usahakonservasi

11
USAHA KONSERVASI TANAH DAN AIR SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DI LAHAN KERING (Kasus Konservasi Tanah dan Air di Desa Rejosari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi DIY) Yovita Anggita Dewi dan Rachmat Hendayana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Jl Tentara Pelajar No 10 Bogor ABSTRAK Konservasi tanah dan air merupakan upaya meningkatkan fungsi lahan untuk berproduksi secara lestari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui usaha konservasi tanah dan air sebagai alternatif upaya peningkatan pendapatan petani di agroekosistem lahan kering. Penelitian telah dilakukan di Desa Rejosari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, DIY tahun 2002. Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan pemahaman pedesaan secara partisipatif (Participatory Rural Appraisal-PRA) melibatkan beberapa tokoh masyarakat antara lain kepala desa dan perangkatnya, penyuluh pertanian serta kelompok tani dan 15 orang anggota masyarakat lainnya. Melalui analisis data deskriptif kualitatif dan kuantitatif diperoleh gambaran sebagai berikut: (a) usaha konservasi tanah dan air di lahan kering dapat menurunkan besarnya erosi, merehabilitasi dan meningkatkan fungsi lahan sehingga mampu berproduksi secara lestari. Oleh karena itu dapat dijadikan media untuk meningkatkan pendapatan petani, (b) metode konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara vegetatif dan mekanis melalui pembuatan hutan rakyat, kebun bibit desa, Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam (UP UPSA), pembuatan teras, saluran pembuangan air (SPA), dan gully plug (pengendali jurang), (c) untuk keberlanjutan pelaksanaan dan keberhasilan konservasi perlu adanya peningkatan partisipasi masyarakat melalui penyuluhan yang lebih intensif. Kata kunci : Tanah, air, konservasi, pendapatan, lahan kering, Gunungkidul PENDAHULUAN Kegiatan konservasi di lahan kering merupakan langkah konstruktif, dapat meningkatkan fungsi lahan untuk berproduksi secara lestari, sehingga potensinya dapat dioptimalkan sebagai sumber pendapatan keluarga tani di pedesaan. Menurut Notohadiprawiro (1988), lahan kering marginal yang berstatus kritis dicirikan oleh solum tanah yang dangkal, kemiringan lereng curam, tingkat erosi telah lanjut, kandungan bahan organik sangat rendah, serta banyak singkapan batuan di permukaan. Kondisi demikian umumnya terdapat di wilayah desa tertinggal dan sebagian besar dikelola oleh petani miskin yang tidak mampu melaksanakan upaya-upaya konservasi, sehingga kondisinya makin lama makin memburuk (Karama dan Abdurrachman, 1995). Kondisi tersebut lebih diperparah lagi oleh pola usahatani yang orientasinya subsisten, sehingga mempercepat terbentuknya lahan kritis (Suyana, 2005).

Upload: diamond101190

Post on 03-Jul-2015

53 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: usahakonservasi

USAHA KONSERVASI TANAH DAN AIR SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DI LAHAN KERING

(Kasus Konservasi Tanah dan Air di Desa Rejosari, Kecamatan Semin,Kabupaten Gunungkidul, Propinsi DIY)

Yovita Anggita Dewi dan Rachmat HendayanaBalai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Jl Tentara Pelajar No 10 Bogor

ABSTRAK

Konservasi tanah dan air merupakan upaya meningkatkan fungsi lahan untuk berproduksi secara lestari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui usaha konservasi tanah dan air sebagai alternatif upaya peningkatan pendapatan petani di agroekosistem lahan kering. Penelitian telah dilakukan di Desa Rejosari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, DIY tahun 2002. Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan pemahaman pedesaan secara partisipatif (Participatory Rural Appraisal-PRA) melibatkan beberapa tokoh masyarakat antara lain kepala desa dan perangkatnya, penyuluh pertanian serta kelompok tani dan 15 orang anggota masyarakat lainnya. Melalui analisis data deskriptif kualitatif dan kuantitatif diperoleh gambaran sebagai berikut: (a) usaha konservasi tanah dan air di lahan kering dapat menurunkan besarnya erosi, merehabilitasi dan meningkatkan fungsi lahan sehingga mampu berproduksi secara lestari. Oleh karena itu dapat dijadikan media untuk meningkatkan pendapatan petani, (b) metode konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara vegetatif dan mekanis melalui pembuatan hutan rakyat, kebun bibit desa, Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam (UP UPSA), pembuatan teras, saluran pembuangan air (SPA), dan gully plug (pengendali jurang), (c) untuk keberlanjutan pelaksanaan dan keberhasilan konservasi perlu adanya peningkatan partisipasi masyarakat melalui penyuluhan yang lebih intensif.

Kata kunci : Tanah, air, konservasi, pendapatan, lahan kering, Gunungkidul

PENDAHULUAN

Kegiatan konservasi di lahan kering merupakan langkah konstruktif, dapat meningkatkan fungsi lahan untuk berproduksi secara lestari, sehingga potensinya dapat dioptimalkan sebagai sumber pendapatan keluarga tani di pedesaan. Menurut Notohadiprawiro (1988), lahan kering marginal yang berstatus kritis dicirikan oleh solum tanah yang dangkal, kemiringan lereng curam, tingkat erosi telah lanjut, kandungan bahan organik sangat rendah, serta banyak singkapan batuan di permukaan.

Kondisi demikian umumnya terdapat di wilayah desa tertinggal dan sebagian besar dikelola oleh petani miskin yang tidak mampu melaksanakan upaya-upaya konservasi, sehingga kondisinya makin lama makin memburuk (Karama dan Abdurrachman, 1995). Kondisi tersebut lebih diperparah lagi oleh pola usahatani yang orientasinya subsisten, sehingga mempercepat terbentuknya lahan kritis (Suyana, 2005).

Dalam hubungannya dengan erosi yang menyebabkan degradasi lahan serta langkah-langkah penanganannya di lahan marginal telah banyak dibahas pakar antara lain Scwab et.al (1981), Arsyad (1989), Agus dan Widianto (2004). Pada prinsipnya, kejadian erosi erat kaitannya dengan erosivitas hujan, erodibilitas tanah serta panjang dan kemiringan lereng. Sementara itu pendekatan yang ditempuh untuk pengendalian erosi dilakukan melalui beragam cara.

Scwab et.al (1981) menekankan pendekatan dari segi rekayasa (engineering), sementara itu Arsyad (1989) melakukannya melalui pendekatan vegetatif, mekanik dan kimia sedangkan Agus dan Widianto (2004) dengan pendekatan teknis dan vegetatif. Tulisan ini tidak bermaksud membahas satu persatu pendekatan pengendalian erosi dalam rangka konservasi tanah dan air, akan tetapi lebih difokuskan pada beberapa pertanyaan berikut. (a) metode konservasi apa yang sesuai dengan agroekosistem lahan kering? dan (b) sejauhmana petani memahami kegiatan konservasi tanah dan air ini hubungannya dengan peningkatan pendapatan petani?.

Sehubungan dengan permasalahan itu, makalah bertujuan (a) membahas pendekatan metode konservasi tanah dan air yang dilakukan petani di lahan kering, dan (b) mengungkap

Page 2: usahakonservasi

dampak potensial kegiatan konservasi tanah dan air terhadap peningkatan pendapatan petani di lahan kering. Hasil bahasan akan bermanfaat sebagai masukan bagi pejabat Pemda setempat dan aparat terkait dengan kebijakan konservasi untuk mendorong terciptanya peningkatan optimalisasi lahan kering yang akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

METODE PENELITIAN

Data dan Sumber Data

Pengkajian dikembangkan dari hasil penelitian di Desa Rejosari Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul Propinsi DIY Tahun 2002. Penentuan lokasi didasarkan pada pertimbangan praktek-praktek usaha konservasi tanah dan air serta merupakan areal percontohan usaha konservasi oleh Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah/Balai RLKT Das Opak Oya ).

Sumber bahasan utama didasarkan atas data primer yang dilengkapi data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui pendekatan pemahaman pedesaan secara partisipatif (Participatory Rural Appraisal-PRA) melibatkan beberapa tokoh masyarakat antara lain kepala desa dan perangkatnya, penyuluh pertanian serta kelompok tani dan 15 orang anggota masyarakat lainnya. Selain itu melalui observasi langsung di lapangan untuk melihat usaha-usaha konservasi yang telah dilakukan. Data yang dikumpulkan antara lain monograf desa, peta penggunaan lahan, data curah hujan, data kelerengan. Data sekunder dikumpulkan dari dinas/instansi terkait melalui penelusuran dokumen laporan, studi pustaka dan desk work.

Analisis Data

Data kualitatif dan kuantitatif yang terkumpul dianalisis secara deskriptif, menggunakan parameter statistik sederhana. Khusus untuk menghitung besarnya erosi sebagai salah satu dasar menentukan usaha konservasi dilakukan dengan pendekatan Universal Soil Loss Equation (USLE) dengan formulasi sebagai berikut.

A = R x LS x K x C x P

A adalah besarnya erosi yang terjadi (ton/ha/thn), R adalah erosivitas curah hujan, LS adalah indeks panjang lereng, K sama dengan erodibilitas tanah, C adalah faktor pengelolaan tanaman, dan P yaitu faktor konservasi tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan Konservasi Tanah dan Air

Desa Rejosari yang menjadi lokasi penelitian ini terletak di Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah ini tercakup dalam daerah sub DAS Oya. Wilayahnya tercatat seluas 951,52 Ha yang secara administratif terbagi dalam 15 dusun. Letak desa ini disebelah Utara dan Selatan berbatasan dengan Desa Candirejo dan Karangsari sedangkan di sebelah Barat dan Timur berbatasan dengan Desa Bulurejo dan Mayaran Wonogiri (Anonim, 1999).

Desa ini berada di dataran rendah pada elevasi 240 mdpl dengan rerata suhu udara 22° – 33° C. Topografinya bergelombang dengan kisaran kemiringan antara 15% dan 25%. Dari segi curah hujan daerah ini tergolong kering (1950 mm/thn). Jenis tanahnya sebagian besar terdiri dari Litosol dan seluruhnya merupakan lahan kering. Kondisi tanah di wilayah ini sebagian besar digunakan sebagai hutan, diikuti ladang dan pekarangan serta sawah tadah hujan, dengan luas masing-masing 331,70 ha, 210,02 ha dan 205,75 ha serta 196,25 ha.

Kegiatan konservasi tanah dan air (KTA) di lokasi penelitian, dilakukan mengikuti alur seperti disajikan dalam Gambar 1.

Page 3: usahakonservasi

Gambar 1 : Alur Pemilihan Teknik Pengendalian Erosi.

Hasil prediksi besarnya erosi dengan menggunakan pendekatan USLE pada 14 unit pengambilan contoh (Land Unit) diperoleh gambaran bahwa tingkat erosi di wilayah ini berkisar antara 2,1 ton/ha/thn sampai 84,50 ton/ha/thn dengan rata-rata 26,27 ton/ha/thn/unit. Dengan variasi besar erosi tersebut klasifikasi tingkat bahaya erosi di wilayah ini tergolong dalam klasifikasi erosi sangat ringan (SR = < 5 ton/ha/thn), berat (B = 5-15 ton/ha/thn), dan sangat berat (SB = 40-105 ton/ha/thn). Menurut klasifikasi tingkat bahaya erosi masing-masing klasifikasi erosi tersebut digolongkan ke dalam erosi kelas II, kelas III, dan kelas IV. Secara terinci kondisi erosi di wilayah ini disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi Erosi Aktual dan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di Daerah Penelitian

No Land Unit (LU) EA-1 (ton/ha/thn) Klasifikasi TBE 1

A 65,30 IV-SBB 32,60 IV-SBC 29,80 IV-SBD 14,90 III-BE 3,60 II-SRG 84,50 IV-SBH 29,76 IV-SBI 14,90 III-BJ 14,30 IV-SBK 7,10 III-SBL 40,60 IV-SBM 20,30 IV-SBN 8,00 III-BO 2,10 II-SR

Rerata 26,27

Sumber : Hasil Analisis Data (2002)

Melihat besarnya erosi yang terjadi di wilayah itu, akan berpengaruh negatif terhadap produktivitas dan prduksi pertanian. Besarnya erosi berbanding terbalik dengan perolehan produksi. Semakin besar tingkat bahaya erosi, maka semakin rendah produksi pertanian yang diperoleh yang pada akhirnya berpengaruh negatif terhadap pendapatan petani.

Page 4: usahakonservasi

Ada 2 metode konservasi yang diterapkan di wilayah tersebut yaitu metode vegetatif dan metode mekanik. Metode vegetatif yang dilakukan meliputi pembuatan hutan rakyat, pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD), dan pembuatan Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam (UP-UPSA). Sementara itu dalam metode mekanik yang dilakukan adalah pembuatan teras bangku, pembuatan saluran pembuatan air (SPA), dan pembangunan pegendali jurang (gully-plug). Uraian berikut menyajikan secara ringkas implementasi dari setiap metode tersebut.

Pembuatan Hutan Rakyat

Hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat (bukan hutan alam) baik secara perorangan atau kelompok maupun suatu badan hukum dan berada di luar wilayah hutan negara serta terletak dalam satu kompleks atau lokasi (Duryat, 1979).

Melalui pembuatan hutan rakyat ini dimungkinkan untuk menerapkan diversifikasi pola penanaman dan cara pengolahannya, sehingga tidak bersifat kaku atau terbatas pada jenis tanaman dan pepohonan berkayu sebagaimana layaknya pembentukan tanaman hutan. Di hutan rakyat bisa dikembangkan pengaturan dan pemilihan jenis tanaman yang cocok untuk usaha konservasi, sehingga akan dapat mendorong peningkatan pendapatan dan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut. Bibit untuk pembuatan hutan rakyat tidak hanya berasal dari pemerintah namun juga melalui swadaya masyarakat. Jenis tanaman yang diusahakan terdiri dari sengon laut, jambu mete, sonokeling, dan akasia.

Pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD)

Kebun Bibit Desa (KBD) merupakan salah satu cara memperoleh bibit berkualitas sebagai upaya meningkatkan produktivitas dan sebagai salah satu cara penghijauan dan reboisasi. KBD pada dasarnya merupakan kebun pembibitan yang dikelola oleh kelompok tani dalam areal dampak unit percontohan pelestarian sumber daya alam.

KBD di Desa Rejosari dimulai sekitar 2000-an dengan luas areal 0,5 ha yang dikelola kelompok tani penghijauan Sido Mulyo Dusun Ngadipiro Kidul. Pada awal pembuatan KBD kegiatan dimulai dari persiapan (bulan Juni). Total biaya yang dikeluarkan adalah Rp 2.048.000,-.Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan, dengan pengadaan bibit pada bulan Agustus sampai September berupa bibit jati unggul (50 kg), jati lokal (120 kg), Akasia (1 kg), sengon laut (1 kg), petai (10.000 biji) dan nangka (5.000 biji). Bibit semuanya berasal dari Departemen Kehutanan Provinsi DIY. Kegiatan selanjutnya pengadaan alat-alat semuanya merupakan bantuan dari pemerintah. Pelaksanaan ini juga dibarengi kegiatan pengolahan tanah (bulan Agustus-September), pembuatan bedengan dan saluran (bulan Juli-Aguatus), pengisian polybag dan penaburan benih (bulan Agustus-September). Total biaya yang diperlukan adalah Rp 8.306.250,-.

Tahap yang paling penting dari KBD ini adalah pemeliharaan. Fase pemeliharaan untuk bibit yang berbeda akan berbeda pula. Sebagai contoh untuk sengon laut, akasia, pete dan nangka ditanam pada bulan Agustus dalam polybag kemudian disiram selama 3 bulan (Agustus-Oktober) kemudian didangir dan disulam, diikuti pemupukan dan pemberantasan hama dari Oktober-November. Sehingga untuk jangka waktu ± 4 bulan bibit-bibit ini sudah siap disalurkan dan ditanam. Sedangkan untuk bibit jati baik unggul maupun lokal sedikit berbeda. Bibit jati tidak ditanam dalam polybag, namun langsung ditabur dalam tanah, sebelumnya tanah dicangkul dan diratakan kemidian dibuat bedengan dengan ukuran lebar 1 m dan panjang bervariatif dengan jarak tanam 10 cm x 20 cm. Perlakuan sesudah ditanam sama seperti lainnya penyiraman, pendangiran, pemberantasan hama, serta penyulaman (± 4 bulan), dan sesudahnya siap disalurkan. Biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan Rp 900.000,-.

Pembuatan Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam (UP-UPSA)

Merupakan unit (petak percontohan) usahatani lahan kering dengan luas sekitar 10 ha di dalamnya dilaksanakan teknik-teknik rehabilitasi dan konservasi lahan dalam rangka pelestarian sumber daya alam, serta meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani. Tujuan pembuatan UP UPSA adalah:

Page 5: usahakonservasi

Merangsang masyarakat sekitar areal dan meingkatkan jumlah petani agar dapat mengusahakan tanah disertai usaha pengawetan serta intensifikasi pertanian yang memadai secara mandiri

Meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani

Mengurangi run-off dan erosi

Pada UP-UPSA terdapat praktek cara berusahatani dengan menerapkan usaha konservasi tanah dan air penanaman menurut kontur, pemilihan pola tanam yang tepat dan juga adanya intensifikasi pertanian berupa penggunaan varietas unggul yang spesifik lokalita. Output yang paling diharapkan dari kegiatan ini adalah adanya transfer teknologi dari lokasi percontohan ke areal dampak di sekitarnya. Transfer teknologi tersebut diharapkan berjalan dengan sendirinya sebagai akibat proses interaksi dan mobilisasi petani sendiri yang tentu sangat bergantung dari kesadaran dan kemampuan petani serta tingkat teknologi yang diteerapkan. Dalam pelaksanaannya, plot demonstrasi dengan pola tanam secara terpadu di lahan kering harus disesuaikan dengan kondisi lahan seperti topografi dan tebal solum tanah, misalnya lahan dengan kemiringan > 50% untuk vegetasi kayu-kayuan yang bernilai ekonomis tinggi dan “disenangi” petani seperti jambu mete, jati, sengon laut dan akasia. Kemiringan 30-50% untuk tanaman kayu-kayuan 80% sisanya 20% untuk tanaman pangan atau pembuatan teras.

Melihat agroekosistem desa Rejosari dengan tingkat kemiringan lereng antara 15%-40% dan tebal solum tanah < 30 cm, UP UPSA merupakan salah satu alternatif usaha konservasi yang mempunyai peluang cukup baik. Pada kenyataannya, peaksanaan UP UPSA di Desa Rejosari belum berjalan secara baik karena kendala dana, kurangnya sosialisasi manfaat UP UPSA, dan kurangnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.

Pembuatan Teras Bangku

Teras berfungsi mengurangi panjang lereng, mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta memungkinkan adanya penyerapan air oleh tanah yang lebih besar. Bentuk teras yang dibuat disesuaikan dengan kemiringan lahan, jenis tanah, vegetasi, kondisi penggunaan lahan. Dengan kemiringan lahan 15%-40% teras bangku merupakan jenis teras yang paling sesuai diterapkan. Teras bangku yang ada adalah jenis teras bangku datar, dengan tanaman penguat berupa ubi kayu, selain berfungsi sebagai tanaman penguat teras juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Teras bangku (Land Unit G) di desa Rejosari terbukti mampu mengurangi laju erosi dari sebelumnya sebesar 29,40 ton/ha/thn menjadi 7,90 ton/ha/thn (menurunkan faktor pengelolaan/CP dari 0,03 menjadi 0,008). Yang perlu diperhatikan dalam pembuatan teras bangku adalah, tersingkapnya tanah sehingga menjadi tidak subur, untuk itu perlu adanya perbaikan lahan misalnya dengan pemupukan atau penanaman tanaman penguat teras yang mampu menyediakan unsur hara tambahan seperti kacang-kacangan (leguminose) yang mampu menyumbangkan unsur N, kemudian rumput gamal (Gliricida), lamtoro dan turi, yang juga dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Pembuatan teras bangku juga memerlukan tenaga kerja dan biaya yang lebih mahal dibandingkan metode konservasi vegetatif, sehingga pembuatan teras juga harus memperhatikan kemampuan finansial dan ketersediaan masyarakat lokal. Selain itu teras perlu dilengkapi dengan bangunan pelengkap seperti saluran teras, bangunan terjun sehingga teras berfungsi maksimal dalam mengurangi laju aliran permukaan dan erosi akibat energi kinetik curah hujan.

Pembuatan Saluran Pembuangan Air (SPA)

SPA dibuat searah lereng berfungsi untuk mengalirkan air dari saluran pengelak atau dari saluran teras ke sungai atau ke tempat penampungan air lainnya. SPA yang baik sebaiknya diperkuat dengan rumput atau batu pada dasar saluran untuk mengurangi laju aliran air dan sedimentasi. SPA yang ada di Desa Rejosari sudah diperkuat dengan rumput meskipun pada beberapa teras belum dilengkapi SPA.

Bangunan Pengendali Jurang (Gully Plug)

Metode konservasi mekanis dengan gully plug bertujuan untuk mengurangi terjadinya erosi jurang akibat pengaruh kecuraman lereng dan kepekaan tanah. Gully plug sebaiknya

Page 6: usahakonservasi

dilengkapi bronjong atau bangunan beton untuk mengurangi jumlah erosi dan seimentasi yang terangkut oleh air. Gully plug di Desa Rejosari masih sangat sederhana, terbuat dari tanah dan belum dilengkapi dengan bronjong kawat atau bangunan beton hanya diperkuat dengan rumput.

Dampak Potensial Kegiatan Konservasi Terhadap Pendapatan Petani

Dari aspek teknis, konservasi yang dilakukan di daerah penelitian telah berhasil menurunkan kadar erosi dan tingkat bahaya erosi. Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir semua perlakuan erosi di 14 unit pengambilan contoh kecuali di 2 unit pengambilan contoh telah mampu menurunkan tingkat erosi antara 3,75% sampai 86,68% dengan rata-rata 75,20%.

Tabel 2. Kondisi Erosi dan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Setelah Penerapan Usaha Konservasi di Lokasi Penelitian

No Land Unit (LU)

Erosi sebelum konservasi

(ton/ha/thn)

Erosi setelah konservasi

(ton/ha/thn)Selisih Persentase (%)

A 65,30 8,70 56,6 86,68B 32,60 8,70 23,9 73,31C 29,80 7,90 21,9 73,49D 14,90 4,00 10,9 73,15E 3,60 1,80 1,8 50,00G 84,50 11,30 73,2 86,63H 29,76 7,90 21,86 73,45I 14,90 4,00 10,9 73,15J 14,30 3,80 10,5 73,43K 7,10 7,10 0 0,00L 40,60 10,80 29,8 73,40M 20,30 5,40 14,9 73,40N 8,00 7,70 0,3 3,75O 2,10 2,10 0 0,00

Rerata 26,27 6,51 19,75 75,20

Sumber : Hasil Analisis Data (2002)

Dalam kaitannya dengan tingkat pendapatan masyarakat, analisis dilakukan berdasarkan dampak potensial, artinya perhitungan dilakukan menggunakan proksi-proksi keberhasilan tanaman yang diusahakan dalam rangka melakukan konservasi tanah dan air dalam hutan rakyat. Di lokasi penelitian tanaman yang digunakan dalam konservasi meliputi jambu mente, kayu akasia, jati, sonokeling, dan mahoni.

Semua jenis komoditas tersebut secara agronomi dan ekonomi memenuhi beberapa persyaratan untuk usaha konservasi di lahan kering. Tanamannya cepat tumbuh pada berbagai lahan dan mempunyai kemampuan menghasilkan tunas baru bila dipangkas dan mampu memperbaiki kondisi tanah, bertajuk lebat dan dapat memberikan seresah yang banyak, dapat hidup di lahan kritis, mempunyai sistem perakaran dalam, sehingga mampu mengikat tanah dari longsor, batang yang kasar, dapat menurunkan kecepatan air, mudah ditanam dan tidak memerlukan pemeliharaan khusus, tahan hama dan penyakit, ekonomis dan mampu berproduksi dalam jangka pendek.

Jika tidak dilakukan konservasi, tanah kering marjinal di lokasi desa ini tidak produktif sama sekali. Tidak ada orang yang mau mengambil resiko mengusahakan tanaman di lahan yang kering marjinal. Dengan demikian petani di daerah ini tidak mendapatkan hasil apa-apa. Akan tetapi ketika dilakukan kegiatan konservasi dengan melakukan penanaman tanaman tahunan produktif seperti jambu mente dan jenis pohon kayu yang komersial, petani mendapatkan nilai tambah dari lahan tersebut.

Jambu mete misalnya, menghasilkan biji jambu mente yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kacang mete, buahnya untuk bahan pembuatan abon, sirup, dan pakan ternak. Hasilnya tidak hanya dikonsumsi sendiri namun juga dipasarkan ke luar desa seperti Klaten, Solo, Sukoharjo. Buah jambu mete basah dijual sekitar Rp 6000,- sampai Rp 7000,-/ kg, abon jambu

Page 7: usahakonservasi

mete mencapai Rp 30.000,-/kg. Hasil yang lain misalnya kayu, akasia dengan diameter 1 m, panjang 5 m berharga Rp 400.000,- sampai Rp 500.000,-/kubiknya.

Dengan demikian tidak dipungkiri lagi bahwa melakukan konservasi di lahan kering marjinal dapat menjadi alternatif sumber peningkatan pendapatan penduduk desa.

KESIMPULAN DAN SARAN

Usaha konservasi tanah dan air di lahan kering yang dilakukan dengan pendekatan vegetatif dan mekanis melalui pembuatan hutan rakyat, kebun bibit desa, Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam (UP UPSA), pembuatan teras, saluran pembuangan air (SPA), dan gully plug (pengendali jurang) terbukti dapat menurunkan besarnya erosi, merehabilitasi dan meningkatkan fungsi lahan.

Keberhasilan penerapan konservasi di lahan kering mampu menciptakan kondisi lahan yang kondusif untuk menghasilkan produksi secara lestari dan terpeliharanya produktivitas lahan sehingga pada akhirnya berpengaruh positif pada peningkatan pendapatan petani.

Keberhasilan konservasi tanah dan air di lahan kering tidak terlepas dari peran aktif masyarakat setempat, oleh karena itu untuk memelihara kelanjutan konservasi diperlukan dorongan dari pihak berwenang menggerakkan partisipasi petani antara lain melalui penyuluhan yang lebih intensif.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F dan Widianto, 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering. World Agroforestry Centre. ICRAF Southeast Asia. Bogor.

Anonim, 1999. Monograf Desa Rejosari Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul.. Pemerintah Desa Rejosari. Semin. Gunungkidul, Yogyakarta.

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.

Duryat, P. W. 1979. Meningkatkan Kegiatan Penyuluhan Dalam Rangka Pembentukan Hutan Rakyat. Seminar dan Reuni III Fak. Kehutanan UGM. Yogyakarta

Karama, A.S dan A. Abdurrachman. 1995. Kebijaksanaan Nasional dalam Penanganan Lahan Kritis di Indonesia. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usahatani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Yogyakarta, 17-19 Januari 1995.

Notohadiprawiro, T. 1988. Pembaharuan Pandangan terhadap Kedudukan Lahan Kering dalam Pembangunan Pertanian Pangan yang Terlanjutkan. Seminar Fak. Pertanian UNISRI. Surakarta

Scwab, et. al. 1981. Soil and Water Conservastion Engineering. 3rd edition. John Wiley and

Sons. Inc. Toronto.

Suyana, J. 2005. Berkelanjutan Penerapan Teknologi Konservasi Hedgerows Untuk Menciptakan Sistem Usahatani Lahan Kering. Bahan Mata Kuliah Konservasi. IPB.