bb hukum perjanjian internasional fh unud

25
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL KODE MATA KULIAH : BLOCK BOOK PLANING GROUP : Dr. Putu Tuny Cakabawa, SH., MHum. I Nengah Suantra, SH., MH. I Dewa Gede Palguna, SH., MHum. I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH. Made Maharta Yasa, SH., MH.. Anak Agung Sri Utari, SH., MH. Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa, SH., MHum. I Made Budi Arsika, SH., LLM. I Gede Putra Ariana, SH., MKn. I Gusti Ngurah Parikesit Widia Tedja, SH., MHum. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010

Upload: hendra-rusliyadi

Post on 03-Aug-2015

127 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

Block Book diperlukan disetiap perkuliahan di FH Unud. Jika tidak ada block book, kita ga bakalan tau apa yang bakalan Dosen kasi ....

TRANSCRIPT

Page 1: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

KODE MATA KULIAH :

BLOCK BOOK

PLANING GROUP :

Dr. Putu Tuny Cakabawa, SH., MHum. I Nengah Suantra, SH., MH.

I Dewa Gede Palguna, SH., MHum. I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH.

Made Maharta Yasa, SH., MH.. Anak Agung Sri Utari, SH., MH.

Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa, SH., MHum.

I Made Budi Arsika, SH., LLM. I Gede Putra Ariana, SH., MKn.

I Gusti Ngurah Parikesit Widia Tedja, SH., MHum.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2010

Page 2: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

1. IDENTITAS MATA KULIAH Nama Mata Kuliah : Hukum Perjanjian Internasional Team Pengajar : Dr. Putu Tuny Cakabawa, SH., MHum.

I Nengah Suantra, SH., MH. I Dewa Gede Palguna, SH., MHum. I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH. Made Maharta Yasa, SH., MH.. Anak Agung Sri Utari, SH., MH. Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH Anak Agung Gede Duwira Hadi Santosa, SH., MHum. I Made Budi Arsika, SH., LLM. I Gede Putra Ariana, SH., MKn. I Gusti Ngurah Parikesit Widia Tedja, SH., MHum.

Status Mata Kuliah : Mata Kuliah Wajib Fakultas (Kurikulum 2009) Kode Mata Kuliah : WHI 3220 SKS : 2

2. MANFAAT MATA KULIAH

Pada era globalisasi ini dimana batas­batas antarnegara menjadi semakin tidak jelas (borderless), muncul berbagai permasalahan Hukum Internasional, termasuk diantaranya mengenai Hukum Perjanjian Internasional. Mata kuliah ini dikonstruksikan untuk: secara teoritis, bahwa mahasiswa memperoleh pengetahuan mengenai asas­asas dan konsep­konsep hukum tentang perjanjian internasional; dan secara praktis, mahasiswa diharapkan agar mampu menganalisis masalah­masalah yang berkaitan dengan pembentukan dan pelaksanaan perjanjian internasional.

3. DESKRIPSI MATA KULIAH

Mata kuliah ini mengkaji baik aspek teoritis maupun praktis Hukum Perjanjian Internasional. Secara garis besar, materi­materi tersaji yang dibahas adalah: a) Definisi, Sumber Hukum, dan Bahasa dalam Perjanjian Internasional, b) Jenis­Jenis Perjanjian Internasional, c) Proses Pembentukan Perjanjian Internasional dan Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional, d) Penataan, Penerapan, Penafsiran, Amandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional, e) Ketidaksahan, Pengakhiran dan Penundaan Bekerjanya suatu Perjanjian Internasional, dan f) Perjanjian Internasional dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Regional.

4. TUJUAN MATA KULIAH

Melalui partisipasi pada mata kuliah Hukum Perjanjian Internasional ini mahasiswa diharapkan mampu memahami asas­asas dan kaidah­kaidah Hukum Perjanjian Internasional serta dapat menganalisa berbagai perkembangan dalam Hukum Perjanjian Internasional.

Page 3: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

5. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

Secara formal, mahasiswa yang akan menempuh mata kuliah ini harus telah lulus mata kuliah Hukum Internasional. Secara Substantif, mata kuliah ini mensyaratkan adanya pemahaman dan penguasaan mahasiswa terhadap materi­materi dasar Hukum Internasional, diantaranya; konsep Kedaulatan (sovereignty), Sumber Hukum Internasional, Subyek Hukum Internasional, serta Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional.

6. METODE DAN STRATEGI PROSES PEMBELAJARAN

Metode Perkuliahan adalah Problem Based Learning (PBL) dimana pusat pembelajaran ada pada mahasiswa. Metode yang diterapkan adalah “belajar” (learning) bukan “mengajar” (teaching).

Strategi pembelajaran : Kombinasi perkuliahan (6 kali pertemuan), tutorial (6 kali pertemuan, satu kali pertemuan untuk Ujian Tengah Semester, dan satu kali pertemuan untuk Ujian Akhir Semester (UAS).

Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial. Dalam Mata kuliah Hukum Perjanjian Internasional ini, perkuliahan direncanakan berlangsung selama 6 kali yaitu pertemuan ke 1,3,5,7,9, dan ke 11. Sedangkan Tutorial direncanakan berlangsung 6 kali pertemuan yaitu: pertemuan ke 2, 4,6,8, 10 dan ke 12.

Strategi perkuliahan: Perkuliahan berkaitan dengan pokok bahasan akan dipaparkan dengan alat bantu media berupa papan tulis, power point slide, serta penyiapan bahan bacaan tertentu yang dapat diakses oleh mahasiswa. Sebelum mengikuti perkuliahan mahasiswa sudah mempersiapkan diri (self study) melakukan penelusuran bahan, membaca dan memahami pokok bahasan yang akan dikuliahkan sesuai dengan arahan (guidance) dalam Block Book. Adapun tekhnik perkuliahan adalah pemaparan materi, tanya jawab, dan diskusi (proses pembelajaran dua arah).

Strategi Tutorial:

• Mahasiswa mengerjakan tugas­tugas : (Discuccion Task, Study Task dan Problem Task) sebagai bagian dari self study (20 jam perminggu), kemudian berdiskusi di kelas tutorial dan presentasi power point.

• Dalam 6 kali tutorial di kelas, mahasiswa diwajibkan: ­ Secara individual menjawab seluruh pertanyaan yang tersedia di Blok Book

sebelum pertemuan tutorial dilaksanakan. ­ Secara sukarela (atau dalam kondisi tertentu tutor akan menunjuk secara acak),

mahasiswa mempresentasikan jawaban­jawaban tersebut di kelas tutorial.

Page 4: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

­ Berdiskusi di kelas selama pelaksanaan tutorial dengan mengemukakan argumen­argumen yang dikembangkan dalam jawaban individu mahasiswa terhadap pertanyaan­pertanyaan di Blok Book.

­ Secara individual menyusun sebuah paper dengan topik­topik yang akan disampaikan pada perkuliahan/tutorial. Paper ini akan digunakan sebagai komponen utama nilai tugas selain partisipasi dalam tanya jawab/diskusi selama perkuliahan/tutorial.

­ Secara kolektif berpartisipasi pada Role Play.

7. UJIAN DAN PENILAIAN

Ujian Ujian dilaksanakan dua kali dalam bentuk tertulis yaitu Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS).

Tugas­Tugas (TT) Lihat Strategi Tutorial. Penilaian Penilaian akhir dari proses pembelajaran ini berdasarkan rumus Nilai Akhir (NA) sesuai buku pedoman, yaitu:

(UTS+TT) _________ + 2(UAS)

2 NA: ___________________

3

Nilai Range A 80­100 B+ 70­79 B 65­69 C+ 60­64 C 55­59 D+ 50­54 D 40­49 E 0­39

Di luar model penilaian di atas, mata kuliah ini juga memberikan Nilai Partisipasi Kelas (Kolektif) sebagai nilai tambahan untuk Nilai Akhir. Lihat Pertemuan ke­6 Tutorial ke­ 3.

Page 5: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

8. MATERI PERKULIAHAN (ORGANISASI PERKULIAHAN)

I. PENDAHULUAN

A. Pengertian B. Sumber Hukum Perjanjian Internasional

A. Pemahaman terhadap Art 38 (1) of the Statute of the ICJ B. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969 C. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978 D. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and

International Organizations or between International Organizations, 1986

E. Pembanding dalam pengaturan nasional RI: Undang­Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan Undang­Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

C. Bahasa dalam Perjanjian Internasional

II. JENIS­JENIS PERJANJIAN INTERNASIONAL

A. Perjanjian Internasional dari segi jumlah pesertanya B. Perjanjian Internasional dari segi kaidah hukum yang dilahirkannya

1. Perjanjian khusus atau perjanjian tertutup (Treaty Contract) 2. Perjanjian umum atau terbuka (Law­Making Treaty)

C. Perjanjian Internasional dari Segi Prosedur atau Tata Cara Pembentukannya 1. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui dua tahap 2. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui tiga tahap

D. Perjanjian Internasional dari segi jangka waktu berlakunya

III. PROSES PEMBENTUKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DAN MULAI BERLAKUNYA PERJANJIAN INTERNASIONAL

A. Kapasitas Subyek HI untuk membuat perjanjian B. Hal­hal teknis dalam pembentukan perjanjian (Full Powers, Credentials) C. Persetujuan untuk terikat dalam suatu Perjanjian Internasional

(Penandatanganan, Pertukaran instrumen, Pengesahan/Ratifikasi, Penyetujuan/Approval, Aksesi)

D. Cara­cara menyatakan persetujuan terikat oleh suatu E. Reservasi (Pensyaratan)

Page 6: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

IV. PENATAAN, PENERAPAN, PENAFSIRAN, AMANDEMEN DAN MODIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL

A. Pacta Sunt Servanda B. Asas Retroaktif C. Penafsiran D. Pihak ketiga dalam perjanjian E. Amandemen dan Modifikasi

V. KETIDAKSAHAN, PENGAKHIRAN DAN PENUNDAAN BEKERJANYA SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL

A. Ketidaksahan Perjanjian Internasional (Kekeliruan, Penipuan, Kecurangan, Paksaan, Jus Cogens)

B. Pengakhiran C. Penundaan D. Pengawasan Ketidakmungkinan Pelaksanaan E. Clause Rebus Sic Stantibus F. Akibat­Akibat dari ketidaksahihan, pengakhiran, dan penundaan

bekerjanya perjanjian

VI. PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL DAN HUKUM REGIONAL

A. Pemahaman terhadap aliran Dualisme dan Monisme (Primat HI dan Primat HN)

B. Makna Art 27 of the Vienna Convention 1969 C. Pengujian Hukum Nasional terhadap Eksistensi Hukum Internasional D. Pengujian Hukum Regional terhadap Eksistensi Hukum Internasional

9. BAHAN BACAAN Instrumen Internasional 1. Charter of Association of Southeast Asian Nations, 2007 2. Charter of United Nations 3. Declaration on Principles of International Law concerning Friendly

Relations and Co­operation among States in Accordance with the Charter of the United Nations (1970).

4. Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and China, 2002

5. ILC Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Act 2001, Part Two.

6. Statute of the International Court of Justice (ICJ) 7. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969 8. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978 9. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International

Organizations or between International Organizations 1986

Page 7: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

Instrumen Nasional 1. Surat Presiden Republik Indonesia Nomor : 2826/HK/1960 tanggal 22

Agustus 1960 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong­Royong. 2. Undang­Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. 3. Undang­Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

Case Law 1. Advisory Opinion of the ICJ concerning Reservation of Genocide

Convention, 1951. 2. Decision of the European Court of Justice (ECJ) in Kadi/Yusuf Case 3. Supreme Court of the United States, Case No. 06–984, Jose Ernesto

Medellin, Petitioner V. Texas, 2008 4. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 20/PUU­V/2007

Perihal Pengujian Undang­Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Terhadap Undang­Undang Dasar 1945.

Buku 1. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam

Era Dinamika Global, Edisi ke­2,Cetakan ke­1, PT. Alumni, Bandung, 2005.

2. Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Clarendon Press, Oxford, 1998.

3. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2002.

4. ­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2005.

5. Malcolm D. Evans, International Law, Second Edition, Oxford University Press, 2006.

6. Malcolm N. Shaw, International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press, Cambridge, 2003

7. Martin Dixon, Textbook on International Law, 6th Edition, Oxford University Press, New York, 2007.

8. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, Cetakan ke­1, PT. Alumni, Bandung, 2003.

9. Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969), CV. Armico, Bandung, 1985.

10. PERSIAPAN PROSES PERKULIAHAN

Sebelum perkuliahan dimulai mahasiswa diwajibkan sudah memiliki block book mata kuliah Perkembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan sudah mempersiapkan materi, sehingga perkuliahan dan tutorial dapat terlaksana dengan lancar

Page 8: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

I. PERTEMUAN KE­1 Perkuliahan Ke­1 :

Pendahuluan

Pokok Bahasan : B. Pengertian C. Sumber Hukum Perjanjian Internasional

1. Pemahaman terhadap Art 38 (1) of the Statute of the ICJ 2. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969 3. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978 4. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International

Organizations or between International Organizations, 1986 5. Pembanding dalam pengaturan nasional RI: Undang­Undang Nomor 24

tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan Undang­Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

D. Bahasa dalam Perjanjian Internasional

Literatur: 1. The Statute of the International Court of Justice (ICJ) 2. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969 3. Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978 4. Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International

Organizations or between International Organizations 1986 5. Undang­Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 6. Undang­Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. 7. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 20/PUU­V/2007

Perihal Pengujian Undang­Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Terhadap Undang­Undang Dasar 1945.

8. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi ke­2,Cetakan ke­1, PT. Alumni, Bandung, 2005, h. 83­96.

9. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 44­45.

10. Martin Dixon, Textbook on International Law, 6th Edition, Oxford University Press, New York, 2007, p. 53­86

Page 9: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

II. PERTEMUAN KE­2 Tutorial Ke­1 :

Discussion Task 1. Diskusikan perbedaan antara Hukum Perjanjian Internasional dan Hukum

Kontrak Internasional. 2. Diskusikan Perbedaan sistematika Konvensi Wina 1969 dan UU 24 tahun

2000. Tuangkan hasil diskusi tersebut ke dalam matriks.

Problem Task 3. Apakah Memorandum of Understanding (MoU) dapat dikategorikan sebagai

suatu perjanjian Internasional?

Literatur:

1. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969 2. Undang­Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. 3. Undang­Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 4. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 20/PUU­V/2007

Perihal Pengujian Undang­Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Terhadap Undang­Undang Dasar 1945.

Page 10: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

III. PERTEMUAN KE­3 Perkuliahan Ke­2 :

Bentuk­Bentuk Dan Jenis­Jenis Perjanjian Internasional

Pokok Bahasan:

A. Bentuk­Bentuk Perjanjian Internasional 1. Perjanjian Internasional dalam bentuk tertulis 2. Perjanjian Internasional dalam bentuk tidak tertulis

B. Perjanjian Internasional dari segi jumlah pesertanya C. Perjanjian Internasional dari segi kaidah hukum yang dilahirkannya

1. Perjanjian khusus atau perjanjian tertutup (Treaty Contract) 2. Perjanjian umum atau terbuka (Law­Making Treaty)

D. Perjanjian Internasional dari Segi Prosedur atau Tata Cara Pembentukannya 3. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui dua tahap 4. Perjanjian Internasional yang dibentuk melalui tiga tahap

E. Perjanjian Internasional dari segi jangka waktu berlakunya

Literatur: 1. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I,

Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 39­50. 2. Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina

1969), CV. Armico, Bandung, 1985, h. 69­82.

Page 11: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

IV. PERTEMUAN KE­4 Tutorial Ke­2:

FTA CHINA­ASEAN DISEPAKATI

Berdasarkan kesamaan itikad untuk memperluas jangkauan kerjasama ekonomi, Negara­negara ASEAN dan China mengadakan pertemuan tingkat Menteri diselenggarakan di Pnomh Phen, Kamboja. Pertemuan pada tahun 2002 tersebut melahirkan Framework Agreement on Comprehensive Economic Co­operation between ASEAN­China. Mereka sepakat untuk menurunkan tariff perdagangan untuk beberapa sector hingga 0%. Pertanian, tekstil, teknologi informasi, pengembangan sumber daya manusia, dan investasi menjadi substansi dari persetujuan ini. Mereka sepakat untuk menerapkan beberapa ketentuan berbeda di negara­negara ASEAN.

Problem Task

1. Dari segi kaidah hukum yang dilahirkan termasuk ke dalam apakah FTA China­ ASEAN tersebut?

2. Dari segi prosedur atau tatacara pembentukannya, termasuk ke dalam apakah FTA China­ASEAN tersebut?

3. Sebutkan jangka waktu berlakunya FTA China­ASEAN tersebut?

Literatur: 1. The Charter of Association of Southeast Asian Nations, 2007. 2. Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between

ASEAN and China, 2002.

Page 12: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

V. PERTEMUAN KE­5 Perkuliahan ke­3 :

Proses Pembentukan Perjanjian Internasional Dan Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional

Pokok Bahasan:

A. Kapasitas Subyek HI untuk membuat perjanjian B. Hal­hal Teknis dalam Pembentukan Perjanjian (Full Powers, Credentials) C. Persetujuan Untuk Terikat Dalam Suatu Perjanjian Internasional

(Penandatanganan, Pertukaran Instrumen, Pengesahan/Ratifikasi, Penyetujuan/Approval, Aksesi)

D. Cara­cara Menyatakan Persetujuan untuk Terikat dalam suatu Perjanjian E. Reservasi (Pensyaratan)

Literatur: 1. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, Part II 2. Undang­Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Bab II & III. 3. Surat Presiden Republik Indonesia Nomor : 2826/HK/1960 tanggal 22

Agustus 1960 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong­Royong. 4. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam

Era Dinamika Global, Edisi ke­2,Cetakan ke­1, PT. Alumni, Bandung, 2005, h. 100­135.

5. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 18­26, h. 93­210.

6. Malcolm N. Shaw, International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press, Cambridge, 2003, p. 821­831.

7. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, Cetakan ke­1, PT. Alumni, Bandung, 2003, h. 45­54.

8. Advisory Opinion of the ICJ concerning Reservation of Genocide Convention, 1951.

Page 13: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

VI. PERTEMUAN KE­6 Tutorial ke­3 :

Role Play DPR mempertanyakan Perjanjian RI dan Amerika Serikat.

Pemerintah RI (eksekutif) memiliki rencana untuk mengadakan latihan militer bersama di wilayah darat Indonesia dengan pihak militer Amerika Serikat (AS) dalam rangka meningkatkan kemampuan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Untuk mematangkan konsep ini, pemerintah bersurat ke komisi I DPR RI untuk mendengar berbagai saran dan masukan. Dalam rapat yang digelar di ruang Komisi I DPR RI yang juga dihadiri oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), diputuskan bahwa kerja sama tersebut dipandang perlu, sehingga direkomendasikan untuk menjajagi kerjasama bilateral dengan AS.

Pemerintah RI kemudian membentuk sebuah delegasi yang terdiri dari Wakil Menteri Pertahanan (Wakil Menhan), Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa Deplu, Kepala Staf Umum TNI (Kasum TNI), Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Wakasad) Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk AS di Washington (Dubes RI untuk AS), Atase Pertahanan (Athan) KBRI Washington, serta Kepala Bidang Politik (Kabid Politik) KBRI Washington. Mereka ditugaskan untuk menghadiri, merundingkan, dan menerima hasil akhir daripada kerjasama bilateral tersebut. Seluruh pejabat tersebut dilengkapi Surat Kepercayaan (credentials), sementara khusus bagi Wakil Menteri Pertahanan yang ditunjuk sebagai Ketua Delegasi ditambahkan dengan Surat Kuasa (Full Powers).

Melalui fasilitasi oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk AS di Washington dan Atase Pertahanan KBRI Washington, proses perundingan bilateral antara delegasi RI dan AS yang dipimpin langsung oleh Menteri Pertahanan AS kemudian berlangsung di Pentagon selama satu minggu. Dalam perundingan tersbeut akhirnya disepakati adanya suatu kerjasama latihan militer bersama antara kedua negara dengan memfokuskan pada latihan perang gerilya. Secara teknis, latihan militer akan mengambil tempat di Aceh, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Papua dalam kurun waktu 2 tahun penuh. Untuk masing­masing wilayah tersebut, dari pihak militer Indonesia akan dilibatkan masing­masing 1 batalyon infantri (raiders), sementara dari pihak AS akan dilibatkan masing­masing 3 kompi infanftry US Army.

Ketika perjanjian ini hendak diratifikasi melalui undang­undang, terjadi perdebatan serius di Komisi I DPR RI. Hampir seluruh anggota komisi tersebut menolak untuk meratifikasi perjanjian tersebut dengan alasan latihan militer tersebut mengancam kedaulatan teritorial RI. Salah satu alasan utama adalah terdapatnya klausul yang memungkinkan perluasan kerjasama hingga perlindungan aset­aset ekonomi AS di Indonesia, namun harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Berbagai LSM juga melayangkan kritik tajam. Mereka berpandangan bahwa terdapat dua hidden

Page 14: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

agenda di balik perjanjian kerjasama ini Pertama, mereka mencurigai AS berupaya mencari titik lemah strategi perang gerilya. Kedua, mereka mengkhawatirkan AS menyiapkan strategi pengamanan terhadap perusahan­perusahaan AS di Indonesia khususnya yang bergerak di bidang eksplorasi dan eksploitasi mineral.

Kini Pemerintah dalam kondisi dilema. Mereka telah berupaya meyakinkan DPR dengan menjamin bahwa kerja sama tersebut tetap dalam koridor kepentingan nasional dan sama sekali tidak akan membuka ruang bagi intervensi AS terhadap Indonesia. Namun ternyata berbagai argumen yang dilontarkan oleh para anggota DPR dan LSM melalui berbagai media ternyata lebih sukses mengambil opini publik. Kini, proses ratifikasi tersebut ternyata menggulirkan bola panas dalam perpolitikan domestik Indonesia.

Setting Role Play

Peran yang dibutuhkan: Presiden RI (1), Wakil Presiden RI (1), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (1), Menteri Luar Negeri (1), Menteri Pertahanan (1), Wakil Menteri Pertahanan, Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa Deplu (1), Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk AS di Washington (Dubes RI untuk AS), Atase Pertahanan (Athan) KBRI Washington, Kepala Bidang Politik (Kabid Politik) KBRI Washington, Panglima TNI (1), Kepala Staf Umum TNI (1), Kepala Staf TNI AD (1), Wakil Kepala Staf TNI AD (1), Ketua DPR RI (1) Ketua Komisi I DPR RI (1), LSM (3), Menteri Pertahanan AS, Kepala Staf Gabungan (Militer) AS (1), Duta Besar AS Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk RI di Jakarta (Dubes AS untuk RI) 1. Peran tambahan: Anggota DPR RI, Anggota Komisi I DPR RI, Pers, mahasiswa, Ormas.

Simulasi

Bagian I : Proses Persiapan Pembuatan Perjanjian Internasional Tahap 1 : Rapat Kabinet terbatas Tempat : Istana Negara Peserta : Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Koordinator Bidang Politik,

Hukum, dan Keamanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD.

Agenda : 1. Pembahasan usulan kerjasama militer bilateral RI­AS. 2. Rencana bersurat ke Komisi I DPR RI.

Tahap 2 : Rapat Koordinasi Pemerintah dan Komisi I DPR Tempat : Ruang Sidang Komisi I DPR RI Peserta : Ketua Komisi I DPR RI, anggota Komisi I DPR RI, Menteri

Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD, beberapa LSM.

Agenda : 1. Penyampaian rencana kerjasama militer bilateral Pemerintah RI­AS

Page 15: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

2. Dengar pendapat, saran, dan masukan dari anggota Komisi I DPR RI dan LSM

Tahap 3: Rapat Koordinasi Menteri­Menteri Bidang Polhukkam Tempat : Kantor Menteri Koordinator Bidang Polhukkam Peserta : Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Luar

Negeri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD, Wakil Menteri Pertahanan (Wakil Menhan), Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa Deplu, Kepala Staf Umum TNI (Kasum TNI) serta Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Wakasad).

Agenda : 1. Pembahasan pendapat, saran, dan masukan pada rapat Koordinasi Pemerintah dan Komisi I DPR RI.

2. Penyampaian hasil Rapat Koordinasi Menteri­Menteri Bidang Polhukkam oleh Menlu kepada Duta Besar AS Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk RI di Jakarta.

3. Koordinasi Menteri Luar Negeri dengan Duta Besar RI Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk AS di Washington (via telepon) mengenai lobby agenda dan tempat perundingan kepada Pemerintah AS.

4. Pembentukan Delegasi RI

Situasi: AS ternyata menyambut baik usulan Pemerintah RI. Kemudian disepakati bersama bahwa proses perundingan akan dilakukan di Pentagon, AS. Delegasi kemudian berangkat menuju Washington AS.

Tahap 4: Rapat koordinasi teknis Persiapan Perundingan Tempat : Kantor KBRI Washington Peserta : Wakil Menhan, Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa

Deplu, Kasum TNI, Wakasad, Dubes RI untuk AS, Athan KBRI Washington, Kabid Politik KBRI Washington.

Agenda : 1. Penyampaian perkembangan koordinasi teknis antara KBRI Washington dan Dephan AS oleh Dubes RI untuk AS.

2. Penyampaian hasil­hasil kesepakatan rapat koordinasi di Indonesia oleh Ketua Delegasi

3. Diskusi penyamaan persepsi 4. Diskusi strategi diplomasi dalam proses perundingan.

Bagian II: Proses Perundingan Bilateral RI­AS Tahap 1: Perundingan, Penandatanganan, dan Penyampaian Hasil ke Publik Tempat : Pentagon, AS Peserta : Wakil Menhan, Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa

Deplu, Kasum TNI, Wakasad, Dubes RI untuk AS, Athan KBRI Washington, Kabid Politik KBRI Washington, Menhan AS, KasGab Militer AS, jajaran staf Dephan AS.

Agenda : 1. Perundingan RI­AS 2. Penandatanganan Perjanjian Bilateral

Page 16: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

3. Konferensi Pers Bersama Catatan : Kalau memungkinkan proses perundingan dilakukan dalam Bahasa Inggris.

Bagian III: Proses Ratifikasi

Tahap 1: Rapat Penyampaian hasil Perjanjian RI­AS Tempat : Istana Negara Peserta : Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri Koordinator Bidang Politik,

Hukum, dan Keamanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD, Wakil Menhan, Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa Deplu, Kasum TNI, Wakasad.

Agenda : 1. Penyampaian hasil Perjanjian RI­AS 2. Tanggapan Presiden dan jajaran mengenai hasil perjanjian 3. Pengiriman surat pembahasan ratifikasi perjanjian kepada Ketua

DPR RI

Situasi: Ketua DPR RI kemudian mendisposisi surat Presiden RI kepada Komisi I untuk dibahas.

Tahap 2: Rapat Pembahasan Komisi I Tempat : Ruang sidang Komisi I Peserta : Ketua Komisi I beserta wakil­wakil serta seluruh anggota Komisi I Agenda : Pembahasan Hasil Perjanjian kerjasama Bilateral RI­AS oleh seluruh

anggota Komisi I

Situasi: Dalam rapat tersebut hampir seluruh anggota Komisi I menolak untuk meratifikasi. Selanjutnya mereka mengundang Pemerintah untuk menyampaikan keterangannya atas seluruh proses perundingan hingga dicapainya hasil perjanjian.

Tahap 3: Rapat Penyampaian Keterangan Pemerintah kepada Komisi I Tempat : Ruang sidang Komisi I Peserta : Ketua Komisi I beserta wakil­wakil serta seluruh anggota Komisi I,

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Kepala Staf TNI AD, Wakil Menhan, Direktur Jenderal Kerjasama Amerika Utara dan Eropa Deplu, Kasum TNI, Wakasad.

Agenda : 1. Penyampaian keterangan pemerintah atas hasil yang dicapai 2. Penyampaian Pendapat Komisi I terhadap keterangan Pemerintah

Situasi: Komisi I menyatakan tidak puas terhadap keterangan Pemerintah. Hampir seluruh anggota komisi tersebut menolak untuk meratifikasi perjanjian tersebut. Komisi I kemudian memutuskan untuk melakukan rapat dengar pendapat dari civil society.

Page 17: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

Tahap 4: Rapat dengar Pendapat kepada Komisi I Tempat : Ruang sidang Komisi I Peserta : Komisi I beserta wakil­wakil serta seluruh anggota Komisi I dan Civil

Society (LSM, Mahasiswa, Ormas) Agenda : Dengar pendapat civil society tentang hasil perjanjian RI­AS

Situasi: Civil society memiliki pendapat yang selaras dengan Komisi I. Mereka menolak dengan tegas perjanjian tersebut diratifikasi. Kini proses Ratifikasi tidak menemui kejelasan yang berarti. Komisi I tidak bersedia untuk membawa proses ini ke sidang Pleno/Paripurna DPR sebelum ada persetujuan yang didukung sekurang­ kurangnya 50+1 dari anggota Komisi I. Komunikasi antara Pemerintah dan DPR RI dalam proses ini pun terancam dead lock.

Hal­hal teknis yang perlu disusun dan dipersiapkan secara berkelompok: 1. Credentials 2. Full Powers 3. Agreement between the Republic of Indonesia and the Republic of the United States

of America concerning Armed Force Joint Training (2010)

Penyelenggaraan dan Penilaian: 1. Role Play akan diselenggarakan seseuai dengan hari/tanggal tutorial dengan

bertempat di ruang Moot Court/Video Conference FH UNUD, Jl. Bali, Denpasar. 2. Waktu pelaksanaan total paling lama 60 menit . 3. Role Play akan diobservasi dan dinilai langsung oleh pengajar Hukum Perjanjian

Internasional yang bersangkutan 4. Nilai yang diambil dari Role Play akan dijadikan Nilai Partisipasi Kelas (kolektif)

yang akan digunakan sebagai nilai tambahan pada saat pemberian Nilai Akhir seluruh mahasiswa. Nilai Partisipasi Kelas maksimal 1 (satu).

Literatur: 1. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969 2. Undang­Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

Page 18: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

VII. PERTEMUAN KE­7 Perkuliahan Ke­4 :

Penataan, Penerapan, Penafsiran, Amandemen Dan Modifikasi Perjanjian Internasional

Pokok Bahasan: B. Pacta Sunt Servanda C. Asas Retroaktif D. Penafsiran E. Pihak ketiga dalam perjanjian F. Amandemen dan Modifikasi

Literatur:

1. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, Part III and IV. 2. Undang­Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Bab IV. 3. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar

Maju, Bandung, 2005, h. 261­368. 4. Malcolm N. Shaw, International Law, Fifth Edition, Cambridge University

Press, Cambridge, 2003, p. 832­844.

Page 19: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

VIII. PERTEMUAN KE­8 Tutorial ke­4:

Pengusaha Indonesia Protes Pemberlakuan Fta Asean­China

FTA Asean­China yang mulai berlaku 1 Januari 2010 menuai protes dari kalangan pengusaha Indonesia. Mereka mengkhawatirkan keberlangsungan usahanya akibat bebasnya arus barang yang masuk utamanya produk China ke dalam pasar Indonesia. Masih tingginya biaya produksi ditambah rendahnya kualitas sumber daya manusia menjadi alasan utama rendahnya daya saing produk Indonesia. Para pengusaha menuntut pemerintah untuk menunda pemberlakuan FTA. Pemerintah melalui Menteri Perdagangan Mari E. Pangestu menganggap permintaan tersebut sulit untuk dipenuhi, berdasarkan asas­asas perjanjian internasional yang ada.

Pertanyaan:

1. Solusi apakah yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut bagi pemerintah dan masyarakat?

Literatur: 1. The Charter of Association of Southeast Asian Nations, 2007 2. Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between

ASEAN and China, 2002

Page 20: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

IX. PERTEMUAN KE­9 Perkuliahan Ke 5:

Ketidaksahan, Pengakhiran Dan Penundaan Bekerjanya Suatu Perjanjian Internasional

Pokok Bahasan: A. Ketidaksahan Perjanjian Internasional (Kekeliruan, Penipuan, Kecurangan,

Paksaan, Jus Cogens) B. Pengakhiran C. Penundaan D. Pengawasan Ketidakmungkinan Pelaksanaan E. Clause Rebus Sic Stantibus F. Akibat­Akibat dari ketidaksahihan, pengakhiran, dan penundaan bekerjanya

perjanjian

Literatur: 1. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, Part V. 2. Undang­Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Bab VI. 3. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global, Edisi ke­2,Cetakan ke­1, PT. Alumni, Bandung, h.149­162. 4. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar

Maju, Bandung, 2005, h.393­487. 5. Malcolm N. Shaw, International Law, Fifth Edition, Cambridge University

Press, Cambridge, 2003, p. 845­858.

Page 21: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

X. PERTEMUAN KE­10 Tutorial ke­5: Eksistensi Perjanjian Internasional Akibat Pemutusan Hubungan

Diplomatik.

Kasus Imaginer: “Status Quo Sengketa Diplomatik RI­Australia”

Indonesia dan Australia berada dalam hubungan diplomatik yang kurang harmonis. Tindakan pemerintah Australia yang memberikan visa sementara bagi 5 orang WNI yang dianggap melakukan perbuatan makar terhadap negara Indonesia telah seolah menggores kembali luka lama permasalah diplomatik kedua negara. Sebagai reaksi, Pemerintah RI kemudian mem­persona non grata­kan atase pertahanan Kedubes Australia di Jakarta. Dua hari kemudian, tindakan Pemerintah RI ini dibalas serupa terhadap atase pertahanan Kedubes RI di Canberra. Tanpa berselang lama, Presiden RI kemudian mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Australia. Lebih jauh, Presiden juga menyatakan secara unilateral bahwa segala perjanjian bilateral antara RI dan Australia dinyatakan berakhir. Memperjelas pernyataan Presiden, juru bicara Presiden menyatakan bahwa pemerintah RI tidak mengakui lagi seluruh hak dan kewajban yang ditimbulkan dari perjanjian bilateral antara RI dan Australia. Menteri luar Negeri RI secara teknis kemudian memulangkan Duta Besar RI Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Australia di Canberra beserta seluruh jajaran pejabat diplomatik.

Tiga hari setelah pengumuman tersebut, terjadi kerusuhan massal di beberapa kota di Indonesia. Massa menghancurkan bank serta perusahaan­perusahaan yang dianggap terkait dengan Australia. Pemerintah Australia dalam situasi dilematis. Di satu sisi, dengan pertimbangan prinsip resiprositas dalam hubungan diplomatik mereka hendak memulangkan kembali seluruh jajaran staf diplomatiknya di Jakarta. Namun di sisi lain, mereka memiliki tanggung jawab untuk melindungi kepentingan nasionalnya di Indonesia. Perdana Menteri Australia kemudian menyampaikan beberapa hal penting: pertama, menyerukan travel warning kepada seluruh warga negara Australia ke Indonesia; kedua, meminta pemerintah Indonesia untuk menjamin perlindungan terhadap kepentingan Australia di Indonesia; ketiga, menghormati tindakan unilateral pemerintah Indonesia untuk melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Australia berdasarkan atas penghormatan atas Hak Legasi Aktif Indonesia. Sebagai reaksi, Pemerintah Australia akan melakukan hal yang sama, namun akan dilakukan secara bertahap guna melaksanakan fungsi perlindungan kepentingan Australia di Indonesia hingga situasi keamanan di Indonesia lebih kondusif; keempat, menolak dengan tegas pernyataan unilateral Pemerintah RI terhadap pengakhiran segala perjanjian bilateral antara RI dan Australia dinyatakan dan pernyataan Indonesia yang tidak mengakui lagi seluruh hak dan kewajban yang ditimbulkan dari perjanjian­ perjanjian bilateral tersebut.

Pemerintah RI ternyata tidak terlalu menanggapi pernyataan Pemerintah Australia. Seusai rapat kabinet terbatas, Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa sikap

Page 22: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

pemerintah RI masih akan tetap sebagaimana pernyataan Presiden sebelumnya, sampai Pemerintah Australia memulangkan 5 orang WNI tersebut untuk dapat dikenakan proses hukum di Indonesia. Tidak hanya pihak eksekutif, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI juga menyatakan bahwa berdasarkan hasil rapat antara pimpinan DPR RI beserta seluruh anggota Komisi I DPR RI telah diputuskan adanya peninjauan ulang terhadap seluruh Perjanjian Bilateral RI yang disahkan melalui undang­undang dalam waktu dekat.

Problem Task: 1. Apakah tindakan pemerintah RI yang mengakhiri secara sepihak seluruh

perjanjian bilateral antara RI dan Australia sesuai dengan kaidah Hukum Perjanjian Internasional?

2. Upaya (diplomasi dan hukum) apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Australia dalam kasus ini?

Literatur:

1. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969, Part V and Part VI 2. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar

Maju, Bandung, 2005, h. 473­478.

Page 23: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

XI.PERTEMUAN KE­11 Perkuliahan ke­6:

Perjanjian Internasional Dalam Perspektif Hukum Nasional Dan Hukum Regional

Pokok Bahasan A. Pemahaman terhadap aliran Dualisme dan Monisme (Primat HI dan Primat HN) B. Makna Art 27 of the Vienna Convention 1969 C. Pengujian Hukum Nasional terhadap Eksistensi Perjanjian Internasional D. Pengujian Hukum Regional terhadap Eksistensi Perjanjian Internasional

Literatur: 1. Charter of the United Nations 2. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969 Part III. 3. ILC Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Act 2001,

Part Two. 4. Decision of the European Court of Justice (ECJ) in Kadi/Yusuf Case. 5. Supreme Court of the United States, Case No. 06–984, Jose Ernesto Medellin,

Petitioner V. Texas, 2008. 2. Eileen Denza, The Relationship between International and National Law dalam

Malcolm D. Evans, International Law, Second Edition, Oxford University Press, 2006, h. 423­448.

3. Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Clarendon Press, Oxford, 1998, p. 31­56.

4. I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2005, h.275­276.

5. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan ke­1, 2003, h. 55­94.

Page 24: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

XII. PERTEMUAN KE­12 Tutorial ke­6:

Mahkamah Agung Afghanistan Uji UN Charter

Kasus Imaginer

Afghanistan merupakan negara yang menjadi home base gerakan terorisme. Gerakan ini dituduh melancarkan aksi tidak hanya di internal Afghanistan, namun juga di Pakistan, India, dan bahkan Amerika Serikat. Pihak kepolisian dan militer Afghanistan telah kewalahan untuk mngatasi aksi mereka. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah pengikut gerakan ini mereka semakin meningkat. Melalui rapat kabinet terbatas, Pemerintah Afghanistan, yang dipimpin oleh penguasa sipil demokratik, memutuskan untuk mengundang keterlibatan masyarakat internasional untuk mengatasi kasus ini. Presiden Afghanistan kemudian bersurat kepada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa­Bangsa (Sekjen PBB) untuk memohon bantuan PBB terlibat aktif di Afghanistan.

Sekjen PBB kemudian meneruskan surat tersebut ke Sidang Umum (SU) PBB untuk dibahas oleh semua negara anggota PBB. Hasilnya, SU PBB memberikan otoritas kepada Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mengambil langkah­langkah yang diperlukan seseuai dengan Chapter VII of the UN Charter. Dalam perdebatan yang sangat alot, DK PBB kemudian mengeluarkan sebuah resolusi pengiriman pasukan keamanan multinasional ke Afghanistan.

Langkah DK PBB ini pada awalnya disambut dengan baik. Pengiriman pasukan kemananan sejumlah 50.000 personil di tahun pertama dapat mendukung efektivitas pergerakan aparat kepolisian dan militer Afghanistas untuk menggempur sarang­sarang teroris hingga ke pelosok­pelosok wilayah Afganistan. Namun ketika jumlah pasukan keamanan ini ditingkatkan hingga dua kali lipat pada tahun berikutnya, muncul permasalahan karena jumlah ini lebih besar daripada jumlah keseluruhan personil kepolisian dan militer Afghanistan. Pihak kepolisian dan militer kemudian menyampaikan keberatannya kepada pihak pemerintah (eksekutif) Afghanistan dengan berargumen bahwa PBB sebaiknya memperkuat personil kepolisian dan militer Afghanistan dengan memberikan pelatihan­pelatihan dan pendampingan daripada penambahan jumlah pasukan keamanan yang berpotensi untuk terjadinya intervensi terhadap kedaulatan teritorial Afghanistan. Namun pemerintah Afghanistan tetap bersikukuh dengan keputusannya untuk melanjutkan keterlibatan PBB dengan pertimbangan gerakan terorisme masih belum dapat dituntaskan. Ketika isu kudeta mulai terdengar, pihak kepolisian dan militer Afghanistan mengajukan permohonan pendapat hukum Mahkamah Agung (MA) Afghanistan tentang permasalahan ini.

Page 25: BB Hukum Perjanjian Internasional FH UNUD

Secara mengejutkan MA afghanistan memberikan pendapat hukum sebagai berikut:

1. Keputusan pemerintah untuk mengundang keterlibatan masyarakat internasional untuk mengatasi kasus ini dapat dibenarkan berdasarkan hukum nasional Afghanistan sepanjang masih sesuai dengan kepentingan nasional terutama di bidang keamanan dan pertahanan.

2. Pengiriman pasukan keamanan PBB dalam jumlah yang lebih besar daripada jumlah total personil kepolisian dan militer Afghanistan dapat dipandang sebagai upaya yang tidak menghormati kedaulatan teritorial Afghanistan. Dalam hal ini, PBB tidak konsisten menerapkan UN Charter. Di satu sisi, misi ini didasarkan pada Chapter VII UN Charter, sementara di sisi lain, pelaksanaan misi ini bertentangan dengan Art 1 (1) dan Art 2 (4) UN Charter serta bertentangan dengan prinsip non­ intervention sebgaimana tertuang dalam Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co­operation among States in Accordance with the Charter of the United Nations (1970).

Problem Task 1. Apakah Mahkamah Agung Afghanistan memiliki kompetensi untuk menguji UN

Charter dan Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co­operation among States in Accordance with the Charter of the United Nations (1970)?

2. Apakah Pendapat Hukum Mahkamah Agung Afghanistan tersebut mengikat bagi pemerintah Afganistan dan sekaligus mengikat bagi PBB?

3. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Afghanistan?

Literatur:

1. The Charter of the United Nations 2. The Declaration on Principles of International Law concerning Friendly

Relations and Co­operation among States in Accordance with the Charter of the United Nations (1970).