tugas psda

Download tugas psda

If you can't read please download the document

Upload: polma-nababan

Post on 27-Jun-2015

225 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

PERMASALAHAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR (Studi kasus DI Kota DKI Jakarta)

(Tugas PSDA) Oleh:

Polma Hotdi J Nababan M. Imam Riady Franky sihombing M.Syamroni

0715011021 0715011081 0615011067 0615011091

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS LAMPUNG 2010

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sumberdaya air merupakan sumberdaya yang sangat esensial bagi kehidupan umat manusia. Ketersediaan sumberdaya air di Kota DKI Jakarta yang tidak merata, dinamis dari waktu ke waktu, dan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya merupakan sumber permasalahan dalam pengembangan sumber daya air di Kota DKI Jakarta. Sementara disisi lain pertumbuhan populasi manusia semakin besar dengan tuntutan urbanisasi dan industrialisasi yang semakin meluas di Kota DKI Jakarta berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya air. Ketimpangan antara tingkat kebutuhan dan keterdapatan sumber daya air yang ada di Kota DKI Jakarta dan banyaknya masalahmasalah lain dalam pengembangannya yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Permasalahan pengembangan sumber daya air yang terjadi di Kota DKI Jakarta yang berupa krisis air, kualitas air, menyusutnya area tangkapan air akibat alih fungsi, konflik akibat persaingan yang semakin tajam antar pengguna air, kurang jelasnya ketentuan hak penguasaan air, lemahnya koordinasi antar instansi dalam menangani sumberdaya air, dan kelemahan dalam kebijaksanaan sumberdaya air.

B. TUJUAN Makalah ini mencoba memberikan gambaran berbagai permasalahan yang terkait dengan pengembangan sumber daya air di Kota DKI Jakarta. Beranjak dari permasalahan tersebut dapat mempermudah langkah-langkah kebijaksanaan yang kiranya perlu ditempuh dalam pengelolaan sumberdaya air.

II. PERMASALAHAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA DKI JAKARTA

Berbagai permasalahan sumberdaya air antara lain adalah sebagai berikut: 1. Adanya gejala krisis air Masalah air di DKI Jakarta kian hari kian gawat. Penduduk semakin sulit memperoleh air bersih dan sehat. Selain air tanahnya yang tercemar, Jakarta yang dihuni hampir 12 juta jiwa ini juga punya masalah serius, ketersediaan air tanah di beberapa wilayah. Sedangkan pelayanan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya belum maksimal. Kebutuhan air bersih yang bisa dipenuhi dari air PAM Jaya hanya 51 persen, sisanya sebesar 49 persen dipenuhi air bawah tanah dan air permukaan. Krisis ketersediaan air tanah terjadi karena warga Jakarta memanfaatkan air tanah secara berlebihan. Pada saat bersamaan, jumlah sumur bor yang menyedot air tanah hingga kedalaman puluhan meter terus bertambah seiring dengan tumbuhnya kawasan industri. Kondisi ini diperparah oleh kontrol yang lemah. Pengambilan air tanah secara besar-besaran akan berdampak pada kekosongan air dalam tanah. Akibatnya, permukaan tanah bisa semakin menurun dan cadangan air tanah menipis. Akibat lainnya, pada musim kemarau, warga juga harus bersiap-siap memperdalam sumurnya untuk memperoleh air tanah. Atau harus mengganti pompa air baru agar bisa menyedot air tanah. Berdasarkan data Dinas Pertambangan DKI Jakarta tahun 2004, yang masuk zona sangat kritis adalah kawasan dengan kedalaman muka air tanah lebih dari 16 m dengan fluktuasi muka air tanah lebih dari delapan meter. Sedangkan zona kritis

yang memiliki kedalaman muka air tanah 12-16 meter dengan fluktuasi muka air tanah 6-8 meter. Daerah yang masuk zona kritis, dan sangat kritis, antara lain Cempaka Putih, Johar Baru, Senen, Tanah Abang di Jakarta Pusat; Kembangan, Kebon Jeruk di Jakarta Barat; Setiabudi, Kebayoran Lama, Tebet, Pasar Minggu, Jagakarsa di Jakarta Selatan; dan Duren Sawit, Makassar, Cipayung, Ciracas, Pasar Rebo di Jakarta Timur. Daerah yang tergolong zona rawan dan sangat rawan antara lain Cengkareng, Petamburan, Kebon Jeruk, Kembangan, Taman Sari, dan Gambir. Selain itu, Menteng, Setiabudi, Matraman, Johar Baru, Pulo Gadung, dan Cakung. Krisis air tanah terjadi antara lain karena air hujan yang turun tidak bisa terserap dalam tanah. Akibatnya, sebagian besar air hujan mengalir di permukaan tanah (run off), dan selanjutnya mengalir ke sungai. Banyaknya lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH) yang dikonversi menyebabkan minimnya penyerapan air ke dalam tanah. Air hujan yang jatuh ke tanah akan langsung terbuang ke laut. 2. Menurunnya kualitas sumberdaya air Sumber-sumber air permukaan seperti sungai, danau dan sebagainya di kota Jakarta pada umumnya sudah tercemar oleh air limbah, baik air limbah rumah tangga, pabrik maupun air limbah perkantoran. Hal ini salah satunya dikarenakan belum tumbuhnya kesadaran dari pemerintah sebagai penyedia sarana pengolahan air limbah untuk mulai memperbaiki kualitas air yang semakin hari semakin menurun, salah satunya dengan mengolah air limbah domestik (rumah tangga dan perkantoran) maupun air limbah yang berasal dari industri. Penghasil air limbah terbesar di DKI Jakarta adalah air limbah yang berasal dari rumah tangga, dimana sebagian besar guna lahan di DKI Jakarta merupakan lahan pemukiman penduduk. Seiring dengan meningkatnya pembangunan kelestarian lingkungan seolah mulai. Terabaikan.Ketidakseimbangan lingkungan mulai terasa seperti penyakit yang ditimbulkan oleh air yang tidak bersih, harga air bersih yang mahal karena pihak pengelola air bersih harus mendatangkan sumber air baku dari sumber air di

Bogor (Untuk DKI Jakarta) menggunakan pipa, dan juga penurunan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat. Sehingga memerlukan pengelolaan yang lebih serius baik itu dari segi menejemen pengelolaan, peraturan yang mengatur tentang sumber daya air maupun unit pengolahan air limbah. Apabila sumber sumber air baku untuk air bersih sudah tercemar oleh limbah industri atau limbah rumah tangga, maka biaya produksi untuk mengolah air bersih akan meningkat tergantung tingkat pencemarannya, dan biaya produksi ini dibebankan kepada konsumen akibatnya harga air bersih akan lebih mahal. Pencemaran air tanah yang terjadi dibuktikan oleh BPLHD (Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah) DKI Jakarta terungkap bahwa hampir seluruh sumur dangkal yang ada di lingkungan permukiman di wilayah Jabotabek yang diambil sebagai sampel kini telah tercemar. Kadar pencemarannya memang berbeda-beda, pencemaran yang diakibatkan air limbah industri dan air limbah yang berasal dari manusia tinja terhadap air tanah dan air permukaan nampaknya semakin mengkhawatirkan. Terutama pencemaran yang diakibatkan oleh limbah rumah tangga yang mengakibatkan tercemar bakteri coli maupun diterjen yang berasal dari hasil cucian rumah tangga.3. Menyusutnya area tangkapan air akibat alih fungsi

Hutan kota tergusur demi kepentingan pembangunan dan perkembangan industri setempat. Akibatnya, luas lahan hutan kota semakin berkurang. Hutan kota yang berfungsi sebagai tangkapan air telah beralih fungsi menjadi lahan perumahan, jasa dan industri. Dengan makin berkurangnya lahan yang dapat menyimpan ketersediaan air tanah dan air permukaan akan berpengaruh terhadap lahan penampung air terutama terjadinya pengurangan area tangkapan air (catchment area), sehingga berimplikasi terhadap penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan. Seperti pada kasus di Kota Depok, lahan penampung air yang berfungsi membantu keseimbangan proses daur hidrologi yang dikenal sebagai situ banyak yang mengalami sedimentasi dan eutrofikasi yang mengakibatkan terjadinya pendangkalan. Kondisi ini menyebabkan situ yang menjadi daratan dialih fungsi menjadi penggunaan lain seperti lahan pertanian, pemukiman dan

malahan ada yang menjadi kawasan industri. Selain itu, ada yang ditimbun (diurug) untuk kepentingan pembangunan prasarana sehingga merusak keanekaragaman hayati ekosistem situ yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya kualitas maupun kuantitas dan hilangnya tempat penampungan air sebagai salah satu sumber kehidupan bagi masyarakat. 4. Konflik Akibat Persaingan yang Semakin Tajam antar Pengguna Air Meningkatnya pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk serta pembangunan di segala bidang menuntut terpenuhinya kebutuhan akan air yang terus meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.Persaingan yang menjurus ke arah konflik kepentingan dalam pemanfaatan air antara berbagai sektor terutama antara sektor pertanian dan non- petanian cenderung meningkat di masa-masa mendatang. Hal ini dapat dipahami karena air yang sebelumnya dimanfaatkan lebih banyak untuk pertanian, sekarang dan di masa-masa mendatang harus dialokasikan juga ke sektor non-prtanian. 5. Kurang Jelasnya Ketentuan Hak Penguasaan Air Pemerintah memang sebenarnya telah menetapkan susunan prioritas penggunaan air dengan urutan kepentingan sebagai berikut:1. Air minum, rumah tangga, pertahanan / keamanan , peribadatan,dan usaha

perkotaan;2. Pertanian dalam arti luas yaitu termasuk peternakan, perkebunan dan

perikanan; dan3. Ketenagaan, industri, pertambangan, lalu lintas dan rekreasi.

Akan tetapi pada kenyataannya , urutan prioritas yang kedua yakni pertanian, sering dikalahkan oleh urutan prioritas ketiga seperti misalnya untuk kebutuhan pembangunan industri. Dalam hal seperti ini, keberlanjutan pertanian di hilir sungai bisa terancam akibat pemberian izin oleh pemerintah atas pengambilan air di hulu sungai untuk keperluan industri yang tidak jarang menimbulkan pencemaran sungai.

Tidak jelasnya hak penguasaan air yang dimiliki oleh para pengguna air khususnya air di sepanjang sungai dapat memicu konflik antar pemanfaat air seperti kasus-kasus yang telah diuraikan sebelumnya. Oleh sebab itu, pengaturan alokasi air sungai yang jelas dan adil kepada para pengguna (pertanian, pemukiman, industri, dll) perlu diupayakan melalui perangkat peraturan dan perundangundangan. Mengingat air berfungsi sosial dan harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat maka hak-hak masyarakat setempat atas sumberdaya air yang ada perlu dilindungi. Sementara itu, kepentingan masyarakat luas untuk mendapatkan air besih juga harus diperhatikan. 6. Lemahnya Koordinasi antar Instansi dalam Menangani Sumberdaya Air Dalam menangani sumberdaya air di Indonesia ternyata banyak instansi yang terlibat. Dalam kabinet pemerintahan terdahulu, instansi yang terlibat adalah: Depertemen Pekerjaan Umum(DPU); Depertemen Pertanian; Departemen Kehutanan; Departemen Kesehatan; Departemen Pertambangan; Departemen Pariwisata,Pos dan Telekomunikasi; Departemen Perhubungan; dan Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup. Masing-masing departemen merencanakan dan melaksanakan kegiatannya sendiri secara parsial dan sektoral , hampir tidak ada koordinasi antara satu dengan lainnya. Akibatnya, kegiatan sering tumpang tindih dan bahkan ada kalanya tidak saling mendukung. (Martius, 1997; dan Mahar, 1999). Seperti dicontohkan oleh Mahar (1999), perencanaan pengelolaan sungai oleh DPU tidak sinkron dengan perencanaan pengelolaan daerah tangkapan (catchment area) yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan, sehingga tidak mustahil bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang seharusnya perlu segera diberikan penanganan khusus, justru terjadi sebaliknya karena pengelolaannya masih parsial.

7. Kelemahan dalam Kebijaksanaan Sumberdaya Air Kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air di Indonesia selama ini masih mengandung beberapa kelemahan. Antara lain (Osmet, 1996; dan Helmi, 1997):1. Masih berorientasi pada segi penyediaan (supply-side management); 2. lebih menekankan pada pengembangan satu sistem irigasi dan kurang

memperhatikan keterkaitan hidrologis antar sistem dalam satu sungai;3. Lebih berorientasi pada pengembangan jaringan utama sistem irigasi; dan 4. Arena pengelolaan air ada pada tingkat sistem irigasi bukan pada tingkat

sungai.

III. SIMPULAN DAN SARAN

Beberapa masalah sumberdaya air telah diidentifikasi dan dibahas secara singkat. Permasalahan tersebut antara lain:1. Adanya gejala krisis air; 2. Meningkatnya konflik akibat persaingan pemanfaatan air yang semakin

tajam;3. Menurunnya kualitas sumberdaya air; 4. Menyusutnya lahan pertanian beririgasi akibat alih fungsi; 5. Tidak jelasnya ketentuan hak atas air; 6. Lemahnya koordinasi antar departemen dalam menangani sumberdaya air;

dan7. Adanya beberapa kelemahan dalam kebijaksanaan sumberdaya air.

Guna mengatasi permasalahan tersebut di atas, diperlukan langkah-langkah kebijaksanaan yang kiranya perlu ditempuh oleh para pengambil keputusan yaitu antara lain sebagai berikut1. Peningkatan upaya-upaya pelestarian dan perlindungan sumberdaya air; 2. Perencanaan dan pelaksanaan program hemat air; 3. Pembuatan peraturan dan ketentuan hak guna air; 4. Pengendalian alih fungsi lahan pertanian beririgasi; 5. Pembentukan suatu lembaga tingkat nasional untuk mengatur dan

mengurus sumberdaya air; dan6. Penyesuaian kebijaksanaan sumberdaya air.

Hal-hal yang telah diuraikan dalam makalah ini pada hakekatnya hampir tidak ada yang baru. Sebagian besar telah pernah diwacanakan oleh pakar-pakar dalam

berbagai kesempatan. Makalah ini hanya menghimpun pemikiran dan informasi yang ada dalam berbagai kepustakaan seperti tertuang dalam Daftar Pustaka. Walaupun demikian semoga masih bermanfaat dan dapat merangsang diskusi lebih lanjut guna menelurkan gagasan cemerlang dalam mengantisipasi krisis air di masa depan dengan berbagai implikasinya. Bagaimanapun juga makalah ini sangat terbuka untuk mendapat kritik dan tanggapan dari berbagai pihak.

DAFTAR PUSTAKA Atmanto, Sudar Dwi., 1993. Pertanian dan Irigasi Air Limbah., dalam Irigasi Petani No.11/V/1993. hlm. 1-3, Jakarta: Pusat Studi dan Pengembangan Irigasi (PSPI), LP3ES. Helmi., 1997. Kearah Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan: Tantangan dan Agenda untuk Penyesuaian Kebijaksanaan dan Birokrasi di Masa Depan. Dalam VISI Irigasi Indonesia Nomor 13 (7) 1997.hlm. 312, Jakarta: Pusat Studi Irigasi Universitas Andalas. Mahar, Mahyudi., 1999. Pendekatan Watershed Management dalam Pengelolaan Sungai, dalam Dinamika Petani No. 34 Tahun X / 1999. hlm. 10-14.Jakarta: Pusat Studi Pengembangan Sumberdaya Air dan Lahan (PSDL), LP3ES. Martius, Endry., 1997. Penyesuaian Peran Birokrasi dan Pemberdayaan Ekonomi Petani: Etika Pendayagunaan Sumberdaya Air di Indonesia, dalam VISI Irigasi Indonesia Nomor 13 (7) 1997. hlm. 12-32. Padang: Pusat Studi Irigasi Universitas Andalas. Aris Marfai, 7 Mei 2008.krisis air, tantangan manejemen sumberdaya air. Blog at WordPress.com. November 2010.