unud-920-828874169-ujian iii
TRANSCRIPT
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 1/142
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini akan diuraikan tentang latar belakang penelitian,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Pada subbab latar belakang akan
dijelaskan secara singkat mengenai dasar pemahaman permasalahan yang terjadi
dan ketertarikan topik penelitian serta alasan tentang hal-hal yang membuat
penelitian ini layak untuk dilakukan. Berpijak dari latar belakang permasalahan,
kemudian dirumuskan beberapa rumusan permasalahan, tujuan serta manfaat
penelitian.
1.1 Latar Belakang
Tanah pelaba pura merupakan salah satu tipologi tanah adat yang penting
untuk dicermati terkait nilai dan vitalnya fungsi lahan pelaba pura bagi kehidupan
Desa Pakraman. Tanah pelaba pura merupakan tanah adat dengan status
kepemilikan komunal yang mengandung nilai religius karena keterkaitannya
dengan keberadaan Pura. Intererelasinya menimbulkan perlakuan yang tidak
biasa, mempunyai nilai sakral dan realitasnya menjadi suatu entitas supernatural
“hierophany” Eliade (1961). Esensi lahan pelaba pura adalah sebagai penunjang
keberlangsungan pura itu sendiri (Ambara:2009, Budiana: 2006). Terkait
fungsinya yang krusial, keberadaannya perlu diperhatikan, terlebih kehidupan
pakraman pada saat ini mulai dan sedang memasuki kehidupan yang jauh lebih
kompleks daripada keadaan sebelumnya.
1
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 2/142
2
Diterbitkannya Surat Keputusan Mendagri No SK 556/DJA/1986
menetapkan Pura sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas
tanah menjadikan lahan ini terproteksi dan mendapatkan perlindungan hukum.
Dengan adanya perlindungan hukum ini maka keberadaannya masih dapat
dipertahankan dibandingkan dengan tanah adat yang lain yakni dengan status
kepemilikan tanah yang melekat daripadanya yakni status kepemilikan individu
tidak penuh dimana pada umumnya telah beralih status menjadi tanah individu
dan sekarang telah banyak diperjualbelikan (Suwitra: 2010). Sehingga sekali lagi
eksistensinya penting untuk dikaji kembali.
Apabila dipandang sebagai sebuah aset (cara berpikir kapitalis), lahan ini
dapat dikatakan sebagai suatu sumberdaya yang potensial terkait dengan semakin
tingginya harga lahan. Dengan tidak melepaskan konteksnya sebagai lahan milik
pura, rentang ekonomi dan nilai-nilai religiusitanya menjadi sangat dinamis. Alih
fungsi lahan, sekularitas nilai-nilai religius dan sosial kemasyarakatan serta
permasalahan perkotaan lainnya bertendensi melunturkan kualitas nilai-nilai
kehidupan Desa Pakraman dan khususnya sangat mempengaruhi eksistensi dari
pada lahan pelaba pura itu sendiri. Berlatar sudut pandang ini, maka tergerak
suatu pemikiran untuk mempelajari lebih mendalam keberadaan lahan pelaba
pura.
Panjer merupakan salah satu Desa Pakraman yang mendapatkan pengaruh
kuat dari berkembangnya kota Denpasar. Land Consolidation pertama kali
dilakukan di wilayah Renon dan diplotnya Renon sebagai civic centre ternyata
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 3/142
3
membawa pertumbuhan kearah Panjer (Balipost: 2010). Restrukturisasi lahan
dialami desa ini secara bertahap dilaksanakan pada tahun anggaran 1989/1990,
1993/1994, dan tahun anggaran 1995/1996 adalah puncak pertumbuhan yang juga
berdampak pada berubahnya pola kehidupan di Desa Pakraman Panjer. Lahan
pelaba pura- pun mengalami perubahan fungsi tidak lagi digarap sebagai lahan
sawah.
Dalam peninjauan awal, fungsi yang nampak pada lahan pelaba pura
diantaranya disewakan menjadi ruko, toko dan distro, ada juga yang dikontrakkan
menjadi perumahan (rumah kos), Sekolah Dasar, TK, pasar, dan beberapa lagi
dimanfaatkan sebagai rumah tinggal jero mangku. Perubahan fungsi menunjukkan
adanya gejala berubahnya konsepsi masyarakat dalam memanfaatkan lahan
pelaba pura. Berdasarkan ketertarikan akan fenomena dan arti pentingnya pelaba
pura bagi kehidupan Desa Pakraman mendorong dilakukannya penelitian lebih
lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang permasalahan, maka dirumuskan beberapa
rumusan permasalahan antara lain:
a)
Apa yang melatarbelakangi perubahan pemanfaatan lahan pelaba pura di
Desa Pakraman Panjer?
b)
Bagaimana gambaran perubahan pemanfaatan lahan pelaba pura yang terjadi?
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 4/142
4
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi perubahan pemanfaatan lahan
pelaba pura di Desa Pakraman Panjer.
b) Untuk memahami gambaran perubahan pemanfaatan lahan pelaba pura yang
terjadi.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Manfaat Praktis
Dengan mengetahui latar belakang, serta gambaran mengenai fenomena
perubahan yang terjadi, akan dapat digunakan sebagai media bagi masyarakat
dalam memahami keberadaan lahan pelaba pura.
b) Manfaat Akademis
Manfaat akademis dari penelitian ini adalah untuk memperkaya pengetahuan
dalam ranah perencanaan pembangunan desa-kota. Metodologi serta hasilnya
dapat dijadikan bacaan bagi para peneliti yang tertarik dalam kajian terkait
dengan kehidupan Desa Pakraman, pengelolaan aset desa, tanah adat,
perencanaan, ataupun bagi mahasiswa yang hanya sekedar ingin memenuhi
hasratnya untuk memperkaya ilmu pengetahuan.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 5/142
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, BANGUN PEMAHAMAN,DANMODEL PENELITIAN
Pada bab ini akan diuraikan tentang kajian pustaka sebagai tinjuan
terhadap penelitian terkait yang pernah dilakukan, selanjutnya landasan teori atau
lebih tepatnya dalam penelitian ini disebut sebagai bangun pemahaman, dan
terakhir akan diuraikan kerangka berpikir penelitian.
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka mempunyai arti peninjauan kembali pustaka-pustaka yang
terkait (review of related literature). Sesuai artinya, suatu tinjauan pustaka
berfungsi untuk meninjau kembali (review) pustaka (laporan penelitian, dan
sebagainya) tentang masalah yang berkaitan dengan bidang permasalahan yang
dihadapi.
Penelitian pertama yakni penelitian yang dilakukan oleh Lasmawan (1998)
dengan judul "Tanah Laba Pura dan Pergeseran Nilai Sosial Ekonomi Masyarakat
Desa di Kecamatan Kintamani-Bangli". Penelitian ini berupaya untuk mengetahui
tataguna dan pengolahan tanah pelaba pura dan pengaruhnya bagi kehidupan
sosial ekonomi masyarakat pedesaan pada masyarakat Kintamani. Permasalahan
dilihat dalam sudut pandang etnografi. Penentuan subjek penelitian dilakukan
secara purposif dan snowball sampling, Teknik pengolahan data dilakukan secara
kualitatif.
5
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 6/142
6
Temuan dari penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai
sosial ekonomi pada masyarakat yang diakibatkan oleh pergeseran tata guna lahan
dan pengelolaan tanah pelaba pura sebagai akibat dari pengembangan industri
pariwisata dikalangan masyarakat Kintamani. Disamping itu, proses pergeseran
nilai sosial ekonomi tersebut juga telah mendorong terjadinya rekonstrukturisasi
dan revitalisasi nilai-nilai adat istiadat masyarakat setempat yang juga merupakan
dampak dari penggunaan lahan pelaba yang dimanfaatkan untuk menunjang
pengembangan industri pariwisata. Berdasar temuan tersebut Lasmawan
merekomendasikan bahwa untuk melestarikan dan menumbuh-kembangkan nilai-
nilai adat istiadat dan kebudayaan setempat, hendaknya pengembangan industri
pariwisata tetap memperhatikan konsep Tri Hita Karana dalam ajaran Agama
Hindu.
Tinjauan kedua tertuju pada penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Ngurah
Agung Putra Ambara (2006), dengan judul Eksistensi Tanah-tanah Milik Pura
Desa Pakraman di Kota Denpasar. Penelitian dilakukan di 6 desa yang ada di
Kota Denpasar dan Panjer merupakan salah satu di antaranya. Penelitian
dilakukan dengan pendekatan yuridis empiris. Tujuan dari penelitian adalah untuk
mengetahui eksistensi dari tanah-tanah milik pura khususnya tanah pelaba pura
dan upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga eksistensi dari tanah pelaba pura
tersebut. Substansi penting dari penelitian ini bahwa tanah milik pura sudah
memiliki dasar hukum yaitu dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 1963 Tentang Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik
Atas Tanah yang dipertegas lagi dengan Surat Keputusan Menteri dalam Negeri
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 7/142
7
RI SK/ 556/DJA/1986 tentang penunjukan pura sebagai badan hukum keagamaan
yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Walaupun telah mempunyai
kekekuatan hukum, keberadaannya tidak luput dari berbagai permasalahan,
diantaranya beberapa tanah pelaba masih dikuasai oleh perorangan (biasanya oleh
penggarap) yang menyebabkan pemanfaatannya tidak dapat membiayai kebutuhan
pura sebagaimana mestinya, karena tidak lagi cukup memberikan penghasilan
bagi pura. Penguasaan lintas generasi mengakibatkan informasi kepemilikan lahan
menjadi terputus sehingga ahli waris dari penyakap menganggap bahwa tanah
tersebut adalah milik keluarga mereka dengan bukti berupa SPPT yang terbit atas
nama penyakap, dan berdasarkan SPPT tersebut mereka mengajukan permohonan
kepada pihak kantor pertanahan.
Substansi kedua penelitian tersebut memberikan pemahaman awal bahwa
perubahan tata guna lahan pelaba atau pemanfaatannya dapat menimbulkan
dampak yang cukup serius bagi kehidupan Desa Pakraman. Rentang nilai yang
terkandung didalamnya sangat dinamis dan hal lain yang cukup substansial yakni
keberadaannya sudah mempunyai dasar hukum yang jelas. Beberapa hal yang
telah terungkap menandakan masih terdapat banyak celah pengetahuan untuk
disisipkan. Dengan demikian penelitian ini akan memposisikan diri untuk
mencoba mengkonstruksi arti perubahan fungsi pada lahan dalam sudut pandang
aktor perubahan itu sendiri.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 8/142
8
2.2 Konsep
2.2.1 Perubahan Pemanfaatan Lahan
Tjahjati, (1997:503). menjelaskan bahwa Perubahan pemanfaatan lahan
juga diartikan sebagai mutasi lahan menyangkut transformasi dalam
pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya.
Secara mengkhusus, Malingreau (1979), pemanfaatan lahan merupakan campur
tangan manusia baik secara permanen atau periodik terhadap lahan dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan kebendaan, spiritual maupun
gabungan keduanya. Sehingga perubahan pemanfaatan lahan dapat dikatakan
sebagai transformasi pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke
penggunaan yang lainnya yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan , baik
kebutuhan material maupun spiritual.
2.2.2 Pelaba Pura
Beberapa definisi merujuk pada definisi bahwa lahan pelaba pura
merupakan lahan yang dimiliki pura yang digunakan untuk menunjang
berlangsungnya keberlanjutan dari pura. Konsep lahan ini secara mengkhusus
hanya dimiliki oleh masyarakat Bali dalam lingkup kehidupan bermasyarakat
yang bernafaskan agama Hindu yang disebut dengan krama pakraman. Walaupun
jika dilihat dari konteks komunalitas status lahan pelaba pura sebagai lahan adat
dapat dikaitkan dengan keberadaan lahan ulayat pada beberapa daerah lain di
nusantara.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 9/142
9
Jika merujuk pada konteks lahan sebagai sebuah sumber daya dari definisi
Malingreau (1979) diatas, pelaba pura merupakan sebuah sumber daya yang
dimanfaatkan manusia (krama pakraman) dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan, karena terkait dengan pemenuhan kebutuhan pura, sehingga pada
hakikatnya esensi dari keberadaan lahan ini adalah digunakan untuk memenuhi
kebutuhan spiritual.
Berdasarkan tinjauan awal yang telah dilakukan, perubahan fungsi dalam
pemanfaatannya dapat dijadikan landasan bahwa munculnya fungsi-fungsi baru
pada pemanfaatannya akan membawa perubahan yang mendasar dari esensi lahan
tersebut. Sehingga penelitian ini hadir untuk mengeksplorasi gambaran perubahan
yang terjadi pada pemanfaatan lahan pelaba pura yang mengambil studi kasus di
desa pakraman Panjer dengan karakteristiknya yang kaya akan nuansa perubahan
karena terkait dengan iklim perkotaan yang telah terintegrasi didalam sistem
kehidupan masyarakat krama pakraman Panjer.
2.3 Bangun Pemahaman
Perlu diungkapkan diawal sebagai feedback terhadap substansi penelitian
yang telah dilakukan, bangun teoritis yang terbentuk bukan sebagai kerangka
konseptual melainkan sebagai jembatan konseptual guna memahami fenomena
(Creswell: 1998). Beberapa bangun pemahaman yang akan diulas antara lain
pemahaman mengenai perubahan, tradisi dan budaya keruangan masyarakat Bali,
tanah pelaba pura dalam tanah adat di Bali, esensi tanah pelaba pura, masyarakat
adat dalam kehidupan Desa Pakraman, dan nilai sakral-profan ruang.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 10/142
10
2.3.1 Pemahaman mengenai perubahan
Masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-
angsur dengan tetap memelihara keseimbangan (Merton dalam Ritzer 1992).
Keseimbangan tersebut diwujudkan dalam konseptual keharmonisan dengan alam
dan hubungan manusia dengan Tuhan serta antar pribadi manusia itu sendiri,
bahkan oleh Capra (2000) konsep keseimbangan juga menyetuh entitas abstrak
yaitu roh.
Masyarakat dan kebudayaannya tidak pernah berada dalam keadaan yang
statis, selalu berada dalam proses yang dinamis. Penyebabnya adalah karena
dalam masyarakat bekerja dua macam “kekuatan” yaitu kekuatan yang ingin
menerima perubahan (kaum progresif) dan kekuatan yang cenderung menolak
perubahan (konservatif). Dua kekuatan inilah yang selalu tarik menarik
(Kusumohamidjojo, 1999). Oleh karena itu, tidak satupun masyarakat dapat
menghindarkan diri dari perubahan.
Pemikiran tersebut sangat berkaitan dengan cara pikir Witchead dalam
Lauer (2003) yang menekankan sifat prosesual seluruh realitas, dimana alam
adalah struktur dari proses yang berkembang, realitas adalah proses, dan
perubahan senantiasa terdapat dialam semesta. Masih dalam Leuer (2003)
Witchead Lebih lanjut mengatakan:
“Kehidupan manusia berubah dari hari ke hari, wujud lahiriahnya
adalah sama, perubahan adalah konstan dan kadang-kadang
kelihatan. Konstelasinya tak nampak berubah, meskipun kita tahu
bahwa konstelasinya itupun sebenarnya berubah. Apakah
perubahan terjadi dalam satu menit atau milyaran tahun, itu
hanyalah persoalan pengukuran manusia belaka, perubahan adalah
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 11/142
11
konstan, apakah kita ukur dengan menit atau milyaran tahun, kita
sendiri adalah bagian dari perubahan itu.”
Maksudnya adalah untuk memberikan kosmologi yang masuk akal dengan
menggunakan konsep-konsep seperti sistem, proses, serta perkembangan kreatif
menuju suatu yang baru. Beberapa aspek pemikirannya adalah menyangkut
tentang proses, kreatifitas, saling ketergantungan serta dialektika dan satu yang
mendasar yakni dimana manusia dan perubahan bersifat kekal.
Jika kembali merenung pada filsafat Derrida dengan kembali pada konteks
berfikir murni dari sudut pandang fenomenologi, lahirnya konsepsi-konsepsi
serta filsafat masyarakat Bali dalam memaknai ruang adalah suatu upaya untuk
mencapai keseimbangan kosmik yang dikreasikan sedemikian rupa sehingga
mampu menyentuh rasa terdalam dari masyarakatnya. Namun jika dikembalikan
pada hakikatnya dimana perubahan merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari proses kehidupan manusia itu sendiri adalah sangat mungkin jika
dekonstruksi makna terjadi setiap saat, di setiap langkah kehidupan. Dengan
demikian upaya untuk merekonsepsi kembali dapat dipahami sebuah upaya untuk
“menghidupkan” kembali manusia.
2.3.2 Tradisi dan budaya keruangan masyarakat Bali
Bagi orang Bali, tanah adalah simbol “ibu” dipandang bukan semata-mata
sebagai pemberi berkah kemakmuran, melainkan juga sebagai tempat untuk
memohon perlindungan dan kekuatan dan menjadikan manusia hidup dan
memiliki eksistensi (Triguna: 2004). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Titib
(2001), tanah juga merupakan sumber kehidupan, sebagai tempat untuk
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 12/142
12
bermukim, mencari nafkah terutama dalam bidang pertanian, dan kepada tanahlah
manusia dikembalikan setelah mereka meninggal (Budiana: 1998). Kata
eksistensi, nafkah, dan kekayaan memang merupakan frase yang bermakna
“materiil” namun konsepsi mengenai kesejahteraan, kekayaan dan kemakmuran
bagi masyarakat Bali adalah berlandaskan atas tujuan untuk mencapai suatu
puncak kehidupan ( Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma), untuk mencapai
kebebasan dan keseimbangan jiwa di dunia (Gelsana: 2006).
Falsafah ruang di Bali berkembang dari ajaran Tat Twam Asi dalam Hindu
(Gelebet:1993). Tat Twam Asi berarti “itu adalah aku”. Inti ajaran Tat Twam Asi
adalah menjaga keharmonisan dalam kehidupan, terhadap segala bentuk ciptaan
Tuhan, termasuk dunia ini. Dalam keyakinan Hindu, dunia (alam semesta) ini
diciptakan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Brahma (Parisadha Hindu
Dharma: 1968), sehingga dunia ini disebut sebagai “Telur Brahma” ( Brahma-
Anda = Brahmanda) semua hal diciptakan oleh sebuah kekuatan dan manusia
sebagai makhluk tertinggi wajib menjaganya.
Dalam kaitannya dengan ruang, ajaran Tat Twam Asi mengandung makna
keruangan yakni keseimbangan kosmos (balance cosmologi). Dalam hal ini ruang
makro ( Bhuwana Agung) senantiasa harus seimbang dengan ruang mikro
( Bhuwana Alit ). Di dalam makrokosmos, terdapat tiga struktur ruang secara
vertikal yang dianalogikan sebagai tiga dunia (Tribhuwana). Struktur ruang Tri
Bhuwana atau Tri Loka ini terdiri dari Bumi dan alam lingkungannya sebagai
“alam paling bawah”, disebut Bhur loka “Alam tengah” adalah alam roh-roh suci,
disebut Bhuwah loka, dan “Alam atas” adalah alam para Dewa, disebut Swah loka
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 13/142
13
(Parisada Hindu Dharma: 1968). Jika dilihat kaitannya terhadap pelaba pura
posisinya berada pada salah satu dimensi kosmologi Bhur loka namun dengan
konstelasinya terhadap pura sebagai stana roh suci dan para dewa, dalam frekuensi
tertentu (hierofany: lihat subbab 2.2.6 Nilai sakral-profan ruang) dapat terjadi
koneksitas terhadap dua lapisan kosmologi yang lain.
Kehidupan masyarakat Bali mengutamakan keseimbangan, dilandasi oleh
kesadaran bahwa alam semesta adalah suatu unsur yang kompleks. Unsur-unsur
yang satu dengan yang lain terkait membentuk satu sistem kesemestaan. Adapun
nilai dasar pemahaman masyarakat mengenai keseimbangan unsur-unsur
dipersepsikan kedalam ajaran filsafat Tri Hita Karana yang merupakan integral
falsafah Tri Bhuana, yang dirumuskan sebagai tiga hal yang menyebabkan
kesejahteraan manusia. Ketiga hal tersebut adalah hubungan harmonis antara
manusia dengan Tuhan, manusia dan alam (Kaler: 1983).
Kehidupan masyarakat Bali dalam menghargai alam sering didentikkan
dengan simbol-simbol suci, salah satunya dalam menghargai alam disimbol
sebagai Kamandhuk yakni sapi Dewa Indra yang dianggap mampu memberikan
manusia apa yang dibutuhkan dalam hidup, sehingga alam beserta isinya sangat
disucikan, dihargai dan harus dirawat, dipelihara dengan penuh kasih sayang
dengan rasa pengabdian yang tinggi. Rasa bakti ini diwujudkan dengan berbagai
persembahan berupa upacara-upacara dan terbentuknya konsep-konsep dalam
menghargai alam yang sangat disucikan yakni Sad Kertih yang terdiri dari Atma
Kertih, Samudra Kertih, Danu Kertih, Wana Kertih, Jagad Kertih dan Jana
Kertih. (Wiana: 1998)
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 14/142
14
Tanah sebagai lahan yang memberikan sumber dan media hidup maupun
kehidupan, merupakan wadah kegiatan yang pada keluasan bidang datar yang
dimaknai sebagai ibu pertiwi, ketinggian dan kedalaman atau ruang vertikal
dengan konsepsi sapta petala dan sapta timira, kemiringan (diagonal) yang
masing-masing atau bersamaan membentuk daya tampung dan daya dukung yang
berpengaruh penting terhadap peruntukan atau pemanfaatan ruang, lahan hingga
kawasan dalam konteks yang lebih luas.
Masing-masing wilayah yang sudah terbagi diberikan batas-batas Nyatur
Desa (catur desa) sesuai arah mata angin. Batas tersebut menggunakan batas alam
seperti sungai, jurang, hutan, bukit. Membangun bentang alam daerah aliran
sungai (tanah, air, hutan/ sad kerthi) dengan konsep ulu-teben mengikuti garis
imaginer segara-gunung (laut-gunung atau dapat diartikan sebagai kemiringan/
kontur) didukung dengan berbagai ritus dan upakara yang dilakukan sesuai tradisi
(loka dresta) warisan budaya yang dipercaya dan diyakini. Setiap wilayah sebagai
satuan hunian memiliki habitat spesifik dalam konteks peruntukan dan
pemanfaatannya dibagi menjadi karang suci, pekarangan pelemahan (perumahan/
hunian), karang suwung (kawasan lindung), karang embang (daerah cadangan),
karang amuk (rawan bencana) yang masing-masing fungsinya dapat dirubah
berdasarkan kesepakatan mengacu pada azas kebutuhan dasar, keselarasan sekala
niskala (Arwata: 2012).
Dalam kehidupan Bali yang bernafaskan Hindu mengindentikkan unsur
dan prilaku kesemestaan alam ( Buana Agung) dengan Manusia ( Buana Alit ).
Bergerak dari suatu keseimbangan ke keseimbangan baru yang lebih baik dan
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 15/142
15
lebih bermanfaat bagi kehidupan. Menyatu dengan alam, hidup berbahagia dalam
kebersahajaan dan keheningan. Manusia dengan keterbatasannya berusaha
membangun nuansa ruang yang hening, tenang, mewujudkan seperangkat nilai
tradisi kebiasaan ruang dikaitkan dengan lahan kehidupan yang merupakan
wilayah darat (terrastorial zone) sebagai satu satuan gejala interaksi dan interelasi
antara Buana Agung dengan Buana Alit . Penyelarasan termaksud dilakukan
sejauh-jauhnya berusaha untuk mengeleminir konflik antara kepentingan manusia,
lingkungan alam dan mahluk lainnya. Guna menjaga keseimbangan, mencegah
bencana dalam berbagai bentuknya. Mengatur, mengendalikan, eksploitasi dan
eksplorasi sumber daya alam maupun lingkungan dengan mempertimbangkan
kelestarian fungsi alam lingkungan untuk menghasilkan dan memberikan sumber
kehidupan bagi generasi sekarang maupun dimasa yang akan datang.
Tanah, lahan keruangan merupakan ruang tempat manusia Bali berkreasi
dengan imaginasinya membangun sistem budaya yang runtut terstruktur. Dalam
konteks ruang dan budaya di Bali telah mentradisi pola ruang banyak guna (multi
purpose). Selain mempunyai fungsi sosial, budaya, lingkungan, serta spiritual,
kegunaan ruang juga mempunyai dimensi social. Suartika (2009) menyebutkan
bahwa secara implementatif tradisi keruangan di Bali dimana terdapat ruang-
ruang strategis yang menampung interaksi masyarakat dapat diklasifikasikan
menjadi ruang umum yang mengakomodasi interaksi ritual dan ruang umum yang
menampung interaksi sosial. Untuk pelaksanaan ritual yang melibatkan
masyarakat desa hingga kerabat di luar desa, pelaksanaan upacara tidak hanya
berlangsung di areal pura, melaikan memanfaatkan area jabe sisi hingga ruang
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 16/142
16
terbuka di sekitar areal pura hingga ke "teba" yang menandakan bahwa ruang
memiliki nilai fungsi yang kompleks.
Ruang bagi mereka yang memahami makna keruangan melandasi sikap
dan tindakan dengan falsafah kosong berisi (bisa diisi, bisa dikosongkan), sarwa
anyar (serba baru/ tergantikan sesuai fungsi dan kebutuhan), suci (disucikan,
disterilkan dari berbagai kemungkinan) dan efisiensi pemanfaatan ruang, dan
selalu dibagi 9 (sembilan) satuan tertinggi. Kesemuanya unsur-unsur falsafah ini
ditularkan lewat tattwa, susila dan upakara yang kongkritnya didukung dengan
bebantenan (keikhlasan), sesajen (suguhan), sesantun (penghargaan), sesari (sebit
sari) tulus menerima sehingga proses pembelajaran menjadi berlanjut lewat
keteladanan.
Tanah dalam konteks waktu dan ruang bagi orang Bali merupakan hal
yang sakral. Pemindahan hak atas tanah, pemanfaatan dan perubahan peruntukan
membutuhkan Tri Upasaksi (tiga kesaksian), Manusa Saksi (manusia), Dewa
Saksi (Tuhan), dan Butha Saksi (kekuatan/daya, mahluk hidup lainnya) melalui
sarana bebantenan. Kesemua aktivitas landasannya adalah “nilai” ukuran moral
sesuai sistem etika yang dianut.
2.3.3 Tanah pelaba pura dalam tanah adat di Bali
Tanah-tanah adat atau tanah ulayat di Bali, dikenal dengan sebutan “tanah
desa”. Tanah desa dapat dibedakan menjadi 1) tanah desa dalam arti sempit, atau
sering disebut dengan “druwe desa” atau “tanah druwe”, yaitu tanah yang dimiliki
atau dikuasai oleh desa adat yang biuasanya didapat melalui usaha-usaha
pembelian ataupun usaha lainnya. Yang termasuk tanah druwe desa antara lain: a)
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 17/142
17
tanah pasar, yaitu tanah yang dipakai untuk pasar, b) tanah lapang, yaitu tanah
yang dipakai untuk lapangan, c) tanah kuburan/ tanah setra yaitu tanah yang
dipergunakan untuk upacara ngaben, d) tanah bukti yaitu tanah pertanian (sawah,
ladang) yang diberikan kepada perangkat pejabat desa atau pengurus desa. Tanah
bukti ini mirip dengan tanah bengkok di jawa, 2) tanah pelaba pura, adalah tanah
yang dulunya dikuasai desa yang khusus dipergunakan untuk keperluan pura.
Tanah laba pura dapat dibedakan menjadi 2 yakni tanah yang khusus untuk
tempat bangunan pura, dan tanah yang dipergunakan untuk pembiayaan atau
menunjang keperluan pura. 3) Tanah Pekarangan Desa (PKD), adalah tanah yang
dikuasai oleh desa yang diberikan kepada warga desa (krama desa) untuk tempat
mendirikan perumahan yang lazimnya dalam ukuran luas tertentu dan hampir
sama untuk setiap keluarga. Kewajiban yang melekat (ayahan) pada warga desa
yang menempati tanah tersebut berupa adanya beban tenaga atau materi yang
diberikan kepada Desa Pakraman. 4) Tanah Ayahan Desa (AyDs), adalah tanah
yang dikuasai oleh desa yang penggarapannya diserahkan kepada masing-masing
warga desa dengan hak untuk dinikmati dengan kewajiban untuk memberikan
“ayahan” berupa tenaga maupun materi kepada desa adat. (Ambara:2006).
Simpen (1985) mendefinisikan tanah adat di Bali sebgai "druwe" atau
"druwen" desa (adat), berarti "gelah" (Bali) atau kepunyaan, milik, atau berada
dalam kekuasaan desa adat , jadi tanah-tanah yang ada dalam wilayah (wewengkon
desa) desa adat merupakan kepunyaan desa kecuali tanah pribadi penuh. Berbeda
dengan klasifikasi tanah desa yang dijelaskan Ambara (2006), Simpen
mengklasifikasikan tanah desa berdasarkan hak kepemilikannya yang
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 18/142
18
dikelompokkan menjadi dua kelompok utama yaitu hak milik individu dan hak
milik komunal. Perbedaan tipologi tanah adat yang dijelaskan oleh I Wayan
Simpen ini dijelaskan secara detail oleh Suwitra (2010) sebagaimana dijelaskan
pada Gambar 2.2 sebagai berikut:
Gambar 2.1 Tanah Adat Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan
Tanah adat dibedakan statusnya secara garis besar menjadi tanah dengan
status individu tidak penuh yang terdiri dari tanah pekarangan desa, tanah ayahan
desa, dan tanah catu/ bukti sedangkan yang termasuk kedalam status tanah
komunal adalah tanah setra, tanah lapang, tanah pasar, jalan, rurung, sumber mata
air, tanah pelaba pura, tanah kahyangan desa, dan tanah bale desa beserta
bangunannya.
Pandangan lain diuraikan oleh Wiguna (2009), yang memaparkan tipologi
tanah adat berdasarkan status dan fungsinya antara lain 1) tanah pekarangan desa,
yaitu tanah yang diperuntukkan untuk membangun rumah tempat tinggal bagi para
Pekarangan
Desa
Ayahan
Desa
Tanah
Catu/Bukti
Tanah
Setra
Tanah
Lapang
Tanah
Kahyang-
an Desa
Tanah
Pasar
Balae
Desa dan
Tegaknya
Jalan, rurung
dan sumber
air
Tanah pelaba
pura
Tanah Adat (Druwe Desa)
Tanah Individu
Tidak Penuh
Tanah Komunal
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 19/142
19
warga desa. 2) Tanah ayahan desa, berupa tanah pertanian (tanah basah atau
kering) yang dibagi-bagikan kepada anggota/ warga desa. 3) Tanah pecatu dan
tanah bukti, yaitu tanah pertanian yang diberikan oleh raja sebagai imbalan atas
jasa seseorang. 5) Tanah druwe desa, yaitu tanah yang dipergunakan untuk
kepentingan desa secara bersama-sama seperti untuk kuburan, tanah lapang, bale
desa dan sebagainya. Masih dalam Wiguna (2009) khusus untuk tanah sawah/
pertanian tanah basah status dan fungsi tanah dikategorikan menjadi 3 antara lain:
1) Ekasana, merupakan tanah milik bangunan suci, 2) Dwisana, merupakan tanah
yang dimiliki oleh raja dan keluarga raja atau para bangsawan. 3) Tigasana,
merupakan tanah yang dimiliki oleh rakyat.
Pendapat lain menjelaskan pembagian tanah adat berdasarkan penguasaan
dan pengelolaannya, tanah-tanah tersebut dikategorikan antara lain sebagai tanah
yang dikuasai dan dikelola oleh desa adat, yaitu tanah druwe desa dan tanah laba
pura, dan tanah yang dikuasai dan dikelola oleh perorangan, yaitu tanah
pekarangan desa dan tanah ayahan desa (Griadi : 1985, Darmayudha : 1987)
Dari sekian jenis tanah adat, tanah pelaba pura dapat defnisikan sebagai
sebuah tanah milik desa yang digunakan secara khusus untuk memenuhi
kebutuhan pura atau menunjang keperluan pura baik materil maupun non-materiil.
Tanah pelaba pura juga dibedakan menjadi 2) yakni tanah yang khusus untuk
tempat bangunan pura, dan tanah yang dipergunakan untuk pembiayaan atau
menunjang keperluan pura. Tanah pelaba pura masuk kedalam status tanah
komunal yang dikelola dan dipertanggungjawabkan secara berkelompok atau
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 20/142
20
secara bersama-sama krama Desa Pakraman. Dan termasuk kedalam kategori
Ekasana yakni tanah milik bangunan suci.
2.3.4 Esensi tanah pelaba pura
Belum banyak kajian yang mengulas keberadaan pelaba pura mengingat
lokalitas dan diferensiasi tata cara masyarakat desa pakraman dalam
memanfaatkan keberadaan lahan pelaba pura. Apabila ditelusuri dari setiap suku
katanya, pelaba berasal dari kata laba (labha: dalam bahasa sansekerta)
mempunyai arti untung dan pura mempunyai pemahaman adalah tempat suci
ibadah untu agama Hindu (Wikipedia.org), sehingga dapat disarikan pengertian
dari tanah pelaba pura yakni sebagai sebidang tanah yang dimanfaatkan guna
memberikan keuntungan guna menunjang keberadaan pura. Definisi ini hampir
mewakili beberapa definisi yang telah diungkapkan oleh beberapa peneliti yang
sebelumnya mengkaji keberadaan lahan pelaba pura. Tanah pelaba pura menurut
Ambara (2009) didefinisikan sebagai sejumlah tanah milik desa yang digunakan
untuk mendukung pengadaan sarana-sarana setiap kegiatan upakara keagamaan di
Pura. Tanah pelaba tersebut diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan bagi pura
itu sendiri pada saat akan dilaksanakannya upakara di pura yang bersangkutan
(Pujawali). Sedangkan menurut Budiana (2006), tanah pelaba pura didefinisikan
sebagai tanah yang dikuasai desa yang diperuntukkan dan digarap khusus untuk
keperluan pembiayaan upacara rutin dan perbaikan pura.
Jika ditelusuri sejarah awalnya, cikal bakal munculnya konsepsi lahan
pelaba pura terkait dengan munculnya istilah sima (Wiguna :2009). Sima
disebutkan sebagai batas-batas kesucian suatu wilayah, daerah atau sebidang tanah
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 21/142
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 22/142
22
ruang kehidupan terdapat ruang sosial yang terdiri dari berbagai macam karakter
manusia serta bhinneka tunggal ika tan hana dharma manggruwa (berbeda-beda
tetapi tetap satu (Suacana: 2012). Windia dalam Suacana (2012) menjelaskan
untuk penegakan serta kesetaraan dalam adat, dikenal istilah tri danda (tiga sanksi
adat) yaitu arta danda (denda dalam wujud materi), sangaskara danda (sanksi
dalam bentuk upacara tertentu) dan jiwa danda atau atma danda yang pada zaman
dulu berupa hukuman mati, sekarang berupa pangaksama/ ngidih pelih atau
menyampaikan permintaan maaf di hadapan paruman atau rapat desa.
Kerjasama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional di Bali di
antaranya dilakukan dengan matembung yaitu melakukan suatu perbuatan yang
mengandung arti saling membantu satu sama lain berdasarkan atas kepatutan
(Windia: 2004). Konsep ini yang melahirkan adanya ayah-ayahan yang disebut
dengan Peturon (Suartika: 2010). Dalam berbagai ungkapan juga tercermin
bagaimana nilai-nilai kerbersamaan, kerjasama, gotong-royong itu dijunjung
tinggi, seperti tercermin dalam konsepsi sagilik saguluk, salunglung sabayantaka,
paras parossarpanaya, beriuksaguluk . Konsepsi ini mengandung nilai solidaritas
yang tinggi dalam suka dan duka, baik dan buruk ditanggung bersama dalam
berbagai kegiatan baik suka maupun duka (Titib: 2012).
Salah satu dinamika sosial masyarakat adat dalam kepemerintahan desa
pakraman diungkap oleh Suacana (2012) dimana masyarakat Bali lebih cenderung
untuk enggan berkutat dengan kehidupan politik sehingga tidak banyak ikut
campur dalam urusan desa terlebih kaitannya dengan kedaulatannya ke luar.
Namun demikian, ada mekanisme untuk mengutarakan pendapat melalui paruman
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 23/142
23
terkait kebijakan atau hal-hal yang bersifat lokal di tingkat Desa Pakraman atau
banjar . Khusus dalam hubungan dengannya di tingkat daerah, masyarakat pada
umumnya akan mengutarakan pendapatnya pada orang yang dihormati di
masyarakat dan memercayakannya untuk menyampaikan aspirasi tersebut pada
pemerintah.
2.3.6 Nilai sakral-profan ruang
Masyarakat Bali yang identik dengan budayanya memberikan warna bagi
berbagai hal yang dimaknai dan disimbolikkan termasuk keberadaan benda fisik
seperti pohon, batu, termasuk tanah dan lain sebagainya ataupun non-fisik seperti
waktu, ilmu pengetahuan, etika dan lain sebagainya.
Teoritikal mengenai dialektika "sakral dan profan" dikembangkan oleh
Mircea Eliade, seorang sarjana Roma-Amerika yang berpengaruh sebagai perintis
pendekatan reduksionis mengenai perilaku dan ide-ide keagamaan yang sangat
erat dengan suatu fenomena sosial-religus. Aksioma Eliade (1957) dalam Nuraeni
(2011) menjelaskan bahwa yang profan adalah wilayah urusan setiap hari-hal-hal
yang biasa, tak disengaja, dan pada umumnya tidak penting, sedangkan yang
sakral adalah sebaliknya. Hal tersebut merupakan wilayah supernatural, hal-hal
yang luar biasa, mengesankan, dan penting sementara yang profan adalah yang
menghilang dan mudah pecah, penuh bayang-bayang, maka yang sakral adalah
yang abadi, penuh dengan substansi dan realitas. Profan adalah wilayah manusia,
yang dapat berubah-ubah dan sering kacau, dan yang sakral adalah wilayah
keteraturan dan kesempurnaan, rumah para leluhur, pahlawan, dan dewa. Jelas
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 24/142
24
disebutkan dikotomi sakral dan profan mempunyai perbedaan pemaknaan yang
merupakan hasil kognisi/ interpretasi manusia atas keberadaan ruang.
Masih menurut Eliade dalam Nuraeni (2011), ketika batu dan pohon
disakralkan, yang terjadi bukanlah pemujaan batu atau pohon dalam dirinya
sendiri. Pohon atau batu sakral tidak disembah sebagai batu atau pohon. Keduanya
disembah karena hierophany, karena keduanya menunjukkan sesuatu yang tidak
lagi batu atau pohon semata, tetapi ia juga menunjukkan nilai "sakral". Dengan
kata lain, ketika batu dan pohon memanifestasikan sesuatu yang sakral, maka
keduanya menjadi sesuatu yang lain, tetapi tanpa menghilangkan sifat batu dan
pohon itu, karena secara profan batu dan pohon tersebut tetap berhubungan
dengan lingkungan alam sekitarnya. Batu dan pohon sakral itu dilihat dari sudut
pandang profan, tetaplah batu dan pohon sebagaimana yang lain. Tetapi bila
dilihat dari sudut batu dan pohon yang sakral, realitas keduanya dirubah menjadi
supranatural. Keduanya kini menjadi hierophany yang menjadi manifestasi dari
realitas sakral yang melekat dalam dirinya. Karena yang sakral akan senantiasa
hadir dalam profanitas dan tidak dapat muncul dengan sendirinya atau muncul di
luar realitas (Nuraeni : 2011).
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 25/142
25
2.4 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dapat dikatakan sebagai gambaran mengenai struktur penelitian yang akan dilakukan. Skema kerangka
berpikir peneliti dapat dilihat pada Gambar 2.2 sebagai berikut:
Gambar2.2 Diagram Proses Berpikir
BANGUN
PEMAHAMAN
Proposisi
Proposisi
ProposisiBangun
pemahaman1
Bangun pemahaman
3
Bangun pemahaman
2
Bangun
pemahamann
BANGUN
PEMAHA-MAN AWAL
dialog awal
dan prosesreduksi data
lapangan
GRAND
TOUR
IDE
Background
permasalahan dan
ketertarikan
terhadap isu
D I A L O
G
A N T A R T E M A
SIMPULAN
K O N S E
P
OBSERVASI
Tema
Temuaan
Tema
Temuaan
Tema
Temuaan
Tema
Temuaan
Kasus 1
Kasus 2
Kasus 3
Kasus 4
Kasus 5
Kasus 6
Kasus 7
Kasus 8
Kasus 9
Kasus 10
OBSERVASI
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 26/142
26
Penelitian dimulai dari ketertarikan atas keberadaan lahan pelaba pura
yang telah diuraikan sebelumnya pada Bab I subbab 1.1 Latar Belakang
Penelitian. Dari peninjauan awal didapatkan topik bahwa terdapat gejala
perubahan cara pandang masyarakat (konsepsi) dalam memanfaatkan lahan
pelaba pura-nya. Berpijak pada ketertarikan akan fenomena tersebut kemudian
dilakukan pencarian literatur serta membangun pemahaman awal terkait dengan
lahan pelaba pura yang telah tersaji pada Bab II subbab 2.2, dan bersamaan
dengan kegiatan tersebut dilakukan grandtour terhadap kasus-kasus yang telah
dirinci pada Bab III, Tabel 3.2. Selanjutnya hasil observasi perkasus akan
disintesakan menjadi tema-tema temuan dan bangun pemahaman yang disarikan
menjadi pemahaman-pemahaman yang akan mengerucut kearah fenomena yang
ditemukan dan kemudian didialogkan pada tahap sintesa antar tema temuan
berupa konsep. Hasil daripada dialog diuraikan guna menjawab beberapa rumusan
permasalahan yang telah dibangun antara lain mencari latar belakang perubahan
perubahan konsepsi pemanfaatan lahan pelaba pura, serta menguraikan gambaran
perubahan konseptual masyarakat panjer dalam memanfaatkan lahan pelaba pura-
nya. Detail dari kerangka berpikir penelitian diatas akan dituangkan ke dalam
model penelitian pada subbab 2.5 Model Penelitian.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 27/142
27
2.5 Model Penelitian
Diversifikasi
fungsi dari fungsi
awal sebagai
sawah dan ladang
Rancangan
Penelitian
Pendekatan
Naturalistik
Membangun
wawasan yang
terkait dengan
topik
Peninjauan
lapangan
(Pengumpulan
data perubahan)
Reduksi bangun
pemahaman berdasarkan
data dan memperjelas
kasus-kasus
Bangun Pemahaman Perubahan
Tradisi dan budaya keruangan masyarakat Bali
Tanah pelaba pura dalam tanah adat di Bali
Essensi tanah pelaba pura
Essensi tanah pelaba pura
Pelaba Pura PusehKasus 1 : Tanah tidak bersertifikat dengan
fungsi gegaleng pura sebagai LPD, minimarket dan distro
Pelaba Pura DalemKasus 2 : Tanah sertifikat no 3349 dimanfaatkan sebagai Pasar
Nyanggelan Kasus 3 : Tanah sertifikat no 5600 dimanfaatkan sebagai jalan
desa Kasus 4 : Tanah sertifikat no 5602 dimanfaatkan sebagai sebagai
TKKasus 5 : Tanah sertifikat no 3384 dikontrakkan sebagai
perumahan Kasus 6 : Tanah sertifikat no 3197 dikontrakkan sebagai
perumahan
Kasus 7 : Tanah sertifikat no 3348 dimanfaatkan sebagai jaba sisi
pura dalem Kasus 8 : Tanah tidak bersertifikat dimanfaatkan sebagai
wantilan dan lapangan
Kasus 9 : Tanah tidak bersertifikat dimanfaatkan sebagai rumah
jero mangku Pelaba Pura SubakKasus 10 : Tanah sertifikat no 2309 dimanfaatkan sebagai SD
matriks temuan
Dialog
&
Verifikasi
reduksi
Simpul-
an
Gambar2.3 Model Penelitian
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 28/142
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 29/142
29
makna pengalaman individu (the meaning of an individual’s experience of the
world) orang-orang yang terkait dengan perubahan pemanfaatan lahan pelaba
pura di Desa Pakraman Panjer . Dengan kata lain, realitas dalam paradigma ini
ditentukan sendiri oleh subyek yang diteliti (Suyitno :2006, Guba : 1985)
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berlangsung di Desa Pakraman Panjer. Gambaran dari
lokasi penelitian dan posisi lahan pelaba pura Desa Pakraman Panjer akan
dijelaskan pada Gambar 3.1
Gambar 3.1 Lokasi Lahan Pelaba Pura Desa Pakraman Panjer(Editing dari peta Bali ,Editing peta RDTR Denpasar 2004, dan Editing Peta Desa
Pakraman Panjer berdasarkan hasil observasi lapangan)
Peta Kota DenpasarPeta P. Bali
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 30/142
30
Dengan rincian mengenai kepemilikan, luas, fungsi dan lokasi lahan
pelaba pura yang akan diuraikan pada Tabel 3.1:
Tabel 3.1 Tanah pelaba pura Desa Pakraman Panjer setelah terkena program Land
Consolidation
Kasus Nomer Luas Fungsi Lokasi
Pelaba pura Puseh
1 - 9.5 are Genah LPD dan Toko ,
gegaleng pura
Desa/Puseh
Jl. Waturenggong
Tanah Pelaba pura Dalem
2 3349 45,95 are Genah Pasar Nyanggelan,
Due Pura Dalem
Jl. Tukad Mawa
3 5600 21,5 are Genah margi Tukad
Mawa/Pura Kahyangan,
due pura desa
Jl. Tukad Mawa
4 5602 3.5 are Genah TK Kumara Loka,
due Pura Puseh
Jl Tukad Musi
5 3348 7,65 are Genah Jaba sisi Pura
Dalem, due pura dalem
Jl. Tukad Mawa
6 3197 17 are Perumahan/kos , due PuraDalem,
7 3348 7,65 are Perumahan/kos, due Pura
Dalem
Jl. Tukad Mawa
8 - 60 are Genah Baler pura dalem Jl. Tukad Mawa
9 - 30 are Genah jeroan jero mangku
pura Dalem lan pemangku
Kahyangan
Jl. Tukad Mawa
Tanah Pelaba pura Subak
10 2309 8 are Genah SD 1 Panjer, Due
Pura Pengulun Subak
Jl. Tukad Musi V
Sumber : Eka Ilikita dan dan hasil wawancara (12 November 2012)
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang
dinarasikan dari rekaman wawancara dan data kuantitatif berupa luasan lahan
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 31/142
31
pelaba pura, angka tahun, jumlah krama pakraman dan data angka lain yang
terkait dan mampu menunjang penelitian.
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini 1) awig-awig Desa
Pakraman Panjer, berisi data mengenai batas-batas Desa Pakraman Panjer, data
mengenai tugas krama pakraman, tugas dan tanggung jawab prajuru, tata cara
pelaksanaan paruman (rapat desa pakraman), serta keterangan mengenai druwe
desa. 2) Eka Ilikita Desa Pakraman Panjer berisi sejarah Desa Pakraman Panjer,
pengempon pura, struktur organisasi Desa Pakraman dan beberapa tata atur yang
tidak tertera dalam awig-awig. 3) Perarem Desa Pakraman Panjer berisi,
keputusan-keputusan desa yang tidak tercantum dalam awig dan Eka Ilikita. 4)
Daftar aset Desa Pakraman Panjer, berisi lokasi lahan pelaba pura, nomer
sertifikat, dan keterangan hak milik. 5) Sertifikat Badan Pertanahan Nasional,
berisi data gambar situasi, luasan persil, serta status kepemilikan masing-masing
tanah pelaba pura dan 6) Data Pemetaan Land Consolidation (LC) yang berisi
gambar-gambar persil perencanaan LC di Desa Pakraman Panjer. Sumber data
primer didapatkan melalui wawancara mendalam kepada informan secara
langsung.
3.4 Penentuan Informan
Informan ditentukan dengan teknik purposive (bertujuan), yaitu memilih
informan kunci yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman berkaitan dengan
perubahan pemanfatan lahan pelaba pura di Desa Pakraman Panjer. Informan
selanjutnya secara snowball sampling, sehingga jumlah informan semakin lama
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 32/142
32
semakin besar. Jumlah informan tidak dibatasi secara mutlak, tetapi tergantung
pada tingkat kejenuhan data yang dicari. Informan kunci yang dituju adalah
Bendesa Pakraman yang pernah dan sedang menjabat yakni Drs I Gusti Made
Anom selaku mantan Bendesa dan sebagai pemangku pura Puseh serta Dr. Wayan
Budiana.,SH.,MSi selaku Bendesa adat periode 2007-2012, 2012-2017. Dari
informan kunci didapatkan referensi beberapa informan lainnya diantaranya
Wayan Ariawan S.Pt yang menjabat sebagai sekretaris desa, Wayan Darmantra.,
S.Pt yang menjabat sebagai kepala pasar.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini dibedakan sesuai dengan
kebutuhan masing-masing data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan
penelitian. Beberapa teknik yang digunakan diantaranya studi kepustakaan dan
dokumentasi, berusaha mengumpulkan karya ilmiah yang berkaitan dengan tanah
adat, tanah pelaba pura yang telah dipublikasikan, serta penelusuran terhadap
dokumen-dokumen Desa Pakraman yang terkait dengan keberadaan tanah pelaba
pura di Desa Pakraman Panjer seperti awig-awig, perarem, Eka Ilikita, Data
Land Consolidation dan lain sebagainya.
Teknik yang kedua yakni wawancara, penggunaan wawancara bertujuan
untuk mengumpulkan data terkait perubahan. Teknik wawancara yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dengan teknik wawancara tidak terstruktur, yakni
wawancara yang terdiri dari sejumlah pertanyaan tanpa mempunyai struktur
tertentu tetapi selalu berpusat pada pokok permasalahan (Koenjaraningrat :1983).
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 33/142
33
Teknik ini diupayakan juga guna memperoleh informasi yang bersifat subjektif
dari pelaku perubahan, dan yang terakhir yakni dengan observasi. Teknik ini
digunakan untuk memantau kondisi fisik keberadaan lahan pelaba pura
Berikut akan dipaparkan lebih rinci mengenai teknik pengumpulan data
dari setiap substansi penelitian dan juga jenis data, sumber data serta instrument
yang digunakan pada Tabel 3.2.
No. Data Jenis Data Sumber
Data
Instrumen
Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
1. Gambaran awal penelitian Kualitatif Primer - Peneliti
- Alat perekam
(kamera,video)
- Alat tulis
- Observasi awal (grand tour)
- Wawancara
- Studi kepustakaan- Dokumentasi berupa foto-foto
kondisi di lapangan
2. Gambaran umum wilayah
penelitian dan kondisi geografis
Kualitatif Sekunder - Peneliti
- Alat tulis- Seperangkat
komputer
- Dokumentasi data-data sekunder
antara lain: awig-awig, ,Eka
Ilikita, Perarem
3. Kajian Pustaka Kualitatif Sekunder -
Peneliti- Alat tulis- Seperangkat
komputer
-
Studi literatur/ referensi- Internet
4. Konsep :
- Kualitatif Sekunder - Peneliti
- Alat tulis- Seperangkat
komputer
- Observasi awal (grand tour)
- Studi literatur/ referensi
5. Bangun Pemahaman :
- Pemahaman mengenai perubahan
- Tradisi budaya keruangan
masyarakat Bali- Posisi pelaba pura dalam
tanah adat
-
Masyarakat adat dankehidupan Desa Pakraman
- Nilai sakral-profan ruan
Kualitatif Sekunder - Peneliti
- Alat tulis- Seperangkat
komputer
- Studi literatur/referensi
- Internet
6. Rumusan Masalah 1 (data):
Apa yang melatarbelakangi perubahan pemanfaatan lahan
pelaba pura di Desa Pakraman
Panjer?
Kualitatif -Primer - Peneliti
- Panduan pengamatan
- Panduan
wawancara
- Wawancara mendalam
- Observasi fisik
7 Rumusan Masalah 2 (data dan
analisis) :
Bagaimana gambaran perubahanterjadi?
Kualitatif -Primer - Peneliti
- Panduan
pengamatan- Panduan
wawancara
- Wawancara mendalam
- Observasi fisik
Tabel 3. 2Jenis data, Sumber data, Instrument Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 34/142
34
3.6 Instrumen Penelitian
Beberapa instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sebagaimana
dipaparkan pada Tabel 3.2 Jenis data, Sumber data, Instrument Penelitian dan
Teknik Pengumpulan Data, antara lain: pertama adalah peneliti sendiri sebagai
instrumen penelitian dengan instrumen penunjang seperti acuan wawancara yang
berupa rangkaian pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah dipersiapkan.
Selanjutnya instrumen yang digunakan untuk menunjang kegiatan observasi, alat-
alat yang dibutuhkan antara lain ragam gambar, dan perekam suara. Terakhir
dokumentasi, dilakukan dengan alat batu seperti kamera digital, dan tape
recorder.
3.7 Teknik Analisis Data
Secara garis besar terdapat tiga tahapan dalam menganalisis data dalam
penelitian ini yakni 1) tahap reduksi data, 2) display data, dan 3) verifikasi. Pada
tahap reduksi, dilakukan pemilihan tentang relevan tidaknya antara data dengan
tujuan penelitian, Informasi dari lapangan sebagai bahan mentah diringkas,
disusun lebih sistematis, serta ditonjolkan pokok-pokok yang penting sehingga
lebih mudah dikendalikan. Pada tahap display data, tahap ini bertujuan untuk
dapat melihat gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari gambaran
keseluruhan. Pada tahap ini peneliti berupa mengklasifikasikan dan menyajikan
data sesuai dengan pokok permasalahan yang diawali dengan pengkodean pada
setiap pokok permasalahan. Untuk memudahkan memperoleh kesimpulan dari
lapangan maka dibuatkan matriks atau bagan. Matriks yang disajikan pada hal 102
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 35/142
35
berguna untuk melihat hubungan antar data. Penarikan kesimpulan dan verivikasi
data, pada tahap ini dimaksudkan untuk mencari makna data yang dikumpulkan
dengan mencari hubungan, persamaan, atau perbedaan. Penarikan kesimpulan
dilakukan dengan membandingkan kesesuaian pernyataan dari subjek penelitian
dengan makna yang terkandung dengan konsep konsep dasar dalam penelitian.
3.8 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil penelitian akan didahului dengan gambaran umum
mengenai sejarah, demografi, serta sebaran keberadaan lahan pelaba pura dan
tempat-tempat yang terkait dengan keberadaan pelaba pura di Desa Pakraman
Panjer, kemudian diuraikan hasil penelitian kasus-perkasus (sub-bab 4.2) untuk
memperoleh fenomena detail pada setiap kasus, kemudian reduksi menjadi tema-
tema temuan (sub-bab 4.3) sebagai dasar data yang akan didialogkan dengan
bangunan pemahaman yang telah terbentuk. Kemudian Pembahasan akan
diuraikan secara kualitatif yang merupakan interpretatif terhadap hasil penelitian
yang ditunjang dengan tabel serta gambar-gambar agar lebih informatif dan jelas.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 36/142
36
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL
Sebelum memasuki rekonstruksi perubahan, akan diuraikan gambaran
umum dan berbagai hal yang terkait dengan keberadaan lahan pelaba pura.
4.1 Gambaran Umum Desa Pakraman Panjer dan Lahan Pelaba Pura-nya
4.1.1 Sejarah Desa Pakraman Panjer dan tanah pelaba pura-nya.
Informasi yang diwariskan secara turun-temurun dan telah menjadi
kepercayaan yang melekat pada masyarakat Desa Pakraman Panjer akan sejarah
keberadaan desa ini disuratkan pada Eka Ilikita Desa Pakraman Panjer. Sejarah
Desa Pakraman Panjer berawal dari perjalanan Tirta Yatra Raja Waturenggong ke
Pura Sakenan dan Pura Uluwatu. Berikut petikan dari cerita sejarah Desa
Pakraman Panjer:
“… Ida Dalem Klungkung pacang lunga muspa ring pura Sakenan
lan uluwatu. Ring masyaning desa utawi ring alas sane
madurgama, katah pepayonan inggih punika pepayonan/ entik-
entikan paku. Irika raris Ida Dalem Klungkung mejanggelang,
irika raris Ida makarya genah pasubayan, ngaturang pengrastiti
mangda kaicen pamargi rahayu, ngantos mangkin genah punika
kawastanin Pura Pakuwon. Antuk pasuwecan Ida Dalem
Klungkung ledang mesanekan/ mejanggelan ring alas paku punika,
raris wewidangan genah punika kapica waranugraha mewasta
jagat "Nyanggelan".
Artinya:
36
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 37/142
37
“Ida Dalem Klungkung akan pergi ke Pura Sakenan dan Uluwatu
mempersembahkan yadnya. Pada pertengahan desa atau hutan
yang terdiri dari pohon paku, disana kemudian beliau membangun
tempat persembahyangan pada alas paku tersebut yang sekarang
dikenal dengan Pura Pakuwon. Dengan kesediaan Ida Dalem
Klungkung untuk beristirahat di alas paku tersebut, kemudian
tempat tersebut disebut sebagai jagat Nyanggelan”.
Kemudian dilanjutkan dengan cerita bahwa Raja Klungkung melanjutkan
perjalanan kearah tenggara, karena hutan sangat lebat dan perjalanan sangat sulit
dilakukan, maka beliau kembali melakukan peristirahatan dan membangun
sebuah pura pesimpangan yang sekarang dikenal dengan Pura Sudha di Desa
Sidakarya. Diceritakan juga bahwa sejumlah lahan diberikan kepada pengikut raja
guna dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan akan pura disamping untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Merujuk pada buku hak-hak atas tanah, pemberian sejumlah lahan yang
diberikan kepada pengikut raja guna dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan
pura pada jaman kerajaan diistilahkan dengan sima (Wiguna: 2009). Meninjau
fungsi dan perannya, memiliki persamaan makna dengan fungsi dan makna
pemanfaatan lahan pelaba pura. Bagaimana pergeseran makna yang terjadi dari
sima menjadi pelaba pura tidak menjadi substansi penelitian, namun cukup
penting untuk memberikan konteks perubahan. Sedikit prematur untuk
menyimpulkan namun atas kesamaan fungsi dan perannya katakanlah saja istilah
sima adalah sebagai cikal bakal munculnya lahan pelaba pura yang berlaku
sekarang di Desa Pakraman Panjer.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 38/142
38
Apabila dilihat pengertiannya, sima disebutkan sebagai batas-batas
kesucian suatu wilayah, daerah atau sebidang tanah yang bebas dari berbagai jenis
pajak (Wiguna: 2009). Casparis (1940) menyebutkan sima mempunyai kesamaan
arti dengan jataka. Jataka diartikan sebagai sebidang tanah yang ditetapkan untuk
bangunan suci. Sima dan Jataka dapat dijadikan dasar bahwa penganugrahan
sebidang tanah kepada pengikut raja pada waktu itu hampir seluruhnya merupakan
pelaba pura. Perubahan mengenai makna sima ditenggarai dimulai dengan
meningkatnya kebutuhan manusia akan tempat tinggal, bersosialisasi, hingga
melaksanakan kegiatan perekonomian yang pada akhirnya terbentuk tipologi
tanah adat seperti yang telah diuraikan Suwitra (2010) pada Gambar 4.3 (Tanah
adat berdasarkan Status kepemilikan lahan). Artinya lahan pelaba pura atau sima
secara perlahan mengalami penyempitan makna akibat terdeviasinya fungsi.
Desa Pakraman Panjer kemungkinan mengalami suatu fase
perkembangan yang berbeda dengan beberapa desa lain sehingga kedudukan
tanah adatnya nampak seperti pada Gambar 2.2 (Posisi tanah pelaba pura dalam
tanah adat di Desa Pakraman Panjer) dimana tanah pelaba pura-nya ternyata
dimanfaatkan untuk memenuhi beberapa kebutuhan desa diantaranya mencakup
lahan bale desa, tanah kahyangan, jalan, tanah pasar serta tanah lapang.
Pemekaran Kota Denpasar serta pemekaran administratif Desa Panjer dan
desa lain yang diterapkan pemerintah juga turut membawa pengaruh terhadap
eksistensi lahan ini. Perubahan yang sangat signifikan setelah dilaksanakannya LC
di kawasan Renon pada tahun 1985, dan di Panjer pertama kali dilaksanakan
tahun 1989-1993 (Wayan Rastina, 15 Mei 2013). Sebelum dilaksanakannya
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 39/142
39
program LC, Panjer dan di sekitarnya, desa ini terkenal dengan desa penghasil
beras bermutu. Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani yang
sebagian krama menggarap lahan pelaba pura sebagai lahan pertanian. Namun
pemandangan yang sama tidak dapat dirasakan pasca terjadinya restrukturisasi
lahan di Desa Pakraman Panjer. Berangsur-angsur masyarakat mulai
meninggalkan profesinya sebagai petani dan mendiversikasikan profesinya pada
bidang lain yang lebih menguntungkan. Pada saat yang sama lahan pelaba pura
mulai ditinggalkan dan menjadi lahan tidur yang tidak termanfaatkan.
Meningkatnya nilai lahan serta berubahnya kehidupan pakraman kearah
kultur perkotaan juga berpengaruh terhadap eksistensi tanah adat yang lain
khususnya tanah dengan status lahan individu tidak penuh telah beralih menjadi
status individu penuh. Tanah Pekarangan Desa hampir semuanya telah beralih
fungsi menjadi tanah individu penuh dengan kata lain tanah tersebut telah menjadi
tanah hak milik pribadi (Wayan Budiana, 2013). Sedangkan disaat yang sama
tanah pelaba pura-nya, mulai dan sedang direncanakan menjadi fungsi yang baru
yang akan diuraikan secara detail kasus-perkasus pada subbab 4.2 (Perubahan
Pemanfaatan Lahan Pelaba Pura di Desa Pakraman Panjer)
4.1.2 Palemahan Desa Pakraman Panjer
Wilayah palemahan Desa Pakraman Panjer berlokasi di Kecamatan
Denpasar Selatan dengan jarak kurang lebih 2 kilometer dari pusat Kota Denpasar
yang berbatasan dengan beberapa Desa Pakraman. Batas Timur Desa Pakraman
Panjer yakni Desa Pakraman Renon, batas selatan yakni Desa Pakraman
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 40/142
40
Sidakarya, batas barat berbatasan Desa Pakraman Sesetan, dan batas utara
berbatasan Desa Pakraman Renon Yang Batu.
Desa Pakraman dan Desa Dinas mempunyai karakteristik tersendiri baik
ditinjau dari segi historis pembentukannya maupun ditinjau dari aspek demografi,
sumber dana, dan peraturan yang dipergunakan untuk mengikat warganya. Hal
yang berbeda terjadi pada kasus di Desa Pakraman Panjer, terdapat kesamaan
dalam segi wilayah dimana pembagian lingkungan desa dinas dibagi berdasarkan
wilayah adat atau dengan kata lain luas wilayah Desa Pakraman Panjer dengan
kelurahan Panjer berhimpit sama percis.
Sebagaimana umumnya Desa Pakraman yang lain, Palemahan Desa
Pakraman Panjer diatur berdasarkan tata nilai filsafat Agama Hindu yang disebut
dengan Tri Mandala (utama mandala, madya mandala, dan kanista/nista
mandala), masing-masing mandala tata ruangnya dipergunakan sesuai dengan
tatanan yang digariskan dalam awig-awig Desa Pakraman Panjer. Dituliskan
bahwa utama mandala merupakan lokasi Pura Desa/Bale Agung, Puseh dan Pura
Dalem dan merupakan lokasi berbagai tanaman yang dapat digunakan sebagai
sarana upakara. Madya mandala merupakan lokasi pekarangan desa dan lokasi
pemukiman krama pakraman, sedangkan nista mandala, merupakan lokasi
kuburan/ setra desa pakraman.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 41/142
41
4.1.3 Tata guna lahan
Sedikit meluas, namun dirasakan penting untuk memahami konteks
perkotaannya, berikut akan dipaparkan secara singkat tata guna lahan di desa
Panjer (administratif) yang masih relevan mengingat strukturnya yang berhimpit
sama précis dengan wilayah Desa Pakraman Panjer. Peruntukan pemanfaatan
lahan dikawasan Panjer dari RDTR Kota Denpasar tahun 2004 adalah sebagai
kawasan pemukiman campuran. Perkembangan pemanfaatan lahan didominasi
oleh pemanfaatan lahan sebagai lahan permukiman. Luasan wilayah Desa
Pakraman Panjer seluas: 316, 14 Hektar yang terdiri dari:
1. Lahan permukiman: 266, 08 Ha
2.
Lahan sawah 25 Ha
3.
Kuburan seluas 0.60 Ha
4. Lahan yang dimanfaatkan sebagai pura seluas 0,86 Ha
5. Lahan yang digunakan sebagai pelaba pura seluas 4,5 Ha
6. Lahan Tegalan seluas 19, 10 Ha
Data ini merupakan data tahun 2007 dan diperkirakan telah terjadi
perubahan pada lahan sawah seluas 10-15 Ha pada tahun 2013 yang dialih
fungsikan menjadi kawasan pemukiman. Penyusutan cukup signifikan
sebagaimana yang diuraikan dalam penelitian Aryana (2012), perubahannya dapat
dilihat dalam Gambar 4.1 sebagai berikut:
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 42/142
42
Gambar 4.1 Peta Penggunaan Lahan Panjer 1980 dan 2012(Aryana :2012)
Pada Gambar 4.1 dapat dilihat terjadi perubahan yang begitu mendasar
pada tata guna lahan di Desa Pakraman Panjer. Hal ini dipengaruhi oleh
perkembangan perkotaan yang semakin melebar kearah selatan yang secara
signifikan terjadi dimulai pada tahun 1989 dengan diimplementasikannya program
Land Consolidation di Desa Pakraman Panjer.
4.1.3 Demografi
Terdapat perbedaan perspektif dalam melihat gambaran mengenai aspek
demografi dalam kasus ini, penjelasan aspek demografi lebih mengarah pada hal-
hal yang berkaitan dengan tatanan kehidupan masyarakat adat. Dalam tatanan
adat, yang termasuk dalam krama Desa Pakraman Panjer yakni keluarga yang
beragama Hindu, bertempat tinggal, menetap di palemahan Desa Pakraman
Kawasan pertanian
Kawasan permukiman
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 43/142
43
Panjer. Skema struktur pawongan Desa Pakraman Panjer dapat dilihat pada
Gambar 4.2 sebagai berikut:
Gambar 4.2 Struktur Pawongan Desa Pakraman Panjer
(Awig-awig Desa Pakraman panjer)
Krama desa sebagaimana digariskan dalam awig-awig dibagi menjadi tiga,
antara lain 1) krama ngarep, yakni krama yang sudah bersuami istri dan juga telah
turun menjadi krama banjar, disaksikan oleh prajuru banjar masing-masing, dan
krama banjar ,2) krama penyanggra, yakni krama dari luar desa yang beragama
Hindu yang telah menetap atau menjadi krama yang telah ikut serta membangun
banjar, dan juga telah menikah, kewajibannya sama dengan krama banjar ngarep
dan, 3) krama tamiu, yakni krama dari luar desa yang beragama Hindu, dan juga
telah menikah, tidak menjadi banjar ngarep ataupun penyangra, wajib mengikuti
ketertiban dinas, dan mambayar biaya jagabhaya setiap bulan besarnya mengikuti
perarem desa pakraman.
Br. KajaBr.
Celuk
Br.
Antap
Br.
Sasih
Br.
Kangin
Br.
Bekul
236 KK130 KK 130 KK 102 KK 252 KK 73 KK
Desa Pakraman Panjer
Krama Ngarep Krama Penyanggra Krama Tamiu
Br.
Maniksaga
warga
dinas serta
wargayang
mempu-
nyai usaha
di wilayah
pakraman
Panjer
164
KK
68
KK
30
KK
Br.
Kertasari
Br.
Tegalsari
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 44/142
44
Desa Pakraman Panjer terdiri dari 1185 KK, atau 7170 orang/ krama,
3.280 laki-laki, dan 3890 perempuan. Kehidupan masyarakat Panjer pada awalnya
sebagian besar berprofesi sebagai petani, namun dengan perubahan yang
signifikan pada kawasan ini mengakibatkan masyarakat telah mendiversivikasikan
kehidupannya pada sektor jasa dan barang, pengusaha rumah kos dan lain
sebagainya, terutama yang bermata pencaharian dalam bidang usaha kecil dan
menengah.
4.1.4 Posisi tanah pelaba pura dalam tanah adat Desa Pakraman Panjer
Terkait dengan adegium desa mawacara, atau setiap desa memiliki tata
caranya sendiri dalam pemanfaatan lahan adatnya, keberadaan lahan komunal di
Desa Pakraman Panjer memiliki perbedaan dari tipologi tanah adat yang
diuraikan oleh Suwitra (2010). Berikut merupakan bagan tanah adat di Desa
Pakraman Panjer.
Gambar 4.3 Posisi Tanah Pelaba Pura dalam Tanah Adat Desa Pakraman Panjer(Wawancara kepada Wayan Rastina juni 2013, dan analisa pribadi)
Tanah Adat (Druwe Desa)
Tanah Individu Tidak
Penuh
Tanah Komunal
Telah beralih status
menjadi lahan individutidak enuh
Tanah
Setra
Tanah
Kahyang-an Desa
Tanah pelaba
pura
TanahLapang
TanahPasar
Tanah Kahyangan
(nistaning & madya
mandala)
Jalan,Rurung
Fungsi lainDinamika
Perubahan
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 45/142
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 46/142
46
Gambar 4.4 Peta Lokasi Pura dan Tempat-tempat yangMempunyai Peranan Penting di Desa Pakraman Panjer
Pura yang mempunyai fungsi penting dari umumnya setiap Desa
Pakraman di Bali yakni Pura Kahyangan Tiga. Pura Kahyangan Tiga merupakan
tempat ibadah untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha
Esa) dalam manifestasinya sebagai pencipta (Utpetti), pemelihara (Stiti), dan
pelebur (Pralina). Konsepsi ini muncul dimulai sejak kedatangan Dang Hyang
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 47/142
47
Nirartha ke Bali yang mengajarkan mengenai ajaran-ajaran Sivaisme
mempersatukan sekte-sekte yang ada di Bali.
Pura Kahyangan Tiga terdiri dari Pura Desa/ Pura Bale Agung (Gambar
4.4 no 1) yang merupakan tempat memuja Ida sang Hyang Widhi dalam
manifestasinya sebagai Dewa Brahma sebagai maha pencipta. Pura Puseh/ Segara
Agung (Gambar 4.4 no 1) merupakan tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi
dalam manisfestasinya sebagai Dewa Wisnu "maha pemelihara", dan Pura Dalem
Agung (Gambar 4.4 no 8) merupakan tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi
dalam manifestasinya sebagai "maha pelebur" yang dikenal dengan Dewa Siwa.
Pura Kahyangan Tiga disamping berfungsi sebagai tempat pemujaan atau
penyungsungan dari seluruh warga Desa Pakraman, Pura Kahyangan Tiga juga
berfungsi sebagai alat pengikat dan menyatukan warga Desa Pakraman dalam
ikatan bermasyarakat.
Pura Puseh Desa Pakraman Panjer berlokasi di Jalan Waturenggong-
Tukad Pakrisan yang berada di hulu atau area utamaning mandala Desa
Pakraman Panjer. Lokasinya bersebelahan dengan Lokasi Pura Bale Agung/ Pura
Desa Desa Pakraman Panjer. Setting pura, dan beberapa elemen fungsi
didalamnya mempunyai kaitan dengan perubahan pemanfaatan lahan pelaba-nya
sebagaimana diungkapkan pada subbab 4.2.1 yang membahas mengenai
perubahan pemanfaatan lahan pelaba Pura Puseh, diantaranya gegaleng pada
pelaba pura, Bangunan LPD lama yang sebelumnya berlokasi pada nistaning
mandala Pura Puseh, keberadaan linggih Ratu Gede Muntung/ Batu Bintang
(Gambar 4.5 no 24), Pelinggih Pura Pengulun Subak (Gambar 4.5 no 25) yang
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 48/142
48
berada pada areal utamaning mandala Pura Bale Agung dan lain sebagainya.
Gambar denah Pura Puseh dapat dilihat pada Gambar 4.5 sebagai berikut
Keterangan1. Lingga Stana Ratu Ketut Petung
2. Lingga Stana Ratu Made Jelawung
3. Gedong Stana Ratu Desa
4. Lingga Stana Ratu Anglurah Agung
5. Lingga Stana Ratu Puseh
6. Bale Banten
7. Lingga Stana Ratu Nganten
8. Lingga Stana Ratu Mayun Agung
9. Lingga Stana Ratu Pasek
10. Bale Piyasan/ Tajuk Ratu Pasek
11. Bale Piyasan/Tajuk Ratu Puseh
12. Bale Piyasan/ Tajuk Ratu Desa
13.
Bale Pesamuhan
14. Bale Gong
15. Pawaregan Suci
16. Kori Agung
17. Sedahan Panglurah Lan Togog
18. Sedahan Panglurah lan Togog
19. Bebetelan
20. Sumur Suci
21. Aling-aling
22. Piyasan/Tajuk Sang Hyang
Baghawati
23. Lingga Stana Sang Hyang
Baghawati
24. Watu Muntung/Watu Bintang
25. Lingga Stana Bhatari Sri
26. Piyasan Bhatari Sri
27.
Lingga Stana Dewi Danuh
28. Piyasan Dewi Danuh
29. Sumur Suci
30. Bale Agung
31. Bale Pasanekan
32. Candi Bentar lan Togog
33. Candi Bentar Nista Mandala
34. Bale Kul-kul
35. Bale Pasanekan
36. Paibon Pasek Pulasari
37. Piyasan
Gambar 4.5 Denah dan Situasi Pura Desa/Puseh dan Pura Bale Agung
Desa Pakraman Panjer
Pura Puseh dan Pura Bale Agung Desa Pakraman Panjer menjadi satu
lokasi dengan mandala yang berbeda namun mempunyai jaba sisi yang sama.
1
2
3
4
5
6
7
8910
1113
1415
16
17
18
19
20
21
22 23 2425
26
27
28
29
30
3132
33
34
35
UTARA
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 49/142
49
Tanah pelaba Pura Puseh
Pura Pengulun Subak terletak di
areal dalam mandala Pura Bale
Agung
Gambar 4.6 Posisi Lahan Pelaba Pura Puseh, Desa/ Bale Agung
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.6, lahan pelaba Pura Puseh pada
saat ini dimanfaatkan sebagai Kantor Lembaga Perkreditan Daerah (LPD) Desa
Pakraman Panjer dan di sebelah utaranya dimanfaatkan sebagai Toko sebanyak
10 unit yang disewa oleh waralaba minimart, distro, dan warung makan dan
beberapa toko lain. Dari penelusuran lebih lanjut, ditemukan beberapa perubahan
yang terjadi dari tahun 1980-2013, kronologi perubahan akan dijelaskan secara
rinci pada subbab 4.2.
Berikutnya merupakan salah satu pura yang termasuk kedalam Pura
Kahyangan Tiga yakni Pura Dalem Desa Pakraman Panjer. Pura Dalem
sebagaimana penjelasan Drs. I Gusti Made Anom merupakan stana dari Dewa
Siwa sebagai pemralina (pelebur). Pura Dalem Desa Pakraman Panjer terdiri dari
3 mandala, yakni utamaning mandala, madyaning mandala, dan nistaing mandala
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.7 sebagai berikut:
Tanah pelaba
Pura Desa/Puseh
Toko disewa
sebagai distro,
minimarket,
Tanah pelaba
Pura Desa yang
dimanfaatkansebagai LPD Desa
Pakraman Panjer
Pura Desa/ Puseh
Pura Bale agung
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 50/142
50
Keterangan
1.
Lingga Stana Ratu Nyoman Sakti
Pangandangan2. Gedong Stana Ida Ratu Dalem3.
Gedong Stana Ida Ratu Mayun agung
4. Padmasana, Stana Ida Sang HyangWidi Wasa
5.
Sumur Suci6.
Linga Stana Ratu Sri Rambut Sedana
7.
Lingga Stana Ratu Gede8.
Lingga Stana Ratu Ayu9.
Bale Pesamuan/Pengaruman IdaBhatara
10. Bale Piyasan11.
Bale Piyasan12.
Bale Banten13.
Gedong Pererepan Ida Ratu Ayu
14.
Pewaregan Suci15.
Bale Gong16.
Aling-aling
17.
Kori Agung18.
Bebetelan19.
Bale Penyimpenan Uparengga
20.
Tugu Sedahan Penglurahan21. Tugu Sedahan Pangularahan22.
Togog Bhuta Diyu
23. Togog Butha Garwa24.
Bale Pasanekan
25.
Bale Kul-kul26.
Candi Bentar27.
Surup
28.
Candi Bentar29.
Sumur Tirtha Panglukatan30.
Paibon Kubayan
31. Piyasan32.
Pura Taman
26
28
20
21
23
23
16
16
25
24 14
15
11
10
9
87
6 4
3
5
2
1
1230
31
3227
29
NISTA MANDALA
MADYA
MANDALAUTAMA MANDALA
Gambar 4.7 Denah Pura Dalem Desa Pakraman Panjer
9
1
19
13
TAMAN & TELAGAWAJA
BALE BANTEN
PURA MELANTING
BALAI KARYA
LAPANGAN
PEMUKIMAN PEMANGKU
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 51/142
51
Pura Dalem mempunyai fungsi yang erat dengan beberapa pura/ tempat
lain di desa ini antara lain Pura Kahyangan Desa dan Pura Prajapati setra serta
kolam dan taman di sekitar Pura Kahyangan sebagai simbolik Telaga Waja
(pemandian atma). Pura Prajapati (Mrajapati; "Mraja Pati" atau Rajapati) bagi
masyarakat Panjer adalah tempat suci pemujaan kepada Dewi Durga yang
disebutkan saat roh masih dalam status Preta yang keluarganya belum mampu
menyelenggarakan upacara ngaben maka roh yang disebut Preta itulah yang
distanakan Pura Prajapati sebagai bagian dari Pura Kahyangan Tiga, d ibangun
pada hulun setra (hulu kuburan), berbentuk Padma, dan sebuah bentuk Bebaturan
Linggih Sedahan Setra.
Posisi setra Desa Pakraman yang dipergunakan oleh Br. Kangin dan Br
Antap memiliki hubungan unik dengan keberadaan lahan pelaba pura dan Pura
Dalem Desa Pakraman Panjer. Berbagai bentuk pengaturan timbul untuk
menghindari suatu keadaan yang disebut “leteh” di sekitar area Pura Dalem yang
akan dibahas pada kasus pemanfaatan lahan pelaba Pura Dalem sebagai jalan desa
pada kasus 3 pada tanah pelaba Pura Dalem (sertifikat no:5600).
Salah satu pura yang memiliki peranan penting dalam kehidupan
Pakraman di Desa Pakraman Panjer yakni Pura Kahyangan (2, Gambar 4.8). Pura
Kahyangan di Desa Pakraman Panjer mempunyai fungsi yang berbeda dengan
Pura Kahyangan Tiga. Sesuai dengan pernyataan Drs. Gusti Made Anom, Pura
Kahyangan erat kaitannya dengan Pura Dalem yang merupakan sakti dari Dewa
Siwa dalam wujudnya sebagai Dewi Uma simbolik purusa-predana sumber
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 52/142
52
kehidupan. Posisi Pura Kayangan berada disebelah utara Pasar Nyanggelan seperti
terlihat pada Gambar 4.8 sebagai berikut:
Keterangan
1. Utaman mandala Pura
Kahyangan
2. madyaning utama,/ jaba
tengah Pura Kahyangan
3. Kolam yang disebut
sebgai Telaga Waja
(pemandian atma)
4. Taman
5. Pura Melanting
6. Pura Dalem Desa
Pakraman Panjer
7.
Wantilan8. Pura Prajapati
Gambar 4.8 Denah dan Situasi di Sekitar Lokasi Pura Taman
Pura berkutnya yang mempunyai kaitan erat dengan keberadaan Pura
Dalem yakni Pura Taman (Gambar 4.7 no 32). Pura Taman di Desa Pakraman
Panjer berfungsi sebagai tempat pembersihan, pemlukatan yang berisi sumber
mata air yang senantiasa digunakan dalam berbagai ritual di desa. Keberadaan
Pura Taman yang terletak di sebelah timur Pura Dalem ini juga sebagai gegaleng
Pura guna memberikan jarak proteksi dengan pemanfaatan lahan desa sebagai
pemukiman pemangku.
Pura lain yang memiliki lahan pelaba pura yakni Pura Subak (Gambar 4.5
no 25). Pura Subak termasuk kedalam tipologi pura swagina atau pura yang
berkaitan dengan profesi masyarakat yang dulunya mayoritas berprofesi sebagai
petani. Seiring perubahan jaman, profesi petani mulai ditinggalkan, sehingga Pura
Subak sekarang diamong oleh Desa Pakraman tidak lagi oleh para petani. Pura
312
4
5
6
7
8 UTARA
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 53/142
53
Subak mempunyai pelaba yang terletak di Jalan Tukad Musi 5, letaknya terpisah
dari Pura Subak-nya yang merupakan tanah hasil tukar guling dengan tanah Land
Consolidation.
Salah satu yang termasuk kedalam Pura Swagina mempunyai fungsi yang
cukup penting bagi krama desa adalah Pura Melanting (Gambar 4.8 no 5). Fungsi
Pura Melanting bagi masyarakat Panjer dan pada umumnya bagi masyarakat bali
yaitu sebagai tempat suci untuk memuja keagungan Sang Hyang Widhi Wasa,
memuja Dewi Melanting untuk memohon anugerah kesuburan, kemakmuran dan
keselamatan.
Tempat atau lokasi yang memiliki peranan penting lainnya yakni
pempatan desa (Gambar 4.9 no 1). Pempatan desa merupakan simbolik
bertemunya alam atas dan alam bawah, tempat menyatunya Purusa dan Pradana
yang juga disebut sebagai sumbu Desa Pakraman Panjer.
Keterangan
1. Pempatan Desa
2. Jalan menuju pura
kahyangan
3. Setra
4. Toko
5. Setra
6. Pelinggih penunggun
karang Pasar
Nyanggelan
7. Pasar Nyanggelan
8. Toko
9. Pelinggih Prajapati
Gambar 4.9 Pempatan Desa, Desa Pakraman Panjer
1
23
5
6 7
4
8
9
UTARA
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 54/142
54
Demikian telah diuraikan beberapa pura dan tempat-tempat penting yang
keberadaannya terkait dengan pelaba pura di Desa Pakraman Panjer. Beberapa
fenomena terkait perubahan pemanfaatan lahan terekam dalam tata letak, orientasi
bahkan keberadaan tugu yang berada dalam di dalam Pura. Detail perubahan dari
masing-masing kasus akan dijelaskan lebih lanjut pada bab 4.2
4.2 Perubahan Pemanfatan Lahan Pelaba Pura Desa Pakraman Panjer
Pemanfaatan tanah pelaba pura di Desa Pakraman Panjer sebelum
dilaksanakannya LC pada tahun 1990, sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian (sawah), sebagaimana yang diutarakan oleh Bendesa Prof. Dr. Wayan
Budiana.,SH.,M.Si, sebagai berikut:
"…sebelum dilaksanakannya Land Consolidation (LC), Desa
Panjer sebagian besar merupakan lahan pertanian begitu jugadengan lahan pelaba pura, semuanya dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian. Khususnya pelaba Pura Dalem yang berada di utara dan
barat pura yang sekarang dimanfaatkan sebagai pasar dan beberapa
fungsi lain seperti lapangan, wantilan, TK, pengembangan jaba sisi
pura, dan perumahan sedangkan pelaba Pura Puseh merupakan
lahan tegalan dan pemanfaatannya sekarang berupa kantor LPD,
dan sebagian lagi disewakan sebagai toko"(wawancara tgl 9
Februari 2013)
Dalam pencarian dokumen penunjang berdasarkan rujukan Drs. I Gusti
Made Anom merujuk pada data awig-awig terbaru Desa Pakraman Panjer yang
dibuat pada tahun 1908 dan telah direvisi sebanyak 3 kali yakni pada tahun 1986
(revisi I), dan tahun 2007 (revisi ke II). Dalam awig tersebut dijelaskan bahwa
dulu keadaan tanah pelaba pura terdiri dari beberapa petak lahan dengan
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 55/142
55
pengemponnya masing-masing sebagaimana tertulis pada Pawos 19 mengenai
" Indik Druwen Desa" dijelaskan sebagi berikut:
Pasal ha (1):
"Tanah sawah malinggah 150 are, kaamong antuk para kelian ring
suang-suang banjar, pamuponnya kaanggen ngaci ring Pura
Kahyangan Tiga"
Artinya:
"Tanah sawah dengan luas 150 are, dikelola oleh para kelianmasing-masing banjar, hasilnya digunakan untuk menunjang pura
Kahyangan Tiga."
Pasal na (2):
"Tanah tegalan malinggah 30 are, dados tegak umah dabe
pemangku ring Pura Dalem sareng ring pemangku pura
Kahyangan Desa."
Artinya:
"Tanah tegalan seluas 30 are, sebagai rumah pemangku Pura
Dalem dan pemangku Kahyangan Desa."
Pasal ca (3):
"Tanah tegalan melinggah 10 are, dados gegaleng Pura Dalem
Artinya:
"Tanah ladang seluas 10 are, sebagai tempat gegaleng Pura
Dalem,"
Pasal ra (4):
"Tanah tegalan melinggah 60 are, kadadosang sawah kaamong
antuk pemangku Pura dalem sareng ring pemangku kahyangan
desa antuk nandu utawi ngupetin manut daging parareman krama
Desa Pakraman ."
Artinya:
"Tanah ladang dengan luasan 60 are, digunakan sebagai sawah di
kelola oleh pemangku Pura Dalem dan pemangku Kahyangan Desa
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 56/142
56
sebagai penggarap atau memanfaatkannya berdasarkan keputusan
perarem krama Desa Pakraman ."
Pasal ka (5):
"Tanah tegalan malinggah 4 are, kaamong antuk pemangku Pura
Desa, kaanggen prabeya pererainan ring Pura Desa."
Artinya:
"Tanah ladang dengan luas 4 are, di kelola oleh pemangku desa,
digunakan untuk pembiayaan pererainan di Pura Desa."
"siwosan ring pelaba pura inucap, wenten taler tanah paderben
desa malinggah 30 are, dados tegak pura desa, bale agung miwah
Pura Taman."
Artinya:
"yang lain dari pelaba pura tersebut, ada juga tanah kepunyaan
desa seluas 30 are, sebagai tempat pura desa, bale agung serta pura
taman."
Pada awal mulanya tanah pelaba pura terbagi menjadi 5 persil yang
letaknya terpisah secara fisik dengan luasan yang jelas antara lain seluas 150 are
sebagai lahan sawah, 30 are sebagai rumah pemangku, 10 are sebagai gegaleng
Pura Dalem, tanah ladang seluas 60 are, digarap oleh pemangku Pura Dalem dan
pemangku Pura Kahyangan, tanah ladang yang digunakan untuk pererainan, dan
30 are sebagai tempat Pura Puseh, dan Bale Agung. Jika ditotal, tanah pelaba pura
desa seluas 254 are dan tanah untuk pura seluas 30 are, sedangkan kepemilikan
tanah pelaba pura sekarang luasannya tetap. Penambahan aset berupa tanah seluas
5 dan 3 are dengan status kepemilikan hak guna pakai yang merupakan fasilitas
umum LC yang diterapkan pemerintah di kawasan ini secara bertahap pada tahun
anggaran 1989/1990, 1993/1994, dan tahun anggaran 1995/1996. Data lain yang
dapat ditafsir yakni, masing masing lahan mempunyai penanggung jawab
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 57/142
57
finansialnya yakni pemangku pura masing-masing khususnya pembiayaan
pererainan (upacara yang dilakukan setiap hari).
Kronologi perubahan akan dijelaskan secara lebih detail pada masing-
masing kasus. Hasil rekonstruksi perubahan tersebut kemudian akan dimatriks-
kan guna mensarikan tema-tema temuan dari masing-masing kasus untuk
membantu proses analisis dan pada akhirnya mendapatkan pemahaman utuh
mengenai fenomena perubahan yang terjadi.
4.2.1 Tanah pelaba Pura Puseh (Kasus 1)
Pura Puseh Desa Pakraman Panjer hanya memiliki lahan pelaba seluas
900 m2. Sertifikat lahan kini sedang dalam proses pengajuan. Kondisi lahan
merupakan lahan dengan topografi datar yang bersebelahan dengan saluran irigasi
subak. Lokasi lahan pelaba Pura Puseh dan Pura Desa berada di jalan
Waturenggong-Tukad Pakrisan dengan lebar 6 meter dan termasuk berada pada
lokasi yang sangat strategis. Jalan yang berbatasan dengan persil tanah pelaba
pura ini merupakan akses utama dari Denpasar Selatan terutama Sidakarya
menuju ke Pusat Kota Denpasar, dan Civic Centre Renon.
Berdasarkan wawancara dengan Wayan Budiana selaku Bendesa adat
Desa Pakraman Panjer dijelaskan bahwa sebelum tahun 1970, sebagian besar
pemanfaatan lahan di Desa Pakraman Panjer merupakan lahan pertanian termasuk
pemanfaatan lahan pelaba Pura Puseh/ Pura Desa adalah lahan sawah, sebagian
lagi merupakan lahan kosong yang ditanami berbagai tanaman yang berkaitan
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 58/142
58
dengan sarana upakara keagamaan. Berikut petikan dari pada hasil wawancara
tersebut:
" Dumun wewidangan desa Panjer hampir makasami carik, nanem
pantun. Yening pelaba pura druwen pura puseh sedurung dados
Sekolah Dasar, dados pelinggih bale agung lan pengulun subak,
sane ilu nika carik kering , tetanemane soroh tanaman upakara
sekad biu, nyuh "
Terjemahannya sebagai berikut:
"Dulu wilayah desa Panjer hampir semua adalah sawah,
masyarakat menanam padi. Kalau pelaba Pura Puseh, sebelum
sebagai sekolah dasar adalah sebagai tempat pura Bale Agung, dan
pura pengulun subak , dan sebelum itu sawah kering, tanamannya
berupa tanaman upakara seperti pisang, kelapa..."
Penjelasan lebih lanjut mengenai kondisi dan waktu perubahan
diterangkan oleh Bapak Drs. I Gusti Made Anom, bahwa perubahan dari lahan
sawah menjadi Pura Bale Agung terjadi pada tahun 1954, kemudian disusul
dengan pemindahan Pura Pengulun Subak dari posisi yang dulunya terletak di
utara Pura Bale Agung yang sekarang berlokasi diareal Pura Bale Agung itu
sendiri pada tahun 1966. Perubahan fungsi ini masih dalam konteks perubahan
yang wajar (belum terjadi perubahan yang mengarah pada perubahan yang
disebabkan karena berubahnya cara pandang krama pakraman). Lebih jelas
mengenai kondisi lahan pelaba Pura puseh sebelum dimanfaatkan sebagai LPD
dan Toko sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.10 sebagai berikut:
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 59/142
59
Gambar 4.10 Rekonstruksi Kondisi Pura Desa/ Puseh dan
Lahan Pelaba Pura Puseh sebelum tahun 1980
Lokasi Pura Pengulun Subak berada area hulu persil, berdekatan dengan
saluran irigasi yang berada di sebelah timurnya. Pura Bale Agung berada di
sebelah utara dari Pura Puseh, dan jaba sisi Pura Puseh adalah lahan tegalan
tanpa penyengker (tembok pagar pura), yang dimanfaatkan masyarakat sebagai
tempat bergotong royong mempersiapkan sarana prasarana upakara. Lahan pelaba
yang sekarang dimanfaatkan sebagai kantor LPD merupakan lahan tegalan yang
ditanami tanaman-tanaman upakara dan kantor LPD sebelumnya berada di
bangunan yang difungsikan sebagai pewaregan pura.
Beberapa jenis tanaman yang ditanam pada pelaba Pura Puseh sebelum
dibangun sebagai kantor LPD, antara lain pohon biu/ pisang (Musa sp) dan pohon
kelapa dan prasok (Yucca SP). Pisang memiliki kegunaan yang sangat luas bagi
krama dalam berbagai upakara. Umumnya yang digunakan adalah buahnya.
Buah-buahan (termasuk buah pisang) untuk keperluan upakara, dikenal dengan
sebutan raka-raka. Kadang-kadang juga hanya ujung daunnya saja (dikenal
Pura Bale agung
Pura Pengulun
Subak
Lokasi Batu Besar
Pelinggih Ratu Gede
Muntung
Lokasi LPD lama
Pura Desa/Puseh Desa
Pakraman Panjer
Ladang, dengan
tanaman
upakara seperti pisang,
jepun, alang-alang,
sandat / kamboja dll
sawah
sawah
UTARA
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 60/142
60
dengan don terunjungan). Tetapi dalam beberapa hal, digunakan seuntuhnya
mulai batang, buah, jantung dan daunnya, dikenal dengan biu alung.
Gambar 4.11 Beberapa Jenis Tanaman yang Ditanampada Tanah Pelaba (Tanah Tegal)
Beberapa jenis pisang yang ditanam antara lain biu Bali, digunakan untuk
keperluan upakara seperti alas segehan, suci, dangsil penek, tetukon, baten
pawiwahan, banten soroan, caru, punjung dan lain-lain. Biu dang saba, buahnya
digunakan untuk raka-raka, bagia pula kerthi, sesayut, gebogan, daunnya
digunakan untuk alas memandikan (nusang) sawa/ orang meningal. Biu Kayu,
buahnya digunakan untuk kelengkapan banten suci, upakara sawa petaka, biu
alung, bebangkit, banten colongan, pula kerti, penuntun dan lain-lain. Selain
pisang ada pohon kelapa yang daunnya digunakan sebagai bahan pembuatan
canang. Selain pisang dan kelapa, beberapa tanaman lain yang ditanam di sekitar
lahan tersebut antara lain yakni beberapa tanaman bunga seperti cempaka dan
jepun (kamboja) yang juga mempunyai fungsi sebagai bahan dasar prasarana
upakara (Drs. I Gusti Made Anom, wawancara tangal 9 April 2013)
Seiring berjalannya waktu, pemanfaatan lahan di sekitar pelaba Pura Desa
mengalami perubahan akibat nilai lahan yang meningkat. Meningkatnya nilai
lahan ini dikarenakan aglomerasi penduduk yang datang dari segala penjuru kota
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 61/142
61
untuk menetap, bekerja ataupun hanya berkepentingan untuk bersekolah, bekerja
dan lain sebagainya di wilayah Desa Pakraman Panjer. Peningkatan yang
signifikan terjadi setelah Land Consolidation diimplemantasikan. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan kepada beberapa penduduk, dapat direkonstruksi
perubahan pemanfaatan di sekitar pelaba pada Gambar 4.12 sebagai berikut:
Gambar 4.12 Rekonstruksi Perubahan
Pemanfaatan Lahan di Sekitar Pelaba Pura Desa/ Puseh
Sebagaimana terlihat pada Gambar 4.12, kecenderungan pemanfaatan
lahan di sekitar lahan pelaba pura adalah kearah pemanfaatan lahan terbangun
dan perubahan pada lahan ternyata juga turut mempengaruhi fungsi dan nilai
lahan pelaba pura. Sebelum tahun 1980 kadaan di sekitar lahan pelaba pura
Th 1980 Th 1990
Th 2000 Th 2010
Pemukiman
Lahan tidak terbangun
Toko/ ruko
Rumah Kos
Pendidikan
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 62/142
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 63/142
63
Subak di jalan Tukad Musi 5. Dijelaskan lebih lanjut, sementara pelaksanaan
pembangunan SD 1 yang baru, lokasi lahan pelaba dibangun toko pada tahun
2003 sebanyak 10 unit. Dana dari hasil kontrak pertama digunakan untuk
menutupi biaya pembangunan SD 1 Panjer. Adapun petikan wawancara yang
menguatkan data keterangan tersebut sebagai berikut:
"... di sekitar sekolah ini bising, arus lalu lintas ramai, akhirnya
diberikan begini solusinya, "kalau mau , karena sudah tidak
representatif lagi dijadikan sekolah, diambil milik tiang nem (milik
saya enam) (6) gaen tiang nem (buatkan saya enam) (6)”,
Penukaran dilakukan dengan Tanah Negara (TN) yang sekarang
merupakan tanah bukti Pura Subak, berlokasi di jalan Tukad Musi
kurang lebih 8,25 are. Setelah sepakat, dan disetujui oleh
pemerintah tahun 2003, aktifitas belajar mengajarpun pindah ke
Jalan Tukad Musi, dan kemudian tanah bekas SD di Jalan
Waturenggong tiang (saya) jadikan ruko."
Faktor ekonomi bukan merupakan prioritas utama dimana pada saat yang
sama kinerja LPD yang sebelumnya berlokasi di mandala Pura Puseh telah
mengalami peningkatan dan disamping itu, peturunan dari krama dan dana
jagabaya penduduk pendatang "krama tamiu" juga merupakan sumber daya
ekonomi yang dapat diandalkan, dalam artian aspek "finansial" bukanlah
permasalahan utama bagi Desa Pakraman Panjer. Namun kondisinya ternyata
berbeda yang menyebabkan keputusan mengarah pada pilihan untuk
memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan toko, dimana pada saat itu dana abadi
desa di LPD dan dana Jagabaya, serta paturunan yang dilakukan belum
sepenuhnya mampu menunjang pembangunan di desa akibat dialokasikan pada
kegiatan Ngenteg Linggih yang menghabiskan dana yang cukup besar sehingga
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 64/142
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 65/142
65
"…karena dimanfaatkan sebagai SD, melalui paruman desa maka
Pura Pengulun Subak dipindahkan ke dalam areal mandala Pura
Bale Agung dengan pertimbangan untuk melestarikan pura
tersebut mengingat pengempon Pura Subak kian hari kian
menyusut"
Lebih lanjut dijelaskan bahwa selain dipindahkannya Pura Subak,
perubahan fisik yang terjadi pada lahan terkait dengan benda-benda sakral yakni
dipindahkannya batu besar yang dipercayai mempunyai nilai magis.
"... dulu ada batu besar dan keberadaannya masih dapat dilihat
sampai sekarang. Kalau diangkat dengan empat orang, serta tidak
menggunakan alat, tidak akan bisa diangkat. Batu itu kemudian
saya buatkan tempat seperti pelangkiran dengan kaki batu hitam.
Sekarang disebut linggih (stana) Ratu Gde Muntung. Konon kalau
ada babi sakit, masyarakat datang untuk nunas (meminta) toya
dengan membahasahi permukaan batu dengan air, setelah itu
seketika babi tersebut sembuh. Dulu tempatnya dibawah,
meguyang. mangkin (sekarang) diatas menyerupai linggih
prasasti."
Berikut gambar dari Linggih Ratu Gde Muntung yang berlokasi
diareal utamaning mandala Pura Bale Agung pada Gambar 4.13:
Gambar 4.13 Linggih Ratu Gede Muntung
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 66/142
66
Sebelum dilaksanakannya pembangunan, pada kasus ini tetap dilaksanakan
ritual sebagaimana tardisi yang berlaku. Berikut petikan wawancara diutarakan
oleh Drs. Gusti Made Anom selaku Bendesa pada saat dilakukannya pemindahan
batu.
"Tetep nika, niki memakai caru gede, caru rsi gana (tetap,
menggunakan caru besar, yang disebut sebagai caru Rsi Gana)
memakai pendeta, pedanda, carunya caru Rsi Gana, karena bekas
sawah kita pakai sekolah. Ritualnya tetap, mlaspas alit dengan
ritualnya caru sapuh au, prosesnya didahului dengan upakarasapuh au guna menetralisir secara niskala.”
Keterkaitan tanah pelaba sebagai suatu tempat yang mempunyai nilai
"sakral" bagi desa adat yang secara niskala adalah sebagai tempat bagi rencang-
rencang (roh-roh penjaga desa) terlihat dengan adanya ritual yang tetap rutin
dilaksanakan oleh desa melalui pemangku pura yang didelegasikan oleh desa
untuk melaksanakan ritual tersebut. Pada saat observasi dilakukan pada rahinan
Tilem (Wrespati pon, 9 mei 2013 wuku krulut, desta) nampak bahwa pemangku
Pura Puseh sedang mengaturkan sesaji, canang, dan berbagai persembahan lain
pada pelinggih toko yang merupakan bekas pelinggih Pura Pengulun Subak
sebagaimana nampak pada Gambar 4.14.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 67/142
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 68/142
68
Gambar 4.15 Implementasi Gegaleng Berupa Jarak dari
Tembok Penyengker Pura ke Bangunan
Perubahan nilai pada jarak gegaleng ini merupakan implikasi keruangan
yang menarik terjadi di Desa Pakraman Panjer. Sebelumnya menurut penglingsir
(orang yang dianggap mumpuni dalam pengetahuan mengenai kehidupan Desa
Pakraman) disebutkan radius kesucian pura dulunya selebar apanimpug
(sepelempar) batu (Wayan Sukra, 5 mei 2013).
Berdasarkan observasi pada lokasi lahan pelaba pura, kondisi lahan
pelaba pura setelah perubahan dapat dilihat pada Gambar 4.16 sebagai berikut:
GEGALENG PURA
Lahan pelaba
pura puseh ,
tempat parkir
Toko
Toko disewa
sebagai distro,
minimarket,
Tembok PuraBale Agung
Toko
Jarak Adepa
Agung
Pura Puseh
UTARA
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 69/142
69
Gambar 4.16 Kondisi Pura Desa/ Puseh dan Lahan Pelaba Puranya Sekarang (2013)
Beberapa hal yang dapat disarikan dari kasus 1 (lahan pelaba Pura Puseh
ini antara lain dasar pertimbangan dilakukannya perubahan yakni kebutuhan akan
fasilitas, disamping itu juga dipengaruhi oleh pertimbangan keamanan dalam
aktifitas belajar mengajar (nilai sosial), serta atas dasar pertimbangan nilai
ekonomi lahan. Perubahan guna lahan sekarang menjadi fungsi perdagangan
dimana dulunya merupakan lahan hijau. Proses terjadinya perubahan didahului
sekarang (2013)
fungsi ;Toko
dulu SD 1 Panjer,dan
sebelumnya Bale
Agung
LPD dibangun tahun
dulunya lahan ladang
Bale Agung
dulu lahan kosong (jaba sisi)
Pelinggih Pengulun Subak
sekarang
Pelinggih Pengulun Subak
sebelum th 1966 sekarang
menjadi pelinggih Toko
Pura Desa/Puseh
Bekas LPD th 1986
sekarang menjadi
pewaregan pura
Jl. Tukad
Pakrisan
UTARA
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 70/142
70
dengan paruman, kemudian berlanjut dengan pengajuan injin peruntukan
pemanfaatan lahan ke pemerintah kota, setelah memperoleh izin dilanjutkan
dengan dilaksanakannya ritual caru sapuh au, dan pada pada kasus ini juga terjadi
proses tukar guling. Sumber dana pembangunan dibiayai oleh Desa Pakraman.
Dalam pembiayaan operasional pemanfaatan lahan dibiayai oleh desa dan juga
melibatkan pihak penyewa toko yang dikontrakkan. Temuan lain yakni terjadi
perubahan pada site diantaranya dibuatnya pelinggih untuk toko dan LPD,
dipindahkannya pura Pengulun Subak dan batu besar bertuah ke areal pura, dan
juga terjadi penyusutan jarak gegaleng pura. Temuan lain yakni upakara yang
tetap dilakukan sebagaimana dilaksanakan sebelum terjadinya perubahan, namun
terjadi perubahan pada lokasi dilaksanakannya upakara, serta beberapa
kepercayaan tetap dipercayai oleh krama pakraman.
4.2.2 Tanah pelaba Pura Dalem
Kasus perubahan berikutnya yakni perubahan pemanfaatan tanah pelaba
Pura Dalem yang memiliki 8 persil tanah pelaba pura yang letaknya cenderung
mengelompok di sekitar Pura Dalem. Dari wawancara yang dilakukan pada warga
di sekitar Pura Dalem, dapat direkonstruksikan pola pemanfaatan lahan di sekitar
Pura Dalem dari sebelum tahun 1980-2013 pada Gambar 4.17 sebagai berikut:
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 71/142
71
Gambar 4.17 Perubahan Pemanfatan Lahan Di sekitar Pelaba Pura Dalem
Sebelum tahun 1980 sebagian besar pemanfaatan lahan di sekitar
merupakan lahan sawah, pada saat itu belum terdapat jalan di sebelah selatan Pura
Dalem yang baru di kembangkan pada tahun 2003 (jalan kapur) dan jalan
Batanghari yang dikembangkan pada saat LC tahap pertama pada tahun 1989 di
Panjer. Dengan adanya pengembangan jalan tersebut nilai lahan di sekitar
lingkungan Pura Dalem semakin meningkat dan 10 tahun berikutnya (1990) mulai
Sebelum Tahun 1980
Tahun 1980- 1990
Tahun 1990- 2000
Tahun 2000-2013
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 72/142
72
banyak bermunculan pembangunan pemukiman di sebelah utara lahan pelaba
Pura Dalem dengan fungsi sebagai lapangan desa. Penjelasan masing-masing
lahan pelaba Pura Dalem akan diuraikan lebih detail pada subbab 4.2.2.1-subbab
4.2.2.8.
4.2.2.1 Tanah sertifikat no: 3349 (kasus 2) Pasar Nyanggelan
Kasus pertama perubahan pemanfaatan lahan pada tanah pelaba Pura
Dalem dengan sertifikat no: 3349 yang berada di jalan Tukad Pakrisan yang
merupakan jalan penghubung antara Kota Denpasar menuju Desa Sidakarya,
Denpasar Selatan. Letaknya cukup strategis, karena terlihat dari jalan, dan
terdapat akses bagi masyarakat Renon melalui Jalan Batanghari, serta masyarakat
dari Desa Sidakarya. Lokasi tanah pelaba-nya dapat dilihat pada Gambar 4.18
sebagai berikut:
Gambar 4.18 Lokasi Lahan Pelaba Pura Dalem dengan Sertifikat No:3399
Fungsi yang muncul pada tanah pelaba Pura Dalem dengan sertifikat No:
3399 ini didasari atas pertimbangan Desa Pakraman Panjer belum mempunyai
pasar tradisional sebagai tempat aktifitas jual beli masyarakat pakraman.
Sebelumnya Pasar Renon, dan Pasar Sanglah merupakan tujuan utama bagi
Pura Dalem
Pasar Nyanggelan
Pura Kahyangan
Pemukiman warga
SetraWantilan &
Lapangan
Permukiman
Permukiman
UTARA
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 73/142
73
masyarakat Panjer dalam memenuhi kebutuhan pangan, ataupun keperluan
upakara. Ide untuk membangun pasar dilokasi ini dipelopori oleh Drs. I Gusti
Made Anom selaku Bendesa Pakraman sebagaimana tersirat pada petikan
wawancara yang diambil pada tanggal 9 april 2013, sebagai berikut:
" dulu pasar nak pelaba pura nika ( pasar merupakan lahan pelaba
pura), artine ne menin bukti ne dangin Pura Dalem banjar kaja
(artinya yang menggarap tanah bukti tersebut yang berlokasi
disebelah timur Pura Dalem adalah Banjar Kaja) , nyen je maan
ngodalan nika menin, tiang mekelo menin (siapa yang
mendapatkan giliran melaksanakan upakara adalah pihak yangyang dapat memanfaatkan lahan, saya cukup lama
memanfaatkannya), sehingga ada gerakan untuk menggali dana
guna mendukung dari odalan di pura, apakah kita tidak bisa buat
pasar? pasar tradisional. Kemudian usulan diteruskan ke walikota,
ternyata mendapat dukungan penuh dari kota "oh bagus, kalau
disana dibuatkan pasar" (walikota). Dengan demikian dikeluarkan
ijin untuk mebuat pasar dari tanah desa. Tetap diberikan bantuan
dari pemerintah, yang dialokasikan untuk pembangunan fisiknya.
Untuk penghasilan pasar, dari setelah tiang (saya) berhenti dari
Bendesa barulah ada kelihatan keuntungan, sekian untuk pura,
kalau dulunya sekadi celeng ngelengisin ibe (seperti babi melumuri
dirinya dengan minyak) , keuntungannya hanya untuk di putar
disana saja dulu, sekarang sudah mampu untuk mensubsidi ke desa
adat. "
Prosesi atau mekanisme perubahan hampir sama dengan proses atau
mekanisme perubahan pada kasus 1, dimana ide atau gagasan dimulai dari
Bendesa (Drs, I Gusti Made Anom) yang kemudian di paumkan/ dirapatkan di
desa guna mendapatkan masukan dari Sabha dan Kertha Desa. Setelah konsensus
diperoleh, hasil kebijakan diteruskan ke instansi pemerintah guna mendapatkan
ijin serta bantuan pendanaan, dan kemudian barulah pembangunan dilaksanakan.
Persetujuan Walikota dari pada nilai pemberdayaan masyarakat yang terkandung
didalam fungsi pasar di Desa Pakraman Panjer diteruskan dengan dana bantuan
pembangunan yang dihibahkan berupa dana pembangunan fisik. Di dalam proses
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 74/142
74
pembangunannya, keuntungan dari penyewaan kios selama 5 tahun dipergunakan
untuk melanjutkan pembangunan los pasar, dan beberapa bangunan penunjang
lainnya hingga pada akhirnya pada tahun ke lima baru keuntungan dari hasil
pengelolaannya dapat digunakan untuk menunjang "finansial" Desa Pakraman .
Sebelum dimanfaatkan sebagai Pasar Nyanggelan (1995), lahan pasar ini
dimanfaatkan sebagai lahan sawah yang digarap oleh pemangku Pura Puseh karena
lahan pelaba Pura Puseh yang dimiliki tidak sebanyak pelaba Pura Dalem,
sebagaimana pernyataan Prof. Wayan Budiana sebagai berikut:
"... oleh karena lahan pelaba Pura Puseh sedikit dan tidak
mencukupi untuk menunjang berlangsungnya biaya pererainan,
maka desa adat pada waktu itu membijaksanainya dengan
memberikan sebagian lahan yang sekarang merupakan lahan Pasar
Nyanggelan digarap oleh pemangku Desa-Puseh dan Desa
Pakraman..."
Pendelegasian ini diupayakan dalam rangka memenuhi tanggung jawab
desa terhadap kesejahteraan pemangku-nya dimana menurut Wayan Budiana, hal
ini merupakan salah satu bentuk yadnya. Didalam ajaran agama Hindu dikenal
dengan Rsi Yadnya yakni bentuk yadnya (persembahan suci) yang diberikan
kepada pendeta, sulinggih, pemangku sebagai bentuk rasa penghormatan
terhadapnya.
Posisi pendelegasian tetap diputuskan oleh lembaga Desa Pakraman
melalui manggala atau pimpinannya yang didasarkan atas kesepakatan bersama
dan serta atas saran dari Sabha, dan Kertha Desa sebagai legiselator Desa
Pakraman. Keputusan terkait pemanfaatan lahan adalah didasarkan pada asas
keseimbangan. (Drs., I Gusti Made Anom, wawancara 11 mei 2013 )
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 75/142
75
Pernyataan tersebut dikuatkan dengan hasil wawancara yang dilakukan
terhadap kepala pasar Bapak Wayan Darmantra. S.Pt yang juga mengetahui
dengan jelas angka tahun perubahan yang terjadi, sebagai berikut:
"...sebelum jadi pasar, lahan ini merupakan lahan sawah. Tahun
1994, disepakati dibangun pasar, 1995 diresmikan, kemudian
dijalankan, hasilnya digunakan untuk pembangunan fisik, sekarang
sudah 95 persen telah selesai dibangun... "
Kemudian dilanjutkan dengan pernyataan bahwa kepengelolaannya
sepenuhnya diserahkan kepada kepala pasar beserta jajarannya. Bentuk
penghasilan yang diperoleh dengan pemanfaatan lahan pelaba pura ini sebagai
pasar antara lain dari retribusi parkir, dan retribusi sewa kios/ los pasar. Retribusi
yang dikenakan kepada pedagang direkap dan diserahkan ke desa dan sebagaian
penghasilannya digunakan untuk biaya operasional pegawai beserta gajinya.
Pembiayaan pembangunan pasar, didanai oleh pemerintah, dan pengembangan
bangunan fisik pasar, memanfaatkan dana dari hasil pengelolaannya.
Dengan dimanfaatkannya tanah pelaba pura sebagai pasar desa
menyebabkan desa membentuk lembaga pengelola pasar desa yang anggotanya
diambil dari krama desa yang berkompeten di dalamnya. Struktur organisasi Pasar
Desa Nyanggelan yang terbentuk dijelaskan pada Gambar 4.19 sebagai berikut:
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 76/142
76
Gambar 4.19 Struktur Organisasi Pengelolaan Pasar Nyanggelan
Terbentuknya struktur organisasi ini dikarenakan kebutuhan manajerial
fungsi baru yang dapat dikatakan cukup kompleks. Jika merujuk kebelakang,
organisasi yang terbentuk dengan mengasosiasikan fungsi pemanfaatan lahan
pelaba pura sebagai lahan sawah yakni berupa organisasi yang bersifat tradisional.
Terbentuk dari rasa primordialitas, rasa memiliki “nyama braya” yang dapat
diabstarksikan sebagai implementasi konsepsi kehidupan masyarakat tradisi sagilik
saguluk, salunglung sabayantaka, paras parossarpanaya, beriuksaguluk . Konsepsi
ini mengandung nilai solidaritas yang tinggi dalam suka dan duka, baik dan buruk
PEMBINA
Bendesa Desa Pakraman Panjer
KEPALA PASAR
I Wayan Darmana.,S.Pt
KAUR ADM. DAN KEUANGAN
I Made Suarka
KAUR KETERTIBAN
I Wayan Sudarsa
RETRIBUSI
I Wyn Sudarsa
PARKIR
1. I Made Darma2. I Made Wita3. I Nengah Kantun4. I Made Arta
5. I Made Kariasa
6. I Made Supardika
KEAMANAN1. I Made Muka2.
A.A Putu Gede
3. I Gusti Putu Yana
4.
I Ketut Parka
KEBERSIHAN5.
I Made Moji
6.
A.A Putu Gede Oka
PEDAGANG
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 77/142
77
ditanggung bersama dalam berbagai kegiatan baik suka maupun duka lepas dari
nilai-nilai materialitas kehidupan kapitalis pada masa sekarang (Wayan Budiana.,
SH., MSi).
Fenomena lain yang cukup menarik yakni didapatkan informasi bahwa
pada tahun 2013 akan dilaksanakan renovasi fisik pasar Nyanggelan. Renovasi ini
didanai oleh dana hibah yang didapatkan melalui pengajuan proposal
pembangunan ke pihak Walikota Denpasar. Dalam dokumen perencanaan pasar
didapatkan gambar perencanaan arsitektural pasar Nyanggelan yang baru
sebagaimana nampak pada Gambar 4.20 sebagai berikut:
Gambar 4.20 Rencana Renovasi Pasar Nyanggelan realisasi 2014
(Dokumen Perencanaan Renovasi Pasar Nyanggelan: 2013)
Terjadi perubvahan pemanfaatan ruang dimana lapangan bola yang juga
merupakan lahan pelaba Pura Dalem dimanfaatkan sebagai tempat relokasi
sementara pasar Nyanggelan. Pemanfaatan lahan ini berlangsung selama proses
pembangunan dilakukan sebagaimana penjelasan Wayan Darmantra.,S.Pt yang
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 78/142
78
juga menjelaskan mengenai dana hibah yang diterima beserta prosesnya sebagai
berikut:
"lapangan (lahan pelaba pura utara Pura dalem) sekarang
digunakan sebagai tempat relokasi. Pembangunan pasar ini
mendapat bantuan dana APBN, karena kita buat proposal untuk
itu, diproses dan akhirnya keluar, kita dapat bantuan 5 Miliar.
Kemungkinan Mei akhir, relokasi mulai dilakukan, dibangun
sementara di lapangan desa. Setelah diresmikan, pindahlah
kemudian ke Pasar Nyanggelan yang baru..."
Digunakannya lapangan sebagai tempat relokasi sementara menjelaskan
karakteristik sifat lahan ini sebagai lahan multi fungsi. Pesan yang kuat adalah
peran dan fungsinya lahan pelaba pura meluas tidak sebagaimana peran dan
fungsi lahan pelaba pura pada saat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Kegiatan ritual pada kasus ini sebagaimana pada kasus 1 juga tetap
dilakukan. Dengan dibangunnnya pelinggih Melanting sebagai Parhyangan Pasar,
upakara sebagai persembahan atas kepercayaan lahan pelaba pura sebagai stana
rencang-rencang/ ancangan penjaga pura dilakukan pada pelinggih Pura
Melanting, Panglurah, dan tugu penunggu karang.
Dari sekian pemaparan mengenai perubahan yang terjadi pada lahan
pelaba Pura Dalem dengan sertifikat nomor: 3349 ini, didapatkan beberapa
temuan antara lain: dasar pertimbangan terjadinya perubahan diantaranya
dikarenakan kebutuhan akan fasilitas dan atas dasar nilai ekonomi yang tentunya
akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pakraman. Proses perubahan
atau mekanismenya hampir sama dengan yang ditemukan pada kasus 1 hanya saja
tidak terdapat proses tukar guling. Guna lahan menjadi fungsi perdagangan,
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 79/142
79
sumber dana pembangunan selain di sokong oleh desa juga didanai oleh
pemerintah melalui dana hibah. Biaya operasional pemanfaatan lahan dibiayai
oleh desa yang bersumber dari retribusi parker, dan sewa kios atau los pasar.
Pihak pengelola pasar yakni sepenuhnya dikelola oleh desa melalui organisasi
pengelola pasar yang dibentuk. Upakara tetap dilakukan hanya saja tempat atau
lokasinya berubah, dan nilai-nilai kepercayaan masyarakat tetap dengan masih
dipercayainya area lahan pelaba tersebut sebagai area “tenget ” yang mengikat
etika, tatwa dan susila krama pakraman.
4.2.2.2 Tanah sertifikat no: 5600 (kasus 3)
Pada kasus lahan pelaba Pura Dalem dengan sertifikat no 5600, sebelum
dimanfaatkan sebagai jalan desa, lahan tersebut dimanfaatkan sebagai lahan sawah
dengan kondisi di sekitar berupa saluran irigasi. Munculnya fungsi sebagai jalan
desa ini didasari atas pertimbangan proteksi terhadap area hulu Pura Dalem (utara)
yang bagi masyarakat Desa Pakraman Panjer memiliki nilai "sakral"
dimaksudkan sebagai jalan alternatif bagi "sawa" menuju setra (kuburan).
Aktifitas ini dinilai dapat mengakibatkan "leteh" atau terganggunya vibrasi
kesucian pura (I Gusti Made Anom, wawancara 9 Juni 2013). Kondisi warga yang
mengalami "kematian" dianggap dalam keadaan Cuntaka. Cuntaka, dalam Agama
Hindu adalah berkaitan dengan susila atau etika. Susila adalah tata nilai tentang
baik dan buruk (bukan salah dan benar), apa yang harus dikerjakan dan apa pula
yang harus dihindari sehingga tercipta suatu tatanan antar manusia dalam
masyarakat yang dianggap serasi, baik rukun dan bermanfaat bagi setiap orang
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 80/142
80
(Wayan Budiana, 15 Juni 2013). Berikut akan dijelaskan mengenai situasi lahan
pelaba pura yang dimanfaatkan sebagai jalan desa pada Gambar 4.21
Gambar 4.21 Pemanfaatan Lahan Di sekitar Lokasi Lahan Pelaba Pura yangDimanfaatkan Sebagai Jalan Desa
Bagi krama pakraman yang bertempat tinggal disekitar areal pura, sawa
atau bade (tempat jenasah) bergerak mengelilingi lapangan sebagaimana
ditunjukkan pada tanda panah orange pada gambar untuk menuju setra (kuburan)
yang berada di kurang lebih 200 m disebelah utara pasar Nyanggelan. Dasar
Situasi jalan desa
yang berbatasan
dengan pemukiman
Wantilan Desa
Pakraman, lokasi
kantor Desa
Pakraman
Lapangan sepak bola yang
berbatasan dengan lahan
pelaba yang difungsikan
sebagai jalan desa
TK Kumara Loka
Zona yang berbatasan
dengan Utamaning
Utama Mandala Pura
Dalem, dianggap zona
yang patut dijaga
kesakralannya.
Garis putus-putus
menunjukkan arah
sirkulasi sawa saat prosesi
ngaben dilaksanakan,
agar tidak "ngungkulin"
atau mengotori kesucian
Pura Dalem
Jalan menuju setra /
kuburan
Pura Dalem
UTARA
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 81/142
81
pertimbangan lain dimanfaatkannya tanah pelaba ini sebagai jalan desa adalah
atas dasar pertimbangan aksesbilitas krama yang bertempat tinggal disebelah utara
lapangan yang sebelumnya hanya terdapat akses berupa jalan pundukan
(tumpukan tanah yang dibentuk sebagai jalan) sehingga secara efisien dapat
menuju pasar tanpa harus memutar kearah Jalan Batanghari ataupun jalan
disebelah selatan Pasar (IGusti Made Anom, 15 Juni 2013). Disisi lain tersirat
motif ekonomi dikarenakan dengan adanya jalan ini maka aksesbilitas menuju
pasar akan lebih mudah yang artinya juga akan meningkatkan produktifitas
retribusi desa.
Temuan lain yakni dalam proses perubahan pemanfaatan lahannya. Pada
kasus ini sedikit berbeda dengan sebagaimana yang ditemukan pada kasus 1 dan
2, proses perubahan melibatkan persetujuan warga di sekitar yang memang
memerlukan adanya jalan namun dalam konteks sebagai tambahan sumber dana
pembiayaan pembangunan jalan. Mekanismenya tetap didahului dengan paruman
yang melibatkan krama desa, serta pihak Sabha dan Kerta Desa, persetujuan akan
peruntukan lahan kepada pemerintah Kota, ritual caru sapuh au, dan tahap
selanjutnya pelaksanaan pembangunan langsung dilakukan oleh desa.
Pembangunan ditanggung dari dana pengelolaan pelaba pura yang lain dan dari
sumbangan yang dipungut kepada masyarakat sekitar.
Pembangunan jalan alternatif ini cukup berdampak pada laju
pembangunan di sekitar area Pura Dalem. Pembangunan jalan desa ini secara
tidak langsung menstimulus pembangunan dan juga meningkatkan harga lahan
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 82/142
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 83/142
83
juga ditanggung oleh desa dan warga pendatang disekitar. Tidak ada distribusi
hasil secara langsung yang diterima desa dari pemanfaatan lahan ini sebagai jalan
desa. Perubahan fisik menjadi lahan terbangun, tidak ditemukan pelinggih yang
secara khusus pada fungsi ini. Upakara dilakukan secara “ngayat ” dan tidak
ditemukan unsur-unsur kepercayaan sebagaimana ditemukan pada beberapa kasus
yang telah dipaparkan sebelumnya.
4.2.2.3 Tanah sertifikat no: 5602 (kasus 4)
Tanah dengan sertifikat lahan no: 5602 merupakan tanah pelaba pura
milik Pura Dalem yang berlokasi di sebelah timur lapangan Desa Pakraman
Panjer yang sekarang dimanfaatkan sebagai TK Kumara Loka. Batas sebelah
timur, utara dan selatan persil adalah jalan lingkungan.
Topografi lahan sebagaimana kondisi lahan pada umumnya di Desa
Pakraman. Kondisi lahan cukup landai yang dulunya merupakan lahan tegalan,
yang dimanfaatkan sebagai area untuk menanam tanaman yang berkaitan dengan
keperluan upakara keagamaan ( pererainan) atau upakara yang dilakukan sehari-
hari seperti pohon pisang, dan kelapa sebagaimana pemanfaatan lahan pelaba
pura pada kasus 1 (sebelum menjadi lahan terbangun). Pemanfaatan areal lahan
sebagai ladang ini, tidak dimaksudkan sebagai sumber daya potensial guna
menunjang perekonomian desa. Pendayagunaan sumberdaya yang ada hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan keseharian petani penggarap.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 84/142
84
Gambar 4.22 Situasi Lahan Pelaba Pura yang DimanfaatkanSebagai TK Kumara Loka
TK Kumaraloka sebelumnya berlokasi di Jalan Tukad Pakrisan dekat
dengan lokasi Pura Puseh. TK tersebut dipindah oleh karena lokasi awal yang
terletak di Jl Pakrisan sudah tidak kondusif untuk menampung aktifitas belajar
anak-anak akibat ruang kelas yang sempit, keamanan, dan suana bising arus lalu-
lintas (I Gusti Made Anom 15 Juni 2013). Sebelum dijadikan TK Kumaraloka (Jl.
Tukad Pakerisan) areal tersebut difungsikan sebagai sekolah TP. 45 dengan luas
lahan 3, 25 are. Informasi lebih lanjut didapatkan data mengenai proses
perubahannya sebagaimana petikan wawacara kepada Drs. I Gusti Made Anom
selaku Bendesa pada periode tahun 2002-2007, sebagai berikut:
"...kantor kepala desa dulu adalah terletak di jaba sisi Pura Puseh/
Desa. Kalau tidak salah LPD nya dulu tiang pertama jadi klian adat
tahun 86, LPD lama letaknya di jaba pura desa. Tanah tersebut
ditukar, dulunya merupakan tanah pribadi, tanah ragane ( beliau)
didepan diambil untuk LPD lama. (Tukar Guling). Tanah tersebut
diambil ke timur, sehingga sisanya digunakan sebagai TK Kumara
Loka. Karena tempat sempit, dan halaman anak-anak bermain
tidak ada, maka diprogramkanlah pembangunan pada tahun 2005-
2007."
Pemanfaatan tanah pelaba pura sebagai fasilitas pendidikan ternyata
mendatangkan pemasukan bagi desa yang dipergunakan sebagai dana operasional
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 85/142
85
dan kelebihannya masuk ke kas desa. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa dibentuk
sebuah yayasan yang ditujukkan guna mempertanggungjawabkan pengelolaannya.
"...setiap tahun, pendapatan dari pengelolaan TK, menghasilkan
pemasukan kurang lebih seratus juta rupiah, dipotong untuk gaji
guru dan pegawai dan kemudian masuk ke kas desa, dan
pertanggung jawabannya melalui Yayasan. Yayasan tersebut
dibentuk oleh desa, agar pengelolaan arus kas keuangan dapat
dipertanggung jawabkan... "
Yayasan Kumara Loka dikepalai oleh Bapak Wayan Rastina.,SE yang juga
selaku pangliman pawongan Desa Pakraman Panjer. Berdasarkan wawancara
didapatkan informasi bahwa biaya operasional dari djalankannya TK Kumaraloka
sepenuhnya ditanggung dari pihak Desa Pakraman. Karena fungsinya sebagai
fasilitas pendidikan, biaya operasional juga didapatkan dari hibah-hibah dan
anggaran yang secara rutin diberikan pemerintah setiap tahunnya (Wayan Rastina,
5 Mei 2013).
Pada site dibangun pelinggih, yang diperuntukkan guna memohon
keselamatan dalam setiap kegiatan yang dijalankan dan sebagai tempat memuja
Tuhan. Segala bentuk upakara-upakara yang terkait dengan status lahan sebagai
pelaba pura dilakukan pada pelingih TK berupa pelinggih padmasana dan tugu
penungu karang (Drs, I Gusti Made Anom).
Dibangunnya pelinggih pada site, mengakibatkan segala bentuk upakara
sebagaimana rutin dilakukan masyarakat pada site pada fungsi sebelumnya
dilakukan di pelinggih yang baru. Beberapa kepercayaan masyarakat bahwa lahan
tersebut merupakan lahan yang “tenget ” masih dipercaya oleh krama pakraman.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 86/142
86
4.2.2.4 Tanah sertifikat no: 3384 (kasus 5)
Kasus berikutnya yakni tanah pelaba Pura Dalem dengan sertifikat no
3384 yang dimanfatkan sebagai perumahan (rumah kos). Tanah pelaba pura ini
dikontrakkan selama 20 tahun kepada Ibu Lusi yang merupakan krama tamiu.
Sebelum dimanfaatkan sebagai rumah kos, lahan pelaba ini dimanfaatkan sebagai
lahan tegalan yang di sakap (garap) oleh pemangku pura, dan sebelum
dikembangkan jalan lingkungan merupakan lahan sawah.
Dasar pertimbangan dilakukannya perubahan tersebut adalah didasarkan
pada keinginan untuk menguatkan sumber pendapatan desa. Disamping untuk
menguatkan perekonomian, desa juga sangat membutuhkan biaya untuk
melakukan upakara Ngenteg Linggih Pura Dalem yang menghabiskan biaya
kurang lebih 2 Miliar sehingga desa bersama krama pakraman, memutuskan
untuk mengkontrakkan lahan pelaba ke pihak swasta (Drs. I Gusti Made Anom)
Gambar 4.23 Situasi Tanah Pelaba Pura yang Dikontrakkan
Sebagai Rumah Kos
Proses pemanfaatan lahan sebagaimana pada kasus yang lain dimulai
dengan rapat Desa Pakraman ( paruman), kemudian dilanjutkan dengan pengajuan
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 87/142
87
proposal untuk mendapatkan ijin dari walikota, kemudian baru pembangunan
dapat dilakukan. Kontrak perjanjian antara pihak desa dengan pihak penyewa
diarsipkan di LPD Desa Pakraman Panjer.
Proses didahului dengan melakukan rapat desa, sebagaimana dilakukan
pada proses perubahan pada kasus 1, 2, 3, dan 4. Proses selanjutnya dilakukan
pengajuan persetujuan pada pemerintah guna mendapatkan persetujuan
peruntukan sesuai dengan tata ruang yang telah ditetapkan, selanjutnya sebelum
melaksanakan pembangunan tetap mengadakan upacara pecaruan. Sumber dana
pembangunan sepenuhnya dibiayai oleh penyewa lahan dengan sistem perjanjian
setelah masa kontrak habis, bangunan dan kepengelolaannya diserahkan kepada
Desa Pakraman atau dapat dikatakan sistem perjanjian ini mengadopsi sistem
BOT (Build Operasional Transfer).
Biaya operasional dan hasil sewa pemanfaatan lahan sepenuhnya dikelola
oleh pihak penyewa selama masa kontrak masih berlaku. Desa Pakraman hanya
mendapatkan keuntungan dari hasil sewa lahan yang dibayarkan sekali saat
perjanjian dilakukan.
Mengenai fisik pelaba pura, tidak sebagaimana kasus lain, pada kasus ini
tidak ditemukan pelinggih pada site, dan berberapa petanda fisik yang mencirikan
atau memberikan tanda bahwa lahan mempunyai kaitan dengan keberadaan Pura
Dalem.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 88/142
88
4.2.2.5 Tanah sertifikat no: 3197 (kasus 6)
Kasus berikutnya yakni tanah pelaba Pura Dalem yang juga dimanfaatkan
sebagai Perumahan (rumah kos). Jarak dari lokasi tanah ke Pura Dalem cukup
jauh yang kurang lebih 700 m. Kondisi lahan cukup landai, berbatasan dengan
jalan lingkungan yang menghubungkan jalan Tukad Pakerisan dengan Jalan
Tukad Batanghari.
Persil tanah pelaba milik Pura Dalem ini disewa oleh ibu Lusi yang juga
sebagai penyewa tanah pelaba pura dengan sertifikat n0: 3384. Lama sewa tanah
pelaba pura ini adalah 10 tahun dengan sistem perjanjian yang sama dengan sewa
tanah pelaba sertifikat no: 3384. Bangunan akan menjadi hak milik Desa
Pakraman setelah selesai masa kontrak.
Sebelum dimanfaatkan sebagai fungsi rumah kos, lahan pelaba pura ini
dimanfaatkan sebagai lahan sawah yang berubah menjadi ladang (sawah kering
pada tahun 2003 setelah dikembangkan jalan di sekitar lahan. Sebagaimana lahan
yang lain, lahan ini ditanami tanaman yang bermanfaat untuk menunjang
kelangsungan upakara seperti pisang dan tanaman lain.
Proses atau mekanisme perubahan hampir sama diawali dengan paruman
untuk mendapatkan keputusan krama, Kertha dan Sabha desa. Kemudian di
laksanakan permohonan kepada pihak pemerintah mengenai kesesuaian
peruntukan tata ruang, dan sebelum pembangunan dilakukan upakara pecaruan
pada lahan.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 89/142
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 90/142
90
Pemanfaatan tanah pelaba Pura Dalem sebagai mandala pura, didasari atas
kesadaran manggala desa akan apa yang telah menjadi tata atur dalam
pembangunan Parhyangan sebagaimana yang telah disuratkan dalam awig-awig.
Berikut petikan dari wawancara terhadap I Gusti Made Anom selaku Bendesa
Pakraman pada periode terjadi perubahan.
"…sebenarnya kalau memang ada lahan, pembagian parhyangan
menjadi 3 bagian wajib dipatuhi. Dalam awig disebut dengan
istilah tataning Tri Pramana Parhyangan nika ten dados kutang
( pengaturan mengenai Tri Pramana Parhyangan itu tidak boleh
ditiggalkan) jika area pura itu memadai. Yening driki ring Pura
Desa ten nyidayang, kanggiang je jabe tengah gen di pura desa
(kalau disini di Pura Desa tidak dapat diperlakukan sama, sehingga
hanya jaba tengah saja yang dapat dibangun), karena lahannya
terbatas. Tata atur ini dapat lihat di awig-awig desa"
Dengan tersedianya lahan yang cukup luas di sekitar lahan
Pura Dalem, maka pembangunanpun direncanakan, dengan dilakukan secara
bertahap. Terdapat bangunan bale desa di sebelah barat mandala pura, yang
disebutkan sebagai pembatas fisik antara pura dan fungsi pasar (Wayan Lasia, 15
Juni 2013). Situasinya dapat dilihat pada Gambar 4.25.
Gambar 4.25 Bale Desa (kiri) dan Situasi Jaba Sisi (Nistaning Mandala Pura Dalem
Desa Pakraman Panjer
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 91/142
91
Sebelum difungsikan sebagai madya dan nistaning mandala, lahan pelaba
pura merupakan lahan kosong yang dimanfaatkan sebagai areal temporal parkir
kendaraan bermotor, dan tempat mempersiapkan sarana prasarana upakara yang
berlangsung dipura tersebut. Sebagian lahan (posisi nistaning mandala,
merupakan lahan sawah yang membentang hingga ke posisi lahan pasar
Nyanggelan sekarang.
Gambar 4.26 Perbandingan Pelaba Pura Dalem Sebelum Tahun 1980 (kiri)dan Setelah 1980 (kanan)
Gambar 4.27 Rekonstruksi Lahan Pelaba Pura Dalem Sertifikat no:3384Sebelum Tahun 1980
sawah
sawah
sawahpasar
lapanganwantilan
pura dalem
pura dalem
Lahan pelaba pura
dimanfatkan sebagai
lahan sawah
Lokasi pura taman
sebelum dipindahkan ke
Timur Pura Dalem
Lokasi Pura Taman
dulunya merupakan
lahan tegalan
Lahan sawah yang
digarap oleh
pemangku pura
dalem
Lahan sawah yang
digarap oleh
pemangku pura
dalem
Area jaba sisi tanpa
penyengker, yang
digunakan sebagai
lahan parkir sepeda
motor.
Saluran irigasi yang
mengairi lahan
sawah disekitar
pelaba
UTARA
UTARA
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 92/142
92
Seiring semakin padatnya aktifitas yang berlangsung di sekitar pura, maka
melalui persetujuan desa adat zonasi ruang dipertegas dengan menyengker area
jaba sisi pura guna memproteksi kesucian pura. Penjelasan mengenai zona
gegaleng pura dapat dilihat pada Gambar 4.28 sebagai berikut:
Gambar 4.28 Gegaleng Pura Berupa Jarak Dari Penyengker Pura ke TembokWarga Selebar Adepa Agung
Secara fisik terdapat pohon beringin besar yang dipercaya sebagai stana
rencang-rencang penjaga pura. Masyarakat secara rutin menghaturkan sesaji
berupa lak-lak tape (sejenis sesaji), canang, serta prasarana persembahan lain pada
linggih yang dirancang sedemikian rupa pada pohon tersebut. Petanda fisik lain,
area ini diberikan pagar guna menghindari hal-hal yang dapat mengganggu
kesucian tempat areal yang dianggap “tenget ” ini.
Gegaleng pura,
zonasi selebar adepa
agung untuk
menghindari hal-hal
yang dapat
menyebabkan leteh
Pura Taman,
berfungsi juga
sebagai gegaleng
pura terhadap area
pemukiman
pemangku
NISTANING MANDALA
MADYANING
MANDALA
UTARA
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 93/142
93
4.2.2.7 Tanah tidak bersertifikat fungsi wantilan & lapangan (Kasus 8)
Kasus berikutnya yakni tanah pelaba Pura Dalem belum bersertifikat
dengan luasan seluas 60 are yang dimanfaatkan sebagai lapangan desa, dan
wantilan yang didalamnya difungsikan juga sebagai kantor Desa Pakraman .
Pembangunan wantilan dilaksanakan pada tahun 2003 yang digagas oleh Bendesa
Pakraman dengan dasar pertimbangan bahwa desa belum mempunyai sarana yang
dapat mengakomodasi krama dalam berkesenian, pementasan serta melakukan
sosialisasi (siwakrama) (Gusti Made Anom, 15 Juni 2013)
Posisi lahan pelaba berada di sebelah utara Pura Dalem, yang dikelilingi
oleh jalan lingkungan selebar 3-5 meter. Batas timur yakni lahan pelaba pura
yang dimanfaatkan sebagai TK Kumara Loka. Rekonstruksi pemanfaatan lahan
pelaba Pura Dalem yang dimanfaatkan sebagai lapangan desa dapat dilihat pada
Gambar 4.29 sebagai berikut:
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 94/142
94
Gambar 4.29 Lokasi Lahan Pelaba Pura Dalem dengan Fungsi Sebagai Wantilandan Lapangan Desa
Sebelum dimanfaatkan sebagai fungsi lapangan dan bangunan wantilan
dan kantor desa di dalamnya, lahan pelaba pura ini merupakan lahan sawah yang
disakap atau digarap oleh pemangku Dalem dan Kahyangan.
Dengan berubahnya fungsi dari lahan sawah menjadi wantilan dan
lapangan, maka dengan sendirinya rangkaian upakara yang berkaitan dengan
aktifitas pertanian seperti Ngusaba Nini, Magpag Toya dan aktifitas lain
sebagaimana rutin dilakukan pada proses penanaman padi tidak lagi dilakukan
oleh penggarap sawah yang telah mengantungkan kehidupannya pada profesi
yang lain seperti berdagang, sopir, tukang dan lain sebagainya.
Dulu merupakan lahan ladang dimanfaatkan
sebagai pura taman. Pura taman dilokasikan
untuk memberikan batas atau sebagai gegaleng
pura terhadap pemukiman pemangku.
Dulu merupakan lahan ladang
yang ditanami tanaman yang
dapat digunakan sebagai sarana
bebantenan seperti pisang,
kelapa, dan jepun
Lokasi pura taman
sebelum dipindahkan
ke timur pura dalem
Sebelum
dimanfaatkan sebagai
lapangan,
dimanfaatkan sebagai
lahan sawah
Sebelum
dimanfaatkan sebagai
wantilan, lahan
pelaba dimanfaatkan
sebagai lahan sawah
UTARA
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 95/142
95
Gambar 4.30 Pura Beji (Sumur Suci),Secara Niskala Merupakan Pemandian Dedari.
Dalam prosesnya, sebagaimana pada kasus lainnya selalu diawali dengan
ritual atau upakara yang ditujukkan guna menetralisir area lahan agar
keseimbangan secara sekala niskala tetap terjaga. Pada kasus ini ditemukan
fenomena metafisis terkait upaya pemindahan sumur yang mulanya hanya berupa
lubang kecil dengan terjadinya "kesisipan" pada pemangku Dalem. Setelah
dilakukan upakara dan prosesi meminta pentunjuk secara gaib, dengan petunjuk
Prof. Narada yang juga sebagai pedanda menunjukkan bahwa perlunya dilakukan
upakara terkait dengan sumur yang secara niskala merupakan pemandian dedari.
Setelah prosesi ritual dijalankan, pemangku Pura Dalem dengan sendirinya
sembuh dari sakit dan pada akhirnya sumur tersebut dibuatkan pelinggih dan
dibuatkan dipagar sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4.30. Fenomena ini
menandakan adanya hal-hal metafisis yang tidak dapat dijelaskan oleh logika
namun dapat dirasakan dan dipercaya oleh krama pakraman.
Proses perubahan sebagaimana kasus 1,2,3,4,5, 6, 7 dan 8, mekanismenya
perubahan fungsi ini didahului dengan paruman atau melibatkan semua pihak
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 96/142
96
termasuk juga krama pakraman. Selanjutnya dilakukan perijinan peruntukan
lahan ke pihak walikota, upakara pecaruan, dan selanjutnya dilaksanakan
pembangunan fisik oleh krama pakraman secara gotong royong. Sumber dana
pembangunan diperoleh dari kas desa yang pada saat itu telah mulai menuai hasil
dari pemanfaatan lahan pelaba yang lain. Krama juga dilibatkan secara sukarela
dalam pembiayaan pembangunan.
4.2.2.8 Tanah belum bersertifikat (dalam proses) dengan fungsi sebagaipemukiman mangku Pura Dalem dan Pemangku Pura kahyangan
(Kasus 9)
Pada kasus ini, pemanfaatan lahan pelaba dialokasikan seluas 30 are
sebagai area pemukiman pemangku Pura Dalem dan Pemangku Pura Kahyangan.
Alokasi tanah pelaba pura ini sebagai salah satu bentuk rasa penghargaan dari
desa untuk jasa para pemangku "niasayang jagat " desa Nyanggelan. Insentif ini
berlaku bagi para pemangku yang mengabdikan dirinya sebagai pemangku Pura
Dalem dan Pura Kahyangan, sedangkan bagi mereka keluarga pemangku yang
berhenti menjadi pemangku tidak diperkenankan untuk bermukim pada tanah
tersebut. (Budiana, juni 2013)
"…diberikan akses lahan sebesar 30 are sekuub (mencakup
seluruh) keturunan keluarga pemangku dan sudah tertuang didalam
awig-awig desa yang memiliki kekuatan lagitemasi hukum
terhadap masyarakat adat."
Pernyataan Drs I Gusti Made Anom menegaskan bahwa pemberian lahan
pelaba Pura Dalem kepada keluarga pemangku hanya boleh dipakai sepanjang
tetap menjalankan dharma sebagai pemangku.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 97/142
97
Guna memproteksi nilai fisik dan infasi ruang oleh pemangku kearah Pura
Dalem, desa mensiasatinya dengan mengalokasikan Pura Taman sebagai
pembatas fisik antara pura dengan areal pemukiman. Gambaran mengenai zonasi
dan situasi gegaleng Pura Dalem dapat dilihat pada Gambar 4.31 sebagai berikut:
Gambar 4.31 Lokasi Lahan Pelaba Pura Dalem yang Dimanfaatkan SebagaiPemukiman Pemangku
Upakara yang dipersembahkan atas dasar lahan tersebut merupakan lahan
pura, dilakukan pada pelinggih pemerajan masing-masing. Pada kasus ini juga
terungkap bahwa terjadi konflik yang muncul antara keluarga pemangku dengan
pihak desa. Konflik yang muncul dikarenakan ketidak jelasan sistem kepemilikan
tanah dari pemerintah (agraria). Pemberian hak guna pakai tanah ulayat atas nama
pemangku adat menimbulkan kesalah pahaman di antara kedua belah pihak.
Informasi yang terputus antar generasi bahwa tanah tersebut merupakan tanah
milik dasa adat adalah penyebab utamanya. Beberapa kali konflik terjadi yang
muncul akibat kepentingan akan lahan. Upaya prefentifpun muncul dari pihak
manggala (pimpinan) desa untuk meluruskan permasalahan tersebut dan
menjembataninya dengan segera memproses pensertifikatan tanah pelaba pura
atas nama pura sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah melalui SK
Pura taman sebagai
gegaleng pura
UTARA
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 98/142
98
Mendagri No SK 556/DJA/1986 dimana Pura dianggap sebagai badan hukum
yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.
4.2.3 Tanah pelaba Pura Subak
Kasus yang terakhir yakni tanah pelaba pura subak dengan sertifikat no:
2309. Tanah pelaba pura subak berlokasi jauh dari lokasi puranya di areal pura
Bale Agung Desa Pakraman Panjer. Areal lahan merupakan Persil hasil Land
Consolidation yang dilaksanakan pada Tahun 1990. Peta lokasi tanah pelaba pura
Subak yang dimanfaatkan sebagai Sekolah Dasar ini dapat dilihat pada Gambar
4.32 sebagai berikut:
Gambar 4.32 Lokasi Lahan Pelaba Pura Subak
(Editing Google Earth)
Dasar pertimbangan dilakukannya perubahan pemanfaatan lahan
dikarenakan kebutuhan akan fasilitas pendidikan desa sudah tidak representatif,
yang awalnya berlokasi di pertigaan Jalan Waturenggong pada lahan pelaba Pura
Puseh yang dibangun secara temporer oleh desa (Wayan Budiana, 15 Juni 2013).
Proses atau mekanisme perubahan sebagaimana ditemukan pada kasus-
kasus sebelumnya, pada kasus ini juga didahului dengan rapat pakraman/
UTARAJl. Tukad Yeh Aya
Jl. Tukad Musi V
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 99/142
99
paruman, pengajuan ijin peruntukan lahan ke pemerintah kota, pecaruan, dan
sama dengan kasus 1, terjadi proses tukar guling yang sebelumnya berstatus
Tanah Negara.
Segala bentuk pembiayaan yang muncul dari dimanfaatkannya lahan
tersebut ditanggung oleh desa yang didukung dari dana bantuan dari dinas
pendidikan. Implementasi fungsi baru ini mengakibatkan dilibatkannya
pemerintah dalam bentuk pembiayaan operasional (Gusti Made Anom, 16 Juni
2013).
Dalam kasus ini terdapat juga fenomena yang menarik yakni terjadi hal
yang cukup meresahkan murid-murid dalam kegiatan belajar di kelas. Terdapat
tempat yang “tenget ” bagi masyarakat, yang menyebabkan harus dipatuhinya
kepatutan sikap dan tingkahlaku bagi siswa, guru dan semua masyarakat yang
beraktifitas didalamnya. Fenomena ini terungkap dari wawancara yang dilakukan
kepada Drs. Gusti Made Anom, sebagai berikut:
“...disana ada guru yang mengajar di SD 1 Panjer, Gung aji, nika
murid tiang geleh (murid saya ketakutan). "Kamu kenapa kok
takut?" Kata saya. "Saya dipegang sama tangan berbulu", kata
murid tersebut. Trus saya beri tahu: Dek, mu atur pekeling didugul
diempelan to muh,ye odal pang suud ye ngaduk ngaduk . (dek,
kesana haturkan pemberitahukan secara niskala, di saluran irigasi
itu, diberikan upakara agar tidak mengganggu lagi..”
Keberadaan roh-roh ini dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat bahwa
pada lahan pelaba terdapat rencang-rencang Bhetara, yang merupakan roh-roh
penjaga lahan dan wilayah Desa Pakraman Panjer. Keseimbangan vibrasinya
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 100/142
100
dijaga dengan upakara yadnya sebagaimana petunjuk dari pemangku dan
Bendesa, yang terbukti bahwa keadaan kembali normal setelah sebelumnya siswa-
siswa yang belajar mengalami kerauhan “keadaan transcendental”. Hal ini di luar
nalar atau pemikiran yang logis namun dapat dirasakan sebagai suatu yang benar-
benar nyata adanya.
Demikian uraian dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-
masing kasus. Berpijak dari data-data hasil maka selanjutnya disarikan kedalam
tabulasi matrik pada subbab 4.3 sebagai berikut:
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 101/142
101
D u l u " s e b e l u m 1
9 8 0 )
S e k a r a n g ( 1 9 8 0 - 2 0 1 3 )
w a k t u
Tipe jalanTer-dekat
Jarak dariPura yangber-sangkutan
Dasar pertimbanganterjadinya perubahan
Guna lahansekarang
Proses terjadinyaperubahan
Sumberdana pem-bangunanfungsi baru
Biayaoperasionalpemanfaatanlahan
Pihakpengelola-an lahan
Perubahan fisikpadalahan
Distribusihasilpe-man-faatan
Upakara Ke-percayaandinamisme
J a l a n d e s a ( 6
m
J a l a n L i n g k u n g a n
< 1 5 m
1 5 - 3 0 m
> 3 0 m
B e l u m
t e r m a n f a a t k a n
F a s i l i t a s
S o s i a l
R e l i g i u s
E k o n o m i
P e m e r i n t a h a n
P e n d i d i k a n
F a s i l i t a s U m u m
P e r d a g a n g a n
P e m u k i m a n
D i d a h u l u i
d e n g a n R a p a t
p a r u m a n
P e r i j i n a n k e
P e m e r i n t a h
R i t u a l ( C a r u
s a p u h a u )
T u k a r G u l i n g
D e s a
P a k r a m a n
P e m e r i n t a h
S w a d a y a
S w a s t a
D e s a
P a k r a m a n
P e n g e m p o n
P e n y e w a l a h a n
M a s y a r r a k a t
s e k i t a r
D e s a
P a k r a m a n
P e n g e m p o n
S w a s t a
P e l i n g g i h
G e g a l e n g
b e n d a
i k e r a m a t k a n
D e s a
P a k r a m a n
P e n g e m p o n Ada
T i d a k A d a
A r e a " t e n g e t "
B e n d a / p o h o n
s a k r a l
P e l i n g g i h
T e t a p
P i n d a h
K1Bale agung,
tegalan,
LPD, toko
(disewakan)2003
K2 Sawah Pasar
Nyanggelan1995
K3 Sawah Jalan Desa 2003
K4 Sawah TK Kumara
Loka2005
K5 Sawah Perumahan 2010 `
K6 Sawah Perumahan 2012
K7 Sawah Jaba sisi
Pura Dalem2005
K8 Sawah Wantilan dan
lapangan2003
K9 Sawah Permukiman
jero mangku1960
K10 Sawah SD 1 Panjer 2003
Munculnya nilai-nilai baru setelah perubahan
Tabel 4.1 Matriks Tema-Tema Temuan
4.3 Tema Temuan
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 102/142
102
Berdasarkan tabulasi matriks yang disarikan dari hasil penelitian
didapatkan beberapa tema temuan antara lain berupa waktu, tipe jalan desa dan
jalan lingkungan, kemudian jarak, dalam setiap kasus perubahan juga mempunyai
dasar pertimbangannya sendiri, dari dasar pertimbangan tersebut muncul guna
lahan baru (terjadi diversifikasi guna lahan), terdapat sequen pada proses
perubahan yang didahului dengan rapat desa ( paruman), kemudian pengurusan
ijin peruntukan lahan ke pemerintah kota, prosesi ritual, dan muncul proses baru
yakni tukar guling pada beberapa kasus. Temuan berikutnya yakni sumber dana
pembangunan yang sekarang telah melibatkan pemerintah dan pihak swasta dalam
pembangunan fungsi baru, biaya operasional pemanfaatan lahan yang sekarang
tidak lagi ditanggung oleh penyakap (Desa Pakraman mempunyai peran vital
dalam pembiayaan operasional). Temuan berikutnya yaitu munculnya pihak
swasta dalam pengelolaan lahan serta terjadi perubahan fisik pada lahan. Terakhir,
distribusi pemanfaatan lahan yang cenderung masuk ke kas desa berupa uang.
4.3.1 Waktu
Terdapat perbedaan waktu perubahan yang menandakan bahwa disetiap
perubahan yang terjadi dilatarbelakangi oleh hal yang berbeda. Beberapa
diantaranya yakni pada tahun 1960 yakni dimanfaatkannya lahan pelaba pura
sebagai pemukiman pemangku, pada tahun 1995 yakni perubahan pada fungsi
tanah pelaba Pura Dalem menjadi pasar Nyanggelan, pada tahun 2003, terjadi
pada 4 kasus yakni tanah pelaba Pura Subak yang dirubah menjadi fungsi toko,
tanah pelaba Pura Dalem yang dimanfaatkan sebagai jalan desa dan wantilan,
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 103/142
103
pada tahun 2005 pada lahan pelaba Pura Dalem sebagai TK Kumara Loka, pada
tahun 2010 dimanfaatkannya tanah pelaba Pura Dalem sebagai perumahan, dan
pada tahun 2012 lahan pelaba Pura Dalem kembali dimanfaatkan sebagai lahan
perumahan.
4.3.2 Tipe jalan terdekat
Tema temuan ini berkaitan dengan nilai lahan. Tipe jalan disekitar lahan
pelaba dapat dibedakan menjadi tipe jalan desa dan jalan lingkungan. Tipe jalan
ini mengindikasikan nilai strategisitas lahan, dimana lahan pelaba yang
mempunyai akses berupa jalan desa akan mempunyai nilai strategisitas yang lebih
tinggi dari pada jalan lingkungan. Beberapa lahan pelaba yang mempunyai akses
berupa jalan desa yakni lahan pelaba Pura Puseh (kasus 1), dan lahan pelaba Pura
Dalem dengan fungsi sebagai pasar desa (kasus 2) sedangkan sisanya mempunyai
akses berupa jalan lingkungan.
4.3.3 Jarak lahan pelaba ke pura yang bersangkutan
Setiap lahan pelaba terletak dengan jarak yang berbeda-beda jika ditarik
pura yang bersangkutan sebagai sumbunya. Jarak tersebut diterjemahkan kedalam
skala dekat (<15 m), sedang (15 m-30 m) dan jauh (> 30 m). Jarak tersebut
ternyata berdampak terhadap bagaimana krama pakraman memanfaatkan lahan
pelaba-nya. Lahan pelaba pura yang termasuk dalam kategori dekat diantaranya
lahan pelaba Pura Puseh (kasus 1), lahan pelaba Pura Dalem (kasus 2,3, 7 dan 8),
kategoro sedang yakni lahan pelaba Pura Dalem (kasus 4 dan 9) dan yang
termasuk dalam kategori jauh yakni pada kasus ( 5, 6 dan 10).
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 104/142
104
4.3.4 Dasar pertimbangan terjadinya perubahan
Setiap perubahan selalu diawali dengan dasar pertimbangan perubahan.
Perubahan pemanfaatan lahan pelaba pura di Desa Pakraman Panjer terjadi
dengan dasar pertimbangan yang beragam. Pada kasus 1 pada awalnya didasari
atas pemenuhan akan kebutuhan fasilitas pendidikan yang kemudian bergerak
kearah pemanfaatan sebagai zona komersial akibat adanya kesempatan untuk
merelokasi zona pendidikan atas pertimbangan kurang representatifnya fungsi
pendidikan pada zona "strategis". Di sisi lain nilai sosial dan ekonomi dapat
dikatakan menjadi pertimbangan lain yang tersirat jika dimanfaatkan sebesar-
besarnya demi kesejahteraan anggota krama desa. Prioritas atas dasar
pertimbangan belum tersedianya fasilitas di desa juga ditemukan pada kasus 4, 8
dan 10. Perubahan pemanfaatan lahan pelaba pura juga didasari atas faktor sosial
yang terdapat pada kasus 1, 3, 4, 7, 8, 9, dan 10 dan dasar pertimbangan ekonomi
pada kasus 1, 2, 3, 5, dan 6. Dari data ini, faktor pertimbangan yang dominan
muncul adalah faktor sosial, kemudian diikuti dengan faktor ekonomi, dan faktor
tersedianya fasilitas desa.
4.3.5 Guna lahan sekarang
Perubahan fungsi yang terjadi secara keruangan mengakibatkan berubah-
nya tata guna lahan. Pada awalnya merupakan lahan terbuka hijau produktif,
sekarang guna lahannya antara lain fungsi perdagangan pada kasus 1 dan 2, guna
lahan sebagai fasilitas umum pada kasus 3 dan 4, guna lahan dengan fungsi
pemukiman pada kasus 5, 6, dan 9, guna lahan dengan fungsi sebagai pendidikan
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 105/142
105
pada kasus 8 dan 10, fungsi pemerintahan dan sebagai ruang terbuka hijau pada
kasus 8. Perubahan guna lahan pelaba pura dapat dilihat pada Gambar 4.33
sebagai berikut:
4.3.6 Proses terjadinya perubahan
Temuan yang lain adalah terdapat sequen pada prosesnya. Gagasan yang
muncul selalu di kaji terlebih dahulu melalui rapat atau musyawarah di tingkat
Desa Pakraman, kemudian gagasan tersebut di ajukan ke pemerintah dalam hal
ini pihak walikota Denpasar untuk mendapatkan persetujuan atas peruntukannya,
baru kemudian sebelum melaksanakan proses pembangunan (perubahan
pemanfaatan lahan) selalu dilakukan ritual (caru sapuh au) guna menetralisir atau
menyeimbangkan lahan secara sekala maupun niskala dan pada tanah yang
merupakan lahan sawah dengan diadakanya upakara Ngingsirang Bethari Sri.
Dalam beberapa kasus juga dilaksanakan mekanisme tukar guling atas berbagai
pertimbangan pada kasus 1, 4 dan 10. Pada tahun 1980 (perkembangan perkotaan
Gambar 4.33 Perubahan Guna Lahan Pelaba Pura di Desa Pakraman Panjer
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 106/142
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 107/142
107
rumah kos) yang dilakukan dengan sistem Build Operasional Transfer .
Sebelumnya pendanaan pengelolaan lahan diserahkan sepenuhnya kepada
penyakap lahan. Lebih jelas lihat pada Gambar 4.35 sebagai berikut:
Gambar 4.35 Skema Perubahan Sumber Dana Pembangunan
Dengan bertambahnya pihak-pihak yang turut berperan mendanai
pembiayaan pembangunan mengakibatkan modal keuangan Desa Pakraman
menjadi semakin kuat terlebih sisa dana pembangunan diinvestasikan guna
menambah dana abadi di LPD Desa Pakraman (Wayan Rastina, wawancara
tanggal 15 mei 2013).
4.3.8 Biaya operasional pemanfaatan lahan
Pembiayaan operasional atas biaya-biaya yang timbul dari pemanfaatan
atas lahan pada fungsi yang baru dikeluarkan oleh Desa Pakraman. Pengempon
sekarang tidak dilibatkan dalam pembiayaan hanya sebatas pada lahan pelaba
pura sebagai tempat tinggalnya saja. Pada kasus 1 dan 2, biaya operasional
Desa Pakraman
Pengempon
Pemerintah SwastaKrama
Penyakap/pemangku/
pengempon
Desa Pakraman
Krama
Sebelum perubahan
fungsi lahan
Setelah terjadinya perubahan
fungsi lahan
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 108/142
108
dilakukan oleh para penyewa kios/ toko/ dari Desa Pakraman pada fungsi kantor
LPD yang dianggarkan dari dana abadi yang terbentuk.
4.3.9 Perubahan fisik pada lahan
Terdapat pelinggih baru yang dibuat diatas lahan pelaba pura. Pelinggih
tersebut juga digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan upakara ritual yang
salah satunya dipersembahkan kepada Sang Hyang Butha- Buthi penjaga lahan
atau rerencangan pura di lahan pelaba pura.
Terjadi perubahan fisik pada lahan terutama pada lahan-lahan pelaba pura
yang radiusnya kurang dari 15 m, atau dapat dimasukkan ke dalam jarak yang
cukup dekat dari pura antara lain pada kasus 1 berupa dipindahkannya batu besar
yang mulanya berada di lahan pelaba pura ke areal pura, tidak ditebangnya pohon
jepun. Perubahan lain pada aspek fisik yakni perubahan radius kesucian pura
“gegaleng”. Skema perubahan dapat dilihat pada Gambar 4.35 sebagai berikut:
Gambar 4.35 Skema Radius Kesucian Pura yang Menyempit
Adepa
agung
Pura
Apenimpug
Bangu-
nan
Bangu-
nan
Adepa
agung
Bangunan
Bangu-
nan
PuraBangunan
Bangunan
Bangunan
Bangunan
Pura
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 109/142
109
4.3.9 Distribusi hasil pemanfaatan
Temuan berikutnya yakni sebagian besar pemanfaatan lahan (hasil
retribusi, sewa lahan) menghasilkan keuntungan berupa uang tidak sebagaimana
pemanfaatan lahan sawah dan ladang dengan hasil pemanfaatan berupa palawija.
Hasil atau laba yang diperoleh dari pemanfaatan lahan tersebut sebagian besar
dialokasikan ke kas desa baru kemudian dianggarkan untuk berbagai macam
kepentingan pembangunan, pengelolaan bahkan gaji dari pada manggala dan
prajuru Desa Pakraman. Pada kasus pemanfaatan lahan pelaba sebagai
pemukiman pemangku dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan
pemangku. Sistem pembagian distribusi ini merupakan suatu sistem yang baru,
dulunya pembagian hasil pemanfaatan lahan didistribusikan kepada pemangku
sebagai penyakap lahan.
4.3.10 Upakara
Temuan lain yakni sebagian besar ritual yang berkaitan di pelaba pura
tetap dilaksanakan pada setiap kasus. Upakara dilaksanakan pada setiap hari-hari
besar keagamaan, dan hari-hari tertentu seperti Tumpek Bubuh, Purnama, Tilem
dan hari suci lainnya selalu dilaksanakan upakara, yang ditujukan ke masing-
masing pelaba pura dengan menghaturkan persembahan pada masing-masing
pelinggih di lahan pelaba pura. Perubahan yang terjadi hanya pada lokasi
dilakukannya upakara, dimana sebelumnya dilakukan pada areal-areal yang
dianggap “tenget ”, sekarang dilakukan pada pelinggih, dan pada lahan pelaba
yang tidak dibangun pelinggih upakara di lakukan di pura.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 110/142
110
4.3.11 Kepercayaan dinamisme
Keberadaan pelaba pura identik dengan nilai-nilai metafisis, sebuah sikap
mental krama pakraman dalam menyikapi kehidupan. Nilai-nilai dinamisme
tersirat dari setiap fenomena transcendental yang muncul pada kasus per kasus.
Pada kasus 1, masyarakat mempercayai bahwa terdapat kekuatan magis dalam
batu besar yang disebut dengan Ratu Gde Muntung. Terdapatnya pemandian
dedari pada kasus 8 yakni tanah pelaba pura sebagai fungsi wantilan dan
lapangan desa. Terdapat area tenget pada kasus pelaba pura subak (kasus 10).
Pohon besar pada area jaba sisi Pura Dalem. Hal yang lain yakni kepercayaan
masyarakat akan hal-hal yang dapat mengakibatkan "cuntaka” yang merupakan
dasar pertimbangan dari difungsikannya lahan pelaba sebagai jalan desa. Hanya
pada beberapa kasus, hal-hal supernatural ini tidak ditemukan di antara pada kasus
4, 5 dan 6.
Sekian beberapa tema temuan yang dapat disarikan dari kasus-perkasus.
Berikutnya akan masuk pada subbab pembahasan yang substansinya terdiri dari
dialog antar tema-temuan dan konsep-konsep yang distrukturkan sedemikian rupa
guna menggiring pemahaman mengenai fenomena yang terjadi dan pada akhirnya
mengerucut guna menjawab rumusan permasalahan yang telah dirumuskan
didepan.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 111/142
111
4.5 Dialog Antar Tema
Dari sekian tema temuan yang telah diuraikan pada subbab 4.4 berikut
akan didialogkan untuk mendapatkan beberapa keterkaitan diantaranya sebagai
substansi untuk memahami latar belakang berubahnya konsepsi krama pakraman
dalam memanfaatkan lahan pelaba-nya dan memahami gambaran perubahan
konseptual yang terjadi. Beberapa diantaranya yakni adanya keterkaitan antara
guna lahan dengan tipe jalan disekitar, keterkaitan antara jarak dan guna lahan,
keterkaitan antara jarak dan guna lahan, keterkaitan antara pihak pengelola dengan
kegiatan upakara, dan keterkaitan antara kepercayaan dengan perubahan fisik pada
lahan.
4.5.1 Keterkaitan waktu dan guna lahan
Terdapat keterkaitan antara waktu perubahan dan guna lahan. Berdasarkan
kurun waktu dapat klasifikasikan menjadi 5 periode yakni sebelum tahun 1980,
1990, periode 1995, periode 2003-2005 dan periode 2010-2012 dengan masing
masing guna lahan pada setiap periodenya mempunyai karakteristik tertentu yang
diduga mewakili kondisi yang melatarbelakangi perubahan krama pakraman
dalam memanfaatkan lahan pelaba-nya.
4.5.2 Keterkaitan antara waktu dan sekularitas fungsi lahan
Terdapat kecenderungan bahwa seiring bertambahnya tahun pemanfaatan
lahan pelaba cenderung mulai dimanfaatkan sebagai fungsi sekular. Sekularitas
ini muncul dari tidak ditemukannya atribut-atribut keagamaan didalamnya seperti
keberadaan pelinggih, upakara yang dilakukan secara ngayat, pihak pengelola
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 112/142
112
yang dilakukan oleh pihak swasta khususnya pada kasus 5 dan 6. Sekularitas
pemanfaatan lahan pelaba pura sebagai perumahan kos ini juga diduga memiliki
keterkaitan dengan tidak adanya bentuk-bentuk kepercayaan dinamisme pada
lahan tersebut sebagaimana ditemukan pada beberapa kasus lain.
4.5.3 Keterkaitan antara guna lahan dengan tipe jalan sekitar
Adanya keterkaitan antara guna lahan dengan tipe jalan disekitarnya.
Lahan pelaba pura cenderung dimanfaatkan sebagai fungsi perdagangan pada
lahan dengan akses berupa jalan desa dan dimanfaatkan sebagai fungsi yang lain
pada lahan pelaba dengan akses berupa jalan lingkungan. Keterkaitan ini
memberikan gambaran bahwa nilai lahan mempunyai pengaruh bagi masyarakat
dalam menentukan fungsi baru pada lahan pelaba pura.
4.5.4 Keterkaitan antara jarak dan guna lahan serta perubahan fisik
pada lahan
Korelasi berikutnya yakni jarak dan guna lahan serta perubahan fisik pada
lahan, semakin jauh jarak lahan pelaba pura, fungsinya cenderung sekular dimana
semakin jauh jarak pelaba dari pura maka semakin berkurang kontrol radius
kesuciannya. Hal lain yang menguatkan yakni semakin dekat jaraknya dengan
pura selalu diikuti dengan munculnya gegaleng (fisik) pada fungsi yang baru.
4.5.5 Keterkaitan antara kepercayaan dengan guna lahan
Lahan pelaba cenderung dimanfaatkan sebagai fungsi sekular jika tidak
ditemukan area yang dianggap “tenget ” atau benda-benda sakral pada lahan. Nilai
kepercayaan ini memegang peranan penting dalam setiap keputusan pemanfaatan
lahan, dan sebaliknya kontrol akan fungsi lahan akan semakin kuat jika pada lahan
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 113/142
113
ditemukan tempat-tempat yang dipercayai memiliki kekuatan gaib atau dianggap
tenget .
4.5.6 Keterkaitan antara pihak pengelola dengan kegiatan upakara
Adanya keterkaitan antara pihak pengelola lahan dengan bagaimana krama
pakraman melangsungkan upakara. Keterlibatan pihak swasta pada fungsi yang
baru mengakibatkan upakara tidak lagi dilaksanakan pada site/ lahan serta
pindahnya lokasi upakara akibat adanya aktifitas baru yang sekular pada lahan
pelaba.
4.5.7 Keterkaitan antara kepercayaan dengan perubahan fisik pada lahan
Adanya keterkaitan antara kepercayaan dinamisme dan perubahan fisik
pada lahan. Keberadaan benda-benda atau lokasi-lokasi yang memiliki nilai sakral
cenderung dipertegas secara fisik apabila aktifitas sekular mulai memasuki ruang-
ruang sakral tersebut.
4.6 Latar Belakang dan Gambaran Perubahan Konsepsi Pemanfaatan Lahan Pelaba Pura
Hal yang melatar belakangi berubahnya konsepsi krama desa pakraman
dalam memanfaatkan lahan pelaba pura-nya akan coba dipaparkan dengan
melihat kejadian-kejadian penting yang terjadi di Desa Pakraman Panjer
sepanjang tahun 1980-2013 sebagai konteksnya serta mengacu pada beberapa
tema temuan sebelumnya sebagai indikator analisis. Namun untuk mengaitkannya
dengan tujuan penelitian yakni untuk mengetahui gambaran perubahan konsep itu
sendiri maka diawal perlu diingat bahwa esensi pelaba pura yang telah dirajut dari
berbagai literatur, dan informasi dari krama pakraman Panjer sebelum terjadinya
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 114/142
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 115/142
115
memindahkan benda-benda sakral dari lahan pelaba pura ke areal pura. (awal
mula perubahan pada kasus 1). Perubahan secara perlahan mulai direncakan,
hingga pada akhirnya mulai terlihat munculnya gagasan terkait pemanfaatan
pelaba pura menjadi fungsi yang baru memasuki awal tahun 1995. Program Land
Consolidation memberikan pengaruh yang kuat bagi krama pakraman sehingga
pada titik ini mulai dan sedang mengarah pada pola pemanfaatan yang baru.
Namun esensi dari keberadaan lahan itu sendiri tetap sebagai penunjang
kebutuhan pura.
Periode ketiga yakni perubahan yang terjadi pada tahun 1995 dasar
pertimbangan dibangunnya pasar yakni disebabkan oleh karena semakin
mendesaknya kebutuhan akan fasilitas pasar. Dengan tidak adanya lahan desa
yang secara khusus disediakan untuk fungsi pasar, maka krama Panjer mulai
melirik lahan pelaba pura yang kondisinya memang sangat memungkinkan selain
merupakan lahan tidur, juga merupakan satu-satunya lahan yang mudah
diaplikasikan baik dalam yuridisial ataupun kemudahan lainnya sehingga
terpilihlah lahan pelaba Pura Dalem sebagai lahan Pasar dengan pertimbangan
pemilihan lokasi atas dasar luasan serta aksesbilitas.
Memasuki awal tahun 2003, biaya pererainan mulai meningkat,
masyarakat mulai menjadi sibuk dengan pekerjaan barunya, dan kemudian muncul
ide untuk mempermudah sistem pakraman dalam pembiayaan yadnya
sebagaimana pernyataan Wayan Budiana sebagai berikut:
“menginjak tahun 2003, mulai dirasakan bahwa diperlukan sebuah
langkah untuk memperkuat permodalan desa dalam hal
pembiayaan pererainan, masyarakat mulai merasa keberatan atas
urunan yang dilimpahkan setiap diberlangsungkannya piodalan.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 116/142
116
Hal juga disebabkan lahan pelaba pura tidak lagi berfungsi
sebagaimana mestinya atau sebagai lahan tidur” (wawancara 16
Juni 2013)
Beban finansial yang menekan krama desa pakraman pada saat itu
diantaranya yakni akan diadakannya upacara Ngenteg Linggih yang menghabiskan
dana lumayan besar, sudah tidak representatifnya kantor pemerintahan desa, dan
hal lain yang mempengaruhi krama desa pakraman dalam memanfaatkan lahan
pelaba menjadi fungsi yang baru yakni mulai dilihat meningkatnya produktivitas
LPD yang mengakibatkan krama mulai merencanakan tempat yang lebih
representatif untuk gedung LPD yang baru dimana pada mulanya berada di jaba
sisi Pura Puseh. Kebutuhan akan ruang terbuka juga menjadi suatu kebutuhan
tersendiri bagi krama pakraman oleh karena semakin tingginya alih fungsi lahan
di Desa Pakraman Panjer. Disinilah arah pandang krama desa pakraman mulai
berorientasi pada profit sehingga lahan pelaba lebih cenderung dilihat dari sisi
nilai strategisitasnya, yang mana yang lebih menguntungkan dan yang mana
dirasaakan tepat guna menampung fungsi sosial (non-profit). Nilai-nilai ekonomis
mulai menjadi prioritas dengan munculnya fungsi toko, dan LPD pada lahan
pelaba pura yang mempunyai nilai strategisitas yang tinggi. Sedangkan fungsi
lain muncul pada lahan yang memiliki nilai strategisitas yang lebih rendah. Pada
fase ini tekanan ekonomi dan sosial adalah faktor utama sebagai katalisator
perubahan konsep pemanfaatan lahan pelaba pura. Terjadi begitu banyak
perubahan pada pola pemanfaatannya dan sistem menejerial dari pada lahan
pelaba pura dimana lebih berorientasi profit, namun kembali jika dilihat
essensinya masih tetap sebagai penunjang keberadaan pura meskipun peran dari
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 117/142
117
pelaba pura pada fase ini juga mulai sebagai salah satu pondasi finansial
berjalannya kehidupan desa pakraman Panjer.
Fase terakhir pada periode tahun 2010-2012, terlihat sequent perubahan
semakin berorientasi kearah peningkatan modal finansial. Dengan cara pandang
yang semakin rasional, krama mulai melihat adanya peluang dengan
menginterpretasikan kembali nilai-nilai keruangan, dengan beberapa variabel yang
dapat dilihat yakni adanya jarak dan guna lahan. Interpretasi ruang yang sakral
dan profan dilihat sebagai sebuah ruang yang memiliki deviasi hirarki. Semakin
jauh jarak semakin hilang kontrol “rasa” serta proteksi terhadap fungsi lahan.
Nampak bahwa fungsi sekular dapat diterima dengan syarat “munculnya
fenomena negosiasi nilai ruang” berupa pembatas fisik yang mereka sebut dengan
gegaleng pura. Pada fase ini juga dapat dikatakan fase dimana mulai munculnya
keterkaitan adanya dinamika keruangan pada lahan pelaba pura, bahwa semakin
dekat jarak pelaba pura dengan tempat-tempat yang dianggap “sakral” maka
semakin tegas pembatas fisik sebagai zona proteksi terhadap nilai-nilai
kesuciannya. Ruang–ruang ekonomis semakin melebar mengeliminasi ruang–
ruang religi hingga sampai pada batasan tertentu oleh karena masih
dipertahankannya aspek kepercayaan didalam peta mental krama pakraman.
Fungsi yang muncul pada akhirnya nampak jauh keluar dari fungsi-fungsi religius
dengan merujuk pada tidak ditemukannya pelinggih, atau ritus simbolik sebagai
petanda bahwa lahan pelaba tersebut merupakan lahan yang mempunyai nilai
“sakral”. masyarakat cenderung mempunyai pemikiran kearah rasional-kapital
atau bergerak sebagai masyarakat “pemodal”. Perubahan cara pandang sangat
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 118/142
118
jelas berdampak pada tata cara krama pakraman memanfaatkan lahannya dilihat
dari berbagai kasus yang cenderung keluar dari konteks polapemanfaatan lahan
yang bermakna "religius-trancendentalis", namun kembali lagi jika
dikomparasikan dengan essensi dari lahan pelaba pura sebelum terjadinya
dinamika pada pola pemanfaatannya, masih tetap dipergunakan guna menunjang
kebutuhan pura.
Dari munculnya berbagai perubahan pada setiap fasenya, dapat dicermati
sebagaimana pemahaman mengenai perubahan dimana manusia senantiasa
berusaha untuk menyeimbangkan dirinya, senantiasa berada dalam keadaan
berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan (Merton
dalam Ritzer 1992), walaupun tetap secara esensial tidak terjadi perubahan yang
signifikan pada konsepsi lahan pelaba pura itu sendiri. Lahan pelaba pura tetap
merupakan lahan yang dimanfaatkan untuk mendukung keberlangsungan pura.
Sehingga berikutnya ulasan mengenai gambaran perubahan yang akan
diuraikan adalah perubahan pada level implementasi konsep, diantaranya yakni
aspek kepercayaan yang cenderung tetap, tidak terjadi perubahan dalam
masyarakat dalam memandang tempat-tempat yang dipercayai mempunyai
kekuatan gaib dan kepercayaan lain terkait dengan keberadaan lahan pelaba pura.
Upakara adalah salah satu unsur yang tidak mengalami perubahan secara
signifikan, yang berubah hanyalah tempat melaksanakan upakara tersebut.
Mekanisme pemanfaatan lahan dan peran lahan pelaba pura adalah dua aspek
yang terdeviasi namun masih bersinggungan dengan wilayah "sakral" sehingga
beberapa elemen didalamnya tidak berubah, sedangkan yang berubah dapat
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 119/142
119
dipastikan adalah elemen-elemen penunjang atau pelengkap. (lihat kembali
bangun pemahaman mengenai dokotomi sakral-profan, Marcia Eliade yang
menjelaskan bahwa nilai sakral muncul dari pemetaan pemikiran yang disebut
dengan keadaan heirophany). Sehingga aspek-aspek yang berada di wilayah
“manusia” seperti organisasi masyarakat yang terkait dengan fungsi pelaba pura,
pembiayaan operasional pemanfaatan lahan, pengelolaan dan distribusi hasil
mengalami perubahan yang cukup signifikan. Didalam peran dari pada lahan
pelaba pura selain cenderung tetap secara umum adalah meluas. Peran sosial
semakin menguat, peran ekonomi dari pada lahan pelaba pura yang sudah dapat
dipastikan meningkat sangat signifikan. Segala bentuk konsep yang terkait dengan
nilai-nilai spirit ke-Tuhan-an krama pakraman cenderung dipertahankan dan
sebaliknya hal-hal diluarnya mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Berkembangnya akumulasi modal desa yang ditanamkan di LPD,
meningkatnya penghasilan pasar desa, peningkatan retribusi penyewaan lahan
menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek pembiayaan. Sekarang Desa
Pakraman mengambil alih kepengelolaan dan bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap biaya-biaya yang timbul, maka hasil pemanfaatan lahan juga sepenuhnya
masuk ke Desa Pakraman, baru kemudian didistribusikan pada kegiatan lain
dengan pengajuan proposal anggaran. Sebelumnya segala bentuk pembiayaan
yang muncul dibiayai oleh para penyakap lahan masing-masing. Keterlibatan
Desa Pakraman hanya sebagai lembaga yang mengkoordinasi hak-hak
pengelolaan petak lahan. Dengan memusatnya pengaturan pembiayaan di desa,
maka distribusi hasilnya pun mengerucut ke desa tidak lagi ke penyakap, atau
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 120/142
120
pengempon pura. Dengan demikian konsep manajerial pemanfaatan lahan pelaba
pura dapat dikatakan mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Terakhir yakni terjadi perubahan implementasi keruangan pada
pemanfaatan lahan pelaba pura diantaranya dengan melihat fungsi lahan pasca
perubahan, dan setting gegaleng. Perubahan yang terjadi dapat dilihat mulai dari
fungsi lahan sebagaimana data rekonstruksi pada setiap kasus sebelumnya
merupakan lahan sawah, dan berubah secara perlahan menjadi lahan ladang dan
kemudian menjadi berberapa fungsi baru sesuai dengan dasar pertimbangannya
masing-masing. Terkait dengan nilai religius lahan pelaba pura dan kebutuhan
akan ruang (fungsi baru), maka tata aturnya adalah merupakan hasil sintesa dari
dualisme sisi keruangan tersebut. Unsur-unsur yang nampak pada data yakni
perubahan interpretasi mengenai jarak gegaleng sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya dimana dulunya selebar apanimpug, dan sekarang diterjemahkan
kedalam adepa agung yang merupakan jarak batas antara aktivitas sakral dengan
aktivitas yang berdimensi sekular. Rentang nilai ruang ekonomis semakin melebar
hingga berhenti ketika menyentuh batas-batas norma yang dilandaskan atas etika,
tatwa dan upakara. Implementasinya dapat dilihat dari berbagai bentuk
pengaturan yang timbul disekeliling pura dengan pengaturan zona-zona dan
pembatas fisik dilahan pelaba pura.(kasus 1: gegaleng selebar adepa agung, kasus
2: diplotnya bale desa, dan bale banten sebagai pembatas Pura Dalem dengan
pasar, kasus 3: jalan desa yang digunakan untuk menghindari sawa melintasi areal
Pura Dalem, kasus 9: di plotnya Pura Taman sebagai pembatas fisik antara
pemukiman pemangku dan Pura Dalem).
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 121/142
121
BAB V
PENUTUP
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Terdapat 12 tema temuan diantaranya yakni 1) Ada perbedaan waktu
dengan masing-masing karakteristik perubahannya, 2) Masing-masing pelaba
pura berdekatan dengan beberapa tipe jalan dengan yang ternyata mempunyai
pengaruh terhadap bagaimana krama pakraman memanfaatkan lahannya, 3)
mempunyai jarak yang berbeda terhadap pura inti, 4) masing-masing memiliki
dasar perubahan yang berbeda-beda, 5) terjadi perubahan tata guna lahan, 6)
terjadi perubahan mekanisme atau proses pemanfaatan lahan,7) perluasan sumber
dana pembangunan, 8) perubahan manajemen pembiayaan pemanfaatan lahan,
terjadi perubahan fisik pada lahan, 9) perubahan fisik pada lahan, 10) perubahan
sistem distribusi hasil pemanfaatan lahan, 11) perubahan tata cara pelaksanaan
upakara, dan 12) terdapat unsur kepercayaan dinanisme pada masyarakat dalam
memanfaatkan lahan pelaba pura-nya.
Dari ke 12 tema temuan ini terdapat beberapa keterkaitan diantaranya
yakni terdapat keterkaitan antara waktu dan fungsi lahan dimana semakin beranjak
periode semakin kompleks fungsinya. Terdapat keterkaitan antara waktu dan
sekularitas fungsi lahan, dimana semakin mendekati tahun 2013 semakin sekular
pemanfaatannya. Cara pandang krama pakraman mulai menjadi lebih rasional
121
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 122/142
122
atau mulai mengarah pada pola pikir sebagai masyarakat pemodal. Terdapat
keterkaitan antara tipe jalan dan fungsi lahan, kecenderungan bahwa pada posisi
lahan yang bersebelahan dengan persimpangan akan dimanfaatkan sebagai fungsi
ekonomi dan sebaliknya pada jalan lingkungan kecenderungan akan dimanfaatkan
sebagai fungsi sosial, Disamping itu juga terdapat keterkaitan antara kepercayaan
dan tata guna lahan, dimana pada setiap lahan yang dipercayai mempunyai nilai-
nilai metafisis maka krama pakraman akan sangat hati-hati dalam
mengimplementasikan fungsi didalamnya, dan terakhir terdapat keterkaitan antara
jarak dan pengaturan fisik pada lahan, dimana semakin jauh jarak maka semakin
sekular fungsinya dan berlaku sebaliknya semakin dekat maka semakin sakral
fungsinya, pengaturan fisik dipertegas dengan tata atur zonasi sebagai "gegaleng"
pura.
Dengan memaparkannya menjadi satu kesatuan maka diketahui juga latar
belakang perubahan adalah berbeda-beda sebagaimana masing masing periode
perubahan diantaranya yakni periode 1 (sebelum tahun 1980) dilatarbelakangi
oleh perubahan sistem pertanahan, (tahun 1990) diimplementasikannya Land
Consolidation, (2003-2005) kebutuhan akan fasilitas desa, tekanan ekonomi dan
sosial, dan (pada tahun 2010-2012) adanya keinginan untuk memperkuat modal
keuangan desa pakraman.
Perubahan terjadi sangat mendasar, krama pakraman semakin berpikir
secara rasional atau menerapkan pola pikir selayaknya masyarakat pemodal,
walaupun demikian nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam adat mereka tetap
dipertahankan, sehingga terjadi proses "negosiasi" terhadap ruang-ruang pada
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 123/142
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 124/142
124
interpolasi yang terlalu melebar akan dapat mendeformasi bahkan mengeliminasi
eksistensitas lahan pelaba pura itu sendiri yang tentunya juga akan berdampak
pula pada kehidupan masyarakat pakraman Panjer dan tujuan umat untuk
mencapai kehidupan yang jagatdhita akan mustahil untuk diwujudkan.
Berbagai tekanan yang dihadapi masyarakat Panjer sesungguhnya juga
dapat saja dialami oleh setiap Desa Pakraman di Bali khususnya yang berada di
wilayah perkotaan. Sehingga saran selanjutnya tertuju bagi Desa Pakraman lain,
Keberagaman Perbedaan lokasi, waktu dan situasi (desa, kala, patra)
mengakibatkan fenomena yang terjadi pada setiap desa akan memiliki tendensi
yang berbeda-beda, namun terdapat satu pesan didalamnya yakni pentingnya
untuk menjaga nilai-nilai adi luhur nenek moyang masyarakat Bali, untuk
menjaga kelestarian alam, nilai spiritualitas, nilai kebersamaan (Sosial) tanpa
menafikkan nilai ekonomi dalam era global yang tentunya mau tidak mau
substansinya tidak dapat ditinggalkan.
Terakhir, dalam ranah akademis diharapkan dapat dilanjutkannya
penelitian sejenis pada beberapa Desa Pakraman yang lain, dengan mencoba
mengkomparasi antara beberapa Desa Pakraman yang memiliki karakteristik
yang berbeda ataupun dengan paradigma serta kajian metodologis yang berbeda
pula dengan harapan dapat memperkaya pengetahuan mengenai keberadaan lahan
pelaba pura yang nota bena mempunyai arti yang penting bagi keberlanjutan
kehidupan Desa Pakraman.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 125/142
125
DAFAR PUSTAKA
Buku
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek .
Bandung:Tarsito.
Artadi, I.K. 2001. Kebudayaan Spiritualitas, Nilai Makna dan Martabat
Kebudayaan. Denpasar : PT. Offset BP
Bintarto, R. 1977. Geografi Kota. Yogyakarta: UP. Spring.
Blakely, E.J. 1994. Planning Local Economic Development - Theory and
Practice. California: Sage Publication.
Brouwer, M.A.W . Psikologi Fenomenologis. Jakarta: PT. Gramedia
Bushar M. 1988. Pokok-pokok Hukum Adat . Jakarta : PT Pradnya Paramitha,
Chapin, F.S. and Edward J.K. 1985. Urban Land Use Planning. Cichago:
University of Illinois Press.
Creswell, J.W. 2003. Research design: Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods. Approaches: SAGE,
Dharmayuda, I M S. 2001. Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di
Propinsi Bali: PT. Upada Sastra kerjasama dengan Yayasan Adi Karya
IKAPI dan The Ford Foundation,
Dwipayana, A. 2003. “Catatan Kritis Pelaksanaan Otonomi Tingkat Desa di
Bali. Yogyakarta:Pustaka Pelajar dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol
UGM.
Effendi, S. dan Singarimbun, M. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta :PT
Pustaka LP3ES Indonesia.
Effendi, S. dan Manning. 1989. Prinsip-prinsip Analiasis Data. Lembaga
Penelitian Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta:
LP3ES
Eliade, M. 1961. The Sacred anf Profane, terj. dari Perancis oleh Willard R. Trask
New York: Harper & Row Publishers, 1961
Gelsana. 2006. Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma ,mencapai kebebasan
dan keseimbangan jiwa melalui pengamalam ajaran dharma. Denpasar:
Pesantian Tri Bhuana Agung
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 126/142
126
Gubernur Bali. 2001. Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang
Desa Pakraman. Denpasar: Pemda Bali.
Gunawan, W. 2000. “Reforma Agraria” Perjalanan Yang Belum Berakhir ,
Penerbit Insist Press. Konsorium Pembaharuan Agraria. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Hadi, S. 2001. Metodologi Research Jilid 3. Yogjakarta :Penerbit Andi
Harsono, B. 1968. Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan Isi dan
Pelaksanaannya. Jakarta: Djakarta Djambatan
Harsono, B. 2007. Hukum Agrarian Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi
dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. Jakarta: PenerbitDjambatan
Hermanto, P., Sahat ,M., Djauhari, A., dan Sumaryanto. 1996. Persaingan dalam
Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air:Dampaknya Terhadap
Keberlanjutan Swasembada Pangan. Jakarta: Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian.
Juliantara, D. 1995. Sengketa Agraria, Modal dan Transformasi dalam Untoro
hariadi dan Masruchah. Edisi: Tanah, Rakyat dan Demokrasi. Yogyakarta:
Forum LSM-LPSM DIY
Kaplan, R. S. and Norton D.P, 1996. Using the Balanced Scorecard as Strategic
Management Sistem: Harvard Business Review.
Kaiser, E.J., Godschalk, D.R., Chapin, F.S. 1995. Urban land Use Planning.
United Goverments of America : University ofIllinois Press.
Leedy, P.D. 1997. Practical Research: Planning and Design. Sixth Edition.
Prectice Hall, Upper
Lestari , T. 2005. Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani.
Makalah Kolokium.Departemen sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat . Bogor: IPB Press.
Moleong, L .J .1993. Metodologi Penelitian Kualitatif . 1993. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Nana, S. (2009). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Bandung :
Rosdakarya.
Nottingham, E.K. 2002. Agama dan Masyarakat, Suatu Pengantar Sosiologi
Agama. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 127/142
127
Neuman, W.L. 2003. Social Research Methods: Qualitative & Quantitative
Approach, London:Sage
Nordholt, H.S. 2010. Bali Benteng Terbuka 1995-2005. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Parimartha, I. G. 2003. Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa Pakraman
Putraka. 2009. Pohon suci, Kenapa jadi Keramat. Majalah Raditya. Denpasar :
PT. Pustaka Manik Geni.
Ridwan. 2004. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti
Pemula. Bandung: Alfabeta
SARAD, 2000. No, Tanah Bali Tanpa Natah, Yayasan Gumi Bali, Denpasar . 10
Tahun I Edasi Oktober
Simarta, D.A. 1997. Ekonomi Pertanahan dan Properti di Indonesia: Konsep,
Fakta dan Analisis. Jakarta: CPIS
Singarimbun, M dan Effendi S, 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES
Simpen, I W. 1988. Basita Parihasa. Denpasar: Upada Sastra.
Sitorus, S.R.P. 2001. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Edisi
Kedua. Lab. Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. JurusanTanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 138 Halaman.
Suasthawa, M.D. 1987. Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya
UUPA, Denpasar: CV. Kayu Mas
Soebandi, K. 1981. Pura Kawitan / Padharman dan Penyungsungan Jagat .
Denpasar: CV Kayumas
Suacana, I W. G. 2006. “ Budaya Demokrasi dalam Kehidupan Masyarakat Desa
di Bali” dalam Buku Bali Bangkit Bali Kembali, (Kontributor), Kerjasama
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI dan Universitas Udayana,
Titib, I M, 1996.Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya :
Paramita
Triguna, Y. 2000. Teori tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma.
Windia, W.P. 2004, Danda Pacamil: Catatan Populer Istilah Hukum Adat Bali,
Denpasar:Upada Sastra
Yunus, H S. 1999. Struktur Tata Ruang Kota.Jakarta :Pustaka Pelajar
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 128/142
128
Desertasi/ Thesis
Ambara, IGNP. 2006. Eksistensi Tanah-Tanah milik Pura Desa Pakraman Di
Kota Denpasar. Thesis program studi magister kenotariatan universtas
Diponegoro semarang 2006
Aryana. 2012. Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Lahan Terbangun di
Kelurahan Panjer, Kota Denpasar. Thesis Program Pasca Sarjana,
Program Studi Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa Kota,
Universitas Udayana.
Castetter, W. B. dan Heisler, R.S. 1984. Developing and Defending A Disertation
Proposal. Philadelphia: Graduate School of Education, University of
Pennsylvania,
Sihaloho, M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria.
Tesis Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sukawati. 2012. Kajian Perubahan Spasial Desa. Desertasi. Program Kajian
Budaya, Fakultas Sastra, Pascasarjana Universitas Udayana.
Surpa. I W. 2004.Pura Subak di Masyarakat Perkotaan dalam PerspektifPerubahan Budaya Kasus di Kota Denpasar. Thesis Program Pascasarjana
Jurusan Kajian Budaya, Universitas Udayana
Suwitra, I M.(2009). " Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat
di Bali dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional" Disertasi. Program
Doktor Ilmu Hukum Fakultas hukum Universitas Brawijaya. Malang.
Wijayanti, D, 2002. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Fungsi
Lahan di Kecamatan Depok-Kabupaten Sleman”. Semarang: Thesis tidak
diterbitkan , Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro,
Jurnal
Budiana, I N.1998. Memahami Keberadaan Palemahan Tanah Pekarangan Desa
dan Tanah Ayahan Desa di Bali (Suatu Pendekatan dari Aspek Hukum
Adat di Bali) Dalam Widya Satya Dharma Jurnal Kajian Hindu, Budaya
dan Pengembangan. Edisi Nyepi Vol 5 No Maret-Oktober . Singaraja:
STIE Satya Dharma.
Budiana, I N. 2006, Reorientasi Status Tanah Adat Dalam Perspektif Hukum Adat
Bali, Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 129/142
129
Kustiwan, I. 1997. Permasalahan Konversi Lahan Pertanian dan Implikasinya
Terhadap Penataan Ruang Wilayah (Studi Kasus Wilayah Pantai Utara
Jawa Barat). Jurnal PWK, Vol. 8. No. 1.
Lasmawan, 1998 Tanah Laba Pura dan Pergeseran Nilai Sosial Ekonomi
Masyarakat Desa di Kecamatan Kintamani- Bangli. Aneka Widya STKIP
Singaraja, No 2 Th XXXI
Leksono, B. E., Hernandi. A., Ansari. J.,Susilowati, Mindarto.A.,2012. The
Development of Land Consolidation Integration in The Land Acquitition of
Road Network at Kebumen District, Indonesia. FIG Working Week.
Knowing to manage the territory, protect the environtment, evaluate the
cultural heritage, Rome. Italia.
Listyawati. 2010. Kegagalan Pengendalian Alih Fungsi Tanah. Mimbar Hukum,
Volume 22. Nomor 1
Pasandaran, E. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah
Beririgasi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian
Suacana, I W.G, 2011, Praktik Demokrasi di Desa Pakaraman Bali Age dan
Apanage, Jurnal Kajian Bali, Volume 01, Nomor 01, April 2011, Pusat
Kajian Bali Universitas Udayana Denpasar.
Suartika, G.A.M. 2007. Perencanaan dan Pembangunan Keruangan: Perwujudandan Komunikasi antar Kepentingan dalam Pemanfaatan Lahan: Jurnal
Permukiman Natah vol. 5 no. 2
Suartika, G.A.M. 2010. Substansi Budaya dalam Kebijakan Tata Ruang di Bali,
Jurnal Humaniora, Vol 22, No 3 Oktober 2010 313-326
Sumantra, I W. 2005. Dampak Konsolidasi Tnah Terhadap Perubahan Sistem
Budaya Subak. Studi Kasus Di Subak Aya Desa Pakraman Kawan
Kecamatan Bangli. Magister Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Gajah
Mada.
Suputra. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Studi
Kasus di Subak Daksina, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara,
Kabupaten Badung "E-Journal Agribisnis dan Agrowisata ISSN: 2301-
6523 Vol. 1, No. 1
Suyastiri, N.M. 2012. Pemberdayaan Subak Melalui “Green Tourism”
Mendukung Keberlanjutan Pembangunan Pertanian di Bali : Program
studi agribisnis fakultas pertanian upn ”veteran” Yogyakarta,. sepa : vol. 8
no. 2 pebruari 2012 : 51 – 182 issn : 1829-9946,
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 130/142
130
Suwitra, I M. 2005. Tugas Prajuru Adat dalam mengatur tanah adat khususnya
tanah telajakan dalam konsep menuju Bali ajeg. Denpasar : Kertha
Wicaksana. Fakultas Hukum Universitas Warmadewa. Denpasar
Winoto, J. 2005. Kebijakan pengendalian alih fungsi tanah pertanian dan
implementasinya. Seminar Sehari Penanganan Konversi Lahan dan
Pencapaian Lahan Pertanian Abadi, Jakarta, 13 Desember 2005.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 131/142
131
DAFTAR INFORMAN
1.
Nama: Prof. Wayan Budiana.,SH.,M.Si
a. Umur :48 tahun
b. Jabatan di desa : Bendesa Pakraman (periode 2007-2012,
2012-2017)
c.
Pekerjaan :Wakil Rektor Undiknas, dosen fakultas
hukum
d. Agama :Hindu
e.
Alamat :Br. Kaja
2. Nama :Drs I Gusti Made Anom
a. Umur :70 tahun
b. Jabatan di desa :Mantan Bendesa, Pemangku umum
c. Pekerjaan :Pensiunan guru agama, dalang, Pemangku
d. Agama :Hindu
e. Alamat :Br. Kangin
3.
Nama:Wayan Ariawan.,S.Pt
a. Umur :35 tahun
b. Jabatan di desa :Prajuru
c. Pekerjaan :Sekretaris desa pakraman
d. Agama :Hindu
e. Alamat :Br. Kangin
4. Nama: Wayan Darmantra.SP
a.
Umur :38 tahun
b. Jabatan di desa :Prajuru
c. Pekerjaan :Kepala Pasar
d.
Agama :Hindu
e. Alamat :Br. Kangin
5. Nama: Ibu Eka
a. Umur :45 tahun
b.
Jabatan di desa :Krama Uwed
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 132/142
132
c.
Pekerjaan :Wiraswasta (pembuat jaja bali)
d. Agama :Hindu
e. Alamat :Br. Kangin
6. Nama: I Wayan Lasia
a.
Umur :45 tahun
b. Jabatan di desa :Pemangku
c. Pekerjaan :(wiraswasta)
d.
Agama :Hindu
e. Alamat :Br. Kangin
7. Nama: I Wayan Sartha
a. Umur :41 tahun
b. Jabatan di desa :Krama
c. Pekerjaan :(wiraswasta)
d. Agama :Hindu
e.
Alamat :Br. Kaja
8. Nama: I Wayan Sukra
a.
Umur :48 tahun
b. Jabatan di desa : Krama
c.
Pekerjaan :(wiraswasta)
d. Agama :Hindu
e. Alamat :Br. Kangin
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 133/142
133
GLOSARIUM
abstrak : tidak berwujud; tidak berbentuk
abstraksi : proses atau perbuatan memisahkan
penyusunan abstrak; melalui penyaringan
terhadap gejala atau peristiwa
adat : aturan (perbuatan, dsb) yang lazim diturut
atau dilakukan sejak dahulu kala cara
(kelakuan, dsb) yang sudah menjadikebiasaan; kebiasaan wujud gagasan
kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai
budaya, norma, hukum, dan aturan ayng satu
degnan lainnya berkaitan menjadi suatu
sistem;
alas segehan : sajen yang digunakan dalam upacara bhuta
yadnya; alas taledan; isi nasi, lauk-pauk,
bawang, jahe, dan garam
agraria : urusan pertanian atau tanah pertanian
anresangsia : tidak mementingkan diri sendiri
atma : Brahman (Tuhan) pada diri manusia
atma kertih : suatu upaya untuk melakukan pelestarian
segala usaha untuk menyucikan Sang
Hyang Atma
bebantenan : sebagai alat konsentrasi dari pikiran kita
untuk memuja San hyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa bagi umat Hindu
betari sri : dewi kemakmuran
bertendensi : berkecenderungan; berkecondongan (pada
suatu hal)
banten soroan : digunakan dalam setiap upacara Panca
Yadnya, termasuk melengkapi prasita,
biyakaonan, pengulapan dan banten lainnya.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 134/142
134
bagia pula kerthi : Yadnya (Banten) Bagia Pula Kerti adalah
lambang dari Bhatara Siwa (Ketuhanan;
Lontar siwa sasana) sebagai Dewata NawaSanga yang diwujudkan dalam banten caru
bhurloka : ("alam Neraka; alambawah") alam yang
dihuni oleh jiwa-jiwa (atman) yang, batinnya
gelap,
bhuwahloka : alam manusia
bhuwana agung : alamraya, alam semesta, jagat raya, alam
besar, Brahmanda,
bhuwana alit : sering juga disebut Mikrokosmos adalahalam kecil atau dunia kecil yaitu isi dari alam
semesta
butha saksi : yaitu saksi bhutakala
caru : Caru adalah kurban suci yaitu upacara
yadnya yang bertujuan untuk keseimbangan
para bhuta sebagai kekuatan bhuwana alit
maupun bhuwana agung sebagaimana
disebutkan dalam kanda pat butha
danu kertih : konsep upaya untuk melestarikan sumber air
desa adat : merupakan suatu komunitas tradisional
dengan fokus fungsi dalam bidang adat dan
agama Hindu
desa pakraman : sama artinya dengan desa adat.
dekonstruksi : sebuah metode pembacaan teks
desa mawacara : desa mempunyai adat sendiri
dewa indra : manifestasi Brahman yang bergelar sebagaiDewa cuaca dan Dalam ajaran agama Hindu
dewa saksi : saksi Dewa (Ida Sang WidhiWasa) yang di
mohon untuk menyaksikan upacara
dewiuma : pasangan Dewa Siwa, aspek dari cahaya
kuasa Tuhan, perkawinan dari keduanya
melahirkan alam semesta
druwe : kepunyaan
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 135/142
135
dialektika : sebuah cara untuk memikirkan dan
mengartikan dunia
eksistensi : suatu proses yang dinamis, suatu 'menjadi'
atau 'mengada
fenomenologi : studi mengenai bagaimana manusia
mengalami kehidupan di dunia
gebogan : suatu bentuk persembahan berupa susunan
dan rangkaian buah buahan dan bunga
hierophany : keadaan yang dapat dipahami dengan
pendekatan transcendental
intervensi : upaya untuk mengubah perilaku, pikiran atau
perasaan seseorang
jagabhaya : menjaga marabahaya, organisasi yang
ditugaskan desa untuk menjaga keamanan
lingkungan
jagad kertih : usaha untuk melestarikan bumi dalam hal ini
tanah yang menjadi sumber kehidupan
hingga tanah menjadi produktif dan
menghasilkan
jana kertih : keteraturan hidup yang disebabkan adanya
SDM dan kelompok sebagai pelaku-pelaku
dengan kecerdasan
jero mangku : nama panggilan bagi Pemangku yang telah
diwinten/ disucikan/di baptis
kapitalis : suatu paham yang meyakini bahwa pemilik
modal bisa melakukan usahanya untuk
meraih keuntungan sebesar-besarnya.
kamandhuk : sapi surgawi miliki RsiVasistha yang dapat
memenuhi segala keinginan.
Karang embang : suatu areal kosongantarduadesa yang
berfungsi sebagai selain pemisah kedua desa
keharmonisan : keadaan selaras atau serasi
konservatif : merupakan sikap dan perilaku politik yang
tidak menginginkan adanya perubahan berarti
(mendasar) dalam sebuah sistem.
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 136/142
136
konstan : tetap, stabil
komunal : kelompok
kosmologi : ilmu yang mempelajari struktur dan sejarah
alam semesta berskala besar
krama ngarep : krama asli desa adat yang bertugas untuk
menjaga mematuhi adat istiadat
krama uwed : krama pendatang, masyarakat pendatang
krama penyanggra : krama atau anggota desa pakraman
pendatang yang telah menjadi krama adat
atau mengikuti adat istiadat setempat
krama tamiu : krama atau anggota masyarakat desa
pakraman yang beraktifitas di wilayah desa
pakraman namun tidak mengikuti adat
setempat
land consolidation : restrukturisasi pertanahan , penataan
menyeluruh pada lahan yang peruntukannya
masih sesuai dengan RUTR
leteh : kotor
Linggih : stana
loka dresta : kebiasaan-kebiasaan dalam tatanan adat
makrokosmos : jagatraya (masih alam dunia)
manusa saksi : saksi manusia
nitisastra : ajaran pemimpin
nunas : meminta
ngaben : upakara kremasi mayat (sawa) disertai
dengan ragam upakara
palemahan : konsep hubungan antara manusia dengan
lingkungan
paruman desa : rapat desa
pelaba pura : lahan komunal milik adat yang digunakan
untuk menunjang jalannya aktifitas di
purabaik fisik ataupun non fisik seperti
upacara
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 137/142
137
pelangkiran : berasal dari kata "langkir" artinya tempat
memuja
Perarem : peraturan pelaksana dari awig-awig
(semacam Reusam/Qanun Gampong di
Aceh).
pererainan : istilah untuk upacara agama yang rutin
dilakukan oleh orang Bali, terutama terkait
'peringatan hari jadi' tempat suci
pengempon : orang2 yg bertanggung jawab dalam menjaga
memberi odalan kehadapan ida bhatara
leluhur
penyakap : petani yang mengusahakan tanah orang lain
dengan sistem bagi hasil. Resiko usaha tani
ditanggung bersama dengan pemilik.
purusa-predana : konsepsi dualitas yang simbolik oposisi yang
saling melengkapi, laki perempuan, langit -
bumi, bhuana agung-bhuana alit.
pawiwahan : prosesi pernikahan dalam agama hindu
Prajapati : Prajapati adalah ‘nama’ lain dari Sanghyang
Widhi, di mana istilah itu terdiri dari dua kata
bahasa kawi, yaitu: ‘praja’ artinya
‘kemanusiaan (manusia)’ dan ‘pati’ artinya
‘inti’ sehingga secara harfiah prajapati
disimpulkan sebagai ‘inti manusia’, yaitu
‘atman’ (roh) yang sama dengan/ pecahan
brahman (Sanghyang Widhi).
progresif : mengubah secara cepat, melakukan
pembalikan yang mendasar
realitas : keseluruhan yang ada atau terjadi'
rwabhineda : konsep dualistis dan dalam hidup
sad kertih : enam sumber kesejahteraan yang harus
dilestarikan untuk mencapai kebahagiaan
lahir dan batin
sapta petala : 7 lapisan alam
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 138/142
138
sesayut : sejenis jejahitan berbentuk bundar dengan
potongan yang khusus (isehan di tangannya).
sekularitas : sebuah ideologi yang menyatakan bahwa
sebuah institusi atau harus berdiri terpisah
dari agama atau kepercayaan. juga merujuk
ke pada anggapan bahwa aktivitas dan
penentuan manusia, terutamanya yang politis,
harus didasarkan pada apa yang dianggap
sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan
berdasarkan pengaruh keagamaan.
sapta timira : tujuh kegelapan yang membuat seseorang
mabuk
sarwa aanyar : serba baru
sima : adalah tanah yang diberikan oleh raja atau
penguasa kepada masyarakat yang dianggap
berjasa
sesajen : simbolik rasa syukur
swagina (pura) : Pura yang pemujaannya diikat oleh profesi
yang sama dalam satu mata pencaharian
seperti : Pura Melanting, Pura subak.
tetukon : jenazah
trihita karana : tiga jalan untuk mencapai kebahagiaan
tega kumah : bangunan rumah
tentatif : belum pasti; masih dapat berubah
terminologi : peristilahan
Tirta yatra : perjalanan suci
tradisi : adat-istiadat atau kebiasaan
transformasi : perubahan sifat, wujud, bentuk
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 139/142
139
Lampiran 1 Uraian Perubahan Berdasarkan Waktu
PERIODE Sebelum tahun 1980 Tahun 1990 1995 2003-2005 2010-2012
FAKTORPENGARUH
Adanya upaya untukmemberikan
perlindungan hukum
kepada warga Negaradengan
diterbitkannya
Undang-undangPokok Agraria
(UUPA )
Usaha dari pemerintah untuk
mengantisipasi
perkembangan kotayang tidak beraturan
Membangun fasilitas
perkotaan yangefektif dan efisien
dengan
direncanakannyaProgram LC
Panjer sebagaikawasan pemukiman
yang memiliki nilaistrategis
Permintaan darimasyarakat untuk
membangun pasar
Lahan pelaba pura satu-satunya lahan
desa yang dapat
dimanfaatkan untukmemenuhi kebutuhan
LPD sebelumnya dalamkeadaan terpuruk, namun
terdapat celah untuk
memperbaiki sistemnya.
Adanya kebutuhan
pembiayaan yang cukup
besar untuk Yadnya( Ngenteg linggih)
Kebutuhan sarana
pendidikan .Kebutuhan tempat untuk
melakukan admiinistrasi
kepemerintahan sertatempat untuk me-
siwakramaKeinginan untuk lebihmeningkatkan
produktifitas pasar
Kebutuhan untukmeningkatkan
sumber financial
pakraman untukmenunjang
jalannya
keseimbanganParhyangan,
Pawongan dan
palemahan
CARA
PANDANG
KRAMAPAKRAMAN
Masih berkutat
dengan pola pikir
budaya agrarisSosial-religius
Dilakukannya perumusan mengenai
tata cara pemanfaatan
lahan adat untukmemproteksi
keberadaan lahan
adat mereka
Krama Mulai melihat
peluang selain sector
pertanian
Mulai muncul
kekhawatiran bahwasignifikansinya
perubahan
menyebabkanterganggunya ritus-
ritus religius milik
desa.
Kebutuhan akan
fasilitas desa
Meningkat
Krama mulai memilihlahan strategis untuk
dimanfaatkan sebagai
pasar
Melihat peluang bahwa pelaba pura terletak pada
lokasi yang strategis,Beberapa lagi sangat
kondusif untuk dijadikan
ruang sosial
Adanya peluang
dengan
menginterpretasik an kembali
kemungkinan akan
Jarak lahan pelabayang cukup jauh
dari pura, dan
tidak adanyalokasi yang
dianggap tenget pd
lahan sertifikat no
3384, 3197
PE-MANFAATAN
LAHAN
EKSISTINGPE-
MANFAATAN
LAHAN BARU
Sawah dan LadangPemukiman
pemangku
LadangPemukiman
pemangkuLahan tidur
Lahan tidurLadang
Pemukiman pemangkuPasar
Ladang, Pasar,Pemukiman pemangkuLPD, Toko, Jalan desa,
Wantilan &lapangan,SD , TK, jaba sisi
Pasar,Pemukiman
pemangku
LPD, Toko, Jalandesa, Wantilan
&lapangan, SD 1,
TKPerumahan kos
FENOMENA
UMUM
Lahan Pekarangan
Desa, Ayahan Desa,
perlahan-lahan berubah status
menjadi lahan
individu penuh
Alih fungsi lahan
Ditinggalkannya
profesi petaniMeningkatnya
jumlah penduduk,
Kebutuhan akanlahan semakin
meningkat
Biaya pererainan mulai
meningkat
Masyarakat mulaimenjadi sibuk dengan
pekerjaan barunya
Muncul ide untukmempermudah system
pakraman dalam
pembiayaan Yadnya
Permintaan akan sarana
permukiman meningkat
DAMPAK / KE-
TERKAIT-AN
DENGANLAHAN PELABA
Lahan pelaba masih
dimanfaatkan sebagai
lahan sawah
Dipindahkannya
benda-benda sakral
dari lahan pelaba pura ke areal pura
Lahan pelaba
menjadi lahan tidur
Usaha untuk
memproteksi kesucian
puraMunculnya kebutuhan
untuk membentuk
organisasi pengelola pasar (sistem
manajerial
pemanfaatan lahan
Menyikapi hal ini krama
mencoba
menginterpretasikankemungkinan pelaba
mengakomodasi
permintaan tersebutSemakin dipertegas
pembatas-pembatas fisik
antara area-area yangdianggap sakral dengan
aktifitas yang profan
Muncul fungsi
sekular pada lahan
LATAR
BELAKANG
Diberlakukannya
UUPA
Land Consolidation Keb. Fasilitas desa Tekanan ekonomi dan
sosial
Pola pikir
rasional-kapital
Pola pikir
menjadi lebih
rasional,
cenderung
kapitalis
Fungsi
semakin
kompleks
Munculnya
sikap
“negosiasi”terhadap
ruang
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 140/142
140
Aspek Konseptual Pemanfaatanlahan pelaba pura
dulusebelum tahun
1980
Pemafaatan lahan pelaba pura
sekarang (tahun1980-2013)
TingkatPerubahan
NonFisik
Hal-hal
Metafisis
(Kepercayaan)
• Pohon sakral
• Batu sakral
• Tempat “tenget ”
• Setiap lahan
pelaba dipercayamerupakan
tempat rencang-rencang bhetara penjaga desa
Kepercayaan disamping
tetap dipercaya masyarakat
Tetap/ tidak
berubah
Upakara Ada Ada, ada namun terjadi
perubahan lokasi (ngayat
dari pura)
Tetap/ tidak
berubah
Organisasi
masyarkat yang
terkait dengan
fungsi pelaba
• Sekaa manyi
• Sekaa sakap
•
Subak
• Yayasan Kumara
Loka (pengelolasekolah)
• Organisasi
pengelola Pasar
Nyanggelan• Organisasi
LembagaPerkreditan Desa
• Pecalang Jagabaya
Organisasi
tradisional
menghilang
dan muncul
organisasi baru
PembiayaanOperasional
pemanfatan
lahan
• Pengempon/
penggarap
• Desa Pakraman Meluas
Pengelolaan • Pengempon Pura • Desa Pakraman
• Swasta
Meluas
Distribusi hasil • Penyakap
• Pura
• Desa Pakraman
• Pura
Meluas
Mekanisme pemanfaatan
lahan
•
Paruman•
Paruman•
Perijinan
pemerintah
• Kontrak
• BOT
• Tukar Guling
Tetap danmuncul suatu
yang baru
Peran Religius
• Penunjang
aktifitas pererainan pura
• hasil (material)
digunakan untukmenunjangSarana-prasarana
bebantenan
• Penunjang
aktifitas pererainan
• Pembangunan
fasilitas pura
• Pelaksanaan
upakara Ngenteg
Linggih
Tetap,cenderung
menguat
Lampiran 2 Perbandingan Pemanfaatan Lahan Pelaba Pura Dulu dan Sekarang dan
Tingkat Perubahannya
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 141/142
141
•
Gegaleng Pura •
Dana
piodalan/patirtan
pura
•
Dana pemeliharaan
• Gegaleng pura
(perubahan nilai pada jarakgegaleng)
Sosial
• Sebagai dana
kesejahteraan pemangku pura
• Tempat
berlangsungnyakegiatan gotongroyong (tegalan)
• Kesejahteraan pemangku pura(kasus
• Pembangunan
sarana pendidikan(kasus
•
Dana
Pemeliharaanfasilitas sosial
•
Tempat paruman
(Wantilan pura)
• Tempat
menjalankan pemerintahah desa
(Kantor desa yang
berlokasi diwantilan)
• Tempat
pementasan pagelaran kesenian
Tetap,cenderung
menguat
Lingkungan
•
Area resapan air•
Lintasan saluran
irigasi subak
•
Area resapan air•
Ruang terbuka
publik
•
Estetika
Satu perantetap satu
hilang
(melemah)dan munculnilai baru
Ekonomi
• Sumber mata
pencaharian petani
• Modal
keberlanjutan jalannya Lembaga
Perkreditan Desa
• Dana investasi
untuk perkuatandeposito (dana
abadi pelaba pura)• Dana untuk
menambahkepemilikan aset
desa
•
Sumber mata
pencaharian
(pedagang)-Fungsi pasar desa,Pasar Nyanggelan
Menguat
Fisik Fungsi • Sawah
• Ladang
• Kantor LPD, danToko
• Pasar Nyanggelan
• Jalan Desa
•
TK
Berubahmenjadifungsi-fungsi baru sesuai
dengan
8/19/2019 unud-920-828874169-ujian iii
http://slidepdf.com/reader/full/unud-920-828874169-ujian-iii 142/142
142
•
Rumah Kos
• Jaba sisi
• Wantilan dan
Lapangan, dankantor Desa
Pakraman
• Pemukiman jeromangku
• SD
kebutuhandesa
Site Lokasi benda-benda yangdisakralkan
• Batu Besar Gede
Ratu Muntung
• Jepun (kamboja)
Akibat fungsi baru,dibangunnya pelinggih
sebagai padmasana jugasebagai tempat ngayat (persembahan kepada unsur-
unsur gaib yang semuladipercya ada pada lahan pelaba tersebut)
Unsurkepercayaannya
tetap, namunfisiknya berubah
` Gegaleng Apenimpug Adepa Agung Menyempit
HasilPemanfaatan
Pantun (Padi)Buah-buahan sebagaisarana upakara
Dana Berubah dari palawijamenjadi uang