tugas af wisnu
TRANSCRIPT
![Page 1: Tugas Af Wisnu](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082317/55cf9288550346f57b9743a5/html5/thumbnails/1.jpg)
Wisnu Agung Bhaskoro
125040201111110
A – MSDL 2012
TUGAS TERSTRUKTUR AGROFORESTRI
FAKTOR PERKEMBANGAN AGROFORESTRI DAN KENDALA SERTA SOLUSINYA
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Agroforestri
1. Budaya Masyarakat dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat
Pada studi kasus pertama yang dilakukan di Desa Sedayu dan Watulimo, terlihat
bahwa memang budaya masyarakat dan ilmu pengetahuan yang menjadi salah satu faktor
pembentuk kebun campuran pada pekarangan rumah masyarakat. Desa Watulimo di
Lampung merupakan salah satu daerah yang menjadi tujuan para transmigran yang
mengikuti program transmigrasi dari pemerintah pada tahun 1960-an, sehingga ketika
dianalisis derajat kesamaannya menggunakan indeks kesamaan Sorensen, angka indeks
kesamannya menunjukkan angka 49,4%. Hal ini juga dibuktikan dengan data yang didapat
dari Dinas Kependudukan dan Transmigrasi, yakni sekitar 130 keluarga dari watulimo
bermigrasi ke sedayu pada akhir 1960-an melalui proyek transmigrasi , yang biasanya
diberikan 2 ha untuk setiap rumah tangga , termasuk rumah seluas 0,25 ha.
Namun, perkembangan pengetahuan masyarakat dan kesadaran masyarakat Desa
Watulimo untuk meningkatkan keragaman spesies tanaman kebun campuran mereka
meningkat seiring berjalannya waktu setelah mereka bertransmigrasi dari Desa Sedayu,
sehingga keragaman tanaman kebun campuran di Watulimo lebih tinggi daripada Desa
Sedayu, yang dipicu oleh kebutuhan masyarakat, yang akan dijelaskan pada poin berikutnya.
Pada studi kasus kedua yang dilakukan di tiga desa berbeda yakni Desa Wuasa,
Rompo dan Siliwanga. Desa Wuasa merupakan pusat adinistrasi lembah Napu, sedangkan
Desa Rompo adalah desa kecil yang dikelilingi oleh hutan dan jalan setapak, sedangkan Desa
Siliwangi adalah des yang dihuni oleh transmigran yang berasal dari Bali.
Perbedaan keragaman pada ketiga desa tersebut juga terjadi karena perbedaan etnis,
terutama Desa Siliwanga karena sebagian penduduknya merupakan transmigran yang berasal
dari pulau Bali.
![Page 2: Tugas Af Wisnu](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082317/55cf9288550346f57b9743a5/html5/thumbnails/2.jpg)
2. Sosial Ekonomi Petani
Pada studi kasus pertama, di Desa Watulimo, kebun campuran bukan merupakan
sumber pendapatan utama, namun memang kebun campuran penduduk desa ini lebih tinggi
daripada kebun campuran di Desa Sedayu, yang menanami kebun campurannya dengan
harapan bias untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menjualnya ke pasar
(menjadi sumber pendapatan utama). Mayoritas penduduk Desa Sedayu menanam kopi dan
kakao.
Pada kasus kedua, karena berfungsi sebagai pusat administrasi, maka keragaman
tanaman spesies campuran di Desa Wuasa merupakan pusat administrasi Lembah Napu,
maka kebun campuran di Desa Wuasa memiliki keragaman tanaman yang rendah karena
kebun campuran mereka ditanami oleh tanaman yang bias dijual sesuai dengan permintaan
pasar.. Keragaman tanaman yang rendah berada di Desa Siliwanga karena penduduk desa ini
lebih berorientasi pada peternakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Desa Rompo
memiliki keragaman tertinggi karena pertanian mereka subsisten, yang berarti pekarangan
kebun campuran mereka dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa
dijual, karena akses pasar ke desa ini juga buruk.
Kendala dan Solusi
1. Pada studi kasus kedua, Desa Rompo masih memiliki system pertanian yang subsisten dan
belum dikomersialisasikan, padahal memiliki keragaman tanaman yang tinggi. Dibutuhkan
peran pemerintah untuk memperbaiki akses pasar di desa ini, guna mengkomersialisasikan
produk kebun campuran yang mereka tanam selama ini.
2. Dahulu, penduduk desa sempat merambah hutan guna menjual hasil kayunya, ini adalah
tindakan terlarang dan bisa terjerat hukum pidana. Namun, saat ini penduduk desa sudah
mengalihkan pendapatan utamanya ke kebun campuran. Untuk men gantisipasi hal tersebut
supaya tidak terjadi lagi, perlu dilakukan pembinaan penduduk desa untuk mengasah skill
mereka dalam berkebun sehingga kebun mereka bisa menghasilkan hasil bumi yang cukup
guna memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa harus menjarah hasil hutan.