tugas geosejarah
DESCRIPTION
tugas geosejarahTRANSCRIPT
KT Boundary as a Neo-Catatrophims
Tugas Mata Kuliah Geologi Sejarah
Disusun oleh:
M Sidiq 270110130005
Fahrizal Muhammad 270110130025
Tri Ananda 270110130029
Ridho Ryzkita 270110130041
Aulia Aji Purnomo 280110130049
Masyal Balfas 270110130069
Dedet Darma 270110130077
Gaza Aulia Arifin 270110130093
Sugiar Yusu 270110130097
Gabriel Purba 270110130137
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS PADJAJARAN
JATINANGOR
2014
Geologi lahir sebagai ilmu yang bersistematika baru dua ratus tahun yang lalu, sangat
muda bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu fisik lainnya (astronomi, biologi, fisika, kimia) yang
telah muncul sejak ratusan tahun sebelum Masehi. Mungkin karena masih muda itulah, maka
sejak lahirnya geologi telah membawa kontroversi-kontroversi.
Great Geological Controversies (Hallam, 1989)
Anthony Hallam, penulis beberapa buku geologi terkenal (a.l. “A Revolution in the Earth
Sciences : from Continental Drift to Plate Tectonics” – Oxford University Press, 1973)
menyebutkan ada empat geokontroversi terbesar : (1) neptunists vs. plutonists, (2)
catasthrophists vs. uniformists, (3) young Earth vs. old Earth, dan (4) fixists vs mobilists. Hallam
menjelaskan keempat kontroversi tersebut dalam bukunya “Great Geological Controversies” –
Oxford University Press, 1989.
Atas empat geokontroversi tersebut, boleh saya tambahkan geonontroversi ke-5, yaitu (5)
expanding Earth. Bila ada kontroversi lain yang sifatnya global dan signifikan pengaruhnya
kepada ilmu geologi, silakan kawan-kawan tambahkan. Berikut ini adalah ringkasan kelima
geokontroversi tersebut, sekadar mengingatkan kembali. Beberapa kontroversi tersebut telah
dianggap selesai, meskipun sebenarnya belum tentu selesai bila pada masa yang akan datang
ditemukan bukti-bukti baru yang bertentangan lagi, maka boleh saja babak baru geokontroversi
tersebut digelar lagi.
Neptunists vs. Plutonists
Seorang pionir geologi Jerman, Abraham Gottlob Werner, pada abad akhir ke-18
mengeluarkan teori bernama neptunisme saat ia menafsirkan sebuah urutan batuan yang
ditemukannya yang disusun dari bawah ke atas oleh batuan beku, batuan metamorf dan batuan
sedimen. Menurutnya, Bumi dulu pernah ditutupi oleh lautan asal (primeval ocean) yang
mengatasi seluruh permukaannya bahkan pegunungan-pegunungan tertinggi. Teorinya ini
disebut neptunisme, mengambil nama dewa lautan bangsa Latin : Neptunus. Batuan-batuan beku
dan metamorf juga ditafsirkannya sebagai hasil pengendapan dari air laut. Teorinya ini diterima
secara luas saat itu, tetapi kesulitan pun segera muncul ketika harus menjelaskan asal lava basal
dan gunungapi. Akhirnya, Werner mengatakan bahwa aktivitas volkanik dan lava basal itu
sebagai akibat pembakaran lapisan batubara di tambang-tambang bawah tanah. Tetapi jawaban
Werner ini tak memuaskan ketika dilakukan penelitian di banyak tempat di Eropa. Maka,
pandangan berlawanan pun segera diajukan James Hutton yang mengatakan bahwa tak semua
granit itu primordial sebab ia menemukan banyak intrusi granit di Skotlandia yang menerobos
batuan sedimen yang menutupinya. Artinya, intrusi granit ini lebih muda daripada batuan
sekelilingnya. Teori Hutton ini disebut plutonisme. Neptunisme Werner kehilangan penganut,
memasuki abad ke-19 plutonisme banyak dianut orang. Demikian, tulis Hallam (1989, 2000).
Kini, kita tahu neptunisme hanya benar untuk sedimen karbonat in-situ; sisanya semua
batuan adalah plutonisme dan modifikasinya melalui proses-proses daur batuan. Meskipun
demikian, masih ada masalah tentang granitisasi batuan sedimen yaitu bahwa granit tak
semuanya dihasilkan oleh plutonisme, ada proses migmatisasi dan magmatisasi batuan sedimen
yang akan mengubahnya menjadi granit, lahirlah I-type dan S-type granite.
Katastrofisme
Teori ini dinyatakan oleh seseorang yang berkebangsaan Perancis yang bernama Cuvier dan Beaumont
pada tahun 1832. Teori ini berbunyi bahwa bentuk bumi yang terdiri daripegunungan dan lembah adalah hasil dari
bencana besar dan malapetaka yang pernah terjadisebelumnya. Selain itu teori ini juga mengatakan bahwa
makhluk hidup musnah kemudiantergantikan oleh makhluk hidup yang baru namun berbeda jenis dari makhluk
hidupsebelumnya. Menurutnya, bumi terbentuk dari debu dan bebatuan dari luar angkasa lalubergabung dan
memiliki gravitasi sehingga bebatuan kecil ikut tertarik. Selain itu teori inididukung oleh orang-orang eropa
yang percaya bahwa pernah terjadi banjir yang sangat besarsehingga terbentuklah permukaan bumi. Banjir
tersebut adalah banjir vulkanik yang dipercayaberasal dari asteroid yang memiliki suhu tinggi jatuh dan
memberikan tekanan yang besarkepada bumi.Teori ini dibantah oleh teori Uniformitarianisme yang menyatakan
bahwa proses yangterjadi pada bumi sekarang juga terjadi pada jutaan tahun yang lalu. Teori ini dikemukakan
olehCharles Lyell yang merupakan pengikut James Hutton. Prinsip ini merupakan cikal bakallahirnya
prinsip Uniformitarianisme
Catastrophists vs. uniformists
Istilah-istilah katasrofisme dan uniformitarianisme diciptakan oleh William Whewell
pada tahun 1832. Tokoh utama katastrofisme pada awal abad ke-19 adalah para ilmuwan Prancis
: Georges Cuvier dan Leonce Elie de Beaumont. Teori katastrofisme mereka didasarkan atas
pekerjaan stratigrafi Tersier di Cekungan Paris. Cuvier melihat urutan stratigrafi tersebut sebagai
akibat peristiwa-peristiwa bencana besar atau malapetaka (katastrofi) yang tak hanya
mengganggu urutan lapisan dan menyebabkan perubahan muka laut yang dramatik tetapi juga
menyebabkan kepunahan massa fauna. Elie de Beaumont mengikuti Cuvier bahwa lapisan-
lapisan yang miring dan terlipat yang diamatinya mengartikan suatu gangguan yang mendadak,
bukan akibat proses yang lambat dan berangsur (gradual). Di pihak lain, berdiri Charles Lyell,
seorang pengikut James Hutton, yang membela perubahan lambat dan gradual dalam proses-
proses geologi yang disebut prinsip uniformitarianisme. Perdebatan sengit pun terjadi di Inggris
selama tahun 1820-an dan 1830-an. Di pihak katastrofisme ada William Buckland dan Adam
Sedgwick yang mengajukan teori katastrofik bernama teori diluvial, yaitu bahwa banyak
fenonema geologi terjadi sebagai akibat banjir zaman Nuh. Meskipun teori diluvial tak bertahan
lama, para pembela katastrofik mengatakan bahwa sejarah Bumi itu punya arah, “direction”
tertentu, semakin maju; bukan keadaan yang tetap sama di semua zaman, “steady state” seperti
yang dibela Charles Lyell. Begitulah ringkasan perdebatan tersebut, seperti ditulis Hallam (1989,
2000).
James Hutton (foto dari website: http://scottishgeology.com/)
Kini, kita melihat bahwa proses-proses dalam sejarah Bumi terjadi baik melalui
uniformitarianisme maupun katastrofisme. Gejala sedimentasi yang kini terjadi di muara sungai
atau pantai membentuk struktur-struktur sedimen yang persis sama yang kita amati terdapat di
batuan-batuan berumur Kapur atau Miosen misalnya. Proses modern ternyata sama dengan
proses puluhan juta tahun yang lalu –uniform atau seragam. Kita juga melihat proses kompaksi
dan litifikasi sedimen menjadi batuan yang lama, berangsur atau gradual. Tetapi, kita melihat
juga bahwa terdapat “directionalism” dalam perkembangan makhluk hidup dari masa yang lebih
lama ke masa yang lebih baru berdasarkan peninggalan-peninggalan fosil. Alam tak tinggal
tetap, tidak steady state. Bencana-bencana besar yang memunahkan massa fauna dan flora pun
rutin terjadi, yang terbesar misalnya pada akhir Perem dan akhir Kapur. Kombinasi konsep-
konsep uniformists dan catasthropists-lah yang terjadi.
Young Earth vs. Old Earth
Menjelang pertengahan abad ke-19 terdapat dua pengutuban pendapat tentang berapa
umur Bumi. Para fundamentalis Kristen dan Katolik berdasarkan penafsiran mereka atas Alkitab
menganggap Bumi ini umurnya hanya 6000 tahun. Para ahli geologi, mengikuti Charles Lyell
mengatakan bahwa umur Bumi jauh lebih tua dari itu, tetapi mereka tak dapat mengatakan lebih
detail seberapa tua yang dikatakan tua itu. Mendapatkan tantangan itu, lalu dimulailah berbagai
usaha mengukur umur Bumi. Usaha serius pertama dilakukan John Phillips yang mengukur
kumulasi lapisan-lapisan batuan dan dengan mengacu kepada kecepatan sedimentasi per tahun,
akhirnya ia mendapatkan angka 96 juta tahun untuk umur pembentukan kerak Bumi. Beberapa
tahun kemudian, seorang ahli fisika Skotlandia William Thompson (kemudian lebih terkenal
dengan nama Lord Kelvin) mengukur umur Bumi menggunakan metode berbeda. Lord Kelvin
menggunakan asumsi yang saat itu telah diyakini banyak orang bahwa Bumi pada mulanya
merupakan bola lebur yang panas yang mendingin secara perlahan. Dari perhitungan-
perhitungan yang dilakukannya, keluarlah angka 98 juta tahun sebagai umur Bumi. Umur Bumi
hasil perhitungan Phillips dan Kelvin mirip, sehingga semula diyakini para ahli geologi. Tetapi
umur tersebut terlalu muda bagi keseluruhan evolusi, begitu menurut Charles Darwin dan para
pengikutnya. Perdebatan pun dimulai, metode Kelvin dipertanyakan, dan perdebatan semakin
sengit karena gaya Lord Kelvin yang dogmatik, bahkan lalu ia merevisi hitungannya lagi pada
tahun 1897 menjadi hanya 24 juta tahun. Thomas Chamberlain, ahli geologi Amerika
berspekulasi bahwa mungkin ada sumber energi yang terkunci di dalam atom yang oleh para ahli
fisika abad ke-19 belum disadari. Sumber energi ini barangkali bisa digunakan untuk
menghitung umut Bumi. Penemuan radioaktivitas pada 1896 oleh Henry Bacquerel
membetulkan pendapat Chamberlain ini dan pengukuran umur menggunakan radioaktivitas pun
segera dimulai dan segera meruntuhkan semua pendapat Lord Kelvin. Pada awal abad ke-20
telah umum disepakati bahwa umur Bumi harus beberapa ribu juta tahun, jauh lebih tua dari
hitungan siapa pun. Begitu, ringkasan dari Hallam (1989, 2000).
Umur Bumi yang sebenarnya harus diukur di intinya yang paling dalam sebab itulah
bagian tertua Bumi. Tentu saja tak ada materi daripadanya yang bisa diambil untuk diukur
umurnya. Tetapi para ilmuwan mengetahui bahwa inti Bumi tersusun dari nikel dan besi, suatu
susunan yang mirip dengan meteorit besi. Dari astronomi, kita pun tahu bahwa Bumi semula
terbentuk dari puing-puing di Alam Semesta semacam meteorit tersebut yang saling berbenturan
lalu berakumulasi menjadi materi debu dan gas yang panas lalu memadat lagi. Berdasarkan hal
itu, maka umur meteorit yang jatuh di Bumi adalah umur Bumi juga sebab sumber meteor dan
materi pembentuk Bumi dilahirkan bersamaan. Ahli fisika Amerika pertama yang mengukur
umur Bumi dengan cara mengukur umur meteorit adalah Claire Patterson pada tahun 1956 dan
menemukan bahwa umur Bumi adalah 4550 juta tahun atau 4,55 milyar tahun (Luhr et al., 2003;
menurut Gradstein et al. 2004 : 4560 juta tahun). Umur Bumi setua itu mungkin benar bila kita
mempercayai metode perhitungan umur menggunakan radioaktivitas sebab sampel batuan paling
tua saat ini adalah ortogenes Acasta yang ditemukan di Inti Benua Slave di Canada yang
umurnya 4031 juta tahun (Bowring dan Williams, 1999). Mineral tertua yang terukur adalah
detrital zircon dari metakonglomerat di Australia Barat yang umurnya 4408 juta tahun (Wilde et
al, 2001). Pembentukan Bumi sendiri harus lebih tua dari batuan dan mineral tertua itu. Berapa
persisnya umur Bumi itu kita tak akan tahu sebab sampel di inti Bumi tak akan pernah
didapatkan, tetapi umur 4560 juta tahun diterima banyak pihak. Meskipun demikian, para
kreasionis, yaitu golongan yang menolak evolusi, sampai saat ini masih meyakini bahwa Bumi
hanyalah beberapa ribu tahun umurnya, bukan beberapa ribu juta tahun; dan menurut mereka
metode perhitungan menggunakan radioaktivitas adalah salah.
Fixists vs. Mobilists
Pada akhir abad ke-19, para ahli geologi umumnya telah bersepakat bahwa Bumi itu
secara perlahan mendingin dan berkontraksi dengan berjalanya waktu, dan banyak yang
berpendapat bahwa jalur-jalur pegunungan adalah sebagai akibat kontraksi ini (sering
dibandingkan dengan kisut kulit jeruk yang sudah mengering). Para ahli geologi di Eropa dan
Amerika saat itu percaya bahwa jalur-jalur pegunungan ini seluruhnya disebabkan gaya-gaya
geologi vertikal di bawah pegunungan ini. Tak ada yang memikirkan kemungkinan bahwa
pegunungan-pegunungan ini disebabkan gaya lateral sebab model ini akan sangat bertentangan
dengan model Bumi yang stabil. Tetapi ternyata ada juga yang berani menantang para stabilists
ini, yang mengatakan bahwa pegunungan-pegunungan tersebut disebabkan gaya lateral melalui
pergerakan benua yang hanyut (continental drift), dialah Alfred Wegener, seorang ahli
meteorologi dan geofisika Jerman. Wegener memang bukan orang pertama yang mengemukakan
bahwa benua-benua kemungkinan bergerak, sebelumnya ada Snyder di Prancis dan Taylor di
Amerika, tetapi Wegener-lah yang mengemukakannya secara sistematik dan dengan bukti-bukti
yang kuat. Wegener menantang teori pembentukan pegunungan melalui pendinginan dan
kontraksi Bumi. Misalnya, mengapa kerutan pegunungan itu tidak tersebar seragam di mana-
mana di permukaan Bumi, tetapi hanya di jalur-jalur tertentu yang sempit memanjang. Teori
Bumi mendingin karena panasnya hilang terpancar ke angkasa luar juga bertentangan dengan
penemuan baru saat itu bahwa produksi panas justru terus terjadi melalui radioaktivitas di
batuan-batuan penyusun Bumi. Wegener bahkan berteori bahwa dulu pada masa Mesozoikum
ada superbenua besar yang disebutnya Pangaea, yang kemudian retak dan pecah lalu fragmen-
fragmennya bergerak menjauh membuka Samudera Atlantik dan Hindia. Gerak fragmen-
fragmen benua ini akhirnya bertubrukan satu sama lain dan membentuk jalur-jalur pegunungan.
Hanyutan benua sejak dari Pangea
Pegunungan Alpina dan Himalaya terbentuk karena konvergensi Afrika dan India dengan
Eurasia. Wegener mengajukan bukti-bukti bahwa benua-benua yang sekarang terpisah itu dulu
pernah bersatu, misalnya bukti kesamaan fosil, jalur pegunungan yang terputus, kesamaan
lapisan es di benua-benua belahan Bumi bagian selatan, dsb. Tetapi Wegener tak menemukan
mekanisme penyebab hanyutan benua itu. Rotasi Bumi pernah dikemukakannya sebagai
penyebabnya, tetapi tidak diterima.
Perlawanan atas teori hanyutan benua Wegener semula tidak sengit, tetapi menjadi sengit
pada waktu jeda di antara dua Perang Dunia. Perlawanan utama berasal dari para ahli geofisika
yang mengatakan bahwa Bumi memiliki kekuatan terlalu besar untuk membiarkan benua-benua
bermigrasi hanyut ke sana ke mari di atas permukaannya. Meskipun demikian, Wegener
mendapat dukungan dari beberapa tokoh geologi seperti Emile Argand, Alexander du Toit dan
Arthur Holmes. Dan Arthur Holmes-lah yang menemukan mekanisme yang memuaskan untuk
terjadinya hanyutan benua tersebut, yaitu gerak konveksi di mantel Bumi bagian atas. Meskipun
demikian, yang percaya teori hanyutan benua dianggap sebagai orang-orang aneh, maka
menjelang tahun 1950 teori hanyutan benua Alfred Wegener dilupakan orang dan ditolak banyak
ahli ilmu kebumian. Namun selepas Perang Dunia II yang terjadi justru sebaliknya ketika banyak
riset geomarin dilakukan atas dasar lautan terutama pada magnetisme batuan dan topografi dasar
lautan. Banyak sekali para ahli geologi dan geofisika yang terlibat dalam penelitian-penelitian
selama akhir tahun 1950-an dan sepanjang tahun 1960-an yang lalu akhirnya dengan yakin
membenarkan teori hanyutan benua Wegener dan menghasilkan teori elegan tektonik global
yang baru atau yang lebih dikenal sebagai teori tektonik lempeng. Benua-benua sungguh
bergerak. Inilah kemenangan para mobilists atas para fixists yang mengatakan bahwa benua-
benua terikat ke akarnya tak mungkin bergerak. Demikian, ringkasan dari Hallam (1973, 1989,
2000 yang juga ikut membidani kelahiran teori tektonik lempeng).
Kini, empat puluh tahun setelah kelahiran teori tektonik lempeng, teori ini dan hanyutan
benua telah menjadi fakta. Pengukuran-pengukuran dengan GPS menunjukkan bahwa benua-
benua ini memang bergerak. Paleomagnetik menunjukkan bahwa benua-benua ini punya riwayat
yang panjang di berbagai posisi di atas permukaan Bumi. Sebagai contoh, posisi Kalimantan,
Papua, Banggai, Jawa, dll. pada beberapa puluh juta tahun yang lalu tidak di posisinya sekarang.
Mantle tomography menunjukkan bahwa konveksi sebagai penyebab benua-benua ini bergerak
adalah benar. Teori tektonik lempeng pun semakin berkembang, antara lain dengan terrane
concept yang mengatakan bahwa benua pun tersusun atas fragmen-fragmen (terranes) yang lebih
kecil yang masing-masing bisa berbeda geologinya dan asalnya yang lalu saling bergerak beradu
membentuk benua. Meskipun faktanya gamblang, beberapa ilmuwan masih mempunyai
keberatan atas teori tektonik lempeng. Dalam beberapa hal, memang ada beberapa fenomena
geologi yang bila diterangkan dengan gerak lateral lempeng tidak memuaskan, dengan
mekanisme isostasi vertikal lebih memuaskan; tetapi mekanisme tersebut hanyalah a companion
terhadap tektonik lempeng, jauh dari menolaknya.
Expanding Earth (Bumi Mengembang)
Teori expanding Earth muncul sebelum Perang Dunia I sezaman dengan Wegener
mengemukakan teorinya tentang hanyutan benua. Teori ini muncul sebagai perlawanan atas
sebuah teori bahwa Bumi menciut melalui kontraksi. Pada awalnya, teori ini mengatakan bahwa
Bumi mengembang akibat perubahan struktur molekul dan atom di dalam inti Bumi dan mantel
bagian bawah. Sekalipun mengembang, massanya tetap sebab terjadi perubahan densitas. Teori
ini pun mendapatkan inspirasinya dari teori expanding Universe (Hubble, 1920). Siapa tokoh
utamanya tidaklah jelas, tetapi saat teori ini berkembang kembali mulai tahun 1950-an terdapat
beberapa tokoh utamanya yaitu Carey, Wesson dan Steiner. Pada perkembangan selanjutnya,
expanding Earth ini dihubungkan dengan pemekaran dasar samudera dan perpindahan benua
atau teori tektonik lempeng. Di antara para tokohnya, terdapat perbedaan pendapat tentang laju
pengembangan Bumi, yang terbagi ke dalam (1) slow expansion –radius Bumi bertambah lebar
kurang daripada 1 mm/tahun), (2) rapid expansion (dengan laju pertambahan sekitar 4-10
mm/tahun), (3) expansion-contraction bergantian terjadi dengan laju bervariasi.
Slow expansion Earth mendapatkan dukungan dari beberapa ilmuwan seperti Arthur
Holmes (1965) yang menghitung bahwa laju ekspansi tersebut sebesar 0,24-0,6 mm/tahun
berdasarkan perpanjangan lama hari sebesar 2 milidetik per abad. Rapid expansion Earth
terutama didukung oleh penelitian-penelitian Carey pada tahun 1950-an yang merekonstruksi
Pangaea dan Samudera Pasifik dan menemukan bahwa agar rekonstruksi itu sesuai/benar
diperlukan laju ekspansi radius Bumi sebesar 4,5 mm/tahun. Owen (1976) juga berdasarkan
rekonstruksi benua dan pemekaran dasar samudera menghitung laju sebesae 6,7 mm/tahun dalam
180-200 juta tahun terakhir. Berdasarkan laju pemekaran dasar samudera dan subduksi serta peta
anomali magnetik di dasar samudera, Steiner (1978) menemukan laju 5,2-7,8 mm/tahun.
Alternating expansion and contraction didasarkan pada fakta bahwa sepanjang sejarah Bumi
terjadi transgresi dan regresi global (Phanerozoic cycles of global sea level).
Teori expanding Earth mendapatkan perlawanan dari beberapa ahli ilmu kebumian yang
mengatakan bahwa mekanisme pemekaran dasar-samudera tidak berkonotasi dengan pemekaran
radius Bumi sebab materi samudera yang dikembangkan itu akan kembali ke dalam mantel Bumi
melalui subduksi sebagai bagian siklus yang dikenal sebagai siklus Wilson. Para pembela
expanding Earth mengatakan bahwa diameter Bumi masa lalu tak mungkin sama dengan
diameternya masa kini sebab awal Bumi terjadi melalui collision berbagai puing kosmik yang
lalu bersatu membentuk inti Bumi lalu berdiferensiasi membentuk mantel lalu akhirnya kerak
Bumi dengan diameter yang makin melebar. Matahari kelak akan membesar menjadi raksasa
merah (red giant star) oleh pengembangannya, maka tak mengherankan Bumi pun memekarkan
diameternya sepanjang evolusinya. Dengan fast expanding Earth, maka diameter Bumi sekarang
18 % lebih lebar daripada saat Pangaea ada. Namun pengukuran terbaru yang akurat
menggunakan paleomagnetik atas radius Bumi 400 juta tahun yang lalu menemukan bahwa
radius Bumi tersebut 102 % daripada yang sekarang (McElhinney et al, 1978). Penghitungan
momen inersia untuk Bumi dalam 620 juta tahun terakhir pun mengindikasikan bahwa radius
Bumi tak berubah (Williams, 2000). Mekanisme yang tak memuaskan dan pengukuran yang
menunjukkan tidak adanya perubahan dalam diameter Bumi untuk beberapa ratus juta tahun
terakhir telah menyebabkan teori expanding Earth ditolak banyak komunitas sains.
Demikianlah beberapa kontroversi dalam geologi yang berjalan melalui perdebatan-perdebatan
di antara para pendukungnya.
Teori Plutonis dan Neptunis dalam Geologi
Teori Plutonis
Teori Plutonis ini dikemukakan oleh James Hutton, berpendapat bahwa “bagian dalam bumi
merupakan bagian yang panas, dan panas inilah yang menyebabkan terbentuknya batuan baru.
Daratan tererosi oleh udara dan air, dan diendapkan sebagai lapisan di lautan. Kemudian panas
membentuk endapan tersebut menjadi batuan, dan mengalami pengangkatan sehingga menjadi
daratan baru”.
Teori ini sangat bertentangan dengan teori Neptunis dari Abraham Gottlob Werner yang
menyebutkan bahwa “semua batuan merupakan hasil presipitasi sebuah aliran yang sangat
besar”.
Dalam Teori Plutonis bagian padat dari bumi yang sekarang terlihat, disusun oleh produk
hasil lautan, dan material lainnya yang sama dengan yang ditemui saat ini di pantai. Hal ini
menuntun pada :
-Bumi/daratan yang kita tempati tidak sederhana dan asli, tetapi merupakan suatu
komposisi, dan terbentuk oleh suatu operasi yang disebabkan hal lain.
-Sebelum bumi/daratan yang kita tempati sekarang terbentuk, telah ada bumi yang terdiri
dari daratan dan lautan, dimana terdapat gelombang dan pasang surut, dan dasar samudera pada
zaman itu merupakan daratan pada masa kini.
-Ketika daratan yang ada sekarang dibentuk di dasar samudera, daratan yang terdahulu
mengandung tumbuhan dan binatang; sehingga setidaknya lautan kemudian dihuni oleh
binatang, dengan cara yang sama seperti saat ini.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa bagian terbesar dari daratan kita, walaupun
tidak semua, dihasilkan oleh proses alami dari bumi ini; tetapi dalam rangka membuat daratan
menjadi permanen, dan bertahan dari kegiatan air diperlukan dua hal :
-Konsolidasi massa yang terbentuk dari kumpulan material-material lepas atau inkoheren.
-Elevasi dari massa yg terkonsolidasi dari dasar samudera, daerah dimana massa tersebut
terkumpul, ke tempat dimana sekarang terdapat di atas permukaan laut.
Hutton meyakini bahwa setidaknya terdapat beberapa daur, yang masing-masing
menyertakan pengendapan material di dasar samudera, pengangkatan dengan kemiringan, dan
erosi, kemudian kembali lagi ke dasar samudera untuk mengendapkan lapisan berikutnya.
Teori Neptunis
Teori Neptunis oleh Abraham Gottlob Werner yang menyebutkan bahwasemua batuan
merupakan hasil presipitasi sebuah aliran yang sangat besar.
Abraham Gottlob Werner mengeluarkan teori bernama neptunisme saat ia menafsirkan
sebuah urutan batuan yang ditemukannya yang disusun dari bawah ke atas oleh batuan beku,
batuan metamorf dan batuan sedimen. Menurutnya, Bumi dulu pernah ditutupi oleh lautan asal
(primeval ocean) yang mengatasi seluruh permukaannya bahkan pegunungan-pegunungan
tertinggi. Teorinya ini disebut neptunisme, mengambil nama dewa lautan bangsa Latin :
Neptunus. Batuan-batuan beku dan metamorf juga ditafsirkannya sebagai hasil pengendapan dari
air laut. Teorinya ini diterima secara luas saat itu, tetapi kesulitan pun segera muncul ketika
harus menjelaskan asal lava basal dan gunungapi.
“Cor sapientis quaerit doctrinam” – Inti kebijaksanaan adalah mencari ajaran pokoknya.
“Salam dari Kelompok Ceria”