tugas ujian anestesi - nidya febrina
DESCRIPTION
anestesiTRANSCRIPT
TUGAS
UJIAN ANESTESIOLOGI
Pembimbing :
Dr. Uus Rustandi, Sp.An-KIC
Dr. Ruby Satria Nugraha, Sp.An. M.kes
Disusun oleh :
NIDYA FEBRINA
1102010206
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANASTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD ARJAWINANGUN
PERIODE 26 OKTOBER – 14 NOVEMBER 2015
0
1. Cara Menilai Ada atau Tidak Kelainan Jalan Napas
1. LOOK
Kesadaran; “the talking patient” : pasien yang bisa bicara berarti airway
bebas, namun tetap perlu evaluasi berkala.
Agitasi
Nafas cuping hidung
Sianosis
Retraksi
Accessory respiratory muscle
2. LISTEN
Snoring, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring .
Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda asing .
Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas
setinggi laring (Stridor inspirasi) atau setinggi trakea (stridor ekspirasi).
Hoarness, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring .
Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang
membutuhkan napas pendek untuk bicara menandakan telah terjadi
gagal napas .
3. FEEL
Aliran udara dari mulut/ hidung.
Posisi trakea terutama pada pasien trauma, adanya krepitasi.
2. Alat-Alat yang Digunakan Untuk Intubasi Endotrakea
1. Bag and mask , selang O2 dan O2
2. Laryngoscope
3. Endotrakeal tube
4. Syringes / spuit
5. Stylet
6. Xylocain jelly
1
7. Suction canule
8. Magil forceps
9. Oropharingeal tube
10. Plester
11. Stetoscope
3. Obat -Obatan Untuk Intubasi Endotrakea
1. Sedasi
a). Pentothal 25 mg / cc dosis 4-5 mg/kgbb
b).Dormicum 1 mg / cc dosis 0,6 mg/kgbb
c). Diprivan 10 mg/cc 1-2 mg/kgbb
2. Muscle relaxan
a). Succynilcholin 20 mg / cc dosis 1-2 mg/kgbb
b).Pavulon 0,15 mg/kgbb
c). Tracrium 0,5-0,6 mg/kgbb
d).Norcuron 0,1 mg/kgbb
3. Obat-obatan emergency (troley emergency)
a). Sulfas Atropine
b).Epedrine
c). Adrenalin / Epinephrin
d).Lidocain 2%
2
A. Sebutkan Teknik Induksi Anestesi dan Obat-obatan yang D igunakan
U ntuk M asing- M asing T eknik I nduksi T ersebut
Induksi Anastesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat
dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien
tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan
anestesia sampai tindakan pembedahan selesai. Untuk persiapan induksi
anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tube Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga
supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction Penyedot lender, ludah danlain-lainnya.
3
a. Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi
bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harsu diawasi
dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.
o Obat-obat induksi intravena:
Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah
otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat
anti-analgesi.
Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan
intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan
untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi
untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh
dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun
dan pada wanita hamil.
Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
4
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin
0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg.
ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml =
10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi.Tidak menggaggu kardiovaskular,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
kelianan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil
dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
b. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5
menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida) berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara.
Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik
lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi
inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan
salah satu cairan anastetik lain seperti halotan.
Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan
diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar
faring laring.
5
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya
tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi
perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi
refleks baroreseptor.Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat.
Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan
kadar gula darah.
Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan.Depresi terhadap
sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang
menimbulkan aritmia.Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik disbanding halotan.
Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intracranial.Peninggian aliran darah otak dan tekanan
intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk
bedah otak.Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi
dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap.Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan
hipertensi.Efek depresi napasnya seperti isofluran dan
etran.Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan
untuk induksi anestesi.
Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran.Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan.
6
d. Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.
e. Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi
biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien,
tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur
baru sungkup muka kita tempelkan.
f. Pelumpuh otot nondepolarisasi Tracurium 20 mg (Antracurium)
Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak
menyebabkna depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi
selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit. Tanda-tanda
kekurangan pelumpuh otot diantaranyab cegukan (hiccup), dinding
perut kaku, dan ada tahanan pada inflasi paru
B. Jelaskan Tentang Rapid Sequence Intubation (RSI)
1. Pengertian
Rapid Sequence Intubation (RSI) adalah suatu prosedur tehnik
intubasi yang dilakukan setelah preoksigenisasi, kemudian induksi dengan
menggunakan obat induksi yang poten lalu diikuti pemberian obat
pelumpuh otot dengan kerja cepat untuk dapat menyebabkan penurunan
kesadaran dan paralisis motorik untuk tujuan intubasi secara cepat. Teknik
ini didasari pada pasien dalam keadaan tidak puasa atau lambung penuh
yang akan dilakukan intubasi, yang memiliki resiko aspirasi cairan atau isi
lambung.
2. Obat-obat yang digunakan
Thiopenthone, suxamethonium, efedrin, atropine
3. Teknik RSI
Teknik melakukan RSI, yaitu :
7
1) Pasien selalu dilakukan preoksigenasi sebelum dilakukan induksi. 4 kali
tarikan nafas maksimal dari oksigen sudah cukup untuk denitrogenasi paru
normal. Pasien dengan penyakit paru memerlukan 3-5 menit
preoksigenasi.
2) Prekurarisasi dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi mungkin
mencegah peningkatan tekanan intraabdomen yang berhubungan dengan
fasikulasi yang disebabkan oleh suksinilkolin. Tahap ini sering
ditinggalkan, meski tahap ini dapat menurunkan tonus spingter
oesophagus bagian bawah. Jika recorunium dipilih untuk relaksasi, dosis
p[riming kecil (0,1 mg/kgbb) diberikan 2-3 menit sebelum induksi
mungkin mempercepat onset dari aksi.
3) Blade yang besar dan tube endotracheal disiapkan sebelumnya. Sebaiknya
dimulai dengan memakai stilet dan nomor tube endotracheal satu sampai
setengah nomor dibawah biasanya, untuk memeaksimalkan kemudahan
melakukan intubasi.
4) Asisten melakukan penekanan ringan diatas kartilago krikoid sesaat
setelah induksi (Sellick’s Manuver). Karena kartilago krikoid terbentuk
cincin yang tidak putus dan tidak kempes, tekanan diatas menekan
jaringan dibawahnya. Oesophagus lalu kolaps, dan secra pasif regurgitasi
cairan lambung tidak dapat mencapai hipofaring. Tekanan pada krikoid
yang berlebihan (lebih keras daripada yang ditoleransi orang pada
umumnya) dapat menyebabkan ruptur dinding oesophagus posterior.
5) Tidak ada pemberian tes dosis dari tiopental. Dosis induksi diberikan
secara bolus. Seharusnya dosis ini dimodifikasi bila ada indikasi bahwa
sistem kardiovaskular pasien tidak stabil. Agen RSI lain dapat
menggantikan thiopental.(seperti propofol, ketamin)
6) Suksinilkolin (1,5 mg/kgbb) atau recuronium (0,9 -1,2 mg/kgbb) dapat
diberikan segera setelah tiopenthal, walaupun pasien belum hilang
kesadarannya.
8
7) Pasien tidak dilakukan ventilasi secara artifisisal, untuk menghindari
pengisian udara perut dimana hal ini dapat meningkatkan risiko emesis.
Setelah reflek spontan pasien berhenti atau respon otot terhadap rangsang
hilang, pasien segera mulai di intubasi. Penekanan pada cricoid
dipertahankan sampai cuff tube endotracheal sudah dikembangkan dan
posisi tube sudah pasti. Modifikasi dari RSI klasik memperbolehkan
ventilasi yang gentle selama tekan krikoid dipertahankan.
8) Bila intubasi mengalami kesulitan, tekanan pada krikoid dipertahankan
sampai dan pasien diventilasi secara gentle dengan oksigen sampai usaha
intubasi berikutnya dapat dilakukan. Bila intubasi tetap tidak berhasil,
spontan ventilasi seharusnya diadakan dan dilakukan intubasi sadar.
9) Setelah selesai pembedahan, pasien harus diekstubasi setelah reflek-reflek
jalan napas kembali dan kesadaran sudah pulih.
C. Jelaskan Tentang Malignant Hypertermia
1. Definisi
Malignant hypertermia adalah penyakit terkait genetik yang
menyebabkan kenaikan cepat pada suhu tubuh dan kontraksi otot yang
berlebih yang disebabkan oleh anestesia umum. Hipertermia maligna
merupakan suatu komplikasi anestesia yang jarang namun
berpotensi fatal. Keadaan ini ditandai dengan kenaikan suhu
tubuh secara cepat, meningkatnya kekakuan otot,
takikardia, dan asidosis.
Malignant hyperthermia merupakan sebuah trait autosomal dominant
yang diwariskan dengan penetrance yang kecil. Hal ini berhubungan dengan
mutasi pada 2 gen, yaitu RyR1 (Ryanodine Receptortype 1) yang
mengkodekan skeletal muscle isoform dari calcium release channel pada
sarcoplasmic reticulum, dan CACNA15 yang mengkodekan alpha subunit
dari L-type calcium channel isoform pada sarcolemma (dihydropyridine
receptor). Penghentian yang menyimpang dari aktivitas RyR1 ditemukan
pada orang yang MH susceptible. Penyandang MH sebagian terbukti
mengalami mutasi kromosom no.19q 12.1-13.2. Mutasi ini menyebabkan
9
perilaku menyimpang pada reseptor ryanodin (RyR) di dalam sel otot
skeletal.
2. Pencetus
Hipertermia maligna biasanya dipicu oleh obat-obatan anesthesia.
Hipertermia ini merupakan miopati akibat mutasi gen yang diturunkan
secara autosomal dominan. Pada episode akut terjadi peningkatan kalsium
intraselular dalam otot rangka sehingga terjadi kekakuan otot dan
hipertermia. Pusat pengatur suhu di hipotalamus normal sehingga pemberian
antipiretik tidak bemanfaat.
Pemacu :
Halothane (anesthesia agent) atau anestesi lain yang digunakan dengan
cara menghirup.
Succinylcholine (neuromuscular blocker)
Phenothiazine
Haloperidol
3. Angka Kejadian
Insiden terjadinya malihnan hipertermi berkisar antara 1:5000 hingga 1:
50.000 – 100.000 kasus dewasa dan 1:3000 _ 1:5000 pada kasus pediatrik.
10
Prevalensi kelainan ini mungkin 1 dalam 3000-4000 individu, dapat
mengenai seluruh kelompok etnik dan golongan umur, dengan insidensi
terbanyak dewasa muda, dimana perbandingan pria : wanita adalah 2:1.
Semua Ras dapat terkena, dan insiden tertinggi terjadi
pada individu usia muda dengan rata-rata usia 18.3 tahun.
Telah diketahui , bahwa anak anak dibawah usia dibawah 15
tahun didapatkan terjadinya kemungkinan hipertermi
maligna sebesar 52.1 %. Usia termuda yang pernah
dilaporkan dan telah dikonfirmasi dengan uji lab adalah
terjadi pada usia 6 bulan dan yang tertua terjadi pada usia
78 tahun (Rosenberg et al, 2007). Di china dilaporkan
terjadi kejadian Hipertermi maligna pada anak usia 3 tahun
9 bulan dengan tanpa riwayat penyakit keluarga
sebelumnya yang dikarenakan pemberian suksinil kolin dan
sevofluran (shu chia hsu, 2007). Di amerika serikat
dilaporkan 1-2 pasien meninggal setiap tahunya karena
hipertermi maligna (Anne, 2008).
4. Penatalaksanaan
Tatalaksana utama adalah menurunkan suhu tubuh dengan cepat dan
agresif dengan total body cooling (air es/dingin lewat NGT, rectal, dan IV),
segera menghentikan pemakaian obat anestesi, pemberian oksigen 100%,
memperbaiki asidosis, furosemid (1 mg/kgBB), manitol 20% (1
g/kgBB),insulin, dextrose, hidrokortison, Dantrolone (antidote spesifik 2.5
mg/kgBB IV dan kemudian tiap 5-10 menit) dan mengatasi aritmia.
Panduan Tatalaksana Krisis Hipertermia Maligna Pada Intra Operasi :
1) Segera hentikan semua zat anestetik volatil.
2) Aktifkan situasi kegawatdaruratan.
3) Naikkan ventilasi semenit untuk menurunkan ETCO2. Gunakan
oksigen tinggi dengan memantau pada SpO2.
4) Berikan dantrolen sodium. Dosis inisial 2,5 mg/kg BB, dilakukan
secara bolus intravena.
5) Dinginkan pasien. Gunakan ice packs di inguinal, aksila dan leher.
11
6) Lavase lambung dengan cairan dingin.
7) Hentikan pendinginan jika suhu badan telah mencapai 38,5 °C.
8) Ganti CO2 absorber tiap kali telah jenuh.
9) Atasi aritmia sesuai algoritma. Jangan gunakan Ca channel blocker
10) Dosis lanjutan dantrolen dititrasi sesuai perubahan ETCO2 dan laju
jantung.
11) Batas dosis total (bolus dan rumatan) dantrolen adalah 10 mg/kg BB,
namun boleh ditambah bilamana sangat perlu.
12) Periksa AGD, elektrolit, kreatinin kinase urin. Hiperkalemia diatasi
dengan insulin dan glukosa, ditambah hiperventilasi.
13) Periksa koagulasi lengkap setelah 6-12 jam.
14) Pastikan semua proses tercatat dan segera dilaporkan ke Indonesian
MH Registry.
12
Jelaskan Mengenai :
1. Skor M allampati
Dalam anestesi, skor Mallampati, juga Mallampati klasifikasi, digunakan
untuk memprediksi kemudahan intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat
anatomi rongga mulut, khusus, itu didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar
faucial.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade, yaitu :
Grade I : Pilar faring, uvula, dan palatum mole terlihat jelas
Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring
tidak terlihat
Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
Grade IV : Pilar faring, palatum molr, dan uvula tidak terlihat.
2. Cara Konfirmasi Posisi ETT Setelah Dilakukan Intubasi
Melakukan auskultasi pada bagian paru dextra dan sinistra serta lambung.
3. Skor Modifikasi Aldrete
Untuk melihat pemulihan anestesi. Pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan dan terus di observasi dengan cara menilai Aldrette’s Score. Apabila
bernilai 8 – 10, pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan. Bila nilai 5 – 8,
13
dilakukan observasi secara ketat, dan bila nilai kurang dari 5, pasien
dipindahkan ke ICU.
Berikut dibawah ini adalah hal yang dinilai dalam skor Aldrete beserta
nilainya :
4. Bromage Score
Skoring ini digunakan untuk menilai pemulihan pasien paska anestesi spinal.
Dengan kata lain, skor ini fapat melihat lama kerja blokade motorik dimana
waktu yang diperlukan untuk pemulihan pergerakan tungkai, yaitu tungkai
dapat mengangkat lutut dan telapak kaki ( Bromage 0 )
Kriteria Nilai sebagai berikut :
Gerakan penuh dari tungkai, 0
Tak mampu ekstensi tungkai, 1
Tak mampu fleksi lutut, 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki, 3
Dapat digambarkan sebagai berikut :
14
Jika Bromage Score 2 dapat pindah ke ruang perawatan.
5. Skor PRST U ntuk M enilai K edalaman A nestesi
Untuk mengendalikan kedalaman anestesi pasien dihubungkan dengan
monitor bispectralindex score (BIS) serta untuk mengendalikan kecukupan
analgesi dinilai menggunakan skor patient response to surgical stimuli (PRST).
Nilai BIS dikendalikan antara 40 sampai 60 dan nilai PRST <3. Intervensi
hemodinamik dilakukan apabila didapatkan penurunan atau kenaikan tekanan
darah >30% daripada tekanan darah awal, nilai BIS<40 atau >60 dan nilai
PRST >3. Penurunan tekanan darah >30% diintervensi dengan memberikan
efedrin 5 mg intravena, namun bila terjadi penurunan tekanan darah yang
berulang, maka dilakukan pengurangan dosis propofol rumatan. Bila kenaikan
tekanan darah >30%, diatasi dengan cara memberikan bolus propofol dosis 0,5
mg/kgBB, namun apabila berulang dilakukan peningkatan dosis propofol
rumatan. Bila nilai BIS <40, dilakukan pengurangan dosis rumatan propofol
dan bila BIS>60 dilakukan penambahan dosis rumatan, sedangkan apabila nilai
PRST>3, diberikan penambahan fentanil 1 μg/kgBB.
Skor PRST, sebagai Autonomic Nervous System Index of Conciousness terdiri
dari :
1) Blood Pressure
2) Heart Rate
3) Sweating
4) Secretion of Tears
Dengan penjelasan, turunnya tekanan darah, denyut nadi, produksi
keringat, serta sekresi dari air mata, menandakan semakin dalamnya anastesi
pada pasien, begitu juga sebaliknya. Apabila terjadi peningkatan tekanan
15
darah, nadi, keringat, dan tampak adanya sekresi air mata menandakan
kedalaman anestesia berkurang.
6. Cara M enilai K etinggian B lokade S ensorik P ada A nestesi a S pinal
Tes Sensorik
a. Raba Halus
Dengan menggunakan sepotong kapas dan sentuhkan kapas tersebut
diatas kulit. Cobalah untuk mengulangi rangsangannya.
Peragakan – dengan kedua mata pasien terbuka, tunjukkan padanya
bahwa anda akan meraba kulitnya. Mintalah pasien mangatakan “ya”
setiap kali dia merasakan sentuhan.
TES – perintahkan pasien untuk menutup matanya, lakukan tes pada
daerah kulit yang bermasalah.
b. Rasa Nyeri
Dengan menggunakan peniti atau jarum tajam dan tumpul.
Peragakan – Tunjukkan kepada pasien apa yg anda kerjakan, Jelaskan
bahwa anda ingin agar pasien memberitahukan apakah jarum yang
dirasakan tajam atau tumpul. Sentuh area yang terganggu dengan jarum
dan kemudian sentuh dengan jarum tumpul pada area yg sehat.
TES – mintalah pasien menutup kedua matanya kemudian beri
rangsangan tajam dan tumpul secara acak, dan perhatikan respon pasien.
Dermatom – Pada lesi radiks saraf, timbul area penurunan sensasi yang
terbatas pada distribusi segmental. Area kulit yang dipersarafi oleh radiks
spesifik dinamai dermatom.
Baal - Sering pasien mengeluh area baal. Pasien harus diinstruksikan
untuk melukiskan area ini dengan satu jari tangan. Kemudian pemeriksa
harus menempatkan peniti di pusat area baal merangsang ke arah luar
sampai pasien memperhatikan rasa nyeri, dengan cara ini batas
kehilangan sensorik dapat ditentukan.
c. Sensasi Suhu
Dengan menggunakan tabung berisi air hangat dan dingin.
16
Peragakan – “ saya mau anda mengatakan sesuatu jika saya sentuh
anda dengan tabung yang panas atau dingin. Sentuhkan secara acak
tabung air panas dan dingin pada tangan, kaki atau daerah kulit yang
terganggu.
d. Tes Propioseptif
Propriosepsi harus dites pada jari tangan dan kaki bilateral dengan
memegang sisi lateral phalanx distal, sementara bagian proksimal
phalanx dipertahankan tetap. Mula-mula tes ini dijelaskan kepada pasien
dengan matanya terbuka pemeriksa memperlihtakan apa artinya “keatas”
dan “kebawah”. Kemudian pasien menutup mata & pemeriksa
menggerakkan phalanxnya keatas dan kebawah.Pasien hrs menjawab
apakah sendinya ke atas atau ke bawah.
e. Rasa Getar
Gunakan garpu tala 128 Hz. Garpu tala dengan frequensi yg lebih tinggi
(256 atau 512 Hz) tidak adekuat.
Peragakan – Pastikan pasien mengerti bahwa dia akan merasakan
getaran, dengan memukulkan garpu tala dan meletakkannya diatas
sternum atau dagu.
TES –mintalah pasien menutup matanya, tempatkan garpu tala pada
tonjolan tulang, tanyakan pasien dapat merasakan getaran tersebut.
Letakkan pada sendi metatarsal falangeal, malleolus medialis, tuberositas
tibialis, spina iliaka anterior superior, di lengan dan pada ujung jari,
masing-masing sendi interfalangeal, pergelangan tangan, siku dan bahu.
Bila sensasi bagian distal normal, tes tidak perlu dilakukan pada bagian
proksimal.
7. Skala / Skor Nyeri
a. Menurut Visual Analog Scale (VAS)
VAS adalah alat ukur yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri
dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai
dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “no pain” dan ujung
kanan diberi tanda “worst pain”(nyeri hebat). Pasien diminta untuk
17
menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri
yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai
pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah skornya yang
menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian skor tersebut dicatat untuk
melihat kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya.
Skala Nyeri VAS sebagai berikut :
b. Behavior Pain Scale (BPS)
BPS digunakan untuk menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada
prosedur yang menyakitkan seperti tracheal suctioning ataupun mobilisasi
tubuh.
Skala ini sudah divalidasi. BPS terdiri dari tiga penilaian, yaitu ekspresi
wajah, pergerakan ekstremitas, dan komplians dengan mesin
ventilator.Setiap subskala diskoring dari 1 (tidak ada respon) hingga 4
(respon penuh). Karena itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12
(nyeri maksimal).Skor BPS sama dengan 6 atau lebih dipertimbangkan
sebagai nyeri yang tidak dapat diterima.
18
Sebutkan :
1. Efek Samping Anestesi Spinal
Nyeri tempat suntikan
Nyeri Punggung
Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Retensio urin
Meningitis
2. Komplikasi A nestesi S pinal
Intra Operatif:
Hipotensi
Bradikardi
Hipoventilasi
Trauma Saraf
Trauma Pembuluh darah
Mual Muntah
19
Gangguan pendengaran
Anestesi spinal tinggi atau spinal total
Post Operatif:
Nyeri di punggung
Nyeri di tempat suntikan
Nyeri Kepala karena kebocoran liquor
Retensio Urin
Meningitis
3. Keuntungan A nestesi S pinal D ibandingkan A nestesi U mum
Lebih murah
Caranya Sederhana
Penggunaan alat minim
Non eksplosif karena tidak menggunakan obat-obatan yang mudah terbakar
Pasien sadar saat pembedahan
Reaksi stres pada daerah pembedahan kurang bahkan tidak ada
Perdarahan relatif sedikit
Setelah pembedahan pasien lebih segar atau tenang dibandingkan anestesi
umum
Pasien tidak perlu puasa setelah pembedahan selesai
4. Kerugian Anestesi Spinal Dibanding Anestesi Umum
Terkadang akan sangat sulit untuk menetukan lokasi dural space dan menda
patkan cerebrospinal fluid.
20
Anestesi spinal tidak baik jika digunakan untuk pembedahan dengan jangka
1aktu lebihdari % jam. <ika operasi atau pembedahan lebih lama dari % jam
maka disarankan.
1. Sebutkan O bat-obatan dan A lat-alat U ntuk R esusitasi J antung P aru
O tak
21
2. O bat-obatan I notropik
22
Inotropik dibagi dalam dalam dua agen yaitu :
a. Agen inotropik positif
Adalah agen yang meningkatkan kontraktilitas miokard, dan
digunakan untuk mendukung fungsi jantung dalam kondisi seperti gagal
jantung, syok kardiogenik, syok septic, kardiomiopati.
Contoh: Berberine, Omecamtiv, dopamine, epinefrin (adrenalin),
isoprenalin (isoproterenol), digoxin, digitalis, amrinon, teofilin
b. Agen inotropik negative
Adalah agen menurunkan kontraktilitas miokard, dan digunakan untuk
mengurangi beban kerja jantung.
Contoh : Carvedilol, bisoprolol, metoprolol, diltiazem, verapamil,
clevidipine, quinidin.
3. Obat-obatan Vasopresor
1) Phenylephrine
2) Epinefrin (Adrenalin)
3) Norepinefrin
4) Dopamin
5) Efedrin
6) Methoxamine
7) Vasopressin dan Terlipressin
8) Isoproterenol
1. Minimum Alveolar Concentration (MAC)
23
Minimun Alveolar Concentration adalah konsentrasi gas anestesi dalam
alveoli yang dapat mencegah gerakan pada 50% pasien dengan respon standar
(misalnya. irisan bedah). Penelitian pada manusia untuk menentukan MAC
menunjukkan bahwa induksi dengan anestesia inhalasi selama 15 menit dapat
mengizinkan terjadinya equilibrioum dari alveolar dan tekanan parsial arteri.
MAC merupakan ukuran yang berguna karena merefleksikan tekanan
parsial anestetik di otak, sehingga dapat membandingkan secara langsung
potensi setiap anestetik sekaligus memberikan standar baku untuk penelitian.
Meskipun demikian, nilai MAC tetap saja hanya merupakan angka statistikal
belaka pada saat menangani pasien; masing-masing pasien merupakan individu
yang unik dan oleh karena itu memerlukan pendekatan yang bersifat individual
pula, misalnya pada saat menentukan dosis induksi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi MAC, dimana dengan
adanya faktor ini makan akan meningkatkan MAC pada individu tersebut, dan
menurunnya potensi anestesi pada individu tersebut. Oleh karena faktor ini,
pasien membutuhkan konsentrasi volatil agent yang lebih tinggi. Faktor-faktor
tersebut diantaranya yaitu :
a. Faktor Fisiologi
b. Faktor Farmakologi
c. Faktor Patologi
2. Tekanan Parsial Gas
24
Merupakan tekanan hipotesis gas pada saat gas tersebut menempati
volume campuran pada suhu yang sama.
Arah difusi gas ditentukan oleh perbedaan tekanan parsial gas di alveoli
dan pembuluh darah. Bila tekanan parsial gas lebih besar pada fase gas di
alveoli, seperti oksigen, maka akan lebih banyak molekul yang masuk ke
dalam darah.
3. Opioid Sintetik
Yang termasuk ke dalam obat golongan opioid sintetik adalah :
a. Petidin
b. Fentanil
c. Alfentanil
d. Sulfentanil
e. Remifentanil
25