urban village.docx

21
URBAN VILLAGE A. PENDAHULUAN Latar Belakang Pada masa pasca revolusi industri, terjadi perubahan yang cukup besar terhadap strategi perencanaan dan sistem tata kota dimana transportasi kota menjadi berorientasi pada kendaraan bermesin (atau dikenal dengan sebutan “the invaded city”), kota dipenuhi dengan produk-produk hasil industri, dan ritme kerja penduduk yang seperti bagian dari sistem industri. Penataan kota mengutamakan jalur mobil, di setiap ruas jalan kota dipadati area bisnis dan komersial, serta kehidupan pekerja kota takubahnya sebagai bagian dari sebuah sistem mesin industri (Jahn Gel, oleh Didik, Public Places – Public Life). Menyadari perkembangan industri kota besar di seluruh dunia yang cenderung akan menggerus nilai-nilai dalam kehidupan sosial masyarakat, maka para pemikir dan perencana kota mulai melakukan telaah, yang kemudian memunculkan beberapa konsep penataan kota yang lebih baik dan terkendali (Mike Biddulph, 2002). Konsep ini menawarkan ide pola tipikal pengembangan kota yang lebih livable, seperti Compact City (Jenks et Al, 1996), Polycentric City (Frey, 1999), Urban Quarter (Krier, 1998), Sustainable Urban Neighbourhood (Rudlin and Falk, 1999), Eco-Village (Barton, 1999), dan Urban Village (Aldous, 1997). Realisasi konsep-konsep idealisme sebuah kota ini memang tidak seluruhnya dapat terwujud seperti apa yang tertulis dalam teori, namun salah satu konsep

Upload: nur-keumalahayati

Post on 17-Dec-2015

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

URBAN VILLAGEA. PENDAHULUANLatar BelakangPada masa pasca revolusi industri, terjadi perubahan yang cukup besar terhadap strategi perencanaan dan sistem tata kota dimana transportasi kota menjadi berorientasi pada kendaraan bermesin (atau dikenal dengan sebutan the invaded city), kota dipenuhi dengan produk-produk hasil industri, dan ritme kerja penduduk yang seperti bagian dari sistem industri. Penataan kota mengutamakan jalur mobil, di setiap ruas jalan kota dipadati area bisnis dan komersial, serta kehidupan pekerja kota takubahnya sebagai bagian dari sebuah sistem mesin industri (Jahn Gel, oleh Didik, Public Places Public Life).Menyadari perkembangan industri kota besar di seluruh dunia yang cenderung akan menggerus nilai-nilai dalam kehidupan sosial masyarakat, maka para pemikir dan perencana kota mulai melakukan telaah, yang kemudian memunculkan beberapa konsep penataan kota yang lebih baik dan terkendali (Mike Biddulph, 2002). Konsep ini menawarkan ide pola tipikal pengembangan kota yang lebih livable, seperti Compact City (Jenks et Al, 1996), Polycentric City (Frey, 1999), Urban Quarter (Krier, 1998), Sustainable Urban Neighbourhood (Rudlin and Falk, 1999), Eco-Village (Barton, 1999), dan Urban Village (Aldous, 1997). Realisasi konsep-konsep idealisme sebuah kota ini memang tidak seluruhnya dapat terwujud seperti apa yang tertulis dalam teori, namun salah satu konsep yang dianggap paling berhasil adalah Urban Village (Mike Biddulph, 2002).Urban Village secara harafiah memiliki arti sebagai desa/rural yang terletak di area kota/urban dimana merupakan penataan ruang yang menyatukan 2 hal yaitu kepadatan kota dengan keintiman desa (Randall Fleming, 2000). Dengan konsep baru ini, para pemikir kota berharap untuk dapat mengembalikan keberadaan kawasan urban yang livable dan manusiawi dengan interaksi sosial yang lebih hidup layaknya kehidupan di rural. Konsep urban village dengan nilai-nilai sosial yang sangat ideal, diharapkan mampu menjadi jawaban bagi kebutuhan masyarakat yang menghendaki kehidupan urban dengan kualitas lingkungan, keamanan, nilai-nilai sosial, dan kenyamanan rural.Namun demikian, memasukkan sebuah desa ke dalam lingkungan geografis kota membutuhkan banyak penyesuaian, dimana pada pelaksanaanya meskipun secara spatial dapat terbentuk ambience sebuah rural, namun secara sosial-budaya, nilai-nilai rural tidak sepenuhnya dapat berjalan baik dengan munculnya berbagai permasalahan yang baru.

B. PEMBAHASAN1. Teoria. DefinisiIstilah Urban Village dapat dipahami sebagai sebuah ide tentang bagaimana dapat memiliki tempat yang terasa seperti desa namun secara geografis berada pada kota besar. Karakter sebuah desa cenderung bersifat kecil, akrab, dan tenang. Setiap warga memiliki hubungan sosial yang baik, dimana warga saling mengenal dan senantiasa berinteraksi sosial harmonis antar satu warga dengan warga lainnya. Sebaliknya, karakter sebuah kota cenderung berskala lebih besar, dengan berbagai aktifitas ekonomi yang serba sibuk sepanjang hari, berisi penduduk yang lebih beragam dengan latar belakang yang berbeda-beda. Di dalam hiruk pikuk keramaian sebuah kota, bisa saja terjadi seseorang akan merasa sangat kesepian akibat dari ketiadaan kedekatan secara emosional dengan orang lain. Hidup dapat terasa sangat sepi meskipun sedang berada di sebuah kota besar. (Sucher, 1995).Randall Fleming dalam The Case for Urban Villages, memberikan definisi bahwa Urban Village adalah sebuah suasana desa yang terletak secara fisik di area kota. Penataan ruang dengan menyatukan dua hal yang bersifat kontradiktif, yaitu perpaduan dari intensitas/kepadatan hiruk-pikuk sebuah kota dengan keintiman karakter tenang-rileks sebuah desa.Dua hal yang menjadi dasar perencanaan Urban Village adalah lokasi dan karakter yang hendak dibangun. Lokasi di area sekitar pusat kota memberikan kemudahan akses yang strategis dalam beraktivitas (kegiatan ekonomi,dll), sedangkan karakter desa yang dibangun haruslah hangat, dapat mengakomodasi fungsi sosial-budaya warga, mendukung lingkungan berkelanjutan dan memberikan kehidupan yang lebih berkualitas.

Urban Village di Holbeck, West Yorkshire, Englandb. TipologiBerdasarkan proses terbentuknya, Urban Village dapat dibedakan menjadi dua macam tipe (Randall Fleming, 2000) :1. Unplanned Urban Village Yaitu urban village yang terbentuk secara sporadis dan tidak terencana. Tidak dilakukan penataan yang baik dan tidak terdapat sistem pemeliharaan kawasan yang baik. Kecenderungan area ini menjadi kawasan yang tidak rapi dan terkesan kumuh.

Contoh : kawasan pemukiman di Jakarta Barat2. Planned Urban VillageYaitu urban village yang terbentuk dengan perencanaan yang matang dengan koordinasi yang baik antar berbagai pihak terkait. Kawasan lebih terorganisir, relatif rapi, bersih, sehat, dan lebih livable.

Contoh : In-Touch Factory - Casablanca, Morroco(sumber : www. http://www.intouch-factory.eu)

Urban villages terencana merupakan salah satu model desain blok perkotaan yang mendukung urbanisasi berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.Sedangkan berdasarkan tipe bentuk, ada 4 tipe Urban Village, yaitu (Randall Fleming, 2000) : 1. Linear, yaitu memanjang seperti koridor.2. Rectangular, yaitu komposisi blok kotak geometris yang rapi.3. Organic, yaitu non-geometris, fleksibel dan tak beraturan.4. Centered, yaitu terpusat.

c. Konsep Ideal Terdapat beberapa prinsip pokok untuk mewujudkan Urban Village yang ideal (Randall Fleming, 2000) :1. Mix Used, perpaduan beberapa fungsi dalam sebuah komplek bangunan, seperti kombinasi residensial, ekonomi-komersial serta sosial , sehingga antar area fungsional relatif dekat, dimana akan memudahkan pengguna dalam mengaksesnya. Hal ini akan mengurangi emisi akibat transportasi kendaraan bermesin yang sesuai dengan konsep sustainable environment.2. Meningkatkan Urban Densities, dimana seiring laju urbanisasi, penghuni kota akan semakin bertambah padat. Dengan memaksimalkan urban densities dengan pembangunan berorientasi vertikal, maka akan tercapai lingkungan yang livable dan berkualitas.3. Berorientasi pada Pedestrian Ways, dengan terciptanya komplek area beraktivitas ekonomi-sosial-budaya terpadu dan dalam radius jangkauan pedestrian yang nyaman dan aman, dengan didukung transportasi publik yang cukup memadai.4. Kenyamanan untuk bekerja, rekreasi, bersosialisasi dan tinggal dalam satu komplek sekaligus, dalam kaitan untuk meningkatkan kualitas hidup warga. Kondisi ini akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas warga dalam beraktivitas.5. Keseimbangan Sumber Daya kehidupan sehari-hari (listrik,air, dll) dalam kaitannya dengan sustainable environment. Komplek Urban Village yang terencana baik diarahkan agar dapat menjadi self powering building. Penggunaan air recycling, rainwater, dan beberapa pembangkit listrik (solar&wind), tentunya akan mendukung program sustainable-environment.

Urban Village akan berhasil jika (Randall Fleming, 2000) :a. Terjadi keselarasan antara interaksi publik dengan privasi pribadib. Terbangun kualitas ruang luar dengan passive open spaces dan intense urban places yang baikc. Tersedia cukup ruang yang berkualitas untuk masyarakat tinggal, bekerja, dan rekreasi/bermain.Secara geografis, keberadaan urban village yang ideal sebaiknya berada di luar lingkaran Urban Core, namun masih dalam jangkauan Opportunity Area yang memadai.

2. Analisisa. UrbanisasiBesarnya peluang dan kesempatan akan pekerjaan di kota besar telah memicu urbanisasi masyarakat dari daerah tertinggal ke kota besar, yang pada akhirnya akan menambah padat area perkotaan. Keterbatasan lahan yang berimbas pada tingginya biaya tempat tinggal, menjadi masalah yang umum terjadi di seluruh kota besar di dunia. Harga tanah dan perbandingan plot lahan perumahan selalu berubah, menyesuaikan lokasi dan jumlah pengembangan bangunan di sekitarnya (Xiang, 2005). Masyarakat dengan penghasilan tinggi akan mampu memiliki rumah yang layak di tengah kota, dan hanya memerlukan waktu yang singkat untuk mencapai tempat kerjanya di pusat kota. Masyarakat menengah akan mampu membeli atau sewa tempat tinggal di pusat kota. Namun lain halnya dengan masyarakat dengan penghasilan rendah, dimana untuk menyesuaikan cash flow, mereka terpaksa tinggal di area sub urban yang jauh dari kota, dengan setiap hari berangkat pulang ke tempat kerja masing-masing. Mobilitas inilah yang menyebabkan terjadinya kemacetan. Terdapat juga kecenderungan masyarakat berpenghasilan rendah yang menginginkan tinggal dengan pusat kota agar dekat tempat kerjanya, sehingga rela mengkrompomikan kualitas hidup, dengan tinggal seadanya. Hal ini pada akhirnya menimbulkan slum area (area kumuh) yang akan merusak tatanan dan estetika kota.

b. Perilaku Masyarakat UrbanKehidupan di kota besar selalu dipenuhi dengan berbagai hal yang berorientasi kepada kegiatan ekonomi. Kota besar hidup selama 24 jam, dengan mayoritas waktu terisi oleh masyarakatnya yang selalu bekerja menghabiskan waktunya di kantor. Hampir seluruh waktu warga kota dihabiskan di kantor untuk bekerja. Kegiatan yang bersifat rekreatif pada umumnya hanya dapat dilakukan di akhir minggu bersama orang-orang terdekat saja, seperti keluarga atau teman dekat. Motif ekonomi telah membuat perilaku masyarakat menjadi lebih individual, sehingga jarang terjadi interaksi sosial yang baik tanpa adanya kepentingan tertentu. Hal ini mengakibatkan tergerusnya nilai-nilai sosial kemanusiaan yang sejati. Berbeda halnya dengan perilaku masyarakat di desa, dimana motif ekonomi tidak serta merta selalu menjadi alasan untuk berinteraksi dan bertemu, sehingga di sini masih dapat dijumpai nilai-nilai sosial yang hangat dan manusiawi. Keinginan untuk menghadirkan suasana desa di tengah hiruk pikuk kota adalah konsep yang sangat baik. Dengan pengembangan urban village, diharapkan warga kota masih mampu untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan warga lain, sebuah kawasan di tengah kota dapat memiliki kekayaan sosial seperti yang ada di pedesaan. Kota harus dibangun untuk memberikan penduduknya keamanan dan kebahagiaan (Sitte, 1979).Kecenderungan masyakarat kota yang menilai hampir segala sesuatu hal dari segi materi telah melemahkan pondasi hubungan sosial antar manusia satu dengan yang lain. Interaksi sehari-hari yang selalu dihabiskan dalam tempat kerja, dan berhubungan dengan kolega, atasan, dan bawahan, lambat laun membentuk manusia menjadi working environment oriented human, yang pada akhirnya akan menumbuhkan persepsi bahwa setiap interaksi antar orang pastilah selalu didasarkan pada kepentingan materi. Kecenderungan perilaku mental di kota besar ini jauh berbeda dengan sikap orang di desa yang lebih memiliki rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang tulus.Secara spatial, urban village dapat diwujudkan di kota besar, dan dapat menjawab kerinduan masyarakat akan suasana desa yang nyaman. Namun di tengah kesibukan rutinitas harian dan kerasnya persaingan untuk hidup di kota besar, maka besar kemungkinan, apabila diterapkan di Indonesia (dalam hal ini tipologi kota seperti Jakarta), urban village masih akan berupa kehadiran lingkungan fisik secara spatial suasana rural, namun dengan penghuni yang tetap bermental urban. Ruang-ruang publik yang disediakan untuk sarana berinteraksi bagi masyarakat yang tinggal dalam satu komplek urban village, tidak dapat termanfaatkan secara maksimal, mengingat kecenderungan perilaku penghuninya yang pada dasarnya memiliki tingkat orientasi pada individu yang sangat tinggi dan ditambah sikap mental untuk menilai segala sesuatu berdasarkan materi.

Nov12

Urban Village A. PENDAHULUAN

1. Latar BelakangPada masa pasca revolusi industri, terjadi perubahan yang cukup besar terhadap strategi perencanaan dan sistem tata kota dimana transportasi kota menjadi berorientasi pada kendaraan bermesin (atau dikenal dengan sebutan the invaded city), kota dipenuhi dengan produk-produk hasil industri, dan ritme kerja penduduk yang seperti bagian dari sistem industri. Penataan kota mengutamakan jalur mobil, di setiap ruas jalan kota dipadati area bisnis dan komersial, serta kehidupan pekerja kota takubahnya sebagai bagian dari sebuah sistem mesin industri (Jahn Gel, oleh Didik, Public Places Public Life).Menyadari perkembangan industri kota besar di seluruh dunia yang cenderung akan menggerus nilai-nilai dalam kehidupan sosial masyarakat, maka para pemikir dan perencana kota mulai melakukan telaah, yang kemudian memunculkan beberapa konsep penataan kota yang lebih baik dan terkendali (Mike Biddulph, 2002). Konsep ini menawarkan ide pola tipikal pengembangan kota yang lebih livable, seperti Compact City (Jenks et Al, 1996), Polycentric City (Frey, 1999), Urban Quarter (Krier, 1998), Sustainable Urban Neighbourhood (Rudlin and Falk, 1999), Eco-Village (Barton, 1999), dan Urban Village (Aldous, 1997). Realisasi konsep-konsep idealisme sebuah kota ini memang tidak seluruhnya dapat terwujud seperti apa yang tertulis dalam teori, namun salah satu konsep yang dianggap paling berhasil adalah Urban Village (Mike Biddulph, 2002).Urban Village secara harafiah memiliki arti sebagai desa/rural yang terletak di area kota/urban dimana merupakan penataan ruang yang menyatukan 2 hal yaitu kepadatan kota dengan keintiman desa (Randall Fleming, 2000). Dengan konsep baru ini, para pemikir kota berharap untuk dapat mengembalikan keberadaan kawasan urban yang livable dan manusiawi dengan interaksi sosial yang lebih hidup layaknya kehidupan di rural. Konsep urban village dengan nilai-nilai sosial yang sangat ideal, diharapkan mampu menjadi jawaban bagi kebutuhan masyarakat yang menghendaki kehidupan urban dengan kualitas lingkungan, keamanan, nilai-nilai sosial, dan kenyamanan rural.Namun demikian, memasukkan sebuah desa ke dalam lingkungan geografis kota membutuhkan banyak penyesuaian, dimana pada pelaksanaanya meskipun secara spatial dapat terbentuk ambience sebuah rural, namun secara sosial-budaya, nilai-nilai rural tidak sepenuhnya dapat berjalan baik dengan munculnya berbagai permasalahan yang baru.

2. Rumusan PermasalahanApakah akar permasalahan yang ada dari sebuah penerapan konsep urban village di kota besar berdasarkan studi literatur dari The Case for Urban Villages oleh Randall Fleming?

B. PEMBAHASAN

1. Teoria. DefinisiIstilah Urban Village dapat dipahami sebagai sebuah ide tentang bagaimana dapat memiliki tempat yang terasa seperti desa namun secara geografis berada pada kota besar. Karakter sebuah desa cenderung bersifat kecil, akrab, dan tenang. Setiap warga memiliki hubungan sosial yang baik, dimana warga saling mengenal dan senantiasa berinteraksi sosial harmonis antar satu warga dengan warga lainnya. Sebaliknya, karakter sebuah kota cenderung berskala lebih besar, dengan berbagai aktifitas ekonomi yang serba sibuk sepanjang hari, berisi penduduk yang lebih beragam dengan latar belakang yang berbeda-beda. Di dalam hiruk pikuk keramaian sebuah kota, bisa saja terjadi seseorang akan merasa sangat kesepian akibat dari ketiadaan kedekatan secara emosional dengan orang lain. Hidup dapat terasa sangat sepi meskipun sedang berada di sebuah kota besar. (Sucher, 1995).Randall Fleming dalam The Case for Urban Villages, memberikan definisi bahwa Urban Village adalah sebuah suasana desa yang terletak secara fisik di area kota. Penataan ruang dengan menyatukan dua hal yang bersifat kontradiktif, yaitu perpaduan dari intensitas/kepadatan hiruk-pikuk sebuah kota dengan keintiman karakter tenang-rileks sebuah desa. Dua hal yang menjadi dasar perencanaan Urban Village adalah lokasi dan karakter yang hendak dibangun. Lokasi di area sekitar pusat kota memberikan kemudahan akses yang strategis dalam beraktivitas (kegiatan ekonomi,dll), sedangkan karakter desa yang dibangun haruslah hangat, dapat mengakomodasi fungsi sosial-budaya warga, mendukung lingkungan berkelanjutan dan memberikan kehidupan yang lebih berkualitas.

Urban Village di Holbeck, West Yorkshire, England(sumber : www.wikipedia.org)

b. Tipologi Berdasarkan proses terbentuknya, Urban Village dapat dibedakan menjadi dua macam tipe (Randall Fleming, 2000) :i. Unplanned Urban Village Yaitu urban village yang terbentuk secara sporadis dan tidak terencana. Tidak dilakukan penataan yang baik dan tidak terdapat sistem pemeliharaan kawasan yang baik. Kecenderungan area ini menjadi kawasan yang tidak rapi dan terkesan kumuh.

Contoh : kawasan pemukiman di Jakarta Barat(sumber : www.google.com)ii. Planned Urban VillageYaitu urban village yang terbentuk dengan perencanaan yang matang dengan koordinasi yang baik antar berbagai pihak terkait. Kawasan lebih terorganisir, relatif rapi, bersih, sehat, dan lebih livable.

Contoh : In-Touch Factory - Casablanca, Morroco(sumber : www. http://www.intouch-factory.eu) Urban villages terencana merupakan salah satu model desain blok perkotaan yang mendukung urbanisasi berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.Sedangkan berdasarkan tipe bentuk, ada 4 tipe Urban Village, yaitu (Randall Fleming, 2000) : 1. Linear, yaitu memanjang seperti koridor. 2. Rectangular, yaitu komposisi blok kotak geometris yang rapi. 3. Organic, yaitu non-geometris, fleksibel dan tak beraturan. 4. Centered, yaitu terpusat.

c. Konsep Ideal Terdapat beberapa prinsip pokok untuk mewujudkan Urban Village yang ideal (Randall Fleming, 2000) :1. Mix Used, perpaduan beberapa fungsi dalam sebuah komplek bangunan, seperti kombinasi residensial, ekonomi-komersial serta sosial , sehingga antar area fungsional relatif dekat, dimana akan memudahkan pengguna dalam mengaksesnya. Hal ini akan mengurangi emisi akibat transportasi kendaraan bermesin yang sesuai dengan konsep sustainable environment.2. Meningkatkan Urban Densities, dimana seiring laju urbanisasi, penghuni kota akan semakin bertambah padat. Dengan memaksimalkan urban densities dengan pembangunan berorientasi vertikal, maka akan tercapai lingkungan yang livable dan berkualitas.3. Berorientasi pada Pedestrian Ways, dengan terciptanya komplek area beraktivitas ekonomi-sosial-budaya terpadu dan dalam radius jangkauan pedestrian yang nyaman dan aman, dengan didukung transportasi publik yang cukup memadai.4. Kenyamanan untuk bekerja, rekreasi, bersosialisasi dan tinggal dalam satu komplek sekaligus, dalam kaitan untuk meningkatkan kualitas hidup warga. Kondisi ini akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas warga dalam beraktivitas.5. Keseimbangan Sumber Daya kehidupan sehari-hari (listrik,air, dll) dalam kaitannya dengan sustainable environment. Komplek Urban Village yang terencana baik diarahkan agar dapat menjadi self powering building. Penggunaan air recycling, rainwater, dan beberapa pembangkit listrik (solar&wind), tentunya akan mendukung program sustainable-environment.

Urban Village akan berhasil jika (Randall Fleming, 2000) :a. Terjadi keselarasan antara interaksi publik dengan privasi pribadib. Terbangun kualitas ruang luar dengan passive open spaces dan intense urban places yang baik c. Tersedia cukup ruang yang berkualitas untuk masyarakat tinggal, bekerja, dan rekreasi/bermain.

Secara geografis, keberadaan urban village yang ideal sebaiknya berada di luar lingkaran Urban Core, namun masih dalam jangkauan Opportunity Area yang memadai.

Keberadaan Urban Village dalam struktur kotaBob Morris, 2009

2. Analisisa. UrbanisasiBesarnya peluang dan kesempatan akan pekerjaan di kota besar telah memicu urbanisasi masyarakat dari daerah tertinggal ke kota besar, yang pada akhirnya akan menambah padat area perkotaan. Keterbatasan lahan yang berimbas pada tingginya biaya tempat tinggal, menjadi masalah yang umum terjadi di seluruh kota besar di dunia. Harga tanah dan perbandingan plot lahan perumahan selalu berubah, menyesuaikan lokasi dan jumlah pengembangan bangunan di sekitarnya (Xiang, 2005). Masyarakat dengan penghasilan tinggi akan mampu memiliki rumah yang layak di tengah kota, dan hanya memerlukan waktu yang singkat untuk mencapai tempat kerjanya di pusat kota. Masyarakat menengah akan mampu membeli atau sewa tempat tinggal di pusat kota. Namun lain halnya dengan masyarakat dengan penghasilan rendah, dimana untuk menyesuaikan cash flow, mereka terpaksa tinggal di area sub urban yang jauh dari kota, dengan setiap hari berangkat pulang ke tempat kerja masing-masing. Mobilitas inilah yang menyebabkan terjadinya kemacetan. Terdapat juga kecenderungan masyarakat berpenghasilan rendah yang menginginkan tinggal dengan pusat kota agar dekat tempat kerjanya, sehingga rela mengkrompomikan kualitas hidup, dengan tinggal seadanya. Hal ini pada akhirnya menimbulkan slum area (area kumuh) yang akan merusak tatanan dan estetika kota.

b. Perilaku Masyarakat UrbanKehidupan di kota besar selalu dipenuhi dengan berbagai hal yang berorientasi kepada kegiatan ekonomi. Kota besar hidup selama 24 jam, dengan mayoritas waktu terisi oleh masyarakatnya yang selalu bekerja menghabiskan waktunya di kantor. Hampir seluruh waktu warga kota dihabiskan di kantor untuk bekerja. Kegiatan yang bersifat rekreatif pada umumnya hanya dapat dilakukan di akhir minggu bersama orang-orang terdekat saja, seperti keluarga atau teman dekat. Motif ekonomi telah membuat perilaku masyarakat menjadi lebih individual, sehingga jarang terjadi interaksi sosial yang baik tanpa adanya kepentingan tertentu. Hal ini mengakibatkan tergerusnya nilai-nilai sosial kemanusiaan yang sejati. Berbeda halnya dengan perilaku masyarakat di desa, dimana motif ekonomi tidak serta merta selalu menjadi alasan untuk berinteraksi dan bertemu, sehingga di sini masih dapat dijumpai nilai-nilai sosial yang hangat dan manusiawi. Keinginan untuk menghadirkan suasana desa di tengah hiruk pikuk kota adalah konsep yang sangat baik. Dengan pengembangan urban village, diharapkan warga kota masih mampu untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan warga lain, sebuah kawasan di tengah kota dapat memiliki kekayaan sosial seperti yang ada di pedesaan. Kota harus dibangun untuk memberikan penduduknya keamanan dan kebahagiaan (Sitte, 1979).Kecenderungan masyakarat kota yang menilai hampir segala sesuatu hal dari segi materi telah melemahkan pondasi hubungan sosial antar manusia satu dengan yang lain. Interaksi sehari-hari yang selalu dihabiskan dalam tempat kerja, dan berhubungan dengan kolega, atasan, dan bawahan, lambat laun membentuk manusia menjadi working environment oriented human, yang pada akhirnya akan menumbuhkan persepsi bahwa setiap interaksi antar orang pastilah selalu didasarkan pada kepentingan materi. Kecenderungan perilaku mental di kota besar ini jauh berbeda dengan sikap orang di desa yang lebih memiliki rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang tulus. Secara spatial, urban village dapat diwujudkan di kota besar, dan dapat menjawab kerinduan masyarakat akan suasana desa yang nyaman. Namun di tengah kesibukan rutinitas harian dan kerasnya persaingan untuk hidup di kota besar, maka besar kemungkinan, apabila diterapkan di Indonesia (dalam hal ini tipologi kota seperti Jakarta), urban village masih akan berupa kehadiran lingkungan fisik secara spatial suasana rural, namun dengan penghuni yang tetap bermental urban. Ruang-ruang publik yang disediakan untuk sarana berinteraksi bagi masyarakat yang tinggal dalam satu komplek urban village, tidak dapat termanfaatkan secara maksimal, mengingat kecenderungan perilaku penghuninya yang pada dasarnya memiliki tingkat orientasi pada individu yang sangat tinggi dan ditambah sikap mental untuk menilai segala sesuatu berdasarkan materi.

KESIMPULANIt is almost like a small street in the old world countryside again. Children will really roller skate in the street and play ball games in the street. (sustainable urban village concept: mandate, matrix or myth, Landman 2003a). Mimpi keberadaan ruang-ruang yang hangat dan penuh interaksi sosial di tengah hiruk pikuknya kota telah mendorong munculnya gagasan-gagasan perkembangan konsep kawasan kota, salah satunya Urban Village. Dengan ketersediaan lahan dan investasi yang memadai, kehadirannya bukanlah sesuatu hal yang cukup sulit untuk diwujudkan. Secara spatial, rekayasa lingkungan binaan untuk mendapatkan ambience kehidupan yang livable, nyaman, aman dapat segera (dan telah) diwujudkan di berbagai tempat. Di tengah pemukiman atau perkantoran yang padat, dengan kekuatan regulasi dari pemegang kebijakan setempat, maka sebuah komplek padat, sumpek, dan tidak estetis, dapat disulap sedemikan rupa menjadi surga bagi warga yang mendiaminya. Permasalahan yang mendasar adalah kondisi mental masyarakat yang meskipun tinggal dalam urban village bersuasana desa, namun tetap memiliki sikap indivualistis masyarakat kota. Menjadi tugas bagi banyak pihak yang memang peduli terhadapa perkembangan perkotaan, bahwa bagaimana perlahan-lahan membentuk pola mental masyarakat perkotaan yang cenderung berorientasi kepada materi, menjadi lebih mengedepankan nilai-nilai sosial tulus yang hangat selayaknya yang terjadi di pedesaan, yang dapat dilakukan melalui pengolahan spatial, untuk dapat terwujud urban village yang tidak hanya hadir secara fisik, namun juga terrealisasi secara psikis.

ARSITEKTUR KOTAURBAN VILLAGE

Oleh:Kelompok :Nur Keumalahayati (1204104010001)Khairul Rijal SB ( 12041040100

Dosen Mata KuliahEvalina Z, S.T, MURPNIP. 19211026 2005012 003

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS SYIAH KUALABANDA ACEH2014