triwikrama

7
TRIWIKRAMA Triwikrama adalah tiga langkah “Dewa Wisnu” atau Atma Sejati (energi kehidupan) dalam melakukan proses penitisan. Awal mula kehidupan dimulai sejak roh manusia diciptakan Tuhan namun masih berada di alam sunyaruri yang jenjem jinem, dinamakan sebagai zaman kertayuga, zaman serba adem tenteram dan selamat di dalam alam keabadian. Di sana roh belum terpolusi nafsu jasad dan duniawi, atau dengan kata lain digoda oleh “setan” (nafsu negatif). Dari alam keabadian selanjutnya roh manitis yangpertama kali yakni masuk ke dalam “air” sang bapa, dinamakanlahzaman tirtayuga. Air kehidupan (tirtamaya) yang bersemayam di dalam rahsa sejati sang bapa kemudian menitis ke dalam rahimsang rena (ibu). Penitisan atau langkah kedua Dewa Wisnu ini berproses di dalam zaman dwaparayuga. Sebagai zaman keanehan, karena asal mula wujud sukma adalah berbadan cahya lalu mengejawantah mewujud menjadi jasad manusia. Sang Bapa mengukir jiwa dan sang rena yang mengukir raga. Selama 9 bulan calon manusia berproses di dalam rahim sang rena dari wujud badan cahya menjadi badan raga. Itulah zaman keanehan ataudwaparayuga. Setelah 9 bulan lamanya sang Dewa Wisnu berada di dalam zaman dwaparayuga. Kemudian langkah Dewa Wisnu menitis yang terakhir kalinya, yakni lahir ke bumi menjadi manusia yang utuh dengan segenap jiwa dan raganya. Panitisan terakhir Dewa Wisnu ke dalam zaman mercapadha. Merca artinya panas atau rusak, padha berarti papan atau tempat. Mercapadha adalah tempat yang panas dan mengalami kerusakan. Disebut juga sebagai Madyapada, madya itu tengah padha berarti tempat. Tempat yang berada di tengah-tengah, terhimpit di antara tempat-tempat gaib. Gaib sebelum kelahiran dan gaib setelah ajal. KIDUNG PANGURIPAN “SAKA GURU” Nah, di zaman Madya atau mercapadha ini manusia memiliki kecenderungan sifat-sifat yang negatif. Sebagai pembawaan unsur “setan”, setan tidak dipahami sebagai makhluk gaib gentayangan penggoda iman, melainkan sebagai kata kiasan dari nafsu negatif yang ada di dalam segumpal darah (kalbu). Mercapadha merupakan perjalanan hidup PALING SINGKAT namun PALING BERAT dan SANGAT MENENTUKAN kemuliaan manusia dalam KEHIDUPAN SEBENARNYA yang sejati abadi azali. Para perintis bangsa di zaman dulu telah menggambarkan bagaimana keadaan manusia dalam berproses mengarungi kehidupan di dunia selangkah demi selangkah yang dirangkum dalam tembang macapat (membaca sipat). Masing-masing tembang menggambarkan proses perkembangan manusia dari sejak lahir hingga mati. Ringkasnya, lirik nada yang digubah ke dalam berbagai bentuk tembang menceritakan sifat lahir, sifat hidup, dan sifat mati manusia sebagai sebuah perjalanan yang musti dilalui setiap insan. Penekanan ada pada sifat-sifat buruk manusia, agar supaya tembang tidak sekedar

Upload: rumah-bahasa-surabaya

Post on 05-Jan-2016

2 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Belajar Bahasa Jawa

TRANSCRIPT

Page 1: TRIWIKRAMA

TRIWIKRAMA

Triwikrama adalah tiga langkah “Dewa Wisnu” atau Atma Sejati (energi kehidupan)

dalam melakukan proses penitisan. Awal mula kehidupan dimulai sejak roh manusia

diciptakan Tuhan namun masih berada di alam sunyaruri yang jenjem jinem,

dinamakan sebagai zaman kertayuga, zaman serba adem tenteram dan selamat di

dalam alam keabadian. Di sana roh belum terpolusi nafsu jasad dan duniawi, atau

dengan kata lain digoda oleh “setan” (nafsu negatif). Dari   alam keabadian

selanjutnya roh manitis yangpertama kali yakni masuk ke dalam “air” sang bapa,

dinamakanlahzaman tirtayuga. Air kehidupan (tirtamaya) yang bersemayam di

dalam rahsa sejati sang bapa kemudian menitis ke dalam rahimsang rena (ibu).

Penitisan atau langkah kedua Dewa Wisnu ini berproses di dalam zaman

dwaparayuga. Sebagai zaman keanehan, karena asal mula wujud sukma adalah

berbadan cahya lalu mengejawantah mewujud menjadi jasad manusia. Sang Bapa

mengukir jiwa dan sang rena yang mengukir raga. Selama 9 bulan calon manusia

berproses di dalam rahim sang rena dari wujud badan cahya menjadi badan raga. 

Itulah zaman keanehan ataudwaparayuga. Setelah 9 bulan lamanya sang Dewa

Wisnu berada di dalam zaman dwaparayuga. Kemudian langkah Dewa Wisnu

menitis yang terakhir kalinya, yakni lahir ke bumi menjadi manusia yang utuh

dengan segenap jiwa dan raganya. Panitisan terakhir Dewa Wisnu ke dalam zaman

mercapadha. Merca artinya panas atau rusak, padha berarti papan atau

tempat. Mercapadha adalah tempat yang panas dan mengalami kerusakan. Disebut

juga sebagai Madyapada, madya itu tengah padha berarti tempat. Tempat yang

berada di tengah-tengah, terhimpit di antara tempat-tempat gaib. Gaib sebelum

kelahiran dan gaib setelah ajal.

KIDUNG PANGURIPAN

“SAKA GURU”

Nah, di zaman Madya atau mercapadha ini manusia memiliki kecenderungan sifat-

sifat yang negatif. Sebagai pembawaan unsur “setan”, setan tidak dipahami sebagai

makhluk gaib gentayangan penggoda iman, melainkan sebagai kata kiasan dari

nafsu negatif yang ada di dalam segumpal darah (kalbu).  Mercapadha

merupakan perjalanan hidup PALING SINGKAT namun PALING BERAT dan SANGAT

MENENTUKAN kemuliaan manusia dalam KEHIDUPAN SEBENARNYA yang sejati abadi

azali. Para perintis bangsa di zaman dulu telah menggambarkan bagaimana keadaan

manusia dalam berproses mengarungi kehidupan  di dunia selangkah demi

selangkah yang dirangkum dalam tembang macapat (membaca sipat). Masing-

masing tembang menggambarkan proses perkembangan manusia dari sejak lahir

hingga mati. Ringkasnya, lirik nada yang digubah ke dalam berbagai bentuk

tembang menceritakan sifat lahir, sifat hidup, dan sifat mati manusia sebagai

sebuah perjalanan yang musti dilalui setiap insan. Penekanan ada pada sifat-sifat

buruk manusia, agar supaya tembang tidak sekedar menjadi iming-iming, namun

dapat menjadi pepeling dan saka guru untuk perjalanan hidup manusia. Berikut ini

alurnya :

1. MIJIL

Page 2: TRIWIKRAMA

Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan

menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu,

sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut

tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada

di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga, namun

harus netepi titah Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa

universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan yang

polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaran mantra tanpa

tinulis. Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga

sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan

selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi

Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.

2. MASKUMAMBANG

Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak terperi. Tiap hari

suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan.

Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat

sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang. Takjub

memandang kehidupan baru yang sangat menantang. Namun selalu waspada

jangan sampai si ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut

kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang.

Buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang

tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti

kepada orang tua, nusa dan bangsa.

3. KINANTI

Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang

selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah

hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta, orang tua

selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya. Buah hati bagaikan

jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih suami istri. Buah

hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan

dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.

4. SINOM

Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan dan

dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua

menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak

salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah.

Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering salah

menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang

bapa dan ibu. Dasar manusia masihenom (muda) hidupnya sering salah kaprah.

5. DHANDANGGULA

Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana.

Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan

orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun

dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi anak

Page 3: TRIWIKRAMA

baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika

perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa

juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia.

Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat sikapnya  menjadi

jera. Tak mau mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak

dewasa merasa rugi bila tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua

terlunta, yang penting hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin

celaka, bagi diri sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit,

sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung langsung sengit.

Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih muda, mudah

sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak

dewasa sering bikin orang tua ngelus dada. Bagaimanapun juga mereka buah dada

hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa benci kepada pujaan

hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka panca indera,

salah-salah justru bisa celaka semuanya.

6. ASMARADANA

Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan raga.

Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini

miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga atau pangeran muda.

Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu apa akibatnya. Hidup

menjadi terasa semakin hidup lantaran gema asmara membahana dari dalam dada.

Biarlah asmara membakar semangat hidupnya, yang penting jangan sampai terlena.

Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan

hidup mulia dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua

membimbing mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan

memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru.

Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sang gurulaku, yang sabar membimbing

setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka berpangku namun pandailah

memanfaatkan waktu. Agar cita-cita dapat dituju.Asmaradana adalah saat-saat yang

menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang bermutu, atau polisi akan

memburu dirimu. Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.

7. GAMBUH

Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah

menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai

sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya

sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Di

mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah

orang yang berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya

mencari jati diri kemana-mana terus berlari tanpa henti.  Memperoleh sedikit sudah

dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang.

Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah

menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata

orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada  yang kurang,

menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh

Page 4: TRIWIKRAMA

mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka,

belajarlah dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang

mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan.

Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu

menjadi mati.

8. DURMA

Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal  banyak tokoh dari

kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana.

Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan suku

kata dur/ dura (nglengkara) yang mewakili makna negatif (awon). Sebut saja

misalnya :duraatmoko, duroko, dursila, dura sengkara, duracara (bicara

buruk), durajaya, dursahasya, durmala, durniti, durta, durtama,udur, dst.

Tembang Durma, diciptakan untuk mengingatkan sekaligus  menggambarkan

keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur

atau cekcok, cari menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang

lain. Sementara manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri

(nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat

bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati.

Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih

niatnya baik, namun tak peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan

manusia di planet bumi, suka bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan

menyakiti. Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.

9. PANGKUR

Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur)

merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi

diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada  tinggalah

menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia

renta yang hina dina sudah tak berguna.  Anak cucu kadang menggoda, masih

meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup

merana yang dia punya tinggalah penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja,

sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa.  Hidup enggan mati pun sungkan.

Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati diri,

memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji. Tabungan menghilang sementara

penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang di atas ranjang.

Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah

mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena

ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi

menjadi bathang..!!

10. MEGATRUH

Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpaaruh-aruh. Datanya

ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang

disesali.  Sudah terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri.

Selama ini menyembah tuhan penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka

dan berharap-harap pahala surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan

Page 5: TRIWIKRAMA

yang sejati. Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk

menggapai kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi

begini, kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat

dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali diri

ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun tak sadar sering

mencelakai dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba saatnya menebus

segala dosa, sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga,

telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini manusia

baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih

kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri hati, dan

dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakanya ia merasa paling

pintar,  namun segala keburukannya dianggapnya demi membela diri.  Kini dalam

kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati sangat

merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!

11. POCUNG

Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah

batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan rusak dengan kehidupan yang

sejati dan abadi. Bagi orang yang baik kematian justru menyenangkan sebagai

kelahirannya kembali, dan merasa kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat

nyawa meregang, rasa bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk embun pagi.

Bahagia sekali disambut dan dijemput para leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di

alam yang abadi azali. Kehidupan baru setelah raganya mati.

Tak terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi.

Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus

dengan kain kafan.  Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di sana-di sini

ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini, merasa heran kenapa sudah

bahagia dan senang kok masih ditangisi. Ketemunya para kadhang yang telah lama

nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang.

Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot menegang.

Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh

jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.

Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit

meregang nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung

kemana harus pergi, toleh kanan dan kiri  semua bikin gelisah hati.  Seram

mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang

tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami

dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang kebaikan dan

keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh kapir belum tentu

kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan.  Malah-

malah yang suka menuduh  menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan justru

bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina. Yang

gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili. Yang ada

Page 6: TRIWIKRAMA

tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados niki…! Oleh sebab

itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan suka menghakimi orang lain yang

tak sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang salah malah pribadi kita sendiri.

Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu tidak nyasar

menjadi memedi.

12. WIRANGRONG

Hidup di dunia ini penuh dengan siksaan, derita, pahit dan getir, musibah dan

bencana. Namun manusia bertugas untuk merubah semua itu menjadi anugrah dan

bahagia. Manusia harus melepaskan derita diri pribadi, maupun derita orang lain.

Manusia harus saling asah asih dan asuh kepada sesama. Hidup yang penuh cinta

kasih sayang, bukan berarti mencintai dunia secara membabi-buta, namun artinya

manusia harus peduli, memelihara dan merawat, tidak membuat kerusakan bagi

sesama manusia lainnya, bagi makhluk hidup dan maupun jagad raya seisinya.

Itulah nilai kebaikan yang bersifat universal. Sebagai wujud nyata hamemayu

hayuning bawana, rahmatan lil alamin.

Jangan lah terlambat, akan mengadu pada siapa bila jasad sudah masuk ke liang

lahat (ngerong). Wirangrong, Sak wirange mlebu ngerong, berikut segala

perbuatan memalukan selama hidup ikut dikubur bersama jasad yang kaku.

Keburukannya akan diingat masyarakat, aibnya dirasakan oleh anak, cucu, dan

menantu. Jika kesadaran terlambat manusia akan menyesal namun tak bisa lagi

bertobat. Tidak pandang bulu, yang kaya atau melarat, pandai maupun bodoh

keparat,  yang jelata maupun berpangkat, tidak pandang derajat seluruh umat.

Semua itu sekedar pakaian di dunia, tidak bisa menolong kemuliaan di akherat.

Hidup di dunia sangatlah singkat, namun mengapa manusia banyak yang keparat.

Ajalnya mengalami sekarat. Gagal total merawat barang titipan Yang Mahakuasa, 

yakni  segenap jiwa dan raganya.

Jika manusia tak bermanfaat untuk kebaikan kepada sesama umat, dan kepada

seluruh jagad, merekalah manusia bejat dan laknat.Pakaian itu hanya akan

mencelakai manusia di dalam kehidupan yang sejati dan abadi. Orang kaya namun

pelit dan suka menindas,  orang miskin namun kejam dan pemarah, orang pandai

namun suka berbohong dan licik, orang bodoh namun suka mencelakai sesama,

semua itu akan menyusahkan diri sendiri dalam kehidupan yang abadi. Datanglah

penyesalan kini, semua yang benar dan salah tak tertutup nafsu duniawi. Yang ada

tinggalah kebenaran yang sejati. Mana yang benar dan mana yang salah telah

dilucuti, tak ada lagi secuil tabirpun yang bisa menutupi. Semua sudah menjadi

rumus Ilahi.

Di alam penantian nanti, manusia tak berguna tetap hidup di alam yang sejati dan

hakiki, namun ia akan merana, menderita, dan terlunta-lunta. Menebus segala dosa

dan kesalahan sewaktu hidup di planet bumi. Lain halnya manusia yang  berguna

untuk sesama di alam semesta, hidupnya di alam keabadian meraih kemuliaan yang

sejati. Bahagia tak terperi, kemana-mana pergi dengan mudah sekehendak hati.

Ibarat “lepas segala tujuannya” dan “luas kuburnya”. Tiada penghalang lagi,

seringkali menengok anak cucu cicit yang masih hidup di dimensi bumi. Senang

Page 7: TRIWIKRAMA

gembira rasa hati, hidup sepanjang masa di alam keabadian yang langgeng tan

owah gingsir.