tugas analisis proses pemicu karakteristik distribusi oksigen permukaan lautan global
TRANSCRIPT
Analisis Proses Pemicu Karakteristik Distribusi Anomali Oksigen Permukaan Lautan Global
Oleh:
Adi Purwandana, Evangelin Kadmaer, dan Princy Andrianavalona
Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Kelautan 2010, IPB
Pendahuluan
Pada bidang batas antara udara-laut, atmosfer terdiri atas: 77,0% nitrogen (volume);
20,6% oksigen; 0,9 argon; 1,47 hidrogen (rata-rata); 0,03% karbon dioksida; dan 0,0024% gas
kelumit; kesemuanya dalam persentase volume (Dietriech et al., 1975). Secara khusus,
oksigen dijumpai di lautan dalam bentuk oksigen terlarut.
Dasar untuk memahami karakteristik gas-gas atmosfer di lautan dijumpai dalam
proses-proses pertukaran pada permukaan laut, di mana fase cair dan gas saling kontak antara
satu dengan lainnya. Selanjutnya, kondisi saturasi berbagai gas ini akan terbentuk, relevan
dengan keadaan salinitas dan temperatur, apakah terjadi penyerapan (absorbsi) gas dari
atmosfer ataukah justru pelepasan gas ke atmosfer. Gambar 1 memperlihatkan koefisien
kelarutan gas oksigen terhadap salinitas dan temperatur.
Gambar 1:Koefisien kelarutan gas oksigen terhadap salinitas dan temperatur.
Kondisi saturasi gas secara umum akan menurun seiring dengan kenaikan temperatur
dan salinitas. Pada gas-gas aktif, seperti oksigen dan karbon dioksida, kandungan relatif
kimiawi dan biologi pada gas-gas tersebut lebih tinggi di air daripada di atmosfer. Jika di
Tugas Mata Kuliah Oseanografi Kimia, Dr. Alan F. Koropitan
atmosfer perbandingan antara oksigen dengan nitrogen 1:4, maka di dalam suatu larutan akan
menjadi 1:2 (Dietriech et al., 1975).
Berbeda dengan gas nitrogen di lautan, di mana tidak terdapat perubahan signifikan
yang mengindikasikan partisipasi proses biologi terhadap kedalaman, maka pada gas oksigen
terdapat partisipasi yang sangat aktif proses biologi, baik kaitannya dengan respirasi maupun
oksidasi di manapun. Wal hasil, deplesi oksigen pada massa air lautan akan sangat besar, di
mana semakin jauh jaraknya dari permukaan batas udara-laut maka akan terjadi deplesi
oksigen. Secara spesifik, dalam kajian kesetimbangan proses biologi antara oksigen dan
karbon dioksida, melimpahnya karbon dioksida harus diiringi oleh defisiensi oksigen,
demikian pula sebaliknya (Dietriech et al., 1975). Di sisi lain, fenomena-fenomena fisis
dmungkinkan juga menjadi pemicu pola distribusi oksigen lautan global, sehingga
menghasilkan anomali-anomali yang tidak sama pada berbagai lokasi. Fenomena angin
global, gyre, dan sirkulasi termohaline merupakan fenomena global yang berkontribusi pada
distribusi ini; seperti halnya angin susur pantai yang memicu upwelling, kaitannya dengan
peningkatan produksi primer (Karstensen et al., 2008). Gambar 2 memperlihatkan secara
umum distribusi spasial zona oksigen minimum di lautan global, di antaranya berada pada
lokasi yang biasa dikenal sebagai area upwelling, seperti di lepas pantai barat Amerika.
Gambar 2:Distribusi O2 pada kedalaman di mana konsentrasinya minimum pada musim dingin (atas),
dan profil menegak O2 di lepas pantai barat Amerika (Paulmier dan Pino, 2009).
2
Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3, pada area dengan sistem upwelling seperti
di perairan lepas pantai Peru, lapisan oksigen minimum lebih tebal dan menipis seiring
menjauhi pesisir. Kondisi ini menunjukkan intensifnya laju konsumsi oksigen di perairan,
bersamaan dengan meningkatnya produktivitas primer dan sekunder.
Gambar 3 memperlihatkan anomali oksigen permukaan laut dunia, di mana tanda
positif dan negatif berturut-turut menyatakan kondisi saturasi lebih (over saturated) di mana
tekanan parsial oksigen di laut lebih tinggi dibandingkan di atmosfer, sehingga terjadi fluks
dari laut ke atmsofer; dan kondisi saturasi kurang (under saturated) di mana tekanan parsial
oksigen di laut lebih rendah dibandingkan di atmosfer, sehingga terjadi fluks dari atmsofer ke
laut.
Gambar 3:Distribusi anomali oksigen permukaan lautan global.
Berikut akan dipaparkan kaitan antara distribusi anomali oksigen lautan global dengan
fenomena-fenomena spesifik di atmosfer-lautan global.
Pola Utama Angin Global
Dinamika sirkulasi massa air lautan global tidak dapat dipisahkan dari fenomena pola
angin global. Di dunia, dikenal beberapa jenis angin, seperti angin baratan (westerlies) dan
angin pasat (trade). Sebagaimana diketahui, dalam sirkulasi massa air dunia angin pasat
(trade winds) memicu pergerakan massa air permukaan ke arah barat (Vo, arus Ekman di
permukaan mengarah ke barat atau dibelokkan ke kanan 45° karena pengaruh gaya Coriolis),
serta transpor Ekman (Q) ke arah utara. Adapun di sisi utara, terdapat angin baratan
(westerlies) yang memicu pergerakan massa air permukaan ke arah timur (Vo, arus Ekman di
3
permukaan mengarah ke timur dibelokkan ke kanan 45° karena pengaruh gaya Coriolis), serta
transpor Ekman (Q) ke arah selatan. Akibatnya terjadi penumpukan (konvergen) massa air di
tengah samudera Pasifik bagian utara. Karena harus terjadi kontinuitas aliran, maka terjadilah
sinking massa air permukaan di area tengah gyre ini. Dampaknya, massa air di bawahnya
yang kaya akan nutrien dan fitoplankton akan turun ke bawah, sehingga produktivitas
perairan di area ini akan rendah. Wal hasil, pada perairan ini akan selalu mendapatkan
pasokan dari area ekuator yang kaya oksigen (hasil fotosintesis fitoplankton), namun di sisi
lain rendah konsumsi oksigen (oleh zooplankton); sehingga kandungan oksigen masih relatif
lebih (+). Argumentasi ini juga berlaku untuk gyre di Samudera Atlantik baik di belahan bumi
utara maupun selatan.
Gambar 4:Ilustrasi terbentuknya gyre yang memicu terjadinya sinking, alasan mengapa pada area ini
memiliki produktivitas rendah.
Pada daerah lintang tinggi, seperti di sekitar perairan Antartika (kutub selatan), bertiup
angin baratan (westerlies) sepanjang tahun, dengan intensitas bergantung musim. Akibatnya,
terbentuklah arus terpicu angin, arus lingkar kutub Antartika (Antartic Circumpolar Current),
yang merupakan arus permukaan lapisan Ekman (Vo). Net transpor Ekman yang terjadi
adalah ke arah menjauhi kutub (ke kiri, akibat pengaruh gaya Coriolis di belahan bumi
selatan) yang memindahkan massa air permukaan meninggalkan sekeliling benua Antartika.
Untuk memenuhi kontinuitas aliran, konsekuensinya massa air dari dasar samudera akan naik
ke permukaan. Dengan karakteristiknya yang dingin dan membawa banyak nutrien dari
bawah, menyebabkan perairan sekitar Antartika memiliki produktivitas tinggi. Akibatnya,
4
Trade Winds
Convergence Zone(sinking)
Vo
Q
45oVo
Q
45oVo
Q
45o
Q Q
Vo VoWesterlies
45o 45o
Ekuator 0o
kelimpahan fitoplankton akan juga meningkatkan pemangsaan dan pertambahan zooplankton.
Kondisi ini menghasilkan konsumsi oksigen meningkat (untuk respirasi), sehingga area ini
akan memiliki kandungan oksigen yang relatif lebih rendah (-) dibandingkan dengan di
atmosfer.
Di lain pihak, di perairan Antartika, intensitas sinar matahari akan maksimum pada
bulan-bulan musim panas (summer). Dengan demikian, penetrasi cahaya matahari akan
sampai ke kedalaman yang lebih dalam sehingga proses fotosintesis dapat terjadi pada
kedalaman tersebut. Di samping itu, berhembusnya angin baratan (westerlies) sepanjang
tahun, secara mendasar juga menjadi kontributor terhadap produktivitas primer di perairan
Antartika, meskipun intensitasnya menurun di dekat kutub, dan lebih besar pada musim
dingin. Kondisi pencahayaan yang tidak sepanjang tahun (bergantung musim) ini juga akan
membatasi produksi oksigen (fotosintesis) oleh fitoplankton, di sisi lain kebutuhan oksigen
oleh zooplankton terus berlangsung, sehingga kandungan oksigen akan relatif lebih rendah (-)
Gambar 5:Proses terjadinya upwelling di daerah Antartika akibat transpor Ekman yang memindahkan
massa air permukaan menjauhi benua Antartika. Pada area ini juga terjadi sinking massa air yang terdinginkan (densitas naik), sehingga juga berkontribusi pada pembentukan massa air
laut dalam.
5
E90o W
Vo
Q
45o
Vo
Q
45o
Vo
Vo
Vo
45o
45o
45o
Q
Q
Q
90o E
E0o W
90o W
Upwelling Zone
ANTARTIC
Berikut adalah perkiraan umum kenampakan kurva puncak produktivitas primer musiman
perairan Antartika.
Gambar 5:Karakteristik musiman perairan Antartika.
Gambar berikut memperlihatkan profil vertikal sirkulasi massa air di sekeliling benua
Antartika.
Adapun pada area ekuator, produktivitas primer cenderung stabil sepanjang tahun. Hal
ini dikarenakan faktor intensitas cahaya matahari yang stabil sepanjang tahun. Meskipun
berdampak pada tingginya proses fotosintesis, namun temperatur yang tinggi di perairan ini
juga mengakibatkan proses metabolisme yang lebih tinggi (~respirasi tinggi), di samping juga
menurunkan daya larut gas. Akibatnya kandungan gas oksigen terlarut di perairan katulistiwa
secara umum adalah under saturated.
6
Gambar 6: Diagram blok sirkulasi di Lautan Selatan. STF:Subtropical Front, SAF: Subantartic Front, PF:Polar Front, CWB: Coastal Water Boundary (Tomczak and Godfrey, 2001).
Winter Summer Winter
Pri
mary
Pro
duct
ivit
y
Pada lokasi di mana merupakan area upwelling (sepanjang Ekuator Pasifik), intensitas
produktivitas primer menurun menuju ke arah barat. Ini berkaitan dengan stratifikasi massa
air yang meningkat seiring ke arah barat, sehingga intensitas upwelling menjadi menurun.
Gambar berikut memperlihatkan lokasi-lokasi upwelling pada perairan global.
Gambar7:Lokasi terbentuknya upwelling di perairan global dan pola sirkulasi arus global (Sumber:
Lalli and Parsons,1993).
Wal hasil, pada sisi timur samudera, intensifnya upwelling ini akan mengkompensasi
peningkatan zat hara ke permukaan yang berkontribusi pada meningkatnya fitoplankton dan
zooplankton di permukaan. Kondisi ini akan mengakibatkan kandungan gas oksigen terlarut
berada pada kondisi under saturated. Kondisi pada area upwelling lainnya memiliki
argumentasi pemaparan yang hampir sama, seperti pada perairan selatan Jawa-Sumatera,
barat laut Australia, barat Senegal, dll.
Gambar 8:Karakteristik musiman perairan katulistiwa.
7
Winter Summer Winter
Pri
mary
Pro
duct
ivit
y
Sirkulasi Termohalin Global
Sirkulasi termohalin global berkaitan dengan jungkiran meridional (meridional
overturn) massa air lautan dunia. Sirkulasi termohalin intensif terjadi pada saat musim dingin
di belahan bumi utara (BBU). Hal ini berkaitan dengan hembusan angin baratan yang
memiliki suhu lebih rendah sehingga memicu transfer bahang dan penguapan air laut ke
atmosfer. Massa air akan mendingin dan bersalinitas tinggi (karena penguapan). Terjadilah
sinking di dekat kutub utara. Memenuhi kontinuitas aliran, penenggelaman di dekat kutub
utara akan diikuti dengan penjalaran massa air dingin yang terbentuk ini ke selatan di lapisan
dekat dasar. Penaikan massa air dingin (upwelling) akan terjadi untuk memenuhi kontinuitas
aliran. Sehingga, antara proses upwelling dan sinking merupakan satu rangkaian siklus
pergerakan massa air. Inilah yang dikenal dengan meridional overturn. Karena proses ini
lambat, maka penaikan massa air ini lebih menyebar di semua lintang (untuk memenuhi
kontinuitas aliran). Kecepatan aliran massa air dingin ke selatan konsisten dengan Gulf
Stream di permukaan yang menuju utara. Lemahnya arus Kuroshio di Pasifik juga berkenaan
dengan lemahnya aliran dingin dasar (tidak terdapat sumber massa air dalam di Pasifik).
Gambar 9 memperlihatkan skema sabuk termohalin lautan global.
Gambar 9:Sabuk termohalin lautan global
(http://science.nasa.gov/earth-science/oceanography/physical-ocean/salinity)
Secara umum, kaitannya dengan anomali oksigen permukaan lokal, adanya fenomena
sinking maupun upwelling merupakan faktor penting dalam aspek tersebut. Dimulai dari
proses penenggelaman massa air di Atlantik Utara, massa air yang terdinginkan akan
meningkatkan koefisien kelarutan gas sehingga dimungkinkan pada perairan ini berada dalam
8
kondisi undersaturated. Setelah mengalami sinking, massa air laut dalam ini akan menyusur
ke selatan di Samudera Atlantik dan muncul ke permukaan di Samudera Hindia. Massa air
laut dalam yang kaya akan nutrien ini dimungkinkan berkontribusi pada penyuburan perairan,
sehingga meningkatkan produktivitas primer dan kelimpahan zooplankton sebagai
pemangsanya. Dengan demikian, metabolisme biota-biota yang memanfaatkan oksigen untuk
respirasi juga akan meningkat. Kondisi inilah yang menjadikan perairan tengah Samudera
Hindia berada dalam kondisi undersaturated. Argumen yang senada juga berlaku pada lokasi
upwelling di timur laut lepas pantai Australia dan pesisir selatan Jawa, di mana angin muson
menjadi pemicunya.
Adapun di Samudera Pasifik, penaikan massa air laut dalam terjadi juga di sekitar area
ekuator, yang dipicu oleh hembusan angin pasat. Akibatnya, terjadilah fenomena upwelling
massa air lapisan dalam yang kaya akan nutrien ke permukaan. Hal ini dimungkinkan
memberikan kontribusi pada penyuburan perairan, sehingga meningkatkan produktivitas
primer dan kelimpahan zooplankton sebagai pemangsanya. Warren (1995) menyatakan bahwa
laju konsumsi oksigen di sistem upwelling di Peru memiliki beberapa orde lebih tinggi
dibandingkan dengan area oligotrofik perairan lepas pantai. Dampaknya, perairan di area
katulistiwa mulai dari pesisir barat Peru akan mengalami kondisi undersaturated.
Kesimpulan
1. Anomali oksigen permukaan lautan global memiliki karakteristik distribusi yang
dipicu oleh fenomena terpadu baik fisika, meteorologi, maupun biologi.
2. Dinamika fisika-meteorologi atmosfer global, seperti angin dan penyinaran matahari
(musim) akan memberikan kontribusi pada fenomena pergerakan massa air global,
sinking, dan upwelling.
3. Fenomena sinking pada lintang tinggi dan upwelling berturut-turut berkaitan dengan
pendinginan massa air yang akan menaikkan daya kelarutan gas oksigen (-), dan
pengayaan nutrien lapisan permukaan yang berdampak pada peningkatan proses
metabolisme organisme konsumen oksigen (-).
4. Fenomena sinking pada lintang sedang berkaitan dengan terbentuknya gyre karena
pengaruh angin pasat dan baratan, yang menghasilkan pemasokan massa air
permukaan dari area ekuator yang kaya oksigen (hasil fotosintesis fitoplankton),
9
namun di sisi lain rendah konsumsi oksigen (oleh zooplankton); sehingga kandungan
oksigen masih relatif lebih (+).
Referensi
Lalli, Carol M and Timothy R Parsons. 1993. Biological Oceanography: An Introduction. Burlington: Elsevier Butterworth-Heinemann.
Karstensen, Johannes; Lothar Stramma, and Martin Visbeck. 2008. Oxygen minimum zones in the eastern tropical Atlantic and Pacific oceans. Progress in Oceanography 77: 331–350.
Paulmier, A. and D. Ruiz-Pino. 2009. Oxygen minimum zones (OMZs) in the modern ocean. Progress in Oceanography 80: 113–128.
Tomczak, M. and J. S. Godfrey. (2001). Regional Oceanography: An Introduction. Pdf Version 1.0. http://www.es.flinders.edu.au/~mattom/regoc/pdfversion.html.
Warren, B.A., 1995. Context of the suboxic layer in the Arabian Sea. In: Lal, D. (Ed.), Biogeochemistry of the Arabian Sea: Present Information and Gaps. Indian Academy of Sciences, vol. 103, pp. 203–216.
http://science.nasa.gov/earth-science/oceanography/physical-ocean/salinity diakses pada tanggal 4 Juli 2011.
10