uji daya hasil pendahuluan (udhp) genotipe padi … v... · 95 uji daya hasil pendahuluan (udhp)...
TRANSCRIPT
95
UJI DAYA HASIL PENDAHULUAN (UDHP) GENOTIPE PADI HIBRIDA
Preliminary Yield Trial of Hybrid Rice Genotypes Abstrak
Penelitian bertujuan mengetahui daya hasil pendahuluan genotipe padi hibrida toleran kekeringan di lahan sawah irigasi dan saat mengalami kekeringan di lahan sawah tadah hujan. Penelitian ini dilakukan: (i) di lahan sawah irigasi Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Sukabumi, pada bulan November 2011 sampai Februari 2012 dan (ii) di lahan sawah tadah hujan Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Indramayu, pada bulan April sampai Juli 2012. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, dengan 3 ulangan. Sebanyak 8 genotipe padi hibrida (BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15 dan BI665A/BP6) dan 2 varietas cek (Hipa 7 dan Ciherang) digunakan pada percobaan di lahan sawah irigasi, 4 genotipe hibrida (BI485A/BP3, BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15) dan 3 varietas cek (Hipa 7, IR64 dan Limboto) digunakan pada percobaan di lahan sawah tadah hujan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 yang diuji di lahan sawah irigasi, menyamai daya hasil varietas unggul Ciherang yaitu berturut-turut 5.63, 6.87 dan 6.30 ton gabah ha-1. Genotipe BI599A/BP15 yang diuji di lahan sawah tadah hujan pada tingkat kekeringan parah mampu menghasilkan gabah 0.90 ton ha-1, sedangkan Hipa 7 (varietas hibrida yang sudah dilepas untuk lahan sawah tadah hujan) dan Limboto (varietas cek toleran kekeringan) hanya menghasilkan masing-masing 0.34 dan 0.29 ton ha-1.
Kata kunci: daya hasil, padi hibrida, sawah irigasi, sawah tadah hujan
Abstract Two experiments were conducted at: (i) irrigated lowland, village of
Bojong, sub district Cikembar, Sukabumi, from November 2011 until February 2012, and (ii) rainfed lowland, village of Sanca, sub district Gantar, Indramayu, from April until July 2012. The objective of the experiment was to determine yield of hybrid rice genotypes tolerant to drought. A randomized block design with three replications was used. The treatment consisted of 8 hybrid rice genotypes (BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15 and BI665A/BP6) and 2 checks varieties (Hipa 7 and Ciherang) for experiment in lowland irrigated, 4 hybrid genotypes (BI485A/BP3, BI485A/BP12, BI485A/BP15 and BI599A/BP15) and 3 check varieties (Hipa 7, IR64 and Limboto) for experiment in rainfed lowland. The yield of genotype BI485A/BP12, BI485A/BP15 and BI559A/BP15 under irrigated lowland, showed non significant with Ciherang and Hipa 7 check varieties, i.e 5.63, 6.87 and 6.30 ton grain ha-1, respectively. BI599A/BP15 genotype under severe drought rainfed lowland yielded 0.90 ton grain ha-1, whereas Hipa 7 (hybrid variety, suitable for rainfed lowland) and Limboto (check of drought tolerant variety) reached 0.34 and 0.29 ton grain ha-1, respectively.
Keywords: yelded, hybrid rice, irrigated lowland, rainfed lowland
96
Pendahuluan
Padi hibrida merupakan teknologi alternatif dalam upaya meningkatkan
produktivitas padi. Penelitian di beberapa negara tropis menunjukkan padi hibrida
mempunyai keunggulan hasil lebih dari satu ton per hektar dibanding padi inbrida
(Virmani dan Kumar 2004). Salah satu komponen yang menunjang keberhasilan
pengembangan padi hibrida adalah tersedianya varietas unggul yang mempunyai
heterosis tinggi, yang mampu meningkatkan potensi hasil sebesar 15-20%.
Pengujian daya hasil padi hibrida sejak tahun 1982 hingga 2011 menunjukkan
keunggulan dibanding padi inbrida dalam hal produktivitas gabah kering dan
umur (Suprihatno 1989; Villa et al. 2011). Penelitian padi hibrida terus dilakukan
untuk meningkatkan produksi padi yaitu dengan perakitan padi hibrida berpotensi
hasil tinggi dan umur genjah serta toleran kekeringan untuk lahan marjinal seperti
lahan sawah tadah hujan.
Perakitan dengan metode pemuliaan tanaman untuk mendapatkan kualitas dan
kuantitas yang tinggi belum cukup untuk dinilai sebagai kultivar. Hal tersebut
dikarenakan genotipe-genotipe padi harus mampu beradaptasi dan stabil pada suatu
lokasi atau berbagai lokasi pada berbagai musim, sehingga dapat menilai suatu
genotipe dapat dilepas sebagai suatu kultivar unggul. Nilai kestabilan pada genotipe-
genotipe padi harus tinggi karena mencerminkan kondisi genetik pada padi yang
homogenitasnya tinggi dan konsisten di berbagai lokasi atau lingkungan tumbuh yang
berbeda. Pentingnya sifat kestabilan dan daya adaptasi suatu genotipe padi,
menjadikannya sebagai syarat untuk pelepasan kultivar (Harsanti et al. 2003).
Genotipe padi hibrida yang potensial untuk dikembangkan di lahan sawah
tadah hujan, telah diidentifikasi melalui serangkaian pengujian pada lingkungan
terkendali. Pengujian dengan menggunakan PEG 6000 dan cekaman kekeringan
di pot serta simulasi di lapangan, telah berhasil mengidentifikasi beberapa
genotipe padi hibrida toleran kekeringan yaitu genotipe BI485A/BP12,
BI485A/BP15 dan BI559A/BP15. Genotipe tersebut perlu diuji pada kondisi in-
situ (uji lapangan) untuk mendapatkan genotipe dengan sifat-sifat padi hibrida
berdaya hasil tinggi, baik pada lingkungan tumbuh yang optimal maupun sub
optimal. Pengujian di lahan sawah tadah hujan dan sawah irigasi diperlukan agar
karakter-karakter yang baik dapat diekspresikan sesuai kondisi lingkungan
97
tumbuhnya, sehingga seleksi dapat dilakukan pada genotipe berpotensi hasil
tinggi. Penampilan relatif dari berbagai genotipe biasanya bervariasi pada
lingkungan yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara genotipe
dengan lingkungan, sehingga menyulitkan untuk mengidentifikasi genotipe yang
ideal. Adaptabilitas merupakan kemampuan tanaman untuk tetap menghasilkan
pada berbagai lingkungan, karena itu hasil adalah suatu kriteria penting untuk
mengevaluasi daya adaptasi (Nor dan Cady 1979). Pengujian pada skala kecil
diharapkan dapat memberikan informasi daya hasil pendahuluan genotipe padi
hibrida toleran kekeringan dan berpotensi dikembangkan di lahan sawah tadah
hujan dalam skala yang lebih luas.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui daya hasil pendahuluan genotipe
padi hibrida toleran kekeringan di lahan sawah irigasi dan saat mengalami
kekeringan di lahan sawah tadah hujan.
Bahan dan Metode
A. Uji Daya Hasil Pendahuluan (UDHP) di Lahan Sawah Irigasi
Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai Februari 2012,
di lahan sawah irigasi Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat. Iklim di lokasi penelitian termasuk beriklim sedang dengan suhu rata-
rata 18-32 °C dan curah hujan berkisar 1 200 – 2 200 mm tahun-1
Penyiapan lahan dilakukan dengan pengolahan tanah dua kali, untuk
pelumpuran tanah yang baik. Ukuran petak percobaan setiap unit perlakuan
.
Metode Penelitian
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok 3 ulangan dan genotipe/
varietas yang diuji terdiri atas 8 genotipe padi hibrida yaitu BI485A/BP3,
BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5,
BI599A/BP15, BI665A/BP6, dan 2 varietas cek yaitu Ciherang dan Hipa 7.
Pelaksanaan Percobaan
98
2.0 m x 1.5 m, dengan jarak antar perlakuan 50 cm, dan antar kelompok 100 cm.
Bibit hasil persemaian dipindahtanam setelah berumur 21 hari, bibit ditanam
dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, 1 bibit per lubang.
Pemupukan dilakukan dengan Urea 300 kg, SP-36 125 kg, dan KCl 100 kg
per hektar. Seluruh pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam, Urea
diberikan tiga kali, masing-masing pada saat tanam, 4 minggu dan 7 minggu
setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara optimal,
sedangkan penyiangan dilakukan secara manual dengan menggunakan landak dan
cara manual pada saat tanaman berumur tiga dan lima minggu setelah tanam.
Sistem pengairan merupakan irigasi non teknis dan pengairan tanaman dilakukan
sesuai dengan karakter sawah yang digunakan. Pengairan dipertahankan dalam
kondisi optimal selama fase pertumbuhan hingga panen. Tinggi air pada petakan
disesuaikan fase pertumbuhan tanaman.
Pengamatan dilakukan pada lima rumpun tanaman sampel. Peubah yang
diamati adalah tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah
gabah isi, jumlah gabah total, persentase gabah hampa, bobot 1 000 butir, bobot
gabah per rumpun, umur berbunga 50% dan umur panen 85% menguning.
Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam uji F sesuai rancangan
yang digunakan. Jika sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5%
dilanjutkan dengan uji DMRT menggunakan fasilitas uji SAS 9.1.
B. UDHP di Lahan Sawah Tadah Hujan
Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2012, di lahan
sawah tadah hujan Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa
Barat. Iklim di lokasi penelitian termasuk beriklim panas dengan suhu rata-rata
32 - 35 °C dan curah hujan berkisar 1 000 – 2 400 mm tahun-1
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok 3 ulangan dan
genotipe/varietas yang diuji terdiri atas 4 genotipe padi hibrida yaitu BI485A/BP3
(kategori peka kekeringan), BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15
.
Metode Penelitian
99
(kategori toleran kekeringan), dan 1 varietas hibrida yaitu Hipa 7 (varietas yang
sudah dilepas sesuai untuk lahan sawah tadah hujan), serta 2 varietas inbrida yaitu
IR-64 (cek peka kekeringan) dan Limboto (cek toleran kekeringan).
Pelaksanaan Percobaan
Diambil sampel tanah untuk dianalisis sifat fisik dan kimia antara lain
penetapan kadar air tanah pada kapasitas lapangan (pF 2.54) dan titik layu
permanen (pF 4.20) berdasarkan metode pressure plate/membrane apparatus
(Sudirman et al. 2006). Selain itu dilakukan analisis tekstur, kandungan bahan
organik, kapasitas tukar kation dan kadar NPK (Lampiran 7).
Penyiapan lahan dilakukan dengan pengolahan tanah dua kali, untuk
pelumpuran tanah yang baik. Ukuran petak percobaan setiap unit perlakuan 3.00
m x 1.75 m, dengan jarak antar perlakuan 50 cm, dan antar kelompok 100 cm.
Bibit hasil persemaian dipindahtanam setelah berumur 21 hari, bibit ditanam
dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, 1 bibit per lubang.
Pemupukan dilakukan dengan Urea 300 kg, SP-36 125 kg, dan KCl 100 kg
per hektar. Seluruh pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam, Urea
diberikan tiga kali, masing-masing pada saat tanam, 4 minggu dan 7 minggu
setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara optimal,
sedangkan penyiangan dilakukan secara manual dengan menggunakan landak dan
cara manual pada saat tanaman berumur tiga dan lima minggu setelah tanam.
Sistem pengairan bersumber dari air hujan, karena itu dilakukan pencatatan
terhadap curah hujan dan kondisi kadar air tanah selama penelitian berlangsung.
Dua buah penangkar curah hujan dipasang di lokasi penelitian. Pengukuran
terhadap kadar air tanah di lapangan dilakukan dengan pendekatan bobot tanah
kering oven.
Pengamatan dilakukan pada lima rumpun tanaman sampel. Peubah yang
diamati adalah tinggi tanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan produktif,
bobot kering tanaman bagian atas (biomasa), umur berbunga 50%, panjang malai,
jumlah gabah total, persentase gabah isi dan bobot gabah per rumpun.
100
Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam uji F sesuai rancangan
yang digunakan. Jika sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5%
dilanjutkan dengan uji DMRT menggunakan fasilitas uji SAS 9.1.
Hasil dan Pembahasan
A. UDHP di Lahan Sawah Irigasi
A.1. Curah Hujan
Komponen iklim yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman padi
antara lain adalah curah hujan. Jumlah, distribusi dan frekuensi hujan yang tidak
sesuai selama musim tanam padi, mempengaruhi pertumbuhan dan hasil.
Tanaman padi sawah sering mengalami kekeringan akibat pasokan air yang
terbatas. Curah hujan yang memadai penting untuk memenuhi kebutuhan air
tanaman selama fase pertumbuhan terutama pada periode-periode kritis tanaman.
Distribusi dan frekuensi hujan selama percobaan (musim tanam Oktober 2011–
Februari 2012) disajikan pada Tabel 26 dan Lampiran 8.
Distribusi dan frekuensi curah hujan selama fase pertumbuhan tanaman padi
cukup baik, yang memenuhi standar kebutuhan air untuk padi sawah yaitu >200
mm/bulan (Fagi dan Las 1998). Keadaan curah hujan baik dari aspek jumlah
maupun sebaran selama fase pertumbuhan maupun pematangan adalah berada
pada tingkat ketersediaan air yang ideal sehingga dapat mendukung pertumbuhan
dan pencapaian hasil maksimal padi hibrida.
Tabel 26 Distribusi dan frekuensi hujan selama penanaman padi hibrida di lahan
sawah irigasi, Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Sukabumi
Bulan/Tahun
a)
Curah hujan (mm) Frekuensi hujan (hari) Oktober 2011 96.3 11.0 November 2011 207.9 23.0 Desember 2011 284.4 21.0 Januari 2012 499.0 26.0 Februari 2012 383.4 18.0
Keterangan:a)
Curah hujan yang ada, jika disesuaikan dengan kebutuhan air untuk tanaman
padi sawah, maka ketersediaan air di lokasi percobaan ini, tidak menjadi masalah.
=Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Observatori Geofisika Pelabuhan Ratu, Sukabumi.
101
Dengan demikian keterbatasan air pengairan dapat dipenuhi dari curah hujan.
Pada fase masak penuh, jumlah curah hujan < 200 mm dan hanya terjadi selama
delapan hari, merupakan kondisi cukup baik untuk mempercepat pematangan biji
dan waktu panen.
Tabel 27 Rata-rata curah hujan selama pertumbuhan padi hibrida di lahan sawah irigasi, Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Sukabumi
Fase Pertumbuhan CH (mm)b) Frekuensi hujan (hari)
a) Kecukupan
Tanam-Primordia (60 hari) 492.3 44.0 Cukup Pembungaan-Pengisian Biji (30 hari) 485.6 26.0 Cukup Pematangan Biji 218.8 11.0 Cukup Masak penuh 166.0 8.0 Cukup Keterangan: a)=Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Observatori Geofisika
Pelabuhan Ratu, Sukabumi.; b) =Fase pertumbuhan tanaman padi varietas berumur 120 hari (Yoshida 1981).
A.2. Suhu
Selain curah hujan, komponen iklim yang juga sangat penting untuk
pertumbuhan tanaman padi sawah adalah suhu. Kondisi suhu udara rata-rata
selama percobaan, mulai November 2011 hingga Februari 2012 adalah berturut-
turut masing-masing 29.6, 29.9, 27.8 dan 30.0 0C (Tabel 28). Kondisi suhu udara
ini berada pada kisaran yang cukup sesuai untuk mendukung pertumbuhan
tanaman padi sawah (Yoshida 1981).
Tabel 28 Keadaan suhu selama penanaman padi hibrida di lahan sawah irigasi,
Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Sukabumi
Bulan/tahun
a)
Suhu maksimum (0 Suhu minimum (C) 0 Rata-rata (C) 0C) Okrober 2011 38.2 17.8 28.6 November 41.0 20.9 29.6 Desember 41.4 20.0 29.9 Januari 41.2 20.0 27.8 Februari 40.5 20.0 30.0 Keterangan: a)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan
genotipe/varietas terhadap komponen pertumbuhan hanya berpengaruh nyata pada
=Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Observatori Geofisika Pelabuhan Ratu, Sukabumi.
A.3. Komponen Pertumbuhan
102
peubah tinggi tanaman, umur berbunga 50% dan umur panen, sedangkan pada
peubah jumlah anakan produktif tidak berpengaruh nyata (Lampiran 9). Hasil uji
DMRT rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga dan
umur panen disajikan pada Tabel 29.
A.3.1. Tinggi Tanaman
Hampir semua genotipe yang diuji mempunyai tinggi tanaman yang tidak
berbeda nyata dengan varietas cek Ciherang dan Hipa 7, kecuali BI599A/BP15,
BI599A/BP5 dan BI665A/BP6. Genotipe BI599A/BP15 paling tinggi yang tidak
berbeda nyata dengan BI599A/BP5 (Tabel 29). Tinggi tanaman penting kaitanya
dengan kerebahan. IRRI menetapkan standar tinggi tanaman untuk padi tipe baru
sawah adalah 100 cm (Peng et al. 2008). Ma et al. (2006) menyatakan bahwa
karakteristik tanaman ideal agar tidak muda rebah adalah 115 – 120 cm. Oleh
karena itu genotipe ini merupakan genotipe yang ideal untuk dikembangkan di
lahan sawah karena memiliki tinggi yang tahan terhadap kerebahan, karena tinggi
tanaman berada pada kisaran standar prototipe tanaman ideal.
Tabel 29 Komponen pertumbuhan genotipe padi hibrida dan varietas cek di lahan sawah irigasi
Genotipe Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan produktif
Umur berbunga 50% (hari)
Umur panen (hari)
BI485A/BP3 98.60 13.3 d 85.3 119.7 de a BI485A/BP5 101.80 13.1 cd 85.0 117.7 de BI485A/BP10
b 101.33 13.0 d 86.3 115.3 cd
BI599A/BP5 cd
110.33 12.9 ab 87.3 118.0 c BI665A/BP6
b 107.27 11.9 bc 91.7 121.0 ab
BI485A/BP12 a
100.40 12.1 d 85.7 116.7 de BI485A/BP15
bc 103.60 14.8 cd 84.7 115.0 e
BI599A/BP15 d
114.33 13.1 a 86.3 117.7 cd Ciherang
b 100.53 13.7 d 92.3 120.0 a
Hipa 7 a
100.87 12.5 d 90.3 120.3 b a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada α=0.05.
A.3.2. Jumlah Anakan Produktif
Jumlah anakan produktif menunjukkan tidak berbeda nyata antar genotipe
dan varietas cek. Rata-rata jumlah anakan produktif berkisar antara 12 – 15 (Tabel
103
29). Peng et al. (1994) menyatakan bahwa kapasitas anakan yang rendah untuk
pindahtanam yaitu 8-10 anakan produktif. Selanjutnya Peng et al. (2004)
menyatakan bahwa padi super hibrida di Cina memiliki anakan produktif 200-250
per m2
Umur panen rata-rata genotipe yang diuji berbeda nyata dibanding dengan
varietas cek kecuali genotipe BI485A/BP3 dan BI665A/BP6. Rata-rata umur
panen genotipe yang diuji antara 115.0 – 121.0 hari. Secara umum genotipe padi
hibrida memiliki umur yang relatif lebih genjah dibanding dengan umur panen
varietas cek yaitu 120 hari (Tabel 29). Umur panen sangat dipengaruhi oleh
kondisi iklim setempat terutama suhu. Penanaman di lokasi dengan suhu rendah
akan lebih memperpanjang umur panen dibandingkan di lokasi dengan suhu
tinggi. Sama halnya bila dilakukan penanaman di rumah kaca dan di lahan
terbuka akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap umur panen. Di lahan
terbuka umumnya lebih memperpendek umur panen. Perbedaan faktor lingkungan
menyebabkan siklus hidup tanaman berbeda. Yoshida (1981) menyatakan bahwa
perbedaan umur panen lebih ditentukan oleh lamanya fase pertumbuhan vegetatif
. Genotipe yang diuji memiliki rata-rata anakan produktif berada pada
kisaran untuk pindahtanam (transplanting).
A.3.3. Umur Berbunga
Umur berbunga rata-rata antar genotipe tidak berbeda nyata kecuali genotipe
BI665A/BP6 yang waktu berbunga 50% lebih lama, tetapi genotipe ini tidak
berbeda nyata dengan varietas cek Ciherang dan Hipa 7. Secara umum genotipe-
genotipe yang diuji lebih cepat berbunga yaitu 85.0-87.3 hari sedangkan umur
berbunga varietas cek Ciherang dan Hipa7 yaitu masing-masing 92.3 dan 90.3
hari (Tabel 29). Umur berbunga sangat berhubungan dengan efisiensi terhadap
pemanfaatan sumber daya air dan hara, karena fase pertumbuhan vegetatif yang
lebih singkat. Umur berbunga yang lebih singkat umumnya memiliki daya
adaptasi yang baik terhadap kekeringan dengan lebih mempercepat waktu
pematangan gabah (Lafitte et al. 2006).
A.3.4. Umur Panen
104
karena lama fase reproduktif dan pemasakan tidak dipengaruhi oleh varietas dan
lingkungan.
A.4. Komponen Hasil dan Hasil
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan
genotipe/varietas terhadap komponen hasil dan hasil hanya berpengaruh nyata
pada peubah jumlah gabah isi, jumlah gabah total, bobot 1 000 butir dan
persentase gabah hampa, sedangkan pada peubah panjang malai, bobot gabah per
rumpun dan daya hasil per hektar tidak berpengaruh nyata (Lampiran 9). Hasil uji
DMRT rata-rata panjang malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah total, persentase
gabah hampa, bobot 1 000 butir dan bobot gabah per rumpun serta daya hasil per
hektar disajikan pada Tabel 28.
A.4.1. Panjang Malai
Rata-rata panjang malai antar genotipe dan varietas cek tidak berbeda nyata.
Panjang malai genotipe berkisar 23.82-26.47 cm, sedangkan varietas cek Ciherang
yaitu 23.7 cm dan Hipa 7 yaitu 25.35 cm (Tabel 30). Panjang malai umumnya
berkorelasi dengan jumlah gabah per malai. Zang et al. (2010) menyatakan bahwa
malai yang besar dengan jumlah gabah per malai yang banyak dapat
meningkatkan kepadatan gabah.
A.4.2. Jumlah Gabah Total
Rata-rata jumlah gabah per malai antar genotipe berbeda nyata. Jumlah
gabah rata-rata tinggi pada genotipe BI665A/BP6 (219.2 butir) yang berbeda
nyata dengan varietas cek Ciherang (153.0 butir) (Tabel 30). Jumlah gabah total
yang relatif tinggi pada genotipe hibrida merupakan implikasi dari panjang malai
yang cenderung lebih panjang pada genotipe padi hibrida (Zang et al. 2010).
A.4.3. Jumlah Gabah Isi
Jumlah gabah isi berbeda nyata antar genotipe dan varietas cek. Genotipe
BI665A/BP6 menghasilkan jumlah gabah isi tertinggi, disusul genotipe
BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP5 yaitu berturut-turut masing-
105
masing sebanyak 162.9, 153.6, 147.6 dan 142.6 butir, tetapi tidak berbeda nyata
dengan varietas cek Hipa 7 yaitu sebanyak 140.3 butir. Jumlah gabah isi varietas
cek Ciherang hanya 125.8 butir yang berbeda nyata dengan genotipe
BI665A/BP6, BI485A/BP12 dan BI485A/BP15, tetapi tidak berbeda nyata dengan
genotipe lainnya. Jumlah gabah isi rata-rata genotipe hibrida berkisar antara
118.4-162.9 butir, sedangkan varietas cek Ciherang dan Hipa 7 masing-masing
125.8 butir dan 140.3 butir (Tabel 30). Peng dan Khush (2003) menyatakan
bahwa kriteria untuk hasil yang lebih tinggi adalah jumlah gabah per malai sekitar
150 butir.
Tabel 30 Komponen hasil dan hasil genotipe padi hibrida dan varietas cek di lahan sawah irigasi
Genotipe Panjang
malai (cm)
Jumlah gabah total
(butir)
Jumlah gabah isi
(butir)
Persentase gabah
hampa (%)
Bobot 1 000
butir (g)
Bobot gabah per rumpun
(g)
Hasil gabah
(ton ha-1)
BI485A/BP3 24.88 180.9 134.0 bc 25.6 bcd 28.98ab 41.13 c 6.57 BI485A/BP5 23.82 149.1 118.4 d 20.3d 28.93abc 37.11 cd 5.93 BI485A/BP10
24.54 161.7 126.9 cd 21.5 bcd 29.19abc 39.43 bc 6.30
BI599A/BP5
25.31 171.7 142.6 bcd 17.3 abcd 30.88 bcd 38.94 a 6.23 BI665A/BP6
26.47 219.2 162.9 a 26.0 a 28.59ab 33.92 cd 5.43
BI485A/BP12
25.15 173.7 153.6 bcd 11.6 ab 29.26 d 35.25 bc 5.63 BI485A/BP15
24.66 175.8 147.6 bcd 16.3 abc 28.53 cd 42.92 cde 6.87
BI599A/BP15
24.49 169.5 135.3 bcd 20.8 bcd 29.86abc 39.40 b 6.30 Ciherang
23.69 153.0 125.8 cd 17.9d 28.16 bcd 38.30 de 6.13
Hipa 7
25.35 195.0 140.3 ab 28.2 abcd 27.99 a 46.81 e 7.50 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada α=0.05.
A.4.4. Persentase Gabah Hampa
Persentase gabah hampa berbeda nyata antar genotipe dan varietas cek.
Persentase gabah hampa genotipe berkisar antara 11.6-26.0 persen, sedangkan
varietas cek sebesar 17.9 dan 28.2 persen. Persentase gabah hampa terrendah
diperoleh pada genotipe BI485A/BP12 yaitu sebesar 11.6 persen yang tidak
berbeda nyata dengan BI485A/BP15, BI599A/BP5 dan vatietas cek Ciherang
yaitu berturut-turut masing-masing sebesar 16.3, 17.3 dan 17.9 persen. Genotipe
dengan persentase gampa hampa tertinggi adalah BI665A/BP6 yaitu sebesar 26.0
persen yang tidak berbeda nyata dibanding dengan genotipe BI485A/BP3,
106
BI485A/BP5, BI485A/BP10 dan varietas cek Hipa 7 yaitu masing-masing 25.6,
20.3, 21.5 dan 28.2 persen (Tabel 30). Proses pengisian biji ditentukan oleh
sumber (source) dalam mendukung limbung (sink) atau karena proses penuaan.
Sumber yang terbatas dalam mendukung limbung karena akumulasi fotosintat
yang rendah atau proses penuaan yang lebih cepat akan meningkatkan persentase
gabah hampa. Abdullah et al. (2008) melaporkan bahwa salah satu penyebab
kehampaan adalah tidak seimbangnya antara sink (limbung) yang besar dan
source (sumber) yang sedikit. Lebih lanjut dijelaskan suatu galur yang
mempunyai jumlah gabah per malai banyak, tetapi sumber kurang mendukung,
seperti daun lebar, tipis, mendatar, cepat menua dan berumur genjah,
menyebabkan hasil asimilat rendah dan tidak mencukupi untuk mendukung
pengisian gabah, mengakibatkan kehampaan tinggi. Bahan kering pada daun
mulai menurun 10 hari setelah pengisian biji dan daun yang relatif besar, berperan
penting dalam memasok fotosintat ke biji (Shigenori et al. 2003).
A.4.5. Bobot 1 000 Butir
Bobot 1 000 butir genotipe hibrida yang diuji berada pada kisaran 28.53-
30.88 g. Secara umum genotipe hibrida memiliki bobot 1 000 butir nyata lebih
tinggi dibanding dengan varietas cek Hipa 7 dan Ciherang, kecuali genotipe
BI485A/BP5, BI485A/BP15 dan BI665A/BP6 tidak berbeda nyata dengan
varietas cek. Bobot 1 000 butir tertinggi diperoleh pada genotipe BI599A/BP5
yaitu sebesar 30.88 g, kemudian diikuti genotipe BI599A/BP15 yang tidak
berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP10 dan BI485A/BP12 yaitu masing-
masing sebesar 29.19 g dan 29.26 g (Tabel 30). Ma et al. (2006) menyatakan
bahwa karakter tanaman tipe ideal dengan malai berat memiliki bobot 1 000 butir,
28 – 30 g. Padi tipe baru dengan bobot gabah 28 – 30 g dan panjang malai >26
cm serta jumlah gabah yang banyak merupakan ukuran limbung (sink) yang
cukup baik untuk mendukung hasil gabah tinggi. Tanaman yang mempunyai
jumlah gabah per malai yang banyak membutuhkan asimilat yang banyak untuk
pengisian gabah, karena itu harus didukung oleh ukuran daun yang ideal antara
lain lebar daun sedang, tebal, agak terkulai dan tidak cepat menua serta berumur
107
sedang seperti genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, dan
BI599A/BP15.
A.4.6. Bobot Gabah per Rumpun dan Daya Hasil per Hektar
Bobot gabah antar genotipe dan varietas cek tidak berbeda nyata. Bobot
gabah per rumpun genotipe berkisar antara 33.92-42.92 g, sedang bobot gabah per
rumpun vartas cek Ciherang yaitu 38.30 g dan Hipa 7 yaitu 46.81 g. Bobot gabah
genotipe-genotipe tersebut bila dikonversi ke daya hasil berkisar antara 5.43-6.87
ton ha-1. Genotipe BI485A/BP15 memiliki hasil gabah tertinggi yaitu 42.92 g
rumpun-1 atau 6.87 ton ha-1
(Tabel 30). Genotipe tersebut mempunyai potensi hasil
tinggi, meskipun pengujian tahap awal masih dilakukan pada skala kecil.
Pengujian dalam skala yang lebih luas dan pada lahan bercekaman diharapkan
tidak akan menurunkan hasil yang nyata pada genotipe yang toleran kekeringan.
Virmani et al. (1997) menyatakan tolok ukur penting dalam perakitan padi hibrida
adalah perbandingan hasil antara hibrida dengan varietas cek. Genotipe
BI485A/BP3, BI485A/BP10, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 bila dibandingkan
dengan varietas cek Ciherang cenderung menunjukkan peningkatan yaitu
berturut-turut masing-masing sebesar 7.2, 2.8, 12.1, 1.6 dan 2.8 persen (Tabel 30).
Genotipe hibrida tersebut diharapkan tidak bersifat spesifik lokasi karena
umumnya hasil hibrida bersifat spesifik lokasi dimana penampilan (fenotipe)
dipengaruhi oleh lingkungan selain genetik (Satoto dan Suprihatno 1998).
Cara yang efektif untuk mengembangkan suatu kultivar padi sawah dengan
potensi hasil tinggi baik pada kondisi optimum maupun pada kondisi sub
otpimum (cekaman kekeringan) maka seleksi langsung dapat mengkombinasikan
seleksi di lahan sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Untuk itu dilakukan uji daya
hasil pendahuluan genotipe hibrida toleran kekeringan yang potensial
dikembangkan di lahan sawah tadah hujan.
108
B. UDHP di Lahan Sawah Tadah Hujan
B.1. Curah Hujan
Budidaya padi sawah tadah hujan sangat tergantung pada curah hujan.
Curah hujan yang terbatas sering menjadi kendala utama produksi dan stabilitas
produksi padi sawah tadah hujan. Tanaman padi sawah sering mengalami
kekeringan akibat curah hujan yang rendah dan pendeknya musim hujan, terutama
pada fase-fase kritis tanaman, atau karena waktu tanam yang tidak tepat. Pada
kondisi seperti ini perlu budidaya padi sawah yang toleran terhadap kekeringan,
sehingga masih dapat menghasilkan meskipun produksi lebih rendah dibanding
produksi padi sawah pada kondisi normal. Fagi dan Las 1998) menyatakan bahwa
standar kebutuhan air untuk padi sawah yaitu >200 mm/bulan. Oleh kerena itu
untuk mendapatkan lahan sawah tadah hujan yang tercekam kekeringan atau
curah hujan kurang dari standar kebutuhan air untuk padi sawah seperti banyak
dijumpai di lahan sawah tadah hujan pada beberapa daerah di Indonesia maka
dilakukan peregeseran waktu tanam dari waktu tanam kebiasaan masyarakat
setempat, agar diketahui daya hasil genotipe padi hibrida pada kondisi tersebut.
Waktu tanam dari percobaan ini dimundurkan selama satu setengah bulan atau
enam minggu dari kebiasaan tanam masyarakat setempat yaitu musim tanam
Maret – Juni 2012 menjadi April-Juli 2012. Distribusi dan frekuensi hujan selama
percobaan disajikan pada Tabel 31, 32 dan Lampiran 10.
Tabel 31 Distribusi dan frekuensi hujan selama penanaman padi hibrida di lahan
sawah tadah hujan, Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Indramayu
Bulan/Tahun 2012
a)
Curah hujan (mm) Frekuensi hujan (hari) Maret 362.0 20.0 April 152.5 12 .0 Mei 2.1 4.0 Juni 5.9 5.0 Juli - -
Keterangan: a)
Distribusi dan frekuensi curah hujan selama fase vegetatif (tanam sampai
primordia) berada pada tingkat ketersediaan tidak cukup yaitu hanya 94.7 mm dan
terjadi hujan hanya 7 hari. Pada fase pembungaan sampai pengisian biji berada
= Pengukuran langsung; - = tidak ada hujan
109
pada tingkat ketersediaan air yang sangat kritis yaitu 0.6 mm dan terjadi hujan
hanya 1 hari, sedangkan pada fase pematangan-masak penuh tidak terjadi hujan.
Fase-fase pertumbuhan dimana terdapat curah hujan yang rendah dan
pendeknya musim hujan mengakibatkan tanaman mengalami cekaman kekeringan
yang sangat parah, yang terjadi sejak 2 minggu setelah tanam. Hasil monitoring
kadar air tanah disajikan pada Gambar 13 dan Lampiran 11, sedangkan kadar air
tanah pada kapasitas lapangan (38.6%) dan titik layu permanen (26.9%) secara
detail disajikan pada Lampiran 7.
Tabel 32 Rata-rata curah hujan selama pertumbuhan padi hibrida di lahan sawah tadah hujan, Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Indramayu
Fase Pertumbuhan CH (mm)b) Frekuensi hujan (hari)
a) Kecukupan
Tanam-Primordia (60 hari) 94.7 7.0 Tidak cukup Pembungaan-Pengisian Biji (30 hari) 0.6 1.0 Sangat kritis Pematangan Biji - - Sangat kritis Masak penuh - - Sangat kritis Keterangan: - = tidak ada hujan; a) =Pengukuran langsung di lapangan b)
05
1015202530354045
28 33 36 39 43 53 56 58 61 67 73 79 106Hari setelah tanam
Kad
ar a
ir ta
nah
(% v
olum
e)
Kedalaman ±10 cm Kedalaman ±20 cm Rata-rata
=Fase pertumbuhan tanaman padi varietas berumur 120 hari (Yoshida 1981). .
Gambar 13 Kadar air tanah selama percobaan di lahan sawah tadah hujan
Kadar air pF 2.54 = 38.6% Kadar air pF 4.20 = 26.9%
110
B.2. Suhu
Selain curah hujan, komponen iklim yang juga sangat penting untuk
pertumbuhan tanaman padi sawah tadah hujan adalah suhu. Kondisi suhu udara
rata-rata selama percobaan, mulai Maret hingga Juli adalah berturut-turut masing-
masing 26.9, 27.7, 27.9, 27.2 dan 27.8 0C (Tabel 33 dan Lampiran 12). Kondisi
suhu ini berada pada kisaran yang cukup sesuai untuk mendukung pertumbuhan
tanaman padi sawah (Yoshida 1981).
Tabel 33 Keadaan suhu selama penanaman padi hibrida di lahan sawah tadah hujan, Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Indramayu
Bulan/tahun 2012
a)
Suhu maksimum (0 Suhu minimum(C) 0 Rata-rata (C) 0C) Maret 32.3 23.9 26.9 April 33.0 24.3 27.7 Mei 33.2 23.9 27.9 Juni 32.9 22.7 27.2 Juli 33.1 23.2 27.8 Keterangan: a)
Hasil uji DMRT menunjukkan bahwa tinggi tanaman tertinggi diperoleh
pada genotipe BI599A/BP15 yang tidak berbeda nyata dibanding dengan varietas
cek Limboto, tetapi berbeda nyata dengan varietas cek IR64 dan Hipa 7. Genotipe
BI485A/BP3, BI485A/BP12 dan BI485A/BP15 dibanding dengan varietas cek
IR64 dan Hipa 7 saling tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dibanding
dengan varietas cek Limboto (Tabel 34). Curah hujan dan frekuensi hujan yang
=Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Stasiun Meteorologi Jatiwangi.
B.3. Komponen Pertumbuhan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan
genotipe/varietas terhadap komponen pertumbuhan hanya berpengaruh nyata
nyata pada peubah tinggi tanaman, panjang daun bendera, bobot biomasa dan
umur berbunga 50%, sedangkan pada peubah jumlah anakan produktif tidak
berpengaruh nyata (Lampiran 9). Hasil uji DMRT rata-rata tinggi tanaman,
anakan produktif, panjang daun bendera, umur berbunga dan biomasa total
disajikan pada Tabel 34.
B.3.1. Tinggi Tanaman
111
sangat rendah sejak fase vegetatif sangat menghambat pertumbuhan tinggi
tanaman yaitu hanya berkisar antara 54.67–82.11 cm, karena pembelahan sel
terhambat (Nonami 1998). Oleh karena itu akibat cekaman kekeringan pada lahan
sawah tadah hujan, tinggi tanaman rata-rata genotipe lebih rendah dari standar
tinggi tanaman untuk padi tipe baru sawah adalah 100 cm (Peng et al. 2008).
Meskipun demikian genotipe BI599A/BP15 yang toleran kekeringan masih dapat
mencapai tinggi 82.11 cm yang relatif sama dengan varietas cek Limboto yaitu
81.11 cm. Samaullah dan Darajat (2001) menyatakan bahwa terbatasnya suplai air
dapat menekan pertumbuhan tanaman antara 10-25 cm pada lingkungan tumbuh
tercekam kekeringan. Kumar et al. (2009) melaporkan bahwa pada kondisi
kekeringan parah penurunan tinggi tanaman pada galur-galur toleran 6-12 cm
sedangkan galur-galur peka 16-27cm.
B.3.2. Jumlah Anakan Produktif
Jumlah anakan produktif tidak menunjukkan perbedaan nyata antar genotipe
dan varietas cek. Rata-rata jumlah anakan produktif berkisar antara 10 – 13 (Tabel
34). Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan dan pertumbuhan anakan tidak
dipengaruhi oleh cekaman kekeringan yang terjadi. Genotipe yang diuji memiliki
rata-rata anakan produktif sesuai untuk pindahtanam (transplanting) yaitu 8-10
(Peng et al. 1994).
Tabel 34 Komponen pertumbuhan genotipe padi hibrida dan varietas cek di lahan sawah tadah hujan
Genotipe Tinggi
tanaman (cm)
Jumlah anakan
produktif
Panjang daun bendera (cm)
Umur berbunga
(hari)
Biomasa total (g)
BI485A/BP3 68.33 11.1 bc 16.84 88 ab 27.38a b BI485A/BP12 67.44 11.6 bc 16.69 83 ab 32.95b BI485A/BP15
ab 64.56 11.7 c 15.34 86 abc 28.53ab
BI599A/BP15 ab
82.11 13.4 a 17.64 83 a 34.67b
IR64 a
54.67 12.9 c 11.91 85 c 19.07ab Limboto
c 81.11 9.8 ab 18.42 82 a 34.69b
Hipa 7 a
63.56 10.4 c 13.71 83 bc 26.77 b b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada α=0.05.
112
B.3.3. Panjang Daun Bendera
Panjang daun bendera antar genotipe hibrida tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata. Genotipe BI599A/BP15 tidak berbeda nyata dengan genotipe lainnya
termasuk varietas cek Limboto kecuali berbeda nyata dengan IR64 dan Hipa 7
(Tabel 34). Penurunan luas daun dan total biomasa suatu varietas/galur pada
kondisi cekaman kekeringan, membuktikan bahwa varietas/galur tersebut peka
terhadap kekeringan (Farooq et al. 2010).
B.3.4. Biomasa Total
Biomasa total di bagian atas tanah dapat menggambarkan besarnya
kemampuan akumulasi bahan kering tanaman selama pertumbuhan. Biomasa total
(bobot kering tanaman) rata-rata tertinggi diperoleh pada genotipe BI599A/BP15
yang tidak berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP12 dan BI485A/BP15,
namun berbeda nyata dengan BI485A/BP3 yaitu berturut-turut masing-masing
sebesar 34.67, 32.95, 28.53 dan 27.38 g rumpun-1. Ketiga genotipe yang disebut
pertama memiliki bobot kering tanaman yang relatif sama dengan varietas cek
Limboto sebesar 34.69 g rumpun-1 tetapi berbeda nyata dengan varietas cek IR64.
IR64 memiliki bobot kering tanaman terrendah yaitu sebesar 19.07 g rumpun-1.
Varietas cek Hipa 7 memiliki bobot kering tanaman sebesar 26.77 g rumpun-1
yang tidak berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP12 dan
BI485A/BP5, tetapi berbeda nyata dengan BI599A/BP15 (Tabel 32). Kumar et al.
(2009) menyatakan bahwa total bahan kering pada genotipe yang umur
berbunganya lebih panjang menurun secara gradual pada kondisi cekaman
kekeringan. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman yang berbunga terlambat
mungkin menghentikan pertumbuhan awal selama siklus pertumbuhan
menyebabkan bobot kering menurun. Genotipe BI599A/BP15, BI485A/BP12 dan
BI485A/BP15 memiliki umur berbunga yang relatif lebih pendek sehingga
mampu menghasilkan bobot kering relatif lebih tinggi pada kondisi kekeringan
parah. Kumar et al. (2007) menyatakan bahwa galur-galur toleran mempunyai
kemampuan mempertahankan produksi biomasa yang tinggi pada tanah kering
dan indeks panen yang tinggi. Pantuwan et al. (2002) menyatakan bahwa
pengaruh bahan kering terhadap produksi biji tergantung kondisi pertumbuhan
113
dan ini menjadi alasan sebagian besar genotipe berinteraksi dengan lingkungan
sering ditemukan pada percobaan multilokasi di lahan sawah tadah hujan.
B.3.5. Umur Berbunga
Umur berbunga rata-rata terpendek diperoleh pada varietas cek Limboto
yang tidak berbeda nyata dengan genotipe BI599A/BP15, BI485A/BP12 dan
HIPA 7. Umur berbunga rata-rata terlama diperoleh pada genotipe BI485A/BP3
yang tidak berbeda nyata dibanding dengan genotipe BI485A/BP15 dan varietas
cek IR64 (Tabel 34). Umur berbunga sangat berhubungan dengan efisiensi
terhadap pemanfaatan sumber daya air dan hara, karena fase pertumbuhan
vegetatif yang lebih singkat. Umur berbunga yang lebih singkat umumnya
memiliki daya adaptasi yang baik terhadap kekeringan dengan lebih mempercepat
waktu pematangan gabah. Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa pada kondisi
kekeringan parah galur toleran menunda pembungaan hanya 2 hari dibanding
galur peka yang dapat menunda pembungaan ≥ 10 hari. Samaullah dan Darajat
(2001) menyatakan bahwa genotipe yang dapat berbunga lebih cepat dan
menghasilkan jumlah gabah hampa sedikit pada kondisi lingkungan tumbuh yang
suplai airnya terbatas memiliki sifat toleran kekeringan. Keterlambatan saat
berbunga genotipe yang tumbuh di lingkungan tercekam kekeringan akan
memperpendek fase pengisian biji, yang berpengaruh terhadap hasil.
B.4. Komponen Hasil dan Hasil
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan
genotipe/varietas terhadap komponen hasil dan hasil berpengaruh nyata pada
peubah panjang malai, jumlah gabah total, persentase gabah isi dan bobot gabah
per rumpun serta daya hasil per hektar (Lampiran 9). Hasil uji DMRT rata-rata
panjang malai, jumlah gabah total, persentase gabah isi dan bobot gabah per
rumpun serta daya hasil per hektar disajikan pada Tabel 35.
114
B.4.1. Panjang Malai
Rata-rata panjang malai antar genotipe dan varietas cek tidak berbeda nyata,
kecuali berbeda nyata dengan varietas cek IR64. Varietas cek IR64 memiliki
panjang malai terrendah yaitu 17.9 cm, sedangkan panjang malai genotipe
berkisar 20.9- 21.8 cm (Tabel 35). Kondisi kekeringan parah menghambat
panjang malai varietas cek IR64 yang peka kekeringan karena eksersi malai
terhambat. Penghambatan ini menyebabkan sebagian gabah berada dalam pelepah
daun dan menjadi gabah steril yang berimplikasi pada hasil gabah yang menurun
(Ji et al. 2005). Panjang malai umumnya berkorelasi positif dengan jumlah gabah
per malai (Zang et al. 2010).
B.4.2. Jumlah Gabah Total
Rata-rata jumlah gabah total per malai antar genotipe berbeda nyata. Jumlah
gabah total cukup tinggi pada genotipe BI485A/BP3 tetapi tidak berbeda nyata
dibanding dengan BI599A/BP15 yaitu masing-masing sebesar 137.5 dan 123.6
butir. Jumlah gabah total genotipe-genotipe tersebut masih lebih rendah dibanding
dengan varietas cek Limboto yaitu 153.6 butir, tetapi lebih tinggi dibanding
varietas cek Hipa 7 dan IR64 yaitu masing-masing sebanyak 111.7 dan 64.7 butir
(Tabel 35). Jumlah gabah total per malai yang tinggi harus didukung oleh source
yang cukup untuk pengisian gabah yang lebih baik (Jun et al. 2006).
B.4.3. Persentase Gabah Isi
Secara umum persentase gabah isi genotipe sangat rendah yaitu berkisar
antara 3.3 – 30.9 persen. Genotipe BI599A/BP15 memiliki persentase gabah isi
tertinggi yaitu sebesar 30.9 persen tidak berbeda nyata dengan genotipe
BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan Hipa 7, tetapi berbeda nyata dengan genotipe
BI485A/BP3, IR64 dan Limboto. Persentase gabah isi terrendah (3.3 persen)
dicapai pada genotipe BI485A/BP3. Persentase gabah isi varietas cek IR64 dan
Limboto relatif rendah yaitu berturut-turut sebesar 10.3 dan 7.5 persen (Tabel 35).
Terjadinya kekeringan yang parah menyebabkan sumber (source) terganggu,
sehingga pengisian biji sangat tergantung pada karakter dan mekanisme tanaman
mengatasi cekaman kekeringan. Persentase gabah isi yang relatif tinggi pada
115
genotipe BI599A/BP15 disebabkan genotipe ini mempunyai umur berbunga lebih
cepat. Samaullah dan Darajat (2001) menyatakan bahwa salah satu sifat genotipe
toleran kekeringan adalah menghasilkan jumlah gabah hampa sedikit pada kondisi
lingkungan tumbuh yang suplai airnya terbatas. Pantuwan et al. (2002)
menyatakan bahwa mekanisme drought escape dari genotipe umur genjah dengan
hasil tinggi pada kondisi cekaman kekeringan yang panjang mungkin dari
kontribusi asimilat pra-antesis sebagai sumber asimilat selama periode pengisian
biji. Pada kondisi kekeringan parah gabah hampa pada galur CT9993 toleran
kekeringan mencapai 71 persen, sedangkan pada galur IR62266 peka kekeringan
mencapai 91 persen (Kumar et al. 2007).
Tabel 35 Komponen hasil dan hasil genotipe padi hibrida dan varietas cek di lahan sawah tadah hujan
Genotipe Panjang malai (cm)
Jumlah gabah total malai-1
Persentase gabah isi
(%) (butir)
Bobot gabah rumpun-1
Hasil gabah (ton ha (g) -1)
BI485A/BP3 21.43 137.5a 3.3ab 0.54b 0.09b b BI485A/BP12 20.89 106.2a 13.1cd 0.97ab 0.16b BI485A/BP15
b 20.86 100.5a 13.9d 1.21ab 0.19b
BI599A/BP15 b
21.80 123.6a 30.9bc 5.62a 0.90a IR64
a 17.78 64.7b 10.3e 1.16b 0.19b
Limboto b
20.98 153.6a 7.5a 1.79b 0.29b Hipa 7
b 21.16 111.7a 14.4cd 2.11ab 0.34ab ab
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α=0.05.
B.4.4. Bobot Gabah per Rumpun
Bobot gabah genotipe per rumpun berkisar antara 0.54 – 5.62 g rumpun-1.
Persentase gabah isi yang tinggi berimplikasi pada tingginya hasil atau bobot
gabah per rumpun. Oleh karena itu genotipe BI599A/BP15 memiliki bobot gabah
tertinggi yaitu sebesar 5.62 g rumpun-1 atau daya hasil 0.90 ton gabah ha-1 yang
tidak berbeda nyata dengan varietas hibrida Hipa 7 tetapi berbeda nyata dengan
genotipe lainnya dan varietas cek IR64 maupun Limboto. Hipa 7
direkomendasikan untuk ditanam di lahan sawah tadah hujan (Suprihatno et al.
2011). Bobot gabah terrendah diperoleh pada genotipe BI485A/BP3 yaitu sebesar
0.54 g rumpun-1, tetapi tidak berbeda nyata dengan ketiga varietas cek dan
116
genotipe BI485A/BP12 dan BI485A/BP15 (Tabel 35). Hasil gabah yang diperoleh
pada genotipe BI599A/BP15 sama dengan hasil gabah yang diperoleh pada galur
CT9993 yang merupakan genotipe toleran kekeringan ketika ditanam pada
kondisi kekeringan yang sangat parah di wilayah Raipur India Timur Laut. Galur
CT9993 juga hanya mampu menghasilkan 0.95 ton ha-1
1. Pada lahan sawah irigasi, semua genotipe yang diuji menghasilkan bobot
gabah per rumpun dan hasil gabah per hektar tidak berbeda nyata dengan
varietas cek Ciherang dan Hipa 7.
(Kumar et al. 2007).
Pantuwan et al. (2002) menyatakan bahwa genotipe dengan kemampuan yang
tinggi dalam memproduksi bahan kering total dengan siklus pertumbuhan yang
pendek, akan menguntungkan untuk ditanam pada lahan yang mengalami kondisi
cekaman kekeringan. Produksi biji tergantung asimilat pra-antesis dan sumber
asimilat. Adanya perbedaan daya hasil pada genotipe BI599A/BP15 dibanding
dengan genotipe lainnya mungkin karena perbedaan pada kontribusi bahan kering
pra-antesis untuk produksi biji. Oleh karena itu genotipe BI599A/BP15 yang
berumur relatif lebih genjah dan mampu merealokasi cadangan asimilat dari
batang ke biji pada kondisi kekeringan menyebabkan hasil gabahnya tinggi.
Simpulan
2. Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 yang toleran
kekeringan memiliki daya hasil di lahan sawah irigasi menyamai varietas
unggul Ciherang yaitu berturut-turut masing-masing 5.63, 6.87 dan 6.30 ton
ha-1
3. Genotipe BP599A/BP15 pada kondisi kekeringan sangat parah di lahan sawah
tadah hujan secara umum menghasilkan tinggi tanaman, anakan produktif,
panjang daun bendera, biomasa total, panjang malai, persentase gabah isi dan
bobot gabah per rumpun relatif lebih baik dibanding genotipe lainnya.
.
4. Daya hasil per hektar genotipe BP599A/BP15 pada kondisi kekeringan sangat
parah di lahan sawah tadah hujan mampu menghasilkan 0.90 ton gabah ha-1,
sedangkan Hipa 7 (varietas hibrida yang sudah dilepas untuk lahan sawah
tadah hujan) dan Limboto (varietas cek toleran kekeringan) hanya
menghasilkan masing-masing 0.34 dan 0.29 ton ha-1.