tugas prof gis

12
INVENTARISASI POTENSI BAHAN GALIAN NIKEL DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH & GIS (STUDI KASUS DI KECAMATAN ASERA) PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Indragiri Hulu merupakan daerah memiliki potensi bahan galian tambang yan dihandalkan, namun sampai dengan saat ini belum dikelola secara optimal, usaha optimalisasi pengelolaan sehinggahasilnya dapat dimanfaatkan terutamauntuk peningkatan pendapatan daerah. Semakin menjamurnya pengusaha yang bergerak di bidang pertambangan serta berkembang penambangan liar yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok memerlukan pengawas hal ini merupakan tugas yang sangat berat bagi Pemerintah Kabupaten. Keku dalam pengawasan ini akan berakibat pada pemborosan sumber daya dan menurunnya salah satu sumber pen asli daerah. TeknologiRemote Sensing yaitu teknologi yang mampu merekam permukaan bumi menggunakan satelit telah berkembang dengan pesat. Data yang diperoleh men yang sangat luas, dengan satu kali perekaman satelit Landsat-7 TM dapat kawasan Indragiri Hulu. Analisis data satelit dengan komposit 457 dapat memberikan sebaran bahan galian tambang,namun kebenaran dariinformasi ini tetap memerlukan pengamatan lapangan. Disisi lain Teknologi Sistem Informasi juga berkembang khususnya Teknologi Sistem Informasi Geografis. Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System disingkat dengan GIS) yaitu sistem berbasis dapat digunakan untuk menyimpan, memanipulasi dan menganalisis informasi ge dapat diakses

Upload: aguspagala

Post on 21-Jul-2015

136 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

INVENTARISASI POTENSI BAHAN GALIAN NIKEL DENGAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH & GIS(STUDI KASUS DI KECAMATAN ASERA)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Indragiri Hulu merupakan daerah memiliki potensi bahan galian tambang yang dapat dihandalkan, namun sampai dengan saat ini belum dikelola secara optimal, diharapkan adanya usaha optimalisasi pengelolaan sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan terutama untuk peningkatan pendapatan daerah. Semakin menjamurnya pengusaha yang bergerak di bidang pertambangan serta berkembangnya penambangan liar yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok memerlukan pengawasan, hal ini merupakan tugas yang sangat berat bagi Pemerintah Kabupaten. Kekurang cermatan dalam pengawasan ini akan berakibat pada pemborosan sumber daya dan menurunnya salah satu sumber pendapatan asli daerah. Teknologi Remote Sensing yaitu teknologi yang mampu merekam permukaan bumi menggunakan satelit telah berkembang dengan pesat. Data yang diperoleh mencakup daerah yang sangat luas, dengan satu kali perekaman satelit Landsat-7 TM dapat meliput seluruh kawasan Indragiri Hulu. Analisis data satelit dengan komposit 457 dapat memberikan informasi sebaran bahan galian tambang, namun kebenaran dari informasi ini tetap memerlukan pengamatan lapangan. Disisi lain Teknologi Sistem Informasi juga berkembang dengan pesat, khususnya Teknologi Sistem Informasi Geografis. Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System disingkat dengan GIS) yaitu sistem berbasis komputer yang dapat digunakan untuk menyimpan, memanipulasi dan menganalisis informasi geografis yang dapat diakses

oleh berbagai pihak berkepentingan dalam bentuk informasi tulisan, data dan Gambar atau peta lengkap dengan posisi geografisnya.Upaya inventarisasi, pemetaan dan eksplorasi kekayaan tambang, dengan memanfaatkan teknologi yang tepat perlu ditingkatkan agar diperoleh manfaat yang optimal. Data Penginderaan Jauh yang disertai Survey secara langsung ke lapangan dan Sistem Informasi Geografis dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam membuat perencanaan pengembangan dan pedoman pengelolaan bahan galian tambang serta usaha konservasinya.

TINJAUAN PUSTAKA Bahan galian tambang merupakan sumber daya alam yang mengalami proses pembentukan memerlukan waktu jutaan tahun dan sifat utamanya tidak terbarukan. Dalam berbagai referensi Bahan galian ini juga disebut sebagai Sumber Daya Mineral (SDM) yang dapat dimanfaatkan dibidang industri/produksi. Bahan Galian ini begitu penting kedudukannya di Indonesia maka melalui Peraturan Pemerintah (PP) no.27 tahun 1980, Pemerintah RI membagi bahan galian menjadi 3 golongan yaitu: Bahan galian strategis disebut pula sebagai bahan galian golongan A terdiri dari: minyak bumi, bitumen cair, lilin beku, gas alam, bitumen padat, aspal, antrasit, batubara, batubara muda, uranium radium, thorium, bahan galian radioaktif lainnya, nikel,kobalt, timah. Bahan galian vital disebut pula sebagai bahan galian golongan B. Terdiri dari; besi, mangaan, molibden, khrom, wolfram, vanidium, titan, bauksit, tembaga, timbal, seng, emas, perak, platina, air raksa, arsen, antimon, bismut, ytrium, rhutenium,cerium, dan logamlogam langka lainnya, berillium, korundum, zirkon, kristal kuarsa, kriolit, fluorspar, barit, yodium, brom, khlor, belerang. Bahan galian non strategis dan non vital, disebut pula sebagai bahan galian golongan C, terdiri dari nitrat, nitrit, fosfat, garam batu (halit), asbes, talk, mika, grafit, magnetit, yarosit, leusit, tawas (alum), oker, batu permata, batu setengah permata, pasir kuarsa, kaolin, feldspar, gipsum, bentonit, tanah diatomea, tanah serap (fuller earch), batu apung, trass, obsidian, marmer, batu tulis, batukapur, dolomit, kalsit, granit, andesit, basalt, trakhit, tanah liat, pasir, sepanjang tidak mengandung unsurunsur yang merupakan bahan galian strategis dan vital dalam skala yang berarti dari segi ekonomi pertambangan. Bahan Galian industri sebagian besar merupakan bahan galian golongan C, walaupun beberapa jenis termasuk dalam bahan galian golongan lainnya. Secara geologi bahan galian industri

terdapat dalam ketiga jenis batuan yaitu batuan beku ,batuan sedimen dan batuan metamorf. Bahan Galian tersebut ada diantaranya merupakan bahan bangunan alam, tidak lain merupakan bahan galian yang belum tersentuh oleh rekayasa teknik. Namun demikian dengan perkembangan rekayasa teknik tidak tertutup kemungkinan ditemukannya bahan galian industri yang baru.GEOLOGI UMUM

Secara regional, kondisi geologi daerah studi tidak terlepas dari peristiwa tektonik yang mempengaruhinya, merupakan bagian lengan tenggara Pulau Sulawesi yang terutama terbentuk oleh batuan ultrabasa. Pada lengan tenggara, jenis batuan ini merupakan batuan penyusun utama dari lajur Hialu bersama-sama dengan batuan sedimen selain lajur Tinondo yang terutama tersusun oleh batuan malihan berumur Paleozoikum.(Gambar 2)

Gambar 2

Batuan ultrabasa ini merupakan batuan kerak samudera yang terbentuk pada Zaman Kapur dan kemudian mengalami pengalihtempatan (emplacement) pada Kala Oligosen akibat terjadinya aktifitas tektonik berupa tumbukan tiga lempeng yaitu lempeng Hindia-Australia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia (Hamilton, 1979 dan Katili, 1980). Peristiwa pengalihtempatan ini

diperkirakan berlangsung sejak Kala Oligosen yaitu sejak aktifnya Sesar Sorong yang secara regional mempengaruhi aktifitas tektonik dan struktur geologi lainnya. Batuan ultrabasa ini merupakan bagian dari lajurofiolit Sulawesi Timur (East Sulawesi Ophiolite ESO) dan berada pada mandala geologi Banggai-Sula dan mandala Sulawesi Timur yang tersusun oleh batuan sedimen, batuan beku ultrabasa dan batuan malihan berumur Mesozoikum.

Morfologi Regional Daerah penelitian secara regional termasuk ke dalam Lembar Geologi Bersistem Kendari Lasusua yang terletak di bagian tengah Propinsi Tenggara dan membentang dari barat samapai timur. Morfologi dari lembar ini dapat dibedakan menjadi empat satuan yaitu pegunungan, perbukitan, kras (karst) dan dataran rendah. Pegunungan menempati bagian tengah dan barat Lembar, arah punggungnya memanjang baratlaut tenggara, seperti pengunungan Mekongga, pegunungan Tangkelemboke dan pegunungan Matarombeo. Daerah pegunungan yang batuan penyusunnya terdiri dari batuan malihan dan batugamping umumnya bertonjolan kasar dan tajam, berlereng curam dan sempit. Sedangkan daerah pegunungan yang batuan penyusunnya berupa ultramafik umumnya bertonjolan halus dan berlereng tidak begitu curam. Ketinggian puncaknya berkisar dari 750 m sampai 3000 m di atas permukaan laut, antara lain Gunung Tangkelemboke (1972 m), Gunung Watuwila (2500 m), Gunung Mekongga (1790 m), Gunung Tinondo (1800 m), Gunung Ranawuwu (851 m), Gunung Hialu (896 m), Gunung Mantakasi (945 m), Gunung Andoluto (1100 m) dan Gunung Tangkesawua (1500 m). Pola alirannya secara umum meranting dan setempat sejajar. Perbukitan terdapat di bagian barat dan timur Lembar sekitar kaki pegunungan dan di Pulau Manui serta Pulau Labengke. Satuan ini juga terdapat di antara pegunungan berupa perbukitan landai, umumnya tersusun oleh konglomerat dari Molasa Sulawesi. Ketinggian satuan ini berkisar dari 75 m sampai 750 m di atas permukaan laut. Satuan ini biasanya membentuk perbukitan bergelombang yang ditumbuhi semak dan alang-alang. Puncak-puncaknya yang terdapat di satuan morfologi ini diantaranya Gunung Nipanipa (490 m), Gunung Meluhu (517

m), Gunung Tampakura (736 m) dan beberapa puncak lainnya yang tidak bernama. Sungai di daerah ini berpola aliran meranting. Morfologi kars (karst) terdapat di pegunungan Matarombeo dan di bagian hulu Sungai Iwoimenda serta Pulau Labengke. Satuan ini dicirikan oleh sungai bawah tanah dan gua batugamping.

Stratigrafi Regional Berdasarkan Peta Geologi Bersistem Indonesia skala 1 : 250.000, daerah penelitian termasuk dalam Peta Geologi Regional Lembar Kendari Lasusua. Batuan-batuan yang tersingkap di Lembar ini berumur mulai dari Paleozoikum samapai Kuarter. Berdasarkan himpunan batuan dan pencirinya, geologi Pra-Tersier di Lembar Lasusua Kendari dapat dibedakan ke dalam dua Lajur Geologi, yaitu Lajur Tinondo dan Lajur Hialu. Lajur Tinondo dicirikan oleh batuan endapan paparan benua dan Lajur Hialu oleh endapan kerak samudera/ofiolit, (Rusmana, drr, 1985). Secara garis besar kedua mandala ini dibatasi oleh sesar Lasolo. Batuan yang terdapat di Lajur Tinondo yang merupakan batuan alas adalah batuan malihan Paleozoikum (Pzm) dan diduga berumur Karbon, terdiri dari sekis mika, sekis kuarsa, sekis klorit, sekis mika grafit, batusabak dan genes. Pualam Paleozoikum (Pzm) menjemari dengan batuan malihan Paleozoikum terutama terdiri dari pualam dan batugamping terdaunkan. Pada Permo-Trias di daerah ini diduga terjadi kegiatan magma yang menghasilkan terobosan aplit kuarsa, latit kuarsa dan andesit TR(ga), yang menerobos batuan malihan Paleozoikum. Formasi Meluhu (TRJm) yang berumur Trias Tengah sampai Jura secara tak selaras menindih batuan malihan Paleozoikum. Formasi ini terdiri dari batupasir kuarsa yang termalihkan lemah dan kuarsit yang setempat bersisipan dengan serpih hitam dan batugamping yang mengandung Halobia sp.. dan Daonella sp.., serta batusabak pada bagian bawah. Pada zaman yang terendapkan Formasi Tokala (TRJt), terdiri dari batugamping berlapis dan serpih bersisipan batupasir. Hubungannya dengan Formasi Meluhu adalah menjemari. Pada Kala Eosen hingga Meosen Tengah, pada Lajur ini terjadi pengendapan Formasi Salodik (Tems) yang terdiri dari

kalkarenit dan setempat batugamping oolit. Batuan yang terdapat di Lajur Hialu adalah batuan ofiolit yang terdiri dari peridotit, harsburgit, dunit dan serpentinit. Batuan ofiolit ini tertindih tak selaras oleh Formasi Matano yang berumur kapur akhir dan terdiri dari batugamping berlapis bersisipan rijang pada bagian bawahnya. Batuan sedimen tipe Molasa berumur Miosen Akhir Pliosen Awal membentuk Formasi Pandua (Tmpp), terdiri dari konglomerat aneka bahan dan batupasir bersisipan lanau. Formasi ini menindih tak selaras semua formasi yang lebih tua, baik di Lajur Tinondo maupun di Lajur Hialu. Pada kala Plistosen Akhir terbentuk batugamping terumbu koral (Ql) dan Formasi Alangga (Qpa) yang terdiri dari batupasir dan konglomerat. Batuan termuda di lembar ini adalah Aluvium (Qa) yang terdiri dari endapan sungai, rawa dan pantai. Struktur Geologi dan Tektonik Regional Secara regional, struktur dan geologi yang dijumpai di Lembar Lasusua dan Kendari adalah sesar, lipatan dan kekar. Sesar dan kelurusan umumnya berarah baratlaut tenggara searah dengan sesar Lasolo. Sesar Lasolo berupa sesar geser jurus mengiri (sinistral) yang diduga masih giat hingga kini, yang dibuktikan dengan adanya mata air panas di batugamping terumbu yang berumur Jolosen pada Jalur sesar tersebut di tenggara Tinobu, tepatnya di daerah Wawolesea Kecamatan Lasolo. Sesar tersebut diduga ada kaitannya dengan sesar Sorong yang giat kembali pada Kala Oligosen (Simandjuntak, drr., 1983). Sesar naik ditemukan di Tanjung Labuandala di selatan Lasolo, yaitu beranjaknya batuan ofiolit ke atas batuan Formasi Meluhu. Jenis sesar lain yang dijumpai adalah sesar bongkah atau mungkin sesar listrik (listrik fault). Sesar Lasolo berarah baratlaut tenggara, membagi Lembar Kendari menjadi dua bagian. Sebelah timurlaut sesar disebut Lajur Hialu dan sebelah baratdaya disebut Lajur Tinondo (Rusmana dan Sukarna, 1985). Lajur Hialu umumnya merupakan himpunan batuan yang bercirikan asal Kerak Samudera dan Lajur Tinondo merupakan himpunan batuan yang bercirikan asal paparan benua. Ditafsirkan bahwa sebelum Oligosen, Lajur Hialu dan Lajur Tinondo bersentuhan secara pasif, kemudian sesar ini berkembang menjadi suatu transform fault dan menjadi sesar Lasolo sejak Oligosen, yaitu pada saat mulai giatnya kembali sesar Sorong. Daerah ini tampaknya telah

mengalami lebih dari satu kali perliukan. Hal ini terlihat pada batuan Mesozoikum yang sudah terlipat lebih dari satu kali. Jenis lipatan pada batuan ini berupa batuan lipatan tertutup, setempat dijumpai lipatan rebah dan lipatan terbaik. Lipatan pada batuan Tersier termasuk jenis lipatan terbuka, berupa lipatan yang landai dengan kemiringan lapisan berkisar antara 15o dan 30o. Kekar terdapat pada semua jenis batuan. Pada batugamping kekar ini tampak teratur yang membentuk kelurusan, seperti yang terlihat jelas pada foto udara. Kekar pada batuan beku umumnya mennunjukkan arah tak beraturan. Gejala pengangkatan terdapat di pantai timur dan tenggara Lembar, yang ditunjukkan oleh undak-undak pantai, sungai dan pertumbuhan koral.

GEOLOGI DAERAH PENYELIDIKAN Kegiatan uji petik dilakukan di beberapa lokasi, yaitu, Tetewatu, Langgikima, Paka Indah, Laronanga, Mandiodo, dan Tapunopaka. Batuan yang terdapat di daerah uji petik umumnya terdiri dari batuan ultrabasa terutama batuan peridotit, secara megaskopis terlihat berwarna abuabu kehijauan, berbutir sedang sampai kasar, terdiri dari mineral piroksen dan olivin yang jumlah perbandingannya hampir sama. Di daerah Tetewatu sebagian peridotit terserpentinisasi secara megaskopis terlihat berwarna abu-abu kehijauan, berbutir sedang sampai kasar, terdiri dari mineral piroksen dan olivin yang jumlah perbandingannya hampir sama Peridotit ini terdapat pada seluruh daerah perbukitan, diperkirakan berumur Kapur Awal (T.O. Simanjuntak, 1994) dan merupakan batuan tertua dan merupakan alas di Mandala Sulawesi Timur. Pada bagian barat daya ditempati oleh batugamping, kadang kadang dijumpai bongkah mineral kromit yang terletak pada tanah laterit besi. Sesar yang terdapat di daerah ini mempunyai arah barat lauttenggara dan sebagai kontak antara ultrabasa dan batugamping. Di daerah Langgikima dan Paka Indah batuan peridotit mengalami laterisasi kuat terutama besi dijumpai sebagai iron cap juga diatas nya diendapkan endapan aluvium terdiri dari pasir, kerikil, kerakal, lempung dan lumpur, tersebar di daerah pedataran dan di tepi sungai. Morfologi daerah uji petik terdiri dari daerah perbukitan bergelombang dengan ketinggian 975 m tertinggi dan 425 m terendah dari permukaan laut. Daerah perbukitan tersebut memanjang dari

barat laut tenggara dengan lereng yang cukup terjal ke arah barat dan timur, secara keseluruhan perbukitan ini ditempati oleh batuan ultrabasa. HASIL PENYELIDIKAN

Inventarisasi yang dilakukan untuk daerah Provinsi Sulawesi Tenggara penekanannya dilakukan pada endapan nikel laterit, secara umum pembentukan laterit nikel sangat ditentukan oleh beberapa faktor yaitu adanya batuan induk yaitu batuan ultra basa, topografi yang relatif landai (idealnya < 20 ) intensitas struktur rekahan (fracture) yang membentuk boxwork yang tinggi, terjadi di daerah yang luas dan iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi. Kondisi tersebut diatas menyebabkan proses laterisasi nikel di suatu daerah bisa berjalan dengan baik (Mick Elias, 2001). Proses mineralisasi garnerit di daerah uji petik Kabupaten Konawe Utara secara umum berasal dari batuan peridotit yang terbreksikan (zona patahan), mengalami proses serpentinisasi, terjadi pelapukan dan terdapat zona saprolit. Akibat pengaruh air tanah yang kontak dengan zona saprolit yang masih mengandung batuan asal peridotit melarutkan mineral-mineral yang tidak stabil seperti olivine dan piroksen yang mengandung unsur-unsur Mg, Si dan Ni akan larut terbawa air tanah yang kemudian membentuk mineral-mineral baru hidrosilikat seperti garnerit pada proses pengendapan kembali, dimana mineral mineral tersebut terdapat pada zona saprolit yang mengisi rekahan-rekahan. Sedang unsurunsur yang tertinggal antara lain Fe, Al, Mn, Co dan Ni terikat sebagai mineralmineral oksida/hidroksida seperti limonit, hematit dan lain-lain terdapat di zona limonit.o

Endapan nikel daerah Tetewatu Di daerah Tetewatu dilakukan pengambilan conto sebanyak 2 lubang bor (KWB-15 dan KWB16). KWB-15 yang terletak pada koordinat 0404804/9649008 dengan kedalaman = 2,00 m, pengeboran tangan terhenti diduga menembus boulder dikarenakan posisi di pinggir punggung.pada koordinat 0404902/9649840 dengan kedalaman = 5,00 m, teramati laterit pada lubang bor cukup dalam pada kedalaman 5 m belum terkena saprolit ataupun batuan yang segar. Profil endapan nikel daerah Tetewatu dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan pengamatan lapangan endapan laterit nikel cukup menarik, dibuktikan dengan adanya bongkah silica boxwork dan berkembangnya sesar tenggara-barat laut serta ditunjang oleh topografi yang landai.

Hasil penelitian lapangan, interpretasi dan peta gelogi, luas daerah endapan nikel diperkirakan = 1000 ha dengan ketebalan laterit 5 m atau lebih . Selain laterit juga ditemukan bongkahan kromit diameter 20 cm membundar sedang, di pinggir jalan perkebunan kelapa sawit dengan kandungan Ni 0,54%, dan Cr2O3 8,97%, berwarna hitam metalik pejal diduga hasil dari proses konkresi.

Endapan Nikel daerah Langgikima Di daerah Langgikima dilakukan pengambilan contoh sebanyak 2 lubang Sumur Uji pada koordinat 0414589/9637206 dengan kedalaman = 5,00 m, belum terkena batuan dasar diduga laterit daerah ini cukup tebal dikarenakan posisi di tengah dataran tinggi, sampai kedalaman 3 m teramati laterit berwarna coklat kekuningan (yellow limonite) kemudian ditemukan saprolite dengan partikel merah dan merah hijau muda diduga mengadung garnierit, pada koordinat 0412580/9637027 dengan kedalaman = 7,00 m teramati laterit pada lubang bor cukup dalam pada kedalaman 7 m belum terkena saprolit ataupun batuan yang segar, pada bor ini didominasi oleh limonit berwarna coklat kemerahan (red limonite) bahkan pada kedalaman 2.8 m; 3,40 m; 6,20 m teramati lapisan konkresi besi dengan ketebalan kurang lebih 10 cm, profil endapan nikel daerah Langgikima dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil penelitian lapangan, interpretasi dan peta gelogi, maka daerah endapan nikel diperkirakan ke arah timur-barat sesuai dengan penyebaran batuan ultrabasa di daerah Langgikima ini. Selain laterit juga ditemukan bongkahan oksida besi diduga hematit setebal kurang lebih 10 cm di permukaan tanah dan pada lereng di dinding dijumpai konkresi besi setebal kurang lebih 10 cm dengan kedalaman bervariasi hingga paling dalam 6 m juga ditemukan gossan besi oksida ditepi dinding croup Lind berwarna coklat kemerahan diduga hasil dari proses pengayaan. Secara administratif daerah Langgikima berada dalam Kecamatan Langgikima, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Endapan nikel daerah Paka Di daerah ini dilakukan 3 lokasi pemboran, yakni lubang bor 1 pada koordinat (0404004/9628991, lubang bor 2 pada koordinat (0405156/9631569) dan pada lubang bor 3 koordinat (0404662/9629949) dengan kedalaman pemboran masing-masing = 9 m; 10 m dan 4,5

m. Pada lubang Bor 1 teramati laterit berwarna coklat kemerahan mengandung limonit, (red limonite) kedalaman hingga 2 m kemudian disusul oleh laterit berwarna kuning kecoklatan berbutir lempung sedikit pasiran mengandung limonit (yellow limonite) teramati pada kedalaman 9 m dan belum mendapatkan batuan dasar. Pada lubang Bor 2 dijumpai laterit berwarna coklat kemerahan mengandung limonit, (red limonit) kedalaman hingga 6 m kemudian disusul oleh laterit berwarna coklat muda kekuningan berbutir lempung sedikit pasiran mengandung limonit (yellow limonite) teramati pada kedalaman 6m hingga kedalaman 9,60 dan saprolit berwarna coklat abu-abu kehijauan berukuran lempung pasiran teramati dari kedalaman 9,60 m hingga 10,00 m dan belum mencapai batuan dasar (Gambar 5). Hasil penelitian lapangan, interpretasi dan peta gelogi, maka penyebaran endapan nikel ke arah barat daya-timur laut. Selain laterit juga ditemukan singkapan serpentinisasi diduga mengandung sedikit garnerit. Endapan nikel daerah Laronanga Pada daerah ini dilakukan 1 lokasi sumur uji pada koordinat (0405699/0369961) dan 2 lokasi pemboran pada koordinat 1 (0405864/9610119), pada koordinat 2 (0406450/9609781). Hasil analisis kimia menunjukkan kandungan Ni 1,56%. Sumur uji (test pit) satu mempunyai kedalaman 7,00 m. Penampang sumur uji dari permukaan teramati laterit berwarna coklat kekuningan ukuran lempung mengandung limonit (yellow limonit) kedalaman hingga 3,00 m pada kedalaman 2.70 dijumpai boulder peridotit pda rekahannya terisi oleh garnierit, kemudian disusul oleh laterit berwarna kuning kecoklatan berukuran lempung sedikit pasiran disertai fragmen berukuran kerikil-kerakal mengandung limonit, pelapukan garnierit, berwarna hijau, dan disertai partikel silika. Pada kedalaman ini diduga sudah beralih pada zona saprolit yang teramati hingga kedalaman 7,00 m yang kemungkinan masih menerus dan belum terlihat batuan yangsegar (Gambar 6). Pada Lubang Bor 1 dijumpai laterit berwarna coklat kemerahan mengandung

limonit, (red limonit) kedalaman hingga 1,40 m kemudian disusul oleh laterit berwarna coklat kekuningan berukuran lempung sedikit pasiran disertai kerikil mengandung limonit (yellow limonite) teramati pada kedalaman 1,40 m hingga 2,40 m kemudian bor tidak bisa menembus diduga mencapai batuan dasar/boulder. Pada Lubang Bor 2 dijumpai saprolit warna coklat kekuningan disertai fragmen batuan serpentinit hingga kedalaman 2,80 kemudian pada kedalaman 3,00 m bor tidak dapat menembus, diduga mencapai batuan dasar.

Hasil penelitian lapangan, interpretasi dan peta gelogi, maka endapan nikel diperkirakan ke arah timur sesuai dengan penyebaran batuan ultrabasa di daerah Laronanga ini. Selain laterit juga ditemukan boulder insitu dari silika boxwork yang diisi pada celahnya oleh garnierit lokasi koordinat UTM: 405845/9610508

Endapan nikel daerah Mandiodo Pada lokasi ini telah dilakukan eksplorasi oleh perusahaan PT. Antam, Tbk (Laporan Permohonan Perpanjangan Eksplorasi daerah Mandiodo Kabupaten Konawe KW 99 NPP 001, Tahun 2006) . Berdasarkan laporan tersebut diatas sumber daya untuk limonit :10,608 juta wmt, Ni 1,49 %, Co 0,11 %, MgO 7,11 % dan Saprolit : 1,735 juta wmt, Ni 2,30 %, Fe 17,40 %, dan basisity 0,56 atau 69,40 %. Untuk mengklarifikasi data maka dilakukan pengambilan conto 1 (satu) buah channel sampling vertikal sepanjang 6 m (KWC-02) pada koordinat 0411031/9606147, penampang channel sampling dari permukaan teramati laterit berwarna coklat kemerahan berbutir lempung mengandung limonit (red limonite) kedalaman hingga 2,40 m kemudian dibawahnya laterit berwarna kuning sedikit kecoklatan berbutir lempung mengandung limonit (yellow limonite) hingga kedalaman 3 m, kemudian saprolit mengandung garnierit halus sebagian berukuran lempung pasiran, serpentinisasi kuat warna hijau tua hingga muda sampai kedalaman 6 m dan belum ditemukan batuan dasar (Gambar 7). Kandungan tertinggi nikel dijumpai pada kedalaman 2-4 meter yaitu 2,75%

Endapan nikel daerah Tapunopaka Pada lokasi ini telah dilakukan eksplorasi oleh perusahaan PT. ANTAM, Tbk. Untuk mengklarifikasi data, maka dilakukan pengambilan conto 1 (satu) buah channel sampling vertikal sepanjang 7 m (KWC-01) pada koordinat 0422336/9616710, 1(satu) buah sumur uji dengan dalam 6 m (KWT-02) pada koordinat 0420646/9616878. Penampang torehan tegak (KWC-01) dari permukaan teramati laterit berwarna coklat kemerahan berukuran lempung mengandung limonit (red limonite) kedalaman hingga 1,00 m kemudian dibawahnya laterit berwarna merah kekuningan berukuran lempung mengandung limonit (yellow limonite) hingga

kedalaman 2 m. Paling bawah dilanjutkan saprolit abu kehijauan (serpentinisasi), garnierit mengisi batuan terubah tidak kompak, berukuran lempung sedikit fragmen gravel hingga kedalaman 7 m, kemudian dibawahnya tersingkap batuan dasar. Penampang sumur uji (KWT-02) dari permukaan teramati laterit berwarna coklat kemerahan berukuran lempung mengandung limonit (red limonit) kedalaman hingga 2,00 m kemudian dibawahnya laterit berwarna merah kekuningan berukuran lempung mengandung limonit (yellow limonite) hingga kedalaman 5 m dilanjutkan saprolit abu kehijauan (serpentinisasi) mengandung garnierit agak kompak sampai kedalaman 6,20 m dan ditemukan batuan dasar berupa harzburgit terserpentinisasi dengan garnierit mengisi rekahan (tipis). Sebelah barat daya Tapunopaka yaitu Tapuwatu dilakukan pengambilan 2 (dua) buah pemboran yakni KWB-08 pada koordinat (0418699/9614931) dan KWB-11 pada koordinat

(0418614/9615756) masing-masing mempunyai kedalaman 3,00 m dan 5,50 m. Pada Bor KWB08 dijumpai laterit berwarna coklat kemerahan, berbutir lempung mengandung limonit (red limonite) kedalaman hingga 1,00 m kemudian disusul oleh laterit berwarna coklat kekuningan berukuran lempung sedikit pasiran mengandung limonit (yellow limonite) teramati pada kedalaman 1,00 m hingga 1,75 m dibawahnya teramati saprolit warna coklat kekuningan dan pelapukan garnierit dengan warna hijau hingga kedalaman 3,00 m belum menemui batuan dasar. Pada Bor KWB-11 dijumpai laterit berwarna coklat kemerahan, berukuran lempung mengandung limonit (red limonite) kedalaman hingga 4,00 m kemudian disusul oleh laterit berwarna coklat kekuningan berbutir lempung sedikit pasiran mengandung limonit (yellow limonite) teramati pada kedalaman 4,00 m hingga 5,60 m, pada kedalaman ini belum dijumpai batuan dasar, diduga laterit di daerah ini cukup tebal (Gambar 8). Hasil penelitian lapangan, interpretasi dan peta gelogi, maka arah penyebaran endapan laterit nikel ke barat dan selatan sesuai dengan penyebaran batuan ultrabasa di daerah Tapunopaka ini .