universitas bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...performans...

88
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu ISSN 1978 3000 Jurnal Sain Peternakan Indonesia (Indonesia Animal Science Journal) JULI DESEMBER 2011 VOLUME 6, NO. 2 Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer (Diding Latipudin dan Andi Mushawwir) 077 – 082 Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over Feed and Chick Cost (Kususiyah) 083 – 088 Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru dan Vitamin E terhadap Performans Dan Kualitas Daging Ayam Broiler (Basyaruddin Zain) 089 – 096 Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan (Meisji L. Sari, Ronny R. Noor, Peni S. Hardjosworo Chairun Nisa) 097 – 102 Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk Serta Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo (Heri D. Putranto) 103 – 114 Peningkatan Produktivitas Lebah Madu Melalui Penerapan Sistem Integrasi dengan Kebun Kopi (Rustama Saepudin, Asnath M. Fuah, Luki Abdullah) 115 – 124 Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Daging Sapi (Yenni Okfrianti, Kamsiah,Yessy Fitryani) 125 – 136 Peforma Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas sebagai Pengganti Sebagian Bungkil Kedelai dalam Ransum (Eli Sahara, Sofia Sandi, dan Muhakka) 137 – 142 Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) terhadap Kualitas Karkas Ayam Broiler (Yosi Fenita, Warnoto dan A. Nopis) 143 – 150

Upload: duongkhanh

Post on 06-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Bengkulu

I S S N 19 78— 30 00

Jurnal Sain Peternakan Indonesia

(Indonesia Animal Science Journal)

J U L I — D E S E M B E R 2 0 1 1 V O L U M E 6 , N O . 2

Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer (Diding Latipudin dan

Andi Mushawwir) 077 – 082

Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta

Nilai Income Over Feed and Chick Cost (Kususiyah) 083 – 088

Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru dan Vitamin E

terhadap Performans Dan Kualitas Daging Ayam Broiler (Basyaruddin Zain) 089 – 096

Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan (Meisji L. Sari, Ronny R. Noor, Peni S. Hardjosworo

Chairun Nisa) 097 – 102

Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk Serta

Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo (Heri D. Putranto) 103 – 114

Peningkatan Produktivitas Lebah Madu Melalui Penerapan Sistem Integrasi dengan

Kebun Kopi (Rustama Saepudin, Asnath M. Fuah, Luki Abdullah) 115 – 124

Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik dan

Organoleptik Daging Sapi (Yenni Okfrianti, Kamsiah,Yessy Fitryani) 125 – 136

Peforma Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas sebagai

Pengganti Sebagian Bungkil Kedelai dalam Ransum (Eli Sahara, Sofia Sandi, dan

Muhakka) 137 – 142

Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) terhadap Kualitas

Karkas Ayam Broiler (Yosi Fenita, Warnoto dan A. Nopis) 143 – 150

Page 2: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA

(Indonesia Animal Science Journal)

Dewan Redaksi

Ketua Suharyanto, S.Pt., M.Si.

Anggota Drh. Tatik Suteky, M.Sc.

Ir. Warnoto, M.P.

Ir. Desia Kaharuddin, M.P.

Ir. Hidayat, M.Sc.

Ir. Kususiyah, M.S.

Nurmeiliasari, S.Pt., M.Agr.Sc.

Penyunting Prof. Ir. Urip Santoso, M.Sc, Ph.D.

Ir. Dwatmadji, M.Sc., Ph.D.

Heri Dwi Putranto, S.Pt., M.Sc., Ph.D.

Ir. Endang Sulistyowati, M.Sc.

Ir. Siwitri Kadarsih, M.S.

Dr. Ir. Yosi Fenita, M.P.

Administrasi dan Distribusi Olfa Mega, S.Pt., M.Si.

Gema Pertiwi, S.E.

Jurnal Sain Peternakan Indonesia adalah majalah ilmiah resmi yang dikeluarkan

Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, sebagai

sumbangannya kepada pengembangan ilmu Peternakan yang diterbitkan dalam

Bahasa Indonesia dan Inggris yang memuat hasil-hasil penelitian, telaah/tinjauan

pustaka, kasus lapang atau gagasan dalam bidang peternakan.

Jurnal Sain Peternakan Indonesia (ISSN 1978 – 3000) dalam satu tahun terbit dua

kali (Januari-Juni dan Juli -Desember). Edisi khusus dalam Bahasa Inggris dapat

diterbitkan apabila perlu. Redaksi menerima tulisan di bidang peternakan yang

belum pernah dipublikasikan.

Indonesia Animal Science Journal (ISSN 1978 - 3000) is published 2 x per year

(January-June and July - December). We receive original papers in Animal

Husbandry which are not published in other journals.

Alamat Redaksi : Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian UNIB.

Jalan W.R. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371A.

Telp (0736) 21170 pst 219.

e-mail : [email protected] dan [email protected]

Terbit Pertama Kali : Juni 2006

Harga langganan Rp. 200.000,- per tahun belum termasuk ongkos kirim

Page 3: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

EDITORIAL

Salam Redaksi

Jurnal Sain Peternakan Indonesia (JSPI) telah berusia 6 tahun dan tercermin dari

volume edisi ini, yaitu volume 6 no 2. Usia 6 tahun adalah relatif untuk dikatakan

sudah mapan atau belum, tetapi JSPI senantiasa berusaha untuk tampil dengan

sebaik-baiknya.

Pada volume ini, kembali JSPI menampilkan berbagai artikel ilmiah bidang

peternakan, mulai dari aspek fisiologis, produksi, nutrisi, pemuliaan, teknologi hasil,

dan aneka hewan potensial, termasuk kajian pada aspek sosial ekonominya.

Artikel yang ada telah melewati proses telaah dan editing, namun demikian masukan

dari pembaca masih sangat diperlukan untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Akhirnya, semoga artikel yang disajikan ini semakin memberikan wahana baru

dalam pengembangan keilmuan bidang peternakan dan bermafaat bagi

pengembangan bidang peternakan itu sendiri.

Selamat membaca

Redaksi

Page 4: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over
Page 5: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

Jurnal Sain Peternakan Indonesia

(Indonesia Animal Science Journal)

Volume 6 No 2. Juli – Desember 2011 ISSN 1978 - 3000

DAFTAR ISI

Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer (Diding Latipudin

dan Andi Mushawwir)

77 – 82

Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta

Nilai Income Over Feed and Chick Cost (Kususiyah)

83 – 88

Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru dan Vitamin E

terhadap Performans Dan Kualitas Daging Ayam Broiler (Basyaruddin Zain)

89 –96

Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan (Meisji L. Sari, Ronny R. Noor, Peni S.

Hardjosworo Chairun Nisa)

97 – 102

Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk Serta

Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo (Heri D. Putranto)

103 – 114

Peningkatan Produktivitas Lebah Madu Melalui Penerapan Sistem Integrasi

dengan Kebun Kopi (Rustama Saepudin, Asnath M. Fuah, Luki Abdullah)

115 – 124

Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik dan

Organoleptik Daging Sapi (Yenni Okfrianti, Kamsiah,Yessy Fitryani)

125 – 136

Peforma Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas

sebagai Pengganti Sebagian Bungkil Kedelai dalam Ransum (Eli Sahara, Sofia

Sandi, dan Muhakka)

137 – 142

Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) terhadap Kualitas

Karkas Ayam Broiler (Yosi Fenita, Warnoto dan A. Nopis)

143 – 150

Page 6: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over
Page 7: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 77

Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer

Regulation of Body Heat of Laying and Growing Hen

Diding Latipudin dan Andi Mushawwir

Laboratorium Fisiologi Ternak dan Biokimia, Fakultas Peternakan,

Universitas Padjadjaran, Bandung 45363, Indonesia.

Email: [email protected]

ABSTRACT

Sixty Isa Brown hens (each thirty growing and laying hens) housed indoors in battery individual cage were

used to explore the heat body regulation of laying and growing hens. This study was conducted in Kuningan,

West Java, for 3 months during June-August, 2011. Results of this study indicated that there were comb of

growing and laying hens were the organ that was greater heat evaporated than crest, feathers and shank. But

there was an increase heat evaporated at the shank in the laying hens, significantly. Responses of respiration

(respiration rate and heart rate) were higher in the laying hens, significantly. This study results can be

concluded that an increase in the responses of laying hen in heat evaporated mainly on shank, as well as

changes in respiration responses as an indication of heat stress.

Keywords: Layer, Heat, Regulation

ABSTRAK

Enam puluh ekor ayam ras petelur strain Isa Brown masing-masing 30 ekor fase grower dan fase layer, telah

digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui regulasi panas tubuh terhadap kedua fase tersebut. Ayam

percobaan ditempatkan dalam kandang “battery individual cage” selama 2 bulan pada musim kemarau (Juni-

Agustus 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jengger ayam fase grower dan layer merupakan organ

yang lebih besar mengevaporasikan panas dibandingkan pial, bulu dan shank. Namun pada fase layer terjadi

peningkatan evaporasi panas pada shank yang signifikant. Respon respirasi (laju respirasi dan denyut

jantung) nyata lebih tinggi pada fase layer. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terjadi

peningkatan respon ayam fase layer dalam mengevaporasikan panas terutama pada shank, serta terjadi

perubahan respon respirasi sebagai indikasi stres panas.

Kata kunci: ayam petelur, panas, regulasi

PENDAHULUAN

Ayam petelur termasuk hewan

homoioterm dengan tingkat metabolisme

yang tinggi, termasuk hewan yang dapat

menjaga dan mengatur suhu tubuhnya

agar tetap normal melalui proses yang

disebut homeostasis, temperatur tubuh

akan konstan meskipun hidup pada

temperatur lebih rendah atau lebih tinggi

dari pada temperatur tubuhnya, hal ini

dikarenakan adanya reseptor dalam

otaknya, yaitu hipotalamus untuk

mengatur suhu tubuh. Ayam petelur

dapat melakukan aktifitas pada suhu

lingkungan yang berbeda akibat dari

kemampuan mengatur suhu tubuhnya.

Ayam petelur mempunyai variasi

temperatur normal yang dipengaruhi

oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor

lingkungan, faktor panjang waktu siang

dan malam dan faktor makanan yang

dikonsumsi (Frandson, 1992; Yahav, et al.,

2004).

Kemampuan mempertahankan

suhu tubuh dalam kisaran yang normal

merupakan kegiatan yang sangat

mempengaruhi reaksi biokimiawi dan

proses fisiologis dalam kaitannya dengan

metabolisme tubuh ayam, kegiatan ini

Page 8: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer 78

akan mempengaruhi perubahan yang

terjadi pada temperatur tubuh ayam

petelur.

Pada masing-masing periode

pertumbuhan, temperatur tubuh ayam

petelur berbeda-beda, karena temperatur

tubuh tidak mungkin menunjukkan suatu

derajat panas yang tetap, Tetapi kisaran

di atas batas tertentu, karena proses

metabolisme di dalam tubuh tidak selalu

tetap dan faktor di sekitar tubuh (yang

diterima tubuh secara radiasi, konveksi,

dan konduksi).

Umumnya unggas, khususnya

ayam petelur tidak memiliki kelenjar

keringat, sehingga jalur utama untuk

menjaga keseimbangan suhu adalah

pelepasan panas melalui penguapan air

(evaporasi) pada kulit dan saluran

pernafasan dengan cara panting

(Hoffman dan Walsberg 1999; Ophir et

a.l., 2002). Indikator yang sangat

sederhana untuk mengetahui fenomena

ini adalah dengan mengukur permukaan

bagian-bagian tubuh ayam dan beberapa

parameter fisiologik. Perbedaan aktivitas

metabolisme akan menunjukkan respon

yang berbeda dalam mempertahankan

suhu tubuhnya.

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui regulasi panas tubuh ayam

petelur fase grower dan layer dalam

mempertahankan suhu tubuhnya.

MATERI DAN METODE

Penelitian selama 3 bulan pada

musim kemarau (Juni-Agustus 2011),

telah dilakukan dengan menggunakan

ayam ras petelur strain ISA Brown

sebanyak 30 ekor fase grower umur 14

minggu dan 30 ekor fase layer umur 32

minggu. Rataan berat badan masing-

masing fase sekitar 500±10 g dan 1150±25

g. Ayam percobaan ditempatkan dalam

kandang battery individual. Tiap petak

kandang dilengkapi dengan tempat

pakan dan minum.

Peubah yang diukur adalah suhu

permukaan tubuh meliputi suhu jengger,

pial, bulu dan shank dengan

menggunakan thermometer infrared

(Codenoll digital infrared laser

thermometer) pada pagi, siang, dan sore

hari pada setiap hari Senin, Kamis,

Minggu selama tiga bulan. Infrared

ditembakkan pada bagian tubuh yang

ditetapkan sebagai titik pengukuran dari

jarak kurang lebih 50 cm. Rekaman

temperatur selanjutnya dicatat pada saat

nilai penunjukan temperatur pada

display thermometer tidak lagi berubah.

Laju respirasi dan denyut jantung

permenit diukur sekali seminggu selama

tiga bulan dengan menggunakan

stetoscope.

Data yang telah dikumpulkan

dianalisis dengan menggunakan uji T-

student dengan populasi tidak

berpasangan (Steel dan Torrie, 1993),

dengan ketentuan dan langkah pengujian

berikut:

− Populasi 1 = ayam petelur fase

grower.

− Populasi 2 = ayam petelur fase layer.

1. Rata-rata hitung

=

2. Simpangan Baku

S

3. Koefisien Variasi (KV)

KV = x 100%

KV = x 100%

4. Menghitung varians dari masing-

masing variabel

Page 9: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 79

Keterangan :

Sx² = Varians sampel ayam

petelur fase grower

Sy² = Varians sampel ayam

petelur fase layer

5. Menguji keseragaman

Jika : F hitung > F table = Varians

sama

F hitung < F table = Varians

tidak sama

Keterangan :

F = Keseragaman populasi n1

= Jumlah sampel ayam petelur

fase grower

= Jumlah sampel ayam petelur

fase layer

6. Untuk varians yang sama

S

Dimana :

Keterangan :x

S = Varians.

= Varians gabungan ayam

petelur fase grower dan

ayam petelur fase layer.

= Varians sampel ayam

petelur fase grower.

= Varians sampel ayam

petelur fase layer.

= Rata-rata parameter sampel

ayam petelur fase grower.

= Rata-rata parameter sampel

ayam petelur fase layer.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbandingan Respon Permukaan

Tubuh dalam Evaporasi Panas Metabolit

Rata-rata suhu permukaan tubuh

ayam ras petelur fase grower dan layer,

ditampilkan pada Tabel 1.

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa respon permukaan tubuh ayam

petelur dalam mengevaporasikan panas

tubuh berbeda nyata (p<0,05) baik pada

fase grower maupun pada fase layer.

Jengger merupakan bagian tubuh yang

mengevaporasikan panas lebih tinggi

dibanding organ yang lain, baik pada fase

grower maupun fase layer yaitu masing-

masing 30,10C dan 30,70C, dan bulu

contour merupakan bagian permukaan

tubuh yang paling tidak efektif

mengevaporasikan panas yaitu 25,70C

dan 24,70C masing-masing pada fase

grower dan layer (Tabel 1).

Darah merupakan cairan tubuh

yang berfungsi menjaga temperatur

tubuh (Dawson dan Whittow, 2000).

Rahardja (2010) mengemukakan bahwa

pada umumnya, pembuluh darah yang

menjadi tempat cadangan sejumlah

darah diinervasi oleh serabut syaraf

symphatetik yang perangsangannya

menyebabkan vasokontriksi, dan

mengalihkan pengaliran darah ke

bagian lain.

Perubahan proporsi darah yang

mengalir menuju pembuluh darah kapiler

antara lain dipengaruhi oleh suhu sebagai

mekanisme ransangan syaraf symphatetik

untuk mengeluarkan panas tubuh dalam

rangka mempertahankan suhu tubuh

Page 10: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer 80

ternak (Yanagi, et al., 2002, Mutaf, et al.,

2008 dan Yahaf, et al., 2008). Terkait

dengan fungsi organ sebagai alat dalam

mangevaporasikan panas maka organ-

organ yang memiliki pembuluh darah

kapiler yang banyak akan efektif sebagai

organ yang mengevaporasikan panas

lebih tinggi, dengan meningkatkan laju

alir dan proporsi darah ke organ-organ

tersebut (Havenstein, et al., 2007; Shinder,

2007).

Respon Fisiologi Pernafasan

Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa

kondisi fisiologi pernafasan tampak

mengalami perubahan dari fase Grower

ke fase layer. Perubahan ini merupakan

konsekuensi dari aktivitas themoregulasi

guna mempertahanan suhu tubuh.

Aengwanich (2007) dan Rahardrja

(2010) melaporkan bahwa penelitian

pada unggas (ayam petelur), yang

mengalami hipertermia, memberikan

petunjuk bahwa pengaliran darah ke

pembuluh kapiler di kulit (termasuk

kaki), jaringan rongga hidung dan

mulut (nasobuccal) serta otot-otot

pernafasan meningkat sampai 4 kali.

Perubahan pengaliran darah ke

jaringan perifer tersebut, terutama

berkaitan dengan peranan Arteri-Vena

Anastomosa (AVA) yang memiliki

volume besar dan resistensi rendah untuk

mengalirkan darah yang diperlukan

dalam pengeluaran panas. Peran AVA

ini telah ditunjukkan pada

penelitian-penelitian yang

menggunakan anjing, kelinci maupun

domba. Penelitian yang menggunakan

kaki belakang domba memberikan

petunjuk bahwa pemanasan kulit atau

hypothalamus atau sumsum tulang

belakang berpengaruh mendilatasikan

AVA, dan meningkatkan pengaliran

darah melalui arteri femoralis. Panas

juga dapat mendilatasikan AVA pada

kaki unggas, dan tampaknya

peningkatan aliran darah ke lidah unggas

adalah juga melalui AVA (Yahav, 2000;

Mutah dan Seber, 2005; Cangar, et al.,

2008; Tan, et al., 2010 dan Rahardja, 2010).

Fenomena inilah yang menyebakan

peningkat laju pernfasan dan denyut

jantung sebagai konsekuensi

mempertahankan suhu tubuhnya.

Berbagai penelitian pada ternak

unggas khususnya ayam petelur,

yang mengalami hipertermia,

memberikan petunjuk bahwa pengaliran

darah ke pembuluh kapiler di kulit

(termasuk kaki), jaringan rongga

hidung dan mulut (nasobuccal) serta

otot-otot pernafasan mengalami

peningkatan yang signifikan.

Sebaliknya pengaliran darah ke tulang,

saluran pencernaan dan reproduksi

menurun 46–80% dari keadaan normal

(Rahardja, 2010).

Furlan et al. (1999) mengemukakan

bahwa pada keadaan volume curah

jantung tidak menunjukkan perubahan,

peningkatan pengaliran darah ke kulit

dan jaringan nasobuccal adalah untuk

meningkatkan pengeluaran panas,

sementara peningkatan aliran darah ke

otot-otot pernafasan adalah untuk

Tabel 1. Rata-rata Temperatur Permukaan Tubuh Ayam

Ras Petelur Fase Grower dan Layer

Fase

Permukaan Tubuh

Jengger

(J)

Pial

(P) Bulu Countour (B)

Shank

(S)

Grower 30.1a 26.0b 25.7c 27.6d

Layer 30.7e 25.9b 24.7g 28.7h

Keterangan: Angka dengan super skrip berbeda pada kolom

yang sama berbeda nyata (P < 0,05)

Tabel 2. Beberapa Respon Fisiologi Ayam Ras

Petelur Fase Grower dan Layer (rata-

rata temperatur lingkungan = 290C)

Respon Fisiologis Fase

Grower Layer

Laju Respirasi ( per menit)

Denyut Jantung (per menit)

35a

233a

41b

256b

Keterangan: Angka dengan super skrip berbeda

pada baris yang sama berbeda nyata (P

< 0,05)

Page 11: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 81

memenuhi kebutuhan oksigen – energi

mendukung terjadinya panting.

Pada kondisi cekaman panas, hasil

penelitian Chinrasri et al. (2007)

menunjukkan bahwa pengaliran darah

ke organ-organ vital, seperti otak,

dipertahankan dengan mereduksi

pengaliran darah ke organ-jaringan

yang kurang vital, seperti organ jeroan

dan perototan non-respirasi. Akan

tetapi, pada hewan yang gemuk tidak

selalu terjadi penurunan pengaliran

darah ke perototan non-respirasi.

Depot-depot lemak dapat menjadi

gudang cadangan darah ketika hewan

menghadapi cekaman panas. Perubahan

distribusi curah jantung tersebut di atas

terjadi tanpa perubahan volume curah

jantung. Peningkatan pengaliran darah

tersebut dapat mencapai 5 kali dari

keadaan normal. Penelitian dengan

teknik microsphere dan electromagnetik

mengungkapkan adanya hubungan

positip antara jumlah darah yang

mengalir ke lidah dengan frekuensi

pernafasan selama pemanasan

hypothalamus, sementara total darah

yang mengalir ke hidung meningkat

terus sekalipun aktivitas p a n t i n g

b e l u m d i t u n j u k k a n . Peningkatan

pengeluaran panas melalui lidah

merupakan mekanisme pengeluaran

kelebihan panas yang poten pada

unggas. Pada ruminansia, sekalipun

terdapat peningkatan pengaliran darah

ke lidah, akan tetapi tidak ada

pengeluaran panas melalui lidah

(Aengwanich et al., 2003 dan Rahardja,

2010).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan respon ayam fase layer dalam mengevaporasikan panas terutama pada

jengger dan shank, serta terjadi perubahan respon hematology dan respirasi sebagai indikasi stres panas.

DAFTAR PUSTAKA

Aengwanich, W., U. Chuachan, Y.

Phasuk, T. Vongpralab, P. Pakdee,

S. Katavetin and S. Simaraks, 2003.

Effect of ascorbic acid on

respiratory rate, body temperature,

heterophil:lymphocyte ratio and

microscopic lesion score in lung,

liver, kidney, cardiac muscle and

spleen in broilers under chronic

heat stress. Thai J. Agri. Sci., 36: 207-

218.

Aengwanich, W. 2007. Effects of High

Environmental Temperature on

Blood Indices of Thai Indigenous

Chickens, Thai Indigenous

Chickens Crossbred and Broilers.

International Journal of Poultry

Science. 6: 427-430.

Cangar, O., J.M. Aerts, J. Buyse, and D.

Berckmans. 2008. Quantification of

the spatial distribution of surface

temperatures of broilers. Poultry

Science .87:2493–2499.

Chinrasri, O. and W. Aengwanich, 2007.

Blood cell characteristics,

hematological values and average

daily gained weight of Thai

indigenous, Thai indigenous

crossbred and broiler chickens. Pak.

J. Biol. Sci., 10: 302-309.

Dawson, W. R., and G. C. Whittow.

2000. Regulation of body

temperature. Pages 343–379 in

Sturkie’s Avian Physiology. G.

C. Whittow, ed. Academic Press,

New York, NY.

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan

Fisiologi Ternak Edisi 4. Gajah

Mada Press. Yogyakarta.

Furlan, R.L., M. Macari, V.M.B. de

Moraes, R.D. Malheiros, E.B.

Page 12: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer 82

Malheiros and E.R. Secato, 1999.

Hematological and gasometric

response of different broiler

chickens strains under acute heat

stress. Revista-Brasileira-de-Ciencia

Avicola, 1: 77-84.

Havenstein, G. B., P. R. Ferket, J. L.

Grimes, M. A. Qureshi, and K. E.

Nestor. 2007. Comparison of the

performance of 1966-versus 2003-

type turkeys when fed

representative 1966 and 2003 turkey

diet: Growth rate, livability, and

feed conversion. Poult. Sci. 86:232–

240.

Hoffman TY CM, Walsberg GE. 1999.

Inhibiting ventilator Frandson, R. D.

1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak

Edisi 4. Gajah Mada Press.

Yogyakarta.

Mutaf, S., and N. Seber. 2005. The effect of

insulation level of the construction

elements and evaporative cooling

systems in the poultry houses on

laying hen performance in hot

climate. Pages 347–353 in Proc. 31st

Commission International de

l’Organisation Scientifique du

Travail en Agriculture-International

Commission of Agricultural

Engineering (CIOSTA-CIGR) V. F.

und T. Mullerbader GmbH,

Filderstadt, Germany.

Mutaf, S., N. Şeber Kahraman, and M. Z.

Fırat. 2008. Surface wetting and its

effect on body and surface

temperatures of domestic laying

hens at different thermal conditions.

Poultry Science 87:2441–2450.

Ophir, E, Y Arieli, J Mrder, and M

Horowitz. 2002. Coetaneous blood

flow in pigeon Columba livia: its

possible relevance to coetaneous

water evaporation. J Exp Biol

205:2627-2636.

Rahardja, D.P. 2010. Fisiologi

Lingkungan. Universitas

Hasanuddin. Makassar. Shinder, D., M. Rusal, J. Tanny, S. Druyan,

and S. Yahav. 2007.

Thermoregulatory responses of

chicks (gallus domesticus) to low

ambient temperatures at an early

age. Poultry Science. 86: 2200–2209.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie, 1993. Prinsip

dan Prosedur Statistika, suatu

pendekatan biometric. Gramedia

Pustakan Utama, Jakarta.

Tan, G.Y., L. Yang , Y.-Q. Fu , J.H. Feng,

and M.H. Zhang. 2010. Effects of

different acute high ambient

temperatures on function of hepatic

mitochondrial respiration,

antioxidative enzymes, and

oxidative injury in broiler chickens.

Poultry Science. 89: 115–122.

Yahav, S. 2000. Domestic fowl—Strategies

to confront environmental

conditions. Poult. Avian Biol. Rev.

11:81–95.

Yahav, S., A. Straschnow, D. Luger, D.

Shinder, J. Tanny, and S. Cohen.

2004. Ventilation, sensible heat loss,

broiler energy, and water balance

under harsh environmental

conditions. Poult. Sci. 83:253–258.

Yahav, S., M. Rusal, and D. Shinder.

2008. The effect of ventilation on

performance body and surface

temperature of young turkeys.

Poultry Science. 87:133–137.

Yanagi, T. Jr., H. Xin, and R. S. Gates.

2002. Optimization of partial

surface wetting to cool caged laying

hens. Appl. Eng. Agric. 45:1091–

1100.

Page 13: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 83

Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat

serta Nilai Income Over Feed and Chick Cost

Peraskok Chicken Growth Performance as Meat Source and The Value of Income over

Feed and Chick Cost

Kususiyah

Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu

Jalan Raya W.R. Supratman, Bengkulu

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Peraskok chicken is a cross between Bangkok native chicken having good meat production and taste and commercial egg layer having good egg production. An experiment was conducted to evaluate growth performance of Peraskok chicken as a native chicken to provide four-cut chicken and its income over feed and chick cost. The experiment used 45 day old chicken (DOC) which were reared in 3 cages, as replications. As a comparison, 20 DOC of Kampung native chicken were reared in 2 cages, as replications. The rearing was up to chicken body weight reaching 700 g, eligible for four-cut chick. Variables observed included weight growth, day number to reach 700 g, feed consumption, feed conversion, and its income over feed and chick cost. Data were tabulated and discussed descriptively. The results showed that four-cut chick of Peraskok was reached at 10 weeks with the total consumption of 2,699 g per chick, with feed conversion of 3.95, and income over feed and chick cost of Rp. 8,320 per chick. Where as for Kampung chicken, four-cut chick was reached at 12 weeks with the total consumption of 3.392 g per chick, with feed conversion of 4.63, and income over feed and chick cost of Rp. 6,245 per chick. For these results, we conclude that the growth performance of Peraskok is better than thus Kampung chicken, and hence more profitable to culture.

Key words: Growth performance Peraskok Chicken, income over feed and chick cost

ABSTRAK

Ayam Peraskok adalah ayam hasil persilangan antara ayam ras petelur betina dengan ayam buras jantan jenis Ayam Bangkok. Produksi telur ayam ras petelur yang tinggi dan performans perdagingan Ayam Bangkok yang relatif baik disinyalir dapat menyediakan permintaan konsumen akan ayam buras dengan lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performans pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai ayam buras potong belah empat serta nilai income over feed and chick cost. Sebanyak 45 ekor anak ayam (DOC) Peraskok dipelihara kedalam 3 petak kandang, masing-masing petak kandang berisi 15 ekor sebagai ulangan. Sebagai pembanding digunakan 20 ekor DOC ayam buras jenis Ayam Kampung dan dipelihara ke dalam 2 petak kandang, sehingga masing-masing petak kandang berisi 10 ekor sebagai ulangan. DOC dipelihara sampai umur potong belah empat yaitu ketika berat badan mencapai 700 g. Peubah yang diukur meliputi: pertambahan berat badan, umur potong belah empat, konsumsi ransum, konversi ransum, dan income over feed and chick cost. Data yang diperoleh ditabulasi dan dibahas secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur potong belah empat Ayam Peraskok dicapai pada umur 10 minggu dengan total konsumsi ransum 2.699,20 g per ekor, konversi ransum 3,95, dan income over feed and chick cost sebesar Rp. 8.319,98 per ekor. Umur potong belah empat pada Ayam Kampung dicapai pada umur 12 minggu dengan konsumsi ransum sebesar 3.392 g per ekor, konversi ransum 4,63, dan income over feed and chick cost Rp. 6.245,08 per ekor. Disimpulkan bahwa performans pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai ayam buras potong belah empat lebih baik dan lebih menguntungkan dibanding ayam buras jenis Ayam Kampung.

Kata kunci : Performans Peraskok, Income Over Feed and Chick Cost

PENDAHULUAN

Permintaan konsumen terhadap

ayam buras (bukan ras) potong belah

empat dirasakan terus meningkat. Hal ini

nampak dari banyaknya restaurant atau

rumah makan penyedia olahan ayam

buras potong belah empat ini. Namun

sangat disayangkan, potensi genetik

pertumbuhan ayam buras yang rendah

Page 14: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat 84

(Rasyaf, 1995 dan Kingston, 1979)

membuat pertumbuhan ayam buras

lambat sehingga untuk mencapai umur

potong belah empat diperlukan waktu

yang cukup lama. Kenyataan di

lapangan menunjukkan bahwa untuk

mencapai umur potong belah empat pada

ayam buras membutuhkan waktu 12

minggu atau tiga bulan, sedangkan pada

ayam ras pedaging (ayam broiler) hanya

memerlukan waktu empat minggu.

Sampai saat ini diketahui

masyarakat Indonesia masih

menempatkan daging ayam buras pada

posisi lebih tinggi dibanding daging

ayam ras pedaging, terutama disebabkan

oleh cita rasa ayam buras yang khas dan

lebih enak dibandingkan dengan ayam

ras pedaging (Fujimura et al., 1995).

Kondisi ini terlihat dari kerelaan

konsumen untuk menerima harga daging

dan telur ayam buras yang lebih tinggi

dibandingkan dengan harga daging dan

telur ayam ras. Selain hal tersebut, pada

kondisi tertentu diantara masyarakat

masih ada yang membatasi konsumsi

daging dan telur ayam ras. Sebagai

contoh, ada keyakinan yang melekat di

kalangan masyarakat tertentu bahwa, bila

seseorang menderita suatu penyakit atau

sedang luka sebaiknya daging ayam

yang dikonsumsi adalah daging ayam

buras, bukan daging ayam ras seperti

broiler. Selain hal tersebut juga dijumpai

orang yang alergi terhadap daging ayam

ras pedaging (broiler) atau telur ayam ras

akan tetapi tidak alergi terhadap daging

maupun telur ayam buras.

Melihat penghargaan konsumen

terhadap ayam buras di atas, rendahnya

potensi genetik ayam buras ini perlu

usaha perbaikan melalui persilangan.

Menurut Sheridan (1986) dan Warwick et

al. (1990 ) persilangan adalah salah satu

alternatif untuk membentuk keturunan

yang diharapkan akan memunculkan

efek komplementer yang dapat

meningkatkan produktivitas ternak.

Ayam Peraskok adalah ayam hasil

persilangan antara ayam ras petelur

betina dengan ayam buras Bangkok

jantan. Lebih banyaknya jumlah

produksi telur dan besarnya ukuran telur

ayam ras petelur (Amrullah, 2003,

Sudaryani dan Santoso 2000) serta

besarnya ukuran tubuh ayam buras

Bangkok diharapkan dapat mewujudkan

perkembangan dan pertumbuhan

keturunannya menjadi lebih baik tanpa

mengurangi ciri-ciri yang menjadi

kesukaan konsumen terhadap ayam

buras itu sendiri. Pengamatan sementara

menunjukkan bahwa postur tubuh ayam

persilangan antara ayam ras petelur

betina dengan ayam buras Bangkok

jantan mirip postur tubuh ayam buras.

Bagaimana performans pertumbuhan

serta nilai keuntungannya perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut.

Penelitian ini bertujuan untuk

mengevaluasi performans pertumbuhan

Ayam Peraskok sebagai ayam buras

potong belah empat serta nilai income

over feed and chick cost.

MATERI DAN METODE

Sebanyak 45 ekor DOC Peraskok

dipelihara kedalam 3 petak kandang,

masing-masing petak kandang berisi 15

ekor sebagai ulangan. Sebagai

pembanding digunakan 20 ekor DOC

ayam buras jenis Ayam Kampung dan

dipelihara kedalam 2 petak kandang,

masing-masing petak kandang berisi 10

ekor sebagai ulangan. DOC dipelihara

sampai berat badannya mencapai berat

sekitar 700 g. Untuk mencegah terjadinya

penyakit ND dilakukan vaksinasi ND

saat anak ayam berumur 4 hari. Selama 2

minggu pertama anak ayam diberi

ransum konsentrat BR1, selanjutnya

memasuki umur 3 minggu sampai

Page 15: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 85

mencapai berat potong belah empat,

ayam diberi ransum oplosan, yaitu

ransum yang terdiri dari konsentrat,

jagung giling, dan dedak halus dengan

perbandingan 1:2:1 dengan kandungan

protein sekitar 17 %. Data yang diperoleh

ditabulasi dan dibahas secara deskriptif.

Peubah yang diukur pada penelitian ini

adalah: berat DOC, berat badan

mingguan, pertambahan berat badan,

konsumsi ransum, konversi ransum.

Umur potong belah empat, diketahui

dengan mencatat umur dalam satuan

minggu, saat ayam mencapai berat sekitar

700 g. Income Over Feed And Chick Cost,

dihitung berdasarkan hasil penjualan

ayam saat mencapai umur potong belah

empat dikurangi biaya pakan dan harga

DOC.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berat DOC, Berat Badan Ayam Peraskok

dan Ayam Kampung Sampai Umur

Potong Belah Empat

Rataan berat DOC, berat badan

Ayam Peraskok, dan Ayam Kampung

sampai umur potong belah empat

disajikan pada Tabel 1. Terlihat pada

Tabel 1. bahwa berat DOC Ayam

Peraskok (43,97 g) lebih tinggi dibanding

berat DOC Ayam Kampung (25,75 g).

Lebih tingginya berat DOC Ayam

Peraskok ini dapat dimengerti karena

ukuran telur tetas Ayam Peraskok (63

g/butir) lebih tinggi dibanding ukuran

telur tetas Ayam Kampung ( 38,22

g/butir). Kususiyah (1995) dan

Kaharuddin (1989) melaporkan bahwa,

berat telur tetas berpengaruh terhadap

berat tetas. Selanjutnya pada Tabel 1.

juga ditunjukkan bahwa berat badan

yang dicapai Ayam Peraskok setiap

minggu lebih tinggi dibandingkan Ayam

Kampung. Kondisi ini menyebabkan

capaian umur potong belah empat pada

Ayam Peraskok lebih singkat dibanding

Ayam Kampung. Kenyataan di lapangan

menunjukkan bahwa umur potong ayam

buras belah empat adalah umur pada saat

berat badan mencapai sekitar 700 g.

Terlihat dari Tabel 1. bahwa capaian berat

badan 700 g pada Ayam Peraskok terjadi

saat umur 10 minggu, sedangkan pada

Ayam Kampung baru dicapai saat umur

12 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa

umur potong Ayam Peraskok lebih

singkat 2 minggu dibanding Ayam

Kampung.

Tabel 1. Rataan berat DOC, berat badan Ayam Peraskok dan Ayam Kampung sampai umur potong

belah empat

Ayam Peraskok Ayam Buras Kampung

Berat telur tetas (g) 63,53 38,22

Berat DOC (g) 43,97 25,75

Berat badan umur 1minggu (g) 72,75 49,79

Berat badan umur 2 minggu (g) 108,96 64,47

Berat badan umur 3 minggu (g) 161,10 86,11

Berat badan umur 4 minggu (g) 199,11 125,00

Berat badan umur 5 minggu (g) 285,07 169,17

Berat badan umur 6 minggu (g) 372,30 233,80

Berat badan umur 7 minggu (g) 438,55 287,50

Berat badan umur 8 minggu (g) 528,70 363,00

Berat badan umur 9 minggu (g) 623,30 449,60

Berat badan umur 10 minggu (g) 728,15 547,00

Berat badan umur 11 minggu (g) - 663,00

Berat badan umur 12 minggu (g) - 728,00

Page 16: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat 86

Pertambahan Berat Badan, Konsumsi

Ransum, dan Konversi Ransum Ayam

Peraskok dan Ayam Kampung sejak

DOC sampai Umur Potong Belah Empat

Rataan pertambahan berat badan,

konsumsi ransum, serta konversi ransum

sejak DOC sampai umur potong belah

empat Ayam Peraskok dan Ayam

Kampung disajikan pada Tabel 2.

Berdasarkan Tabel 1. dan Tabel 2.

dapat dilihat bahwa untuk mencapai

berat potong belah empat yaitu selama 10

minggu pemeliharaan, pertambahan

berat badan Ayam Peraskok adalah

684,14 g, sedangkan pertambahan berat

badan Ayam Kampung selama 12

minggu pemeliharaan adalah 702,25 g.

Lebih tingginya pertambahan berat badan

Ayam Kampung untuk mencapai berat

potong belah empat ini disebabkan oleh

lebih rendahnya berat tetas pada ayam

kampung tersebut, sehingga

membutuhkan ransum yang lebih banyak

juga dibanding Ayam Peraskok. Terlihat

pada Tabel 2. konsumsi ransum yang

dibutuhkan untuk mencapai

pertambahan berat badan pada umur

potong belah empat pada Ayam

Peraskok jauh lebih rendah (2699,20 g)

dibanding Ayam Kampung yang

mencapai 3392,00 g. Lebih rendahnya

ransum yang diperlukan Ayam Peraskok

dibanding Ayam Kampung ini

disebabkan karena waktu yang

diperlukan Ayam Peraskok untuk

mencapai umur potong belah empat yaitu

700 g lebih singkat dua minggu

dibanding Ayam Kampung. Selanjutnya

bila dilihat konversi ransumnya,

menunjukkan juga bahwa konversi

ransum Ayam Peraskok lebih rendah

dibandingkan Ayam Kampung. Hal ini

menunjukkan bahwa, Ayam Peraskok

lebih efisien dalam menggunakan ransum

dibanding Ayam Kampung.

Income over Feed and Chick Cost

Perhitungan nilai Income over Feed

and Chick Cost ditampilkan pada Tabel 3.

Nilai income over feed and chick cost Ayam

Tabel 2. Rataan pertambahan berat badan, konsumsi ransum, konversi ransum Ayam Peraskok dan

Ayam Kampung sejak DOC sampai umur potong belah empat

Pertambahan Berat Badan

(Umur)

Konsumsi Ransum Konversi Ransum

Ayam Peraskok 684,14 g (10 minggu) 2699,20 g 3,95

Ayam Kampung 702,25 g (12 minggu) 3392,00 g 4,63

Tabel 3. Perhitungan nilai Income over Feed and Chick Cost Ayam Peraskok dan Ayam Kampung pada

umur potong belah empat

Konsumsi

ransum

umur 1-2

minggu

(g/ekor)

Konsumsi

ransum

setelah

umur 2

minggu

(g/ekor)

Biaya

ransum

(Rp/ekor)

Harga DOC

(Rp/ekor)

Harga jual

ayam belah

empat

(Rp/ekor)

IOFCC

(Rp/ekor)

Ayam

Peraskok

115,74 2.583,46 8.680,02 5.000,00 22.000,00 8.319,98

Ayam

Kampung

88,78 3.303,22 10.754,92 5.000,00 22.000,00 6.245,08

Keterangan : IOFCC = Income Over Feed and Chick Cost

IOFCC = harga jual – (harga DOC + biaya ransum ) per ekor ayam

Harga ransum BR 1 per kg Rp 5.800,00 (diberikan pada umur 1-2 minggu)

Harga ransum oplosan per kg Rp 3.100,00 (diberikan setelah ayam umur 2 minggu)

Page 17: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 87

Peraskok (Rp 8.319,98 per ekor) lebih

tinggi dibanding Ayam Kampung (Rp

6.245,08 per ekor). Hal ini menunjukkan

bahwa keuntungan memelihara Ayam

Peraskok sebagai ayam buras potong

belah empat lebih tinggi dibanding ayam

buras potong jenis Ayam Kampung.

Lebih tingginya nilai keuntungan pada

pemeliharaan Ayam Peraskok ini

disebabkan oleh lebih cepatnya umur

potong belah empat dengan efisiensi

penggunaan ransum yang lebih baik

dibandingkan dengan ayam buras jenis

Ayam Kampung.

SIMPULAN

Performans pertumbuhan Ayam

Peraskok sebagai ayam buras potong

belah empat lebih baik dan lebih

menguntungkan dengan capaian umur

potong belah empat lebih singkat dan

efisiensi penggunaan ransum lebih baik

dibanding ayam buras jenis Ayam

Kampung.

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam

Petelur. Lembaga Satu

Gunungbudi. Bogor.

Fujimura, S., S. Kawano, H. Koga, H.

Takeda, M. Kadowiki, and T.

Ishibashi. 1995. Animal Science

Technology. 66 (43-51).

Kaharuddin, D. 1989. Pengaruh bobot

telur tetas terhadap berat tetas,

daya tunas, pertambahan bobot

badan dan angka kematian sampai

umur 4 minggu pada burung

puyuh. Laporan Penelitian

Universitas Bengkulu. Bengkulu.

Kingston, D.J. 1979. Peranan ayam

berkeliaran di Indonesia. Laporan

Seminar Industri Perunggasan II.

Balai Penelitian Ternak, Ciawi-

Bogor.

Kususiyah. 1995. Hubungan berat telur

dengan berat tetas dan mortalitas

puyuh petelur pada minggu

pertama. Laporan Penelitian

Universitas Bengkulu. Bengkulu..

Rasyaf, M. 1995. Beternak Ayam

Petelur. Penebar Swadaya.

Sheridan, A. K. 1986. Selection for

heterosis from reciprocal cross

population : Estimation of the F1

heterosis and its mode of

inheritance. British Poultry Sci. (27)

541-550

Sudaryani, T. dan H. Santoso. 2000.

Pemeliharaan Ayam Ras Petelur di

Kandang Baterai. Penebar

Swadaya. Jakarta.

Warwick, E. J., J. M. Astuti, dan W.

Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan

Ternak. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.

Page 18: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over
Page 19: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 89

Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru dan

Vitamin E terhadap Performans Dan Kualitas Daging Ayam Broiler

The Effect of Katuk (Sauropus androgynus) Leaf Extract – Lemuru Fish and Vitamin E on

Broiler Performance and Meat Quality

Basyaruddin Zain

Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu

Jalan Raya W.R. Supratman, Bengkulu

ABSTRACT

This research was conducted to determine the effect of leaf extract katuk, lemuru oil and vitamin E as a substitute for a commercial feed supplement on performance and meat quality of broilers. One hundred and ninety-five broiler chickens distributed into 13 treatment groups as follows: P0: Feed supplement containing a commercial feed (feed dick). P1: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil. P2: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil + 60 mg vit E. P3: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil . P4: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil + 60 mg vit E. P5: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil . P6: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil + 60 mg vit E. P7: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil. P8: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil + 60 mg vit E. P9: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil. P10: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil + 60 mg vit E. P11: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil. P12: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil + 60 mg vit E. Design research used Completely Randomized Design (CRD) with 13 treatments and 3 replications. Each test consisted of five broiler chickens, the number of chickens in the study as many as 195 birds. The data obtained were analyzed according to the design used (Completely Randomized Design) and Test DMRT (Duncan Multiple Range Test) to examine differences in treatment effect. The results showed that the use katuk leaf extract, lemuru oil and vitamin E not differ significantly (P> 0.05) to ration consumption, weight gain and conversion ration of broiler chickens are very real and different (P <0.01) on levels of cholesterol, triglycerides, LDL-cholesterol and HDL-cholesterol in blood serum and different broiler highly significant (P <0.01) on levels of cholesterol, fat and protein content of broiler meat.

Key words: Extract, Lemuru, meat, performance, Sauropus androgynus, vitamin E

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E sebagai pengganti feed suplement komersial terhadap performans dan kualitas daging ayam broiler. Seratus sembilan puluh lima ekor ayam broiler didistribusikan menjadi 13 kelompok perlakuan yaitu: P0: Pakan mengandung feed suplement komersial (pakan kontol). P1: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru. P2: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P3: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru. P4: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P5: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru. P6: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P7: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru. P8: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P9: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru. P10: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P11: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru. P12: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. Rancangan penelitian yang digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 13 perlakuan dan 3 ulangan. Setiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam broiler, jumlah ayam dalam penelitian sebanyak 195 ekor. Data yang diperoleh dianalisis sesuai rancangan yang digunakan (Rancangan Acak Lengkap) dan Uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) untuk menguji perbedaan pengaruh perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan konversi ransum ayam broiler serta berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar kolesterol, trigliserida, LDL-kolesterol dan HDL-kolesterol dalam serum darah broiler dan berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar kolesterol, lemak dan kadar protein daging broiler.

Kata Kunci: Daging, ekstrak, Katuk, Lemuru, performans, vitamin E

Page 20: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru 90

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peluang untuk memperbaiki

performans ayam di daerah tropika basah

seperti Indonesia menurut Abbas (1999),

yang utama adalah melalui pendekatan

manipulasi biolingkungan yakni : 1)

Manipulasi iklim mikro melalui

rasionalisasi perkandangan, 2)

Manipulasi biofisiologi melalui

pengaturan a) feed water balance, b)

suplementasi vit C, vit E, vitamin K,

biotin, vitamin B2 (riboflavin), 3)

perbaikan manajemen terutama pada saat

terjadi lonjakan suhu lingkungan dan 4)

perbaikan sosial ekonomi lingkungan

usaha. Biasanya peternak dalam

pemeliharaan ayam broiler memberikan

ransum komersil yang telah memenuhi

standar kebutuhan zat–zat makanan yang

telah ditetapkan dan juga di dalamnya

sudah terkandung bahan pakan

tambahan (feed supelment).

Pemakaian feed supplement

bertujuan untuk memperbaiki pakan dan

memacu pertumbuhan ternak untuk

meningkatkan produksi. Meskipun feed

suplement mampu meningkatkan

produksi namun kualitas daging yang

dihasilkan belum dapat memenuhi

tuntutan konsumen karena daging yang

dihasilkan masih berkadar lemak tinggi.

Oleh karena itu penggunaan feed

suplement alami merupakan alternatif

yang dapat dipakai sebagai pengganti

feed suplement komersial dalam ransum.

Salah satu feed suplement alami yang

dapat digunakan adalah daun katuk

(Sauropus androgynus).

Daun katuk (Sauropus androgynus)

selain sebagai tanaman obat juga

memiliki kandungan gizi yang tinggi

karena mengandung protein, vitamin,

serta mengandung zat anti bakterial

sehingga menjadikan katuk sebagai

tanaman yang sangat bermanfaat (Malik,

1997). Daun katuk (Sauropus androgynus)

dapat meningkatkan efesiensi

metabolisme zat-zat gizi karena kaya

akan mineral dan mengandung 6

senyawa sekunder utama yaitu,

monometyl succinate, cis-2-metyl

cyclopentonal asetat, asam benzoat, asam

fenil malonat, 2-pyrolidion dan metyl

pyroglutamate, β-karotin (Agustal et al,

1997)

Penggunaan ekstrak daun katuk

dalam ransum dapat meningkatkan

efisiensi produksi dan kualitas telur

(Santoso et al, 2002) dan (Subekti, 2003).

Penyusunan ransum pada dasarnya

hanya ditekankan kepada terpenuhinya

kebutuhan energi, protein, vitamin dan

mineral. Asam lemak tak jenuh ganda :

Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA)

jarang menjadi perhatian dalam

penyusunan ransum. Padahal PUFA

dapat menurunkan kolesterol dan

merupakan prekursor dari beberapa zat

yang mempengaruhi sistem imun. Salah

satu bahan pakan yang kaya akan PUFA

dan tidak bersaing dengan kebutuhan

manusia adalah minyak ikan lemuru.

Fenita (2002) menemukan bahwa

pemberian minyak ikan lemuru mampu

meningkatkan kadar PUFA dalam daging

broiler. Minyak ikan lemuru berpotensi

sebagai sumber PUFA seperti asam lemak

omega-3 dan mengandung asam lemak

linoleat yang dibutuhkan ayam untuk

mengoptimalkan daya tahan tubuhnya.

Namun kelemahan minyak ikan lemuru

dapat meningkatkan bau amis dan asam

lemak di dalamnya mudah teroksidasi

dan juga menurunkan kadar vitamin E

yang pada gilirannya akan menyebabkan

defisiensi vitamin E yang mempengaruhi

fungsi kekebalan tubuh. Untuk mengatasi

defisiensi vitamin E perlu suplementasi

vitamin E. Menurut Chen et al. (1998)

Suplementasi Vitamin E sebanyak 60

mg/kg ransum sangat efektif mencegah

oksidasi PUFA.

Page 21: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 91

Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui pengaruh penggunaan

ekstrak daun katuk minyak ikan lemuru

dan vitamin E sebagai pengganti feed

suplement komersial dalam ransum

terhadap performans dan kualitas daging

ayam broiler

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilakukan bulan

Februari sampai akhir Juli 2009 bertempat

di Kandang dan Laboratorium Jurusan

Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Bengkulu. Bahan yang

digunakan adalah 195 ekor ayam broiler,

ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru,

vitamin E, dan bahan penyusun ransum

yang terdiri dari jagung kuning, minyak

sawit, bungkil kedelai, tepung ikan,

kalsium karbonat, mineral mix, garam,

dan top mix (sebagai feed suplement

komersial), serta vaksin ND, vitachick

dan desinfektan

Rancangan penelitian yang

digunakan adalah Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan 13 perlakuan dan

3 ulangan. Ransum penelitian sebanyak

13 perlakuan sebagai berikut :

P0 : Pakan mengandung feed suplement

komersial.

P1 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

1% minyak ikan lemuru.

P2 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.

P3 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

2% minyak ikan lemuru.

P4 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.

P5 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

3% minyak ikan lemuru.

P6 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.

P7 : 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

1% minyak ikan lemuru.

P8 : 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.

P9 : 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

2% minyak ikan lemuru.

P10: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.

P11: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

3% minyak ikan lemuru.

P12: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E.

Peubah yang diamati yaitu:

konsumsi ransum, pertambahan berat

badan, konversi ransum, kadar kolesterol,

trigliserida, LDL-kolesterol dan HDL-

kolesterol dalam serum darah broiler

serta kadar kolesterol, lemak dan kadar

protein daging broiler.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan konsumsi, pertambahan

berat badan dan konversi ransum selama

penelitian terlihat seperti pada Tabel 1.

Penggunaan ekstrak daun katuk,

minyak ikan lemuru dan vitamin E dalam

ransum ayam broiler dengan berbagai

perlakuan berbeda tidak nyata (P>0.05)

terhadap konsumsi, pertambahan berat

badan dan konversi ransum

dibandingkan ransum kontrol. Berbeda

tidak nyatanya konsumsi ransum, hal ini

disebabkan karena ransum perlakuann

yang menggunakan ekstrak daun katuk,

minyak ikan lemuru dan vitamin E

mempunyai palatabilitas yang sama

dengan ransum kontrol yang

menggunakan feed suplement komersial.

Palatabilitas ransum mempengaruhi

konsumsi sehingga antara ransum

perlakuan yang menggunakan ekstrak

daun katuk, minyak ikan lemuru dan

vitamin E dengan ransum kontrol yang

memakai feed suplement komersial tidak

mempengaruhi konsumsi ransum ayam

broiler. Selain palatabilitas jika kita lihat

faktor lain yang mempengaruhi konsumsi

Page 22: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru 92

ransum seperti kandungan nutrisi

terutama energi dan protein ransum,

bentuk ransum, faktor lingkungan,

genetik, kondisi ternak adalah sama.

Menurut Anggorodi (1995) bahwa

konsumsi dipengaruhi oleh faktor

genetik, jenis kelamin, lingkungan, dan

palatabilitas ransum. Murtidjo (1987)

bahwa selera makan ternak dipengaruhi

oleh bentuk, rasa, aroma, serta kondisi

ternak tersebut. Berbeda tidak nyatanya

pertambahan berat badan ayam broiler

karena ransum yang dikonsumsi juga

berbeda tidak nyata sebab pertambahan

berat badan dipengaruhi oleh konsumsi

ransum yang digunakan untuk

pertumbuhan. Jadi antara ransum

perlakuan yang menggunakan ekstrak

daun katuk, minyak ikan lemuru dan

vitamin E dengan ransum kontrol yang

memakai feed suplement komersial,

konsumsi ransumnya juga berbeda tidak

nyata. Sebagaimana yang dinyatakan

Anggorodi (1995), bahwa pertambahan

berat badan dipengaruhi oleh konsumsi

ransum. Rasyaf (2002) menyatakan

bahwa bobot badan unggas dipengaruhi

antara lain oleh kualitas dan kuantitas

ransum yang diberikan. Blakely dan

Blade (1998) menjelaskan bahwa tingkat

konsumsi ransum akan mempengaruhi

laju pertumbuhan dan bobot akhir karena

pembentukan bobot, bentuk dan

komposisi tubuh pada hakekatnya adalah

akumulasi pakan yang dikonsumsi ke

dalam tubuh ternak. Berbeda tidak

nyatanya konversi ransum ayam broiler

disebabkan karena antara ransum

perlakuan yang menggunakan ekstrak

daun katuk, minyak ikan lemuru dan

vitamin E dengan ransum kontrol yang

memakai feed suplement komersial, karena

konsumsi ransum dan pertambahan berat

badan ayam broiler juga berbeda tidak

nyata. Konversi ransum merupakan

perbandingan antara konsumsi ransum

dengan pertambahan berat badan.

Kadar Fraksi Lipid Dalam Serum

Darah pada Tabel 2. Penggunaan ekstrak

daun katuk, minyak ikan lemuru dan

vitamin E dalam ransum ayam broiler

dengan berbagai perlakuan berbeda

sangat nyata (P < 0,01) terhadap kadar

kolesterol, trigliserida, LDL-kolesterol

dan HDL-kolesterol dalam serum darah

broiler.

Ransum perlakuan dapat

menurunkan antara 14,08% sampai

Tabel 1. Rataan konsumsi, pertambahan berat badan dan konversi ransum selama penelitian

Perlakuan Konsumsi

(gram/ekor)

Pertambahan Berat Badan

(gram/ekor)

Konversi

P0 1754,44a 626,67a 2,79a

P1 1716,11a 651,67a 2,63a

P2 1877,78a 706,67a 2,65a

P3 1830,00a 687,78a 2,66a

P4 1760,00a 731,67a 2,41a

P5 1780,00a 668,33a 2,66a

P6 1747,78a 636,11a 2,74a

P7 2023,89a 757,78a 2,67a

P8 1628,89a 593,33a 2,74a

P9 2036,11a 697,78a 2,91a

P10 1760,00a 677,78a 2,60a

P11 1693,89a 630,00a 2,68a

P12 1782,22a 671,11a 2,65a

Keterangan: ns (non signifikan)

Page 23: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 93

51,30% kolesterol dalam serum darah

broiler jika dibandingkan dengan ransum

kontrol. Penurunan kadar kolesterol

dalam serum darah broiler yang

terendah 14,08% terdapat pada ransum

perlakuan P2 (9 g/kg ekstrak daun katuk

(EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg

vit E) dan yang tertinggi 51,30% terdapat

pada ransum perlakuan P12 (18 g/kg

ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak

ikan lemuru + 60 mg vit E).

Ransum perlakuan dapat

menurunkan antara 10,88% sampai

27,64% trigliserida dalam serum darah

broiler jika dibandingkan dengan ransum

kontrol. Penurunan kadar trigliserida

dalam serum darah broiler yang terendah

10,88% terdapat pada ransum perlakuan

P3 (9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2%

minyak ikan lemuru) dan yang tertinggi

27,64% terdapat pada ransum perlakuan

P12 (18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E).

Ransum perlakuan dapat

menurunkan antara 13,82% sampai

30,31% LDL-kolesterol dalam serum

darah broiler jika dibandingkan dengan

ransum kontrol. Penurunan kadar LDL-

kolesterol dalam serum darah broiler

yang terendah 13,82% terdapat pada

ransum perlakuan P2 (9 g/kg ekstrak

daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan

lemuru + 60 mg vit E) dan yang tertinggi

30,31% terdapat pada ransum perlakuan

P10 (18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E).

Ransum perlakuan dapat

meningkatkan antara 6,46% sampai

12,22% HDL-kolesterol dalam serum

darah broiler jika dibandingkan dengan

ransum kontrol. Peningkatan kadar HDL-

kolesterol dalam serum darah broiler

yang terendah 6,46% terdapat pada

ransum perlakuan P8 (18 g/kg ekstrak

daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan

lemuru + 60 mg vit E) dan yang tertinggi

12,22% terdapat pada ransum perlakuan

P11 (18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) +

3% minyak ikan lemuru).

Penurunan kolesterol, trigliserida

dan LDL-kolesterol dalam serum darah

broiler disebabkan karena zat aktif

flavonoid dalam daun katuk sementara

senyawa yang berperan dalam minyak

Tabel 2. Kadar Fraksi Lipid Dalam Serum Darah

Perlakuan Kolesterol

(mg/100 ml)

Trigiliserida

(mg/100ml)

LDL-k

(mg/100 ml)

HDL-k

(mg/100 ml)

P0 208,37g 139,47f 137,14e 35,90ab

P1 195,41fg 137,40f 131,84e 36,83abc

P2 179,02f 131,23ef 118,18d 37,44abcd

P3 146,89e 125,40de 113,19cd 34,69a

P4 143,45de 114,05bc 100,00ab 40,16d

P5 131,46bcde 111,62abc 102,00abc 37,18abcd

P6 134,77cde 109,92ab 100,75ab 40,16d

P7 125,10bcd 106,14ab 119,40d 38,45bcd

P8 139,43de 116,67bcd 109,70bcd 38,22bcd

P9 117,47abc 122,14cde 104,69abc 38,48bcd

P10 114,23ab 106,71ab 95,57a 38,95bcd

P11 105,43a 106,73ab 95,72a 40,29d

P12 101,46a 100,92a 95,91a 39,61cd

Keterangan: Angka-angka dengan superskrip yang sama pada kolom yang sama

menunjukan berbeda tidak nyata dan angka-angka dengan superskrip yang berbeda pada

kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,01)

Page 24: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru 94

lemuru adalah asam lemak tak jenuh

rantai panjang omega-3 (PUFA).

Flavonoid berfungsi menghambat

oksidasi kolesterol LDL. Flavonoid

meningkatkan kadar prostasiklin.

Prostasiklin adalah substansi yang

diproduksi oleh endothelium pembuluh

darah dan menyebabkan vasodilatasi,

menghambat pembentukan platelet darah

(kepingan sel-sel darah) dan gumpalan

darah serta menghambat masuknya

kolesterol LDL (kolesterol jahat) ke

dalam dinding pembuluh darah.

Sebagaimana pendapat Santoso et

al. (2004) bahwa ekstrak daun katuk

dapat menurunkan konsentrasi

kolesterol dan LDL-kolesterol pada ayam

pedaging tapi tidak dapat menaikkan

HDL-kolesterol. Pada penelitian ini

ternyata pemberian ekstrak daun katuk,

minyak lemuru dan vitamin E mampu

meningkatkan kadar HDL kolesterol.

Peningkatan HDL-kolesterol ini

disebabkan karena adanya pemberian

minyak ikan lemuru dalam ransum.

Minyak ikan lemuru mengandung asam

lemak omega 3 yang dapat menurunkan

trigliserida dan meningkatkan HDL-

kolesterol dalam plasma darah.

Sebagaimana hasil penelitian Fenita

(2002) bahwa minyak ikan lemuru

mengandung asam lemak omega 3

berupa EPA dan DHA. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa EDK, minyak

ikan lemuru dan vitamin E berpotensi

untuk menekan resiko terkena penyakit

penyempitan pembuluh darah

(atherosclerosis). Penggunaan EDK,

minyak lemuru dan vitamin E ternyata

cukup efektif untuk menurunkan

konsentrasi kolesterol, LDL-kolesterol

dan trigliserida serta meningkatkan HDL-

kolesterol.

Kadar kolesterol, protein dan lemak

daging dada broiler pada Tabel 3.

Penggunaan ekstrak daun katuk, minyak

ikan lemuru dan vitamin E dalam ransum

ayam broiler dengan berbagai perlakuan

berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap

berbeda kadar kolesterol, lemak dan

protein daging broiler dibandingkan

ransum kontrol.

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa suplementasi EDK dan minyak

lemuru menurunkan kadar kolesterol dan

lemak daging broiler (P<0,01) dan

Tabel 3. Kadar kolesterol, protein dan lemak daging dada broiler

Perlakuan Kolesterol

(mg/100ml)

Protein

(%)

Lemak

(%)

P0 2,21e 18,07a 4,77i

P1 2,10ge 18,70abc 4,55f

P2 2,04ef 18,64abc 4,34g

P3 1,88de 18,922abc 4,23fg

P4 1,79d 18,507ab 4,07ef

P5 1,62c 19,53abc 4,00e

P6 1,51bc 19,66bc 3,86de

P7 1,30a 19,47abc 3,33a

P8 1,37f 19,56abc 3,66cd

P9 1,42ab 19,72bc 3,61bc

P10 1,31a 20,18cd 3,64bcd

P11 1,37ab 21,19d 3,43ab

P12 1,31a 23,22e 3,28a

Keterangan: Angka-angka dengan superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan berbeda

tidak nyata dan angka-angka dengan superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan

berbeda sangat nyata (P < 0,01)

Page 25: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 95

meningkatkan kadar protein daging

broiler. Kecendrungan turunnya kadar

total lipid dan turunnya kadar kolesterol

dalam daging broiler dikarenakan EDK

mengandung metilpiroglutamat

sementara minyak lemuru kaya akan

PUFA terutama omega-3. Kedua senyawa

ini diketahui mempunyai kemampuan

menurunkan deposisi lemak (Fenita,

2005, Santoso, et. al. 2004.). Selain itu daun

katuk juga mengandung flavonoid, tanin

dan alkaloid lainnya dimana senyawa

tersebut bersifat antilipida. Suprayogi

(2000) menemukan bahwa ekstrak etanol

mengandung senyawa tanin, gula, garam

alkoloid dan antrasenoid, steroid

glycoside/triterpenoid, flavonoid,

kumarin, isoquinoline alkoloid dan

anthocyanin. Sementara pada ekstrak air

panas mengandung senyawa tanin,

kumarin, garam alkaloid, glukoside dan

saponin.

SIMPULAN

Penggunaan ekstrak daun katuk,

minyak ikan lemuru dan vitamin E dalam

ransum tidak berpengaruh terhadap

konsumsi ransum, pertambahan berat

badan dan konversi ransum ayam broiler.

Penggunaan ekstrak daun katuk, minyak

ikan lemuru dan vitamin E dalam ransum

dapat menurunkan kadar kolesterol,

trigliserida, LDL-kolesterol dan

menaikkan HDL-kolesterol dalam serum

darah broiler dan juga dapat menurunkan

kadar kolesterol, lemak, dan menaikkan

kadar protein daging broiler.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, M.H. 1999. Pengelolaan Ternak

Unggas. Program Pasca Sarjana

Universitas Andalas Padang.

Agustal, A., M. Haripini dan Chairul.

1997. Analisis kandungan kimia

ekstrak daun katuk (Sauropus

androgynus (L) Merr dengan GCMS.

Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3

(3) ; 31-33.

Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka

Ternak Unggas. Universitas

Indonesia Press, Jakarta

Chen, Y. J., K. S. Son, B. J. Min, J. H. Cho,

O. S. Kwon and I. H. Kim. 1998.

Effects of dietary probiotic on

growth performance, nutrients

digestibility, blood characteristics

and fecal noxious gas content in

growing pigs. Asian-Aust. J. Anim.

Sci. 18:1464-1468

Fenita, Y. 2002. Suplementasi lisin dan

metionin serta minyak lemuru ke

dalam ransum berbasis hidrolisis

bulu ayam terhadap perlemakan

dan pertumbuhan ayam ras

pedaging. Program Pasca Sarjana-

IPB, Bogor.

Malik, A. 1997. Tinjauan fitokimia,

indikasi penggunaan dan

bioaktivitas daun katuk dan buah

trengguli. Warta Tumbuhan Obat

Indonesia. 3 (3): 39-40.

Murtidjo, B. A. 1987. Pedoman Beternak

Ayam Broiler. Kanisius,

Yogyakarta.

Santoso, U., J. Setianto dan T. Suteky.

2002. Pengguanaan Ekstrak Daun

Katuk untuk Meningkatkan

Efisiensi Produksi dan Kualitas

Telur yang Ramah Lingkungan

pada Ayam Petelur. Laporan Hibah

Bersaing Tahun 1, Jakarta.

Santoso, U., Y. Fenita dan W. Piliang.

2004. Penggunaan ekstrak daun

katuk sebagai feed additive untuk

memproduksi meat designer.

Laporan Penelitian Hibah Pekerti.

Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Subekti, S. 2003. Kualitas telur dan karkas

ayam lokal yang diberi tepung

daun katuk dalam ransum.

Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Page 26: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over
Page 27: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 97

Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan

Hatching Egg Performance of Pegagan Duck

Meisji L. Sari2), Ronny R. Noor2), Peni S. Hardjosworo2), Chairun Nisa3),

1)Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Ternak Sekolah Pasca Sarjana IPB 2)Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

3)Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Email: [email protected]

ABSTRACT

Pegagan duck as native south sumatera duck were one of specific genetic resource that needs to be preserved

and explored. Scientific information on Pegagan as animal genetic resources is less than other native ducks.

This study was done in order to identified and explored the performance of hatching egg of Pegagan duck.

Five-hundreds hatching eggs were collected from 3 sub district; Tanjung Raja, Inderalaya and Pemulutan of

Ogan Ilir Regency, South Sumatera. They were weighed and measured to generated egg index. The eggs

were hatched using hatching machine that already desinfected using lisol 2.5%. Along the hatching, all eggs

were rotated from day-3 to day-25. Egg candling was done in day-5, day-13 and day-25. The results shows

that average egg weight were 65 g. Bluish-green egg shell and average of egg index were 75±0,03%. Pegagan

duck egg fertility were low (60%) and its hatchability were 53% with hatching weight 36.37 ± 3,39 g.

Key words: hatching eggs, hatchery, Pegagan Duck, fertility

ABSTRAK

Itik Pegagan sebagai itik lokal Sumatera Selatan merupakan salah satu sumber genetik ternak atau kekayaan

hayati lokal Indonesia, yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Sejauh ini data ilmiah mengenai itik

Pegagan sebagai sumber plasma nutfah relatif masih sedikit dibandingkan ternak itik lokal lainnya. Tujuan

dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan mengidentifikasi keragaan telur tetas itik Pegagan.

Penelitian inidiawali dengan mengumpulkan telur tetas itik Pegagan sebanyak 500 butir yang didapat dari

tiga kecamatan yaitu kecamatan Tanjung Raja, Inderalaya dan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera

Selatan. Telur itik yang dikumpulkan kemudian ditimbang dengan timbangan telur untuk mengetahui bobot

telur (g), kemudian diukur panjang (mm) dan lebar telur (mm) untuk mengetahui indeks telur. Selanjutnya

telur ditetaskan dengan mesin tetas yang sebelumnya dibersihkan dengan lisol 2.5%. Selama proses penetasan

dilakukan pemutaran telur mulai hari ketiga sampai hari ke-25. Pemeriksaan telur (candling) dilakukan tiga

kali yaitu pada hari kelima, ke-13 dan ke-25. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot telur tetas

yang digunakan 65 g, warna kerabang telur itik Pegagan adalah hijau kebiruan, rataan indeks telur itik

Pegagan 75±0,03%. Fertilitas telur itik Pegagan yang dikumpulkan dari peternak itik rendah yaitu sebesar

60%, dengan daya tetas 53% dan bobot tetas sebesar 36,37 ± 3,39 g.

Kata Kunci: telur tetas, penetasan, Itik Pegagan, fertilitas

PENDAHULUAN

Potensi ternak itik di Indonesia

sangat besar terutama sebagi penghasil

daging dan telur. Indonesia dikenal

sebagai salah satu negara yang memiliki

keanekaragaman hayati yang sangat

kaya. Salah satu dari kekayaan itu adalah

keanekaragaman hewan ternak, termasuk

itik. Populasi itik di Indonesia sebagian

besar dijumpai di pulau Jawa dan

kepulauan Indonesia bagian Barat.

Indonesia memiliki berbagai jenis itik

lokal seperti itik Cirebon, itik Mojosari,

itik Alabio, itik Tegal dan itik Magelang

Usaha pemerintah dalam

menunjang program sub sektor

peternakan yaitu peningkatan produksi

Page 28: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Keragaan Telus Tetas Itik Pegagan 98

ternak dapat dicapai dengan dua cara

yaitu dengan peningkatan populasi

ternak dan peningkatan mutu genetik

ternak. Dalam rangka melestarikan ternak

lokal maka telah banyak dilakukan

bermacam-macam usaha antara lain

dengan inseminasi buatan dan

persilangan-persilangan.

Itik Pegagan sebagai itik lokal

Sumatera Selatan merupakan salah satu

sumber daya genetik ternak atau

kekayaan hayati lokal Indonesia, yang

perlu dilestarikan dan dikembangkan.

Sejauh ini data ilmiah mengenai itik

Pegagan sebagai sumber plasma nutfah

relatif masih sedikit dibandingkan ternak

itik lokal lainnya. Sehingga perlu

diupayakan pelestarian.

Itik Pegagan berasal dari desa

Kotodaro, Kecamatan Tanjung Raja,

Kabupaten Ogan Ilir (OI), Propinsi

Sumatera Selatan. Populasinya dari

waktu ke waktu relatif semakin menurun,

sehingga sekarang ini populasi itik

tersebut hanya sekitar 10% dari populasi

itik di Sumatera Selatan. Padahal itik

Pegagan sebagai sumber plasma nutfah

belum banyak diungkap sebagaimana

ternak itik lokal lain. Potensi itik Pegagan

mempunyai keunggulan dibandingkan

dengan itik lokal lainnya. Keunggulan

tersebut adalah berat badan rata-rata itik

dewasanya yang dapat mencapai > 2 kg,

serta berat telur rata-ratanya dapat

mencapai > 70 g.

Pengembangan itik Pegagan

tersebut perlu dilakukan melalui program

pemuliaan dengan memperhatikan

karakteristiknya. Program pemuliaan

secara nyata dapat membantu dalam

menghasilkan jenis itik tertentu dengan

sifat-sifat dan tujuan produksi yang

diharapkan. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mempelajari dan

mengidentifikasi keragaan telur tetas dan

hasil penetasan telur itik Pegagan yang

pada akhirnya untuk mempopulerkan

dan meningkatkan manfaat itik Pegagan

serta dapat dijadikan sebagai pedoman

dalam upaya pembudidayaannya.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini akan diawali dengan

mengumpulkan telur tetas itik Pegagan

sebanyak 500 butir yang didapat dari tiga

kecamatan yaitu kecamatan Tanjung Raja,

Inderalaya dan Pemulutan Kabupaten

Ogan Ilir Sumatera Selatan. Telur itik

yang dikumpulkan kemudian ditimbang

dengan timbangan telur untuk

mengetahui bobot telur (g), kemudian

diukur panjang (mm) dan lebar telur

(mm) untuk mengetahui indeks telur.

Telur kemudian difumigasi dengan

larutan kalium permanganat-formalin.

Larutan terdiri dari 4 g kalium

permanganat dan 5 cc formalin untuk

luasan satu meter kubik selama 15 menit.

Selanjutnya telur ditetaskan dengan

mesin tetas yang sebelumnya dibersihkan

dengan lisol 2.5%.

Selama proses penetasan dilakukan

pemutaran telur mulai hari ketiga sampai

hari ke-25. Pemeriksaan telur (candling)

dilakukan tiga kali yaitu pada hari

kelima, ke-13 dan ke-25. Pemeriksaan

pertama dilakukan untuk mengetahui

fertilitas telur. Pemeriksaan kedua dan

ketiga dilakukan untuk mengeluarkan

telur-telur dengan embrio mati. Mulai

hari ke-25 sampai menetas (umumnya

hari ke-28) telur-telur tidak diputar lagi,

sehingga diketahui dari telur yang mana

itik tersebut berasal. Daya tetas telur

ditentukan berdasarkan perbandingan

jumlah telur yang menetas dan tidak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan

Keragaan telur tetas itik Pegagan

hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Page 29: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 99

Tabel 1 menunjukkan bahwa rataan bobot

telur tetas yang digunakan 65,32 ±3,81 g.

Rataan bobot telur penelitian ini lebih

tinggi dibandingkan bobot telur itik

Alabio, seperti yang dilaporkan Prasetyo

dan Susanti (2000) yakni 60,21 ± 5,64 g,

dan hampir sama dengan bobot telur

tetas itik Alabio pada penelitian Suryana

(2011) dimana bobot telur tetas yang

digunakan 67,87 ± 3,15 g. Bobot telur

merupakan sifat yang banyak

dipengaruhi oleh factor genetik, umur

induk, posisi telur dalam cluth, musim

dan pakan (Solihat et al. 2003). Perbedaan

ini diduga disebabkan oleh asal telur tetas

yang digunakan sumbernya tidak sama

dan dihasilkan oleh induk yang

mempunyai bobot badan bervariasi. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Applegate

et al. (1998) bahwa bobot telur yang

dihasilkan berkorelasi positif dengan

bobot induk. Bobot telur dipengaruhi

oleh faktor-faktor dewasa kelamin, umur

itik, bangsa, tingkat protein dalam pakan,

cara pemeliharaan, dan temperature

lingkungan (Solihat et al. 2003). Ditinjau

dari aspek pakan, Wahyu (1997)

mengemukakan bahwa penurunan besar

telur dapat disebabkan oleh defisiensi

asam linoleat maupun kandungan zat

anti nutrisi tertentu dalam pakan seperti

nicarbasin dan gossypol. Defisiensi asam

linoleat dalam pakan dapat

mengakibatkan bobot telur yang

dihasilkan rendah sehingga berat embrio

juga rendah (Komarudin et al. 2008).

Karakteristik warna kerabang telur

itik Pegagan adalah hijau kebiruan yang

merupakan ciri khas warna kerabang

telur itik Pegagan. Hasil penelitian sama

dengan warna kerabang telur itik Alabio

dan Mojosari (Suparyanto, 2005).

Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagian

unggas air termasuk itik memiliki warna

kerabang hijau kebiruan. Hal ini

disebabkan adanya pengaruh gen yaitu

pigmen yang bertanggung jawab

terhadap warna kerabang menjadi hiijau

kebiruan adalah pigmen biliverdin,

sementara zick chelate dan protoporpirin IX

umumnya ditemukan pada telur yang

berkerabang coklat (Wasburn 1993).

Warna kerabang telur hijau kebiruan

merupakan warna dominan otosomal

yaitu gen G+ dan masih memiliki sifat liar

(Lancaster 1993). Pada itik-itik yang

sudah didomestikasi, warna kerabang

telur dengan itik Bali putih, itik Pekin,

dan itik putih Ukrania memiliki warna

kerabang telur putih yang sepenuhnya

dikontrol oleh gen g (Romanov et al.

1995).

Indeks telur merupakan

perbandingan antara panjang telur dibagi

lebar dikali 100%. Rataan indeks telur itik

Pegagan (75%) termasuk normal. Nilai

indeks telur yang normal adalah 79%,

sehingga nilai indeks yang lebih kecil dari

79% akan memberikan penampilan lebih

panjang dan lebih dari 79%

penampilannnya lebih bulat (Romanoff

dan Romanoff 1963). Indeks telur itik

Pegagan tersebut hampir mirip dengan

indeks telur itik Cihateup asal

Tasikmalaya (80,19%) hasil penelitian

Wulandari (2005). Indeks telur yang

mencerminkan bentuk telur sangat

dipengaruhi oleh genetik dan bangsa

(Romanov et al. 1995), juga proses-proses

yang terjadi selama pembentukan telur

(Larbier & Leclercq 1994).

Tabel 1. Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan

Peubah yang diamati

Jumlah Telur 500

Bobot Telur (g) 65,32 ±3,81

Warna telur Hijau kebiruan

Indeks Telur (%) 75 ± 0,03

Page 30: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Keragaan Telus Tetas Itik Pegagan 100

Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan

Hasil penetasan yang meliputi

fertilitas, daya tetas dan bobot tetas itik

Pegagan didapat nilai-nilai seperti Tabel

2.

Fertilitas telur adalah perbandingan

antara telur yang fertil dengan jumlah

total telur yang ditetaskan. Fertilitas telur

itik Pegagan yang dikumpulkan dari

petenak rendah yaitu sebesar 60%.

Rendahnya fertilitas telur karena pada

saat pemeliharaan rasio jantan dan betina

tidak tepat. Berdasarkan informasi dari

peternak pejantan yang dipelihara terlalu

sedikit. Fertilitas telur dalam penelitian

ini lebih rendah dari hasil penelitian yang

dilaporkan Setioko dan Istiana (1999)

yaitu penetasan itik Alabio kontrol dan

terseleksi di Kabupaten Hulu Sungai

Tengah Propinsi Kalimantan Selatan

masing-masing sebesar 73,33% dan 77,4%,

sementara Suryana (2011) pada itik

Alabio fertilitas sebesar 97,3%. Purba et

al. (2005) dan Wobowo et al. (2005)

menyatakan bahwa rataan fertilitas telur

itik di daerah sentra produksi dan

penetasan di Kabupaten Blitar, Jawa

Timur berkisar antara 86,46-90,49%,

sementara Yuwono et al. (2005)

melaporkan bahwa fertilitas telur itik

lainnya selama lima periode penetasan

sebesar 89,31%. Faktor-faktor yang

mempengaruhi fertilitas telur adalah

rasio jantan dan betina, pakan induk,

umur pejantan yang digunakan dan

umur telur (Srigandono 1997), jumlah

induk yang dikawini oleh satu pejantan

dan umur induk (Solihat et al. 2003).

Daya tetas telur itik Pegagan

sebesar 53%. Daya tetas telur itik Pegagan

masih cukup baik dibandingkan daya

tetas itik Alabio (48,98%) dan itik

Mojosari (40,87%) hasil penelitian

Brahmantiyo et al. (2001). Tinggi

rendahnya daya tetas bergantung pada

kualitas telur tetas, sarana penetas,

ketrampilan pelaksana dan kualitas mesin

tetas (Martojo et al. 1979 dalam Lasmini et

al.1992). Daya tetas juga sangat

dipengaruhi oleh status nutrisi induk.

Menurut Wilson (1997) status nutrisi

induk sangat penting dalam

pembentukan telur, ketersediaan gizi

yang seimbang dibutuhkan bagi

perkembangan embrio yang normal.

Embrio dapat mati jika telur kekurangan,

kelebihan atau ketidakseimbangan nutrisi

yang mempengaruhi daya tetas.

Bobot tetas yang diperoleh pada

penelitian ini adalah 36,37±3,89 g. Bobot

tetas yang dihasilkan dalam penelitian ini

relatif sama dengan hasil yang diperoleh

Suryana dan Tiro (2007) yakni 39,85 ± 0,66

g akan tetapi lebih kecil jika

dibandingkan dengan hasi penelitian

Lasmini et al.(1992) sebesar 42,22 g.

SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Bobot telur itik Pegagan sebesar 65

gram.

2. Karakteristik warna kerabang telur

itik Pegagan adalah hijau kebiruan

3. Indeks telur itik Pegagan 75±0,03.

4. Fertilitas telur itik Pegagan 60% .

5. Daya tetas telur itik Pegagan 53 %.

6. Bobot tetas itik Pegagan 36,37±3,39.

Tabel 2. Fertilitas, Daya Tetas dan Bobot Tetas Itik Pegagan

Peubah yang diamati

Fertilitas (%) 60

Daya Tetas (%) 53±0,17

Bobot Tetas (g) 36,37±3,89

Page 31: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 101

DAFTAR PUSTAKA

Applegate, T.J., D. Harper, L. Lilburn.

1998. Effect of hen age composition

and embryo development in

commercial Pekin ducks. Poult Sci

77:16008-1612.

Brahmantiyo, B., L.H. Prsetyo. 2001.

Pengaruh bangsa itik Alabio dan

Mojosari terhadap performan

reproduksi. Prosiding Lokakarya

Unggas Air Sebagai Peluang Usaha

Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2001.

Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor bekerjasama

dengan Balai Penelitian Ternak.

Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan. Badan

Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Bogor. hlm. 32-34.

Komarudin, Rukmiasih, P.S.

Hardjosworo. 2008. Performa

produksi itik berdasarkan

kelompok bobot tetas kecil, besar

dan campuran. Didalam: Inovasi

teknologi mendukung

pengembangan agribisnis

peternakan ramah lingkungan.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi

Peternakan dan Veteriner. Bogor, 11-

12 Nopember 2008. Pusat penelitian

dan Pengembangan Peternakan.

Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Bogor.

hlm. 604-610

Lancester, F.M. 1993. Mutations and

major variants in domestic duck. In:

Crawford R.D. 1990. Poultry

Breeding and

Genetics;Depaartement of Animal

and Poultry Science University of

Saskatchewan, Saskatoon,

Canada.pp 381-388

Larbier, M., B. Leclercq. 1994. Nutrition

and Feeding of Poultry. Notthingham

Unniversity Press. INRA. Perancis.

Lasmini, A., R. Abelsami, N.M. Parwati.

1992. Pengaruh cara penetasan

terhadap daya tetas telur itik

Twegal dan Alabio. Prosiding

Seminar Nasional Peternakan dan

Veteriner. Bogor, 18-19 September

2000. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan. Badan

Penelitian dan Pengembangan

Pertanian Bogor. hlm. 31-34.

Martojo, H. 1979. Peningkatan Mutu

Genetik Ternak. Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi. Pusat Antar Universitas dan

Bioteknologi, Institut Pertanian

Bogor.

Prasetyo, L.H., T. Susanti. 2000.

Persilangan timbal balik antara

itik Alabio dan Mojosari: Periode

awal bertelur. Jurnal Ilmu Ternak

dan Veteriner 5(4): 210-214.

Purba, M., L.H. Prasetyo, T. Susanti. 2005.

Produksi dan penetasan telur itik di

daerah sentra produksi kabupaten

Blitar, Jawa Timur. Prosiding

Seminar nasional Teknologi Peternakan

dan Veteriner. Buku II. Bogor, 12-13

September 2005. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Peternakan.

Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Bogor.

hlm. 823-829.

Romanov, M.N., R.P. Veremenyenko, Y.Y.

Bondarenko. 1995. Conservation of

waterfowl germplasm in Ukraine.

In: World’s Poultry Science

Association. Proceeding 10th

European Symposium on

Waterfpowl, March, 26-31 1995.

Halle (Saale) Germany. pp. 401-414.

Srigandono, B. 1997. Ilmu Unggas Air.

Jogjakarta; Gadjah Mada University

Press.

Romanoff, A.L. and A.J. Roamnoff. 1963.

The Avian Egg. New York: John

Wiley and Sons.

Page 32: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Keragaan Telus Tetas Itik Pegagan 102

Setioko, A.R., Istiana. 1999. Pembibitan

itik Alabio di Kabupaten Hulu

Sungai Tengah. Prosiding Seminar

Nasional Peternakan dan Veteriner.

Jilid I; Bogor,1-2 Desember 1999.

Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan. Badan

Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Bogor. hlm. 382-387.

Suparyanto, A. 2005. Peningkatan

produktivitas daging itik

mandalung melalui pembentukan

galur induk.[disertasi]. Bogor:

Sekolah Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor

Suryana. 2011. Karakterisasi Fenotipik

dan Genetik Itik Alabio (Anas

platyrhynchos Borneo) di Kalimantan

Selatan Dalam Rangka Pemanfaatan

dan Pelestarian Secara

Berkelanjutan. Disertasi. Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor.

Suryana, B.W. Tiro. 2007. Keragaan

penetasan telur itik Alabio dengan

sistem gabah di Kalimantan Selatan.

Didalam; Percepatan Inovasi

Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi

Mendukung Kemandirian

Masyarakat Kampung di Papua.

Prosiding Seminar Nasional dan

Ekspose. Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian (BPTP) Papua; Jayapura,

5-6 Juli 2007. Balai Besar Pengkajian

dan Pengembangan Teknologi

Pertanian. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian.

Bogor.hlm 269-277.

Solihat, S., I. Suswoyo, Ismoyowati. 2003.

Kemampuan performan produksi

telur dari berbagai itik lokal. J

Peternakan Tropik 3 (1):27-32.

Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas.

Jogjakarta; Gadjah Mada University

Press.

Washburn, K.W. 1993. Genetics variation in

egg composition In: Poultry breeding

and genetics. Crawford RD (eds).

Departement of Animal and Poultry

Science. University of

Saskatchewan, Saskatoon. Canada.

pp. 781-804.

Wilson, H.R. 1997. Effecs of maternal

nutrient on hatchability. J Poult Sci

76:143-146.

Wulandari, W.A. 2005. Kajian

karakteristik biologis itik Cihateup

[tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,

Institut Pertanian Bogor.

Wibowo, B., E. Juarini, Sunarto. 2005.

Analisa ekonomi usaha penetasan

telur itik di Sentra produksi.

Didalam: Merebut peluang

agribisnis melalui pengembangan

usaha kecil dan menegah unggas

air. Prosiding Lokakarya Unggas Air

II. Ciawi 16-17 Nopember 2005.

Kerjasama balai Penelitian Ternak,

Masyarakat Ilmu Perunggasan

Indonesia dan Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor.

Yuwono, D.M., Subiharta, A. Hermawan.

2006. Kajian inovasi kelembagaan

pembibitan itik Tegal Unggul

model inti-plasma. Prosiding

Seminar nasional Inovasi Teknologi

dalam mendukung usaha ternak

unggas berdaya saing. Semarang, 4

Agustus 2006. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan

bekerjasana dengan Jurusan Sosial

Ekonomi Fakultas Peternakan

Universitas Diponegoro. Semarang.

hlm. 176-184.

Page 33: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 103

Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk

Serta Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo

Effect of Katuk Leaves Supplementation on Burgo’s Ovarium and Oviduct Size and Egg

Production Performance

Heri D. Putranto1,2)

1) Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu 2) Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pertanian Unib

Jalan Raya W.R. Supratman, Kandang Limun, Bengkulu 38371A

Telp. +62 -736 - 21170 ext. 219 Faks. +62 -736 - 21290

e-mail: [email protected]

ABSTRACT

Burgo chicken is one of potential natural fauna resources of Bengkulu Province, Indonesia. The reproductive

physiology status of this endemic species is still remain unclear. The cock well knowns for its beautiful color

and classified as a crowler type fowl. The hen has a potency as an egg producer. Female burgos in this study

were supplemented by 4 levels of katuk leaves extract (non-supplemented, 9, 18 and 27g/chick/day) during 8

weeks. The purpose of this study was to explore the effect of katuk leaves extract supplementation diluted

into drinking water on female burgo’s ovarium and oviduct size, and egg production. The results showed that

the treatment did not significantly affected all parameters (P>0.05). However, the supplemented of katuk

leaves extract hen groups had a higher egg production and ovarium and oviduct size than non-supplemented

group. The reason was katuk leaves contains precursor which has a main role in eicosanoids biosynthesis and

involved in reproduction and physiological process. Katuk leaves also contains estradiol-17β benzoate which

is functioned to improve the reproduction and to stimulate follicle growth and finally caused a higher egg

production.

Key words: Female burgo, egg production, ovarium, oviduct.

ABSTRAK

Ayam Burgo merupakan salah satu plasma nutfah Provinsi Bengkulu dan juga Indonesia yang hingga saat ini

belum banyak diketahui tentang informasi fisiologi reproduksinya. Selain dikenal karena keindahan bulu dan

suara ayam jantannya, ayam Burgo betina juga memiliki potensi sebagai penghasil telur. Pada studi ini, ayam

Burgo betina mendapatkan suplementasi ekstrak daun katuk yang dibagi dalam 4 aras yaitu

nonsuplementasi, 9, 18 dan 27 gr/ekor/hari selama 8 minggu. Studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh

suplementasi ekstrak daun katuk yang diberikan melalui air minum terhadap ukuran ovarium, oviduk dan

tampilan produksi telur ayam Burgo betina sebagai salah satu upaya mendapatkan informasi dasar fisiologi

reproduksinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suplementasi ekstrak daun katuk tidak

berpengaruh nyata terhadap seluruh parameter yang diamati (P>0,05). Tetapi dengan adanya suplementasi

ekstrak daun katuk, ayam Burgo betina memiliki kecenderungan untuk bisa menghasilkan produksi telur

yang lebih tinggi serta ukuran ovarium dan oviduk yang lebih baik dibanding ayam nonsuplementasi. Hal ini

disebabkan karena daun katuk memiliki kandungan prekursor yang berperan dalam biosintesa eicosanoids

dan terlibat dalam proses reproduksi dan fisiologi serta kandungan senyawa aktif seperti estradiol-17β

benzoat yang dapat meningkatkan fungsi reproduksi dan merangsang pertumbuhan folikel sehingga ayam

dapat menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi.

Kata kunci: Ayam Burgo betina, ovarium, oviduk, produksi telur.

Page 34: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium 104

PENDAHULUAN

Satwa unggas dalam hal ini ayam

telah menjadi sesuatu kebutuhan sebagai

salah satu sumber kebutuhan protein

hewani masyarakat dan biasa ditemui

sebagai satwa peliharaan oleh masyarakat

di Indonesia. Ayam tersebut terdiri atas

jenis ayam kampung atau buras, ayam ras

broiler (petelur dan pedaging) ataupun

ayam hias yang dapat menjadi salah satu

simbol strata sosial pemeliharanya. Salah

satu ayam hias yang endemik di Provinsi

Bengkulu adalah ayam Burgo atau juga

dikenal dengan nama ayam Rejang

(Putranto et al., 2009; 2010a, b, Setianto,

2009; Setianto et al., 2009; Warnoto dan

Setianto, 2009). Ayam Burgo merupakan

ayam lokal yang dapat dijumpai di

wilayah Provinsi Bengkulu dan hampir

tersebar di seluruh wilayah pedesaan

dengan populasi yang berbeda (Gibson,

2011). Unggas endemik Bengkulu ini

dapat ditemui pada hampir setiap

kabupaten di Provinsi Bengkulu, dan

hasil penelitian memperlihatkan bahwa

Kabupaten Rejang Lebong memiliki

populasi ayam Burgo domestikasi

terbanyak (Putranto, 2011b; Putranto et

al., 2010b, Nurmeliasari, 2003). Akan

tetapi, pada saat ini eksistensi ayam

Burgo tersebut dapat dikatakan belum

begitu dikenal secara luas ditataran

regional ataupun nasional sebagai salah

satu plasma nutfah Indonesia dengan

karakteristik dan keunikan yang khusus.

Hal ini dikarenakan masyarakat baik

masyarakat Bengkulu dan masyarakat di

Indonesia belum banyak mengetahui

tentang ayam Burgo.

Secara umum, pemeliharaan ayam

dilakukan dengan tujuan ekonomi

maupun hanya sekedar bagian dari hobi

atau kesenangan (pleasure). Diketahui

bahwa atas dasar tujuan pemeliharaan,

maka ayam yang dipelihara dapat dibagi

atas beberapa tipe yaitu tipe ayam

pedaging, tipe ayam petelur, tipe ayam

dwiguna dan diantaranya tipe ayam hias

dan aduan. Berdasarkan hasil penelitian

Putranto (2011b) dan Putranto et al. (2009;

2010a, b), ayam Burgo jantan lebih

menjadi preferensi pilihan pemelihara

dibanding ayam Burgo betina.

Pengembangan ayam Burgo jantan lebih

difokuskan sebagai ayam hias karena

keindahan bulu, bentuk dan ukuran

tubuh yang unik. Padahal ayam Burgo

betina juga memiliki potensi dijadikan

sebagai ayam petelur karena disinyalir

memiliki kemampuan yang cukup bagus

berupa produksi telur yang relatif tinggi.

Dalam upaya domestikasi ayam

Burgo (pemeliharaan intensif ataupun

semi intensif) sangat tergantung pada

keputusan petani untuk melakukan

domestikasinya. Nataamijaya (2010)

menjelaskan bahwa pengembangan ayam

lokal di Indonesia saat ini diarahkan pada

peningkatan skala kepemilikan dan

perbaikan teknik budidaya dengan

mengubah pola pemeliharaan dari pola

ekstensif tradisional (sistem umbaran) ke

usaha intensif komersial. Menurut

National Research Council (1993), ayam

peliharaan dari daerah tropis merupakan

sumber pangan paling penting di dunia.

Namun, usaha peternakan ayam lokal

belum berkembang antara lain belum

tersedianya bibit unggul serta cara

budidaya yang tidak efisien. Di negara

berkembang, usaha ternak ayam lokal

berperan penting dalam meningkatkan

pendapatan masyarakat karena usaha

tersebut melibatkan sebagian besar

penduduk miskin (Sonaiya, 2007).

Berdasarkan uraian diatas, maka

upaya pemeliharaan ayam Burgo secara

intensif dapat menjadi salah satu solusi

untuk mendukung usaha pemenuhan

kebutuhan protein hewani masyarakat

sekaligus untuk mengambil peran sebagai

salah satu solusi untuk meningkatkan

pendapatan masyarakat di pedesaan.

Page 35: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 105

Dalam studi ini, ayam Burgo betina

dipelihara dalam kandang individu

ukuran 1,0 x 0,8 m2 sebagai bentuk uji

coba sistem pemeliharaan intensif dan

diberikan suplementasi daun katuk

melalui air minum sebagai salah satu

bentuk aplikasi teknologi nutrisi pakan.

Daun katuk (Sauropus androgynus)

terutama bagian yang muda, telah lama

dikenal sebagai salah satu jenis sayur

yang lazim dikonsumsi masyarakat

(Gibson, 2011; Zueni, 2011). Tanaman ini

juga dikenal sebagai sebagai tanaman

herbal dan antiseptik (anti kuman dan

anti protozoa) karena bisa

menyembuhkan borok, bisul, koreng,

demam, darah kotor dan frambusia

(Irawan, 2003). Selanjutnya daun katuk

juga berfungsi untuk melancarkan air

susu ibu, sehingga daun katuk banyak

diberikan pada ternak perah setelah

melahirkan. Daun katuk juga memiliki

fungsi sebagai sebagai anti lemak, anti

oksidan dan mempengaruhi metabolisme

lemak (Santoso et al., 1999).

Selanjutnya Santoso et al. (2003,

2005) menyebutkan bahwa pada ayam

petelur Leghorn, suplementasi ekstrak

daun katuk berpengaruh sangat positif

terhadap produksi telur baik dalam

persen, butir maupun gram dan juga

bahkan dapat meningkatkan jumlah

produksi telur. Lebih lanjut dijelaskan

bahwa asam benzoat yang terkandung

dalam daun katuk, akan dikonversikan

menjadi estradiol-17β benzoat di dalam

tubuh. Estradiol-17β benzoat berperan

untuk meningkatkan fungsi reproduksi

dan merangsang pertumbuhan folikel

sehingga ayam dapat menghasilkan

produksi telur yang lebih tinggi dan lebih

efisien. Beberapa pustaka lainnya

menjelaskan bahwa daun katuk memiliki

lima substansi dasar yang berasal dari

kelompok asam lemak polyunsaturated

dan berfungsi sebagai prekursor yang

berperan dalam biosintesa eicosanoids

(prostaglandin, prostacycline, thromboxane,

lipoxins dan leukotrienes) dan terlibat

dalam proses reproduksi dan fisiologi

(Ganong, 1993; Suprayogi, 2000), serta

kandungan 17-ketosteroid, androstan-17-

one, 3-ethyl-3-hydroxy-5-alpha berperan

penting pada biosintesa hormon steroid

betina (progesteron dan estradiol-17β)

(Despopoulos dan Silbernagi, 1991).

Menurut Putranto (2010, 2011a) dan

Putranto et al. (2007a, b, c; 2010b, c), fakta

fisiologi reproduksi berbagai jenis satwa

di Indonesia masih banyak yang belum

diketahui. Dalam hal ini termasuk fakta

fisiologi reproduksi ayam Burgo

(Putranto et al., 2010a, b). Padahal

diketahui bahwa informasi fisiologi

reproduksi jenis unggas endemik

Bengkulu ini merupakan data

fundamental yang sangat penting untuk

dikuasai sebelum dilanjutkan dengan

teknologi reproduksi lanjut. Studi

tampilan organ reproduksi ayam Burgo

betina ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh suplementasi ekstrak daun

katuk yang diberikan melalui air minum

terhadap tampilan organ reproduksi dan

produksi telur ayam Burgo betina sebagai

salah satu upaya mendapatkan informasi

dasar fisiologi reproduksinya. Sebagai

hipotesa, diperkirakan ekstrak daun

katuk yang mengandung prekursor yang

berperan dalam biosintesa eicosanoids

(prostaglandin, prostacycline, thromboxane,

lipoxins dan leukotrienes) dan terlibat

dalam proses reproduksi dan fisiologi

akan juga mempengaruhi tampilan organ

reproduksi dan produksi telur ayam

Burgo betina dalam studi ini.

MATERI DAN METODE

Ayam Burgo

Sebanyak 16 ekor ayam Burgo

betina yang berumur 10–12 bulan didapat

dengan cara membeli dari beberapa

Page 36: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium 106

petani pemelihara ayam Burgo di

Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten

Bengkulu Utara dan Kota Bengkulu.

Pemilihan ayam sampel telah dipastikan

adalah ayam yang merupakan F1 ayam

Burgo dengan cara: (1) konfirmasi dan

wawancara dengan petani pemelihara

ayam Burgo tersebut, (2) pengujian dan

pengamatan tanda-tanda fenotip ayam

Burgo secara visual. Seluruh ayam Burgo

dalam keadaan sehat dan tidak cacat

sewaktu dibeli dan selama masa studi.

Ayam-ayam tersebut telah dewasa

kelamin ditilik dari status ayam yang

telah memproduksi telur sebelum dibeli.

Menurut Warnoto (2001), ayam Burgo

mencapai dewasa kelaminnya pada umur

4,5 bulan dan ditambahkan oleh Setianto

(2009) bahwa ayam Burgo dapat

mencapai status dewasa kelaminnya lebih

cepat dibanding jenis ayam lokal

Indonesia lainnya.

Prosedur Ekstraksi dan Suplementasi

Daun Katuk

Daun katuk segar didapatkan

dengan cara membeli dari beberapa

petani sayur di Kabupaten Bengkulu

Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah.

Dengan menggunakan metode yang

dipergunakan oleh Santoso et al. (2003,

2005), sebanyak 1,0 kg daun katuk segar

direndam dalam 6,0 l air menggunakan

wadah yang terbuat dari tanah liat dan

direbus selama 30 menit pada suhu

sekitar 60°C. Air rebusan disaring dan

sisa daun katuk kemudian dicampur

kembali dengan 6,0 l air dan kembali

direbus. Proses perebusan dan

penyaringan diulang hingga 3 kali. Air

rebusan kemudian dipanaskan selama 48

jam pada suhu sekitar 50°C

menggunakan wadah yang juga terbuat

dari tanah liat hingga tersisa semacam

endapan padat berbentuk pasta pada

dasar wadah.

Sebelumnya, telah dilakukan masa

adaptasi ayam Burgo terhadap perlakuan

suplementasi ekstrak daun katuk selama

10 hari sebelum masa studi dimulai,

termasuk adaptasi terhadap pakan,

kandang/sistem pemeliharaan dan

peralatan kandang. Ekstrak daun katuk

dilarutkan dengan cara diaduk-aduk

perlahan hingga tercampur merata dalam

100 ml air minum yang diberikan pada

pukul 07.00 pagi setiap hari. Berdasarkan

hasil pengamatan selama masa adaptasi,

air minum tersebut telah habis

dikonsumsi pada pukul 15.00 siang dan

selanjutnya air minum dapat

ditambahkan hingga menjadi ad libitum.

Selama masa studi, metode suplementasi

tersebut diaplikasikan kepada seluruh

ayam Burgo betina dan jumlah konsumsi

air minum dicatat setiap harinya.

Rancangan Percobaan

Studi ini dilakukan dari bulan Mei

hingga Juli 2010 bertempat di kandang

ayam milik Jurusan Peternakan Fakultas

Pertanian Universitas Bengkulu yang

berlokasi di Commercial Zone and Animal

Laboratory. Ke-16 ayam Burgo betina

ditempatkan dalam kandang individu

ukuran 1,0 x 0,8 m2 dengan dilengkapi

tempat pakan dan tempat minum.

Rancangan Acak Lengkap (RAL)

diaplikasikan yang terdiri atas 4 macam

perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan

tersebut adalah:

H1: suplementasi ekstrak daun katuk

dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari

(nonsuplementasi/kontrol).

H2: suplementasi ekstrak daun katuk

dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari.

H3: suplementasi ekstrak daun katuk

dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari.

Page 37: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 107

H4: suplementasi ekstrak daun katuk

dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari.

Masa perlakuan suplementasi dilakukan

selama 8 minggu. Aras suplementasi

ekstrak daun katuk dijustifikasi

berdasarkan hasil penelitian Santoso et al.

(2003). Selanjutnya Santoso et al. (2003,

2005) melaporkan bahwa suplementasi

ekstrak daun katuk sebanyak 27 gr/kg

ransum telah berhasil meningkatkan

produksi telur pada ayam broiler.

Ayam diberikan pakan campuran

yang mengandung 16% protein kasar

(PK) dan 2.750 kcal/kg energi metabolis

(ME) tanpa suplementasi antibiotik

(Santoso et al., 2003). Pada Tabel 1 dapat

dilihat komposisi formulasi pakan basal

yang diberikan. Sebagaimana air minum,

pakan juga diberikan ad libitum.

Analisis Statistik

Parameter yang diukur dalam studi

ini adalah berat ovarium, berat dan

panjang oviduk serta tampilan produksi

telur ayam Burgo betina. Berat ovarium

dan oviduk serta panjang oviduk

dilakukan dengan menggunakan 2

sampel ayam betina per perlakuan.

Penimbangan dilakukan dengan cara

memotong ovarium dan oviduk dari

jaringan pengikatnya, kemudian segera

ditimbang menggunakan timbangan

analitik pada akhir minggu ke-8 (unit

pengukuran gr/ekor). Lalu oviduk diukur

panjangnya mulai dari bagian pangkal

hingga ke bagian ujung (unit pengukuran

cm/ekor). Produksi telur didapat

berdasarkan jumlah telur yang dihasilkan

dalam satu periode bertelur yang

dikoleksi selama 8 minggu (unit

pengukuran jumlah butir telur/8

minggu). Data hasil studi dianalisa

dengan menggunakan analisis sidik

ragam (ANOVA) dan jika berbeda nyata

diuji lanjut menggunakan Duncan

Multiple Range Test (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ayam Burgo merupakan salah satu

plasma nutfah Indonesia yang perlu

mendapat perhatian dari banyak pihak

yang berkepentingan. Sebagai ayam

buras lokal, selain karena menyimpan

potensi sebagai ayam hias (fancy fowl)

(Putranto et al., 2010a, b), unggas ini juga

memiliki potensi untuk dikembangkan

sebagai penghasil telur (Putranto, 2011b).

Tetapi sayang sekali, hingga saat ini

sistem budidaya dan upaya pembibitan

belum diketahui secara pasti apalagi

ditunjang oleh fakta bahwa pemeliharaan

ayam Burgo masih menggunakan sistem

backyard farming. Diharapkan dengan

semakin banyaknya publikasi ilmiah dan

studi tentang ayam Burgo yang telah

dilakukan oleh berbagai pihak akan dapat

semakin menempatkan eksistensi ayam

Burgo sebagai salah satu plasma nutfah

penting Indonesia bahkan di dunia.

Ayam Burgo adalah ayam crossbreed

antara ayam hutan merah jantan (Gallus

gallus) dan ayam buras betina (Setianto,

2009; Warnoto ,2001). Memiliki ciri

spesifik pada jantan dan betinanya yaitu

pada bagian cuping telinga memiliki

ukuran yang lebar dan berwarna putih.

Ditambahkan oleh Setianto (2009), warna

putih pada cuping telinga biasanya

dijadikan sebagai salah satu kriteria

Tabel 1. Formulasi ransum basal (kg/100 kg)

No Komposisi Bahan Volume (kg/100 kg)

1 Jagung halus 50.0

2 Konsentrat 24.0

3 Tepung kacang hijau 4.0

4 Tepung kacang kedelai 4.0

5 Tepung kacang 6.0

6 Tepung ikan 7.0

7 Minyak kelapa 1.0

8 Tepung tulang 2.2

9 Kalsium karbonat 1.0

10 Premix 0.5

Komposisi

PK (%) 16.5

ME (kcal/kg) 2752.0

Dimodifikasi dari Santoso et al. (2003).

Page 38: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium 108

terhadap keaslian genetiknya. Bentuk

tubuh ayam Burgo relatif kecil

dibandingkan ayam buras lain pada

umumnya, tetapi relatif lebih besar dari

ayam hutan merah dan mempunyai

warna kaki abu–abu (Warnoto, 2001).

Ayam Burgo betina dalam studi ini

mendapatkan perlakuan suplementasi

ekstrak daun katuk dalam 4 aras yaitu

nonsuplementasi, 9, 18 dan 27

gr/ekor/hari yang diprediksi dapat

mempengaruhi ukuran organ reproduksi

betina dan tampilan produksi telurnya.

Organ reproduksi betina berupa ovarium

dan oviduk memiliki peranan penting

dalam proses reproduksi dan produksi

telur. Ovarium merupakan bagian utama

organ reproduksi yang berfungsi sebagai

penghasil folikel atau ovum. Telah

diketahui pula bahwa ovarium

merupakan tempat sintesis hormon

steroid seksual, gametosis dan

perkembangan serta pemasakan kuning

telur (folikel) (Yuwanta, 2010). Dijelaskan

lebih lanjut bahwa ovarium berbentuk

seperti buah anggur terletak pada rongga

perut berdekatan dengan ginjal sebelah

kiri dan bergantung pada ligamentum

meso-ovarium. Ovarium terbagi dalam dua

bagian, yaitu cortex pada bagian luar dan

medulla pada bagian dalam. Cortex

mengandung folikel dan pada folikel

terdapat sel–sel telur.

Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil

studi berupa hasil penimbangan berat

ovarium sebelah kanan dan kiri dari

ayam Burgo betina. Hasil analisis sidik

ragam menunjukkan bahwa suplementasi

ekstrak daun katuk berpengaruh tidak

nyata terhadap rerata berat ovarium

ayam Burgo betina baik ovarium sebelah

kanan maupun kiri (P> 0,05).

Secara umum berat ovarium unggas

pada saat DOC mencapai 0,3 gr dan pada

ayam betina umur 12 minggu mencapai

60 gr (Yuwanta, 2010). Berdasarkan

pendapat tersebut, dapat dikatakan

bahwa berat ovarium ayam Burgo betina

dalam studi ini tergolong rendah.

Tercatat berat ovarium ayam Burgo

betina bervariasi mulai dari 0,0427gr

hingga 0,5128 gr yang keduanya

merupakan ovarium sebelah kiri.

Rendahnya berat ovarium ayam Burgo

betina dalam studi ini diperkirakan akibat

konsumsi pakan yang tidak optimal

selama studi berlangsung (Gibson, 2011).

Selanjutnya ditambahkan oleh Gibson

(2011) bahwa perlakuan pemeliharaan

intensif dalam kandang individual

diperkirakan telah memunculkan gejala

cekaman yang mengakibatkan rendahnya

konsumsi pakan ayam Burgo tersebut.

Hal ini sesuai dengan laporan Braw-Tal et

al. (2004) yang menyatakan bahwa pada

saat konsumsi pakan berkurang akan

mengakibatkan penurunan berat ovarium,

jumlah folikel serta disfungsi dari ovarium.

Walaupun berpengaruh tidak

nyata, ternyata suplementasi ekstrak

daun katuk telah mengakibatkan ayam

Burgo betina memiliki kecenderungan

berat ovarium yang lebih tinggi

dibanding ayam nonsuplementasi

(kontrol). Diduga kandungan senyawa

aktif utama dalam daun katuk yaitu

estradiol-17β benzoat mempunyai

kemampuan untuk meningkatkan fungsi

reproduksi dan merangsang

pertumbuhan folikel sehingga ayam

dapat menghasilkan ovum yang lebih

banyak (Santoso et al., 2003; 2005).

Dengan ovum/folikel yang lebih banyak

berarti ovarium menjadi lebih aktif dan

menjadi bertambah ukurannya untuk

mengakomodir aktifitas tersebut.

Page 39: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 109

Selanjutnya Tabel 2 memperlihatkan

bahwa secara umum ovarium ayam Burgo

betina sebelah kanan cenderung lebih

berat dibandingkan ovarium sebelah kiri.

Salisbury (1985) menyatakan bahwa

ovarium unggas sebelah kanan

cenderung lebih aktif daripada ovarium

sebelah kiri sehingga ovarium unggas

sebelah kanan akan lebih besar

ukurannya dan lebih berat bobotnya

dibanding ovarium unggas sebelah kiri.

Profil dan perbandingan ukuran ovarium

kanan dan kiri pada ayam Burgo betina

dalam studi ini dapat dilihat pada

Gambar 1. Parameter yang diamati selanjutnya

adalah berat dan panjang oviduk pada

ayam Burgo betina. Oviduk merupakan

alat reproduksi sekunder pada unggas

betina yang merupakan tempat menerima

kuning telur masak, sekresi putih telur

dan pembentukan kerabang telur

(Yuwanta, 2010). Terdapat sepasang

oviduk dan merupakan saluran

penghubung antara ovarium dan uterus.

Bentuknya panjang dan berkelok-kelok

yang merupakan bagian dari ductus

muller. Ujungnya melebar membentuk

corong dengan tepi yang berjumbai

(Nalbandov, 1990). Oviduk terdiri dari

lima bagian yaitu infundibulum atau

funnel, magnum, ithmus, uterus atau shell

gland dan vagina (Nesheim et al., 1979).

Tabel 3 memperlihatkan hasil studi

berupa hasil penimbangan berat dan

pengukuran panjang oviduk ayam Burgo

betina. Hasil analisis sidik ragam

menunjukkan bahwa suplementasi

ekstrak daun katuk berpengaruh tidak

nyata terhadap rerata berat dan rerata

panjang oviduk ayam Burgo betina (P>

0,05). Rerata berat oviduk ayam Burgo

betina bervariasi antara 0,6423 gr hingga

9,8178 gr dan rerata panjang oviduk

bervariasi mulai dari 3,6 cm hingga 8,2

cm.

Tidak berpengaruhnya ekstrak

daun katuk terhadap berat dan panjang

oviduk ayam Burgo betina diduga karena

umur ayam Burgo yang digunakan pada

penelitian ini telah melewati batas awal

dewasa kelamin. Ayam burgo betina

mencapai dewasa kelamin pada umur 4 –

4,5 bulan (Warnoto, 2001). Yuwanta

(2010) menyatakan bahwa ayam yang

telah mencapai dewasa kelamin, oviduk

telah berkembang sempurna menurut

bagian–bagiannya dan masing–masing

fungsinya.

Tetapi apabila diamati lebih

seksama, rerata berat dan panjang oviduk

ayam Burgo betina yang mendapat

Tabel 2. Berat ovarium ayam Burgo betina selama 8 minggu perlakuan (butir/ekor)

Perlakuan

Ovarium Kiri Rerata

Kiri

Ovarium Kanan Rerata

Kanan Probabilitas Replikasi

1

Replikasi

2

Replikasi

1

Replikasi

2

H1 0,5128 0,3003 0,4065 0,0994 0,2326 0,166 ns

H2 0,0454 0,0578 0,0516 0,1891 0,1819 0,185 ns

H3 0,3278 0,0427 0,1852 0,1827 0,2053 0,194 ns

H4 0,0656 0,0559 0,0607 0,2348 0,1051 0,169 ns

Keterangan: H1= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari (nonsuple-

mentasi/kontrol), H2= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari, H3=

suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari, H4= suplementasi ekstrak

daun katuk dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari, ns= tidak berbeda nyata (P>0,05).

Gambar 1. Profil ovarium ayam Burgo betina yang telah dipisahkan dari jaringan ikat.

Keterangan: A= ovarium sebelah kiri, B= ovarium sebelah kanan.

A

B

B

Page 40: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium 110

perlakuan suplementasi ekstrak daun

katuk cenderung lebih berat dan lebih

panjang dibanding ayam Burgo betina

nonsuplementasi (kontrol). Menurut

Budiasa (2008), ekstrak daun katuk

mengandung FSH dan LH yang dapat

meningkatkan steroidogenesis yang

sebagian besar adalah estrogen,

androgen dan progesteron. Hormon-

hormon reproduksi tersebut mempunyai

peran penting untuk pertumbuhan dan

pemeliharaan saluran reproduksi betina.

Dengan adanya suplementasi ekstrak

daun katuk dalam air minum ayam

Burgo betina dalam studi ini,

diperkirakan telah menyebabkan

bertambah banyaknya produksi hormon

reproduksi sehingga ukuran (berat dan

panjang) oviduk pada ayam Burgo betina

suplementasi menjadi lebih tinggi

dibandingkan ayam Burgo betina

nonsuplementasi.

Hasil analisis sidik ragam pada

Tabel 4 memperlihatkan bahwa

perlakuan suplementasi ekstrak daun

katuk berpengaruh tidak nyata terhadap

rerata produksi telur ayam Burgo betina

selama 8 minggu perlakuan (P> 0,05).

Rerata produksi telur ayam Burgo betina

dalam studi ini berkisar antara 15 butir

hingga mencapai 26 butir/ekor/8 minggu.

Hasil ini studi ini masih sejalan dengan

pendapat Warnoto dan Setianto (2009)

yang menyatakan bahwa ayam Burgo

betina dapat memproduksi telur

sebanyak 10–15 butir per periode bertelur

atau total sekitar 60 butir per tahun. Lebih

lanjut disebutkan bahwa berat telur ayam

Burgo relatif lebih ringan daripada ayam

kampung, yaitu 26.50 – 35.50 gr untuk

ayam Burgo (Warnoto, 2001) dan

mencapai 41 gr untuk ayam kampung

(Diwyanto and Iskandar, 1999). Ukuran

telur yang lebih kecil ini disebabkan oleh

karakteristik tubuh ayam Burgo betina

yang lebih ringan daripada ayam

kampung (Gibson, 2011; Putranto, 2011b).

Jika diamati lebih lanjut, rerata

produksi telur ayam Burgo yang

mendapat suplementasi ekstrak daun

katuk aras 27 gr/ekor/hari cenderung

menghasilkan rerata produksi telur yang

lebih banyak dibandingkan perlakuan

lainnya. Salah satu senyawa yang diduga

dapat berperan dalam peningkatan

produksi telur adalah asam benzoat

Tabel 3. Berat oviduk (gr/ekor) dan panjang oviduk (cm/ekor) ayam Burgo betina selama 8 minggu perlakuan

Perlakuan

Berat Oviduk Rerata

Berat

Panjang Oviduk Rerata

Panjang Probabilitas Replikasi

1

Replikasi

2

Replikasi

1

Replikasi

2

H1 4,3432 5,0293 4,6862 6,6 5,2 5,90 ns

H2 0,6423 9,7793 5,2108 4,9 7,7 6,30 ns

H3 9,4680 9,8178 9,6429 7,2 8,2 7,70 ns

H4 6,1856 5,3797 5,7826 3,6 5,7 4,65 ns

Keterangan: H1= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari (nonsuple-

mentasi/kontrol), H2= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari, H3=

suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari, H4= suplementasi ekstrak

daun katuk dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari, ns= tidak berbeda nyata (P>0,05).

Tabel 4. Produksi telur ayam Burgo betina selama 8 minggu perlakuan (butir/ekor)

Perlakuan Replikasi 1 Replikasi 2 Rerata Probabilitas

H1 11,0 19,0 15,0 ns

H2 28,0 21,0 24,5 ns

H3 29,0 19,0 24,0 ns

H4 28,0 24,0 26,0 ns

Keterangan: H1= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari (nonsuple-

mentasi/kontrol), H2= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari, H3=

suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari, H4= suplementasi ekstrak

daun katuk dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari, ns= tidak berbeda nyata (P>0,05).

Page 41: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 111

(Gibson, 2011). Asam benzoat dalam

tubuh dapat dikonversikan menjadi

estradiol-17β benzoat. Estradiol-17β

benzoat berperan untuk meningkatkan

fungsi reproduksi dan merangsang

pertumbuhan folikel (Santoso et al., 2003).

Selanjutnya ditambahkan oleh

Anonimous (2009), vitamin C dan E yang

terkandung dalam pakan terbukti dapat

meningkatkan produksi telur. Secara

umum diketahui bahwa daun katuk kaya

akan zat besi, provitamin A dalam bentuk β-

carotene, vitamin C, minyak sayur, protein

dan mineral lainnya. Dalam 100 gram daun

katuk mengandung 72 kalori, 70 gram air, 4,8

gram protein, 2 gram lemak, 11 gram

karbohidrat, 2,2 gram mineral, 24 mg kalsium,

83 mg fosfor, 2,7 mg besi, 31,11 µg vitamin

D, 0,10 mg vitamin B6 dan 200 mg vitamin C

(Anonimous, 2009).

Walaupun analisis secara statistik

memperlihatkan pengaruh yang tidak

nyata, hasil studi berupa perlakuan

ekstraksi daun katuk ini selaras dengan

hasil penelitian yang dilaporkan oleh

Santoso et al. (2003, 2005) yang

menyebutkan bahwa suplementasi

ekstrak daun katuk pada ayam petelur

berpengaruh sangat positif terhadap

produksi telur baik dalam persen, butir

maupun gram dan juga bahkan dapat

meningkatkan jumlah produksi telur.

Asam benzoat yang terkandung dalam

daun katuk dikonversikan menjadi

estradiol-17β benzoat yang berperan

untuk meningkatkan fungsi reproduksi

dan merangsang pertumbuhan folikel

sehingga ayam dapat menghasilkan

produksi telur yang lebih tinggi dan lebih

efisien. Ditambahkan oleh Agustal et al.

(1997), daun katuk mengandung

beberapa senyawa–senyawa aktif seperti

asam benzoat, asam fenil malonat, 2-

pyrolidinon dan methyl pyroglutamate

yang semuanya dapat berperan dalam

peningkatan produksi dan reproduksi.

SIMPULAN

Walaupun data menunjukkan

bahwa suplementasi ekstrak daun katuk

belum mempengaruhi secara optimal

terhadap seluruh paramater yang diamati

dalam studi ini tetapi terdapat

kecenderungan bahwa ekstrak daun

katuk dengan kandungan berbagai

prekursor dan senyawa aktif didalamnya

mampu memberikan pengaruh yang

positif terhadap ukuran ovarium dan

oviduk serta tampilan produksi telur

ayam Burgo betina.

DAFTAR PUSTAKA

Agustal, A., M. Harapini, dan Chairul.

1997. Katuk leaves extract

(Sauropus androgynus (L) Merr)

chemical analysis by using GCMS.

Warta Tumbuhan Obat 3 (3): 31-33.

Anonimous. 2009. Manfaat Daun Katuk. http://www.departemenkesehatanrepubl

ik indonesia.go.id. 11 November

2010.

Budiasa, M.K., W. Bebas. 2008.

Pregnant mares serum

gonadotrophin meningkatkan dan

mempercepat produksi telur itik Bali

yang lambat bertelur. Jurnal

Veteriner 9 (1): 20-24. Braw-Tal, R., S. Yossefi, S. Pen, D. Schider

dan A. Bar. 2004. Hormonal changes

associated with aging and induced

moulting of domestic hens. British

Poultry Science 45 (6): 204-211.

Despopoulos, A., L. Silbernagi. 1991.

Color Atlas of Physiology 4rd Ed.

Stuttgart, New York: Georg Thieme

Verlag.

Diwyanto, K., S. Iskandar. 1999.

Kampung Chickens: A Key Part of

Indonesia’s Livestock Sector.

Livestock Industries of Indonesia

Prior to the Asian Financial Crisis,

Regional Office for Asia and the

Page 42: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium 112

Pacific, FAO Corporate Document

Repository.

Ganong, W.F. 1993. Review of Medical

Physiology 6th Ed. Prentice-Hall

International Inc. San Fransisco.

Gibson, B. 2011. Studi Penggunaan

Ekstrak Daun KatukTerhadap

Tampilan Organ Reproduksi Ayam

Burgo Betina Untuk Perbaikan

Kualitas Populasi. Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan

Lingkungan, Universitas Bengkulu.

Bengkulu. Tesis.

Irawan, N. 2003. Pengaruh Pemberian

Daun Katuk (Sauropus androginus

Merr) dengan Berbagai Metode

Ekstraksi Terhadap Kualitas Telur

Ayam Petelur. Jurusan Peternakan,

Fakultas Pertanian Universitas

Bengkulu. Bengkulu. Skripsi.

Nalbandov, A.V. 1990. Reproductive

Physiology of Mammals and Birds.

UI Press, Jakarta, Indonesia.

Nataamijaya, A.G. 2006. Egg production

and quality of kampung chicken fed

rice bran diluted commercial diet

and forages supplement. Journal of

Animal Production (8): 206-210.

National Reseach Council. 1993.

Managing Global Livestock

Resources. Committe on Managing

Global Genetic Resources.

Agricultural Imperatif. National

Academic Press. Washington DC,

USA.

Nesheim, M.C., R.E. Austic dan L.E.

Card.1979. Poultry Production. 12th

ed. Lea and Febiger, Philadelphia,

USA.

Nurmeiliasari. 2003. Burgo chicken

population, distribution and the

interaction with various ecological

factor. Jurnal Raflesia UMB V (2):

52-55.

Putranto, H.D. 2010. The description of

intensively captived sambar deer’s

reproductive behavior. Jurnal Sain

Peternakan Indonesia 5 (2): 129-134.

Putranto, H.D. 2011a. A non-invasive

identification of hormone

metabolites, gonadal event and

reproductive status of captive

female tigers. Biodiversitas Journal

of Biological Diversity 12 (3): 131-

135.

Putranto, H.D. 2011b. Introduction of

indigenous Bengkulu chicken,

population, female production and

reproductive organs description.

Proc.of the 19th J-AREA Annual

Meeting, Himeji City, Japan, p: 9.

Putranto, H.D., S. Kusuda, K. Inagaki, G.

Kumagai, R. Ishii-Tamura, Y. Uziie,

dan O. Doi. 2007a. Ovarian activity

and pregnancy in the Siberian tiger,

Panthera tigris altaica, assessed by

fecal gonadal steroid hormones

analyses. Journal of Veterinary

Medicine Science 69 (5): 569-571.

Putranto, H.D., S. Kusuda, H. Hashikawa,

K. Kimura, H. Naito, dan O. Doi.

2007b. Fecal progestins and

estrogens for endocrine monitoring

of ovarian cycle and pregnancy in

Sumatran orangutan (Pongo abelii).

Jpn Journal of Zoo and Wildlife

Medicine 12 (2): 97-103.

Putranto, H.D., S. Kusuda, T. Ito, M.

Terada, K. Inagaki, dan O. Doi.

2007c. Reproductive cyclicity

based on fecal steroid hormones

and behaviors in Sumatran tigers,

Panthera tigris sumatrae. Jpn Journal

of Zoo and Wildlife Medicine 12 (2):

111-115.

Putranto, H.D., U. Santoso, Y. Fenita, dan

Nurmeliasari. 2009. Kajian

Konservasi: Populasi, Tampilan

Reproduksi dan Potensi

Domestikasi Ayam Burgo Plasma

Nutfah Endemik Bengkulu.

Laporan Hibah Kompetitif

Penelitian Strategis Nasional Batch

Page 43: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 113

2. Lembaga Penelitian Universitas

Bengkulu, Bengkulu.

Putranto, H.D., U. Santoso, Warnoto, dan

Nurmeliasari. 2010a. Kajian

Konservasi: Populasi, Tampilan

Reproduksi dan Potensi

Domestikasi Ayam Burgo Plasma

Nutfah Endemik Bengkulu.

Laporan Hibah Kompetitif

Penelitian Strategis Nasional

Lanjutan Tahun ke-2. Lembaga

Penelitian Universitas Bengkulu,

Bengkulu.

Putranto, H.D., U. Santoso, Warnoto, Y.

Fenita, dan Nurmeiliasari. 2010b. A

study on population density and

distribution pattern of domesticated

Bengkulu native burgo chicken.

Media Kedokteran Hewan 26 (2):

198-204.

Putranto, H.D., E. Soetrisno,

Nurmeliasari, A. Zueni, dan B.

Gibson. 2010c. Recognition of

seasonal effect on captive Sumatran

sambar deer reproductive cyclicity

and sexual behavior. Biodiversitas

Journal of Biological Diversity 11

(4): 200-203.

Salisbury, G.M. 1985. Fisiologi

Reproduksi dan Inseminasi Buatan

pada Sapi. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Santoso, U., J. Setianto, dan H. Prakoso.

1999. Peningkatan Efisiensi

Pertumbuhan dan Penurunan

Jumlah Salmonella sp. Daging Serta

Akumulasi Lemak Broiler Oleh

Ekstrak Daun Katuk. Laporan

Penelitian. Lembaga Penelitian

Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Santoso, U., J. Setianto, T. Suteky, dan Y.

Fenita. 2003. The Utilization of

Katuk Leaves Extract to Improve

Environmental Friendly Egg

Quality and Production Efficiency.

Laporan Penelitian Hibah Pekerti.

Lembaga Penelitian Universitas

Bengkulu, Bengkulu.

Santoso, U., J. Setianto, dan T. Suteki.

2005. Effect of Sauropus androgynus

extract on egg production and lipid

metabolism in layers. Asian-

Australian Journal of Animal

Science 18 (3): 364-370.

Suprayogi, A. 2000. Studies on the

Biological Effects of Sauropus

androgynus (L) Merr.: Effects on

Milk Production and the

Possibilities of Induced Pulmonary

Disorder in Lactating Sheep.

University Gottingen, Germany.

Dissertation.

Setianto, J. 2009. Ayam Burgo; Ayam

Buras Bengkulu. Kampus IPB

Taman Kencana. IPB Press. Bogor.

Setianto, J., Warnoto, dan Nurmeiliasari.

2009. The phenotypic

characteristic, population and the

ecological factors of Bengkulu’s

burgo chicken. Proc. of

International Seminar the Role and

Application on Livestock

Reproduction and Products;

Bukittinggi, Indonesia, hal: 13-14.

Sonaiya, E.B. 2007. Family poultry, food

security and the impact of HPAI.

Journal of World's Poultry Science

63: 132-138.

Warnoto, 2001. Identifikasi, Fenotif,

Populasi, Habitat Penyebaran dan

Potensi Pengembangan Ayam.

Laporan Penelitian. Lembaga

Penelitian Universitas Bengkulu,

Bengkulu.

Warnoto, dan J. Setianto. 2009. The

characteristic of egg production and

reproduction of various

crossbreeding offspring between

Burgo chicken with nature chicken.

Proc.of International Seminar the

Role and Application on Livestock

Reproduction and Products;

Bukittinggi, Indonesia, hal: 15-16.

Page 44: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium 114

Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas

Telur. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.

Zueni, A. 2011. The Effect of Katuk

Leaves Extract Supplementation on

Bengkulu Burgo Chicken Sexual

Hormone and Follicles.

Pascasarjana Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan

Lingkungan, Universitas Bengkulu.

Bengkulu. Tesis.

Page 45: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 115

Peningkatan Produktivitas Lebah Madu Melalui Penerapan Sistem Integrasi

dengan Kebun Kopi

The Effect of Honeybee-Coffee Plantation Integration on Improving the Honey

Productivity of Apis cerana

Rustama Saepudin1, Asnath M. Fuah2, Luki Abdullah2

1 Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu 2. Dept. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan FAPET-IPB. 2 Dept. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan FAPET-IPB.

ABSTRACT

The study of relationship between the honey productivity and honey bee-coffee plantation integration was

conducted in Kepahiang, the Province of Bengkulu. The objective of this study was to evaluate the application

of Apis cerana-coffee plant integration system on honey production and coffee bean as well.. The experiment

was arranged in a completely randomized design with two treatments and ten replications. The result showed

that honey production was higher by 114% than that outside the plantation. Similar to the honey

productionn, coffee been production at honeybee-coffee plantation integration was significantly higher by

10.55 % than that was unpollinated by Apis cerana.

Key words: cerana, coffee, integration, production

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan di Kepahiang, Provinsi Bengkulu dengan tujuan untuk mengevaluasi penerapan

sistem integrasi perkebunan kopi dengan lebah madu Apis cerana terhadap produksi madu dan produksi

kopi. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua perlakuan dan 10 ulangan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa produksi madu lebih tinggi 114% daripada madu yang dihasilkan di luar

perkebunan kopi. Sejalan dengan produksi madu, produksi kopi juga lebih tinggi 10,55% dari pada produksi

kopi pada kebun yang penyerbukannya tidak dengan Apis cerana.

Key words: Apis cerana, kopi, integrasi, produksi.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan lebah di Indonesia,

khususnya di Kabupaten Kepahiang

Bengkulu, masih dihadapkan pada

kendala utama yaitu rendahnya produksi

madu, hanya sekitar 1-3 kg per koloni per

tahun. Kondisi ini jauh lebih rendah dari

produksi optimal sekitar 5-10

kg/koloni/tahun. Disamping

produktivitasnya, kualitas madu juga

rendah, ditunjukan dengan banyaknya

kotoran dan tingginya kadar air (>24 %).

Penyebab utama rendahnya produksi

dan kualitas madu adalah kurang

memadainya ketersediaan pakan dan

rendahnya tingkat pengusaan teknologi

budidaya lebah.

Berdasarkan hal tersebut di atas,

untuk menjaga kesinambungan usaha

perlebahan perlu dicari tanaman sumber

pakan yang potensial dan memiliki

hubungan mutualisme dengan lebah

madu. Tanaman yang punya potensi di

Kepahiang adalah kopi dengan luasan 29

ribu ha dari 35 ribu ha perkebunan (Dinas

Kehutanan dan Perkebunan Kepahiang,

2009). Tanaman kopi menyediakan

nektar dan polen sebagai pakan lebah

Apis cerana yang dapat menghasilkan

madu yang rasanya manis. Department of

Page 46: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Peningkatan Produktivitas Lebah Madu 116

Agriculture and Food Western Australia

(2009) melaporkan bahwa madu yang

dihasilkan dari lebah yang diberi pakan

nektar kopi memiliki frukrosa tinggi

(38%), berwarna amber dan aroma yang

khas.

Oleh karena itu salah satu upaya

yang dapat dilakukan adalah

mengintegrasikan lebah madu dengan

tanaman kopi yang sudah berkembang

(yang selanjutnya disebut sinkolema) dan

memiliki hubungan mutualism. Lebah

madu mampu menghasilkan madu pada

saat kopi belum dipanen dan membantu

penyerbukan untuk meningkatkan

produksi kopi

Disisi lain kopi mampu

menyediakan nektar dan pollen sebagai

pakan dari lebah madu. Disampaing

untuk mengatasi permasalahan

produktivitas madu, sinkolema juga

diharapkan mampu mengatasi

permasalahan rendahnya produktivitas

kopi yang relatif rendah (0,970 ton/ha)

(Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Kepahiang, 2009) dibandingkan dengan

produksi ideal sebesar 1,540 ton/ha

Penelitian integrasi lebah dengan

tanaman telah dilakukan oleh Kazuhiro

(2004) dan Biesmeijer dan Slaa (2004)

yang mengintegrasikan Stingless bee

dengan tanaman kacang-kacangan.

Penelitian yang serupa telah

dilaksanakan oleh Klein et al. (2003) pada

kopi, Kremen et al. (2002) pada pada

daerah pertanian hortikultura, Kakutani

et al. (1993), Maeta et al. (1992) dan

Katayama (1987) pada tanaman

strowberry. Namun demikian penelitian

masih difokuskan pada jasa stingless bee

dan A. millifera sebagai polinator,

sedangkan A. cerana dan peranan

tanaman sebagai sumber penghasil pakan

lebah masih sangat sulit didapatkan.

Di Indonesia Sinkolema belum

banyak diterapkan padahal disamping

potensinya sangat tinggi terutama di luar

Jawa, peran masing-masing produk

sangat penting, diantaranya adalah;

1. Lebah sebagai penyerbuk pada

tanaman kopi, sehingga diharapkan

produksi kopi semakin tinggi dan

kopi sebagai penghasil pakan yang

diharapkan mampu meningkatkan

produksi madu yang berkualitas

sehingga produktivitas dan efisiensi

lahan meningkat, pada gilirannya

kesejahteraan petani juga meningkat.

2. Madu sebagai sumber pendapatan

tambahan petani sehingga pada saat

usaha pertanian tidak berproduksi,

lebah madu mampu memberikan

penghasilan, sehingga biaya hidup

sehari-hari dan biaya untuk usaha

pertanian saat kopi tidak

berproduksi tetap terjamin.

Adanya hubungan saling

menguntungkan antara lebah madu dan

kopi maka diharapkan akan dapat

dimanfaatkan untuk meningkatkan

pendapatan petani dan sekaligus

melestarikan lebah madu asli Indonesia.

Untuk keperluan itu diperlukan kajian

budidaya, desain Sinkolema berbasis

wawasan dengan tidak mengabaikan

karakteristik morfometri lebah madu itu

sendiri.

Kajian karakterisasi morfometri

lebah madu Apis cerana yang

diintegrasikan dengan perkebunan perlu

dilakukan untuk melengkapi data ilmiah

sinkolema sehinga pengembangan lebah

madu dapat dilakukan tanpa harus

mengorbankan ciri-ciri genetiknya.

Demikian pula dengan pengukuran

tingkat keberlanjutan budidaya lebah

madu perlu didasari kajian yang holistik

melibatkan atribut-atribut keberlanjutan

masih perlu dilakukan untuk menjaga

kesenimabungan kekayaan sumberdaya

alam hayati yang dimiliki.

Langkah-langkah yang harus

dirumuskan dalam pelaksanaan

Page 47: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 117

Sinkolema untuk meningkatkan

perekonomian petani dibutuhkan kajian

keberlanjutan sehingga kebijakan dalam

mengatasi permasalahan yang diambil

akan lebih tepat dan efektif.

Upaya mengatasi permasalahan

budidaya lebah madu dan perkebunan

kopi tersebut di atas yang belum pernah

dilakukan adalah mengitegrasikan

pembangunan peternakan lebah dengan

tanaman kopi dalam suatu konsep

kawasan. Diharapkan dengan

memperhatikan hal tersebut

permasalahan utama yaitu rendahnya

pendapatan peternak/petani dapat

teratasi.

Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis produktivitas lebah madu

melalui penerapan pola integrasi dengan

kebun kopi (Sinkolema) berbasis potensi

dan sumberdaya lokal untuk peningkatan

ekonomi peternak lebah.

MATERI DAN METODE

Tempat Peneliian

Penelitian ini dilaksanakan di

Kabupaten Kepahiang Propinsi

Bengkulu.

Identifikasi Daya Dukung,

Produktivitas Madu dan Kopi

Penelitian daya dukung

dilaksanakan untuk menganalisis

kemampuan wilayah dalam menyokong

pengembangan budidaya lebah. Hasil

yang akan diperoleh dari tahapan ini :

1. Karakteristik pembungaan (flowering

characteristic) kopi.

2. Produktivitas nektar dan daya

dukung kebun kopi

3. Populasi lebah

4. Produksi madu madu (berdasarkan

sistem pemeliharaan dan berdasarkan

lata letak kotak).

5. Menghitung produksi kopi per ha per

tahun

Prosedur

1. Karakteristik pembungaan (flowering

characteristic) kopi diperoleh melalui

pengamatan satu tahun penuh yaitu

kapan kopi mulai berbunga, kapan

puncak produksi, dan kapan mulai

terjadi penurunan. Dari data yang

dikumpulkan diperoleh siklus

pembungaan kopi di lokasi penelitian.

2. Produksi nektar kopi dan daya

dukung kopi diperoleh dengan cara

sbb:

a) Memilih secara acak 10 pohon

kopi sebagai contoh (sampel)

b) Dua puluh lima mahkota bunga

dari masing-masing pohon

terpilih dikumpulkan dan diukur

nektarnya .Pengamatan dilakukan

3 kali, pagi hari (jam 05.00 s/d

07.00), siang hari. (jam 11.00-

13.00) dan sore hari (jam 16.00-

18.00) satu hari setiap bulan.

Nektar bunga dikumpulkan

dengan cara menarik mahkota

bunga secara hati-hati sehingga

nampak cairan bening dan disedot

pakai microspuit atau micropipet.

Dari tahapan ini diperoleh rata-

rata produksi nektar per 25

kuntum bungan digunakan untuk

memprediksi produksi nektar per

satu kuntum bunga kopi.

c) Selanjutnya dihitung jumlah

mahkota bunga per satu tangkai

dan jumlah tangkai per pohon

bunga. Data tersebut digunakan

untuk memprediksi jumlah

mahkota bungan per pohon kopi.

d) Produksi nektar per pohon kopi

diperoleh dari jumlah bunga per

pohon dan rata-rata produksi

nektar per bunga.

e) Produksi nektar per hektar kopi

diprediksi melalui pengalian

produksi nektar per pohon

dengan jumlah pohon per hektar

kopi.

Page 48: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Peningkatan Produktivitas Lebah Madu 118

f) Daya dukung kebun kopi

diartikan sebagai seberapa banyak

koloni yang mampu didukung

oleh satu hektar kebun kopi, Oleh

karena itu daya dukung kebun

kopi dihitung berdasarkan total

produksi nektar kopi per hektar

per hari dibagi kebutuhan rata-

rata koloni lebah A. cerana per

koloni per hari. Karena kesulitan

tehnis pengukuran, kebutuhan

koloni per hari digunakan hasil

penelitian Husaeni (1986) yaitu

145 ml/koloni.

3. Populasi lebah diduga melalui

pendekatan bobot koloni dibagi bobot

rata-rata lebah pekerja (Bs = Bobot

koloni lebah didapatkan dengan cara

menimbang seluruh stup berisi lebah

dicatat sebagai bobot stup, lalu lebah

dipindahkan ke kotak lain dan

ditimbang sebagai bobot tanpa lebah

atau bobot kosong. Kemudian selisih

antara Bs dan Bk adalah bobot total

lebah (Bt). Bobot rata-rata lebah per

ekor didapatkan dari penimbangan

200 ekor lebah dan hasilnya dibagi

200.

4. Data mengenai produksi madu yang

dicari adalah produksi total per

koloni per tahun. Data produksi

tersebut dibedakan antara lebah yang

dibudidayakan dengan dan tanpa

Sinkolema. Disamping itu dibedakan

pula berdasarkan tata letak kotak

terpusat dan tersebar. Tahapan untuk

mendapatkan data produksi adalah

sbb:

a) Produksi madu dihitung

berdasarkan kali panen dan

dikonversikan ke produksi per

stup per tahun, dan akan

dibandingkan antara produksi

madu pada sistem integrasi dan di

luar integrasi. Sebagai sampel

akan dipilih secara acak sebanyak

masing-masing 10 stup lebah yang

dibudidayakan padan sistem

integrasi dan 10 stup lainnya dari

lebah yang dibudidayakan di luar

sistem integrasi

b) Produksi madu tiap koloni diukur

dengan ukuran botol, selanjutnya

dikonversi ke ukuran volume dan

ukuran bobot

c) Menentukan tata letak stup

didasarkan pada faktor lokasi,

pengelolaan, keamanan dan

pemanenan. Penempatan kotak

terpusat di halaman pondok jaga

dengan jarak antar kotak 10 s/d 20

m. Sedangkan yang tersebar,

kotak ditempatkan di tengan

kebun kopi dengan jarak antar

kotak di atas 200 m.

d) Data yang diperoleh dianalisis

berdasarkan Rancangan Acak

Lengkap dengan dua perlakuan

dan tiga ulangan dengan masing-

masing 10 stup. Perlakuan kesatu

adalah produksi madu pada

sistem integrasi dan perlakuan

kedua di luar integrasi. Demikian

pula dengan pengaruh tata letak

terhadap produktivitas madu

dianalisis berdasarkan Rancangan

Acak Lengkap dengan dua

perlakuan dan lima ulangan.

5. Produksi kopi per ha per tahun

dihitung berdasarkan hasil bobot

kering per tahun per ha dan akan

dibandingkan produksi kopi madu

dengan sistem integrasi dan tanpa

integrasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik pembungaan (flowering

characteristic) kopi.

Page 49: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 119

Selama satu tahun penelitian

didapatkan hasil bahwa kopi di Kaupaten

Kepahiang berbunga pada Bulan Januari

sampai Desember kecuali Maret, April,

pertengahan September, Oktober dan

pertengahan Nopember (Gambar 1). Jadi

kopi selalu berbunga selama 8 bulan.

Karakteristik pembungaan kopi ini

berbeda dengan kopi-kopi yang di

laporan sebelumnya, dimana kopi hanya

berbunga pada Bulan Mei sampai dengan

Agustus (Perum Perhutani dalam

Pusbahnas, 2008). Kopi yang

dibudidayakan di lokasi penelitian adalah

Coffee arabica LINN yang diremajakan

dengan jalan menempelkan tunas pada

batang pohon kopi yang sudah lama

dipelihara. Ada kemungkinan cara

peremajaan iniah yang meyebabkan

pembungaan kopi menjadi lebih panjang.

Dengan demikian kopi di Kepahiang

mendukung teredianya nektar kopi

dalam waktu yang lebih panjang. Selama

terjadi pembungaan produksi nektar

yang paling sedikit adalah pada Bulan

Januari dan Februari dan puncaknya

terjadi pada Bulan.

Produktivitas Nektar dan Daya Dukung

Kebun Kopi

Data jumlah kuntum bunga per

tangkai dan jumlah tangkai bunga per

pohon selama delapan bulan, diolah

untuk mendapatan data produksi

kuntum bunga per pohon per hari. Hasil

pengumpulan dan pengolahan data

disajikan pada Tabel 1. Selanjutnya data

produksi kuntum bunga tersebut

digunakan untuk menprediksi produksi

nektar per pohon per hari (Gambar 2).

Produksi nektar diperoleh data 0.64

ml per 25 kuntum per hari, berarti

Tumbuhan Kopi

Jan Feb Maret April Mei

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Gambar 1. Karakteristik pembungaan kopi(Coffee arabica LINN)

Gambar 2. Grafik rata-rata produksi nektar kopi

Page 50: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Peningkatan Produktivitas Lebah Madu 120

produksi nektar kebun kopi adalah 18,14

ml/pohon/hari. Selama petani menanam

kopi dengan kepadatan 2000 batang/ha

maka produksi nektar pada saat kopi

berbungan adalah 36,27 l/ha/hari. Tabel 1

menunjukan perkembangan produksi

nektar kopi yang berfluktuasi dan rata-

rata tertinggi terjadi pada Bulan Juli. Hal

ini sesuai dengan yang dilaporkan

Perhutani (1994) bahwa puncak

pembungaan kopi di Indonesia terjadi

pada bulan Juli.

Produksi nektar kebun kopi rata-

rata per hari adalah 18.14 ml/pohon/hari,

berarti dengan kepadatan pohon kopi

2000 bohon/ha, rata-rata produksi per

hektar kopi adalah 36,286.08 ml/ha/hari.

Bila kebutuhan nektar lebah madu 145

ml/stup/hari (Husaini, 1986) maka daya

dukung kebun kopi adalah 250 koloni. Ini

artinya kalau tidak ada predator lainnya

(grazers), maka kebun kopi di Kabupaten

Kepahiang Propinsi Bengkulu mampu

mencukupi peternakan lebah dengan

skala usaha 250 koloni. Untuk

mengantisipasi adanya predator lain

pengisap nektar kopi dan cuaca yang

buruk yang menyebabkan bunga kopi

menurun, yang dijadikan patokan dalam

menentukan jumlah koloni adalah

produksi nektar terendah yaitu sekitar

9,49 liter/ha/hari, bila 50% nektar

diperkirakan dikonsumsi serangga lain,

berarti pada saat produksi nektar

minimal, kebun kopi diperkirakan

mampu mencukupi maka disarankan

untuk menyebarkan lebah sebanyak

sembilah puluh delapan ztzu dibulatkan

keatas menjadi 66 stup/koloni per satu

hektar kebun kopi.

Produksi nektar kaliandra di lokasi

penelitian belum bisa diidentifikasi

berkaitan dengan keadaan kalianra yang

belum berbunga sampai akhir penelitian.

Namun demikian di sekitar lokasi

terdapat beberapa pohon kaliandra yang

sudah berbunga lebat, Jadi pada satu

tahun ke depan diperkirakan bahwa

nektar yang dibutuhkan lebah pada saat

kopi tidak berbunga dapat dipenuhi oleh

nektar kaliandra. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan Husaini (1986) bahwa

rata-rata produksi nektar kaliandra

adalah 119 liter/ha/hari atau 0.042

liter/pohon/hari atau 42 ml/pohon/hari.

Bila koloni yang dibudidayakan 100

kotak/ha kopi maka untuk mengatasi

kekurangan nektar pada saat kopi sedang

tidak berbunga dapat dilakukan

penanaman kaliandra minimal sebanyak

(100 x 145)/42=346 batang.

Pengaruh Integrasi Terhadap Populasi

Lebah

Koloni lebah sebelum

dibudidayakan baik di areal maupun di

luar Sinkolema dihitung ukuran

populasinya, sehinga populasi awal

relatif seragam yaitu rata-rata tiga belas

ribuan ekor per koloni. Dalam

Tabel 1. Produksi Nektar Kopi di Kabupaten Kepahiang

No Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nop Des

1 17,22 14,31 - - 18,48 26,60 35,89 25,20 - - 16,84 25,38

2 21,80 25,90 - - 23,60 32,40 38,60 35,70 - - 28,50 33,90

3 375,40 370,60 - - 436,10 861,90 1.385,50 899,80 - - 480,00 860,40

4 9,61 9,49 - - 11,16 22,06 35,47 23,03 - - 12,29 22,03

5 Rata-rata Produksi Nektar kopi per pohon per hari 18,14 ml/pohon/hari

Keterangan

1. Rata-rata kuntum buna per tangkai

2. Rata-rata tangkai bunga per pohon

3. Produksi kuntum bunga per pohon

4. Produksi nektar per pohon (ml)

Page 51: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 121

perkembangannya mengalami perbedaan

yang sangat drastis dimana populasi

lebah di kebun kopi meningkat

sedangkan di luar kebun kopi menurun

(Gambar 3). Kenaikan dan penurunan

ukuran populasi terus berjalan sehingga

tampak bahwa populasi yang relatif

konstan sebesar delapan belas ribuan

ekor untuk lebah di Sinkolema dan

sembilan ribuan ekor untuk lebah cerana

di luar Sinkolema.

Perkembangan populasi lebah

berkaitan erat dengan produksi nektar

lebah. Kondisi ini menunjukan bahwa

keberadaan populasi lebah dipengaruhi

oleh ketersediaan nektar sebagai

pakannya. Lebah yang dibudidayakan

di luar Sinkolema hanya berupa rumput-

rumputan, bunga hias yang ada di

pekarangan, beberapa pohon buah-

buahan dan tanaman lainnya yang

jumlahnya terbatas dan produksi

nektarnya yang sulit diprediksi.

Pengaruh Integrasi Terhadap Produksi

Madu dan Kopi

Produksi madu selama satu tahun

yang dipelihara dengan dan tanpa

integrasi dengan kebun kopi dapat dilihat

pada Gambar 4. Produksi madu dari

lebah yang dipelihara dengan system

integrasi mencapai 3.335 kg/koloni/tahun.

Produksi ini secara signifikan lebih tinggi

dari produksi madu dari lebah yang

dipelihara di luar kawasan integrasi yang

hanya mencapai rata-rata 1.560

Gambar 3. Grafik perkembangan populasi lebah

Gambar 4 : Grafik produksi madu yang di pelihara dengan dan tanpa integrasi

Page 52: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Peningkatan Produktivitas Lebah Madu 122

kg/koloni/tahun, artinya bahwa

produktivitas lebah madu dapat

ditingkatkan sekitar 114% melalui sistem

integrasi dengan kebun kopi.

Produksi madu dari peternakan

lebah dengan integrasi lebih tinggi sejalan

dengan perkembangan populasi lebah

dan ketersediaan nektar. Hasil ini

menunjukan bahwa produksi madu

sangat erat kaitannya dengan

ketersediaan nektar. Hasil penelitian ini

sesuai dengan penemuan Hidayat (1986)

yang melakukan penelitian tentang

hubungan kegiatan mencari makan lebah

madu (Apis cerana Fabr.) dengan volume

nektar dan perkembangan jumlah bunga

kaliandra (Calliandra callothyrsus Meissn.)

di desa Pager Wangi, Bandung pada

bulan Januari hingga Maret, 1986 dengan

kesimpulan bahwa terdapat hubungan

antara kegiatan lebah dengan

ketersediaan nektar di sekitar koloni.

Gambar 1 s/d 4 menunjukan bahwa

ada kaitan antara karakteristik

pembungaan, jumlah nektar yang

dihasilkan dan produksi madu. Produksi

madu tertinggi terjadi pada panen bulan

Juli ini berkaitan dengan produksi nektar

yang tertinggi terjadi pada bulan Juli,

sedangkan produksi terendah terjadi

pada panen bulan Maret dan September

dimana produksi nektar kopi sudah

mulai mau berhenti.

Dilihat dari frekuensi panen, lebah

madu di kebun kopi mampu dipanen 5

kali dalam setahun atau dua kali panen

lebih banyak dibandingkan dengan

koloni lebah yang dipelihara di luar

kebun kopi yang hanya mampu panen

tiga kali setahun. Ini terjadi karena madu

yang diproduksi koloni lebah yang

dipelihara di luar kebun kopi dikonsumsi

kembali untuk mempertahankan

hidupnya.

Ada kondisi yang sangat menarik

adalah pada saat kopi tidak berbunga

pada bulan Maret, April, September dan

Oktober, produksi madu dan populasi

lebah menunjukan angka yang masih

tinggi di daerah Sinkolema, Hal ini

kemungkinan besar kebutuhan nektar

dan polen untuk keperluan tersebut

masih mampu disediakan pohon

pelindung (lamtoro), pohon lain seperti

kayu masis (pada Bulan Mei didapatkan

madu yang beraroma kayu manis),

semak-semak dan remput-rumputan

yang menutupi lahan di luar kebun kopi.

Rendahnya produksi madu dari

lebah di luar kebun kopi sebagai akibat

dari hijrahnya koloni lebah sebanyak 4

koloni atau 40%, sedangkan lebah di di

daerah kopi yang hijrah lebih sedikit

yaitu 2 koloni atau 20%. Teidentifikasi

ada dua penyebab utama hijrahnya

koloni lebah yaitu, 1. Kurang pakan

terlihat tidak ada madu pada sarangnya

dan 2. Kondisi stup/kotak yang kotor

karena tidak sempat dibersihkan

peternak.

Keberhasilan peternakan lebah sangat

ditentukan dengan ketersedian sumber

protein (pollen) dan nektar pada suatu

lokasi yang erat kaitannya dengan tata

letak koloni. Dalam menentukan tata

letak perlu dilakukan pendataan untuk

mengetahui jenis-jenis tanaman penghasil

nektar dan pollen, umur tanaman

kepadatan tanaman serta kesuburannya.

Dalam penelitian yang telah

dilakukan tampak bahwa cara

penempatan koloni lebah (terpusat atau

tersebar) secara signifikan mepengaruhi

produksi madu. Dari hasil perhitungan,

produksi madu dari koloni lebah yang

ditempatkan secara menyebar di dalam

kebun kopi (4.08 kg/koloni/tahun) secara

nyata lebih tinggi dari koloni lebah yang

ditempatkan terpusat di tengah-tengah

kebun kopi (2,60 kg/koloni/tahun). Hal

ini terjadi akibat dari kompetisi

(intraspesific competition) berat terutama

pakan. Kompetisi yang terjadi

menybabkan 2 koloni yang ditempatkan

Page 53: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 123

terpusat hijrah. Hidayat (1986)

menyatakan bahwa lebah memanfaatkan

nektar yang berda paling dekat dengan

koloninya, artinya semakin padat

pupulasi lebah pada suatu tempat maka

akan terjadi persaingan yang semakin

berat. Hal ini tentunya akan

menyebabkan turunnya produksi atau

terganggunya keseimbangan populasi lebah

dan akibat yang paling tinggi akan

terjadinya hijrah (absconding). Gambar 5

menunjukan perkembangan produksi

lebah berdasarkan tata letak.

Rataan produksi kopi di

perkebunan yang diintegrasikan dengan

lebah sebesar 1.31 ton/ha, sedangkan

rataan produksi kopi di luar wilayah

integrasi 1.18 ton/ha. Hal ini menujukan

bahwa sinkolema mampu meningkatkan

produksi kopi di Kabupaten Kepahiang

setinggi 10.55%. Lebah dalam melakukan

polinasi lebih efektif karena probostisnya

yang panjang lancip dilengkapi dengan

rambut tempat menempel tepungsari dan

pindah ke kepala putik kopi.

SIMPULAN

Perkebunan kopi di Kepahiang

mampu mendukung sampai 250 koloni

per hektar dari Apis cerana dengan tata

letak tersebar, tetapi untuk beberapa

alasan sangat dianjurkan untuk

menempatkan 66 koloni per hektar.

Integrasi lebah madu perkebunan kopi

meningkatkan baik produktivitas madu

sampai dengan 114% maupun produksi

biji kopi hingga 10,55%. Produksi lebah

madu di perkebunan kopi jauh lebih

tinggi karena kelimpahan pakan dan

jumlah populasi tinggi.

Produktivitas lebah sangat

tergantung dari perkembangan

populasinya dan kondisi populasi sangat

dipengaruhi oleh ketersedian nektar dan

polen secara alami maka pengelolaan

lebah perlu didisain dalam kawasan yang

lebih komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan. 2005. Aspek teknis

dalam strategi pemuliaan bibit

lebah madu A. cerana. Dept.

Kehutanan

Biesmeijer J.C., Slaa E.J. (2004)

Information flow and organization

of stingless bee foraging,

Apidologie 35, 143–157.

BPS. 2007. Kepahiang Dalam Angka. Biro

Pusat Statistik Kabupaten

Kepahiang, Bengkulu.

Crane E. 1990. Bees and Beekeping. Science,

Practice and World Resources.

Comstock Publishing Associates a

division of Cornell University Press.

Ithaca, New York. Pp 364

Department of Agriculture and Food

Western Australia. 2009. Bee

pollination benefits for other crops.

http://wwwtest.agric.wa.gov.au/PC

_91812. html?s=0

Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Kepahiang. 2009.

Laporan Hasil Monitoring dan

Evaluasi Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Kabupaten Kepahiang.

Bengkulu

Gozmerac, W. L. 1983. Bees, Beekeeping,

Honey and Pollination. AVI

Publishing Company, Inc.

WestPort, Connecticut.

Husaeni, E. A. 1986. Potensi Produksi

Nektar dari Tegakan Kaliandra

Bunga Merah (Calliandra calothyrsus

Meissn). Prosiding Lokakarya

Pembudidayaan Lebah Madu untuk

Peningkatan Kesejahteraan

Masyarakat. Perum Perhutani,

Jakarta

Kakutani T., Inoue T., Tezuka T., Maeta Y.

(1993) Pollination of strawberry by

Page 54: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Peningkatan Produktivitas Lebah Madu 124

the stingless bee, Trigona

minangkabau, and the honey bee,

Apis mellifera: an experimental study

of fertilization efficiency, Res.

Popul. Ecol. 35, 95–111.

Katayama E. (1987) Utilization of

honeybees as pollinators for

strawberries in plastic greenhouses,

Honeybee Sci. 8, 147–150 (in

Japanese).

Kazuhiro, A. 2004. Attempts to Introduce

Stingless Bees for the Pollination of

Crops under Greenhouse

Conditions in Japan. Laboratory of

ApicultureNational Institute of

Livestock and Grassland Science

Tsukuba, Ibaraki 305-0901

Klein A.M., Steffan-Dewenter I.,

Tscharntke T. (2003) Fruit set of

highland coffee increases with the

diversity of pollinating bees, Proc.

R. Soc. Lond. B 270, 955–961.

Kremen C., Williams N.M., Thorp R.W.

(2002) Crop pollination from native

bees at risk from agricultural

intensification, Proc. Natl Acad. Sci.

(USA) 99, 16812–16816.

Maeta Y., Tezuka T., Nadano H., Suzuki

K.(1992) Utilization of the Brazilian

stingless bee, Nannotrigona

testaceicornis, as a pollinator of

strawberries, Honeybee Sci. 13, 71–

78 Raffiudin, R., S. Hadisoesilo dan T.

Atmowidi. 2004. Studi keragaman

Genetik dan Morfologi Lebah A.

koschevnicovi di Kalimantan Selatan.

Laporan Hibah Bersaing XII. Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Sihombing, D.T.H. 2005. Ilmu Ternak

Lebah Madu. Cetakan ke 2. Gajah

Maja Univercity Press. Jogjakarta.

Tilde, A. C., S. Fuchs, N. Koeniger and C.

R. Cervancia. 2000. Morphometric

diversity of A. carana Fabr. Within

the Philippines. Apidologie 31: 249-

263.

Winston, M. L. 1991. The Biology of the

Honey Bee. 3rd Ed. Harvard

University Press. Cambridge.

Page 55: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 125

Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik dan

Organoleptik Daging Sapi

The Effect of Using Protease Enzyme-Plant on Physics and Organoleptic Properties of

Meat Cattle

Yenni Okfrianti, Kamsiah,Yessy Fitryani

Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Bengkulu

Jalan Indragiri No 3 Padang Harapan, Bengkulu, Telp (0736) 341212

ABSTRACT

This research aims to determine the effect of addition of the protease enzyme of plant against physical and

organoleptic properties (taste, texture, and color) of beef. This research used randomized block design with

ten treatments. The results showed no effect of addition of plant protease enzyme (enzyme papain from

papaya fruit, bromelain from pineapple fruit, and the thiol protease from ginger rhizome) against shrinkage

and color of cooked beef (p> 0.05). And the effect of adding a protease enzyme plant to taste and texture of

beef (p <0.05).

Kaywords: Protease, physics, organoleptics, meat.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan enzim protease tanaman terhadap sifat

fisik dan organoleptik (rasa, tekstur, dan warna) daging sapi. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak

Kelompok dengan sepuluh perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh penambahan enzim

protease tanaman (enzim papain dari buah pepaya, bromelin dari buah nanas, dan protease thiol dari rimpang

jahe) terhadap susut masak dan warna daging sapi ( p > 0,05). Serta adanya pengaruh penambahan enzim

protease tanaman terhadap rasa dan tekstur daging sapi ( p < 0,05).

Kata kunci: Protease, fisik, organoleptik, daging.

PENDAHULUAN

Daging merupakan hasil ternak

yang hampir tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan manusia sebagai salah satu

sumber pangan hewani. Manusia

mengkonsumsi daging sejak dimulainya

sejarah peradaban manusia itu sendiri.

Semua tingkat umur dapat

mengkonsumsi daging (Soeparno, 2005).

Daging dibutuhkan untuk memenuhi

kebutuhan tubuh akan zat gizi. Daging

mempunyai kandungan mutu protein

yang tinggi karena terdapat asam amino

yang lengkap dan seimbang. Selain itu,

protein daging lebih mudah dicerna

daripada protein yang berasal dari nabati

(Astawan, 2004).

Di Indonesia, daging yang banyak

dikonsumsi dan diolah menjadi aneka

makanan adalah daging kerbau, daging

sapi, daging domba, daging babi, dan

daging kambing yang disebut daging

merah (Soeparno, 2005). Namun, daging

yang paling banyak diperjual belikan

adalah daging sapi (Astawan, 2004).

Daging sapi berkualitas terbaik berasal

dari ternak berumur 4-6 tahun sampai 8

tahun untuk sapi bukan perah. Sementara

itu, sapi tua dan penghasil susu yang

berumur 10-12 tahun akan menghasilkan

daging dengan kualitas rendah. Daging

Page 56: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik 126

sapi yang biasa dikonsumsi masyarakat,

kebanyakan konsistensinya liat karena

berasal dari ternak kerja yang sudah tua

(Murtini dan Qomarudin, 2003). Selain

itu, daging sapi yang belum dilayukan

sebelum dikonsumsi karena masih

mengalami rigor mortis juga

menyebabkan konsistensinya liat (Dyah,

1986 dalam Istika, 2009).

Kualitas utama daging ditentukan

oleh keempukan, citarasa, dan warna.

Diantara ketiga hal tersebut, keempukan

memegang peranan terpenting

(Sarashwati, 1995). Kesan keempukan

secara keseluruhan meliputi tekstur dan

melibatkan tiga aspek yaitu kemudahan

awal penetrasi gigi ke dalam daging,

mudahnya daging dikunyah menjadi

potongan-potongan yang lebih kecil dan

jumlah residu yang tertinggal setelah

pengunyahan (Bartzler,1971 dalam

Soeparno, 2005). Salah satu cara untuk

meningkatkan keempukan daging sapi

adalah dengan penambahan suatu enzim

(Tarwotjo, 1998).

Enzim adalah suatu katalisator

biologis yang dihasilkan oleh sel-sel

hidup dan dapat membantu

mempercepat bermacam-macam reaksi

biokimia. Faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi kerja enzim yaitu suhu,

pH, inhibitor, konsentrasi enzim dan

substrat (Indah, 2004). Enzim yang dapat

digunakan untuk mengempukan daging

adalah jenis enzim protease

(Tabrany,2001).

Enzim protease adalah enzim yang

menghidrolisis ikatan peptida protein

menjadi senyawa-senyawa yang lebih

sederhana seperti dipeptida dan asam

amino (Deman, 1997). Jenis enzim

protease untuk pengempukan daging

yaitu enzim papain dari getah daun dan

buah pepaya muda, enzim bromelin dari

buah nanas dan fisin pada getah pohon

ficus (Esti, 2002). Selain itu, rimpang jahe

juga mengandung enzim protease yang

bernama proteinase thiol yang dapat

digunakan untuk mengempukan daging

sebelum dimasak (lee, dkk dalam

Komariah dkk, 2004). Penggunaan buah

pepaya muda, buah nanas dan rimpang

jahe sebagai sumber enzim protease

pengempuk daging karena bahan-bahan

tersebut mudah diperoleh di wilayah

Bengkulu dan aman untuk dikonsumsi.

Penambahan jenis enzim protease ini

akan menghasilkan keempukan awal

pada serabu-serabut jaringan ikat

(Soeparno, 2005). Menurut Lawrie (2003),

enzim protease mula-mula akan merusak

mukopolisakrida dari matriks substansi

dasar, kemudian secara cepat menurun

serat-serat tenunan pengikat menjadi

masa amorf. Selama proses amorf,

kolagen dan miofibril terhidrolisis. Hal

ini menyebabkan hilangnya ikatan atar

serat daging dan pemecahan serat

fragmen yang lebih pendek, sehingga

meningkatkan keempukan daging. Enzim

proteoase yang telah ditambahkann ke

dalam daging mentah baru akan aktif

pada suhu 800 C, maka dari pada itu

diperlukan proses pemasakan daging

(Winarno, 1993).

Pemasakan daging yang telah

ditambahkan enzim protease akan

membuat tekstur daging matang menjadi

empuk dan mudah cerna. Selain itu

diharapkan dapat memperpendek waktu

pemasakan. Pemasakan dengan

menggunakan suhu yang tinggi dan

waktu yang lama dapat menyebabkan

reaksi perubahan pada daging. Reaksi-

reaksi tersebut diantaranya yaitu

denaturasi, kehilangan zat gizi,

kehilangan aktivitas enzim, desulfurisasi

dan beberapa reaksi yang dapat

menghasilkan senyawa toksik (Sugiran,

2007).

Keempukan dapat ditentukan

secara subjektif dan objektif. Penentuan

keempukan dan kealotan daging dengan

metode subjektif dapat dilakukan dengan

Page 57: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 127

uji panel cita rasa atau uji organoleptik.

Pengujian keempukan secara objektif

dapat dilakukan dengan pengujian

kompresi (indikasi kealotan jaringan

ikat), daya putus Warner-Bratzler (indikasi

kealotan miofibrilar), adhesi (indikasi

kekuatan jaringan ikat) dan susut masak

(indikasi kehilangan nutrisi selama

pemasakan) (Soeparno, 2005).

Tujuan penelitian ini adalah

pengaruh penambahan enzim protease

terhadap sifat fisik dan organoleptik

daging sapi.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di

laboratorium Kimia dan Ilmu Teknologi

Pangan Poltekkes Kemenkes Bengkulu,

pada bulan April sampai Juni 2011.

Penelitian ini meliputi dua tahap yaitu

tahap satu pencampuran daging sapi

dengan enzim papain dari buah pepaya,

enzim bromelin dari buah nanas, dan

enzim proteinase thiol dari rimpang jahe

dengan variasi konstrasi (0%, 10%,

15%,20%), tahap kedua dilaksanakan uji

susut masak dan uji sensoris terhadap

tekstur daging sapi matang.

Tahap 1

Pencampuran enzim protease

tanaman dengan daging sapi. Campurkan

pepaya, nanas, dan jahe yang telah

dihaluskan ke dalam masing-masing 100

gram daging sapi dengan perbandingan

penambahan 0%, 10%, 15%, dan 20% dari

berat bersih daging sapi (0%=0 gram,

10%=10 gram, 15%=15 gram, 20%=20

gram) lalu masing-masing diaduk hingga

tercampur rata dan masukkan ke dalam

plastik lalu beri label. Lakukan

pemeraman selama 30 menit pada suhu

ruang yaitu 280-300C. Setelah itu cuci

daging dan lakukan perebusan pada suhu

800C selama 30 menit. Kemudian

timbang berat masaknya.

Tahap 2

Penelitian tahap 2 merupakan

pengujian sifat fisik dengan uji susut

masak dan uji mutu organoleptik.. Uji

susut masak dilakukan dengan

menimbang berat daging sebelum dan

sesudah perebusan kemudian dihitung %

susut masak dengan menggunakan

rumus. Sedangkan uji organoleptik

dilakuakan untuk menilai tekstur, warna

dan rasa daging sapi matang dengan

menggukan panelis. Penilaian dilakukan

oleh panelis agak terlatih, yaitu

mahasiswa Jurusan Gizi Poltekkes

Bengkulu tingkat III yang berjumlah 30

orang.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan

Rancangan Acak Kelompok (RAK).

Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang

dipilih karena bahan percobaan yang

akan dipakai sebagai unit percobaan

tidak homogen, maka perlu dilakukan

pengelompokan dengan cara tertentu

sehingga satuan percobaan dalam satu

kelompok menjadi relatif homogen

(kristianto, 2005). Layout percobaan

yakni :

P1 : Daging sapi tanpa penambahan

enzim protease tanaman

P2 : Daging sapi dengan penambahan

10% buah pepaya

P3 : Daging sapi dengan penambahan

15% buah pepaya

P4 : Daging sapi dengan penambahan

20% buah pepaya

P5 : Daging sapi dengan penambahan

10% buah nanas

P6 : Daging sapi dengan penambahan

15% buah nanas

P7 : Daging sapi dengan penambahan

20% buah nanas

P8 : Daging sapi dengan penambahan

10% rimpang jahe

P9 : Daging sapi dengan penambahan

15% rimpang jahe

Page 58: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik 128

P10 : Daging sapi dengan penambahan

20% rimpang jahe

HASIL DAN PEMBAHASAN

Susut Masak

Hasil analisis ragam menunjukkan

bahwa penambahan enzim protease

tanaman dari buah pepaya, buah nanas,

dan rimpang jahe tidak berpengaruh

secara signifikan terhadap susut masak

daging sapi, yang ditunjukkan dengan

nilai p=0,13 (p>0,05). Daging sapi dengan

penambahan buah nanas 20% memiliki

skor rata-rata susut masak paling tinggi

yaitu 55,33% (Tabel 1)

Enzim pengempukan daging ini

aktif pada temperatur antara 50-800C.

Menurut Lee. Y, dkk., (1994), menyatakan

enzim protease berfungsi

mengempukkan daging, karena protein

pada jaringan ikat dan fragmentasi

miofibril dengan degradasi pada filamen-

filamen akan terhidrolisis. Istika (2009)

menyatakan protein (kolagen dan

miofibril) terhidrolisis menyebabkan

hilangnya ikatan antar serat dan

pemecahan serat menjadi fragmen yang

lebih pendek, menjadikan serat otot lebih

mudah terpisah sehingga daging lebih

empuk. Hal ini juga sejalan dengan

penelitian Dhiah (2010), menyatakan

bahwa adanya perbedaan tingkat susut

masak itik afkir dengan penambahan

ekstra buah nanas 0% dengan 5%, 10%

dan 15 %, semakin besar konsentrasi

eksktrak buah nanas yang diberikan,

maka jaringan ikat yang terhidrolisis

semakin banyak, persen susut masak

semakin besar dan daging lebih empuk.

Karakteristik Organoleptik

Rasa

Berdasarkan Gambar 1 respon

panelis yang berjumlah 30 orang

terhadap rasa daging dengan

penambahan enzim protease tanaman

yang berasal dari buah pepaya, buah

nanas, dan rimpang jahe (10%, 15%,dan

20%), didapatkan bahwa sebagian besar

panelis memberikan penilaian tidak suka

(skor 2) pada rasa daging dengan

penambahan pepaya 10% sebanyak 18

orang (60%). Berdasarkan Gambar 2

diketahui sebagian besar panelis

memberikan penilaian tidak suka (skor 2)

pada rasa daging dengan penambahan

nanas 20% sebanyak 12 orang (40%).

Berdasarkan Gambar 3 diketahui

sebagian besar panelis memberikan

penilaian tidak suka (skor 2) pada daging

sapi dengan penambahan rimpang jahe

20% sebanyak 16 orang (53,3%).

Berdasarkan Uji Friedman

penambahan enzim protease tanaman

dari buah pepaya, buah nanas, dan

rimpang jahe (10%, 15%, dan 20%)

berpengaruh signifikan terhadap daya

terima organoleptik (rasa) daging sapi,

yang ditunjukkan dengan nilai p = 0,000

(p<0,05). Data yang signifikan dilanjutkan

dengan Uji Multiple Comparison (Uji

Wilcoxon). Hasil Uji Wilcoxon

menunjukkan bahwa perbandingan

Tabel 1. Susut Masak Daging Sapi Dengan Penambahan Enzim Protease Tanaman (%)

Konsentrasi

Penambahan

Variasi Tanaman

Pepaya Nanas Jahe

0% 41.14 41.14 41.14

10% 41.62 48.75 37.55

15% 42.15 53.14 41.59

20% 45.30 55.33 44.35

Page 59: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 129

perbedaan rasa daging sapi yang

dihasilkan, diketahui bahwa panelis

memberikan penilaian berbeda pada rasa

daging dengan penambahan buah nanas

10% karena nilai p <0,05 dengan rata-rata

tingkat kesukaan 6,02. Adapun ranking

kelompok untuk setiap variasi

penambahan enzim protease tanaman

berdasarkan hasil Uji Wilcoxon dapat

dilihat pada Tabel 2.

Konsentrasi penambahan nanas

10% telah membuat daging cukup manis

khas nanas, karena nanas mengandung

glukosa yang tinggi yaitu 9,26 gram

dalam 100 gram nanas. Sedangkan

penambahan jahe 20% paling tidak

disukai karena dalam jahe terdapat

kandungan asirinya tinggi, sehingga

rasanya lebih pedas khas jahe.

Sedangkan untuk rasa daging dengan

penambahan buah pepaya cukup disukai

panelis, karena pepaya yang digunakan

adalah buah pepaya mentah, yaitu buah

pepaya yang sudah tua, dagingnya putih

sehingga kandungan glukosa dalam

pepaya mentah ini lebih sedikit dari pada

pepaya matang yaitu hanya 6,2 gram

dalam 100 gr pepaya. Namun

penggunaan buah pepaya mentah tidak

mengubah rasa daging sapi menjadi pahit

seperti bila menggunakan daun pepaya.

Menurut Wijayandi (2003), rasa adalah

karakteristik dari suatu zat yang

disebabakan oleh adanya bagian zat

tersebut yang larut dalam air atau lemak

dan bersentuhan dengan indra

pencicipan (lidah dan rongga mulut),

sehingga memberikan kesan tertentu.

Rasa dipengaruhi olehn beberapa

faktor, yaitu senyawa kimia, suhu,

konsentrasi, dan interaksi dengan

komponen rasa lain. Pengaruh antara

satu macam rasa dengan rasa yang lain

Gambar 1 Hasil Uji Organoleptik Rasa Daging

Sapi Dengan Penambahan Buah Pepaya

Gambar 2. Hasil Uji Organoleptik Rasa Daging

Sapi dengan Penambahan Buah Nanas

Tabel 2. Tingkat Kesukaan “Rasa” Daging Dengan Penambahan Enzim Protease Tanaman

Konsentrasi

Penambahan

Variasi Tanaman

Pepaya Nanas Jahe

10% 5.12ac 6.02b 4.45a

15% 5.27ad 5.77bd 4.12a

20% 5.65bc 5.08b 3.53a Keterangan :

a,b,c,d Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata ( P<0,05) berdasarkan

uji Wilcoxon.

Gambar 3. Hasil Uji Organoleptik Rasa Daging

Sapi dengan Penambahan Rimpang Jahe

Page 60: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik 130

tergantung pada konsentrasinya. Bila

salah satu komponen mempunyai

konsentrasi yang lebih tinggi pada

komponen yang lain maka komponen

tersebut akan lebih dominan. Bila

perbedaan konsentrasi tidak terlalu besar

maka ada kemungkinan timbul rasa

gabungan atau komponen tersebut dapat

dirasakan kesemuanya secara berurutan

(Kartika, 1988).

Warna

Berdasarkan Gambar 4 diketahui

bahwa respon panelis yang berjumlah 30

orang terhadap warna daging dengan

penambahan enzim protease tanaman

yang berasal dari buah pepaya, buah

nanas, dan rimpang jahe (10%, 15%,dan

20%), didapatkan bahwa sebagian besar

panelis memberikan penilaian agak suka

(skor 3) pada warna daging dengan

penambahan pepaya 20% sebanyak 16

orang (53,3%). Berdasarkan Gambar 5

diketahui sebagian besar panelis

memberikan penilaian tidak suka (skor 2)

pada warna daging dengan penambahan

nanas 20% sebanyak 18 orang (60%), dan

berdasarkan Gambar 6 diketahui

sebagian besar panelis memberikan

penilaian agak suka (skor 3) pada warna

daging sapi dengan penambahan

rimpang jahe 20% sebanyak 14 orang

(46,7%).

Berdasarkan Uji Friedman

penambahan enzim protease tanaman

dari buah pepaya, buah nanas, dan

rimpang jahe (10%, 15%, dan 20%) tidak

berpengaruh signifikan terhadap daya

terima organoleptik (warna) daging sapi,

yang ditunjukkan dengan nilai p = 0,266

(p>0,05). Sehingga tidak dilanjutkan

dengan Uji Multiple Comparisson (Uji

Wilcoxon). Rata-rata tingkat kesukaan

panelis dapat dilihat pada Tabel 3.

Menurut Setiawan (1988), nilai

warna yang objektif dipengaruhi oleh

komposisi bahan baku yaitu warna awal

penyusunan. Menurut Wijayandi (2003)

warna adalah kesan yang dihasilkan oleh

indera mata terhadap cahaya yang

dipantulkan oleh benda tersebut. Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian

Grace (1995) penambahan enzim protease

yaitu enzim papain pada daging

kambing tua jantan tidak berpengaruh

nyata terhadap tingkat kesukaan warna

dengan kisaran nilai rata-rata tingkat

kesukaan yaitu 3,1-3,5.

Jika dilihat dari uji statistik maka

semakin empuk daging yang dihasilkan

akibat penambahan enzim protease

Gambar 4. Hasil Uji Organoleptik Warna Daging

Sapi dengan Penambahan Buah Pepaya

Gambar 5. Hasil Uji Organoleptik Warna Daging

Sapi dengan Penambahan Buah Nanas

Gambar 6. Hasil Uji Organoleptik Warna Daging

Sapi dengan Penambahan Rimpang Jahe

Page 61: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 131

tanaman, maka warna daging akan

semakin coklat pucat (Fellow, 2000 dalam

Aberle dkk., 2001). Selain itu,buah

pepaya yang banyak mengandung

karotenoid jenis likopen dapat membuat

warna daging lebih menarik (Cahyani,

2010). Pada suhu 800 C telah terjadi

denaturasi protein sehingga terjadi

konversi warna daging dalam bentuk

oxymyoglobin menjadi warna coklat

dalam bentuk metmyoglobin.

Tekstur

Berdasarkan Gambar 7 diketahui

bahwa respon panelis yang berjumlah 30

orang terhadap tekstur daging dengan

penambahan enzim protease tanaman

yang berasal dari buah pepaya, buah

nanas, dan rimpang jahe (10%, 15%,dan

20%), didapatkan bahwa sebagian besar

panelis memberikan penilaian tidak suka

(skor 2) pada tekstur daging dengan

penambahan pepaya 10% sebanyak 16

orang (53,3%). Berdasarkan Gambar 8

diketahui sebagian besar panelis

memberikan penilaian tidak suka (skor 2)

pada tekstur daging dengan penambahan

nanas 20% sebanyak 14 orang (46,7%).

Dan berdasarkan Gambar 9 diketahui

sebagian besar panelis memberikan

penilaian tidak suka (skor 2) pada daging

sapi dengan penambahan rimpang jahe

10% sebanyak 17 orang (56,7%).

Berdasarkan Uji Friedman

penambahan enzim protease tanaman

dari buah pepaya, buah nanas, dan

rimpang jahe (10%, 15%, dan 20%)

berpengaruh signifikan terhadap daya

terima organoleptik (tekstur) daging

sapi, yang ditunjukkan dengan nilai p

= 0,009 (p<0,05). Data yang signifikan

dilanjutkan dengan Uji Wilcoxon. Hasil

Uji Wilcoxon menunjukkan

Tabel 3. Tingkat Kesukaan “Warna” Daging Dengan Penambahan Enzim Protease Tanaman

Penambahan

Konsentrasi

Variasi Tanaman

Pepaya Nanas Jahe

10% 4,97a 5,30a 5,47a

15% 4,98a 5,02a 4,53a

20% 5,57a 4,03a 5,13a

Keterangan : a Superskrip yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata ( P>0,05) berdasarkan uji

Wilcoxon.

Gambar 7. Hasil Uji Organoleptik Tekstur Daging

Sapi dengan Penambahan Buah Pepaya

Gambar 8. Hasil Uji Organoleptik Tekstur Daging

Sapi dengan Penambahan Buah Nanas

Gambar 9 Hasil Uji Organoleptik Tekstur Daging Sapi

Dengan Penambahan Rimpang Jahe

Keterangan :

Page 62: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik 132

perbandingan perbedaan tekstur antar

daging sapi yang dihasilkan, diketahui

bahwa panelis memberikan penilaian

berbeda pada tekstur daging sapi dengan

penambahan buah nanas 10%karena nilai

p <0,05 dan tingkat rata-rata kesukaan

sebesar 5,82. Adapun ranking kelompok

untuk setiap variasi penambahan enzim

protease tanaman berdasarkan hasil Uji

Wilcoxon dapat dilihat pada Tabel 4.

Hasil penelitian ini sesuai dengan

penelitian Murtini dan Qomarudin (2003)

perendaman daging pada larutan enzim

protease tanaman biduri berpengaruh

nyata pada tekstur daging sapi. Tekstur

daging berkaitan dengan tingkat

keempukan. Keempukan adalah salah

satu yang paling penting dari tekstur

daging dan merupakan atribut yang

mempengaruhi persepsi daging sapi oleh

konsumen (Aurelia dkk, 2006). Kesan

keempukan secara keseluruhan meliputi

tekstur dan melibatkan tiga aspek yaitu

kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam

daging, mudahnya daging dikunyah

menjadi potongan-potongan yang lebih

kecil dan jumlah residu yang tertinggal

setelah pengunyahan (Soeparno, 2005).

Variasi keempukan dipengaruhi oleh

pemasakan yaitu tergantung waktu dan

temperatur pemasakan. Lama pemasakan

akan mempengaruhi kelunakan kolagen,

sedangkan temperatur pemasakan lebih

mempengaruhi kealotan miofibril.

Dengan adanya penambahan enzim

protease tanaman menghidrolisis kolagen

daging sehingga bentuknya menjadi

kendur dan daging akan lebih cepat

empuk (Soeparno, 2005). Tingkat aktivitas

enzim mempengaruhi kerja enzim. Enzim

bromelin memiliki tingkat kereaktifan

lebih tinggi dari pada enzim papain dan

enzim proteae thiol yaitu 80 unit/gram

sedangkan papain 50 unit/gram dan

protease thiol 45 unit/gram (Lawrie,

2003). Sehingga berdasarkan percobaan

yang telah dilakukan daging dengan

penambahan nanas lebih empuk dari

pada daging dengan penambahan buah

pepaya dan rimpang jahe.

SIMPULAN

1. Susut masak tertinggi yaitu daging

sapi dengan penambahan buah nanas

20%

2. Atribut mutu rasa yang banyak di

sukai yaitu rasa daging dengan

penambahan buah nanas 10%.

3. Atribut mutu tekstur yang banyak

disukai yaitu tekstur daging dengan

penambahan buah nanas 10%.

4. Atribut mutu warna yang banyak

disukai yaitu warna daging dengan

penambahan buah pepaya 20%.

DAFTAR PUSTAKA

Aberle, E.D., et al.,. 2001. Principle of

Meat Science. Jurnal Sain

Peternakan Indonesia. Volume 1. 39

- 44.

Astawan Made. 2004. Mengapa Kita Perlu

Makan Daging. Web-site:

Http://www.gizi.net/cgi-

Tabel 4. Tingkat Kesukaan “Tekstur” Daging Dengan Penambahan Enzim Protease Tanaman

Penambahan

Konsentrasi

Variasi Tanaman

Pepaya Nanas Jahe

10% 4.28b 5.82b 3.83a

15% 4.32ab 5.42b 4.83a

20% 5.23b 5.58b 5.68a

Keterangan : a,b,c,d Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata ( P<0,05) berdasarkan

uji Wilcoxon.

Page 63: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 133

bin/berita/fullnews.com. Diakses

Tanggal 2 Oktober 2010.

Aurelia, I., I. Aprodu, G. Pascaru. 2008.

Effect Of Papain And Bromelin On

Muscle And Collagen Protein In

Beef Meat. 6 : 9-16.

Anonim. 2005. Penggunaan Enzim Untuk

Pengempukan Daging. Web-site :

http://www.poultryindonesia.com.

Diakses Tanggal 2 Oktober 2010

Badan Standarisasi Nasional. 2008.

Standar Nasinal Indonesia Mutu

Karkas dan Daging Sapi. 3932.

Jakarta

Budiman, A dan S. Styawan. 2009.

Pengaruh Konsentrasi Substrat,

Lama Inkubasi dan pH dalam

Proses Isolasi Enzim Xylanase

dengan Menggunakan Media

Jerami Padi. Laporan Penelitian.

Universitas Diponegoro. Semarang.

Cahyani. 2010. Manfaat Pepaya. Web-site

http://www.medicalera.com.

Diakses tanggal 5 Agustus 2011.

Daftar Komposisi Bahan Makanan

Widiya Pangan dan Gizi. 2004

deMan, J. 1997. Kimia Makanan

Penerjemah: Kosasih P. Intitut

Teknologi Bandung. Terjemahan

dai Princiles of Food Chemistry.

Dhiah, P. 2010. Pengaruh Penambahan

Buah Nanas dan Lama Pemasakan

yang Berbeda Terhadap Kualitas

Daging Itik Afkir. Fakultas

Pertanian. Uversitas Sebelas Maret.

Surakarta

Esti. 2002. Pengawetan dan Bahan Kimia.

Web-site: http://www.warintek.

ristek.go.id. Diakses tanggal 1

November 2010.

Grace. 1995. Mempelajari Pengaruh

Penambahan Enzim Papain secara

Ante-Mortem Terhadap Sifat Fisik

Kimia Daging Kambing Tua Jantan.

Intitut Pertanian Bogor. Bogor.

Hanum, Y. S. 1998. Penilaian Indrawi.

Universitas Sriwijaya Indralaya.

Hasanah, E. 2005. Pengaruh Penambahan

Antioksidan Terhadap Aktivitas

Proteolitik Enzim Papain. Intitut

Pertanian Bogor. Bogor.

Indah, M. 2004. Enzim. Universitas

Sumatra Utara. Medan.

Istika D.. 2009. Pemanfaatan Enzim Brolin

Pada Limbah Kulit Nanas Dalam

Pengempukan Daging. Jurusan

Biologi. Fakultas Matematika dan

Ilmu Lingkungan Pengetahuan

Alam. Universitas Sebelas Maret.

Surakarta.

Kartika, 1988. Penambahan Ekstrak

Ampas Nanas Sebagai Medium

Campuran Pada Pembuatan Nata

De Cashew. Balai Penelitian

Tanaman Obat Dan Aromatik. NTT

Komariah, I. Arief, Y. Wiguna. 2004.

Kualitas Fisik dan Mikroba Daging

Sapi yang Ditambah Jahe Pada

Konsetrasi dan Lama Penyimpanan

yang Berbeda. Media Perternakan

Agustus 2004. Vol.27 (2) :46-54.

Komariah dan Sirajudin. 2006. Aneka

olahan Daging Sapi. Agromedia

Pustaka. Jakarta.

Koswara dan Sutrisno. 2003. Tepung

Getah Pepaya Pengempuk Daging,

diakses dari Ebokkpangan.com,

Oktober 2010.

Kristianto, Y. 2005. Panduan Penelitian

Pangan dan Gizi. Politeknik

Kesehatan Malang. Malang.

Kusmiadi. 2007. Petunjuk Pengujian

Oraganoleptik. Web-site :

http://smsrtsains.blogspot.com.

Diakses Tanggal 20 Oktober 2010.

Lawrie, R.A. 2003. Meat Science. Edisi Ke-

5. Penerjemah : A. Perakasi. UI

press. Jakarta.

Lee, Y. B., D.J. Sehnert and C. R.

Ashmore. 1994. Tenderization of

Meat With Ginger Rhizome. J. Food

Sci. 51 (16): 1558-1559.

Page 64: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik 134

Mgmc. 2009. Nanas. Web-site:

http://miskal-mgmc.blogspot.com/.

Diakses: Tanggal 07 April 2011.

Moehd. 2008. Pengolahan Pepaya.

Agromedia Pustaka. Jakarta.

Muchtadi, T.R dan Sugiyono. 1992. Ilmu

Pengetahuan Bahan Pangan.

Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. Pusat Antar

Universitas, Institut Pertanian

Bogor. Bogor.

Murhamanto. 2008. Budi Daya,

Pengolahan, Perdagangan Jahe.

Swadaya. Jakarta.

Murniarti, E. 2006. Sang Nanas Bersisik

Manis di Lidah. Surabaya

Intellectual Club. Surabaya.

Murtini dan Qomarudin. 2003.

Pengempukan Daging Dengan

Enzim Protease Tanaman Biduri.

Jurnal Teknol dan Industri Pangan.

XIV (3) : 226-268

Pudjirahaju, dkk. 2004. Paket Modul Dan

Penuntun Praktek ITP. Poltekkes

Malang. Malang

Pudjirahaju, A. 2001. Diklat ITP, Penilaian

Kualitas Makanan Secara

Organoleptik. Malang.

Purwantoro. 2007. Pepaya.Web-site: http:

www//ristek.go.id. Diakses tanggal

10 November 2010.

Puspa, C. 2007. Pemanfaatan Enzim

Papain Dalam Proses Pengempukan

Daging. Fakultas Kedokteran

Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bogor

Rahayu, S. 2004. Karakteristik Biokimiawi

Enzim Termostabil Penghidrolisis

Kitin. Makalah. Pengantar Falsafah

Sains (PPS 702). Sekolah Pasca

Sarjana Program Doktor. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Renald. 2010. Kecepatan Reaksi Hidrolisis

Amilum oleh Enzim Amilase. Web-

site: http://www.scribd.com.

Diakses: Tanggal 28 Juli 2011.

Rukmana. 1995. Budidaya Nanas.

Dinamika Media. Jakarta.

Sabariyyah, P.N. 2005. Pengaruh Teknik

Penambahan Enzim Papain

Terhadap Kecemaran Protein.

Intitut Pertanian Bogor. Bogor.

Sarashwati, G T. 1995. Mempelajari

Pengaruh Enzim Papain Secara

Ante-Mortem Terhadap Sifat Fisiko

Kimia Daging Kambing Tua Jantan.

Skripsi. Fakultas Teknologi

Pertanian Bogor. Bogor.

Sembiring dan Sudino. 2006. Biologi

Untuk Kelas XII. Sunda Kelapa

Pustaka. Jakarta.

Shiddieqy, M. I. 2005. Daun Pepaya

Pelarut Protein Pengempuk Daging.

Web-site: http

://www.pikiranrakyat.com/cakrawa

la.htm. Tanggal akses 5 Oktober

2010.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi

Daging. Cetakan Ke-4. Gajah Mada

University press. Yogyakarta.

Soewarno dan Soekanto. 1981. Penilaian

Organoleptik, untuk Industri

Pangan dan Hasil Pertanian.

PUSBANGTEPA / Food Technology

Development Center, Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Sugiran, G. 2007. Efek Pengolahan

Terhadap Zat Gizi Pangan. Web-

site: http://www.blogger.com/feeds.

Diakses Tanggal 6 Oktober 2010.

Sugiyono. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan

Pangan. Alfabeta . Bandung.

Sullivan, C. 2007. Adding Enzymes to

Improve Beef Tenderness. Web-site:

http://www.beefresearch.org.

Diakses Tanggal 1 November 2010.

Suwarno. 2006. Panduan Pembelajaran

Biologi Untuk SMA Dan MA. Web-

site:

http://www.kiva.orgwww.kiva.org.

Diakses Tanggal 1 November 2010.

Tabrany, H. 2006. Getah Pepaya Dalam

Bentuk Crude Papain. Web-site :

Page 65: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 135

http://tumoutou.net/3_se

1/herman_t.htm. Tanggal Akses 10

November 2010.

Tarwatjo, S. 1998. Dasar-Dasar Gizi

Kuliner. PT Gasindo. Jakarta.

Velonso, S.A. 2010. Pengaruh Enzim

Papain Pada Level dan Lama

Pemeraman yang Berbeda

Terhadap pH dan Cooking Loss

Daging Bicep Femoris Sapi Bali

Jantan. Skripsi.Universitas

Indinesia. Jakarta.

Wales. 2010. Enzim. Web-site:

http://id.wikipedia.org/wiki/enzim.

Diakses Tanggal 5 November 2010.

Wales. 2010. Bromelin. Web-site:

http://id.wikipedia.org/wiki/enzim.

Diakses Tanggal 5 November 2010.

Wales. 2010. Nanas. Web-site:

http://id.wikipedia.org/wiki/enzim.

Diakses Tanggal 5 November 2010.

Wales. 2010. Daging Sapi. Web-site:

http://id.wikipedia.org/wiki/enzim.

Diakses Tanggal 5 November 2010.

Wijayandi. 2003. Penguji Kesukaan Secara

Organoleptik. Diakses dari

http//125.17.21/speedyarari/view.ph

p.februari 2010

Winarno, F.G. 1986. Enzim Pangan. PT

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi,

Teknologi, dan Konsumen. PT

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan

Gizi. M-Brio Press. Bogor.

Yudistra. 2005. Mengenali Daging Sehat.

Web-site: http://www.balispot.co.id.

Diakses Tanggal 20 Oktober 2010.

Yunaida.1998. Uji Organoleptik. Web-site

http://www.scribd.com/doc/5826456

2/Jenis-Uji-Organoleptik. Diakses

Tanggal 15 Oktober 2010.

Page 66: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over
Page 67: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 137

Peforman Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas

sebagai Pengganti Sebagian Bungkil Kedelai dalam Ransum

Meat Chicken Production Performance by Using Cotton Seed Cake as Substitution of Part

of Soybean Cake in Ration

Eli Sahara, Sofia Sandi, dan Muhakka

Staf Pengajar Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Palembang-Prabumulih

Km. 32 Indralaya, Ogan Ilir Kode Pos 30662. Email [email protected]

ABSTRACT

The aim of this research was to know the effect of using cottonseed cake as a substitution part of soybean cake

on boriler growth performance. The study used 2 week-old broiler. The treatments of the research were

using cottonseed cake 0% (R0), 6% (R1), 12% (R2), and 18%(R3) with Completely Randomized Design (CRD)

and each treatment was replicated 4 times. Each treatment contained 6 broilers. The result of the research

showed that cottonseed cake was significantly different effect on ration consumption, body weight gain, and

rantion convertion. The best result was indicated by R2. It could be concluded that using cottonseed cake as

substitution of soybean cake was 12%.

Kata Kunci: Cotton seed cake, soybean cake, ration, broiler

ABSTRAK

Meningkatnya harga ransum, mengharuskan kita mencari bahan alternatif lain yang harganya lebih murah,

salah satunya adalah penggunaan bungkil biji kapas (BBK). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh penggunaan BBK sebagai pengganti sebagian bungkil kedelai terhadap pertumbuhan ayam

broiler. Penelitian ini menggunakan ayam broiler umur dua minggu. Ransum perlakuan yang digunakan

terdiri dari 4 tingkat penggunaan BBK sebagai pengganti bungkil kedelai yakni R0 (0%), R1(6%), R2 (12%)

dan R3 (18%). Rancangan yang digunakan adalah RAL (Rancangan Acak Kelompok) yang terdiri dari 4

perlakuan dan 4 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 6 ekor ayam dengan menggunakan kandang koloni.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada berbagai perlakuan penggunaan BBK berpengaruh sangat nyata

(P<0,01) terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan (PBB) dan konvesi ransum terbaik diperoleh

pada perlakuan R2. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan BBK sebagai pengganti

bungkil kedelai terbaik diperoleh pada tingkat 12%.

Kata Kunci: bungkil biji kapas, bungkil kedelai , ransum, ayam broiler

PENDAHULUAN

Perkembangan penduduk di

Indonesia saat ini tidak dapat diimbangi

oleh kenaikan produksi ternak,

khususnya ternak besar. Perkembangan

ternak sapid an kerbau sangat kecil.

Dengan alas an tersebut sector

perunggasan terutama ayam broiler

mendapat prioritas utama untuk

memenuhi kebutuhan protein hewani.

Dalam hubungan ini ayam broiler

merupakan pilihan yang tepat mengingat

sifat-sifat keunggulannya, yaitu tidak

memerlukan tempat yang luas dalam

pemeliharaannya, bergizi tinggi,

pertumbuhan yang cepat dan cepat

mencapai berat jual dengan bobot badan

yang tinggi, yaitu bobot hidup rata-rata

antara 1,5 - 2,0 kg pada umur 6-7 minggu

(Murtidjo, 1994)

Peningkatan produksi ternak

ditentukan pada sistim pemeliharaan

terutama dalam mutu pakan. Biaya

pakan menyerap hamper 60-70% dari

Page 68: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Peforman Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas 138

seluruh biaya produksi. Belum lagi

ditambahn dengan adanya lonjakan

harga pakan yang sering meningkat.

Lonjakan harga pakan tentunya

disebabkan oleh semakin tingginya harga

bahan baku pakan ayam yangh sering

digunakan selama ini banyak bersaing

dengan kebutuhan pangan manusia.

Oleh karena itu banyak para ahli nutrisi

yang berusaha mencari alternative bahan

baku pakan yang mempunyai nilai gizi

yang relative sama tetapi harganya

murah dan yang tidak bersaing dengan

kebutuhan pangan manusia. Salah

satunya adalah bungkil biji kapas (BBK).

Bungkil biji kapas adalah bahan

ikutan penggilingan minyak kapas yang

mempunyai kandungan nutrisi yang

cukup tinggi, tidak bersaing dengan

kebutuhan pangan manusia dan

harganya relative murah sebagai bahan

campuran pakan. Tanaman kapas di

Indonesia banyak ditanam terutama di

daerah Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara

Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Sedangkan prospek tanaman kapas di

Indonesia masih cerah karena permintaan

akan sandang terus meningkat seiring

dengan laju pertumbuhan dan

peningkatan pendapatan rakyat.

Tanaman kapas ditanam terutama untuk

mendapatkan kapas yang akan diolah

menjadi tekstil, haasil ikutannya berupa

biji kapas. Sebagai hasil sampingan biji

kapas setelah diambil minyaknya untuk

keperluan industry makanan dan

komestika adalah berupa bungkil biji

kapas. Sangat disayangkan selama ini

bungkil biji kapas belum banyak

dimanfaatkan sebagai pakan ternak, hal

ini disebabkan kurangnya pengetahuan

tentang bungkil biji kapas sebagai pakan

Mternak.

Sebagai pakan ternak bungkil biji

kapas mempunyai nutrisi yang cukup

tinggi, terutama kandungan proteinnya.

Kandungj gizi darai biji kapas adalah

Protein 19,4%, lemak 19,5%, asam lemak

linoleat47,8%, asam lemak palmitat 23,4%

dan asam lemak oleat 22,9%. (warrintek-

mentri Negara Riset dan Teknologi, 2012).

Sehingga memungkinkan digunakan

sebagai pengganti tepung kedelai dan

kacang tanah dalam pakan ternak. Faktor

yang menjadi kendala dalam

penggunaan bungkil biji kappa sebagai

campuran pakan adalah serat kasarnya

tinggi, palatabilitas rendah dan adanya

zat anti nutrisi (gossypol). Gosipol

adalah senyawa pigmen poliphenolat

kuning yang ditemukan dalam bagian

berminyak biji kapas (Fapet IPB, 2012).

Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan

beberapa cara antara lain dengan

penambahan FeSO4 dalam ransum atau

diberikan perlakuan pemanasan.

Penambahan besi dengan perbandingan

1:1 dengan gosipol bebas, dapat

meningkatkan taraf penggunaan bungkil

biji kapas dalam ransum broiler atau

layer (Amrullah, 2004)

Hasil penelitian memperlihatkan

bahwa bungkil biji kapas dapat

dimanfaatkan dalam ransum ayam

broiler periode finisher sampai 15%.

Akan tetapi sampai saat ini belum ada

laporan tentang kemampuan dari bungkil

biji kapas untuk dapat menggantikan

bungkil kedelai dalam ransum ayam

broiler.

Tanaman kapas merupakan

tanaman yang akan dimanfaatkan

kapasnya yang akan diolah menjadi

tekstil, sehingga tanaman ini setiap

tahunnya akan meningkat. Sejalan

dengan peningkatan produksi tanaman

kapas, produksi bungkil biji kapas turut

meningkat pula, hal ini dapat dilihat dari

produksi kapas menghasilkan biji kapas

2/3 dari beratnya, sedang serabut hanya

1/3 nya. Bungkil ini merupakan bahan

pakan ternak yang dapat

menyumbangkan protein dan energy

yang dibutuhkan oleh ternak.

Page 69: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 139

Berdasarkan bahan keringnya, bungkil

biji kapas mempunyai kandungan protein

kasar 40-41% dan energy metabolis 1820-

2100 kkal/kg.

Berdasarkan hal dikemukakan

diatas maka dilakukan suatu penelitian

untuk mengetahui seberapa jauh

pengaruh penggunaan bungkil biji kapas

sebagai pengganti sebagian bungkil

kedelai dalam ransum terhadap

pertumbuhan ayam broiler.

METODE PENELITIAN

Sebanyak 96 ekor ayam broiler

galur hubbard yang berumur 2 minggu

ditempatkan secara acak dalam kandang

koloni. Tiao unit kandang ditempati 6

ekor ayam. Ransum perlakuan yang

diberikan selama penelitian terdiri dari 4

tingkat penggunaan bungkil biji kapas

sebagai pengganti kedelai dalam ransum

yakni R-0(0%R-1(6%), R-2 (12%) dan R-

3(18%). Bahan makanan penyusun

ransum terdiri dari jagung, bungkil biji

kapas (BBK), dedak halus, bungkil

kelapa, bungkil kedelai, tepung ikan,

minyak kelapa dan premix A. Susunan

bahan penyusun ransum dan kandungan

nutrisi setiap perlakuan dapat dilihat

pada Tabel 1.

Rancangan yang digunakan adalah

rancangan acak lengkap (RAL)

menggunakan 4 tingkat penggunaan

bungkil biji kapas dalam ransum sebagai

perlakuan yakni R-0(0%R-1(6%), R-2

(12%) dan R-3(18%), 4 ulangan dan setiap

ulangan terdiri dari 6 ekor ayam broiler.

Awal penelitian dimulai dengan

penimbangan 96 ekor ayam broiler umur

2 minggu untuk mengetahui bobot badan

awal, kemudian diletakkan ke dalam

kandang secara acak.

Konsumsi ransum dihitung sekali

seminggu, demikian juga penimbangan

bobot badan dan jumlah konsumsi bahan

kering Peubah yang diamati adalah

konsumsi ransum, pertambahan bobot

badan mutlak, pertambahan bobot badan

relative dan konversi ran sum.

Pertambahan bobot badan mutlak

diperoleh dengan cara mencari selisih

bobot badan akhir dengan bobot badan

awal pada periode yang sama dan

pertambahan bobot badan relative

diperoleh perbandingan antara

pertambahan bobot badan mutlak dengan

bobot badan awal pa da periode waktu

yang sama. Sedangkan konversi ransum

adalah perbandingan banyaknya

Tabel 1. Susunan ransum dan kandungan zat nutrisi masing-masaing perlakuan

Bahan Ransum Perlakuan

R-0 R-1 R-2 R-3

Jagung giling 40,00 40,00 40,00 40,00

Dedak halus 6,00 6,00 6,00 6,00

Bungkil kelapa 7,00 7,00 7,00 7,00

Bungkil kedelai 25,00 19,00 13,00 7,00

Bungkil biji kapas 0 6,00 12,00 18,00

Tepung ikan 20,00 20,00 20,00 20,00

Minyak kelapa 1,50 1,50 1,50 1,50

Premix A 0,50 0,50 0,50 0,50

Total 100 100 100 100

Kandungan Nutrisi ransum

Protein kasar (%) 23,77 23,98 24,19 24,40

Serat kasar (%) 6,11 6,48 6,85 7,22

Lemak (%) 5,78 5,65 5,25 5,39

Kalsium (Ca) 1,20 1,18 1,16 1,14

Phospor (P) 0,80 0,79 0,78 0,77

ME kkal/kg 2874,28 2849,08 2823,88 2798,68

Page 70: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Peforman Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas 140

makanan yang dikonsumsi dengan

kenaikan bobot badan ternak.

Data penelitian dianalisis ragam

dan diuji lebih lanjut dengan uji jarak

berganda Duncan (Steel and Torrie, 1991)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rata-rata konsumsi ransum,

pertambahan bobot badan mutlak,

pertambahan bobot badan relative dan

konversi ransum dapat dilihat pada tabel

2.

Hasil analisis ragam menunjukkan

bahwa level pemberian bungkil biji

kapas dalam ransum sebagai pengganti

sebagian bungkil kedelai memberikan

pengaruh yang sangat nyata (P<0,01)

terhadap konsumsi ransum, bobot badan

mutlak, bobot badan relative dan

konversi ransum.

Rataan konsumsi ransum per ekor

per hari pada tingkat penggantian

bungkil kedelai dengan tepung bungkil

biji kapas 0% (R-0), 6% (R-1), 12% (R-2)

dan 18% (R-3) masing-masing sebesar

85,06 g, 85,39, 84,45 dan 81,65 g. Hasil

analisis statistic menunjukkan bahwa

konsumsi ransum pada tingkat

pemberian 18% (R3) sangat nyata (P<0,01)

lebih rendah dibandingkan dengan

konsumsi ransum pada tigkat

penggantian 0% (R-0), 6% (R-1) dan 12%

(R-2), sedangkan tingkat pemberian 0%

(R-0), 6% (R-1) dan 12% (R-2) tidak

berbeda nyata (P>0,05) terhadap

konsumsi ransum. Dari hasil tersebut

berarti bahwa penggunaan bungkil biji

kapas nyata menurunkan konsumsi

ransum, semakin tinggi penggunaan

bungkil biji kapas, menunjukkan

konsumsi ransum nyata semakin

menurun. Hal ini menunjukkan bahwa

penggunaan BBK dapat menurunkan

selera makan pada ayam, sehingga

konsumsi ransum juga akan menurun.

Hal ini disebabkan karena semakin tinggi

penggunaan BBK di dalam ransum, maka

serat kasarnya semakin tinggi sehingga

akan mempengaruhi konsumsi ransum.

Hal ini sesuai pendapat Anggorodi (1985)

bahwa serat kasar untuk ayam broiler

masa pertumbuhan sebesar 4-6%. Antara

perlakuan R-0, R-1 dan R-2 tidakj berbeda

nyata (P>0,05), hal ini berarti bahwa

penggunaan BBK pada tingkat 6-12%

jumlah ransum yang dikonsumsi relative

sama. Hal ini disebabkan kandungan

protein dan energy tidak jauh berbeda

sehingga keadaan seperti ini tidak

mempengaruhi konsumsi ransum.

Tabel 2. Rata-rata konsumsi ransum, pertambahan bobot badan mutlak, pertambahan bobot badan

relative dan konversi ransum

Perlakuan Konsumsi Ransum PBB Mutlak PBB Relatif Konversi

(gram/ekor/hari) (gram/ekor/hari)) (%/ekor/hari) Ransum

R0 85,06A 51,23A 21,08A

1,66aA

R1 85,39A 52,10 21,44A

1,63a

R2 84,45A 53,45B 21,98A

1,57bB

R3 81,65B 41,19C 16,96B

1,97C

Keterangan: * nilai yang diikuti dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda

sangat nyata (P<0,01)

*nilai yang diikuti dengan huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda

nyata (0,05)

Page 71: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 141

Jumlah ransum yang dikonsumsi serta

nilai gizi ransum akan mempengaruhi

pertambahan bobot badan .

Hasil analiis ragam menunjukkan

bahwa pada berbagai perlakuan

penggunaan BBK memberikan pengaruh

sangat nyata (P<0,01) terhadap PBB

mutlak dan relative. Hasil uji jarak

berganda Duncan diketahui bahwa

pertambahan bobot badan mutlak tidak

berbeda nyata (P>0,05) antara perlakuan

R1 dan R2, berbeda nyata (P<0,01) R0

lebih kecil dari R2 dan berbeda sangat

nyata (P<0,01) lebih kecil R3 dari R0, R1

dan R2. Sedangkan pertambahan bobot

badan relative tidak berbeda nyata

(P>0,05) antara perlakuan R0, R1 dan R2

dan berbeda sangat nyata (P<0,05) lebih

kecil R3 dari R0, R1 dan R2. Hal ini

berarti penggunaan BBK sampai dengan

tingkat 12% tidak menurunkan

pertambahan bobot badan, pertambahan

bobot badan yang terbaik diperoleh pada

penggunaan BBK pada tingkat 12%.

Pertambahan bobot badan nyata (P<0,05)

menurun bila poenggantian bungkil

kedelai dengan BBK sampai 18%. Hal ini

disebabkan karena perlakuan R3

konsumsi ransum yang paling rendah

sehingga zat-zat makanan yang masuk

kedalam tubuh juga akan menurun dan

selanjutnya akan berpengaruh terhadap

pertambahan bobot badan. Kecuali itu

imbangan protein dan energy pada

perlakuan R3 menurun mencapai 1 :

114,7. Menurut Murtidjo (1994), bahwa

imbangan protein dan energy untuk

ayam broiler fase awal sebesar 1 : 132 dan

fase akhir sebesar 1: 160. Kecilnya

imbangan ini diesebabkan oleh

kandungan protein pada perlakuan R3

adalah yang paling tinggi, sementara

kandungan energy paling rendah dan

serat kasarnya paling tinggi, sehingga

pemanfaatan zat-zat makanan lebih

sedikit. Hal ini sesuai pendapat

Ensminger at al (1990) bahwa

pertumbuhan unggas ditentukan oleh

kandungan protein, energy dan

imbangan zat-zat makanan lainnya dari

ransum yang dikonsumsi. Menurut

Leeson and Summer (2001) pertumbuhan

berat badan broiler mencapai 397

gram/ekor/mg dengan kebutuhan

konsumsi 728 gram/ekor/mg selama

umur 1-7 minggu. Kecuali itu hal yang

mempengaruhi pertumbuhan broiler

menurut Amrullah (2004) adalah

kepadatan ransum broiler dimana ayam

yang diberi ransum dengan pakan yang

berkepadatan lebih rendah akan tumbuh

lebih lambat dibandingkan dengan

ransum dengan kepadatan yang lebih

tinggi.

Hasil analisis ragam konversi

ransum menunjukkan bahwa pada

berbagai perlakuan penggunaan BBK

berpengaruh sangat nyata (P<0,01). Hasil

uji jarak berganda Duncan menunjukkan

bahwa konversi ransum pada perlakuan

R2 nyata (P<0,05) lebih kecil

dibandingkan dengan konversi ransum

pada perlakuan R1; konversi ransum

pada perlakuan R0, R1 dan R2 sangat

nyata (P<0,01) lebih rendah

dibandingkan perlakuan R3, sedangkan

antara perlakuan R0 dan R1 konversi

ransum tidak berbeda nyata (P>0,05).

Dari hasil tersebut berarti bahwa

penggunaan BBK yang terbaik adalah

perlakuan R2 yaitu sebesar 12%. Hal ini

berarti tingkat penggunaan BBK di dalam

ransum senmakin efisisien, sehingga

konversi ransum semakin kecil. Hal ini

disebabkan kualitas ransum pada

perlakuan R2 semakin baik. Kanisius

(2000) menyatakan bahwa konversi

ransum dipengaruhi oleh kualitas

ransum, semakin baik kualitas ransum

maka konversi eansum yang diperoleh

semakin kecil atau efisien. Semakin kecil

angka konversi ransum semakin efisien

ternak tersebut menggunakan ransum

yang diberikan

Page 72: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Peforman Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas 142

SIMPULAN

Dari hasil penelitian dpt

disimpulkan bahwa penggunaan Bungkil

Biji Kapas (BBK) sebagai pengganti

bungkil kedelai akan menghasilkan

Pertambahan Bobot Badan (PBB),

konversi ransum yang paling baik dicapai

pada tingkat penggantian sebesar 12%

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah IK. 2004. Nutrisi Ayam Broiler.

Lembaga Satu Gunung Budi KPP

IPB Baranangsiang Bogor

Anggorodi,R.1985. Kemajuan Mutakhir

dalam Ilmu Makanan Ternak

Unggas. University Indonesia

Press, Jakarta

apet IPB. 2012. Mengenal Beberapa

Antinutrisi Pada Bahan Pakan.

http://WWW:Fapet IPB. (20

Pebruari 2012)

Kanisius.A.A (2000).Bertanam Kapas.

Kanisius. Yogyakarta

Lesson S dan JD Summer. 2001. Nutrition

of the chicken Fourth Ed. University

Book. Gaelph. Ontario. Canada

Murtidjo,BA. 1994. Pedoman Beternak

Ayam Broiler. Kanisius,

Yogyakarta

Steel RGD dan Torrie JH. 1991. Prinsip

dan Prosedur Statistika.NSuatu

Pendekatan Biometrik. Alih Bahasa

Bambang Sumantri. Jakarta: PT

Gramedia

Wahju,J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas.

Gadjah mada University Press.

Yogyakarta

Warintek-Mentri Negara Riset dan

Teknologi. 2012. Teknologi Tepat

Guna. Http://WWW:

IPTEKNET.id (12 Pebruari 2012)

Page 73: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 143

Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) terhadap

Kualitas Karkas Ayam Broiler

The Effect of Mengkudu Juice (Morinda citrifolia, L) on The Quality of Broiler Carcass

Yosi Fenita, Warnoto dan A. Nopis

Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

Jalan WR. Supratman Kandang Limun Bengkulu email: [email protected]

ABSTRACT

The objective of this research was to evaluate the broiler carcass quality given different level of mengkudu

juice. The research was conducted in The Farm Laboratory of Animal Science Department Agriculture

Faculty, University Bengkulu. The treatments were P0 (as control without mengkudu juice mixed into 1 liter

water), PI (25 ml mengkudu juice mixed into 1 liter water), P2 (50 ml mengkudu juice mixed into 1 liter

water), P3 (75 ml mengkudu juice mixed into l liter water). The research design used was Completely

Randomized Design. DMRT will be conducted in case of any significant differences among treatments. There

was no significant effect of mengkudu juice diluted in water on broiler carcasss percentage and carcass

portion, abdominal fat percentage, cooking loss and meat juice percentage. However the significant effect

(P<0.05) appeared on meat fat and meat protein. The results showed that the effect of mengkudu juice up to 75

ml in water wasn't positive influentially yet on carcass weight percentage and carcass portion, abdominal

fat percentage, cooking loss, and meat juice percentage. The positive effect was that meat fat decrease up

to 66.52% and meat protein could decrease up to 14,86%.

Key words, morinda citrifolia, quality carcass, broiler

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kualitas karkas ayam broiler yang diberi air buah mengkudu

dengan berbagai level pemberian di dalam air minum. Penelitian dilaksanakan di kandang unggas Jurusan

Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Perlakuan air mengkudu adalah P0 (kontrol tanpa

pemberian air buah mengkudu), PI (25 ml air buah mengkudu di dalam 1 liter air minum), P2 (50 ml

air buah mengkudu di dalam 1liter air minum), dan P3 (75 ml air buah mengkudu di dalam1 liter air

minum).cPenelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) kalau berbeda diuji lanjut Duncan's

Multiple Range Test (DMRT). Perlakuan pemberian air buah mengkudu berpengaruh tidak nyata (P > 0,05)

terhadap terhadap persentase berat karkas dan bagian karkas, persentase lemak abdomen, susut masak,

dan kadar air daging, namun berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap kadar lemak daging dan kadar

protein daging. Penelitian ini menunjukkan pemberian air buah mengkudu sampai level 75 ml di dalam air

minum belum memberikan pengaruh positif terhadap persentase berat karkas dan bagian karkas,

persentase lemak abdomen, susut masak, dan kadar air daging, namun berpengaruh positif terhadap

variabel kadar lemak daging yang mampu menurunkan kadar lemak daging sampai 66,52% terhadap

kontrol, demikian juga terhadap kadar protein daging yang mampu meningkatkan kadar protein daging

sampai 14,86% terhadap kontrol.

Kata kunci : morinda citrifolia, kualitas karkas, broiler

Page 74: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu 144

PENDAHULUAN

Produsen ayam broiler dewasa ini

dituntut untuk menghasilkan ayam

broiler dengan kualitas karkas yang baik.

Hal ini berhubungan dengan selera

konsumen yang cenderung

mengkonsumsi daging dengan kadar

lemak rendah, untuk menghindari

pengaruh negatif lemak seperti timbulnya

bermacam penyakit diantaranya

kegemukan, diabetes, hiperlipida, jantung

koroner dan lain-lain (Wijayakusuma et

al., 1996). Hal senada diungkapkan Fenita

(2011) bahwa kandungan lemak yang

tinggi dapat mendorong timbulnya

kegemukan (obesitas) dan gangguan

penyakit jantung (arthery schlerosis).

Laporan lain menyatakan kandungan

lemak yang tinggi pada daging bila

dikonsumsi dapat berdampak negatif

terhadap kesehatan, terutama penyakit

jantung koroner dan penyempitan

pembuluh darah (Santoso, 1998). Buah

mengkudu (Morinda citrifolia L)

merupakan salah satu tanaman obat yang

berkhasiat dapat mengobati berbagai

penyakit seperti darah tinggi, jantung,

obesitas, dan lain-lain. Penggunaan

mengkudu pada manusia sudah sangat

populer untuk mengobati berbagai

penyakit dalam bentuk jus mengkudu.

Buah mengkudu mengandung alkaloid

triterpenoid yang berfungsi mengatasi

darah tinggi dan kegemukan (Fenita et al

2008). Berdasarkan hal tersebut,

maka kemungkinan buah mengkudu

dapat menurunkan kadar lemak pada

ternak. Khasiat jus akan tampak bila

diminum rutin dengan dosis 100 ml satu

jam sebelum makan, supaya dapat secara

cepat melewati lambung dan masuk ke

usus halus untuk menghasilkan

xeronine yang berguna memperbaiki

sel yang rusak (Posman, 2001). Dengan

demikian buah mengkudu dapat

meningkatkan efisiensi metabolisme.

Berdasarkan pengalaman pada manusia

tersebut diharapkan uji coba pada ayam

broiler nantinya akan berpengaruh positif

pada ayam broiler dengan kandungan

lemak yang lebih rendah. Penelitian ini

dilakukan untuk mengevaluasi

pengaruh pemberian air buah

mengkudu terhadap persentase berat

karkas, lemak abdomen, susut masak,

kadar air daging, kadar lemak daging,

dan kadar protein daging ayam broiler.

MATERI DAN METODE

Kandang yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kandang sistem

postal yang diberi sekat, dengan setiap

petak disediakan tempat pakan dan

tempat minum. Petak-petak kandang

tersebut berukuran 50 x 80 x 60 cm

sebanyak 16 petak kandang. Untuk air

mengkudu didapatkan dari buah

mengkudu yang telah matang dicuci

lalu dihancurkan dengan blender,

kemudian diperas untuk diambil airnya

atau sarinya dengan cara disaring

menggunakan kain kasa.

Anak ayam yang digunakan adalah

ayam broiler strain platinum. Ayam

dipisahkan secara acak ke dalam petak

kandang litter dan setiap petak diisi 4

ekor ayam. Ayam umur 3 hari dan 21 hari

divaksin ND (Newcastle Disease). Pada

umur 4 hari sampai 42 hari ayam

dipelihara dengan ransum yang

disusun sendiri berdasarkan imbangan

energi dan protein NRC (1994) yaitu

pada masa starter (1 sampai 3 minggu)

terlihat pada tabel 2 dengan protein 23%

dan energi 3200 kkal dan pada masa

grower (4 sampai 6 minggu) seperti

yang terlihat pada tabel 3, dengan

protein 20% dan energi 3200 kkal.

Ransum dan air minum diberikan ad

libitum Bahan pakan penyusun ransum

yang digunakan sebagai berikut (Tabel 1).

Page 75: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 145

Penelitian ini bersifat eksploratif

dari penelitian yang dilakukan pada

manusia dengan dosis 300 ml/hari,

dengan asumsi berat badan manusia 50

kg dikonversikan dengan asumsi berat

broiler 1,5 kg diperoleh dosis 9 ml/ hari

untuk ayam broiler atau 6% dan

konsumsi air minum ayam broiler pada

umur 6 minggu yaitu 160 ml/ hari .

Berdasarkan perhitungan diatas maka

perlakuan yang diberikan sebagai

berikut:

P0 : 0 ml air buah mengkudu dalam 1

liter air.

P1: 25 ml air buah mengkudu dalam 1

liter air.

P2: 50 ml air buah menkudu dalam 1

liter air.

P3: 75 ml air buah mengkudu dalam 1

liter air.

Data yang diperoleh, dianalisis

dengan menggunakan sidik ragam.

Apabila terdapat perbedaan yang nyata

antara perlakuan dilakukan uji lanjut

Tabel 1. Komposisi zat-zat makanan bahan penyusun ransum (%).

Bahan Makanan Protein Lemak Serat Kasar Kalsium Phospor ME

(kkal/kg)

Jagung Kuning 9,27a 3,77a 3,77a 0,06a 0,29a 3.370b

Dedak Halus 13,81a 9,85a 9,85a 0,1a 1,94a 1.630b

Bungkil Kedelai 45,28a 1,33a 1,33a 0,9a 0,89a 2.240b

Tepung Ikan 58,75a 4,81a 4,81a 5,55a 3,38a 2.830b

Tepung Tulang - - - 24b 6b

Mineral Suplemen - - - 32,5° 10c

Minyak Bimoli - 99d 99d 9000d

Keterangan: (a) Fenita (2008) (b) Anggorodi (1985). (c) Medion, (2002) Jakarta. (d) Intiboga sejahtera, (2002)

Jakarta.

Tabel 2. Formulasi ransum penelitian fase starter yaitu : 0 - 3 minggu (%).

Bahan Makanan Jumlah Protein Lemak SK Ca P ME (kkal/kg)

Jagung kuning 55.5 5,14 2,09 1,57 0,03 0,16 1.870,35

Dedak Halus 5.0 0,69 0,49 0,27 0,01 0,10 81,50

Bungkil Kedelai 20,0 9,06 0,27 0,62 0,08 0,18 448,00

Tepung Ikan 14,0 8,23 0,67 0,15 0,78 0,47 396,20

Tepung Tulang 0,5 - - - 0,12 0,03 -

Mineral Suplemen 0,5 - - - 0,16 0,05 -

Minyak Bimoli 4,5 - 4,46 - - - 405,00

Total 100 23,12 7,98 2,61 1,18 0,99 3.000,05

Tabel 3. Formulasi ransum penelitian fase grower yaitu : 3 - 6 minggu (%).

Bahan Makanan Jumlah Protein Lemak SK Ca P ME (kkal/kg)

Jagung kuning 60.0 5,56 2,26 1,69 0,04 0,17 2.022,00

Dedak Halus 7.0 0,97 0,69 0,38 0,01 0,14 114,10

Bungkil Kedelai 19,5 8,83 0,26 0,61 0,08 0,17 436,80

Tepung Ikan 8.0 4,70 0,38 0,09 0,44 0,27 226,40

Tepung Tulang 0,5 0,12 0,03

Mineral Suplemen 0,5 0,16 0,05

Minyak Bimoli 4,5 4.46 405.00

Total 100 20,06 8,05 2,77 0,85 0,83 3,204,30

Page 76: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu 146

dengan DMRT (Duncan's Multiple Range

Test) (Yitnosumarto, 1991).

Variabel Yang Diamati

1. Persentase Berat Karkas. Berat karkas

adalah berat broiler setelah dipotong,

dibului, dikurangi dengan kepala, leher,

kaki dan seluruh bagian organ dalam.

Persentase berat karkas merupakan

perbandingan berat karkas dengan berat

hidup dikali seratus persen.

2. Persentase Lemak Abdominal.

Pengukuran lemak abdomen diperoleh

dengan menimbang lemak di rongga

perut dari dasar kloaka hingga bagian

yang melekat pada gizzard, kemudian

lemak ditimbang dan dipersentase

dengan berat hidup.

3. Susut Masak (CookingLoss). Cooking

loss diperoleh dari daging bagian dada

yang dipanaskan selama 20 menit pada

suhu 800C, kemudian dihitung dengan

mengurangkan berat sebelum dikukus

dengan berat setelah dikukus dibagi

berat sebelum dikukus dikalikan seratus

persen.

4 Kadar Air Daging. Kadar air diperoleh

dari sampel dengan cara menimbang

sampel lalu dipanaskan dalam oven pada

temperatur 105°C. Pemanasan berjalan

hingga sampel tidak lagi turun beratnya.

Setelah pemanasan sampel daging

disebut sampel bahan kering dan

pengurangannya dengan sampel daging

disebut persen air atau kadar airnya.

5. Kadar Lemak Daging. Kadar lemak

daging diperoleh dari analisis

Proksimat di laboratorium dengan

mengambil bagian dada sebagai sampel

untuk memperoleh kadar lemak daging

dari karkas ayam broiler hasil penelitian.

Kadar lemak daging diperoleh dari

sampel daging bebas air diekstrasi

dengan dietil eter selama beberapa jam,

maka bahan yang didapat adalah lemak,

dan eter akan menguap.

6. Kadar Protein Daging. Analisis

proksimat untuk memperoleh kadar

protein dengan cara menganalisis

sampel bebas lemak dengan alat Kjeldahl.

Analisis ini menggunakan asam sulfat

dengan suatu katalisator dan

pemanasan. Zat organik dari sampel

lalu dioksidasi oleh asam sulfat tadi dan

nitrogen dirubah ke dalam amonium

sulfat. Sedangkan kelebihan asam sulfat

akan dinetralisir oleh NaOH dan

sampai larutan menjadi basa. Dari

amonium sulfat tadi lalu didestilasi

dalam medium asam untuk mendapatkan

nitrogen secara kuantitatip. Karena

protein rata-rata mengandung 16%

Nitrogen, maka faktor 100%/16% = 6,25

harus dipakai untuk mendapatkan nilai

protein kasar (protein kasar = N% x 6,25).

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Persentase Berat karkas dan Bagian

Karkas

Pengaruh pemberian air buah

mengkudu terhadap persentase berat

karkas dan bagian karkas dapat dilihat

pada Tabel 4.

Hasil sidik ragam menunjukkan

bahwa pemberian air buah mengkudu

berpengaruh tidak nyata terhadap

persentase berat karkas (P>0,05). Hal ini

menunjukkan pemberian air buah

mengkudu sampai taraf 75 ml di dalam 1

liter air minum belum memperbaiki

persentase berat karkas ayam broiler.

Persentase karkas pada penilitian ini

berkisar 58,04%– 60,08%, kisaran ini jauh

dari pendapat yang dikemukakan oleh

Winarno (1993), bahwa persentase berat

karkas berkisar antara 65% - 75% dari

berat hidup. Hal ini diduga karena

pengaruh pakan yang belum dapat

memenuhi kebutuhan nutrisi ayam

broiler secara lengkap, dugaan ini

dikarena penggunaan tepung ikan yang

Page 77: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 147

terlalu rendah yaitu tidak mencapai

tingkat 10% bahan pakan, yang

dibandingkan dengan penggunaan pada

penelitian sebelumnya Fenita et al (2008)

mencapai tingkat 13% dari campuran

bahan pakan. Tepung ikan merupakan

sumber asam amino esensial bagi ayam

broiler. Hasil penelitian ini juga rendah

jika dibandingkan dengan penelitian

penggunaan tepung buah mengkudu di

dalam ransum ayam broiler. Namun

demikian rendahnya persentase berat

karkas hasil penilitian ini tidak

menunjukkan perbedaan antara

perlakuan pemberian air buah mengkudu

dengan kontrol perlakuan yaitu tanpa

pemberian air buah mengkudu. Jika

dibandingkan penggunaan tepung buah

mengkudu di dalam pakan juga belum

memberikan pengaruh yang nyata

terhadap persentase berat karkas (Fenita,

2010). Air buah mengkudu mengandung

zat-zat aktif yang bermanfaat bagi tubuh

dan bekerja seperti halnya suplemen bagi

ternak. Air buah mengkudu mengadung

proxeronine proxexoniase yang bekerja

menyediakan xeronine (Sjahbana dan

Bahalwan, 2002). Xeronine berfungsi

memperbaiki sel yang rusak dan bekerja

pada tingkat molekuler yang diharapkan

dapat memperbaiki persentase berat

karkas. Namun dari percobaan yang

dilakukan pemberian air buah mengkudu

sampai taraf 75 ml liter air buah

mengkudu di dalam 1 liter air minum

belum memberikan pengaruh yang

positif terhadap persentase berat karkas.

Hal ini menunjukkan dosis yang

diberikan belum dapat memperbaiki

persentase berat karkas ayam broiler.

Persentase berat dada, paha, dan

sayap antar perlakuan dan kontrol

menunjukkan perbedaan yang tidak

nyata (P>0,05). Menurut Soeparno (1998)

genetic dan lingkungan mempengaruhi

kecepatan pertumbuhan komponen-

komponen karkas tubuh.

2. Persentase Lemak Abdomen,

Persentase Susut Masak (Cooking Loss),

Kadar Air Daging, Kadar Lemak Daging

dan Kadar Protein Daging

Perhitungkan sidik ragam

memperlihatkan perbedaan yang tidak

nyata antar perlakuan terhadap

persentase lemak abdomen (P>0,05),

namun demikian pada perlakuan P3

menunjukkan penurunan lemak

abdomen dibandingkan dengan

perlakukan P0, P1, dan P2. kenyataan ini

menunjukkan perlakuan pemberian air

buah mengkudu menunjukkan mulai

terlihat berpengaruh terhadap pesentase

lemak abdomen ayam broiler pada

perlakuan P3 ( 75% ml air buah

mengkudu dalam 1 liter air minum).

Tabel 4. Rataan persentase berat karkas dan bagian karkas

Perlakuan Persentase Karkas (%) Persentase Bagian Karkas (%)

Dada Paha Sayap Punggung

P0 60,08 29,65 31,31 13,87 25,33

P1 58,32 27,10 32,80 13,06 25,94

P2 58,04 28,24 33,84 13,48 24,42

P3 60,36 28,42 31,58 13,39 26,29

SD 1,99 2,06 2,46 0,71 3,54

P 0,28ns 0,41ns 0,47ns 0,50ns 0,90ns

Keterangan ns : tidak berbeda nyata (P>0,05); SD = Sandar Dviasi ; P = Probabilitas

P0 : Kontrol perlakuan

P1 : 25 ml air buah mengkudu di dalam 1 liter air minum

P2 : 50 ml air buah mengkudu di dalam 1 liter air minum

P3 : 75 ml air buah mengkudu di dalam 1 liter air minum

Page 78: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu 148

Penelitian sebelumnya yang

menggunakan tepung buah mengkudu

menunjukkan hasil yang berbeda sangat

nyata dari kontrol dengan perlakuan

terhadap penurunan lemak abdomen

ayam broiler (Fenita, 2010). Penurunan

persentase lemak abdomen tersebut

sesuai dengan pendapat Solomon (2004)

bahwa jus mengkudu sangat efektif

untuk menyembuhkan kegemukan

(obesitas). Di dalam air buah mengkudu

mengandung zat aktif yang berperan

menurunkan kadar lemak, yang bekerja

memblok penyerapan kolesterol sehingga

dapat menurunkan kadar kolesterol

dalam darah. Zat tersebut adalah

senyawa steroid yang di sebut â

sitosterol. Steroid ini dalam kerjanya akan

menurunkan kadar lemak abdomen.

Penurunan kadar lemak abdomen ayam

broiler pada peniltian ini juga

dipengaruhi oleh alkaloidtriterpenoid

yang terkandung di dalam air buah

mengkudu. Wijayakusuma et al. (1996)

menyatakan bahwa buah mengkudu

mengandung alkaloidtriterpenoid yang

berperan mengatasai kegemukan

(obesitas). Dalam hal ini kegemukan

dapat diartikan juga salah satu bentuk

penumpukan lemak pada ayam broiler.

Pengaruh pemberian air buah

mengkudu terhadap rataan persentase

susut masak terlihat pada Tabel 5.

Hasil sidik ragam menunjukkan

perbedaan yang tidak nyata antara

perlakuan terhadap susut masak (P>0,05),

hail ini terlihat dari selisih yang sangat

kecil dari setiap perlakuan mulai dari P0,

P1, P2, dan P3. Secara umum pemberian

air buah mengkudu belum

memperlihatkan pengaruh yang baik

terhadap persentase susut masak, hal ini

dapat dilihat dari persentase susut masak

yang belum menunjukkan penurunan

dari perlakuan terhadap kontrol, namun

masih dalam kisaran normal. Hasil

penelitian ini masih relevan dengan

pendapat Soeparno (1998) persentase

susut masak bervariasi antara 1,5%

sampai dengan 54% dengan kisaran 15% -

40 %. Hal ini menujukkan kehilangan zat

nutrisi akibat pemasakan relatif kecil.

Hasil sidik ragam menunjukkan

perlakuan pemberian air buah mengkudu

pada ayam broiler tidak berpengaruh

nyata (P>0,005) terhadap kadar air

daging. Namun demikian hasil penilitian

menunjukkan penurunan dari P0

dibandingkan perlakuan P1, P2, dan P3

masing-masing 2,5%, 2,7%, dan 4%.

Semakin rendahnya kadar air daging

semakin rendah pula kehilangan berat

daging akibat penguapan. Penurunan

kadar air daging berkorelasi positif

dengan penurunan kadar lemak daging,

dimana lemak tidak dapat mengikat air,

maka semakin tinggi kadar lemak maka

kadar air semakin rendah. Demikian juga

terhadap kadar protein berkorelasi positif

dengan kadar air, karena kemapuan

protein mengikat air, tetapi kenyataan

pada penelitian ini peningkatan kadar

protein tidak diikuti dengan peningkaan

kadar air, hal ini diduga yang terdapat di

dalam daging adalah air bebas yang tidak

terikat oleh protein.

Hasil sidik ragam menunjukkan

perlakuan pemberian air buah mengkudu

berpengaruh nyata terhadap kadar lemak

daging ( P<0,01). Perbedaan ini jelas

sekali ditunjukkan pada setiap perlakuan,

dimana dari setiap perlakuan mengalami

kadar lemak daging dimulai dari P0

dengan P1 mengalami penurunan kadar

lemak sebesar 32,64%, P0 dengan P2

sebesar 64,04%, dn P0 dengan P3 sebesar

66,52%. Hasil ini membuktikan

pemberian air buah mengkudu mulai dari

P1 sampai P3 efektif menurunkan kadar

lemak daging ayam broiler. Kenyataan ini

sesuai dengan pendapat Wijayakusuma et

al. (1996) bahwa air buah mengkudu

mengandung alkaloidtriterpenoid yang

berfungsi mengatasi darah tinggi dan

Page 79: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 | 149

kegemukan. Hal ini juga telah diteliti oleh

Solomon (2004), dari peniltian yang

dilakukan air buah mengkudu mampu

mengobati kegemukan pada manusia

dengan tingkat keberhasilan 71%. Dalam

hal ini zat aktif yang berperan dalam

menurunkan kadar lemak daging adalah

senyawa steroid yang disebut â sitosterol.

Senyawa ini bekerja memblok

penyerapan kolesterol sehingga dapat

menurunkan kadar kolesterol dalam

darah dan akhirnya menurunkan kadar

lemak dalam daging.

Hasil sidik ragam menunjukkan

perlakuan pemberian air buah mengkudu

pada ayam broiler berpengaruh sangat

nyata terhadap kadar protein daging

(P<0,01). Hal ini terlihat dari peningkatan

kadar protein dan asam amino yang

terkandung di dalam air buah mengkudu.

Buah mengkudu mengandung asam

amino seperti L-arginine, alanine, dan

mengandung 19,24% protein (Sjabana dan

Bahalwan, 2002).

Ayam broiler membutuhkan

protein untuk hidup pokok,

pertumbuhan jaringan, dan pertumbuhan

bulu (Wahyu, 1992). Protein diperoleh

dari pakan yang dikonsumsi oleh ternak

dan kelebihan protein akan disimpan di

dalam otot sebagai cadangan energi

(Wahyu, 1992).

SIMPULAN

Pemberian air buah mengkudu

terhadap kualitas karkas ayam broiler

sampai taraf pemberian 75 ml dalam

satu liter air minum belum memperbaiki

persentase berat karkas, dan susut

masak, namun berpengaruh positif

menurunkan persentase lemak abdomen

maupun kadar lemak daging. Demikian

juga terhadap kadar protein daging

menunjukkan peningkatan yang

signifikan.

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi. 1985. Kemajuan Mutakhir

dalam Ilmu Makanan Ternak

Unggas. Universitas Indonesia,

Jakarta.

Fenita, Y., Hidayat dan M. Sukma. 2008.

Pengaruh pemberian air buah

mengkudu (Morinda citrifilia)

terhadap performans dan berat

organ dalam ayam broiler. Jurnal

Sain Peternakan Indonesia. Vol 3

no 2 Juli-Desember 2008. Jurusan

Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Bengkulu.

Fenita Y. 2010. Pengaruh pemberian

tepung buah mengkudu (Morinda

citrifolia) dalam ransum terhadap

bobot karkas, bobot organ dalam,

dan kadar kolesterol dalam darah

Tabel 5. Rataan persentase susut masak

Perlakuan Persentase

Susut Masak

(%)

Persentase Lemak

Adbomen (%)

Kadar Air (%) Kadar Lemak

Daging (%)

Kadar Protein

P0 15,45 1,26 72,39 2,42a 20,27a

P1 17,09 1,51 70,52 1,63b 23,49b

P2 15,78 1,26 70,41 0,87c 23,16b

P3 15,78 1,03 69,44 0,81c 23,81b

SD 1,61 0,16 1,93 0,74 1,49

P 0,52ns 0,23ns 0,17ns 0,0001** 0,01*

Keterangan ns = tidek berbeda nyata (P>0,05); SD = Standar Deviasi; P = Probabilitas

Page 80: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

ISSN 1978 - 3000

| Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu 150

ayam broiler. Seminar Nasional

Rapat Dekan BKS Barat. Fakultas

pertanian Universitas Bengkulu,

Bengkulu

NRC. 1994. Nutrient Requirements of

Poultry. National Academy of

Sciences. Washington, D. C.

Posman, S. 2000 Sari buah mengkudu

mampu redam berbagai penyakit.

Majalah Nova. No 705/XIV: 28-29.

Santoso, U. 1998. Pengaruh pemberian

ekstrak daun keji beling

(Strohilanthes crispus BL) terhadap

performans dan akumulasi lemak

pada broiler. Jurnal Peternakan dan

Lingkungan. V (6): 10-14.

Soeparno, 1998. Ilmu dan Teknologi

Daging. Gadjah Mada University

Press,. Yogyakarta.

Sjabana,D, dan Bahalwan, R.R. 2002.

Pesona Tradisional dan Ilmiah

Mengkudu. Seri Referensi Herbal.

Salemba Medika. Edisi I, Jakarta.

Wahyu, J. 1992. Ilmu Nutrisi Ternak

Unggas. Gajah Mada University

Press, Yokyakarta.

Wijayakusuma, H.S. Darlimata dan A.S

Wirian, 1996. Tanaman Berkhasiat

di Indonesia. Pustaka Kartini,

Jakarta.

Winarno, F. G., 1993. Kimia Pangan dan

Gizi. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta.

Yitnosumarto, S., 1991. Percobaan,

Analisis dan Interprestasinya.

Penerbit PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta

.

Page 81: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

INDEKS PENULIS

VOLUME 6 NO 2, JULI – DESEMBER 2011

Asnath M. Fuah, 115

A. Nopis, 143

Andi Mushawwir, 77

Basyaruddin Zain, 89

Chairun Nisa, 97

Diding Latipudin, 77

Eli Sahara, 137

Heri D. Putranto, 103

Kamsiah, 125

Kususiyah, 83

Luki Abdullah, 115

Meisji L. Sari, 97

Muhakka, 137

Peni S. Hardjosworo, 97

Rustama Saepudin, 115

Ronny R. Noor, 97

Sofia Sandi, 137

Warnoto, 143

Yenni Okfrianti, 125

Yessy Fitryani, 125

Yosi Fenita, 143

Page 82: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over
Page 83: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

INDEKS SUBJEK

VOLUME 6 NO 2, JULI – DESEMBER 2011

Apis cerana, 115

Ayam Burgo betina, 103

ayam petelur, 77

broiler, 143

bungkil biji kapas, 137

bungkil kedelai, 137

daging, 125

Daging, 89

ekstrak, 89

fertilitas, 97

Income Over Feed and Chick Cost, 83

integrasi, 115

Itik Pegagan, 97

Katuk, 89

kopi, 115

kualitas karkas, 143

Lemuru, 89

morinda citrifolia, 143

organoleptik, 125

ovarium, 103

oviduk, 103

panas, 77

penetasan, 97

performans, 89

Performans Peraskok, 83

produksi, 115

produksi telur, 103

Protease, fisik, 125

ransum, ayam broiler, 137

regulasi, 77

telur tetas, 97

vitamin E, 89

Page 84: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over
Page 85: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA

(Indonesia Animal Science Journal) ISSN 1978 – 3000

Yang Bertanda Tangan dibawah ini:

Nama : …………………………………………………….....

Lembaga/Perguruan Tinggi : …………………………………………………….....

Alamat :……………………………………………………......

: …………………………………………………….....

Kabupaten/Kodia : …………………………………………………….....

Propinsi : …………………………………………………….....

Kode Pos : …………………………………………………….....

e- mail : …………………………………………………….....

Telepon/HP : ……………………………………………………….

Fax : ……………………………………………………….

Menyatakan untuk membeli/memesan/ berlangganan Jurnal Sain Peternakan Indonesia:

Volume : ………………………………………………………

Nomor : ………………………………………………………

Sebanyak : ………………………………………………………

Biaya Pembelian/pemesanan (ditambah ongkos kirim) sebesar ……………………………

Dibayar secara

(a) Langsung

(b) Transfer ke BNI 46 Cabang Bengkulu No Rek. 0121959902 a.n. Gema Pertiwi, S.E.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kirimkan formulir ini ke Redaksi Jurnal Sain Peternakan Indonesia, Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Jl. Raya Kandang Limun Bengkulu 38371 A

Telp. (0736) 21170 psw. 219.

Atau melalui Email: [email protected] atau [email protected].

Page 86: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over
Page 87: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over

PETUNJUK PENULISAN NASKAH/ARTIKEL

JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA (Indonesia Animal Science Journal)

1. Jurnal Sain Peternakan Indonesia, memuat tulisan/karya ilmiah dalam bidang Ilmu Peternakan.

Manuskrip dapat berupa hasil penelitian, telaah/tinjauan pustaka, kasus lapang dan gagasan. Naskah

harus asli (belum pernah diterbitkan) menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jurnal ini

terbit 2 kali dalam setahun yaitu Januari – Juni dan Juli – Desember.

2. Naskah atau artikel dikirim bersama soft copy dan cetakan lengkap sebanyak 3 (tiga) eksemplar atau

melalui E-mail dengan menggunakan pengolah kata Microsoft Word, ataupun Open Office diketik

menggunakan kertas A4, fonta Times New Roman berukuran 11 kecuali abstrak dan tabel dengan

ukuran fonta 9, margin kiri dan kanan 2,5 cm, margin atas dan bawah 2,5 cm. Ditulis dalam spasi 2

dan jumlah halaman seluruhnya tidak lebih dari 15 halaman.

3. Naskah Asli/Artikel asli harus diselaraskan dalam judul (dalam bahasa Indonesia dan Inggris,

pendahuluan, materi dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih dan daftar

pustaka)

4. JUDUL ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (jika artikel berbahasa Indonesia, jika

naskah dalam bahasa Inggris maka tidak perlu judul bahasa Indonesia), jumlah kata tidak melebihi

dari 15 (lima belas) kata. Nama penulis dan alamat, termasuk email penulis ditulis dibawah judul.

5. ABSTRACT, ditulis dalam bahasa Inggris, singkat dan padat serta dibawahnya dituliskan Key words

atau Kata kunci tidak lebih dari 5 9lima0 kata. Jumlah kata dalam Abstract tidak lebih dari 200 kata.

6. ABSTRAK, ditulis dalam bahasa Indonesia, singkat dan padat serta di bawahnya ditulis kata kunci.

Jumlah kata dalam Abstract tidak lebih dari 200 kata.

7. PENDAHULUAN, memuat latar belakang penelitian berdasarkan bahan pustaka yang relevan, tujuan

dan hipotesis penelitian (hipotesis tidak diperlukan dalam telaah/ tinjauan pustaka).

8. MATERI DAN METODE, memuat materi dan metode yang digunakan dalam kajian secara rinci dan

singkat serta analisis statistik yang digunakan.

9. HASIL DAN PEMBAHASAN, memuat hasil penelitian yang berupa ulasan, tabel atau grafik.

Pembahasan memuat diskusi hasil penelitian yang dirujuk dengan bahan pustaka yang relevan dan

telah termuat dalam pendahuluan.

10. SIMPULAN, memuat kesimpulan atas hasil dan pembahasan secara singkat dan padat dan tidak

boleh lebih dari satu alenia.

11. SARAN, memuat saran - saran atau masukan yang perlu disampaikan berdasarkan penelitian yang

telah dilakukan.

12. DAFTAR PUSTAKA, disusun dengan memuat nama berdasarkan abjad, tahun, judul, Penerbit, Kota,

halaman tanpa nomor urut. Memuat minimal 7 (tujuh) buah jurnal ilmiah.

Contoh penulisaan daftar pustaka:

Antalikova, J., M. Baranovska, I. Mravcova, V. Sabo dan P. Skrobanek. 2001. Different Influence of

Hypodynamy on Calcium and Phosphorus Levels in Bones of Male and Female Japanese Quails.

http://www.biomed.cas.cz/physiolres. 20 April 2001.

Fenita, Y., I. Badarina, dan E. Tamsar. 2005. Uji kerusakan lemak ransum ayam petelur yang

menggunakan minyak ikan lemuru (Sardinella longiceps) dengan penambahan bawang putih

sebagai antioksidan alami selama penyimpanan. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan, 8 (4) :45-48.

CATATAN: Tabel, Gambar, Grafik dan sejenisnya diletakkan di lembar terpisah (tidak masuk di

dalam teks), yaitu setelah Daftar Pustaka.

INFORMASI TAMBAHAN: Jurnal ini terbit dua kali dalam setahun (periode januari-Juni dan Juli – Desember). Naskah dapat dikirim

melalui email: [email protected] dan [email protected].

Page 88: Universitas Bengkulupoltekkes-kemenkes-bengkulu.ac.id/files/jspi-ed-12-vol-6-no-2enzim...Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over