ushul fiqih dilalah

20
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini hukum Islam sedang menghadapi tantangn yang amat serius seiring dengan banyaknya hal baru yang muncul dan berubah dalam setiap aspek kehidupan umat. Dengan keterbatasan bidang bahasan dan perbedaan latar belakang budaya, produk fiqh klasik menjadi terasa kurang memadai untuk menjawab berbagai masalah kontemporer, khususnya dalam konteks ke- Indonesiaan, yang semakin kompleks. Tuntutan penyegaran produk klasik atau pembuatan produk hukum baru pun menjadi tak terelakkan. Dari perspektif ini, pemahaman dan penguasaan terhadap ushul fiqh menjadi suatu keharusan bagi mereka yang ingin memahami hukum Islam untuk dapat mensintesa dalil-dalil hukum dari berbagai sumber utama hukum Islam, menjadi sebuah hukum aktif, aplikatif, dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah serta umat. Dari sini, pemakalah mencoba memaparkan sebagian kecil aspek dari ushul fiqh guna menambah pemahaman pembaca mengenai ushul fiqh. Sebagian aspek tersebut yaitu mengenai mantuq dan mafhum, meliputi pengertian serta pembagian-pembagiannya. B. Rumusan Masalah 1

Upload: salman-al-farisi

Post on 26-Oct-2015

64 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

maklah kuliah

TRANSCRIPT

Page 1: USHUL FIQIH DILALAH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada saat ini hukum Islam sedang menghadapi tantangn yang amat serius

seiring dengan banyaknya hal baru yang muncul dan berubah dalam setiap aspek

kehidupan umat. Dengan keterbatasan bidang bahasan dan perbedaan latar

belakang budaya, produk fiqh klasik menjadi terasa kurang memadai untuk

menjawab berbagai masalah kontemporer, khususnya dalam konteks ke-

Indonesiaan, yang semakin kompleks. Tuntutan penyegaran produk klasik atau

pembuatan produk hukum baru pun menjadi tak terelakkan. Dari perspektif ini,

pemahaman dan penguasaan terhadap ushul fiqh menjadi suatu keharusan bagi

mereka yang ingin memahami hukum Islam untuk dapat mensintesa dalil-dalil

hukum dari berbagai sumber utama hukum Islam, menjadi sebuah hukum aktif,

aplikatif, dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah serta umat.

Dari sini, pemakalah mencoba memaparkan sebagian kecil aspek dari

ushul fiqh guna menambah pemahaman pembaca mengenai ushul fiqh. Sebagian

aspek tersebut yaitu mengenai mantuq dan mafhum, meliputi pengertian serta

pembagian-pembagiannya.

B. Rumusan Masalah

Dari pendahuluan di atas, kami akan mempersempit hal-hal yang akan

kami bahas dalam rumusan masalah sebagai berikut.

1. Apa yang dimaksud dengan mantuq?

2. Mantuq dibagi menjadi berapa macam?

3. Apa yang dimaksud dengan mafhum?

4. Mafhum dibagi menjadi berapa macam?

1

Page 2: USHUL FIQIH DILALAH

BAB II

PEMBAHASAN

A. DILALAH MANTUQ

1. Pengertian Mantuq

Mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan. Sedangkan

menurut istilah ushul fiqh, mantuq berarti pengertian harfiah dari suatu

lafal yang diucapkan.1 Dengan kata lain, mantuq adalah lafal yang

hukumnya memuat apa yang diucapkan (tersurat) 2

2. Pembagian Mantuq

Mantuq terbagi menjadi dua:

a. Mantuq Shorih

Mantuq Shorih adalah makna eksplisit atau sesuatu yang

diucapkan secara tegas, di mana pengambilan makna nashnya langsung

dari kata-kata dan ungkapannya yang jelas dan tidak mungkin di-ta’wil

lagi. Sebagaimana dikemukakan oleh Musthafa Sa’id al-Khin sebagai

berikut.

بالتضمين أو بالمطابقة له فيدل له، اللفظ وضع ما

Artinya: “makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafal,

sesuai dengan penciptaannya baik secara penuh atau berupa

bagiannya.”3

Misalnya:

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),

Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga

1 Satria Efendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 2102 Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: Rajawali Press) hlm. 66 3 Ibid.

2

Page 3: USHUL FIQIH DILALAH

atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,

maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.

yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

(Q.S. an-Nisaa’:3)

Dalam firman di atas dicantumkan boleh menikah lebih dari

satu orang dengan syarat adil. Jika tidak, wajib membatasi seorang

saja.

Di kalangan Hanafiyah, mantuq shorih dikenal dengan nama

ibaratun nash. Ciri-ciri mantuq shorih adalah bahwa nash tersebut

membawa ketentuan definitive (hukum qath’i) dan tidak memerlukan

dalil pendukung. Tetapi jika nash itu dikemukakan dengan terma-terma

umum, maka nash tersebut tidak menjadi dalil qath’i, melainkan hanya

menjadi dalil dzanni saja.4

b. Mantuq Ghoiru Shorih

Mantuq ghoiru shorih yaitu pengertian yang ditarik bukan dari

makna asli dari suatu lafal, tetapi sebagai konsekuensi dari suatu

ucapan. Mantuq ghoiru shorih terbagi menjadi tiga bagian,5 yaitu:

1) Dalalat al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan

langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena

menyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat

atau suatu peristiwa. Misalnya, Hadits riwayat Ahmad dan Tirmizi

dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah bersabda:

�ه� �ي ع�ل الله ص�لى� �ي" �ب الن ع�ن الله� �د� ع�ب �ن� ب �ر� اب �ج ع�ن�

) رواه �ه* ل �ف�ه�ي �ة, "ت م�ي ض,ا أر� �ى أح�ي م�ن� �ق�ال ��م ل � و�س

الترمذي)

Artinya: “dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi SAW. Bersabda:

Barangsiapa yang menghidupkan (mulai mengolah) tanah yang

sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.”(H.R. at-Tirmidzi)

4 M. Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 1615 Satria Efendi dan M. Zein, op.cit., hlm. 211-214

3

Page 4: USHUL FIQIH DILALAH

Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuq-

nya seperti yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’-nya,

yaitu bahwa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang

menjadi ‘illat bagi pemilikan tanah.

2) Dalalat al-Isyarat, yaitu suatu pengertian yang ditujukan oleh

suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan

suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan

oleh redaksi itu. Misalnya, ayat 15 surat al-Ahqaaf menjelaskan:

Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik

kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan

susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).

Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan…”

Dan dalam ayat 14 surat Luqman dijelaskan pula:

Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)

kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya

dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya

dalam dua tahun …”

Mantuq pada ayat pertama tadi menjelaskan jumlah masa

kandungan dan masa mnyusukan selama 30 bulan, dan pada ayat

kedua dijelaskan masa menyusu selama 24 bulan. Hal ini

menunjukkan (dalalat isyarat) bahwa sisanya, yaitu 6 bulan adalah

masa minimal dalam kandungan. Kesimpulan bahwa masa minimal

kandungan adalah 6 bulan bukanlah maksud turunnya ayat-ayat

4

Page 5: USHUL FIQIH DILALAH

tersebut, melainkan merupakan suatu kemestian dari ketegasan dari

dua ayat tersebut.

3) Dalalat al-Iqtida’, yaitu pengertian kata yang disisipkan secara

tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa

dipahami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.

Misalnya sabda Rasulullah saw.

�او�ز ��ج ت �الله إن� وسلم عليه الله صلى الله رسول قال

�ه� �ي ع�ل �ر�ه*وا *ك �ست ا و�م�ا ��ان ي "س� و�الن ��خ�ط�اء ال �ي� *م�ت ا ع�ن�

( ماجه( ابن رواه

Artinya: “Rasulullah bersabda:Sesungguhnya Allah mengangkat

dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (H.R. Ibnu Majah)

Hadits di atas jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa, dan

keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad. Pengertian

tersebut tidak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk

meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism

(dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga dengan demikian arti hadits

menjadi: “…. Mengangkat dari umatku (dosa atau hukum)

perbuatan tersalah, lupa, atau terpaksa. Di kalangan Hanafiyah,

dalalat al-iqtida’ dikenal dengan sebutan iqtida’ al-nash.

B. DILALAH MAFHUM

1. Pengertian Mafhum

Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu

teks. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, mafhum berarti pengertian

tersirat dari suatu lafal atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang

diucapkan6. Dengan kata lain, mafhum adalah makna yang diperoleh dari

pemahaman susunan lafadznya.

2. Pembagian Mafhum

Mafhum terbagi menjadi dua:

6 Satria Efendi dan M. Zein, op.cit., hlm. 214

5

Page 6: USHUL FIQIH DILALAH

a. Mafhum Muwafaqoh

Mafhum Muwafaqoh adalah hukum yang dipaham (mafhum-

nya) sama dengan mantuq-nya7, yakni: penunjukan hukum melalui

motivasi tersirat atau alasan logis di mana rumusan hukum dalam

mantuq dilandaskan. Misalnya, memukul adalah menyakitkan

ibu/bapak, ucapan juga ا�ف� menyakitkan ibu/bapak. Jadi, memukul

hukumnya sama dengan ucapan.

Mafhum muwafaqoh terbagi lagi menjadi dua, yaitu:

1) ط�اب� ال�خ و� ه� ,ف� adalah mafhum-nya lebih utama dari pada

mantuqnya. Misalnya, memukul ibu/bapak lebih tidak boleh

hukumnya dari pada hanya berkata ا�ف�, berdasarkan ayat:

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu

jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik

pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di

antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam

pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan

kepada keduanya Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak

mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang

mulia.”(Q.S. al-Isra’:23)

2) ط�اب� ال�ح ن� adalah ,ل�ح� mantuq sama hukumnya dengan mafhum-

nya. Misalnya membakar harta benda anak yatim sama hukumnya

dengan memakan harta bendanya, berdasarkan ayat:

7 Saiful Hadi, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam secara Komprehensif, (Yogyakarta: Sabda Media, 2009), hlm. 121

6

Page 7: USHUL FIQIH DILALAH

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak

yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh

perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-

nyala (neraka).”(Q.S. an-Nisaa’: 10)

Mafhum muwafaqoh dapat dijadikan hujjah. Sebagaimana

kaidah yang berbunyi, حج�ة الموافق�ة Validitas mengenai 8.مفه�وم

bentuk mafhum muwafaqoh ini diterima oleh ulama-ulama dari semua

madzhab kecuali Zahiri, Ibn Hazm dan Ibn Taimiyah.

b. Mafhum Mukholafah

Mafhum Mukholafah adalah pengertian lafal kepada berlakunya

arti (hukum) kepada sebaliknya (yang berlawanan) dari arti (hukum)

yang disebutkan dalam nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan

hukumnya dalam suatu lafal. Mafhum mukholafah disebut juga dalilul

khitab.9

Kalangan hanafiyah menolak mafhum mukholafah sebagai

landasan pembentukan hukum. Alasan mereka antara lain, bahwa

dapat dibuktikan dalam Alquran di mana apabila mafhum mukholafah

difungsikan, maka akan merusak pemahaman ayat hukum. Misalnya

ayat 130 Surat Ali Imran:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan

Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah

supaya kamu mendapat keberuntungan.”

8 Muchlis Usman, op.cit.9 Departemen Agama, Ushul – Fiqh II, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), hlm. 94

7

Page 8: USHUL FIQIH DILALAH

Mafhum mukholafah dari ayat di atas berarti halalnya riba yang

tidak berlipat ganda, namun pemahaman seperti ini adalah keliru,

karena riba yang tidak berlipat ganda pun haram hukumnya. Hal itu

menunjukkan bahwa mafhum mukholafah tidak dapat difungsikan

dalam Alquran.10

Mafhum mukholafah dapat dibedakan menjadi 6 macam11,

yaitu:

1) Mafhum laqab, adalah menetapkan hukum sebaliknya dari hukum

yang ditetapkan pada isim ‘alam atau isim jenis dalam suatu nash.

Misalnya sabna Rasulullah saw. :

ص�د�ق�ة< *ر" �لب ا فى�

Artinya: “pada gandum dikenakan zakat.”

Dengan mafhum laqab, maka ditetapkan hukum zakat tidak

dikenakan pada selain gandum.

2) Mafhum hasr, adalah menetapkan hukum sebaliknya dari hukum

yang dibatasi dengan yang disebutkan oleh lafal dalam suatu nash.

Misalnya sabda Rasulullah SAW.

م� �*ق�س ي �م� ل �م�ا ف�ي ف�ع�ة* الش* �م�ا إن

Artinya: “hanya saja syuf’ah itu terdapat pada sesuatu (benda

tetap) yang belum dibagi.”

Lafal hadits di atas menyebutkan bahwa hukum syuf’ah terbatas

pada benda tetap yang belum dibagi. Oleh karena itu, mafhum

hasr-nya yaitu bahwa selain pada benda tetap yang belum dibagi

tidak berlaku hukum syuf’ah.

3) Mafhum shifat, adalah petunjuk lafal yang diberi sifat tertentu

kepada berlakunya huk um sebaliknya (yang berlawanan) dari

hukum yang disebutkan oleh lafal itu, pada sesuatu yang tidak

didapati sifat yang disebutkan oleh lafal tersebut. Misalnya Firman

Allah:

10 Satria Efendi dan M. Zein, op.cit., hlm. 215-21611 Departemen Agama, op.cit., hlm. 94-99

8

Page 9: USHUL FIQIH DILALAH

Artinya: “Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang

tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka

lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari

budak-budak yang kamu miliki …” (Q.S.an-Nisaa’ :25)

Kebolehan mengawini budak yang disebutkan oleh lafal di atas

adalah mengawini budak yang beriman. Beriman adalah sifat yang

diberikan kepada budak yang boleh dikawini. Jadi, mafhum shifat-

nya ialah, haram mengawini budak yang tidak beriman.

4) Mafhum syarat, adalah petunjuk lafal yang memfaedahkan adanya

hukum yang dihubungkan dengan atau syarat supaya dapat

berlakunya hukum yang sebaliknya (yang berlawanan) pada

sesuatu yang tidak memnuhi syarat yang disebutkan oleh lafal itu.

Misalnya, dari Firman Allah:

Artinya: “… dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu

sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga

mereka bersalin, …” (Q.S.at-Thalaaq:6)

Hukum yang disebutkan pada lafal di atas yaitu wajib memberi

nafkah kepada istri yang ditalak dalam keadaan hamil sampai ia

melahirkan. Kehamilan seorang istri yang ditalak menjadi syarat

bagi bekas suami untuk memberi nafkah kepadanya. Oleh karena

itu, mafhum syarat-nya ialah tidak wajib bagi bekas suami

memberi nafkah kepada istri yang ditalak ketika ia tidak dalam

keadaan hamil.

5) Mafhum ghayah, adalah petunjuk lafal yang memfaedahkan

sesuatu hukum sampai dengan batas yang telah ditentukan, apabila

9

Page 10: USHUL FIQIH DILALAH

telah melewati batas yang ditentukan itu, maka berlaku hukum

sebaliknya. Seperti firman Allah:

Artinya: “… dan makan dan minumlah hingga terang bagimu

benang putih dari benang hitam, yaitu fajar …” (Q.S.al-

Baqarah:187)

Hukum yang disebutkan oleh lafal pada ayat di atas adalah bahwa

kebolehan makan dan minum diwaktu malam bulan Ramadhan

dibatasi dampai dengan datangnya waktu fajar. Oleh karena itu,

mafhum ghayah-nya yaitu haram (tidak boleh) makan dan minum

setelah melampaui waktu malam yaitu di kala telah datang waktu

fajar.

6) Mafhum ‘adad, adalah petunjuk lafal yang memfaedahkan suatu

pengertian yang dinyatakan oleh hukum yang dengan bilangan

tertentu akan berlaku hukum sebaliknya (yang berlawanan) pada

bilangan lain tertentu yang berbeda dengan bilangan yang

disebutkan oleh lafal itu. Misalnya firman Allah:

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,

Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali

dera…” (Q.S.an-Nuur:2)

Hukuman dera yang dikenakan kepada orang yang berbuat zina

(ghairu muhsan) baik laki-laki maupun perempuan yang

disebutkan oleh lafal pada ayat di atas yaitu seratus kali. Dengan

demikian, mafhum ‘adad-nya ialah tidak sesuai mendera orang

yang berbuat zina (ghairu muhsan) selain seratus kali, yakni kurang

dari seratus kali, dan juga tidak boleh lebih dari seratus kali.

10

Page 11: USHUL FIQIH DILALAH

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah disampaikan di atas, terdapat

beberapa kesimpulan yang dapat diambil, di antaranya yaitu:

1. Mantuq berarti pengertian harfiah dari suatu lafal yang diucapkan. Dengan

kata lain, mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang diucapkan

atau tersurat.

2. Mantuq terbagi menjadi dua, yaitu mantuq shorih dan mantuq ghoiru shorih.

3. Mafhum berarti pengertian tersirat dari suatu lafal atau pengertian kebalikan

dari pengertian lafal yang diucapkan. Dengan kata lain, mafhum adalah makna

yang diperoleh dari pemahaman susunan lafadznya.

4. Mafhum dibagi menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqoh dan mafhum

mukholafah.

11

Page 12: USHUL FIQIH DILALAH

B. Saran

Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kritik dan saran yang

membangun sangat kami harapkan, jika terdapat kesalahan mohon di ingatkan dan

dibenarkan, sebagai perbaikan kami ke depan. Semoga apa yang tertera dalam

makalah ini dapat membawa manfaat untuk kita semua dan bisa menambah

wawasan kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama. 1986. Ushul – Fiqh II. Jakarta: Departemen Agama

Efendi, Satria dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media

Hadi, Saiful. 2009. Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam

secara Komprehensif. Yogyakarta: Sabda Media

Kamali, M. Hashim. 1996. Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Rajawali Press

12

Page 13: USHUL FIQIH DILALAH

13