tugas manajemen sumber daya insani komentar tentang koruptor
TRANSCRIPT
Nama : Eka Widya Rahmawati
NIM : 2013112187
Kelas : MSDI D
Makamah Konstitusi “yang” Diterjang Korupsi
OPINI | 05 October 2013 | 16:12 – kompasiana.com
Entah sudah berapa “Lusin” , “Kodi” , mungkin bahkan “Ton” penjabat masuk bui
gara-gara korupsi, akan tetapi sepertinya gak pernah jera para penjabat di negeri ini untuk
melakukan korupsi.
Dari yang “gaji kecil” sampai yang “gaji gede” tetep aja kesandung kasus korupsi,
kini giliran “PASUKAN PENGAWAL KONSTITUSI” alias Makamah Konstitusi” yang
kesandung kasus korupsi, padahal seperti kita ketahui bersama para hakim-hakim konstitusi
biasanya “mereka” bersuara lantang meneriakan gerakan “anti korupsi” dalam hal ini si
“mantan ketua MK yang ditangkap KPK (saya berharap secepatnya di jadikan mantan)”
pernah “berkoar” tentang wancana “hukum potong jari” bagi para “koruptor” .Kalau
pengawal konstitusi saja bisa terlibat korupsi bagai mana dengan penjabat-penjabat
lainnya…??? mungkin pertanyaan seperti itu ada di benak banyak masyarakat di negeri kita
tercinta ini Indonesia, lantas apakah MK perlu dibubarkan ?, tentu saja tidak arif jika kita
melihatnya seperti itu! walaupun seandainya seluruh anggota hakim MK terlibat korupsi tetap
1
saja tidak perlu membubarkan MK, yang patut di rubah dan dicermati adalah proses
pemilihan anggota hakim dan ketua MK, disitulah kuncinya.
Fungsi MK adalah sebuah lembaga yang penting yang harus ada di negara ini sebagai
penyeimbang dan pengawal dan kontrol “konstitusi yang dibuat penguasa dan wakil rakyat”,
seperti kita ketahui bersama proses pembuatan sebuah konstitusi dipenuhi oleh berbagai
macam intrik-intrik politik dan cenderung berpeluang merugikan masyarakat,dengan begitu
MK merupakan GARDA TERAKHIR Masyarakat menyelamatkan hak-haknya dari
kediktatoran penguasa negara.
Kuncinya adalah “Proses Perekrutan” dan “penyeleksian” yang dilakukan oleh para
angota Legislatif dan eksekutif, akan tetapi jika melihat proses terjadinya sebuah kebijakan di
DPR/MPR belakangan ini sepertinya akan menjadi sebuah harapan yang sangat sulit di
wujudkan, apalagi pembuatan kebijakan justru “terasa” aroma “Partai beserta ketua Partai”
terasa terlalu kental, karena para legislator dan eksekutif terlalu bertindak berdasarkan
platform partai bukan konstituennya.yang pada akhirnya kerap terjadi “lobi-lobi” di berbagai
hal, untuk meluluskan keinginan “Partai/ketua Partai nya”, padahal saya yakin jika dilakukan
sebuah penelitian “jumlah partisan(Masyarakat Anggota) parpol” dengan jumlah “non
partisan(masyarakat bukan anggota) parpol” pasti lebih banyak jumlah “non
partisan(masyarakat bukan anggota) parpol” dengan begitu masih pantaskah para angota
legislatif dan eksekutif terlalu mementingkan partai politiknya ketimbang konstituennya.
Dengan pemandangan seperti di atas maka “bukan tidak mungkin” proses perekrutan
anggota Hakim Makamah Konstitusi akan tercedrai dengan kepentingan Partai Politik
sehingga pada akhirnya hanya akan melahirkan orang-orang yang “tersandra dan terafiliasi
dengan kepentingan Parpol pendukungnya” yang pada kahirnya membuka celah yang begitu
besar terhadap tindakan korupsi.
dalam hal ini, sang mantan Ketua MK yang di Tangkap KPK berafiliasi dengan seorang
penghubung yang berasal dari “EKS Partai Politik beliau(mantan ketua MK yang di Tangkap)
, “jangan Bubarkan MK” tapi setuju “perombakan sistem pemilihan calon hakim MK”
dengan begitu kita bisa mulai berharap Indonesia yang lebih baik.(kompasiana.com).
2
Komentar Penulis :
Dari artikel di atas, penulis sependapat dengan apa yang dikatakan yaitu perlunya
“perombakan sistem calon hakim MK”. Penulis beranggapan bahwa proses perekrutan hakim
yang terjadi di tubuh MK cenderung didasari oleh kepentingan pribadi (parpol). Selain itu
proses pemilihan hakim yang tidak transparan akan menimbulkan tanda tanya besar dalam
masyarakat. Ditambah lagi dengan tertangkapnya hakim MK (non aktif) Akil Mochtar, oleh
KPK ini semakin menimbulkan pemikiran-pemikiran negatif dalam masyarakat. Rasa
kepercayaan rakyat pada konstitusi hukum semakin berkurang dengan tertangkapnya Akil
Mochtar.
Kasus korupsi yang melibatkan ketua MK ini seakan menambah daftar panjang
pejabat yang terlibat kasus korupsi. Korupsi bukan hanya tindakan yang dilarang hukum
konstitusi kita, namun juga sudah pasti dilarang oleh agama. Baik agama Islam ataupun
agama lainnya tidak membolehkan tindakan ini. Dari sudut manajemen sumber daya insani,
kasus korupsi di institusi tertinggi di Indonesia ini menunjukkan adanya proses yang salah
dalam penarikan atau perekrutan sumber daya manusia (hakim).
Mereka yang terlibat kasus korupsi yang notabene adalah pejabat publik, tentu bisa
berkelit dan mencari pembenaran atas dirinya sendiri. Penulis beranggapan bahwa sebenarnya
yang salah adalah proses perekrutan dan moral serta kepribadian yang dimiliki para pemimpin
(hakim).
Terkait dengan proses perekrutan hakim konstitusi dan kasus korupsi yang melibatkan
ketua MK , sifat-sifat yang harus dimiliki pemimpin (hakim), serta supremasi hukum di
Indonesia, penulis bermaksud menguraikan alasan dan bukti yang menguatkan pendapat
penulis baik dari perspektif agama, hukum dan dalam perspektif manajemen sumber daya
insani.
Sebelum pembahasan yang lebih jauh tentu perlu diketahui definisi dari “korupsi” itu
sendiri. Fockema Andreae menulis bahwa korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio atau
corruptus. Selanjutnya, disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal
corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Istilah korupsi telah diterima dalam
perbendaharaan kata Indonesia oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia:
Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya (T. Gayus Lumbuun, 2011: 173).
3
Menurut kamus lengkap Webster’s third new international dictionary, korupsi
didefinisikan sebagai ajakan dari (seorang pejabat politik dengan pertimbangan-pertimbangan
yang tidak semestinya, misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas (Robert Klitgaard,
2001: 29).Banyak ayat dan hadist yang melarang korupsi.
ن� م� ا ر�يق� ف ك�ل�وال�تأ� ك�ام� ال�ح� إ�لى ا ب�ه ت�د�ل�وا و ب�ال�باط�ل� بي�نك�م� الك�م� و م�
أ تأ�ك�ل�وا وال
( تع�لم�ون ن�ت�م� أ و ب�اإلث�م� الن�اس� وال� م�
(١٨٨أ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui (Al-Baqarah: 188)
Dalam ayat tersebut suap dikategorikan dalam korupsi. Karena sama-sama mengambil
hak orang lain dengan cara yang bathil. Ayat itu sekaligus menjelaskan bahwa haram
hukumnya meneri hadiah bagi seorang pejabat.
Allah juga melarang untuk memakan harta orang lain dalam surat An-Nisa’:29
اض1 تر عن� ة� ار ت�ج تك�ون ن�أ إ�ال ب�ال�باط�ل� بي�نك�م� الك�م� و م�
أ تأ�ك�ل�وا ال ن�وا آم ال�ذ�ين ا ي9ه أ يا
ا يم� ح� ر ب�ك�م� كان الل�ه إ�ن� ك�م� س ن�ف� أ ت�ل�وا تق� وال ن�ك�م� م�
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.(An- Nisaa’:29)
Selain itu dalam surat yang sama Allah menyuruh untuk menyampaikan amanat
karena para pejabat publik merupakan pemegang amanat rakyat.
ك�م�وا تح� ن�أ الن�اس� بي�ن ت�م� كم� ح إ�ذا و ا ل�ه ه�
أ إ�لى انات� األم د9وا ت�ؤ ن�أ ك�م� ر� م�
يأ� الل�ه إ�ن�
ا ) ير� بص� يع�ا م� س كان الل�ه إ�ن� ب�ه� يع�ظ�ك�م� ا ن�ع�م� الل�ه إ�ن� (٥٨ب�ال�عد�ل�
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.(An-
Nisaa’: 58)4
Ayat di atas memerintahkan untuk menunaikan amanat, yang ditekankan bahwa
amanat tersebut harus ditunaikan kepada pemiliknya, dan memerintahkan untuk menetapkan
hukum dengan adil Seorang hakim merupakan orang yang diamanati dalam penegakan
hukum. Seorang hakim merupakan orang yang diamanati dalam penegakan hukum (M.
Quraish Shihab, 2000: 458). Inilah yang seharusnya yang dipraktikkan oleh para pemimpin
kita.
Pada hadist-hadist Nabi , korupsi sering dikaitkan dengan istilah ghulul. Istilah ini
biasa digunakan khusus bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan secara
transparan. Meski demikian, istilah ini juga dapat digunakan pada pejabat yang mengambil
sesuatu diluar haknya (suap ataupun hadiah). Beberapa hadist tersebut antara lain:
به)) يأت�ي غ�ل�وال� كان ، ه� ق و� ف ا م ف يطا� م�خ� نا كتم ف ، عمل على ن�ك�م� م� ل�ناه� تع�م اس� من�
ة� (( يام الق� يوم
Barangsiapa di antaramu kami minta mengerjakan sesuatu untuk kami, kemudian ia
menyembunyikan satu alat jahit (jarum) atau lebih dari itu, maka perbuatan itu ghulul
(korupsi) harus dipertanggung jawabkan nanti pada Hari Kiamat. (HR. Muslim)
« - - ن�د ع� ال�غ�ل�ول� ع�ظم�أ ال ق وسلم عليه الله صلى Rالن�ب�ى عن� Rع�ى ج ش�
األ ال�ك1 م ب�ىأ عن�
الد�ار� ف�ى و�أ ض� ر�
األ ف�ى ي�ن� ار ج لي�ن� ج� Rالر د�ون تج� ض� ر�األ م�ن Vاع ذ�ر ل� وج عز� الل�ه�
إ�لى ين ض� رأ ب�ع� س م�ن� ه� ق Rط�و تطعه� اق� إ�ذا ف اعا� ذ�ر ب�ه� اح� ص Rظح م�ن� ا د�ه�م ح
أ تط�ع� يق� ف
ة� «. يام ال�ق� يو�م�
Dari Abi Malik Al-Asyja’i dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Ghulul
(pengkhianatan/ korupsi) yang paling besar di sisi Allah adalah korupsi sehasta tanah, kalian
temukan dua lelaki bertetangga dalam hal tanah atau rumah, lalu salah seorang dari
keduanya mengambil sehasta tanah dari bagian pemiliknya. Jika ia mengambilnya maka
akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi pada hari Qiyamat. (HR Ahmad,
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhiib wt Tarhiib II/ 380 nomor 1869).
Dalam bahasa yang singkat dan lugas, Rasulullah shalallahu alaihi
wassalam menegaskan: Ishaq ibn Isa telah menceritakan hadis kepada kami, Isma’il
ibn Ayyasy telah menceritakan hadis kepada kami, dari Yahya ibn Sa’id, dari Urwah
ibn al-Zubair, dari Abi Humaid al-Sa’idi, ia berkata bahwa Rasulullah saw…
Bersabda: “Hadiah yang diterima para pejabat atau pemegang kebijakan
adalahghulul (korupsi).”( Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, no. hadis 22495)
5
Selain itu korupsi juga sering dikaitkan dengan risywah (suap menyuap),berikut ini
hadist Nabi :
Utsman bin Affan telah menceritakan hadis kepada kami, Abu Awanah telah menceritakan
hadis kepada kami, ia berkata Umar ibn Abi Salamah telah menceritakan hadis kepada kami,
dari bapaknya, dari Abi Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu alaihi
wassalam bersabda: “Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap terkait
masalah hukum/kebijakan.” (Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, no. Hadis 8670)
Dalam perspektif yuridis normatif, rumusan korupsi dituangkan dalam Pasal Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).
Pasal 2 UU PTPK merumuskannya sebagai berikut (T. Gayus Lumbuun, 2011: 176) :
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1. 000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pada pasal 2 ayat 1 dimungkinkan terdakwa koruptor dijatuhi hukuman mati dalam
‘keadaan tertentu’. Keadaan tertentu disinilah yang sering menjadi pertanyaan. Sejauh ini para
koruptor hanya dijatuhi hukuman penjara dan denda yang dijatuhkan sangat lebih sedikit dari
apa yang mereka ambil. Hukuman ‘dimiskinkan’ juga belum efektif dijalankan. Dari data-data
yang ada, selama ini hukuman para koruptor masih sangat ringan dibandingkan nilai uang
yang dikorupsi. Mereka rata-rata hanya divonis 3,5 tahun penjara. Jadi tidak heran jika
mereka tidak pernah jera, karena memang hukuman yang mereka terima masih belum
memerikan efek jera bagi pelakunya.
Masalah korupsi telah melibatkan para pemegang kekuasaan atau kekuatan, baik
pemegang kekuasaan politik, pemegang kekuasaan atau kekuatan ekonomi, pemegang
kekuasaan administrasi pemerintahan. Ditinjau dari kualitas pribadi para pemegang kekuasaan
atau kekuatan tersebut menunjukkan bahwa para pelaku korupsi adalah mereka yang
mempunyai intelektual tinggi. Sebagai pribadi yang memiliki intelektual, pada umumnya
6
mereka juga mengetahui bagaimana cara-cara menghindar dari jerat hukum, mereka semua
mencari celah-celah untuk menghindari tuntutan hukum (T.Gayus Lumbuun,2011:188-189).
Dari sudut manajemen sumber daya insani dapat dikatakan adanya kesalahan dalam
proses penarikan (perekrutan) sumber daya insani (hakim). Sehingga perlu adanya
pembenahan. Secara umum dalam penarikan sumber daya insani ada hal-hal yang perlu
diperhatikan, antara lain (Robert Klitgaard,2001: 124) :
1. Meneliti catatan masa lalu (untuk menyingkirkan mereka yang tidak jujur).
2. Memanfaatkan jaminan kejujuran dari luar (jaringan kerjauntuk mencari
pegawai handal dan menjamin mereka tetap handal).
Jika kita kaitkan dengan kasus Akil Mochtar yang berstatus sebagai hakim konstitusi,
maka yang perlu diperhatikan adalah adanya rekrutmen yang fair, terbuka, dan berpedoman
kepada integritas dan rekam jejak calon hakim Selain itu, perekrutan hakim sebaiknya
ditujukan bukan pada seorang politisi dari partai tertentu. Ini agar tidak ada kepentingan
politik dibalik pencalonan hakim tersebut.
Kemudian mengutip dari buku Perilaku Keorganisasian, beberapa kriteria yang harus dimiliki seorang pemimpin antara lain (Manahan P. Tampubolon,2008: 118-119).
1. Integritas. Sifat integritas ini sangat penting dan harus melekat pada diri
seorang pemimpin. Karena pemimpin yang memiliki integritas akan
melaksanakan tugasnya dengan menyiapkan segala kapasitasnya untuk
menghadapi segala resiko yang ada dengan tetap menjaga prinsipnya.
2. Kecerdasan dan Pengetahuan. Pemimpin harus tahu akan bidangnya agar dapat
membuat keputusan yang tepat. Pengetahuannya harus ditopang dengan
kecerdasan agar menguasai dan menerapkannya pada setiap
keadaan.Pengetahuan diperlukan juga agar seorang pemimpin dapat
mengarahkan orang lain atas apa yang ingin dilakukannya.
3. Rasa Simpati Insani. Pemimpin harus memiliki keseimbangan tekanan atas
orang dan atas hasil. Ini karena orang bukan satu-satunya unsur yang harus
diurus.
4. Kesungguhan. Ini penting karena setiap keputusan yang diambil akan
menimbulkan konsekuensi baik itu buruk ataupun baik. Jadi diperlukan
perhatian yang lebih untuk mengambil keputusan itu.
7
5. Kesadaran Akan Diri. Seorang pemimpin harus tahu peran, dan posisinya agar
apa yang dilakukan sesuai dengan apa yang sesuai dengan peran dan posisi
mereka.
Menurut Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi
Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim, di sana dikatakan bahwa pada dasarnya ada 10 (sepuluh) prinsip dasar kode etik dan
pedoman perilaku hakim,yaitu : (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku
Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab,
(7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati,
(10) Bersikap Profesional. Dari prinsip-prinsip ini diharapkan tidak hanya sebatas konsep
saja, namun hendaknya benar-benar dijadikan pertimbangan dalam perekrutan hakim.
Menurut hemat penulis, sistem birokrasi di Indonesia harus dibenahi. Pembenahan
itu bisa dimulai dari proses perekrutan sumber daya insani. Sitem perekrutan hakim harus
lebih ketat dan harus sesuai dengan yang tercantum dalam Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009,
Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pembenahan harus segera dilakukan agar
tidak terjadi kasus-kasus serupa. Allah berfirman dalam surat Ar-Ra’du: 11.
م� ..... ه� س� ن�ف�ب�أ ا م وا ي�غيRر� ت�ى ح و�م1 ب�ق ا م ي�غيRر� ال الل�ه إ�ن�
Sesungguhnya Allah tidak mengubah Keadaan sesuatu kaumsehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Ar-Ra’du : 11).
8
Daftar Pustaka
Buku :
Klitgaard, Robert, 2001, Controlling Coruption, diterjemahkan oleh Hermoyo dengan
judul : Membasmi Korupsi, Ed.2, Cet.2, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia).
Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI,2009, “Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009, Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim”,
(Jakarta : Tanpa Penerbit).
Notoatmodjo, Soekidjo, 1998, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Ed.2, (Jakarta:
PT Rineke Cipta).
Shihab, M. Quraish, 2000, Tafsir Al Misbah,Vol.2, (Tangerang: Lentera Hati).
Tampubolon, Manahan P., 2008, Perilaku Keorganisasian (Organization Behavior)
Perspektif Organisasi Bisnis, Ed.2, Cet.1, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia).
Jurnal :
T. Gayus Lumbuun, “Mekanisme Penindakan Terhadap Anggota DPR Yang
Melakukan Tindak Pidana Korupsi”, dalam jurnal Legislasi Indonesia, Vol.8,
No.2, Juni 2011.
Internet :
Aditya Nugroho, “Ancaman Neraka Atas Orang Yang Korupsi”, http://
www.eramuslim.com//, (diunduh pada 5 Oktober 2013).
Dinarfirst, “Nabi Muhammad Tidak Bersedia Shalatkan Jenazah Koruptor”, di http://
Nabi%20Muhammad%20Tidak%20Bersedia%20Shalatkan%20Jenasah
%20Koruptor%20_%20Dinarfirst%20_%20Main%20Resources%20•%20Dinar
%20Dirham%20Worldwide%20User.htm (diunduh pada 5 Oktober 2013).
Icha Rastika, “Rata-rata Vonis Untuk Koruptor Hanya 3,5 Tahun Penjara”, di http://
www.kompas.com//, (diunduh pada 13 Oktober 2013).
Isharyanto, “Bagaimana RekrutmenHakim Konstitusi?”, di http://
www.kompasiana.com//, (diunduh pada 4 Oktober 2013).
9