tugas filsafat sila ke 5

51
BAB II Pembahasan A. Keadilan Sosial Cita-cita demokrasi Indonesia tidak hanya memperjuangkan emansipasi dan partisipasi di bidang politik tetapi juga di bidang ekonomi. Para pendiri Republik Indonesia secara sadar menganut pendirian bahwa revolusi kebangkitan bangsa Indonesia, sebagai bekas bangsa jajahan dan sebagai bangsa yang telah hidup dalam alam feodalisme ratusan tahun lamanya, haruslah berwajah dua, yaitu revolusi politik (nasional) dan revolusi nasional. Revolusi politik adalah untuk mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme serta untuk mencapai satu Negara Republik Indonesi. Revolusi sosial adalah untuk mengoreksi struktur sosial-ekonomi yang ada dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Cita-cita keadilan dan kemakmuran hendak diwujudkan dengan jalan mensinergikan demokrasi politik dengan demokrasi- ekonomi melalui pengembangan dan pengintegrasian pranata- kebijakan ekonomi dan pranata-kebijakan sosial yang berorientasi kerakyatan, keadilan dan kesejahteraan. Perspektif Historis Demi impian masyarakat yang adil dan makmur, tidak sedikit pengorbanan yang telah dicurahkan oleh para pahlawan bangsa. Seperti perkataan Ir. Soekarno bahwa masyarakat adil dan makmur merupakan tujuan terakhir dari revolusi kita. Dan untuk mencapai harapan itu terdapat di dalam bumi Indonesia, 3

Upload: agustina-dwi

Post on 31-Oct-2015

151 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Filsafat Sila Ke 5

BAB II

Pembahasan

A. Keadilan Sosial

Cita-cita demokrasi Indonesia tidak hanya memperjuangkan emansipasi dan

partisipasi di bidang politik tetapi juga di bidang ekonomi. Para pendiri Republik Indonesia

secara sadar menganut pendirian bahwa revolusi kebangkitan bangsa Indonesia, sebagai bekas

bangsa jajahan dan sebagai bangsa yang telah hidup dalam alam feodalisme ratusan tahun

lamanya, haruslah berwajah dua, yaitu revolusi politik (nasional) dan revolusi nasional.

Revolusi politik adalah untuk mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme serta untuk

mencapai satu Negara Republik Indonesi. Revolusi sosial adalah untuk mengoreksi struktur

sosial-ekonomi yang ada dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur.

Cita-cita keadilan dan kemakmuran hendak diwujudkan dengan jalan mensinergikan

demokrasi politik dengan demokrasi-ekonomi melalui pengembangan dan pengintegrasian

pranata-kebijakan ekonomi dan pranata-kebijakan sosial yang berorientasi kerakyatan,

keadilan dan kesejahteraan.

Perspektif Historis

Demi impian masyarakat yang adil dan makmur, tidak sedikit pengorbanan yang telah

dicurahkan oleh para pahlawan bangsa. Seperti perkataan Ir. Soekarno bahwa masyarakat adil

dan makmur merupakan tujuan terakhir dari revolusi kita. Dan untuk mencapai harapan itu

terdapat di dalam bumi Indonesia, syarat-syarat badaniah, syarat-syarat rohaniah, syarat-

syarat material dan spiritual mental.

Sebelum zaman es berakhir, penghuni daratan Sunda merupakan perintis peradaban

dunia dengan mempelopori pertanian, peternakan, bahkan sudah bisa membuat perabotan.

Setelah zaman es berakhir, sejak sekitar 7000 tahun yang lalu telah berkembang jaringan

perdagangan maritim pulau dan pesisir diseluruh cincin pasifik dan kepulauan Asia Tenggara.

Seorang arkeolog Amerika, Wilhelm Solheim, menyebut budaya jaringan ini “Nusantao”.

Asal usul jaringan Nusantao” adalah yang berlayar dari Indonesia Timur dan Filifina

selatan yang dengan cepat mengembangkan kemampuan berlayarnya yang didesak oleh

tingkat permukaan laut yang meninggi, akibat lelehan es dikutub, yang membutuhkan

pergerakan melintasi bentangan-bentangan laut yang terbuka untuk mempertahankan kontak

dengan relasi negeri asal. Nusantao mempelopori perdagangan di jalur samudra Hindia,

beberapa millennium sebelum masehi, jauh sebelum wilayah itu dijelajahi oleh para pelaut

3

Page 2: Tugas Filsafat Sila Ke 5

Mesir, India, Yunani, Romawi dan China. Jaringan perdagangan Nusantao yang kemudian

disebut juga Nusantara telah mampu mencapai pantai timur Afrika berabad-abad sebelum

masehi. Sebagai suatu geografi perekonomian, kepulauan Indonesia bisa dikategorikan dalam

suatu susunan perekonomian tersendiri yang terletak di titik silang antara lautan India dan

lautan China selatan, dengan Jawa sebagai pusatnya.

Sekitar abad pertama Masehi, perdagangan rempah-rempah dan hasil hutan mulai

berkembang. Para pelaut Indonesia dengan menggunakan perahu gandung yang besar

membawa hasil kayu, seperti kapur barus, kemenyan, damar pinus (yang digunakan dalam

obat-obat, dupa, dan wewangian), dan emas ke pelabuhan-pelabuhan di Indonesia dan Cina

bagian selatan untuk pertukanan dengan kain, porselen, dan barang-barang dari logam. Kayu

manis dan rempah-rempah lainnya dibawa langsung melintasi lautan India ke pantai timur

pesisir Afrika dan diteruskan melalui mesir ke pasar di kerajaan Romawi.

Pada abad ke 7 dan ke 8, aktivitas perdagangan tumbuh di kawasan Selat Malaka dan

Laut Jawa (terutama ujung selatan Laut Jawa) sebagai dua kawasan perekonomian terpenting

di nusantara. Periode ini digabungkan dengan munculnya Kerajaan Sriwijaya di Sumatera

Tenggara dan Kerajaan Mataram (kuno) di Jawa Tengah. Selat malaka tergantung dengan

perdagangan sedangkan di Jawa Bali memperlihatkan kelimpahan sumber daya. Sejak abad

ke-7, kerajaan Sriwijaya telah menjadi saluran perdagangan bagi wilayah pedalaman di

Sumatera bagian Selatan yang kaya dan memiliki maritim yang kuat, terletak dekat kota

Palembang saat ini. Kerajaan Mataram kuno muncul di daerah Kedu yang kondusif untuk

penanaman padi sebagai sumber utamanya. Penanaman padi di Jawa membuat tidak adanya

hambatan terjal bagi pergerakan manusia menyebabkan terjadinya konsentrasi penduduk

terbesar di pulau ini. Selepas abad kesepuluh, pusat peradaban Jawa berpindah ke Jawa

Timur, yang mencapai puncaknya dalam kemunculan kerajaan majapahit.

Setelah meredupnya kekuasaan Budha-Hindu di Sumatera dari Jawa, kawasan

Nusantara memperlihatkan perkembangan baru dalam perdagangan. Pada abad ke-13, para

pedagang menunjukkan sikap terbuka terhadap agama Islam dengan pesan tentang kesamaan

manusia di hadapan Allah dan aturan eksplisit tentang hubungan komersial. Memasuki abad

ke-15, perekonomian nusantara merupakan bagian integral dari dinamika perekonomian dunia

dalam konteks globalisasi. Produk perdagangan yang sangat penting adalah lada, dcengkeh,

dan pala, yang mendorong pertumbuhan cepat di segala sektor perekonomian. Adapun dunia

kebaharian merupakan contoh perekonomian yang giat-hebat (vigorous), tanpa jeda

(seamless) dan saling terhubung.

Untuk menilai tingkat perkembangan perekonomian Indonesia pada masa pra colonial,

Vincent J.H Houben(2002) menggunakan lima indikatorkunci yang bisa diidentifikasi, yaitu:

4

Page 3: Tugas Filsafat Sila Ke 5

(1) Tingkat spesialisasi perekonomian, (2) Jarak dan diferensiasi jaringan komersial, (3)

tingkat monetisasi(monetization), (4) Tingkat urbanisasi, (5) Watak regulasi perekonomian

Kesimpulan Houben, bahwa Kepulauan Indonesia pra kolonial terdiri dari sejumlah

perekonomian yang terbuka yang mengalami tingkat komersialisasi yang tinggi selama

pertumbuhan. Periode antara 1450 dan 1680 merupakan momen puncak aktivitas

perekonomian, yang ditandai oleh tingkat spesialisasi yang tinggi, jarak luas dari jaringan

komersial, tingkat monetisasi (penggunaan uang) yang tinggi serta proses urbanisasi yang

cepat.

Perkembangan gemilang perekonomian Nusantara pra-modern ini mengalami

gangguan oleh penetrasi kekuatan dari luar, terutama dari Eropa. Pada 1511, armada Portugis

menaklukan Malaka, yang telah menggantikan peran Sriwijaya. Kedatangan armada Belanda,

Inggris, Denmark dan Prancis juga memberikan pengaruh terhadap nusantara karena kondisi

kerajaan-kerajaan yang saling bermusuhan sehingga membuka jalan untuk kolonialisme dan

imperialism.

Kekuatan Eropa paling kuat adalah Belanda, yang semula mereka merasa terancam

kehilangan mata pencaharian akibat pelarangan berdagang oleh Portugis tetapi armada

Belanda dipersatukan dalam satu kongsi dagang yaitu VOC. VOC berkuasa hampir 200 tahun

(1602-1800). Belanda menjalankan kapitalisme tua yaitu produksi kecil-kecilan dan kemudian

menjadi imperialism tua yaitu mengambil rempah-rempah untuk dijual di Eropa.

VOC juga mengambil kekuasaan atas Ambon dan Tidore dari Portugis. Pada 1619,

VOC dipimpin oleh Jan Pieteszoon Coen menaklukkan pelabuhan Jayakarta dan membangun

pos perdagangan di Pantai barat Laut Jawa dengan nama Batavia dan dijadikan pusat

pemerintahan serta berkembang menjadi kota Hindia Belanda. Gowa (Makasar) dan Mataram

pun dikuasai. Sejak abad ke 17, kewenangan politik Jawa sebagai pusat teladan dihancurkan.

Lenyapnya kekuatan Malaka dan Jawa menjadikan lenyapnya kekuatan maritime Asia

Tenggara. Pada 31 Desember 1799, VOC bangkrut karena mismanajemen dan diambil alih

oleh Republik Batavia di bawah juridiksi pemerintahan Belanda. Setelah kekuasan sementara

Inggris selama perang Napoleon (1811-1816), Hindia Belanda pun diserahkan kepada

imperium Negara-kolonial yaitu dibawah kekuasaan Inggris.

Negara kolonial Belanda pada mulanya ditempuh melalui pengembangan sistem

tanam paksa (Cultuur Stelsel) sejak 1830. Melalui sistem ini, pemerintah kolonial

memobilisasi tanah dan pekerja untuk memproduksi tanaman perkebunan untuk dikapalkan

ke Eropa dengan monopoli perusahaan dagang Belanda bernama Nederlansche Hendel-

Maatschappij. Produk yang dibutuhkan Belanda adalah kopi, the, rempah-rempah, nila, gula

dan tembakau. Akibat tanam paksa, banyak kawasan di Jawa jatuh miskin.

5

Page 4: Tugas Filsafat Sila Ke 5

Kepentingan ekonomi kolonial tidak terbatas pada sektor agrikultural saja. Pada 1840-

an, mereka juga menambang batubara dan timah pada 1850-an. Pada 1870, sistem tanam

paksa diganti dengan sistem perkebunan yang dimiliki secara pribadi karena pengaruh

liberalisme di Belanda. Liberalisasi muncul karena uang yang berlimpah hasil perdagangan

monopoli dan sistem tanam paksa. Kemakmuran di Belanda memacu tumbuhnya kelas

pengusaha dan kelas menengah baru. Mereka tidak puas terhadap pengelolaan uang, memiliki

tujuan ingin meraih kekuasaan di Belanda dan kemudian memiliki akses atas keuntungan

kolonial. Aspirasi kaum liberal adalah mengenai kebebasan uasaha, kebasan kerja, dan

pemilikan pribadi. Upaya memperoleh kendali atas keuntungan kolonial berarti mendesak

pemerintah kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan

kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan baru.

Melalui desakan perekonomian liberal, uang hasil kolonial ditanam kembali di Hindia

Belanda dalam bentuk perkebunan dan pabrik. Pergeseran kearah perekonomian liberal di

Indonesia ditandai oleh lolosnya Hukum Agrarua dan Hukum Gula pada 1870 yang menjamin

hak-hak kepemilikan dan operasi perusahaan swasta. Hukum Agraria memfasilitasi penerapan

ekonomi tunai di Indonesia yang amat menghancurkan kehidupan petani yang kesulitan akses

atas tanah dan lahan miliknya tidak dapat menghidupi keluarga. Sebagai akibatnya, orang-

orang desa yang miskin hidup dengan kredit. Melalui pinjaman uang itu, mereka meminjam

lahan kepada pemilik tanah Eropa. Sementara itu buruh perkebunan diberi upah yang murah

sedangkan pemilik tanah harus membayar pajak ke pemerintah Belanda.

Produk utama perkebunan adalah karet, permintaanya terus meningkat setelah

pengenalan mobil model T-Ford pada 1908. Minyak bumi juga menjadi komoditas utama di

pasar dunia sejak 1890-an. Pada 1890, wirausahawan Belanda membangun perusahaan

minyak di Indonesia, Royal Ducth Sheel, yang seiring pergantian abad mulai membor minyak

di Kalimantan dan memiliki sumur minyak di seluruh kawasan tersebut.

B. Keadilan Sosial dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi

Visi keadilan dan kesejahteraan rakyat yang diidealisasikan oleh para pemimpin

pergerakan kebangsaan itu kemudian mewarnai diskusi tentang falsafah Negara dalam

persidangan BPUPK. Sebelum dinyatakan Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945,

gagasan keadilan dari kesejahteraan telah dikemukakan oleh beberapa pembicara.

Pada 29 Mei, Muhammad Yamin pada poin kesepuluh dari pidatonya, menyebutkan

tentang pentingnya “Kesejahteraan rakyat: perubahan besar tentang kesejahteraan yang

mengenai kehidupan ekonomi dan sosial sehari-hari yang mengenai dari putra-putra negeri”.

Pada 30 Mei, A. Rachim Pratalykrama menyatakan bahwa salah satu dasar Negara yang harus

6

Page 5: Tugas Filsafat Sila Ke 5

diperhatikan adalah masalah perekonomian. “Ekonomi dalam arti seluas-luasnya perlu

diperluas dan diperdalam dan disegala lapangan misalnya nasionalisasi dari perusahaan-

perusahaan. Aturan-aturan hak tanah-tanah komunal dihapuskan, tanah erfpacht,… dan postal

harus dikembalikan pada rakyat via pemerintah.”

Pada 31 Mei, Abdul Kadir menyatakan bahwa salah satu dari tiga dasar pembentukan

Negara baru yang diusulkan adalah “Pembangunan untuk memajukan ekonomi yang sehat

agar rakyat menjadi makmur”. Pada tanggal yang sama, Soepomo menguraikan gagasan

tentang keadilan sosial ini secara lebih elaboratif, dalam kaitannya dengan “perhubungan

antara Negara dan perekonomian”, menurutnya, “Dalam Negara yang berdasar integralistik

yang berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem ‘sosialisme

negara’ (staatssocialisme).” Selanjutnya, dia menguraikan tentang bagaimana perekonomian

disusun dalam sosialisme negara tersebut.

Akhirnya Soepomo menyimpulkan bahwa keadilan merupakan konsekuensi dari

negara integralistik yang merefleksikan keinsafan akan keadilan rakyat seluruhnya: atas dasar

pengertian negara sebagai persatuan bangsa Indonesia yang tersusun atas sistem hukum yang

bersifat integralistik tadi, dimana negara akan berwujud dan bertindak sebagai penyelenggara

keinsafan keadilan rakyat seluruhnya, maka kita akan dapat melaksanakan Negara Indonesia

yang bersatu dan adil, seperti sudah termuat dalam Pancha Dharma, pasal 2, yang berbunyi:

“Kita mendirikan Negara Indonesia, yang makmur, bersatu, berdaulat, adil’. Maka Negara

hanya bisa adil, jikalau negara itu menyelenggarakan rasa keadilan rakyat dan menuntun

rakyat pada cita-cita yang luhur, menurut aliran zaman. Perhatian pada prinsip keadilan juga

diungkapkan pada hari yang sama oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo. Dalam pandangannya,

islam, selain “mementingkan perekonomian”, juga memerintahkan untuk “membangun

pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan”.

Pada 1 Juni 1945, giliran Soekarno menyampaikan pidatonya. Dalam uraiannya

mengenai dasar falsafah Negara Indonesia merdeka , dia memasukan prinsip “kesejahteraan”

sebagai prinsip keempat. Selanjutnya Soekarno mengemukakan visi emansipasinya, bahwa

dengan prinsip kesejahteraan. ‘tidak aka nada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”, juga

tidak akan dibiarkan “kaum kapitalis merajalela”. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu

I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Cheng: nationalism, democracy, socialism.

Selama masa reses persidangan BPUPK (2 Juni-9 Juli), panitia kecil berhasil

mengumpulkan usul-usul dari 40 anggota Chuo Sangi In (Iin). Usulan-usulan itu antara lain

meliputi: Kemerdekaan Indonesia selekas-lekasnya, Dasar Negara, Bentuk Negara, Daerah

Negara, Badan Perwakilan Rakyat, Badan Penasihat, Bentuk Pemerintahan dan Kepala

Negara, Soal Agama dan Negara, Soal Pembelaan, dan Soal Keuangan. Dalam usulan

7

Page 6: Tugas Filsafat Sila Ke 5

mengenai dasar negara, prinsip keadilan dan kesejahteraan diusulkan secara eksplisit oleh

seorang lin dalam terma “kemakmuran hidup bersama”.

Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran-pemikiran yang berkembang di masa

persidangan pertamadan usulan dari anggota Chuo Sangi In itu dirumuskan ulang oleh panitia

Sembilan yang merancang pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Berdasarkan

hasil rumusan panitia Sembilan, prinsip kesejahteraan, yang disebut sebagai prinsip keempat

dalam pidato Soekarno pada 1 Juni, ditempatkan menjadi sila ke-5. Redaksinya

disempurnakan menjadi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Selain terkandung dalam sila ke-5 Pancasila, Pembukaan UUD 1945 sendiri

memberikan perhatian yang istimewa terhadap masalah keadilan, sedemikian rupa sehingga

kata “keadilan/adil” dan prinsip keadilan hampir ada di semua alinea kecuali alinea ke-3.

Menurut penjelasan tentang UUD Negara Republik Indonesia. Pembukaan UUD 1945

mengandung empat pokok pikiran. Dua dari empat pokok pikiran terkait dengan “keadilan

sosial”. pokok pikiran pertama menyatakan, “Negara-begitu bunyinya yang melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia“. Pokok pikiran ini

mengandung pengertian bahwa persatuan nasional – sebagai wahana untuk melindungi

segenap bngsa dan tanah air – mensyaratkan perwujudan keadilan sosial. Pokok pikiran yang

kedua menyatakan, “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia”. Dengan pokok pikiran ini, Negara mengemban misi mewujudkan keadilan sosial

basis legitimasinya.

Pada hari kedua masa persidangan kedua BPUPK (11 Juli), Radjiman Woediodiningat

selaku ketua BPUPK membentuk tiga kelompok panitia:

1. Panitia perancang hukum dasar

2. Panitia perancang keuangan dan ekonomi

3. Panitia perancang pembelaan tanah air

Yang pertama diketuai oleh Soekarno, yang kedua diketuai oleh Mohammad Hatta,

dan yang ketiga diketuai oleh Abikoesno Tjokrosoejoso. Dalam perkembangannya panitia

perancang hukum dasar yang diketuai Soekarno membentuk panitia kecil yang bertugas untuk

merumuskan rancangan UUD yang dipimpin oleh Soepomo. Persoalan yang menyangkut

prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial dibicarakan dalam Panitia Kecil perumus

perancangan UUD dan dalam panitia Perancang Keuangan dan Ekonomi yang diketuai oleh

Mohammad Hatta.

Pada rapat besar panitia perancang Undang-undang Dasar (13 Juli), hasil rancangan

pertama panitia kecil yang diketuai Soepomo mulai dibahas. Pasal-pasal tersebut dirumuskan

8

Page 7: Tugas Filsafat Sila Ke 5

panitia kecil perancang hukum dasar dengan mendapatkan masukan dari Mohammad Hatta.

Masukan mengenai keadilan dan kesejahteraan sosial itu selengkapnya sebagai berikut:

1. Orang Indonesia hidup dalam tolong-menolong

2. Tiap-tiap orang Indonesia berhak mendapatkan pekerjaan dan mendapat penghidupan

yang layak bagi manusia. Pemerintah menanggung dasar hidup minimum bagi seseorang,

3. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama, menurut dasar kolektif,

4. Cabang-cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak, dikuasai oleh pemerintah

5. Tanah adalah kepunyaan masyarakat, orang-orang berhak memakai tanah sebanyak yang

perlu baginya sekeluarga,

6. Harta milik orang-seorang tidak boleh menjadi alat penindas orang lain,

7. Fakir dan miskin dipelihara oleh pemerintah.

Tidak semua masukan dari Hatta itu diakomodasi dalam pasal-pasal UUD, tetapi tetap

menjiwai semangat pasal-pasal yang berkaitan dengan keadilan dan kesejahteraan sosial. Pada

rapat besar BPUPK (15 Juli) yang membahas rancangan UUD, Soekarno sekali lagi

mengingatkan: “kita telah menentukan di dalam sidang pertama, bahwa kita menyetujui kata

keadilan sosial dan preambule. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat kepada

dasar individualisme.

Pasal-pasal yang menyangkut keadilan dan kesejahteraan memperoleh tanggapan dari

Kolopaking, Boentaran, dan Muhammad Yamin. Kolopaking memandang adanya kekurangan

dari rancangan tersebut. Dia mengusulkan, antara lain, perlunya pasal-pasal tentang kesehatan

dan hak tanah. Boentaran berkeberatan dengan bunyi pasal 32, “fakir miskin dan anak-anak

yang terlantar dipelihara oleh Negara”. Dalam pandangannya, “sesungguhnya dalam Negara

yang berdasarkan kekeluargaan, tidak boleh lagi ada fakir miskin dan anak-anak terlantar

dipelihara untuk menjamin kesehatan rakyat sepenuh-penuhnya.” Oleh karena itu, dia

mengusulkan supaya kalimat itu diganti dengan: “kesehatan rakyat seluruhnya dipelihara oleh

Negara.” Menurutnya, “itu akan menjamin kesehatan rakyat yang menjadi sendi kekuatan

rakyat dan kekuatan Negara. Apabila kesehatan rakyat dipelihara sebaik-baiknya, maka

dengan sendirinya akan tidak ada fakir miskin dan anak-anak yang terlantar ini, warisan dari

pemerintah jajahan dulu.”

Pandangan Boentaran itu menunjukan perbedaan perspektif dengan pandangan

Soepomo. Persfektif Boentaran menekankan perlunya pencegahan kemiskinan melalui usaha

Negara menjamin kesehatan rakyat seluruhnya. Sedangkan persfektif Soepomo bersifat

kuratif, dengan melihat kenyataan bahwa di Negara yang peradabannya sudah tinggi

sekalipun fenomena fakir-miskin dan anak-anak terlantar akan selalu dijumpai. Ditambah,

9

Page 8: Tugas Filsafat Sila Ke 5

barangkali, oleh pikiran bahwa usaha preventif mencegah kemiskinan itu sudah diakomodasi

dalam pasal-pasal lain (terutama pasal 31, yang pada rancangan akhir menjadi pasal 33).

Setelah itu Yamin mengajukan usulan, “hendaklah pasal-pasal tentang kesejahteraan,

seperti dijanjikan dalam pembuka undang-undang dasar, diberi jaminan yang lebih luas dan

lebih terang.” Yamin juga menekankan perlunya Republik Indonesia mewujudkan diri sebagai

“Negara kesejahteraan”. Selengkapnya dia nyatakan: adapun Republik Indonesia ialah Negara

kesejahteraan, seperti constitution Weimar, Rusia, Filipina, dan Republik Tiongkok

hendaklah garis-garis besar kesejahteraan diatur dengan sebaik-baiknya dan sejelas-jelasnya.

Rancangan ini mempunyai isi yang sangat sederhana dan tidak memberi jaminan yang teguh

pada suatu dasar, yang telah dijanjikan dalam penerangan kemerdekaan dan preambule

undang-undang dasar ini.

Tentang hal ini, tidak ada tanggapan dari Soepomo. Namun, masih dalam semangat

memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan sosial, pada rapat besar 15 Juli, Hatta

menekankan bahwa yang termasuk sebagai utusan golongan yang berhak duduk di MPR

adalah utusan badan-badan seperti koperasi dan serikat pekerja. Usaha memperjelas pasal-

pasal mengenai kesejahteraan yang diminta oleh Yamin itu hingga taraf tertentu diberikan

oleh Hatta yang bertugas memberi penjelasan atas pasal 33 (rancangan akhir UUD). Dalam

penjelasan tentang UUD Negara Republik Indonesia, yang menyangkut pasal 33 disebutkan:

Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasiekonomi, produksi dikerjakan oleh semua,

untuk semua, dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran

masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang sebab itu perekonomian

disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan.

Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah kooperasi perekonomian berdasar

atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang itu. Sebab itu cabang-cabang

produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai

oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ketangan orang seorang yang berkuasa dan

rakyat yang ditindas. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang

boleh ditangan orang seorang.Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi

adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Selain itu, UUD yang sifatnya supel memang tidak bisa menampung segala jaminan

yang diperlukan. Untuk itu, perlu juga diperhatikan dokumen-dokumen tertulis lain yang

dapat mendukung pemahaman terhadap pasal-pasal konstitusi, karena dokumen-dokumen itu

merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari proses penyusunan UUD. Dalam kaitan

dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan, dokumen yang patut diperhatikan adalah hasil

10

Page 9: Tugas Filsafat Sila Ke 5

rumusan Panitia Perancang Keuangan dan Ekonomi bentukan BPUPK yang dipimpin oleh

Mohammad Hatta.

Hasil rumusan panitia ini melahirkan suatu nota tentang ‘soal Perekonomian Indonesia

Merdeka’ dan nota tentang ‘soal keuangan Indonesia Merdeka’. Nota tentang ‘soal

Perekonomian Indonesia Merdeka’ mengandung ideologi perekonomian yang harus menjadi

haluan perekonomian nasional. Ideologi perekonomian ini bersendikan empat prinsip pokok:

1. Perekonomian Indonesia akan didasarkan pada cita-cita tolong menolong dan usaha

bersama (koperasi);

2. Perusahaan-perusahaan besar yang mengusai hidup orang banyak harus di bawah kendali

Negara, dan dalam penjelmaannya akan berbentuk koperasi publik;

3. Tanah, sebagai faktor penting produksi terpenting, dibawah kekuasaan Negara;

4. Perusahaan tambang yang besar akan dijalankan sebagai usaha Negara. Uraian

selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Orang-orang Indonesia hidup dalam tolong-menolong, perekonomian Indonesia

merdeka akan berdasar pada cita-cita tolong-menolongusaha bersama, yang akan

diselenggarakan berangsur-angsur dengan mengembangkan kooperasi.

Pada dasarnya, perusahaan yang besar-besar yang menggunakan hidup orang banyak,

tempat beribu-ribu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, mestilah dibawah

pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan sosial, apabila sebaik-baiknya perusahaan

itu serta nasib beribu-ribu orang yang bekerja di dalamnya diputuskan beberapa orang

partikulir saja, yang berpedoman dengan keuntungan semata-mata. Pemerintah harus menjadi

pengawas dan pengatur, dengan diawasi dan juga disertai dengan kapital oleh pemerintah

adalah bangunan yang sebaik-baiknya bagi perusahan besar-besar.

Tanah, sebagai faktor produksi yang terutama dalam masyarakat Indonesia, haruslah

dibawah kekuasaan Negara, tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-orang untuk

menindas dan memeras hidup orang lain. Perusahaan tambang yang besar dan yang serupa

dengan itu dijalankan sebagai usaha Negara, sebab ia dikerjakan oleh orang banyak dan cara

mengusahakannya mempunyai akibat terhadap kemakmuran dan kesehatan rakyat. Dan tanah

serta isinya Negara yang punya. Tetapi cara menjalankan eksploitasi itu bisa diserahkan

kepada badan yang bertanggung jawab kepada pemerintah, menurut peraturan yang

ditetapkan.

Pada 16 Juli, Soepomo menyetujui secara umum nota dari panitia Perancang

Keuangan dan Ekonomi, yang dalam garis besarnya, usulan dari panitia ini memiliki

kecocokan pandangan dengan pasal-pasal yang telah dituangkan dalam rancangan UUD.

Namun, dia memberi catatan khusus soal tanah, yang dalam nota ditulis bahwa “tanah

11

Page 10: Tugas Filsafat Sila Ke 5

haruslah kepunyaan masyarakat sesuai dengan hukum adat istiadat asli”. Dalam pandangan

Soepomo hukum adat Indonesia asli tidak menolak sistem hak milik seseorang.

Soepomo juga menambahkan bahwa, di Perancis pun, beberapa ahli hukum seperti

Prof. Duguit menganjurkan supaya hak milik seseorang atas tanah harus memiliki sifat sosial.

Oleh karena itu, dia mengusulkan agar ada penegasan bahwa dalam Negara Indonesia, tanah

sebagai faktor produksi harus mempunyai tujuan sosial, dan demi tujuan keadilan sosial harus

pula ditegaskan bahwa tanah pertanian harus tetap dalam tangan petani.

Dokumen lain yang perlu diperhatikan sebagai sesuatu yang menjiwai pasal-pasal

UUD adalah nota tentang “soal keuangan Indonesia merdeka”. Disana terkandung apa yang

disebut sebagai “dasar politik keuangan”. Dasar pertama yang harus diperhatikan adalah

“mencocokan pengeluaran (belanja) dengan pendapatan”. Beberapa saran yang dianjurkan

untuk menutupi kekurangan adalah:

1. Perbaikan pemasukan pajak

2. Pemberlakuan pajak progresif

3. Mengadakan pajak baru, yang tidak menimpa penghidupan rakyat jelata

4. Pinjaman dalam negeri berdasarkan prinsip tolong diri sendiri

5. Memperkuat semangat simpanan

6. Mengecilkan belanja Negara

7. Memperbesar pelbagai macam produksi

8. Menaikan pelbagai bea “pemakain jasa pemerintah”.

Dasar kedua menyangkut soal sirkulasi, yang berkaitan dengan mata uang. Dalam nota

disebutkan: hak mengeluarkan uang kertas menjadi monopoli suatu bank Negara, yang akan

diberi nama “Bank Indonesia”. Tanggungan emas sekian persen dari pada sirkulasi tidak

diwajibkan. Dasar yang dipakai ialah dasar a-metalisme. Tanggungan 40%dari pada sirkulasi

boleh diadakan dengan barang-barang yang tersimpan lama, seperti padi atau bahan-bahan

mentah. Padi yang dijadikan “emas tanggungan” itu dapat pula dipergunakan di waktu rakyat

kekurangan padi atau beras.

Demikianlah, prinsip keadilan sosial dari pancasila mendapatkan perhatian penting

dalam pembukaan UUD 1945. Prinsip keadilan sosial dari pembukaan ini meliputi suasana

kebatinan perumusan pasal-pasal UUD dan dokumen lain yang terkait dengan itu- yang bisa

dijadikan sebagai sumber hukum dasar yang tidak tertulis. Komitmen keadilan itu tampak

nyata, baik dalam pasal-pasal yang menyangkut pengelolaan keuangan Negara- yang

menekankan pemuliaan partisipasi dan daulat rakyat- maupun dalam pasal-pasal yang

menyangkut pengelolaan perekonomian-yang menekankan pemenuhan hak warga dan

jaminan keadilan/kesejahteraan sosial.

12

Page 11: Tugas Filsafat Sila Ke 5

C. Perspektif teoretis Komparatif

1. Pemikiran (Keadilan) Ekonomi Pra Merkantilis

Tantangan atas keadilan ekonomi muncul ketika terjadi ketimpangan dalam sistem

produksi dan distribusi dan diligitimasi oleh sistem sosial-politik yang ada. Aristoteles

melihat ancaman terhadap harmoni sosial ini ditimbulkan oleh tiga gejala, yaitu perolehan

dijadikan tujuan dan bukan semata-mata sebagai alat kehidupan yang nyaman, proses

akumulasi modal dan kekayaan cenderung tidak mengenal batas padahal kehidupan nyaman

hanya memerlukan kekayaan materi yang terbatas, dan keuntungan sebagian anggota

masyarakat diperoleh atas kerugian orang lain.

Aristoteles mengajukan dua konsep keadilan, keadilan komutatif (commutative

justice) dan keadilan distributif (distributive justice). Keadilan komutatif menyangkut

keadilan dalam harga pertukaran, bahwa harga yang adil (just price) adalah tingkat harga

yang memberikan kepada produsen setiap komoditi , hasil yang sesuai dengan kedudukan

sosial berdasar profesi dan keahliannya. Keadilan distributif menyangkut pendapatan yang

cukup layak bagi setiap orang. Dalam kaitan ini, Aristoteles memprihatinkan gejala

penumpukan kekayaan oleh para pedagang karena proses itu telah mengubah hubungan-

hubungan pertukaran yang membawa ketimpangan dalam pembagian pendapatan, yang pada

gilirannya menyulitkan pemenuhan kebutuhan materiil masyarakat secara keseluruhan.

Ketika Eropa memasuki jaman kegelapan, di belahan dunia lain, peradaban Islam,

Cina, dan Nusantara memasuki jaman kegemilangan. Islam memandang positip aktivitas

perdagangan baik secara domestik maupun internasional. Betapapun Islam memijarkan etos

yang kuat dalam perekonomian, teologi Islam juga memiliki kesamaan dengan tradisi

pemikiran Graeceo-Romawi hingga skolastik, dalam hal penekanannya pada moralitas

perekonomian. Islam secara tajam mengkritik perilaku boros, tamak, napsu menimbun, dan

kesenangan duniawi secara berlebihan, serta pemberhalaan harta. Dengan memuliakan

martabat manusia, Islam mengakui konsep hak milik pribadi, namun di dalam hak milik

pribadi itu ada fungsi sosial. Dengan fungsi sosial dan hak milik pribadi itu, Islam

menekankan keadilan sosial.

Stimulus Islam terhadap Dunia Barat mendorong semangat renaisans (renaissance) di

Eropa. Perkataan renaisans berasal dari bahasa Perancis renaissance yang artinya adalah Lahir

Kembali atau Kelahiran Kembali. Yang dimaksudkan adalah kelahiran kembali budaya klasik

terutama budaya Yunani kuno dan budaya Romawi kuno. Masa ini ditandai oleh kehidupan

yang cemerlang di bidang seni kesusastraan, pemikiran, dan ilmu pengetahuan. Yang

mengeluarkan Eropa dari kegelapan intelektual jaman pertengahan.

13

Page 12: Tugas Filsafat Sila Ke 5

2. Pemikiran (Keadilan) Ekonomi Merkantilis

Pada mulanya, para pemikir merkantilis menekankan pentingnya regulasi negara atas

perdagangan. Sasaran dan regulasi negara ini antara lain: akumulasi kekayaan atau perhiasan,

peningkatan kemakmuran nasional atau pertumbuhan ekonomi, pencapaian keseimbangan

perdagangan, pemaksimalan tenaga kerja, proteksi industri lokal, dan peningkatan kekuatan

negara.

Doktrin merkantilis berkembang lebih jauh karena topangan dari para filsuf hukum

alam (natural law), dimana hukum alam ini mulanya diperkenalkan oleh Aquinas dalam

kerangka penggunaan nalar untuk menginterpretasikan rencana Ilahi mengenai apa yang

benar dan adil, yang dalam perkembangangannya berpengaruh dalam penyediaan topangan

baru untuk membenarkan peniagaan bebas. Fransisco de Victoria (1557), seorang ahli

Dominikian, menerapkan konsep ini pada hubungan antarbangsa. Lebih lanjut, Fransisco

Suarez (1612) berkeyakinan bahwa seluruh perniagaan internasional harus bebas bukan

sebagai suatu kewajiban dari hukum alam melainkan dari “hukum bangsa-bangsa” (law of

nations, ius gentium). Alberto Gentilli (1612) bahkan beragumen bahwa perang barangkali

dibenarkan terhadap negara-negara yang menolak untuk berdagang. Perang adalah alamiah

jika dilakukan karena beberapa privilese alam yang ditolak oleh manusia.

Memasuki abad ke-17, para penulis Inggris mulai mengembangkan perspektif yang

luas mengenai perdagangan. Menulis pada suatu periode yang diwarnai konflik politik dan

agama antarnegara, para pemikir merkantilis awal mengambil perspektif ekonomi nasional

yang ketat dimana satu-satunya perolehan yang dianggap relevan dari perdagangan ialah yang

menguntungkan suatu negara. Pertikaian ekonomi dan politik antar negara memunculkan

pandangan, bahwa jika karena jumlah perdagangan di dunia adalah tetap panas setiap titik

waktu, maka peningkatan perdagangan suatu negara harus diperoleh dengan pengorbanan

negara lain.

Perbedaan antara kepentingan privat saudagar dengan kepentingan yang lebih luas dari

bangsa dari bangsa membentuk basis fundamental bagi pembelaan merkantilis akan perlunya

regulasi negara atas perdagangan. Pengaturan, bimbingan, dan intervensi negara diperlukan

untuk mengaitkan aktivitas saudagar dengan kepentingan nasional, untuk menjamin agar

perdagangan dilakukan demi kemakmuran negara daripada kesejahteraan saudagar sendirian.

Samuel Fortrey (1663) berpendapat bahwa “betapa pentingnya keuntungan publik diletakkan

pada suatu tangan kekuasaan untuk mengarahkan, yang kepentingannya hanya demi

keuntungan keseluruhan.”

14

Page 13: Tugas Filsafat Sila Ke 5

Tekanan merkantilis pada peran negara ini mendapat tantangan dari pemikir

“fisiokrasi” Perancis serta filsafat moral Inggris dan Skotlandia. Pierre de Bois dan Francois

Quesnay mendukung perdagangan bebas dalam konteks pendekatan laissez-faire secara

umum yang memproklamasikan keharmonisan antara tindakan privat dengan kesejahteraan

publik. Sedangkan Thomas Hobbes, Richard Cumberland, Lord Kames, dan Josiah Tucker,

memperlihatkan posisi yang bernuansa, bahwa kompetisi dalam kerangka kebebasan alamiah

(natural liberty) menjamin harmoni yang luas, meski tidak sempurna, dari kepentingan-

kepentingan ini, dengan mengandaikan peran negara dalam menciptakan suatu litasi

kovergensi institusional (suatu sistem keadilan) yang akan memfasilitasi konvergensi ini

tanpa perlu mengarahkan aktivitas-aktivitas individual.

Munculnya jaman pencerahan (Age of Enlightenment) di Eropa sejak sekitar abad ke-

18, yang mengandung semangat revisi atas kepercayaan-kepercayaan tradisional, memberi

stimulus-stimulus baru bagi kemunculan tradisi intelektual yang sedikit berbeda pada

pertengahan abad ke-18 di Perancis dan Inggris. Semangat pencerahan ini mendapatkan

konteks situasi sosialnya dari revolusi industrial yang berlangsung sejak 1700-an. Tokoh yang

terkenal di jaman ini adalah David Hume dalam “Of Commerce” (1752) yang memuji

perdagangan luar negeri karena memperbesar kekuasaan negara dan juga kekayaan dann

kebahagian subjek. Wawasan kosmopolitan Hume, lebih tampak pada esainya “Of the

Balance Trade” (1752) dan “Of the Jealously of Trade” (1758), yang menolak isolasi dan

pembatasan perdagangan, meski mendukung tarif dan pajak yang menurutnya berguna untuk

mendorong industri dalam negeri.

3. Pemikiran Keadilan Ekonomi Pasca-Merkantilis

Kecenderungan pemikiran yang mendukung liberalisasi perdagangan itu memberi

latar belakang bagi kemunculan pemikiran ekonomi liberalism klasik (classical liberalism)

yang merupakan reaksi terhadap kecenderungan menguatnya intervensi negara dalam

kehidupan pribadi dan sosial, yang mendapat sokongan dan pemikiran merkantilis awal,

sehingga negara cenderung menjadikan manusia semata sebagai alat untuk melayani tujuan-

tujuan arbitrernya, seolah-olah dapat menentukan apa nilai dan impian terbaik bagi setiap

individu. Ide pokok dari liberalism klasik adalah suatu oposisi terhadap seluruh intervensi

negara dalam kehidupan pribadi dan sosoial, kecuali dalam bentuknya yang paling minimal

dan terbatas.

Tokoh terpenting dari pemikiran ekonomi liberalisme klasik adalah Adam Smith.

Pemikiran Smith berangkat dari suatu pengandaian moral berbasis imajinasi, yang dia

rumuskan pertamakalinya dalam The Theory of Moral Sentiments (1759). Teori moral ini

15

Page 14: Tugas Filsafat Sila Ke 5

berangkat dari suatu asumsi bahwa manusia adalah mahluk dengan daya “imajinasi”, dan

penemuan terbesar dari imajinasi adalah moralitas. Dengan Imajinasi, manusia mampu

menumbuhkan “simpati” terhadap apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain, bahkan

tanpa perlu melalui pengindraan secara langsung. Dengan kekuatan imajinasi dan simpati itu,

Smith melihat ada potensi moral dalam kepentingan diri sendiri maupun orang lain.

Dalam buku “The Wealth of Nations”, Adam Smith menekankan bahwa kebebasan

alamiah individu untuk berinteraksi dalam bidang ekonomi, masing-masing memburu

kebaikannya sendiri dengan menawarkan barang dan jasa kepada orang lain akan mengarah

pada alokasi sumber daya secara efisien dari sudut pandang masyarakat, individu-individu

yang saling berkeinginan dan berkepentingan akan bekerjasama, jika hal itu member

keuntunagan, dan hasil tahunan masyarakat akan naik pada level tertinggi.

Untuk bekerjanya mekanisme pasar yang menguntungkan semua pihak, diperlukan

apa yang disebutnya sebagai kondisi “persaingan yang sempurna”. Hanya dalam persaingan

yang fair, akan muncul “tangan-tangan tersembunyi” yang membawa keuntungan secara tidak

sengaja bagi semua pihak. Smith mengungkapkan berbagai keadaan dimana dimana

kebijakan pemerintah, seperti penyedian sarana-sarana publik serta penegakan sistem hukum

dan keadilan, dapat memungkinkan “tangan-tangan tersembunyi” dari pasar beroperasi secara

lebih efektif.

Masalah dalam pemikiran ekonomi liberalisme klasik bersumber dari asumsi

moralnya yang terlalu optimis dalam mengandalkan simpati moral dari kepentingan

individual, serta pengandaian adanya kondisi persaingan pasar yang sempurna. Simpati moral

dapat ditumpulkan oleh hasrat akumulasi kapital dengan cara memperoleh keuntungan

setinggi-tingginya melalui cara-cara yang tidak adil dalam ketiadaan kondisi persaingan pasar

yang sempurna.

Kemacetan simpati moral mulai terlihat tanda-tandanya, sebagai inplikasi dari tuntutan

Adam Smith sendiri bahwa pembagian kerja (division of labour) atau spesialisasi merupakan

salah satu kunci pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus. Pembagian kerja akan

berkembang jika pasaran barang yang diproduksi terjamin. Perluasan pembagian kerja akan

mandek apabila pasar untuk barang-barang sudah tidak tumbuh lagi, sehingga dibutuhkan

perluasan territorial untuk menjamin perluasan pasar yang pada gilirannya juga untuk

perluasan kawasan investasi.

Untuk itu, Adam Smith mendukung adanya koloni ekonomi meski diandaikan dalam

keadaan bebas dan alamiah. Namun, pengandaian itu terlalu bersifat positivistik karena untuk

pembentukan koloni ekonomi tersebut nyatanya diperlukan bantuan pemerintah dengan

aparatus pernaksnya, yang pada gilirannya melahirkan kolonialisme dan imperialism sebagai

16

Page 15: Tugas Filsafat Sila Ke 5

perpanjangan dari liberialisme-kapitalisme menunjukkan kegagalan simpati moral berbasis

kepentingan individual dan juga kemacetan mekanisme “the invisible hand”, yang hanya

menguntungkan kapitalis-kolonialis di atas kerugian dan penderitaan kaum terjajah.

Salah seorang pemikir terpenting dari libertarian kanan ini adalah Friedrich von Hayek

(1899-1922). Pemikirannya mengenai ekonomi moneter dalam “Prices and Production”

(1931) dan “Pure Theory of Capital” (1941) dibahasakan dalam terma politik dalam Road to

Serfdom (1944) dan Constitution of Liberty (1966). Gagasan bahwa pemerintah atau lembaga

antar-pemerintahan menjadi pelaku pokok amat ditentang oleh von Hayek, dan ini menjadi

arah kritik von Hayek pada beberapa gagasan Keynes. Von Hayek mempunyai sisi kuat yaitu

dorongan supaya manusia secara aktif membangun interaksi demi kemajuan. Namun gagasan

von Hayek, dipandang sebagai purist, tidak memperhitungkan apa yang ditunjukkan oleh

game theory dan juga dalam konsep free rider, bahwa manusia dapat menjadi amat oportunis,

bahkan dalam hal yang seharusnya amat mulia seperti “amal”. Gagasan von Hayek tidak

tahan uji dalam praktik. Dalam model von Hayek, keadilan sosial bias terwujud, namun tidak

pasti.

Libertarian capitalism membawa paradigma neoliberalisme dalam perekonomian

yang cenderung melompat pada individualisme, tanpa mengingat dimensi emansipasi

liberalisme klasik yang berusaha menyelamatkan kebebasan dan keadilan individual dari

sangkar besi intervensi negara. Dengan langsung melompat pada individualisme, seraya

mengabaikan konteks emansipatorisnya, neoliberalisme cenderung meringkus peran negara,

dengan membatasi semata-mata sebagai pelayan pasar. Dengan menjadikan negara sebagai

pelayan pasar, neoliberalisme member terlalu banyak pada kebebasan individu, melupakan

bahwa individualisme yang bersifat predator juga bisa membawa sumber-sumber penindasan

dan ketidakadilannya sendiri.

Tahun 1848, John Stuart Mill, menunjukkan keterkejutannya atas ketidakadilan serius

dalam distribusi kekayaan masyarakat dan mencoba mencari penyebabnya. Dia mengusulkan

untuk memisahkan secara tegas antara sistem produksi dan sistem distribusi. Dua puluh tahun

kemudian, Karl Marx (1818-1883) menggugat secara radikal teori tentang keadilan ekonomi

yang hanya memperhatikan hubungan distribusi, yang menurut penilaiannya tidak mengenai

sasaran. Dalam pandangan Marx, yang pertama dianalisis adalah hubungan produksi. Dalam

hubungan produksi, buruh berkedudukan lemah karena hanya memiliki tenaga, sedangkan

pemilik modal berkedudukan jauh lebih kuat. Eksploitasi nilai tambah oleh pemilik modal di

atas pemiskinan kaum buruh, merupakan sumber ketidakadilan ekonomi pada tahap yang

lebih dini.

17

Page 16: Tugas Filsafat Sila Ke 5

Paham sosialisme bangkit kembali sebagai respons atas ketidakadilan baru yang

ditimbulkan oleh individualisme. Kata “sosialisme” sendiri pertama kali dimunculkan oleh

Robert Owen yang dituangkan dalam majalah Inggris, Coorporative Magazine (1827).

Majalah ini dimaksudkan untuk mensosialisasikan pandangan-pandangan Owen sendiri, yang

dikemudian dikenal sebagai pendiri utama gerakan kooperasi. Sebagai perintis gerakan

sosialisme dan kooperasi, Owen membayangkan adanya masyarakat yang terdiri dari

komunitas mandiri yang mempertautkan individu-individu bebas dan berpikir rasional.

Permuliannya pada kebebasan individu ini tidaklah jauh berbeda dari paham liberalisme.

Namun begitu, segera dia tambahkan bahwa individu-individu kooperatif, yang bersifat

altruis, asosiatif, dan harmonis dengan kehidupan dan kebajikan kolektif.

Pada perkembangan lebih lanjut, sosialisme ini menuntut egalitarianisme yang lebih

tuntas dengan menawarkan konsepsi perjuangan kelas pekerja. Hal ini mendapatkan

formulasinya sejak Karl Marx menerbitkan pamflet “Manifesto Komunis” pada 1848, yang

pada gilirannya mendorong lahirnya berbagai varian sosialisme.

Perbedaan pandangan yang terjadi dalam rumpun Marxisme-sosialisme di Eropa

mengenai bagaimana menjalankan proyek transformasi dari kapitalisme menuju sosialisme.

Dalam pandangan Marxisme ortodoks, transformasi menuji sosialisme akan terjadi begitu

kapitalisme bangkrut akibat kontradiksi-kontradiksi internalnya sendiri. Tugas kaum Marxis

adalah mengintensifkan krisis internal kapitalisme melalui pertentangan kelas dan revolusi

sosial. Beberapa pemikir utama sosialisme revolusioner adalah Karl Kautsky, Rosa

Luxemburg, dan Leon Trotsky.

Percobaan pembumian model pemikiran Marxisme ortodoks memperoleh katalisnya

melalui Revolusi Rusia pada 1917, yang melahirkan gerakan Marxisme-sosialisme

Internasional ke-3, dengan haluannya yang terkenal sebagai haluan bolsjewik atau komunis.

Dibawah sistem ini, ekonomi komando dijlankan dengan melahirkan etatisme.

Sistem ekonomi etatisme hanya menguntungkan sekelompok kecil elite yang

mengarah pada pembentukkan semacam kelas sosial tersendiri yang disebut “nomenklatura”

yang menguasai berbagai posisi administratif di semua bidang kehidupan. Menyimpang dari

pandangan Marxis orthodox, Eduard Bernstein menganggap bahwa perjuangan demokratik

melalui mekanisme parlementer untuk merebut negara merupakan suatu cara yang diperlukan

untuk mentranformasikan kapitalisme menuju sosialisme. Pandangan ini membuat Adam

Przeworski (1988) melihat gerakan sosial demokrasi sebagai jalan parlementer menuju

sosialisme. Penekanan Bernstein adalah pada revisionisme demokratik dan sosialisme yang

lebih evolusioner, yang kemudian melahirkan paham “social-democracy” atau sering disebut

sosdem.

18

Page 17: Tugas Filsafat Sila Ke 5

Doktrin revisionisme Bernstein dianggap sebagai kontradiksi terhadap Maxisme

mainstream, bahkan Bernstein sendiri akhirnya di cap sebagai pembelot. Pemikiran sosdem

berusaha memperjuangkan keadilan ekonomi dengan berusaha mengatasi kelemahan-

kelemahan dari sistem sosialisme-etatisme dan kapitalisme. Hal ini ditempuh melalui

intervensi negara dalam penataan pasar dan jaminan sosial, disertai keleluasaan yang

diberikan bagi kebebasan kreatif individual. Aktualisasi peran negara ini dikembangkan

melalui eksistensi negara kesejahteraan.

Gagasan negara kesejahteraan ini beresonansi dengan pemikiran ekonomi yang

dikembangkan oleh seorang pemikir ekonomi Inggris, John Maynard Keynes (1883-1946).

Keynes amat terkenal dengan karya pentingnya “Treatise on Money” (1930) dan “The

General Theory, Interest and Money” (1936), yang juga dilingkupi dengan karya-karya yang

lebih politis seperti Economic Consequence of Peace (1919) dan The End of Laissez-Faire

(1926). Dalam karyanya, Keynes menunjukkan bagaimana pranata kemanusiaan, terutama

negara, mempunyai peranan penting dalam “memutar’ penghidupan manusia. Jika manusia

dibiarkan bertarung dengan manusia lain tanpa adanya pranata, yang terjadi adalah

kemustahilan setiap upaya manusia itu sendiri.

Keynes memuji gagasan von Hayek dalam ”Road to Sefrdom” (1944) bahwa

ketidakbebasan dapat datang dari suatu bentuk kolektivisme, sebagaimana yang ditunjukkan

dalam pengalaman Nazisme dan komunisme-Uni-Soviet. Keynes mengakui bahwa manusia

mempunyai kemampuan yang unik dalam mengembangkan relasi dan penghidupannya

terhadap manusia lain. Pemikiran Keynes yang menekankan pentingnya pranata manusia

memperoleh kesempatan dan pembuktiannya, ketika dia dengan memanfaatkan capital market

menjadi tokoh penting dalam mendesain ekonomi dunia selama dan setelah Great

Depression. Yang lebih penting, Keynes juga menjadi arsitek penting bagi terciptanya negara

kesejahteraan.

Negara Kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan demokratis

yang menempatkan negara sebagai bentuk pemerintahan demokratis yang menempatkan

negara sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, melalui

serangkaian kebijakan publik dalam mengintegrasikan kebijakan ekonomi dan kebijakan

sosial demi pencapaian kesejahteraan dan keadialan sosial. Sistem negara kesejahteraan

diorientasikan untuk mempromosikan efisiensi ekonomi, menngurangi kemiskinan,

memperkuat kesejahteraan sosial, dan mempeomosikan kemandirian individu.

Model pertama dari negara kesejahteraan adalah model “universal welfare state”.

Model ini berbasis rezim kesejahteraan sosdem yang didirikan dengan cakupan jaminan sosial

yang universal dan kelompok target yang luas serta tingkat dekomodifikasi yang ekstensif.

19

Page 18: Tugas Filsafat Sila Ke 5

Model ini berkembang di Demark, Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Belanda. Model ini

beresonasi dengan model yang berkembang di negara-negara lain yang lebih konservatif

seperti Austria, Belgia, Perencis, Jerman, Italia, dan Spanyol. Dalam persenyawaanya dengan

tardisi sosialisme kekristenan, berkembanglah di negara-negara tersebut rezim kesejahteraan

konservatif yang melahirkan model “social insurance welfare state”. Model ini dicirikan oleh

sistem jaminan sosial yang tersegmentasi serta peran penting jejaring keluarga sebagai

penyedia pasok kesejahteraan.

Berkaitan dengan hal itu, sebagai respons atas kritik sosialisme dan juga sebagai

ikhtiar untuk meredakan perlawanan kelas pekerja dari lingkungan internal kspitalisme

sendiri, negara-negara yang berbasis liberal-kapitalisme juga mengembangkan rezim

kesejahteraan tersendiri. Hal ini pada gilirannya melahirkan model “residual welfare state”,

yang berbasis pada rezim kesejahteraan liberal yang bercirikan jaminan sosial yang terbatas

terhadap kelompok target secara sselektif serta dorongan yang kuat bagi pasar untuk

mengurus pelayanan public. Model ini berkembang antara lain di Australia, Kanada, Selandia

Baru, dan Amerika Serikat.

Pergulatan antara sosialisme dan kapitalisme mengarah pada usaha saling belajar

untuk mengambil sisi-sisi positif seraya meninggalkan sisi-sisi negative dari kedua paham

tersebut. Perkembangan kebijakan perekonmian dari kedua kutub tersebut cenderung bergerak

menuju titik keseimbangan antara dimensi individual dan sosial manusia, antara peran negara

dan pasar. Dari arah kiri ke kanan, negara komunis (bekas komunis) seperti RRC dan Rusia

yang semula menerapkan sistem ekonomi komando, dalam perkembangan terkahir mulai

membuka diri bagi peran pasar dalam perekonomiannya.

Dari arah kanan ke kiri, terjadi pergeseran dari fundamentalisme pasar menuju

ekonomi “pasar sosial”. Ekonomi pasar sosial menghargai hak milik, kombinasi usaha

individu dan masyarakat serta keragaman aktivitas ekonomi. Ekonomi pasar sosial

meletakkan supremasi demokrasi dan konstitusi sebagai pemandu dan perangkum dari

ekonomi suatu negara dan dunia, sebagai basis pembebasan manusia dari penindasan dan

ketimpangan. Seiring dengan itu, pranata negara dianggap mempunyai peran penting dalam

melindungi dan mengembangkan masyarakat secara memadai, seperti melalui bentuk-bentuk

asuransi, skema pendanaan untuk masyarakat, penetapan cadangan komoditi atau modal, dan

lain sebagainya. Peran negara amat aktif, tetapi tidak menindas atau meniadakan keragaman.

Kecenderungan ke arah ekonomi pasar sosial itu tampak sebagai fenomena yng

berkembang di negara-negara Eropa pasca perang dunia II, terutama di Jerman dan Perancis.

Berbagai negara di Eropa memilih ekonomi pasar sosial sebagai sebuah pilihan dan

pengakuan bahwa pluralitas manusia adalah faktor penting dalam ekonomi. Tidak ada boleh

20

Page 19: Tugas Filsafat Sila Ke 5

penyeragamanm dan tidak ada boleh dominasi satu kelompok atas kelompok lain. Ekonomi

pasar sosial ini juga banyak dikembangkan di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Ekonomi pertanian amatlah besar, baik dalam hal modal, akses, dan tenaga kerja. Ekonomi

yang berbasis pada industri manufaktur yang intensif pastilah bukan pilihan pertama dari

negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, penting, tetapi bukan yang utama. Disini

terletak pentingnya ekonomi pasar sosial yang berangkat dari situasi masyarakatnya.

Perkembangan selanjutnya, krisis ekonomi-finansial Amerika pada awal millennium

baru, yang merembet menjadi krisis global, juga memaksa negara-negara kapitalis untuk

memeriksa ulang pengandaian moralnya atas supremasi kebebsasan individual serta

keutamaan fundamentalisme pasar. Dapat dikatakan inilah gelombang surut proyek

neoliberalisme seperti yang kita kenal. Naomi Klein (2007) mendokumentasikan bagaimana

kebijakan neoliberal menyumbang pada tumbuhnya otoritarianisme, eksploitasim

ketidaksetaraan, dan perusakan lingkungan. Robert Kuttner (2007) memperlihatkan bahwa

neoliberalisme Amerika Serikat menggunakan kekuatan negara sebagai instrument pasar

untuk menderegulasikan industri keuangan. Dengan demikian, secara radikal mengubah

pemerintahan dan masyarakat dengan menekankan pada persaingan, desentralisasi, devolusi,

deregulasi, dan privatisasi atas industri, tanah, dan pelayanan public, serta mengganti

kebijakan-kebijakan sosial yang bersifat welfare dengan “workfarist”.

Penekanan yang terlalu berlebihan pada daulat pasar menimbulkan apa yang disebut

ekonom Joseph Stiglitz (2008) inkompetensi dari pihak pengambil keputusan serta

merangsang ketidakjujuran dari pihak institusi financial. Perilaku tidak patut di dalam dunia

korporasi merajalela. Megaskandal Enron, Lehman Brothers, dan yang lainnya menurut

Daniel Yankelovich (2006), lebih disebabkan oleh bertemunya tiga kecenderungan.

Pertama, deregulasi. Hasrat menggebu melakukan deregulasi pada 1980-an mengubah

para penjaga gawang, seperti firma akuntan, bankin, ataub firma hukum bisnis menjadi pelaku

utama. Alih-alih mengawasi, mereka justru mempermudah atau malah melakukan tindakan

kejahatan bisnis.

Kedua praktik menyambungkan bagian terbanyak dari kompensasi CEO ke bursa

saham, para petinggi korporat ini diberikan saham bernilai milyaran sebagai bonus atas gaji.

Akibatnya mereka lebih mengedepankan nilai saham ketimbang kesejahteraan perusahaan

atau masyarakat. Dan ketiga, memasukkan norma-norma kalah atau menang ke dalam

kehidupan korporasi. Penggabungan kecenderungan-kecenderungan ini turut menciptakan

mesin skandal yang sering membuat skandal sebagai satu keniscayaan.

Akhirnya, krisis financial yang berkembang menjadi krisis ekonomi juga

menggamarkan sesuatu yang lebih mendalam-apa yang disebut Robert Reich (2007) sebagai

21

Page 20: Tugas Filsafat Sila Ke 5

“superkapitalisme”. Superkapitalisme adalah suatu konsep yang menggambarkan semakin

menguatnya kompetisi di dunia bisnis dalam memperebutkan konsumen dan investor yang

kemudian merambah ke dunia politik. Persaingan bisnis itu mengakibatkan dana dalam

jumlah besar mengalir dari korporasi dan badan-badan keuangan guna membiayai dan

mengarahkan politik dan kebijakan publik demi kepentingan mereka. Dengan kata lain,

“capitalism has invaded democracy”.

Berbagai moral hazard dalam perekonomian neoliberalisme Amerika Serikat

membawa masuk kembali anasir sosialisme melalui pintu belakang. Peran negara kembali

diperkuat yang jalannya dicoba diratakan kembali oleh pemerintahan Obama, melalui proyek

“nasionalisasi” serta perluasan sistem jaminan sosial.

Putaran balik pendulum pemikiran ekonomi ke jalan tengah, dengan penguatan

kembali peran negara, juga tercermin dari kecenderungan para peraih anugerah Nobel

Ekonomi sejak penghujung abad lalu yang didominasi oleh para ekonom yang berdomisili di

Amerika Serikat, Amartya Sen, peraih nobel ekonomi pada 1998 mengakui pentingnya peran

negara dalam kaitan antara welfare economics dan kebebasan manusia. Dalam pandangannya,

negara mempunyai kekuatan untuk bersiasat dengan berbagai instrument kebijakan untuk

melindungi dan mempromosikan kesetaraan dan kebebasan manusia. Pengakuan ini diperkuat

antara lain oleh pemikiran peraih nobel ekonomi tahun 2007, Leonid Hurwicz, Eric Maskin,

dan Roger Myerson, yang sama-sama berkontribusi dalam mengembangkan apa yang disebut

sebagai “mechanism design theory”. Dalam teori ini, diakui bahwa alokasi barang dan jasa

diandaikan terjadi secara lebih efisien dalam ekonomi pasar.

Kecenderungan perekonomian yang mencari titik keseimbangan antara dimensi

individual dan sosial manusia, antara peran pasar dan negara mendapat topangan teoritisnya

antara lain dari pemikir liberal kiri John Rawls. Dalam Opus magnum-nya, A Theory of

Justice (1971), Rawls menggabungkan konsep hak milik individu dari John Locke, kemauan

hidup bersama demi terpenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama dari Jean-Jacquaes

Rousseau, dan kemauan melakukan kebaikan pada orang lain tanpa tendensi apa pun sesuai

dengan aturan formal dari Immanuel Kant.

Dalam kerangka teori diatas, Rawls mengasumsi masyarakat sebagai kumpulan

individu yang berdimensi ganda, di satu sisi, sebagai mahluk sosial yang mau bersatu karena

adanya ikatan untuk memenuhi kepentingan bersama, di sisi lain, sebagai mahluk individual

yang masing-masing mempunyai pembawaan serta hak yang berbeda, yang tidak bisa dilebur

begitu saja ke dalam kehidupan sosial. Persoalannyam bagaimana menyerasikan antara

kehendak memenuhi hak-hak dan pembawaan individu, dengan kewajiban sosial demi

22

Page 21: Tugas Filsafat Sila Ke 5

memenuhi kebutuhan dan kebijakan kolektif, yang dapat menciptakan hubungan sosial yang

berkeadilan.

Teori keadian Rawls berusaha menjawab tantangan tersebut. Dengan mendefinisikan

keadilan sebagai fairness, Rawls mengajukan dua prinsip keadilan sebagai basis untuk

menjaga harmoni antara hak individu dengan kewajiban sosial. Pertama, prinsip kesetaraan

kebebasan (principle of equal liberty), bahwa setiap orang memiliki kebebasan dasar yang

sama. Kebebasan dasar ini meliputi, antara lain: kebebasan politik, kebebasan berpikir,

kebebasan dari tindakan sewenang-sewenang, kebebasan personal, dan kebebasan untuk

memiliki kekayaan.

Kedua, prinsip perbedaan, bahwa perbedaan yang ada diantara manusia, dalam bidang

ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, dengan perlakuan yang berbeda pula,

sehingga dapat menguntungkan setiap orangnya, khususnya orang-orang yang secara kodrati

tidak beruntung, dan sesuai dengan kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua

orang.

Singkat kata bagi Rawls, setiap orang harus diperlakukan secara setara, kecuali jika

dengan kesetaraan perlakuan itu, dapat timbul ketidakadilan yang lebih besar. Dalam kondisi

seperti itu, perbedaan dalam perlakuan diperlukan dalam rangka menghadirkan keadilan

sosial. Untuk itu, perbedaan perlu diatur sedemikian rupa sehingga terjadi ikatan solidaritas

sosial dan kerja sama yang saling menguntungkan. Di sinilah, institusi negara memainkan

peran penting.

Dalam konteks kedenderungan perekonomian yang semakin bergerak ke jalan tengah

serta teori keadilan seperti itu, prinsip keadilan sosial yang terkandung dalam sila ke 5

Pancasila, dengan prinsip negara kesejahteraan yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945

(terutama pasal 23, 27, 31, 33, dan 34) memiliki resonansi yang kuat. Sejak awal, para pendiri

bangsa ingin menempatkan sistem keadilan dan ekonomi dalam titik ideal keseimbangan

antara peran negara (sosial) dan peran individu (swasta), hak dan kewajiban, serta antara

pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Menurut alam pemikiran pancasila, semangat kekeluargaan yang bersifat tolong

menolong merupakan jalan keluar atas kelemahan sistem ekonomi liberal-kapitalisme dan

etatisme. Dalam semangat kekeluargaan, hak dan partisipasi warga itu diletakkan dalam

kerangka kewajiban untuk memujudkan kebaikan kolektif. Sebaliknya, seperti dikatakan oleh

Bung Hatta, dalam konsepsi negara kekeluargaan ala Indonesia, tidak dibenarkan adanya

negara kekuasaan atau negara penindas.

Dalam implementasinya, usaha mewujudkan perekonomian dalam kerangka

keseimbangan antara peran individu (pasar) dan sosial (negara) itu tidaklah bergerak dalam

23

Page 22: Tugas Filsafat Sila Ke 5

suatu ruang vakum. Dengan mewarisi keadaan ekonomi-politik Indonesia pasca colonial yang

ditandai oleh aneka dualism dan kesenjangan, luasnya kemiskinan serta kemajemukan

masyarakat, semangat kekeluargaan lebih ditonjolkan. Dalam situasi perdagangan pasar yang

tidak sempurna, kompetisi harus diletakkan dalam semagat kooperasi (cita-cita tolong

menolong), yang mengarah pada koopetisi, dan menunaikan kewajiban lebih didahulukan

ketimbang menuntuk hak. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas

asas kekeluargaan.

Dengan menolak paham individualism-liberalisme yang melahirkan kolonialisme di

Indonesia, para pendiri bangsa, baik yang bercorak islamis, nasionalis maupun sosialis, sama-

sama mengidealiasikan sosialisme sebagai basis pemenuhan keadilan sosial. Paham

sosialisme ala Indonesia ini, menurut Mohammad Hatta, merupakan perpaduan dari unsure

tradisi tolong-menolong (gotong-royong) masyarakat asli Indonesia, dengan unsure

sosialisme-religius, serta unsure sosdem dari Eropa. Dengan memadukan unsur-unsur

tersebut, sosialisme Indonesia bersendikan nilai-nilai sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi

dan keTuhanan. Nilai-nilai ini terkandung dalam sila-sila Pancasila.

D. Membumikan Keadilan Sosial dalam Kerangka Pancasila

Dalam menguraikan sila keadilan sosial (prinsip kesejahteraan) Soekarno menyatakan;

“ Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta

rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechvaardigheid ini, yaitu bukan saja

persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun diatas lapangan ekonomi kita harus

mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.” Dengan

mengembangkan persamaan di lapangan ekonomi, Soekarno berharap” tidak akan ada

kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.”

Pencapaian tugas luhur itu tidak dipercayakan pada laissez-fair yang berbasis

individualism-kapitaslisme, karena Indonesia mengalami pengalaman buruk penindasan

politik dan pemiskinan ekonomi yang ditimbulkan oleh kolonialisme; sementara,

kolonialisme itu sendiri merupakan perpanjangan dari individualism-kapitalisme. Alih-alih

memercayakannya pada individualism-kapitalisme, Soekarno meyatakan bahwa sila keadilan

sosial adalah “ protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme.”

Titik tumpu pencapaiaannya dipercayakan kepada sosialisme yang bersendikan

semangat kekeluargaan dengan menghargai kebebasan kreatif individu. Sosialisme Indonesia

menjunjung tinggi asas persamaan dan kebebasan individu, namun dengan penekanan bahwa

individu-individu tersebut adalah individu-individu yang kooperatif dengan sikap altruis, yang

mengedepankan tanggung jawab dan solidaritas sosial bagi kebajikan kolektif. Dalam sistem

24

Page 23: Tugas Filsafat Sila Ke 5

sosialisme ini diandaikan bahwa seluruh penghasilan diatur menurut keperluan dan maslahat

masyarakat untuk menghindari krisis karena persaingan. Dalam kaitan ini, Sutan Sjahrir

menyatakan, “Sekali-kali, tidaklah boleh kepentingan segolongan rakyat banyak yang miskin.

Keadilan yang kita kehendaki adalah keadilan bersama yang didasarkan atas kemakmuran dan

kebahagiaan” (Sjahrir, 1982:127)

Dalam rangka merealisasikan keadilan itu para pendiri bangsa kerap mengemukakan

bahwa, “Negara adalah suatu organisasi masyarakat yang bertujuan menyelenggarakan

keadilan.” Cita-cita menghadirkan keadilan bernegara dan negara yang berkeadilan

mensyaratkan adanya emansipasi dan partisipasi di bidang politik yang berkeadilan dengan

emansipasi dan partisipasi di bidang ekonomi. Inilah yang disebut dengan prinsip “sosio-

demokrasi.” Menurut Soekarno, “Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepada kepentingan

sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio-demokrasi adalah

demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.” ( Soekarno, 1932)

Dengan demikian, negara Indonesia tidak dikehendaki sebagai “negara liberal,”

melainkan sebagai “ negara kesejahteraan “ (negara sosial). Dalam pemikiran para pendiri

bangsa, negara kesejahteraan yang dimaksud adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis

yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat (setidaknya

secara minimal), bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak

ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak memperoleh

jaminan sosial. Dalam negara kesejahteraan Indonesia, yang dituntut oleh etika politiknya

bukanlah penghapusan hak milik pribadi, melainkan bahwa hak miliki pribadi itu memiliki

fungsi sosial dan negara bertanggung jawab atas kesejahteraan umum dalam masyarakat.

Berasal dari kata ‘al-adl’ (adil), yang secara harfiah berarti: “lurus”, “seimbang”,

keadilan berate memperlakukan setiap orang dengan prinsip kesetaraan (principle of equal

liberty), tanpa diskriminasi berdasarkan perasaan subjektif, perbedaan keturunan, keagamaan

dan status sosial. Adanya aneka kesenjangan yang nyata dalam kehidupan kebangsaan-

sebagai warisan dari ketidakadilan pemerintahan pra-Indonesia-hendak dikembalikan ke titik

berkeseimbangan yang berjalan lurus, dengan mengembangkan perlakuan yang berbeda (the

principle of difference)-sesuai dengan perbedaan kondisi kehidupan setiap orang (kelompok)

dalam masyarakat serta dengan cara menyelaraskan antara pemenuhan hak individual dengan

penuaian kewajiban sosial.

Komitmen keadilan menurutalam pemikiran Pancasila berdimensi luas. Peran Negara

dalam perwujudan keadilan sosial, setidaknya ada dalam kerangka: 1. Perwujudan relasi yang

adil di semua tingkat sistem (kemasyarakatan), 2. Pengembangan struktur yang menyediakan

kesetaraan kesempatan, 3. Proses fasilitasi akses atas informasi yang diperlukan dan 4.

25

Page 24: Tugas Filsafat Sila Ke 5

Dukungan atas partisipasi bermakna atas pengambilan keputusan bagi semua orang. Yang

dituju dari gagasan keadilan ini juga tidak terbatas pada pemenuhan kesejahteraan yang

bersifat ekonomis, tetapi juga terkait dengan usaha emansipasi dalam kerangka pembebasan

manusia dari usaha pemberhalaan terhadap benda, pemuliaan martabat kemanusiaan,

pemupukan solidaritas kebangsaan dan penguatan daulat rakyat.

Berdasarkan rumusan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, Universitas Brawijaya

(2009), keadilan sekurang-kurangnya terwujud dalam tiga bentuk :

1. Keadilan dalam hubungan ekonomi antarmanusia secara orang-seorang dengan senantiasa

memberikan kepada sesamanya apa yang semestinya diterima sebagai haknya. Inilah yang

melahirkan keadilan tukar-menukar.

2. Keadilan dalam hubungan ekonomi antara manusia dengan masyarakatnya, dengan

senantiasa memberi dan melaksanakan segala sesuatu yang memajukan kemakmuran dan

kesejahteraan bersama. Inilah yang melahirkan keadilan sosial.

3. Keadilan dalam hubungan ekonomi antara masyarakat dengan warganya, dengan

senantiasa membagi segala kenikmatan dan beban secara merata sesuai dengan sifat dan

kapasitasnya masing-masing. Inilah yang melahirkan”keadilan distributif”.

Terhadap ketiga bentuk keadilan tersebut, barangkali perlu ditambahkan satu lagi,

yakni keadilan dalam hubungan-hubungan produksi antara pemilki modal dan buruh. Nilai

tambah tidak boleh hanya dieksploitasi oleh pemilik modal saja, melainkan juga perlu dibagi

kepada buruh. Hal ini bisa ditempuh melalui pengalokasian sebagian saham bagi kaum buruh

dan/ atau kepatutan standar penggajian dan jaminan sosial karyawan. Inilah yang melahirkan

“keadilan produktif” yang dikenal dengan keadilan dalam hubungan industrial.

Untuk mewujudkan keadilan sosial dalam pelbagai hubungan ekonomi tersebut

diletakkan dalam kerangka etis, imperative moral Pancasila. Sri-Edi Swarsono (2009:6)

menjelaskan bahwa sistem ekonomi Pancasila dapat digambarkan sebagai sisitem ekonomi

yang berwawasan sila-sila Pancasila yaitu :

1) Ketuhanan Yang Maha Esa (adanya atau diberlakukannya etik dan moral agama, bukan

materialism);

2) Kemanusiaan (kehidupan berekonomi yang humanistic, adil dan beradab), tidak

mengenal pemerasan dan penghisapan;

3) Persatuan (berdasar sosio-nasionalisme Indonesia, kebersamaan dan berasas

kekeluargaan, gotong-royonng, bekerjasama, tidak saling mematikan);

4) Kerakyatan (berdasar demokrasi ekonomi, kedaulatan ekonomi, mengutamakan hajat

hidup orang banyak, ekonomi rakyat sebagai dasar perekonomian nasional);

26

Page 25: Tugas Filsafat Sila Ke 5

5) Keadilan sosial secara menyeluruh (kemakmuran rakyat yang utama, bukan kemakmuran

orang-seorang, berkeadilan, berkemakmuran).

Dengan formulasi yang lain, Mubyarto (1994:44-45) menyebutkan ciri-ciri sistem

ekonomi Pancasila sebagai berikut :

1. Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral

2. Ada kehendak kuat dari seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan keadaan

kemerataan sosial-ekonomi.

3. Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah pengembangan ekonomi-nasional yang kuat dan

tangguh, yang berarti nasionalisme selalu menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi.

4. Kooperasi merupakan sokoguru perekonomian nasional

5. Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara sentralisme dan desentralisme

kebijaksanaan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan keadilan sosial dengan

sekaligus menjaga prinsip efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.

Emil Salim meringkas pengertian sistem Ekonomi Pancasila ke dalam empat ciri

pokok. Pertama, adanya demokrasi ekonomi; produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua

dan di bawah pimpinan atau kepemilikan anggota. Kedua, cirri kerakyatan, yaitu

memerhatikan penderitaan rakyat. Ketiga, kemanusiaan yang berarti tidak memberi toleransi

pada eksploitasi manusia. Dan, keempat, religius, yaitu menerima nilai-nilai agama dalam

hidupnya.

Dengan landasan konsepsonal tersebut, sistem ekonomi Pancasila berada pada tiga

level sekaligus: ontologism, epistemologis dan aksiologis. Secara ontologism, keberadaan

sistem Ekonomi Pancasila berangkat dari Pancasila sebagai landasan idelanya dan UUD-45

sebagai landasan konstitusionalnya. Secara epistemologis, sistem ekonomi Pancasila

berangkat dari konsepsi paradigmatic yang menempatkan keadilan ekonomi dalam kerangka

keseimbangan antara dimensi manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, antara

hak dan kewajiban, antara dimensi jasmani dan rohani, serta antara pemenuhan hak sipil dan

politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara aksiologis, sistem ekonomi Pancasila

berangkat dari fakta empiris kesenjangan sosial dan ketidaksempurnaan pasar, yang ingin

mengatasinya dengan cita-cita tolong-menolong secara kekeluargaan (koperasi).

Kata “kooperasi’, pertama-tama harus dipahami sebagai “kata kerja”(proses), yakni

semangat tolong menolong: semangat kekeluargaan yang senantiasa mengupayakan

keuntungan bersama, solidaritas sosial yang berorientasi “berat sama dipikul, ringan sama

27

Page 26: Tugas Filsafat Sila Ke 5

dijinjing.: Dalam arti ini Mohammada Hatta dan juga Sjahrir, menyebutkan badan usaha milik

negara dan bahkan perusahaan swasta pun harus berjiwa kooperasi.

Dalam pengertian “kata kerja”, sifat kooperasi harus mewarnai segenap komponen

sistem ekonomi yang setidaknya meliputi factor: 1. Kepemilikan sumber daya, 2. Pelaku

ekonomi, 3. Mekanisme penyelenggaraan kegiatan ekonomi dan 4. Tujuan yang ingin dicapai.

Dalam hal kepemilikan sumber daya, sifat kooperasi itu tercermin pada pasal 33 (2): “

Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang

banyak dikuasai oleh negara’; dan pasal 33 (3):” Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.”

Dalam hal pelaku ekonomi, sifat kooperasi tercermin pada pembagian peran di antara

para pelaku ekonomi. Baik Badan Usaha Milik Negara,badan usaha kooperasi, maupun badan

usaha swasta diberi tempat sendiri-sendiri. Lebih dari itu, seluruh bentuk badan usaha itu

harus mengembangkan sifat “kooperasi” (“tolong-menolong”). Pembagian peran di antara

para pelaku ekonomi ini kira-kira bisa digambarkan sebagai berikut.

1. Negara menguasai lapangan perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak

2. Produksi, pengangkutan dan distribui bahan penting diselenggarakan oleh negara atau

sekurang-kurangnya dikuasai negara

3. Pemerintah daerah dianjurkan bergerak dalam ketiga lapangan produksi,

pengangkutan dan distribusi

4. Kooperasi dianjurkan bergerak di segala lapangan, terutama sector distribusi

5. Swasta diberi tempat yang layak dalam sector produksi dan pengakutan (PSEK

Universitas Brawijaya, 2008:21)

Dalam hal mekanisme penyelenggaraan ekonomi, sifat kooperasi tampak pada peran

negara kekeluargaan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, dalam menyediakan

kerangka hukum dan regulasi, fasilitasi, penyediaan dan rekayasa sosial (social engineering).

Dalam perekonomian yang bersifat kooperasi, hak milik perseorangan tetap diakui, namun

dalam penggunaannya, dibatasi oleh kepentingan bersama. Dengan demikian, hak milik

perseorangan memiliki fungsi sosial. Selain itu, sifat kooperasi itu juga harus tercermin baik

pada tingkat ekonomi makro maupun ekonomi mikro. Pada tingkat ekonomi makro, sifat

kooperasi ditunjukkan melalui pemberdayaan peran serta rakyat dalam politik anggaran.

Inilah pesan yang terkandung dalam pasal 23 (1). Penjelasan UUD 1945 mengenai pasal ini

menyebutkan “bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan Dewan

Perwakilan Rakyat lebih kuat daripada kedudukan Pemerintah. Ini tanda Kedaulatan Rakyat.”

Pada tingkat ekonomi mikro, sifat kooperasi ditunjukkan oleh keterbukaan kesempatan

28

Page 27: Tugas Filsafat Sila Ke 5

berusaha dan bekerja, ketersediaan akses permodalan, informasi dan public goods bagi

segenap pelaku ekonomi dan juga pemberdayaan buruh dalam proses produksi dan pemilikan

dengan semangat kekeluargaan.

Dalam hal tujuan yang ingin dicapai, perekonomian yang bersifat kooperasi hendak

mewujudkan perikehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,

bahagia lahir dan batin. Kebahagiaan yang tidak hanya berdimensi lahiriah melainkan juga

batiniah, kebahagiaan juga tidak hanya dinikmati oleh segundukan kecil elite masyarakat,

melainkan juga bisa dirasakan oleh rakyat secara keseluruhan dengan relative sama rata dan

sama rasa.

Oleh para penggagasnya, kooperasi diyakini bisa mendidik semangat percaya pada diri

sendiri, memperkuat kemauan bertindak dengan dasar “self-help”. Dengan kooperasi, rakyat

seluruhnya dapat ikut serta membangun, berangsur-angsur maju dari yang kecil melalui yang

sedang, sampai akhirnya ke lapangan perekonomian yang besar. Tenaga-tenaga ekonomi yang

lemah lambat laun disusun menjadi kuat. Peran negara dibutuhkan, oleh karena untuk

mencapai hal itu diperlukan didikan, latihan dan pimpinan dari Pemerintah, dengan

menunjukkan bidang-bidang ekonomi mana yang harus digarap berangsur-angsur. Kooperasi

dapat pula menyelenggarakan pembentukan capital nasional dalam jangka waktu yang lebih

cepat, dengan jalan menyimpan sedikit demi sedikit tetapi teratur.

Sebab itu, kooperasi dianggap suatu sarana yang efektif untuk membangun kembali

ekonomi rakyat yang tertinggal. Kooperasi merasionalkan perekonomian karena

menyingkatkan jalan antara produksi dan konsumsi. Dengan adanya kooperasi produksi dan

kooperasi konsumtif yang teratur dan bekerja baik, perusahaan perantaraan yang sebenarnya

tidak perlu, yang hanya memperbesar ongkos dan memahalkan harga, dapat disingkirkan.

Tenaga-tenaga ekonomi yang tersingkirkan karena itu, dapat dialirkan kepada bidang

produksi yang lebih produktif. Antara pabrik pupuk dan kooperasi produksi (pertanian) tidak

perlu ada organisasi lain. Kooperasi pertanian dapat langsung memesan keperluannya akan

pupuk ke pabrik pupuk. Sampainya pupuk pada kooperasi tani dapat pula diatur pada

waktunya. Karena itu, produsen memperoleh upah yang pantas bagi jerih-payahnya dan

konsumen membayar harga yang murah.

Orientasi perekonomian yang mengarah pada keadilan sosial melalui pemerataan

kesempatan dan jaminan sosial inilah yang menjadi misi dari negara kesejahteraan Indonesia.

Negara kesejahteraan Indonesia diharapkan bisa menghadirkan kebijakan ekonomi yang dapat

menjaga iklim persaingan yang fair, berinvestasi dalam public goods, serta membela yang

lemah melalui pemberian jaminan sosial.

29

Page 28: Tugas Filsafat Sila Ke 5

Persaingan yang fair ditumbuhkan melalui pembagian peran di antara pelbagai jenis

badan usaha, serta semangat tolong-menolong (kooperasi) di semua bentuk dan rantai

perekonomian, serta kerangka hukum dan regulasi yang berkeadilan-yang mencegah

terjadinya monopoli/oligopoly orang seorang. Negara juga dituntut untuk mengembangkan

sarana dan prasarana public yang dapat diakses oleh semua, yang dapat mengembangkan

kesempatan kerja serta mencegah terjadinya asimetri informasi melalui kewajiban

mengembangkan pendidikan yang bisa diakses oleh semua. Inilah pesan pokok dari pasal 27

(2) dan pasal 31, bahwa “Tiap-tiap Warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan,”dan “Tiap-tiap Warga negara berhak mendapat pengajaran.”

Selain melalui pendidikan, negara kesejahteraan Indonesia juga berusaha mengatasi

kesenjangan sosial yang lebar dengan menerapkan apa yang disebut John Rawls sebagai

“prinsip perbedaan” (the principle of difference), yaitu bahwa setiap orang harus diperhatikan

setara (principle of equal liberty), kecuali jika dengan kesetaraan perlakuan itu justru

melahirkan ketidakadilan yang lebih besar. Perlakuan khusus perlu diberikan oleh negara

kepada golongan ekonomi lemah, yang menjadi karakteristik dari mayoritas rakyat Indonesia,

baik pada skala ekonomi makro maupun mikro. Pada tingkat ekonomi makro, perlu didorong

politik anggaran yang pro-rakyat serta politik moneter yang memberi akses modal bagi

golongan ekonomi lemah. Pada tingkat mikro, pemerintah perlu memberi perhatian khusus

bagi badan usaha kooperasi serta sector usaha kecil dan menengah.

Selain itu, perlu adanya jaminan sosial dalam bentuk asuransi kesehatan dan

ketenagakerjaan, tunjangan hari tua, pengajaran, pemenuhan kebutuhan dasar minimum,

terutama bagi orang-orang yang hidup di garis kemiskinan. Inilah pesan yang terkandung dari

pasal 34: ”Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Selain itu,

perlindungan sosial juga diusahakan melalui peran serta dan emansipasi dalam perekonomian.

Dalam pasal 36 Konstitusi RIS dan Pasal 37 UUDS 1950, dinyatakan:

1) Meninggikan kemakmuran rakyat adalah suatu hal terus menerus yang

diselenggarakan oleh penguasa, dengan kewajiban senantiasa menjamin bagi setiap

orang derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia untuk dirinya serta

kekeluarganya.

2) Dengan tidak mengurangi pembatasan yang ditentukan untuk kepentingan umum

dengan peraturan-peraturan Undang-undang, maka kepada sekalian orang diberikan

kesempatan menurut sifat, bakat dan kecakapan masing-masing untuk turut serta

dalam perkembangan sumber-sumber kemakmuran negeri.

30

Page 29: Tugas Filsafat Sila Ke 5

Selain kedua ayat tersebut, dalam UUDS 1950 ada tambahan ayat, yaitu: (3) Penguasa

mencegah adanya organisasi-organisasi yang bersifat monopoli partikulir yang merugikan

ekonomi nasional menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan jaminan sosial tersebut, Sjahrir menekankan

agar rakyat Indonesia menjadi lebih produktif. Hal ini pada gilirannya memerlukan

penambahan produksi melalui indutrialisasi. Guna mewujudkan industrialisasi secara baik,

dia mengusulkan pelbagai usaha transformatif:

1. Pengupayaan modal yang terus bertambah

2. Disediakannya alat produksi yang lebih baik serta lebih banyak untuk rakyat

3. Diperbaikinya jalan raya agar menjadi lebih baik

4. Pembangunan gedung-gedung sekolah dan guru-guru yang lebih baik

5. Dibukanya tempat-tempat dan kesempatan untuk melatih generasi muda kita agar

memperoleh keahlian serta pengalaman dalam pelbagai kerja

6. Diperbaikinya rumah sakit dan dokter serta juru rawat, poliklinik dan obat-obatnya

7. Perlunya memperbaiki perumahan rakyat

8. Menciptakan kota dan desa bersih dan sehat (Sjahrir 1982:238)

Sjahrir mengusulkan beberapa langkah dalam memperleh sumber daya yang diperlukan untuk

usaha-usaha perbaikan tersebut, antara lain:

1. Memperbaiki sistem pajak (antara lain melalui sistem pajak progresif)

2. Penanaman modal

3. Penghematan pemakaian dan negara

4. Perbaikan pada usaha yang sudah ada dengan memanfaatkan potensi alam yang

dipunyai Indonesia

5. Transmigrasi (Sjahrir, 1982: 213-276)

Hampir senada dengan gagasan Sjahrir, Hatta selama menjalankan kabinetnya (Desember

1949-September 1950), berusaha memperbaiki kesejahteraan dan sistem jaminan sosial,

antara lain dengan cara:

1. Memperbaiki ekonomi rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan dan

kesehatan, mengadakan persiapan untuk jaminan sosial dan pengamatan tenaga

kembali ke dalam msyarakat; mengadakan peraturan tentang upah minimum,

pengawasan Pemerintah terhadap kegiatan ekonomi agar kegiatan terwujud demi

kemakmuran seluruh rakyat.

2. Menyempurnakan perguruan tinggi sesuai dengan keperluan masyarakat Indonesia,

membangun pusat kebudayaan nasional dan mempergiat pemberantasan buta huruf di

kalangan masyarakat (Tim Riset PSIK, 2007;309)

31

Page 30: Tugas Filsafat Sila Ke 5

Dalam menjelaskan Pasal 33 (1,2,3), Panitia Lima menyatakan bahwa pemimpin-

pemimpin Indonesia yang menyusun Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai kepercayaan

bahwa cita-cita keadilan sosial dalam bidang ekonomi dapat mencapai kemakmuran yang

merata. Ayat-ayat yang terkandung dalam pasal ini pada gilirannya membawa kita pada

pembahasan soal apa yang dikuasai oleh negara dan soal penguasaan negara demi

kemakmuran rakyat itu sendiri. Sebagai akibat dari penguasaa negara untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat itu dengan sendirinya akan muncul kewajiban negara untuk : (a) segala

bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara

nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, (b) melindungi dan

menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan pelbagai

kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh

rakyat, (c) mencegah segala tindakan dari pihak mana pun yang akan menyebabkan rakyat

tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.

Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak penguasaan

negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman bahwa dalam hak

penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan

(beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad. Konsep pandangan “dikuasai negara” ini

sebenarnya sangat sejalan dengan pandangan yang pernah muncul di negara ini. Menurut

Bung Hatta, “dikuasai oleh negara” tidak berarti bahwa negara sendiri harus menjadi

penguasa, usahawan atau ordernemer. Sedangkan menurut Muhammad Yamin, “dikuasai oleh

negara” itu termasuk mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan

mempertinggi produksi dengan mengutamakan kooperasi. Sementara itu, Panitia Keuangan

dan Perekonomian bentukan BPUPK merumuskan pernyataan ‘dikuasai oleh negara” itu

dalam arti: (a) Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman

keselamatan rakyat, (b) semakin besar perusahaan dan semakin banyak jumlah orang yang

menggantungkan dasar hidupnya ke sana, semakin besar mestinya pesertaan pemerintah

dengan sendirinya perusahaan itu merupakan bangunan korporasi public-itu tidak berarti,

bahwa pimpinannya harus bersifat birokrasi, (c) Tanah haruslah di bawah kekuasaan negara

dan (d) Perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha negara.

32