tugas debud

Upload: fendi123

Post on 28-Oct-2015

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kata PengantarPuji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat melakukan survey di Candi Prambanan serta dapat menyelesaikan laporan iniMenindak lanjuti sistem yang telah diterapkan di kampus, maka mahasiswa semester 3 UNIKA Soegijapranata fakultas Arsitektur dan Desain diwajibkan melakukan survey lapangan yang berlansung selama 2 hari pada tanggal 16 17 Oktober 2010.

Dengan adanya suvey ini mahasiswa diharapkan dapat memahami dan mengenal budaya serta peninggalan peninggalan bangunan yang ada di Indonesia yang memiliki nilai arsitektural dan sejarah. Agar mahasiswa dapat menjaga serta melestarikan peninggalan peninggalan yang diwariskan oleh nenek moyang kita.Dalam penulisan laporan ini dibuat seringkas mungkin namun diharapkan mampu mewakili dan mencakup semua aspek yang berhubungan dengan materi dalam perkuliahan Desai Budaya.Dalam pembuatan laporan ini penulis juga tak lepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyatakan rasa terima kasih kepada :1. Bapak Paulus Hariyono selaku dosen pengampu mata kuliah Desain Budaya, yang telah memberikan bimbingan serta arahan arahan kepada kami dalam pembuatan laporan ini.

2. Kepada teman teman yang sudah memberikan dukungan kepada kami.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini karena kurangnya pengetahuan yang penulis miliki, Oleh karena itu penulis mengharapkan saran-saran dan kritik yang membangun guna menyempurnakan laporan ini. Akhirnya penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembacanya.

Semarang, 29 Oktober 2010

i

Penulis

DAFTAR ISI

Kata pengantar................................................................................iDaftar isi.........................................................................................ii

Sejarah berdirinya Candi Prambanan.................................................1

Legenda Roro Jonggrang Bandung Bondowoso..............................2Karakteristik Candi Prambanan.........................................................3 - 5Peta Susunan Candi Prambanan........................................................6Yantra dan Mandala dalam ArsitekturCandi............................................7 - 24Relief Candi yang memuat kisah Ramayana.......................................25 Arti Filosofi Dewa Ganesha .....................................................................26 - 29

i

Sejarah Berdirinya Candi Prambanan

Candi Prambanan dibangun oleh Dinasti Sanjaya di abad ke-9, tepatnya selesai dibangun pada tahun 825 M. Candi yang mempunyai tinggi 47 meter ini terletak kurang lebih 17 kilometer dari Yogyakarta. Kita bisa dengan mudah melihatnya, karena letak candi ini han100 meter dari jalan utama.

Candi Prambanan terdiri atas 3 kompleks bangunan. Candi utama memiliki 3 tempat pemujaan (altar) yang didedikasikan untuk Dewa Trimurti. Candi Syiwa terletak di tengah, Wisnu di sebelah selatan, dan Candi Brahma di sebelah utara.

Disebut Candi Syiwa, karena di dalam bilik candi utamanya terdapat patung Dewa Syiwa (Dewa Perusak). Demikian pula pada Candi Brahma dan Wisnu, dimana di masing-masing candi terdapat patung Dewa Brahma (Dewa Penjaga) dan Dewa Wisnu (Dewa Pencipta). Ketiganya menghadap ke arah timur.

Di depan setiap candi berdiri candi-candi lain yang lebih kecil, yang disebut dengan Candi Wahana, yang masing-masing menghadap ke arah barat. Dinamakan Candi Wahana karena di dalam bilik candi-candi ini terdapat patung binatang yang biasa dipakai sebagai tunggangan/ kendaraan atau wahana dari dewa-dewa tersebut. Lembu Nandi adalah tunggangan Syiwa, burung Garuda tunggangan Wisnu, dan Angsa adalah tunggangan Brahma.

Seperti Candi Borobudur yang kaya dengan reliefnya, Candi Prambanan juga memilki relief yang dipahatkan di pagar langkan. Di Candi Syiwa dan Candi Brahma terdapat relief cerita Ramayana, sedangkan di Candi Wisnu terdapat relief cerita Kresnayana.

Apabila kita memasuki candi utama dari utara, maka kita akan menemukan sebuah patung putri yang sangat cantik, Roro Jonggrang. Patung ini berhubungan erat dengan kisah atau legenda yang dipercaya masyarakat, yang melatarbelakangi berdirinya Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang.

1Legenda Roro Jonggrang

Menurut legenda, Roro Jonggrang adalah puteri dari Raja Boko yang berkuasa di daerah Prambanan. Kecantikan dan keanggunan Roro Jonggrang membuat seorang pria dari daerah Pengging yang bernama Bandung Bondowoso ingin memperistrinya. Tapi sebenarnya, Roro Jonggrang tidak mencintai Bandung Bondowoso. Sebagai strategi menolak pinangan tersebut, Roro Jonggrang mengeluarkan syarat agar dibuatkan 1000 candi dalam waktu satu malam. Bandung Bondowoso pun menyanggupinya.

Sebelum melaksanakan pekerjaannya, dia bersemedi untuk mendapat kekuatan dan bantuan dari para jin. Menjelang petang, pembangunan seribu candi mulai dilaksanakan, dan menjelang matahari terbit, pembangunan itu hampir selesai. Melihat hal ini, Roro Jonggrang pun cemas, dan berusaha mencegah kerja tersebut. Roro Jonggrang kemudian memanggil semua putri desa untuk membakar jerami dan memukul lesung (alat penumbuk padi tradisional di Jawa), supaya terkesan hari menjelang fajar. Jin-jin yang melihat hari telah menjelang fajar mulai meninggalkan pekerjaannya. Setelah dihitung, ternyata pekerjaan yang tersisa hanyalah sebuah arca.

Bandung Bondowoso pun mengetahui kecurangan Roro Jonggrang. Dengan perasaan marah dan kecewa, ia mendatangi Roro Jonggrang. Tapi Roro Jonggrang tetap bersikukuh minta digenapi menjadi 1000 candi. Hal ini menimbulkan kemarahan Bandung Bondowoso. Kurang satu, tambahnya kamu sendiri. Setelah Bandung Bondowoso mengeluarkan kata-kata itu, Roro Jonggrang pun langsung berubah menjadi arca, untuk melengkapi sebuah arca yang belum terselesaikan. Dan arca ini bisa kita lihat di bilik sebelah utara candi utama.

2Karakteristik Candi PrambananCANDI PRAMBANAN merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia, berketinggian 47 meter, dibangun pada abad 9. Letaknya berada 17 km arah timur Yogyakarta di tepi jalan raya menuju Solo. Candi yang utama yaitu Candi Siwa (tengah), Candi Brahma (selatan), Candi Wisnu (utara). Didepannya terletak Candi Wahana (kendaraan) sebagai kendaraan Trimurti; Candi Angkasa adalah kendaraan Brahma (Dewa Penjaga), Candi Nandi (Kerbau) adalah kendaraan Siwa (Dewa Perusak) dan Candi Garuda adalah kendaraan Wisnu (Dewa Pencipta).

Pada dinding pagar langkan candi Siwa dan candi Brahma dipahatkan relief cerita Ramayana, sedangkan pada pagar langkah candi Wisnu dipahatkan relief Krisnayana. masuk candi Siwa dari arah timur belok ke kiri akan anda temukan relief cerita Ramayana tersebut searah jarum jam, relief cerita selanjutnya bersambung di candi Brahma.

Candi Prambanan dikenal kembai saat seorang Belanda bernama C.A.Lons mengunjungi Jawa pada tahun 1733 dan melaporkan tentang adanya reruntuhan candi yang ditumbuhi semak belukar. Usaha pertama kali untuk menyelamatkan Candi Prambanan dilakukan oleh Ijzerman pada tahun 1885 dengan membersihkan bilik-bilik candi dari reruntuhan batu. Pada tahun 1902 baru dimulai pekerjaan pembinaan yang dipimpin oleh Van Erp untuk candi Siwa, candi Wisnu dan candi Brahma. Perhatian terhadap candi Prambanan terus berkembang. Pada tahun 1933 berhasil disusun percobaan Candi Brahma dan Wisnu. Setelah mengalami berbagai hambatan, pada tanggal 23 Desember 1953 candi Siwa selesai dipugar. Candi Brahma mulai dipugar tahun 1978 dan diresmikan 1987. Candi Wisnu mulai dipugar tahun 1982 dan selesai tahun 1991. Kegiatan pemugaran berikutnya dilakukan terhadap 3 buah candi perwara yang berada di depan candi Siwa, Wisnu dan Brahma besarta 4 candi kelir dan 4 candi disudut / patok.

Kompleks candi Prambanan dibangun oleh Raja-raja Wamca (Dinasty) Sanjaya pada abad ke-9. Candi Prambanan merupakan kompleks percandian dengan candi induk menghadap ke timur, dengan bentuk secara keseluruhan menyerupai gunungan pada wayang kulit setinggi 47 meter. Agama Hindu mengenal Tri Murti yang terdiri dari Dewa Brahma sebagai Sang

3

Pencipta, Dewa Wisnu sebagai Sang Pemelihara, Dewa Shiwa sebagai Sang Perusak. Bilik utama dari candi induk ditempati Dewa Shiwa sebagai Maha Dewa sehingga dapat disimpulkan candi Prambanan merupakan candi Shiwa. Candi Prambanan atau candi Shiwa ini juga sering disebut sebagai candi Loro Jonggrang berkaitan dengan legenda yang menceritakan tentang seorang dara yang jonggrang atau gadis yang jangkung, putri Prabu Boko, yang membangun kerajaannya diatas bukit di sebelah selatan kompleks candi Prambanan.

Bagian tepi candi dibatasi dengan pagar langkan, yang dihiasi dengan relief Ramayana yang dapat dinikmati bilamana kita berperadaksina (berjalan mengelilingi candi dengan pusat cansi selalu di sebelah kanan kita) melalui lorong itu. Cerita itu berlanjut pada pagar langkan candi Brahma yang terletak di sebelah kiri (sebelah selatan) candi induk. Sedang pada pagar langkan candi Wishnu yang terletak di sebelah kanan (sebelah utara) candi induk, terpahat relief cerita Kresnadipayana yang menggambarkan kisah masa kecil Prabu Kresna sebagai penjelmaan Dewa Wishnu dalam membasmi keangkaramurkaan yang hendak melanda dunia.

Bilik candi induk yang menghadap ke arah utara berisi parung Durga, permaisuri Dewa Shiwa, tetapi umumnya masyarakat menyebutnya sebagai patung Roro Jonggrang, yang menurut legenda, patung batu itu sebelumnya adalah tubuh hidup dari putri cantik itu, yang dikutuk oleh ksatria Bandung Bondowoso, untuk melengkapi kesanggupannya menciptakan seribu buah patung dalam waktu satu malam.

Candi Brahma dan candi Wishnu masing-masing memiliki satu buah bilik yang ditempati oleh patung dewa-dewa yang bersangkutan.

Dihadapan ketiga candi dari Dewa Trimurti itu terdapat tiga buah candi yang berisi wahana (kendaraan) ketiga dewa tersebut. Ketiga candi itu kini sudah dipugar dan hanya candi yang ditengah ( di depan candi Shiwa) yang masih berisi patung seekor lembu yang bernama Nandi, kendaraan Dewa Shiwa.

Patung angsa sebagai kendaraan Brahma dan patung garuda sebagai kendaraan Wishnu yang diperkirakan dahulu mengisi bilik-bilik candi yang terletak di hadapan candi kedua dewa itu kini telah dipugar.

4Keenam candi itu merupakan 2 kelompok yang saling berhadapan, terletak pada sebuah halaman berbentuk bujur sangkar, dengan sisi sepanjang 110 meter.

Didalam halaman masih berdiri candi-candi lain, yaitu 2 buah candi pengapit dengan ketinggian 16 meter yang saling berhadapan, yang sebuah berdiri di sebelah utara dan yang lain berdiri di sebelah selatan, 4 buah candi kelir dan 4 buah candi sedut.

Halaman dalam yang dianggap masyarakat Hindu sebagai halaman paling sacral ini, terletak di tengah halaman tengah yang mempunyai sisi 222 meter, dan pada mulanya berisi candi-candi perwara sebanyak 224 buah berderet-deret mengelilingi halaman dalam 3 baris.

5Peta Susunan Candi Prambanan

6Yantra dan Mandala dalam ArsitekturCandi Dalam tradisi Hindu, candi atau kuil dianggap sebagai tubuh atau surga para dewa.

Pada mulanya, bangunan keagamaan Hindu itu didirkan dalam bentuk kecil dan sederhana, selanjutnya dalam perkembangan berikutnya bentuk bangunan itu mengalami perubahan yang makin kompleks, baik dari segi denah, bentuk, dan ukurannya. Strukturnya juga mengalami perubahan ke arah yang semakin rinci dan terbagi ke dalam sejumlah besar bagian-bagian yang lebih kecil.

Perkembangan bentuk itu lalu diperkaya lagi dengan berbagai hiasan interior dan eksteriornya, yang umumnya berupa relief tokoh, flora, dan fauna. Termasuk relief dewa dan dewi serta gambaran kehidupan kahyangan. Kadang diceritakan pula episode-episode yang diangkat dari kisah-kisah tertentu.

Bila awalnya bangunan kuil atau candi berstruktur masif atau pejal, lalu berkembang menjadi bangunan yang berongga atau memiliki ruangan.

Sangat kontras dengan bagian dinding luarnya yang penuh hiasan, bagian dalam (garbhagrha) merupakan ruang kecil, gelap, dan tersembunyi yang dibatasi oleh dinding tebal disekelilingnya, kecuali bagian depan sebagai pintu masuk.

Bagian depan biasanya diperkaya dengan lorong panjang (antarala), dilengkapi dengan gapura dan sayap tangga yang berakhir pada suatu bordes. Umumnya, ujung bordes itu dihiasi dengan bentuk pahatan binatang mistis yang dikenal dengan nama makara.

7 Pada bagian atas pintu masuk, umumnya dihias dengan relief kepala raksasa. Di Indonesia, relief itu disebut kala untuk di Jawa Tengah dan Banaspati untuk sebutan di Jawa Timur. Perbedaannya dari bentuknya; kebanyakan kala dari Jawa Tengah tidak memiliki rahang bawah, sedangkan kala atau banaspati dari Jawa Timur digambarkan lengkap dengan rahang bawah.

Dinding-dinding luar maupun dalam sayap tangga sering pula diperkaya dengan ikon yang sarat motif hias.

Jika diproyeksikan dengan sederhana, bentuk kuil atau candi itu secara vertikal berkembang dari bagian bawah, yaitu bagian yang menggambarkan dunia manusia (the mundane) ke bagian yang lebih tinggi, yaitu dunia spiritual, dan berakhir pada ruang terbuka yang gelap tempat didudukkannya arca yang menggambarkan dewa yang dipuja.

Garbhagrha sendiri secara simbolis mencerminkan puncak pencapaian sasaran individu menuju ruang sanctum sanctorium.

Dalam dimensi yang lebih abstrak, apabila candi atau kuil itu merupakan suatu kompleks maka seluruh bangunan Hindu beserta komponennya itu mencerminkan suatu skema atau diagram ritual yang lebih sering disebut dengan istilah yantra atau mandala.

Yantra Kata yantra berasal dari bahasa Sanskrta yang berarti alat atau sarana; dan secara lebih khusus digunakan untuk menyebut alat yang digunakan oleh para yogi atau brahmana untuk bermeditasi.

Dalam beberapa hal, yantra juga dianggap sebagai wadah atau tempat bagi istadewata.

Secara lebih spesifik lagi, kata yantra yang berasal dari akar kata yam juga berarti mendukung, menopang, atau menyokong kekuatan-kekuatan yang melekat pada suatu unsur, objek, atau konsep.

Oleh karena sifatnya itu, maka pada hakekatnya yantra itu memiliki tiga unsur utama, yaitu unsur bentuk (akriti-rupa), unsur fungsi (kriya-rupa), dan unsur kekuatan (akti-rupa).

8 Di sisi lain, oleh karena yantra juga dianggap sebagai tempat kedudukan atau wadah bagi Istadewata maka yantra itu juga merupakan wujud pengganti dari dewa utama yang tidak digambarkan dalam bentuknya secara antropomorfis.

Di India, penggambaran dewa-dewa seperti Wisnu, Durga, atau Kali, selain memiliki bentuk antropomorfis juga sering diwujudkan dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk yantra.

Di India Selatan, peran yantra sangat penting, terutama dalam mendirikan bangunan-bangunan suci yang diperuntukkan bagi akti.

Yogini yantra adalah simbol-simbol yang berbentuk sejumlah segitiga yang ditumpuk dengan pola-pola tertentu, diangkat dan dijadikan pedoman untuk pembangunan sebuah kuil.

Dalam Tantrisme, penggunaan yantra untuk pembangunan candi memiliki pengaruh yang sangat kuat, khususnya dalam pembangunan candi atau kuil yang digunakan untuk pemujaan akti.

Yantra juga diletakkan dalam pondasi garbhagrha, serta pada sudut-sudut penting di suatu candi.

Yantra juga berpengaruh pada komposisi berbagai pahatan arca yang menempel atau menghiasi, baik dinding luar maupun dinding dalam candi.

Akhir-akhir ini, dari penemuan manuskrip yang ditemukan di Orissa (Silpa-Prakasa) yang berasal dari abad 9 12 M, diperoleh gambaran tentang candi dan upacara perencanaan candi yang dikenal dengan aliran kanan (menganankan bangunan).

Menurut buku petunjuk ini maka sebelum suatu kuil didirikan, terlebih dahulu harus ditancapkan sebuah pasak di tanah yang menyimbolkan sebagai axis uatama dari alam semesta yang disebut dengan istilah yantra garbha (the womb of the yantra). Kemudian, dari titik sentral itu ditarik garis melingkar, termasuk ke sepuluh penjuru mata angin, termasuk zenit dan nadir. Masing-masing arah itu dianggap merupakan tempat kedewaan dan dari kesepuluh titik itulah perencanaan suatu kuil dilakukan.9

Secara prinsip, gambaran tentang candi untuk dewi Tantris itu berbeda dengan Vastu-Purusha-Mandala. Jika Vastu-Purusha berbentuk persegi, sedangkan kuil tantris ini berbentuk persegi panjang. Bila bentuk persegi itu merupakan bentuk yang dianggap bersifat statis maka bentuk kuil persegi panjang menyimbolkan kesinambungan secara ritmis dari sikap yang dimainkan dewi serta kekuatan-kekuatan yang tidak tampak.

Di India, bentuk yantra yang paling terkenal adalah yang disebut ricakra. Bentuk ini tersusun dari 43 buah bentuk segitiga yang ditumpuk dan garis-garisnya saling berpotongan, sehingga membentuk pola tertentu yang menggambarkan Meru, Kailasa, atau Bhu.

Bangunan-bangunan di India Selatan pada masa pertengahan misalnya, banyak yang menggunakan konsep ini dan oleh karenanya disebut akti-pithalaya.

Pada umumnya yantra itu dibuat pada logam seperti emas, perunggu, atau perak dengan dilengkapi tulisan-tulisan dewanagari. Tulisan-tulisan ini menyebut atau melambangkan dewa-dewa tertentu sesuai dengan letak atau kedudukannya.

Secara khusus, bangunan yang mencerminkan yantra seperti itu di India ditemukan pada kuil Surya yang terdapat di Konarak dekat Bhuwanesar di wilayah Orissa yang dibangun pada sekitar tahun 1240 M-80, dan dipersembahkan bagi Dewa Surya, dewa matahari, sumber segala terang bagi dunia dan kejiwaan.

Penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa gambaran tentang yantra itu telah melekat di bagian lapik tempat kedudukan Dewa Surya.

Secara arsitektural, kuil ini memiliki dua struktur utama, yaitu sebuah menara yang tinggi (Wimana) yang kini telah runtuh serta sebuah selasar dan altar berbentuk piramidal (Jagamohana) dan berakhir pada ruangan candi.

Tata cara meletakkan yantra di dalam suatu candi serta cara-cara pemujaan terhadap dewa-dewanya itu banyak diuraikan di dalam buku-buku Tantris.

Di Indonesia, bangunan Candi Borobudur yang memiliki 9 teras atau tingkatan merupakan salah satu contoh ri-Yantra.

10

Bangunan ini didirikan pada pondasi persegi dengan empat pintu masuk. Masuk (gapura pintu masuk) serta lima tembok keliling di masing-masing terasnya serta tiga teras lagi yang melingkar dan dipenuhi dengan arca-arca Buddha. Akhirnya pada tingkat yang kesembilan yang merupakan mahkotanya memiliki stupa induk yang merupakan kekuasaan dari Buddha tertinggi. ri Yantra sendiri pada dasarnya memiliki tiga dimensi, sebagaimana halnya dengan gunung yang berteras-teras.

Baik antara Yantra dan Stupa memiliki kesamaan skema kosmologis, yaitu menggambarkan dunia gunung mistis, yaitu Gunung Meru.

Untuk memahami secara utuh gambaran tentang Borobudur maka harus dipahamai melalui ri Yantra.

Teras-teras yang ada di Borobudur itu sendiri juga dapat dianggap sebagai tingkatan-tingkatan perjalanan jiwa dalam mencapai kesempurnaan.

Di dalam stupa seolah-olah digambarkan perjalanan dimulai dari bawah dengan keempat pintunya, selanjutnya makin naik melingkar menyerupai spiral hingga mencapai tingkatan yang kosong, seolah-olah berkembang dari dunia keberadaan menuju dunia jiwa. Hal ini sangat sesuai dengan perjalanan sadhaka dari dunia material menuju dunia spiritual selama menyelenggarakan meditasi ri Yantra.

11

Dalam kaitannya dengan arsitektur, suatu yantra bukanlah merupakan denah (ground-plan) untuk suatu candi, melainkan skema dasar tentang denah-denah suci dalam pembangunan suatu candi yang harus dipenuhi.

Dasar anggapan ini terutama karena dimensi serta ukuran arsitektur kuil atau candi dianggap sebagai hal yang sifatnya spesifik dan oleh karenanya maka diperlukan aturan-aturan yang sifatnya ritual dalam rangka menyusun kerangka dasarnya.

Oleh karena sifatnya yang sakral itu maka pembangunan suatu candi atau kuil ahrus benar-benar mengikuti aturan yang ditentukan dalam agama dan tidak boleh diubah secara semena-mena atau sekehendak hati pembuatnya.

Selain dalam bentuk skema mengenai denah bangunan suci, benda-benda suci seperti lingga juga dianggap sebagai yantra. Menurut Bosch, sebagaimana dikutip oleh Ko Tsung Yuan, bahwa bentuk Lingodbhawamurti dari iwa telah menjadi simbol kosmis yang bagian dasarnya berbentuk persegi (Brahmabhaga), di atasnya berbentuk segi delapan (Wisnubhaga), dan bagian ujung atasnya yang bulat/silinder melambangkan iwa sebagai Rudra atau Rudrabhaga.

Mandala Meskipun kata ini sudah sering didengar, tetapi masih sering dijumpai kesalahan pemahaman.Seperti yang ditunjukkan oleh Pott mengenai penyebutan mandala yang sering digunakan untuk menyebutkan lukisan-lukisan pada kain yang biasa disebut pata. Padahal, tidak setiap pata merupakan mandala.

Secara sederhana kata mandala dapat dipahami sebagai konfigurasi kosmis yang menggambarkan ploting kedudukan dewa-dewa secara hierarkis.

Pada mulanya, konfigurasi bentuk mandala itu berkembang dari bentuk persegi yang mewakili keempat penjuru mata angin, selanjutnya berkembang menjadi bentuk segi delapan, dua belas, tigapuluh dua, dan seterusnya, sehingga membentuk diagram-diagram tertentu.

Dari sejumlah besar titik sudut itu maka bagian tengah merupakan bagian yang paling penting karena menjadi tempat kedudukan arca utama atau simbol lain yang menggantikan arca itu.

12

Titik-titik di bagian luarnya secara melingkar dan mengelilingi titik tengah tadi merupakan tempat kedudukan dewa-dewa lain yang lebih rendah.

Secara sistematis dan hierarkis, struktur dan hubungan antara dewa yang satu dengan yang lain, baik yang setingkat maupun yang tidak setingkat, baik secara vertikal maupun horisontal, secara keseluruhan saling terkait satu sama lain.

Secara integral, konfigurasi dari dewa-dewa itu dapat digunakan sebagai sarana untuk meditasi dan di dalam ritual dapat berfungsi sebagai wadah bagi dewa-dewa itu.

Untuk membedakan antara yantra dan mandala itu sendiri dapat dilihat melalui penggambaran dewa-dewa atau simbol-simbol tentang dewa itu. Di dalam mandala, umumnya, dewa-dewa itu digambarkan dalam wujud yang sangat raya dan lengkap hingga ke bagian-bagian detailnya.

Sesuai dengan fungsinya di atas, yaitu sebagai sarana meditasi atau sebagai wadah dari dewa-dewa maka suatu mandala setidak-tidaknya dapat dibedakan dalam beberapa tipe bentuk apakah ia berfungsi sementara ataukah ia berfungsi permanen.

Suatu mandala dapat diwujudkan dalam bentuk gambar atau lukisan, dapat terbuat dari bahan-bahan yang bersifat plastis, seperti pasir, nasi, atau mentega. Namun, juga dapat diwujudkan dalam bentuk komposisi sejumlah arca perunggu dan dalam bentuk suatu bangunan.

Pada awal mulanya, kata mandala hanya berasosiasi dengan bangunan suci atau tempat suci yang berkembang pada zaman Weda.

Namun, dalam perkembangannya kemudian kata mandala itu berkembang dan digunakan untuk menunjuk bentuk, gejala, ataupun aktivitas yang cenderung berpola melingkar.

13 Kata-kata seperti candramandala (lingkaran orbit bulan), suryamandala (lingkaran orbit matahari), dan mandala-nrtya (menari melingkar), mandala-nyasa (gambar lingkaran), mandalasana (duduk melingkar), serta mendalanabhi (pusat lingkaran) sering dijumpai dalam literatur Weda. Secara keseluruhan, kata-kata itu menyimbolkan kosmos, keutuhan, atau integrasi bagian secara keseluruhan.

Dalam perkembangan berikutnya, kata mandala yang semula berarti lingkaran kemudian mengalami adaptasi perkembangan bentuk lebh lanjut menjadi persegi, persegi panjang, segitiga, dan sebagainya.

Namun, dari bentuk-bentuk itu yang dianggap paling penting adalah bagian yang paling tengah karena dianggap memiliki inti kekuatan mistis yang mampu memberikan atau menyebarkan kekuatan itu ke seluruh penjuru mata angin.

Berdasarkan uraian tentang bentuk dan perkembangannya itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum kata mandala setidak-tidaknya memiliki sejumlah pengertian:

1. Sesuatu yang bersifat bulat, seperti bulan, matahari, nampan, atau roda.

2. Sebuah distrik, provinsi, atau negara; atau secara ringkas merupakan suatu lingkaran wilayah kekuasaan dengan seluruh bawahannya yang terlibat dalam hubungan politik dan diplomatik.

3. Kumpulan orang banyak, masyarakat, dan kelompok.

4. Suatu kosmogram yang digunakan dalam agama Buddha Tantris untuk meditasi dan atau meditasi baik dalam bentuk lukisan maupun sesuatu yang memiliki bentuk tiga dimensi, baik yang berbentuk persegi maupun lingkaran dan secara hierarkis posisi di bagian tengah merupakan tempat yang paling suci.

14

Di Indonesia, bangunan yang mencerminkan bentuk mandala yang termasyur adalah Candi Borobudur dan Candi Sewu.

Menurut penelitian Lokesh Chandra, Borobudur merupakan gambaran atau bentuk dari Vajradhatu Mandala yang berkembang dalam aliran Yoga Tantra dan bangunan ini merupakan bagian yang integral dari tiga serangkai, yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon.

Candi Mendut sendiri merupakan gambaran dari Garbhadhatu Mandala yang berkembang dalam aliran Carya Tantraya.

Candi Sewu, walaupun di relung-relungnya tidak ditemukan arca lagi, Bosch percaya bahwa komposisi arca-arca yang pernah menempati relung-relung di bagian candi ini dahulu menggambarkan Vajradhatu Mandala.

15

Beberapa bentuk arca perunggu yang juga dianggap menggambarkan mandala adalah arca-arca perunggu yang ditemukan di Nganjuk, Jawa Timur.

Meskipun agak ragu-ragu, Bosch memperkirakan bahwa arca-arca tersebut juga mencerminkan konfigurasi Vajradhatu Mandala, tetapi dari transformasi sekte tersendiri.

Sejumlah arca perunggu yang ditemukan di Surocolo, Bantul, seluruhnya ada 22 buah arca dan 19 buah di antaranya merupakan arca dewi. Beberapa di antaranya yang dapat disebutkan adalah arca Gita Tara, Dhupa Tara, Gandha Tara, Wajrasphota, Wajra Warahi, dan sebagainya.Seluruh arca yang ditemukan itu diperkirakan berasal dari abad X XI M yang secara keseluruhan merupakan konfigurasi Vajradhatu Mandala dalam pantheon agama Buddha.

Selain dalam bentuk bangunan candi atau kuil serta susunan arca, suatu mandala juga dapat berbentuk struktur tata kota.

Dalam sejumlah prasasti dari masa riwijaya misalnya, dapat diketahui bahwa Datu riwijaya ditempatkan di bagian tengah yang merupakan inti medan kekuatan dari kerajaan.

Jauh di luar tempat kedudukan Datu riwijaya dan terutama di wilayah sistem jaringan Sungai Musi dan Batanghari merupakan daerah mandala riwijaya. Di daerah inilah berkuasa para datu wilayah yang terdiri dari para pemimpin lokal dan juga keluarga Datu riwijaya.

Para datu itu meskipun memiliki kekuasaan sendiri dalam mengatur daerahnya, tapi dalam sistem ekonomi, mereka sangat bergantung pada penguasa Datu riwijaya yang mengendalikan jaringan distribusi barang maupun jasa dari luar maupun dari dalam. Meskipun kata mandala pada dasarnya berangkat dari pengertian tentang peta mengenai kosmos alam semesta dengan sleuruh esensi perencanaannya, serta asal-usul dan akhirnya, tetapi lalu juga memiliki implikasi politis di dalam penerapannya, khususnya di bidang pemerintahan.

Dalam struktur negara-negara klasik, baik di Asia Tenggara daratan maupun kepulauan yang pernah tersentuh oleh kebudayaan India, maka unit-unit politiknya,

16baik yang berskala regional maupun supraregional diatur dan diorganisasikan menurut konsep-konsep model pusat dan pinggiran yang secara keseluruhan menggambarkan mandala.

Beberapa contoh: Kerajaan Sukothai di Thailand menurut sumber-sumber tertulis terbagi antara wilayah inti dan pinggiran. Kerajaan Angkor menurut Prasasti Suryawarman I (1002-1050) disebutkan pembagian wilayahnya menjadi tiga, yaitu praman, wisaya, dan sruk; yang berarti wilayah, distrik, dan desa, dan lain sebagainya.

Secara konseptual berdarakan bentuk dan fungsinya, suatu mandala juga dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, a.l.:

1. Mahadatumandala (representasi piktorial dewa-dewa)

2. Samayamandala (representasi tentang dewa-dewa yang hanya diwujudkan dalam bentuk atributnya)

3. Bija-mandala (gambaran dewa-dewa yang hanya diwujudkan dalam bentuk huruf-huruf bija atau sekumpulan tulisan-tulisan nagari)

4. Karma-mandala (representasi yang menggambarkan dewa-dewa dalam bentuk berbagai sikap atau gerak dan diwujudkan dalam berbagai bentuk mudra atau simbol).

Sejumlah besar bata bertulis yang ditemukan di gugusan candi di Muara Jambi misalnya, banyak di antaranya yang merupakan bentuk mandala.

Pada bata-bata itu digoreskan gambar bunga padma yang sedang mekar dengan kelopak bunganya terdiri dari 8 kelopak bunga. Pada setiap kelopak bunga biasanya dipahatkan satu atau dua huruf nagari yang bacanya melambangkan nama-nama dewa tertentu.

Oleh karena gugusan percandian Muara Jambi adalah gugusan candi yang berlatar belakang agama Buddha maka sudah tentu dewa-dewa yang dimaksud adalah dewa-dewa yang ada dalam pantheon agama Buddha.

Dari jenis-jenis mandala yang telah disebutkan di atas dapat dikatakan bahwa bata-bata bergambar bunga padma itu dapat dimasukkan dalam kelompok biji-mandala.17

Selain bata bertulis, temuan lain dari Muara Jambi yang juga menggambarkan mandala adalah temuan peripih di Candi Gumpung. Dari dalam peripih iini ditemukan lempengan-lempengan kertas emas dan 22 di antaranya menyebut nama-nama dewa dan dewi Vajradhatumandala yang seharusnya berjumlah 37 nama dewa, terdiri dari 5 Tathagata, 16 Boddhisattwa, dan 16 Vajratara.

Dapatlah diyakinkan bahwa dewa-dewa itu merupakan kelompok dalam pantheon agama Buddha Mahayana dan oleh karenanya dapat digunakan sebagai petunjuk tentang latar belakang keagamaan bangunannya.

Dalam sebagian besar buku pegangan tentang tata cara pembangunan suatu kuil Hindu dinyatakan bahwa setiap bangunan kuil harus mengikuti kerangka-kerangka dasar yang sederhana, seperti halnya yantra.

Kerangka dasar ini dalam istilah yang paling umum dinamakan Vastu-Purusha-Mandala.

Vastu-Purusha-Mandala berlaku pula bagi pembangunan suatu kota, desa, perbentengan, atau seluruh hal yang berkaitan dengan dimensi keruangan.

Pada dasarnya, diagram ini merupakan suatu jejak (tapak) mengenai kosmos dan menampakkan bentuk yang dianggap sebagai Purusha yang universal dalam suatu mandala di dunia yang fenomenal.

Secara tepat proporsi, Vastu-Purusha-Mandala itu sendiri tidak penting karena tidak pernah secara tepat merupakan cetak biru tentang candi atau kuil, melainkan seuatu prognosi atau ramalan atau perkiraan yang memuat kemungkinan-kemungkinan untuk dijadikan acuan bagi pembangunan kuil.

Diagram-diagram ritual itu sendiri merupakan ideogram, sementara candinya sendiri merupakan materialisasi dari konsep yang tersembunyi di dalamnya.

Vastu-Purusha-Mandala pada dasarnya berbentuk persegi dari sejumlah persegi yang dikonversikan dalam bentuk persegi-persegi utama.

Ukuran yang paling sederhana terdiri dari bentuk persegi yang berjumlah 64 (8 x 9 atau 9 x 9).

Bagian inti yang terdiri dari 4 atau 9 bagian ditujukan/diperuntukkan bagi dewa-dewa utama, yakni Brahma.20

Apabila mandala itu diperuntukkan kepada kepentingan arsitektural maka titik yang terletak di bagian tengah itu merupakan garbhagrha.

Dua belas persegi yang mengelilingi lingkaran inti itu diperuntukkan sebagai persinggahan/kedewaan yang mengacu pada kedelapan arah utama.

Di luar itu terdapat 32 titik yang berkaitan dengan dewa-dewa tertentu.

Oleh karena itulah, maka diagram sederhana itu tidak hanya menggambarkan energi dari empat penjuru mata angin, melainkan juga memiliki konotasi astronomis, yang mencerminkan perubahan siklus muali hari, minggu, bulan, tahun, dan sebagainya.

Mandala ini yang di dalam buku pegangan arsitektur Hindu terdiri dari 32 variasi merupakan tipe awal dari bentuk yantra yang secara substansial memberikan kontribusi bagi ritme, desain, dan dasar-dasar konsepsual mengenai bentuk-bentuk kuil Hindu.

Yantra untuk arsitektur di wilayah India Selatan umunya dibuat untuk merefleksikan perbedaan mengenai pandangan tentang kosmos.

Bentuknya mencerminkan bentuk tiga buah persegi yang saling menutupi dan persegi yang paling tengah (paling dalam) merupakan dunia universal.

Apabila persegi di bagian tengah dianggap sebagai dunia dewa-dewa maka persegi lainnya yang terletak di luar merupakan dunia alam semesta atau dunia bawah, yaitu dunia manusia.

Sthandila mandala di India Selatan tidak berbeda dengan arsitektur yantra India Utara karena komposisinya terdiri dari 49 persegi.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa arsitektur yantra merupakan simbol tentang konstruk matematis yang tidak pernah memberikan indikasi praktis.

Vastu-Purusha-Mandala merupakan gambaran mengenai posisi arca dewa-dewa di dalam suatu candi.

Apabila Vastu-Purusha-Mandala itu digunakan sebagai dasar untuk perencanaan suatu kota maka orientasi atau arah hadap kota itu harus memperhatikan kedudukan candinya.

Berdasarkan sumber-sumber tertulis diketahui bahwa pada masa lampau dikenal adanya tiga pola kesatuan sistem kewilayahan, yaitu rajya, watak, dan wanua.

21 Sistem kewilayahan itu tentu saja diikuti pula dengan sistem percandiannya, seperti pada masyarakat Bali sekarang yang mengenal sistem perpuraan yang terdiri dari tiga pura pokok, yaitu pura puseh, pura bale agung, dan pura dalem.

Meskipun pada dasarnya hal yang menyangkut denagn sistem perpuraan atau sistem percandian itu merupakan sesuatu yang sakral sifatnya, tetapi tidak pula tertutup kemungkinannya bila faktor lingkungan akan berpengaruh pula dalam menentukan keletakan desa, kota, maupun candinya.

Sebelum suatu kuil didirikan, maka yang lebih dahulu dilakukan ialah membersihkan tanah, dilakukan upacara dan penyucian dan oleh karenanya bangunan itu dapat menggambarkan kekuatan yang muncul dari Vastu-Purusha (kekuatan yang hakiki).

Kuil atau Candi Kuil atau candi merupakan tempat melakukan pemujaan (pujasthana) dan esensi dari pemujaan itu sendiri menghubungkan antara manusia dengan Tuhan / Dewa.

Manusia merupakan suatu medan kekuatan, baik fisik maupun psikologis yang memiliki keterbatasan dan kekurangan. Sementara, dewa atau Tuhan kemampuannya tidak terbatas.

Dengan menyandarkan diri pada pengaruh kekuatan yang maha kuasa itu manusia mencoba untuk mengatasi keterbatasan dan ketidakmampuannya.

Di India, pemujaan dilakukan baik pada kuil keluarga maupun pada kuil komunal.

Kuil keluarga biasanya disebut grhachana, sedangkan kuil yang bersifat komunal disebut alayarchana. Ada perbedaan di antara keduanya karen yang pertama dibangun umumnya lebih sederhana, sedangkan yang kedua dibangun lebih raya.

Pemujaan yang dilakuakn dirumah biasanya menggunakan mediator arca-arca kecil dari perunggu atau logam yang lain dan dilakukan setiap hari. Oleh karena sangat privat sifatnya maka ruang upacaranya pun dibuat secukupnya.

Ikon sebagai objek pemujaan itu sendiri akan memperoleh kedudukan serta memiliki arti kedewaan sepanjang upacara dilangsungkan yang dikenal dengan istilah pranapratistha.

Ketika upacara telah selesai maka ikon itu akan kehilangan maknanya dan fungsinya atau disebut wisarjana.

22 Di sisi lain, pada kuil komunal, kondisi ikon yang umumnya dibuat dari batu dan diletakkan di dalam sanctum (tempat suci/tempat menyendiri), selalu diliputi oleh kekuatan dan selalu dalam status kedewaan.

Upacara yang dilangsungkan di suatu kuil yang bersifat komunal dilakukan beberapa kali dalam sehari yang masing-masing memerlukan suatu ritual yang rumit.

Pembangunan suatu kuil pada prinsipnya didasarkan pada aturan yang terdapat di dalam teks-teks agama.

Oleh karenanya, fungsi kuil tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fungsional, melainkan juga esensinya memiliki makna yang bersifat simbolis.

Simbolisasi kuil atau candi dan bagian-bagiannya itu antara lain ditemukan dalam kitab Iwara-samhita.

Di sini dijelaskan bahwa ruangan candi/sanctum (garbhagrha) merupakan kepala dari dewa, menara yang menutupi sanctum (sikhara) merupakan jalinan rambut dewa, bagian depan/vestibula (sukanasi) merupakan hidungnya, aula/ruang depan/balairung yang ada di depannya (antarala) merupakan lehernya, paviliun (mandapa) merupakan tubuhnya, pagar keliling (prakara) merupakan tangan /lengan-lengannya, dan pintu gerbangnya (gopura) merupakan kaki-kakinya.

Di sisi yang lain, menurut ri-prasnasamhita disebutkan bahwa suatu kuil merupakan gambaran tentang dewa itu sendiri, sedangkan ikon yang ada di dalamnya merupakan jiwanya.

Dengan kata lain, kuil merupakan simbolisasi dalam kerangka fisik bagi dewa yang hadir. Maka dari itu, ruangan suci tempat ikon itu diletakkan merupakan bagian yang paling penting dari sebuah kuil. Sementara, ikon merupakan detail yang paling utama dalam suatu sanctum.

Kedudukan Yantra dan Mandala terhadap Candi Antara yantra dan mandala dalam suatu bangunan sangatlah penting artinya karena unsur-unsur inilah yang dianggap memberikan kekuatan hidupnya suatu kuil atau candi.

Istilah pendeman, peripih, atau sejenisnya yang sering ditemukan di dalam candi atau kuil pada dasarnya tidak jauh berbeda artinya dengan yantra dan mandala.

23 Dalam sejumlah kasus yang ditemukan di Indonesia, khususnya dalam angka pemugaran candi, seringkali dijumpai batu atau bata yang berhias. Hiasan-hiasan itu ada yang berupa hanya garis-garis bersilang, seolah-olah tanpa arti. Namun, banyak pula yang memiliki bentuk tertentu, sehingga secara mudah kita dapat mengenalinya.

Pada dasarnya kuil atau candi merupakan bentuk akhir dari proyeksi-proyeksi garis yantra.

Titik-titik magis dari persilangan garis-garis itu merupakan tempat kedudukan dewa-dewa tertentu yang menggambarkan mandala dalam sistem keagamaan candi yang bersangkutan.

Seluruh komponen atau bagian yang terikat dan terkait dengan suatu candi atau gugusan percandian haruslah ditafsirkan salam suatu kesatuan mandala.

Penutup Yantra merupakan suatu konsep yang melandasi bentuk pendirian suatu bangunan suci, yang pembangunannya terutama ditujukan sebagai sarana untuk menuju nirwana.

Vastu-Purusha-Mandala merupakan gambaran tentang posisi arca dewa-dewa dalam suatu candi.

Apabila Vastu-Purusha-Mandala ini digunakan sebagai dasar perencanaan suatu kota maka orientasi atau arah hadap kota itu memperhatikan kedudukan candi.

Mandala dapat dipahami sebagai konfigurasi kosmis yang menggambarkan keletakan kedudukan dewa-dewa berdasarkan hierarkis.

Awalnya, kata mandala berasosiasi dengan bangunan suci yang berkembang pada masa Weda. Namun, pada masa kemudian digunakan untuk menunjuk bentuk, gejala, atau aktivitas yang cenderung berpola melingkar.

Dalam adaptasi bentuknya, mandala berkembang menjadi persegi, persegi panjang, segitiga, dan sebagainya.

24Relief Candi yang memuat kisah Ramayana

Prambanan juga memiliki relief candi yang memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.

Sama seperti sosok Garuda, Kalpataru kini juga digunakan untuk berbagai kepentingan. Di Indonesia, Kalpataru menjadi lambang Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Bahkan, beberapa ilmuwan di Bali mengembangkan konsep Tri Hita Karana untuk pelestarian lingkungan dengan melihat relief Kalpataru di candi ini. Pohon kehidupan itu juga dapat ditemukan pada gunungan yang digunakan untuk membuka kesenian wayang. Sebuah bukti bahwa relief yang ada di Prambanan telah mendunia.

Kalau cermat, anda juga bisa melihat berbagai relief burung, kali ini burung yang nyata. Relief-relief burung di Candi Prambanan begitu natural sehingga para biolog bahkan dapat mengidentifikasinya sampai tingkat genus. Salah satunya relief Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) yang mengundang pertanyaan. Sebabnya, burung itu sebenarnya hanya terdapat di Pulau Masakambing, sebuah pulau di tengah Laut Jawa.

25Arti Filosofi Dewa Ganesha

Ganesha merupakan Dewa Ilmu Pengetahuan yang mempunyai tangan empat.Ganesha memiliki banyak gelar, termasuk Ganapati dan Wigneswara. Setiap nama mengandung arti berbeda-beda dan melambangkan berbagai aspek karakter dari Ganesha.Nama Ganesha adalah sebuah kata majemuk dalam bahasa Sanskerta, terdiri dari kata Gana, berarti kelompok, orang banyak, atau sistem pengelompokan, dan Isha, berarti penguasa atau pemimpin.Ganesha digambarkan berkepala gajah dengan perut buncit. Ganesha memiliki empat lengan, yang merupakan penggambaran utama tentangnya. Dia membawa patahan gadingnya dengan tangan kanan bawah dan membawa cawan berisi manisan, yang ia hisap dengan belalainya, pada tangan kiribawah.

26Dua tangan berikutnya, Ganesa digambarkan memegang sebuah kapak pada tangan sebelah atas dan sebuah tasbih pada tangan atas lainnya.Berikut arti perlambang yang ada pada Ganesha:

Tasbih : Lambang Pengetahuan yang tiada putusnya; Lambang Kebijaksanaan & Pengetahuan Spiritual

Kapak : Lambang Penghancur Rintangan dan Halangan; Lambang Sifat Ksatria

Gading (yang dipatahkan) : Lambang pengorbanan diri untuk menyelesaikan masalah yang merintangi kemajuan

Selendang Ular yang merambat ke atas : Lambang Kekuatan yang luar biasa

Cawan berisi memanisan yang dihisap oleh belalai : Lambang Manis/Kesenangan yang diperoleh setelah menghalau halangan dan rintangan; Lambang Sumber Ilmu Pengetahuan yang tiada habisnya

Bunga Teratai/Buku : Lambang Ilmu Pengetahuan

Ganesha, sosok Dewa berbadan gemuk dan berkepala gajah ini sudah tidak asing lagi dalam kehidupan kita sehari-hari. Ganesha menjadi ikon/simbol lembaga-lembaga penting, sekolah-sekolah, atau pusat studi sebagai simbol ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.Ganesha telah menjadi begitu populer, dan kepopulerannya tidak hanya pada kalangan Hindu, tetapi telah merambah dunia secara keseluruhan. Seluruh umat, dari Hindu, Islam, Kristen, hingga Budha melihat Ganesha sebagai sosok mahluk lucu dan unik.

Ganesha memiliki kepala yang besar dengan dua telinga besar dan mata yang sipit. Kepala besar melambangkan kita sebagai manusia seharusnya lebih banyak menggunakan akal daripada fisik dalam memecahkan masalah.Sedangkan mata yang sipit berarti konsentrasi. Pikiran harus diarahkan ke hal-hal positif untuk memperbaiki daya nalar dan pengetahuan.

27

Ganesha juga memiliki dua telinga besar yang mengajarkan supaya kita mendengarkan orang lain lebih banyak. Kita selalu mendengar, tetapi jarang sekali kita mendengarkan orang lain dengan baik: "Dengarkan ucapan-ucapan yang membersihkan jiwa dan seraplah pengetahuan dengan telingamu."Ganesha mematahkan satu gadingnya untuk menggurat Kitab Suci di atas daun tal. Satu gading berarti kesatuan. Simbol ini menyarankan manusia hendaknya bersatu untuk satu tujuan mulia & suci.Lantas, Ganesha juga memiliki mulut yang kecil dan hampir tidak kelihatan karena tertutup belalainya yang dengan rakus menghirup rasa manisan susu ilmu di tangannya.Mulut yang kecil itu mengajarkan agar kita mengontrol gerak mulut dan lidah. Maksudnya adalah bahwa kita harus mengurangi pembicaraan yang tidak-tidak. Sementara belalai yang menjulur melambangkan efisiensi dan adaptasi yang tinggi.Beralih ke badan Ganesha yang besar:Hal pertama yang kita lihat pastilah perutnya, karena perut itu memang buncit. Ganesha memang selalu dimanja oleh ibu Parvati, istri Siva sebagai anak kesayangan. Perut buncit melambangkan keseimbangan dalam menerima baik-buruknya gejolak dunia. Dunia diliputi oleh sesuatu yang berpasangan, yakni pasangan dua hal yang bertolak belakang. Ada senang, ada pula sedih. Ada siang, ada pula malam.Ada wajah suram kesedihan di balik tawa riang kita. Dan sebaliknya, ada keriangan dan semangat dibalik kesenduan kita. Itulah hidup, dan kita harus menyadarinya.Simbol Ganesha memegang sebilah kapak. Kapak berarti menumpas segala halangan dalam karya. Sementara itu, di tangan kiri Ganesha terdapat semangkuk manisan susu.Terakhir, ada seekor tikus yang selalu berada di dekat Ganesha. Tikus, seperti sifat hewan aslinya, adalah hewan yang penuh nafsu mengigit. Ia memakan apa saja untuk memenuhi hasrat perutnya. Demikianlah tikus dijadikan lambang nafsu dalam figur Ganesha. Lalu mengapa tikus itu menjadi tunggangan Ganesha yang berbadan berat & tinggi ini?Tikus, atau nafsu harus ditundukkan. Kita harus bisa menjadikan nafsu sebagai kendaraan sehingga kita dapat mengendalikannya, namun banyak manusia kini menjadi kendaraan dari nafsunya sendiri.

28

Analisa

Bentuk kepala gajah : bentuk kepala gajah mewakili dari sebuah pemikiran yang cerdas atau otak yang besar dalam terjemahan gampangan nya, sebab dalam penggambarannya sesuatu yang besar digambarkannya biasanya sangat berlebihan.

Telinga gajah : telinga gajah berarti peka terhadap semua informasi artinya dapat menyerap semua informasi terlepas benar atau salah nya informasi tersebut, telinga yang lebar menggambarkan penyerapan informasi dari khalayak umum (dari semua sisi).

Mata gajah : mata gajah yang terlihat sempit atau menyipit melambangkan penuh perhatian pada segala hal.

Hidung gajah : melambangkan kemampuan memprediksi jauh kedepan sebab kan kalo punya belalai panjang kalo mencium bau sesuatu kan ga perlu sampai jongkok atau mengerakkan bandan.

Berbadan gemuk : artinya memilki data yang cukup buaaaanyak sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.

Kemudian kebanyakan yang digunakan sebagai lambang kecerdasan yang lebih umum seperti bentuk patung yang berada di candi prambanan

29