tugas tinjauan pustaka

31
TUGAS TINJAUAN PUSTAKA “REAKSI ANAFILAKSIS” Oleh BAIQ HULHIZATIL AMNI H1A212011 PEMBIMBING : dr. I Gede Yasa Asmara, Sp.PD.,M.Med., DTM&H Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

Upload: baiqhulhizatilamni

Post on 04-Jan-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hjghgdfg

TRANSCRIPT

Page 1: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

“REAKSI ANAFILAKSIS”

Oleh

BAIQ HULHIZATIL AMNI

H1A212011

PEMBIMBING : dr. I Gede Yasa Asmara, Sp.PD.,M.Med., DTM&H

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

2015

Page 2: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

Anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas yang dimediasi IgE

terhadap alergen yang mengakibatkan degranulasi sel mast serta basofil

sehingga melepaskan mediator inflamasi (leukotrien dan histamin) yang

memunculkan manifestasi klinis anafilaksis. Hal tersebut berbeda dengan

reaksi anafilaktoid, yang merupakan reaksi yang bukan dimediasi oleh IgE

tetapi memiliki manifestasi klinik yang tidak dapat dibedakan dan terapi yang

sama. Sementara itu, dari perspektif klinis, anafilaksis merupakan reaksi alergi

sistemik dengan manifesatsi yang mengancam jiwa. 1

Reaksi anafilaksis merupakan kasus kegawatdaruratan medis dengan

onset cepat, progresif, dan melibatkan setidaknya dua sistem organ. Ciri khas

reaksi ini melibatkan kombinasi gejala kardiovaskuler, respiratorik, dan kulit

atau mukosa.2 Manifestasi respiratorik yang mengancam jiwa meliputi edema

laring dan bronkospasme. Manifestasi kardiovaskuler yang mengancam jiwa

meliputi takikardia serta hipotensi yang merupakan akibat dari hilangnya

aliran darah efektif akibat disfungsi jantung serta pembuluh darah perifer yang

mengakibatkan buruknya perfusi organ target, dan jika mempengaruhi otak,

dapat memicu hilangnya kesadaran. 1

Page 3: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

BAB II

ISI

DEFINISI

Reaksi anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh

Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan

tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi

antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam

sirkulasi. Reaksi anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk

menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat

terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi

saluran napas. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis

yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat

vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah

yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. 2,3,4

Menurut Mueller, berdasarkan tingkat keparahannya, anafilaksis dapat

dikelompokkan menjadi 4 grade, yaitu :

Grade I : urticaria atau eritema menyeluruh, gatal, malaise, atau anxiety

Grade II :angio-edema ( atau dua atau lebih dari : sesak di dada, mual, muntah, diare,

nyeri abdomen, pusing )

Grade III : dispnea, mengi atau stridor ( atau dua atau lebih dari : disfagia, dysarthria,

serak, lemah, bingung, perasaan seperti terancam bahaya )

Grade IV : hipotensi, kolaps, hilang kesadaran, inkontinensia urin atau feses, atau

sianosis

Grade III dan IV digolongkan sebagai severe anaphylaxis sedangkan bila sampai terjadi

kematian, digolongkan sebagai grade V.(5,7)

ETIOLOGI

2.3.3 Sengatan serangga ( Hymenoptera )

Page 4: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

Lebah dan tawon adalah contoh serangga yang sering menyebabkan anafilaksis. Reaksi

dan urticaria yang bersifat lokal tanpa manifestasi klinis lainnya lebih sering terjadi

dibandingkan reaksi menyeluruh. Urticaria yang menyeluruh merupakan faktor resiko

anafilaksis selanjutnya, sedangkan reaksi lokal, walaupun parah bukan merupakan

faktor resiko anafilaksis sistemik apabila terpapar lagi. Pasien yang pernah mengalami

anafilaksis harus menghindari sengatan serangga sebisa mungkin.(1)

2.3.4 Makanan

Gejalanya biasanya ringan dan terbatas pada saluran pencernaan, tapi anafilaksis

menyeluruh juga bisa terjadi. Anafilaksis karena makanan sering menjadi penyebab

kematian secara tiba-tiba. Makanan yang sering menyebabkan anafilaksis antara lain

kacang-kacangan khususnya kacang tanah, polong-polongan, ikan, kerang, susu, dan

telur.(1)

2.3.2 Intravenous radiocontrast media

Reaksi anafilaktoid yang terjadi biasanya ringan ( paling sering berupa urticaria ) dan

tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya paparan sebelumnya. Alergi kerang atau

“iodine” bukan kontraindikasi penggunaan kontras secara intravena dan tidak

memerlukan pretreatment regimen seperti antihistamin atau kortikosteroid.

2.3.1 Obat-obatan

Anafilaksis terhadap suatu obat tetap bisa terjadi pada pasien yang sebelumnya tidak

pernah mengkonsumsi obat tersebut.(1) Obat-obatan golongan antibiotika yang pernah

dilaporkan menimbulkan reaksi anafilaksis antara lain amphotericin B, cephalosporin,

chloramphenicol, ciprofloxacin, nitrofurantoin, penisilin, streptomycin, tetracyclin, dan

vancomycin.(2) Penisilin dan cephalosporin adalah antibiotika yang paling sering

menyebabkan anafilaksis. Kedua obat golongan lactam tersebut mempunyaiβ

kemiripan secara molekuler dan imunologi sehingga memungkinkan terjadinya cross-

sensitivity. Pasien dengan riwayat reaksi penisilin mempunyai resiko yang lebih besar

mangalami reaksi dengan obat apapun dan resiko reaksi alergi terhadap cephalosporin

meningkat menjadi delapan kali dibandingkan tanpa riwayat alergi penisilin.(1)

2.3 Etiologi

Dari sudut pandang etiologi, atopi merupakan salah satu faktor resiko anafilaksis

terutama yang disebabkan oleh makanan, olahraga, bahan radiokontras, lateks dan

Page 5: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

idiopatik. Atopi tidak berpengaruh pada anafilaksis yang disebabkan oleh penisilin atau

sengatan serangga. Sensitifitas host, dosis, kecepatan, cara dan waktu paparan juga

mempengaruhi, dimana paparan secara oral lebih jarang menimbulkan reaksi. Asma dan

keterlambatan pemberian epinefrin termasuk faktor resiko terjadinya kematian.(1,3)

2.3.5 Lateks

Alergi lateks banyak ditemukan di kalangan medis karena penggunaan kateter, selop

tangan untuk mencegah infeksi, dan alat-alat medis lainnya. Reaksi yang

2.3.6 Produk-produk darah

Anafilaksis sering disebabkan oleh cryoprecipitate, immune globulin, plasma dan whole

blood.(2)

2.3.9 Idiopatik

Diagnosis idiopatik ditegakkan apabila tidak ada alergen penyebab atau faktor fisik yang

dapat diidentifikasi sebagai penyebabnya. Gejala yang muncul dan penanganannya

umumnya sama dengan anafilaksis yang penyebabnya diketahui.(8)

EPIDEMIOLOGI

Sumber data anafilaksis berasal dari survey populasi/registrasi nasional, pasien yang

masuk rumah sakit dan diklasifikasi menurut sistem pengkodean ICD (International

Classification of Disease), jumlah yang masuk UGD, serta jaringan yang beranggotakan

para dokter. Pada tahun 2000 dan 2001, penelitian di Inggris menyebutkan bahwa dari

13,5 juta sampel, terjadi kedaruratan karena alergi sebanyak 2323 ( 0,017 % ) kasus,

sedangkan yang menjadi severe anaphylaxis sebanyak 0,005 % dengan predominan pada

laki-laki dewasa 2:1 daripada wanita dewasa. Dijumpai pula angka kematian 0,5 % dari

keseluruhan kasus anafilaksis. Kematian paling sering disebabkan oleh cardiovascular

collapse dan laryngeal edema. Kasus pada pasien yang masuk rumah sakit dan berhasil

diidentifikasi penyebabnya sebanyak 51 %; terdiri dari makanan 15 %, obat-obatan 62

%, serangga 11 %, dan penyebab lainnya.(5

3.Dalam bidang anastesi, kejadian reaksi anafilaksis diperkirakan terjadi 1 per

5000 sampai 1 per 25.000 kasus per tahun.

Page 6: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

Reaksi anafilaksis lebih sering terjadi pada mereka yang mempunyai riwayat

atopi atau reaksi alergi sebelumnya. Umumnya tidak ditemukan predisposisi ras, jenis

kelamin, umur atau musim. Dilaporkan reaksi anafilaksis karena susu dan telur lebih

sering pada anak-anak, sedang reaksi anafilaktoid karena zat kontras lebih sering pada

orang dewasa.

PATOGENESIS

2.4 Patofisiologi

Saat sel mast dan basofil mengalami degranulasi baik melalui mekanisme yang

diperantarai maupun yang tidak diperantarai oleh Ig E, histamine yang telah terbentuk

sebelumnya dan leukotriene serta prostaglandin yang baru terbentuk, dikeluarkan oleh

sel-sel tersebut. Respon fisiologis terhadap mediator-mediator ini meliputi spasme otot

polos pada saluran pencernaan dan pernafasan, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas

pembuluh darah, dan perangsangan ujung saraf sensori. Proses fisiologis ini

menyebabkan munculnya gejala klasik anafilaksis seperti : kemerahan, urticaria,

pruritus, bronkospasme, dan kram perut disertai mual, muntah dan diare. Hipotensi dan

syok dapat terjadi karena penurunan volume intravaskuler, vasodilatasi, dan disfungsi

myocardium.(3) Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dapat menyebabkan

perpindahan 50 % volume pembuluh darah ke ruang ekstravaskuler dalam waktu 10

menit, yang akan mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, menyebabkan

dihasilkannya katekolamin sebagai kompensasi. Akibatnya bisa terjadi peningkatan

resistensi pembuluh darah perifer atau penurunan resistensi walaupun banyak

katekolamin yang dihasilkan. Sel mast yang berakumulasi pada plak pembuluh darah

koroner bisa menyebabkan trombosis arteri koroner. Karena antibodi yang berikatan

dengan reseptor sel mast merangsang degranulasi sehingga kemungkinan dapat

menghancurkan plak yang telah terbentuk. Histamin juga menghancurkan plak dengan

menyebabkan stres hemodinamik pembuluh darah terhadap plak, dengan menyebabkan

vasodilatasi atau keduanya.(4)

Tabel 2.1. Mediator-mediator inflamasi yang terlibat pada anafilaksis

Mediator Efek fisiologis Manifestasi klinis

Page 7: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

Platelat activating factor

Prostaglandin

Leukotriene

Tryptase

Kinin

Heparin

Chymase

Tumor necrosis factor α

Interleukin-1

Nitric oxide

Histamin

Meningkatkan permeabilitas

pembuluh darah

Vasodilatasi perifer

Vasokonstriksi koroner

Kontraksi otot polos

Iritasi saraf sensori

Aktifasi jalur inflamasi lainnya

Merekrut sel inflamasi

Aktifasi jalur vagal

Angioedema, urticaria

Edema laring

Hipotensi

Kemerahan

Iskemia myokardium

Wheezing

Mual, muntah, diare, nyeri

perut

Pruritus

Sumber: Tang AW : A Practical Guide to Anaphylaxis, October 1 2003

Diantara mediator-mediator tersebut, yang dihasilkan segera oleh sel mast dan basofil

adalah histamine, TNF- , protease dan heparin, yang kesemuanya berada dalam granul-α

granul sel mast dan basofil. Sel-sel tersebut juga menghasilkan lipid mediator seperti

prostaglandin D2, Leukotriene B4 yang penting pada fase akhir reaksi, PAF, dan

cysteinyl leukotriene LT C4, LT D4, dan LT E4, dalam waktu beberapa menit dan

menghasilkan sitokin khususnya IL-4 dan IL-13 dalam waktu beberapa jam setelah

terpapar.(4,7) Mediator-mediator tersebut dapat mengaktifkan sistem kinin, sistem

komplemen dan sistem koagulasi yang bekerja bersama manimbulkan feedback positif

yaitu dengan merekrut sel inflamasi lainnya seperti eosinofil dan limfosit sehingga

terjadi pemanjangan waktu reaksi atau reaksi bifasik. Sebenarnya histamine saja sudah

bisa menyebabkan gejala-gejala anafilaksis. Histamin mengaktifkan reseptor H1 dan H2.

Aktifasi reseptor H2 menimbulkan sebagian besar efek pada jantung, disamping efek

Page 8: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

langsung histamine pada saluran pencernaan.(3) Melalui reseptor H1, histamine

merangsang sel endotel untuk mengubah asam amino L-arginin menjadi nitric oxide,

penyebab vasodilatasi. NO mengaktifkan guanylate cyclase yang menyebabkan

diproduksinya cyclic guanosine monophosphate. Normalnya NO membantu mengatur

tonus pembuluh darah dan tekanan darah regional. Peningkatan produksi NO akan

menurunkan venous return. Contoh gejala yang ditimbulkan oleh aktifasi reseptor H1

saja antara lain pruritus, rhinorrhea, tachycardia, dan bronkospasme. Aktifasi ke dua

reseptor histamine menyebabkan sakit kepala, kemerahan dan hipotensi. Kadar

histamin pada serum berhubungan dengan tingkat keparahan dan persistensi

manifestasi pada jantung dan paru-paru. Tryptase adalah satu-satunya protein yang

secara khusus ada pada granul sekretorik sel mast dan kadarnya pada plasma juga

berhubungan dengan tingkat keparahan anafilaksis.(4)

DIAGNOSIS

Anafilaksis terdiri dari kombinasi berbagai gejala yang bisa muncul beberapa detik atau

beberapa menit setelah terpapar. Manifestasi di kulit berupa urticaria dan gatal

disekitarnya. Pada reaksi lokal, lesi terjadi dekat dengan bagian yang terpapar disertai

eritema, edema dan gatal. Kadang-kadang terjadi lesi yang mirip dengan angioedema

yang melibatkan mukosa dan bagian kulit yang lebih dalam. Angioedema biasanya tidak

gatal dan lesinya nonpitting. Lesi biasanya muncul di bibir, telapak tangan, telapak kaki,

dan genitalia.

Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat

sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada produksi suara sama sekali

jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran nafas yang komplit adalah penyebab

kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi nafas mengi terjadi apabila saluran nafas

bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Pada angioedema yang

disebabkan oleh ACE inhibitor, edema lidah dan bibir bisa menyumbat saluran nafas.

Sistem kardiovaskuler biasanya normal pada kasus yang ringan. Pada kasus

yang berat, hilangnya tonus pembuluh darah dikompensasi dengan tachycardia, tapi

bradycardia bisa juga terjadi pada kasus yang sangat berat. Turunnya volume

intravaskuler terjadi karena kebocoran kapiler sehingga tekanan darah menurun.

Henti nafas atau jantung dapat terjadi pada kasus yang parah. Syok bisa terjadi

tanpa manifestasi klinis pada kulit atau riwayat paparan sehingga anafilaksis menjadi

Page 9: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

diagnosis banding pada pasien yang syok namun tidak ada penyebab yang

teridentifikasi. Tanda-tanda vital sangat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan

dan organ-organ yang terkena. Pasien biasanya tidak dapat beristirahat karena gatal-

gatal pada urticaria. Anxiety , tremor dan perasaan seperti kedinginan bisa terjadi

karena efek kompensasi katekolamin endogen. Jika terjadi hipoperfusi atau hipoksia,

kesadaran pasien akan menurun atau mengalami agitasi.(1)

2.6 Diagnosis

Diagnosis anafilaksis biasanya dengan melihat gambaran klinisnya, namun beberapa

pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium juga bisa digunakan. Apabila

suatu gejala yang tipikal dianggap berhubungan dengan suatu paparan, maka diagnosis

hampir pasti bisa ditegakkan.(1) Sampson,HA et al, membuat kriteria klinis untuk

mendiagnosis anafilaksis, yang terdiri dari :

1. Onsetnya akut ( beberapa menit sampai beberapa jam ) dengan melibatkan jaringan

kulit, mukosa atau keduanya ( contohnya urticaria menyeluruh, gatal atau

kemerahan, bibir-lidah-uvula yang bengkak).

Dan salah satu dari :

a. Gangguan respirasi ( dispnea, mengi-bronkospasme, stridor, penurunan PEF,

hipoksemia )

b. Penurunan tekanan darah atau gejala disfungsi organ ( hipotonia, sinkop,

inkotinensia )

2. Dua atau lebih hal-hal di bawah ini yang terjadi secara cepat setelah terpapar suatu

alergen yang mungkin adalah penyebabnya(beberapa menit sampai beberapa jam) :

a. Mengenai jaringan kulit-mukosa ( urticaria menyeluruh, gatal kemerahan, bibir-

uvula-lidah bengkak )

b. Gangguan respirasi ( dispnea, mengi-bronkospasme, stridor, penurunan PEF,

hipoksemia )

c. Penurunan tekanan darah atau gejala lain yang berhubungan ( hipotonia, sinkop,

inkontinensia )

d. Gejala gastrointestinal yang persisten ( nyeri kram abdomen, muntah )

Page 10: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang telah dikenal oleh pasien

tersebut ( beberapa menit sampai beberapa jam ) :

a. Bayi dan anak-anak : tekanan darah yang rendah ( sesuai umur ) atau penurunan

tekanan darah sistol lebih dari 30 %.

b. Dewasa : tekanan darah sistol kurang dari 90 mmHg atau penurunan lebih dari 30

% dari tekanan darah normal pasien tersebut.(15)

Apabila dengan gejala klinis belum bisa mendiagnosis anafilaksis, maka tes yang

bisa dipakai saat terjadi reaksi adalah pengukuran kadar tryptase sel mast di serum.

Tryptase dihasilkan dari sel mast pada reaksi anafilaksis maupun anafilaktoid. Kadarnya

meningkat pada reaksi yang parah. Kenaikan ini bersifat sementara dengan puncaknya

kurang lebih 1 jam setelah onset reaksi dan tetap tinggi selama lebih dari 5 jam.(1) Bisa

juga dengan mengukur kadar histamin di plasma, yang meningkat dalam 5 sampai 10

menit setelah onset walaupun tetap tinggi hanya selama 30 sampai 60 menit saja, tapi

kadar histamine di urin bisa bertahan lebih lama.(2)

Pemeriksaan jantung pada pasien dengan reaksi yang berat dan pada pasien

yang mempunyai penyakit jantung sangat penting terutama apabila menggunakan obat-

obat adrenergic agonist. Pulse oximetry juga bisa digunakan. Pemeriksaan radiologi

sebenarnya tidak diperlukan untuk mendiagnosis atau memanajemen anafilaksis, tetapi

bisa digunakan sebagai alat bantu diagnosis jika diagnosis belum jelas. Tes sensitifitas

terhadap antibiotik penisilin bisa dilakukan jika penisilin atau cephalosporin adalah

obat pilihan untuk infeksi serius pada pasien yang mempunyai riwayat reaksi alergi

yang parah. Prosedur ini bisa dilaksanakan setelah dilakukan inform consent, dan alat-

alat resusitasi telah disediakan.(1)

Tetapi apabila gejala pada gastrointestinal mendominasi atau terjadi kolaps

jantung dan paru dimana sulit untuk mengetahui riwayat penyakit pasien, maka

anafilaksis sulit untuk didiagnosis.

Tabel 2.2 Diagnosis Banding Anafilaksis

Gejala Diagnosis banding

Page 11: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

Hipotensi

Respiratory distress dengan wheezing

atau stridor

Kolaps postprandial

Flush syndrome

Lain-lain

Syok septik

Reaksi vasovagal

Syok kardiogenik

Syok hipovolemik

Benda asing di saluran nafas

Asma dan eksaserbasi penyakit paru

obstruktif kronis

Sindrom disfungsi vocal cord

Benda asing di saluran nafas

Menelan monosodium glutamate

Menelan sulfat

Karsinoid

Postmenopausal hot flushes

Red man syndrome ( vancomycin )

Serangan panik

Systemic mastocytosis

Angioedema herediter

Leukemia dengan produksi histamin

berlebih

Sumber : Tang AW : A Practical Guide to Anaphylaxis, October 1 2003

DIAGNOSIS KLINIS

Sebuah poster dan kartu berukuran saku yang memuat inti-inti panduan World

Allergy Organisation mengenai diagnosis klinis segera dan penatalaksanaan awal

anafilaksis telah diterjemahkan ke dalam 10 bahasa (Lampiran 1). Kriteria klinik

diagnosis anafilaksis tersebut menekankan pada gejala multisistem dengan onset

Page 12: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

mendadak dan telah divalidasikan melalui penelitian kohort retrospektif pasien

instalasi rawat darurat serta terbukti memiliki sensitivitas sangat kuat [96,7%, 95%

confidence interval (CI) 88,8-99,9] dan spesifisitas baik (82,4%, 95% CI 75,5-87,6).

Lebih lanjut, penggunaan kriteria tersebut pada penelitian epidemiologi

mengakibatkan peningkatan identifikasi pasien anafilaksis secara signifikan (Simons

et al., 2012). Adapun secara garis besar, manifestasi klinis anafilaksis dapat dilihat

pada Tabel 1 (Jose et al, 2009).

Tabel 1. Tanda dan Gejala Anafilaksis (Jose et al, 2009)

Kulit Respiratori

k

Kardiovaskul

er

Gastrointestin

al

Eritema

Urtikaria

Angioedem

a

Batuk

Dyspnea

Wheezing

Pusing

Pingsan

Takikardia

Hipotensi

Syok

Mual dan Muntah

Kram

Kembung

Diare

Pada 80% kasus, tanda dan gejala kulit hampir selalu dijumpai (Gambar 1).

Oleh karena itu, suatu kasus kemungkinan besar bukan merupakan anafilaksis jika

pasien tidak menunjukkan manifestasi kulit. Lebih lanjut, manifestasi khas anafilaksis

bergantung pada rute paparan alergen, di mana paparan alergen berupa makanan

lebih cenderung mengakibatkan efek gastrointestinal serta respiratorik, sementara

paparan alergen secara subkutan atau intravena cenderung mengakibatkan efek

kardiovaskuler. Penyebab reasi ini begitu banyak dan meliputi obat (obat-obatan

anestesi, obat anti inflamasi non-steroid, penisilin, dan opiat), makanan (kacang dan

makanan laut), sengatan serangga (lebah, tawon), media kontras, lateks, serta

vaksin (Jose et al, 2009).

Page 13: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 3. Urtikaria (Jose et al, 2009)

Anafilaksis dapat menyerupai kondisi lain dan harus dibedakan melalui

anamnesis serta pemeriksaan fisik (Tabel 2). Jika terdapat keraguan mengenai

diagnosis, pasien hendaknya dikonsulkan secepatnya (Jose et al, 2009).

Tabel 2. Diagnosis Banding (Jose et al, 2009)

RESPIRATORIK KARDIOVASKULER LAIN-LAIN

Asma berat

Aspirasi corpus

alienum

Emboli paru

Reaksi vasovagal

Infark myokard

Aritmia

Sindroma karsinoid

Ingesi ikan scombroid

Phaeochromocytoma

Angioedema herediter

Serangan panik

PENATALAKSANAAN

Anafilaksis umunya terjadi segera setelah paparan terhadap alergen. Mengenali

tanda dan gejala dengan cepat dapat mencegah anafilaksis berlanjut menjadi kolaps

kardiovaskuler. Pasien hendaknya segera dibaringkan dengan kaki leih tinggi dari

kepala sembari penolong mengaktifkan EMS. Penolong tidak boleh meninggalkan

pasien untuk memonitor airway, breathing, dan circulation. Jika pasien bernapas

adekuat tetapi kehilangan kesadaran, posisikan pasien pada recovery position. Jika

Page 14: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

mungkin, posisikan pasien sehingga berbaring miring untuk drainase cairan dan kaki

sedikit ditekuk untuk mempertahankan posisi ini. CPR harus dilakukan kapanpun

diindikasikan (Hayney, 2011).

Epinefrin merupakan obat gawat darurat terpenting yang harus diberikan

secara tepat dan segera. Meskipun terdapat keraguan tentang kondisi pasien,

epinefrin tetap harus diberikan dan dapat diulang setiap 10-20 menit dengan hingga

3 dosis atau sesuai kebutuhan berdasarkan perjalanan penyakit untuk meningkatkan

tekanan darah sebelum pasien dirujuk ke instalasi rawat darurat. (Hayney, 2011).

Sayangnya, seringkali epinefrin terlambat diberikan, bahkan pada pasien yang

diopname. Sebagai contoh, anafilaksis cukup sulit untuk didiagnosis selama pasien

dibawah pengaruh anestesi, sehingga pemberian epinefrin dapat tertunda. Pada

sebuah penelitian retrospektif, 45% pasien dengan anafilaksis selama anestesi

terkena syok, gangguan keseimbangan sirkulasi, atau henti jantung, sementara

hanya 83% pasien yang mendapatkan epinefrin. Padahal, jika epinefrin tidak

diberikan samasekali, gejala kardiovaskuler seperti infark myokard dan aritmia dapat

terjadi selama anafilaksis. Menariknya, komplikasi ini juga dapat terjadi setelah

overdosis epinefrin, apapun rute pemberiannya, terutama setelah dosis bolus

intraevna atau infus intravena yang terlalu cepat (Simons et al, 2012).

Dipenhydramine dapat pula diberikan pada pasien anafilaksis. Dosis umum

pada orang dewasa adalah 1-2 mg/kgBB dengan dosis maksimal 100 mg secara oral

atau intramuskular, tergantung kondisi pasien. Pemberian dipenhydramin oral

hendaknya dipertimbangkan hanya jika pasien memiliki reaksi alergi yang

berkembang lambat, seperti urtikaria yang muncul lebih dari 15 menit setelah

paparan dengan alergen tanpa pembengkakan lidah, bibir, atau keterlibatan airway

apapun (Hayney, 2011). Meskipun demikian, pada sebuah penelitian prospective

randomized blinded pada pasien muda dengan reaksi alergi kulit akut saat dilakukan

food challenge, perbandingan antara pemberian dipenhidramin 1 mg/kg

dibandingkan dengan cetirizine 0,25 mg/kg membuktikan bahwa cetirizine memiliki

onset aksi yang sama, efektivitas yang sama, durasi kerja yang lebih lama, dan

penurunan profil sedasi (Simons et al, 2012)

Manajemen anafilaksis membutuhkan suplai darurat yang dapat dilihat pada

Tabel 3 (Hayney, 2011). Manajemen anafilaksis juga melibatkan penatalaksanaan

life saving yang hendaknya dimulai secepatnya dan diikuti dengan perujukan ke

spesialis alergi untuk dilakukan anamnesis alergi lengkap, pemeriksaan lanjutan,

terapi, dan KIE. Dalam menjalankan penatalaksanaan anafilaksis, penting untuk

Page 15: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

diingat bahwa sembari manajemen kegawatdaruratan dimulai, perujukan pada

spesialis alergi serta spesialis anestesi dengan skill manajemen airway hendaknya

dilakukan bersamaan (Gambar 2) (Jose et al, 2009).

Tabel 3. Suplai Darurat untuk Manajemen Anafilaksis (Hayney, 2011)

Autoinjektor epinefrin (dua); atau epinefrin ampul (1 mg/ml), spuit

Dipenhydramine

Injeksi (50 mg/mL); spuit

Kapsul atau tablet (50 mg)

Telepon

Salinan protokol respons gawat darurat

Masker resusitasi dengan katup satu arah

Sphygmomanometer dengan manset dan stetoskop

Jam dengan penunjuk detik

Tourniquet

Kapas alkohol

Spateltong

Senter untuk pemeriksaan tenggorokan

Page 16: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 4. Waktu Pemberian Adrenalin pada Anafilaksis (Jose et al, 2009)

Terapi Lini Pertama

Adrenalin hendaknya diberikan dengan perhatian khusus yang didasarkan pada

prinsip ABCDE (airway, breathing, circulation, disability, and exposure) sebagaimana

pada manajemen pasien kritis akut lain (Jose et al, 2009).

Dosis Adrenaline 0,5 mg (0,5 ml 1:1000) diberikan secara intramuskular sebagai

terapi live saving pada reaksi anafilaktik di orang dewasa meskipun bukti yang valid

masih kurang. Adrenaline merupakan agonis reseptor α yang menyebabkan

vasokonstriksi serta agonis reseptor ß yang mendilatasi airway bronkial dan

meningkatkan kontraktilitas myokard. Efek ini penting untuk meringankan keparahan

reaksi yang dimediasi oleh IgE (Jose et al, 2009).

Rute Konsentrasi puncak adrenalin di plasma terbukti lebih tinggi jika diberikan

secara intramuskular pada paha jika dibandingkan dengan injeksi subkutan. Oleh

karena itu, rute secara subkutan tidak lagi direkomendasikan. Pada kasus gawat

darurat yang mengancam jiwa (skenario periarrest atau hipotensi intractable),

adrenalin dapat diberikan secara intravena tetapi hendaknya diencerkan dulu hingga

mencapai konsentrasi 1:100.000 serta diberikan dalam dosis kecil sebesar 50-100

µg dan dititrasi hingga mencapai respon. Rute intravena hanya direkomendasikan

Page 17: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

hanya bagi tenaga ahli dengan fasilitas monitor denyut jantung dan tekanan darah

seperti di instalasi rawat darurat, intensive care unit, dan kamar operasi (Jose et al,

2009).

Efek Samping Meskipun jarang terjadi, vasokonstriksi arteri koroner akibat

pemberian adrenalin, terutama secara intravena, dapat mengakibatkan iskemia

serebral dan myokard. Sementara itu, eksitabilitas jaringan jantung dapat memicu

artimia (Jose et al, 2009).

Interaksi Untuk meningkatkan keefektifan adrenalin sembari meminimalisasi risiko

komplikasi, riwayat obat yang sedang dikonsumsi pasien hendaknya diketahui

terlebih dahulu. Hal tersebut dapat sulit untuk dilakukan pada kasus

kegawatdaruratan, tetapi pemberian adrenalin hendaknya tidak boleh ditunda. ß

bloker mengurangi efektivitas adrenalin dan dapat meningkatkan keparahan reaksi

anafilaksis sehingga membuat pasien tidak responsif terhadap terapi, dan pada

kasus ini, 1-2 mg glukagon hendaknya diberikan secara intravena. Trisiklik

antidepresan, monoamin oksidase inhibitor, dan kokain dapat meningkatkan efek

sekaligus risiko komplikasi adrenalin, sehingga pada kasus seperti ini dosis adrenalin

hendaknya diberikan setengah dosis penuh saja (Jose et al, 2009).

A (Airway) Pastikan bahwa jalan napas pasien tetap paten, jika perlu dengan

menggunakan tatalaksana basic life support hingga bantuan datang. Asesmen dari

spesialis anestesi diperlukan jika terdapat kekhawatiran mengenai jalan napas

pasien. Langkah intervensi selanjutnya hanya boleh dilakukan jika patensi jalan

napas sudah dapat dipastikan. Berikan oksigen aliran tinggi (biasanya di atas 10

L/menit) pada seluruh pasien kritis akut melalui masker non-rebreathing sesuai

dengan the British Thoracic Society guideline: Emergency Oxygen Use in Adult

Patients. Seluruh pasien yang diintubasi hendaknya diberi oksigen aliran tinggi

dengan menggunakan bantuan Jackson-Reese (Jose et al, 2009).

B (Breathing) Pernapasan pasien hendaknya diases dengan cepat sebagaimana

pada asesmen pasien dengan kondisi kritis akut lainnya. Periksa laju pernapasan,

pola pernapasan, adanya kebingungan, serta periksa dada pasien. Lakukan palpasi

trakea, perkusi serta auskultasi dada serta monitoring saturasi oksigen secara cepat

untuk membantu mengeksklusi kasus ventil pneumotoraks. Penurunan saturasi

oksigen secara cepat menandakan oksigenasi yang buruk. Akibat buruknya perfusi

di perifer, pulse oksimeter tidak dapat memberikan bacaan saturasi yang tepat. Pada

kasus ini, analisis gas darah hendaknya dilakukan karena pemeriksaan ini juga akan

menunjukkan adanya abnormalitas metabolik seperti asidosis metabolik. Suara

Page 18: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

napas mengi dapat didengar pada pasien anafilaksis karena adanya bronkospasme,

kecuali bronkospasmenya sudah sangat parah hingga tidak terdengar suara napas

tambahan pada dada pasien. Nebulisasi bronkodilator, seperti ß agonis (salbutamol

5 mg) dan antagonis muskarinik (ipratropium 0,5 mg) dapat diberikan secara

bersamaan. Langkah selanjutnya baru bisa dilaksanakan jika ventilasi dan

oksigenasi pasien sudah dirasa adekuat (Jose et al, 2009).

C (Circulation) Inspeksi pasien untuk menemukan adanya diaforesis dan pucat

sembari memeriksa denyut jantung, tekanan darah, dan perfusi perifer. Capillary

Refill Time juga harus diperiksa. Masukkan kanula intravena pada fossa cubiti untuk

mendukung sirkulasi dengan pemberian cairan intravena. Kanula yang digunakan

hendaknya berukuran besar (16 gauge, abu-abu) meskipun pemasangannya sulit

pada pasien hipotensi. Infus cepat 500-1000 ml hendaknya diberikan sebagai bolus

dan responnya dimonitor. Kristaloid atau koloid dapat digunakan kecuali koloid justru

terbukti menyebabkan reaksi anafilaksis. Jika usaha resusitasi awal ini gagal dan

pasien mengalami henti jantung, manajemen selanjutnya harus sesuai dengan

pan/duan resusitasi jantung-paru atau advanced life support lokal (Jose et al, 2009).

Koloid dapat terserap ke dalam lamina glycocalyx sehingga membatasi

ultrafiltrasi. Oleh karena itu, koloid merupakan volume expander intravaskuler yang

lebih efektif. Meskipun demikian, efek koloid seperti HES atau dextran bersifat

transien, di mana setelah 2 jam pertama di mana efek koloid yang semula 300%

hingga 400% lebih efektif dibanding kristaloid berbalik sehingga ketika digunakan

dalam jangka panjang, perbandingan total kebutuhan cairan pada pasien yang hanya

diberi koloid justru lebih besar, yaitu 1.4 bagian HES 6% : 1 bagian RL dan 1.1

bagian gelatin 4% : 1 bagian RL (Bayer et al., 2012).

Berdasarkan berbagai penelitian dan meta analisis, pemberian koloid

terutama HES meningkatkan prevalensi Acute Kidney Injury serta kebutuhan atas

Renal Replacement Therapy. Belum lagi, pemberian koloid meningkatkan risiko

alergi, gangguan fungsi ginjal, dan peningkatan kebutuhan transfusi. Apabila

dibandingkan, resusitasi berjalan sama cepat dan sama efektifnya pada pasien yang

diresusitasi dengan kristaloid saja versus pasien yang diresusitasi dengan kombinasi

koloid sintetik dan kristaloid. Respon terapi yang diukur dengan waktu yang

dibutuhkan untuk mencapai hemodinamik optimal juga sama. Meskipun demikian,

nilai CVP optimal dicapai lebih lambat pada pasien yang hanya mendapatkan

kristaloid saja (Bayer et al., 2012).

Page 19: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

D (Disability) Periksa tingkat kesadaran pasien secara AVPU (alert, responds to

verbal command, responds to pain, unresponsive) atau Glasgow Coma Scale.

Pasien yang tidak responsif atau dengan GCS <9 memerlukan asesmen airway

CITO oleh spesialis anestesi. Jangan lupa memeriksa konsentrasi glukosa pasien

untuk mengetahui ada tidaknya hipoglikemia (Jose et al, 2009).

E (Exposure) Buka penutup tubuh pasien untuk menemukan manifestasi reaksi

alergi pada kulit, seperti eritema, urtikaria (Gambar 1), atau angioedema. Petunjuk

mengenai penyabab anafilaksis juga bisa jadi ditemukan, seperti sengatan serangga

(Jose et al, 2009).

Terapi LIni Kedua

Kortikosteroid (hidrokortison 200 mg intramuskular atau bolus lambat intravena)

hendaknya diberikan setelah resusitasi awal karena membantu mencegah reaksi

lebih lanjut serta memendekkan durasi reaksi yang berkepanjangan. Terapi lini

kedua ini biasanya hanya efektif selama 4-6 jam. Antihistamin (Klorfeniramin 10 mg

intramuskular atau bolus lambat intravena) hendaknya diberikan setelah resusitasi

dini karena dapat melawan vasodilatasi dan bronkokonstriksi yang dimediasi

histamin (Jose et al, 2009).

Monitoring Pasca Resusitasi

Setelah resusitasi dini, pasien hendaknya diobservasi di rumah sakit selama

setidaknya 6 jam dan ditangani oleh dokter senior. Hal ini dikarenakan adanya

perjalanan bifasik pada sekitar 20% kasus anafilaksis. Pada kasus-kasus seperti ini,

pasien dapat mengalami episode syok anafilaktik susulan yang bisa berkepanjangan

(hipotensi parah yang berlangsung lebih dari 24 jam dan dengan prognosis buruk).

Rerata durasi onset syok anafilaktik susulan adalah dalam 1-8 jam setelah kejadian

pertama tetapi pernah dilaporkan timbul setelah 24-38 jam. Pasien hendaknya

diobservasi selama 24 jam jika sudah memiliki riwayat mengalami reaksi bifasik,

memiliki komponen asma pada reaksi anafilaktiknya, paparan absorbsi alergen yang

terus menerus, serangan pada malam hari, atau kesulitan akses ke instalasi rawat

darurat. Idealnya, pasien hendaknya dimonitor di tempat dengan fasilitas monitoring

ritme jantung, tekanan darah, dan saturasi oksigen seperti area resusitasi gawat

Page 20: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

darurat, unit asesmen medis akut, atau high dependency dan intensive care unit

(Jose et al, 2009).

Gambar 5. Algoritma Anafilaksis

Page 21: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

Pada saat serangan anafilaksis terjadi, sampel darah hendaknya diambil

untuk pemeriksaan mast cell tryptase (serum atau sampel darah beku) setelah usaha

resusitasi dimulai, satu hingga dua jam setelah onset gejala, dan saat follow-up. Hal

ini dapat dijadikan bukti adanya aktivasi sel mast sebagai penyebab reaksi alergi

akut (Jose et al, 2009).

PROGNOSIS

SISTEM RUJUKAN

BAB III

PENUTUP

Page 22: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

1. jose

Page 23: TUGAS TINJAUAN PUSTAKA

2. haydey

2.Tintinalli, dkk. Emergency Medicine Fifth Edition. American College of Emergency

Physicians; 2000.30. 242 – 246

3.Working Group of the Resuscitation Council (UK) Emergency treatment of

anaphylactic reactions Guidelines for healthcare providers. January 2008.

4. AP Arwin Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Buku ajar Alergi-imunologi

anak edisi kedua,Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. 207-223

5. Epidemiology of life-threatning and lethal anaphylaxis: a review. Available from:

URL:http://www.foodallergyproject.org/Moneret-Vautrin-et-al-2005.pdf

7. Mallon D : Clinical immunologist and allergist Princess Margaret and Fremantle

Hospitals, Western Australia, 2006.