tugas

30
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Dampak bencana yang terjadi telah banyak menimbulkan korban jiwa, kerugian harta benda, dan rusaknya prasarana dan sarana publik, serta dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Sementara itu, waktu untuk bereaksi sangat singkat, sedangkan faktor-faktor risiko sangat tinggi. Dapat diketahui bahwa jenis bencana di Indonesia cukup banyak seperti bencana gunung api, tanah longsor, kekeringan, kebakaran, gelombang pasang dll. Gunung Merapi adalah salah satu gunung teraktif di Indonesia yang telah mengalami erupsi sebanyak 80 kali sejak tahun 1672 sampai 2010. Dapat diketahui bahwa bencana gunung api merapi pada tahun 2010 memberikan dampak yang cukup besar bagi kawasan di sekitar gunung merapi. Gunung merapi berada pada ketinggian 2.968 mdpl yang terletak pada posisi geografis 110 o 26’30” BT dan 7 o 32’30” LS yang letaknya di tengah pulau dan dikelilingi oleh permukiman padat dan sebagian berada di wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah dan sebagian lainnya masuk ke wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato dengan kubah lava di daerah puncaknya. Tipe gunung api ini memiliki ciri bentuk kerucut yang jelas, lembahnya berbentuk radial sentrifugal. Bahan yang keluar pada saat letusan (erupsi) yaitu rempah-rempah atau bahan lepas piroklasik dan lava pijar. Akibat adanya pergantian bahan lepas piroklastik dan lava pijar, maka kemudian terjadi bentuk yang berlapis (strato volcano). Ciri khas dari gunung merapi adalah guguran lava pijar dan awan panas. Selama kegiatan vulkanisnya, Gunung Merapi adalah guguran lava pijar dan awan panas. Selama 1

Upload: brian-pradana

Post on 18-Nov-2015

223 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Tugas kuliah

TRANSCRIPT

Pendahuluan1.1 Latar BelakangBencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Dampak bencana yang terjadi telah banyak menimbulkan korban jiwa, kerugian harta benda, dan rusaknya prasarana dan sarana publik, serta dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Sementara itu, waktu untuk bereaksi sangat singkat, sedangkan faktor-faktor risiko sangat tinggi. Dapat diketahui bahwa jenis bencana di Indonesia cukup banyak seperti bencana gunung api, tanah longsor, kekeringan, kebakaran, gelombang pasang dll. Gunung Merapi adalah salah satu gunung teraktif di Indonesia yang telah mengalami erupsi sebanyak 80 kali sejak tahun 1672 sampai 2010. Dapat diketahui bahwa bencana gunung api merapi pada tahun 2010 memberikan dampak yang cukup besar bagi kawasan di sekitar gunung merapi. Gunung merapi berada pada ketinggian 2.968 mdpl yang terletak pada posisi geografis 110o2630 BT dan 7o3230 LS yang letaknya di tengah pulau dan dikelilingi oleh permukiman padat dan sebagian berada di wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah dan sebagian lainnya masuk ke wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato dengan kubah lava di daerah puncaknya. Tipe gunung api ini memiliki ciri bentuk kerucut yang jelas, lembahnya berbentuk radial sentrifugal. Bahan yang keluar pada saat letusan (erupsi) yaitu rempah-rempah atau bahan lepas piroklasik dan lava pijar. Akibat adanya pergantian bahan lepas piroklastik dan lava pijar, maka kemudian terjadi bentuk yang berlapis (strato volcano). Ciri khas dari gunung merapi adalah guguran lava pijar dan awan panas. Selama kegiatan vulkanisnya, Gunung Merapi adalah guguran lava pijar dan awan panas. Selama kegiatan vulkanisnya, gunung merapi menghasilkan awan panas yang akan meluncur kebawah. Selain awan panas yang patut diwaspadai dari Gunung Merapi adalah banjir lahar dingin. Banjir lahar dingin disebut juga lahar hujan, yaitu material vulkanis yang telah terguyur air hujan, baik bersuhu tinggi maupun bersuhu normal. (Sarwidi, 2011). Ketika terjadi erupsi, banyak material vulkanis yang tidak ikut tergelincir dan turun ke bawah, tetapi menumpuk di daerah dekat puncak gunung Merapi. Apabila terjadi hujan lebat di daerah puncak, maka bisa menimbulkan ancaman sekunder bagi daerah di sekitar lereng gunung merapi terutama daerah bantaran sungai, yaitu ancaman banjir lahar dingin.Dapat diketahui bahwa sampai saat ini Gunung Merapi masih menyimpan banyak deposit material bekas letusan pada 2010 khususnya pada kubah sisi selatan dan tenggara, hal ini tentu saja dapat mengancam warga merapi yang tinggal di sepanjang sungai di sekitar merapi. Memasuki bulan Oktober yang merupakan bulan normal turunnya hujan, hal ini tentu saja membuat masyarakat di merapi cukup khawatir karena masih dimungkinkan terjadinya banjir lahar dingin jika volume air hujan yang turun cukup tinggi dan akan membawa sisa-sisa material erupsi turun ke permukiman warga (Antara news, 2014).Untuk mengurangi resiko bencana lahar dingin tersebut maka perlu dilakukan suatu kajian mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi. Kajian mitigasi ini diharapkan dapat memberikan simulasi bencana lahar dingin saat volume air hujan yang turun cukup tinggi apalagi pada saat musim hujan seperti ini. Dalam kajian ini akan coba ditampilkan secara keruangan (spasial) yang akan menggunakan data-data terkait gunung merapi seperti Lidar, Terrasar, DEM, data-data terkait volume hujan, data mengenai desa yang terdampak bencana gunung merapi ataupun permukiman yang berada di sempadan sungai yang masuk kriteria rawan jalur erupsi.1.2 Pengantar PermasalahanKetika terjadi bencana gunung api pada tahun 2010 ternyata sampai sekarang masih banyak material vulkanis yang tidak ikut tergelincir dan turun ke bawah, tetapi menumpuk di daerah dekat puncak gunung Merapi. Hal yang ditakutkan jika terjadi hujan lebat di daerah puncak, maka bisa menimbulkan ancaman banjir lahar dingin disebut juga lahar hujan, yaitu material vulkanis yang telah terguyur air hujan, baik bersuhu tinggi maupun bersuhu normal. Hal ini dikuatkan dengan adanya laporan bahwa sampai saat ini Gunung Merapi masih menyimpan banyak deposit material bekas letusan pada kubah sisi selatan dan tenggara. Tentu saja hal ini dapat mengancam warga merapi yang tinggal di sepanjang sungai di sekitar merapi. Untuk mengurangi resiko bencana lahar dingin tersebut maka perlu dilakukan suatu kajian mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi. Kajian mitigasi ini diharapkan dapat memberikan simulasi bencana lahar dingin saat volume air hujan yang turun cukup tinggi apalagi pada saat musim hujan seperti ini. Dalam kajian ini akan coba ditampilkan secara keruangan (spasial) yang akan menggunakan data-data terkait gunung merapi seperti Lidar, Terrasar, DEM, data-data terkait volume hujan, data mengenai desa yang terdampak bencana gunung merapi ataupun permukiman yang berada di sempadan sungai yang masuk kriteria rawan jalur erupsi.Dengan adanya simulasi yang akan ditampilkan maka diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai area-area yang nantinya akan dialiri lahar dingin dengan volume hujan yang diperkirakan turun. Dalam simulasi ini akan diketahui bagaimana gambaran mengenai aliran lahar dingin sehingga diharapkan dapat membantu saat menentukan tindakan guna menanggulangi bencana lahar dingin gunung merapi. Dari ulasan di atas, Research Question yang menjadi fokus kajian ini adalah Bagaimanakah pola keruangan mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi saat terjadi hujan dengan volume hujan yang tinggi ?.

1.3 Tujuan Dan Sasaran1.3.1 TujuanTujuan dalam kajian ini adalah membuat simulasi secara keruangan (spasial) mengenai mitigasi bencana lahar dingin gunung api merapi dengan menggunakan simulasi model Sistem Informasi Geografis.1.3.2 SasaranSasaran dalam kajian ini adalah sebagai berikut:1. Mengidentifikasi kondisi fisik gunung api merapi2. Mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan pada gunung merapi3. Mengidentifikasi jalur-jalur lahar dingin pada gunung merapi4. Melakukan simulasi mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi terhadap volume hujan yang tinggi.

SINTESA PERMASALAHAN2.1 Permasalahan Lahar DinginIndonesia terletak di antara tiga lempeng benua dan samudra yaitu lempeng Euro-Asia, lempeng Indo Australia dan lempeng Pasifik yang masing-masing terus bergerak dan saling bertumbukan. Tidak mengherankan apabila lokasi tersebut mengakibatkan bencana seperti letusan gunungapi, gempa bumi maupun tsunami. Indonesia sendiri memiliki 129 gunungapi dengan 83 gunungapi di antaranya masih aktif. Sebagian besar pemanfaatan lahan di sekitar gunung api aktif sering dimanfaatkan untuk aktivitas pertanian. Namun wilayah di sekitar gunungapi memiliki tingkat kerawanan sangat tinggi tidak disertai dengan kesiapsiagaan penduduk yang tinggi pula, oleh karena resiko terkenanya erupsi atau banjir lahar menjadi semakin tinggi (Brotoputro dkk., 2011 dalam Marfai dkk., 2012.Luas daerah rawan bencana gunung api di seluruh Indonesia sekitar 17.000 km2 dengan jumlah penduduk yang bermukim di kawasan rawan bencana gunungapi sebanyak kurang lebih 5,5 juta jiwa. Berdasarkan data frekuensi letusan gunungapi, diperkirakan tiap tahun terdapat sekitar 585.000 orang terancam bencana letusan gunungapi (Perka BNPB, 2008)Bencana erupsi Gunungapi Merapi selain mengeluarkan awan panas, juga menghasilkan banjir lahar dingin. Dampak banjir lahar dingin paling dirasakan oleh wilayah di sekitar sempadan sungai yang mengalir dari mata air yang berasal dari lereng Gunungapi Merapi. Salah satu sungai yang mengalir di lereng Gunungapi Merapi adalah sungai Gendol. Daerah Aliran sungai (DAS) Gendol merupakan salah satu DAS yang mengalami kerusakan terparah, baik dikarenakan awan panas maupun lahar dingin. Kerusakan dialami oleh sebagian besar permukiman di sekitar sungai dan mengharuskan untuk evakuasi dan pindah tempat di hunian sementara atau shelter.Terjadinya peristiwa banjir lahar dingin yang merusak permukiman warga di sekitar sungai-sungai yang berhulu di Merapi disebabkan oleh tingginya intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan yang turun pascaerupsi Merapi tahun 2010 lalu terjadi sangat tinggi sehingga mengakibatkan debit aliran menjadi meningkat sebagai hasil campuran dari guguran material gunungapi dengan air hujan. Akibatnya potensi aliran lahar untuk menggenangi daerah-daerah yang terletak di sekitar sungai menjadi meningkat. Tentunya kondisi tersebut dapat mempengaruhi penduduk yang tinggal di daerah yang dilalui Sungai Gendol menjadi sangat rentan terhadap bencana banjir lahar dingin.Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana banjir lahar dingin di DAS Gendol cukup tinggi mengingat banyaknya permukiman penduduk yang rusak ataupun terkubur oleh pasir. Penduduk juga dihadapkan dengan hilangnya mata pencaharian atau pekerjaan yang secara langsung berpengaruh terhadap penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hilangnya lahan pertanian di sekitar tempat tinggal akibat banjir lahar sangat dirasakan oleh sebagian penduduk yang menggantungkan sumber pendapatan dari aktivitas pertanian.Salah satu daerah terdampak yang cukup parah adalah Kecamatan Cangkringan. Hampir semua wilayah Kecamatan Cangkringan terkena dampak banjir lahar dingin (Kecamatan Cangkringan, Ngemplak, Glagaharjo, Kepuhharjo), dampak yang timbul lebih banyak kerusakan permukiman. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel II.1 Tabel II.1 Pembagian Wilayah Administrasi Per Kecamatan Tahun 2012KecamatanDesaDusunRusakRumahRusak Berat

CangkringanUmbulharjo3283

Glagaharjo8802

Kepuharjo8828

Wukirsari4340

Argomulyo4258

NgemplakSindumartani115

Jumlah2526

Sumber : Data Kades per 2010-2011 dalam Tim KKL Fakultas Geografi UGM (2012)Untuk mengurangi resiko bencana lahar dingin tersebut maka perlu dilakukan suatu kajian mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi. Kajian mitigasi ini diharapkan dapat memberikan simulasi bencana lahar dingin saat volume air hujan yang turun cukup tinggi apalagi pada saat musim hujan seperti ini. Dalam kajian ini akan coba ditampilkan secara keruangan (spasial) yang akan menggunakan data-data terkait gunung merapi seperti Lidar, Terrasar, DEM, data-data terkait volume hujan, data mengenai desa yang terdampak bencana gunung merapi ataupun permukiman yang berada di sempadan sungai yang masuk kriteria rawan jalur erupsi.Dengan adanya simulasi yang akan ditampilkan maka diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai area-area yang nantinya akan dialiri lahar dingin dengan volume hujan yang diperkirakan turun. Dalam simulasi ini akan diketahui bagaimana gambaran mengenai aliran lahar dingin sehingga diharapkan dapat membantu saat menentukan tindakan guna menanggulangi bencana lahar dingin gunung merapi.2.2 Kerangka PikirDalam penyusunan mitigasi bencana lahar dingin ini nantinya output/keluarannya berupa pola keruangan yang akan coba disimulasi dengan volume air hujan yang turun sehingga dapat diketahui wilayah-wilayah mana yang bisa dikategorikan rawan banjir lahar dingin. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar II.1.

Masih adanya sisa-sisa erupsi Bencana Gunung MerapiAdanya Intensitas hujan yang tinggiAncaman banjir lahar dingin bagi masyarakat sekitar merapiPerlunya mitigasi bencana untuk mengurangi dampak yang ditimbulkanBagaimanakah pola keruangan mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi saat terjadi hujan dengan volume hujan yang tinggi

Mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan pada gunung merapi

Mengidentifikasi kondisi fisik gunung api merapi

Mengidentifikasi jalur-jalur lahar dingin pada gunung merapi

Melakukan simulasi mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi terhadap volume hujan yang tinggi.

Pola keruangan mitigasi bencana lahar dingin

Gambar II.1 Kerangka AnalisisSumber : Analisis, 2014

KAJIAN KEPUSTAKAAN3.1 Bencana Gunung Api Merapi3.1.1 Bahaya, Resiko, Dan Erupsi Gunung ApiBahaya atau hazard adalah suatu kondisi yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau kerugian dan kehilangan jiwa manusia secara alamiah maupun karena ulah manusia secara alamiah maupun karena ulah manusia. Bahaya letusan gunungapi terdiri atas bahaya primer, sekunder dan tersier. Bahaya primer adalah bahaya yang langsung menimpa penduduk ketika letusan berlangsung seperti awan panas dan lontaran material. Bahaya sekunder terjadi secara tidak langsung dan pada umumnya berlangsung pada pasca letusan, misalnya banjir lahar, kerusakan lahan pertanian dan permukiman. Sedangkan bahaya tersier merupakan bahaya akibat kerusakan lingkungan gunungapi sangat tergantung dari kerapatan suatu letusan dan kepadatan penduduk yang bermukim di sekitar gunungapi tersebut (Habibie dan Buchori, 2013).Resiko (risk) diartikan sebagai probabilitas dari bahaya atau ekspektasi dari kehilangan-kehilangan (kematian, kerusakan property) akibat dari interaksi antara bencana alam dan kerentanan. Tujuan dari penaksiran resiko adalah untuk menentukan sifat dan tingkat resiko dengan menganalisis potensi dan bahaya dan mengevaluasi kondisi yang ada kerentanan (UN-ISDR, 2002 dalam Wiguna, 2011). Metode kualitatif merupakan salah satu metode untuk penaksiran resiko dengan mendeskripsikan resiko dalam tingkatan seperti sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah. Metode kualitatif digunakan pada kondisi yang memerlukan penaksiran secara cepat, tepat dan tanpa mengeluarkan biaya yang mahal (Van Westen 1999 dalam Wiguna, 2012).Bahaya, kerentanan dan kapasitas (coping capacity) merupakan konsep utama dalam penaksiran resiko. Bahaya sebagai probabilitas kejadian alam yang merugikan dan memakan korban, dan kerentanan sebagai tingkat kerusakan atau korban, dan kerentanan sebagai tingkat kerusakan atau korban jiwa ketika kejadian melanda. Kapasitas merupakan kemampuan masyarakat dalam menanggulangi bahaya dari bencana alam. Konsep tersebut mengarah pada pemahaman resiko sebagai produk dari 2 konsep, yaitu probabilitas kejadian dan intensitas dari kejadian bencana. Konsep resiko sebagi produk dari bahaya, kerentanan dan kapasitas penduduk disajikan pada persamaan berikut (Idep Foundation, 2007 dalam Wiguna, 2012).

Gambar III.1 Penghitungan Resiko BencanaSumber : Idep Foundation, 2014

Gunung Merapi memiliki karakteristik tipe letusan yang khas dan menghasilkan awan panas atau wehus gembel dalam istilah Jawa ataupun dalam istilah keilmuan disebut nuee ardente (Voight dkk., 2000 dalam Marfai dkk., 2012). Lebih lanjut Voight menjelaskan bahwa nuee ardente merupakan bahaya primer yang ditimbulkan akibat letusan Merapi yang terdiri atas unsur gas, bongkah batu dan abu vulkanis yang biasanya didahului oleh aliran lava dan runtuhan kubah lava. Namun demikian catatan sejarah telah menunjukkan bahwa seringkali letusan Gunungapi Merapi terjadi dengan mekanisme berbeda, misalnya tahun 1872 dan tahun 2010 yang terjadi secara eksposif (Voight dkk., 2000 dan Brotopuspito dkk., 2011 dalam Marfai dkk., 2012).Bahaya yang ditimbulkan oleh erupsi Merapi tidak hany bahaya primer berupa awan panas dan abu vulkanik. Bahaya sekuder dari erupsi Merpai berupa lahar akan terus berlangsung pada musim penghujan setelah terjadinya erupsi (Lavigne et al., 2000). Material aliran lahar berasal dari bongkah batuan, hancuran bantuan, kerikil, pasir dan debu yang dikontrol oleh gaya grafitasi dan material berasal dari hasil letusan gunungapi (Smith dan Fritz, 1989). Kejadian lahar akan terus berlangsung selama stok material hasil erupsi sebanyak 150 juta m3 belum hasbis. Lahar lebih merusak dan menghancurkan dibandingkan dengan aliran piroklastik pada beberapa kondisi (Wood dan Soulard, 2009).3.1.2 Banjir laharLahar merupakan material piroklastik yang mengalir akibat bercampur dengan air hujan. Meskipun material lahar tersusun atas abu gunungapi dan fragmen batuan, tetapi banjir lahar mampu mengalir lebih deras dan lebih cepat jika dibandingkan dengan aliran air biasa. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecepatan aliran lahar bisa mencapai lebih dari 65 kilometer per jam dan dapat mengalir deras hingga jarak lebih dari 80 kilometer (Daryono, 2011).Lavigne dan Touret (2002) dalam Wiguna (2012) menyatakan bahwa Gunungapi Merapi merupakan gunungapi yang memiliki endapan material piroklatis sebanyak jutaan m3. Kondisi intensitas curah hujan yang dan jaringan sungai yang sangat padat membuat kawasan sekitar Gunungapi Merapi menjadi kawasan utama terlanda aliran lahar. Pada Gunung api Merapi menjadi kawasan utama terlanda aliran lahar. Pada Gunungapi Merapi,aliran lahar dipicu akibat adanya intensitas curah hujan yang tinggi dengan intensitas rerata sebesar 40 mm selama 2 jam pada musimpenghujan dari November hingga April. Lahar panas timbul akibat curah hujan mengikis endapan material yang tertimbun lama setelah kejadian erupsi. Kejadian lahar pada sungai-sungai yang berhulu pada puncak Gunungapi Merapi telah tercatat mulai tahun 1587. Volume aliran lahar pun bervariasi dengan volume terbesar tercatat pada tanggal 8 Mei 1961 (29,4 x 106 m3). Jarak aliran pun bervariasi muali dari 2 km hingga 13 km. Aliran lahar utamanya mengalir menuju arah barat, selatan dan barat daya.3.2 Daerah Aliran SungaiSecara umum Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah, yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit atau gunung, maupun batas bantuan seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut memberikan kontribusi aliran ke titik kontrol (Suripin, 2002). Daerah Aliran Sungai merupakan suatu cekungan geohidrologi yang dibatasi oleh daerah tangkap air dan dialiri oleh suatu badan sungai dan merupakan penghubung antara kawasan daratan di hulu dengan kawasan hilir, sehingga kondisi di kawasan hulu akan berdampak pada kawasan hilir. DAS meliputi semua komponen lahan, air dan sumberdaya biotik yang merupakan suatu unit ekologi dan mempunyai keterkaitan antar komponen. DAS mempunyai banyak sub-sistem yang juga merupakan fungsi dan bagian dari suatu konteks yang lebih luas (Anna S, 2001).Dalam mempelajari ekosistem DAS, Daerah Aliran Sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu tengah dan daerah hilir. Daerah hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, mempunyai kerapan drainase yang lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan kecil sampai sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan air). Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang sama pentingnya dengan daerah hilir karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS (Asdak, 1995).Menurut Anna S (2001) Daerah Aliran Sungai adalah suatu ekosistem yang merupakan kumpulan dari berbagai unsur dimana unsur-unsur utamanya adalah vegetasi, tanah, air serta manusia dan segala daya upayanya yang dilakukan di daerah tersebut. Daerah Aliran Sungai dibagi menjadi 2 (dua) komponen yaitu :1. Lingkungan Fisik, meliputi :1. Bentuk wilayah ( topologi, bentuk dan luas DAS)Tanah (jenis tanah, sifat kimia fisk, kelas kemampuan)Air (kualitas dan kuantitas)Vegetasi/hutan (jenis, kerapatan, penyebaran)Manusia, meliputi :1. Jumlah manusia1. Kebutuhan hidupPeningkatan jumlah manusia khususnya yang tinggal di sekitar DAS akan diikuti oleh peningkatan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi melalui pemanfaatan sumber daya alam (yang merupakan bagian dari lingkungan fisik) akan mempengaruhi perubahan perilaku manusia terutama dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan perilaku yang bersifat merusak/negatif akan dapat menimbulkan tekanan terhadap lingkungan fisik, yang memiliki keterbatasan dan dikenal sebagai daya dukung lingkungan (DDL). Jika tekanan semakin besar maka daya dukung lingkungan pun akan menurun.Sungai mempunyai potensi seimbang yang ditunjukkan oleh daya guna sungai tersebut antara lain untuk kebutuhan air baku, pertanian, energi dan lain-lain dan sungai mampu mengakibatkan banjir, pembawa sedimentasi, serta pembawa limbah (polutan dari industri, pertanian, pemukiman dan lain-lain ). Oleh karena itu, upaya pengelolaan DAS ditujukan untuk memperbesar pemanfaatannya dan sekaligus memperkecil dampak negatifnya. Kawasan hulu sungai mempunyai peran penting yaitu selain sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri dan pemukiman juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjang kehidupan (Anna, 2001).Kemampuan pemanfaatan lahan hulu sangat terbatas, sehingga kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada daerah hilir. Konservasi daerah hulu perlu mencakup seluruh aspek-aspek yang berhubungan dengan produksi air dan konservasi itu sendiri. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air yang merupakan rangkaian proses alami suatu siklus hidrologi yang memproduksi air permukaan dalam bentuk mata air, aliran air dan sungai.Menurut Anna, 2001, jika dihubungkan dengan penataan ruang wilayah, maka alokasi ruang dalam rangka menjaga dan memenuhi keberadaan air, kawasan resapan air, kawasan pengamanan sumber air permukaan, kawasan pengamanan mata air, maka minimal 30% dari luas wilayah harus diupayakan adanya tutupan tegakan pohon yang dapat berupa hutan lindung, hutan produksi atau tanaman keras, hutan wisata dan lain-lain.Oleh karena itu untuk pemeliharaan keseimbangan alamiah serta siklus air, maka vegetasi hutan di daerah hulu menjadi sangat penting. Dipihak lainnya, keberadaan hutan di daerah hulu sangat dominan dipengaruhi oleh pola-pola pemanfaatan lahan yang berhubungan dengan perilaku masyarakat, sehingga kepentingan masyarakat juga harus dimasukkan sebagai faktor kunci dalam kebijakan pengelolaan lahan hulu. Pengalokasian sumber daya sangat berkaitan erat dengan perencanaan pemanfaatan ruang, sehingga perencanaan tata ruang yang baik berarti efisiensi pengalokasian sumberdaya lahan untuk mengoptimalisasikan kepentingan penggunaan lahan.2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)2.3.1 Ekosistem DASDaerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. (Chay Asdak, 2002 : 4)Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Ekosistem terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur. Besar kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan dan batas yang diberikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapat lah dianggap sebagai suatu ekosistem.Dalam ekosistem DAS dibagi menjadi tiga yaitu daerah hulu, tengah, dan hilir. Daerah hulu DAS dicirakan sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, umumnya vegetasinya berupa hutan. Sementara daerah hilir memiliki ciri sebagai berikut: merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, daerah dengan kemiringan lereng kecil atau datar (kurang dari 8%), sebagian merupakan daerah genangan banjir, vegetasi didominasi tanaman pertanian. Dan daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi antara daerah hulu dan hilir. Karena DAS merupakan suatu ekosistem maka dapat dilihat proses yang berlangsung dalam ekosistem DAS. Curah hujan yang masuk akan menghasilkan output berupa debit aliran dan/atau muatan sedimen.

DAS = ProsesorINPUT = CURAH HUJANVEGETASIOUTPUT = DEBIT, MUATAN SEDIMENSUNGAITANAHMANUSIAIPTEK

Gambar III.2 Fungsi Ekosistem DASSumber : Chay Asdak, 20022.3.2 Karakteristik DASKarakteristik DAS yang berpengaruh besar pada aliran permukaan meliputi luas dan bentuk DAS, topografi dan tata guna lahan.a. Luas dan Bentuk DASBentuk DAS yang memanjang dan sempit cenderung menghasilkan laju aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan DAS yang melebar dan melingkar. Hal ini terjadi karena waktu konsentrasi DAS yang memanjang lebih lama dibandingkan dengan DAS yang melebar, sehingga terjadi konsentrasi air di titik kontrol lebih lambat dan berpengaruh pada laju volume aliran permukaan. 2.2 HidrologiHidrologi adalah ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuknya (cairan, gas, padat) pada, dalam, dan di atas permukaan tanah. Termasuk didalamnya adalah penyebaran, daur dan perilakunya, sifat-sifat fisika dan kimianya, serta hubungannya dengan unsur-unsur hidup dalam air itu sendiri. Hidrologi merupakan ilmu yang mempelajari seluk-beluk air, kejadian, dan distribusinya, sifat alami dan sifat kimianya, serta reaksinya terhadap kebutuhan manusia (Chow, 1988).

Gambar III.3 Siklus HidrologiSumber : Kusuma M. S. B., 2000Ilustrasi diatas menggambarkan siklus hidrologi secara sederhana, berbeda dengan kondisi sebenarnya yang terjadi di alam dan sangant kompleks. Hujan yang turun kepermukaan bumi akan mengalami infiltrasi dan sebagian mengalir di permukaan. Aliran air di permukaan juga akan mengalami proses evavorasi dan transpirasi. Jika dikaitkan dengan siklus hidrologi, banjir merupakan surface runoff yang tidak lagi tertampung oleh saluran. Parameter penting dari banjir adalah luas genangan, durasi genangan, kedalaman dan arah aliran.

Gambar III.4 Pengaruh Bentuk DAS Pada Aliran PermukaanSumber : Ven Te Chow, 1988b. TopografiTampakan rupa bumi atau topografi seperti kemiringan lahan, keadaan dan kerapatan sungai, dan bentuk-bentuk cekungan lainnya berpengaruh pada laju dan volume aliran permukaan. DAS dengan kemiringan curam disertai sungai yang rapat akan menghasilkan laju dan aliran permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan DAS yang landai dengan sungai yang jarang dan adanya cekungan-cekungan. Pengaruh kerapatan sungai yaitu panjang sungai per satuan luas DAS, pada aliran permukaan adalah memperpendek waktu konsentrasi sehingga memperbesar laju aliran permukaan.

Gambar III.5 Pengaruh Kerapatan Anak Sungai DAS Pada Aliran PermukaanSumber : Ven Te Chow, 1988c. Tata guna lahanPengaruh tata guna lahan terhadap aliran permukaan dinyatakan dalam koefisien aliran permukaan (C), yaitu bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya aliran permukaan dan besarnya curah hujan. Angka koefisien aliran permukaan ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu DAS. Nilai C berkisar antara 0 sampai 1. Nilai C = 0, menunjukkan bahwa semua air hujan terintersepsi dan terinfiltrasi ke dalam tanah, sebaliknya untuk nilai C = 1, menunjukkan bahwa semua air hujan mengalir sebagai aliran permukaan. Pada DAS yang masih baik, harga C mendekati 0, dan pada DAS yang rusak harga C mendekati 1.3.3 Peran Teknologi GIS Dalam Perencanaan 3.3.1 Pengertian Sistem Informasi GeografisDalam pembangunan, informasi merupakan kumpulan data yang berupa fakta-fakta yang telah mengalami proses pengolahan sehingga mampu memberikan nilai guna yang lebih bermanfaat bagi penggunanya. Dalam kegiatan pembangunan yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, informasi yang merupakan pendukung dalam proses pengambilan keputusan dalam pembangunan. Sedangkan sistem diartikan suatu kumpulan atau himpunan dari unsur, komponen atau variabel-variabel yang terkoordinasi, saling tergantungan satu sama lain dan terpadu (Lucas,1987). Sehingga dari pengertian tersebut dapat juga disamping sistem informasi merupakan sekumpulan data prosedur yang terorganisasi yang mampu menyaring dan mengolah data serta pada saat dilaksanakan (executed) menghasilkan informasi yang menghasilkan informasi yang menunjang bagi proses pengambilan keputusan. Kegiatan mengorganisir ini terdiri atas kegiatan penyimpanan, pengaturan dan kemudahan dalam pengambilan data kembali untuk digunakan tiap tahapan perencanaan (Scholten, 1990).Sedangkan Informasi merupakan hasil olahan dari sejumlah data melalui sistem informasi manajemen. Data merupakan kumpulan dari sejumlah fakta. Informasi sangat dibutuhkan oleh pihak manajemen dalam pembuatan keputusan. Untuk itu, tiap tingkatan manajemen membutuhkan informasi sesuai dengan kewenangan pembuatan keputusan (Dasar-Dasar Informasi, Darmanto, 2007). Tingkatan manajemen terdiri dari tingkatan manajemen atas, menengah dan bawah. Informasi mempunyai karakteristik dan tipe-tipe informasi. Kebutuhan tiap tingkatan manajemen terhadap informasi berbeda-beda sesuai dengan karakteristik dan tipe informasi yang diperlukan dalam pembuatan keputusan. Untuk definisi system informasi geografis menurut Eddy Prahasta yaitu merupakan gabungan dari tiga unsur dari sistem, informasi dan geografis. Sehingga pengertian terhadap tiga unsur-unsur ini akan membantu dalam memahami SIG. dengan melihat unsur-unsur pokoknya, maka GIS merupakan salah satu sistem informasi yang merupakan suatu sistem yang menekankan pada unsur bagian dari keruangan.Sedangkan yang dimaksud dengan SIG (Sistem Informasi Geografi) adalah suatu teknologi sistem informasi (teknologi berbasis komputer) yang digunakan untuk memproses, menyusun, menyimpan, memanipulasi dan menyajikan data spasial (yang disimpan dalam basis data) untuk berbagai macam informasi. SIG (Sistem Informasi Geografis) dipandang sebagai hasil perkawinan antara komputer untuk bidang kartografi (CAC) atau sistem komputer untuk bidang perancangan (CAO) dengan teknologi basis data (database). Dalam sistem informasi Geografis ini tentunya terdapat suatu proses pengolahan data yang meliputi input-proses-output. Input pada SIG ini biasanya berupa data peta dengan medianya berupa scanner, digitizer. Untuk prosesnya dengan media berupa hardware dan software GIS (Geographie Information System) yaitu dengan Arcview, arcinfo, idris for windows. Format dalam memproses dalam GIS (Geographie Information System) berupa data dalam bentuk raster dan vektor. Data raster tersebut dinyatakan dalam bentuk grid atau cell (baris dan kolom), dan untuk data vektor dinyatakan dengan koordinat (x,y). Sedangkan untuk output dari proses tersebut berupa gambar (printout) dalam monitor (onscreen), printer (plot).3.3.2 Pengertian DataDalam sistem informasi Geografis data sendiri merupakan bahan dasar yang diolah, diproses sehingga menjadi suatu informasi (suatu yang punya arti), dan informasi tersebut akan menjadi data untuk proses selanjutnya. Sedangkan basis data merupakan suatu kumpulan data yang digunakan sebagai dasar dalam informasi yang bersifat berkelanjutan dalam proses perencanaan pembangunan. Basis data mencerminkan sesuai keperluan pengguna, segala keadaan, kondisi dan potensi sumberdaya fisik maupun non-fisik, sumberdaya alam maupun buatan serta segenap kejadian aktifitas dan kegiatan yang ada atau maupun berlangsung dalam wilayah perencanaan pembangunan basis data ini memiliki informasi, atribut dan keterangan (deskripsi).Data-data dalam sistem informasi geografis berupa data-data geografik, yaitu data yang memberikan informasi tentang semua obyek atau unsur geografis (geografik feature), baik yang di bawah, diatas dan di permukaan bumi. Data-data geografik ini dapat berupa titik, garis, luas dan permukaan. Titik memperlihatkan suatu lokasi dalam ruang seperti kontrol geodesi, titik tinggi, kota dan sebagainya. Garis memperlihatkan garis yang berbentuk linier seperti sungai, jalan, batas administrasi dan sebagainya. Luas memperlihatkan obyek yang bentuknya tertutup seperti perluas kecamatan, kabupaten dan sebagainya. Permukaan (surface) memperlihatkan obyek yang berbentuk 3 dimensi kesemua data tersebut merupakan input pada suatu proses dalam sistem informasi geografis yang pada akhirnya akan melalui suatu proses dan menghasilkan output dalam bentuk peta.Peta-peta hasil pengolahan dengan menggunakan sistem informasi geografis ini dapat berupa peta tata guna lahan, peta administrasi, peta rawan bencana, peta sumberdaya tanah dan lain sebagainya. Dari peta-peta tersebut maka didapatkan penggabungan menjadi satu melalui proses overlay.3.3.3 Peran Teknologi Gis Dalam Pengembangan WilayahPengembangan sistem informasi Geografis dapat menunjang kegiatan pembangunan, dalam hal ini khusunya kegiatan pembangunan pada sektor pertanian. Manfaatnya dibangunkan Sistem Informasi Geografis ini adalah memberikan kemudahan dalam mengoranisasikan, mengelola dan menginformasikan potensi masalah permasalahan, serta pengembangan yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan lahan diwilayah pengembangan. Penginformasian potensi lahan ini diharapkan dapat mempercepat dalam pengambilan kebijakan, monitoring dan evaluasi pengembangan dan pembangunan yang terkait. Dalam hal ini peranan GIS dalam menggali potensi serta evaluasi yang ada dengan salah satunya yakni dengan mengolah kesesuaian lahan dan lahan kritis, sehingga dari hasil pengolahan tersebut dapat dihasilkan zonasi ke kritisan lahan serta penanganan yang sessuai dengan karakteristik wilayah. Dengan adanya GIS memudahkan menggali potensi lahan dari kendala lahan sehingga berguna bagi perencanaan maupun obyek penelitian dalam hal pengambilan keputusan yang sesuai dengan kondisi atau karakteristik lahan yang ada. Dengan adanya kemudahan dalam mendapatkan inputing data tersebut menggunakan GIS akan mempermudah dalam perencanaan lahan suatu wilayah sehingga secara garis besar berimplikasi terhadap proses peningkatan dan pembangunan wilayah.

PENSTRUKTURAN DAN PERUMUSAN MASALAH4.1 Penstrukturan Masalah Dan Perumusan Masalah Dalam penstrukturan masalah ini akan dibahas mengenai dari mana sumber masalah didapat dan masalah yang timbul.Seperti yang telah dijabarkan baik di latar belakang, permasalahan lahar dingin maupun kerangka pikir maka permasalahan banjir lahar dingin di sekitar kawasan merapi cukup menarik untuk dikaji. Hal ini juga didukung dengan adanya berita yang menjelaskan bahwa lahar dingin masih ancam warga Merapi. Berikut merupakan kutipan yang diambil dari www.antaranews.com pada Jumat, 17 Oktober 2014 22:58 WIB.Memasuki musim hujan memungkinkan terjadinya banjir lahar dingin ketika intensitas curah hujan tinggi. Merapi masih menyimpan banyak deposit material bekas letusan pada 2010 khususnya pada kubah sisi selatan dan tenggara," katanya di Yogyakarta, Jumat. Menurut dia, hal itu diketahui dari hasil pemotretan udara kubah Merapi menggunakan pesawat UAV sepanjang 18 km dari puncak Merapi. Pemotretan merupakan kolaborasi antara PSBA UGM, Pusat Penerbangan Lapan, dan Grup Riset Satelit dan Kedirgantaraan UGM. Saat musim hujan tiba daerah selatan dan tenggara Merapi masih berpotensi mendapatkan kiriman banjir lahar dingin. Dengan melihat data yang dihasilkan bisa disusun langkah mitigasi bencana sehingga bisa mengurangi resiko bencana .Dari berita tersebut maka muncul suatu ide untuk membuat suatu mitigasi bencana dengan simulasi berbasis sistem informasi geografis. Sehingga permasalahan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :Bencana erupsi Gunungapi Merapi selain mengeluarkan awan panas, juga menghasilkan banjir lahar dingin. Dampak banjir lahar dingin paling dirasakan oleh wilayah di sekitar sempadan sungai yang mengalir dari mata air yang berasal dari lereng Gunungapi Merapi. Salah satu sungai yang mengalir di lereng Gunungapi Merapi adalah sungai Gendol. Daerah Aliran sungai (DAS) Gendol merupakan salah satu DAS yang mengalami kerusakan terparah, baik dikarenakan awan panas maupun lahar dingin. Kerusakan dialami oleh sebagian besar permukiman di sekitar sungai dan mengharuskan untuk evakuasi dan pindah tempat di hunian sementara atau shelter.Terjadinya peristiwa banjir lahar dingin yang merusak permukiman warga di sekitar sungai-sungai yang berhulu di Merapi disebabkan oleh tingginya intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan yang turun pascaerupsi Merapi tahun 2010 lalu terjadi sangat tinggi sehingga mengakibatkan debit aliran menjadi meningkat sebagai hasil campuran dari guguran material gunungapi dengan air hujan. Akibatnya potensi aliran lahar untuk menggenangi daerah-daerah yang terletak di sekitar sungai menjadi meningkat. Tentunya kondisi tersebut dapat mempengaruhi penduduk yang tinggal di daerah yang dilalui Sungai Gendol menjadi sangat rentan terhadap bencana banjir lahar dingin.Untuk mengurangi resiko bencana lahar dingin tersebut maka perlu dilakukan suatu kajian mitigasi bencana lahar dingin gunung merapi. Kajian mitigasi ini diharapkan dapat memberikan simulasi bencana lahar dingin saat volume air hujan yang turun cukup tinggi apalagi pada saat musim hujan seperti ini. Dalam kajian ini akan coba ditampilkan secara keruangan (spasial) yang akan menggunakan data-data terkait gunung merapi seperti Lidar, Terrasar, DEM, data-data terkait volume hujan, data mengenai desa yang terdampak bencana gunung merapi ataupun permukiman yang berada di sempadan sungai yang masuk kriteria rawan jalur erupsi.Untuk lebih jelas mengenai permasalahan yang ada dapat dilihat pada Gambar IV.1 dan Gambar IV.2 yang akan menjelaskan mengenai gambaran permasalahan dan gambaran tujuan kajian yang akan dijabarkan pada pohon masalah dan pohon tujuan.

22

PERMASALAHAN UTAMAAKIBATAncaman bahaya lahar dingin di kawasan sekitar Gunung MerapiSEBABAdanya kerusakan lahan permukiman dan pertanianKemungkinan timbulnya korban jiwaAdanya kerusakan infrastruktur permukimanAncaman terhadap bahaya longsor tinggiCurah hujan yang tinggiVolume lahar dingin yang banyakKondisi kelerengan yang curamBencana alam geologis

Gambar IV.1 Pohon MasalahSumber : Analisis, 2014

TUJUAN UTAMATUJUANMembuat Simulasi Secara Keruangan (Spasial) Mengenai Mitigasi Bencana Lahar Dingin Gunung Api Merapi Dengan Menggunakan Simulasi Model Sistem Informasi Geografis.

SARANAMengetahui perubahan penggunaan lahan permukimanIdentifikasi kondisi fisik Gunung MerapiMengidentifikasi perubahan penggunaan lahan pada Gunung MerapiMengidentifikasi jalur-jalur lahar dingin pada gunung merapiMelakukan simulasi mitigasi bencana lahar dingin merapi terhadap volume hujan yang tinggiMengetahui kondisi fisik dan pemanfaatan ruang pada kawasan Gunung MerapiMengetahui alur lahar dingin merapi dengan memadukan data ketinggianMengetahui gambaran kawasan yang akan terdampak

Gambar IV.2 Pohon TujuanSumber : Analisis, 2014

USULAN TOPIK PENELITIAN

5.1 Usulan TopikUsulan dalam topik penelitian ini adalah sebagai berikut :Kajian Mitigasi Bencana Lahar Dingin Gunung Merapi Berbasis Sistem Informasi Geografis

DAFTAR PUSTAKAAnna. S, 2001. Model Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu, Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor, Bogor.Asdak, 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.Darmanto. 2007. Dasar-Dasar Informasi. Erlangga. Jakarta.Habibi, Marbruno dan Buchori, Imam. 2013. Model Spasial Kerentanan Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Terhadap Bencana Gunung Merapi, Jurnal Teknik PWK Vol. 2 No. 1 Tahun 2013.http://www.antaranews.com/berita/459299/lahar-dingin-masih-ancam-warga-merapiIrianto, gatot. 2009. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air. Papas Sinar Sinanti. Jakarta.Kodoatie, R.J., Sugiyanto. 2002, Banjir (Bebrapa Penyebab dan Metode Pengendaliannya dalam Perspektif Lingkungan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.Lillesand, T.M., dan R.W. Kiefer, 1991. Remote Sensing and Image Interpretation, John Wiley and Sons, Inc. New York, N.Y, USA.Marfai dkk. 2012. Sejarah Letusan Gunung Merapi Berdasarkan Fasies Gunungapi di Daerah Aliran Sungai Bedog, Daerah Istimewa Yogyakarta, Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 22 No. 2 (2012), 73-79.Nathan Wood and Christopher Soulard. 2009. Variations ini Population Exposure and Sensivity to Lahar Hazars from Mount Rainier, Washington. Journal of Volcanology and Research 188 (2009) 367-378.Prahasta, eddy. 2001, Konsep-konsep dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika. Bandung.Tim KKL, 2012. Laporan Penelitian Kuliah Kerja Lapangan: Estimasi Perubahan Morfologi, Potensi Sumberdaya dan Perencanaan Penggunaan Lahan Pascaerupsi Merapi 2010 di Kali Gendol, MPPDAS Fakultas Geografi UGM.Sitalana, Arsyad, (1989). Konservasi Tanah dan air. IPB Press, Bogor.Suripin, 2002, Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air, Penerbit ANDI, Yogyakarta.Voight B., Constantine E.K., Siswowidjoyo S., Torley R., 2000. Historical Eruptions of Merapi Volcano, Central Java, Indonesia, 1768-1998, Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) 69-138.Wiguna, Putu Perdana Kusuma. 2012. Penaksiran Resiko Banjir Lahar di Daerah Aliran Sungai (DAS) Gendol dan DAS Opak, Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.