upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara perdata...

75
UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: FARANGGA HARKI ARDIANSYAH NIM : 11150480000016 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H / 2020 M

Upload: others

Post on 19-Oct-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM

    PERKARA PERDATA

    (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018)

    SKRIPSI

    Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

    Oleh:

    FARANGGA HARKI ARDIANSYAH

    NIM : 11150480000016

    PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    1441 H / 2020 M

  • i

    UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM

    PERKARA PERDATA

    (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018)

    SKRIPSI

    Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

    Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

    Oleh:

    FARANGGA HARKI ARDIANSYAH

    NIM : 11150480000016

    PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    1441 H / 2020 M

  • iv

    ABSTRAK

    Farangga Harki Ardiansyah. NIM 11150480000016. UPAYA HUKUM

    PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA (Studi Putusan

    Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018) Program Studi Ilmu Hukum

    Konsentrasi Praktisi Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

    Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M. 64 halaman.

    Studi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum dari upaya hukum

    peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa. Upaya hukum peninjauan

    kembali adalah upaya hukum terakhir yang dapat diajukan dalam sistem peradilan

    di Indomensia dan tentunya sifatnya yang luar biasa perlu adanya pengawasan

    khusus dalam soal aturan.

    Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative dengan

    menggunakan pendekatan statute approach atau pendekatan undang-undang

    untuk memahami konsep tentang upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara

    perdata yang seagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai

    usaha untuk mendekatkan masalah yang diteliti berdasarkan aturan, norma, dan

    kaidah yang sesuai dengan obyek yang dikaji.

    Hasil penelitian menunjukan bahwa upaya hukum peninjauan kembali

    merupakan upaya hukum luar biasa yang dalam prosesnya memerlukan

    pembatasan yang jelas khususnya dalam perkara perdata masih memerlukan

    peraturan yang tegas dan jelas terkait prosedurnya dan berapa kali dapat diajukan.

    Kata Kunci: Peninjauan Kembali, Perdata, Upaya Hukum, PK, Peninjauan

    Kembali Kedua.

    Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum.

    2. Tresia Elda, S.H., M.H.

    Daftar Pustaka : Tahun 1985 Sampai Tahun 2017.

  • v

    KATA PENGANTAR

    Segala puji syukur bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah

    memberikan rahmat dan kasih sayangNya sehingga penulis bisa menyelesaikan

    skripsi ini yang berjudul. Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara

    Perdata (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018). Shalawat

    serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad

    SAW yang telah membawa umatnya menuju jalan yang lurus dan yang diridhoi

    oleh Allah SWT.

    Dalam penyelesaian skripsi ini banyak rintangan dan hambatan yang

    datang silih berganti. Namun, berkat bantuan, dukungan dan motivasi dari

    berbagai pihak maka peneliti dapat menyelesaikan semuanya. Oleh karena itu

    peneliti merasa perlu mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

    yang terhormat :

    1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah

    dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu

    Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu

    Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penguji Skripsi yang telah

    memberikan banyak masukan untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini.

    3. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum., dan Tresia Elda, S.H., M.H. Pembimbing Skripsi

    yang telah memberikan bimbingan kepada peneliti sehingga peneliti dapat

    menyelesaikan skripsi ini.

    4. Kedua orang tua saya, Aslam Daraini dan Ratih Kirana Ida Agustina, S.Sos.

    yang tidak pernah lelah mendoakan serta memberikan motivasi kepada

    peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.

    5. Pasangan hidup saya Ersa Nayla Ansari yang telah tidak ada hentinya

    memberikan motivasi kepada peneliti sehingga bisa menyelesaikan skripsi

    ini.

    6. Pimpinan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

    menfasilitasi peneliti dalam hal mencari sumber rujukan untuk skripsi ini.

  • vii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. i

    LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................ ii

    LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii

    ABSTRAK .......................................................................................................... iv

    KATA PENGANTAR ........................................................................................ v

    DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii

    BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

    A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

    B. Identifikasi, Pembahasan, dan Perumusan Masalah ................... 5

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 6

    D. Metode Penelitian........................................................................ 7

    E. Sistematika Penelitian ................................................................. 10

    BAB II PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA ...... 12

    A. Kerangka Konseptual .................................................................. 12

    1. Definisi Hukum Acara Perdata ............................................... 12

    2. Upaya Hukum Dalam Hukum Acara Perdata ........................ 15

    3. Peninjauan Kembali Sebagai Upaya Hukum Luar Biasa ....... 22

    4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

    Agung ..................................................................................... 23

    5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

    Kehakiman .............................................................................. 25

    6. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun

    2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali ... 26

    7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010

    tentang Peninjauan Kembali .................................................. 27

    8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013

    tentang Peninjauan Kembali .................................................. 29

    B. Kerangka Teori............................................................................ 32

    1. Teori Kepastian Hukum ......................................................... 32

  • viii

    2. Teori Kebenaran Hukum ........................................................ 34

    C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .......................................... 34

    BAB III DUDUK PERKARA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

    629/PK/Pdt/2015 DAN 118/PK/Pdt/2018 .......................................... 37

    A. Putusan Mahkamah Agung Nomor 629/PK/Pdt/2015 ................ 37

    B. Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018 ................ 40

    BAB IV PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM

    MENERIMA DAN MEMUTUS PENINJAUAN KEMBALI

    YANG KEDUA KALINYA ............................................................. 44

    A. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor

    629 PK/Pdt/2015 ......................................................................... 44

    B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor

    118 PK/Pdt/2018 ......................................................................... 52

    BAB V PENUTUP ......................................................................................... 61

    A. Kesimpulan ................................................................................. 61

    B. Rekomendasi ............................................................................... 62

    DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 63

    LAMPIRAN ......................................................................................................... 66

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Hukum dan kehidupan manusia merupakan suatu hal yang tidak dapat

    dipisahkan dan saling terkait, dimana ada masyarakat maka disitu ada hukum.

    Setiap manusia pasti mempunyai kepentingan masing-masing yang diharapkan

    untuk dapat dipenuhi. Berdasarkan kepentingan-kepentingan itulah maka

    bukan tidak mungkin muncul pertentangan antara satu dengan yang lainya.

    Atas dasar tersebutlah dibutuhkan hukum guna mengakomodir segala

    permasalahan dalam kehidupan masyarakat untuk mengontrol kepentingan

    masyarakat (tools of social engineering). Proses demikian merupakan bagian

    dari fungsi hukum untuk memperjuangkan kepentingan agar tercapainya

    keadilan substantif.

    Pembahasan terkait dengan pencarian keadilan dapat diajukan dengan

    cara mengajukan di pengadilan (litigation) dengan harapan terciptanya putusan

    yang seadil-adilnya dari hakim. Putusan hakim juga tidak luput dari kesalahan

    dan kekeliruan, bahkan tidak mustahil adanya putusan yang bersifat memihak.

    Oleh karena itu demi keadilan dan kebenaran maka dapat dimungkinkan untuk

    dapat diperiksa ulang melalui upaya hukum.

    Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada

    seseorang atau badan hukum dalam hal tertentu untuk melawan putusan

    hakim.1 Secara yuridis upaya hukum terbagi menjadi dua bagian yaitu upaya

    hukum biasa seperti upaya Perlawanan (verzet), Banding (Kasasi), dll.

    Sedangkan upaya hukum luar biasa merupakan upaya melawan suatu putusan

    yang telah berkekuatan hukum tetap dalam hal ini adalah Peninjauan Kembali.

    Upaya hukum Peninjauan Kembali (request civil) adalah suatu upaya

    hukum yang dapat diajukan untuk dapat membuat suatu putusan yang telah

    1 Rento Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata, (Bandung: CV Mandar Maju, 2009),

    h.108

  • 2

    berkekuatan hukum tetap (inkracht van gwijsde) mentah kembali. Proses

    pembatalan terhadap putusan yang telah berekuatan hukum tetap, merupakan

    salah satu syarat formil dari permohonan peninjauan kembali. Rasio logis

    adanya Peninjauan kembali adalah untuk memenuhi rasa keadilan bagi para

    pencari keadilan (justice seekers) untuk membuka kembali perkara yang sudah

    diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

    Undang-Undang Hukum Acara Pidana peninjauan kembali dinyatakan sebagai

    upaya hukum luar biasa. Menurut Yahya Harahap atas dasar sifatnya yang luar

    biasa, upaya hukum peninjauan kembali harus dibatasi. Bahwa permohonan

    peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali dengan tujuan untuk

    menegakkan kepastian hukum (to enforce legal certainty).1

    Pembatasan peninjauan kembali yang hanya boleh dilakukan sekali

    sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun

    1985 tentang Mahkamah Agung. Pasal a quo menyatakan bahwa “permohonan

    peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”. Pasal tersebut

    menimbulkan multitafsir terkait mekanisme peninjauan kembali hanya dapat

    diajukan satu kali. Bahwa terdapat dua tafsir yang dominan diantaranya adalah

    terkait frasa “1 (satu) kali” dalam satu perkara hanya dapat dilakukan upaya

    hukum peninjauan kembali oleh salah satu pihak atau masing-masing pihak

    dapat 1 (satu) kali kesempatan mengajukan peninjauan kembali.

    Pembatasan pengajuan peninjauan kembali menimbulkan perdebatan di

    kalangan masyarakat dan praktisi hukum. Diskursus terkait batas pengajuan

    peninjauan kembali salah satunya disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra

    yang menyatakan bahwa esensi dari lembaga peradilan adalah proses

    penciptaan untuk keadilan. Demi keadilan peninjauan kembali tidak

    selayaknya dibatasi dengan jumlah maksimal. Permasalahan tersebut berujung

    diajukan uji materil di Makhamah Konstitusi. 2

    1 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan Peninjauan

    Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.445 2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-

    undang Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, h. 35

  • 3

    Pengajuan permohonan uji materil kemudian teregistrasi dalam Putusan

    Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 atas uji materil Pasal 268 ayat

    (3) KUHAP atas frasa “permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan

    hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali saja”. Pengajuan uji materil tersebut

    terregistrasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013

    menyatakan bahwa terdapat inkonstitusional dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP

    dan menyatakan bahwa peninjauan kembali dalam perkara pidana boleh

    dilakukan lebih dari 1 (satu) kali.3 Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi

    dalam memutus perkara tersebut karena Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tidak

    dapat membatasi aturan dalam peninjauan kembali hanya 1 (satu) kali. Hal

    tersebut dikarenakan pengajuan peninjauan kembali dalam perkara pidana

    sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling mendasar yaitu

    menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia.

    Mahkamah Konstitusi menyatakan pertimbanganya dalam putusan

    Nomor 34/PUU-XI/2013, bahwa upaya hukum peninjauan kembali untuk

    perkara diluar pidana, termasuk perkara perdata tetap perlu dibatasi hanya 1

    (satu) kali. Hal tersebut berdasarkan pendapat Mahkamah Konstitusi dari

    Putusan Nomor 16/PUU-VIII/2010 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

    64/PUU-VIII/2010. Dalam hal ini objek yang diajukan uji materil adalah

    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 66

    ayat (1) yang bunyi pasalnya adalah “permohonan peninjauan kembali dapat

    diajukan hanya (satu) 1 kali”, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

    tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat (2) yang bunyinya “terhadap

    putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”.

    Putusan Mahakamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa “jika ketentuan

    permohonan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa tidak dibatasi

    maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sampai berapa kali

    peninjauan kembali akan dilakukan”.4

    3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-

    undang Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, h. 89 4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian

    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Pasal 66 Ayat (1), h. 68

  • 4

    Pasca putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terkait

    pengujian tentang peninjauan kembali yang dapat dilakukan lebih dari sekali,

    hal itu menyebabkan adanya dualisme dalam peraturan yang mengatur

    mengenai peninjauan kembali. Kerancuan yang terjadi di kalangan praktisi

    hukum ialah Mahkamah Konstitusi memperbolehkan peninjauan kembali lebih

    dari sekali dan hal itu berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang

    sebelumnya. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010 dan

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-VIII/2010, sejalan dengan

    peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peninjuauan kembali

    melarang peninjauan kembali dilakukan lebih dari sekali atas dasar

    perlindungan negara terhadap kepastian hukum.

    Adanya dualisme terkait peraturan peninjauan kembali, berdampak

    pada permohonan peninjauan kembali di Mahkamah Agung yang diajukan

    lebih dari sekali. Sebagaimana terjadi pada kasus PT. Suzuki Indomobil yang

    mengajukan peninjauan kembali dengan putusan Nomor 118 PK/Pdt/2018

    terhadap putusan peninjauan kembali Nomor 629 PK/Pdt/2015. Pokok perkara

    dalam hal ini ialah adanya sengketa tanah antara PT. Suzuki Indomobil

    melawan para ahli waris dari pemilik tanah. Proses hukum tersebut telah

    mencapai putusan berkekuatan hukum tetap (inckrah van gewisdje) Kasasi dan

    dimenangkan oleh PT. Suzuki Indomobil.

    Terhadap putusan kasasi tersebut pihak ahli waris mengajukan upaya

    hukum peninjauan kembali yang terregistrasi dalam putusan Nomor 629

    PK/Pdt/2015. Putusan peninjauan kembali tersebut menghasilkan kemenangan

    bagi pihak ahli waris. Terhadap putusan tersebut PT. Suzuki Indomobil

    mengajukan permohonan peninjauan kembali untuk kedua kalinya, dan pada

    akhirnya Mahkamah Agung memberikan putusan yang memenangkan pihak

    PT Suzuki Indomobil. Berdasarkan permasalahan yang telah peneliti paparkan,

    peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul

    UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA

    PERDATA (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018).

  • 5

    B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

    1. Identifikasi Masalah

    Ada berbagai hal yang dijadikan pokok permasalahan dalam

    penelitian yang dilakukan. Pokok permasalah ini berhubungan upaya

    hukum peninjauan kemballi terhadap putusan Peninjauan Kembali, antara

    lain :

    a. Terdapat ketidakjelasan dalam pembatasan pengajuan upaya hukum

    Peninjauan Kembali dalam peraturan perundang-undangan.

    b. Terdapat perbedaan pendapat antara Mahkamah Agung dan

    Mahkamah Konstitusi terkait upaya hukum peninjauan kembali.

    c. Kepastian hukum dalam upaya hukum peninjauan kembali menjadi

    terancam jika tidak dbatasi.

    d. Timbulnya perdebatan mana yang harus didahulukan antara kepastian

    hukum dan keadilan terkait peninjauan kembali.

    e. Terdapat dualisme aturan yang mengatur terkait peninjauan kembali

    antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi .

    f. Terdapat ketidaktegasan kata dalam frasa ‘satu kali’ dalam pasal yang

    mengatur tentang upaya hukum peninjauan kembali.

    2. Pembatasan Masalah

    Agar penelitian ini lebih fokus dan tidak keluar dari topik

    pembahasan yang dimaksud, maka dalam penulisan ini peneliti membatasi

    dan memfokuskan pada ruang lingkup penelitian mengenai upaya hukum

    peninjauan kembali dalam Putusan Nomor 118/PK/Pdt/2018 yang

    diajukan terhadap putusan peninjauan kembali Nomor 629 PK/Pdt/2015.

    Putusan Mahkamah Agung tersebut menimbulkan problematika pasca

    putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang mengatur

    peninjauan kembali terbatas 1 (satu) kali.

    Alasan pembatasan masalah terjadi karena pembatasan ini sesuai

    dengan konsentrasi peneliti yakni praktisi hukum. Dalam hal ini berfokus

    pada wewenang aparatur sipil negara dalam bingkai praktisi hukum.

  • 6

    3. Perumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang, identifkasi, dan pembatasan masalah

    yang telah dipaparkan sebelumnya, maka peneliti merumuskan masalah

    yaitu sebagai berikut: Pengajuan Upaya Hukum Peninjauan Kembali

    Terhadap Putusan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Perdata.

    Berdasarkan perumusan masalah di atas maka pertanyaan penelitianya

    sebagai berikut :

    a. Apa yang menjadi alasan dan dasar pertimbangan Mahkamah Agung

    dalam menerima dan memutus perkara peninjauan kembali yang

    kedua (Nomor 118/PK/Pdt/2018 terhadap putusan Mahkamah Agung

    peninjauan kembali Nomor 629 PK/Pdt/2015) ?

    b. Apakah putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018 sudah

    memenuhi unsur keadilan dan kepastian hukum ?

    C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    a. Untuk mengetahui alasan dan dasar pertimbangan Mahkamah Agung

    dalam menerima dan memutus perkara peninjauan kembali yang

    kedua (118/PK/Pdt/2018).

    b. Untuk mengetahui unsur keadilan dan kepastian hukum dalam

    Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018.

    2. Manfaat Penelitian

    a. Manfaat Akademis

    Penelitian ini dapat berguna sebagai dasar pengembangan ilmu

    pengetahuan hukum, khususnya dibidang upaya hukum Peninjauan

    Kembali dalam perkara perdata dan membuktikan bahwa pengajuan

    upaya hukum Peninjauan kembali dalam perkara perdata tetap dibatasi

    hanya satu kali yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

    berlaku. Sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat

  • 7

    menjadi bahan evaluasi dibidang upaya hukum Peninjauan Kembali

    dalam perkara perdata, menganalisis dan mencegah terjadinya

    ketidakpastian hukum.

    b. Manfaat Praktis

    Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat mengurangi proses

    penanganan upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perdata

    yang berlarut-larut agar dapat terciptanya kepastian hukum untuk

    mewujudkan keadilan di dalam sistem hukum Indonesia.

    D. Metode Penelitian

    1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

    Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

    yuridis normatif. Mengacu kepada penerapan hukum yang terdapat dalam

    peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan yang

    didapatkan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.5

    Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-

    undangan (statue approach) yakni pendekatan dengan menggunakan

    legislasi dan regulasi, mengingat peneliti berusaha menganalisis beberapa

    peraturan perundang-undangan sebagai fokus penelitian.

    2. Data Penelitian

    Data penelitian adalah satuan informasi yang dibutuhkan untuk

    menjawab masalah penelitian yang kelak akan digunakan untuk

    kesimpulan penelitian. Oleh karena itu, data yang peneliti gunakan untuk

    menjawab semua permasalahan yang ada dalam penelitian ini ialah

    sebagai berikut:

    a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

    autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer

    meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah

    5 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:

    Bayumedia Publishing, 2006), h. 46

  • 8

    dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim

    yang berkaitan.6

    b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi Tentang hukum yang

    bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi Tentang

    hukum dalam bidang upaya hukum Peninjauan Kembali meliputi

    buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar

    atas norma hukum yang diberikan atas kepentingan penelitian.7

    c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan

    bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum

    dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi, Filsafat

    atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai

    relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum tersebut

    dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.

    3. Sumber Data

    a. Data Primer

    Dalam hal penelitian ini yang termasuk sebagai data primer

    ialah Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

    Kehakiman, Reglemen Acara Perdata (Reglement op Rechtsvordering),

    Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tentang

    Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali, dan Undang-Undang

    Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

    b. Data Sekunder

    Dalam hal ini berupa semua publikasi Tentang hukum yang

    bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi Tentang hukum

    dalam Peninujauan Kembali meliputi buku-buku teks, kamus hukum,

    jurnal hukum, dan komentar-komentar atas norma hukum dan lain-lain.

    Data sekunder diperoleh melalui hasil studi kepustakaan yaitu

    6 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Jurimetri, (Jakarta: Ghalia

    Indonesia, 1998), h. 11 7 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:

    Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 40

  • 9

    pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari

    berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam

    penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk

    memperoleh data sekunder yaitu melakukan serangkaian kegiatan studi

    dokumentasi dengan cara membaca dan mengutip literatur-literatur,

    mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

    permasalahan yang dibahas.

    c. Bahan Hukum Tersier

    Berupa sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap dari

    bahan sekunder dan bahan primer di anataranya, kamus, dan sumber-

    sumber sejenis yang diakses melalui internet.

    d. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

    Teknik penelusuran bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan

    melalui studi pustaka baik berupa buku-buku, karya tulis ilmiah,

    informasi maupun dokumen hukum. Dalam menyusun dan

    menganalisis data, peneliti menggunakan penalaran deduktif dengan

    metode deskriptif. Setelah proses analisis, dilakukan proses sintesis

    dengan menarik dan menghubungkan rumusan masalah, tujuan

    penelitian untuk kemudian dielaborasi dalam struktur pembahasan yang

    analitis. Berikutnya ditarik simpulan yang bersifat umum kemudian

    direkomendasikan beberapa hal sebagai upaya transfer gagasan yang

    diakhiri dengan kesimpulan analisis pemberian gagasan dalam sebuah

    kesimpulan serta rekomendasi untuk dijadikan akhir dan jawaban dari

    penelitian yang sedang peneliti kaji.

    e. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

    Penelitian ini menggunakan bahan hukum yang terdiri dari

    hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan non-hukum

    diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan

    dalam penelitian yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan

    yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan

  • 10

    secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan

    yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

    Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap

    bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui permasalahan

    dalam pengajuan Peninjauan Kembali dalam perkara perdata.

    f. Metode Penulisan

    Teknik penulisan yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun

    skripsi ini berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan

    buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

    E. Sistematika Pembahasan

    Untuk dapat mempermudah dalam pembuatan dan pemaparan

    gambaran umum skripsi ini, maka penulis memaparkan sistematika

    pembahasan skripsi yang dibagi menjadi beberapa bab sebagai berikut:

    BAB I PENDAHULUAN

    Membahas mengenai latar belakang penelitian yang

    melatarbelakangi masalah penulisan, identifikasi masalah,

    pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

    penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

    BAB II PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA

    Dalam bab ini akan membahas kajian pustaka yang berisi teori-

    teori yang digunakan untuk menganalisis dan menginterprestasikan

    data penelitian. Kajian Pustaka ini diawali dengan pemaparan

    kerangka konsep yang kemudian diikuti dengan pemaparan dari

    kerangka teori. Kajian Pustaka yang baik akan membantu peneliti

    dalam merumuskan hipotesis dari penelitian tersebut. Selain itu,

    juga terdapat review (tinjauan ulang) hasil studi terdahulu pada sub

    bab kedua dari Bab II.

  • 11

    BAB III DUDUK PERKARA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

    NOMOR 629/PK/Pdt/2015 DAN 118/PK/Pdt/2018

    Bab ini berisi data-data yang hendak digunakan, dalam hal ini data

    tersebut meliputi substansi dan kronologis perkara dalam putusan

    peninjauan kembali Nomor 629/PK/Pdt/2015 dan

    118/PK/Pdt/2018.

    BAB IV PERTIMBANGAN MAHAKAMAH AGUNG DALAM

    MENERIMA DAN MEMUTUS PININJAUAN KEMBALI

    YANG KEDUA KALINYA

    Bab IV atau bab analisis ini akan berisi tentang apa pertimbangan

    dari Mahkamah Agung dalam menerima dan memutus perkara

    peninjauan kembali yang diajukan terhadap putusan Peninjauan

    Kembali.

    BAB V PENUTUP

    Bab ini berisikan tentang kesimpulan hasil penelitian dan

    rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari sistematika

    penulisan skripsi yang pada akhirnya penelitian ini menarik

    beberapa kesimpulan penelitian untuk menjawab perumusan

    masalah.

  • 12

    BAB II

    PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA

    A. Kerangka Konseptual

    1. Definisi Hukum Acara Perdata

    Hukum acara merupakan kumpulan peraturan-peraturan yang

    mengatur mengenai tata cara untuk mengajukan suatu perkara dalam

    pengadilan. Hukum acara perdata yang disebut juga hukum perdata

    formil merupakan peraturan yang mengatur tentang cara bagaimana

    mempertahankan dan menjalankan hukum perdata materil di pengadilan.1

    Dengan perkataan lain bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana

    caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, serta memutusan dan

    melaksanakan putusan perdata yang ranahnya merupakan hukum privat

    yang dalam arti sengketa antar individu. Tuntutan Hak dalam hal ini

    ditujukan untuk melindungi individu dalam perkara perdata untuk

    menghakimi sendiri perkara yang dihadapinya. Tindakan menghakimi

    sendiri yang sewenang-wenang tanpa adanya persetujuan dari pihak lain

    atau hakim dapat menimbulkan kerugian dan ketidakadilan. Tindakan itu

    tidak dibenarkan jika ingin memperjuangkan hak masing-masing antar

    individu.2

    Penuntutan hak antar sengketa individu dalam perkara perdata

    dapat diajukan melalui persidangan di pengadilan. Dalam memenuhi hak-

    hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa dalam perkara perdata

    dibutuhkan pihak lain yang netral dalam hal ini adalah hakim pengadilan.

    Dalam proses berperkara perdata di pengadilan terdapat berbagai cara

    yang di atur sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Hukum acara

    perdata berawal dari Undang-Undang Darurat Tahun 1951 yang dikenal

    1 Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali

    Pers, 2012), h. 197 2 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta:

    Liberty, 1993), h. 2

  • 13

    dengan nama H.I.R (Het Herziene Indonesisch Reglement). H.I.R ini

    hanya berlaku untuk masyarakat di wilayah pulau Jawa dan Madura,

    sedangkan untuk diluar daerah Jawa dan Madura diatur dalam RB.g

    (Rechtsglement voor de Buitengwesten) atau reglemen daerah sebrang.

    Hukum acara perdata yang berlaku hingga saat ini adalah H.I.R. Khusus

    untuk golongan eropa, hukum acara perdata yang digunakan adalah BR.v

    (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) atau Reglement Acara

    Perdata.3

    a. Sifat dan Karakteristik Hukum Acara Perdata

    Hukum acara perdata pada saat ini memiliki sifat yang terbuka

    dan sederhana. Para hakim dalam perkara perdata memiliki

    kesempatan yang seluas-luasnya untuk menggunakan hukum

    sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam hukum

    acara perdata, orang yang merasa haknya dilanggar berhak untuk

    mengajukan tuntutan di pengadilan, begitu juga dengan orang yang

    dirasa melanggar hak juga dapat dapat kesempatan pembuktian di

    pengadilan. Dengan kata lain hal ini menunjukkan bahwa orang

    tersebut belum tentu dilanggar haknya dan orang lain melanggar

    haknya. Orang yang merasa haknya dilanggar dan mengajukan ke

    pengadilan disebut sebagai Penggugat, sedangkan orang yang dirasa

    melanggar hak orang lain yang dituntutkan di pengadilan disebut

    sebagai Tergugat.4

    Apabila dalam suatu perkara terdapat banyak pihak Penggugat,

    maka akan disebut sebgai Penggugat I, Penggugat II, dan seterusnya

    yang seluruhnya disebut Para Penggugat, demikan pula dengan

    Tergugat. Dalam perkara perdata apabila terdapat pihak yang tidak

    menguasai barang sengketa namun harus diikutsertakan untuk

    3 Djaja Meliala, HukumPerdata Dalam Prespektif BW Edisi Revisi, (Bandung:

    Nuansa Aulia, 2014), h. 3 4 Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata

    Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2009), h. 2

  • 14

    melengkapi gugatan dan mematuhi isi putusan disebut juga sebagai

    Turut Tergugat.

    Dalam perkara perdata, berdasarkan pasal 118 H.I.R dan 142 RBg,

    hakim memiliki sifat menunggu (judex no procedat ex officio), yang

    artinya inisiatif di dalam persidangan berada di tangan para pihak yang

    berperkara, jika tidak ada tuntutan maka tidak ada hakim. Hal ini berbeda

    dengan sifat hukum acara pidana yang pada dasarnya hakim tidak

    menunggu dari inisiatif para pihak untuk menyelesaikan sengketa.5

    Hakim dalam perkara perdata juga memiliki sifat pasif, yang artinya

    bahwa dalam ruang lingkup atau luasnya pokok perkara yang diajukan

    kepda hakim untuk diperiksa dan dalam menentukan pokok perkara secara

    kebenaran formil dan tidak boleh ditambahkan maupun di kurangi oleh

    hakim.6 Dalam perkara perdata terdapat perbedaan mengenai unsur dan

    nilai yang dikejar dalam suatu perkara antara hakim dengan perkara

    pidana. Hakim dalam perkara pidana memiliki peran yang aktif, yang

    mana hakim dalam hukum acara pidana harus bersifat aktif untuk

    membuktikan dan mencari kebenaran materiil dari suatu perkara.

    Dalam pemeriksaan perkara perdata terdapat dua tingkatan

    pemeriksaan, yaitu pengadilan dalam tingkat pertama (original

    jurisdiction) dan tingkat banding (appellate jurisdiction). Pengadilan

    tingkat banding ini berujuan untuk mengulangi pemeriksaan perkara dalam

    pengadilan tingkat pertama.7 Upaya hukum Banding dapat dilakukan di

    Pengadilan Tinggi dengan hakim yang tingkatanya lebih tinggi. Dengan

    demikian para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa keperdataanya

    dapat mengajukan upaya-upaya hukum dalam acara perdata sesuai dengan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    2. Upaya Hukum Dalam Hukum Acara Perdata

    5 Laila Rasyid, dan Herinawati, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Sulawesi:

    Unimal Press, 2015), h. 16 6 Elfrida Gultom, Hukum Acara Perdata Edisi Ke-2, (Jakarta: Literata, 2010),

    h. 6 7 Elfrida Gultom, Hukum Acara Perdata Edisi Ke-2,…h. 7

  • 15

    Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang

    kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan

    putusan hakim dengan cara mengajukan perlawanan terhadap putusan

    pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari yang terhitung

    sejak dikeluarkanya putusan tersebut.8 Pada dasarnya tidak ada perbedaan

    yang signifikan terkait upaya hukum dalam acara perdata maupun dalam

    acara pidana. Dalam hukum acara perdata terbagi menjadi dua macam

    upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.

    a. Upaya Hukum Biasa

    Upaya hukum biasa adalah upaya yang diajukan untuk

    melawan putusan hakim dengan tenggang waktu yang ditentukan

    oleh undang-undang untuk dapat menghentikan atau menangguhkan

    pelaksanaan putusan untuk sementara waktu. Upaya hukum biasa

    dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu:

    1) Perlawanan (verzet)

    Upaya hukum verzet atau perlawanan merupakan salah

    satu upaya hukum biasa yang dapat di ajukan oleh salah satu

    pihak atau kedua belah pihak untuk melawan suatu putusan

    verstek. Menurut Pasal 125 H.I.R, putusan verstek merupakan

    putusan yang dijatuhkan tanpa kehadian dari tergugat atau orang

    yang mewakilinya tanpa alasan yang sah dan dapat dibenarkan.9

    Pihak tergugat yang tidak hadir dalam putusan verstek

    dapat mengajukan upaya hukum perlawanan atau verzet kepada

    pengadilan. Dalam hal ini pihak terlawan yang dahulu sebagai

    penggugat, dalam tenggang waktu yang telah ditentukan oleh

    undang-undang dapat mengajukan upaya hukum Banding.

    Upaya hukum verzet dapat diajukan dalam tenggang waktu 14

    8 Rento Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata, (Bandung: CV Mandar Maju,

    2009), h. 106 9 https://www.awambicara.id/2018/04/upaya-hukum-verzet-perkara-perdata.html,

    Diakses pada tanggal 7 Oktober 2019, 11.05 WIB

    https://www.awambicara.id/2018/04/upaya-hukum-verzet-perkara-perdata.html

  • 16

    (empat belas) hari setelah putusan verstek itu diberitahukan

    kepada tergugat.

    2) Banding

    Upaya hukum Banding merupakan hak terdakwa dan hak dari

    Jaksa Penuntut Umum. Menurut P. Van Bemmelen, upaya hukum

    Banding adalah suatu pengujian terhadap ketepatan dari putusan tingkat

    pertama untuk disangkal kebenaranya.10 Andi Hamzah mengatakan

    bahwa upaya hukum Banding adalah hak terdakwa dan penuntut umum

    untuk menolak putusan pengadilan dengan tujuan untuk meminta ulang

    dengan pengadilan yang lebih tinggi, serta untuk memeriksa ketepatan

    substansi penerapan hukum dalam putusan pengadilan tingkat

    pertama.11

    Berdasarkan Pasal 67 KUHAP, terdakwa atau penuntut umum

    berhak untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan tingkat

    pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan

    hukum yang menyangkut masalah ketepatan penerapan hukum dalam

    putusan pengadilan.

    Seiring dengan berkembangnya waktu pada saat ini terhadap

    putusan bebas pun dapat diajukan banding. Terhadap putusan bebas

    tersebut dapat dimintakan upaya banding oleh Jaksa Penuntut Umum

    dengan alasan bahwa putusan bebas atau vrijspraak tersebut bukanlah

    merupakan bebas murni.12 Permohonan banding terhadap putusan bebas

    akan dapat diterima oleh Pengadilan Tinggi jika Jaksa Penuntut Umum

    dapat membuktikan bahwa terdapat ketidaktepatan dalam putusan yang

    dijatuhkan di pengadilan tingkat pertama.

    10 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya

    Bakti, 2007), h. 248 11 Rendi Renaldi Mumbunan, Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa Terhadap

    Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana, (Lex Crimen, Vol. 8, No. 10, Desember 2008,

    h. 41 12 Andi Hamzah dan Indra Dahlan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana,

    (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 59

  • 17

    Menurut Yahya Harahap, tujuan dari upaya hukum banding adalah

    untuk memeriksa dan memperbaiki kekeliruan yang terjadi pada putusan

    tingkat pertama, mencegah penyalahgunaan wewenang jabatan, dan untuk

    pengawasan terhadap keseragaman dan keadilan dalam penegakkan

    hukum.13 Permohonan banding yang biasanya diajukan oleh terpidana dan

    penuntut umum apabila terjadi kekeliruan dalam putusan tingkat pertama

    yang tidak sesuai dengan rasa keadilan, maka dari itu diperlukan lembaga

    banding yang dipegang oleh Pengadilan Tinggi untuk dapat memeriksa

    kekeliruan tersebut.

    Permohonan banding yang diajukan ke Pengadilan Tinggi dapat

    menimbulkan berbagai akibat hukum, diantaranya adalah:

    a) Putusan menjadi mentah kembali. Maksud dari putusan yang mentah

    kembali adalah putusan tersebut menjadi tidak memiliki arti dan

    kekuatan hukum yang mengikat, formalitas dari putusan tersebut tetap

    ada, tetapi nilai dari isi putusan tersebut lenyap.

    b) Seluruhnya menjadi tanggung jawab yuridis dari Pengadilan Tingkat

    Banding. Pengadilan Tinggi bertanggungjawab sejak tanggal

    permohonan banding diajukan, sepanjang permohonan banding tidak

    dicabut kembali. Peralihan tanggungjawab tersebut meliputi barang

    bukti dan penahanan, maka setelah itu pengadilan tingkat pertama

    tidak memiliki wewenang apapun.

    c) Putusan pengadilan yang di banding tidak memiliki kekuatan

    eksekusi. Hilangnya daya eksekusi dalam putusan Pengadilan Negeri

    tersebut karena putusan tersebut sudah tidak memiliki kekuatan

    hukum yang mengikat bagi para pihak.

    Pada dasarnya proses dan tenggang waktu pengajuan banding sama

    dengan kasasi. Menurut Pasal 46 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor

    14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, tenggang waktu untuk

    13 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

    Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta:

    Sinar Grafika, 2006), h. 454

  • 18

    mengajukan banding dan kasasi adalah 14 (empat belas) hari setelah putusan

    yang dimaksud disampaikan kepada pemohon. Dalam memutus perkara

    banding, pengadilan harus mempertimbangkan apakah ada kelalaian atau

    kekeliruan dalam penerapan hukum acara pada pengadilan tingkat pertama.

    Pengadilan Tinggi dengan keputusan dapat memerintahkan pengadilan

    tingkat pertama untuk memperbaiki atau Pengadilan tinggi dapat

    memperbaikinya sendiri. Jika perlu Pengadilan Tinggi dapat membatalkan

    penetapan dari pengadilan tingkat pertama sebelum putusan dari Pengadilan

    Tinggi dijatuhkan.

    Setelah mempertimbangkan pertimbangan tersebut maka Pengadilan

    tinggi dapat memutuskan untuk menguatkan putusan tingkat pertama,

    mengubah atau membatalkan putusan tingkat pertama dan megadakan

    putusan sendiri.

    3) Kasasi

    Perkataan Kasasi berhasal dari bahasa Prancis “cassation” yang

    artinya adalah memecah atau membatalkan. Berdasarkan ketentuan

    Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 kasasi merupakan alat hukum yang

    merupakan wewenang dari Mahkamah Agung. Kasasi bertujuan

    untuk memeriksa kembali dari putusan putusan terdahulu. Putusan

    terdahulu yang dimaksud adalah putusan yang telah menempuh jalur

    banding maupun putusan tingkat akhir dari semua lingkup peradilan.

    Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

    Mahkamah Agung, alasan mengajukan untuk mengajukan upaya

    hukum kasasi adalah sebagai berikut14:

    a) Tidak berwenang dan melampaui batas. Yang dimaksud adalah

    terkait kewenangan kompetensi relatif dan absolut pengadilan

    yang memeriksa perkara yang diajukan, dan pengadilan

    melampaui batas mengabulkan gugatan melebihi daripada surat

    gugatan.

    14 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan Peninjauan

    Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.233

  • 19

    b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Maksudnya

    adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun

    hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum

    yang dilakukan oleh hakim pengadilan tingkat pertama dan banding

    Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang

    berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut

    tidak tepat dilakukan oleh judex facti. Mahkamah Agung adalah judex

    juris sebagai pemeriksa penerapan hukum dari judex factie.

    c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran

    perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya

    putusan yang bersangkutan. Contohnya dalam suatu putusan tidak

    terdapat irah-irah.

    Upaya hukum kasasi merupakan upaya hukum tingkat akhir yang

    dalam wewenangnya di kuasai oleh Mahkamah Agung. Tujuan dan fungsi

    dari peradilan kasasi adalah untuk mengoreksi kesalahan dari peradilan

    dibawahnya yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi terkait

    kesalahan prosedur (procedural error), kesalahan mengenai fakta (factual

    error), serta kesalahan penerapan hukum (error in the application of law).

    Upaya hukum kasasi juga berfungsi sebagai pencegahan terhadap

    penyalahgunaan wewenang.

    b. Upaya Hukum Luar Biasa

    Upaya hukum luar biasa merupakan upaya hukum yang

    digunakan untuk putusan-putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap

    dan sudah tidak dapat diubah lagi. Karena sifatnya yang luar biasa

    menjadikan upaya hukum peninjauan kembali memiliki tata cara dan

    regulasi yang sangat ketat dan hanya dapat dilakukan sesuai dengan

    ketentuan undang-undang.15 Upaya hukum luar biasa pada dasarnya

    tidak menunda eksekusi yang dimana dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:

    15 Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi

    Perkara Perdata, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), h. 98

  • 20

    1) Upaya Hukum Peninjauan Kembali (Request Civil)

    Upaya hukum Peninjauan Kembali adalah suatu upaya hukum

    yang dilakukan oleh pihak yang kalah dalam suatu perkara untuk

    membuka kembali putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.16

    Berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

    tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa upaya hukum peninjauan

    kembali merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung. Putusan

    yang dijatuhkan dalam tingkat kasasi dan putusan yang dijatuhkan

    diluar hadirnya tergugat (verstek) serta yang tidak lagi terbuka

    kemungkinan untuk mengajukan perlawanan, dapat ditinjau kembali

    atas permohonan orang yang pernah menjadi salah satu pihak di dalam

    perkara yang telah diputus dapat dimintakan peninjauan kembali untuk

    diperiksa oleh Mahkamah Agung (Pasal 385 RV). Untuk itu request

    civil yang diatur dalam Pasal 385-401 RV, tidak lain adalah peninjauan

    kembali suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang

    tetap.

    Upaya hukum Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu)

    kali, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang

    Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sifatnya tidak

    menangguhkan atau menghentikan eksekusi atau pelaksanaan putusan.

    Permohonan Peninjauan Kembali dapat dicabut selama belum diputus,

    tetapi apabila sudah dicabut maka tidak dapat diajukan kembali.

    Terkait frasa satu (1) kali dalam permohonan Peninjauan Kembali

    diperkuat oleh Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

    2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mana berbunyi: “Terhadap

    putusan Peninjauan Kembali tidak dapat dilakukan Peninjauan

    Kembali”. Diperkuat lagi oleh Reglement op de Rechtvordering (RV)

    atau Reglemen Acara Perdata Bab XI Tentang Peninjaun Kembali Pasal

    400 yang berbunyi “Setelah mengajukan peninjauan kembali, entah itu

    16 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),

    h. 47

  • 21

    diterima atau tidak, maka tidak dapat diajukan peninjauan kembali yang

    kedua, baik terhadap putusan yang diberikan dalam peninjauan kembali

    maupun terhadap putusan sesudah putusan peninjauan kembali itu

    diterima dalam pokok perkaranya”.

    Alasan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam

    perkara perdata diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun

    1985 tentang Mahkamah Agung yang diantaranya adalah:

    a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya

    diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh

    hakim pidanan dinyatakan palsu.

    b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa

    tidak dapat ditemukan.

    c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.

    d) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya.

    e) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama

    atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang

    bertentangan satu dengan yang lain.

    f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

    Pengajuan permohonan peninjauan kembali dengan alasan-alasan

    tersebut, dapat diajukan sendiri oleh pihak yang berkepentingan atau ahli

    warisnya dan dapat juga diajukan oleh kuasa hukum yang diberi surat kuasa

    khusus untuk mengajukan gugatan atau permohonan secara tertulis dengan

    menyebutkan alasan-alasannya yang sah yang dapat dijadikan sebagai dasar

    hukum permohonan peninjauan kembali.17 Proses pengajuan peninjauan

    kembali selambat-lambatnya 180 (seratus delapan puluh) hari dan dapat

    juga diajukan secara lisan di hadapan ketua pengadilan atau hakim yang

    ditunjuk oleh ketua pengadilan.

    17 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata

    dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2009), h. 2

  • 22

    2) Perlawanan Pihak Ketiga (derdenverzet)

    Berdasarkan Pasal 1917 KUHPerdata, pada dasarnya Pada

    asasnya suatu putusan hanya mengikat para pihak yang berperkara

    dan tidak mengikat pihak ketiga, akan tetapi berdasarkan Pasal 378

    Rv, apabila pihak ketiga merasa hak-haknya dirugikan oleh suatu

    putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan

    tersebut. Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang menjatuhkan

    putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang

    bersangkutan dengan cara biasa. Jika perlawanan tersebut

    dikabulkan, maka putusan yang bertentangan itu diperbaiki jika

    putusan tersebut benar-benar merugikan pihak ketiga tersebut.18

    3. Peninjauan Kembali Sebagai Upaya Hukum Luar Biasa

    Upaya hukum Peninjauan kembali merupakan suatu upaya hukum

    luar biasa yang dalam proses pengajuannya sangat ketat diawasi dan dibatasi

    oleh undang-undang. Berdasarkan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor

    14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang membatasi pengajuan

    peninjauan kembali hanya 1 (satu) kali merupakan bentuk sifat upaya

    hukum peninjauan kembali sebagai upaya hukum yang luar biasa. Prinsip

    ini bertujuan untuk menekankan dan menegakkan kepastian hukum (to

    enforce legal certainty).

    Maksud dari dibatasinya peninjauan kembali 1 (satu) kali ialah,

    apabila berdasarkan permohonan peninjauan kembali oleh salah satu pihak

    yang berperkara telah di dijatuhkan putusan oleh Mahkamah Agung, maka

    terhadap putusan tersebut tidak dapat diajukan peninjauan kembali sekali

    lagi oleh para pihak. Misalnya A berperkara dengan B dan putusan sudah

    berkekuatan hukum tetap inkrah, terhadap putusan inkrah tersebut A

    mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dan permohonan dibenarkan

    dan memenangkan A, maka terhadap selanjutnya tertutuplah hak B untuk

    18 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,

    2010), h. 3

  • 23

    mengajukan peninjauan kembali yang kedua. Atau sekiranya permohonan A

    ditolak maka tertutuplah hak A untuk mengajukan peninjauan kembali

    sekali lagi.19

    Prinsip ini sama dengan prinsip yang diterapkan dalam upaya

    hukum kasasi. Sekiranya undang-undang memperbolehkan pengajuan kasasi

    dan peninjauan kembali lebih dari sekali maka akan terjadi kekacauan yang

    berlanjut, dan akan tidak mungkin kepastian hukum ditegakkan, hal ini

    sesuai dengan asas litis finiri oportet, yaitu setiap perkara harus ada

    akhirnya. Menurut Yahya Harahap jika putusan peninjauan kembali telah

    dijatuhkan, kemudian diajukan peninjauan kembali lagi terhadap perkara

    tersebut, maka yang terjadi adalah peninjauan kembali terhadap putusan

    peninjauan kembali. Tindakan tersebut melanggar Pasal 24 ayat (2) Undang-

    Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tindakan

    tersebut dapat merusak dan menghancurkan tatanan penegakkan kepastian

    hukum dan ketertiban umum dalam penegakkan hukum di Indonesia.

    Perbedaan pendapat terkait masalah pembatasan peninjauan kembali

    juga marak terjadi dikalangan praktisi hukum. Menurut Swantoro jika

    peninjauan kembali dibatasi maka akan berimplikasi terhadap prinsip

    keadilan, karna sesungguhnya tujuan utama hukum adalah keadilan.20

    4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

    Undang-undang tentang Mahkamah Agung ini merupakan undang-

    undang pelaksana dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

    Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang bertujuan untuk mengatur

    secara khusus tentang Mahkamah Agung.

    Undang-undang ini juga menegaskan tentang peninjauan kembali

    sebagai upaya hukum luar biasa yang dalam prosesnya merupakan

    kewenangan Mahkamah Agung. Undang-undang ini juga membahas terkait

    19 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan

    Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 445 20 Herri Swantoro, Harmonisasi Keadilan dan Kepastian Dalam Peninjauan

    Kembali, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 10

  • 24

    pembatasan upaya hukum peninjauan kembali yang terdapat dalam bagian

    keempat tentang pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan yang

    telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum peninjauan kembali dalam

    undang-undang ini hanya tercantum dalam Pasal 66, yang isinya

    menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1

    (satu) kali saja, permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau

    menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan, Permohonan peninjauan

    kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut

    permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi.

    Berdasarkan Pasal 67, tenggang waktu untuk mengajukan

    peninjauan kembali adalah 180 (seratus delapan puluh) hari. Berdasarkan

    Pasal 74, Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan

    peninjauan kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang

    dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa serta

    memutus sendiri perkaranya. Selain menerima, Mahkamah Agung dapat

    menolak permohonan peninjauan kembali, dalam hal Mahkamah Agung

    berpendapat bahwa permohonan itu tidak beralasan, dalam hal menerima

    maupun menolak perkara peninjauan kembali, semuanya harus berdasarkan

    pertimbangan-pertimbangan hukum yang jelas.

    Undang-undang Mahkamah Agung ini masih digunakan hingga

    saat ini terkait pengaturan mengenai upaya hukum peninjauan kembali.

    Undang-undang ini sering sekali dijadikan sumber terkait peninjauan

    kembali, walaupun terkait pasal yang mengatur pembatasan peninjauan

    kembali sering kali menjadi pro kontra di kalangan para praktisi hukum dan

    para pencari keadilan (justice seekers). Kejanggalan menjadi masalah dari

    pembatasan peninjauan kembali yang meimbulkan kebingungan dikalangan

    praktisi hukum maupun di kalangan masyarakat umum dan kerap beberapa

    kali diajukan untuk uji materil di Mahkamah Konsitusi. Bukan hanya

    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang

    diajukan uji materiil, tetapi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

    Kekuasaan Kehakiman juga turut di uji.

  • 25

    5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

    Kehakiman

    Undang-undang ini merupakan perubahan dari Undang-Undang

    Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

    Undang-undang ini dibuat lebih rinci dan detail mengikuti perkembangan

    zaman dan sistem peradilan di Indonesia. Mengenai aturan upaya hukum

    peninjauan kembali di dalam undang-undang ini hanya diatur dalam 1 (satu)

    pasal saja, yaitu Pasal 24 yang bunyinya:

    1. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan

    peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal

    atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

    2. Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

    Pembatasan upaya hukum peninjauan kembali di dalam Undang-

    Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ini di atur

    dalam Pasal 24 ayat (2). Pasal ini juga kerap dijadikan bahan untuk diajukan

    uji materil di Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 ayat (2) ini terkait pembatasan

    bahwa peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali di uji dengan

    Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1),

    Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 di dalam Putusan

    Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010. Para pemohon

    merupakan para pencari keadilan yang menginginkan peninjauan kembali

    yang adil.

    6. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009

    tentang Permohonnan Pengajuan Peninjauan Kembali

    SEMA ini merupakan surat perintah dan petunjuk khusus yang

    dikeluarkan oleh Mahakamah Agung untuk digunakan oleh setiap

    pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding untuk melaksanakan aturan

    mengenai upaya hukum peninjauan kembali sesuai dengan undang-undang

    yang berlaku. SEMA Nomor 10 Tahun 2009 ini menegaskan bahwa

  • 26

    lembaga hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa

    yang hanya dapat dilakukan hanya 1 (satu) kali sesuai dengan peraturan

    perundang-undangan.

    Menurut pemantauan Mahkamah Agung, hingga saat ini masih ada

    permohonan peninjauan kembali dalam suatu perkara yang sama yang

    diajukan lebih dari 1 (satu) kali, sehingga demi kepastian hukum serta untuk

    mencegak penumpukan permohonan peninjauan kembali di Mahkamah

    Agung, maka Mahkamah Agung memenadang perlu memberikan petunjuk

    sebagai berikut:

    1. Permohonan Peninjauan Kembali dalam suatu perkara yang sama

    yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali baik dalam perkara perdata

    maupun perkara pidana dinyatakan bertentangan dengan undang-

    undang. Oleh karena itu apabila suatu perkara diajukan permohonan

    peninjauan kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua

    Pengadilan tingkat pertama dengan mengacu secara analog kepada

    ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

    Mahkamah Agung, agar dengan penetapan ketua pengadilan tingkat

    pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan

    berkas perkaranya tidak perlu dikirimkan ke Mahkamah Agung

    2. Apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan

    peninjauan kembali yang bertentangan dengan yang lain baik dalam

    perkara perdata maupun pidana, dan diantaranya ada yang diajukan

    peninjauan kembali, agar permohonan peninjauan kembali tersebut

    diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah

    Agung.

    Dikeluarkanya SEMA Nomor 10 Tahun 2009 ini menimbulkan

    pertentangan dikalangan praktisi hukum. SEMA ini dinyatakan tidak sesuai

    dengan tujuan hukum yaitu keadilan. Pembatasan peninjauan kembali yang

    ditegaskan Mahkamah Agung dalam SEMA ini dirasa hanya mementingkan

  • 27

    kepastian hukum dalam hal formil, tetapi mengabaikan inti dari tujuan

    hukum itu sendiri yaitu keadilan.

    7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010

    Putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan awal dari

    permasalahan terkait pembatasan upaya hukum peninjauan kembali, dimana

    para pencari keadilan menginginkan upaya hukum peninjauan kembali

    memberikan hak yang sama bagi para pihak yang berperkara. Dalam

    putusan ini yang mengajukan permohonan adalah para pemohon dari PT.

    Haranggajang yang memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji

    materiil yang ada para Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun

    1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang

    Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang keduanya

    memilki frasa membatasi bahwa peninjauan kembali hanya dapat dilakukan

    1 (satu) kali.

    Dalam proses uji materill ini terdapat pendapat dan keterangan dari

    Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga Legislatif. Keterangan

    DPR terdapat pada bagian C [2.9] dari putusan ini yang mengatakan:

    “Bahwa dengan pengajuan peninjauan kembali yang tidak dibatasi, justru

    dapat menimbulkan kerugian bagi para pencari keadilan dalam proses

    pencarian keadilan. Karena apabila dibuka peluang untuk pengajuan

    peninjauan kembali lebih dari sekali, hal ini melanggar undang-undang.,

    dan juga mengakibatkan penyelesaian perkara menjadi panjang yang

    tidak berakhir tanpa ujung, yang justru dapat menimbulkan

    ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan.”21

    Dalam putusan ini pernyataan dari pemerintah dan DPR yang

    merupakan satu kesatuan dalam putusan Mahkamah Konstitusi ini

    menegaskan dan menyatakan bahwa memang upaya hukum peninjauan

    kembali merupakan upaya hukum yang sifatnya luar biasa, yang dalam

    prosesnya harus dibatasi dan diatur secara jelas dan tegas dalam peraturan

    perundang-undangan yang mengatur agar tercapainya kepastian hukum

    21 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VII/2010, h. 64

  • 28

    yang adil. Pernyataan tersebut sesuai dengan asas “Litis Finiri Oportet”

    yang artinya setiap perkara harus ada akhirnya. Pernyataan tersebut juga

    sesuai dengan adagium yang menyatakan “Justice Delayed is Justice

    Denied” yang artinya bahwa keadilan yang tertunda-tunda atau di perlambat

    prosesnya merupakan keadilan yang tertolak, atau tidak benar.

    Dalam putusan ini terlihat juga pandangan Mahkamah dan

    pemerintah bahwa memang benar Upaya Hukum “Peninjauan Kembali”

    adalah bentuk upaya hukum yang bersifat luar biasa atau istimewa, yang

    penggunaannya pun dilakukan secara selektif dan hanya digunakan dalam

    situasi khusus, karena sudah tidak akan ada upaya hukum lain. Oleh

    karenanya, penggunaannya pun dibatasi dengan syarat khusus yaitu “(jika)

    ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan atau

    kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya” [vide penjelasan Pasal 24

    ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

    Kehakiman]. Sehingga, upaya hukum “Peninjauan Kembali” ini sudah tepat

    apabila dibatasi hanya dapat diajukan satu kali [vide Pasal 66 ayat (1)

    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto Undang-Undang Nomor 5

    Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang

    Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

    Mahkamah Agung dan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun

    1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana], mengingat

    harus dipenuhinya azas keadilan hukum dan azas kepastian hukum.

    Bahwa menurut Mahkamah pembatasan permohonan peninjauan

    kembali hanya untuk satu kali tidak ada relevansinya dengan jaminan

    persamaan di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Pembatasan peninjauan kembali hanya untuk

    satu kali adalah pembatasan yang berlaku umum bagi setiap orang dan tidak

    ada pembedaan antara seseorang dengan seseorang yang lain in casu

    Pemohon. Dari pendapat DPR dan Pemerintah maka disimpulkan bahwa

    permohonan pemohon terkait uji materil pasal yang membatasi soal

    peninjauan kembali tidak beralasan.

  • 29

    Menurut Mahkamah jika ketentuan permohonan peninjauan

    kembali sebagai upaya hukum luar biasa tidak dibatasi, maka akan terjadi

    ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sampai berapa kali peninjauan

    kembali dapat dilakukan. Keadaan demikian akan menimbulkan

    ketidakpastian hukum yang adil kapan suatu perkara akan berakhir yang

    justru bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 yang harus memberikan

    pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil

    terhadap setiap orang.

    8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013

    Putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan putusan yang

    memeriksa terkait pengajuan uji materiil pasal yang mengatur terkait

    pembatasan peninjauan kembali, namun dalam putusan kali ini ranah yang

    di uji merupakan ranah perkara pidana. Para pemohon yang terdiri dari

    Antasari Azhar, S.H., M.H., Ida Laksmiwaty S.H., Ajeng Oktarifka

    Antasariputri, memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji materiil

    Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

    Acara Pidana yang berbunyi “Permintaan peninjauan kembali atas suatu

    pemutusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.” Pasal tersebut di

    benturkan atau diuji dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang

    menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

    perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang

    sama di hadapan hukum.

    Menurut pemohon bahwa larangan terhadap peninjauan kembali

    untuk kedua kalinya setidak-tidaknya mengabaikan prinsip dan nilai

    keadilan materil, prinsip negara hukum yang menjamin hak asasi warga

    negara untuk memperjuangkan keadilan, dan bertolak belakang dengan

    hukum responsif dan progresif, sehingga untuk pencarian keadilan tidak

    boleh ada pembatasan. Bahwa hal tersebut menyatakan bahwa tujuan

    utama dari adanya hukum adalah untuk menciptakan keadilan.

  • 30

    Bahwa dalam doktrin hukum pidana letak keadilan lebih tinggi

    daripada kepastian hukum, sehingga apabila harus memilih maka keadilan

    mengeyampingkan kepastian hukum. Dengan demikian pengajuan

    Peninjauan Kembali oleh korban atau ahli warisnya dan dapat diajukan

    lebih dari sekali adalah dalam rangka mencari dan memperoleh keadilan

    harus diberi peluang walaupun mengeyampingkan kepastian hukum. Di

    sisi lain peninjauan kembali jelas-jelas tidak menghalangi eksekusi

    putusan pidana, sehingga sebenarnya tidak ada relevansinya dengan

    kepastian hukum.

    Menurut pemohon bahwa permohonan pengujian undang-undang

    ini berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-

    VIII/2010 dan Nomor 64/PUU-VIII/2010 di mana pengujian judicial

    review ditolak karena bersifat umum karena juga menguji UU Mahkamah

    Agung dan UU Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya termasuk

    Peninjauan Kembali terhadap perkara perdata . Sementara judicial review

    yang diajukan ini khusus terhadap Peninjauan Kembali pada Undang-

    Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang

    menganut pembuktian materil sehingga untuk mendapatkkan kebenaran

    berdasarkan novum tidak boleh hanya dibatasi satu kali pengajuannya.

    Peninjauan Kembali yang diatur dalam KUHAP bersifat lex spesialis

    terhadap peninjauan kembali yang diatur Undang-Undang Mahkamah

    Agung dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

    Menurut mahkamah, apabila tidak diatur mengenai pembatasan

    berapa kali upaya hukum (dalam hal ini peninjauan kembali) dapat

    dilakukan maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum

    sampai berapa kali peninjauan kembali dapat dilakukan yang

    mengakibatkan penanganan perkara tidak pernah selesai. Selain itu juga

    dapat membuat menunda tegaknya keadilan bagi pencari keadilan itu

    sendiri hingga jangka waktu yang tidak dapat ditentukan mengingat

    potensi akan timbulnya fakta hukum baru (novum) yang bisa mengubah

    putusan Peninjauan Kembali yang telah ada sebelumnya. Selain itu, sistem

  • 31

    peradilan pidana (criminal justice system) yang adil akan menjadi sistem

    peradilan pidana yang berkepanjangan, melelahkan, serta kepastian hukum

    dan keadilan hukum juga tidak akan kunjung diperoleh.

    Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kepastian

    hukum atas penyelesaian suatu perkara, sehingga seseorang tidak dengan

    mudahnya melakukan upaya hukum peninjauan kembali secara berulang-

    ulang. Lagi pula, pembatasan tersebut sejalan dengan proses peradilan

    yang menghendaki diterapkannya asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.

    Dengan pembatasan itu pula akan terhindarkan adanya proses peradilan

    berkepanjangan dan mengakibatkan berlarut larutnya pula upaya

    memperoleh 81 (delapan puluh satu) keadilan yang pada akhirnya justru

    dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri

    sebagaimana dilukiskan dalam adagium "justice delayed justice denied."

    Mahkamah berpendapat bahwa benar dalam ilmu hukum terdapat

    asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun

    menurut Mahkamah, hal itu berkait dengan kepastian hukum, sedangkan

    untuk keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak secara detail dapat

    diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu

    kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum). Hal

    itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi

    oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan

    keadilan.

    Dalam hal ini mahkamah menyatakan menerima dan

    mengabulkan permohonan pemohon terkait pembatasan peninjauan

    kembali dalam perkara pidana. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa

    terdapat inkonstitusional dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP dan

    menyatakan bahwa peninjauan kembali dalam perkara pidana boleh

    dilakukan lebih dari 1 (satu) kali.22 Dasar pertimbangan Mahkamah

    Konstitusi dalam memutus perkara tersebut karena pasal 28J ayat (2)

    22 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34?PUU-XI/2013 Tentang Pengujian

    Undang-undang Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, h. 89

  • 32

    UUD 1945 tidak dapat membatasi aturan dalam peninjauan kembali hanya

    satu kali. Hal tersebut dikarenakan upaya hukum pengajuan peninjauan

    kembali dalam perkara pidana sangat terkait dengan hak asasi manusia

    yang paling mendasar yaitu menyangkut kebebasan dan kehidupan

    manusia.

    Mahkamah Konstitusi juga menyatakan pertimbanganya dalam

    putusan Nomor 34/PUU-XI/2013, bahwa upaya hukum peninjauan kembali

    untuk perkara diluar pidana, termasuk perkara perdata tetap perlu dibatasi

    hanya 1 (satu) kali. Hal tersebut berdasarkan pendapat Mahkamah

    Konstitusi dari Putusan Nomor 16/PUU-VIII/2010 dan Putusan Mahkamah

    Konstitusi Nomor 64/PUU-VIII/2010, karena dalam perkara perdata yang

    dikejar adalah kebenaran formil bukan kebenaran materil seperti perkara

    pidana.

    B. Kerangka Teoritis

    1. Teori Kepastian Hukum

    Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab

    secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif

    adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena

    mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan

    keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu

    sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau

    menimbulkan konflik norma yang dapat menyebabkan kekacauan tatanan

    hukum . Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat

    berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Hal itu

    dapat menyebabkan penyelesaian sengketa atau permasalahan dalam

    hukum menjadi terhambat dan dapat mengakibatkan tidak tegaknya

    keadilan itu sendiri di dalam suati hukum.

    Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma

    adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen

    dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus

  • 33

    dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang disepakati

    dengan konsultasi bersama deliberative. Undang-undang yang berisi

    aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu untuk

    dapat bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan

    sesama individu maupun dalam hubungan dengan masyarakat. Adanya

    aturan itu dan pelaksanaan aturan tersbut menimbulkan kepastian

    hukum.23

    Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,

    yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu

    mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan

    kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan

    pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu

    dapat mengetahu apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh

    negara terhadap individu.

    Kepastian hukum berangkat dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang

    didasarkan pada aliran pemikiran Positivisme di dunia hukum yang

    cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom yang mandiri,

    karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar

    menjamin terwujudnya keadilan oleh hukum yang bersifat umum. Sifat

    umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak

    bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan

    semata-mata untuk kepastian.24

    Upaya hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum yang

    luar biasa, yang dalam penegakkanya adalah dalam tingkat yang paling

    akhir dan harus bersifat pasti. Kepastian hukum harus diteggakan dalam

    penerapan hukum. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus

    diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga

    unsur tersebut harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara

    23 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008),

    h. 58 24 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya,

    1999), h. 23

  • 34

    proporsional seimbang. Dalam prakteknya tidak selalu mudah

    mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga

    unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus

    diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan akibat ketidakjelasan dalam

    suati perkara kapan akan berakhir.

    2. Teori Kebenaran Hukum

    Kebenaran hukum adalah suatu kenyataan yang terjadi dalam suatu

    peristiwa hukum. Dalam pembuktian perkara pidana (hukum acara

    pidana) adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materil, yaitu

    kebenaran yang sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Hakim perkara

    pidana dalam mencari kebenaran materiil maka membutuhkan peristiwa

    hukumnya harus terbukti (beyond reasonable doubt).25

    Dalam pembuktian hukum acara perdata adalah bertujuan untuk

    mencari kebenaran formil (formeel waarbeid). Dalam perkara perdata

    hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh para pihak

    yang berperkara atau hakim bersifat pasif. Jadi harkim untuk mencapai

    kebenaran formil cukup membuktian dengan bukti yang dominan

    (preponderance of evidence).26 Dalam penegakkan hukum formil proses

    penegakkan hukumnya tidak boleh berlarut-larut.

    C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

    Setelah peneliti melakukan peninjauan terhadap kajian terdahulu

    terdapat beberapa kajian yang berkaitan dengan penelitian yang ini yaitu:

    1. Skripsi yang disusun oleh Asriandi.27 Perbedaan Peneliti membahas

    tentang putusan Peninjauan Kembali yang diajukan terhadap putusan

    25 Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Rangkang

    Education, 2013), h. 241 26 Elfrida Gultom, Hukum Acara Perdata Edisi ke 2, (Jakarta: Literata, 2010), h.

    55 27 Asriandi, “Kepastian Hukum Peninjauan Kembali Pasca Putusan Mahkamah

    Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Dan Surat edaran Mahkamah Agung Nomor 7

    Tahun 2014 Di Pengadilan Negeri Makassar”(Makassar: Skripsi Universitas Islam

    Negeri Makassar, 2017, h. 3

  • 35

    Peninjauan Kembali dalam perkara perdata dan dikaitkan dengan

    peraturan perundang-undangan. Persamaan yang terdapat antara peneliti

    dan Asriandi ialah terkait tentang upaya hukum luar biasa Peninjauan

    Kembali dalam esensi kepastian hukum

    2. Skripsi yang disusun oleh Gardanusa.28 Perbedaan Peneliti membahas

    tentang putusan Peninjauan Kembali yang diajukan terhadap putusan

    Peninjauan Kembali dalam perkara perdata dan dikaitkan dengan

    peraturan perundang-undangan. Persamaan yang terdapat antara peneliti

    dan Gardanusa adalah terkait tentang upaya hukum luar biasa Peninjauan

    Kembali dalam esensi kepastian hukum.

    3. Jurnal Mimbar Hukum/Volume 29/Nomor 2/Juni 2017/Halaman 189-

    204. 29 Perbedaan dengan skripsi ini adalah, peneliti membahas mengenai

    upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perdata yang harus

    dibatasi berdasarkan kepastian hukum sedangkan dalam jurnal ini

    membahas mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara

    perdata yang menurut keadilan dapat dilakukan lebih dari satu kali.

    Persamaan yang terkandung dalam penelitian kali ini terdapat dalam

    objek pembahasan yang sama yaitu upaya hukum Peninjauan Kembali

    dalam perkara perdata.

    28 Gardanusa, “Peninjauan Kembali Atas Putusan Peninjauan Kembali DIdalam Perkara Pidana (Studi Kasus: Djoko Soegiarto Tjandra)”, (Depok: Skripsi Mahasiswa Universitas Indonesia, 2013, h. 4

    29 Swantoro Herri, Efa Laela Fakhrihah, Isis Ikhwansyah, “Permohonan Upaya

    Hukum peninjauan Kembali Kedua Kali Berbasis Keadilan dan Kepastian Hukum”.

    (Mimbar Hukum, Vol. 29, No. 2, Juni 2017, h. 189

  • 36

    BAB III

    DUDUK PERKARA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

    629/PK/Pdt/2015 DAN 118/PK/Pdt/2018

    A. Putusan Mahkamah Agung Nomor 629/PK/Pdt/2015

    Putusan Mahkamah Agung ini adalah putusan peninjauan kembali yang

    pertama dalam perkara sengketa tanah antara ahli waris melawan PT. Suzuki

    Indomobil, yang mana isinya adalah memeriksa perkara perdata dalam

    peninjauan kembali telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara dengan

    para pihaknya yaitu NY. MINTJE SARTJE MALEKE, NY. HERMI VEIBE

    SIWY, NY. HETTY SIWY, NY. HELLY DEBBY DESSY SIWY, dan

    TUAN HARRY YOPPY SIWY. Semuanya bertempat tinggal di Jalan Jaga 1,

    Desa Penasen, Kecamatan Kakas, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara,

    merupakan Para Ahli Waris Sah dari Almarhum Herman Siwy; Dalam hal ini

    memberi kuasa kepada Syarif Fadillah, S.H., M.H dan kawan-kawan Para

    Advokat pada kantor Hukum Syarif Fadillah & Partners, beralamat di Jalan

    Raya Jatiwaringin Nomor 12, Pondok Gede, Kota Bekasi, berdasarkan Surat

    Kuasa Khusus tanggal 7 Maret 2015, Para Pemohon Peninjauan Kembali

    dahulu Para Termohon Kasasi/Para Tergugat/Para Pembanding, melawan PT

    SUZUKI INDOMOBIL MOTOR dahulu PT INDOMOBIL SUZUKI

    INTERNATIONAL, berkedudukan di Jakarta, beralamat kantor di Jalan MT.

    Haryono Kav. 8 Jakarta Timur, yang dalam hal ini diwakili oleh Shuji Oishi

    selaku Presiden Direktur PT Suzuki Indomobil Motor dahulu PT Indomobil

    Suzuki International, memberi kuasa kepada Dr. Otto Hasibuan, S.H. M.M.,

    dan kawankawan, Para Advokat pada kantor Advokat Otto Hasibuan &

    Associates, beralamat di Komplek Duta Merlin Blok B-30, Jalan Gajah Mada

    Nomor 3-5, Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 8 Juni

    2015 Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi/

    Penggugat/Terbanding dan BADAN PERTANAHAN NASIONAL

    REPUBLIK INDONESIA Cq. KANTOR PERTANAHAN WILAYAH DKI

  • 37

    JAKARTA Cq. KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA JAKARTA

    SELATAN, beralamat di Jalan Prapanca Raya Nomor 9 Jakarta Turut

    Termohon Peninjauan Kembali dahulu Turut Termohon Kasasi/Turut

    Tergugat/Turut Terbanding.

    Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata Para Pemohon

    Peninjauan Kembali dahulu sebagai Para Termohon Kasasi/Para

    Tergugat/Para Pembanding telah mengajukan permohonan peninjauan

    kembali terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 2111 K/Pdt/2013

    tanggal 12 Desember 2013 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam

    perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai

    Pemohon Kasasi/Penggugat/ Terbanding dan Turut Termohon Peninjauan

    Kembali dahulu sebagai Turut Termohon Kasasi/Turut Tergugat/Turut

    Terbanding dengan posita gugatan sebagai berikut:

    1. Bahwa gugatan ini diajukan oleh Penggugat dalam kepentingan hukum

    guna mempertahankan hak keperdataan Penggugat atas tanah yang

    diperoleh dan atau dikuasai sah secara hukum oleh Penggugat yaitu atas

    tanah seluas 3.880 m2 yang terletak di Jalan MT. Haryono Kavling 20,

    Kecamatan Tebet, Kotamadya Jakarta Selatan, dengan batas-batas tanah

    sebagai berikut; sebelah Utara: Jalan Tebet Barat Dalam X, Sebelah

    Selatan: Jalan MT. Haryono, Sebelah Timur: Tanah Negara, Sebelah

    Barat: Tanah Milik PT Bank Mandiri, Tbk, sebagaimana dahulu termasuk

    pada Tanda Bukti Hak yaitu Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor

    3296/Tebet Barat, tertanggal 25 Oktober 2005 (selanjutnya disebut “tanah

    objek sengketa”).

    2. Bahwa yang menjadi dasar hukum Penggugat memperoleh hak atas tanah

    objek sengketa tersebut adalah berasal dari transaksi jual-beli tanah yang

    dilakukan antara Penggugat selaku Pembeli dengan PT Satria Dian

    Kencana selaku Penjual pada tanggal 13 Desember 2004, sebagaimana

    dibuktikan berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 218/2004, tertanggal 13

    Desember 2004, yang dibuat oleh Penjabat Pembuat Akta Tanah Bray

    Mahyastoeti Notonegoro, S.H., di Kotamadya Jakarta Selatan yang

  • 38

    manaperalihan hak atas tanah objek sengketa telah turut serta didaftarkan

    peralihannya di Kantor Pertahanan Kotamadya Jakarta Selatan pada

    tanggal 21 Februari 2005.

    3. Bahwa setelah hak atas tanah objek sengketa tersebut beralih sah secara

    hukum kepada Penggugat, selanjutnya Penggugat mengajukan

    permohonan hak atas tanah objek sengketa yaitu Hak Guna Bangunan

    Kepada Turut Tergugat, dan melalui Surat Keputusan Kepala Kantor

    Wilayah BPN DKI Jakarta Nomor: 086/51-550.2-09.02-2005 tertanggal

    11 Oktober 2005, Penggugat diberikan hak guna bangunan di atas tanah

    objek sengketa sebagaimana berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan

    Nomor 3296/Tebet Barat, yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan

    Kotamadya Jakarta Selatan tertanggal 25 Oktober 2005.

    4. Bahwa kemudian dalam perkembangannya, hak atas tanah objek sengketa

    yakni hak guna bangunan yang dipegang/diperoleh sah secara hukum oleh

    Penggugat termaksud pada butir 3 di atas, terancam keberadaannya, akibat

    adanya klaim/tuntutan yang dilakukan oleh (almarhum) Herman Siwy

    selaku Pewaris dari Para Tergugat (selanjutnya disebut “Pewaris Para

    Tergugat”) terhadap tanah objek sengketa dengan menggunakan dasar

    Akta Hibah Nomor 1 tertanggal 2 September 1996, yang terbuat dihadapan

    Tieneke Y.J. Mewengkang, S.H, Notaris di Tondano (selanjutnya disebut

    “Akta Hibah’’).

    5. Bahwa kemudian dalam perkembangannya, hak atas tanah objek sengketa

    yakni hak guna bangunan yang dipegang/diperoleh sah secara hukum oleh

    Penggugat yaitu PT. Suzuki Indomobil termaksud pada butir 3 di atas,

    terancam keberadaannya, akibat adanya klaim/tuntutan yang dilakukan

    oleh (almarhum) Herman Siwy selaku Pewaris dari Para Tergugat

    (selanjutnya disebut “Pewaris Para Tergugat”) terhadap tanah objek

    sengketa di wilayah Tebet Jakarta Selatan dengan menggunakan dasar

    Akta Hibah Nomor 1 tertanggal 2 September 1996, yang terbuat dihadapan

    Tieneke Y.J. Mewengkang, S.H, Notaris di Tondano Sulawesi

    (selanjutnya disebut “Akta Hibah’’).

  • 39

    6. Bahwa sebelum meninggal dunia, Pewaris Para Tergugat

    mengklaim/menuntut bahwa tanah objek sengketa yang telah

    diperoleh/dipegang hak atas tanahnya oleh Penggugat adalah merupakan

    tanah milik dari Pewaris Para Tergugat yang diperolehnya dari Ny.

    Annatje Magdalena Rombot selaku orang tua/ibu dari Pewaris Para

    Tergugat dengan berdasarkan akta hibah. Tuntutan/klaim termasuk terlihat

    secara nyata pada tanggal 26 November 2006, Pewaris Para Tergugat telah

    mengajukan permohonan kepada Turut Tergugatuntuk diterbitkannya

    sertifikat hak guna bangunan di atas bidang tanah kavling 19 dan Kavling

    20, yang terletak di Jalan MT. Haryono, Kelurahan Tebet Barat,

    Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan yang dalam hal tersebut juga termasuk

    tanah objek sengketa (Tanah Kav. 20) milik Penggugat.

    Bahwa putusan Mahkamah Agung Nomor 629/PK/Pdt/2015 ini

    menghasilkan amar putusan yang hasilnya menyatakan bahwa Mengabulkan

    permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan Kembali: 1.

    NY. MINTJE SARTJE MALEKE, NY. HERMI VEIBE SIWY, NY. HETTY

    SIWY, NY. HELLY DEBBY DESSY SIWY dan TUAN HARRY YOPPY

    SIWY tersebut dan Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2111

    K/Pdt/2013 tanggal 12 Desember 2013.

    Berdasarkan amar putusan PK tersebut dapat disimpulkan bahwa

    Mahkamah Agung menerima permohonan upaya hukum peninjauan kembali

    dari para ahli waris dan menyatakan bahwa ha katas tanah adalah milik para

    ahli waris berdasarkan bukti baru (novum) berupa akta hibah nomor 1 tanggal

    2 September 1996, dan membatalkan putusan Kasasi yang memenangkan PT.

    Suzuki Indomobil atas hak tanah objek sengketa.

    B. Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018

    Putusan Mahkamah Agung ini merupakan putusan peninjauan kembali

    yang kedua dalam kasus sen