tugas analisis pembebasan tanah

16
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat Pembukaan UUD 45, dari tahun ke tahun terus meningkat. Bersamaan dengan itu jumlah penduduk terus bertambah, dan sejalan dengan semakin meningkatnya pembangunan dan hasil-hasilnya, maka semakin meningkat dan beragam pula kebutuhan penduduk itu. Termasuk dalam kegiatan pembangunan nasional yaitu dengan melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum ini harus terus diupayakan pelaksanaannya seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang disertai dengan semakin meningkatnya kemakmurannya. Penduduk semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran yang semakin baik,tentunya membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti : jaringan/transportasi, fasilitas pendidikan, 1

Upload: muhammad-nur-udpa

Post on 18-Jun-2015

2.715 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Bagaimanakah keadilan hukum dan keadilan sosialnya, jika melihat dari kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah yang telah dituangkan dalam Keppres 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat

Pembukaan UUD 45, dari tahun ke tahun terus meningkat. Bersamaan dengan itu

jumlah penduduk terus bertambah, dan sejalan dengan semakin meningkatnya

pembangunan dan hasil-hasilnya, maka semakin meningkat dan beragam pula

kebutuhan penduduk itu.

Termasuk dalam kegiatan pembangunan nasional yaitu dengan melaksanakan

pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum ini

harus terus diupayakan pelaksanaannya seiring dengan semakin bertambahnya jumlah

penduduk yang disertai dengan semakin meningkatnya kemakmurannya.

Penduduk semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran yang semakin baik,tentunya

membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti : jaringan/transportasi, fasilitas

pendidikan, peribadatan, sarana olah raga, fasilitas komunikasi, fasilitas keselamatan

umum dan sebagainya.

Pembangunan fasilitas-fasilitas umum seperti tersebut di atas tentunya memerlukan

tanah sebagai wadahnya. Dalam hal persediaan tanah masih luas, pembangunan

fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah. Tetapi persoalannya tanah merupakan

sumber daya alam yang sifatnya terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah

yang tersedia sudah banyak yang dilekati dengan hak (tanah hak), dan tanah negara

sudah sangat terbatas persediaannya.

1

Pada masa sekarang ini sangat sulit melakukan pembangunan untuk kepetingan umum di

atas tanah negara, dan sebagai jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-

tanah hak. Kegiatan untuk mendapatkan tanahy dengan cara memberikan ganti rugi kepada

yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang

berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah yang kemudian disebut

dengan pengadaan tanah (pasal 1 Keppres No. 36 Tahun 2005 tentang pengadaan tanah

bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum).

Kegiatan pengadaan tanah ini sudah sejak lama dilakukan, bahkan sudah dikenal sejak

zaman Hindia Belanda dahulu melalui Onteigenings Ordonnatie (Staatsblad 1920

nomor 574).

Undang-Undang Pokok Agraria sendiri melalui Pasal 16, memberikan landasan hukum

bagi pengambilan tanah hak ini dengan menentukan : Untuk kepentingan umum,

termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-

hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara

yang diatur dengan Undang-Undang.

Kemudian dikeluarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 1961. Undang-Undang ini

mengartikan kepentingan umum secara luas yaitu : kepentingan bangsa dan negara,

kepentingan bersama dari rakyat, dan kepentingan pembangunan.

Selanjutnya menurut Undang-Undang ini kegiatan kepentingan Umum tidak hanya

terbatas pada kegiatan yang dilakukan Pemerintah tapi juga oleh swasta, asal usaha itu

benar-benar untuk kepentingan umum (lihat penjelasan angka (4) huruf b).

Namun timbul masalah ketika, pembebasan tanah tidak hanya mendapatkan respon

positif dari masyarakat, respon negatif pula ikut menyertai kebijakan tersebut. Mereka

berpendapat bahwa peraturan ini(Keppres No.55/1993) memilki banyak kesalahan

2

dalam hal pencapaian kemakmuran rakyat sebagai suatu tujuan utama dibuatnya suatu

peraturan.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang telah diuraikan diatas maka penulis dapat merumuskan

permasalahan sebagai berikut :

“Bagaimanakah keadilan hukum dan keadilan sosialnya, jika melihat dari kebijakan yang

telah dikeluarkan pemerintah yang telah dituangkan dalam Keppres 36 tahun 2005 tentang

pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.”

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mengetahui lebih jelas mengenai keadilan

hukum dan keadilan sosial yang tergantung dalam Keppres 36 tahun 2005 tentang

pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum dan Keadilan

Menurut Prof. Dr. Ahmad Ali, S.H., M.H. hukum adalah sperangkat kaidah atau ukuran

yang tersusun dalam suatu sistem yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh

dilakukan oleh manusia sebagai warga dalam kehidupan bermasyarakatnya.

Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak, karena keadilan menyangkut mengenai nilai

etis yang dianut oleh seseorang. Hal tersebut dibuktikan pula dengan munculnya berbagai

pendapat pakar yang berbeda mengenai definisi keadilan itu sendiri. Ada yang mengaitkan

keadilan dengan peraturan politik negara, ada pula yang melihat keadilan itu berwujud

kemauan yang sifatnya tetap dan terus menerus.

Sepaham dengan Prof. Dr. Ahmad Ali, S.H., M.H. yang meganut paham keadilan menurut

N. E. Algra, dimana menyatakan bahwa sesuatu adil (rechtvaarding) lebih banyak

tergantung pada rechtmatigheid (kesesuaian dengan hukum) pandangan pribadi seorang

penilai.

Hukum tidak hanyalah semata-mata untuk mewujudkan keadilan, karena bagaimana pun

nilai keadilan terlalu subjektif dan abstrak. Tujuan hukum secara prioritas tidak hanya

cenderung pada keadilan saja tapi juga bersama-sama dengan kemanfaatan dan kepastian

dari hukum tersebut.

B. Keadilan Hukum dan Sosial yang Terkandung dalam Keppres 36 tahun 2005

Tanah merupakan modal dasar pembangunan. Hampir tak ada kegiatan pembangunan

(sektoral) yang tidak memerlukan tanah. Oleh karena itu, tanah memegang peranan yang

4

sangat penting, bahkan menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan. Kegiatan

poembangunan yang dilaksanakan di segala bidang kehidupan baik untuk kepentingan

umum maupun kepentingan swasta selalu membutuhkan tanah sebagai wadah untuk

diletakkan pembangunan itu. Keadaan seperti ini dapat menimbulkan konflik karena

kepentingan umum dan kepentingan perorangan saling berbenturan.

Kondisi seperti ini diperlukan upaya dan pengaturan yang bijaksana guna menghindari

konflik-konflik yang lebih meresahkan masyarakat banyak. Agar kepentingan umum tidak

terhambat dalam arti dapat dilaksanakan dan kepentingan perorangan pun tidak diabaikan

maka diperlukan adanya musyawarah antara masing-masing pihak untuk melaksanakan

kepentingan umum. Untuk itu perlu melakukan pengadaan tanah (pemngambilan) tanah

hak masyarakat.

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan

bersama dari rakyat demikian pula kepentingan pembangunan, maka pemerintah telah

memberlakukan berbagai aturan dalam pengadaan benda milik negara berupa tanah.

Ada dua cara pemerintah untuk mendapatkan Hak Atas Tanah jika pemerintah

membutuhkan tanah untuk kepentingannya yaitu dengan cara pencabutan berdasarkan UU

No. 20 tahun 1961 dan dengan cara pembebasan berdasarkan Keppres No. 36 tahun 2005.

Jika negara membutuhkan tanah untuk kepentingannya, sedangkan tanah sudah dimiliki

oleh perseorangan maka dapat dilakukan pencabutan. Pencabutan Hak Atas Tanah

merupakan pelepasan Hak Atas Tanah kepada pemerintah untuk kepentingan umum dengan

ganti rugi yang layak. Pemerintah biasanya melakukan pencabutan Hak Atas Tanah apabila

usaha pembebasan Hak Atas Tanah tidak berhasil. Macam-macam pencabutan ada dua

jenis yaitu prosedur cepat dan prosedur biasa, sepanjang sejarah pencabutan Hak Atas

Tanah baru terjadi satu kali. Untuk pencabutan Hak Atas tanah seseorang harus mendapat

SK pencabutan. SK ini dapat digugat di Pengadilan Negeri, tetapi hanya untuk masalah

5

ganti ruginya saja. Sedangkan pembebasan ditekankan dengan adanya musyawarah untuk

mufakat antara pemilik tanah dengan panitia pelepasan tanah. Tanpa mufakat, tidak ada

pelepasan hak.

Prosedur pembebasan tanah melalui pembentukan panitia pembebasan tanah disetiap

kabupaten/kota, yang dipimpin oleh bupati/walikota dan wakilnya adalah Kepala Kantor

Pertanahan. Setelah instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan kepada

Bupati melalui Dinas Pertanahan, selanjutnya akan dipelajari oleh bupati dan diserahkan

kepada Panitia pembebasan Tanah. Investarisasi dan penentuan/penaksiran harga nyata

yang tercantum dalam PBB. Setelah itu musyawarah antara pemilik tanah, panitia

pembebasan tanah, dan instansi yang membutuhkan tanah. Ganti rugi yang bisa didapatkan

dari pembebasan tanah adalah ganti rugi dan ganti rugi sekaligus penempatan kembali

ditempat lain.

Pembebasan tanah yang dianut dalam Keppres No. 36 tahun 2005 memiliki berbagai

substansi yang meresahkan masyarakat. Awalnya Keppres No. 55 tahun 1993 yang

digantikan oleh Keppres No. 36 tahun 2005 menjelaskan mengenai pembangunan untuk

kepentingan umum dibatasi untuk kegiatan pembangunan dan dimiliki pemerintah serta

tidak digunakan mencari keuntungan, tidak lagi dicantumkan dalam Keppres No. 36 tahun

2005 hal ini tentunya menimbulkan keresahan terhadap masyarakat akan disalahgunakan

yang hanya berdampak positif pada segelintir orang saja. Apalagi dalam Keppres 36/2005,

definisi kepentingan umum adalah kepentingan sebagaian besar lapisan masyarakat berbeda

dengan Keppres sebelumnya yang menganut paham bahwa Keppres ini ditujukan pada

seluruh lapisan masyarakat.

Dengan tidak disyaratkannya pembangunan harus dilakukan tidak untuk mencari

keuntungan, kuat dugaan akan terjadi sebaliknya. Dalam bahasa hukumnya, selama tidak

disebutkan demikian, maka pembangunan dapat juga berorientasi mengeruk keuntungan

6

karena tidak ada pelarangan. Artinya, sah-sah saja jika pembangunan dilakukan untuk

mengeruk keuntungan dengan dalih ‘kepentingan umum’.

Selain itu Keppres 36/2005 yang salah satu isinya menjelaskan mengenai besarnya ganti

rugi dan penitipan ganti rugi pada Pengadilan Negeri sangat tidak adil. Penitipan ganti rugi

dilakukan apabila musyawarah dalam kurun waktu sembilan puluh hari tidak ada kata

sepakat, seperti yang dilakukan Pemkab Tangerang yang akan menitipkan uang ganti rugi

pembebasan lahan fly over Ciputat kepada PN Tangerang melalui surat penetapan

konsinyasi No.02/pen.tdp.consig/2005/PN Tangerang bertanggal 6 September 2005.

Padahal, yang namanya ganti rugi terlebih dulu ada kesepakatan, termasuk dalam hal

melepaskan hak atas tanah. Lebih lanjut, dalam Judical Review SPHP (Serikat Pekerja

Hukum Progresif) disebutkan, hal ini sangat bertentangan dengan pengaturan konsinyasi

dalam Pasal 1404 sampai Pasal 1412 KUHPerdata. Konsinyasi merupakan salah satu

bentuk hapusnya perikatan. Dengan demikian setiap konsinyasi harus didahului adanya

perikatan. Padahal disini tidak ada perikatan antara pihak yang akan melepaskan dengan

pihak yang akan dilepaskan haknya. Dan konsinyasi hanya dapat dikatakan sah apabila ada

penetapan dari PN. Konsinyasi ala Perpres 36/2005 merupakan konsinyasi model baru yang

tidak memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat karena mengandung unsur

pemaksaan.

Banyaknya substansi dalam Keppres 36/2005 yang lebih melemahkan masyarakat

merupakan bukti bahwa pemerintah bersikap lebih bersahabat terhadap para investor

(investor friendly) ketimbang memperhatikan masyarakat. Sedangkan keberadaan Perpres

tersebut tampak sekali keberpihakannya kepada pemodal besar dimana pemerintah nyaris

tak berdaya. Oleh sejumlah kiai NU yang menggelar pertemuan di ponpes Pandanaran,

Sleman, Jogjakarta (10/07) secara tegas menyatakan Perpres 36/2005 adalah haram

hukumnya.

7

Selain itu pembebasan tanah oleh negara untuk kepentingan umum, seperti pembangunan

bandar udara, jalan nasional, RSU, kantor instansi pemerintah dan militer harus

berdasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dengan merujuk pada

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Secara sistematika hukum, Peraturan Presiden

Nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum, sehingga kedua peraturan hukum tersebut harus digunakan dalam

melakukan pembebasan tanah untuk kepentingan umum.

Pembebasan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum juga harus melalui proses-

proses pembayaran ganti rugi bagi warga dengan mengacu pada patokan harga tanah di

daerah tersebut untuk menjamin keadilan bagi masyarakat karena masyarakat juga

mempunyai hak atas tanah negara dan hak pengelolaan yang tepat di konversikan menjadi

hak atas tanah negara dan hak pengelolaan yang dapat di konversikan menjadikan hak

milik, hal ini di atur secara tegas dalam Permeneg Agraria/Kepala BPN 9/1999 tentang tata

cara dan pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak pengelolaan, disebutkan bahwa hak

pengelolaan dapat di konversi menjadi hak milik dalam jangka waktu tertentu dengan

menyerahkan persyaratan tertentu.

Hanya saja hal semacam ini tidak pernah tersosialisasikan ke masyarakat sehingga mereka

tidak pernah tahu bahwa tanah pengelolaan mereka telah bisa di konversi menjadi hak

milik. Selain itu juga berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang

penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dapat mengajukan hak milik dengan

persyaratan melampirkan bukti dasar atau izin penggunaan tanah, disertai bukti

pembayaran pajak atas nama yang bersangkutan atau dokumen lain seperti girik, IPEDA,

atau PBB. Apabila itu juga tidak ada maka dapat di ajukan dengan didasrkan pada

kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama beberapa tahun lebih

secara berturut-turut, dengan syarat penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan

secara terbuka oleh orang yang bersangkutan serta diperkuat oleh kesaksian orang yang

dapat dipercaya.

8

Paling tidak, ini membuktikan kebenaran dari thesisnya John Perkins dalam Confession of

An Economic Hit Man (2004) yang mengatakan jaringan pemodal besar senantiasa

menekan pemerintah negara berkembang untuk menuruti kemauannya termasuk dalam

kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Di harapkan Perpres 36/2005 lebih

mempertimbangkan aspek yuridis-sosiologisnya dan jangan sampai mengabaikan rasa

keadilan dimasyarakat. Sebagaimana pameo dari SPHP dengan menggunakan bahasa latin,

Quid Ius Sine Justitia, Apalah artinya hukum apabila tanpa keadilan.

Fenomena gaya pikir hukum legal formal dan positivistik ditambah dengan praktik

penegakan hukum yang korup menjadi masalah penting yang menghambat pemenuhan hak

keadilan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang telah diakui dalam

amandemen UUD 1945 dan secara khusus dirumuskan dalam UU No. 39 Tahun 1999

tentang HAM. Dalam keadaan seperti itulah advokasi menjadi sebuah kebutuhan bagi

masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi dan intelektual. Tanpa ada upaya-upaya

pembelaan kepada masyarakat lemah yang ditindas oleh oligarki kekuasaan politik-

ekonomi maka hak keadilan hanya masih menjadi utopia.

Dalam konstruksi pemikiran hukum yang sejati, hukum adalah untuk keadilan. Para

intelektual hukum yang membiarkan adanya penindasan adalah para intelektual yang tidak

bertanggung jawab, sebagaimana pendidikan hukum mengamanatkan tegakknya hukum

dan keadilan yang dalam pengertian lebih rasional adalah adanya upaya-upaya dan

pekerjaan yang bersifat sosial, nonkomersial, untuk membantu masyarakat lemah ekonomi

dan intelektual agar dapat berpartisipasi dalam hidup bernegara yang lebih adil.

9

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menyikapi banyaknya permasalahan yang mencuat kepermukaan mengenai prosedural

pembebasan tanah untuk kepentingan umum yang dituangkan dalam Keppres 36 tahun

2005 dapat kita mengangkat kesimpulan bahwa keadilan sosial dan keadilan hukum yang

semestinya terkandung dalam setiap peraturan belum dikatakan baik. Mendominasinya

kepentingan segelintir individu dan kelompok yang menegyampingkan kepentingan umum

menyebabkan pincangnya peraturan ini (keadilan sosial). Keadilan, kemanfaatan, dan

kepastian yang dijadikan sebagai prioritas tujuan hukum belum pula tercapai (keadilan

hukum).

B. Saran

1. Meminta Pemerintah dan Militer harus bersikap arif dan bijaksana

dalam menyikapi setiap permasalahan atau keberatan dari warga terkait

dengan pembebasan tanah untuk kepentingan umum.

2. Meminta Pemerintah Provinsi dalam hal ini Gubernur untuk

terlibat aktif dalam penyelesaian sengketa pertanahan dan lebih memihak terhadap

kepentingan umum.

3. Meminta negara dalam hal ini Pemerintah Provinsi dan

Kabupaten/Kota untuk menjamin semua hak-hak masyarakat agar roda

demokrasi di negara ini berjalan, dan negara wajib memfasilitasi akses

warga negaranya terhadap hak–hak EKOSOB dan wajib menjamin setiap warga

negara tidak terhalang akses atas hak EKOSOB serta negara wajib

10

menyediakan fasilitas tentang hak – hak EKOSOB kepada warga negara yang

tidak mampu mengupayakan sendiri pemenuhan hak EKOSOB.

11