima produsen
menjadi lebih besar (Atmakusuma, 1984). Dikatakan pula bahwa margin
pemasaran dapat menjadi konstan pada kondisi-kondisi tertentu, kendatipun
jumlah yang dipasarkan atau ditawarkan berubah dan pada kondisi yang lain
margin pemasaran itu berubah. Jika fungsi penawaran elastisitas sempurna
(horizontal) maka margin pemasaran konstan walaupun permintaan meningkat.
Apabila harga suatu komoditas tetap, maka margin pemasaran berikut
pendistribusian akan berlainan, karena : (1) sifat komoditas itu sendiri, misalnya
untuk komoditas pertanian mempunyai sifat cepat membusuk (perishable)
mempunyai resiko besar sehingga memiliki margin pemasaran yang lebih besar
dari pada komoditas yang tahan lama; (2) adanya perlakuan pengolahan hasil;
(3) adanya organisasi yang terorganisir dan tidak terorganisir, (4) kesediaan
membayar dari pada konsumen terhadap suatu komoditas yang ingin dibelinya.
Keuntungan lembaga pemasaran merupakan bagian dari margin pemasaran,
dan ditentukan oleh faktor-faktor berikut: (a) harga modal dari barang; (b) jumlah
komoditas yang dijual dan (c) keuntungan yang diperhitungkan sebagai
cadangan dari penanggungan resiko. Bila dibandingkan dengan perubahan
harga, maka margin itu sebenarnya relatif stabil atau flexibility marketing margin.
Sebab besarnya biaya pemasaran ditentukan oleh jumlah atau volume
penawaran barang, permintaan dan tidak tergantung pada harga barang.
Margin pemasaran dapat dikurangi dengan cara : 1) mengurangi biaya
pemasaran; 2) memperbaiki sistem informasi pasar, memperkuat posisi tawar
menawar (bargainning position) dari produsen dan 3) stabilitas harga produk.
Pengurangan biaya pemasaran dapat melalui cara: 1) mengoptimumkan jumlah
dan besarnya lembaga pemasaran yang menyelenggarakan fungsi-fungsi
pemasaran; 2) memperbaiki cara kerja dari setiap lembaga pemasaran, misalnya
57
dengan cara self service, iklim usaha yang baik dan dengan cara
menyederhanakan sistem distribusi barang (Kotler dan Keller, 2009).
Keuntungan lembaga pemasaran yang berlebihan dapat pula diperkecil
dengan cara: 1) memperbaiki resiko teknis dan ekonomis; 2) memperbaiki
struktur pasar yang bersaing terlalu hebat, misalnya monopsoni, oligopoly dan
sebagainya. Usaha perbaikan biaya pemasaran dan tingkat keuntungan lembaga
tersebut dapat meningkatkan efisiensi pemasaran (Kotler dan Keller, 2009).
Gambar 2.9. Fungsi Primer, Turunan dan Margin Pemasaran
Melalui Gambar 2.9, terlihat bahwa, margin pemasaran merupakan
perbedaan harga konsumen (Pr) yang juga sebagai permintaan primer dengan
harga yang diterima produsen (Pf) juga sebagai permintaan turunan dari suatu
komoditas. Permintaan primer merupakan permintaan atas harga dan jumlah
pada tingkat konsumen. Permintaan turunan merupakan hubungan antara harga
dan jumlah dimana petani bersedia menjual produknya. Permintaan primer
merupakan permintaan konsumen (Pr) sedangkan permintaan turunan (Pd)
merupakan permintaan di tingkat petani. Penawaran primer (Sp) merupakan
penawaran di tingkat produsen. Begitupun dengan penawaran turunan (Sd)
58
adalah penawaran yang terjadi di tingkat konsumen yang dilakukan oleh
pedagang maupun oleh processor.
Atmakusuma (1984) menyatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap perbedaan harga adalah akibat sifat komoditas pertanian yang mudah
rusak dalam proses pemasaran, misalnya proses pengumpulan, pengangkutan
atau penyimpanan sering terjadi resiko rusak/susut sebagai akibat atau pengaruh
iklim/cuaca atau hama/penyakit. Dengan adanya resiko-resiko tersebut maka
kualitas maupun kuantitas produk tersebut berkurang/menurun.
2.2.6. Integrasi dan Efisiensi Pemasaran
2.2.6.1. Integrasi Pemasaran
Konsep teori dari integrasi pemasaran adalah hukum satu harga untuk
seluruh pasar yang diasumsikan apabila tidak ada biaya transfer komoditi yang
sama pada pasar yang berbeda akan memiliki harga yang sama. Jika suatu barang
diperjualbelikan pada tingkat harga yang berbeda, orang-orang akan memilih untuk
membeli pada pasar yang menjual barang dengan harga terendah dan produsen
akan menjual barang pada pasar yang memiliki harga jual lebih tinggi. Akibatnya
seiring dengan naiknya permintaan, harga akan naik namun pada pasar yang
sebelumnya memiliki harga tinggi, seiring dengan naiknya penawaran, harga akan
turun sehingga membuat harga antar pasar menjadi sama (Nicholson, 2000).
Beberapa definisi integrasi pasar telah dikemukakan pada berbagai studi
terdahulu. Harris (1979) mengindikasikan integrasi pasar sebagai keterpaduan
diantara beberapa pasar yang memiliki korelasi harga tinggi. Ravallion (1986)
mengemukakan bahwa pasar-pasar secara spasial terintegrasi jika terjadi
aktivitas penjualan diantara pasar-pasar tersebut. McNew (1996) membatasi
integrasi pasar sebagai kondisi ekuilibrium spasial efisien yang dicerminkan oleh
adanya kejutan (shock) pada pasar tertentu yang secara sempurna
59
ditransmisikan ke pasar-pasar lainnya. Sejalan dengan pandangan ini, Goodwin
dan Schroeder (1991) menggambarkan integrasi pasar berkaitan dengan lokasi-
lokasi spasial yang memiliki perubahan harga one-to-one. Muwanga dan Snyder
(1997) mengemukakan bahwa pasar-pasar terintegrasi jika terjadi aktivitas
perdagangan antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah secara spasial,
kemudian harga di suatu pasar berhubungan atau berkorelasi dengan harga di
pasar-pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu pasar secara
parsial atau total ditransmisikan ke harga yang terjadi di pasar-pasar lain, baik
dalam jangka pendek atau jangka panjang.
Integrasi pasar merupakan keterkaitan hubungan antara pasar di suatu
wilayah dengan pasar di wilayah lainnya. Integrasi pasar mencerminkan efek dari
perubahan harga pada satu pasar terhadap pasar lainnya dimana hal ini
diasumsikan pada integrasi sempurna dengan dua daerah yang berbeda.
Pengertian integrasi atau keterpaduan pasar juga dapat dipahami dengan melihat
sejauh mana pembentukan harga suatu komoditas pada suatu tingkat lembaga
pemasaran tertentu dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga pemasaran lainnya.
Integrasi terjadi bila terdapat kondisi harga di tingkat selanjutnya sama dengan
harga ditingkat sekarang ditambah biaya pemasaran. Suatu sistem pasar yang
terpadu akan terlihat adanya korelasi yang tinggi sepanjang waktu dari beberapa
pasar (Heytes, 1986). Integrasi pasar di lokasi berbeda mengacu pada terdapatnya
pergerakan serempak atau hubungan jangka panjang harga-harga. Golleti et all
(1995) dan Barrett (1996), mengemukakan bahwa, dua pasar dikatakan
terintegrasi bila perubahan harga pada satu pasar akan mempengaruhi harga
pasar lainnya dengan arah yang sama dan tingkat yang sama pula. Bila pasar-
pasar tidak terintegrasi dalam lokasi yang berjauhan atau antar waktu,
menunjukkan bahwa ketidak efisienan pasar terjadi akibat pemusatan pasar
yang menentukan penetapan dan distorsi harga di pasar.
60
Baffes dan Bruce (2003) menyatakan, pasar dapat dikatakan terintegrasi
bila perubahan harga di pasar dunia langsung diteruskan dan direfleksikan ke
pasar dalam negeri; dengan kata lain pola harga yang ditunjukkan harus sama.
Sebuah sistem pasar yang terintegrasi secara efisien akan memiliki hubungan
positif antara harga di wilayah pasar yang berbeda.
Rifin dan Nurdiyani (2007) mengatakan bahwa terintegrasi atau tidaknya
suatu pasar dapat dianalisis dengan memperhatikan faktor :
(1) Segmentasi pasar
Pasar dikatakan tidak terintegrasi jika pasar tersegmentasi, yaitu apabila
perubahan harga yang terjadi di pasar acuan tidak mempunyai pengaruh baik
cepat atau lambat terhadap harga di pasar domestik. Terintegrasinya pasar
domestik, maka harga yang terjadi di pasar domestic itu dipengaruhi oleh
perubahan harga yang ada di pasar acuan.
(2) Integrasi jangka Pendek
Pasar dikatakan terintegrasi jangka pendek apabila perubahan harga yang
terjadi di pasar acuan secara langsung dan diteruskan ke dalam harga di
pasar domestik. Hal ini juga mengisyaratkan tidak ada efek lag pada harga
dimasa yang akan datang.
Analisis integrasi pasar penting untuk dilakukan karena beberapa alasan
(Goletti dan Tsigas, 1996) di dalam Anindita (2004) antara lain :
(1) Mengidentifikasi kelompok-kelompok pasar yang terintegrasikan secara dekat
dan mengetahui tingkat harga antar lokasi yang berbeda dalam suatu Negara,
pemerintah dapat memperbaiki rencana kebijakan dari liberalisasi pasar.
(2) Pengetahuan tentang integrasi pasar mempermudah pengawasan terhadap
perubahan harga, untuk mengatur kebijakan stabilitas harga.
(3) Model integrasi pasar dapat digunakan untuk memprediksi harga-harga di
semua wilayah, misalnya mengetahui hubungan harga-harga diantara pasar
61
yang berbeda akan memfasilitasi perkiraan harga di tempat yang lain.
(4) Mengidentifikasi faktor-faktor struktural yang bertanggung jawab terhadap
integrasi pasar, sehingga para pembuat kebijakan dapat memahami jenis infra
struktur pemasaran mana yang lebih relevan untuk pengembangan pasar
pertanian di suatu negara.
2.2.6.2. Efisiensi Pemasaran
Pasar akan memperlihatkan fungsinya secara efisien jika memanfaatkan
semua informasi yang tersedia. Jika pasar menggunakan harga yang lalu (past
prices) secara tepat dalam penentuan harga pada saat ini (current price
determination), maka sistem pemasaran yang berlaku dapat dikategorikan efisien
(Leuthold dan Hartmann, 1979). Dalam sistem tersebut, informasi harga dan
kemungkinan substitusi produk antar pasar selalu berpengaruh terhadap perilaku
penjual dan pembeli. Transmisi dan pemanfaatan informasi diantara berbagai
pasar dapat mengakibatkan harga dari komoditas tertentu bergerak secara
bersamaan di berbagai pasar tersebut. Kondisi ini menunjukkan keberadaan
integrasi pasar yang merupakan salah satu indikator penting efisiensi sistem
pemasaran (Heytens, 1986). Pengukuran integrasi pasar kentang dapat
memberikan informasi penting menyangkut cara kerja pasar guna memperbaiki
kebijakan liberalisasi pasar, memantau pergerakan harga, melakukan peramalan
harga dan memperbaiki kebijakan investasi infrastruktur pemasaran kentang
(Goletti and Christina-Tsigas, 1995). Uraian studi diatas, diarahkan guna
mengkaji integrasi pasar kentang di beberapa kota besar pusat konsumsi
(Bandung, Jakarta, Medan dan Singapura).
Problematika utama pemasaran komoditas pertanian adalah upaya apa
yang seharusnya dilakukan agar jasa lembaga pemasaran memuaskan petani
produsen dan konsumen produk pertanian, artinya bahwa dalam pengaliran
62
produk pertanian dari petani produsen sampai di konsumen secara efisien
(Purcell, 1979). Kohl dan Url (1980) mendefinisikan efisiensi pemasaran sebagai
peningkatan ratio output dan input yang dapat dicapai dengan cara: 1) output
tetap/konstan sedangkan input berkurang; 2) output meningkat dan input tetap;
3) output meningkat dengan persentase yang lebih besar dibandingkan dengan
persentase kenaikan input dan 4) output berkurang dengan persentase yang
lebih rendah dari persentase penurunan input.
Tingkat keefisienan antar pasar di berbagai tempat yang berjauhan punya
implikas penting dalam liberalisasi pasar dan perumusan kebijakan. Mengingat
pentingnya masalah integrasi pasar, maka sejumlah uji empiris terhadap dalil
harga tunggal dan ukuran kesatuan serta keefisienan pasar telah banyak
dilakukan (Fackler dan Goodwin, 2001). Dalil ini menyatakan bahwa pada
keadaan pasar bersaing, semua harga-harga dalam suatu pasar akan seragam
setelah biaya tambahan kegunaan terhadap tempat, waktu dan bentuk dari suatu
barang di pasar yang bersangkutan disesuaikan (Kohls dan Uhl, 1998). Seiring
perkembangan teknologi pengolahan data dan tersedianya data deret waktu,
maka beberapa metode telah dikembangkan untuk penelitian efisiensi pasar ini.
Analisis efisiensi pasar dapat dilakukan dengan pengukuran:
1) efisiensi teknis/operasional, dalam hal ini mengukur produktifitas pelaksanaan
jasa pemasaran di dalam perusahaan,
2) efisiensi alokatif (efisiensi harga), dalam hal ini mengukur bagaimana harga
pasar mencerminkan biaya produksi dan biaya pemasaran secara memadai
pada sistem pemasaran secara keseluruhan. Efisiensi teknis dinyatakan
dalam ratio output pemasaran terhadap inputnya:
Output Pemasaran Efisiensi Operasional = . . ............. (1)
Input Pemasaran
63
Prinsipnya pengukuran efisiensi ini adalah kegiatan fisik, misalnya output per jam
kerja. Efisiensi alokatif diasumsikan bahwa output dan input berbentuk fisik yang
tetap, berhubungan dengan pencerminan biaya output yang bergerak melalui
sistem pemasaran. Harga yang dibayar konsumen terhadap barang yang dibeli
harus mencerminkan secara tepat semua biaya dan harga produk. Bila tidak
terjadi seperti ini, maka pasar tersebut berada dalam keadaan persaingan tidak
sempurna seperti monopoli / oligopoli maupun monopsoni / oligopsoni.
Soekartawi (1993) berpendapat bila keuntungan yang diperoleh sebagai akibat
pengaruh harga maka dapat dikatakan bahwa pengalokasian faktor produksi
memenuhi efisiensi harga.
Mubyarto (1991) mengemukakan suatu sistem pemasaran yang
dikatakan efisien bila memenuhi dua syarat : Pertama mampu menyampaikan
hasil-hasil dari produsen ke konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya
dan kedua mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga
yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang terlibat dalam produksi
dan pemasaran barang itu. Sedangkan Tomek dan Robinson (1977)
membedakan efisiensi pemasaran itu menjadi efisiensi operasional dan efisiensi
alokatif atau efisiensi harga. Efisiensi operasional atau efisiensi teknis
penekanannya pada kemampuan meminimumkan biaya-biaya dalam melakukan
fungsi pemasaran. Efisiensi harga atau efisiensi ekonomis penekanan pada
keterkaitan kemampuan harga dalam mengalokasikan komoditas dari produsen
ke konsumen. Indikator dalam mencermati efisiensi operasional adalah margin
pemasaran, yakni perbedaan harga yang dibayar oleh konsumen akhir dengan
harga yang diterima pada tingkat petani. Margin pemasaran ini terdiri dari biaya
pemasaran (marketing cost) dan keuntungan pemasaran (marketing profit).
Semakin besar biaya pemasaran dan atau semakin besar keuntungan
64
pemasaran suatu komoditas, maka margin pemasaran semakin besar yang
menyebabkan sistem pemasaran menjadi tidak efisien.
Efisiensi harga ditunjukkan oleh korelasi antara harga di tingkat
konsumen dengan harga di tingkat produsen. Azzano (1982) mengemukakan
bahwa untuk melihat efisiensi harga digunakan analisis integrasi pasar secara
vertikal. Dua pasar dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga dari salah
satu pasar disalurkan/diteruskan ke pasar lainnya. Berkaitan dengan efisiensi
operasional maupun efisiensi harga, maka suatu sistem pemasaran dikatakan
efisien apabila untuk suatu komoditas yang mengalir melalui berbagai lembaga
pemasaran dari produsen ke konsumen diperlukan margin pemasaran yang
rendah dan tingkat korelasi yang tinggi. Tapi, hal ini bukan suatu patokan harga
mati yang tidak dapat diganggu gugat, sebab bisa terjadi pada kasus tertentu
bahwa margin pemasaran tinggi dan korelasi harga juga tinggi. Sebab itu margin
pemasaran dan korelasi harga sebagai indikator efisiensi pemasaran tidak lagi
saling melengkapi sehingga diperlukan indikator lain.
Saefuddin (1982) menyatakan dua konsep yang dapat digunakan dalam
mengukur efisiensi pemasaran yakni konsep input output ratio dan konsep S-P-C
(Structure, Performance dan Conduct) atau struktur, tampilan dan perilaku. Input
adalah berbagai ramuan dari tenaga kerja, dan manajemen yang digunakan
lembaga-lembaga pemasaran pada proses pemasaran. Output adalah kepuasan
konsumen terhadap barang dan jasa yang dihasilkan lembaga tersebut.
Peningkatan efisiensi terjadi bila suatu perubahan menyebabkan biaya
input untuk menghasilkan suatu barang dan atau jasa meningkat dengan tidak
mengurangi kepuasan konsumen. Bila terjadi perubahan yang menyebabkan
adanya penurunan biaya input tetapi tidak mempertahankan atau tidak diikuti
adanya peningkatan kepuasan konsumen maka dikatakan terjadi penurunan
65
efisiensi. Penggunaan konsep efisiensi seperti ini sangat sulit karena adanya
kesulitan dalam mengukur tingkat kepuasan (Atmakusuma, 1984).
Kelemahan adanya penambahan biaya pemasaran yaitu seringkali
diperlukan penambahan jasa kepada konsumen, tetapi penambahan jasa tidak
selalu dicerminkan dalam pertambahan nilai produk yang dipasarkan. Sebaliknya
menurunnya nilai produk mungkin disebabkan oleh penurunan harga di tingkat
konsumen, sehingga standar dalam pendekatan ini tidak ada. Karena itu
pendekatan yang lebih tepat, dan lebih banyak digunakan dalam mengukur
efisiensi pemasaran di negara-negara maju terutama Amerika Serikat, dan kini
mulai digunakan oleh negara-negara yang sedang berkembang adalah dengan
analisis struktur pasar (market structure), perilaku pasar (market conduct) dan
tampilan pasar (market performance) Alhusniduki, dkk (1991) .
Berkaitan dengan integrasi dan efisiensi, diperlukan konsep
keseimbangan antar pasar. Konsep ini ditunjukkan dari hubungan harga antar
pasar. Model ini dijelaskan dengan mengembangkan kurva excess supply dan
excess demand pada dua daerah yang melakukan perdagangan, dan
memungkinkan untuk melakukan pendugaan harga yang terbentuk pada masing-
masing pasar, dan jumlah komoditi yang akan diperdagangkan. Perbedaan
harga yang sama di berbagai pasar merupakan hasil dari keseimbangan jumlah
permintaan dan penawaran dari produk tersebut. Produk akan mengalir dari
pasar yang mempunyai harga rendah ke pasar yang memperoleh harga yang
lebih tinggi (Tomek dan Robinson, 1990).
Analisis keseimbangan harga di beberapa pasar dikategorikan menjadi
dua yaitu pasar yang memiliki potensi surplus dan pasar yang berpotensi defisit.
Pasar potensial surplus adalah pasar yang memiliki kelebihan cadangan
terhadap konsumsi, sedangkan pasar potensial defisit adalah pasar yang
memiliki kekurangan cadangan terhadap konsumsi. Prinsip umum untuk
66
mengembangkan model perdagangan antar daerah digambarkan dengan
bantuan diagram yang menunjukkan fungsi supply dan demand pada masing-
masing pasar, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10. Model keseimbangan dua wilayah/pasar
Gambar 2.10. menunjukkan bahwa pasar A berpotensi surplus dan pasar
B berpotensi defisit. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa pasar A tidak ada
perdagangan maka harga yang terbentuk adalah P1 di pasar A dan P2 di pasar B
dimana P1<P2. Kelebihan cadangan konsumsi di pasar A akan mendorong
pelaku di pasar B mendatangkan komoditi dari pasar lain guna memenuhi
permintaan pasar B. Model keseimbangan ini memungkinkan untuk melakukan
pendugaan harga yang terbentuk pada masing-masing pasar dan jumlah
komoditi yang diperdagangkan. Kelebihan penawaran (Excess supply) adalah
selisih antara jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu
tingkat harga pada waktu tertentu, akan meningkat dengan semakin tingginya
harga dan akan bernilai nol pada saat terjadi keseimbangan pasar A (P1).
Kelebihan permintaan (Excess demand) adalah selisih antara jumlah yang
diminta dengan jumlah yang ditawarkan pada suatu tingkat harga dan waktu
tertentu, akan meningkat dengan semakin rendahnya harga dan waktu tertentu,
67
dan akan bernilai nol pada saat terjadi keseimbangan pasar B (P2).Kurva yang
terbentuk berlaku jika memenuhi beberapa asumsi, antara lain :
(1) Asumsi pertama tidak ada hambatan perdagangan. Pada dasarnya integrasi
yang sempurna ditandai dengan terciptanya law of one price (LOP) sangat
memungkinkan tidak terjadi, hal ini dapat dijelaskan berdasarkan alasan
bahwa dikawasan tersebut tidak terbuka untuk dimasuki oleh pelaku pasar
lainnya. Halangan bagi terjadinya keterpaduan karena adanya hambatan
dalam perdagangan, informasi yang tidak sempurna dan adanya pengalihan
resiko, serta dapat terjadi karena adanya kompetisi yang tidak sempurna.
Beberapa alasan suatu kawasan tidak terbuka untuk dimasuki pelaku pasar
dari kawasan lain, salah satunya ialah adanya pembatas atau hambatan
perdagangan sehingga pelaku pasar tidak dapat keluar masuk pasar dengan
bebas. Hambatan perdagangan yang umum diterapkan adalah hambatan
tarif dan non tarif. Hambatan tarif adalah dalam bentuk pajak, sedangkan
hambatan non tarif misalnya dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang harus
dipenuhi pelaku pasar. Hambatan yang diterapkan itu akan meningkatkan
biaya transfer sehingga perdagangan akan terus berlangsung sampai biaya
transfer sama dengan selisih harga atau bahkan melebihi. Jika hal ini terjadi
maka pelaku pasar tidak akan memperoleh keuntungan dalam perdagangan
antar pasar. Akibatnya transfer kelebihan permintaan maupun kelebihan
penawaran tidak akan terjadi dan harga akan bergerak secara individual
pada masing-masing pasar.
(2) Asumsi kedua adalah tidak terdapat biaya transaksi di masing-masing pasar.
Informasi dapat diakses oleh seluruh pelaku pasar dengan baik sehingga
dapat digunakan seluruhnya untuk memprediksi harga dimasa depan.
Perubahan harga di salah satu pasar (Pasar A dan Pasar B) akan
ditransmisikan dengan sempurna dalam waktu yang singkat. Gambar 2
68
memperlihatkan adanya informasi harga yang bisa diakses seluruh pihak
yang dapat dijelaskan dengan melihat seberapa besar persentase perubahan
harga di pasar A menyebabkan persentase perubahan pada pasar B dan
sebaliknya. Perbaikan arus informasi menyebabkan perubahan harga pada
satu pasar akan langsung ditransmisikan dengan sempurna. Besarnya nilai
- P1) (P2 - . Dengan kata lain ialah persentase perubahan
harga di pasar A akan sama dengan persentase perubahan harga di pasar B.
Prinsip perbedaan harga antar wilayah akan mengarah ke harga yang
sama, dimana perbedaan yang terjadi disebabkan adanya biaya transportasi.
Kondisi ini terjadi bila tidak ada hambatan keluar terhadap pergerakan produk
dari kedua wilayah tersebut. Secara umum, dalam pasar kompetitif dengan
komoditi yang sama, maka prinsip perbedaan harga di dua wilayah tidak akan
melebihi biaya transfer (Anindita, 2004). Tomek dan Robinson (1990)
menyatakan bahwa, prinsip perbedaan harga akan mengikuti dua aturan, yaitu :
Pertama, perbedaan harga antara dua wilayah (pasar) yang saling melakukan
perdagangan akan sama dengan biaya transfer.Kedua,perbedaan harga antara
dua wilayah (pasar) yang tidak melakukan perdagangan akan lebih kecil atau
sama dengan biaya transfer.
Biaya transfer ialah biaya yang dibutuhkan untuk memindahkan barang
dari dua daerah atau lebih, biaya transfer ini meliputi biaya terminal dan biaya
transportasi. Biaya terminal merupakan biaya yang dibutuhkan sampai suatu
komoditi siap di angkut, meliputi biaya bongkar muat, biaya retribusi dan biaya
tambahan lainnya. Biaya transportasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk
memindahkan barang antar dua tempat atau kegiatan tambahan (Samuelson,
1952). Biaya transportasi ini merupakan fungsi jarak, dimana semakin jauh
jaraknya, semakin tinggi pula biaya transportasinya. Olehnya, keseimbangan
antar daerah harus mempertimbangkan biaya transfer (t). Sebab itu biaya
69
transfer (t) diperhitungkan dengan melakukan penjumlahan vertikal pada sumbu
harga di daerah surplus. Hal itu dapat dilihat pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11. Pertukaran antara dua daerah akibat perbedaan permintaan dan
penawaran dengan mempertimbangkan biaya transportasi. Komoditi mengalir dari daerah surplus Y ke daerah defisit X.
Pada harga sebesar c per unit, maka di daerah surplus Y terdapat
kelebihan penawaran (excess supply) sebesar f-g. Kelebihan penawaran ini
dipindahkan untuk memenuhi kelebihan permintaan (excess demand) di daerah
defisit X. Jumlah barang yang dipindahkan dari daerah surplus Y harus sama
dengan jumlah barang yang diterima di daerah defisit X atau f g = d e.
Dengan demikian keseimbangan kombinasi pasar terjadi di titik E, artinya apabila
pasar X dan pasar Y merupakan satu kesatuan, maka pada harga sebesar c per
unit jumlah barang yang diminta sama dengan jumlah barang yang ditawarkan
yaitu sebesar Q* unit.
Aliran komoditi pertanian dari daerah surplus Y ke daerah defisit X akan
terhenti pada saat harga di daerah surplus ditambah biaya transfer sama dengan
harga di daerah defisit (b + t = a) atau (t = a b). Hal tersebut disebabkan :
1. Biaya transfer lebih kecil dari selisih harga di daerah defisit dan harga di
daerah surplus t < (a b).
70
Pada kondisi ini lembaga pemasaran akan menikmati keuntungan apabila
mereka menyampaikan barang dari daerah Y ke daerah X sebab selisih
antar dua daerah lebih besar dari biaya transfer yang dibutuhkan untuk
menyampaikan barang dari daerah Y ke daerah X. Banyak lembaga
pemasaran yang ingin memindahkan komoditi perikanan dari daerah Y ke
daerah X dan proses perpindahan ini berlangsung terus sehingga selisih
harga di daerah defisit dengan harga di daerah surplus semakin kecil.
2. Biaya transfer lebih kecil dari selisih harga di daerah defisit dan harga di
daerah surplus t < (a b). Pada kondisi ini lembaga pemasaran akan
mengalami kerugian, karena biaya yang dibutuhkan untuk memindahkan
komoditi dari daerah surplus Y ke daerah defisit X lebih besar dariselisih
harga di daerah defisit dan daerah surplus. Bila lembaga pemasaran tetap
melakukan aktifitas memindahkan komoditi perikanan dari daerah surplus Y
ke daerah defisit X maka akan mengalami kerugian, pada saat demikian
banyak lembaga pemasaran akan menghentikan kegiatannya.
3. Biaya transfer sama dengan selisih harga di daerah defisit dengan daerah
surplus atau t = a b. Pada kondisi demikian lembaga pemasaran yang
memindahkan komoditi perikanan dari daerah surplus ke daerah defisit akan
mencapai titik impas, artinya selisih harga di daerah defisit dengan daerah
surplus sama dengan biaya yang dibutuhkan untuk memindahkan komoditi
perikanan dari daerah surplus Y ke daerah defisit X. Untuk menjelaskan
harga keseimbangan, konsumsi, jumlah daerah defisit dan daerah surplus
dapat dilihat pada Gambar 2.12.
71
Gambar 2.12. Penentuan harga keseimbangan, jumlah komoditi daerah surplus
dan defisit.
Gambar 2.12 menjelaskan bahwa dalam waktu yang relative pendek,
kurva penawaran di daerah surplus Y dan daerah defisit X masing-masing
ditunjukkan oleh kurva penawaran Sx dan Sy. Kurva penawarannya bersifat
inelastis sempurna, karena dalam jangka waktu yang relative pendek produsen
tidak dapat mengubah penggunaan faktor produksi untuk merespon perubahan
harga. Sedangkan permintaan di daerah Y dan daerah X masing-masing
ditunjukkan dengan kurva permintaan Dy dan Dx. Asumsinya tidak terdapat
perdagangan antar daerah, maka harga dan jumlah keseimbangan di daerah Y
masing-
daerah X masing-
2.2.7. Agroindustri Peternakan Sapi
Manusia sejak zaman dulu telah akrap dengan hewan baik sebagai
hiburan, kesayangan, penjaga rumah, pemburu, untuk upacara ritual/adat
maupun untuk tujuan ekonomi. Hewan yang di pelihara untuk tujuan ekonomi di
sebut ternak. Usaha pembudidayaan ternak di kenal dengan usaha peternakan.
Agrobisnis peternakan sapi yaitu suatu kegiatan bisnis yang mendayaupayakan
72
ternak sebagai mesin biologis guna menghasilkan suatu jenis produk/komoditi
ekonomi pemuas kebutuhan manusia berupa ternak, tambahan berat badan,
daging, susu, dan lainnya.
Agroindustri peternakan adalah industri dengan bahan baku komoditas
pertanian dan hasil ikutannya untuk menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi
dengan menggunakan ternak sebagai fabrik biologinya. Rahardi (2003),
berpendapat bahwa agroindustri adalah industri dengan bahan baku komoditas
pertanian, atau industri yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan
sektor pertanian dalam arti luas
Soedjana T. D (2009), menyatakan bahwa, populasi sapi potong pada
periode 2001 2005 memiliki tingkat pertumbuhan negative (- 0,9 %), jumlah
populasi 11,137 juta (tahun 2001) dan 10,679 juta (tahun 2005), tahun 2006
jumlah populasi 10.875 juta dan meningkat pada tahun 2008 sebesar 11,869
juta. Pada kurun waktu 2006 2008 terjadi tingkat pertumbuhan sebesar 4,5 %.
Pada periode 2007 2008, terjadi peningkatan produksi daging (3,8%) dengan
jumlah produksi pada tahun 2007 sebesar 339.480 ton (berasal dari sapi lokal
263.458 ton dan sapi import 76.022 ton), pada tahun 2008 sebesar 352.413 ton
(berasal dari sapi lokal 251.941 ton dan sapi import 100.472 ton). Periode ini ada
peningkatan import daging sapi sebesar 9,42 % yaitu: 64.010 ton (tahun 2007).
Kegiatan produksi ternak di Negara maju, hampir semuanya dilakukan
secara professional serta perhitungan komersial, padat modal, padat teknologi.
Usaha ini di sebut industri peternakan sebab ternak telah dibudidayakan sebagai
ternak industry (Sukarya, 1991). Industry peternakan (rakyat) berguna untuk
meningkatkan produktifitas dan menaikkan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaannya perlu ditangani lebih professional, bukan hanya terbatas pada
memilih bibit, memberi pakan, pengendalian penyakit, tapi mencakup seluruh
73
aspek manajemen, termasuk sistem informasi pasar bagi manajemen
pemasarannya.
Anton (2007)
Indonesia punya prospek yang sangat besar karena permintaan terhadap produk
daging, susu maupun kulit terus meningkat seirama dengan pertambahan
penduduk dan perkembangan perekonomian nasional. Sejalan dengan kondisi
perekonomian nasional yang makin membaik, prospek bisnis peternakan juga
menjanjikan namun penuh dengan tantangan, sebab sering mengalami masalah
yang menghambat pengembangannya baik secara makro maupun mikro.
Industri peternakan berfungsi merubah input ke output bernilai tinggi,
makin besar produksi, makin besar keuntungan. Nampaknya hal ini tidak cukup
kuat menciptakan usaha bisnis berkelanjutan. Widyahartono (1985) menuliskan,
sikap ingin tahu dan pantang menyerah manajer Jepang menyebabkan
perusahan besar yang top beralih dari orientasi produksi ke orientasi pemasaran.
Teknik bisnis Amerika seperti volume tinggi, marjin rendah, perputaran serba
cepat, lini barang yang luas, taktik promosi yang agresif, digunakan di toko toko
Jepang.
2.2.8. Pemasaran Dalam Agroindustri Peternakan Sapi
Winarso, dkk (2005) menuliskan tentang tinjauan ekonomi ternak sapi
potong di Jawa Timur bahwa kegiatan perdagangan ternak sapi potong selain
dilakukan antar kabupaten dalam propinsi sebagai sentra sentra ternak, juga
antar wilayah provinsi maupun antar pulau. Pola pemasaran demikian dengan
sendirinya terbentuk beberapa jalur rantai pemasaran ternak sapi potong keluar
wilayah Provinsi Jawa Timur. Aspek geografis, aktivitas pemasaran sapi potong
di Jawa Timur di kategorikan jadi tiga wilayah yaitu: aktivitas pemasaran lokal,
aktivitas pemasaran regional dan aktivitas pemasaran internasional.
74
Kohland Uhl (1986) menuliskan bahwa,
organization trends in the food industry are: (1) specialization and diversification,
(2) decentralization, . Tiga hal penting yang cenderung
mempengaruhi organisasi pasar pada industry makanan yaitu: (1) spesialisasi
Each level of the market
. Tiap tingkatan pasar menyumbangkan
manfaatnya pada produk akhir.
Produk agroindustri peternakan sapi berupa ternak sapi, rentan pada
perubahan cuaca, perubahan pola pemberian pakan dan pola transportasi sebab
itu butuh penanganan serius dalam pemasarannya karena bisa menimbulkan
stress dan penurunan berat badan. Berdasarkan alasan tadi, hasil agroindustri
peternakan sapi butuh proses pemasaran yang cepat, baik, dan efisien.
Pemasaran hasil agroindustri peternakan sapi potong terdiri dari lembaga
lembaga pemasaran yang menyalurkan suatu produk hingga ke konsumen
akhir. Rantai distribusi adalah jalur atau sistem pemasaran, dari produsen
melalui pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul tingkat kota,
pedagang antar kota hingga ke pengecer (Rahardi, 2003).
Model pemasaran menggambarkan suatu kegiatan atau pola kegiatan
mendistribusikan suatu produk berupa barang, jasa, bahan makanan, ternak atau
daging hasil ternak kepada konsumen. Guna meningkatkan keberkelanjutan
pemasaran, maka dibutuhkan strategi distribusi pemasaran yang mempercepat
tibanya produk (misalnya: ternak sapi) ke konsumen, disinilah fungsi pemasaran
itu berlangsung. Penulis setuju dengan pendapat Kodrat (2009), bahwa distribusi
merupakan ujung tombak pemasaran.
75
BAB III. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Ternak sapi potong di Sulawesi Utara merupakan salah satu komoditi
ekonomi yang berperan penting sebagai penyedia lapangan kerja, penyerap
tenaga kerja keluarga, tenaga kerja ternak, alat transportasi, tabungan, hobi,
penentu status sosial, dan sebagai ternak potong. Ternak sapi mampu merubah
input yang kurang bernilai ekonomi berupa hijauan pakan ternak atau hasil ikutan
pertanian menjadi produk bernilai tambah sebab itu ternak sapi bernilai ekonomi.
Ternak sapi bernilai ekonomi sebab dapat meningkatkan pendapatan rakyat dan
berkedudukan penting dalam pemasaran hasil ternak. Model pemasaran yang
hanya berorientasi produk akan membentuk pola integrasi pemasaran vertikal
maupun horisontal yang rapuh akibatnya, peternak sapi dapat merugi bila terus
berlanjut dan dapat mengakibatkan kebangkrutan / exit.
Kodrat (2009) memaparkan bahwa produk produk yang suksespun
biasanya dipengaruhi kemampuan pemasar menerapkan strategi distribusinya.
Pelayanan yang baik yaitu kecepatan penyediaan produk sesuai kebutuhan
pelanggan, dalam jumlah yang dibutuhkan tanpa ada kesalahan. Kecepatan
penyediaan ini menjadi keunggulan bersaing suatu perusahan. Rangkuti (2004)
menuliskan bahwa pendekatan saluran penawaran (supply chain) secara terpadu
harus bisa menggantikan pola pikir konvensional dan fungsional. Perusahan
harus berfikir fleksibel dalam membuat desain secara terintegrasi sesuai
keinginan pelanggan sampai pengiriman yang sangat cepat, hal ini jadi
kebutuhan mutlak untuk bersaing. Penerapan supply chain management
berpengaruh sangat besar pada: a) Volume penjualan, b) proses internal
meningkat setelah supply chain dilakukan.
76
Permasalahan yang sangat vital dalam kegiatan ekonomi peternakan sapi
potong yaitu, pola berpikir konvensional dengan usaha peternakan sapi yang
belum terintegrasi secara baik dengan pusat pasar sebab itu masih ada petani
peternak sapi yang terbelit lingkaran setan kemiskinan. Petani peternak menjual
ternak sapi bunting atau ternak produktif mungkin karena tekanan ekonomi serta
butuh biaya studi anak, dan lainnya. Saat butuh biaya studi anak atau keperluan
rumah tangganya yang sangat mendesak, biasanya orang mudah menjual
; sebab itu dibutuhkan
model pemasaran yang dapat meringankan tekanan ekonomi. Model pemasaran
tersebut sebaiknya memiliki pusat layanan pemasaran yaitu: peternak sapi
potong pemilik TPH/pengguna RPH selaku konsumen akhir ternak sapi/pemasar
selaku konsumen bisnis yang terintegrasi VMS dengan permintaan pasar/
pelanggan dan produsen guna menaikan efisiensi pemasaran.
Proses pemasaran ternak sapi dari petani pemilik sapi (pembudidaya) ke
konsumen akhir seringkali melibatkan beberapa lembaga pemasaran yang terdiri
dari petani pemilik ternak sapi, kolompok tani ternak sapi, pedagang perantara
pemasaran, dan konsumen akhir ternak sapi hidup. Proses pemasaran ternak
sapi dari produsen ke konsumen akhir ternak sapi dengan mekanisme baru
(terintegrasi), butuh penanganan yang tepat agar mencapai tingkat efisiensi
pemasaran. Struktur pemasaran secara langsung mempengaruhi perilaku
pemasaran karenanya pada integrasi pemasaran, pelaku pemasaran akan
menyesuaikan jumlah pembelian dan penjualannya guna meningkatkan efisiensi.
Inti konsep integrasi pemasaran ini terletak pada kekuatan supply and demand.
Guna mengetahui model pemasaran ternak sapi yang efisien di Sulawesi
utara, dimana telah melibatkan lembaga pemasaran yang telah melakukan
fungsi fungsi pemasaran (fungsi pertukaran, fungsi fisik, fungsi fasilitas), maka
dilakukan telaah terhadap keragaan pasar dengan melakukan analisis marjin
77
pemasaran, analisis struktur pasar (dengan melihat informasi harga ternak sapi,
keadaan produk, kondisi keluar masuk pasar ternak sapi, jumlah penjual dan
jumlah pembeli ternak sapi), menganalisis perilaku pasar (mekanisme penentuan
harga, sistem pembayaran, dan kerjasama antar lembaga pemasaran).
Informasi mengenai efisiensi pemasaran ternak sapi di Sulawesi Utara,
diharapkan dapat diperoleh dari hasil telaahan lewat analisis keragaan pasar
(analisis marjin pemasaran), struktur pasar, perilaku pasar dan B/C rasio.
Efisiensi pemasaran merupakan pokok permasalahan yang mencerminkan
keberlanjutan usaha. Sebab itu, tujuan utama dari penelitian ini adalah melihat
efisiensi pemasaran ternak sapi di Sulawesi Utara.
Masyarakat Sulawesi Utara punya modal sosial gotong royong berupa
mapalus / tolong menolong, sebaiknya dijadikan suatu bentuk kegiatan ekonomi
kelompok terorganisir dan melembaga berupa kelompok tani ternak sapi potong.
Modal sosial tadi bila menjadi bagian model pemasaran sapi, maka akan
terbentuk model pemasaran sapi potong yang pola penawaran permintaannya
terintegrasi / VMS dan memperpendek rantai pemasaran serta menaikan
efisiensi pemasaran. Makin panjang rantai distribusi pemasaran, makin besar
marjin pemasaran, makin kecil insentif yang diterima produsen sebab itu model
pemasarannya makin tidak efisien. Petani peternak sapi pada saat paceklik,
dapat meminjam uang pada kelompok peternak sapi dimana ia jadi anggota.
Kelompok akan melihat harga jual yang lebih menguntungkan untuk menjual
ternak sapi milik kelompok/anggota. Organisasi ini diharapkan dapat memberi
kekuatan posisi tawar bagi petani pemilik ternak sapi selaku penyedia input sapi
bagi konsumen ternak sapi potong dalam pemasaran dan dapat membantu
anggota kelompok keluar dari lingkaran setan kemiskinan.
Secara rasio, struktur pasar akan mempengaruhi perilaku pasar. Struktur
pasar bersama sama dengan perilaku pasar dan tingkat harga komoditi ekonomi
78
(dalam penelitian ini adalah ternak sapi potong) serta besarnya insentif
pemasaran yang diperoleh dari suatu kegiatan pemasaran akan berdampak
pada penampilan pasar yang nantinya ikut mempengaruhi tingkat efisiensi
pemasaran. Efisiensi pemasaran dapat dinaikan bila rantai pemasaran
diperpendek dan adanya teknologi integrasi pemasaran. Model pemasaran
dikatakan baik jika memberikan manfaat yang sama bagi tiap pelaku pemasaran
dan efisien. Model konsep ini dapat dilukiskan seperti pada Gambar 3.1. berikut.
Produsen Konsumen (petani pemilik ternak, Perantara Pemasaran Akhir*) Kelompok petani Ternak, (kekuatan Ternak sapi peternak sapi) permintaan penawaran)
ELEMEN STRUKTUR PASAR - Jumlah Pembeli & Penjual Fungsi - Diferensiasi Produk Pemasaran - Hambatan Keluar masuk pasar
Harga di Tingkat Insentif Pemasaran/ Harga di Tingkat Peternak sapi Manfaat (Margin, Konsumen Akhir (individu, kelompok) Keuntungan) Ternak Sapi Struktur Pasar
Perilaku Pasar
Penampilan Pasar Efisiensi Pemasaran
Gambar 3.1. Kerangka Konseptual Penelitian Model Pemasaran
Keterangan: Aliran distribusi pemasaran/penawaran ternaksapi ke konsumen akhir
Aliran distribusi pemasaran/penawaran ternak lewat perantara pemasaran ternak sapi ke konsumen akhir selaku konsumen bisnis ternak sapi. Aliran informasi harga, uang dan permintaan akan ternak sapi
dan Pola integrasi pemasaran vertikal (VMS) *) Konsumen bisnis / konsumen akhir terhadap ternak sapi yaitu peternak
sapi potong/penjagal selaku pemilik tempat pemotongan hewan (TPH) maupun pengguna rumah potong hewan (RPH) milik pemerintah daerah. Kerangka konseptual pada Gambar 3.1, memperlihatkan bahwa, petani
peternak dan kelompok peternak sapi menjadi sumber input bagi konsumen
bisnis / konsumen akhir ternak sapi selaku pemilik TPH / pengguna RPH.
Peternak sapi potong selaku konsumen bisnis / konsumen akhir ternak sapi
79
dapat membentuk pola pemasaran dengan strategi pengendalian distribusi
pemasaran terintegrasi guna meningkatkan efisiensi. Strategi pengendalian
saluran distribusi memungkinkan peternak sapi potong / konsumen bisnis ternak
sapi mengintegrasikan kebutuhan ternak sapi untuk melayani pelanggannya saat
itu. Lembaga pemasaran (petani peternak, perantara pemasaran dan konsumen
akhir ternak sapi selaku konsumen bisnis) melalui konsep pada gambar 3.1,
diharapkan memperoleh distribusi insentif pemasaran (Marjin, keuntungan) yang
memadai. Model pemasaran terintegrasi (penawaran sesuai permintaan pasar)
sebagai modal terbentuknya model pemasaran yang efisien dan terlanjutkan.
Pola pikir ini sejalan dengan pandangan Kodrat (2009) bahwa pengelolaan
saluran distribusi dan jalur pemasaran sangat krusial sebab menentukan
bagaimana produk tersedia bagi para pelanggan sebagai pengguna, bila
dilakukan dengan baik maka jaminannya adalah produk tersedia dengan baik
pada pelanggan dan akan mendominasi pasar.
3.2. Hipotesis Penelitian
1. Diduga harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi berpengaruh
terhadap harga di tingkat produsen ternak sapi potong di Sulawesi utara.
Hipotesis 1 ini dijawab melalui model regresi yang menyatakan hubungan
elastisitas harga di tingkat peternak dan elastisitas harga di tingkat
konsumen akhir / pemasar / penjagal selaku konsumen bisnis ternak sapi.
2. Diduga terdapat integrasi antar pemasaran yang berpengaruh pada
efisiensi pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi Utara.
Hipotesis ini dijawab lewat model regresi panel guna menganalisis
hubungan harga di tingkat konsumen akhir / pemasar / penjagal selaku
konsumen bisnis ternak sapi dan harga di tingkat produsen yang
diintegrasikan ketiap lokasi pemasaran dan waktu.
80
3. Diduga model pemasaran ternak sapi berpengaruh pada efisiensi
pemasaran sapi potong di Sulawesi Utara.
Hipotesis ini dijawab lewat analisis marjin pemasaran, struktur pasar,
integrasi pemasaran (harga di tingkat konsumen akhir / pemasar /
penjagal selaku konsumen bisnis ternak sapi yang diintegrasikan ke
produsen), analisis indeks profitabilitas pemasaran ternak sapi.
3.3. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Berdasarkan latar belakang, permasalahan, kerangka konseptual dan
hipotesis maka variabel variabel yang digunakan definisinya sebagai berikut:
1. Konsentrasi Ratio (KR) adalah perbandingan antara jumlah komoditi
ekonomi (ternak sapi potong) yang dibeli dibanding dengan jumlah komoditi
ekonomi (ternak sapi potong) yang dipasarkan kemudian dikali dengan 100
(%).
2. Jumlah komoditi ekonomi yang dibeli adalah jumlah ternak sapi potong yang
dibeli (ekor/tahun).
3. Jumlah komoditi ekonomi yang dipasarkan adalah jumlah ternak sapi potong
yang di distribusikan / jual ke pasar (ekor / tahun)
4. Harga ternak sapi potong di tingkat konsumen akhir / konsumen bisnis
ternak sapi adalah harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir / konsumen
bisnis ternak sapi (Rp/ekor)
5. Harga ternak sapi potong ditingkat produsen adalah harga ternak sapi
ditingkat produsen ternak sapi / petani peternak sapi (Rp / ekor)
6. Permintaan ternak sapi potong ialah jumlah permintaan ternak sapi di pasar
acuan / konsumen akhir selaku konsumen bisnis ternak sapi (ekor /minggu)
7. Penawaran ternak sapi potong ialah jumlah penawaran ternak sapi di pasar
acuan / konsumen akhir selaku konsumen bisnis ternak sapi (ekor / minggu)
81
8. Sapi potong (definisi konsep di lokasi penelitian) adalah ternak sapi yang
tidak produktif / afkir dengan alasan sudah tua, kurang baik sebagai tenaga
kerja tani, betina yang sudah lebih dari tiga kali beranak, ternak sapi yang
tubuhnya cacat, ternak sapi yang mengalami kecelakaan, ternak sapi
dengan tanda tanda lahiriah yang kurang baik dan usianya satu tahun atau
lebih.
9. Tanda lahiriah (pulis / ririmpuan / unyeng unyeng) pada ternak yang kurang
baik / tidak disenangi petani peternak sapi terutama yang terletak dibagian
atas pada kedua sela mata dari ternak sapi.
10. Marjin pemasaran adalah selisih antara harga di tingkat konsumen akhir
ternak sapi dengan harga di tingkat produsen ternak sapi (Rp/ekor)
11. Biaya lembaga pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga
pemasaran untuk memasarkan ternak sapi (Rp/ekor)
12. Keuntungan pemasaran adalah keuntungan yang diperoleh dari pemasaran
ternak sapi (selisih antara penerimaan dan pengeluaran) (Rp/ekor)
13. Harga jual pada lembaga pemasaran adalah harga jual ternak sapi yang
dilakukan oleh lembaga pemasaran ternak sapi (Rp/ekor)
14. Harga beli lembaga pemasaran adalah harga pembelian ternak sapi yang
dilakukan oleh lembaga pemasaran ternak sapi (Rp/ekor)
15. Biaya pemasaran adalah biaya biaya yang dikeluarkan lembaga pemasaran
dalam memasarkan ternak sapi (Rp/ekor)
16. Share harga yang diterima peternak adalah perbandingan antara harga di
tingkat peternak dibandingkan harga ditingkat konsumen ternak sapi (%).
17. Efisiensi adalah suatu ukuran keberhasilan yang dinilai dari segi besarnya
sumber / biaya untuk mencapai hasil dari kegiatan yang dijalankan dengan
biaya serendah rendahnya menghasilkan output yang sebesar besarnya.
82
Efisiensi pemasaran di ukur pula dengan satuan R/C ratio. Makin besar
R/C ratio, makin efisien (R/C ratio: perbandingan pendapatan dan biaya).
Selain definisi operasional tiap variabel, juga didefinisikan istilah penting
yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Pendapatan Petani Peternak sapi adalah jumlah pendapatan dalam usaha
taninya (rupiah pertahun) dan pendapatan usaha beternak sapi yang
diperoleh dari usaha menjual ternak / tenaga ternak sapi (Rp/Tahun).
2. Variabel Peternak sapi potong selaku konsumen akhir / konsumen bisnis
ternak sapi dan pemilik tempat pemotongan hewan (TPH) maupun pengguna
jasa RPH milik pemerintah adalah Pedagang Besar (PB) yang bertujuan
untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari konversi ternak sapi kedaging
hasil ternak sapi. Sumber input (ternak sapi) selain dari usaha sendiri /
beternak sapi potong (sebagai stocking
ternak sapi, petani peternak sapi dan kelompok peternak sapi maupun dari
pedagang / perantara pemasaran.
3. RPH adalah Rumah Potong Hewan milik Pemerintah daerah sebab itu,
pengoperasiannya berada dibawah bimbingan dan pengawasan Pemerintah.
4. TPH adalah Tempat Pemotongan Hewan ternak sapi milik perorangan /
swasta yang pengoperasiannya dilakukan sendiiri oleh pemilik TPH.
5. Biaya pemasaran pada Pedagang Besar / konsumen akhir selaku konsumen
bisnis (di Kota Tomohon ia juga Peternak sapi potong) ternak sapi hidup /
pemilik TPH atau pengguna RPH selaku pusat pasar ternak sapi, dihitung
berdasarkan jumlah ternak yang disiapkan perminggu dikali dengan biaya
pengadaan input (stocking) dan biaya penjualan (biaya konversi dan menjual
hasil ternak) (rupiah perminggu).
83
6. Pendapatan Pedagang Besar / konsumen bisnis selaku konsumen akhir
ternak sapi / pemilik TPH / pengguna RPH selaku pusat pasar, dihitung
berdasarkan jumlah penjualan hasil konversi ternak sapi (rupiah / minggu).
7. Perantara pemasaran / Jobber / pedagang ternak sapi yaitu: pengguna
peluang usaha yang tidak dapat dijangkau produsen ternak sapi (petani
peternak) dan pusat pasar ternak sapi / konsumen akhir selaku konsumen
bisnis ternak sapi. Jobber membeli ternak sapi potong dari petani dan di jual
ke konsumen akhir untuk ternak potong atau membeli ternak sapi pertanian
untuk di jual pada petani lainnya yang membutuhkan sapi pertanian.
8. Sapi pertanian adalah sapi usia kerja dan tenaganya digunakan sebagai
tenaga kerja dibidang pertanian misalnya : menarik bajak untuk membajak di
areal untuk usaha tani jagung, sayur mayur maupun sawah; menarik sisi tani
pada sawah yang mau di tanamii padi maupun untuk mengangkut pupuk,
bibit kekebun dan mengangkut hasil usaha tani kerumah. Di bidang
perkebunan tenaga kerja ternak sapi digunakan untuk mengangkut buah
kelapa dari pohon ke tempat pengasapan kopra dan mengangkut kopra
kegudang kopra atau ke tempat pemasaran.
9. Makelar (agent middleman / broker) yaitu: perantara pemasaran yang tidak
memiliki / membeli ternak, tugasnya mencarikan pembeli, menegosiasikan
dan melakukan transaksi atas nama konsumen akhir / konsumen bisnis
ternak sapi hidup. Makelar tidak memiliki sendiri barang / ternak sapi yang
dinegosiasikan.
10. Keuntungan perantara pemasaran / Jobber / pedagang adalah keuntungan
yang dihitung berdasarkan jumlah pendapatan sebagai hasil penjualan ternak
sapi dikurangi biaya pembelian ternak sapi (rupiah perminggu).
11. Distribusi pemasaran adalah suatu pola penyaluran ternak sapi oleh lembaga
pemasaran (petani peternak / produsen ternak sapi, perantara pemasaran
84
dan konsumen akhir ternak sapi). Pola distribusi ini merupakan strategi untuk
menjaga keberlanjutan usaha pemasaran ternak sapi. Indikatornya:
a) dapatkah lembaga pemasaran melayani permintaan pasar sesuai jumlah
dan kualitas yang dibutuhkan konsumen ternak sapi.
b) adakah lembaga pemasaran mengadakan stocking ternak sapi
c) adakah lembaga pemasaran melakukan pemasaran terencana sesuai
permintaan dan kebutuhan fisik konsumen.
d) berapa kali lembaga pemasaran menjual ternak sapi dalam sebulan.
12. Stocking ternak sapi adalah pola penyediaan ternak sebagai input usaha
pemasaran ternak sapi untuk menjamin permintaan pelanggan ternak sapi.
13. Lembaga pemasaran adalah mata rantai distribusi ternak sapi yang terlibat
dalam pemasaran ternak sapipotong.
14. Definisi sapi masyarakat Sulawesi Utara adalah
ternak sapi afkir sebab :tidak baik untuk tenaga kerja tani, betina yang tidak
produktif, sapi yang mengalami kecelakaan, dan sapi yang memiliki tanda
bawaan (unyeng-unyeng / pulis / ririmpuan) yang kurang baik.
15. Konsumen akhir ternak sapi adalah Pedagang Besar termasuk peternak sapi
potong pemilik TPH / pengguna RPH selaku pusat pasar ternak sapi.
Tjiptono, F. (2008) menyebutnya konsumen bisnis.
16. Pengecer ternak sapi adalah konsumen akhir ternak sapi / konsumen bisnis.
17. Usaha Konvesi ternak sapi adalah usaha mentransfer ternak sapi ke bentuk
karkas / daging sapi
18. Struktur pasar adalah bentuk pasar berdasarkan atas karakteristik atau sifat
yang dimiliki lembaga pemasaran yang terlibat dalamnya. Jadi, suatu kondisi
yang menggambarkan keadaan penting suatu pasar. Indikatornya seperti :
i. jumlah penjual,
ii. homogenitas komoditi ekonomi yang diperjualbelikan,
85
iii. kebebasan keluar masuk pasar,
iv. ada tidaknya campur tangan pemerintah.
19. Integrasi pemasaran adalah suatu keterpaduan pasar ternak sapi yang
mempolakan keterkaitan / keterpaduan (integrasi) harga ternak sapi ditingkat
petani peternak sapi selaku produsen (supplyer) dan ditingkat konsumen
akhir / konsumen bisnis ternak sapi sebagai pemilik TPH atau pengguna RPH
ternak sapi (buyer / peminta). Indikatornya adalah:
a) ada tidaknya praktek-praktek penentuan harga,
b) ada tidaknya kerja sama antar petani peternak sapi selaku produsen
(supplyer) ternak sapi dan konsumen bisnis/konsumen akhir ternak sapi.
c) Ada tidaknya hubungan keterkaitan kerjasama antara penyedia input
(petani peternak / kelompok tani ternak sapi) selaku produsen (supplyer)
ternak sapi dan konsumen akhir ternak sapi / konsumen bisnis ternak sapi
sebagai pemilik TPH atau pengguna RPH.
d) Adakah ternak sapi yang ditawarkan petani peternak selaku produsen
(supplyer) ternak sapi ke konsumen akhir / konsumen bisnis berdasarkan
informasi dari konsumen bisnis / konsumen akhir ternak sapi.
20. Perilaku pasar adalah praktek praktek penentuan harga. Indikatornya :
a) ada tidaknya praktek penentuan harga;
b) ada tidaknya kerjasama antar lembaga pemasar ternak sapi.
21. Model pemasaran yang efisien yaitu model pemasaran yang memiliki biaya
terendah dengan hasil yang lebih baik.
22. Data panel yaitu gabungan antara data runtut waktu (time series) dan data
silang (cross section).
86
BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sulawesi Utara terhadap efisiensi pemasaran
dari model pemasaran ternak sapi dengan sasaran analisis efisiensi pemasaran
sapi potong di Sulawesi utara. Penelitian berlangsung 4 (empat) bulan, yaitu dari
18 Desember 2014 18 April 2015. Penentuan waktu penelitian ini guna menekan
bias akibat hari raya terutama hari raya keagamaan maupun pendaftaran anak
untuk melanjutkan studi yang ikut berpengaruh pada harga ternak sapi.
Pemilihan Provinsi Sulawesi Utara sebagai lokasi penelitian karena
memiliki potensi sebagai sentra pengembangan ternak sapi di kawasan timur
Indonesia yang dilatarbelakangi adanya budaya beternak sapi. Pengembangan
ternak sapi ini didukung tersedianya areal luas untuk penggembalaan, adanya
hijauan pakan ternak dan sisa hasil pertanian melimpah. Masyarakatnya
terutama hidup dari usaha tani dan memanfaatkan ternak sapi secara
komplementer (saling melengkapi / saling mendukung) dengan usaha taninya.
Daging ternak sapi bukanlah menu utama masyarakat Sulawesi Utara sebab itu
secara rasio, dapat menekan jumlah penyembelihan ternak sapi. Menu alternatif
untuk konsumsi masyarakatnya seperti hasil laut, hasil hutan (daging tikus hutan,
ayam hutan, ular piton, dan lainnya) dan hasil budidaya ternak seperti daging
babi maupun daging ayam kampung, dan sayur mayur.
Penentuan sampel lokasi penelitian secara purposive yaitu di kota
Manado dan kota Tomohon serta kabupaten Minahasa. Hal ini berdasarkan hasil
prasurvey bahwa pusat perdagangan ternak sapi potong di provinsi Sulawesi
Utara terdapat di tiga daerah tersebut. Alasannya yaitu :
1) Kota Manado memiliki RPH dan TPH serta konsumen akhir ternak sapi
selaku konsumen bisnis ternak sapi, hotel hotel, banyak rumah makan,
87
rumah sakit dan pasar tradisional yang menawarkan daging sapi tiap hari,
pusat perdagangan, pusat pendidikan tinggi dan ibu kota provinsi);
2) Kota Tomohon walaupun belum memiliki RPH, tapi memiliki TPH dan
konsumen akhir ternak sapi serta petani peternak sapi dan kelompok tani
ternak sapi, hotel dan rumah sakit, dan lembaga pendidikan tinggi, serta
pasar tradisional yang menawarkan daging sapi tiap hari. Masyarakat
Tomohon dan sekitarnya, hidup dari usaha tani (jagung dan / atau sayur
mayor) yang pengolahan tanahnya membutuhkan tenaga kerja ternak sapi
untuk menarik bajak di lahan tani. Petani menggunakan tenaga kerja ternak
sapi guna menarik bajak di lahan untuk usaha tani jagung atau sayur mayur.
Selain untuk mendukung usaha tani, ternak sapi juga digunakan sebagai
tabungan saat membutuhkan biaya yang cukup besar hingga harus menjual
ternak sapi untuk anak sekolah maupun untuk membangun atau
memperbaiki rumah tinggal.
3) Kabupaten Minahasa memiliki pusat pasar ternak sapi se provinsi
Sulawesi utara yang berada di kota kecil Kawangkoan selaku pusat
pemasaran ternak sapi, petani peternak sapi, dan pusat pedagang ternak
sapi. Kota Kawangkoan terdiri dari 3 kecamatan yaitu kecamatan
Kawangkoan, kecamatan Kawangkoan Timur dan Kecamatan Kawangkoan
Barat; secara administratif kota ini ada dibawah kabupaten Minahasa.
Masyarakat Kawangkoan dan sekitarnya, hidup dari usaha tani (jagung dan /
atau kacang tanah) yang pengolahan tanahnya membutuhkan tenaga kerja
ternak sapi untuk menarik bajak di lahan tani. Penggunaan ternak sapi
selain komplementer dengan usaha tani, juga untuk tabungan dan bisnis.
Sebagai tabungan artinya, saat membutuhkan biaya yang cukup besar
untuk anak sekolah maupun, membangun atau memperbaiki rumah tinggal,
maka harus menjual ternak sapi. Bisnis artinya, bila ada pembeli
88
menawarkan harga yang lebih tinggi, maka ternak sapi itu dijual; sebab itu
mereka sering mengunjungi pasar pada tiap hari pasar ternak sapi
(kamis). Petani peternak sapi dan pedagang di Kawangkoan dan sekitarnya
saling mengetahui harga pasar ternak sapi sebab mereka bebas masuk
keluar pasar tanpa ada pembagian lokasi pedagang ternak sapi.
4) Ternak sapi yang disenangi petani di Sulawesi utara termasuk di Kota
Manado, kota Tomohon, dan kabupaten Minahasa adalah sapi PO karena
mudah untuk di jual kembali. Permintaan akan ternak sapi potong di daerah
lainnya kurang berarti atau tidak ada karena menu utama untuk konsumsi
masyarakat Sulawesi utara bukan daging sapi..
Petani memelihara ternak sapi secara individu maupun dalam kelompok
tani. Populasi sapinya terlihat pada Tabel 4.1. berikut ini.
Tabel 4.1. Jumlah Ternak Sapi Potong Di Sulawesi Utara Tahun 2014 No Kabupaten/Kota Jumlah(Ekor) 1 Bolaang Mongondow 23.311 2 Minahasa 27.938 3 Kepulauan Sangihe 1.142 4 Kepulauan Talaud 1.315 5 Minahasa Selatan 10.186 6 Minahasa Utara 9.624 7 Kepulauan Sitaro 52 8 Minahasa Tenggara 3.474 9 Bolaang Mongondow Selatan 8.684
10 Bolaang Mongondow Timur 8.498 11 Manado 2.473 12 Bitung 1.358 13 Tomohon 1.709 14 Kotamobagu 1.276 15 Bolaang Mongondow Utara 7.295
Jumlah 108.335 Sumber : BPS Sulut 2015
Besarnya perhatian masyarakat Sulawesi Utara sebagai petani
peternak maupun sebagai pedagang dan lainnya, terlihat pada Tabel 4.2.
berikut ini.
89
Tabel 4.2, Jumlah Rumah Tangga, Pedagang (perantara pemasaran) ternak Sapi Potong Menurut Kabupaten / Kota Tahun 2011.
No Kabupaten / Kota
Jenis Unit Usaha Pemeliharaan Ternak Jumlah Rumah Tangga
Petani-peternak Peda-gang
Lain-nya*)
Jumlah (2+3+4)
0 1 2 3 4 5 01 Bolaang Mongondow 7.890 6 4 7.900 02 Minahasa 6.487 36 5 6.528 03 Minahasa Selatan 5.436 10 --- 5.446 04 Minahasa Utara 4.097 6 2 4.105 05 Minahasa Tenggara 1.579 5 --- 1.584 06 Bolaang Mongondow Utara 4.321 3 --- 4.324 07 Bolaang Mongondow Selatan 1.433 1 --- 1.434 08 Bolaang Mongondow Timur 1.124 --- --- 1.124 09 Kepulauan Sangihe 965 1 --- 966 10 Kepulauan Talaud 876 --- --- 876 11 Sitaro 28 --- --- 28 12 Kota Manado 647 7 --- 654 13 Kota Bitung 787 3 --- 790 14 Kota Tomohon 1.087 6 3 1.096 15 Kota Kotamobagu 626 14 --- 640
Sulawesi Utara 37.383 98 14 37.495 Sumber : Statistik Peternakan Tahun 2012. Dinas Pertanian dan Peternakan
Provinsi Sulawesi Utara.
*) Data ini, oleh BPS belum terdefinisikan apakah masuk kategori rumah tangga petani peternak atau pedagang ternak sapi, sebab berbentuk suatu organisasi yang punya satu kepemilikan ternak sapi seperti pesantren maupun kelompok tani peternak sapi.
Potensi Sulawesi Utara didukung tersedianya populasi ternak sapi
(Tabel 4.1) dan perhatian pada ternak sapi (Tabel 4.2) serta adanya pusat pasar
ternak sapi (disebut ini, terdapat di
kota Kawangkoan kabupaten Minahasa. Kota Kawangkoan ini terdiri atas tiga
kecamatan (Kecamatan Kawangkoan, Kecamatan Kawangkoan Timur dan
Kecamatan Kawangkoan Barat) yang secara aministratif, kota ini berada dalam
wilayah kekuasaan pemerintah Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi utara.
Kota Manado dan kota Tomohon juga memiliki ciri khas-nya sendiri yaitu:
Kota Manado memiliki RPH sedangkan kota Tomohon dan Kawangkoan tidak
memiliki RPH. Konsumen akhir selaku konsumen bisnis ternak sapi di Manado
dan kota Tomohon ada yang memiliki TPH sedangkan konsumen akhir ternak
90
sapi pengguna RPH hanya dijumpai di kota Manado. Konsumen akhir ternak sapi
di kota Manado dan kota Tomohon menjadikan pusat pasar blantek sapi di
Kawangkoan sebagai salah satu sumber input. Aktifitas perekonomian di pusat
kota sangat padat, karena itu banyak menyerap tenaga kerja dari dalam dan luar
kota yang dengan sendirinya meningkatkan permintaan akan hasil ternak sapi.
Pasar tradisional maupun pasar swalayan dikota Manado dan kota Tomohon
menyediakan tempat penjualan / outlet produk hasil ternak sapi. Ketersediaan
pasar ternak sapi ikut mendukung kelancaran kegiatan ekonomi termasuk usaha
beternak sapi. Populasi petani pemilik ternak sapi, kelompok tani ternak sapi,
menempati daerah perifer dalam wilayah kota Manado dan kota Tomohon serta
kota Kawangkoan. Usaha beternak sapi dilakukan secara komplementer dengan
usaha tani di daerah perifer (periphery).
Pusat pasar blantek sapi di Sulawesi Utara berada di kelurahan Uner II
kecamatan Kawangkoan Kabupaten Minahasa dan beroperasi pada hari kamis
tiap minggunya. Saat hari raya agama (hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal,
Tahun baru, Paskah, dan lainnya), maupun hari raya nasional seperti 17 Agustus
jatuh pada hari kamis, maka Dinas Pasar di Kecamatan akan mengumumkan
lewat alat pembesar suara tentang hari alternative yang dipilih agar hari pasar
Pasar blantek sapi ini diramaikan oleh konsumen akhir selaku konsumen bisnis
ternak sapi (pemilik TPH atau pengguna RPH) yang datang dari luar kota
Kawangkoan, petani peternak sapi dan perantara pemasaran sapi pada hari
kamis. dilengkapi dengan fasilitas pemerintah
berupa gedung Puskeswan yang dilengkapi adanya tempat AI, lapangan / lahan
terbuka dan gedung pasar sapi serta tempat menaikan dan menurunkan ternak
sapi dari dan ke truk pengangkut, petugas pasar dari dinas pasar dan petugas
Puskeswan dari Dinas Pertanian Peternakan kabupaten Minahasa. Pasar
91
blantek ini menjadi sumber input bagi pemerintah bila ada permintaan ternak sapi
dari luar daerah ke Pemda Minahasa. Wilayahnya dekat kaki gunung Soputan
yang ikut mendukung tersedianya air bagi usaha tani ternak dan hijauan pakan
ternak. Masyarakatnya terutama hidup dari usaha tani jagung, padi, kacang
tanah dan kacang merah (brenebon), sebab itu Kawangkoan disebut kota
kacang. Masyarakat Kawangkoan dan sekitarnya selain beternak sapi, juga
memelihara kuda pacu. Populasi ternak sapi terbanyak di Kabupaten Minahasa
berada di Kawangkoan dan tersebar diseluruh wilayahnya. Populasi ternak sapi
di Minahasa dapat diikuti pada Tabel 4.3. berikut ini.
Tabel 4.3. Jumlah Ternak Sapi Menurut Kecamatan Di Kabupaten Minahasa Tahun 2014
No Kecamatan Jantan (ekor) Betina (ekor) Jumlah (ekor) 01 Tondano Barat 217 366 583 02 Tondano Timur 245 411 656 03 Tondano Utara 218 728 947 04 Tondano Selatan 206 473 679 05 Eris 25 271 296 06 Lembean Timur 39 122 161 07 Kombi 26 111 137 08 Pineleng 208 1.118 1.326 09 Tombulu 62 378 440 10 Langowan Barat 372 1.552 1.924 11 Langowan Timur 52 152 204 12 Langowan Selatan 142 350 492 13 Langowan Utara 47 301 348 14 Kakas 853 2.224 3.077 15 Tompaso 991 3.464 4.455 16 Remboken 627 3.141 3.768 17 Kawangkoan 1.178 4.846 6.024 18 Tombariri 215 1.905 2.120 19 Sonder 57 244 301
Minahasa 6.481 21.457 27.938 Sumber : BPS Kabupaten Minahasa, 2015
4.2. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dapat didefinisikan sebagai kumpulan individu individu sejenis
(Biologi) atau masyarakat yang membentuk pola interaksi yang sama (sosiologi).
Populasi bila dikaji dari sudut pandang statistik dan metode penelitian, Sugiyono
(2007), opulasi adalah keseluruhan obyek yang dikaji dalam
92
penelitian. Berkaitan dengan analisis struktur pasar, pola integrasi pemasaran
dan efisiensi pemasaran sapi potong, maka populasi pada penelitian ini adalah
seluruh rumah tangga petani peternak sapi potong, pedagang perantara
pemasaran ternak sapi, konsumen bisnis selaku konsumen akhir ternak sapi
yang juga pemilik TPH atau pengguna RPH sapi sebagai pemasar ternak sapi di
Sulawesi Utara.
Pusat pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi Utara terdapat di
Kawangkoan selaku pusat pemasaran ternak sapi. Berdasarkan data pada
Tabel 4.2, tentang jumlah rumah tangga petani peternak sapi, diketahui bahwa
jumlah populasi penelitian adalah 37.383 rumah tangga peternak sapi. Berkaitan
dengan besarnya populasi dan ketidakterjangkauan peneliti menemui seluruh
populasi, maka penelitian ini menggunakan sampel yaitu sebagian dari populasi.
Pengambilan sampel yaitu secara purposive kepada keberadaan kepadatan /
jumlah pembeli (peminta) dan jumlah penjual (penawar) di pusat pasar ternak
sapi (guna mengetahui struktur pasar ternak sapi) di pasar ternak sapi,
petani pemilik ternak sapi, pedagang perantara pemasaran ternak sapi dan
konsumen bisnis selaku konsumen akhir ternak sapi di Sulawesi Utara.
Teknik pengambilan sampel responden ditentukan secara snowball.
Langkah awal adalah mendapatkan informasi tentang peternak sapi potong
pemilik TPH atau pengguna RPH sebagai konsumen bisnis / pemasar ternak
sapi yang juga selaku konsumen akhir ternak sapi melalui instansi / Dinas
terkait (Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi, Dinas Pertanian kota
Manado; Dinas Pertanian Peternakan dan Perkebunan kabupaten Minahasa
serta Dinas Pertanian, Peternakan, dan Perikanan kota Tomohon). Konsumen
akhir ternak sapi tadi selanjutnya menjadi basis untuk melacak dengan
Snowball informasi tentang informan informan yang menjadi perantara
93
pemasaran / pedagang ternak sapi selaku sumber input bagi pemasar/
konsumen bisnis selaku konsumen akhir ternak sapi tadi. Sampel berbasis
snowball berdasarkan kelompok tani ternak ternak sapi dimana ia menjadi
anggota kelompoknya. Besarnya sampel petani peternak, kelompok tani
ternak sapi, pedagang perantara pemasaran dan pemasar ternak sapi dapat
dilihat pada Tabel 4.4, berikut ini.
Tabel 4.4. Data Peternak Sampel Dan Pedagang Ternak sapi Sampel.
No Lokasi Pasar Ternak Sapi
Petani-Peternak Sapi(orang)
Pedagang Perantara
Pemasaran (orang)
Konsumen akhir*) Ternak Sapi
(orang)
Jumlah Sampel (orang) (2+3+4)
0 1 2 3 4 5 1 Kota Manado 18 03 07 28 2 KotaTomohon 28 02 03 33
3 Kab.Minahasa (Kawangkoan) 54 05 -- 59
Total 100 10 10 120 Keterangan: *) Konsumen akhir ternak sapi adalah konsumen bisnis ternak sapi
potong yang juga pemilik TPH atau pengguna RPH (konsumen akhir ternak sapi hidup juga selaku pengecer daging sapi di pasar tradisional dan distributor daging sapi ke pasar swalayan).
4.3. Metode Pengambilan Data
Sasaran pengamatan yang diamati dalam penelitian ini adalah
pergerakan ternak sapi, model distribusi (pola stocking ternak sapi dan distribusi
pemasaran),marjin pemasaran, dan adakah elemen-elemen pembentuk struktur
pasar,pola integrasi pemasaran(pengaturanpermintaan dan penawaran pada
saluran pemasaran), biaya pemasaran, pendapatan lembaga pemasaran
(produsen, perantara pemasaran dan konsumen akhir ternak sapi), rasio
masukan dan keluaran pada pemasaran ternak sapi di Sulawesi utara.
Basis utama dari satuan pengamatan pusat pemasaran yaitu peternak
sapi potong selaku pemilik TPH maupun pengguna RPH sebagai konsumen
akhir ternak sapi. Sedangkan informan kunci adalah pimpinan kelompok tani
94
ternak sapi dalam lokasi penelitian yang didapat berdasarkan informasi dari
petani pemilik ternak sapi.
Jenis data yang akan diambil adalah data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara langsung pada
petani pemilik ternak sapi, pedagang perantara pemasaran, peternak sapi
potong sebagai konsumen akhir selaku pemasar / konsumen bisnis ternak sapi
dengan berpedoman pada kuesioner yang telah disusun lebih dulu sebagai alat
pengumpulan data. Data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen / laporan
dinas / instansi terkait seperti : Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi
Sulawesi Utara, Dinas Pertanian kota Manado; Dinas Pertanian, Peternakan,
dan Perikanan kota Tomohon: Dinas Pertanian Peternakan dan Perkebunan
kabupaten Minahasa di Tondano serta kantor statistik setempat dan ketua
kelompok peternak sapi dilokasi penelitian.
4.4. Teknik Analisis Data
Kriteria standar yang baku dalam mengukur efisiensi pemasaran hingga
saat ini belum tersedia, sebab itu masih terdapat beberapa alat ukur seperti
pendekatan Structure Conduct Performance (S C P), integrasi pemasaran,
marjin pemasaran, share pemasaran, rasio biaya dan produksi yang dipasarkan
(%-ase), R/C-rasio.
Data yang telah diperoleh selanjutnya di identifikasi dan diolah secara
tabularis. Data yang sifatnya kualitatif akan diolah lanjut secara deskriptif sebagai
prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan menggambarkan keadaan
subjek/objek penelitian (lembaga pemasaran pembentuk model pemasaran
ternak sapi di Sulawesi utara) berdasarkan fakta fakta empirik yang diperoleh
pada saat penelitian seperti :
1. Pola distribusi pemasaran ternak sapi.
95
2. Analisis struktur pasar (pendekatan organisasi dan perilaku pemasaran/
Marketing Conduct).
Data kuantitatif selanjutnya akan dianalisis lanjut yang penjabarannya
akan diformulasikan secara matematis untuk menganalisis masalah masalah
yang diteliti guna mendapatkan jawaban terhadap tujuan penelitian dalam hal ini
melakukan pendekatan : struktur pasar, Conduct dan Performance (S C P)
integrasi pemasaran, dan efisiensi pemasaran.
4.4.1. Struktur Pasar (Market Structure)
Tujuan pertama pada penelitian ini adalah menganalisis struktur pasar
dari pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi utara. Struktur pasar
menggambarkan karakteristik organisasi pemasaran dan kelembagaan suatu
model pemasaran yang mencirikan suatu aktifitas pemasaran pengguna pasar
ternak sapi, jumlah penjual dan pembeli pada suatu pola kelembagaan
pemasaran ternak sapi.
Ada dua model pendekatan yang digunakan untuk menganalisis struktur
pasar yang ada dalam penelitian ini, yaitu:
I. Pendekatan Organisasi Pemasaran
Menganalisis organisasi pemasaran dengan memperhatikan :
(1). jumlah penjual dan pembeli ternak sapi dalam pasar
(2). ada atau tidaknya diferensiasi produk (perbedaan produk).
(3). besarnya hambatan untuk masuk pasar ternak sapi.
(4). informasi pasar ternak sapi
II. Pendekatan Matematis.
a) menganalisis besarnya Konsentrasi Rasio (Kr)
Struktur pasar ini di analisis dengan menggunakan konsentrasi ratio dan
elastisitas harga. Konsentrasi rasio adalah rasio antara jumlah komoditi yang
96
dibeli dengan jumlah yang dipasarkan dan dinyatakan dalam satuan persen.
Secara matematis Hay dan Morris (1991) dalam Prasodjo (1997), yang disitasi
oleh Dekayanti. T (2003), telah menjabarkan konsentrasi rasio dalam suatu
formula matematis sebagai berikut:
Volume yang dibeli Kr = x 100 % ......... (1) *)
Volume yang dipasarkan
*) {Hay dan Morris (1991) dalam Prasodjo (1997), yang disitasi oleh Dekayanti. T (2003)}
Keterangan : Kr = konsentrasi rasio yang dinyatakan dalam satuan persentase.
Ketentuan pada formulasi matematik tersebut adalah sebagai berikut:
Bila terdapat 1 (satu) pemasar dengan Kr minimal 95 %, maka pemasaran tersebut mengarah pada pasar monopsoni.
Bila terdapat 4 (empat) pemasar dengan Kr minimal 80 %, maka pemasaran tersebut cenderung mengarah pada oligopsoni dengan konsentrasi tinggi.
Bila terdapat 8 (delapan) pemasar dengan Kr minimal 80 %, maka pemasar tersebut dikatakan berstruktur oligopsoni dengan konsentrasi sedang.
b) Elastisitas Transmisi
Elastisitas transmisi digunakan untuk melihat hubungan elastisitas harga
di tingkat petani peternak / produsen dengan elastisitas harga di tingkat
konsumen akhir ternak sapi / Pedagang Besar selaku pemasar / konsumen
bisnis ternak sapi. Secara matematis, model formula dasar analisis elastisitas
transmisi ini (Masyrofie, 1994 dalam Dekayanti, T. 2003) secara matematis dapat
dijabarkan sebagai berikut :
Pf = Pr ................................. (2) (formula dasar).
Formula (2) tersebut dalam penelitian ini guna melihat keterpaduan harga
antara produsen ternak sapi dan konsumen akhir selaku konsumen bisnis ternak
sapi, dijabarkan menjadi formula elastisitas transmisi (3) yang secara matematis
adalah sebagai berikut :
97
1 21f r pP P P ................................ (3a)
32p rP P ................................ (3b)
Keterangan: Pr = harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir ternak sapi(Rp/kg); Pp= harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran ternak sapi (Rp / kg); Pf = harga ternak sapi di tingkat produsen ternak sapi (Rp / kg);
= intersep 1 = koefisien elastisitas transmisi harga ternak sapi di tingkat produsen ke
harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir 2 = koefisien elastisitas transmisi harga ternak sapi di tingkat produsen ke
harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran 3 = koefisien elastisitas transmisi harga ternak sapi di tingkat perantara
pemasaran ke harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir
Formula pada model (3) selanjutnya disederhanakan dalam bentuk
persamaan analisis path pada formulasi berikut:
1 1 2 1f r pLnP Ln LnP LnP ................................ (4a)
2 3 2p rLnP Ln LnP ................................ (4b)
Secara grafik disajikan pada Gambar 15 berikut:
Harga ternak sapi di tingkat perantara
konsumen akhir (Pr)
Harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran (Pp)
Harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
3
1
2
Gambar 4.1. Analisis Path: Elastisitas Transmisi
Keterangan Gambar 4.1 : 1 = koefisien elastisitas transmisi harga ternak sapi di tingkat produsen ke
harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir 2 = koefisien elastisitas transmisi harga ternak sapi di tingkat produsen
(petani peternak sapi) ke harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran
3 = koefisien elastisitas transmisi harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran ke harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir
Terdapat dua pengujian hipotesis dalam model analisis path di atas.
Pengujian hipotesis pertama, adalah pengujian signifikansi hubungan antara
98
harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir (Pr) terhadap harga ternak sapi di
tingkat perantara pemasaran (Pp) dan harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf),
serta harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran (Pp) terhadap harga
ternak sapi di tingkat produsen (Pf). Adapun hipotesis pertama diuji sebagai
berikut:
H0 1 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir (Pr) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
H1 1 (terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir (Pr) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
H0 2 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir (Pr) terhadap harga ternak sapi di tingkat perantara (Pp)
H1 2 (terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir (Pr) terhadap harga ternak sapi di tingkat perantara (Pp)
H0 3 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran (Pp) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
H1 3 (terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran (Pp) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
H0 diterima jika nilai P-value > 0.05, sedangkan H0 ditolak dan H1diterima jika
nilai P-value < 0.05.
Pengujian hipotesis kedua berkaitan pengujian pemodelan pemasaran
ternak sapi efisien atau tidak. Adapun hipotesis kedua disajikan sebagai berikut:
H0 1 = 1 (model pemasaran ternak sapi di Sulawesi utara tidak efisien, karena tidak terjadi elastisitas transmisi antara harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir (Pr) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
H1 1 (model pemasaran ternak sapi di Sulawesi utara efisien, karena tidak terjadi elastisitas transmisi antara harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir (Pr) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
H0 2 = 1 (model pemasaran ternak sapi di Sulawesi utara tidak efisien, karena tidak terjadi elastisitas transmisi antara harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir (Pr) terhadap harga ternak sapi di tingkat perantara (Pp)
99
H1 2 (model pemasaran ternak sapi di Sulawesi utara efisien, karena tidak terjadi elastisitas transmisi antara harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir (Pr) terhadap harga ternak sapi di tingkat perantara (Pp)
H0 3 = 1 (model pemasaran ternak sapi di Sulawesi utara tidak efisien, karena tidak terjadi elastisitas transmisi antara harga ternak sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran (Pp) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
H1 3 (model pemasaran ternak sapi di Sulawesi utara efisien, karena tidak terjadi elastisitas transmisi antara harga ternak sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran (Pp) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
H0 diterima jika nilai interval konfidensi [batas bawah, batas atas] mengandung
angka 1 di dalam interval tersebut (terpenuhi jika batas bawah < 1, dan batas
atas > 1), sebaliknya H0 ditolak dan H1 diterima jika nilai interval konfidensi [batas
bawah, batas atas] tidak mengandung angka 1 di dalam interval tersebut
(terpenuhi jika batas bawah dan batas atas < 1, atau batas bawah dan batas
atas > 1).
c) menganalisis Perilaku Pemasaran (Marketing Conduct):
Perilaku pemasaran akan dianalisis secara kualitatif berdasarkan hasil
pengamatan :
(1) ada tidaknya praktek praktek penentuan harga ternak sapi
(2) ada tidaknya kerjasama antar perantara pemasaran / pedagang
(3) ada tidaknya kerjasama antar produsen ternak sapi
(4) ada tidaknya pola informasi harga dalam pemasaran ternak sapi pada
produsen dan konsumen
(5) ada tidaknya praktek ketidak jujuran pada perantara pemasaran ternak
sapi maupun konsumen akhir ternak sapi
100
4.4.2. Model Integrasi Pemasaran
Tujuan kedua pada penelitian ini adalah menganalisis model integrasi
pemasaran sapi potong di Sulawesi Utara. Integrasi pemasaran dalam hal ini
pergerakan harga yang berhubungan dengan dua pasar ternak sapi atau lebih.
Azzaino, 1982 dan Arshad, 1980 dalam Dekayanti (2003) menyatakan bahwa
integrasi pasar menunjukan seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditas
pada tingkat lembaga, tempat/daerah, atau pasar lainnya. Integrasi pasar dapat
digunakan untuk melihat persaingan yang ditunjukan oleh harga di tingkat
produsen dan harga di tingkat konsumen. Azzaino (1982) mengemukakan
bahwa, koefisien korelasi mengindikasikan adanya integrasi pemasaran yang
merupakan ukuran struktur pasar yang efisien. Integrasi pemasaran terdiri dari
dua bagian yaitu secara horizontal dan vertikal.
4.4.2.1. Integrasi Pemasaran Horizontal.
Analisis integrasi pemasaran secara horizontal dilakukan untuk melihat
hubungan mekanisme harga ditingkat pasar yang sama pada suatu daerah
(horizontal) berjalan serentak atau tidak, maka digunakan perhitungan korelasi
yang penjabarannya dapat diformulasikan secara matematik (Simamora, B. 2004
dan Lele. 1971 dalam Dekayanti, T. 2003) yaitu :
n Xi Yi Xi ( Yi) r = ........................ (6)
[ Xi2 ( Xi)2] [n Yi
2 ( Yi)2]
Kriterianya adalah :
H0 = rxy = 1, artinya : pasar ternak sapi tidak terintegrasi
H1 = rxy
101
4.4.2.2. Integrasi Pemasaran Vertikal.
Analisis integrasi pasar secara vertikal berguna untuk mengetahui
keadaan antara pasar dalam tingkat lokal / desa, kecamatan, kabupaten, dan
provinsi atau antara pasar produsen dengan konsumen. Analisis ini mampu
menjelaskan kekuatan tawar menawar antara petani dengan lembaga lembaga
perantara, atau antara lembaga perantara dengan lembaga perantara yang ada
diatasnya (Masyrofie, 1994 dalam Dekayanti T, 2003).
Analisis integrasi pemasaran secara vertikal ini dipakai untuk mengetahui
keadaan keterkaitan pasar pada tingkat yang berbeda tingkatannya, dengan kata
lain lebih tinggi tingkatannya yang dalam penelitian ini antara produsen / petani
peternak sapi dan konsumen ternak sapi. Analisis integrasi pemasaran ternak
sapi secara vertikal dapat digunakan untuk menjelaskan kekuatan tawar
menawar (supply and demand power) antara produsen ternak sapi dan
konsumen perantara pemasarannya, atau antara produsen ternak sapi dengan
konsumen akhir ternak sapi maupun antara konsumen perantara pemasaran
dengan konsumen akhir ternak sapi.
Alat analisis untuk menyelesaikan permasalahan di atas digunakan
analisis regresi linier sederhana terhadap model pemasaran ternak sapi pada
ketiga wilayah pemasaran yang menjadi sasaran penelitian. Sugiyono (2007)
mengemukakan suatu model analisis regresi yang pada penelitian ini digunakan
sebagai rumus umum dalam analisis pemasaran ternak sapi di Provinsi Sulawesi
utara melalui ketiga wilayah penelitian pemasaran (kota Manado, kota Tomohon,
dan Kabupaten Minahasa), rumus umum tersebut diformulasikan sebagai
berikut:
102
Yi = + i Xi ................................. (7) (formula dasar)
Keterangan : i = 1, 2, 3, ......., n
Formula model (7) (Sugiyono, 2007), dalam penelitian ini secara simultan
dijabarkan dalam bentuk persamaan matematik pada formula (8) berikut :
Y = + 1X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + 5X5 + 6X6 + e ........... (8)
YA = + 11X1A + 21X2A+ 31X3A+ 41X4A + 51X5 + 61X6 + eA (8a) YB = + 12X1B + 22X2B+ 32X3B+ 42X4B + 52X5 + 62X6 + eB ..... (8b) YC = + 13X1C + 23X2C+ 33X3C+ 43X4C + 53X5 + 63X6 + eC ....... (8c) Hal ini dapat digambarkan pada gambar 4.2 berikut ini :
Harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
Harga ternak sapi di tingkat pemasar (X1)
Konsentrasi Rasio (X2)
Penawaran Ternak Sapi (X3)
Permintaan Ternak Sapi (X4)
Biaya Pemasaran Ternak Sapi di tingkat
peternak (X5)
Keuntungan Pemasaran Ternak
Sapi di tingkat peternak (X6)
1
2
3
4
5
6
Gambar 4.2. Analisis Regresi: Integrasi Pemasaran Vertikal
Keterangan : = Koefisien intersep regresi = Koefisien slope regresi
YA = Harga ternak sapi di tingkat produsen di pasar Manado YB = Harga ternak sapi di tingkat produsen di pasar Tomohon YC = Harga ternak sapi di tingkat produsen di pasar Kawangkoan Minahasa X1A = Harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir ternak sapi di pasar Manado X1B = Harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir ternak sapi di pasar Tomohon
103
X1C = Harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir ternak sapi di pasar Kawangkoan Minahasa
X2A = Konsentrasi Rasio di pasar Manado X2B = Konsentrasi Rasio di pasar Tomohon X2C = Konsentrasi Rasio di (pasar) Kawangkoan Minahasa X3A = Penawaran ternak sapi pada konsumen akhir ternak sapi di kota Manado X3B = Penawaran ternak sapi pada konsumen akhir ternak sapi di kota Tomohon X3C = Penawaran ternak sapi pada konsumen akhir di (pasar) Kawangkoan
Minahasa X4A = Permintaan ternak sapi oleh konsumen akhir ternak sapi di kota Manado X4B = Permintaan ternak sapi oleh konsumen akhir sapi di pasar Tomohon X4C = Permintaan ternak sapi oleh konsumen akhir ternak sapi di pasar
Kawangkoan Minahasa X5A = Biaya pemasaran ternak sapi di tingkat petani peternak di kota Manado X5B = Biaya pemasaran ternak sapi di tingkat petani peternak di kota Tomohon X5C = Biaya pemasaran ternak sapi di tingkat petani peternak di Kawangkoan
Minahasa X6A = Keuntungan pemasaran ternak sapi di tingkat petani peternak di kota
Manado X6B = Keuntungan pemasaran ternak sapi di tingkat petani peternak di kota
Tomohon X6C = Keuntungan pemasaran ternak sapi di tingkat petani peternak di
Kawangkoan Minahasa e = Error (residual) model
Adapun hipotesis diuji sebagai berikut:
H0 1 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir (X1) terhadap harga ternak di tingkat produsen (Y)
H1 1 (terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir (X1) terhadap harga ternak di tingkat produsen (Y)
H0 2 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara konsentrasi rasio (X2) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
H1 2 (terdapat pengaruh signifikan antara konsentrasi rasio (X2) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
H0 3 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara penawaran ternak sapi (X3) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
H1 3 (terdapat pengaruh signifikan antara penawaran ternak sapi (X3) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
H0 4 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara permintaan ternak sapi (X4) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
H1 4 (terdapat pengaruh signifikan antara permintaan ternak sapi (X4) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
H0 5 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara biaya pemasaran ternak sapi di tingkat petani (X5) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
H1 5 (terdapat pengaruh signifikan antara biaya pemasaran ternak sapi di tingkat petani (X5) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
104
H0 6 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara keuntungan pemasaran ternak sapi di tingkat petani (X6) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
H1 6 (terdapat pengaruh signifikan antara keuntungan pemasaran ternak sapi di tingkat petani (X6) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
H0 diterima jika nilai P-value > 0.05, sedangkan H0 ditolak dan H1diterima jika
nilai P-value < 0.05.
Selain persamaan regresi di atas, juga dilakukan uji dengan analisis
regresi yang menguji keterpaduan jangka pendek dan jangka panjang melalui
Index of Market Connection (IMC), sebagai berikut:
Integrasi Pasar Jangka Pendek:
Pfi(t) = 0 + 1 Pri(t) + 2 Ppi(t) + eit ........................ (9)
Integrasi Pasar Jangka Panjang:
Pfi(t) = 0 + 1 Pfi(t-1) + 2 Pri(t) + 3 (Pri(t) Pri(t-1)) + eit .......... (10)
Keterangan: Pfi(t) = Harga ternak sapi di tingkat produsen (Rp/Kg) bulan ini pada
pasar ke-i (i = 1 = Manado, i = 2 = Tomohon, i =3 = Kawangkoan/ kabupaten Minahasa).
Ppi(t) = Harga ternak sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran (Rp/Kg) bulan ini pada pasar ke-i (i = 1 = Manado, i = 2 = Tomohon, i = 3 = Kawangkoan/ kabupaten Minahasa)
Pri(t) = Harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir (Rp/Kg) bulan ini pada pasar ke-i (i = 1 = Manado, i = 2 = Tomohon, i = 3 = Kawangkoan/ Kabupaten Minahasa,).
Pfi(t-1) = Harga ternak sapi di tingkat produsen (Rp/Kg) bulan sebelumnya pada pasar ke-i (i=1=Manado, i=2=Tomohon, i=3=Kawangkoan/ Kabupaten Minahasa,).
Pri(t) Pri(t-1) = Selisih ternak sapi di tingkat pemasar (Rp/Kg) bulan ini dengan bulan sebelumnya pada pasar ke-i (i = 1 = Manado, i= 2 = Tomohon, i = 3 = Kawangkoan/ kabupaten Minahasa,).
b1 = Koefisien jangka pendek a3 = Koefisien jangka panjang
Formula ini secara verbal dapat digambarkan pada gambar 4.3. seperti
berikut ini :
105
Harga ternak sapi di tingkat produsen bulan ini
(Pf(t))
Harga ternak sapi di tingkat perantara
pemasaran bulan ini (Pp(t))Harga ternak sapi di
tingkat konsumen akhir bulan ini (Pr(t))
12
Harga ternak sapi di tingkat produsen bulan
sebelumnya (Pf-1)
Integrasi Pasar Jangka Pendek
Selisih Harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir
bulan ini dengan bulan sebelumnya (Pr(t)-Pr(t-1))
Selisih Harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran bulan ini
dengan bulan sebelumnya (Pp(t)-Pp(t-1))
1
23Integrasi Pasar
Jangka Panjang
Gambar 4.3. Integrasi Pasar Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Hipotesis yang diuji sebagai berikut:
Pengujian hipotesis kedua berkaitan pengujian pemodelan pemasaran ternak
sapi efisien atau tidak. Adapun hipotesis kedua disajikan sebagai berikut:
Integrasi Pasar Jangka Pendek
H0 1 = 1 (terjadi keseimbangan jangka pendek antara harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir ternak sapi (Pr) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
H1 1 (tidak terjadi keseimbangan jangka pendek antara harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir ternak sapi (Pr) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
H0 2 = 1 (terjadi keseimbangan jangka pendek antara harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran (Pp) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
H1 2 (tidak terjadi keseimbangan jangka pendek antara harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran (Pp) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
Integrasi Pasar Jangka Panjang
H0 : 2 = 1 (terjadi keseimbangan jangka panjang antara harga ternak sapi di tingkat konsumen (Pr) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
106
H1 : 2 (tidak terjadi keseimbangan jangka panjang antara harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir ternak sapi (Pr) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
H0 : 3 = 1 (terjadi keseimbangan jangka panjang antara harga ternak sapi di
tingkat perantara pemasaran (Pp) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
H1 : 3 (tidak terjadi keseimbangan jangka panjang antara harga ternak sapi
di tingkat perantara pemasaran (Pp) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
H0 diterima jika nilai interval konfidensi [batas bawah, batas atas] mengandung
angka 1 di dalam interval tersebut (terpenuhi jika batas bawah < 1, dan batas
atas > 1), sebaliknya H0 ditolak dan H1 diterima jika nilai interval konfidensi [batas
bawah, batas atas] tidak mengandung angka 1 di dalam interval tersebut
(terpenuhi jika batas bawah dan batas atas < 1, atau batas bawah dan batas
atas > 1).
Integrasi pemasaran secara simultan (model simultan) menggunakan alat
analisis Vector Auto Regression (VAR). Sebelum dilakukan model kointegrasi
dan VAR, terlebih dahulu dilakukan pengujian apakah variabel-variabel (variabel)
yang digunakan memiliki kausalitas atau tidak. Metode yang digunakan adalah
model integrasi VAR. Metode ini telah banyak diterapkan dalam bidang ekonomi
pertanian, antara lain oleh Ravallion (1986), Ardeni (1989), Goodwin dan
Schroeder (1991), Alderman (1972) dan Laping (2006). Bentuk modelnya adalah
menggunakan Vector Auto Regression (VAR) sebagai berikut: Jika terdapat
variabel (harga ternak sapi di Pasar A atau HA, harga ternak sapi di Pasar B atau
HB, dan harga ternak sapi di Pasar C atau HC) dan harga ternak sapi di Pasar D
atau HD) maka formula analisisnya menjadi(Tomek dan Robinson, 1990):
HAt = 01 + 11 HAt-1 + 21 HBt-1 + 31 HCt-1 + V1t ...............(18a)
HBt = 02 + 12 HAt-1 + 22 HBt-1 + 32 HCt-1 + V2t ...............(18b)
HCt = 03 + 13 HAt-1 + 23 HBt-1 + 33 HCt-1 + V3t ...............(18c)
107
Keterangan: HAt = Harga Ternak sapi Bulan ini di Pasar A (Manado) HBt = Harga Ternak sapi Bulan ini di Pasar B (Tomohon) HCt = Harga Ternak sapi Bulan ini di Pasar C (Minahasa) HAt-1 = Harga Ternak sapi Bulan lalu di Pasar A (Manado) HBt-1 = Harga Ternak sapi Bulan lalu di Pasar B (Tomohon) HCt-1 = Harga Ternak sapi Bulan lalu di Pasar C (Minahasa)
Harga ternak sapi bulan ini di Pasar
Manado (HAt)
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar
Manado (HAt-1)
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Tomohon (HBt-1)
Harga ternak sapi bulan ini di Pasar Tomohon (HBt)
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Minahasa (HCt-1)
Harga ternak sapi bulan ini di Pasar Minahasa (HCt)
11
21
31
1213
2223
32
33
Gambar 4.4. Integrasi Pasar Secara Simultan
Adapun hipotesis diuji sebagai berikut:
Secara Simultan:
H0 11 12 13 11 12 13 31 32 33 = 0 (tidak terjadi integrasi pemasaran secara simultan)
H0 11 12 13 11 12 13 31 32 33
pemasaran secara simultan) Secara Parsial:
H0 11 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Manado (HAt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Manado (HAt))
H1 11 (terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan lalu di
Pasar Manado (HAt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Manado (HAt))
H0 21 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan
lalu di Pasar Tomohon (HBt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Manado (HAt))
H1 21 (terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan lalu di
Pasar Tomohon (HBt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Manado (HAt))
108
H0 31 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan
lalu di Pasar Minahasa (HCt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Manado (HAt))
H1 31 (terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan lalu di
Pasar Minahasa (HCt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Manado (HAt))
H0 11 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Manado (HAt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Tomohon (HBt))
H1 11 (terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan lalu di
Pasar Manado (HAt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Tomohon (HBt))
H0 21 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan
lalu di Pasar Tomohon (HBt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Tomohon (HBt))
H1 21 (terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan lalu di
Pasar Tomohon (HBt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Tomohon (HBt))
H0 31 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Minahasa (HCt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Tomohon (HBt))
H1 31 (terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan lalu di
Pasar Minahasa (HCt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Tomohon (HBt))
H0 11 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Manado (HAt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Minahasa (HCt))
H1 13 (terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan lalu di
Pasar Manado (HAt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Minahasa (HCt))
H0 23 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan
lalu di Pasar Tomohon (HBt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Minahasa (HCt))
H1 23 (terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan lalu di
Pasar Tomohon (HBt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Minahasa (HCt))
H0 33 = 0 (tidak terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan
lalu di Pasar Minahasa (HCt-1) terhadap harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Minahasa (HCt))
109
H1 33 (terdapat pengaruh signifikan antara harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Minahasa (HCt-1) terhadap harga ternak sapi bulan ini di Pasar Minahasa (HCt))
H0 diterima jika nilai P-value > 0.05, sedangkan H0 ditolak dan H1diterima jika
nilai P-value < 0.05.
4.4.3. Analisis Efisiensi Pemasaran
Tujuan ketiga pada penelitian ini yaitu menganalisis efisiensi pemasaran
pemasaran sapi potong di Sulawesi Utara. Kohl dan Url (1980) mendefinisikan
efisiensi pemasaran sebagai peningkatan rasio output dan input yang dapat
dicapai dengan cara: 1) output tetap / konstan sedangkan input berkurang; 2)
output meningkat dan input tetap; 3) output meningkat dengan persentase yang
lebih besar dibandingkan dengan persentase kenaikan input dan 4) output
berkurang dengan persentase yang lebih rendah dari persentase penurunan
input.
Data hasil analisis tabularis selanjutnya digunakan untuk mengetahui
efisiensi pemasaran ternak sapi di Sulawesi Utara dengan menggunakan formula
efisiensi pemasaran (Ep) yang dijabarkan oleh Downey dan Erikson (1992) yaitu:
Bila : Ep > 1, maka model pemasaran tidak efisien.
Ep < 1, maka model pemasaran adalah efisien.
Analisis efisiensi pemasaran juga terlihat dari penampilan pasar lewat
hasil analisis Marjin Pemasaran dan share harga yang diterima peternak yaitu:
Analisis Marjin Pemasaran (Kohl dan Url (1980))
MP = Pr Pf ................................. (20)
Ep = Biaya Pemasaran
.................... (19) Nilai Ternak Sapi Yang dipasarkan
110
Pada penelitian ini memodifikasi persamaan (20) menjadi dua tahapan
yaitu marjin pemasaran (MP), Pr ke Pp, dan marjin pemasaran (MP), Pp ke Pf,
sehingga diperoleh:
MP1 = Pr Pp ................................. (21a)
MP2 = Pp Pf ................................. (21b)
jika : MP > 1, berarti tidak efisien
MP < 1, berarti efisien (Maulidi, dkk dalam Littro, 1992, dikutib oleh
Anita dkk, 2012).
Keterangan: MP = marjin pemasaran (Rp/kg); Pr = harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi (Rp/kg); Pf = harga di tingkat petani peternak selaku produsen (Rp/kg); Pp = harga di tingkat pedagang perantara pemasaran (Rp/kg); Bpi = biaya pada lembaga pemasaran ke i(Rp/ kg); Kpi = keuntungan lembaga pemasaran ke i (Rp/ kg);
Share harga yang diterima peternak (Kohl dan Url (1980) adalah sebagai
berikut :
Pf SPf = x 100 % .......................... (22a) Pp
Pp SPp = x 100 % .......................... (22b) Pr
Keterangan: SPf = share harga di tingkat petani peternak sapi; SPp = share harga di tingkat pedagang perantara pemasaran; Pf = harga di tingkat petani peternak sapi; Pp = harga di tingkat pedagang perantara pemasaran; Pr = harga di tingkat konsumen akhir selaku konsumen bisnis.
Alhusniduki (1991) mendefinisikan share biaya pemasaran dan share
keuntungan dapat pula digunakan untuk meng-analisis efisiensi pemasaran
dengan formulasi sebagai berikut:
111
SKi = (Ki) / (Pr Pf) x 100 % ............................ (25)
Sbi = (Bi) / (Pr Pf) x 100 % ............................ (26)
Keterangan: Ski = share keuntungan lembaga pemasaran ke i; Sbi = share biaya pemasaran ke i.
Dengan kriteria sebagai berikut:
Apabila perbandingan share keuntungan dari masing-masing lembaga
pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran adalah adil, maka sistem
pemasarannya dikatakan efisien.
Apabila perbandingan share keuntungan dengan biaya pemasaran masing-
masing lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran adalah
adil dan logis, maka sistem pemasarannya dikatakan efisien.
Besarnya nilai keuntungan dari semua lembaga pemasaran ternak sapi
yang ada, dianalisis dengan menggunakan suatu formula matematik sebagai
berikut :
Dimana : PI = Profitability Index (%) ki = Keuntungan pemasaran (i m ; i = jumlah lembaga
pemasaran yang terlibat) bi = Biaya pemasaran ternak sapi (i n ; i = jumlah jenis biaya)
Kriteria pada analisis profitability indeks yaitu :
a. Jika PI 1 maka pemasaran dikatakan efisien.
b. Jika PI < 1 maka pemasaran tidak efisien
(Maulidi, dkk dalam Littoro, 1992; 65, disitasi oleh Ani., A. Muani dan A. Suyatno,
2012).
4.4.4. Perbandingan Penggunaan Alat Analisis
Penelitian ini menggunakan beberapa alat analisis. Untuk pengujian
struktur pasar menggunakan metode yaitu metode pendekatan organisasi
ki PI = X 100%......................................................... (27) bi
112
pemasaran dan metode matematis. Pendekatan matematis menggunakan dua
metode yaitu pengukuran konsentrasi rasio (Kr) dan elastisitas transmisi.
Pengukuran Konsentrasi Rasio berbasis perbandingan volume penjualan ternak
sapi yang dipasarkan, jadi pengukuran Kr ini hanya berbasis pada kuantitas
penjualan ternak sapi. Di sisi lain, elastisitas transmisi menggunakan pendekatan
pemodelan berbasis bentuk hubungan sebab akibat antara harga, yaitu harga di
tingkat konsumen akhir selaku konsumen bisnis ternak sapi dan di tingkat
pedagang perantara pemasaran dan petani peternak sapi selaku produsen.
Pendekatan kedua berbasis model lebih unggul mengingat pertimbangan antar
ketergantungan harga baik di tingkat konsumen bisnis ternak sapi selaku
konsumen akhir ternak sapi, pedagang perantara pemasaran, maupun petani
peternak sapi selaku produsen.
Untuk pengujian integrasi pemasaran, menggunakan dua teknik yaitu
integrasi pemasaran horisontal, dan integrasi pemasaran vertikal. Perbedaan
sangat mencolok pada keduanya yaitu untuk horisontal berarti melihat hubungan
mekanisme harga di tingkat pasar yang sama, sedangkan vertikal di tingkat
pemasaran yang berbeda (produsen pedagang perantara pemasaran,
konsumen akhir selaku konsumen bisnis ternak sapi). Analisis integrasi
pemasaran ternak sapi secara vertikal dapat digunakan untuk menjelaskan
kekuatan tawar menawar (supply and demand power) antara produsen ternak
sapi dan pedagang perantara pemasarannya, atau antara produsen ternak sapi
dengan konsumen akhir ternak sapi maupun antara pedagang perantara
pemasaran dengan konsumen akhir ternak sapi. Jadi integrasi pemasaran
vertikal lebih kompleks perhitungannya dibandingkan horisontal, dan penelitian
ini fokus pada pengukuran integrasi pemasaran vertikal mengingat kondisi di
lapangan bersifat pasar vertikal (produsen ke pedagang perantara pemasaran,
pedagang perantara pemasaran ke konsumen akhir ternak sapi).
113
Terdapat tiga analisis yang digunakan untuk integrasi pemasaran vertikal
yaitu analisis regresi integrasi pemasaran vertikal, dalam hal ini untuk menguji
pengaruh harga ternak sapi di tingkat produsen yang ditentukan oleh harga
ternak sapi di tingkat pemasaran, konsentrasi rasio, penawaran, permintaan,
biaya pemasaran, keuntungan pemasaran. Teknik kedua yaitu index of market
connection (IMC). Perbedaannnya, metode kedua ini fokus pada pengukuran
integrasi pasar jangka pendek dan jangka panjang, sedangkan metode
sebelumnya tidak mempertimbangkan aspek jangka pendek maupun jangka
panjang. Teknik ketiga yaitu pengukuran integrasi pemasaran secara simultan
dengan mempertimbangkan keterkaitan ketiga wilayah penelitian menggunakan
VAR. Keunggulan metode ketiga ini, mengintegrasikan model pemasaran vertikal
(produsen pedagang perantara pemasaran, pedagang perantara pemasaran
konsumen akhir ternak sapi) dan integrasi pemasaran horisontal (Manado
Tomohon Minahasa).
Metode terakhir yaitu untuk menganalisis efisiensi pemasaran. Analisis ini
untuk menguji efisiensi pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi Utara.
Berbeda dengan teknik sebelumnya, untuk metode terakhir ini menggunakan
pengukuran nilai (bukan pemodelan) baik itu nilai efisisiensi pemasaran berbasis
biaya dan nilai ternak, marjin pemasaran (yaitu selisih harga di tingkat produsen
pedagang perantara pemasaran konsumen akhir ternak sapi), dan share
keuntungan.
114
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengkaji rumah tangga petani peternak sapi potong,
pedagang perantara pemasaran ternak sapi potong, pedagang besar {konsumen
bisnis selaku konsumen akhir ternak sapi dan pemilik Tempat pemotongan
hewan (TPH) atau pengguna Rumah potong hewan (RPH)} di Sulawesi Utara.
Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Utara (2014)
menginformasikan bahwa, Sulawesi Utara memiliki potensi yang besar untuk
pengembangan usaha beternak sapi karena didukung oleh sumber daya alam
(lahan, pakan), sumber daya manusia, serta peluang pasar yang memadai.
Ternak sapi mempunyai prospek dan potensi pasar yang cerah di Sulawesi
utara. Selain memberikan tambahan pendapatan bagi petani peternak, usaha
beternak sapi juga merupakan sumber pendapatan daerah melalui perdagangan
antarprovinsi dan antarpulau, antara lain ke Maluku, Papua, Jawa (Jakarta), dan
Kalimantan Timur.
Pemerintah dalam hal ini Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi
Sulawesi Utara telah melakukan berbagai langkah untuk mengembangkan
peternakan di wilayah tersebut. Satu dari kebijakan tersebut adalah memberikan
bantuan ternak sapi maupun modal kepada kelompok petani peternak sapi.
Upaya mengembangkan kawasan integrasi ternak sapi tanaman di Kabupaten
Minahasa dan Bolaang Mongondow, misalnya, pemerintah memberikan bantuan
dana kepada kelompok tani peternak sapi melalui Bantuan Pinjaman Langsung
Masyarakat (Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Utara 2014).
Di Sulawesi Utara, ternak sapi dipelihara secara terpadu dengan
tanaman, yang dikenal dengan sistem integrasi tanaman ternak (integrated
115
farming system). Menurut Priyanti (2007), usaha ternak sapi tanaman dapat
memberikan dampak budi daya, sosial, dan ekonomi yang positif. Potensi
ketersediaan pakan dari limbah tanaman cukup besar sepanjang tahun sehingga
dapat mengurangi ketergantungan terhadap pakan dari luar dan menjamin
keberlanjutan usaha ternak (Priyanti, 2007). Pola integrasi tanaman ternak di
Sulawesi Utara yang dijumpai adalah integrasi sapi jagung di Minahasa dan
integrasi sapi kelapa di Bolaang Mongondow. Sistem integrasi merupakan
penerapan usaha tani terpadu melalui pendekatan low external input antara
ternak sapi dan tanaman (Priyanti 2007). Sistem ini sangat menguntungkan
karena ternak dapat memanfaatkan rumput dan hijauan pakan yang tumbuh liar,
jerami atau limbah pertanian sebagai pakan, selain menghasilkan kotoran
sebagai pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Sistem integrasi
juga dapat menambah pendapatan rumah tangga dengan mengolah kotoran sapi
menjadi kompos. Pupuk kompos selanjutnya dapat dijual kepada petani lain atau
masyarakat yang membutuhkannya. Usaha tani integrasi menerapkan
pendekatan sistem dalam satu kesatuan daur produksi (Priyanti 2007).
Selanjutnya, Suwandi (2005) dan Priyanti (2007) dalam penelitiannya, telah
mengkaji sistem integrasi tanaman ternak sapi potong. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan sistem integrasi ternak sapi tanaman dapat meningkatkan
pendapatan petani (Sariubang et al. 2003; Suwandi 2005; Dinas Peternakan
Provinsi Sumatera Barat 2007; Priyanti 2007). Di Sulawesi Utara, sapi yang
penghasil daging sekaligus ternak kerja.
Kebijakan Subsektor Peternakan Di Sulawesi Utara, umumnya
didominasi oleh peternakan rakyat berskala kecil dan diusahakan secara
sambilan. Petani peternak dalam mengembangkan usaha tersebut, menghadapi
masalah kekurangan modal. Berkaitan dengan hal itu, pemerintah telah
116
menggulirkan berbagai paket kredit sebagai sumber pembiayaan bagi petani
peternak, baik dari sumber keuangan formal maupun nonformal (kredit individu
dan bagi hasil).
Guna menunjang pembangunan peternakan, pemerintah melakukan
berbagai upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor dalam
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Upaya ini dilakukan dengan membuka
peluang investasi dan pasar sekaligus mengembangkan investasi nasional
dengan meningkatkan peran swasta dalam pembangunan peternakan serta
memanfaatkan sumber daya lokal secara optimal (Direktorat Pengembangan
Peternakan 2004).
Pemerintah sebagai motivator, akselerator, regulator, fasilitator, dan
promotor sangat berperan dalam pembangunan peternakan. Pemerintah Provinsi
Sulawesi Utara telah menempuh berbagai cara, namun pembangunan
peternakan sangat terkait dengan sumber daya yang ada sehingga kebijakan
pemerintah perlu didasarkan pada potensi daerah. Program Dinas Pertanian dan
Peternakan Provinsi Sulawesi Utara tahun 2005 adalah meningkatkan ketahanan
pangan, nilai tambah dan daya saing komoditas peternakan, kesejahteraan
masyarakat, serta mengembangkan komoditas unggulan daerah. Program
program tersebut nampaknya belum berjalan sebagaimana yang dicanangkan.
Program sebaiknya dibarengi dengan penerapan strategi agresif dan diversifikatif
termasuk dalam pengembangan usaha ternak sapi. Strategi ini diadopsi dari
Hoda (2002) dan dianggap relevan dengan kondisi usaha ternak sapi di Sulawesi
Utara, karena penyediaan hijauan pakan bukan hanya bergantung pada limbah
pertanian tetapi juga dengan gerakan menanam hijauan pakan ternak. Guna
mendukung program program tersebut, pemerintah perlu memperkenalkan
penanaman rumput maupun tanaman leguminosa unggul pada lahan kosong.
Rumput Brachiaria brizanta dan legum Arachis pintoi tahan terhadap naungan
117
sehingga dapat ditanam di antara pohon kelapa, sedangkan yang tidak tahan
naungan seperti rumput Pennisetum purpureum dan legum Centrosema
pubescens ditanam di lahan terbuka. Usaha lain adalah memberikan pelatihan
kepada petani mengenai teknik budi daya tanaman, pemeliharaan ternak, dan
pengawetan tanaman hijauan pakan ternak unggul menjadi silase.
Usaha beternak sapi di Sulawesi Utara umumnya bersifat ekstensif atau
tradisional. Upaya yang dapat dilakukan bagi pembangunan usaha peternakan
antara lain adalah memberikan penyuluhan secara intensif kepada petani
peternak mengenai manajemen pemeliharaan, kesehatan serta reproduksi
ternak. Melalui upaya ini diharapkan usaha beternak berkembang dari tradisional
ke komersial dengan orientasi bisnis atau memperoleh keuntungan.
Bermodalkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, petani-peternak dapat
memecahkan masalah masalah dalam berusaha ternak sapi. Penyuluhan yang
diberikan dengan menggunakan metode laku (latihan dan kunjungan) akan
memberikan hasil yang optimal. Kelompok-kelompok petani-peternak telah
dibentuk untuk memudahkan penyuluhan dan pelatihan peningkatan
keterampilan peternak. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah mencanangkan
program pengembangan kelembagaan kelompok petani-peternak. Kelompok
selanjutnya mendapat pembinaan secara intensif dan kontinyu dari pemerintah.
Contoh kelompok petani-peternak yang telah dibentuk dan terorganisir dengan
baik dan mendapat binaan khusus adalah kelompok tani-ternak Torona di Desa
Kanonang II Kecamatan Kawangkoan. Kelompok beranggotakan 28 rumah
tangga dengan pekerjaan utama kepala keluarga petani-peternak (51,53%).
Pemeliharaan ternak sapi masih bersifat tradisional dengan tujuan utama
yaitu menyediakan tenaga kerja untuk mengolah tanah lahan pertanian dan
mengangkut hasil pertanian. Ternak dibiarkan berada di lahan pertanian untuk
mencari makan. Petani-peternak yang tergabung dalam kelompok menggunakan
118
bibit sapi lokal yang telah diseleksi. Guna mendapatkan bibit unggul, petani
peternak sapi telah menggunakan inseminasi buatan (IB) untuk mengawinkan
ternak sapinya. Anak atau pedet yang lahir divaksinasi sesuai kebutuhan dan
diberi obat bila sakit. Masalah yang dihadapi petani-peternak anggota kelompok
adalah keterbatasan modal (Somba 2003). Masalah ini perlu mendapat perhatian
dari pemerintah, antara lain dengan mencari investor untuk lebih mendorong
pengembangan usaha beternak sapi di Sulawesi Utara
Volume perdagangan ternak antarprovinsi dan antarpulau di Sulawesi
Utara meningkat setiap tahun. Pada perdagangan ternak sapi, pemerintah dapat
berperan dalam penentuan harga maupun penetapan batas minimum bobot
ternak yang akan diperdagangkan. Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan sumber daya, kualitas ternak, serta pendapatan.
Penetapan batas minimum bobot ternak yang dapat diperdagangkan akan
memotivasi petani-peternak untuk meningkatkan bobot badan sapi sehingga
harga yang diperoleh lebih tinggi. Hal ini dilakukan oleh pedagang ternak sapi di
Tomohon. Kebijakan pemerintah berkaitan dengan usaha tani integrasi sapi-
tanaman perlu disosialisasikan dibarengi dengan strategi agresif seperti
penyuluhan secara rutin. Respons petani-peternak dalam mengadopsi program
tersebut belum memadai. Petani-peternak yang mendapat bantuan ternak sapi
dalam program tersebut sebagian besar gagal karena ternak mati dan sebagian
petani menjual ternaknya (Elly 2008). Hal ini disebabkan pengetahuan petani-
peternak tentang usaha tani integrasi umumnya masih rendah. Priyanti (2007)
menyatakan, adopsi usaha tani integrasi tanaman ternak di Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur juga belum dilaksanakan secara
seimbang oleh sebagian besar petani-peternak. Adopsi teknologi sistem integrasi
ternak sapi tanaman dipengaruhi oleh karakteristik rumah tangga, kondisi usaha
tani, alokasi penggunaan tenaga kerja keluarga, pendapatan dari usaha beternak
119
sapi, dan informasi. Walaupun menurut Priyanti (2007), pendidikan dan
pekerjaan kepala keluarga pengaruhnya kecil terhadap keputusan rumah tangga
dalam mengadopsi usaha tani integrasi, kesadaran petani peternak untuk
mengadopsinya memerlukan upaya khusus. Penggunaan kompos, pendapatan
usaha ternak sapi, dan keikutsertaan dalam organisasi berpengaruh nyata
terhadap keputusan petani-peternak dalam mengadopsi sistem usaha tani
integrasi ternak sapi-tanaman.
Usaha beternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor-
faktor produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja, dan modal untuk
menghasilkan produk peternakan. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung
pada tiga unsur, yaitu bibit, pakan, dan manajemen atau pengelolaan.
Manajemen mencakup pengelolaan perkawinan, pemberian pakan,
perkandangan, dan kesehatan ternak. Manajemen juga mencakup penanganan
hasil ternak, pemasaran, dan pengaturan tenaga kerja. Pemilihan bibit dan
perkawinan ternak umumnya belum mendapat perhatian dari petani-peternak. Di
tahun) hanya 1,79% dari populasi sapi yang ada (Sugeha 1999). Sementara di
Maluku Utara, populasi sapi anak jantan dan betina sekitar 5,40 12,10% dari
populasi sapi yang ada, sapi dara dan jantan muda 4,60 10,90%, dan
mortalitas 4,50 5,80% (Hoda 2012). Hal ini mengindikasikan laju pertumbuhan
populasi ternak lambat karena sapi dewasa digunakan sebagai ternak kerja.
Menurut Santoso dan Tuherkih (2013), lambatnya perkembangan sapi potong
disebabkan oleh dua faktor yang bertentangan, yaitu populasi sapi menurun,
namun jumlah sapi yang dipotong (dilihat dari produksi daging) meningkat. Pada
tahun 2012 dan 2013, populasi sapi di Sulawesi Utara meningkat meskipun
dengan laju yang rendah, namun pada tahun 2014 populasinya menurun 7,56%
disamping produksi daging yang justru meningkat 5,78%.. Penurunan ini
120
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat penerapan teknologi rendah,
kematian ternak tinggi, kelahiran rendah, dan pemeliharaan secara tradisional
atau sebagai usaha sampingan. Petani-peternak memilih mengusahakan ternak
sapi dengan beberapa tujuan. Bagi petani, ternak sapi berfungsi sebagai sumber
pendapatan, protein hewani, dan tenaga kerja serta penghasil pupuk. Fungsi lain
adalah sebagai penghasil bibit dan tabungan. Besarnya kontribusi ternak sapi
terhadap pendapatan bergantung pada jenis sapi yang dipelihara, cara
pemeliharaan, dan alokasi sumber daya yang tersedia di masing-masing wilayah.
Ternak sapi berpotensi dikembangkan di Sulawesi Utara karena 20,82% dari
rumah tangga pertanian berkecimpung dalam usaha beternak (Badan Pusat
Statistik 2013). Pola pemeliharaan ternak secara ekstensif menyebabkan
produktivitasnya rendah sehingga pendapatan juga rendah.
5.2. Karakteristik Demografi Responden
Penelitian ini melibatkan 120 responden dari 3 wilayah penelitian
(Tomohon, Manado, dan Minahasa induk) dan telah dilakukan analisis tabularis.
Hasil analisis tabularis ini tersaji melalui Tabel 5.1. hingga Tabel 5.5. berikut yang
mendeskripsikan karakteristik demografi responden yang terjaring pada
penelitian ini.
Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas responden di ketiga daerah
penelitian ini berpendidikan SMP yaitu antara 14 - 15 orang seperti terlihat pada
Tabel 5.1.
121
Tabel 5.1. Demografi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Kriteria
Manado Tomohon Minahasa Total Frekuensi
(orang) % Frekuensi (orang) % Frekuensi
(orang) % Frekuensi (orang) %
SD 12 31.58 12 28.58 14 35.00 38 31.67 SMP 15 39.47 15 35.71 14 35.00 44 36.67 SMA 10 26.32 13 30.95 11 27.50 34 28.33
Sarjana 1 2.63 2 4.76 1 2.50 4 3.33 Jumlah 38 100.00 42 100.00 40 100.00 120 100.00
Secara statistik, Tabel 5.1. ini dapat digambarkan secara grafis dalam
bentuk diagram batang seperti yang terlihat pada Gambar 5.1. berikut ini.
Gamar 5.1. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Penelitian ini melibatkan 120 responden, dengan mayoritas tingkat
pendidikan rendah yaitu hanya lulusan SMP 37.5% dan SD 31.25%. Responden
yang terjaring dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa penduduk yang
memasuki lapangan kerja pemasaran sapi potong ini sebagian besar
berpendidikan tingkat dasar yaitu, SMP (36.67 %) dan SD (31.67 %). Artinya,
kemampuan menganalisis peluang pasar dan berpikir kearah agribisnis sapi
potong yang lebih maju membutuhkan campur tangan pemerintah termasuk
dalamnya perguruan tinggi.
12 12
14 15 15
14
10
13
11
1 2
1
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Manado Tomohon Minahasa
Frek
uens
i (O
rang
)
SD SMP SMA Sarjana
122
Demografi respondent yang terjaring dalam penelitian ini pula dapat
menggambarkan suatu karakteristik responden berdasarkan usianya yang
secara statistik dapat diuraikan seperti pada Tabel 5.2. berikut ini.
Tabel 5.2. Demografi Responden Berdasarkan Usia
Usia (Tahun)
Manado Tomohon Minahasa Total Frekuensi
(orang) % Frekuensi
(orang) % Frekuensi
(orang) % Frekuensi
(orang) %
< 30 1 2.63 1 2.38 0 0 2 1.67 31 40 9 23.68 10 23.81 11 27.50 30 25.00 41 - 50 13 34.21 14 33.33 13 32.50 40 33.33
51 60 10 26.32 12 28.57 11 27.50 33 27.50 > 60 5 13.16 5 11.91 5 12.50 15 12.50
Jumlah 38 100.00 42 100.00 40 100.00 120 100.00
Dari segi usia, mayoritas responden berusia 41 50 tahun (34.38%), dan
berusia 51 60 tahun (26.56%). Secara statistik, Tabel 5.2. ini dapat digambarkan
secara grafis dalam bentuk diagram batang seperti yang terlihat pada Gambar
5.2. berikut ini
Gambar 5.2.Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Usia
1 1 0
9 10
11
14 15
12
10
12
10
5 5 5
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Manado Tomohon Minahasa
Frek
uens
i (O
rang
)
< 30 thn 31-40 thn 41-50 thn 51-60 thn > 60 thn
123
Informasi yang dapat diperoleh lewat Tabel 5.2. dan Gambar 5.2. ialah,
semua responden selaku partisipan dalam pemasaran ternak sapi potong masih
berada pada usia produktif.
Setiap pebisnis termasuk didalamnya para pemasar / agribisnisman
ternak sapi yang termasuk dalam rantai pemasaran sapi potong menginginkan
perkembangan usahanya kearah masa depan yang cerah dan lebih baik.
Perkembangan usaha ini akan tetap berkelanjutan bila dapat memberikan nilai
insentif yang memadai kepada usahawannya. Perkembangan usaha bisnis
apapun yang ditekuni manusia akan selalu dipengaruhi oleh besarnya nilai
insentif yang ia peroleh. Pencapaian keinginan tersebut akan dipermudah oleh
adanya rangsangan nilai insentif yang didapat dari usaha bisnis itu. Makin besar
nilai insentif yang diperoleh pada tiap usaha bisnis, makin memperbesar
kekuatan rangsangan pebisnis untuk memasuki dan mempertahankan
keberlangsungan usahanya tersebut. Besarnya nilai insentif ini akan makin besar
bila didukung oleh adanya penerapan teknologi lokal yang moderen serta tingkat
pengalaman usahawannya pada bidang usaha bersangkutan.
Secara demografi, karakteristik responden bisa dilihat berdasarkan
pengalaman / lamanya beternak sapi, hal tersebut dapat diikuti pada Tabel 5.3.
berikut.
Tabel 5.3. Demografi Responden Berdasarkan Lama Beternak Sapi
Lama Beternak (Tahun)
Manado Tomohon Minahasa Total Frekuensi
(orang) % Frekuensi (orang) % Frekuensi
(orang) % Frekuensi (orang) %
1-5 thn 7 18.42 9 21.43 8 20.00 24 20.00 6-10 thn 6 15.79 7 16.67 7 17.50 20 16.67 11-20 thn 13 34.21 15 35.71 13 32.50 41 34.17 > 20 thn 12 31.58 11 26.19 12 30.00 35 29.16 Jumlah 38 100.00 42 100.00 40 100.00 120 100.00
124
Secara statistik, informasi yang tersaji dalam Tabel 5.3. ini dapat pula
digambarkan dalam bentuk diagram batang sebagaimana terlihat pada Gambar
5.3. berikut ini.
Gambar 5.3. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Lama Beternak Sapi.
Informasi pada Tabel 5.3. dan Gambar 5.3. menggambarkan bahwa,
sebagian besar petani peternak sapi sudah memiliki pengalaman beternak sapi
lebih dari 10 tahun. Petani peternak sapi dengan pengalaman beternak sapi
lebih dari 10 tahun yang terjaring dalam penelitian ini yaitu sebanyak 76 orang
atau 63.33 %. Secara rinci dari segi pengalaman, 34.17% responden telah
berpengalaman beternak 11 20 tahun, dan 29.16% berpengalaman beternak
lebih dari 20 tahun. Artinya memiliki banyak pengalaman beternak sapi dan
merasakan manfaatnya. Informasi yang diperoleh dari responden ialah ternak
sapi sebagai tabungan yang sewaktu waktu dapat digunakan / dijual saat :
1) Membutuhkan biaya yang besar untuk menyekolahkan anak.
2) Membangun rumah tinggal.
3) Memperbaiki rumah tinggal
4) Menikahkan anak yang mau menikah
8 8 8 7 7 7
14 14 13
12
10
12
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Manado Tomohon Minahasa
Frek
uens
i (O
rang
)
1-5 thn 6-10 thn 11-20 thn > 20 thn
125
5) Membutuhkan biaya biaya yang besar lainnya (misalnya ada anggota
keluarga yang sakit dan harus dirawat ke rumah sakit, ingin merayakan
hari ulang tahun, merayakan hari hari besar keagamaan dan lainnya)
Alasan yang diberikan para responden untuk memilih ternak sapi kerja /
tani maupun ternak sapi potong dari jenis sapi PO (sapi putih) ialah :
1) Bila mau dijual, banyak dicari orang dan banyak orang yang mau
membelinya sebab itu harga ternak sapinya tetap tinggi.
2) Mudah terjual dan mudah mendapatkan uang dalam jumlah besar.
3) Sapi PO (sapi putih) tahan panas, tenaganya sangat membantu
usaha tani sebab itu sangat dibutuhkan petani.
4) Makanan yang dibutuhkannya mudah diperoleh karena itu mudah
memeliharanya, mudah beradaptasi dengan makanan dan lingkungan
setempat.
5) Berbadan besar, banyak dagingnya sebab itu banyak dicari orang.
6) Bila anak sapi memiliki tanda tanda bawaan yang lengkap, harganya
bisa meroket / jauh lebih tinggi lagi.
7) Budidaya ternak sapi PO (sapi putih) sudah lama dikenal dan telah
membudaya bagi masyarakat petani peternak. Kapan dimulainya
budi daya ternak sapi PO di Sulawesi utara, belum ada catatan yang
jelas.
8)
sapi ini didirikan, belum ada informasi jelas. Informasi yang ada yaitu
n Belanda.
Belajar dari pengalaman beternak sapi sebab dapat memberikan nilai
insentif yang tinggi, maka semua responden menjawab ingin melanjutkan usaha
memasarkan ternak sapi. Artinya, usaha agribisnis dan pemasaran ternak sapi di
126
Sulawesi utara memiiki masa depan yang cerah dan usahanya bisa
berkelanjutan.
Demografi responden yang terjaring dalam penelitian ini dapat pula
menggambarkan karakteristik penghasilan seperti terlihat pada Tabel 5.4.
berikut.
Tabel 5.4. Demografi Responden Berdasarkan Tingkat Penghasilan
Penghasilan (Rp)
Manado Tomohon Minahasa Total F
(orang) % F (orang) % F
(orang) % F (orang) %
< 1.000.000,- 1 2.63 1 2.38 2 5.00 4 3.33 1.000.000,- 2.000.000,- 4 10.53 5 11.91 6 15.00 15 12.50
>2.000.000,- - 17 44.74 20 47.62 17 42.50 54 45.00
>5.000.000,-10.000.000,- 13 34.21 13 30.95 12 30.00 38 31.67
> 10.000.000,- 3 7.89 3 7.14 3 7.50 9 7.50 Jumlah 38 100.00 42 100.00 40 100.00 120 100.00
Keterangan : F = Frekuensi
Dari segi penghasilan, mayoritas peternak berpengasilan total antara 2 juta
rupiah hingga 5 juta rupiah yaitu 45.00%, dan 31.67 % berpenghasilan total 5-10
juta. Sebaran hasil analisis statistik secara tabularis yang menganalisis tentang
karakteristik penghasilan petani peternak dan pemasar ternak sapi potong di
Sulawesi utara, terlihat pada Tabel 5.4. Karakteristik penghasilan petani peternak
dan pemasar ternak sapi potong di Sulawesi utara ini, dapat pula
ditransformasikan kedalam bentuk diagram batang seperti pada Gambar 5.4.
sebagai berikut.
127
Gambar 5.4. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Tingkat Penghasilan
Deskripsi demografi responden yang terjaring dalam penelitian ini dapat
pula menggambarkan karakteristik tanggungan keluarganya seperti yang terlihat
pada Tabel 5.5. berikut.
Tabel 5.5. Demografi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan
Tanggungan (Rp)
Manado Tomohon Minahasa Total F
(orang) % F (orang) % F
(orang) % F (orang) %
1 orang 5 13.16 6 14.29 6 15.00 17 14.17 2 orang 12 31.58 11 26.19 11 27.50 34 28.33 3 orang 8 21.05 10 23.81 6 15.00 24 20.00 4 orang 11 28.95 13 30.95 13 32.50 37 30.83 5 orang 2 5.26 2 4.76 4 10.00 8 6.67 Jumlah 38 100.00 42 100.00 40 100.00 120 100.00
Keterangan : F = Frekuensi
Secara statistik, informasi yang tersaji dalam Tabel 5.5. ini dapat pula
digambarkan dalam bentuk diagram batang sebagaimana terlihat pada Gambar
5.5. berikut ini
1 1 2
5 5 5
18 19
17
14 13
11
3 3 3
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Manado Tomohon Minahasa
Frek
uens
i (O
rang
)
< 1jt 1-2 jt 2-5 jt 5-10 jt > 10 jt
128
Gambar 5.5. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Tanggungan
Dari segi tanggungan keluarga, mayoritas responden di ketiga wilayah
(kota Manado, Kota Tomohon dan Kabupaten Mnahasa), memiliki tanggungan
keluarga sebanyak 2 orang (34 orang responden atau 28.33 %) dan 4 orang (37
orang responden atau 30.83 %) dalam satu keluarga. Artinya, usaha beternak
sapi skala kecil dapat menunjang kebutuhan ekonomi keluarga petani peternak
sapi dengan tanggungan 2 (dua) sampai 4 (empat) orang.
5.3. Struktur Pasar
5.3.1. Pendekatan Kualitatif
Asal pembelian input sapi potong ditelusuri berdasarkan informasi dari
konsumen akhir ternak sapi selaku konsumen bisnis / pedagang besar ternak
sapi yang juga pemilik TPH maupun yang pengguna RPH, lewat pemasok
(Pedagang perantara Pemasaran ternak sapi) hingga ke petani pemilik ternak
sapi potong selaku produsen ternak sapi yang mengarah pada satu titik yaitu
konsumen akhir ternak sapi selaku konsumen bisnis / Pedagang Besar ternak
sapi yang juga pemilik TPH atau pengguna RPH.
5 6 6
12 11
12
7
9
7
11
13 13
2 2
4
0
2
4
6
8
10
12
14
Manado Tomohon Minahasa
Frek
uens
i (O
rang
)
1 orang 2 orang 3 orang 4 orang 5 orang
129
Penggunaan waktu dalam penelitian ini dipengaruhi pula oleh faktor
jarak lokasi sasaran dalam wilayah peneltian di Provinsi Sulawesi Utara yang
dapat diikuti melalui Tabel 5.6. berikut ini.
Tabel 5.6. Jarak tempuh: No Tempat asal Melalui Jarak (Km) Tujuan
01 Manado Airmadidi 35,72 Tondano Tomohon 31,26 02 Manado --- 27,00 Airmadidi 03 Manado --- 24,00 Tomohon 04 Manado --- 50,00 Kawangkoan 05 Manado Kawangkoan 80,00 Langowan
06 Manado Inobonto 183,73 Kotamobagu Modoinding 207,26
Pemasar sapi potong / konsumen bisnis selaku konsumen akhir ternak
sapi yang menjadi sampel ditentukan berdasarkan data dari Dinas Pertanian
Peternakan yang terkait. Pedagang perantara pemasaran ternak sapi yang jadi
sumber input ternak sapi bagi pemasar / konsumen bisnis selaku konsumen
akhir ternak sapi, diperoleh melalui teknik Snow Ball berdasarkan informasi dari
peternak sapi potong / pedagang besar / konsumen bisnis sebagai konsumen
akhir ternak sapi. Pedagang perantara pemasaran ternak sapi yang diperoleh
lewat teknik tadi, selanjutnya menjadi awal bola salju guna mendapatkan
informasi tentang petani pemilik ternak sapi selaku produsen ternak sapi yang
jadi sumber ternak sapi potong. Besarnya sampel peternak sapi dan pedagang
perantara pemasaran ternak sapi dapat dilihat pada Tabel 5.7, berikut ini.
Tabel 5.7 Data Peternak Sampel Dan Pedagang Perantara Pemasaran Ternak sapi Sampel.
No Lokasi Pasar Ternak Sapi Petani -
Peternak Sapi (orang)
Jumlah Pedagang Perantara Pemasaran
(orang)
Jumlah Sampel (orang)
1 Kota Manado 10 02 12 2 Kota Tomohon 20 04 24 3 Kawangkoan Kab.Minahasa 50 04 54
Total 80 10 90 Keterangan: Kota Kawangkoan ada tiga kecamatan (Kec. Kawangkoan, Kec.
Kawangkoan Timur dan Kec. Kawangkoan barat) secara administrative ada dibawah pemerintahan Kabupaten Minahasa .
130
Pedagang pengecer daging sapi yang dijadikan sampel ditentukan
melalui teknik Snow Ball berdasarkan informasi dari konsumen akhir ternak sapi
selaku konsumen bisnis ternak sapi yang adalah pemilik TPH atau pengguna
RPH (rangkap penjagal) sebagai pemasar dan pengecer ternak yang telah
ditransformasikan dalam bentuk daging sapi. Data jumlah konsumen bisnis
selaku konsumen akhir ternak sapi dan pedagang pengecer sebagai sampel
(konsumen aktual), dapat diikuti di Tabel 5.8.
Tabel 5.8. Konsumen Bisnis / Konsumen akhir Ternak sapi Selaku Pemasar Daging Sapi
No
Asal Rantai Pedagang Perantara Pemasaran ternak
sapi Dari Pasar Blantek:
Penjualan Daging Sapi (orang) Konsumen Bisnis/Konsumen
Akhir Ternak sapi juga pemasar daging sapi*)
(orang)
Pengecer Daging Sapi**) (orang)
Jumlah (lajur 3 + lajur 4)
(orang)
1 Kawangkoan - - - 2 Kota Manado 06 14 20 3 Kota Tomohon 04 06 10 Total 10 20 30
Keterangan : *) Konsumen Bisnis selaku Konsumen Akhir Ternak sapi sekaligus penjagal dan pemilik tempat pemotongan hewan sapi (TPH), pengguna RPH selaku pemasar daging sapi dipasar tradisional dan distributor daging sapi ke swalayan.
**) Pernah menjadi pemilik TPH atau pengguna RPH dan merupakan keluarga dekat dari Konsumen akhir ternak sapi selaku konsumen bisnis dan pengecer utama daging sapi di pasar tradisional.
Ternak sapi merupakan plasma nutfah yang potensial dan secara genetik
mempunyai kemampuan adaptasi tinggi terhadap lingkungan tropis. Produktivitas
ternak sapi dapat ditingkatkan dengan memperbaiki efisiensi produksi, antara
lain meningkatkan kelahiran pedet, mengoptimalkan jarak beranak (calving
interval) dan memperhatikan masa involusi induk betina, mengoptimalkan
pengelolaan perkawinan guna menyediakan bakalan, dan memperpanjang masa
produksi. Masalah ini perlu mendapat perhatian lebih serius dari pemerintah.
Realitas terjadinya proses pemasaran sapi potong melalui jual beli antara
peternak dan pedagang perantara pemasaran ternak sapi terutama jual beli
131
antara peternak dan konsumen akhir ternak sapi pada proses pemasaran sapi
potong. Baik pada kelompok tani peternak sapi maupun petani peternak sapi
individu telah terjadi proses pembelajaran ekonomi melalui kemampuan peternak
mereduksi peran belantik (makelar, Jobber). Peternak memahami peran belantik
(makelar, Jobber) akan menambah biaya atau mengurangi keuntungan. Upaya
yang dilakukan petani peternak dalam proses pemasaran ternak sapi potong,
mampu mereduksi peranan belantik (makelar, Jobber), dapat dimaknai melalui
proses pemasaran ditingkat peternak kelompok pada saat menjual sapi potong.
Proses pendampingan kelompok tani ternak sapi dapat dimaknai
kaitannya dengan eksistensi kelompok yang telah dapat memberikan
pertimbangan peternak penjual (peternak anggota) baik terkait harga yang
diinginkan serta model pembayarannya. Kelompok yang menjual ternak sapi
dikandang komunal peternak mendapat pembayaran cash (tunai) serta jika
pedagang menawar dengan harga yang dianggap belum cocok menurut
pertimbangan kelompok, maka sapi belum akan dijual. Kelompok memiliki
tanggung jawab untuk berusaha mencarikan pedagang yang lebih potensial.
Keberadaan pendampingan kelompok pada anggotanya dapat memberikan
posisi tawar yang lebih kuat pada proses penjualan ternak sapi oleh peternak
anggota. Meskipun pada proses pemasaran ternak sapi yang akan dijual telah
mampu mereduksi peranan belantik, artinya jika dilihat dari kondisi faktual proses
penjualan ternak sapi potong langsung kepedagang perantara pemasaran ternak
sapi. Temuan penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Wahyuni (2007) yang
menganalisis peran dan finansial agen rantai pasok ternak sapi potong, dimana
peternak sapi potong pola poternakan rakyat dalam melakukan proses
pemasaran ternak sapi tidak dijual ke pasar hewan, peternak menjual ke sesama
peternak lain atau dijual kepedagang sapi.
132
Pola pemasaran sapi di Sulawesi utara, secara deskriptif telah diuraikan
dalam bentuk jaring jaring pemasaran di daerah penelitian sebagaimana terlihat
pada Gambar 5.6. berikut ini.
Gambar 5.6. Jaring Jaring Pemasaran Ternak Sapi Potong di Manado
Jaring jaring pemasaran pada Gambar 5.6. dapat digambarkan kembali
dalam bentuk rantai pemasaran, seperti pada Gambar 5.7. berikut :
Gambar 5.7. Rantai Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kota Manado
Keterangan : TPH (Tempat Potong Hewan ternak sapi), milik pribadi konsumen bisnis. RPH (Rumah Potong Hewan ternak sapi), milik pemerintah daerah;
Mengecer daging sapi dibantu jagal (jagal rangkap pengecer daging sapi) dipasar Pinasungkulan Karombasan Manado
Petani Peternak Sapi di Pasar
Kawangkoan/ Minahasa
Petani Peternak Sapi di Manado
Konsumen Bisnis (KB) / Konsumen Akhir (KA) Sapi Pengguna RPH/ Pemlik TPH
Swalayan Jumbo/ PasarTradisonal Bersehati/ Pinasungkulan
Pedagang Perantara Pemasaran Ternak Sapi
Konsumen Bisnis/ Konsumen Akhir Peng-guna RPH/ Pemilik TPH
Petani Peternak Sapi di Manado Konsumen Bisnis /
Konsumen Akhir Pengguna RPH
Swalayan Jumbo/ Pasar Tradisonal Bersehati
Pedagang Perantara Pemasaran Ternak sapi
Swalayan Jumbo/ Pasar Tradisonal Bersehati/Pasar Pinasungkulan
Petani Peternak Sapi di Manado
Pedagang Perantara Pemasaran Ternak Sapi
Konsumen Bisnis/ Konsumen Akhir TernakSapi / Pemilik TPH
Pasar Tradisional Pinasungkulan
Petani PeternakSapi di Manado
Petani Peternak Sapi di Manado
Kawangkoan
Petani Peternak Sapi di Manado
Petani Peternak Sapi di Manado Pasar
Pedagang/ Agen di KotaManado
Pedagang Besar/ Pengguna RPH Sapi di Manado (selaku pengecer Ternak sapi)
Swalayan Jumbo di
Manado
Mengecer daging sapi dibantu jagal (jagal rangkap pengecer daging sapi) dipasar Bersehati Manado
Pedagang Antar Daerah
Pedagang Antar Daerah
Pedagang Besar/ Pemilik TPH Sapi di Manado (selaku pengecer Ternak sapi)
133
Konsumen akhir selaku konsumen bisnis ternak sapi adalah pemilik TPH
maupun yang pengguna RPH sekaligus penjual ternak sapi dan / atau daging
sapi merangkap pengecer sesuai kebutuhan / permintan pasar.
Gambar 5.6. dan Gambar 5.7. menginformasikan bahwa secara deskriptif,
pola pemasaran ternak sapi yang ada di kota Manado memiliki 4 (empat) pola
rantai pemasaran sapi potong. Sedangkan pola pemasaran sapi di kota
Tomohon, secara dskriptif dapat diikuti melalui Gambar 5.8 dan Gambar 5. 9
berikut ini.
Gambar 5.8. Jaring Jaring Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kota Tomohon.
Model Jaring jaring pemasaran pada Gambar 5.8. ini dapat digambarkan
dalam bentuk pola rantai pemasaran ternak sapi potong seperti pada Gambar
5.9, seperti berikut :
Mengecer Daging Sapi dibantu jagal (Jagal rangkap Pengecer Daging Sapi) di Pasar Beriman Kota Tomohon
Petani /Kelompok Peternak Sapi di Kota Tomohon
Petani /Kelompok Peternak Sapi di
Sapi Kawangkoan
Pedagang Besar/ Konsumen Akhir Ternak sapi / Pemilik TPH di Kota Tomohon (Selaku Pengecer Daging Sapi)
Pedagang Perantara Pemasaran Ternak sapi
134
Gambar 5.9. Rantai Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kota Tomohon
Keterangan : TPH (Tempat Potong Hewan); RPH (Rumah Potong Hewan milik pemerintah); Konsumen Akhir selaku Konsumen Bisnis Ternak sapi adalah
pemilik TPH, pengguna RPH sekaligus penjual ternak sapi (Pengecer) sesuai kebutuhan / permintaan pasar ternak sapi.
Saluran pemasaran ternak sapi hidup. Saluran pemasaran ternak sapi yang di konversi ke daging sapi.
Gambar 5.8. dan Gambar 5.9. menginformasikan bahwa secara
deskriptif, model pemasaran ternak sapi di kota Tomohon memiliki 4 (empat)
pola rantai pemasaran ternak sapi potong. Sedangkan pola pemasaran ternak
sapi potong
Kabupaten Minahasa, secara deskriptif dapat diikuti melalui Gambar 5.10
dan Gambar 5. 11., berikut ini.
Swalayan Jumbo Manado dan Mengecer Daging Sapi di Pasar Beriman Kota Tomohon
Swalayan Jumbo Manado dan Mengecer Daging Sapi di Pasar Beriman Kota Tomohon
Petani/Kelompok tani Ternak Sapi di Kota Tomohon
Konsumen Bisnis / Konsumen Akhir Ternak Sapi, Pemilik TPH di Kota Tomohon
Swalayan Jumbo di Manado dan Mengecer Daging Sapi di Pasar Beriman KotaTomohon
Petani/Peternak di Pasar Blantek ternak Sapi Kawangkoan -Minahasa
Konsumen Bisnis / Konsumen Akhir Ternak sapi / Pemilik TPH di Kota Tomohon
Pedagang Perantara Pemasaran
Ternak Sapi
Konsumen Akhir / Konsumen Bisnis Ternak Sapi, Pemilik TPH di Kota Tomohon
Petani Peternak di Pasar
Sapi Kawangkoan Minahasa
Pedagang PerantaraPemasar-an Ternak Sapi
Konsumen Akhir/ Konsumen Bisnis, Pemilik TPH Ternak sapi di Kota Tomohon
Swalayan Jumbo Manado dan MengecerDaging Sapi di Pasar Beriman KotaTomohon
Petani / Kelompok Peternak
Sapi di Kota Tomohon
135
Gambar 5.10.Jaring Jaring Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kabupaten Minahasa
Jaring jaring pemasaran ini dapat digambarkan dalam bentuk rantai
pemasaran, seperti Gambar 5.11., berikut :
Sapi jantan Usia
1 Tahun**)
Gambar 5.11. Rantai Pemasaran Ternak Sapi Potong di Kabupaten Minahasa
Keterangan: e (Blantik) Sapi terdapat dua katagori sapi yang di
perjualbelikan yaitu sapi potong dan sapi putaran / sapi tani. e .Kes.Wan dan kandang AI.
Sumber Semennya dari Lembang (sapi Orlon, Oportune, Onasis, Optima dan Owen) dan Singosari (sapi Krista, Rangga dan Tunguh). (Kasub-Din Peternakan Din-Pertanian Minahasa, Tahun 2015).
**) Hanya sapi jantan yang bisa diantar pulaukan / antar provinsi. (Kasub-Din Peternakan Dinas Pertanian Kabupaten Minahasa, Tahun 2015).
***) Sapi potong di jual ke konsumen akhir pengguna RPH / Pemilik TPH dari Kota Manado dan konsumen akhir pemilik TPH dari Kota Tomohon.
Kelompok Petani Peternak Sapi di Kota Tomohon, Tompaso, Langowan dan Kawangkoan
Petani Peternak Sapi di :Kota Tomohon, sekitar Kota
Kawangkoan (Kec.Kawangkoan,Kec.Kawangkoan Timur, Kec.Kawangkoan Barat), Tompaso dan Langowan.
eSapi di
Kawangkoan Kabupaten Minahasa
Petani Peternak Sapi di
Sapi Kawangkoan
Pedagang Antar Kabupatendan Antar Provinsi
Pedagang Besar / Konsumen Bisnis selaku Konsumen Akhir Ternak sapi / Penjagal Pemilik TPH maupun pengguna RPH
(selaku Pengecer Ternak Sapi sesuai kebutuhan pasar)
Petani / Kelompok Peternak Sapi di Kota Kawangkoan Raya dan sekitarnya
Sapi *)
Petani/Kelompok Peternak Sapi di Kota Kawangkoan Raya dan sekitarnya
Petani / Kelompok Peternak Sapi di Kota Kawangkoan Raya dan sekitarnya
Sapi *)
Pedagang Sapi antar Kabupa-ten/Kota dalam Provinsi ***)
Pedagang Pengguna RPH/ Pemilik TPH di Manado selaku peng-ecer Daging Sapi
Petani / Kelompok Peternak Sapi di Kota Kawangkoan Raya dan sekitarnya
Sapi *)
Pedagang Sapi antar Provinsi (Prov.Gorontalo, Prov.Sulawesi Tengah)
136
Pola pemasaran sapi potong di Kota Manado disajikan secara lengkap
pada Gambar 5.6. sampai Gambar 5.7. Petani peternak sapi di Manado, ada
yang memasarkan ternak sapi melalui pedagang perantara pemasaran di Kota
Manado, kemudian dipasarkan kepada konsumen bisnis selaku konsumen akhir
pengguna RPH sapi di Manado. Konsumen akhir ternak sapi di kota Manado
sudah dikenal oleh petani peternak, sebab itu bila mereka mau menjual ternak
sapinya sebagai ternak sapi potong, mereka menghubungi konsumen akhir yang
ada di kota Manado. Petani peternak sapi di Pasar Blantek Kawangkoan,
memasarkan ternak sapinya melalui pedagang perantara pemasaran antar
daerah, kemudian dipasarkan kepada konsumen bisnis selaku konsumen akhir
pengguna RPH sapi di Manado. Pada pasar tersebut, kemudian didistribusikan
jagal (jagal rangkap pengecer daging sapi) mengecer daging sapi di Pasar
Pola pemasaran ternak sapi potong di Kota Tomohon disajikan pada
Gambar 5.8. dan Gambar 5.9. bahwa, ada tiga produsen pada pola pemasaran
ternak sapi yaitu : 1) Petani peternak sapi di kota Tomohon, 2) Petani peternak
sapi di sekitar p e 3) Kelompok Petani
peternak sapi. Petani peternak sapi di Kota Tomohon, secara langsung (tanpa
perantara) memasarkan ternak sapinya ke konsumen bisnis selaku konsumen
akhir pemilik TPH sapi di Kota Tomohon. Produsen lainnya yaitu petani peternak
sapi pada pasar Blantek di Kawangkoan, ada yang memasarkan ternak sapinya
melalui pedagang perantara pemasaran antar daerah, dan ada pula yang
memasarkan ke konsumen bisnis selaku konsumen akhir ternak sapi pemilik
TPH sapi dari Kota Tomohon. Konsumen akhir ternak sapi, mendistribusikan ke
pasar Swalayan di kota Manado dan kota Tomohon dan mengecer ternak sapi
137
dalam bentuk daging sapi (dibantu jagal rangkap pengecer daging sapi) di pasar
Beriman kota Tomohon.
Pola pemasaran ternak sapi potong di Kabupaten Minahasa berpusat
pada oan, disajikan pada Gambar 5.10. dan Gambar
5.11. Pada gambar tersebut terlihat ada dua produsen sapi potong pada pola
pemasaran yaitu 1) petani peternak sapi dan 2) kelompok petani peternak sapi di
sekitar Kota Kawangkoan (Kecamatan Kawangkoan; Kecamatan Kawangkoan
Timur, Kecamatan Kawangkoan Barat), Kecamatan Tompaso Barat, dan
kecamatan Langowan), secara langsung (tanpa perantara) memasarkan ternak
sapinya ke e di Kawangkoan. Pada pasar tersebut, kemudian
didistribusikan pada tiga saluran pemasaran yaitu: 1) petani peternak sapi di
e di Kawangkoan, 2) Pedagang perantara
pemasaran ternak sapi antar kabupaten dan propinsi, serta 3) Konsumen bisnis /
konsumen akhir ternak sapi selaku pemilik TPH sapi dari Kota Tomohon.
Ketiadaan peran makelar dalam proses penjualan ternak sapi meskipun
dapat direduksi, dalam proses penjualan ternak sapi masih perlu direduksi lagi
saat peternak anggota yang menjual ternak sapi potong dengan performa yang
baik sebagai ternak sapi bibit (bakalan ataupun indukan). Perlu diupayakan oleh
kelompok untuk membeli ternak sapi dari anggotanya yang memiliki kriteria baik
sebagai bibit yang baik, untuk tidak dijual keluar kelompok meskipun anggotanya
sangat mendesak membutuhkan uang. Sehingga hanya ternak sapi potong yang
memiliki kriteria bibit yang kurang baik saja yang dijual kepedagang ternak sapi.
Pertimbangan ini didasarkan bahwa ternak sapi potong yang memiliki kriteria
bibit yang baik dapat dipertahankan dalam rangka menjaga dan meningkatkan
produktifitas ternak sapi potong yang dikelola para peternak kelompok.
Pertimbangan lain adalah jika peternak membeli bibit yang memiliki kriteria baik
138
khususnya pada pedagang ternak sapi harganya bisa lebih mahal, karena
pedagang pasti mencari untung.
Pemasaran ternak sapi potong oleh peternak individu, sebagaimana pada
peternak kelompok yaitu mereka bersikap untuk dapat mereduksi peranan
belantek. Kondisi faktual dapat dilihat bahwa munculnya pembelajaran ekonomi
oleh peternak ketika menjual ternak sapi yaitu sebelum ditawarkan kepedagang,
terlebih dahulu ditawarkan pada sesama peternak disekitar tempat tinggalnya.
Proses ini dianggap lebih mudah karena secara personal mereka sama sama
telah mengenal, sudah terjalin hubungan antar peternak dalam aktifitas mereka
melakukan usaha tani ternak. Tapi, jika penawaran ternak sapi potong tidak
diminati oleh peternak sekitarnya, mereka mencari pedagang yang juga tidak
jauh dari tempat tinggalnya. Pada kondisi ini nampak terdapat proses memilih
calon pembeli oleh peternak individu. Proses dipilihnya pedagang perantara
pemasaran ternak sapi oleh petani peternak sapi yang secara umum
dipertimbangkan pedagang disekitar tempat tinggalnya.
Terdapat salah satu diantara peternak individu tersebut yang memilki
sikap ekonomis terkait pengadaan bibit sapi potong dan penjualan sapi yaitu
lebih memilih konsumen bisnis sebagai konsumen akhir ternak sapi selaku
pemilik TPH atau pengguna RPH, juga sebagai penjagal (rangkap penjual daging
sapi) yang menjagal sendiri ternak sapinya. Pola seperti ini memperlihatkan
adanya proses satu paket penjualan sekaligus pengadaan bibit ternak sapi oleh
petani peternak sapi melalui konsumen bisnis / konsumen akhir ternak sapi
pemilik TPH maupun pada konsumen bisnis ternak sapi pengguna RPH.
Kenyataan ini memperlihatkan efektifitas dan efisiensi baik dari segi waktu pada
proses penjualan serta pengadaan bibit sapi yang akan dipelihara peternak sapi.
Petani peternak sapi tidak perlu lagi melakukan aktifitas menjual dan membeli di
pasar hewan terdekat. Ketika peternak menjual ternak sapi, kenyataannya
139
jumlah uang yang dibutuhkan belum tentu sejumlah hasil penjualan ternak sapi.
Sisa uang dari kelebihan hasil menjual ternak sapi, oleh peternak penjual diminta
dalam bentuk bibit ternak sapi.
Temuan penelitan ini setidaknya menjadi pemutus mata rantai
pemasaran ternak sapi potong yang terlalu panjang khususnya oleh peternak
skala kecil. Sebagaimana hasil kajian Hasnudi (2004) pada pemasaran ternak
besar seperti sapi dan kerbau di Sumatera Utara, begitu panjangnya mata rantai
pemasaran ternak potong, yang diawali dari penjualan ternak oleh peternak
sampai kepada konsumen akhir (rumah tangga, restoran / pengusaha rumah
makan, pesta hajatan dll) berupa daging. Petani peternak sapi di pedesan pada
umumnya menjual ternaknya ke pedagang pengumpul di tingkat desa, untuk
seterusnya dibawa atau dijualkan ke pasar hewan atau ke pedagang lainnya di
tingkat kecamatan. Pedagang perantara pemasaran ternak dari kota besar
datang membeli ternak sapi potong di pasar hewan, untuk selanjutnya dijual
kepada penjagal di RPH atau kepada agen penjual daging, seterusnya
didistribusikan ke penjual daging di pasar, kemudian dibeli oleh konsumen akhir.
Sistem penjualan ternak sapi seperti terurai diatas telah berlangsung lama tanpa
ada suatu perubahan, dari penjangnya mata rantai pemasaran tersebut.
Pembiayaan dan keuntungan setiap pelaku dalam mata rantai pemasaran yang
panjang akan menjadi pengurang perolehan peternak sebagai produsen.
Perkiraan keuntungan yang diperoleh seluruh pelaku dalam mata rantai tersebut
tidak kurang dari Rp. 1 juta, atau sebesar 20% dari harga rata-rata jual ditingkat
peternak sebesar Rp. 5 juta per ekor. Penentuan harga jual ternak di tingkat
petani peternak sapi dilakukan dengan sistem taksiran, yang kecenderungannya
merugikan pihak peternak, sehingga menambah penderitan petani peternak.
Hasil kajian Hasnudi (2004) juga memperlihatkan bahwa ada
pertimbangan ekonomis lainnya dari peternak yang memilih konsumen bisnis /
140
konsumen akhir ternak sapi sekaligus penjagal, yaitu ketika uang hasil menjual
ternak sapi tidak diminta secara keseluruhan, maka uang tersebut dititipkan pada
konsumen akhir sebagai tabungan. Peternak merasa cukup membawa uang
sesuai kebutuhannya, jika ternak sapi yang dipelihara adalah satu-satunya, maka
kelebihan dari uang yang diminta diwujudkan dalam bentuk sapi bibit. Bila, petani
peternak masih memiliki sapi yang dipelihara di rumahnya, maka kelebihan uang
dititipkan pada pedagang bersangkutan, dan akan diambil menurut kebutuhanya.
Kalau uang hasil menjual sapi tidak diambil seperlunya, dikawatirkan akan cepat
habis untuk kebutuhan yang dianggap tidak jelas. Selain itu peternak
menganggap konsumen bisnis selaku konsumen akhir ternak sapi, memiliki
kekuatan finansial yang lebih bagus dibanding pedagang perantara pemasaran
ternak sapi saja. Jumlah ternak sapi yang dimiliki konsumen bisnis selaku
konsumen akhir ternak sapi lebih banyak dibanding kepemilikan pedagang biasa,
peternak dimudahkan memilih ternak sapi bibit (kriteria bibit baik meskipun
tampilan fisik sapi terlihat kurus) dari hasil kelebihan sisa uang penjualan sapi
yang diminta dalam bentuk uang tunai sesuai kebutuhan peternak. Proses
tersebut memperlihatkan bahwa konsumen akhir ternak sapi selaku jagal ternak
sapi akan menjagal ternak sapi walau masih dapat dipelihara sebagai bibit sapi
yang baik. Berdasarkan pertimbangan tersebut sebenarnya peternak telah
melakukan proses pembelajaran ekonomi melalui sikap yang dimunculkan dalam
pemilihan ternak sapi bakalan yang masih memiliki peluang bagus untuk
dipelihara. Ternak sapi jika dipelihara dengan baik terutama pola pemberian
pakannya yang cukup bagus (bergizi), akan didapatkan compensatory growth
dimana ternak sapi potong tersebut akan mengalami fase pertumbuhan
(pertambahan) bobot badan yang naik cukup signifikan akibat suplai pemberian
pakan yang lebih berkualitas.
141
5.3.2. Pendekatan Matematis
Struktur pasar pada bagian selanjutnya adalah mengkaji secara
matematis melalui pendekatan konsentrasi rasio. Konsentrasi rasio adalah rasio
antara jumlah komoditas yang dibeli dengan jumlah yang dipasarkan dan
dinyatakan dalam satuan persen. Hal ini dapat diikuti melalui hasil analisis
Tabularis pada Tabel 5.9 berikut ini.
Tabel 5.9. Perhitungan Konsentrasi Rasio
Pasar Rata-rata Volume
Yang Dibeli (Kg)
Rata-rata Volume yang dipasarkan
(Kg)
Kr (%)
Manado 295 345 85.51
Tomohon 237 280 84.71
Minahasa 306 350 87.36
Total 85.86 Sumber: Data Primer Diolah, 2016 (Lampiran 1)
Dari hasil perhitungan menghasilkan persentase Kr kumulatif pada 3
(tiga) pasar ternak sapi adalah 85.86 persen, menunjukkan bahwa struktur pasar
cenderung mengarah pada pasar oligopsoni konsentrasi tinggi. Persentase Kr
kumulatif pada pasar ternak sapi di Minahasa adalah 87.36 persen, menunjukan
bahwa struktur pasar cenderung mengarah pada pasar oligopsoni konsentrasi
tinggi. Persentase Kr kumulatif pada pasar ternak sapi di kota Manado adalah
85.51 persen, menunjukan bahwa struktur pasar cenderung mengarah pada
pasar oligopsoni konsentrasi tinggi. Persentase Kr kumulatif pada pasar
Tomohon adalah 84.71 persen, menunjukkan bahwa struktur pasar cenderung
mengarah pada pasar oligopsoni konsentrasi tinggi.
Pengukuran selanjutnya adalah elastisitas transmisi. Analisis transmisi
harga untuk mengetahui respon harga ternak sapi di tingkat petani peternak
produsen karena perubahan harga di tingkat konsumen bisnis yang merupakan
142
konsumen akhir ternak sapi. Hasil analisis dengan menggunakan alat analisis
regresi linier berganda terhadap data penelitian, terlihat pada Tabel 5.10 Tabel
5.12 (Lampiran 2) sebagai berikut:
Tabel 5.10. Hasil Analisis Transmisi Harga di Pasar Manado
Variabel B P-value Keputusan Interval Konfidensi
Persamaan 1: Pf Konstanta -1.447 Ln Pr (Harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi) 0.646 0.008 Signifikan (0.192; 1.100)
Ln Pp (harga di tingkat pedagang perantara pemasaran) 0.469 0.017 Signifikan (0.094; 0.844)*)
Variabel Dependen : Ln Pf (Harga di tingkat Produsen) R2
Pf = 67.1% Persamaan 2: Pp Konstanta 3.819 Ln Pr (Harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi) 0.656 0.014 Signifikan (0.151; 1.159)
Variabel Dependen : Ln Pp (Harga di tingkat Pedagang Perantara Pemasaran) R2
Pp = 29.3% Sumber : Data Primer Diolah, 2016 (Lampiran 2) Keterangan: Tanda*) menyatakan efisien (angka 1 ada dalam interval konfidensi)
Persamaan analisis transmisi harga di Pasar Manado sebagai berikut:
Ln Pf = -1.447 + 0.646 Ln Pr + 0.469 Ln Pp
Ln Pp = 3.819 + 0.656 Ln Pr
Pengujian kesesuaian model melalui analisis path menggunakan
koefisien determinasi total (R2total), dengan formulasi sebagai berikut: Angka
koefisien determinasi (R2Pf) pada Pasar Manado sebesar 67.1% mengindikasikan
bahwa harga ternak sapi di tingkat produsen dipengaruhi sebesar 67.1% oleh
harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir, dan harga ternak sapi di tingkat
pedagang perantara pemasaran. Angka koefisien determinasi (R2Pp) pada Pasar
di Manado sebesar 29.3% mengindikasikan bahwa harga ternak sapi di tingkat
pedagang perantara pemasaran dipengaruhi sebesar 29.3% oleh harga ternak
143
sapi di tingkat konsumen akhir. Dengan demikian koefisien determinasi total
sebagai berikut:
R2total = 1 (1 R2
Pf) (1 R2Pp) = 1 (1 0.671) (1 0.293) = 0.767 = 76.7%
Angka koefisien determinasi total sebesar 76.7%, artinya sebesar 76.7% analisis
path mampu menjelaskan keragaman data awal, dan sisanya 23.3% yang tidak
mampu dijelaskan oleh model analisis path. Angka R2total>0.75 atau 75% menurut
Hair dan Ringle (2011) menunjukkan bahwa model yang diperoleh telah
memenuhi goodness of fit (R2total= 76.7% > 75%). Artinya model analisis path
yang diperoleh layak untuk digunakan untuk pengujian hipotesis pada tahapan
selanjutnya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa besarnya koefisien regresi harga
ternak sapi di tingkat konsumen akhir dengan harga ternak sapi di tingkat
produsen ( 1) adalah sebesar 0.646, dan hasil pengujian memperlihatkan P-
value sebesar 0.008 < 0.05, mengindikasikan harga ternak sapi di tingkat
konsumen akhir menentukan harga ternak sapi di tingkat produsen. Besarnya
koefisien bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi harga ternak sapi di
tingkat konsumen akhir pada Pasar ternak Sapi di Manado berpengaruh
terhadap tingginya harga ternak sapi di tingkat produsen.
Elastisitas transmisi harga ternak sapi antara produsen dengan
konsumen akhir sebesar 0.646. Jika dikaitkan dengan hipotesis 1 = 1, dengan
interval konfidensi sebesar (0.192; 1.100), angka 1 = 1 berada dalam interval
konfidensi tersebut, dengan demikian hipotesis 1 = 1 diterima. Mengingat
elastisitasi transmisi 1= 1 mengindikasikan bahwa model pemasaran ternak sapi
pada transmisi harga di tingkat produsen ke tingkat konsumen akhir pada Pasar
di Manado adalah tidak efisien. Mengingat transmisi tidak efisien, maka apabila
144
terjadi kenaikan harga sebesar 1% di tingkat konsumen akhir, maka akan
menaikkan harga ternak sapi sebesar 1% di tingkat produsen.
Hasil analisis menunjukkan bahwa besarnya koefisien regresi harga
ternak sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran dengan harga ternak sapi
di tingkat produsen ( 2) adalah sebesar 0.469, dan hasil pengujian
memperlihatkan P-value sebesar 0.017 < 0.05, mengindikasikan harga ternak
sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran menentukan harga ternak sapi di
tingkat produsen. Besarnya koefisien bertanda positif mengindikasikan semakin
tinggi harga ternak sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran pada Pasar
ternak Sapi di Manado berpengaruh tingginya harga ternak sapi di tingkat
produsen.
Elastisitas transmisi harga ternak sapi antara produsen dengan perantara
pemasaran sebesar 0.469. Jika dikaitkan dengan hipotesis 2 = 1, dengan
interval konfidensi sebesar (0.094; 0.844), angka 2 = 1 tidak berada dalam
interval konfidensi tersebut, dengan demikian hipotesis 2 = 1 ditolak. Elastisitasi
transmisi 2 1 mengindikasikan bahwa model pemasaran ternak sapi pada
transmisi harga di tingkat produsen ke tingkat pedagang perantara pemasaran di
Pasar Manado adalah efisien. Elastisitas transmisi harga ternak sapi sebesar
0.469 mengindikasikan apabila terjadi kenaikan harga sebesar 1% di tingkat
pedagang perantara pemasaran, akan menaikkan harga sebesar 0.469% di
tingkat produsen.
Hasil analisis menunjukkan bahwa besarnya koefisien regresi harga
ternak sapi di tingkat konsumen akhir dengan harga ternak sapi di tingkat
perantara ( 3) adalah sebesar 0.655, dan hasil pengujian memperlihatkan P-
value sebesar 0.014 < 0.05, mengindikasikan harga ternak sapi di tingkat
konsumen akhir menentukan harga ternak sapi di tingkat pedagang perantara
145
pemasaran ternak sapi. Besarnya koefisien bertanda positif mengindikasikan
semakin tinggi harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir pada Pasar ternak
Sapi di Manado berpengaruh tingginya harga ternak sapi di tingkat pedagang
perantara pemasaran ternak sapi di Manado.
Elastisitas transmisi harga ternak sapi antara pedagang perantara
pemasaran dengan konsumen akhir ternak sapi sebesar 0.655. Jika dikaitkan
dengan hipotesis 3 = 1, dengan interval konfidensi sebesar (0.151; 1.159),
angka 3 = 1 berada dalam interval konfidensi tersebut, dengan demikian
hipotesis 3 = 1 diterima. Mengingat elastisitasi transmisi 3= 1 mengindikasikan
bahwa model pemasaran ternak sapi pada transmisi harga di tingkat pedagang
perantara pemasaran ke tingkat konsumen akhir di Pasar Manado adalah tidak
efisien. Mengingat transmisi tidak efisien, maka bila terjadi kenaikan harga
sebesar 1% di tingkat konsumen akhir, akan menaikkan harga ternak sapi
sebesar 1% di tingkat pedagang perantara pemasaran ternak sapi. Secara
deskriptif, hal ini dapat digambarkan lewat Gambar 5.12. sebagai berikut :
Harga ternak sapi di tingkat perantara
konsumen akhir (Pr)
Harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran (Pp)
Harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
Efisien
Tidak Efisien
Gambar 5.12. Hasil Analisis Path: Elastisitas Transmisi di Pasar Manado
Dari ketiga hasil di atas, pemasaran ternak sapi potong di Pasar Manado
efisien jika menilik nilai elastisitas transmisi harga dari pedagang perantara
146
pemasaran ternak sapi ke produsen ternak sapi (petani peternak sapi), akan
tetapi tidak efisien untuk harga elastisitas transmisi harga dari konsumen akhir
ternak sapi ke produsen / petani peternak sapi, dan konsumen bisnis selaku
konsumen akhir ternak sapi ke pedagang perantara pemasaran ternak sapi.
Hasil analisis transmisi harga ternak sapi di pasar Tomohon dapat diikuti
pada Tabel 5.11 berikut ini :
Tabel 5.11. Hasil Analisis Transmisi Harga di Pasar Tomohon
Variabel B P-value
Keputusan Interval Konfidensi
Persamaan 1: Pf Konstanta -0.880 Ln Pr (Harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi) 0.448 0.017 Signifikan (0.089; 0.807)*
Ln Pp (harga di tingkat perantara pemasaran) 0.617 0.002 Signifikan (0.263; 0.971)*
Variabel Dependen : Ln Pf (Harga di tingkat Produsen ternak sapi) R2
Pf = 70.4% Persamaan 2: Pp Konstanta 5.461 Ln Pr (Harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi) 0.510 0.024 Signifikan (0.077; 0.944)*
Variabel Dependen : Ln Pp (Harga di tingkat Perantara pemasaran ternak sapi) R2
Pp = 25.4% Sumber: Data Primer Diolah, 2016 (Lampiran 2) Keterangan: Tanda * menyatakan efisien (angka 1 ada dalam interval konfidensi)
Persamaan analisis transmisi harga di Pasar Tomohon sebagai berikut:
Ln Pf = -0.880 + 0.448 Ln Pr + 0.617 Ln Pp
Ln Pp = 5.461 + 0.510 Ln Pr
Pengujian kesesuaian model analisis path menggunakan koefisien
determinasi total (R2total), dengan formulasi sebagai berikut: Angka koefisien
determinasi (R2Pf) pada Pasar Tomohon sebesar 70.4% mengindikasikan bahwa
harga ternak sapi di tingkat produsen dipengaruhi sebesar 70.4% oleh harga
147
ternak sapi di tingkat konsumen akhir, dan harga ternak sapi di tingkat pedagang
perantara pemasaran. Angka koefisien determinasi (R2Pp) pada Pasar Tomohon
sebesar 25.4% mengindikasikan bahwa harga ternak sapi di tingkat pedagang
perantara pemasaran ternak sapi dipengaruhi sebesar 25.4% oleh harga ternak
sapi di tingkat konsumen akhir. Dengan demikian koefisien determinasi total
sebagai berikut:
R2total = 1 (1 R2
Pf) (1 R2Pp) = 1 (1 0.704) (1 0.254) = 0.779 = 77.9%
Angka koefisien determinasi total sebesar 77.9%, artinya sebesar 77.9% analisis
path mampu menjelaskan keragaman data awal, dan sisanya 22.1% yang tidak
mampu dijelaskan oleh model analisis path. Angka R2total>0.75 atau 75% menurut
Hair dan Ringle (2011) menunjukkan bahwa model yang diperoleh telah
memenuhi goodness of fit (R2total= 77.9% > 75%). Artinya model analis path yang
diperoleh layak digunakan untuk pengujian hipotesis pada tahapan selanjutnya.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa besarnya koefisien regresi
harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir dengan harga ternak sapi di tingkat
produsen ( 1) adalah sebesar 0.448, dan hasil pengujian memperlihatkan P-
value sebesar 0.017 < 0.05, mengindikasikan harga ternak sapi di tingkat
konsumen akhir menentukan harga ternak sapi di tingkat produsen. Besarnya
koefisien bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi harga ternak sapi pada
tingkat konsumen akhir di Pasar ternak Sapi Tomohon berpengaruh terhadap
tingginya harga ternak sapi di tingkat produsen.
Elastisitas transmisi harga ternak sapi antara produsen dengan
konsumen akhir sebesar 0.448. Jika dikaitkan dengan hipotesis 1 = 1, dengan
interval konfidensi sebesar (0.089; 0.807), angka 1 = 1 tidak berada dalam
interval konfidensi tersebut, dengan demikian hipotesis 1 = 1 ditolak. Mengingat
elastisitasi transmisi 1 1 mengindikasikan bahwa model pemasaran ternak sapi
148
pada transmisi harga di tingkat produsen ke tingkat konsumen akhir ternak sapi
di Pasar Tomohon adalah efisien. Elastisitas transmisi harga ternak sapi sebesar
0.448 mengindikasikan apabila terjadi kenaikan harga sebesar 1% di tingkat
konsumen akhir, maka akan menaikkan harga ternak sapi sebesar 0.448% di
tingkat produsen ternak sapi.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa besarnya koefisien regresi
harga ternak sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran dengan harga
ternak sapi di tingkat produsen ( 2) adalah sebesar 0.617, dan hasil pengujian
memperlihatkan P-value sebesar 0.002 < 0.05, mengindikasikan harga ternak
sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran menentukan harga ternak sapi di
tingkat produsen ternak sapi. Besarnya koefisien bertanda positif
mengindikasikan semakin tinggi harga ternak sapi di tingkat pedagang perantara
pemasaran ternak sapi di Pasar ternak Sapi Tomohon berpengaruh terhadap
tingginya harga ternak sapi di tingkat produsen ternak sapi.
Elastisitas transmisi harga ternak sapi antara produsen dengan pedagang
perantara pemasaran sebesar 0.617. Jika dikaitkan dengan hipotesis 2 = 1,
dengan interval konfidensi sebesar (0.263; 0.971), angka 2 = 1 tidak berada
dalam interval konfidensi tersebut, dengan demikian hipotesis 2 = 1 ditolak.
Mengingat elastisitasi transmisi 2 1 mengindikasikan bahwa model pemasaran
ternak sapi pada transmisi harga di tingkat produsen ke tingkat pedagang
perantara pemasaran di Pasar Tomohon adalah efisien. Elastisitas transmisi
harga ternak sapi sebesar 0.617 mengindikasikan apabila terjadi kenaikan harga
sebesar 1% di tingkat pedagang perantara pemasaran, maka akan menaikkan
harga ternak sapi sebesar 0.617% di tingkat produsen ternak sapi.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa besarnya koefisien regresi
harga ternak sapi sapi di tingkat konsumen akhir dengan harga ternak sapi di
149
tingkat pedagang perantara pemasaran ( 3) adalah sebesar 0.510, dan hasil
pengujian memperlihatkan P-value sebesar 0.024 < 0.05, mengindikasikan harga
ternak sapi di tingkat konsumen akhir menentukan harga ternak sapi di tingkat
pedagang perantara pemasaran ternak sapi. Besarnya koefisien bertanda positif
mengindikasikan semakin tinggi harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir di
Pasar ternak Sapi Tomohon berpengaruh tingginya harga ternak sapi di tingkat
pedagang perantara pemasaran ternak sapi di kota Tomohon.
Elastisitas transmisi harga ternak sapi antara pedagang perantara
pemasaran dengan konsumen akhir ternak sapi sebesar 0.510. Jika dikaitkan
dengan hipotesis 3 = 1, dengan interval konfidensi sebesar (0.077; 0.944),
angka 3 = 1 tidak berada dalam interval konfidensi tersebut, dengan demikian
hipotesis 3 = 1 ditolak. Mengingat elastisitasi transmisi 3 1 mengindikasikan
bahwa model pemasaran ternak sapi pada transmisi harga di tingkat pedagang
perantara pemasaran ke tingkat konsumen akhir ternak sapi di Pasar Tomohon
adalah efisien. Elastisitas transmisi harga ternak sapi sebesar 0.510
mengindikasikan apabila terjadi kenaikan harga sebesar 1% di tingkat konsumen
akhir, maka akan menaikkan harga ternak sapi sebesar 0.510% di tingkat
pedagang perantara pemasaran ternak sapi.
Harga ternak sapi di tingkat perantara
konsumen akhir (Pr)
Harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran (Pp)
Harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
Gambar 5.13. Hasil Analisis Path: Elastisitas Transmisi di Pasar Tomohon
150
Dari ketiga hasil di atas, pemasaran ternak sapi potong di Pasar Tomohon efisien
jika menilik nilai elastisitas transmisi harga dari produsen ke pedagang perantara
pemasaran ternak sapi, produsen ke konsumen bisnis / konsumen akhir ternak
sapi, dan pedagang perantara pemasaran ke konsumen bisnis selaku konsumen
akhir ternak sapi.
Hasil analisis statistik terhadap transmisi harga ternak sapi pada pasar
ternak sapi di Minahasa, dapat diikuti Tabel 5.12 berikut ini.
Tabel 5.12. Hasil Analisis Transmisi Harga di Pasar Minahasa
Variabel B P-Value Keputusan Interval Konfidensi
Persamaan 1: Pf Konstanta -1.354 Ln Pr (Harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi) 0.574 0.016 Signifikan (0.121; 1.028)
Ln Pp (harga di tingkat pedagang perantara pemasaran) 0.531 0.012 Signifikan (0.135; 0.928)*
Variabel Dependen : Ln Pf (Harga di tingkat Produsen) R2
Pf = 65.5% Persamaan 2: Pp Konstanta 4.385 Ln Pr (Harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi) 0.606 0.016 SIgnifikan (0.126; 1.086)
Variabel Dependen : Ln Pp (Harga di tingkat Pedagang Perantara Pemasaran) R2
Pp = 28.1% Sumber: Data Primer Diolah, 2016 (Lampiran 2)
Keterangan: Tanda * menyatakan efisien (angka 1 ada dalam interval konfidensi)
Persamaan analisis transmisi harga di Pasar Minahasa sebagai berikut:
Ln Pf = -1.354 + 0.574 Ln Pr + 0.531 Ln Pp
Ln Pp = 4.385 + 0.606 Ln Pr
Pengujian kesesuaian model menggunakan analisis path menggunakan
koefisien determinasi total (R2total), dengan formulasi sebagai berikut: Angka
koefisien determinasi (R2Pf) pada Pasar Minahasa sebesar 65.5%
mengindikasikan bahwa harga ternak sapi di tingkat produsen ternak sapi
151
dipengaruhi sebesar 65.5% oleh harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir
ternak sapi, dan harga ternak sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran.
Angka koefisien determinasi (R2Pp) pada Pasar Minahasa sebesar 28.1%
mengindikasikan bahwa harga ternak sapi di tingkat pedagang perantara
pemasaran dipengaruhi sebesar 28.1% oleh harga ternak sapi di tingkat
konsumen akhir ternak sapi. Dengan demikian koefisien determinasi total
sebagai berikut:
R2total = 1 (1 R2
Pf) (1 R2Pp) = 1 (1 0.6755) (1 0.2813) = 0.752 = 75.2%
Angka koefisien determinasi total sebesar 75.2%, artinya sebesar 75.2% analisis
path mampu menjelaskan keragaman data awal, dan sisanya 24.8% yang tidak
mampu dijelaskan oleh model analisis path. Angka R2total>0.75 atau 75% menurut
Hair dan Ringle (2011) menunjukkan bahwa model yang diperoleh telah
memenuhi goodness of fit (R2total= 75.2% > 75%). Artinya model analis path yang
diperoleh layak untuk digunakan untuk pengujian hipotesis pada tahapan
selanjutnya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa besarnya koefisien regresi harga
ternak sapi di tingkat konsumen akhir dengan harga ternak sapi di tingkat
produsen ( 1) adalah sebesar 0.574, dan hasil pengujian memperlihatkan P-
value sebesar 0.016 < 0.05, mengindikasikan harga ternak sapi di tingkat
konsumen akhir menentukan harga ternak sapi di tingkat produsen. Besarnya
koefisien bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi harga ternak sapi di
tingkat konsumen akhir di Pasar ternak Sapi Minahasa berpengaruh tingginya
harga ternak sapi di tingkat produsen ternak sapi.
Elastisitas transmisi harga ternak sapi antara produsen dengan
konsumen akhir ternak sapi sebesar 0.574. Jika dikaitkan dengan hipotesis 1 =
1, dengan interval konfidensi sebesar (0.121; 1.028), angka 1 = 1 berada dalam
152
interval konfidensi tersebut, dengan demikian hipotesis 1 = 1 diterima.
Mengingat elastisitasi transmisi 1 = 1 mengindikasikan bahwa model pemasaran
ternak sapi pada transmisi harga di tingkat produsen ke tingkat konsumen akhir
di Pasar Minahasa adalah tidak efisien. Mengingat transmisi tidak efisien, maka
apabila terjadi kenaikan harga sebesar 1% di tingkat konsumen akhir, maka akan
menaikkan harga ternak sapi sebesar 1% di tingkat produsen ternak sapi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa besarnya koefisien regresi harga
ternak sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran dengan harga ternak sapi
di tingkat produsen ( 2) sebesar 0.531, memperlihatkan P-value sebesar 0.012 <
0.05, mengindikasikan harga ternak sapi di tingkat pedagang perantara
pemasaran menentukan harga ternak sapi di tingkat produsen ternak sapi.
Besarnya koefisien bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi harga ternak
sapi di tingkat perantara pemasaran di Pasar ternak Sapi di Minahasa
berpengaruh tingginya harga ternak sapi di tingkat produsen ternak sapi.
Elastisitas transmisi harga ternak sapi antara produsen dengan pedagang
perantara pemasaran sebesar 0.531. Jika dikaitkan dengan hipotesis 2 = 1,
dengan interval konfidensi sebesar (0.135; 0.928), angka 2 = 1 tidak berada
dalam interval konfidensi tersebut, dengan demikian hipotesis 2 = 1 ditolak.
Mengingat elastisitasi transmisi 2 1 mengindikasikan bahwa model pemasaran
ternak sapi pada transmisi harga di tingkat produsen ke tingkat pedagang
perantara pemasaran di Pasar Minahasa adalah efisien. Elastisitas transmisi
harga ternak sapi sebesar 0.531 mengindikasikan apabila terjadi kenaikan harga
ternak sapi sebesar 1% di tingkat pedagang perantara pemasaran, maka akan
menaikkan harga ternak sapi sebesar 0.469% di tingkat produsen ternak sapi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa besarnya koefisien regresi harga
ternak sapi di tingkat konsumen akhir dengan harga ternak sapi di tingkat
153
pedagang perantara pemasaran ( 3) adalah sebesar 0.606, dan hasil pengujian
memperlihatkan P-value sebesar 0.016 < 0.05, mengindikasikan harga ternak
sapi di tingkat konsumen akhir menentukan harga ternak sapi di tingkat
pedagang perantara pemasaran ternak sapi. Besarnya koefisien bertanda positif
mengindikasikan semakin tinggi harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir di
Pasar ternak sapi Minahasa berpengaruh tingginya harga ternak sapi di tingkat
pedagang perantara pemasaran ternak sapi.
Elastisitas transmisi harga ternak sapi antara pedagang perantara
pemasaran dengan konsumen akhir ternak sapi sebesar 0.606. Jika dikaitkan
dengan hipotesis 3 = 1, dengan interval konfidensi sebesar (0.126; 1.086),
angka 3 = 1 berada dalam interval konfidensi tersebut, dengan demikian
hipotesis 3 = 1 diterima. Mengingat elastisitasi transmisi 3 = 1 mengindikasikan
bahwa model pemasaran ternak sapi pada transmisi harga di tingkat pedagang
perantara pemasaran ke tingkat konsumen akhir ternak sapi di Pasar Minahasa
adalah tidak efisien. Mengingat transmisi tidak efisien, maka bila terjadi kenaikan
harga sebesar 1% di tingkat konsumen akhir, akan menaikkan harga ternak sapi
sebesar 1% di tingkat pedagang perantara pemasaran ternak sapi.
Harga ternak sapi di tingkat perantara
konsumen akhir (Pr)
Harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran (Pp)
Harga ternak sapi di tingkat produsen (Pf)
Efisien
Tidak Efisien
Gambar 5.14. Hasil Analisis Path: Elastisitas Transmisi di Pasar Minahasa
154
Dari ketiga hasil di atas, pemasaran ternak sapi potong di Pasar Minahasa
efisien jika menilik nilai elastisitas transmisi harga dari pedagang perantara
pemasaran ke produsen ternak sapi, akan tetapi tidak efisien untuk harga
elastisitas transmisi harga dari konsumen akhir ke produsen ternak sapi, dan
dari konsumen akhir ke pedagang perantara pemasaran ternak sapi.
Dari Tabel 5.10 Tabel 5.12 dan Gambar 5.12 5.14 memperlhatkan
bahwa elastisitas transmisi harga di tingkat produsen ternak sapi ke konsumen
akhir ternak sapi tertinggi ada pada pasar di Manado (elastisitas 0.646), dan
terendah pada pasar di Tomohon (elastisitas 0.587). Elastisitas transmisi harga
produsen ke pedagang perantara pemasaran tertinggi ada pada pasar di
Tomohon (elastisitas 0.617), dan terendah pada pasar di Manado (elastsitas
0.469). Elastisitas transmisi harga di tingkat pedagang perantara pemasaran ke
konsumen akhir ternak sapi tertinggi adalah pada pasar Minahasa (elastisitas
0.606), dan terendah pada pasar Tomohon (elastsitas 0.510). Berbeda dengan di
kedua pasar lainnya, hanya pasar Tomohon yang menunjukkan pasar efisien
untuk transmisi harga dari produsen ke pedagang perantara pemasaran dan dari
pedagang perantara pemasaran ke konsumen akhir ternak sapi. Pasar Manado
dan Minahasa menunjukkan pasar tidak efisien untuk transmisi harga dari
konsumen akhir ke produsen maupun pedagang perantara pemasaran ternak
sapi.
Setelah mengetahui elastisitas transmisi harga ini diharapkan diperoleh
informasi yang dapat digunakan untuk memperbaiki posisi tawar menawar
produsen (peternak). Menurut Sudiyono (2001), pada umumnya posisi peternak
dalam pemasaran produk ternak sapi sangat lemah sekali, hal ini disebabkan
beberapa faktor. Pertama, bagian pangsa pasar (market share) yang dimiliki
umumnya sangat kecil, sehingga peternak bertindak sebagai penerima harga
(price taker), kedua, produk peternakan umumnya diproduksi secara masal dan
155
homogen, sehingga jika petani menaikkan harga komoditinya akan
menyebabkan konsumen beralih mengkonsumsi komoditi yang dihasilkan petani
lainnya, artinya sangat lemah diferensiasi dari produk peternakan, ketiga, lokasi
produksi yang terpencil dan sulit dicapai alat transportasi yang mudah dan cepat,
empat, kurangnya informasi harga dan kualitas serta kuantitas yang diinginkan
konsumen, dan lima, adanya kredit dan pinjaman dari lembaga pemasaran
kepada peternak yang bersifat mengikat dan memberatkan peternak. Dilihat dari
koefisien determinasi (R2), respon harga ternak sapi di tingkat peternak
(produsen) karena perubahan harga di tingkat konsumen akhir selaku konsumen
bisnis berkisar di atas 90%, artinya cukup besar peranan harga komoditi di
tingkat konsumen akhir selaku konsumen bisnis ternak sapi yang menentukan
harga komoditi di tingkat produsen ternak sapi.
Pada bagian berikutnya dilakukan pengujian secara simultan pengaruh
harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir selaku konsumen bisnis, konsentrasi
rasio, dan penawaran, serta permintaan ternak sapi terhadap harga ternak sapi
di tingkat produsen ternak sapi di tiga pasar yaitu Manado, Tomohon, dan
Minahasa. Adanya pengaruh signifikan antar variabel ditandai dengan P-value <
0.05.
Tabel 5.13. Hasil Analisis Model Simultan Pasar Manado
Variabel Koefisien P-value Keputusan Konstanta -7.240 Harga di tingkat pemasar (X1) 0.946 0.000 Signifikan Konsentrasi Rasio (X2) 0.287 0.294 Tidak signifikan Penawaran (X3) 0.098 0.018 Signifikan Permintaan (X4) 0.077 0.045 Signifikan Biaya (X5) 0.066 0.028 Signifikan Keuntungan (X6) 0.227 0.043 Signifikan
Variabel Dependen: Harga di tingkat produsen (Y) R2 = 0.775
Sumber: Data Primer Diolah, 2016 (Lampiran 3)
156
Pengujian kesesuaian model menggunakan analisis path menggunakan
koefisien determinasi (R2) sebesar 77.5% mengindikasikan bahwa harga ternak
sapi di tingkat produsen dipengaruhi sebesar 77.5% oleh harga ternak sapi di
tingkat pedagang perantara pemasaran, konsentrasi rasio, penawaran,
permintaan, biaya, dan keuntungan. Angka R2>0.75 atau 75% menurut Hair dan
Ringle (2011) menunjukkan bahwa model yang diperoleh telah memenuhi
goodness of fit (R2total= 75.2% > 75%). Artinya model analis regresi yang
diperoleh layak digunakan untuk pengujian hipotesis pada tahapan selanjutnya.
Harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
Harga ternak sapi di tingkat pemasar (X1)
Konsentrasi Rasio (X2)
Penawaran Ternak Sapi (X3)
Permintaan Ternak Sapi (X4)
Biaya Pemasaran Ternak Sapi di tingkat
peternak (X5)
Keuntungan Pemasaran Ternak
Sapi di tingkat peternak (X6)
Signifikan
Tidak Signifikan
Gambar 5.15. Hasil Analisis Model Simultan Pasar Manado
157
Persamaan simultan untuk Pasar Manado sebagai berikut:
Y = -7.240 + 0.946X1 + 0.287X2 + 0.098X3 + 0.077X4 + 0.066X5 + 0.227X6
Pengaruh harga di tingkat konsumen bisnis selaku konsumen akhir (X1)
terhadap harga di tingkat produsen (Y) sebesar 0.946, dengan P-value 0.000 <
0.05, mengindikasikan adanya pengaruh yang signifikan antara harga di tingkat
konsumen bisnis selaku konsumen akhir (X1) dengan harga di tingkat produsen
ternak sapi (Y) di Pasar Manado. Koefisien bertanda positif mengindikasikan
makin tinggi harga di tingkat konsumen bisnis selaku konsumen akhir ternak sapi
(X1), mengakibatkan makin tinggi pula harga ternak sapi di tingkat produsen (Y).
Pengaruh konsentrasi rasio (X2) terhadap harga ternak sapi di tingkat
produsen (Y) sebesar 0.287, dengan P-value 0.294 > 0.05, mengindikasikan
tidak adanya pengaruh yang signifikan antara konsentrasi rasio (X2) dengan
harga ternak sapi di tingkat produsen (Y) pada Pasar Manado. Artinya
berapapun besarnya konsentrasi rasio (X2), tidak akan menentukan tinggi
rendahnya harga ternak sapi di tingkat produsen (Y).
Pengaruh penawaran ternak sapi (X3) terhadap harga ternak sapi di
tingkat produsen (Y) sebesar 0.098, dengan P-value 0.018 < 0.05,
mengindikasikan adanya pengaruh yang signifikan antara penawaran ternak sapi
(X3) dengan harga di tingkat produsen (Y) di Pasar Manado. Mengingat koefisien
bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi penawaran ternak sapi (X3),
akan mengakibatkan semakin tinggi harga ternak sapi di tingkat produsen (Y).
Pengaruh permintaan ternak sapi (X4) terhadap harga ternak sapi di
tingkat produsen (Y) sebesar 0.077, dengan P-value 0.045 < 0.05,
mengindikasikan adanya pengaruh signifikan antara permintaan ternak sapi (X4)
dengan harga ternak di tingkat produsen (Y) di Pasar Manado. Mengingat
koefisien bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi permintaan ternak sapi
(X4), akan mengakibatkan semakin tinggi pula harganya di tingkat produsen (Y).
158
Pengaruh biaya yang dikeluarkan (X5) terhadap harga di tingkat
produsen (Y) sebesar 0.066, dengan P-value 0.028 < 0.05, mengindikasikan
adanya pengaruh signifikan antara biaya yang dikeluarkan (X5) dengan harga
ternak sapi di tingkat produsen (Y) di Pasar Manado. Koefisien bertanda positif
mengindikasikan semakin tinggi biaya pemasaran yang dikeluarkan (X5), akan
mengakibatkan semakin tinggi pula harga ternak sapi di tingkat produsen (Y).
Pengaruh keuntungan yang diperoleh (X6) terhadap harga ternak sapi di
tingkat produsen (Y) sebesar 0.227, dengan P-value 0.043 < 0.05,
mengindikasikan adanya pengaruh signifikan antara keuntungan yang diperoleh
(X6) dengan harga ternak sapi di tingkat produsen (Y) di Pasar Manado.
Mengingat koefisien bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi keuntungan
yang diperoleh (X6), mengakibatkan semakin tinggi pula harga ternak sapi di
tingkat produsen (Y). Dari keenam variabel independen, lima diantaranya
signifikan sebagai penentu harga ternak sapi di tingkat produsen (Y) di Pasar
Manado, yaitu harga di tingkat konsumen bisnis selaku konsumen akhir (X1),
penawaran (X3), permintaan (X4), biaya (X5), serta keuntungan (X6) di pasar
Manado.
Tabel 5.14. Hasil Analisis Model Simultan Pasar Tomohon
Variabel Koefisien P-value Keputusan Konstanta -3.214 Harga di tingkat konsumen akhir (X1) 0.632 0.001 Signifikan Konsentrasi Rasio (X2) 0.257 0.339 Tidak signifikan Penawaran (X3) 0.114 0.007 Signifikan Permintaan (X4) 0.085 0.039 Signifikan Biaya (X5) 0.093 0.003 Signifikan Keuntungan (X6) 0.165 0.017 Signifikan
Variabel Dependen: Harga di tingkat produsen ternak sapi (Y) R2 = 0.787
Sumber: Data Primer Diolah, 2016 (Lampiran 3)
159
Pengujian kesesuaian model menggunakan analisis path dengan
koefisien determinasi (R2) sebesar 78.7% mengindikasikan bahwa harga ternak
sapi di tingkat produsen dipengaruhi sebesar 78.7% oleh harga ternak sapi di
tingkat pedagang perantara pemasaran, konsentrasi rasio, penawaran,
permintaan, biaya, dan keuntungan. Angka R2 > 0.75 atau 75% menurut Hair dan
Ringle (2011) menunjukkan bahwa model yang diperoleh telah memenuhi
goodness of fit (R2total = 78.7% > 75%). Artinya model analis regresi yang
diperoleh layak digunakan untuk pengujian hipotesis pada tahapan selanjutnya.
Harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
Harga ternak sapi di tingkat pemasar (X1)
Konsentrasi Rasio (X2)
Penawaran Ternak Sapi (X3)
Permintaan Ternak Sapi (X4)
Biaya Pemasaran Ternak Sapi di tingkat
peternak (X5)
Keuntungan Pemasaran Ternak
Sapi di tingkat peternak (X6)
Signifikan
Tidak Signifikan
Gambar 5.16. Hasil Analisis Model Simultan Pasar Tomohon
160
Persamaan simultan untuk Pasar Tomohon sebagai berikut:
Y = -3.214 + 0.632X1 + 0.257X2 + 0.114X3 + 0.085X4 + 0.093X5 + 0.165X6
Pengaruh harga di tingkat konsumen bisnis selaku konsumen akhir ternak
sapi (X1) terhadap harga di tingkat produsen ternak sapi (Y) sebesar 0.632,
dengan P-value 0.001 < 0.05, mengindikasikan pengaruh signifikan antara harga
ternak sapi di tingkat konsumen akhir (X1) dengan harga di tingkat produsen
ternak sapi (Y) di Pasar Tomohon. Mengingat koefisien bertanda positif
mengindikasikan makin tinggi harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir (X1),
mengakibatkan semakin tinggi pula harga ternak sapi di tingkat produsen (Y).
Pengaruh konsentrasi rasio (X2) terhadap harga ternak sapi di tingkat
produsen (Y) sebesar 0.257, dengan P-value 0.339 > 0.05, mengindikasikan
tidak adanya pengaruh yang signifikan antara konsentrasi rasio (X2) dengan
harga ternak sapi di tingkat produsen (Y) di Pasar Tomohon. Artinya berapapun
besarnya konsentrasi rasio (X2), tidak akan menentukan tinggi rendahnya harga
ternak sapi di tingkat produsen (Y).
Pengaruh penawaran ternak sapi (X3) pada harga ternak sapi di tingkat
produsen (Y) sebesar 0.098, dengan P-value 0.007 < 0.05, mengindikasikan
adanya pengaruh signifikan antara penawaran ternak sapi (X3) dengan harga
ternak sapi di tingkat produsen (Y) di Pasar Tomohon. Mengingat koefisien
bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi penawaran ternak sapi (X3),
akan mengakibatkan makin tinggi pula harga ternak sapi di tingkat produsen (Y).
Pengaruh permintaan (X4) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen
(Y) sebesar 0.085, dengan P-value 0.039 < 0.05, mengindikasikan adanya
pengaruh yang signifikan antara permintaan ternak sapi (X4) dengan harga
ternak sapi di tingkat produsen (Y) di Pasar Tomohon. Mengingat koefisien
bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi permintaan ternak sapi (X4),
mengakibatkan semakin tinggi pula harga ternak sapi di tingkat produsen (Y).
161
Pengaruh biaya pemasaran yang dikeluarkan (X5) terhadap harga ternak
sapi di tingkat produsen (Y) sebesar 0.093, dengan P-value 0.003 < 0.05,
mengindikasikan adanya pengaruh signifikan antara biaya pemasaran yang
dikeluarkan (X5) dengan harga ternak sapi di tingkat produsen (Y) di Pasar
Tomohon. Koefisien bertanda positif mengindikasikan makin tinggi biaya yang
dikeluarkan (X5), akan mengakibatkan semakin tinggi pula harga ternak sapi di
tingkat produsen (Y).
Pengaruh keuntungan yang diperoleh (X6) terhadap harga ternak sapi di
tingkat produsen (Y) sebesar 0.165, dengan P-value 0.017 < 0.05,
mengindikasikan adanya pengaruh yang signifikan antara keuntungan yang
diperoleh (X6) dengan harga ternak sapi di tingkat produsen (Y) di Pasar
Tomohon. Mengingat koefisien bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi
keuntungan yang diperoleh (X6), akan mengakibatkan semakin tinggi pula harga
ternak sapi di tingkat produsen (Y). Dari keenam variabel independen, lima
diantaranya signifikan sebagai penentu harga di tingkat produsen (Y) di Pasar
Tomohon, yaitu harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi (X1), penawaran
(X3), permintaan (X4), biaya (X5), serta keuntungan (X6) di pasar Tomohon.
Tabel 5.15. Hasil Analisis Model Simultan Pasar Minahasa
Variabel Koefisien P-value Keputusan Konstanta -4.988 Harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi (X1) 0.602 0.012 Signifikan Konsentrasi Rasio (X2) 0.314 0.307 Tidak signifikan Penawaran (X3) 0.087 0.048 Signifikan Permintaan (X4) 0.123 0.012 Signifikan Biaya (X5) 0.096 0.010 Signifikan Keuntungan (X6) 0.272 0.013 Signifikan
Variabel Dependen: Harga di tingkat produsen ternak sapi (Y) R2 = 0.772
Sumber: Data Primer Diolah, 2016 (Lampiran 3)
162
Pengujian kesesuaian model menggunakan analisis path menggunakan
koefisien determinasi (R2) sebesar 77.2% mengindikasikan bahwa harga ternak
sapi di tingkat produsen dipengaruhi sebesar 77.2% oleh harga ternak sapi di
tingkat pedagang perantara pemasaran, konsentrasi rasio, penawaran,
permintaan, biaya, dan keuntungan. Angka R2>0.75 atau 75% menurut Hair dan
Ringle (2011) menunjukkan bahwa model yang diperoleh telah memenuhi
goodness of fit (R2total= 75.2% > 75%). Artinya model analis regresi yang
diperoleh layak digunakan untuk pengujian hipotesis pada tahapan selanjutnya.
Harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
Harga ternak sapi di tingkat pemasar (X1)
Konsentrasi Rasio (X2)
Penawaran Ternak Sapi (X3)
Permintaan Ternak Sapi (X4)
Biaya Pemasaran Ternak Sapi di tingkat
peternak (X5)
Keuntungan Pemasaran Ternak
Sapi di tingkat peternak (X6)
Signifikan
Tidak Signifikan
Gambar 5.17. Hasil Analisis Model Simultan Pasar Minahasa
Persamaan simultan untuk Pasar Minahasa sebagai berikut:
Y = -4.988 + 0.602X1 + 0.314X2 + 0.087X3 + 0.123X4 + 0.096X5 + 0.272X6
163
Pengaruh harga di tingkat konsumen bisnis selaku konsumen akhir ternak
sapi (X1) terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen (Y) sebesar 0.602,
dengan P-value 0.012 < 0.05, mengindikasikan adanya pengaruh yang signifikan
antara harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir ternak sapi (X1) dengan
harga ternak sapi pada tingkat produsen (Y) di Pasar Minahasa. Mengingat
koefisien bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi harga ternak sapi di
tingkat konsumen akhir ternak sapi (X1), akan mengakibatkan semakin tinggi
pula harga ternak sapi di tingkat produsen (Y).
Pengaruh konsentrasi rasio (X2) terhadap harga ternak sapi di tingkat
produsen (Y) sebesar 0.314, dengan P-value 0.307 > 0.05, mengindikasikan
tidak adanya pengaruh yang signifikan antara konsentrasi rasio (X2) dengan
harga ternak sapi pada tingkat produsen (Y) di Pasar Minahasa. Artinya
berapapun besarnya konsentrasi rasio (X2), tidak akan menentukan tinggi
rendahnya harga ternak sapi di tingkat produsen (Y).
Pengaruh penawaran ternak sapi (X3) terhadap harga ternak sapi di
tingkat produsen (Y) sebesar 0.087, dengan P-value 0.048 < 0.05,
mengindikasikan adanya pengaruh yang signifikan antara penawaran ternak sapi
(X3) dengan harga di tingkat produsen (Y) di Pasar Minahasa. Mengingat
koefisien bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi penawaran ternak sapi
(X3), akan mengakibatkan semakin tinggi pula harga di tingkat produsen (Y).
Pengaruh permintaan ternak sapi (X4) terhadap harga ternak sapi di
tingkat produsen (Y) sebesar 0.123, dengan P-value 0.012 < 0.05,
mengindikasikan adanya pengaruh yang signifikan antara permintaan ternak sapi
(X4) dengan harga ternak sapi pada tingkat produsen (Y) di Pasar Minahasa.
Mengingat koefisien bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi permintaan
ternak sapi (X4), akan mengakibatkan semakin tinggi pula harga ternak sapi di
tingkat produsen (Y).
164
Pengaruh biaya yang dikeluarkan (X5) terhadap harga ternak sapi di
tingkat produsen (Y) sebesar 0.096, dengan P-value 0.010 < 0.05,
mengindikasikan adanya pengaruh yang signifikan antara biaya yang dikeluarkan
(X5) dengan harga ternak sapi pada tingkat produsen (Y) di Pasar Minahasa.
Mengingat koefisien bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi biaya yang
dikeluarkan (X5), akan mengakibatkan semakin tinggi pula harga ternak sapi di
tingkat produsen (Y).
Pengaruh keuntungan yang diperoleh (X6) terhadap harga ternak sapi di
tingkat produsen (Y) sebesar 0.272, dengan P-value 0.013 < 0.05,
mengindikasikan adanya pengaruh yang signifikan antara keuntungan yang
diperoleh (X6) dengan harga ternak sapi pada tingkat produsen (Y) di Pasar
Minahasa. Mengingat koefisien bertanda positif mengindikasikan semakin tinggi
keuntungan yang diperoleh (X6), akan mengakibatkan semakin tinggi pula harga
harga ternak sapi di tingkat produsen (Y). Dari keenam variabel independen, lima
diantaranya signifikan sebagai penentu harga ternak sapi di tingkat produsen (Y)
di Pasar Minahasa, yaitu harga ternak sapi di tingkat konsumen bisnis selaku
konsumen akhir ternak sapi (X1), penawaran (X3), permintaan (X4), biaya (X5),
serta keuntungan (X6) di pasar Minahasa.
Hasil analisis model struktural di atas memperlihatkan bahwa harga
ternak sapi di tingkat produsen / peternak ditentukan oleh harga ternak sapi di
tingkat konsumen akhir ternak sapi, permintaan ternak sapi, penawaran ternak
sapi, biaya, serta keuntungan, akan tetapi konsentrasi rasio tidak berpengaruh
signifikan terhadap harga ternak sapi di tingkat produsen pada pasar Manado,
Tomohon, serta Minahasa.
Pada analisis tahap selanjutnya adalah melakukan pengujian Analisis
Index of Market Connection (IMC). Data yang digunakan pada penelitian ini
adalah menggunakan data harga bulanan dari harga rata-rata ternak sapi pada
165
produsen dan harga rata-rata konsumen akhir ternak sapi di ketiga pasar yaitu
Manado, Tomohon, dan Minahasa tahun 2014 2015. Analisis jangka pendek
dan jangka panjang menggunakan IMC dari data time series (data bulanan)
antara harga ternak sapi pada produsen dengan harga ternak sapi pada
konsumen akhir ternak sapi dapat dilhat pada Tabel 5.16 berikut:
Tabel 5.16. Index of Market Connection (IMC) Pasar Manado
Variabel IMC Interval Konfidensi Keputusan Jangka Pendek
Konstanta -1.447 Pr (t) 0.646 (0.192; 1.100) Seimbang Pp (t) 0.469 (0.094; 0.844) Tidak Seimbang
Jangka Panjang Konstanta 4.757
Pf(t-1) 0.573 Pr (t) Pr (t-1) 0.647 (0.359; 0.935) Tidak Seimbang Pp (t) Pp (t-1) 0.336 (0.165; 0.507) Tidak Seimbang
Variabel Dependen: Pf(t) Sumber: Data Primer Diolah, 2016 (Lampiran 4)
Keterangan: Pf (t) : Harga di tingkat produsen ternak sapi bulan ini (t) Pr (t) : Harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi bulan ini (t) Pp (t) : Harga di tingkat pedagang perantara pemasaran ternak sapi bulan ini (t) Pf(t-1) : Harga di tingkat produsen bulan sebelumnya (t-1) Pr(t) - Pr(t-1 ): Selisih Harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi bulan ini (t)
dengan bulan sebelumnya (t-1) Pp(t) Pp(t-1 ) : Selisih Harga di tingkat pedagang perantara pemasaran bulan ini
(t) dengan bulan sebelumnya (t-1)
166
Harga ternak sapi di tingkat produsen bulan ini
(Pf(t))
Harga ternak sapi di tingkat perantara
pemasaran bulan ini (Pp(t))Harga ternak sapi di
tingkat konsumen akhir bulan ini (Pr(t))
Harga ternak sapi di tingkat produsen bulan
sebelumnya (Pf-1)
Integrasi Pasar Jangka Pendek
Selisih Harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir
bulan ini dengan bulan sebelumnya (Pr(t)-Pr(t-1))
Selisih Harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran bulan ini
dengan bulan sebelumnya (Pp(t)-Pp(t-1))
Integrasi Pasar Jangka Panjang
Terjadi keseimbangan
Tidak terjadi keseimbangan
Gambar 5.18. Index of Market Connection (IMC) Pasar Manado
Tabel 5.16 dan Gambar 5.18 memperlihatkan bahwa IMC jangka pendek
antara harga ternak sapi pada produsen dengan konsumen akhir ternak sapi
sebesar 0.646. Angka 1 berada dalam interval konfidensi, sehingga dapat
disimpulkan terjadi keseimbangan jangka pendek antara harga ternak sapi di
tingkat produsen dengan harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir ternak
sapi. IMC jangka pendek antara harga ternak sapi pada produsen dengan
pedagang perantara pemasaran sebesar 0.469. Angka 1 tidak berada dalam
interval konfidensi, sehingga tidak terjadi keseimbangan jangka pendek antara
harga ternak sapi di tingkat produsen dengan harga di tingkat pedagang
perantara pemasaran ternak sapi. Hal ini menunjukkan dalam jangka pendek jika
terjadi perubahan harga pada konsumen akhir ternak sapi di pasar Manado akan
mempengaruhi perubahan harga di pasar produsen ternak sapi, tetapi tidak
berpengaruh pada pasar pedagang perantara pemasaran ternak sapi.
167
IMC jangka panjang antara harga ternak sapi pada produsen dengan
konsumen akhir ternak sapi sebesar 0.647. Angka 1 tidak berada dalam interval
konfidensi, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi keseimbangan jangka
panjang antara harga ternak sapi di tingkat produsen dengan harga ternak sapi
di tingkat konsumen akhir ternak sapi. IMC jangka panjang antara harga ternak
sapi pada produsen dengan pedagang perantara pemasaran sebesar 0.336.
Angka 1 tidak berada dalam interval konfidensi, sehingga dapat disimpulkan
tidak terjadi keseimbangan jangka panjang antara harga ternak sapi di tingkat
produsen dengan harga ternak sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran.
Hal ini menunjukkan dalam jangka panjang jika terjadi perubahan harga di tingkat
konsumen akhir ternak sapi maupun di tingkat pedagang perantara pemasaran di
pasar Manado, tidak akan mempengaruhi perubahan harga ternak sapi di tingkat
produsen. Hal ini berarti antara pasar produsen dengan pasar konsumen akhir
serta pedagang perantara pemasaran dalam jangka panjang tidak terintegrasi
secara sempurna, dimana harga pada kedua pasar (produsen dan konsumen
akhir ternak sapi) dalam jangka panjang tidak saling mempengaruhi. Besarnya
IMC di pasar Tomohon, dapat diikuti pada Tabel 5.17, berikut ini :
Tabel 5.17. Index of Market Connection (IMC) Pasar Tomohon
Variabel IMC Interval Konfidensi Keputusan
Jangka Pendek Konstanta -0.880
Pr(t) 0.448 (0.089; 0.807) Tidak Seimbang Pp(t) 0.617 (0.263; 0.971) Tidak Seimbang
Jangka Panjang Konstanta 2.925
Pf(t-1) 0.738 Pr(t) Pr(t-1) 0.441 (0.242; 0.641) Tidak Seimbang Pp(t) Pp(t-1) 0.330 (0.088; 0.572) Tidak Seimbang
Variabel Dependen: Pf (t) Sumber: Data Primer Diolah, 2016 (Lampiran 4)
168
Keterangan: Pf (t) : Harga di tingkat produsen ternak sapi bulan ini (t) Pr (t) : Harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi bulan ini (t) Pp (t) : Harga di tingkat pedagang perantara pemasaran ternak sapi bulan ini (t) Pf (t-1) : Harga di tingkat produsen ternak sapi bulan sebelumnya (t-1) Pr (t) - Pr (t-1): Selisih Harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir ternak sapi
bulan ini (t) dengan bulan sebelumnya (t-1) Pp (t) Pp (t-1) : Selisih Harga di tingkat pedagagang perantara pemasaran ternak
sapi bulan ini (t) dengan bulan sebelumnya (t-1)
Harga ternak sapi di tingkat produsen bulan ini
(Pf(t))
Harga ternak sapi di tingkat perantara
pemasaran bulan ini (Pp(t))Harga ternak sapi di
tingkat konsumen akhir bulan ini (Pr(t))
Harga ternak sapi di tingkat produsen bulan
sebelumnya (Pf-1)
Integrasi Pasar Jangka Pendek
Selisih Harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir
bulan ini dengan bulan sebelumnya (Pr(t)-Pr(t-1))
Selisih Harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran bulan ini
dengan bulan sebelumnya (Pp(t)-Pp(t-1))
Integrasi Pasar Jangka Panjang
Terjadi keseimbangan
Tidak terjadi keseimbangan
Gambar 5.19. Index of Market Connection (IMC) Pasar Tomohon
Tabel 5.17 dan Gambar 5.19 memperlihatkan bahwa IMC jangka pendek
antara harga ternak sapi pada produsen dengan konsumen akhir ternak sapi
sebesar 0.448. Angka 1 tidak berada dalam interval konfidensi, sehingga dapat
disimpulkan tidak terjadi keseimbangan jangka pendek antara harga ternak sapi
di tingkat produsen dengan harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir ternak
sapi. IMC jangka pendek antara harga ternak sapi pada produsen dengan
pedagang perantara pemasaran sebesar 0.617. Angka 1 tidak berada dalam
interval konfidensi, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi keseimbangan
169
jangka pendek antara harga ternak sapi di tingkat produsen dengan harga ternak
sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran. Hal ini menunjukkan dalam
jangka pendek jika terjadi perubahan harga di pasar konsumen akhir ternak sapi
di pasar Tomohon akan mempengaruhi perubahan harga ternak sapi di pasar
produsen, akan tetapi tidak di pasar pedagang perantara pemasaran.
IMC jangka panjang antara harga ternak sapi pada produsen dengan
konsumen akhir ternak sapi sebesar 0.441. Angka 1 tidak berada dalam interval
konfidensi, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi keseimbangan jangka
panjang antara harga ternak sapi di tingkat produsen dengan harga ternak sapi
di tingkat konsumen akhir ternak sapi. IMC jangka panjang antara harga ternak
sapi pada produsen dengan pedagang perantara pemasaran sebesar 0.330.
Angka 1 tidak berada dalam interval konfidensi, sehingga dapat disimpulkan
tidak terjadi keseimbangan jangka panjang antara harga ternak sapi di tingkat
produsen dengan harga ternak sapi di tingkat pedagang perantara pemasaran.
Hal ini menunjukkan dalam jangka panjang jika terjadi perubahan harga di
tingkatr konsumen akhir maupun pedagang perantara pemasaran di pasar
Tomohon tidak akan mempengaruhi perubahan harga pada pasar di tingkat
produsen. Hal ini berarti antara harga ternak sapi pada tingkat produsen dengan
harga di tingkat konsumen akhir serta harga di tingkat pedagang perantara
pemasaran dalam jangka panjang tidak terintegrasi secara sempurna, dimana
harga ternak sapi pada kedua pasar (produsen ternak sapi dan konsumen akhir
ternak sapi) dalam jangka panjang tidak saling mempengaruhi.
170
Tabel 5.18. Index of Market Connection (IMC) Pasar Minahasa
Variabel IMC Interval Konfidensi Keputusan Jangka Pendek
Konstanta -1.354 Pr(t) 0.574 (0.121; 1.028) Seimbang Pp(t) 0.531 (0.135; 0.928) Tidak Seimbang
Jangka Panjang Konstanta 5.459
Pf(t-1) 0.512 Pr(t) Pr(t-1) 0.444 (0.194; 0.694) Tidak Seimbang Pp(t) Pp(t-1) 0.551 (0.349; 0.753) Tidak Seimbang
Variabel Dependen: Pf(t) Sumber: Data Primer Diolah, 2016 (Lampiran 4)
Keterangan: Pf (t) : Harga di tingkat produsen ternak sapi bulan ini (t) Pr (t) : Harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi bulan ini (t) Pp (t) : Harga di tingkat pedagang perantara pemasaran bulan ini (t) Pf (t-1) : Harga di tingkat produsen ternak sapi bulan sebelumnya (t-1) Pr (t) - Pr(t-1): Selisih Harga di tingkat konsumen akhir ternak sapi bulan ini (t)
dengan bulan sebelumnya (t-1) Pp(t) Pp(t-1): Selisih Harga di tingkat pedagang perantara pemasaran bulan ini (t)
dengan bulan sebelumnya (t-1)
Harga ternak sapi di tingkat produsen bulan ini
(Pf(t))
Harga ternak sapi di tingkat perantara
pemasaran bulan ini (Pp(t))Harga ternak sapi di
tingkat konsumen akhir bulan ini (Pr(t))
Harga ternak sapi di tingkat produsen bulan
sebelumnya (Pf-1)
Integrasi Pasar Jangka Pendek
Selisih Harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir
bulan ini dengan bulan sebelumnya (Pr(t)-Pr(t-1))
Selisih Harga ternak sapi di tingkat perantara pemasaran bulan ini
dengan bulan sebelumnya (Pp(t)-Pp(t-1))
Integrasi Pasar Jangka Panjang
Terjadi keseimbangan
Tidak terjadi keseimbangan
Gambar 5.20. Index of Market Connection (IMC) Pasar Minahasa
171
Integrasi jangka pendek diukur berdasarkan data penelitan pasar saat
minggu berjalan dalam bulan bersangkutan saat pengumpulan data sedangkan
integrasi jangka panjang diukur dengan memperhatikan data bulan sebelumnya
sesuai informasi dari responden..
Tabel 5.18 dan Gambar 5.20 memperlihatkan bahwa IMC jangka pendek
antara harga ternak sapi pada produsen dengan konsumen akhir ternak sapi
sebesar 0.574. Angka 1 berada dalam interval konfidensi, sehingga dapat
disimpulkan terjadi keseimbangan jangka pendek antara harga ternak sapi di
tingkat produsen ternak sapi dengan harga ternak sapi di tingkat konsumen
konsumen akhir ternak sapi. IMC jangka pendek antara harga ternak sapi pada
produsen dengan konsumen akhir ternak sapi sebesar 0.531. Angka 1 tidak
berada dalam interval konfidensi, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi
keseimbangan jangka pendek antara harga ternak sapi di tingkat produsen
dengan harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir ternak sapi. Hal ini
menunjukkan dalam jangka pendek jika terjadi perubahan harga di pasar
konsumen konsumen akhir ternak sapi di pasar Minahasa akan mempengaruhi
perubahan harga di pasar produsen ternak sapi, akan tetapi tidak di pasar
konsumen akhir ternak sapi.
IMC jangka panjang antara harga ternak sapi pada produsen dengan
konsumen akhir ternak sapi sebesar 0.444. Angka 1 tidak berada dalam interval
konfidensi, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi keseimbangan jangka
panjang antara harga ternak sapi di tingkat produsen dengan harga ternak sapi
di tingkat konsumen akhir ternak sapi. IMC jangka panjang antara harga ternak
sapi di tingkat produsen dengan konsumen akhir ternak sapi sebesar 0.551.
Angka 1 tidak berada dalam interval konfidensi, sehingga dapat disimpulkan
tidak terjadi keseimbangan jangka panjang antara harga ternak sapi di tingkat
produsen dengan harga ternak sapi di tingkat konsumen akhir ternak sapi. Hal ini
172
menunjukkan dalam jangka panjang jika terjadi perubahan harga di pasar
konsumen maupun di tingkat konsumen akhir di pasar Minahasa tidak akan
mempengaruhi perubahan harga di pasar produsen ternak sapi. Hal ini berarti
antara pasar produsen dengan konsumen akhir ternak sapi dalam jangka
panjang tidak terintegrasi secara sempurna, dimana harga pada kedua pasar
(produsen dan konsumen akhir ternak sapi) dalam jangka panjang tidak saling
mempengaruhi.
Dari hasil analisis pada Tabel 5.16 5.18 dan Gambar 5.18 5.20
memperlihatkan bahwa pada Pasar ternak sapi di Manado dan Minahasa terjadi
keseimbangan jangka pendek antara harga di tingkat produsen dengan harga di
tingkat konsumen akhir ternak sapi, akan tetapi pada ketiga pasar tidak terjadi
keseimbangan jangka panjang antara harga di tingkat produsen dengan harga
ternak sapi di tingkat konsumen akhir ternak sapi.
5.4. Model Integrasi Pemasaran
Tujuan kedua penelitian ini adalah menguji model integrasi pemasaran
sapi potong di Sulawesi Utara, khususnya pada tiga pasar yaitu Manado,
Tomohon, dan Minahasa. Alat analisis yang digunakan adalah Vector Auto
Regression (VAR). Hasil pengujian disajikan pada Lampiran 5, terangkum pada
Tabel 5.19. berikut :
173
Tabel 5.19. Model Integrasi Pemasaran
Variabel Koefisien T-stat P-value Dependent: Harga Di Manado (A)
Konstanta -3512.101 HAt-1 1.158 116.556 0.000 HBt-1 0.005 0.424 0.676 HCt-1 0.011 1.045 0.309
Dependent: Harga Di Tomohon (B) Konstanta -3595.568
HAt-1 0.017 1.641 0.116 HBt-1 1.152 98.537 0.000 HCt-1 0.006 0.489 0.630
Dependent: Harga Di Minahasa (C) Konstanta -2740.724
HAt-1 0.008 0.721 0.479 HBt-1 0.003 0.218 0.829 HCt-1 1.163 94.998 0.000
Sumber: Data Primer Diolah, 2016 (Lampiran 5)
Keterangan:
HAt-1 : Harga ternak sapi di Manado bulan sebelumnya (t-1)
HBt-1 : Harga ternak sapi di Tomohon bulan sebelumnya (t-1)
HCt-1 : Harga ternak sapi di Minahasa bulan sebelumnya (t-1)
Bentuk integrasi terlihat pada hasil analisis VAR model integrasi pasar,
bahwa terdapat integrasi harga pasar di ketiga daerah dimana harga ternak sapi
potong di setiap pasar (Manado, Tomohon, maupun Minahasa) pada bulan
tersebut, hanya ditentukan oleh harga ternak sapi potong di setiap pasar itu
sendiri pada bulan sebelumnya, dan tidak ditentukan oleh harga ternak sapi
potong di pasar lainnya. Hal ini memperlihatkan tidak adanya integrasi dalam
pasar itu sendiri tetapi tidak terlihat integrasi antar pasar ternak sapi potong di
Sulawesi Utara. Secara lengkap disajikan sebagai berikut:
174
Model integrasi pemasaran ternak sapi di Manado yang diperoleh sebagai
berikut:
HAt = -3512.101 + 1.158 HAt-1 + 0.005 HBt-1 + 0.011 HCt-1
Harga ternak sapi bulan ini di Pasar
Manado (HAt)
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar
Manado (HAt-1)
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Tomohon (HBt-1)
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Minahasa (HCt-1)
0.005
0.011
Signifikan
Tidak Signifikan
Gambar 5.21. Model Integrasi Pemasaran di Manado
Harga ternak sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar Manado (HAt)
dipengaruhi oleh harga ternak sapi bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di Pasar
Manado (HAt-1), harga ternak sapi bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di Pasar
Tomohon (HBt-1), serta harga ternak sapi bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di
Pasar Minahasa (HCt-1). Hasil pengujian Vector Auto Regressive (VAR) pada
Tabel 5.19 di atas memperlihatkan bahwa koefisien pengaruh harga ternak sapi
bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di Pasar Manado (HAt-1) terhadap pembentukan
harga ternak sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar Manado (HAt) sebesar 1.158,
dengan T-stat 116.556 > 1.96 dan P-value sebesar 0.000 < 0.05. Dengan
demikian terdapat pengaruh yang signifikan dan positif, artinya semakin tinggi
harga ternak sapi bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di Pasar Manado (HAt-1), akan
semakin tinggi pula harga ternak sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar Manado
(HAt).
175
Hasil pengujian Vector Auto Regressive (VAR) pada Tabel 5.19 di atas
memperlihatkan bahwa koefisien pengaruh harga ternak sapi bulan sebelumnya
(bulan ke t-1) di Pasar Tomohon (HBt-1) terhadap pembentukan harga ternak sapi
bulan ini (bulan ke t) di Pasar Manado (HAt) sebesar 0.005, dengan T-stat 0.424
< 1.96 dan P-value sebesar 0.676 > 0.05. Dengan demikian tidak terdapat
pengaruh yang signifikan, artinya berapapun besarnya harga ternak sapi bulan
sebelumnya (bulan ke t-1) di Tomohon (HBt-1) tidak akan berpengaruh terhadap
tinggi rendahnya harga ternak sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar Manado (HAt).
Hasil pengujian Vector Auto Regressive (VAR) pada Tabel 5.19 di atas
memperlihatkan bahwa koefisien pengaruh harga ternak sapi bulan sebelumnya
(bulan ke t-1) di Pasar Minahasa (HCt-1) terhadap pembentukan harga ternak
sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar Manado (HAt) sebesar 0.011, dengan T-stat
1.045 < 1.96 dan P-value sebesar 0.309 > 0.05. Dengan demikian tidak terdapat
pengaruh yang signifikan, artinya berapapun besarnya harga ternak sapi pada
bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di Minahasa (HCt-1) tidak akan berpengaruh
terhadap tinggi rendahnya harga ternak sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar
Manado (HAt).
Selanjutnya mengenai pasar di Tomohon. Model integrasi pemasaran di
Tomohon yang diperoleh sebagai berikut:
HBt = -3595.568 + 0.017 HAt-1 + 1.152 HBt-1 + 0.006 HCt-1
176
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar
Manado (HAt-1)
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Tomohon (HBt-1)
Harga ternak sapi bulan ini di Pasar Tomohon (HBt)
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Minahasa (HCt-1)
Signifikan
Tidak Signifikan
Gambar 5.22. Model Integrasi Pemasaran di Tomohon
Harga ternak sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar Tomohon (HBt)
dipengaruhi oleh harga ternak sapi bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di Pasar
Tomohon (HAt-1), harga ternak sapi bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di Pasar
Manado (HBt-1), serta harga ternak sapi bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di Pasar
Minahasa (HCt-1). Hasil pengujian Vector Auto Regressive (VAR) pada Tabel
5.19 di atas memperlihatkan bahwa koefisien pengaruh harga ternak sapi bulan
sebelumnya (bulan ke t-1) di Pasar Tomohon (HBt-1) terhadap pembentukan
harga ternak sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar Tomohon (HBt) sebesar 1.152,
dengan T-stat 98.537 > 1.96 dan P-value sebesar 0.000 < 0.05. Dengan
demikian terdapat pengaruh yang signifikan dan positif, artinya semakin tinggi
harga ternak sapi bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di Pasar Tomohon (HBt-1),
akan semakin tinggi pula harga ternak sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar
Tomohon (HBt).
Hasil pengujian Vector Auto Regressive (VAR) pada Tabel 5.19 di atas
memperlihatkan bahwa koefisien pengaruh harga ternak sapi bulan sebelumnya
(bulan ke t-1) di Pasar Manado (HAt-1) terhadap pembentukan harga ternak sapi
bulan ini (bulan ke t) di Pasar Tomohon (HBt) sebesar 0.017, dengan T-stat
177
1.641 < 1.96 dan P-value sebesar 0.116 > 0.05. Dengan demikian tidak terdapat
pengaruh yang signifikan, artinya berapapun besarnya harga ternak sapi bulan
sebelumnya (bulan ke t-1) di Manado (HAt-1) tidak akan berpengaruh terhadap
tinggi rendahnya harga ternak sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar Tomohon (HBt).
Hasil pengujian Vector Auto Regressive (VAR) pada Tabel 5.19 di atas
memperlihatkan bahwa koefisien pengaruh harga ternak sapi bulan sebelumnya
(bulan ke t-1) di Pasar Minahasa (HCt-1) terhadap pembentukan harga ternak
sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar Tomohon (HBt) sebesar 0.006, dengan T-stat
0.489 < 1.96 dan P-value sebesar 0.630 > 0.05. Dengan demikian tidak terdapat
pengaruh yang signifikan, artinya berapapun besarnya harga ternak sapi bulan
sebelumnya (bulan ke t-1) di Minahasa (HCt-1) tidak akan berpengaruh terhadap
tinggi rendahnya harga ternak sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar Tomohon (HBt).
Selanjutnya mengenai pasar di Minahasa. Model integrasi pemasaran di
Minahasa yang diperoleh sebagai berikut:
HCt = -2740.724 + 0.008 HAt-1 + 0.003 HBt-1 + 1.163 HCt-1
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar
Manado (HAt-1)
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Tomohon (HBt-1)
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Minahasa (HCt-1)
Harga ternak sapi bulan ini di Pasar Minahasa (HCt)
Signifikan
Tidak Signifikan
Gambar 5.23. Model Integrasi Pemasaran di Minahasa
Harga daging sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar Minahasa (HCt)
dipengaruhi oleh harga ternak sapi bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di Pasar
178
Minahasa (HAt-1), harga ternak sapi bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di Pasar
Manado (HBt-1), serta harga ternak sapi pada bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di
Pasar Minahasa (HCt-1). Hasil pengujian Vector Auto Regressive (VAR) pada
Tabel 5.19 di atas memperlihatkan bahwa koefisien pengaruh harga ternak sapi
bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di Pasar Minahasa (HCt-1) terhadap
pembentukan harga ternak sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar Minahasa (HCt)
sebesar 1.163, dengan T-stat 94.998 > 1.96 dan P-value sebesar 0.000 < 0.05.
sebab itu terdapat pengaruh yang signifikan dan positif, artinya semakin tinggi
harga ternak sapi bulan sebelumnya (bulan ke t-1) di Pasar Minahasa (HCt-1),
akan semakin tinggi pula harga bulan ini (bulan ke t) di Pasar Minahasa (HCt).
Hasil pengujian Vector Auto Regressive (VAR) pada Tabel 5.14 di atas
memperlihatkan bahwa koefisien pengaruh harga ternak sapi bulan sebelumnya
(bulan ke t-1) di Pasar Manado (HAt-1) terhadap pembentukan harga ternak sapi
bulan ini (bulan ke t) di Pasar Minahasa (HCt) sebesar 0.008, dengan T-stat
0.721 < 1.96 dan P-value sebesar 0.479 > 0.05. Dengan demikian tidak terdapat
pengaruh yang signifikan, artinya berapapun besarnya harga ternak sapi bulan
sebelumnya (bulan ke t-1) di Manado (HAt-1) tidak berpengaruh terhadap tinggi
rendahnya harga ternak sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar Minahasa (HCt).
Hasil pengujian Vector Auto Regressive (VAR) pada Tabel 5.19 di atas
memperlihatkan bahwa koefisien pengaruh harga ternak sapi bulan sebelumnya
(bulan ke t-1) di Pasar Tomohon (HBt-1) terhadap pembentukan harga ternak sapi
bulan ini (bulan ke t) di Pasar Minahasa (HCt) sebesar 0.003, dengan T-stat
0.218 < 1.96 dan P-value sebesar 0.829 > 0.05. Dengan demikian tidak terdapat
pengaruh yang signifikan, artinya berapapun besarnya harga ternak sapi bulan
sebelumnya (bulan ke t-1) di Tomohon (HBt-1) tidak berpengaruh terhadap tinggi
rendahnya harga ternak sapi bulan ini (bulan ke t) di Pasar Minahasa (HCt).
179
Harga ternak sapi bulan ini di Pasar
Manado (HAt)
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar
Manado (HAt-1)
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Tomohon (HBt-1)
Harga ternak sapi bulan ini di Pasar Tomohon (HBt)
Harga ternak sapi bulan lalu di Pasar Minahasa (HCt-1)
Harga ternak sapi bulan ini di Pasar Minahasa (HCt)
0.005
0.011
Gambar 5.24. Model Integrasi Pemasaran Keseluruhan
5.5. Analisis Efisiensi Pemasaran
5.5.1. Pola Penentuan Harga Ternak Sapi Potong.
Pola dasar perhitungan dan penentuan harga ternak sapi hidup pada
proses pemasaran ternak sapi di Sulawesi utara, terdapat dua model yaitu :
1) Berdasarkan perkiraan jumlah kilogram daging yang disumbangkannya.
Pola analisis ini menggunakan formula : 0.35 dari perkiraan berat hidup.
Angka 0.35 ini, sesuai pendapat pemilik TPH dan pengguna RPH, 35 %
berat ternak sapi adalah dagingnya. Ternak sapi dengan berat 300 Kg,
menyumbangkan 0.35 X 300 Kg = 105 Kg daging. Bila harga daging sapi
eceran Rp 95.000,-/Kg, maka harga perkilogram daging ternak hidup adalah
Rp 90.000,-/Kg. Harga ternak sapi dengan perkiraan berat badan 300 Kg
adalah: 0,35 X 300 Kg= 105 Kg X Rp 90,000.-= Rp 9,450,000.-/ekor
2) Berdasarkan perkiraan berat ternak sapi hidup. Harga perkilogram ternak
sapi hidup yaitu 0.35 X Rp 90,000.-/Kg daging sembelihan = Rp 31.500.-/Kg.
Jika perkiraan berat ternak sapi 300 Kg, maka harga ternak sapi : 300 Kg X
Rp 31,500.- = Rp 9,450.000.- / ekor ternak.
Dua model analisis penentuan harga ternak sapi hidup pada poin 5.4.1.
memiliki hasil akhir yang sama yang dapat diikuti pada Tabel 5.20 berikut ini.
180
Tabel 5.20. Pola Analisis Perkiraan Harga Ternak Sapi Potong Dalam Pemasaran
Perkiraan Berat Ternak sapi hidup Harga Ternak Sapi/ Ekor @ Rp / Kg Total / ekor sapi (Rupiah)
Berat Badan Ternak Sapi (BB) 300 Kg 31,500.- 9,450,000,- 1) Perkiraan Jumlah daging bila disembeli 0,35 X 300 Kg
105 Kg 90,000,- 9,450,000, - 2)
Keterangan : *) Harga perkilogram ternak sapi di dapat dari : 0.35 X Rp 90,000.-/kg daging = Rp 31,500.- / Kg ternak sapi hidup
**) Hasil penelitian menunjukan bahwa Pola 2) banyak ditemukan dalam pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi Utara.
5.5.2. Efisiensi Pemasaran
Tujuan ketiga pada penelitian ini adalah menguji efisiensi pemasaran sapi
potong di Sulawesi Utara. Alat yang digunakan yaitu: Analisis Marjin Pemasaran,
dan share harga ternak sapi yang diterima peternak disajikan pada Tabel 5.21:
Tabel 5.21. Analisis Efisiensi Pemasaran
Variabel Simbol Satuan Lokasi Pasar Manado Tomohon Minahasa
Harga Konsumen Akhir Pr Rp/KgH 94286,-*) (33000)**)
95000,-*) (33250)**)
91430,-*) (32000)**)
Harga Perantara Pp Rp/KgH 88600,-*) (31000)**)
91500,-*)(32000)**)
91500,-*)(32000)**)
Harga Produsen Pf Rp/KgH 77150,-*) (27000)**)
83.000,*) (29000)**)
83.000,*) (29000)**)
Biaya Pemasaran BP Rp/KgH 3325 3700 4000 Nilai Ternak Sapi NT Rp/KgH 7925 7275 7650
Efisiensi Pemasaran EP 0.420 0.509 0.523 Margin Pemasaran 1 MP1 Rp/KgH 7150 7600 7250 Margin Pemasaran 2 MP2 Rp/KgH 7650 7700 8100
Share harga di tingkat peternak Spf % 90.091 89.980 89.766 Share harga di tingkat perantara Spp % 91.523 91.001 91.609
Share Keuntungan Lembaga Ski % 53.547 47.549 49.837 Share Biaya Pemasaran Sbi % 22.466 24.183 26.059
Profitability Index PI 42.000 50.900 52.300 Sumber: Data Primer Diolah, 2016 (Lampiran 6) Keterangan: Rp / Kg H = Rupiah / Kilogram Ternak sapi Hidup nilainya sama
dengan nilai pada *) setelah dikali dengan angka 0.35. (Tabel 5.20). *) Harga perkilogram berdasarkan perkiraan jumlah kilogram daging
yang di sumbang ternak sapi hidup bila disembeli. **) Harga perkilogram berdasarkan perkiraan berat badan ternak sapi
hidup. Analisis berdasarkan pola*) dan **) hasilnya sama (Tabel 5.20). *) dan **): Dua pola penentuan harga ternak sapi di pasar (hasilnya sama).
181
Hasil analisis efisiensi pemasaran memperlihatkan nilai EP < 1, maka
dapat disimpulkan bahwa model pemasaran adalah efisien. Marjin pemasaran
tertinggi ada pada Pasar ternak sapi Minahasa, dengan nilai MP2 sebesar
Rp 8.100/ kg. Di sisi lain, margin pemasaran terendah di pasar Manado yaitu
MP1 sebesar Rp 7.150/kg. Persentase share keuntungan diterima peternak (SPf)
< 100%, maka sistem pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi Utara
dinyatakan efisien. SPf tertinggi pada pasar Manado yaitu 90.091%, sedangkan
terendah di Minahasa yaitu 89.766%, akan tetapi ketiga nilai SPf pada ketiga
pasar tersebut hampir sama, artinya share harga (harga ternak sapi hidup)
yang diterima peternak di Sulawesi Utara cenderung hampir sama.
Berkaitan dengan share keuntungan lembaga (Ski), berkisar antara 40-
53%, dengan tertinggi di Manado yaitu 53.547%, dan terendah di Tomohon
47.549%. Dari beberapa informan di lapangan menyatakan bahwa perbandingan
share keuntungan dari masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat dalam
proses pemasaran adalah adil. Dengan demikian, sistem pemasarannya
dikatakan efisien.
Berkaitan dengan share biaya pemasaran berkisar antara 22 26 %
dengan tertinggi di Minahasa 26.059%, dan terendah di Manado 22.466%. Dari
beberapa informan menyatakan share keuntungan dengan biaya pemasaran
masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran
ternak sapi adalah adil dan logis, maka sistem pemasarannya dikatakan efisien.
182
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan atas hasil penelitian dan pembahasan pada subbab
sebelumnya, maka e
adalah pusat pasar sapi di Sulawesi utara dengan kesimpulan sebagai berikut:
1. Struktur pasar dari pemasaran sapi potong di Sulawesi Utara, secara
adalah: cenderung
mengarah pada oligopsoni konsentrasi tinggi.
2. Model Integrasi Pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi utara secara
umum masih menggunakan pola integrasi vertical yang tradisional / terputus
putus. Harga ternak sapi potong di tiap pasar masih ditentukan oleh harga
ternak sapi dipasar itu sendiri pada bulan sebelumnya dan bukan oleh harga
ternak sapi di pasar lainnya.
3. Efisiensi pemasaran ternak sapi potong di Sulawesi Utara, secara parsial,
berdasarkan analisis transmsi harga, hanya pasar Tomohon yang
menunjukkan pasar efisien untuk transmisi harga produsen ke pedagang
perantara pemasaran dan ke konsumen bisnis selaku konsumen akhir ternak
sapi. Secara keseluruhan, hasil analisis efisiensi pemasaran (Tabel 5.21)
memperlihatkan nilai EP < 1, maka dapat disimpulkan bahwa model
pemasaran adalah efisien.
6.2. Saran
Berdasarkan atas kesimpulan penelitian pada subbab sebelumnya, maka
saran yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:
183
1. Informasi pasar tentang harga belum sampai ke produsen dengan sempurna,
sehingga harus ada upaya lebih efektif dari dinas terkait untuk
menginformasikan harga. Secara lebih luas, ada upaya mengumpulkan dan
menyebarkan harga ternak sapi potong menurut jenis dan kualitas yang
berlaku di suatu wilayah.
2. Diperlukan suatu organsiasi yang menangani perencanaan produksi dan
penjajakan pemasaran hasil ternak sapi, misalnya koperasi. Peternak sudah
saatnya bergabung dengan kelompok usaha yang mampu memperkuat posisi
tawar menawar terhadap konsumen bisnis selaku konsumen akhir ternak sapi.
3. Perlunya standarisasi produk (ternak sapi) yang konsisten untuk memperoleh
segmentasi pasar yang relatif stabil sehingga dapat meningkatkan
pendapatan petani peternak sapi. Untuk itu diperlukan perhatian dan
kerjasama dari dinas terkait dalam hal pengembangan teknologi.
184
DAFTAR PUSTAKA
Afifuddin S dan S. I. Kusuma (2007) Pengaruh Struktur Pasar CPO terhadap pengembangan ekonomi wilayah Sumatera Utara.
Alhusniduki,. 1991. Tataniaga Pertanian. Bahan Penataran Perguruan Tinggi Swasta Bidang Pertanian Program Kajian Agribisnis. Direktorat Perguruan Tinggi Swasta. Dirjen Pendidikan Tinggi. Universitas Lampung.
Anonimous. 2011. PASAR PPN DAN PDB. Sumber:http://dudes-ndy.
Arficho, M.T. 2011. Price Spread Analysis of Cattle in Hadiya Pastoral Areas. Journal of Biology, Agriculture, and Healthcare, Vol 1, No, 1, 2011.
Arifin,.2005, Pembangunan Pertanian Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi, Penerbit PT.Gramedia Widia sarana Indonesia, Jakarta.
Arshad,. 1980. The Integration of Falm Oil Market in Peninsular Malaysia, Indian Journal of Agriculture Economic, Vol.45 No 1.
Atmakusuma,. 1984. Tataniaga Peternakan. Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Azzaino,. 1982. Pengantar Tataniaga Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Balafif., 2010. Sistem Pemasaran Sapi Potong Di Kabupaten Bondowoso. GDL
Universitas Muhammadiyah Malang. Animal husbandry.Dibuat: 2010-02-15, dengan 3 file Undergraduate Theses from JIPTUMMPP/2010-02-15 09:53:20 Info Versi live CD dari koleksi perpustakaan Universitas Muhammadiyah Malang. Alamat: Jl.Raya Tlogomas 246 Keyword :Sistem Pemasaran Sapi Potong. Oleh Ahmad Balafif( 04910001 ),Url:http://
BPTP Sultra., 2009. Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian di Provinsi Sultra. Jumat, 29 Mei 2009 14: Hakcipta© 2011 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara Jl. Prof.Muh.Yamin No.89 Kendari 93114, Indonesia e-mail: [email protected] Sumber: http://sultra.litbang. deptan.go.id. Di Undu Sabtu, 18 JuniI 2011
Bushara (2015), Efficiency of Seleted Sudanese Cattle Markets: Multivariate Co-Integration Approach (1995-2011). Int Journal of Economic Management Science, 2015, Volume 4 Issue 7.
Cruz, Serrão, Rola-Rubzen, Afons, Copland, dan Amaral., 2003 2004. Cakupan pasar daging sapi sekarang dan masa depan di Timor Lesté: Studi kasus di Covalima, Maliana, Ambenodan Dili1
Dahl, and Hammond 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. McGRAW-Hill Book Company.
185
Daironi, A. 2013. Pola Pemasaran Sapi Potong Pada Peternakan Skala Kecil di Kabupaten Kediri. Jurnal Manajemen Agribisnis Vol 13 No 1, Januari 2013.
Darma Setiawan, I Made. 1997. Analisis Pemasaran Rumput Laut (Eucheuma Sp.) Pada Sentra Produksi Rumput Laut di Kecamatan Nusa Penida Bali. Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.
Daroini, A. (2013) Pola pemasaran sapi potong pada peternak skala kecil di kabupaten Kediri.
Daryanto, 2007. Peningkatan Daya Saing Industri Peternakan. Cetakan Pertama. Penerbit P.T. Permata Wacana Lestari (Penerbit Majalah Trobos). Jakarta. ISBN. 978 979-15376-2-9. Edisi April 2007.Hal. 52 54.
Dayanandan, R. 2011. Production and Marketing Efficiency of Dairy Farms in Highland of Ethiopia An Economic Analysis. International Journal of Enterprise Computing and Business Systems, Vol 1 Issue 2 July 2011.
Dzanja, J, Kapondamgaga, P., and Tchale, H. 2013. Value Chain Analysis of Beef in Central and Southern Malawi (Case Studies of Lilongwe and Chickwawa District), International Journal of Business and Social Science, Vol 4 No 6, June 2013.
Dzanja, Kapondammgaga, dan Tchale (2013) Value Chain Analysis of Beef in Central and Southern Malawi (Case Studies of Lilongwe and Chkhwawa Districts), International Journal of Business and Social Science Vol 4 No 6, June 2013
Elly 2007. Sistem Pemasaran Ternak Sapi Di Kabupaten Minahasa Dan Peran Pemerintah. Jurnal 226. Edisi Juli 2007. ISSN 0852-2626. Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi. Kampus Unsrat Bahu-Manado Sulawesi Utara. 95115.
Faminow, and Benson. 1991. Spatial Market Integration. American Journal of Agricultural Economics. Volume 72 Number 1 February 1990.
Goletti, and Christina-Tsigas. 1995. Analyzing market integration. In Scott, G.J. (Ed). Prices, products and people: Analyzing agricultural markets in developing countries. International Potato Center.
Goodwin, and Schroeder. 1991. Cointegration tests and spatial price linkages in regional cattle market. American Journal of Agricultural Economics, 73: 1264-1273.
Gujarati, Damodar. 1995. Basic Econometrics. McGRAW-Hill International Company. International Student Edition.
Handerson, and Quandt. 1980. Microeconomic Theory. Thirt Edition. International Student Edition. McGRAQ-Hill International Book Company.
186
Harris, 1979. There is Method in My Madness or Is It Vice Versa ? Measuring Agricultural Market Performance, Food Research Institute Studies, Vol. XVII No 2 p. 197 218.
Harris, 1995. Using cointegration analysis in econometric modelling, Hemel Hempstead, Hertfordshire, Prentice Hall - Harvester Wheatsheaf, 1995
Hay, Morris. 1991. Industrial Economic and Organization. Theory and Evidence. Second Ed. Oxford University Press.
Heytens, 1986. Testing market integration. Food Research Institute Studies, 20(1):34-49.
Hiersieifer, 1985. Teori Harga dan Aplikasinya. Penerbit Erlangga Jakarta. Alih Bahasa Kusnedi.
Idrus dan Widyantara, 1996. Pemasaran Panili di Bali. Perilaku dan Penampilan Pasar. Lintasan Ekonomi. Majalah Ilmiah Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang.
Istiqomah dan Damayanti., 2011. Penggemukan Ternak Sapi Potong dengan Sistem Kereman di Wilayah Kecamatan Sokaraja, Purwokerto. UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Gunung. No.Arsip: Kegiatan-10008. Di undu, sabtu,18 juni 2011. Sumber:http://www.lipi.go.id
Jokosusilo B (2011), Integrasi pasar dan efisiensi ekonomi usahatani sapi potong di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Timur.
Kasmadi (2008).Struktur Pasar Dan Jenis Jenis Pasar. Modul Ekonomi. Edisi. Senin, November 17.Sumber:http://kasmaditoopat.blogspot. com /2008/11/ struktur-pasar.html diundu 16 mei 2011
Kiptiyah, S. M.; Iksan Semaoen, 1994. Konsumsi dan Pemasaran Bunga di Jawa Timur. Laporan Penelitian Universitas Brawijaya Malang.
Kodrat Sukardi David., 2009. Manajemen Distribusi. Old Distribution Channel And Postmo Distribution Channel Approach. Berbasis Teori Dan Praktik. Cetakan Pertama. Edisi Pertama. Penerbit.Graha Ilmu. Candi Gebang Permai Blok R/6 Yogyakarta. ISBN. 978 979 756 512 1.
Kohls and Uhl, J.N. 1980. Marketing of Agricultural Product. Fifth End. Collar. Macmillan Publishing Company. New York.
Kohls, Richard and Downey. 1972. Marketing of Agricultural Product, Macmillan Publishing Co., Inc. New York.
Komisariat PERHEPI Surakarta, 1996. Kajian Keragaan Pasar dan Prospek Daya Saing Komoditas Jambu Mete. Makalah pada Kongres XI dan Kongres XII PERHEPI, 9 11 Agustus 1996. Denpasar.
Kotler dan Keller, 2009. Manajemen Pemasaran. Jilid 1. Edisi 13. Judul Asli. Marketing Management, Thirteenth Edition. Original ISBN: 978 0 13600998 6. Penerbit. Erlangga.
187
Kotler, 1997. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Kontrol (terjemahan Hendra Teguh SE, Ak dan Ronny A Rusli SE, AK), Prenhallindo, Jakarta.
Kotler, 2002., Manajemen Pemasaran. Edisi Milenium.Jilid 1. Penerbit. P.T. Prenhalindo Jakarta. Judul Asli. Marketing Management. Alih Bahasa Hendra Teguh, SE., Ronny A. Rusli, SE.AK(ed.9), Drs Benyamin Molan (revisi Ed.10). ISBN. 979-683-091-4
Koutsoyiannis,.1982. Modern Microeconomics.Second Edition. (Southeast Asian Reprint).
Kristanto et al. 1986. Pemasaran Hasil hasil Pertanian, Yayasan Obor Jakarta.
Kusuma, M.E.W., H.D.Utami dan B.A. Nugroho (2013) Efisiensi pemasaran telur ayam ras di kecamatan Karangploso kabupaten Malang
Lalus, dkk.1995. Kontribusi Usaha Ternak Terhadap Pendapatan Rumah tangga Petani Lahan Kering di Kabupaten Kupang. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang.
Lamb., Hair., Mc Daniel., 2001. Pemasaran. Marketing. Buku 2. Penerjemah: David Octarevia. Edisi. Bahasa. Inggris, 2000. By.South Western. Colledge Publishing. Penerbit. Salemba Empat. Web Site: www.salembaempat.co. Leuthold, and Hartmann. 1979. A semi strong form evaluation of the efficiency of the hog futures market. American Journal of Agricultural Economics, 67(4): 482-489.
Liliwen, and Neonbasu. 1994. Prospek Pembangunan, Dinamika dan Tantangan Pembangunan Nusa Tenggara Timur. Penerbit Yayasan Citra Insan Pembaru Kupang.
Majid, 2008. Pengertian, Konsep, Definisi Pemasaran. Sumber: http://majidbsz. wordpress.com Posted on 30 Juni 2008. Diundu. 26 April 2011
Martin, Stephen. 1989. Industrial Economics : Economic Analysis and Public Policy, Macmillan Publishing Company, New York.
Masyrofie, 1993. Pengantar Pemasaran Pertanian. Program Pascasarjana, Universitas Brawijaya Malang.
McDonald and Keegan., 1999. Marketing Plans That Work. Kiat mencapai Pertumbuhan dan Profitabilitas melalui Perencanaan Pemasaran yang Efektif. Cetakan Pertama. Penerbit. PT. Gelora Aksara Pratama. Pengalih Bahasa. Damos Sihombing. Judul Asli: Marketing Plans That Work. Targeting Growth and Profitability. Halaman 9
McNew, 1996. Spatial market integration: Definition, theory and evidence. Agricultural and Resource Economics Review, 25: 1-11.
Miller, LeRoy, Roger and Meiners. 1994. Teori Ekonomi Mikro Intermediate. PT. Raja Grafinda Persada Jakarta Bekerjasama dengan McGRAW-HillInc.
188
Monke and Petzel. 1991. Market Integration. American Journal of Agricultural Economics. Volume 66 Number 4 November 1984.
Mosher, 1985. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Penerbit Yasaguna Jakarta.
Mubyarto, 1994.Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES Jakarta.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES, Jakarta.
Mukson, (2005) efisiensi pemasaran telur ayam ras di Kabupaten Kendal Jawa Tengah
Muwanga, and Snyder. 1997. Market intergration and the law of one price: Case study of selected feeder cattle markets. Economic Research Institute Study Paper #97-11.Utah State University.
Nur, K.M. 2009. Efisiensi Pemasaran Pedet Jantan Sapi Perah. Tesis. Universitas Muhammadiyah Malang.
Parel, et. Al. 1973. Sampling Design and Procedures. Papers on Survey Research Metodology.
Pellokila. 1993. Analisis Permintaan Daging Sapi di Kota Administratif Kupang. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang.
Porwadarminto, 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Depdikbud. Pembinaan, Pengembangan, Bahasa. Jakarta.
Prasodjo, 1997. Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar Cabai Rawit di Kecamatan Sukowono Jember, Tesis Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.
Purcell, Wayne . 1979. Agricultural Marketing : System, Coordination, Cash and Future Prices, Reston Publishing Company, Inc. A Prentice Hall Company. Reston Virginia.
Purnama, M. N. (2004), Efisiensi pemasaran ikan hias di desa Cibuntu kecamatan Ciampa Kabupaten Bogor
Rahardi., 2003. Cerdas Beragrobisnis. Mengubah Rintangan menjadi Peluang Berinvestasi. Anda Bertanya, Pakar dan Praktisi Menjawab. Cetakan Pertama. September 2003.. ISBN:979 3357 49 5. Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Penerbit.PT. Agromedia Pustaka.
Rangkuti, 2004. Flexible Marketing.Teknik Agar Tetap Tumbuh Dalam Situasi
Bisnis yang Bergejolak dan Analisis Kasus. Penerbit. P.T.Gramedia Pustaka Utama. Jl. Palmerah Barat 33 37, Jakarta.10270. Halaman 68, 75
189
Rashid, and Chaudhry. 1973. Marketing Efficiency In Theory and Practice, Lowa University Press, Ames.
Ravallion, 1986. Testing Market Integration, American Journal of Agricultural Economics, Vol. 68 No 1. p. 102 109.
Rembang., 2004. Model Pemasaran Daging Sapi Pada Pasar Tradisional Di Kota Manado. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Rochadi, Tawaf, H; Sulaeman dan Tonton S. Udiantono, 1993. Strategi Pengembangan Industri Peternakan Sapi Potong Berskala Kecil dan Menengah. Agroindustri Sapi Potong. Prospek Pengembangan pada PJPT II. PPA (Pusat Pengembangan Agribisnis), CIDES (Center for Information and Development Studies. UQ (Jurnal Ilmu dan Kebudayaan UlumulQur;an).
Rochadi,1999. Prospek Usaha Sapi Potong oleh Gerakan Koperasi Menghadapi Era Pasar Bebas. Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Sapi Potong di Indonesia dalam Era Pasar Bebas di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.
Saefuddin, 1981/1982. Pemasaran Produk Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Setiorini, F.(2008). Efisiensi Pemasaran Ikan Mas Di Kecamatan Pagelaran Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung
Sexton, Richard;.King; Hoy and Carman. 1991. Market Integration, Effiency of Arbitrage and Imperfect Competition :Metodology and Application to U.S. Celery. American Journal of Agricultural Economics. Volume 73Number 3 August 1991.
Singarimbun, Masri; Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.
Sobirin,1993. Agribisnis. Penerbit. Departemen Pertanian. Badan Diklat Pertanian. Proyek pengembangan Penyuluhan Pertanian (NAEP III). Tahun Anggaran 1993/1994. Halaman 2 8
Soedjana Tj, D., 2009. Rencana Strategis Direktorat Jendral Peternakan. 2010
2014. Penerbit. Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian, 2009.
Soedjana., 2009. Rencana Strategis Direktorat Jendral Peternakan. 2010 2014.
Penerbit. Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian, 2009.
Soekartawi, 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasi. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada Jakarta. Edisi Revisi.
Soekartawi, 1993. Manajemen Pemasaran Dalam Bisnis Modern. Cetakan Pertama. Penerbit.Pustaka Utama Sinar Harapan.
190
Soekartawi,1989. Manajemen Pemasaran Hasil-hasil Pertanian, Teori dan Aplikasinya. CV. Rajawali. Jakarta.
Soekartawi. 1993. Manajemen Pemasaran Hasil-hasil Pertanian: Teori dan Aplikasinya, PT Raja Grapindo Persada Jakarta.
Stifel, 1975. Imperfect Competition in Vertical Market Network: The Case of Rubber in Thailand, American Journal of Agricultural Economics, Vol. 57 No 4, p. 631 640.
Stiffel,. 1975. Imperfect Competition in a Vertical Market Network: The Case of Rubber in Thailand. American Journal of Agricultural Economics. Volume 57 Number 4 November 1975.
Suarda, 2009. Saluran Ppemasaran Sapi Potong Di Sulawesi Selatan. Edisi. Agustus. Jurnal. Sains dan Teknologi, Vol.9 No.2: 115 118 ISSN 1411-4674. 115 Jurusan Peternakan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
Suardika, Ambarawati, dan Sudarma., 2015. Efektivitas Kemitraan Ternak Sapi Potong terhadap Pendapatan Petani-Peternak di Kabupaten Timor Tengah Utara Propinsi NTT. Jurnal Manajemen Agribisnis, Volume 3. Nomor 2, Oktober 2015.
Sudarsono, 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Penerbit LP3ES Jakarta.
Sudhir, and Reddy.,2010. A Study OnMarketing Practices In Select Service Industry. Mustang Journal of Business and Ethics. Vol.1.pg.50,16pgs. Sumber: http://proquest.umi.com. Di undu. Jumat, 9. April 2011
Sugiyono, 2010. Statistika untuk Penelitian. Cetakan Ke 17. Penerbit C.V. Alfabeta. Jalan Gegerkalong Hilir. No.84. Bandung. ISBN.978-979-8433-10-8. IKAPI. Halaman 297 342 .
Suherty, L., Fanai, Z., dan Muhaimin, A.W. 2009. Analisis Efisiensi Pemasaran Jeruk. Agritek Vol 17 No 6 November 2009.
Sukirno,(1995). Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada Jakarta. Edisi Kedua.
Suryana., 2008. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis Dengan Pola Kemitraan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Jalan Panglima Batur Barat. No.4. Kotak Pos.1018 dan 1032. Banjar-Baru. 70711. Telp.(0511)4772346. Fax (0511) 4781810.E-mail:[email protected]. Diajukan 24 Oktober 2008, diterima 20 Januari 2009. Jurnal. Litbang. Pertanian. 28(1)2009.
Swastha, Basu dan Ibnu., 1991. Pengantar Bisnis Modern (Pengantar Ekonomi
Perusahan). Edisi Ketiga. Penerbit Liberty-Yogyakarta
Teken dan Asnawi. 1977. Teori Ekonomi Mikro. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
191
Tibi And Aphunu., 2015. Analysis of the cattle market in Delta State- The Supply Determinant. African Journal of General Agriculture Volume 6 Number 4, December 31, 2015
Tim Peneliti dari Pusat Studi dan Kebijakan Pangan dan Gizi, Lembaga Penelitian IPB.,1996. Bekerja Sama dengan Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Studi Analisis Keterpaduan Pasar pada Sistem Pemasaran Komoditas Strategis.
Tjiptono., 2002. Strategi Pemasaran. Edisi Kedua., Cetakan Keenam. Penerbit .Andi. Jalan. Beo. No.38 40.Yogyakarta. ISBN: 979-533-441-7
Tomek, dan Robinson, 1997.Agricultural Product Prices. Cornell University Press, London.
Tomek, William G. 1977. Agricultural Product Prices.Cornell University Press. Ithaca and London.
Wahyuni, 2006. Strategi Memotivasi Profesionalisme Peternak Sapi Potong Peran dan Finansil Agen Rantai Pasok. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jalan A. Yani. Nomor 70. Bogor. 10101. Di undu 21 Juni 2011
Wardana, I Made, 1993. Ketidakstabilan Harga Anggur di Tingkat Petani di Kecamatan Grokgak Kabupaten Buleleng. Tesis S2 Universitas Gajah Mada KPK Universitas Brawijaya Malang.
Wibisono., 2011. Daging Sapi. Disunting oleh Ekabees. Sumber: www.gizi.net. www.appropedia.org. edisi 14 Apil 2011. Sumber: http://ekabees. Diundu sabtu, 18 juni 2011
Widyahartono.,1985. Bisnis dan Manusia Jepang. Penerbit C.V.Intermedia. P.O.Box 4155, Jakarta, 10001. Halaman109-110).
Wikipedia, 2009. Marketing Mix/Bauran Pemasaran. Edisi. Minggu, 12 April 2009 http: //aa-marketing. html diundu 28 April 2011.
Winarso, Sajuti dan Muslim, 2005. Tinjauan Ekonomi Ternak Sapi Potong Di Jawa Timur. Fo Copyright ©2011. Scribd.Inc. Sumber: http://www.scribd.com. diunduselasa, 10 mei 2011.
Yusdja Y., Ilham, N. dan Sejati. W.K.,2003. Profil dan Permasalahan Peternakan. Forum Penelitian Agr Ekonomi Vol 21 (1): 45 56.
Yusuf, M., Ratnada M. dan Nulik.J., 2004. Kelembagaan Pemasaran Sapi Potong di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta Selatan.