urtikaria
DESCRIPTION
Pembahasan terntang urtikaria dari referensi terbaruTRANSCRIPT
URTIKARIA
Urtikaria adalah reaksi vaskular dari kulit yang ditandai dengan
munculnya wheal, umumnya dikelilingi oleh lingkaran merah (disebut dengan red
halo atau flare) dan berhubungan dengan gatal-gatal berat, pedih atau rasa sakit
seperti ditusuk-tusuk. Wheal ini disebabkan oleh edema lokal. Bagian tengahnya
dapat terlihat bersih dan lesi bisa bergabung menghasilkan pola anular atau
polisiklik. Pembengkakan subkutan (angioedema) bisa terjadi bersamaan dengan
wheal. Angioedema dapat menyerang saluran cerna dan saluran napas,
menghasilkan nyeri abdomen, flu, asma dan penyakit saluran napas lainnya.
Keterlibatan saluran napas pada angioedema dapat menyebabkan obstruksi jalan
napas. Reaksi anafilaksis dan hipotensi juga bisa terjadi.
Klasifikasi
Urtikaria akut berkembang dalam beberapa hari hingga beberapa minggu, jarang
berlangsung lebih dari 12 jam, dengan sembuh dalam waktu 6 minggu. Episode
urtikaria dan/ atau angioedema yang berlangsung lebih dari 6 minggu disebut
dengan urtikaria kronik. Urtikaria kronik dominan terjadi pada orang dewasa dan
dua kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria.
Mekanisme nonimunologik dapat menghasilkan degranulasi sel mast.
Umumnya dipicu oleh opiate, polymyxin B, tubocurarine, radiocontrast, aspirin,
obat-obat NSAIDs, tartrazine dan benzoate. Lebih dari 50% kasus urtikaria kronik
adalah idiopatik. Rangsangan fisik dapat menghasilkan reaksi urtika dan terjadi
pada 7 – 17% kasus urtikaria kronis. Urtikaria fisik termasuk dermatografik,
dingin, panas, kolinergik, aquagenik, solar, getaran dan kasus-kasus yang
disebabkan oleh aktivitas berat. Urtikaria fisik umumnya terjadi pada pasien-
pasien dengan urtikaria kronik.
Faktor penyebab
Obat-obatan
Obat-obatan merupakan penyebab tersering terjadinya urtikaria akut.
1
2
Penicillin dan antibiotik lain yang terkait adalah penyebab tersering terjadinya
urtikaria akut. Faktor yang sering dilupakan adalah sensitivitas penicillin dapat
menjadi sangat hebat dan terjadi pada produk susu. Kejadian urtikaria yang
disebabkan oleh aspirin telah menurun, kemungkinan berhubungan dengan
tersedianya obat anti-inflamasi lain. Orang-orang yang sensitif terhadap aspirin
cenderung memiliki cross-sensitivity dengan tartrazine, pewarna kuning pada azo-
benzoat dan pewarna azo lainnya, salisilat alami dan asam benzoate beserta
turunannya. Bahan-bahan ini sering ditambahkan pada makanan dan juga
digunakan sebagai bahan pengawet. Penggunaan aspirin memperburuk terjadinya
urtikaria kronik, setidaknya pada 30% pasien. Pasien mungkin memiliki rinitis
alergika atau asma, polip hidung dan reaksi anafilaksis yang disebabkan oleh
makanan. Tepung terigu yang terkontaminasi oleh tungau juga ikut menjadi
alergen. Hubungan antara intoleransi aspirin dan alergi pernapasan yang
disebabkan oleh tungau tidak diketahui.
Makanan
Makanan sering menjadi penyebab urtikaria akut, tetapi jarang menyebabkan
urtikaria kronik. Makanan alergenik terbanyak adalah coklat, kerang, kacang-
kacangan, tomat, strawberi, melon, daging babi, keju, bawang merah, bawang
putih, telur, susu dan makanan-makanan pedas. Alergen makanan yang mungkin
bereaksi silang dengan latex diantaranya adalah kacang mete, pisang, markisa,
alpukat dan kiwi. Ikan atau kerang yang telah dimasak dengan baik yang
kemudian terpapar oleh Anisakis simplex dapat mengakibatkan angioedema dan
urtikaria, hal ini menunjukkan bahwa beberapa alergi seafood mungkin berkaitan
dengan paparan antigen parasit.
Jika urtikaria terjadi secara akut dan sering berulang, dan dicurigai bahwa
makanan merupakan penyebab yang paling dominan, disarankan pada pasien
untuk membuat buku harian makanan. Uji serum radioallergosorbent (RATs)
dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan IgE spesifik dan eliminasi
makanan pada pengaturan diet sebelumnya dapat menjadi keuntungan tersendiri
bagi beberapa pasien. Diet ini memperbolehkan pasien untuk mengkonsumsi
makanan-makanan seperti daging kambing, daging sapi, nasi, kentang, wortel,
3
kacang panjang, jeruk, saus apel, tapioka, buah pir, buah peach atau cerry, kreker,
mentega, gula, teh tanpa susu atau lemon dan kopi tanpa krim. Diet ini dijalankan
selama 3 minggu. Jika urtikaria tidak terjadi, maka makanan yang dicurigai
menjadi penyebab urtikaria ditambahkan satu persatu dan pantau reaksi yang
timbul setelah mengkonsumsi makanan tersebut. Harus menjadi catatan bahwa
kebanyakan kentang mengandung sulfite dan beberapa pasien mungkin alergi
terhadap makanan yang terdapat pada diet di atas. Hal ini baik dilakukan hanya
setelah dilakukan peninjauan ulang terhadap alergi-alergi sebelumnya.
Food challenge, garukan dan intradermal test dapat saja memberikan hasil
yang salah. Positif palsu selama dijalankannya pengaturan diet sering terjadi dan
makanan-makanan yang sebenarnya menyebabkan urtikaria bisa saja memberikan
hasil yang negatif pada prick test atau intradermal test. Bahkan, bahan tambahan
dan pengawet pada makanan mungkin ikut berpengaruh.
Bahan tambahan
Kurang dari 10% kasus urtikaria kronik disebabkan oleh bahan tambahan pada
makanan. Bahan tambahan alami yang sering menimbulkan urtikaria antara lain
ragi, salisilat, asam sitrat, telur dan kandungan albumin pada ikan. Bahan
tambahan buatan termasuk zat pewarna azo, turunan asam benzoate, sulfite dan
penicillin. Ragi sering digunakan pada makanan. Bila ragi dicurigai menjadi
penyebab urtikaria, roti-rotian, sosis, wine, bir, anggur, keju, cuka, acar, saus
tomat dan tablet ragi sebaiknya dihindari. Begitu juga dengan makanan-makanan
yang mengandung pewarna azo dan asam benzoate termasuk permen, minuman
ringan, jelly, selai jeruk, puding, berbagai macam kue dan pancake, mayonnaise,
saus siap pakai untuk salad, sup kemasan, teri dan pasta gigi yang berwarna.
Dengan pengecualian sulfite dan penicillin, penggunaan bahan tambahan dapat
dihindari dengan hanya mengkonsumsi daging dan produk susu.
Infeksi
Urtikaria akut mungkin berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan atas,
terutama infeksi streptokokus. Insiden terjadinya urtikaria akut akibat infeksi
streptokokus pada kasus pediatrik sangat bervariasi. Kemungkinan terjadinya
4
infeksi lokal di tonsil, gigi, sinus, kantung empedu, prostat, kandung kemih, atau
ginjal mungkin menjadi penyebab terjadinya urtikaria akut atau kronik. Pada
beberapa pasien, pengobatan dengan antibiotik untuk Helicobacter pylori telah
menjadi resolusi untuk urtikaria.
Infeksi virus kronis seperti hepatitis B dan C mungkin menyebabkan
urtikaria. Infeksi akut mononukleus dan psittakosis juga dapat memicu terjadinya
kondisi ini. Selain itu golongan Helminthes juga dapat menyebabkan urtikaria.
Diantaranya adalah Ascaris, Ankylostoma, Strongyloides, Filarial, Echinococcus,
Schistoma, Trichinella, Toxocara dan cacing hati.
Pengaruh stres emosional
Orang-orang dengan tekanan stres emosional yang berat memiliki bercak urtikaria
yang lebih banyak, tidak dipengaruhi oleh penyebab primer apa pun. Pada
urtikaria kolinergik, stres emosional merupakan stimulus utama.
Mentol
Mentol jarang menyebabkan urtikaria. Mentol terdapat pada rokok yang
mengandung mentol, permen, obat batuk, semprotan aerosol dan obat-obatan
topikal.
Neoplasma
Urtikaria berkaitan dengan karsinoma dan penyakit Hodgkin. Urtikaria dingin
dengan cryoglobulinemia telah dilaporkan memiliki hubungan dengan leukimia
limfositik kronis.
Inhalan
Inhalan yang telah dikenal menyebabkan urtikaria diantaranya serbuk sari, tungau,
debu rumah, bulu, formaldehida, akrolein (terproduksi ketika menggoreng dengan
lemak atau merokok dengan rokok yang mengandung gliserin), biji jarak atau
debu kacang kedelai, lentil yang telah dimasak, biji kapas, bulu binatang,
kosmetik, aerosol dan pyrethrum.
5
Alkohol
Urtikaria dapat muncul setelah mengkonsumsi alkohol. Mekanisme terjadinya
urtikaria yang disebabkan oleh konsumsi alkohol tidak diketahui dengan baik.
Wine secara umum mengandung sulfite yang bisa menimbulkan bercak
kemerahan atau urtikaria.
Ketidakseimbangan hormonal
Urtikaria kronik terjadi dua kali lebih sering pada wanita dibandingkan dengan
pria dan kadar dehydroepiandrosterone (DHEA)-S yang rendah mungkin
mempengaruhi ketidakseimbangan hormon.
Genetik
Polimorfisme pada reseptor adrenergic β2 (ADRB2) telah teridentifikasi pada
urtikaria akut akibat intoleransi aspirin.
Patogenesis/ histopatologi
Peningkatan permeabilitas kapiler terjadi karena adanya peningkatan pelepasan
histamin dari sel mast yang ada disekitar kapiler. Sel mast merupakan sel efektor
utama pada reaksi urtikaria. Selain histamin, zat-zat lain yang dilepaskan oleh sel
mast akan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler,
sehingga memungkinkan untuk menjadi mediator terjadinya urtikaria dan
angioedema. Zat-zat lain tersebut termasuk serotonin, leukotriene, prostaglandin,
protease dan kinin. Pada 40% pasien dengan urtikaria kronik terjadi peningkatan
butiran eosinofil secara abnormal, meskipun pada perhitungan morfologi darah
tepi jumlah eosinofil dalam batas normal.
Sekitar sepertiga dari pasien dengan urtikaria idiopatik kronik memiliki
pelepas histamine autoantibodi IgG yang beredar dan melekat kuat pada reseptor
IgE. Sebagian pasien memiliki IgG yang tidak melekat pada reseptor IgE, tapi
dapat menyebabkan degranulasi sel mast. Penyakit autoantibodi tiroid sering
terjadi pada wanita dengan urtikaria idiopatik kronik, tapi secara klinis hubungan
penyakit tiroid dengan urtikaria sulit dijelaskan. Bahkan pengobatan penyakit
tiroid sendiri secara umum tidak mempengaruhi perjalanan penyakit dari urtikaria.
6
Perubahan histopatologi pada urtikaria akut termasuk diantaranya edema
dermal ringan dan marginasi neutrofil dalam venul-venul kapiler. Kemudian, juga
terjadi migrasi neutrofil, eosinofil dan limfosit di sepanjang dinding pembuluh
darah ke bagian interstitium. Tidak adanya karyorrhexis dan fibrin pada dinding
pembuluh darah membantu membedakan urtikaria dari vaskulitis.
Sebagian dari pasien memiliki lesi yang bertahan lama, lesi yang sukar
disembuhkan dan lesi jenis ini dinamakan dengan “urtikaria neutrofilik”. Lesi
jenis ini sering berlangsung hingga lebih dari 24 jam dan hasil biopsi
menunjukkan bahwa perivaskular kaya neutrofil dengan sedikit karyorrhexis dan
fibrin di dalam dinding pembuluh darah. Eosinofil dan sel mononuklear tercatat
memiliki jumlah yang bervariasi di setiap pasien. Pasien dengan urtikaria
neutrofilik dapat terjadi pada urtikaria akut, urtikaria kronik atau urtikaria fisik.
Lesi pada kulit menunjukkan adanya peningkatan kadar TNF-α dan IL-3, dengan
sedikit kadar IL-8. Secara umum, neutrofil biasanya terdeteksi pada urtikaria, hal
ini menunjukkan bahwa urtikaria neutrofilik biasanya terdeteksi dengan adanya
beberapa sel mast dan turunan sitokin.
Diagnosis
Diagnosis urtikaria dan angioedema biasanya dibuat berdasarkan gejala klinis.
Lesi pada lokasi yang terfiksasi lebih dari 24 jam menunjukkan kemungkinan
terjadinya vaskulitis urtikaria, fase urtikaria pada imunobullous eruption, EM,
granuloma anular, sarkoidosis, atau cutaneous T-cell lymphoma. Jika wheal terjadi
lebih dari 24 jam, disarankan untuk melakukan pemeriksaan biopsi.
Evaluasi klinis
Evaluasi hasil laboratorium harus dilakukan dan dihubungkan dengan tanda dan
gejala yang ada. Melakukan pemeriksaan penunjang secara acak tanpa adanya
riwayat yang mendasari sangat tidak efektif. Evaluasi klinis dilakukan
berdasarkan pada riwayat alergi yang mendetail (makanan, obat-obatan, termasuk
penggunaan aspirin, penyebab lainnya) dan pemeriksaan fisik. Angioedema tanpa
adanya urtikaria mungkin berhubungan dengan angioedema turunan atau dengan
suatu angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor. Defisiensi esterase C1
7
tidak menyebabkan rasa gatal dan bengkak, hanya angioedema. Jika ada riwayat
gangguan sinus, baik itu pada sinus maksilaris ataupun ethmoidalis, disarankan
untuk melakukan pemeriksaan radiologi. Di daerah-daerah dengan parasit sebagai
penyebab penyakit terbanyak, disarankan untuk melakukan pemeriksaan darah
untuk mengetahui jumlah eosinofil, suatu pemeriksaan yang tidak terlalu mahal
tapi memiliki hasil yang sesuai. Pemeriksaan darah mungkin tidak menunjukkan
hasil yang sebenarnya jika pasien sedang mengkonsumsi kortikosteroid sistemik.
Pada pasien-pasien dengan urtikaria kronik, telaah kembali obat-obatan
yang pernah dikonsumsi, termasuk suplemen, aspirin dan NSAIDs yang lain. Jika
sebelumnya pasien pernah mengeluhkan urtikaria, pemeriksaan lanjutan harus
dilakukan untuk mendapatkan diagnosis pasti. Lesi yang lebih terasa seperti
terbakar daripada gatal berakhir dengan diagnosis purpura, atau lesi yang bertahan
lebih dari 24 jam harus dilakukan pemeriksaan biopsi untuk menyingkirkan
kemungkinan vaskulitis urtikaria.
Pemeriksaan riwayat perjalanan penyakit dan pemeriksaan fisik bisa
memperoleh tanda atau gejala penyakit tiroid, penyakit jaringan ikat, keputihan,
infeksi lokal yang lain, penyakit kuning, atau faktor resiko terjadinya hepatitis.
Temuan-temuan yang positif harus segera diskrining. Meskipun hasil x-ray sinus,
kultur streptokokus dari tenggorakan, USG abdomen dan urinalisis dengan kultur
urin (pada laki-laki juga dilakukan pemeriksaan prostat) dapat menyingkirkan
penyebab infeksi paling sering yang memicu terjadinya urtikaria, kasus-kasus
positif hampir selalu dikaitkan dengan tanda dan gejala pada saat mendiagnosis.
Pada pasien dengan angioedema kronik, tanpa wheal klasik ataupun gejala
pruritus, tetap dilakukan telaah riwayat penggunaan obat-obatan dan evaluasi
kadar C4. Jika kadar C4 rendah, maka dapat dilakukan evaluasi kadar esterase C1
inhibitor.
Anafilaksis
Anafilaksis merupakan suatu reaksi imun yang akut dan mengancam nyawa,
sering diawali dengan pruritus pada kulit kepala, eritema yang menyebar,
urtikaria, atau angioedema. Pada reaksi anafilaksis dapat terjadi bronkospasme,
edema laring, hipotensi dan aritmia jantung. Penyebab paling sering adalah
8
antibiotik, terutama penicillin, obat-obatan yang lain dan radiocontrast. Dermatitis
atopik biasanya berkaitan dengan reaksi anafilaksis. Agen penyebab dapat
diidentifikasi pada dua pertiga kasus dan pada kasus-kasus dengan serangan
berulang. Reaksi anafilaksis yang dipicu oleh latihan sering tergantung pada
penyebab primer seperti makanan-makanan tertentu yang dikonsumsi sebelum
latihan dan riwayat konsumsi aspirin dapat menjadi faktor eksaserbasi tambahan.
Penatalaksanaan
Urtikaria akut
Penatalaksanaan utama pada urtikaria akut adalah terapi antihistamin. Pada orang
dewasa, antihistamin yang tidak menimbulkan ketergantungan memiliki resiko
terkena gangguan psikomotor yang lebih rendah. Jika penyebab episode akut
dapat diidentifikasi, sebaiknya hindari penyebab. Pada pasien urtikaria akut yang
tidak berespon baik terhadap antihistamin, berikan kortikosteroid sistemik.
Kemungkinan terjadinya rebound lebih sedikit pada pasien yang mendapatkan
terapi kortikosteroid selama 3 minggu dibandingkan dengan pasien yang diterapi
dengan kortikosteroid dalam jangka waktu singkat.
Untuk reaksi yang lebih berat, termasuk anafilaksis, menjaga sistem
pernapasan dan kardiovaskular tetap baik menjadi sangat penting. 0,3 ml dosis
dari 1:1000 dilusi epinefrin dimasukkan setiap 10-20 menit jika dibutuhkan. Pada
anak-anak, digunakan setengah dari dilusi pada dewasa. Terkadang dibutuhkan
tindakan intubasi atau tracheotomy pada kasus-kasus yang berkembang terlalu
cepat. Terapi tambahan termasuk antihistamin intramuskular (25-50 mg
hydroxyzine atau dipenhydramin setiap 6 jam) dan kortikosteroid sistemik (250
mg hidrokortison atau 50 mg metilprednisolon dimasukkan melalui intravena
setiap 6 jam untuk 2-4 dosis).
Urtikaria kronik
Penatalaksanaan utama pada urtikaria kronik juga terapi antihistamin.
Antihistamin harus diminum setiap hari, bukan hanya di setiap keluhan muncul.
Antihistamin generasi kedua, H1 (cetirizine, levocetirizine, famotidine,
loratidine, acrivastine dan azelastine), memiliki molekul lipofilik yanag besar
9
dengan rantai yang terikat kuat pada protein, mencegah kemungkinan obat-obatan
melewati sawar otak dan efek sedasi pada antihistamin ini tidak terlalu tinggi.
Cetirizine (Zyrtec) dan beberapa antihistamin generasi kedua lainnya dapat
menyebabkan rasa kantuk pada beberapa orang, terutama jika diberikan dengan
dosis yang lebih tinggi atau dikombinasikan dengan antihistamin yang lain.
Doxepin, suatu antidepresan dengan aktivitas antihistamin H1 kuat dapat
digunakan sebagai tambahan antihistamin. Doxepin biasanya dikonsumsi saat
sebelum tidur pada malam hari, yang kemudian rasa kantuk dan mulut kering
nantinya akan menghilang pada pagi hari. Pada kasus-kasus yang sulit sembuh,
terkadang dibutuhkan dosis yang melebihi dari dosis yang ditentukan pada label.
Bahkan antihistamin generasi kedua dapat memberikan efek sedatif pada dosis
tinggi. Salah satu antihistamin yang dapat ditoleransi dengan baik adalah
fexofenadine, meskipun dosis yang diberikan melebihi dosis maksimal yang telah
ditetapkan pada label. Penulis menemukan bahwa dosis antihistamin yang
perlahan-lahan ditingkatkan dapat berpengaruh baik pada penatalaksanaan
urtikaria, tapi hasil suatu penelitian pada 22 orang dewasa penggunaan dosis
cetirizine yang ditingkatkan hanya efektif pada satu pasien. Obat alternatif yang
lain adalah siklosporin. Kombinasi antihistamin H1 dengan H2, seperti
hydroxyzine dan cimetidine atau ranitidine, mungkin efektif digunakan pada
beberapa kasus. Cimetidine atau ranitide tidak boleh digunakan secara tunggal
pada penatalaksanaan urtikaria karena dapat mengganggu proses umpan balik
setelah menghambat pelepasan antihistamin. Penatalaksanaan lain adalah
fototerapi, golongan calcium channel antagonists (nifedipine), obat-obatan
antimalaria, leukotriene dan 5-lipoxygenase inhibitor, gold, azathiprine,
siklosporin dosis rendah, terbutaline, omalizumab dan methotrexate. Dapsone dan
colichines dapat membantu penatalaksanaan urtikaria dengan neutrofil yang
banyak. Tapi sayangnya, meskipun kortikosteroid sistemik efektif pada
kebanyakan urtikaria kronik, penggunaan dalam jangka panjang sangat tidak
praktis. Segera setelah kortikosteroid dihentikan, rasa gatal dan bengkak akan
muncul kembali. Sebagai tambahan, jika infeksi merupakan penyebab terjadinya
urtikaria dapat diberikan terapi steroid jangka panjang. Kortikosteroid topikal,
antihistamin topikal dan anestesi topikal tidak berpengaruh baik pada urtikaria
10
kronik. Kamper topikal dan mentol dapat mengurangi gejala. Disarankan untuk
menggunakan lotion yang mengandung mentol, fenol dan juga kamper.
Sekitar sepertiga kasus urtikaria idiopatik kronik, pasien memiliki
autoantibodi yang melekat kuat pada reseptor IgE. Beberapa pasien mungkin
menerima terapi yang lebih agresif dengan menggunakan terapi imunosupresif
kronik, plasmapheresis atau intravenous immunoglobulin (IVIG).
Variasi urtikaria yang lain
Angioedema
Angioedema adalah edema akut, mudah hilang dan terbatas yang sering
menyerang jaringan kelopak mata, bibir, daun telinga dan genitalia eksterna, atau
membran mukosa pada mulut, lidah, atau laring. Pembengkakan terjadi pada
bagian kulit yang lebih dalam atau pada jaringan subkutan dan menyebabkan
edema kulit, atau yang lebih jarang, ekimosis. Mungkin ada pembengkakan yang
difus pada tangan, lengan, kaki dan ankle. Biasanya kondisi seperti ini mulai
terjadi pada malam hari dan baru diketahui pada pagi hari saat bangun tidur.
Angioedema terbagi atas dua. Pertama, terlihat seperti bentuk urtikaria
yang lebih dalam dan dapat diamati sebagai angioedema tunggal atau multipel
atau ikut tergabung dengan urtikaria. Kerja histamine atau zat-zat lainnya pada
angioedema adalah dengan membuat vasomotor yang labil dan adanya pruritus
dapat dijadikan tanda yang signifikan. Kedua, angioedema berkaitan dengan
defisiensi C1 esterase inhibitor, tapi tidak berkaitan dengan munculnya gatal-gatal
dan bengkak dan juga tidak muncul pruritus. Pasien juga merasakan nyeri pada
angioedema. Angioedema mungkin berkitan dengan ACE inhibitor.
Angioedema yang diturunkan (Hereditary Angioedema [HAE])
Angioedema jenis ini dikenal juga dengan Quincke edema, HAE pertama kali
dideskripsikan dan dinamakan oleh Osler pada tahun 1888. HAE biasanya muncul
pada dekade kedua hingga keempat. Angioedema muncul tiba-tiba, hampir setiap
2 minggu sekali selama hidup pasien, bertahan hingga 2-5 hari. Pembengkakan
biasanya asimetri dan tidak ditemukan urtikaria serta rasa gatal. Bentuk
angioedema ini mungkin overlap dengan sindrom autoinflamatori.
11
Pasien mungkin mengalami pembengkakan lokal pada jaringan subkutan
(wajah, tangan, lengan, kaki, genitalia dan bokong); organ-organ abdomen
(intestin, kandung kemih), membutuhkan pembedahan darurat; dan jika
pembengkakan terjadi pada saluran napas atas (laring), dapat mengancam nyawa.
Ada sedikit respon terhadap antihistamin, epinephrine, atau steroid. Angka
kematian relatif tinggi dengan penyebab tersering adalah edema laring. Edema
pada saluran cerna ditandai dengan mual, muntah dan nyeri hebat, dan hal ini
hampir mirip dengan gejala yang ditimbulkan pada apendisitis sehingga dapat
terjadi kesalahan pembedahan saat appendectomy. Faktor-faktor yang dapat
memicu terjadinya HAE adalah trauma, pembedahan, perubahan suhu yang tiba-
tiba, atau perubahan stress emosional yang tiba-tiba.
HAE terjadi pada 1 di antara 50.000 – 150.000 orang. HAE memiliki tiga
tipe fenotip. Tipe I ditandai dengan kadar plasma antigenik dan fungsional yang
rendah dengan kadar protein C1 esterase inhibitor (C1-EI) yang normal. Tipe II
ditandai dengan kadar antigenik yang normal atau sedikit naik dari protein yang
disfungsional. Tipe III ditandai dengan fungsi C1-EI dan komplemen yang
normal. Telah diketahui bahwa anggota keluarga yang menurunkan sifat ini
adalah wanita. Tipe III juga ditandai dengan riwayat munculnya pembengkakan
pada kulit berulang, nyeri abdomen, atau sumbatan jalan napas, tidak munculnya
urtikaria, konsentrasi C1-EI dan C4 dalam batas normal; dan gagal terapi
meskipun telah diberikan antihistamin, kortikosteroid dan konsentrat C1-EI.
Skrining untuk membedakan tipe I da II adalah dari kadar C4. Kadar C4
akan rendah (<40% dari kadar normal) sebagai akibat dari aktivasi dan konsumsi
terus-menerus. Sebagai tambahan, untuk menekan kadar C4, pasien dengan tipe I
dan tipe II juga memiliki kadar C1, C1q dan C2 yang rendah. Jika gejala klinis
dan uji skrining mendapatkan hasil yang positif, sebaiknya periksakan titer C1-EI.
C1-EI merupakan protein labil dan umumnya mengalami pembusukan. Kadar C1-
EI yang rendah dengan kadar C4 normal akan meningkatkan materi pembusukan,
bukan HAE.
Pilihan penatalaksanaan untuk HAE akut tipe I dan II adalah penggantian
terapi dengan konsentrat plasma (fresh frozen plasma). Profilaksis kerja singkat
seperti stanozolol (androgen lemah) dapat digunakan saat pasien ingin kontrok ke
12
dokter gigi, endoskopi, atau akan dilakukan intubasi saat sebelum pembedahan.
Esterogen oral dilarang digunakan akan mempercepat terjadinya serangan.
Antifibrinolitik asam traneksamat, suatu obat yang berkaitan dengan asam e-
aminocaproic, telah digunakan untuk mengobati penyakit akut ataupun kronik.
Tipe III tidak berespon terhadap penggantian C1-EI, tapi dapat berespon terhadap
danazol.
Defisiensi C1 esterase inhibitor
Sebagian pasien mengeluhkan gejala-gejala yang tidak dapat dibedakan dari HAE,
tetapi dengan onset setelah dekade keempat kehidupan dan tidak ada riwayat
penyakit keluarga yang cukup mendukung. Seperti yang terjadi pada HAE, tidak
ada hubungan antara penyakit ini dengan terjadinya pruritus atau urtikaria.
Kondisi ini kemudian dibagi menjadi angioedema-I dan II, dan idiopatik.
Angioedema-I adalah penyakit langka yang berhubungan dengan penyakit
limfoproliferatif, diantaranya limfoma (biasanya sel-B), leukimia limfositik
kronik, monoclonal gammopathy, myeloma, myelofibrosis, Waldenström
macroglobulinemia dan kanker payudara. Sebagian pasien telah terdeteksi
memiliki autoantibodi terhadap C1-EI. Angioedema yang semakin memburuk
merupakan pertanda dari suatu limfoma.
Angioedema-II adalah penyakit yang sangat langka ditandai dengan
adanya autoantibodi terhadap C1-EI. Penting untuk diketahui bahwa autoantibodi
yang menyerang C1-EI secara langsung juga bisa ditemui pada angioedema-I,
terutama pada pasien dengan limfoma sel-B, sehingga angioedema-II didiagnosis
berdasarkan gejala klinis.
Patofisiologi angioedema-I sampai saat ini belum diketahui tetapi mungkin
berhubungan dengan peningkatan katabolisme C1-EI, hal ini dicurigai karena
banyak pasien dengan penyakit ini memiliki kadar C1-EI normal. Pada
angioedema-II, hepatosit dan monosit dapat mensintesis C1-EI, tetapi subpopulasi
sel B mensekresikan autoantibodi ke bagian fungsional dari molekul C1-EI.
Penatalaksanaan serangan akut angioedema-I adalah dengan mengganti
C1-EI secara langsung dengan fresh frozen plasma, turunan plasma C1 inhibitor,
atau recombinant human C1 inhibitor. Agen antifibrinolitik, seperti asam
13
aminokaproik atau asam traneksamat, mungkin bermanfaat, dan lebih efektif
daripada terapi antiandrogen. Androgen sintetik, seperti danazol, dapat membantu
dalam pengobatan angioedema-I; tetapi androgen tidak efektif dalam mengobati
angioedema-II. Terapi imunosupresif telah menunjukkan hasil yang lebih baik
pada pengobatan angioedema-II dengan menurunkan produksi autoantibodi.
Kortikosteroid sistemik mungkin efektif untuk sementara waktu. Plasmaferesis,
B2 bradykinin receptor antagonist HOE-140, dan kallikrein inhibitor DX-88
adalah terapi yang disarankan pada pasien-pasien yang sukar disembuhkan
dengan terapi lain.
Angioedema episodik dengan eosinophilia
Angioedema episodik atau edema yang hanya terjadi pada wajah dapat terjadi
bersamaan dengan demam, peningkatan berat badan, eosinofilia dan peningkatan
kadar major basic potein. Gejala klinisnya tidak terlalu khas dan tidak ada
penyakit lain yang mendasari timbulnya penyakit tersebut. Selama periode
serangan diketahui ada peningkatan kadar IL-5. Pilihan pengobatan diantaranya
dengan menggunakan obat-obatan steroid sistemik, antihistamin dan IVIG.
Sindrom Schnitzler
Sindrom Schnitzler merupakan penyakit langka. Sindrom ini merupakan varian
urtikaria kronik yang ditandai dengan urtikaria non-pruritus, demam intermiten,
nyeri tulang, hiperostosis, peningkatan laju endap darah dan monoclonal IgM
gammopathy. Sindrom ini terjadi pada umur 29 hingga 77 tahun, tanpa
membedakan jenis kelamin. Pada beberapa kasus, gammopati IgM berkembang
menjadi neoplasia, terutama Waldenström magroglobulinemia. Hingga saat ini
belum diketahui terapi yang efektif, meskipun nyeri tulang dan lesi urtika dapat
hilang setelah pemberian kortikosteroid sistemik pada sebagian pasien. Beberapa
pasien lain juga respon setelah diberikan terapi anakinra.
Urtikaria fisik
Rangsangan fisik spesifik merupakan penyebab dari sekitar 20% urtikaria.
Biasanya terjadi pada umur 17 hingga 40 tahun. Bentuk paling umum adalah
14
dermatographism, diikuti oleh cholinergic dan cold urticaria. Beberapa bentuk
dapat terjadi pada satu pasien. Pada pasien dengan urtikaria idiopatik kronik
sering ditemukan dermatographism, delayed pressure, cholinergic dan cold
urticaria.
Dermatographism
Dermatographism merupakan suatu edema lokal berbatas tegas dengan tepi
eritem yang muncul dalam beberapa detik hingga beberapa menit setelah kulit
digores, dapat menyebabkan pruritus dan terjadi pada sekitar 2-5% dari populasi.
Dermatographism secara spontan akan muncul setelah terjadinya drug-induced
urticaria dan akan bertahan hingga beberapa bulan. Dermatographism diketahui
juga berhubungan dengan penggunaan H2 blocker dan famotidine, sering terjadi
pada pasien-pasien hipotiroid, hipertiroid, infeksi, diabetes melitus dan selama
awal mula menopause. Reaksi ini dapat ditekan dengan penggunaan antihistamin,
penambahan antihistamin H2 juga memberikan hasil yang baik pada kondisi ini.
Cholinergic urticaria
Cholinergic urticaria terjadi karena respon asetilkolin terhadap sel mast, muncul
dalam beberapa menit, ditandai dengan pruritus berat, lesi berbentuk papul dengan
diameter 1-3 mm dan dikelilingi oleh flare eritem yang sangat jelas. Lesi ini dapat
muncul di daerah badan dan wajah kecuali telapak tangan dan telapak kaki. Lesi
akan bertahan selama 30-90 menit. Bronkospasme dapat terjadi. Kasus-kasus
familial telah dilaporkan berkaitan dengan lesi ini.
Pada beberapa pasien, lesi ini dapat muncul akibat olahraga, stres
emosional, peningkatan suhu atau setelah mendapatkan suntikan nicotine picrate
atau methacoline. Terkadang serangan terjadi saat pendinginan tubuh secara cepat
dengan mandi air dingin. Periode refraktori tanpa lesi akan berlangsung selama
lebih dari 24 jam setelah serangan. Pada beberapa pasien kadang terjadi
cholinergic dermatographism.
Pengobatan dengan antihistamin efektif jika diberikan dalam dosis yang
adekuat. Antihistamin dikombinasikan dengan montelukast atau propanolol.
Androgen lemah, seperti danazol, baik diberikan saat fase refraktori. Uji
15
provokatif sebaiknya dilakukan, seperti berolahraga, mandi dengan air hangat dan
meningkatkan temperatur tubuh 0.7-1.0ºC, atau methacoline skin test.
Adrenergic urticaria
Adrenergic urticaria dapat muncul sendiri atau bersamaan dengan cholinergic
urticaria. Erupsinya berupa makula eritem kecil (1-5 mm) dan papul dengan halo
yang berwarna pucat, muncul 10-15 menit setelah rangsangan stres emosional,
minum kopi atau mengkonsumsi coklat. Selama serangan terjadi peningkatan
serum katekolamin, norepinephrine, dopamine dan epinephrine, tetapi dengan
kadar histamin dan serotonin dalam batas normal. Pengobatan yang efektif adalah
dengan memberikan propanolol dengan dosis 10 mg diminum empat kali dalam
sehari, sementara penggunaan atenolol sudah tidak efektif lagi. Uji provokatif
dapat dilakukan dengan memasukkan 3-10 ng norepinephrine secara intradermal.
Cold urticaria
Paparan terhadap sesuatu yang dingin dapat menghasilkan edema dan wheal pada
area yang terpapar, biasanya terjadi pada wajah dan tangan. Urtikaria ini tidak
terjadi saat proses pendinginan badan. Urtikaria jenis ini diklasifikasikan menjadi
primary (essential), secondary dan familial cold urticaria.
Primary (essential) cold urticaria tidak berhubungan dengan penyakit
sistemik yang mendasarinya. Gejala biasanya terlokalisasi pada area yang
terpapar, meskipun gangguan pada saluran pernapasan dan kardiovaskular dapat
terjadi. Syok yang fatal terjadi apabila penderita urtikaria jenis ini berenang di air
dingin atau mandi dengan air dingin. Urtikaria ini biasanya terjadi saat dewasa.
Cold urticaria memberikan hasil yang positif pada ice cube test.
Pengobatan untuk primary cold urticaria adalah dengan memberikan
doxepin dengan dosis 25-50 mg dua kali dalam sehari, atau cyproheptadine 4 mg
tiga kali dalam sehari. Telah dilaporkan bahwa terdapat respon terapetik yang baik
pada pemberian second-generation antihistamines acrivastine dan cetirizine, dan
obat-obatan ini mengandung efek sedasi yang minimal. Kombinasi cetirizine dan
zafirlukast lebih efektif jika dibandingkan dengan pemberian terapi tunggal.
Ketotifen mungkin juga efektif, tapi obat ini tidak dipasarkan di US.
16
Pengulangan desensitisasi dengan cara meningkatkan paparan terhadap
bahan-bahan dingin secara perlahan terbukti efektif pada beberapa kasus. Salah
satu laporan melaporkan keberhasilan metode ini pada seorang anak yang
berumur 18 tahun dengan severe cold urticaria. Toleransi kulit dicapai dengan
menempelkan es batu secara berulang pada kulit selama 30 menit setiap 7 jam
diikuti dengan mencelupkan lengan ke dalam air dingin selama 4 jam dan
akhirnya seluruh badan. Seminggu kemudian, pasien dapat mentoleransi air
dingin selama 5 menit tanpa urtikaria. Pasien ini “dilatih” dengan cara mandi air
dingin selama 5 menit setiap 12 jam. Pasien ini kemudian bebas dari urtikaria
selama 6 bulan dan melanjutkan kebiasaan sehari-harinya dengan mandi
menggunakan air dingin. Metode ini hanya cocok untuk sedikit kasus. Pada
banyak pasien, cold urticaria baru mulai membaik beberapa bulan setelah
paparan.
Uji provokatif dilakukan dengan menggunakan es batu (ice cube test). Es
batu ditempelkan pada kulit selama 5-20 menit. Jika tidak ada wheal yang
terbentuk, area tersebut tetap ditempelkan es batu selama 10 menit tambahan.
Penggunaan kombinasi es batu dan air mengalir adalah, pada beberapa kasus,
lebih efektif menghasilkan lesi dibandingkan dengan hanya es batu. Ice cube test
tidak dilakukan jika telah diketahui bahwa pasien tersebut menderita secondary
cold urticaria.
Secondary cold urticaria berhubungan dengan penyakit sistemik yang
diderita seperti cryoglobulinemia. Penyakit lain yang berhubungan diantaranya
cryofibronogenemia, multiple myeloma, secondary syphilis, hepatitis dan
infectious mononucleosis. Pasien mungkin mengalami nyeri kepala berat,
hipotensi, edema laring dan penurunan kesadaran. Ice cube test tidak
direkomendasikan karena dapat menimbulkan oklusi pada pembuluh darah dan
iskemik jaringan.
Familial cold urticaria dikelompokkan dengan sindrom autoantiinflamasi
lainnya. Lesi mungkin lebih memberikan sensasi panas seperti terbakar daripada
gatal. Lesi memiliki bagian tengah yang sianotik, dikelilingi oleh halo putih dan
bertahan selama 24-48 jam. Munculnya lesi dapat bersamaan dengan demam,
kedinginan, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot dan nyeri abdomen. Familial cold
17
urticaria memberikan hasil yang negatif pada ice cube test. Terapi stanozol
diketahui efektif dalam mengobati penyakit ini.
Heat urticaria
Heat urticaria terjadi jika kulit terpapar panas diatas 43ºC (109.4ºF) selama 5
menit, area yag terpapar mulai terbakar dan terasa pedih dan kemudian memerah,
membengkak dan mengeras. Urtikaria langka ini dapat terjadi pada siapa saja dan
dapat muncul kejang, lemah, salivasi dan tidak sadar. Desensitisasi panas
mungkin efektif dilakukan. Uji provokatif yang dapat dilakukan adalah dengan
menempelkan silinder panas, 50-55ºC (122-131ºF), pada kulit selama 30 menit.
Solar urticaria
Solar urticaria muncul sesaat setelah kulit terpapar oleh sinar matahari. Solar
urticaria diklasifikasikan sesuai dengan panjang gelombang cahaya yang
merangsang munculnya lesi. Cahaya yang visibel dapat merangsang terjadinya
solar urticaria dan tidak akan dapat dicegah oleh penggunaan tabir surya. Gejala
klinis diantaranya leukocytoclastic vasculitis, dan Chrug-Strauss syndrome.
Pengobatan yang efektif adalah dengan menghindari paparan sinar matahari
secara langsung, penggunaan antihistamin, tabir surya, fototerapi berkala dan
PUVA.
Pressure urticaria
Pressure urticaria ditandai dengan pembengkakan disertai dengan nyeri yang
terjadi 3-12 jam setelah penekanan pada area tersebut. Pressure urticaria lebih
sering terjadi pada lutut setelah berjalan dan pada bokong setelah duduk. Varian
ini unik karena memiliki periode laten selama sekitar 24 jam sebelum lesi
terbentuk. Nyeri sendi, demam, kedinginan dan leukositosis mungkin terjadi.
Nyeri dan bengkak berlangsung selama 8-24 jam. Pressure urticaria dapat terjadi
bersamaan dengan urtikaria fisik lainnya. Uji provokatif dilakukan dengan cara
memberikan tekanan seberat 15 lb (setara dengan 5,8 kg [1 kg = 2,2 lb]) selama
20 menit pada kulit, perhatikan area tersebut selama 4-8 jam. Pengobatan yang
efektif adalah dengan pemberian kombinasi montelukast dan antihistamin.
18
Kortikosteroid sistemik sering dimasukkan ke dalam terapi, tetapi tidak baik
digunakan dalam jangka waktu yang lama. Asam traneksamat, IVIG dosis tinggi,
atau anti TNF dapat efektif digunakan pada kasus-kasus yang sulit disembuhkan
dengan terapi lain.
Exercise-induced urticaria
Meskipun cholinergic dan exercise-induce urticaria terjadi karena olahraga, tapi
dua hal ini berbeda. Meningkatnya suhu tubuh secara pasif tidak akan
menginduksi terjadinya urtikaria dan lesi pada exercise-induced urticaria lebih
besar dibandingkan dengan cholinergic urticaria. Lesi dapat muncul selama 5-30
menit setelah olahraga dimulai. Reaksi anafilaksis mungkin juga berkaitan dengan
urtikaria ini. Sebagian besar pasien dengan exercise-induced urticaria memiliki
riwayat atopi dan sebagian lain memiliki riwayat alergi makanan. Menghindari
alergen tersebut dapat mengurangi gejala.
Terapi dengan menggunakan antihistamin H1 dan H2 tidak sepenuhnya
efektif. Pasien dengan reaksi anafilaksis yang sering menyerang saluran
pernapasan disarankan untuk memiliki peralatan untuk menyuntikkan epinephrine
sendiri. Uji provokatif dilakukan dengan olahraga, tetapi lebih baik dengan
mengetahui riwayat alergi makanannya terlebih dahulu.
Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi akibat genetik, atau dapat terjadi karena
paparan vibrasi okupasional yang lama. Dermatographism, pressure urticaria dan
cholinergic urticaria dapat terjadi pada pasien yang sama. Kadar histamin akan
meningkat selama serangan. Urtikaria biasanya muncul bersamaan dengan
angioedema. Terapi yang diberikan adalah antihistamin. Uji provokatif yang
dilakukan adalah dengan menempelkan vortex vibration pada lengan selama 5
menit.
Aquagenic urticaria
Aquagenic urticaria merupakan jenis urtikaria yang jarang terjadi, disebabkan
oleh kontak kulit dengan air pada suhu berapapun. Wheal muncul sesaat setelah
19
atau beberapa menit setelah kontak kulit dengan air, tanpa adanya suhu spesifik,
dan hilang dalam 30-60 menit. Keringat, saliva dan bahkan air mata dapat
mempercepat terjadinya reaksi. Pada beberapa kasus, aquagenic urticaria dapat
terjadi pada satu keluarga (turunan), atau berhubungan dengan riwayat atopi atau
cholinergic urticaria. Gejala-gejala sistemik diantaranya adalah wheezing, susah
menelan dan distres pernapasan. Patogenesisnya tidak diketahui tapi berhubungan
dengan antigen-antigen yang hidup di air yang menembus kulit hingga dermis dan
menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast.
Munculnya wheal dapat dicegah dengan pengobatan berkala dengan
petrolatum. Banyak histamin yang efektif dalam mengobati penyakit ini. PUVA
dapat digunakan untuk mencegah terjadinya lesi, tapi tidak dengan pruritus. Uji
provokatif dilakukan dengan menempelkan kompres basah (35ºC [95ºF]) pada
kulit selama 30 menit.
Galvanic urticaria
Galvanic urticaria muncul setelah terpapar bahan-bahan galvanis yang biasanya
digunakan untuk mengobati hiperhidrosis. Hubungan antara kondisi ini dengan
urtikaria jenis lain masih harus dipelajari lagi.
20
Gambar 1. Pendekatan pada pasien dengan urtikaria/ angioedema.ACE = Angiotensin-Converting Enzyme; IgE = Imunoglobulin E; INH = inhibitor; ↓ = menurun.
Sumber: Kaplan AP. Urticaria and Angioedema. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Ed. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7 th Edition. New York: McGraw Hill, 2008. p. 339.
21
Gambar 2. Penatalaksanaan urtikaria/ angioedema idiopatik kronik atau autoimun.Sumber: Kaplan AP. Urticaria and Angioedema. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Ed. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7 th Edition. New York: McGraw Hill, 2008. p. 342.