tugas makalah perilaku taufiq (consistensi theori)

17
COGNITIVE CONSISTENCY THEORY Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah : Epidemiologi Perilaku Kesehatan Dosen Pengampu : Drg. Zahroh Shaluhiyah, MPH PhD Disusun oleh: Taufiq Priyo Utomo MAGISTER PROMOSI KESEHATAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

Upload: priyoke2

Post on 02-Dec-2015

175 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

COGNITIVE CONSISTENCY THEORY

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Epidemiologi Perilaku Kesehatan

Dosen Pengampu : Drg. Zahroh Shaluhiyah, MPH PhD

Disusun oleh:

Taufiq Priyo Utomo

MAGISTER PROMOSI KESEHATAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2013

A. Pendahuluan

Teori-teori konsistensi kognitif berpangkal pada suatu proposisi umum yaitu

bahwa kognisi (pengetahuan, kesadaran) yang tidak konsisten dengan kognisi-kognisi

lain, maka akan menimbulkan keadaan psikologik yang tidak menyenangkan,

sehingga keadaan ini mendorong seseorang untuk mencapai konsistensi antar kognisi-

kognisi tersebut. Ketika konsistensi antar kognisi-kognisi tercapai, maka akan timbul

rasa senang dalam dirinya.

Tanpa kita sadari, ternyata inkonsistensi kognitif ini terjadi dalam kehidupan

sehari-hari, bahkan lebih dari itu kita pun pernah melakukannya. Sebagai salah satu

contohnya: kita melihat seorang Presiden sedang makan di warung nasi di pinggir

jalanan. Sebelum kita melihat kejadian ini, kita memiliki pengetahuan bahwa menteri

itu adalah sosok orang yang royal dan mewah. Ketika kita melihat seorang Presiden

yang sedang makan di warung nasi tersebut, maka kita pun merasa aneh karena pada

umumnya orang yang makan di warung nasi itu adalah golongan masyarakat kelas

bawah. Jelas di sini terdapat dua kognisi yang berbeda, yaitu sosok menteri yang royal

dan mewah dengan warung nasi yang sering disinggahi oleh golongan masyarakat

kelas bawah. Jika kedua kognisi ini muncul secara sekaligus, maka muncul perasaan

inkonsistensi dalam diri kita, yang menyebabkan kita perlu melakukan sesuatu agar

muncul konsistensi yang menyenangkan. Misalnya: melihat orang itu sekali lagi

untuk meyakinkan bahwa dia sesungguhnya bukan Presiden (orang lain yang mirip

dengan Presiden), atau dengan cara mengubah struktur kognitif dengan menyatakan

kepada diri sendiri bahwa Presiden adalah manusia juga yang sekali-kali ingin santai

makan di warung.

Setelah perang dunia kedua, pada tahun 1940-an, sejumlah besar penelitian

dilakukan pada perubahan sikap. Ini menghasilkan sejumlah teori berbagai asumsi

bahwa orang-orang berusaha untuk konsistensi kognitif : yaitu : mereka akan

termotivasi untuk mengurangi kesenjangan yang dirasakan antara berbagai kognisi,

karena perbedaan tersebut adalah permusuhan. Dan sejak pertengahan tahun 1950-an

berkembang penelitian mengenai perubahan sikap dengan kerangka teoritis manusia

sebagai pencari konsistensi kognitif (The Person as Consistency Seeker). Di sini

manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu berusaha dalam sistem kepercayaan

dan di antara sistem kepercayaan dengan perilaku.

Teori kognitif konsistensi memulai fokusnya pada keberadaan sikap dan

mencoba menjelaskan bagaimana komponen-komponen sikap sesuai satu sama lain

atau dan dengan sikap-sikap yang lain. Teori ini memandang manusia sebagai

pemroses yang aktif yang mencoba memahami seluruhnya atas apa yang mereka

rasakan, pikirkan dan berbuat di mana mereka secara aktif menyusun dan menafsirkan

dunia tersebut untuk membuat kecocokan terhadap inkonsistensi yang biasa terjadi di

antara dan dalam sikap-sikap. Latar belakang dari teori ini berasumsi bahwa manusia

mencari konsistensi diantara kognisi mereka. Individu yang memiliki keyakinan atau

nilai yang tidak konsisten satu sama lain berusaha untuk membuat keyakinan atau

nilai itu menjadi lebih konsisten. Demikian pula jika kognisinya konsisten dan dia

dihadapkan pada kognisi baru yang akan menimbulkan ketidakkonsistenan, sehingga

motif utamanya adalah dia akan berusaha untuk mempertahankan atau memperbaiki

konsistensi kognitif. Karakteristik yang ada pada pikiran manusia adalah

kecenderungan untuk konsisten (Secord & Backman, 1964).

Pemahaman mengenai organisasi sikap sangat penting dalam mempelajari

masalah perubahan dan pengubahan sikap, tidak saja dalam mencoba mengerti sebab-

sebab berubahnya sikap seseorang terhadap suatu obyek tetapi juga dalam memahami

mengapa orang berperilaku tidak sesuai dengan sikapnya. Pemahaman ini juga

bermanfaat dalam strategi manipulasi situasi untuk mengarahkan sikap individu atau

kelompok ke arah yang kita kehendaki.

Teori yang termasuk dalam pendekatan konsistensi kognitif mempunyai

prinsip dasar, dimana inkonsistensi adalah suatu keadaan psikologis yang tidak

menyenangkan dan yang mendorong orang itu secara aktif mencari cara untuk

mengurangi ketidakseimbangan ini dengan menurunkan ketidakkonsistenan yang

dapat terjadi antara kognisi dan afeksi, antara afeksi dan konasi atau antara kognisi,

afeksi dan konasi seseorang terhadap obyek sikap.

Hubungan inkonsistensi anatara kognisi-kognisi memiliki istilah atau nama

yang berbeda-beda, tetapi merujuk pada satu subtansi yang sama. Heider (1946)

menamakannya dengan istilah ketidakseimbangan kognitif (cognitive imbalance).

Newcomb (1953) menamakannya dengan istilah asimetri (asimetry). Osgood dan

Tannembaum (1955) menamakannya dengan istilah ketidakselarasan

(ingcongruence), sedangkan Festinger (1957) menamakannya dengan istilah disonansi

(dissonance).

B. Teori Keseimbangan Heider

Akar dari teori konsistensi kognitif adalah teori keseimbangan dari Fritz

Heider, merupakan formulasi yang paling awal dan sederhana dari prinsip konsistensi

yang dianut dalam teori organisasi sikap yang secara spesifik konsistensi antara

individu sikap evaluasi dari objek atau unsur dan keyakinannya saling berhubungan.

’Kognitif unit’ terdiri dari dua dievaluasi ’unsur’ yang dihubungkan dengan sebuah

hubungan.

Keadaan keseimbangan atau ketidak seimbangan selalu melibatkan tiga unsur/

elemen yaitu :

1. Individu/Person (P),

2. Orang lain (O), dan

3. Obyek sikap (Ob atau X).

Ketiga elemen tersebut membentuk suatu kesatuan yang bisa membentuk

suatu kombinasi dan menghasilkan hubungan balance atau unbalance.

Pengertian keadaan seimbang (balance) adalah suatu keadaan dimana elemen-

elemen saling berhubungan satu sama lain secara harmonis sehingga tidak terdapat

tekanan untuk mengubah keadaan. Misalnya :

1. Dalam hubungan 2 pihak, keadaan seimbangan terjadi jika hubungan antar kedua

elemen itu semua positif atau semua negatif.

2. Dalam hubungan 3 pihak, keadaan seimbang terjadi jika hubungan antar ketiga

elemen itu semuanya positif atau 2 negatif dan 1 positif.

Sedangkan kondisi yang unbalance menimbulkan desakan atau ketegangan

dan tekanan yang mendorong untuk mengubah hubungan kognitif yang sedemikian

rupa sehingga tercapai keadaan seimbang dan untuk mengubah keadaan.

Minimal ada 3 kemungkinan untuk mengurangi ketidakseimbangan, yaitu

dengan cara :

1. Cara yang berpengaruh terhadap perubahan sikap

2. Menolak bahwa tidak akan ada hubungan

3. Memberi tambahan-tambahan yang konsisten sehingga terjadi hubungan yang

seimbang.

Bila perubahan yang mengarah kepada pengembalian keseimbangan itu tidak

tercapai maka akan terjadi ketegangan, sedangkan bila perubahan mungkin terjadi

maka hal itu dapat terjadi pada karakter dinamisnya yaitu sikap P atau O dan dapat

pula terjadi pada fungsi hubungan diantara unsur-unsur/ elemen yang

bersangkutan.Unsur diperlakukan sebagai baik (+) atau negatif (-), hubungan baik

sebagai positif (p), negatif (n), atau null (0).

Dengan memberi tanda (+) untuk efek positif (positif affect) dan tanda (-)

untuk efek negatif (negatif affect) maka suatu keseimbangan akan dicapai bila

hubungan diantara ketiga unsur/ elemen tersebut ditunjukkan oleh tanda (+++) atau

ditunjukkan oleh tanda (---), yaitu bila ketiga-tiganya positif atau dua diantara

ketiganya adalah negatif.

Ada 2 tipe hubungan menurut Heider, yaitu :

1. Unit relationship (hubungan unit)

Unsur yang terlibat dalam hubungan dipersepsi saling memiliki yang biasanya

berlangsung karena kesamaan, kedekatan dan pengalaman masa lalu.

Hubungan unit terdiri dari 2 tipe, yaitu :

a. Tipe U : jika 2 elemen dipandang saling memiliki

b. Tipe bukan U : jika elemen-elemen tersebut tidak saling memiliki

2. Affective relationship (hubungan sentimen)

Penilaian seseorang terhadap sesuatu (termasuk rasa suka). Hubungan sentimen

terdiri dari :

a. Tipe L : penilaian positif

b. Tipe DL : penilaian negatif

Teori keseimbangan Heider menurut para ahli psikologi sosial memang

merupakan awal yang baik dalam melakukan analisis mengenai konsistensi kognitif

dan implikasinya sangat luas walaupun memiliki keterbatasan-keterbatasan.

Keterbatasan itu antara lain :

1. Sifat hubungan unsur-unsur yang hanya kualitatif (suka tidak suka) padahal sikap

dan kepercayaan memiliki derajat atau tingkatan yang perlu dikualifikasikan.

2. Hubungan unsur-unsur yang banyaknya terbatas pada 3 unsur saja.

3. Kemungkinan adanya hubungan ganda diantara dua unsur tapi tidak berbicara

mengenai tingkat keseimbangann yang dapat terjadi dalam konfigurasi yang

kompleks (Fishbein & Ajzen, 1975).

C. Teori Asimetri Newcomb

Hipotesa umum yang diajukan Newcomb (1937, 1957) adalah bahwa hukum-hukum

yang mengatur hubungan-hubungan antara kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap

yang ada pada seseorang. Beberapa kombinasi kepercayaan dan sikap yang tidak

stabil, maka akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, sehingga

kepercayaan dan sikap itu berada dalam keadaan stabil. Sampai di sini teori Newcomb

tidak berbeda dengan teori P-O-X Heider. Akan tetapi Newcomb menambahkan

faktor komunikasi antar individu dan hubungan-hubungan dalam kelompok.

Komunikasilah yang menjadikan orang untuk saling berorientasi terhadap suatu objek

tertentu.

D. Teori ketidakselarasan (ingcongruence)

Teori ini adalah mengenai perubahan prediksi sikap dalam suatu situasi

eksperimental tertentu. Dalam situasi eksperimental tersebut, suatu sumber yang

dikenal, melalui komunikasi, mendasak seseorang (subjek) untuk mengambil sikap

tertentu terhadap suatu objek.

Teori Osgood & Tannenbaum (1955) ini lebih terperinci dan lebih mampu

memprediksi perubahan sikap, baik terhadap sumber komunikasi maupun terhdap

objek, akan tetapi ragamnya perilaku yang dapat dicakup oleh teori ini lebih terbatas

daripada teori P-O-X atau A-B-X.

Asumsi dasar ke dua adalah bahwa kerangka penilaian seseorang cenderung

ke arah penyederhadanaan yang maksimal. Asumsi ini berkaitan dengan dua asumsi

lainnya, yaitu:

1) Ada kecenderungan bahwa objek-objek dipandang baik sama sekali atau buruk

sama sekali.

2) Objek-objek yang dipandang baik, berapapun tingkat kebaikannya dipandang

sebagai sama atau serupa, sedangkan objek-objek yang dipandang jelek batas

tertentu akan digolongkan sebagai satu kelompok.

Osgood dan Tanenbaum menyatakan bahwa dalam prinsip keselarasan

(congruity principle) perubahan penilaian selalu tertuju pada keselarasan yang makin

meningkat terhadap kerangka acuan orang yang bersangkutan. Jadi, jika ada dua atau

lebih objek sikap yang saling dihubungkan dengan satu pertanyaan, maka timbul

kecenderungan bahwa perilaku terhadap salah satu atau semua objek itu akan berubah

sedemikian rupa sehingga semua penilaian itu jadi sama. Misalnya: Kepala Sekolah

(evaluasi positif) memberi penghargaan (hubungan pernyataan) kepada Rudy si jago

berkelahi (evaluasi negatif).

Pernyataan itu akan menjadikan dua kemungkinan. Pertama, orang akan

mengurangi evaluasi positif terhadap guru. Kedua, sebaliknya orang akan memberi

penilaian positif terhadap Rudy.

Dalam mengamalkan prinsip keselarasan ini dalam situasi-situasi khusus, perlu

diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Masalah keselarasan.

b. Arah Perubahan menuju keselarasan.

c. Beban tekanan yang ditimbulkan oleh ketidakselarasan dan penyebaran beban

tersebut di antara objek- objek sikap.

E. Teori Kogitif Disonansi

Teori disonansi kognitif dari Festinger tidak jauh berbeda dari teori-teori

konsistensi kognitif lainnya, tetapi ada dua perbedaan yang mesti dicatat:

Teori ini adalah tentang tingkah laku umum, jadi tidak khusus tentang tingkah

laku sosial.

Walaupun demikian, pengaruhnya terhadap penelitian-penelitian psikologi sosial

jauh lebih menyolok daripada teori-teori konsistensi yang lain.

Inti dari teori disonansi kognitif ini sebenarnya sederhana saja: antara elemen-

elemen kognitif mungkin terjadi hubungan-hubungan yang tidak pas (nontiffing

relations) yang menimbulkan disonansi (kejanggalan) kognitif, disonansi

menimbulkan desakan untuk mengurangi disonansi tersebut dan menghindari

peningkatannya, hasil dari desakan tersebut terwujud dalam perubahan-perubahan

pada kognisi, perubahan tingkah laku dan menghadapkan diri pada beberapa

informasi dan pendapat-pendapat baru yang sudah diseleksi terlebih dahulu. 

1. Asumsi dasar teori Disonansi Kognitif

Asumsi dari teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi

dasar diantaranya adalah :

a. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan

perilakunya. Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari

manusia yang mementigkan adanya stabilitas dan konsistensi. 

b. Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada fakta-

fakta harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk

menimbulkan disonansi kognitif. 

c. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan

suatu tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Teori ini

menekankan seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan

yang tidak nyaman, sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari

ketidaknyamanan tersebut. 

d. Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha

untuk mengurangi disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan

disonansi yang diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari

inkonsistensi tersebut dan mengembalikannya pada konsistensi.

Menurut Leon Festinger, Perasaan yang tidak seimbang sebagai disonansi

kognitif; hal ini merupakan perasaan yang dimiliki orang ketika mereka

menemukan diri mereka sendiri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa

yang mereka ketahui, atau mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan

pendapat lain yang mereka pegang.

Konsep ini membentuk inti dari teori disonansi kognitif, teori ini berpendapat

bahwa disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang

untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyaman itu.

Teori disonansi kognitif beranggapan bahwa dua elemen pengetahuan

merupakan hubungan yang disonan (tidak harmonis) apabila dengan

mempertimbangkan dua eleman itu sendiri pengamatan satu elemen akan

mengikuti elemen lainnya. Teori berpendapat bahwa disonansi, secara psikologis

tidak nyaman , maka akan memotifasi seseorang untuk berusaha mengurangi

disonansi dan mencapai harmonis atau keselarasan. Orang juga akan secara aktif

menolak situasi-situasi dan informasi yang sekiranya akan memunculkan

disonansi dalam berkomunikasi.

2. Cara mengatasi Disonansi

Aronson dan Festinger (1968; 1957; dalam Sarwono, S.W., 2009) mengemukakan

tiga mekanisme yang dapat digunakan untuk mengurangi disonansi kognitif, yaitu:

a. Mengubah sikap atau perilaku menjadi konsisten satu sama lain. Seorang

lesbian yang tinggal di lingkungan yang sangat keras menentang

homoseksualitas, misalnya, dapat mengaplikasikan mekanisme ini dengan dua

cara, yaitu: (1) mengubah orientasi seksualnya atau setidaknya berpura-pura

menjadi heteroseksual; atau (2) pindah ke lingkungan lain yang lebih bisa

menerima diri dan orientasinya. 

b. Mekanisme yang kedua adalah mencari informasi baru yang mendukung sikap

atau perilaku untuk menyeimbangkan elemen kognitif yang bertentangan.

Misalnyanya seorang lesbian mencari informasi tentang perilakunya yang

menyimpang di lihat dari sudut sosial, mencari pembenaran dengan hal yang

serupa. Misalnya, sebut aja disini artikel SepociKopi, membaca artikel ini,

mungkin kamu tanpa sadar sedang menjalankan mekanisme tersebut. Atau cari

info lain yang juga bisa menemukan beberapa artikel argumentatif yang

mengemukakan bahwa homoseksualitas sebenarnya tidak bertentangan dengan

agama tertentu. Berusaha mencari artikel sejenis untuk menenangkan diri atau

dijadikan dasar argumen ketika berdiskusi dengan orang lain juga merupakan

aplikasi dari mekanisme di atas. 

c. Mekanisme yang terakhir adalah trivialization yang berarti mengabaikan atau

menganggap ketidaksesuaian antara sikap atau perilaku penyebab disonansi

sebagai hal yang biasa. Kamu menjalankan mekanisme ini ketika kamu

berusaha tidak peduli, dan tetap berusaha menjalani hari-hari sesuai dengan

norma yang ada, meskipun tetap menjalankan kehidupan sebagai lesbian

misalnya.

3. Kritik terhadap Teori Disonansi

a. Teori ini dinilai kurang memiliki kegunaan karena teori ini tidak menjelaskan

secara menyeluruh kapan dan bagaimanaseseorang akan mencoba untuk

mengurangi disonansi. 

b. Kemungkinan pengujian tidak sepenuhnya terdapat dalam teori ini.

F. CONTOH PENGGUNAAN TEORI DALAM KESEHATAN

PSK

PELANGGAN KONDOM

(seimbang)

PSK

PELANGGAN KONDOM

(tidak seimbang)

Seimbang

Penjelasan

Contoh pada kasus perilaku penggunaan kondom antara PSK dan pelanggan

Seorang pelanggan mempunyai penilaian negatif pada penggunaan kondom

(misal karena pelanggan merasa lebih nikmat tanpa kondom)

Seorang PSK mempunyai penilaian negatif pada penggunaan kondom

(misal karena PSK tidak mempunyai pengetahuan HIV/AIDS yang baik)

+ -

-

+ +

-

Pelanggan tersebut suka pada PSK tersebut

Maka akan terjadi keadaan seimbang disini,

Jika PSK dan Pelanggan tersebut akan melakukan transaksi, kemungkinan

besar PSK dan pelanggan bisa melakukan transaksi tanpa menggunakan kondom,

sementara disisi lain bahwa melakukan transaksi seks dengan PSK tanpa

menggunakan kondom mempunyai risiko besar tertular HIV/AIDS.

Dengan mengacu pada teori keseimbangan bahwa jika terjadi keadaan

seimbang antara kognisi – kognisi pada seseorang, maka seseorang tersebut tidak

mempunyai motivasi untuk berubah, sehingga jika kita ingin merubah perilaku

tersebut maka harus mengubah kognisi mereka agar terjadi ketidakseimbangan pada

kognisi mereka. Dengan ketidakseimbangan tersebut secara alamiah manusia akan

mencari keseimbangan dalam kognisi –kognisi mereka.

Pada kasus diatas misal kita tahu bahwa ternyata PSK tidak mempunyai

pengetahuan yang cukup tentang HIV/AIDS dan kondom, maka bisa dilakukan

intervensi pada PSK untuk meningkatkan pengetahuan sehingga kognisi PSK tentang

penggunaan kondom menjadi positif dan mau menggunakan kondom saat transaksi,

maka jika pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom ingin melakukan

transaksi dengan PSK tersebut akan terjadi keadaan tidak seimbang. Keadaan ini

memungkinkan transaksi tidak terjadi atau mungkin saja pelanggan mau

menggunakan kondom dan bisa juga kembali pada keadaan awal bahwa PSK tidak

jadi menggunakan kondom. Pada kondisi seperti ini peran intervensi sangat besar

untuk menguatkan kognitif PSK agar mau bertahan pada kognisi untuk menggunakan

kondom.