uji measurement invariance pada culture fair...

178
UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE TEST MENGGUNAKAN PENDEKATAN MULTIPLE-GROUP CONFIRMATORY FACTOR ANALYSIS Skripsi Diajukan untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi) Disusun oleh Bobby Suwandi NIM : 1110070000077 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436/2015

Upload: others

Post on 01-Jan-2020

26 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR

INTELLIGENCE TEST MENGGUNAKAN PENDEKATAN

MULTIPLE-GROUP CONFIRMATORY

FACTOR ANALYSIS

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Disusun oleh

Bobby Suwandi

NIM : 1110070000077

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436/2015

Page 2: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE
Page 3: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE
Page 4: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE
Page 5: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

v

MOTTO

Belajar adalah perjuangan. Perjuangan adalah pengorbanan. Dan

pengorbanan adalah dengan meninggalkan hal-hal yang

menyenangkan.

–Jahja Umar, Ph.D

It would be very healthy if more researchers abandon thinking of

and using terms such as cause and effect.

–Dr. Bengt O. Muthén

When you base your expectations only on what you see, you blind

yourself to the possibilities of a new reality.

-Zaheer

Page 6: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

vi

Abstrak

A) Fakultas Psikologi

B) October 2015

C) Bobby Suwandi

D) Uji measurement invariance pada Culture Fair Intelligence Test (CFIT)

menggunakan pendekatan multiple-group confirmatory factor analysis.

E) xviii + 156 pages

F) Alat tes psikologi sering digunakan dalam berbagai aspek kehidupan

manusia untuk membuat perbandingan, penilaian, dan penelitian tentang

individu. Kemudian, tes psikologi sering juga digunakan untuk

pengambilan keputusan tentang individu yang akan mempengaruhi

kehidupan individu yang menempuhnya. Berdasarkan hal tersebut penting

sekali menguji asumsi apakah sebuah alat ukur psikologi dapat mengukur

dengan adil di seluruh kelompok budaya sehingga hasil pengukuran dapat

bermakna jika ditafsirkan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah alat tes intelijensi

CFIT dapat berlaku adil dan mengukur hal yang sama di kelompok jenis

kelamin. Alat tes yang dapat ditafsirkan secara sama di seluruh kelompok

disebut dengan istilah measurement invariance/measurement equivalence.

Dengan kata lain, menguji measurement invariance pada sebuah alat tes

dapat berfungsi untuk mendeteksi apakah sebuah alat ukur mengandung

bias pengukuran.

Pengujian measurement invariance dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan structural equation modeling atau lebih spesifik disebut

dengan multiple-group confirmatory factor analysis. Data yang digunakan

adalah data hasil tes CFIT sebanyak 873 responden (wanita=501

pria=372). Analisis terbagi menjadi dua tahap, yaitu pada tingkat subtes

dan tingkat tes.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tes CFIT terbukti secara empiris

memenuhi situasi measurement invariance, baik pada tingkat subtes dan

tingkat tes di kelompok jenis kelamin. Dengan catatan, item tes CFIT yang

semula berjumlah 50 item berkurang menjadi hanya 29 item di akhir

analisis. Hal ini dikarenakan ada sebanyak 21 item yang memiliki

koefisien muatan faktor negatif dan tidak signifikan sehingga harus di

drop. Dengan demikian, 29 item yang tersisa pada tes CFIT terbukti secara

empiris mengukur konstruk yang sama di kelompok perempuan dan laki-

laki. Dengan kata lain, tes CFIT tidak mengandung bias pengukuran.

G) Referensi: 29 buku + 32 jurnal + 3 thesis

Page 7: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

vii

Abstract

A) Faculty of Psychology

B) October 2015

C) Bobby Suwandi

D) Testing measurement invariance of Culture Fair Intelligence Test (CFIT)

using multiple-group confirmatory factor analysis framework.

E) xiii + 157 pages + 62 attachment

F) Psychological test often used for comparing, assessing, and investigating

about individual differences. Then, psychological test often used for decision

making about people that would affect people’s life directly. According to that

facts, it’s really critical issue to testing assumption that psychological

instrument measure the same psychological construct in all group, so that the

result of measurement can be meaningfully interpreted.

The aim of this investigation is testing assumption whether the CFIT measure

the same psychological construct in sex group (female vs male). If this

assumption satisfied, the instrument can be called measurement invariance /

measurement equivalence. In other words, testing measurement invariance in

psychological test useful for detecting measurement bias.

In this research, researcher using structural equation modeling framework to

investigating measurement invariance. Specifically, researcher using multiple-

group confirmatory factor analysis framework for data analysis. Sample size

in this investigation is 873 participants (female=501 male=372). The analysis

divided into two phases, the first is in each subtest phase and the second is in

the test phase.

Result indicate that the CFIT proven empirically measurement invariance in

each subtest phase and in the test phase. Noted, the CFIT’s items is 50 item

before analysis and decrease to be 29 item in the final analysis. This happen

because there were 21 item who has negative coefficient factor loading and

must be droped. Therefore, the remain 29 item left in the CFIT proven

empirically measure the same construct in sex group or in other words the

CFIT has no measurement bias.

G) References: 29 book + 32 journal + 3 thesis

Page 8: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat,

hidayah, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR

INTELLIGENCE TEST (CFIT) MENGGUNAKAN PENDEKATAN

MULTIPLE-GROUP CONFIRMATORY FACTOR ANALYSIS”.

Skripsi ini dapat selesai tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, baik

dalam bentuk bantuan pikiran, tenaga, dan waktu. Oleh karenanya dengan segala

kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada nama-nama

berikut ini:

1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Wakil Dekan 1 bidang akademik Dr. Abdurahman

Saleh, M.Si. Wakil Dekan 2 bidang kemahasiswaan Dra. Diana Mutiah, M.Si.

Wakil Dekan 3 bidang keuangan Ikhwan Luthfi, M.Si.

2. Jahja Umar, Ph.D yang sudah menjadi lebih dari sekedar dosen pembimbing

bagi penulis, tetapi juga inspirator, motivator, dan role model. Lima tahun

belajar bersama beliau membuat penulis memiliki minat mempelajari tentang

konsep statistika seperti: Confirmatory Factor Analysis dan Item Response

Theory. Merupakan sebuah keberuntungan yang akan selalu penulis syukuri

pernah dibimbing ahli psikometri dan Structural Equation Modeling di

Indonesia seperti beliau. Hormat saya.

Page 9: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

ix

3. Bahrul Hayat, Ph.D selaku dosen mata kuliah Item Response Theory. Penulis

merasa beruntung sekali karena dapat belajar langsung dari sedikit ahli IRT di

Indonesia seperti beliau. Di tengah kesibukannya sebagai Sekretaris Jenderal

Departemen Agama RI, beliau masih menyempatkan memberikan nasihat,

motivasi, wawasan, saran, kritik dan diskusi yang sangat berarti bagi penulis.

4. Baidhowi, M.Si selaku dosen pembimbing 2 penulis, terima kasih atas

keramahan, diskusi, saran dan masukannya. Dengan sabarnya memberikan

penjelasan pada penulis dalam proses pembuatan skripsi ini, terutama saat

analisis data dan teknis pengolahan data.

5. Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si selaku ketua Pusat Layanan Psikologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kebaikan dan kesediaaannya memberikan

data untuk penulis olah menjadi data skripsi. Dan ibu Neneng Tati Sumiati,

M.Psi selaku kepala bagian riset PLP yang dengan keramahannya menolong

penulis memberikan saran serta kesediaannya memberikan data yang

diperlukan bagi penulis.

6. Ibu Deasy Wati, Bapak Suwandi, nenek penulis Hj. Ati Suryati, kakak

penulis Devi Wati, adik penulis Bella Suwandi. Skripsi ini khusus penulis

persembahkan untuk mereka.

7. Akhmad Baidun, M.Si selaku pembimbing akademik penulis yang selama 5

tahun telah memberikan saran yang sangat bermanfaat bagi perkuliahan

penulis.

8. Ibu Nia Tresniasari, M.Si dosen statistika pertama yang mengajarkan arti

bekerja keras pada penulis. Serta Puti Febrayosi, M.Si dan Adiyo R., M.Si

Page 10: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

x

yang sudah merupakan seperti mentor bagi penulis. Terima kasih atas diskusi,

saran dan ilmu yang dibagikan selama ini..

9. Sahabat-sahabat penulis: Adila Purwani (editor penulis, terima kasih

persaudaraannya selama 5 tahun ini!), Muhammad Dwirifqi Kharisma Putra,

Nashwa Oelfy, Muhammad Hilmi Oksadela, Amirra Nur’Indah Triwardhani,

Muhammad Haris Abidin, Didik Eko Wahyudi, Danar Dwidya, Estu Putri,

Katty Maulida, Retno Handayani, Gian Sugianto, Lailatul Ikromah, Ajeng

Fitri Adani, Anita Yuniarti, Azkya Milfa Laensadi, Aditya Pratama, Rian

Badai Lasvalmas, Meidya Farahdiba, dan Mayang Sariningbumi. Terima

kasih untuk kegilaan dan kebahagiaannya.

10. Majelis Sabuk Hitam Nekapora. Persembahan untuk pelatih, guru sekaligus

orangtua penulis Ir. Dedi Suharto. Saudara-saudara NKP. Muhammad

Qoribudin, Rima Rahayu, Bingar Annisya, Jaya Dixon Saragi, Rizki

Rukyanti, Ari Septianingsih, Andi Mulya, Sani Nuraida, Neni Apriliani, Ajri

Fathurahman, Runie Besty Teta Putri, Abdurrahim Hidayat, Renda

Bhimantara, Yuniar Ananda Ningrum, Evan Permana, Bulan Suci, Rhaudya

Maurizka, Selviani, Anggi Suji, Fauzan Alwan, Agung Prabowo, Salma

Pathul.

11. Kelas Psikologi B 2010: Sundus, Aini, Ainun, Putri, Sabrina, Herwinda, Vini,

Kurrota, Annisya Ayub, Isnia, Tyyas, Fadhila, Syifa, Niken, Shintia,

Istiqomah, Nisaul, Gina, Khoirunnisa, Deri, dan Yulian. Terima kasih atas

persaudaraan dan kebahagiaan selama 5 tahun ini.

Page 11: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

xi

12. Psychometrics Corner 2010: Fadhila Rachmah Gustina, Muhammad Haris

Abidin, Salman Farisy, Ferdiansah Daulay, Ani Muflihah, Kurrota A’Yuni,

Deri Satria, dan Shovia Lintina. Sebagai “anak bungsu” yang terakhir lulus,

penulis ingin mengatakan suatu kehormatan bisa masuk sepeminatan diantara

orang-orang hebat seperti kalian!

13. Psikologi 2010: Amelia Paramitha, Intan, Azka, Dick Hurry, Denny, Nurani,

Soleh, Mae, Lily, Palupi, Izhar, Jamal, Ey, Leo, Udin, Azhari, Echa, Turfa,

Alfi, Dwi, Reza, Nadia, Ais, Fidia, Afif, Fadli, Muja, Ridho, Copi, Dian,

Laras, Irvan, Faiz. Kakak dan adik-adik kelas selama di UIN, Restu

Nurfadhilah, Fathannisa Isnani, Ichsan, Jasran, Intan Prawesti, Fitria, Siescha,

Jojo, Mega, Rahmi Kamilah, Faisal, Imeh, Aqil, Ulfa Hanani, Firas, Nina,

Hendra, Damas, Ulfa.

14. Poetri Primagita, terima kasih atas semua dukungan dan motivasinya. Skripsi

ini tidak akan selesai tanpa bantuannya.

Semoga segala kebaikan pihak-pihak diatas dibalas dengan kebaikan yang

berlipat ganda oleh Allah SWT.

Page 12: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................................... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................................ v

ABSTRAK ................................................................................................................ vi

KATA PENGANTAR ............................................................................................ viii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ xii

DAFTAR TABEL .................................................................................................. xiv

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xvii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1-12

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................. 10

1.2.1 Pembatasan masalah ................................................................ 10

1.2.2 Perumusan masalah .................................................................. 10

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 11

1.3.1 Tujuan penelitian ...................................................................... 11

1.3.2 Manfaat penelitian .................................................................... 12

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 13-52

2.1 Inteligensi ............................................................................................. 13

2.1.1 Pengertian inteligensi ............................................................... 13

2.1.2 Teori – teori inteligensi ............................................................ 16

2.2 Konstruksi Tes ..................................................................................... 26

2.2.1 Validitas ................................................................................... 26

2.2.2 Reliabilitas ............................................................................... 27

2.3 Teori – Teori Pengukuran .................................................................... 30

2.3.1 Classical test theory (Teori tes klasik) ..................................... 30

2.3.2 Item response theory (Rasch model) ........................................ 34

2.3.3 Structural equation modeling (confirmatory factor analysis) . 41

2.4 Konsep Measurement Invariance ........................................................ 46

2.5 Gambaran Culture Fair Intelligence Test (CFIT) ................................ 49

2.6 Kerangka Berpikir ................................................................................ 50

2.7 Hipotesis Penelitian ............................................................................. 51

Page 13: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

xiii

BAB 3 METODE PENELITIAN ...................................................................... 53-68

3.1 Data Penelitian ..................................................................................... 53

3.2 Instrumen Penelitian ............................................................................ 54

3.3 Metode Analisis Data ........................................................................... 55

3.4 Prosedur Penelitian .............................................................................. 65

BAB 4 HASIL PENELITIAN ......................................................................... 69-143

4.1 Multiple-group Confirmatory Factor Analysis Tingkat Subtes ........... 69

4.1.1 MGCFA subtes series pada kelompok gender ......................... 69

4.1.2 MGCFA subtes classification pada kelompok gender ............. 88

4.1.3 MGCFA Subtes Matrice pada kelompok gender ................... 104

4.1.4 MGCFA subtes topology pada kelompok gender .................. 118

4.2 Multi-group Confirmatory Factor Analysis Tingkat Second Order .. 130

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ....................................... 144-155

5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 144

5.2 Diskusi ............................................................................................... 148

5.3 Saran Penelitian ................................................................................. 153

5.3.1 Saran praktis ........................................................................... 153

5.3.2 Saran teoritis .......................................................................... 155

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 157

LAMPIRAN

Page 14: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kategorisasi indeks item difficulty .................................................. 31

Tabel 2.2 Kategorisasi indeks item discrimination ......................................... 33

Tabel 3.1 Tabel analisis MGCFA 1st order dan 2nd model order kelompok

gender ............................................................................................. 67

Tabel 4.1 Tabel koefisien muatan faktor subtes series .................................. 72

Tabel 4.2 Tabel koefisien muatan faktor subtes series di kelompok perempuan

equal lambda .................................................................................. 75

Tabel 4.3 Tabel koefisien muatan faktor subtes series di kelompok laki-laki

equal lambda .................................................................................. 77

Tabel 4.4 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes series scalar

invariance (unstandardized) .......................................................... 79

Tabel 4.5 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes series scalar

invariance (standardized) .............................................................. 80

Tabel 4.6 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes series scalar

invariance equal lambda (unstandardized) ................................... 83

Tabel 4.7 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes series scalar

invariance equal lambda (Standardized) ....................................... 84

Tabel 4.8 Coefficient, threshold dan error subtes series error variance

invariance ....................................................................................... 87

Tabel 4.9 Koefisien muatan faktor, threshold dan residual variance subtes

series error variance invariance (standardized) ........................... 87

Tabel 4.10 Koefisien muatan faktor subtes classification ................................. 91

Tabel 4.11 Tabel koefisien muatan faktor subtes classification di kelompok

perempuan equal lambda ............................................................... 93

Tabel 4.12 Tabel koefisien muatan faktor subtes classification di kelompok laki-

laki equal lambda ........................................................................... 95

Tabel 4.13 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes classification scalar

invariance (unstandardized) .......................................................... 97

Tabel 4.14 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes classification scalar

invariance (Standardized) .............................................................. 98

Tabel 4.15 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes classification scalar

invariance equal lambda (Unstandardized) .................................. 100

Tabel 4.16 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes classification scalar

invariance equal lambda (standardized) ....................................... 101

Tabel 4.17 Koefisien muatan faktor, threshold, error variance subtes

classification error variance invariance (Unstandardized) .......... 102

Page 15: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

xv

Tabel 4.18 Koefisien muatan faktor, threshold, error variance subtes

classification error variance invariance (Standardized) .............. 103

Tabel 4.19 Koefisien muatan faktor subtes matrice ........................................ 107

Tabel 4.20 Tabel koefisien muatan faktor subtes matrice di kelompok

perempuan equal lambda .............................................................. 109

Tabel 4.21 Tabel koefisien muatan faktor subtes matrice di kelompok

perempuan equal lambda .............................................................. 110

Tabel 4.22 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes matrice scalar

invariance (unstandardized) ......................................................... 112

Tabel 4.23 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes matrice scalar

invariance (standardized) ............................................................. 113

Tabel 4.24 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes matrice scalar

invariance dan equal lambda (unstandardized) ............................ 114

Tabel 4.25 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes matrice scalar

invariance dan equal lambda (standardized) ................................ 115

Tabel 4.26 Koefisien muatan faktor, threshold, residual variance subtes matrice

error variance invariance (unstandardized) ................................. 116

Tabel 4.27 Koefisien muatan faktor, threshold, residual variance subtes matrice

error variance invariance (standardized) ..................................... 117

Tabel 4.28 Tabel muatan faktor subtes topology ............................................ 120

Tabel 4.29 Tabel muatan faktor subtes topology perempuan ......................... 121

Tabel 4.30 Tabel muatan faktor subtes topology di kelompok laki-laki ......... 123

Tabel 4.31 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes topology scalar

invariance (unstandardized) ......................................................... 124

Tabel 4.32 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes topology scalar

invariance (standardized) ............................................................. 125

Tabel 4.33 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes topology scalar

invariance equal lambda (unstandardized) .................................. 126

Tabel 4.34 Koefisien muatan faktor dan threshold subtes topology scalar

invariance (standardized) ............................................................. 127

Tabel 4.35 Koefisien muatan faktor, threshold, residual variance subtes

topology error variance invariance (unstandardized) .................. 128

Tabel 4.36 Koefisien muatan faktor, threshold, residual variance subtes

topology error variance invariance (standardized) ...................... 129

Tabel 4.37 Tabel koefisien muatan faktor tes fluid intelligence equal lambda 132

Tabel 4.38 Tabel koefisien muatan faktor tes fluid intelligence female equal

lambda ........................................................................................... 134

Tabel 4.39 Tabel koefisien muatan faktor tes fluid intelligence male equal

lambda ........................................................................................... 136

Tabel 4.40 Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence scalar

invariance (unstandardized) ......................................................... 138

Tabel 4.41 Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence scalar

invariance (standardized) ............................................................. 139

Page 16: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

xvi

Tabel 4.42 Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence scalar

invariance (unstandardized) ......................................................... 140

Tabel 4.43 Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence scalar

invariance (standardized) ............................................................. 141

Tabel 4.44 Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence error

variance invariance (unstandardized) .......................................... 142

Tabel 4.45 Koefisien muatan faktor dan threshold tes fluid intelligence error

variance invariance (standardized) .............................................. 143

Tabel 5.1 Tabel model fit subtes ................................................................... 145

Tabel 5.2 Tabel model fit Second order model ............................................. 146

Page 17: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Persamaan ICC pada rasch model ................................................. 37

Gambar 2.2 Ilustrasi item characteristic curve ................................................... 38

Gambar 2.3 Item characteristic curve pada item yang baik (using M-Plus) ...... 39

Gambar 2.4 Item characteristic curve pada item kurang baik ............................ 40

Gambar 2.5 Item characteristic curve pada item negatif (using M-Plus) ........... 40

Gambar 2.6 Model teori 1 faktor dengan 5 item ................................................. 43

Gambar 2.7 Persamaan dasar confirmatory factor analysis ............................... 44

Gambar 2.8 Kerangka berpikir ............................................................................ 51

Gambar 3.1 Jumlah subtes dan item tes CFIT .................................................... 55

Gambar 4.1 Path diagram subtes series (RMSEA=0.055, 90 % C.I=

0.047 -0.062) ................................................................................... 72

Gambar 4.2 Path diagram subtes series di kelompok perempuan equal lambda

(RMSEA = 0.042 dan 90% C.I = 0.029 – 0.059) ............................ 74

Gambar 4.3 Path diagram subtes series di kelompok laki-laki equal lambda

(RMSEA = 0.054 dan 90% C.I = 0.040 – 0.068) ............................ 77

Gambar 4.4 Path diagram subtes series scalar invariance (RMSEA=0.028) ... 79

Gambar 4.5 Path diagram subtes series scalar invariance equal lambda

(RMSEA=0.045) ............................................................................. 82

Gambar 4.6 Path diagram subtes series error variance invariance

(RMSEA = 0.045) .......................................................................... 85

Gambar 4.7 Path diagram subtes classification fit (RMSEA = 0.058 dan 90% C.I

= 0.047 – 0.070) .............................................................................. 90

Gambar 4.8 Path diagram subtes classification kelompok perempuan (RMSEA =

0.053 dan 90% C.I = 0.043 – 0.076) ............................................... 92

Gambar 4.9 Path diagram subtes classification kelompok laki-laki (RMSEA =

0.058 dan 90% C.I = 0.038 – 0.078) ............................................... 94

Gambar 4.10 Path diagram subtes classification scalar invariance (RMSEA =

0.042) ............................................................................................... 96

Gambar 4.11 Path diagram subtes classification scalar invariance equal lambda

(RMSEA = 0.055 dan 90% C.I = 0.042 – 0.068) ............................ 99

Gambar 4.12 Path diagram subtes classification error variance invariance (RMSEA

= 0.058 dan 90% C.I = 0.046 – 0.070) .......................................... 102

Gambar 4.13 Path diagram subtes matrice fit (RMSEA = 0.027) ..................... 106

Gambar 4.14 Path diagram subtes matrice di kelompok perempuan (p-value =

0.0513 dan RMSEA = 0.042) ........................................................ 108

Gambar 4.15 Path diagram subtes matrice di kelompok laki-laki (P-value = 0.0729

dan RMSEA = 0.036) .................................................................... 110

Page 18: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

xviii

Gambar 4.16 Path diagram subtes matrice scalar invariance (p-value = 0.1216 dan

RMSEA = 0.032) .......................................................................... 112

Gambar 4.17 Path diagram subtes matrice scalar invariance dan equal lambda

(RMSEA = 0.045) ......................................................................... 114

Gambar 4.18 Path diagram dari subtes matrice error variance invariance

(RMSEA = 0.045 dan 90% C.I = 0.023 – 0.066) .......................... 116

Gambar 4.19 Path diagram subtes topology fit .................................................. 119

Gambar 4.20 Path diagram subtes topology di kelompok perempuan (RMSEA =

0.042) ............................................................................................ 121

Gambar 4.21 Path diagram dari subtes topology di kelompok laki-laki (P-value =

0.0813) .......................................................................................... 122

Gambar 4.22 Path diagram dari subtes topology scalar invariance (RMSEA =

0.046) ............................................................................................ 124

Gambar 4.23 Path diagram subtes topology scalar invariance equal lambda

(RMSEA = 0.056 dan 90% C.I = 0.038 – 0.073) .......................... 126

Gambar 4.24 Path diagram dari subtes topology error variance invariance

(RMSEA = 0.051 dan 90% C.I = 0.035 – 0.068) .......................... 129

Gambar 4.25 Path diagram fluid intelligence equal lambda (RMSEA = 0.035) 131

Gambar 4.26 4.26 Path diagram tes fluid intelligence female equal lambda

(RMSEA = 0.032) ......................................................................... 133

Gambar 4.27 Path diagram tes fluid intelligence kelompok laki – laki equal

lambda (RMSEA = 0.028) ............................................................ 135

Gambar 4.28 Path diagram fluid intelligence scalar invariance (RMSEA =

0.024) ............................................................................................ 138

Gambar 4.29 Path diagram tes fluid intelligence scalar invariance dan equal

lambda (RMSEA = 0.030) ............................................................ 140

Gambar 4.30 Path diagram fluid intelligence error variance invariance (RMSEA

= 0.030) ......................................................................................... 142

Page 19: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan ilmu psikologi tidak dapat dilepaskan dari berkembangnya ilmu

pengukuran dan alat tes psikologi. Hal ini relevan karena ilmu pengukuran dan

alat tes psikologi yang membedakan psikologi tradisional sebagai cabang ilmu

filsafat dengan psikologi sebagai ilmu pasti tentang perilaku. Tes psikologis

merupakan sebuah alat dalam ilmu psikologi yang hakikatnya bertujuan untuk

membuat ukuran baku tentang sample of behavior (Urbina, 2014). Dalam

perkembangannya, tes psikologis telah menjadi inti dari bidang psikologi terapan

pada saat ini. Meskipun aplikasi dan panduan penggunaan tes terus berubah,

perkembangan tes psikologis relatif tetap stabil (Embretson & Reise, 2000).

Tes psikologis telah banyak digunakan pada berbagai setting kehidupan

manusia, seperti sekolah dan perguruan tinggi, bisnis dan industri, klinik dan

pusat konseling, organisasi pemerintahan dan militer, serta untuk kepentingan

penelitian ilmu psikologi itu sendiri. Secara umum, fungsi dari tes psikologis

adalah untuk mengukur perbedaan antara individu dan mengukur perbedaan reaksi

individu yang sama terhadap situasi yang berbeda. Tujuan utama dari tes

psikologis adalah untuk menilai perilaku, kemampuan mental, dan karakteristik

pribadi lainnya dalam rangka membantu pembuatan penilaian, prediksi, serta

keputusan tentang individu (Anastasi & Urbina, 1997).

Page 20: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

2

Menurut Murphy dan Davidshofer (1994) tes digunakan sebagai landasan

acuan untuk membuat keputusan tentang individu. Sebagai contoh, perguruan

tinggi menggunakan hasil tes untuk memutuskan apakah akan menerima atau

menolak seorang pelamar. Kemudian, psikolog menggunakan berbagai tes untuk

memutuskan tindakan yang tepat untuk masing-masing kliennya. Sedangkan di

dunia militer tes psikologis digunakan sebagai alat bantu dalam menentukan

penempatan anggota militer. Tes psikologis juga digunakan dalam setting industri

dan organisasi seperti dalam pemilihan anggota tim, sertifikasi profesional, dan

lisensi.

Menurut Aiken (1997) tes psikologis dapat digunakan untuk berbagai

keperluan, yaitu sebagai berikut ini:

1. Seleksi calon karyawan dan calon peserta pendidikan.

2. Klasifikasi dan penempatan karyawan maupun untuk pendidikan.

3. Konsultasi dan panduan pendidikan serta penjurusan.

4. Mempertahankan, memberhentikan, promosi dan rotasi karyawan atau peserta

dalam program pendidikan.

5. Diagnosa dan menentukan resep perawatan psikologis maupun fisik di klinik

dan rumah sakit .

6. Evaluasi perubahan kognitif, intrapersonal, dan interpersonal sebagai hasil

pendidikan, psikoterapi, atau program intervensi perilaku lainnya.

7. Meneliti perubahan perilaku dari waktu ke waktu, dan evaluasi efektivitas

program.

Page 21: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

3

Dengan memahami banyaknya manfaat dari alat tes psikologis, maka

dapat dipahami pentingnya melakukan uji validitas pada alat tes tersebut. Uji

validitas dilakukan untuk menguji apakah item pada alat tes tersebut mengukur

konstruk yang hendak diniatkan untuk diukur. Uji validitas harus dilakukan pada

setiap alat ukur karena penting sekali memiliki sebuah alat tes yang memiliki

norma, valid, dan terstandarisasi (Anastasi & Urbina , 1997).

Uji validitas pada alat tes psikologis merupakan sebuah prosedur yang

wajib dilakukan karena penelitian dalam ilmu psikologi seringkali akan

membandingkan karakteristik individu di kelompok yang berbeda. Uji validitas

juga bermanfaat untuk memeriksa apakah sebuah item di kelompok tertentu dapat

diterjemahkan dan diadministrasikan sama pada kelompok yang berbeda. Namun,

hal ini berbanding terbalik dengan fakta yang ada di lapangan. Ketika peneliti

memberikan sebuah tes pada sekelompok individu (misalnya tes inteligensi),

seringkali peneliti hanya berasumsi bahwa item pada alat tes mengukur konstruk

yang sama di semua kelompok. Padahal merupakan hal yang berbahaya jika

asumsi ini diterapkan tanpa diuji secara empiris terlebih dahulu. Konsekuensi

paling buruk yang dapat terjadi adalah hasil penelitian menjadi keliru dan tidak

bermakna. Berdasarkan hal tersebut penting sekali menguji secara empiris asumsi

yang sering diabaikan oleh para peneliti ini (Vandenberg & Lance, 2000;

Borsboom, 2006; Milfont & Fischer, 2010).

Asumsi bahwa item tes mengukur konstruk yang sama di kelompok yang

berbeda harus diuji secara empiris karena data yang dikumpulkan penelitian

psikologi sering menghasilkan data yang tidak reliabel dikarenakan bias dalam

Page 22: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

4

pengukuran (misalnya: self-report, skala likert). Lebih khusus, ketika data yang

dikumpulkan berasal dari dua kelompok yang berbeda, dan data itu digunakan

untuk membandingkan kelompok tersebut (Reise, Widaman & Pugh, 1993; Van

de Vijver & Leung, 2000). Peneliti harus menguji apakah tes yang

dikembangkannya valid dan berfungsi dengan adil lintas gender (laki-laki dan

perempuan), lintas ras (kaukasian dan asia), lintas agama (muslim dan non

muslim), dan lintas budaya (budaya melayu dan budaya eropa). Prosedur menguji

apakah seluruh item pada tes memang mengukur konstruk yang hendak diukur

dan berlaku sama di kelompok berbeda disebut testing measurement invariance

(Bollen, 1989; Millsap, 2011; Kline, 2011).

Seiring berkembangnya ilmu psikologi dalam beberapa tahun terakhir,

menguji measurement invariance dari alat tes telah menjadi masalah penting pada

bidang pengukuran ilmu psikologi (Steenkamp & Baumgartner, 1998; Van de

Vijver & Leung, 2000). Menguji measurement invariance pada sebuah alat tes

sangat bermanfaat karena peneliti dapat menguji apakah individu dari kelompok

yang berbeda, seperti pria dan wanita atau budaya yang berbeda seperti siswa

Brazil dan siswa Jerman, dapat memaknai sama maksud dari item pada alat tes.

Lebih khusus, peneliti dapat mengecek apakah indeks psikometri pada item

memiliki nilai yang sama di kelompok berbeda (Milfont & Fischer, 2010).

Hal ini didukung oleh Nye dan Drasgow (2011) yang menyatakan bahwa

alat tes yang baik harus menghasilkan pengukuran yang ekuivalen di kelompok

dan budaya manapun. Kemudian Kankaras dan Moors (2011) menyatakan item

pada tes harus ditafsirkan dengan makna yang sama oleh individu dari negara

Page 23: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

5

manapun, agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam menempuh tes tersebut.

Meskipun secara bahasa item pada alat tes tersebut telah diterjemahkan dengan

baik dan sempurna, peneliti harus tetap menguji secara statistik apakah setiap item

ditafsirkan dengan makna yang sama oleh masing-masing budaya.

Menurut Van de Vijver (dalam Spielberger, 2002) sebuah tes psikologis

perlu diuji apakah diterjemahkan dengan makna yang sama di budaya yang

berbeda. Karena tidak ada jaminan sebuah tes atau item yang dikembangkan di

budaya tertentu (misalkan budaya eropa) dapat diterjemahkan dan diterapkan di

budaya lain tanpa ada masalah. Contohnya, subtes kosakata pada tes kemampuan

dapat menjadi lebih mudah atau lebih sulit bagi kelompok budaya tertentu.

Penelitian Van de Vijver (1997) di Belanda yang melibatkan anak-anak

imigran asal Turki dan Maroko yang mayoritas beragama Islam dengan anak-anak

penduduk asli Belanda yang mayoritas beragama non-islam. Hasilnya ditemukan

bahwa kata “daging babi” merupakan kata yang sulit bagi anak dari kelompok

imigran. Hal ini terjadi diduga karena memakan dan membicarakan daging babi

merupakan hal tabu dalam agama Islam. Berdasarkan penelitian tersebut dapat

disimpulkan bahwa asumsi item pada alat tes mengukur konstruk yang sama di

kelompok berbeda harus diuji secara empiris dan tidak boleh hanya sekedar

menjadi asumsi (Spielberger, 2002).

Menguji measurement invariance pada alat tes psikologis merupakan hal

yang sangat penting karena setiap hasil pengukuran tes psikologis dihitung

berdasarkan probabilistic inference. Dengan kata lain, dalam pengukuran ilmu

psikologi akan selalu ada peluang untuk mendapatkan hasil yang keliru. Dan hasil

Page 24: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

6

keliru yang didapatkan dari tes psikologis akan selalu berdampak langsung pada

kehidupan seseorang, baik di bidang industri, klinis, sosial dan pendidikan.

Berdasarkan hal tersebut penting sekali mengurangi peluang kesalahan pada alat

tes, sehingga setiap orang yang menjalani tes diperlakukan secara adil. Meskipun

tidak mungkin menghindari error sepenuhnya, tetap sangat penting

mengusahakan dan mengembangkan alat tes yang tidak bias agar tidak merugikan

kelompok tertentu (Boorsbom, Romeijn, & Wicherts, 2008).

Pengujian measurement invariance telah sering dilakukan dan terbukti

bermanfaat untuk menguji equivalensi dari tes yang digunakan lintas budaya

(Wasti et al., 2000; Mungas et al., 2011), lintas ras (Nair, White, & Knight, 2009;

Li et al., 2009; Widaman, Reed, & Farias, 2011), lintas gender (South, Krueger, &

Iacono, 2009; Ogg et al., 2010), lintas bahasa (Newman, Limbers, & Varni, 2010),

dan penelitian longitudinal (Willoughby, Wirth, & Blair, 2011). Lebih khusus,

prosedur ini telah banyak membantu validasi alat tes psikologis seperti tes

inteligensi (Wicherts et al., 2004; Golay & Lecerf, 2011), tes berpikir kreatif

(Kuhn & Holling, 2009), skala sikap (Kankaras & Moors, 2011), skala depresi

(Rivera-Medina et al., 2010; Gomez, Vance & Gomez, 2011), skala agresi

(Nocentini et al., 2011), skala persepsi (Hildebrandt et al., 2010), skala citra tubuh

(Maiano et al., 2010), skala perilaku konsumen (Steenkamp & Baumgartner,

1998) dan skala pelecehan seksual (Wasti et al., 2000).

Perkembangan ilmu pengukuran psikologi yang semakin berkembang

pesat memungkinkan peneliti menguji secara empiris apakah alat tes yang

dimilikinya dapat berlaku sama di semua kelompok budaya. Setidaknya terdapat

Page 25: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

7

dua metode populer yang sering digunakan untuk menguji measurement

invariance pada alat tes psikologis. Pendekatan pertama, berdasarkan metode

linier structural equation modeling atau lebih spesifik disebut confirmatory factor

analysis. Pendekatan kedua, berdasarkan metode non-linier menggunakan item

response theory satu parameter logistik atau Rasch Model (Reise et al., 1993;

Raju, Laffitte, & Byrne, 2002; Meade & Lautenschlager, 2004).

Sebagai contoh, alat tes psikologis yang sering digunakan untuk

mengambil keputusan tentang individu adalah tes inteligensi. Tes inteligensi

merupakan tes yang sering digunakan pada tahap seleksi awal dalam bidang

pendidikan dan industri untuk menerima atau menolak pelamar (Boorsbom et al,

2008). Menurut Kaufman dan Lichtenberger (2006), salah satu keunggulan tes

inteligensi dalam dunia pendidikan adalah dapat digunakan untuk memprediksi

perilaku di masa mendatang, misalnya prestasi akademik. Kemudian menurut

Sternberg (2003), tes inteligensi dapat digunakan untuk mengklasifikasikan siswa

ke dalam kategori tertentu dengan tujuan membantu dan membatasi siswa

memilih jurusan studinya.

Salah satu tes inteligensi yang sering digunakan oleh psikolog dan

lembaga psikologi di Indonesia adalah Culture Fair Intelligence Test (CFIT). Tes

CFIT populer digunakan di kalangan praktisi karena proses administrasinya yang

relatif tidak memakan waktu, yaitu hanya sekitar 30 menit. Tes inteligensi CFIT

dikembangkan pertama kali oleh Raymond B. Cattell pada tahun 1940. Menurut

Cattell (1969) inteligensi terbagi menjadi 2 komponen, yaitu fluid dan crystallized

intelligence. Fluid intelligence merupakan kecerdasan yang bersifat bawaan

Page 26: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

8

(hereditas). Sedangkan crystallized intelligence adalah kecerdasan yang sudah

dipengaruhi oleh lingkungan, misalnya oleh sekolah.

Tes CFIT telah sering digunakan untuk mengetes tingkat inteligensi

individu di seluruh dunia. Namun, sangat terbatas sekali penelitian yang dilakukan

untuk menguji validitas measurement invariance pada tes CFIT. Dari sedikit yang

dapat ditemukan, penelitian yang dilakukan untuk menguji measurement

invariance tes CFIT adalah penelitian yang dilakukan oleh Nenty dan Dinero

tahun 1981 di Amerika Serikat. Teknik analisis yang digunakan pada penelitian

ini adalah item response theory satu parameter logistik (Nenty & Dinero, 1981).

Nenty dan Dinero (1981) membandingkan data tes CFIT dari 803 siswa

Nigeria dengan 600 siswa kulit putih Amerika yang memiliki perbedaan dalam

ras, budaya, dan tipe pengajaran di sekolah. Selain kelompok budaya, pada

penelitian ini dibandingkan juga kelompok gender, usia, dan tingkatan kelas.

Hasil menunjukkan seluruh item tes inteligensi CFIT fit dengan model di dua

budaya berbeda. Penelitian ini menyarankan agar penelitian selanjutnya dilakukan

dengan menggunakan metode confirmatory factor analysis sebagai metode

pembanding. Namun, penelitian ini merupakan penelitian lama sehingga perlu

sekali dilakukan penelitian kembali.

Berbeda dengan di Amerika Serikat, meskipun tes CFIT telah sering

digunakan psikolog dan lembaga psikologi di Indonesia, peneliti belum pernah

menemukan penelitian yang menguji validitas measurement invariance pada tes

CFIT. Baik itu menggunakan pendekatan item response theory atau pendekatan

confirmatory factor analysis. Padahal berbahaya sekali menggunakan tes yang

Page 27: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

9

belum divalidasi lintas budaya dan lintas kelompok. Jika sebuah alat tes tidak

terbukti memenuhi situasi measurement invariance, maka kesimpulan hasil

pengukuran yang didapatkan dari alat tes tersebut akan menjadi sangat ambigu,

keliru dan tidak bermakna (Bollen, 1989; Reise et al., 1993; Steenkamp &

Baumgartner, 1998).

Fakta di atas menunjukkan penting sekali bagi psikolog dan lembaga

psikologi di Indonesia untuk menguji measurement invariance dari tes CFIT.

Penting sekali menghasilkan skor pengukuran yang dapat dipercaya sehingga

pengambilan keputusan terhadap peserta tes akan lebih adil dan tidak merugikan

pihak dari kelompok tertentu. Dengan demikian, isu tentang measurement

invariance pada alat tes psikologis telah menjadi permasalahan yang penting

dalam pengukuran ilmu psikologi di dunia maupun di Indonesia.

Berdasarkan fenomena yang sangat krusial di atas dimana tes CFIT selalu

digunakan untuk menentukan keputusan terhadap individu, namun belum pernah

ada uji validitas pada tes CFIT di Indonesia. Maka peneliti terdorong untuk

melakukan penelitian tentang uji validitas pada tes CFIT. Lebih khusus, peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian tentang uji validitas measurement invariance

pada tes CFIT menggunakan pendekatan multiple-group confirmatory factor

analysis.

Page 28: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

10

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan masalah

Culture Fair Intelligence Test adalah instrumen inteligensi yang terdiri dari 50

item dan terbagi ke dalam empat subtes, yaitu sebagai berikut ini: subtes series,

subtes clasification, subtes matrice, dan subtes topology.

1.2.2 Perumusan masalah

1. Apakah item pada subtes series memenuhi tahapan measurement invariance

(configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error

variance invariance)?

2. Apakah item pada subtes classification memenuhi tahapan measurement

invariance (configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan

error variance invariance)?

3. Apakah item pada subtes matrice memenuhi tahapan measurement invariance

(configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error

variance invariance)?

4. Apakah item pada subtes topology memenuhi tahapan measurement

invariance (configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan

error variance invariance)?

5. Apakah seluruh subtes pada tes inteligensi CFIT memenuhi tahapan

measurement invariance (configural invariance, metric invariance, scalar

invariance, dan error variance invariance)?

Page 29: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

11

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji validitas konstruk dari alat tes inteligensi

CFIT, agar para psikolog dan lembaga psikologi yang menggunakan tes CFIT

lebih maksimal dalam menghasilkan skor IQ seseorang, sehingga skor IQ tersebut

dapat dijadikan dasar untuk membuat keputusan yang lebih bisa dipercaya.

Penelitian ini bertujuan juga untuk menguji validitas measurement

invariance pada tes CFIT. Sehingga, peneliti dapat memeriksa apakah tes CFIT

mengukur konstruk yang sama di semua kelompok, dalam hal ini kelompok

gender (laki-laki dan perempuan), kelompok ability (IQ di atas rata-rata dan IQ di

bawah rata-rata), dan kelompok random (nomor urut ganjil dan nomor urut

genap).

1.3.2 Manfaat penelitian

Secara teoritik, manfaat penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literatur

dalam ilmu psikologi, khususnya psikometri. Lebih jauh lagi peneliti berharap

penelitian ini dapat mendorong peneliti lain untuk selalu menguji dan

mempertanyakan apakah alat ukur yang digunakannya benar-benar dapat

dimaknai sama di kelompok yang berbeda. Karena jika alat ukur psikologi yang

tidak memenuhi situasi measurement invariance atau malah terjadi bias, maka

tafsiran seluruh hasil penelitian atau pengukuran tersebut menjadi tidak bermakna.

Kemudian peneliti berharap penelitian ini menjadi pemicu agar lebih banyak lagi

dilakukan penelitian yang mendalam tentang topik measurement invariance pada

alat tes dan bias pengkuran di Indonesia.

Page 30: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

12

Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah tes

inteligensi CFIT tetap valid jika diberikan pada kelompok budaya yang berbeda.

Kelompok budaya yang dimaksud pada penelitian ini adalah kelompok gender,

kelompok ability, dan kelompok random. Hal ini dilakukan agar lembaga

psikologi dapat mengetahui apakah item dari tes inteligensi CFIT ada yang

menguntungkan pada salah satu kelompok tertentu. Kemudian hasil penelitian ini

bermanfaat bagi pihak PLP dan pengguna tes CFIT, karena dapat menghasilkan

skor tes yang lebih valid dan lebih dapat dipercaya. Sehingga dapat digunakan

sebagai bahan rujukan pengambilan keputusan tentang peserta tes yang lebih baik.

Page 31: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

13

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Inteligensi

2.1.1 Pengertian inteligensi

Flanagan, Genshaft, dan Harrison (1997) (dalam Marnat, 2006) menyatakan

bahwa sejarah pengetesan inteligensi memiliki sejarah kontroversi dan

kesalahpahaman yang cukup panjang. Hal ini timbul karena pandangan moral

masyarakat yang menentang pelabelan individu, bias budaya, dan tuduhan akan

penyalahgunaan dari skor tes inteligensi itu sendiri. Meski kritik ini sangat masuk

akal dan dapat dijadikan alasan kuat untuk menentang pengetesan inteligensi,

namun tetap tidak dapat dipungkiri pula pengetesan inteligensi memiliki banyak

manfaat dan kegunaan.

Salah satu manfaat utama mengetahui tingkat inteligensi dari individu

adalah karena ketepatannya untuk memprediksi perilaku di masa depan. Banyak

sekali penelitian yang dilakukan hingga saat ini mendukung bahwa skor

inteligensi mampu memprediksi berbagai variabel psikologis. Contohnya, dalam

ruang lingkup dunia pendidikan skor IQ merupakan prediktor yang baik untuk

memprediksi prestasi akademik, dan dalam dunia industri memprediksi kinerja

karyawan (Marnat, 2006).

Inteligensi adalah sebuah konsep abstrak yang didefinisikan berbeda-beda

bergantung nilai-nilai sosial pada sebuah masyarakat dan peradaban. Bahkan

Page 32: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

14

sebenarnya hingga saat ini belum ada definisi inteligensi yang disepakati bersama

oleh para ilmuan. Namun, definisi modern inteligensi merujuk pada berbagai

macam kemampuan mental, termasuk kemampuan bernalar, merencanakan,

menyelesaikan masalah, berpikir abstrak, memahami ide-ide rumit, belajar dengan

cepat tentang hal baru, dan belajar dari pengalaman (Strickland, 2001).

Berikut ini pemaparan dari beberapa ahli mengenai definisi inteligensi

dalam Sattler (1992) dan Sternberg (2003):

1. Peterson

“Mekanisme biologis yang dipengaruhi stimulus kompleks yang terjadi

bersama-sama kemudian bersatu mempengaruhi perilaku pada individu.”

2. Haggerty

“Sensasi, persepsi, asosiasi, memori, imajinasi, diskriminasi, penilaian, dan

penalaran”.

3. Binet & Simon

“Penilaian, akal sehat, akal praktis, inisiatif, kemampuan beradaptasi individu

pada keadaan tertentu untuk memberi penilaian dengan baik, untuk memahami

dengan baik, untuk berpikir dengan baik.”

4. Stodard

“Kemampuan untuk melakukan kegiatan yang bercirikan (1) kesulitan, (2)

kompleksitas, (3) keabstrakan, (4) ekonomi, (5) beradaptasi pada suatu tujuan,

(6) nilai sosial, dan (7) menunjukkan keaslian (original), dan untuk

mempertahankan kegiatan tersebut di bawah kondisi yang menuntut

konsentrasi, energi dan ketahanan terhadap tekanan.”

Page 33: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

15

5. Freeman

“Penyesuaian, atau adaptasi individu terhadap keseluruhan lingkungannya, atau

aspek-aspek tertentu dari lingkungan. Kemampuan untuk mengorganisasikan

kembali pola perilaku individu sehingga dapat bertindak lebih efektif dan lebih

tepat dalam situasi baru. Kemampuan untuk belajar dan kemampuan untuk

berfikir abstrak.”

6. Das

“Kemampuan untuk merencanakan dan menyusun perilaku individu dengan

tujuan tertentu.”

7. Humphreys

“Hasil proses memperoleh, menyimpan dalam memori, mengambil,

menggabungkan, membandingkan dan menggunakan konteks informasi yang

baru dan keterampilan konseptual.”

8. Gardner

“Kompetensi intelektual manusia harus berhubungan dengan seperangkat

keterampilan untuk pemecahan masalah yang memungkinkan individu untuk

menyelesaikan masalah atau kesulitan yang ditemukannya, dan bila

memungkinkan, untuk menciptakan produk yang efektif dan juga harus

memerlukan potensi untuk menemukan atau menciptakan masalah dengan

demikian meletakkan dasar untuk memperoleh pengetahuan baru.”

Page 34: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

16

2.1.2 Teori-teori inteligensi

A. Psychometrics Models

Pada tahun 1900 revolusi ilmu sosial dan perilaku terjadi ketika seorang psikolog

dari perancis bernama Alfred Binet menciptakan ukuran kemampuan intelektual

yang menjadi pelopor tes inteligensi modern. Tes inteligensi yang bernama Binet-

Simon Test ini dikembangkan Binet bersama asistennya Theodore Simon. Meski

tes inteligensi yang dikembangan Binet dan Simon merupakan penemuan yang

sangat krusial dalam ilmu psikologi. Namun masih terdapat banyak perdebatan

diantara para ahli karena para ilmuan masih berbeda pendapat tentang

mendefinisikan tentang inteligensi dan bagaimana metode ilmiah yang tepat untuk

mengukurnya (Thompson, 2004).

Pada masa yang penuh perdebatan ini, para psikolog dan ilmuan berharap

dapat menguji pandangan mereka yang beragam secara empiris menggunakan

metode analisis yang tepat. Untuk mengatasi masalah ini, Charles Spearman

(1904) mengembangkan dan memperkenalkan sebuah metode analisis yang saat

ini terkenal dengan nama analisis faktor (factor analysis). Lebih lanjut, berbagai

macam pengembangan metode statistika dalam analisis faktor semakin banyak

dilakukan, sehingga para ilmuan diberikan banyak pilihan yang beragam untuk

memilih metode yang akan digunakan sebagai alat analisis (Thompson, 2004).

Terlepas dari sejarah perdebatan panjang yang terjadi pada masa awal

dikembangkannya. Analisis faktor merupakan sebuah alat analisis yang memiliki

kontribusi yang sangat besar dan tidak terbantahkan pada perkembangan teori

Page 35: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

17

inteligensi. Berikut ini merupakan teori-teori inteligensi yang lahir karena

kontribusi analisis faktor atau sering disebut pula dengan psychometrics models.

1. Spearman’s two-factor theory

Charles Spearman (1904) (dalam Sternberg, 2003) mengajukan model two-

factor theory of intelligence, sebuah teori yang sampai saat ini masih diakui

sebagai teori awal tentang inteligensi. Teori ini menyatakan bahwa setiap

individu memiliki general factor (g) yang berlaku umum pada semua tugas

yang membutuhkan inteligensi. Karakteristik dari faktor “g” adalah sebagai

berikut: (1) merupakan bawaan sejak lahir, (2) bersifat konstan, (3)

dipergunakan dalam setiap kegiatan individu, (4) jumlah faktor “g” setiap

individu berbeda-beda, (5) semakin besar jumlah faktor “g” semakin besar

peluang individu untuk sukses dalam menyelesaikan tugas. Lalu ada yang

dinamakan Spearman specific factor (s), yaitu faktor yang berlaku unik pada

setiap tugas yang berbeda. Apabila faktor “s” individu dalam bidang tertentu

dominan, maka individu tersebut akan menonjol dalam bidang tersebut.

Karakteristik dari faktor “s” adalah sebagai berikut: (1) dapat dipelajari dan

didapatkan dari lingkungan, (2) bervariasi dari kegiatan satu dengan lainnya

dari individu yang sama, (3) jumlahnya berbeda-beda pada setiap individu.

Dengan demikian, Spearman menyatakan setiap individu memiliki 2 faktor

inteligensi.

Spearman mendapatkan ide ini dari hasil proses analisis data yang

dikembangkan olehnya sendiri, yaitu analisis faktor. Analisis faktor mencoba

mengidentifikasi variabel laten pada individu berdasarkan item pada tes

Page 36: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

18

kemampuan. Ketika Spearman melakukan analisis faktor pada matriks korelasi

data, dua macam faktor muncul, general factor yang berlaku umum pada

semua tes dan specific factor yang berlaku unik pada setiap tes.

Pada tahun 1927 Spearman mengakui bahwa tidak begitu yakin pada

basis psikologis dari g-factor, Spearman hanya memberi rujukan bahwa hal itu

mungkin adalah energi mental (istilah ini tidak pernah didefinisikannya dengan

jelas). Meski begitu, teori ini merupakan basis utama untuk tes kemampuan

dan inteligensi dalam menjelaskan perbedaan individu di masa yang akan

datang.

2. Thurstone’s theory of primary mental abilities

Sternberg (2003) menyatakan Louis Thurstone adalah ilmuan yang juga

menggunakan analisis faktor sebagai metode untuk mengungkap variabel laten

yang mendasari berkorelasinya item pada tes kemampuan. Menurut Thurstone

ada tujuh kemampuan mental primer, yaitu:

1. Verbal comprehension, kemampuan untuk memahami materi verbal.

Kemampuan ini diukur menggunakan tes kosakata dan pemahaman

membaca.

2. Verbal fluency, kemampuan untuk dengan cepat menghasilkan kata-kata,

kalimat, dan materi verbal lainnya. Kemampuan ini diukur dengan cara

meminta penempuh tes menghasilkan kata-kata sebanyak mungkin dalam

jangka waktu dengan waktu yang relatif singkat.

3. Number, kemampuan berhitung dengan cepat. Kemampuan ini diukur

dengan tes mencari solusi dari masalah aritmatika sederhana.

Page 37: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

19

4. Memori, kemampuan untuk mengingat kata-kata, huruf, angka, simbol atau

item. Kemampuan ini diuji dengan serangkaian tes mengingat kembali.

5. Perceptual speed, kemampuan mengenali huruf, angka, atau simbol dengan

cepat. Kemampuan ini diuji dengan cara tes yang meminta penempuh tes

memberikan tanda silang pada huruf tertentu (misalnya huruf A) pada

serangkaian huruf.

6. Inductive reasoning, kemampuan untuk bernalar dari khusus ke umum.

Kemapuan ini diuji melalui tes serangkaian huruf. Misalnya, “Huruf apakah

yang akan muncul berikutnya pada seri berikut ini? B, d, g, k, ...”.

7. Spatial visualization, kemampuan untuk memvisualisasi bentuk, rotasi,

objek, dan bagaimana kepingan dari sebuah puzzle akan melengkapi satu

sama lain. Kemampuan ini diuji dengan tes yang memerlukan mental

rotation atau objek geometri yang bisa dimanipulasi.

B. Hierarchical Theories

Kelompok teori lain yang mencoba menjelaskan inteligensi adalah hierarchical

theories. Teori-teori ini berasumsi bahwa kemampuan dapat diurutkan

berdasarkan tingkatan keumumannya. Para ahli hierarchical theories berargumen

daripada memperdebatkan kemampuan mana yang paling penting, mereka

menyatakan bahwa setiap kemampuan memiliki tempat pada hirarki kemampuan

dari umum sampai dengan ke khusus. Berikut adalah teori-teori yang merupakan

teori hirarki:

Page 38: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

20

1. Burt’s theory

Sir Cyril Burt (1949) dikenal karena karyanya tentang heritabilitas inteligensi.

Burt mengajukan hirarki lima tingkatan yang dapat menjelaskan inteligensi.

Pada hirarki teratas Burt mengajukan “pikiran manusia.” Pada tingkat kedua

“tingkatan relasi.” Pada tingkatan ketiga adalah asosiasi. Pada tingkatan

keempat adalah persepsi. Dan pada tingkatan kelima adalah sensasi. Model

teori ini terbukti tidak bertahan lama dan kurang dijadikan rujukan saat ini

(Sternberg, 2003).

2. Vernon theory of verbal: Educational and spatial: Mechanical abilities

Model teori hirarki yang cukup terkenal diajukan oleh Vernon (1971). Teori

ini menyatakan bahwa general factor berada pada hirarki teratas. Di bawah g-

factor terdapat dua kelompok faktor, yaitu v:ed dan k:m. Nama pertama

merujuk kepada kemampuan verbal-educational yang diukur berdasarkan tes

kemampuan yang konvensional. Nama kedua merujuk pada kemampuan

spatial-mechanical (Sternberg, 2003)

3. Cattell’s theory of fluid and crystallized intelligence

Sternberg (2003) menyatakan teori yang lebih banyak diterima dibanding

teori-teori sebelumnya adalah teori yang dikemukakan oleh Raymond Cattell

(1971) yang sepintas terlihat mirip dengan teori yang dikembangkan Vernon.

Cattell mengajukan bahwa general ability berada di hirarki teratas dan dua

kemampuan di bawahnya, fluid ability, atau gf, dan crystallized ability, atau

gc. Fluid ability adalah kemampuan untuk berpikir secara fleksibel dan

bernalar secara abstrak. Kemampuan ini diukur oleh tes serial angka dan

Page 39: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

21

gambar analogi. Crystallized ability adalah kumpulan pengetahuan

berdasarkan pengembangan dan penerapan sepanjang hidup dari fluid ability.

Kemampuan ini diukur berdasarkan tes kosakata dan wawasan umum.

Studi terbaru menunjukkan bahwa fluid ability sangat sulit dibedakan

secara statistik dengan general ability. Tes yang digunakan untuk mengukur

fluid ability seringkali identik dengan tes yang dimaksudkan untuk mengukur

general ability. Contohnya, tes Raven Progressive Matrice yang mengukur

bagian matriks yang hilang terdiri dari gambar.

Horn (1994) memperluas teori hirarki yang awalnya dikembangkan

oleh Cattell. Horn merujuk bahwa general factor dapat dibagi kedalam tiga

faktor lagi di bawah fluid dan crystallized ability. Ketiga faktor ini antara lain

visual thinking (gv), auditory thinking (ga), dan speed (gs). Faktor visual

thinking kemungkinan mendekati faktor k:m yang dikembangkan oleh

Vernon daripada fluid ability milik Cattell.

4. Carroll’s three-stratum theory

Teori yang dikemukakan oleh Carroll (1993) kemungkinan merupakan teori

hirarki yang paling banyak diterima saat ini. Pada hirarki teratas adalah

general ability, lalu pada hirarki tengah terdapat berbagai macam kemampuan

yang luas, termasuk fluid dan crystallized ability, proses belajar dan proses

ingatan, persepsi visual dan auditory, facile production, dan kecepatan. Pada

hirarki paling paling bawah merupakan kemampuan-kemampuan yang

spesifik (Sternberg, 2003).

Page 40: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

22

5. Guilford’s structure of intellect model

J.P Guilford (1971) mengajukan model inteligensi dengan 120 kemampuan

yang berbeda. Pada awalnya Guilford mengajukan sebanyak 180

kemampuan, kemudian direvisi menjadi 150 kemampuan, dan yang terakhir

menjadi 120 kemampuan. Teori Guilford’s structure of intellect model

meliputi tiga dimensi, yaitu: operasional (operation), produk (product), dan

isi (content). Guilford menyatakan terdapat lima operasi, enam produk, dan

empat isi. Kelima bentuk operasi adalah kognisi, memori, berpikir divergen,

berpikir, konvergen, dan evaluasi. Lalu bentuk keenam produk adalah unit,

kelas, relasi, sistem, transformasi, dan implikasi. Dan keempat bentuk dari isi

adalah figural, simbol, semantik, dan perilaku. Karena seluruh dimensi-

dimensi ini berinteraksi satu sama lain, maka terdapat 5 X 6 X 4 atau 120

kemampuan berbeda (Sternberg, 2003).

C. Piaget’s Cognitive Model

Penelitian tentang teori inteligensi tidak hanya berkembang melalui analisis faktor

dan metode psikometri. Para ilmuan eksperimental dan psikologi perkembangan

merumuskan gagasan tentang perkembangan belajar, berpikir, pemecahan

masalah, dan proses kognitif lainnya. Ilustrasi dari upaya ini adalah teori

perkembangan kognitif yang dikembangkan Jean Piaget.

Menurut Piaget (Aiken, 1997) anak mengetahui dan memahami

lingkungan dengan berinteraksi dengan suatu hal dan beradaptasi dengan hal

tersebut, proses ini disebut sebagai adaptasi atau equilibrasi. Equilibrasi

melibatkan asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan proses penyesuaian

Page 41: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

23

pengalaman baru kedalam struktur mental yang sudah ada sebelumnya (schemata)

dan akomodasi adalah proses modifikasi dari schemata sebagai hasil dari

pengalaman.

Piaget (Miller, 1989) menyatakan bahwa perkembangan kognitif yang

terjadi karena proses asimilasi dan akomodasi terjadi dalam empat urutan tahap

atau periode. Tahapan ini merupakan hirarki perkembangan dimana proses

equilibrasi yang berhasil pada tahap sebelumnya diperlukan individu untuk

berhasil pada tahap perkembangan selanjutnya. Tahap perkembangan yang

diajukan oleh Piaget adalah sebagai berikut:

1. Tahap pertama, disebut tahap sensori-motori yang terjadi antara masa

kelahiran hingga individu berusia 2 tahun. Pada tahap ini anak belajar untuk

melatih refleks sederhana dan mengkordinasikan berbagai persepsi.

2. Tahap kedua, disebut dengan tahap pra-operasional yang terjadi antara 2

sampai 7 tahun. Pada tahap ini anak mendapatkan kemampuan berbahasa dan

representasi simbol lainnya mengenai realita, hal ini sangat penting karena

merupakan tahap egosentris dari perkembangan.

3. Tahap ketiga, disebut tahap operasi konkrit yang terjadi antara 7 sampai 11

tahun. Pada tahap ini anak mengembangkan sistem operasi yang terorganisir

dengan proses interaksi sosial, dan pengurangan terhadap pemusatan diri

sendiri.

4. Tahap keempat atau terakhir, disebut tahap operasi formal yang terjadi antara

11 sampai 15 tahun. Pada tahap ini anak sudah bisa menggunakan logika dan

penalaran verbal yang lebih tinggi, dan operasi nalar yang lebih abstrak.

Page 42: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

24

D. Teori Pemrosesan Informasi

Perkembangan dunia teknologi komputer dan sistem informasi yang pesat dalam

beberapa tahun terakhir telah menyebabkan lahirnya konsep yang menyamakan

otak manusia dengan komputer. Studi di bidang neurofisiologi dan psikologi

kognitif juga memberikan kontribusi pada model pengolahan informasi dalam

proses pemecahan masalah dan berpikir manusia. Model ini menekankan pada

proses atau operasi identifikasi dimana informasi dikodekan, disimpan, diambil,

dan dimanfaatkan oleh otak dalam melaksanakan tugas-tugas kognitif seperti pada

tes inteligensi (Gardner, 2011)

Model komputer melihat otak manusia sebagai pengolah sistem informasi

yang memiliki kapasitas penyimpanan yang besar. Penyimpanan sendiri berisi

antara lain program kompleks atau strategi yang dapat ditimbulkan oleh input

stimulus tertentu. Dalam model ini inteligensi dianalisis sebagai variabel seperti

kapasitas penyimpanan, kecepatan melakukan operasi dasar, dan kecepatan ke

akses ke penyimpanan.

1. Sternberg’s triarchic theory

Salah satu contoh model teori yang menggunakan dasar pemrosesan

informasi adalah teori yang diajukan oleh Sternberg (Aiken, 1997). Terdapat

komponen dalam proses berpikir manusia yaitu: componential, experiental,

dan contextual. Pada tahap componential terjadi proses memperoleh

pengetahuan dan pemecahan masalah. Bagian kedua adalah tahap experiental,

inti pada tahap ini adalah kemampuan individu untuk menciptakan ide baru

dengan cara menggabungkan fakta-fakta yang cenderung tidak berhubungan.

Page 43: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

25

Bagian ketiga adalah contextual, inti tahap ini adalah kemampuan untuk

beradaptasi dengan kondisi lingkungan sehingga kemampuan individu dapat

maksimal dan meminimalisir kesalahan (Kaufman & Grigorenko, 2009).

Sternberg (dalam Aiken, 1997) merevisi teorinya dengan mengusulkan

konsep mental self-government yang merupakan upaya untuk

menggabungkan konsep inteligensi dengan kepribadian. Cara dimana tiga

jenis inteligensi digambarkan oleh teori komponen triarchic digunakan untuk

menghadapi masalah sehari-hari yang ditandai dalam teori ini sebagai gaya

intelektual.

2. Gardner’s Multiple-Intelligence

Gardner (2011) mengusulkan teori multiple intelligences berdasarkan

penelitiannya mengenai hubungan otak dengan perilaku. Gardner berpendapat

bahwa kekhasan kognisi manusia dan pengolahan informasi melibatkan

pengerahan berbagai sistem simbol yang merupakan karakteristik persepsi,

memori, dan pembelajaran. Dengan demikian, individu mungkin akan baik

dalam bahasa, tetapi tidak pada musik, memanipulasi lingkungan spasial, atau

interaksi interpersonal.

Gardner menjabarkan terdapat tujuh bentuk inteligensi yaitu

linguistik, logika-matematika, spasial, musikal, kinestetik tubuh, dan dua

bentuk inteligensi personal (intrapersonal dan interpersonal). Tiga bentuk

pertama dari daftar ini diukur dengan tes inteligensi konvensional, tapi empat

terakhir lebih seperti bakat istimewa daripada inteligensi. Inteligensi

kinestetik dapat terlihat lebih banyak pada atlit, pengrajin, penari, dan ahli

Page 44: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

26

bedah. Inteligensi spasial diperlukan untuk pematung, dan inteligensi musikal

oleh komposer, musisi, dan penyanyi. Inteligensi intrapersonal adalah ketika

individu dapat mendeteksi suasana hati individu lain dan untuk memimpin,

memahami perasaan diri sendiri, dan menggunakan pengetahuan diri secara

produktif.

2.2 Konstruksi Tes

Terdapat dua istilah yang sering diterapkan dalam pengembangan dan pengujian

alat tes psikologis, yaitu konsep tentang validitas (validity) dan reliabilitas

(reliability).

2.2.1 Validitas

Bollen (1989) menyatakan validitas adalah istilah yang merujuk pada sejauh mana

alat ukur memang mengukur pada konstruk yang hendak diniatkan untuk diukur.

Validitas suatu tes menerangkan apa yang diukur oleh tes dan sejauh mana tes

tersebut mengukurnya. Terdapat tiga tipe dari validitas, yaitu:

A. Validitas Isi (Content Validity)

Validitas isi adalah tipe validitas yang menggunakan pendekatan kualitatif

sebagai cara mengujinya. Validitas isi berkaitan dengan penelitian yang

sistematis pada isi tes untuk menentukan apakah isi tes mencakup sampel

representatif dari domain tingkah laku yang diukur. Seringkali validitas isi

dilakukan dari penilaian ahli di bidang yang akan diuji (expert judgment).

B. Validitas Kriterion (Criterion Validity)

Validitas kriterion adalah validitas yang diuji dengan mengkorelasikan skor

tes dengan sebuah kriteria tertentu. Misalnya, nilai skor tes potensi akademik

Page 45: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

27

pada seleksi masuk perguruan tinggi dikorelasikan dengan nilai indeks

prestasi (IP) di akhir semester. Ketika kriteria yang akan dipakai sebagai

pembanding ada pada saat yang sama dengan alat ukur, validitas ini

seringkali disebut dengan concurrent validity. Sedangkan jika kriteria yang

akan digunakan sebagai pembanding harus menunggu waktu terlebih dahulu

di masa yang akan datang, validitas ini sering juga disebut predictive validity.

Perbedaan antara validitas prediktif dan validitas konkuren bukan

berdasarkan waktu, tetapi pada tujuan tes.

C. Validitas Konstruk (Construct Validity)

Validitas konstruk menguji sejauh mana skor hasil pengukuran pada alat ukur

menggambarkan konstruk teoritis yang hendak diukur oleh alat ukur tersebut.

Dalam konteks ilmu sosial banyak sekali konsep yang sangat sulit

dirumuskan menggunakan validitas isi. Sehingga melakukan uji validitas

konstruk sangat relevan dilakukan di bidang ilmu sosial, terutama dalam ilmu

psikologi. Karena variabel dalam ilmu psikologi sebagian besar merupakan

entitas yang tidak dapat diobservasi dan diukur secara langsung.

2.2.2 Reliabilitas

Istilah reliabilitas dapat merujuk pada konsep tingkat kepercayaan. Dalam konteks

skor sebuah hasil tes, pengguna tes harus yakin bahwa skor yang dihasilkan tes

dapat dipercaya. Ketika dihubungkan dengan tes dan pengukuran, reliabilitas

didasarkan pada konsistensi dan ketepatan pada hasil proses pengukuran. Agar

mendapat tingkat kepercayaan pada skor yang dihasilkan, pengguna tes

Page 46: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

28

memerlukan bukti bahwa skor yang didapat dari tes akan konsisten jika tes

diulang kembali pada kelompok atau individu yang sama (Urbina, 2014).

Sattler (1982) menyatakan reliabilitas (r) adalah sebuah indeks yang

menunjukkan sejauh mana konsistensi skor tes yang didapatkan dari pengukuran

jika tes tersebut diulang. Koefisien reliabilitas memiliki rentang nilai dari 0.00-

1.00. Koefisien reliabilitas yang memiliki nilai mendekati 1.00 menunjukkan

reliabilitas skor tes yang sangat baik, sedangkan koefisien reliabilitas yang

memiliki nilai mendekati 0.00 menunjukkan reliabilitas yang sangat buruk dari

sebuah skor tes. Terdapat tiga tipe dari reliabilitas, yaitu: test-retest, alternate

form, dan internal consistency.

A. Pendekatan Test-Retest

Test-retest merupakan indeks dari stabilitas. Prosedur yang biasa dilakukan

untuk mendapatkan koefisien reliabilitas test-retest adalah dengan memberikan

tes yang sama pada kelompok yang sama pada dua kesempatan yang berbeda,

biasanya dalam jeda waktu yang pendek (misalnya, dua minggu sampai satu

bulan). Korelasi yang didapat sering disebut dengan koefisien stabilitas yang

menggambarkan sejauh mana tes konsisten sepanjang waktu. Kekurangan

koefisien test-retest adalah peserta tes mungkin bisa mengingat dan belajar dari

jeda waktu yang diberikan. Secara teoritis, semakin pendek jeda waktu yang

diberikan, akan semakin tinggi koefisien reliabilitasnya.

Page 47: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

29

B. Pendekatan Alternate Form

Pendekatan ini sering pula disebut equivalent atau parallel form reliability.

Indeks koefisiennya didapatkan dengan cara memberikan dua tes yang

equivalen pada kelompok yang sama. Sebuah tes dikatakan equivalen ketika

memiliki nilai rata-rata (mean), varians, dan reliabilitas yang tinggi. Jika tidak

ada kesalahan dalam pengukuran, peserta tes seharusnya mendapatkan skor tes

yang sama pada kedua bentuk tes yang disajikan.

C. Pendekatan Internal Consistency

Pendekatan reliabilitas internal consistency didapat berdasarkan skor dalam

sekali melakukan tes. Salah satu tipe koefisien reliabilitas internal consistency

didapat dengan cara membagi tes menjadi dua bentuk yang equivalen (split-

half reliability). Cara lain untuk mendapatkan koefisien internal consistency

adalah dengan menggunakan interkorelasi diantara semua bagian tes yang bisa

dibandingkan. Rumus-rumus seperti Alpha Cronbach dan Kuder-Richardson

formula 20 berfungsi mengukur homogenitas dari seluruh item pada tes. Secara

umum pendekatan internal consistency lebih sering digunakan karena lebih

mudah dan praktis dalam praktek penggunaannya. Karena untuk mendapatkan

koefisien reliabilitas internal consistency cukup hanya melakukan sekali

pengetesan.

Menurut Umar (2012) dalam konteks teori tes klasik (CTT) penggunaan

konsep reliabilitas harus didahului dengan memenuhi beberapa asumsi. Setelah

seluruh asumsinya dipenuhi, barulah seluruh indeks reliabilitas sah untuk

Page 48: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

30

digunakan dan bermakna tafsirannya. Asumsi-asumsi tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Asumsi unidimensionality, artinya tes yang diujikan sudah terbukti hanya

mengukur satu konstruk, trait, kemampuan.

2. Asumsi local independent, artinya peluang menjawab dengan benar pada

suatu item tidak dipengaruhi oleh jawaban pada item sebelumnya.

3. Asumsi parallel, artinya setiap item pada tes memiliki tingkat kesukaran,

daya pembeda dan kesalahan pengukuran yang sama.

2.3 Teori-Teori Pengukuran

Stevens (1951) (dalam Chadha, 2009) menyatakan pengukuran adalah pemberian

angka atau kuantifikasi pada suatu objek atau peristiwa berdasarkan aturan

tertentu. Terdapat tiga teori tentang pengukuran yang sering digunakan dalam

konstruksi tes dalam pengukuran dalam ilmu psikologi, yaitu: classical test theory

(teori tes klasik), item response theory (Rasch model), dan structural equation

modeling (confirmatory factor analysis).

2.3.1 Classical test theory (Teori tes klasik)

Classical test theory (CTT) adalah teori pengukuran yang diajukan oleh psikolog

Inggris Charles Spearman dengan menggunakan konsep korelasi. Sejak tahun

1904 hingga 1913 Spearman mempublikasikan argumen matematis bahwa skor

tes adalah ukuran yang dapat menguji tentang traits tertentu pada individu.

Spearman mengajukan sebuah gagasan dan fondasi dasar dari CTT yang

kemudian didukung oleh banyak ilmuan seperti Guilford (1936), Gulliksen

(1950), Magnusson (1967), Lord dan Novick (1968) (Crocker & Algina, 2008).

Page 49: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

31

Menurut Crocker dan Algina (2008) inti dari model yang diajukan

Spearman adalah skor observasi (observed score) terbagi menjadi dua komponen

di dalamnya, yaitu true score dan random error. Hal ini dapat diilustrasikan

melalui persamaan matematis sebagai berikut ini:

Keterangan:

X = Skor observasi (observed score)

T = Skor sebenarnya (true score)

E = Error/kesalahan pengukuran

A. Item Analysis

Item analysis adalah sebuah istilah yang merujuk pada sebuah cara untuk

mengembangkan karakteristik dari sebuah tes dan berfungsi meningkatkan

pemahaman peneliti terhadap tes yang dikembangkannya. Pengujian yang

komprehensif pada sebuah alat tes sangat penting dilakukan karena berguna

untuk memahami mengapa sebuah tes menunjukkan level validitas dan

reliabilitas tertentu. Item analysis menjadi sangat berguna ketika sebuah tes

tidak reliabel atau gagal menunjukkan level validitas yang diharapkan. Item

analysis dapat menunjukkan mengapa sebuah tes reliabel (atau tidak reliabel)

dan membantu peneliti memahami mengapa skor tes dapat digunakan atau

tidak digunakan untuk memprediksi sebuah variabel (Murphy & Davidshofer,

1994).

Sedangkan menurut Urbina (2014) item analysis merujuk pada teknik-

teknik yang digunakan untuk menilai karakteristik item dari tes dan

X = T + E

Page 50: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

32

mengevaluasinya selama proses pengembangan serta konstruksi tes. Item

analysis melibatkan prosedur kualitatif dan kuantitatif. Prosedur kualitatif

item analysis merujuk pada 3 kriteria berikut ini, yaitu: (a) kelayakan dari

format dan konten dari tes untuk siapa tes ini dibuat, (b) kejelasan dalam

pengekspresian, dan (c) keakuratan secara ejaan penulisan.

Terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam item analysis prosedur

kuantitatif, yaitu item difficulty (tingkat kesukaran), item discrimination (daya

pembeda), dan distractor (pengecoh).

1. Item Difficulty

Menurut Urbina (2014), pada tes dengan item dengan bentuk skor

dikotomi (benar-salah), indeks item difficulty (tingkat kesukaran) merujuk

pada jumlah proporsi atau persentase individu yang mampu menjawab

dengan jawaban benar pada sebuah item. Indeks tingkat kesukaran

memiliki rentang nilai dari 0.00 sampai dengan 1.00. Semakin tinggi

indeks dari tingkat kesukaran, semakin mudah item tersebut. Sebaliknya

semakin rendah indeks tingkat kesukaran, semakin sulit item tersebut.

Norma tingkat kesukaran dapat dilihat melalui tabel 2.1 sebagai berikut:

Tabel 2.1

Kategorisasi indeks item difficulty

Indeks Kategori

<0.30 Sulit

0.31 – 0.70 Sedang

>0.70 Mudah

Page 51: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

33

2. Item Discrimination

Menurut Crocker dan Algina (2008), tujuan dari tes adalah menghasilkan

informasi tentang perbedaan individu dalam sebuah konstruk tertentu.

Atau dengan kata lain item pada sebuah tes seharusnya memiliki

kemampuan memberikan informasi untuk dapat memisahkan antara

individu yang mampu dengan tidak mampu. Dalam sebuah tes terdapat

sebuah parameter tentang item yang indeksnya bertujuan untuk

membedakan antara individu yang memiliki kemampuan tinggi dengan

individu yang memiliki kemampuan rendah pada konstruk yang diukur.

Indeks tersebut adalah item discrimination atau sering pula disebut sebagai

daya pembeda. Indeks daya pembeda yang sering digunakan adalah point

biserial, artinya mengkorelasikan skor item dengan skor jumlah jawaban

benar pada tes. Indeks daya pembeda nilainya terbentang antara 0.00 –

1.00, dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut:

Tabel 2.2

Kategorisasi indeks item discrimination

Indeks Kategori

Pointbiserial >0.30 Diterima

0.10 ≤ Pointbiserial ≤ 0.30 Direvisi/dicek kembali

Pointbiserial ≤ 0.10 Ditolak

3. Distractor

Pada tes berbasis pilihan ganda, pilihan yang salah, pengecoh, atau disebut

juga distraktor memiliki pengaruh yang besar pada tingkat kesukaran.

Banyaknya distraktor akan secara langsung mempengaruhi indeks tingkat

kesukaran karena peluang untuk peserta tes menebak dengan benar pada

Page 52: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

34

sebuah item menjadi tinggi ketika distraktor yang disediakan jumlahnya

sedikit. Sebagai catatan, tingkat kesukaran sangat dipengaruhi oleh

kualitas dari distraktor. Item pilihan ganda yang baik syaratnya adalah (a)

jawaban benar dapat dijawab oleh yang mengetahui jawabannya dan (b)

distraktor muncul sebagai pilihan yang nyaris masuk akal bagi yang tidak

mengetahui jawabannya. Jika masih dalam tahap pengembangan,

distraktor yang tidak berfungsi dengan baik, misalnya distraktor yang tidak

satu pun dari peserta tes yang memilihnya atau distraktor yang sering

dipilih oleh peserta tes yang berkemampuan tinggi harus diganti (Urbina,

2014).

2.3.2 Item response theory (Rasch model)

Sejarah item response theory (IRT) dapat ditelusuri pada seorang matematikawan

Denmark yang bernama Georg Rasch (1960). Rasch diberi tugas oleh pemerintah

Denmark untuk mengembangkan sebuah model yang dapat diaplikasikan untuk

mengukur kemampuan membaca dan pengembangan tes untuk digunakan

kepentingan militer. Rasch tertarik untuk mengembangkan model pengukuran

(measurement model) dimana ia menyatakan bahwa kemampuan individu (ability)

dan parameter item dapat dipisahkan dalam model yang diusulkannya ini

(Embretson & Reise, 2000).

Dalam perjalanan mengembangkan teorinya, Rasch menginspirasi dua ahli

psikometri lain yang akhirnya mengembangkan dan menyebarluaskan gagasan

dari Rasch model. Di Eropa, Gerhard Fischer (1973) dari Universitas Vienna yang

mengembangkan Rasch model untuk binary data. Lalu yang kedua adalah ahli

Page 53: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

35

psikometri yang bernama Benjamin Wright yang pada akhirnya mengajarkan

prinsip-prinsip pengukuran Rasch model di Amerika Serikat (Embretson & Reise,

2000).

Rasch mengunjungi University of Chicago dimana Wright adalah profesor

di departemen pendidikan, disana ia memberikan serangkaian perkuliahan tentang

prinsip pengukuran Rasch model. Karena hal tersebut, banyak sekali mahasiswa

doktoral tertarik untuk mendalami Rasch model di bawah bimbingan Wright.

Beberapa mahasiswa doktoral yang pada akhirnya memberikan kontribusi untuk

perkembangan Rasch model adalah Graham Douglas (1977), David Andrich

(1978), Geoffrey Masters (1982), dan Mark Wilson (1989) (Embretson & Reise,

2000).

Setelah penyebaran IRT yang menjadi semakin populer pada akhir tahun

1970, dunia pengukuran dan konstruksi alat tes berubah secara dramatis.

Meskipun CTT telah menjadi acuan pengembangan tes selama beberapa dekade

terakhir, IRT dengan cepat menjadi arus utama dalam basis teori dunia

pengukuran dan pengembangan tes. Terlebih, tes-tes yang dikembangkan melalui

pendekatan IRT lebih terstandarisasi, karena secara teoritis prinsip-prinsip

pengukurannya dapat diuji dan memiliki peluang lebih besar menyelesaikan

masalah-masalah dalam dunia pengukuran yang tidak mampu diselesaikan oleh

classical test theory (Embretson & Reise, 2000).

Menurut Hambleton, Swaminathan dan Rogers (1991) IRT berlandaskan

atas dua postulat, yaitu:

Page 54: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

36

1. Performa dari individu dalam menempuh sebuah item tes dapat diprediksi

atau dijelaskan oleh sebuah faktor yang disebut traits, latent traits, atau

kemampuan (ability).

2. Hubungan antara performa penempuh tes pada suatu item dengan traits yang

mendasari performa item dapat digambarkan dengan fungsi yang terus

menanjak secara monotonik yang disebut item characteristic curve (ICC).

Sebelum melakukan analisis terhadap item menggunakan Rasch Model, ada

sejumlah asumsi yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh pembuat tes. Menurut

Hambleton et al. (1991) asumsi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Asumsi unidimensionality, artinya bahwa item-item yang akan dianalisis

hanya mengukur satu traits, ability, atau latent traits.

2. Asumsi local independent, artinya peluang individu untuk menjawab benar

suatu item tidak dipengaruhi oleh jawaban item sebelumnya.

Setelah asumsi dasar terpenuhi, maka peneliti dapat melakukan analisis

terhadap item. Menurut Embretson & Reise (2000) bentuk yang paling umum dari

IRT adalah model satu parameter logistik. Esensi dari Rasch model dapat

dijelaskan melalui persamaan berikut:

Gambar 2.1 Persamaan ICC pada rasch model

(Sumber: Embretson & Reise, 2000)

Page 55: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

37

Keterangan:

Θ = Kemampuan/ability

β = Tingkat kesukaran item

Hayat (1994) menyatakan berdasarkan penjabaran persamaan di atas dapat

dipahami bahwa “peluang individu untuk menjawab dengan benar pada sebuah

item ditentukan oleh hasil interaksi antara kemampuan (ability) dengan tingkat

kesukaran item (item difficulty)”. Secara sederhana dapat dipahami bahwa peluang

menjawab benar individu pada sebuah item dapat digambarkan melalui selisih

jarak antara kemampuan dengan tingkat kesukaran item. Penjelasan lebih lanjut

adalah sebagai berikut:

1. Jika Θ > β (kemampuan > tingkat kesukaran), maka peluang individu untuk

mendapat jawaban benar pada item tersebut adalah > 0,5 atau di atas 50%.

2. Jika Θ < β (kemampuan < tingkat kesukaran), maka peluang individu untuk

mendapat jawaban benar pada item tersebut adalah < 0,5 atau di bawah 50%.

3. Jika Θ = β (kemampuan = tingkat kesukaran), maka peluang individu untuk

mendapat jawaban benar pada item tersebut adalah = 0,5 atau sama dengan

50%.

Sebuah tes dirancang bertujuan untuk mengukur suatu atribut, kemampuan

atau traits tertentu pada individu, misalnya kemampuan verbal, inteligensi, atau

konstruk lainnya. Semakin individu memiliki kemampuan atau atribut tersebut,

maka semakin tinggi pula seharusnya peluang individu untuk menjawab dengan

benar item-item pada tes. Untuk dapat lebih memahami logika di dalam IRT ini,

akan lebih mudah apabila peneliti memahami konsep dasar yang disebut item

Page 56: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

38

characteristic curve (ICC). ICC merupakan rangkuman secara visual berbagai

konsep penting dalam IRT, seperti parameter tingkat kesukaran, daya pembeda,

dan peluang individu menjawab dengan benar karena menebak (guessing)

(Murphy & Davidshofer, 1994).

Memahami konsep IRT melalui ICC jauh akan lebih mudah dibandingkan

dengan melalui cara menghitung dan mengestimasi seluruh nilai parameter

tersebut. Karena untuk mendapatkan nilai seluruh parameter pada IRT

membutuhkan analisis matematika dengan besaran sampel besar dan algoritma

komputer modern. Namun dengan memahami ICC, pengembang tes dapat

memahami peluang individu untuk memilih jawaban yang benar pada sebuah item

merupakan sebuah fungsi dari seberapa tinggi kemampuan atau atribut yang

dimiliki individu tersebut (Murphy & Davidshofer, 1994). Berikut ini pada

gambar 2.2 adalah visualisasi dari ICC.

Gambar 2.2 Ilustrasi item characteristic curve

(Sumber: Embretson & Reise, 2000)

Gambar 2.3 berikut ini adalah contoh ICC item yang baik pada sebuah tes

kemampuan (ability). Secara teoritis grafik ICC di bawah ini menunjukan peluang

Page 57: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

39

individu untuk menjawab dengan benar pada sebuah item ditentukan tinggi

rendahnya kemampuan individu tersebut. Semakin kemampuan meningkat,

peluang individu untuk menjawab dengan benar meningkat secara dramatis. Hasil

ICC seperti ini menunjukan bahwa item-item tersebut sangat baik dalam

mengukur atribut atau kemampuan yang dimaksud.

Gambar 2.3 Item characteristic curve pada item yang baik (using M-Plus)

Jika item pada sebuah tes tidak memiliki kemampuan membedakan yang baik

(antara individu yang mampu dengan yang tidak mampu), maka grafik ICC yang

akan terjadi adalah sebagai berikut. Gambar 2.4 berikut menunjukan sebuah item

yang memiliki kemampuan membedakan yang buruk. Perhatikan bahwa semakin

kemampuan individu meningkat, hanya sedikit sekali perubahan peningkatan

yang terjadi pada peluang untuk menjawab benar individu di item tersebut.

Individu yang memiliki kemampuan tinggi hanya memiliki peluang sedikit lebih

tinggi pada item ini, dibandingkan dengan individu yang kemampuannya lebih

rendah. Jika dibandingkan pada gambar 2.3 dimana item-itemnya memiliki

kemampuan membedakan yang sangat baik, jelas sekali bahwa item pada gambar

2.4 kurang memiliki kemampuan membedakan dan memberi informasi tentang

individu (Murphy & Davidshofer, 1994).

Page 58: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

40

Gambar 2.4 Item characteristic curve pada item kurang baik

(Sumber: Murphy & Davidshofer, 1994)

Kemudian pada gambar 2.5 menunjukan contoh item dengan arah daya pembeda

yang negatif, artinya semakin tinggi kemampuan yang dimiliki individu, peluang

untuk menjawab dengan benar pada item tersebut justru semakin rendah.

Sebaliknya, semakin rendah kemampuan yang dimiliki oleh individu, peluang

untuk menjawab dengan benar pada item semakin tinggi. Jika menemukan item

dengan perilaku seperti ini, peneliti harus mengecek kembali kunci jawaban

karena dikhawatirkan kunci jawaban pada item tersebut salah. Namun jika kunci

jawaban sudah benar, maka artinya item tersebut tidak boleh dipakai (tidak valid).

Gambar 2.5 Item characteristic curve pada item negatif (using M-Plus)

Page 59: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

41

Jika dalam tahap pengembangan tes ada item yang menunjukan perilaku seperti

gambar 2.4 dan gambar 2.5, maka item-item seperti itu harus di drop dan

dikeluarkan dari tes. Dan jika dalam tes yang sudah baku, ditemukan perilaku

item seperti gambar 2.4 dan gambar 2.5, maka item-item tersebut tidak boleh ikut

diskoring.

2.3.3 Structural equation modeling (confirmatory factor analysis)

Sejarah structural equation modeling (SEM) dapat ditelusuri sampai kepada ahli

biologi Sewall Wright yang juga merupakan pengembang path analysis. Lalu

kemudian Karl Joreskog yang mengembangkan metode statistika yang disebut

confirmatory factor analysis (CFA), sebuah penerapan estimasi maximum

likelihood pada analisis faktor yang didahului oleh model teori yang spesifik

terlebih dahulu. Puncak perkembangan SEM modern terjadi ketika Joreskog

mengembangkan uji chi-square, sebuah uji signifikan yang membandingkan pola

korelasi variabel yang didapatkan dari data observasi dengan pola korelasi dari

model yang ditetapkan sebelumnya. Pada akhirnya, ketika path analysis yang

dikembangkan Wright dan CFA yang dikembangkan Joreskog digabungkan, saat

itulah SEM lahir (Hancock & Mueller, 2006; Bollen, 1989).

Menurut Ullman dan Bentler (dalam Schinka & Velicer, 2003) SEM adalah

sekumpulan teknik statistika untuk menguji hubungan sebab akibat satu atau lebih

independent variable (IV), satu atau lebih dependent variable (DV), baik variabel

itu berbentuk kontinum atau kategorik. IV dan DV dalam SEM dapat berbentuk

variabel manifes atau variabel laten. SEM dapat pula merujuk pada istilah causal

modeling, causal analysis, simultaneous equation modeling, analysis of

Page 60: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

42

covariance structures, path analysis, atau confirmatory factor analysis. Sebagai

informasi tambahan, dua nama terakhir sebenarnya merupakan kasus khusus

(special case) dari SEM.

SEM terbagi menjadi dua bagian, yaitu: model pengukuran (measurement

model) dan model struktural (structural model). Dalam hal ini CFA adalah model

yang termasuk dalam model pengukuran. Baik CFA dan SEM adalah sebuah

model regressi multivariat (multivariate regression model) yang menggambarkan

hubungan kausal antara seperangkat variabel manifes dan seperangkat variabel

laten yang kontinum. Variabel manifes sering disebut dengan indikator faktor

(factor indicator) dan variabel laten yang kontinum disebut juga dengan faktor

(Pedhazur, 1997; Muthen & Muthen, 2012).

CFA sering digunakan ketika variabel yang akan diteliti tidak bisa diukur

dengan baik secara langsung (indirectly observable). Misalnya, ketika ada

seperangkat item yang diteorikan peneliti untuk mengukur sebuah konstruk

(contohnya, inteligensi). Variabel laten atau faktor dapat pula ditafsirkan sebagai

konstruk, trait, atau “true” variables yang mendasari item-item yang diukur dan

menyebabkan saling berkorelasinya item-item tersebut (Hesketh, Skrondal &

Pickles, 2004).

Menurut Brown (2006) CFA telah menjadi prosedur statistika yang

memiliki berbagai macam kegunaan dalam berbagai konteks dan pertanyaan

penelitian. Berikut ini adalah kegunaan dari CFA:

1. Alat evaluasi psikometrika untuk pengembangan alat tes.

2. Alat validasi konstruk pada ilmu sosial.

Page 61: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

43

3. Alat untuk melihat pengaruh langsung dan tidak langsung.

4. Alat untuk menguji measurement invariance, artinya apakah suatu

teori/model/alat ukur tetap berlaku sama baiknya ketika ditempuh oleh

kelompok berbeda (ras, jenis kelamin, agama, suku).

Bollen (1989) menyatakan untuk melakukan analisis menggunakan CFA

peneliti harus menetapkan model teori yang spesifik terlebih dahulu (model

specification). Seperti menetapkan banyaknya item, menetapkan jumlah faktor,

dan memasangkan setiap item dengan faktor yang diteorikan oleh peneliti. Setelah

model dibuat, model tersebut diuji dengan data yang didapat oleh peneliti dari

observasi lapangan. Gambar 2.6 berikut merupakan ilustrasi dari sebuah model

teori dimana terdapat 5 item yang diteorikan mengukur satu faktor (model

unidimensional).

Gambar 2.6 Model teori 1 faktor dengan 5 item.

Setelah peneliti memiliki model yang spesifik, maka model teori tersebut diuji

dengan data yang didapatkan dari observasi lapangan. Secara matematis dapat

Page 62: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

44

diekspresikan dalam persamaan yang disajikan dapat melalui gambar 2.7 berikut

ini:

Gambar 2.7 Persamaan dasar confirmatory factor analysis

Keterangan:

∑ = Matriks korelasi yang dihasilkan dari teori/model

Λ = Matriks lambda (koefisien muatan faktor)

Φ = Matriks korelasi antar faktor

Λ’ = Matriks lambda yang di transpose

θ = Matriks kesalahan pengukuran/error/residual

Menurut Umar (2015) berdasarkan persamaan di atas dapat disimpulkan

hal-hal sebagai berikut ini, yaitu:

1. Dengan data yang dimiliki, peneliti mulai berteori dengan cara mengestimasi

matriks korelasi antar item jika memang model unidimensional/hanya

mengukur satu hal, dalam hal ini faktor. Matriks korelasi ini disebut sigma

(Σ), kemudian dibandingkan dengan matriks yang diperoleh dari data

observasi lapangan yang disebut matriks S. Jika teori yang dibuat peneliti

sebelumnya tersebut benar (unidimensional/hanya mengukur satu faktor)

maka tentu tidak ada perbedaan antara matriks Σ dengan matriks S, atau

secara matematis dapat juga diekspresikan dengan Σ - S = 0.

2. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chi-

square test. Jika nilai chi-square tidak signifikan (p > 0,05), maka hipotesis

∑= Λ.Φ.Λ’ + θ

Page 63: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

45

nihil yang menyatakan: “tidak ada perbedaan antara matriks S dan Σ” tidak

ditolak. Artinya teori peneliti yang menyatakan bahwa seluruh item pada tes

semuanya mengukur konstruk yang sama, dapat diterima kebenarannya

(didukung data). Sebaliknya, jika nilai Chi-square yang diperoleh signifikan

(p < 0,05), maka hipotesis nihil Σ - S = 0 ditolak. Artinya teori peneliti

tersebut tidak didukung data (ditolak).

3. Jika teori diterima (model fit), langkah selanjutnya adalah menguji tentang

signifikan tidaknya masing-masing item dalam mengukur apa yang hendak

diukur. Item yang baik (valid) harus memiliki koefisien muatan faktor yang

bermuatan positif. Jika didapat koefisien muatan faktor bermuatan negatif,

item harus langsung di drop. Jika item memiliki koefisien muatan faktor

positif, item harus diuji signifikan atau tidaknya dengan menggunakan t-test.

Jika nilai t signifikan (t > 1,96), berarti item yang dianalisis signifikan dalam

mengukur apa yang hendak diukur (valid). Dengan cara ini, dapat diketahui

item mana yang valid dan tidak valid dalam konteks validitas konstruk.

Dengan kata lain, sebenarnya confirmatory factor analysis adalah pengujian

hipotesis nihil (H0): Σ - S = 0. Ini berarti, peneliti berkeinginan tidak ada

perbedaan antara matriks korelasi yang didapatkan oleh teori dengan matriks

korelasi yang didapatkan dari data empiris. Atau peneliti ingin tidak ada

perbedaan antara teori yang diajukan sebelumnya dengan data yang didapat

dari observasi lapangan (kenyataan).

Dalam situasi khusus tertentu, contohnya ketika indikator faktor (item) pada

CFA berbentuk kategorik, misalnya dikotomi (benar-salah), sebenarnya CFA

Page 64: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

46

dapat juga merujuk pada item response theory. Hanya saja di dalam CFA peneliti

mampu menguji asumsi unidimensionalitas sebuah model secara empiris, berbeda

dalam IRT yang asumsi unidimensionalitasnya hanya sebatas asumsi (Muthen &

Muthen, 2012).

2.4 Konsep Measurement Invariance

Testing measurement invariance adalah prosedur ketika peneliti menguji asumsi

apakah suatu alat ukur dapat tetap valid dan mengukur konstruk yang sama di

kelompok yang berbeda. Lebih khusus lagi apakah indeks psikometri pada item

(lambda, intercept, dan residual) tetap memiliki nilai yang sama meski item

ditempuh oleh individu yang berasal dari kelompok yang berbeda. Kelompok

berbeda yang dimaksud dapat berarti kelompok budaya (etnis, suku, gender,

agama, tingkat pendidikan dan variabel demografi lainnya), waktu pengukuran

yang berbeda (Survey TIMS 2003 dan Survey TIMS 2007), metode administrasi

tes yang berbeda (tes berbasis administrasi komputer vs tes berbasis pensil dan

kertas). Dengan kata lain menguji measurement invariance dapat berfungsi pula

untuk mendeteksi bias pada suatu alat ukur (Bollen, 1989; Millsap, 2011; Kline,

2011).

Measurement invariance dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu

configural invariance, metric invariance (lambda invariance), scalar invariance

(intercept invariance) dan error variance invariance. Karena sangat banyak

istilah yang digunakan dalam konteks measurement invariance, maka peneliti

akan memaparkan tahapan dalam measurement invariance sebagai hirarki berikut

Page 65: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

47

ini (Byrne, Shavelson & Muthen, 1989; Vandenberg & Lance, 2000; Brown,

2006):

1. Configural Invariance (Pattern Invariance)

Configural invariance sering pula disebut pattern invariance atau equal form.

Configural invariance adalah menguji apakah pola faktor dan item pada

model alat ukur di suatu kelompok dapat berpola sama di kelompok yang

berbeda. Configural invariance adalah standar minimum yang harus dicapai

sebuah alat ukur agar dapat ditafsirkan di kelompok yang berbeda.

2. Metric Invariance (Lambda Invariance)

Setelah alat ukur terbukti memenuhi configural invariance, tahap selanjutnya

adalah menguji tahap metric invariance atau sering disebut lambda

invariance atau equal factor loading. Metric invariance artinya menguji

apakah nilai koefisien lambda (daya pembeda) pada model pengukuran

memiliki nilai yang sama di kelompok berbeda. Jika suatu alat ukur

memenuhi tahapan metric invariance, maka alat ukur tersebut dapat

dikatakan weak measurement invariance.

3. Scalar Invariance (Intercepts Invariance)

Jika sebuah alat ukur sudah terbukti configural dan metric invariance, maka

tahap selanjutnya adalah menguji tahapan scalar invariance atau equal

intercepts. Scalar invariance artinya menguji apakah indeks intercepts pada

item tes (tingkat kesukaran/T) memiliki nilai yang sama di kelompok

berbeda. Jika suatu alat ukur dapat memenuhi sampai pada tahap scalar

Page 66: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

48

invariance, maka alat ukur tersebut dapat dikatakan strong measurement

invariance.

4. Error Variance Invariance (Residual Invariance)

Tahapan terakhir dari measurement invariance adalah menguji error variance

invariance. Menguji error variance invariance artinya setelah seluruh

tahapan sebelumnya tercapai (configural invariance, metric invariance,

scalar invariance), peneliti menguji apakah indeks varian error (unique

variance) pada setiap item tes memiliki nilai yang sama di kelompok berbeda.

Perlu diketahui bahwa tahapan terakhir ini jarang sekali dapat terjadi dan sulit

sekali dicapai. Apabila ada suatu alat ukur dapat mencapai dan memenuhi

tahap error variance invariance, maka artinya alat ukur tersebut sangat baik

dan ideal. Istilah lain untuk menyebut situasi tersebut adalah strict

measurement invariance. Namun, sulitnya mendapatkan model yang strict

measurement invariance menjadikan tahapan ini menjadi opsional, dan tidak

menjadi prasyarat mutlak ke tahapan analisis selanjutnya.

Peneliti dapat pula menguji tahapan lebih lanjut dari sebuah alat ukur, yaitu

tahapan yang disebut structural invariance. Tahapan structural invariance ini

terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu sebagai berikut:

1. Factor Variance and Covariance Invariance

Jika sebuah model pengukuran terdiri lebih dari satu faktor (motivasi internal

dan motivasi eksternal) dan model tersebut sudah terbukti memenuhi

configural dan metric invariance, maka tahap selanjutnya adalah menguji

factor variance and covariance invariance. Artinya apakah varian dan

Page 67: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

49

kovarian dari faktor model memiliki nilai yang sama di kelompok yang

berbeda. Melakukan uji factor and covariance invariance ini menjadi relevan

dilakukan ketika terdapat lebih dari satu faktor di dalam model yang akan

diuji (multifactor).

2. Latent Mean Invariance

Jika sebuah model sudah terbukti teruji configural, metric, dan scalar

invariance, maka tahap selanjutnya adalah menguji latent mean invariance.

Artinya apakah nilai indeks mean faktor bernilai sama di kelompok berbeda.

Perlu diingat bahwa analisis terhadap latent mean akan bermakna hanya jika

alat ukur sudah terbukti memenuhi sampai tahapan strong measurement

invariance (equal intercept).

2.5 Gambaran Culture Fair Intelligence Test (CFIT)

Colom & Francisco (dalam Salkind, 2007) menyatakan Culture Fair Intelligence

Test adalah tes inteligensi yang dikembangkan oleh Raymond B. Cattell sebagai

tes non verbal untuk mengukur fluid intelligence (Gf). Tes CFIT terbagi menjadi

tiga jenis skala, yaitu: skala 1 untuk usia 4 sampai 8 tahun, skala 2 untuk usia 8

sampai 13 tahun, dan skala 3 untuk individu dengan kecerdasan di atas rata-rata.

Skala 2 dan 3 memiliki bentuk paralel (A dan B) yang dapat digunakan untuk

pengetesan kembali. Mayoritas dari tes-tes ini dapat diberikan secara kolektif pada

sekelompok individu, kecuali beberapa subtes dari skala 1. Tes CFIT memerlukan

instruksi verbal yang detil dan cepat dalam penyajiannya.

Skala 1 memiliki delapan subtes, namun hanya separuhnya yang benar-

benar adil secara budaya. Skala 1 tidak direkomendasikan karena beberapa subtes

Page 68: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

50

harus diadministrasikan secara individual, dan membutuhkan instruksi yang rumit.

Skala 2 dan 3 tes CFIT mirip satu sama lain, yang membedakan hanya tingkat

kesukarannya. Skala ini terdiri dari 4 subtes, yaitu:

1. Series terdiri dari 13 item, peserta diminta melanjutkan gambar secara logis

dari 3 gambar yang telah disajikan sebelumnya.

2. Classification terdiri dari 14 item, peserta diminta mencocokan 2 gambar

mana dari setiap seri yang cocok dipasangkan bersama.

3. Matrice terdiri dari 13 item, peserta diminta menentukan mana dari 5

alternatif yang paling logis untuk melengkapi pola matriks yang disajikan.

4. Topology terdiri dari 10 item, peserta diminta mencari aturan umum dimana

titik ditempatkan dengan menyimpulkan aturan dan memilih gambar yang

berlaku.

Masing-masing skala, baik skala 2 dan 3 membutuhkan waktu sekitar 30

menit untuk diadministrasikan.

2.6 Kerangka Berpikir

Tes CFIT adalah alat tes psikologi yang berfokus pada pengukuran inteligensi

individu. Tes CFIT terdiri dari 4 subtes dalam tes inteligensi CFIT, yaitu: Subtes

series, subtes classification, subtes matrice, dan subtes topology. Setiap subtes

memberikan kontribusi pada skor inteligensi. Semakin tinggi nilai signifikansi

maka semakin tinggi kontribusi item pada subtes dan begitu pula subtes pada skor

inteligensi.

Fokus penelitian ini adalah melakukan uji measurement invariance pada

tes CFIT karena tes ini diasumsikan culture fair atau bebas bias budaya, jenis

Page 69: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

51

Intelligence

Series

Item 1

Item 13

Classification

Item 1

Item 14

Matrice

Item 1

Item 13

Topology

Item 1

Item 10

kelamin dan antar bahasa. Dan dalam penelitian ini peneliti menggunakan

pendekatan multi-group confirmatory factor analysis karena selain belum pernah

ada penelitian di Indonesia yang menguji measurement invariance pada tes CFIT,

pendekatan multi-group adalah pendekatan yang paling generic dalam menguji

measurement invariance pada suatu alat tes psikologi.

Gambar 2.8 Kerangka berpikir

2.7 Hipotesis Penelitian

1. Seluruh item pada subtes series fit dengan data jika diuji tahapan configural

invariance, metric invariance, scalar invariance dan error variance

invariance di kelompok gender?

2. Seluruh item pada subtes classification fit dengan data jika diuji tahapan

configural invariance, metric invariance, scalar invariance dan error

variance invariance di kelompok gender?

Page 70: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

52

3. Seluruh item pada subtes matrice fit dengan data jika diuji tahapan configural

invariance, metric invariance, scalar invariance dan error variance

invariance di kelompok gender?

4. Seluruh item pada subtes topology fit dengan data jika diuji tahapan

configural invariance, metric invariance, scalar invariance dan error

variance invariance di kelompok gender?

5. Seluruh subtes pada tes CFIT fit dengan data jika diuji tahapan configural

invariance, metric invariance, scalar invariance dan error variance

invariance di kelompok gender?

Page 71: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

53

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Data Penelitian

Penelitian ini bertujuan menguji measurement invariance pada tes inteligensi

Culture Fair Intelligence Test (CFIT). Oleh karena itu peneliti akan kembali

menekankan bahwa penelitian ini dilakukan untuk menguji item-item pada subtes

tes CFIT, dan bukan tentang menguji peserta tes CFIT. Untuk menguji item-item

tersebut digunakan pendekatan uji validitas konstruk yang akan menentukan

apakah semua subtes tersebut benar-benar mengukur fluid intelligence di semua

kelompok.

Data mentah yang digunakan adalah data hasil tes inteligensi CFIT yang

disediakan oleh Pusat Layanan Psikologi (PLP) Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Pelaksanaan tes dilakukan pada tahun 2010 dengan total

sebanyak 873 peserta. Dan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah item-

item dari tes CFIT, sehingga menjadi kurang relevan jika membahas tentang

teknik pengambilan sampel.

Adapun karakteristik peserta tes CFIT pada data sekunder ini adalah sebagai

berikut:

a. Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).

b. Rentang usia 13-16 tahun.

c. Peserta terdiri dari 371 laki-laki dan 501 perempuan.

Page 72: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

54

Intelligence

Series Item 1

Item 13

Classification

Item 1

Item 14

Matrice Item 1

Item 13

Topology Item 1

Item 10

3.2 Instrumen Penelitian

Culture Fair Intelligence Test (CFIT) adalah tes inteligensi yang dikembangkan

oleh Raymond B. Cattell sebagai tes non verbal untuk mengukur fluid intelligence

(Gf) dan terdiri dari 4 subtes, yaitu:

1. Subtes series terdiri dari 13 item, peserta diminta melanjutkan gambar secara

logis dari 3 gambar yang telah disajikan sebelumnya.

2. Subtes clasification terdiri dari 14 item, peserta diminta mencocokan 2

gambar mana dari setiap seri yang cocok dipasangkan bersama.

3. Subtes matrice terdiri dari 13 item, peserta diminta menentukan mana dari 5

alternatif yang paling logis untuk melengkapi pola matriks yang disajikan.

4. Subtes topology terdiri dari 10 item, peserta diminta mencari aturan umum

dimana titik ditempatkan dengan menyimpulkan aturan dan memilih gambar

yang berlaku.

Untuk proses skoring pada tes CFIT, jawaban yang benar akan diberi skor 1

dan jawaban yang salah akan diberi skor 0. Diagram berikut adalah penjelasan

tentang jumlah item tes inteligensi CFIT.

Gambar 3.1 Jumlah subtes dan item tes CFIT

Page 73: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

55

3.3 Metode Analisis Data

Pada bagian ini peneliti akan memaparkan landasan argumen pemilihan metode

analisis yang akan digunakan untuk menguji validitas measurement invariance

pada tes CFIT. Setidaknya terdapat dua pendekatan yang umum digunakan untuk

menguji validitas measurement invariance pada alat tes psikologis. Pertama,

melalui pendekatan item response theory satu parameter logistik atau Rasch

model). Kedua, melalui pendekatan structural equation modeling atau populer

disebut confirmatory factor analysis (Reise, Widaman & Pugh, 1993; Raju,

Laffitte, & Byrne, 2002; Meade & Lautenschlager, 2004).

Pada penelitian ini peneliti memutuskan untuk menggunakan pendekatan

structural equation modeling (CFA). Peneliti memilih pendekatan CFA karena

pendekatan tersebut memiliki beberapa keunggulan dibandingkan metode IRT,

diantaranya adalah sebagai berikut ini (Reise et al., 1993; Raju et al., 2002; Meade

& Lautenschlager, 2004):

1. Lebih mudah digunakan (user friendly) dan lebih mudah diimplementasikan.

2. Pendekatan CFA memiliki jumlah indeks model fit (test goodness of fit) yang

lebih bervariasi, sehingga peneliti memiliki banyak opsi untuk menentukan

kriteria model fit (chi-square, RMSEA, GFI, CFI, Gamma Hat, McD NCI,

NFI).

3. Untuk melakukan uji measurement invariance pada alat tes yang itemnya

berbentuk dikotomi (benar-salah), sebenarnya pendekatan IRT lebih tepat

untuk digunakan. Namun ketika item yang akan dianalisis jumlahnya sangat

banyak, pendekatan CFA juga dapat dipercaya dan layak digunakan.

Page 74: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

56

4. Pendekatan CFA sangat baik mengatasi situasi ketika peneliti harus menguji

model lebih dari satu faktor (multi-factor model) di populasi berbeda (multi-

population) secara simultan. Berbeda dengan pendekatan IRT yang hanya

terbatas pada analisis model unidimensional saja (model satu faktor).

Hal di atas didukung oleh penelitian Nenty dan Dinero (1981) yang

melakukan uji measurement invariance pada tes CFIT menggunakan pendekatan

IRT (Rasch model). Hasil penelitian tersebut menyarankan agar penelitian

selanjutnya menggunakan pendekatan SEM (CFA) sebagai pembanding dari

pendekatan IRT. Berdasarkan argumen tersebut peneliti memilih pendekatan SEM

(CFA) sebagai metode analisis.

Selanjutnya dilanjutkan dengan pemaparan definisi dari CFA yang

didahului dengan penjelasan tentang factor analysis (analisis faktor) terlebih

dahulu. Analisis faktor adalah metode statistika yang sering digunakan untuk

menentukan banyaknya dimensi yang mendasari berkorelasinya seperangkat

observed variable (item) dan untuk mengidentifikasi pola hubungan seperangkat

variabel yang sesuai untuk setiap dimensi. Dimensi yang mendasari merujuk pada

istilah yang dikenal dengan continuous latent variables atau sering juga disebut

factor (Muthen & Muthen, 2012).

Menurut Kaplan (2004) terdapat dua jenis analisis faktor, yaitu: Pertama,

unrestricted model yang sering disebut pula dengan exploratory factor analysis.

Kemudian yang kedua, restricted model yang sering pula disebut dengan

confirmatory factor analysis. EFA pertama kali diperkenalkan oleh Charles

Spearman pada tahun 1904. Dalam EFA, peneliti tidak memiliki model teori

Page 75: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

57

(hipotesis) atau ekspektasi tertentu tentang jumlah atau sifat faktor yang

mendasari konstruk. Sebaliknya peneliti ingin membangun sebuah model atau

teori dari data yang ada.

Metode analisis faktor yang lebih modern disebut confirmatory factor

analysis (CFA). Metode ini dikembangkan oleh Joreskog pada tahun 1970

(Hancock & Mueller, 2006). Menurut Bollen (1989) tidak seperti EFA yang

berfungsi untuk membangun sebuah teori, sebaliknya CFA bertujuan untuk

menguji apakah dimensi dan pola dari muatan faktor yang sudah diteorikan di

awal fit dengan data empiris yang dimiliki. Sehingga CFA menjadi sangat relevan

digunakan untuk menguji sebuah model teori, dalam hal ini teori pengukuran.

Untuk itu di dalam CFA, peneliti harus memiliki gambaran yang spesifik

tentang model teori yang akan diuji (model Specification) yaitu: (a) jumlah faktor,

(b) variabel yang mencerminkan suatu faktor, dan (c) faktor-faktor yang saling

berkorelasi. Kegiatan awal dari CFA diawali dengan merumuskan model teori

tentang pengukuran variabel laten, kemudian model itu diuji kebenarannya secara

statistik menggunakan data (Bollen, 1989).

CFA tepat untuk menguji teori karena (a) langsung menguji teori dan (b)

tingkat model fit dapat diukur dengan berbagai cara. Menurut Umar (2015) tujuan

dari CFA adalah sebagai berikut:

1. Untuk menguji hipotesis tentang satu atau lebih faktor (contohnya inteligensi)

serta saling keterkaitan antara faktor tersebut sesuai model teori yang telah

ditetapkan.

Page 76: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

58

2. Untuk menguji validitas dari setiap indikator yang digunakan untuk

mengukur faktor/kostruk tersebut (item atau subtes).

CFA sering digunakan untuk memverifikasi jumlah dimensi yang mendasari

instrumen dengan pola hubungan item dengan faktor (factor loading). Hasil

analisis CFA dapat menghasilkan bukti kuat dari validitas konvergen dan

diskriminan dari sebuah konstruk teoritis. Adapun logika dari CFA adalah sebagai

berikut (Umar, 2015):

1. Bahwa ada sebuah konstruk, variabel laten atau trait berupa kemampuan yang

dapat didefinisikan secara operasional sehingga dapat disusun pertanyaan

atau pernyataan untuk mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor,

sedangkan pengukuran terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap

respon atas item-itemnya.

2. Diteorikan setiap item hanya mengukur satu faktor saja, begitupun juga tiap

subtes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya, baik item maupun subtes

bersifat unidimensional.

3. Dengan data yang tersedia, dapat diestimasi matriks korelasi antar item yang

seharusnya diperoleh jika memang unidimensional. Matriks korelasi ini

disebut sigma (Σ), kemudian dibandingkan dengan matriks dari data empiris,

yang disebut matriks S. Jika teori tersebut benar (unidimensional) maka

tentunya tidak ada perbedaan antara matriks korelasi Σ dan matriks korelasi S,

atau secara matematis dapat juga dinyatakan melalui persamaan Σ - S = 0.

4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chi-

square tes. Jika nilai chi-square tidak signifikan (p > 0,05), maka hipotesis

Page 77: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

59

nihil yang menyatakan: “tidak ada perbedaan antara matriks korelasi S

dengan matriks korelasi Σ” tidak ditolak. Dengan kata lain, teori yang

menyatakan bahwa seluruh item pada subtes semuanya hanya mengukur satu

hal (faktor), dapat diterima kebenarannya (didukung oleh data). Sebaliknya,

jika nilai chi-square yang diperoleh signifikan, maka hipotesis nihil Σ - S = 0

ditolak. Artinya, teori tersebut tidak didukung data (ditolak).

5. Jika teori diterima (model fit), langkah selanjutnya adalah menguji hipotesis

tentang signifikan tidaknya masing-masing item dalam mengukur apa yang

hendak diukur. Uji hipotesis ini dilakukan dengan t-test. Jika nilai t

signifikan, berarti item yang dianalisis signifikan dalam mengukur apa yang

hendak diukur. Dengan cara ini dapat diketahui item mana yang valid dan

tidak valid dalam konteks validitas konstruk. Dengan kata lain, confirmatory

factor analysis dalam hal ini adalah pengujian hipotesis nihil (H0): Σ - S = 0.

Ini berarti, tidak ada perbedaan antara matriks korelasi yang didapatkan dari

teori dengan matriks korelasi yang didapatkan dari observasi lapangan (teori

sama dengan kenyataan).

6. Persamaan matematis pada butir di atas adalah persamaan regresi untuk setiap

butir soal dalam hubungannya dengan faktor yang diukur.

X1=λ1.F+δ1

Keterangan:

X1 = Skor yang diperoleh pada item nomer 1

F = Faktor

Page 78: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

60

λ1 = Koefisien Regresi untuk item nomer 1 dalam mengukur F, disebut juga

koefisien muatan faktor

δ1 = Segala hal yang mempengaruhi varians X1 (selain F), disebut juga

kesalahan pengukuran

Menurut Umar (2015) langkah-langkah yang harus dilakukan agar

mendapat hasil analisis model yang baik adalah sebagai berikut:

1. Uji validitas model fit pada CFA dapat dilakukan dengan menggunakan chi-

square test. Jika nilai chi-square yang dihasilkan tidak signifikan (p > 0.05),

artinya seluruh item yang diteorikan di awal memang hanya mengukur satu

faktor saja.

2. Jika nilai chi-square signifikan (p < 0.05), maka harus dilakukan modifikasi

terhadap model teori dengan cara membebaskan parameter korelasi kesalahan

pengukuran. Artinya, suatu item selain mengukur konstruk yang diniatkan

diukur, item tersebut juga mengukur hal lain (multidimensional). Setelah

membebaskan beberapa kesalahan pengukuran untuk saling berkorelasi dan

akhirnya didapatkan model fit, maka model teori ini ini yang akan digunakan

pada analisis selanjutnya.

3. Setelah didapat model fit, maka selanjutnya adalah melakukan analisis pada

tingkat item dengan melihat apakah muatan faktor item tersebut signifikan

dan memiliki muatan koefisien positif. Taraf signifikansi item ini dapat

dilihat lewat indeks t-value koefisien muatan faktor item. Jika t > 1.96 maka

item tersebut signifikan dan valid. Jika muatan faktor bermuatan positif,

Page 79: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

61

tetapi t-value yang didapatkan t < 1.96, maka item tersebut juga harus di drop

atau tidak boleh dipakai (tidak valid).

4. Jika ditemukan item yang bermuatan faktor negatif, dalam hal ini pernyataan

negatif. Maka ketika dilakukan skoring pada item, arah skoringnya harus

diubah menjadi positif. Jika setelah diubah arah skoringnya masih terdapat

item bermuatan faktor negatif, maka item tersebut harus di drop.

5. Jika kesalahan pengukuran pada item terlalu banyak berkorelasi dengan

kesalahan pengukuran item lain, maka item ini pun harus di drop karena

bersifat multidimensional.

Menurut Brown (2006) untuk menguji measurement invariance dari sebuah

alat tes peneliti harus melakukan konstrain pada parameter-parameter yang ada

pada model pengukuran (Σ), yaitu parameter Λ (koefisien factor

loading/lambda), parameter T (indicator intercept/threshold), dan parameter Θ

(error variance/residual). Logika yang disajikan berikut ini menggunakan

kelompok gender (laki-laki vs perempuan) sebagai ilustrasi. Penjelasan lebih

lanjut tentang logika measurement invariance adalah sebagai berikut:

1. Configural Invariance (Pattern Invariance / Equal Form)

Configural invariance sering pula disebut pattern invariance atau equal form.

Configural invariance artinya peneliti berteori bahwa pola faktor dan item (Σ)

pada model pengukuran di suatu kelompok memiliki pola model yang sama

di kelompok lain. Sedangkan parameter lainnya seperti Λ, T, dan Θ, menjadi

parameter yang nilainya diperbolehkan untuk bervariasi (free parameter). Hal

ini dapat dilihat melalui ilustrasi berikut ini.

Page 80: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

62

Σlaki-laki = Σperempuan......... Σk

(k = Kelompok peserta)

Persamaan di atas dijadikan hipotesis nihil yang berbunyi, ”H0: tidak ada

perbedaan model teori yang ada di kelompok laki-laki dengan model teori

yang ada di kelompok perempuan”. Kemudian hipotesis nihil tersebut diuji

dengan data observasi lapangan. Jika nilai chi-square yang didapatkan tidak

signifikan (p > 0,05), artinya hipotesis nihil yang diuji tadi “tidak ditolak”

(didukung data). Dengan kata lain model teori yang diuji memang memiliki

pola hubungan faktor dan item yang sama di kedua kelompok. Tetapi jika

nilai chi-square yang didapatkan signifikan (p < 0,05), artinya hipotesis nihil

yang diuji tadi “ditolak” (tidak didukung data). Dengan kata lain, pola faktor

dengan item di kelompok laki-laki berbeda dengan pola faktor yang ada di

kelompok perempuan.

2. Metric Invariance (Lambda Invariance / Equal Factor Loading)

Tahap selanjutnya adalah menguji tahap metric invariance yang sering

disebut lambda invariance atau equal factor loading. Metric invariance

artinya peneliti berteori atau mengkonstrain nilai parameter Λ (lambda/daya

pembeda) seluruh item tes memiliki nilai yang sama (equal) di kelompok

berbeda. Hal ini dapat dilihat melalui ilustrasi berikut ini.

Λ1.laki-laki = Λ1.perempuan......... Λ1.k

(1 = Nomor item, k = Kelompok peserta)

Persamaan di atas dijadikan hipotesis nihil yang berbunyi, ”H0: tidak ada

perbedaan antara nilai koefisien lambda pada item nomor 1 di kelompok laki-

Page 81: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

63

laki dengan nilai koefisien lambda pada item nomor 1 di kelompok

perempuan”. Kemudian hipotesis nihil tersebut diuji dengan data observasi

lapangan. Jika nilai chi-square yang didapatkan tidak signifikan (p > 0,05),

artinya hipotesis nihil yang diuji tadi “tidak ditolak”. Dengan kata lain nilai

koefisien lambda pada item nomor 1 di kelompok laki-laki memiliki nilai

yang sama dengan koefisien lambda pada item nomor 1 di kelompok

perempuan (didukung data). Tetapi jika nilai chi-square yang didapatkan

signifikan (p < 0,05), artinya hipotesis nihil yang diuji tadi “ditolak”. Dengan

kata lain, nilai koefisien lambda pada item nomor 1 di kelompok laki-laki

memang memiliki nilai yang berbeda dengan koefisien lambda pada item

nomor 1 di kelompok perempuan (tidak didukung data).

3. Scalar Invariance (Intercepts Invariance / Equal Intercept)

Tahap selanjutnya adalah menguji scalar invariance atau equal intercepts.

Scalar invariance artinya peneliti berteori nilai parameter T (indikator

intercepts) seluruh item tes di satu kelompok memiliki nilai yang sama

(equal) di kelompok berbeda. Hal ini dapat dilihat melalui ilustrasi berikut

ini.

T1.laki-laki = T1.perempuan........T1.k

(1 = Nomor item, k = Kelompok peserta)

Persamaan di atas dijadikan hipotesis nihil yang berbunyi, ”H0: tidak ada

perbedaan antara nilai indikator intercepts pada item nomor 1 di kelompok

laki-laki dengan nilai indikator intercepts pada item nomor 1 di kelompok

perempuan”. Kemudian hipotesis nihil tersebut diuji dengan data observasi

Page 82: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

64

lapangan. Jika nilai chi-square yang didapatkan tidak signifikan (p > 0,05),

artinya hipotesis nihil yang diuji tadi “tidak ditolak”. Dengan kata lain nilai

indikator intercepts pada item nomor 1 di kelompok laki-laki memang

memiliki nilai yang sama dengan indikator intercepts pada item nomor 1 di

kelompok perempuan (didukung data). Tetapi jika nilai chi-square yang

didapatkan signifikan (p < 0,05), artinya hipotesis nihil yang diuji tadi

“ditolak”. Dengan kata lain, nilai indikator intercepts pada item nomor 1 di

kelompok laki-laki memang memiliki nilai yang berbeda dengan indikator

intercepts pada item nomor 1 di kelompok perempuan (tidak didukung data).

4. Error Variance Invariance (Equal Residual)

Tahapan terakhir dari measurement invariance suatu tes adalah menguji error

variance invariance. Menguji error variance invariance artinya peneliti

berteori apakah nilai parameter Θ (varian error/unique variance) pada setiap

item tes di satu kelompok memiliki nilai yang sama (equal) di kelompok

berbeda. Pada kenyataannya tahap terakhir ini sulit untuk dicapai sehingga

seringkali menjadi bersifat opsional. Namun, pada penelitian ini peneliti akan

tetap menguji model equal residual ini. Hal ini dapat dilihat melalui ilustrasi

berikut ini.

Θ1.laki-laki = Θ1.perempuan........... Θ1.k

(1 = Nomor item, k = Kelompok peserta)

Persamaan di atas dijadikan hipotesis nihil yang berbunyi, ”H0: tidak ada

perbedaan antara nilai residual pada item nomor 1 di kelompok laki-laki

dengan nilai residual pada item nomor 1 di kelompok perempuan”.

Page 83: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

65

Kemudian hipotesis nihil tersebut diuji dengan data observasi lapangan. Jika

nilai chi-square yang didapatkan tidak signifikan (p > 0,05), artinya hipotesis

nihil yang diuji tadi “tidak ditolak”. Dengan kata lain nilai residual pada item

nomor 1 di kelompok laki-laki memang memiliki nilai yang sama dengan

residual pada item nomor 1 di kelompok perempuan (didukung data). Tetapi

jika nilai chi-square yang didapatkan signifikan (p < 0,05), artinya hipotesis

nihil yang diuji tadi “ditolak”. Dengan kata lain, nilai residual pada item

nomor 1 di kelompok laki-laki memang memiliki nilai yang berbeda dengan

nilai residual pada item nomor 1 di kelompok perempuan (tidak didukung

data).

3.4 Prosedur Penelitian

Penelitian dimulai dengan mengumpulkan data yang diperlukan untuk

kepentingan analisis. Setelah didapatkan 873 orang hasil tes CFIT, maka tahap

selanjutnya adalah mengelompokan 873 orang ini berdasarkan jenis kelaminnya.

Kelompok gender terdiri dari 372 orang laki-laki dan 501 perempuan.

Setelah pembagian kelompok selesai dilakukan, tahap selanjutnya adalah

menentukan metode analisis yang akan digunakan. Dalam hal ini peneliti

memutuskan menggunakan pendekatan structural equation modeling atau lebih

spesifik menggunakan multiple-group confirmatory factor analysis. Multiple-

group confirmatory factor analysis (MGCFA) adalah suatu prosedur dimana

sebuah model teori diuji fit atau tidaknya setidaknya dari dua sampel berbeda

secara simultan, misalnya kelompok laki-laki dan kelompok perempuan (Kline,

Page 84: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

66

2011). Untuk selanjutnya peneliti akan terus menggunakan istilah MGCFA pada

penelitian ini.

Selanjutnya, tahap pertama peneliti melakukan analisis faktor konfirmatorik

pada seluruh subtes untuk mengecek dan menyeleksi apakah ada item yang

bermuatan koefisien faktor negatif serta tidak signifikan. Setelah didapatkan

hanya item yang bermuatan faktor positif dan signifikan, kemudian peneliti

melakukan uji measurement invariance pada setiap subtes tes CFIT, yaitu series,

classification, matrice, dan topology. Prosedur pengujian setiap adalah sebagai

berikut ini:

1. Peneliti melakukan analisis MGCFA pada subtes pertama yaitu subtes series.

Subtes series diuji apakah fit dengan data dan dapat memenuhi empat

tingkatan dari measurement invariance seperti configural invariance, metric

invariance, scalar invariance, dan error variance invariance.

2. Peneliti melakukan analisis MGCFA pada subtes kedua yaitu subtes

classification. Subtes classification diuji apakah fit dengan data dan dapat

memenuhi empat tingkatan dari measurement invariance seperti configural

invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error variance

invariance.

3. Peneliti melakukan analisis MGCFA pada subtes ketiga yaitu subtes matrice.

Subtes matrice diuji apakah fit dengan data dan memenuhi empat tingkatan

dari measurement invariance seperti configural invariance, metric

invariance, scalar invariance, dan error variance invariance.

Page 85: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

67

4. Peneliti melakukan analisis MGCFA pada subtes keempat yaitu subtes

topology. Subtes topology diuji apakah fit dengan data dan memenuhi empat

tingkatan dari measurement invariance seperti configural invariance, metric

invariance, scalar invariance, dan error variance invariance.

Untuk lebih memahami prosedur pada penelitian pada model 1st order ini

dapat dilihat melalui tabel yang disajikan seperti berikut ini.

Tabel 3.1

Tabel analisis MGCFA 1st order dan 2nd model order kelompok gender

Model Configural Metric Scalar Error

1st order series V V V V

1st order class V V V V

1st order matrice V V V V

1st order topology V V V V

2nd oder fluid intell V V V V

Tabel 3.1 di atas menunjukan bahwa pada data tes CFIT di kelompok gender

terdiri dari empat subtes yang setiap subtes akan diuji apakah memenuhi empat

tahap measurement invariance (fit dengan data). Selanjutnya, setelah analisis

MGCFA pada tingkat first order dilakukan, peneliti akan menguji measurement

invariance pada tingkat second order model, artinya, peneliti menguji model

apakah keempat subtes pada tes CFIT (series, classification, matrice, dan

topology) berkontribusi secara signifikan dalam mengukur fluid intelligence (fit

dengan data). Model akan diuji apakah memenuhi empat tingkatan dari

measurement invariance, yaitu configural invariance, metric invariance, scalar

invariance, dan error variance invariance.

Sebagai informasi tambahan perlu diketahui bahwa software statistika

MPLUS 7.0 memiliki default melakukan MGCFA langsung pada tahap scalar

Page 86: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

68

invariance. Artinya, MPLUS mulai melakukan analisis pada model yang paling

ideal kemudian membebaskan konstrain satu per satu jika model tidak fit. Namun,

jika model fit, artinya tahapan configural dan metric invariance telah terpenuhi.

Sehingga dapat dilakukan analisis yang lebih tinggi tingkatannya, contohnya error

variance invariance. Metode ini seringkali disebut dengan metode step-down

(Brown, 2006).

Page 87: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

69

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Pada bagian ini akan dilakukan uji validitas konstruk menggunakan multiple-

group confirmatory factor analysis untuk mengetahui. Uji validitas ini terdiri dari

dua tahap, yaitu:

1. Menguji hipotesis tentang model teori yang mengatakan bahwa item pada

masing-masing subtes hanya mengukur satu faktor di dua kelompok berbeda.

Pengujian ini dilakukan dengan melihat apakah ada perbedaan yang signifikan

antara matriks korelasi yang didapatkan dari teori dengan matriks korelasi

yang didapatkan dari data.

2. Menguji hipotesis apakah setiap item memberikan informasi yang sama di

kelompok yang berbeda. Dalam hal ini apakah indeks koefisien muatan faktor,

thresholds dan error variance pada setiap item memiliki nilai yang sama di

dua kelompok berbeda.

4.1 Multiple-group Confirmatory Factor Analysis Tingkat Subtes

4.1.1 MGCFA subtes series pada kelompok gender

Model teori pada subtes ini terdiri dari 13 item dengan satu faktor yang diteorikan

mengukur subtes series. Jumlah total responden adalah sebanyak 873 orang yang

terdiri 501 perempuan dan 372 laki-laki. Pertama peneliti melakukan analisis

faktor tingkat subtes yang melibatkan keseluruhan responden, yaitu sebanyak 873

responden. Tujuan dari analisis awal ini untuk mengecek apakah ada item yang

Page 88: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

70

memiliki koefisien muatan faktor negatif dan item yang tidak signifikan. Setelah

peneliti melakukan analisis didapatkan model dengan nilai chi-square = 142.730,

df = 65, p-value = 0.0000, RMSEA = 0.037, 90 % C.I=0.029 – 0.045.

Jika dilihat melalui nilai chi-square model ini belum fit karena nilai chi-

square masih signifikan (p<0.05). Namun, karena indeks chi-square sangat

sensitif terhadap ukuran sampel maka peneliti mempertimbangkan indeks model

fit yang lain seperti RMSEA dan 90 % C.I. Dapat dilihat jika berdasarkan nilai

indeks RMSEA model sudah fit (RMSEA < 0.05). Kemudian nilai 90 % confident

interval dari RMSEA yang didapatkan berkisar antara 0.029 – 0.045. Artinya, jika

penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan

sebesar 0.029 dan paling besar sebesar 0.045. Berdasarkan hal tersebut model

sudah dapat dikatakan fit.

Setelah model fit, peneliti mengecek item pada subtes series dan

menemukan item 13 memiliki koefisien muatan faktor negatif (-0.045). Tes CFIT

merupakan tes kemampuan, sehingga tidak diperbolehkan ada item yang memiliki

koefisien muatan faktor negatif. Jika ada item memiliki koefisien muatan faktor

negatif artinya semakin tinggi kemampuan individu, peluang individu tersebut

untuk menjawab dengan benar pada item semakin rendah. Maka item tersebut

harus didrop dari model dan tidak boleh ikut dianalisis.

Kemudian, peneliti kembali melakukan analisis faktor konfirmatorik

setelah mengeluarkan item nomer 13 dari model. Model terdiri dari 12 item

dengan satu faktor yang kemudian didapatkan nilai chi-square = 131.265, df = 54,

p-value = 0.0000, RMSEA = 0.040, 90 % C.I = 0.032 – 0.049. Hasil tersebut

Page 89: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

71

menunjukan bahwa model sudah fit karena nilai RMSEA sudah signifikan

(RMSEA < 0.05). Kemudian nilai 90 % confident interval dari RMSEA yang

didapatkan berkisar antara 0.032 – 0.049. Artinya, jika penelitian diulang ribuan

kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.032 dan paling

besar sebesar 0.049. Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit.

Ketika model fit telah tercapai, peneliti melakukan analisis pada tingkat

item untuk mengecek apakah masih ada item dengan koefisien muatan faktor

negatif atau item yang tidak signifikan. Ternyata, seluruh item yang berjumlah 12

item memiliki koefisien muatan faktor positif dan signifikan. Model dengan 12

item dengan satu faktor dapat diterima kebenarannya, meskipun nilai koefisien

muatan faktor dari item masih bervariasi. Tes seperti ini dapat disebut sebagai

congeneric test. Artinya, ketika sebuah tes memiliki item-item yang valid namun

nilai koefisien muatan faktor dari masing-masing item masih bervariasi.

Kemudian, peneliti meningkatkan konstrain teori dengan menjadikan

seluruh nilai koefisien muatan faktor pada item setara (equal lambda). Dari hasil

analisis didapatkan nilai chi-square = 233.607, p-value = 0.0000, df = 66,

RMSEA = 0.055, 90 % C.I = 0.047 – 0.062. Dapat dilihat bahwa nilai RMSEA

signifikan (RMSEA < 0.05). Hal ini didukung dengan nilai confident interval

RMSEA yang berkisar antara 0.047 – 0.062. Artinya, jika penelitian diulang

ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.047 dan

paling besar sebesar 0.062. Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan

fit. Gambar 4.1 berikut merupakan path diagram dari subtes series.

Page 90: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

72

Gambar 4.1 Path diagram subtes series (RMSEA=0.055, 90 % C.I=0.047 -

0.062)

Tabel 4.1

Tabel koefisien muatan faktor subtes series

Item Standardized Coefficient Standard Error P-value Keterangan

1 0.490 0.020 0.000 V

2 0.490 0.020 0.000 V

3 0.490 0.020 0.000 V

4 0.490 0.020 0.000 V

5 0.490 0.020 0.000 V

6 0.490 0.020 0.000 V

7 0.490 0.020 0.000 V

8 0.490 0.020 0.000 V

9 0.490 0.020 0.000 V

10 0.490 0.020 0.000 V

11 0.490 0.020 0.000 V

12 0.490 0.020 0.000 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Setelah peneliti mendapatkan 12 item valid, kemudian peneliti melakukan analisis

faktor konfirmatorik pada masing-masing kelompok gender secara terpisah, yaitu

kelompok perempuan dan kelompok laki-laki. Hal ini dilakukan untuk mengecek

Page 91: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

73

apakah ada perbedaan struktur teori yang ada pada kelompok perempuan dan

kelompok laki-laki. Dengan kata lain, peneliti ingin mengecek apakah ada item

yang hanya valid di kelompok perempuan atau di kelompok laki-laki.

Pada kelompok perempuan peneliti melakukan analisis faktor

konfirmatorik 12 item dengan satu faktor dengan hasil nilai chi-square = 67.442,

p-value = 0.1034, df = 54, RMSEA = 0.022, 90% C.I = 0.000 – 0.038. Dapat

dilihat model sudah fit karena nilai chi-square sudah tidak signifikan (p > 0.05)

dan didukung dengan nilai RMSEA yang sudah kurang dari 0.05 (RMSEA <

0.05). Kemudian nilai 90% C.I yang berkisar antara 0.000 – 0.038 yang artinya,

jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan

didapatkan sebesar 0.000 dan paling besar sebesar 0.038.

Setelah model fit, peneliti mengecek item pada subtes series di kelompok

perempuan dan menemukan item 10 memiliki koefisien muatan faktor yang tidak

signifikan dengan nilai t-value hanya sebesar 1.125 (t < 1.96). Item yang tidak

signifikan tersebut item tersebut harus didrop dari model dan tidak boleh ikut

dianalisis. Kemudian peneliti melakukan analisis faktor konfirmatorik kembali

setelah mendrop item 10 untuk mengecek masih adakah item yang harus di drop.

Model 11 item dengan satu faktor pada subtes series di kelompok

perempuan menunjukan hasil chi-square = 54.434, p-value = 0.1347, df = 44,

RMSEA = 0.022, 90% C.I = 0.000 – 0.039. Dapat dilihat model sudah fit karena

nilai chi-square sudah tidak signifikan (p > 0.05) dan didukung dengan nilai

RMSEA yang sudah kurang dari 0.05 (RMSEA < 0.05). Kemudian nilai 90% C.I

yang berkisar antara 0.000 – 0.039 yang artinya, jika penelitian diulang ribuan

Page 92: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

74

kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.000 dan paling

besar sebesar 0.039. Setelah model fit, peneliti melakukan analisis pada tingkat

item untuk mengecek apakah masih ada item yang memiliki koefisien muatan

faktor negatif atau item yang tidak signifikan. Dan ternyata seluruh item subtes

series di kelompok perempuan sudah valid.

Setelah didapatkan 11 item valid, peneliti meningkatkan konstrain teori

dengan menjadikan seluruh nilai koefisien muatan faktor pada item setara (equal

lambda). Dari hasil analisis didapatkan nilai chi-square = 100.999, p-value =

0.0001, df = 54, RMSEA = 0.042, 90 % C.I = 0.029 – 0.054. Dapat dilihat bahwa

nilai RMSEA sudah lebih kecil dari 0.05 (RMSEA < 0.05). Hal ini didukung

dengan nilai confident interval RMSEA yang berkisar antara 0.029 – 0.054.

Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang

akan didapatkan sebesar 0.029 dan paling besar sebesar 0.054. Berdasarkan hal

tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.2 berikut merupakan path

diagram dari subtes series di kelompok perempuan yang terbukti equal lambda.

Gambar 4.2 Path diagram subtes series di kelompok perempuan equal lambda

(RMSEA = 0.042 dan 90% C.I = 0.029 – 0.059)

Page 93: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

75

Tabel 4.2

Tabel koefisien muatan faktor subtes series di kelompok perempuan equal

lambda

Item Standardized Coefficient Standard Error P-value Keterangan

1 0.526 0.027 0.000 V

2 0.526 0.027 0.000 V

3 0.526 0.027 0.000 V

4 0.526 0.027 0.000 V

5 0.526 0.027 0.000 V

6 0.526 0.027 0.000 V

7 0.526 0.027 0.000 V

8 0.526 0.027 0.000 V

9 0.526 0.027 0.000 V

11 0.526 0.027 0.000 V

12 0.526 0.027 0.000 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Setelah analisis dilakukan pada kelompok perempuan, peneliti kembali

melakukan analisis faktor konfirmatorik pada kelompok laki-laki yang berjumlah

372 responden. Hasil analisis menunjukan nilai chi-square = 90.958, p-value =

0.0012, df = 54, RMSEA = 0.043, 90% C.I = 0.027 – 0.058. . Dapat dilihat bahwa

nilai RMSEA sudah lebih kecil dari 0.05 (RMSEA < 0.05). Hal ini didukung

dengan nilai confident interval RMSEA yang berkisar antara 0.027 – 0.058.

Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang

akan didapatkan sebesar 0.027 dan paling besar sebesar 0.058. Berdasarkan hal

tersebut model sudah dapat dikatakan fit.

Setelah model fit, peneliti mengecek item pada subtes series di kelompok

laki-laki dan menemukan item 12 memiliki koefisien muatan faktor yang tidak

signifikan dengan nilai t-value hanya sebesar 0.151 (t < 1.96). Item yang tidak

signifikan tersebut item tersebut harus didrop dari model dan tidak boleh ikut

Page 94: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

76

dianalisis. Kemudian peneliti melakukan analisis faktor konfirmatorik kembali

setelah mendrop item 12 untuk mengecek masih adakah item yang harus di drop.

Model 11 item dengan satu faktor pada subtes series di kelompok laki-laki

menunjukan hasil chi-square = 72.768, p-value = 0.0041, df = 44, RMSEA =

0.042, 90% C.I = 0.024 – 0.059. Dapat dilihat model sudah fit karena nilai

RMSEA yang sudah kurang dari 0.05 (RMSEA < 0.05). Kemudian nilai 90% C.I

yang berkisar antara 0.024 – 0.059 yang artinya, jika penelitian diulang ribuan

kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.024 dan paling

besar sebesar 0.059. Setelah model fit, peneliti melakukan analisis pada tingkat

item untuk mengecek apakah masih ada item yang memiliki koefisien muatan

faktor negatif atau item yang tidak signifikan. Dan ternyata seluruh item subtes

series di kelompok laki-laki sudah valid.

Setelah didapatkan 11 item valid, peneliti meningkatkan konstrain teori

dengan menjadikan seluruh nilai koefisien muatan faktor pada item setara (equal

lambda). Dari hasil analisis didapatkan nilai chi-square = 112.703, p-value =

0.0000, df = 54, RMSEA = 0.054, 90 % C.I = 0.040 – 0.068. Dapat dilihat bahwa

nilai RMSEA sudah hampir mendekati signifikan (RMSEA < 0.05). Kemudian

hal ini didukung dengan nilai confident interval RMSEA yang berkisar antara

0.040 – 0.068. Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA

terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.040 dan paling besar sebesar 0.068.

Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.3 berikut

merupakan path diagram dari subtes series di kelompok laki-laki yang terbukti

equal lambda.

Page 95: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

77

Gambar 4.3 Path diagram subtes series di kelompok laki-laki equal lambda

(RMSEA = 0.054 dan 90% C.I = 0.040 – 0.068)

Tabel 4.3

Tabel koefisien muatan faktor subtes series di kelompok laki-laki equal

lambda

Item Standardized Coefficient Standard Error P-value Keterangan

1 0.493 0.031 0.000 V

2 0.493 0.031 0.000 V

3 0.493 0.031 0.000 V

4 0.493 0.031 0.000 V

5 0.493 0.031 0.000 V

6 0.493 0.031 0.000 V

7 0.493 0.031 0.000 V

8 0.493 0.031 0.000 V

9 0.493 0.031 0.000 V

10 0.493 0.031 0.000 V

11 0.493 0.031 0.000 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Setelah data dianalisis pada masing-masing kelompok gender, ditemukan bahwa

pada kelompok perempuan item nomor 10 tidak valid. Sedangkan, pada kelompok

laki-laki item 12 yang tidak valid. Karena analisis berikutnya adalah analisis

multi-group confirmatory factor analysis (MGCFA), peneliti hanya akan

menggunakan item yang terbukti valid di kedua kelompok. Oleh karena itu,

Page 96: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

78

peneliti mendrop item 10 dan item 12 karena kedua item tersebut hanya valid

pada salah satu kelompok saja.

Setelah didapatkan 10 item yang terbukti valid pada dua kelompok gender,

peneliti akan melakukan MGCFA pada kelompok laki-laki dan perempuan secara

simultan. Pada model 10 item dengan satu faktor peneliti akan menguji tahapan

scalar invariance, artinya apakah nilai threshold dan koefisien muatan faktor pada

item subtes series memiliki nilai yang sama di kedua kelompok gender kemudian

fit dengan data. Sebagai tambahan scalar invariance merupakan tahapan yang

lebih tinggi dibandingkan configural invariance (pattern invariance) dan metric

invariance (lambda invariance). Artinya jika model fit dicapai pada tahap scalar

invariance, maka tahapan measurement invariance sebelumnya juga telah

terpenuhi.

Model 10 item dengan satu faktor dianalisis dan diuji dengan data

didapatkan model dengan nilai chi-square total = 106.384, nilai chi-square di

kelompok perempuan = 47.292, nilai chi-square di kelompok laki-laki = 59.092,

df = 79, p-value = 0.0217, RMSEA = 0.028, 90% C.I = 0.011 – 0.041. Dapat

dilihat model belum fit jika dilihat dari nilai chi-square (p < 0.05). Namun, karena

indeks chi-square sangat sensitif terhadap ukuran sampel, maka peneliti

mempertimbangkan indeks model fit lain seperti RMSEA. Dapat dilihat

berdasarkan nilai indeks RMSEA model sudah fit (p < 0.05). Kemudian hal ini

didukung dengan nilai confident interval RMSEA yang berkisar antara 0.011 –

0.041. Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil

yang akan didapatkan sebesar 0.011 dan paling besar sebesar 0.041. Berdasarkan

Page 97: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

79

hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.4 berikut merupakan path

diagram dari subtes series yang terbukti scalar invariance.

Gambar 4.4 Path diagram subtes series scalar invariance (RMSEA=0.028)

Tabel 4.4

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes series scalar invariance

(unstandardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 1 0.591 -1.638 6.563 0.000 V

0.591 -1.638 6.563 0.000 V

Item 2 0.854 -1.947 9.340 0.000 V

0.854 -1.947 9.340 0.000 V

Item 3 0.818 -1.621 9.956 0.000 V

0.818 -1.621 9.956 0.000 V

Item 4 0.571 -1.278 7.412 0.000 V

0.571 -1.278 7.412 0.000 V

Item 5 0.579 -1.032 8.659 0.000 V

0.579 -1.032 8.659 0.000 V

Item 6 0.462 -0.435 7.211 0.000 V

0.462 -0.435 7.211 0.000 V

Item 7 0.554 -0.394 9.575 0.000 V

0.554 -0.394 9.575 0.000 V

Item 8 0.508 0.176 8.538 0.000 V

0.508 0.176 8.538 0.000 V

Item 9 0.421 0.865 9.003 0.000 V

0.421 0.865 9.003 0.000 V

Item 11 0.237 1.557 4.506 0.000 V

0.237 1.557 4.506 0.000 V

Keterangan: FEMALE

MALE

Page 98: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

80

Pada tabel di atas dapat dilihat semua item pada subtes series memiliki nilai

indeks koefisien muatan faktor dan threshold yang sama baik di kelompok

perempuan dan di kelompok laki-laki. Agar setiap indeks pada item subtes series

dapat dibandingkan, maka peneliti melampirkan tabel 4.5 yang berisi indeks item

yang sudah dalam skala baku (standardized).

Tabel 4.5

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes series scalar invariance

(standardized)

Item Standardized

Coefficient

Standardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 1 0.591 -1.638 6.563 0.000 V

0.657 -1.822 6.391 0.000 V

Item 2 0.854 -1.947 9.340 0.000 V

0.775 -1.766 8.691 0.000 V

Item 3 0.818 -1.621 9.956 0.000 V

0.845 -1.674 12.092 0.000 V

Item 4 0.571 -1.278 7.412 0.000 V

0.587 -1.313 8.380 0.000 V

Item 5 0.579 -1.032 8.659 0.000 V

0.600 -1.069 8.807 0.000 V

Item 6 0.462 -0.435 7.211 0.000 V

0.449 -0.423 6.289 0.000 V

Item 7 0.554 -0.394 9.575 0.000 V

0.466 -0.331 6.078 0.000 V

Item 8 0.508 0.176 8.538 0.000 V

0.459 0.159 6.331 0.000 V

Item 9 0.421 0.865 9.003 0.000 V

0.427 0.876 6.951 0.000 V

Item 11 0.237 1.557 4.506 0.000 V

0.206 1.353 4.202 0.000 V

Keterangan:

Ketika subtes series telah mencapai tahapan scalar invariance, maka subtes series

tersebut dapat juga dikatakan telah mencapai tahapan strong measurement

invariance. Artinya, tidak ada perbedaan makna dan tingkat kesukaran antara item

FEMALE

MALE

Page 99: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

81

yang ditempuh kelompok perempuan dengan yang ditempuh kelompok laki-laki.

Dengan kata lain, item-item yang ada di subtes series berlaku sama di kelompok

laki-laki maupun di kelompok perempuan.

Sebagai contoh, nilai koefisien muatan faktor pada item 8 di kelompok

perempuan adalah 0.508 dan di kelompok laki-laki 0.508. Kemudian nilai

threshold pada item 8 di kelompok laki-laki adalah 0.176 dan di kelompok wanita

sebesar 0.176. Artinya, item 8 memiliki tingkat kesukaran yang sama jika

ditempuh oleh kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Sehingga tidak ada

kelompok yang dirugikan oleh item 8 tersebut. Dengan kata lain, item 8 memang

mengukur apa yang hendak diukur secara adil baik di kelompok laki-laki dan di

kelompok perempuan. Adapun perbedaan nilai pada indeks standardized terjadi

bukan karena perbedaan sebenarnya, melainkan karena perbedaan distribusi

sampling dan standar deviasi yang disebabkan perbedaan ukuran sampel di kedua

kelompok.

Setelah subtes series terbukti scalar invariance, peneliti meningkatkan

konstrain teori dengan mengkonstrain koefisien muatan faktor setara pada seluruh

item di setiap kelompok. Model ini dianalisis kembali menggunakan MGCFA dan

didapatkan nilai chi-square total = 164.372, nilai chi-square di kelompok

perempuan = 81.979, nilai chi-square di kelompok laki-laki = 82.972, df = 88, p-

value = 0.0000, RMSEA = 0.045, 90% C.I = 0.034 – 0.055. Dapat dilihat model

belum fit jika dilihat dari nilai chi-square (p < 0.05). Namun, karena indeks chi-

square sangat sensitif terhadap ukuran sampel, maka peneliti mempertimbangkan

indeks model fit lain seperti RMSEA. Dapat dilihat berdasarkan nilai indeks

Page 100: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

82

RMSEA model sudah fit (p < 0.05). Kemudian hal ini didukung dengan nilai

confident interval RMSEA yang berkisar antara 0.034 – 0.055. Artinya, jika

penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan

sebesar 0.034 dan paling besar sebesar 0.055. Berdasarkan hal tersebut model

sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.5 berikut merupakan path diagram dari

subtes series yang terbukti scalar invariance dan equal lambda.

Gambar 4.5 Path diagram subtes series scalar invariance equal lambda

(RMSEA=0.045)

Page 101: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

83

Tabel 4.6

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes series scalar invariance equal

lambda (unstandardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 1 0.548 -1.636 22.858 0.000 V

0.548 -1.636 22.858 0.000 V

Item 2 0.548 -1.857 22.858 0.000 V

0.548 -1.857 22.858 0.000 V

Item 3 0.548 -1.557 22.858 0.000 V

0.548 -1.557 22.858 0.000 V

Item 4 0.548 -1.273 22.858 0.000 V

0.548 -1.273 22.858 0.000 V

Item 5 0.548 -1.041 22.858 0.000 V

0.548 -1.041 22.858 0.000 V

Item 6 0.548 -0.475 22.858 0.000 V

0.548 -0.475 22.858 0.000 V

Item 7 0.548 -0.416 22.858 0.000 V

0.548 -0.416 22.858 0.000 V

Item 8 0.548 0.152 22.858 0.000 V

0.548 0.152 22.858 0.000 V

Item 9 0.548 0.884 22.858 0.000 V

0.548 0.884 22.858 0.000 V

Item 11 0.548 1.642 22.858 0.000 V

0.548 1.642 22.858 0.000 V

Keterangan:

Pada tabel di atas dapat dilihat semua item pada subtes series memiliki nilai

indeks koefisien muatan faktor yang setara pada setiap item (equal lambda) dan

threshold yang sama baik di kelompok perempuan dan di kelompok laki-laki.

Agar setiap indeks pada item subtes series dapat dibandingkan, maka peneliti

melampirkan tabel 4.7 yang berisi indeks item yang sudah dalam skala baku

(standardized).

FEMALE

MALE

Page 102: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

84

Tabel 4.7

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes series scalar invariance equal

lambda (Standardized)

Item Standardized

Coefficient

Standardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 1 0.548 -1.636 22.858 0.000 V

0.649 -1.939 9.482 0.000 V

Item 2 0.548 -1.857 22.858 0.000 V

0.593 -2.010 10.216 0.000 V

Item 3 0.548 -1.557 22.858 0.000 V

0.666 -1.893 14.028 0.000 V

Item 4 0.548 -1.273 22.858 0.000 V

0.605 -1.408 11.125 0.000 V

Item 5 0.548 -1.041 22.858 0.000 V

0.606 -1.152 10.637 0.000 V

Item 6 0.548 -0.475 22.858 0.000 V

0.494 -0.428 6.852 0.000 V

Item 7 0.548 -0.416 22.858 0.000 V

0.493 -0.375 6.291 0.000 V

Item 8 0.548 0.152 22.858 0.000 V

0.439 0.122 6.258 0.000 V

Item 9 0.548 0.884 22.858 0.000 V

0.483 0.780 8.801 0.000 V

Item 11 0.548 1.642 22.858 0.000 V

0.400 1.198 9.834 0.000 V

Keterangan:

Setelah subtes series terbukti memenuhi tahapan scalar invariance, kemudian

peneliti melakukan uji validitas pada tahap measurement invariance yang lebih

tinggi, yaitu tahapan error variance invariance. Model 10 item dengan satu faktor

diuji dengan data yang kemudian menghasilkan nilai chi-square total = 181.381,

nilai chi-square di kelompok perempuan = 74.741, nilai chi-square di kelompok

laki-laki = 106.640, df = 97, p-value = 0.0000, RMSEA = 0.045, 90% Confident

interval = 0.034 – 0.055.

Dapat dilihat pada hasil analisis di atas bahwa model sudah fit karena nilai

indeks RMSEA sudah signifikan (RMSEA < 0.05). Kemudian hal ini didukung

dengan nilai confident interval RMSEA yang berkisar antara 0.034 – 0.055.

FEMALE

MALE

Page 103: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

85

Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang

akan didapatkan sebesar 0.034 dan paling besar sebesar 0.055. Berdasarkan hal

tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.6 berikut merupakan path

diagram dari subtes series yang terbukti error variance invariance.

Gambar 4.6 Path diagram subtes series error variance invariance (RMSEA =

0.045)

Berikut pada tabel 4.8 dan 4.9 akan dilampirkan nilai koefisien muatan faktor,

threshold dan varians residual pada subtes series yang terbukti error variance

invariance.

Page 104: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

86

Tabel 4.8

Coefficient, threshold dan error subtes series error variance invariance

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

Threshold

Unstandardized

Residual P-value Ket.

Item 1 0.644 -2.025 1.000 0.000 V

0.644 -2.025 1.098 0.000 V

Item 2 0.644 -2.270 1.000 0.000 V

0.644 -2.270 1.098 0.000 V

Item 3 0.644 -1.998 1.000 0.000 V

0.644 -1.998 1.098 0.000 V

Item 4 0.644 -1.555 1.000 0.000 V

0.644 -1.555 1.098 0.000 V

Item 5 0.644 -1.257 1.000 0.000 V

0.644 -1.257 1.098 0.000 V

Item 6 0.644 -0.499 1.000 0.000 V

0.644 -0.499 1.098 0.000 V

Item 7 0.644 -0.430 1.000 0.000 V

0.644 -0.430 1.098 0.000 V

Item 8 0.644 0.223 1.000 0.000 V

0.644 0.223 1.098 0.000 V

Item 9 0.644 1.072 1.000 0.000 V

0.644 1.072 1.098 0.000 V

Item 11 0.644 1.817 1.000 0.000 V

0.644 1.817 1.098 0.000 V

Keterangan:

Pada tabel 4.8 di atas dapat dilihat semua item pada subtes series memiliki nilai

indeks muatan faktor, threshold dan error variance yang sama baik di kelompok

perempuan dan di kelompok laki-laki. Agar setiap indeks pada item subtes series

dapat dibandingkan, maka peneliti melampirkan tabel 4.9 yang berisi indeks item

yang sudah dalam skala baku (standardized).

FEMALE

MALE

Page 105: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

87

Tabel 4.9

Koefisien muatan faktor, threshold dan residual variance subtes series error

variance invariance (standardized)

Item Standardized

Coefficient

Standardized

Threshold

Std Residual

Variance P-value Ket.

Item 1 0.542 -1.702 0.707 0.000 V

0.524 -1.646 0.726 0.000 V

Item 2 0.542 -1.908 0.707 0.000 V

0.524 -1.845 0.726 0.000 V

Item 3 0.542 -1.680 0.707 0.000 V

0.524 -1.624 0.726 0.000 V

Item 4 0.542 -1.308 0.707 0.000 V

0.524 -1.264 0.726 0.000 V

Item 5 0.542 -1.057 0.707 0.000 V

0.524 -1.022 0.726 0.000 V

Item 6 0.542 -0.419 0.707 0.000 V

0.524 -0.405 0.726 0.000 V

Item 7 0.542 -0.361 0.707 0.000 V

0.524 -0.349 0.726 0.000 V

Item 8 0.542 0.187 0.707 0.000 V

0.524 0.181 0.726 0.000 V

Item 9 0.542 0.901 0.707 0.000 V

0.524 0.872 0.726 0.000 V

Item 11 0.542 1.528 0.707 0.000 V

0.524 1.477 0.726 0.000 V

Keterangan:

Ketika subtes series telah mencapai tahapan error variance invariance, maka

subtes series tersebut dapat juga dikatakan telah mencapai tahapan strict

measurement invariance. Tahapan strict measurement invariance merupakan

tahapan yang lebih ideal dibandingkan tahapan strong measurement invariance.

Selain tidak ada perbedaan makna dan tingkat kesukaran pada item, tetapi juga

tidak ada perbedaan varian error antara item yang ditempuh di kelompok

perempuan dengan yang ditempuh di kelompok laki-laki. Dengan kata lain, item-

item yang ada di subtes series berlaku sama dan adil di kelompok laki-laki

maupun di kelompok perempuan.

FEMALE

MALE

Page 106: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

88

Sebagai contoh, nilai koefisien muatan faktor pada item 8 di kelompok

laki-laki adalah sebesar 0.524 dan di kelompok perempuan 0.542. Kemudian, nilai

threshold pada item 8 di kelompok laki-laki adalah 0.181 dan di kelompok wanita

sebesar 0.187. Sedangkan nilai varian error item 8 di kelompok laki-laki 0.726

dan di kelompok perempuan 0.707. Artinya, item 8 memiliki kadar tingkat

kesukaran dan varian error yang sama jika ditempuh oleh kelompok laki-laki dan

kelompok perempuan. Sehingga tidak ada kelompok yang dirugikan oleh item 8

tersebut. Dengan kata lain, item 8 memang mengukur apa yang hendak diukur

secara adil baik di kelompok laki-laki dan di kelompok perempuan. Adapun

perbedaan nilai pada indeks standardized terjadi bukan karena perbedaan

sebenarnya, melainkan karena perbedaan distribusi sampling dan standar deviasi

yang disebabkan perbedaan ukuran sampel di kedua kelompok.

4.1.2 MGCFA subtes classification pada kelompok gender

Model teori pada subtes ini terdiri dari 14 item yang diteorikan mengukur subtes

classification. Pertama peneliti melakukan analisis faktor tingkat subtes yang

melibatkan keseluruhan responden dalam satu kelompok saja, yaitu sebanyak 873

orang. Ketika pertama kali dilakukan analisis didapatkan model dengan indeks

nilai chi-square = 375.069, df = 77, p-value = 0.0000, RMSEA = 0.067, 90%

confident interval = 0.060 – 0.073.

Dapat dilihat model ini belum fit karena nilai chi-square masih signifikan

(p<0.05). Kemudian indeks RMSEA dari model juga belum menunjukan model

fit. Oleh karena itu peneliti kembali melihat spesifikasi model dari teori yang diuji

di awal. Kemudian, peneliti menemukan empat item yang memiliki koefisien

Page 107: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

89

muatan faktor negatif dan dua item dengan koefisien muatan faktor positif tetapi

tidak signifikan. Item-item tersebut adalah item 7 (-0.411), item 8 (-0.058), item

10 (-0.544), item 12 (0.012), item 13 (0.100) dan item 14 (-0.218).

Peneliti mengeluarkan seluruh item bermuatan faktor negatif dan item

yang tidak signifikan dari model sehingga tersisa 8 item. Lalu peneliti kembali

menganalisis model 8 item dengan satu faktor yang kemudian menghasilkan nilai

chi-square = 46.555, df = 20, p-value = 0.0007, RMSEA = 0.039, 90% confident

interval = 0.024 – 0.054. Dapat dilihat model masih belum juga fit dengan melihat

p-value yang masih 0.0007. Namun, indeks RMSEA mengalami penurunan dari

semula 0.067 menjadi 0.039. Kemudian hal ini didukung dengan nilai confident

interval RMSEA yang berkisar antara 0.024 – 0.054. Artinya, jika penelitian

diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan sebesar

0.034 dan paling besar sebesar 0.055. Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat

dikatakan fit (RMSEA < 0.05).

Setelah model fit tercapai, peneliti menambah konstrain pada model

dengan membuat koefisien muatan faktor untuk semua item setara (equal

lambda). Hasil yang didapatkan adalah nilai chi-square = 129.493, p-value =

0.0000, df = 27, RMSEA = 0.066, 90% confident interval = 0.055 – 0.078. Dapat

dilihat model belum fit karena nilai chi-square yang masih signifikan (p < 0.05).

Nilai RMSEA yang didapat pun masih di atas 0.05 (RMSEA > 0.05). Oleh karena

itu peneliti kembali melihat model teori dan mencari penyebab model tidak fit.

Setelah peneliti mengecek model teori, peneliti menemukan bahwa

terdapat terdapat korelasi kesalahan pengukuran antara item 2 dengan item 1.

Page 108: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

90

Setelah peneliti mengijinkan korelasi kesalahan pengukuran antara item 2 dengan

item 1 didapatkan hasil chi-square = 103.360, p-value = 0.0000, df = 26, indeks

RMSEA = 0.058, 90% confident interval = 0.047 – 0.070. Dapat dilihat hasil di

atas menunjukan model sudah fit dengan melihat indeks RMSEA yang hampir

mendekati 0.05. Kemudian hal ini didukung dengan nilai confident interval

RMSEA yang berkisar antara 0.047 – 0.070. Artinya, jika penelitian diulang

ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.047 dan

paling besar sebesar 0.070. Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan

fit (RMSEA < 0.05). Gambar 4.7 berikut merupakan path diagram dari subtes

classification yang terbukti fit.

Gambar 4.7 Path diagram subtes classification fit (RMSEA = 0.058 dan 90%

C.I = 0.047 – 0.070)

Page 109: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

91

Tabel 4.10

Koefisien muatan faktor subtes classification

Item Unstandardized

Coefficient

Standardized

Coefficient T-value

P-value

Ket.

Item 1 0.643 0.643 39.935 0.000 V

Item 2 0.643 0.643 39.935 0.000 V

Item 3 0.643 0.643 39.935 0.000 V

Item 4 0.643 0.643 39.935 0.000 V

Item 5 0.643 0.643 39.935 0.000 V

Item 6 0.643 0.643 39.935 0.000 V

Item 9 0.643 0.643 39.935 0.000 V

Item 11 0.643 0.643 39.935 0.000 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Kemudian, setelah peneliti mendapatkan 8 item valid di subtes classification,

kemudian peneliti melakukan analisis faktor konfirmatorik pada masing-masing

kelompok gender secara terpisah. Pada kelompok perempuan didapatkan nilai chi-

square = 21.884, p-value = 0.3490, df = 20, RMSEA = 0.014, 90% confident

interval = 0.000 – 0.042. Dapat dilihat hasil di atas menunjukan model sudah fit

dengan melihat nilai chi-square yang sudah tidak signifikan (p > 0.05) dan indeks

RMSEA yang sudah di bawah 0.05. Kemudian hal ini didukung dengan nilai

confident interval RMSEA yang berkisar antara 0.000 – 0.042. Artinya, jika

penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan

sebesar 0.000 dan paling besar sebesar 0.042. Berdasarkan hal tersebut model

sudah dapat dikatakan fit.

Setelah subtes classification di kelompok perempuan terbukti fit dengan

data, peneliti meningkatkan konstrain teori dengan membuat koefisien muatan

faktor pada seluruh item setara (equal lambda). Hasil analisis model menunjukan

nilai chi-square = 109.287, p-value = 0.0000, df = 27, RMSEA = 0.078, 90%

confident interval = 0.063 – 0.094. Dapat dilihat hasil di atas menunjukan model

Page 110: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

92

belum fit dengan melihat chi-square yang masih signifikan (p < 0.05). Kemudian

indeks RMSEA yang masih di atas 0.05. Oleh karena itu, peneliti kembali

mengecek model teori dan mencari penyebab model tidak fit.

Setelah peneliti mengecek kembali model ditemukan bahwa terdapat

korelasi kesalahan pengukuran antara item 1 dengan item 2 dan item 9 dengan

item 4. Peneliti akhirnya mengijinkan agar kesalahan pengukuran antar item

saling berkorelasi dan kemudian didapatkan model dengan nilai chi-square =

68.781, p-value = 0.0000, df = 25, RMSEA = 0.053, 90% C.I = 0.043 – 0.076.

Meskipun nilai chi-square belum menunjukan model fit, tetapi indeks RMSEA

sudah mendekati 0.05. Kemudian hal ini didukung dengan nilai confident interval

RMSEA yang berkisar antara 0.043 – 0.076. Artinya, jika penelitian diulang

ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.043 dan

paling besar sebesar 0.076. Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan

fit.

Gambar 4.8 Path diagram subtes classification kelompok perempuan

(RMSEA = 0.053 dan 90% C.I = 0.043 – 0.076)

Page 111: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

93

Tabel 4.11

Tabel koefisien muatan faktor subtes classification di kelompok perempuan

equal lambda

Item Standardized Coefficient Standard Error P-value Keterangan

1 0.638 0.021 0.000 V

2 0.638 0.021 0.000 V

3 0.638 0.021 0.000 V

4 0.638 0.021 0.000 V

5 0.638 0.021 0.000 V

6 0.638 0.021 0.000 V

9 0.638 0.021 0.000 V

11 0.638 0.021 0.000 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Setelah analisis dilakukan pada kelompok perempuan, peneliti kembali

melakukan analisis faktor konfirmatorik pada subtes classification di kelompok

laki-laki yang berjumlah 372 responden. Hasil analisis menunjukan nilai chi-

square = 22.861, p-value = 0.2957, df = 20, RMSEA = 0.020, 90% C.I = 0.000 –

0.050. Dapat dilihat bahwa nilai chi-square sudah tidak signifikan (p > 0.05) dan

nilai RMSEA sudah lebih kecil dari 0.05 (RMSEA < 0.05). Hal ini didukung

dengan nilai confident interval RMSEA yang berkisar antara 0.000 – 0.050.

Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang

akan didapatkan sebesar 0.027 dan paling besar sebesar 0.058. Berdasarkan hal

tersebut model sudah dapat dikatakan fit.

Setelah subtes classification di kelompok laki-laki terbukti fit dengan data,

peneliti meningkatkan konstrain teori dengan membuat koefisien muatan faktor

pada seluruh item setara (equal lambda). Hasil analisis model menunjukan nilai

chi-square = 78.227, p-value = 0.0000, df = 27, RMSEA = 0.071, 90% confident

interval = 0.053 – 0.090. Dapat dilihat hasil di atas menunjukan model belum fit

Page 112: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

94

dengan melihat chi-square yang masih signifikan (p < 0.05). Kemudian indeks

RMSEA yang masih di atas 0.05. Oleh karena itu, peneliti kembali mengecek

model teori dan mencari penyebab model tidak fit.

Setelah peneliti mengecek kembali model ditemukan bahwa terdapat

korelasi kesalahan pengukuran antara item 4 dengan item 3. Peneliti akhirnya

mengijinkan agar kesalahan pengukuran antar item saling berkorelasi dan

kemudian didapatkan model dengan nilai chi-square = 58.572, p-value = 0.0003,

df = 26, RMSEA = 0.058, 90% C.I = 0.038 – 0.078. Meskipun nilai chi-square

belum menunjukan model fit, tetapi indeks RMSEA sudah mendekati 0.05.

Kemudian hal ini didukung dengan nilai confident interval RMSEA yang berkisar

antara 0.038 – 0.078. Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks

RMSEA terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.048 dan paling besar sebesar

0.078. Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit.

Gambar 4.9 Path diagram subtes classification kelompok laki-laki (RMSEA

= 0.058 dan 90% C.I = 0.038 – 0.078)

Page 113: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

95

Tabel 4.12

Tabel koefisien muatan faktor subtes classification di kelompok laki-laki

equal lambda

Item Standardized

Coefficient

Standard

Error P-value Keterangan

1 0.503 0.039 0.000 V

2 0.503 0.039 0.000 V

3 0.503 0.039 0.000 V

4 0.503 0.039 0.000 V

5 0.503 0.039 0.000 V

6 0.503 0.039 0.000 V

9 0.503 0.039 0.000 V

11 0.503 0.039 0.000 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Setelah data dianalisis pada masing-masing kelompok gender, peneliti akan

melakukan MGCFA pada kelompok laki-laki dan perempuan secara simultan.

Pada model 8 item dengan satu faktor peneliti akan menguji tahapan scalar

invariance, artinya apakah nilai threshold dan koefisien muatan faktor pada item

subtes classification memiliki nilai yang sama di kedua kelompok gender

kemudian fit dengan data. Sebagai tambahan scalar invariance merupakan

tahapan yang lebih tinggi dibandingkan configural invariance (pattern

invariance) dan metric invariance (lambda invariance). Artinya jika model fit

dicapai pada tahap scalar invariance, maka tahapan measurement invariance

sebelumnya juga telah terpenuhi.

Model 8 item dengan satu faktor dianalisis dan diuji dengan data

didapatkan model dengan nilai chi-square total = 83.929, nilai chi-square di

kelompok perempuan = 30.972, nilai chi-square di kelompok laki-laki = 52.957,

df = 47, p-value = 0.0007, RMSEA = 0.042, 90% C.I = 0.027 – 0.057. Dapat

Page 114: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

96

dilihat model belum fit jika dilihat dari nilai chi-square (p < 0.05). Namun, karena

indeks chi-square sangat sensitif terhadap ukuran sampel, maka peneliti

mempertimbangkan indeks model fit lain seperti RMSEA. Dapat dilihat

berdasarkan nilai indeks RMSEA model sudah fit (RMSEA < 0.05). Kemudian

hal ini didukung dengan nilai confident interval RMSEA yang berkisar antara

0.027 – 0.057. Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA

terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.027 dan paling besar sebesar 0.057.

Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.10 berikut

merupakan path diagram dari subtes series yang terbukti scalar invariance.

Gambar 4.10 Path diagram subtes classification scalar invariance

(RMSEA = 0.042)

Page 115: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

97

Tabel 4.13

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes classification scalar invariance

(unstandardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardize

d Threshold T-value P-value Ket.

Item 1 0.737 -0.843 17.681 0.000 V

0.737 -0.843 17.681 0.000 V

Item 2 0.800 -1.297 17.282 0.000 V

0.800 -1.297 17.282 0.000 V

Item 3 0.679 -1.148 13.074 0.000 V

0.679 -1.148 13.074 0.000 V

Item 4 0.784 -0.513 17.604 0.000 V

0.784 -0.513 17.604 0.000 V

Item 5 0.460 -0.641 8.576 0.000 V

0.460 -0.641 8.576 0.000 V

Item 6 0.508 -0.675 9.266 0.000 V

0.508 -0.675 9.266 0.000 V

Item 9 0.765 0.184 15.211 0.000 V

0.765 0.184 15.211 0.000 V

Item 11 0.523 0.450 10.017 0.000 V

0.523 0.450 10.017 0.000 V

Keterangan:

Pada tabel di atas dapat dilihat semua item pada subtes classification memiliki

nilai indeks koefisien muatan faktor dan threshold yang sama baik di kelompok

perempuan dan di kelompok laki-laki. Agar setiap indeks pada item subtes

classification dapat dibandingkan, maka peneliti melampirkan tabel 4.14 yang

berisi indeks item yang sudah dalam skala baku (standardized).

FEMALE

MALE

Page 116: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

98

Tabel 4.14

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes classification scalar invariance

(Standardized)

Item Standardized

Coefficient

Standardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 1 0.737 -0.843 17.681 0.000 V

0.792 -0.905 14.112 0.000 V

Item 2 0.800 -1.297 17.282 0.000 V

0.823 -1.334 14.797 0.000 V

Item 3 0.679 -1.148 13.074 0.000 V

0.767 -1.298 13.886 0.000 V

Item 4 0.784 -0.513 17.604 0.000 V

0.706 -0.462 12.579 0.000 V

Item 5 0.460 -0.641 8.576 0.000 V

0.557 -0.775 9.752 0.000 V

Item 6 0.508 -0.675 9.266 0.000 V

0.534 -0.709 9.228 0.000 V

Item 9 0.765 0.184 15.211 0.000 V

0.576 0.139 8.708 0.000 V

Item 11 0.523 0.450 10.017 0.000 V

0.462 0.397 8.771 0.000 V

Keterangan:

Ketika subtes classification telah mencapai tahapan scalar invariance, maka

subtes classification tersebut dapat juga dikatakan telah mencapai tahapan strong

measurement invariance. Artinya, tidak ada perbedaan makna dan tingkat

kesukaran antara item yang ditempuh kelompok perempuan dengan yang

ditempuh kelompok laki-laki. Dengan kata lain, item-item yang ada di subtes

series berlaku sama di kelompok laki-laki maupun di kelompok perempuan.

Setelah subtes classification terbukti scalar invariance, peneliti

meningkatkan konstrain teori dengan mengkonstrain koefisien muatan faktor

setara pada seluruh item di setiap kelompok. Model ini dianalisis kembali

menggunakan MGCFA dan didapatkan nilai chi-square total = 160.752, nilai chi-

square di kelompok perempuan = 122.645, nilai chi-square di kelompok laki-laki

FEMALE

MALE

Page 117: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

99

= 38.107, df = 54, p-value = 0.0000, RMSEA = 0.067, 90% C.I = 0.055 – 0.079.

Dapat dilihat model belum fit jika dilihat dari nilai chi-square (p < 0.05).

Kemudian nilai indeks RMSEA model masih di atas 0.05 (RMSEA > 0.05). Oleh

karena itu peneliti kembali mengecek model teori dan mencari penyebab model

tidak fit.

Setelah peneliti mengecek kembali model ditemukan bahwa terdapat

korelasi kesalahan pengukuran antara item 1 dengan item 2 dan item 4 dengan

item 9. Peneliti akhirnya mengijinkan agar kesalahan pengukuran antar item

saling berkorelasi dan kemudian didapatkan model dengan nilai chi-square =

115.571, p-value = 0.0000, df = 50, RMSEA = 0.055, 90% C.I = 0.042 – 0.068.

Meskipun nilai chi-square belum menunjukan model fit, tetapi indeks RMSEA

sudah mendekati 0.05. Kemudian hal ini didukung dengan nilai confident interval

RMSEA yang berkisar antara 0.042 – 0.068. Artinya, jika penelitian diulang

ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.042 dan

paling besar sebesar 0.068. Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan

fit. Gambar 4.11 berikut merupakan path diagram subtes classification scalar

invariance dan equal lambda.

Gambar 4.11 Path diagram subtes classification scalar invariance equal lambda

(RMSEA = 0.055 dan 90% C.I = 0.042 – 0.068)

Page 118: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

100

Tabel 4.15

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes classification scalar invariance

equal lambda (Unstandardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 1 0.639 -0.822 32.635 0.000 V

0.639 -0.822 32.635 0.000 V

Item 2 0.639 -1.230 32.635 0.000 V

0.639 -1.230 32.635 0.000 V

Item 3 0.639 -1.133 32.635 0.000 V

0.639 -1.133 32.635 0.000 V

Item 4 0.639 -0.482 32.635 0.000 V

0.639 -0.482 32.635 0.000 V

Item 5 0.639 -0.733 32.635 0.000 V

0.639 -0.733 32.635 0.000 V

Item 6 0.639 -0.734 32.635 0.000 V

0.639 -0.734 32.635 0.000 V

Item 9 0.639 0.160 32.635 0.000 V

0.639 0.160 32.635 0.000 V

Item 11 0.639 0.466 32.635 0.000 V

0.639 0.466 32.635 0.000 V

Keterangan:

Pada tabel di atas dapat dilihat semua item pada subtes classification memiliki

nilai indeks koefisien muatan faktor dan threshold yang sama baik di kelompok

perempuan dan di kelompok laki-laki. Agar setiap indeks pada item subtes

classification dapat dibandingkan, maka peneliti melampirkan tabel 4.16 yang

berisi indeks item yang sudah dalam skala baku (standardized).

FEMALE

MALE

Page 119: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

101

Tabel 4.16

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes classification scalar invariance

equal lambda (standardized)

Item Standardized

Coefficient

Standardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 1 0.639 -0.822 32.635 0.000 V

0.761 -0.980 13.183 0.000 V

Item 2 0.639 -1.230 32.635 0.000 V

0.752 -1.449 13.966 0.000 V

Item 3 0.639 -1.133 32.635 0.000 V

0.762 -1.352 15.084 0.000 V

Item 4 0.639 -0.482 32.635 0.000 V

0.708 -0.534 12.755 0.000 V

Item 5 0.639 -0.733 32.635 0.000 V

0.625 -0.718 11.397 0.000 V

Item 6 0.639 -0.734 32.635 0.000 V

0.581 -0.667 10.139 0.000 V

Item 9 0.639 0.160 32.635 0.000 V

0.581 0.146 8.372 0.000 V

Item 11 0.639 0.466 32.635 0.000 V

0.474 0.346 9.258 0.000 V

Keterangan:

Setelah subtes classification terbukti memenuhi tahapan scalar invariance,

kemudian peneliti melakukan uji validitas pada tahap measurement invariance

yang lebih tinggi, yaitu tahapan error variance invariance. Model 8 item dengan

satu faktor diuji dengan data yang kemudian menghasilkan nilai chi-square total =

141.121, nilai chi-square di kelompok perempuan = 74.469, nilai chi-square di

kelompok laki-laki = 66.652, df = 57, p-value = 0.0000, RMSEA = 0.058, 90%

Confident interval = 0.046 – 0.070.

Dapat dilihat pada hasil analisis di atas bahwa model sudah fit karena nilai

indeks RMSEA mendekati 0.05. Kemudian hal ini didukung dengan nilai

confident interval RMSEA yang berkisar antara 0.046 – 0.070. Artinya, jika

penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan

FEMALE

MALE

Page 120: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

102

sebesar 0.046 dan paling besar sebesar 0.070. Berdasarkan hal tersebut model

sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.12 berikut merupakan path diagram dari

subtes classification yang terbukti error variance invariance.

Gambar 4.12 Path diagram subtes classification error variance invariance

(RMSEA = 0.058 dan 90% C.I = 0.046 – 0.070)

Tabel 4.17

Koefisien muatan faktor, threshold, error variance subtes classification error

variance invariance (Unstandardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

Threshold

Unstdandardized

Residual P-value

Ket

.

Item 1 0.828 -1.092 1.000 0.000 V

0.828 -1.092 0.934 0.000 V

Item 2 0.828 -1.665 1.000 0.000 V

0.828 -1.665 0.934 0.000 V

Item 3 0.828 -1.538 1.000 0.000 V

0.828 -1.538 0.934 0.000 V

Item 4 0.828 -0.611 1.000 0.000 V

0.828 -0.611 0.934 0.000 V

Item 5 0.828 -0.899 1.000 0.000 V

0.828 -0.899 0.934 0.000 V

Item 6 0.828 -0.876 1.000 0.000 V

0.828 -0.876 0.934 0.000 V

Item 9 0.828 0.228 1.000 0.000 V

0.828 0.228 0.934 0.000 V

Item 11 0.828 0.558 1.000 0.000 V

0.828 0.558 0.934 0.000 V

FEMALE

MALE Keterangan:

Page 121: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

103

Pada tabel 4.17 di atas dapat dilihat semua item pada subtes classification

memiliki nilai indeks muatan faktor, threshold dan error variance yang sama baik

di kelompok perempuan dan di kelompok laki-laki. Agar setiap indeks pada item

subtes classification dapat dibandingkan, maka peneliti melampirkan tabel 4.18

yang berisi indeks item yang sudah dalam skala baku (standardized).

Tabel 4.18

Koefisien muatan faktor, threshold, error variance subtes classification error

variance invariance (Standardized)

Item Standardized

Coefficient

Standardized

Threshold

Standardized

Residual P-value Ket.

Item 1 0.638 -0.841 0.593 0.000 V

0.651 -0.858 0.576 0.000 V

Item 2 0.638 -1.282 0.593 0.000 V

0.651 -1.308 0.576 0.000 V

Item 3 0.638 -1.184 0.593 0.000 V

0.651 -1.208 0.576 0.000 V

Item 4 0.638 -0.471 0.593 0.000 V

0.651 -0.480 0.576 0.000 V

Item 5 0.638 -0.693 0.593 0.000 V

0.651 -0.707 0.576 0.000 V

Item 6 0.638 -0.675 0.593 0.000 V

0.651 -0.688 0.576 0.000 V

Item 9 0.638 0.175 0.593 0.000 V

0.651 0.179 0.576 0.000 V

Item 11 0.638 0.430 0.593 0.000 V

0.651 0.438 0.576 0.000 V

Keterangan:

Ketika subtes classification telah mencapai tahapan error variance invariance,

maka subtes classification tersebut dapat juga dikatakan telah mencapai tahapan

strict measurement invariance. Tahapan strict measurement invariance

merupakan tahapan yang lebih ideal dibandingkan tahapan strong measurement

invariance. Selain tidak ada perbedaan makna dan tingkat kesukaran pada item,

tetapi juga tidak ada perbedaan varian error antara item yang ditempuh di

FEMALE

MALE

Page 122: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

104

kelompok perempuan dengan yang ditempuh di kelompok laki-laki. Dengan kata

lain, item-item yang ada di subtes classification berlaku sama dan adil di

kelompok laki-laki maupun di kelompok perempuan.

Sebagai contoh, nilai koefisien muatan faktor pada item 11 di kelompok

laki-laki adalah sebesar 0.651 dan di kelompok perempuan 0.638. Kemudian, nilai

threshold pada item 11 di kelompok laki-laki adalah 0.438 dan di kelompok

wanita sebesar 0.576. Sedangkan nilai varian error item 8 di kelompok laki-laki

0.726 dan di kelompok perempuan 0.593. Artinya, item 11 memiliki kadar tingkat

kesukaran dan varian error yang sama jika ditempuh oleh kelompok laki-laki dan

kelompok perempuan. Sehingga tidak ada kelompok yang dirugikan oleh item 11

tersebut. Dengan kata lain, item 11 memang mengukur apa yang hendak diukur

secara adil baik di kelompok laki-laki dan di kelompok perempuan. Adapun

perbedaan nilai pada indeks standardized terjadi bukan karena perbedaan

sebenarnya, melainkan karena perbedaan distribusi sampling dan standar deviasi

yang disebabkan perbedaan ukuran sampel di kedua kelompok.

4.1.3 MGCFA Subtes Matrice pada kelompok gender

Model teori pada subtes ini terdiri dari 13 item yang diteorikan mengukur subtes

matrice. Pertama peneliti melakukan analisis faktor tingkat subtes yang

melibatkan keseluruhan responden dalam satu kelompok saja, yaitu sebanyak 873

orang. Ketika pertama kali dilakukan analisis didapatkan model dengan indeks

nilai chi-square = 80.714, df = 65, p-value = 0.0904, RMSEA = 0.017, 90% C.I =

0.000 – 0.027.

Page 123: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

105

Dapat dilihat model ini belum fit karena nilai chi-square masih signifikan

(p<0.05). Ketika model dilihat dari indeks RMSEA, CFI dan TLI belum tercapai

juga model fit. Untuk itu kembali peneliti melihat spesifikasi model dari teori

yang diuji di awal. Dan peneliti menemukan dua item yang memiliki koefisien

muatan faktor negatif dan empat item dengan koefisien muatan faktor positif

tetapi tidak signifikan. Item-item tersebut adalah item 5 (0.028), item 8 (0.113),

item 9 (0.033), item 10 (-0.032), item 12 (0.114) dan item 13 (-0.351).

Peneliti mengeluarkan seluruh item bermuatan faktor negatif dan yang tidak

signifikan dari sehingga tersisa 7 item. Lalu peneliti kembali menganalisis model

7 item dengan satu faktor yang kemudian menghasilkan nilai chi-square = 16.626,

df = 14, p-value = 0.2767, RMSEA = 0.015, 90% C.I = 0.000 – 0.037. Dapat

dilihat model sudah fit dengan melihat p-value yang 0.2767. Dapat juga dilihat

nilai chi-square mengalami penurunan semakin mendekati 0.00. Nilai chi-square

yang semula 95.318 mengalami penurunan menjadi 16.625. Nilai p-value yang

semula bernilai 0.0102 mengalami kenaikan menjadi 0.2767 ( p> 0.05). Kemudian

indeks RMSEA menunjukan bahwa model sudah fit dengan nilai 0.015 (RMSEA

< 0.05).

Hasil test goodness of fit di atas mengindikasikan model semakin fit setelah

peneliti mendrop 6 item yang bermuatan faktor negatif dan tidak signifikan. Dapat

dilihat model 7 item dengan satu faktor akhirnya fit dengan data. Artinya,

hipotesis yang menyatakan bahwa 7 item tersebut hanya mengukur satu faktor

dapat diterima kebenarannya. Gambar 4.7 berikut merupakan path diagram dari

model teori pada subtes matrice yang sudah fit

Page 124: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

106

Setelah didapatkan 7 item valid, peneliti meningkatkan konstrain teori

dengan membuat koefisien muatan faktor pada seluruh item setara (equal

lambda). Kemudian hasil analisis model menunjukan nilai chi-square = 32.671, p-

value = 0.0367, df = 20, RMSEA = 0.027, 90% C.I = 0.007 – 0.043. Dapat dilihat

model sudah fit dengan nilai RMSEA yang sudah di bawah 0.05 (RMSEA <

0.05). Kemudian didukung nilai 90% confident interval yang menunjukan nilai

antara 0.007 – 0.043. Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai RMSEA

terkecil yang akan didapatkan adalah sebesar 0.007 dan nilai RMSEA terbesar

yang akan didapat adalah sebesar 0.043. Dengan demikian, model sudah dapat

dikatakan fit. Gambar 4.13 berikut merupakan path diagram subtes matrice.

Gambar 4.13 Path diagram subtes matrice fit (RMSEA = 0.027)

Page 125: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

107

Tabel 4.19

Koefisien muatan faktor subtes matrice

Item Standardized Coeficient P-value Ket.

Item 1 0.467 16.409 V

Item 2 0.467 16.409 V

Item 3 0.467 16.409 V

Item 4 0.467 16.409 V

Item 6 0.467 16.409 V

Item 7 0.467 16.409 V

Item 11 0.467 16.409 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Kemudian, setelah peneliti mendapatkan 7 item valid di subtes matrice, kemudian

peneliti melakukan analisis faktor konfirmatorik pada masing-masing kelompok

gender secara terpisah. Pada kelompok perempuan didapatkan nilai chi-square =

15.461, p-value = 0.3474, df = 14, RMSEA = 0.014, 90% confident interval =

0.000 – 0.047. Dapat dilihat hasil di atas menunjukan model sudah fit dengan

melihat nilai chi-square yang sudah tidak signifikan (p > 0.05) dan indeks

RMSEA yang sudah di bawah 0.05 (RMSEA). Berdasarkan hal tersebut model

sudah dapat dikatakan fit.

Ketika model fit berhasil didapatkan, peneliti melanjutkan analisis pada

tingkat item dan menemukan 2 item yang tidak signifikan. Item-item tersebut

adalah item 6 dan item 11. Item-item yang tidak signifikan tersebut harus didrop

dan tidak boleh ikut dianalisis. Kemudian peneliti kembali melakukan analisis

faktor konfirmatorik pada 5 item tersisa dan didapatkan nilai chi-square = 5.313,

p-value = 3789, df = 5, RMSEA = 0.011, 90% C.I = 0.000 – 0.064. Dapat dilihat

model sudah fit dengan nilai chi-square yang sudah tidak signifikan (p > 0.05).

Kemudian didukung nilai RMSEA yang sudah di bawah 0.05 (RMSEA , 0.05).

Page 126: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

108

Setelah subtes matrice di kelompok perempuan terbukti fit dengan data,

peneliti meningkatkan konstrain teori dengan membuat koefisien muatan faktor

pada seluruh item setara (equal lambda). Hasil analisis model menunjukan nilai

chi-square = 16.839, p-value = 0.0513, df = 9, RMSEA = 0.042, 90% confident

interval = 0.000 – 0.072. Dapat dilihat hasil di atas menunjukan model sudah fit

dengan melihat chi-square yang sudah tidak signifikan (p > 0.05). Kemudian

indeks RMSEA yang sudah di bawah 0.05. Gambar 4.14 berikut merupakan path

diagram dari subtes matrice di kelompok perempuan.

Gambar 4.14 Path diagram subtes matrice di kelompok perempuan (p-value =

0.0513 dan RMSEA = 0.042)

Page 127: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

109

Tabel 4.20

Tabel koefisien muatan faktor subtes matrice di kelompok perempuan equal

lambda

Item Standardized Coefficient Standard Error P-value Keterangan

1 0.504 0.042 0.000 V

2 0.504 0.042 0.000 V

3 0.504 0.042 0.000 V

4 0.504 0.042 0.000 V

7 0.504 0.042 0.000 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Setelah analisis dilakukan pada kelompok perempuan, peneliti kembali

melakukan analisis faktor konfirmatorik pada kelompok laki-laki yang berjumlah

372 responden. Hasil analisis menunjukan nilai chi-square = 17.694, p-value =

0.2215, df = 14, RMSEA = 0.027, 90% C.I = 0.000 – 0.060. . Dapat dilihat bahwa

model sudah fit dengan melihat nilai chi-square yang sudah tidak signifikan (p >

0.05). Kemudian nilai RMSEA yang sudah lebih kecil dari 0.05 (RMSEA < 0.05).

Hal ini didukung dengan nilai confident interval RMSEA yang berkisar antara

0.000 – 0.060. Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA

terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.000 dan paling besar sebesar 0.060.

Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit.

Setelah didapatkan 7 item valid, peneliti meningkatkan konstrain teori

dengan menjadikan seluruh nilai koefisien muatan faktor pada item setara (equal

lambda). Dari hasil analisis didapatkan nilai chi-square = 29.817, p-value =

0.0729, df = 20, RMSEA = 0.036, 90 % C.I = 0.000 – 0.062. Dapat dilihat bahwa

sudah fit dengan melihat nilai chi-square yang sudah tidak signifikan (p > 0.05).

Kemudian nilai RMSEA sudah di bawah 0.05 (RMSEA < 0.05). Berdasarkan hal

Page 128: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

110

tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.15 berikut merupakan path

diagram dari subtes matrice di kelompok laki-laki yang terbukti equal lambda.

Gambar 4.15 Path diagram subtes matrice di kelompok laki-laki (P-value =

0.0729 dan RMSEA = 0.036)

Tabel 4.21

Tabel koefisien muatan faktor subtes matrice di kelompok perempuan equal

lambda

Item Standardized Coefficient Standard Error P-value Keterangan

1 0.489 0.036 0.000 V

2 0.489 0.036 0.000 V

3 0.489 0.036 0.000 V

4 0.489 0.036 0.000 V

6 0.489 0.036 0.000 V

7 0.489 0.036 0.000 V

11 0.489 0.036 0.000 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Page 129: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

111

Setelah data dianalisis pada masing-masing kelompok gender, peneliti akan

melakukan MGCFA pada kelompok laki-laki dan perempuan secara simultan.

Namun, sebagai catatan ditemukan item 6 dan item 11 tidak valid di kelompok

perempuan. Sedangkan, item 6 dan item 11 valid di kelompok laki-laki. Untuk itu,

peneliti akan mendrop item 6 dan item 11, karena item tersebut hanya valid pada

salah satu kelompok.

Pada model 5 item dengan satu faktor peneliti akan menguji tahapan

scalar invariance, artinya apakah nilai threshold dan koefisien muatan faktor pada

item subtes classification memiliki nilai yang sama di kedua kelompok gender

kemudian fit dengan data. Sebagai tambahan scalar invariance merupakan

tahapan yang lebih tinggi dibandingkan configural invariance (pattern

invariance) dan metric invariance (lambda invariance). Artinya jika model fit

dicapai pada tahap scalar invariance, maka tahapan measurement invariance

sebelumnya juga telah terpenuhi.

Model 5 item dengan satu faktor dianalisis dan diuji dengan data

didapatkan model dengan nilai chi-square total = 20.277, nilai chi-square di

kelompok perempuan = 8.394, nilai chi-square di kelompok laki-laki = 11.884, df

= 14, p-value = 0.1216, RMSEA = 0.032, 90% C.I = 0.000 – 0.061. Dapat dilihat

model sudah fit jika dilihat dari nilai chi-square yang sudah tidak signifikan (p >

0.05). Kemudian, nilai RMSEA yang sudah di bawah 0.05 (RMSEA < 0.05).

Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.16 berikut

merupakan path diagram dari subtes matrice yang terbukti scalar invariance.

Page 130: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

112

Gambar 4.16 Path diagram subtes matrice scalar invariance (p-value =

0.1216 dan RMSEA = 0.032)

Tabel 4.22

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes matrice scalar invariance

(unstandardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 1 0.642 -1.494 6.331 0.000 V

0.642 -1.494 6.331 0.000 V

Item 2 0.715 -1.344 7.088 0.000 V

0.715 -1.344 7.088 0.000 V

Item 3 0.525 -1.026 6.590 0.000 V

0.525 -1.026 6.590 0.000 V

Item 4 0.365 -0.197 4.238 0.000 V

0.365 -0.197 4.238 0.000 V

Item 7 0.383 -0.576 4.945 0.000 V

0.383 -0.576 4.945 0.000 V

Keterangan:

Pada tabel di atas dapat dilihat semua item pada subtes matrice memiliki nilai

indeks koefisien muatan faktor dan threshold yang sama baik di kelompok

perempuan dan di kelompok laki-laki. Agar setiap indeks pada item subtes

matrice dapat dibandingkan, maka peneliti melampirkan tabel 4.23 yang berisi

indeks item yang sudah dalam skala baku (standardized).

FEMALE

MALE FEMALE

MALE

Page 131: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

113

Tabel 4.23

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes matrice scalar invariance

(standardized)

Item Standardized

Coefficient

Standardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 1 0.642 -1.494 6.331 0.000 V

0.737 -1.713 7.921 0.000 V

Item 2 0.715 -1.344 7.088 0.000 V

0.714 -1.343 7.367 0.000 V

Item 3 0.525 -1.026 6.590 0.000 V

0.535 -1.046 5.579 0.000 V

Item 4 0.365 -0.197 4.238 0.000 V

0.251 -0.136 2.740 0.000 V

Item 7 0.383 -0.576 4.945 0.000 V

0.412 -0.620 4.922 0.000 V

Keterangan:

Ketika subtes matrice telah mencapai tahapan scalar invariance, maka subtes

matrice tersebut dapat juga dikatakan telah mencapai tahapan strong measurement

invariance. Artinya, tidak ada perbedaan makna dan tingkat kesukaran antara item

yang ditempuh kelompok perempuan dengan yang ditempuh kelompok laki-laki.

Dengan kata lain, item-item yang ada di subtes matrice berlaku sama di kelompok

laki-laki maupun di kelompok perempuan.

Setelah subtes matrice terbukti scalar invariance, peneliti meningkatkan

konstrain teori dengan mengkonstrain koefisien muatan faktor setara pada seluruh

item di setiap kelompok. Model ini dianalisis kembali menggunakan MGCFA dan

didapatkan nilai chi-square total = 33.590, nilai chi-square di kelompok

perempuan = 17.008, nilai chi-square di kelompok laki-laki = 16.583, df = 18, p-

value = 0.0141, RMSEA = 0.045, 90% C.I = 0.020 – 0.068. Dapat dilihat model

sudah fit yaitu nilai indeks RMSEA model sudah di bawah 0.05 (RMSEA < 0.05).

FEMALE

MALE

Page 132: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

114

Gambar 4.17 berikut merupakan path diagram subtes matrice scalar invariance

dan equal lambda.

Gambar 4.17 Path diagram subtes matrice scalar invariance dan equal lambda

(RMSEA = 0.045)

Tabel 4.24

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes matrice scalar invariance dan

equal lambda (unstandardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 1 0.515 -1.474 13.370 0.000 V

0.515 -1.474 13.370 0.000 V

Item 2 0.515 -1.317 13.370 0.000 V

0.515 -1.317 13.370 0.000 V

Item 3 0.515 -1.025 13.370 0.000 V

0.515 -1.025 13.370 0.000 V

Item 4 0.515 -0.205 13.370 0.000 V

0.515 -0.205 13.370 0.000 V

Item 7 0.515 -0.591 13.370 0.000 V

0.515 -0.591 13.370 0.000 V

Keterangan:

Pada tabel di atas dapat dilihat semua item pada subtes matrice memiliki nilai

indeks koefisien muatan faktor dan threshold yang sama baik di kelompok

perempuan dan di kelompok laki-laki. Agar setiap indeks pada item subtes

FEMALE

MALE FEMALE

MALE

Page 133: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

115

matrice dapat dibandingkan, maka peneliti melampirkan tabel 4.25 yang berisi

indeks item yang sudah dalam skala baku (standardized).

Tabel 4.25

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes matrice scalar invariance dan

equal lambda (standardized)

Item Standardized

Coefficient

Standardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 1 0.642 -1.494 6.331 0.000 V

0.618 -1.769 11.342 0.000 V

Item 2 0.715 -1.344 7.088 0.000 V

0.550 -1.405 10.821 0.000 V

Item 3 0.525 -1.026 6.590 0.000 V

0.535 -1.064 8.572 0.000 V

Item 4 0.365 -0.197 4.238 0.000 V

0.305 -0.122 3.082 0.000 V

Item 7 0.383 -0.576 4.945 0.000 V

0.528 -0.606 6.483 0.000 V

Keterangan:

Setelah subtes matrice terbukti memenuhi tahapan scalar invariance, kemudian

peneliti melakukan uji validitas pada tahap measurement invariance yang lebih

tinggi, yaitu tahapan error variance invariance. Model 5 item dengan satu faktor

diuji dengan data yang kemudian menghasilkan nilai chi-square total = 41.267,

nilai chi-square di kelompok perempuan = 16.750, nilai chi-square di kelompok

laki-laki = 24.517, df = 22, p-value = 0.0077, RMSEA = 0.045, 90% Confident

interval = 0.023 – 0.066.

Dapat dilihat pada hasil analisis di atas bahwa model sudah fit karena nilai

indeks RMSEA mendekati 0.05. Kemudian hal ini didukung dengan nilai

confident interval RMSEA yang berkisar antara 0.023 – 0.066. Artinya, jika

penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan

sebesar 0.023 dan paling besar sebesar 0.066. Berdasarkan hal tersebut model

FEMALE

MALE

Page 134: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

116

sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.18 berikut merupakan path diagram dari

subtes matrice yang terbukti error variance invariance.

Gambar 4.18 Path diagram dari subtes matrice error variance invariance

(RMSEA = 0.045 dan 90% C.I = 0.023 – 0.066)

Tabel 4.26

Koefisien muatan faktor, threshold, residual variance subtes matrice error

variance invariance (unstandardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

Threshold

Unstandardized

Residual P-value Ket.

Item 1 0.560 -1.783 1.000 0.000 V

0.560 -1.783 0.848 0.000 V

Item 2 0.560 -1.520 1.000 0.000 V

0.560 -1.520 0.848 0.000 V

Item 3 0.560 -1.171 1.000 0.000 V

0.560 -1.171 0.848 0.000 V

Item 4 0.560 -0.196 1.000 0.000 V

0.560 -0.196 0.848 0.000 V

Item 7 0.560 -0.675 1.000 0.000 V

0.560 -0.675 0.848 0.000 V

Keterangan:

Pada tabel 4.26 di atas dapat dilihat semua item pada subtes matrice memiliki

nilai indeks muatan faktor, threshold dan error variance yang sama baik di

FEMALE

MALE FEMALE

MALE

Page 135: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

117

kelompok perempuan dan di kelompok laki-laki. Agar setiap indeks pada item

subtes matrice dapat dibandingkan, maka peneliti melampirkan tabel 4.27 yang

berisi indeks item yang sudah dalam skala baku (standardized).

Tabel 4.27

Koefisien muatan faktor, threshold, residual variance subtes matrice error

variance invariance (standardized)

Item Standardized

Coefficient

Standardized

Threshold

Standardized

Residual P-value Ket.

Item 1 0.489 -1.555 0.761 0.000 V

0.520 -1.654 0.730 0.000 V

Item 2 0.489 -1.326 0.761 0.000 V

0.520 -1.410 0.730 0.000 V

Item 3 0.489 -1.021 0.761 0.000 V

0.520 -1.086 0.730 0.000 V

Item 4 0.489 -0.171 0.761 0.000 V

0.520 -0.182 0.730 0.000 V

Item 7 0.489 -0.589 0.761 0.000 V

0.520 -0.626 0.730 0.000 V

Keterangan:

Ketika subtes matrice telah mencapai tahapan error variance invariance, maka

subtes matrice tersebut dapat juga dikatakan telah mencapai tahapan strict

measurement invariance. Tahapan strict measurement invariance merupakan

tahapan yang lebih ideal dibandingkan tahapan strong measurement invariance.

Selain tidak ada perbedaan makna dan tingkat kesukaran pada item, tetapi juga

tidak ada perbedaan varian error antara item yang ditempuh di kelompok

perempuan dengan yang ditempuh di kelompok laki-laki. Dengan kata lain, item-

item yang ada di subtes matrice berlaku sama dan adil di kelompok laki-laki

maupun di kelompok perempuan.

Sebagai contoh, nilai koefisien muatan faktor pada item 2 di kelompok

laki-laki adalah sebesar 0.520 dan di kelompok perempuan 0.489. Kemudian, nilai

FEMALE

MALE FEMALE

MALE

Page 136: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

118

threshold pada item 2 di kelompok laki-laki adalah -1.410 dan di kelompok

perempuan sebesar -1.326. Sedangkan nilai varian error item 2 di kelompok laki-

laki 0.730 dan di kelompok perempuan 0.761. Artinya, item 2 memiliki kadar

tingkat kesukaran dan varian error yang sama jika ditempuh oleh kelompok laki-

laki dan kelompok perempuan. Sehingga tidak ada kelompok yang dirugikan oleh

item 2 tersebut. Dengan kata lain, item 2 memang mengukur apa yang hendak

diukur secara adil baik di kelompok laki-laki dan di kelompok perempuan.

Adapun perbedaan nilai pada indeks standardized terjadi bukan karena perbedaan

sebenarnya, melainkan karena perbedaan distribusi sampling dan standar deviasi

yang disebabkan perbedaan ukuran sampel di kedua kelompok.

4.1.4 MGCFA subtes topology pada kelompok gender

Model teori pada subtes ini terdiri dari 10 item yang diteorikan mengukur subtes

topology. Pertama peneliti melakukan analisis faktor tingkat subtes yang

melibatkan keseluruhan responden dalam satu kelompok saja, yaitu sebanyak 873

orang. Ketika pertama kali dilakukan analisis didapatkan model dengan indeks

nilai chi-square = 95.631, df = 87, p-value = 0.0000, RMSEA = 0.045 dan 90%

C.I = 0.034 – 0.055. Dapat dilihat model ini sudah fit karena nilai RMSEA sudah

di bawah 0.05 (RMSEA < 0.05). Kemudian didukung oleh 90% C.I = 0.034 –

0.055. Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, maka nilai RMSEA terkecil

yang akan didapatkan sebesar 0.034 dan RMSEA terbesar 0.055. Dengan

demikian model dapat dikatakan fit.

Setelah model fit, peneliti meningkatkan konstrain teori dengan membuat

nilai koefisien muatan faktor pada seluruh item setara (equal lambda). Dari hasil

Page 137: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

119

analisis didapatkan model dengan nilai chi-square = 490.252, p-value = 0.0000,

df= 44, RMSEA = 0.108, 90% C.I = 0.099 – 0.116. Dapat dilihat model di atas

belum fit. Untuk itu, peneliti mencari penyebab tidak fitnya model dengan

mengecek kembali model teori.

Setelah mengecek kembali model teori ditemukan item dengan eror

pengukuran terbesar adalah item 1, item 2 dan item 4. Maka, peneliti memutuskan

untuk mendrop ketiga item tersebut. Setelah ketiga item di drop didapatkan model

dengan chi-square = 42.191, p-value = 0.0001, df= 14, RMSEA = 0.048, 90% C.I

= 0.032 – 0.065. Dapat dilihat model di atas sudah fit dengan melihat nilai

RMSEA yang sudah di bawah 0.05 (RMSEA < 0.05). Kemudian didukung oleh

nilai 90% C.I = 0.032 – 0.065. Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, maka

nilai RMSEA terkecil yang dihasilkan sebesar 0.032 dan RMSEA terbesar 0.065.

Dengan demikian model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.19 merupakan path

diagram dari subtes topology.

Gambar 4.19 Path diagram subtes topology fit

Page 138: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

120

Tabel 4.28

Tabel muatan faktor subtes topology

Item Standardized Coefficient T-value P-value Ket.

3 0.410 16.242 0.000 V

5 0.410 16.242 0.000 V

6 0.410 16.242 0.000 V

8 0.410 16.242 0.000 V

9 0.410 16.242 0.000 V

10 0.410 16.242 0.000 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Kemudian, setelah peneliti mendapatkan 6 item valid di subtes topology,

kemudian peneliti melakukan analisis faktor konfirmatorik pada masing-masing

kelompok gender secara terpisah. Pada kelompok perempuan didapatkan nilai chi-

square = 17.024, p-value = 0.0483, df = 9, RMSEA = 0.042, 90% confident

interval = 0.004 – 0.073. Dapat dilihat hasil di atas menunjukan model sudah fit

dengan melihat nilai indeks RMSEA yang sudah di bawah 0.05 (RMSEA < 0.05).

Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit.

Setelah subtes topology di kelompok perempuan terbukti fit dengan data,

peneliti meningkatkan konstrain teori dengan membuat koefisien muatan faktor

pada seluruh item setara (equal lambda). Hasil analisis model menunjukan nilai

chi-square = 26.594, p-value = 0.0217, df = 14, RMSEA = 0.042, 90% confident

interval = 0.016 – 0.067. Dapat dilihat hasil di atas menunjukan model sudah fit

dengan melihat nilai chi-square indeks RMSEA yang sudah di bawah 0.05.

Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.20 berikut

merupakan path diagram subtes topology di kelompok perempuan.

Page 139: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

121

Gambar 4.20 Path diagram subtes topology di kelompok perempuan

(RMSEA = 0.042)

Tabel 4.29

Tabel muatan faktor subtes topology perempuan

Item Standardized Coefficient T-value P-value Ket.

3 0.413 12.656 0.000 V

5 0.413 12.656 0.000 V

6 0.413 12.656 0.000 V

8 0.413 12.656 0.000 V

9 0.413 12.656 0.000 V

10 0.413 12.656 0.000 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Setelah analisis dilakukan pada kelompok perempuan, peneliti kembali

melakukan analisis faktor konfirmatorik pada kelompok laki-laki yang berjumlah

372 responden. Hasil analisis menunjukan nilai chi-square = 16.782, p-value =

0.0522, df = 9, RMSEA = 0.048, 90% C.I = 0.000 – 0.084. . Dapat dilihat bahwa

model sudah fit dengan melihat nilai chi-square yang sudah tidak signifikan (p >

0.05). Kemudian nilai RMSEA yang sudah lebih kecil dari 0.05 (RMSEA < 0.05).

Page 140: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

122

Hal ini didukung dengan nilai confident interval RMSEA yang berkisar antara

0.000 – 0.084. Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA

terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.000 dan paling besar sebesar 0.084.

Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit.

Setelah didapatkan 6 item valid, peneliti meningkatkan konstrain teori

dengan menjadikan seluruh nilai koefisien muatan faktor pada item setara (equal

lambda). Dari hasil analisis didapatkan nilai chi-square = 21.872, p-value =

0.0813, df = 14, RMSEA = 0.039, 90 % C.I = 0.000 – 0.069. Dapat dilihat bahwa

model sudah fit dengan melihat nilai chi-square yang sudah tidak signifikan (p >

0.05). Kemudian nilai RMSEA sudah di bawah 0.05 (RMSEA < 0.05).

Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.21 berikut

merupakan path diagram dari subtes topology di kelompok laki-laki yang terbukti

equal lambda.

Gambar 4.21 Path diagram dari subtes topology di kelompok laki-laki (P-

value = 0.0813)

Page 141: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

123

Tabel 4.30

Tabel muatan faktor subtes topology di kelompok laki-laki

Item Standardized Coefficient T-value P-value Ket.

3 0.504 13.553 0.000 V

5 0.504 13.553 0.000 V

6 0.504 13.553 0.000 V

8 0.504 13.553 0.000 V

9 0.504 13.553 0.000 V

10 0.504 13.553 0.000 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Setelah data dianalisis pada masing-masing kelompok gender, peneliti akan

melakukan MGCFA pada kelompok laki-laki dan perempuan secara simultan..

Pada model 6 item dengan satu faktor peneliti akan menguji tahapan scalar

invariance, artinya apakah nilai threshold dan koefisien muatan faktor pada item

subtes topology memiliki nilai yang sama di kedua kelompok gender kemudian fit

dengan data. Sebagai tambahan scalar invariance merupakan tahapan yang lebih

tinggi dibandingkan configural invariance (pattern invariance) dan metric

invariance (lambda invariance). Artinya jika model fit dicapai pada tahap scalar

invariance, maka tahapan measurement invariance sebelumnya juga telah

terpenuhi.

Model 6 item dengan satu faktor dianalisis dan diuji dengan data

didapatkan model dengan nilai chi-square total = 44.266, nilai chi-square di

kelompok perempuan = 23.272, nilai chi-square di kelompok laki-laki = 20.994,

df = 23, p-value = 0.049, RMSEA = 0.046, 90% C.I = 0.025 – 0.066. Dapat dilihat

model sudah fit jika dilihat dari nilai RMSEA yang sudah di bawah 0.05 (RMSEA

< 0.05). Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.22

Page 142: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

124

berikut merupakan path diagram dari subtes topology yang terbukti scalar

invariance.

Gambar 4.22 Path diagram dari subtes topology scalar invariance (RMSEA =

0.046)

Tabel 4.31

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes topology scalar invariance

(unstandardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 3 0.607 -0.166 5.779 0.000 V

0.607 -0.166 5.779 0.000 V

Item 5 0.322 0.051 3.741 0.000 V

0.322 0.051 3.741 0.000 V

Item 6 0.557 0.464 6.643 0.000 V

0.557 0.464 6.643 0.000 V

Item 8 0.258 0.626 3.588 0.000 V

0.258 0.626 3.588 0.000 V

Item 9 0.368 0.865 5.299 0.000 V

0.368 0.865 5.299 0.000 V

Item 10 0.195 0.934 2.728 0.000 V

0.195 0.934 2.728 0.000 V

Keterangan:

Pada tabel di atas dapat dilihat semua item pada subtes topology memiliki nilai

indeks koefisien muatan faktor dan threshold yang sama baik di kelompok

FEMALE

MALE FEMALE

MALE

Page 143: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

125

perempuan dan di kelompok laki-laki. Agar setiap indeks pada item subtes

topology dapat dibandingkan, maka peneliti melampirkan tabel 4.32 yang berisi

indeks item yang sudah dalam skala baku (standardized).

Tabel 4.32

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes topology scalar invariance

(standardized)

Item Standardized

Coefficient

Standardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 3 0.607 -0.166 5.779 0.000 V

0.528 -0.144 6.507 0.000 V

Item 5 0.322 0.051 3.741 0.000 V

0.628 0.100 6.606 0.000 V

Item 6 0.557 0.464 6.643 0.000 V

0.480 0.400 5.424 0.000 V

Item 8 0.258 0.626 3.588 0.000 V

0.225 0.544 3.069 0.000 V

Item 9 0.368 0.865 5.299 0.000 V

0.404 0.949 4.587 0.000 V

Item 10 0.195 0.934 2.728 0.000 V

0.215 1.033 2.502 0.000 V

Keterangan:

Ketika subtes topology telah mencapai tahapan scalar invariance, maka subtes

topology tersebut dapat juga dikatakan telah mencapai tahapan strong

measurement invariance. Artinya, tidak ada perbedaan makna dan tingkat

kesukaran antara item yang ditempuh kelompok perempuan dengan yang

ditempuh kelompok laki-laki. Dengan kata lain, item-item yang ada di subtes

topology berlaku sama di kelompok laki-laki maupun di kelompok perempuan.

Setelah subtes topology terbukti scalar invariance, peneliti meningkatkan

konstrain teori dengan mengkonstrain koefisien muatan faktor setara pada seluruh

item di setiap kelompok. Model 6 item dengan satu faktor dianalisis dan diuji

dengan data didapatkan model dengan nilai chi-square total = 65.971, nilai chi-

square di kelompok perempuan = 29.967, nilai chi-square di kelompok laki-laki =

FEMALE

MALE

Page 144: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

126

37.003, df = 28, p-value = 0.049, RMSEA = 0.056, 90% C.I = 0.038 – 0.073.

Dapat dilihat model sudah fit jika dilihat dari nilai RMSEA yang sudah mendekati

0.05. Hal ini didukung oleh oleh nilai confident interval yang berkisar antara

0.038 – 0.073. Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai RMSEA terkecil

yang akan didapatkan adalah 0.038 dan paling besar 0.073. Berdasarkan hal

tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.23 berikut merupakan path

diagram dari subtes topology yang terbukti scalar invariance.

Gambar 4.23 Path diagram subtes topology scalar invariance equal lambda

(RMSEA = 0.056 dan 90% C.I = 0.038 – 0.073).

Tabel 4.33

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes topology scalar invariance equal

lambda (unstandardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 3 0.394 -0.163 13.137 0.000 V

0.394 -0.163 13.137 0.000 V

Item 5 0.394 0.030 13.137 0.000 V

0.394 0.030 13.137 0.000 V

Item 6 0.394 0.425 13.137 0.000 V

0.394 0.425 13.137 0.000 V

Item 8 0.394 0.640 13.137 0.000 V

0.394 0.640 13.137 0.000 V

Item 9 0.394 0.861 13.137 0.000 V

0.394 0.861 13.137 0.000 V

Item 10 0.394 0.976 13.137 0.000 V

0.394 0.976 13.137 0.000 V

Keterangan: FEMALE

MALE FEMALE

MALE

Page 145: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

127

Pada tabel di atas dapat dilihat semua item pada subtes topology memiliki nilai

indeks koefisien muatan faktor dan threshold yang sama baik di kelompok

perempuan dan di kelompok laki-laki. Agar setiap indeks pada item subtes

topology dapat dibandingkan, maka peneliti melampirkan tabel 4.34 yang berisi

indeks item yang sudah dalam skala baku (standardized).

Tabel 4.34

Koefisien muatan faktor dan threshold subtes topology scalar invariance

(standardized)

Item Standardized

Coefficient

Standardized

Threshold T-value P-value Ket.

Item 3 0.394 -0.163 13.137 0.000 V

0.500 -0.207 6.172 0.000 V

Item 5 0.394 0.030 13.137 0.000 V

0.567 0.043 5.902 0.000 V

Item 6 0.394 0.425 13.137 0.000 V

0.353 0.381 4.988 0.000 V

Item 8 0.394 0.640 13.137 0.000 V

0.319 0.518 5.264 0.000 V

Item 9 0.394 0.861 13.137 0.000 V

0.420 0.917 7.321 0.000 V

Item 10 0.394 0.976 13.137 0.000 V

0.398 0.985 7.148 0.000 V

Keterangan:

Setelah subtes topology terbukti memenuhi tahapan scalar invariance, kemudian

peneliti melakukan uji validitas pada tahap measurement invariance yang lebih

tinggi, yaitu tahapan error variance invariance. Model 6 item dengan satu faktor

diuji dengan data yang kemudian menghasilkan nilai chi-square total = 70.806,

nilai chi-square di kelompok perempuan = 29.027, nilai chi-square di kelompok

laki-laki = 41.780, df = 33, p-value = 0.0001, RMSEA = 0.051, 90% Confident

interval = 0.035 – 0.068. Dapat dilihat pada hasil analisis di atas bahwa model

sudah fit karena nilai indeks RMSEA mendekati 0.05. Kemudian hal ini didukung

FEMALE

MALE

Page 146: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

128

dengan nilai confident interval RMSEA yang berkisar antara 0.035 – 0.068.

Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang

akan didapatkan sebesar 0.035 dan paling besar sebesar 0.068. Berdasarkan hal

tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.24 berikut merupakan path

diagram dari subtes topology yang terbukti error variance invariance.

Gambar 4.24 Path diagram dari subtes topology error variance invariance

(RMSEA = 0.051 dan 90% C.I = 0.035 – 0.068)

Tabel 4.35

Koefisien muatan faktor, threshold, residual variance subtes topology error

variance invariance (unstandardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

Threshold

Unstandardized

Residual P-value Ket.

Item 3 0.433 -0.175 1.000 0.000 V

0.433 -0.175 0.852 0.000 V

Item 5 0.433 0.052 1.000 0.000 V

0.433 0.052 0.852 0.000 V

Item 6 0.433 0.455 1.000 0.000 V

0.433 0.455 0.852 0.000 V

Item 8 0.433 0.656 1.000 0.000 V

0.433 0.656 0.852 0.000 V

Item 9 0.433 0.962 1.000 0.000 V

0.433 0.962 0.852 0.000 V

Item 10 0.433 1.067 1.000 0.000 V

0.433 1.067 0.852 0.000 V

Keterangan: FEMALE

MALE FEMALE

MALE

Page 147: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

129

Pada tabel 4.35 di atas dapat dilihat semua item pada subtes topology memiliki

nilai indeks muatan faktor, threshold dan error variance yang sama baik di

kelompok perempuan dan di kelompok laki-laki. Agar setiap indeks pada item

subtes topology dapat dibandingkan, maka peneliti melampirkan tabel 4.36 yang

berisi indeks item yang sudah dalam skala baku (standardized).

Tabel 4.36

Koefisien muatan faktor, threshold, residual variance subtes topology error

variance invariance (standardized)

Item Standardized

Coefficient

Standardized

Threshold

Standardized

Residual P-value Ket.

Item 3 0.397 -0.161 0.842 0.000 V

0.424 -0.172 0.820 0.000 V

Item 5 0.397 0.048 0.842 0.000 V

0.424 0.051 0.820 0.000 V

Item 6 0.397 0.417 0.842 0.000 V

0.424 0.446 0.820 0.000 V

Item 8 0.397 0.602 0.842 0.000 V

0.424 0.644 0.820 0.000 V

Item 9 0.397 0.883 0.842 0.000 V

0.424 0.944 0.820 0.000 V

Item 10 0.397 0.979 0.842 0.000 V

0.424 1.046 0.820 0.000 V

Keterangan: 0.397

Ketika subtes topology telah mencapai tahapan error variance invariance, maka

subtes topology tersebut dapat juga dikatakan telah mencapai tahapan strict

measurement invariance. Tahapan strict measurement invariance merupakan

tahapan yang lebih ideal dibandingkan tahapan strong measurement invariance.

Selain tidak ada perbedaan makna dan tingkat kesukaran pada item, tetapi juga

tidak ada perbedaan varian error antara item yang ditempuh di kelompok

perempuan dengan yang ditempuh di kelompok laki-laki. Dengan kata lain, item-

FEMALE

MALE FEMALE

MALE

Page 148: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

130

item yang ada di subtes topology berlaku sama dan adil di kelompok laki-laki

maupun di kelompok perempuan.

Sebagai contoh, nilai koefisien muatan faktor pada item 3 di kelompok

laki-laki adalah sebesar 0.424 dan di kelompok perempuan 0.397. Kemudian, nilai

threshold pada item 3 di kelompok laki-laki adalah -0.172 dan di kelompok

perempuan sebesar -0.161. Sedangkan nilai varian error item 2 di kelompok laki-

laki 0.820 dan di kelompok perempuan 0.842. Artinya, item 3 memiliki kadar

tingkat kesukaran dan varian error yang sama jika ditempuh oleh kelompok laki-

laki dan kelompok perempuan. Sehingga tidak ada kelompok yang dirugikan oleh

item 3 tersebut. Dengan kata lain, item 3 memang mengukur apa yang hendak

diukur secara adil baik di kelompok laki-laki dan di kelompok perempuan.

Adapun perbedaan nilai pada indeks standardized terjadi bukan karena perbedaan

sebenarnya, melainkan karena perbedaan distribusi sampling dan standar deviasi

yang disebabkan perbedaan ukuran sampel di kedua kelompok.

4.2 Multi-group Confirmatory Factor Analysis Tingkat Second Order

Model teori pada subtes ini terdiri dari 29 item, empat dimensi, dengan satu faktor

yang diteorikan mengukur fluid intelligence. Jumlah total responden adalah

sebanyak 873 orang yang terdiri 501 perempuan dan 372 laki-laki. Setelah peneliti

melakukan analisis didapatkan model dengan nilai chi-square = 557.152, df =

377, p-value = 0.0000, RMSEA = 0.024, 90 % C.I = 0.020 – 0.028.

Jika dilihat melalui nilai chi-square model ini belum fit karena nilai chi-

square masih signifikan (p<0.05). Namun, karena indeks chi-square sangat

sensitif terhadap ukuran sampel maka peneliti mempertimbangkan indeks model

Page 149: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

131

fit yang lain seperti RMSEA dan 90 % C.I. Dapat dilihat jika berdasarkan nilai

indeks RMSEA model sudah fit (RMSEA < 0.05). Kemudian nilai 90 % confident

interval dari RMSEA yang didapatkan berkisar antara 0.020 – 0.028. Artinya, jika

penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan

sebesar 0.020 dan paling besar sebesar 0.028. Berdasarkan hal tersebut model

sudah dapat dikatakan fit.

Ketika model fit telah tercapai, peneliti menaikkan konstrain teori dengan

menjadikan nilai koefisien muatan faktor pada item dan dimensi setara (equal

lambda). Dari hasil analisis didapatkan model dengan nilai chi-square = 709.920,

df = 401, p-value = 0.0000, RMSEA = 0.030, 90 % C.I = 0.026 – 0.033. Dapat

dilihat bahwa nilai RMSEA signifikan (RMSEA < 0.05). Hal ini didukung dengan

nilai confident interval RMSEA yang berkisar antara 0.026 – 0.033. Artinya, jika

penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan

sebesar 0.026 dan paling besar sebesar 0.033. Berdasarkan hal tersebut model

sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.25 berikut merupakan path diagram dari tes

fluid intelligence equal lambda.

Gambar 4.25 Path diagram fluid intelligence equal lambda (RMSEA = 0.035)

Page 150: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

132

Tabel 4.37

Tabel koefisien muatan faktor tes fluid intelligence equal lambda

Item Standardized Coefficient T-value P-value Keterangan

S1 0.539 25.628 0.000 V

S2 0.539 25.628 0.000 V

S3 0.539 25.628 0.000 V

S4 0.539 25.628 0.000 V

S5 0.539 25.628 0.000 V

S6 0.539 25.628 0.000 V

S7 0.539 25.628 0.000 V

S8 0.539 25.628 0.000 V

S9 0.539 25.628 0.000 V

S11 0.539 25.628 0.000 V

C1 0.653 41.612 0.000 V

C2 0.653 41.612 0.000 V

C3 0.653 41.612 0.000 V

C4 0.653 41.612 0.000 V

C5 0.653 41.612 0.000 V

C6 0.653 41.612 0.000 V

C9 0.653 41.612 0.000 V

C11 0.653 41.612 0.000 V

M1 0.496 15.984 0.000 V

M2 0.496 15.984 0.000 V

M3 0.496 15.984 0.000 V

M4 0.496 15.984 0.000 V

M7 0.496 15.984 0.000 V

T3 0.410 16.242 0.000 V

T5 0.410 16.242 0.000 V

T6 0.410 16.242 0.000 V

T8 0.410 16.242 0.000 V

T9 0.410 16.242 0.000 V

T10 0.410 16.242 0.000 V

SERIES 0.596 14.482 0.000 V

CLASS 0.725 28.659 0.000 V

MATRICE 0.524 8.465 0.000 V

TOPOLOGY 0.303 3.117 0.002 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Setelah peneliti mendapatkan 29 item dan 4 dimensi valid, kemudian peneliti

melakukan analisis faktor konfirmatorik pada masing-masing kelompok gender

secara terpisah, yaitu kelompok perempuan dan kelompok laki-laki.

Pada kelompok perempuan peneliti melakukan analisis faktor

konfirmatorik 29 item dan 4 dimensi dengan satu faktor didapatkan nilai chi-

square = 490.767, p-value = 0.0000, df = 373, RMSEA = 0.025, 90% C.I = 0.019

Page 151: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

133

– 0.031. Dapat dilihat model sudah fit karena nilai chi-square sudah tidak

signifikan (p > 0.05) dan didukung dengan nilai RMSEA yang sudah kurang dari

0.05 (RMSEA < 0.05). Kemudian nilai 90% C.I yang berkisar antara 0.019 –

0.031 yang artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA

terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.019 dan paling besar sebesar 0.031.

Setelah model fit, peneliti mengecek item pada tes fluid intelligence di

kelompok perempuan dan menemukan seluruh item valid, maka peneliti

meningkatkan konstrain teori pada model dengan menjadikan nilai koefisien

muatan faktor pada seluruh item setara (equal lambda). Dari hasil analisis

didapatkan nilai chi-square = 601.983, p-value = 0.0000, df = 401, RMSEA =

0.032, 90 % C.I = 0.026 – 0.037. Dapat dilihat bahwa nilai RMSEA sudah lebih

kecil dari 0.05 (RMSEA < 0.05). Hal ini didukung dengan nilai confident interval

RMSEA yang berkisar antara 0.026 – 0.037. Artinya, jika penelitian diulang

ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.026 dan

paling besar sebesar 0.037. Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan

fit. Gambar 4.26 berikut merupakan path diagram dari tes fluid intelligence di

kelompok perempuan yang terbukti equal lambda.

Gambar 4.26 Path diagram tes fluid intelligence female equal lambda

(RMSEA = 0.032)

Page 152: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

134

Tabel 4.38

Tabel koefisien muatan faktor tes fluid intelligence female equal lambda

Item Standardized Coefficient T-value P-value Keterangan

S1 0.549 19.710 0.000 V

S2 0.549 19.710 0.000 V

S3 0.549 19.710 0.000 V

S4 0.549 19.710 0.000 V

S5 0.549 19.710 0.000 V

S6 0.549 19.710 0.000 V

S7 0.549 19.710 0.000 V

S8 0.549 19.710 0.000 V

S9 0.549 19.710 0.000 V

S11 0.549 19.710 0.000 V

C1 0.665 34.561 0.000 V

C2 0.665 34.561 0.000 V

C3 0.665 34.561 0.000 V

C4 0.665 34.561 0.000 V

C5 0.665 34.561 0.000 V

C6 0.665 34.561 0.000 V

C9 0.665 34.561 0.000 V

C11 0.665 34.561 0.000 V

M1 0.504 12.110 0.000 V

M2 0.504 12.110 0.000 V

M3 0.504 12.110 0.000 V

M4 0.504 12.110 0.000 V

M7 0.504 12.110 0.000 V

T3 0.413 12.656 0.000 V

T5 0.413 12.656 0.000 V

T6 0.413 12.656 0.000 V

T8 0.413 12.656 0.000 V

T9 0.413 12.656 0.000 V

T10 0.413 12.656 0.000 V

SERIES 0.596 13.846 0.000 V

CLASS 0.492 15.319 0.000 V

MATRICE 0.649 11.725 0.000 V

TOPOLOGY 0.791 10.588 0.000 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Setelah analisis dilakukan pada kelompok perempuan, peneliti kembali

melakukan analisis faktor konfirmatorik pada kelompok laki-laki yang berjumlah

372 responden. Hasil analisis menunjukan nilai chi-square = 439.137, p-value =

0.0103, df = 373, RMSEA = 0.022, 90% C.I = 0.011 – 0.030. Dapat dilihat bahwa

nilai RMSEA sudah lebih kecil dari 0.05 (RMSEA < 0.05). Hal ini didukung

dengan nilai confident interval RMSEA yang berkisar antara 0.011 – 0.030.

Page 153: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

135

Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang

akan didapatkan sebesar 0.011 dan paling besar sebesar 0.030. Berdasarkan hal

tersebut model sudah dapat dikatakan fit.

Setelah model fit, peneliti mengecek item pada tes fluid intelligence di

kelompok laki – laki dan menemukan seluruh item valid, maka peneliti

meningkatkan konstrain teori pada model dengan menjadikan nilai koefisien

muatan faktor pada seluruh item setara (equal lambda). Dari hasil analisis

didapatkan nilai chi-square = 518.500, p-value = 0.0001, df = 401, RMSEA =

0.028, 90 % C.I = 0.021 – 0.035. Dapat dilihat bahwa nilai RMSEA sudah lebih

kecil dari 0.05 (RMSEA < 0.05). Hal ini didukung dengan nilai confident interval

RMSEA yang berkisar antara 0.021 – 0.035. Artinya, jika penelitian diulang

ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.021 dan

paling besar sebesar 0.035. Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan

fit. Gambar 4.27 berikut merupakan path diagram dari tes fluid intelligence di

kelompok laki – laki yang terbukti equal lambda.

Gambar 4.27 Path diagram tes fluid intelligence kelompok laki – laki equal

lambda (RMSEA = 0.028)

Page 154: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

136

Tabel 4.39

Tabel koefisien muatan faktor tes fluid intelligence male equal lambda

Item Standardized

Coefficient

T-value P-value Keteranga

n

S1 0.511 15.664 0.000 V

S2 0.511 15.664 0.000 V

S3 0.511 15.664 0.000 V

S4 0.511 15.664 0.000 V

S5 0.511 15.664 0.000 V

S6 0.511 15.664 0.000 V

S7 0.511 15.664 0.000 V

S8 0.511 15.664 0.000 V

S9 0.511 15.664 0.000 V

S11 0.511 15.664 0.000 V

C1 0.654 25.925 0.000 V

C2 0.654 25.925 0.000 V

C3 0.654 25.925 0.000 V

C4 0.654 25.925 0.000 V

C5 0.654 25.925 0.000 V

C6 0.654 25.925 0.000 V

C9 0.654 25.925 0.000 V

C11 0.654 25.925 0.000 V

M1 0.500 11.571 0.000 V

M2 0.500 11.571 0.000 V

M3 0.500 11.571 0.000 V

M4 0.500 11.571 0.000 V

M7 0.500 11.571 0.000 V

T3 0.406 10.398 0.000 V

T5 0.406 10.398 0.000 V

T6 0.406 10.398 0.000 V

T8 0.406 10.398 0.000 V

T9 0.406 10.398 0.000 V

T10 0.406 10.398 0.000 V

SERIES 0.729 14.588 0.000 V

CLASS 0.570 16.529 0.000 V

MATRICE 0.746 10.746 0.000 V

TOPOLOGY 0.917 9.701 0.000 V

Keterangan: V=Valid, X=Tidak Valid

Setelah didapatkan 29 item dan empat dimensi yang terbukti valid pada dua

kelompok gender, peneliti akan melakukan MGCFA pada kelompok laki-laki dan

perempuan secara simultan. Pada model 29 item, empat dimensi dengan satu

Page 155: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

137

faktor peneliti akan menguji tahapan scalar invariance, artinya apakah nilai

threshold dan koefisien muatan faktor pada item tes fluid intelligence memiliki

nilai yang sama di kedua kelompok gender kemudian fit dengan data. Sebagai

tambahan scalar invariance merupakan tahapan yang lebih tinggi dibandingkan

configural invariance (pattern invariance) dan metric invariance (lambda

invariance). Artinya jika model fit dicapai pada tahap scalar invariance, maka

tahapan measurement invariance sebelumnya juga telah terpenuhi.

Model 29 item, empat dimensi dengan satu faktor dianalisis dan diuji

dengan data didapatkan model dengan nilai chi-square total = 958.729, nilai chi-

square di kelompok perempuan = 510.282, nilai chi-square di kelompok laki-laki

= 448.448, df = 767, p-value = 0.0000, RMSEA = 0.024, 90% C.I = 0.019 –

0.029. Dapat dilihat model belum fit jika dilihat dari nilai chi-square (p < 0.05).

Namun, karena indeks chi-square sangat sensitif terhadap ukuran sampel, maka

peneliti mempertimbangkan indeks model fit lain seperti RMSEA. Dapat dilihat

berdasarkan nilai indeks RMSEA model sudah fit (p < 0.05). Kemudian hal ini

didukung dengan nilai confident interval RMSEA yang berkisar antara 0.019 –

0.029. Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA terkecil

yang akan didapatkan sebesar 0.019 dan paling besar sebesar 0.029. Berdasarkan

hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.28 berikut merupakan

path diagram dari tes fluid intelligence yang terbukti scalar invariance.

Page 156: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

138

Gambar 4.28 Path diagram fluid intelligence scalar invariance (RMSEA =

0.024)

Tabel 4.40

Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence scalar invariance

(unstandardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

Intercept T-value P-value Ket.

SERIES 0.444 0.000 4.786 0.000 V

0.403 0.174 3.957 0.000 V

CLASS 0.318 0.000 6.137 0.000 V

0.469 -0.067 6.521 0.000 V

MATRICE 0.361 0.000 3.938 0.000 V

0.346 -0.086 3.467 0.000 V

TOPOLOGY 0.286 0.000 4.079 0.000 V

0.322 0.117 3.462 0.000 V

Keterangan:

Pada tabel di atas dapat dilihat semua item pada tes fluid intelligence memiliki

nilai indeks koefisien muatan faktor dan threshold yang sama baik di kelompok

perempuan dan di kelompok laki-laki. Agar setiap indeks pada item tes fluid

intelligence dapat dibandingkan, maka peneliti melampirkan tabel 4.41 yang

berisi indeks item yang sudah dalam skala baku (standardized).

FEMALE

MALE

Page 157: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

139

Tabel 4.41

Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence scalar invariance

(standardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

Intercept T-value P-value Ket.

0.823 1.044 2.163 0.000 V

SERIES 0.708 0.000 4.786 0.000 V

0.456 0.306 3.957 0.000 V

CLASS 0.676 0.000 6.137 0.000 V

0.694 -0.096 6.521 0.000 V

MATRICE 0.779 0.000 3.938 0.000 V

0.779 -0.193 3.467 0.000 V

TOPOLOGY 0.715 0.000 4.079 0.000 V

0.715 0.259 3.462 0.000 V

Keterangan:

Ketika tes fluid intelligence telah mencapai tahapan scalar invariance, maka tes

fluid intelligence tersebut dapat juga dikatakan telah mencapai tahapan strong

measurement invariance. Artinya, tidak ada perbedaan makna dan tingkat

kesukaran antara item yang ditempuh kelompok perempuan dengan yang

ditempuh kelompok laki-laki. Dengan kata lain, item-item yang ada di tes fluid

intelligence berlaku sama di kelompok laki-laki maupun di kelompok perempuan.

Setelah tes fluid intelligence terbukti scalar invariance, peneliti

meningkatkan konstrain teori dengan mengkonstrain koefisien muatan faktor

setara pada seluruh item di setiap kelompok. Model ini dianalisis kembali

menggunakan MGCFA dan didapatkan nilai chi-square total = 1102.682, nilai

chi-square di kelompok perempuan = 649.315, nilai chi-square di kelompok laki-

laki = 453.367, df = 799, p-value = 0.0000, RMSEA = 0.030, 90% C.I = 0.025 –

0.034. Dapat dilihat model belum fit jika dilihat dari nilai chi-square (p < 0.05).

Namun, karena indeks chi-square sangat sensitif terhadap ukuran sampel, maka

peneliti mempertimbangkan indeks model fit lain seperti RMSEA. Dapat dilihat

FEMALE

MALE

Page 158: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

140

berdasarkan nilai indeks RMSEA model sudah fit (RMSEA < 0.05). Kemudian

hal ini didukung dengan nilai confident interval RMSEA yang berkisar antara

0.025 – 0.034. Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali, nilai indeks RMSEA

terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.025 dan paling besar sebesar 0.034.

Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar 4.29 berikut

merupakan path diagram dari subtes series yang terbukti scalar invariance dan

equal lambda.

Gambar 4.29 Path diagram tes fluid intelligence scalar invariance dan equal

lambda (RMSEA = 0.030)

Tabel 4.42

Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence scalar invariance

(unstandardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

intercept T-value P-value Ket.

SERIES 0.580 0.000 38.097 0.000 V

0.580 -0.022 38.097 0.000 V

CLASS 0.580 0.000 38.097 0.000 V

0.580 -0.257 38.097 0.000 V

MATRICE 0.580 0.000 38.097 0.000 V

0.580 -0.151 38.097 0.000 V

TOPOLOGY 0.580 0.000 38.097 0.000 V

0.580 0.132 38.097 0.000 V

Keterangan: FEMALE

MALE

Page 159: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

141

Pada tabel di atas dapat dilihat semua item pada tes fluid intelligence memiliki

nilai indeks koefisien muatan faktor dan threshold yang sama baik di kelompok

perempuan dan di kelompok laki-laki. Agar setiap indeks pada item tes fluid

intelligence dapat dibandingkan, maka peneliti melampirkan tabel 4.43 yang

berisi indeks item yang sudah dalam skala baku (standardized).

Tabel 4.43

Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence scalar invariance

(standardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

Intercept T-value P-value Ket.

SERIES 0.613 0.000 15.601 0.000 V

0.657 -0.025 12.058 0.000 V

CLASS 0.506 0.000 18.600 0.000 V

0.608 -0.269 11.888 0.000 V

MATRICE 0.667 0.000 12.290 0.000 V

0.726 -0.189 9.276 0.000 V

TOPOLOGY 0.814 0.000 11.372 0.000 V

0.875 0.199 9.376 0.000 V

Keterangan:

Setelah tes fluid intelligence terbukti memenuhi tahapan scalar invariance,

kemudian peneliti melakukan uji validitas pada tahap measurement invariance

yang lebih tinggi, yaitu tahapan error variance invariance. Model 29 item, empat

dimensi dengan satu faktor diuji dengan data yang kemudian menghasilkan nilai

chi-square total = 1110.048, nilai chi-square di kelompok perempuan = 652.233,

nilai chi-square di kelompok laki-laki = 457.814, df = 799, p-value = 0.0000,

RMSEA = 0.030, 90% Confident interval = 0.026 – 0.034. Dapat dilihat pada

hasil analisis di atas bahwa model sudah fit karena nilai indeks RMSEA sudah di

bawah 0.05. Kemudian hal ini didukung dengan nilai confident interval RMSEA

yang berkisar antara 0.026 – 0.034. Artinya, jika penelitian diulang ribuan kali,

FEMALE

MALE

Page 160: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

142

nilai indeks RMSEA terkecil yang akan didapatkan sebesar 0.026 dan paling besar

sebesar 0.034. Berdasarkan hal tersebut model sudah dapat dikatakan fit. Gambar

4.30 berikut merupakan path diagram dari tes fluid intelligence yang terbukti

error variance invariance.

Gambar 4.30 Path diagram fluid intelligence error variance invariance

(RMSEA = 0.030)

Tabel 4.44

Koefisien muatan faktor dan intercept tes fluid intelligence error variance

invariance (unstandardized)

Item Unstandardized

Coefficient

Unstandardized

intercept

Unstandardized

Residual P-value Ket.

SERIES 0.635 0.000 1.000 0.000 V

0.635 -0.021 0.526 0.000 V

CLASS 0.635 0.000 1.000 0.000 V

0.635 -0.352 0.825 0.000 V

MATRICE 0.635 0.000 1.000 0.000 V

0.635 -0.140 0.333 0.000 V

TOPOLOGY 0.635 0.000 1.000 0.000 V

0.635 0.120 0.087 0.000 V

Keterangan: FEMALE

MALE

Page 161: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

143

Pada tabel di atas dapat dilihat semua item pada tes fluid intelligence memiliki

nilai indeks koefisien muatan faktor dan threshold yang sama baik di kelompok

perempuan dan di kelompok laki-laki. Agar setiap indeks pada item tes fluid

intelligence dapat dibandingkan, maka peneliti melampirkan tabel 4.45 yang

berisi indeks item yang sudah dalam skala baku (standardized).

Tabel 4.45

Koefisien muatan faktor dan threshold tes fluid intelligence error variance

invariance (standardized)

Item Standardized

Coefficient

Standardized

Threshold

Standardized

Residual P-value Ket.

SERIES 0.621 0.000 0.614 0.000 V

0.658 -0.022 0.566 0.000 V

CLASS 0.459 0.000 0.789 0.000 V

0.573 -0.317 0.672 0.000 V

MATRICE 0.698 0.000 0.512 0.000 V

0.740 -0.163 0.453 0.000 V

TOPOLOGY 0.830 0.000 0.310 0.000 V

0.907 0.171 0.177 0.000 V

Keterangan:

Ketika tes fluid intelligence telah mencapai tahapan error variance invariance,

maka tes fluid intelligence tersebut dapat juga dikatakan telah mencapai tahapan

strict measurement invariance. Tahapan strict measurement invariance

merupakan tahapan yang lebih ideal dibandingkan tahapan strong measurement

invariance. Selain tidak ada perbedaan makna dan tingkat kesukaran pada item,

tetapi juga tidak ada perbedaan varian error antara item yang ditempuh di

kelompok perempuan dengan yang ditempuh di kelompok laki-laki. Dengan kata

lain, item-item yang ada di tes fluid intelligence berlaku sama dan adil di

kelompok laki-laki maupun di kelompok perempuan.

FEMALE

MALE

Page 162: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

144

BAB 5

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Seluruh item pada subtes series fit dengan data jika diuji tahapan configural

invariance, metric invariance, scalar invariance dan error variance

invariance di kelompok gender.

2. Seluruh item pada subtes classification fit dengan data jika diuji tahapan

configural invariance, metric invariance, scalar invariance dan error

variance invariance di kelompok gender.

3. Seluruh item pada subtes matrice fit dengan data jika diuji tahapan configural

invariance, metric invariance, scalar invariance dan error variance

invariance di kelompok gender.

4. Seluruh item pada subtes topology fit dengan data jika diuji tahapan

configural invariance, metric invariance, scalar invariance dan error

variance invariance di kelompok gender.

5. Seluruh subtes tes CFIT fit dengan data jika diuji tahapan configural

invariance, metric invariance, scalar invariance dan error variance

invariance di kelompok gender.

Kesimpulan tentang hasil uji hipotesis 1 hingga hipotesis 4 dapat dilihat

melalui tabel 5.1 berikut ini:

Page 163: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

145

Tabel 5.1

Tabel model fit subtes

Subtes Model Test Goodness of fit Keputusan

Series

Scalar Invariance

Chi-square = 164.372 Df = 88

Chi-square female = 81.979

Chi-square male = 82.972

p-value = 0.0000

RMSEA = 0.045

90% C.I = 0.034 – 0.055

Fit

Error Variance

Invariance

Chi-square = 181.381 Df = 97

Chi-square female = 74.741

Chi-square male = 106.640

p-value = 0.0000

RMSEA = 0.045

90% C.I = 0.034 – 0.055

Fit

Classification

Scalar Invariance

Chi-square = 115.571 Df = 50

Chi-square female = 74.469

Chi-square male = 66.652

p-value = 0.0000

RMSEA = 0.055

90% C.I = 0.042 – 0.068

Fit

Error Variance

Invariance

Chi-square = 164.372 Df = 57

Chi-square female = 81.979

Chi-square male = 82.972

p-value = 0.0000

RMSEA = 0.045

90% C.I = 0.034 – 0.055

Fit

Matrice

Scalar Invariance

Chi-square = 33.590 Df = 18

Chi-square female = 17.008

Chi-square male = 16.583

p-value = 0.0141

RMSEA = 0.045

90% C.I = 0.020 – 0.068

Fit

Error Variance

Invariance

Chi-square = 41.267 Df = 22

Chi-square female = 16.750

Chi-square male = 24.517

p-value = 0.049

RMSEA = 0.045

90% C.I = 0.023 – 0.066

Fit

Topology

Scalar Invariance

Chi-square = 65.971 Df = 28

Chi-square female = 29.967

Chi-square male = 37.003

p-value = 0.0000

RMSEA = 0.056

90% C.I = 0.038 – 0.073

Fit

Error Variance

Invariance

Chi-square = 70.806 Df = 33

Chi-square female = 29.027

Chi-square male = 41.780

p-value = 0.0001

RMSEA = 0.051

90% C.I = 0.035 – 0.068

Fit

Page 164: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

146

Berikut ini merupakan tabel hasil dari analisis MGCFA pada tingkatan

second order.

Tabel 5.2

Tabel model fit Second order model

Tes Model Test Goodness of fit Keputusan

Fluid Intelligence

Scalar

Invariance

Chi-square = 1102.682 Df = 799

Chi-square female = 649.315

Chi-square male = 453.367

p-value=0.0000

RMSEA=0.030

90% C.I = 0.025 – 0.034

Fit

Error

Variance

Invariance

Chi-square = 1110.048 Df = 799

Chi-square female = 74.741

Chi-square male = 106.640

p-value=0.0000

RMSEA=0.030

90% C.I = 0.026 – 0.034

Fit

Berdasarkan tabel 5.1 dan 5.2 di atas dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini,

yaitu:

1. Subtes series fit dengan data dan memenuhi tahapan configural invariance,

metric invariance, scalar invariance, dan error variance invariance. Model fit

tercapai dengan catatan setelah peneliti mengeluarkan tiga item dengan

koefisien muatan faktor negatif dari model, yaitu item 10, 12 dan item 13.

Sehingga subtes series hanya tersisa 10 item.

2. Subtes classification fit dengan data dan memenuhi tahapan configural

invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error variance

invariance. Model fit tercapai dengan catatan setelah peneliti mengeluarkan 4

item dengan koefisien muatan faktor negatif dan 2 item yang tidak signifikan

dari model, yaitu item 7, item 8, item 10, item 12, item 13 dan item 14.

Sehingga subtes classification hanya tersisa 8 item.

Page 165: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

147

3. Subtes matrice fit dengan data dan memenuhi tahapan configural invariance,

metric invariance, scalar invariance, dan error variance invariance. Model fit

tercapai dengan catatan setelah peneliti mengeluarkan 2 item dengan koefisien

muatan faktor negatif dan 6 item yang tidak signifikan dari model, yaitu item 5,

item 6, item 8, item 9, item 10, item 11, item 12 dan item 13. Sehingga subtes

matrice hanya tersisa 5 item.

4. Subtes topology fit dengan data dan memenuhi tahapan configural invariance,

metric invariance, scalar invariance, dan error variance invariance. Model fit

tercapai setelah peneliti mendrop item 1, item 2, item 4 dan item 7. Sehingga

subtes topology hanya tersisa 6 item.

5. Seluruh subtes tes CFIT fit dengan data dan memenuhi tahapan configural

invariance, metric invariance, scalar invariance, dan error variance

invariance. Lebih khusus, subtes series, classification, matrice dan topology

memang memang mengukur apa yang hendak diukur dengan adil di kelompok

gender berbeda. Dengan catatan, dari 50 item tes CFIT peneliti harus mendrop

21 item terlebih dahulu agar didapatkan model yang memenuhi error variance

invariance.

Hasil analisis MGCFA di kelompok gender menunjukkan bahwa seluruh

subtes pada tes CFIT dapat memenuhi seluruh tahapan dari measurement

invariance, yaitu configural invariance, metric invariance, scalar invariance, dan

error variance invariance. Meskipun situasi di atas tercapai dengan mengeluarkan

item-item yang memiliki muatan faktor negatif. Subtes-subtes tersebut tetap

terbukti fit dengan data atau didukung kebenarannya.

Page 166: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

148

Lebih khusus, hasil di atas menunjukkan bahwa alat tes inteligensi CFIT

layak untuk digunakan untuk mengukur fluid intelligence. Namun, perlu

diperhatikan bahwa beberapa item yang memiliki faktor negatif dan tidak

signifikan harus dicek kembali untuk direvisi atau dibuang. Karena tes

kemampuan seperti tes inteligensi harus memiliki koefisien muatan faktor yang

positif agar individu yang memiliki kemampuan tinggi akan memiliki peluang

yang lebih besar untuk menjawab dengan benar.

5.2 Diskusi

Setidaknya ada tiga isu penting yang dapat peneliti paparkan dari hasil penelitian

ini. Isu pertama, tentang model fit configural invariance dan metric invariance

pada masing-masing subtes. Isu kedua, tentang penafsiran dan makna setiap

model fit yang dicapai tes inteligensi CFIT. Isu ketiga, tentang full measurement

invariance vs partial measurement invariance. Oleh karena itu, peneliti akan

memaparkan satu per satu isu-isu tersebut.

Isu pertama, perlu digaris bawahi bahwa tahapan configural invariance

dan metric invariance terpenuhi secara otomatis karena tahapan yang lebih tinggi

yaitu scalar invariance sudah fit dengan data. Hal ini terjadi karena default

software MPLUS 7.0 mulai melakukan analisis dengan model yang ideal terlebih

dahulu (full constrained), yaitu tahapan scalar invariance. Ketika uji model

dimulai dari model yang paling restricted, jika model tersebut tidak fit peneliti

tinggal membebaskan konstrain parameter yang semula di scalar invariance

menjadi metric invariance dan begitu seterusnya.

Page 167: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

149

Pada saat model yang ideal atau dengan banyak konstrain sudah fit, maka

tahap di bawahnya secara otomatis fit. Di kalangan metodologis metode ini

dikenal sebagai metode step-down (Brown, 2006). Metode ini sangat dianjurkan

ketika terdapat lebih dari satu faktor dan lebih dari dua kelompok perbandingan.

Meskipun, metode ini dapat pula digunakan pada model yang hanya terdiri dari

satu faktor.

Isu kedua, mengenai penafsiran masing-masing model fit pada subtes tes

CFIT. Berikut ini merupakan interpretasi makna model fit dari masing-masing

model. Pertama, seluruh subtes tes CFIT terbukti dapat memenuhi tahapan

configural invariance. Hal ini berarti seluruh subtes tes CFIT memiliki pola teori

yang sama baik di kelompok perempuan dan di kelompok lain. Dengan kata lain,

jika configural invariance terpenuhi, maka baik laki-laki dan perempuan

mengkonseptualisasikan konstruk pada tes CFIT dengan cara yang sama.

Kedua, seluruh subtes tes CFIT terbukti dapat memenuhi tahapan metric

invariance. Menguji tahapan metric invariance pada sebuah alat tes merupakan

hal yang sangat penting karena tahapan ini menguji apakah sebuah alat tes

memiliki makna dan struktur yang sama di kelompok yang berbeda. Dalam hal ini

dapat kita lihat baik subtes series, classification, matrice dan topology dimaknai

dengan makna yang sama di kelompok yang berbeda (laki-laki vs perempuan).

Tahapan ini merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk analisis

perbandingan yang lebih tinggi (scalar invariance, equal factor variance, dan

equal factor mean). Situasi dimana tahapan metric invariance telah terpenuhi

seperti pada subtes-subtes tes CFIT ini dapat juga disebut dengan kondisi weak

Page 168: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

150

measurement invariance, oleh karena itu perlu analisis pada tahap selanjutnya

agar dapat mengetahui apakah alat tes CFIT ini sudah ideal.

Ketiga, seluruh subtes tes CFIT terbukti dapat memenuhi tahapan scalar

invariance. Tahapan ini merupakan kelanjutan dari tahapan sebelumnya, yaitu

metric invariance. Ketika seluruh subtes CFIT dapat memenuhi tahapan ini,

artinya seluruh item pada subtes tes CFIT memiliki tingkat kesukaran yang sama

baik di kelompok laki-laki dan di kelompok perempuan. Sehingga tidak ada

kelompok yang menemukan item lebih sulit jika dibandingkan kelompok lain.

Jika tahapan scalar invariance tidak terpenuhi, artinya ada salah satu kelompok

yang akan menemukan bahwa pada subtes lebih sulit dibandingkan kelompok

lain.

Konsekuensi dari hal ini tentu saja perbandingan skor tes akan menjadi

tidak comparable karena ada item yang menjadi lebih sulit atau lebih mudah jika

ditempuh jenis kelamin tertentu. Namun, seperti yang dapat dilihat seluruh item

pada seluruh subtes tes CFIT telah memenuhi tahapan scalar invariance sehingga

perbandingan skor tes antara laki-laki dan perempuan menjadi bermakna dan

dapat dibandingkan. Situasi seperti ini dapat disebut pula dengan istilah strong

measurement invariance, dimana tahapan ini merupakan tahap yang sudah cukup

ideal untuk dimiliki sebuah alat tes (Brown, 2006).

Keempat, seluruh subtes tes CFIT terbukti dapat memenuhi tahapan error

variance invariance. Tahapan ini merupakan tahap yang opsional mengingat

tahap scalar invariance sudah cukup ideal dimiliki sebuah alat ukur. Selain itu

tahapan error variance invariance merupakan tahapan yang paling sulit untuk

Page 169: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

151

dicapai sehingga banyak ahli beranggapan tidak perlu alat tes sampai pada tahap

ini (Byrne et al., 1989). Oleh karena itu tahap ini sering disebut dengan istilah

strict measurement invariance. Namun, jika sebuah penelitian bertujuan untuk

mengecek fairness dan equity dari sebuah tes, situasi alat tes yang memenuhi

tahap strict measurement invariance sangat diperlukan (Meredith & Teresi, 2006).

Selain kepentingan untuk mengecek fairness dan equity, strict

measurement invariance dapat juga mengindikasikan bahwa sebuah alat tes

memiliki equivalent reliability (Brown, 2006). Seperti yang dapat dilihat pada

hasil uji error variance invariance pada item subtes tes CFIT di atas, reliabilitas

skor tes yang didapatkan pada kelompok perempuan akan sama nilainya dengan

reliabilitas skor tes yang didapatkan pada kelompok laki-laki. Meskipun, situasi

equivalent reliability ini masih memiliki syarat yang harus dipenuhi, yaitu factor

variance pada alat tes CFIT harus invariant atau sama di kelompok yang berbeda

(laki-laki vs perempuan) (Vandenberg & Lance, 2000). Dan peneliti memutuskan

untuk tidak menguji lebih jauh tentang factor variance invariance karena hal

tersebut bukan bagian dari pembahasan measurement invariance, melainkan

bagian dari pembahasan structural invariance. Dengan kata lain, hal tersebut

merupakan di luar konteks pertanyaan pada penelitian ini.

Dan informasi terakhir yang didapatkan saat sebuah alat tes mencapai

tahapan strict measurement invariance, artinya item pada tes tersebut tidak

mengandung bias pengukuran atau measurement bias. Argumen ini dapat dilihat

pada penelitian Milfont dan Fischer (2010). Dalam hal ini tes CFIT yang

dianalisis pada penelitian ini telah terbukti secara empiris memenuhi seluruh

Page 170: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

152

tahapan measurement invariance. Sehingga penafsiran dan perbandingan konstruk

di kelompok yang berbeda dapat dilakukan.

Isu terakhir yang patut menjadi perhatian pada penelitian ini adalah isu full

measurement invariance vs partial measurement invariance. Full measurement

invariance adalah situasi ketika model fit tercapai dengan kondisi seluruh

parameter item seperti parameter lambda, threshold dan error variance memiliki

nilai yang sama di kelompok yang berbeda. Sebaliknya, partial measurement

invariance adalah situasi ketika model baru dapat fit setelah ada satu atau dua

parameter item yang dibebaskan nilainya untuk bervariasi di kedua kelompok

(Byrne et al., 1989; Steenkamp & Baumgartner, 1998; Brown, 2006).

Byrne et al., (1989) menyatakan bahwa full measurement invariance

adalah situasi yang sulit dicapai oleh sebuah alat ukur. Sehingga alternatif ketika

full measurement invariance tidak tercapai adalah mengecek apakah mungkin

terjadi partial measurement invariance. Ketika suatu alat ukur masih dapat fit

pada situasi partial measurement invariance, maka alat tes tersebut masih dapat

dikatakan ideal dan baik.

Perlu diperhatikan ketika terjadi partial measurement invariance pada

sebuah alat tes, item dengan nilai parameter berbeda di dua kelompok berbeda

dalam konteks item response theory (IRT) sering disebut dengan istilah

differential item functioning (DIF) (Brown, 2006). DIF juga seringkali mengacu

pada istilah measurement bias, maksudnya ketika ada dua orang dengan

kemampuan yang sama namun memiliki peluang yang berbeda untuk menjawab

benar pada sebuah item. Item seperti ini tentu saja tidak boleh dipakai dalam

Page 171: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

153

sebuah alat tes. Dan pada penelitian ini, tes inteligensi CFIT tidak memiliki item

yang mengindikasikan partial measurement invariance. Mengingat seluruh subtes

tercapai dalam situasi full measurement invariance.

Hal yang ingin peneliti sampaikan adalah hasil penelitian ini yang

menunjukkan bahwa seluruh subtes tes CFIT dapat memenuhi seluruh tahapan

measurement invariance dengan nilai parameter item (lambda, threshold, error

variance). Dengan kata lain, seluruh subtes tes CFIT termasuk dalam kondisi full

measurement invariance. Meskipun, situasi ini dicapai dengan terlebih dahulu

harus mendrop item-item yang memiliki koefisien muatan faktor negatif dan item

yang tidak signifikan. Sehaingga item – item pada tes CFIT menjadi lebih sedikit

dibandingkan pada saat awal analisis. Namun, tetap saja situasi full measurement

invariance yang telah tercapai oleh tes CFIT ini perlu diadakan penelitian lanjutan

yang lebih komprehensif untuk memperkuat hasil kesimpulan ini.

5.3 Saran Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan kesimpulan dari penelitian ini, maka

peneliti mengajukan beberapa saran seperti berikut ini:

5.3.1 Saran praktis

1. Bagi pengguna dan pengembang alat tes psikologi harus berhati-hati

dalam melakukan adaptasi alat tes psikologi yang diadaptasi dari budaya,

negara, atau bahasa yang berbeda. Karena tidak ada jaminan bahwa alat tes

yang telah diterjemahkan sempurna secara bahasa dapat diterjemahkan ke

bahasa atau konteks budaya lain tanpa ada masalah. Dalam penelitian ini,

tes CFIT yang diadaptasi dari versi Raymond Cattell perlu sekali diuji

Page 172: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

154

apakah menguru hal yang sama di budaya berbeda. Terdapat kemungkinan

bahwa setiap alat tes yangg diadaptasi dari budaya luar struktur faktornya

dapat bertambah, berkurang atau berubah sama sekali maknanya. Untuk

itu setiap alat ukur psikologi wajib adanya untuk selalu diuji asumsi

invariance lintas kelompoknya secara empiris.

2. Pengguna alat tes inteligensi CFIT di Indonesia terutama biro psikologi

harus melakukan skoring skor tes hanya dengan item yang sudah terbukti

valid saja. Dan jangan terlalu cepat berpuas diri dengan alasan bahwa tes

CFIT merupakan alat tes yang sudah baku. Tes CFIT harus tetap diuji

validitasnya dan dalam proses skoringnya dianjurkan sekali menggunakan

skor sebenarnya (true score), agar tidak ada orang yang dirugikan dalam

pengambilan keputusan. Seperti yang diketahui bersama tes psikologi

seringkali berpengaruh langsung pada kehidupan seseorang baik dalam

setting klinis, pendidikan, industri, dan sosial.

3. Indonesia merupakan negara yang plural secara budaya, suku dan agama.

Hal ini dapat membuka peluang terjadinya bias pengukuran pada tes CFIT.

Oleh karena itu diharapkan tes CFIT tidak hanya diuji berdasarkan jenis

kelamin saja, tetapi juga berdasarkan variabel demografi lainnya seperti

agama, ras, etnis, suku, domisili, pekerjaan, tingkat pendidikan dan usia.

Hal ini dilakukan agar pengguna tes dan penempuh tes lebih yakin lagi

tentang validitas dari alat tes inteligensi CFIT.

Page 173: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

155

5.3.2 Saran teoritis

1. Tidak hanya tes psikologi yang akan digunakan untuk pengambilan

keputusan tentang individu seperti tes CFIT, tes psikologi lain (kuesioner,

instrumen) yang digunakan untuk meneliti hubungan sebab akibat antar

variabel sangat perlu untuk diuji measurement invariance. Hal ini penting

diuji agar tidak terjadi kesalahan interpretasi dalam menerjemahkan hasil

penelitian. Jika alat tes yang dipakai tidak memenuhi situasi measurement

invariance, maka hasil penelitian tersebut akan tidak bermakna atau yang

lebih berbahaya adalah menyesatkan. Sehingga diharapkan penelitian

ilmiah di ilmu psikologi baik skripsi, thesis dan disertasi sudah mulai

melakukan uji measurement invariance pada setiap instrumen

penelitiannya.

2. Diharapkan pada penelitian selanjutnya, dilakukan uji validitas

measurement invariance pada tes inteligensi CFIT menggunakan

pendekatan item response theory (IRT). Hal ini perlu dilakukan sebagai

metode pembanding dari pendekatan yang digunakan pada penelitian ini,

yaitu confirmatory factor analysis (CFA). Sehingga di masa yang akan

datang akan didapatkan hasil yang lebih meyakinkan dan mendalam

tentang kesahihan dari tes inteligensi CFIT.

3. Pada penelitian selanjutnya disarankan agar dilakukan penelitian yang

mendalam tentang structural invariance, seperti factor variance

invariance, factor covariance invariance dan latent mean structure. Hal

ini penting untuk dilakukan agar penelitian tentang tes inteligensi CFIT

Page 174: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

156

tidak berhenti sampai measurement invariance saja. Sehingga dapat

membuka pemahaman baru untuk pengguna tes dan ilmuan tentang

validitas tes inteligensi CFIT.

Page 175: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

157

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, L.R. 1997. Psychological testing and assessment. Needham Heights: Allyn

& Bacon.

Anastasi, Anne & Urbina, Susana. 1997. Psychological testing 7th edition. New

Jersey: Prentice Hall Int.

Bollen, K.A. 1989. Structural equations with latent variables. New York: Wiley.

Borsboom, D., Romeijn, J-W., & Wicherts, J. 2008. Measurement invariance vs

selection invariance: Is fair selection possible?. Psychological Method.

13 (2), 75-98.

Borsboom, Denny. 2006. When does measurement invariance matter?. Medical

Care. 44 (11), 176-181.

Brown, T.A. 2006. Confirmatory factor analysis for applied research. New York:

The Guilford Press.

Byrne, B.M., Shavelson, R.J., Muthen, B.O. 1989. Testing for equivalence of

factor covariance and mean structures: The issue of partial measurement

invariance. Psychological Bulletin. 105 (3), 465-466.

Chadha, N.K. 2009. Applied psychometry. New Delhi: Chaman Enterprises.

Crocker, L. & Algina, J. 2008. Introduction to classical and modern test theory.

Ohio: Cengage Learning.

Embretson, S. & Reise, S.P. 2000. Item response theory for psychologist. New

Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Gardner, Howard. 2011. Frames of mind: The theory of multiple intelligences.

New York: Basic Books.

Golay, Philippe & Lecerf, Thierry. 2011. Orthogonal higher order structure and

confirmatory factor analysis of the french weschler adult intelligence

scale (WAIS-III). Psychological assessment. 23 (1), 143-152.

Gomez, R., Vence, A., & Gomez, A. 2011. Children’s depression inventory:

Invariance across children and adolescents and without depresive

disorders. Psychological Assessment. DOI: 10.1037/a0024966.

Hambleton, R.K., Swaminathan, H., & Rogers, H.J. 1991. Fundamentals of item

response theory. Newbury Park: Sage publications, Inc.

Hancock, G.R. & Mueller, R.O. 2006. Structural equation modeling: A second

course. Connecticut: Information Age Publishing, Inc.

Hayat, Bahrul. 1994. Pengantar model Rasch: Bahan penataran pengelolaan

pengujian. Jakarta: Balitbang Kemendikbud.

Hesketh, S.R., Skrondal, A., & Pickles, A. 2004. Generalized multilevel structural

equation modeling. Psychometrika. 69 (2), 167-190.

Hildebrandt, A., Sommer, W., Herzmann, G., & Wilhelm, O. 2010. Structural

invariance and age-related performances differences in face cognition.

Psychology and Aging. 25 (4), 794-810.

Kankaras, M. & Moors, G. 2011. Measurement equivalence and extreme response

bias in the comparison of attitudes across europe: A multigroup latent-

class factor approach. Methodology. 7 (2), 68-80.

Page 176: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

158

Kaplan, David. 2004. Structural equation modeling: Foundations and extensions.

California: Sage publication, Inc.

Kaufman, A.S & Lichtenberger, E.O. 2006. Introduction to the assessment of

adolescent and adult intelligence. New Jersey: John Wiley & Sons.

Kaufman, James. & Grigorenko, Elena. L. 2009. The essential Sternberg: essay

on intelligence, psychology, and education. New York: Springer

Publishing Company.

Kline, R.B. 2011. Principles and practices of structural equation modeling 3th

edition. New York: The Guilford Press.

Kuhn, J-T. & Holling, H. 2009. Measurement invariance of divergent thinking

across gender, age, and school forms. European Journal of Psychological

Assessment. 25 (1), 1-7).

Li, Huijun., Lee, Donghyuck., Pfeiffer, S.I., Kamata, A., Kumtepe, A.T., Rosado,

Javier. 2009. Measurement invariance of the gifted rating scales-school

form across five cultural groups. Psychology Quarterly. (3), 186-198.

Maiano, C., Morin, A.J.S., Monthuy-Blanc, J., & Garbarino, J-M. 2010. Construct

validity of the fear of negative appearence evaluation scale in community

sample of French adolescents. European Journal of Psychological

Assessment. 26 (1), 19-27.

Marnat, G.G. 2006. The handbook of psychological assessment (4th Edition).

New Jersey: Wiley & Sons, Inc.

Meade, A.W & Lautenschlager, G.J. 2004. Same questions, different answers:

CFA and two IRT approaches to measurement invariance. Paper

Presented at the 19th Annual Society for Industrial/Organizational

Psychology Conference, Chicago, IL.

Meredith, W. & Teresi, J.A. 2006. An essay on measurement and factorial

invariance. Medical Care. 44 (11) 69-77.

Milfont, T.L. & Fischer, R. 2010. Testing measurement invariance across groups:

Application in cross cultural research. International Journal for

Psychological Research. 3 (1), 111-121

Miller, Patricia. 1989. Theories of developmental psychology 2nd edition. New

York: Freeman.

Millsap, R.E. 2011. Statistical approaches to measurement invariance. New

York: Taylor & Francis Group.

Mungas, D., Widaman, K.F., Reed, B.R., & Farias, S.T. 2011. Measurement

invariance of neuropsychological tests in diverse older person.

Neuropsychology. 25 (2), 260-269.

Murphy, K.R & Davidshofer, C.O. 1994. Psychological testing: Principles and

application. London: Prentice Hall Int.

Muthen, B.O. & Muthen, L.K. 2012. Mplus statistical analysis with latent

variables user’s guide. Los Angeles: Muthen & Muthen.

Nair, R.L., White, Rebecca M.B., Knight, G.P., & Roosa, M.W. 2009. Cross-

language measurement equivalence of parenting measures for use with

Mexican American populations. Journal of Family Psychology. 23 (5),

680-689.

Page 177: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

159

Nenty, Johnson H. & Dinero, Thomas E. 1981. A cross-cultural analysis of the

fairness of the Cattell culture fair intelligence test using the Rasch model.

Applied Psychological Measurement. 5 (3), 355-368.

Newman, D.A., Limbers, C.A., & Varni, J.W. 2010. Factorial invariance of child

self-report across english and spanish language groups in hispanic

population utilizing the PedsQLTM

4.0 generic core scales. European

Journal of Psychological Assessment. 26 (3), 194-202.

Nocentini, A., Menesini, E., Pastorelli, C., Connolly, J., Pepler, D., & Craig, W.

2011. Physical dating aggression in adolescence: Cultural and gender

invariance. European Psychologist. 16 (4), 278-287.

Nye, Christopher D. & Drasgow, Fritz. 2011. Effect size indices for analyses of

measurement equivalence: Understanding the practical importance of

differences between groups. Journal Of Applied Psychology. 96 (5), 966-

980.

Ogg, J.A., Brinkman, T.M., Dedrick, R.F., & Carlson, J.S. 2010. Factor structure

and invariance across gender of the Devereux Early Childhood

Assessment Protective Factor Scale. School Psychology Quarterly. 25

(2), 107-118.

Pedhazur, E.J. 1997. Multiple regression in behavioral research: Explanation and

prediction 3th edition. Fort Worth: Thompson Learning, Inc.

Raju, N.S., Laffitte, L.J., & Byrne, B.M. 2002. Measurement equivalence: A

comparison of methods based on confirmatory factor analysis and item

response theory. Journal of Applied Psychology. 87 (3), 517-529.

Reise, S.P., Widaman, K.F., & Pugh, R.H. 1993. Confirmatory factor analysis and

item response theory: Two approaches for exploring measurement

invariance. Psychological Bulletin. 114 (3), 522-566.

Rivera-Medina, C.L., Caraballo J.N., Rodriguez-Cordero, E.R., Bernal, G., &

Davila-Marrero, E. 2010. Factor structure of CES-D and measurement

invariance across gender for low income Puerto Ricans in probability

sample. Journal of Consulting and Clinical Psychology. 78 (3), 398-408.

Salkind, Neil. J. 2007. Encyclopedia of measurement and statistics. California:

Sage Publications, Inc.

Sattler, Jerome. M. 1992. Assessment of children: Revised and updated 3th

edition. San Diego: Publisher, Inc.

Schinka, J.A. & Velicer, W.F. 2003. Handbook of psychology: Volume 2 research

methods in psychology. New Jersey: Wiley & Sons, Inc.

South, S.C. Krueger, R.F. Iacono, W.G. 2009. Factorial invariance of the dyadic

adjustment scale across gender. Psychological assessment. 21 (4), 622-

628.

Spielberger, Charles. 2002. Encyclopedia of applied psychology. Florida: Elsevier

Academic Press.

Steenkamp, J.-B.E.M & Baumgartner, H. 1998. Assessing measurement

invariance in cross-national consumer research. Journal of Consumer

Research. 25 (1), 78-90.

Sternberg, R.J. 2003. Wisdom, intelligence, and creativity synthesized.

Cambridge: Cambridge University Press.

Page 178: UJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46117/1/BOBBY SUWANDI-FPSI.pdfUJI MEASUREMENT INVARIANCE PADA CULTURE FAIR INTELLIGENCE

160

Strickland, Bonnie. 2001. The gale encyclopedia of psychology 2nd edition. Ohio:

Eastword Publication Development.

Thompson, Bruce. 2004. Exploratory and confirmatory factor analysis.

Washington D.C: American Psychological Assosiation.

Umar, Jahja. 2012. Mengenal lebih dekat konsep reliabilitas skor tes. Jurnal

Pengukuran Psikologi dan Pendidikan. 2 (2), 126-140.

Urbina, Susana. 2014. Essentials of psychological testing 2nd edition. New

Jersey: Wiley & Sons, inc.

Van de Vijver, F.J.R & Leung, K. 2000. Methodological issues in psychological

research on culture. Journal of Cross-Cultural Psychology. 31 (1), 35-51.

Vandenberg, R.J & Lance, C.E. 2000. A review and synthesis of the measurement

invariance literature: Suggestions, practices, and recommendations for

organizational research. Organizational Research. 3 (1), 4-70.

Wasti, S.A., Bergman, M.E., Glomb, T.M., & Drasgow, F. 2000. Test of the

cross-cultural generalizability of a model of sexual harassment. Journal

of Applied Psychology. 85 (5), 766-778.

Wicherts, J.M., Dolan, C.V., Hessen, D.J., Oosterveld, P., van Baal, G.C.M.,

Boomsma, D.I., & Span, M.M. 2004. Are intelligence tests measurement

invariance over time? Investigating the nature of the Flynn effect.

Intelligence. 32, 509-537.

Willoughby, M.T., Wirth, R.J., & Blair, C.B. 2011. Executive function in early

childhood: Longitudinal measurement invariance and developmental

change. Psychological Assessment. Advance Online Publication. DOI:

10.1037/a0025779.