uu perjanjian internasional

91
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL BADAN LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2012

Upload: arya

Post on 14-Feb-2016

36 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

hukum

TRANSCRIPT

Page 1: Uu Perjanjian Internasional

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG

PERJANJIAN INTERNASIONAL

BADAN LEGISLASI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

2012

Page 2: Uu Perjanjian Internasional

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era globalisasi dimana ilmu pengetahuan dan teknologi

berkembang dengan pesat, interaksi dan interdependensi antar negara

semakin meningkat. Seiring dengan meningkatnya interaksi tersebut,

meningkat pula kerjasama internasional di berbagai bidang yang

dituangkan dalam beragam bentuk perjanjian internasional yang mengikat

para pihak. Ini berarti semua pihak dengan itikad baik harus bersungguh-

sungguh melaksanakan kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional

yang telah disepakati bersama. Tidak dilaksanakannya perjanjian

internasional oleh suatu pihak dapat berakibat timbulnya gugatan oleh

pihak lain.

Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia juga

melaksanakan hubungan internasional dan membuat perjanjian

internasional dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek

hukum internasional lainnya. Agar perjanjian internasional sejalan dengan

kepentingan nasional, memberikan hasil yang maksimal dan bermanfaat

bagi rakyat, maka perlu diatur dalam suatu undang-undang (UU). Sampai

saat ini UU yang mengatur mengenai perjanjian internasional adalah UU

No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang mulai berlaku

pada tanggal 23 Oktober 2000.

Pada saat dibentuknya UU No. 24 Tahun 2000, UUD Tahun 1945

baru mengalami dua kali perubahan. Dalam UUD Tahun 1945 Perubahan

Pertama (1999) dan Kedua (2000), Pasal 11 yang menjadi landasan yuridis

pembentukan UU No. 24 Tahun 2000 tidak mengalami perubahan.

Rumusan Pasal 11 tetap seperti semula, yang berbunyi ”Presiden dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat

perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Sedangkan dalam UUD

Tahun 1945 Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002), Pasal 11

mengalami perubahan yaitu terdiri dari 3 ayat, yang rumusan lengkapnya

adalah sebagai berikut:

Page 3: Uu Perjanjian Internasional

3

(1) ”Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan

negara lain.

(2) Presiden dalam membuat perjanjian ineternasional lainnya yang

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan

rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau

mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang

harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur

dengan undang-undang.”

Sebagaimana dikemukakan oleh I Wayan Partiana, ada beberapa

catatan yang dapat dikemukakan dari Pasal 11 UUD Tahun 1945

Perubahan Ketiga dan Keempat tersebut, diantaranya adanya kriteria

perjanjian internasional yang harus membutuhkan persetujuan DPR.1 Pasal

11 UUD Tahun 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat seharusnya juga

menjadi landasan yuridis dalam pembentukan UU yang mengatur mengenai

perjanjian internasional.

Permasalahan lain dari perjanjian internasional adalah tidak semua

perjanjian internasional memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat.

Ada beberapa perjanjian internasional yang dianggap oleh sebagian

kalangan masyarakat dapat menyengsarakan rakyat. Misal, berbagai

perjanjian perdagangan bebas yang dibuat oleh Pemerintah baik secara

bilateral maupun multilateral seperti ASEAN-China Free Trade Area

(ACFTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-Australia-New Zealand Free

Trade Area, ASEAN-Korea Selatan Free Trade Area, dan Indonesia-Japan

Partnership.2

1 Baca: I Wayan Partiana, Kajian Akademis (Teoritis dan Praktis) atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Perjanjian Internasional, Jurnal Hukum Internasional, isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5308460487.pdf –, hal. 473. 2 Baca: Edy Burmansyah (Peneliti Institute for Global Justice), FTA dan UU Perjanjian Internasional, “Globalisasi”, www.unisosdem.org/article_detail.php?... –.

Page 4: Uu Perjanjian Internasional

4

Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan

bebas tersebut menyebabkan rakyat dihadapkan kepada perdagangan

bebas dan dipaksa untuk bersaing dengan para pelaku ekonomi dari luar

negeri di pasar domestik tanpa adanya perlindungan dari pemerintah. Hal

ini tentu akan sangat berpengaruh dan memberikan dampak yang sangat

berat bagi masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000,

perjanjian internasional di bidang ekonomi dan perdagangan tidak

termasuk di dalam kategori yang harus mendapat persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Akibatnya, perjanjian

perdagangan yang dilakukan Indonesia dengan negara lain dianggap berada

di dalam ranah eksekutif yang pengesahannya cukup melalui Keputusan

Presiden (Kepres).

Dalam praktiknya, selama ini juga telah terjadi penyimpangan dalam

pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2000. Pagu pinjaman luar negeri yang

disetujui oleh DPR bersamaan dengan disahkannya UU Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dianggap secara otomatis adanya

persetujuan DPR terhadap perjanjian pinjaman luar negeri. Hal ini tidak

sesuai dengan maksud UU No. 24 Tahun 2000. Persetujuan DPR terhadap

UU APBN tidak identik dengan pengesahan/ratifikasi perjanjian

internasional oleh DPR. UU APBN bukanlah UU mengesahkan/ratifikasi

suatu perjanjian internasional, melainkan UU untuk menyetujui rencana

pemerintah untuk melakukan pinjaman. Sedangkan pengesahan/ratifikasi

adalah lembaga hukum ketatanegaraan tentang pengesahan oleh legislatif

atas perbuatan hukum pemerintah sesuai dengan hukum perjanjian

internasional.3

Beberapa permasalahan tersebut menandakan adanya kelemahan

atau kekurangan yang ada dalam UU No. 24 Tahun 2000 dalam mengatur

mekanisme pembuatan atau pun pengesahan perjanjian internasional. Hal

ini dikhawatirkan pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional

kurang memberikan manfaat yang maksimal untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat.

3 Damos Dumoli Agusman, Beberapa Perkembangan Teori dan Praktik di Indonesia tentang Hukum Perjanjian Internasional, e-library.kemlu.go.id/index.php?...65%3Aapa-perj... –.

Page 5: Uu Perjanjian Internasional

5

B. Identifikasi Masalah

Penggantian terhadap UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)

Rancangan Undang-Undang (RUU) Prioritas Tahun 2011. Dalam Lampiran

Keputusan DPR RI No. 02B/DPR/II/2010-2011 tanggal 14 Desember 2010

penggantian Undang-Undang ini terdapat di urutan nomor 37, yang Naskah

Akademik dan draft awal RUU penggantiannya disiapkan oleh DPR RI.

Untuk itu, berdasarkan Surat Ketua Badan Legislasi Nomor

63/BALEG/DPR RI/V/2010 perihal dukungan teknis administratif dan

keahlian pada Badan Legislasi tanggal 24 Mei 2010 dan sesuai Rapat

Koordinasi Deputi Perundang-Undangan tanggal 22 Desember 2010 dengan

agenda membicarakan tugas pendampingan perancangan undang-undang

dalam daftar Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2011, dibentuk Tim Penyusun

Naskah Akademik dan draft awal RUU tentang Penggantian Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Dalam Pasal 43 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundangan-undangan disebutkan bahwa Rancangan Undang-

Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah

Akademik. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau

pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah

tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai

pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang,

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan

hukum masyarakat.4 Oleh karena itu, beberapa permasalahan yang akan

dimuat dalam NA RUU Penggantian UU No. 24 Tahun 2000 ini adalah:

1. Bagaimana definisi atau pengertian perjanjian internasional yang tepat

agar tidak ada multitafsir antara perjanjian internasional yang bersifat

publik dan yang bersifat privat?

4 Lampiran I angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Page 6: Uu Perjanjian Internasional

6

2. Apa yang menjadi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penggantian

UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional?

3. Materi-materi perjanjian internasional apa saja yang pengesahannya

harus memerlukan persetujuan DPR?

4. Bagaimana mekanisme pembuatan dan pengesahan perjanjian

internasional agar perjanjian internasional sejalan dengan kepentingan

nasional dan tidak merugikan daerah yang terkena dampak perjanjian

internasional?

5. Bagaimanakah materi muatan RUU tentang Penggantian atas UU No. 24

Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional?

A. Tujuan dan Kegunaan

Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka

tujuan penyusunan Naskah Akademik (NA) ini adalah sebagai berikut:

1. menguraikan mengenai pengertian perjanjian internasional.

2. menguraikan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan

RUU tentang Penggantian atas UU No. 24 Tahun 2000.

3. menganalisis materi-materi perjanjian internasional yang

pengesahannya harus dengan persetujuan DPR.

4. menganalisis mekanisme pembuatan dan pengesahan perjanjian

internasional yang baik agar sejalan dengan kepentingan nasional dan

tidak merugikan daerah yang terkena dampak perjanjian internasional.

5. merumuskan materi muatan RUU tentang Penggantian atas UU No. 24

Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Adapun kegunaan dari penyusunan NA ini adalah sebagai acuan atau

referensi dalam menyusun dan membahas RUU tentang Penggantian atas

UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang tercantum

dalam daftar Prolegnas 2011 – 2014 RUU Prioritas Tahun 2011.

Penggantian UU tentang Perjanjian Internasional ini akan menjadi landasan

hukum yang kuat dan menjadi pedoman dalam pembuatan dan

pengesahan perjanjian internasional sehingga perjanjian internasional

benar-benar bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.

Page 7: Uu Perjanjian Internasional

7

C. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan Naskah

Akademik ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis

normatif merupakan suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan

dengan meneliti data sekunder.5 Penelitian dilakukan dengan meneliti

ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian internasional yang ada di

dalam peraturan perundang-undangan, konvensi/perjanjian

internasional, dan literatur terkait. Sedangkan sifat penelitian yuridis

normatif ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan

atau gejala-gejala lainnya6.

2. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data

Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder dan data

primer. Data sekunder yang dimaksud terdiri dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier.

Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat karena

dikeluarkan oleh lembaga/pihak yang berwenang, meliputi antara

lain, peraturan perundang-undangan, perjanjian, dan konvensi.

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang isinya membahas bahan

hukum primer, seperti: buku-buku, artikel, makalah, laporan

penelitian, dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya.7 Data sekunder

tersebut diperoleh dari perpustakaan, internet, surat kabar, seminar,

dan sebagainya. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang

bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti:

kamus, buku pegangan, almanak dan sebagainya, yang semuanya

dapat disebut bahan referensi atau bahan acuan atau rujukan8.

5 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983),

hal. 24. 6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta UI Press, 1984, hal. 10. 7 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rineka Cipta,1998, hal.103-104. 8 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta,1998), hal. 103-104.

Page 8: Uu Perjanjian Internasional

8

Untuk mendukung data sekunder diperlukan data primer yang

diperoleh melalui wawancara secara mendalam dengan berpedoman

pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.

Adapun para pihak yang diwawancara adalah para pejabat/pegawai

Pemda Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Aceh, anggota DPRD

Kalimantan Barat dan Aceh, dan para akademisi. Disamping itu, data

juga diperoleh dengan mengadakan diskusi internal dengan

pejabat/pegawai Kementerian Luar Negeri, akademisi, dan praktisi.

3. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2011, sedangkan penelitian ke

daerah dilakukan pada tanggal 9 sampai dengan 12 Agustus 2011.

Adapun daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Provinsi

Kalimantan Barat dan Provinsi Aceh. Pertimbangan pemilihan

Provinsi Kalimantan Barat didasarkan antara lain pada karakteristik

wilayah Provinsi ini sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan

negara tetangga Malaysia, yang memiliki kesepakatan Sosek Malindo

atau Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia, dan didasarkan pula pada

adanya kesepakatan kerjasama Memorandum of Understanding (MoU)

Sister City antara pemerintah Kota Singkawang dengan Pemerintah

Yang Mei Taiwan

Sedangkan pertimbangan pemilihan Provinsi Aceh sebagai lokasi

penelitian adalah adanya MoU antara Pemerintah RI dengan Gerakan

Aceh Merdeka (GAM) atau perjanjian perdamaian yang

ditandatangani di Helsinki. Selain itu, terjadinya bencana tsunami

yang menarik perhatian berbagai donor internasional.

Page 9: Uu Perjanjian Internasional

9

4. Teknik Penyajian dan Analisis Data

Hasil penelitian dijabarkan secara deskriptif analitis dan preskriptif.

Analitis deskriptif, yaitu mendeskripsikan fakta-fakta yang ada,

kemudian dilakukan analisis berdasarkan hukum positif maupun

teori-teori yang ada. Analisis deskriptif tertuju pada pemecahan

masalah yang ada. Pelaksanaan metode deskriptif ini tidak terbatas

hanya sampai pada tahap pengumpulan dan penyusunan data, tetapi

meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu sendiri.9

Sedangkan sifat preskriptif, bahwa penelitian mengemukakan

rumusan regulasi yang diharapkan untuk menjadi alternatif

penyempurnaan norma-norma serta sistem pengaturan mengenai

perjanjian internasional di masa yang akan datang.

9 Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, cetakan kedua (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 22.

Page 10: Uu Perjanjian Internasional

10

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. TEORI PERJANJIAN INTERNASIONAL

Dari awal berkembangnya hukum internasional, hukum perjanjian

internasional pada mulanya tumbuh dan berkembang dalam bentuk

hukum kebiasaan internasional (international customary law) yang

kemudian oleh masyarakat internasional diformulasikan dalam bentuk

hukum tertulis yang berupa konvensi-konvensi atau perjanjian

internasional. Hukum kebiasaan internasional pada dasarnya terbentuk

oleh praktik yang sama yang dilakukan secara terus menerus tanpa adanya

subyek hukum internasional yang menentang, dan diikuti oleh banyak

negara. Dengan cara demikian maka hukum kebiasaan internasional

tersebut terbentuk semakin kuat dan berlaku secara universal karena

diikuti oleh banyak negara di dunia.

Konvensi atau perjanjian internasional merupakan salah satu sumber

penting dalam hukum internasional. Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah

Internasional menentukan bahwa dalam mengadili suatu perkara

Mahkamah sebaiknya menggunakan sumber hukum internasional10:

1. Perjanjian Internasional (International Conventions);

2. Kebiasaan Internasional (International Customs);

3. Prinsip-Prinsip Umum Hukum Internasional (general principles of

international law); dan

4. Keputusan Pengadilan dan pendapat para ahli yang telah diakui

kepakarannya (Judicial teachings of the most high qualified publicist).

Konvensi-konvensi tersebut dapat berbentuk bilateral bila yang

menjadi pihak hanya dua negara, dan berbentuk multilateral bila yang

menjadi pihak lebih dari dua negara. Dalam praktiknya terdapat juga

10 Lihat, Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,

Alumni, Bandung, Edisi Kedua, 2003 hlm 113-116 ; Urutan penyebutan dalam Pasal 38 tersebut tidak menggambarkan urutan pentingnya mana yang paling utama atau terpenting karena tidak ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 38 tersebut. Pada praktiknya antara sumber hukum yang satu dengan yang lain saling mengisi. Yang dapat diklasifikasikan adalah bahwa sumber hukum yang pertama sampai dengan ketiga adalah sumber hukum utama, sedangkan sumber hukum yang keempat merupakan sumber hukum tambahan (subsidiary means).

Page 11: Uu Perjanjian Internasional

11

konvensi atau perjanjian internasional yang disebut regional bila yang

menjadi pihak hanya negara-negara dari suatu kawasan misalnya ASEAN.

Konvensi multilateral dapat bersifat universal bila menyangkut seluruh

negara di dunia. Melalui perjanjian internasional tersebut, tiap subyek

hukum internasional menggariskan dasar kerjasama mereka dan mengatur

berbagai kegiatan yang akan disepakati. Dengan demikian perjanjian

internasional merupakan instrumen yuridis bagi masyarakat internasional

untuk menampung kehendak dan persetujuan untuk mencapai tujuan

bersama. Pembuatan perjanjian internasional merupakan perbuatan

hukum dari subyek hukum internasional dan mengikat para pihak dalam

perjanjian tersebut.

Berdasarkan praktik-praktik dari hukum kebiasaan internasional,

masyarakat internasional berhasil mengkodifikasikan kaidah-kaidah

perjanjian internasional ke dalam dua konvensi yaitu :

Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang

Mengatur Perjanjian-Perjanjian Internasional Antar Negara dan Negara.

Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian Internasional Antara

Organisasi Internasional dengan Organisasi Internasional yang Mengatur

Tentang Perjanjian Internasional, Antara Organisasi Internasional dan

Negara, Ataupun Perjanjian Internasional Antara Sesama Organisasi

Internasional.

Pada dasarnya kedua konvensi tersebut mengatur tentang proses

atau tahap-tahap dalam pembuatan sampai dengan pengakhiran perjanjian

internasional yang secara garis besarnya dimulai dari tahap perundingan

(negotiation) untuk merumuskan naskah perjanjian, penerimaan naskah

perjanjian (adoption of the text), pengotentikan naskah perjanian

(authentication of the text), persetujuan untuk terikat atau pengikatan diri

pada perjanjian (consent to be bound by treaty) yang dapat disertai dengan

pengajuan pensyaratan (reservation), mulai berlakunya perjanjian (entry into

force of a treaty), dan lain-lain. Indonesia sampai saat ini belum menjadi

negara pihak pada kedua Konvensi Wina tersebut, tetapi ketentuan-

ketentuan yang terdapat di dalamnya selalu dijadikan dasar dan pedoman

dalam membuat perjanjian internasional dengan negara lain.

Page 12: Uu Perjanjian Internasional

12

1. Teori Monisme dan Dualisme

Perjanjian kerjasama internasional yang dibuat antara negara

dengan negara lainnya atau dengan organisasi internasional merupakan

perjanjian internasional dalam pengertian hukum internasional publik11.

Bagaimana perjanjian internasional sebagai norma hukum

internasional diterapkan dalam hukum nasional persoalannya terletak pada

permasalahan bagaimana hubungan hukum internasional dengan hukum

nasional. Dalam hukum internasional, ada dua macam teori yang mencoba

untuk menerangkan hubungan hukum internasional dengan hukum

nasional, yaitu teori dualisme dan teori monisme12. Menurut aliran

monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua

bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur

kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah bahwa antara

dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki.

Karena adanya hubungan hirarki ini, maka timbul aliran monisme dengan

primat hukum internasional dan monisme dengan primat hukum nasional.

Menurut monisme dengan primat hukum nasional, berlakunya

hukum internasional karena negara atau hukum negara itu menyetujui

berlakunya hukum internasional, dan karena hukum internasional itu

tidak lain merupakan kelanjutan hukum nasional. Di lain pihak, menurut

monisme dengan primat hukum internasional, hukum nasional mengatur

sesuatu karena diperbolehkan oleh hukum internasional. Menurut aliran

ini hukum nasional membuat peraturan pelaksanaan, dan pada

hakekatnya tidak terjadi penciptaan hukum tersendiri oleh hukum

nasional. Pembuatan hukum nasional dianggap sebagai penerusan dan

penciptaan hukum internasional.

Sebaliknya, menurut aliran dualisme, hukum internasional dan

hukum nasional itu sama sekali terlepas satu sama lainnya karena masing-

11 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku-I Bagian Umum,

Bandung: Binacipta, 1977, hal. 42-43. 12 Sri Setianingsi Suwardi, Masalah-masalah Hukum Perjanjian Pinjaman Internasional,

Makalah pada Fakultas Pasca Sarjana Bidang Hukum Internasional UNPAJ, 1990, hal. 5.

Page 13: Uu Perjanjian Internasional

13

masingnya mempunyai sifat yang berlainan. Menurut aliran dualisme ini,

daya pengikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara,

maka hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem

atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Dengan

perkataan lain, dalam teori dualisme tidak ada tempat bagi persoalan

hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena pada

hakekatnya kedua perangkat hukum ini tidak saja berlainan dan tidak

tergantung satu sama lainnya tapi juga lepas satu dari yang lainnya.

Dengan demikian, hukum internasional hanya berlaku setelah

ditransformasikan dan menjadi hukum nasional13.

Dalam hal perjanjian internasional yang dilakukan antara subyek

hukum internasional publik yakni antara pemerintah Republik Indonesia

dengan negara lainnya, maka hukum yang dipakai adalah hukum

internasional publik, maka asas-asas hukum perjanjian internasional

publik berlaku pada perjanjian ini. Ini berarti bahwa asas-asas hukum

perjanjian internasional baik yang tertuang dalam Konvensi Wina tahun

1986 berlaku untuk perjanjian internasional tersebut.

2. Teori Delegasi

Menurut teori delegasi, aturan-aturan konstitusional Hukum

Internasional mendelegasikan kepada masing-masing konstitusi Negara,

hak untuk menentukan: kapan ketentuan Perjanjian Internasional berlaku

dalam Hukum Nasional dan cara bagaimana ketentuan Perjanjian

Internasional dijadikan Hukum Nasional. Indonesia cenderung

menggunakan teori delegasi. Pengesahan yang dilakukan menurut Hukum

Nasional Indonesia, merupakan bagian prosedur ratifikasi dalam ranah

Hukum Nasional untuk memperoleh instrumen ratifikasi, yang diperlukan

prosedur ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional. Ratifikasi

merupakan bagian prosedur pembentukan Hukum Internasional yang

dituangkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Keterikatan Indonesia

pada Perjanjian Internasional yang bersangkutan, dilandaskan pada

13 Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Translated by Anders Wedberg, New

York, Russel & Russel, 1973, hal. 123-124.

Page 14: Uu Perjanjian Internasional

14

penyampaian instrumen ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional.

Apabila Indonesia sudah menjadi Negara pihak, Indonesia wajib

melaksanakannya dengan itikad baik dan melakukan penyesuaian

perundang-undangannya dengan Perjanjian Internasional yang sudah

berlaku secara definitif.14

3. Konsep one door policy

Dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama internasional Negara

merupkan entitas abstrak. Negara terbagi dalam berbagai kekuasaan yang

memiliki tugas dan tanggung jawab yang kesemuanya diatur dalam

konstitusi. Tidak bisa semua institusi negara melakukan hubungan dengan

subyek hukum internasional lainnya. Dalam kebiasaan yang diakui oleh

masyarakat internasional, negara yang memiliki Dalam suatu negara

ditentukan dalam konstitusi lembaga mana yang dapat melakukan

hubungan luar negeri atas nama negara tersebut. Ini penting agar hanya

ada satu pintu (one door policy) dan kebijakan bila pihak lain ingin

berhubungan dengan negara tersebut. Berdasarkan konsep yang dikenal

dalam hukum internasional, pemerintah pusat merupakan pemegang

kedaulatan suatu negara. Subyek hukum internasional lainnya akan

berhubungan dengan pemerintah pusat bila hendak melakukan hubungan

luar negeri. Hukum internasional tidak mengatur lembaga mana yang

dianggap sebagai pemerintah pusat. Ini diserahkan kepada masing-masing

konstitusi dan peraturan perundang-undangan suatu negara.15

Dalam konstitusi Indonesia yakni Pasl 11 ayat (1) UUD 1945

menyatakan: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara

lain”. Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional pada Pasal 4 ayat (1) menyebutkan:

14 Mochtar Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional: Buku I- Bagian Umum”, Bina

Cipta, Bandung, 1990, hlm. 65 15 Hikmahanto Juwana, UU Hbungan Luar Negeri,:Konteks, Konsep pemikiran dan

pelaksanaannya selama ini, artikel Hukum pada Institut for legal and zonstitutional goverment, 1 Maret 2010.

Page 15: Uu Perjanjian Internasional

15

”Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan

satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum

internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban

untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik”. Lebih lanjut

terkait dengan peran pemerintah daerah, pada Pasal 5 ayat (1) UU tentang

Perjanjian Internasional menyebutkan: ”Lembaga negara dan lembaga

pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan

daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional,

terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana

tersebut dengan Menteri”16.

B. PRAKTIK EMPIRIS

1. Tinjauan Terhadap Defenisi Perjanjian Internasional

Mengenai terminologi atau istilah Perjanjian Internasional yang

dipakai oleh masyarakat internasional sampai saat ini dapat berupa

berbagai macam diantaranya traktat (treaties), konvensi (convention),

persetujuan (agreement), piagam (charter), protokol (protocol), nota

kesepahaman (memorandum of understanding/MoU), dan sebagainya.

Terminologi-terminologi tesebut umumnya tidak mengurangi hak dan

kewajiban yang terkandung di dalamnya. Suatu terminologi

perjanjian internasional digunakan berdasarkan permasalahan yang

diatur dan dengan memperhatikan keinginan para pihak dalam

perjanjian tersebut. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Boer

Mauna sebagai berikut:

“Penggunaan judul tertentu pada suatu perjanjian internasional

juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa materi perjanjian

tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda tingkatannya

dengan perjanjian internasional lainnya, atau untuk

menunjukkan hubungan antara perjanjian internasional tersebut

16 Lihat Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional.

Page 16: Uu Perjanjian Internasional

16

dengan dengan perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang

telah dibuat sebelumnya.”17

Defenisi perjanjian internasional publik harus dibedakan

dengan perjanjian internasional yang bersifat privat atau dengan

kontrak/perjanjian biasa. Pemahaman publik tentang apa itu

perjanjian internasional juga sangat minim dan acapkali melihatnya

dari segi popular yaitu perjanjian yang bersifat lintas batas

negara/transnasional. Sebagai contoh, MOU Helsinki antara

Pemerintah RI-GAM 2005 akan dimengerti sebagai Perjanjian

Internasional, MOU RI-Vietnam untuk jual beli beras dan MOU RI-

Microsoft 2007 juga dipahami sebagai suatu perjanjian internasional.

Distorsi publik ini pulalah yang mendorong lahirnya klaim bahwa

Production Sharing Contracts (PSC) di bidang minyak dan gas oleh

Pemerintah RI adalah ”perjanjian internasional” sehingga memicu

adanya judicial review terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi pada tahun

2007. Kasus judicial review ini merupakan kasus yang pertama dalam

jurisprudensi Indonesia yang mengangkat permasalahan teoritis

tentang hukum perjanjian internasional.

Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review

undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi

memberikan penegasan dan batasan dan perbedaan yang jelas dalam

pembedaan tersebut. Dalam kasus ini yang menjadi permasalahan

adalah Pasal 11 ayat (2) yang berketentuan : “setiap kontrak

kerjasama yang sudah ditandatangani harus segera diberitahukan

secara tertulis kepada DPR RI” dianggap bertentangan dengan Pasal

11 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan “Presiden dalam membuat

perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas

dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban

keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau

pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR”.

17 DR. Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global, Alumni Bandung, Cetakan ke-4, Bandung, hlm. 89.

Page 17: Uu Perjanjian Internasional

17

Di dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan :

“Meskipun bunyi pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyebut, „perjanjian

internasional lainnya perjanjian internasional lainnya yang

menimbulkan akbiat yang luas dan mendasar bagi kehidupan

rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau

mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang

harus dengan persetujuan DPR”. Kami dapat menyetujui pendapat

pemerintah dan ahli yang diajukan bahwa perjanjian internasionaln

yang dimaksud adalah perjanjian internasional sebagaimana

diartikan dalam pasal 1 dan 2 Konvensi WIna tahun 1969 tentang

Hukum perjanjian (Law of treaties) dan Pasal 2 ayat (1) huruf a

Konvensi WIna tahun 1986 tentang perjanjian Internasional. Oleh

karenanya Kontrak Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 11 ayat (2) undang-undang migas tidak termasuk perjanjian

internasional yang merupakan ruang lingkup pasal 11 UUD

1945…”.

Masalah definisi perjanjian internasional memang salah satu

issue kontroversi dalam literatur hukum perjanjian internasional.

Perdebatan sengit bahkan berlangsung pula dalam perumusan

definisi ini pada Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian

Internasional. Menurut Konvensi ini, perjanjian internasional adalah:

“An International Agreement concluded between States and

International Organizations in written form and governed by

International Law, whether embodied in a single instrument or in

two or more related instruments and whatever its particular

designation”

Selanjutnya, definisi ini diadopsi oleh Undang-Undang No. 24

Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang merumuskan

sebagai setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh

hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan Negara,

organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain Dari

pengertian hukum ini, maka terdapat beberapa kriteria dasar yang

Page 18: Uu Perjanjian Internasional

18

harus dipenuhi oleh suatu dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai

suatu perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969 dan

Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,

yaitu:

an International Agreement;

by Subject of International Law;

in Written Form;

“Governed by International Law” (diatur dalam hukum

internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang

hukum publik);

Whatever Form.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional sendiri telah menekankan bahwa perjanjian

internasional yang menjadi lingkup Undang-Undang ini adalah hanya

perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia yang

diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan

kewajiban di bidang hukum publik dan bukan di bidang hukum

perdata. Namun praktik Indonesia tentang pembuatan perjanjian

internasional baik sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang

No. 24 Tahun 2000 tidak luput dari kerancuan ini. Sebelum lahirnya

Undang-Undang ini, semua dokumen sepanjang bersifat lintas

negara, sepanjang yang menjadi pihak adalah Pemerintah RI,

diperlakukan sebagai perjanjian internasional dan disimpan dalam

”Treaty Room” Departemen Luar Negeri. Perjanjian yang dibuat

Pemerintah RI dengan NGO juga dianggap sebagai perjanjian

internasional. Agreement yang dibuat oleh Pertamina and PT Caltex,

PT Stanvac and PT Shell juga pernah dianggap sebagai perjanjian

internasional dan bahkan diratifikasi melalui Undang-Undang No. 1

Tahun 1963.

Setelah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional, praktik di Indonesia telah menunjukkan

konsistensi tentang perjanjian namun masih terdapat kesulitan

tentang pembedaan yang berkaitan dengan “Governed by

Page 19: Uu Perjanjian Internasional

19

International Law”, sehingga semua dokumen sepanjang dibuat oleh

Pemerintah RI dengan Subjek Hukum Internasional masih dianggap

sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada

hukum nasional seperti “loan agreements”.

Dilihat dari kewenangannya, negara sebagai institusi publik,

dapat menjalankan kewenangannya sebagai institusi perdata dengan

melakukan suatu perdagangan internasional dengan negara lain.

Perjanjian suatu negara dengan subyek hukum lain dikategorikan

sebagai hukum perdata internasional apabila perjanjian tersebut

tunduk pada hukum nasional salah satu pihak dalam perjanjian.

Sebagai contoh, perjanjian pembelian tanah atau pembangunan

gedung atau transaksi lainnya yang dibuat mengacu pada hukum

setempat walaupun dilakukan oleh negara-negara dan organisasi-

organisasi internasional bukan merupakan Perjanjian Internasional.18

Pembedaan secara tegas ini sangat penting dan diperlukan apabila

perjanjian yang bersifat ekonomi dan perdagangan dimasukkan ke

dalam kategori perjanjian internasional yang memerlukan

pengesahan/ratifikasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Meskipun dapat dikatakan bahwa perjanjian internasional yang

berkaitan dengan ekonomi dan perdagangan masuk ke dalam

kategori hukum perdata internasional, namun tidak dapat dipungkiri

bahwa akibat yang dapat ditimbulkan dari suatu perjanjian

internasional di bidang ekonomi dan perdagangan juga dapat

berpengaruh strategis bagi masyarakat atau kepentingan bangsa,

sehingga pada dasarnya juga perlu dilakukan pengesahan dengan

undang-undang. Contoh, dengan keikutsertaan Indonesia di dalam

ASEAN Free Trade Area (AFTA) maka rakyat dihadapkan kepada

perdagangan bebas dan dipaksa untuk bersaing dengan para pelaku

ekonomi dari luar negeri di pasar domestik tanpa adanya

perlindungan dari pemerintah. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh

dan memberikan dampak yang sangat berat bagi masyarakat.

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

18 DR. Boer Mauna, Op.Cit, hlm. 88.

Page 20: Uu Perjanjian Internasional

20

tentang Perjanjian Internasional, perjanjian internasional di bidang

ekonomi dan perdagangan tidak termasuk di dalam kategori yang

harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia. Hal ini berakibat perjanjian perdagangan yang dilakukan

Indonesia dengan negara lain dianggap berada di dalam ranah

eksekutif yang pengesahannya cukup melalui Keputusan Presiden.

Oleh karena itu, diperlukan adanya perubahan terhadap

definisi Perjanjian Internasional dalam revisi Undang-Undang No.24

Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Terkait dengan definisi

Perjanjian Internasional tersebut, dari hasil pengumpulan data yang

dilakukan di Provinsi Aceh dan Provinsi Kalimantan Barat

menegaskan, Pengertian PI hendaknya mengacu ke Konvensi Wina,

baik Konvensi Wina yang mengatur PI antar negara maupun Konvensi

Wina yang mengatur PI dengan organisasi internasional. Berpijak

pada Konvensi Wina tersebut maka perjanjian antara RI dengan Aceh

tidak dapat disebut PI. Begitupula perjanjian dengan korporasi

internasional (international corporation) juga bukan dalam lingkup

hukum internasional (bukan PI).

2. Surat Kuasa (Full Powers).

Full Power adalah kuasa penuh atau on behalf merupakan

salah satu kaidah hukum internasional yang menganggap tidak

semua warga negara dapat mewakili suatu Negara dalam pembuatan

hingga pengesahan perjanjian, karena hanya terdapat beberapa orang

dengan jabatan (amtenar) kenegaraanya yang mendapatkan kuasa

yang utuh untuk mewakili negaranya. Full power sebagaimana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000

TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Surat Kuasa (Full Powers)

adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang

memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili

Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani atau

menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk

Page 21: Uu Perjanjian Internasional

21

mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal

lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional.

Kusa Penuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konferensi

Wina 1969:

Seseorang dianggap mewakili sesuatu Negara dengan maksud untuk

mengesahkan atau mengotentifikasi naskah dari suatu perjanjian

atau dengan maksud untuk menyatakan kesepakatan dari suatu

Negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian jika: Ia

memberikan surat kuasa penuh.

Selanjutnya Pasal 8 Konfrensi Wina 1969, pada intinya

menyatakan mereka yang mendapatkan kuasa penuh untuk mewakili

Negara adalah :

1) Kepala-kepala Negara, Kepala-kepala pemerintahan dan para

mentri luar negeri, dengan maksud untuk melaksanakan semua

tindakan yang berhubungan dengan pembuatan perjanjian

Internasional yakni :

2) Kepala-kepala perwakilan diplomatic dengan maksud untuk

mengesahkan naskah suatu perjanjian antara Negara yang

memberikan akreditasi dan Negara dimana mereka

diakreditasikan;

3) Wakil-wakil yang diakreditasikan oleh Negara-negara pada suatu

konferensi internasional atau organisasi internasional, atau salah

satu badannya, dengan maksud untuk mengesahkan naskah dari

suatu perjanjian di konfrensi, organisasi atau badan tersebut.

Terkait dengan pemberian surat kuasa tersebut, dalam

Konvensi Wina tidak diatur teknis mengenai jangka waktu Surat

Kuasa, namun dari hasil pengumpulan data yang dilakukan yakni

hasil wawancara dengan Dosen Universitas Udayana dan Universitas

Syech Kuala menyatakan, tidak ada salahnya Indonesia mengatur

dalam RUU. Persoalan jangka waktu sebuah surat kuasa atau surat

kepercayaan, adalah hal teknis. Jangka waktu menyangkut dua hal,

yaitu (1) dalam hubungannya dengan pemerintah daerah yang akan

melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah dengan negara

Page 22: Uu Perjanjian Internasional

22

lain, harus ada ketentuan yang mengikat menteri luar negeri untuk

mengeluarkan suarat kuasa bagi seorang kepala daerah setelah

kepala daerah yang bersangkutan mengajukan permohonan. (berapa

lama surat kuasa itu dapat digunakan, apakah dapat digunakan

berulang-ulang. Kedua hal ini harus diatur dalam RUU yang baru.

Sebagai catatan bahwa kuasa jabatan sebagaimana dipangku oleh

seorang menteri keuangan misalnya, sangat berbeda pengertiannya

dengan kewenangan yang diterima oleh menteri keuangan melalui

sebuah surat kuasa untuk melakukan suatu perjanjian karena sifat

berlakunya dengan surat kuasa ada tenggang waktunya, yakni

selesainya sebuah perjanjian.

3. Peran Pemerintah Daerah

Terkait dengan peran daerah dalam pelaksanaan perjanjian

internasional khususnya dalam pembuatan perjanjian Internasional,

dalam Bab II Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional menyebutkan :

”Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen

maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang

mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional,

ter1ebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai

rencana tersebut dengan Menteri“.

Dengan demikian dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5

ayat (1) tersebut, menyimpulkan bahwa daerah yang mempunyai

rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu

melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut

dengan menteri. Dalam pembuatan perjanjian internasional yang

dilakukan oleh pemerintah, kewenangan atau yang menjadi pihak

dalam perundingan rancangan suatu perjanjian tersebut sesuai

dengan bunyi Pasal 5 ayat (4) adalah Menteri atau pejabat lain sesuai

dengan materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing.

Selain itu, daei aspek hukum internaional, Subyek Hukum

Internasional adalah Negara, dalam ha1 ini perjanjian internasional,

Page 23: Uu Perjanjian Internasional

23

Pemerintah Daerah meskipun dapat melaksanakan perjanjian atau

kerjasama internasional, tetapi kedudukannya tidak bisa dipandang

sebagaimana layaknya subjek hukum internasional. Tetapi lebih

merupakan perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah pusat.

Dalam konteks hukum internasional, beban pertanggungjawaban

perjanjian internasional tetap berada di Pemerintah Pusat.

Terkait dengan keinginan daerah untuk dilibatkan dalam

pembuatan PI, dari hasil pengumpulan data yang dilakukan di

Universitas .... Provinsi Kalimantan Barat dan Universitas Syech

Kuala Provinsi Aceh, menyatakan, perlu ada kehati-hatian jika

hendak mengakomodir keinginan daerah tersebut dalam UU PI

karena daerah bukan subyek hukum yang memiliki kewenangan

untuk membuat PI (treaty making power). Daerah tidak bisa

dilibatkan secara langsung dalam pembuatan PI. Namun peran

daerah perlu diatur secara jelas agar tidak terjadi lagi pengalaman

kasus yang telah lalu, misal: rencana Kalbar untuk mendatangkan

mobil bekas yang dituangkan dalam Perda dimentahkan oleh SK

Menteri Perdagangan yang mengakibatkan Perda tidak berlaku.

Kasus yang terbaru adalah mengenai tata gula. Meskipun hal

tersebut tidak dapat dibenarkan dimana produk legislasi (Perda)

dibatalkan oleh eksekutif (SK Menteri Perdagangan), hal tersebut

dapat dimaklumi karena merupakan mekanisme kontrol dari pusat

kepada daerah.

Dalam pembuatan PI, dunia internasional (negara pihak) akan

melihat konstitusi. Berdasarkan konvensi Montivideo yang mengatur

hak dan kewajiban negara, jika negara berbentuk negara kesatuan

maka yang memiliki kewenangan/kemampuan untuk melakukan

hubungan keluar adalah pemerintah pusat. Oleh karena itu, jika

daerah hendak membuat PI maka harus melibatkan pemerintah

pusat. Berbeda halnya dengan negara yang berbentuk federal, dimana

negara bagian ada yang diberi wewenang untuk membuat PI. Untuk

itu, ke depan agar tidak ada permasalahan lagi maka dalam kerangka

NKRI, perlu ada dialog dengan daerah dalam pembuatan PI agar

Page 24: Uu Perjanjian Internasional

24

kebutuhan/keinginan daerah dapat terakomodasi. Sehubungan

dengan hal tersebut, untuk mengantispasi masalah maka perlu ada

”benang merah” antara UU PI dengan UU terkait, diantaranya UU

Hubungan Luar Negeri, UU Perubahan UU No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan sebagainya. Jika

tidak ada benang merah maka apa pun yang dibuat dalam PI maka

akan timbul masalah di kemudian hari.

4. Pengesahan Perjanjian Internasional

a. Pasal 11 UUD 1945

Dalam UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen dapat

dijumpai suatu ketentuan pokok yang berhubungan dengan

pembuatan perjanjian internasionkekuasaan kehakiman adalah

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

guna menegakkan hukum dan keadilanal. Ketentuan yang

dimaksud dituangkan dalam pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi :

“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian

dengan negara lain”.

Selanjutnya pada tanggal 22 Agustus 1960 telah dikeluarkan

Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor

2826/HK/60 yang isinya berbunyi sebagai berikut :17)

1. “ …………………

2. Menurut pendapat Pemerintah perkataan “perjanjian” di dalam

pasal 11 ini tidak mengandung arti segala perjanjian dengan

Negara asing, tetapi hanya perjanjian-perjanjian terpenting saja,

yaitu yang mengandung soal-soal politik dan yang lazimnya

dikehendaki berbentuk traktat (treaty). Jika tidak diartikan

demikian, maka Pemerintah tidak akan mempunyai cukup

keleluasaan bergerak untuk menjalankan hubungan internasional

17) Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969), Penerbit CV. Armico,

Bandung, Edisi ke-2, Agustus 1988, Lampiran II, Hal.269-271.

Page 25: Uu Perjanjian Internasional

25

dengan sewajarnya, karena tiap-tiap perjanjian walaupun

mengenai soal-soal yang kecil harus diperoleh persetujuan terlebih

dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan hubungan

internasional dewasa ini demikian intensifnya, sehingga

menghendaki tindakan-tindakan yang cepat dari Pemerintah yang

membutuhkan prosedur konstitusional yang lancar.

3. Untuk menjamin kelancaran dalam pelaksanaan kerja sama

antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana

tertera dalam pasal 11 Undang-Undang Dasar, Pemerintah akan

menyampaikan pada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperoleh

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, hanya perjanjian-

perjanjian yang terpenting saja, (treaties) yang diperincikan

dibawah, sedangkan perjanjian yang lain (agreements) akan

disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat hanya untuk

diketahui.

4. Sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang tersebut di atas

Pemerintah berpendapat bahwa perjanjian-perjanjian yang harus

disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat

persetujuan sebelumnya disahkan oleh Presiden ialah perjanjian-

perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty yang mengandung

materi sebagai berikut :

a. Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi

haluan politik luar negeri Negara seperti halnya dengan

perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian

persekutuan (alliansi), perjanjian-perjanjian tentang perobahan

wilayah atau penetapan tapal batas.

b. Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga

mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara; dapat terjadi

bahwa ikatan-ikatan sedemikian dicantumkan di dalam

perjanjian kerja sama ekonomi dan teknis atau pinjaman uang.

c. Soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar atau menurut

sistem perundang-undangan kita harus diatur dengan Undang-

Page 26: Uu Perjanjian Internasional

26

undang, seperti soal-soal kewarganegaraan dan soal-soal

kehakiman.

Perjanjian-perjanjian yang mengandung materi yang lain yang

lazimnya berbentuk agreement akan disampaikan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat hanya untuk diketahui setelah disahkan oleh

Presiden.

Dari Surat Presiden tersebut, keikutsertaan DPR seperti

dimaksudkan Pasal 11 UUD 1945, mencakup :

a. Soal-soal politik atau yang akan mempengaruhi politik luar negeri

RI, antara lain :

1) perjanjian persahabatan;

2) perjanjian persekutuan;

3) perjanjian tentang perubahan wilayah;

4) perjanjian kerja sama ekonomi dan teknik;

5) perjanjian pinjaman uang;

b. Soal-soal yang menurut UUD 1945 dan peraturan perundang-

undangan harus diatur oleh Undang-undang.

c. Soal-soal yang menurut Undang-undang diatur dalam bentuk

traktat (treaty).18)

Sedangkan perjanjian yang mengandung materi yang lain yang

lazimnya berbentuk agreement akan disampaikan kepada Dewan

hanya untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden. Didalam

praktek pembedaan antara traktat dan persetujuan (agreement) dapat

dilihat bahwa traktat memerlukan persetujuan DPR dan bentuk

yuridis persetujuan ini dalam bentuk Undang-undang. Sedang dalam

hal persetujuan DPR hanya diberitahu dan bentuk yuridis ratifikasi

persetujuan dalam bentuk KEPPRES atau kadang-kadang tanpa

ratifikasi.19)

18) Bagir Manan, Kekuasaan Presiden Untuk Membuat, Memasuki dan Mengesahkan Perjanjian/Persetujuan,

Majalah Universitas Padjajaran No. 3-4, Jilid XVI, 1998. Hal.14. 19) Sri Setianingsih Suwardi, Ratifikasi Perjanjian Internasional Dalam Kaitannya Dengan Pasal 11 UUD

1945, Makalah Pada Lokakarya “Perjanjian RI dengan Negara Lain serta Ratifikasi oleh DPR RI”, di DPR, 10

Juni 1993. Hal. 15.

Page 27: Uu Perjanjian Internasional

27

Ratifikasi sebenarnya adalah suatu metode pengecekan oleh

parlemen mengenai apakah utusan negara yang ditugaskan untuk

berunding dalam suatu perjanjian internasional tidak keluar dari

instruksi. ”Ratifikasi ini dianggap perlu dan penting karena :

Perjanjian itu umunya menyangkut kepentingan dan mengikat

masa depan Negara dalam hal-hal tertentu karena itu harus

disahkan oleh kekuasaan Negara tertinggi.

Untuk menghindari kontroversi antara utusan-utusan yang

berunding dengan pemerintah yang mengutus mereka.

Perlu adanya waktu agar intansi-instansi yang bersangkutan

dapat mempelajari naskah yang diterima.

Pengaruh Parlementer yang mempunyai wewenang untuk

mengawasi kegiatan-kegiatan eksekutif.”19

Selain berdasarkan penandatangan dan Ratifikasi, suatu

perjanjian internasional juga dapat tunduk dan mengikat bagi suatu

negara meskipun bukan sebagai negara peserta dari perjanjian

internasional tersebut melalui cara Aksesi. Yang dimaksudkan

dengan Aksesi disini adalah pernyataan suatu negara yang bukan

peserta dari perjanjian internasional untuk tunduk terhadap

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian internasional

tersebut. Umumnya Aksesi ini dilakukan dengan cara mengirimkan

piagam Aksesi ke negara penyimpan untuk kemudian

memberitahukan kepada negara-negara peserta lainnya.20

Tindakan internasional lain yang lazim dilakukan oleh negara-

negara pada saat pembuatan Perjanjian Internasional adalah dengan

mengajukan suatu Pensyaratan (Reservation) terhadap klausul dari

suatu ketentuan dalam perjanjian internasional. Apabila Pensyaratan

tersebut diterima maka negara bersangkutan tidak tunduk terhadap

ketentuan dari pasal yang diajukan Pensyaratan tersebut. Umumnya

19 DR. Boer Mauna, Op.Cit, hlm. 118. 20 Mengenai Aksesi Konvensi Wina 1969 mengaturnya di dalam Pasal 15 yang

menyatakan bahwa Aksesi dapat dilakukan apabila : 1.Perjanjian itu sendiri secara jelas menyatakan hal tersebut, 2.Bila terbukti Negara-negara yang ikut berunding menginginkan demikian.

Page 28: Uu Perjanjian Internasional

28

Pensyaratan ini diajukan pada waktu penandatanganan, Ratifikasi,

ataupun pada saat Aksesi. Terhadap Pensyaratan ini pada praktiknya

menimbulkan beberapa kesukaran yaitu keseragaman perjanjian

menjadi tidak terjaga karena Pensyaratan suatu negara berbeda-beda

dengan negara lain. Integritas perjanjian internasional juga menjadi

tidak terjamin karena sulit untuk diketahui pasal-pasal mana yang

berlaku atau tidak berlaku bagi suatu negara. Namun meskipun

demikian, praktik Penysaratan ini masih kerap dilakukan dan diakui

oleh masyarakat internasional.21

Mengenai keterikatan atau tunduknya suatu Negara pada

perjanjian internasional mengandung dua aspek yaitu aspek

eksternal dan internal. Aspek eksternalnya adalah negara itu

memikul kewajiban dan menerima hak dari perjanjian internasional

tersebut. Sedangkan aspek internalnya adalah perjanjian

internasional itu masuk dan berlaku sebagai bagian dari hukum

nasionalnya. Yang dimaksud dengan aspek internal disini adalah

dampak atau pengaruh dari masuknya perjanjian internasional itu ke

dalam hukum nasional terhadap hukum atau peraturan perundang-

undangan nasional negara yang bersangkutan yang substansinya ada

hubungannya dengan substansi dari perjanjian internasional

tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan adanya pengharmonisasian atau

penyelarasan substansi dari perjanjian internasional tersebut dengan

substansi dari hukum atau peraturan perundang-undangan terkait.

b. Masalah Ruang Lingkup Pengesahan

Perjanjian tentang Pinjaman/Hibah menurut pasal 10 huruf f

Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

harus mendapat pengesahan/diratifikasi dengan Undang-Undang

dan menurut penjelasan pasal ini akan diatur secara khusus dalam

21 Mengenai Pensyaratan diatur di dalam Konvensi Wina 1969 di dalam Pasal 19 yaitu :

suatu Negara waktu menandatangani, meratifikasi, menerima, atau aksesi dapat mengajukan Pensyaratan terhadap suatu Perjanjian kecuali; 1.Pensyaratan dilarang oleh perjanjian, 2.Pensyaratan tertentu dimana tidak termasuk Pensyaratan yang dilarang, 3.Pensyaratan tersebut tidak sesuai dengan maksud dan tujuan Perjanjian.

Page 29: Uu Perjanjian Internasional

29

Undang-Undang tersendiri. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara menegaskan kembali prinsip perlunya

persetujuan DPR ini sehingga dalam pasal 23 ayat (1) menyatakan

“Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau

menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan

persetujuan DPR. Namun perlu ditekankan bahwa persetujuan DPR

dalam konteks Undang-Undang APBN tidak identik dengan

pengesahan/ratifikasi dengan Undang-Undang (oleh DPR) seperti

yang dimaksud oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional. Undang-Undang APBN bukanlah Undang-

Undang untuk mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional

melainkan Undang-Undang untuk menyetujui rencana pemerintah

untuk melakukan pinjaman. Di lain pihak pengesahan/ratifikasi

adalah lembaga hukum ketatanegaraan tentang pengesahan oleh

legislatif atas perbuatan hukum pemerintah RI sesuai dengan Hukum

Perjanjian Internasional. Dalam hal ini, perbuatan Pemerintah RI

yang menandatangani suatu perjanjian disahkan dengan Undang-

Undang (dengan demikian melalui persetujuan DPR) sehingga

Indonesia secara resmi, berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang

Perjanjian Internasional, terikat pada perjanjian itu. Sedangkan

pengertian persetujan DPR pada Undang-Undang APBN bukanlah

mengesahkan perjanjian yang sudah ditandatangani melainkan

menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman.

Persetujuan DPR pada Undang-Undang APBN adalah terhadap

perjanjian yang akan dan belum ditandatangani oleh Pemerintah RI

sedangkan persetujuan dalam konteks pengesahan/ratifikasi adalah

terhadap perjanjian yang sudah ditandatangani. Dengan demikian,

secara juridis formal, adanya persetujuan DPR dalam APBN tidak

dapat meniadakan persyaratan ratifikasi sebagaimana ditetapkan

oleh pasal 10 huruf f Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional, kecuali secara tegas dinyatakan dalam UU

lainnya.

Page 30: Uu Perjanjian Internasional

30

Dalam praktiknya telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.

2 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman dan/atau

Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar

Negeri yang pada hakekatnya mengatur tentang Naskah Perjanjian

Pinjaman atau Hibah Luar Negeri. Menurut pasal 15 Peraturan

Pemerintah tersebut, wewenang penandatanganan Perjanjian

Pinjaman dan Hibah Luar Negeri berada pada Menteri Keuangan.

Pada Peraturan Pemerintah ini tidak terdapat aturan yang

mengindikasikan bahwa Naskah Perjanjian Pinjaman atau Hibah

harus mendapat persetujuan DPR. Selain itu, Pasal 16 Peraturan

Pemerintah tersebut menyatakan bahwa Perjanjian Pinjaman dan

Hibah Luar Negeri mulai berlaku sejak ditandatangani, kecuali

ditentukan lain dalam naskah/dokumen yang bersangkutan. Pasal

ini akan menyulitkan Departemen Luar Negeri jika ternyata

perjanjian dimaksud adalah perjanjian internasional publik yang

tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Itulah

sebabnya, dalam rangka akuntabilitas juridis serta untuk

mengamankan kepentingan hukum khususnya kewajiban

pengesahan dengan Undang-Undang, maka posisi Departemen Luar

Negeri pada setiap perjanjian pinjaman kategori ini selalu

mengupayakan klausula tentang dipenuhinya terlebih dahulu

prosedur konstitusional/internal sebelum berlakunya perjanjian.

Dalam praktik, Departemen Luar Negeri akan menyampaikan

notifikasi “telah terpenuhinya prosedur konstitusional/internal”

setelah mendapatkan konfirmasi tertulis dari Departemen Keuangan

perihal tersebut.

Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia terkait

masalah perjanjian pinjaman ini adalah tidak adanya penegasan

secara juridis baik dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara maupun Peraturan Pemerintah No. 2

Tahun 2006 apakah perjanjian pinjaman ini masuk dalam kategori

perjanjian internasional publik atau perjanjian perdata internasional

Page 31: Uu Perjanjian Internasional

31

biasa. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional hanya mengatur tentang perjanjian pinjaman per

definisi Undang-Undang ini yaitu perjanjian “Governed by

International Law”. Untuk perjanjian pinjaman kategori ini, ketentuan

Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang No. 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional diberlakukan. Akibat tidak

adanya penegasan juridis dari Rancangan Undang-Undang ini, akan

terjadi konflik kewenangan antara substansi dan format yaitu Menteri

Keuangan yang memiliki kewenangan atas pinjaman luar negeri

dengan kewenangan Menteri Luar Negeri yang memiliki wewenang

untuk membuat perjanjian internasional itu sendiri. Terlebih lagi,

dalam pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa Naskah Perjanjian

Pinjaman Luar Negeri ditandatangani oleh Menteri Keuangan

sedangkan menurut penjelasan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No.

24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, “Dalam hal

pinjaman luar negeri, Menteri (dalam hal ini Menteri Luar Negeri)

mendelegasikan kepada Menteri Keuangan”.

Terkait dengan pemberian hibah dari hasil pengumpulan data

yang dilakukan di Pemda Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi

Aceh, menyatakan, sebaiknya dilaksanakan kebijakan one door

policy, yakni dalam penerimaan hibah Pemerintah Daerah harus

melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat. Karena implikasi

dari pemberian hibah berdampak terhadap politik dan ekonomi suatu

daerah. Sebagai contoh pemberian hibah dari suatu Negara terhadap

pemerintah Aceh. Dampak dari pemberian hibah tersebut pemerintah

Aceh harus melakukan kerjasama (dibidang Sumber Daya Alam

misalnya) dengan pihak pemberi hivah tersebut. Oleh karena itu,

dalam revisi UU PI masalah hibah tersebut perlu pengaturan

tersendiri.

Page 32: Uu Perjanjian Internasional

32

c. Pengesahan Perjanjian Internasional di Bidang Ekonomi

Indonesia sebagai salah satu Negara yang berkembang dengan

cukup pesat di Asia Tenggara, saat ini terlibat dalam sejumlah

perjanjian perdagangan bebas, yaitu dengan World Trade

Organization (WTO) yang melibatkan 153 negara, ASEAN Free Trade

Agreement (AFTA), dan Indonesia-Jepang Economic Partnership

Agreement. Sebagai bagian dari ASEAN, Indonesia juga terlibat FTA

dengan Korea Selatan, India, China, Australia dan Selandia Baru.

Sedangkan dengan Amerika Serikat (AS), diberlakukan sebagai

perjanjian perdagangan antar negara, tetapi hanya perjanjian bisnis

antara sektor-sektor usaha tertentu di Indonesia dan AS.

Dampak positif FTA telah dipaparkan oleh perwakilan

pemerintah. Namun, sejumlah FTA yang melibatkan Indonesia

tersebut tidak dapat dikatakan memberikan dampak yang lebih

positif bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah masalah

sosial yang terjadi, diantaranya: masalah pengangguran, masalah

kemiskinan, masalah penanganan sektor informal, masalah

transformasi sektor pertanian, masalah reforma agraria, atau

penanganan terhadap masyarakat adat. Secara statistik, angka

pengangguran di Indonesia memang menurun. Tetapi, lapangan kerja

lebih banyak disumbangkan oleh sektor informal yang selalu

dimarjinalkan. Data BPS menyebutkan pertumbuhan sektor informal

terus meningkat sejak 1997 sebagai akibat berkurangnya lapangan

pekerjaan di sektor formal. Sektor informal ini ibaratnya spons cuci

yang menyerap sisa-sisa kotoran. Ia akan menyerap tenaga kerja yang

terlempar dari piring-piring sektor formal.

Sektor informal di kota-kota besar juga menjadi penyerap bagi

mereka yang terlempar dari sektor pertanian yang sekarang dibanjiri

oleh produk impor. BPS mencatat, selisih ongkos produksi dengan

pendapatan petani dari tahun ke tahun selalu menurun. Akibatnya,

semakin sedikit penduduk yang mau melestarikan pertanian dan

terjadilah urbanisasi yang juga menimbulkan masalah sosial

Page 33: Uu Perjanjian Internasional

33

lanjutan. BPS menyebutkan bahwa sampai Februari 2011 sektor

pertanian mengalami penurunan jumlah pekerja sebesar 0,84%

dibandingkan tahun sebelumnya.

Berdasarkan data dan alasan diatas, maka perjanjian

internasional di bidang ekonomi, khususnya terkait dengan

perdagangan bebas harus diratifikasi dalam pengesahannya.

Ada tiga hal utama mengapa perjanjian internasional di bidang

perdagangan bebas harus diratifikasi, atau disyahkan melalui

Undang Undang, pertama ; perjanjian perdagangan bebas

internasional memiliki dampak penting dan luas. Kedua,

penandatanganan perjanjian perdagangan bebas menuntut

konsekuensi perubahan berbagai peraturan perundang-undangan

lainnya di dalam negeri. Ketiga, perjanjian perdagangan bebas

umumnya mengikat (legally binding), yang pelanggarannya dapat

dikenakan denda atau sangsi secara internasional.

Selama ini awam mengenal perdagangan bebas sebagai

perjanjian perdagangan semata, atau hanya semata-mata urusan jual

beli antar Negara. Perdagangan bebas tidaklah demikian.

Perdagangan bebas adalah suatu rezim yang mengatur tidak hanya

perdagangan barang, akan tetapi investasi dan jasa-jasa. Rezim

perdagangan bebas mengatur seluruh aspek dalam ekonomi.

Melalui WTO yang merupakan suatu organisasi internasional

tentang perdagangan bebas, kita temukan ruang lingkup perjanjian

perdagangan bebas. Perjanjian WTO mencakup perjanjian sektor

pertanian, perdagangan barang, jasa dan kekayaan intelektual. Dasar

seluruh kebijakan WTO adalah prinsip-prinsip liberalisasi, termasuk

komitmen masing-masing negara untuk menurunkan dan

menghilangkan tarif bea masuk dan hambatan perdagangan lainnya.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi pendirian WTO melalui

UU No 7 tahun 1994. Ratifikasi ini berarti bahwa Indonesia

menyetujui dokumen final pendirian WTO dan sekaligus secara resmi

menjadi anggota WTO. Keikutsertaan menjadi anggota WTO telah

menimbulkan konsekuensi yang luas terhadap perekonomian

Page 34: Uu Perjanjian Internasional

34

nasional. Dalam hal ini semestinya parlemen dapat memanggil

pemerintah/presiden dalam urusan pelaksanaan UU No 7 tahun

1994, menyangkut semakin lemahnya posisi Indonesia dalam

perdagangan internasional.

Selain WTO perjanjian perdgaangan bebas lainnya

ditandantangani oleh pemerintah melalui Free Trade Agreement (FTA).

Meski hanya dilakukan antara Negara, antar Negara dengan suatu

kawasan dan antara kawasan yangs atu dengan kawasan lainnya,

namun perjanjian FTA memiliki dampak yang sangat luas. Ruang

lingkup perjanjian FTA lebi komprehensif dibandingak WTO, karena

tidak hanya meliputi pertanian, perdagangan barang, namun juga

liberalisasi dibidang keuangan dan jasa-jasa. Komitmen penurunan

tariff bea masuk dalam perdagangan dan liberalisasi keuangan serta

jasa-jasa dalam FTA lebih tinggi dibandingkan kesepakatan didalam

WTO.

Perjanjian FTA berlangsung sangat cepat. Idonoensia saat ini

telah menandatangani banyak FTA, misalnya perjanjian perdagangan

bebas ASEAN dengan komitmen penuh kea rah ASEAN single market.

Melalui ASEAN Indonesia telah menandatangani perjanjian

perdagangan bebas dengan China, Korea, Jepang, Australia , India

dan rencana perjanjian perdagan bebas dengan AS dan EU yang saat

ini dalam proses negosiasi. Dengan ditandantanganinya seluruh

perjanjian FTA tersebut maka berarti Indonesia telah melakukan

liberalisasi penuh terhadap perekonomian nasionalnya baik dalam

bidang investasi, perdagangan dan keuangan.

Berbagai perjanjian perdagangan bebas tersebut telah

berdampak penting dan luas. Sebagai contoh perjanjian FTA dengan

China telah menyebabkan Indonesia menjadi sasaran ekspansi

produk manufactur murah asal China. Perdagngan bebas dengan

Australia Newzealand menyebabkan Indonesia menjadi sasaran

ekapansi produk pertanian dan peternakan. Demikian pula halnya

perdagangan bebas dengan Jepang telah menyebabkan Indonesia

menjadi sasaran ekspansi pasar produk Jepang dan sisi lain

Page 35: Uu Perjanjian Internasional

35

Indonesia menjadi sasaran eksploitasi sumber daya alam oleh actor-

aktor ekonomi dari Negara tersebut.

Ringkasnya perjanjian perdagangan bebas memiliki dampak

penting dan luas. Penadatanganan perjanjian ini oleh pemerintah

menyebabkan Negara terikat di dalam rezim internasional yang

seringkali Negara tidak dapat menarik diri keluar dari perundingan

karena berbagai konsekusnsi yang dapat diterima secara

internasional. Sebagai contoh Indonesia gagal melakukan negosiasi

ulang FTA dengan China meski telah jelas merugikan ekonomi

nasional.

Sementara pemerintah (eksekutif) begitu mudah

menandatangani perjanjian FTA karena menerima insentif seperti

utang, bantuan lainnya, tanpa memikirkan bahwa kesepakatan itu

akan berlaku pada pemerintahan berikutnya dan sulit menarik dari

dari perjanjian yang telah ditandatangani.

Dengan demikian maka satu-satunya cara untuk mengerem

tindakan pemerintah yang “terus menerus” menandatangani FTA

adalah dengan meratifikasi melalui UU. Karena kesepakatan itu

sangat strategis dan harus memperoleh persetujuan dari seluruh

rakyat melalui lembaga perwakilan rakyat (DPR). Selain itu yang

terpenting adalah UU ratifikasi FTA nantinya tidak boleh

bertentangan dengan semangat proklamasi 1945, Pancasila dan UUD

1945 yang merupakan konstitusi dasar Negara Republic Indonesia.

Page 36: Uu Perjanjian Internasional

36

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TERKAIT

A. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar

Negeri

Dalam UU No. 37 Tahun 1999, yang dimaksud dengan hubungan

luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan

internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah,

atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik,

organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara

Indonesia (Pasal 1 angka 1). Hubungan luar negeri diselenggarakan sesuai

dengan Politik Luar Negeri, peraturan perundang-undangan nasional dan

hukum serta kebiasaan internasional {Pasal 5 ayat (1)}.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1), kewenangan penyelenggaraan

hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri Pemerintah

Republik Indonesia berada di tangan Presiden. Sedangkan dalam hal

menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara

lain diperlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Lebih lanjut Pasal 6

ayat (2) mengatur bahwa Presiden dapat melimpahkan kewenangan

penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar

Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Menteri. Yang

dimaksud dengan Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di

bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri (Pasal 1 angka 4).

Masih terkait dengan kewenangan, Pasal 7 ayat (1) mengatur Presiden

dapat menunjuk pejabat negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat

pemerintah, atau orang lain untuk menyelenggarakan Hubungan Luar

Negeri di bidang tertentu. Namun sesuai dengan prinsip ”one door policy”,

Pasal 7 ayat (2) mengatur bahwa dalam melaksanakan tugasnya, pejabat

negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan konsultasi dan koordinasi

dengan Menteri.

Page 37: Uu Perjanjian Internasional

37

Sehubungan dengan keinginan Indonesia untuk masuk ke dalam

atau keluar dari keaggotaan organisasi internasional, seperti organisasi

perdagangan internasional maka Pasal 9 dapat menjadi pedoman.

Berdasarkan Pasal 9 ayat (1), pembukaan dan pemutusan hubungan

diplomatik atau konsuler dengan negara lain serta masuk ke dalam atau

keluar dari keanggotaan organisasi internasional ditetapkan oleh Presiden

dengan memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat. Pembukaan

dan penutupan kantor perwakilan diplomatik atau konsuler di negara lain

atau kantor perwakilan pada organisasi internasional ditetapkan dengan

Keputusan Presiden {Pasal 9 ayat (2)}.

Dalam UU No. 37 Tahun 1999, pembuatan dan pengesahan

perjanjian internasional diatur tersendiri dalam Bab III, Pasal 13 sampai

dengan Pasal 15. Sesuai dengan prinsip one door policy, Pasal 13 mengatur

bahwa Lembaga Negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun

non departemen, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian

internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi mengenai rencana

tersebut dengan Menteri. Pasal 14 mengatur bahwa Pejabat lembaga

pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, yang akan

menandatangani perjanjian internasional yang dibuat antara Pemerintah

Republik Indonesia dengan Pemerintah negara lain, organisasi

internasional, atau subyek hukum internasional lainnya, harus mendapat

surat kuasa dari Menteri. Sebagai catatan, nomenklatur atau penamaan

lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen

sebagaimana yang ada dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tersebut saat ini sudah

tidak sesuai lagi. Berdasarkan UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian

Negara, istilah yang digunakan adalah Kementerian dan Lembaga

Pemerintah Non Kementerian. Lebih lanjut, Pasal 15 mengamanatkan

untuk mengatur ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan

perjanjian internasional dengan undang-undang tersendiri.

Page 38: Uu Perjanjian Internasional

38

B. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Pembuatan perjanjian internasional di bidang pengelolaan sumber

daya alam perlu memperhatikan tujuan penyelenggaraan penananaman

modal sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2007,

yaitu antara lain untuk: a) meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;

b) menciptakan lapangan kerja; c) meningkatkan pembangunan ekonomi

berkelanjutan; d) meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha

nasional; e) meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; f)

mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; g) mengolah ekonomi

potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang

berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan h)

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, pembuatan perjanjian internasional di bidang pengelolaan

sumber daya alam juga harus memperhatikan kebijakan dasar penanaman

modal yang ditetapkan oleh Pemerintah. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1),

Pemerintah menetapkan kebijakan dasar untuk: a) mendorong terciptanya

iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk

penguatan daya saing perekonomian nasional; dan b) mempercepat

peningkatan penanaman modal. Selanjutnya Pasal 4 ayat (2) mengatur

bahwa dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), Pemerintah: a) memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal

dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan

kepentingan nasional; b) menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha,

dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan

perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c) membuka

kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada

usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Berdasarkan Pasal 4 ayat (3),

Kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal.

Tidak seperti Undang-Undang Penanaman Modal sebelumnya, yaitu

UU No. 1 Tahun 1967 yang hanya mengatur penanaman modal asing dan

Page 39: Uu Perjanjian Internasional

39

UU No. 6 Tahun 1968 yang hanya mengatur penanaman modal dalam

negeri, UU No. 25 Tahun 2007 memberlakukan prinsip perlakuan sama

(equal treatment) dengan tidak membedakan penanaman modal asing dan

penanaman modal dalam negeri. Perlakuan sama ini dapat dilihat dari

ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf d, yang menyebutkan: penanaman modal

diselenggarakan berdasarkan asas perlakuan yang sama dan tidak

membedakan asal negara. Selain itu, perlakuan sama juga dapat dilihat

dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf a sebagaimana telah dipaparkan dan

juga Pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan: Pemerintah memberikan

perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari

negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut

Pasal 6 ayat (2) mengatur bahwa perlakuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang

memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.

Pemberian perlakuan yang sama (non diskriminasi) kepada penanam

modal baik dalam negeri maupun asing merupakan wujud implementasi

dari prinsip yang diatur dalam WTO, khususnya dalam Agreement on Trade

Related Investment Measure (TRIMs). Beberapa prinsip dalam WTO tersebut

adalah: 1) Prinsip most favoured nations (MFN), yang menuntut perlakuan

yang sama dari negara host country terhadap penanam modal dari negara

asing yang satu dengan penanam modal dari negara asing lainnya, yaitu

tidak membedakan asal negara penanam modal tersebut; dan 2) Prinsip

national treatment, yang mengharuskan negara penerima modal untuk tidak

membedakan perlakuan antara penanam modal asing dan penanam modal

dalam negeri di negara penerima modal tersebut.

Selain perlakuan sama, hal lain yang harus diperhatikan adalah

masalah bidang usaha. Dalam UU No. 25 Tahun 2007, bidang usaha diatur

dalam dalam BAB VII, Pasal 12 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan

penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang

dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.

Page 40: Uu Perjanjian Internasional

40

(2) Bidang usaha yang dinyatakan tertutup bagi penanam modal asing

adalah:

(3) produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang, dan

(4) bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup

berdasarkan undang-undang.

(5) Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang

usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun

dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral,

kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan

nasional, serta kepentingan nasional lainnya.

(6) Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang

terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang

tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing

akan diatur dengan Peraturan Presiden.

(7) Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan

persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu

perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan

usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi

dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal

dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk

Pemerintah.

Untuk melaksanakan amanat Pasal 12 ayat (4), pemerintah telah

membentuk Perpres No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan

Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka

dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dan Perpres No. 36 Tahun

2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang

Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Terkait dengan bidang usaha, dalam rangka pengembangan

penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, Pasal

13 ayat (1) mengatur bahwa Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha

yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta

bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja

Page 41: Uu Perjanjian Internasional

41

sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Selanjutnya

Pasal 13 ayat (2) mengatur bahwa Pemerintah melakukan pembinaan dan

pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi melalui

program kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi

dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya.

UU No. 25 Tahun 2007 juga mengatur mengenai hak, kewajiban, dan

tanggung jawab Penanam Modal. Berdasarkan Pasal 14, setiap Penanam

Modal berhak mendapat: a) kepastian hak, hukum, dan perlindungan; b)

informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya; c) hak

pelayanan; dan d) berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan kewajiban setiap

Penanam Modal diatur dalam Pasal 15, yaitu berkewajiban: a) menerapkan

prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b) melaksanakan tanggung jawab

sosial perusahaan; c) membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal

dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; d)

menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha

penanaman modal; dan e) mematuhi semua ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Tanggung jawab Penanam Modal diatur dalam Pasal 16, yaitu: a)

menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b)

menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika

penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan

kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan; c) menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat,

mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; d)

menjaga kelestarian lingkungan hidup; e) menciptakan keselamatan,

kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan mematuhi semua

ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain tanggung jawab

tersebut, berdasarkan Pasal 17, Penanam modal yang mengusahakan

sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana

secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan

Page 42: Uu Perjanjian Internasional

42

lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

UU No. 25 Tahun 2007 juga mengatur mengenai penyelenggaraan

urusan penanaman modal sehingga dapat diketahui secara jelas

kewenangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat di bidang

penanaman modal. Penyelenggaraan urusan penanaman modal tersebut

diatur dalam Bab XIII, Pasal 30 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan

keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal.

(2) Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal

yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan

penanaman modal yang menjadi urusan Pemerintah.

(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman

modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah

didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi

pelaksanaan kegiatan penanaman modal.

(4) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas

provinsi menjadi urusan Pemerintah.

(5) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas

kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi.

(6) Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada

dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah

kabupaten/kota.

(7) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, yang

menjadi kewenangan Pemerintah adalah :

a. penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak

terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang

tinggi;

b. penanaman modal pada bidang industri yang merupakan

prioritas tinggi pada skala nasional;

c. penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan

penghubung antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;

Page 43: Uu Perjanjian Internasional

43

d. penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi

pertahanan dan keamanan nasional;

e. penanaman modal asing dan penanam modal yang

menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara

lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah

dan pemerintah negara lain; dan

f. bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah

menurut undang-undang.

(8) Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang

menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada

ayat (7), Pemerintah menyelenggarakannya sendiri,

melimpahkannya kepada gubernur selaku wakil Pemerintah, atau

menugasi pemerintah kabupaten/kota.

(9) Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang

penanaman modal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 30 ayat (9), telah dibentuk

Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. PP ini mulai berlaku sejak tanggal

diundangkan yaitu pada tanggal 9 Juli 2007.

Terkait dengan perjanjian internasional di bidang penanaman modal,

dalam Bab XVII (Ketentuan Peralihan), Pasal 35 diatur bahwa Perjanjian

internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang

penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum

Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya

perjanjian tersebut. Lebih lanjut Pasal 36 mengatur bahwa Rancangan

perjanjian internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral,

dalam bidang penanaman modal yang belum disetujui oleh Pemerintah

Indonesia pada saat Undang-Undang ini berlaku wajib disesuaikan dengan

ketentuan Undang-Undang ini. Sebagai catatan UU No. 25 Tahun 2007

mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu pada tanggal 26 April 2007

Page 44: Uu Perjanjian Internasional

44

C. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum

dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 dibentuk pemerintahan negara yang

menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang.

Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam

suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Berdasarkan Pasal 1 angka 1

dinyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban

negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa

uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung

dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan

keuangan negara, hubungan keuangan antara pemerintah dan lembaga-

lembaga infra/supranasional meliputi hubungan keuangan antara

pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah, pemerintah asing,

badan/lembaga asing, serta hubungan keuangan antara pemerintah dan

perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan

pengelola dana masyarakat.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

yang mengatur bahwa Pemerintah dapat memberikan pinjaman atau hibah

kepada Pemerintah Daerah/BUMN, dan Pemerintah dapat melakukan

penyertaan modal pada BUMN, pinjaman dan/atau hibah yang diterima

oleh Pemerintah dapat pula diteruskan kepada Pemerintah Daerah dalam

bentuk hibah, atau dijadikan sebagai penyertaan modal Pemerintah pada

BUMN. Selain itu pula, pengaturan mengenai hibah/pinjaman luar negeri

diatur dalam Pasal 23 yang berbunyi:

(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau

menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan

persetujuan DPR.

(2) Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterus pinjamkan

kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/ Perusahaan Daerah.

Page 45: Uu Perjanjian Internasional

45

Pinjaman dan/atau hibah yang berasal dari luar negeri tersebut

dapat diterus pinjamkan atau diterus-hibahkan kepada Pemerintah Daerah,

dan diterus-pinjamkan atau dijadikan penyertaan modal kepada BUMN.

Untuk pinjaman luar negeri perlu disesuaikan dengan kemampuan

perekonomian nasional karena dapat menimbulkan beban Anggaran

Pendapatan Belanja Negara/Daerah tahun-tahun berikutnya yang cukup

berat, sehingga diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam

pengelolaan pinjaman luar negeri. Pengadaan pinjaman dan/atau

penerimaan hibah serta penerusan pinjaman dan/atau hibah luar negeri

dilakukan dengan mengantisipasi kebutuhan masa depan serta dengan

mempertimbangkan perlunya mempertahankan kondisi kesehatan dan

kesinambungan perekononomian nasional.

Perbaikan pengelolaan keuangan negara bertumpu pada sistem

anggaran yang transparan, bertanggung jawab, dan dapat menjamin

efektivitas pemanfaatan. Dalam rangka meningkatkan kemandirian, peran

pinjaman luar negeri dijaga pada tingkat yang aman, sementara sumber

utama dalam negeri yang berasal dari pajak terus ditingkatkan

efektivitasnya. Kepentingan utama pembiayaan pemerintah adalah

penciptaan pembiayaan pembangunan yang dapat menjamin kemampuan

peningkatan pelayanan publik baik di dalam penyediaan pelayanan dasar,

prasarana dan sarana fisik serta ekonomi, dan mendukung peningkatan

daya saing ekonomi.

D. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan

Mengingat pentingnya pergaulan internasional sebagaimana

dituangkan pula dalam pembukaan UUD 1945, bahwa Indonesia harus

berperan aktif dalam pergaulan dunia maka tidak dapat dihindari

keikutsertaan Indonesia dalam organisasi internasional serta terjalinnya

perjanjian kerjasama dengan negara lain dan tentu saja akan berpengaruh

juga dengan kebijakan nasional karena suatu perjanjian internasional yang

diratifikasi oleh Indonesia atau secara otomatis berlaku bagi negara-negara

anggota perlu dituangkan dalam kebijakan hukum nasional.

Page 46: Uu Perjanjian Internasional

46

Terkait perjanjian internasional, Pasal 10 ayat (1) huruf e Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur

dengan Undang-Undang berisi salah satunya yaitu pengesahan perjanjian

internasional tertentu. Yang dimaksud dengan perjanjian internasional

tertentu adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang

luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban

keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan

atau pembentukan undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat.

Hal ini tentu saja harus mendapatkan perhatian, karena norma-

norma yang diakibatkan karena pengesahan suatu perjanjian internasional

tertentu harus diterjemahkan dalam norma hukum tertentu yakni undang-

undang karena hal ini terkait dengan daya mengikat keberlakuannya dan

disesuaikan dengan kepentingan negara dan bangsa Indonesia.

Dikarenakan akibat hukum yang akan menyertai keberlakuan suatu

pengesahan perjanjian internasional maka menjadi suatu keharusan hal ini

menjadi salah satu materi muatan yang harus diatur dalam undang-

undang.

Bahwa dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional, menyebutkan bahwa pengesahan

perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila

berkenaan dengan:

a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik

Indonesia;

c) kedaulatan atau hak berdaulat negara;

d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

e) pembentukan kaidah hukum baru; dan

f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Sementara itu dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2004 tentang Perjanjian Internasional dinyatakan bahwa:

Page 47: Uu Perjanjian Internasional

47

(1) Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak

termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan

dengan keputusan presiden.

(2) Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap

keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian

internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.

Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang

dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk

dan nama (nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian

dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk

pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang.

Pengesahan perjanjian internasional yang dituangkan dalam suatu

undang-undang, terkait juga dengan materi undang-undang yang harus

memuat mengenai tugas dan kewenangan penyelenggara negara. Sehingga

dengan diaturnya ketentuan tersebut sebagai materi muatan suatu undang-

undang akan memberikan limitasi yang tegas mengenai tugas dan

kewenangan penyelenggara negara dan sebagai upaya preventif dari

detournement de puvoir atau penyalahgunaan wewenang.

Mengacu pada ketentuan pada Pasal 11 ayat (2) (perubahan ketiga

UUD 1945 yang disahkan pada 10 November 2001) maka perjanjian

internasional yang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan

mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan

negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-

undang. Ketentuan ini berarti perjanjian internasional yang tidak

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang

terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau tidak mengharuskan

perubahan atau pembentukan undang-undang, tidak harus dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga tidak semua perjanjian

internasional haruslah disahkan dengan undang-undang.

Pengaturan dengan undang-undang merupakan suatu bentuk

persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga dapat diartikan

bahwa semua pengesahan perjanjian internasional harus dengan

Page 48: Uu Perjanjian Internasional

48

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yaitu dengan menggunakan undang-

undang. Pengesahan perjanjian internasional tidak semuanya harus

diratifikasi dengan Undang-Undang, mengingat perjanjian atau persetujuan

internasional ada yang bersifat teknis dan administratif yang tidak

berpengaruh terhadap hak, kewajiban, dan kehidupan masyarakat luas. Di

samping itu proses pembentukan undang-undang memerlukan waktu yang

panjang, di satu sisi perjanjian internasional harus segera dilaksanakan.

Selain ketentuan tersebut di atas, berkaitan dengan kondisi

lingkungan global yang semakin menurun dewasa ini, Indonesia sebagai

salah satu negara di dunia dengan kekayaan sumberdaya alam yang sangat

melimpah sudah semestinya mengatur pemanfaatan, pengelolaan serta

perlindungan sumberdaya alam sebagai bentuk partisipasi dalam menjaga

keberlangsungan kehidupan generasi yang akan datang. Apalagi Indonesia

merupakan negara kepulauan yang berciri nusantara sangat rentan dengan

bencana alam, dengan kondisi yang demikian, jika terjadi perubahan

keseimbangan alam di dunia dapat berakibat fatal bagi Indonesia sehingga

sudah seharusnya pemikiran mengenai perlindungan sumber daya alam

memasuki ranah kebijakan yang mesti dituangkan dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia dan menjadi salah satu yang

disyaratkan sebagai materi muatan dalam suatu undang-undang.

E. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

Bagi Provinsi Papua

Berkaitan dengan peran pemerintah daerah dalam pembuatan

perjanjian inetrnasional, terkait dengan otonomi khusus di provinsi Papua,

dalam UU No. 21 Tahun 2001 mengenai pembuatan perjanjian

internasional yang berkenaan dengan kepentingan provinsi Papua.

Pembuatan perjanjian inetrnasional di dalam Pasal 4 ayat (6) dinyatakan

bahwa Perjanjian Internasional yang dibuat oleh pemerintah yang hanya

terkait dengan kepentingan Provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat

pertimbangan Gubernur dan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Selanjutnya dalam ayat (7) dinyatakan bahwa Provinsi Papua

dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga

Page 49: Uu Perjanjian Internasional

49

atau badan di luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. Untuk itu, dalam rangka

percepatan pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia,

Provinsi Papua dapat menjalin hubungan yang saling menguntungkan

dengan berbagai lembaga/badan di luar negeri sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Hubungan tersebut memungkinkan Provinsi Papua

memiliki lembaga atau badan yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi atau

swasta, yang bertujuan memajukan pendidikan, meningkatkan investasi,

dan mengembangkan pariwisata di Provinsi Papua.

Masih berkenaan dengan kekhususan provinsi Papua berkenaan

dengan kerjasama intenasional, dalam Pasal 35 ayat (1) dinyatakan Provinsi

Papua dapat menerima bantuan luar negeri setelah memberitahukannya

kepada Pemerintah. Kemudian pemerintah provinsi Papua diberikan

wewenang dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau

luar negeri

untuk membiayai sebagian anggarannya sebagaimana diatur dalam

Pasal 35 ayat (2). Untuk pinjaman dari sumber dalam negeri untuk

Provinsi Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP {(Pasal 35 ayat

3)}. Sementara itu, terkait dengan pinjaman yang berasal dari sumber

luar negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan

persetujuan DPRP dan Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan

perundang-undangan.

Dalam pasal-pasal tersebut, terlihat bahwa terkait dengan politik luar

negeri Indonesia, bahwa bahwa pemerintah pusat memiliki kewenangan

penuh mengurus politik luar negeri negara, dan provinsi Papua termasuk

kedalamnya. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi Papua melakukan

kerjasama dan konstultasi dengan pemerintah pusat untuk pelaksanaan

hal-hal tersebut di Provinsi Papua. Keterlibatan pemerintah pusat tetap

diperlukan terutama hal-hal yang menyangkut standarisasi dan

kesepakatan-kesepakatan luar negeri dan kerjasama antarnegara.

Pelaksanaan kewenangan pembuatan perjanjian internasional dan

kerjasama internasional baik hibah maupun pinjaman, pemerintah provinsi

Papua harus tetap berkoordinasi dengan pemrintah pusat. Untuk itu

Page 50: Uu Perjanjian Internasional

50

pelaksanaan kewenangan tersebut dilakukan dalam bingkai Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya jika isi Pasal 35 di hubungkan

dengan Pasal 5 Jo. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional, hal ini dikategorikan sebagai suatu bentuk

perjanjian internasional, yang merupakan perjanjian internasional yang

menyangkut pinjaman dan/atau hibah luar negeri disahkan dalam bentuk

Undang-Undang.

Hukum internasional hanya mengenal perjanjian antar negara tanpa

melihat sistem internal negara mengikatkan diri pada perjanjian otonomi,

federal, atau sentralisasi. Pemerintah daerah dalam hal ini bertindak

sebagai elemen negara (lembaga pemrakarsa) yang mengikatkan negara

pada perjanjian inetrnasional. Oleh karena itu, pemrintah daerah bertindak

atas nama negara, bukan atas nama pemerintah daerah.

Undang-Undang Otonomi Khusus hanya mengatur mekanisme

daerah mengenai pembuatan perjanjian internasional. Mekanisme daerah

yang diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua memiliki esensi

yang sama yaitu memberikan ruang partisipasi bagi daerah dalam

pembuatan perjanjian inetrnasional. Mengingat perjanjian internasional

yang di buat oleh pemerintah daerah atas nama negara, perlu di perhatikan

ketentuan nasional yang berlaku termasuk perjanjian internasional dimana

Indonesia menjadi pihak. Oleh karena itu, konsekuensinya diperlukan

koordinasi dan konsultasi berbagai instansi terkait (mekanisme internal).

F. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh

Pemerintah Daerah Aceh memiliki kewenangan khusus dalam

melaksanakan kerjasama internasional. Berdasarkan UU No. 11 Tahun

2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh dapat mengadakan kerjasama

dengan lembaga atau badan di luar negeri serta dapat berpartisipasi secara

langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olahraga internasional. Hal ini

secara jelas disebutkan dalam Pasal 8 mengenai rencana persetujuan

internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh yang dibuat

oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPR Aceh.

Selanjutnya dalam Pasal 9 undang-undang tersebut yang menyatakan:

Page 51: Uu Perjanjian Internasional

51

(1) Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga

atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan

Pemerintah.

(2) Pemerintah Acemeh dapat berpartisipasi secara langsung dalam

kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional.

(3) Dalam hal diadakan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), dalam naskah kerja sama tersebut dicantumkan frasa

Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

Dengan demikian berdasarkan Undang-Undang ini, Pemerintah Aceh

dapat melakukan perjanjian internasional dengan lembaga atau badan luar

negeri secara langsung dalam batasan kewenangannya. Artinya, kerjasama

atau perjanjian internasional hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Aceh di

bidang selain yang menjadi kewenangan Pemerintah, yang berdasarkan UU

No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 10 ayat (3) meliputi:

a. politik luar negeri;

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan

f. agama.

Sebagaimana dimandatkan oleh Pasal 9 ayat (4) diatas bahwa

ketentuan lebih lanjut mengenai kerjasama luar negeri yang dapat

dilakukan oleh Aceh diatur dalam Peraturan Presiden, yaitu Peraturan

Presiden Nomor 11 tahun 2010 tentang Kerjasama Pemerintah Aceh

Dengan Lembaga atau Badan Di Luar Negeri. Dalam perpres ini diatur

secara jelas tentang prinsip kerjsama, tata cara kerjasama, pendanaan

kerjasama, pembinaan, pengawasan, dan pelaporan, serta penyelelesaian

perselisihan.

Page 52: Uu Perjanjian Internasional

52

Terkait dengan tugas dan wewenang DPRA, dalam Pasal 23 huruf g

dan huruf h dinyatakan bahwa DPRA mempunyai tugas dan wewenang

untuk memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional

yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan memberikan pertimbangan

terhadap rencana kerjasama internasional yang dibuat oleh Pemerintah

yang berkaitan langsung dengan Pemerintah Aceh.

Mengenai kewenangan di bidang sumber daya alam di bidang

pertambangan mineral, batubara, panas bumi, bidang kehutanan,

pertanian, perikanan dan kelautan berada pada pemerintah daerah

(Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota). Sedangkan pengelolaan

sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan di laut di

wilayah kewenangan aceh berada dibawah pengelolaan bersama antara

pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh. Menyangkut dengan

penggunaan sumber daya alam (SDA) non migas di daerah

Kabupaten/Kota, Pemerintah Aceh tetap melakukan koordinasi dan

persetujuan dengan Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Pembagian hasil

bagi daerah atas penggunaan sumber daya alam sangat tergantung dari

jenis perjanjian yang dilakukan. Misalnya pertambangan, kehutanan,

perikanan, pembangkit sumber daya listrik yang menjadi kewenangan

masing masing Kabupaten/Kota. Terkait dengan hal tersebut di atas,

mengenai pengelolaan sumber daya alam diatur dalam Pasal 156 yang

menyatakan bahwa:

(1) Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota mengelola

sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai

dengan kewenangannya. (2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan

kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan budidaya. (3)

Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang

pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas

bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang

dilaksanakan dengan menerap-kan prinsip transparansi dan pembangunan

berkelanjutan. (5) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan

Page 53: Uu Perjanjian Internasional

53

ayat (3) dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik

Daerah, koperasi, badan usaha swasta lokal, nasional, maupun asing.

Dibuka ruang partisipasi masyarakat bekenaan dengan kerjasama

internasonal, dalam hal ini penduduk di Aceh dapat melakukan

perdagangan dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan

peraturan perundang-undangan {Pasal 165 ayat (1)}. Selanjutnya dalam ayat

(2) dinyatakan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sesuai

dengan kewenangannya, dapat menarik wisatawan asing dan memberikan

izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk penanaman modal dalam

negeri, penanaman modal asing, ekspor dan impor dengan memperhatikan

norma, standar, prosedur, dan kriteria yang berlaku secara nasional. Hal

tersebut dilakukan untuk pengembangan dan pembangunan provinsi Aceh

dan untuk menyejahterakan masyarakat Aceh.

Pemerintah Daerah dalam pembuatan perjanjian pinjaman luar

negeri, melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Pemerintah Pusat

dalam hal ini Menteri Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Badan

Peencanaan Pembangunan Nasonal. Dalam pembuatan perjanjian

internasional tersebut mengacu Pasal 186 Undang-Undang Pemerintahan

Aceh yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh

pinjaman dari Pemerintah yang dananya bersumber dari luar negeri

atau bersumber selain dari pinjaman luar negeri dengan persetujuan

Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri

Dalam Negeri.

(2) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat memperoleh

pinjaman dari dalam negeri yang bukan berasal dari pemerintah

dengan pertimbangan Menteri Dalam Negeri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana pinjaman dari dalam dan/atau

luar negeri dan

bantuan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) diatur dengan Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan

perundang-undangan.

Page 54: Uu Perjanjian Internasional

54

(4) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerima

hibah dari luar negeri dengan kewajiban memberitahukan kepada

Pemerintah dan DPRA/DPRK.

(5) Penerimaan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat:

a.tidak mengikat secara politis baik terhadap Pemerintah, Pemerintah

Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota;

b.tidak mempengaruhi kebijakan Pemerintah Aceh dan pemerintah

kabupaten/kota;

c. tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan; dan

d. tidak bertentangan dengan ideologi negara.

(6) Dalam hal hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mensyaratkan

adanya kewajiban yang harus dipenuhi Pemerintah seperti hibah

yang terkait dengan pinjaman dan yang mensyaratkan adanya dana

pendamping, harus dilakukan melalui Pemerintah dan diberitahukan

kepada DPRA/DPRK.

Terkait dengan kegatan ekonomi perbankan, dalam Pasal 196 ayat (4)

dinyatakan bahwa Bank asing dapat membuka cabang atau perwakilan di

Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu,

bekenaan dengn perjanjian bagi hasi minyak dan gas bumi yang berlokasi

di Aceh antara dengan negara asing atau pihak lain, dinyatakan tetap

berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian diatur dalam Pasal 252.

Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewenangan

untuk melakukan hubungan internasional dan membuat perjanjian

internasional ada pada pemerintah pusat yang diwakili oleh Presiden

Republik Indonesia sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 11

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tahun 1945

dan Pasal 10 ayat(3) UU No. 32 Tahun 2004. Pemerintah Daerah

berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 37 Tahun 1999 dan Pasal 5

ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000, dan Pemerintah Aceh berdasarkan UU

No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, disebutkan juga dapat

melakukan hubungan luar negeri dan membuat perjanjian internasional.

Namun untuk pelaksanaannya diperlukan koordinasi dan konsultasi

Page 55: Uu Perjanjian Internasional

55

dengan pemerintah pusat. Kepala Daerah merupakan pengemban tugas

dan kewenangan untuk mewakili daerah di dalam dan di luar pengadilan,

termasuk dalam melaksanakan hubungan luar negeri dan membuat

perjanjian internasional namun masih memerlukan adanya surat kuasa

penuh (full powers) dari Menteri Luar Negeri. Hal ini menunjukkan bahwa

yang memiliki kewenangan untuk melakukan hubungan luar negeri dan

untuk membuat serta menandatangani perjanjian internasional adalah

pemerintah pusat yang diwakili oleh Presiden Republik Indonesia.

Kedudukan Kepala Daerah sebagai kepala pemerintah daerah disatu

sisi dengan kedudukan kepala daerah sebagai pejabat negara yang

memperoleh surat kuasa penuh (full powers) dari Menteri Luar Negeri untuk

melaksanakan hubungan luar negeri, disisi yang lain adalah saling

berkaitan satu dengan yang lain. Oleh karenanya obyek hubungan

kerjasama luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah

segala urusan yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan

disebutkan sebagai urusan dari pemerintah daerah. Sedangkan dalam

penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan hubungan

kerjasama luar negeri yang dilakukan pemerintah daerah, pemerintah

pusat harus terlibat aktif dalam rangka menyelesaikan sengketa yang

terjadi sebab dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dianggap

sebagai subyek hukum internasional adalah Negara Kesatuan Republik

Indonesia secara utuh dan tidak terbagi-bagi. Sehingga oleh karenanya,

walaupun hubungan kerjasama luar negeri di prakarsai dan dilaksanakan

oleh pemerintah daerah, pada saat terjadi sengeketa internasional

pemerintah pusat tidak dapat lepas tangan begitu saja.

Pemerintah Daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam

perjanjian sister city melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat

khususnya Kementerian Luar Negeri dan dalam hal kerjasama yang

membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBA) dan daerah, maka

kami harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan

Rakyat Aceh (DPRA). Dalam hal ini berlaku ketentuan khusus (lex specialis)

bagi Aceh sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Ketentuan

Page 56: Uu Perjanjian Internasional

56

ini berbeda dengan ketentuan umum (lex generalis) yang berlaku bagi

kebanyakan daerah lainnya di Indonesia.

Mengingat perkembangan hukum yang mengatur tentang

Pemerintahan Daerah, baik yang bersifat umum (UU No. 32/2004) maupun

yang bersifat khusus seperti Aceh (UU No. 11/2006) dan Papua (UU No.

21/2001) telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah secara khusus

untuk melakukan hubungan luar negeri. Oleh karena itu, prinsip one door

policy sebaiknya diadakan pembatasan hanya terhadap perjanjian

internasional yang bersifat central power sebagai kewenangan Pemerintah

saja, sedangkan untuk residu power sebagai kewenangan daerah seperti

yang ditentukan di dalam UU No. 11/2006 misalnya tidak dibutuhkan

prinsip kebijakan satu pintu tersebut.

Jika merujuk pada pasal-pasalnya, maka UU tersebut memiliki

beberapa fungsi yaitu, penguat eksistensi NKRI, sebagai instrumen yuridis

untuk penyelenggaraan pemerintah daerah, instrumen yuridis pelaksanaan

perjanjian internasional (Memorandum of Understnding) serta untuk

penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh.

G. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

Seiring dengan proses reformasi Indonesia, yang salah satu pilar

utamanya adalah pembentukan sistem otonomi daerah maka tidak dapat

dipungkiri bahwa peran pemerintah daerah sangat penting sebagai salah

satu aktor dalam pelaksanaan hubungan internasional. Globalisasi yang

secara tidak langsung berimbas kepada kemajuan teknologi informasi dan

komunikasi saat ini telah menuntut semua lapisan masyarakat mulai dari

pemerintah pusat sampai warga Negara untuk memiliki kapasitas dan

kapabilitas dalam melakukan hubungan luar negeri, tak terkecuali bagi

pemerintah di tingkat daerah. Semakin luas cakupan hubungan luar negeri,

ditambah dengan pemberlakuan otonomi daerah maka secara tidak

langsung akan berdampak pada semakin luasnya aktivitas pemerintah

daerah dalam mengembangkan daerahnya.

Page 57: Uu Perjanjian Internasional

57

Dalam melakukan hubungan luar negeri, pemerintah daerah tidak

dapat bertindak diluar aturan mengingat adanya hal-hal yang menjadi

batasan bagi pelaksanaan hubungan luar negeri yang dilakukan oleh

pemerintah daerah, seperti regulasi, wewenang dan kemampuan masing-

masing pemerintah daerah dalam melakukan hubungan luar negeri.

Memang kenyataannya masih banyak pemerintah daerah yang belum

mengetahui tentang batasan-batasan tersebut dan sering kali melangkahi

pemerintah pusat dalam melaksanakan aktivitas hubungan luar negeri,

sehingga dirasakan perlu adanya pemahaman mengenai mekanisme atau

tata cara pelaksanaan hubungan luar negeri yang dapat dilakukan oleh

pemerintah daerah, serta batasan dan akibat hukum yang muncul akibat

aktivitas tersebut.

Sebenarnya jika dicermati peran pemerintah daerah telah ditegaskan

di dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar

Negeri, yang berbunyi sebagai berikut:22

“hubungan luar negari adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek

regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat

pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga Negara, badan

usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya

masyarakat, atau warga negara”.

Sementara pengaturan terkait perjanjian internasional dalam UU No.

32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah tampak pada Pasal 42 ayat (1)

huruf (f), yang berbunyi:23

“DPRD mempunyai tugas dan wewenang memberikan pendapat dan

pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian

internasional di daerah”.

22 Lihat Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. 23 Lihat Pasal 42 ayat (1) huruf f UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Page 58: Uu Perjanjian Internasional

58

Penjelasan: “ yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam

ketentuan ini adalah perjanjian antar Pemerintah dengan pihak luar

negeri yang terkait dengan kepentingan daerah.”

Penjelasan yang dimaksud dengan ”perjanjian internasional” dalam

ketentuan ini adalah perjanjian antar Pemerintah dengan pihak luar negeri

yang terkait dengan kepentingan daerah, sementara dalam penjelasannya

hanya disebutkan sebagai perjanjian antar pemerintah yang terkait daerah.

Hal inilah yang secara tidak langsung menimbulkan problematika,

mengingat perumusan pasal ini tidak didukung oleh konsepsi yang jelas

mengenai apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam

konteks pemerintah daerah karena di dalam penjelasannya hanya

disebutkan sebagai perjanjian antar pemerintah yang terkait daerah. Secara

sederhana dapat dirinci permasalahan sebagai berikut:

- Apakah perjanjian yang dimaksud oleh undang-undang ini adalah

perjanjian internasional seperti yang didefinisikan oleh UU PI?

- Apakah pengertian perjanjian antar pemerintah dimaksudkan untuk

menjelaskan bahwa perjanjian yang dimaksud harus perjanjian antar

pemerintah (G to G) atau pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah

pusat sesuai dengan definisi undang-undang ini?

- Apakah perjanjian yang terkait dengan kepentingan daerah

dimaksudkan sebagai perjanjian yang dibuat oleh pemerintah pusat

(Indonesia) namun materinya terkait kepentingan daerah?

Dalam praktik internasional, kekuasaan membuat perjanjian

lazimnya berada di tangan pemerintah pusat dan tidak dikenal adanya

perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Memang

jika dicermati dalam praktik Indonesia dikenal juga beberapa jenis

dokumen yang berkaitan dengan pemerintah daerah, seperti:

- Dokumen yang ditandatangani antar pemerintah daerah, seperti MOU

sister city yang telah dibuat banyak oleh berbagai pemerintah daerah.

- Dokumen yang dibuat oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan

kepentingan daerah, seperti perjanjian RI – Singapura terkait

kawasan ekonomi khusus Batam, Bintan dan Karimun 2006.

Page 59: Uu Perjanjian Internasional

59

Terkait dengan sister city maka perjanjian tersebut bukanlah

merupakan suatu bentuk perjanjian internasional karena dokumen ini

belum diakui memenuhi persyaratan sebagai suatu perjanjian internasional

oleh UU PI mengingat para pihak tidak dimaksudkan bertindak atas nama

Negara melainkan bertindak atas nama lembaganya. Materi yang tertuang

dalam perjanjian ini lebih bersifat administratiF sehingga tidak melahirkan

hak dan kewajiban Negara menurut hukum internasional. Hal ini semakin

diperkuat dimana PBB tidak pernah menerima pendaftaran (depository)

MoU semacam ini berdasarkan Pasal 102 Piagam PBB.24 Tidak hanya itu,

kenyataan di lapangan 25membuktikan bahwa sister city lebih didasarkan

pada misi dagang, kerjasama budaya, pariwisata, hubungan etnisitas atau

emosional antara kota tersebut.

Namun sayangnya di lain pihak, seiring dengan pemahaman yang

distortif tentang perjanjian internasional, tidak dipungkiri bahwa di

kalangan pemerintah sendiri masih menganggap MOU seperti ini sebagai

perjanjian internasional dengan perimbangan bahwa karakternya adalah

antar pemerintah (daerah). Dengan demikian, jika bertolak dari definisi

perjanjian internasional maka lebih tepat jika yang dimaksudkan oleh UU

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ini adalah perjanjian yang

dibuat oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan kepentingan daerah.

Yang perlu untuk diperhatikan lebih jelas apabila konstruksi atau konsep

ini diadopsi maka secara tidak langsung akan memunculkan persoalan

yuridis lain bahwa perjanjian ini harus melalui pendapat dan pertimbangan

dari DPRD yang disampaikan kepada pemerintah daerah. Mekanisme

seperti ini akan memunculkan “double ratification” yang diratifikasi oleh

DPR dan DPRD, mengingat di Indonesia mekanisme seperti ini tidak pernah

dilakukan.

Praktik di Indonesia selama ini masih diarahkan kepada pembuatan

MOU sister city antara pemerintah daerah dengan pemerintah daerah

Negara asing, yang ditandatangani oleh masing-masing kepala daerah.

24 Lihat Pasal 102 Piagam PBB. 25 Pengumpulan data yang dilakukan oleh tim asistensi terkait penyusunan naskah akademik dan draft RUU

Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional di Provinsi Kalimantan Barat

(Pontianak).

Page 60: Uu Perjanjian Internasional

60

Dengan demikian maka praktik tersebut bukanlah dalam rangka

pembuatan perjanjian internasional seperti yang dimaksud Pasal 42 ayat (1)

huruf (f) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, akan tetapi

semata-mata pelaksanaan dari Pasal 42 ayat (1) huruf (g), yang berbunyi:

“ DPRD mempunyai tugas dan wewenang memberikan persetujuan

terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah

daerah”.

Berdasarkan pengertian pasal tersebut maka MOU sister city lebih

tepat untuk diartikan sebagai kerjasama internasional daripada perjanjian

internasional. Dalam praktiknya, sebelum membuat MOU ini Pemerintah

daerah harus mendapatkan persetujuan dari DPRD, namun kadang kala

peraturan normative yang seharusnya dilakukan sering terbentur pada

kenyataan atau realita di lapangan, dimana tidak adanya kesepahaman

dalam mekanisme antara Pemerintah daerah dan DPRD itu sendiri.

Jika dicermati untuk membuat perjanjian internasional, seluruh

lembaga (termasuk Pemerintah Daerah) apabila ingin mengadakan

kerjasama dengan pihak dari luar negeri harus melewati proses yang

panjang agar aman dari segi politik, yuridis, security dan teknis. Adapaun

proses pengajuan rencana kerjasama luar negeri oleh Pemerintah Daerah

adalah sebagai berikut:

Pemerintah daerah mengajukan rencana kerjasama luar negeri kepada

DPRD untuk dipertimbangkan dan disetujui.

1. Pemerintah daerah berkonsultasi dan berkoordinasi dengan

Kementeriaan Luar Negeri dan lembaga/departemen terkait tentang

isi perjanjian;

2. Pengajuan full power oleh pimpinan daerah atau pejabat daerah yang

berwenang (jika diperlukan);

Menurut Pasal 6 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional dijelaskan bahwa pembuatan perjanjian internasional harus

melewati 5 tahapan yaitu:

1. Penjajakan, dalam proses ini dilakukan tukar-menukar draft yang

ingin diajukan melalui jalur diplomatik.

Page 61: Uu Perjanjian Internasional

61

2. Perundingan, dalam proses ini kedua belah pihak berunding untuk

menentukan pasal-pasal dalam perjanjian.

3. Perumusan naskah, merupakan hasil kesepakatan perundingan yang

berisi pasal-pasal.

4. Penerimaan, pemberian paraf terhadap naskah perjanjian yang siap

untuk ditandatangani.

5. Penandatanganan, pemberian tanda tangan oleh para pihak yang

melakukan perjanjian melalui presiden, menteri luar negeri, atau

pejabat yang memperoleh full power.

Perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh pimpinan

daerah perlu disahkan agar dapat berlaku di daerahnya. Menurut Pasal 9

UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional terdapat 2 macam

cara untu mengesahkan perjanjian yang dibuat oleh Pemernitah Daerah,

yaitu:

1. pengesahan dengan undang-undang, jika menyangkut hal-hal yang

tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional, mekanismenya adalah sebagai berikut:

- pemerintah daerah menagjukan ijin prakarsa kepada Presiden melalui

menteri luar negeri;

- pemerintah daerah membentuk panitia antar kementeriaan yang

terdiri dari kementeriaan terkait untuk menyiapkan rancangan

undang-undang pengesahan;

- pemerintah daerah menyerahkan berkas-berkas perjanjian kepada

kementeriaan luar negeri;

- kementeriaan luar negeri mengajukan permohonan amanat presiden;

- Presiden menunjuk menteri atau kepala instansi terkait sebagai

perwakilan pemerintah dalam pembahasan dengan DPR;

- Jika disetujui, rancangan undang-undang berubah menjadi undang-

undang dan diterbitkan dalam lembar negara;

- Menteri luar negeri menerbitkan instrumen pengesahan.

Page 62: Uu Perjanjian Internasional

62

2. Pengesahan dengan peraturan presiden (Perpres), jika menyangkut hal-

hal di luar Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional, adapun mekanismenya adalah sebagai berikut:

- Pemerintah Daerah mengkoordinasikan rapat interkementeriaan

untuk mempersiapkan pengesahan perjanjian internasional;

- Pemerintah Daerah menyerahkan berkas-berkas perjanjian kepada

kementeriaan luar negeri;

- Menteri luar negeri mengajukan surat permohonan kepada presiden;

- Jika disetujui, rencana peraturan presiden berubah menjadi peraturan

presiden (Perpres);

- Menteri luar negeri menerbitkan instrumen pengesahan.

Selain itu sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan

dan tanggungjawab untuk menyelenggarakan pemenuhan kebutuhan atau

kepentingan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut maka daerah perlu

mengembangkan potensi daerahnya guna mmpercepat laju pembangunan,

sehingga diperlukan adanya kreatifitas daerah untuk meningkatkan

pendapatan daerahnyab guna membiayai pembangunan yang dimaksud,

salah satunya melalui pinjaman daerah.

Pinjaman luar negeri merupakan salah satu bentuk dari dana luar

negeri. Dana luar negeri itu dapat berbentuk hibah, bantuan program,

bantuan proyek, bantuan teknik dan pinjaman dimana unsur penting

dalam pinjaman ini adalah bahwa pinajman itu harus dibayar kembali

dengan waktu dan persyaratan yang telah disetujui para pihak, yaitu

antara yang meminjam dan pihak yang memberikan pinjaman. Pengertian

pinjaman ini secara tidak langsung membawa kewajiban bagi yang

meminjam untuk mengembalikan uang yang dipinjamnya dengan

memenuhi persyaratan yang telah disetujui oleh kedua pihak, yaitu tentang

besaranya bunga dan waktu pengembaliannya, dan lain-lain.

Terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi dalam pinjaman uang

pada umumnya sebagai berikut:

- Ada unsur kepercayaan;

Page 63: Uu Perjanjian Internasional

63

- Ada perjanjian pinjam uang;

- Tujuannya bebas, artinya penggunaannya diserahkan kepada

keinginan pihak yang meminjam (kreditur);

- Mengandung kewajiban untuk mengembalikan.

Yang dimaksud dengan pinjaman luar negeri menurut Pasal 1a

Keppres No. 59 Tahun 1972 adalah

“Kredit luar negeri adalah pinjaman yang diterima dari luar negeri, yang

pemasukannya ke Indonesia bukan dalam rangka penerimaan kredit dari

badan-badan internasional dam pemerintahan negara-negara yang

tergabung dalam Inter-Government Group of Indonesia (IGGI)”.

Sementara peraturan pelaksana dari ketentuan tersebut yakni SK

Mneteri Keuangan Republik Indonesia No. Kep-261/MK/IV/5/73 Pasal 1

berbunyi:

“yang dimaksud dengan kredit luar negeri adalah‟

a. Semua pinjaman yang menimbulkan kewajiban membayar kembali

terhadap luar negeri, baik dalam valuta asing maupun dalam rupiah.

b. Semua pinjaman dalam negeri yang dapat menimbulkan kewajiban

membayar kembali terhadap luar negeri, baik valuta asing maupun

dalam rupiah, baik brdasarkan perjanjian kredit maupun berdasarkan

pengeluaran obligasi, garansi, proses aksep, serta bentuk pinjaman

dan kewajiban pembayaran lainnya yang lazim digunakan termasuk

antara lain charter purchase, elease purchase, deffered payment

purchase arrangement dan sebagainya.

Selanjutnya dalam ayat (4) ditentukan:

“Terhadap kredit luar negeri yang berasal dari lembaga-lembaga

internasional seperti IMF (International Monetary Funds), IBRD

(International Bank for Recontruction and Development), IDA

(International Development Agency) dan ADB (Asian Development Bank)

serta negara-negara yang tergabung dalam IGGI, tidak berlaku

Page 64: Uu Perjanjian Internasional

64

ketentuan-ketentuan dalam surat kepeutusan ini sepanjang kredit

tersebut diberikan dalam rangka IGGI”.

Berkaitan dengan pinjaman daerah dalam Pasal 56 ayat (2) UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatakan bahwa pinjaman ini

dapat dilakukan dengan perantara pemerintah pusat, diwakili oleh Menteri

Keuangan (Menkeu) melalui perjanjian penerusan pinjaman kepada

pemerintah daerah. Selain itu di dalam Peraturan Pemerintah No. 107

Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah telah diatur bahwa pinjaman daerah

harus terlebih dahulu disetujui oleh Pemerintah Pusat.

Sebenarnya berdasarkan peraturan yang mengatur mengenai

perjanjian internasional khususnya terkait dengan pinjaman luar ngeri

untuk pemerintah daerah, maka pemerintah daerah diperbolehkan untuk

meminjam dana dari luar negeri. Ketentuan dapat dilihat melalui UU No. 22

Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah, dimana pemerintah daerah dapat

melakukan pinjaman atas persetujuan presiden atau Dewan Pemerintah

Daerah setingkat lebih diatasnya. Ketentuan ini dapat dilihat juga pada

Pasal 72 UU No. 18 Tahun 1965 dan Pasal 61 UU No. 5 Tahun 1974, yang

menyatakan Pemeintah Daerah dapat melakukan pinjaman dengan

persetujuan Menteri Dalam Negeri atau Kepala Daerah setingkat diatasnya.

Perumusan tentang perjanjian internasional juga dilakukan dalam

UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang memuat

rumusan sebagai berikut:26

“ perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah yang hanya terkait

dengan kepentingan provinsi papua dilaksanakan setelah mendapat

pertimbangan gubernur dan sesuai dengan pertauran perundang-

undangan”.

Sementara itu UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

juga ikut menyinggung mengenai treaty making power, yang memuat

rumusan sebagai berikut:27

26 Lihat Pasal 4 angka 6 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. 27 Lihat Pasal 8 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

Page 65: Uu Perjanjian Internasional

65

“Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan

Pemerintah Aceh yang dibuat oleh pemerintah dilakukan dengan

konsultasi dan pertimbangan DPR Aceh ”.

H. Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement

Establishing The World Trade Organization (Persetujuan

Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)

Perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia, yang telah

semakin meningkat jumlahnya dewasa ini, pada hakikatnya bersifat lintas

sektor dan menjamah beberapa disiplin ilmu hukum di Indonesia seperti

Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Ekonomi dan

bahkan hukum perdata. Dengan demikian maka pada hakekatnya semua

pemangku kebijakan di pemerintahan baik legislatif, eksekutif maupun

yudikatif memiliki keterlibatan yang cukup kental terhadap perjanjian

internasional. Hukum perjanjian internasional dewasa ini dirasakan telah

mengalami pergeseran yang radikal seiring dengan perkembangan hukum

internasional. Hubungan internasional akibat globalisasi telah ditandai

dengan banyaknya perubahan-perubahan mendasar, antara lain

munculnya subyek-subyek baru non-negara disertai dengan meningkatnya

interaksi intensif antara subyek-subyek baru tersebut. Indonesia sendiri

juga mengalami fenomena ini, khususnya otonomi daerah dan lembaga non

pemerintah yang interaksinya dengan elemen asing sudah semakin

meningkat.

Globalisasi yang mewarnai sistem internasional saat ini telah pula

menciptakan interaksi yang intensif antara Indonesia dengan masyarakat

internasional bukan hanya antar pemerintah namun juga antar individu.

Interaksi ini akan mengakibatkan meningkatnya persentuhan-persentuhan

hukum antara Indonesia dengan negara-negara lain bahkan dalam tingkat

tertentu akan menimbulkan tumpang tindih antara hukum internasional

termasuk perjanjian internasional dengan hukum nasional. Dengan

fenomena ini, maka cepat atau lambat, publik hukum Indonesia di semua

lini harus bersentuhan dengan perjanjian internasional dan akan semakin

Page 66: Uu Perjanjian Internasional

66

menepis anggapan bahwa hukum perjanjian internasional hanya milik

diplomat saja.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi di bidang

perdagangan dan investasi serta lahirnya pasar bebas telah melahirkan pola

hubungan lintas batas yang mengharuskan adanya pemahaman terhadap

hukum perjanjian internasional. Perjanjian-perjanjian dewasa ini

khususnya di bidang ekonomi, investasi dan perdagangan telah banyak

menyentuh bukan hanya kepentingan negara sebagai pihak perjanjian

melainkan juga melahirkan hak dan kewajiban terhadap individu-individu

di negara pihak. Praktik di negara-negara yang telah mengalami pasar

bebas menunjukkan bahwa pemahaman hukum perjanjian internasional

oleh para praktisi hukum termasuk “Law Firm” menjadi mutlak karena

perjanjian internasional telah menjadi kepentingan bagi para pelaku pasar,

investor serta pedagang.

Perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia pasca reformasi

pada umumnya mengatur mengenai masalah ekonomi, investasi dan

perdagangan yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan

bersentuhan dengan kepentingan para warga negara Indonesia. Sejak

tahun 2000, indonesia telah membuat perjanjian internasional rata-rata

100 perjanjian yang didominasi oleh perjanjian ekonomi, investasi dan

perdagangan. Oleh sebab itu, pemahaman tentang perjanjian internasional

telah menjadi kebutuhan mutlak bagi para pelaku ekonomi di Indonesia.

Dengan demikian, sebagai konsekuensi logis akan menjadi kebutuhan bagi

aparat penegak hukum di Indonesia.

Jika dicermati Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara

antara lain menegaskan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif yang

makin mampu menunjang kepentingan nasional dan diarahkan untuk

turut mewujudkan tatanan dunia baru berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial, serta ditujukan untuk lebih

meningkatkan kerjasama internasional, dengan lebih memantapkan dan

meningkatkan peranan Gerakan Non-Blok. Garis-Garis Besar Haluan

Page 67: Uu Perjanjian Internasional

67

Negara juga menggariskan bahwa perkembangan dunia yang mengandung

peluang yang menunjang dan mempercepat pelaksanaan pembangunan

nasional perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan mendorong ekspor,

khususnya komoditi non-migas, peningkatan daya saing dan penerobosan

serta perluasan pasar luar negeri.

Bertolak dari prinsip-prinsip tersebut, adalah semestinya apabila

segala perkembangan, perubahan dan kecenderungan global lainnya yang

diperkirakan akan dapat mempengaruhi stabilitas nasional serta

pencapaian tujuan nasional, perlu diikuti dengan seksama sehingga secara

dini dapat diambil langkah-langkah yang tepat dan cepat dalam

mengatasinya. Dengan sikap seperti itu, kebijakan pembangunan nasional

yang bertumpu pada pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya,

pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, dapat tetap dipelihara.

Dalam rangka menghadapi perkembangan dan perubahan, serta

memanfaatkan peluang yang ada tersebut, Indonesia terus berusaha ikut

serta dalam upaya meningkatkan kerjasama antar negara, terutama untuk

mempercepat terwujudnya sistem perdagangan internasional yang terbuka,

adil, dan tertib serta bebas dari hambatan serta pembatasan yang selama

ini dinilai tidak menguntungkan perkembangan perdagangan internasional

tersebut.

Dalam skala nasional, masalah yang timbul di bidang ekonomi

ternyata tidaklah sederhana. Perubahan orientasi perekonomian nasional

ke arah pasar ekspor, membawa berbagai konsekuensi termasuk di

dalamnya kebutuhan peningkatan kegiatan perdagangan luar negeri,

khususnya di bidang produk non-migas. Tidak kalah pentingnya adalah

kebutuhan untuk makin mamantapkan berbagai sarana dan prasarana

penunjang ekspor, serta keterkaitan yang saling menguntungkan antara

produsen dan konsumen. Sementara itu, kebijaksanaan peningkatan

ekspor non-migas yang diarahkan untuk menunjang pelaksanaan

pembangunan nasional pada dasarnya juga menghadapi berbagai

hambatan dan tantangan yang memerlukan perhatian secara menyeluruh.

Hambatan dan tantangan tersebut dapat berupa ketidakpastian pasar

maupun persaingan antar negara yang semakin meningkat tajam. Secara

Page 68: Uu Perjanjian Internasional

68

umum, ketidakpastian perkembangan ekonomi dunia juga dilatarbelakangi

oleh perubahan-perubahan yang terus terjadi secara cepat, baik dalam

kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan.

Dalam kerangka hubungan ekonomi dan perdagangan internasional,

keberhasilan Indonesia meningkatkan ekspor dan pembangunan nasional

juga akan tergantung pada perkembangan tatanan ekonomi dunia serta

kemantapan sistem perdagangan internasional di samping kemampuan

penyesuaian ekonomi nasional terhadap perkembangan yang ada. Salah

satu faktor yang sangat mempengaruhi perekonomian dunia, adalah

tatanan atau sistem yang merupakan dasar dalam hubungan perdagangan

antar negara. Tatanan dimaksud adalah General Agreement on Tariffs and

Trade/GATT (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan).

Persetujuan tersebut terwujud dalam tahun 1947, dan Indonesia telah ikut

serta dalam persetujuan tersebut sejak tanggal 24 Pebruari 1950.

General Agreement on Tariffs and Trade/GATT (Persetujuan Umum

mengenai Tarif dan Perdagangan) merupakan perjanjian perdagangan

multilateral dengan tujuan menciptakan perdagangan bebas, adil, dan

membantu menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna

mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Hingga saat ini Persetujuan

tersebut telah diikuti oleh lebih dari 125 negara. Dari segi tujuan, GATT

dimaksudkan sebagai upaya untuk memperjuangkan terciptanya

perdagangan bebas, adil dan menstabilkan sistem perdagangan

internasional, dan memperjuangkan penurunan tarif bea masuk serta

meniadakan hambatan-hambatan perdagangan lainnya.

Sebagai tatanan multilateral yang memuat prinsip-prinsip

perdagangan internasional, GATT menetapkan kaidah bahwa hubungan

perdagangan antar negara dilakukan tanpa diskriminasi (non

discrimination). Hal ini berarti, suatu negara yang tergabung dalam GATT

tidak diperkenankan untuk memberikan perlakuan khusus bagi negara

tertentu. Setiap negara harus memberikan perlakuan yang sama dan timbal

balik dalam hubungan perdagangan internasional. GATT berfungsi sebagai

forum konsultasi negara-negara anggota dalam membahas dan

menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di bidang perdagangan

Page 69: Uu Perjanjian Internasional

69

internasional, GATT juga berfungsi sebagai forum penyelesaian sengketa di

bidang perdagangan antara negara-negara peserta.

GATT juga merupakan forum untuk mengajukan keberatan dari

suatu negara yang merasa dirugikan atau mendapat perlakuan yang tidak

adil dari negara peserta yang lain di bidang perdagangan. Prinsipnya,

masalah-masalah yang timbul diselesaikan secara bilateral antara negara-

negara yang terlibat dalam persengketaan dagang melalui konsultasi dan

konsiliasi, serta hasilnya dibertahukan kepada GATT. Untuk mewujudkan

jaminan agar perdagangan antar negara dapat berjalan baik, GATT

mengatur ketentuan mengenai pengikatan tarif bea masuk (tariff binding)

yang diberlakukan negara-negara peserta. Di samping itu, GATT juga

menetapkan ketentuan-ketentuan untuk mendorong kegiatan perdagangan

berdasarkan prinsip persaingan yang jujur, dan menolak beberapa praktek

seperti dumping dan pemberian subsidi terhadap produk ekspor.

Prinsip-prinsip yang tertuang dalam GATT tidak melarang tindakan

proteksi terhadap industri domestik, tetapi proteksi demikian hanya boleh

dilakukan melalui proteksi tarif dan bukan melalui tindakan seperti

larangan impor atau kuota impor. GATT melarang pembatasan perdagangan

yang bersifat kuantitatif, seperti misalnya penerapan kuota impor maupun

ekspor. Meskipun demikian, pengecualian atas larangan tersebut

dimungkinkan sepanjang pembatasan tersebut merupakan tindakan

pengamanan guna mengatasi antara lain kesulitan neraca pembayaran.

Dalam pelaksanaannya, pembatasan tersebut hanya dapat berlangsung

dalam waktu yang terbatas, dan secara progresif harus dikurangi atau

dihapuskan setelah teratasinya kesulitan dalam neraca pembayaran.

GATT memungkinkan negara-negara peserta untuk memperoleh

pengecualian dari suatu kewajiban tertentu apabila negara yang

bersangkutan mengalami permasalahan dalam bidang ekonomi dan

perdagangan. Untuk melindungi industri yang masih dalam tahap

pertumbuhan, GATT mengijinkan suatu negara untuk melarang impor atau

tidak memberlakukan konsesi tarif yang diberikannya dalam kerangka

GATT untuk selama jangka waktu tertentu. Tindakan tersebut dapat

dilakukan apabila negara yang bersangkutan tidak mempunyai pilihan lain

Page 70: Uu Perjanjian Internasional

70

dalam menghadapi lonjakan produk impor sehingga mengakibatkan

kesulitan terhadap industri dalam negeri.

Pengelompokan sejumlah negara dalam kerjasama regional guna

menghapuskan hambatan perdagangan di antara mereka juga

diperbolehkan, sepanjang masih sesuai dengan ketentuan GATT. Ketentuan

GATT menyebutkan bahwa keberadaan kelompok regional diperbolehkan

untuk meningkatkan perdagangan di antara negara-negara dalam kelompok

tersebut, sejauh hal itu tidak menimbulkan hambatan perdaganagan bagi

negara-negara di luar kelompok regional tersebut.

Dengan menyadari adanya perbedaan tingkat sosial ekonomi negara-

negara peserta GATT yang tidak memungkinkan terlaksananya berbagai

ketentuan dan disiplin yang telah diatur, GATT mengakui perlunya

perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang. Ketentuan

GATT yang mengatur perlakuan khusus ini mengakui adanya negara

berkembang yang memperoleh kondisi lebih menguntungkan dalam upaya

mereka memasuki pasar dunia bagi produk-produknya. Negara-negara

maju tidak boleh menerapkan hambatan terhadap ekspor komoditi primer

dan produk lain yang merupakan kepentingan khusus negara-negara

berkembang, dan khususnya negara-negara yang paling terbelakang.

Negara-negara maju juga tidak boleh mengharapkan tindakan timbal balik

dari negara-negara berkembang untuk mengurangi atau menghapuskan

hambatan yang berupa tarif atau non-tarif.

Selain itu ditegaskan pula prinsip mengenai perlakuan yang berbeda

dan lebih menguntungkan, timbal balik serta keikutsertaan penuh negara

berkembang, yang selanjutnya menjadi dasar bagi pemberian perlakuan

khusus melalui Sistem Preferensi Umum (Generalized System of

Preferences/GSP) oleh negara maju kepada negara berkembang, serta

diperbolehkannya perlakuan perdagangan yang khusus bagi negara-negara

berkembang yang paling terkebelakang.

Perdagangan internasional sendiri merujuk pada kebijakan-kebijakan

yang dibuat oleh berbagai pemerintah di bidang perdagangan. Pemerintah

sebagai regulator memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan tidak

Page 71: Uu Perjanjian Internasional

71

saja bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan di wilayahnya tetapi juga

kewenangan untuk membuat kebijakan atas barang atau jasa asal negara

lain yang akan masuk ke negaranya. Oleh karena itu adalah kurang tepat

apabila mempresepsikan perdagnagn internasional sebagai transaksi

perdagangan (bisnis) dimana pelakunya adalah negara. Sebagai contoh ada

yang beragurmen bahwa negara dengan negara dapat melakukan transaksi

di bidang perdagangan, seperti pemerintah Indonesia melakukan

kesepakatan dengan pemerintah thailand untuk melakukan imbal beli

pesawat yang diproduksi oleh indonesia dengan 110.000 ton beras ketan

yang diproduksi di thailand. Namun setelah diperdalam hal tersebut

bukanlah transaksi perdagangan antarnegara.

Pertama, pesawat yang diproduksi di Indonesia bukan hasil produksi

dari pemerintah Indonesia melainkan hasil produksi badan hukum yang

dimiliki oleh pemerintah Indonesia (PT. Industri Pesawat Terbang

Nusantara/IPTN). Sementara beras ketan tidak diproduksi oleh pemerintah

Indonesia melainkan oleh para pelaku usaha di Thailand. Sama halnya jika

contoh yang diberikan adalah pengadaan pesawat tempur oleh pemerintah

Indonesia yang diwakili oleh Departemen Pertahanan dari Amerika Serikat.

Adalah benar bahwa Departemen Pertahanan merupakan representasi dari

negara, namun pihak yang memproduksi pesawat tempur bukanlah

pemerintah Amerika Serikat melainkan badan usaha yang berada di

Amerika.

Perjanjian seperti ini disebut sebagai government contract dimana

salah satu pihaknya negara atau pemerintah. Negara disini harus dianggap

sebagai subyek hukum perdata bukan sebagai subyek hukum dalam

hukum publik. Hukum internasional sendiri memiliki subyek hukum

sendiri antara lain negara, organisasi internasional, palang merah

internasional dan sebagainya. Sementara dalam konteks perdagangan

internasional yang mengatur aturan-aturan bagi pemerintah dalam

membuat kebijakan bidang perdagangan yang menjadi subyek hukum

adalah subyek hukum internasional. Dalam hukum perdagangan

internasional, orang dan badan hukum bukanlah subyek hukumnya. Disini

harus dipahami bahwa perdagangan internasional masuk dalam kategori

Page 72: Uu Perjanjian Internasional

72

hukum internasional (publik), dan sama sekali bukan termasuk hukum

perdata internasional. Hubungan WTO dengan perjanjian internasional

merupakan satu kesatuan khususnya berkaitan dengan hukum

internasional mengingat peranannya semakin lama semakin meningkat

terlebih lagi di era globalisasi ekonomi seperti ini.

I. Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah

Sebagai petunjuk teknis berenaan dengan pinjaman daerah, dalam

Pasal 3 ayat (1) dinyatakan pemerintah daerah dilarang melakukan

pinjaman langsung kepada pihak luar negeri. Jelas bahwa dalam

melakukan kejasama internasional terkait pinjaman, pemerintah daerah

harus berkonsultasi dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat.

Selanjutnya ayat (2) menyatakan ketentuan tersebut tidak berlaku dalam

hal pinjaman langsung kepada pihak luar negeri yang terjadi karena

kegiatan transaksi Obligasi Daerah sesuai peraturan perundang-undangan

di bidang pasar modal. Artinya terdapat pengecualian bagi daerah untuk

melakukan pinjaman langsung kepada luar negeri, namun jangan sampai

merugikan kepentingan Negara.

Selanjutnya dalam Pasal 42 dinyatakan bahwa dalam hal Pemerintah

Daerah tidak menyampaikan perjanjian pinjaman yang telah dilakukan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (7) dan/atau Pemerintah

daerah membuat perjanjian pinjaman yang tidak sesuai dengan

pertimbangan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19

ayat (2) maka Pemerintah Daerah yang bersangkutan dilarang melakukan

Pinjaman Daerah selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.

J. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara

Pengadaan Pinjaman Dan/Atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan

Pinjaman Dan/Atau Hibah Luar Negeri

Berkenaan dengan peran Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah

daerah untuk melakukan pembuatan perjanjian internasional, dalam Pasal

3 Peraturan Pemerintah ini dibatasi yaitu: “Kementerian

Page 73: Uu Perjanjian Internasional

73

Negara/Lembaga/Pemerintah daerah dilarang melakukan perikatan dalam

bentuk apapun yang dapat menimbulkan kewajiban untuk melakukan

pinjaman luar negeri”.

Dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa Kementerian Negara/Lembaga

mengajukan usulan kegiatan prioritas yang dibiayai dengan pinjaman

dan/atau hibah luar negeri kepada Menteri Perencanaan. Dalam hal ini

harus diajukan usulan kegiatan termasuk kegiatan yang pembiayaannya

akan diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah atau sebagai penyertaan

modal negara kepada BUMN. Untuk kegiatan investasi, Pemerintah Daerah

mengajukan usulan kegiatan investasi untuk mendapatkan penerusan

pinjaman luar negeri dari Pemerintah kepada Menteri Perencanaan.

Pengaturan mengenai pinjaman dan/atau hibah luar negeri

tercantum dalam Pasal 19 ayat (1) yang berbunyi “Menteri/Pimpinan

Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan BUMN pelaksana kegiatan yang dibiayai

dengan pinjaman dan/atau hibah luar negeri dapat mengajukan usulan

perubahan NPPLN/NPHLN kepada Menteri”. Selanjutnya dalam penetapan

pinjaman dan/atau hibah luar negeri, Pasal 20 menyatakan Menteri

menetapkan pinjaman dan/atau hibah luar negeri Pemerintah yang akan

diteruspinjamkan atau diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah dan

diteruspinjamkan atau dijadikan penyertaan modal kepada BUMN.

Penetapan Menteri dilaksanakan sebelum dilakukan negosiasi dengan

PPLN/PHLN. Sedangkan dalam menentukan penerusan pinjaman kepada

Daerah dalam bentuk pinjaman atau hibah, Menteri memperhatikan

kemampuan membayar kembali daerah dan kapasitas fiskal daerah serta

pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri.

K. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010

tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh Dengan Lembaga Atau Badan

Di Luar Negeri

Dalam Peraturan Presiden ini diatur secara jelas tentang prinsip

kerjsama, tata cara kerjasama, pendanaan kerjasama, pembinaan,

pengawasan, dan pelaporan, serta penyelelesaian perselisihan. Di provinsi

Page 74: Uu Perjanjian Internasional

74

Aceh, kerja sama Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar

negeri adalah bentuk hubungan antara Pemerintah Aceh sebagai bagian

dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan lembaga atau badan di

luar negeri.

Rencana kerja sama merupakan ide atau gagasan dan rancangan

naskah kerja sama yang dibuat Pemerintah Aceh mengenai kerja sama

Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri, yang memuat

pokok pikiran, ruang lingkup, dan tujuan yang akan dicapai. Lembaga atau

badan di luar negeri adalah pemerintah negara bagian/pemerintah daerah,

kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, lembaga non

pemerintah, dan badan usaha milik negara atau swasta.

Dalam melakukan kerja sama, dituangkan dalam bentuk naskah

kerja sama yang merupakan kesepakatan tertulis dalam bentuk dan nama

tertentu, yang ditandatangani oleh Pemerintah Aceh dengan lembaga atau

badan di luar negeri. Hal pokok yang menjadi batasan umum bagi Pemda

Aceh untuk kerjasama luar negeri yang diatur dalam Peraturan Presiden 11

Tahun 2010 adalah:

a. Kerja sama dilaksanakan dengan berpedoman pada standar dan

prosedur yang berlaku secara nasional sesuai dengan bidang kerja

sama.

b. Kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri, dilakukan oleh

Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri dari

negara yang telah mempunyai hubungan diplomatik dengan

Indonesia.

c. Kerja sama Pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar

negeri hanya meliputi bidang urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan Pemerintah Aceh sesuai dengan peraturan

perundangundangan.

Dalam tahapannya, setiap kerjasama luar negeri yang dilakukan oleh

Pemda Aceh harus melalui tahapan berikut:

terlebih dahulu menyusun rencana kerja sama;

rencana kerja sama tersebut harus mendapat persetujuan dari DPRA;

Page 75: Uu Perjanjian Internasional

75

setelah disetujui rencana kerja sama tersebut disampaikan kepada

Menteri untuk mendapat pertimbangan;

sebelum memberikan pertimbangan, Menteri melakukan koordinasi

dengan Pemerintah Aceh dan instansi terkait.

Page 76: Uu Perjanjian Internasional

76

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

1945) memuat baik cita-cita, dasar-dasar, maupun prinsip-prinsip

penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara dengan istilah tujuan

nasional, tertuang dalam alinea keempat, yaitu (a) melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ; (b) memajukan

kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; (d) ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Cita-cita tersebut akan

dilaksanakan dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berdiri

diatas lima dasar, yaitu Pancasila sebagaimana juga dicantumkan dalam

alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

Untuk mencapai cita-cita tersebut dan melaksanakan

penyelenggaraan negara berdasarkan Pancasila, UUD 1945 telah

memberikan kerangka susunan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara. Norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan

politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal ini karena para

pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara

penuh, bukan hanya kedaulatan politik.

UUD 1945 merupakan konstitusi politik, ekonomi, dan sosial yang

harus menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik

oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market).

Sebagai konsekuensi dari supremasi konstitusi dan hierarki peraturan

perundang-undangan dalam suatu sistem hukum, maka perubahan

konstitusi mengharuskan adanya perubahan sistem dan kelembagaan,

serta pelaksanaannya oleh pihak yang berwenang. Oleh karena itu upaya

membangun sistem kelembagaan harus dilakukan berdasarkan nilai-nilai

dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945.

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia

Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil,

Page 77: Uu Perjanjian Internasional

77

makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera

tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan kerjasama Bangsa

Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Secara filosofis, dalam

rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana

tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, Pemerintah Negara

Republik Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat internasional,

melakukan hubungan dan kerja sama internasional yang mewujudkan

dalam perjanjian internasional. Berdasarkan amandemen keempat UUD

1945 pada tanggal 10 Agustus 2002 khususnya Pasal 11 ayat (2) dan ayat

(3) yang berbunyi:

“(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan

rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau

mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang

harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur

dengan undang-undang.”

Kerjasama internasional yang dilakukan antar negara, antara negara

dengan organisasi internasional ataupun antar negara dengan subyek

hukum internasional lainnya semakin gencar dilakukan dan dunia semakin

sempit seiring perkembagan teknologi informasi. Akan tetapi sebagai negara

berkembang, Indonesia terkadang dirugikan oleh perjanjian internasional

yang dilakukan dengan negara maju. Sebagai contoh adalah perjanjian

Sosek Malindo dan perjanjian ASEAN dengan Negara China yang disebut

ACFTA. Saat ini perjanjian Sosek Malindo dirasakan masyarakat

Kalimantan sangat merugikan karena Warga Negara Indonesia dibatasi

Page 78: Uu Perjanjian Internasional

78

hanya bisa melakukan transaksi pembelian produk Malaysia sampai

dengan 400 ringgit Malaysia, sedangkan Warga Negara Malaysia tidak

dibatasi nominal untuk melakukan pembelian produk Indonesia. Perjanjian

ACFTA antara ASEAN dengan Cina dirasakan sangat merugikan Indonesia

karena produk-produk China membanjiri pasar Indonesia dan mengambil

pasar produk-produk domestik dikarenakan secara harga lebih murah dan

tampilan lebih memikat daripada produk domestik Negara Indonesia.

Landasan untuk mengadakan kerjasama dengan negara lain adalah adanya

hak dari setiap negara untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama

dengan negara-negara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Komisi

Hukum Internasional/ International Law Commission PBB Tahun 1949.

Selain itu juga dilandaskan pada Kewajiban Negara yang juga diatur dalam

Komisi Hukum Internasional/ International Law Commission PBB Tahun

1949, yaitu:

“Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan

itikad baik (Pasal 13); dan

Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara

lain sesuai dengan hukum internasional (Pasal 14).”28

Praktik negatif pelaksanaan perjanjian internasional yang terjadi saat

ini adalah banyaknya perjanjian antara pihak Indonesia, baik Pemerintah

Indonesia maupun lembaga pemerintah dengan subyek hukum

internasional asing yang selalu merugikan pihak Indonesia. Sebagai contoh

pertambangan Freeport di Papua dimana pihak asing telah mengambil

lebih dari 80 % dari hasil keuntungan , sementara pihak Indonesia hanya

bisa menikmati kurang dari 20 % dari hasil keuntungan. Adanya

pemberlakuan otonomi daerah juga belum diantisipasi UU No. 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional dimana Kabupaten/ Kota yang sudah

diperbolehkan untuk melakukan perjanjian internasional subyek hukum

internasional asing tidak melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah

provinsi yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat. Oleh

28 Parry and Grant, et.al., Encyclopaedic Dictionary of International Law, New York: Oceana Publications inc.,

1986, hlm. 374.

Page 79: Uu Perjanjian Internasional

79

karena beberapa alasan tersebut di atas maka sangat diperlukan adanya

penggantian UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

B. Landasan Sosiologis

Adanya ketimpangan dimana dalam perjanjian internasional yang

dilakukan oleh Indonesia dengan pihak asing selalu merugikan rakyat dan

Bangsa Indonesia sangat mengganggu rasa keadilan masyarakat. Rasa

keadilan masyarakat terhadap perbaikan pengaturan hukum dalam

perjanjian internasional tidak terlepas dari keinginan adanya perlindungan

hukum dan pemenuhan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Perbaikan

pengaturan hukum dalam pembuatan perjanjian internasional akan

membentuk budaya hukum (legal culture) baru yaitu apakah telah terdapat

sistem birokrasi yang tidak berbelit-belit, koruptif, dan lebih memberi

perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia yang hendak melakukan

perjanjian internasional dengan pihak asing sehingga membuat masyarakat

ingin melakukan perjanjian internasional sesuai peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Oleh karena sering tidak terpenuhinya rasa keadilan masyarakat

dalam implementasi UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional sebagaimana terjadi dalam perjanjian Freeport dan Newmont

dimana hasil kekayaan alam Indonesia sudah dieksploitasi oleh pihak asing

dengan pembagian hasil yang sangat sedikit bagi pihak Indonesia maka

muncul keinginan masyarakat yang diwakili oleh anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Indonesia untuk melakukan penggantian atas UU No. 24

Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dengan salah satunya

menambahkan masalah ekonomi dan keuangan sebagai hal-hal yang

memerlukan pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan

undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 10 undang-undang

tersebut.

C. Landasan Yuridis

Berdasarkan Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, landasan yuridis

Page 80: Uu Perjanjian Internasional

80

merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa

peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau

mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah

ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian

hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut

persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur

sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru.

Adapun persoalan hukum tersebut antara lain peraturan yang sudah

ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis

peraturan yang lebih rendah dari undang-undang sehingga daya

berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau

peraturannya memang sama sekali belum ada.

Jika pengertian mengenai landasan yuridis tersebut dikaitkan dengan

Rancangan Undang-Undang tentang Penggantian Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, maka terdapat beberapa

ketentuan mengenai Perjanjian Internasional yang sudah tidak sesuai lagi

dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan

ketatanegaraan, sebagai contoh dengan adanya dorongan dari masyarakat

untuk menambahkan masalah ekonomi dan keuangan sebagai hal-hal yang

memerlukan pengesahan perjanjian internasional untuk dilakukan dengan

undang-undang. Selain itu, dengan adanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, kabupaten/ kota mulai melakukan perjanjian

internasional secara mandiri, akan tetapi tidak ada koordinasi dengan

pemerintah daerah provinsi sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka perlu dibentuk

Undang-Undang tentang Penggantian atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2002 tentang Perjanjian Internasional.

Page 81: Uu Perjanjian Internasional

81

BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP

MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

A. JANGKAUAN DAN ARAH PENGATURAN

Berdasarkan kajian sebagaimana diuraikan sebelumnya, tentu ke

depan perjanjian internasional harus mengarah dan menjangkau beberapa

hal yang perlu diimplementasikan yang sekarang ini belum dilaksanakan

sesuai dengan semangat konstitusi.

Perjanjian internasional harus senantiasa berpijak pada asas negara

hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta

sebagai bagian dari upaya untuk mencapai tujuan bernegara Indonesia

sebagaimana termaktub dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945,

yaitu mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan

tertib.

Sebagai bagian dari masyarakat internasional, maka negara Indonesia

akan senantiasa mengadakan perbuatan-perbuatan hukum dengan subjek

hukum internasional lainnya, antara lain dengan mengadakan perjanjian

internasional. Oleh karena itu, perjanjian internasional yang dibuat

tersebut juga harus senantiasa memperhatikan kepentingan nasional atau

kepentingan masyarakat, bahkan termasuk kepentingan masyarakat dari

suatu daerah manakala perjanjian internasional yang dibuat berimplikasi

kepada daerah.

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia sebagai salah satu negara

demokrasi, menerapkan sistem demokrasi perwakilan sehingga dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia terdapat lembaga perwakilan, yaitu Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

ditentukan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan

membentuk undang-undang”. Selanjutnya dalam Pasal 20A ayat (1) UUD

1945 ditentukan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi

legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Berdasarkan aturan

Page 82: Uu Perjanjian Internasional

82

konstitusi tersebut dapat dipahami bahwa peran Dewan dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia cukup penting dan strategis, yakni sebagai

lembaga perwakilan rakyat yang akan bertindak dalam tiga fungsi

sekaligus, yaitu pembentukan undang-undang, anggaran, dan pengawasan.

Dalam hal ini jelas memiliki hubungan atau kaitan yang erat dengan

perjanjian internasional. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya

bahwa perjanjian internasional itu adalah sebuah dokumen hukum yang

juga mempunyai implikasi yang luas dan strategis bagi kepentingan

nasional, kepentingan rakyat, atau kepentingan negara. Bahkan tidak

jarang sebuah perjanjian internasional diratifikasi dengan undang-undang

sehingga kekuatan hukumnya menjadi sama dengan undang-undang

sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka penguatan peran Dewan

Perwakilan rakyat dalam kaitannya dengan perjanjian internasional

menjadi sangat penting dalam sistem yang akan dibangun dalam Undang-

Undang Perjanjian Internasional. Penguatan peran Dewan Perwakilan

Rakyat dimaksudkan untuk diwujudkan dengan sebuat klausul, bahwa

setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah harus disertai

dengan pemberitahuan dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Khusus perjanjian internasional di bidang atau yang menyangkut

dengan pengelolaan sumber daya alam, Undang-Undang ini juga

memberikan sebuah garis acuan atau rambu-rambu yang perlu

diperhatikan oleh Pemerintah manakala melakukan perjanjian

internasional, khususnya menyangkut bidang pengelolaan sumber daya

alam, antara lain aspek ketersediaan kebutuhan nasional yang terkait

dengan ketahanan dan kedaulatan energi nasional serta yang menyangkut

kepentingan nasional lainnya.

Undang-Undang Perjanjian Internasional ke depan juga ingin

membuat aturan yang harus dipedomani oleh Pemerintah, yakni terkait

dengan keterlibatan daerah dalam suatu perjanjian internasional. Dalam

hal ini, manakala perjanjian internasional terkait atau menyangkut dengan

kepentingan daerah yang bersangkutan, maka Pemerintah harus

Page 83: Uu Perjanjian Internasional

83

memberitahukan dan mengikutsertakan daerah dalam pembuatan

perjanjian internasional.

Perjanjian internasional sebagai sebuah dokumen hukum perlu

memiliki sistem penyimpanan yang memadai dan mudah diakses oleh

setiap orang yang memerlukan naskah atau dokumen perjanjian

internasional. Oleh karenanya, penyimpanan dokumen perjanjian

internasional ke depan ditangani oleh lembaga arsip nasional.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa perjanjian

internasional adalah sebuah instrumen hukum yang berdampak atau

berimplikasi kepada kepentingan masyarakat, maka perlu kiranya diatur

mengenai partisipasi masyarakat sehingga ke depan setiap perjanjian

internasional yang dibuat oleh Pemerintah perlu membuka atau memberi

ruang bagi adanya partisipasi masyarakat.

B. RUANG LINGKUP MATERI

Sebagaimana diketahui sitematika undang-undang penggantian

terdiri atas dua bagian, yaitu Pasal I yang berisi materi pokok dan Pasal II

sebagai penutup. Oleh karenanya, ruang lingkup materi Undang-Undang

Penggantian Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional adalah sebagai berikut:

1. Pasal I: Materi Pokok Penggantian

a. Ketentuan Pasal 1 angka 1 diubah dengan rumusan: Perjanjian

Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu,

yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis

oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara,

organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya

yang menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

Selanjutnya juga ditambahkan 1 (satu) angka, yaitu angka 10 dengan

rumusan: Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR

Page 84: Uu Perjanjian Internasional

84

adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Di antara Pasal 1 dan Pasal 2 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal

1A: yakni mengenai asas atau prinsip dalam pembuatan perjanjian

internasional, yaitu

1) Itikad baik;

2) persamaan kedudukan;

3) saling menguntungkan;

4) kemanfaatan;

5) saling menghormati;

6) berkedaulatan; dan

7) berkeadilan.

c. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) diubah dengan rumusan sebagai berikut:

(1) Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional

dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau

subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan

para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut

dengan itikad baik.

(2) Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik

Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional, dan

memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum

internasional.

d. Ketentuan Pasal 5 diubah dengan rumusan sebagai berikut:

(1) Lembaga negara, lembaga pemerintah baik kementerian maupun

nonkementerian, dan pemerintah daerah, yang mempunyai

rencana untuk membuat Perjanjian Internasional, terlebih dahulu

melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri.

(2) Pemerintah Republik Indonesia dalam mempersiapkan

pembuatan Perjanjian Internasional, terlebih dahulu harus

Page 85: Uu Perjanjian Internasional

85

menetapkan posisi Pemerintah Republik Indonesia yang

dituangkan dalam suatu pedoman delegasi Republik Indonesia.

(3) Pedoman delegasi Republik Indonesia, yang perlu mendapat

persetujuan Menteri, memuat hal-hal sebagai berikut :

a. latar belakang permasalahan;

b. analisis permasalahan, yang ditinjau dari aspek politis dan

yuridis serta aspek lain yang dapat mempengaruhi

kepentingan nasional Indonesia; dan

c. posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan

untuk mencapai kesepakatan.

(4) Perundingan rancangan suatu Perjanjian Internasional dilakukan

oleh Delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau

pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup

kewenangan masing masing.

(5) Dalam hal Perjanjian Internasional berdampak pada kepentingan

daerah maka Pemerintah Daerah harus diikutsertakan dalam

keanggotaan delegasi Republik Indonesia.

e. Ketentuan Pasal 7 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (6), sehingga

Pasal 7 dirumuskan sebagai berikut:

(1) Seseorang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia, dengan

tujuan menerimaan atau menandatangani naskah suatu

perjanjian atau mengikatkan diri pada Perjanjian Internasional,

memerlukan Surat Kuasa.

(2) Pejabat yang tidak memerlukan Surat Kuasa sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 adalah:

a. Presiden; dan

b. Menteri.

(3) Satu atau beberapa orang yang menghadiri, merundingkan,

dan/atau menerima hasil akhir suatu Perjanjian Internasional,

memerlukan Surat Kepercayaan.

(4) Surat Kuasa dapat diberikan secara terpisah atau disatukan

dengan Surat Kepercayaan, sepanjang dimungkinkan, menurut

Page 86: Uu Perjanjian Internasional

86

ketentuan dalam suatu Perjanjian Internasional atau pertemuan

internasional.

(5) Penandatangan suatu Perjanjian Internasional yang menyangkut

kerja sama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang

sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan

suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik

kementerian maupun nonkementerian, dilakukan tanpa

memerlukan Surat Kuasa.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Surat Kuasa

dan Surat Kepercayaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

f. Ketentuan Pasal 9 diubah dengan rumusan sebagai berikut:

(1) Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan sepanjang

dipersyaratkan oleh Perjanjian Internasional tersebut.

(2) Pengesahan Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang atau Peraturan

Presiden.

g. Diantara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal

9A dengan rumusan sebagai berikut:

Pengesahan Perjanjian Internasional dengan undang-undang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilakukan terhadap

Perjanjian Internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan

mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban

keuangan negara, dan/atau mengharuskan penggantian atau

pembentukan undang-undang.

h. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) diubah dan ditambah 2 (dua) huruf,

yakni huruf g dan huruf h dengan rumusan sebagai berikut:

Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan undang-

undang apabila materi Perjanjian Internasional berkenaan dengan :

a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan

negara;

Page 87: Uu Perjanjian Internasional

87

b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara

Republik Indonesia;

c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;

d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

e. pembentukan kaidah hukum baru;

f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri;

g. perdagangan; dan

h. pengelolaan sumber daya alam.

i. Diantara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal

10A, Pasal 10B, dan Pasal 10C dengan rumusan sebagai berikut:

Pasal 10A

(1) Pengesahan Perjanjian Internasional mengenai pinjaman luar

negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f,

meliputi substansi perjanjian antara lain nominal pinjaman, bunga

pinjaman, jangka waktu pinjaman dan pengakhiran pinjaman.

(2) Perjanjian Internasional mengenai hibah luar negeri yang

dimintakan persetujuan kepada DPR sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f, meliputi antara lain substansi

perjanjian, jenis, dan jumlah hibah luar negeri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pinjaman dan/atau hibah luar

negeri diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 10B

(1) Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang

Pengesahan Perjanjian Internasional bersama dengan Pemerintah,

DPR dapat mengajukan usul Pensyaratan, dan Pernyataan

terhadap materi Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 10 ayat (1).

(2) Usul Pensyaratan dan Pernyataan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat diajukan terhadap substansi Perjanjian

Internasional yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional.

Page 88: Uu Perjanjian Internasional

88

Pasal 10C

DPR berhak tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan

undang-undang tentang pengesahan Perjanjian Internasional

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) jika merugikan

kepentingan nasional.

j. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) diubah, sehingga Pasal 12

dirumuskan sebagai berikut:

(1) Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga

pemrakarsa yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga

pemerintah, baik kementerian maupun nonkementerian,

menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan

undang-undang, naskah akademik atau rancangan peraturan

presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud

serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan.

(2) Lembaga pemrakarsa, yang terdiri atas lembaga negara dan

lembaga pemerintah, baik kementerian maupun nonkementerian,

mengoordinasikan pembahasan rancangan dan/atau materi

permasalahan dimaksud dalam ayat (1) yang pelaksanaannya

dilakukan bersamaan dengan pihak-pihak terkait.

(3) Prosedur pengajuan pengesahan perjanjian internasional

dilakukan melalui Menteri untuk disampaikan kepada Presiden.

k. Ketentuan Pasal 13 diubah dengan rumusan sebagai berikut:

Setiap undang-undang atau peraturan presiden tentang pengesahan

perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaga Negara

Republik Indonesia.

l. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal

17A dengan rumusan sebagai berikut:

(1) Lembaga negara, kementerian maupun lembaga

nonkementerian, dan pemerintah daerah yang membuat

Page 89: Uu Perjanjian Internasional

89

Perjanjian Internasional menyerahkan naskah asli Perjanjian

Internasional kepada Menteri.

(2) Naskah asli Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) harus diserahkan paling lambat 30 (tiga puluh)

hari kerja setelah penandatanganan Perjanjian Internasional.

2. Pasal II Penutup

Sebagai konsekuensi dari penggantian norma Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2000, maka dalam penutup penggantian undang-undang

tersebut dirumuskan dua hal, yaitu:

a. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

b. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia.

Page 90: Uu Perjanjian Internasional

90

BAB VI

PENUTUP

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

1945) memuat baik cita-cita, dasar-dasar, maupun prinsip-prinsip

penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara dengan istilah

tujuan nasional, tertuang dalam alinea keempat, yaitu (a) melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b)

memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa;

dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-

cita tersebut Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari

masyarakat internasional melakukan hubungan dan kerja sama

internasional yang mewujudkan dalam bentuk perjanjian internasional.

Beberapa konsepsi dasar yang perlu menjadi pertimbangan untuk

penyelenggaran perjanjian internasional adalah sebagai berikut :

a. memperjelas dan mempertegas asas dan prinsip negara dalam

melakukan perjanjian internasional.

b. mempertegas keterlibatan DPR tersebut dalam pembuatan perjanjian

internasional;

c. membuat batasan dan acuan yang tegas dalam pembuatan setiap

perjanjian internasional di bidang-bidang tertentu, terutama di

bidang perdagangan dan sumber daya alam, yang selama ini

dianggap kurang menguntungkan negara;

d. membuat batasan dan acuan tegas dalam pembuatan perjanjian

internasional yang terkait dengan pinjaman yang dilakukan

pemerintah dan hibah yang diterima pemerintah.

e. melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat daerah dalam

pembuatan perjanjian internasional yang memiliki implikasi langsung

maupun tidak langsung terhadap daerah yang bersangkutan;

f. mempertegas partisipasi masyarakat dalam pembuatan perjanjian

internasional; dan

Page 91: Uu Perjanjian Internasional

91

g. membuka akses bagi publik mengenai dokumen perjanjian

internasional.

Dengan dibuatnya penggantian atas undang-undang ini diharapkan

bahwa perjanjian internasional dapat dilaksanakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat, dan melindungi segenap bangsa dari segala bentuk

penjajahan dalam bentuk apapun dan keterpurukan.