universitas negeri semarang november,...
TRANSCRIPT
PENELITIAN DOSEN PEMULA
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DOSEN PEMULA
SANGGAR BAHASA BERBASIS SOCIO-TECHNOLOGY (SBST): TEROBOSAN BARU MODEL TERAPI WICARA
BERBASIS RUMAH DI KOTA SEMARANG
Oleh:
Muhammad Badrus Siroj, S.Pd., M.Pd. /NIDN 0616108701 Urip
Muhayat Wiji Wahyudi, S.Pd., M.Pd. /199006062013031077
Iwan hardi Sapotro, S.Pd., M.Si. /198512252013031073
Dibiayai oleh: Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Universitas Negeri Semarang
Nomor: DIPA-042.01.2.400899/2016, Tanggal 07 Desember 2015 Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Program Penelitian
Nomor: 1.25.4./UN37/PPK.3.1/2016, tanggal 25 April 2016
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
NOVEMBER, 2016
i
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Sanggar Bahasa berbasis Socio-Technology (SBST): Terobosan Baru Model
Terapi Wicara Berbasis Rumah di Kota Semarang
Peneliti / Pelaksana Nama Lengkap NIDN/NIP Jabatan Fungsional Program Studi Nomor HP Alamat surel (e-mail) Anggota (1) Nama Lengkap NIP Anggota (2) Nama Lengkap NIP Perguruan Tinggi Institusi Mitra Nama Institusi Mitra Alamat
Lama Penelitian
Biaya yang diperlukan a. Sumber dari DIPA Unnes
: Muhammad Badrus Siroj, S.Pd., M.Pd.
:0616108701/198710162014041001 :Tenaga
Pengajar :Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia :081326181281
:Urip Muhayat Wiji Wahyudi, S.Pd., M.Pd.
:199006062013031077
: Iwan hardi Sapotro, S.Pd. M.H. : 198512252013031073 :Universitas
Negeri Semarang
:Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) : Jalan K. H. Ahmad Dahlan No. 4 Semarang, Rt 07 Rw 05, Kelurahan Pekunden, Kecamatan Semarang Tengah.
:8 bulan : : Rp. 12.000.000,00
Semarang, 1 November 2016
Mengetahui, Ketua Pelaksana,
Dekan FBS
Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum. Muhammad Badrus Siroj, M.Pd.
NIP 196008031989011001 NIP 198710162014041001
Menyetujui,
Ketua LP2M Unnes
Prof. Totok Sumaryanto F. M.Pd.
NIP 196410271991021001
ii
RINGKASAN
Perkembangan anak dari lahir sampai usia prasekolah merupakan periode
kritis dalam perkembangan bahasa seseorang. Namun demikian, kebanyakan
perkembangan yang ditanyakan bukan pada keterampilan berbahasanya.
Masyarakat lebih tertarik menanyakan perkembangan anak secara fisiknya, mulai
dari merangkak, berdiri, berjalan, sampai berlari. Padahal perkembangan bahasa
anak sangat penting, jika kurang diperhatikan akan timbul banyak persoalan
misalnya penyakit berbahasa. Penyakit atau hambatan berbahasa sekarang ini banyak dialami oleh anak
usia dini misalnya gagu, lambat berbicara, afasia, autis, dan sebagainya. Perilaku
orangtua dan lingkungan sekitar diyakini menjadi faktor utama yang
menyebabkan keterlambatan anak dalam kemampuan berbahasanya baik sebelum
lahir maupun ketika sudah lahir. Gangguan bahasa yang dialami oleh anak
sebelum lahir misalnya pada anak yang terlahir cacat, kelainan atau
ketidaknormalan seperti anak pada umumnya memerlukan penanganan secara
khusus. Anak dengan kebutuhan khusus atau sering disebut dengan ABK dengan
kelainan seperti kecacatan fisik, syaraf, atau mental (IQ) biasanya mengalami
beberapa keterlambatan perkembangan pada beberapa aspek salah satunya adaah
perkembangan bahasa. Minimnya model dan metode dalam terapi wicara dialami orang tua serta
lembaga-lembaga pendidikan anak cacat sehingga menghambat dalam proses
penyembuhan. Disamping itu, pemanfaatan teknologi komunikasi sosial sangat
minim padahal perkembangan teknologi sangat pesat dan dapat dimanfaatkan
secara optimal. Untuk mencapai sasaran penelitian tersebut, maka pendekatan
penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah pendekatan reseach and
development (R& D), yaitu suatu penelitian yang ditindaklanjuti dengan
pengembangan suatu model melalui siklus proses penelitian, aksi, refelksi,
evaluasi, dan inovasi dalam sautu rangkaian kegiatan yang sistematis. Model
alternatif ini dirumuskan secara kolaboratif antara peneliti, pakar ahli, guru, dan
instansi terkait melalui disksusi terfokus (focus group discussion). Penelitian ini menghasilkan analisis kebutuhan pengembangan sanggar
bahasa berbasis socio-technology (SBST) dalam terapi wicara di Kota Semarang,
karakteristik sanggar bahasa berbasis socio-technology (SBST) sebagai model
terapi wicara berbasis rumah di Kota Semarang, serta keefektifan sanggar bahasa
berbasis socio-technology (SBST) untuk meningkatkan kemampuan berbahasa
anak cacat di Kota Semarang. Dapat disimpulkan pula bahwa perkembangan
bahasa anak yang baik diperlukan pola pengasuhan yang komprehensif dari orang
tua yang merupakan pendidik yang pertama dan utama bagi seorang anak. Keluarga merupakan „taman sekolah‟ pertama bagi seorang anak. Dari sana lah
sang anak dibentuk pertama kali oleh orang tuanya akan menjadi seperti apa dikemudian harinya. Orang tua harus memahami betul kapan seorang anak
mengalami perkembangan bahasa pertahapannya sehingga orang tua dapat memberikan stimulus positif yang sesuai dengan tahapan perkembangannya.
iii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis dari awal sampai akhir penulisan
laporan penelitian ini yang berjudul “Sanggar Bahasa berbasis Socio-Technology (SBST): Terobosan Baru Model Terapi Wicara Berbasis Rumah di Kota
Semarang”. Penulis menyadari sepenuhnya, penyelesaian laporan penelitian ini
tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada: 1. Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah berkenan memberikan
dorongan akademis dan pendanaan untuk melakukan penelitian. 2. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas
Negeri Semarang yang telah berkenan memberikan kesempatan untuk
melakukan penelitian. 3. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang berkenan memberikan persetujuan
proposal penelitian ini. 4. Para evaluator proposal dan laporan penelitian ini yang memberikan
sumbangan-sumbangan yang positif bagi terwujudnya hasil penelitian yang
lebih baik. 5. Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Semarang yang menjadi mitra
dalam penelitian ini. 6. Para orangtua, guru PAUD, dan pengelola tempat penitipan anak yang
bersedia ikut terlibat dalam penelitian ini. 7. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu di sini.
Semarang, November 2016
Tim Peneliti
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ··································································· i
HALAMAN PENGESAHAN ··························································· ii
RINGKASAN ············································································· iii
PRAKATA ·················································································· iv
DAFTAR ISI ··············································································· v
BAB 1. PENDAHULUAN ····························································· 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ······················································· 6
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ······························· 19
BAB 4. METODE PENELITIAN ····················································· 20
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ·············································· 26
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA···································· 65
BAB 7. SIMPULAN DAN SARAN ··················································· 66
DAFTAR PUSTAKA ···································································· 67
LAMPIRAN-LAMPIRAN ······························································ 68
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan dan perkembangan berbeda pada setiap anak, tergantung
banyak hal, mulai dari masa anak dalam kandungan sampai dengan masa
kelahiran hingga masa pertumbuhan dan perkembangan setelah lahir. Hal ini juga
berlaku dalam perkembangan bahasa anak. Bahasa memegang peranan penting
dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan wujud dari kehidupan manusia
tersebut. Bahasa diperoleh seorang manusia mulai sejak lahir, ketika dia pertama
kali menangis. Pada saat manusia berumur 3 hingga 4 bulan, ia mulai
memproduksi bunyi-bunyi. Mulai mengoceh saat umur 5 dan 6 bulan, kemudian
ocehan ini pun lama-kelamaan semakin bertambah sampai sang anak mampu
memproduksi perkataan yang pertama.
Pemerolehan bahasa merupakan suatu proses perkembangan bahasa
manusia. Anak sejak lahir telah diberi kemampuan untuk memperoleh bahasanya.
Pemerolehan bahasa ini dipengaruhi pula oleh interaksi sosial dan perkembangan
kognitif anak. Kemampuan berbahasa seseorang diperoleh melalui sebuah proses
sehingga perlu ada pendekatan-pendekatan tertentu di dalamnya. Pendekatan ini
pun diarahkan berdasarkan tujuan pencapaian tertentu seperti kemampuan
sintaksis, semantik, dan fonologis yang dalam proses pemerolehannya, dilakukan
secara bertahap.
Perkembangan bahasa atau komunikasi pada anak merupakan salah satu
aspek dari tahapan perkembangan anak yang seharusnya tidak luput juga dari
perhatian para pendidik pada umumnya dan orang tua pada khususnya.
Pemerolehan bahasa oleh anak-anak merupakan prestasi manusia yang paling
hebat dan menakjubkan. Oleh sebab itulah masalah ini mendapat perhatian besar.
Pemerolehan bahasa telah ditelaah secara intensif sejak lama. Pada saat itu kita
telah mempelajari banyak hal mengenai bagaimana anak-anak berbicara,
mengerti, dan menggunakan bahasa, tetapi sangat sedikit hal yang kita ketahui
mengenai proses aktual perkembangan bahasa. Dalam kehidupan setiap orang
1
tentu saja tidak terlepas dari bahasa. Pertama kali seorang anak memperoleh
bahasa yang didengarkan langsung dari sang ibu sewaktu anak tersebut terlahir ke
dunia ini. Kemudian seiring berjalannya waktu dan seiring pertumbuhan si anak
maka ia akan memperoleh bahasa selain bahasa yang diajarkan ibunya itu baik
bahasa kedua, ketiga ataupun seterusnya yang disebut dengan akuisisi bahasa
(language acquisition) tergantung dengan lingkungan sosial dan tingkat kognitif
yang dimiliki oleh orang tersebut melalui proses pembelajaran.
Proses pertumbuhan dan perkembangan akan sampai pada interaksi
dengan orang lain, umumnya pada lingkungan di sekolah anak dan khususnya
lingkungan di rumah terutama interaksi dengan orangtua si anak. Interaksi pada
anak umur 4 tahun sudah dapat dilakukan melalui komunikasi dengan berbicara.
Bagi oragtua yang tidak terlalu memperhatikan perkembangan anak akan merasa
heran apabila pada saat berkomunikasi dengan mereka, si anak akan berbicara
sesuatu yang belum pernah di dengar, misalnya anak mengatakan "mama atau
papa jangan pelit dong!" padahal mereka tidak, pernah mengajarkan kata-kata itu.
Atau di saat lain, orangtua akan mendengar si anak menasehati adiknya "kamu
jangan nakal ya dik!". Sama persis dengan intonasi dari orangtuanya apabila
menasehati anak tersehut untuk tidak nakal.
Pada umumnya, kegembiraan dan kecemasan rnuncul bersamaan pada
diri orangtua. Kegembiraan sekaligus kebanggaan orangtua adalah bahwa si anak
sudah dapat berbicara dengan mereka, karena tidak sedikit anak dengan umur
yang sama belum dapat berbicara dengan baik karena adanya faktor-faktor
tertentu. Di sisi lain kecemasan yang muncul pada diri orangtua adalah apabila si
anak memperoleh kata-kata atau bahasa yang tidak sesuai dengan umur anak atau
yang lebih khawatir Iagi adalah apabila anak memperoleh bahasa anak remaja
ataupun bahasa orang dewasa.
Perbedaan latar belakang anak-anak di sekolah, program acara televisi
yang kurang selektif, teman bermain atau lingkungan yang heterogen dengan
tingkat usia yang berbeda merupakan permasalahan yang kompleks dan harus
dipertimbangkan dalam upaya menjaga anak agar memperoleh bahasa yang sesuai
dengan umurnya.
2
Selain itu, penyakit atau hambatan berbahasa sekarang ini banyak
dialami oleh anak usia dini misalnya gagu, lambat berbicara, afasia, autis, dan
sebagainya. Perilaku orangtua dan lingkungan sekitar diyakini menjadi faktor
utama yang menyebabkan keterlambatan anak dalam kemampuan berbahasanya.
Oleh karena itu, pola asuh yang tepat menjadi kunci seorang anak dapat berbahasa
dengan baik. Pola asuh dikatakan berhasil bilamana orangtua mampu menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi perkembangan bahasa anak. Para ahli sepakat
bahwa pemerolehan bahasa sangat dipengaruhi oleh penggunaan bahasa sekitar.
Dengan kata lain, perjalanan pemerolehan bahasa seorang anak akan sangat
bergantung pada lingkungan bahasa anak tersebut (Siroj, 2014: 29). Pola asuh
anak dimulai dari lingkungan keluarga. Bimbingan orang tua menjadi penentu
dalam perkembangan bahasa anak. Bimbingan yang tepat akan menghindarkan
anak dari gangguan dan permasalahan bahasa.
Pada anak usia dini (3-6 tahun) pendidikan sudah mulai dilaksanakan.
Masa usia dini merupakan “golden age period”, artinya merupakan masa emas
untuk seluruh aspek perkembangan manusia, baik fisik, kognisi emosi maupun
sosial. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi tingkat buta huruf di Indenonesia.
Pendidikan anak terbagi menajadi pendidikan formal dan pendidikan non formal.
Pendidikan formal seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan
Taman Kanak-anak (TK) sudah familiar di kalanagan masyarakat Indonesia.
Selain itu pendidikan nonformal, banyak dikembangkan pendidikan seperti terapi
wicara untuk memberikan pendidikan bagi seseorang yang megalami hambatan
atau permasalahan dalam masalah kebahasaannya.
Setiap anak terlahir dengan kemampuan dan kondisi yang berbeda-beda
sehingga pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada anak pun berbeda
sesuai dengan kebutuhannya. Pada realita kehidupan ada anak yang terlahir cacat,
kelainan atau ketidaknormalan seperti anak pada umumnya. Anak tersebut sering
disebut sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Ketidaknormalan itu dapat
berupa kecacatan fisik, syaraf atau mental (IQ). Pada anak ABK mengalami
beberapa keterlambatan perkembangan pada beberapa aspek salah satunya adaah
perkembangan bahasa.
3
Beberapa diagnosa penyakit yang ada di terapi wicara yaitu Speech
delay, Autis, Global Development, Retardasi mental atau Tunagrahita, Down
Syndrom, dan Sindron Korgenta. Minimnya model dan metode dalam terapi
wicara dialami oleh lembaga-lembaga pendidikan anak cacat, misalnya di YPAC
Kota Semarang. Disamping itu, pemanfaatan teknologi komunikasi sosial sangat
minim padahal perkembangan teknologi sangat pesat dan dapat dimanfaatkan
secara optimal. Oleh karena itu, penelitian ini bekerja sama dengan YPAC
Semarang mencoba mengembangkan Sanggar Bahasa berbasis Socio- Technology
(SBST) sebagai terobosan baru pengembangan model terapi wicara berbasis
rumah dengan konsep rumah yang penuh dengan permainan-permainan
pembelajaran yang menyenangkan. Dengan model tersebut diharapkan tercipta
model dan metode baru dalam terapi wicara untuk anak cacat di Kota Semarang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, permasalahan
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Apakah kebutuhan pengembangan sanggar bahasa berbasis socio-
technology (SBST) dalam terapi wicara di Kota Semarang?
2. Bagaimanakah karakteristik sanggar bahasa berbasis socio-technology
(SBST) sebagai model terapi wicara berbasis rumah di Kota Semarang?
3. Bagaimanakah keefektifan sanggar bahasa berbasis socio-technology
(SBST) untuk meningkatkan kemampuan berbahasa anak cacat di Kota
Semarang?
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian tentang pemerolehan dan perkembangan bahasa anak belum
banyak ditemukan di Indonesia. Proses pemerolehan bahasa pada anak-anak
merupakan satu hal yang perlu diteliti lebih mendalam. Bagaimana manusia
memperoleh bahasa merupakan satu masalah yang amat mengagumkan dan sukar
dibuktikan. Berbagai teori dari bidang disiplin yang berbeda telah dikemukakan
oleh para pengkaji untuk menerangkan bagaimana proses ini berlaku dalam
kalangan anak-anak. Memang diakui bahwa disadari ataupun tidak, sistem-sistem
linguistik dikuasai oleh individu kanak-kanak walaupun umumnya tidak dalam
pengajaran formal.
Beberapa penelitian yang relevan pernah dilakukan Ruqayyah. (2008)
dengan judul “Pemerolehan Bahasa Anak Usia 4-6 Tahun (Tinjauan tentang Jenis
Tindak Tutur yang Dikuasai Anak Usia 4-6 Tahun, Studi Kasus Anak Usia 4-6
Tahun di Taman Kanak-kanak Al-mustaqim”. Selain itu Yeni Erlita (2009)
melakukan penelitian dengan judul “Pemerolehan Bahasa dalam Lingkungan
Keluarga pada Anak Usia Tiga Tahun”.
Penelitian lain dilakukan oleh Siroj (2013) dengan judul “Perilaku Asuh
Orangtua terhadap Keterampilan Berbahasa Anak dari Lahir sampai Usia
Prasekolah” serta tahun 2014 dengan judul “SANGGAR SBST: Bimbingan Bahasa
Indonesia Keluarga Unggulan (pengembangan model alternatif bimbingan
bahasa indonesia untuk anak usia dini)”.
Keempat penelitian tersebut mengkaji hal yang sama yaitu pemerolehan
bahasa anak pada usia prasekolah serta memaparkan penyakit atau ganguan
berbahasa yang dialami oleh anak. Namun demikian, keempat pelenitian tersebut
belum mengkaji tentang bagaimana melakukan terapi wicara bagi penderita
gangguan berbahasa. Oleh karena itu, dalam penelitian ini mencoba
mengembangkan alternatif baru model terapi wicara berkonsep sanggar bahasa
berbasis socio-tekhnology (SBST)
5
2.2 Tinjauan Pustaka
2.2.1 Hakikat Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa
Menurut Sutjiningsih (1995:1) pertumbuhan dan perkembangan adalah dua
hal yang sangat berbeda. Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah
perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ, maupun
individu, yang bisa diukur. Sedangkan perkembangan (development) adalah
bertambahnya kemampuan (skill) dalam slruktur dan fungsi tubuh yang lebih
kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses
pematangan. Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak
terhadap aspek fisik, sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan
fungsi organ/individu.
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu
adalah faktor genetik dan faktor lingkungan (Sutjiningsih, 1995:2). Faktor genetik
merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses pertumbuhan dan
perkermbangan anak. Termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor
bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa. Gangguan
pertumbuhan di negara maju Iebih sering diakibatkan oleh faktor genetik,
sedangkan di negara yang sedang berkembang, gangguan pertumbuhan selain dari
faktor genetik adalah faktor lingkungan yang kurang memadai. Faktor lingkungan
merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan
anak. Faktor lingkunglan secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu faktor
pranatal dan faktor postnatal.
Faktor pranatal adalah faktor yang mempengaruhi anak pada waktu masih di
dalam kandungan, sedangkan faktor postnatal adalah faktor yang' mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan akan setelah lahir. Faktor pranatal yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak adalah: (1) gizi ibu
pada waktu hamil: (2) mekanis, masalah cairan ketuban; posisi janin; (3) zat
kimia/keracunan; (4) cendoktrin/hormon; (5) radiasi; (6) infeksi; (7) stress; (8)
imunitas dan (9) anoksia embrio/kekurangan oksigen pada janin. Faktor postnatal
yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah: (1) lingkungan
biologis, antara lain: ras, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan,
kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi metabolisme, dan hormon;
(2) faktor fisik, antara lain :
6
sekolah, cinta dan kasih sayang, dan kualitas interaksi anak dan orangtua; (4)
faktor keluarga dan adat istiadat, antara lain : pekerjaan/pendapatan keluarga,
pendidikan ayah/ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam keluarga, stabilitas
rumah tangga, kepribadian ayah/ibu, adat istiadat, norma yang berlaku, agama,
urbanisasi dan kehidupan politik dalam masyarakat. 2.2.1.1 Perkembangan Bahasa
Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak.
Karena kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan
pada sistem lainnya, sebab melibatkan kemampuan kognitif, sensori motor,
psikologis, emosi, dan lingkungan di sekitar anak (Sutjiningsih, 1995:237).
Seorang anak tidak akan mampu berbicara tanpa dukungan dari
lingkungannya, mereka harus mendengar pembicaraan yang berkaitan dengan
kehidupannya sehari-hari maupun pengetahuan tentang dunia. Mereka harus
belajar mengekspresikan dirinya, membagi pengalamannya dengan orang lain dan
mengemukakan keinginannya.
Menurut Sutjiningsih (1995:238) terdapat 3 area utama pada hemisfer kiri
anak khusus untuk berbahasa, yaitu di bagian anterior (area Broca dan korteks
motorik) dan di bagian posterior (area Wernicke). Informasi yang berasal dari
korteks pendengaran primer dan sekunder, diteruskan ke bagian korteks
temporoparietal posterio (area Wernicke), yang dibandingkan dengan ingatan
yang sudah disimpan. Kemudian jawaban diformulasikan dan disalurkan oleh
fasciculus arcuata ke bagian anterior otak dimana jawaban mototrik dikoordinasi.
Apabila terjadi kelainan pada salah satu dari jalannya impuls ini, maka akan
terjadi kelainan bicara. Kerusakan pada bagian posterior akan mengakibatkan
kelainan bahasa reseptif (bahasa pasif), sedangkan kerusakan di bagian anterior
akan menyebabkan kelainan bahasa ekspresif (bahasa aktif).
7
Periode kritis bagi perkembangan kemampuan berbicara dan berbahasa anak
adalah periode antara 9-24 bulan awal kehidupan. Dengan berkembangnya
ketrampilan ekspresif anak, kemampuan yang meningkat dalam berbicara dan
berbahasa menjadi mudah diamati. Periode 2-4 tahun pertama menunjukkan
peningkatan yang cepat dalam jumlah dan kompleksitas perkembangan berbicara,
kekayaan perbendaharaan kata dan kontrol neuromotorik (Sutjiningsih, 1995:240)
selama periode inilah gangguan dalam kelancaran berbicara dapat lebih kelihatan,
seperti gagap atau cara bicara seperti bayi.
Keterampilan mengartikulasikan suara juga mengikuti pola tertentu. Yang
pertama muncul adalah suatu yang paling mudah dan paling gampang, yaitu suara
bibir (dinyatakan dalam huruf m, p, b, f, v, o), berikutnya yang terdengar adalah
suara sederhana yang dihasilkan oleh lidah dan gusi (d, n, l).
2.2.1.2 Pemerolehan Bahasa
Istilah "pemerolehan” dipakai untuk padanan istilah Inggris yaitu
acquisition, yakni proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara
natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini
dibedakan dari "pembelajaran" yang merupakan padanan dari istilah Inggris
learning. Dalam pengertian ini proses itu dilakukan dalam tatanan yang formal,
yakni belajar di kelas dan diajar oleh seorang guru. Dengan demikian maka proses
dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan
proses dari orang yang belajar di kelas adalah pembelajaran (Dardjowidjojo,
2008:225).
Pemerolehan bahasa menurut Kiparsky adalah proses yang dipergunakan
oleh anak untuk mencocokkan rangkaian hipotesis atau teori potensial yang amat
ruwet dengan ucapan-ucapan orangtuanya sampai dia memilih, berdasarkan suatu
takaran penilaian, tata bahasa yang paling baik atau paling sederhana dari bahasa
itu (Tarigan, 1985:17).
Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara
verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama
(B1) terjadi bila anak yang sejak semula tidak memiliki bahasa kini telah
8
memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih
mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya. Pemerolehan
bahasa anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan memiliki suatu
rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju
gabungan kata yang lebih rumit.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan
bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan
bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi
motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Penelitian mengenai bahasa telah menunjukkan banyak hal mengenai
pemerolehan bahasa, mengenai apa yang dilakukan atau tidak dilakukan seorang
anak ketika belajar atau memperoleh bahasa. Anak-anak dapat belajar menyusun
kalimat, kebanyakan berupa kalimat yang belum pernah mereka hasilkan
sebelumnya. Anak-anak belajar memahami kalimat yang belum pernah mereka
dengar sebelumnya. Mereka tidak dapat melakukannya dengan mennyesuaikan
tuturan yang didengar dengan beberapa kalimat yang ada dalam pikiran mereka.
Anak-anak selanjutnya harus menyusun "aturan" yang membuat mereka
dapat menggunakan bahasa secara kreatif. Tidak ada yang mengajarkan aturan ini.
Orang tua tidak lebih menyadari aturan aturan fonologis, morfologis, sintaktis,
dan semantik daripada anak-anak. Selain memperoleh aturan tata bahasa
(memperoleh kompetensi linguistik), anak-anak juga belajar pragmatik, yaitu
penggunaan bahasa secara sosial dengan tepat, atau disebut para ahli dengan
kemampuan komunikatif. Aturan-aturan ini termasuk mengucap salam, bentuk
panggilan yang sopan, dan berbagai ragam yang sesuai untuk situasi yang
berbeda. Ini dikarenakan sejak dilahirkan, manusia terlibat dalam dunia sosial
sehingga ia harus berhubungan dengan manusia lainnya. Manusia harus
menguasai norma-norma sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat.
Sebagian dari norma ini tertanam dalam bahasa sehingga kompetensi seseorang
tidak terbatas pada apa yang disebut pemakaian bahasa (language usage) tetapi
juga penggunaan bahasa (language use) (Dardjowidjojo, 2000:275).
9
Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan
sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas
sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan
menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan
anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat
diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk
memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam
masyarakat. Dalam melangsungkan upaya memperoleh bahasa, anak dibimbing
oleh prinsip atau falsafah ‟jadilah orang lain dengan sedikit perbedaan‟, ataupun
‟dapatkan atau perolehlah suatu identitas sosial dan didalamnya, dan kembangkan
identitas pribadi Anda sendiri‟.
Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian
penting yaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori,
dan (c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama
anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik,
tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan.
Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara
orang tua (khususnya ibu) dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik
anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan
subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada
tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda
dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini
lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang
menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemberian.
Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang
ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk
perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem
rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima
tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan
rata-rata tadi.
10
Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada
persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua
mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek dan asosiasi objek
dengan orang.
Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak
yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang, yaitu
kemunculan morfem-morfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak,
pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, dan
perluasan istilah dalam suatu hubungan/relasi.
Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat bunyi
menuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas dua
bunyi dapat dikenali selama tahun pertama yaitu (1) periode vokalisasi dan
prameraban serta (2) periode meraban. Anak lazimnya membuat pembedaan
bunyi perseptual yang penting, selama periode ini, misalnya membedakan antara
bunyi suara insani dan noninsani antara bunyi yang berekspresi marah dengan
yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan orang dewasa, dan
antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-makna berdasarkan
persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yang didengarnya. Anak-anak
menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri dari waktu ke waktu menuju
ucapan orang dewasa, dan apabila anah-anak mulai menghasilkan segmen bunyi
tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka.
Perkembangan ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat
bagian yaitu perkembangan negatif/penyangkalan, perkembangan
interogratif/pertanyaan, perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan
sistem bunyi.
Penggabungan beberapa proposisi menjadi sebuah kalimat tunggal
memerlukan rentangan masa selama beberapa tahun dalam perkembangan bahasa
anak-anak.
Penggunaan bahasa yang tepat harus diperoleh seorang anak karena
kemampuan berbahasa yang baik tidak hanya terletak pada kepatuhan terhadap
aturan gramatikal tetapi juga pada aturan pragmatik. Menurut Ninio dan Snow
11
(dalam Dardjowidjojo, 2000:43-48), mau tidak mau seorang anak
mengembangkan pengetahuan yang diperlukan agar dalam situasi komunikasi
bahasa yang dia pakai itu pantas, efektif, dan sekaligus mengikuti aturan
gramatikal.
2.2.2 Pengajaran Bahasa Pertama
Dalam pengamatan umum, anak-anak adalah peniru yang baik. Segala
sesuatu yang ia dilakukan adalah tiruan dari orang-orang di sekitarnya, senantiasa
ia cermati dan kemudian akan ditirukan sama seperti apa yang dilihatnya. Begitu
juga dengan bahasa, jika di dalam rumah menggunakan bahasa Indonesia dalam
percakapan sehari-hari, maka tidak heran si anak akan mudah meniru apa yang
dikatakan oleh anggota keluarganya. Kita lihat saja di dalam kota-kota besar
seperti Jakarta, anak-anak menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama
di samping orangtua mereka telah memilki bahasa pertama masing-masing.
Menurut Brown (2007: 47), tahap-tahap paling dini pemerolehan bahasa
anak-anak memunculkan banyak sekali peniruan karena bayi mungkin tidak
menguasai kategori-kategori semantik untuk memaknai ujaran. Namun, mereka
memiliki rasa perhatian terhadap orang-orang di sekitar mereka, jadi mau tidak
mau akan menirukan ujaran orangtuanya.
Proses belajar-mengajar bahasa di dalam kelas secara berturut-turut akan
dijumpai 1) murid; 2) guru; 3) bahan pelajaran; dan 4) tujuan pengajaran.
Keempat variabel tersebut memiliki hubungan fungsional dalam proses belajar-
mengajar bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia. variabel-variabel tersebut
menentukan keberhasilan belajar berbahasa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama yaitu, ketika memang lingkungan tempat tinggal dan masyarakatnya
menggunakan bahasa Indonesia. Tidak lain pada saat di sekolahan, bahasa
Indonesia berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa serta upaya pelestarian dari
bahasa nasional selayaknya harus dijunjung tinggi dan tidak ada rasa bosan
apalagi jenuh dalam mempelajari bahasa Indonesia.Dalam masyarakat yang
multilingual, multirasial, dan multikultural, maka faktor kebahasaan, kebudayaan,
sosial, dan etnis juga merupakan variabel yang dapat memengaruhi keberhasilan
12
pengajaran bahasa Indonesia (Chaer dan Agustina, 2010: 205). Contohnya, ketika
ada siswa yang keseharian di rumah dan lingkungannnya menggunakan bahasa
Indonesia, tentu akan memilki kemungkinan untuk lebih berhasil dalam pelajaran
Bahasa Indonesia daripada anak yang tinggal dalam keluarga dan lingkungan
masyarakatnya tidak menggunakan bahasa Indonesia.
2.2.3 Proses Pemerolehan Bahasa Pertama Anak
Perhatian terhadap bagaimana anak memperoleh bahasa dimulai pada abad
ke 7 Masehi ketika Psammeticus, seorang Firoun (Pharaoh) Mesir, percaya bahwa
bahasa dibawa anak dari lahir. Sekitar 8 ratus tahun kemudian, yaitu pada abad ke
15 Masehi, pendapat ini pun diyakini kebenarannya oleh raja Scotlandia, King
James V, yang melakukan eksperimen seperti yang dilakukan oleh Pemtiucus.
Kata pertama yang diucapkan oleh anak yang dia pisahkan dari pengaruh bahasa
mana pun adalah bahasa Hebrew.
Ada tiga pendekatan teoritis utama yang digunakan para ahli bahasa dalam
menjelaskan fenomena pemerolehan bahasa anak seperti yang diuraikan oleh
Fabiz (2002) dalam reviewnya tentang teori-teori Krashen tentang pemerolehan
(L2), yaitu 1) teori kognitif; 2) teori imitasi dan penguatan; 3) teori alamiah
(native).
2.2.3.1 Teori Kognitif
Pendekatan kognitif dikemukakan pertama kalinya oleh Jean Piaget (1896-
1980) yang mengatakan bahwa perkembangan kognitif anak mencakup perubahan
dalam proses mental (cognitive) dan kemampuan (ability). Pada awalnya seorang
anak mulai menyadari adanya sebuah konsep seperti ukuran benda yang berbeda-
beda dan kemudian dia akan memperoleh kata-kata dan pola-pola bahasa untuk
menyampaikan konsep tersebut. Anak akan menyampaikan ide-ide yang
sederhana terlebih dulu sebelum ide-ide yang lebih komplek. Namun begitu, teori
Peaget ini ada kelemahannya karena tidak bisa menjelaskan kenapa anak belajar
bahasa lebih awal dari belajar hal-hal yang lainnya.
13
2.2.3.2 Teori Imitasi dan Penguatan yang positif (Imitation and Positive
Reinforcement)
Pendapat ini merupakan pandangan para penganut teori tingkah laku
(behaviourist) yang popular pada tahun 40an sampai 50an. Menurut teori ini,
anak-anak belajar bahasa dengan cara meniru atau mencontoh dan apa yang
mereka dengar dari orang dewasa. Penguatan dan perbaikan terhadap kesalahan
yang mereka buat dalam berbahasa juga memainkan peran yang penting dalam
proses pemerolehan bahasa mereka.
Teori ini kemudian dipertanyakan oleh para ahli bahasa lainnya. Menurut
mereka adalah tidak mungkin keseluruhan dari proses pemerolehan bahasa anak
didapat melalui imitasi atau mencontoh. Banyak kalimat yang diucapkan anak
yang salah secara tata bahasa yang tidak dia perdapat dari meniru dari orang
dewasa
2.2.3.3.Teori Natif (Nativist Theory)
Teori natif ini bermula dari pendapat Noam Chomsky (dalam Baker 2001)
yang mengatakan bahwa manusia memiliki „inbuilt cognitive readiness for
language‟ atau kesiapan kognitif terhadap bahasa. Anak dilengkapi sejak lahir
dengan „language-acquisition devices (LAD)‟ yaitu komponen-komponen yang
mengandung pengetahuan bawaan tentang aturan-aturan dalam bahasa. Menurut
Chomsky, LAD adalah komponen-komponen abstrak yang memfasilitasi atau
menghamabat anak memperoleh bahasa
Pendapat ini kemudian diperluas Chomsky menjadi sebuah teori yang
dikenal dengan Universal Grammar, yang menyatakan bahwa pada otak semua
manusia telah ada sejak lahir seperangkat prinsip (innate principles) dan
parameter-parameter yang bisa disesuaikan (adjustable parameters) yang
memungkinkan anak-anak menangkap struktur bahasa ibunya (mother tongue)
setelah diperkenalkan pada bahasa itu, dan memungkinkan mereka bisa
menguasai bahasa ibunya pada usia 3 tahun.
Dalam proses pemerolehan bahasa dikenal suatu masa yang dinamakan
critical period atau periode kritis (Lenneberg, 1967). Masa kritis ini adalah masa
14
dimana anak harus dikenalkan pada satu bahasa yang diekspos kepadanya. Masa
kritis ini berakhir kira-kira pada akhir masa kanak-kanak yaitu usia 12 tahun atau
mungkin juga masa puber. Lenneberg mengatakan bahwa jika sampai pada usia
ini anak tidak diperkenalkan pada satu bahasa pun, maka dia tidak akan pernah
belajar bahasa secara normal dan fungsional.
Banyak ahli, seperti Grimshaw (1998) yang berpendapat bahwa hipotesis ini
sulit untuk dibuktikan. Menurut mereka, ada faktor-faktor lain yang
mempengaruhi proses pemerolehan bahasa anak dan orang dewasa secara
berbeda. Mereka berpendapat bahwa anak-anak belajar bahasa tanpa usaha;
kecepatannya dalam memperoleh bahasa kemungkinan disebabkan oleh karena
lingkungannya yang disiapkan sedemikian rupa untuk memberinya kesempatan
sesering dan seoptima. Hal ini berbeda dengan orang dewasa yang belajar bahasa
dimana pada tahap awal belajar bahasa, orang dewasa memiliki kesempatan yang
bagus untuk mempelajari kosakata dan tata bahasa namun pengucapannya tidak
akan pernah menyamai penutur asli (Grimshaw, 1998).
2.2.4 Model Socio- Technology dalam dan Media Keterampilan Berbahasa
Peranan media dan alat pembelajaran menjadi sangat penting untuk
memperkuat akurasi penyampaian pesan-pesan dalam proses pembelajaran
bahasa. Media pengajaran yang dapat membantu pengajar sehingga
mempermudah proses memahamkan siswa terhadap materi pelajaran, serta sarana
sarana pembelajaran yang disiapkan guru untuk memfasilitasi para siswanya
belajar, menjadi suatu yang sangat penting. Di samping itu, media dapat
menghantarkan siswa menjadi manusia yang cerdas, kreatif, serta memiliki
integritas keberagaman yang kuat. Selanjutnya, media pembelajaran yang inovatif
memberikan alternatif produksi secara teliti dan rasional.
Media berasal dari bahasa Latin yang merupakan bentuk jamak dari kata
“medium” yang secara harfiah berarti „perantara‟ atau „pengantar‟, yakni
perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Media
pembelajaran bisa dikatakan sebagai alat yang bisa merangsang siswa dalam
proses belajar.
15
Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu bagi
guru untuk mengajar dan yang digunakan adalah baru sebatas alat bantu visual.
Sekitar pertengahan abad ke-20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan
digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan
perkembangan pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang pendidikan,
saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan
interaktif, seperti adanya komputer dan internet.
Model Socio-Technology dalam penelitian ini dengan pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Pemanfaatan ICT untuk pembelajaran
bahasa Indonesia pada penutur asing diasumsikan lebih efektif karena pembelajar
sangat terbantu dan bisa belajar secara mandiri melalui jaringan internet yang bisa
diakses kapan pun dan di manapun pembelajar berada.
Dalam penelitian ini pemanfaatan ICT dititikberatkan multimedia interaktif.
Multimedia menurut Najjar (dalam Widodo 2008: 33) adalah penyampaian
informasi menggunakan gabungan dari teks, grafik, suara, video. Multimedia
interaktif adalah penyampaian informasi menggunakan gabungan dari teks, grafik,
suara, video, yang mempunyai fungsi memberi informasi di dalamnya terdapat
tombol-tombol yang bisa menuju ke fasilitas lainnya. Multimedia interaktif ini
sangat bermanfaat bagi pembelajar, karena sangat memudahkan dalam proses
belajar.
Pengembangan Multimedia Interaktif sangat diperlukan untuk menunjang
pembelajaran konvensional serta menyiapkan multimedia untuk menciptakan
lingkungan belajar yang fleksibel, dengan memberikan kemudahan sehingga
pembelajar dapat belajar dimanapun kapanpun dan dengan siapapun.
Multimedia Interaktif yang diaktifkan menggunakan komputer, merupakan
jenis multimedia yang secara virtual dapat menyediakan respon yang segera
terhadap hasil belajar yang dilakukan oleh pembelajar. Lebih dari itu, komputer
juga memiliki kemampuan menyimpan dan memanipulasi informasi sesuai
dengan kebutuhan.
Perkembangan teknologi yang pesat saat ini telah memungkinkan komputer
memuat dan menayangkan beragam bentuk multimedia di dalamnya. Dalam hal
16
ini Heinich, Molenda, & Russel dalam Hartoyo (1996: 228) mengemukakan
bahwa : “…It has ability to control and integrate a wide variety of multimedia –
still pictures, graphics and moving images, as well as printed information. The
computer can also record, analyze, and react to student responses that are typed on
a keyboard or selected with a mouse“.
Sajian Multimedia Interaktif berbasis komputer merupakan teknologi yang
mengoptimalkan peran komputer sebagai sarana untuk menampilkan dan
merekayasa teks, grafik, dan suara dalam sebuah tampilan yang terintegrasi.
Dengan tampilan yang dapat mengkombinasikan berbagai unsur penyampaian
informasi dan pesan, komputer dapat dirancang dan digunakan sebagai
multimedia teknologi yang efektif untuk mempelajari dan mengajarkan materi
pembelajaran yang relevan misalnya rancangan grafis dan animasi.
Beberapa model multimedia interaktif yang dapat dikembangkan di
antaranya sebagai berikut.
a. Model Drill
Model drills dalam CBI (Computer Based Inruction) pada dasarnya
merupakan salah satu starategi pembelajaran yang bertujuan memberikan
pengalaman belajar yang lebih kongkrit melalui penciptan tiruan-tiruan bentuk
pengalaman yang mendekati suasana yang sebenarnya.
b. Model Tutorial
Program CBI (Computer Based Inruction) tutorial dalam merupakan
program pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan
menggunakan perangkat lunak berupa program komputer yang berisi materi
pelajaran. Metode Tutorial dalam CAI pola dasarnya mengikuti pengajaran
Berprogram tipe Branching yaitu informasi/mata pelajaran disajikan dalam unit-
unit kecil, lalu disusul dengan pertanyaan. Respon siswa dianalisis oleh komputer.
Program ini juga menuntut siswa untuk mengaplikasikan ide dan pengetahuan
yang dimilikinya secara langsung dalam kegiatan pembelajaran.
c. Model Simulasi
Model simulasi dalam CBI pada dasarnya merupakan salah satu starategi
pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih kongkrit
17
melalui penciptan tiruan-tiruan bentuk pengalaman yang mendekati suasana yang
sebenarnya.
d. Model Games
Model permainan ini dikembangkan berdasarkan atas “pembelajaran
menyenangkan”, ketika peserta didik dihadapkan pada beberapa petunjuk dan
aturan permainan. Dalam konteks pembelajaran sering disebut dengan
Instructional Games.
Pada penelitian ini tipe penyajian yang digunakan adalah perpaduan model
drill, tutorial, dan simulasi untuk memudahkan terapi wicara guna meningkatkan
kemampuan komunikatifnya.
18
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan konsep sanggar bahasa berbasis
socio-technology (SBST) sebagai model terapi wicara berbasis rumah di Kota
Semarang. Secara operasional tujuan penelitian ini menghasilkan tiga hal, yaitu: 1)
menemukan kebutuhan pengembangan sanggar bahasa berbasis socio-technology
(SBST) sebagai model terapi wicara di Kota Semarang; 2)mengetahui
karakteristik sanggar bahasa berbasis socio-technology (SBST) sebagai model
terapi wicara di Kota Semarang; dan 3) mengembangkan sanggar bahasa berbasis
socio-technology (SBST) sebagai model terapi wicara berbasis rumah di Kota
Semarang.
1.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain: a)
memberikan paparan mengenai kebutuhan pengembangan sanggar bahasa
berbasis socio-technology (SBST) sebagai model terapi wicara di Kota Semarang;
b) menemukan dan mengembangkan sanggar bahasa berbasis socio-technology
(SBST) sebagai model terapi wicara di Kota Semarang; 3) memberikan paparan
terapi yang tepat dalam melaksanakan terapi wicara untuk anak cacat atu
berkebutuhan khusus; c) sebagai bahan acuan dalam memberikan keterampilan
berbahasa yang tepat baik untuk orangtua, pengasuh anak, penitipan anak, serta
lembaga pendidikan anak cacat; d) sebagai bahan pustaka dan kajian dalam
perkuliahan matakuliah Terapi Wicara dan Psikolinguistik di perguruan tinggi
program bahasa baik dalam bentuk handout atau buku cetak; e) sebagai
implementasi kerja sama antara Universitas Negeri Semarang sebagai rumah ilmu
dan Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Kota Semarang; dan f) sebagai
alternatif baru model terapi wicara yang bisa diadopsi lembaga-lembaga
pendidikan nonformal/anak berkebutuhan khusus di Kota Semarang.
19
BAB IV
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
"Penelitian dan Pengembangan". Maksudnya adalah suatu program penelitian
yang ditindaklanjuti dengan program pengembangan untuk perbaikan atau
penyempurnaan. Proses penelitian akan ditempuh melalui 10 langkah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Borg dan Gall (1983:775-776), yakni (1)
research and information collecting, mengumpulkan informasi dan melakukan
penelitian awal, (2) planing, perencanaan, (3) develop prenliminary form of
product/ mengembangkan format atau model, (4) preliminary field testing,
mempersiapkan uji ciba tes di lapangan, (5) mein product revision, melakukan
revisi terhadap tes berdasarkan hasil uji coba di lapangan, (6) main field testing,
melakukan tes di lapangan, (7) operational product revisions, melakukan revisi
setelah mendapatkan masukan dari tes lapangan, (8) operational field testing,
mealaksanakan tes uji coba model atau tes pembelajaran, (9) final product
revision, melakukan revisi terakhir, (10) dominition and implementation,
menyampiakan laporan penelitian.
3.2 Populasi dan Sampel
Subjek penelitian adalah anak cacat atau berkebutuhan khusus di Kota
Semarang. Sampel penelitian adalah orang tua yang memiliki anak berkebutuhan
khusus di empat kecamatan di Kota Semarang dengan rincian dua (2) kecamatan
di pusat kota dan (2) kecamatan di pinggir kota. Pengambilan sampel ini
diasumsikan bisa mewakili masyarakat Kota Semarang. Sampel penelitian
mencakup anak laki-laki dan anak perempuan.
Sampel penelitian adalah 50 orang tua yang memiliki anak berkebutuhan
khusus yang berasal dari Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Mijen, Kecamatan
Semarang Utara, dan Kecamatan Semarang Tengah. Empat kecamatan tersebut
20
adalah kecamatan percontohan dan kecamatan tertinggi dalam populasi anak.
Diasumsikan perilaku asuh orangtua di kecamatan tersebut telah dilakukan dengan
baik dan mendapatkan penyuluhan dari pemerintah Kota Semarang. Subjek yang
dijadikan sampel tadi akan digunakan dalam proses penelitian mulai dari tahap
penjajakan, percobaan model sampai uji efektivitas model.
3.3 Lokasi dan Subjek Penelitian
Lokasi dan subjek penelitian digunakan purposif sampling. Penelitian ini
mengambil lokasi di Kota Semarang yaitu di Kecamatan Gunungpati, Kecamatan
Mijen, Kecamatan Semarang Utara, dan Kecamatan Semarang Tengah. Subjek
dalam penelitian ini adalah adalah orang tua dan berkebutuhan khusus yang
berada di empat kecamatan tersebut.
3.4 Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas : (1) narasumber, yaitu orang
tua yang memiliki berkebutuhan khusus; (2) berkebutuhan khusus, yakni untuk
mengetahui peningkatan hasil terapi wicara melalui uji model; (3) proses terapi
wicara yang mencakupi: model terapi, materi terapi, kompetensi orang tua,
perilaku anak, sarana dan prasarana, lingkungan sekitar, serta pengalaman; (4)
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini.
Teknik pengumpulan data untuk menghasilkan model sanggar bahasa
berbasis socio-technology (SBST) ini menggunakan angket, pengamatan, dan
wawancara yang ditujukan orang tua. Angket tersebut akan mengupas kebutuhan,
kelebihan, kekurangan, kendala, dan pelaksanaan pembimbingan bahasa
Indonesia. Adapun panduan pengamatan akan mengupas realitas pelaksanaan
terapi wicara. Metode wawancara (cakap) merupakan metode penyediaan data
yang dilakukan dengan cara mengadakan percakapan yang dilakukan peneliti
dengan penutur yang menjadi narasumber. Teknik yang digunakan, teknik rekam
dan teknik catat.
Untuk menyederhanakan data kompetensi digunakan tes dan observasi.
Metode tes merupakan metode penyedia data yang dilakukan dengan cara
21
memberi tes, yakni dengan cara menungasi anak untuk berbahasa yang tepat.
Metode observasi merupakan metode penyedia data yang dilakukan dengan cara
mengadakan observasi atau pengamatan, serta wawancara mendalam.
3.5 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode analisis
deskriptif-kualitatif, yaitu data yang terkumpul dideskripsikan. Secara rinci
langkah-langkah analisis data penelitian ini sebagai berikut. Persiapan penelitian,
meliputi: (1) mengumpulkan data, (2) mengorganisasikan dan mengelompokkkan
data yang terkumpul sesuai dengan sifat dan kategori data yang ada. Langkah ini
juga merupakan langkah reduksi data dan sekaligus penyajian data. Untuk
menghindari data yang bias dilakukan pemeriksaan keabsahan data melalui empat
kriteria, yaitu: derajat kepercayaan, keteralihan, ketergantungan, dan kepastian.
Analisis data dilakukan melalui empat tahap, yaitu data, sajian data, penarikan
simpulan dan verifikasi penelitian yang dilakukan saling menjalin dengan proses
pengumpulan data. Model analisis yang dilakukan adalah analisis interaktif.
Artinya, empat komponen analisis, yaitu reduksi data, sajian data, penarikan
kesimpulan, dan verifikasi penelitian yaitu dilakukan secara simultan sejak proses
pengumpulan data (Miles dan Huberman 1984). Data yang terkumpul kemudian
dianalisis menggunakan Analisis Interaktif sebagaimana yang dicontohkanoleh
Milles & Huberman (1992 : 20) sebagaimana terpapar berikut.
Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data
Verifikasi
(Penarikan Kesimpulan)
Bagan 3.1 Komponen-komponen Analisis Data : Model Interaktif oleh Milles &
Huberman
22
Dari analisis data di atas diambil simpulan tentang model alternatif
bimbingan bahasa Indonesia untuk anak usia dini. Berdasarkan simpulan tersebut,
tim peneliti akan merumuskan langkah-langkah umum dan khusus yang dapat
dilakukan untuk mengembangkan model terapi wicara yang tepat di Kota
Semarang.
3.6 Rancangan (Design) Penelitian
Borg dan Gall (1989) yang sudah dimodifikasi oleh Sukmadinata (2008)
menyatakan bahwa, ada sepuluh langkah pelaksanaan strategi penelitian dan
pengembangan.
1) Penelitian dan pengumpulan data. Pengukuran kebutuhan, studi literatur,
penelitian dalam skala kecil, dan pertimbangan-pertimbangan dari segi nilai.
2) Perencanaan. Menyusun rencana penelitian, meliputi kemampuan-kemampuan
yang diperlukan dalam pelaksanaan peneliltian, rumusan tujuan yang hendak
dicapai dengan penelitian tersebut, desain atau langkah-langkah penelitian
kemungkinan pengujian dalam lingkup terbatas.
3) Pengembangan draf produk. Pengembangan bahan pembelajaran, proses
pembelajaran, dan instrument evaluasi.
4) Uji coba lapangan awal. Selama uji coba diadakan pengamatan, wawancara,
dan angket.
5) Merevisi hasil uji coba. Memperbaiki atau menyempurnakan hasil uji coba.
6) Uji coba lapangan. Melakukan uji coba ke dua kecamatan. Data kuantitatif
penampilan orang tua sebelum dan sesudah menggunakan model yang
dicobakan, dikumpulkan dan hasil-hasil pengumpulan data dievaluasi.
7) Penyempurnaan produk hasil uji lapangan. Menyempurnakan produk hasil uji
lapangan.
8) Uji pelaksanaan lapangan. Pengujian dilakukan melalui angket, wawancara,
dan observasi dan analisis hasilnya.
9) Penyempurnaan produk akhir. Penyempurnaan didasarkan masukan dari uji
pelaksanaan lapangan.
23
10) Diseminasi dan implementasi. Melaporkan hasilnya dalam pertemuan
profesional dan dalam jurnal. Bekerja sama dengan penerbit untuk penerbitan.
Memonitor penyebaran untuk pengontrolan kualitas.
Penelitian ini hanya dilaksanakan dengan tujuh langkah penelitian. Hal ini
dilakukan karena terbatasnya waktu penelitian. Keenam langkah tersebut adalah
sebagai berikut. 1) Analisis teoretis dan praktis
Kegiatan tahap ini adalah menelaah secara teoretis berbagai macam buku dan
literature yang berkaitan dengan topik penelitian. 2) Analisis kebutuhan awal
Kegiatan ini adalah melakukan identifikasi kebutuhan orang tua terhadap
terapi wicara yang tepat untuk anak yang berkebutuhan khusus atau cacat. 3) Penyusunan prototipe
Setelah mendapatkan hasil di kebutuhan awal, langkah pegembangan
selanjutnya adalah menyusun prototipe model terapi wicara untuk anak
berkebutuhan khusus atau cacat di Kota Semarang 4) Uji prototipe ke ahli
Prototipe yang sudah dikembangkan diuji cobakan ke ahli terapi wicara. 5) Revisi prototipe
Setelah prototipe dinilai, jika ada perbaikan atau penambahan dari ahli,
prototipe direvisi untuk mendapatkan hasil yang maksimal. 6) Uji prototipe ke pembimbing bahasa anak usia dini
Setelah prototipe direvisi kemudian prototipe diuji ke orang tua yang
membimbing bahasa anaknya di empat kecamatan di Kota Semarang. 7) Finalisasi produk dan penerapan terbatas di lapangan
Berdasarkan tahap-tahap penelitian pengembangan tersebut dapat
digambarkan langkah-langkah penelitian pengembangan sebagai berikut.
24
1) Analisis teoretis dan
2) Analisis
praktis
kebutuhan awal
3) Penyususnan prototipe
5) Revisi prtotipe 4) Uji prototipe ke ahli
6) Uji prototipe ke orang tua 7) Finalisasi produk dan
penerapan terbatas
Bagan 3.2 Tahap-Tahap Penelitian Pengembangan Sanggar Bahasa
berbasis Sosio-Technology (SBST)
25
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada pengembangan konsep sanggar bahasa
berbasis socio-technology (SBST) sebagai model terapi wicara berbasis rumah di
Kota Semarang.
5.1.1 Karakteristik Pemerolehan Bahasa Anak dari Lahir sampai Usia
Prasekolah
Sesuai dengan permasalahan yang ada di dalam penelitian ini, hasil penelitian
akan dipaparkan gambaran secara umum mulai dari pemerolehan bahasa anak dari
lahir sampai usia prasekolah, perilaku orangtua, serta pengaruh perilaku orangtua
terhadap keterampilan berbahasa anak dari lahir sampai usia prasekolah. Hasil
tersebut dapat diketahui dari hasil wawancara, pengisian angket, dan hasil observasi
yang peneliti lakukan. Data diambil dari wawancara dengan 100 anak dari 4
kecamatan di Kota Semarang yaitu Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Mijen,
Kecamatan Semarang Utara, dan Kecamatan Semarang Tengah.
Berikut diuraikan hasil penelitian tentang perilaku asuh orangtua terhadap
keterampilan berbahasa anak dari lahir sampai usia prasekolah. 5.1.1.1 Tahapan Perkembangan Bahasa Pada Anak Secara Umum
Manusia berinteraksi satu dengan yang lain melalui komunikasi dalam bentuk
bahasa. Komunikasi tersebut terjadi baik secara verbal maupun non verbal yaitu
dengan tulisan, bacaan dan tanda atau simbol. Manusia berkomunikasi lewat bahasa
memerlukan proses yang berkembang dalam tahap-tahap usianya. Bagaimana
manusia bisa menggunakan bahasa sebagai cara berkomunikasi selalu menjadi
pertanyaan yang menarik untuk dibahas sehingga memunculkan banyak teori
tentang pemerolehan bahasa.
Bahasa adalah simbolisasi dari sesuatu idea atau suatu pemikiran yang ingin
dikomunikasikan oleh pengirim pesan dan diterima oleh penerima pesan melalui
kode-kode tertentu baik secara verbal maupun nonverbal. Bahasa digunakan anak
26
dalam berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang dilakukan untuk
bertukar gagasan, pikiran dan emosi. Bahasa bisa diekspresikan melalui bicara yang
mengacu pada simbol verbal.
Selain itu, bahasa dapat juga diekspresikan melalui tulisan, tanda gestural,
dan musik. Bahasa juga dapat mencakup aspek komunikasi nonverbal seperti
gestikulasi, gestural atau pantomim. Gestikulasi adalah ekspresi gerakan tangan dan
lengan untuk menekankan makna wicara. Pantomim adalah sebuah cara komunikasi
yang mengubah komunikasi verbal dengan aksi yang mencakup beberapa gestural
(ekspresi gerakan yang menggunakan setiap bagian tubuh) dengan makna yang
berbeda beda.
Tahapan-tahapan Umum Perkembangan Kemampuan Berbahasa Seorang
Anak, yaitu:
1) Reflexsive Vocalization
Pada usia 0-3 minggu bayi akan mengeluarkan suara tangisan yang masih
berupa refleks. Jadi, bayi menangis bukan karena ia memang ingin menangis tetapi
hal tersebut dilakukan tanpa ia sadari.
2) Babling
Pada usia lebih dari 3 minggu, ketika bayi merasa lapar atau tidak nyaman ia
akan mengeluarkan suara tangisan. Berbeda dengan sebelumnya, tangisan yang
dikeluarkan telah dapat dibedakan sesuai dengan keinginan atau perasaan si bayi.
3) Lalling
Di usia 3 minggu sampai 2 bulan mulai terdengar suara-suara namun belum
jelas. Bayi mulai dapat mendengar pada usia 2 s.d. 6 bulan sehingga ia mulai dapat
mengucapkan kata dengan suku kata yang diulang-ulang, seperti: “ba….ba…,
ma..ma….”
4) Echolalia
Di tahap ini, yaitu saat bayi menginjak usia 10 bulan ia mulai meniru suara-
suara yang di dengar dari lingkungannya, serta ia juga akan menggunakan ekspresi
wajah atau isyarat tangan ketika ingin meminta sesuatu.
5) True Speech
27
Bayi mulai dapat berbicara dengan benar. Saat itu usianya sekitar 18 bulan
atau biasa disebut batita. Namun, pengucapannya belum sempurna seperti orang
dewasa.
Pada penelitian ini, perkembangan bahasa anak dari responden dapat
diuraikan berdasarkan tahapan perkembangan bahasa pada anak menurut beberapa
ahli sebagai berikut.
1) Tahap pralinguistik
Pada usia 0-3 bulan, bunyinya di dalam dan berasal dari tenggorok. Pada usia
3-12 bulan, banyak memakai bibir dan langit-langit, misalnya ma, da, ba.
2) Tahap protolinguistik
Pada usia 12 bulan-2 tahun, anak sudah mengerti dan menunjukkan alat-alat
tubuh. Ia mulai berbicara beberapa patah kata (kosa katanya dapat mencapai 200-
300).
3) Tahap Linguistik
Pada usia 2-6 tahun atau lebih, pada tahap ini ia mulai belajar tata bahasa
dan perkembangan kosa katanya mencapai 3000 kosakata.
5.1.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anak dalam Berbahasa
Ada tiga faktor paling signifikan yang mempengaruhi anak dalam
berbahasa, yaitu biologis, kognitif, dan linkungan. 5.1.1.2.1 Evolusi Biologi
Evolusi biologis menjadi salah satu landasan perkembangan bahasa.
Mereka menyakini bahwa evolusi biologi membentuk manusia menjadi manusia
linguistik. Noam Chomsky (1957) meyakini bahwa manusia terikat secara
biologis untuk mempelajari bahasa pada suatu waktu tertentu dan dengan cara
tertentu. Ia menegaskan bahwa setiap anak mempunyai language acquisition
device (LAD), yaitu kemampuan alamiah anak untuk berbahasa. Tahun-tahun
awal masa anak-anak merupakan periode yang penting untuk belajar bahasa
(critical-period). Jika pengenalan bahasa tidak terjadi sebelum masa remaja, maka
ketidakmampuan dalam menggunakan tata bahasa yang baik akan dialami seumur
hidup. Selain itu, adanya periode penting dalam mempelajari bahasa bisa
28
dibuktikan salah satunya dari aksen orang dalam berbicara. Menurut teori ini, jika
orang berimigrasi setelah berusia 12 tahun kemungkinan akan berbicara bahasa
negara yang baru dengan aksen asing pada sisa hidupnya, tetapi kalau orang
berimigrasi sebagai anak kecil, aksen akan hilang ketika bahasa baru akan
dipelajari (Asher & Gracia, 1969). 5.1.1.2.2 Faktor Kognitif
Individu merupakan satu hal yang tidak bisa dipisahkan pada
perkembangan bahasa anak. Para ahli kognitif juga menegaskan bahwa
kemampuan anak berbahasa tergantung pada kematangan kognitifnya
(Piaget,1954). Tahap awal perkembangan intelektual anak terjadi dari lahir sampai
berumur 2 tahun. Pada masa itu anak mengenal dunianya melalui sensasi yang
didapat dari inderanya dan membentuk persepsi mereka akan segala hal yang
berada di luar dirinya. Misalnya, sapaan lembut dari ibu/ayah ia dengar dan
belaian halus, ia rasakan, kedua hal ini membentuk suatu simbol dalam proses
mental anak. Perekaman sensasi nonverbal (simbolik) akan berkaitan dengan
memori asosiatif yang nantinya akan memunculkan suatu logika. Bahasa simbolik
itu merupakan bahasa yang personal dan setiap bayi pertama kali berkomunikasi
dengan orang lain menggunakan bahasa simbolik. Sehingga sering terjadi hanya
ibu yang mengerti apa yang diinginkan oleh anaknya dengan melihat/mencermati
bahasa simbol yang dikeluarkan oleh anak. Simbol yang dikeluarkan anak dan
dibahasakan oleh ibu itulah yang nanti membuat suatu asosiasi, misalnya saat bayi
lapar, ia menangis dan memasukkan tangan ke mulut, dan ibu membahasakan, “lapar ya.. mau makan?”
5.1.1.2.3 Lingkungan Luar
Sementara itu, di sisi lain proses penguasaan bahasa tergantung dari
stimulus dari lingkungan. Pada umumnya, anak diperkenalkan bahasa sejak awal
perkembangan mereka, salah satunya disebut motherse, yaitu cara ibu atau orang
dewasa, anak belajar bahasa melalui proses imitasi dan perulangan dari orang-
orangdisekitarnya.
29
5.1.1.3 Hasil Penelitian Pemerolehan Bahasa Anak dari Lahir sampai Usia
Prasekolah
Dalam penelitian ini, peneliti mengelompokkan anak berdasarkan usianya
menjadi anak usia 0 (baru lahir) sampai 6 bulan, 6 bulan sampai 1 tahun, 1 tahun
sampai 1,5 tahun, 1,5 sampai 2 tahun, 2 tahun sampai 2,5 tahun, 2,5 sampai 3
tahun, 3 tahun sampai 3,5 tahun, 3,5 tahun sampai 4 tahun, 4,5 tahun sampai 5
tahun, 5 tahun sampai 5,5 tahun, dan 5,5 tahun sampai 6 tahun.
Pengelompokan ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam
pengambilan data. Untuk tahap pertama kami mengambil data masing-masing
kelompok umur 2 sampel yaitu satu laki-laki dan satu perempuan. Dengan asumsi
pemerolahan bahasa anak laki-laki dan perempuan berbeda. Berikut peneliti
paparkan gambaran umum pemerolehan bahasa anak berdasarkan data di lapangan.
Paparan perkembangan bahasa anak dilihat dari pemerolehan bahasa menurut
komponen-komponennya, sebagai berikut.
1. Perkembangan Pragmatik
Perkembangan komunikasi anak sesungguhnya sudah dimulai sejak dini,
pertama-tama dari tangisannya bila bayi merasa tidak nyaman, misalnya karena
lapar, popok basah. Dari sini bayi akan belajar bahwa ia akan mendapat perhatian
ibunya atau orang lain saat ia menangis sehingga kemudian bayi akan menangis
bila meminta orang dewasa melakukan sesuatu buatnya. - Pada usia 3 minggu, bayi tersenyum saat ada rangsangan dari luar, misalnya
wajah seseorang, tatapan mata, suara, dan gelitikan. Ini disebut senyum sosial. - Pada usia 12 minggu, mulai dengan pola dialog sederhana berupa suara
balasan bila ibunya memberi tanggapan. - Pada usia 2 bulan, bayi mulai menanggapi ajakan komunikasi ibunya. - Pada usia 5 bulan, bayi mulai meniru gerak gerik orang, mempelajari bentuk
ekspresi wajah. - Pada usia 6 bulan, bayi mulai tertarik dengan benda-benda sehinga
komunikasi menjadi komunikasi ibu, bayi, dan benda-benda.
30
- Pada usia 7-12 bulan, anak menunjuk sesuatu untuk menyatakan
keinginannya. Gerak-gerik ini akan berkembang disertai dengan bunyi-bunyi
tertentu yang mulai konsisten. Pada masa ini sampai sekitar 18 bulan, peran
gerak-gerik lebih menonjol dengan penggunaan satu suku kata. - Pada usia 2 tahun, anak kemudian memasuki tahap sintaksis dengan mampu
merangkai kalimat dua kata, bereaksi terhadap pasangan bicaranya dan masuk
dalam dialog singkat. Anak mulai memperkenalkan atau merubah topik dan mulai
belajar memelihara alur percakapan dan menangkap persepsi pendengar. Perilaku
ibu yang fasilitatif akan membantu anaknya dalam memperkenalkan topik baru.
2. Perkembangan Semantik
Karena faktor lingkungan sangat berperan dalam perkembangan semantik,
maka pada umur 6-9 bulan anak telah mengenal orang atau benda yang berada di
sekitarnya. Leksikal dan pemerolehan konsep berkembang pesat pada masa
prasekolah. Terdapat indikasi bahwa anak dengan kosa kata lebih banyak akan
lebih popular di kalangan teman-temannya. Diperkirakan terjadi penambahan lima
kata perhari di usia 1,5 sampai 6 tahun. Pemahaman kata bertambah tanpa
pengajaran langsung orang dewasa. Terjadi strategi pemetaan yang cepat diusia
ini sehingga anak dapat menghubungkan suatu kata dengan rujukannya.
3. Perkembangan Sintaksis
Susunan sintaksis paling awal terlihat pada usia kira-kira 18 bulan
walaupun pada beberapa anak terlihat pada usia 1 tahun bahkan lebih dari 2 tahun.
Awalnya berupa kalimat dua kata. Rangkaian dua kata, berbeda dengan masa “kalimat satu kata” sebelumnya yang disebut masa holofrastis. Kalimat satu kata
bisa ditafsirkn dengan mempertimbangkan konteks penggunaannya. Hanya
mempertimbangkan arti kata semata-mata tidaklah mungkin kita menangkap
makna dari kalimat satu kata tersebut. Peralihan dari kalimat satu kata menjadi
kalimat yang merupakan rangkaian kata terjadi secara bertahap. Pada waktu
kalimat pertama terbentuk yaitu penggabugan dua kata menjadi kalimat,
rangkaian kata tersebut berada pada jalinan intonasi. Jika kalimat dua kata
memberi makna lebih dari satu maka anak membedakannya dengan menggunakan
pola intonasi yang berbeda. Perkembangan pemerolehan sintaksis meningkat
31
pesat pada waktu anak menjalani usia 2 tahun dan mencapai puncaknya pada
akhir usia 2 tahun.
4. Perkembangan Morfologi
Periode perkembangan ditandai dengan peningkatan panjang ucapan rata-
rata yang diukur dalam morfem. Panjang rata-rata ucapan, mean length of
utterance (MLU) adalah alat prediksi kompleksitas bahasa pada anak yang
berbahasa Inggris. MLU sangat erat berhubungan dengan usia dan merupakan
prediktor yang baik untuk perkembangan bahasa. Dari usia 18 bulan sampai 5
tahun MLU meningkat kira-kira 1,2 morfem per tahun. Penguasaan morfem mulai
terjadi saat anak mulai merangkai kata sekitar usia 2 tahun. Beberapa sumber yang
membahas tentang morfem dalam kaitannya dengan morfologi semuanya
merupakan Bahasa Inggris yang sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia.
5. Perkembangan Fonologi
Perkembangan fonologi melalui proses yang panjang dari dekode bahasa.
Sebagian besar konstruksi morfologi anak akan tergantung pada kemampuannya
menerima dan memproduksi unit fonologi. Selama usia prasekolah, anak tidak
hanya menerima inventaris fonetik dan sistem fonologi tapi juga mengembangkan
kemampuan menentukan bunyi mana yang dipakai untuk membedakan makna.
5.1.2 Pengaruh Perilaku Orangtua Terhadap Keterampilan berbahasa
Anak
Dari hasil penelitian dapat dipaparkan sebagai berikut.
5.1.2.1 Perilaku Asuh Orangtua
Perilaku asuh orangtua terhadap anak dapat dikelompokkan menjadi 4
kelompok sebagai berikut.
1) Pola Asuh secara Demokratis
Pola asuh ini merupakan pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak,
tetapi orang tua tidak ragu-garu untuk mengendalikan mereka. Orang tua dengan
pola asuh seperti ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio
atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersifat realistis terhadap
32
kemampuan anak, tidak memaksakan melebihi batas kemampuan anak. Selain itu,
orang tua ini juga memberikan kebebasan kepada anak-anaknya dalam hal
memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya terhadap anak bersifat
hangat.
2) Pola Asuh secara Otoriter
Pola asuh ini merupakan kebalikan dari pola asuh demokrasi. Pola asuh ini
cenderung menetapkan standar yang mutlak dan harus dituruti. Biasanya disertai
dengan ancaman-ancaman. Orang tua dengan tipe pola asuh ini cenderung
memaksa, memerintah, dan menghukum apabila anak tidak mau melakukan apa
yang diinginkan oleh orang tuanya. Orang tua ini juga tidak mengenal kompromi,
dan dalam berkomunikasi biasanya bersifat satu arah. Karena mereka tidak
memerlukan umpan balik dari anaknya, untuk mengerti dan mengenal anaknya.
3) Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif adalah pola asuh yang memberikan pengawasan yang
sangat longgar, memberikan kesempatan kepada anaknya untuk melakukan
sesuatu tanpa pengawasan yang cukup dari orang tuanya. Mereka cenderung tidak
menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya atau
melakukan sebuah kesalahan. Mereka juga sedikit memberikan bimbingan kepada
anaknya. Namun, orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat sehingga seringkali
disukai oleh anak.
4) Pola Asuh Penelantar
Pola asuh ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat
minim kepada anak-anaknya. Kebanyakan waktu mereka digunakan untuk
keperluan pribadi mereka seperti bekerja. Kadangkala mereka terlalu menghemat
biaya untuk kebutuhan anak-anaknya. Seorang ibu yang depresi termasuk dalam
kategori ini, mereka cenderung menelantarkan anak-anak mereka baik secara fisik
maupun psikis. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mau memberikan perhatian
fisik dan psikis pada anak-anaknya.
33
5.1.2.2 Pengaruh Perilaku Asuh terhadap Perkembangan Bahasa Anak
Secara mentali, pemerolehan bahasa bisa dimulai sejak bayi masih berada
dalam kandungan. Sang ibu bisa mengajak bayi berkomunikasi tentang hal yang
positif. Kontak batin antara ibu dan janin akan tercipta dengan baik bila kondisi
psikis ibu dalam keadaan stabil. Keharmonisan yang terjalin lewat komunikasi
bisa memengaruhi kejiwaan anak. Orangtua bisa mengajak anak bercerita tentang
kebesaran Sang Pencipta dan alam ciptaan-Nya; mengenalkannya pada kicau
burung, kokok ayam, rintik hujan, desir angin; memperdengarkan Kalam Ilahi
atau membacakan kisah-kisah bijak.
Yudibrata dkk. (1998: 65-72) menjelaskan bahwa selama bulan-bulan
pertama pascalahir atau sebelum seorang anak mempelajari kata-kata yang cukup
untuk digunakan sebagai sarana berkomunikasi, anak secara kreatif terlebih
dahulu akan menggunakan empat bentuk komunikasi prabicara (preespeech).
Keempat prabicara itu adalah tangisan, ocehan/celoteh/meraban, isyarat, dan
ungkapan emosional. Menurut para pakar, perkembangan pemerolehan bahasa
pada anak sangat berhubungan dengan kematangan neuromoskularnya yang
kemudian dipengaruhi oleh stimulus yang diperolehnya setiap hari (Yudibrata,
1998: 72-73). Awalnya, tidak ada kontrol terhadap pola tingkah laku termasuk
tingkah laku verbalnya. Vokal anak dan otot-otot bicaranya bergerak secara
refleks. Pada bulan-bulan pertama, otaknya berkembang dan mengatur
mekanisme saraf sehingga gerakan refleks tadi sudah dapat dikontrol. Refleks itu
berhubungan dengan gerakan lidah atau mulut. Misalnya, anak akan mengedipkan
mata kalau melihat cahaya yang berubah-ubah atau bibirnya akan bergerak-gerak
ketika ada sesuatu disentuhkan ke bibirnya. Selanjutnya, dalam rangka
memerikan perkembangan pemerolehan bahasa, Stork dan Widdowson (dalam
Yudibrata, 1998: 73) membedakan antara kematangan menyimak (receptive
language skills) dan kematangan mengeluarkan bunyi bahasa atau berbicara
(expressive language skills). Kematangan menyimak terjadi lebih dahulu daripada
kematangan berbicara meskipun dalam perkembangan selanjutnya kedua
kematangan ini saling berhubungan.
34
Pada awal kelahirannya, anak belum dapat membalas stimulus yang berasal
dari manusia. Seiring dengan berfungsinya alat artikulasi, yakni ketika anak sudah
mulai berceloteh dengan bunyi bilabial seperti [m] untuk ma-ma dan [p] untuk pa-
pa atau [b] untuk ba-ba, orangtua sudah bisa melakukan interaksi bahasa dengan
anak. Satu hal yang perlu diingat, ma-ma dan pa-pa sebagai celotehan anak bukan
merujuk pada makna kata secara harfiah yang berarti ibu dan ayah, melainkan
karena semata-mata bunyi konsonan bilabial dan vokal [a] adalah bunyi yang
mudah dikuasai pada saat permulaan berujar. Dari keterampilan ini bisa terjalin
suasana yang lebih komunikatif antara orangtua dan anak yang berdampak pada
perkembangan selanjutnya. Dampaknya bisa positif bisa juga negatif.
Semakin baik stimulus yang diberikan orangtua, semakin positif respon
yang dimunculkan anak. Untuk melatih keterampilan menyimak, orangtua bisa
menggunakan metode simak-dengar dengan menyuguhi anak cerita yang
disukainya. Penceritaan langsung tanpa menggunakan buku sekali-kali perlu
dilakukan untuk perubahan suasana. Bercerita langsung dengan kata-kata sendiri
yang dimengerti anak akan memberi efek lebih pada penceritaannya. Kegiatan
bercerita ini hendaknya dilakukan dengan menggunakan bahasa ibu (bahasa
pertama anak).
Keterampilan menyimak akan berdampak pada keterampilan berbicara.
Stimulus orangtua yang berupa data simakan bagi anak bisa direspon dengan
metode ulang-ucap. Metode ini akan menunjukkan daya serap anak terhadap
cerita atau ujaran orangtua. Pada tahapan ini, orangtua sebaiknya mengubah posisi
dari posisi pencerita menjadi pendengar yang baik. Biarkan anak bercerita dengan
lugas menurut pemahamannya. Ini bisa membantu anak dalam proses berbicara.
Orangtua jangan menuntut anak untuk bercerita sesuai dengan gaya penceritaan
orangtua.
Hal itu akan membuat jiwa anak tertekan dan terhambat daya kreativitasnya
dalam berbahasa. Terkadang anak ingin berbagi cerita tentang suatu hal yang baru
dialami atau didapatinya dan ia akan sangat senang jika orangtuanya mau
meluangkan sedikit waktu untuk duduk bersamanya dan mendengarkan celoteh
riangnya. Namun, ada kalanya anak enggan bercerita sama sekali. Jika ini terjadi,
35
jangan paksa anak untuk bercerita. Kondisi psikis anak tidak selalu dalam
keadaan yang stabil. Seringkali timbul sensitivitas yang memengaruhi sisi
kejiwaannya sehingga muncul perasaan kesal, marah, atau benci pada sesuatu hal.
Dialog atau komunikasi interpersonal antara orangtua dan anak bisa menjadi
alternatif solusi.
Pola asuh seperti dipaparkan di atas akan berhasil bilamana orangtua
mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan bahasa anak.
Para ahli sepakat bahwa pemerolehan bahasa sangat dipengaruhi oleh penggunaan
bahasa sekitar. Dengan kata lain, perjalanan pemerolehan bahasa seorang anak
akan sangat bergantung pada lingkungan bahasa anak tersebut (Yudibrata, 1998:
65).
Sebelum anak memasuki lingkungan sosial yang lebih luas, masa bermain
dan bersekolah, lingkungan keluarga seyogianya bisa menjadi arena yang
menyenangkan bagi proses perkembangan anak. Rumah adalah sekolah pertama
bagi anak, dan orangtua adalah guru pertama yang bisa mengantar anak menuju
gerbang pendidikan formal. Sebagai guru, orangtua memiliki andil yang besar
dalam pendidikan anaknya, baik dalam segi waktu, materi, dan tenaga.
Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan di lingkungan rumah
merupakan hal penting bagi proses perkembangan anak. Proses ini semestinya
tidak terhambat oleh masalah finansial. Yang penting, bagaimana orangtua
membuat kondisi rumah sedemikian rupa agar mampu menghasilkan stimulus
positif sebanyak dan sevariatif mungkin.
Sesuai dengan nalurinya, anak senantiasa ingin mengetahui segala hal dan
mencoba sesuatu yang baru. Pemberian stimulus akan memengaruhi perubahan
perilaku anak. Stimulus yang diberikan orangtua akan terbingkai dalam pola pikir,
pola tindak, dan pola ucap anak. Jika orangtua menginginkan anaknya santun
berbahasa, maka berikan stimulus yang positif. Setiap aktivitas yang ada dan
terjadi di lingkungan rumah merupakan rangkaian dari proses pemerolehan yang
sifatnya berkala dan berkesinambungan. Dalam hal ini orangtua berperan sebagai
motor penggerak yang memegang kendali pertama dan utama dalam
perkembangan bahasa anak melalui (salah satunya) pola asuh yang mendidik.
36
5.2 Analisis Kebutuhan Sanggar Bahasa Berbasis Socio-Technology (SBST)
5.2.1 Hasil Angket Responden
Pengumpulan data analisis kebutuhan awal terhadap kebutuhan sanggar
bahasa berbasis socio-technology (SBST) sejumlah 45 orang yang terdiri atas 10
orang tua, 20 guru PAUD, 10 anak, dan 5 tenaga ahli.
Hasil angket responden menganggap sanggar bahasa berbasis socio-
technology (SBST) sangat dibutuhkan. Berdasarkan hasil angket kebutuhan semua
responden (100%) menganggap sangat setuju dengan sanggar bahasa berbasis
socio-technology (SBST).
Hasil angket pada aspek kebutuhan sanggar bahasa berbasis socio-
technology (SBST) semua responden menganggap penting dan setuju terhadap
kebutuhan model. Hasil angket seperti diagram berikut.
Tidak 0.0%
Ya
100.0%
Gambar 5.1 Analisis Kebutuhan Sanggar Bahasa Berbasis Socio-
Technology (SBST)
Berdasarkan gambar tersebut seluruh responden sependapat dengan alasan
sanggar bahasa berbasis socio-technology (SBST) karena selama ini belum ada di
masyarakat.
5.3 Karakteristik Sanggar Bahasa Berbasis Socio-Technology (SBST)
Sanggar bahasa berbasis socio technology (SBST) adalah sangar terapi
wicara yang didesain seperti rumah dengan fasilitas yang lengkap dan memiliti
37
multimedia pembelajaran yang sesuai dengan jenis gangguan berbicara.
Berdasarhan hasil observasi dan wawancara serta kajian pustaka didapatkan
pengertian terapi wicara etimologis merupakan gabungan dari kata terapi yang
berarti cara mengobati suatu penyakit atau kondisi patologis, dan kata wicara yang
berarti media komunikasi secara oral yang menggunakan simbol-simbol
linguistik, dimana dengan media ini seseorang dapat mengekspresikan ide, pikiran
dan perasaan. Dengan demikian istilah terapi wicara memiliki pengertian yaitu
cara atau teknik pengobatan terhadap suatu kondisi patologis di dalam
memformulasikan ide, pikiran dan perasaan ke bentuk ekspresi verbal atau media
komunikasi secara oral.
Secara terminologis bahwa terapi wicara diartikan sebagai suatu ilmu yang
mempelajari tentang gangguan bahasa, wicara dan suara yang bertujuan untuk digunakan sebagai landasan membuat diagnosis dan penanganan.
Dalam perkembangannya terapi wicara memiliki cakupan pengertian yang lebih
luas dengan mempelajari hal-hal yang terkait dengan proses berbicara, termasuk
di dalamnya adalah proses menelan, gangguan irama / kelancaran dan gangguan
neuromotor organ artikulasi (articulation) lainnya.
Dalam pengembangan SBST ini diperlukan hal-hal sebagai berikut.
1. Terapis wicara
Terapis wicara adalah seseorang yang telah lulus pendidikan terapi wicara
baik di dalam maupun luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. (Peraturan MENKES RI No :
867/MENKES/PER/VIII/2004). Terapis wicara memiliki tugas, tanggung jawab,
kewenangan serta memiliki hak secara penuh untuk melaksanakan pelayanan
terapi wicara secara profesional di sarana pelayanan kesehatan. Berdasarkan
definisi ASHA (American Speech and Hearing Association) bahwa terapis wicara
diartikan sebagai profesi yang memberikan pelayanan pada gangguan komunikasi
yang berperan dalam mengidentifikasi, memeriksa, menangani dan mencegah
gangguan bahasa dan bicara baik secara reseptif dan ekspresif pada semua
modalitas (bicara, menulis, lambang, dan gambar) juga memberikan pelayanan
untuk gangguan menelan.
38
Berdasarkan pada Undang-undang Kesehatan RI No. 23 Tahun 1992
Tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 Tentang
Tenaga Kesehatan, tenaga atau profesi terapis wicara termasuk tenaga kesehatan.
Tenaga terapis wicara dikategorikan ke dalam tenaga keterapian fisik bersama
profesi-profesi keterapian fisik lainnya. Sebagai tenaga kesehatan di bawah
Departemen Kesehatan RI, maka segala yang menyangkut kewenangan, tanggung
jawab serta sistem pelayanannya diatur oleh sistem hukum dan peraturan yang
berlaku. Dengan demikian seorang tenaga terapis wicara dalam menjalankan
profesinya harus memenuhi aspek legal sesuai dengan standar yang ada serta
memenuhi kriteria yang harus dimiliki sebagai tenaga terapis wicara.
Terapis wicara memiliki peran, fungsi serta kompetensi sebagai berikut :
a. Peran
1) Pelaksana
Memberikan pelayanan terapi wicara kepada pasien yang mengalami
menelan dan berkomunikasi yang meliputi gangguan wicara, bahasa,
suara, dan irama/kelancaran.
2) Pengelola
Mengelola pelayanan terapi wicara secara mandiri maupun terpadu di
tingkat pelayanan dasar, pelayanan rujukan dan pelayanan yang
dilaksanakan lembaga swadaya masyarakat.
3) Pendidikan
Memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat umum tentang
keberadaan dan eksistensi terapis wicara dalam upaya pembangunan
kesehatan dan secara terus menerus mengadakan proses pendidikan bagi
terapis untuk meningkatkan mutu profesionalisme, antara lain kemampuan
dalam mengembangkan diri, kredibilitas dan kreatifitas guna mencapai sub
spesialistik.
3) Penelitian
Membantu melaksanakan penelitian untuk hal-hal yang berhubungan
dengan gangguan kemampuan menelan dan berkomunikasi,
39
mengumpulkan data-data empirik dari pengalaman melaksanakan
tugasnya sebagai bahan untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut.
2. Tempat Terapi Model SBST
Dari hasil wawancara dapat disimpulkan model SBST ini memiliki tempat
yang nyaman layaknya sebuah rumah. Tempat terapi disesain seperti rumah tetapi
tetap dilengkapi dengan fasilitas yang mendukung. Peralatan yang digunakan
untuk terapi disesuaikan dengan kebutuhan seperti keperluan berikut.
1) Terapi Perilaku (Behavior Therapy)
2) Terapi Kognitif & Akademik (Kognitive Therapy & Remedial
Teaching)
3) Terapi Fisik (Fisoterapi, Okupasi Terapi)
4) Terapi Wicara (Speech Therapy)
5) Terapi Renang (Swimming Therapy)
6) Terapi Suara & Musik (Sound & Music Therapy)
7) Terapi Kelompok (Group Therapy)
8) Kelas Sosialisasi
Tempat terapi yang nyaman menurut responden ada fasilitas AC, playgroud
anak yang aman, serta permainan yang lengkap.
5.4 Pembahasan
Tahapan-tahapan perkembangan anak baik fisik maupun mental sangat
penting untuk dipelajari dan dipahami oleh para orang tua pada khususnya dan
para pendidik pada umumnya. Hal itu penting karena apa yang diberikan oleh
orang tua dan para pendidik kepada anak dalam masa perkembangannya akan
sangat berpengaruh pada masa depan sang anak dikemudian harinya . Sebagai
contohnya yaitu dalam aspek perkembangan bahasa atau komunikasi pada anak.
Untuk menanamkan perkembangan bahasa anak yang baik diperlukan pola
pengasuhan yang komprehensif dari orang tua yang merupakan pendidik yang
pertama dan utama bagi seorang anak.
Keluarga merupakan „taman sekolah‟ pertama bagi seorang anak. Dari sana
lah sang anak dibentuk pertama kali oleh orang tuanya akan menjadi seperti apa
40
dikemudian harinya. Orang tua harus memahami betul kapan seorang anak
mengalami perkembangan bahasa pertahapannya sehingga orang tua dapat
memberikan stimulus positif yang sesuai dengan tahapan perkembangannya.
Dari awal ketika bayi lahir, seorang ayah langsung menyuarakan adzan ke
telinga sang bayi dengan tujuan agar suara yang pertama kali didengar oleh anak
adalah kalimat yang baik walaupun pada saat bayi lahir pendengarannya belum
dapat berfungsi dengan baik. Namun, jika pertamanya diawali dengan baik maka
dalam perkembangannya pun insya Allah dapat baik pula.
Kemudian, ketika bayi mulai tumbuh dan melalui fase-fase perkembangan
bahasa, seorang ibu harus menstimuli sang anak dengan mengucapkan kata-kata
yang baik, pujian-pujian, kata-kata kasih sayang, dan disertai pula dengan
komunikasi nonverbal seperti ekspresi wajah yang lembut, memberi ciuman dan
pelukan hangat. Komunikasi verbal saja tidak cukup. Jadi, harus saling bersamaan
antara komunikasi verbal dan nonverbal. Dengan begitu, emotional bonding
antara ibu dan anak semakin kuat.
Demikian pula ketika menstimulasi anak melalui sarana komunikasi, seperti
televisi, komputer, dan radio. Orang tua harus menemani anak dalam menonton
televisi. Berdasarkan penelitian, televisi dapat menghambat perkembangan bahasa
anak. Orang tua harus memilah-milah mana tontonan yang baik dan sesuai dengan
perkembangan anak dan mana yang tidak dan pula harus diberi penjelasan
mengenai pesan-pesan dari tontonan tersebut pada anak. Kemudian, dalam
memperkenalkan komputer pada anak, orang tua harus secara aktif menemani
anak dalam memperkenalkan dan mempelajari komputer. Waktu pemakaian
komputer pun juga harus dibatasi karena anak juga harus berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya. Lalu terkait dengan nyanyian atau lagu untuk anak-anak.
Hal itu pula harus diperhatikan karena sangat mempengaruhi bahasa anak.
Perkembangan bahasa pada anak tidak dapat berlangsung dengan baik tanpa
didukung aktif oleh orang tua dan pendidik. Selain ibu, peran ayah pun juga
sangat dibutuhkan dalam masa perkembangan bahasa anak. Ayah juga harus
menjadi teladan yang baik bagi anaknya, yaitu dalam mengucapkan atau
berkomunikasi dengan mengucapkan kata-kata yang penuh ilmu dan tuntunan
41
agama, tidak kasar, dan tidak membentak. Jika orang tua dan pendidik bekerja
sama dengan baik dalam memberikan teladan yang positif pada anak dalam masa-
masa perkembangannya baik fisik maupun mental maka anak kelak akan tumbuh
menjadi generasi penerus bangsa yang mulia budi pekertinya dan santun budi
bahasanya.
Pengembangan bahasa aktif adalah salah satu bentuk kegiatan berbahasa
yang lebih menekankan pada unsur berbicara dan menulis. Sedangkan bahasa
pasif artinya penutur cukup pasif saja, yaitu mendengarkan atau membaca. Dalam
kegiatan pembelajaran, hal ini dapat dilakukan antara guru dan anak berdasarkan
progran yang telah disusunnya.
Kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia dikenal dengan empat
keterampilan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Berkaitan dengan hal tersebut, keterampilan bahasa aktif produktif adalah
keterampilan yang lebih menekankan pada kegiatan berbicara dan menulis,
sedangkan bahasa reseptif adalah menyimak/mendengar dan membaca. Kegiatan
lain dapat dilakukan dalam bentuk, (mendengarkan cerita guru, teman, bernyanyi,
deklamasi, tanya jawab, bermain peran, permainan boneka, olahraga, dan
sebagainya).
Pengembangan berbahasa pada AUD di sekolah, lebih di-tujukan pada (i)
kesanggupan menyampaikan pikiran kepada orang lain, (ii) mengembangkan
perbendaharaan kata, (iii) menangkap pembicaraan orang lain, dan (iv)
keberanian untuk mengemukakan pendapat. Agar pengembangan bahasa ini dapat
dilakukan dengan baik dan tujuan dapat tercapai, maka guru hendaknya pandai
memilih teknik pembelajaran yang relatif sesuai. Teknik tersebut adalah bercerita,
permainan bahasa, sandiwara boneka, bercakap-cakap, tanya jawab, dramatisasi,
mengucapkan syair, bermain peran, dan karyawisata.
Dalam buku panduan sanggar bahasa berbasis socio-technology (SBST)
disebutkan bahwa ruang lingkup pengembangan kemampuan berbahasa anak usia
dini yang dapat diberikan meliputi hal berikut: a. Menirukan kembali urutan angka, urutan kata.
b. Mengikuti beberapa perintah sekaligus.
42
c. Menjawab pertanyaan.
d. Menyanyikan lagu dan mengucapkan sajak.
e. Mengenalkan kata tunjuk yang mengarah ke suatu tempat.
f. Memeragakan gerakan sederhana dalam kehidupan anak sehari-hari.
g. Menceritakan kejadian di sekitar anak secara sederhana.
h. Menjawab pertanyaan sederhana dan cerita pendek yang disampaikan guru.
i. Menceritakan kembali secara sederhana cerita pendek yang telah disampaikan guru.
j. Memberikan keterangan/informasi tentang sesuatu hal.
k. Memberi batasan tentang kata atau benda.
l. Mengurutkan dan menceritakan isi gambar.
m. Melengkapi kalimat sederhana.
n. Melanjutkan cerita/sajak/lagu yang sudah dimulai guru.
o. Menyebutkan sebanyak-banyaknya nama benda, binatang, tanaman yang mempunyai warna, bentuk, atau menurut ciri-ciri/sifat tertentu.
p. Menyebutkan sebanyak-banyaknya kegunaan dari suatu benda.
q. Membayangkan akibat dari suatu kejadian yang belum tentu terjadi.
r. Menceritakan gambar yang telah disediakan.
s. Menceritakan gambar yang dibuat sendiri.
t. Mengekspresikan diri melalui dramatisasi.
u. Mengucapkan suku kata dalam nyanyian.
v. Mengenalkan huruf awal dari kata yang bermakna.
w. Mengenalkan bunyi huruf akhir dari kata yang bermakna.
x. Membuat kata dari suku kata awal yang disediakan dalam bentuk lisan.
43
y. Mengenalkan lawan kata.
z. Menggunakan kata ganti “aku” atau “saya”
Beberapa bentuk kegiatan pengembangan bahasa yang dapat diberikan pada
anak di TK tersebut dapat menjadikan pengalaman yang berharga bagi anak.
Pengalaman tersebut akan lebih memberikan makna yang sesungguhnya jika guru
menerapkan prinsip umum dalam pembelajaran. Prinsip tersebut diuraikan berikut
ini (Depdikbud,1984): a. Bahan latihan percakapan diambil dari lingkungan anak. b. Anak diberi kebebasan dalam menyatakan pikiran dan pera-saan, serta
spontanitas jangan ditekan. c. Guru menguasai benar teknik penyampaian. d. Komunikasi antara guru dan anak dilaksanakn secara akrab. e. Guru memberi teladan dalam cara mempergunakan bahasa, dan f. Bahan mengandung isi untuk mengembangkan intelektual, emosional dan
moral, serta sesuai dengan taraf perkembangan dan lingkungan.
Lingkungan, khususnya lingkungan informal baik di rumah maupun di
lingkungan tempat bermain, memiliki peran yang sangat berpengaruh dalam
perkembangan kemampuan bahasa selanjutnya. Hal ini terutama disebabkan oleh
adanya penggunaan bahasa yang kontekstual dan sesuai dengan kehidupan anak di
mana mereka berada. Mereka memperoleh teman, bergabung dalam bermain, dan
berperan dalam berbagai macam aktivitas. Dengan demikian, kefasihan anak
dengan jenis bahasa ini merupakan bagian penting dalam perkembangan bahasa
selanjutnya. Tanpa hal tersebut, anak akan terisolasi dari kehidupan sosial yang
wajar di lingkungannya.
Pengembangan kemampuan berbahasa anak di sekolah, khususnya dalam
kelas, berbeda jika dibandingkan dengan bahasa di tempat mereka bermain. Di
lingkungan bermain tampak lebih informal dan santai. Sedangkan di lingkungan
sekolah lebih formal. Keformalan tersebut menuntut anak untuk mampu
44
berbahasa dengan menggunakan kognitifnya dan dituntut sesuai dengan
kurikulum yang ada.
Belajar bahasa baik dalam mendengarkan, berbicara, membaca, maupun
menulis adalah sebuah proses yang panjang. Gibbons (1993) menguraikan
beberapa karakteristik anak yang perlu diketahui guru. Berikut keterampilan
berbahasa anak usia dini yang perlu diperhatikan.
1. Dalam mendengarkan
Dalam mendengarkan, anak memiliki kesulitan untuk mengikuti rangkaian
perintah, anak memiliki rentang konsentrasi yang singkat, anak memiliki kesulitan
dalam memprediksi apa yang diucapkan, tidak memahami kata kunci, dan
memiliki kesulitan dalam membedakan suara.
2. Dalam berbicara
Dalam berbicara, anak memiliki bahasa lisan yang cukup baik. Namun, anak
kurang menguasai cara bicara yang sopan, anak sering membuat kesalahan dalam
struktur kalimat dasar, anak juga memiliki kesulitan dalam mengurutkan
pemikiran secara logis. Kemampuan berbicara biasanya sudah menyatu dalam
kehidupan sehari-hari di rumah, di masyarakat, dan di mana pun ia berada. Anak
belajar secara alamiah.
3. Dalam membaca dan menulis
Meskipun AUD belum sepenuhnya diajarkan tentang keterampilan menulis,
kadang-kadang orang tua di rumah telah mengajarkannya. Hal ini merupakan
masalah bagi guru di sekolah ketika akan mengenalkan tulisan pada anak.
Masalah tersebut terutama dalam penggunaan huruf. Orang tua di rumah sering
mengajarkan anaknya dengan menggunakan huruf kapital atau huruf besar.
Padahal dalam pengenalan huruf pada anak sebaiknya huruf kecil, karena di SD
pada awalnya anak akan menjumpai atau dikenalkan tentang penggunaan huruf
kecil baik dalam belajar membaca maupun menulis. Oleh karena itu, dalam
menulis, anak umumnya memiliki keterampilan bahasa tulis yang kurang. Ketika
45
menulis dengan gaya informal, menggunakan kosakata terbatas, struktur kalimat
masih sederhana, anak cenderung selalu menulis hal yang sama, dan sebagainya.
Masalah membaca dan menulis, sebenarnya tidak ada aturan khusus pada
AUD. Jika anak mampu, masalah membaca dan menulis sebenarnya boleh
diajarkan secara alamiah. Artinya, anak ingin membaca (gambar/tulisan) karena
dia melihat gambar atau tulisan. Secara alami, anak kemudian ingin menulis
dengan corat-coret tanpa orang lain mengerti yang dituliskan dan digambarkan.
Dengan demikian belajar membaca dan menulis adalah dua aspek keterampilan
yang dalam praktik pembelajarannya tidak dipisahkan. Dalam hal ini, anak
membutuhkan model atau contoh yang pantas untuk ditiru.
4. Dalam membaca
Dalam membaca, anak belum mengenal bentuk. Maka, anak sering
melakukan kesalahan membaca. Ketika anak belajar membaca dia terlebih dahulu
membaca gambar. Melalui gambar tersebut, anak bisa mencoba menirukan
gambar kemudian menulisnya atau anak bercerita berdasarkan gambar tersebut.
AUD secara berangsur-angsur akan memasuki Sekolah Dasar (SD). Untuk
itu, perlu dipahami tentang gambar yang mampu merepresentasikan makna.
Tentang tulisan, anak perlu diberi pengetahuan yang juga mampu
merepresentasikan makna. Maka, perlu tulisan yang disusun berdasarkan kata dan
tanda-tanda tertentu. Pada akhirnya anak tahu tentang halaman dan cara
menggunakan buku. Dengan demikian anak memiliki perkembangan tentang
kesadaran huruf.
Pada masa belajar membaca, anak masih memiliki pemahaman yang buruk,
memiliki kesulitan dalam mengungkapkan kembali dari yang telah dibacanya,
jarang memperbaiki diri ketika membaca keras, dan ini terbukti bahwa
pelafalannya buruk. Berdasarkan beberapa karakteristik tersebut, guru hendaknya
memperhatikan permasalahan penting dalam meningkatkan keterampilan
berbahasa anak. Misalnya ketika akan mengenalkan dan atau mengajarkan pada
anak tentang membaca, gunakan konteks kata yang bermakna.
46
A. Hal yang Harus Diperhatikan dalam SBST
1) Berbahasa
Hal pokok dalam proses berbahasa adalah proses pemahaman bahasa
(language comprehension), produksi berbahasa (language production), dan
pemerolehan bahasa (language aqcuisation). Ketiga proses ini menjadikan bahasa
sebagai objek kajian. Dalam versi psikolinguistik, seseorang berbahasa masuk
dalam dua tahapan, yaitu produktif dan reseptif. Proses produktif berlangsung
pada diri pembicara yang menghasilkan kode-kode bahasa yang bermakna dan
berguna. Sedangkan proses reseptif berlangsung pada diri pendengar yang
menerima kode-kode bahasa yang bermakna yang disampaikan oleh pembicara
melalui alat-alat artikulasi pendengar. 2) Gangguan Berbahasa
Gangguan berbahasa pada anak dapat berupa keterlambatan berbicara. Kapan
anak dinyatakan terlambat berbicara (berbahasa) ? keterlambatan berbahasa yang
paling sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana
perkembangan bahasa anak berada di bawah umur kronologisnya secara nyata
(Eisenson dan Ogivie 1983). Sebagai pedoman Allen, Rapin, dan Wiznitzer
(1987) mengatakan bahwa gejala keterlambatan ini muncul apabila :
a) Anak umur sepuluh bulan belum meleter b) Umur 18 bulan belum menguasai beberapa kata yang berarti selain “papa” dan
“mama”, atau belum dapat menunjuk apa yang diingini, dan c) Umur 2 tahun belum dapat mengucapkan rangkaian kalimat yang terdiri atas
dua kata, atau bicaranya tidak dapat dimengerti atau dipahami oleh orang
tuanya atau tidak mengerti apa yang dikatakan kepadanya
Adanya keterlambatan perkembangan berbicara pada anak perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut secara komprehensif untuk mencari penyebabnya dan
untuk membedakan antara anak yang mengalami penyimpangan (deviant)
perkembangan berbahasa dengan anak yang hanya mengalami keterlambatan
(delayed) perkembangan berbahasa saja. Hal ini penting untuk penangananya.
47
Definisi gangguan berbahasa pada anak sangat beragam. Menurut ASHA
(American Speech-Language-Hearing Association, 1980), definisi gangguan
berbahasa ialah sebagai berikut :
“...abnormalitas dalam perolehan bahasa, pemahaman atau ekspresi bahasa
tutur atau bahasa tulisan. Gangguan ini dapat meliputi semua, satu atau
beberapa komponen dari sistem linguistik, yaitu, fonologik, morfologik,
semantik, sintaktik, atau pragmatik. Individu dengan gangguan berbahasa
sering mengalami masalah dalam memproses kalimat atau dalam abstraksi
informasi yang berguna untuk menyimpan dan menemukan kembali
(retrieval) dari memori pendek dan panjang.” (Bernstein dan Tiegermen 1985)
Definisi di atas memberi informasi mengenai tiga aspek penting dalam
gangguan berbahasa, yaitu, gangguan dapat terjadi pada komponen dari bahasa
atau modalitasnya atau proses informasinya.
3) Klasifikasi Gangguan Berbahasa
Pendekatan tradisional gangguan berbahasa pada anak adalah klasifikasi
berdasarkan penyebabnya (Etiological-Categorical Approach). McCormic dan
Schiefelbusch. (1984, yang dikutip oleh Bernstein dan Tiegermen 1985) membagi
gangguan berbahasa ke dalam lima kategori penyebab :
1. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berkaitan dengan gangguan
motorik. Termasuk di dalam kelompok ini adalah antara lain anak dengan
c.p (cerebral palsy).
2. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan defisit
sensoris. Termasuk dalam kategori ini adalah anak dengan gangguan
pendengaran.
3. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan kerusakan
pada susunan saraf pusat. Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat
bersifat dapat bersifat ringan sampai berat. Termasuk dalam kelompok ini
antara lain adalah afasia.
4. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan disfungsi
emosional-sosial yang berat. Termasuk dalam kategori ini adalah anak
dengan psikosis, skisofrenia, dan autisme.
48
5. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan gangguan
kognitif. Termasuk dalam kategori ini adalah anak yang terbelakang
mental.
Dalam hal ini pembahasan lebih ditekankan pada gangguan
berbahasa yang mempunyai dasar neurologis, yaitu keterbelakangan
mental, autisme, dan gangguan berbahasa spesifik (specific language
disability). Namun, perlu diketahui pula masalah gangguan berbicara
bahasa lainnya untuk dapat membedakannya dari gangguan berbahasa
yang mempunyai dasar neurologis.
4) Bahasa Reseptif
Luria berpendapat bahwa daerah belakang girus superior lobus
temporalis hemisfir kiri yang ditemukan oleh wernick bukanlah pusat
pengertian kata-kata, tetapi merupakan perbendaharaan fonem bahasa. Pusat
ini disebutnya juga daerah sekunder fungsi akustik-kognistik. Pusat primernya
adalah pusat pendengaran yang ditemukan oleh Heschl, yang terletak di depan
pusat Wernick. Pusat sekunder berfungsi menyimpan, mengatur apa yang
didengar. Apabila daerah ini rusak, orang tidak tuli, ia mendengar dan tahu
bunti-bunyi yang sederhana, tetapi tidak dapat membedakan antara macam-
macam kombinasi bunyi. Pada manusia, daerah ini berfungsi untuk
menganalisis dan mensintesis bunyi wicara.
Luria juga mendapatkan bahwa daerah girus temporali media hemisfer
kiri merupakan pusat memori audio-verbal yang berfungsi untuk mengingat
rangkaian kata-kata yang didengar. Pada kerusakan daerah ini orang mudah
lupa apa yang telah ia dengar, tetapi ingatan visualnya tetap baik.
Selain yang didengar, bentuk bahasa reseptif lainnya ialah bahasa
yang dilihat. Bahasa yang dilihat terpapar dalam tulisan atau sikap, gerakan
jari-jari tangan, tangan, lengan, kepala, muka,dan tubuh. Fungsi ini jelas
berkaitan dengan fungsi penglihatan yang terpusat di daerah oksipital. Di
daerah yang lateral di pusat penglihatan primer terdapat daerah sekunder yang
49
fungsinya memadukan apa yang dilihat menjadi suatu keseluruhan hingga
orang mengerti apa yang dilihat. Simbol yang tertulis atau tergambar bagi yang
mengertinya melambangkan bunyi. Jadi, sebuah huruf mempunyai segi visual
dan segi vokalnya. Yang visual berasal dari lobus oksipitalis dan yang vokal
dari lobus temporalis. Keduanya berintegrasi da dalam lobus parietalis, daerah
tersier, terutama di girus angularis. Memang di sinilah letak pusat membaca.
Seseorang yang mempelajari huruf-huruf Braille melakukan pembacaan
dengan meraba. Dalam hal ini yang berfungsi sebagai mata ialah indera peraba
di dalam kulit ujung jari tangan, yang pusat primernya terletak di korteks
sensorik lobus parietalis. Adapun faktor yang mempengaruhi proses reseptif ini
bisa bersifat neurologis, psikis, dan juga sosial.
Adapan tahapan pada proses reseptif adalah sebagai berikut:
a. Decode fonologi: penerimaan unsur-unsur bunyi melalui pendengaran
b. Decode gramatikal: penyususnan secara gramatikal dari simbol-simbol
bunyi yang ditangkap
c. Decode semantik: proses pemahaman leksikon, kata dan kalimat
5) Bahasa Ekspresif
Bahasa diekspresikan dengan ucapan, yaitu bunyi yang ditimbulkan
oleh getaran pita suara di dalam laring dan diubah-ubah oleh gerakan mulut,
bibir, lidah, dan palatum molle. Bahasa dapat pula diutarakan dengan cara-cara
lain, misalnya peluit morse, rangkaian simbol bunyi yang berupa huruf,
gambar suku kata atau kata, isyarat jari tangan, tangan, lengan, kepala, mimik,
dan bagian tuguh lainnya.
Ucapan bunyi dan kata-kata dapat terganggu apabila terjadi
kelumpuhan dan kelainan pada alat-alat wicara laring dan mulut. Meskipun
alat-alat perifer wicara ini baik, mungkin pengucapan bunyi dan kata-kata
terganggu bila ada kelainan-kelainan pada struktur-struktur di dalam otak.
Serebelum, otak kecil, diperlukan untuk koordinasi otot-otot, juga otot-otot
50
wicara. Untuk dapat mengucapkan bunyii-bunyi d,t,l,m,n,b, dan p kita harus
tahu bagaimana sikap lidah dan bibir kita. juga sama halnya dengan menulis
yang menggunakan otot-otot jari, tangan, dan lengan.
Wicara ekspresif yang paling sederhana ialah mengulangi apa yang
dikatakan orang lain. untuk dapat melakukannya dengan baik harus baik pula
fungsi pendengaran primer dan sekunder, pusat-pusat wicara Wernick dan
Broca, korteks sensorik, korteks, motorik, dan hubungan-hubungan antar
pusat-pusat ini. Menurut Markam (dalam PELLBA 4, 1991) dalam bidang
bahasa untuk membedakan nada-nada bunyi, lagu prosodi, adalah berpusat
pada fungsi otak bagian lobus temporalis. Sehingga apabila terjadi suatu
gangguan di daerah tersebut orang akan kesulitan bahkan tidak dapat
membedakan kalimat yang diucapkan secara biasan dengan nada amarah.
6) Anak Berkebutuhan Khusus
Anak merupakan aset dan kebanggaan bagi orang tua. Setiap orang
tua mengharapkan kebahagian dan kesuksesan yang akan diraih oleh sang
anak. Saat masih dalam kandungan sampai dewasa, orang tua mengharapkan
kondisi yang baik bagi anaknya. Namun, kondisi dan situasi tidak selalu seperti
apa yang diharapkan. Tidak sedikit orang tua memiliki anak yang mempunyai
sebuah penyakit atau cacat, baik cacat mental maupun cacat fisik. Peran orang
tua adalah memberikan dukungan dan berkewajiban untuk menerima apa pun
kondisi yang diderita oleh sang anak. Anak yang menderita cacat mental
maupun cacat fisik ini disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Anak berkebutuhan khusus (ABK) atau yang pada masa lampau disebut
anak cacat memiliki karakteristik khusus dan kemampuan yang berbeda dengan
anak-anak pada umumnya. Tipe anak berkebutuhan khusus bermacam-macam
dengan penyebutan yang sesuai dengan bagian diri anak yang mengalami
hambatan sejak lahir maupun karena kegagalan atau kecelakaan pada masa
tumbuh-kembangnya. Menurut Kauffman & Hallahan (2005) dalam Bendi
Delphie (2006) tipe-tipe kebutuhan khusus yang selama ini
51
menyita perhatian orangtua dan guru adalah (1) tunagrahita (mental
retardation) atau anak dengan hambatan perkembangan (child with
development impairment), (2) kesulitan Belajar (learning disabilities) atau
anak yang berprestasi rendah, (3) hiperaktif (Attention Deficit Disorder with
Hyperactive ), (4) tunalaras (Emotional and behavioral disorder), (5)
tunarungu wicara (communication disorder and deafness), (6) tunanetra atau
anak dengan hambatan penglihatan (Partially seing and legally blind), (7)
autistik, (8) tunadaksa (physical handicapped), dan (9) anak berbakat
(giftedness and special talents).
Terkait jenis-jenis ABK yang terdapat di YPAC meliputi Cerebral Palsy,
Cacat mental / Tuna Grahita, Tunarungu / Bisu tuli, Kelainan fungsi organ
bicara, misal : celat/pelo, Kelainan konginental, misal : bibir sumbing, celah
langit-langit, Gangguan Irama / gagap / Staittering, dan Kelainan suara.
7) Metode Drill
Salah satu metode pembelajaran adalah metode drill, merupakan salah
satu cara mengajar dimana anak melaksanakan kegiatan-kegiatan berupa
latihan-latihan, agar anak memiliki ketangkasan atau keterampilan yang lebih
baik dari apa yang dipelajari. Ciri yang khas dari metode ini adalah kegiatan
berupa pengulangan yang berkali-kali dari suatu hal yang sama. Menurut
Sudjana (2011:27), metode drill adalah satu kegiatan melakukan hal yang
sama, berulang-ulang secara sungguh-sungguh dengan tujuan untuk
memperkuat suatu asosiasi atau menyempurnakan suatu keterampilan agar
menjadi bersifat permanen. Suatu metode dalam menyampaikan pelajaran
dengan menggunakan latihan secara terus menerus sampai anak didik
memiliki ketangkasan seperti yang diharapkan. Metode ini lebih
menitikberatkan pada keterampilan siswa seperti kecakapan mototrik, mental,
asosiasi yang dibuat dan sebagainya.
8) Macam-Macam Diagnosis Pasien di Terapi Wicara YPAC Semarang
a. CELEBRAL PALSY
52
DEFINISI
Cerebral Palsy (CP, Kelumpuhan Otak Besar) adalah suatu keadaan
yang ditandai dengan buruknya pengendalian otot, kekakuan,
kelumpuhan dan gangguan fungsi saraf lainnya. CP bukan merupakan penyakit dan tidak bersifat progresif (semakin
memburuk). Pada bayi dan bayi prematur, bagian otak yang mengendalikan
pergerakan otot sangat rentan terhadap cedera CP terjadi pada 1-2 dari 1.000 bayi, tetapi 10 kali lebih sering
ditemukan pada bayi prematur dan lebih sering ditemukan pada bayi
yang sangat kecil.
PENYEBAB
CP bisa disebabkan oleh cedera otak yang terjadi pada saat:
Bayi masih berada dalam kandungan
Proses persalinan berlangsung
Bayi baru lahir
Anak berumur kurang dari 5 tahun.
10-15% kasus terjadi akibat cedera lahir dan berkurangnya aliran
darah ke otak sebelum, selama dan segera setelah bayi lahir. Bayi prematur
sangat rentan terhadap CP, kemungkinan karena pembuluh darah ke otak
belum berkembang secara sempurna dan mudah mengalami perdarahan
atau karena tidak dapat mengalirkan oksigen dalam jumlah yang memadai
ke otak.
Cedera otak bisa disebabkan oleh:
Kadar bilirubin yang tinggi di dalam darah (sering ditemukan pada
bayi baru lahir), bisa menyebabkan kernikterus dan kerusakan otak Penyakit berat pada tahun pertama kehidupan bayi (misalnya
ensefalitis, meningitis, sepsis, trauma dan dehidrasi berat) Cedera kepala karena hematom subdural
53
Cedera pembuluh darah.
GEJALA
Gejala biasanya timbul sebelum anak berumur 2 tahun dan pada kasus
yang berat, bisa muncul pada saat anak berumur 3 bulan.
Gejalanya bervariasi, mulai dari kejanggalan yang tidak tampak nyata
sampai kekakuan yang berat, yang menyebabkan perubahan bentuk
lengan dan tungkai sehingga anak harus memakai kursi roda.
CP dibagi menjadi 4 kelompok:
1. Tipe Spastik (50% dari semua kasus CP), otot-otot menjadi kaku dan lemah.
Kekakuan yang terjadi bisa berupa:
Kuadriplegia (kedua lengan dan kedua tungkai)
Diplegia (kedua tungkai)
Hemiplegia (lengan dan tungkai pada satu sisi tubuh)
2. Tipe Diskinetik (Koreoatetoid, 20% dari semua kasus CP), otot lengan,
tungkai dan badan secara spontan bergerak perlahan, menggeliat dan tak
terkendali; tetapi bisa juga timbul gerakan yang kasar dan mengejang.
Luapan emosi menyebabkan keadaan semakin memburuk, gerakan akan
menghilang jika anak tidur 3. Tipe Ataksik, (10% dari semua kasus CP), terdiri dari tremor, langkah yang
goyah dengan kedua tungkai terpisah jauh, gangguan koordinasi dan
gerakan abnormal. 4. Tipe Campuran (20% dari semua kasus CP), merupakan gabungan dari 2
jenis diatas, yang sering ditemukan adalah gabungan dari tipe spastik dan
koreoatetoid.
Gejala lain yang juga bisa ditemukan pada CP:
Kecerdasan di bawah normal
Keterbelakangan mental
Kejang/epilepsi (terutama pada tipe spastik)
Gangguan menghisap atau makan
54
Pernafasan yang tidak teratur
Gangguan perkembangan kemampuan motorik (misalnya menggapai
sesuatu, duduk, berguling, merangkak, berjalan)
Gangguan berbicara (disartria)
Gangguan penglihatan
Gangguan pendengaran
Kontraktur persendian
Gerakan menjadi terbatas.
b. DOWN SYNDROME
DEFINISI
Down Syndrom merupakan gangguan pada perkembangan yang
dibawa sejak lahir. Penderita down syndrome sendiri dapat dengan mudah
dikenali karena mereka memiliki ciri fisik dan karakteristik yang khas dan
menonjol. Selain itu juga, penyandang down syndrome ini juga mengalami
sejumlah keterbatasan baik secara fisik maupun mental (Selikowitz, 2001).
Down syndrome yaitu suatu kondisi keterbelakangan perkembangan
fisik dan menral anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan
kromosom. Menurut JW. Chaplin (1995), down syndrome adalah satu
kerusakan atau cacat fisik bawaan yang disertai keterbelakangan mental,
lidahnya tebal, dan retak-retak atau terbelah, wajahnya datar ceper, dan
matanya miring.
c. AUTIS
Autis pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada
tahun 1943 oleh seorang psikiatris Amerika yang bernama Leo
Kanner. Ia menemukan sebelas anak yang memiliki ciri-ciri yang sama,
yaitu tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu lain dan
sangat tak acuh terhadap lingkungan di luar dirinya, sehingga perilakunya
tampak seperti hidup dalam dunianya sendiri. Autis merupakan
55
suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang berhubungan
dengan komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi.
Autisme didiagnosis menggunakan parameter triad of impairments,
yaitu tiga area kesulitan belajar dan berkomunikasi seorang anak yang
tampak dalam perkembangan anak tersebut sebelum dia berusia tiga tahun.
Bukan berarti semua anak didiagnosis sebelum tiga tahun, tetapi berdasarkan
observasi pada orang tua dan observasi lainnya, tampak bahwa pola
kesulitan yang dialami seorang anak diawali sebelum usianya tiga tahun.
Ketiga area kesulitan tersebut meliputi:
1. Kesulitan dalam berbahasa dan berkomunikasi
2. Kesulitan dalam interaksi sosial dan pemahaman terhadap sekitarnya
3. Kurangnya fleksibilitas dalam berpikir dan bertingkah laku
Autism dikenal sebagai pervasive development disorder yang berarti
bahwa satu aspek kesulitan berdampak pada yang lain. Tetapi, akan sangat
membantu jika kita memahami masing-masing area tersebut dan
memahami pengaruhnya terhadap perkembangan anak.
d. GLOBAL DEVELOPMENT DELAY
Global Developmental Delay didefinisikan sebagai keterlambatan
perkembangan signifikan dalam dua atau lebih domain. Seorang anak
mungkin memiliki Delay perkembangan global karena kondisi seperti
Cerebral Palsy, kelainan neuromuskular dan / atau kekurangan lingkungan
awal. Anak-anak dengan Global keterlambatan perkembangan belum tentu
memiliki gangguan intelektual. Diagnosis dini tidak meningkatkan hasil.
Perbedaan bidang perkembangan yang mungkin tertunda meliputi:
1. Keterampilan motorik (kasar dan halus), misalnya rolling, duduk,
berjalan atau mengangkat benda, menampar Pidato dan perkembangan
56
bahasa – misalnya mengidentifikasi suara, meniru suara pidato, dan
mengoceh.
2. Perkembangan kognitif , misalnya kemampuan untuk mempelajari hal-
hal baru atau untuk alasan.
3. Sosial dan perkembangan emosional, misalnya berbagi dengan teman-
teman, kegiatan harian, misalnya makan, berpakaian
4. Sindrom Rett adalah penyebab utama diagnosis keterlambatan
perkembangan global, sementar Fragile X adalah gangguan warisan
yang paling umum.
e. SPEECH DELAY ATAU TERLAMBAT BICARA
Menurut Hurlock (1978: 194-196), dikatakan terlambat bicara apabila
tingkat perkembangan bicara berada di bawah tingkat kualitas
perkembangan bicara anak yang umurnya sama yang dapat diketahui dari
ketepatan penggunaan kata. Apabila pada saat teman sebaya mereka
berbicara dengan menggunakan kata-kata, sedangkan si anak terus
menggunakan isyarat dan gaya bicara bayi maka anak yang demikian
dianggap orang lain terlalu muda untuk diajak bermain. Sedangkan dalam
Papalia (2004: 252-253) menjelaskan bahwa anak yang terlambat bicara
adalah anak yang pada usia 2 tahun memliki kecenderungan salah dalam
menyebutkan kata, kemudian memiliki perbendaharaan kata yang buruk ada
usia 3 tahun, atau juga memiliki kesulitan dalam menamai objek pada usia 5
tahun. Dan anak yang seperti itu, nantinya mempunyai kecenderungan tidak
mampu dalam hal membaca. “children who show an unusual tendency to
mispronounce words at age 2, who have poor vocabulary at age 3, or who
have trouble naming objects at 5 are apt to have reading disabilities later on”
Beberapa faktor penyebab speech delay, antara lain:
1. Mengalami hambatan pendengaran
Bila anak mengalami kesulitan dalam pendengaran, secara otomatis
menyebabkan anak kesulitan meniru, memahami, dan menggunakan
57
bahasa. Masalah pendengaran pada anak biasanya disebabkan adanya
infeksi telinga.
2. Hambatan perkembangan otak
Adanya gangguan pada daerah oral-motor di otak mengakibatkan
ketidakefisienan hubungan di daerah otak yang berperan untuk
menghasilkan bicara. Sehingga kondisi ini dapat menyebabkan anak
kesulitan menggunakan bibir, lidah, dan rahang untuk menghasilkan
bunyi.
3. Adanya masalah keturunan
Keterlambatan bicara juga bisa dipengaruhi oleh faktor keturunan.
Meski belum ada penelitian yang bisa membuktikan kebenarannya, tapi
biasanya anak yang terlambat bicara ternyata memiliki riwayat keluarga
yang mengalami gangguan yang sama.
4. Minimnya komunikasi
Interaksi dan komunikasi antara orangtua dengan anak bisa
menstimulasi anak untuk memperbanyak kosa katanya. Sayangnya,
beberapa orangtua tidak menyadari jika cara berkomunikasi mereka
berpengaruh terhadap perkembangan anak.
5. Faktor televisi
Anak yang sering menonton televi0si akan menjadi pendengar yang
pasif, anak hanya menerima tanpa harus mencerna dan memproses
informasi yang masuk. Menonton televisi juga bisa membuat anak
menjadi traumatis karena menyaksikan tayangan yang berisi adegan
perkelahian, kekerasan, dan seksual.
B. Analisis Anak Berkebutuhan Khusus pada Pasien dengan Menggunakan
Metode Drill Model SBST di Terapi Wicara YPAC Semarang
VO
“Vo” merupakan pasien yang mengalami celebral palsy. Kemampuan
berbahasa yang dimiliki “VO” sangat terbatas. Dia hanya diam ketika
diterapis, hanya memandang terapis. Konsentrasi yang dimiliki
58
Valentino pun sangat kurang, terapis harus memberikan rangsangan
terlebih dahulu jika ingin mendapatkan respon dari “VO”. Metode drill
dilakukan terapis dengan memberikan rangsangan kepada “VO”, baik
berupa perintah, gerakan, sentuhan, dan lain-lain. Contoh penerapan
metode ini adalah ketika terapis memberikan rangsangan berupa
kegiatan memasukkan puzzle berbagai warna dengan gerakan lambat ,
kemudian terapis meminta “VO” untuk latihan memasukkannya
sendiri. Permainan ini (puzzle warna) memang sering digunakan oleh
“VO”, sehingga dia sedikit memahami apa yang harus dia lakukan.
RF
“RF” adalah pasien yang menglami celebral palsy sama seperti “VO”.
Gerakan-gerakan yang dilakukan sangat kaku. Dia sering marah dan
jail terhadap terapis yang sedang menerapinya. Dia sering
menyemburkan air liur kepada orang di sekitarnya karena merasa
diperhatikan. Kemampuan bicaranya juga sangat terbatas, dia
terkadang hanya merespon dengan senyuman. Penerapan metode drill
adalah ketika terapis meminta “RF” untuk memasukkan donat warna
(berlubang). Kegiatan ini pernah dilakukan oleh “RF” sebelumnya,
akan tetapi “RF” masih harus diberi rangsangan oleh terapis untuk
mampu memasukkan donat warna tersebut ke tempatnya.
Down Syndrome
V
“V” mengalami down syondrome, dia memiliki konsentrasi
yang cukup. Akan tetapi kemampuan bicaranya masih rendah, ketika
diterapis “V” lebih banyak diam. Respon terhadap orang asing
seperlunya saja. Namun, “V” mau menuruti perintah (misal perintah
„ambil‟) yang diperintahkan oleh terapis. Penerapan metode drill, yaitu
ketika terapis meminta “V” untuk mengambil dan memasang sebuah
benda (misal mainan puzzle donat). Terapis harus memberi rangsangan
dan mencontohkan terlebih dahulu, kemudian terapis
59
meminta “V” untuk melakukan kegiatan yang sama, yaitu mengambil
dan memasukkan puzzle donat tersebut. Jika “V” merasa tidak suka
dan kurang nyaman, dia akan melipat tangan, akan tetapi jika dia
merasa nyaman dan suasananya dia sukai, maka dia akan kooperatif
(meskipun minim) dan tidak jarang dia akan menyanyi.
FZ (7)
“FZ” merupakan salah satu pasien yang mengalami down syndrome.
dia memiliki ciri-ciri fisik yang khusus pada wajahnya dan mudah
dikenali. Kemampuan berbicara yang dimiliki Fauzi sangat terbatas,
namun dia dapat mengekspresikan sesuatu dengan gayanya sendiri,
misal ada gambar “mangga”, maka dia akan memeragaan beragam
gaya berkaitan dengan buah tersebut. Selain itu, fauzi kooperatif atau
dapat bekerja sama dengan baik kepada terapis. Jika kita tidak
menghiraukan atau tak acuh kepada Fauzi, dia akan menangis. Metode
drill didunakan denagan menggunakan media gambar, yaitu ketika
terapis mengucapkan kata yang ada pada gambar dan meminta “FZ”
untuk latihan mengucapkan dan menirukan terapis. Meskipun ucapan
tidak terdengar dengan jelas dan terdengar seperti ocehan
(artikulasinya), “FZ” mau berlatih dan berusaha.
Autis
AR (10)
“AR” mengalami gangguan autis. Kemampuan bicaranya sangat
terbatas, hanya beberapa kata saja yang diucapkan oleh “AR”,
misalnya kata “dia” kata tersebut selalu diucapkan “AR” ketika
suasana ramai dan mendengar tangisan anak kecil. “AR” juga sering
menyakiti dirinya sendiri ketika suasana tidak nyaman dan dia tidak
menyukai terhadap sesuatu, namun agak berkurang di hari atau minggu
setelahnya. Dalam hal konsentrasi “AR” masih memiliki keterbatasan,
sehingga terapis harus bersabar ketika merangsangnya. Metode drill
dilakukan dengan menggunakan permainan puzzle (karpet). Terapis
60
memberikan gerakan atau contoh terlebih dahulu untuk mengambil,
melepas, dan memasang. Kemudian terapis meminta “AR” untuk
latihan sendiri dengan pengawasan terapis. Pada saat itu “AR” dapat
melakukannya dengan baik.
BY (8)
“BY” merupakan salah satu pasien yang mengalami gangguan autis.
“BY” memiliki emosi yang tidak bisa terkendali, sehingga terapis
harus memiliki strategi agar “BY” mau dan menurut. Konsentrasi yang
dimiliki “BY” cukup, meskipun terkadang masih suka beralih.
Kemampuan berbicara juga cukup, dia mampu menerima rangsangan
dari terapis, misalnya melafalkan huruf dan angka, akan tetapi dalam
pengucapannya dia mengucapkan dengan tempo yang cepat dan
dengan suara yang tidak begitu lantang.Dia sangat sensitif jika
disentuh, bahkan akan teriak dan berlarian. Barang atau sesuatu yang
ditakuti “BY” adalah boneka yang rusak. Ketika terapis melempar
boneka ke arah “BY”, dengan spontan dia akan berteriak. Akan tetapi,
ketika bersama ibunya dia tidak takut lagi dengan boneka. Contoh
penerapan metode drill yang pernah dilakukan kepada “BY” adalah
ketika terapis memberikan terapi berupa puzzle (angka dan huruf).
Terapis melafalkan terlebih dahulu, kemudian meminta “BY” untuk
melafalkannya kembali. Misal melafalkan dan menunjuk angka “satu”,
“BY” terbiasa melafalkan dengan tempo yang pendek atau singkat,
maka terapis dapat melatih “BY” untuk melafalkannya dengan pelan
dan berulang-ulang. GZ
Sama seperti “AR” dan “BY”, “GZ” juga mengalami autis. Dia
memiliki konsentrasi yang terbatas, namun dia paham terhadap sesuatu
yang ada di sekitanya. Emosi yang dimiliki Gozi sangatlah labil,
terkadang dia tertawa sendiri, hanya saja ketika dia menyukai terhadap
suasana yang ada dia akan menjadi kooperatif dan menurut terhadap
perintah yang diajukan oleh terapis. Kemampuan berbicara Gozi cukup
61
baik dan jelas, bahkan dia mampu mengucapkan beberapa kata dalam
bahasa Inggris. Penerapan metode drill agaknya cukup sulit apabila
diterapkan pada “GZ”, karena dia kurang bisa memperhatikan apa
yang orang lain berikan. Hanya saja dia mampu fokus terhadap apa
yang dia kerjakan, meskipun terkadang masih suka beralih. Latihan
yang pernah dilakukan oleh “GZ” adalah ketika terapis memutar uang
koin berkali-kali. Pada saat itu “GZ” merebut koin dan ingin
memainkannya dan ternyata dia mampu melakukannya. Kegiatan ini
mampu melatih motorik “GZ”.
Global Development Delay
KV (4)
“KV” adalah anak yang mengalami Global Development Delay.
Gangguan yang terlihat jelas adalah gangguan pendengaran (tuna
rungu) dan celebral palsy (CP). Kemampuan berbicara yang dimiliki
“KV” sangat kurang dan terbatas. Ketika terapis memberikan
rangsangan dia hanya diam. Namun, terkadang mulutnya terbuka
(seolah-olah ingin mengatakan sesuatu) dan tersenyum ketika disentuh.
Dia memiliki konsentrasi yang cukup, apabila terapis mampu
memberikan aba-aba atau instruksi kepada Kevin (biasanya berbentuk
isyarat). Metode drill cukup tepat dilakukan kepada “KV”. Dia akan
melakukan apa yang dia lihat (sangat perlu rangsangan terapis).
Metode ini diterapkan pada permainan donat warna dengan cara terapis
mengambil donat warna dengan pelan dan memasukkannya dengan
pelan pula. Pada saat itu “KV” mampu melakukannya dengan baik
bahkan ketika donat warna tersebut dimasukkan ke dalam jari dia
mampu melakukannya (latihan dengan terapis). Karena permainan ini
pun sudah sering “KV” mainkan.
NR
“NR” merupakan seorang anak yang mengalami Global Development
Delay. Dia kooperatif terhadap orang asing dan merupakan anak yang
62
ceria terkadang pemalu. Kemampaun berbicara yang dimiliki “NR”
sangat terbatas, dia bisa mengucapkan sesuatu tetapi artikulasinya
tidak jelas. Selain itu dia juga memiliki konsentrasi yang cukup, hanya
saja kemampuan motorik (misalnya memegang sesuatu) perlu panduan
dan arahan dari terapis. Latihan yang sering dilakukan adalah berkaitan
dengan permainan bola. Terapis memperagakan cara mengangkat
tangan, memegang bola, dan melempar bola. Setelah itu “NR” dapat
latihan dan mencoba gerakan yang diberikan oleh terapis. Hasilnya,
“NR” masih perlu latihan lagi.
Speech Delay atau Terlambat Bicara
AD (5)
Secara fisik, “AD” tidak memiliki kekurangan apa pun. Konsentrasi
yang dimiliki “AD” sangatlah bagus. Dia juga cukup kooperatif
terhadap terapis dan orang asing. Kemampuan berbahasa “AD” juga
cukup mumpuni. Dia menuruti apa yang diperintahkan oleh terapis.
Hanya saja beberapa kata dia masih salah dalam melafalkan, misalnya
kata “putih” dia menyebutnya “tupih”, ketika terapis membetulkan, dia
pun mampu menirukannya dengan sempurna. “AD” juga sering
mengucapkan kata dengan menghilangkan suku kata atau bunyi akhir,
misal kata “kucing” menjadi “kuci”, kata “motor” menjadi “moto”.,
dan beberapa kesalahan pelafalan lain. Latihan yang dilakukan “AD”
adalah dengan mengucapkan berulang-ulang kata yang pelafalan dan
pengucapannya masih belum benar.
JS (5)
Hampir sama seperti “AD”, secara fisik “JS” terlihat sempurna.
Gangguan yang terjadi pada Jason terletak pada kemampuannya
melafalkan sesuatu. Ada beberapa kata yang bisa dia lafalkan dengan
jelas, ada pula beberapa kata yang tidak jelas ketika Jason
melafalkannya. Dia sangat kooperatif terhadap orang lain, dia juga
memilki konsentrasi yang baik. Hanya saja jika dia tidak bisa (baik
63
ketika melafalkan atau menyebut nama) dia akan menundukkan
kepala. Jason menunjukkan perkembangannya setiap kali terapi.
Penerapan metode drill atau latihan yaitu dengan melatih pelafalan
yang benar, misalnya ketika melafalkan atau mengucapkan kata
“sembilan”, “JS” mengucapkan kata “desila” menjadi “kumin”.
Biasanya terapis membetulkannya berulang kali agar “JS” bisa
mengucapkannya dengan benar.
HB
HB juga memiliki gangguan berbahasa, terutama pada pelafalan. Dia
sangat kooperatif, memiliki konsentrasi yang bagus, serta jail.
Penerapan metode drill atau latihan dilakukan pada saat terapi, dan
terapis fokus pada kata yang belum bisa “HB” lafalkan, salah satunya
adalah kata “vespa”. “HB” melafalkan kata “vespa” menjadi “vesva”.
Setiap pertemuan, terapis merangsang “HB” untuk bisa melafalkan
kata “vespa”, yaitu dengan memotong suku katanya menjadi “ves”
dan “pa”. “HB” melakukan latihan secara berkelanjutan ketika
melakukan terapi dan pada akhirnya, dia pun mampu mengucpkan
kata “vespa” dengan utuh dan sempurna.
64
BAB V
RENCANA DAN TAHAPAN BERIKUTNYA
Dari hasil penelitian yang bekerja sama dengan Yayasan Pembinaan Anak
Cacat (YPAC) Semarang peneliti dapat disimpulkan bahwa berbahasa merupakan
salah satu aspek terpenting dalam kehidupan. Berbahasa memiliki peran penting
dalam keberhasilan sebuah komunikasi. Ketika kita berkomunikasi, kita berusaha
untuk menyampaikan ide, pikiran, atau gagasan yang telah kita rancang.
Keberhasilan dalam penyampaian itulah hal yang terpenting. Kita harus membuat
orang lain paham dengan apa yang kita kemukakan. Kegiatan berbahasa
melibatkan beberapa aspek, yaitu aspek kogitif, fisik, dan mental. Sehingga
diperlukan kesiembangan antara aspek-aspek tersebut agar komunikasi dapat
berjalan dengan baik dan lancar.
Dari catatan YPAC sebagaian terapis di YPAC sangat memerlukan model
SBST dan model lain yang harus dikembangkan lagi. Bagi terapis, tugas untuk
menerapi pasien sesuai dengan metode dan cara yang telah diajarkan ahli dan
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh terapis sangat penting. Metode yang
sesuai akan memiliki dampak yang signifikan bagi pasien yang menjalani terapi.
Dengan demikian, diperlukan penelitian lanjutan guna meningkatkan
kemampuan terapis dalam melakukan tugasnya sebagai terapis sehingga
pendidikan merata untuk semua tidak hanya bisa dirasakan manusia normal tetapi
anak cacat juga membutuhkan pendidikan yang layak.
65
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa sanggar bahasa berbasis socio-
technology (SBST) sebagai model terapi wicara berbasis rumah di Kota Semarang
sangat dibutuhkan dalam masyarakat. Model SBST dikembangkan dengan konsep
rumah terapi berbasis multimedia. SBST memiliki tempat yang nyaman layaknya
sebuah rumah, tempat terapi disesain seperti rumah tetapi tetap dilengkapi dengan
fasilitas yang mendukung. Model SBST memiliki sarana: 1) terapi perilaku
(Behavior Therapy); 2) terapi kognitif & akademik (kognitive therapy & remedial
teaching); 3) terapi fisik (fisoterapi, okupasi terapi); 4) terapi wicara (speech
therapy); 5) terapi renang (swimming therapy); 6) terapi suara & musik (sound &
music therapy); 7) terapi kelompok (group therapy); serta 8) kelas sosialisasi.
Tempat terapi yang nyaman menurut responden ada fasilitas AC, playgroud
anak yang aman, serta permainan yang lengkap. Selain itu juga memiliki terapis
yang ahli. Bagi terapis, tugas untuk menerapi pasien sesuai dengan metode dan
cara yang telah diajarkan ahli dan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh
terapis sangat penting. Metode yang sesuai akan memiliki dampak yang
signifikan bagi pasien yang menjalani terapi.
6.2 Saran
Merujuk hasil penelitian yang dikemukakan tersebut, penelitian ini
merekomendasikan agar orangtua, pengasuh anak, atau guru PAUD, serta terapis
dalam terapi wicara memahami perkembangan bahasa pada anak. Perkembangan
bahasa pada anak tidak dapat berlangsung dengan baik tanpa didukung aktif oleh
orang tua dan pendidik. Jika orang tua dan pendidik bekerja sama dengan baik
dalam memberikan teladan yang positif pada anak dalam masa-masa
perkembangannya baik fisik maupun mental maka anak kelak akan tumbuh
menjadi generasi penerus bangsa yang mulia budi pekertinya dan santun budi
66
bahasanya. Bagi setiap terapis hendaknya lebih memperhatikan lagi terkait hal
apa saja yang akan dilaksanakan ketika menerapi pasien.
DAFTARPUSTAKA
Abdullah,Yusoff dan Che Rabiah Mohamed. 1995. Teori Pembelajaran Sosial dan Pemerolehan Bahasa Pertama. Cahaya Mas. Jakarta.
Busri, Hasan. 2002. Sintaksis Bahasa Indonesia. Fandika Publisher.Jakarta.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. Damaianti, Vismaia S. dan Nunung Sitaresmi. 2006. Sintaksis Bahasa Indonesia.
Bandung: Pusat Studi Literasi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Language Acquisition. (On-line):
http//www.Wikipedia.org/wiki/Languageacquistion Diakses 24
Desember 2008.
Maksan, Marjusman. 1993. Psikolinguistik. Padang: IKIP Padang Press.
Kaplan, Harold J, Sadock Benyamin J, Synopsis of Psychiatry : Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry. 8th edition. Williams & Wilkins USA 1998
: 1179- 1191
Mangantar, Simanjuntak. 1982. Pemerolehan Bahasa Melayu: Bahagian Fonologi. Dewan Bahasa. Jakarta
Mar‟at, Samsunuwiyati. 2009. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama.
Moeliono, Anton. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.
Muslich, Masnur dan Suparno. 1988. Bahasa Indonesia: Kedudukan, Fungsi, Pembinaan, dan Pengembangannya. Bandung: Jemmars.
Pateda, Mansoer. 1988. Aspek-Aspek Psikolinguistik. Gorontalo : Nusa Indah
Pratiwi, et al. 2014. “Hubungan Skor Frekuensi Diet Bebas Gluten Bebas Casein dengan Skor Perilaku Autis”. Journal of Nutrition College. Volume 3 Nomor 1 Halaman 34-42. Semarang: Universitas Diponegoro.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1975. Seminar Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Pusat Bahasa.
Ruqayyah. (2008). Pemerolehan Bahasa Anak Usia 4-6 Tahun (Tinjauan tentang Jenis Tindak Tutur yang Dikuasai Anak Usia 4-6 Tahun, Studi Kasus Anak Usia 4-6 Tahun di Taman Kanak-kanak Al-mustaqim). [Online]. Tersedia:
67
http://massofa.wordpress.com/2008/11/19/pemerolehan-bahasa-anak-usia-4-6-tahun/ html (10 Maret 2014).
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:Alfabeta.
Suryawati, et al. 2010.”Model Komunikasi Penanganan Anak Autis melalui Terapi Bicara Metode LOVAAS”. Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 1 Nomor 1. Bali: Universitas Udayana
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa.Bandung:
Angkasa.
Werdiningsih, Dyah. 2002. Dasar-dasar Psikolinguistik. Bandung.Angkasa.
Zulkifley bin Hamid. 1990. Penguasaan Bahasa: Huraian Paradigma Mentalis.
Obor Jaya. Jakarta.
Lampiran-Lampiran
Lampiran 1. Biodata Ketua dan Anggota Tim Peneliti
Ketua Peneliti
A. Identitas Diri
1 Nama lengkap (dengan gelar) Muhammad Badrus Siroj, S.Pd., M.Pd.
2 Jenis Kelamin Laki-laki
3 Jabatan Fungsional Tenaga Pengajar
4 NRP 198710162014041001
5 NIDN 0616108701
6 Tempat dan Tanggal Lahir Blora, 16 Oktober 1987
7 Alamat Rumah Patemon RT 01 RW 01, Kelurahan Patemon Gunungpati, Semarang
8 Nomor Telepon/ Faks/ HP 081326181281
9 Alamat Kantor Gedung B1 FBS, Kampus Sekaran,
Gunungpati, Semarang 50229
10 Nomor Telepon/ Faks (024) 8508010
11 Alamat Email [email protected]
12 Lulusan yang telah dihasilkan -
13 Mata Kuliah yang Diampu 1. Pembelajaran BIPA
2. Psikolinguistik
3. Pembelajaran Membaca
4. BIPA
B. Riwayat Pendidikan
S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Universitas Negeri Universitas Negeri -
68
Tinggi Semarang Semarang
Bidang Ilmu Pendidikan Bahasa Pendidikan Bahasa - dan Sastra Indonesia Indonesia
Tahun Masuk- 2005-2009 2009-2012 - Lulus
Judul Skripsi/ Peningkatan Pengembangan Model - Tesis/ Disertasi Keterampilan Menulis Integratif Bahan Ajar
Opini melalui Media Bahasa Indonesia Ranah
Karikatur Konteks Sosial Budaya Berbasis ICT
Sosiokultural Siswa bagi Penutur Asing Tingkat
Kelas XI SMK Pelita Menengah
Nusantara 01
Semarang
Nama 1. Prof. Dr. Fathur 1. Prof. Dr. Astini - Pembimbing/ Rokhman, M.Hum. 2. Prof. Dr. Fathur
Promotor 2. Tommi Yuniawan, Rokhman, M. Hum.
S.Pd., M.Hum.
C. Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
No Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber Jml (Rp)
1 2014 Perilaku Asuh Orangtua DIPA 10.000.000 terhadap Keterampilan Berbahasa Unnes
Anak dari Lahir sampai Usia
Prasekolah
2 2014 Implementasi Teknik Pembelajaran DIPA 10.000.000 Mechanical Editing Group untuk Unnes
Meningkatkan Kualitas Karya Ilmiah
Mahasiswa Program Studi Sastra
Indonesia
3 2015 Pengaruh Kompetensi Surat Menyurat DIPA 15.000.000 Terhadap Kinerja Pegawai pada Unnes
Fakultas Bahasa dan Seni UNNES
4 2015 “BIBIKU” Bimbingan Bahasa DIPA 10.000.000 Indonesia Keluarga Unggulan Unnes
(pengembangan model alternatif
bimbingan bahasa indonesia untuk
anak usia dini)
5 2015 Analisis Kebutuhan Laboratorium DIPA 15.000.000 Bahasa Multimedia pada Program Unnes
Pascasarjana Universitas Negeri
Semarang
69
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat 5 Tahun Terakhir
No Tahun Judul Pengabdian Pendanaan
Sumber Jml (Rp)
1 2011 Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah bagi BOS 2.000.000 Guru Program Sosial di SMA Negeri 4 SMA
Semarang
2 2012 Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah bagi Swadana 1.500.000 Guru-Guru di Madrasah Aliyah di
Kabupaten Rembang
3 2013 Pemberdayaan Masyarakat Kurang PNPM 5.000.000 Mampu dalam Keterampilan Menghias Mandiri
Hantaran Pernikahan di Kecamatan
Gubug, Grobogan
4 2015 Pelatihan Pengelolaan Persuratan bagi DIPA 5.000.000 Karyawan untuk Meningkatkan Kinerja Unnes
Karyawan Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang
E. Pengalaman Menyampaikan Makalah Secara Oral Pada
Pertemuan/ Seminar Ilmiah Dalam 5 Tahun Terakhir
No Nama Pertemuan Judul Artikel Imiah Waktu dan Ilmiah/ seminar Tempat
1 Pertemuan Ilmiah Keefektifan Flip Over 8-9 November Bahasa dan Sastra Pelangi dalam 2010, Universitas
Indonesia (PIBSI Meningkatkan Widya Dharma
XXXII) Kemampuan Klaten
Penggunaan Ejaan
Bahasa Indonesia Siswa
Kelas V Sekolah Dasar
2 Seminar Penyelidikan Model Bahan Ajar 2 – 4 Oktober Pendidikan Guru Integratif dalam 2012 di IPG Ilmu
Malaysia Pembelajaran Bahasa Khas Kuala
Lumpur
3 International Converence Integratif Model of 24-25 Mei 2016 LSCAC 2016 BIPA di Hotel Atria
Malang
F. Pengalaman Menulis Buku Dalam Jurnal 5 Tahun Terakhir
No Judul Buku Tahun Jumlah Penerbit halaman
70
1 - - - -
G. Pengalaman Memperoleh HAKI Dalam Jurnal 5 Tahun Terakhir
No Judul/ Tema HAKI Tahun Jenis Nomor P/ ID
1 - - - - -
H. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/ Rekayasa Sosial Dalam 5
Tahun Terakhir
No Judul/ Tema Jenis Tahun Tempat Penerapan Respon Rekayasa Sosial Masyarakat
Lainnya yang Telah
Diterapkan
1 - - - - -
I. Penghargaan yang Pernah Diraih Dalam 10 Tahun Terakhir
No Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Tahun Penghargaan
1 Penyaji Tingkat Nasional pada Dirjen Dikti 2008 PIMNAS XXI
2 Duta Bahasa Provinsi Jawa Balai Bahasa Provinsi 2011
Tengah Jawa Tengah
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar
dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari
ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima
resikonya.Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi
salah satu persyaratan dalam laporan Penelitian Dosen Pemula.
Semarang, 1 November 2016
Ketua Peneliti
M. Badrus Siroj, M.Pd.
Anggota Peneliti
71
Anggota 1
A. Identitas Diri
1. Nama Lengkap (dengan Urip Muhayat WW, S.Pd., M.Pd.
gelar)
2. Jenis Kelamin L
3. Jabatan Fungsional -
4. NRP 199006062013031077
5. NIDN -
6. Tempat Tanggal Lahir Blora,6 Juni 1990
7. E-mail [email protected]
8. Nomer Telepon / HP 0085641444654
9. Alamat Kantor Gedung A3 FIP UNNES
10. Nomer Telepon / Fax 024-8508023
11. Lulusan yang telah S-1= orang; S-2= - ; S-3= -
dihasilkan
12. Mata Kuliah yang diampu 1. Multimedia Pembelajaran 2. Technopreneurship
3. Animasi 3 dimensi
4. Pengembangan media grafis
5. Pengantar Ilmu Pendidikan
6. Manajemen Sekolah
B. Riwayat Pendidikan
S-1
Nama Perguruan Tinggi Universitas Negeri Semarang
Bidang Ilmu Teknologi Pendidikan
Tahun Masuk-Lulus 2008-2012
Judul Evaluasi Pelatihan Desain Grafis dengan
Skripsi/Tesis/Disertasi Program 3dsmax untuk Guru TIK se Kota
Semarang
Nama Drs. Wardi, M.Pd
Pembimbing/Promotor Drs. Budiyono, M.S
S-2
Nama Perguruan Tinggi
Bidang Ilmu
Tahun Masuk-Lulus
Judul
Skripsi/Tesis/Disertasi
Nama
Pembimbing/Promotor
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi)
72
Pendanaan
No. Tahun Judul Penelitian Sumber
Jml
(Juta Rp)
1. 2014 Profil Kemampuan Guru dalam DIPA PNBP 6.000.000,- Menginformasikan Reproduksi Sehat UNNES
bagi Siswa SD di Kota Semarang
2. 2014 Analisis Kritis Dokumen Dan DIPA PNBP 7.000.000,- Implementasi Perangkat Perkuliahan UNNES
Terlegitimasi Iso 9001:2008
3 2015 Desain Media Edukatif Berbasis DIPA PNBP 10.000.000,- Augmented Reality Pada Mata Kuliah UNNES
Animasi 3 Dimensi untuk Mahasiswa
Teknologi Pendidikan
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5
Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Pendanaan
Masyarakat Sumber Jml (Rp)
1. 2011 Pelatihan Pengembangan Website PNBP 4.500.000,- Pribadi bagi Guru SMP di Kabupaten UNNES
Kudus
2. 2010 “Succes Story Film” dan Pelatihan PNBP 6.000.000,- Keterampilan sebagai Upaya dalam UNNES
Peningkatan Kesadaran Masyarakat
Pinggiran Kota Semarang (desa
Tambak Lorok) Akan Pentingnya
Pendidikan yang Berkualitas
E. Publikasi Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 tahun terakhir
No. Judul Artikel Ilmiah
Nama Jurnal Volume/
Nomor/Thn
1.
2.
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (oral presentation) dalam 5 tahun terakhir
No. Nama Pertemuan Ilmiah/
Judul Artikel Ilmiah Waktu dan
Seminar
Tempat
- - - -
- - - -
73
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul Buku
Tahun Jumlah
Penerbit
Halaman
1 Pengembangan E-Learning 2013 67 Penerbit
Deepublis
h
H. Perolehan HKI dalam 5-10 tahun terakhir
No. Judul / Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ID
- - - - -
- - - - -
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial
Lainnya dalam 5 tahun terakhir
Judul/Tema/Jenis Rekayasa Tempat
Respon
No. Sosial Lainnya yang Telah Tahun
Penerapan
Masyarakat
diterapkan
- - - - -
- - - - -
J. Penghargaan dalam 10 tahun terakhir (dari pemerintah, asosiasi atau
institusi lainnya)
No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi
Tahun
Penghargaan
- - - -
- - - -
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar
dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari
ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima
sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah
satu persyaratan dalam laporan Penelitian Dosen Pemula.
Semarang, 1 November 2016
Pengusul,
74
(Urip Muhayat Wiji Wahyudi,S.Pd.,
M.Pd.)
Anggota 2
A. Identitas
1 Nama Lengkap (dengan gelar) Iwan Hardi Saputro, S.Pd., M.H.
2 Jabatan fungsional -
3 Jabatan struktural -
4 NIP 198512252013031073
5 NIDN -
6 Tempat dan tanggal lahir Wonosobo, 25 Desember 1985
7 Alamat Rumah Gang Kalimasada, Sekaran
8 Nomor Telepon/Faks/HP 0857289146044
9 Alamat Kantor Kampus UNNES Sekaran Gunungpati Semarang
10 Nomor Telepon/faks -
11 Alamat email [email protected]
12 Lulusan yang telah dihasilkan -
13 Mata kuliah yang diampu 1 MKU PendidikanKewarganegaraan
2 Kebijakan Publik
3 Pendidikan Politik
4 MKU Pendidikan Pancasila
B. Riwayat Pendidikan
S-1 S-2
Nama Perpendidikan Unnes Undip Tinggi
Bidang Ilmu Pendidikan Kewargnegaraan Ilmu Politik
Tahun Masuk-Lulus 2004 – 2008 2014-
Judul Upaya Peningkatan Kualitas
Skripsi/Thesis/Disertasi Pembelajaran PKn melalui
Penggunaan Kliping Surat Kabar
pada Pokok Bahasan Pendidikan
Antikorupsi di SMK Dr. Tjipto
Semarang
Nama Pembimbing/ 1. Prof. Dr. Maman Rahman, 1. Promotor Phd. 2.
2. Drs. Tijan, M.Si.
75
76
C.Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir
No Tahun Judul Penelitian Pendanaan
.
Sumber Jumlah (Juta Rp)
1. 2011 Strategi Pengelolaan Dikti Rp10.000.000,00 Kurikulum Terpadu berbasis
Multiple Intelegence (Studi
Situs di SDIT Assalamah
Ungaran)
D.Pengabdian Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir
No Tahun Judul Penelitian Pendanaan
.
Sumber Jumlah (Juta Rp)
1. 2011 pelaksanaan pendamping DIPA Rp 5.000.000,00
sekolah zona integritas Fakultas dalam mendorong
perubahan perilaku menuju
indonesia berbudaya anti
koropsi di SMP Islam Al
Azhar 14 semarang
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan
dapat diperanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata
dijumpai kettidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima resikonya.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk
mememnuhi salah satu persyaratan dalam laporan Penelitian Dosen Pemula.
Semarang, 1 November 2016 Pengusul,
Iwan Hardi Saputro, S.Pd.
NIP 198512252013031073
77
Lampiran 2. Contoh Penerapan Terapi
Minggu ke : I
Kegiatan :
Jadwal Pasien dan Kegiatan yang dilakukan
No. Hari dan
Nama Pasien Mainan
Uraian
Waktu
Tanggal
Kedatangan
1. NR Hari pertama PKL di YPAC dan Pengenalan (hanya
mengamati pasien)
2. IM
Jumat, 5 3. KY
1. Agustus 4. AL
2016
5. WS
6. EL
7. BU
1. AN Tebak gambar Mudah beradaptasi, 08.00
periang
2. ZL Tebak gambar, Pelafalan kurang 09.00
mencocokkan
angka
3. BY Tebak gambar, Sensitif jika 09.00
tebak angka disentuh, penderita
autis, dan tidak
menurut (perinyah
Sabtu, 6
ambil, pasang, dan
masuk)
2. Agustus
4. FZ Tebak gambar,
Ekspresif, paham 11.00
2016
kotak huruf
terhadap perintah
(mencocokkan dan maksud,
huruf) pelafalan kurangg
5. JS Tebak 100 Menebak 100 11.20
gambar gambar denga
mudah dan lancar,
mudah akrab,
memiliki
pemahaman yang
cukup, pelafalan
78
kurang, contoh
terdapat kata dan
gambar
Televisi/tivi==pipi
1. RZ Tebak gambar Memahami apa yang 08.00
dilihat tetapi sulit
untuk
mengungkapkan,
kalau tidak bisa
merasa malu
(menundukkan
kepala di atas
tangan)
2. V Memasukkan Mau jika disentuh, 08.00
kotak/lingkaran/se menuruti perintah
gitiga (ambil/pasang/masu
k), dapat menyanyi
(dengan
menggerakkan
anggota tubuh),
Minggu, 7
namun pelafalan dan
pengucapan belum
3. Agustus
bisa/jelas.
2016
3. EL Kotak Delay speech, suara 09.00
huruf/ABC, kurang lantang/keras
Tebak binatang, saat mengucapkan,
lilin pemalu, paham
terhadap sesuatu,
latihan bilabial huruf
„b‟ (ba,bi, bu)
4. SM Menyanyi Aktif, keras kepala 09.00
dan tidak bisa
dikendalakikan,
selalu menggandeng
tangan untuk bisa
membuka pintu
(selalu ingin
pulang), kurang
paham perintah.
5. BA Tebak gambar Tidak memahami 09.15
79
perintah
(ambil/pasang/masu
k), tetapi menuruti
perintah menarik
turunkan benda atau
sesuatu.
1. AM Tebak gambar, Kooperatif dengan 09.15
kotak warna orang lain, susah
mengunyah (bisa
tetapi lama), laihan
berbicara/pelafalan,
berbicara kurang
lancar.
2. GZ Tiup lilin Autis, sensitifdan 11.30
takut melihat api
(terapis mencoba
untuk
merangsangnya agar
tidak takut dengan
Senin, 8
api), kurang bisa
fokus, berbicara
4. Agustus
masih susah.
2016
3. MU Tebak gambar, Kooperatif dan aktif. 11.30
tabak warna
(kotak warna)
4. AR Tebak gambar, Penderita autis, 12.00
binatang, kotak pandangan tidak
warna, lilin fokus, kalau marah
menyakiti diri
sendiri,
belum/kurang lancar
berbicara.
5. SW Tebak gambar, Kooperatif kurang 12.10
kotak warna lancar/jelas dalam
pelafalan.
6. Jojo Aktif da kooperatif. 12.15
Selasa, 9 1. AR Kotak warna Tidak bisa fokus, 08.00
5. Agustus latihan konsentrasi,
2016 rewel, sering
80
menangis,
memasukkan warna,
cara menghadapi
dengan perintah,
belum bisa
menyebutkan atau
menamai warna,
sering menyebut
kata yang serupa
dengan 'diam‟.
2. Hinal Puzzle berbentuk 08.00
„polisi‟
3. Valentino Kotak warna da Belum tahu warna 09.00
tebak gambar dan memasukkan
benda, selalu
mengeluarkan air
liur.
4. Nata Tebak gambar Autis, tidak bisa 11.45
fokus, latihan
konsentrasi,
5. SW Tebak gambar Masih belum lancar 12.25
saat pengucapan
bilabial, malu dalam
melafalkan
(biasanya dengan
membisikkan
sesuatu ke telinga
teraois), kooperatif,
jail.
6. AD Memasukkan Kooperatif, 13.00
kotak, tebak berbicara
gambar, angka sesukanya/pelafalan
ada yang tidak jelas,
contoh „enam‟
dibaca „emam‟,
„putih‟ dibaca
„tupih‟, cekatan,
smart, kreatif
(membentukmenara
dari kotak), bisa
81
bahasa Inggris
7. Faiz FZ Pemalu 13.00
8. RE Tebak gambar, Kreatif, contoh 14.00
puzzle ketika ada gambar
anjing, maka dia
mengatakan „guk
guk‟, pendiam,
pemalu, susah
berbicara karena
malu.
Uraian Kegiatan:
Pada hari pertama di minggu pertama, saya melakukan pengenalan terhadap para
terapis yang khusus melayani dan berada di terapi wicara. Terapis-terapis tersebut adalah Pak
Budi, Pak Bakri, Bu Deni, dan Mbak Desi. Mereka menyambut kedatangan saya dengan
tangan terbuka dan hangat.
Pada minggu pertama ini saya melakukan pengamatan terhadap terapis yang sedang
menerapi pasien. Saya memperhatikan teknik yang digunakan oleh para terapis yang sudah
berpengalaman tersebut. Selain itu, saya juga sudah mulai mengamati gejala atau kelainan
yang diderita oleh setiap pasien. Pada hari ke dua di mingggu pertama saya sudah
diperbolehkan ikut serta dalam menangani pasien, namun tetap dalam panduan dan
pengawasan terapis yang ada di terapi wicara. Pasien yang saya terapi pada hari ke dua
minggu pertama ini adalah AN, BY, FZ, dan JS. Hari-hari berikutnya juga seperti itu, saya
menangani dan menerapi pasien. Pada minggu pertama ini seharusnya kami (saya dan teman-
teman) melakukan kegiatan penerjunan. Akan tetapi, kegiatan penerjunan tersebut terpaksa
kami tunda satu minggu kemudian.
82
ARTIKEL HASIL PENELITIAN
SANGGAR BAHASA BERBASIS SOCIO-TECHNOLOGY
(SBST): TEROBOSAN BARU MODEL TERAPI WICARA
BERBASIS RUMAH DI KOTA SEMARANG
Oleh: Muhammad Badrus Siroj, Urip Muhayat Wiji Wahyudi, Iwan hardi
Sapotro Univeristas Negeri Semarang, Indonesia
ABSTRAK
Penyakit atau hambatan berbahasa sekarang ini banyak dialami oleh anak
usia dini misalnya gagu, lambat berbicara, afasia, autis, dan sebagainya. Perilaku
orangtua dan lingkungan sekitar diyakini menjadi faktor utama yang
menyebabkan keterlambatan anak dalam kemampuan berbahasanya baik sebelum
lahir maupun ketika sudah lahir. Gangguan bahasa yang dialami oleh anak
sebelum lahir misalnya pada anak yang terlahir cacat, kelainan atau
ketidaknormalan seperti anak pada umumnya memerlukan penanganan secara
khusus. Anak dengan kebutuhan khusus atau sering disebut dengan ABK dengan
kelainan seperti kecacatan fisik, syaraf, atau mental (IQ) biasanya mengalami
beberapa keterlambatan perkembangan pada beberapa aspek salah satunya adaah
perkembangan bahasa. Minimnya model dan metode dalam terapi wicara dialami orang tua serta
lembaga-lembaga pendidikan anak cacat sehingga menghambat dalam proses
penyembuhan. Disamping itu, pemanfaatan teknologi komunikasi sosial sangat
minim padahal perkembangan teknologi sangat pesat dan dapat dimanfaatkan
secara optimal. Penelitian ini menghasilkan analisis kebutuhan pengembangan
sanggar bahasa berbasis socio-technology (SBST) dalam terapi wicara di Kota
Semarang, karakteristik sanggar bahasa berbasis socio-technology (SBST) sebagai
model terapi wicara berbasis rumah di Kota Semarang, serta keefektifan sanggar
bahasa berbasis socio-technology (SBST) untuk meningkatkan kemampuan
berbahasa anak cacat di Kota Semarang. Dapat disimpulkan pula bahwa
perkembangan bahasa anak yang baik diperlukan pola pengasuhan yang
komprehensif dari orang tua yang merupakan pendidik yang pertama dan utama
bagi seorang anak. Keluarga merupakan „taman sekolah‟ pertama bagi seorang
anak. Dari sana lah sang anak dibentuk pertama kali oleh orang tuanya akan
menjadi seperti apa dikemudian harinya. Orang tua harus memahami betul kapan
seorang anak mengalami perkembangan bahasa pertahapannya sehingga orang tua
dapat memberikan stimulus positif yang sesuai dengan tahapan perkembangannya.
.
Kata kunci: terapi wicara, kemampuan berbahasa, perlaku asuh
83
A. Pendahuluan
Pertumbuhan dan perkembangan berbeda pada setiap anak, tergantung
banyak hal, mulai dari masa anak dalam kandungan sampai dengan masa
kelahiran hingga masa pertumbuhan dan perkembangan setelah lahir. Hal ini juga
berlaku dalam perkembangan bahasa anak. Bahasa memegang peranan penting
dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan wujud dari kehidupan manusia
tersebut. Bahasa diperoleh seorang manusia mulai sejak lahir, ketika dia pertama
kali menangis. Pada saat manusia berumur 3 hingga 4 bulan, ia mulai
memproduksi bunyi-bunyi. Mulai mengoceh saat umur 5 dan 6 bulan, kemudian
ocehan ini pun lama-kelamaan semakin bertambah sampai sang anak mampu
memproduksi perkataan yang pertama.
Pemerolehan bahasa merupakan suatu proses perkembangan bahasa
manusia. Anak sejak lahir telah diberi kemampuan untuk memperoleh bahasanya.
Pemerolehan bahasa ini dipengaruhi pula oleh interaksi sosial dan perkembangan
kognitif anak. Kemampuan berbahasa seseorang diperoleh melalui sebuah proses
sehingga perlu ada pendekatan-pendekatan tertentu di dalamnya. Pendekatan ini
pun diarahkan berdasarkan tujuan pencapaian tertentu seperti kemampuan
sintaksis, semantik, dan fonologis yang dalam proses pemerolehannya, dilakukan
secara bertahap.
Perkembangan bahasa atau komunikasi pada anak merupakan salah satu
aspek dari tahapan perkembangan anak yang seharusnya tidak luput juga dari
perhatian para pendidik pada umumnya dan orang tua pada khususnya.
Pemerolehan bahasa oleh anak-anak merupakan prestasi manusia yang paling
hebat dan menakjubkan. Oleh sebab itulah masalah ini mendapat perhatian besar.
Pemerolehan bahasa telah ditelaah secara intensif sejak lama. Pada saat itu kita
telah mempelajari banyak hal mengenai bagaimana anak-anak berbicara,
mengerti, dan menggunakan bahasa, tetapi sangat sedikit hal yang kita ketahui
mengenai proses aktual perkembangan bahasa. Dalam kehidupan setiap orang
tentu saja tidak terlepas dari bahasa. Pertama kali seorang anak memperoleh
bahasa yang didengarkan langsung dari sang ibu sewaktu anak tersebut terlahir ke
84
dunia ini. Kemudian seiring berjalannya waktu dan seiring pertumbuhan si anak
maka ia akan memperoleh bahasa selain bahasa yang diajarkan ibunya itu baik
bahasa kedua, ketiga ataupun seterusnya yang disebut dengan akuisisi bahasa
(language acquisition) tergantung dengan lingkungan sosial dan tingkat kognitif
yang dimiliki oleh orang tersebut melalui proses pembelajaran.
Proses pertumbuhan dan perkembangan akan sampai pada interaksi
dengan orang lain, umumnya pada lingkungan di sekolah anak dan khususnya
lingkungan di rumah terutama interaksi dengan orangtua si anak. Interaksi pada
anak umur 4 tahun sudah dapat dilakukan melalui komunikasi dengan berbicara.
Bagi oragtua yang tidak terlalu memperhatikan perkembangan anak akan merasa
heran apabila pada saat berkomunikasi dengan mereka, si anak akan berbicara
sesuatu yang belum pernah di dengar, misalnya anak mengatakan "mama atau
papa jangan pelit dong!" padahal mereka tidak, pernah mengajarkan kata-kata itu.
Atau di saat lain, orangtua akan mendengar si anak menasehati adiknya "kamu
jangan nakal ya dik!". Sama persis dengan intonasi dari orangtuanya apabila
menasehati anak tersehut untuk tidak nakal.
Pada umumnya, kegembiraan dan kecemasan rnuncul bersamaan pada
diri orangtua. Kegembiraan sekaligus kebanggaan orangtua adalah bahwa si anak
sudah dapat berbicara dengan mereka, karena tidak sedikit anak dengan umur
yang sama belum dapat berbicara dengan baik karena adanya faktor-faktor
tertentu. Di sisi lain kecemasan yang muncul pada diri orangtua adalah apabila si
anak memperoleh kata-kata atau bahasa yang tidak sesuai dengan umur anak atau
yang lebih khawatir Iagi adalah apabila anak memperoleh bahasa anak remaja
ataupun bahasa orang dewasa.
Perbedaan latar belakang anak-anak di sekolah, program acara televisi
yang kurang selektif, teman bermain atau lingkungan yang heterogen dengan
tingkat usia yang berbeda merupakan permasalahan yang kompleks dan harus
dipertimbangkan dalam upaya menjaga anak agar memperoleh bahasa yang sesuai
dengan umurnya.
Selain itu, penyakit atau hambatan berbahasa sekarang ini banyak
dialami oleh anak usia dini misalnya gagu, lambat berbicara, afasia, autis, dan
85
sebagainya. Perilaku orangtua dan lingkungan sekitar diyakini menjadi faktor
utama yang menyebabkan keterlambatan anak dalam kemampuan berbahasanya.
Oleh karena itu, pola asuh yang tepat menjadi kunci seorang anak dapat berbahasa
dengan baik. Pola asuh dikatakan berhasil bilamana orangtua mampu menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi perkembangan bahasa anak. Para ahli sepakat
bahwa pemerolehan bahasa sangat dipengaruhi oleh penggunaan bahasa sekitar.
Dengan kata lain, perjalanan pemerolehan bahasa seorang anak akan sangat
bergantung pada lingkungan bahasa anak tersebut (Siroj, 2014: 29). Pola asuh
anak dimulai dari lingkungan keluarga. Bimbingan orang tua menjadi penentu
dalam perkembangan bahasa anak. Bimbingan yang tepat akan menghindarkan
anak dari gangguan dan permasalahan bahasa.
Pada anak usia dini (3-6 tahun) pendidikan sudah mulai dilaksanakan.
Masa usia dini merupakan “golden age period”, artinya merupakan masa emas
untuk seluruh aspek perkembangan manusia, baik fisik, kognisi emosi maupun
sosial. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi tingkat buta huruf di Indenonesia.
Pendidikan anak terbagi menajadi pendidikan formal dan pendidikan non formal.
Pendidikan formal seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan
Taman Kanak-anak (TK) sudah familiar di kalanagan masyarakat Indonesia.
Selain itu pendidikan nonformal, banyak dikembangkan pendidikan seperti terapi
wicara untuk memberikan pendidikan bagi seseorang yang megalami hambatan
atau permasalahan dalam masalah kebahasaannya.
Setiap anak terlahir dengan kemampuan dan kondisi yang berbeda-beda
sehingga pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada anak pun berbeda
sesuai dengan kebutuhannya. Pada realita kehidupan ada anak yang terlahir cacat,
kelainan atau ketidaknormalan seperti anak pada umumnya. Anak tersebut sering
disebut sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Ketidaknormalan itu dapat
berupa kecacatan fisik, syaraf atau mental (IQ). Pada anak ABK mengalami
beberapa keterlambatan perkembangan pada beberapa aspek salah satunya adaah
perkembangan bahasa.
Beberapa diagnosa penyakit yang ada di terapi wicara yaitu Speech
delay, Autis, Global Development, Retardasi mental atau Tunagrahita, Down
86
Syndrom, dan Sindron Korgenta. Minimnya model dan metode dalam terapi
wicara dialami oleh lembaga-lembaga pendidikan anak cacat, misalnya di YPAC
Kota Semarang. Disamping itu, pemanfaatan teknologi komunikasi sosial sangat
minim padahal perkembangan teknologi sangat pesat dan dapat dimanfaatkan
secara optimal. Oleh karena itu, penelitian ini bekerja sama dengan YPAC
Semarang mencoba mengembangkan Sanggar Bahasa berbasis Socio- Technology
(SBST) sebagai terobosan baru pengembangan model terapi wicara berbasis
rumah dengan konsep rumah yang penuh dengan permainan-permainan
pembelajaran yang menyenangkan. Dengan model tersebut diharapkan tercipta
model dan metode baru dalam terapi wicara untuk anak cacat di Kota Semarang. B. Model Socio-Technology dalam Terapi Wicara
Dalam pengembangan Model Socio- Technology dalam dan media
keterampilan berbahasa peranan media dan alat pembelajaran menjadi sangat
penting untuk memperkuat akurasi penyampaian pesan-pesan dalam proses
pembelajaran bahasa. Media pengajaran yang dapat membantu pengajar sehingga
mempermudah proses memahamkan siswa terhadap materi pelajaran, serta sarana
sarana pembelajaran yang disiapkan guru untuk memfasilitasi para siswanya
belajar, menjadi suatu yang sangat penting. Di samping itu, media dapat
menghantarkan siswa menjadi manusia yang cerdas, kreatif, serta memiliki
integritas keberagaman yang kuat. Selanjutnya, media pembelajaran yang inovatif
memberikan alternatif produksi secara teliti dan rasional.
Media berasal dari bahasa Latin yang merupakan bentuk jamak dari kata
“medium” yang secara harfiah berarti „perantara‟ atau „pengantar‟, yakni
perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Media
pembelajaran bisa dikatakan sebagai alat yang bisa merangsang siswa dalam
proses belajar.
Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu
bagi guru untuk mengajar dan yang digunakan adalah baru sebatas alat bantu
visual. Sekitar pertengahan abad ke-20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi
dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan
dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam
87
bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran
menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya komputer dan internet.
Model Socio-Technology dalam penelitian ini dengan pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Pemanfaatan ICT untuk pembelajaran
bahasa Indonesia pada penutur asing diasumsikan lebih efektif karena pembelajar
sangat terbantu dan bisa belajar secara mandiri melalui jaringan internet yang bisa
diakses kapan pun dan di manapun pembelajar berada.
Dalam penelitian ini pemanfaatan ICT dititikberatkan multimedia
interaktif. Multimedia menurut Najjar (dalam Widodo 2008: 33) adalah
penyampaian informasi menggunakan gabungan dari teks, grafik, suara, video.
Multimedia interaktif adalah penyampaian informasi menggunakan gabungan dari
teks, grafik, suara, video, yang mempunyai fungsi memberi informasi di dalamnya
terdapat tombol-tombol yang bisa menuju ke fasilitas lainnya. Multimedia
interaktif ini sangat bermanfaat bagi pembelajar, karena sangat memudahkan
dalam proses belajar
Pengembangan Multimedia Interaktif sangat diperlukan untuk menunjang
pembelajaran konvensional serta menyiapkan multimedia untuk menciptakan
lingkungan belajar yang fleksibel, dengan memberikan kemudahan sehingga
pembelajar dapat belajar dimanapun kapanpun dan dengan siapapun.
Multimedia Interaktif yang diaktifkan menggunakan komputer, merupakan
jenis multimedia yang secara virtual dapat menyediakan respon yang segera
terhadap hasil belajar yang dilakukan oleh pembelajar. Lebih dari itu, komputer
juga memiliki kemampuan menyimpan dan memanipulasi informasi sesuai
dengan kebutuhan.
Perkembangan teknologi yang pesat saat ini telah memungkinkan
komputer memuat dan menayangkan beragam bentuk multimedia di dalamnya.
Dalam hal ini Heinich, Molenda, & Russel dalam Hartoyo (1996: 228)
mengemukakan bahwa : “…It has ability to control and integrate a wide variety of
multimedia – still pictures, graphics and moving images, as well as printed
information. The computer can also record, analyze, and react to student
responses that are typed on a keyboard or selected with a mouse“.
88
Sajian Multimedia Interaktif berbasis komputer merupakan teknologi yang
mengoptimalkan peran komputer sebagai sarana untuk menampilkan dan
merekayasa teks, grafik, dan suara dalam sebuah tampilan yang terintegrasi.
Dengan tampilan yang dapat mengkombinasikan berbagai unsur penyampaian
informasi dan pesan, komputer dapat dirancang dan digunakan sebagai
multimedia teknologi yang efektif untuk mempelajari dan mengajarkan materi
pembelajaran yang relevan misalnya rancangan grafis dan animasi.
Beberapa model multimedia interaktif yang dapat dikembangkan di
antaranya sebagai berikut.
Model Drill
Model drills dalam CBI (Computer Based Inruction) pada dasarnya
merupakan salah satu starategi pembelajaran yang bertujuan memberikan
pengalaman belajar yang lebih kongkrit melalui penciptan tiruan-tiruan bentuk
pengalaman yang mendekati suasana yang sebenarnya.
Model Tutorial
Program CBI (Computer Based Inruction) tutorial dalam merupakan
program pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan
menggunakan perangkat lunak berupa program komputer yang berisi materi
pelajaran. Metode Tutorial dalam CAI pola dasarnya mengikuti pengajaran
Berprogram tipe Branching yaitu informasi/mata pelajaran disajikan dalam unit-
unit kecil, lalu disusul dengan pertanyaan. Respon siswa dianalisis oleh komputer.
Program ini juga menuntut siswa untuk mengaplikasikan ide dan pengetahuan
yang dimilikinya secara langsung dalam kegiatan pembelajaran.
Model Simulasi
Model simulasi dalam CBI pada dasarnya merupakan salah satu starategi
pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih kongkrit
melalui penciptan tiruan-tiruan bentuk pengalaman yang mendekati suasana yang
sebenarnya.
Model Games
Model permainan ini dikembangkan berdasarkan atas “pembelajaran
menyenangkan”, ketika peserta didik dihadapkan pada beberapa petunjuk dan
89
aturan permainan. Dalam konteks pembelajaran sering disebut dengan
Instructional Games.
Pada penelitian ini tipe penyajian yang digunakan adalah perpaduan model
drill, tutorial, dan simulasi untuk memudahkan terapi wicara guna meningkatkan
kemampuan komunikatifnya.
C. Metodologi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
"Penelitian dan Pengembangan". Maksudnya adalah suatu program penelitian
yang ditindaklanjuti dengan program pengembangan untuk perbaikan atau
penyempurnaan. Proses penelitian akan ditempuh melalui 10 langkah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Borg dan Gall (1983:775-776), yakni (1)
research and information collecting, mengumpulkan informasi dan melakukan
penelitian awal, (2) planing, perencanaan, (3) develop prenliminary form of
product/ mengembangkan format atau model, (4) preliminary field testing,
mempersiapkan uji ciba tes di lapangan, (5) mein product revision, melakukan
revisi terhadap tes berdasarkan hasil uji coba di lapangan, (6) main field testing,
melakukan tes di lapangan, (7) operational product revisions, melakukan revisi
setelah mendapatkan masukan dari tes lapangan, (8) operational field testing,
mealaksanakan tes uji coba model atau tes pembelajaran, (9) final product
revision, melakukan revisi terakhir, (10) dominition and implementation,
menyampiakan laporan penelitian.
Subjek penelitian adalah anak cacat atau berkebutuhan khusus di Kota
Semarang. Sampel penelitian adalah orang tua yang memiliki anak berkebutuhan
khusus di empat kecamatan di Kota Semarang dengan rincian dua (2) kecamatan
di pusat kota dan (2) kecamatan di pinggir kota. Pengambilan sampel ini
diasumsikan bisa mewakili masyarakat Kota Semarang. Sampel penelitian
mencakup anak laki-laki dan anak perempuan.
Sampel penelitian adalah 50 orang tua yang memiliki anak berkebutuhan
khusus yang berasal dari Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Mijen, Kecamatan
Semarang Utara, dan Kecamatan Semarang Tengah. Empat kecamatan tersebut
90
adalah kecamatan percontohan dan kecamatan tertinggi dalam populasi anak.
Diasumsikan perilaku asuh orangtua di kecamatan tersebut telah dilakukan dengan
baik dan mendapatkan penyuluhan dari pemerintah Kota Semarang. Subjek yang
dijadikan sampel tadi akan digunakan dalam proses penelitian mulai dari tahap
penjajakan, percobaan model sampai uji efektivitas model.
Lokasi dan subjek penelitian digunakan purposif sampling. Penelitian ini
mengambil lokasi di Kota Semarang yaitu di Kecamatan Gunungpati, Kecamatan
Mijen, Kecamatan Semarang Utara, dan Kecamatan Semarang Tengah. Subjek
dalam penelitian ini adalah adalah orang tua dan berkebutuhan khusus yang
berada di empat kecamatan tersebut.
Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas : (1) narasumber, yaitu orang
tua yang memiliki berkebutuhan khusus; (2) berkebutuhan khusus, yakni untuk
mengetahui peningkatan hasil terapi wicara melalui uji model; (3) proses terapi
wicara yang mencakupi: model terapi, materi terapi, kompetensi orang tua,
perilaku anak, sarana dan prasarana, lingkungan sekitar, serta pengalaman; (4)
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini.
Teknik pengumpulan data untuk menghasilkan model sanggar bahasa
berbasis socio-technology (SBST) ini menggunakan angket, pengamatan, dan
wawancara yang ditujukan orang tua. Angket tersebut akan mengupas kebutuhan,
kelebihan, kekurangan, kendala, dan pelaksanaan pembimbingan bahasa
Indonesia. Adapun panduan pengamatan akan mengupas realitas pelaksanaan
terapi wicara. Metode wawancara (cakap) merupakan metode penyediaan data
yang dilakukan dengan cara mengadakan percakapan yang dilakukan peneliti
dengan penutur yang menjadi narasumber. Teknik yang digunakan, teknik rekam
dan teknik catat.
Untuk menyederhanakan data kompetensi digunakan tes dan observasi.
Metode tes merupakan metode penyedia data yang dilakukan dengan cara
memberi tes, yakni dengan cara menungasi anak untuk berbahasa yang tepat.
Metode observasi merupakan metode penyedia data yang dilakukan dengan cara
mengadakan observasi atau pengamatan, serta wawancara mendalam.
91
Adapun analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
analisis deskriptif-kualitatif, yaitu data yang terkumpul dideskripsikan. Secara
rinci langkah-langkah analisis data penelitian ini sebagai berikut. Persiapan
penelitian, meliputi: (1) mengumpulkan data, (2) mengorganisasikan dan
mengelompokkkan data yang terkumpul sesuai dengan sifat dan kategori data
yang ada
D. PEMBAHASAN
Tahapan-tahapan perkembangan anak baik fisik maupun mental sangat
penting untuk dipelajari dan dipahami oleh para orang tua pada khususnya dan
para pendidik pada umumnya. Hal itu penting karena apa yang diberikan oleh
orang tua dan para pendidik kepada anak dalam masa perkembangannya akan
sangat berpengaruh pada masa depan sang anak dikemudian harinya . Sebagai
contohnya yaitu dalam aspek perkembangan bahasa atau komunikasi pada anak.
Untuk menanamkan perkembangan bahasa anak yang baik diperlukan pola
pengasuhan yang komprehensif dari orang tua yang merupakan pendidik yang
pertama dan utama bagi seorang anak.
Dalam pengembangan SBST ada hal yang harus diperhatikan yaitu sebagai
berikut. 1) Berbahasa
Hal pokok dalam proses berbahasa adalah proses pemahaman bahasa
(language comprehension), produksi berbahasa (language production), dan
pemerolehan bahasa (language aqcuisation). Ketiga proses ini menjadikan bahasa
sebagai objek kajian. Dalam versi psikolinguistik, seseorang berbahasa masuk
dalam dua tahapan, yaitu produktif dan reseptif. Proses produktif berlangsung
pada diri pembicara yang menghasilkan kode-kode bahasa yang bermakna dan
berguna. Sedangkan proses reseptif berlangsung pada diri pendengar yang
menerima kode-kode bahasa yang bermakna yang disampaikan oleh pembicara
melalui alat-alat artikulasi pendengar.
92
2) Gangguan Berbahasa
Gangguan berbahasa pada anak dapat berupa keterlambatan berbicara. Kapan
anak dinyatakan terlambat berbicara (berbahasa) ? keterlambatan berbahasa yang
paling sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana
perkembangan bahasa anak berada di bawah umur kronologisnya secara nyata
(Eisenson dan Ogivie 1983). Sebagai pedoman Allen, Rapin, dan Wiznitzer
(1987) mengatakan bahwa gejala keterlambatan ini muncul apabila :
d) Anak umur sepuluh bulan belum meleter e) Umur 18 bulan belum menguasai beberapa kata yang berarti selain “papa” dan
“mama”, atau belum dapat menunjuk apa yang diingini, dan f) Umur 2 tahun belum dapat mengucapkan rangkaian kalimat yang terdiri atas
dua kata, atau bicaranya tidak dapat dimengerti atau dipahami oleh orang
tuanya atau tidak mengerti apa yang dikatakan kepadanya
Adanya keterlambatan perkembangan berbicara pada anak perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut secara komprehensif untuk mencari penyebabnya dan
untuk membedakan antara anak yang mengalami penyimpangan (deviant)
perkembangan berbahasa dengan anak yang hanya mengalami keterlambatan
(delayed) perkembangan berbahasa saja. Hal ini penting untuk penangananya.
Definisi gangguan berbahasa pada anak sangat beragam. Menurut ASHA
(American Speech-Language-Hearing Association, 1980), definisi gangguan
berbahasa ialah sebagai berikut :
“...abnormalitas dalam perolehan bahasa, pemahaman atau ekspresi bahasa
tutur atau bahasa tulisan. Gangguan ini dapat meliputi semua, satu atau
beberapa komponen dari sistem linguistik, yaitu, fonologik, morfologik,
semantik, sintaktik, atau pragmatik. Individu dengan gangguan berbahasa
sering mengalami masalah dalam memproses kalimat atau dalam abstraksi
informasi yang berguna untuk menyimpan dan menemukan kembali
(retrieval) dari memori pendek dan panjang.” (Bernstein dan Tiegermen 1985)
Definisi di atas memberi informasi mengenai tiga aspek penting dalam
gangguan berbahasa, yaitu, gangguan dapat terjadi pada komponen dari bahasa
atau modalitasnya atau proses informasinya.
93
5) Klasifikasi Gangguan Berbahasa
Pendekatan tradisional gangguan berbahasa pada anak adalah klasifikasi
berdasarkan penyebabnya (Etiological-Categorical Approach). McCormic dan
Schiefelbusch. (1984, yang dikutip oleh Bernstein dan Tiegermen 1985) membagi
gangguan berbahasa ke dalam lima kategori penyebab :
6. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berkaitan dengan gangguan
motorik. Termasuk di dalam kelompok ini adalah antara lain anak dengan
c.p (cerebral palsy).
7. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan defisit
sensoris. Termasuk dalam kategori ini adalah anak dengan gangguan
pendengaran.
8. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan kerusakan
pada susunan saraf pusat. Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat
bersifat dapat bersifat ringan sampai berat. Termasuk dalam kelompok ini
antara lain adalah afasia.
9. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan disfungsi
emosional-sosial yang berat. Termasuk dalam kategori ini adalah anak
dengan psikosis, skisofrenia, dan autisme.
10. Gangguan bahasa dan komunikasi yang berhubungan dengan gangguan
kognitif. Termasuk dalam kategori ini adalah anak yang terbelakang
mental.
Dalam hal ini pembahasan lebih ditekankan pada gangguan
berbahasa yang mempunyai dasar neurologis, yaitu keterbelakangan
mental, autisme, dan gangguan berbahasa spesifik (specific language
disability). Namun, perlu diketahui pula masalah gangguan berbicara
bahasa lainnya untuk dapat membedakannya dari gangguan berbahasa
yang mempunyai dasar neurologis.
6) Bahasa Reseptif
Luria berpendapat bahwa daerah belakang girus superior lobus
temporalis hemisfir kiri yang ditemukan oleh wernick bukanlah pusat
94
pengertian kata-kata, tetapi merupakan perbendaharaan fonem bahasa. Pusat
ini disebutnya juga daerah sekunder fungsi akustik-kognistik. Pusat primernya
adalah pusat pendengaran yang ditemukan oleh Heschl, yang terletak di depan
pusat Wernick. Pusat sekunder berfungsi menyimpan, mengatur apa yang
didengar. Apabila daerah ini rusak, orang tidak tuli, ia mendengar dan tahu
bunti-bunyi yang sederhana, tetapi tidak dapat membedakan antara macam-
macam kombinasi bunyi. Pada manusia, daerah ini berfungsi untuk
menganalisis dan mensintesis bunyi wicara.
Luria juga mendapatkan bahwa daerah girus temporali media hemisfer
kiri merupakan pusat memori audio-verbal yang berfungsi untuk mengingat
rangkaian kata-kata yang didengar. Pada kerusakan daerah ini orang mudah
lupa apa yang telah ia dengar, tetapi ingatan visualnya tetap baik.
Selain yang didengar, bentuk bahasa reseptif lainnya ialah bahasa
yang dilihat. Bahasa yang dilihat terpapar dalam tulisan atau sikap, gerakan
jari-jari tangan, tangan, lengan, kepala, muka,dan tubuh. Fungsi ini jelas
berkaitan dengan fungsi penglihatan yang terpusat di daerah oksipital. Di
daerah yang lateral di pusat penglihatan primer terdapat daerah sekunder yang
fungsinya memadukan apa yang dilihat menjadi suatu keseluruhan hingga
orang mengerti apa yang dilihat. Simbol yang tertulis atau tergambar bagi yang
mengertinya melambangkan bunyi. Jadi, sebuah huruf mempunyai segi visual
dan segi vokalnya. Yang visual berasal dari lobus oksipitalis dan yang vokal
dari lobus temporalis. Keduanya berintegrasi da dalam lobus parietalis, daerah
tersier, terutama di girus angularis. Memang di sinilah letak pusat membaca.
Seseorang yang mempelajari huruf-huruf Braille melakukan pembacaan
dengan meraba. Dalam hal ini yang berfungsi sebagai mata ialah indera peraba
di dalam kulit ujung jari tangan, yang pusat primernya terletak di korteks
sensorik lobus parietalis. Adapun faktor yang mempengaruhi proses reseptif ini
bisa bersifat neurologis, psikis, dan juga sosial.
Adapan tahapan pada proses reseptif adalah sebagai berikut:
95
a. Decode fonologi: penerimaan unsur-unsur bunyi melalui pendengaran
b. Decode gramatikal: penyususnan secara gramatikal dari simbol-simbol
bunyi yang ditangkap
c. Decode semantik: proses pemahaman leksikon, kata dan kalimat
5) Bahasa Ekspresif
Bahasa diekspresikan dengan ucapan, yaitu bunyi yang ditimbulkan
oleh getaran pita suara di dalam laring dan diubah-ubah oleh gerakan mulut,
bibir, lidah, dan palatum molle. Bahasa dapat pula diutarakan dengan cara-cara
lain, misalnya peluit morse, rangkaian simbol bunyi yang berupa huruf,
gambar suku kata atau kata, isyarat jari tangan, tangan, lengan, kepala, mimik,
dan bagian tuguh lainnya.
Ucapan bunyi dan kata-kata dapat terganggu apabila terjadi
kelumpuhan dan kelainan pada alat-alat wicara laring dan mulut. Meskipun
alat-alat perifer wicara ini baik, mungkin pengucapan bunyi dan kata-kata
terganggu bila ada kelainan-kelainan pada struktur-struktur di dalam otak.
Serebelum, otak kecil, diperlukan untuk koordinasi otot-otot, juga otot-otot
wicara. Untuk dapat mengucapkan bunyii-bunyi d,t,l,m,n,b, dan p kita harus
tahu bagaimana sikap lidah dan bibir kita. juga sama halnya dengan menulis
yang menggunakan otot-otot jari, tangan, dan lengan.
Wicara ekspresif yang paling sederhana ialah mengulangi apa yang
dikatakan orang lain. untuk dapat melakukannya dengan baik harus baik pula
fungsi pendengaran primer dan sekunder, pusat-pusat wicara Wernick dan
Broca, korteks sensorik, korteks, motorik, dan hubungan-hubungan antar
pusat-pusat ini. Menurut Markam (dalam PELLBA 4, 1991) dalam bidang
bahasa untuk membedakan nada-nada bunyi, lagu prosodi, adalah berpusat
pada fungsi otak bagian lobus temporalis. Sehingga apabila terjadi suatu
gangguan di daerah tersebut orang akan kesulitan bahkan tidak dapat
membedakan kalimat yang diucapkan secara biasan dengan nada amarah.
96
8) Anak Berkebutuhan Khusus
Anak merupakan aset dan kebanggaan bagi orang tua. Setiap orang
tua mengharapkan kebahagian dan kesuksesan yang akan diraih oleh sang
anak. Saat masih dalam kandungan sampai dewasa, orang tua mengharapkan
kondisi yang baik bagi anaknya. Namun, kondisi dan situasi tidak selalu seperti
apa yang diharapkan. Tidak sedikit orang tua memiliki anak yang mempunyai
sebuah penyakit atau cacat, baik cacat mental maupun cacat fisik. Peran orang
tua adalah memberikan dukungan dan berkewajiban untuk menerima apa pun
kondisi yang diderita oleh sang anak. Anak yang menderita cacat mental
maupun cacat fisik ini disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Anak berkebutuhan khusus (ABK) atau yang pada masa lampau
disebut anak cacat memiliki karakteristik khusus dan kemampuan yang
berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Tipe anak berkebutuhan khusus
bermacam-macam dengan penyebutan yang sesuai dengan bagian diri anak
yang mengalami hambatan sejak lahir maupun karena kegagalan atau
kecelakaan pada masa tumbuh-kembangnya. Menurut Kauffman & Hallahan
(2005) dalam Bendi Delphie (2006) tipe-tipe kebutuhan khusus yang selama
ini menyita perhatian orangtua dan guru adalah (1) tunagrahita (mental
retardation) atau anak dengan hambatan perkembangan (child with
development impairment), (2) kesulitan Belajar (learning disabilities) atau
anak yang berprestasi rendah, (3) hiperaktif (Attention Deficit Disorder with
Hyperactive ), (4) tunalaras (Emotional and behavioral disorder), (5)
tunarungu wicara (communication disorder and deafness), (6) tunanetra atau
anak dengan hambatan penglihatan (Partially seing and legally blind), (7)
autistik, (8) tunadaksa (physical handicapped), dan (9) anak berbakat
(giftedness and special talents).
Terkait jenis-jenis ABK yang terdapat di YPAC meliputi Cerebral Palsy,
Cacat mental / Tuna Grahita, Tunarungu / Bisu tuli, Kelainan fungsi organ
bicara, misal : celat/pelo, Kelainan konginental, misal : bibir sumbing, celah
langit-langit, Gangguan Irama / gagap / Staittering, dan Kelainan suara.
97
7)Metode Drill
Salah satu metode pembelajaran adalah metode drill, merupakan salah
satu cara mengajar dimana anak melaksanakan kegiatan-kegiatan berupa
latihan-latihan, agar anak memiliki ketangkasan atau keterampilan yang lebih
baik dari apa yang dipelajari. Ciri yang khas dari metode ini adalah kegiatan
berupa pengulangan yang berkali-kali dari suatu hal yang sama. Menurut
Sudjana (2011:27), metode drill adalah satu kegiatan melakukan hal yang
sama, berulang-ulang secara sungguh-sungguh dengan tujuan untuk
memperkuat suatu asosiasi atau menyempurnakan suatu keterampilan agar
menjadi bersifat permanen. Suatu metode dalam menyampaikan pelajaran
dengan menggunakan latihan secara terus menerus sampai anak didik
memiliki ketangkasan seperti yang diharapkan. Metode ini lebih
menitikberatkan pada keterampilan siswa seperti kecakapan mototrik, mental,
asosiasi yang dibuat dan sebagainya.
E. Penutup
Hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa sanggar bahasa berbasis socio-
technology (SBST) sebagai model terapi wicara berbasis rumah di Kota Semarang
sangat dibutuhkan dalam masyarakat. Model SBST dikembangkan dengan konsep
rumah terapi berbasis multimedia. SBST memiliki tempat yang nyaman layaknya
sebuah rumah, tempat terapi disesain seperti rumah tetapi tetap dilengkapi dengan
fasilitas yang mendukung. Model SBST memiliki sarana: 1) terapi perilaku
(Behavior Therapy); 2) terapi kognitif & akademik (kognitive therapy & remedial
teaching); 3) terapi fisik (fisoterapi, okupasi terapi); 4) terapi wicara (speech
therapy); 5) terapi renang (swimming therapy); 6) terapi suara & musik (sound &
music therapy); 7) terapi kelompok (group therapy); serta 8) kelas sosialisasi.
Tempat terapi yang nyaman menurut responden ada fasilitas AC, playgroud
anak yang aman, serta permainan yang lengkap. Selain itu juga memiliki terapis
yang ahli. Bagi terapis, tugas untuk menerapi pasien sesuai dengan metode dan
cara yang telah diajarkan ahli dan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh
98
terapis sangat penting. Metode yang sesuai akan memiliki dampak yang
signifikan bagi pasien yang menjalani terapi.
Dari catatan YPAC sebagaian terapis di YPAC sangat memerlukan model SBST
dan model lain yang harus dikembangkan lagi. Bagi terapis, tugas untuk menerapi
pasien sesuai dengan metode dan cara yang telah diajarkan ahli dan berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki oleh terapis sangat penting. Metode yang sesuai akan
memiliki dampak yang signifikan bagi pasien yang menjalani terapi.
DAFTARPUSTAKA
Abdullah,Yusoff dan Che Rabiah Mohamed. 1995. Teori Pembelajaran Sosial dan Pemerolehan Bahasa Pertama. Cahaya Mas. Jakarta.
Busri, Hasan. 2002. Sintaksis Bahasa Indonesia. Fandika Publisher.Jakarta.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. Damaianti, Vismaia S. dan Nunung Sitaresmi. 2006. Sintaksis Bahasa Indonesia.
Bandung: Pusat Studi Literasi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Language Acquisition. (On-line):
http//www.Wikipedia.org/wiki/Languageacquistion Diakses 24
Desember 2008.
Maksan, Marjusman. 1993. Psikolinguistik. Padang: IKIP Padang Press.
Kaplan, Harold J, Sadock Benyamin J, Synopsis of Psychiatry : Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry. 8th edition. Williams & Wilkins USA 1998 : 1179- 1191
Mangantar, Simanjuntak. 1982. Pemerolehan Bahasa Melayu: Bahagian Fonologi. Dewan Bahasa. Jakarta
Mar‟at, Samsunuwiyati. 2009. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama.
Moeliono, Anton. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.
Muslich, Masnur dan Suparno. 1988. Bahasa Indonesia: Kedudukan, Fungsi, Pembinaan, dan Pengembangannya. Bandung: Jemmars.
Pateda, Mansoer. 1988. Aspek-Aspek Psikolinguistik. Gorontalo : Nusa Indah
99
Pratiwi, et al. 2014. “Hubungan Skor Frekuensi Diet Bebas Gluten Bebas Casein dengan Skor Perilaku Autis”. Journal of Nutrition College. Volume 3 Nomor 1 Halaman 34-42. Semarang: Universitas Diponegoro.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1975. Seminar Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Pusat Bahasa.
Ruqayyah. (2008). Pemerolehan Bahasa Anak Usia 4-6 Tahun (Tinjauan tentang
Jenis Tindak Tutur yang Dikuasai Anak Usia 4-6 Tahun, Studi Kasus Anak Usia 4-6 Tahun di Taman Kanak-kanak Al-mustaqim). [Online]. Tersedia:
http://massofa.wordpress.com/2008/11/19/pemerolehan-bahasa-anak-usia-
4-6-tahun/ html (10 Maret 2014).
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:Alfabeta.
Suryawati, et al. 2010.”Model Komunikasi Penanganan Anak Autis melalui Terapi Bicara Metode LOVAAS”. Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 1 Nomor 1. Bali: Universitas Udayana
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa.Bandung:
Angkasa.
Werdiningsih, Dyah. 2002. Dasar-dasar Psikolinguistik. Bandung.Angkasa.
Zulkifley bin Hamid. 1990. Penguasaan Bahasa: Huraian Paradigma Mentalis.
Obor Jaya. Jakarta.
100