universitas indonesia penerapan restorative …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20334019-t32519-nofita...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PUTUSAN
PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN (Studi Kasus
Terhadap Perkara Yang Telah Diselesaikan Secara Adat, Analisa Putusan
No.21/PID.B/2009/PN.Srln Dan No.22/PID.B/2009/PN.Srln)
TESIS
NOFITA DWI WAHYUNI
1106031740
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
JAKARTA
JANUARI 2013
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
i
UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PUTUSAN
PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN (Studi Kasus
Terhadap Perkara Yang Telah Diselesaikan Secara Adat, Analisa Putusan
No.21/PID.B/2009/PN.Srln Dan No.22/PID.B/2009/PN.Srln)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Hukum
NOFITA DWI WAHYUNI
1106031740
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
PRAKTIK PERADILAN
JAKARTA
JANUARI 2013
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Nofita Dwi Wahyuni
NPM : 1106031740
Tanda Tangan :
Tanggal : 21 Januari 2013
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama : Nofita Dwi Wahyuni
NPM : 1106031740
Program Studi : Praktik Peradilan
Judul Tesis : Penerapan Restorative Justice Dalam Putusan
Pengadilan sebagai Tujuan Pemindanaan
(Studi kasus terhadap perkara yang telah
diselesaikan secara adat, analisa putusan
no.21/Pid.B/2009/Pn. Srln dan
no.22/Pid.B/2009/Pn. Srln)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum
pada Program Studi Praktik Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Penguji : Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 21 Januari 2013
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT sehingga
hanya atas kehendak-NYA tesis ini dapat tersusun dan terselesaikan untuk
memenuhi prasyarat dalam memperoleh gelar magister hukum pada program
pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dalam tesis ini penulis mengemukakan mengenai penerapan restorative
justice dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan dengan studi kasus
terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat, menganalisa putusan
no.21/pid.B/2009/Pn.Srln dan no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln. Penulis berharap karya
ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi akademisi dan para penegak
hukum khususnya hakim dalam menerapkan restorative justice dalam putusan
pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyusun
tesis ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr.Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H., yang telah membimbing penulis dalam
penyusunan tesis ini dengan sabar. Bimbingan dan dukungan, ilmu yang
diberikan sangatlah besar artinya bagi penulis ditengah kesibukannya serta
seluruh staf pengajar program studi praktik peradilan Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia serta seluruh staf
sekretariat pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah
banyak membantu penulis sejak awal perkuliahan hingga selesainya
penyusunan tesis ini.
2. Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A., Prof. Rehngena Purba, Prof
Adrianus Meliala, Hakim Lilik Mulyadi dan Hakim Syahrul Mahmud
sebagai narasumber yang telah memberikan informasi dan data dan
meluangkan waktunya untuk wawancara.
3. Hakim Enan Sugiharto, Jaksa Syafri Hadi, Jaksa Aji Sumbara, Penasihat
Hukum Abdul Hair dan Nelly Akbar dari LSM Warsi, sebagai narasumber
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
v
yang telah memberikan informasi dan data dengan wawancara melalui
telepon sehingga penulis mendapatkan gambaran tentang kasus dalam
perkara no.21/pid.B/2009/Pn.Srln dan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln.
4. Kelurga kecil penulis, suami tercinta Roy Riady dan anak-anak kami
Rofilah Chyntia Riady dan Chairunnisa Fairuz Riady. Keluarga besar
penulis di Bekasi dan Palembang: Ibu Sukini, Bapak Sumardi, Mama
Dahlia, Papa Effendi, kakak, adik dan kakak ipar serta keponakan tercinta,
terima kasih banyak atas dukungan dan doanya.
5. Teman-Teman seperjuangan di kelas Praktik Peradilan, yang juga rekan
kerja di Mahkamah Agung Republik Indonesia, khususnya Wini, Mba
Santi, Mba Harika dan Mba Ningrum.
6. Teman-teman tercinta: Adha, Irma, Bayu, Titi, Sali, Ami, Rita, Fara, Tejo,
Ersus, dan Tita, terima kasih banyak atas dukungan, bantuan dan doa-
doanya.
7. USAID dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, khususnya Pengadilan
Negeri Kutacane (tempat kerja penulis) yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan tesis
ini untuk doa, dukungan dan bantuan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata, penulis mohon maaf sekiranya terdapat kesalahan ataupun
kekurangan dalam penyusunan tesis ini.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertandatangan di
bawah ini:
Nama : Nofita Dwi Wahyuni
NPM : 1106031740
Program Studi : Praktik Peradilan
Fakultas : Hukum
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-exclusive Royalty-
free right) atas karya ilmiah penulis yang berjudul: PENERAPAN RESTORATIVE
JUSTICE DALAM PUTUSAN PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN
PEMIDANAAN (Studi Kasus Terhadap Perkara Yang Telah Diselesaikan Secara
Adat, Analisa Putusan No.21/PID.B/PN.Srln Dan No.22/PID.B/2009/PN.Srln)
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak bebas royalty
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (data base),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir penulis selama tetap mencantumkan
nama penulis sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Januari 2013
Yang Menyatakan
(Nofita Dwi Wahyuni)
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
vii
ABSTRAK
Nama : Nofita Dwi Wahyuni
Program Studi : Praktik Peradilan
Judul : Penerapan Restorative Justice Dalam Putusan Pengadilan
Sebagai Tujuan Pemidanaan (studi kasus terhadap
perkara yang telah diselesaikan secara adat, analisa
putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan
no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln)
Restorative Justice sebagai tujuan pemidanaan dalam Putusan Pengadilan
belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hakim dapat menerapkannya
dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tujuan sanksi
adat adalah untuk mengembalikan keseimbangan, keharmonisan dan kerukunan
pihak yang berkonflik. Penerapan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan
dalam putusan pengadilan, menyelesaikan konflik antara pelaku, korban dan
masyarakat. Penelitian ini menganalisa putusan no.21/pid.B/2009/Pn.Srln dan
No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln, kedua putusan ini telah menerapkan restorative justice
sebagai tujuan pemidanaan. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan
deskriptif analitis sebagai sifatnya. Hasil penelitian perlunya menerapkan
restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. Hakim
meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dalam menjatuhkan pemidanaan.
Kata kunci: Keadilan Restoratif, Tujuan Pemidanaan
ABSTRACT
Name : Nofita Dwi Wahyuni
Concentration : Justice of Practice
Title : The Application of Restorative Justice in The Court
Decision as The Aim of Punishment (case study of
circumstance that have been resolved customarily, decision
analysis no.21/Pid.B/2009/Pn.Srln and
no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln)
Restorative justice as the aim of punishment in the cout have not been set
by the law. The Jusde could apply by exploring the value of living law in the
society. The aim of customary sanctions is to restore balance, harmony and
concord the conflicting parties. The application of restorative justice as the aim of
punishment in the court, resolving the conflict between the offender, victim and
society. This research analyzes the decision no.21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan
no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln, both decisions have applied restorative justice as the
aim of punishment. This research is normative research with analytical description
as its character. The research result of the importance of applying restorative
justice in the court decision as the aim of punishment. Judge should increase their
knowledge and ability to impose punishment.
Keywords: Restorative Justice, The aim of punishment
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
viii
DAFTAR ISI
HALAMANJUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
HALAMAN PENGANTAR ........................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................
TUGAS AKHIR UNTUK KEPERLUAN AKADEMIS ................................. vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... x
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Pernyataan Permasalahan ......................................................... 7
1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................... 8
1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................... 8
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................... 9
1.6 Kerangka Teori ........................................................................ 9
1.7 Kerangka Konsepsional ........................................................... 13
1.8 Metode Penelitian ..................................................................... 15
1.9 Sistematika Penulisan ............................................................... 16
BAB 2 EKSISTENSI RETORATIVE JUSTICE DI PENGADILAN .........
SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN ........................................... 18
2.1. Restorative Justice ...................................................................... 18
2.1.1. Sejarah Timbulnya .............................................................. 18
2.1.2. Definisi .............................................................................. 23
2.1.3. Tujuan ................................................................................. 26
2.2. Restorative Justice Sebagai Tujuan Pemidanaan ........................ 27
2.2.1. Pemidanaan .......................................................................... 27
2.2.2. Jenis Pemidanaan ................................................................. 28
2.2.3. Tujuan Pemidanaan ............................................................. 30
2.3. Eksistensi Restorative Justice Di Pengadilan ............................. 39
2.3.1. Putusan No.1600 K/Pid.B/2009 ........................................... 45
2.3.2. Putusan No. 2238 K/Pid.B/2009 ........................................... 46
2.3.3. Putusan No. 307 K/Pid.Sus/2010 .......................................... 48
2.3.4. The Cotworthy Case (New Zealand: 1998) ......................... 49
2.3.5. The Gladue Case (Kanada: 1999) ......................................... 54
BAB 3 RESTORATIVE JUSTICE DAN PENYELESAIAN PERKARA ...
PIDANA MELALUI ADAT ........................................................... 59
3.1. Hukum Adat .................................................................................. 59
3.1.1. Hukum Pidana Adat ................................................................ 62
3.1.2. Bentuk dan Tujuan Sanksi Adat .............................................. 66
3.1.2.1. Bentuk Sanksi Adat .................................................... 67
3.1.2.2. Tujuan Sanksi Adat ....................................................... 67
3.2. Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Hukum Adat ...................... 69
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
ix
3.2.1. Eksistensi Lembaga Adat ..................................................... 76
3.2.2. Kelemahan Hukum Adat ...................................................... 82
3.3. Nilai Hukum Adat Dalam Restorative Justice ............................. 86
BAB 4 PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PUTUSAN .....
PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN ..................
(Analisa Putusan No.21/PID.B/2009/PN.Srln Dan ..........................
Putusan No.22/PID.B/2009/PN.Srln) ............................................... 94
4.1. Analisa Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln .................................. 94
4.1.1. Kasus Posisi, Pertimbangan dan Amar Putusan ...................... 96
4.1.1.1. Kasus Posisi .................................................................. 96
4.1.1.2. Pertimbangan .................................................................. 97
4.1.1.3. Amar Putusan ................................................................. 98
4.1.2. Analisa Putusan ..................................................................... 98
4.2. Analisa Putusan No. 22/Pid.B/2009/Pn.Srln ............................... 115
4.2.1. Kasus Posisi, Pertimbangan dan Amar Putusan ...................... 116
4.2.1.1. Kasus Posisi ................................................................... 116
4.2.1.2. Pertimbangan ................................................................. 117
4.2.1.3. Amar Putusan ................................................................. 118
4.2.2. Analisa Putusan ....................................................................... 118
4.3. Kesimpulan Analisa Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln, ............
Putusan no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue .................. 137
BAB 5. PENUTUP ...................................................................................... 144
5.1. Kesimpulan ................................................................................... 144
5.2. Saran .............................................................................................. 146
DAFTAR REFERENSI .................................................................................. 148
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Perbedaan Retributif Theory dan Utilatarian Theory .................. 31
Tabel 2.2. Perbedaan Traditional Justice (Retributive and Rehabilitative) ...
Dengan Restorative Justice ......................................................... 34
Tabel 4.1. Perbedaan Pasal 718 ayat (2) huruf e Sebelum dan Sesudah
Kasus Gladue................................................................................. 130
Tabel 4.2. Perbedaan Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln, ...........................
Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue ................. 137
Tabel 4.3. Kelebihan dan Kekurangan Putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srln,.
Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue ................. 141
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rakernas Mahkamah Agung Tahun 2011 menghasilkan beberapa putusan
penting (landmark decision) dan menjadi yurisprudensi MA, salah satunya
Putusan nomor 1600 K/Pid/2009 dimana mengandung pertimbangan restorative
justice.1 Putusan tersebut menjadi menarik karena pada saat itu konsep restorative
justice belum diatur dalam perundang-undangan tetapi hakim dalam putusan
pengadilan telah menerapkannya. Hal lainnya, juga karena alasan mengapa hakim
menggunakan restorative justice khususnya ketika mempertimbangkan
menjatuhkan pemidanaan.
Restorative justice pada saat itu memang belum diatur dalam perundang-
undangan di Indonesia, namun Hakim menerapkannya dalam putusan tersebut, hal
ini dikarenakan Hakim tidak bisa menolak perkara yang harus diadilinya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:2
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Hakim, jika dihadapkan terhadap hal yang hukumnya tidak ada atau kurang jelas,
mempunyai cara untuk menemukannya (penemuan hukum), hal tersebut juga
yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib
1 Mahkamah Agung, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2011,
(Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2011), hal. 305-345. Hal tersebut juga dipertegas
dan dikuatkan dalam Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
096/KMA/SK/VII/2011 tentang Tim Penerbitan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia Mengenai Rumusan Kaidah Hukum Dalam Putusan Penting (Landmark Decision),
Tanggal 1 Juli 2011.
2 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 5076.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
2
Universitas Indonesia
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.” 3
Hal yang menarik dan menjadi pertanyaan apakah restorative justice ini
merupakan hal yang baru atau memang sudah ada dan berjalan dalam sistem
hukum di Indonesia? Jika melihat dalam peraturan perundang-undangan yang ada,
jelas dan tegas belum ada yang mengatur tentang restorative justice. Namun
melihat dari konsep restorative justice, tidak berbeda dengan penyelesaian
peristiwa pidana dalam masyarakat hukum adat. Ada dua pendekatan
penyelesaian peristiwa pidana yaitu aspek magis dan aspek material.4 Aspek
magis bertalian dengan upaya mengembalikan keseimbangan magis yang
terganggu akibat peristiwa pidana yang diselenggarakan dalam bentuk upacara-
upacara tertentu seperti menyediakan sesajen atau mengorbankan hewan sebagai
“tebusan”. Yang agak ekstrim adalah sanksi dalam bentuk mengeluarkan atau
mengusir pelanggar dari lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan.
Aspek material berkaitan dengan upaya merukunkan kembali hubungan
antara pelaku (keluarga pelaku) dan korban (keluarga korban). Ini pun dilakukan
dengan berbagai upacara perdamaian antara kedua pihak. Bentuk lain adalah
kewajiban pelaku (keluarga pelaku) melakukan sesuatu, seperti pernyataan
bersalah, meminta maaf, memberi kompensasi atau denda tertentu. Praktek hukum
adat sangat memperhatikan kepentingan korban baik yang bersifat material atau
immaterial. Praktik-praktik ini tidak lain “restorative Justice” yang telah menjadi
tradisi masyarakat hukum adat kita.5 Jika melihat kepada hukum adat,
menandakan bahwa restorative justice sudah ada dan usianya sudah tua, seperti
yang ditulis Eva Achjani Zulfa:
“Bahwa banyak penulis menganggap restorative justice bukanlah konsep
yang baru. Keberadaannya barangkali sama tuanya dengan hukum pidana
itu sendiri. Bahkan beribu tahun, upaya penanganan perkara pidana,
pendekatan justru ditempatkan sebagai mekanisme utama bagi penanganan
tindak pidana. Marc Levin menyatakan bahwa pendekatan yang dulu
3 Ibid.
4 Bagir Manan, Restorative Justice (suatu perkenalan), (Jakarta, Majalah Hukum Varia
Peradilan, Tahun ke XXI No. 247 Juni 2006), hal. 8.
5 Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
3
Universitas Indonesia
dinyatakan bagai usang, kuno dan tradisional kini justru dinyatakan
sebagai pendekatan yang progresif.” 6
Menurut Eva Achjani Zulfa, “Restorative Justice” merupakan suatu model
pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian
perkara pidana.7 Restorative Justice diakui oleh dunia Internasional yaitu pada
tahun 2000 dihasilkan United Nation, Basic Principles On The Use Of Restoratif
Justice Programmes In Criminal Matters yang berisi sejumlah prinsip-prinsip
mendasar dari penggunaan pendekatan restorative justice.8 Menurut Artidjo
Alkotsar, Restorative justice telah diupayakan diterapkan di berbagai Negara di
dunia seperti di United Kingdom, Austria, Finladia, Jerman, Amerika Serikat,
Kanada, Australia, Afrika Selatan, Gambia, Jamaika dan Kolombia.9
Restorative justice dalam tataran peraturan perundang-undangan di
Indonesia, belum diatur secara tegas. Menurut Setyo Utomo, tentang pengaturan
tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan sanksi alternatif baru diatur dalam
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dimana terdapat konsep
restorative justice.10
Konsep restorative justice yang diatur dalam RKUHAP yang
dimaksud oleh Andi Hamzah, yaitu dilakukan oleh Penuntut Umum atas asas
opportunitas.11
Jika Andi Hamzah hanya berbicara sebatas kewenangan Penuntut
6 Eva Achjani Zulfa, Restorative Justice Di Indonesia (Peluang dan Tantangan
Penerapannya), ditelusur melalui internet http://evacentre.blogspot.com/p/restorative-justice-di-
indonesia.html diakes pada tanggal 15 September 2012.
7 Ibid
. 8 United Nation, Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal
matters, ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000), yang ditelusur
melalui internet
www.unicef.org/iac/spbarbados/legal/global/cp/basic%2520restorative%2520justice%2520crimina
l% diakses pada tanggal 15 September 2012
9 Artidjo Alkotsar, Urgensi Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Medik Di
Peradilan Pidana, Makalah disampaikan dalam diskusi di Mahkamah Agung, Jakarta, tanggal 22
Juli 2010.
10
Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative
Justice, (Jakarta: Majalah Hukum Nasional Nomor 01 Tahun 2011, BPHN), hal. 137-162.
11
Andi Hamzah, Restorative Justice Dan Hukum Pidana Di Indonesia, makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim
Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
4
Universitas Indonesia
Umum, maka Surya Jaya berbicara dalam konteks sistem peradilan pidana,
restorative justice dapat diterapkan.12
Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Anak yang telah disahkan oleh
DPR pada tanggal 3 Juli 2012 juga memuat konsep restorative justice.13
Undang-
undang tersebut telah diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012, Pasal 1 angka 6
Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana anak tersebut menyebutkan
tentang restorative justice, yaitu: 14
”Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.”
Restorative justice telah lama diterapkan dalam masyarakat Indonesia, contoh
seorang pelaku yang menabrak orang lain yang menimbulkan cidera atau
meninggal, tidak jarang serta merta berusaha memberi perhatian terhadap korban
(keluarga korban). Cara-cara tersebut dilakukan dengan mengambil
tanggungjawab pengobatan, memberi uang duka, meminta maaf, dll. Hal yang
disebutkan diatas bisa juga dikatakan sebagai bentuk penghukuman atau
pemidanaan terhadap pelaku atas apa yang telah dilakukannya. Hal tersebut
sebagaimana yang diutarakan oleh Dinah Shelton yaitu:15
“thus, the essential of compensatory justice are:(1)the parties are treated
as equal;(2)there is damage inflicted by one party on another; (3) remedy
12
Surya Jaya, Keadilan Restoratif Tuntutan Dan Kebutuhan Dalam Sistem Peradilan
Pidana Di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam
Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI
ke-59, Jakarta, 25 April 2012.
13
Tempo, Undang-Undang Peradilan Anak Disahkan,
http://www.tempo.co/read/news/2012/07/03/173414478/Undang-Undang-Peradilan-Anak-
Disahkan. Wakil ketua Komisi Hukum Aziz Syamsudin mengatakan undang-undang ini dibuat
guna mewujudkan peradilan yang menjamin perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan
hukum,”Kami ingin ada pendekatan restorative dalam penyelesaian secara adil yang melibatkan
pelaku, korban dan keluarga yang berkaitan dengan tindak pidana.” 14
Indonesia, Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332.
15
Dinah Shelton, Remedies In International Human Rights Law, (New York, Oxford
University Press, 1999), sebagaimana dikutip oleh Artidjo Alkotsar, Restorative Justice, (Jakarta,
Varia Peradilan ke XXII N.262, IKAHI, hal.9-10.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
5
Universitas Indonesia
seeks to restore the victim to the condition he or she was in before the
unjust activity occurred. Remedies thus are designed to place an
aggrieved party in the same position as he or she would have been had no
injury occurred. To achieved this end by holder the wrongdoer responsible
for providing the remedy served a morel need; on a practical level
collective insurance can as easily make the victim whole.”
Pemidanaan merupakan bagian penting dari hukum pidana yang justru
sering menjadi dambaan, sorotan dan sekaligus momok yang menakutkan bagi
sebagian besar masyarakat. Hal ini disebabkan masyarakat umumnya mengukur
sejauh mana keseriusan penegak hukum menerapkan keadilan lewat seberapa
besar dan seberapa pantas pemidanaan yang dijatuhkan. Pemidanaan juga harus
memperhatikan keadilan masyarakat, keadilan korban dan keadilan pelaku. Hal
senada juga diutarakan oleh Howard Zeir yaitu: 16
“The restorative justice movement originally began as an effort to rethink
the needs –which crime create, as wel as the roles implicit in crimes.
Restorative justice advocates –were concerned about needs that were not
being meet in the usual justice process. They also believed that preavailing
understanding of legitimate participants or stake holders in jusktice was
too restrictive. Restorative justice expands the circle of stake holders those
with a stake or standing in the event or the case beyond just the
government and the offender to include victims and community members
also.”
Dengan demikian pemidanaan menjadi suatu hal yang tidak ditakuti melainkan
sebagai salah satu solusi yang dirasakan adil oleh semua pihak dalam
penyelesaian masalah pidana.
Restorative Justice sebagai suatu bentuk perkembangan terakhir dari
berbagai pemikiran tentang hukum pidana dan pemidanaan, hingga saat ini masih
menjadi suatu konsep yang diperdebatkan.17
Pemidanaan pada dasarnya
merupakan gambaran dari sistem moral, nilai kemanusiaan dan pandangan
filosofis suatu masyarakat manusia pada suatu zaman, sehingga permasalahan
16 Howard Zehr, Restorative Justice, Good Books, Intercourse, PA, 2002. sebagaimana
dikutip oleh Artidjo Alkotsar, Restorative Justice, (Jakarta, Varia Peradilan ke XXII N.262,
IKAHI, hal.9
17
Eva Achjani Zulfa (a), Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Lubuk Agung, Bandung,
2011), hal. 3.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
6
Universitas Indonesia
mengenai sistem pemidanaan paling tidak harus meliputi tiga perspektif yaitu
filosofis, sosiologis dan kriminologis.18
Menurut John O Haley, restorative justice merupakan alternatif dari tujuan
pemidanaan yang ada dan menjawab kegagalan dari tujuan pemidanaan dengan
retribusi/penghukuman:19
”I would only add that as broadly defined an integrated approach to
restorative justice offers an alternative to the retributive models that far
more effectively and efficiently achieve each of the three principal aims of
criminal justice--victim reparation, offender correction, and crime
prevention.”
Sally S Simpson juga berpendapat sama seperti John O Haley, these penalties are
justified be the sentencing objectives of deterrence, proportionality, public
protection an restitution to victim.20
Dalam praktiknya bukanlah suatu hal yang mudah untuk memilih dan
memilah bentuk teori pemidanaan mana yang dipakai dalam saat ini.21
Terlebih
lagi telah disinggung tentang hubungan restorative justice dengan hukum adat,
menjadi menarik ketika adanya suatu perkara yang telah diselesaikan secara adat
yang juga disidangkan dan berakhir dengan putusan pengadilan. Putusan No.
21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Putusan No. 22/Pid.B/2009/Pn.Srln adalah dua
putusan dimana dalam perkara tersebut telah ada penyelesaian secara adat dan
diputus dengan putusan pengadilan.
Kedua Putusan tersebut mempunyai permasalahan yang cukup pelik karena
juga berhadapan dengan masyarakat adat yang meminta perkara tersebut
diselesaikan dengan membebaskan terdakwa karena telah adanya penyelesaian
secara adat. Sepenggal cerita dari suatu tulisan yang menceritakan tentang Putusan
18
Ibid.
19
John O Haley, Beyond Retribution An Integrated Approach To Restorative Justice,
(Washington: Washitong Jounal Of Law And Policy, 2011).
20
Sally S Simpson, Corporate Crime, Law and Social Control, (UK, Cambridge,
Cambridge University Press, 2002). sebagaimana dikutip oleh Artidjo Alkotsar, Restorative
Justice, (Jakarta, Varia Peradilan ke XXII N.262, IKAHI, hal.9
21
Ibid, hal. 47.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
7
Universitas Indonesia
No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln, yaitu sebagai
berikut:22
Hukum Adat Rimba dan Hukum Positif Pengadilan Negeri Sorolangun Jambi menjatuhkan vonis kepada Tumenggung
Celitai dan Mata Gunung selama tiga bulan dan 20 hari karena melanggar Pasal
351 Ayat (1) KUHP dan Pasal 170 KUHP. Jika dilihat sepintas tidak ada yang
istimewa dalam putusan tersebut, tetapi hal ini membawa akibat bagi eksistensi
hukum adat di tengah-tengah hukum positif kita. Hal ini ditengarai bahwa putusan
itu terkait dengan penyelesaian adat dimana keputusannya, para pihak yang
bertikai dihukum membayar denda adat berupa kain yang dianggap sebagai
pengganti kerugian rokhani. Dengan perhitungan satu orang tewas dihitung 500
kain. Kelompok Tumenggung Celitai membayar 1.000 kain kepada pihak Madjid,
sedangkan pihak Madjid membayar 500 kain kepada kelompokCelitai.
Kedua putusan tersebut menjadi menarik karena ada penyelesaian secara
adat dan berakhir dengan putusan pengadilan, dimana Hakim dalam hal ini
melalui putusan pengadilan mempertimbangkan penyelesaian adat tersebut dan
pemidanaan yang dijatuhkan. Hakim dihadapkan kepada hukum dan pemidanaan
yang bagaimana yang akan diterapkan yang tentu saja dengan pertimbangan
hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis, sosiologis dan filosofis.
1.2. Pernyataan Permasalahan
Putusan No. 1600/K/Pid/2009 yang menjadi landmark decision dalam
Rakernas MA RI Tahun 2011, menarik untuk dianalisa. Dalam pertimbangan
hukumnya mendasarkan kepada konsep restorative justice, yang secara substansi
hukum belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut menjadi
penting ditanyakan karena mengingat Indonesia menganut civil law system
dimana mendasarkan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum yang
utama dalam penyelesaian perkara.
Hakim dalam hal ini telah mengambil keputusan yang tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Namun bukan berarti Hakim tidak mempunyai
22 Mahmud Sebayang, Hukum Adat Rimba dan Hukum Positif, Prakarsa Rakyat, (Jakarta,
Sinar Harapan Rakyat, 28 April 2009) yang ditelusur melalui internet http://www.prakarsa-
rakyat.org/artikel/opini/artikel_kirim.php?aid=33984 yang diakses pada tanggal 24 September
2012
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
8
Universitas Indonesia
kewenangan dalam menemukan atau menciptakan hukum melalui putusannya.
Ternyata juga bukan hanya putusan no. 1600/K/2009 yang menganut konsep
restorative justice. Hukum adat yang ada di Indonesia mempunyai cara-cara
penyelesaian yang berkonsep restorative justice.
Tujuan pemidanaan yang bertujuan untuk penghukuman/balas dendam/
retributive justice dianggap gagal.23
Oleh karena itu berkembang pemikiran
tentang tujuan pemidanaan yang lainnya dan restorative justice dianggap dapat
menjawabnya. Perkara yang telah diselesaikan secara adat tetap diproses secara
hukum yang tertuang dalam putusan pengadilan, menjadi menarik karena
penyelesaian secara adat yang berkonsep restorative justice, sedangkan konsep
restorative justice itu sendiri belum ada pengaturannya. Oleh karena itu hal
tersebut menarik untuk diteliti tentang penerapan restorative justice dalam
putusan pengadilan termasuk di dalamnya atas dasar hukum apa Hakim
menerapkan restorative justice dan apa maksud tujuan diterapkannya konsep
restorative justice, khususnya terhadap perkara yang telah diselesaiakan secara
adat yaitu dengan menganalisa putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn dan no.
22/Pid.B/2009/Pn.Srlgn.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian dalam penulisan ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana eksistensi restorative justice di pengadilan? dan apakah
restorative justice dapat sebagai tujuan pemidanaan?
2. Bagaimana sistem penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme
adat?dan apakah ada hubungannya restorative justice dengan nilai
hukum adat?
3. Bagaimana penerapan Restorative Justice dalam putusan Pengadilan
terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat?
1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
23
John.O.Haley, Loc.Cit.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
9
Universitas Indonesia
1. Untuk mengetahui dan menganalisa eksistensi restorative justice dalam
praktek di Pengadilan dan untuk mengetahui dan menganalisa apakah
restorative justice dapat menjadi tujuan pemidanaan;
2. Untuk mengetahui dan menganalisa sistem penyelesaian perkara pidana
melalui mekanisme adat dan untuk mengetahui dan menganalisa hubungan
restorative justice dengan nilai hukum adat;
3. Untuk mengetahui dan menganaalisa penerapan restorative justice dalam
putusan pengadilan terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat.
1.5. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah diharapkan pembahasan terhadap
masalah-masalah yang telah dirumuskan akan memberikan kontribusi pemikiran
serta pemahaman dan pandangan tentang restorative justice bagi para mahasiswa,
staf pengajar, para praktisi hukum, khususnya praktisi hukum pidana. Penelitian
ini juga diharapkan akan menambah literatur yang jumlahnya masih sangat
terbatas. Pembahasan ini juga sebagai masukan bahwa restorative justice dapat
diterapkan dalam di pengadilan dengan produk hukumnya yaitu dalam putusan
pengadilan, khususnya terhadap perkara yang telah diselesaikan secara adat
meskipun secara tegas dalam peraturan perundang-undangan belum diatur akan
tetapi hakim dalam menemukan hukum dapat menyelesaikan konflik dengan
pemikiran bahwa tujuan pemidanaan yang ideal menerapkan restorative justice.
Lebih jauh lagi hal ini membantu pengadilan untuk menyelesaikan tumpukan
perkara di Mahkamah Agung, karena dengan restorative justice perkara selesai di
tingkat pertama.
1.6. Kerangka Teori
Indonesia sebagai Negara yang menganut civil law system, -seperti halnya
banyak dianut oleh sebagian Negara erofa continental- salah satu cirinya yaitu
Hakim berpikir deduktif dari bunyi Undang-undang menuju ke peristiwa khusus
dan akhirnya sampai pada putusan.24
Namun suatu hal yang disadari bahwa
24
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2010), hal.57.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
10
Universitas Indonesia
peraturan perundang-undangan itu tidak lengkap dan tidak jelas, tidak ada
peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas
sejelas-jelasnya.25
Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkret, konflik atau kasus yang
harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicari hukumnya.
Penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau
aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan hukum umum kepada
hukum konkret.26
Hakim dihadapkan pada kondisi yang tidak bisa menolak perkara dengan
dalih tidak ada atau tidak jelas hukumnya. 27
Hakim dan hakim konstitusi
diwajibkan untuk mencari dan menemukan hukum tersebut, Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”28
Nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat mempunyai makna yang serupa
dengan pendapat Eugen Erlich yang terkenal dengan teorinya living law:29
“At the present as well as at any other time, the center of gravity of legal
development lies not in legislation, nor in juristic science, nor in judicial
decision, but in society itself.”
Pendapat Eugen Erlich pun mengkritik tentang sistem hukum yang lebih
mengagungkan hukum tertulis dan menggunakan hukum yang hidup di
25
Ibid., hal. 63.
26
Ibid., hal. 49.
27
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 5076. Pasal 10 ayat (1):” Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
28 Sudikno, Loc.Cit.
29
Eugen Erlich, Fundamental Principles Of The Sociology Of Law, terjemahan Walter
L.Moll, (Harvard University Press, 1936, vol. 5, 2000), hal. xx
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
11
Universitas Indonesia
masyarakat hanya sebagai dasar untuk mencari kebenaran dari interpretasi hukum
dan konstruksi hukum yang terkandung di dalamnya:30
“In our day, doubtless, the most important source of knowledge of the
living law is the modern legal document. Even today or these documents is
being studied very extensively, to with judicial decision, but not in the
sence we have in mind here. It is not being treated as evidence of the living
law, but as a work of juristic literature which is to be examined not as to
the truth of the legal relations described therein and as to the living law
that is to be extracted therefrom, but also to the correctness of the
statutory interpretation and of the juristic construction contained therein.”
Keberadaan hukum adat yang merupakan hukum yang hidup dan berkembang dari
masyarakat, pun diakui oleh Eugen Erlich:
“Customary law on other hand, in the prevailing view is so unimportant
that no effort is being put forth to ascertain its content by scientific
method, much less to create methods for its investigation.”31
Eugen Erlich menambahkan, hukum itu tidak terbatas hanya pada peraturan
perundang-undangan ataupun putusan pengadilan tetapi terletak pada tatanan
masyarakat itu sendiri:32
“But the scientific significance of the living law is not confined to is
influence upon the norms for decision which the courts apply or upon the
content of statutes. The knowledge of the living law has an independent
value, and this consists in the fact that it constitutes the foundation of the
legal order of human society.”
Hukum adat dengan penyelesaian adat yang dilakukan dimana melibatkan
masyarakat adat, dan tentu saja pelaku dan korban tidak ada membedakan
penyelesaian untuk perkara perdata atau pidana, semunya bertujuan untuk
keharmonisan hubungan, memulihkan hubungan antara pelaku dan korban seperti
ke keadaan sebelum terjadinya tindak pidana. Praktek hukum adat sangat
memperhatikan kepentingan korban baik yang bersifat material atau immaterial.
30
Ibid., hal. 493-494.
31
Ibid., hal. 486.
32
Ibid., hal. 502.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
12
Universitas Indonesia
Praktik-praktik ini tidak lain “restorative Justice” yang telah menjadi tradisi
masyarakat hukum adat kita.33
Jika Eugen erlich lebih melihat kepada hukum yang hidup dalam
masyarakat, maka John Rawls pun menegaskannya dengan gagasan keadilan
sebagai fairness, suatu teori keadilan yang menggeneralisasikan dan mengangkat
konsepsi tradisional tentang kontrak sosial ke level abstraksi yang lebih tinggi.34
Menurut John Rawls, subyek utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat,
atau lebih tepatnya, cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan
kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerjasama
sosial.35
Prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan tujuan
dari kesepakatan, prinsip-prinsip ini akan mengatur persetujuan yang lebih lanjut,
mereka menentukan jenis kerja sama sosial yang bisa dimasuki dan bentuk-bentuk
pemerintah yang bisa didirikan, cara pandang terhadap prinsip keadilan ini yang
menurut John Rawls disebut keadilan sebagai fairness.36
Prinsip-prinsip keadilan dipilih dalam keadaan tanpa pengetahuan, hal ini
memastikan bahwa tak seorang pun diuntungkan atau dirugikan dalam pilihan
prinsip-prinsip dengan hasil peluang natural atau kontingensi situasi sosial.37
Keadilan sebagai fairness, mengungkapkan gagasan bahwa prinsip-prinsip
keadilan disepakati dalam situasi ideal yang lebih fair.38
Keadilan sebagai fairness,
seperti pandangan kontrak lainnya, terdiri dari dua bagian: 1. Intepretasi atas
situasi awal dan atas persoalan pilihan yang ada, dan 2. Seperangkat prinsip yang
akan disepakati.39
Dan adalah masuk akal dan bisa diterima jika tidak ada yang
33
Bagir Manan, Loc.Cit.,
34
John Rawls, A Theory of Justice, terjemahan Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), hal.3.
35
Ibid., hal. 7-8.
36 Ibid., hal 12-13.
37
Ibid., hal.13. 38
Ibid., hal. 14. 39
Ibid., hal. 17.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
13
Universitas Indonesia
boleh diuntungkan dan dirugikan oleh takdir alam atau situasi-situasi sosial dalam
pemilihan prinsip.40
Dengan demikian menurut penulis, teori keadilan sebagai fainess yang
dimaksud oleh John Rawls-yang juga disebut sebagai teori kontrak-41
dimana
struktur dasar masyarakat sebagai subjek utama keadilan mempunyai kesepakatan
dalam memilih suatu prinsip dimana tidak ada pihak yang diuntungkan ataupun
dirugikan. Teori ini sejalan dengan konsep restorative justice, yang mana tujuan
utamanya adalah untuk memulihkan hubungan antara pelaku, korban dan
masyarakat dimana penyelesaiannya dengan adanya kesepakatan yang diambil
oleh pelaku, korban dan masyrakat sehingga tidak ada pihak yang diuntungkan
ataupun dirugikan dari peristiwa pidana tersebut.
1.7. Kerangka Konsepsional
Dalam kerangka konsepsional, penulis merumuskan konsep yang dipakai
dalam penelitian ini, sebagaimana yang dimaksud oleh Soerjono Soekanto:
“Didalam penelitian hukum normatif maupun sosiologis atau empiris,
dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsepsionil yang dipiris,
dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsepsionil yang didasarkan atau
diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu. Biasanya kerangka
konsepsionil tersebut, sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang
dapat dijadikan pedoman operasionil di dalam proses pengumpulan,
pengolahan, analisa dan konstruksi data.”42
Kerangka konsepsional dalam hal penelitian ini adalah tentang konsep
restorative justice dalam sistem peradilan pidana, khususnya konsep restorative
justie yang dipakai sebagai dasar suatu putusan pengadilan. Konsep restorative
justice sebagai dasar suatu putusan pengadilan pada dasarnya berbeda dengan
konsep restorative justice pada umumnya. Sehingga konsep restorative justice
yang dipakai dalam pengertian ini adalah sebagaimana yang diungkapkan Dignan,
yaitu:
40
Ibid., hal.21.
41 Ibid., hal.18.
42
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia-Press,
2010), hal. 137.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
14
Universitas Indonesia
“Restorative justice ia a new framework for responding to wrongdoing and
conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational,
legal, social work and and counseling professionals and community
groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to
wrongdoing and conflict, with a balanced focus on theperson harmed, the
person causing the harm, and the affected community.43
Sehingga restorative justive dalam putusan pengadilan adalah sebagai
framework bagi hakim dalam melihat bagaimana suatu perkara harus diputus
dengan mengacu kepada pemahaman putusan sebagai respon atas suatu masalah
yang terjadi dimasyarakat. Dalam kaitannya dengan putusan pengadilan, maka
putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 11 Undang-undang No.8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah:44
“Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang
dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.”
Dalam Restorative Justice sebagai tujuan pemidanaan, tujuan pemidanaan
menurut Pasal 54 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu: 45
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
b.memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
43 Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook,
2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash
Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis
dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan
Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan
Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar
Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, terjemahan bebas dari penulis:”Keadilan
Restoratif adalah kerangka kerja baru terhadap pelanggaran dan konflik yang secara cepat dapat
diterima pendidik, ahli hukum, pekerja sosial dan Konseling sosial serta kelompok
masyarakat.Keadilan restorative adalah berdasarkan pendekatan nilai sebagai respon dari
pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada orang yang terkena akibat kejahatan,
orang yang melakukan kejahatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.”
44
Indonesia, Undang-undang Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981, Lembaran Negara RI Tahun 1981 No.76, Tambahan Lembaran Negara No.3209.
45
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
15
Universitas Indonesia
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.
1.8. Metode Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif.46
Pendekatan hukum normatif digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis
norma-norma hukum yang berlaku, yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan nasional, maupun dalam berbagai putusan pengadilan yang menerapkan
restorative justice.
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu mengungkapkan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum sebagai
objek penelitian dan juga penerapannya. Deskriptif analitis, merupakan metode
yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang
terjadi atau berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti
mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang
bersifat ideal, kemudian dianalisa berdasarkan teori hukum atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Teknik pencarian data digunakan untuk menjawab pertanyaan –yang pada
dasarnya terhadap dua putusan yaitu putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn dan
Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srlgn- dalam penelitian ini adalah data sekunder
berupa hasil penelusuran dari literatur terkait dan data primer berupa hasil
wawancara. Wawancara akan dilakukan dengan mewawancari dua orang hakim,
untuk melihat dari perspektif hakim tentang penerapan restorative justice dalam
putusan pengadilan sebagai suatu penemuan hukum. Selain itu juga akan
mewancarai seorang akademisi yang ahli kriminologi dan seorang akademisi dari
ahli hukum pidana, untuk melihat dari perspefktif akademisi tentang restorative
justice sebagai tujuan pemidanan, serta seorang akademisi yang ahli dalam
hukum adat yang juga seorang hakim agung, untuk memberikan gambaran
tentang mekanisme penyelesaian perkara pidana secara adat. Selain itu juga
46
Soejono Soekanto, Op.Cit., hal. 252.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
16
Universitas Indonesia
untuk mendapat gambaran tentang kasus yang akan dianalisa, wawancara juga
dilakukan terhadap salah seorang hakim, dua orang jaksa dan salah seorang
penasehat hukum terdakwa serta seorang aktivis dari sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat yang pemerhati perkara ini khususnya terhadap eksistensi suku anak
dalam.
Bahan utama adalah data sekunder yang kemudian ditunjang dengan data
primer. Data sekunder ini terdiri atas: 47
1. bahan hukum primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah
yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian ilmiah baru tentang fakta yang
diketahui maupun mengenai suatu gagasan (ide), mencakup: a). buku, b). kertas
kerja konperensi, lokakarya, seminar, simposium, dan seterusnya, c). laporan
penelitian, d). laporan teknis, e). majalah, f). disertasi atau tesis, g). paten.
2. bahan hukum sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi
tentang bahan primer, mencakup: a). abstrak, b). indeks, c). bibliografi, d).
penerbitan pemerintah, e). bahan acuan lainnya, data pengetahuan ilmiah
yang baru atau mutakhir, dan
3. bahan hukum tersier, yaitu bahan penunjang (tersier) di luar bidang hukum,
misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat
dan sebagainya, yang oleh para peneliti hukum digunakan untuk
melengkapai ataupun menunjang data penelitiannya.
1.9. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari, yaitu:
BAB 1 berupa pendahuluan yang berisi latar belakang, pernyataan permasalahan,
pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, kerangka teori, kerangka konsepsional, dan sistematika
penulisan.
BAB 2 akan menjelaskan tentang Eksisternsi restorative justice di Pengadilan
sebagai tujuan pemidanan yang terdiri dari sub bab tentang restorative
justice, meliputi sejarah timbulnya, definisi, serta tujuan dari restorative
47
Soejono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, sustu tinjauan singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo, 1995),hal. 29-33.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
17
Universitas Indonesia
justice, kemudian sub bab lain menjelaskan tentang restorative justice
sebagai tujuan pemidanaan meliputi Pemidanaan, jenis pemidanaan,
tujuan pemidanaan dan sub bab terakhir tentang eksistensi restorative
justice di pengadilan, yang terbagi ke beberapa sub bab yang melihat
restoratative justice dalam putusan pengadilan yaitu putusan no.1600
K/Pid/2009, putusan no. 2238 K/Pid/2009, putusan no. 307
K/Pid.Sus/2010, Kasus Clotworthy (New Zealand,1998), kasus Gladue
(Kanada, 1999)
BAB 3 akan menguraikan tentang hubungan restorative justice dengan sistem
penyelesaian perkara pidana melalui hukum adat yang terdiri dari sub
bab tentang hukum adat yang membahas tentang hukum pidana adat,
bentuk dan tujuan sanksi adat, sub bab tentang penyelesaian perkara
pidana melalui hukum adat yang terdiri dari eksistensi lembaga adat dan
kelemahan penyelesaian melalui hukum adat, sub bab terakhir membahas
tentang nilai hukum adat dalam restorative justice
BAB 4 akan menganalisa putusan yaitu tentang penerapan restorative justice
dalam putusan pengadilan (studi kasus terhadap perkara yang telah
diselesaikan secara adat, analisa putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn dan
putusan no. 22/Pid.B.2009.Pn.Srlgn terdiri dari sub bab penyelesaian
perkara secara adat, analisa no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn yang dibagi
menjadi kasus posisi, pertimbangan hukum dan amar putusan kemudian
analisanya dan sub bab analisa putusan no. 22/Pid.B.2009.Pn.Srlgn, yang
terbagi menjadi kasus posisi, pertimbangan hukum dan amar putusan
serta analisanya.
BAB 5 merupakan penutup terdiri dari sub bab Kesimpulan dan Saran
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
18
BAB 2
EKSISTENSI RESTORATIVE JUSTICE DI PENGADILAN
SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN
2.1. Restorative Justice
Dalam pembahasan sub bab ini akan lebih banyak menguraikan tentang
restorative justice yang merupakan inti dari penelitian ini. Dalam
pembahasan sub bab ini akan dijelaskan dan dianalisa tentang restorative
justice, yang meliputi: sejarah timbulnya, definisi, dan tujuan dari
restorative justice.
2.1.1. Sejarah timbulnya
Sejarah timbulnya Restorative Justice, diketahui sebagai berikut:
“In many countries, dissatisfaction and frustration with the formal justice
system or a resurging interest in preserving and strengthening customary
law and traditional justice practices have led to calls for alternative
responses to crime and social disorder. Many of these alternatives provide
the parties involved, and often also surrounding community, an opportunity
to participate in resolving conflict and addressing its consequences.
Restorative justice programmes are based on the belief that parties to a
confict ought to be actively involved in resolving it and mitigating its
negative consequences.they ara also based, in some instances, on a will to
return to local decision-making and community building. These approaches
are also seen as means to encourage the peaceful expression of conflict, to
promote tolerance and inclusiveness, build respect for diversity and
promote responsible community practis.” 48
48 United Nations Office on Drugs and Crime, Handbook on Restorative Justice
Programmes, (New York: United Nation, 2006), hal. 5. Yang ditelesur melalui internet
http://www.unodc.org/pdf/criminal_justice/06-56290_Ebook.pdf diunduh 21 november 2012.
Terjemahan bebas dari penulis yaitu:”Di banyak negara, ketidakpuasan dan frustrasi dengan sistem
peradilan formal atau kepentingan dalam melestarikan dan memperkuat hukum adat dan praktek
peradilan tradisional telah menyebabkan panggilan untuk respon alternatif untuk kejahatan dan
kekacauan sosial. Banyak alternatif ini menyediakan pihak yang terlibat, dan sering juga
masyarakat sekitar, kesempatan untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan konflik dan menangani
konsekuensinya. Program keadilan restoratif didasarkan pada keyakinan bahwa pihak yang
berkonflik harus terlibat aktif dalam menyelesaikan dan mengurangi konsekuensi negatif.
Restorative justice juga didasarkan, dalam beberapa kasus, pada keinginan untuk kembali ke
pengambilan keputusan dan masyarakat setempat. Pendekatan-pendekatan ini juga dilihat sebagai
sarana untuk mendorong ekspresi damai konflik, untuk mempromosikan toleransi dan inklusivitas,
membangun penghargaan atas keragaman dan menerapkan praktik masyarakat yang bertanggung
jawab. "
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
19
Universitas Indonesia
Dengan demikian restorative justice timbul karena adanya ketidakpuasan
dengan sistem peradilan pidana yang telah ada, yang mana tidak melilbatkan
pihak-pihak yang berkonflik, melainkan hanya antara negara dengan pelaku.
Korban dan masyarakat tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik, berbeda
dengan restorative justice di mana korban dan masyarakat dilibatkan sebagai
pihak untuk menyelesaikan konflik.
Di Indonesia perkara pidana diselesaikan melalui sistem peradilan pidana.
Sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro adalah sistem dalam
suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.49
Tujuan sistem peradilan
pidana, yaitu:50
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatan.
Namun demikian jika dihubungkan dengan sejarah timbulnya restorative
justice, maka sistem peradilan pidana tidak berjalan sesuai dengan yang
diharapkan, karena gagal memberi ruang yang cukup pada kepentingan para calon
korban dan para calon terdakwa, dengan kata lain sistem peradilan pidana yang
konvensional sekarang ini di berbagai Negara di dunia kerap menimbulkan
ketidakpusan dan kekecewaan.51
Menurut Eva Achjani Zulfa: “paradigma yang dibangun dalam sistem
peradilan pidana saat ini menentukan bagaimana negara harus memainkan
peranannya berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, negara memiliki otoritas
49
Mardjono Reksodiputro (a), Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak
Hukum Melawan Kejahatan) dalam buku Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,
kumpulan karangan buku ketiga (Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007), hal. 84.
50
Ibid.
51
Nicola Lacey, A Life of H.L.A Hart: The Nigthmare and The Noble Dream, (Oxpord:
Oxpord University Press, 2004), sebagaimana ditulis dalam buku Eriyantouw Wahid, Keadilan
Restoratif Dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Universitas Trisaksi,
2009), hal. 43.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
20
Universitas Indonesia
untuk mengatur warganegara melalui organ-organnya.”52
Masih menurut Eva,
bahwa dasar dari pandangan ini menempatkan Negara sebagai pemegang hak
menetapkan sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (ius punale) dan
hak memidana (ius puniendi) sebagai bentuk penanganan suatu tindak pidana
yang terjadi dalam masyarakat.53
Namun demikian, penggunaan lembaga hukum
pidana sebagai alat penanganan konflik menempatkan dirinya sebagai mekanisme
terkahir yang dimana lembaga lain tidak dapat menjalankan fungsinya untuk
menangani konflik yang terjadi, dengan demikian hukum pidana bersifat ultimun
remidium.54
Eva Achjani Zulfa melanjutkannya pernyataannya yaitu implikasi dari
pemikiran tersebut adalah pendifinisian kejahatan sebagai suatu serangan terhadap
Negara berdasarkan aturan perundang-undangan yang dibuatnya sehingga
kejahatan merupakan konflik antara pelaku kejahatan dengan Negara.55
Hal ini
selaras dengan pernyataan Mardjono Reksodiputro, yaitu kejahatan diartikan
sebagai pelanggaran atas hukum pidana, dalam undang-undang pidana maupun
ketentuan-ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan lainnya,
dirumuskan perbuatan atau perilaku yang dilarang dan diancam dengan hukuman
(pidana).56
Menurut Mardjono Reksodiputro, kejahatan adalah salah satu bentuk
tingkah laku manusia, yang ditentukan oleh sikapnya (attitude) dalam menghadapi
suatu situasi tertentu.57
Definisi kejahatan amat sering sekali ditentukan oleh dan
52
Eva Achjani Zulfa (b), Restorative Justice Dan Peradilan Pro-Korban, dalam buku
Reparasi dan Kompensasi Korban Dalam Restorative Jusctice, (Jakarta: Kerjasama antara
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011), hal.
27. 53
Ibid. 54
Ibid.
55 Ibid., hal, 28.
56
Mardjono Reksodiputro (b), Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada
kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi) dalam buku Bunga Rampai
Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana , kumpulan karangan buku kelima, (Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007),
hal. 1.
57
Mardjono Reksodiputro (c), Mencari Faktor-faktor Sebab Kejahatan (Suatu Uraian
Selayang Pandang) dalam buku Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, kumpulan karangan
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
21
Universitas Indonesia
untuk kepentingan mereka yang”mengendalikan hukum”, yaitu kelompok tertentu
yang memegang kendali kuasa.58
Hukum pidana yang menjadi acuan menentukan suatu kejahatan, menurut
Mardjono Reksodiputro sebagai suatu reaksi terhadap perbuatan ataupun orang
yang telah melanggar norma-norma moral dan hukum dank arena itu telah
mengancam dasar-dasar pemerintahan, hukum, ketertiban dan kesejahteraan
sosial.59
Dalam pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam ilmu hukum di FHUI,
Marjono Reksodiputro mengatakan, para pelaku kejahatan dianggap telah tidak
memperdulikan kesejahteraan umum, keamanan dan hak milik orang lain.60
Dengan demikian atas dasar perlindungan kepada warga negara-lah yang
berhadapan dengan pelaku kejahatan, dari sinilah muncul posisi korban sebagai
pihak yang pada dasarnya paling dirugikan terkait suatu tindak pidana kehilangan
perannya.61
Menurut Eva Achjani Zulfa, hilangnya peran korban dalam sistem peradilan
pidana didasarkan pada empat kelemahan yaitu:62
a. Tindak pidana lebih diartikan sebagai penyerangan terhadap otoritas
pemerintahan dibandingkan sebagai serangan kepada korban atau
masyarakat;
b. Korban hanya menjadi bagian dari sistem pembuktian dan bukan sebagai
pihak yang berkepentingan akan proses yang berlangsung;
c. Proses hanya difokuskan pada upaya penghukuman bagi pelaku dan
pencegahan kejahatan semata tanpa melihat upaya perbaikan atas
kerugian yang ditimbulkan dan mengembalikan keseimbangan dalam
masyarakat;
d. Dalam penyelesaiannya, fokus perhatian hanya diarahkan kepada proses
pembuktian atas kesalahan pelaku. Oleh karenanya, komunikasi hanya
berlangsung satu arah yaitu antara hakim dan pelaku sementara konsep
dialog utamanya yaitu antara pelaku dan korban sama sekali tidak ada.
buku kedua (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia,
2007), hal.1.
58
Mardjono Reksodiputro (b), Op.Cit., hal. 37.
59
Ibid., hal. 1.
60
Ibid. Pidato pengukuhan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1993 dengan beberapa
bagian pada awal dan akhir telah dihapuskan.
61
Eva Achjani Zulfa, Loc.Cit.
62
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
22
Universitas Indonesia
Sejalan dengan pemikiran Eva Achjani Zulfa, Romany Sihite juga
mengatakan bahwa”selama ini, sistem peradilan pidana lebih beorrientasi pada
kepentingan pelaku ketimbang korban, sehingga banyak melakukan pengabaian
hak-hak dan perlindungan hukum terhadap korban selama korban berhadapan
dengan isntitusi penegak hukum.63
Gandjar L Bondan juga menambahkan, sebagai
berikut:64
“Tidak jarang korban bahkan tidak tahu perkembangan proses peradilan
pidana yang dialaminya, tidak memiliki akses untuk mengetahui
perkembangan kasusnya, korban tidak tahu proses pengadilan, pembacaan
putusan, dan pemidanaan yang dijatuhkan kepada pelaku. Lebih dari itu,
korban hamper tidak mendapat manfaat dalam proses peradilan pidana,
padahal merekalah korban dalam arti sesungguhnya, merekalah yang
menderita kerugian. Akhirnya, korban merasa tidak mendapat keadilan, atau
setidaknya tidak merasakan keadilan lewat putusan yang dijatuhkan hakim.”
Pengertian korban menurut The Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power 1985, yaitu:65
“Victims means person who, individually or collectively, have suffered
harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic
loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or
omissions that are in violation of criminal law operative within member
states, including those laws proscribing criminal abuse of power.”
Oleh karena itu menurut Eva Achjani Zulfa:
63
Romany Sihite, Kedudukan dan Hak-Hak Korban Dalam Tata Peradilan Pidana,
dalam buku Reparasi dan Kompensassi Korban dalam Restorative Justice, (Jakarta: Kerjasama
antara Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban dengan Departemen Kriminologi FISIP UI,
2011), hal. 51.
64
Gandjar L Bondan, Karakteristik Korban Dari Setiap Tindak Pidana Yang Menjadi
Fokus AKtivitas Perlindungan Saksi Dan Korban (Korupsi, Terorisme, Narkotika, Pelanggaran
HAM Dan Tindak Pidana Lain Yang Ditentukan LPSK) Dan Kewenangan LPSK dalam Rangka
Pemberian Reparasi dan Kompensasi, dalam buku Reparasi dan Kompensassi Korban dalam
Restorative Justice, (Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban dengan
Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011), hal. 77. 65
United Nations, Declaration of Basic Principles of Justice For Victims of Crime and
Abuse of Power, A/Res/40/34/, (New York: United Nation, 1985). Terjemahan bebas dari penulis
yaitu:” korban adalah orang yang secara individu atau kolektif, telah menderita
kerugian,termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau
penurunan substansial dari hak-hak asasi mereka, akibat dari tindakan atau kelalaian
yang melanggar hukum pidana yang berlaku di beberapa negara anggota, termasuk hukum -
hukum pidana penyalahgunaan kekuasaan.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
23
Universitas Indonesia
“Kehadiran Restorative justice pada dasarnya menjadi kunci pembuka
pemiran kembali tentang posisi korban dalam suatu penyelesaian perka
pidana. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan
menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan restorative justice,
korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah Negara. Oleh
karenanya kejahatan menciptkan kewajiban untuk membenahi rusaknya
hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana.” 66
Hal ini juga selaras dengan Gandjar L Bondan, yang menurutnya restorative
justice secara teoritis dan praktis dapat dipakai dalam penyelesaian suatu tindak
pidana, Gandjar menjelaskan sebagai berikut:67
“Dalam kerangka filosofis, hadirnya pendekatan restorative justice dalam
hukum pidana bukan bertujuan untuk mengabolisi hukum pidana, atau
melebur hukum pidana dan hukum perdata, karena pendekatan restorative
justice yang mengutamakan jalur mediasi antara korban dan pelaku.
Pendekatan restorative justice justru mengembalikan fungsi hukum pidana
pada jalurnya semula yaitu pada fungsi ultimum remidium, suatu senjata
pamungkas bilamana upaya hukum lain sudah tidak dapat lagi digunakan
dalam menghadapi suatu tindak pidana dalam masyarakat. Dalam tataran
praktis penanganan dan penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan
pendekatan restorative justice menawarkan alternative jawaban atas
sejumlah masalah yang dihadapi dalam sistem peradilan pidana, misalnya
proses administrasi peradilan yang sulit, lama, dan mahal, penumpukan
perkara atau putusan pengadilan yang tidak menampung kepentingan
korban.”
Dengan demikian Restorative justice ada sebagai suatu jawaban atas
ketidakpuasan atau kegagalan sistem peradilan pidana.
2.1.2. Definisi
Restorative justice itu sendiri dimaknai berbagai macam, antara lain
sebagai berikut:
Menurut Howard Zehr:
”Restorative justice is touted as a long-overdue third model or a new”lens”
a way of hopping off the seesaw, of heading more consistently in a new
66 Eva Achjani Zulfa, Loc.Cit.
67
Gandjar L Bondan, Op.Cit., hal. 76.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
24
Universitas Indonesia
direction while enrolling both liberal politicanc who support the welfare
model and conservatives who support the justice model.” 68
Tony Marshall:69
“Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a
particular offence come together to resolve collectively how to deal with the
aftermath of the offence and its implications for the future.”
G Bazemore and Mark Umbreit: ”Restorative justice is about restoring victims,
restoring offenders, and restoring communities.”70
Eva Achjani Zulfa:71
“Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada
kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan
mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat
ini.”
Marlina:72
“Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran
hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku
(tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-
sama berbicara.”
Basic Principles On The Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal
68
Howard Zehr, Retributive Justice, Restorative Justice, New Perspectives on Crime and
Justice: Occasional papers of the MCC Canada Victim Offender Ministeries Program The MCC,
U.S, Office of Criminal Justice vo.4 (Ontario: Canada Victim Offender Ministries Program, 1985)
sebagaimana ditulis dalam buku Jhon Braithwaite, Restorative Justice & Responsive Regulation,
(New York: Oxford University Press, 2002), hal.10.
69
Tony Marshall, Restorative Justice on Trial in Britain.”in Restorative Justice on Trial:
Pitfalls and Potentials of victim-offender Mediation-International Research Perspectives, edited
by H.Messmer and H.U.Otto.Dordrecht, (Boston: Kluwer Academic Publishers, 1992,
sebagaimana ditulis dalam buku Jhon Braithwaite, Restorative Justice & Responsive Regulation,
(New York: Oxford University Press, 2002), hal.11.
70 Bazemore, G and Mark Umbreit, Balanced and Restorative Justice: Program Summary:
Balanced and Restorative Justice Project, (Washington: US Departement of Justice, Office of
Juvenile and Delinquency Prevention, 1994), sebagaimana ditulis dalam buku Jhon Braithwaite,
Restorative Justice & Responsive Regulation, (New York: Oxford University Press, 2002), hal.11.
71
Eva Achjani Zulfa (c), Keadilan Restoratif, (Jakarta: FHUI, 2009), hal. 3.
72
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia:Pengembangan konsep Diversi dan
Restorative Justice, cetakan pertama (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 180
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
25
Universitas Indonesia
Matters yang dihasilkan oleh United Nation, tahun 2000:73
1. restorative justice programme means any programme that uses restorative processes or aims to achieve restoratibe outcomes;
2. restorative outcome means an agrrement reached as the result of restorative of a restorative process. Examples of restorative outcomes include restitution, community service and any other programme or response designed to accomplish reparation of the victim and community, and reintegration of the victim and/or the offender.
3. Restorative process means any process in which the victim, the offender and/or any other individuals or community members affected by a crime actively participate together in the resolution of matters arising from the crime, often with the help of a fair and impartial third party. Examples of restorative process include mediation, conferencing and sentencing circles.
4. Parties means the victim, the offender and any other individuals or community members affected by a crime who may be involved in a restorative justice programme.
5. Facilitator" means a fair and impartial third party whose role is to facilitate the participation of victims and offenders in an encounter programme.
Dignan:
“Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing and
conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational,
legal, social work and and counseling professionals and community
groups.8 Restorative justice is a valued-based approach to responding to
wrongdoing and conflict, with a balanced focus on theperson harmed, the
person causing the harm, and the affected community.” 74
73
United Nation, Basic principles on the use of restorative justice programmes in
criminal matters, ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000),
(www.unicef.org/iac/spbarbados/legal/global/cp/basic%2520restorative%2520justice%2520crimin
al% diakses pada tanggal 15 September 2012, terjemahan menurut penulis adalah sebagai berikut:
1. Program Restorative justice berarti setiap program yang menggunakan proses restorative
atau bertujuan untuk mencapai hasil restoratibe;
2. Hasil restorative berarti kesepakatan dicapai sebagai hasil dari restorasi dari proses
restorative. Contoh hasil restorative termasuk restitusi, pelayanan masyarakat dan program
lain atau respon yang dirancang untuk mencapai perbaikan dari korban dan masyarakat, dan
reintegrasi korban dan/atau pelaku.
3. Proses restorative berarti setiap proses di mana korban, pelaku dan /atau orang lain atau
anggota masyarakat yang terkena dampak kejahatan secara aktif berpartisipasi bersama
dalam penyelesaian masalah-masalah yang timbul dari kejahatan, seringkali dengan bantuan
pihak ketiga yang adil dan tidak memihak. Contoh dari proses restorative termasuk mediasi,
konferensi dan lingkaran hukuman.
4. Pihak berarti korban, pelaku, dan perorangan lainnya atau anggota masyarakat yang terkena
dampak kejahatan yang mungkin terlibat dalam program restorative justice.
5. Fasilitator "berarti pihak ketiga yang adil dan tidak memihak yang berperan untuk
memfasilitasi partisipasi korban dan pelaku dalam program pertemuan.
74 Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook,
2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
26
Universitas Indonesia
2.1.3. Tujuan
Proses Restorative justice mempunyai tujuan sebagai berikut:75
“Process goal include the following:
1. Victims who agree to be involved in the process can do safely and come
out it satisfied;
2. Offenders understand how their action has affected the victim and other
people, assume responsibility for the consequences of their action and
commit to making reparation;
3. Flexible measures are agreed upon by the parties which emphasize
repairing the harm done and, wherever possible, also address the
reasons for the offence;
4. Offenders live up to their commitment to repair the harm done and
attempt to address the factors that led to their behavior; and
5. The victim and the offender both understand the dynamic that led to the
specific incident, gain a sense of closure and are reintegrated into the
community.
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Chris Cunneen tentang
restorative justice yang ideal, yaitu:76
Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis
dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan
Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan
Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar
Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, terjemahan bebas dari penulis:”Keadilan
Restoratif adalah kerangka kerja baru terhadap pelanggaran dan konflik yang secara cepat dapat
diterima pendidik, ahli hukum, pekerja sosial dan Konseling sosial serta kelompok
masyarakat.Keadilan restorative adalah berdasarkan pendekatan nilai sebagai respon dari
pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada orang yang terkena akibat kejahatan,
orang yang melakukan kejahatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.”
75
United Nation, Op.Cit., hal. 9. Terjemahan bebas dari penulis yaitu: "Proses tujuan
meliputi:
1. Korban setuju untuk terlibat dalam proses yang dapat dilakukan dengan aman dan meghasilkan
kepuasan;
2. Pelanggar memahami bahwa perbuatan mereka telah mempengaruhi korban dan orang
lain, untuk kemudian bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan mereka
dan berkomitmenuntuk membuat perbaikan/reparasi;
3. Langkah-langkah fleksibel yang disepakati oleh para pihak yang menekankan untuk
memperbaiki kerusakan dilakukan dan, sedapat mungkin, juga mencegah pelanggaran;
4. Pelanggar membuat komitmen mereka untuk memperbaiki kerusakan yang dilakukan
dan berusaha untuk mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan perilaku mereka, dan
5. Korban dan pelaku baik memahami dinamika yang mengarah ke insiden tertentu, memperoleh
hasil akhir dan reintegrasi/kembali bergabung ke dalam masyarakat. 76
Chris Cunneen and Carolyn Hoyle, Debating Restorative Justice, (United Kingdom: Hart
Publishing, 2010), hal. 132.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
27
Universitas Indonesia
“Certainly the ideal is that restorative justice will be beneficial for both
victims and offenders. Victims will experience empowerment, healing
and closure. They will given the opportunity to ask questions about the
offence and express their emotion. Offenders will confront the harm
they have caused, take responsibility for their actions, apologize, act to
repair the harm and as a result be accepted back into their
community.”
2.2. Restorative Justice Sebagai Tujuan Pemidanaan
Untuk mengetahui lebih dalam tentang restorative justice sebagai tujuan
pemidanaan, maka pembahasan sub bab ini akan dibagi menjadi pemidanaan,
jenis pemidanaan dan tujuan pemidanaan.
2.2.1. Pemidanaan
Menurut Prof Sudarto, menyatakan bahwa penghukuman berasal dari
kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menerapkan hukum atau
memtuskan tentang hukumnya. Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak
hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata.
Selanjutnya Beliau mengatakan bahwa istilah penghukuman dapat dipersempit
artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim
dengan pemidanaan atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim.77
Menurut
Barda Nawawi Arief, syarat pemidanaan ada dua yang fundamental yaitu asas
legalitas dan asas kesalahan, dengan perkataan lain mengenai pemidanaan
berhubungan erat dengan pokok pemikiran mengenai tindak pidana dan
pertangungjawaban pidana.78
Andi Hamzah, mengatakan bahwa masalah penjatuhan pidana atau
pemidanaan ini sangat penting dalam hukum pidana dan peradilan pidana.79
Menurut Andi Hamzah”penjatuhan pidana atau pemidanaan merupakan
konkretisasi atau realisasi peraturan pidana dalam undang-undang yang
77
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, cetakan kedua
(Bandung: Alumni, 1998), hal. 1.
78
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 88.
79
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia Dari Retribusi ke Reformasi,
cetakan pertama (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hal.72.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
28
Universitas Indonesia
merupakan sesuatu yang abstrak.80
Andi Hamzah melanjutkan bahwa”hakim akan
mempunyai keleluasaan luar biasa dalam memilih berapa lama pidana penjara
yang akan dijatuhkan kepada terdakwa terntentu dalam kasus konkreto.”81
2.2.2 Jenis Pemidanaan
Pernyataan Andi Hamzah yang terakhir disebutkan kurang tepat, karena
penjatuhan hukuman atau pemidanaan terkesan hanya pidana penjara, padahal
jenis pemidanaan masih ada yang lainnya. Jenis pemidanaan atau pidana menurut
KUHP seperti dimaksud dalam Pasal 10 dibagi dalam dua jenis yaitu:82
a. Pidana pokok, yaitu:
1) Pidana mati;
2) Pidana penjara;
3) Pidana kurungan;
4) Pidana denda;
5) Pidana tutupan;
b. Pidana tambahan, yaitu:
1) Pencabutan hak-hak tertentu;
2) Perampasan barang-barang terentu;
3) Pengumuman putusan hakim;
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, disamping jenis sanksi yang
berupa pidana dalam hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa
tindakan, misalnya:83
a. Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit (lihat pasal 44 ayat (2) KUHP);
b. Tentang tindakan terhadap anak. Muladi masih mengacu kepada KUHP
karena pada waktu itu memang belum ada Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mencabut Pasal 45 KUHP,
bahkan sekarang telah ada penggantinya lagi yaitu Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.84
80 Ibid., hal.73.
81
Ibid.
82
R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, 1994 ), hal. 34.
83 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 45-46.
84
Point hurf b yang tentang tindakan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, penulis
tidak menampilkannya karena sudah tidak relevan dengan undang-undang yang sekarang
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
29
Universitas Indonesia
c. Penempatan di tempat bekerja Negara (landwerkinrichting) bagi
penganggur yang malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian,
serta mengganggu ketertiban umum dengan melakukan pengemisan,
bergelandangan atau perbuatan sosial (Stb. 1936 no. 160);
d. Tindakan tata tertib dalam hal tindak pidana ekonomi (Pasal 8 UU No.7
Drt 1955) dapat berupa:
1) Penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan untuk
selama waktu tertentu (3tahun untuk kejahatan TPE dan 2 tahun
untuk pelanggaran TPE);
2) Pembayaran uang jaminan selama waktu tertentu;
3) Pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut
taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan;
4) Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan
apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk
memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya si
terhukum sekedar hakim tidak menentukan lain;
Selain pidana dan tindakan yang diuraikan di atas, Hakim juga dapat
menjatuhkan pemidanaan berupa percobaan dan bersyarat, sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 14 a dan 14 c KUHP, yaitu:85
Pasal 14a
“Bila Hakim menjatuhkan pidana sementara paling lama satu tahun
atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti
denda, maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula
bahwa pidana itu tidak usah dijalani, kecuali bila dikemudian hari
ada putusan hakim yang menentukan lain karena terpidana
melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang
ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena
terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus
yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.”
Pasal 14c
“Dengan perintah yang dimaksud dalam Pasal 14a, kecuali bila
dijatuhkan pidana denda, hakim selain menetapkan syarat umum
bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dapat
menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu,
yang lebih pendek daripada masa percobaannya, ahrus mengganti
mengaturnya (ketentuan tersebut sudah dicabut). Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, menyebutkan bentuk tindakan yang dapat
dilakukan, yang merupakan hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk:
a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
c. Keikutsertaan dalam penddikan atau pelatihan ke Lembaga Pendidikan, Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial atau Lembaga Kesejahteraan Sosial, atau
d. Pelayanan masyarakat;
85
R Soesilo, Op.Cit. hal 39 dan 41.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
30
Universitas Indonesia
segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana
tadi.”
2.2.3. Tujuan Pemidanaan
Tujuan pemidanaan yang dimaksudkan adalah teori penjatuhan pidana
atau teori pemidanaan. Ada tiga golongan utama untuk membenarkan penjatuhan
pidana:86
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien);
2. Teori relatif atau tujuan (doeltheorien);
3. Teori gabungan (vereningstheorien);
Ad.1. Teori absolut mengatakan bahwa setiap kejahatan harus berakibat
dijatuhkannya pidana kepada pelaku. Secara historis tujuan pemidanaan
dengan teori pembalasan (retributive theory) dipelopori oleh Immanuel
Kant, tuntutan keadilan yang sifatnya absolut terlihat jelas dalam bukunya
“Philosophy of law, sebagai berikut:87
“… pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana
untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu
sendiri maupun bagi masyarkat, tetapi dalam semua hal harus
dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan
suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat
sepakat untuk menghancurkan dirinya (membubarkan masyarakat)
pembunuh terkahir yang masih berada di dalam penjara harus
dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu
dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya
menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam
tidaj boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak
demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut
ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran
terhadap keadilan umum.”
Menurut teori pembalasan (retributive theory), alasan pembenar
dalam penjatuhan hukuman, hukuman semata-mata sebagai imbalan dari
perbuatan jahat, pandangan teori retributive sebagai tujuan hukuman yang
paling tua, hukuman hanya diperuntukkan bagi pelaku kejahatan itu sendiri.
86
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari Retribusi ke Reformasi,
(Jakarta, Pradnya Paramita, 1986), hal. 17.
87
Immanuel Kant, Philosophy of Law, sebagaimana dikutip Muladi dan Barda Nawawi
Arief, Op.Cit., hal. 11.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
31
Universitas Indonesia
Dalam hal ini setiap individu manusia itu bertanggungjawab atas setiap apa
yang dilakukannya.88
Ad.2.Teori relatif atau tujuan mencari dasar hukum pidana dalam
menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pidana
untuk provensi terjadinya kejahatan. Menurut Muladi dan Barda Nawawi
Arief, teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari
keadilan, pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai
sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.89
Muladi dan Barda
Nawawi Arief menambahkan bahwa”pidana bukanlah sekedar untuk
melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu
yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut sebagai
teori tujuan (utilitarian theory).”90
Beda ciri pokok atau karakteristik antara retributive theory dan
teori utilarian yang dikemukakan secara terperinci oleh Karl O Christiansen
sebagai berikut:91
Tabel 2.1 Perbedaan Retributif Theory dan Utilitarian Theory
Retributif theory Utilitarian theory
a. Tujuan pidana adalah
semata-mata untuk
melakukan pembalasan;
a. Tujuan pidana adalah
pencegahan (prevention)
b. Pembalasan adalah tujuan
utama dan di dalamnya
tidak mengandung sarana-
sarana untuk tujuan lain
misalnya untuk
kesejahteraan masyarakat;
b. Pencegahan bukan tujuan
akhir tetapi hanya sebagai
saran untuk mencapai tujuan
yang lebih tinggi yaitu
kesejahteraan masyarakat
c. Kesalahan merupakan satu-
satunya syarat untuk adanya
pidana;
c.Hanya pelanggaran-
pelanggaran hukum yang
dapat dipersalahkan kepada si
88
Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, cetakan
pertama (Jakarta: Indhill CO, 2007), hal. 8-9.
89
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 16.
90
Ibid.
91
Ibid., hal 16-17.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
32
Universitas Indonesia
pelaku saja (misal karena
sengaja atau culpa) yang
memenuhi syarat untuk
adanya pidana;
d. Pidana harus disesuaikan
dengan kesalahan si
pelanggar;
d.Pidana harus diterapkan
berdasar tujuannya sebagai
alat untuk pencegahan
kejahatan;
e. Pidana melihat ke belakang,
ia merupakan pencelaan
yang murni dan tujuannya
tidak untuk memperbaiki,
mendidik atau
memasyaraktkan kembali si
pelanggar.
e.Pidana melihat ke muka
(bersifat prospektif); pidana
dapat mengandung unsur
pelecehan, tetapi baik unsur
pencelaan maupun unsur
pembalasan tidak dapat
diterima apabila tidak
membantu pencegahan
kejahatan untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat. Sumber: Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,(Bandung:
Alumni, 1998), hal.16-17.
Masih menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa Jeremy
Bentham melihat suatu prinsip etika baru mengenai kontrol sosial, yaitu
suatu metode pengecekan perbuatan manusia menurut prinsip etika yang
baru, prinsip itu disebut “utilitarianism”, Bentham mengemukakan bahwa
tujuan-tujuan dari pidana adalah:92
1) Mencegah semua pelanggaran (to prevent all offense);
2) Mencegah pelanggaran yang paling jahat (to prevent the worst
offences);
3) Menekankan kejahatan (to keep down mischief), dan
4) Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya (to act the least expense)
Ad.3.Teori gabungan merupakan gabungan dari teori absolut dan relatif. Teori ini
dibagi lagi menjadi 3 yaitu:
i. Yang menitikberatkan kepada pembalasan;
ii. Yang menitikberatkan kepada pertahanan tata tertib masyarakat/prevensi
seimbang;
92
Ibid., hal. 31.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
33
Universitas Indonesia
iii. Yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib
masyarakat.
Menurut Andi Hamzah belum banyak sarjana yang membahasnya,
namun dalam Rancangan KUHP nasional telah diatur tentang tujuan
penjatuhan pidana, yaitu:93
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
2. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup
bermasyarakat;
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidanam
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat;
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Menjadi pertanyaan sekarang, termasuk kategori yang manakah
restorative justice? Menurut Kathleen Daly sebagai berikut:94
93
Ibid, 23-24 Pasal 54 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tahun 2012
yaitu:
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat. 94
Kathleen Daly, Revisiting The Relationship Between Retributive and Restorative
Justice, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor:
Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), hal. 36.
Terjemahan bebas dari penulis yaitu: ´"Ada beberapa perbedaan lebih jelas daripada nyata, antara
praktek peradilan tradisional dan restoratif ... keadilan restoratif, korban mengambil peran yang
lebih utama dalam proses penekanannya adalah pada memperbaiki kerusakan antara pelaku dan
korban, anggota masyarakat atau organisasi mengambil peran yang lebih aktif dalam proses
peradilan, bekerja sama dengan negara, dan proses melibatkan dialog dan negosiasi antara para
pihak alam sengketa ".
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
34
Universitas Indonesia
“there are differences, some more apparent than real, between
traditional and restorative justice practices…restorative justice,
victims are to take a more central role in the process the emphasis
is on repairing the harm between an offender and victim,
community members or organisations take a more active role in the
justice process, working with state organisations; and the process
involves dialogue and negotiation among the major parties with a
stake in the dispute.”
Kathleen Daly, menggambarkan perbedaanya sebagai berikut:95
Tabel 2.2 perbedaan traditional justice (retributive and rehabilitative)
dengan restorative justice
Traditional justice (retributive
and rehabilitative)
Restorative Justice
Victims are peripheral
to the process;
The focus is on
punishing or on treating
an offender;
The community is
represented by the state;
The process is
characterized by
adversial relationship
among the parties
Victims are central to the
process;
The focus is on repairing
the harm between an
offender and victim, and
perhaps also an offender
and a wider community;
Community members or
organisations take a more
active role;
The process is
characterized by dialogue
and negotiation among
the parties. Sumber: Kathleen Daly, Revisiting The Relationship Between Retributive and Restorative
Justice.
Kathleen Daly kembali menegaskan perbedaan retributive theory dengan
restorative justice, yaitu:96
“I hasten to add that I am not arguing that justice and punishment
are the same or that justice is done when punishment is delivered.
My point is more subtle and in subjective sense, more complex than
95
Ibid. 96
Ibid., hal. 41. Terjemahan bebas dari penulis yaitu: "Saya cepat-cepat menambahkan
bahwa saya tidak sependapat bahwa keadilan dan hukuman adalah hal yang sama ketika
keadilan atau hukuman itu dilakukan. Maksud saya adalah lebih halus dan dalam arti subjektif
lebih luas dari itu. Hal ini untuk mengatakan bahwa kemampuan korban untuk menjadi murah hati
dan pemaaf dan untuk pelanggar untuk "membuat perubahan" bagi korban-elemen yang
merupakan tujuan yang diinginkan dalam keadilan restoratif, proses hanya dapat terjadi selama
atau setelah proses ketika hukuman, didefinisikan secara luas terjadi. "
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
35
Universitas Indonesia
that. It is to say that the ability of victims to be generous and
forgiving and for offenders to”make amends” to victims-element
that are desirable objectives in a restorative justice process-can
only come about during or after a process when punishment,
broadly defined, occurs.”
Jika Kathlen Daly berpendapat bahwa teknis hukuman (pengertian hukuman
secara luas) itu dibicarakan bersama antara pelaku dan korban, Seumas
Miller dan John Blackler, berpendapat bahwa dalam restorative justice juga
terdapat jenis hukuman yang memberi malu kepada pelaku untuk kemudian
direkonsialisasi yaitu:
“Restorative justice is often contrasted with retributive justice, on
the grounds that the letter is held to be committed to punishment
for its own sake, the former to abandoning punishment in favour of
shame, reconciliation and forgiveness. We will argue that there is
an ineliminable role for principles of retributive justice, incluiding
punishment, in the concept of restorative justice. We will further
argue that the concept of shame is more closelsy related to
punishment than might have been thought. Consequently, shame
and punishment are not alternatives, but go hand in hand within an
acceptable restorative justice framework.” 97
Konsep hukuman memberi malu pertama kali diungkapkan oleh John
Braithwaite, 1989 dalam bukunya Crime, Shame and Reintregation. Inti dari
kontrol sosial menurut Braithwaite sebagai shaming, yang dia definisikan
sebagai”all process of expressing disapproval which have the intention or
effect of invoking remorse in the person being shamed and/or concemnation
97
Seumas Miller dan John Blackler, Restorative Justice: Retribution, Confession and
Shame, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor:
Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), hal. 88.
Terjemahan bebas dari penulis yaitu: “Keadilan restoratif sering berbanding terbalik dengan
keadilan retributif, dengan alasan bahwa dasar retributive itu diadakan untuk berkomitmen
kepada hukuman untuk kepentingan diri sendiri, kemudain meninggalkan hukuman yang
membuat malu, rekonsiliasi dan pengampunan. Kami akan berpendapat bahwa ada
peran ineliminable untuk prinsip-prinsip keadilan retributif, termasuk hukuman, dalam
konsep keadilan restoratif. Kami selanjutnya akan berpendapat bahwa konsep rasa malu yang
lebih dekat terkait dengan hukuman. Akibatnya, rasa malu dan hukuman bukan alternatif,
namun berjalan beriringan dalam kerangka keadilan restoratif dapat diterima.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
36
Universitas Indonesia
by others who become aware of the shaming.”98
Shaming ada dua macam,
yaitu:
a. Disintegrative Shaming, menurut Braithwaite ini mestigmatisasi dan
meniadakan, jadi menciptakan suatu”class of outclass”. Pelaku tidak
hanya dihukum untuk kesalahannya tetapi juga dicap sebagai penjahat
yang tidak bisa dimaafkan dan tidak berguna untuk diperbaiki bagi
keanggotaan dalam masyarakat. Akibatnya adalah terjadinya jurang yang
semakin jauh dalam kejahatan;pelaku ditolak dari pekerjaannya serta
kesempatannya yang sah lain untuk bergabung dengan masyarakat
konvensional dan sebagai konsekuensinya bergabung dengan orang-
orang terbuang lainnya dalam menciptakan dan berpatisipasi dalam sub
budaya-sub budaya kriminal.
b. Reintegrative Shaming. Dalam hal ini, satu tindakan illegal yang pada
awalnya menimbulkan ketidaksetujuan masyarakat tetapi kemudian
diikuti oleh upaya-upaya”to integrate the offender back into the
community of law-abiding or respectable citizens through words or
gestures of forgiveness or ceremonies to decertify the offender as
deviant.”99
Dalam reintegrative shaming mempunyai dua wajah yaitu:
i. Membuat kepastian bahwa ketidakpantasan/ketidaktepatan
perbuatan salah itu diketahui oleh si pelaku dan oleh semua orang
yang menyaksikan, dan
ii. Menampilkan satu kesempatan untuk memperbaiki (to restore)
pelaku bagi keanggotaannya dalam kelompok.
Kombinasi ini menurut Braithwaite menurunkan kejahatan
melalui penekanan control yang lebih besar terhadap para pelaku
98
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, cetakan kesebelas (Jakarta,
Rajagrafindo Persada, 2011), hal 102-103. Terjemahan yang diberikan dari buku ini yaitu”semua
proses mengekspresikan ketidaksetujuan yang memiliki kesengajaan atau pengaruh dari meminta
penyesalan mendalam pada diri orang yang mendapat malu/dan atau disalahkan pihak lain yang
tahu tentang itu.”
99
Terjemahan yang diberikan dari buku ini yaitu”untuk mengintegrasikan pelaku kembali
kepada masyarakat sebagai orang yang taat hukum atau warga yang terhormat melalui kata-kata
atau bahasa tubuh yang menunjukkan pemaafan atau pernyataan untuk tidak menandai pelaku
tersebut sebagai deviant.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
37
Universitas Indonesia
dan dengan tidak menggerakkan proses-proses krimogenik yang
diakibatkan oleh stigmatisasi dan pengusiran sosial. 100
John Braithwaite dan Philip Pettit, berpendapat sebagai berikut:101
“The reintegrative ideal, closely tied to this, is that whatever
process and treatment is involved, it should so far as possible
promote the prospect that the victim and the offender are each
reintegrated into society as recognized, respected members.
Restorative justice conferences offer the best prospect of achieving
a process, and an agreed outcome, that will communicate the
reason why the offence is objectionable. And they also promise the
best chance of reintegration. They are designed to maximize social
support for both offenders and victims, particularly through
selecting for attendance those supporterts enjoying the strongest
relationship of trust or love with them. The impact of restorative
justice conference will be particularly positive if reintegrative
shaming theory is correct and there is some evidence that
reintegrative shaming does reduce lawbreaking.”
Dengan demikian John Braitwaite dan Philip Petit dalam
kesimpulannya berpendapat bahwa restorative justice berfungsi sebagai
pencegahan terhadap kejahatan daripada penghukuman dari pengadilan
“The explanatory theory of domination and crime explains why restorative
justice may be more effective in preventing crime than punishment by
court.”102
100
Ibid., hal. 103-104.
101
John Braithwaite dan Philip Pettit, Republicanism and Restorative Justice: An
Explanatory and Normative Connection, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice
Philosophy to Practice, editor: Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth
Publishing Company, 2000), hal. 159-160. Terjemahan bebas dari penulis yaitu:” reintegratif yang
ideal, terkait erat dengan hal ini, adalah bahwa apapun proses dan pelaksanan yang terlibat, harus
sejauh mungkin mempromosikan prospek bahwakorban dan pelaku masing-masing reintegrasi ke
dalam masyarakat seperti diakui, dihormati anggota. Pertemuan dalam keadilan restoratif
menawarkan prospek terbaik untuk mencapai proses, dan hasil yang disepakati, yang akan
menyampaikan dalam komunikasi tersebut sebagai alasan mengapa pelanggaran dilakukan.
Dan pertemuan itu juga menjanjikan kesempatan terbaik untuk reintegrasi. Pertemuan tersebut
dirancang untuk memaksimalkan dukungan sosial untuk kedua pihak yaitu pelaku dan korban
khususnya, kehadiran mereka mendukung untuk menikmati hubungan terkuat kepercayaan atau
cinta dengan mereka. Dampak pertemuan dalam restorative justice akan sangat positif dan
membenarkan tentang teori mempermalukan reintegratif dan ada beberapa bukti
bahwa mempermalukan reintegrative mengurangi pelanggaran hukum.” 102
Ibid., hal. 161. Terjemahan bebas dari penulis yaitu:”Penjelasan Teori dominasi dan
kejahatan menjelaskan mengapa keadilan restoratif mungkin lebih efektif dalam
mencegah kejahatan dari hukuman oleh pengadilan.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
38
Universitas Indonesia
Menurut Luhut MP Pangaribuan, bahwa restorative justice sebagai tujuan
pemidanaan, walaupun tidak secara tegas sebagi pencegahan/deterrence,
teori relatif tetapi jelas bukan sebagai pembalasan/teori absolut, yaitu:103
“Dalam perkembangannya, konsep penyelesaian suatu kasus
pidana tidak lagi penjara karena merupakan perwujudan dendam
dan sekaligus beban kepada negara tetapi lebih ke arah merestorasi
hubungan pelaku, korban dan masyarakat.”
Penggabungan antara teori absolut dengan relatif, kemudian
dikembangkan oleh Muladi dengan menyebutnya dengan teori integratif,
menurutnya karena tujuannya bersifat integratif maka perangkat tujuan
pemidanaan adalah:104
1. Pencegahan umum dan khusus; salah satu tujuan utama pemidanaan
terhadap pelaku tindak pidana mencegah atau menghalangi pelaku tindak
pidana tersebut dan juga orang lain yang mungkin punya maksud untuk
melakukan kejahatan-kejahatan semacam karenanya mencegah
kejahatan lebih lanjut;
2. Perlindungan masyarakat, sebagai tujuan pemidanaan mempunyai
dimensi yang bersifat luas, karena secara fundamental ia merupakan
tujuan pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai
kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar
masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan tindak pidana;
3. Memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan bertujuan untuk
menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam
perseorangan;
4. Pengimbalan/pengimbangan, Muladi mengutip pendapat Sudarto yang
mengatakan”dewasa ini tidak ada lagi penganut pembalasan, dalam arti
pidana merupakan keharusan belaka. Kalau masih ada penganut
pembalasan, itu dikatakan sebagai penganut teori pembalasan modern.
103
Luhut M P Pangaribuan, Lay Judges&Hakim Ad Hoc: Suatu Studi Teoritis Mengenai
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama
dengan Papas Sinar Sinanti, 2009), hal. 257.
104
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, cetakan ketiga (Bandung, Alumni, 1984), hal. 81-
86.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
39
Universitas Indonesia
Dalam arti pembalasan modern inilah tujuan pemidanaan berupa
pengimbalan/pengimbangan perlu diperhatikan.”
Muladi menyatakan bahwa masalah pemidanaan menjadi sangat
kompleks sebagai akibat dari usaha untuk memperhatikan faktor-faktor yang
menyangkut hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat
operasional dan fungsional. Untuk itu diperlukan pendekatan
multidimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan,
baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual maupun
keharusan.105
M.Solehhudin mencoba mensimpulkan tentang teori integratif dari
Muladi tersebut, yang menurut penulis disinilah fungsi restorative justice
sebagai tujuan pemidanaan, yaitu:106
“Teori tujuan pemidanaan integratif tersebut berangkat dari asumsi
dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap
keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan
masyarakat yang menimbulkan kerusakan individual dan
masyarakat, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki
kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.”
2.3. Eksistensi Restorative Justice Di Pengadilan
Dalam sub bab yang sebelumnya telah dijelaskan tentang restorative
justice, dan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan. Dalam sub bab ini akan
dijelaskan dan dianalisa tentang eksistensinya restorative justice di pengadilan.
Pemilihan judul sub bab ini terkait dengan penerapan restorative justice dalam
putusan pengadilan. Indonesia adalah negara civil law dimana peraturan
perundang-undangan menjadi yang utama daripada putusan pengadilan. Dengan
demikan dasar penerapan hukum yang utama adalah peraturan perundang-
undangan.
105
Muladi, Loc.Cit.
106
M. Solehhuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track
System&Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 51.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
40
Universitas Indonesia
Jika melihat dari peraturan perundang-undangan yang ada, hanya Undang-Undang
nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyebutkan
secara jelas dan tegas keberadaan restorative justice, yaitu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 jo Pasal 1 angka (7) jo Pasal 7, yaitu:107
Pasal 5
(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan
Keadilan Restoratif.
(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum; dan
c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan
selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah
menjalani pidana atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.
Pasal 1
Angka 7. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Pasal 7
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi;
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Namun demikian Undang-Undang ini hanya berlaku untu anak dan itupun
baru bisa diterapkan dua tahun dari diundangkannya Undang-Undang tersebut,
yang berarti baru berlaku pada 30 Juli 2014.108
Artinya sampai sekarang ini, dasar
hukum untuk menerapkan restorative justice di pengadilan khususnya dalam
putusan pengadilan, belum ada dasar hukumnya. Jika demikian apakah restorative
107
Indonesia, Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Loc.Cit. 108
Ibid., Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak
mengatakan bahwa”Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak
tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
41
Universitas Indonesia
justice tidak bisa diterapkan dalam putusan pengadilan jika belum ada dasar
hukum, peraturan perundang-undangan yang mengaturnya?
Restorative justice memang belum diatur dalam perundang-undangan di
Indonesia, namun Hakim jika ingin menerapkannya dalam putusannya, hal ini
dikarenakan Hakim tidak bisa menolak perkara yang harus diadilinya,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:109
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Hakim, jika dihadapkan terhadap hal yang hukumnya tidak ada atau kurang
jelas, mempunyai cara untuk menemukannya (penemuan hukum), hal tersebut
juga yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.” 110
Telah dijelaskan tentang restorative justice dan tujuan pemidanaan dalam
sub bab sebelumnya, maka restorative justice merupakan suatu konsep yang telah
diterapkan dalam masyarakat Indonesia. Nilai musyawarah untuk mencapai
mufakat untuk menyelesaikan perkara yang ada dalam masyarakat Indonesia
bahkan telah menjadi nilai dari ideologi Indonesia yaitu Pancasila. Hal ini juga
tidak berbeda dengan penyelesaian melalui hukum adat. Praktek hukum adat
sangat memperhatikan kepentingan korban baik yang bersifat material atau
immaterial. Praktik-praktik ini tidak lain “restorative Justice” yang telah menjadi
tradisi masyarakat hukum adat kita.111
Pembahasan tentang penyelesaian adat
akan dibahas lebih mendalam di bab selanjutnya.
Jika melihat dari tujuan pemidanaan dan jenis pemidanaan yang diatur
dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2012, maka pendekatan
109
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Loc. Cit.
110
Ibid.
111
Bagir Manan, Loc.Cit.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
42
Universitas Indonesia
restorative justice telah diadopsi di dalamnya, pasal 54 telah mengatur yang
menjadi tujuan pemidanaan, yaitu: 112
(1) Pemidanaan bertujuan:
a.mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
b.memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c.menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
d.membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.
Pasal 42 ayat (2) dan (3) RUU KUHAP tahun 2012 menyatakan:113
Pasal 42
(2) Penuntut umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau
dengan alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat
maupun tanpa syarat.
(3) Kewenangan penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilaksanakan jika:
a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;
b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat tahun);
c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda;
d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70
(tujuh puluh) tahun; dan/atau
e. kerugian sudah diganti.
Dalam penjelasannya dinyatakan sebagai berikut:114
Ayat (2) Kewenangan penuntut umum dalam ketentuan ayat ini disebut
juga dengan asas oportunitas yaitu kewenangan untuk menuntut
atau tidak menuntut perkara dan untuk penyelesaian perkara di
luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan ini
dipertanggungjawabkan kepada kepala Kejaksaan Tinggi setiap
bulan.
Ayat (3) Cukup jelas.
112
Rancangan KUHP tahun 2012.
113
Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana Tahun 2012
114
Penjelasan Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana Tahun 2012
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
43
Universitas Indonesia
Di dalam Naskah Akademik dari RUU KUHAP juga menegaskan tentang adanya
konsep restorative justice yaitu:
“Penyelesaian di luar pengadilan tercantum di dalam Pasal 42 ayat (2) dan
(3) Rancangan. Pasal 42 ayat (2) berbunyi: ”Penuntut umum juga
berwenang demi kepentingan umum dan/atau alasan tertentu
menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat.” Pasal
42 ayat (3) menyebut syarat-syarat itu sbb :
(a) tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;
(b) tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun;
(c) tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda;
(d) umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas tujuh
puluh tahun; dan/atau
(e) kerugian sudah diganti.
Tindak pidana bersifat ringan, misalnya menipu (Pasal 378 KUHP) yang ancaman
pidananya maksimum empat tahun penjara sebesar 10 (sepuluh) juta rupiah untuk
membayar biaya rumah sakit, kemudian telah membayar kepada korban.
Dengan demikian, korban pun mendapat kembali uangnya, daripada penipu ini
masuk penjara dan uang tidak kembali. Penyelesaian seperti ini termasuk
peradilan restoratif (restorative justice), adanya perdamaian antara korban dan
pelaku. 115
Tentang jenis pidana dalam RKUHAP juga memperhatikan korban ,
yaitu Pasal 133 dan 134 RKUHAP:116
Pasal 133
(1) Apabila terdakwa dijatuhi pidana dan terdapat korban yang
menderita kerugian materiel akibat tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa, hakim mengharuskan terpidana
membayar ganti kerugian kepada korban yang besarnya
ditentukan dalam putusannya.
(2) Apabila terpidana tidak membayar ganti kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harta benda terpidana disita dan
dilelang untuk membayar ganti kerugian kepada korban.
(3) Apabila terpidana berupaya menghindar untuk membayar
kompensasi kepada korban, terpidana tidak berhak
mendapatkan pengurangan masa pidana dan tidak
mendapatkan pembebasan bersyarat.
(4) Dalam penjatuhan pidana bersyarat dapat ditentukan syarat
khusus berupa kewajiban terpidana untuk membayar ganti
kerugian kepada korban.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyitaan
dan pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 134
115
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana Tahun
2012.
116
Rancangan KUHAP tahun 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
44
Universitas Indonesia
Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya memperoleh
kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Nilai yang hidup dari masyarakat berupa musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam menyelesaikan konflik, juga menganut pendekatan restorative
justice. Yang belakangan ini tepat kiranya memakai dasar hukum Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 117
Undang-Undang no.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak memang
belum berlaku, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahkan belum
disahkan/diundangkan, namun kesemuanya mengatur tentang pendekatan
restorative justice. Sedangkan untuk peraturan perundang-undangan yang belum
berlaku atau bahkan belum diundangkan, Hakim dapat menggunakan metode
penemuan hukum.
Menurut Soedikno Mertokusumo, “terhadap peraturan perundang-undangan
yang tidak jelas dan tidak lengkap, maka harus menemukan hukumnya. Metode
penemuan hukum melalui interpretasi atau metode penafsiran.118
Salah satu
metode interpretasi yang disebutkan Soedikno adalah interpretasi antisipatif atau
futuristis, yaitu penafsiran antisipasif yang dicari pemecahannya dalam peraturan
perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, misal.rancangan
undang-undang.119
Dengan demikian melalui interpretasi antisipasif atau
futuristis, pendekatan restorative justice dapat diterapkan di pengadilan,
khususnya dalam putusan pengadilan.
Dalam menggunakan intepretasi ini tetap berpedoman bahwa hakim ketika
akan memberikan pemidanaan dalam putusannya mengacu kepada keadilan.
117
Ibid.
118
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
20100, hal. 73.
119
Ibid., hal. 80.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
45
Universitas Indonesia
Keadilan yang seperti apa yang akan diberikan? restorative justice timbul karena
adanya kritik terhadap sistem peradilan pidana, yang tidak memberikan peran dan
keadilan yang dirasakan langsung oleh korban. Restorative justice memberikan
peran dan keadilan bukan hanya yang dirasakan untuk pelaku, tetapi korban
bahkan juga masyarakat. Keadilan dimana tidak ada pihak yang diuntungkan dan
dirugikan, sebagimana yang dimaksud dengan keadilan sebagai fairness oleh John
Rawls. 120
Berikut ini adalah beberapa contoh putusan pengadilan yang telah
menerapkan restorative justice, yaitu sebagai berikut:
2.3.1. Putusan no.1600 K/Pid.B/2009
Putusan ini merupakan salah satu landmark decision Mahkamah Agung
Republik Indonesia pada tahun 2011.121
Putusan ini secara jelas dan tegas dalam
pertimbangannya menggunakan restorative justice. Putusan nomor 1600
K/Pid/2009 menceritakan tentang Ny.Emawati(pelapor/korban) yang melaporkan
menantunya (delik aduan), Ny.Ismayawati dengan tuduhan penipuan dalam
keluarga/penggelapan dalam keluarga sebesar Rp 3.910.000.000,- (tiga milyar
Sembilan ratus sepuluh juta rupiah). Ny Emawati mencabut tuntutannya karena
telah memaafkan terdakwa dan mengingat dua anak terdakwa yang masih kecil-
kecil yang masih sangat membutuhkan kasih sayang. Permohonan pencabutan
tersebut dinyatakan di persidangan, setelah lewat waktu tiga bulan yang
merupakan batas waktu pencabutan delik aduan. Majelis Hakim mengabulkan
permohonan tersebut dan menyatakan penuntutan perkara tersebut tidak dapat
diterima.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya, berargumen salah satu tujuan
hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya
tindak pidana. Walaupun pencabutan telah lewat waktu tiga bulan sesuai syarat
Pasal 75 KUHP, Majelis Hakim menilai pencabutan perkara bisa memulihkan
ketidakseimbangan yang terganggu. Majelis Hakim mengatakan perdamaian yang
120
John Rawls, Op.Cit., hal. 21.
121
Mahkamah Agung, Loc.Cit.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
46
Universitas Indonesia
terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus
diakui. Bila perkara ini dihentikan, manfaatnya lebih besar daripada dilanjutkan.
Selanjutnya Majelis Hakim mengatakan bahwa dalam ajaran restorative justice,
kejahatan jangan hanya dilihat sebagai pelanggaran terhadap negara dan
kepentingan umum. Konflik juga merepresentasikan terganggu atau terputusnya
hubungan antar individu dalam masyarakat.122
Dalam pertimbangan tersebut, memang adanya kebesaran hati dari korban
yang mencabut aduannya, terlihat memang mempertimbangkan kembalinya
hubungan antara pelaku dan korban, namun sayangnya tidak menyinggung
tentang kerugian korban. Korban mengatakan telah memaafkan pelaku namun
tidak disebutkan bahwa tentang kerugian telah atau akan dibayarkan oleh pelaku.
Jumlah kerugian yang diderita korban pun tidak sedikit, sehingga seharusnya juga
dipertimbangkan untuk dibayarkan oleh pelaku.
2.3.2. Putusan no. 2238 K/Pid.B/2009
Andi Marjun alias Andi (pelaku) selaku teknisi dari usaha TV kabel milik
Arifin Terah (korban), pada bulan Agustus 2007 sampai dengan bulan Agustus
2008 melakukan penyambungan siaran TV kepada 121 rumah/pelanggan tanpa
sepengetahuan korban, biaya satu kali penyambungan sebesar Rp 300.000,- dan
iuran bulanan sebesar Rp 15.000,- per pelanggan. Uang penyambungan TV kabel
dan iuran bulanan yang seharusnya disetorkan kepada korban ternyata tidak
disetorkan melainkan dipakai sendiri oleh pelaku. Pelaku didakwa melanggar
Pasal 372 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Pasal 378 KUHP jo Pasal 64
ayat (1) KUHP.
Majelis kasasi berpendapat bahwa pelaku selaku teknisi TV kabel milik
korban yang diberi kewenangan untuk menarik biaya pemasangan sebesar Rp
300.000,- dan iuran bulanan sebesar Rp 15.000,- dari pelanggan, jadi uang
tersebut ada pada pelaku sesuai dengan kepercayaan yang diberikan oleh korban,
bukan karena kejahatan, yang seharusnya uang biaya penyambungan TV kabel
122
Pertimbangan hukum Majelis Kasasi dalam Putusan Nomor 1600 K/ Pid.2009
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
47
Universitas Indonesia
sebanyak 64 rumah/orang kali Rp 250.000,-123
sejumlah Rp 16.000.000,- dan
iuran TV kabel sejak bulan September 2007 sampai dengan juli 2008 dari 64
pelanggan kali Rp 14.000,- (11 x 64x Rp 14.000,-) sejumlah Rp 9.856.000,-
seluruhnya berjumlah Rp 25.856.000,- diserahkan kepada korban sebagai pemilik
dari usaha tersebut, akan tetapi oleh terdakwa tidak diserahkan dan ternyata uang
tersebut digunakan untuk biaya pengobatan orang tua dan anaknya yang sedang
sakit.
Dalam pertimbangan hal yang meringankan, Majelis mengatakan bahwa
pelaku mengakui perbuatannya, hal itu mencerminkan masih ada sifat jujur pada
diri pelaku. Pelaku mempunyai itikad yang kuat untuk mengembalikan kerugian
yang diderita korban dan motif dari pelaku adalah keinginan untuk mengobati
sakit keluarga yang menjadi tanggungannya. Sedangkan dalam hal yang
memberatkan, Majelis mengatakan bahwa perbuatan pelaku menimbulkan
kerugian yang cukup besar bagi korbann.
Dalam putusannya pelaku dinyatakan bersalah melakukan penggelapan dan
dijatuhi pidana penjara selama tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan
disamping itu apabila pelaku dalam tenggang waktu lima bulan sejak putusan
diberitahukan, tidak membayar lunas uang yang digelapkan sebesar Rp
25.856.000,- kepada korban.
Putusan ini memang memberikan keadilan kepada korban dalam bentuk
adanya ganti rugi, akan tetapi dalam putusan tersebut tidak dijelaskan adanya
permintaan maaf atau penerimaan maaf yang menandakan adanya suatu upaya
untuk mengembalikan hubungan atau memulihkan hubungan antara pelaku
dengan korban. Pembayaran ganti rugi memang mengembalikan kepada keadaan
semula dan memberikan peran dan keadilan kepada korban namun seyogyangya
juga harus dilihat kepada pemulihan hubungan antara pelaku dan korban. Dengan
demikian tidak berarti yang penting telah dibayar kerugian korban, namun
hubungan tidak kembali, pendek kata misal pelaku tidak dipekerjakan lagi sebagai
123
Dalam pertimbangan tersebut juga terungkap fakta, bahwa setiap pemasangan TV
kabel, pelaku mendapatkan Rp 50.000,- dan untuk tiap iuran setiap bulannya pelaku juga
mendapatkan Rp 1.000,- dari setiap pelanggan.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
48
Universitas Indonesia
teknisi TV kabel oleh korban, karena korban masih merasa dendam, tidak suka
bahkan tidak percaya lagi kepada pelaku.
2.3.3. Putusan no. 307 K/Pid.Sus/2010
A Syarif Zen bin Barzan Bakri (pelaku) menikah resmi dengan Masyati
(korban) pada tanggal 19 Februari 1978 dan dari pernikahan tersebut telah
memiliki lima orang anak. Sejak tanggal 27 Maret 2007 sampai dengan sekarang
(2009), telah meninggalkan rumah dan menelantarkan korban dan kelima anaknya
dengan tidak memberikan nafkah. Pelaku didakwa melanggar Pasal 49 huruf a jo
Pasal 9 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pelaku didakwa telah melakukan kekerasan
dalam rumah tangga dalam bentuk penelantaran.
Putusan pengadilan negeri menjatuhkan hukuman enam bulan penjara
kepada pelaku dan pengadilan tinggi juga menguatkan putusan tersebut. Majelis
kasasi menyatakan pelaku terbukti melakukan tindak pidana telah menelantarkan
orang lain yang merupakan istri sahnya dalam lingkup rumah tangga dan
menjatuhkan pidana kepada pelaku enam bulan penjara dengan masa percobaan
satu tahun dengan syarat khusus memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak
yang masih menjadi tanggungannya (korban) sebanyak Rp 1.000.000,- setiap
bulan.124
Majelis dalam hal ini hanya menganulir tentang pemidanaannya dengan
pertimbangan bahwa pemidanaan yang dijatuhkan oleh pengadilan tinggi tidak
memberikan manfaat.
Majelis berpendapat bahwa pelaku telah meninggalkan rumah sejak tahun
2007 dan tidak memberikan nafkah kepada korban dan para saksi (kelima
anaknya), pelaku selain menelantarkan korban dan saksi-saksi juga telah kawin
dengan wanita lain, agar dapat menjadi pelajaran dikemudian hari pelaku pantas
diberi hukuman pidana sebagai pelajaran, akan tetapi putusan judex facti perlu
diperbaiki karena tidak bermanfaat bagi dirinya maupun untuk korban, karena itu
124
Amar putusan no. 307 K/Pid.Sus/2010
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
49
Universitas Indonesia
diperbaiki dengan pidana percobaan dengan syarat menafkahi istri dan anak-
anaknya.125
Putusan ini memang memberikan keadilan kepada korban untuk
kedepannya, namun tidak memberikan penggantian kerugian yang telah dilakukan
oleh pelaku. Selama dua tahun pelaku telah menelantarkan korban seharusnya jika
Majelis berpendapat bahwa nafkah yang pantas diberikan adalah Rp 1.000.000,-
maka dikalikan 24 menjadi Rp 24.000.000,- jumlah yang harus dibayar pelaku
kepada korban atas perbuatan pelaku. Selain itu Majelis juga tidak
mempertimbangkan tentang hubungan antara pelaku dengan korban yang
seharusnya pemidanaan juga diupayakan kepada pemulihan hubungan antara
pelaku dengan korban, misal dengan adanya permintaan maaf dari pelaku dan
penerimaan maaf dari korban, sehingga tidak ada dendam dan kembali ke keadaan
seperti semula.
2.3.4. The Clotworthy Case, (New Zealand: 1998)
”Mr Clotworthy was convicted on place of guilty of two counts, wounding
with intent to cause grievous bodily harm, robbery being the motive, and
assaulting of his duty. the incident took place in a street in Auckland when
the offender demanded money from a passer-by, slashed him in the face and
stabbed him in the chest with a knife, severely injuring him. indeed, he was
lucky to survive. the victim had emergency surgery to repair a collapsed
lung and diaphragm. he required blood transfusions and was in intensive
care for some days. the attack brought on a resurgence of the victim's
epilepsy, as a result of which he could no resurgence drive a vehicle. the
offender was aged 27 and had been drinking. the sentencing judge thought
that the starting point for sentencing was a sentence in the order of 3-4
years. Conferencing had been organised by justice alternatives, a
restorative justice facilitator, with the victim, the offender and their support
persons. the victim was understanding and did not demand heavy
punishment but was interestesd in reparation. the offender, who was
otherwise a person of good character, was anxious to redeem himself. In the
result, a suspend of 2 years imprisonment was imposed. Reparation was
ordered in the sum of $15.000 of which $5.000 was to be an immediate
down payment. the purpose of this reparation was to fund plastic surgery
for the wounds suffered. in addition, Mr. Clotworthy was required to
undertake 200 hours community service. the crown applead on the ground
that a suspended sentece for 2 years was inadequate. the court of appeal
heard submissions from the victim who urged that imprisonment would
125
Pertimbangan hukum Majelis kasasi putusan no. 307 K/Pid.Sus/2010
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
50
Universitas Indonesia
achieve nothing for the offender or himself. the court of appeal made the
point that public interest in sentencing cannot be confined to victim and
offender stating. The public interest in consistency, integrity and the
criminal justice system and deterrence of others are factors of major
importance. The court considered that the sentencing judge's starting point
for the crime of violence was too low-it should have been 5-6 years, not 3-4
years. the offer of reparation did not justify suspension of the sentence and
the serving of a term of imprisonment meant that the offender could not
afford reparation at the level ordered. so reparation sentence imposed was
a term of 3 years imprisonment. that being a reduction from the norm 5-6
years. the court concluded by saying "we would not wish this judgment to be
seen as expressing any general opposition to the concept of restorative
justice (essentially the policies behind ss 11 and 12 of the criminal justice
act). those policies must, however, be balanced against other sentencing
policies, particularly in this case those inherent in s5, dealing with case of
serious violence. which aspect should predominate will depend on an
assessment of where the balance should lie in the individual case. even if the
balance is found, as in this case, to lie in favour of s5 policies, the
restorative aspects can have, as here, a significant impact on the length of
term of imprisonment which the court is directed to impose. they find their
place in the ultimate outcome in that way."126
126
The Hon.Sir Anthony Mason Ac Kbe, Restorative Jsuctice: Courts and Civil Society,
sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather
Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), hal. 4-6.
Terjemahan bebas dari penulis:” Tuan Clotworthy dihukum bersalah atas dua tuduhan, melukai
dengan maksud untuk menyebabkan luka berat, dengan motif perampokan, dan menyerang dari
tugasnya. Insiden itu terjadi di sebuah jalan di Auckland saat pelaku meminta uang dari seorang
pejalan kaki, memukul wajah korban dan menikamnya di bagian dada dengan pisau, sehingga
korban luka-luka. Beruntung korban masih bertahan hidup. korban menjalani operasi darurat untuk
memperbaiki paru-parunya dan diafragma. ia membutuhkan transfusi darah dan dalam perawatan
intensif selama beberapa hari. Serangan tersebut memicu epilepsy korban dan berakibat iatidak
bisa mengendarai kendaraan. pelaku berusia 27 dan telah minum. hakim menjatuhkan pidana
berpikir bahwa titik awal untuk pemidanaan adalah pemidanaan antara 3-4 tahun. Keadilan
alternatif melalui pendekatan keadilan restoratif menyelenggaran pertemuan melalui fasilator
dengan korban, pelaku dan masyarakat. korban tidak menuntut pemidanaan berat tapi
menginginkan dalam perbaikan. pelaku, dimana pelaku adalah seseorang yang berkarakter yang
baik, dan sangat ingin menebus kesalahannya. Hasilnya Pengadilan Negeri memidana pelaku 2
tahun penjara yang ditangguhkan (pidana percobaan) dan memerintahkan untuk membayar sebagai
biaya perbaikan dalam jumlah $ 15,000 dan $ 5,000 sebagai uang muka untuk mendanai operasi
plastik untuk luka yang diderita. Tuan Clotworthy diminta untuk melakukan 200 jam pelayanan
masyarakat. Pengadilan banding menyatakan bahwawa pemidanaan 2 tahun penjara yang
ditangguhkan itu tidak memadai. pengadilan banding mendengar masukan dari korban yang
mennganggap bahwa penjara tidak akan mencapai apa-apa untuk pelaku atau dirinya
sendiri. pengadilan banding membuat titik bahwa kepentingan umum dalam pemidanaan tidak
dapat terbatas pada korban dan pelaku menyatakan. Pengadilan banding berpendapat bahwa
demi menjaga konsistesi dan integritas dalam sistem peradilan pidana maka kepentingan
umum dan pencegahan merupakan faktor utama. Pengadilan menganggap bahwa hakim
memidana untuk kejahatan kekerasan terlalu rendah seharusnya 5-6 tahun, bukan 3-4 tahun.
Adanya reparasi tidak membenarkan penangguhan pemidanaan sedangkan menjalani pemidanaan
penjara berarti bahwa pelaku melakukan perbaikan, sehingga pemidanaan reparasi yang
dikenakan adalah 3 tahun penjara. Dan ini menjadi pengurangan pemidanaan dari 5-6
tahun.Pengadilan menyimpulkan dengan mengatakan
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
51
Universitas Indonesia
Menurut John Braithwaite, dalam kasus tersebut” the clotworthy case before
the court of appeal of new zealand has been more damaging than supportive to
the principles of restorative justice”127
Hal ini bisa dimengerti karena Pengadilan
banding Selandia Baru yang memidana tiga tahun penjara kepada pelaku dengan
tidak mempertimbangkan kepentingan korban -dengan dasar kepentingan umum
dan pencegahan kejahatan- dan diabaikannya. Padahal Pengadilan Negeri telah
memidana pelaku dengan hukuman percobaan dua tahun penjara dan memberikan
$15.000 kepada korban untuk biaya bedah plastik serta 200 jam pelayanan
masyarakat, telah memberikan peran dan keadilan kepada korban. Korban dan
pelaku menyadari bahwa pidana penjara tidak akan memberikan manfaat apa-apa
untuk mereka.
Hal yang menarik adalah baik Pengadilan Negeri dan Pengadilan banding
sama-sama menggunakan konsep restorative justice dalam pertimbangannya,
namun dengan penafsiran yang berbeda. Menurut Sir Anthony Mason, pengadilan
banding telah salah dalam menafsirkan kepentingan umum:
” For my part, i am in general agreement with the approach taken by the
court of appeal under the law as it stands. i do not think that it was
defensible, under our existing system of criminal justice, to uphold the
orders of the sentencing judge in a case involving such a serious offence
involving gross violence. indeed, in my view, the case was not an ideal
vehicle for the restorative justice approach. The court of appeal did,
however, give very considerable weight to the conferencing solutions. there
was a significant reduction in the term of imprisonment which otherwise
would have been awarded. the flaw in the conferencing solution and in the
sentencing judge's judgment was a failure to sufficiently recognise the
public interest element, an element which is embedded in the existing
law.”128
"Kami tidak ingin keputusan ini harus dilihat sebagai pernyataan oposisi umum untuk konsep
keadilan restoratif (dasarnya kebijakan belakang ss 11 dan 12 dari tindak peradilan pidana).
kebijakan tersebut harus, bagaimanapun, akan seimbang terhadap kebijakan pemidanaan
lainnya, khususnya dalam hal ini mereka yang melekat dalam s5, menangani kasus kekerasan
yang serius. yang harus mendominasi aspek akan tergantung pada penilaian di mana keseimbangan
harus terletak pada kasus individual. bahkan jika keseimbangan ditemukan, seperti dalam kasus
ini, mensalahartikan kebijakan s5, ada aspek restoratif disini dengan dampak yang signifikan pada
pemidanaan penjara yang oleh pengadilan diarahkan untuk memaksakan mereka menemukan
tempat mereka di hasil akhir dengan cara seperti itu."
127John Braithwaite, Op.Cit., hal. 147. terjemahan bebas dari penulis” kasus Clotworthy
oleh pengadilan banding selandia baru telah merusak prinsip-prinsip keadilan restoratif.”
128
Sir Anthony Mason, Loc.Cit., terjemahan bebas dari penulis” "Bagi saya, secara
umum dengan pendekatan yang diambil oleh pengadilan banding adalah kaku. Saya tidak
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
52
Universitas Indonesia
Hellen Bowen dan Terri Thomson juga berpendapat sama bahwa pengadilan
tinggi telah salah menafsirkan tentang kepentingan umum, yaitu:
“Justice Tipping for the Court of Appeal endorsed restorative justice
policies by affirming them as part of the balancing exercise in sentencing.
The other significant policy factor considered by the Court was that of
"public interest" in deterrence of others. This public interest was found to
outweigh the restorative justice elements. While the judgment is positive
affirmation of restorative justice, the Court‟s analysis of restorative justice
must be seen as superficial. By focusing narrowly on reparation, the Court
of Appeal failed to seize the opportunity to fully consider restorative justice
principles. It is acknowledged the grounds of the appeal identified
reparation as the essential aspect of this particular case. However, in order
to effectively consider restorative justice in the balancing exercise,
restorative justice must necessarily be considered in its entirety. Restorative
justice is a holistic process where each element plays an essential role in
achieving its policies. The Court of Appeal may have avoided an in depth
analysis of restorative justice principles because the term describes different
concepts of processes, programmes and philosophy leading to confusion
about the principles, goals and intentions of restorative justice. 129
berpikir bahwa itu dipertahankan, di bawah sistem peradilan pidana, untuk menegakkan
perintah hakim pemidanaan dalam kasus yang melibatkan suatu pelanggaran serius yang
melibatkan kekerasan. Dalam pandangan saya, kasus ini bukan merupakan alat yang ideal untuk
pendekatan keadilan restoratif. Pengadilan banding seharusnya memberi bobot yang sangat
besar untuk penyelesaian masalah. Ada penurunan yang signifikan dalam pemidanaan
penjara yang seharusnya telah diberikan. Ini adalah cacat dalam hal pertemuan yang dihasilkan
antara pelaku dan korban dan dalam penilaian hakim pemidanaan tersebut adalah kegagalan untuk
cukup mengenali unsur kepentingan umum, yang merupakan unsur yang tertanam dalam
hukum yang ada. "
129
Hellen Bowen dan Terri Thompson, Restorative Justice and The New Zealand Court
of Appeal‟s Decision in The Clothworthy Case, Journal of South Pacific Law: article 4 of volume
3, 1999, hal. Yang ditelusur melalui internet www.restorativejustice.org/articlesdb/articles/2354
dan www.vanuatu.usp.ac.fj/journal_splaw/articles/bowel/html yang diakses pada tanggal 7
Desember 2012. terjemahan bebas dari penulis "Hakim Tipping untuk Pengadilan
Banding mendukung kebijakan keadilan restoratif dengan menegaskan mereka sebagai bagian
dari keseimbangan dalam pemidanaan hukuman. Faktor kebijakan lain yang
signifikan dipertimbangkan oleh Pengadilan tentang "kepentingan umum"
dalam pencegahan kejahatan. kepentingan umum disini lebih besar daripada unsur keadilan
restoratif. Sementara pemidanaan adalah penegasan positif dari keadilan
restoratif, analisis Pengadilan keadilan restoratif dilihat secara dangkal. Dengan berfokus secara
sempit pada reparasi, Pengadilan Banding gagal merebut kesempatan untuk sepenuhnya
mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan restoratif. Hal ini diakui alasan
banding yang diidentifikasi reparasi sebagai aspek penting dari kasus ini. Namun, agar dapat
secara efektif mempertimbangkan keadilan restoratif dalam keseimbangan, keadilan restoratif
tentu harus dipertimbangkan secara keseluruhan. Keadilan restoratif adalah proses secara
keseluruhan dimana setiap elemen memainkan peran penting dalam mencapai kebijakan.
Pengadilan Tinggi mungkin telah menghindari analisis mendalam dari prinsip-prinsip keadilan
restoratif karena istilah menggambarkan konsep yang berbeda dari proses, program dan
filosofi yang menyebabkan kebingungan tentang, tujuan prinsip dan niat keadilan restoratif.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
53
Universitas Indonesia
Sementara itu Allison Morris dan Warren Young, berpendapat bahwa
kesalahan penafsiran pengadilan banding dalam melihat nilai restorative justice,
yaitu:
“first, the court amounting to little more than reparation. equally, if not
more, important for restorative processes and practices is the involvement
of decision how best to deal with the offending. in clotworthy, the victim and
offender had already agreed on an outcome which they saw as"right", the
court appeal rejected this. Second, arguably there were "special
circumstances"in the clotworthy case if one looked through a restorative
rather than a convensional lens. The court of appeal's sentencing outcome
was clearly against the express wishes of the victim and did not those
objectives identified as important by him. current legislation requires the
court to look only to the offence and the offender in assessing "special
circumstances", which means that only those factors conventionally used in
mitigation-such as youth, a previous good record or strong rehabilitative
prospects-are generally considered relevant. Third, the court of appeal
seemed to see the mitigation on the 'usual"sentence. Restorative justice,
however does not place a high value on those"rules" which determine
"usual" sentences. rather it seeks to subvert these and substitute others (at
the heart of this case, then, are two parallel justice processes and practices
which barely interconnected and which involved a fundamental clash of
values and interests).”130
Perbedaan penafsiran dalam menggunakan konsep restorative justice
berakibat perbedaan pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim. Hakim Pengadilan
Negeri, mempertimbangkan hasil dari kesepakatan antara pelaku dan korban dan
130
Allison Morris dan Warren Young, Reforming Criminal Justice: The Potential of
Restorative Justice, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to
Practice, editor: Heather Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company,
2000), hal. 12-13. Terjemahan bebas dari penulis: ” "Pertama, pengadilan banding sedikit
mempertimbangkan reparasi. Adalah penting bagi proses restoratif dan
praktek yaitu keterlibatan keputusan sebagai cara terbaik.Di Clotworthy, korban dan pelaku
sudah menyepakati hasil yang mereka lihat sebagai "benar", namun Penagdilan banding menolak
hal ini. Kedua, ada "keadaan khusus" dalam kasus Clotworthy jika melihat
melalui restoratif daripada lensa konvensional. Pengadilan banding memidana penjara adalah
jelas bertentangan dengan keinginan yang diungkapkan korban dan tujuan tersebut yang dianggap
tidak penting olehnya. undang-undang saat ini membutuhkan pengadilan untuk melihat hanya
untuk pelanggaran dan pelaku dalam menilai "keadaan khusus", yang berarti bahwa hanya faktor-
faktor tersebut secara konvensional digunakan dalam mitigasi-seperti dalam kasus anak, dianggap
relevan dan bagus untuk rehabilitatif. Ketiga, pengadilan banding tampaknya untuk
melihat mitigasi pada “pemidanaan biasa " untuk Restorative justice, namun tidak menempatkan
nilai tinggi pada mereka." Aturan "yang menentukan" pemidanaan biasa ". Melainkan berusaha
untuk menumbangkan ini dan menggantinya (inti dari kasus ini adalah
dua proses peradilan paralel (pengadilan negeri dan banding) dan praktek yang nyaris tidak saling
berhubungan dan yang melibatkan benturan mendasar dari nilai-nilai dan kepentingan). "
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
54
Universitas Indonesia
menginsyafi itu sebagai keadilan yang bisa diberikan untuk pelaku dan korban.
Sedangkan Pengadilan banding, mempertimbangkan kepentingan umum dan dasar
pencegahan kejahatan, sehingga menolak hasil yang disepakati oleh pelaku dan
korban. Dalam menerapkan restorative justice, perlu kiranya memahami nilai dan
tujuan yang terkandung didalamnya sehingga tidak salah menafsirkan
.
2.3.5. The Gladue Case, (Kanada: 1999)
Ms. Gladue, An aboriginal woman, was sentenced to three years
imprisonment on a plea of guilty to a charge of manslaughter, arising out of
the killing of her common law husband. the accused chased and stabbed
him after party. the accused, affected by drinking alcohol, believed he had
been enganged in sexual activity with her sister. he had also angered her by
making insulting and offensive remarks to her. she suffered from a
hyperthyroid condition which caused her to over-react in emotional
situations. She was a young mother and, apart from driving offences, had no
criminal record. While on bail, she received alcohol abuse counselling and
upgraded her education. The trial judge considered that, in the light of the
gravitiy of the crime, a suspended sentence would be inappropriate. He
noted that the accused and the victim were living in an urban area, off-
reserve and not"within the aboriginal community as such". There were, in
his view no special circumstances arising from the aboriginal status of the
accused and the victim which should be taken into consideration. An appeal
against was dismissed by the court of appeal and the supreme court. part
XXIII of the Canadian Criminal Code codifies the fundamental and
principles of sentencing and the relevant factors to be taken into account.
Section 718 (2) (e) requires sentencing judges to consider all available
sanctions other that imprisonment and to pay particular attention to the
circumstances of aboriginal offenders. The trial judge's notion that a non-
sentencing approach was limited to aboriginals living in aboriginal
communities was specifically rejected. The court pointed out that the
provision is remedial and is designed to ameliorate the serious over-
representation of aboriginal people in prisons and to encourage judges to
take a restorative approach to sentencing. In this respect, part XXIII has
placed a new emphasis upon the decreasing use of incarceration. in
discussing the application of part XXIII to aboriginal offenders, the court
noted that the term of imprisonment imposed on an aboriginal offenders
might, in some circumstances, be less than the term imposed upon a non-
aboriginal offender for the same offence, but went on to state that part XXIII
is not a means of automatically reducing the prison sentence of aboriginal
offenders and that it should not be assumed that an offender is receiving a
more lenient sentence because incarceration is not imposed. The court took
account of the fact that the accused was granted, subject to certain
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
55
Universitas Indonesia
conditions, day parole after she had served six months in a correctional
centre and was later granted full parole on the same conditions131
Dalam kasus tersebut Ny. Gladue seorang aborigin yang tinggal di
perkotaan, melakukan pembunuhan sehingga menurut pengadilan Negeri tidak
bisa mendapatkan penjatuhan hukuman khusus untuk orang aborigin sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 718 ayat (2) huruf (e), seperti misalnya hukuman
percobaan atau tindakan tertentu, namun Pengadilan Banding dan Mahkamah
Agung Kanada menafsirkan berbeda, walaupun Ny.Gladue dan korban tinggal di
perkotaan, bukan di daerah urban (seperti pada umumnya orang aborigin tinggal),
namun tetap bisa mendapatkan ketentuan sebagaimana dalam Pasal 718 ayat (2)
huruf (e), karena dia tetap orang aborigin, dengan demikian hukuman tiga tahun
131
The Hon.Sir Anthony Mason Ac Kbe, Restorative Jsuctice: Courts and Civil Society,
sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather
Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), hal. 6-7.
Terjemahan bebas dari penulis:” seorang wanita Aborigin, dijatuhi hukuman tiga tahun penjara
mengakui bersalah atas tuduhan pembunuhan, yang timbul dari pembunuhan suami (teman
hidupnya). terdakwa mengejar dan menikamnya setelah pesta. terdakwa, dipengaruhi oleh minum
alkohol, percaya bahwa korban telah berselingkuh dengan adiknya.Ia juga marah padanya dengan
membuat komentar menghina dan ofensif padanya. Pelaku menderita suatu kondisi hipertiroid
yang menyebabkan dia bereaksi berlebihan dalam situasi emosional. Dia adalah seorang ibu muda
dan, tidak punya catatan kriminal. Ia menjalani konseling atas penyalahgunaan alkohol.
Hakim pengadilan menganggap bahwa, dalam terang dari kejahatan, hukuman percobaan akan
tidak pantas. Dia mencatat bahwa terdakwa dan korban tinggal di daerah perkotaan, dan tidak
"dalam komunitas Aborigin seperti". Bahwa dalam pandangannya ada keadaan khusus yang
timbul dari status asli dari terdakwa dan korban yang harus dipertimbangkan.
Kemudian Banding dan diadili oleh pengadilan banding dan Mahkamah Agung.Bagian XXIII
Kodifikasi Dasar KUHP Kanada dan prinsip-prinsip hukuman dan faktor-faktor yang relevan
untuk dipertimbangkan. Bagian 718 ayat (2) huruf (e) mewajibkan hakim dalam memberikan
hukuman untuk mempertimbangkan semua sanksi lain yang tersedia bahwa penjara dan
memberikan perhatian khusus pada keadaan pelanggar asli (aborigin). Gagasan hakim pengadilan
bahwa pendekatan non-hukuman terbatas pada penduduk asli yang tinggal di komunitas Aborigin
secara khusus ditolak. Pengadilan menunjukkan bahwa penyisihan tersebut perbaikan dan
dirancang untuk memperbaiki representasi over-serius orang Aborigin di penjara dan untuk
mendorong hakim untuk mengambil pendekatan restoratif untuk pemidanaan. Dalam hal ini,
bagian XXIII telah menempatkan penekanan baru pada penurunan penggunaan penahanan.
dalam membahas penerapan XXIII sebagian pelaku aborigin, pengadilan mencatat bahwa
hukuman penjara yang dikenakan pada pelanggar aborigin mungkin, dalam beberapa keadaan,
istilah tersebut juga dikenakan pada pelanggar non-aborigin untuk pelanggaran yang sama, tetapi
melanjutkan menyatakan bahwa bagian XXIII bukanlah sarana otomatis mengurangi hukuman
penjara pelanggar Aborigin dan bahwa hal itu tidak boleh diasumsikan bahwa pelaku menerima
hukuman lebih ringan karena tidak dikenakan penahanan. Pengadilan mempertimbangkan fakta
bahwa terdakwa diberikan, sesuai dengan kondisi tertentu, yaitu pembebasan bersyarat setelah
enam bulan di pemasyarakatan dan kemudian diberikan pembebasan bersyarat penuh pada kondisi
yangsama.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
56
Universitas Indonesia
yang dijatuhkan, Ny Gladue mendapatkan pembebasan bersyarat setelah enam
bulan di pemasyarakatan.
Pertimbangan Mahkamah Agung memang terkesan memberikan
keistimewaan terhadap pelaku yang seorang aborigin. Hal ini dapat dimengerti
dari pendapat Yang Mulia M.E Turpel Lapond, hakim di propinsi Saskatoon,
Saskatchewan, daerah dimana banyak aborigin tinggal, yaitu:132
” However, it must be recognized that circumstances of aboriginal offenders differ
from those of the majority because many aboriginal people are victims of systemic
and direct discrimination, many suffer the legacy of dislocation, and many are
substantially affected by poor social and economic conditions.”
Hakim Yang Mulia Sir Anthony Mason juga berpendapat sama bahwa pelaku
sebagai aborigin yang tinggal di perkotaan tetap mendapatkan perlakuan yang
sama sebagai aborigin yang tinggal di daerah urban: 133
” the gladue case, a landmark decision of the supreme court Canada. …to
ensure that all admitted offenders have access to restorative justice, even if
it appears that indigenous people and youthhful offenders are more likely to
resort to it, or more likely to benefit from it. Equality of treatment is a
central objective of our existing system of criminal justice.”
M.E Turpel Lapond, berpendapat bahwa penerapan restorative justice dalam
pemidanaan sebagai suatu nilai yang normatif :
132 Her Honour, M.E Turpel Lapond, Justice as Healing A Newsletter on Aboriginal
Concepts of Justice, Sentencing Within a Restorative Justice Paradigm: Procedural Implications of
R. v. Gladue, hal.1, Makalah berikut diberikan pada Konferensi CIAJ: "Changing Punishment at
the turn of The Century”, di Saskatoon, Saskatchewan pada tanggal 26-29 September
1999. Makalah ini akan diterbitkan pada awal tahun 2000 yang akan datang dan di Triwulanan,
1999 jurnal Criminal Law, ditelusur melalui internet
www.usask.ca/nativelaw/publication/jah/1999/sent_Para_Gladue.pdf yang diakes pada tanggal 7
Desember 2012. Terjemahan bebas dari penulis” Namun, harus diakui
bahwa keadaan pelaku aborigin berbeda dari mayoritas penduduk asli karena merupakan korban
diskriminasi sistemik dan langsung, yang banyak menderita akibat dislokasi, dan banyak
yang secara substansial dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi yang buruk.”
133 Ibid., hal. 2. Terjemahan bebas dari penulis” kasus gladue, merupakan landmark
decision dari Mahkamah Agung Kanada…untuk memastikan bahwa semua pelaku memiliki
akses terhadap keadilan restoratif, bahkan jika tampak bahwa masyarakat adat dan
pelaku youthhful lebih cenderung untuk menggunakan itu, atau lebih mungkin memperoleh
manfaat darinya. kesetaraan perlakuan merupakan tujuan utama dari sistem peradilan pidana.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
57
Universitas Indonesia
“The Gladue decision is an important watershed in Canadian Criminal
Law. The interpretation of section 718 (2) (e) of the criminal code by the
supreme court of Canad that this provision, the court clearly endorsed the
notion of restorative justice and a sentencing regime which is to pay fidely
to”healing” as normative value.” 134
Menurut Lapond adalah penting untuk mempertimbangkan sejarah dan
budaya dari pelaku dalam memberikan pemidanaan guna mendapatkan suatu
keadilan yaitu:135
“Perhaps this is no more than the history of the common law with its
dialectic of stability and change. Nevertheless, reasoning which weigh both
structural considerations ans specific contexts, is vital to criminal justice. It
is a from of reasoning which does not always sit well with the judiciary, as
ingrained as we are particularlizing decision-making. Nevertheless, Gladue
is a reminder that highly particularized decisions, without regard for
broader structural and historical factors, might lead to injustice.”
Kasus Gladue memang memperhatikan keadaan terdakwa dengan melihat
kepada sejarah, karakter dan budayanya sehingga menempatkannya juga sebagai
korban yang juga perlu mendapatkan keadilan. Namun hal itu menampikkan
korban dalam arti yang sebenarnya, korban yang menderita kerugian yang dalam
hal ini keluarga dari teman hidup lelakinya tersebut. Tidak dijelaskan dan
dipertimbangkan bagaimana sikap keluarga korban terhadap pelaku, apakah sudah
memaafkan?karena masalah pembunuhan merupakan kejahatan yang serius. Hal
ini penting karena untuk melihat bagaimana penyembuhan atau pemulihan
terhadap Gladue dapat dilaksanakan jika dari korban masih dendam.
134 Her Honour, M.E Turpel Lapond, Op.Cit. Terjemahan bebas dari penulis”
Keputusan Gladue merupakan hal yang penting dalam Hukum Pidana Kanada. Penafsiran
pasal 718 (2) (e) dari Hukum Pidana Kanada oleh Mahkamah Agung Kanada bahwa
pengadilan jelas mendukung gagasan keadilan restoratif dan pemidanaan yang bertujuan
untuk "penyembuhan" sebagai nilai normatif . "
135Ibid., terjemahan dari penulis” "Mungkin ini adalah tidak lebih dari sejarah Common
Law yaitu adanya perubahan stabilitas dialektisnya Namun, penalaran yang mempertimbangkan
baik pertimbangan konteks struktural tertentu, sangat penting untuk peradilan pidana. Ini
adalah dari penalaran yang tidak selalu bisa berdampingan dengan pengadilan, seperti yang selama
ini yaitu pengambilan keputusan secara particular. Namun demikian, Gladue adalah pedoman
pengambilan keputusan secara particular bahwa tanpa mempertimbangkan faktor-faktor struktural
dan sejarah yang lebih luas, dapat mengakibatkan ketidakadilan. "
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
58
Universitas Indonesia
Hal yang dapat dipelajari dari kasus Clotworthy dan Gladue, menurut Sir
Anthony Mason berpendapat bahwa restorative justice merupakan tantangan bagi
pengadilan untuk digunakan sebagai tujuan pemidanaan, yaitu:
“Perhaps a stronger objection to restorative justice is the discretionary
element inherent in a decision to send a defendant down the restorative
justice route rather than deal with the defendant as a matter of routine
sentencing, if one route is an alternative to the other. The strength of
objection may be reduced if the concept of restorative justice integrated in
the general sentencing principles applied by the courts. That, it seems to me,
is the challenge for the future and it appears that the courts in Canada and
New Zealand are beginning to take up the challenge.” 136
136 Sir Anthony Mason, Op.Cit., terjemahan bebas dari penulis” " Mungkin hal yang
terberat untuk menerapkan keadilan restoratif adalah unsur diskresi yang melekat
dalam keputusan untuk memidana terdakwa daripada berurusan dengan terdakwa dalam hal
pemidanaan yang rutin selalu dilakukan, dan ini dapat menjadi alternatif lainnya. Masalah berat
terseubut dapat dikurangi jika konsep keadilan restoratif terintegrasi dalam penerapan prinsip-
prinsip umum pemidanaan oleh pengadilan. Dan menurut saya, ini adalah tantangan untuk masa
depan dan tampaknya pengadilan di Kanada dan Selandia Baru mulai menerima tantangan. "
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
59
BAB 3
RESTORATIVE JUSTICE DAN PENYELESAIAN
PERKARA PIDANA MELALUI ADAT
3.1. Hukum Adat
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum civil law, dimana
peraturan perundang-undangan merupakan sumber hukum yang utama. Hal
demikian membuat seorang ahli hukum yang sudah terbiasa untuk mempelajari
dan menetapkan peraturan perundang-undangan yang terhimpun dalam suatu
kodifikasi, misalnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Atas dasar
latar belakang pendidikan dan pengalamannya tersebut dia kemudian percaya
bahwa hukum harus dipisahkan secara tegas dan mutlak dari kesusilaan, adat
istiadat, hal-hal yang gaib, serta gejala-gejala sosial lainnya. Oleh karena itu
menurut Soerjono Soekanto, maka pada umumnya ahli hukum hanya mengetahui
bahwa peraturan perundang-undangan maupun keputusan-keputusan hukum
mempunyai latar belakang sejarahnya, akan tetapi pada umumnya dia tidak
mempertimbangkan bahwa sejarah dan tradisi dapat dan selalui hidup dalam
masyarakat, dahulu maupun pada waktu sekarang.137
Yang dimaksud dengan hukum adat adalah sebagai berikut:
1. Menurut Soeripto, hukum adat adalah semua aturan-aturan/peraturan-
peraturan adat tingkah laku yang bersifat hukum di segala segi kehidupan
orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat
dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat
hukum oleh karena ada kesadaran dan perasaan keadilan umum, bahwa
aturan-aturan/peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para
petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya pemaksa atau
ancaman hukum(sanksi).138
137
Soerjono Soekanto, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, (Jakarta:
Academica, 1979), hal. 1.
138
Soeripto, Hukum Adat dan Pancasila Dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman, hal. 24, sebagaimana ditulis dalam Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok
Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.49.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
60
Universitas Indonesia
2. Menurut Surojo Wignjodipuro, hukum adat adalah suatu kompleks norma-
norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu
berkembang serta meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis,
senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat
hukum (sanksi).139
3. Menurut Hardjito Notopuro, hukum adat adalah hukum tak tertulis, hukum
kebiasaan dengan ciri-ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan
rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan
masyarakat dan bersifat kekeluargaan.140
4. Menurut Soepomo, hukum adat adalah sinonim dari hukum yang tidak
tertulis di dalam peraturan legislatif (unstatutory law), hukum yang hidup
sebagai konvensi di Badan-Badan Hukum Negara (Parlemen, Dewan
Propinsi dsb), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang
dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota-kota maupun di desa-
desa (customary law).141
5. Menurut Bushar Muhammad, hukum adat itu terutama hukum yang
mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain,
baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan
yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan
dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang
merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenai sanksi atas
pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para
penguasa adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa
139
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Bandung: Alumni,
1975), hal.5, sebagaimana ditulis dalam Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum
Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.49.
140
Hardjito Notopuro, Tentang Hukum Adat Pengertian Dan Pembatasan Dalam Hukum
Nasional, (Majalah Hukum Nasional No.4 Tahun 1969), hal. 49, sebagaimana ditulis dalam
Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.49.
141
Soepomo, Kedudukan Hukum Adat Dikemudian Hari, hal.30, sebagaimana ditulis
dalam Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978),
hal.48-49.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
61
Universitas Indonesia
memberi keputusan dalam masyarakat adat itu) yaitu dalam keputusan
lurah, penghulu, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.142
Soekanto dan Soerjono Soekanto menyimpulkan bahwa dari pengertian-
pengertian tersebut adanya satu kesatuan pandangan mengenai hukum adat yaitu
hukum yang hidup dalam masyarkat (living law). 143
Hukum adat sebagai “the
living law” adalah merupakan pola hidup kemasyarakatan tempat dimana hukum
itu berproses dan sekaligus juga adalah merupakan hasil dari pada proses
kemasyarakatan yang merupakan sumber dan dasar daripada hukum tersebut.144
Hal ini juga didukung karena melihat kepada pendapat Sopomo bahwa”hukum
adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum
yang nyata dari rakyat.”145
Surojo Wignjodipuro juga berpendapat sama
yaitu”hukum adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup, yang
keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu
berlaku.”146
Dalam seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional pada
tanggal 15-17 Januari 1975 yang diselenggarakan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 17 Desember 1974
No.Y.S.8/82/23, diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan “hukum adat
adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-
undangan Republik Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama.”147
Pengertian ini menjadi rancu dan tidak konsisten ketika dinyatakan sebagai
142 Bushar Muhammad, Pengantar Hukum Adat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1961), hal. 30,
sebagaimana ditulis dalam Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat,
(Bandung: Alumni, 1978), hal.50.
143
Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni,
1978), hal.50-51 144
Ibid. 145
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, cetakan ke-14 (Jakarta: Pradnya Paramita,
1996), hal. 5
146
Surojo Wignjodipuro, Op.Cit., hal.81, sebagaimana ditulis dalam Soekanto dan
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1978), hal.51.
147
Ibid, hal.149-150.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
62
Universitas Indonesia
hukum yang tidak tertulis tetapi dalam bentuk perundang-undangan republik
Indonesia, karena bentuk perundang-undangan republik Indonesia adalah identik
dalam bentuk tertulis.
Tentang keadaan tertulis hukum adat, Soerjono Soekanto membuat
menjadi lebih jelas dengan memberikan pendapatnya sebagai berikut:148
“Hukum yang tidak tertulis itulah yang dinamakan hukum adat, yang
merupakan sinonim dari hukum kebiasaan. kalau dijumpai hal-hal yang
ditulis, maka itu merupakan hukum adat yang tercatat (=”beschreven
adatrecht”) dan hukum adat yang didokumentasikan
(“gedocumenteerd adatrecht”). Hukum adat yang tercatat antara lain
dijumpai dalam buku-buku yang ditulis oleh para sarjana hukum adat
terkemuka, seperti Van Vollenhoven, Ter Haar, Holleman, Soepomo,
Hazairin, Soekanto, dan seterusnya. Hukum adat yang
didokumentasikan, antara lain dapat dijumpai pada awig-awig di Bali.”
Lilik Mulyadi menyatukan pengertian hukum adat tersebut, yaitu:149
“Terminologi hukum adat dikaji dari perspektif asas, norma, teoretis
dan praktik dikenal dengan istilah”hukum yang hidup dalam
masyarakat,””living law”,”nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum
kebiasaan”, dan lain sebagainya.”
3.1.1.Hukum Pidana Adat
Terminologi hukum pidana adat, delik adat atau hukum adat
pidana150
cikal bakal sebenarnya dari hukum adat yang terdiri dari hukum pidana
adat dan hukum perdata adat. Menurut I Made Widnyana yang dimaksudkan
dengan hukum pidana adat yaitu:151
“Hukum yang hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh
masyarakat adat secara terus menerus dari satu generasi ke generasi
148
Soerjono Soekanto, Loc.Cit. 149
Lilik Mulyadi, Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori,
Praktik dan Prosedurnya, makalah yang dilampirkan dalam Puslitbang Hukum dan Peradilan
Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma,
Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan
Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 367.
150
H.A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal.76,
Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di
Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta:
Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 39.
151
I MadeWidnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 1993), hal.3
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
63
Universitas Indonesia
berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang
dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap
mengganggu keseimbangan kosmis masyarakt, oleh sebab itu, bagi si
pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh
masyarakat melalui pengurus adatnya.”
Dengan demikian menurut I Made Widnyana, pengertian tersebut mengandung
tiga hal pokok yaitu:152
“Pertama, rangkaian peraturan tata tertib yang dibuat, diikuti dan ditaati
masyarakat adat bersangkutan;
Kedua, pelanggaran terhadap peraturan tata tertib tersebut dapat
menimbulkan kegoncangan karena dianggap mengganggu
keseimbangan kosmis. Perbuatan melanggar peraturan tata tertib ini
dapat disebut sebagai delik adat;
Ketiga, pelaku yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenai
sanksi oleh masyarakat yang bersangkutan.”
Tidak jauh berbeda dengan I Made Widnyana, Lilik Mulyadi berpendapat bahwa
hukum pidana adat adalah sebagai berikut:153
“Perbuatan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang
hidup dalam masyarakat sehingga menimbulkan adanya gangguan
ketentraman dan keseimbangan masyarakat yang bersangkutan. Oleh
karena itu, untuk memulihkan ketenteraman dan keseimbangan
tersebut terjadi reaksi-reaksi adat sebagai bentuk mengembalikan
ketentraman magis yang terganggu dengan maksud sebagai bentuk
meniadakan atau menetralisir suatu keadaaan sial akibat suatu
pelanggaran adat.”
I Made Widnyana menjelaskan bahwa hukum pidana adat mempunyai sifat-
sifat sebagai berikut:154
a. Menyeluruh dan Menyatukan
152
Ibid.
153
Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat
Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian
Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 41.
154
Ibid. lihat juga Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung:
Mandar Maju, 2003) hal.232. Lihat juga Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam
Kajian Kepustakaan), (Bandung: Alfabeta, 2009), hal. 346, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum
dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas,
Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan
Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 50-51.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
64
Universitas Indonesia
Karena dijiwai oleh sifat kosmis, yang mana satu sama lain saling karena
berhubungan, hukum pidana adat tidak membedakan pelanggaran yang
bersifat perdata.
b. Ketentuan yang terbuka
Hal ini disebabkan atas ketidakmampuan meramal apa yang akan terjadi
sehingga tidak bersifat pasti, sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk
segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi.
c. Membeda-bedakan permasalahan;
Apabila terjadi peristiwa pelanggaran, maka yang dilihat bukan semata-
mata perbuatan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi latar
belakang dan siapa pelakunya. Dengan alam pikiran demikian maka
dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda;
d. Peradilan dengan permintaan
Menyelesaiakan pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya
permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang
dirugikan atau diperlakukan tidak adil.
e. Tindakan Reaksi atau koreksi
Tindakan reaksi ini tidak hanya dapat dikenakan pada si pelakunya tetapi
dapat juga dikenakan kepada kerabatnya/keluarganya bahkan mungkin
juga dibebankan pada masyarkat yang bersangkutan untuk
mengembalikan keseimbangan yang terganggu.
Senada dengan I Made Widnyana, maka menurut Hilman Hadikusuma juga
menggunakan istilah hukum pidana adat yaitu”hukum yang hidup (living law) dan
akan terus hidup selama-lama ada manusia, budaya, ia tidak akan dapat dihapus
dengan perundang-undangan. Andaikata dihapus, maka hukum pidana akan
kehilangan sumber kekayaannnya oleh karena hukum pidana adat itu lebih erat
hubungannya dengan antropologi dan sosiologi daripada perundang-undangan.155
155 Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Jakarta: Rajawali, 1961), hal. 307,
sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum
Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan
Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 40-
41.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
65
Universitas Indonesia
Jika I Made Widnyana, Hilman Hadikusuma dan Lilik Mulyadi memakai
kata hukum pidana adat, maka tokoh yang lain yang menggunakan delik adat atau
tindak pidana adat yaitu:
1. Ter Haar BZN berasumsi bahwa yang dianggap suatu pelanggaran (delict)
ialah setiap gangguan segi satu (eenzijding) terhadap keseimbangan dan
setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materiil
dan imateriil orang seorang atau dari orang-orang banyak yang
merupakan suatu kesatuan (gerombolan). Tindakan sedemikian itu
menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan
oleh hukum adat, karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus
dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan pembayaran berupa
barang-barang atau uang).156
2. Menurut Van Vollenhoven, delik adat sebagai perbuatan yang tidak
diperbolehkan.157
3. Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya, tindak pidana adat adalah perbuatan
itu harus mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan
masyarakat. Kegoncangan itu tidak hanya terdapat apabila peraturan
hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, tetapi juga apabila norma-
norma kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat
dilanggar.158
156
Ter Haar BZN, Azas-Azas Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), hal. 255.,
sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum
Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan
Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 40.
157 Soerojo Wignodipuro, Op.Cit., hal.226, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan
Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas,
Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan
Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 40.
158
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan
Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 33. sebagaimana ditulis
Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana Adat Di
Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta:
Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, 2010, hal. 40.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
66
Universitas Indonesia
Sifat hukum pidana inilah (baik yang dikemukakan oleh I Made Widnyana
dan Hilman Hadikusuma) yang tidak ada dalam hukum pidana khususnya dalam
sistem peradilan pidana, dimana tidak melibatkan korban dalam arti sebenarnya -
bukan negara- sehingga kerugian yang dialami korban dapat digantikan oleh
pelaku ataupun mungkin hanya dengan ucapan maaf dan upacara adat, yang mana
semua merupakan bentuk dari sanksi adat. Reaksi adat yang dimaksudkan pun
mempunyai suatu tujuan yang tidak dijumpai dalam sistem peradilan pidana
Indonesia, khususnya dalam peraturan perundang-undangannya.
3.1.2 Bentuk dan Tujuan Sanksi Adat
Dalam tiap-tiap pelanggaran hukum, para petugas hukum menimbang
bagaimana mereka akan bertindak untuk membetulkan kembali perimbangan
hukum. Tindakan atau upaya (pertahanan adat) (adat reaksi) yang diperlukan
mungkin hanya berupa hukuman untuk membayar sejumlah uang sebagai
pelunasan hutang, atau sebagai ganti kerugian.159
Dengan istilah yang berbeda,
Emile Durkheim mengatakan bahwa “reaksi sosial yang berupa penghukuman
atau sanksi itu sangat perlu dilakukan, sebab mempunyai maksud untuk
mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan adat menjadi tidak goyah
sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud.”160
Lesquillier di dalam desertasinya Het Adat Delictenrecht in de Magische
Wereldbeschouwing mengemukakan bahwa”reaksi adat ini merupakan tindakan-
tindakan yang bermaksud mengembalikan ketenteraman magis yang diganggu dan
meniadakan atau menetralisasi suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu
pelanggaran adat.”161
I Made Widnyana menggunakan istilah sanksi adat untuk
persamaan dari reaksi adat, yaitu”sanksi adat atau disebut pula reaksi adat ataupun
koreksi adat adalah merupakan bentuk atau tindakan ataupun usaha-usaha untuk
159
Soepomo, Op.Cit., hal. 113.
160
Emile Durkheim, Causal and Functional Analysis, (Sociological Theory), (New York:
Mac Milan Press, 1976), hal. 502, sebagaimana ditulis dalam I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 8.
(garis bawah diberikan oleh penulis).
161
I Made Widnyana, Op.Cit., hal.8. (garis bawah diberikan oleh penulis).
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
67
Universitas Indonesia
mengembalikan ketidakseimbangan termasuk pula ketidakseimbangan yang
bersifat magis akibat adanya ganguan yang merupakan pelanggaran adat.”162
3.1.2.1. Bentuk sanksi adat
Di dalam “Pandecten van het Adatrecht”, bagian X yang mengumpulkan
bahan-bahan hukum adat delik (adatstrafrecht) dan yang diterbitkan pada tahun
1936, memuat daftar nama delik adat dan menyebut berjenis-jenis reaksi adat
terhadap delik-delik itu berbagai-bagai lingkaran hukum adat di Indonesia.
Tindakan-tindakan sebagai reaksi atau koreksi terhadap pelanggaran hukum adat
di berbagai lingkaran hukum, tersebut adalah misalnya:163
a. Pengganti kerugiaan immaterieel dalam pelbagai rupa seperti paksaan
nikah gadis yang telah dicemarkan;
b. Bayaran uang adat kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang
sakti sebagai pengganti kerugian rokhani;
c. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran
gaib;
d. Penutup malu, permintaan maaf;
e. Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati;
f. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum;
Suatu perbuatan mungkin melanggar beberapa norma hukum sekaligus, sehingga
untuk memulihkan perimbangan hukum harus diambil beberapa tindakan koreksi,
misalnya pengganti kerugian dan selamatan untuk membersihkan masyarkat dan
sebagainya.
3.1.2.2.Tujuan sanksi adat
Dalam alam pikiran tradisional Indonesia yang bersifat kosmis, yang
penting adalah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan
(Evenwicht, harmonie) antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan
manusia seluruhnya dan orang seorang antara persekutuan dan teman
162
Ibid.
163
Bagi Sumatra Selatan lihat juga Lublink Weddik, Ada Delictenrecht in de rapat
marga-rechtspraak van Palembang, 1939, sebagaimana ditulis dalam Soepomo, Op.Cit., hal. 113.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
68
Universitas Indonesia
masyarakatnya. Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut
merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan-
tindakan yang perlu guna memulihkan kembali.164
Menurut I Made Widnyana, sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan
sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan
dunia gaib. Di bali, sanksi adat mempunyai peranan yang penting untuk
mengembalikan keseimbangan tersebut.165
Apabila terjadi pelanggaran, maka si
pelanggar diharuskan untuk melakukan suatu upaya tertentu seperti upacara bersih
desa (pura/tempat suci), yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan
kekuatan magis yang dirasakan terganggu.166
Soepomo juga menegaskan kembali bahwa “tujuan dari segala reaksi
(koreksi) adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran
hukum itu, ialah memulihkan perimbangan hukum. Perimbangan hukum ini
meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib.”167
Pendapat
Soepomo dan I Made Widnyana ini, juga sama dengan yang dikatakan Rehngena
Purba, yaitu” tujuan dari pemidanaan dalam hukum adat adalah terjadinya
harmonisasi, keseimbangan antara dua komunitas yang ada konflik. Karena jika
dia melanggar pidana adat terjadi kegoncangan magis di masyarakat tersebut,
sehingga dengan pembayaran denda atau permintaan maaf maka terjadi kerukunan
antara dua komunitas tersebut.”168
Tujuan pemidanaan atau sanksi adat ini tidak ada dalam KUHP dan
penerapannya dalam sistem peradilan pidana, khususnya dalam putusan
pengadilan pengadilan atau hakim. Pemidanaan dijatuhkan semata-mata hanya
karena terdakwa terbukti bersalah dan besar ringannya pemidanaan tersebut masih
digantungkan dengan dasar peringan dan pemberat dari terdakwa. Tidak ada
164
Soepomo, Op.Cit., hal.112.
165
I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 9.
166
Ibid.
167
Soepomo, Op.Cit., hal. 113. 168
Wawancara melalui telepon pada tanggal 14 Desember 2012, karena jarak yang jauh
Prof Rehngena berada di Medan.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
69
Universitas Indonesia
upaya untuk mengembalikan keseimbangan, keharmonisan ataupun kerukunan,
karena memang korban kurang mendapatkan tempat dan porsinya karena telah
digantikan oleh negara.
3.2. Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Sistem Hukum Adat
Tujuan untuk memperbaiki orang yang salah, orang yang melanggar hukum,
sebagai salah satu dasar yang terdapat pada sistem hukum criminal barat, rupa-
rupanya tidak ada pada sistem hukum adat tradisional. Sebagai diuraikan oleh Van
Vollenhoven, maka ada perbedaan pokok aliran antara sistem hukum pidana dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sistem hukum adat delik,
misalnya:169
1. Suatu pokok dasar kitab hukum criminal tersebut bahwa yang dapat
dipidana (strafbaar) hanya seorang manusia saja. Persekutuan hukum
Indonesia, misalnya desa (nagari, huta dsb) atau persekutuan famili (di
Minangkabau) tidak mempunyai pertanggungjawaban kriminal terhadap
delik yang diperbuat oleh seornag warganya. Alam pikiran Indonesia
adalah berlainan, di beberapa daerah di kepulauan Indonesia misalnya di
tanah gayo, di daerah-daerah Batak, di Pulau Nias, di Minangkabau,
Sumatera Selatan, Kalimantan (antara suku-suku bangsa Dayak),
Gorontalo, Ambon, Bali, Lombok dan Timor seringkali terjadi bahwa
kampung di penjahat atau kampung tempat terjadinya suatu pembunuhan
atau pencurian terhadap orang asing, diwajibkan membanyar denda atau
kerugian kepada golongan familinya orang yang dibunuh atau yang
kecurian. Begitupun famili si penjahat diharuskan menanggung hukuman
yang dijatuhkan oleh salah seorang warganya.170
2. Pokok prinsip yang kedua dari KUHP adalah bahwa seseorang hanya
dapat dipidana apabila perbuatannya dilakukan dengan sengaja (opzet)
ataupun dalam kekhilafan (culpa), dengan kata lain jika ia mempunyai
169
Van Vollenhoven, Adat-recht II, Bab XI (“Adatstrafrecht Can Inlonesier”), hal.745,
sebagaimana ditulis dalam Soepomo, Op.Cit., hal. 113-114.
170
Lihat Pandecten Adatrecht X, hal.695-720, sebagaimana ditulis dalam Soepomo,
Op.Cit., hal.114.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
70
Universitas Indonesia
kesalahan. Van Vollenhoven menulis, bahwa lebih banyak adanya
kejadian-kejadian di dalam lapangan hukum adat yang tidak memerlukan
pembuktian tentang adanya sengaja atau kekhilafan daripada yang
dimaksud KUHP. Di dalam hukum adat ada beberapa pelanggaran
hukum yang hanya dapat dilakukan dengan sengaja, misalnya perbuatan
incest atau pencurian. Ada pula beberapa delik seperti, pembunuhan atau
melukai orang, yang dihukum lebih berat, jikalau perbuatan itu dilakukan
dengan sengaja.
Ada delik-delik adat lain, yang mewajibkan para petugas hukum untuk
memberi hukuman (mengadakan koreksi, reaksi) dengan tidak
memerlukan pembuktian apakah orang yang dihukum itu mempunyai
kesalahan, misalnya delik yang menganggu perimbangan batin
masyarakat, umpamanya seorang perempuan melahirkan anak di sawah
orang lain (di daerah Batak) atau di rumah orang lain (di daerah Dayak).
Juga aturan adat tanggung menanggung di Sumatra dan daerah-daerah
lain, menurut aturan ini masyarakat kampong atau persekutuan famili
harus menanggung perbuatan-perbuatan orang warganya yang melanggar
hukum, tidak memperdulikan, apakah persekutuan mempunyai kesalahan
atau tidak atas perbuatan itu.
3.Pokok dasar yang ketiga dari KUHP adalah bahwa tiap-tiap delik
menentang negara, sehingga tiap-tiap delik itu menjadi urusan negara,
bukan urusan perseorangan pribadi yang terkena. Menurut sistem hukum
adat, ada delik-delik yang terutama menjadi urusan orang yang terkena,
seringkali juga menjadi urusan golongan famili orang yang terkena dan
juga mengenai kepentingan desanya.
Terhadap delik-delik yang terutama hanya melukai kepentingan golongan
famili atau kepentingan seseorang dengan tidak membahayakan
keimbangan hukum persekutuan desa pada umumnya, maka petugas
hukum (kepala adat, hakim) hanya akan bertindak jikalau diminta oleh
pihak yang terkena itu. Dalam hal demikian seringkali pihak yang terkena
diberi kesempatan untuk berdamai, (rukunan) dengan pihak yang
melakukan delik. Dalam hal demikian uang”denda” atau pembayaran
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
71
Universitas Indonesia
kerugian dari pihak yang melakukan delik tidak masuk ”kas negeri”
melainkan diberikan kepada pihak yang terkena.
4. Menurut pokok dasar KUHP orang hanya dapat dipidana (dihukum)
apabila ia dapat bertanggungjawab (toere-keningsvatbaar). Dalam buku-
buku perpustakaan tentang hukum adat terdapat pemberitaan dari daerah
Minangkabau, bahwa di daerah itu upaya pertahanan dari masyarakat
terhadap orang gila yang membunuh orang adalah sama dengan upaya
pertahanan terhadap orang normal, yang melakukan pembunuhan.171
Dengan kata lain, sakit gila itu tidak mempengaruhi berat atau ringannya
upaya perlawanan yang harus dilakukan terhadap delik yang diperbuat
oleh orang gila. Di Bali, bahwa orang gila dan anak yang belum cukup
umur delapan tahun, tidak boleh dihukum, kecuali apabila ia melakukan
delik yang masuk golongan “sadtatayi” (pembakaran, meracun orang,
amok, penghinaan seorang raja, hekserij dan pemerkosaan)172
. Anak-anak
di Bali yang jika berdiri belum lima kaki tingginya ataupun anak-anak
yang belum memotong gigi, atau belum bekerja di sawah, tidak dianggap
bertanggung jawab. Perbuatan yang berakibat menghilangkan kedudukan
kasta (kastaverlies) pada anaka-anak yang belum cukup umur baru
merupakan delik, jika anak itu tiga kali berbuat demikian.173
Vergouwen
menulis bahwa seorang bapak harus menanggung segala akibat perbuatan-
perbuatan hukum dari anak-anaknya (yang belum cukup umur);
5. Pokok kelima dari KUHP ialah tidak membeda-bedakan orang (geen
aanzien des persoons). Dalam sistem hukum adat, besar kecilnya
kepentingan orang sebagai individu adalah tergantung dari pada
kedudukan (fungsinya) di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat Bugis
dan Makasar, yang bersifat masyarakat bertingkat-tingkat
(standenmaatschap-pij), seorang dari tingkat ataasn lebih penting dari
171
Lihat Pandecten Adatrecht X, hal.660, sebagaimana ditulis dalam Soepomo, Op.Cit.,
hal.116. 172
Sad tataji meliputi kejahatan-kejahatan yang dianggap paling berat.
173
Lihat Pandecten Adatrecht X, hal.681, lihat juga V.E Korn, Het Adatrecht Van Bali, 2
druk, hal. 543, sebagaimana ditulis dalam Soepomo, Op.Cit., hal.116.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
72
Universitas Indonesia
orang tingkat bawahan. Di Bali, orang-orang Triwangsa adalah lebih
penting daripada orang rakyat jelata. Makin tinggi kedudukan orang
seseorang di dalam masyarkat, makin berat hukuman yang akan dijatuhkan
kepada orang yang membuat delik itu. Raja atau kepala adat adalah orang
yang paling tinggi kedudukannya di dalam masyarakat yang bersangkutan.
6. Pokok dasar keenam dari KUHP ialah bahwa orang dilarang bertindak
sendiri untuk menegakkan hukum yang dilanggar (verbod van
eigenrchting). Larangan ini berhubung dengan prinsip, bahwa segala delik
adalah urusan negara, bukan urusan perseorangan. Di dalam sistem hukum
adat terdapat keadaaan yang mengizinkan orang yang terkena untuk
bertindak sebagai hakim sendiri misalnya apabila seorang melarikan gadis,
atau berzinah (overspel) atau mencuri dan perbuatan itu diketahui seketika
(op heterdaad betrapt) sedang orangnya dapat tertangkap, maka pihak
yang terkena, pada waktu mendapat delik itu, menurut paham adat boleh
bertindak untuk menegakkan hukum.
Di Tanah Batak pada zaman dahulu seringkali terjadi, bahwa pihak yang
terkena mengungkung orang yang bersalah dengan kayu (mambeongkon)
sampai ia atau golongan keluarganya membayar denda yang diwajibkan
oleh adat. Di Minangkabau terkenal dengan adat tarikh yaitu pihak yang
terkena berhak mengambil sesuatu barang pihak yang bersalah atau barang
famili pihak yang bersalah memenuhi hukumannya.
7. Pokok dasar yang ketujuh dari KUHP ialah tidak membedakan barang
yang satu dengan barang yang lain, sehingga pada dasarnya mencuri
setangkai bunga adalah sama beratnya dengan mencuri sebuah permata
yang mahal. Menurut aliran tradisional Indonesia, mencuri, menggelapkan
atau merusak barang asal dari nenek moyang adalah lebih berat dari pada
mencuri, menggelapkan atau merusak barang duniawi biasa.
8. Pokok dasar kedelapan dari KUHP mengenai soal membantu perbuatan
delik (medeplichtigheid), membujuk (uitlokking) dan ikut berbuat
(mededaderschap). Menurut sistem hukum adat, siapa saja yang turut
menentang peraturan hukum, diharuskan turut memenuhi usaha yang
diwajibkan untuk memulihkan kembali perimbangan hukum
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
73
Universitas Indonesia
(rechtsherstel). Pepatah Batak berbunyi”dosdo setiop sige dohot stangko
tuak.”, artinya”orang yang memegang tangga sama saja dengan orang
yang mecuri nira.” Dengan kata lain, semua orang yang ikut serta
membuat delik, harus ikut bertanggung jawab.
9. Pokok dasar kesembilan dari KUHP mengenai percobaan yang dapat
dipidana (strafbare poging). Suatu perbuata percobaan yang tidak berarti,
tidak dapat dipidana. Sistem hukum adat tidak menghukum seseorang
karena mencoba melakukan suatu delik. Dalam sistem hukum adat, suatu
upaya adat (adatreaksi) akan diselenggarakan jikalau perimbangan hukum
diganggu, sehingga perlu untuk memulihkan kembali perimbangan hukum.
Apabila tidak terjadi pengacauan masyarakat, tidak terjadi penghinaan atau
perusakan, apabila tidak ada perubahan apa-apa di dalam keadaan
masyarakat atau di dalam keadaan suatu golongan famili, atau di dalam
keadaan orang seorang, maka tidak ada alasan suatupun bagi para petugas
hukum untuk bertindak, oleh karena perimbangan hukum tidak terganggu.
Apabila seseorang yang bermaksud akan membunuh orang lain,
menembak orang itu, akan tetapi orang yang ditembak itu hanya mendapat
luka-luka, maka orang yang menembak itu tidak akan dihukum karena
mencoba membunuh, melainkan ia dihukum karena melukai orang. Jika
tembakan itu tidak mengenai, maka tidak ada percobaan membunuh atau
percobaan melukai melainkan hnaya perbuatan melepaskan tembakan
kepada seseorang, yang mungkin melanggar delik ketenteraman umum.
10. Pokok dasar kesepuluh dari KUHP adalah orang yang hanya dapat
dipidana karena perbuatannya yang terakhir, tidak boleh karena
perbuatannya dulu-dulu, kecuali jikakalau ia menjalankan pengulangan
kejahatan (recidive). Menurut aliran pikiran tradisional, dalam mengadili
perbuatan melanggar hukum hakim harus memperhatikan juga, apakah
yang melanggar hukum itu sungguh menyesal (berouw) atas perbuatannya.
Pun hakim harus memperhatikan apakah orang itu masuk golongan orang
yang terkenal sebagai penjahat.174
174
Van Vollenhoven, Adatrecht II, hal. 749, sebagaimana ditulis dalam Soepomo,
Op.Cit., hal.119.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
74
Universitas Indonesia
Penyesalan hati akan meringankan hukuman.175
Sebaliknya orang yang
terkenal sebagai penjahat, apabila ia berbuat salah, boleh dihukum seberat-
beratnya, misalnya ia dapat dibuang dari persekutuan masyarakatnya.
Perbedaan sistem hukum adat dengan KUHP ini cukup memberi gambaran
tentang bagaimana penyelesaian perkara pidana melalui sistem hukum adat.
Selain itu contoh tentang penyelesaian perkara pidana melalui sistem hukum adat
yaitu:
1. Seperti dikatakan oleh Daud Azhari, banyak sengketa di Lombok
diselesaikan oleh Desa Adat, dimana kompetensi mengadili sengketa di
bidang pengairan berada di Rembug Subak, sedangkan sengketa di luar
masalah pengairan, baik perkara yang berdimensi perdata adat maupun
delik adat (pidana adat) berada di tangan Kerama Desa. Konflik yang
berdimensi pidana meliputi tawuran dan pembunuhan secara massal,
perbuatan perzinahan atau kesusilaan dan moral.176
2. Berdasarkan MoU antara Masyarakat Adat Aceh, Gubernur NAD dan
Kapolda NAD,177
disepakati bahwa yang menjadi kewenangan peradilan
adat, khususnya tentang delik adat yaitu: kekerasan dalam rumah tangga
yang bukan kategori penganiayaan berat, perselisihan antar dan dalam
keluarga, pencurian (bukan untuk pencurian yang berat seperti kerbau,
kendaraan bermotor, dll) dan kecelakaan lalu lintas yang ringan (bukan
yang mengakibatkan mati). Sanksi adat berupa: nasehat, peringatan, minta
maaf di depan umum, ganti rugi, diusir dari Gampong, pencabutan gelar
175 Suatu pepatah Batak berbunyi”Gala-gala sitellu, telluk mardagul-dagul, molo sala
pembahenanku luhat huapulapul” artinya:”Jikalau saya berbuat salah, saya akan memperbaiki
kesalahan saya.”
176
Daud Azhari, Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak di Pulau Lombok, yang ditelusur
melalalui internet www.scribid.com/daud-azhari-9865 sebagaimana ditulis dalam ringkasan
desertasi M.Hatta Ali, Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Dihubungkan Dengan
Keadilan Restoratif Dalam Lingkungan Peradilan Umum Di Indonesia, (Bandung: Program Studi
Doktor Ilmu Hukum Unpad, 2011), hal. 11.
177
UNDP, Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan
Akuntabel, penelitian Proyek Keadilan Aceh UNDP dengan Masyarakat Adat Aceh (MAA) dan
Pemerintah NAD, ditelursur melalui internet http://ind.adatjustice.org/wp-
content/uploads/publikasi/Buku%20Pedoman%20Peradilan.pdf diakses pada tanggal 20 Desember
2012
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
75
Universitas Indonesia
adat, dikucilkan dalam pergaulan dan diboikot. Perangkat peradilan
adat/hakim perdamaian di tingkat:
1. Gampong, terdiri atas:
a. Keuchik, sebagai Ketua;
b. Sekretaris Gampong, sebagai Panitera;
c. Imeum Meunasah, sebagai Anggota;
d. Tuha Peuet, sebagai Anggota
e. Ulama, tokoh adat/cendekiawan lainnya di Gampong yang
bersangkutan (ahli di bidangnya), selain Tuha Peuet Gampong
sesuai dengan kebutuhan;
2. Mukim terdiri atas:
a. Imeum Mukim, sebagai Ketua;
b. Sekretaris Mukim, sebagai Panitera;
c. Tuha Peuet Mukim, sebagai Anggota;
d. Ulama, tokoh adat/cendekiawan lainnya, selain Tuha Peuet Mukim
sesuai dengan kebutuhan.
3. Masyarakat Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, sebagian besar hidup
dalam naungan hukum adat. Kabupaten ini dihuni tiga suku besar, yaitu
Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Siapa pun yang melanggar ketentuan
hukum adat harus menghadapi peradilan adat yang disebut pokara adat.
Konflik di masyarakat ditangani melalui putusan adat. Putusan diambil
oleh para tokoh adat mengacu hukum adat yang berlaku.178
Sengketa
diselesaikan lewat peradilan adat yang dipimpin oleh seorang timanggong
(temenggung). Pada umumnya timanggong hanya menyelesaikan kasus
pelanggaran berat, misalnya penganiayaan berat dan pembunuhan.
Sedangkan kasus-kasus sengketa ringan bisa diselesaikan sendiri oleh
kepala kampong (kampung atau desa). Kampong merupakan sistem yang
178 Elly Burhaini Faizal, Liputan Peradilan Adat Di Sanggau Kalimantan Barat, Suara
Pembaruan, edisi 15 September 2003, sebagaimana dimuat dalam Pekumpulan untuk Pebaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA) yang ditelusur melalui internet
http://huma.or.id/wp-content/uploads/2006/08/Suara-Pembaruan-15_17-Des-03-Catatan-Dari-
Peradilan-Adat-Sanggau.pdf diakses pada tanggal 19 Desember 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
76
Universitas Indonesia
sudah lama ada.179
Di kalangan masyarakat Melayu, peradilan adat juga
dikenal. Peradilan ini dipimpin oleh Ketua Adat yang disebut penggawa.
Masyarakat etnis Melayu di Sanggau identik dengan masyarakat muslim.
Hukum adat yang mereka anut bersumber pada kitab suci Al Quran.
Kewenangan memutuskan suatau perkara ada di tangan pemangku adat.180
Demikian sedikit penggambaran penyelesaian perkara pidana melalui
sistem hukum adat, baik yang secara umum maupun khusus di daerah-
daerah tertentu.
3.2.1. Eksistensi Lembaga Adat
Untuk mengetahui eksistensi lembaga adat, perlu juga sebelumnya
mengetahui legaliatas dari hukum adat. Hal ini karena dengan lembaga adat yang
menyelesaikan sengketa adat merupakan bagian dari hukum adat. Eksistensi
keberlakuan hukum pidana adat bertitik tolak dari Undang-Undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 No.9) yang diundangkan
pada tanggal 14 Januari 1951, yaitu:181
1. Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa”pada saat berangsur-angsur
akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan:
a. Segala pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrecht-spraak) dalam Negara
Sumatra Timur dahulu, keresidenan Kalimantan Barat dahulu dan
Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali Pengadilan Agama jika
Peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagin dari
pengadilan Swapraja;
b. Segala pengadilan adat (inheemse rechtspraak in rechtstreeks
bestuurd gebied) kecuali Pengadilan Agama jika pengadilan itu
menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari
Peradilan Adat;
179
Ibid.
180
Ibid. 181
Soekanto dan Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 71-72. Lihat juga Soepomo, Op.Cit.,
hal.153. lihat juga Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal.68-70. Lihat juga Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal.
372.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
77
Universitas Indonesia
2,Pasal 5 ayat (3) sub b yang menyatakan:
“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil
pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula daerah swapraja dan
orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk
kaula-kaula dan orang-orang itu dengan pengertian:
- Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
dianggap perbuatan pidana akan tetapi tiada bandingannya dalam
KUHP, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih
dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu dengan
hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak
diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud
dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum, dan;
- Bahwa bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran
Hakim melampaui padanya denda hukuman kurungan atau denda
yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan
hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun penjara, dengan pengertian
bahwa hukum adat yang menurut paham hakim tidak selaras dengan
zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan;
- Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam KUHP,
maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan
hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan itu.
Lilik Mulyadi menggambarkan secara jelas Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-
Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, bahwa ada tiga konklusi dasar,
yaitu:182
1. Bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingannya atau padanan
dalam KUHP dimana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana
adat yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan
ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus
rupiah (setara dengan kejahatan ringan), minimumnya sebagaimana
termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu satu hari untuk
182 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal.373.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
78
Universitas Indonesia
pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan
ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi untuk tindak pidana adat yang
berat ancaman pidana paling lama sepuluh tahun, sebagai pengganti
dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh terdakwa;
2. Tindak pidana adat yang ada bandingnya dalam KUHP maka ancaman
pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP
seperti misalnya tindak pidana adat drati kerama di Bali atau
Mapangaddi (Bugis) Zina (Makasar) yang sebanding dengan tindak
pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP;
3. Sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan
pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa,
mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup
(living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya
dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam
KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai ketentuan KUHP;
Selain dari Undang-Undang Darurat tersebut, menurut Soepomo
berdasarkan Pasal 26 ayat(1) Ordonnantie inheemsche rechtspraak,
Staatsblad 1932 no.80) maka hukum adat delik formal masih berlaku.183
Menurut Pasal 27 ayat (1) Ordonansi tersebut, hakim pengadilan adat
berwenang di samping upaya-upaya adat atau sebagai pengganti upaya-
upaya adat, menjatuhkan hukuman pidana yang disebut dalam Pasal 10a
KUHP.184
Pasal 26 ayat (3) ordonnansi tersebut, bahwa siapa pun tidak
boleh dihukum (dipidana) terhadap perbuatan yang pada waktu perbuatan
itu dilakukannya, tidak diancam dengan pidana oleh hukum adat atau oleh
peraturan perundang-undangan.185
Di daerah-daerah yang notabene juga mempunyai hukum adat dan
lembaga adat yang berbeda dengan daerah lainnya, sehingga eksistensinya
183
Soepomo, Loc.Cit.
184
Ibid.
185 Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
79
Universitas Indonesia
dan legalitasnya diatur secara masing-masing. Di aceh, misalnya dasar
hukum peradilan adat di Aceh, yaitu:186
1. Pasal 3 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, menegaskan bahwa”Daerah
diberikan kewenangan untuk menhidupkan adat sesuai dengan syariat
Islam.”
2. Bab XIII tentang Lembaga Adat Undang-Undang No.11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh mengatakan bahwa”penyelesaian masalah
sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat
(Pasal 98 ayat (2). Lembaga-lembaga adat tersebut yaitu:
- Tuha Peuet;
- Majelis Adat Aceh;
- Imeum Mukim;
- Imeum Chiek;
- Imeum Meunasah;
- Tuha Lapan;
- Syahbanda;
- Haria Peukan;
- Peutuwa Seuneubok;
- Pawang Glee;
- Panglima Laot;
- Keujruen Blang;
- Keuchik;
3. Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Kehidupan Adat, menegaskan bahwa”Lembaga Adat sebagai alat
kontrol keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat.”
Tugas lembaga adat adalah:
- menyelesaikan berbagai masalah sosial kemasyarakatan (Pasal 5);
- menjadi hakim perdamaian dan diberikan prioritas utama oleh aparat
penegak hukum untuk menyelesaikan berbagai kasus (Pasal 6 dan 10)
186 UNDP, Op.Cit.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
80
Universitas Indonesia
4. Qanun No.4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam propinsi
Nangroe Aceh Darussalam memberikan kepada Mukim untuk:
- Memutuskan dan atau menetapkan hukum;
- Memelihara dan mengembangkan adat;
- Menyelenggarakan perdamaian adat;
- Menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap
perselisihan-perselisihan dan pelanggaran adat;
- Memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian
lainnya menurut adat;
- Menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan adat
istiadat;
5. Qanun no.5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Propinsi
Naggroe Aceh Darussalam, menegaskan bahwa tugas dan kewajiban
Gampong adalah:
- Menyelesaikan sengketa adat;
- Menjaga dan memelihara kelestarian adat dan istiadat;
- Memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya
perbuatan maksiat dalam masyarakat;
Di daerah lain juga diatur seperti berikut:
1. Pasal 8 Peraturan Daerah Kabupaten Banggai No.1 Tahun 2008 tentang
Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga
Adat Banggai, yaitu:” Lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 mempunyai tugas :187
a.Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat adat kepada
Pemerintah;
b. Menyelesaikan permasalahan adat istiadat dan kebiasaan – kebiasaan
masyarakat di wilayahnya;
c. Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat serta
187
Pemerintah Kabupaten Banggai, Peraturan tentang Pemberdayaan, Pelestarian,
Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Banggai, Peraturan Daerah Kabupaten Banggai
Nomor 1 Tahun 2008, yang ditelusur melalui internet http://www.palu.bpk.go.id/wp-
content/uploads/2010/03/Perda-Banggai-No.1-Tahun-2008-tentang-Pemberdayaan-
PELESTARIAN-LEMBAGA-ADAT-BANGGAI.pdf diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
81
Universitas Indonesia
kebiasaan-kebiasaan masyarakat;
d. Menciptakan hubungan yang demokratis, harmonis dan ojektif antara
masyarakat, perangkat adat dengan aparat Pemerintah Daerah.”
2. Pasal 12 Peraturan Daerah Kabupaten Muara Enim Nomor 2 Tahun 2007
tentang Lembaga Adat Marga, yaitu:” Pemangku Adat Marga
mempunyai wewenang :188
a. Menyelenggarakan rapat dan musyawarah Lembaga Adat Marga;
b. Menyelesaikan urusan adat istiadat masyarakat di wilayah kerjanya;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan adat istiadat;
d.Menghimpun dan mendata adat istiadat masyarakat yang hidup,
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat hukum adat;
e.Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam
pemberdayaan adat istiadat;
f. Memberikan gelar adat sebagai penghormatan kepada seseorang;
g. Memberikan sanksi adat kepada seseorang yang melanggar ketentuan
hukum adat;
h. Mewakili untuk bertindak atas nama lembaga adat baik diluar maupun
didalam pengadilan;
i. Mengatur tatakrama pergaulan bujang gadis;
j. Menyusun Peraturan Adat Marga sesuai dengan adat istiadat setempat;.
k.Membina hubungan kemitraan, pengkoordinasian dengan Kecamatan
dan pemerintahan desa dan atau kelurahan;
l.Melaksanakan kerjasama antar Lembaga Adat Marga atau Lembaga
Adat lainnya.”
3. Pasal 6 Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara No,12 Tahun 2004
tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan
Lembaga Adat, yaitu:189
”(1) Lembaga Adat berwenang mengangkat dan
188
Pemerintah Kabupaten Muara Enin, Peraturan tentang Lembaga Adat Marga,
Peraturan Daerah Nomor Tahun 2007, yang ditelusur melalui internet
http://palembang.bpk.go.id/web/files/2010/08/Perda-No.2-Thn-2007-ttg-Lembaga-Adat.pdf yang
diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.
189
Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, Peraturan tentang Pemberdayaan, Pelestarian
dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat, Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
82
Universitas Indonesia
menentukan Datu, Pemangku Adat, Ketua Adat atau sebutan nama
lainnya sesuai dengan kondisi sosial budaya dan adat istiadat. (2)
Lembaga Adat berwenang membuat dan menetapkan peraturan-peraturan
atau ketentuan-ketentuan tentang adat istiadat yang tidak bertentangan
dengan perundang-undangan. (3) Sebagai Lembaga Adat berwenang
menyelesaikan perselisihan sengketa adat, berdasarkan kesepakatan
melalui musyawarah adat. (4) Keputusan musyawarah adat dalam
menangani dan menyelesaikan sengketa adat menjadi bahan dan
petunjuk bagi lembaga peradilan.”
Uraian ini cukup memberikan penjelasan dan penegasan bahwa
hukum adat dan lembaga adat, eksistensinya masih tetap ada dan
diakui untuk menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat hukum
adat tersebut. Masih banyak lagi peraturan daerah lainnya, yang kurang
lebih sama memberikan penjelasan dan penegasan tentang eksistensi
dari hukum adat dan lembaga adat tersebut.
3.2.2. Kelemahan Penyelesaian Melalui Hukum Adat
Ada sebagian pihak yang memandang hukum adat sebagai hukum yang
sudah ketinggalan zaman yang harus segera ditinggalkan dan diganti dengan
peraturan-peraturan hukum yang lebih modern. Aliran ini berpendapat bahwa
hukum adat tidak akan dapat memenuhi kebutuhan hukum dimana kini, lebih-
lebih lagi untuk masa mendatang sesuai dengan perkembangan dunia modern
ditambah dengan tuntutan dari globalisasi, dimana kejahatan tidak mengenal batas
ruang, terjadi di lintas negara. Hal ini secara tidak langsung menyatakan
kelemahan hukum adat itu sendiri, yang antara lain sebagai berikut:190
a. Hukum adat adalah hukum dari rakyat yang masih primitif sehingga
tidak seyogyanya untuk dijadikan dasar dan diberlakukan kepada
mereka atau masyarakat yang sudah maju yang pada umumnya hanya
kita jumpai pada masyarakat pedesaan yang hidupnya jauh dari kota
No.12 Tahun 2004, yang ditelusur melalui internet http://www.wg-
tenure.org/file/Peraturan_Perundangan/Perda_Kab.LuwuUtara_12_2004.pdf yang diakses pada
tanggal 20 Oktober 2012.
190
Soekanto dan Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 104.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
83
Universitas Indonesia
besar. Hukum adat tumbuh dan berkembang di desa, sedangkan di kota
banyak ditinggalkan;
b. Hukum adat yang bersendikan atas tradisi banyak menghambat
perkembangan kemajuan masyarakat karena hukum adat dengan segala
sifat kekolotannya sukar untuk menerima proses pembaharuan dan
menerima hal-hal yang banyak diperlukan dalam kehidupan modern dan
tidak cocok dengan keadaan modern;
c. Hukum adat yang sifatnya tidak tertulis adalah kurang memberikan
jaminan kepastian hukum bilamana dibandingkan dengan ketentuan-
ketentuan hukum yang tertulis, karena sulit untuk diketahui kaidah-
kaidahnya.
Soerjono Soekanto secara terpisah juga berpendapat tentang alasan keberatan
tentang mengenai pentingnya kedudukan dan peranan hukum adat dalam
pembaharuan hukum, yang menurut penulis inipun merupakan kelemahan dari
hukum adat, yaitu:191
1. Hukum adat didasarkan pada sistem sosial-budaya masyarakat
sederhana, sehingga sukar untuk diperlakukan terhadap masyarakat
madya dan modern;
2. Hukum adat berproses secara tradisionil, hal ini menimbulkan
kecenderungan yang kuat untuk menganggap hukum adat sebagai
lembaga konservatif yang cenderung mempertahankan status quo;
3. Hukum adat berorientasi pada masa lampau, sedangkan orientasi dalam
proses pembangunan harus sebanyak mungkin diarahkan ke masa
depan;
4. Sifat tidak tertulis dari hukum adat, menyebabkan tidak terjaminnya
kepastian hukum dan timbulnya keragu-raguan akan isinya hukum adat;
5. Berkurangnya wibawa pemuka-pemuka adat sebagai pemimpin
informal, padahal proses hukum adat tergantung pada mereka.
Mengenai berkurangnya wibawa pemuka-pemuka adat sebagai pemimpin
informal adalah menarik jika kita melihat dari hasil laporan Elly Buraini Faizal
191
Soerjono Soekanto, op.Cit., hal.53.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
84
Universitas Indonesia
yang melihat peradilan adat di Sanggau, Kalimantan Barat. Menurut laporan Elly
Buraini Faizal yaitu:192
“Komersialisasi hukum adat mencoreng wajah praktik peradilan adat di
Sanggau beberapa waktu belakangan ini. Istilah keren yang dipakai
adalah "premanisme adat". Tudingan miring itu merujuk kepada
berkembangnya praktik "pemerasan" yang menimpa orang-orang
pelaku pelanggaran hukum adat. Tuntutan yang diajukan kepada si
pelaku pelanggaran khususnya kasus pati nyawa (pembunuhan) tersebut
jumlahnya sangat besar, bahkan melebihi hukuman yang dijatuhkan
peradilan formal. Tak jarang tuntutan agar si pelaku membayar sanksi
adat dalam jumlah besar itu diwarnai paksaan serta ancaman. Para
timanggong (temenggung) serta tetua adat Sanggau yang ditemui
Pembaruan rata-rata membenarkan adanya praktik itu. Namun mereka
berpendapat, pelaku komersialisasi hukum adat adalah para preman
adat, dan bukan fungsionaris adat yang sesungguhnya.”
Laporan tersebut berakibat bahwa adanya oknum yang melakukan
pemerasan dengan dalih sanksi adat menggunakan dasar pemuka adat, maka
menurunnya wibawa pemuka-pemuka adat. Tentang sanksi adat yang jumlahnya
besar juga dapat dilihat dari kasus bentrokan suku anak dalam, yang terjadi di
Sarolangun. Bentrokan yang terjadi antara kelompok Celitai dan kelompok Abu
Majid, mengakibatkan ada tiga korban yang meninggal, dua orang dari kelompok
Abu Majid dan satu orang dari kelompok Celitai. Dari hasil keputusan adat,
disepakati sanksi adat berupa kelompok Celitai membayar 1000 kain kepada
kelompok Abu Majid dan kelompok Abu Majid membayar 500 kain kepada
kelompok Celitai.193
Menarik untuk diketahui hasil tulisan dari Kornelis Kewa tentang sanksi
adat di papua. Menurutnya, bagi warga pendatang, penyelesaian perkara melalui
pengadilan jauh lebih menguntungkan dari pada secara hukum adat masyarakat
lokal. Dalam kasus hak ulayat misalnya, warga pendatang lebih suka
menyelesaikan di pengadilan.sementara warga lokal ingin menyelesaikan secara
adat.194
Menurut Yance Pattiran, hakim PN.Nabire, keuntungan yang diperoleh
192
Elly Buraeni Faizal, Loc.Cit.
193
Disarikan dari laporan Mahmud Sebayang, Loc.Cit.
194
Kornelis Kewa, Hukum Adat Mendominasi Hukum Positif di Papua, 30 April 2004,
diakses melalui internet http://www.huma.or.id sebagaimana ditulis M.Hatta Ali, Asas Peradilan
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
85
Universitas Indonesia
masyarakat yang berperkara melalui hukum adat jauh lebih besar dibandingkan
dengan hukum formal. Tuntutan hukum adat mencapai milyaran rupiah, ditambah
ternak babi dan berbagai jenis perhiasan. Keuntungan seperti itu tidak dijatuhkan
di Pengadilan Negeri.195
Rehngena Purba melihat kepada kelemahan dari penerapan hukum adat
yaitu:196
“Di beberapa daerah pedalaman, hukum adat masih digunakan, namun di
daerah yang masyarakatnya sudah heterogen dan pengadilan hakimnya
bukan putra daerah seperti kata Subekti yang mengetahui hukum adat
adalah putra daerah itu sendiri karena jika hakim bukan putra daerah
tersebut, maka hakim tidak meresapi living law itu, jadi tidak meresapi
hukum daerah itu dan apa kata pasal-pasal dari undang-undang tersebut
langsung dia terapkan saja, jadi seperti corong undang-undang saja.”
Kelemahan hukum adat untuk diterapkan dalam masyrakat yang heterogen
juga diungkapkan oleh Mardjono Reksodiputro. Menurut Mardjono Reksodiputro:
“Hukum adat hanya bisa dilakukan di daerah pedusunan atau perdesaan,
dimana terjadi disharmonisasi karena adanya gelombang harmonisasi.
Ibaratnya air yang tenang dilempar batu, maka terjadi gelombang atau
disharmonisasi yang melebar ke masyarakat. Tetapi jika di kota tidak
ada penyelesaian dengan hukum adat, ibaratnya batu itu dilempar ke
tanah, sehingga urusan hanya diselesaikan oleh dua pihak tersebut
saja.” 197
Menurut Adrianus Meliala, berdasarkan hasil penelitian tentang metode
penyelesaian hukum adat terhadap masalah kenakalan anak-anak di 17 daerah
adat, didapati hasil bahwa:
1. Masyarakat tidak mengetahui hukum adat mana yang dipegang;
2. Hukum adat tidak mengenal anak sebagai subyek hukum adat; 198
Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan Dihubungkan Dengan Keadilan Restoratif Dalam
Lingkungan Peradilan Umum Di Indonesia, Disertasi (resume), Bandung: Universitas Padjadjaran,
2011, hal. 47.
195
Ibid. 196
Wawancara dengan Prof Rehngena Purba melalui telepon pada tanggal 14 Desember
2012.
197
Wawancara secara langsung di kampus Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Salemba-Jakarta, pada tanggal 13 November 2012.
198
Wawancara secara langsung di gedung Nusantara I kampus FISIP UI, Depok pada
tanggal 2 November 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
86
Universitas Indonesia
Syahrul Mahmud hakim yang bertugas di Bandung mengatakan
bahwa”hukum adat adalah hukum yang masih hidup dan dipakai, namun untuk di
masyarakat yang heterogen hukum adat sudah luntur, beda halnya jika di
masyarkat yang masih kental hukum adatnya seperti suku Dayak di Tenggarong
yang membebankan untuk membayar sanksi adat berupa babi.”199
Lilik Mulyadi lain lagi berpendapat, menurutnya”hukum adat antara ada dan
tidak, jika melihat dari Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang Darurat No.1
Tahun 1951 dan peradilan desa yang sudah dihapuskan dengan Undang-Undang
No.14 Tahun 1970, namun demikian prakteknya Mahkamah Agung melalui
putusannya dan menjadi Yurisprudensi dengan menggunakan hukum adat.”200
3.3. Nilai Hukum Adat dalam Restorative Justice
Sebelum mengetahui nilai restorative justice dalam penyelesaian melalui
hukum adat, ada baiknya mengetahui dahulu asas-asas dari hukum adat tersebut.
Menurut J.J.H Bruggink, maka asas hukum mewujudkan sejenis sistem sendiri
yang sebagian termasuk dalam sistem hukum, tetapi sebagian lainnya tetap berada
di luarnya sehingga asas-asas hukum itu berada baik di dalam sistem hukum
maupun di belakangnya.201
Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati,
menyebutkan asas-asas hukum dari berbagai sistem hukum merupakan disiplin
199 Wawancara melalui telepon (karena narasumber berada di Bandung) pada tanggal 12
November 2012.
200
Wawancara secara langsung di Pengadilan Ngeri Jakarta Utara pada tanggal 31
Oktober 2012. Yurisprudensi yang dimaksud Lilik Mulyadi sebagaimana yang telah ditulisnya
dalam Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Op.Cit. hal.98-105.
Yurisprudensi yang dimaksud yaitu:1.Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984
tanggal 23 Februari 1985, yang memberikan kualifikasi tentang perzinahan menurut hukum adat
namun untuk sanksi bukan sanksi adat melainkan pidana penjara.2. Putusan Mahkamah Agung RI
No.1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 yang pada pokoknya menyatakan tuntutan Penuntut
Umum tidak dapat diterima karena terdakwa yang melakukan perbuatan asusila telah membayar
sanksi adat berupa seekor kerbau dan satu piece kain kaci yang menurut Pasal 5 ayat (3) sub b
Undang-Undang Drt Nomor 1 Tahun 1951 hukuman adat telah sepadan dengan kesalahan
terhukum.
201
J.J.H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arif Sidharta, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996), hal. 122, sebagaimana ditulis dalam Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan
Litbang Kumdil MARI, Op.Cit. hal.44.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
87
Universitas Indonesia
tengah yang mula-mula membentuk ajaran hukum umum (algemene
rechtsleer).202
Roeslan Saleh selanjutnya menegaskan bahwa:203
“…tiap kali aparat hukum membentuk hukum, asas ini selalu dan terus
menerus mendesak masuk ke dalam kesadaran hukum dari
pembentuk.sejauh dia mempunyai sifat-sifat konstitutif dia tidak dapat
dilanggar oleh pembentuk hukum, atau tidak dapat dikesampingkannya.
Jika hal itu dilakukannyam maka terjadilah yang disebut non-hukum atau
kelihatannya saja dianggap sebagai hukum.”
Dengan demikian menurut Lilik Mulyadi, dapat dianalisis bahwa asas-asas
hukum mengandung unsur-unsur, yakni:
a. Sarat dengan kandungan nilai, filsafat dan semangatnya sendiri;
b. Tidak tampak sebagai aturan (rule) yang konkrit, tetapi sebagi kaidah
di belakang peraturan. 204
Berkaitan dengan itu, Koesno mengemukakan pendekatan hukum adat
dalam menyelesaikan konflik adat berdasarkan tiga asas yakni asas rukun, asas
patut dan asas laras, diuraikan sebagi berikut:205
a. Asas rukun
Asas kerukunan merupakan suatu asas kerja yang menjadi pedoman dalam
menyelesaikan konflik adat. Penerapan asas rukun dalam penyelesaikan
konflik adat dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan kehidupan
seperti keadaan semula, status dan kehormatannya serta terwujudnya
hubungan yang harmonis sesama krama desa. Dengan demikian asas
rukun tidak menekankan menang kalah pada salah satu pihak, melainkan
202
Phliipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2005), hal.9, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan
Litbang Kumdil MARI, Loc.Cit.
203
Roeslan Saleh, Ibid, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan
Litbang Kumdil MARI, Loc.Cit.
204 Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Loc.Cit. lihat juga
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus, (Bandung: Alumni, 2012),
hal.401.
205
I Nyoman Sirtha, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, (Denpasar: Udayana
University Press, 2008), hal. 78, sebagaimana ditulis Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan
Litbang Kumdil MARI, hal. 45.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
88
Universitas Indonesia
terwujudnya kembali keseimbangan yang terganggu, sehingga para pihak
yang bertikai bersatu kembali dalam ikatan desa adat.
b. Asas patut
Patut adalah pengertian yang menunjuk kepada alam kesusuliaan dan akal
sehat yang ditujukan pada penilaian atas sesuatu kejadian sebagai
perbuatan manusia maupun keadaan. Patut berisi unsur-unsur yang berasal
dari alam susila, yaitu nilai-nilai baik atau buruk. Patut juga mengandung
unsur-unsur akal sehat, yaitu perhitungan-perhitungan yang menurut
hukum adat dapat diterima. Pendekatan asas patut dimaksudkan agar
penyelesaian konflik adat dapat menjaga nama baik pihak masing-masing,
sehingga tidak ada yang merasa diturunkan atau direndahkan status dan
kehormatannya selaku krama desa.
c. Asas laras
Ajaran keselaran mengandung ajaran untuk memperhatikan kenyataan dan
perasaan yang hidup dalam masyarakat, yang telah tertanam menjadi
tradisi secara turun temurun. Oleh karena itu, pengalaman dan
pengetahuan tentang adat istiadat yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat, merupakan bahan-bahan untuk merumuskan secara konkrit
suatu jawaban dalam menyelesaikan konflik adat. Penggunaan pendekatan
asas keselarasan dilakukan dengan memperhatikan tempat, waktu dan
keadaan (desa, kala, patra), sehingga dapat diterima oleh para pihak dalam
masyarakat.
Tiga asas ini pun sama seperti yang disebutkan Rehngena Purba, yaitu
”Salah satu tujuan hukum adat, terjadinya keseimbangan dan harmonis, tidak
adanya perbedaan privat dengan publik dengan asas kerukunan, kepatutan dan
keselarasan.”206
Rehngena Purba menambahkan lagi bahwa”Jika kita mengenal
suatu asas musyawarah untuk mufakat, maka Musyawarah ajaran menyelesaikan
dan mufakat itu ajaran memutus.”207
206
Wawancara melaui telepon pada tanggal 14 Desember 2012.
207
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
89
Universitas Indonesia
Tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Koesno dan
Rehngena Purba, dalam peradilan adat aceh misalnya terdapat asas-asas sebagai
berikut:208
1. Terpercaya atau amanah (acceptability)
Peradilan adat dapat dipercai oleh masyarakat
2. Tanggung jawab/akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini menggarisbawahi pertanggungjawaban dari para pelaksana
peradilan adat dalam menyelesaikan perkara tidak hanya ditujukan
kepada para pihak, masyarakat dan Negara tetapi juga kepada ALLAH
SWT.
3. Kesetaraan di depan hukum/non-diskriminasi (equality before the
law/non discrimination)
Peradilan adat tidak boleh membeda-bedakan jenis kelamin, status
sosial ataupun umur. Semua orang mempunyai kedudukan dan hak
yang sama di hadapan adat.
4. Cepat, mudah dan murah (accessibility to all citizens)
Setiap putusan peradilan Gampong harus dapat dijangkau oleh
masyarakat baik yang menyangkut dengan biaya, waktu dan
prosedurnya.
5. Ikhlas dan sukarela (voluntary nature)
Keadilan adat tidak boleh memaksa para pihak untuk menyelesaikan
perkaranya melalui peradilan adat.
6. Penyelesaian damai/kerukunan (peaceful resolution)
Dalam bahasa Aceh, azas ini dikenal dengan ucapan”Uleue bak mate
ranteng ek patah” tujuan dari peradilan adat adalah untuk menciptakan
keseimbangan dan kedamaian dalam masyarakat.
7. Musyawarah/mufakat (consensus)
Keputusan yang dibuat dalam peradilan adat berdasarkan hasil
musyawarah mufakat yang berlandaskan hukum dari pelaksana
peradilan adat.
8. Keterbukaan untuk umum (transparency)
208
UNDP, Loc.Cit.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
90
Universitas Indonesia
Semua proses peradilan (kecuali untuk kasus-kasus tertentu) baik yang
menyangkut pautkan penerimaan pengaduan, pemanggilan saksi,
persidangan maupun pengambilan serta pembacaan putusan harus
dijalankan secara terbuka.
9. Jujur dan kompetensi (competence/authority)
Seorang pemimpin adat tidak boleh mengambil keuntungan dalam
bentuk apapun baik material maupun non material dari penanganan
perkara.
10. Keberagaman (pluralism)
Peradilan adat menghargai keberagaman peraturan hukum yang terdiri
dari berbagai sistem hukum adat dan berlaku dalam suatu masyarakat
adat tertentu.
11. Praduga tak bersalah (presumption of innocence)
Hukum adat tidak membenarkan adanya tindakan main hakim sendiri.
12. Berkeadilan (proportional justice)
Putusan pengadilan adat harus bersifat adil dan diterapkan berpedoman
sesuai dengan berdasarkan parahnya perkara dan keadaan ekonomi
para pihak.
Setelah diuraikan apa yang menjadi asas-asas hukum adat, sesuai dengan
penelitian ini yang membahas tentang restorative justice. Hukum adat sebagai
living law, hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di masyarakat
mempunyai nilai-nilai yang luhur karena ini merupakan asli dari Indonesia. Dalam
penerapan restorative justice bukan diartikan menggunakan hukum adat,
melainkan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, nilai-nilai
yang ternyata sejalan dengan konsep restorative justice.
Dalam penelitian ini telah dibatasi melihat restorative justice sebagai tujuan
pemidanaan, dengan demikian untuk dapat melihat nilai restorative justice dalam
hukum adat, maka dapat dilihat dari tujuan sanksi adat dan asas-asas hukum adat
itu sendiri. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan sanksi adat adalah sebagai
berikut:
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
91
Universitas Indonesia
1. Menurut I Made Widnyana, sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan
sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan
dunia gaib. Di bali, sanksi adat mempunyai peranan yang penting untuk
mengembalikan keseimbangan tersebut.209
Apabila terjadi pelanggaran, maka
si pelanggar diharuskan untuk melakukan suatu upaya tertentu seperti upacara
bersih desa (pura/tempat suci), yang bertujuan untuk mengembalikan
keseimbangan dan kekuatan magis yang dirasakan terganggu.210
2. Menurut Soepomo juga menegaskan kembali bahwa “tujuan dari segala reaksi
(koreksi) adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran
hukum itu, ialah memulihkan perimbangan hukum. Perimbangan hukum ini
meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib.”211
3. Pendapat Soepomo dan I Made Widnyana ini, juga sama dengan yang
dikatakan Rehngena Purba, yaitu” tujuan dari pemidaan dalam hukum adat
adalah terjadinya harmonisasi, keseimbangan antara dua komunitas yang ada
konflik. Karena jika dia melanggar pidana adat terjadi kegoncangan magis di
masyarakat tersebut, sehingga dengan pembayaran denda atau permintaan maaf
maka terjadi kerukunan antara dua komunitas tersebut.”212
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai hukum adat yang sejalan
dengan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan yaitu mengembalikan
keseimbangan, memulihkan perimbangan hukum, harmonisasi dengan
berdasarkan asas-asas hukum adat kerukunan, kepatutan dan keselarasan serta
musyawarah untuk mufakat. Nilai-nilai yang terkandung ini tidak lain adalah nilai
yang ada pada masyarakat Indonesia, nilai yang melekat pada Pancasila sebagai
ideologi bangsa Indonesia. Oleh karena itu tepat kiranya jika Mardjono
Reksodiputro berpendapat bahwa restorative justice adalah”sebenarnya suatu
209 I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 9.
210
Ibid.
211
Soepomo, Op.Cit., hal. 113. 212
Wawancara melalui telepon pada tanggal 14 Desember 2012, karena jarak yang jauh
Prof Rehngena berada di Medan.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
92
Universitas Indonesia
konsep yang merupakan ideologi dan bisa juga dianggap sebagai suatu strategi.
Ideology seperti misalnya pancasila yang merupakan suatu cita-cita dengan
kelima sila. Sebagai suatu strategi, ideologi itu harus diubah menjadi cara hidup
kita”213
Sejalan juga dengan penyelesaian melalui hukum adat dimana korban
bahkan masyarakat terlibat langsung dalam penyelesaian konflik maka Mardjono
Reksodiputro berpendapat bahwa”konsep restorative justice sebagai ideologi
bukan hanya merupakan urusan dari negara yang merasa dilanggar tetapi juga
urusan antara pelaku dengan korban. Korban diajak bicara untuk menyelesaikan.
Korban bukan hanya korban secara langsung tetapi juga masyarakat. Pertama-
tama yaitu keluarga baik keluarga korban dan pelaku dan kemudian masyarakat
korban dan masyarakat pelaku.”214
M.Hatta Ali dalam desertasinya juga
menyatakan bahwa:215
”konsep keadilan restorative sebenarnya paralalel dengan jenis sanksi
dalam hukum adat yaitu memulihkan keseimbangan adat dan sanksi
diputuskan melalui permusyawaratan adat yang melibatkan pelaku,
korban, masyarakat dan tetua adat. Konteks modern keadilan restoratif
dapat dilakukan dengan berbagai bentuk/model tetapi intinya adalah
bagaimana sanksi pidana itu memenuhi rasa keadilan bagi pelaku, korban
dan kepentingan umum (masyarakat) tetap terjaga.”
Sebenarnya yang diutarakan oleh Mardjono Reksodiputro dan M.Hatta Ali
tersebut merupakan restorative justice sebagai strategi yaitu yang tidak lain adalah
bentuk mekanisme penyelesaian restorative justice. Namun dapat diartikan bahwa
yang dimaksud dengan restorative justice sebagai ideologi menurut Mardjono
Reksodiputro adalah sesuatu yang dicita-citakan dalam kaitannya dengan sistem
peradilan pidana yaitu merupakan tujuan pemidanaan. Karena tujuan pemidanaan
merupakan suatu yang dicita-citakan (seharusnya/idealnya) oleh pelaku, korban,
masyarakat dan Negara dalam menyelesaikan suatu perkara pidana karena
diharapkan keadilan juga dirasakan sebagai fainess, tidak ada pihak yang
213
Wawancara secara langsung di kampus Pascasarjana Hukum UI, Salemba-Jakarta
pada tanggal 13 November 2012.
214
Ibid. 215
M.Hatta Ali, Op.Cit., hal. 26.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
93
Universitas Indonesia
dirugikan dan diuntungkan dari pelaku, korban, masyarakat dan Negara sehingga
kerukunan dan keharmonisan tetap terjadi seperti sebelum terjadinya tindak
pidana.
Menurut Mardjono Reksodiputro, karena restorative justice merupakan
suatu ideologi, suatu hal yang dicita-citakan, maka sulit untuk menerapkannya.216
Begitu pula dengan Adrianus Meliala, walaupun ketika berbicara restorative
justice dalam konteks sebagai suatu bentuk penyelesaian perkara pidana, tetapi
senada dengan Mardjono Reksodiputro, untuk di Indonesia, adalah kecil
kemungkinan untuk menerapkan restorative justice.217
Namun menurut penulis,
kecil ataupun sulit bukan berarti tidak mungkin atau tidak bisa diterapkan. Hakim
mempunyai kebebasan dalam memutus menurut peraturan perundang-undangan,
bahkan jika tidak ada, Hakim dapat melakukan penemuan hukum.
216
Wawancara Mardjono Reksodiputro secara langsung di kampus Pascasarjana Hukum
UI, Salemba-Jakarta pada tanggal 13 November 2012. Dalam sidang ujian tesis, menurut
Mardjono Reksodiputro, tetap akan sulit untuk menerapkannya ketika kewajiban adat (sanksi adat)
telah ditetapkan bahkan dalam putusan pengadilan, namun tidak dilaksanakan, sehingga tujuan
pemidanaan dari restorative justice tidak tercapai. Namun menurut penulis, tentang perkara yang
sudah ada penyelesaian adat namun mengacu kepadai Pasal 100 jo Pasal 2 Rancangan KUHP
tahun 2012, yaitu:
Pasal 2
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Pasal 100
(1) Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) hakim dapat
menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang
hidup dalam masyarakat.
(2) Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang
diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1).
(3) Kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda Kategori I dan
dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat atau
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani
oleh terpidana.
(4) Pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti
kerugian. Dengan demikian Pasal 100 ayat (3) RKUHP Tahun 2012 menjawab pertanyaan tersebut.
217
Wawancara secara langsung di Gedung Nusantara I, kampus FISIP UI, Depok pada
tanggal 2 November 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
94
BAB 4
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM
PUTUSAN PENGADILAN SEBAGAI TUJUAN PEMIDANAAN
(Analisa Putusan No.21/Pid.B/2009/PN.Srln Dan
No.22/Pid.B/2009/PN.Srln)
4.1. Analisa Putusan No.21/Pid.B/2009/PN.Srln
Dalam pembahasan ini telah dibatasi tentang pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusannya, khususnya putusan yang mengandung
pemidanaan. Bahkan telah pula dibatasi untuk melihat kepada penerapan
restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan. Hakim
sebagai pemutus suatu perkara menentukan nasib bahkan hidup mati seseorang
sehingga adanya ungkapan “pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan”. Proses
peradilan memang bertujuan memberikan keadilan atau hak (equity) dengan
mempersamakan semua orang di muka hukum (equality before the law).218
Sering kita mendengar adanya kekecewaan atau ketidakpuasan baik dari
terdakwa, korban bahkan masyarakat terhadap putusan pengadilan. Putusan
pengadilan dianggap tidak mencerminkan keadilan yang diharapkan menuai
banyak protes. Menurut Mardjono Reksodiputro” kritik dan kekurang percayaan
terhadap pengadilan pada intinya mengandung tuduhan terjadinya ketidakadilan
(injustice)…”219
Menarik untuk dianalisa dimana kesalahan dalam putusan
pengadilan tersebut khususnya terhadap putusan pemidanaan?apakah yang
menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan?apakah
telah mempertimbangkan keadilan untuk terdakwa, korban bahkan masyarakat?
Menurut Mardjono Reksodiputro, “…hukuman (pidana) yang lama dan
atau keras bukan pula obat mujarab yang dicari untuk memerangi kejahatan.”220
Padahal seharusnya ini tidak terjadi jika melihat kepada tujuan dari sistem
218
Mardjono Reksodiputro (a), Op.Cit., hal.89.
219
Ibid. 220
Mardjono Reksodiputro (c), hal. 122.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
95
peradilan pidana. Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa tujuan sistem
peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut:221
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakt puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
c. Mengusahkan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
menggulangi lagi kejahatannya;
Kenyataan sekarang ini penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana
dapat dikatakan tidak efektif lagi. Banyak tindak pidana yang terjadi kemudian
dijatuhkan putusan pidana namun tidak menjadikan terdakwa jera sehingga ia
melakukan tindak pidana lagi. Di samping itu korbannya juga tidak mendapatkan
penggantian, keseimbangan tidak dapat terpulihkan dan rasa aman pada
masyarakat menjadi terganggu. Dalam situasi seperti ini dapatlah dikatakan
bahwa tujuan pemidanaan tidak tercapai. Tujuan pemidanaan disini yang
dimaksud pengembalian keseimbangan, keharmonisan dan kerukunan dalam
masyarakat. Tujuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam tujuan sanksi adat
dimana disini selaras dengan restorative justice.
Putusan No.21/Pid.B.2009/Pn.Srln menjatuhkan pemidanaan terhadap
terdakwa yang merupakan kelompok suku anak dalam dimana dalam kasus
tersebut juga telah ada penyelesaian adat. Kasus ini menarik dianalisa mengingat
terjadi pada suku anak dalam yang masih kental dengan adat istiadatnya dan
hukum adatnya. Berdasarkan uraian dari penasehat hukum terdakwa diketahui
bahwa orang rimba atau suku anak dalam yang ada di Propinsi Jambi sekitar
1.300 orang yang masih hidup di tepi-tepi aliran sungai Taman Nasional Bukit
Dua Belas. Di hutan tropis seluas 60.500 hektare itu mereka tinggal terpisah-pisah
di tiga kabupaten Batanghari, Sarolangun dan Tebo. Di desa Pematang Kabau,
Kecamatan Air Hitam tempat bermukimnya salah satu kelompok suku anak dalam
yang dipimpin oleh seorang temenggung.
Suku anak dalam dengan hukum adatnya hampir tidak pernah mengenal
hukum nasional, mereka hidup nomaden walaupun ada beberapa kelompok yang
221
Mardjono Reksodiputro, buku ketiga, Op.Cit, hal. 84-85.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
96
telah menetap dan hidup di pedesaan. Semua perkara konflik yang terjadi selalu
diselesaikan melalui hukum adat yang diyakini dan ditaati. Sanksi adat yang
bertujuan untuk mengembalikan keharmonisan, kerukunan, memulihkan keadaan,
wajib sifatnya untuk dilaksanakan. Jika tidak, maka ketidakseimbangan tetap
terjadi, ketidakrukunan, dan tidak memulihkan keadaan, bahkan berakibat buruk
karena korban masih merasa dirugikan. Dan inilah yang terjadi pada kelompok
Celitai dan kelompok Abu Majid di suku anak dalam.
4.1.1. Kasus Posisi, Pertimbangan dan Amar Putusan
4.1.1.1.Kasus Posisi
Kasus ini menceritakan tentang bentrokan antara dua kelompok suku anak dalam
yang terjadi di Sarolangun. Kasus ini berawal masalah pinjam meminjam mesin
pemotong kayu (chainsaw). Kelompok Abu Majid meminjam mesin chainsaw
dari kelompok Celitai. Namun saat dikembalikan mesin tersebut sudah dirusak.
Kemudian diadakan penyelesaian adat, dimana kelompok Celitai meminta 120
helai kain, namun kelompok Abu Majid hanya menyanggupi membayar 60 helai
kain. Utusan dari kelompok Celitai yang menerima pembayaran sanksi adat
tersebut ternyata kelompok Majid hanya membayar 20 helai kain dengan kondisi
kain yang sudah bolong-bolong. Hal ini membuat kelompok Celitai marah dan
bermaksud untuk menanyakan tentang sanksi adat tersebut kepada kelompok
Majid. Perjalanan dari tempat kelompok Celitai ke kelompok Abu Majid dengan
jalan kaki selama dua hari, menginap di hutan. Dalam perjalanan (hampir sampai
ke tempat kelomok Abu Majid) Mata Gunung bin Pengemat (terdakwa dalam
kasus ini) sebagai panglima perang dari kelompok Celitai jalan lebih dulu dengan
rombongan ketika Tumenggung Celitai berhenti sejenak di warung untuk
memberli rokok. Sesampai di ujung jalan doho singosari desa pematang kabau
kecamatan air hitam, Mata Gunung bin Pengemat tidak dapat menahan emosinya
yang semula melerai anak buahnya yang bersitegang dengan kelompok Abu
Majid. Mata Gunung bin Pengemat dan Merempas (status DPO) dari kelompok
Celitai menghadapi Melenting Laman bin Bebintang, terdengar suara tembakan
rakitan. Celitai pun menyusul ke tempat kejadian karena mendengar suara
tembakan dan mendapati telah terjadi bentrokan. Bentrokan pun tidak terelakkan
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
97
pada tanggal 12 Desember 2008 tersebut dan mengakibatkan meninggalnya tiga
orang korban. Dua orang korban dari pihak Abu Majid yaitu Melintang Laman bin
Bebintang dan Besilang, sedangkan satu orang dari pihak Celitai yaitu Nunai.
Akhirnya Mata Gunung bin Pengemat dan Merempas (status daftar pencarian
orang) diproses secara hukum dan dilakukan upaya paksa penahanan dengan
didakwa melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP atau Pasal 354 ayat (2) KUHP
jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP. Mata Gunung bin Pengemat dituntut enam bulan penjara karena
terbukti melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP.
4.1.1.2.Pertimbangan hukum
Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa Mata Gunung bin Pengemat
terbukti bersalah karena semua unsur dari Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP telah
terpenuhi. Pembelaan penasehat hukum yang mendalilkan kepada Pasal 49 ayat
(2) KUHP tidak terbukti, sehingga tidak ada dasar penghapus pidana dalam kasus
ini. Selanjutnya Majelis Hakim berpendapat “bahwa karena dalam diri terdakwa
tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun pemaaf atas perbuatan terdakwa
maka terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya.”222
Dalam pertimbangnnya, Majelis Hakim berpendapat ”Menimbang, bahwa
selanjutnya untuk menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan terdakwa,
maka perlu dipertimbangkan juga bahwa berdasarkan keterangan saksi dan
keterangan terdakwa serta berdasarkan surat perdamaian yang telah dilakukan
oleh kelompok terdakwa suku anak dalam pimpinan temenggung Celitai dengan
kelompok korban suku anak dalam pimpinan temenggung Madjid.” 223
Kemudian
terhadap pemidanaan yang akan dijatuhkan, Majelis berpendapat:
“Menimbang, bahwa majelis hakim bukanlah”algojo/eksekutor”, karena
tugas hakim bukanlah hanya menghukum tetapi mengadili atau memberi
keadilan bagi para pencari keadilan. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-
fakta hukum sebagaimana diuraikan diatas haruslah menjadi pertimbangan
tersendiri bagi Majelis Hakim untuk mempertimbangkan berat ringannya
hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Menimbang, bahwa
222
Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln, hal. 26-27.
223
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
98
berdasarkan seluruh rangkaian pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas
yang telah Majelis uraikan, maka pidana yang dijatuhkan dibawah ini adalah
yang bijaksana dan telah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.”224
Selain pertimbangan hukum tersebut, sebelum menjatukan putusan Majelis Hakim
juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan yaitu:225
“Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan terdakwa telah mengakibatkan korban Melenting Laman
Bin Pengemat meninggal dunia.
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya;
- Terdakwa bersikap sopan dipersidangan;
- Terdakwa telah menyesali perbuatannya dan berjanji untuk tidak
mengulanginya lagi;
- Terdakwa tulang punggung keluarga;”
4.1.1.3.Amar Putusan
Dalam pertimbangan yang berkaitan dengan pemidanaan tersebut maka
dengan mengingat Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya, Majelis Hakim mengadili sebagai berikut:226
“1. Menyatakan terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat telah terbukti secara
sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana”Dimuka
umum melakukan kekerasan yang mengakibatkan orang lain mati.”; 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat oleh
karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan 20 (dua puluh)
hari;
3.Menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan oleh terdakwa
dikurangkan seluruhnya dengan pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan;
5. Menghukum pula terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp
2.500 (dua ribu lima ratus rupiah);”
4.1.2. Analisa Putusan
Putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim selama tiga bulan 20 hari
untuk perkara yang mengakibatkan orang lain mati adalah terbilang sangat rendah,
224
Ibid. 225
Ibid.
226
Ibid., hal. 28.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
99
mengingat ancaman pidana untuk Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP, maksimal 12
tahun penjara. Menjadi suatu analisa disini adalah apakah yang menjadi tujuan
pemidanaan dan pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Menurut
Muladi”tujuan pemidanaan adalah yang justru mengikat atau menjalin setiap
tahap pemidanaan menjadi suatu mata rantai dalam suatu kebulatan sistem yang
rasional.”227
Dengan demikian menurut Solehhudin,”apapun jenis dan bentuk
sanksi dalam hukum pidana yang akan ditetapkan, tujuan pemidanaan yang harus
menjadi patokan.”228
Menururt Norval Morris tentang tujuan pemidanaan yaitu:229
“My premise throught is that penal purposes are properly retributive,
deterrent, and incapacitative. Attempts to add reformative puposes to
that mixture-as an objective of the sanction as distinguished from a
collateral aspiration-yield neither clemency, justice, nor as presently
administered social utility.”
Gerry A Ferguson juga pernah menyatakan sebagai berikut:230
“Generally, the courts refer to four or fives purposes in imposing
sentences: deterrence, retribution or „just deserts‟, rehabilitation,
incapacitation or public protection and compensation to victims.”
Demikian juga Petter J.P Tak, mengatakan bahwa: “The aims of sentencing are
now considered to be retribution, special or general deterrence, reformation,
protection of society and reparation.” 231
227
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro,
1995), hal. 2.
228
Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 119.
229
Norval Morris, The Future Imprisonment, Michigan law Review (Chicago: University
of Chicago Press, 1974), hal. 1161, sebagimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum
Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2003), hal. 130.
230
Gerry A Ferguson, Criminal Liability and Sentencing of Coorporation, makalah
diskusi hukum pidana dan kriminologi, (Surabaya: Universitas Erlangga, 1993), hal. 28,
sebagaimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track
System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 130. 231
Petter J.P Tak, Sentencing in The Netherlands, makalah seminar Perbandingan hukum,
(Surabaya; UBHARA, Oktober 1997), sebagaimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
100
Di Indonesia, keadaannya memang berbeda sama sekali, rumusan
tentang tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif belum pernah ada. Jadi
pembahasan mengenai apa, kenapa dan bentuk apa pemidanaan itu, selama ini
lebih banyak bersifat teoritis. Namun demikian dalam Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah diatur tentang tujuan pemidanaan. Dalam
Pasal 54 RKUHP, yaitu:232
”(1) Pemidanaan bertujuan:
a.mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
b.memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c.menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
d.membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia. “
Memang ini baru sebatas sebuah rancangan yang tidak mempunyai kekuatan
mengikat, tetapi sebagai suatu karya ilmiah yang diperoleh melalui penelitian dan
ada dasar ilmiah yang dapat dipertimbangkan. Menurut Soedikno Mertokusumo,
“terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak jelas dan tidak lengkap,
maka harus menemukan hukumnya. Metode penemuan hukum melalui
interpretasi atau metode penafsiran.233
Salah satu metode interpretasi yang
disebutkan Soedikno adalah interpretasi antisipatif atau futuristis, yaitu penafsiran
antisipasif yang dicari pemecahannya dalam peraturan perundang-undangan yang
belum mempunyai kekuatan berlaku, misal.rancangan undang-undang.234
Dengan
demikian melalui interpretasi antisipasif atau futuristis, pendekatan restorative
justice dapat diterapkan di pengadilan, khususnya dalam putusan pengadilan.
Namun jika dasar itu belum kuat adanya, kiranya dapat menjadi suatu
solusi jika melihat kepada kenyataan bahwa Hakim tidak bisa menolak perkara
Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2003), hal. 130.
232
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012.
233
Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.
234
Ibid., hal. 80.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
101
yang harus diadilinya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:235
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Hakim, jika dihadapkan terhadap hal yang hukumnya tidak ada atau kurang jelas,
mempunyai cara untuk menemukannya (penemuan hukum), hal tersebut juga
yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.” 236
Dalam kaitannya dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, Hakim dapat melihat
kepada hukum adat. Hukum adat merupakan living law, hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Dalam penyelesaian perkara pidana melalui adat,
juga ada pemberian sanksi adat (pemidanaan). Tujuan sanksi adat menurut I Made
Widnyana, sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilisator untuk
mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib. Di bali, sanksi
adat mempunyai peranan yang penting untuk mengembalikan keseimbangan
tersebut.237
Apabila terjadi pelanggaran, maka si pelanggar diharuskan untuk
melakukan suatu upaya tertentu seperti upacara bersih desa (pura/tempat suci),
yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan kekuatan magis yang
dirasakan terganggu.238
Soepomo juga menegaskan kembali bahwa “tujuan dari segala reaksi
(koreksi) adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran
hukum itu, ialah memulihkan perimbangan hukum. Perimbangan hukum ini
235
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Loc. Cit.
236
Ibid.
237 I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 9.
238
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
102
meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib.”239
Pendapat
Soepomo dan I Made Widnyana ini, juga sama dengan yang dikatakan Rehngena
Purba, yaitu” tujuan dari pemidaan dalam hukum adat adalah terjadinya
harmonisasi, keseimbangan antara dua komunitas yang ada konflik. Karena jika
dia melanggar pidana adat terjadi kegoncangan magis di masyarakat tersebut,
sehingga dengan pembayaran denda atau permintaan maaf sehingga terjadi
kerukunan antara dua komunitas tersebut.”240
Senyatanya tujuan sanksi adat ini sejalan dengan tujuan pemidanaan
khususnya dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c RKUHP ”menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan
rasa damai dalam masyarakat.”241
Tujuan pemidanaan ini juga seperti yang
dimaksudkan oleh restorative justice, dan tergambar dari keadilan yang ingin
dicapai dari restorative justice seperti yang dimaksudkan oleh Dignan yaitu:
“Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing and
conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational,
legal, social work and and counseling professionals and community
groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to
wrongdoing and conflict, with a balanced focus on theperson harmed, the
person causing the harm, and the affected community.242
Menyelesaikan konflik yang dimaksudkan oleh Dignan merupakan respon
terhadap pelanggaran dengan memperhatikan kepentingan korban, pelaku dan
239
Soepomo, Op.Cit., hal. 113.
240
Wawancara melalui telepon pada tanggal 14 Desember 2012, karena jarak yang jauh
Prof Rehngena berada di Medan.
241
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012.
242
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook,
2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash
Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis
dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan
Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan
Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar
Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, hal.18, terjemahan bebas dari
penulis:”Keadilan Restoratif adalah kerangka kerja baru terhadap pelanggaran dan konflik yang
secara cepat dapat diterima pendidik, ahli hukum, pekerja sosial dan Konseling sosial serta
kelompok masyarakat.Keadilan restorative adalah berdasarkan pendekatan nilai sebagai respon
dari pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada orang yang terkena akibat kejahatan,
orang yang melakukan kejahatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
103
pengaruhnya dalam masyarakat. Dalam hukum adat, jelas ini terakomodir dalam
tujuan sanksi adat tersebut. Dengan demikian Hakim dapat mengambil nilai yang
hidup ini, nilai yang terkandung dalam tujuan sanksi adat, yang juga bisa
digunakan dalam tujuan pemidanaan di putusan.
Pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa bukan
sebagai”algojo/eksekutor” bukan hanya menghukum tetapi mengadili yaitu
memberikan keadilan bagi pencari keadilan mengisyaratkan suatu tujuan
pemidanaan yang diinginkan oleh Majelis Hakim. Tujuan pemidanaan disini jelas
bukan yang bersifat retributive/penghukuman/balas dendam/teori absolut. Dan
jika memperhatikan salah satu dasar peringan adalah terdakwa menyesali
perbuatannya dan tidak akan mengulanginya lagi, maka nampaknya Hakim
menggunakan tujuan pemidanaan dengan teori relatif.
Menurut teori relatif memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan
absolut dari keadian. Pembalasan itu sendiri tidak mempuyai nilai, tetapi hanya
sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.243
Pidana bukanlah
sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan keapda orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan
(utilitarian theory).244
Jadi dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalah
terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena
ornag membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan
melakukan kejahatan). Dengan demikian jika melihat dari hal yang meringankan,
agar terdakwa tidak mengulanginya lagi, maka ini merupakan tujuan pemidanaan
sebagai pencegahan atau teori relative.
Akan tetapi jika melihat pertimbangan Majelis Hakim dari adanya
keterangan saksi, keterangan terdakwa dan adanya surat perdamaian antara
kelompok terdakwa (Celitai) dengan kelompok korban (Madjid), berarti Majelis
melihat keadaan yang telah pulih, harmonis kembali. Pernyataan saksi Majid bin
Gemerbak (Tumenggung Majid) yaitu ”bahwa benar saat ini telah terjadi
243 Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit., hal. 16
244
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
104
perdamaian antara kelompok yang bertikai yakni kelompok suku anak dalam
Temenggung Majid dengan kelompok Temenggung Celitai sehingga tidak ada
lagi permasalahan di antara kedua suku.”245
Berdasarkan wawancara dengan salah seorang Hakim dari Majelis Hakim
ini -Enan Sugiharto- juga mengatakan bahwa”di persidangan ketika saksi
memberikan keterangan, dengan perintah Ketua Majelis maka terdakwa meminta
maaf kepada saksi dan saksi pun menerimanya. Majelis menilai bahwa saling
memaafkan di persidangan, menandakan bahwa memang sudah tidak ada masalah
lagi.”246
Salah seorang Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini yaitu Aji
Sumbara juga menyatakan hal yang sama”antara terdakwa dan saksi korban sudah
saling memaafkan di persidangan, sehingga dilihat tidak ada masalah, tidak
terlihat dendam diantara mereka.”247
Baik Hakim Enan Sugiharto dan Jaksa Aji Sumbara secara terpisah,
menyatakan bahwa “selama persidangan berlangsung tidak ada ancaman, paksaan
dan tekanan. Bahwa memang ada masyarakat suku anak dalam kelompok Celitai
yang menginap di Pengadilan dengan membuat tenda di halaman persidangan,
bukan merupakan suatu ancaman. Ancaman juga tidak ada dari korban yang
menuntut agar terdakwa dihukum seberat-beratnya atau sebaliknya tuntutan dari
terdakwa agar korban juga diproses hukum mengingat dari kelompok korban
Celitai ada satu orang yang meninggal, juga tidak pernah diutarakan.”248
Penasehat Hukum terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat, Abdul Hair juga
mengatakan bahwa terdakwa dari kelompok Celitai dengan korban dari kelompok
Majid telah saling memaafkan di persidangan, dari sejak pemeriksaan, tuntutan
bahkan putusan tidak pernah ada tuntutan dari korban, agar terdakwa dihukum
seberat-beratnya, begitu juga dari terdakwa tidak ada menuntut kepada korban
245
Keterangan saksi Majid bin Gemerbak dalam putusan no.21/pid.B/2009/PN.Srln,
hal.12.
246
Wawancara dengan Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember 2012.
247
Wawancara dengan Aji Sumbara melalui telepon pada tanggal 22 Desember 2012.
248
Wawancara dengan Enan Sugiharto dan Aji Sumbara melalui telepon secara terpisah
pada tanggal 22 Desember 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
105
agar diproses secara hukum. Sejak putusan sampai dengan sekarang antara kedua
kelompok suku anak dalam tersebut tidak terjadi bentrokan.249
Mengenai penyelesaian adat, baik Hakim, Jaksa maupun Penasihat Hukum
tidak terlalu banyak mengetahui, informasi dapat diperoleh melalui Nelly Akbar
sebagai pendamping/advokasi terhadap suku anak dalam dari Lembaga Swadaya
Masyarakat Warsi. Menurut Nelly proses penyelesaian adat bukanlah hal yang
mudah, begitu Warsi mengetahui ada bentrokan dua kelompok suku anak dalam,
Warsi langung memberikan advokasi, karena pemberdayaan suku anak dalam
salah program kerja LSM ini. Kendala penyelesaian adat dari kelompok Majid
(korban) yang tidak mau menyelesaiakan secara adat tetapi memilih proses hukum
nasional. Hal ini dapat dimengerti oleh Warsi, karena kelompok Majid telah
tinggal menetap di pedesaan, sehingga telah banyak mengerti tentang hukum
nasional. Namun melalui pembicaraan dengan melibatkan kelompok suku anak
dalam lainnya, akhirnya kelompok Majid mau untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut secara adat.250
Menurut Nelly setelah disepakati sanksi adat dan belum
semuanya dibayarkan pada saat putusan pengadilan dibacakan, mengingat jumlah
yang sangat banyak, namun hal tersebut tidak mengurangi kesepakatan untuk
melaksankan sanksi adat dan keyakinan bahwa kerukunan telah tercapai.251
Hal tersebut menjawab pertanyaan ketika pada saat tuntutan dan putusan
dibacakan, tidak ada kerusuhan dan sampai sekarang pun tidak ada bentrokan
yang terjadi antara kelompok suku anak dalam Celitai dan Majid.252
Sikap Hakim
yang melihat bahwa tidak ada masalah lagi antara terdakwa dengan korban pada
saat saling memaafkan di persidangan, mendasari untuk menerima bahwa
memang telah terjadi perdamaian diantara mereka. Mengenai sanksi adat yang
dijatuhkan Hakim Enan Sugiharto mengakui bahwa memang terungkap di
persidangan, dan tidak dibantah oleh terdakwa dan korban namun karena tidak
adanya pembuktian tentang telah dibayarkannya sanksi adat tersebut, sehingga
249
Wawancara dengan Penasihat hukum terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat, Abdul
hair melalui telepon pada tanggal 12 Oktober 2012.
250
Wawancara dengan Nelly Akbar dari LSM Warsi pada tanggal 13 Oktober 2012.
251
Ibid.
252 Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
106
Majelis tidak mempertimbangkannya tetapi cukup melihat dari adanya perdamain
yang telah terjadi.253
Dengan demikian majelis hakim telah mempertimbangkan perdamaian
sebagai dasar terjadinya kerukunan antara pelaku, korban dan karena dalam
penyelesaian adat tersebut melibatkan anggota kelompok dari Celitai dan Majid,
maka ini mewakili masyarakat di dua kelompok yang berkonflik, dan inilah yang
dimaksudkan oleh Dignan. Menurut Dignan, Restorative justice sebagai kerangka
kerja baru yang dalam hal ini yaitu sistem peradilan pidana khususnya dalam
putusan pengadilan, untuk menyelesaikan konflik berdasarkan pendekatan nilai
sebagai respon dari pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada
orang yang terkena akibat kejahatan, orang yang melakukan kejahatan dan
pengaruhnya terhadap masyarakat.254
Menarik jika dibandingkan dengan kasus di Kanada, yang menjadi
landmark decision yaitu Gladue case, karena adanya persamaan yaitu anggota
suku atau kelompok hukum adat juga, dimana terdakwa merupakan orang
aborigin.Kasus Gladue menjadi landmark decision karena dari putusan tersebut,
legislatif menambahkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 718 ayat (2) huruf e,
dimana orang aborigin juga harus diperhatikan mengingat keadaan mereka yang
terpinggir. Hellen Bowen dan Teri Thompson memnguraikan dengan jelas tentang
ketentuan Pasal 718 yang tidak lain merupakan tujuan pemidanaan di Kanada,
yaitu:255
253 Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
2012.
254
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook,
2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash
Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis
dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan
Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan
Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar
Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, hal. 18. 255 Hellen Bowen dan Terri Thompson, Restorative Justice and The New Zealand Court
of Appeal‟s Decision in The Clothworthy Case, Journal of South Pacific Law: article 4 of volume
3, 1999, hal. Yang ditelusur melalui internet www.restorativejustice.org/articlesdb/articles/2354
dan lihat juga melalui www.vanuatu.usp.ac.fj/journal_splaw/articles/bowel/html yang diakses pada
tanggal 7 Desember 2012. terjemahan bebas dari penulis ”Bagian 718 berisi tujuan mendukung
tujuan mendasar dari pemidanaan. Beberapa menyatakan kembali dari hukuman dasar
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
107
“Section 718 contains objectives supporting the fundamental purpose of
sentencing.59
Some of these restate of basic sentencing aims while others
focus on restorative goals. s718. The fundamental purpose of sentencing is
to contribute, along with crime prevention initiatives, to respect for the
law and the maintenance of a just, peaceful and safe society by imposing
just sanctions that have one or more of the following objectives:
a. to denounce unlawful conduct;
b. to deter the offender and other persons from committing offences;
c. to separate offenders from society, where necessary;
d. to assist in rehabilitating offenders;
e. to provide reparation for harm done to victims or to the
community and
f. to promote a sense of responsibility in offenders, and
acknowledgement of the harm done to victims and to the
community. [Emphasis added.]”
Menurut Helen Bowen dan Teri Thompson pertimbangan Mahkamah Agung
Kanada terhadap kasus Gladue memperhatikan restorative justice sebagai tujuan
pemidanan, dan menambahkan tiga unsur (d, e dan f) yaitu:256
“The restorative aspects of the above sentencing aims have been
interpreted recently by the Canadian Supreme Court in R v Gladue, where
they held: [W]hat is new, though, are paras. (e) and (f), which along with
para. (d) focus upon the restorative goals of repairing the harms suffered
by individual victims and by the community as a whole, promoting a sense
of responsibility and an acknowledgement of the harm caused on the part
of the offender, and attempting to rehabilitate or heal the offender.…In our
view, Parliament‟s choice to include (e) and (f) alongside the traditional
bertujuan sementara yang lain fokus pada tujuan restoratif. S718. Tujuan mendasar dari
hukuman adalah untuk memberikan kontribusi, bersama dengan inisiatif pencegahan
kejahatan, untuk menghormati hukum dan pemeliharaan masyarakat yang adil, damai dan aman
dengan memberlakukan sanksi baru yang memiliki satu atau lebih dari tujuan-tujuan berikut:
a. untuk mengecam tindakan melawan hukum; b. untuk mencegah pelaku dan orang
lain dari melakukan pelanggaran; c. untuk memisahkan pelaku dari masyarakat, di
mana diperlukan; d. untuk membantu pelaku rehabilitasi; e. untuk memberikan reparasi
bagi kerugian yang ditanggung korban atau masyarakat dan f. untuk
mempromosikan rasa tanggung jawab dalam pelanggar, dan pengakuan darikerugian yang
ditanggung para korban dan masyarakat. [Penekanan ditambahkan.] " 256
Ibid, terjemahan bebas dari penulis “"Aspek-aspek restoratif dari tujuan hukuman atas
telah ditafsirkan baru-baru ini oleh Mahkamah Agung Kanada di R v Gladue, di mana mereka
mengatakan: “Pemikiran yang baru, yaitu paragraf (e) dan (f), yang bersama dengan paragraf
(d) yang fokus pada tujuan restoratif memperbaiki bahaya yang diderita oleh korban individu
dan masyarakat secara keseluruhan, mendukung rasa tanggung jawab dan pengakuan atas
kerugian yang disebabkanoleh pelaku, dan mencoba untuk merehabilitasi atau menyembuhkan
pelaku .... Dalam pandangan kami, pilihan DPR untuk memasukkan (e) dan (f) di
samping tujuan hukuman tradisional harus dipahami sebagai membuktikanniat
untuk memperluas parameter analisis hukuman untuk semua pelanggar. Prinsip menahan
diri dinyatakan dalam s. 718,2 (e) tentu akan diinformasikan dengan orientasi kembali.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
108
sentencing goals must be understood as evidencing an intention to expand
the parameters of the sentencing analysis for all offenders. The principle
of restraint expressed in s. 718.2(e) will necessarily be informed by this re-
orientation.
Sedangkan Pasal 718 ayat (2) Kanada berbicara tentang pedoman pemidanaan
yang menjadi petunjuk teknis dalam menjatuhkan pemidanaan juga diperbaharui
sebagai dampak logis dari diperbaharuinya (penambahan) pedoman pemidanaan.
Menurut Hellen Bowen dan Teri Thompson yaitu:257
Tabel 4.1 Perbedaan Pasal 718 ayat (2) huruf e Sebelum dan Sesudah Kasus
Gladue
Sebelum kasus Gladue Sesudah kasus Gladue
[s.] 718.2.(e) provides the
necessary flexibility and authority
for sentencing judges to resort to
the restorative model of justice in
sentencing aboriginal offenders and
to reduce the imposition of jail
sentences where to do so would not
sacrifice the traditional goals of
sentencing.
s718.2(e). s 718.2 A court that
imposes a sentence shall also take
into consideration the following
principles: … (e) all available
sanctions other than imprisonment
that are reasonable in the
circumstances should be considered
for all offenders, with particular
attention to the circumstances of
aboriginal offenders.”
Dari tabel tersebut terlihat bahwa dalam ketentuan sebelumnya, jika pelaku orang
aborigin mendapatkan pengurangan pidana penjara sedangkan dalam ketentuan
sesudah kasus Gladue, hakim harus mempertimbangkan semua sanksi yang
tersedia dengan memperhatikan keadaan dari pelaku orang aborigin. Dalam kasus
Gladue, mendapatkan pembebasan bersyarat dan keluar dari lembaga
pemasyarakatan setelah enam bulan dipenjara.
Menarik mambaca tulisan dari Yang Mulia Hakim M.E Turpel Lapond
tentang kritik terhadap putusan ini yang terkesan memberikan kemudahan kepada
257
Ibid, table dibuat oleh penulis untuk memudahkan membandingkan, terjemahan bebas
dari penulis, sebelum kasus Gladue, “menyediakan fleksibilitas yang diperlukan dan kewenangan
bagi hakim dalam menjatukan hukuman untuk menggunakan model keadilan restoratif dalam
menghukum pelaku Aborigin dan untuk mengurangi pengenaan hukuman penjara di mana
untuk melakukannya tidak akan mengorbankan tujuan tradisional hukuman. Sedangkan sesudah
kasus Gladue” semua sanksi tersedia selain penjara yang wajar dalam situasi harus
dipertimbangkan untuk semua pelaku, dengan perhatian khusus pada keadaan pelanggar asli.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
109
orang aborigin karena dalih diskriminasi yang terjadi, namun justru menjadi
diskriminasi yang terbalik terhadap orang yang bukan aborigin, yaitu:258
“The potential impact of the Gladue decision on the judiciary is arguably
profound. The Supreme Court of Canada has clarified that Parliament‟s
decision to add section 718.2(e) to the Criminal Code means that one
must, as a matter of criminal law, recognize that Aboriginal people
experience incarceration differently than others. While some might suggest
that an Aboriginal person who receives the same sentence as a non-
Aboriginal person is being treated equally, this has been rejected as
fallacious reasoning by the Supreme Court of Canada. Sometimes treating
different people the same results in inequality. Justices Cory and
Iacobucci considered the argument that this treatment of Aboriginal
peoples is “reverse discrimination” against non-Aboriginal people.20
They concluded that section 718.2(e) is not unfair to non- Aboriginal
people, it simply requires judges to treat Aboriginal people fairly by taking
into account their difference.”
Oleh karena itu menurut Yang Mulia Hakim M.E Turpel Lapond berpendapat
bahwa putusan kasus Gladue, mempedomani hakim dalam memutus dimana
pelaku orang aborigin, yaitu:259
258
Her Honour, M.E Turpel Lapond, Justice as Healing A Newsletter on Aboriginal
Concepts of Justice, Sentencing Within a Restorative Justice Paradigm: Procedural Implications of
R. v. Gladue, hal.1, Makalah berikut diberikan pada Konferensi CIAJ: "Changing Punishment at
the turn of The Century”, di Saskatoon, Saskatchewan pada tanggal 26-29 September
1999. Makalah ini akan diterbitkan pada awal tahun 2000 yang akan datang dan di Triwulanan,
1999 jurnal Criminal Law, ditelusur melalui internet
www.usask.ca/nativelaw/publication/jah/1999/sent_Para_Gladue.pdf yang diakes pada tanggal 7
Desember 2012. Terjemahan bebas dari penulis ”Dampak
potensial dari keputusan Gladue di pengadilan ini bisa dibilang mendalam.Mahkamah Agung
Kanada telah menjelaskan bahwa keputusan DPR untuk menambahkan pasal 718, 2 (e) ke
KUHP berarti bahwa seseorang harus mengakui bahwa dalam masalah pidana untuk orang
Aborigin mempunyai penahanan pengalaman yang berbeda dari yang lain. Sementara
beberapaorang berpendapat mungkin mengatakan bahwa orang Aborigin diperlakukan sama
karena yang menerima pemidanaan yang sama sebagai orang non-Aborigin, penalaran yang keliru
ini telah ditolak Mahkamah Agung Kanada. Kadang-kadang memperlakukan orang yang berbeda
dengan hasil yang sama dalam ketidaksetaraan. Hakim Cory dan Iacobucci
menganggap argument bahwa pengobatan masyarakat Aborigin adalah
"diskriminasi terbalik" terhadap orang non-Aborigin. Mereka menyimpulkan bahwa
bagian 718, 2 (e) tidak adil untuk non-Aborigin orang, itu hanya karena hakim cukup dengan
memperhatikan perbedaan mereka, maka dapat mengobati mereka " 259
Ibid., terjemahan bebas dari penulis: "Keputusan
ini akan mempengaruhi peradilan dalam setidaknya tiga cara mendasar.Pertama, hakim akan perlu
dididik mengenai masyarakat Aborigin di Kanada, termasuksejarah masyarakat Aborigin ',
budaya, dan pengalaman diskriminasi. Kedua, hakim akan perlu menghabiskan lebih banyak
waktu pada sebelum menjatuhkan proses hukuman untuk memastikan bahwa semua
informasi yang diperlukan pengadilan untuk mengevaluasi pendekatan yang lebih restoratif
untuk terdakwa dan masyarakat. Ketiga, independensi peradilan akan sangat penting
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
110
“This decision will affect the judiciary in at least three fundamental ways.
First, judges will need to be educated regarding Aboriginal peoples in
Canada, including Aboriginal peoples‟ history, culture, and experiences of
discrimination. Second, judges will need to spend more time on the
sentencing process to ensure that all information is before the court which
is required to evaluate a more restorative approach to the defendant and
the community. Third, judicial independence will be vital in discharging
this function as individual judges and the judiciary may be subjected to
considerable criticism and public attack for.”
Jika Hellen Bowen dan Teri Thompson, melihat kepada dampak putusan Gladue
terhadap kebijakan legislatif adanya penambahan di tujuan pemidanaan dan
perubahan ketentuan di pedoman pemidanaan maka Yang Mulia Hakim M.E
Turpel Lapond melihat kepada hal-hal yang akan mendasari hakim menjatuhkan
putusan terhadap pelaku orang aborigin. Department of justice Canada
memandang putusan Gladue case sejalan dengan keadilan yang dianut oleh
Aborigin, yaitu:260
“There is a strong relationship between restorative justice and Aboriginal
justice. Both philosophies emphasize healing, forgiveness, and active
community involvement, and restorative models have drawn heavily upon
Aboriginal methods of resolving disputes. Aboriginal concepts of
restorative justice tend to be strongly focussed on the community, with an
emphasis on collective well-being rather than individual rights. They
stress the need to heal relationships between clans or family groupings as
well as between the offender and the victim, so that balance may be
restored to the community as a whole. Aboriginal communities attempt to
look at all of the factors leading to an incident, in order to understand the
offender as a person and to uncover the causes of their behavior.”
Department of Justice of Canada, melihat putusan Gladue Case, sebagai berikut:
dalam melaksanakan fungsi ini sebagai hakim individu dan lembaga
peradilan dapat mengalami kritik dan serangan publik. "
260
Department of Justice Canada, Restorative Justice In Canada A Consultation Paper,
Mei 2000, ditelusur melalui internet http://www.justice.gc.ca/eng/pi/pcvi-cpcv.html diakses pada
tanggal 7 Desember 2012, terjemahan bebas dari penulis: “Keadilan Aborigin dan keadilan
restoratif ada hubungan kuat diantaranya. Kedua filsafat menekankan penyembuhan,
pengampunan, dan keterlibatan aktif masyarakat, dan model restoratif telah ditarik berat pada
metode Aborigin penyelesaian sengketa. Konsep Keadilan dan keadilan restoratif cenderung
sangat difokuskan pada masyarakat, dengan penekanan pada hak-hak kesejahteraan kolektif
bukan individu. Mereka menekankan perlunya untuk menyembuhkan hubungan antara klan
atau kelompok keluarga serta antara pelaku dan korban, sehingga keseimbangan itu dapat
dikembalikan kepada masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat Aborigin mencoba untuk
melihat semua faktor yang menyebabkan sebuah insiden, untuk memahami pelaku sebagai pribadi
dan untuk mengungkap penyebab perilaku mereka.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
111
“In its recent decision in Gladue v. the Queen, the Supreme Court of
Canada endorsed the concept of restorative justice and the use of
community-based alternatives to imprisonment. The Court was asked to
consider the meaning of paragraph 718.2(e) of theCriminal Code , which
stated that judges are to consider all reasonable alternatives to
incarceration for all offenders, but "with particular attention to the
circumstances of Aboriginal offenders." The Court ruled that this passage
imposes a duty upon judges to recognize factors that particularly affect
Aboriginal people, such as poverty, substance abuse, and lack of
education or employment opportunities, and to consider the role these
factors may play in bringing the Aboriginal offender before the courts. In
determining a sentence, judges must consider the types of sanctions that
might be appropriate for an offender given his or her Aboriginal heritage.
This decision should take into account whether there is community support
for the offender and community programs that provide alternatives to
incarceration. The Court recognized that restorative justice approaches
may differ from one Aboriginal community to another, but that they tend to
be community-based. The Gladue decision highlights the importance of
using restorative processes in sentencing Aboriginal offenders.” 261
Department of Justice Canada selain melihat kepada konsep keadilan Aborigin
yang selaras dengan restorative justice yaitu menekankan penyembuhan,
pengampunan, dan keterlibatan aktif masyarakat. Keadilan Aborigin dan
restorative justice sama-sama menekankan perlunya untuk menyembuhkan
hubungan antara klan atau kelompok keluarga serta antara pelaku dan korban,
sehingga keseimbangan itu dapat dikembalikan kepada masyarakat secara
keseluruhan. Selain itu Department of Justice Canada juga melihat bahwa Hakim
harus mempertimbangkan keadaan terhadap pelaku aborigin, yang melihat dari
261
Ibid., terjemahan bebas dari penulis: “Dalam keputusan baru-baru ini di Gladue v
Ratu, Mahkamah Agung Kanada telah mendukung konsep keadilan restoratif dan penggunaan
berbasis masyarakat alternatif penjara. Pengadilan diminta untuk mempertimbangkan makna ayat
718,2 (e) Kode theCriminal, yang menyatakan bahwa hakim harus mempertimbangkan semua
alternatif yang masuk akal untuk penahanan untuk semua pelaku, namun "dengan perhatian khusus
pada keadaan pelanggar Aborigin." Pengadilan memutuskan bahwa bagian ini membebankan
kewajiban kepada hakim untuk mengenali faktor-faktor yang sangat mempengaruhi orang-orang
Aborigin, seperti kemiskinan, penyalahgunaan zat, dan kurangnya pendidikan atau kesempatan
kerja, dan untuk mempertimbangkan peran faktor-faktor ini sebelum Pengadilan menjatuhkan
pemidanaan kepada pelaku Aborigin. Dalam menentukan hukuman, hakim harus
mempertimbangkan jenis sanksi yang mungkin cocok untuk pelaku Aborigin. Keputusan ini harus
mempertimbangkan apakah ada dukungan masyarakat untuk program pelaku dan masyarakat yang
memberikan alternatif untuk penahanan. Pengadilan mengakui bahwa pendekatan keadilan
restoratif mungkin berbeda dari satu komunitas Aborigin yang lain, tetapi mereka cenderung
berbasis masyarakat. Keputusan Gladue menyoroti pentingnya menggunakan proses restoratif
dalam menghukum pelaku Aborigin.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
112
segi sejarah, sosial, ekonomi kurang menguntungkan, dengan demikian dapat
menentukan sanksi yang tepat dan wajar.
Dalam kasus Gladue, selain melihat kepada tujuan pemidanaan juga
kepada pedoman pemidanaan, karena kedua hal ini saling berkaitan dan pada
akhirnya menentukan pemidanaan apa yang akan diberikan. Di Indonesia telah
dijelaskan bahwa untuk tujuan pemidanaan belum diatur dan baru tahap
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, begitu juga dengan pedoman
pemidanaan. Pedoman pemidanaan diatur dalam Pasal 55 RKUHP yaitu:262
Pasal 55
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melakukan pidana;
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Tindak pidana yang dilakukan apakah direncakan atau tidak
direncanakan;
e. Cara melakukan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. Riwayat hidup, keadaaan sosial dan keadaan ekonomi pembuat tindak
pidana;
h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. Pemaaf dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
(2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu
dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar
pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan
dengan mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan.
Dalam kasus Mata Gunung Bin Pengemat, Majelis Hakim
mempertimbangkan perdamaian yang terjadi antara kelompok suku anak dalam
Celitai dengan kelompok suku anak dalam Majid. Bahkan hakim Enan Sugiharto
dan Jaksa Penuntut Umum, Aji Sumbara mengatakan bahwa antara kelompok
suku Celitai/terdakwa dengan kelompok suku sikap saling memaafkan di
persidangan dan tidak terlihat ada masalah, dendam.263
Namun demikian ternyata,
majelis hakim juga mempertimbangkan riwayat hidup, keadaan sosial dan
262
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012.
263
Wawancara melalui telepon secara terpisah dengan Hakim Enan Sugiharto dan Jaksa
Aji Sumbara,
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
113
keadaan ekonomi terdakwa. Menurut Hakim Enan Sugiharto, keadann sosial dan
ekonomi terdakwa memang kurang beruntung jika dibandingkan dengan
kelompok korban.264
Hal ini juga diakui oleh Jaksa Aji Sumbara.265
Ini tidak
mengherankan jika berdasarkan keterangan Nelly Akbar kelompok suku anak
dalam Celitai masih hidup secara nomaden dibandingkan dengan kelompok suku
anak dalam Majid yang sudah tinggal menetap di pedesaan.266
Menurtut Nelly
Akbar pencaharian sebagian besar dari kelompok suku anak dalam Celitai adalah
berburu, menjual hewan buruan seperti misalnya babi hutan ataupun menjual
pinang.267
Kondisi pada saat persidangan, anggota kelompok suku anak dalam Celitai
tinggal di depan halaman pengadilan dengan mendirikan tenda-tenda. Mereka
memang terbiasa dengan itu, namun yang membuat miris istri Celitai (terdakwa
dengan berkas terpisah) baru melahirkan dan bayinya kerap diletakkan di lantai
kantor pengadilan negeri Sarolangun.268
Mereka yang tinggal di tenda kantor
pengadilan banyak juga wanita dan anak-anak, mereka menuntut pemimpin
mereka dibebaskan atau mereka juga ikut bersama ditahan.269
Ini tidak
mempengaruhi Majelis Hakim karena tidak ada bentuk ancaman secara fisik,
namun demikian Majelis memandang dengan kondisi terdakwa Mata Gunung Bin
Pengemat yang sudah ditahan (memperhatikan sosial ekonominya) dan keadaan
anggota kelompok yang menginap di pengadilan serta telah adanya perdamaian
264
Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
2012.
265
Wawancara dengan Jaksa Aji Sumbara melalui telepon pada tanggal 22 Desember
2012.
266
Wawancara dengan Nelly Akbar, aktivis dari LSM Warsi melalui telepon pada tanggal
13 Oktober 2012. 267
Ibid.
268
Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
2012.
269
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
114
dengan korban sehingga tidak ada masalah lagi, maka Majelis berpikir tidak ada
gunanya untuk memutuskan lebih lama lagi di tahanan.270
Atas pertimbangan tersebut, bahkan sesaat sebelum putusan Majelis Hakim
mengeluarkan penetapan pengalihan penahanan rutan menjadi penahanan kota.
Hal ini menurut Hakim Enan Sugiharto, pastinya di luar dugaan dari Jaksa
Penuntut Umum dan Penasihat Hukum. Majelis memperhitungkan waktu tiga
bulan dua puluh hari sebagai waktu lamanya terdakwa Mata Gunung bin
Pengemat ditahan termasuk di dalamnya waktu tujuh hari untuk berpikir-pikir
atau untuk melakukan upaya hukum.271
Menurut Hakim Enan Sugiharto,
pengalihan penahanan kota ini “memaksa” jaksa penuntut umum dan penasihat
hukum untuk menerima putusan dan tidak melakukan upaya hukum, mengingat
susahnya menghadirkan terdakwa yang hidup secara nomaden di hutan.272
Hal ini diakui Jaksa Aji Sumbara yang membuatnya untuk melaksanakan
penetapan hakim tersebut dan walaupun di persidangan menyatakan pikir-pikir,
namun karena berpikir memang sudah ada perdamain, adanya permaafan atau
lebih tepatnya saling memaafkan antara kelompok Celitai dengan kelompok Majid
sehingga tidak ada masalah lagi diantara kedua kelompok tersebut, maka
menerima putusan tersebut.273
Melakukan upaya hukum sepertinya juga akan
menjadi hal yang tidak bermanfaat, sehingga Jaksa Aji Sumbara pun selain
melaksanakan penetapan pengalihan penahanan juga melaksanakan eksekusi
putusan, mengingat kesulitan untuk bertemu dengan terdakwa yang hidupnya
nomaden di hutan.274
Penasihat Hukum terdakwa juga tidak melakukan upaya hukum, walaupun
di persidangan menyatakan pikir-pikir. Menurutnya, tidak ada manfaatnya jika
melakukan upaya hukum, karena melihat kerukunan telah terjadi antara kelompok
270
Ibid. 271
Ibid.
272
Ibid.
273
Wawancara dengan Jaksa Aji Sumbara melalui telepon pada tanggal 22 Desember
2012.
274
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
115
Celitai dan kelompok Majid. Dan terpenting melihat kliennya dikeluarkan dari
tahanan yang disambut dengan kesenangan dari anggota kelompok Celitai yang
menginap di pengadilan, sudah cukup dianggap selesai kasus ini.275
4.2. Analisa Putusan No.22/Pid.B/2009/PN.Srln
Kasus dalam perkara ini adalah merupakan kejadian yang sama dengan
perkara dalam putusan No.21/Pid.B/2009/PN.Srln. Terdakwa dalam perkara ini
adalah Celitai yang merupakan pimpinan/Temenggung dari kelompok Suku Anak
Dalam Celitai. Berkas ini dibuat terpisah semata-mata karena melihat kepada
dugaan kejadian hukum, tindak pidana yang berbeda dengan Mata Gunung Bin
Pengemat.276
Selain karena perbedaan tindak pidana yang dilakukan juga, karena
ada perbedaan waktu yang walaupun hanya kisaran menit tapi membuat perkara
ini tidak dapat disatukan.277
Namun demikian pada saat persidangan dilakukan secara bersamaan, hal ini
dengan pertimbangan terdakwa Mata Gunung Bin Pengemat tidak mau dipisahkan
dari Temenggung Celitai. Jaksa Syafri Hadi, mengakui bahwa betapa besarnya
wibawa dan kharisma dari seorang Temenggung terhadap anak buahnya.278
Apa
yang dikatakan oleh Temenggung, diikuti oleh anak buahnya, begitu yang
dilakukan Temenggung untuk menenangkan anak buahnya.279
Sikap tenang
Temenggung Celitai Bin Netar, emosi yang stabil jika dibandingkan terdakwa
Mata Gunung Bin Pengemat yang tidak bisa menahan emosi, hanya Temenggung
Celitai Bin Netar yang mampu memerintahkan Mata Gunung untuk diam ataupun
bicara ketika menjawab pertanyaan di persidangan.280
Atas pertimbangan tersebut,
275
Wawancara dengan Penasihat Hukum, Abdul Hair melalui telepon pada tanggal 22
Desember 2012.
276
Wawancara dengan Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November
2012.
277 Ibid., terdakwa Celitai datang kemudian sesaat setelah terdengar suara tembakan. Ia
terpisah dari rombongan kelompok suku anak dalam lainnya pada saat membeli rokok di warung.
278
Ibid.
279
Ibid.
280
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
116
maka pemeriksaan di persidangan antara terdakwa Mata Gunung Bin pengemat
dan Celitai digabungkan, walaupun berkas perkara dan materi dakwaan yang
berbeda.281
4.2.1. Kasus Posisi, Pertimbangan dan Amar Putusan
4.2.1.1.Kasus Posisi
Kasus ini menceritakan tentang bentrokan antara dua kelompok suku anak dalam
yang terjadi di Sarolangun. Kasus ini berawal masalah pinjam meminjam mesin
pemotong kayu (chainsaw). Kelompok Abu Majid meminjam mesin chainsaw
dari kelompok Celitai. Namun saat dikembalikan mesin tersebut sudah dirusak.
Kemudian diadakan penyelesaian adat, dimana kelompok Celitai meminta 120
helai kain, namun kelompok Abu Majid hanya menyanggupi membayar 60 helai
kain. Utusan dari kelompok Celitai yang menerima pembayaran sanksi adat
tersebut ternyata kelompok Majid hanya membayar 20 helai kain dengan kondisi
kain yang sudah bolong-bolong. Hal ini membuat kelompok Celitai marah dan
bermaksud untuk menanyakan tentang sanksi adat tersebut kepada kelompok
Majid. Perjalanan dari tempat kelompok Celitai ke kelompok Majid dengan jalan
kaki selama dua hari, menginap di hutan. Dalam perjalanan (hampir sampai ke
tempat kelompok Majid) terdakwa Celitai Bin Netar berhenti sejenak di warung
untuk memberli rokok sementara itu tanpa diketahui oleh terdakwa Celitai Bin
Netar, terdakwa Mata Gunung beserta rombongan kelompok Celitai tetap
melanjutkan perjalanan. Terdakwa Celitai Bin Netar tersadar terdengar suara
tembakan rakitan. Celitai pun menyusul ke tempat kejadian karena mendengar
suara tembakan dan mendapati telah terjadi bentrokan. Terdakwa Celitai Bin
Netar merebut senjata api rakitan milik saksi (korban) Bepayung, terdakwa Celitai
Bin Netar kemudian memukulkan senjata api tersebut kepada saksi Bepayung Bin
Besinjai sebanyak satu kali yang mengenai bagin lengan sebelah kanan sebelah
atas yang menyebabkan luka gores dan memar. Bentrokan pun tidak terelakkan
pada tanggal 12 Desember 2008 tersebut dan mengakibatkan meninggalnya tiga
orang korban. Dua orang korban dari pihak kelompok Majid yaitu Melintang
281 Ibid., ini juga diakui oleh Jaksa Aji Sumbara yang wawancara dilakukan melalui
telepon pada tanggal 22 Desember 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
117
Laman bin Bebintang dan Besilang, sedangkan satu orang dari pihak Celitai yaitu
Nunai. Akhirnya Celitai Bin Netar diproses secara hukum dan dilakukan upaya
paksa penahanan dengan didakwa melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP; Celitai
Bin Netar dituntut lima bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 351 ayat
(1) KUHP.
4.2.1.2. Pertimbangan Hukum
Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi
semua unsur dari Pasal 351 ayat (1) KUHP, karena terdakwa terbukti secara sah
dan menyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan dan pada diri terdakwa
tidak ada alasan yang dapat menghapuskan atau menghilangkan
pertanggungjawaban pidana, maka terhadap terdakwa Celitai Bin Netar
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan, dan oleh karenanya
terdakwa Celitai Bin Netar harus dijatuhi pidana.282
Selanjutnya, Majelis Hakim
mempertimbangkan sebagai berikut:283
“bahwa mengenai hukuman yang akan dijatuhkan terhadap diri terdakwa,
Majelis berpendapat bahwa pada dasarnya hukuman dalam sistem
pemidanaan di Indonesia bukan ditujukan sebagai sarana pembalasan akan
tetapi sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran supaya terdakwa dapat
menyadari kesalahan yang telah dilakukanya, serta dapat merubah tingkah
lakunya dalam bermasyarakat sehingga keberadaannya dalam masyarakat
merupakan keberadaan yang dapat mendukung fungsi-fungsi kehidupan
sosial, dan keberadaan terdakwa dalam masyarakat adalah sebagai
pemimpin kelompok atau tumenggung, maka terdakwa harus dapat dan bisa
dijadikan contoh tauladan.”
Majelis Hakim juga berpendapat bahwa ”hukuman yang akan dijatuhkan
terhadap terdakwa dalam amar putusan ini adalah setimpal dengan kesalahan yang
telah dilakukan oleh terdakwa. Dan selanjutnya Majelis sependapat dengan
pembelaan yang disampaikan terdakwa pada akhirnya tujuan dari proses
penanganan perkara terhadap terdakwa tercapai kemanfaatan, keadilan, kepatutan
282
Pertimbangan hukum dalam Putusan No. 22/Pid.B/2009/Pn.Srln, hal. 44.
283
Ibid., hal. 44-45.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
118
dan kepastian hukum.”284
Majelis juga mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan meringankan sebelum menjatuhkan putusan, yaitu:285
“Hal-hal yang memberatkan:
- Terdakwa adalah Tumenggung atau pimpinan kelompok yang
seharusnya menjadi contoh dan tauladan di lingkungannya.
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa bersikap sopan, menghormati dan tidak mempersulit jalannya
persidangan;
- Terdakwa mempunyai tangggungan dan juga sebagai tulang punggung
keluarga, serta keberadaannya dalam kelompok sangat dinantikan;
- Dan diantara kelompok terdakwa dengan kelompok korban telah
disepakati perdamaian.”
4.2.1.3.Amar Putusan
Majelis Hakim dengan mengingat Pasal 351 ayat (1) KUHP, Undang-
Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP, serta peraturan-peraturan lain yang
bersangkutan, mengadili sebagai berikut:286
“1.Menyatakan bahwa terdakwa Celitai Bin Netar telah terbukti secara sah
dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan”;
2.Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3
(tiga) bulan 20 (dua puluh) hari;
3.Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4.Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5.Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp
2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).”
4.2.2. Analisa Putusan
Putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim selama tiga bulan 20 hari untuk
perkara penganiayaan adalah terbilang rendah, mengingat ancaman pidana untuk
Pasal 351 ayat (1) KUHP, maksimal dua tahun delapan bulan penjara. Menjadi
suatu analisa disini adalah apakah yang menjadi tujuan pemidanaan dan pidana
yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Menurut Muladi ”tujuan pemidanaan adalah
yang justru mengikat atau menjalin setiap tahap pemidanaan menjadi suatu mata
284 Ibid., hal.45.
285
Ibid., hal.46. 286
Amar putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srlgn, hal. 46-47.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
119
rantai dalam suatu kebulatan sistem yang rasional.”287
Dengan demikian menurut
Solehhudin,”apapun jenis dan bentuk sanksi dalam hukum pidana yang akan
ditetapkan, tujuan pemidanaan yang harus menjadi patokan.”288
Menururt Norval Morris tentang tujuan pemidanaan yaitu:289
“My premise throught is that penal purposes are properly retributive,
deterrent, and incapacitative. Attempts to add reformative puposes to
that mixture-as an objective of the sanction as distinguished from a
collateral aspiration-yield neither clemency, justice, nor as presently
administered social utility.”
Gerry A Ferguson juga pernah menyatakan sebagai berikut:290
“Generally, the courts refer to four or fives purposes in imposing
sentences: deterrence, retribution or „just deserts‟, rehabilitation,
incapacitation or public protection and compensation to victims.”
Demikian juga Petter J.P Tak, mengatakan bahwa: “The aims of sentencing are
now considered to be retribution, special or general deterrence, reformation,
protection of society and reparation.” 291
Di Indonesia, keadaannya memang berbeda sama sekali, rumusan tentang
tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif belum pernah ada. Jadi
pembahasan mengenai apa, kenapa dan bentuk apa pemidanaan itu, selama ini
lebih banyak bersifat teoritis. Namun demikian dalam Rancangan Kitab Undang-
287
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro,
1995), hal. 2.
288
Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 119.
289
Norval Morris, The Future Imprisonment, Michigan law Review (Chicago: University
of Chicago Press, 1974), hal. 1161, sebagimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum
Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2003), hal. 130.
290
Gerry A Ferguson, Criminal Liability and Sentencing of Coorporation, makalah
diskusi hukum pidana dan kriminologi, (Surabaya: Universitas Erlangga, 1993), hal. 28,
sebagaimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track
System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 130. 291
Petter J.P Tak, Sentencing in The Netherlands, makalah seminar Perbandingan hukum,
(Surabaya; UBHARA, Oktober 1997), sebagaimana dikutip Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam
Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2003), hal. 130.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
120
Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah diatur tentang tujuan pemidanaan. Dalam
Pasal 54 RKUHP, yaitu:292
”(1) Pemidanaan bertujuan:
a.mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
b.memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c.menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
d.membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia. “
Memang ini baru sebatas sebuah rancangan yang tidak mempunyai kekuatan
mengikat, tetapi sebagai suatu karya ilmiah yang diperoleh melalui penelitian dan
ada dasar ilmiah yang dapat dipertimbangkan. Menurut Soedikno Mertokusumo,
“terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak jelas dan tidak lengkap,
maka harus menemukan hukumnya. Metode penemuan hukum melalui
interpretasi atau metode penafsiran.293
Salah satu metode interpretasi yang
disebutkan Soedikno adalah interpretasi antisipatif atau futuristis, yaitu penafsiran
antisipasif yang dicari pemecahannya dalam peraturan perundang-undangan yang
belum mempunyai kekuatan berlaku, misal.rancangan undang-undang.294
Dengan
demikian melalui interpretasi antisipasif atau futuristis, pendekatan restorative
justice dapat diterapkan di pengadilan, khususnya dalam putusan pengadilan.
Namun jika dasar itu belum kuat adanya, kiranya dapat menjadi suatu
solusi jika melihat kepada kenyataan bahwa Hakim tidak bisa menolak perkara
yang harus diadilinya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:
292
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012.
293
Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.
294
Ibid., hal. 80.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
121
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
295
Hakim, jika dihadapkan terhadap hal yang hukumnya tidak ada atau kurang jelas,
mempunyai cara untuk menemukannya (penemuan hukum), hal tersebut juga
yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.” 296
Dalam kaitannya dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, Hakim dapat melihat
kepada hukum adat. Hukum adat merupakan living law, hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Dalam penyelesaian perkara pidana melalui adat,
juga ada pemberian sanksi adat (pemidanaan). Tujuan sanksi adat menurut I Made
Widnyana, sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilisator untuk
mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib. Di bali, sanksi
adat mempunyai peranan yang penting untuk mengembalikan keseimbangan
tersebut.297
Apabila terjadi pelanggaran, maka si pelanggar diharuskan untuk
melakukan suatu upaya tertentu seperti upacara bersih desa (pura/tempat suci),
yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan kekuatan magis yang
dirasakan terganggu.298
Soepomo juga menegaskan kembali bahwa “tujuan dari segala reaksi
(koreksi) adat dari segala tindakan yang menetralisir pelanggaran-pelanggaran
hukum itu, ialah memulihkan perimbangan hukum. Perimbangan hukum ini
meliputi pula perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib.”299
Pendapat
Soepomo dan I Made Widnyana ini, juga sama dengan yang dikatakan Rehngena
Purba, yaitu” tujuan dari pemidaan dalam hukum adat adalah terjadinya
295
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Loc. Cit.
296
Ibid.
297 I Made Widnyana, Op.Cit., hal. 9.
298
Ibid.
299
Soepomo, Op.Cit., hal. 113.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
122
harmonisasi, keseimbangan antara dua komunitas yang ada konflik. Karena jika
dia melanggar pidana adat terjadi kegoncangan magis di masyarakat tersebut,
sehingga dengan pembayaran denda atau permintaan maaf maka terjadi kerukunan
antara dua komunitas tersebut.”300
Senyatanya tujuan sanksi adat ini sejalan dengan tujuan pemidanaan
khususnya dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c RKUHP ”menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan
rasa damai dalam masyarakat.”301
Tujuan pemidanaan ini juga seperti yang
dimaksudkan oleh restorative justice, dan tergambar dari keadilan yang ingin
dicapai dari restorative justice seperti yang dimaksudkan oleh Dignan yaitu:
“Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing and
conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational,
legal, social work and and counseling professionals and community
groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to
wrongdoing and conflict, with a balanced focus on theperson harmed, the
person causing the harm, and the affected community.302
Menyelesaikan konflik yang dimaksudkan oleh Dignan merupakan respon
terhadap pelanggaran dengan memperhatikan kepentingan korban, pelaku dan
pengaruhnya dalam masyarakat. Dalam hukum adat, jelas ini terakomodir dalam
tujuan sanksi adat tersebut. Dengan demikian Hakim dapat mengambil nilai yang
hidup ini, nilai yang terkandung dalam tujuan sanksi adat, yang juga bisa
digunakan dalam tujuan pemidanaan di putusan.
300
Wawancara melalui telepon pada tanggal 14 Desember 2012, karena jarak yang jauh
Prof Rehngena berada di Medan.
301
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012.
302
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook,
2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash
Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis
dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan
Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan
Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar
Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, hal.18, terjemahan bebas dari
penulis:”Keadilan Restoratif adalah kerangka kerja baru terhadap pelanggaran dan konflik yang
secara cepat dapat diterima pendidik, ahli hukum, pekerja sosial dan Konseling sosial serta
kelompok masyarakat.Keadilan restorative adalah berdasarkan pendekatan nilai sebagai respon
dari pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada orang yang terkena akibat kejahatan,
orang yang melakukan kejahatan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
123
Pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa:
“mengenai hukuman yang akan dijatuhkan terhadap diri terdakwa, Majelis
berpendapat bahwa pada dasarnya hukuman dalam sistem pemidanaan di
Indonesia bukan ditujukan sebagai sarana pembalasan akan tetapi sebagai
sarana pendidikan dan pembelajaran supaya terdakwa dapat menyadari
kesalahan yang telah dilakukanya, serta dapat merubah tingkah lakunya
dalam bermasyarakat sehingga keberadaannya dalam masyarakat
merupakan keberadaan yang dapat mendukung fungsi-fungsi kehidupan
sosial, dan keberadaan terdakwa dalam masyarakat adalah sebagai
pemimpin kelompok atau tumenggung, maka terdakwa harus dapat dan bisa
dijadikan contoh tauladan.”
mengisyaratkan suatu tujuan pemidanaan yang diinginkan oleh Majelis Hakim.
Tujuan pemidanaan disini jelas bukan yang bersifat
retributive/penghukuman/balas dendam/teori absolut, karena jelas Majelis
menyatakan tujuan pemidanaan bukan sebagai sarana pembalasan akan tetapi
sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran.
Tentang tujuan pemidanaan sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran
dalam teori tujuan pemidanaan, adalah sama dengan yang dimaksudkan dengan
teori relatif. Teori relatif disebut juga sebagai teori tujuan (utilitarian theory),
karena menurut teori relatif, pidana bukanlah sekedar untuk melakukan
pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi lebih dari itu
pidana mempunyai tujuan lain yang bermanfaat.303
Ada tiga bentuk teori tujuan
yang mungkin saja tidak terlalu penting untuk membedakannya sari sudut
pandang praktis, tapi bagi seorang utilataris, faktor terpenting adalah bahwa suatu
pemidanaan dapat menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang bermanfaat
secara preventif (penebalan kata oleh penulis), apapun artinya penjeraan dan
penangkalan, reformasi dan rehabilitasi atau pendidikan moral (penebalan kata
oleh penulis).304
Namun demikian, kepedulian teoretis menuntut usaha untuk lebih
mendalami utilitarian theory menurut tiga belahan interpretasi tersebut, yaitu:305
303
M.Solehhudin, Op.Cit., hal. 43.
304
Ibid. 305
Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1997), hal. 33, sebagaimana dikutip M.Solehhudin, Op.Cit., hal.43-45.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
124
1. Tujuan pemidanaan memberikan efek penjeraan dan penangkalan.
Penjeraan sebagai efek pemidanaan, menjauhkan si terpidana dari
kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan sebagai
penangkal, pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan
menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. Oleh
Karena itu, pemidanaan sebagai penjeraan mempengaruhi sikap dan
perilaku si terpidana maupun warga masyarakat. Pengaruh ini dianggap
bisa sangat berdaya-hasil bila dikomunikasikan secara negatif, yaitu
dengan menakut-nakuti orang, atau menurut perkataan Philip
Bean”maksud di balik penjeraan ialah mengancam orang-orang lain untuk
kelak tidak melakukan kejahatan.”
2. Pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan mengganggap pula
pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada
si terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu
penyakit sosial yang disintegrative dalam masyarakat. Kejahatan itu dibaca
pula sebagai simpton disharmoni mental atau ketidakseimbangan personal
yang membtuhkan terapi psikiatris, conselling, latihan-latihan spiritual,
dan sebagainya. Itulah sebabnya ciri khas dari pandangan tersebut ialah
pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang
terpidana agar kembali berintegrasi dalam komunitasnya secara wajar.
Dalam bahasa utilitarianisme dapat dikatakan sebagai efek preventif dalam
proses rehabilitasi ini terutama terpusat pada si terpidana.
3. Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral. Bentuk ketiga teori tujuan
ini merupakan bagian dari doktrin bahwa pemidanaan merupakan proses
reformasi. Setiap pemidanaan pada dasarnya menyatakan perbuatan
terpidana adalah salah, tak dapat diterima oleh masyarakat dan bahwa
terpidana telah bertindak melawan kewajibannya dalam masyarakat.
Karena itu, dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk
menyadari dan mengakui kesalahan yang telah dituduhkan atasnya.
Penjara atau lembaga pemasyarakatan, dilukiskan sebagai tempat
pendidikan moral, yaitu tempat refleksi-refleksi moral dan spiritual
diadakan serta ’penebusan dosa’ terjadi. Para terpidana perlu diberikan
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
125
pengajaran moral dan agama agar keyakinan dan pandangannya
diperbaharui, kecenderungan-kecenderungan jahatnya dikendalikan dan
hidupnya disegarkan. Semuanya itu berdasar atas tesis bahwa setiap
bentuk kejahatan melawan hukum merupakan ekspresi ketidakpedulian
sosial pada orang lain.
Berdasarkan uraian diatas maka tujuan pemidanaan yang dimaksudkan Majelis
Hakim sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran adalah seperti yang
dimaksudkan pada nomor tiga dari teori relatif atau utilitarian theory. Menurut
Majelis Hakim sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran ini mengingat fungsi
terdakwa sebagai pemimpin kelompok yang seharusnya memberikan contoh
tauladan.
Menurut Hakim Enan Sugiharto kelompok suku anak dalam sering
melakukan pelanggaran hukum namun tidak pernah ada yang diproses mengingat
mereka selalu menyelesaikan dengan hukum adatnya.306
Dan ini kali pertama ada
anggota suku anak dalam bahkan pemimpin kelompok suku anak dalam yang
diproses secara hukum, bahkan ditahan.307
Majelis berpendapat bahwa dengan
memberikan pendidikan dan pembelajaran melalui proses hukum ini, agar
terdakwa sebagai pemimpin kelompok suku anak dalam menyadari kesalahannya
yang telah melanggar aturan hukum dan seharusnya memberikan contoh tauladan
yang baik.308
Hal ini pun diakui oleh Jaksa Syafri Hadi bahwa masyarkat suku anak
dalam sering melakukan pelanggaran hukum, seperti menebang kayu di hutan,
berkelahi sesama anggota kelompok suku anak dalam, dsb.309
Menurut penulis,
jika dihubungkan dengan keterangan Jaksa Syafri Hadi, tentang peran Celitai
sebagai pemimpin kelompok sangat besar dimana kata-katanya ditaati oleh
anggota kelompoknya, maka tidak heran jika Majelis Hakim berpendapat bahwa
terdakwa Celitai bin Netar sebagai pemimpin kelompok untuk memberikan
306
Wawancara melalui telepon dengan Hakim Enan Sugiharto pada tanggal 22 Desember
2012. 307
Ibid.
308
Ibid.
309
Wawancara dengan jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November
2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
126
contoh tauladan, maka dimaksudkan pemidanaan sebagai pendidikan dan
pembelajaran agar tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Namun jika memperhatikan salah satu dasar peringan adalah diantara
kelompok terdakwa dengan kelompok korban telah disepakati perdamaian,
berarti Majelis melihat keadaan yang telah pulih, harmonis kembali. Menurut
Hakim Enan Sugiharto juga mengatakan bahwa”di persidangan ketika saksi
memberikan keterangan, dengan perintah Ketua Majelis maka terdakwa meminta
maaf kepada saksi dan saksi pun menerimanya. Majelis menilai bahwa saling
memaafkan di persidangan, menandakan bahwa memang sudah tidak ada masalah
lagi.”310
Hal ini pun diakui oleh Jaksa Syafri Hadi dan menyatakan hal yang
sama” antara terdakwa dan saksi korban sudah saling memaafkan di persidangan,
sehingga dilihat tidak ada masalah, tidak terlihat dendam diantara mereka, saya
melihat bahwa perbuatan saling memaafkan tersebut terlihat tulus, tidak ada
karena paksaan bahkan mereka saling berpelukan”311
Baik Hakim Enan Sugiharto dan Jaksa Syafri Hadi secara terpisah,
menyatakan bahwa “selama persidangan berlangsung tidak ada ancaman, paksaan
dan tekanan. Bahwa memang ada masyarakat suku anak dalam kelompok Celitai
yang menginap di Pengadilan dengan membuat tenda di halaman persidangan,
bukan merupakan suatu ancaman. Ancaman juga tidak ada dari korban yang
menuntut agar terdakwa dihukum seberat-beratnya atau sebaliknya tuntutan dari
terdakwa agar korban juga diproses hukum mengingat dari kelompok korban
Celitai ada satu orang yang meninggal, juga tidak pernah diutarakan.”312
Penasehat Hukum terdakwa Celitai Bin Netar, Abdul Hair juga mengatakan
bahwa terdakwa dari kelompok Celitai dengan korban dari kelompok Majid telah
saling memaafkan di persidangan, dari sejak pemeriksaan, tuntutan bahkan
putusan tidak pernah ada tuntutan dari korban, agar terdakwa dihukum seberat-
beratnya, begitu juga dari terdakwa tidak ada menuntut kepada korban agar
310
Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
2012. 311
Wawancara dengan Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November
2012.
312
Wawancara dengan hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22
Desember 2012 dan wawancara dengan Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14
Novemner 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
127
diproses secara hukum. Sejak putusan sampai dengan sekarang antara kedua
kelompok suku anak dalam tersebut tidak terjadi bentrokan.313
Mengenai penyelesaian adat, baik Hakim, Jaksa maupun Penasihat Hukum
tidak terlalu banyak mengetahui, informasi dapat diperoleh melalui Nelly Akbar
sebagai pendamping/advokasi terhadap suku anak dalam dari Lembaga Swadaya
Masyarakat Warsi. Menurut Nelly proses penyelesaian adat bukanlah hal yang
mudah, begitu Warsi mengetahui ada bentrokan dua kelompok suku anak dalam,
Warsi langung memberikan advokasi, karena pemberdayaan suku anak dalam
salah program kerja LSM ini. Kendala penyelesaian adat dari kelompok Majid
(korban) yang tidak mau menyelesaiakan secara adat tetapi memilih proses hukum
nasional. Hal ini dapat dimengerti oleh Warsi, karena kelompok Majid telah
tinggal menetap di pedesaan, sehingga telah banyak mengerti tentang hukum
nasional. Namun melalui pembicaraan dengan melibatkan kelompok suku anak
dalam lainnya, akhirnya kelompok Majid mau untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut secara adat.314
Menurut Nelly telah disepakati sanksi adat dan belum
semuanya dibayarkan pada saat putusan pengadilan dibacakan, mengingat jumlah
yang sangat banyak, namun hal tersebut tidak mengurangi kesepakatan untuk
melaksankan sanksi adat dan keyakinan bahwa kerukunan telah tercapai.315
Hal tersebut menjawab pertanyaan ketika pada saat tuntutan dan putusan
dibacakan, tidak ada kerusuhan dan sampai sekarang pun tidak ada bentrokan
yang terjadi antara kelompok suku anak dalam Celitai dan Majid.316
Sikap Hakim
yang melihat bahwa tidak ada masalah lagi antara terdakwa dengan korban pada
saat saling memaafkan di persidangan, mendasari untuk menerima bahwa
memang telah terjadi perdamaian diantara mereka. Mengenai sanksi adat yang
dijatuhkan Hakim Enan Sugiharto mengakui bahwa memang terungkap di
persidangan, dan tidak dibantah oleh terdakwa dan korban namun karena tidak
313
Wawancara dengan Penasihat hukum terdakwa Celitai Bin Netar, Abdul hair melalui
telepon pada tanggal 12 Oktober 2012.
314
Wawancara dengan Nelly Akbar dari LSM Warsi melalui telepon pada tanggal 13
Oktober 2012.
315
Ibid.
316 Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
128
adanya pembuktian tentang telah dibayarkannya sanksi adat tersebut, sehingga
Majelis tidak mempertimbangkannya tetapi cukup melihat dari adanya perdamain
yang telah terjadi.317
Sikap majelis hakim yang telah mempertimbangkan perdamaian sebagai
dasar terjadinya kerukunan antara pelaku, korban dan karena dalam penyelesaian
adat tersebut melibatkan anggota kelompok dari Celitai dan Majid, maka ini
mewakili masyarakat di dua kelompok yang berkonflik, dan inilah yang
dimaksudkan oleh Dignan. Menurut Dignan, Restorative justice sebagai kerangka
kerja baru yang dalam hal ini yaitu sistem peradilan pidana khususnya dalam
putusan pengadilan, untuk menyelesaikan konflik berdasarkan pendekatan nilai
sebagai respon dari pelanggaran dan konflik serta fokus yang bertumpu pada
orang yang terkena akibat kejahatan, orang yang melakukan kejahatan dan
pengaruhnya terhadap masyarakat.318
Menarik jika dibandingkan dengan kasus di Kanada, yang menjadi
landmark decision yaitu Gladue case, karena adanya persamaan yaitu anggota
suku atau kelompok hukum adat juga, dimana terdakwa merupakan orang
aborigin. Kasus Gladue menjadi landmark decision karena dari putusan tersebut,
legislatif menambahkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 718 ayat (2) huruf e,
dimana orang aborigin juga harus diperhatikan mengingat keadaan mereka yang
terpinggir. Hellen Bowen dan Terri Thompson memnguraikan dengan jelas
tentang ketentuan Pasal 718 yang tidak lain merupakan tujuan pemidanaan di
Kanada, yaitu:319
317 Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
2012.
318
Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, Intercourse (PA: Goodbook,
2002), hal. 79, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, Op.Cit, hal.65, .lihat juga Douglash
Yrn, Dictionary of Conflict Resolution, Complied and Edited, 1999, hal 381 sebagaimana ditulis
dalam Achmad Ali, Wiwie Heryani, Empiris Hukum/Perspefktif Ilmu-Ilmu Perilaku Filsafat dan
Praktik Psikologi Hukum dan Hukum Restoratif, Jilid 1, hal.77, sebagaimana ditulis Marwan
Effendy, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks Ultimum Remidium Terhadap
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar
Universitas Sam Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012, hal. 18. 319 Hellen Bowen dan Terri Thompson, Restorative Justice and The New Zealand Court
of Appeal‟s Decision in The Clothworthy Case, Journal of South Pacific Law: article 4 of volume
3, 1999, hal. Yang ditelusur melalui internet www.restorativejustice.org/articlesdb/articles/2354
dan lihat juga melalui www.vanuatu.usp.ac.fj/journal_splaw/articles/bowel/html yang diakses pada
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
129
“Section 718 contains objectives supporting the fundamental purpose of
sentencing.59
Some of these restate of basic sentencing aims while others
focus on restorative goals. s718. The fundamental purpose of sentencing is
to contribute, along with crime prevention initiatives, to respect for the
law and the maintenance of a just, peaceful and safe society by imposing
just sanctions that have one or more of the following objectives:
a. to denounce unlawful conduct;
b. to deter the offender and other persons from committing offences;
c. to separate offenders from society, where necessary;
d. to assist in rehabilitating offenders;
e. to provide reparation for harm done to victims or to the
community and
f. to promote a sense of responsibility in offenders, and
acknowledgement of the harm done to victims and to the
community. [Emphasis added.]”
Menurut Helen Bowen dan Terri Thompson pertimbangan Mahkamah Agung
Kanada terhadap kasus Gladue memperhatikan restorative justice sebagai tujuan
pemidanan, dan menambahkan tiga unsur (d, e dan f) yaitu:320
“The restorative aspects of the above sentencing aims have been
interpreted recently by the Canadian Supreme Court in R v Gladue, where
they held: [W]hat is new, though, are paras. (e) and (f), which along with
para. (d) focus upon the restorative goals of repairing the harms suffered
by individual victims and by the community as a whole, promoting a sense
of responsibility and an acknowledgement of the harm caused on the part
of the offender, and attempting to rehabilitate or heal the offender.…In our
tanggal 7 Desember 2012. terjemahan bebas dari penulis ”Bagian 718 berisi tujuan mendukung
tujuan mendasar dari pemidanaan. Beberapa menyatakan kembali dari hukuman dasar
bertujuan sementara yang lain fokus pada tujuan restoratif. S718. Tujuan mendasar dari
hukuman adalah untuk memberikan kontribusi, bersama dengan inisiatif pencegahan
kejahatan, untuk menghormati hukum dan pemeliharaan masyarakat yang adil, damai dan aman
dengan memberlakukan sanksi baru yang memiliki satu atau lebih dari tujuan-tujuan berikut:
a. untuk mengecam tindakan melawan hukum; b. untuk mencegah pelaku dan orang
lain dari melakukan pelanggaran; c. untuk memisahkan pelaku dari masyarakat, di
mana diperlukan; d. untuk membantu pelaku rehabilitasi; e. untuk memberikan reparasi
bagi kerugian yang ditanggung korban atau masyarakat dan f. untuk
mempromosikan rasa tanggung jawab dalam pelanggar, dan pengakuan darikerugian yang
ditanggung para korban dan masyarakat. [Penekanan ditambahkan.] " 320
Ibid, terjemahan bebas dari penulis “"Aspek-aspek restoratif dari tujuan hukuman atas
telah ditafsirkan baru-baru ini oleh Mahkamah Agung Kanada di R v Gladue, di mana mereka
mengatakan: “Pemikiran yang baru, yaitu paragraf (e) dan (f), yang bersama dengan paragraf
(d) yang fokus pada tujuan restoratif memperbaiki bahaya yang diderita oleh korban individu
dan masyarakat secara keseluruhan, mendukung rasa tanggung jawab dan pengakuan atas
kerugian yang disebabkanoleh pelaku, dan mencoba untuk merehabilitasi atau menyembuhkan
pelaku .... Dalam pandangan kami, pilihan DPR untuk memasukkan (e) dan (f) di
samping tujuan hukuman tradisional harus dipahami sebagai membuktikanniat
untuk memperluas parameter analisis hukuman untuk semua pelanggar. Prinsip menahan
diri dinyatakan dalam s. 718,2 (e) tentu akan diinformasikan dengan orientasi kembali.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
130
view, Parliament‟s choice to include (e) and (f) alongside the traditional
sentencing goals must be understood as evidencing an intention to expand
the parameters of the sentencing analysis for all offenders. The principle
of restraint expressed in s. 718.2(e) will necessarily be informed by this re-
orientation.
Sedangkan Pasal 718 ayat (2) KUHPidana Kanada berbicara tentang pedoman
pemidanaan yang menjadi petunjuk teknis dalam menjatuhkan pemidanaan juga
diperbaharui sebagai dampak logis dari diperbaharuinya (penambahan) pedoman
pemidanaan. Menurut Hellen Bowen dan Teri Thompson yaitu:321
Tabel 4.1 Perbedaan Pasal 718 ayat (2) huruf e Sebelum dan Sesudah Kasus
Gladue
Sebelum kasus Gladue Sesudah kasus Gladue
[s.] 718.2.(e) provides the
necessary flexibility and authority
for sentencing judges to resort to
the restorative model of justice in
sentencing aboriginal offenders and
to reduce the imposition of jail
sentences where to do so would not
sacrifice the traditional goals of
sentencing.
s718.2(e). s 718.2 A court that
imposes a sentence shall also take
into consideration the following
principles: … (e) all available
sanctions other than imprisonment
that are reasonable in the
circumstances should be considered
for all offenders, with particular
attention to the circumstances of
aboriginal offenders.”
Dari tabel tersebut terlihat bahwa dalam ketentuan sebelumnya, jika pelaku orang
aborigin mendapatkan pengurangan pidana penjara sedangkan dalam ketentuan
sesudah kasus Gladue, hakim harus mempertimbangkan semua sanksi yang
tersedia dengan memperhatikan keadaan dari pelaku orang aborigin. Dalam kasus
Gladue, mendapatkan pembebasan bersyarat dan keluar dari lembaga
pemasyarakatan setelah enam bulan di penjara.
Menarik mambaca tulisan dari Yang Mulia Hakim M.E Turpel Lapond
tentang kritik terhadap putusan ini yang terkesan memberikan kemudahan kepada
321
Ibid, table dibuat oleh penulis untuk memudahkan membandingkan, terjemahan bebas
dari penulis, sebelum kasus Gladue, “menyediakan fleksibilitas yang diperlukan dan kewenangan
bagi hakim dalam menjatukan hukuman untuk menggunakan model keadilan restoratif dalam
menghukum pelaku Aborigin dan untuk mengurangi pengenaan hukuman penjara di mana
untuk melakukannya tidak akan mengorbankan tujuan tradisional hukuman. Sedangkan sesudah
kasus Gladue” semua sanksi tersedia selain penjara yang wajar dalam situasi harus
dipertimbangkan untuk semua pelaku, dengan perhatian khusus pada keadaan pelanggar asli.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
131
orang aborigin karena dalih diskriminasi yang terjadi, namun justru menjadi
diskriminasi yang terbalik terhadap orang yang bukan aborigin, yaitu:322
“The potential impact of the Gladue decision on the judiciary is arguably
profound. The Supreme Court of Canada has clarified that Parliament‟s
decision to add section 718.2(e) to the Criminal Code means that one
must, as a matter of criminal law, recognize that Aboriginal people
experience incarceration differently than others. While some might suggest
that an Aboriginal person who receives the same sentence as a non-
Aboriginal person is being treated equally, this has been rejected as
fallacious reasoning by the Supreme Court of Canada. Sometimes treating
different people the same results in inequality. Justices Cory and
Iacobucci considered the argument that this treatment of Aboriginal
peoples is “reverse discrimination” against non-Aboriginal people.20
They concluded that section 718.2(e) is not unfair to non- Aboriginal
people, it simply requires judges to treat Aboriginal people fairly by taking
into account their difference.”
Oleh karena itu menurut Yang Mulia Hakim M.E Turpel Lapond berpendapat
bahwa putusan kasus Gladue, mempedomani hakim dalam memutus dimana
pelaku orang aborigin, yaitu:323
322
Her Honour, M.E Turpel Lapond, Justice as Healing A Newsletter on Aboriginal
Concepts of Justice, Sentencing Within a Restorative Justice Paradigm: Procedural Implications of
R. v. Gladue, hal.1, Makalah berikut diberikan pada Konferensi CIAJ: "Changing Punishment at
the turn of The Century”, di Saskatoon, Saskatchewan pada tanggal 26-29 September
1999. Makalah ini akan diterbitkan pada awal tahun 2000 yang akan datang dan di Triwulanan,
1999 jurnal Criminal Law, ditelusur melalui internet
www.usask.ca/nativelaw/publication/jah/1999/sent_Para_Gladue.pdf yang diakes pada tanggal 7
Desember 2012. Terjemahan bebas dari penulis ”Dampak
potensial dari keputusan Gladue di pengadilan ini bisa dibilang mendalam.Mahkamah Agung
Kanada telah menjelaskan bahwa keputusan DPR untuk menambahkan pasal 718, 2 (e) ke
KUHP berarti bahwa seseorang harus mengakui bahwa dalam masalah pidana untuk orang
Aborigin mempunyai penahanan pengalaman yang berbeda dari yang lain. Sementara
beberapaorang berpendapat mungkin mengatakan bahwa orang Aborigin diperlakukan sama
karena yang menerima pemidanaan yang sama sebagai orang non-Aborigin, penalaran yang keliru
ini telah ditolak Mahkamah Agung Kanada. Kadang-kadang memperlakukan orang yang berbeda
dengan hasil yang sama dalam ketidaksetaraan. Hakim Cory dan Iacobucci
menganggap argument bahwa pengobatan masyarakat Aborigin adalah
"diskriminasi terbalik" terhadap orang non-Aborigin. Mereka menyimpulkan bahwa
bagian 718, 2 (e) tidak adil untuk non-Aborigin orang, itu hanya karena hakim cukup dengan
memperhatikan perbedaan mereka, maka dapat mengobati mereka " 323
Ibid, terjemahan bebas dari penulis: "Keputusan
ini akan mempengaruhi peradilan dalam setidaknya tiga cara mendasar.Pertama, hakim akan perlu
dididik mengenai masyarakat Aborigin di Kanada, termasuksejarah masyarakat Aborigin ',
budaya, dan pengalaman diskriminasi. Kedua, hakim akan perlu menghabiskan lebih banyak
waktu pada sebelum menjatuhkan proses hukuman untuk memastikan bahwa semua
informasi yang diperlukan pengadilan untuk mengevaluasi pendekatan yang lebih restoratif
untuk terdakwa dan masyarakat. Ketiga, independensi peradilan akan sangat penting
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
132
“This decision will affect the judiciary in at least three fundamental ways.
First, judges will need to be educated regarding Aboriginal peoples in
Canada, including Aboriginal peoples‟ history, culture, and experiences of
discrimination. Second, judges will need to spend more time on the
sentencing process to ensure that all information is before the court which
is required to evaluate a more restorative approach to the defendant and
the community. Third, judicial independence will be vital in discharging
this function as individual judges and the judiciary may be subjected to
considerable criticism and public attack for.”
Jika Hellen Bowen dan Terri Thompson, melihat kepada dampak putusan Gladue
terhadap kebijakan legislatif adanya penambahan di tujuan pemidanaan dan
perubahan ketentuan di pedoman pemidanaan maka Yang Mulia Hakim M.E
Turpel Lapond melihat kepada hal-hal yang akan mendasari hakim menjatuhkan
putusan terhadap pelaku orang aborigin. Department of justice Canada
memandang putusan Gladue case sejalan dengan keadilan yang dianut oleh
Aborigin, yaitu:324
“There is a strong relationship between restorative justice and Aboriginal
justice. Both philosophies emphasize healing, forgiveness, and active
community involvement, and restorative models have drawn heavily upon
Aboriginal methods of resolving disputes. Aboriginal concepts of
restorative justice tend to be strongly focussed on the community, with an
emphasis on collective well-being rather than individual rights. They
stress the need to heal relationships between clans or family groupings as
well as between the offender and the victim, so that balance may be
restored to the community as a whole. Aboriginal communities attempt to
look at all of the factors leading to an incident, in order to understand the
offender as a person and to uncover the causes of their behavior.”
dalam melaksanakan fungsi ini sebagai hakim individu dan lembaga
peradilan dapat mengalami kritik dan serangan publik. "
324
Department of Justice Canada, Restorative Justice In Canada A Consultation Paper,
Mei 2000, ditelusur melalui internet http://www.justice.gc.ca/eng/pi/pcvi-cpcv.html diakses pada
tanggal 7 Desember 2012, terjemahan bebas dari penulis: “Keadilan Aborigin dan keadilan
restoratif ada hubungan kuat diantaranya. Kedua filsafat menekankan penyembuhan,
pengampunan, dan keterlibatan aktif masyarakat, dan model restoratif telah ditarik berat pada
metode Aborigin penyelesaian sengketa. Konsep Keadilan dan keadilan restoratif cenderung
sangat difokuskan pada masyarakat, dengan penekanan pada hak-hak kesejahteraan kolektif
bukan individu. Mereka menekankan perlunya untuk menyembuhkan hubungan antara klan
atau kelompok keluarga serta antara pelaku dan korban, sehingga keseimbangan itu dapat
dikembalikan kepada masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat Aborigin mencoba untuk
melihat semua faktor yang menyebabkan sebuah insiden, untuk memahami pelaku sebagai pribadi
dan untuk mengungkap penyebab perilaku mereka.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
133
Department of Justice of Canada, melihat putusan Gladue Case, sebagai berikut:
“In its recent decision in Gladue v. the Queen, the Supreme Court of
Canada endorsed the concept of restorative justice and the use of
community-based alternatives to imprisonment. The Court was asked to
consider the meaning of paragraph 718.2(e) of theCriminal Code , which
stated that judges are to consider all reasonable alternatives to
incarceration for all offenders, but "with particular attention to the
circumstances of Aboriginal offenders." The Court ruled that this passage
imposes a duty upon judges to recognize factors that particularly affect
Aboriginal people, such as poverty, substance abuse, and lack of
education or employment opportunities, and to consider the role these
factors may play in bringing the Aboriginal offender before the courts. In
determining a sentence, judges must consider the types of sanctions that
might be appropriate for an offender given his or her Aboriginal heritage.
This decision should take into account whether there is community support
for the offender and community programs that provide alternatives to
incarceration. The Court recognized that restorative justice approaches
may differ from one Aboriginal community to another, but that they tend to
be community-based. The Gladue decision highlights the importance of
using restorative processes in sentencing Aboriginal offenders.” 325
Department of Justice Canada selain melihat kepada konsep keadilan Aborigin
yang selaras dengan restorative justice yaitu menekankan penyembuhan,
pengampunan, dan keterlibatan aktif masyarakat. Keadilan Aborigin dan
restorative justice sama-sama menekankan perlunya untuk menyembuhkan
hubungan antara klan atau kelompok keluarga serta antara pelaku dan korban,
sehingga keseimbangan itu dapat dikembalikan kepada masyarakat secara
keseluruhan. Selain itu Department of Justice Canada juga melihat bahwa Hakim
harus mempertimbangkan keadaan terhadap pelaku aborigin, yang melihat dari
325
Ibid., terjemahan bebas dari penulis: “Dalam keputusan baru-baru ini di Gladue v
Ratu, Mahkamah Agung Kanada telah mendukung konsep keadilan restoratif dan penggunaan
berbasis masyarakat alternatif penjara. Pengadilan diminta untuk mempertimbangkan makna ayat
718,2 (e) Kode theCriminal, yang menyatakan bahwa hakim harus mempertimbangkan semua
alternatif yang masuk akal untuk penahanan untuk semua pelaku, namun "dengan perhatian khusus
pada keadaan pelanggar Aborigin." Pengadilan memutuskan bahwa bagian ini membebankan
kewajiban kepada hakim untuk mengenali faktor-faktor yang sangat mempengaruhi orang-orang
Aborigin, seperti kemiskinan, penyalahgunaan zat, dan kurangnya pendidikan atau kesempatan
kerja, dan untuk mempertimbangkan peran faktor-faktor ini sebelum Pengadilan menjatuhkan
pemidanaan kepada pelaku Aborigin. Dalam menentukan hukuman, hakim harus
mempertimbangkan jenis sanksi yang mungkin cocok untuk pelaku Aborigin. Keputusan ini harus
mempertimbangkan apakah ada dukungan masyarakat untuk program pelaku dan masyarakat yang
memberikan alternatif untuk penahanan. Pengadilan mengakui bahwa pendekatan keadilan
restoratif mungkin berbeda dari satu komunitas Aborigin yang lain, tetapi mereka cenderung
berbasis masyarakat. Keputusan Gladue menyoroti pentingnya menggunakan proses restoratif
dalam menghukum pelaku Aborigin.”
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
134
segi sejarah, sosial, ekonomi kurang menguntungkan, dengan demikian dapat
menentukan sanksi yang tepat dan wajar.
Dalam kasus Gladue, selain melihat kepada tujuan pemidanaan juga
kepada pedoman pemidanaan, karena kedua hal ini saling berkaitan dan pada
akhirnya menentukan pemidanaan apa yang akan diberikan. Di Indonesia telah
dijelaskan bahwa untuk tujuan pemidanaan belum diatur dan baru tahap
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, begitu juga dengan pedoman
pemidanaan. Pedoman pemidanaan diatur dalam Pasal 55 RKUHP yaitu:326
Pasal 55
(3) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
l. Kesalahan pembuat tindak pidana;
m. Motif dan tujuan melakukan pidana;
n. Sikap batin pembuat tindak pidana;
o. Tindak pidana yang dilakukan apakah direncakan atau tidak
direncanakan;
p. Cara melakukan tindak pidana;
q. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
r. Riwayat hidup, keadaaan sosial dan keadaan ekonomi pembuat tindak
pidana;
s. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
t. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
u. Pemaaf dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
v. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
(4) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu
dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar
pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan
dengan mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan.
Dalam kasus Celitai Bin Netar, Majelis Hakim mempertimbangkan
perdamaian yang terjadi antara kelompok suku anak dalam Celitai dengan
kelompok suku anak dalam Majid. Bahkan hakim Enan Sugiharto dan Jaksa
Penuntut Umum, Syafri Hadi mengatakan bahwa antara kelompok suku
Celitai/terdakwa dengan kelompok suku sikap saling memaafkan di persidangan
dan tidak terlihat ada masalah, dendam.327
Namun demikian ternyata, majelis
hakim juga mempertimbangkan riwayat hidup, keadaan sosial dan keadaan
326
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012.
327
Wawancara melalui telepon dengan Hakim Enan Sugiharto pada tanggal 22 Desember
2012 dan wawancara dengan Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
135
ekonomi terdakwa. Menurut Hakim Enan Sugiharto, keadann sosial dan ekonomi
terdakwa memang kurang beruntung jika dibandingkan dengan kelompok
korban.328
Hal ini juga diakui oleh Jaksa Syafri Hadi.329
Ini tidak mengherankan
jika berdasarkan keterangan Nelly Akbar kelompok suku anak dalam Celitai
masih hidup secara nomaden dibandingkan dengan kelompok suku anak dalam
Majid yang sudah tinggal menetap di pedesaan.330
Menurtut Nelly Akbar
pencaharian sebagian besar dari kelompok suku anak dalam Celitai adalah
berburu, menjual hewan buruan seperti misalnya babi hutan ataupun menjual
pinang.331
Kondisi pada saat persidangan, anggota kelompok suku anak dalam Celitai
tinggal di depan halaman pengadilan dengan mendirikan tenda-tenda. Mereka
memang terbiasa dengan itu, namun yang membuat miris istri Celitai baru
melahirkan dan bayinya kerap diletakkan di lantai kantor pengadilan negeri
Sarolangun.332
Mereka yang tinggal di tenda kantor pengadilan banyak juga
wanita dan anak-anak, mereka menuntut pemimpin mereka dibebaskan atau
mereka juga ikut bersama ditahan.333
Ini tidak mempengaruhi Majelis Hakim
karena tidak ada bentuk ancaman secara fisik, namun demikian Majelis
memandang dengan kondisi terdakwa Celitai Bin Netar yang sudah ditahan
(memperhatikan sosial ekonominya) dan keadaan anggota kelompok yang
menginap di pengadilan serta telah adanya perdamaian dengan korban sehingga
tidak ada masalah lagi, maka Majelis berpikir tidak ada gunanya untuk
memutuskan lebih lama lagi di tahanan.334
328
Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
2012.
329
Wawancara dengan Jaksa Syafri hadi secara langsung pada tanggal 22 Desember
2012.
330
Wawancara dengan Nelly Akbar, aktivis dari LSM Warsi melalui telepon pada tanggal
13 Oktober 2012. 331
Ibid.
332
Wawancara dengan Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
2012. 333
Ibid. 334
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
136
Atas pertimbangan tersebut, bahkan sesaat sebelum putusan Majelis Hakim
mengeluarkan penetapan pengalihan penahanan rutan menjadi penahanan kota.
Hal ini menurut Hakim Enan Sugiharto, pastinya di luar dugaan dari Jaksa
Penuntut Umum dan Penasihat Hukum. Majelis memperhitungkan waktu tiga
bulan dua puluh hari sebagai waktu lamanya terdakwa Celitai Bin Netar ditahan
termasuk di dalamnya waktu tujuh hari berpikir-pikir untuk melakukan upaya
hukum.335
Menurut Hakim Enan Sugiharto, pengalihan penahanan kota ini
“memaksa” jaksa penuntut umum dan penasihat hukum untuk menerima putusan
dan tidak melakukan upaya hukum, mengingat susahnya menghadirkan terdakwa
yang hidup secara nomaden di hutan.336
Hal ini diakui Jaksa Syafri hadi yang membuatnya untuk melaksanakan
penetapan hakim tersebut dan walaupun di persidangan menyatakan pikir-pikir,
namun karena berpikir memang sudah ada perdamain, adanya permaafan atau
lebih tepatnya saling memaafkan antara kelompok Celitai dengan kelompok Majid
sehingga tidak ada masalah lagi diantara kedua kelompok tersebut, maka
menerima putusan tersebut.337
Melakukan upaya hukum sepertinya juga akan
menjadi hal yang tidak bermanfaat, sehingga Jaksa Syafri Hadi pun selain
melaksanakan penetapan pengalihan penahanan juga melaksanakan eksekusi
putusan, mengingat kesulitan untuk bertemu dengan terdakwa yang hidupnya
nomaden di hutan.338
Penasihat Hukum terdakwa juga tidak melakukan upaya hukum, walaupun
di persidangan menyatakan pikir-pikir. Menurutnya, tidak ada manfaatnya jika
melakukan upaya hukum, karena melihat kerukunan telah terjadi antara kelompok
Celitai dan kelompok Majid. Dan terpenting melihat kliennya dikeluarkan dari
335
Ibid.
336
Ibid.
337
Wawancara dengan Jaksa Syafri hadi secara langsung pada tanggal 14 November
2012.
338
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
137
tahanan yang disambut dengan kesenangan dari anggota kelompok Celitai yang
menginap di pengadilan, sudah cukup dianggap selesai kasus ini.339
4.3. Kesimpulan analisa putusan No.21/Pid.B/2009/PN.Srln dan
No.22/Pid.B/2009/PN.Srln serta kasus Gladue
Sebelum memberikan pembahasan kesimpulan, untuk memudahkan maka dibuat
dalam tabel, sebagai berikut:
Tabel 4.2 Perbedaan Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln, Putusan
No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue
Putusan Tujuan Pemidanaan Pedoman Pemidanaan Pemidanaan
Putusan
no.21/Pid.B.20
09/Pn.Srln
Adanya surat
perdamaian antara
kelompok terdakwa
dengan kelompok
korban
Terdakwa berjanji
tidak akan mengulangi
lagi
Pidana
penjara yang
sama dgn
masa
penahanan
ditambah
tujuh hari
waktu pikir-
pikir
Putusan
no.22/Pid.B.20
09/Pn.Srln
Sebagai pendidikan
dan pembelajaran
kepada terdakwa yang
sebagai pemimpin
kelompok untuk
memberikan contoh
taulan
Adanya perdamaian
antara kelompok
terdakwa dengan
kelompok korban
Pidana
penjara yang
sama dgn
masa
penahanan
ditambah
tujuh hari
waktu pikir-
pikir Kasus Gladue d. to assist
in rehabilitating offenders;
e. to provide reparation for harm done to victims or to the community and
f. to promote a sense of responsibility in offenders, and acknowledgement of the harm done to victims and to the community.
s718.2(e). s 718.2 A court that imposes a sentence shall also take into consideration the following principles: … (e) all available sanctions other than imprisonment that are reasonable in the circumstances should be considered for all offenders, with particular attention to the circumstances of aboriginal offenders.”
Pembebasan bersyarat setelah enam bulan di penjara
339
Wawancara dengan Penasihat Hukum, Abdul Hair melalui telepon pada tanggal 12
Oktober 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
138
Dalam memberikan kesimpulan antara ketiga putusan pengadilan tersebut,
penulis membuat barometernya tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan
pemidanaan. Hal tersebut didasarkan pertimbangan dari pembahasan penulisan ini
yang melihat penerapan restorative justice dalam putusan pengadilan sebagai
tujuan pemidanaan. Pembahasan tentang pedoman pemidanaan dan pemidanaan
merupakan hal yang saling berkaitan dengan tujuan pemidanaan, sehingga dengan
sendirinya tidak dapat dipisahkan.
Adalah tidak adil sebenarnya untuk membandingkan putusan
no.21/pid.B/2009/pn.srln dan no.22/pid.B/2009/pn.srln dengan putusan yang
menjadi landmark decision Canada, yaitu kasus Gladue, karena di Indonesia
belum ada pengaturan tentang tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. Ini
menjadi kesimpulan yang sangat pesimis rasanya walaupun realistis. Mengenai
tujuan pemidanaan walaupun belum diatur, tetapi literatur yang membahas
tentang tujuan pemidanaan bisa dilihat dan dibaca dari teori-teori pemidanaan. Hal
tersebut pun sudah juga dipelajari di dunia pendidikan, sehingga hakim tidak bisa
ini dijadikan dasar pembenarnya. Belum lagi jika ingin mengkaji dari nilai-nilai
yang hidup di dalam masyarakat, telah diuraikan juga tentang tujuan sanksi adat.
Pengertian tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan tidak ditemui
secara eksplisit, namun menguraikan bentuk-bentuknya memberikan pengertian
yang implisit. Jika melihat dari terminologi kata tujuan dan pedoman, maka dapat
diketahui bahwa “tujuan berarti maksud, sasaran.340
Sedangkan Pedoman berarti
sebagai berikut:341
“alat untuk menunjukkan, mengetahui arah atau mata angin, bentuknya
seperti jam berjarum besi berani; buku petunjuk: sesuatu yang menjadi dasar
penganan, ukuran dan sebagainya; buku petunjuk yang menerangkan cara
mengerjakan cara menjalankan atau mengerjakan sesuatu; pimpinan atau
pengurus perkumpulan.”
Jika melihat dari pengertian pedoman tersebut berarti yang tepat dalam
pembahasan ini adalah buku petunjuk yang menerangkan cara mengerjakan cara
340
Suharsono dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kesebelas
(Semarang: Widya Karya, 2011), hal.590.
341
Ibid., hal. 364.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
139
menjalankan atau mengerjakan sesuatu. Dengan demikian hubungan antara
pedoman pemidanaan dengan tujuan pemidanaan adalah, pedoman pemidanaan
merupakan cara untuk mencapai sasaran atau tujuan pemidanaan.
Jika Pasal 54 RJUHP yang menguraikan tentang tujuan pemidanaan dan
Pasal 55 RKUHP yang menguraikan tentang pedoman pemidanaan yang hanya
menguraikan bentuknya saja, sedangkan di dalam penjelasannya dapat
disimpulkan pengertiannya, yaitu mengatakan sebagai berikut:342
Pasal 54
“Ayat (1) pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan,
peranan hakim penting sekali mengkonkritkan sanksi pidana yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan
menjatuhkan pidana terhadap tertuduh dalam kasus tertentu.
Ketentuan dalam pasal ini dikemukakan tujuan dari pemidanaan,
yaitu sebagai sarana perlindungan masyarakat, dan resosialisasi,
pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologis untuk
menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan.
Ayat (2)Meskipun pidana pada dasarnya merupakan nestapa, namun
pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
merendahkan martabat manusia.
Pasal 55
Ayat (1)Ketentuan ini membuat pedoman pemidanaan yang sangat
membantu hakim dalam mempertimbangkan takaran atau berat
ringannya pidana yang akan dijatuhkan.
Dengan mempertimbangkan hal-hal yang dirinci dalam pedoman
pemidanaan tersebut diharapkan pidana yang dijatuhkan bersifat
proporsional dan dapat dipahami baik oleh masyarakat maupun
terpidana. Rincian dalam ketentuan ini tidak bersifat limitative
artinya hakim dapat menambahkam pertimbangan lain selain yang
tercantum pada ayat (1) ini.
Unsur “berencana” sebagaimana ditemukan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang lama, tidak dimasukkan dalam
rumusan tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal buku
kedua. Tidak dimuatnya unsur ini bukan berarti unsur berencana
tersebut ditiadakan, tetapi lebih bijaksana jika dijelaskan dalam
penjelasan ayat (1) ini. Berdasarkan hal ini, maka dalam
menjatuhkan pidana hakim harus memperhatikan unsu berencana,
kesalahan pembuat tindak pidana, motif dan tujuan dilakukannya,
cara melakukan tindak pidana, dan sikap batin pembuat tindak
pidana.
Ayat (2) ketentuan pada ayat ini dikenal dengan asas rechterlijke pardon
yang memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf
pada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang
342
Penjelasan Pasal 54 RKUHP tahun 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
140
sifatnya ringan (tidak serius). Pemberian maaf ini dicantumkan
dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa
terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Berdasarkan penjelasan Pasal 54 RKUHP, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
pemidanaan bersifat abstrak, yang harus ditentukan lebih dulu untuk
menghasilkan pemidanaan yang merupakan suatu proses (mengkonkretkan tujuan
pemidanaan). Hal ini selaras dengan yang dikatakan Barda Nawawi dalam pokok-
pokok pemikiran tentang pidana dan pemidanaan yaitu:343
“Bertolak dari pemikiran, bahwa pidana pada hakikatnya hanya
merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep pertama-tama
merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam mengidentifikasikan
tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok
yaitu”perlindungan masyarakat dan perlindungan/pembinaan individu
pelaku tindak pidana.”
Sue Tirus Reid menggunakan konsep filsafat pemidanaan dalam arti yang sama
dengan tujuan pemidanaan.344
Dalam satu hal dinyatakan sebagai filsafat
pemidanaan, tetapi pada elaborasi berikutnya dikatakan sebagai tujuan
pemidanaan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataannya sebagai berikut:
“four basic punishment philophies are used to justify sentencing:
rehabilitation, incapacitation, deterrence, and retribution.345
Dalam penjelasannya kemudian Sue Tirus Reid, mengatakan:346
“Four basic objective are generally recognized: deterrence, rehabilitation,
incapacitation and retribution.”
Dengan demikian tujuan pemidanaan yang disamakan dengan filsafat pemidanaan
bersifat abstrak yang merupakan tahap awal yang harus ditentukan lebih dahulu
untuk dapat menghasilkan pemidanaan yang bersifat konkret.
343
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua edisi
revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 88.
344
M.Solehhudin, Op.Cit., hal. 129.
345
Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedure and Issues, (New York: West Publishing
Company, 1987), hal.347, sebagaiman dikutip M.Solehhudin, Ibid.
346
Ibid.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
141
Jika memperhatikan penjelasan Pasal 55 maka pedoman pemidanaan
diartikan sebagai pertimbangan dalam menentukan berat ringannya pidana yang
akan dijatuhkan. Tentang hal yang menjadi keadaan yang memberatkan dan
meringankan terdakwa, telah diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,347
sebagai hal yang
harus termuat dalam surat putusan pemidanaan. Namun ketentuan tersebut tidak
memperinci tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa,
melainkan hanya memerintahkan agar hal tersebut terdapat dalam putusan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat digambarkan bahwa pedoman
pemidanaan yang merupakan petunjuk untuk menjelaskan cara menghasilkan
pemidanaan dengan melihat kepada sasaran/maksud, tujuan pemidanaan. Tahap
bekerjanya jika pemidanaan merupakan suatu proses maka tahap awal
menentukan tujuan pemidanaan dengan menggunakan alat pedoman pemidanaan
dan menghasilkan pemidanaan. Setelah mengetahui hubungan dan cara kerja
antara tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan pemidanaan maka kita dapat
membuat kesimpulan tentang ketiga putusan tersebut dengan melihat dari
kelebihan dan kekurangannya, yang lebih mudahnya dibuat dalam tabel sebagai
berikut:
Tabel 4.3 Kelebihan dan Kekurangan Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln,
Putusan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Kasus Gladue
Putusan Kelebihan Kekurangan
Putusan
no.21/pid.B/2009/pn.srln
-Pemidanaannya sudah tepat, karena dengan kondisi ditahan, tidak mungkin untuk pemidanaan percobaan baik dengan syarat khusus ataupun tidak. - Putusan yang mendasarkan adanya permaafan dari korban, sudah tidak ada masalah lagi, membuat perkara korban yang seharusnya menjadi terdakwa, tidak diproses hukum, karena
-Menempatkan tujuan pemidanaan dalam pedoman pemidanaan (bagian hal yang meringankan terdakwa) dan menempatkan pedoman pemidanaan dalam tujuan pemidanaan. -Restorative justice sebagai tujuan pemidanaan tidak secara tegas dikatakan, namun mengakui bahwa antara terdakwa dengan korban
347
Indonesia, Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3209.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
142
dianggap kasus tersebut sudah selesai, dengan telah terjadinya keharmonisan antara kedua kelompok tersebut.
sudah rukun, tidak ada masalah.
Putusan
no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln
- Pemidanaan sudah tepat, karena dengan kondisi ditahan, tidak mungkin untuk pemidanaan percobaan baik dengan syarat khusus ataupun tidak. - Menempatkan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan pada tempatnya. - Putusan yang mendasarkan adanya permaafan dari korban, sudah tidak ada masalah lagi, membuat perkara korban yang seharusnya menjadi terdakwa, tidak diproses hukum, karena dianggap kasus tersebut sudah selesai, dengan telah terjadinya keharmonisan antara kedua kelompok tersebut.
Restorative justice sebagai tujuan pemidanaan tidak secara tegas dikatakan, namun mengakui bahwa antara terdakwa dengan korban sudah rukun, tidak ada masalah.
Kasus Gladue -menyebutkan dengan jelas dan tegas tentang tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. - bahkan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan dari putusan ini merubah/memperbaharui ketentuan yang sudah ada (hal tersebut dimungkinkan mengingat sistem common law, dimana putusan hakim merupakan sumber hukum, sesuai dengan asas judge made law).
Penerapan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan lebih melihat kepada keadaan pelaku (pelaku orang aborigin), tidak terlihat kepentingan korban.
Dalam putusan no.21/Pid.B/2009/Pn.Srlgn, Majelis Hakim telah salah
menerapkan apa yang dimaksud dengan tujuan pemidanaan dengan pedoman
pemidanaan, karena meletakkan tujuan pemidanaan di bagian hal-hal yang
meringankan, yang merupakan bentuk dari pedoman pemidanaan. Dengan
demikian walaupun tidak secara tegas dan jelas putusan no.21/pid.B/2009/Pn.Srln
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
143
dan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln telah menerapkan restorative justice sebagai tujuan
pemidanaan. Walaupun kedua putusan ini tidak menjadi landmark decision,
namun kiranya dapat memenuhi apa yang dimaksudkan oleh Muladi dari putusan
hakim yaitu:
”Selain mengadili dan memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang
berperkara dan memberikan penilain bagi pihak-pihak yang berperkara, ada
fungsi-fungsi lain yang harus tercermin dalam putusan hakim tersebut
meliputi: fungsi pendidikan hukum bagi masyarakat, fungsi pembaharuan
hukum melalui proses penemuan hukum dan penyelesaian konflik secara
luas.”348
Sesuai dengan juga yang dimaksudkan Dignan, maka kedua putusan ini telah
menyelesaikan konflik antara korban, pelaku dan masyarakat. Dengan demikian
tujuan restorative justice dari kedua putusan ini telah diterapkan dan keadilan juga
dirasakan oleh pelaku, korban dan masyarakat, keadilan dimana tidak ada pihak
yang diuntungkan dan dirugikan, keadilan sebagai fairness.
Dengan demikian kedua putusan ini tidak juga buruk jika dibandingkan
dengan kasus Gladue, walaupun merupakan landmark decision di Kanada, namun
Majelis Hakim tidak terlihat mempertimbangkan kepentingan korban, tetapi lebih
menitikberatkan kepada pelaku khususnya keadaan dari pelaku yang merupakan
orang aborigin. Padahal dalam kasus tersebut, akibat perbuatan Gladue telah
mengakibatkan matinya orang dan ini bukan hal yang mudah dimaafkan bagi
keluarga korban, sehingga seharusnya Majelis Hakim Kanada juga
mempertimbangkannya.
348
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1995),
hal. 16, sebagaiman dikutip Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan
Dalam Perkara Pidana, cetakan pertama (Bandung: Alumni, 2005), hal. 312.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Putusan Pengadilan dengan kata-kata irah-irah”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengisyaratkan tanggung jawab Hakim
dalam mewujudkan keadilan. Keadilan yang diharapkan dapat dirasakan oleh
pelaku, korban dan masyarakat dalam perkara pidana. Sistem peradilan pidana
belum menempatkan korban sebagai subyek yang perlu mendapatkan tempat
dalam proses peradilan untuk mendapatkan keadilan. Posisi korban masih terbatas
sebagai orang yang melaporkan atau mengadukan suatu tindak pidana dan sebagai
pembuktian dengan memberikan keterangannya di persidangan. Sistem peradilan
pidana yang demikian memberikan ketidakpuasan dan kekecewaan yang hampir
terjadi di seluruh Negara. Dan karenanya PBB mengusung konsep restorative
justice sebagai solusinya.
Dalam penelitian ini sampai kepada suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Indonesia belum mengatur konsep restorative justice (kecuali dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Pada tahun sebelum diberlakukannya Undang-Undang tersebut, penulis
mencatat setidaknya ada lima putusan yang menerapkan restorative justice
sebagai tujuan pemidanaan. Putusan tersebut antara lain: Putusan No.1600
K/Pid.B/2009, Putusan No. 2238 K/Pid.B/2009 dan Putusan No. 307
K/Pid.B/2010, sedangkan dua putusan yang menjadi analisa dalam penelitian
ini yaitu Putusan No.21/Pid.B/2009/Pn.Srln dan Putusan
No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln adalah putusan yang diputus di tingkat pertama.
Penelitian ini memang tidak mencari berapa banyak putusan pengadilan yang
menerapkan restorative justice namun menegaskan bahwa walaupun belum ada
pengaturannya, Hakim dapat menerapkannya dalam putusannya. Hal ini
didasarkan bahwa Hakim tidak bisa menolak perkara karena hukum yang tidak
ada atau tidak jelas. Hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai yang hidup, -
living law- di dalam masyarakat untuk menemukan hukum tersebut. Hal ini
dapat disimpulkan bahwa restorative justice telah diakui
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
145
Universitas Indonesia
keberadaannya/eksistensinya dalam putusan pengadilan sebagai tujuan
pemidanaan.
2. Adanya nilai-nilai hukum adat dalam Restorative justice.
Restorative justice yang bertujuan menyelesaikan konflik antara korban, pelaku
dan masyarakat, adalah sama dengan tujuan sanksi adat yaitu mengembalikan
keseimbangan, keharmonisan, kerukunan antara pihak yang berkonflik.
Dengan sistem penyelesaian dalam hukum adat yang tidak membedakan
pidana dengan perdata, sehingga korban dan masyarakat ikut berpartisipasi
untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dan hukum adat ini adalah jelas
merupakan hukum yang hidup dan tumbuh di masyarakat. Penyelesaian konflik
dengan mempertimbangkan kepentingan dari pelaku, korban dan masyarakat
maka keadilan pun dirasakan oleh pelaku, korban dan masyarakat, keadilan
yang dimana tidak ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan, keadilan sebagai
fairness.
3. Restorative justice sebagai tujuan pemidanaan telah diterapkan dalam putusan
pengadilan.
Putusan No.21/Pid.B/2009/pn.Srln dan No.22/Pid.B/2009/Pn.Srln telah
menerapkan restorative justice sebagai tujuan pemidanaan, walaupun tidak
disebutkan secara tegas dan jelas. Dalam kedua putusan tersebut yang
merupakan suatu kejadian yang sama (bentrokan dua kelompok suku anak
dalam) namun karena berdasarkan fakta hukum pembuktian, maka berkas
dipisahkan, telah berhasil menyelesaikan konflik antara pelaku, korban dan
masyarakat. Majelis Hakim telah melihat dan mempertimbangkan permaafaan
yang terjadi antara kelompok Celitai/terdakwa dengan kelompok Majid/korban.
Majelis Hakim melihat bahwa sudah tidak ada permasalahan diantara mereka,
karena tidak adanya tuntutan dari kedua kelompok (kedua kelompok sama-
sama menjadi korban). Penyelesaian adat yang telah terjadi diantara kedua
kelompok, membantu Majelis untuk menyelesaikan konflik tersebut dan
berkeyakinan bahwa sudah tidak ada masalah lagi antara kedua kelompok
tersebut.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
146
Universitas Indonesia
5.2. Saran
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis memberikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Pengaturan Restorative Justice dalam peraturan perundang-undangan.
Restorative Justice sebagai tujuan pemidanaan memang tidak disebutkan
secara tegas dalam Pasal 54 RKUHP tahun 2012. Namun di huruf c-nya
dimana mengatakan bahwa tujuan pemidanaan menyelesaikan konflik
yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat adalah identik dengan yang
dimaksudkan dengan restorative justice. Pengaturan restorative justice
sebagai tujuan pemidanaan dalam KUHP menjadi hal yang penting, karena
dengan legalitas yang ada diharapkan Hakim menerapkan restorative
justice dalam putusan pengadilan. Jika telah ada pengaturannya, maka
tidak ada keraguan lagi bagi Hakim untuk menerapkan restorative justice
dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan.
2. Hakim menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Walaupun belum ada pengaturan restorative justice dalam peraturan
perundang-undangan khususnya dalam KUHP, Hakim dianjurkan untuk
meningkatkan pengetahuannya. Dalam menerapkan Restorative justice
dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan, Hakim harus lebih
banyak mempelajari lagi tentang Tujuan pemidanaan, pedoman
pemidanaan dan pemidanaan, walaupun hal ini belum juga diatur namun
Hakim dapat menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dapat
memahami dan meresapinya, sehingga dapat menerapkannya. Hal ini juga
telah dijelaskan dalam kesimpulan, bahwa nilai-nilai hukum adat selaras
dengan restorative justice, khususnya tentang tujuan dari sanksi adat.
3. Mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung
Restorative justice sebagai tujuan pemidanaan dapat menyelesaikan
konflik antara korban, pelaku dan masyarakat, sehingga keadilan dirasakan
oleh para pihak tersebut. Oleh karena itu jika restorative justice diterapkan
dalam putusan pengadilan sebagai tujuan pemidanaan, maka para pihak
yang bersengketa telah merasakan keadilan dan tidak melakukan upaya
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
147
Universitas Indonesia
hukum. Dengan demikian perkara cukup selesai di tingkat pengadilan
negeri, tanpa harus membebani Mahkamah Agung dengan menambah
penumpukan perkara karena adanya upaya hukum. Hal ini juga sesuai
dengan cetak biru Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang
pembaharuan Mahkamah Agung tahun 2010-2035, yaitu pembatasan
perkara untuk kasasi. Restorative justice dapat menjadi pembatasan
perkara untuk kasasi, karena tidak adanya upaya hukum yang dilakukan
oleh para pihak mengingat telah mendapatkan manfaat keadilan dari
putusan pengadilan.
4. Mengembalikan kepercayaan dan kewibawaan pengadilan
Pengadilan sebagai tempat untuk menyelesaikan konflik antara para pihak
yang bersengketa, dalam perkara pidana antara pelaku, korban dan
masyarakat. Dengan menerapkan restorative justice, maka para pihak yang
bersengketa yaitu korban, pelaku dan masyarakat dipertimbangkan
keberadaannya sehingga juga mendapatkan keadilan dari penyelesaian
konflik tersebut. Hal ini dapat membuat masyarakat percaya bahwa
Pengadilan dapat menyelesaikan konflik yang terjadi dengan memberikan
keadilan dan putusan sebagai wadahnya.
5. Persamaan konsep restorative justice sebagai tujuan pemidanaan antara
penegak hukum.
Walaupun dalam penelitian ini memang dibatasi tentang restorative justice
dalam putusan pengadilan, dimana Hakim sebagai penentunya, namun
demikian adalah menjadi lebih mudah dan tercapainya restorative justice
sebagai tujuan pemidanaan jika antara penegak hukum juga mempunyai
ideologi yang sama. Ideologi tentang tujuan pemidanaan yang
menyelesaikan konflik antara pelaku, korban dan masyarakat, sehingga
keadilan dirasakan manfaatnya oleh pelaku, korban dan masyarakat. Ini
yang dimaksudkan restorative justice sebagai ideologi, hal yang dicita-
citakan dalam menjatuhkan pemidanaan, sebagai tujuan pemidanaan.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
148
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
Buku
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, cetakan kedua
edisi revisi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
_______________, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan,
cetakan ketiga, Semarang: Pustaka Magister Semarang, 2010.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, cetakan ketiga, Jakarta: Sinar Grafika,
2011.
Anwar, Yesmil, dan Adang, Kriminologi, cetakan kesatu, Bandung, Refika Aditama,
2010.
Bazemore, G and Mark Umbreit, Balanced and Restorative Justice: Program
Summary: Balanced and Restorative Justice Project, Washington: US
Departement of Justice, Office of Juvenile and Delinquency Prevention,
1994.
Braithwaite, John, Restorative Justice & Responsive Regulation, New York:
Oxpord University Press, 2002.
Bruggink, J.J.H, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arif Sidharta, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1996.
Cunneen, Chris and Carolyn Hoyle, Debating Restorative Justice, United
Kingdom: Hart Publishing, 2010.
Dewi, DS dan Fatahillah A Syukur, Mediasi Penal:Penerapan Restorative Justice
di Pengadilan Anak di Indonesia, cetakan pertama, Depok: Indie
Publishing, 2011.
Durkheim, Emile, Causal and Functional Analysis, (Sociological Theory), New
York: Mac Milan Press, 1976.
Erlich, Eugen, Fundamental Principles Of The Sociology Of Law, terjemahan
Walter L.Moll, Harvard University Press, 1936, vol. 5, 2000.
Farid, H.A.Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Haar, Ter, Azas-Azas Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Pidana Adat, Jakarta: Rajawali, 1961.Pengantar
Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
149
Universitas Indonesia
_________, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003.
Hadjon, Phliipus M dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 2005.
Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia Dari Retribusi ke
Reformasi, cetakan pertama, Jakarta: Pradnya Paramita, 1986.
Hiariej, Eddy O.S., Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana,
Jakarta: Erlangga, 2009.
Jaya, Nyoman Serikat Putra, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan
Hukum Pidana Nasional, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
Lamintang, P AF dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2010.
Mahkamah Agung, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun
2011, Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2011.
Mansyur, Ridwan, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah
Tangga), cetakan pertama, Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia, 2010.
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia:Pengembangan konsep Diversi
dan Restorative Justice, cetakan pertama, Bandung: Refika Aditama, 2009.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, cetakan keenam, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2010.
Muhammad, Rusli, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006.
Muhammad, Bushar, Pengantar Hukum Adat, Jakarta: Balai Pustaka, 1961.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, cetakan ketiga, Bandung, Alumni, 1984.
_______, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Universitas
Diponegoro, 1995.
_______ dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, cetakan
kedua Bandung: Alumni, 1998.
Mulyadi, Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus,
Bandung: Alumni, 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
150
Universitas Indonesia
Moerad, Pontang, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam
Perkara Pidana, cetakan pertama Bandung: Alumni, 2005.
Morris, Norval, The Future Imprisonment, Michigan law Review Chicago:
University of Chicago Press, 1974.
Ohoitimur, Yong, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1997.
Pandjaitan, Petrus Irwan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana,
cetakan pertama Jakarta: Indhill CO, 2007.
Pangaribuan, Luhut M P, Lay Judges&Hakim Ad Hoc: Suatu Studi Teoritis
Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia bekerjasama dengan Papas Sinar Sinanti, 2009.
Priyatno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, cetakan
pertama, Bandung: Refika Aditama, 2006.
Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum Pidana
Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan
Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan
Badan Litbang Kumdil MARI, 2010.
Rawls, John, A Theory of Justice, terjemahan Teori Keadilan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,
kumpulan karangan buku ketiga Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007.
__________, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana ,
kumpulan karangan buku kelima, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 2007.
__________, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, kumpulan karangan
buku kedua Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Lembaga Kriminologi
Universitas Indonesia, 2007.
Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif,
cetakan kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, cetakan kedua, Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2012.
Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, cetakan kesebelas, Jakarta,
Rajagrafindo Persada, 2011.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
151
Universitas Indonesia
Shelton, Dinah, Remedies In International Human Rights Law, New York, Oxford
University Press, 1999.
Simpson, Sally S, Corporate Crime, Law and Social Control, UK, Cambridge,
Cambridge University Press, 2002.
Siregar, Bismar, Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan: Kumpulan Catatan Hukum
Dan Pengadilan Di Indonesia, Jakarta: Gema Insani, 1995.
Sirtha, I Nyoman, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Denpasar: Udayana
University Press, 2008.
Siswosoebroto, Koesriani, Pendekatan Baru Dalam Kriminologi, Jakarta, Universitas
Trisakti, 2009
Soekanto dan Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Hukum Adat, Bandung: Alumni,
1978.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia-
Press, 2010.
_____________, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, Jakarta:
Academika, 1979.
_____________ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, suatu tinjauan
singkat, Jakarta: Raja Grafindo, 1995.
Soepomo, Kedudukan Hukum Adat Dikemudian Hari, Bandung: Alumni, 1978.
____________, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, cetakan ke-14, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1996.
Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea, 1994.
Solehhuddin, M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track
System&Implementasinya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Soeripto, Hukum Adat dan Pancasila Dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman, Bandung: Alumni, 1978.
Suharsono dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan
kesebelas, Semarang: Widya Karya, 2011.
Strang, Heather Strang dan John Braitwaite,, Restorative Justice Philosophy to
Practice, ed. Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
152
Universitas Indonesia
Syukur, Fatahillah A, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia, cetakan pertama, Bandung:
Mandar Maju, 2011.
Vollenhoven, C Van, Penemuan Hukum Adat, cetakan kedua, Jakarta: Djambatan,
1987.
Wahid, Eriyantouw, Keadilan Restoratif Dan Peradilan Konvensional Dalam
Hukum Pidana, Jakarta: Universitas Trisaksi, 2009.
Wahyudi, Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, cetakan pertama, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2011.
Walgrave, Lode, Repositioning Restorative Justice, ed, USA: Wilan Publishing,
2003.
Waluyo, Bambang, Pidanda dan Pemidanaan, cetakan ketiga, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008.
Widyana, I Made, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresco, 1993.
Wignjodipuro, Surojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Bandung: Alumni,
1975.
Zehr, Howard, Restorative Justice, Good Books, Intercourse, PA, 2002.
Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung,
Bandung, 2011.
_________________, Keadilan Restoratif, Jakarta: FHUI, 2009.
Artikel
Bondan, Gandjar L, Karakteristik Korban Dari Setiap Tindak Pidana Yang
Menjadi Fokus AKtivitas Perlindungan Saksi Dan Korban (Korupsi,
Terorisme, Narkotika, Pelanggaran HAM Dan Tindak Pidana Lain Yang
Ditentukan LPSK) Dan Kewenangan LPSK dalam Rangka Pemberian
Reparasi dan Kompensasi, dalam buku Reparasi dan Kompensassi Korban
dalam Restorative Justice, Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan
Saksi Dan Korban dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011.
Braithwaite, Jhon dan Philip Pettit, Republicanism and Restorative Justice: An
Explanatory and Normative Connection, sebagaimana dirangkum dalam
buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather Strang dan
John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
153
Universitas Indonesia
Daly, Kathleen, Revisiting The Relationship Between Retributive and Restorative
Justice, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy
to Practice, ed: Heather Strang dan John Braitwaite, Inggris: Dartmouth
Publishing Company, 2000.
John O Haley, Beyond Retribution An Integrated Approach To Restorative
Justice, Washington: Washitong Jounal Of Law And Policy, 2011..
Manan, Bagir, Restorative Justice (suatu perkenalan), Jakarta, Majalah Hukum
Varia Peradilan, Tahun ke XXI No. 247 Juni 2006.
Marshall, Tony, Restorative Justice on Trial in Britain.”in Restorative Justice on
Trial: Pitfalls and Potentials of victim-offender Mediation-International
Research Perspectives, edited by H.Messmer and H.U.Otto.Dordrecht,
Boston: Kluwer Academic Publishers, 1992.
Mason, The Hon.Sir Anthony Kbe, Restorative Jsuctice: Courts and Civil Society,
sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to
Practice, editor: Heather Strang dan John Braitwaite, Inggris: Dartmouth,
2000.
Miller, Seumas dan John Blackler, Restorative Justice: Retribution, Confession
and Shame, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice
Philosophy to Practice, ed: Heather Strang dan John Braitwaite, Inggris:
Dartmouth Publishing Company, 2000.
Morris, Allison dan Warren Young, Reforming Criminal Justice: The Potential of
Restorative Justice, sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice
Philosophy to Practice, ed: Heather Strang dan John Braitwaite, Inggris:
Dartmouth Publishing Company, 2000.
Mulyadi, Lilik, Eksistensi Hukum Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas,
Teori, Praktik dan Prosedurnya, makalah yang dilampirkan dalam
Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Kumdil MARI, Hukum
Pidana Adat Di Indonesia:Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik Dan
Prosedurnya, Laporan Penelitian Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan
Badan Litbang Kumdil MARI, 2010.
Notopuro, Hardjito, Tentang Hukum Adat Pengertian Dan Pembatasan Dalam
Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional No.4 Tahun 1969.
Sihite, Romany, Kedudukan dan Hak-Hak Korban Dalam Tata Peradilan Pidana,
dalam buku Reparasi dan Kompensassi Korban dalam Restorative Justice,
Jakarta: Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban dengan
Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
154
Universitas Indonesia
Utomo, Setyo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis
Restorative Justice, Jakarta: Majalah Hukum Nasional Nomor 01 Tahun
2011, BPHN.
Zehr, Howard, Retributive Justice, Restorative Justice, New Perspectives on
Crime and Justice: Occasional papers of the MCC Canada Victim Offender
Ministeries Program The MCC, U.S, Office of Criminal Justice vo.4
Ontario: Canada Victim Offender Ministries Program, 1985.
Zulfa, Eva Achjani, Restorative Justice Dan Peradilan Pro-Korban, dalam buku
Reparasi dan Kompensasi Korban Dalam Restorative Jusctice, Jakarta:
Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan
Departemen Kriminologi FISIP UI, 2011.
Skripsi/Tesis/Disertasi
Ali, M.Hatta, Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Dihubungkan Dengan
Keadilan Restoratif Dalam Lingkungan Peradilan Umum Di Indonesia, Bandung,
Desertasi Doktor Universitas Padjajaran, 2011.
Effendy, Marwan, Keadilan Restorative (restorative justice) Dalam Konteks
Ultimum Remidium Terhadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
disampaikan pada acara pengukuhan Guru Besar Universitas Sam
Ratulangi, Manado 4 Oktober 2012.
Qurniawan, Ari, Konsep Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, (Tesis Universitas Andalas, Padang, 2010). Zulfa, Eva Achjani, Keadilan Restoratif Di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Penerapan
Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), Jakarta,
Desertasi Doktor Universitas Indonesia, 2009.
Makalah
Atmasasmita, Romli, Cita Keadilan Restoratif Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran
Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan
Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012.
Alkotsar, Artidjor, Urgensi Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Medik
Di Peradilan Pidana, Makalah disampaikan dalam diskusi di Mahkamah
Agung, Jakarta, tanggal 22 Juli 2010.
Hamzah, Andi, Restorative Justice Dan Hukum Pidana Di Indonesia, makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan
Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah
IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
155
Universitas Indonesia
Jaya, Surya, Keadilan Restoratif Tuntutan Dan Kebutuhan Dalam Sistem
Peradilan Pidana Di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar
Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim
Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta,
25 April 2012.
Kartayasa, Mansyur, Restorative Justice Dan Prospeknya Dalam Kebijakan
Legislasi, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim
Dalam Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang
Agung, dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012.
Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana, makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam Meningkatkan
Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung, dalam rangka ultah
IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012.
Petter J.P Tak, Sentencing in The Netherlands, makalah seminar Perbandingan
hukum, Surabaya; UBHARA, Oktober 1997.
Sapardjaja, Komariah Emong, Keadilan Restoratif Dalam Putusan Mahkamah
Agung, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional”Peran Hakim Dalam
Meningkatkan Profesionalisme Hakim Menuju Peradilan Yang Agung,
dalam rangka ultah IKAHI ke-59, Jakarta, 25 April 2012.
Soponyono, Eko, Keberpihakan Hukum Pidana Yang Beorientasi Pada Korban,
makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Dscussion (FGD),
Pengkajian Hukum tentang Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan
Prinsip Restorative Justice, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kemenkumham RI, Jakarta 29 Mei 2012.
Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009, Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5076.
Indonesia, Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5332.
Indonesia, Undang-undang Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981, Lembaran Negara RI Tahun 1981 No.76, Tambahan
Lembaran Negara No.3209.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana
Tahun 2009.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
156
Universitas Indonesia
Pemerintah Kabupaten Banggai, Peraturan tentang Pemberdayaan, Pelestarian,
Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat Banggai, Peraturan Daerah
Kabupaten Banggai Nomor 1 Tahun 2008, http://www.palu.bpk.go.id/wp-
content/uploads/2010/03/Perda-Banggai-No.1-Tahun-2008-tentang-
Pemberdayaan-PELESTARIAN-LEMBAGA-ADAT-BANGGAI.pdf
diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.
Pemerintah Kabupaten Muara Enim, Peraturan tentang Lembaga Adat Marga,
Peraturan Daerah Nomor Tahun 2007,
http://palembang.bpk.go.id/web/files/2010/08/Perda-No.2-Thn-2007-ttg-
Lembaga-Adat.pdf yang diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.
Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, Peraturan tentang Pemberdayaan,
Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat, Peraturan
Daerah Kabupaten Luwu Utara No.12 Tahun 2004, http://www.wg-
tenure.org/file/Peraturan_Perundangan/Perda_Kab.LuwuUtara_12_2004.pdf
yang diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012.
United Nation, Basic principles on the use of restorative justice programmes in
criminal matters, ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at
35 (2000),
www.unicef.org/iac/spbarbados/legal/global/cp/basic%2520restorative%252
0justice%2520criminal% diakses pada tanggal 15 September 2012
United Nations Office on Drugs and Crime, Handbook on Restorative Justice
Programmes, New York: United Nation, 2006,
http://www.unodc.org/pdf/criminal_justice/06-56290_Ebook.pdf diakses
pada tanggal 21 november 2012.
United Nations, Declaration of Basic Principles of Justice For Victims of Crime
and Abuse of Power, A/Res/40/34/, New York: United Nation, 1985.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia no. 1600 K/Pid.B/2009
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia no. 2238 K/Pid.B/2009
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia no. 237 K/Pid.Sus/2010
Putusan Pengadilan Negeri Sarolangun no. 21/Pid.B/2009/Pn.Srln
Putusan Pengadilan Negeri Sarolangun no.22/Pid.B/2009/Pn.Srln
Clotworthy Case, New Zealand: 1998
Gladue Case, Kanada: 1999
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
157
Universitas Indonesia
Wawancara
Wawancara Prof Mardjono Reksodiputro secara langsung di kampus Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba-Jakarta, pada tanggal 13
November 2012.
Wawancara Prof Adrianus Meliala, secara langsung di gedung Nusantara I
kampus FISIP UI, Depok pada tanggal 2 November 2012.
Wawancara Hakim Syahrul Mahmud melalui telepon pada tanggal 12 November
2012.
Wawancara Hakim Lilik Mulyadi secara langsung di Pengadilan Ngeri Jakarta
Utara pada tanggal 31 Oktober 2012.
Wawancara Prof Rehngena Purba melalui telepon pada tanggal 14 Desember
2012.
Wawancara Hakim Enan Sugiharto melalui telepon pada tanggal 22 Desember
2012.
Wawancara Jaksa Aji Sumbara melalui telepon pada tanggal 22 Desember 2012.
Wawancara Penasihat hukum Abdul hair melalui telepon pada tanggal 12 Oktober
2012.
Wawancara dengan Nelly Akbar dari LSM Warsi pada tanggal 13 Oktober 2012.
Wawancara Jaksa Syafri Hadi secara langsung pada tanggal 14 November 2012.
Internet
Azhari, Daud, Masyarakat Hukum Adat Suku Sasak di Pulau Lombok,
www.scribid.com/daud-azhari-9865 diakses pada tanggal 20 Desember
2012.
Bowen, Hellen Bowen dan Terri Thompson, Restorative Justice and The New
Zealand Court of Appeal‟s Decision in The Clothworthy Case, Journal of
South Pacific Law: article 4 of volume 3, 1999,
www.restorativejustice.org/articlesdb/articles/2354 dan
www.vanuatu.usp.ac.fj/journal_splaw/articles/bowel/html yang diakses pada
tanggal 7 Desember 2012.
Department of Justice Canada, Restorative Justice In Canada A Consultation
Paper, Mei 2000, http://www.justice.gc.ca/eng/pi/pcvi-cpcv.html diakses
pada tanggal 7 Desember 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013
158
Universitas Indonesia
Faizal, Elly Burhaini, Liputan Peradilan Adat Di Sanggau Kalimantan Barat,
http://huma.or.id/wp-content/uploads/2006/08/Suara-Pembaruan-15_17-
Des-03-Catatan-Dari-Peradilan-Adat-Sanggau.pdf diakses pada tanggal 19
Desember 2012.
Kewa, Kornelis, Hukum Adat Mendominasi Hukum Positif di Papua, 30 April
2004, http://www.huma.or.id diakese pada tanggal 20 Desember 2012.
Kusumaningrum, Santi, Penggunaan Diversi Untuk Anak yang Berhadapan Dengan
Hukum (dikembangkan dari laporan yang disusun Chris Graveson) http://ajrc-
aceh.org/wp-content/upload/2009/05/diversion-guidelines_adopted-from-chris-
report.pdf pada tanggal 21 november 2012.
Lapond, M.E Turpel, Justice as Healing A Newsletter on Aboriginal Concepts of
Justice, Sentencing Within a Restorative Justice Paradigm: Procedural
Implications of R. v. Gladue, Makalah berikut diberikan pada Konferensi
CIAJ: "Changing Punishment at the turn of The Century”, di Saskatoon,
Saskatchewan pada tanggal 26-29 September 1999. Makalah ini akan
diterbitkan pada awal tahun 2000 yang akan datang dan di Triwulanan,
1999 jurnal Criminal Law, ditelusur elalui internet
www.usask.ca/nativelaw/publication/jah/1999/sent_Para_Gladue.pdf yang
diakes pada tanggal 7 Desember 2012.
Sebayang, Mahmud, Hukum Adat Rimba dan Hukum Positif, Prakarsa Rakyat,
Jakarta, Sinar Harapan Rakyat, 28 April 2009 http://www.prakarsa-
rakyat.org/artikel/opini/artikel_kirim.php?aid=33984 yang diakses pada
tanggal 24 September 2012
Tempo, Undang-Undang Peradilan Anak Disahkan,
http://www.tempo.co/read/news/2012/07/03/173414478/Undang-Undang-
Peradilan-Anak- Disahkan. diakses pada tanggal 15 September 2012.
UNDP, Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan Adat yang Adil dan
Akuntabel, penelitian Proyek Keadilan Aceh UNDP dengan Masyarakat
Adat Aceh (MAA) dan Pemerintah NAD, http://ind.adatjustice.org/wp-
content/uploads/publikasi/Buku%20Pedoman%20Peradilan.pdf diakses
pada tanggal 20 Desember 2012
Zulfa, Eva Achjani, Restorative Justice Di Indonesia (Peluang dan Tantangan
Penerapannya), http://evacentre.blogspot.com/p/restorative-justice-di-
indonesia.html diakes pada tanggal 15 September 2012.
Penerapan restorative..., Nofita Dwi Wahyuni, FH UI, 2013