universitas indonesia cinta dan persahabatan

83
i UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN: SINTESIS ANTARA ETIKA KEBAHAGIAAN DAN ETIKA KEWAJIBAN MENURUT ROBERT SPAEMANN SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana humaniora pada Program Studi Ilmu Filsafat AGUNG NUGRAHA 0606091312 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI FILSAFAT DEPOK JULI 2012 Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Upload: doanlien

Post on 17-Jan-2017

225 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

i

UNIVERSITAS INDONESIA

CINTA DAN PERSAHABATAN: SINTESIS ANTARA ETIKA KEBAHAGIAAN DAN ETIKA KEWAJIBAN MENURUT

ROBERT SPAEMANN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana humaniora pada Program Studi Ilmu Filsafat

AGUNG NUGRAHA0606091312

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI FILSAFAT

DEPOKJULI 2012

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

ii

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa

skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang

berlaku di Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan

bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh

Universitas Indonesia kepada saya.

Jakarta, 17 Juli 2012

Agung Nugraha

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Agung Nugraha

NPM : 0606091312

Tanda Tangan : ……………………………

Tanggal : 17 Juli 2012

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi yang diajukan oleh :Nama : Agung NugrahaNPM : 0606091312Program Studi : Ilmu FilsafatJudul : Cinta dan Persahabatan: Sintesis antara Etika

Kebahagiaan dan Etika Kewajiban Menurut Robert Spaemann

Ini telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Ganang Dwi Kartika, M.Hum. (…………………………)

Penguji : M. Fuad Abdillah, M.Hum. (…...…………………….)

Penguji : Dr. Naupal Asnawi (…...…………………….)

Ditetapkan di : DepokTanggal : 17 Juli 2012

oleh

Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan BudayaUniversitas Indonesia

Dr. Bambang Wibawarta, S.S., M.A.NIP. 131882265

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

v

KATA PENGANTAR

Kehidupan tidak lain merupakan sebuah dinamika perasaan. Ada saatnya

kita merasa senang dan gembira, ada saatnya kita merasa sedih dan kecewa. Itulah

yang dialami penulis dalam kehidupan dunia pada umumnya dan kehidupan dunia

kampus pada khususnya. Fenomena yang ada terkadang membuat penulis ambigu

untuk melakukan apa yang seharusntya dilakukan. Namun karena keyakinan

penulis kepada ‘Yang Absolut’ dapat memecahkan sebuah keraguan yang dijawab

oleh proses dialog itu sendiri. Sembah sujud penulis kepada zat yang tidak pernah

luput dalam pengatura-Nya, Allah SWT. Berkat-Nya skripsi dan kuliah penulis

dapat terselesaikan. Sebagai makhluk yang saling membutuhkan, penulis

menghaturkan banyak terima kasih dan karena mereka, penulis dapat

merealisasikan segala hasil yang kini dapat diraih oleh penulis. Mereka adalah:

Kedua orang tua tercinta, penulis amat sangat berterimakasih dalam

memberikan bantuan serta dukungan material maupun moral. Tanpa bantuan dari

kedua orang tua, akan sangat mustahil bagi penulis menyelesaikan skripsi dan

kuliah yang telah dijalankan selama ini.

Ganang Dwi Kartika, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang telah

mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam

menyelesaikan kuliah dan penyusunan skripsi ini. Bapak selalu mengingatkan

penulis akan koreksi, diskusi, maupun kritik yang amat membangun dalam

penulisan skripsi ini. Bapak sudah seperti keluarga sendiri yang tidak pernah

bosan membantu penulis.

Dr. Donny Gahral Adian, selaku selaku pembimbing akademis. Yang telah

meluangkan waktu kepada penulis dan selalu bersedia dilibatkan ketika penulis

meminta persetujuan surat menyurat, diskusi, serta masukan.

M. Fuad Abdillah, M.Hum., selaku dosen penguji. Yang telah memberikan

masukan yang sangat berharga bagi penulis, serta memberi pandangan-pandangan

baru dalam penulisan skripsi ini.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

vi

Dr. Naupal Asnawi, selaku dosen penguji. Yang telah memberi masukan

yang amat berarti. Melalui diskusi-diskusi dengan beliau, penulis mendapatkan

inspirasi baru untuk mengkoreksi skripsi ini hingga selesai.

Para Pengajar yang memberikan kontribusi, baik secara langsung maupun

tidak langsung atas penyusunan skripsi ini. Pak Achyar yang memberikan tempat

bernaung pada masa-masa karantina, Pak Tommy yang telah memberikan

masukan atas keberlangsungan skripsi ini, Mbak Yayas yang selalu direpotkan

oleh penulis, Bu Embun, Bu Herminie, dan mereka yang luput dari penulisan

nama pada skripsi ini.

Sahabat seperjuangan pada masa kuliah; Indra sudaryanto, Andrew

Alfajrin, Bimo, Jeffery, Okta, Dam, Nia, dan sahabat filsafat 06’, yang jika

dituliskan masing-masing nama dari mereka, skripsi ini akan penuh dengan daftar

nama.

Sahabat sekaligus kekasih terbaik yang pernah dimiliki oleh penulis,

Anggie Putri Utamie, S.H. Penulis amat sangat berterima kasih karena berkat

dukungan maupun pengertian yang telah diberikan selama ini, skripsi ini maupun

studi kuliah akhirnya selesai meskipun tidak tepat pada waktunya. Kemudian

teman sepermainan penulis, baik yang aktual maupun yang tidak aktual; Sheila,

Nanda, Fahmi, Afit, Ida, Yanto, Eko, Ozy, Ratim vs Dhika, Randy, Tiddy, Emak,

Rendi, Andri, Indra Zao, Luthfi, dan lain-lain.

Kepada pihak-pihak yang tidak disebutkan yang telah membantu untuk

menyelesaikan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak. Semoga

skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 17 Juli 2010

Agung Nugraha

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini :

Nama : Agung Nugraha

NPM : 0606091312

Program Studi : Ilmu Filsafat

Departemen : Filsafat

Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Cinta dan Peersahabatan: Sintesis antara Etika Kebahagiaan dan Etika Kewajiban

Menurut Robert Spaemann

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama

saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Depok, 17 Juli 2012

Agung Nugraha

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

viii

ABSTRAK

Nama : Agung Nugraha

Program Studi : Ilmu Filsafat

Judul : Cinta dan Persahabatan: Sintesis antara Etika Kebahagiaan dan Etika

Kewajiban Menurut Robert Spaemann

Dalam pemikiran etika modern, eudaimonia dipandang tidak lagi relevan sebagai dasar dari moralitas atau bertindak etis. Hal ini terutama akibat kritik Kant terhadap etika eudaimonia, bahwa motivasi akan kebahagiaan hanya akan merusak inti dari moralitas. Bagi Kant, moralitas adalah persoalan kewajiban. Robert Spaemann bermaksud merehabilitasi etika eudaimonia dengan berusaha mencari titik temu antara kebahagiaan dan kewajiban. Pemisahan antara kebahagiaan dengan kewajiban adalah kesalahan dalam memahami dasar dari moralitas. Kesalahan Kant adalah memandang moralitas haruslah bebas dari segala kepentingan dan memandang motivasi akan kebahagiaan bersifat egoistik. Kesalahan tersebut adalah konsekuensi dari ontologi modern yang tidak dapat menampung konsep tentang transendensi diri. Spaemann lantas beralih kepada konsep cinta, yang menurutnya mengubahkepentingan diri, sebagai hasil dari transendensi diri makhluk rasional. Dalam cinta, tidak ada lagi pertentangan antara motivasi akan kebahagiaan dan melakukan yang wajib. Hal ini karena dalam cinta, yang menjadi motivasi dari tindakan adalah realitas orang lain, dan dalam cinta pula seseorang memperoleh kebahagiaan atas realitas orang lain.

Kata Kunci:eudaimonia, antinomi kebahagiaan, kalon, kagathon, hedonisme, etika Stoa, etika Kristiani, etika Kewajiban, utilitarisme, cinta, kebaikan hati, persahabatan, ordo amoris, tanggung jawab, maaf

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

ix

ABSTRACT

Name : Agung Nugraha

Study Program : Philosophy

Title : Love and Friendship: Synthesis between Eudaimonic Ethics and

Deontological Ethics According to Robert Spaemann

In modern ethics, eudaimonia is considered as irrelevance to become a ground for morality or ethical actions. It is primarily an implication of Kant’s critique to ethics of eudaimonia, that motif of happiness may corrupt the core of morality. According to Kant, morality is all about obligation. Robert Spaemann attempts to rehabilitate ethics of eudaimonia by seeking for a link between happiness and obligation. The separation between happiness and obligation is a mistake in attempt to understand the ground of morality. Kant makes a mistake by considering morality as free from any interest and also considering that motif of happiness is egoistic. That mistake is a consequence of modern ontology that unable to accommodate the concept of self-transcendency. Thus Spaemann turns to concept of love, which he thinks can change self-interest as the result from rational being’s self-transcendency. In love, there is no opposition between motif of happiness and doing obligation. It is because, in love the motif of an action is other’s reality; it is also in love that someone acquires happiness from other’s reality.

Keywords:eudaimonia, antinomy of happiness, kalon, kagathon, hedonism, Stoic ethics, Christian ethics, Deontological ethics, utilitarism, love, benevolence, friendship, ordo amoris, responsibility, forgiveness

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………. iSURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ……………………………… iiHALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS …………………………………. iiiHALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………… ivKATA PENGANTAR …………………………………………………………….. vHALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ………………………………………….. viiABSTRAK………………………………………………………………………….viiiABSTRACT ……………………………………………………………………….. ixDAFTAR ISI ………………………………………………………………………. x

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………………… 011.1. Latar Belakang ……………………………………………………………. 011.2. Rumusan Masalah…………………………………………………………. 021.3. Pernyataan Tesis ………………………………………………………….. 021.4. Tujuan Penulisan …………………………………………………………. 031.5. Metode Penelitian ………………………………………………………… 031.6. Sistematika Penulisan …………………………………………………….. 04

BAB II. RIWAYAT HIDUP ROBERT SPAEMANN ……………………………. 062.0. Pengantar …………………………………………………………………. 062.1. Kehidupan Robert Spaemann …………………………………………….. 062.2. Latar Belakang Pendidikan dan Pemikiran yang Memengaruhi Robert

Spaemann …………………………………………………………………. 082.3. Karya-karya Robert Spaemann …………………………………………… 092.4. Penutup ……………………………………….………………………....... 13

BAB III. KRITIK ROBERT SPAEMANN TERHADAP ETIKA EUDAIMONIA DAN ETIKA MODERN …………………………………………………………... 15

3.0. Pengantar …………………………………………………………………. 153.1. Kritik Robert Spaemann terhadap Etika Eudaimonia ……………………. 16

3.1.1. Eudaimonisme ……………………………………………………… 163.1.2. Etika Kebahagiaan Menurut Plato ………………………………….. 173.1.3. Etika Kebahagiaan Menurut Epikuros ……………………………… 193.1.4. Etika Kebahagiaan Menurut Stoa …………………………………... 223.1.5. Etika Kebahagiaan menurut Aristoteles ……………………………. 24

3.2. Kritik Robert Spaemann terhadap Etika Modern …………………………. 263.2.1. Etika Kristiani ………………………………………………………. 263.2.2. Etika Kant…………………………………………………………… 283.2.3. Utilitarisme …………………………………………………………. 293.2.4. Etika Diskursus ……………………………………………………... 33

3.3. Penutup …………………………………………………………………… 36

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

xi

BAB IV. CINTA DAN PERSAHABATAN DALAM PERSPEKTIF ROBERT SPAEMANN ………………………………………………………………………. 40

4.1. Pengantar ………………………………………………………………….. 404.2. Kebaikan Hati, Persahabatan, dan Melihat Kenyataan …………………… 404.3. Ordo Amoris………………………………………………………………. 454.4. Tanggung Jawab…………………………………………………………... 494.5. Maaf ………………………………………………………………………. 564.6. Bagan ……………………………………………………………………... 614.6. Penutup …………………………………………………………………… 62

BAB VI. PENUTUP ……………………………………………………………….. 645.1. Tanggapan Kritis ………………………………………………………….. 645.2. Kesimpulan ……………………………………………………………….. 66

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 71

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

1Universitas Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setidaknya ada dua pendekatan dasar dalam etika. Pendekatan yang

pertama adalah etika eudaimonia. Etika eudaimonia berangkat dari tesis bahwa

tujuan manusia adalah mencapai kebahagiaan/eudaimonia. Karena itu etika adalah

ajaran tentang bagaimana mencapai kebahagiaan tersebut. Sedangkan pendekatan

yang kedua, dengan Kant sebagai pelopornya, memandang bahwa eudaimonia

tidak lagi relevan bagi moralitas, bahkan dapat merusak dimensi moralitas itu

sendiri. Bagi Kant, moralitas adalah persoalan kewajiban, dan harus bebas dari

motivasi untuk mendapatkan kebahagiaan.

Sajak kritik Kant terhadap etika eudaimonia, pada wacana tentang

kebahagiaan seolah menghilang dari pemikiran etika-etika selanjutnya. Padahal

etika Kant dengan paham kewajibannya bukannya tanpa masalah, agar seseorang

mau melakukan sesuatu, seharusnya sesuatu tersebut memiliki daya tarik yang

membuat orang tersebut bersedia untuk melakukannya. Dan Kant tidak dapat

menjawab pertanyaan mengapa orang bersedia untuk melakukan apa yang wajib.

Memang Kant mengatakan bahwa adanya kewajiban adalah fakta moral, yakni

kenyataan bahwa kita spontan sadar berkewajiban untuk bertindak moral. Jadi

bagi Kant, tidak mungkin untuk mempertanyakan mengapa manusia harus

bertindak moral atau melakukan apa yang wajib. Namun fakta moral ini

sebenarnya sudah berada di luar pengandaian-pengandaian teoritis Kant.1

Sesungguhnya ketidakmampuan Kant untuk menjawab pertanyaan

mengapa orang harus bertindak moral menunjuk pada persoalan lebih mendasar

pada etika Kant dan etika-etika selanjutnya yang menyingkirkan gagasan

teleologis tentang tujuan hakiki manusia. Gagasan teleologis tentang tujuan

hakiki manusia adalah dasar berpijak bagi filsafat, tanpa gagasan teleologis, 1 Bdk. Magniz-Suseno, Franz, “Perkembangan-Perkembnagan Baru dalam Etika”, Jurnal Diskursus Vol. 01, No. 01, April 2002, hal. 20.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

2Universitas Indonesia

filsafat dan etika seolah berjalan tanpa berpijak.2 Kesan seperti itu memang tidak

dapat disangkal bila kita melihat pemikiran etika modern. Etika modern,

misalnya etika diskursus malah sibuk tentang persoalan prosedur.

Dengan latar belakang situasi pemikiran etika moderen seperti inilah

posisi Spaemann menjadi sangat penting. Dalam bukunya yang berjudul

Happiness and Benevolence, Spaemann berusaha menggeluti apa yang

seharusnya menjadi sumber persoalan, yaitu pertentangan antara etika eudaimonia

dan etika kewajiban. Persoalan pertentangan antara etika eudaimonia dan etika

kewajiban akan dipecahkan melalui kacamata Spaemann agar pemikiran etika

modern tidak semakin jauh lagi menyimpang dari pokok persoalan, yakni apa

yang seharusnya menjadi fokus etika.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah yang

menjadi pembahasan skripsi ini adalah:

1. Merumuskan kembali apa yang seharusnya menjadi tugas pokok dari

etika dalam pandangan Spaemann, yaitu bagaimana mempertemukan

antara ‘apa yang membahagiakanku’ dengan ‘apa yang wajib’, tentang

bagaimana mencapai hidup yang berhasil.

2. Usaha Spaemann dalam menyatukan ‘apa yang wajib’ dan ‘apa yang

membahagiakanku’ dirumuskan dengan cara memperlihatkan kritiknya

terhadap etika kewajiban dan etika kebahagiaan.

1.3. Pernyataan Tesis

Cinta yang direlasikan dengan kebaikan hati, merubah self interest

menjadi bentuk transendensi diri manusia, di mana realitas orang lain dalam

teleologinya sendiri menjadi motif bagi tindakan.

2 Ibid. hal. 20.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

3Universitas Indonesia

1.4. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Memahami pemikiran Robert Spaemann tentang pertentangan antara etika

eudaimonia dengan etika kewajiban, dan solusi yang ditawarkan Spaemann

sebagai jalan keluar dari pertentangan tersebut. Spaemann melihat bahwa

pada awalnya etika bersifat eudaimonistik, yaitu sebagai ajaran untuk

mencapai kebahagiaan, di mana Spaemann menerjemahkan kata

eudaimonia sebagai hidup yang berhasil dilihat secara keseluruhan. Namun

hidup yang didasarkan pada pengejaran akan kebahagiaan cukup

bermasalah. Hal ini juga tidak terlepas dari kritik Kant bahwa suatu

tindakan yang dilakukan dengan motivasi untuk mendapatkan kebahagiaan

ataupun ganjaran di surga malah moralitas.

2. Menunjukkan kesalahan Kant dalam memahami moralitas. Kesalahan Kant

adalah memandang bahwa moralitas harus berarti bebas dari segala

kepentingan, sedangkan pengejaran atas kebahagiaan dipandang sebagai

sifat egoistis. Di sinilah kemudian Spaemann menunjuk pada fenomena

cinta yang menurutnya dapat merubah kepentingan diri (self-interest),

menjadi bentuk transendensi diri manusia, dimana realita orang lain dalam

teleologinya sendiri menjadi tujuan bagi tindakan. Jadi dalam cinta, tidak

ada lagi kepentingan antara kebahagiaan dengan apa yang wajib.

1.5. Metode Penelitian

Proses pencarian soluisi pada etika merupakan suatu upaya agar manusia

dapat hidup lebih baik, yakni etika dipahami tentang bagaimana cara untuk

berbuat baik dan menghindari keburukan. Banyak pembicaraan tentang etika yang

tidak pernah menyinggung masalah yang sebenarnya karena mendasarkan diri

pada prinsip pembenaran yang sama sekali berbeda. Seseorang mendasarkan pada

kebermanfaatan, pencegahan keburukan dan lain sebaginya. Etika sebenarnya

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

4Universitas Indonesia

lebih menaruh perhatian pada pembicaraan tentang prinsip pembenaran daripada

tentang keputusan yang sungguh-sungguh telah diadakan.

Skripsi ini mengacu pada buku Spaemann Happines and Benevolence.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif-analitis,

dimana saya berusaha memaparkan gagasan Spaemann kemudian memberi

tanggapan berdasarkan wawasan yang saya baca dari sumber lain.

1.6. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terbagi dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang

terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, pernyataan tesis, tujuan penulisan,

metode penelitian dan sistematika penulisan.

Dalam bab dua, membahas riwayat hidup Spaemann, yang mencakup

bagaimana kehidupan Spaemann, latar belakang pendidikan yang disusul

pengaruh pemikiran, dan karya-karya Spaemann.

Dalam bab tiga, dipaparkan pembahasan tentang kritik Spaemann terhadap

etika eudaimonia. Mencakup pemikiran Plato, Epikuros, Stoa, dan Aristoteles

yang berusaha mencari isi dari pada eudaimonia. Di samping menunjukkan

kelemahan dari setiap pemikir, Spaemann pada akhirnya menunjukkan pada

konsep tentang eudaimonia bersifat antinomi, yang tentu akan menyebabkan

kegagalan etika eudaimonia. Kemudian dilanjutkan dengan kritik Spaemann

terhadap etika modern, yaitu etika Kristiani, etika, Kant, utilitarisme, dan etika

diskursus. Di sini Spaemann pun menunjukkan kegagalan etika-etika tersebut

dalam memahami apa yang sesungguhnya menjadi pokok dari moralitas.

Setelah pada bab sebelumnya dibahas keterbatasan dari etika-etika

tersebut, selanjutnya dalam bab empat, saya membahas apa yang menjadi inti dari

pemikiran Spaemann sendiri. Dalam bab empat dibahas tentang kebaikan hati,

cinta/persahabatan, persepsi atas realitas, ordo amoris. Dan memaparkan tentang

tanggung jawab dan maaf, yang menurut Spaemann tidak terlepas dari konsep

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

5Universitas Indonesia

tentang cinta. Kemudian skripsi ini diakhiri dengan bab lima yang merupakan

penutup.

Dalam bab lima, yang merupakan bab penutup, saya membuat kesimpulan

atas seluruh pemaparan dalam skripsi ini, yang disusul dengan tanggapan kritis

atas pemikiran Robert Spaemann.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

6 Universitas Indonesia

BAB II

RIWAYAT HIDUP ROBERT SPAEMANN

2.0 Pengantar

Sebagai seorang filsuf abad ke-20 Robert Spaemann belum banyak

dikenal. Hal Ini terlihat pada karya-karyanya yang masih sangat sedikit ditulis

dalam bahasa Inggris, dan ini menjadi salah satu faktor penyebab Spaemann

kurang dikenal. Jika dibandingkan dengan Habermas, reputasi Spaemann memang

harus diakui beberapa peringkat di bawahnya. Meskipun demikian, tentu penting

untuk mengetahui siapa dan apa saja karya yang telah dihasilkan Spaemann,

mengingat di negaranya, ia termasuk ke dalam peringkat ke-9 pemikir-pemikir

Jerman yang paling berpengaruh kurun waktu terakhir ini, dan pemikirannya

dimasukkan ke dalam pemikiran yang mampu menyemangati perjalanan hidup

bangsanya.

Dalam bab ini akan dipaparkan informasi tentang Robert Spaemann, yang

terdiri dari; bagaimana kehidupan Robet Spaemann, latar belakang pendidikan

dan pemikiran yang mempengaruhi Robert Spaemann, kemudian diakhiri dengan

penutup.

2.1. Kehidupan Robert Spaemann

Robert Spaemann lahir di Berlin, pada 5 Mei 1927 dari pasangan Heinrich

Spaemann dan Ruth Krämer. Tak seorang pun meragukan bahwa kedua orang

tuanya adalah ateis-ateis radikal. Namun pada tahun 1930, akhirnya kedua orang

tua Spaemann memeluk agama Kristen Katolik. Tak lama setelah kematian

ibunya, Heinrich Spaemann, ayahnya, mengabdikan diri sebagai seorang imam

katolik sejak tahun 1942.

Di Jerman dewasa ini, di samping Spaemann sangat dikenal sebagai

seorang filsuf konservatif yang berhaluan katolik Roma, ia juga dikenal sebagai

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

7 Universitas Indonesia

seorang penulis. Perhatian utama Spaemann tertuju pada etika Kristen. Sebagai

seorang filsuf ia dikenal untuk permasalahan bioetika, ekologi, dan hak-hak

manusia. Meskipun karya-karyanya belum diterjemahkan secara luas ke dalam

berbagai bahasa, yang pada umumnya masih ditulis dalam bahasa tempat

kelahirannya, yakni bahasa Jerman, di kalangan internasional karya-karya

Spaemann memperoleh pujian dari Paus Benedict XVI.

Sebagai seorang professor, Spaemann ikut serta dalam Schülerkreis Paus

Benedict, sebuah konferensi yang diselenggarakan atas inisiatif pribadi yang

berdiri sejak akhir tahun 1970. Di samping itu, kontribusinya sangat berarti dalam

hal perdebatan-perdebatan kontemporer di bidang filsafat dan teologi, percakapan-

percakapan terbuka antar kedua disiplin tersebut. Dia juga ikut serta dalam sebuah

dialog yang menuntutnya untuk bertumpu pada pandangan-pandangan klasik atau

pun kontemporer dan sering mengemukakan pandangan-pandangan pribadinya

yang penting dan orisinal. Sebagai contoh untuk itu adalah pertanyaan tentang

'Who is a person?' yang memperoleh bentuknya yang makin penting ke dalam

pertanyaan-pertanyaan seperti: Are all human beings persons? Are there animals

that can be considered persons? What does it mean to speak of personal identity

and of the dignity of the person? Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut

jawaban Spaemann adalah bahwa “...Every human being ...” menurutnya, “... is a

person and, therefore, 'has' his nature in freedom.” Agar dapat memahami orang

tersebut, menurut Spaemann, “... we have to think about the relation between

nature and freedom and avoid the reductive accounts of this relation prevalent in

important strands of modern thought.” 1

Sebagai seorang filsuf, Spaemann mengembangkan sebuah kritik yang

menantang tentang modernitas analisis gabungan akan anti-modernisme modern

dan modernisme. Jika kita tidak ingin menghapuskan diri kita sebagai pribadi-

pribadi, menurut Spaeman, maka “... we need to find a way of understanding

ourselves that evades the dialectic of modernity.” Dengan demikian, Spaemann

mengingatkan para pembacanya akan pengetahuan yang serba cukup bukti (self-

1

http://search.barnesandnoble.com/Robert-Spaemanns-Philosophy-of-the-Human-Person/Holger-Zaborowski/e/9780199576777

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

8 Universitas Indonesia

evident), yakni wawasan-wawasan yang sebenarnya kita telah ketahui tetapi

cenderung melupakannya.

2.2. Latar Belakang Pendidikan dan Pemikiran yang Memengaruhi Robert

Spaemann

Robert Spaemann menjalani masa studinya di University of Münster. Di

universitas itulah ia menerima penganugerahan Habilitation. Habilitation (bahasa

Latin habilis berarti ‘cukup baik’, ‘dihargai secara sosial’, ‘cakap’) adalah

kualifikasi akademik tertinggi yang dapat dicapai seorang sarjana melalui

berbagai usahanya di beberapa negara Eropa dan Asia. Bertolak dari

penganugerahan tersebut, Spaemann diharuskan menulis sebuah karya tesis yang

sering disebut dengan istilah Habilitationsschrift atau Habilitation thesis. Karya

tulis akademis tersebut dilakukan atas dasar kesarjanaan yang telah diperolehnya

dan di-review serta harus dipertahankan di hadapan komite akademis seperti yang

biasa dilakukan untuk karya-karya penelitian disertasi.

Spaemann seorang profesor filsafat di beberapa universitas, di antaranya

Universitas Stuttgart (hingga 1968), Universitas Heidelberg (hingga 1972),

Universitas Munich sampai tiba masa pensiun baginya di tahun 1992. Di

Universitas Salzburg ia dipekerjakan sebagai profesor pengabdi yang tanpa

menerima pembayaran (honorar-professor). Dia dianugerahi kehormatan doktor

(honorary doctorate) oleh Catholic University of Lublin di tahun 2012.

Pemikiran Robert Spaemann sangat dipengaruhi oleh beberapa filsuf, baik

yang hidup di masa Yunani maupun yang hidup di masa modern. Para filsuf itu

antara lain; Aristoteles, Plato, Stoa, Epikuros, Immanuel Kant, Thomas Aquinas,

Agustinus, Gottfried Wilhelm Leibniz, Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan

George Edward Moore. Namun demikian, ada dua filsuf yang sangat

mempengaruhi Robert Spaemann, yaitu Aristoteles dan Immanuel Kant.

Robert Spaemann dikategorikan sebagai Neo-Aristotelian dan konservatif.

Sudah lama etika menghindar dari pertanyaan yang paling mendasar: Mengapa

kita harus bermoral? Dengan kembali ke etika Yunani, khususnya tradisi Plato,

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

9 Universitas Indonesia

Spaemann mengindentifikasi kebaikan hati dan persahabatan pada konsep

Aristoteles, sebagai fenomena paling mendasar. Moralitas, bagi Kant yang selama

ini dianggap sebagai persoalan kewajiban semata, dapat diketahui secara intuitif

dengan pengalaman cinta.

Spaemann mengembangkan intuisi-intuisi dasar dengan berdialog pada

filsafat Yunani. Ia mengangkat kembali suatu gaya berpikir yang selama satu

setengah ribu tahun menjadi pengetahuan terdalam filsafat Barat: kaitan antara

kebahagiaan dan kontemplasi, antara kebaikan moral dan pemenuhan eksistensi.

Spaemann membawa etika keluar dari jalan buntu metafisika dan epistemologi

pasca Kant.

2.3. Karya-karya Robert Spaemann

Di antara sekian banyak karya yang telah dituliskannya, karya Spaemann

yang berjudul Glück und Wohlwollen (Happiness and Benevolence, 1989) dan

Personen (Persons, 1996) diakui sebagai karya-karyanya yang paling fenomenal.

Di dalam buku Happiness and Benevolence, Spaemann mengemukakan sebuah

tesis bahwa kebahagiaan berasal dari kebaikan hati dan keinginan menolong.

Spaemann mempercayai bahwa keberadaan kita sebagai manusia diciptakan oleh

Tuhan sebagai “... as social beings to help one another find truth and meaning in

an often confused and disordered world.” “... sebagai makhluk sosial untuk

menolong orang lain menemukan kebenaran dan makna dalam sebuah dunia yang

sering membingungkan dan kacau.”2

Berikut ini disampaikan sedikit di antara publikasi-publikasi untuk tema-

tema politik yang pernah dilakukan, yakni: ”Reflexion und Spontaneität. Studien

über Fénelon“ (1963); “Zur Kritik der politischen Utopie“ (1977);

“Philosophische Essays“ (1983); “Grenzen. Zur ethischen Dimension des

2 http://payingattentiontothesky.com/2011/05/31/when-death-becomes-inhuman-

professor-robert-spaemann/

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

10 Universitas Indonesia

Handelns“ (Aufsätze, 2001); “Das unsterbliche Gerücht. Die Frage nach Gott

und die Täuschung der Moderne“ (2007).

Dalam hal karya-karya dan publikasi-publikasi yang dilakukannya, sebuah

majalah Jerman berjudul Cicero: Magazin für politische Kultur pernah

memublikasikan peringkat pemikir-pemikir Jerman yang masih hidup dan

dianggap paling penting berdasarkan banyaknya publikasi atas karya-karyanya

pada Selasa, 20 Oktober 2009, dengan mendudukkan Robert Spaemann di urutan

ke-9 setelah pemikir-pemikir berikut ini: Jürgen Habermas (peringkat ke-1), Peter

Sloterdijk (peringkat ke-2), Julian Nida-Rümelin (peringkat ke-3), Hermann

Lübbe (peringkat ke-4), Hans Albert (peringkat ke-5), Richard Davis Precht

(peringkat ke-6), Nobert Bolz (peringkat ke-7), Dieter Thomä (peringkat ke-8).

Di samping kategori filsafat, majalah ini membuat kategori-kategori pada

urutan peringkat reputasi seseorang berdasarkan klasifikasi sebagai berikut:

natural science, economics, history, culture, film production, comedy, dan writers.

Klasifikasi urutan peringkat tersebut berdasarkan kemunculan masing-masing di

dalam 160 surat kabar Jerman dan majalah-majalah.

Keberadaan klasifikasi urutan peringkat bagi para pemikir Jerman tersebut

untuk mengetahui beberapa hal berikut ini: Siapa yang menduduki peran

terhormat sebagai pemberi semangat jaman (Zeitgeist), siapa yang memprovokasi

dengan tesis-tesis apa saja, siapa yang terlibat dalam perdebatan, dengan siapa,

dan terdapat di forum apa.

Berikut ini adalah karya-karya Robert Spaemann yang dibagi ke dalam 3

kategori sebagai berikut:

1. Karya Buku

a. Dalam bahasa Inggris:

1) Basic Moral Concepts, trans. T.J. Armstrong. London: Routledge, 1990

(1982).

2) Essays in Anthropology: Variations on a Theme, trans. Guido De

Graaff and James Mumford. Eugene, OR: Cascade Books, 2010 (1987).

3) Happiness and Benevolence, trans. J. Alberg. Edinburgh: T & T Clark,

2000 (1989).

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

11 Universitas Indonesia

4) Persons: The Difference between "Someone" and "Something", trans.

Oliver O’Donovan. Oxford: Oxford University Press, 2006 (1996).

b. Dalam bahasa Jerman:

1) Rousseau – Mensch oder Bürger. Das Dilemma der Moderne. Klett-

Cotta, Stuttgart 2008, ISBN 978-3-608-94245-3

2) Der letzte Gottesbeweis. Pattloch Verlag 2007, ISBN 978-3-629-

02178-6

3) Das unsterbliche Gerücht. Die Frage nach Gott und der Aberglaube

der Moderne. Klett-Cotta, Stuttgart 2005, ISBN 3-608-94452-4.

Neuausgabe als: Natürliche Ziele. Klett-Cotta, Stuttgart 2005, ISBN 3-

608-94121-5

4) Grenzen. Zur ethischen Dimension des Handelns. Klett-Cotta, Stuttgart

2001, ISBN 3-608-91027-1

5) Der Ursprung der Soziologie aus dem Geist der Restauration. Studien

über Louise-Gabriel de Bonald. Kösel, München 1959; 2. A. Klett-

Cotta, Stuttgart 1998, ISBN 3-608-91921-X

6) Töten oder sterben lassen? Worum es in der Euthanasiedebatte geht

(mit Thomas Fuchs). Herder Verlag 1997

7) Personen. Versuche über den Unterschied zwischen „etwas“ und

„jemand“. Klett-Cotta, Stuttgart 1996, ISBN 3-608-91813-2

8) Zur kirchlichen Erbsündenlehre. Stellungnahmen zu einer brennenden

Frage (mit Albert Görres, Christoph Schönborn). (Sammlung Kriterien

87), Johannes Verlag Einsiedeln Freiburg 1994, ISBN 3-89411-303-0

9) Reflexion und Spontanität. Studien über Fénelon. Kohlhammer,

Stuttgart 1963; 2. A. Klett-Cotta, Stuttgart 1990, ISBN 3-608-91334-3

10) Glück und Wohlwollen. Versuch über Ethik. Klett-Cotta, Stuttgart

1989, ISBN 3-608-91556-7

11) Das Natürliche und Vernünftige. Aufsätze zur Anthropologie. Piper

Verlag (Serie Piper 702), München 1987, 3-492-10702-8

12) Philosophische Essays. Reclam (UB 7961), Stuttgart 1983; 2. erw. A.

ebd. 1994, ISBN 3-15-007961-6

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

12 Universitas Indonesia

13) Moralische Grundbegriffe. Beck Verlag (Beck’sche Reihe 256),

München 1982, ISBN 3-406-45442-9

14) Rousseau – Bürger ohne Vaterland. Von der Polis zur Natur. Piper

Verlag, München 1980, ISBN 3-492-10579-3

15) Einsprüche. Christliche Reden. Johannes Verlag Einsiedeln Freiburg

1977, ISBN 3-265-10195-9

16) Die Frage Wozu? Geschichte und Wiederentdeckung des

teleologischen Denkens (mit Reinhard Löw). Piper (Serie Piper 748),

München 1981

17) Zur Kritik der politischen Utopie. Zehn Kapitel politischer

Philosophie. Klett-Cotta, Stuttgart 1977, ISBN 3-12-910110-1

2. Karya Artikel

a. Dalam bahasa Inggris:

1) "Remarks on the Problem of Equality," Ethics 87 (1976-77), 363-69.

2) "Side-effects as a Moral Problem," trans. Frederick S. Gardiner,

Contemporary German Philosophy, vol. 2, ed. Darrel E. Christensen,

Manfred Riedel, Robert Spaemann, Reiner Wiehl, Wolfgang Wieland

(University Park: Pennsylvania State University Press, 1983), 138-51.

3) "Remarks on the Ontology of 'Right' and 'Left,'" Graduate Faculty

Philosophy Journal 10.1 (1984), 89-97.

4) "Is Every Human Being a Person?," trans. Richard Schenk, O.P., The

Thomist 60 (1996), 463-74.

b Dalam bahasa Jerman

1) Hermann Lübbe (Hrsg.): Wozu Philosophie? Stellungnahmen eines

Arbeitskreises. De Gruyter, Berlin 1978, ISBN 3-11-007513-X.

2) Robert Spaemann: Die christliche Religion und das Ende des

modernen Bewusstseins. In: Internationale Katholische Zeitschrift

Communio. Nr. 3. 1979, S. 256f.

3) Robert Spaemann: Bestialische Quälereien Tag für Tag. In: Deutsche

Zeitung. 33, 1979. Auch veröffentlicht unter: Welt des Grauens. In:

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

13 Universitas Indonesia

Kritik der Tierversuche. Kübler Verlag, Lambertheim 1980, ISBN 3-

921265-24-X, S. 27-31.

4) Peter Thomas Geach, Fernando Inciarte, Robert Spaemann:

Persönliche Verantwortung. Adamas, Köln 1982, ISBN 3-920007-78-6.

5) Robert Spaemann: Tierschutz und Menschenwürde. In: Ursula M.

Händel (Hrsg.): Tierschutz - Testfall unserer Menschlichkeit. Fischer

Taschenbuchverlag GmbH, Frankfurt am Main 1984, ISBN 3-596-

24265-7, S. 71–81.

6) Robert Spaemann, Wolfgang Welsch, Walther Christoph Zimmerli:

Zweckmässigkeit und menschliches Glück. Fränkischer Tag, Bamberg

1994, ISBN 3-928648-12-8.

7) Oswald Georg Bauer (Red.): Was heißt „wirklich“? Unsere Erkenntnis

zwischen Wahrnehmung und Wissenschaft. Oreos, Waakirchen-

Schaftlach 2000, ISBN 3-923657-54-4.

8) Walter Schweidler (Hrsg.): Menschenleben – Menschenwürde.

Interdisziplinäres Symposium zur Bioethik. Lit, Münster 2003, ISBN 3-

8258-6808-7.

9) Georg Muschalek (Hrsg.): Der Widerstand gegen die Alte Messe. Van

Seth, Denkendorf 2007, ISBN 978-3-927057-16-6.

10) Robert Spaemann: Die schlechte Lehre vom guten Zweck. Der

korrumpierende Kalkül hinter der Schein-Debatte. In: FAZ vom 23.

Oktober 1999, Bilder und Zeiten I.

2.4. Penutup

Meskipun ringkas, dan oleh karenanya takkan mungkin membawa kita

pada pemahaman yang memadai mengenai pemikiran Robert Spaemann, namun

informasi yang telah penulis kemukakan dalam bab ini sekiranya cukup untuk

memperkenalkannya. Bagi penggiat filsafat di Indonesia, nama yang satu ini

barangkali relatif asing sehingga pembahasan mengenai pemikirannya diharapkan

membawa kesegaran ke dalam perdebatan filosofis di negeri ini, terutama dalam

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

14 Universitas Indonesia

hal etika. Arti penting pemikirannya Spaemann sendiri amat sayang untuk

diabaikan, karena dia berusaha membawa persoalan klasik yang sering kali

dilupakan dalam perdebatan etika ke dalam inti pembicaraan. Persoalan yang

dimaksud adalah pemisahan, bahkan pertentangan, antara kebahagiaan dan

kewajiban. Sementara sebagian filsuf gagal mengatasi pertentangan ini dan

sebagian lainnya justru memilih untuk mengabaikannya, Spaemann malah

berusaha mempertemukan keduanya, dan hingga titik tertentu dapat kita katakan

bahwa Spaemann telah berhasil. Oleh karena itu, pada bab-bab selanjutnya

penulis akan mengurai satu per satu konsep yang berkaitan dengan pemikiran

Spaemann mengenai etika tersebut.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

15Universitas Indonesia

BAB III

KRITIK ROBERT SPAEMANN TERHADAP ETIKA EUDAIMONIA DAN

ETIKA MODERN

3.0. Pengantar

Menurut Spaemann, pertama-tama etika dipahami sebagai ajaran untuk

mencapai hidup yang berhasil. Para filsuf Yunani memiliki kesepakatan bahwa

hidup manusia dapat berhasil bila manusia mencapai tujuannya. Dan tujuan pokok

hidup manusia adalah eudaimonia. Namun hanya sampai disinilah kesepakatan

para filsuf tersebut. Etika dihadapkan pada pertanyaan berikutnya, yaitu “Apakah

yang dimaksud dengan eudaimonia?” dan “Bagaimana orang dapat mencapai

eudaimonia?” para filsuf mengajukan jawaban yang berbeda-beda. Spaemann

sendiri telah memiliki pendapat tentang bagaimana eudaimonia harus dipahami,

yaitu sebagai hidup yang berhasil ketika terlihat secara keseluruhan. Spaemann

melihat bahwa eudaimonia hanya dapat bersifat formal, yaitu sebagai horizon

yang mencakup seluruh tujuan-tujuan konkrit tindakan manusia. Spaemann

menulis :

We observe the phenomenon that the goals of our actions are relativized by the more comprehensive Why and Whither and What-for of these actions, even when this ultimate goal is understood as merely “unhindered progress from passion.” The acients named this horizon which encompasses all our concrete individual aims eudaimonia. We Spaeak here of “life’s turning out well.” Were there no such horizon, then the individual goals of our actions would be completely in commensurable with one another. We could not weigh one goal against the other in the any way (Spaemann, Happines and Benevolence 19).

Setiap usaha yang memberikan isi pada eudaimonia tidak akan berhasil.

Spaemann akan menunjukkan kegagalan-kegagalan yang harus dialami oleh para

filsuf Yunani ketika berusaha memberikan isi pada eudaimonia, yang Spaemann

hadapkan tentang pemahamannya terhadap eudaimonia sebagai hidup yang

berhasil ketika dilihat secara keseluruhan. Dengan demikian, akan terlihat

kegagalan para filsuf Yunani, seperti Plato, Epikuros, Stoa, dan Aristoteles.

Kemudian juga akan dibahas tentang kritik Spaemann terhadap etika modern,

seperti etika Kristiani, yang diwakili oleh Agustinus dan Thomas Aquinas

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

16Universitas Indonesia

terhadap etika eudaimonia. Dan dilanjutkan dengan pemikiran Kant yang

akhirnya sungguh mengeluarkan percakapan tentang eudaimonia dari wacana

moralitas. Namun pemikiran Kant bukannya tanpa persoalan. Karena itu muncul

pemikiran tentang etika utilitarisme dan etika diskursus yang juga akan dibahas

pada bab ini.

3.1. Kritik Spaemann terhadap Etika Eudaimonia

3.1.1. Eudaimonisme

Konsep eudaimonia pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles. Dalam

bukunya, Ethika Nikomakheia, Aristoteles memulai dengan menegaskan bahwa

dalam setiap kegiatan manusia mengejar suatu tujuan. Dapat dikatakan dalam

setiap perbuatan, kita ingin mencapai suatu yang baik bagi kita. Sering kali kita

mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lagi. Dari sinilah maka timbul

pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang dikejar karena dirinya sendiri dan bukan

karena sesuatu yang lain lagi; apakah ada kebaikan terakhir yang tidak dicari demi

sesuatu yang lain lagi.1 Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa

tujuan tertinggi dalam makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan

(eudaimonia). Namun jika semua orang mudah menyepakati kebahagiaan sebagai

tujuan terakhir manusia, itu belum memecahkan semua kesulitan, karena dengan

kebahagiaan mereka mereka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Ada yang

mengatakan kesenangan adalah kebahagiaan dan ada pula yang menganggap

status sosial atau nama baik sebagai kebahagiaan. Namun Aristoteles beranggapan

bahwa semua hal itu tidak bisa diterima sebagai tujuan terakhir.

Menurut Aristoteles, seseorang mencapai tujuan terakhir dengan

menjalankan fungsinya dengan baik. Jika manusia menjalankan fungsinya sebagai

manusia dengan baik, maka ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau

kebahagiaan. Menurut Aristoteles, manusia mempunya fungsi yang khas dan

memiliki keunggulan dibanding makhluk lain, yakni terletak pada akal budi.

Karena itu manusia mencapai kebahagiaan dengan cara paling baik ketika

1 Bertens, K. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 242.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

17Universitas Indonesia

manusia melakukan kegiatan-kegiatan rasionalnya (theoria). Hal ini berarti bahwa

kegiatan-kegiatan rasional itu harus dijalankan disertai dengan keutamaan. Bagi

Artstoteles ada dua macam keutamaan: keutamaan intelektual dan keutamaan

moral. Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung dari rasio itu sendiri.

Dan pada keutamaan moral rasio menjalankan pilihan-pilihan yang perlu diadakan

dalam hidup sehari. Maka kebahagiaan yang lebih sesuai dengan kondisi manusia

terletak dalam praksis, partisipasi komunikatif dalam urusan bersama polis.

3.1.2. Etika Kebahagiaan Menurut Plato

Dalam pandangan Plato, orang dikatakan baik apabila dikuasai akal budi,

buruk apabila dikuasai oleh hawa nafsu. Karana ketika seseorang dikuasai hawa

nafsu dan emosi, seseorang dikuasai sesuatu yang diluar dirinya.2 Plato melihat

bahwa hidup yang berhasil dapat dicapai bila manusia menjalankan hidup

berdasarkan akal budinya. Manusia yang hidup berdasarkan akal budinya dapat

mengetahui dan sekaligus akan memilih yang baik, dan menolak hal-hal yang

buruk. Dengan hidup berdasarkan akal budi, manusia akan mencapai ketenangan,

kesatuan dengan dirinya, dan pendekatan diri yang tenang. Kebalikan dari

manusia yang dikuasai oleh akal budi adalah mereka yang hidupnya dikuasai oleh

hawa nafsu. Mereka menjalani hidup dalam ketidakteraturan, terombang-ambing.

Dan hidup semacam itu berarti kesengsaraan. Hidup yang didasarkan pada akal

budi berkaitan erat dengan penguasaan diri. Namun Plato lebih menekankan unsur

akal budi daripada unsur penguasaan diri. Dapat saja penguasaan diri dipandang

sebagai syarat untuk hidup yang dikuasai akal budi. Ketika orang mampu

menguasai diri, maka akal budinya yang menguasai dan mengarahkan hidupnya.

Plato lebih memandang akal budilah yang memampukan manusia untuk

menguasai dirinya. Ketika seseorang tahu apa yang baik, maka pengetahuan itu

akan membuat seseorang memilih yang baik.

Di sini dapat muncul pertanyaan tentang bagaimanakah sesungguhnya

Plato memahami akal budi. Bagi Plato, akal budi tidaklah terbatas pada rasio. 2 Magniz-Suseno, Franz, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19,Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1997. Hal. 19.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

18Universitas Indonesia

Akal budi lebih merupakan kesatuan dari unsur-unsur batin manusia yang

meliputi rasio, kehendak, dan perasaan. Dengan demikian manusia yang dikuasai

oleh akal budi berarti adalah manusia yang utuh, integral. Di dalam dirinya tidak

ada lagi pertentangan-pertentangan antara unsur batin, rasio dan perasaan. Karena

itulah Plato dapat mengatakan bahwa manusia yang mengetahui apa yang baik,

tentulah memilih apa yang baik tersebut. Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan

antara unsur rasio, kehendak, dan perasaan.

Seseorang berkat akal budinya dapat mengetahui yang baik. Pertama-tama,

yang baik ini berarti apa yang baik bagi diriku. Yang baik ini bersifat partikular.

Namun hal-hal yang baik bersifat partikular ini tidak berdiri sendiri, melainkan

berasal dari satu ide tertinggi, yaitu ide Sang Baik. Sang baik melingkupi seluruh

hal-hal yang baik partikular. Untuk mengatakan tentang ‘yang baik’, Plato

menggunakan dua istilah, yaitu kalon dan agathon. Kalon adalah yang baik

universal, atau “yang indah”, sedangkan agathon berarti yang baik partikular, atau

yang baik bagiku.

Menurut Plato dengan mengetahui yang baik bagiku, manusia sampai pada

keutamaan. Dan ketika manusia mengetahui atau lebih tepat memandang Sang

Baik, pada saat itulah manusia mencapai kebahagiaan/eudaimonia. Memandang

Sang Baik terjadi dalam theoria atau kontemplasi. Puncak dari etika menurut

Plato adalah kesatuan antara kalon dan agathon, antara keutamaan (yang baik

bagiku) dan kebahagiaan (dalam memandang Sang Baik), menjadi kalonkagathon.

Spaemann berpendapat bahwa Plato sudah melihat adanya dua unsur yang

dapat saling bertentangan, yang nyata tercermin dalam sejarah pemikiran etika,

yaitu antara keutamaan dan kebahagiaan. Dan Plato sudah berusaha untuk

mempertemukan kedua unsur tersebut, yaitu persatuan antara kalon dan agathon,

kalonkagathon.3 Pemahaman Spaemann sesungguhnya dapat dimengerti sebagai

3 Spaemann, Robert, Happines and Benevolence, Notredome: Univesity of Notre Dame Press, 2000, hal. 78.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

19Universitas Indonesia

upaya untuk mengaktualisasikan Plato, menemukan kembali persatuan antara

yang baik bagiku dan Sang Baik.4

3.1.3. Etika Kebahagiaan Menurut Epikuros

Epikuros melihat, setiap manusia dalam kodratnya selalu mencari

kenikmatan. Namun kesenangan yang dimaksudkan Epikuros tidak sekedar

kenikmatan dalam tahap badani, kenikmatan adalah suatu gejala psikis yang

merupakan perluasan dari kesenangan badani. Ia juga tidak membatasi

kenikmatan pada pada kesenangan aktual saja. Dalam menilai kenikmatan,

menurut Epikuros kita harus memandang kehidupan sebagai keseluruhan,

termasuk juga masa lampau dan masa depan.5

Jawaban terhadap hedonisme yang diberikan oleh Epikuros adalah salah

satu jawaban terhadap pertanyaan tentang apa yang menjadi isi bagi eudaimonia.

Terhadap pertanyaan tentang apa yang menjadi isi bagi eudaimonia, Epikurus

menjawab bahwa yang menjadi tujuan manusia adalah kenikmatan. Jawaban ini

berangkat dari hasil pengamatan bahwa ternyata sikap makhluk hidup secara

kodrat bergerak untuk mencari kenikmatan. Namun pada manusia, kenikmatan

yang dimaksud oleh Epikuros lebih merupakan kenikmatan psikologis, yaitu

perasaan tenang, tak terganggu, damai. Hakikat nikmat terdiri dalam ketenteraman

jiwa yang tenang, yang tidak dapat dikejutkan dan dibingungkan. Orang yang

batinnya tenang, damai adalah orang yang hidupnya berhasil, karena orang

tersebut bukan hanya memiliki apa yang dia yakini layak untuk diinginkan, tapi

memiliki apa yang memang sesungguhnya dia inginkan.6

Dalam ajaran Epikuros, Spaemann menemukan adanya beberapa

kelemahan, yang bahkan pada akhirnya Epikuros sendiri mengakui bahwa

etikanya tidak memadai. Kritik pertama dari Spaemann adalah tentang klaim

hedonisme bahwa motif dasar dari tindakan setiap orang adalah kenikmatan

4 Magnis-Suseno, Franz, Kewajiban dan Kebahagiaan. Percobaan Robert Spaemaan untuk kembali ke dasar Etika, dalam Atma nan Jaya, 1994, no.3, hal.1-17.5 Bertens, K., Op.Cit., hal. 237.6 Spaemann, Robert, Op.Cit., hal.31-32.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

20Universitas Indonesia

pribadi. Bila memang demikian, apakah arti dari tindakan para hedonis yang

mengajarkan kepada orang lain tentang seni hidup? Apakah mereka mengajar

demi kepuasan diri mereka sendiri, ataukah agar orang lain juga dapat bahagia

seperti mereka? bila yang benar adalah alternatif pertama, maka orang perlu

curiga tehadap ajaran mereka, sebab di sini orang lain dijadikan sarana oleh kaum

hedonis untuk mencapai nikmat. Bisa jadi mereka mengajarkan itu karena

ketidakmampuan mereka untuk mencapai kebahagiaan yang berasal dari hal-hal

lain, misalnya cinta, persahabatan, pengorbanan bagi orang yang dicintai. Dengan

kata lain, mereka tidak senang bila ada orang lain yang lebih bahagia dari mereka

sehingga mereka mengajarkan bahwa kebahagiaan hanya terletak pada

kinikmatan. Sedangkan bila alternatif kedua yang benar, bahwa mereka

melakukan itu agar orang lain juga dapat berbahagia, berarti sudah terdapat

kontradiksi dengan ajaran mereka sendiri. Mereka mengajarkan bahwa motif

dasar orang lain adalah nikmat, sedangkan mereka mengajarkan itu demi

kebahagiaan orang lain.

Kritik kedua berkenaan dengan pemahaman Epikuros tentang

waktu/temporalitas. Tujuan ajaran dari Epikuros adalah agar manusia mencapai

nikmat setiap saat, di mana nikmat dipahami sebagai tiadanya rasa sakit dan

keadaan batin yang tenang, tidak terganggu atau gelisah. Persoalannya adalah dari

pengalaman, kita mengetahui bahwa hidup adalah suatu dinamika perasaan. Ada

saatnya kita merasa senang, gembira, dan ada saatnya pula kita merasa sedih,

kecewa, takut. Kita tidak dapat senang atau tenang terus-menerus.

Kemudian, Epikuros mengajarkan bahwa agar kita dapat selalu tenang,

kita harus hidup hanya dalam saat ini. Kesulitannya adalah manusia terkait dengan

waktu. Dan waktu itu berkesinambungan, yakni ada masa lalu, masa kini, dan

masa yang akan datang. Dan itu berarti pula manusia selalu hidup dengan ingatan

akan masa lalu dan harapan akan masa depan. Bila konsisten dengan ajaran

Epikuros tentang hidup di masa kini, berarti manusia harus menghapus ingatan

masa lalu dan tidak berharap akan masa depan.

Sesungguhnya Epikuros pun menyadari bahwa hidup terdiri dari masa

lalu, masa kini, dan masa depan. Dia pun melihat kesulitan yang muncul dari

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

21Universitas Indonesia

ingatan akan masa lalu dan harapan akan masa depan terhadap hidup dalam

kekinian. Namun Epikuros malah melihat bahwa masa lalu dapat

menyumbangkan nikmat terhadap masa kini dengan hanya mengingat hal-hal

yang menyenangkan di masa lalu. Demikian juga dengan harapan akan masa

depan, mengharapkan nikmat di masa depan juga sudah memberikan nikmat pada

masa kini.7

Masih ada satu masalah lagi berkenaan dengan pemahaman Epikuros

tentang waktu, dimana dia melihat waktu sebagai satu-satuan yang terpisah.

Padahal menurut Spaemann, pemahaman atau pengalaman akan waktu yang

seperti itu hanya terdapat pada hewan, juga pada bayi yang memang belum

memiliki kemampuan transendensi diri. Sedangkan pada manusia yang

berkembang normal, berkembanglah kemampuan transendensi diri yang membuat

momen-momen waktu tidak dialami sebagai kesatuan-kesatuan yang terpisah,

melainkan momen yang berkesinambungan. Berkat transendensi diri, waktu

dialami sebagai satu kesatuan. Kemudian disini terlihat bahwa pemahaman

Epikuros tentang waktu malah membuat manusia turun ke taraf yang lebih rendah.

Spaemann juga membandingkan pemahaman Epikuros tentang waktu

dengan pemahaman mistik tentang waktu. Menurut Spaemann memang ada

kesatuan antara keduanya, yaitu menekankan momen kekinian. Dalam

pemahaman mistik yang ada adalah kekinian, dimana waktu tidak memiliki lagi

realitasnya. Dalam pengalaman ini, para mistikus berhasil mengatasi waktu,

keluar dari ikatan waktu. Namun perbedaan mendasar antara kekinian dalam

pengalaman mistik dengan kekinian versi Epikuros adalah dalam pengalaman

mistik, kekinian dapat dicapai lewat transendensi diri, sedangkan pada Epikuros,

kekinian dipelihara lewat mengisolasi diri, meniadakan diri terhadap waktu.

Kritik ketiga Spaemann terhadap Epikuros adalah tentang isi dari

kebahagiaan. Pada Epikuros, kebahagian diartikan sebagai perasaan tenang. Dan

perasaan semacam itu tidak memiliki objek keterarahan. Sedangkan menurut

Spaemann, dengan mendasarkan diri pada pemikiran Max Scheler, juga psikologi

modern, kita sama-sama mengetahui bahwa kebahagiaan yang bernilai tinggi yang

7 Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 35-36.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

22Universitas Indonesia

dapat dirasakan oleh manusia haruslah memiliki objek keterarahan. Dangan kata

lain, kebahagiaan tersebut berasal dari luar diri manusia. Kebahagiaan yang

sekedar perasaan tenang, gembira yang tanpa sebab tidaklah selalu berarti.

Spaemann juga menunjukkan bahwa Sokrates pun sudah menyadari ini. Sokrates

menyamakan perasaan nikmat semacam itu sebagai rasa gatal yang kemudian

digaruk dan menimbulkan perasaan nikmat.

Namun di samping beberapa kritik tersebut, Spaemann menemukan bahwa

Epikuros telah melihat adanya satu kegiatan manusia yang bahkan merupakan

sumber kebahagiaan terbesar, yang dapat membantah fondasi etikanya, bahwa

kebahagiaan manusia terletak pada nikmat, dan setiap kegiatan manusia dilakukan

demi nikmat tersebut. Epikuros mengakui bahwa salah satu sumber kebahagiaan

terbesar manusia adalah persahabatan. Memiliki seorang sahabat adalah suatu

kebahagiaan terbesar. Dan Epikuros menyadari bahwa persahabatan hanya

mungkin terjalin bila dibangun demi persahabatan itu sendiri, demi sahabatnya,

bukan demi kenikmatan yang diperoleh dari persahabatan tersebut. Kenikmatan

yang muncul dari persahabatan merupakan efek sampingan dari persahabatan, dan

tidak dapat menjadi tujuan dari persahabatan. Bahkan, kenikmatan yang muncul

akibat dari persahabatan hanya akan muncul ketika manusia tidak terpaku pada

nikmat itu sendiri.

Dihadapkan pada fenomena persahabatan, Epikuros harus mengakui

bahwa etikanya tidak memadai. Kenikmatan tidak dapat dijadikan tujuan hidup

manusia. Juga kebahagiaan lebih daripada sekedar kenikmatan, keadaan tanpa

rasa sakit, dan jiwa yang tenang.

3.1.4. Etika Kebahagiaan Menurut Stoa

Stoa mengambil sikap yang bertolak dari pengertian bahwa manusia

adalah makhluk dalam dimensi waktu, ia sadar bahwa kenikmatan sesaat tidak

menjamin kebahagiaan. Makin manusia beridentifikasi dengan keseluruhan,

makin ia mencapai autarkia, kemandirian, dimana ia tidak dapat mengalami

sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya. Cita-cita ini adalah ataraxia,

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

23Universitas Indonesia

keterkejutan. Dalam ataraxia itu manusia bahagia, apabila apapun yang

dialaminya itu sesuai dengan kehendaknya.

Menurut Spaemann, ada beberapa keunggulan dari etika Stoa

dibandingkan dengan etika Epikuros. Etika Epikuros mengalami masalah besar

berkenaan dengan dimensi waktu. Etika tersebut tidak dapat menampung dimensi

waktu ke dalam sistem etikanya. Etika Epikuros gagal untuk memandang

eudaimonia sebagai keseluruhan proses hidup seseorang. Sedangkan etika Stoa

berhasil melihat eudaimonia sebagai kondisi di mana hidup seseorang dinilai

secara keseluruhan. Artinya hidup seseorang dikatakan berhasil atau tidak berhasil

bila yang dijadikan materi penilaian adalah keseluruhan perjalanan hidupnya.

Pada Stoa, seseorang mencapai eudaimonia, atau dapat dikatakan hidupnya

berhasil bila dia dapat mempertahankan diri, dapat menyesuaikan dirinya dengan

hukum alam.

Dengan demikian, Stoa menemukan dasar bagi kehidupan manusia:

perbuatan yang baik adalah menyesuaikan dengan diri dengan hukum alam,

perbuatan buruk adalah tidak mau menyesuaikan diri. Di situ orang bijak

menunjukkan diri. Dengan sadar ia menerima apa yang tidak dapat dihindari.

Filsafat Stoa mengungkapkan cita-cita itu sebagai autarki. Autaraki adalah

kemandirian manusia dalam dirinya sendiri. Autarki/autarkia adalah pertahanan

diri sempurna, keberhasilan akhir kehidupan manusia. Dalam menyatu dengan

seluruh realitas, manusia tidak tergantung lagi pada apa pun diluar dirinya. Dalam

situasi apa pun ia berada pada dirinya sendiri, adalah autarki.8

Yang menjadi dasar persoalannya adalah pada premis dasar, bahwa tujuan

manusia adalah mempertahankan diri. Bagi Spaemann, mempertahankan diri

hanyalah prasyarat awal untuk hidup, namun tidak memadai untuk dijadikan

tujuan hidup manusia. Dengan membatasi tujuan manusia pada sekedar

mempertahankan hidup, Stoa telah mereduksi aspek-aspek lain dari kehidupan

manusia, yang sesungguhnya merupakan langkah selanjutnya dari

mempertahankan diri.

8 Magniz, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Op.Cit., Hal. 58.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

24Universitas Indonesia

Bagi Spaemann, pemahaman Stoa tentang eudaimonia telah mendekati

apa yang seharusnya menjadi eudaimonia, yaitu sebagai hidup yang berhasil

ketika dilihat secara keseluruhan. Pada Stoa, eudaimonia dicapai dengan

menyesuaikan diri dengan hukum alam sehingga diri seluruhnya dapat menyatu

dengan alam. Diri tidak lagi dibingungkan atau dikacaukan oleh segala yang

terjadi, baik penderitaan, kekecewaan, dan kegembiraan. Diri telah mecapai

autarki, penuh pada dirinya sendiri dan tidak lagi membutuhkan apapun dari luar

dirinya. Memang paham eudaimonia semacam ini memenuhi kriteria Spaemann

tantang eudaimonia, yaitu hidup yang berhasil ketika dilihat secara keseluruhan.

Pribadi Stoa pada dirinya sendiri mendapati dirinya bahagia, dan kebahagiaan

mereka pun memiliki dimensi objektif sehingga orang lain pun dapat memulai

hidup mereka sebagai bahagia.

Namun terdapat masalah pada pemahaman Stoa tentang autarki. Orang

yang autarki, yang penuh pada dirinya sendiri sesunggguhnya telah menutup diri

pada kemungkinan terjadinya pemenuhan di masa yang akan datang. Spaemann

mempertentangkan antara autarki/penuh pada dirinya sendiri dengan

kemungkinan terjadinya pemenuhan, misalnya dalam cinta. Hanya orang yang

menemukan dirinya tidak utuh atau kosong yang dapat mengusahakan

pemenuhannya, dan terbuka pada kemungkinan pemenuhannya. Pemenuhan

tersebut, menurut Spaemann, dapat dipandang sebagai kebahagiaan/eudaimonia.

Sedangkan orang yang cukup pada dirinya sendiri tertutup pada unsur-unsur lain

dari luar dirinya sendiri, misalnya cinta. Menurut Spaemann, tidanya cinta adalah

bayaran yang cukup mahal untuk suatu ketercukupan diri/autarki.

3.1.5. Etika Kebahagiaan Menurut Aristoteles

Menurut Aristoteles manusia mendua. Ia berpatisipasi pada nous atau

logos ilahi. Maka kebahagiaan tertinggi yang dicapai manusia adalah theoria,

memandang hal-hal abadi. Kekhasan manusia adalah sebagai zon politicon, yaitu

mahkluk yang dapat mengembangkan diri dengan menjalankan secara paling baik

kegiatan-kegiatan rasionalnya, melaui praksis/komunikasi dalam lingkungan-

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

25Universitas Indonesia

lingkungan sosial manusia, dimana yang paling luas adalah polis.9 Maka

kebahagiaan yang lebih sesuai dengan kondisi manusia terletak dalam praksis,

partisipasi komunikatif dalam urusan bersama polis. Karena itu Aristoteles

berusaha untuk mencari eudaimonia yang berangkat dari kondisi keseharian

manusia.

Spaemann melihat bahwa etika Aristoteles merupakan upaya untuk

mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang dihadapi oleh konsep eudaimonia.

Walaupun Aristoteles sependapat dengan Plato bahwa eudaimonia sejati manusia

dicapai lewat theoria, dia sadar bahwa hidup manusia tidak dapat hanya terdiri

dari theoria saja. Manusia bukan semata-mata makhluk rohani sehingga dapat

melepaskan diri dari keseharian. Melainkan manusia adalah makhluk campuran,

terdiri dari rohani dan jasmani, yang karenanya terikat pada keseharian.

Aristoteles melihat bahwa kebahagiaan tercapai apabila manusia merealisasikan

dirinya.

Kemudian, menurut Spaemann, dengan menempatkan manusia ke dalam

polis, Aristoteles berusaha untuk memenuhi tuntunan bahwa hidup yang berhasil

haruslah dapat dinilai secara subjektif sekaligus objektif. Dengan mengarahkan

tindakannya bagi kepentingan polis, individu mendapatkan kepuasan karena dapat

berbuat sesuatu bagi polis atau sesama warga negara lainnya, sekaligus juga

tindakan tersebut memang nyata memberikan manfaat bagi polis. Aristoteles juga

berhasil memecahkan persoalan yang dihadapi oleh etika eudaimonia yang lain, di

mana walupun eudaimonia merupakan tujuan manusia, tindakan manusia tidak

dapat langsung ditujukan untuk mencapai kebahagiaan/eudaimonia. Ketika

tindakan dilakukan dengan tujuan memperoleh kebahagiaan, maka kebahagiaan

malah tidak dapat dicapai. Pemecahan Aristoteles dapat dipandang sebagai jalan

memutar, yaitu dengan mengarahkan tindakan demi kepentingan polis, maka

individu secara tidak langsung memperoleh kebahagiaan.

Tapi kemudian, menurut Spaemann, yang juga telah disadari oleh

Aristoteles, jalan keluar yang ditawarkan ini hanya akan menghasilkan

9 Bertens, K., Op.Cit., hal. 243.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

26Universitas Indonesia

eudaimonia yang bersifat relatif. Hal ini karena kehidupan polis yang

sesungguhnya tidak pernah sempurna, pasti banyak kekecewaan, kegagalan.

Namun memang kebahagiaan yang ditawarkan Aristoteles adalah kebahagiaan

yang paling mungkin bagi manusia, karena sesuai dengan kondisi manusia.

3.2. Kritk Robert Spaemann terhadap Etika Modern

3.2.1 Etika Kristiani

Setelah membahas etika eudaimonia yang pada akhirnya harus berhadapan

dengan sifat antinominya sendiri, Spaemann mulai membahas tradisi etika lain

yang juga dapat dipandang sebagai reaksi terhadap etika eudaimomia, yaitu etika

Kristiani. Dalam membahas etika Kristiani, Spaemann memulainya dengan

menunjukkan pertentangan antara etika Kristiani dengan etika eudaimonia.

Menurut Spaemann, tokoh-tokoh etika Kristiani, seperti Agustinus dan Thomas

Aquinas sangatlah akrab dengan etika eudaimonia. Pemikiran mereka yang

bersumberkan pada ajaran agama Kristiani, tetaplah dipengaruhi oleh pemikiran-

pemikiran yang berkembang pada masanya, di antaranya adalah etika eudaimonia.

Etika Yunani pasca Plato tidak berhasil. Eudemonisme Yunani lemah

karena eudemonia tidak berhasil di rumuskan. Kebahagiaan sebagai sekedar

perasaan puas tidak memadai, sedangkan sebagai keberhasilan kehidupan terlihat

tidak menjamin pengalaman kebahagiaan yang kiranya juga termasuk

eudaimonia. Keberhasilan kehidupan mengandaikan suatu perspektif dimana

hidup kita dilihat sebagai kesatuan. Antisipasi kebahagiaan yang menurut

Aristoteles, konstitutif bagi segala tindakan kita, bukan sesuatu yang empiris.

Wawasan keberhasilan kehidupan itu secara hakiki transenden, yakni meluap ke

dimensi pasca kematian. Filsafat moral Yunani pasca Plato gagal, karena tidak

terbuka terhadap dimensi transenden tersebut. Etika Kristiani menegaskan bahwa

kebahagiaan yang sebenarnya hanya dapat tercapai dalam visio beatifica, yakni

dalam memandang Tuhan.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

27Universitas Indonesia

Menurut Spaemann, berbeda dari etika eudaimonia yang tidak

memberikan tempat pada unsur transenden, etika Kristiani malah berpusat pada

unsur transenden tersebut, yaitu Ketuhanan. Untuk memberikan tempat bagi unsur

ini, dalam pemikiran etika Kristiani, Agustinus dan Thomas Aquinas mulai

dengan menunjukkan bahwa etika eudaimonia lebih merupakan suatu fiksi atau

utopia. Bagi Agustinus dan Aquinas, eudaimonia tidak dapat disamakan dengan

hidup bermoral. Alasannya karena dalam konsep eudaimonia terkandung

pemahaman bahwa eudaimonia haruslah melampaui kematian. Padahal ketika

berhadapan dengan kematian, moralitas pun akan musnah. Sekalipun seseorang

hidup secara bermoral, namun ketika dia mati, maka tidak ada lagi yang tersisa.

Demikianlah bila eudaimonia disamakan dengan hidup bermoral. Padahal, bagi

Spaemann, seharusnya eudaimonia bersifat abadi, melampaui kematian.

Etika Kristiani menunjukkan bahwa etika eudaimonia tidak memadai

karena tidak dapat bertahan berhadapan dengan fakta kematian manusia, etika

Kristiani masuk dengan menawarkan konsep baru tentang kebahagiaan. Bagi etika

Kristiani, kebahagiaan adalah ketika manusia dapat bersatu dengan Tuhan, yakni

setelah kematian. Dan bagi etika Kristiani, tidak ada usaha apapun yang dapat

yang dapat dilakukan oleh manusia agar nanti setelah kematian dapat bersatu

dengan Tuhan. Manusia dapat bersatu dengan Tuhan sepenuhnya karena

rahmatNya, karena Tuhan telah menjanjikannya. Yang kini dapat dilakukan oleh

manusia dalam hidup ini adalah menanti pemenuhan janji tersebut dengan penuh

harapan. Dan harapan itulah yang menjadi kebahagiaan bagi manusia selama ia

masih di dunia ini.

Selain memahami kebahagiaan sebagai bersatu dengan Tuhan nanti di

surga, etika Kristiani juga memahami moralitas sebagai bentuk ekspresi cinta

manusia akan Tuhan. Jadi bagi etika kristiani, moralitas bukanlah kebahagiaan itu

sendiri, ataupun sarana untuk memperoleh ganjaran di surga. Melainkan cinta

akan Tuhan-lah yang menjadi motivasi manusia untuk bertindak moral.

Bagi Spaemann, etika Kristiani memang berhasil mengatasi persoalan

yang dihadapi oleh konsep eudaimonia yang tidak dapat bertahan behadapan

dengan kematian, dengan memahami kebahagiaan sebagai persatuan dengan

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

28Universitas Indonesia

Tuhan di surga. Namun kemudian kebahagiaan tersebut hanya akan terpenuhi

nanti setelah kematian. Etika Kristiani juga dapat memberikan alasan mengapa

orang bertindak moral, yaitu sebagai ekspresi cinta akan Tuhan. Tetapi dengan

demikian tidak ada kaitan langsung antara kebahagiaan/eudaimonia dengan

moralitas. Di sinilah kritik Spaemann terhadap etika Kristiani, bahwa etika

Kristiani tidak berhasil menyatukan kebahagiaan dengan moralitas, antara “yang

baik” dan “yang indah”, antara yang bermanfaat bagiku dan yang “luhur”. Kaitan

antara kebahagiaan dengan moralitas menjadi tidak langsung. Dengan demikian,

seseorang melakukan tindakan moral bukanlah karena tindakan itu sendiri

memberikan kebahagiaan. Padahal seharusnya, suatu tindakan haruslah memiliki

daya tarik sehingga orang mau untuk melakukannya. Barulah ketika tindakan

memiliki daya tarik yang dapat membuat orang mau untuk melakukannya, di situ

tercapai kesatuan antara “yang baik” dan “yang indah”.

3.2.3. Etika Kant

Menurut Kant, bahwa tindakan manusia berada dibawah keterikatan moral

yang mutlak dan dapat dituntut pertanggungjawaban oleh orang lain. penilaian

dan tindakan moral harus dapat dibenarkan dengan argumentasi yang rasional.

Adapun Kant menempatkan argumentasi itu atas dasar sebuah prinsip moralitas

tertinggi.10 Perdebatan dengan Kant terjadi di mana etika dewasa ini sendiri tidak

lagi sepakat tentang penentuan prinsip moral itu. Filsafat moral Kant merupakan

salah satu model etika terpenting. Dengan serangannya yang frontal terhadap etika

hedonisme, etika Kant merupakan salah satu alternatif dalam usaha perumusan

prinsip moralitas, yakni pada dua pola dasar etika universalitik: eudaimonisme

dan etika kewajiban Kant.

Etika Kant berada dalam jalur yang searah dengan etika Kristiani. Etika

Kristiani memisahkan antara kebahagian dengan moralitas, di mana moralitas

tidak menjadi syarat satu-satunya untuk mencapai kebahagian. Etika Kristiani

menolak pemahaman tentang relasi antara moralitas dan kebahagiaan sebagai

10 Magniz, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Op.Cit., Hal. 141.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

29Universitas Indonesia

relasi antara sebab dan akibat. Begitu juga dengan Kant yang kemudian sama

sekali menolak moralitas atau tindakan baik yang didasarkan oleh motif untuk

memperoleh eudaimonia/kebahagiaan pribadi. Bagi Kant, tindakan baik yang

dilakukan dengan maksud memperoleh eudaimonia/kebahagiaan tidak lain

daripada sikap egoistis. Kant bertolak dari pengandaian bahwa eudaimonia,

perhatian terhadap kehidupan yang berhasil, bersifat instrumentalistik dan

egoistik. Artinya, moralitas direndahkan menjadi sarana untuk mencapai

kebahagiaan, adalah kepentingan pribadi. Moralitas, menurut Kant, adalah

tindakan semata-semata karena hormat terhadap hukum.11 Spaemann melihat

bahwa kritik Kant terhadap etika eudaimonia adalah disebabkan kesalahan dalam

memahami moralitas. Kesalahan Kant adalah memandang bahwa moralitas harus

berarti bebas dari segala kepentingan pribadi, sedangkan pengajaran atas

kebahagiaan di pandang sebagai sikap egoistis.

Kemudian Spaemann membahas tentang bagaimana etika Kristiani dan

Kant masih tetap dapat mempertahankan moralitas, ketika moralitas tidak lagi

dipandang sebagai syarat mutlak untuk memperoleh eudaimonia. Menurut

Spaemann, kunci dari etika Kristiani adalah konsep tentang cinta akan Tuhan.

Pada etika Kristiani, cinta akan Tuhan menjadi dasar bagi semua moralitas,

sebagai forma virtutum.12 Sedangkan pada Kant, yang menjadi dasar moralitas

adalah rasa hormat terhadap hukum, terhadap apa yang menjadi kewajiban. Kant

memang mengakui akan adanya kebaikan tertinggi yang merupakan kesatuan

antara berbuat baik dan kebahagiaan. Namun kebaikan tertinggi tersebut haruslah

dipahami sebagai sifat ekstrinsik dari moralitas. Dan kebaikan tertinggi tersebut

bukanlah komponen pokok dari moralitas itu sendiri, melainkan kepercayaan yang

kadang mendukung moralitas.

3.2.4. Utilitarisme

Aliran ini berasal dari pemikiran moral di United Kingdom dan kemudian

hari berpengaruh ke seluruh kawasan yang berbahasa Inggris. Pada Jermy 11 Bertens, K., Op.Cit., hal. 256.12 Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 77.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

30Universitas Indonesia

Bentham, dengan bukunya yang berjudul Introduction to the Principles of Morals

and Legislation (1789), utilitarisme dimaksudkan sebagai dasar etis untuk

memperbarui hukum Inggris, khususnya hukum pidana. Menurut Bentham,

manusia pada dasarnya menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan.

Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan.

Dalam hal ini Bentham sebenarnya melanjutkan begitu saja dari hedonisme

klasik.13

Karena menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada

kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat

meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebnyak mungkin orang. Moralitas

suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai

kebahagiaan manusia. Dengan demikian Bentham mencapai pada the principles of

utility yang berbunyi: the greatest happiness of the greatest number, “kebahagiaan

terbesar dari jumlah orang terbesar.”

Utilitarisme muncul sebagai jawaban terhadap kebutuhan akan perlunya

panduan dalam bertindak secara praktis. Bagi Spaemann, utilitarian tidak lagi

etika yang bersifat normatif seperti etika eudaimonia ataupun etika-etika

sebelumnya. Etika utilitarisme mungkin dapat dapat dipandang sebagai kelanjutan

dari etika kewajiban Kant. Namun berbeda dari Kant yang tidak dapat menjawab

pertanyaan tentang apa yang menjadi “kewajibanku”, etika utilitarisme

mengklaim dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Menurut etika

utilitarisme, kriteria untuk menilai apakah suatu tindakan baik atau buruk, adalah

semata-mata tergantung daripada akibat dari tindakan tersebut, baik akibat aktual,

ataupun akibat yang baru merupakan kemungkinan. Suatu tindakam menjadi

tindakan yang wajib dilakukan bila tindakan tersebut akan menghasilkan manfaat

yang lebih besar dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang mungkin bagi

pelaku. Prinsip ini menjadi prinsip umum yang diterima oleh berbagai macam

variasi dari etika utilitarisme. Perbedaan yang terdapat di antara etika utilitarisme

terutama mengenai cara menentukan nilai/bobot dari akibat-akibat yang mungkin

muncul.

13 Bertens, K., Op.Cit., hal. 247.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

31Universitas Indonesia

Spaemann menyebutkan beberapa varian dari utilitarisme yang berbeda

dalam hal tolak ukur yang digunakan untuk menilai akibat-akibat dari suatu

tindakan. Yang pertama adala Jeremy Bentham yang menyusun semacam sistem

kalkulasi untuk menentukan bobot nikmat yang dimiliki oleh setiap tindakan, dan

dengan demikian dapat dibandingkan dengan bobot nikmat yang dihasilkan antara

tindakan yang satu dengan tindakan yang lain. Kalkulasi Bentham ini sangat

bersifat hedonistik karena nikmat yang ingin dinilai dalam setiap tindakan

dipahami sebatas nikmat jasmani. Karena itu, John Stuart Mill mengajukan

alternatif tolak ukur lain dalam menentukan bobot/nilai suatu tindakan. Berbeda

dengan Bentham yang membatasi nikmat pada nikmat jasmani, Mill juga

mengakui adanya nikmat rohani. Bahkan nikmat rohani lebih bernilai daripada

nikmat jasmani. Oleh karena itu, mungkin saja seseorang mengorbankan nikmat

jasmani demi memperoleh nikmat rohani. Dengan demikian, Mill lebih

menawarkan agar suatu tindakan dinilai secara kualitatif, bukan secara kuantitatif

seperti yang disarankan oleh Bentham.

Tokoh Terakhir yang diambil oleh Spaemann untuk mewakili utilitarisme

adalah George Edward Moore. Berbeda dengan Bentham dan Mill yang masih

berpikir dalam kerangka etika hedonistik, di mana nikmat menjadi satu-satunya

kriteria untuk menilai bobot dari akibat suatu tindakan, Moore berhasil keluar dari

kerangka pemikiran hedonistik. Sebagai tolak ukur dalam menghitung

konsekuensi dari suatu tindakan, Moore mengajukan teori nilai. Dalam teori nilai

tersebut, nikmat hanyalah satu nilai di antara banyak nilai lain.

Bagi Spaemann, Moore masih memandang etika sebagai upaya

maksimalisasi kebaikan. Cara memandang seperti itu masih dalam kerangka

rasionalitas instrumental. Konsekuensi dari kerangka berpikir semacam itu,

mengindikasikan bahwa tujuan dari tanggung jawab, objek kebaikan hati akhirnya

bukanlah orang atau kelompok orang tertentu, melainkan dunia sebagai

keseluruhan. Tindakan dipandang tepat dan karenanya baik secara moral ketika

dilihat secara keseluruhan akan menghasilkan dunia yang lebih baik dibandingkan

dengan alternatif-alternatif tindakan lain yang mungkin.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

32Universitas Indonesia

Ada beberapa kritik yang disampaikan oleh Spaemann berkenaan dengan

utilitarisme. Pertama, Spaemann melihat bahwa fokus etika utilitarisme yaitu

sebanyak mungkin bermanfaat bagi semua orang yang terkena akibat dari suatu

tindakan, pada akhirnya hanya akan menjadi pengabaian terhadap pribadi-pribadi

konkrit. Bagi Spaemann, “keseluruhan” adalah suatu konsep abstrak. Padahal

sesuatu yang abstrak tidak dapat menjadi tujuan dari suatu tindakan moral.

Moralitas selalu berkenaan dengan pribadi-pribadi konkrit.14

Ketika berhadapan dengan berbagai pilihan tindakan, utilitarisme

menuntut agar kita mempertimbangkan semua kemungkinan akibat yang akan

timbul terhadap setiap pihak yang terkena dampak dari tindakan tersebut. Dalam

hal ini, utilitarisme menuntut kita untuk membuat kalkulasi menyeluruh terhadap

tindakan-tindakan yang kita ambil. Maksud dari kalkulasi tersebut ialah agar kita

dapat menentukan mana tindakan yang paling tepat, yaitu paling banyak

menghasilkan manfaat bagi sebanyak mungkin pihak yang terlibat. Dari sinilah

kelemahan berikutnya dari utilitarisme yang ditujukkan oleh Spaemann. Bagi

Spaemann, kita tidak akan mungkin dapat membuat kalkulasi universal semacam

itu. Alasannya adalah kita tentu tidak akan dapat sepenuhnya memperhitunghkan

akibat dari tindakan yang kita ambil terhadap setiap pihak yang terkena

dampaknya, dan untuk jangka waktu yang panjang. Dapat saja terjadi bahwa

tindakan yang sebelumnya kita perhitungkan akan bermanfaat pada waktu yang

akan datang ternyata malah menghasilkan akibat-akibat negatif.

Konsekuensi dari utilitarisme yang menjadikan manfaat sebagai tolak ukur

untuk menilai suatu tindakan menimbulkan kesan bahwa utilitarisme mendukung

pandangan tujuan menghalalkan segala cara.15 Memang sudah merupakan

konsekuensi dari etika-etika teleologis, di mana utilitarisme termasuk di dalamnya

yang meletakkan bobot moral suatu tindakan pada akibat dari tindakan tersebut,

tidak dapat menghindar dari kesan bahwa etika utilitarisme mendukung paham

demi tujuan-tujuan yang dipandang baik, dengan cara apapun dapat dilakukan.

Padahal, bagi Spaemann, pandangan bahwa tujuan menghalalkan segala cara,

bertentangan dengan intuisi moral dari kebanyakan orang dan tradisi-tradisi etika 14 Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 127.15 Bertens, K., Op.Cit., hal. 251.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

33Universitas Indonesia

dalam semua kebudayaan. Dengan demikian, bagi Spaemann, utilitarisme

menghadapi tantangan yang berat karena bertentangan dengan intuisi moral

manusia yang pada umumnya menolak bahwa tindakan apapun dapat dibenarkan

bila tujuannya baik.

Kemudian menurut Spaemann, etika utilitarisme tidak dapat menampung

konsep oidos, rasa malu, yakni perasaan yang muncul ketika manusia sampai

kepada batas-batas di mana mereka harus berhenti dalam mengejar tujuan mereka.

Pada utilitarisme, sejauh suatu tindakan dilakukan demi tujuan yang baik atau

bermanfaat bagi keseluruhan, tindakan tersebut benar bahkan wajib untuk

dilakukan. Dari sinilah tidak ada lagi batas-batas tentang perbuatan apa yang

pantas atau tidak pantas untuk dilakukan. Kepantasan tidak lagi menjadi kriteria

dalam menilai suatu tindakan. Pada utilitarisme, kata-kata seperti

‘pengkhianatan’, ‘perbuatan rendah’ tidak lagi memiliki arti yang independen

dalam tindakan itu sendiri. Padahal dalam intuisi moral, kebanyakan orang akan

mengatakan bahwa pengkhianatan, perbuatan-perbuatan rendah tidak dapat

diterima apapun tujuannya.

Konsekuensi lebih lanjut dari paham yang memandang bahwa tujuan

menghalalkan segala cara adalah adanya bahaya pada individu-individu konkrit

yang akhirnya diperlakukan sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan. Di sini

orang tidak lagi diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri seperti yang

dituntut oleh etika Kant, melainkan orang dapat saja ditundukkan demi tujuan atau

kepentingan bersama.

3.2.5. Etika Diskursus

Menurut Sapemann, kegagalan etika utilitarisme dalam mempertahankan

subjek konkrit merupakan salah satu pemicu munculnya etika diskursus. Etika

diskursus merupakan upaya merevitalisasi kembali etika Kant di mana subjek

memperoleh jaminan akan keberadaannya, yaitu diri tidak sekedar dijadikan

sarana untuk mencapai tujuan, melainkan tujan dari tindakan atau keputusan

moral yang dibuat

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

34Universitas Indonesia

Walaupun etika Kant telah membuat pengakuan terhadap individu konkrit,

tetapi etika tersebut masih memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut

diantaranya adalah masih terlalu abstrak dan individualistik. Prinsip universalisasi

Kant masih tetap tidak dapat memberitahukan apa yang menjadi kewajiban subjek

dalam suatu situasi konkrit. Selain itu, ketika rasio atau pertimbangan pribadi

dijadikan satu-satunya patokan dalam menentukan tindakan apa yang dapat

diuniversalisasikan dan karenanya wajib untuk dilakukan, menurut Spaemann,

tetap ada kemungkinan bahwa pertimbangan tersebut dikaburkan oleh

kepentingan-kepentingan pribadi. Karena itu, keputusan moral yang diambil dapat

saja salah.

Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, muncullah etika

diskursus yang berusaha menginterpretasikan kembali etika Kant dan keluar dari

sifat formalistik Kant. Etika diskursus berusaha untuk memberikan isi konkrit

terhadap prinsip universalisasi Kant dan juga mengatasi sifat individualistiknya, di

mana keputusan moral semata dibuat berdasarkan pertimbangan pribadi. Upaya

untuk memberikan isi konkrit tersebut dilakukan lewat diskursus yang melibatkan

berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Lewat diskursus diharapkan dapat

dihasilkan prinsip atau norma konkrit yang dapat memecahkan persolan-persoalan

moral tertentu. Karena dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak itu pula etika

diskursus sekaligus mengatasi kelemahan etika Kant yang masih sangat bersifat

individualistik.

Spaemann menyebutkan tiga persyaratan yang harus dipenuhi agar tercipta

diskursus yang ideal. Syarat pertama adalah proses diskursus tersebut harus bebas

dari dominasi. Masing-masing pihak hadir dalam posisi yang setara dan memiliki

kesempatan yang sama untuk mengemukakan dan memperjuangkan kepentingan-

kepentingannya. Syarat kedua adalah masing-masing pihak yang terlibat dalam

diskursus, memiliki pengetahuan yang cukup sehingga dapat mengetahui dengan

jelas akan apa yang menjadi kepentingnnya. Syarat ketiga adalah adanya kapasitas

moral tertentu sehingga masing-masing pihak yang terlibat mau untuk membuka

diri terhadap kemungkinan bahwa rumusan kepentingannya mengalami perubahan

setelah melalui proses diskursus. Masing-masing pihak bersedia untuk

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

35Universitas Indonesia

mendialogkan kepentingan-kepentingan mereka dan menerima rumusan baru hasil

dari diskursus tersebut.

Spaemann memulai kritiknya terhdap etika diskursus dengan membahas

masing-masing persyaratan yang dibutuhkan untuk terciptanya diskursus.

Pertama, tentang proses diskursus yang harus bebas dominasi. Menurut

Spaemann, dalam diskursus nyata, tidak akan ada proses diskursus yang bebas

dari dominasi. Spaemann mencontohkan bahwa dalam diskursus, tentu orang-

orang yang pandai dalam berbicara atau menyampaikan pikirannya, misalnya

orang-orang terpelajar, kemungkinan besar akan mendominasi proses diskursus.

Spaemann pun memberikan contoh lain, yaitu sejarah sains yang selama ini

dianggap berkembang semata berdasarkan faktor-faktor objektif dari sains itu

sendiri, yang berarti bebas dari dominasi atau faktor-faktor di luar sains itu

sendiri, ternyata dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di

luar sains.

Kritik berikutnya adalah mengenai syarat adanya kompetensi moral dan

kejujuran yang harus dimiliki oleh pihak-pihak yang terlibat dalam diskursus.

Menurut Spaemann ketika masing-masing pihak telah memiliki kejujuran dan

keterbukaan untuk berdialog, sesungguhnya apa yang ingin dicapai lewat

diskursus malah sulit tercapai. Nilai moral dari kesediaan untuk melakukan

diskursus terletak bukan pada menghasilkan norma-norma, melainkan pada

kesediaan untuk menguji keyakinan-keyakinan moral yang diyakini.

Selanjutnya Spaemann, adanya permasalahan dalam tuntutan etika

diskursus akan kesetaraan dalam hal kapasitas intelektual dari pihak-pihak yang

terlibat dalam diskursus. Spaemann mengemukakan bahwa walaupun masing-

masing pihak yang terlibat mempu untuk berpikir secara rasional, pada

kenyataannya orang tidak hanya dipengaruhi oleh sisi kognitif atau

rasionalitasnya. Manusia bukanlah semata makhluk rasional. Setiap orang

memiliki sisi-sisi yang lain, misalnya dorongan-dorongan instingtualnya, dan

harapan-harapannya. Tentu sisi-sisi lain ini pun akan mempengaruhi persepsi dan

keputusan orang tentang suatu persoalan moral. Menurut Spaemann yang

diperlukan untuk suatu diskursus tidak hanya kesetaraan dalam kapasitas

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

36Universitas Indonesia

intelektual, melainkan juga masing-masing pihak yang terlibat dalam diskursus

memiliki semacam kepekaan akan moralitas. Kita tidak dapat berdiskursus

tentang hal-hal moral dengan orang yang tidak memiliki kepekaan/intuisi tentang

moralitas. Misalnya kita tidak dapat berdiskursus tentang perlakuan terhadap

tahanan perang dengan orang-orang yang tidak memiliki intuisi untuk melindungi

orang-orang yang tidak berdaya, atau untuk tidak menyakiti oring lain. Dan

kepekaan tersebut, menurut Spaemann, tidak dapat dihasilkan lewat diskursus.

Jadi, di sini etika diskursus menemukan batasnya, dimana diskursus tidak dapat

dilakukan denagan orang-orang yang tidak memiliki kepekaan moral.

Spaemann juga melihat bahwa etika diskursus diarahkan untuk

menyelesaikan konflik-konflik tentang moralitas. Padahal menurut Spaemann

tugas utama etika bukanlah untuk menyelesaikan konflik-konflik moral. Etika

terutama adalah refleksi atas kondisi yang diperlukan untuk hidup yang berhasil.

Malah sering kali keyakinan etis menghasilkan konflik.16

3.3. Penutup

Sebelumnya telah dibahas analisa Spaemann terhadap pemikiran etika

Yunani untuk menemukan jawaban tentang apa sesungguhnya yang menjadi isi

bagi eudaimonia. Pada Plato, Spaemann menemukan adanya benih pemikiran

yang kiranya dapat menjawab persoalan dasar etika, yaitu pertentangan antara

keutamaan dan kebahagiaan. Plato mencita-citakan terjadinya penyatuan antara

kalon (yang luhur/yang indah) yang terwujud dalam keutamaan, dan agathon

(yang baik bagiku) yang menimbulkan kebahagiaan/kepuasan. Kalonkagathon

atau kesatuan antara kalon dan agathon tercapai ketika manusia dapat memandang

Sang Ilahi dalam kegiatan theoria.

Namun para filsuf Yunani berikutnya tidak melanjutkan proyek Plato.

Seperti pada Aristoteles yang memilih untuk membahas persoalan eudaimonia

dengan berangkat dari condito humania, dan bukannya ide dari Sang Ilahi.

Namun eudaimonia yang ditawarkan oleh Aristoteles adalah eudaimonia yang

16 Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 140.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

37Universitas Indonesia

kompromistik, eudaimonia yang bersifat relatif, karena memang eudaimonia

semacam itulah yang mungkin dicapai manusia mengingat kodratnya sebagai

manusia.

Kemudian pada Epikuros yang menawarkan nikmat sebagai isi

kebahagiaan manusia, Spaemann mengakui bahwa Epikuros menyumbangkan

suatu pemikiran yang bermanfaat bagi kita dalam memahami eudaimonia, yakni

sesuatu yang menjadi tujuan hidup kita haruslah mampu untuk membuat kita

tertarik untuk mengejarnya. Sesuatu itu haruslah memiliki daya tarik, misalnya

menjanjikan kepuasan ketika kita berhasil mendapatkannya. Namun selain itu,

pemikiran Epikuros juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satu kelemahannya

adalah tidak dapat menampung dimensi waktu. Padahal menurut Spaemann,

manusia berada dalam dimensi waktu, dan tidak dapat melepaskan diri darinya.

Kemudian kelemahan lain, Epikuros mengidentikan kebahagiaan dengan nikmat

psikologis yang sama sekali bersifat subjektif. Di sini Spaemann memberikan

ilustrasi tentang seorang pasien yang tidak sadarkan diri dan oleh dokter, di

otaknya dipasang alat-alat yang merangsang timbulnya perasaan nikmat pada

pasien tersebut. Spaemann memandang bahwa ide Epikuros tentang kebahagiaan

tidaklah berbda dengan keadaan pasian yang dirangsang untuk merasakan nikmat

terus-menerus. Dan Spaemann berpendapat bahwa keadaan tersebut tidaklah

memadai untuk dipandang sebagai eudaimonia/kebahagiaan manusia.

Tantang etika Stoa, Spaemann melihat bahwa apa yang ditawarkan oleh

etika Stoa sebagai eudaimonia, yaitu keadaan cukup diri, hanyalah alternatif lain

bagi eudaimonia, yang levelnya adalah lebih rendah dari eudaimonia. Menurut

Spaemann, ketika manusia merasa cukup diri, dia akan menutup diri terhadap

kemungkinan yang sesungguhnya, misalnya yang dicapai lewat cinta, atau lewat

realitas orang lain.

Dari seluruh filsuf Yunani yang telah dibahas, menurut Spaemann tidak

ada yang berhasil memecahkan persoalan tentang isi eudaimonia. Kegagalan

tersebut bagi Spaemann memang tidak dapat dihindari karena eudaimonia itu

sendiri mengandung antinomi. Kita memang dapat memiliki gagasan eudaimonia

yang absolut atau kebahagiaan sejati. Namun, gagasan kita tentang kebahagiaan

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

38Universitas Indonesia

absolut tersebut tidak dapat terealisasi secara sempurna dalam tataran empiris.

Kebahagiaan absolut adalah gagasan yang mentransendensi semua pengalaman,

jadi bersifat transendental. Walaupun demikian, kita tidak dapat berhenti berfikir

tentang kebahagiaan absolut. Gagasan tentang kebahagian absolut selalu muncul

dan merelatifkan setiap kepuasan yang kita capai.17

Menurut Spaemann, ketika kita mencoba untuk memahami eudaimonia

sebagai konsep empiris yang dapat direalisasikan dalam tataran empiris, kita

hanya akan dihadapkan pada antinomi. Karakter antinomi dari eudaimonia

tersebut, menurut Spaemann, sudah tampak dalam definisi eudaimonia, yaitu

sebagai hidup yang berhasil ketika dilihat secara keseluruhan. Padahal, hidup

seseorang tampak sebagai secara keseluruhan hanya ketika dilihat dari perspektif

orang lain/dari luar, dan ketika orang tersebut sudah mati. Karena itu, sisi lain,

ketika hidup dipandang lewat perspektif objektif, atau perspektif orang lain,

dimensi subjektifitas, yaitu perasaan orang yang bersangkutan tidak dapat masuk

dalam penilaian atas berhasil atau tidaknya hidup seseorang. Padahal,

kebahagiaan juga berarti bahwa orang tersebut merasakan dirinya sebagai

bahagia. Sedangkan ketika eudaimonia hendak dicoba dilihat dari perspektif

subjektif, bahwa seseorang merasakan dirinya bahagia, perspektif ini tidak dapat

mengakomodasi tuntunan bahwa hidup yang berhasil harus mencakup

keseluruhan hidup.

Pada etika modern, Spaemann telah melihat bahwa etika Kristiani sebagai

tanggapan terhadap etika eudaimonia berhasil mengatasi beberapa kelemahan dari

etika eudaimonia, di antaranya adalah persoalan bahwa seharusnya kebahagiaan

terus berlanjut setelah kematian, bukan berhenti begitu saja ketika seseorang mati.

Namun konsekuensi dari etika Kristiani adalah terjadinya pemisahan antara apa

yang ‘membahagiakanku’ dengan ‘apa yang wajib’. Padahal bagi Spaemann, etika

yang memadai haruslah dapat mempertemukan antara apa yang

‘membahagiakanku’ dengan apa yang wajib’. Dan selajutnya etika Kant pun

semakin menegaskan pemisahan tersebut, di mana Kant sungguh membuang

wacana tentang kebahagiaan dari wilayah etika. Etika adalah semata persoalan

17 Spaemann, Robert, Op.Cit., hal. 61.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

39Universitas Indonesia

kewajiban. Upaya untuk mengejar kebahagiaan tidak lain daripada upaya

memuaskan dorongan ego, dan itu sama sekali tidak relevan untuk moralitas.

Pemikiran-pemikiran etika selanjutnya yang sangat terpengaruh oleh etika

Kantian, seperti etika utilitarisme dan etika diskursus pun semakin jauh dari

persoalan pokok etika, yaitu bagaimana mempertemukan antara apa yang

‘membahagiakanku’ dengan ‘apa yang wajib’, tentang bagaimana mencapai hidup

yang berhasil. Namun usaha Spaemann untuk mengembalikan tugas pokok etika,

yaitu sebagai ajaran tentang hidup yang berhasil, dimana tercapai kesatuan antara

yang ‘membahagiakanku’ dengan ‘apa yang wajib’, belumlah berakhir.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

40 Universitas Indonesia

BAB IV

CINTA, DAN PERSAHABATAN DALAM PERSPEKTIF ROBERT

SPAEMANN

4.1. Pengantar

Pada bab sebelumnya telah dibahas bagaimana berbagai etika, seperti etika

Kristiani, etika Kant, etika utilitarisme dan etika diskursus tidak mampu

menyatukan antara yang membahagiakan dan yang wajib. Namun Spaemann tidak

berhenti sampai disini. Dan ternyata dia menemukan jalan keluar dari

permasalahan ini dalam pemikiran dua orang filsuf, yaitu Leibniz dan Aristoteles.

Dalam pemikiran keduanya, di mana Leibniz mengemukakan rumusan delectatio

in felicitate alterius (gembira atas kebahagiaan orang lain) sebagai definisi cinta,1

sedangkan Aristoteles memandang bahwa kebahagiaan puncak yang dapat dicapai

manusia adalah dalam persahabatan.2 Spaemann menemukan bahwa apa yang

membahagiakanku dan apa yang wajib sesungguhnya dapat dipertemukan.

Dalam bab ini akan dibahas solusi yang ditawarkan oleh Spaemann

terhadap persoalan antara apa yang membahagiakan dan yang wajib, yang

memang diinspirasikan oleh pemikiran Leibniz dan Aristotels.

4.2. Kebaikan Hati, Persahabatan, dan Melihat Kenyataan

Menurut Spaemann, walaupun nampaknya etika eudaimonia, etika

Kristiani, etika Kant, dan etika-etika selanjutnya tidak mampu mempertahankan

kesatuan antara kalon dan kagathon, atau antara apa yang menjadi kewajiban

dengan apa yang membahagiakan, masih terdapat harapan untuk penyatuan

tersebut. Spaemann melihat harapan tercapainya kesatuan antara apa yang

membahagiakanku dan apa yang menjadi kewajiban dalam konsep Leibniz

1 Spaemann, Robert, Happines and Benevolence, Notredome: Univesity of Notre Dame Press, 2000, hal. 78.2 Ibid., hal. 97.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

41 Universitas Indonesia

tentang cinta, yaitu sebagai delectatio in felicitate alterius, dan dalam konsep

Aristoteles tentang persahabatan.

Dalam persahabatan, sahabat mencintai sahabatnya demi dirinya sendiri.

Kebersamaan dengan dia adalah bagi sahabat-sahabatnya sumber kebahagiaan,

tetapi tidak dapat dikatakan bahwa sahabat dicintai demi kebahagiaan itu. Cinta

adalah kebahagiaan dalam kebahagiaan dia yang dicintai. Cinta adalah

kebahagiaan tertinggi tetapi tidak mementingkan diri dan dengan akan kewajiban

terhadap yang dicintai. Dalam memenuhi “kewajiban” cinta itu sendiri langsung

terletak pada kebahagiaan. Pengalaman cinta adalah pengalaman kehidupan yang

berhasil. Dalam cinta moralitas tidak tampak kepentingan dan kehidupan yang

berhasil tidak egoistik. Apa yang memotivasikan tindakan moral, cinta-adalah

sekaligus apa yang pemenuhannya dipikirkan sebagai kebahagian. Oleh karena itu

Spaemann menunjuk pada fenomena cinta. Disitu egoisme dan altruisme tidak

terpisah, kebahagiaan dan tanggung jawab terhadap orang diluar ‘aku’ bersatu.

Tentang cinta/persahabatan, Spaemann membedakan antara cinta yang

bersifat sentimental seperti yang menjadi pemahaman umum, dan cinta yang

merupakan kebaikan hati. Ketika Spaemann berbicara tentang cinta/persahabatan,

yang dimaksudkannya adalah relasi yang dicirikan oleh kebaikan hati.

Menurut Spaemann, kebaikan hati mengandaikan dua hal. Pertama, bahwa

manusia memiliki struktur teleologis/keterarahan, sehingga orang yang menjadi

tujuan dari kebaikan hati dapat menjadi berarti, bermakna baginya. Kedua, pihak

yang menjadi tujuan dari tindak kebaikan hati tersebut dapat menampak sebagai

dirinya sendiri. Untuk menjelaskannya, mengikuti Aristoteles, Spaemann

membedakan dua model bertindak, yaitu untuk apa dan bagi siapa. Pada model

untuk apa, suatu tindakan dilakukan demi tujuan-tujuan yang impersonal.

Sedangkan pada model bagi siapa, suatu tindakan dilakukan dan diarahkan pada

subjek yang bersifat personal. Dalam tindakan yang bersifat bagi siapa ini, selain

subjek pelaku muncul, juga subjek yang menjadi tujuan dari tindakan tersebut

menampakkan diri.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

42 Universitas Indonesia

Ketika itu, menurut Spaemann, dalam cinta dan kebaikan hati subjek yang

menjadi tujuan dari ‘tindakanku’ menjadi muncul. ‘Aku‘ melihat orang lain yang

‘kucintai’ atau ‘sahabatku’ dan menjadi tujuan dari kebaikan ‘hatiku’ sebagai

pribadi yang lain dari ‘diriku’, yang memiliki identitasnya sendiri, memiliki

realitasnya sendiri. Dalam cinta/persahabatan terjadi apa yang oleh Spaemann

sebut sebagai keterjagaan terhadap kenyataan. Dalam cinta/persahabatan, ‘aku’

dapat melihat ‘sahabatku’, orang lain sebagai nyata. Spaemann menulis :

One discovers beneath all of our purposes which have an “in-order-to-do-something” character , a goal which one can characterize as a ”for-the-sake-of,” and this discovery is accuretely described in this analysis as awakening to “actuality.” We could also say “awakening to reality,” since everything in our world which has significance only shows it self in this its function, not as its ownself, not in its own reality. Only the for-the-sake-of which goes beyond any involvements the real pure and simple. It is a for the-sake-of not just in the sense of a purpose to be realized but as that “final end,” which is always presupposed as a reality in order that something can appear to us as worth striving for. When Kant call humans ends-in-themselves, or when, in the tradition of metaphysics, God is called the “final end,” then “end”does not mean that which is to be realized, but that which is presupposed as a ground in every realization. The showing-it self of this ground is that which we call awakening to reality or “the becoming real of reality for me (Spaemann, Happines and Benevolence 93).

Keterjagaan terhadap kenyataan, tidak lain daripada terbagunnnya akal

budi. Karena itu yang dapat memiliki kebaikan hati hanyalah makhluk rasional.

Kebaikan hati tidak dapat dipahami sebagai sekedar dorongan insting-insting.

Untuk menjelaskan bahwa kebaikan hati adalah lebih sekedar daripada insting,

Spaemann mengambil contoh tentang insting mempertahankan diri. Pada

manusia, seperti pada binatang, juga terdapat insting untuk mempertahankan diri.

Tetapi berbeda dari binatang yang tidak dapat berfikir tentang insting pertahanan

diri tersebut, manusia dapat menyebut dorongan tersebut sebagai insting

mempertahankan diri, karena manusia memiliki akal budi yang memampukannya

melakukan refleksi. Dan dari refleksilah manusia kemudian dapat menemukan

bahwa dirinya dipengaruhi oleh insting untuk mempertahankan diri.3

Dari contoh tersebut, dapat dilihat bahwa manusia selain memiliki insting-

insting, memiliki daya lain, yaitu akal budi. Dan dalam kapasitas akal budi inilah

manusia dapat memiliki kebaikan hati. Namun, bagi Spaemann, sekalipun

manusia memiliki akal budi dapat dikatakan bahwa pada umumnya akal budi

3 Ibid., hal. 93-94.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

43 Universitas Indonesia

manusia berada dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar. Akal budi baru

menjadi sadar ketika realitas diluar dirinya dapat tampak sebagai realitas, bukan

sekedar sebagai bagian dari dirinya. Hal ini berbeda dari binatang, di mana

lingkungan bagi binatang tidak pernah menjadi sesuatu yang lain daripada dirinya,

melainkan merupakan bagian dari dirinya. Dan memang, bagi Spaemann, manusia

telah dapat membedakan dirinya dari lingkungannya, bahwa dia berhadapan

dengan lingkungannya. Namun itu berubah setengah dari proses terjaganya akal

budi. Akal budi baru sungguh terjaga ketika kita dapat melihat bahwa pribadi lain

merupakan suatu realitas yang lain dari ‘diriku’, dan bahwa realitas tersebut

memuat tuntutan untuk dihormati, diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya

sendiri, bukan sekedar benda lain ataupun sarana untuk mencapai tujuan.

Menurut Spaemann, keyakinan bahwa pribadi merupakan suatu

realitas/kenyataan yang bernilai pada dirinya sendiri dan harus dihormati, dapat

dianggap sebagai suatau keyakinan metafisika. Hal ini tidak berbeda dari

keyakinan, karena persoalannya adalah melihat atau tidak melihat, tidak dapat

dibuktikan. Keyakinan ini pula yang termuat dalam keyakinan religius. Karena

itu, Spaemann mengambil contoh, bahwa hanya manusia religius saja yang

memiliki alasan untuk menentang pembunuhan. Manusia religius disini

maksudnya adalah mereka yang dapat menangkap akan adanya ‘yang suci’ dalam

eksistensi pribadi manusia. Bila manusia tidak dapat melihat ‘yang suci’ dalam

pribadi manusia maka dia sesungguhnya tidak memiliki alasan yang kuat untuk

mengatakan bahwa membunuh orang lain tidak diperbolehkan. Karena itu, dia

dapat saja membenarkan pembunuhan atas seseorang berdasarkan suatu

pertimbangan atau alasan, atau bahkan tanpa alasan apapun. Hal itu berbeda

dengan manusia religius, yang dapat menangkap bahwa ada ‘yang suci’ dalam

pribadi manusia, sehingga setiap pribadi wajib untuk dihormati eksistensinya.4

Bagi Spaemann, seseorang perlu ‘terbangun’ agar dapat melihat realitas

orang lain. Dan salah satu momen di mana kita dapat terbangun atau melihat

realitas orang lain adalah dalam persahabatan atau cinta. Dalam persahabatan dan

cinta, kita melihat orang lain, ‘sahabatku’ secara jernih, sebagai makhluk yang

4 Ibid., hal. 95.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

44 Universitas Indonesia

memiliki nilai pada dirinya sendiri. Sahabat adalah orang yang dicintai demi

dirinya sendiri, jadi bukan demi hal-hal lain di luar dirinya, atau pun demi

manfaatnya ‘bagiku.’ Ketika seseorang menjadi sahabat, maka apapun akan

dilakukan demi kebaikan atau kebahagiaan sahabatnya. ‘Aku’ bahagia ketika ‘dia’

bahagia, bila ‘aku’ melihat dia dalam kesulitan, maka secara spontan ‘aku’ akan

membantunya. Pertimbangan apakah ‘aku’ wajib atau tidak wajib untuk

membantunya tidak lagi relevan.

Menurut Spaemann, terjadi hubungan timbal balik antara

persahabatan/cinta dengan kemampuan untuk melihat kenyataan. Di satu sisi,

persahabatan membuat realitas sahabat menjadi nampak. Dan di sisi lain, karena

‘aku’ dapat memandang orang lain secara jernih, di mana ‘aku’ memperlakukan

dia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, maka dia dapat menjadi sahabat ‘bagiku’.

Tidak mungkin ‘aku’ dapat memiliki sahabat bila ‘aku’ tidak mampu melihatnya

sebagai realitas pada dirinya sendiri, sebagai seseorang yang menjadi tujuan

‘tindakanku’.

Sesungguhnya dalam persahabatan, persoalan tentang egoisme telah

dilampaui. Memang pada akhirnya kita pun mendapatkan kebahagiaan atas apa

yang kita lakukan demi sahabat kita, dan hal itu tidaklah menjadi masalah.

Walaupun kita mendapatkan kebahagiaan, kebahagian itu bersifat tidak langsung,

sebagai dampak saja. Apa yang kita lakukan bukanlah pertama-tama demi

kebahagian tersebut, melainkan demi sahabat kita. Fenomena persahabatan pun

membuat etika Kantian yang berdasarkan tindakan moral pada intuisi tentang apa

yang wajib menjadi kehilangan kekuatannya. Dalam persahabatan, dihadapkan

pada situasi di mana sahabat berada dalam kesulitan dan membutuhkan bantuan

kita, persoalan wajib atau tidak wajib tidak lagi relevan. Bila memang sungguh

dia adalah sahabat kita, tentu kita akan membantu dia, tanpa harus melalui refleksi

apakah saya wajib untuk membantunya atau tidak. Bila dalam situasi semacam itu

kita masih bertanya apakah saya wajib untuk membnatu dia, maka dapat

dipertanyakan apakah saya memang sahabat yang baik bagi dia.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

45 Universitas Indonesia

4.3. Ordo Amoris

Bagi Spaemann, kebaikan hati masihlah bersifat abstrak, dan

membutuhkan realisasinya. Dalam tindakan menolong, kebaikan hati mencapai

aktualisasinya. Kebaikan hati terekspresi dalam bentuk kesediaan untuk menolong

orang lain yang sedang berada dalam kesulitan. Sesungguhnya kebaikan hati atau

kesediaan untuk menolong ini berlaku pada siapa saja, sekalipun orang yang tidak

dikenal, bila dia sedang berada dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan

kita. Menurut Spaemann, karena manusia dari kodratnya makhluk yang terbatas,

walaupun sesunguhnya kebaikan hati tidak mengenal batas, namun mau tidak mau

ada apa yang dinamakan sebagai ordo amoris. Kebaikan hati pertama-tama

berlaku bagi orang-orang yang paling dekat dengan diri kita, baru kemudian

meluas kepada orang-orang yang agak jauh relasinya dengan diri kita. Spaemann

menulis :

For the finite being benevolence in its universality has to organize itself into a structure which corresponds both to the finitude of its perspective as well as the finitude of the objects of benevolence in order words there exist is called ordo amoris. Everyone has their own place in the ordo amoris of other. Through reason’s universality we our selves realize that we cannot be as important to othes as we are to ourselves. And because each of us know this, no one has the right to treat someone else as no body (Spaemann, Happines and Benevolence 109).

Situasi kontemporer yang dicirikan oleh penyebaran informasi yang tanpa

batas, dimana orang di satu tempat dapat mengetahui apa yang terjadi di tempat

lain yang sangat jauh sekalipun, dapat dijadikan contoh tentang pentingnya ordo

amoris/tatanan kebaikan hati. Berkat teknologi informasi dalam bentuk televisi,

atau koran, orang dapat mengikuti dan mengetahui peristiwa-peristiwa apa saja

yang terjadi di belahan bumi lain. Lewat informasi-informasi tersebut, misalnya

tentang akibat perang yang harus ditanggung oleh masyarakat sipil di suatu

wilayah yang berkonflik, dapat mengakibatkan rasa solidaritas dari orang-orang

yang mengetahui informasi tersebut. Walaupun sebenarnya seseorang yang

mengetahui informasi tersebut tidak mengenal orang-orang yang menjadi korban

perang, namun ia menjadi tergerak oleh penderitaan orang-orang yang sebenarnya

sama sekali tidak mengenal dan berada di tempat yang jauh darinya. Bagi

Spaemann, solidaritas, rasa prihatin yang muncul akibat berita di media masa

adalah bersifat semu dan hanya menimbulkan perasaan tidak berdaya, karena

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

46 Universitas Indonesia

tidak ada yang dapat dilakukan bagi mereka yang nampak dalam berita tersebut.

Mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal, juga jaraknya

sangat jauh dengan kita.

Bagi Spaemann, berhadapan dengan fenomena semacam ini, terasa akan

perlunya dibuat ordo amoris bagi orang-orang yang berada di luar lingkup

perhatian kita, ordo amoris yang tidak berdasarkan kedekatan atau kejauhan relasi

dengan diri kita. Spaemann mengusulkan, pertama, pada level politis, harus

tercipta kondisi di mana setiap orang memiliki kewarganegaraan. Dengan

memiliki kewarganegaraan, berarti seseorang memiliki ikatan, relasi, dan itu

berarti juga ada pihak yang berkepentingan, bertanggung jawab atas dirinya.

Dengan memiliki kewarganegaraan pula, seseorang dapat dikatakan menjadi

seseorang, tidak lagi bukan siapapun (nobody). Kedua, berdasarkan sifat

universalitas kebaikan hati, yang sebenarnya berlaku terhadap siapapun, maka

dalam situasi tertentu berhadapan dengan orang yang kita tidak kenal, namun

membutuhkan pertolongan kita, kita perlu untuk membantunya, karena pada

momen kita berhadapan dengan dia, dia telah menjadi nyata bagi kita. Orang

tersebut telah menegaskan dirinya di hadapan kita. Memang kita dapat saja

menolak dengan berpaling, namun itu bukanlah sikap yang sesuai dengan prinsip

kebaikan hati.

Ordo amoris juga berlaku bukan hanya berdasarkan kejauhan atau

kedekatan relasi, tetapi pertama-taman berdasarkan struktur realitas itu sendiri,

dan berbicara tentang struktur realitas, sebenarnya itu berbicara tentang

metafisika. Bagi Spaemann, etika memang tidak dapat dilepaskan dari metafisika.

Tidak ada etika tanpa metafisika.5 Yang dimaksud oleh Spaemann dengan struktur

realitas adalah level-level makhluk berdasarkan tingkat kesadarannya. Yang

menempati level paling tinggi dalam realitas adalah manusia karena memiliki

tingkat kesadaran yang paling tinggi, kemudian binatang, tumbuhan, dan akhirnya

benda mati.

Berdasarkan struktur realitas inilah tersusun ordo amoris. Pertaman-tama,

realitas yang menempati tempat yang paling tinggi dalam ordo amoris adalah

5 Ibid., hal. 113.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

47 Universitas Indonesia

manusia, pribadi yang memiliki kesadaran. Menurut Spaemann, relasi kewajiban

untuk hormat terhadap orang lain bukanlah pertama-tama karena kesamaan

biologis, melainkan karena orang lain pun memiliki relasi dengan diri mereka

sendiri, yakni pribadi. Mereka adalah pribadi yang memiliki kesadaran, maka

mereka adalah ‘nyata’ dan tidak dapat direduksi sekedar sebagai objek.

Menurut Spaemann, manusia sebagai makhluk yang dapat mengacu pada

dirinya sendiri, bukan saja bersifat relatif dalam hubungannya dengan orang lain

dan dalam pengalaman akan orang lain, melainkan pada dasarnya memang

tergantung pada orang lain dan hanya menjadi nyata dalam hubungan ini. Bila

manusia dapat menyadari bahwa dirinya bersifat relatif dan dapat keluar dari

dirinya sendiri, dengan merelatifkan dirinya, maka dia melampaui relatifitasnya

dan menjadi representasi dari Yang Absolut. Bagi Spaemann, inilah yang

dimaksud sebagai martabat manusia, bahwa manusia adalah representasi dari

Yang Absolut.

Dengan demikian, atas dasar inilah manusia adalah pribadi yang

merupakan representasi dari Yang Absolut, maka di dalamnya termuat larangan

untuk memperlakukan pribadi sekedar sebagai sarana. Spaemann memilih untuk

menggunakan kata ‘larangan’ karena kata tersebut merupakan batas minimum

dari setiap perintah untuk membantu orang lain yang membutuhkan bantuan, yang

tidak dapat dirumuskan secara positif karena bersifat tidak terbatas dan bervariasi.

Spaemann telah melihat bahwa relasi etis antar pribadi didasarkan pada

kenyataan bahwa setiap pribadi adalah makhluk yang memiliki kesadaran diri.

Namun Spaemann menyadari bahwa prinsip tersebut menghadapi tantangan

ketika berhadapan dengan kasus-kasus etis, misalnya dalam kasus pasien yang

tidak lagi memiliki kesadaran dan hanya dapat bertahan berkat alat bantu

kedokteran. Spaemann bertanya, “Bila relasi, tanggung jawab moral terhadap

makhluk yang memiliki kesadaran diri, lalu bagaimana dengan manusia yang

tidak lagi memiliki kesadaran diri?.” Menurut Spaemann, kita masih tetap

memiliki tanggung-jawab moral terhadap pasien tersebut, karena bagaimanapun

juga dia pernah mamiliki kesadaran diri. Hal itu berarti pula bahwa secara

potensial, pasien tersebut masih dapat memiliki kesadaran diri kembali.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

48 Universitas Indonesia

Selanjutnya, menurut Spaemenn, ordo amoris juga berlaku bagi makhluk

yang tingkatannya lebih rendah daripada manusia, misalnya binatang. Namun

tentu saja bentuk perhatian dan bantuannya berbeda daripada terhadap manusia.

Alasannya karena manusia merupakan suatu pribadi yang satu keseluruhan, yang

memuat tuntutan untuk dihormati, binatang bukanlah suatu keseluruhan/totalitas.

Binatang tidak dapat menjadi nyata bagi dirinya sendiri, dan tidak dapat keluar

dari pengaruh kegiatan dorongan instingtualnya, dan karena itu hidupnya tidak

dapat menjadi suatu keseluruhan. Apa yang nyata bagi binatang adalah satuan-

satuan peristiwa atau pengalaman. Panjang atau pendeknya hidup tidaklah berarti

bagi binatang itu sendiri. Dan terhadap kenyataan itulah, kebaikan hati dan

tanggung jawab kita harus mengacu secara praktis, misalnya kita boleh saja

membunuh binatang. Dan yang menjadi tanggung-jawab kita terhadap binatang

tersebut adalah meminimalkan rasa sakitnya, sehingga binatang tersebut sedikit

mungkin mengalami rasa sakit. Itulah yang dapat menjadi wujud kebaikan hati

terhadap binatang.

Berhadapan dengan alam, apa yang dapat dipandang sebagai tanggung-

jawab terhadap alam bagi kepentingan alam itu sendiri. Memang alam tidak

memiliki kesadaran diri, namun dalam kesadaran manusia sebagai makhluk

rasional, realitas ditangkap sebagai keseluruham, termasuk alam. Relasi manusia

dengan alam bukan hanya bahwa manusia berhadapan dengan alam, namun juga

ada semacam relasi/ikatan yang bersifat primordial. Manusia dan alam saling

melengkapi. Ketika alam tidak lagi utuh/lengkap, maka sesungguhnya manusia

pun menjadi kehilangan. Menurut Spaemann, apa yang dirumuskan oleh Leibniz

sebagai kebahagiaan, delectatio in felicitate alterius, berlaku juga dalam

hubungan manusia dengan alam. Rumusan tersebut bahkan dapat mengatasi

oposisi antar anthroposentrisme dan cinta akan alam demi alam itu sendiri.6

Bagi Spaemann, sejauh mana objek mati dapat menjadi objek kebaikan

hati adalah tergantung pada bagaimana kita memahaminya, sejauh mana kita

menerimanya sebagai nyata. Namun benda itu sendiri tidaklah memuat tuntutan

ontologis terhadap kita untuk memperhatikannya, karena benda itu sendiri tidak

6 Ibid., hal. 117-118.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

49 Universitas Indonesia

mengalami kerugian apapun atas apa yang menjadi keputusan kita. Lagi pula

sejauh mana benda itu menjadi nyata bagi kita adalah sama sekali tergantung pada

kita.

4.4. Tanggung Jawab

Bagi Spaeman, kebaikan hati tidak dapat diasalkan dari imperatif,

malainkan berasal dari persepsi akan kenyataan. Persepsi akan kenyataan ini

mengandung suatu paradoks. Di satu sisi, persepsi akan kenyataan tersebut adalah

anugerah, bukan sesuatu yang dapat kita usahakan atau berasal dari diri kita

sendiri. Namun, persepsi tersebut adalah suatu anugerah, selama kita tidak dapat

melihat kenyatan, kita tetap bersalah. Ada semacam suatu tuntutan bahwa kita

dapat melihat kenyataan; dan kita memiliki tanggung-jawab untuk memenuhi

tuntutan tersebut. Tindakan kita dinilai benar atau salah berdasarkan apakah kita

dapat memenuhi tuntutan ini atau tidak.

Menurut Spaemann, setidaknya ada tiga kriteria untuk menilai apakah

suatu tindakan adalah benar. Pertama, berdasarkan apakah tindakan tersebut

mendukung tercapainya tujuan. Kedua, berdasarkan apakah tindakan tersebut

mendukung tercapainya eudaimonia atau keseluruhan hidup yang berhasil.

Namun, berbeda dari tujuan-tujuan lain, eudaimonia tidak dapat dijadikan tujuan

langsung dari suatu tindakan. Ketika eudaimonia hendak dijadikan tujuan

langsung dari suatu tindakan, malah eudaimonia seolah menghindar. Spaemann

memberikan analogi tentang hukum kedua dari termodinamika, di mana ketika

kita berusaha untuk membangun suatu sistem tertutup yang teratur, hal tersebut

malah akan menyebabkan kekacauan pada lingkup yang lebih luas. Bagitu pula

dengan eudaimonia, ketika seseorang berusaha untuk mengatur hidupnya demi

mencapai eudaimonia, usaha tersebut tidak akan berhasil. Alasannya karena

eudaimonia tidak hanya terbatas pada hidup seseorang saja, melainkan juga

mencakup aspek-aspek di luar dirinya, misalnya keluarga, atau orang-orang yang

dicintainya, bahkan hidup semua orang.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

50 Universitas Indonesia

Dari sinilah, menurut Spaemann muncul kriteria ketiga untuk menentukan

apakah suatu tindakan benar atau salah. Kriteria tersebut bersifat moral, yaitu

apakah kita berhubungan secara bertanggung jawab dengan kenyataan. Di sini

Spaemann sekali lagi menggunakan pembedaan yang dibuat Aristotels, yaitu

antara poiesis dan praxis. Bila dalam poiesis, kita bertindak berdasarkan tujuan

tertentu dan untuk mewujudkan tujuan tersebut. Sedangkan dalam praxis, kita

bertindak demi tindakan itu sendiri. Dan ketika praxis diterapkan dalam relasi

dengan orang lain, hal itulah yang memenuhi kriteria moral ini. Karena dalam

praxis, orang lain dapat mengembangkan dirinya sendiri dan dapat tampil sebagai

dirinya sendiri. Dalam praxis ini pula kita dapat melihat orang lain sebagai

kenyatan. Karena itu, tepatlah bila relasi dengan orang lain yang bersifat praxis,

dipandang sebagi tindakan moral.

Dalam relasi dengan orang lain yang bersifat praxis ini, di mana orang lain

menampak dalam kesadaran, termuat tanggung jawab; dan tanggung jawab tidak

dapat lepas dari perhatian. Tanggung jawab terwujud dalam peraturan bahwa saya

peduli dengan keadaannya. Kepedulian tersebut, menurut Spaemann, mengacu

pada mereka dengan siapa saya bergaul, atau mereka yang secara tidak langsung

terkena dampak dari tindakan saya, baik pribadi maupun kolektif. Tanggung

jawab dan kepedulian, hanya dapat mengacu pada makhluk yang memiliki karater

teleologis, yaitu pada mereka yang dapat menangkap atau memberikan makna

pada apa yang terjadi.

Menurut Spaemann, ada perbedaan antara ‘atas apa’ dan ‘kepada siapa;

kita bertanggung jawab, atau objek dan alamat dari tanggung jawab kita. Pertama-

tama, kita bertanggung jawab atas apa yang dapat memiliki arti bagi seseorang.

Dengan menjadi alamat dari tanggung jawab kita adalah pribadi yang baginya

sesuatu dapat memiliki arti. Pada prinsipnya, kita bertanggung jawab kepada

siapapun yang dapat menuntut pertanggungjawaban kepada kita, dapat bertanya,

“Mengapa?”, atau “Atas hak apa?.”

Kita dapat dengan mudah memahami tentang perbedaan antara objek dan

alamat dari tanggung jawab ketika kita berhadapan dengan benda mati. Benda

mati adalah objek dari tanggung jawab kita, tetapi kita tidak perlu dan tidak dapat

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

51 Universitas Indonesia

bertanggung jawab terhadap benda mati. Namun persoalannya menjadi lebih sulit

ketika kita berhadapan dengan makhluk hidup lain selain manusia, misalnya

binatang dan tumbuhan. Bagi Spaemann, walaupun binatang dan tumbuhan dapat

tampil bagi kita sebagai kenyataan, sebagai pribadi, yang hanya bersifat analogi,

tetaplah binatang dan tumbuhan hanya dapat menjadi objek dari tanggung jawab

kita, dan bukan alamat bagi tanggung jawab kita. Alasannya karena bagi binatang

dan tumbuhan, hidup mereka tidak dapat menjadi suatu keseluruhan. Binatang dan

tumbuhan tidak memiliki kapasitas/kemampuan untuk memahami atau

memandang hidup sebagai keseluruhan. Diperlukan pemikiran reflektif yang

hanya dimungkinkan oleh adanya akal budi. Sedangkan binatang dan tumbuhan

tidak memiliki akal budi.

Walaupun kepada binatang dan tumbuhan kita tidak bertanggung jawab,

kita tetap memiliki tanggung-jawab atas mereka. Hal ini dimungkinkan karena

mereka dapat menjadi kenyataan bagi kita. Spaemann memberikan contoh tentang

seekor kumbang yang terbalik tubuhnya dan berusaha untuk membalikkan diri.

Ketika kita melihat penderitaan kumbang tersebut, kumbang tersebut menjadi

realitas bagi kita, umumnya kita langsung membantu kumbang tersebut untuk

membalikkan tubuhnya. Berhadapan dengan penderitaan kumbang, hati kita

tergerak oleh kebaikan hati untuk membantu meringankan atau membuat dia

terbebas dari penderitaannya tersebut. Di sinilah terjadi kesatuan antara melihat

kenyataan, kebaikan hati, dan mengambil tindakan. Semuanya itu tidak dapat

dipisahkan. Hal ini berlaku bukan hanya ketika kita berhadapan dengan orang

lain, melainkan juga ketika kita berhadapan dengan binatang dan tumbuhan,

ketika mereka menjadi kenyataan bagi kita.

Menurut Spaemann, ketika berhadapan dengan binatang dan tumbuhan,

kita tidak bertanggung jawab terhadap mereka, melainkan terhadap diri kita

sendiri. Tindakan berhenti menjadi actus humanus, bila secara sengaja tindakan

tersebut membuat kita buta. Martabat manusia muncul dari kenyatan bahwa

manusia melangkah dari sentralitasnya dimana segala sesuatu yang dijumpai

adalah tidak lagi sekedar sebagai ‘lingkungan’ mereka. Apa yang membuat

manusia manjadi representasi dari yang ‘tak terbatas’ adalah bahwa manusia dapat

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

52 Universitas Indonesia

memiliki persepsi akan kondisi batin pihak lain, entah itu orang lain ataupun

binatang. Memang tidak setiap penderitan binatang menjadi tangung jawab kita.

Apa yang menjadi tanggung jawab kita adalah ketika binatang tersebut menjadi

‘tetangga’ kita. Sebagai prinsip umum memperlakukan binatang, Spaemann

merumuskan, “pertama-tama, tidak setiap tindakan demi kepentingan manusia

dapat digunakan untuk membenarkan penderitaan binatang. Kedua, ada batas

toleransi dari penderitaan yang boleh kita sebabkan terhadap binatang. Untuk

menentukan batas tersebut, lamanya penderitaan dibandingkan dengan usia

harapan hidup dan bentuk kehidupan binatang tersebut dapat dijadikan

petimbangan.

Bagi Spaemann, bila kita membunuh binatang pun, tidak berarti bahwa

kita tidak bertanggung jawab. Memang membunuh binatang tanpa alasan adalah

hal yang tidak bertanggung jawab. Namun, bagi binatang lamanya hidup tidaklah

terlalu berarati. Karena itu, tanggung jawab kita terhadap binatang lebih

berkenaan dengan bagaimana kehidupan mereka, dan bukan seberapa lama

mereka hidup.

Spaemann juga mengulas tanggung jawab atas tumbuhan. Landasan

pertimbangan apa yang dapat membenarkan sikap tanggung jawab kita atas

tumbuhan?, menurut Spaemann, mempertentangkan antara ‘bagi kepentingan

manusia sendiri’ dan ‘bagi kepentingan tumbuhan sendiri’ adalah kekeliruan

paradigma. Spaemann memberikan contoh tentang keberlangsungan suatu spesies

tumbuhan tertentu dengan memberikan semacam pertimbangan estetis, bahwa

spesies tumbuhan itu tetap ada dan hal itu membuat kita senang, kegembiraan

estetis. Spaemann mengacu pada Kant yang mengatakan bahwa nikmat yang

dihasilkan oleh sesuatu yang indah adalah suatu kenikmatan yang tidak bersifat

egoistis atau tidak mengacu kepada kepentingan diri. Dan peduli karna sesuatu

berdasarkan pertimbangan estetis, tidak berarti peduli atas sesuatu bagi

‘kepentingan manusia.’ Melainkan kemampuan untuk memiliki ketertarikan pada

sesuatu yang tidak memberikan apapun adalah karakteristik dari manusia. Karena

itu ‘apapun’ yang tidak dapat dihasilkan kembali atau tidak dapat diperbaiki

masuk dalam lingkup tanggung jawab manusia.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

53 Universitas Indonesia

Menurut Spaemann, pertanggungjawaban hanya dapat diberikan kepada

mereka yang dapat meminta pertanggungjawaban dan terbuka terhadap akal budi;

dan yang hanya memiliki persyaratan tersebut adalah manusia. Memang hanya

kepada manusialah kita bertanggung jawab; dan kita bertanggung jawab bukan

hanya kepada orang lain, tetapi juga terhadap diri sendiri. Pihak yang meminta

pertanggungjawaban dalam diri sendiri adalah apa yang disebut sebagai suara

hati. Kita bertanggung jawab terhadap suara hati. Namun dengan adanya suara

hati ini tidak berarti kita terbebas dari tanggung jawab terhadap orang lain.

Pada prinsipnya kita bertanggung jawab terhadap semua orang. Namun

bentuk tanggung jawab terhadap orang lain ini berbeda dari tanggung jawab kita

terhadap binatang atau tumbuhan, karena manusia atau orang lain adalah makhluk

yang memiliki kebebasan. Untuk dapat membantu orang lain, kita membutuhkan

persetujuan dari orang lain tersebut. Kita tidak dapat memaksa untuk membantu

orang lain selama dapat saja orang tersebut memang tidak menghendakinya.

Ketika kita memaksakan bantuan, itu berarti kita melanggar kebebasannya.

Memang ada kasus-kasus khusus di mana kita berhadapan dengan orang yang

tidak lagi memiliki kesadaran, sehingga kita tidak dapat meminta persetujuannya.

Dalam kasus-kasus seperti itu, dapat dibenarkan bahwa kita bertindak menurut

apa yang kita anggap baik demi orang tersebut, di mana kita bertindak sebagai

wakilnya dalam membuat keputusan. Namun, berhadapan dengan orang yang

memiliki kesadaran, tanggung jawab kita atas mereka adalah terbatas sejauh

mereka meminta bantuan kita. Alasannya adalah karena ada pihak yang lebih

bertanggung jawab atas diri mereka dibandingkan diri kita, yaitu diri mereka

sendiri.

Menurut Spaemann, karena ada batas antara relasi kita dengan orang lain,

yaitu kebebasannya, maka tanggung jawab kita yang paling pokok terhadap orang

lain hanya dapat dirumuskan secara negatif, yaitu: menghindari untuk

mempengaruhi orang lain dengan cara-cara yang tidak menghormati mereka

sebagai pribadi. Berbeda dari setiap kewajiban positif yang harus terikat pada

situasi dan kondisi, kewajiban untuk tidak melanggar wilayah kebebasan orang

lain yang akan mengabaikan dimensi diri mereka sebagai pribadi, berlaku tanpa

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

54 Universitas Indonesia

syarat dan tidak tergantung pada situasi dan kondisi. Tentu saja ada kasus-kasus di

mana kita harus melanggar kebebasan seseorang demi menghalangi dia

melakukan tindakan yang akan merugikan orang lain, misalnya dengan

memasukkan seseorang ke dalam penjara. Namun perlakuan tersebut, yang

dilakukan untuk menghalangi seseorang menggunakan kebebasannya tidaklah

melanggar martabatnya sebagai manusia. Tindakan tersebut hanya menghalangi

dia untuk melakukan tindakan yang bukan merupakan haknya.

Tanggung jawab kita atas dan terhadap manusia yang didasarkan pada

klaim bahwa setiap orang harus diperlakukan oleh setiap orang bukan sekedar

sebagai objek, melainkan sebagai pribadi. Spaemann menulis :

Our responsibility for and to humans is grounded in the claim of every human being to be taken by every other rational being not just as an object, but man as a self-being. That this claim cannot at every moment be made good by everyone toward everyone is due to the finitude of humans, and this finds its rational expression in that which we have named, following the tradition, ordo amoris (Spaemann, Happines and Benevolence 182).

Bahwa klaim tersebut tidak dapat direalisasikan setiap waktu, oleh setiap

orang, dan terhadap setiap orang adalah karena keterbatasan manusia. Namun

kondisi ini telah menemukan pemecahannya dalam apa yang disebut sebagai ordo

amoris. Berkat universalitas akal budi kita yang memiliki kemampuan untuk

melihat kenyataan, dan dari ketergantungan setiap orang terhadap dukungan dari

sesamanya untuk merealisasikan kodratnya sebagai pribadi, sebagai subjek

kebebasan, dalam kasus tertentu dapat saja tiba-tiba orang lain yang tidak kita

kenal menjadi ‘tetangga’ kita yang menghimbau kita untuk membantunya. Pada

saat itulah kita memiliki tanggung jawab terhadap orang tersebut. Tanggung

jawab ini, sekali lagi, tidaklah didasarkan pada prinsip ataupun maksim,

melainkan persepsi atas kenyataan orang lain sebagai pribadi.

Munurut Spaemann, untuk semakin memahami tentang tanggung jawab,

kita dapat melihat dua macam bentuk tanggung jawab, yaitu tangung jawab atas

diri sendiri dan tanggung jawab atas diri orang lain. Pertama-tama, kita menyadari

bahwa kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri dengan memenuhi apa yang

menjadi tuntutan dari kebutuhan-kebutuhan dasar kita. Namun ada juga tuntutan

yang tidak berasal dari kebutuhan-kebutuhan dasar, misalnya untuk

mengembangkan diri. Dan sesungguhnya mengembangkan diri pun adalah

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

55 Universitas Indonesia

kewajiban kita, tanggung jawab kita terhadap diri sendiri. Dalam tanggung jawab

atas diri sendiri, di sini atas dan kepada siapa kita bertangung jawab memang

tumpang tindih. Bagi Spaemann, kepeutusan untuk berbicara tentang tanggung

jawab semacam ini, yakni terhadap diri sendiri, bersifat metafisik. Hal ini

tergantung pada bagaimana kita memahami diri kita. Dan hanya ketika kita

memahami diri tidak sebatas apa yang nampak, melainkan sebagai representasi

dari ‘yang absolut’ maka pemikiran tentang tanggung jawab terhadap diri sendiri

menjadi mungkin. Sebaliknya, bila kita memahami diri hanya sebatas pada

kerangka pikir sosiologis, psikologis, ataupun biologis, maka pembicaraan tentang

tanggung jawab terhadap diri sendiri menjadi tidak dapat ditampung.

Menurut Spaemann, selain tanggung jawab atas diri sendiri kepada diri

sendiri, ada juga macam tanggung jawab atas diri sendiri kepada orang lain,

misalnya kepada mereka yang hidupnya tergantung pada diri saya. Tanggung

jawab semacam ini, yaitu tanggung jawab atas hidup saya demi orang lain, hanya

mungkin nampak sebagi kenyataan bagi saya; dan itu berarti adalah dalam momen

kebaikan hati. Kepedulian terhadap diri saya sebagai bagian dari dunia orang lain

adalah bagian dari kebaikan hati kepada orang lain. Walaupun demikian tanggung

jawab saya tersebut tidaklah lebih besar daripada tanggung jawab saya terhadap

diri sendiri.

Kasus lain yang dapat membantu kita untuk lebih memahami tentang

tanggung jawab adalah kasus pasien yang sudah kehilangan kesadaran diri, di

mana tidak ada lagi orang yang merasa rugi dengan tidak adanya orang tersebut.

Bagi Spaemann, dari sini terlihat bahwa nilai dari hidup seseorang tidak boleh

direlatifkan, tetapi harus dihormati begitu saja tanpa perlu nengacu pada siapa

atau apapun. Dan hal ini hanya dapat dipahami dalam perspektif tentang ‘yang

absolut’, bahwa ada ‘yang absolut’, dan ‘yang absolut’ ini pun harus dipahami

secara simbolik, bukan sebagai semesta yang kemudian harus dioptimalisasikan.

Karena bila ‘yang absolut’ ini dapat dipahami sebagai sesuatu yang empiris,

sebagai totalitas dunia, maka tanggung jawab kita malah menjadi terlalu besar,

bahkan semuanya menjadi tanggung jawab kita.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

56 Universitas Indonesia

4.5. Maaf

Menurut Spaemann, karena keterbatasam manusia dalam memberikan

perhatian, seperti terwujud dalam ordo amoris, maka kepada orang-orang yang

ternyata luput dari perhatian dan belas kasih, kita membutuhkan maaf. Kita

merasa bersalah dan karenanya membutuhkan maaf dari orang-orang yang berada

di luar rentang perhatian kita atau pun karena kita tidak mampu untuk membantu

mereka. Memang kesadaran akan perlunya maaf terkait juga dengan kondisi

keterjagaan kita terhadap kenyataan. Selama kita tidak terjaga atau tidak melihat

kenyataan, kita tidak merasakan adanya yang salah dengan kondisi ini, bahwa ada

orang-orang yang ternyata berada di luar ordo amoris kita. Namun, ketika kita

tersadar dan melihat kenyataan, kita merasa bahwa kita ikut bersalah atas kondisi

tersebut, bahwa kita tidak berdaya berhadapan dengan orang lain yang ternyata

membutuhkan kita, dan kita tidak dapat berbuat sesuatu untuk membantu mereka.

Spaemann menulis :

I call the forgiveness which we speak “ontological” because it has as its object our being, the fact that we are as we are. To use an expression taken from moral discourse fot this seems to be misleading or merely methaporical. Given that we did not ourselves, it would seem that this being the way we are is exactly that for which we ourselves cannot be held responsible. Where is addressee forgiveness? Had I made myself, I would have to think myself as creatot of myself without nature, and thats means without any of the “mitigating circumstances” which would make the forgiveness possible.” (Spaemann, Happines and Benevolence 189-190).

Dengan demikian, bagi Spaemann, maaf yang ia bicarakan adalah lebih

bersifat ontologis daripada bersifat moral, karena yang menjadi objek maaf adalah

adanya kita, fakta bahwa kita adalah seperti yang ada sekarang, dan bukan yang

lain. Tetapi Spaemann pun menyadari adanya suatu masalah yang dihadapi oleh

konsep tentang maaf tersebut, yaitu apakah memang kita bertanggung jawab dan

karenanya bersalah atas adanya kita seperti ini, padahal adanya kita sekarang ini

bisa saja lebih disebabkan berasal dari karakter-karakter dasar individual kita yang

kita bawa sejak lahir. Karena itu, adanya kita seperti sekarang ini sebagian besar

disebakan oleh kodrat kita. Namun Spaemann tidak menjawab permasalahan ini

secara langsung, melainkan kembali pada gagasan dalam melihat kenyataan,

bahwa ketika kita terjaga dan mampu melihat kenyataan, kita merasa malu,

menyesal, dan bersalah atas keadaan kita sebelumnya. Terlepas dari apakah

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

57 Universitas Indonesia

memang pantas untuk merasa bersalah karena kondisi ‘tertidur’ tersebut, atau

apakah sungguh kita bersalah atas kondisi tersebut

Dalam melihat kenyataan, kebaikan hati telah termuat maaf terhadap orang

lain atas keterbatasan mereka, sehingga diri kita bagi mereka tidak atau menjadi

kurang nyata dibandingkan diri mereka sendiri. Dalam melihat kenyataan orang

lain, kita melihat orang lain dalam keadaan dasariahnya, dalam keterpusatannya

terhadap dirinya sendiri, dan kita menerima keadaan mereka yang seperti itu.

Melihat kenyataan orang lain sebagai nyata, kita belumlah melihat orang lain

sebagai pihak yang telah berhasil mengatasi keterpusatan dari dirinya dan mampu

melihat kenyataan, melainkan sebagai orang yang sama sekali terbatas, sama

sekali tidak sempurna. Kita juga mampu melihat, mengakui, menerima mereka

dalam keadaan seperti apa adanya mereka. Pada momen itu pula, menurut

Spaemann, telah termuat tindakan maaf, bahwa kita telah memberikan maaf

kepada mereka atas segala keterbatasan mereka. Kita membiarkan mereka

menggunakan perspektif ordo amoris, di mana kita dapat menjadi tidak atau

kurang nyata bagi mereka dibandingkan nyatanya pengalaman kita atas diri

sendiri. Namun sekaligus juga kita berharap bahwa dalam keterbatasan tersebut,

orang lain pun memiliki kebaikan hati.

Selanjutnya Spaemann membahas tentang maaf pada level yang lebih

praktis, yaitu ketika kita berhadapan dengan orang lain yang bersalah atas

tindakannya. Walaupun maaf pada level ontologi seolah tidak terkait dengan

tindakan atau karakter individual, namun pada level berikunya, maaf tidak dapat

dilepaskan dari tindakan dan pelaku. Maaf mengandaikan adanya pelaku dan

tindakan yang salah. Ada keterikatan antara prilaku dan tindakan. Namun, maaf

juga mengandaikan bahwa ikatan antara pelaku dan tindakan tersebut dapat

dipatahkan. Juga diandaikan bahwa pelaku dapat memperbaiki dirinya dari

karakter-karakter buruk yang menyebabkan dia melakukan tindakan yang salah.

Menurut Spaemann, perbaikan diri dari pelaku tersebut dimungkinkan bila

pelaku terjaga, dapat melihat kenyataan. Ketika dia dapat melihat kenyataan, dia

dapat melihat dirinya dari perspektif yang lain. Melihat bahwa dia bertanggung

jawab dan bersalah atas kondisinya yang seperti itu. Dan melihat kenyataan ini

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

58 Universitas Indonesia

pun menyebabkan pelaku dapat mengambil jarak terhadap karakter-karakternya

yang buruk, dan akhirnya dapat mengatasinya. Namun ini hanya mungkin dengan

bantuan orang lain. Orang yang bersalah tergantung dan membutuhkan maaf dari

orang lain. Maaf tersebut tidak dapat hanya berasal dari diri sendiri. Orang yang

bersalah hanya dapat membiarkan dirinya dimaafkan dan menerima maaf.

Tanggapan yang dapat dia berikan terhadap maaf adalah syukur, yang merupakan

bentuk paling murni dari kebaikan hati.

Memang, menurut Spaemann, ada bahaya dari maaf, ketika seseorang

ternyata memaafkan dirinya sendiri. Lewat maaf, orang tersebut ingin nampak

bagi orang lain, dan bagi dirinya sendiri sebagai subjek yang rasional. Padahal,

mungkin saja sebenarnya tidak ada yang perlu dimaafkan. Bagi Spaemann, maaf

yang sesungguhnya mensyaratkan adanya luka yang nyata. Maaf memiliki

karakter memperbaiki. Arti moral dari maaf terletak pada kapasitasnya untuk

menciptakan. Maaf tidak sekedar pengakuan akan subjektivitas orang lain,

melainkan memberikan kesempatan bagi dia untuk menjadi nyata. Ketika diberi

maaf, orang ridak dapat lagi berkata, “Memang beginilah saya.” Lewat maaf

termuat pengakuan bahwa,”Kamu bukanlah yang seperti itu.”7 Dengan demikian,

lewat maaf orang dapat melihat dirinya sebagai nyata yang juga

mengimplikasikan perbaikan diri.

Kemudian, Spaemann menyadari kesulitan yang dihadapi ketika kita

berhadapan dengan orang yang sulit, yang sama sekali tidak sadar bahwa dia

bersalah dan sama sekali tidak berniat untuk memperbaiki diri. Pertanyaannya

adalah: “Apakah mungkin untuk memberikan maaf pada orang semacam itu?”

Padahal maaf mengandaikan adanya hubungan timbal-balik, di mana orang yang

bersalah pun mengharapkan adanya maaf.

Berhadapan dengan kondisi semacam ini, Spaemann menyarankan bahwa

setidaknya kita menahan diri untuk membuat keputusan tentang orang tersebut

seperti apa. Menahan diri membuat keputusan ini bukan berarti bahwa kita tidak

memberikan penilaian terhadap perbuatan yang dia lakukan. Namun bahwa kita

berusaha untuk tidak membuat penilaian, gambaran tentang dirinya berdasarkan

7 Ibid., hal. 194.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

59 Universitas Indonesia

dari tindakan yang dilakukannya. Kita berusaha untuk tidak menghakimi orang

tersebut. Bahkan, bagi Spaemann, orang yang dapat menunda untuk tidak

membuat keputusan tentang seseorang yang telah berbuat kejahatan kepadanya,

atau orang yang dia saksikan berbuat kejahatan adalah bentuk penegasan

transendensinya terhadap realitas “kejahatan”. Juga, menunda membuat keputusan

adalah bentuk minimal dari kebaikan hati yang tidak dapat direbut dari siapapun.

Selanjutnya, menurut Spaemann, ketika suatu tindakan atau kesalahan

melibatkan dan memberikan dampak buruk terhadap orang lain, maaf tidak dapat

hanya berasal dari diri sendiri, melainkan juga harus berasal dari orang yang

dirugikan tersebut. Namun, ketika suatu tindakan tidak merugikan siapapun dan

hanya merugikan diri sendiri, maka maaf cukuplah berasal dari diri sendiri. Jadi,

memang kita dimungkinkan untuk memaafkan diri sendiri. Namun, pemikiran

maaf terhadap diri sendiri ini tidak dapat terlepas dari gagasan tentang tanggung

jawab atas diri sendiri. Bila kita tidak bertanggung jawab atas diri sendiri, maka

tidak ada yang perlu dimaafkan, karena saya tidak bersalah terhadap siapapun.

Ternyata tanggung jawab terhadap diri sendiri mengandaikan adanya subjek

kepada siapa saya harus bertanggung jawab.

Bagi Spaemann, paham tentang tanggung jawab terhadap diri sendiri tidak

dapat dipikirkan tanpa memahami manusia sebagai gambaran atau representasi

dari ‘yang absolut’. Hal ini berarti memandang manusia sebagai tidak sekedar

dirinya, melainkan bahwa manusia merupakan bagian, ‘milik’ dari sesuatu ‘yang

absolut’ yang bersifat transenden. Dan kepada ‘yang absolut’ seseorang

bertanggung jawab atas dirinya. Karena itulah, bagi Spaemann, gagasan tentang

tanggung jawab atas diri sendiri adalah gagasan religius. Memang, ‘yang absolut’

dapat dipikirkan dengan berbagai cara, namun hanya ketika ‘yang absolut’

dipandang sebagai sesuatu yang bersifat personal dan sebagai subjek, maka

tanggung jawab terhadapnya menjadi mungkin. Dan maaf bagi diri sendiri pun

menjadi mungkin. Sebaliknya, menurut Spaemann, bila ‘yang absolut’ ini bersifat

impersonal, maka gagasan tentang tanggung jawab menjadi tidak mungkin dan

tidak perlu, karena kita tidak dapat dan tidak perlu bertanggung jawab terhadap

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

60 Universitas Indonesia

sesuatu yang tidak bersifat personal, bukan subjek. Namun, dengan demikian

pula, maaf bagi diri sendiri juga menjadi tidak mungkin.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

61 Universitas Indonesia

4.6. Bagan

ETIKA

ROBERT SPAEMANN

Plato

Etika Eudaimonia Etika Modern

Epikurus AristotelesStoa Etika

Kristiani

Etika

Deontologis

Kant

Etika

Diskursus

Etika

Utilitarisme

Kritik Spaemann terhadap Etika Eudaimonia:

Kegagalan dalam mengonsepsikan isi dari eudaimonia

Kritik Spaemann terhadap Etika Modern:

Kegagalan dalam mempertemukan kebahagiaan dengan kewajiban

ETIKA ROBERT SPAEMANN

sebagai sintesis Etika Eudaimonia dan Etika Modern,

Kebaikan hati,

persahabatan, dan

melihat kenyataan

Ordo Amoris MaafTanggung Jawab

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

62 Universitas Indonesia

4.7. Penutup

Spaemann telah menunjukkan bahwa ternyata masih terdapat harapan bagi

kesatuan antara kalon dan kagathon, antara tindakan moral dan kebahagiaan, yaitu

dalm cinta dan persahabatan. Dalam cinta/persahabatan, tidak ada lagi kontradiksi

antara apa yang menjadi ‘kewajibanku’ dengan apa yang ‘membahagiakanku’,

karena ‘aku’ bahagia ketika ‘sahabatku’ berbahgia, dan persahabatan/cinta ini

mensyaratkan terbukanya mata hati kita terhadap realitas ‘sahabatku’, atau orang

yang dicintai. Ketika itu kita mampu melihat realitas orang lain, atau sahabat,

maka kebaikan hati akan muncul. Spaemann menggeser persolan etika dari

persolan kebahagiaan atau kewajiban, menjadi persolan kebaikan hati atau

persoalan dalam melihat kenyataan. Bagi Spaemann, kebaikan hati, melihat

kenyataan adalah dasar dari moralitas.

Spaemann pun menyadari bahwa kebaikan hati sesungguhnya bersifat

universal. Tetapi fakta keseharian manusia menunjukkan adanya keterbatasan

manusia dalam mengekspresikan kebaikan hati. Karena itu, Spaemann melihat

bahwa gagasan tentang ordo amoris, hirarki kebaikan hati sebagai jalan keluar

bagi sifat universalitas kebaikan hati ketika dihadapkan dengan realitas

keseharian. Berkat ordo amoris, kita dapat mengetahui siapa yang berhak

mendapat prioritas dari kebaikan hati kita, dan kita pun dapat mengetahui di mana

letak diri kita dalam ordo amoris orang lain. Selain didasarkan pada jauh dekatnya

relasi, ordo amoris juga tersusun berdasarkan struktur realitas, dari makhluk yang

berkesadaran paling tinggi hingga yang paling rendah, atau tidak memiliki

kesadaran diri.

Spaemann juga menunjukkan bahwa merupakan bagian dari tanggung

jawab kita sebagai makhluk rasional untuk akhirnya mampu melihat kenyataan.

Dan ketika kita mampu melihat kenyataan pun, tersirat tanggung jawab.

Tanggung jawab tersebut memiliki dua dimensi, yaitu objek tanggung jawab dan

alamat bagi tanggung jawab tersebut. Pertama-tama, sesungguhnya tanggung

jawab kita mencakup semua orang. Namun karena keterbatasan kita sebagai

manusia, tanggung jawab kita pun akhirnya terutama terhadap mereka yang

masuk ke dalam ordo amoris kita. Dan terhadap orang yang ternyata luput dari

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

63 Universitas Indonesia

tangung jawab kita, kita bolehlah mengharapkan maaf. Kemudian, tanggung-

jawab kita pun meliputi makhluk-makhluk lain, misalnya binatang, tumbuhan,

juga alam. Namun tanggung jawab kita atas semua itu berbeda daripada tanggung

jawab atas manusia. Kemudian, dimensi selanjutnya dari tanggung jawab adalah

alamat dari tanggung jawab tersebut. Bagi Spaemann, yang dapat menjadi alamat

bagi tanggung jawab hanyalah manusia, karena hanya manusia yang dapat

meminta pertangungjawaban.

Ternyata fakta keterbatasan kita sebagai manusia juga mau tidak mau

memunculkan gagasan tentang maaf. Menurut Spaemann, ketika kita mampu

melihat kenyataan dan kita melihat kembali keadaan kita sebelumnya, kita merasa

bersalah tidak sejak sebelumnya memenuhi apa yang menjadi tangung jawab kita,

yaitu untuk mampu melihat kenyataan dengan mata hati kita. Karenanya kita

membutuhkan maaf. Selain itu, ketika kita telah dapat membuka mata hati kita,

ternyata kita pun seringkali tidak berdaya, tidak dapat berbuat apapun berhadapan

dengan realitas orang lain yang sebetulnya membutuhkan perhatian atau

pertolongan kita, hanya karena mereka memang berada di luar jangkauan kita.

Untuk itu, kita pun membutuhkan maaf.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

64Universitas Indonesia

BAB V

PENUTUP

Bab ini memuat tanggapan atas analisa Spaemann yang saya bahas dalam

tulisan ini. Kemudian akan saya lanjutkan dengan kesimpulan dari keseluruhan

uraian pemikiran Spaemann tersebut.

5.1. Tanggapan Kritis

Ada beberapa poin tanggapan yang saya ajukan berkenaan dengan anlisa

Spaemann yang dibahas dalam tulisan ini:

Pertama, bagi Spaemann, cinta dan persahabatan adalah puncak dari

moralitas, di mana terjadi perjumpaan antara apa yang membahagiakanku dan apa

yang wajib. Tetapi saya melihat bahwa ada kemungkinan di mana terjadi konflik

moral antara persahabatan dengan nilai-nilai moral. Misalnya, seseorang akan

melakukan apa saja demi tercapainya kebutuhan sahabatnya tanpa mempedulikan

nilai atau objek di luar dari sahabatnya. Jadi ada kemungkinan bahwa cinta dan

persahabatan harus melanggar nilai-nilai moral, misalnya keadilan.1 Sayangnya

Spaemann tidak berbicara tentang hal ini. Spaemann seolah membatasi diri untuk

tidak berbicara tentang kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi oleh konsep

persahabatan. Tentunya kesulitan tersebut pun telah disadari oleh Spaemann,

sehingga dalam pengantarnya Spaemann menulis bahwa kalaupun memang ada

jalan keluar bagi pertentangan antara kebahagiaan dan kewajiban, hanya dapat

ditunjuk dan tidak dapat dibuktikan atau diargumentasikan.2 Karena itu Spaemann

hanya mendeskripsikan apa yang terjadi dalam persahabatan. Yang patut

disayangkan adalah ketika Spaemann tidak mengeksplorasi tema ini secara lebih

jauh dengan membahas persoalan-persoalan yang ada berkenaan dengan konsep

tentang persahabatan. 1 Bdk. Cooking, Dean, ‘friendship and Moral Danger’, The Journal of Philosophy, vol. XCVII, no.5, Mei 2000, hal. 278-296.2 Spaemann, Robert, 2000, hal. Viii.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

65Universitas Indonesia

Kedua, salah satu poin berharga dari Spaemann adalah Spaemann

meletakkan inti moralitas pada persepsi akan orang lain dan kebaikan hati. Bagi

Spaemann moralitas adalah persoalan apakah kita mampu melihat realitas orang

lain atau tidak. Ketika kita mampu melihat realitas orang lain, pada saat itu pun

muncul kebaikan hati. Kebaikan hati tidak dapat dipisahkan dari persepsi akan

realitas orang lain. Realitas orang lain itulah yang menggerakkan kita.

Pemahaman Spaemann ini memiliki kemiripan dengan pemikiran Iris Murdoch,

Hans Jones, dan Emmanuel Levinas.3 Para filsuf tersebut pun melihat bahwa inti

moralitas adalah persepsi akan realitas orang lain.

Ketiga, ada beberapa relevansi praktis dari pemikiran Spaemann. Gagasan

Spaemann dapat menjadi dasar bagi etika lingkungan dan etika terhadap binatang.

Dalam gagasannya tentang ordo amoris dan juga tentang tanggung-jawab,

Spaemann memandang bahwa tanggung jawab manusia tidak hanya terbatas atas

manusia, melainkan juga mencakup makhluk-makhluk lain seperti binatang dan

tumbuhan. Namun memang tanggung-jawab kita atas binatang dan tumbuhan

berbeda daripada tanggung-jawab kita atas diri sendiri dan orang lain. Pada

binatang, karena mereka tidak memiliki kesadaran diri, lamanya hidup tidak

menjadi persoalan. Karena itu dalam praksisnya kita boleh saja membunuh

binatang. Yang menjadi tanggung-jawab kita terhadap binatang adalah

meminimalkan rasa sakitnya, sehingga binatang tersebut sedikit mungkin

mengalami rasa sakit. Sedangkan perlakuan bertanggung jawab manusia atas alam

dilandasi oleh pertimbangan bahwa dalam kesadaran manusia sebagai makhluk

rasional, realitas, termasuk alam ditangkap sebagai keseluruhan. Ada semacam

relasi/ikatan primodial antara manusia dengan alam, di mana keduanya saling

melengkapi.

Akhirnya, keempat, skripsi ini memang tidak dapat dilepaskan dari konsep

Spaemann tentang filsafat. Spaemann melihat filsafat sebagai perbincangan yang

tidak akan pernah berhenti atau mencapai titik akhir. Karena itu kita memang

tidak dapat mengharapkan bahwa Spaemann membangun suatu sistem filsafat

atau etika sendiri. Etikanya lebih bersifat dialektis. Tujuan Spaemann dalam 3 Bdk. Magniz-suseno, Franz, Good atau God? Catatan tentang Filsafat Moral Irish Murdoch, dalam jurnal Diskursus, vol. 03, no. 02, April 2004, hal. 109.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

66Universitas Indonesia

bukunya adalah menunjukkan kesalahan-kesalahan, sekaligus juga menekankan

kembali kebenaran-kebenaran yang selama ini terlupakan.4 Walaupun Spaemann

tidak membuat suatu sistem etika yang baru, apa yang dilakukan oleh Spaemann,

yaitu dialog dengan pemikiran-pemikiran etika sejak masa Yunani hingga

kontemporer sekarang adalah sesuatu yang bernilai. Dia mampu menggapai secara

segar pemikiran-pemikiran etika tersebut, juga mengangkat kembali persoalan-

persoalan dasar dari etika.

5.2. Kesimpulan

Dalam pemikiran etika modern, eudaimonia/kebahagiaan dipandang tidak

lagi relevan sebagai dasar untuk moralitas atau bertindak etis. Hal ini terutama

akibat kritik Kant terhadap etika eudaimonia, bahwa motivasi akan kebahagiaan

hanya akan merusak inti moralitas. Bagi Kant, moralitas adalah persoalan

kewajiban. Robert Spaemann bermaksud merehabilitasi etika eudaimonia dengan

berusaha mencari titik temu antara kebahagiaan dan kewajiban.

Dalam usahanya tersebut, Spaemann melakukan analisa terhadap

pemikiran etika yang telah ada. Spaemann mengikuti pemahaman para filsuf

Yunani yang memahami etika sebagai ajaran tentang hidup yang berhasil. Dan

penilaian akan hidup yang berhasil haruslah dibuat dengan memperhatikan hidup

sebagai suatu keseluruhan. Dengan latar belakang pemahaman tentang etika

sebagai ajaran tentang hidup yang berhasil ini, Spaemann menguji pemikiran-

pemikiran etika dari para filsuf Yunani, filsuf Kristiani, Kant, hingga etika

diskursus. Spaemann memulai analisanya pada filsuf Yunani. Spaemann

menemukan bahwa para filsuf Yunani sepakat bahwa yang menjadi tujuan

manusia adalah mencapai eudaimonia/kebahagiaan. Namun kemudian masing-

masing filsuf memiliki pemahaman yang berbeda tentang apa yang menjadi isi

dari eudaimonia dan cara untuk mencapai eudaimonia tersebut. Menurut

Spaemann, Plato telah menangkap apa yang sesungguhnya menjadi permasalahan

etika, yaitu bagaimana menyatukan antara kalon (yang ‘luhur’) dan kagathon 4 Madigan, Arthur, Robert Spaemann’s Philosophische Essay, artikel penutup dalam Happines and Benevolence, hal. 227.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

67Universitas Indonesia

(yang ‘baik bagiku’). Puncak etika tercapai ketika terjadi kesatuan antara kalon

dan kagathon tersebut, sebagai kalonkagathon. Namun ternyata, para filsuf

sesudah Plato memiliki pandangan yang berbeda tentang apa yang menjadi

eudaimonia.

Menurut Spaemann, Epikuros melihat eudaimonia sebagai terdapat dalam

apa yang menjadi tujuan manusia, yaitu kenikmatan. Namun kenikmatan tersebut

lebih bersifat psikologis, yaitu sebagai keadaan di mana batin merasa tenang dan

juga tiadanya rasa sakit. Kritik utama Spaemann terhadap Epikuros adalah bahwa

kenikmatan yang tidak memiliki keterarahan, yakni sekedar perasaan tenang,

gembira yang tanpa sebab tidaklah terlalu berarti. Kritik lain adalah bahwa

pemikiran Epikuros tidak dapat menampung dimensi waktu. Ajaran Epikuros

hanya mungkin bila orang dapat keluar atau tidak dipengaruhi oleh waktu.

Kemudian kepada Stoa, Spaemann memandang bahwa apa yang

ditawarkan oleh Stoa sebagai eudaimonia, yaitu keadaan cukup diri, hanyalah

merupakanm alternatif lain yang tingkatannya lebih rendah daripada eudaimonia.

Ketika seseorang telah merasa cukup diri, ia malah menutup diri terhadap

kemungkinan eudaimonia yang sesungguhnya, misalnya yang muncul berkat

realitas orang lain atau dalam cinta.

Sedangkan eudaimonia yang ditawarkan oleh Aristoteles adalah

eudaimonia yang diperoleh lewat keterlibatan aktif dalam kehidupan polis.

Spaemann menilai bahwa apa yang ditawarkan oleh Aristoteles sebagai

eudaimonia adalah eudaimonia yang bersifat kompromistis, yang sesuai dengan

kondisi manusia, yaitu sebagai makhluk yang terdiri dari jasmani dan rohani.

Eudaimonia semacam ini pun bersifat relatif, karena sesungguhnya kehidupan

polis tidaklah sempurna, pasti banyak diwarnai kekecewaan dan kegagalan.

Setelah menganalisa pemikiran filsuf Yunani tentang eudaimonia,

Spaemann sampai pada kesimpulan bahwa etika eudaimonia/kebahagiaan tidak

memadai. Salah satu alasannya adalah karena eudaimonia tidak dapat dijadikan

tujuan langsung. Eudaimonia sebagai tujuan hakiki manusia bersifat formal,

sebagai horizon bagi tujuan-tujuan konkrit manusia. Ketika kebahagiaan dijadikan

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

68Universitas Indonesia

tujuan dari segala tindakan kita, maka kebahagiaan malah seolah menghindar.

Kebahagiaan hanya mungkin ada sebagai hasil sampingan. Alasan lain,

eudaimonia adalah konsep yang utopis, karena eudaimonia sejati tidak akan

terwujud dalam tataran empiris. Eudaimomia atau kebahagiaan absolut adalah

gagasan yang mentransendensi semua pengalaman, jadi bersifat transendental.

Selain itu, konsep eudaimonia sendiri mengandung antinomi. Eudaimonia

dipahami sebagai hidup yang berhasil sebagai keseluruhan. Itu berarti hidup

seseorang dapat atau boleh dinilai berhasil ketika penilaian tersebut dibuat dengan

memperhatikan keseluruhan hidupnya. Penilaian itu hanyalah mungkin bila

dilakukan dengan orang lain, dari perspektif orang lain; dan juga juga ketika

orang tersebut sudah mati. Karena itu di sisi lain, ketika hidup dipandang lewat

perspektif orang lain, dimensi subjektivitas, yaitu perasaan orang yang

bersangkutan tidak dapat masuk dalam penilaian atas berhasil atau tidaknya hidup

seseorang. Padahal kebahagiaan juga berarti bahwa seseorang merasakan dirinya

bahagia. Sedangkan ketika eudaimonia hendak dilihat dari perspektif subjektif,

bahwa seseorang merasakan dirinya bahagia, perspektif tersebut tidak dapat

mengakomodasi tuntutan bahwa hidup yang berhasil harus mencakup keseluruhan

hidup.

Setelah menemukan bahwa etika eudaimonia tidak memadai, dan tidak

dapat menyatukan kalon dan kagathon, Spaemann melanjutkan analisanya pada

etika Kristiani, etika Kant, etika utilitarisme, dan etika diskursus. Spaemann

memandang bahwa etika Kristiani secara langsung ataupun tidak langsung

merupakan tanggapan terhadap etika eudaimonia. Namun konsekuensi dari etika

Kristiani adalah terjadinya pemisahan antara kalon dan kagathon, antara ‘yang

baik bagiku’ dengan ‘yang luhur’. Padahal apa yang diupayakan oleh Spaemann

adalah penyatuan antara kalon dan kagathon, antara yang membahagiakanku dan

yang wajib.

Dalam etika Kant, Spaemann melihat bahwa Kant semakin menegaskan

pemisahan tersebut di mana Kant sungguh membuang wacana tentang

kebahagiaan dari wilayah etika. Bagi Kant, etika adalah semata persoalan

kewajiban. Upaya untuk mengejar kebahagiaan tidak lain daripada upaya

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

69Universitas Indonesia

memuaskan dorongan ego yang sama sekali tidak relevan dengan moralitas.

Menurut Spaemann, kesalahan Kant adalah memandang bahwa moralitas haruslah

bebas dari segala kepentingan dan motivasi akan kebahagiaan yang dipandang

bersifat egoistis.

Pemikiran-pemikiran etika selanjutnya yang sangat dipengaruhi oleh etika

Kant, seperti etika utilitarisme dan etika diskursus, bagi Spaemann, malah

semakin jauh dari persoalan pokok etika, yaitu bagaimana mempertemukan antara

kalon dan kagathon, tentang bagaimana mencapai hidup yang berhasil. Etika

utilitarisme terjebak dalam upaya memaksimalkan dampak baik bagi dunia

sebagai keseluruhan, yang sesungguhnya bukanlah tujuan ataupun tugas dari

etika. Malah di dalam upaya maksimalisasi kebaikan tersebut, subjek konkrit

menjadi terabaikan. Sedangkan etika diskursus terjebak pada upaya untuk

menghasilkan konsensus. Padahal menurut Spaemann, keputusan etis sering kali

tidak berupa konsensus. Tugas etika bukanlah untuk menghasilkan konsensus.

Seringkali keputusan/pendirian etis malah mendatangkan konflik.

Walaupun etika-etika yang telah disebutkan diatas tidak berhasil

memecahkan persoalan kalon dan kagathon, ternyata Spaemann menemukan

adanya harapan jalan keluar bagi persoalan tersebut, yaitu dalam cinta dan

persahabatan. Spaemann mendapatkan inspirasi tersebut dari pemikiran Leibniz

tentang cinta, dan pemikiran Aristoteles tentang persahabatan. Leibniz

mendefinisikan cinta sebagai delectatio in felicitate alterius (bergembira atas

kebahagiaan orang lain), sedangkan pada Aristoteles, Spaemann menemukan

bahwa dalam persahabatanlah terletak kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai

oleh manusia.

Spaemann melihat bahwa ternyata dalam cinta dan persahabatan tidak ada

lagi pertentangan antara apa yang membahagiakanku dan apa yang menjadi

kewajibanku. Dalam persahabatan ‘aku’ merasa bahagia karena ‘sahabatku’, atas

adanya dia. Namun ‘aku’ bersahabat dangannya tentu bukan demi kebahagiaan

tersebut; dan ketika ‘sahabatku’ berada dalam kesulitan dan membutuhkan

‘pertolonganku’, pertanyaan apakah ‘aku’ wajib untuk membantunya sama sekali

tidak relevan. Dalan cinta dan persahabatan, persoalan kewajiban menjadi pudar.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

70Universitas Indonesia

Menurut Spaemann, cinta dan persahabatan hanya mungkin bila kita

mampu untuk melihat kenyataan orang lain atau sahabat sebagai dirinya sendiri.

Selanjutnya, persepsi kita atas realitas orang lain tersebut akan membangkitkan

kebaikan hati. Kebaikan hati tidak akan ada tanpa adanya persepsi akan realitas

orang lain. Namun kebaikan hati masihlah bersifat abstrak dan universal. Ketika

diterjemahkan ke dalam bentuk praktiknya, yaitu dalam kegiatan menolong,

kebaikan hati menjadi terbatas. Karena itu ada, apa yang dinamakan ordo amoris

atau hirarki kebaikan hati, untuk menentukan prioritas orang-orang yang harus

kita tolong.

Dalam kaitan dengan kemampuan untuk melihat realitas orang lain,

Spaemann membahas tanggung jawab dan maaf. Di satu sisi kemampuan untuk

melihat realitas orang lain adalah suatu anugerah, dan tidak ada yang dapat kita

lakukan untuk mendapatkannya. Namun di sisi lain, pada saat kita mampu melihat

realitas, kita merasakan bahwa sesungguhnya kita dituntut untuk mampu melihat

realitas orang lain. Kita menemukan bahwa kita memilki tanggung jawab untuk

dapat memenuhi tuntutan tersebut. Kita merasa bersalah karena kita tidak sejak

awal memenuhi tuntutan tersebut. Karena itu kita membutuhkan maaf.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

71 Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Ackrill, John-Lloyd. Aristotle on Eudaimonia: In Essays on Aristotle's Ethics.

Berkeley: University of California Press, 1980.

Bertens, K. Etika. Jakarta: Penerbit Gramedia, 2005.

Cocking, Dean. Friendship and Moral Danger, The Journal of Philosophy, Vol.

XCVII, No.5 (Mei 2000): 278-296.

Descartes, Rene. Discourse on Method. Trans. John Veitch. London, 1960.

Dua, Mikhael. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Analitis, Dinamis, dan

Dialektis. Maumere: Penerbit Ledalero, 2007.

Georg-Gadamer, Hans. Hegel’s Dialectic, Five Hermeneutical Studies. New

Haven and London: Yale University, 1976.

Keraf, Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.

Leenhouwers, P. Manusia dalam Lingkungannya: Refleksi Filsafat tentang

Manusia. Jakarta: Penerbit Gramedia, 1988.

Leibniz, Gottfried-Wilhelm. New Essays on Human Understanding, Cambridge:

Cambridge University Press, 1996.

Magniz-Suseno, Franz. Good atau God: Catatan tentang Filsafat Moral Irish

Murdoch’, Jurnal Diskursus, Vol. 3, No.2 (April 2004): 109-123.

____________. Kewajiban dan Kebahagiaan. Robert Spaemann Kembali ke

Dasar Etika, Atman nan Jaya, Vol. 7, No. 3 (1994): 1-18

______________. Perkembangan-perkembangan Baru dalam Etika, Jurnal

Diskursus, Vol.1, No. 1 (April 2002): 15-34.

______________. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1997.

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA CINTA DAN PERSAHABATAN

72 Universitas Indonesia

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Pedoman Umum Ejaan Bahasa

Indonesia Yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Schenk, Richard. The Ethics of Robert Spaemann in the Context of Recent

Philosophy’, One Hundred Years of Philosophy (Shanley, Brian J., eds).

Washington, D.C.: The Catholic University, 2001.

Spaemann, Robert. Happines and Benevolence. Notredome: Univesity of Notre

Dame, 2000.

Van Peursen, Cornelis Anthonie. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: Gramedia,

1991.

Daftar Referensi Internet:

http://ncse.com/rncse/28/3/review-creation-evolution-conference-with-pope-

benedict-xvi

http://payingattentiontothesky.com/2011/05/31/when-death-becomes-inhuman-

professor-robert-spaemann/

http://search.barnesandnoble.com/Robert-Spaemanns-Philosophy-of-the-Human-

http://www.denkerranking.de/

http://www.evi.com/q/robert_spaemann_biography

Cinta dan..., Agung Nugraha, FIB UI, 2012