unud-920-828874169-ujian iii

142
1 BAB I PENDAHULUAN Pada  bab pendahuluan ini akan diuraikan tentang latar belakang peneliti an, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Pada subbab latar belakang akan dijelaskan secara singkat mengenai dasar pemahaman permasalahan yang terjadi dan ketertarikan topik penelitian serta alasan tentang hal-hal yang membuat  penelitian ini layak untuk dilakukan. Berpijak dari latar belakang permasalahan, kemudian dirumuskan beberapa rumusan permasalahan, tujuan serta manfaat  penelitian. 1.1 Latar Belakang Tanah pelaba pura merupakan salah satu tipologi tanah adat yang penting untuk dicermati terkait nilai dan vitalnya fungsi lahan  pelaba pura bagi kehidupan  Desa Pakraman. Tanah  pelaba pura merupakan tanah adat dengan status kepemilikan komunal yang mengandung nilai religius karena keterkaitannya dengan keberadaan Pura. Intererelasinya menimbulkan perlakuan yang tidak  biasa, mempunyai nilai sakral dan realitasnya menjadi suatu entitas supernatural hierophany ” Eliade (1961). Esensi lahan  pelaba pura adalah sebagai penunjang keberlangsungan pura itu sendiri (Ambara:2009, Budiana: 2006). Terkait fungsinya yang krusial, keberadaannya perlu diperhatikan, terlebih kehidupan  pakraman pada saat ini mulai dan sedang memasuki kehidupan yang jauh lebih kompleks daripada keadaan sebelumnya. 1

Upload: arliansyah-ramadhani

Post on 07-Jul-2018

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 1/142

1

BAB I

PENDAHULUAN

Pada  bab pendahuluan ini akan diuraikan tentang latar belakang penelitian,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Pada subbab latar belakang akan

dijelaskan secara singkat mengenai dasar pemahaman permasalahan yang terjadi

dan ketertarikan topik penelitian serta alasan tentang hal-hal yang membuat

 penelitian ini layak untuk dilakukan. Berpijak dari latar belakang permasalahan,

kemudian dirumuskan beberapa rumusan permasalahan, tujuan serta manfaat

 penelitian.

1.1 Latar Belakang 

Tanah pelaba pura merupakan salah satu tipologi tanah adat yang penting

untuk dicermati terkait nilai dan vitalnya fungsi lahan pelaba pura bagi kehidupan

 Desa Pakraman. Tanah  pelaba pura  merupakan tanah adat dengan status

kepemilikan komunal yang mengandung nilai religius karena keterkaitannya

dengan keberadaan Pura. Intererelasinya menimbulkan perlakuan yang tidak

 biasa, mempunyai nilai sakral dan realitasnya menjadi suatu entitas supernatural

“hierophany” Eliade (1961). Esensi lahan  pelaba pura adalah sebagai penunjang

keberlangsungan pura itu sendiri (Ambara:2009, Budiana: 2006). Terkait

fungsinya yang krusial, keberadaannya perlu diperhatikan, terlebih kehidupan

 pakraman pada saat ini mulai dan sedang memasuki kehidupan yang jauh lebih

kompleks daripada keadaan sebelumnya.

1

Page 2: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 2/142

2

Diterbitkannya Surat Keputusan Mendagri No SK 556/DJA/1986

menetapkan Pura sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas

tanah menjadikan lahan ini terproteksi dan mendapatkan perlindungan hukum.

Dengan adanya perlindungan hukum ini maka keberadaannya masih dapat

dipertahankan dibandingkan dengan tanah adat yang lain yakni dengan status

kepemilikan tanah yang melekat daripadanya yakni status kepemilikan individu

tidak penuh dimana pada umumnya telah beralih status menjadi tanah individu

dan sekarang telah banyak diperjualbelikan (Suwitra: 2010). Sehingga sekali lagi

eksistensinya penting untuk dikaji kembali.

Apabila dipandang sebagai sebuah aset (cara berpikir kapitalis), lahan ini

dapat dikatakan sebagai suatu sumberdaya yang potensial terkait dengan semakin

tingginya harga lahan. Dengan tidak melepaskan konteksnya sebagai lahan milik

 pura, rentang ekonomi dan nilai-nilai religiusitanya menjadi sangat dinamis. Alih

fungsi lahan, sekularitas nilai-nilai religius dan sosial kemasyarakatan serta

 permasalahan perkotaan lainnya bertendensi melunturkan kualitas nilai-nilai

kehidupan  Desa Pakraman dan khususnya sangat mempengaruhi eksistensi dari

 pada lahan  pelaba pura  itu sendiri. Berlatar sudut pandang ini, maka tergerak

suatu pemikiran untuk mempelajari lebih mendalam keberadaan lahan  pelaba

 pura. 

Panjer merupakan salah satu Desa Pakraman yang mendapatkan pengaruh

kuat dari berkembangnya kota Denpasar.  Land Consolidation  pertama kali

dilakukan di wilayah Renon dan diplotnya Renon sebagai civic centre  ternyata

Page 3: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 3/142

3

membawa pertumbuhan kearah Panjer (Balipost: 2010). Restrukturisasi lahan

dialami desa ini secara bertahap dilaksanakan pada tahun anggaran 1989/1990,

1993/1994, dan tahun anggaran 1995/1996 adalah puncak pertumbuhan yang juga

 berdampak pada berubahnya pola kehidupan di  Desa Pakraman Panjer. Lahan

 pelaba pura- pun mengalami perubahan fungsi tidak lagi digarap sebagai lahan

sawah.

Dalam peninjauan awal, fungsi yang nampak pada lahan  pelaba pura

diantaranya disewakan menjadi ruko, toko dan distro, ada juga yang dikontrakkan

menjadi perumahan (rumah kos), Sekolah Dasar, TK, pasar, dan beberapa lagi

dimanfaatkan sebagai rumah tinggal jero mangku. Perubahan fungsi menunjukkan

adanya gejala berubahnya konsepsi masyarakat dalam memanfaatkan lahan

 pelaba pura. Berdasarkan ketertarikan akan fenomena dan arti pentingnya pelaba

 pura  bagi kehidupan  Desa Pakraman  mendorong dilakukannya penelitian lebih

lanjut.

1.2 Rumusan Masalah

Berpijak dari latar belakang permasalahan, maka dirumuskan beberapa

rumusan permasalahan antara lain:

a) 

Apa yang melatarbelakangi perubahan pemanfaatan lahan  pelaba pura  di

 Desa Pakraman Panjer?

 b) 

Bagaimana gambaran perubahan pemanfaatan lahan pelaba  pura yang terjadi?

Page 4: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 4/142

4

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 

a)  Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi perubahan pemanfaatan lahan

 pelaba pura di Desa Pakraman Panjer.

 b)  Untuk memahami gambaran perubahan pemanfaatan lahan  pelaba  pura yang

terjadi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 

a)  Manfaat Praktis

Dengan mengetahui latar belakang, serta gambaran mengenai fenomena

 perubahan yang terjadi, akan dapat digunakan sebagai media bagi masyarakat

dalam memahami keberadaan lahan pelaba pura. 

 b)  Manfaat Akademis

Manfaat akademis dari penelitian ini adalah untuk memperkaya pengetahuan

dalam ranah perencanaan pembangunan desa-kota. Metodologi serta hasilnya

dapat dijadikan bacaan bagi para peneliti yang tertarik dalam kajian terkait

dengan kehidupan  Desa Pakraman, pengelolaan aset desa, tanah adat,

 perencanaan, ataupun bagi mahasiswa yang hanya sekedar ingin memenuhi

hasratnya untuk memperkaya ilmu pengetahuan.

Page 5: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 5/142

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, BANGUN PEMAHAMAN,DANMODEL PENELITIAN

Pada bab ini akan diuraikan tentang kajian pustaka sebagai tinjuan

terhadap penelitian terkait yang pernah dilakukan, selanjutnya landasan teori atau

lebih tepatnya dalam penelitian ini disebut sebagai bangun pemahaman, dan

terakhir akan diuraikan kerangka berpikir penelitian.

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka mempunyai arti peninjauan kembali pustaka-pustaka yang

terkait (review of related literature). Sesuai artinya, suatu tinjauan pustaka

 berfungsi untuk meninjau kembali (review) pustaka (laporan penelitian, dan

sebagainya) tentang masalah yang berkaitan dengan bidang permasalahan yang

dihadapi.

Penelitian pertama yakni penelitian yang dilakukan oleh Lasmawan (1998)

dengan judul "Tanah Laba Pura dan Pergeseran Nilai Sosial Ekonomi Masyarakat

Desa di Kecamatan Kintamani-Bangli". Penelitian ini berupaya untuk mengetahui

tataguna dan pengolahan tanah  pelaba pura dan pengaruhnya bagi kehidupan

sosial ekonomi masyarakat pedesaan pada masyarakat Kintamani. Permasalahan

dilihat dalam sudut pandang etnografi. Penentuan subjek penelitian dilakukan

secara purposif dan snowball sampling, Teknik pengolahan data dilakukan secara

kualitatif.

5

Page 6: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 6/142

6

Temuan dari penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai

sosial ekonomi pada masyarakat yang diakibatkan oleh pergeseran tata guna lahan

dan pengelolaan tanah  pelaba pura sebagai akibat dari pengembangan industri

 pariwisata dikalangan masyarakat Kintamani. Disamping itu, proses pergeseran

nilai sosial ekonomi tersebut juga telah mendorong terjadinya rekonstrukturisasi

dan revitalisasi nilai-nilai adat istiadat masyarakat setempat yang juga merupakan

dampak dari penggunaan lahan  pelaba  yang dimanfaatkan untuk menunjang

 pengembangan industri pariwisata. Berdasar temuan tersebut Lasmawan

merekomendasikan bahwa untuk melestarikan dan menumbuh-kembangkan nilai-

nilai adat istiadat dan kebudayaan setempat, hendaknya pengembangan industri

 pariwisata tetap memperhatikan konsep Tri Hita Karana dalam ajaran Agama

Hindu.

Tinjauan kedua tertuju pada penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah

Agung Putra Ambara (2006), dengan judul Eksistensi Tanah-tanah Milik Pura

 Desa Pakraman di Kota Denpasar. Penelitian dilakukan di 6 desa yang ada di

Kota Denpasar dan Panjer merupakan salah satu di antaranya. Penelitian

dilakukan dengan pendekatan yuridis empiris. Tujuan dari penelitian adalah untuk

mengetahui eksistensi dari tanah-tanah milik pura khususnya tanah  pelaba pura

dan upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga eksistensi dari tanah  pelaba pura

tersebut. Substansi penting dari penelitian ini bahwa tanah milik pura sudah

memiliki dasar hukum yaitu dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 38

Tahun 1963 Tentang Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik

Atas Tanah yang dipertegas lagi dengan Surat Keputusan Menteri dalam Negeri

Page 7: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 7/142

7

RI SK/ 556/DJA/1986 tentang penunjukan pura sebagai badan hukum keagamaan

yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Walaupun telah mempunyai

kekekuatan hukum, keberadaannya tidak luput dari berbagai permasalahan,

diantaranya beberapa tanah pelaba masih dikuasai oleh perorangan (biasanya oleh

 penggarap) yang menyebabkan pemanfaatannya tidak dapat membiayai kebutuhan

 pura sebagaimana mestinya, karena tidak lagi cukup memberikan penghasilan

 bagi pura. Penguasaan lintas generasi mengakibatkan informasi kepemilikan lahan

menjadi terputus sehingga ahli waris dari  penyakap  menganggap bahwa tanah

tersebut adalah milik keluarga mereka dengan bukti berupa SPPT yang terbit atas

nama penyakap, dan berdasarkan SPPT tersebut mereka mengajukan permohonan

kepada pihak kantor pertanahan.

Substansi kedua penelitian tersebut memberikan pemahaman awal bahwa

 perubahan tata guna lahan  pelaba  atau pemanfaatannya dapat menimbulkan

dampak yang cukup serius bagi kehidupan  Desa Pakraman. Rentang nilai yang

terkandung didalamnya sangat dinamis dan hal lain yang cukup substansial yakni

keberadaannya sudah mempunyai dasar hukum yang jelas. Beberapa hal yang

telah terungkap menandakan masih terdapat banyak celah pengetahuan untuk

disisipkan. Dengan demikian penelitian ini akan memposisikan diri untuk

mencoba mengkonstruksi arti perubahan fungsi pada lahan dalam sudut pandang

aktor perubahan itu sendiri.

Page 8: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 8/142

8

2.2 Konsep

2.2.1 Perubahan Pemanfaatan Lahan

Tjahjati, (1997:503). menjelaskan bahwa Perubahan pemanfaatan lahan

 juga diartikan sebagai mutasi lahan menyangkut transformasi dalam

 pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya.

Secara mengkhusus, Malingreau (1979), pemanfaatan lahan merupakan campur

tangan manusia baik secara permanen atau periodik terhadap lahan dengan tujuan

untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan kebendaan, spiritual maupun

gabungan keduanya. Sehingga perubahan pemanfaatan lahan dapat dikatakan

sebagai transformasi pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke

 penggunaan yang lainnya yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan , baik

kebutuhan material maupun spiritual.

2.2.2 Pelaba Pura 

Beberapa definisi merujuk pada definisi bahwa lahan  pelaba pura 

merupakan lahan yang dimiliki pura yang digunakan untuk menunjang

 berlangsungnya keberlanjutan dari pura. Konsep lahan ini secara mengkhusus

hanya dimiliki oleh masyarakat Bali dalam lingkup kehidupan bermasyarakat

yang bernafaskan agama Hindu yang disebut dengan krama pakraman. Walaupun

 jika dilihat dari konteks komunalitas status lahan pelaba pura sebagai lahan adat

dapat dikaitkan dengan keberadaan lahan ulayat pada beberapa daerah lain di

nusantara.

Page 9: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 9/142

9

Jika merujuk pada konteks lahan sebagai sebuah sumber daya dari definisi

Malingreau (1979) diatas,  pelaba pura  merupakan sebuah sumber daya yang

dimanfaatkan manusia (krama pakraman) dengan tujuan untuk memenuhi

kebutuhan, karena terkait dengan pemenuhan kebutuhan pura, sehingga pada

hakikatnya esensi dari keberadaan lahan ini adalah digunakan untuk memenuhi

kebutuhan spiritual.

Berdasarkan tinjauan awal yang telah dilakukan, perubahan fungsi dalam

 pemanfaatannya dapat dijadikan landasan bahwa munculnya fungsi-fungsi baru

 pada pemanfaatannya akan membawa perubahan yang mendasar dari esensi lahan

tersebut. Sehingga penelitian ini hadir untuk mengeksplorasi gambaran perubahan

yang terjadi pada pemanfaatan lahan  pelaba pura yang mengambil studi kasus di

desa pakraman Panjer dengan karakteristiknya yang kaya akan nuansa perubahan

karena terkait dengan iklim perkotaan yang telah terintegrasi didalam sistem

kehidupan masyarakat krama pakraman Panjer.

2.3 Bangun Pemahaman 

Perlu diungkapkan diawal sebagai  feedback   terhadap substansi penelitian

yang telah dilakukan, bangun teoritis yang terbentuk bukan sebagai kerangka

konseptual melainkan sebagai jembatan konseptual guna memahami fenomena

(Creswell: 1998). Beberapa bangun pemahaman yang akan diulas antara lain

 pemahaman mengenai perubahan, tradisi dan budaya keruangan masyarakat Bali,

tanah pelaba pura dalam tanah adat di Bali, esensi tanah  pelaba pura, masyarakat

adat dalam kehidupan Desa Pakraman, dan nilai sakral-profan ruang.

Page 10: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 10/142

10

2.3.1 Pemahaman mengenai perubahan 

Masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-

angsur dengan tetap memelihara keseimbangan (Merton dalam Ritzer 1992).

Keseimbangan tersebut diwujudkan dalam konseptual keharmonisan dengan alam

dan hubungan manusia dengan Tuhan serta antar pribadi manusia itu sendiri,

 bahkan oleh Capra (2000) konsep keseimbangan juga menyetuh entitas abstrak

yaitu roh.

Masyarakat dan kebudayaannya tidak pernah berada dalam keadaan yang

statis, selalu berada dalam proses yang dinamis. Penyebabnya adalah karena

dalam masyarakat bekerja dua macam “kekuatan” yaitu kekuatan yang ingin

menerima perubahan (kaum progresif) dan kekuatan yang cenderung menolak

 perubahan (konservatif). Dua kekuatan inilah yang selalu tarik menarik

(Kusumohamidjojo, 1999). Oleh karena itu, tidak satupun masyarakat dapat

menghindarkan diri dari perubahan.

Pemikiran tersebut sangat berkaitan dengan cara pikir Witchead dalam

Lauer (2003) yang menekankan sifat prosesual seluruh realitas, dimana alam

adalah struktur dari proses yang berkembang, realitas adalah proses, dan

 perubahan senantiasa terdapat dialam semesta.  Masih dalam Leuer (2003)

Witchead Lebih lanjut mengatakan:

“Kehidupan manusia berubah dari hari ke hari, wujud lahiriahnya

adalah sama, perubahan adalah konstan dan kadang-kadang

kelihatan. Konstelasinya tak nampak berubah, meskipun kita tahu

 bahwa konstelasinya itupun sebenarnya berubah. Apakah

 perubahan terjadi dalam satu menit atau milyaran tahun, itu

hanyalah persoalan pengukuran manusia belaka, perubahan adalah

Page 11: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 11/142

11

konstan, apakah kita ukur dengan menit atau milyaran tahun, kita

sendiri adalah bagian dari perubahan itu.”

Maksudnya adalah untuk memberikan kosmologi yang masuk akal dengan

menggunakan konsep-konsep seperti sistem, proses, serta perkembangan kreatif

menuju suatu yang baru. Beberapa aspek pemikirannya adalah menyangkut

tentang proses, kreatifitas, saling ketergantungan serta dialektika dan satu yang

mendasar yakni dimana manusia dan perubahan bersifat kekal.

Jika kembali merenung pada filsafat Derrida dengan kembali pada konteks

 berfikir murni dari sudut pandang fenomenologi, lahirnya konsepsi-konsepsi

serta filsafat masyarakat Bali dalam memaknai ruang adalah suatu upaya untuk

mencapai keseimbangan kosmik yang dikreasikan sedemikian rupa sehingga

mampu menyentuh rasa terdalam dari masyarakatnya. Namun jika dikembalikan

 pada hakikatnya dimana perubahan merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari proses kehidupan manusia itu sendiri adalah sangat mungkin jika

dekonstruksi makna terjadi setiap saat, di setiap langkah kehidupan. Dengan

demikian upaya untuk merekonsepsi kembali dapat dipahami sebuah upaya untuk

“menghidupkan” kembali manusia.

2.3.2 Tradisi dan budaya keruangan masyarakat Bali

Bagi orang Bali, tanah adalah simbol “ibu” dipandang bukan semata-mata

sebagai pemberi berkah kemakmuran, melainkan juga sebagai tempat untuk

memohon perlindungan dan kekuatan dan menjadikan manusia hidup dan

memiliki eksistensi (Triguna: 2004). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Titib

(2001), tanah juga merupakan sumber kehidupan, sebagai tempat untuk

Page 12: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 12/142

12

 bermukim, mencari nafkah terutama dalam bidang pertanian, dan kepada tanahlah

manusia dikembalikan setelah mereka meninggal (Budiana: 1998). Kata

eksistensi, nafkah, dan kekayaan memang merupakan frase yang bermakna

“materiil” namun konsepsi mengenai kesejahteraan, kekayaan dan kemakmuran

 bagi masyarakat Bali adalah berlandaskan atas tujuan untuk mencapai suatu

 puncak kehidupan ( Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma), untuk mencapai

kebebasan dan keseimbangan jiwa di dunia (Gelsana: 2006).

Falsafah ruang di Bali berkembang dari ajaran Tat Twam Asi dalam Hindu

(Gelebet:1993). Tat Twam Asi berarti “itu adalah aku”. Inti ajaran Tat Twam Asi

adalah menjaga keharmonisan dalam kehidupan, terhadap segala bentuk ciptaan

Tuhan, termasuk dunia ini. Dalam keyakinan Hindu, dunia (alam semesta) ini

diciptakan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Brahma (Parisadha Hindu

Dharma: 1968), sehingga dunia ini disebut sebagai “Telur Brahma” ( Brahma-

 Anda =  Brahmanda) semua hal diciptakan oleh sebuah kekuatan dan manusia

sebagai makhluk tertinggi wajib menjaganya.

Dalam kaitannya dengan ruang, ajaran Tat Twam Asi mengandung makna

keruangan yakni keseimbangan kosmos (balance cosmologi). Dalam hal ini ruang

makro ( Bhuwana Agung) senantiasa harus seimbang dengan ruang mikro

( Bhuwana Alit ). Di dalam makrokosmos, terdapat tiga struktur ruang secara

vertikal yang dianalogikan sebagai tiga dunia (Tribhuwana). Struktur ruang Tri

 Bhuwana atau Tri Loka ini terdiri dari Bumi dan alam lingkungannya sebagai

“alam paling bawah”, disebut Bhur loka “Alam tengah” adalah alam roh-roh suci,

disebut Bhuwah loka, dan “Alam atas” adalah alam para Dewa, disebut Swah loka

Page 13: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 13/142

13

(Parisada Hindu Dharma: 1968). Jika dilihat kaitannya terhadap  pelaba pura 

 posisinya berada pada salah satu dimensi kosmologi  Bhur loka  namun dengan

konstelasinya terhadap pura sebagai stana roh suci dan para dewa, dalam frekuensi

tertentu (hierofany: lihat subbab 2.2.6 Nilai sakral-profan ruang) dapat terjadi

koneksitas terhadap dua lapisan kosmologi yang lain. 

Kehidupan masyarakat Bali mengutamakan keseimbangan, dilandasi oleh

kesadaran bahwa alam semesta adalah suatu unsur yang kompleks. Unsur-unsur

yang satu dengan yang lain terkait membentuk satu sistem kesemestaan. Adapun

nilai dasar pemahaman masyarakat mengenai keseimbangan unsur-unsur

dipersepsikan kedalam ajaran filsafat Tri Hita Karana yang merupakan integral

falsafah Tri Bhuana, yang dirumuskan sebagai tiga hal yang menyebabkan

kesejahteraan manusia. Ketiga hal tersebut adalah hubungan harmonis antara

manusia dengan Tuhan, manusia dan alam (Kaler: 1983).

Kehidupan masyarakat Bali dalam menghargai alam sering didentikkan

dengan simbol-simbol suci, salah satunya dalam menghargai alam disimbol

sebagai Kamandhuk  yakni sapi  Dewa Indra yang dianggap mampu memberikan

manusia apa yang dibutuhkan dalam hidup, sehingga alam beserta isinya sangat

disucikan, dihargai dan harus dirawat, dipelihara dengan penuh kasih sayang

dengan rasa pengabdian yang tinggi. Rasa bakti ini diwujudkan dengan berbagai

 persembahan berupa upacara-upacara dan terbentuknya konsep-konsep dalam

menghargai alam yang sangat disucikan yakni Sad Kertih yang terdiri dari Atma

Kertih, Samudra Kertih, Danu Kertih, Wana Kertih, Jagad Kertih dan Jana

Kertih. (Wiana: 1998)

Page 14: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 14/142

14

Tanah sebagai lahan yang memberikan sumber dan media hidup maupun

kehidupan, merupakan wadah kegiatan yang pada keluasan bidang datar yang

dimaknai sebagai ibu pertiwi, ketinggian dan kedalaman atau ruang vertikal

dengan konsepsi sapta petala  dan sapta timira, kemiringan (diagonal) yang

masing-masing atau bersamaan membentuk daya tampung dan daya dukung yang

 berpengaruh penting terhadap peruntukan atau pemanfaatan ruang, lahan hingga

kawasan dalam konteks yang lebih luas.

Masing-masing wilayah yang sudah terbagi diberikan batas-batas  Nyatur

 Desa (catur desa) sesuai arah mata angin. Batas tersebut menggunakan batas alam

seperti sungai, jurang, hutan, bukit. Membangun bentang alam daerah aliran

sungai (tanah, air, hutan/ sad kerthi) dengan konsep ulu-teben  mengikuti garis

imaginer segara-gunung  (laut-gunung atau dapat diartikan sebagai kemiringan/

kontur) didukung dengan berbagai ritus dan upakara yang dilakukan sesuai tradisi

(loka dresta) warisan budaya yang dipercaya dan diyakini. Setiap wilayah sebagai

satuan hunian memiliki habitat spesifik dalam konteks peruntukan dan

 pemanfaatannya dibagi menjadi karang suci, pekarangan pelemahan (perumahan/

hunian), karang suwung  (kawasan lindung), karang embang  (daerah cadangan),

karang amuk   (rawan bencana) yang masing-masing fungsinya dapat dirubah

 berdasarkan kesepakatan mengacu pada azas kebutuhan dasar, keselarasan sekala

niskala (Arwata: 2012). 

Dalam kehidupan Bali yang bernafaskan Hindu mengindentikkan unsur

dan prilaku kesemestaan alam ( Buana Agung) dengan Manusia ( Buana Alit ).

Bergerak dari suatu keseimbangan ke keseimbangan baru yang lebih baik dan

Page 15: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 15/142

15

lebih bermanfaat bagi kehidupan. Menyatu dengan alam, hidup berbahagia dalam

kebersahajaan dan keheningan. Manusia dengan keterbatasannya berusaha

membangun nuansa ruang yang hening, tenang, mewujudkan seperangkat nilai

tradisi kebiasaan ruang dikaitkan dengan lahan kehidupan yang merupakan

wilayah darat (terrastorial zone) sebagai satu satuan gejala interaksi dan interelasi

antara  Buana Agung  dengan  Buana Alit . Penyelarasan termaksud dilakukan

sejauh-jauhnya berusaha untuk mengeleminir konflik antara kepentingan manusia,

lingkungan alam dan mahluk lainnya. Guna menjaga keseimbangan, mencegah

 bencana dalam berbagai bentuknya. Mengatur, mengendalikan, eksploitasi dan

eksplorasi sumber daya alam maupun lingkungan dengan mempertimbangkan

kelestarian fungsi alam lingkungan untuk menghasilkan dan memberikan sumber

kehidupan bagi generasi sekarang maupun dimasa yang akan datang.

Tanah, lahan keruangan merupakan ruang tempat manusia Bali berkreasi

dengan imaginasinya membangun sistem budaya yang runtut terstruktur. Dalam

konteks ruang dan budaya di Bali telah mentradisi pola ruang banyak guna (multi

 purpose). Selain mempunyai fungsi sosial, budaya, lingkungan, serta spiritual,

kegunaan ruang juga mempunyai dimensi social. Suartika (2009) menyebutkan

 bahwa secara implementatif tradisi keruangan di Bali dimana terdapat ruang-

ruang strategis yang menampung interaksi masyarakat dapat diklasifikasikan

menjadi ruang umum yang mengakomodasi interaksi ritual dan ruang umum yang

menampung interaksi sosial. Untuk pelaksanaan ritual yang melibatkan

masyarakat desa hingga kerabat di luar desa, pelaksanaan upacara tidak hanya

 berlangsung di areal pura, melaikan memanfaatkan area  jabe sisi  hingga ruang

Page 16: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 16/142

16

terbuka di sekitar areal pura hingga ke "teba" yang menandakan bahwa ruang

memiliki nilai fungsi yang kompleks.

Ruang bagi mereka yang memahami makna keruangan  melandasi sikap

dan tindakan dengan falsafah kosong berisi (bisa diisi, bisa dikosongkan), sarwa

anyar   (serba baru/ tergantikan sesuai fungsi dan kebutuhan), suci (disucikan,

disterilkan dari berbagai kemungkinan) dan efisiensi pemanfaatan ruang, dan

selalu dibagi 9 (sembilan) satuan tertinggi. Kesemuanya unsur-unsur falsafah ini

ditularkan lewat tattwa, susila dan upakara yang kongkritnya didukung dengan

bebantenan (keikhlasan), sesajen (suguhan), sesantun (penghargaan), sesari (sebit

sari)  tulus menerima sehingga proses pembelajaran menjadi berlanjut lewat

keteladanan.

Tanah dalam konteks waktu dan ruang bagi orang Bali merupakan hal

yang sakral. Pemindahan hak atas tanah, pemanfaatan dan perubahan peruntukan

membutuhkan Tri Upasaksi  (tiga kesaksian),  Manusa Saksi  (manusia),  Dewa

Saksi  (Tuhan), dan  Butha Saksi  (kekuatan/daya, mahluk hidup lainnya) melalui

sarana bebantenan. Kesemua aktivitas landasannya adalah “nilai” ukuran moral

sesuai sistem etika yang dianut.

2.3.3 Tanah pelaba pura dalam tanah adat di Bali

Tanah-tanah adat atau tanah ulayat di Bali, dikenal dengan sebutan “tanah

desa”. Tanah desa dapat dibedakan menjadi 1) tanah desa dalam arti sempit, atau

sering disebut dengan “druwe desa” atau “tanah druwe”, yaitu tanah yang dimiliki

atau dikuasai oleh desa adat yang biuasanya didapat melalui usaha-usaha

 pembelian ataupun usaha lainnya. Yang termasuk tanah druwe desa antara lain: a)

Page 17: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 17/142

17

tanah pasar, yaitu tanah yang dipakai untuk pasar, b) tanah lapang, yaitu tanah

yang dipakai untuk lapangan, c) tanah kuburan/ tanah setra  yaitu tanah yang

dipergunakan untuk upacara ngaben, d) tanah bukti yaitu tanah pertanian (sawah,

ladang) yang diberikan kepada perangkat pejabat desa atau pengurus desa. Tanah

 bukti ini mirip dengan tanah bengkok di jawa, 2) tanah pelaba pura, adalah tanah

yang dulunya dikuasai desa yang khusus dipergunakan untuk keperluan pura.

Tanah laba pura  dapat dibedakan menjadi 2 yakni tanah yang khusus untuk

tempat bangunan pura, dan tanah yang dipergunakan untuk pembiayaan atau

menunjang keperluan pura. 3) Tanah Pekarangan Desa (PKD), adalah tanah yang

dikuasai oleh desa yang diberikan kepada warga desa (krama desa) untuk tempat

mendirikan perumahan yang lazimnya dalam ukuran luas tertentu dan hampir

sama untuk setiap keluarga. Kewajiban yang melekat (ayahan) pada warga desa

yang menempati tanah tersebut berupa adanya beban tenaga atau materi yang

diberikan kepada  Desa Pakraman. 4) Tanah  Ayahan Desa  (AyDs), adalah tanah

yang dikuasai oleh desa yang penggarapannya diserahkan kepada masing-masing

warga desa dengan hak untuk dinikmati dengan kewajiban untuk memberikan

“ayahan” berupa tenaga maupun materi kepada desa adat. (Ambara:2006).

Simpen (1985) mendefinisikan tanah adat di Bali sebgai "druwe" atau

"druwen" desa (adat),  berarti "gelah" (Bali) atau kepunyaan, milik, atau berada

dalam kekuasaan desa adat , jadi tanah-tanah yang ada dalam wilayah (wewengkon

desa) desa adat merupakan kepunyaan desa kecuali tanah pribadi penuh. Berbeda

dengan klasifikasi tanah desa yang dijelaskan Ambara (2006), Simpen

mengklasifikasikan tanah desa berdasarkan hak kepemilikannya yang

Page 18: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 18/142

18

dikelompokkan menjadi dua kelompok utama yaitu hak milik individu dan hak

milik komunal. Perbedaan tipologi tanah adat yang dijelaskan oleh I Wayan

Simpen ini dijelaskan secara detail oleh Suwitra (2010) sebagaimana dijelaskan

 pada Gambar 2.2 sebagai berikut:

Gambar 2.1 Tanah Adat Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan 

Tanah adat dibedakan statusnya secara garis besar menjadi tanah dengan

status individu tidak penuh yang terdiri dari tanah pekarangan desa, tanah ayahan

desa, dan tanah catu/ bukti  sedangkan yang termasuk kedalam status tanah

komunal adalah tanah setra, tanah lapang, tanah pasar, jalan, rurung, sumber mata

air, tanah  pelaba pura, tanah kahyangan desa, dan tanah bale  desa beserta

 bangunannya.

Pandangan lain diuraikan oleh Wiguna (2009), yang memaparkan tipologi

tanah adat berdasarkan status dan fungsinya antara lain 1) tanah  pekarangan desa,

yaitu tanah yang diperuntukkan untuk membangun rumah tempat tinggal bagi para

Pekarangan

 Desa

 Ayahan

 Desa

Tanah

Catu/Bukti

Tanah

Setra

Tanah

Lapang

Tanah

Kahyang-

an Desa

Tanah

Pasar

Balae

Desa dan

Tegaknya

Jalan, rurung

dan sumber

air

Tanah pelaba

 pura 

Tanah Adat (Druwe Desa) 

Tanah Individu

Tidak Penuh

Tanah Komunal

Page 19: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 19/142

19

warga desa. 2) Tanah ayahan desa, berupa tanah pertanian (tanah basah atau

kering) yang dibagi-bagikan kepada anggota/ warga desa. 3) Tanah pecatu  dan

tanah bukti, yaitu tanah pertanian yang diberikan oleh raja sebagai imbalan atas

 jasa seseorang. 5) Tanah druwe desa, yaitu tanah yang dipergunakan untuk

kepentingan desa secara bersama-sama seperti untuk kuburan, tanah lapang, bale

desa dan sebagainya. Masih dalam Wiguna (2009) khusus untuk tanah sawah/

 pertanian tanah basah status dan fungsi tanah dikategorikan menjadi 3 antara lain:

1) Ekasana, merupakan tanah milik bangunan suci, 2) Dwisana, merupakan tanah

yang dimiliki oleh raja dan keluarga raja atau para bangsawan. 3) Tigasana,

merupakan tanah yang dimiliki oleh rakyat.

Pendapat lain menjelaskan pembagian tanah adat berdasarkan penguasaan

dan pengelolaannya, tanah-tanah tersebut dikategorikan antara lain sebagai tanah

yang dikuasai dan dikelola oleh desa adat, yaitu tanah druwe desa dan tanah laba

 pura, dan tanah yang dikuasai dan dikelola oleh perorangan, yaitu tanah

 pekarangan desa dan tanah ayahan desa (Griadi : 1985, Darmayudha : 1987) 

Dari sekian jenis tanah adat, tanah  pelaba pura  dapat defnisikan sebagai

sebuah tanah milik desa yang digunakan secara khusus untuk memenuhi

kebutuhan pura atau menunjang keperluan pura baik materil maupun non-materiil.

Tanah  pelaba pura  juga dibedakan menjadi 2) yakni tanah yang khusus untuk

tempat bangunan pura, dan tanah yang dipergunakan untuk pembiayaan atau

menunjang keperluan pura. Tanah  pelaba pura  masuk kedalam status tanah

komunal yang dikelola dan dipertanggungjawabkan secara berkelompok atau

Page 20: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 20/142

20

secara bersama-sama krama  Desa Pakraman. Dan termasuk kedalam kategori

 Ekasana yakni tanah milik bangunan suci.

2.3.4 Esensi tanah pelaba pura 

Belum banyak kajian yang mengulas keberadaan  pelaba pura mengingat

lokalitas dan diferensiasi tata cara masyarakat desa pakraman  dalam

memanfaatkan keberadaan lahan  pelaba pura. Apabila ditelusuri dari setiap suku

katanya,  pelaba  berasal dari kata laba  (labha: dalam bahasa sansekerta)

mempunyai arti untung dan pura mempunyai pemahaman adalah tempat suci

ibadah untu agama Hindu (Wikipedia.org), sehingga dapat disarikan pengertian

dari tanah  pelaba pura  yakni sebagai sebidang tanah yang dimanfaatkan guna

memberikan keuntungan guna menunjang keberadaan pura. Definisi ini hampir

mewakili beberapa definisi yang telah diungkapkan oleh beberapa peneliti yang

sebelumnya mengkaji keberadaan lahan pelaba pura. Tanah pelaba pura menurut

Ambara (2009) didefinisikan sebagai sejumlah tanah milik desa yang digunakan

untuk mendukung pengadaan sarana-sarana setiap kegiatan upakara keagamaan di

Pura. Tanah pelaba tersebut diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan bagi pura

itu sendiri pada saat akan dilaksanakannya upakara di pura yang bersangkutan

(Pujawali). Sedangkan menurut Budiana (2006), tanah  pelaba pura didefinisikan

sebagai tanah yang dikuasai desa yang diperuntukkan dan digarap khusus untuk

keperluan pembiayaan upacara rutin dan perbaikan pura. 

Jika ditelusuri sejarah awalnya, cikal bakal munculnya konsepsi lahan

 pelaba pura  terkait dengan munculnya istilah sima  (Wiguna :2009). Sima 

disebutkan sebagai batas-batas kesucian suatu wilayah, daerah atau sebidang tanah

Page 21: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 21/142

Page 22: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 22/142

22

ruang kehidupan terdapat ruang sosial yang terdiri dari berbagai macam karakter

manusia serta bhinneka tunggal ika tan hana dharma manggruwa  (berbeda-beda

tetapi tetap satu (Suacana: 2012). Windia dalam Suacana (2012) menjelaskan

untuk penegakan serta kesetaraan dalam adat, dikenal istilah tri danda (tiga sanksi

adat) yaitu arta danda  (denda dalam wujud materi), sangaskara danda  (sanksi

dalam bentuk upacara tertentu) dan jiwa danda atau atma danda yang pada zaman

dulu berupa hukuman mati, sekarang berupa  pangaksama/ ngidih pelih  atau

menyampaikan permintaan maaf di hadapan paruman atau rapat desa.

Kerjasama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional di Bali di

antaranya dilakukan dengan matembung yaitu melakukan suatu perbuatan yang

mengandung arti saling membantu satu sama lain berdasarkan atas kepatutan

(Windia: 2004). Konsep ini yang melahirkan adanya ayah-ayahan  yang disebut

dengan Peturon  (Suartika: 2010). Dalam berbagai ungkapan juga tercermin

 bagaimana nilai-nilai kerbersamaan, kerjasama, gotong-royong itu dijunjung

tinggi, seperti tercermin dalam konsepsi sagilik saguluk, salunglung sabayantaka,

 paras parossarpanaya, beriuksaguluk . Konsepsi ini mengandung nilai solidaritas

yang tinggi dalam suka dan duka, baik dan buruk ditanggung bersama dalam

 berbagai kegiatan baik suka maupun duka (Titib: 2012).

Salah satu dinamika sosial masyarakat adat dalam kepemerintahan desa

 pakraman diungkap oleh Suacana (2012) dimana masyarakat Bali lebih cenderung

untuk enggan berkutat dengan kehidupan politik sehingga tidak banyak ikut

campur dalam urusan desa terlebih kaitannya dengan kedaulatannya ke luar.

 Namun demikian, ada mekanisme untuk mengutarakan pendapat melalui paruman

Page 23: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 23/142

23

terkait kebijakan atau hal-hal yang bersifat lokal di tingkat  Desa Pakraman atau

banjar . Khusus dalam hubungan dengannya di tingkat daerah, masyarakat pada

umumnya akan mengutarakan pendapatnya pada orang yang dihormati di

masyarakat dan memercayakannya untuk menyampaikan aspirasi tersebut pada

 pemerintah.

2.3.6 Nilai sakral-profan ruang

Masyarakat Bali yang identik dengan budayanya memberikan warna bagi

 berbagai hal yang dimaknai dan disimbolikkan termasuk keberadaan benda fisik

seperti pohon, batu, termasuk tanah dan lain sebagainya ataupun non-fisik seperti

waktu, ilmu pengetahuan, etika dan lain sebagainya.

Teoritikal mengenai dialektika "sakral dan profan" dikembangkan oleh

Mircea Eliade, seorang sarjana Roma-Amerika yang berpengaruh sebagai perintis

 pendekatan reduksionis mengenai perilaku dan ide-ide keagamaan yang sangat

erat dengan suatu fenomena sosial-religus. Aksioma Eliade (1957) dalam Nuraeni

(2011) menjelaskan bahwa yang profan adalah wilayah urusan setiap hari-hal-hal

yang biasa, tak disengaja, dan pada umumnya tidak penting, sedangkan yang

sakral adalah sebaliknya. Hal tersebut merupakan wilayah supernatural, hal-hal

yang luar biasa, mengesankan, dan penting sementara yang profan adalah yang

menghilang dan mudah pecah, penuh bayang-bayang, maka yang sakral adalah

yang abadi, penuh dengan substansi dan realitas. Profan adalah wilayah manusia,

yang dapat berubah-ubah dan sering kacau, dan yang sakral adalah wilayah

keteraturan dan kesempurnaan, rumah para leluhur, pahlawan, dan dewa. Jelas

Page 24: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 24/142

24

disebutkan dikotomi sakral dan profan mempunyai perbedaan pemaknaan yang

merupakan hasil kognisi/ interpretasi manusia atas keberadaan ruang.

Masih menurut Eliade dalam Nuraeni (2011), ketika batu dan pohon

disakralkan, yang terjadi bukanlah pemujaan batu atau pohon dalam dirinya

sendiri. Pohon atau batu sakral tidak disembah sebagai batu atau pohon. Keduanya

disembah karena hierophany, karena keduanya menunjukkan sesuatu yang tidak

lagi batu atau pohon semata, tetapi ia juga menunjukkan nilai "sakral". Dengan

kata lain, ketika batu dan pohon memanifestasikan sesuatu yang sakral, maka

keduanya menjadi sesuatu yang lain, tetapi tanpa menghilangkan sifat batu dan

 pohon itu, karena secara profan batu dan pohon tersebut tetap berhubungan

dengan lingkungan alam sekitarnya. Batu dan pohon sakral itu dilihat dari sudut

 pandang profan, tetaplah batu dan pohon sebagaimana yang lain. Tetapi bila

dilihat dari sudut batu dan pohon yang sakral, realitas keduanya dirubah menjadi

supranatural. Keduanya kini menjadi hierophany  yang menjadi manifestasi dari

realitas sakral yang melekat dalam dirinya. Karena yang sakral akan senantiasa

hadir dalam profanitas dan tidak dapat muncul dengan sendirinya atau muncul di

luar realitas (Nuraeni : 2011).

Page 25: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 25/142

25

2.4 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir dapat dikatakan sebagai gambaran mengenai struktur penelitian yang akan dilakukan. Skema kerangka

 berpikir peneliti dapat dilihat pada Gambar 2.2 sebagai berikut: 

Gambar2.2 Diagram Proses Berpikir

BANGUN

PEMAHAMAN

Proposisi

Proposisi

ProposisiBangun

 pemahaman1 

Bangun pemahaman

Bangun pemahaman

Bangun

 pemahamann 

BANGUN

PEMAHA-MAN AWAL

dialog awal

dan prosesreduksi data

lapangan

GRAND

TOUR

IDE

 Background  

permasalahan dan

ketertarikan

terhadap isu

   D   I   A   L   O

   G

   A   N   T   A   R   T   E   M   A

 

SIMPULAN

   K   O   N   S   E

   P

OBSERVASI

Tema

Temuaan

Tema

Temuaan

Tema

Temuaan

Tema

Temuaan

Kasus 1 

Kasus 2 

Kasus 3 

Kasus 4 

Kasus 5 

Kasus 6 

Kasus 7 

Kasus 8 

Kasus 9 

Kasus 10 

OBSERVASI

Page 26: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 26/142

26

Penelitian dimulai dari ketertarikan atas keberadaan lahan  pelaba pura

yang telah diuraikan sebelumnya pada Bab I subbab 1.1 Latar Belakang

Penelitian. Dari peninjauan awal didapatkan topik bahwa terdapat gejala

 perubahan cara pandang masyarakat (konsepsi) dalam memanfaatkan lahan

 pelaba pura-nya. Berpijak pada ketertarikan akan fenomena tersebut kemudian

dilakukan pencarian literatur serta membangun pemahaman awal terkait dengan

lahan  pelaba pura  yang telah tersaji pada Bab II subbab 2.2, dan bersamaan

dengan kegiatan tersebut dilakukan grandtour   terhadap kasus-kasus yang telah

dirinci pada Bab III, Tabel 3.2. Selanjutnya hasil observasi perkasus akan

disintesakan menjadi tema-tema temuan dan bangun pemahaman yang disarikan

menjadi pemahaman-pemahaman yang akan mengerucut kearah fenomena yang

ditemukan dan kemudian didialogkan pada tahap sintesa antar tema temuan

 berupa konsep. Hasil daripada dialog diuraikan guna menjawab beberapa rumusan

 permasalahan yang telah dibangun antara lain mencari latar belakang perubahan

 perubahan konsepsi pemanfaatan lahan pelaba pura, serta menguraikan gambaran

 perubahan konseptual masyarakat panjer dalam memanfaatkan lahan pelaba pura-

nya. Detail dari kerangka berpikir penelitian diatas akan dituangkan ke dalam

model penelitian pada subbab 2.5 Model Penelitian.

Page 27: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 27/142

27

2.5 Model Penelitian

Diversifikasi

fungsi dari fungsi

awal sebagai

sawah dan ladang

Rancangan

Penelitian

Pendekatan

 Naturalistik

Membangun

wawasan yang

terkait dengan

topik

Peninjauan

lapangan

(Pengumpulan

data perubahan)

Reduksi bangun

 pemahaman berdasarkan

data dan memperjelas

kasus-kasus

Bangun Pemahaman Perubahan

Tradisi dan budaya keruangan masyarakat Bali

Tanah pelaba pura dalam tanah adat di Bali

Essensi tanah pelaba pura

Essensi tanah pelaba pura

Pelaba Pura PusehKasus 1 : Tanah tidak bersertifikat dengan

fungsi gegaleng pura sebagai LPD, minimarket dan distro

Pelaba Pura DalemKasus 2 : Tanah sertifikat no 3349 dimanfaatkan sebagai Pasar

 Nyanggelan Kasus 3 : Tanah sertifikat no 5600 dimanfaatkan sebagai jalan

desa Kasus 4 : Tanah sertifikat no 5602 dimanfaatkan sebagai sebagai

TKKasus 5 : Tanah sertifikat no 3384 dikontrakkan sebagai

 perumahan Kasus 6 : Tanah sertifikat no 3197 dikontrakkan sebagai

 perumahan

Kasus 7 : Tanah sertifikat no 3348 dimanfaatkan sebagai jaba sisi 

 pura dalem Kasus 8 : Tanah tidak bersertifikat dimanfaatkan sebagai

wantilan dan lapangan

Kasus 9 : Tanah tidak bersertifikat dimanfaatkan sebagai rumah

 jero mangku Pelaba Pura SubakKasus 10 : Tanah sertifikat no 2309 dimanfaatkan sebagai SD

matriks temuan

Dialog

&

Verifikasi 

reduksi

Simpul-

an

Gambar2.3 Model Penelitian 

Page 28: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 28/142

Page 29: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 29/142

29

makna pengalaman individu (the meaning of an individual’s experience of the

world)  orang-orang yang terkait dengan perubahan pemanfaatan lahan  pelaba

 pura  di  Desa Pakraman  Panjer .  Dengan kata lain, realitas dalam paradigma ini

ditentukan sendiri oleh subyek yang diteliti (Suyitno :2006, Guba : 1985) 

3.2 Lokasi Penelitian 

Lokasi penelitian berlangsung di Desa Pakraman Panjer. Gambaran dari

lokasi penelitian dan posisi lahan  pelaba pura Desa Pakraman Panjer akan

dijelaskan pada Gambar 3.1

Gambar 3.1 Lokasi Lahan Pelaba Pura Desa Pakraman Panjer(Editing dari peta Bali ,Editing peta RDTR Denpasar 2004, dan Editing Peta Desa

Pakraman Panjer berdasarkan hasil observasi lapangan)

Peta Kota DenpasarPeta P. Bali

Page 30: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 30/142

30

Dengan rincian mengenai kepemilikan, luas, fungsi dan lokasi lahan 

 pelaba pura yang akan diuraikan pada Tabel 3.1:

Tabel 3.1 Tanah pelaba pura Desa Pakraman Panjer setelah terkena program Land

Consolidation

Kasus Nomer Luas Fungsi Lokasi

 Pelaba pura Puseh

1 - 9.5 are Genah  LPD dan Toko ,

gegaleng  pura

Desa/Puseh

Jl. Waturenggong

Tanah Pelaba pura Dalem

2 3349 45,95 are Genah  Pasar Nyanggelan,

 Due Pura Dalem

Jl. Tukad Mawa

3 5600 21,5 are Genah  margi Tukad

Mawa/Pura Kahyangan,

due pura desa

Jl. Tukad Mawa

4 5602 3.5 are Genah  TK Kumara Loka,

due Pura Puseh

Jl Tukad Musi

5 3348 7,65 are Genah  Jaba sisi Pura

Dalem, due pura dalem

Jl. Tukad Mawa

6 3197 17 are Perumahan/kos , due  PuraDalem,

7 3348 7,65 are Perumahan/kos, due  Pura

Dalem

Jl. Tukad Mawa

8 - 60 are Genah Baler pura dalem Jl. Tukad Mawa

9 - 30 are Genah jeroan jero mangku

 pura Dalem lan  pemangku 

Kahyangan

Jl. Tukad Mawa

Tanah Pelaba pura Subak

10 2309 8 are Genah  SD 1 Panjer,  Due 

Pura Pengulun Subak

Jl. Tukad Musi V

Sumber : Eka Ilikita dan dan hasil wawancara (12 November 2012)

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang

dinarasikan dari rekaman wawancara dan data kuantitatif berupa luasan lahan

Page 31: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 31/142

31

 pelaba pura, angka tahun, jumlah krama  pakraman  dan data angka lain yang

terkait dan mampu menunjang penelitian.

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini 1) awig-awig  Desa

Pakraman Panjer, berisi data mengenai batas-batas  Desa Pakraman Panjer, data

mengenai tugas krama pakraman, tugas dan tanggung jawab  prajuru, tata cara

 pelaksanaan  paruman (rapat desa pakraman), serta keterangan mengenai druwe

desa. 2) Eka Ilikita Desa Pakraman Panjer berisi sejarah  Desa Pakraman Panjer,

 pengempon pura, struktur organisasi Desa Pakraman dan beberapa tata atur yang

tidak tertera dalam awig-awig. 3) Perarem   Desa Pakraman  Panjer berisi,

keputusan-keputusan desa yang tidak tercantum dalam awig  dan  Eka Ilikita. 4)

Daftar aset  Desa Pakraman  Panjer, berisi lokasi lahan  pelaba  pura, nomer

sertifikat, dan keterangan hak milik. 5) Sertifikat Badan Pertanahan Nasional,

 berisi data gambar situasi, luasan persil, serta status kepemilikan masing-masing

tanah  pelaba pura  dan 6) Data Pemetaan  Land Consolidation (LC) yang berisi

gambar-gambar persil perencanaan LC di  Desa Pakraman  Panjer. Sumber data

 primer didapatkan melalui wawancara mendalam kepada informan secara

langsung.

3.4 Penentuan Informan

Informan ditentukan dengan teknik  purposive  (bertujuan), yaitu memilih

informan kunci yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman berkaitan dengan

 perubahan pemanfatan lahan  pelaba pura di  Desa Pakraman Panjer. Informan

selanjutnya secara snowball sampling, sehingga jumlah informan semakin lama

Page 32: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 32/142

32

semakin besar. Jumlah informan tidak dibatasi secara mutlak, tetapi tergantung

 pada tingkat kejenuhan data yang dicari. Informan kunci yang dituju adalah

 Bendesa  Pakraman  yang pernah dan sedang menjabat yakni Drs I Gusti Made

Anom selaku mantan Bendesa dan sebagai pemangku pura Puseh serta Dr. Wayan

Budiana.,SH.,MSi selaku  Bendesa  adat periode 2007-2012, 2012-2017. Dari

informan kunci didapatkan referensi beberapa informan lainnya diantaranya

Wayan Ariawan S.Pt yang menjabat sebagai sekretaris desa, Wayan Darmantra.,

S.Pt yang menjabat sebagai kepala pasar.

3.5 Metode Pengumpulan Data 

Metode pengumpulan data pada penelitian ini dibedakan sesuai dengan

kebutuhan masing-masing data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan

 penelitian. Beberapa teknik yang digunakan diantaranya studi kepustakaan dan

dokumentasi, berusaha mengumpulkan karya ilmiah yang berkaitan dengan tanah

adat, tanah  pelaba pura  yang telah dipublikasikan, serta penelusuran terhadap

dokumen-dokumen Desa Pakraman yang terkait dengan keberadaan tanah  pelaba

 pura  di  Desa Pakraman  Panjer seperti awig-awig, perarem, Eka Ilikita, Data

 Land Consolidation dan lain sebagainya. 

Teknik yang kedua yakni  wawancara, penggunaan wawancara bertujuan

untuk mengumpulkan data terkait perubahan. Teknik wawancara yang digunakan

dalam penelitian ini adalah dengan teknik wawancara tidak terstruktur, yakni

wawancara yang terdiri dari sejumlah pertanyaan tanpa mempunyai struktur

tertentu tetapi selalu berpusat pada pokok permasalahan (Koenjaraningrat :1983).

Page 33: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 33/142

33

Teknik ini diupayakan juga guna memperoleh informasi yang bersifat subjektif

dari pelaku perubahan,  dan yang terakhir yakni dengan  observasi. Teknik ini

digunakan untuk memantau kondisi fisik keberadaan lahan pelaba pura 

Berikut akan dipaparkan lebih rinci mengenai teknik pengumpulan data

dari setiap substansi penelitian dan juga jenis data, sumber data serta instrument

yang digunakan pada Tabel 3.2.

No. Data Jenis Data Sumber

Data

Instrumen

Penelitian

Teknik Pengumpulan Data

1. Gambaran awal penelitian Kualitatif Primer -  Peneliti

-  Alat perekam

(kamera,video)

-  Alat tulis

-  Observasi awal (grand tour)

-  Wawancara

-  Studi kepustakaan-  Dokumentasi berupa foto-foto

kondisi di lapangan

2. Gambaran umum wilayah

penelitian dan kondisi geografis

Kualitatif Sekunder -  Peneliti

-  Alat tulis-  Seperangkat

komputer

-  Dokumentasi data-data sekunder

antara lain: awig-awig, ,Eka

 Ilikita, Perarem

3. Kajian Pustaka Kualitatif Sekunder - 

Peneliti-  Alat tulis-  Seperangkat

komputer

Studi literatur/ referensi-  Internet

4. Konsep :

- Kualitatif Sekunder -  Peneliti

-  Alat tulis-  Seperangkat

komputer

-  Observasi awal (grand tour) 

-  Studi literatur/ referensi

5. Bangun Pemahaman :

-  Pemahaman mengenai perubahan

-  Tradisi budaya keruangan

masyarakat Bali-  Posisi  pelaba pura  dalam

tanah adat

Masyarakat adat dankehidupan Desa Pakraman

-   Nilai sakral-profan ruan

Kualitatif Sekunder -  Peneliti

-  Alat tulis-  Seperangkat

komputer

-  Studi literatur/referensi

-  Internet

6. Rumusan Masalah 1 (data):

Apa yang melatarbelakangi perubahan pemanfaatan lahan

 pelaba pura  di  Desa Pakraman

Panjer?

Kualitatif -Primer -  Peneliti

-  Panduan pengamatan

-  Panduan

wawancara

-  Wawancara mendalam

-  Observasi fisik

7 Rumusan Masalah 2 (data dan

analisis) :

Bagaimana gambaran perubahanterjadi?

Kualitatif -Primer -  Peneliti

-  Panduan

 pengamatan-  Panduan

wawancara

-  Wawancara mendalam

-  Observasi fisik

Tabel 3. 2Jenis data, Sumber data, Instrument Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Page 34: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 34/142

34

3.6 Instrumen Penelitian

Beberapa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sebagaimana

dipaparkan pada Tabel 3.2 Jenis data, Sumber data, Instrument Penelitian dan

Teknik Pengumpulan Data, antara lain: pertama adalah peneliti sendiri sebagai

instrumen penelitian dengan instrumen penunjang seperti acuan wawancara yang

 berupa rangkaian pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah dipersiapkan.

Selanjutnya instrumen yang digunakan untuk menunjang kegiatan observasi, alat-

alat yang dibutuhkan antara lain ragam gambar, dan perekam suara. Terakhir

dokumentasi, dilakukan dengan alat batu seperti kamera digital, dan tape

recorder. 

3.7 Teknik Analisis Data

Secara garis besar terdapat tiga tahapan dalam menganalisis data dalam

 penelitian ini yakni 1) tahap reduksi data, 2) display data, dan 3) verifikasi. Pada

tahap reduksi, dilakukan pemilihan tentang relevan tidaknya antara data dengan

tujuan penelitian, Informasi dari lapangan sebagai bahan mentah diringkas,

disusun lebih sistematis, serta ditonjolkan pokok-pokok yang penting sehingga

lebih mudah dikendalikan. Pada tahap display data, tahap ini bertujuan untuk

dapat melihat gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari gambaran

keseluruhan. Pada tahap ini peneliti berupa mengklasifikasikan dan menyajikan

data sesuai dengan pokok permasalahan yang diawali dengan pengkodean pada

setiap pokok permasalahan. Untuk memudahkan memperoleh kesimpulan dari

lapangan maka dibuatkan matriks atau bagan. Matriks yang disajikan pada hal 102

Page 35: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 35/142

35

 berguna untuk melihat hubungan antar data. Penarikan kesimpulan dan verivikasi

data, pada tahap ini dimaksudkan untuk mencari makna data yang dikumpulkan

dengan mencari hubungan, persamaan, atau perbedaan. Penarikan kesimpulan

dilakukan dengan membandingkan kesesuaian pernyataan dari subjek penelitian

dengan makna yang terkandung dengan konsep konsep dasar dalam penelitian.

3.8 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil penelitian akan didahului dengan gambaran umum

mengenai sejarah, demografi, serta sebaran keberadaan lahan  pelaba pura  dan

tempat-tempat yang terkait dengan keberadaan  pelaba pura  di  Desa Pakraman 

Panjer, kemudian diuraikan hasil penelitian kasus-perkasus (sub-bab 4.2) untuk

memperoleh fenomena detail pada setiap kasus, kemudian reduksi menjadi tema-

tema temuan (sub-bab 4.3) sebagai dasar data yang akan didialogkan dengan

 bangunan pemahaman yang telah terbentuk. Kemudian Pembahasan akan

diuraikan secara kualitatif yang merupakan interpretatif terhadap hasil penelitian

yang ditunjang dengan tabel serta gambar-gambar agar lebih informatif dan jelas.

Page 36: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 36/142

36

BAB IV

PEMBAHASAN DAN HASIL

Sebelum memasuki rekonstruksi perubahan, akan diuraikan gambaran

umum dan berbagai hal yang terkait dengan keberadaan lahan pelaba pura. 

4.1 Gambaran Umum Desa Pakraman Panjer dan Lahan Pelaba Pura-nya

4.1.1 Sejarah Desa Pakraman Panjer dan tanah pelaba pura-nya.

Informasi yang diwariskan secara turun-temurun dan telah menjadi

kepercayaan yang melekat pada masyarakat Desa Pakraman Panjer akan sejarah

keberadaan desa ini disuratkan pada  Eka Ilikita  Desa Pakraman Panjer. Sejarah

 Desa Pakraman Panjer berawal dari perjalanan Tirta Yatra Raja Waturenggong ke

Pura Sakenan dan Pura Uluwatu. Berikut petikan dari cerita sejarah  Desa

Pakraman Panjer:

“… Ida Dalem Klungkung pacang lunga muspa ring pura Sakenan

lan uluwatu. Ring masyaning desa utawi ring alas sane

madurgama, katah pepayonan inggih punika pepayonan/ entik-

entikan paku. Irika raris Ida Dalem Klungkung mejanggelang,

irika raris Ida makarya genah pasubayan, ngaturang pengrastiti

mangda kaicen pamargi rahayu, ngantos mangkin genah punika

kawastanin Pura Pakuwon. Antuk pasuwecan Ida Dalem

Klungkung ledang mesanekan/ mejanggelan ring alas paku punika,

raris wewidangan genah punika kapica waranugraha mewasta

 jagat "Nyanggelan".

 Artinya:

36

Page 37: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 37/142

37

“Ida Dalem Klungkung akan pergi ke Pura Sakenan dan Uluwatu

mempersembahkan  yadnya. Pada pertengahan desa atau hutan

yang terdiri dari pohon paku, disana kemudian beliau membangun

tempat persembahyangan pada alas paku tersebut yang sekarang

dikenal dengan Pura Pakuwon. Dengan kesediaan Ida Dalem

Klungkung untuk beristirahat di alas paku tersebut, kemudian

tempat tersebut disebut sebagai jagat Nyanggelan”.

Kemudian dilanjutkan dengan cerita bahwa Raja Klungkung melanjutkan

 perjalanan kearah tenggara, karena hutan sangat lebat dan perjalanan sangat sulit

dilakukan, maka beliau kembali melakukan peristirahatan dan membangun

sebuah pura  pesimpangan  yang sekarang dikenal dengan Pura Sudha di Desa

Sidakarya. Diceritakan juga bahwa sejumlah lahan diberikan kepada pengikut raja

guna dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan akan pura disamping untuk

memenuhi kebutuhan hidup.

Merujuk pada buku hak-hak atas tanah, pemberian sejumlah lahan yang

diberikan kepada pengikut raja guna dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan

 pura pada jaman kerajaan diistilahkan dengan sima (Wiguna: 2009).  Meninjau

fungsi dan perannya, memiliki persamaan makna dengan fungsi dan makna

 pemanfaatan lahan  pelaba pura. Bagaimana pergeseran makna yang terjadi dari

sima  menjadi  pelaba pura tidak menjadi substansi penelitian, namun cukup

 penting untuk memberikan konteks perubahan. Sedikit prematur untuk

menyimpulkan namun atas kesamaan fungsi dan perannya katakanlah saja istilah

sima  adalah sebagai cikal bakal munculnya lahan  pelaba pura yang berlaku

sekarang di Desa Pakraman Panjer.

Page 38: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 38/142

38

Apabila dilihat pengertiannya, sima  disebutkan sebagai batas-batas

kesucian suatu wilayah, daerah atau sebidang tanah yang bebas dari berbagai jenis

 pajak (Wiguna: 2009). Casparis (1940) menyebutkan sima mempunyai kesamaan

arti dengan jataka. Jataka diartikan sebagai sebidang tanah yang ditetapkan untuk

 bangunan suci. Sima  dan  Jataka  dapat dijadikan dasar bahwa penganugrahan

sebidang tanah kepada pengikut raja pada waktu itu hampir seluruhnya merupakan

 pelaba pura. Perubahan mengenai makna sima  ditenggarai dimulai dengan

meningkatnya kebutuhan manusia akan tempat tinggal, bersosialisasi, hingga

melaksanakan kegiatan perekonomian yang pada akhirnya terbentuk tipologi

tanah adat seperti yang telah diuraikan Suwitra (2010) pada Gambar 4.3 (Tanah

adat berdasarkan Status kepemilikan lahan). Artinya lahan  pelaba pura atau sima 

secara perlahan mengalami penyempitan makna akibat terdeviasinya fungsi.

 Desa Pakraman Panjer   kemungkinan mengalami suatu fase

 perkembangan yang berbeda dengan beberapa desa lain sehingga kedudukan

tanah adatnya nampak seperti pada Gambar 2.2 (Posisi tanah  pelaba pura dalam

tanah adat di  Desa Pakraman Panjer) dimana tanah  pelaba pura-nya ternyata

dimanfaatkan untuk memenuhi beberapa kebutuhan desa diantaranya mencakup

lahan bale desa, tanah kahyangan, jalan, tanah pasar serta tanah lapang.

Pemekaran Kota Denpasar serta pemekaran administratif Desa Panjer dan

desa lain yang diterapkan pemerintah juga turut membawa pengaruh terhadap

eksistensi lahan ini. Perubahan yang sangat signifikan setelah dilaksanakannya LC

di kawasan Renon pada tahun 1985, dan di Panjer pertama kali dilaksanakan

tahun 1989-1993 (Wayan Rastina, 15 Mei 2013). Sebelum dilaksanakannya

Page 39: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 39/142

39

 program LC, Panjer dan di sekitarnya, desa ini terkenal dengan desa penghasil

 beras bermutu. Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani yang

sebagian krama  menggarap lahan  pelaba pura  sebagai lahan pertanian. Namun

 pemandangan yang sama tidak dapat dirasakan pasca terjadinya restrukturisasi

lahan di  Desa Pakraman  Panjer. Berangsur-angsur masyarakat mulai

meninggalkan profesinya sebagai petani dan mendiversikasikan profesinya pada

 bidang lain yang lebih menguntungkan. Pada saat yang sama lahan  pelaba pura 

mulai ditinggalkan dan menjadi lahan tidur yang tidak termanfaatkan.

Meningkatnya nilai lahan serta berubahnya kehidupan  pakraman  kearah

kultur perkotaan juga berpengaruh terhadap eksistensi tanah adat yang lain

khususnya tanah dengan status lahan individu tidak penuh telah beralih menjadi

status individu penuh. Tanah Pekarangan Desa hampir semuanya telah beralih

fungsi menjadi tanah individu penuh dengan kata lain tanah tersebut telah menjadi

tanah hak milik pribadi (Wayan Budiana, 2013). Sedangkan disaat yang sama

tanah pelaba pura-nya, mulai dan sedang direncanakan menjadi fungsi yang baru

yang akan diuraikan secara detail kasus-perkasus pada subbab 4.2 (Perubahan

Pemanfaatan Lahan Pelaba Pura di Desa Pakraman Panjer)

4.1.2 Palemahan  Desa Pakraman Panjer

Wilayah  palemahan   Desa Pakraman Panjer berlokasi di Kecamatan

Denpasar Selatan dengan jarak kurang lebih 2 kilometer dari pusat Kota Denpasar

yang berbatasan dengan beberapa  Desa Pakraman. Batas Timur Desa Pakraman

Panjer yakni  Desa Pakraman Renon, batas selatan yakni  Desa Pakraman

Page 40: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 40/142

40

Sidakarya, batas barat berbatasan  Desa Pakraman Sesetan, dan batas utara

 berbatasan Desa Pakraman Renon Yang Batu.

 Desa Pakraman dan Desa Dinas mempunyai karakteristik tersendiri baik

ditinjau dari segi historis pembentukannya maupun ditinjau dari aspek demografi,

sumber dana, dan peraturan yang dipergunakan untuk mengikat warganya. Hal

yang berbeda terjadi pada kasus di  Desa Pakraman Panjer, terdapat kesamaan

dalam segi wilayah dimana pembagian lingkungan desa dinas dibagi berdasarkan

wilayah adat atau dengan kata lain luas wilayah  Desa Pakraman Panjer dengan

kelurahan Panjer berhimpit sama percis.

Sebagaimana umumnya  Desa Pakraman yang lain, Palemahan   Desa

Pakraman Panjer diatur berdasarkan tata nilai filsafat Agama Hindu yang disebut

dengan Tri Mandala  (utama mandala, madya mandala, dan kanista/nista

mandala), masing-masing mandala  tata ruangnya dipergunakan sesuai dengan

tatanan yang digariskan dalam awig-awig Desa Pakraman Panjer. Dituliskan

 bahwa utama mandala merupakan lokasi Pura Desa/Bale Agung, Puseh dan Pura

Dalem dan merupakan lokasi berbagai tanaman yang dapat digunakan sebagai

sarana upakara.  Madya mandala  merupakan lokasi pekarangan desa dan lokasi

 pemukiman krama   pakraman, sedangkan nista mandala, merupakan lokasi

kuburan/ setra desa pakraman.

Page 41: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 41/142

41

4.1.3 Tata guna lahan

Sedikit meluas, namun dirasakan penting untuk memahami konteks

 perkotaannya, berikut akan dipaparkan secara singkat tata guna lahan di desa

Panjer (administratif) yang masih relevan mengingat strukturnya yang berhimpit

sama précis dengan wilayah  Desa  Pakraman Panjer.  Peruntukan pemanfaatan

lahan dikawasan Panjer dari RDTR Kota Denpasar tahun 2004 adalah sebagai

kawasan pemukiman campuran. Perkembangan pemanfaatan lahan didominasi

oleh pemanfaatan lahan sebagai lahan permukiman. Luasan wilayah  Desa

Pakraman Panjer seluas: 316, 14 Hektar yang terdiri dari:

1.  Lahan permukiman: 266, 08 Ha

2. 

Lahan sawah 25 Ha

3. 

Kuburan seluas 0.60 Ha

4.  Lahan yang dimanfaatkan sebagai pura seluas 0,86 Ha

5.  Lahan yang digunakan sebagai pelaba pura seluas 4,5 Ha

6.  Lahan Tegalan seluas 19, 10 Ha

Data ini merupakan data tahun 2007 dan diperkirakan telah terjadi

 perubahan pada lahan sawah seluas 10-15 Ha pada tahun 2013 yang dialih

fungsikan menjadi kawasan pemukiman. Penyusutan cukup signifikan

sebagaimana yang diuraikan dalam penelitian Aryana (2012), perubahannya dapat

dilihat dalam Gambar 4.1 sebagai berikut:

Page 42: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 42/142

42

Gambar 4.1 Peta Penggunaan Lahan Panjer 1980 dan 2012(Aryana :2012)

Pada Gambar 4.1 dapat dilihat terjadi perubahan yang begitu mendasar

 pada tata guna lahan di  Desa Pakraman  Panjer. Hal ini dipengaruhi oleh

 perkembangan perkotaan yang semakin melebar kearah selatan yang secara

signifikan terjadi dimulai pada tahun 1989 dengan diimplementasikannya program

 Land Consolidation di Desa Pakraman Panjer.

4.1.3 Demografi

Terdapat perbedaan perspektif dalam melihat gambaran mengenai aspek

demografi dalam kasus ini, penjelasan aspek demografi lebih mengarah pada hal-

hal yang berkaitan dengan tatanan kehidupan masyarakat adat. Dalam tatanan

adat, yang termasuk dalam krama  Desa Pakraman Panjer yakni keluarga yang

 beragama Hindu, bertempat tinggal, menetap di  palemahan   Desa Pakraman

Kawasan pertanian

Kawasan permukiman

Page 43: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 43/142

43

Panjer. Skema struktur  pawongan  Desa Pakraman  Panjer dapat dilihat pada

Gambar 4.2 sebagai berikut:

Gambar 4.2 Struktur Pawongan  Desa Pakraman Panjer

(Awig-awig Desa Pakraman panjer)

Krama desa sebagaimana digariskan dalam awig-awig dibagi menjadi tiga,

antara lain 1) krama ngarep, yakni krama yang sudah bersuami istri dan juga telah

turun menjadi krama banjar, disaksikan oleh prajuru banjar masing-masing, dan

krama banjar ,2) krama penyanggra, yakni krama  dari luar desa yang beragama

Hindu yang telah menetap atau menjadi krama yang telah ikut serta membangun

 banjar, dan juga telah menikah, kewajibannya sama dengan krama banjar  ngarep 

dan, 3) krama tamiu, yakni krama dari luar desa yang beragama Hindu, dan juga

telah menikah, tidak menjadi banjar ngarep ataupun  penyangra, wajib mengikuti

ketertiban dinas, dan mambayar biaya jagabhaya setiap bulan besarnya mengikuti

 perarem desa pakraman.

Br. KajaBr.

Celuk

Br.

Antap

Br.

Sasih

Br.

Kangin

Br.

Bekul

236 KK130 KK 130 KK 102 KK 252 KK 73 KK

 Desa Pakraman Panjer

Krama Ngarep Krama Penyanggra Krama Tamiu

Br.

Maniksaga

warga

dinas serta

wargayang

mempu-

nyai usaha

di wilayah

 pakraman 

Panjer

164

KK

68

KK

30

KK

Br.

Kertasari

Br.

Tegalsari

Page 44: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 44/142

44

 Desa Pakraman Panjer terdiri dari 1185 KK, atau 7170 orang/ krama,

3.280 laki-laki, dan 3890 perempuan. Kehidupan masyarakat Panjer pada awalnya

sebagian besar berprofesi sebagai petani, namun dengan perubahan yang

signifikan pada kawasan ini mengakibatkan masyarakat telah mendiversivikasikan

kehidupannya pada sektor jasa dan barang, pengusaha rumah kos dan lain

sebagainya, terutama yang bermata pencaharian dalam bidang usaha kecil dan

menengah.

4.1.4 Posisi tanah pelaba pura dalam tanah adat Desa Pakraman Panjer

Terkait dengan adegium desa mawacara, atau setiap desa memiliki tata

caranya sendiri dalam pemanfaatan lahan adatnya, keberadaan lahan komunal di

 Desa Pakraman  Panjer memiliki perbedaan dari tipologi tanah adat yang

diuraikan oleh Suwitra (2010). Berikut merupakan bagan tanah adat di  Desa

Pakraman Panjer.

Gambar 4.3 Posisi Tanah Pelaba Pura dalam Tanah Adat Desa Pakraman Panjer(Wawancara kepada Wayan Rastina juni 2013, dan analisa pribadi)

Tanah Adat (Druwe Desa) 

Tanah Individu Tidak

Penuh

Tanah Komunal

Telah beralih status

menjadi lahan individutidak enuh

Tanah

Setra 

Tanah

Kahyang-an Desa

Tanah pelaba

 pura 

TanahLapang

TanahPasar

Tanah Kahyangan

(nistaning & madya

mandala)

Jalan,Rurung

Fungsi lainDinamika

Perubahan

Page 45: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 45/142

Page 46: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 46/142

46

Gambar 4.4 Peta Lokasi Pura dan Tempat-tempat yangMempunyai Peranan Penting di Desa Pakraman Panjer

Pura yang mempunyai fungsi penting dari umumnya setiap  Desa

Pakraman di Bali yakni Pura Kahyangan Tiga. Pura Kahyangan Tiga merupakan

tempat ibadah untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha

Esa) dalam manifestasinya sebagai pencipta (Utpetti), pemelihara (Stiti), dan

 pelebur (Pralina). Konsepsi ini muncul dimulai sejak kedatangan Dang Hyang

Page 47: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 47/142

47

 Nirartha ke Bali yang mengajarkan mengenai ajaran-ajaran Sivaisme 

mempersatukan sekte-sekte yang ada di Bali.

Pura Kahyangan Tiga  terdiri dari Pura Desa/ Pura Bale Agung (Gambar

4.4 no 1) yang merupakan tempat memuja Ida sang Hyang Widhi dalam

manifestasinya sebagai Dewa Brahma sebagai maha pencipta. Pura Puseh/ Segara

Agung (Gambar 4.4 no 1) merupakan tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi

dalam manisfestasinya sebagai Dewa Wisnu "maha pemelihara", dan Pura Dalem

Agung (Gambar 4.4 no 8) merupakan tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi

dalam manifestasinya sebagai "maha pelebur" yang dikenal dengan Dewa Siwa.

Pura Kahyangan Tiga  disamping berfungsi sebagai tempat pemujaan atau

 penyungsungan dari seluruh warga  Desa Pakraman, Pura Kahyangan Tiga  juga

 berfungsi sebagai alat pengikat dan menyatukan warga  Desa Pakraman dalam

ikatan bermasyarakat.

Pura Puseh  Desa Pakraman  Panjer berlokasi di Jalan Waturenggong-

Tukad Pakrisan yang berada di hulu atau area utamaning mandala Desa

Pakraman Panjer. Lokasinya bersebelahan dengan Lokasi Pura Bale Agung/ Pura

Desa  Desa Pakraman  Panjer. Setting  pura, dan beberapa elemen fungsi

didalamnya mempunyai kaitan dengan perubahan pemanfaatan lahan pelaba-nya

sebagaimana diungkapkan pada subbab 4.2.1 yang membahas mengenai

 perubahan pemanfaatan lahan  pelaba  Pura Puseh, diantaranya gegaleng  pada

 pelaba  pura, Bangunan LPD lama yang sebelumnya berlokasi pada nistaning

mandala  Pura Puseh, keberadaan linggih Ratu Gede Muntung/ Batu Bintang

(Gambar 4.5 no 24), Pelinggih Pura Pengulun  Subak (Gambar 4.5 no 25) yang

Page 48: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 48/142

48

 berada pada areal utamaning mandala  Pura Bale Agung dan lain sebagainya.

Gambar denah Pura Puseh dapat dilihat pada Gambar 4.5 sebagai berikut

Keterangan1.  Lingga Stana Ratu Ketut Petung

2.  Lingga Stana Ratu Made Jelawung

3.  Gedong Stana Ratu Desa

4.  Lingga Stana Ratu Anglurah Agung

5.  Lingga Stana Ratu Puseh

6.  Bale Banten

7.  Lingga Stana Ratu Nganten

8.  Lingga Stana Ratu Mayun Agung

9.  Lingga Stana Ratu Pasek

10.  Bale Piyasan/ Tajuk Ratu Pasek

11.  Bale Piyasan/Tajuk Ratu Puseh

12.  Bale Piyasan/ Tajuk Ratu Desa

13. 

Bale Pesamuhan

14.  Bale Gong

15.  Pawaregan Suci

16.  Kori Agung

17.  Sedahan Panglurah Lan Togog

18.  Sedahan Panglurah lan Togog

19.  Bebetelan

20.  Sumur Suci

21.  Aling-aling

22.  Piyasan/Tajuk Sang Hyang

Baghawati

23.  Lingga Stana Sang Hyang

Baghawati

24.  Watu Muntung/Watu Bintang

25.  Lingga Stana Bhatari Sri

26.  Piyasan Bhatari Sri

27. 

Lingga Stana Dewi Danuh

28.  Piyasan Dewi Danuh

29.  Sumur Suci

30.  Bale Agung

31.  Bale Pasanekan

32.  Candi Bentar lan Togog

33.  Candi Bentar Nista Mandala 

34.  Bale Kul-kul

35.  Bale Pasanekan

36.  Paibon Pasek Pulasari

37.  Piyasan

Gambar 4.5 Denah dan Situasi Pura Desa/Puseh dan Pura Bale Agung

 Desa Pakraman Panjer

Pura Puseh dan Pura Bale Agung  Desa Pakraman Panjer menjadi satu

lokasi dengan mandala yang berbeda namun mempunyai jaba sisi yang sama.

1

2

3

4

5

6

7

8910

1113

1415

16

17

18

19

20

21

22 23 2425

26

27

28

29

30

3132

33

34

35

UTARA

Page 49: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 49/142

49

Tanah pelaba Pura Puseh

Pura Pengulun Subak terletak di

areal dalam mandala  Pura Bale

Agung

Gambar 4.6 Posisi Lahan Pelaba Pura Puseh, Desa/ Bale Agung

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.6, lahan pelaba Pura Puseh pada

saat ini dimanfaatkan sebagai Kantor Lembaga Perkreditan Daerah (LPD)  Desa

Pakraman Panjer dan di sebelah utaranya dimanfaatkan sebagai Toko sebanyak

10 unit yang disewa oleh waralaba minimart, distro, dan warung makan dan

 beberapa toko lain. Dari penelusuran lebih lanjut, ditemukan beberapa perubahan

yang terjadi dari tahun 1980-2013, kronologi perubahan akan dijelaskan secara

rinci pada subbab 4.2.

Berikutnya merupakan salah satu pura yang termasuk kedalam Pura

Kahyangan Tiga yakni Pura Dalem  Desa Pakraman  Panjer. Pura Dalem

sebagaimana penjelasan Drs. I Gusti Made Anom merupakan stana dari Dewa

Siwa sebagai pemralina (pelebur). Pura Dalem Desa Pakraman Panjer terdiri dari

3 mandala, yakni utamaning mandala, madyaning mandala, dan nistaing mandala 

sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.7 sebagai berikut:

Tanah pelaba 

Pura Desa/Puseh

Toko disewa

sebagai distro,

minimarket,

Tanah pelaba 

Pura Desa yang

dimanfaatkansebagai LPD Desa

Pakraman Panjer

Pura Desa/ Puseh

Pura Bale agung

Page 50: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 50/142

50

Keterangan

1. 

Lingga Stana Ratu Nyoman Sakti

Pangandangan2.  Gedong Stana Ida Ratu Dalem3.

 

Gedong Stana Ida Ratu Mayun agung

4.  Padmasana, Stana Ida Sang HyangWidi Wasa

5. 

Sumur Suci6.

 

Linga Stana Ratu Sri Rambut Sedana

7. 

Lingga Stana Ratu Gede8.

 

Lingga Stana Ratu Ayu9.

 

Bale Pesamuan/Pengaruman IdaBhatara

10.  Bale Piyasan11.

 

Bale Piyasan12.

 

Bale Banten13.

 

Gedong Pererepan Ida Ratu Ayu

14. 

Pewaregan Suci15.

 

Bale Gong16.

 

Aling-aling

17. 

Kori Agung18.

 

Bebetelan19.

 

Bale Penyimpenan Uparengga

20. 

Tugu Sedahan Penglurahan21.  Tugu Sedahan Pangularahan22.

 

Togog Bhuta Diyu

23.  Togog Butha Garwa24.

 

Bale Pasanekan

25. 

Bale Kul-kul26.

 

Candi Bentar27.

 

Surup

28. 

Candi Bentar29.

 

Sumur Tirtha Panglukatan30.

 

Paibon Kubayan

31.  Piyasan32.

 

Pura Taman

26

28

20

21

23

23

16

16

25

24 14

15

11

10

9

87

6 4

3

5

2

1

1230

31

3227

29

NISTA MANDALA

MADYA

MANDALAUTAMA MANDALA

Gambar 4.7 Denah Pura Dalem Desa Pakraman Panjer

9

1

19

13

TAMAN & TELAGAWAJA

BALE BANTEN

PURA MELANTING

BALAI KARYA

LAPANGAN

PEMUKIMAN PEMANGKU

Page 51: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 51/142

51

Pura Dalem mempunyai fungsi yang erat dengan beberapa pura/ tempat

lain di desa ini antara lain Pura Kahyangan Desa dan Pura Prajapati setra  serta

kolam dan taman di sekitar Pura Kahyangan sebagai simbolik Telaga Waja 

(pemandian atma). Pura Prajapati  (Mrajapati; "Mraja Pati" atau Rajapati)  bagi

masyarakat Panjer adalah tempat suci  pemujaan kepada Dewi Durga yang

disebutkan saat  roh masih dalam status Preta  yang keluarganya belum mampu

menyelenggarakan upacara ngaben  maka roh yang disebut Preta  itulah yang

distanakan Pura Prajapati sebagai bagian dari  Pura Kahyangan Tiga, d ibangun

 pada hulun setra (hulu kuburan), berbentuk Padma, dan sebuah bentuk Bebaturan

 Linggih Sedahan Setra.

Posisi setra  Desa Pakraman yang dipergunakan oleh Br. Kangin dan Br

Antap memiliki hubungan unik dengan keberadaan lahan  pelaba pura dan Pura

Dalem  Desa Pakraman Panjer. Berbagai bentuk pengaturan timbul untuk

menghindari suatu keadaan yang disebut “leteh” di sekitar area Pura Dalem yang

akan dibahas pada kasus pemanfaatan lahan pelaba Pura Dalem sebagai jalan desa

 pada kasus 3 pada tanah pelaba Pura Dalem (sertifikat no:5600).

Salah satu pura yang memiliki peranan penting dalam kehidupan

Pakraman di Desa Pakraman Panjer yakni Pura Kahyangan (2, Gambar 4.8). Pura

Kahyangan di  Desa Pakraman  Panjer mempunyai fungsi yang berbeda dengan

Pura Kahyangan Tiga. Sesuai dengan pernyataan Drs. Gusti Made Anom, Pura

Kahyangan erat kaitannya dengan Pura Dalem yang merupakan sakti dari Dewa

Siwa dalam wujudnya sebagai Dewi Uma  simbolik  purusa-predana  sumber

Page 52: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 52/142

52

kehidupan. Posisi Pura Kayangan berada disebelah utara Pasar Nyanggelan seperti

terlihat pada Gambar 4.8 sebagai berikut:

Keterangan

1.  Utaman mandala  Pura

Kahyangan

2.  madyaning utama,/ jaba

tengah Pura Kahyangan

3.  Kolam yang disebut

sebgai Telaga Waja

(pemandian atma)

4.  Taman

5.  Pura Melanting

6.  Pura Dalem  Desa

Pakraman Panjer

7. 

Wantilan8.  Pura Prajapati

Gambar 4.8 Denah dan Situasi di Sekitar Lokasi Pura Taman

Pura berkutnya yang mempunyai kaitan erat dengan keberadaan Pura

Dalem yakni Pura Taman (Gambar 4.7 no 32). Pura Taman di  Desa Pakraman 

Panjer berfungsi sebagai tempat pembersihan,  pemlukatan  yang berisi sumber

mata air yang senantiasa digunakan dalam berbagai ritual di desa. Keberadaan

Pura Taman yang terletak di sebelah timur Pura Dalem ini juga sebagai gegaleng 

Pura guna memberikan jarak proteksi dengan pemanfaatan lahan desa sebagai

 pemukiman pemangku.

Pura lain yang memiliki lahan pelaba pura yakni Pura Subak (Gambar 4.5

no 25). Pura Subak termasuk kedalam tipologi pura swagina  atau pura yang

 berkaitan dengan profesi masyarakat yang dulunya mayoritas berprofesi sebagai

 petani. Seiring perubahan jaman, profesi petani mulai ditinggalkan, sehingga Pura

Subak sekarang diamong  oleh  Desa Pakraman  tidak lagi oleh para petani. Pura

312

4

5

6

7

8 UTARA

Page 53: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 53/142

53

Subak mempunyai pelaba yang terletak di Jalan Tukad Musi 5, letaknya terpisah

dari Pura Subak-nya yang merupakan tanah hasil tukar guling dengan tanah  Land

Consolidation. 

Salah satu yang termasuk kedalam Pura Swagina mempunyai fungsi yang

cukup penting bagi krama desa adalah Pura Melanting (Gambar 4.8 no 5). Fungsi

Pura Melanting bagi masyarakat Panjer dan pada umumnya bagi masyarakat bali

yaitu sebagai tempat suci untuk memuja keagungan Sang Hyang Widhi Wasa,

memuja Dewi Melanting untuk memohon anugerah kesuburan, kemakmuran dan

keselamatan.

Tempat atau lokasi yang memiliki peranan penting lainnya yakni

 pempatan desa  (Gambar 4.9 no 1). Pempatan desa  merupakan simbolik

 bertemunya alam atas dan alam bawah, tempat menyatunya Purusa dan Pradana 

yang juga disebut sebagai sumbu Desa Pakraman Panjer.

Keterangan

1.  Pempatan Desa

2.  Jalan menuju pura

kahyangan

3.  Setra

4.  Toko

5.  Setra

6.  Pelinggih penunggun

karang Pasar

 Nyanggelan

7.  Pasar Nyanggelan

8.  Toko

9.  Pelinggih Prajapati

Gambar 4.9 Pempatan Desa, Desa Pakraman Panjer

1

23

5

6 7

4

8

9

UTARA

Page 54: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 54/142

54

Demikian telah diuraikan beberapa pura dan tempat-tempat penting yang

keberadaannya terkait dengan  pelaba pura di  Desa Pakraman  Panjer. Beberapa

fenomena terkait perubahan pemanfaatan lahan terekam dalam tata letak, orientasi

 bahkan keberadaan tugu yang berada dalam di dalam Pura. Detail perubahan dari

masing-masing kasus akan dijelaskan lebih lanjut pada bab 4.2

4.2 Perubahan Pemanfatan Lahan Pelaba Pura Desa Pakraman Panjer

Pemanfaatan tanah  pelaba pura di  Desa Pakraman Panjer sebelum

dilaksanakannya LC pada tahun 1990, sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan

 pertanian (sawah), sebagaimana yang diutarakan oleh  Bendesa  Prof. Dr. Wayan

Budiana.,SH.,M.Si, sebagai berikut:

"…sebelum dilaksanakannya  Land Consolidation (LC), Desa

Panjer sebagian besar merupakan lahan pertanian begitu jugadengan lahan  pelaba  pura, semuanya dimanfaatkan sebagai lahan

 pertanian. Khususnya pelaba Pura Dalem yang berada di utara dan

 barat pura yang sekarang dimanfaatkan sebagai pasar dan beberapa

fungsi lain seperti lapangan, wantilan, TK, pengembangan jaba sisi 

 pura, dan perumahan sedangkan  pelaba Pura  Puseh merupakan

lahan tegalan dan pemanfaatannya sekarang berupa kantor LPD,

dan sebagian lagi disewakan sebagai toko"(wawancara tgl 9

Februari 2013)

Dalam pencarian dokumen penunjang berdasarkan rujukan Drs. I Gusti

Made Anom merujuk pada data awig-awig terbaru  Desa Pakraman Panjer yang

dibuat pada tahun 1908 dan telah direvisi sebanyak 3 kali yakni pada tahun 1986

(revisi I), dan tahun 2007 (revisi ke II). Dalam awig tersebut dijelaskan bahwa

dulu keadaan tanah  pelaba pura terdiri dari beberapa petak lahan dengan

Page 55: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 55/142

55

 pengemponnya  masing-masing sebagaimana tertulis pada Pawos  19 mengenai

" Indik Druwen Desa" dijelaskan sebagi berikut:

Pasal ha (1):

"Tanah sawah malinggah 150 are, kaamong antuk para kelian ring

suang-suang banjar, pamuponnya kaanggen ngaci ring Pura

Kahyangan Tiga"

Artinya:

"Tanah sawah dengan luas 150 are, dikelola oleh para kelianmasing-masing banjar, hasilnya digunakan untuk menunjang  pura

Kahyangan Tiga."  

Pasal na (2):

"Tanah tegalan malinggah 30 are, dados tegak umah dabe

 pemangku ring Pura Dalem sareng ring pemangku pura

Kahyangan Desa."

Artinya:

"Tanah tegalan seluas 30 are, sebagai rumah  pemangku  Pura

Dalem dan pemangku Kahyangan Desa."

Pasal ca (3):

"Tanah tegalan melinggah 10 are, dados gegaleng Pura Dalem

Artinya:

"Tanah ladang seluas 10 are, sebagai tempat gegaleng Pura

Dalem,"

Pasal ra (4):

"Tanah tegalan melinggah 60 are, kadadosang sawah kaamong

antuk pemangku Pura dalem sareng ring pemangku kahyangan

desa antuk nandu utawi ngupetin manut daging parareman krama

 Desa Pakraman ."

Artinya:

"Tanah ladang dengan luasan 60 are, digunakan sebagai sawah di

kelola oleh pemangku Pura Dalem dan pemangku Kahyangan Desa

Page 56: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 56/142

56

sebagai penggarap atau memanfaatkannya berdasarkan keputusan

 perarem krama Desa Pakraman ."

Pasal ka (5):

"Tanah tegalan malinggah 4 are, kaamong antuk pemangku Pura

 Desa, kaanggen prabeya pererainan ring Pura Desa."

Artinya:

"Tanah ladang dengan luas 4 are, di kelola oleh  pemangku  desa,

digunakan untuk pembiayaan pererainan di Pura Desa."

"siwosan ring pelaba pura inucap, wenten taler tanah paderben

desa malinggah 30 are, dados tegak pura desa, bale agung miwah

Pura Taman."

Artinya:

"yang lain dari  pelaba pura tersebut, ada juga tanah kepunyaan

desa seluas 30 are, sebagai tempat pura desa, bale agung serta pura

taman."

Pada awal mulanya tanah  pelaba pura terbagi menjadi 5 persil yang

letaknya terpisah secara fisik dengan luasan yang jelas antara lain seluas 150 are

sebagai lahan sawah, 30 are sebagai rumah  pemangku, 10 are sebagai gegaleng 

Pura Dalem, tanah ladang seluas 60 are, digarap oleh  pemangku Pura Dalem dan

 pemangku Pura Kahyangan, tanah ladang yang digunakan untuk  pererainan, dan

30 are sebagai tempat Pura Puseh, dan Bale Agung. Jika ditotal, tanah pelaba pura

desa seluas 254 are dan tanah untuk pura seluas 30 are, sedangkan kepemilikan

tanah pelaba pura sekarang luasannya tetap. Penambahan aset berupa tanah seluas

5 dan 3 are dengan status kepemilikan hak guna pakai yang merupakan fasilitas

umum LC yang diterapkan pemerintah di kawasan ini secara bertahap pada tahun

anggaran 1989/1990, 1993/1994, dan tahun anggaran 1995/1996. Data lain yang

dapat ditafsir yakni, masing masing lahan mempunyai penanggung jawab

Page 57: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 57/142

57

finansialnya yakni  pemangku  pura masing-masing khususnya pembiayaan

 pererainan (upacara yang dilakukan setiap hari).

Kronologi perubahan akan dijelaskan secara lebih detail pada masing-

masing kasus. Hasil rekonstruksi perubahan tersebut kemudian akan dimatriks-

kan guna mensarikan tema-tema temuan dari masing-masing kasus untuk

membantu proses analisis dan pada akhirnya mendapatkan pemahaman utuh

mengenai fenomena perubahan yang terjadi.

4.2.1 Tanah pelaba Pura Puseh (Kasus 1)

Pura Puseh  Desa Pakraman Panjer hanya memiliki lahan  pelaba  seluas

900 m2. Sertifikat lahan kini sedang dalam proses pengajuan. Kondisi lahan

merupakan lahan dengan topografi datar yang bersebelahan dengan saluran irigasi

subak. Lokasi lahan  pelaba Pura  Puseh dan Pura Desa berada di jalan

Waturenggong-Tukad Pakrisan dengan lebar 6 meter dan termasuk berada pada

lokasi yang sangat strategis. Jalan yang berbatasan dengan persil tanah  pelaba

 pura ini merupakan akses utama dari Denpasar Selatan terutama Sidakarya

menuju ke Pusat Kota Denpasar, dan Civic Centre Renon.

Berdasarkan wawancara dengan Wayan Budiana selaku  Bendesa  adat

 Desa Pakraman Panjer dijelaskan bahwa sebelum tahun 1970, sebagian besar

 pemanfaatan lahan di Desa Pakraman Panjer merupakan lahan pertanian termasuk

 pemanfaatan lahan  pelaba Pura Puseh/ Pura Desa adalah lahan sawah, sebagian

lagi merupakan lahan kosong yang ditanami berbagai tanaman yang berkaitan

Page 58: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 58/142

58

dengan sarana upakara keagamaan. Berikut petikan dari pada hasil wawancara

tersebut:

" Dumun wewidangan desa Panjer hampir makasami carik, nanem

 pantun. Yening pelaba pura druwen pura puseh sedurung dados

Sekolah Dasar, dados pelinggih bale agung lan pengulun subak,

sane ilu nika carik kering , tetanemane soroh tanaman upakara

sekad biu, nyuh "

Terjemahannya sebagai berikut:

"Dulu wilayah desa Panjer hampir semua adalah sawah,

masyarakat menanam padi. Kalau  pelaba Pura  Puseh, sebelum

sebagai sekolah dasar adalah sebagai tempat pura Bale Agung, dan

 pura  pengulun subak , dan sebelum itu sawah kering, tanamannya

 berupa tanaman upakara seperti pisang, kelapa..."

Penjelasan lebih lanjut mengenai kondisi dan waktu perubahan

diterangkan oleh Bapak Drs. I Gusti Made Anom, bahwa perubahan dari lahan

sawah menjadi Pura Bale Agung terjadi pada tahun 1954, kemudian disusul

dengan pemindahan Pura Pengulun Subak   dari posisi yang dulunya terletak di

utara Pura Bale Agung yang sekarang berlokasi diareal Pura Bale Agung itu

sendiri pada tahun 1966. Perubahan fungsi ini masih dalam konteks perubahan

yang wajar (belum terjadi perubahan yang mengarah pada perubahan yang

disebabkan karena berubahnya cara pandang krama pakraman). Lebih jelas

mengenai kondisi lahan  pelaba Pura  puseh sebelum dimanfaatkan sebagai LPD

dan Toko sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.10 sebagai berikut:

Page 59: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 59/142

59

Gambar 4.10 Rekonstruksi Kondisi Pura Desa/ Puseh dan

Lahan Pelaba Pura Puseh sebelum tahun 1980

Lokasi Pura Pengulun Subak berada area hulu persil, berdekatan dengan

saluran irigasi yang berada di sebelah timurnya. Pura Bale Agung berada di

sebelah utara dari Pura Puseh, dan  jaba sisi  Pura Puseh adalah lahan tegalan

tanpa  penyengker (tembok pagar pura), yang dimanfaatkan masyarakat sebagai

tempat bergotong royong mempersiapkan sarana prasarana upakara. Lahan pelaba 

yang sekarang dimanfaatkan sebagai kantor LPD merupakan lahan tegalan yang

ditanami tanaman-tanaman upakara dan kantor LPD sebelumnya berada di

 bangunan yang difungsikan sebagai pewaregan pura.

Beberapa jenis tanaman yang ditanam pada  pelaba Pura  Puseh sebelum

dibangun sebagai kantor LPD, antara lain pohon biu/ pisang (Musa sp) dan pohon

kelapa dan  prasok   (Yucca SP). Pisang memiliki kegunaan yang sangat luas bagi

krama  dalam berbagai upakara. Umumnya yang digunakan adalah buahnya.

Buah-buahan (termasuk buah pisang) untuk keperluan upakara, dikenal dengan

sebutan raka-raka. Kadang-kadang juga hanya ujung daunnya saja (dikenal

Pura Bale agung

Pura Pengulun

Subak  

Lokasi Batu Besar

Pelinggih Ratu Gede

Muntung

Lokasi LPD lama

Pura Desa/Puseh Desa

Pakraman Panjer

Ladang, dengan

tanaman

upakara seperti pisang,

 jepun, alang-alang,

sandat  / kamboja dll

sawah

sawah

UTARA

Page 60: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 60/142

60

dengan don terunjungan). Tetapi dalam beberapa hal, digunakan seuntuhnya

mulai batang, buah, jantung dan daunnya, dikenal dengan biu alung.

Gambar 4.11 Beberapa Jenis Tanaman yang Ditanampada Tanah Pelaba (Tanah Tegal)

Beberapa jenis pisang yang ditanam antara lain biu Bali, digunakan untuk

keperluan upakara  seperti alas segehan, suci, dangsil penek, tetukon, baten

 pawiwahan, banten soroan, caru, punjung dan lain-lain. Biu dang saba, buahnya

digunakan untuk raka-raka, bagia pula kerthi, sesayut, gebogan, daunnya

digunakan untuk alas memandikan (nusang) sawa/ orang meningal. Biu Kayu,

 buahnya digunakan untuk kelengkapan banten suci, upakara sawa petaka, biu

alung, bebangkit, banten colongan, pula kerti, penuntun  dan lain-lain. Selain

 pisang ada pohon kelapa yang daunnya digunakan sebagai bahan pembuatan

canang. Selain pisang dan kelapa, beberapa tanaman lain yang ditanam di sekitar

lahan tersebut antara lain yakni beberapa tanaman bunga seperti cempaka dan

 jepun (kamboja) yang juga mempunyai fungsi sebagai bahan dasar prasarana

upakara (Drs. I Gusti Made Anom, wawancara tangal 9 April 2013)

Seiring berjalannya waktu, pemanfaatan lahan di sekitar  pelaba Pura Desa

mengalami perubahan akibat nilai lahan yang meningkat. Meningkatnya nilai

lahan ini dikarenakan aglomerasi penduduk yang datang dari segala penjuru kota

Page 61: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 61/142

61

untuk menetap, bekerja ataupun hanya berkepentingan untuk bersekolah, bekerja

dan lain sebagainya di wilayah  Desa Pakraman  Panjer. Peningkatan yang

signifikan terjadi setelah  Land Consolidation diimplemantasikan. Berdasarkan

wawancara yang dilakukan kepada beberapa penduduk, dapat direkonstruksi

 perubahan pemanfaatan di sekitar  pelaba pada Gambar 4.12 sebagai berikut:

Gambar 4.12 Rekonstruksi Perubahan

Pemanfaatan Lahan di Sekitar Pelaba Pura Desa/ Puseh

Sebagaimana terlihat pada Gambar 4.12,  kecenderungan pemanfaatan

lahan di sekitar lahan  pelaba pura adalah kearah pemanfaatan lahan terbangun

dan perubahan pada lahan ternyata juga turut mempengaruhi fungsi dan nilai

lahan  pelaba pura. Sebelum tahun 1980 kadaan di sekitar lahan  pelaba pura

Th 1980 Th 1990

Th 2000 Th 2010

Pemukiman

Lahan tidak terbangun

Toko/ ruko

Rumah Kos

Pendidikan

Page 62: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 62/142

Page 63: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 63/142

63

Subak di jalan Tukad Musi 5. Dijelaskan lebih lanjut, sementara pelaksanaan

 pembangunan SD 1 yang baru, lokasi lahan  pelaba  dibangun toko pada tahun

2003 sebanyak 10 unit. Dana dari hasil kontrak pertama digunakan untuk

menutupi biaya pembangunan SD 1 Panjer. Adapun petikan wawancara yang

menguatkan data keterangan tersebut sebagai berikut:

"... di sekitar sekolah ini bising, arus lalu lintas ramai, akhirnya

diberikan begini solusinya, "kalau mau ,  karena sudah tidak

representatif lagi dijadikan sekolah, diambil milik tiang nem (milik

saya enam) (6) gaen tiang  nem  (buatkan saya enam) (6)”,

Penukaran dilakukan dengan Tanah Negara (TN) yang sekarang

merupakan tanah bukti Pura Subak, berlokasi di jalan Tukad Musi

kurang lebih 8,25 are. Setelah sepakat, dan disetujui oleh

 pemerintah tahun 2003, aktifitas belajar mengajarpun pindah ke

Jalan Tukad Musi, dan kemudian tanah bekas SD di Jalan

Waturenggong tiang (saya) jadikan ruko."

Faktor ekonomi bukan merupakan prioritas utama dimana pada saat yang

sama kinerja LPD yang sebelumnya berlokasi di mandala  Pura Puseh telah

mengalami peningkatan dan disamping itu,  peturunan  dari krama  dan dana

 jagabaya  penduduk pendatang "krama tamiu" juga merupakan sumber daya

ekonomi yang dapat diandalkan, dalam artian aspek "finansial" bukanlah

 permasalahan utama bagi  Desa Pakraman  Panjer. Namun kondisinya ternyata

 berbeda yang menyebabkan keputusan mengarah pada pilihan untuk

memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan toko, dimana pada saat itu dana abadi

desa di LPD dan dana Jagabaya, serta  paturunan  yang dilakukan belum

sepenuhnya mampu menunjang pembangunan di desa akibat dialokasikan pada

kegiatan  Ngenteg Linggih  yang menghabiskan dana yang cukup besar sehingga

Page 64: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 64/142

Page 65: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 65/142

65

"…karena dimanfaatkan sebagai SD, melalui  paruman desa maka

Pura Pengulun Subak dipindahkan ke dalam areal mandala  Pura

Bale Agung dengan pertimbangan untuk melestarikan pura

tersebut mengingat  pengempon  Pura Subak kian hari kian

menyusut"

Lebih lanjut dijelaskan bahwa selain dipindahkannya Pura Subak,

 perubahan fisik yang terjadi pada lahan terkait dengan benda-benda sakral yakni

dipindahkannya batu besar yang dipercayai mempunyai nilai magis.

"... dulu ada batu besar dan keberadaannya masih dapat dilihat

sampai sekarang. Kalau diangkat dengan empat orang, serta tidak

menggunakan alat, tidak akan bisa diangkat. Batu itu kemudian

saya buatkan tempat seperti  pelangkiran dengan kaki batu hitam.

Sekarang disebut linggih (stana) Ratu Gde Muntung. Konon kalau

ada babi sakit, masyarakat datang untuk nunas (meminta) toya 

dengan membahasahi permukaan batu dengan air, setelah itu

seketika babi tersebut sembuh. Dulu tempatnya dibawah,

meguyang. mangkin (sekarang) diatas menyerupai linggih 

 prasasti."

Berikut gambar dari Linggih Ratu Gde Muntung yang berlokasi

diareal utamaning mandala Pura Bale Agung pada Gambar 4.13:

Gambar 4.13 Linggih Ratu Gede Muntung

Page 66: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 66/142

66

Sebelum dilaksanakannya pembangunan, pada kasus ini tetap dilaksanakan

ritual sebagaimana tardisi yang berlaku. Berikut petikan wawancara diutarakan

oleh Drs. Gusti Made Anom selaku  Bendesa pada saat dilakukannya pemindahan

 batu.

"Tetep nika, niki memakai caru gede, caru rsi gana  (tetap,

menggunakan caru besar, yang disebut sebagai caru Rsi Gana)

memakai pendeta,  pedanda, carunya caru Rsi Gana, karena bekas

sawah kita pakai sekolah. Ritualnya tetap, mlaspas alit   dengan

ritualnya caru sapuh au, prosesnya didahului dengan upakarasapuh au guna menetralisir secara niskala.” 

Keterkaitan tanah  pelaba  sebagai suatu tempat yang mempunyai nilai

"sakral" bagi desa adat yang secara niskala adalah sebagai tempat bagi rencang-

rencang  (roh-roh penjaga desa) terlihat dengan adanya  ritual yang tetap rutin

dilaksanakan oleh desa melalui  pemangku  pura yang didelegasikan oleh desa

untuk melaksanakan ritual tersebut. Pada saat observasi dilakukan pada rahinan

Tilem (Wrespati pon, 9 mei 2013 wuku krulut, desta) nampak bahwa  pemangku 

Pura Puseh sedang mengaturkan sesaji, canang, dan berbagai persembahan lain

 pada pelinggih toko yang merupakan bekas pelinggih Pura Pengulun Subak

sebagaimana nampak pada Gambar 4.14.

Page 67: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 67/142

Page 68: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 68/142

68

Gambar 4.15 Implementasi Gegaleng Berupa Jarak dari

Tembok Penyengker Pura ke Bangunan

Perubahan nilai pada jarak gegaleng  ini merupakan implikasi keruangan

yang menarik terjadi di Desa Pakraman Panjer. Sebelumnya menurut penglingsir  

(orang yang dianggap mumpuni dalam pengetahuan mengenai kehidupan  Desa

Pakraman) disebutkan radius kesucian pura dulunya selebar apanimpug 

(sepelempar) batu (Wayan Sukra, 5 mei 2013).

Berdasarkan observasi pada lokasi lahan  pelaba pura, kondisi lahan

 pelaba pura setelah perubahan dapat dilihat pada Gambar 4.16 sebagai berikut:

GEGALENG PURA

Lahan pelaba

 pura puseh ,

tempat parkir

Toko

Toko disewa

sebagai distro,

minimarket,

Tembok PuraBale Agung

Toko

Jarak Adepa

Agung

Pura Puseh

UTARA

Page 69: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 69/142

69

Gambar 4.16 Kondisi Pura Desa/ Puseh dan Lahan Pelaba Puranya Sekarang (2013)

Beberapa hal yang dapat disarikan dari kasus 1 (lahan  pelaba Pura Puseh

ini antara lain dasar pertimbangan dilakukannya perubahan yakni kebutuhan akan

fasilitas, disamping itu juga dipengaruhi oleh pertimbangan keamanan dalam

aktifitas belajar mengajar (nilai sosial), serta atas dasar pertimbangan nilai

ekonomi lahan. Perubahan guna lahan sekarang menjadi fungsi perdagangan

dimana dulunya merupakan lahan hijau. Proses terjadinya perubahan didahului

sekarang (2013)

fungsi ;Toko

dulu SD 1 Panjer,dan

sebelumnya Bale

 Agung 

LPD dibangun tahun

dulunya lahan ladang

Bale Agung

dulu lahan kosong (jaba sisi)

Pelinggih Pengulun Subak

sekarang

Pelinggih Pengulun Subak

sebelum th 1966 sekarang

menjadi pelinggih Toko

Pura Desa/Puseh

Bekas LPD th 1986

sekarang menjadi

pewaregan pura

Jl. Tukad

Pakrisan

UTARA

Page 70: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 70/142

70

dengan  paruman, kemudian berlanjut dengan pengajuan injin peruntukan

 pemanfaatan lahan ke pemerintah kota, setelah memperoleh izin dilanjutkan

dengan dilaksanakannya ritual caru sapuh au, dan pada pada kasus ini juga terjadi

 proses tukar guling. Sumber dana pembangunan dibiayai oleh Desa Pakraman.

Dalam pembiayaan operasional pemanfaatan lahan dibiayai oleh desa dan juga

melibatkan pihak penyewa toko yang dikontrakkan. Temuan lain yakni terjadi

 perubahan pada site diantaranya dibuatnya pelinggih untuk toko dan LPD,

dipindahkannya pura Pengulun Subak dan batu besar bertuah ke areal pura, dan

 juga terjadi penyusutan jarak gegaleng  pura. Temuan lain yakni upakara yang

tetap dilakukan sebagaimana dilaksanakan sebelum terjadinya perubahan, namun

terjadi perubahan pada lokasi dilaksanakannya upakara, serta beberapa

kepercayaan tetap dipercayai oleh krama pakraman.

4.2.2 Tanah pelaba Pura Dalem

Kasus perubahan berikutnya yakni perubahan pemanfaatan tanah  pelaba

Pura Dalem yang memiliki 8 persil tanah  pelaba pura yang letaknya cenderung

mengelompok di sekitar Pura Dalem. Dari wawancara yang dilakukan pada warga

di sekitar Pura Dalem, dapat direkonstruksikan pola pemanfaatan lahan di sekitar

Pura Dalem dari sebelum tahun 1980-2013 pada Gambar 4.17 sebagai berikut:

Page 71: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 71/142

71

Gambar 4.17 Perubahan Pemanfatan Lahan Di sekitar  Pelaba Pura Dalem

Sebelum tahun 1980 sebagian besar pemanfaatan lahan di sekitar

merupakan lahan sawah, pada saat itu belum terdapat jalan di sebelah selatan Pura

Dalem yang baru di kembangkan pada tahun 2003 (jalan kapur) dan jalan

Batanghari yang dikembangkan pada saat LC tahap pertama pada tahun 1989 di

Panjer. Dengan adanya pengembangan jalan tersebut nilai lahan di sekitar

lingkungan Pura Dalem semakin meningkat dan 10 tahun berikutnya (1990) mulai

Sebelum Tahun 1980

Tahun 1980- 1990

Tahun 1990- 2000

Tahun 2000-2013

Page 72: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 72/142

72

 banyak bermunculan pembangunan pemukiman di sebelah utara lahan  pelaba

Pura  Dalem dengan fungsi sebagai lapangan desa. Penjelasan masing-masing

lahan pelaba Pura Dalem akan diuraikan lebih detail pada subbab 4.2.2.1-subbab

4.2.2.8.

4.2.2.1 Tanah sertifikat no: 3349 (kasus 2) Pasar Nyanggelan 

Kasus pertama perubahan pemanfaatan lahan pada tanah  pelaba Pura 

Dalem dengan sertifikat no: 3349 yang berada di jalan Tukad Pakrisan yang

merupakan jalan penghubung antara Kota Denpasar menuju Desa Sidakarya,

Denpasar Selatan. Letaknya cukup strategis, karena terlihat dari jalan, dan

terdapat akses bagi masyarakat Renon melalui Jalan Batanghari, serta masyarakat

dari Desa Sidakarya. Lokasi tanah  pelaba-nya dapat dilihat pada Gambar 4.18

sebagai berikut:

Gambar 4.18 Lokasi Lahan Pelaba Pura Dalem dengan Sertifikat No:3399

Fungsi yang muncul pada tanah  pelaba Pura Dalem dengan sertifikat No:

3399 ini didasari atas pertimbangan  Desa Pakraman  Panjer belum mempunyai

 pasar tradisional sebagai tempat aktifitas jual beli masyarakat  pakraman.

Sebelumnya Pasar Renon, dan Pasar Sanglah merupakan tujuan utama bagi

Pura Dalem

Pasar Nyanggelan

Pura Kahyangan

Pemukiman warga

SetraWantilan &

Lapangan

Permukiman

Permukiman

UTARA

Page 73: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 73/142

73

masyarakat Panjer dalam memenuhi kebutuhan pangan, ataupun keperluan

upakara. Ide untuk membangun pasar dilokasi ini dipelopori oleh Drs. I Gusti

Made Anom selaku  Bendesa Pakraman  sebagaimana tersirat pada petikan

wawancara yang diambil pada tanggal 9 april 2013, sebagai berikut:

" dulu pasar nak pelaba pura nika ( pasar merupakan lahan pelaba 

 pura), artine ne menin bukti ne dangin Pura Dalem banjar kaja

(artinya yang menggarap tanah bukti tersebut yang berlokasi

disebelah timur Pura Dalem adalah Banjar Kaja) , nyen je maan

ngodalan nika menin, tiang mekelo menin (siapa yang

mendapatkan giliran melaksanakan upakara adalah pihak yangyang dapat memanfaatkan lahan, saya cukup lama

memanfaatkannya), sehingga ada gerakan untuk menggali dana

guna mendukung dari odalan di pura, apakah kita tidak bisa buat

 pasar? pasar tradisional. Kemudian usulan diteruskan ke walikota,

ternyata mendapat dukungan penuh dari kota "oh bagus, kalau

disana dibuatkan pasar" (walikota). Dengan demikian dikeluarkan

ijin untuk mebuat pasar dari tanah desa. Tetap diberikan bantuan

dari pemerintah, yang dialokasikan untuk pembangunan fisiknya.

Untuk penghasilan pasar, dari setelah tiang (saya)  berhenti dari

 Bendesa  barulah ada kelihatan keuntungan, sekian untuk pura,

kalau dulunya sekadi celeng ngelengisin ibe (seperti babi melumuri

dirinya dengan minyak) ,  keuntungannya hanya untuk di putar

disana saja dulu, sekarang sudah mampu untuk mensubsidi ke desa

adat. "

Prosesi atau mekanisme perubahan hampir sama dengan proses atau

mekanisme perubahan pada kasus 1, dimana ide atau gagasan dimulai dari

 Bendesa  (Drs, I Gusti Made Anom) yang kemudian di  paumkan/ dirapatkan di

desa guna mendapatkan masukan dari Sabha dan Kertha Desa. Setelah konsensus

diperoleh, hasil kebijakan diteruskan ke instansi pemerintah guna mendapatkan

ijin serta bantuan pendanaan, dan kemudian barulah pembangunan dilaksanakan.

Persetujuan Walikota dari pada nilai pemberdayaan masyarakat yang terkandung

didalam fungsi pasar di  Desa Pakraman Panjer diteruskan dengan dana bantuan

 pembangunan yang dihibahkan berupa dana pembangunan fisik. Di dalam proses

Page 74: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 74/142

74

 pembangunannya, keuntungan dari penyewaan kios selama 5 tahun dipergunakan

untuk melanjutkan pembangunan los pasar, dan beberapa bangunan penunjang

lainnya hingga pada akhirnya pada tahun ke lima baru keuntungan dari hasil

 pengelolaannya dapat digunakan untuk menunjang "finansial" Desa Pakraman . 

Sebelum dimanfaatkan sebagai Pasar Nyanggelan (1995), lahan pasar ini

dimanfaatkan sebagai lahan sawah yang digarap oleh pemangku Pura Puseh karena

lahan  pelaba Pura  Puseh yang dimiliki tidak sebanyak  pelaba Pura  Dalem,

sebagaimana pernyataan Prof. Wayan Budiana sebagai berikut:

"... oleh karena lahan  pelaba Pura Puseh sedikit dan tidak

mencukupi untuk menunjang berlangsungnya biaya  pererainan,

maka desa adat pada waktu itu membijaksanainya dengan

memberikan sebagian lahan yang sekarang merupakan lahan Pasar

 Nyanggelan digarap oleh  pemangku  Desa-Puseh dan  Desa

Pakraman..."

Pendelegasian ini diupayakan dalam rangka memenuhi tanggung jawab

desa terhadap kesejahteraan  pemangku-nya dimana menurut Wayan Budiana, hal

ini merupakan salah satu bentuk yadnya. Didalam ajaran agama Hindu dikenal

dengan  Rsi Yadnya  yakni bentuk  yadnya  (persembahan suci) yang diberikan

kepada pendeta, sulinggih,  pemangku  sebagai bentuk rasa penghormatan

terhadapnya.

Posisi pendelegasian tetap diputuskan oleh lembaga  Desa Pakraman

melalui manggala atau pimpinannya yang didasarkan atas kesepakatan bersama

dan serta atas saran dari Sabha, dan Kertha Desa  sebagai legiselator  Desa

Pakraman.  Keputusan terkait pemanfaatan lahan adalah didasarkan pada asas

keseimbangan. (Drs., I Gusti Made Anom, wawancara 11 mei 2013 )

Page 75: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 75/142

75

Pernyataan tersebut dikuatkan dengan hasil wawancara yang dilakukan

terhadap kepala pasar Bapak Wayan Darmantra. S.Pt yang juga mengetahui

dengan jelas angka tahun perubahan yang terjadi, sebagai berikut:

"...sebelum jadi pasar, lahan ini merupakan lahan sawah. Tahun

1994, disepakati dibangun pasar, 1995 diresmikan, kemudian

dijalankan, hasilnya digunakan untuk pembangunan fisik, sekarang

sudah 95 persen telah selesai dibangun... "

Kemudian dilanjutkan dengan pernyataan bahwa kepengelolaannya

sepenuhnya diserahkan kepada kepala pasar beserta jajarannya. Bentuk

 penghasilan yang diperoleh dengan pemanfaatan lahan  pelaba pura ini sebagai

 pasar antara lain dari retribusi parkir, dan retribusi sewa kios/ los pasar. Retribusi

yang dikenakan kepada pedagang direkap dan diserahkan ke desa dan sebagaian

 penghasilannya digunakan untuk biaya operasional pegawai beserta gajinya.

Pembiayaan pembangunan pasar, didanai oleh pemerintah, dan pengembangan

 bangunan fisik pasar, memanfaatkan dana dari hasil pengelolaannya.

Dengan dimanfaatkannya tanah  pelaba pura sebagai pasar desa

menyebabkan desa membentuk lembaga pengelola pasar desa yang anggotanya

diambil dari krama desa yang berkompeten di dalamnya. Struktur organisasi Pasar

Desa Nyanggelan yang terbentuk dijelaskan pada Gambar 4.19 sebagai berikut:

Page 76: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 76/142

76

Gambar 4.19 Struktur Organisasi Pengelolaan Pasar Nyanggelan

Terbentuknya struktur organisasi ini dikarenakan kebutuhan manajerial

fungsi baru yang dapat dikatakan cukup kompleks. Jika merujuk kebelakang,

organisasi yang terbentuk dengan mengasosiasikan fungsi pemanfaatan lahan

 pelaba pura sebagai lahan sawah yakni berupa organisasi yang bersifat tradisional.

Terbentuk dari rasa primordialitas, rasa memiliki  “nyama braya” yang dapat

diabstarksikan sebagai implementasi konsepsi kehidupan masyarakat tradisi sagilik

saguluk, salunglung sabayantaka, paras parossarpanaya, beriuksaguluk . Konsepsi

ini mengandung nilai solidaritas yang tinggi dalam suka dan duka, baik dan buruk

PEMBINA

Bendesa Desa Pakraman Panjer

KEPALA PASAR

I Wayan Darmana.,S.Pt

KAUR ADM. DAN KEUANGAN

I Made Suarka

KAUR KETERTIBAN

I Wayan Sudarsa

RETRIBUSI

I Wyn Sudarsa

PARKIR

1.  I Made Darma2.  I Made Wita3.  I Nengah Kantun4.  I Made Arta

5.  I Made Kariasa

6.  I Made Supardika

KEAMANAN1.  I Made Muka2.

 

A.A Putu Gede

3.  I Gusti Putu Yana

4. 

I Ketut Parka

KEBERSIHAN5.

 

I Made Moji

6. 

A.A Putu Gede Oka

PEDAGANG

Page 77: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 77/142

77

ditanggung bersama dalam berbagai kegiatan baik suka maupun duka lepas dari

nilai-nilai materialitas kehidupan kapitalis pada masa sekarang (Wayan Budiana.,

SH., MSi).

Fenomena lain yang cukup menarik yakni didapatkan informasi bahwa

 pada tahun 2013 akan dilaksanakan renovasi fisik pasar Nyanggelan. Renovasi ini

didanai oleh dana hibah yang didapatkan melalui pengajuan proposal

 pembangunan ke pihak Walikota Denpasar. Dalam dokumen perencanaan pasar

didapatkan gambar perencanaan arsitektural pasar Nyanggelan yang baru

sebagaimana nampak pada Gambar 4.20 sebagai berikut:

Gambar 4.20 Rencana Renovasi Pasar Nyanggelan realisasi 2014

(Dokumen Perencanaan Renovasi Pasar Nyanggelan: 2013)

Terjadi perubvahan pemanfaatan ruang dimana lapangan bola yang juga

merupakan lahan  pelaba  Pura Dalem dimanfaatkan sebagai tempat relokasi

sementara pasar Nyanggelan. Pemanfaatan lahan ini berlangsung selama proses

 pembangunan dilakukan sebagaimana penjelasan Wayan Darmantra.,S.Pt yang

Page 78: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 78/142

78

 juga menjelaskan mengenai dana hibah yang diterima beserta prosesnya sebagai

 berikut:

"lapangan (lahan  pelaba pura  utara Pura dalem) sekarang

digunakan sebagai tempat relokasi. Pembangunan pasar ini

mendapat bantuan dana APBN, karena kita buat proposal untuk

itu, diproses dan akhirnya keluar, kita dapat bantuan 5 Miliar.

Kemungkinan Mei akhir, relokasi mulai dilakukan, dibangun

sementara di lapangan desa. Setelah diresmikan, pindahlah

kemudian ke Pasar Nyanggelan yang baru..."

Digunakannya lapangan sebagai tempat relokasi sementara menjelaskan

karakteristik sifat lahan ini sebagai lahan multi fungsi. Pesan yang kuat adalah

 peran dan fungsinya lahan  pelaba pura  meluas tidak sebagaimana peran dan

fungsi lahan pelaba pura pada saat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.

Kegiatan ritual pada kasus ini sebagaimana pada kasus 1 juga tetap

dilakukan. Dengan dibangunnnya pelinggih Melanting sebagai Parhyangan Pasar,

upakara sebagai persembahan atas kepercayaan lahan  pelaba pura  sebagai stana

rencang-rencang/ ancangan  penjaga pura dilakukan pada pelinggih Pura

Melanting, Panglurah, dan tugu penunggu karang.

Dari sekian pemaparan mengenai perubahan yang terjadi pada lahan

 pelaba  Pura Dalem dengan sertifikat nomor: 3349 ini, didapatkan beberapa

temuan antara lain: dasar pertimbangan terjadinya perubahan diantaranya

dikarenakan kebutuhan akan fasilitas dan atas dasar nilai ekonomi yang tentunya

akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pakraman. Proses perubahan

atau mekanismenya hampir sama dengan yang ditemukan pada kasus 1 hanya saja

tidak terdapat proses tukar guling. Guna lahan menjadi fungsi perdagangan,

Page 79: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 79/142

79

sumber dana pembangunan selain di sokong oleh desa juga didanai oleh

 pemerintah melalui dana hibah. Biaya operasional pemanfaatan lahan dibiayai

oleh desa yang bersumber dari retribusi parker, dan sewa kios atau los pasar.

Pihak pengelola pasar yakni sepenuhnya dikelola oleh desa melalui organisasi

 pengelola pasar yang dibentuk. Upakara tetap dilakukan hanya saja tempat atau

lokasinya berubah, dan nilai-nilai kepercayaan masyarakat tetap dengan masih

dipercayainya area lahan  pelaba  tersebut sebagai area “tenget ” yang mengikat

etika, tatwa dan susila krama pakraman.

4.2.2.2 Tanah sertifikat no: 5600 (kasus 3)

Pada kasus lahan  pelaba Pura Dalem dengan sertifikat no 5600, sebelum

dimanfaatkan sebagai jalan desa, lahan tersebut dimanfaatkan sebagai lahan sawah

dengan kondisi di sekitar berupa saluran irigasi. Munculnya fungsi sebagai jalan

desa ini didasari atas pertimbangan proteksi terhadap area hulu Pura Dalem (utara)

yang bagi masyarakat  Desa Pakraman  Panjer memiliki nilai "sakral"

dimaksudkan sebagai jalan alternatif bagi "sawa" menuju setra (kuburan).

Aktifitas ini dinilai dapat mengakibatkan "leteh" atau terganggunya vibrasi

kesucian pura (I Gusti Made Anom, wawancara 9 Juni 2013). Kondisi warga yang

mengalami "kematian" dianggap dalam keadaan Cuntaka. Cuntaka, dalam Agama

Hindu adalah berkaitan dengan susila atau etika. Susila adalah tata nilai tentang

 baik dan buruk (bukan salah dan benar), apa yang harus dikerjakan dan apa pula

yang harus dihindari sehingga tercipta suatu tatanan antar manusia dalam

masyarakat yang dianggap serasi, baik rukun dan bermanfaat bagi setiap orang 

Page 80: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 80/142

80

(Wayan Budiana, 15 Juni 2013). Berikut akan dijelaskan mengenai situasi lahan

 pelaba pura yang dimanfaatkan sebagai jalan desa pada Gambar 4.21

Gambar 4.21 Pemanfaatan Lahan Di sekitar Lokasi Lahan Pelaba Pura yangDimanfaatkan Sebagai Jalan Desa

Bagi krama pakraman  yang bertempat tinggal disekitar areal pura, sawa 

atau bade  (tempat jenasah) bergerak mengelilingi lapangan sebagaimana

ditunjukkan pada tanda panah orange pada gambar untuk menuju setra (kuburan)

yang berada di kurang lebih 200 m disebelah utara pasar Nyanggelan. Dasar

Situasi jalan desa

yang berbatasan

dengan pemukiman

Wantilan Desa

Pakraman, lokasi

kantor Desa

Pakraman

Lapangan sepak bola yang

berbatasan dengan lahan

pelaba yang difungsikan

sebagai jalan desa

TK Kumara Loka

Zona yang berbatasan

dengan Utamaning

Utama Mandala Pura

Dalem, dianggap zona

yang patut dijaga

kesakralannya.

Garis putus-putus

menunjukkan arah

sirkulasi sawa saat prosesi

ngaben dilaksanakan,

agar tidak "ngungkulin"

atau mengotori kesucian

Pura Dalem

Jalan menuju setra /

kuburan

Pura Dalem

UTARA

Page 81: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 81/142

81

 pertimbangan lain dimanfaatkannya tanah  pelaba  ini sebagai jalan desa adalah

atas dasar pertimbangan aksesbilitas krama yang bertempat tinggal disebelah utara

lapangan yang sebelumnya hanya terdapat akses berupa jalan  pundukan 

(tumpukan tanah yang dibentuk sebagai jalan) sehingga secara efisien dapat

menuju pasar tanpa harus memutar kearah Jalan Batanghari ataupun jalan

disebelah selatan Pasar (IGusti Made Anom, 15 Juni 2013). Disisi lain tersirat

motif ekonomi dikarenakan dengan adanya jalan ini maka aksesbilitas menuju

 pasar akan lebih mudah yang artinya juga akan meningkatkan produktifitas

retribusi desa.

Temuan lain yakni dalam proses perubahan pemanfaatan lahannya. Pada

kasus ini sedikit berbeda dengan sebagaimana yang ditemukan pada kasus 1 dan

2, proses perubahan melibatkan persetujuan warga di sekitar yang memang

memerlukan adanya jalan namun dalam konteks sebagai tambahan sumber dana

 pembiayaan pembangunan jalan. Mekanismenya tetap didahului dengan  paruman 

yang melibatkan krama desa, serta pihak Sabha dan Kerta Desa, persetujuan akan

 peruntukan lahan kepada pemerintah Kota, ritual caru sapuh au, dan tahap

selanjutnya pelaksanaan pembangunan langsung dilakukan oleh desa.

Pembangunan ditanggung dari dana pengelolaan  pelaba pura yang lain dan dari

sumbangan yang dipungut kepada masyarakat sekitar.

Pembangunan jalan alternatif ini cukup berdampak pada laju

 pembangunan di sekitar area Pura Dalem. Pembangunan jalan desa ini secara

tidak langsung menstimulus pembangunan dan juga meningkatkan harga lahan

Page 82: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 82/142

Page 83: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 83/142

83

 juga ditanggung oleh desa dan warga pendatang disekitar. Tidak ada distribusi

hasil secara langsung yang diterima desa dari pemanfaatan lahan ini sebagai jalan

desa. Perubahan fisik menjadi lahan terbangun, tidak ditemukan pelinggih yang

secara khusus pada fungsi ini. Upakara dilakukan secara “ngayat ” dan tidak

ditemukan unsur-unsur kepercayaan sebagaimana ditemukan pada beberapa kasus

yang telah dipaparkan sebelumnya.

4.2.2.3 Tanah sertifikat no: 5602 (kasus 4)

Tanah dengan sertifikat lahan no: 5602 merupakan tanah  pelaba pura

milik Pura Dalem yang berlokasi di sebelah timur lapangan  Desa Pakraman

Panjer yang sekarang dimanfaatkan sebagai TK Kumara Loka. Batas sebelah

timur, utara dan selatan persil adalah jalan lingkungan.

Topografi lahan sebagaimana kondisi lahan pada umumnya di  Desa

Pakraman. Kondisi lahan cukup landai yang dulunya merupakan lahan tegalan,

yang dimanfaatkan sebagai area untuk menanam tanaman yang berkaitan dengan

keperluan upakara keagamaan ( pererainan) atau upakara yang dilakukan sehari-

hari seperti pohon pisang, dan kelapa sebagaimana pemanfaatan lahan  pelaba 

 pura pada kasus 1 (sebelum menjadi lahan terbangun). Pemanfaatan areal lahan

sebagai ladang ini, tidak dimaksudkan sebagai sumber daya potensial guna

menunjang perekonomian desa. Pendayagunaan sumberdaya yang ada hanya

cukup untuk memenuhi kebutuhan keseharian petani penggarap.

Page 84: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 84/142

84

Gambar 4.22 Situasi Lahan Pelaba Pura yang DimanfaatkanSebagai TK Kumara Loka

TK Kumaraloka sebelumnya berlokasi di Jalan Tukad Pakrisan dekat

dengan lokasi Pura Puseh. TK tersebut dipindah oleh karena lokasi awal yang

terletak di Jl Pakrisan sudah tidak kondusif untuk menampung aktifitas belajar

anak-anak akibat ruang kelas yang sempit, keamanan, dan suana bising arus lalu-

lintas (I Gusti Made Anom 15 Juni 2013). Sebelum dijadikan TK Kumaraloka (Jl.

Tukad Pakerisan) areal tersebut difungsikan sebagai sekolah TP. 45 dengan luas

lahan 3, 25 are. Informasi lebih lanjut didapatkan data mengenai proses

 perubahannya sebagaimana petikan wawacara kepada Drs. I Gusti Made Anom

selaku Bendesa pada periode tahun 2002-2007, sebagai berikut:

"...kantor kepala desa dulu adalah terletak di jaba sisi Pura Puseh/

Desa. Kalau tidak salah LPD nya dulu tiang pertama jadi klian adat

tahun 86, LPD lama letaknya di  jaba  pura desa. Tanah tersebut

ditukar, dulunya merupakan tanah pribadi, tanah ragane ( beliau)

didepan diambil untuk LPD lama. (Tukar Guling). Tanah tersebut

diambil ke timur, sehingga sisanya digunakan sebagai TK Kumara

Loka. Karena tempat sempit, dan halaman anak-anak bermain

tidak ada, maka diprogramkanlah pembangunan pada tahun 2005-

2007."

Pemanfaatan tanah  pelaba pura sebagai fasilitas pendidikan ternyata

mendatangkan pemasukan bagi desa yang dipergunakan sebagai dana operasional

Page 85: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 85/142

85

dan kelebihannya masuk ke kas desa. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa dibentuk

sebuah yayasan yang ditujukkan guna mempertanggungjawabkan pengelolaannya.

"...setiap tahun, pendapatan dari pengelolaan TK, menghasilkan

 pemasukan kurang lebih seratus juta rupiah, dipotong untuk gaji

guru dan pegawai dan kemudian masuk ke kas desa, dan

 pertanggung jawabannya melalui Yayasan. Yayasan tersebut

dibentuk oleh desa, agar pengelolaan arus kas keuangan dapat

dipertanggung jawabkan... "

Yayasan Kumara Loka dikepalai oleh Bapak Wayan Rastina.,SE yang juga

selaku  pangliman  pawongan  Desa Pakraman Panjer. Berdasarkan wawancara

didapatkan informasi bahwa biaya operasional dari djalankannya TK Kumaraloka

sepenuhnya ditanggung dari pihak  Desa Pakraman. Karena fungsinya sebagai

fasilitas pendidikan, biaya operasional juga didapatkan dari hibah-hibah dan

anggaran yang secara rutin diberikan pemerintah setiap tahunnya (Wayan Rastina,

5 Mei 2013).

Pada site dibangun pelinggih, yang diperuntukkan guna memohon

keselamatan dalam setiap kegiatan yang dijalankan dan sebagai tempat memuja

Tuhan. Segala bentuk upakara-upakara yang terkait dengan status lahan sebagai

 pelaba pura dilakukan pada pelingih TK berupa pelinggih padmasana dan tugu

 penungu karang (Drs, I Gusti Made Anom).

Dibangunnya pelinggih pada site, mengakibatkan segala bentuk upakara

sebagaimana rutin dilakukan masyarakat pada site pada fungsi sebelumnya

dilakukan di pelinggih yang baru. Beberapa kepercayaan masyarakat bahwa lahan

tersebut merupakan lahan yang “tenget ” masih dipercaya oleh krama pakraman.

Page 86: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 86/142

86

4.2.2.4 Tanah sertifikat no: 3384 (kasus 5)

Kasus berikutnya yakni tanah  pelaba Pura  Dalem dengan sertifikat no

3384 yang dimanfatkan sebagai perumahan (rumah kos). Tanah  pelaba pura ini

dikontrakkan selama 20 tahun kepada Ibu Lusi yang merupakan krama  tamiu.

Sebelum dimanfaatkan sebagai rumah kos, lahan  pelaba ini dimanfaatkan sebagai

lahan tegalan  yang di sakap (garap) oleh  pemangku  pura, dan sebelum

dikembangkan jalan lingkungan merupakan lahan sawah.

Dasar pertimbangan dilakukannya perubahan tersebut adalah didasarkan

 pada keinginan untuk menguatkan sumber pendapatan desa. Disamping untuk

menguatkan perekonomian, desa juga sangat membutuhkan biaya untuk

melakukan upakara  Ngenteg Linggih  Pura Dalem yang menghabiskan biaya

kurang lebih 2 Miliar sehingga desa bersama krama pakraman, memutuskan

untuk mengkontrakkan lahan pelaba ke pihak swasta (Drs. I Gusti Made Anom)

Gambar 4.23 Situasi Tanah Pelaba Pura yang Dikontrakkan

Sebagai Rumah Kos

Proses pemanfaatan lahan sebagaimana pada kasus yang lain dimulai

dengan rapat Desa Pakraman ( paruman), kemudian dilanjutkan dengan pengajuan

Page 87: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 87/142

87

 proposal untuk mendapatkan ijin dari walikota, kemudian baru pembangunan

dapat dilakukan. Kontrak perjanjian antara pihak desa dengan pihak penyewa

diarsipkan di LPD Desa Pakraman Panjer.

Proses didahului dengan melakukan rapat desa, sebagaimana dilakukan

 pada proses perubahan pada kasus 1, 2, 3, dan 4. Proses selanjutnya dilakukan

 pengajuan persetujuan pada pemerintah guna mendapatkan persetujuan

 peruntukan sesuai dengan tata ruang yang telah ditetapkan, selanjutnya sebelum

melaksanakan pembangunan tetap mengadakan upacara  pecaruan. Sumber dana

 pembangunan sepenuhnya dibiayai oleh penyewa lahan dengan sistem perjanjian

setelah masa kontrak habis, bangunan dan kepengelolaannya diserahkan kepada

 Desa Pakraman  atau dapat dikatakan sistem perjanjian ini mengadopsi sistem

BOT (Build Operasional Transfer). 

Biaya operasional dan hasil sewa pemanfaatan lahan sepenuhnya dikelola

oleh pihak penyewa selama masa kontrak masih berlaku.  Desa Pakraman hanya

mendapatkan keuntungan dari hasil sewa lahan yang dibayarkan sekali saat

 perjanjian dilakukan.

Mengenai fisik pelaba pura, tidak sebagaimana kasus lain, pada kasus ini 

tidak ditemukan pelinggih pada site, dan berberapa petanda fisik yang mencirikan

atau memberikan tanda bahwa lahan mempunyai kaitan dengan keberadaan Pura

Dalem.

Page 88: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 88/142

88

4.2.2.5 Tanah sertifikat no: 3197 (kasus 6)

Kasus berikutnya yakni tanah pelaba Pura Dalem yang juga dimanfaatkan

sebagai Perumahan (rumah kos). Jarak dari lokasi tanah ke Pura Dalem cukup

 jauh yang kurang lebih 700 m. Kondisi lahan cukup landai, berbatasan dengan

 jalan lingkungan yang menghubungkan jalan Tukad Pakerisan dengan Jalan

Tukad Batanghari.

Persil tanah  pelaba milik Pura Dalem ini disewa oleh ibu Lusi yang juga

sebagai penyewa tanah pelaba pura dengan sertifikat n0: 3384. Lama sewa tanah

 pelaba pura ini adalah 10 tahun dengan sistem perjanjian yang sama dengan sewa

tanah  pelaba  sertifikat no: 3384. Bangunan akan menjadi hak milik  Desa

Pakraman setelah selesai masa kontrak.

Sebelum dimanfaatkan sebagai fungsi rumah kos, lahan  pelaba pura ini

dimanfaatkan sebagai lahan sawah yang berubah menjadi ladang (sawah kering

 pada tahun 2003 setelah dikembangkan jalan di sekitar lahan. Sebagaimana lahan

yang lain, lahan ini ditanami tanaman yang bermanfaat untuk menunjang

kelangsungan upakara seperti pisang dan tanaman lain.

Proses atau mekanisme perubahan hampir sama diawali dengan  paruman 

untuk mendapatkan keputusan krama, Kertha  dan Sabha  desa. Kemudian di

laksanakan permohonan kepada pihak pemerintah mengenai kesesuaian

 peruntukan tata ruang, dan sebelum pembangunan dilakukan upakara  pecaruan 

 pada lahan.

Page 89: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 89/142

Page 90: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 90/142

90

Pemanfaatan tanah  pelaba Pura  Dalem sebagai mandala  pura, didasari atas

kesadaran manggala  desa akan apa yang telah menjadi tata atur dalam

 pembangunan Parhyangan sebagaimana yang telah disuratkan dalam awig-awig.

Berikut petikan dari wawancara terhadap I Gusti Made Anom selaku  Bendesa

Pakraman pada periode terjadi perubahan.

"…sebenarnya kalau memang ada lahan, pembagian parhyangan

menjadi 3 bagian wajib dipatuhi. Dalam awig disebut dengan

istilah tataning Tri Pramana Parhyangan  nika ten dados kutang

( pengaturan mengenai Tri Pramana Parhyangan  itu tidak boleh

ditiggalkan) jika area pura itu memadai. Yening driki ring Pura

Desa ten nyidayang, kanggiang je jabe tengah gen di pura desa

(kalau disini di Pura Desa tidak dapat diperlakukan sama, sehingga

hanya  jaba tengah  saja yang dapat dibangun), karena lahannya

terbatas. Tata atur ini dapat lihat di awig-awig desa"

Dengan tersedianya lahan yang cukup luas di sekitar lahan

Pura Dalem, maka pembangunanpun direncanakan, dengan dilakukan secara

 bertahap. Terdapat bangunan bale desa di sebelah barat mandala  pura, yang

disebutkan sebagai pembatas fisik antara pura dan fungsi pasar (Wayan Lasia, 15

Juni 2013). Situasinya dapat dilihat pada Gambar 4.25.

Gambar 4.25 Bale Desa (kiri) dan Situasi Jaba Sisi (Nistaning Mandala Pura Dalem

 Desa Pakraman Panjer

Page 91: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 91/142

91

Sebelum difungsikan sebagai madya dan nistaning mandala, lahan pelaba

 pura merupakan lahan kosong yang dimanfaatkan sebagai areal temporal parkir

kendaraan bermotor, dan tempat mempersiapkan sarana prasarana upakara yang

 berlangsung dipura tersebut. Sebagian lahan (posisi nistaning mandala,

merupakan lahan sawah yang membentang hingga ke posisi lahan pasar

 Nyanggelan sekarang.

Gambar 4.26 Perbandingan Pelaba Pura Dalem Sebelum Tahun 1980 (kiri)dan Setelah 1980 (kanan)

Gambar 4.27 Rekonstruksi Lahan Pelaba Pura Dalem Sertifikat no:3384Sebelum Tahun 1980

sawah

sawah

sawahpasar

lapanganwantilan

pura dalem

pura dalem

Lahan pelaba pura 

dimanfatkan sebagai

lahan sawah

Lokasi pura taman

sebelum dipindahkan ke

Timur Pura Dalem

Lokasi Pura Taman

dulunya merupakan

lahan tegalan

Lahan sawah yang

digarap oleh

pemangku pura

dalem

Lahan sawah yang

digarap oleh

pemangku pura

dalem

Area jaba sisi tanpa

penyengker, yang

digunakan sebagai

lahan parkir sepeda

motor.

Saluran irigasi yang

mengairi lahan

sawah disekitar

 pelaba 

UTARA

UTARA

Page 92: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 92/142

92

Seiring semakin padatnya aktifitas yang berlangsung di sekitar pura, maka

melalui persetujuan desa adat zonasi ruang dipertegas dengan menyengker   area

 jaba sisi  pura guna memproteksi kesucian pura. Penjelasan mengenai zona

gegaleng pura dapat dilihat pada Gambar 4.28 sebagai berikut:

Gambar 4.28 Gegaleng Pura Berupa Jarak Dari Penyengker Pura ke TembokWarga Selebar Adepa Agung

Secara fisik terdapat pohon beringin besar yang dipercaya sebagai stana

rencang-rencang  penjaga pura. Masyarakat secara rutin menghaturkan sesaji

 berupa lak-lak tape (sejenis sesaji), canang, serta prasarana persembahan lain pada

linggih yang dirancang sedemikian rupa pada pohon tersebut. Petanda fisik lain,

area ini diberikan pagar guna menghindari hal-hal yang dapat mengganggu

kesucian tempat areal yang dianggap “tenget ” ini.

Gegaleng pura,

zonasi selebar adepa

agung untuk

menghindari hal-hal

yang dapat

menyebabkan leteh

Pura Taman,

berfungsi juga

sebagai gegaleng 

pura terhadap area

pemukiman

pemangku

NISTANING MANDALA

MADYANING

MANDALA

UTARA

Page 93: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 93/142

93

4.2.2.7 Tanah tidak bersertifikat fungsi wantilan & lapangan (Kasus 8)

Kasus berikutnya yakni tanah  pelaba Pura  Dalem belum bersertifikat

dengan luasan seluas 60 are yang dimanfaatkan sebagai lapangan desa, dan

wantilan yang didalamnya difungsikan juga sebagai kantor  Desa Pakraman .

Pembangunan wantilan dilaksanakan pada tahun 2003 yang digagas oleh  Bendesa

Pakraman dengan dasar pertimbangan bahwa desa belum mempunyai sarana yang

dapat mengakomodasi krama  dalam berkesenian, pementasan serta melakukan

sosialisasi (siwakrama) (Gusti Made Anom, 15 Juni 2013)

Posisi lahan  pelaba berada di sebelah utara Pura Dalem, yang dikelilingi

oleh jalan lingkungan selebar 3-5 meter. Batas timur yakni lahan  pelaba pura

yang dimanfaatkan sebagai TK Kumara Loka. Rekonstruksi pemanfaatan lahan

 pelaba Pura Dalem yang dimanfaatkan sebagai lapangan desa dapat dilihat pada

Gambar 4.29 sebagai berikut:

Page 94: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 94/142

94

Gambar 4.29 Lokasi Lahan Pelaba Pura Dalem dengan Fungsi Sebagai Wantilandan Lapangan Desa

Sebelum dimanfaatkan sebagai fungsi lapangan dan bangunan wantilan

dan kantor desa di dalamnya, lahan pelaba pura ini merupakan lahan sawah yang

disakap atau digarap oleh pemangku Dalem dan Kahyangan. 

Dengan berubahnya fungsi dari lahan sawah menjadi wantilan dan

lapangan, maka dengan sendirinya rangkaian upakara yang berkaitan dengan

aktifitas pertanian seperti  Ngusaba Nini, Magpag Toya  dan aktifitas lain

sebagaimana rutin dilakukan pada proses penanaman padi tidak lagi dilakukan

oleh penggarap sawah yang telah mengantungkan kehidupannya pada profesi

yang lain seperti berdagang, sopir, tukang dan lain sebagainya.

Dulu merupakan lahan ladang dimanfaatkan

sebagai pura taman. Pura taman dilokasikan

untuk memberikan batas atau sebagai gegaleng 

pura terhadap pemukiman pemangku.

Dulu merupakan lahan ladang

yang ditanami tanaman yang

dapat digunakan sebagai sarana

bebantenan seperti pisang,

kelapa, dan jepun

Lokasi pura taman

sebelum dipindahkan

ke timur pura dalem

Sebelum

dimanfaatkan sebagai

lapangan,

dimanfaatkan sebagai

lahan sawah

Sebelum

dimanfaatkan sebagai

wantilan, lahan

 pelaba dimanfaatkan

sebagai lahan sawah

UTARA

Page 95: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 95/142

95

Gambar 4.30 Pura Beji (Sumur Suci),Secara Niskala Merupakan Pemandian Dedari.

Dalam prosesnya, sebagaimana pada kasus lainnya selalu diawali dengan

ritual atau upakara yang ditujukkan guna menetralisir area lahan agar

keseimbangan secara sekala niskala  tetap terjaga. Pada kasus ini ditemukan

fenomena metafisis terkait upaya pemindahan sumur yang mulanya hanya berupa

lubang kecil dengan terjadinya "kesisipan" pada  pemangku  Dalem. Setelah

dilakukan upakara dan prosesi meminta pentunjuk secara gaib, dengan petunjuk

Prof. Narada yang juga sebagai pedanda menunjukkan bahwa perlunya dilakukan

upakara terkait dengan sumur yang secara niskala merupakan pemandian dedari.

Setelah prosesi ritual dijalankan,  pemangku  Pura Dalem dengan sendirinya

sembuh dari sakit dan pada akhirnya sumur tersebut dibuatkan pelinggih dan

dibuatkan dipagar sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4.30. Fenomena ini

menandakan adanya hal-hal metafisis yang tidak dapat dijelaskan oleh logika

namun dapat dirasakan dan dipercaya oleh krama pakraman. 

Proses perubahan sebagaimana kasus 1,2,3,4,5, 6, 7 dan 8, mekanismenya

 perubahan fungsi ini didahului dengan  paruman  atau melibatkan semua pihak

Page 96: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 96/142

96

termasuk juga krama pakraman. Selanjutnya dilakukan perijinan peruntukan

lahan ke pihak walikota, upakara  pecaruan, dan selanjutnya dilaksanakan

 pembangunan fisik oleh krama pakraman  secara gotong royong. Sumber dana

 pembangunan diperoleh dari kas desa yang pada saat itu telah mulai menuai hasil

dari pemanfaatan lahan  pelaba yang lain. Krama  juga dilibatkan secara sukarela

dalam pembiayaan pembangunan.

4.2.2.8 Tanah belum bersertifikat (dalam proses) dengan fungsi sebagaipemukiman  mangku  Pura Dalem dan Pemangku Pura kahyangan

(Kasus 9)

Pada kasus ini, pemanfaatan lahan  pelaba dialokasikan seluas 30 are

sebagai area pemukiman pemangku Pura Dalem dan Pemangku Pura Kahyangan.

Alokasi tanah  pelaba pura ini sebagai salah satu bentuk rasa penghargaan dari

desa untuk jasa para  pemangku  "niasayang jagat " desa Nyanggelan. Insentif ini

 berlaku bagi para  pemangku  yang mengabdikan dirinya sebagai  pemangku  Pura

Dalem dan Pura Kahyangan, sedangkan bagi mereka keluarga  pemangku  yang

 berhenti menjadi  pemangku  tidak diperkenankan untuk bermukim pada tanah

tersebut. (Budiana, juni 2013)

"…diberikan akses lahan sebesar 30 are sekuub  (mencakup

seluruh) keturunan keluarga pemangku dan sudah tertuang didalam

awig-awig  desa yang memiliki kekuatan lagitemasi hukum

terhadap masyarakat adat."

Pernyataan Drs I Gusti Made Anom menegaskan bahwa pemberian lahan

 pelaba Pura  Dalem kepada keluarga  pemangku  hanya boleh dipakai sepanjang

tetap menjalankan dharma sebagai pemangku.

Page 97: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 97/142

97

Guna memproteksi nilai fisik dan infasi ruang oleh pemangku kearah Pura

Dalem, desa mensiasatinya dengan mengalokasikan Pura Taman sebagai

 pembatas fisik antara pura dengan areal pemukiman. Gambaran mengenai zonasi

dan situasi gegaleng Pura Dalem dapat dilihat pada Gambar 4.31 sebagai berikut:

Gambar 4.31 Lokasi Lahan Pelaba Pura Dalem yang Dimanfaatkan SebagaiPemukiman Pemangku 

Upakara yang dipersembahkan atas dasar lahan tersebut merupakan lahan

 pura, dilakukan pada pelinggih pemerajan masing-masing. Pada kasus ini juga

terungkap bahwa terjadi konflik yang muncul antara keluarga  pemangku dengan

 pihak desa. Konflik yang muncul dikarenakan ketidak jelasan sistem kepemilikan

tanah dari pemerintah (agraria). Pemberian hak guna pakai tanah ulayat atas nama

 pemangku  adat menimbulkan kesalah pahaman di antara kedua belah pihak.

Informasi yang terputus antar generasi bahwa tanah tersebut merupakan tanah

milik dasa adat adalah penyebab utamanya. Beberapa kali konflik terjadi yang

muncul akibat kepentingan akan lahan. Upaya prefentifpun muncul dari pihak

manggala  (pimpinan) desa untuk meluruskan permasalahan tersebut dan

menjembataninya dengan segera memproses pensertifikatan tanah  pelaba pura

atas nama pura sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah melalui SK

Pura taman sebagai

gegaleng pura

UTARA

Page 98: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 98/142

98

Mendagri No SK 556/DJA/1986 dimana Pura dianggap sebagai badan hukum

yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.

4.2.3 Tanah pelaba Pura Subak

Kasus yang terakhir yakni tanah  pelaba pura subak dengan sertifikat no:

2309. Tanah  pelaba pura subak berlokasi jauh dari lokasi puranya di areal pura

Bale Agung  Desa Pakraman  Panjer. Areal lahan merupakan Persil hasil  Land

Consolidation yang dilaksanakan pada Tahun 1990. Peta lokasi tanah pelaba pura 

Subak yang dimanfaatkan sebagai Sekolah Dasar ini dapat dilihat pada Gambar

4.32 sebagai berikut:

Gambar 4.32 Lokasi Lahan Pelaba Pura Subak

(Editing Google Earth)

Dasar pertimbangan dilakukannya perubahan pemanfaatan lahan

dikarenakan kebutuhan akan fasilitas pendidikan desa sudah tidak representatif,

yang awalnya berlokasi di pertigaan Jalan Waturenggong pada lahan  pelaba Pura

Puseh yang dibangun secara temporer oleh desa (Wayan Budiana, 15 Juni 2013).

Proses atau mekanisme perubahan sebagaimana ditemukan pada kasus-

kasus sebelumnya, pada kasus ini juga didahului dengan rapat  pakraman/

UTARAJl. Tukad Yeh Aya

Jl. Tukad Musi V

Page 99: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 99/142

99

 paruman, pengajuan ijin peruntukan lahan ke pemerintah kota,  pecaruan, dan

sama dengan kasus 1, terjadi proses tukar guling yang sebelumnya berstatus

Tanah Negara.

Segala bentuk pembiayaan yang muncul dari dimanfaatkannya lahan

tersebut ditanggung oleh desa yang didukung dari dana bantuan dari dinas

 pendidikan. Implementasi fungsi baru ini mengakibatkan dilibatkannya

 pemerintah dalam bentuk pembiayaan operasional (Gusti Made Anom, 16 Juni

2013).

Dalam kasus ini terdapat juga fenomena yang menarik yakni terjadi hal

yang cukup meresahkan murid-murid dalam kegiatan belajar di kelas. Terdapat

tempat yang “tenget ” bagi masyarakat, yang menyebabkan harus dipatuhinya

kepatutan sikap dan tingkahlaku bagi siswa, guru dan semua masyarakat yang

 beraktifitas didalamnya. Fenomena ini terungkap dari wawancara yang dilakukan

kepada Drs. Gusti Made Anom, sebagai berikut:

“...disana ada guru yang mengajar di SD 1 Panjer, Gung aji, nika

murid tiang geleh (murid saya ketakutan). "Kamu kenapa kok

takut?" Kata saya. "Saya dipegang sama tangan berbulu", kata

murid tersebut. Trus saya beri tahu: Dek, mu atur pekeling didugul

diempelan to muh,ye odal pang suud ye ngaduk ngaduk . (dek,

kesana haturkan pemberitahukan secara niskala, di saluran irigasi

itu, diberikan upakara agar tidak mengganggu lagi..”

Keberadaan roh-roh ini dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat bahwa

 pada lahan  pelaba  terdapat rencang-rencang  Bhetara, yang merupakan roh-roh

 penjaga lahan dan wilayah  Desa Pakraman  Panjer. Keseimbangan vibrasinya

Page 100: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 100/142

100

dijaga dengan upakara   yadnya  sebagaimana petunjuk dari  pemangku  dan

 Bendesa, yang terbukti bahwa keadaan kembali normal setelah sebelumnya siswa-

siswa yang belajar mengalami kerauhan “keadaan transcendental”. Hal ini di luar

nalar atau pemikiran yang logis namun dapat dirasakan sebagai suatu yang benar-

 benar nyata adanya.

Demikian uraian dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-

masing kasus. Berpijak dari data-data hasil maka selanjutnya disarikan kedalam

tabulasi matrik pada subbab 4.3 sebagai berikut:

Page 101: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 101/142

101

   D  u   l  u   "  s  e   b  e   l  u  m    1

   9   8   0   )

   S  e   k  a  r  a  n  g   (   1   9   8   0  -   2   0   1   3   )

  w  a   k   t  u

Tipe jalanTer-dekat

Jarak dariPura yangber-sangkutan

Dasar pertimbanganterjadinya perubahan

Guna lahansekarang

Proses terjadinyaperubahan

Sumberdana pem-bangunanfungsi baru

Biayaoperasionalpemanfaatanlahan

Pihakpengelola-an lahan

Perubahan fisikpadalahan

Distribusihasilpe-man-faatan

Upakara Ke-percayaandinamisme

   J  a   l  a  n   d  e  s  a   (   6

  m 

   J  a   l  a  n   L   i  n  g   k  u  n  g  a  n

   <   1   5  m

   1   5  -   3   0  m

   >   3   0  m

   B  e   l  u  m

   t  e  r  m  a  n   f  a  a   t   k  a  n

   F  a  s   i   l   i   t  a  s

   S  o  s   i  a   l

   R  e   l   i  g   i  u  s

   E   k  o  n  o  m   i

   P  e  m  e  r   i  n   t  a   h  a  n

   P  e  n   d   i   d   i   k  a  n

   F  a  s   i   l   i   t  a  s   U  m  u  m

   P  e  r   d  a  g  a  n  g  a  n

   P  e  m  u   k   i  m  a  n

   D   i   d  a   h  u   l  u   i

   d  e  n  g  a  n   R  a  p  a   t

  p  a  r  u  m  a  n

   P  e  r   i   j   i  n  a  n   k  e

   P  e  m  e  r   i  n   t  a   h

   R   i   t  u  a   l   (   C  a  r  u

  s  a  p  u   h  a  u   )

   T  u   k  a  r   G  u   l   i  n  g

   D  e  s  a

   P  a   k  r  a  m  a  n

   P  e  m  e  r   i  n   t  a   h

   S  w  a   d  a  y  a

   S  w  a  s   t  a

   D  e  s  a

   P  a   k  r  a  m  a  n

   P  e  n  g  e  m  p  o  n

   P  e  n  y  e  w  a   l  a   h  a  n

   M  a  s  y  a  r  r  a   k  a   t

  s  e   k   i   t  a  r

   D  e  s  a

   P  a   k  r  a  m  a  n

   P  e  n  g  e  m  p  o  n

   S  w  a  s   t  a

   P  e   l   i  n  g  g   i   h

   G  e  g  a   l  e  n  g

   b  e  n   d  a

   i   k  e  r  a  m  a   t   k  a  n

   D  e  s  a

   P  a   k  r  a  m  a  n

   P  e  n  g  e  m  p  o  n Ada

   T   i   d  a   k   A   d  a

   A  r  e  a   "   t  e  n  g  e   t   "

   B  e  n   d  a   /  p  o   h  o  n

  s  a   k  r  a   l

   P  e   l   i  n  g  g   i   h

   T  e   t  a  p

   P   i  n   d  a   h

K1Bale agung,

tegalan,

LPD, toko

(disewakan)2003

K2 Sawah Pasar

 Nyanggelan1995

K3 Sawah Jalan Desa 2003

K4 Sawah TK Kumara

Loka2005

K5 Sawah Perumahan 2010 `

K6 Sawah Perumahan 2012

K7 Sawah Jaba sisi

Pura Dalem2005

K8 Sawah Wantilan dan

lapangan2003

K9 Sawah Permukiman

 jero mangku1960

K10 Sawah SD 1 Panjer 2003

Munculnya nilai-nilai baru setelah perubahan

Tabel 4.1 Matriks Tema-Tema Temuan

4.3 Tema Temuan

Page 102: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 102/142

102

Berdasarkan tabulasi matriks yang disarikan dari hasil penelitian

didapatkan beberapa tema temuan antara lain berupa waktu, tipe jalan desa dan

 jalan lingkungan, kemudian jarak, dalam setiap kasus perubahan juga mempunyai

dasar pertimbangannya sendiri, dari dasar pertimbangan tersebut muncul guna

lahan baru (terjadi diversifikasi guna lahan), terdapat sequen  pada proses

 perubahan yang didahului dengan rapat desa ( paruman), kemudian pengurusan

ijin peruntukan lahan ke pemerintah kota, prosesi ritual, dan muncul proses baru

yakni tukar guling pada beberapa kasus. Temuan berikutnya yakni sumber dana

 pembangunan yang sekarang telah melibatkan pemerintah dan pihak swasta dalam

 pembangunan fungsi baru, biaya operasional pemanfaatan lahan yang sekarang

tidak lagi ditanggung oleh  penyakap  (Desa Pakraman mempunyai peran vital

dalam pembiayaan operasional). Temuan berikutnya yaitu munculnya pihak

swasta dalam pengelolaan lahan serta terjadi perubahan fisik pada lahan. Terakhir,

distribusi pemanfaatan lahan yang cenderung masuk ke kas desa berupa uang.

4.3.1 Waktu

Terdapat perbedaan waktu perubahan yang menandakan bahwa disetiap

 perubahan yang terjadi dilatarbelakangi oleh hal yang berbeda. Beberapa

diantaranya yakni pada tahun 1960 yakni dimanfaatkannya lahan  pelaba pura 

sebagai pemukiman pemangku, pada tahun 1995 yakni perubahan pada fungsi

tanah  pelaba  Pura Dalem menjadi pasar Nyanggelan, pada tahun 2003, terjadi

 pada 4 kasus yakni tanah  pelaba Pura Subak yang dirubah menjadi fungsi toko,

tanah  pelaba  Pura Dalem yang dimanfaatkan sebagai jalan desa dan wantilan,

Page 103: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 103/142

103

 pada tahun 2005 pada lahan  pelaba Pura Dalem sebagai TK Kumara Loka, pada

tahun 2010 dimanfaatkannya tanah  pelaba  Pura Dalem sebagai perumahan, dan

 pada tahun 2012 lahan  pelaba Pura Dalem kembali dimanfaatkan sebagai lahan

 perumahan.

4.3.2 Tipe jalan terdekat

Tema temuan ini berkaitan dengan nilai lahan. Tipe jalan disekitar lahan

 pelaba dapat dibedakan menjadi tipe jalan desa dan jalan lingkungan. Tipe jalan

ini mengindikasikan nilai strategisitas lahan, dimana lahan  pelaba  yang

mempunyai akses berupa jalan desa akan mempunyai nilai strategisitas yang lebih

tinggi dari pada jalan lingkungan. Beberapa lahan  pelaba yang mempunyai akses

 berupa jalan desa yakni lahan pelaba Pura Puseh (kasus 1), dan lahan pelaba Pura 

Dalem dengan fungsi sebagai pasar desa (kasus 2) sedangkan sisanya mempunyai

akses berupa jalan lingkungan.

4.3.3 Jarak lahan pelaba ke pura yang bersangkutan

Setiap lahan  pelaba  terletak dengan jarak yang berbeda-beda jika ditarik

 pura yang bersangkutan sebagai sumbunya. Jarak tersebut diterjemahkan kedalam

skala dekat (<15 m), sedang (15 m-30 m) dan jauh (> 30 m). Jarak tersebut

ternyata berdampak terhadap bagaimana krama pakraman  memanfaatkan lahan

 pelaba-nya. Lahan  pelaba pura yang termasuk dalam kategori dekat diantaranya

lahan pelaba Pura Puseh (kasus 1), lahan pelaba Pura Dalem (kasus 2,3, 7 dan 8),

kategoro sedang yakni lahan  pelaba  Pura Dalem (kasus 4 dan 9) dan yang

termasuk dalam kategori jauh yakni pada kasus ( 5, 6 dan 10).

Page 104: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 104/142

104

4.3.4 Dasar pertimbangan terjadinya perubahan

Setiap perubahan selalu diawali dengan dasar pertimbangan perubahan.

Perubahan pemanfaatan lahan  pelaba pura di  Desa Pakraman  Panjer terjadi

dengan dasar pertimbangan yang beragam. Pada kasus 1 pada awalnya didasari

atas pemenuhan akan kebutuhan fasilitas pendidikan yang kemudian bergerak

kearah pemanfaatan sebagai zona komersial akibat adanya kesempatan untuk

merelokasi zona pendidikan atas pertimbangan kurang representatifnya fungsi

 pendidikan pada zona "strategis". Di sisi lain nilai sosial dan ekonomi dapat

dikatakan menjadi pertimbangan lain yang tersirat jika dimanfaatkan sebesar-

 besarnya demi kesejahteraan anggota krama  desa. Prioritas atas dasar

 pertimbangan belum tersedianya fasilitas di desa juga ditemukan pada kasus 4, 8

dan 10. Perubahan pemanfaatan lahan pelaba pura juga didasari atas faktor sosial

yang terdapat pada kasus 1, 3, 4, 7, 8, 9, dan 10 dan dasar pertimbangan ekonomi

 pada kasus 1, 2, 3, 5, dan 6. Dari data ini, faktor pertimbangan yang dominan

muncul adalah faktor sosial, kemudian diikuti dengan faktor ekonomi, dan faktor

tersedianya fasilitas desa.

4.3.5 Guna lahan sekarang

Perubahan fungsi yang terjadi secara keruangan mengakibatkan berubah-

nya tata guna lahan. Pada awalnya merupakan lahan terbuka hijau produktif,

sekarang guna lahannya antara lain fungsi perdagangan pada kasus 1 dan 2, guna

lahan sebagai fasilitas umum pada kasus 3 dan 4, guna lahan dengan fungsi

 pemukiman pada kasus 5, 6, dan 9, guna lahan dengan fungsi sebagai pendidikan

Page 105: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 105/142

105

 pada kasus 8 dan 10, fungsi pemerintahan dan sebagai ruang terbuka hijau pada

kasus 8. Perubahan guna lahan  pelaba pura  dapat dilihat pada Gambar 4.33

sebagai berikut:

4.3.6 Proses terjadinya perubahan

Temuan yang lain adalah terdapat sequen pada prosesnya. Gagasan yang

muncul selalu di kaji terlebih dahulu melalui rapat atau musyawarah di tingkat

 Desa Pakraman, kemudian gagasan tersebut di ajukan ke pemerintah dalam hal

ini pihak walikota Denpasar untuk mendapatkan persetujuan atas peruntukannya,

 baru kemudian sebelum melaksanakan proses pembangunan (perubahan

 pemanfaatan lahan) selalu dilakukan ritual (caru sapuh au) guna menetralisir atau

menyeimbangkan lahan secara sekala  maupun niskala  dan pada tanah yang

merupakan lahan sawah dengan diadakanya upakara  Ngingsirang  Bethari Sri.

Dalam beberapa kasus juga dilaksanakan mekanisme tukar guling atas berbagai

 pertimbangan pada kasus 1, 4 dan 10. Pada tahun 1980 (perkembangan perkotaan

Gambar 4.33 Perubahan Guna Lahan Pelaba Pura di Desa Pakraman Panjer

Page 106: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 106/142

Page 107: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 107/142

107

rumah kos) yang dilakukan dengan sistem  Build Operasional Transfer .

Sebelumnya pendanaan pengelolaan lahan diserahkan sepenuhnya kepada

 penyakap lahan. Lebih jelas lihat pada Gambar 4.35 sebagai berikut:

Gambar 4.35 Skema Perubahan Sumber Dana Pembangunan

Dengan bertambahnya pihak-pihak yang turut berperan mendanai

 pembiayaan pembangunan mengakibatkan modal keuangan  Desa Pakraman 

menjadi semakin kuat terlebih sisa dana pembangunan diinvestasikan guna

menambah dana abadi di LPD  Desa Pakraman  (Wayan Rastina, wawancara

tanggal 15 mei 2013).

4.3.8 Biaya operasional pemanfaatan lahan

Pembiayaan operasional atas biaya-biaya yang timbul dari pemanfaatan

atas lahan pada fungsi yang baru dikeluarkan oleh  Desa Pakraman. Pengempon 

sekarang tidak dilibatkan dalam pembiayaan hanya sebatas pada lahan  pelaba

 pura sebagai tempat tinggalnya saja. Pada kasus 1 dan 2, biaya operasional

Desa Pakraman

Pengempon

Pemerintah SwastaKrama

Penyakap/pemangku/ 

 pengempon

Desa Pakraman

Krama

Sebelum perubahan

fungsi lahan

Setelah terjadinya perubahan

fungsi lahan

Page 108: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 108/142

108

dilakukan oleh para penyewa kios/ toko/ dari Desa Pakraman  pada fungsi kantor

LPD yang dianggarkan dari dana abadi yang terbentuk.

4.3.9 Perubahan fisik pada lahan

Terdapat pelinggih baru yang dibuat diatas lahan  pelaba pura. Pelinggih

tersebut juga digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan upakara ritual yang

salah satunya dipersembahkan kepada Sang Hyang  Butha- Buthi  penjaga lahan

atau rerencangan pura di lahan pelaba pura.

Terjadi perubahan fisik pada lahan terutama pada lahan-lahan  pelaba pura

yang radiusnya kurang dari 15 m, atau dapat dimasukkan ke dalam jarak yang

cukup dekat dari pura antara lain pada kasus 1 berupa dipindahkannya batu besar

yang mulanya berada di lahan pelaba pura ke areal pura, tidak ditebangnya pohon

 jepun. Perubahan lain pada aspek fisik yakni perubahan radius kesucian pura

“gegaleng”. Skema perubahan dapat dilihat pada Gambar 4.35 sebagai berikut:

Gambar 4.35 Skema Radius Kesucian Pura yang Menyempit

Adepa

agung

Pura

 Apenimpug

Bangu-

nan

Bangu-

nan

 Adepa

agung

Bangunan

Bangu-

nan

PuraBangunan

Bangunan

Bangunan

Bangunan

Pura

Page 109: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 109/142

109

4.3.9 Distribusi hasil pemanfaatan

Temuan berikutnya yakni sebagian besar pemanfaatan lahan (hasil

retribusi, sewa lahan) menghasilkan keuntungan berupa uang tidak sebagaimana

 pemanfaatan lahan sawah dan ladang dengan hasil pemanfaatan berupa palawija.

Hasil atau laba yang diperoleh dari pemanfaatan lahan tersebut sebagian besar

dialokasikan ke kas desa baru kemudian dianggarkan untuk berbagai macam

kepentingan pembangunan, pengelolaan bahkan gaji dari pada manggala  dan

 prajuru   Desa Pakraman. Pada kasus pemanfaatan lahan  pelaba  sebagai

 pemukiman  pemangku  dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan

 pemangku. Sistem pembagian distribusi ini merupakan suatu sistem yang baru,

dulunya pembagian hasil pemanfaatan lahan didistribusikan kepada  pemangku 

sebagai penyakap lahan.

4.3.10 Upakara

Temuan lain yakni sebagian besar ritual yang berkaitan di  pelaba pura

tetap dilaksanakan pada setiap kasus. Upakara dilaksanakan pada setiap hari-hari

 besar keagamaan, dan hari-hari tertentu seperti Tumpek Bubuh, Purnama, Tilem

dan hari suci lainnya selalu dilaksanakan upakara, yang ditujukan ke masing-

masing  pelaba pura dengan menghaturkan persembahan pada masing-masing

 pelinggih di lahan  pelaba pura.  Perubahan yang terjadi hanya pada lokasi

dilakukannya upakara, dimana sebelumnya dilakukan pada areal-areal yang

dianggap “tenget ”, sekarang dilakukan pada pelinggih, dan pada lahan  pelaba 

yang tidak dibangun pelinggih upakara di lakukan di pura.

Page 110: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 110/142

110

4.3.11 Kepercayaan dinamisme

Keberadaan pelaba pura identik dengan nilai-nilai metafisis, sebuah sikap

mental krama pakraman  dalam menyikapi kehidupan. Nilai-nilai dinamisme

tersirat dari setiap fenomena transcendental yang muncul pada kasus per kasus.

Pada kasus 1, masyarakat mempercayai bahwa terdapat kekuatan magis dalam

 batu besar yang disebut dengan Ratu Gde Muntung. Terdapatnya pemandian

dedari  pada kasus 8 yakni tanah  pelaba pura  sebagai fungsi wantilan dan

lapangan desa. Terdapat area tenget   pada kasus  pelaba pura  subak (kasus 10).

Pohon besar pada area  jaba sisi  Pura Dalem. Hal yang lain yakni kepercayaan

masyarakat akan hal-hal yang dapat mengakibatkan "cuntaka” yang merupakan

dasar pertimbangan dari difungsikannya lahan  pelaba  sebagai jalan desa. Hanya

 pada beberapa kasus, hal-hal supernatural ini tidak ditemukan di antara pada kasus

4, 5 dan 6.

Sekian beberapa tema temuan yang dapat disarikan dari kasus-perkasus.

Berikutnya akan masuk pada subbab pembahasan yang substansinya terdiri dari

dialog antar tema-temuan dan konsep-konsep yang distrukturkan sedemikian rupa

guna menggiring pemahaman mengenai fenomena yang terjadi dan pada akhirnya

mengerucut guna menjawab rumusan permasalahan yang telah dirumuskan

didepan.

Page 111: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 111/142

111

4.5 Dialog Antar Tema

Dari sekian tema temuan yang telah diuraikan pada subbab 4.4 berikut

akan didialogkan untuk mendapatkan beberapa keterkaitan diantaranya sebagai

substansi untuk memahami latar belakang berubahnya konsepsi krama pakraman 

dalam memanfaatkan lahan  pelaba-nya dan memahami gambaran perubahan

konseptual yang terjadi. Beberapa diantaranya yakni adanya keterkaitan antara

guna lahan dengan tipe jalan disekitar, keterkaitan antara jarak dan guna lahan,

keterkaitan antara jarak dan guna lahan, keterkaitan antara pihak pengelola dengan

kegiatan upakara, dan keterkaitan antara kepercayaan dengan perubahan fisik pada

lahan.

4.5.1 Keterkaitan waktu dan guna lahan

Terdapat keterkaitan antara waktu perubahan dan guna lahan. Berdasarkan

kurun waktu dapat klasifikasikan menjadi 5 periode yakni sebelum tahun 1980,

1990, periode 1995, periode 2003-2005 dan periode 2010-2012 dengan masing

masing guna lahan pada setiap periodenya mempunyai karakteristik tertentu yang

diduga mewakili kondisi yang melatarbelakangi perubahan krama pakraman 

dalam memanfaatkan lahan pelaba-nya.

4.5.2 Keterkaitan antara waktu dan sekularitas fungsi lahan

Terdapat kecenderungan bahwa seiring bertambahnya tahun pemanfaatan

lahan  pelaba  cenderung mulai dimanfaatkan sebagai fungsi sekular. Sekularitas

ini muncul dari tidak ditemukannya atribut-atribut keagamaan didalamnya seperti

keberadaan pelinggih, upakara yang dilakukan secara ngayat, pihak pengelola

Page 112: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 112/142

112

yang dilakukan oleh pihak swasta khususnya pada kasus 5 dan 6. Sekularitas

 pemanfaatan lahan  pelaba pura sebagai perumahan kos ini juga diduga memiliki

keterkaitan dengan tidak adanya bentuk-bentuk kepercayaan dinamisme pada

lahan tersebut sebagaimana ditemukan pada beberapa kasus lain.

4.5.3 Keterkaitan antara guna lahan dengan tipe jalan sekitar 

Adanya keterkaitan antara guna lahan dengan tipe jalan disekitarnya.

Lahan  pelaba pura  cenderung dimanfaatkan sebagai fungsi perdagangan pada

lahan dengan akses berupa jalan desa dan dimanfaatkan sebagai fungsi yang lain

 pada lahan  pelaba  dengan akses berupa jalan lingkungan. Keterkaitan ini

memberikan gambaran bahwa nilai lahan mempunyai pengaruh bagi masyarakat

dalam menentukan fungsi baru pada lahan pelaba pura.

4.5.4 Keterkaitan antara jarak dan guna lahan serta perubahan fisik

pada lahan

Korelasi berikutnya yakni jarak dan guna lahan serta perubahan fisik pada

lahan, semakin jauh jarak lahan pelaba pura, fungsinya cenderung sekular dimana

semakin jauh jarak  pelaba  dari pura maka semakin berkurang kontrol radius

kesuciannya. Hal lain yang menguatkan yakni semakin dekat jaraknya dengan

 pura selalu diikuti dengan munculnya gegaleng (fisik) pada fungsi yang baru.

4.5.5 Keterkaitan antara kepercayaan dengan guna lahan 

Lahan  pelaba  cenderung dimanfaatkan sebagai fungsi sekular jika tidak

ditemukan area yang dianggap “tenget ” atau benda-benda sakral pada lahan. Nilai

kepercayaan ini memegang peranan penting dalam setiap keputusan pemanfaatan

lahan, dan sebaliknya kontrol akan fungsi lahan akan semakin kuat jika pada lahan

Page 113: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 113/142

113

ditemukan tempat-tempat yang dipercayai memiliki kekuatan gaib atau dianggap

tenget .

4.5.6 Keterkaitan antara pihak pengelola dengan kegiatan upakara 

Adanya keterkaitan antara pihak pengelola lahan dengan bagaimana krama

 pakraman melangsungkan upakara. Keterlibatan pihak swasta pada fungsi yang

 baru mengakibatkan upakara  tidak lagi dilaksanakan pada site/ lahan serta

 pindahnya lokasi upakara akibat adanya aktifitas baru yang sekular pada lahan

 pelaba. 

4.5.7 Keterkaitan antara kepercayaan dengan perubahan fisik pada lahan 

Adanya keterkaitan antara kepercayaan dinamisme dan perubahan fisik

 pada lahan. Keberadaan benda-benda atau lokasi-lokasi yang memiliki nilai sakral

cenderung dipertegas secara fisik apabila aktifitas sekular mulai memasuki ruang-

ruang sakral tersebut.

4.6 Latar Belakang dan Gambaran Perubahan Konsepsi Pemanfaatan Lahan Pelaba Pura

Hal yang melatar belakangi berubahnya konsepsi krama desa pakraman 

dalam memanfaatkan lahan  pelaba pura-nya akan coba dipaparkan dengan

melihat kejadian-kejadian penting yang terjadi di  Desa Pakraman  Panjer

sepanjang tahun 1980-2013 sebagai konteksnya serta mengacu pada beberapa

tema temuan sebelumnya sebagai indikator analisis. Namun untuk mengaitkannya

dengan tujuan penelitian yakni untuk mengetahui gambaran perubahan konsep itu

sendiri maka diawal perlu diingat bahwa esensi pelaba pura yang telah dirajut dari

 berbagai literatur, dan informasi dari krama pakraman Panjer sebelum terjadinya

Page 114: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 114/142

Page 115: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 115/142

115

memindahkan benda-benda sakral dari lahan  pelaba pura  ke areal pura. (awal

mula perubahan pada kasus 1). Perubahan secara perlahan mulai direncakan,

hingga pada akhirnya mulai terlihat munculnya gagasan terkait pemanfaatan

 pelaba pura menjadi fungsi yang baru memasuki awal tahun 1995. Program  Land

Consolidation memberikan pengaruh yang kuat bagi krama pakraman  sehingga

 pada titik ini mulai dan sedang mengarah pada pola pemanfaatan yang baru.

 Namun esensi dari keberadaan lahan itu sendiri tetap sebagai penunjang

kebutuhan pura. 

Periode ketiga yakni perubahan yang terjadi pada tahun 1995 dasar

 pertimbangan dibangunnya pasar yakni disebabkan oleh karena semakin

mendesaknya kebutuhan akan fasilitas pasar. Dengan tidak adanya lahan desa

yang secara khusus disediakan untuk fungsi pasar, maka krama  Panjer mulai

melirik lahan pelaba pura yang kondisinya memang sangat memungkinkan selain

merupakan lahan tidur, juga merupakan satu-satunya lahan yang mudah

diaplikasikan baik dalam yuridisial ataupun kemudahan lainnya sehingga

terpilihlah lahan  pelaba  Pura Dalem sebagai lahan Pasar dengan pertimbangan

 pemilihan lokasi atas dasar luasan serta aksesbilitas.

Memasuki awal tahun 2003, biaya  pererainan  mulai meningkat,

masyarakat mulai menjadi sibuk dengan pekerjaan barunya, dan kemudian muncul

ide untuk mempermudah sistem  pakraman dalam pembiayaan  yadnya 

sebagaimana pernyataan Wayan Budiana sebagai berikut:

“menginjak tahun 2003, mulai dirasakan bahwa diperlukan sebuah

langkah untuk memperkuat permodalan desa dalam hal

 pembiayaan  pererainan, masyarakat mulai merasa keberatan atas

urunan yang dilimpahkan setiap diberlangsungkannya piodalan.

Page 116: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 116/142

116

Hal juga disebabkan lahan  pelaba   pura  tidak lagi berfungsi

sebagaimana mestinya atau sebagai lahan tidur” (wawancara 16

Juni 2013)

Beban finansial yang menekan krama desa pakraman  pada saat itu

diantaranya yakni akan diadakannya upacara Ngenteg Linggih yang menghabiskan

dana lumayan besar, sudah tidak representatifnya kantor pemerintahan desa, dan

hal lain yang mempengaruhi krama desa pakraman  dalam memanfaatkan lahan

 pelaba menjadi fungsi yang baru yakni mulai dilihat meningkatnya produktivitas

LPD yang mengakibatkan krama  mulai merencanakan tempat yang lebih

representatif untuk gedung LPD yang baru dimana pada mulanya berada di  jaba

sisi  Pura Puseh. Kebutuhan akan ruang terbuka juga menjadi suatu kebutuhan

tersendiri bagi krama pakraman oleh karena semakin tingginya alih fungsi lahan

di  Desa Pakraman  Panjer. Disinilah arah pandang krama desa  pakraman  mulai

 berorientasi pada profit sehingga lahan  pelaba  lebih cenderung dilihat dari sisi

nilai strategisitasnya, yang mana yang lebih menguntungkan dan yang mana

dirasaakan tepat guna menampung fungsi sosial (non-profit). Nilai-nilai ekonomis

mulai menjadi prioritas dengan munculnya fungsi toko, dan LPD pada lahan

 pelaba pura  yang mempunyai nilai strategisitas yang tinggi. Sedangkan fungsi

lain muncul pada lahan yang memiliki nilai strategisitas yang lebih rendah. Pada

fase ini tekanan ekonomi dan sosial adalah faktor utama sebagai katalisator

 perubahan konsep pemanfaatan lahan  pelaba pura.  Terjadi begitu banyak

 perubahan pada pola pemanfaatannya dan sistem menejerial dari pada lahan

 pelaba pura dimana lebih berorientasi profit, namun kembali jika dilihat

essensinya masih tetap sebagai penunjang keberadaan pura meskipun peran dari

Page 117: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 117/142

117

 pelaba pura pada fase ini juga mulai sebagai salah satu pondasi finansial

 berjalannya kehidupan desa pakraman Panjer. 

Fase terakhir pada periode tahun 2010-2012, terlihat sequent   perubahan

semakin berorientasi kearah peningkatan modal finansial. Dengan cara pandang

yang semakin rasional, krama  mulai melihat adanya peluang dengan

menginterpretasikan kembali nilai-nilai keruangan, dengan beberapa variabel yang

dapat dilihat yakni adanya jarak dan guna lahan. Interpretasi ruang yang sakral

dan profan dilihat sebagai sebuah ruang yang memiliki deviasi hirarki. Semakin

 jauh jarak semakin hilang kontrol “rasa” serta proteksi terhadap fungsi lahan.

 Nampak bahwa fungsi sekular dapat diterima dengan syarat “munculnya

fenomena negosiasi nilai ruang” berupa pembatas fisik yang mereka sebut dengan

gegaleng pura. Pada fase ini juga dapat dikatakan fase dimana mulai munculnya

keterkaitan adanya dinamika keruangan pada lahan  pelaba pura, bahwa semakin

dekat jarak  pelaba pura  dengan tempat-tempat yang dianggap “sakral” maka

semakin tegas pembatas fisik sebagai zona proteksi terhadap nilai-nilai

kesuciannya. Ruang–ruang ekonomis semakin melebar mengeliminasi ruang– 

ruang religi hingga sampai pada batasan tertentu oleh karena masih

dipertahankannya aspek kepercayaan didalam peta mental krama pakraman.

Fungsi yang muncul pada akhirnya nampak jauh keluar dari fungsi-fungsi religius

dengan merujuk pada tidak ditemukannya pelinggih, atau ritus simbolik sebagai

 petanda bahwa lahan  pelaba  tersebut merupakan lahan yang mempunyai nilai

“sakral”. masyarakat cenderung mempunyai pemikiran kearah rasional-kapital

atau bergerak sebagai masyarakat “pemodal”. Perubahan cara pandang sangat

Page 118: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 118/142

118

 jelas berdampak pada tata cara krama pakraman memanfaatkan lahannya dilihat

dari berbagai kasus yang cenderung keluar dari konteks polapemanfaatan lahan

yang bermakna "religius-trancendentalis", namun kembali lagi jika

dikomparasikan dengan essensi dari lahan pelaba pura sebelum terjadinya

dinamika pada pola pemanfaatannya, masih tetap dipergunakan guna menunjang

kebutuhan pura.

Dari munculnya berbagai perubahan pada setiap fasenya, dapat dicermati

sebagaimana pemahaman mengenai perubahan dimana manusia senantiasa

 berusaha untuk menyeimbangkan dirinya, senantiasa berada dalam keadaan

 berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan (Merton

dalam Ritzer 1992), walaupun tetap secara esensial tidak terjadi perubahan yang

signifikan pada konsepsi lahan  pelaba pura  itu sendiri. Lahan  pelaba pura tetap

merupakan lahan yang dimanfaatkan untuk mendukung keberlangsungan pura.

Sehingga berikutnya ulasan mengenai gambaran perubahan yang akan

diuraikan adalah perubahan pada level implementasi konsep, diantaranya yakni

aspek kepercayaan yang cenderung tetap, tidak terjadi perubahan dalam

masyarakat dalam memandang tempat-tempat yang dipercayai mempunyai

kekuatan gaib dan kepercayaan lain terkait dengan keberadaan lahan pelaba pura.

Upakara adalah salah satu unsur yang tidak mengalami perubahan secara

signifikan, yang berubah hanyalah tempat melaksanakan upakara tersebut.

Mekanisme pemanfaatan lahan dan peran lahan  pelaba pura adalah dua aspek

yang terdeviasi namun masih bersinggungan dengan wilayah "sakral" sehingga

 beberapa elemen didalamnya tidak berubah, sedangkan yang berubah dapat

Page 119: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 119/142

119

dipastikan adalah elemen-elemen penunjang atau pelengkap. (lihat kembali

 bangun pemahaman mengenai dokotomi sakral-profan, Marcia Eliade yang

menjelaskan bahwa nilai sakral muncul dari pemetaan pemikiran yang disebut

dengan keadaan heirophany). Sehingga aspek-aspek yang berada di wilayah

“manusia” seperti organisasi masyarakat yang terkait dengan fungsi pelaba pura,

 pembiayaan operasional pemanfaatan lahan, pengelolaan dan distribusi hasil

mengalami perubahan yang cukup signifikan. Didalam peran dari pada lahan

 pelaba pura selain cenderung tetap secara umum adalah meluas. Peran sosial

semakin menguat, peran ekonomi dari pada lahan  pelaba pura yang sudah dapat

dipastikan meningkat sangat signifikan. Segala bentuk konsep yang terkait dengan

nilai-nilai spirit ke-Tuhan-an krama pakraman  cenderung dipertahankan dan

sebaliknya hal-hal diluarnya mengalami perubahan yang cukup signifikan.

Berkembangnya akumulasi modal desa yang ditanamkan di LPD,

meningkatnya penghasilan pasar desa, peningkatan retribusi penyewaan lahan

menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek pembiayaan. Sekarang  Desa

Pakraman mengambil alih kepengelolaan dan bertanggung jawab sepenuhnya

terhadap biaya-biaya yang timbul, maka hasil pemanfaatan lahan juga sepenuhnya

masuk ke  Desa Pakraman, baru kemudian didistribusikan pada kegiatan lain

dengan pengajuan proposal anggaran. Sebelumnya segala bentuk pembiayaan

yang muncul dibiayai oleh para  penyakap  lahan masing-masing. Keterlibatan

 Desa Pakraman hanya sebagai lembaga yang mengkoordinasi hak-hak

 pengelolaan petak lahan. Dengan memusatnya pengaturan pembiayaan di desa,

maka distribusi hasilnya pun mengerucut ke desa tidak lagi ke  penyakap, atau

Page 120: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 120/142

120

 pengempon pura. Dengan demikian konsep manajerial pemanfaatan lahan pelaba

 pura dapat dikatakan mengalami perubahan yang cukup signifikan. 

Terakhir yakni terjadi perubahan implementasi keruangan pada

 pemanfaatan lahan  pelaba pura diantaranya dengan melihat fungsi lahan pasca

 perubahan, dan setting gegaleng. Perubahan yang terjadi dapat dilihat mulai dari

fungsi lahan sebagaimana data rekonstruksi pada setiap kasus sebelumnya

merupakan lahan sawah, dan berubah secara perlahan menjadi lahan ladang dan

kemudian menjadi berberapa fungsi baru sesuai dengan dasar pertimbangannya

masing-masing. Terkait dengan nilai religius lahan  pelaba pura dan kebutuhan

akan ruang (fungsi baru), maka tata aturnya adalah merupakan hasil sintesa dari

dualisme sisi  keruangan tersebut. Unsur-unsur yang nampak pada data yakni

 perubahan interpretasi mengenai jarak gegaleng  sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya dimana dulunya selebar apanimpug, dan sekarang diterjemahkan

kedalam adepa agung yang merupakan jarak batas antara aktivitas sakral dengan

aktivitas yang berdimensi sekular. Rentang nilai ruang ekonomis semakin melebar

hingga berhenti ketika menyentuh batas-batas norma yang dilandaskan atas etika,

tatwa  dan upakara. Implementasinya dapat dilihat dari berbagai bentuk

 pengaturan yang timbul disekeliling pura dengan pengaturan zona-zona dan

 pembatas fisik dilahan pelaba pura.(kasus 1: gegaleng selebar adepa agung, kasus

2: diplotnya bale desa, dan bale banten  sebagai pembatas Pura Dalem dengan

 pasar, kasus 3: jalan desa yang digunakan untuk menghindari sawa melintasi areal

Pura Dalem, kasus 9: di plotnya Pura Taman sebagai pembatas fisik antara

 pemukiman pemangku dan Pura Dalem).

Page 121: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 121/142

121

BAB V

PENUTUP

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Terdapat 12 tema temuan diantaranya yakni 1) Ada perbedaan waktu

dengan masing-masing karakteristik perubahannya, 2) Masing-masing  pelaba

 pura  berdekatan dengan beberapa tipe jalan dengan yang ternyata mempunyai

 pengaruh terhadap bagaimana krama pakraman  memanfaatkan lahannya, 3)

mempunyai jarak yang berbeda terhadap pura inti, 4) masing-masing memiliki

dasar perubahan yang berbeda-beda, 5) terjadi perubahan tata guna lahan, 6)

terjadi perubahan mekanisme atau proses pemanfaatan lahan,7) perluasan sumber

dana pembangunan, 8) perubahan manajemen pembiayaan pemanfaatan lahan,

terjadi perubahan fisik pada lahan, 9) perubahan fisik pada lahan, 10) perubahan

sistem distribusi hasil pemanfaatan lahan, 11) perubahan tata cara pelaksanaan

upakara, dan 12) terdapat unsur kepercayaan dinanisme pada masyarakat dalam

memanfaatkan lahan pelaba pura-nya.

Dari ke 12 tema temuan ini terdapat beberapa keterkaitan diantaranya

yakni terdapat keterkaitan antara waktu dan fungsi lahan dimana semakin beranjak

 periode semakin kompleks fungsinya. Terdapat keterkaitan antara waktu dan

sekularitas fungsi lahan, dimana semakin mendekati tahun 2013 semakin sekular

 pemanfaatannya. Cara pandang krama pakraman  mulai menjadi lebih rasional

121

Page 122: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 122/142

122

atau mulai mengarah pada pola pikir sebagai masyarakat pemodal. Terdapat

keterkaitan antara tipe jalan dan fungsi lahan, kecenderungan bahwa pada posisi

lahan yang bersebelahan dengan persimpangan akan dimanfaatkan sebagai fungsi

ekonomi dan sebaliknya pada jalan lingkungan kecenderungan akan dimanfaatkan

sebagai fungsi sosial, Disamping itu juga terdapat keterkaitan antara kepercayaan

dan tata guna lahan, dimana pada setiap lahan yang dipercayai mempunyai nilai-

nilai metafisis maka krama pakraman  akan sangat hati-hati dalam

mengimplementasikan fungsi didalamnya, dan terakhir terdapat keterkaitan antara

 jarak dan pengaturan fisik pada lahan, dimana semakin jauh jarak maka semakin

sekular fungsinya dan berlaku sebaliknya semakin dekat maka semakin sakral

fungsinya, pengaturan fisik dipertegas dengan tata atur zonasi sebagai "gegaleng"

 pura.

Dengan memaparkannya menjadi satu kesatuan maka diketahui juga latar

 belakang perubahan adalah berbeda-beda sebagaimana masing masing periode

 perubahan diantaranya yakni periode 1 (sebelum tahun 1980) dilatarbelakangi

oleh perubahan sistem pertanahan, (tahun 1990) diimplementasikannya  Land

Consolidation, (2003-2005) kebutuhan akan fasilitas desa, tekanan ekonomi dan

sosial, dan (pada tahun 2010-2012) adanya keinginan untuk memperkuat modal

keuangan desa pakraman.

Perubahan terjadi sangat mendasar, krama pakraman  semakin berpikir

secara rasional atau menerapkan pola pikir selayaknya masyarakat pemodal,

walaupun demikian nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam adat mereka tetap

dipertahankan, sehingga terjadi proses "negosiasi" terhadap ruang-ruang pada

Page 123: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 123/142

Page 124: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 124/142

124

interpolasi yang terlalu melebar akan dapat mendeformasi bahkan mengeliminasi

eksistensitas lahan  pelaba pura itu sendiri yang tentunya juga akan berdampak

 pula pada kehidupan masyarakat  pakraman  Panjer dan tujuan umat untuk

mencapai kehidupan yang jagatdhita akan mustahil untuk diwujudkan.

Berbagai tekanan yang dihadapi masyarakat Panjer sesungguhnya juga

dapat saja dialami oleh setiap  Desa Pakraman di Bali khususnya yang berada di

wilayah perkotaan. Sehingga saran selanjutnya tertuju bagi Desa Pakraman lain,

Keberagaman Perbedaan lokasi, waktu dan situasi (desa, kala, patra)

mengakibatkan fenomena yang terjadi pada setiap desa akan memiliki tendensi

yang berbeda-beda, namun terdapat satu pesan didalamnya yakni pentingnya

untuk menjaga nilai-nilai adi luhur nenek moyang masyarakat Bali, untuk

menjaga kelestarian alam, nilai spiritualitas, nilai kebersamaan (Sosial) tanpa

menafikkan nilai ekonomi dalam era global yang tentunya mau tidak mau

substansinya tidak dapat ditinggalkan.

Terakhir, dalam ranah akademis diharapkan dapat dilanjutkannya

 penelitian sejenis pada beberapa  Desa Pakraman  yang lain, dengan mencoba

mengkomparasi antara beberapa  Desa Pakraman  yang memiliki karakteristik

yang berbeda ataupun dengan paradigma serta kajian metodologis yang berbeda

 pula dengan harapan dapat memperkaya pengetahuan mengenai keberadaan lahan 

 pelaba pura yang nota bena mempunyai arti yang penting bagi keberlanjutan

kehidupan Desa Pakraman.

Page 125: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 125/142

125

DAFAR PUSTAKA

Buku

Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek .

Bandung:Tarsito.

Artadi, I.K. 2001. Kebudayaan Spiritualitas, Nilai Makna dan Martabat

Kebudayaan. Denpasar : PT. Offset BP

Bintarto, R. 1977. Geografi Kota. Yogyakarta: UP. Spring.

Blakely, E.J. 1994. Planning Local Economic Development - Theory and

Practice. California: Sage Publication.

Brouwer, M.A.W . Psikologi Fenomenologis. Jakarta: PT. Gramedia

Bushar M. 1988. Pokok-pokok Hukum Adat . Jakarta : PT Pradnya Paramitha,

Chapin, F.S. and Edward J.K. 1985. Urban Land Use Planning. Cichago:

University of Illinois Press.

Creswell, J.W. 2003.  Research design: Qualitative, Quantitative, and Mixed

 Methods. Approaches: SAGE,

Dharmayuda, I M S. 2001.  Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di 

Propinsi Bali: PT. Upada Sastra kerjasama dengan Yayasan Adi Karya

IKAPI dan The Ford Foundation,

Dwipayana, A. 2003. “Catatan Kritis Pelaksanaan Otonomi Tingkat Desa di

 Bali. Yogyakarta:Pustaka Pelajar dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol

UGM.

Effendi, S. dan Singarimbun, M. 1989.  Metode Penelitian Survey. Jakarta :PT

Pustaka LP3ES Indonesia.

Effendi, S. dan Manning. 1989. Prinsip-prinsip Analiasis Data. Lembaga

Penelitian Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta:

LP3ES

Eliade, M. 1961. The Sacred anf Profane, terj. dari Perancis oleh Willard R. Trask

 New York: Harper & Row Publishers, 1961

Gelsana. 2006.  Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma ,mencapai kebebasan

dan keseimbangan jiwa melalui pengamalam ajaran dharma. Denpasar:

Pesantian Tri Bhuana Agung

Page 126: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 126/142

126

Gubernur Bali. 2001. Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang

 Desa Pakraman. Denpasar: Pemda Bali.

Gunawan, W. 2000. “Reforma Agraria” Perjalanan Yang Belum Berakhir ,

Penerbit Insist Press. Konsorium Pembaharuan Agraria. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Hadi, S. 2001. Metodologi Research Jilid 3. Yogjakarta :Penerbit Andi

Harsono, B. 1968. Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan Isi dan

Pelaksanaannya. Jakarta: Djakarta Djambatan

Harsono, B. 2007. Hukum Agrarian Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi

dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. Jakarta: PenerbitDjambatan

Hermanto, P., Sahat ,M., Djauhari, A., dan Sumaryanto. 1996. Persaingan dalam

Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan   Air:Dampaknya Terhadap

Keberlanjutan Swasembada Pangan. Jakarta: Pusat Penelitian Sosial

Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Departemen Pertanian.

Juliantara, D. 1995. Sengketa Agraria, Modal dan Transformasi dalam Untoro

hariadi dan Masruchah. Edisi: Tanah, Rakyat dan Demokrasi. Yogyakarta:

Forum LSM-LPSM DIY

Kaplan, R. S. and Norton D.P, 1996. Using the Balanced Scorecard as Strategic

 Management Sistem: Harvard Business Review.

Kaiser, E.J., Godschalk, D.R., Chapin, F.S. 1995.  Urban land Use Planning.

United Goverments of America : University ofIllinois Press.

Leedy, P.D. 1997. Practical Research: Planning and Design. Sixth Edition.

Prectice Hall, Upper

Lestari , T. 2005.  Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani.

 Makalah Kolokium.Departemen sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat . Bogor: IPB Press.

Moleong, L .J .1993.  Metodologi Penelitian Kualitatif . 1993. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

 Nana, S. (2009). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik.  Bandung :

Rosdakarya.

 Nottingham, E.K. 2002.  Agama dan Masyarakat, Suatu Pengantar Sosiologi

 Agama. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Page 127: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 127/142

127

 Neuman, W.L. 2003. Social Research Methods: Qualitative & Quantitative

 Approach, London:Sage

 Nordholt, H.S. 2010. Bali Benteng Terbuka 1995-2005. Denpasar: Pustaka

Larasan.

Parimartha, I. G. 2003. Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa Pakraman

Putraka. 2009. Pohon suci, Kenapa jadi Keramat.  Majalah Raditya. Denpasar :

PT. Pustaka Manik Geni.

Ridwan. 2004.  Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti

Pemula. Bandung: Alfabeta

SARAD, 2000. No, Tanah Bali Tanpa Natah, Yayasan Gumi Bali, Denpasar . 10

Tahun I Edasi Oktober

Simarta, D.A. 1997. Ekonomi Pertanahan dan Properti di Indonesia: Konsep,

Fakta dan Analisis. Jakarta: CPIS

Singarimbun, M dan Effendi S, 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES

Simpen, I W. 1988. Basita Parihasa. Denpasar: Upada Sastra.

Sitorus, S.R.P. 2001. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Edisi

Kedua. Lab. Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. JurusanTanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 138 Halaman.

Suasthawa, M.D. 1987. Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya

UUPA, Denpasar: CV. Kayu Mas

Soebandi, K. 1981. Pura Kawitan / Padharman dan Penyungsungan Jagat .

Denpasar: CV Kayumas

Suacana, I W. G. 2006. “ Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa

di Bali” dalam Buku Bali Bangkit Bali Kembali, (Kontributor), Kerjasama

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI dan Universitas Udayana,

Titib, I M, 1996.Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya :

Paramita

Triguna, Y. 2000. Teori tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma.

Windia, W.P. 2004, Danda Pacamil: Catatan Populer Istilah Hukum Adat Bali,

Denpasar:Upada Sastra

Yunus, H S. 1999. Struktur Tata Ruang Kota.Jakarta :Pustaka Pelajar

Page 128: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 128/142

128

Desertasi/ Thesis

Ambara, IGNP. 2006. Eksistensi Tanah-Tanah milik Pura Desa Pakraman Di

Kota Denpasar. Thesis program studi magister kenotariatan universtas

Diponegoro semarang 2006

Aryana. 2012.  Alih  Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Lahan Terbangun di

Kelurahan Panjer, Kota Denpasar.  Thesis Program Pasca Sarjana,

Program Studi Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa Kota,

Universitas Udayana.

Castetter, W. B. dan Heisler, R.S. 1984. Developing and Defending A Disertation

Proposal. Philadelphia: Graduate School of Education, University of

Pennsylvania,

Sihaloho, M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria.

Tesis Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sukawati. 2012. Kajian Perubahan Spasial Desa. Desertasi. Program Kajian

Budaya, Fakultas Sastra, Pascasarjana Universitas Udayana.

Surpa. I W. 2004.Pura Subak di Masyarakat Perkotaan dalam PerspektifPerubahan Budaya Kasus di Kota Denpasar. Thesis Program Pascasarjana

Jurusan Kajian Budaya, Universitas Udayana

Suwitra, I M.(2009). " Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat

di Bali dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional" Disertasi. Program

Doktor Ilmu Hukum Fakultas hukum Universitas Brawijaya. Malang.

Wijayanti, D, 2002. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Fungsi

 Lahan di Kecamatan Depok-Kabupaten Sleman”. Semarang: Thesis tidak

diterbitkan , Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro,

Jurnal

Budiana, I N.1998. Memahami Keberadaan Palemahan Tanah Pekarangan Desa

dan Tanah Ayahan Desa di Bali (Suatu Pendekatan dari Aspek Hukum

 Adat di Bali) Dalam Widya Satya Dharma Jurnal Kajian Hindu, Budaya

dan Pengembangan. Edisi Nyepi Vol 5 No Maret-Oktober . Singaraja:

STIE Satya Dharma.

Budiana, I N. 2006, Reorientasi Status Tanah Adat Dalam Perspektif Hukum Adat

 Bali, Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar.

Page 129: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 129/142

129

Kustiwan, I. 1997. Permasalahan Konversi Lahan Pertanian dan Implikasinya

Terhadap Penataan Ruang Wilayah  (Studi Kasus Wilayah Pantai Utara

Jawa Barat). Jurnal PWK, Vol. 8. No. 1.

Lasmawan, 1998 Tanah Laba Pura dan Pergeseran Nilai Sosial Ekonomi

 Masyarakat Desa di Kecamatan Kintamani- Bangli. Aneka Widya STKIP

Singaraja, No 2 Th XXXI

Leksono, B. E., Hernandi. A., Ansari. J.,Susilowati, Mindarto.A.,2012. The

 Development of Land Consolidation Integration in The Land Acquitition of

 Road Network at Kebumen District, Indonesia. FIG Working Week.

Knowing to manage the territory, protect the environtment, evaluate the

cultural heritage, Rome. Italia.

Listyawati. 2010. Kegagalan Pengendalian Alih Fungsi Tanah. Mimbar Hukum,

Volume 22. Nomor 1

Pasandaran, E. 2006.  Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah

 Beririgasi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian

Suacana, I W.G, 2011, Praktik Demokrasi di Desa Pakaraman Bali Age dan

 Apanage, Jurnal Kajian Bali, Volume 01, Nomor 01, April 2011, Pusat

Kajian Bali Universitas Udayana Denpasar.

Suartika, G.A.M. 2007. Perencanaan dan Pembangunan Keruangan: Perwujudandan Komunikasi antar Kepentingan dalam Pemanfaatan Lahan: Jurnal

Permukiman Natah vol. 5 no. 2

Suartika, G.A.M. 2010. Substansi Budaya dalam Kebijakan Tata Ruang di Bali,

Jurnal Humaniora, Vol 22, No 3 Oktober 2010 313-326

Sumantra, I W. 2005.  Dampak Konsolidasi Tnah Terhadap Perubahan Sistem

 Budaya Subak. Studi Kasus Di Subak Aya Desa Pakraman Kawan

Kecamatan Bangli. Magister Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Gajah

Mada.

Suputra. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Studi

Kasus di Subak Daksina, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara,

Kabupaten Badung  "E-Journal Agribisnis dan Agrowisata ISSN: 2301-

6523 Vol. 1, No. 1

Suyastiri, N.M. 2012. Pemberdayaan Subak Melalui “Green Tourism”

 Mendukung Keberlanjutan Pembangunan Pertanian di Bali  : Program

studi agribisnis fakultas pertanian upn ”veteran” Yogyakarta,. sepa : vol. 8

no. 2 pebruari 2012 : 51 – 182 issn : 1829-9946, 

Page 130: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 130/142

130

Suwitra, I M. 2005. Tugas Prajuru Adat dalam mengatur tanah adat khususnya

tanah telajakan dalam konsep menuju Bali ajeg. Denpasar : Kertha

Wicaksana. Fakultas Hukum Universitas Warmadewa. Denpasar

Winoto, J. 2005. Kebijakan pengendalian alih fungsi tanah pertanian dan

implementasinya.  Seminar Sehari Penanganan Konversi Lahan dan

Pencapaian Lahan Pertanian Abadi, Jakarta, 13 Desember 2005.

Page 131: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 131/142

131

DAFTAR INFORMAN

1. 

 Nama: Prof. Wayan Budiana.,SH.,M.Si

a.  Umur :48 tahun

 b.  Jabatan di desa : Bendesa Pakraman (periode 2007-2012,

2012-2017)

c. 

Pekerjaan :Wakil Rektor Undiknas, dosen fakultas

hukum

d.  Agama :Hindu

e. 

Alamat :Br. Kaja

2.   Nama :Drs I Gusti Made Anom

a.  Umur :70 tahun

 b.  Jabatan di desa :Mantan Bendesa, Pemangku umum

c.  Pekerjaan :Pensiunan guru agama, dalang, Pemangku

d.  Agama :Hindu

e.  Alamat :Br. Kangin

3. 

 Nama:Wayan Ariawan.,S.Pt

a.  Umur :35 tahun

 b.  Jabatan di desa :Prajuru

c.  Pekerjaan :Sekretaris desa pakraman

d.  Agama :Hindu

e.  Alamat :Br. Kangin

4.   Nama: Wayan Darmantra.SP

a. 

Umur :38 tahun

 b.  Jabatan di desa :Prajuru

c.  Pekerjaan :Kepala Pasar

d. 

Agama :Hindu

e.  Alamat :Br. Kangin

5.   Nama: Ibu Eka

a.  Umur :45 tahun

 b. 

Jabatan di desa :Krama Uwed

Page 132: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 132/142

132

c. 

Pekerjaan :Wiraswasta (pembuat jaja bali)

d.  Agama :Hindu

e.  Alamat :Br. Kangin

6.   Nama: I Wayan Lasia

a. 

Umur :45 tahun

 b.  Jabatan di desa :Pemangku

c.  Pekerjaan :(wiraswasta)

d. 

Agama :Hindu

e.  Alamat :Br. Kangin

7.   Nama: I Wayan Sartha

a.  Umur :41 tahun

 b.  Jabatan di desa :Krama 

c.  Pekerjaan :(wiraswasta)

d.  Agama :Hindu

e. 

Alamat :Br. Kaja

8.   Nama: I Wayan Sukra

a. 

Umur :48 tahun

 b.  Jabatan di desa : Krama 

c. 

Pekerjaan :(wiraswasta)

d.  Agama :Hindu

e.  Alamat :Br. Kangin

Page 133: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 133/142

133

GLOSARIUM

abstrak : tidak berwujud; tidak berbentuk

abstraksi : proses atau perbuatan memisahkan

 penyusunan abstrak; melalui penyaringan

terhadap gejala atau peristiwa

adat : aturan (perbuatan, dsb) yang lazim diturut

atau dilakukan sejak dahulu kala cara

(kelakuan, dsb) yang sudah menjadikebiasaan; kebiasaan wujud gagasan

kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai

 budaya, norma, hukum, dan aturan ayng satu

degnan lainnya berkaitan menjadi suatu

sistem;

alas segehan : sajen yang digunakan dalam upacara bhuta

yadnya; alas taledan; isi nasi, lauk-pauk,

 bawang, jahe, dan garam 

agraria : urusan pertanian atau tanah pertanian

anresangsia : tidak mementingkan diri sendiri

atma : Brahman (Tuhan) pada diri manusia 

atma kertih : suatu upaya untuk melakukan pelestarian

segala usaha untuk menyucikan Sang

Hyang Atma 

bebantenan : sebagai alat konsentrasi dari pikiran kita

untuk memuja San hyang Widhi Wasa/

Tuhan Yang Maha Esa bagi umat Hindu

betari sri : dewi kemakmuran

 bertendensi : berkecenderungan; berkecondongan (pada

suatu hal) 

banten soroan : digunakan dalam setiap upacara Panca

Yadnya, termasuk melengkapi prasita,

 biyakaonan, pengulapan dan banten lainnya. 

Page 134: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 134/142

134

bagia pula kerthi : Yadnya (Banten) Bagia Pula Kerti adalah

lambang dari Bhatara Siwa (Ketuhanan;

Lontar siwa sasana) sebagai Dewata NawaSanga yang diwujudkan dalam banten caru 

bhurloka : ("alam Neraka; alambawah") alam yang

dihuni oleh jiwa-jiwa (atman) yang, batinnya

gelap,

bhuwahloka : alam manusia

bhuwana agung : alamraya, alam semesta, jagat raya, alam

 besar, Brahmanda,

bhuwana alit   : sering juga disebut Mikrokosmos adalahalam kecil atau dunia kecil yaitu isi dari alam

semesta

butha saksi : yaitu saksi bhutakala 

caru : Caru adalah kurban suci yaitu upacara

yadnya yang bertujuan untuk keseimbangan

 para bhuta sebagai kekuatan bhuwana alit

maupun bhuwana agung sebagaimana

disebutkan dalam kanda pat butha 

danu kertih : konsep upaya untuk melestarikan sumber air

desa adat : merupakan suatu komunitas tradisional

dengan fokus fungsi dalam bidang adat dan

agama Hindu

desa pakraman  : sama artinya dengan desa adat.

dekonstruksi : sebuah metode pembacaan teks

desa mawacara : desa mempunyai adat sendiri 

dewa indra : manifestasi Brahman yang bergelar sebagaiDewa cuaca dan Dalam ajaran agama Hindu

dewa saksi : saksi Dewa (Ida Sang WidhiWasa) yang di

mohon untuk menyaksikan upacara

dewiuma : pasangan Dewa Siwa, aspek dari cahaya

kuasa Tuhan, perkawinan dari keduanya

melahirkan alam semesta

druwe : kepunyaan

Page 135: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 135/142

135

dialektika : sebuah cara untuk memikirkan dan

mengartikan dunia

eksistensi : suatu proses yang dinamis, suatu 'menjadi'

atau 'mengada

fenomenologi : studi mengenai bagaimana manusia

mengalami kehidupan di dunia

gebogan : suatu bentuk persembahan berupa susunan

dan rangkaian buah buahan dan bunga 

hierophany : keadaan yang dapat dipahami dengan

 pendekatan transcendental

intervensi : upaya untuk mengubah perilaku, pikiran atau

 perasaan seseorang

 jagabhaya : menjaga marabahaya, organisasi yang

ditugaskan desa untuk menjaga keamanan

lingkungan 

 jagad kertih :  usaha untuk melestarikan bumi dalam hal ini

tanah yang menjadi sumber kehidupan

hingga tanah menjadi produktif dan

menghasilkan

 jana kertih : keteraturan hidup yang disebabkan adanya

SDM dan kelompok sebagai pelaku-pelaku

dengan kecerdasan

 jero mangku : nama panggilan bagi Pemangku yang telah

diwinten/ disucikan/di baptis

kapitalis : suatu paham yang meyakini bahwa pemilik

modal bisa melakukan usahanya untuk

meraih keuntungan sebesar-besarnya. 

kamandhuk : sapi surgawi miliki RsiVasistha yang dapat

memenuhi segala keinginan.

Karang embang  : suatu areal kosongantarduadesa yang

 berfungsi sebagai selain pemisah kedua desa

keharmonisan : keadaan selaras atau serasi

konservatif : merupakan sikap dan perilaku politik yang

tidak menginginkan adanya perubahan berarti

(mendasar) dalam sebuah sistem.

Page 136: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 136/142

136

konstan : tetap, stabil

komunal : kelompok

kosmologi : ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah

alam semesta berskala besar

krama ngarep : krama asli desa adat yang bertugas untuk

menjaga mematuhi adat istiadat 

krama uwed : krama pendatang, masyarakat pendatang

krama penyanggra : krama atau anggota desa pakraman

 pendatang yang telah menjadi krama adat

atau mengikuti adat istiadat setempat 

krama tamiu : krama atau anggota masyarakat desa

 pakraman yang beraktifitas di wilayah desa

 pakraman namun tidak mengikuti adat

setempat 

land consolidation : restrukturisasi pertanahan ,   penataan

menyeluruh pada lahan yang peruntukannya

masih sesuai dengan RUTR

leteh :  kotor

 Linggih : stana 

loka dresta : kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat

makrokosmos : jagatraya (masih alam dunia)

manusa saksi : saksi manusia

nitisastra : ajaran pemimpin

nunas : meminta 

ngaben  : upakara kremasi mayat (sawa) disertai

dengan ragam upakara 

 palemahan : konsep hubungan antara manusia dengan

lingkungan

 paruman desa : rapat desa

 pelaba pura : lahan komunal milik adat yang digunakan

untuk menunjang jalannya aktifitas di

 purabaik fisik ataupun non fisik seperti

upacara

Page 137: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 137/142

137

 pelangkiran : berasal dari kata "langkir" artinya tempat

memuja 

Perarem : peraturan pelaksana dari awig-awig

(semacam Reusam/Qanun Gampong di

Aceh). 

 pererainan : istilah untuk upacara agama yang rutin

dilakukan oleh orang Bali, terutama terkait

'peringatan hari jadi' tempat suci 

 pengempon : orang2 yg bertanggung jawab dalam menjaga

memberi odalan kehadapan ida bhatara

leluhur  

 penyakap : petani yang mengusahakan tanah orang lain

dengan sistem bagi hasil. Resiko usaha tani

ditanggung bersama dengan pemilik.

 purusa-predana : konsepsi dualitas yang simbolik oposisi yang

saling melengkapi, laki perempuan, langit -

 bumi, bhuana agung-bhuana alit.

 pawiwahan : prosesi pernikahan dalam agama hindu

Prajapati : Prajapati adalah ‘nama’ lain dari Sanghyang

Widhi, di mana istilah itu terdiri dari dua kata

 bahasa kawi, yaitu: ‘praja’ artinya

‘kemanusiaan (manusia)’ dan ‘pati’ artinya

‘inti’ sehingga secara harfiah prajapati

disimpulkan sebagai ‘inti manusia’, yaitu

‘atman’ (roh) yang sama dengan/ pecahan

 brahman (Sanghyang Widhi).

 progresif : mengubah secara cepat, melakukan

 pembalikan yang mendasar

realitas  : keseluruhan yang ada atau terjadi'

rwabhineda : konsep dualistis dan dalam hidup

sad kertih : enam sumber kesejahteraan yang harus

dilestarikan untuk mencapai kebahagiaan

lahir dan batin

sapta petala : 7 lapisan alam

Page 138: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 138/142

138

sesayut : sejenis jejahitan berbentuk bundar dengan

 potongan yang khusus (isehan di tangannya). 

sekularitas : sebuah ideologi yang menyatakan bahwa

sebuah institusi atau harus berdiri terpisah

dari agama atau kepercayaan.  juga merujuk

ke pada anggapan bahwa aktivitas dan

 penentuan manusia, terutamanya yang politis,

harus didasarkan pada apa yang dianggap

sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan

 berdasarkan pengaruh keagamaan. 

sapta timira : tujuh kegelapan yang membuat seseorang

mabuk

sarwa aanyar : serba baru

sima : adalah tanah yang diberikan oleh raja atau

 penguasa kepada masyarakat yang dianggap

 berjasa 

sesajen : simbolik rasa syukur

swagina (pura) : Pura yang pemujaannya diikat oleh profesi

yang sama dalam satu mata pencaharian

seperti : Pura Melanting, Pura subak. 

tetukon : jenazah 

trihita karana : tiga jalan untuk mencapai kebahagiaan

tega kumah : bangunan rumah

tentatif : belum pasti; masih dapat berubah

terminologi : peristilahan

Tirta yatra :  perjalanan suci

tradisi : adat-istiadat atau kebiasaan

transformasi : perubahan sifat, wujud, bentuk

Page 139: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 139/142

139

Lampiran 1 Uraian Perubahan Berdasarkan Waktu

PERIODE Sebelum tahun 1980 Tahun 1990 1995 2003-2005 2010-2012

FAKTORPENGARUH 

Adanya upaya untukmemberikan

 perlindungan hukum

kepada warga Negaradengan

diterbitkannya

Undang-undangPokok Agraria

(UUPA ) 

Usaha dari pemerintah untuk

mengantisipasi

 perkembangan kotayang tidak beraturan

Membangun fasilitas

 perkotaan yangefektif dan efisien

dengan

direncanakannyaProgram LC

Panjer sebagaikawasan pemukiman

yang memiliki nilaistrategis

Permintaan darimasyarakat untuk

membangun pasar

Lahan pelaba pura satu-satunya lahan

desa yang dapat

dimanfaatkan untukmemenuhi kebutuhan 

LPD sebelumnya dalamkeadaan terpuruk, namun

terdapat celah untuk

memperbaiki sistemnya. 

Adanya kebutuhan

 pembiayaan yang cukup

 besar untuk Yadnya( Ngenteg linggih) 

Kebutuhan sarana

 pendidikan .Kebutuhan tempat untuk

melakukan admiinistrasi

kepemerintahan sertatempat untuk me-

siwakramaKeinginan untuk lebihmeningkatkan 

 produktifitas pasar

Kebutuhan untukmeningkatkan

sumber financial

 pakraman untukmenunjang

 jalannya

keseimbanganParhyangan,

Pawongan dan

 palemahan

CARA

PANDANG

KRAMAPAKRAMAN

Masih berkutat

dengan pola pikir

 budaya agrarisSosial-religius

Dilakukannya perumusan mengenai

tata cara pemanfaatan

lahan adat untukmemproteksi

keberadaan lahan

adat mereka

Krama Mulai melihat

 peluang selain sector

 pertanian

Mulai muncul

kekhawatiran bahwasignifikansinya

 perubahan

menyebabkanterganggunya ritus-

ritus religius milik

desa.

Kebutuhan akan

fasilitas desa

Meningkat

Krama mulai memilihlahan strategis untuk

dimanfaatkan sebagai

 pasar

Melihat peluang bahwa pelaba pura terletak pada

lokasi yang strategis,Beberapa lagi sangat

kondusif untuk dijadikan

ruang sosial

Adanya peluang

dengan

menginterpretasik an kembali

kemungkinan akan

Jarak lahan pelabayang cukup jauh

dari pura, dan

tidak adanyalokasi yang

dianggap tenget pd

lahan sertifikat no

3384, 3197

PE-MANFAATAN

LAHAN

EKSISTINGPE-

MANFAATAN

LAHAN BARU

Sawah dan LadangPemukiman

pemangku

LadangPemukiman

 pemangkuLahan tidur

Lahan tidurLadang

Pemukiman pemangkuPasar

Ladang, Pasar,Pemukiman pemangkuLPD, Toko, Jalan desa,

Wantilan &lapangan,SD , TK, jaba sisi 

Pasar,Pemukiman

 pemangku

LPD, Toko, Jalandesa, Wantilan

&lapangan, SD 1,

TKPerumahan kos

FENOMENA 

UMUM

Lahan Pekarangan

Desa, Ayahan Desa,

 perlahan-lahan berubah status

menjadi lahan

individu penuh 

Alih fungsi lahan

Ditinggalkannya

 profesi petaniMeningkatnya

 jumlah penduduk,

Kebutuhan akanlahan semakin

meningkat

Biaya pererainan mulai

meningkat

Masyarakat mulaimenjadi sibuk dengan

 pekerjaan barunya

Muncul ide untukmempermudah system

 pakraman dalam

 pembiayaan Yadnya 

Permintaan akan sarana

 permukiman meningkat

DAMPAK / KE-

TERKAIT-AN

DENGANLAHAN PELABA 

Lahan pelaba masih

dimanfaatkan sebagai

lahan sawah

Dipindahkannya

 benda-benda sakral

dari lahan pelaba pura ke areal pura

Lahan pelaba

menjadi lahan tidur

Usaha untuk

memproteksi kesucian

 puraMunculnya kebutuhan

untuk membentuk

organisasi pengelola pasar (sistem

manajerial

 pemanfaatan lahan

Menyikapi hal ini krama

mencoba

menginterpretasikankemungkinan pelaba

mengakomodasi

 permintaan tersebutSemakin dipertegas

 pembatas-pembatas fisik

antara area-area yangdianggap sakral dengan

aktifitas yang profan

Muncul fungsi

sekular pada lahan

LATAR

BELAKANG

Diberlakukannya

UUPA

 Land Consolidation Keb. Fasilitas desa Tekanan ekonomi dan

sosial

Pola pikir

rasional-kapital

Pola pikir

menjadi lebih

rasional,

cenderung

kapitalis

Fungsi

semakin

kompleks

Munculnya

sikap

“negosiasi”terhadap

ruang

Page 140: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 140/142

140

Aspek Konseptual Pemanfaatanlahan  pelaba pura

dulusebelum tahun

1980

Pemafaatan lahan pelaba pura

sekarang (tahun1980-2013)

TingkatPerubahan

NonFisik

Hal-hal

Metafisis

(Kepercayaan)

•  Pohon sakral

•  Batu sakral

•  Tempat “tenget ”

•  Setiap lahan

 pelaba  dipercayamerupakan

tempat rencang-rencang bhetara  penjaga desa

Kepercayaan disamping

tetap dipercaya masyarakat

Tetap/ tidak

 berubah

Upakara Ada Ada, ada namun terjadi

 perubahan lokasi (ngayat

dari pura)

Tetap/ tidak

 berubah

Organisasi

masyarkat yang

terkait dengan

fungsi pelaba 

•  Sekaa manyi

•  Sekaa sakap

• 

Subak

•  Yayasan Kumara

Loka (pengelolasekolah)

•  Organisasi

 pengelola Pasar

 Nyanggelan•  Organisasi

LembagaPerkreditan Desa

•  Pecalang Jagabaya

Organisasi

tradisional

menghilang

dan muncul

organisasi baru

PembiayaanOperasional

 pemanfatan

lahan

•  Pengempon/  

 penggarap

•   Desa Pakraman Meluas

Pengelolaan •  Pengempon Pura •   Desa Pakraman

•  Swasta

Meluas

Distribusi hasil •  Penyakap

•  Pura

•   Desa Pakraman

•  Pura

Meluas

Mekanisme pemanfaatan

lahan

• 

Paruman• 

Paruman• 

Perijinan

 pemerintah

•  Kontrak

•  BOT

•  Tukar Guling

Tetap danmuncul suatu

yang baru 

Peran Religius

•  Penunjang

aktifitas pererainan pura

•  hasil (material)

digunakan untukmenunjangSarana-prasarana

bebantenan 

•  Penunjang

aktifitas pererainan

•  Pembangunan

fasilitas pura

•  Pelaksanaan

upakara Ngenteg

Linggih

Tetap,cenderung

menguat

Lampiran 2 Perbandingan Pemanfaatan Lahan Pelaba Pura Dulu dan Sekarang dan

Tingkat Perubahannya

Page 141: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 141/142

141

• 

Gegaleng Pura • 

Dana

 piodalan/patirtan

 pura

• 

Dana pemeliharaan

•  Gegaleng pura

(perubahan nilai pada jarakgegaleng)

Sosial

•  Sebagai dana

kesejahteraan pemangku pura

•  Tempat

 berlangsungnyakegiatan gotongroyong (tegalan)

•  Kesejahteraan pemangku pura(kasus

•  Pembangunan

sarana pendidikan(kasus

• 

Dana

Pemeliharaanfasilitas sosial

• 

Tempat paruman

(Wantilan pura)

•  Tempat

menjalankan pemerintahah desa

(Kantor desa yang

 berlokasi diwantilan)

•  Tempat

 pementasan pagelaran kesenian

Tetap,cenderung

menguat

Lingkungan

• 

Area resapan air• 

Lintasan saluran

irigasi subak

• 

Area resapan air• 

Ruang terbuka

 publik

• 

Estetika

Satu perantetap satu

hilang

(melemah)dan munculnilai baru

Ekonomi

•  Sumber mata

 pencaharian petani

•  Modal

keberlanjutan jalannya Lembaga

Perkreditan Desa

•  Dana investasi

untuk perkuatandeposito (dana

abadi pelaba pura)•  Dana untuk

menambahkepemilikan aset

desa

• 

Sumber mata

 pencaharian

(pedagang)-Fungsi pasar desa,Pasar Nyanggelan

Menguat

Fisik Fungsi •  Sawah

•  Ladang

•  Kantor LPD, danToko

•  Pasar Nyanggelan

•  Jalan Desa

• 

TK

Berubahmenjadifungsi-fungsi baru sesuai

dengan

Page 142: unud-920-828874169-ujian iii

8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii

http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 142/142

142

• 

Rumah Kos

•  Jaba sisi

•  Wantilan dan

Lapangan, dankantor  Desa

Pakraman

•  Pemukiman jeromangku

•  SD

kebutuhandesa

Site Lokasi benda-benda yangdisakralkan

•  Batu Besar Gede

Ratu Muntung

•  Jepun (kamboja)

Akibat fungsi baru,dibangunnya pelinggih

sebagai padmasana jugasebagai tempat ngayat  (persembahan kepada unsur-

unsur gaib yang semuladipercya ada pada lahan pelaba tersebut)

Unsurkepercayaannya

tetap, namunfisiknya berubah

` Gegaleng Apenimpug Adepa Agung Menyempit

HasilPemanfaatan

Pantun (Padi)Buah-buahan sebagaisarana upakara

Dana Berubah dari palawijamenjadi uang