tri hita karana dalam bahasa visual - isi dps
TRANSCRIPT
i
SKRIP KARYA TUGAS AKHIR
TRI HITA KARANA DALAM BAHASA VISUAL
Oleh
I Kadek Arka Dwipayana
NIM : 200604032
Minat Seni Lukis
Program Studi Seni Rupa Murni
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
2011
ii
SKRIP KARYA TUGAS AKHIR
TRI HITA KARANA DALAM BAHASA VISUAL
Karya tulis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana
Seni pada Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar
Oleh
I Kadek Arka Dwipayana
NIM : 200604032
Minat Seni Lukis
Program Studi Seni Rupa Murni
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
2011
iii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
Skrip Karya/Pengantar Karya Tugas Akhir ini disusun oleh
Nama : I Kadek Arka Dwipayana
NIM : 200604032
Minat : Seni Lukis
Program Studi : Seni Rupa Murni
Judul :
TRI HITA KARANA DALAM BAHASA VISUAL
Telah diperiksa dan diuji sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Seni pada Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar.
Denpasar, 10 Juni 2011
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. I Wayan Kondra, M.Si I Wayan Setem, S.Sn., M.Sn. NIP. 196608101992031003 NIP. 197209201999031001
iv
LEMBAR PENGESAHAN LEMBAGA
Skrip Karya/Pengantar Karya Tugas Akhir ini disusun oleh
Nama : I Kadek Arka Dwipayana NIM : 200604032 Minat : Seni Lukis
Program Studi : Seni Rupa Murni
Judul :
TRI HITA KARANA DALAM BAHASA VISUAL telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Ujian Sarjana Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar pada tanggal 10 Juni 2011, dan
dinyatakan sah.
Dewan Penguji
Nama Lengkap NIP Tanda Tangan
Ketua Sidang : Drs. I Wayan Kondra, M.Si. 19660810199203100 …………….
Sekretaris : I Wayan Setem, S.Sn., M.Sn. 197209201999031001 …………….
Penguji Utama : Drs. I Made Bendi Yudha, M,Sn. 196112251993031002 …………….
Anggota : Drs. I Nyoman Wiwana, M.Si. 195308281985031004 …………….
Anggota : Drs. D. A. Tirta Ray, M.Si. 195704231987101001 …………….
Mengetahui
Ketua Program Studi Seni Rupa Murni
Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar
Drs. I Wayan Kondra, M.Si.
NIP. 19660810199203100
Mengesahkan Denpasar, 10 Juni 2011
Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia Denpasar
Dra. Ni Made Rinu, M.Si. NIP. 195702241986012002
v
Kata Persembahan :
Skrip Karya ini dipersembahkan kepada semesta, keluarga
dan lelaki kecilku, Putu Ang Gawi Jaya Pelangan
vi
Motto :
Diri kita adalah akibat dari apa yang sudah kita pikirkan
(Budha)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, karena rahmat-Nya penyusunan karya Tugas Akhir (TA) ini dapat
terselesaikan pada waktunya.
Adapun tujuan dari skrip karya ini adalah sebagai salah satu persyaratan
untuk dapat mengikuti ujian Tugas Akhir program S-1 pada Program Studi Seni
Lukis, Jurusan Seni Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni
Indonesia Denpasar, Tahun Akademik 2010/2011.
Penyusunan ini terwujud berkat adanya dukungan berbagai pihak. Pada
kesempatan ini dengan segala kerendahan hati pencipta menyampaikan ucapan
terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. I Wayan Rai S., MA., selaku Rektor Institut Seni Indonesia
Denpasar.
2. Ibu Dra. Ni Made Rinu, M.Si., selaku Dekan Fakultas Seni Rupa dan
Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar.
3. Bapak Drs. I Wayan Kondra, M.Si., selaku Ketua Program Studi Seni
Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia
Denpasar sekaligus dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan
bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skrip karya seni ini.
4. Bapak Drs. A. A. Ngurah Gde Surya Buana, M.Sn., selaku Ketua Minat
Seni Lukis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia
Denpasar.
5. Bapak I Wayan Setem, S.Sn., M.Sn., selaku dosen Pembimbing II yang
juga banyak memberikan bimbingan dan motivasi dalam penulisan skrip
karya seni ini.
6. Bapak Drs. Gde Yosef Tjokropramono, M.Si., selaku pembimbing
akademik yang telah memberikan bimbingan dalam penyelesaian tugas-
tugas akademik untuk menempuh pendidikan Strata-1 Program Studi Seni
Rupa Murni (Seni Lukis), Institut Seni Indonesia Denpasar.
ii
7. Bapak dan ibu dosen Institut Seni Indonesia Denpasar yang selama ini
telah membimbing pencipta dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik.
8. Seluruh Civitas Akademika Institut Seni Indonesia Denpasar.
9. Seluruh staf pegawai perpustakaan Institut Seni Indonesia Denpasar.
10. Keluarga pencipta yang telah banyak membantu sehingga terwujudnya
skrip karya Tugas Akhir.
11. Rekan dan sahabat yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam
penyelesaian skrip karya Tugas Akhir.
Pencipta menyadari dalam penulisan ini masih banyak kekurangan serta
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran sangat pencipta harapkan guna
penyusunan karya tulis selanjutnya. Semoga kehadiran karya tulis ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.
Denpasar, Juni 2011
Pencipta
iii
ABSTRAK
TRI HITA KARANA DALAM BAHASA VISUAL
Oleh I Kadek Arka Dwipayana
Kehidupan memiliki unsur-unsur yang saling berkaitan dan dinamis. Pada salah satu konsep ajaran Hindu mengajarkan tentang keharmonisan dalam berketuhanan (parhyangan), alam lingkungan (palemahan) dan antar manusia
(pawongan) yang lebih dikenal dengan Tri Hita Karana. Ini adalah kearifan untuk menghormati ketiga unsur tersebut baik dengan ritual keagamaan dan yang
terpenting adalah pelaksanaan pemahaman konsep Tri Hita Karana dalam keseharian. Penerapan nilai Tri Hita Karana akan membangun keseimbangan hidup karena memiliki sifat yang universal. Pada kenyataannya manusia sebagai
pemegang kunci keberhasilan Tri Hita Karana, tetapi akhir-akhir ini ada kecenderungan pergeseran pola pikir dan perilaku manusia. Dampak terbesar dari
fenomena ini adalah kerusakan lingkungan yang semakin parah. Eksploitasi alam berimbas kepada terganggunya keharmonisan lingkungan. Berangkat dari esensi Tri Hita Karana dan dampak kontradiksi yang menyebabkan terganggunya
ketidakseimbangan lingkungan mendorong lahirnya ide-ide untuk mewujudkannya ke dalam karya seni. Hal ini sekiranya dapat memberikan
sumbangsih pemikiran tentang konsep Tri Hita Karana dan dampak kontradiksi pelaksanaannya melalui karya seni lukis dan instalasi. Konsep Tri Hita Karana memberikan banyak ruang untuk ditransformasikan ke dalam bahasa visual.
Sehubungan dalam proses perwujudan karya yang bersumber dari ide-ide yang mendasari penciptaan karya, pencipta menggabungkannya dengan penerapan
unsur-unsur seni rupa seperti garis, warna, tekstur dengan pengolahan beberapa media sebagai karya lukis dan instalasi. Sedangkan proses penciptaannya melalui tahapan penjajagan (eksploration), percobaan (experiment) dan pembentukan
(forming). Dalam wujud karya pencipta mengandung aspek ideoplastis yaitu
menyangkut wilayah gagasan atau ide dan aspek Fisioplastis yang meliputi teknik penggarapan elemen visual atau perwujudan fisik karya.
Kata kunci : Tri Hita Karana dan bahasa visual.
iv
ABSTRACT
TRI HITA KARANA IN A VISUAL LANGUAGE By I Kadek Arka Dwipayana
Life has many kinds of aspect and they are all connected and dynamic.
One of the Hinduism teach us how to make a harmony connection between God, human being and their environment, known well as Tri Hita Karana. This is a philosophy to respect these three aspect, God (parhyangan), human being
(pawongan) and environment (palemahan) in any religion rituals and the important thing is how to understanding the essence of Tri Hita Karana into daily
activities. The application of this philosophy would balance our life because it is a universal value.
In fact the human being as key holder to make Tri Hita Karana in
successful way but nowadays, there is a trend of changing of human being mind set and behaviour. The biggest effect is the destruction of our environment. This
inspires to take the concept of Tri Hita Karana into art works by using an abstract visual language. It should give ideas about the concept of Tri Hita Karana and the effect of its contradiction into art.
The art works is combined by the aspects of art, such as lines, colours, textures, and mixed any medium into painting and installation. The concept of Tri
Hita Karana gives much more space to transform into a visual language. Meanwhile, the process to creating art works is by exploration, experiment and forming. My art contains an aspect of ideoplastic and physioplastic, a combination
between ideas and physics, which contains visual elements.
Keywords : Tri Hita Karana and visual language.
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
ABSTRAK/ABSTRACT ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
DAFTAR FOTO ............................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Ide Penciptaan ......................................................................... 3
1.3 Rumusan Masalah ................................................................... 4
1.4 Tujuan dan Manfaat ................................................................. 5
1.5 Ruang Lingkup ........................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 7
2.1 Tinjauan Sumber Tertulis ...................................................... 7
2.1.1 Pengertian Judul “Tri Hita Karana Dalam Bahasa Visual” 8
2.1.2 Tinjauan Tentang Tri Hita Karana ............................. 8
2.1.3 Kajian Tentang Seni .................................................... 10
2.1.4 Tinjauan Tentang Seni Lukis dan Instalasi .................. 11
2.1.5 Tinjauan Tentang Seni Lukis Abstrak ......................... 12
2.1.6 Unsur-unsur dan Prinsip Penyusunan Seni Rupa ........ 13
2.2 Kajian Sumber-sumber Lain ................................................... 18
BAB III PROSES PENCIPTAAN ................................................................ 21
3.1 Penjajagan (Exploration) ........................................................ 21
3.2 Percobaan (Experiment) ......................................................... 22
3.3 Pembentukan (Forming) ......................................................... 24
BAB IV WUJUD KARYA ........................................................................... 28
4.1 Aspek Ideoplastis ................................................................... 28
4.2 Aspek Fisioplastis .................................................................. 29
4.3 Ulasan Karya .......................................................................... 29
vi
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 59
5.1 Kesimpulan ............................................................................ 59
5.2 Saran-saran ............................................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA
GLOSSARIUM
LAMPIRAN
vii
DAFTAR FOTO
FOTO KAJIAN SUMBER
Foto 1. Karya Lukis Jackson Pollock ........................................................... 18
Foto 2. Karya Lukis Willem De Kooning .................................................... 19
Foto 3. Karya Lukis Nyoman Erawan ........................................................ 20
FOTO PROSES PENCIPTAAN
Foto 4. Eksperimen Pada Media Kardus ...................................................... 22
Foto 5. Eksperimen Pada Media Fiber ........................................................ 23
Foto 6. Eksperimen Pada Media Plat Besi ................................................... 23
Foto 7. Alat dan Bahan Lukis ...................................................................... 25
Foto 8. Proses Pembentukan Karya ............................................................. 26
FOTO KARYA
Foto 9. Karya 1 : Dialog Tidak Terlihat .................................................... 30
Foto 10. Karya 2 : Merasakan Merah .......................................................... 32
Foto 11. Karya 3 : Ramah Tanahku Terjamah ............................................. 34
Foto 12. Karya 4 : Mutilasi Pertiwi ............................................................. 36
Foto 13. Karya 5 : Pohon yang Tersisa ....................................................... 38
Foto 14. Karya 6 : Melihat Diri ................................................................... 40
Foto 15. Karya 7 : Tangga-tangga ke Rumah .............................................. 42
Foto 16. Karya 8 : Ritus Ruang .................................................................... 44
viii
Foto 17. Karya 9 : Tarian Semesta .............................................................. 45
Foto 18. Karya 10 : Jiwa yang Bergerak ..................................................... 47
Foto 19. Karya 11 : Daun Kehidupan .......................................................... 49
Foto 20. Karya 12 : Mendaki Tanah Kelahiran ........................................... 51
Foto 21. Karya 13 : Vertikal Horisontal ...................................................... 53
Foto 22. Karya 14 : Pohon Hayat ................................................................ 55
Foto 23. Karya 15 : Harmoni Dalam Tiga ................................................... 57
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Bali, hampir dalam seluruh pelaksanaan ritual pemujaan Hindu yang
mengiringinya berkaitan dengan simbol dan kesenian. Rerajahan (seni lukis),
kekawin (seni suara), gamelan (seni musik) dan lain- lain turut memberi aura
magis pada pelaksanannya. Jalan ritual adalah tradisi tertua dalam Hindu
(Suwantana, 2011: 81). Banyak ritus perayaan diciptakan sebagai momentum
untuk senantiasa menjaga kesadaran dalam menghormati lingkungan, sebagai
peristiwa spiritual untuk refleksi diri.
Gambaran umum yang berkembang dari Hindu salah satunya adalah
kosmos organis yang tumbuh dan bergerak secara ritmis dari sebuah alam semesta
(Capra, 2001: 223). Dari sekian banyak konsep Hindu, salah satu yang mencakup
hubungan kehidupan adalah Tri Hita Karana, yang melingkupi hubungan manusia
dengan Tuhan, alam lingkungan dan hubungan manusia dengan manusia. Konsep
tersebut sebagai bentuk kearifan dalam menempatkan kesatuan hubungan. Kata
kearifan hendaknya dimengerti dalam arti luas, yaitu tidak hanya berupa norma
dan nilai budaya melainkan segala unsur gagasan, yang berimplikasi pada
teknologi, kesehatan dan estetika (Sedyawati, 2006: 382).
Rumusan lingkungan rohani (parhyangan), alam (palemahan) dam sosial
(pawongan) sebagai wadah penjabaran unsur-unsur Tri Hita Karana yang
semestinya bisa dipahami sebagai filosofi hidup untuk mewujudkan
keseimbangan yang utuh bukan kepada eksistensi fisik semata. Pencipta meyakini
pada dasarnya esensi Tri Hita Karana bisa diterapkan pada segala aspek
kehidupan dan keyakinan karena memiliki sifat universal. Hal tersebut menjadi
ketertarikan pencipta karena konsep Tri Hita Karana merangkum unsur-unsur
hubungan ketuhanan, manusia dan lingkungan untuk terciptanya kebahagiaan
hidup.
2
Berangkat dari kearifan nilai Tri Hita Karana, pencipta belum melihat
sepenuhnya kesatuan antara konsep dengan penjabarannya dalam masyarakat.
Bisa kita lihat berbagai dampak dari kontradiksi nilai dengan pelaksanaannya.
Berketuhanan sebagai bentuk hubungan yang abstrak dan bersifat sangat pribadi,
oleh komunitas tertentu seringkali dimaknai sebagai kekuatan untuk melemahkan
keyakinan manusia atau masyarakat minoritas terhadap tuhannya. Agama
dijadikan tameng untuk melegalkan kekerasan fisik dan mental kepada kaum di
luar keyakinannya. Fenomena tersebut yang terjadi di beberapa daerah di
Indonesia mengindikasikan kebuntuan komunikasi dengan lebih mengedepankan
kekerasan. Disisi lain, masyarakat dalam melakukan ritus keagamaan terkesa n
hanya di wilayah fisik semata, gemerlap pada ritual tetapi kering pemaknaan.
Di samping agama, masalah suku dan ras seringkali memicu hadirnya
konflik dalam masyarakat. Bahkan dalam intern keluarga kekerasan muncul
sedemikian rupa. Pelecehan, pembunuhan dan sebagainya telah merendahkan
derajat manusia lainnya. Kesenjangan sosial yang mencolok, rendahnya cara
berpikir, memudarnya nilai-nilai kemanusiaan adalah bagian yang bisa
menghadirkan ketersinggungan yang akan bermuara pada konflik-konflik sosial.
Permasalahan lain, manusia sebagai faktor utama keberhasilan konsep Tri
Hita Karana juga belum mampu memperlakukan alam sebagai sebuah kehidupan.
Dewasa ini sering manusia tidak memperdulikan pentingnya fungsi lingkungan
bagi kelangsungan hidup. Eksploitasi besar-besaran terhadap hutan dan lahan
pertanian untuk industri pariwisata yang hanya menguntungkan segelintir orang
tetapi berimbas kepada bencana tanah longsor, banjir, polusi semakin parah,
pemanasan global yang berefek pada cuaca yang tidak menentu. Proses
kehancuran lingkungan disebabkan perilaku manusia yang menjadikan alam
sebagai objek penderita. Lebih parahnya lagi permasalahan lingkungan tidak
hanya sekedar perambahan hutan, pencurian kayu, pengalihfungsian lahan
pertanian tetapi juga masuk ke wilayah yang disucikan (pura). Lagi- lagi alasannya
untuk memajukan pariwisata dan menambah pendapatan asli daerah yang
bersangkutan. Fenomena kerusakan lingkungan yang saat ini sering terjadi
3
diakibatkan buruknya hubungan manusia dalam memperlakukan alam. Semuanya
terjadi karena rendahnya kesadaran masyarakat dalam memahami fungsi lingkungan.
Hal-hal yang telah dipaparkan terkait Tri Hita Karana dan dampak dari
kontradiksi pelaksanaannya yang mengarah kepada ketidakseimbangan alam
lingkungan menarik perhatian pencipta menjadikan latar belakang dalam proses
penciptaan karya. Sehubungan dalam proses perwujudan karya yang bersumber
dari ide- ide yang mendasari penciptaan, pencipta menggabungkannya dengan
penerapan unsur-unsur seni rupa seperti garis, warna, tekstur dengan pengolahan
beberapa media sebagai karya lukis dan instalasi.
Pada perwujudannya pencipta merujuk pada karya lukis Jackson Pollock
tentang pengungkapan emosi dengan spontanitas garis dan torehan yang mampu
mencerminkan kedinamisan gerak. Selanjutnya pencipta merujuk kepada karya
lukis Willem De Kooning tentang pengolahan warna dan garis ekspresif dalam
sapuan kuas yang kuat serta seniman Nyoman Erawan dengan lebih banyak
berangkat dari konsep-konsep Hindu dalam karyanya. Pada karya pencipta,
pengolahan warna dan garis ekspresif disamping sebagai ekspresi spontanitas
hadir sebagai tanda atau simbol yang bisa mewakili ide ke dalam wujud karya.
1.2 Ide Penciptaan
Ide merupakan gagasan yang ingin disampaikan yang masih bersifat
abstrak karena belum ditampilkan menjadi karya (Djelantik, 1999: 60). Ide
sebagai langkah awal dari penciptaan sangat diperlukan karena berperan penting
untuk menentukan muatan karya selanjutnya. Ide menjadi dasar yang berisi
pemikiran melalui pengamatan, pemahaman serta perenungan berbagai hal yang
bisa menginspirasi penciptaan karya.
Spriritual adalah nuansa alam transenden yang meliputi rasa manusia
sehingga karya yang lahir oleh getaran-getaran batin dan tidak semata-mata fisik
(Artadi, 2003: 26). Pikiran manusia dapat menampung dua hal; pengetahuan
(rasio, sains) dan kesadaran (intuisi, spiritual) dalam satu tempat sekaligus. Tetapi
wilayah rasio hanya bisa mengukur dan menganalisis semata hal-hal yang terjadi.
Setiap individu akan berbeda dalam menyelesaikan masalah walaupun
4
karakteristik masalah tersebut sama. Pengalaman sangat mempengaruhi reaksi
individu terhadap masalah yang dihadapinya. Apa yang sebelumnya dilewati
dengan harmonis, maka perhatiannya diarahkan kepada pendidikan batin dan
kemasyarakatan.
Terbatasnya kehidupan kita menyebabkan apa yang dapat kita ketahui
hanya perwujudan dari Tuhan (sekala) tetapi tidak keadaanNya (niskala), yang
mengatasi semua bentuk, yang tunggal abadi, di belakang semua perubahan-
perubahan di dunia ini (Mantra, 1987: 125). Kedekatan pencipta terhadap
berbagai upacara perayaan Hindu yang telah dikenalkan sejak kecil serta aura
ritual masyarakat Bali, langsung atau tidak, telah mengendap pada kesadaran
meski pada hakekatnya pencipta memahami bahwa semua keyakinan tentang
ketuhanan serta kehidupan yang menyertainya bersumber pada satu.
Ide penciptaan karya berdasarkan konsep Tri Hita Karana sebagai
pedoman dalam interaksi vertikal (ketuhanan) dan horizontal (manusia serta
lingkungan) serta dampak kontradiksi pelaksanaannya yang menyebabkan
terganggunya keseimbangan alam. Berangkat dari spirit pemikiran tersebut
pencipta ungkapkan dalam wujud karya lukis abstrak dan instalasi. Konsep Tri
Hita Karana memberi banyak ruang untuk ditransformasikan ke dalam bahasa
visual. Ini memungkinkan pencipta melakukan eksperimen media dalam usaha
mewujudkan ide- ide melalui visual karya, baik sebagai karya lukis abstrak
maupun instalasi. Hal ini sekiranya bisa memberikan sumbangsih pemikiran
tentang konsep Tri Hita Karana serta gambaran atas dampak kontradiksi
pelaksanaannya yang berimbas kepada ketidakseimbangan alam lingkungan.
1.3 Rumusan Masalah
Dalam proses penciptaan karya seni lukis yang mengangkat Tri Hita
Karana dalam bahasa visual, berikut pencipta merumuskan beberapa
permasalahan yang berkaitan dalam perwujudan karya seni dari ide- ide yang
disatukan dengan kemampuan olah rasa dan estetika.
5
Adapun permasalahan yang dapat pencipta rumuskan adalah:
1.3.1 Bagaimana mewujudkan ide yang bersumber dari nilai Tri Hita Karana
dalam penciptaan karya seni lukis?
1.3.2 Kajian apa yang diperlukan untuk memperkuat struktur karya yang
mengambil Tri Hita Karana sebagai konsep berkarya seni lukis?
1.3.3 Bagaimana pemilihan media dan teknik penciptaan untuk bisa
memvisualisasikan ide kreatif yang dapat mewakilkan pesan yang ingin
disampaikan?
1.4 Tujuan dan Manfaat
1.4.1 Tujuan Penciptaan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penciptaan karya seni lukis dari pijakan
ide tentang konsep Tri Hita Karana dalam bahasa visual, adalah:
a. Mewujudkan ide yang bersumber dari hubungan vertikal (ketuhanan) dan
horizontal (manusia dan alam lingkungan) dengan menerapkan elemen seni
rupa dalam mewujudkan karya seni lukis dan instalasi.
b. Mencari sumber kajian yang diperlukan untuk memperkuat struktur karya
yang mengambil Tri Hita Karana sebagai konsep berkarya seni.
c. Memperluas penggunaan media dalam mewujudkan ide- ide kreatif sehingga
bisa diapresiasi masyarakat penikmat seni.
1.4.2 Manfaat Penciptaan
Manfaat yang ingin didapat dalam penciptaan karya seni lukis yang
mengangkat Tri Hita Karana dalam bahasa visual, antara lain:
a. Dapat memberi sumbangsih pemikiran tentang Tri Hita Karana dan dampak
dari kontradiksi pelaksanaannya yang disampaikan melalui karya seni lukis.
b. Bisa menambah pengetahuan dan pengalaman dalam proses penciptaan karya
seni lukis untuk selanjutnya berguna bagi peningkatan kreativitas dan
memantapkan mental berkesenian.
c. Diharapkan bisa menyumbangkan manfaat akademis bagi mahasiswa dan
masyarakat serta dapat dijadikan referensi bagi pencipta-pencipta yang lain.
6
1.5 Ruang Lingkup
Mengingat luasnya ajaran Hindu yang berkembang di Bali serta apa yang
pencipta ungkapkan di tingkat ini bukanlah bentuk penelitian yang sifatnya kajian
ilmiah, melainkan pemahaman serta cara pandang pencipta dengan kemampuan
oleh estetik yang pencipta dapatkan di perguruan tinggi seni. Oleh karena itu
pencipta membatasi pembahasan hanya pada wilayah konsep Tri Hita Karana
yang merupakan penggambaran konteks hubungan vertikal (ketuhanan) dan
horizontal (manusia serta alam lingkungan) serta dampak dari kontradiksi
pelaksanaannya yang divisualisasikan pada karya seni lukis dalam bahasa abstrak
sesuai pilihan estetika pencipta.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kehadiran buku sebagai referensi yang berkaitan dengan proses
penciptaan karya seni lukis diperlukan untuk memperdalam landasan pemahaman
terhadap terciptanya karya dan memperkuat struktur karya. Kajian yang pencipta
jadikan acuan dalam penciptaan karya adalah kajian sumber kepustakaan dan
kajian tentang karya-karya seniman lain. Berikut uraian kajian sumber sebagai
bahan referensi dalam penciptaan karya seni lukis.
2.1 Tinjauan Sumber Tertulis
Karya seni sebagai bahasa ungkap pada tatanan tertentu bisa mewakilkan
kondisi psikologis penciptanya dan wujud karya menjadi satu kesatuan bersama
muatan yang terkandung di dalamnya. Guna terciptanya karya lukis yang
berkualitas, sangat diperlukan landasan atau pedoman berupa kajian ilmu. Satu
diantaranya adalah sumber tertulis yang mendukung dan melandasi konsep
penciptaan karya yang berjudul “Tri Hita Karana Dalam Bahasa Visual”.
Selain sebagai makhluk individu, manusia juga dikenal sebagai makhluk
sosial. Ini berarti bahwa manusia memiliki ruang interaksi bersama lingkungan
sekitarnya. Seperti Capra dalam buku Tao Of Physics menyebutkan :
“Ajaran-ajaran utama timur juga selaras dengan pandangan bahwa alam
semesta merupakan unsur-unsur yang saling berhubungan dan tidak ada satu bagian pun yang lebih fundamental dari bagian yang lain, sehingga properti – properti setiap satu bagian ditentukan oleh properti bagian yang
lain. Dalam pengertian itu, kita bisa mengatakan bahwa setiap bagian “mengandung “ semua bagian lainnya dan inilah visi dari kandungan
mutual yang menjadi karakteristik tentang alam” (2001: 345). Di sini pencipta mencoba memaknai nilai-nilai yang menjadi dasar
pemahaman antara unsur-unsur yang berhubungan (ketuhanan, alam lingkungan
dan kemanusiaan) di mana masing-masing unsur ditentukan oleh bagian unsur
yang lainnya.
8
2.1.1 Pengertian Judul
Dalam mengangkat judul “Tri Hita Karana Dalam Bahasa Visual”, pencipta
memakai sumber kajian yang dapat menguraikan pengertian judul yang diangkat.
Wiana (2007: 5) menyebutkan secara etimologis dalam bahasa Sanskerta,
istilah Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri, Hita dan Karana”.
Tri : Tiga
Hita : Bahagia
Karana : Penyebab
Dengan demikian Tri Hita Karana sebagai istilah berarti tiga penyebab
kebahagiaan, yaitu keharmonisan hubungan ketuhanan, alam lingkungan dan antar
manusia.
Selanjutnya pada kalimat “dalam bahasa visual” memiliki makna sebagai berikut :
Dalam : Sebagai kata depan untuk menandai sesuatu yang dianggap
mengandung isi (KBBI, 2002: 231).
Bahasa : Merupakan sistem lambang bunyi yang dipakai oleh suatu
masyarakat untuk berinteraksi (Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, 2000: 51).
Visual : Mempunyai makna dapat dilihat dengan indera penglihat
(mata) (KBBI, 2002: 1038).
Berdasar kajian judul pencipta dapat memaknai “Tri Hita Karana Dalam
Bahasa Visual” sebagai pemahaman yang dijadikan pedoman untuk menciptakan
harmonisasi dalam tiga bentuk hubungan; ketuhanan (parhyangan), alam
lingkungan (palemahan) dan manusia (pawongan). Dari konsep tersebut pencipta
jadikan ide atau landasan dasar dalam penciptaan karya yang pengungkapannya
disampaikan dalam karya seni lukis.
2.1.2 Tinjauan Tentang Tri Hita Karana
Dalam ajaran Hindu kita bisa menemukan hubungan yang harmonis
dengan Tuhan, sesama manusia dan alam lingkungan untuk mewujudkan
kebahagiaan hidup lahir bathin. Ketiga upaya tersebut banyak ditemukan dan
diajarkan dalam berbagai pustaka Hindu. Tiga hubungan itulah yang disebut
Tri Hita Karana. (Wiana, 2007: 5).
9
Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember
1966 pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah I Badan Perjuangan Umat
Hindu Bali bertempat di Perguruan Tinggi Dwijendra Denpasar. Konferensi
tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan kewajibannya ikut
berperan dalam pembangunan bangsa menuju kesejahteraan masyarakat
berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana berkembang, meluas
dan memasyarakat. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di
Bali dapat dijumpai dalam perwujudan parhyangan, palemahan dan pawongan.
Konsep Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup yang bijaksana. Setiap
hubungan memiliki pedoman hidup menghargai aspek sekelilingnya. Dengan
menerapkan falsafah tersebut diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup
modern yang lebih mengedepankan individualisme, sifat konsumtif manusia,
pertikaian dan gejolak karena dalam penerapannya manusia memiliki peran
sentral yang bisa dikatakan sebagai kunci keberhasilan terwujudnya keharmonisan
unsur-unsur dalam Tri Hita Karana.
Tri Hita Karana sebagai doktrin Hindu, mengajarkan umat mengenal
hidup di dunia yang mempunyai hubungan timbal balik dalam tiga arah. Tri Hita
Karana menuntun manusia hidup berketuhanan, menjaga kelangsungan
lingkungan dan bertoleransi dalam masyarakat (Pendit, 1996: 14). Pada
kenyataannya terdapat tempat pemujaan, tempat tinggal manusia, dan tempat
makhluk lain yang dikenal dengan istilah Tri Hita Karana dalam satu pekarangan
rumah. Konsepsi Tri Hita Karana merupakan landasan yang kuat dalam
pembangunan umat Hindu di Bali (Arwati, 2006: 6).
Penerapan nilai-nilai Tri Hita Karana secara sadar dan dinamis akan
membangun proses hubungan kehidupan yang seimbang. Pada dasarnya hakikat
ajaran Tri Hita Karana menekankan pada keharmonisan hubungan manusia
dengan Tuhan, sesama manusia dan alam lingkungan yang menjadi keterkaitan
satu sama lain. Dalam penerapannya manusia memiliki peran sentral yang bisa
dikatakan sebagai kunci untuk keberhasilan terwujudnya kebahagiaan. Dalam
konteks kehidupan sosial, implementasi konsep Tri Hita Karana dapat dilihat dari
pelaksanaan upacara keagamaan, gotong royong dalam kehidupan masyarakat
10
serta memanfaatkan alam lingkungan untuk kesejahteraan manusia dengan tetap
memperhatikan keseimbangannya, misalnya menanam dua atau tiga pohon untuk
menggantikan satu pohon yang ditebang.
2.1.3 Kajian Tentang Seni
Di Bali, usaha untuk mewujudkan sesuatu telah berlangsung turun
temurun baik sebagai kepentingan upacara, pemenuhan kebutuhan hidup atau
memenuhi kebutuhan lainnya yang tidak terlepas dari wilayah seni.
Seni patung, relief, lukisan dan gambar merupakan bidang – bidang
kesenian yang paling fleksibel dan mudah dipakai mengembangkan sifat
kepribadian berdasar sifat – sifat khas dan mutu yang tinggi. Sifat khas itu tidak
hanya dapat dikaitkan dengan wujud lahiriah dari bidang kesenian tetapi juga
dengan isi dan konsepsi intelektualnya (Koentjaraningrat, 2004: 116).
Sem C. Bangun dalam buku Kritik Seni Rupa menyatakan seni
merupakan ekspresi yang paling kental dengan nilai penghayatan hidup. Dalam
seni, manusia menunjukkan eksistensi dirinya (Bangun, 2000: 1).
Seni merupakan ekspresi sekaligus sebagai alat komunikasi. Dalam hal ini seni adalah merupakan ungkapan pengalaman emosional atau ungkapan
pengalaman batin sang seniman ke dalam bentuk karyanya. Ungkapan tersebut merupakan informasi simbolis yang dapat ditangkap oleh penghayatnya dengan cara memahami setiap lambang yang diinformasikan
oleh seniman dalam wujud karyanya (Kartika, 2004: 7).
Berikut pencipta akan memaparkan pengertian seni menurut beberapa
tokoh yang pandangan-pandangannya telah menginsipirasi pencipta dalam
berkarya.
Seorang tokoh revolusioner Rusia, G. Plekhanov menyatakan seni adalah
suatu gejala sosial (Plekhanov, 2006: 76). Hal yang bisa ditangkap dari pernyataan
itu bahwa seni hadir sebagai representasi dari apa yang terjadi di tengah
masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Suzanne K. Langer yang dirujuk dalam buku berjudul The Principles Of
Art oleh Collingwood (1974) (dalam Kartika, 2004: 2) mengatakan seni
merupakan simbol dari perasaan. Seni merupakan kreasi bentuk simbolis dari
11
perasaan manusia, bentuk-bentuk simbolis yang mengalami transformasi yang
merupakan universalisasi dari pengalaman dan bukan merupakan terjemahan dari
pengalaman tertentu dalam karya seninya melainkan formasi pengalaman
emosionalnya yang bukan dari pikirannya semata.
Thomas Munro seorang filsup dan teori seni bangsa Amerika (dalam Jana,
2005: 5) menyebutkan bahwa seni alat buatan manusia untuk menimbulkan efek-
efek psikologis atas manusia lain yang melihatnya. Efek tersebut mencakup
tanggapan-tanggapan yang berwujud pengamatan, pengenalan, imajinasi yang
rasional maupun emosional.
Dari beberapa definisi seni yang telah dipaparkan di atas dapat pencipta
simpulkan bahwa seni sebagai kreasi manusia dalam upayanya menterjemahkan ide-
ide ke dalam wujud karya baik sebagai representasi lingkungan sekitar maupun
pengalaman emosionalnya yang bisa menimbulkan efek psikologis yang melihatnya.
2.1.4 Kajian Tentang Seni Lukis dan Instalasi
Seni lukis sebagai media penyampaian tentang rasa; sesuatu yang bersifat
abstrak. Rasa adalah alam imajinasi yang melahirkan inspirasi (Artadi, 2003: 49).
Seni lukis dapat dikatakan sebagai suatu ungkapan pengalaman estet ik seseorang
yang dituangkan dalam bidang dua dimensi (dwi matra) dengan menggunakan
medium rupa, yaitu garis, warna, tekstur dan sebagainya (Kartika, 2004: 36). Hal
tersebut dipertegas oleh pendapat Mayers (dalam Susanto, 2002: 71) yang
mengatakan bahwa secara teknis seni lukis merupakan tebaran pigmen atau warna
cair pada permukaan bidang untuk menghasilkan sensasi atau ilusi keruangan,
gerakan, tekstur, bentuk sama baiknya dengan tekanan yang dihasilkan kombinasi
unsur-unsur tersebut.
Pringgodigdo (dalam Susanto, 2002: 71) menyatakan bahwa seni lukis
memiliki pengertian pada dasarnya adalah bahasa ungkapan dari pengalaman estetik
seseorang maupun ideologi yang menggunakan warna dan garis mengekspresikan
emosi, gerak, ilusi maupun ilustrasi dari kondisi subjektif seseorang.
Terkait tentang seni instalasi, Susanto dalam buku Membongkar Seni Rupa
mengatakan bahwa hal terpenting dalam karya seni instalasi adalah proses berkarya
12
merupakan kesatuan unit penilaian yang turut menentukan ukuran dan nilai karya
seni. Secara kebentukan, instalasi masih merupakan sebuah seni yang mengalami
perkembangan, mulai dari ide dan konsep ekspresi-ekspresinya hingga pada tingkat
praksisnya seperti pada penggunaan efek teknologi multimedia, gerakan-gerakan
(kinetik), lampu, musik (bunyi), tari dan video dalam efek sebuah asemblasi yang kini
terus bertiup pada kehidupan seni yang ada saat ini (2003: 116-117).
Dari kesimpulan tersebut dapat dipahami bahwa seni lukis dan instalasi
tidak semata bentuk peniruan secara tepat apa yang terlihat tetapi kehadirannya
menyajikan wilayah proses penjelajahan serta kemampuan oleh rasa yang bersifat
sangat pribadi untuk dihadirkan kembali sebagai perwakilan karakter masing-
masing penciptanya melalui wujud karya.
2.1.5 Tinjauan Seni Lukis Abstrak
Perkembangan seni lukis abstrak dimulai pada abad ke-20, tepatnya pada
tahun 1915, dipelopori Wassily Kandinsky yang pertama kali menggunakan
pendekatan geometrik dalam karya seni abstraknya. Tokoh-tokoh seniman abstrak
geometris selain Wassily Kandinsky, antara lain Kazimir Malevich, Alexander
Rodchenko dan Frantisek Kupka.
Kartika dalam buku Seni Rupa Modern menyatakan :
Seni abstrak merupakan ciptaan yang terdiri dari susunan unsur-unsur rupa yang sama sekali terbebas dari ilusi atas bentuk-bentuk alam.
Jika pada aliran sebelumnya seniman masih bertitik tolak dari objek nyata, maka pada aliran abstrak seniman berusaha mengungkap sesuatu kenyataan yang ada di dalam batin seniman. Karena sesuatu muncul dari
dunia dalam, yaitu dunia batin seseorang, maka yang muncul biasanya akan berbeda dengan dunia luar (kenyataan). Sehingga karya-karya seni
abstrak ini akan bersifat individualistis dan sangat pribadi (2004: 99).
Seni abstrak dalam arti murni adalah ciptaan-ciptaan yang terdiri dari
susunan garis, bentuk dan warna yang sama sekali terbebas dari ilusi atau bentuk-
bentuk alam. Secara lebih umum, ialah seni dimana bentuk-bentuk alam itu tidak
lagi berfungsi sebagai objek melainkan sebagai motif saja (Susanto, 2002: 11).
Latar belakang perkembangan seni rupa modern Amerika didasari tendensi
para pelukis dalam menggunakan kuas dan cara yang berhubungan dengan isyarat
13
atau gerak kuas dan tekstur. Selama tahun 1930-an seni rupa modern Amerika
bersifat eksperimen yang mengarah pada abstrak geometris, seperti seniman Piet
Mondrian (yang menjadi tokoh bagi seniman abstrak Amerika). Kemudian
muncul abstrak ekspresionis sebagai bentuk pertentangan terhadap adanya abstrak
geometris.
Pada tahun 1942 di Museum of Modern Art (MOMA), ekspresionisme
abstrak resmi dikenal umum hingga pada pameran seni lukis dan patung tahun
1951 di Amerika, berkembang menjadi gerakan paling kuat dan orisinil dalam
sejarah seni rupa Amerika. Pada tahun 1950-an di Amerika terdapat dua golongan
pelukis yaitu pelukis aksi (action painters) seperti Jackson Pollock, De Kooning,
Yves Klein, Gorky, dan pelukis yang menggunakan bidang warna yang luas atau
imaji abstrak, seperti Mark Rothko, Clyfford Still dan Robert Motherwell.
2.1.6 Unsur-unsur dan Prinsip Penyusunan Seni Rupa
Unsur-unsur dan prinsip penyusunan seni rupa yang mendukung
terciptanya karya seni lukis adalah :
a. Garis (Line)
Garis merupakan dua titik yang dihubungkan, pada dunia seni rupa
kehadiran “garis” bukan saja sebagai garis tetapi sebagai simbol emosi yang
diungkapkan lewat garis, atau lebih tepat disebut goresan. Goresan yang dibuat
seorang seniman akan memberikan kesan psikologis berbeda (Kartika, 2004: 40).
Setiap garis pada karya seni mempunyai kekuatan tersendiri dan untuk bisa
merasakan intensitas goresan tersebut diperlukan latihan kepekaan (daya
sensitivitas) yang terus menerus. Kehadiran garis bisa sebagai pembatas, penanda
atau pun menampilkan bermacam karakter.
Dalam karya pencipta kehadiran garis di samping sebagai pengungkapan
simbol, dalam beberapa variasi garis hadir sebagai goresan spontanitas yang
berefek pada lelehan dan cipratan. Garis diorganisir sedemikian rupa untuk
menunjang keartistikan perwujudan karya.
14
b. Ruang (Space)
Ruang dalam unsur rupa merupakan wujud tiga matra yang mempunyai
panjang, lebar dan tinggi (punya volume) (Kartika, 2004: 53).
Di dalam suatu susunan ada ruang positif yaitu ruang yang dibatasi oleh
suatu batas tepi yang berupa garis, sedang ruang negatif adalah ruang yang berada
di antara ruang-ruang positif (Jana, 2005: 21). Keberadaan ruang bisa terlihat jika
ada bentuk dan batas. Pada karya pencipta, keberadaan ruang terbentuk dari
permainan garis dan pengolahan warna untuk mencapai kesan menarik dan dinamis.
c. Bentuk (Form)
Bentuk ada dua macam yaitu bentuk dua dimensi dan tiga dimensi. Bentuk
dua dimensi adalah bidang di antara yang dibatasi oleh garis sedangkan bentuk
tiga dimensi adalah ruang yang bervolume dibatasi oleh permukaan. Kedua
bentuk ini memiliki dua macam sifat yaitu bentuk yang bersifat geometris dan
organis (Jana, 2005: 22).
Dalam bidang dua dimensi, bentuk yang merupakan perwujudan unsur-
unsur seni rupa dapat dicapai melalui penyinaran dan warna. Bentuk dalam karya
pencipta hadir melalui bentuk organis sebagai pengolahan objek benda sekitar dan
yang tercipta secara tidak terduga dari alam bawah sadar (transendential).
d. Tekstur (Texture)
Tekstur adalah unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan yang
sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunan untuk mencapai bentuk rupa,
sebagai usaha untuk memberikan rasa tertentu pada permukaan bidang karya seni
rupa secara nyata atau semu (Kartika, 2004: 47).
Kualitas visual dapat kita rasakan pada permukaan yang kelihatan
mengkilap, licin dan transparan. Dari tekstur inilah dapat ditentukan bagaimana
mencurahkan dan peran tesktur dalam karya tersebut (Jana, 2005: 33).
Keberadaan tekstur nyata dalam karya pencipta melalui penggunaan media
sebagai kolase juga permukaan bidang lukis. Tampilan tekstur semu pada karya,
pencipta lebih banyak menggunakan sapuan warna untuk mendapatkan kesan
lembut atau pun kasar pada permukaan bidang lukis.
15
e. Warna (Colour)
Demikian eratnya hubungan warna dengan kehidupan manusia, maka
warna mempunyai peran yang sangat penting, yaitu : warna sebagai warna, warna
sebagai representasi alam, warna sebagai lambang/simbol dan warna sebagai
ekspresi (Kartika, 2005: 49). Warna pada benda yang ditangkap indera mata jika
diamati maka warna tersebut tidak mutlak melainkan dipengaruhi cahaya yang
dipantulkan dari permukaan benda.
Warna yang ditampilkan pada karya pencipta disamping hadir sebagai
lambang atau simbol juga warna hadir sebagai warna yang diwujudkan dalam
penerapan keragaman dan intensitas warna.
f. Komposisi (Composition)
Komposisi terjadi akibat suatu integrasi antara elemen-elemen yang
dipakai di dalam menyusun sebuah karya seni (garis, bidang, warna, tekstur) dan
disusun sesuai dengan selera pencipta untuk mencapai kesan yang dinamis dan
harmonis, sehingga mampu mencapai capaian yang artistik (Susanto, 2002: 64).
Pada karya pencipta, komposisi mengarah pada penyusunan warna, garis
dan wujud elemen lainnya.
g. Proporsi (Proportion)
Proporsi adalah hubungan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya
atau sesuatu yang berhubungan erat dengan keseimbangan, irama, harmoni serta
kesatuan (Susanto, 2002: 20). Proporsi tergantung kepada tipe dan besarnya
bidang, warna, garis dan tekstur dalam beberapa area (Kartika, 2004: 65). Proporsi
dapat dipahami sebagai ukuran antara seluruh bagian dalam suatu kesatuan.
Kehadiran proporsi dalam karya pencipta sebagai pengolahan atas
besarnya bidang lukis dan juga usaha menciptakan kesan atau suasana yang
ditampilkan pada karya.
h. Kesatuan (Unity)
Kesatuan adalah keutuhan yang merupakan isi pokok dari komposisi.
Kesatuan merupakan efek yang dicapai dalam suatu susunan atau komposisi di
16
antara hubungan unsur pendukung karya, sehingga secara keseluruhan
menampilkan kesan tanggapan yang utuh. Berhasil tidaknya pencapaian bentuk
estetik suatu karya ditandai oleh menyatunya unsur-unsur estetik, yang ditentukan
oleh kemampuan memadukan keseluruhan (Kartika, 2004: 59).
Kesatuan pada karya pencipta diwujudkan pada pengolahan elemen seni
rupa sehingga menjadi keterkaitan yang melahirkan keserasian antara ide dan
wujud karya.
i. Irama (Rhytem)
Irama atau repetisi merupakan pengulangan unsur-unsur pendukung karya
seni (Kartika, 2004: 57). Menurut E.B. Feldman (dalam Susanto, 2002: 98) irama
(ryhtem) adalah perulangan yang teratur dari sebuah elemen atau unsur-unsur
dalam karya.
Dalam karya pencipta, irama bisa dilihat pada kehadiran garis ekspresif
dalam variasi bentuk dan ukuran serta pengolahan warna melalui sapuan kuas
(brush stroke) yang kuat pada permukaan bidang lukis.
j. Keseimbangan (Balance)
Keseimbangan dalam penyusunan adalah keadaan atau kesamaan antara
kekuatan yang berhadapan dan menimbulkan kesan seimbang secara visual atau
pun intensitas kekaryaan. Bobot visual ditentukan oleh ukuran, wujud, warna,
tekstur dan kehadiran semua unsur (Kartika, 2004: 60).
Keseimbangan dalam karya pencipta lebih bersifat non formal dengan tujuan
agar unsur-unsur yang terkandung dalam karya lebih bersifat bebas dan dinamis.
Keseimbangan dalam hal ini disusun lewat warna, garis, bentuk dan ruang.
k. Harmoni (Harmony)
Harmoni merupakan keselarasan antara bagian-bagian komponen yang
bertentangan, semua cocok dan terpadu, tidak ada pertentangan dalam segi
bentuk, jarak, warna dan tujuannya (Djelantik, 1999: 46).
17
Keharmonisan wujud karya pencipta merupakan pemberdayaan ide-ide
dengan potensi bahan dan teknik. Selain itu harmoni hadir sebagai keselarasan dari
penampilan keseluruhan yang diciptakan antara garis, bidang, warna serta tekstur.
l. Kontras (Contras)
Kontras merupakan perbedaan elemen-elemen dalam tanda yang ada pada
sebuah komposisi atau disain. Kontras dapat dimunculkan dengan menggunakan
warna, bentuk, tekstur, ukuran dan ketajaman. Kontras digunakan untuk
memberikan ketegasan dan mengandung oposisi seperti gelap terang, cerah
buram, besar kecil dan sebagainya.
Penerapan warna kontras pada beberapa karya pencipta untuk
menghasilkan kekuatan warna, permainan garis, gelap terang untuk menjadikan
karya tidak monoton tetapi ada dinamika perubahan kekuatan warna.
m. Pusat Perhatian (Centre Point)
Pusat perhatian dari karya lukis yang penekanannya merupakan kreasi
suatu titik pusat dimana aspek-aspek yang lain menjadi pendukungnya
(Suryahadi, 1994: 9). Pusat perhatian dapat berarti pandangan utama yang
menampilkan penekanan berbagai elemen-elemen seni rupa dalam suatu
komposisi.
Pusat perhatian pada karya pencipta hadir melalui warna dan garis yang
digabung dalam pengolahan media.
n. Kerumitan (Complexity)
Kerumitan berarti benda estetis atau karya seni yang bersangkutan tidak
sederhana sekali, melainkan kaya akan isi maupun unsur-unsur yang saling
berlawanan atau “mengandung” perbedaan-perbedaan yang halus (Gie, 1999: 48).
Bagi pencipta, complexity adalah bagian dari penentuan dan cara
pengolahan media untuk mendukung ide penciptaan sehingga kandungan isi
(makna) karya menjadi suatu kesatuan dengan tampilan karya. Pada karya pencipta
kekuatan isi yang dikandungnya secara visual diwujudkan melalui warna,
pengolahan garis dan pemakaian media yang mendukung ide penciptaan karya.
18
2.2 Kajian Sumber-sumber Lain
Selain berpedoman pada beberapa sumber kajian yang telah disebutkan,
pencipta memakai sumber dari karya-karya seniman lain yang berkaitan dengan
proses perwujudan karya pencipta, antara lain :
Foto 1. Jackson Pollock, Number 1A 1948, 1948,
Oil and enamel paint on canvas, 68" x 8' 8" (172.7 x 264.2 cm).
(Sumber : Pollock-Krasner Foundation / Artists Rights Society, New
York, www.google.com)
Paul Jackson Pollock (28 Januari 1912 – 11 Agustus 1956) adalah pelukis
Amerika Serikat yang cukup berpengaruh dan merupakan tokoh utama dalam
gerakan abstrak ekspresionis.
Karya-karya abstrak Pollock menginspirasi pencipta tentang
pengungkapan emosi baik secara sadar maupun tidak, dengan ekspresi kebebasan,
eksperimen, spontanitas, garis dan torehan yang mampu mencerminkan
kedinamisan gerak.
19
Foto 2. Willem De Kooning, Woman I, 1950-52,
Oil on canvas, 6' 3 7/8" x 58" (192.7 x 147.3 cm).
(Sumber : The Willem de Kooning Foundation / Artists Rights
Society, New York, www.google.com)
Willem De Kooning (24 April 1904 – 19 Maret 1997) adalah seniman
abstrak ekspresionis yang lahir di Rotterdam, Belanda.
Pengolahan bentuk, warna dan garis ekspresif dalam sapuan kuas (brush
stroke) yang kuat dalam karya-karya De Kooning telah menginspirasi pada karya-
karya pencipta.
20
Foto 3. Nyoman Erawan, Furious, 2009, 300 cm x 400 cm, acrylic on canvas
(Sumber : Integritas Jiwa Tampak, Katalog, Bentara Budaya Bali, 2010)
Erawan, seorang perupa Bali kelahiran Gianyar tahun 1958 dengan karya-
karya lukis abstraknya lebih mengetengahkan konsep-konsep Hindu (Bali). Ini
memiliki kesamaan dengan konsep karya pencipta tetapi dengan jejak visual karya
yang berbeda meski sama-sama diungkap dalam wujud bahasa visual abstrak.
21
BAB III
PROSES PENCIPTAAN
Setiap penciptaan, penemuan dan kreasi berasal dari cinta d i dalam hati
manusia (Rhonda, 2010: 8). Djelantik dalam buku Estetika Sebuah Pengantar
menyebutkan bahwa penciptaan adalah pengadaan karya seni dari “tidak ada”
menjadi wujud nyata sehingga dapat dinikmati oleh orang (Djelantik, 1999: 63). Di
sini pencipta akan menjelaskan proses kreativitas dalam usaha penciptaan karya
seni lukis yang menggabungkan ide dengan penerapan unsur-unsur serta prinsip
penyusunan seni rupa.
Perwujudan karya seni lukis pencipta mengacu kepada teori Alma Hawkin
dalam buku Creating Through Dance (RM. Soedarsono dalam Yudha, 2005: 35)
menyatakan bahwa penciptaan seni tari yang baik memakai atau melewati metode
yang terdiri dari tiga tahapan yaitu Exploration (eksplorasi), Improvisation
(improvisasi) dan Forming (pembentukan).
Dengan tidak mengurangi intisari dari apa yang diajukan oleh Hawkins,
Hadi menerjemahkan metode tersebut meliputi: eksplorasi, improvisasi dan
forming (pembentukan). Dalam tahap improvisasi memungkinkan untuk
melakukan berbagai macam percobaan-percobaan (eksperimen) dengan berbagai
seleksi material dan penemuan bentuk-bentuk artistik untuk mencapai integritas
dari hasil percobaan yang telah dilakukan (Yudha, 2005: 35).
Berikut adalah uraian mengenai proses penciptaan karya Tugas Akhir
pencipta :
3.1 Penjajagan (Exploration)
Penjajagan merupakan proses awal penciptaan karya dengan membuka
ruang pengamatan terhadap kehidupan yang menyangkut Tri Hita Karana, yakni
kegiatan manusia dalam berketuhanan, interaksi sesama manusia dan alam
lingkungan. Di sisi lain berbagai kerusakan lingkungan yang intinya hampir
disebabkan oleh ketimpangan tingkah laku manusia dalam memperlakukan alam
itu sendiri. Bencana alam dan pemanasan global adalah contoh nyata efek perilaku
22
manusia yang tidak memperdulikan kelangsungan kehidupan alam. Apa yang
pencipta lihat dan rasakan telah menginspirasi untuk dijadikan perenungan yang
melahirkan gagasan sebagai titik tolak penciptaan karya.
Pengamatan yang dilakukan untuk mendukung ide pencipta dibedakan
pada dua bagian yaitu
Pertama : Pengamatan langsung, merupakan pengamatan yang dilakukan
dengan cara melihat langsung objek yang menjadi sumber ide.
Kedua : Pengamatan secara tidak langsung yang dilakukan melalui media
televisi, buku, koran dan internet.
3.2 Percobaan (Experiment)
Pada tahap ini pencipta melakukan eksperimen dalam penggunaan media
lukis. Pada beberapa benda seperti kertas majalah, kardus dan plat besi, pencipta
gunakan sebagai bahan untuk mewujudkan ide ke dalam karya seni lukis. Ini
pencipta lakukan untuk merangsang lebih jauh kreativitas penciptaan karya dan
kepedulian terhadap lingkungan.
Foto : 4
Eksperimen lukis pada media kardus
Ukuran : 50 cm x 70 cm Bahan : Akrilik pada kardus Tahun : 2011
23
Foto : 5
Eksperimen lukis pada media fiber
Ukuran : 50 cm x 70 cm Bahan : Akrilik pada fiber Tahun : 2011
Foto : 6
Eksperimen lukis pada media plat besi
Ukuran : 30 cm x 50 cm Bahan : Akrilik pada plat besi
Tahun : 2011
24
3.3 Pembentukan (Forming)
Tahap pembentukan adalah tahap utama penciptaan karya seni yang
sesungguhnya atas ide yang muncul melalui proses penjajagan sebelumnya. Pada
proses ini segala hasil visual yang ditemukan dalam tahap eksperimen biasanya
akan mengalami berbagai proses pengembangan. Pengembangan-pengembangan
yang terjadi merupakan respon dari pencapaian artistik sebelumnya sehingga
menghasilkan bentuk maupun efek yang juga berbeda.
Dalam tahapan awal pembentukan pencipta menyiapkan berbagai alat dan
bahan yang dipakai sebagai media ungkap dalam proses mewujudkan gagasan-
gagasan ke dalam karya lukis.
Alat dan bahan yang digunakan adalah :
1. Pensil
2. Pastel
3. Arang
4. Cat Akrilik (Acrylic)
Penggunaan keempat bahan tersebut pada karya pencipta untuk memberikan
aksen-aksen tertentu dan juga menghadirkan karakter garis pada bidang lukis
dengan ketebalan dan kapasitas warna yang berbeda.
5. Paku
6. Kayu
7. Plat besi
Pencipta gunakan sebagai bahan dalam penciptaan karya instalasi dua
dimensi.
8. Majalah dan kain
Pada beberapa karya memakai teknik kolase dari penempelan kertas majalah
dan kain pada permukaan media.
9. Kuas
10. Pisau Palet
25
Kuas dan pisau palet dipakai untuk memasang warna. Pemakaian kuas dan
palet dalam berbagai ukuran memudahkan pencipta menentukan intensitas
warna dan garis.
11. Lem
Lem sebagai perekat kertas untuk membuat kolase.
12. Palet
Palet untuk menaruh atau mencampur cat.
13. Fiber
14. Kertas dan Kardus
15. Kanvas
Bahan-bahan tersebut pencipta pakai sebagai permukaan bidang dalam
penciptaan karya lukis.
16. Air
Air sebagai pengencer (pelarut) warna akrilik untuk memudahkan pengolahan
warna pada bidang lukis, salah satunya dalam membuat teknik lelehan.
Di samping itu air juga dipakai untuk mencuci kuas dan pisau palet.
Foto 7. Alat dan Bahan Lukis
(Sumber foto pencipta)
26
Setelah mempersiapkan alat dan bahan, sehubungan dengan proses
perwujudan karya, pencipta melakukan dalam beberapa tahapan yaitu
1) Tahap Pertama
Pencipta menggunakan warna-warna acrylic dengan sapuan kuas dan tangan
dengan gerakan spontanitas pada bidang lukis. Percampuran warna-warna dari
gerak spontan tersebut disamping memungkinkan untuk menghasilkan warna-
warna yang lebih variatif juga menimbulkan lelehan dan bentuk-bentuk tidak
terduga yang bisa menambah keartistikan karya. Untuk karya lukis yang
menggabungkan teknik kolase dan instalasi, sebelum proses melukis
dilakukan, pencipta telah merangkainya sesuai dengan ide penciptaan.
2) Tahap Kedua
Pada tahap ini, pencipta memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan dalam
seni rupa. Menentukan komposisi, bidang dan lain- lain yang merespon warna-
warna sebelumnya dengan penambahan warna dan variasi garis ekspresif
dengan menggunakan alat-alat lukis seperti pensil, pastel, arang serta cat
akrilik untuk menambah kesan warna dan garis. Pada tahapan ini pencipta
memberikan penekanan pada bagian-bagian yang dipandang perlu dengan
pewarnaan dan garis serta memberi aksen untuk memperkuat wujud karya.
Foto 8. Proses pembentukan karya lukis (Sumber foto Suyadnya)
27
3) Tahap Ketiga
Pada tahapan ini pencipta melakukan evaluasi terhadap karya. Di sini pencipta
mengamati wujud karya secara keseluruhan sekiranya diperlukan respon untuk
kematangan warna, pengaturan komposisi, menegaskan kembali pusat
perhatian dan lain- lain. Dalam penciptaan karya seni pencipta selalu
mengerjakan dengan maksimal. Setelah respon yang dilakukan dapat
memuaskan perasaan pencipta dalam mewujudkan ide ke dalam wujud karya
maka selanjutnya pencipta mencantumkan tanda tangan dan tahun pembuatan
sebagai pertanggungjawaban dalam penciptaan karya.
28
BAB IV
WUJUD KARYA
Dalam seni lukis, hadirnya wujud karya merupakan gambaran nyata dari
penuangan ide ke dalam media melalui teknik dan kepekaan rasa, digabung
dengan elemen seni rupa yang bisa dinikmati oleh indera manusia. Artinya bahwa
ide yang menjadi dasar penciptaan dapat dipahami melalui wujud karya yang
dihadirkan.
Wujud karya pencipta adalah karya seni lukis serta instalasi dua dimensi
dengan media dan ukuran bervariasi. Karya seni pencipta merupakan representasi
pemahaman keluhuran nilai Tri Hita Karana serta kontradiksi pelaksanaannya
yang memberi dampak negatif kepada alam lingkungan. Pencipta berusaha
mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan nilai dan permasalahannya
melalui visual bahasa abstrak, didukung kemampuan olah estetik yang b isa
mewakilkan karakter pencipta.
Wujud karya mencakup aspek ideoplastis (gagasan atau ide) dan aspek
fisioplastis (menyangkut teknik penggarapan elemen seni rupa yang terkandung di
dalamnya). Suwarjono mengatakan bahwa aspek ideoplastis lahir atas dasar ide
sang pencipta dalam melahirkan bentuk, menuntun kelahiran perwujudannya (seni
secara visual) sedangkan aspek fisioplastis merupakan penghampiran bentuk seni
melalui aspek teknis tanpa mementingkan segi ide terciptanya seni itu sendiri
(1985: 9).
4.1 Aspek Ideoplastis
Aspek ideoplastis merupakan gambaran tentang ide atau konsep yang
menjadi dasar pemikiran dalam penciptaan karya seni lukis. Pada karya pencipta,
aspek ideoplastis meliputi nilai Tri Hita Karana serta dampak kontradiksi
pelaksanaannya.
Berkaitan dengan hal tersebut, pencipta mencoba menghayati apa yang
menjadi konsep karya guna mendapatkan ide- ide untuk selanjutnya pencipta
29
kembangkan dalam penciptaan karya. Di antaranya adalah nilai tentang
keharmonisan hubungan vertikal (ketuhanan) dan horisontal (manusia dan
lingkungan) yang terangkum dalam konsep Tri Hita Karana. Di sisi lain,
kontradiksi pelaksanaannya memberikan efek buruk terutama terganggunya
kehidupan alam lingkungan.
Untuk mewujudkan gambaran setiap ide, pencipta menggabungkan
perwujudan karakter dan ekspresi. Kehadiran karakter bertujuan memberikan
susunan yang digambarkan dengan kombinasi teknik serta elemen seni rupa
seperti warna, garis, tekstur dan lain- lain. Sedangkan perwujudan ekspresi sebagai
ruang tampilan yang datang dari dalam diri.
4.2 Aspek Fisioplastis
Dalam aspek fisioplastis diuraikan mengenai wujud fisik karya yang
merupakan penyusunan dari elemen-elemen seni rupa. Pada umumnya setiap
individu menggunakan unsur fisik yang sama tetapi ditentukan oleh ide yang
berbeda sehingga melahirkan wujud karya yang tidak sama.
Pada karya lukis pencipta, penerapan garis serta beberapa bidang warna
dengan sapuan tangan dan penekanan kuas (brush stroke) mampu memberikan
efek keras atau lembut di atas permukaan bidang lukis. Penampilan garis dan
warna mewakilkan kandungan makna karya serta di sisi lain sebagai ekspresi
spontanitas yang menambah keartistikan karya.
Tekstur yang diterapkan adalah tekstur nyata dan semu sebagai efek
penggunaan media dan teknik melukis. Demikian juga dalam penyusunan seperti
komposisi, proporsi dan lain- lain namun secara sadar pencipta berusaha pula
melepaskan proses keterkaitan terhadap hal tersebut mengingat dalam seni lukis
abstrak sudah terbuka ruang pembebasan. Hal ini membantu pencipta untuk terus
berkreasi dalam pembebasan ekspresi berkarya.
4.3 Ulasan Karya
Berikut merupakan wujud dan penjelasan masing-masing karya yang
ditinjau dari aspek ideoplastis dan fisioplastis :
30
Foto 9 : Karya 1
Judul : Dialog Tidak Terlihat
Ukuran : 145 cm x 185 cm Media : Akrilik pada kanvas Tahun : 2010
Foto : Pencipta
Ide dari karya ini adalah keyakinan pencipta tentang adanya alam
lingkungan yang tidak bisa dilihat kasat mata (niskala). Kecenderungan perilaku
kita yang berdampak negatif bagi lingkungan seperti pengerusakan hutan,
pencipta yakini memberikan pengaruh buruk pula kepada alam niskala.
Ketidakharmonisan hubungan ini sejatinya akan berimbas kembali terhadap
kelangsungan hidup manusia. Ketika semakin tidak terkendalinya ulah manusia
memperlakukan lingkungan, disadari atau tidak, alam niskala telah menyiapkan
rencana atas perlakuan buruk manusia terhadap lingkungan.
Pada tampilan karya, ide tersebut pencipta wujudkan dengan dua sosok
menyerupai wajah yang disamarkan seolah melakukan dialog sebagai pembahasan
31
alam niskala. Warna merah dan hijau yang dominan gelap serta variasi goresan
hitam sebagai simbol alam lingkungan yang telah terkontaminasi, dampak dari
perilaku buruk manusia.
32
Foto 10 : Karya 2
Judul : Merasakan Merah
Ukuran : 150cm x 185cm Media : Akrilik pada kanvas
Tahun : 2011 Foto : Pencipta
Cuaca akhir-akhir ini yang semakin panas menjadi ide dalam penciptaan
karya ini. Tidak mengherankan hal itu terjadi karena semakin berkurangnya lahan
hijau, baik keberadaan hutan, pepohonan maupun daerah pertanian yang telah
dieksploitasi untuk kepentingan industri, perumahan dan lain–lain sebagainya. Ini
memungkinkan kandungan oksigen berkurang karena lebih banyak sirkulasi gas
buang (karbondioksida) yang dihasilkan. Keberadaan ini memberikan efek panas
pada cuaca seperti yang kita rasakan.
33
Hal tersebut pencipta hadirkan melalui sapuan warna merah dan hitam
yang dituang secara ekspresif mendominasi bidang lukis sebagai simbol semakin
sedikitnya ruang hijau yang tersisa di tengah kehidupan kita sekarang ini. Warna
putih dihadirkan sebagai simbol menipisnya udara akibat pemanasan global. Garis
merah yang membentuk tanda silang sebagai penekanan pesan bahwa kita berada
pada kondisi lingkungan yang memprihatinkan.
34
Foto 11 : Karya 3
Judul : Ramah Tanahku Terjamah
Ukuran : 210 cm x 180 cm (3 panel) Media : Mixed media
Tahun : 2011 Foto : Pencipta
Bali yang dikenal sebagai daerah ramah dengan keindahan alam dan
kebudayaannya, sekarang menjadi objek penderita oleh orang-orang yang lebih
banyak berorientasi kepada keuntungan materi semata tanpa peduli dengan
keseimbangan lingkungannya. Menjamurnya daerah industri, kawasan pariwisata,
bertambahnya pembangunan pemukiman penduduk adalah contoh bagaimana
manusia telah mengorbankan lingkungannya.
35
Manusia cenderung tidak lagi menempatkan kearifan nilai Tri Hita Karana
yang seharusnya menjadi bingkai dalam segala bentuk perilaku manusia di
dalamnya.
Dari hal tersebut pencipta wujudkan dalam karya instalasi dua dimensi yang
ditampilkan dalam tiga panel. Media kayu yang dibakar pada bagian atas panel, di
mana masing-masing kayu pada panel mewakilkan warna merah, putih dan hitam
sebagai bagian dari Tri Datu melambangkan bagaimana manusia cenderung
merusak nilai kearifan lokal (Hindu) salah satunya konsep Tri Hita Karana.
Goresan serta sapuan warna merah dan hitam pada bidang lukis melambangkan
kondisi alam Bali secara keseluruhan telah mengalami penyusutan lahan hija u.
Paku-paku yang tertancap pada bidang lukis sebagai pertanda berbagai
kepentingan manusia yang telah mencederai Bali.
36
Foto 12 : Karya 4
Judul : Mutilasi Pertiwi Ukuran : 50 cm X 70 cm
Media : Mixed Media Tahun : 2011 Foto : Pencipta
Melihat Bali dengan permasalahannya sekarang menimbulkan kesan
miris pada pencipta. Hilangnya bagian-bagian yang sejatinya menjadi unsur
keharmonisan menjadikan Bali sebagai korban mutilasi. Pemahaman nilai
berketuhanan dengan mengedepankan eksistensi fisik, pengerusakan alam
lingkungan yang mengarah kepada kondisi lebih parah serta pergeseran moral
manusia di dalamnya menjadikan Bali lambat laun akan kehilangan ruh.
Dalam wujud karya, ide tersebut dihadirkan dengan teknik kolase dimana
pencipta sengaja komposisikan dengan penempelan potongan-potongan kertas
yang menampilkan gambar bagian-bagian tubuh manusia sebagai simbol mutilasi
37
yang mewakilkan kondisi Bali yang tidak utuh lagi. Warna hitam di atas tempelan
gambar potongan tubuh dihadirkan sebagai lambang kegelapan (hilangnya ruh).
Susunan warna hitam putih sebagai simbol Rwa Bhineda yang mengelilingi
bidang karya dimana pada beberapa bagiannya direspon dengan warna merah
melambangkan telah terenggutnya sisi Bali melalui perilaku manusia yang tidak
lagi menghormati keberadaannya, baik sekala maupun niskala.
38
Foto 13 : Karya 5
Judul : Pohon yang Tersisa
Media : Mixed Media Tahun : 2011
Foto : Pencipta
Eksploitasi hutan memberi pengaruh yang besar terhadap keberadaan
lingkungan. Keberlanjutan proses tersebut hanya akan meninggalkan sisa dan
mengganggu keseimbangan alam secara keseluruhan. Ini tidak akan
membutuhkan waktu lama untuk melihat kehancuran hutan tersebut, yang tersisa
hanyalah lahan gersang dan kering.
Hal itu diwujudkan melalui karya instalasi dengan media kayu yang
bagian atasnya dibakar sebagai simbol sisa-sisa pohon yang telah mati. Kehadiran
warna cokelat dan merah pada beberapa batang kayu serta karakter daun dari
39
potongan pelat besi memberi kesan suasana gersang dan kering. Paku-paku yang
menancap pada beberapa batang kayu menyimbolkan keberadaan pohon yang
telah disakiti. Susunan warna hitam dan putih sebagai simbol Rwa Bhineda yang
mengelilingi satu pohon menegaskan bahwa kerusakan hutan (lingkungan) akan
mengganggu keharmonisan alam sekala dan niskala.
40
Foto 14 : Karya 6 Judul : Melihat Diri
Ukuran : 50 cm x 70 cm Media : Mixed Media
Tahun : 2011 Foto : Pencipta
Beragam kejadian yang mengganggu keharmonisan pada keseimbangan
setiap hubungan sesungguhnya lebih banyak sebagai dampak perilaku manusia.
Ini mestinya bisa dicermati sebagai kekeliruan kita memposisikan diri dalam
interaksi, baik terhadap alam sekala maupun niskala. Naluri untuk menguasai
sering menjebak manusia berbuat di luar hak atau kapasitasnya. Di tengah
permasalahan tersebut, akan lebih arif jika kita bisa mengambil waktu untuk
introspeksi diri, menentukan yang terbaik untuk keseimbangan kehidupan.
41
Ide tersebut diwujudkan dalam karya dengan teknik kolase dimana
pencipta menempelkan potongan-potongan kertas yang direspon dengan warna
dan garis membentuk figur manusia yang duduk bersila sebagai simbol sedang
melakukan introspeksi diri. Bidang hitam yang mengelilingi keseluruhan karya
sebagai lambang keberadaan alam niskala. Susunan warna hitam putih sebagai
simbol Rwa Bhineda yang berdampingan dengan kehidupan kita. Dengan
menyadari keadaan tersebut diharapkan manusia bisa menentukan sikap untuk
terciptanya keseimbangan alam lingkungan, sekala niskala.
42
Foto 15 : Karya 7
Judul : Tangga-tangga ke Rumah
Ukuran : 145 cm x 155 cm Media : Akrilik pada kanvas Tahun : 2010
Foto : Pencipta
Hadirnya berbagai keyakinan dan agama hendaknya tidak dimaknai
sebagai perbedaan yang keberadaannya harus dimusuhi. Ketidaksamaan itu bisa
dilihat sebagai pilihan yang pada akhirnya nanti membawa kita ke satu tempat
yang sama. Semua yang ada akan kembali kepada Tuhan. Yang terpenting
bagaimana kita mewujudkan keharmonisan dalam setiap unsur hubungan ;
berketuhanan, alam lingkungan dan antar manusia.
43
Pada karya pencipta, keragaman agama dan keyakinan dilambangkan
dengan pengolahan garis hitam yang membentuk tangga-tangga yang
dikomposisikan menyebar pada permukaan bidang lukis. Dominasi warna merah,
putih dan hitam sebagai lambang keteguhan, kemurnian diri dan pencarian jiwa
untuk “menaiki tangga-tangga” menuju satu tempat, rumah Tuhan. Kehadiran tiga
garis hitam yang melengkung sebagai tanda kedinamisan unsur-unsur hubungan
tersebut.
44
Foto 16 : Karya 8
Judul : Ritus Ruang Ukuran : 90 cm x 120 cm Media : Akrilik pada kanvas
Tahun : 2011 Foto : Pencipta
Aktifitas keagamaan umat Hindu di Bali identik dengan perayaan hari. Suatu
bentuk penghormatan kepada Sang Pencipta dan semua ciptaannya, dalam dunia
nyata (sekala) maupun alam yang tidak kasat mata (niskala). Pencipta meyakini
semua itu terangkum dalam ruang maha luas, yakni alam semesta.
Dalam tampilan karya, sapuan dan variasi goresan ekspresif dengan warna
hitam sebagai simbol jiwa yang meruang. Tiga pengasapan dihadirkan melalui
goresan ekspresif sebagai simbol Tri Murti (Brahma sebagai pencipta, Wisnu
sebagai pemelihara dan Siwa sebagai pelebur). Warna coklat, ungu dan merah
dihadirkan untuk menambah kesan magis.
45
Foto 17 : Karya 9
Judul : Tarian Semesta Ukuran : 185cm x 210cm Media : Akrilik pada kanvas
Tahun : 2011 Foto : Pencipta
Kehidupan dengan segala yang ada di dalamnya sebagai rangkaian
dinamis. Ide dari karya ini berasal dari keberadaan Tri Murti yang ada dalam
ajaran Hindu. Kehadiran, keberadaan dan proses kembali kepada awal diciptakan,
bisa “dicerna” sebagai “tarian” yang disuguhkan semesta dimana semua telah
diletakkan pada tempat yang semestinya.
Dalam tampilan karya dihadirkan melalui garis-garis putih berjejer pada
sebelah kanan atas karya sebagai simbol air hujan yang melambangkan
berlangsungnya kehidupan serta simbol api pada sebelah kiri atas karya yang
46
melambangkan proses peleburan (pengembalian kepada asal). Di antara
kedua simbol tersebut hadir goresan yang membentuk karakter kepala manusia
sehingga menciptakan kesan sedang menari dengan kedua tangan terangkat
dimana masing-masing tangan seolah menghadirkan air hujan dan api yang
melambangkan kedinamisan hidup.
47
Foto 18 : Karya 10
Judul : Jiwa yang Bergerak Ukuran : 145cm x 155cm Media : Akrilik pada kanvas
Tahun : 2010 Foto : Pencipta
Jiwa yang tidak bisa terlihat kasat mata tetapi keberadaannya dapat
dirasakan sebagai suatu paling mendasar yang dimiliki setiap makhluk. Ia menjadi
nafas yang menggerakkan unsur-unsur kehidupan. Dalam konteks Tri Hita
Karana, manusia sebagai pemegang peran terpenting terciptanya keharmonisan
setiap hubungan hendaknya menjaga kejujuran jiwa dengan selalu memberi ruang
interaksi dalam berketuhanan, alam lingkungan dan hubungan antar manusia.
48
Pada tampilan karya titik merah, putih dan hitam (pada kanan atas karya)
dipresentasikan sebagai perwujudan jiwa. Tanda tambah tapak dara (+) hadir
sebagai keharmonisan antara hubungan ketuhanan (vertikal), alam lingkungan
serta antar manusia (horisontal).
49
Foto 19 : Karya 11 Judul : Daun Kehidupan
Ukuran : 145 cm x 155 cm Media : Arang, akrilik pada kanvas
Tahun : 2011 Foto : Pencipta
Tidak bisa dipungkiri jika kita membutuhkan oksigen untuk bernafas.
Salah satu unsur yang membantu terciptanya oksigen adalah tumbuhan atau
pepohonan dari lembar-lembar daun yang dimilikinya. Setiap lembar daun
berperan penting dalam proses terciptanya oksigen untuk kehidupan semesta.
50
Dalam wujud karya, dengan karakter daun sebagai simbol kehidupan yang
dihadirkan melayang yang melambangkan pencarian esensi hidup itu sendiri.
Warna merah yang membentuk garis melintang pada atas bidang lukis memiliki
asosiasi kekuatan yang menaungi serta pengolahan warna putih sebagai latar
belakang melambangkan kesucian hidup.
51
Foto 20 : Karya 12
Judul : Mendaki Tanah Kelahiran Ukuran : 80 cm x 100 cm
Media : Akrilik pada kanvas Tahun : 2011
Foto : Pencipta Setiap tempat atau daerah memiliki kearifan ajaran yang bisa diambil
sebagai pegangan dalam perjalanan hidup. Ketika manusia hadir dalam kekinian
lengkap dengan segala permasalahannya maka menjadi kearifan juga bagi kita
lebih mengenal kembali tutur leluhur yang diwariskan dalam bentuk ajaran atau
pemahaman untuk mencapai keharmonisan dalam setiap unsur kehidupan.
Pada wujud karya, ide tersebut dihadirkan melalui dominasi warna merah,
putih dan hitam (Tri Datu) sebagai simbol tanah kelahiran pencipta. Dua karakter
tangga yang dihadirkan, yang pertama anak tangga dengan garis-garis hitam
melambangkan hidup sebagai perjalanan yang misterius dan susunan anak tangga
52
kedua dengan garis-garis merah melambangkan keteguhan dalam menjalani
kehidupan. Warna putih yang dikomposisikan pada bagian atas karya
melambangkan kemurnian yang menaungi setiap perjalanan dalam menapak
kembali kearifan-kearifan ajaran yang diwariskan.
53
Foto 21 : Karya 13
Judul : Vertikal Horizontal Ukuran : 185cm x 150cm Media : Arang, akrilik pada kanvas
Tahun : 2011 Foto : Pencipta
Di dalam tatanan kehidupan sosial maupun keagamaan kita bisa
menemukan banyak tanda atau lambang. Salah satunya adalah tanda tambah tapak
dara (+) yang terbentuk melalui garis vertikal dan horisontal dimana dalam
pemikiran pencipta melambangkan hubungan ketuhanan (vertikal) dan hubungan
54
antar manusia serta alam lingkungan (horisontal) yang dalam ajaran Hindu lebih
dikenal sebagai konsep Tri Hita Karana.
Pada wujud karya, tanda tambah tapak dara (+) tidak dihadirkan secara
utuh sebagai respon belum seimbangnya pelaksanaan konsep Tri Hita Karana
dalam kehidupan. Putih sebagai warna latar belakang melambangkan kemurnian,
bahwa pelaksanaan hubungan tersebut hendaknya didasari kejujuran dan
kemurnian diri. Kehadiran warna merah diasosiasikan sebagai kekuatan dan
keteguhan hati untuk terus berupaya menyeimbangkan hubungan tersebut guna
terciptanya keharmonisan.
55
Foto 22 : Karya 14
Judul : Pohon Hayat
Ukuran : 152 cm x 112 cm Media : Mixed media Tahun : 2011
Foto : Pencipta
Karya ini terinspirasi dari keberadaan pohon yang memegang peran
penting dalam kehidupan. Pohon bisa menjadi penyangga bencana tanah longsor,
banjir, penghasil oksigen dan lain sebagainya. Dalam perspektif Hindu di Bali,
pohon juga memiliki tempat khusus dengan adanya perayaan hari Tumpek Uduh
yaitu hari sebagai penghormatan kepada pepohonan (tumbuhan) untuk
keseimbangan alam.
56
Ide tersebut diwujudkan dalam bidang lukis dengan media fiber yang
dibentuk mewakili karakter pohon. Pengolahan warna melalui sapuan maupun
goresan mampu menampilkan beragam warna yang melambangkan dinamika
kehidupan. Tanda tambah tapak dara (+) dengan warna putih melambangkan
kehadiran pohon yang berperan dalam menciptakan keharmonisan vertikal
(ketuhanan) dan horisontal (alam lingkungan serta kehidupan manusia).
57
Foto 23 : Karya 15
Judul : Harmoni Dalam Tiga Ukuran : 185 cm x 330 cm (3 panel)
Media : Akrilik pada kanvas Tahun : 2010 - 2011
Foto : Pencipta
Nilai yang tercakup dalam konsep Tri Hita Karana adalah keharmonisan
hubungan ketuhanan, alam lingkungan dan antar manusia. Ketiganya bisa hadir
dalam keharmonisan ketika kita sebagai manusia mampu menghormati dan
menempatkan setiap unsur tersebut dalam tatanan keseimbangan.
Karya “Harmoni Dalam Tiga” terdiri dari tiga panel yang mewakili
masing-masing unsur dalam konsep Tri Hita Karana. Panel pertama sebagai
unsur ketuhanan diwakilkan oleh garis melengkung dengan warna putih
(melambangkan kesucian) dengan latar belakang warna hitam (melambangkan
misteri) pada bagian atas bidang lukis. Panel kedua diwakilkan oleh karakter daun
sebagai lambang alam lingkungan dan panel ketiga melalui goresan ekspresif
figur kepala dan tangan manusia yang sedang bersujud sebagai lambang
penghormatan kepada masing-masing unsur tersebut.
58
Secara keseluruhan warna pada tampilan karya mewakili keterkaitan
terhadap kehidupan. Merah melambangkan cinta, putih sebagai kemurnian, coklat
perlambang rendah hati, hitam lambang misteri, serta hijau dan ungu yang
melambangkan perenungan dan kepercayaan (agama).
59
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Dalam Tri Hita Karana keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan
(parhyangan), alam lingkungan (palemahan) dan antar manusia
(pawongan) menjadi unsur-unsur yang dapat menciptakan kebahagiaan
lahir bathin. Tetapi di sisi lain pencipta mengamati adanya fenomena
terbalik bahwa dalam keseharian masyarakat belum sepenuhnya ada dalam
tatanan konsep yang mengakibatkan terganggunya kualitas hubungan
ketiga unsur tersebut. Dampak terbesar ketidakseimbangan perilaku
manusia adalah terganggunya alam lingkungan yang langsung atau tidak
akan berpengaruh juga kepada kualitas hidup manusia. Hal ini pencipta
jadikan landasan menciptakan karya seni sebagai ekspresi atas esensi nilai
Tri Hita Karana serta dampak dari kontrakdiksi penjabarannya.
Gencarnya pemerintah beserta instansi terkait memasyarakatkan konsep
Tri Hita Karana, kiranya akan lebih efektif jika didukung “aksi kultural”
(salah satunya seni rupa) yang bisa menyentuh dan mengilhami
masyarakat luas. Ini menjadi ide penciptaan karya yang dalam
perwujudannya menggabungkan unsur-unsur seni rupa dengan pengolahan
beberapa media menjadi karya seni lukis abstrak dan instalasi.
5.1.2 Dalam rangka memperkuat struktur karya yang mengambil Tri Hita
Karana sebagai konsep penciptaan diperlukan beberapa sumber kajian
yaitu tinjauan sumber tertulis yang bisa dihadirkan dari buku-buku yang
berhubungan dengan Tri Hita Karana dan konsep penciptaan sebagai
bahan referensi serta sumber kajian dari karya-karya seniman lain yang
berkaitan dengan proses perwujudan karya pencipta.
60
5.1.3 Proses penciptaan karya seni lukis pencipta menggunakan elemen seni
rupa seperti garis, warna, tekstur, bidang, pusat perhatian dan lain- lain.
Dalam perwujudannya di samping karya pencipta hadir sebagai karya lukis
dengan menggunakan berbagai bidang media seperti kanvas, kardus, fiber
dan kertas juga hadir dalam karya instalasi dua dimensi dengan media
kayu, paku dan plat besi. Kemampuan teknik baik dari segi pengolahan
bahan maupun memvisualkan ide-ide dalam wujud karya melalui elemen-
elemen seni rupa menjadi hal yang menentukan terciptanya karya yang
sarat nilai estetis.
5.2 Saran-saran
5.2.1 Kepada Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar diharapkan terus
mengusahakan pengadaan sumber informasi yang berguna dalam proses
belajar mengajar seperti pengadaan buku, jurnal, katalog dan literatur lain
yang berkaitan dengan wilayah seni rupa untuk perkembangan wawasan
mahasiswa.
5.2.2 Bagi mahasiswa (khususnya yang mengambil jurusan seni lukis)
hendaknya lebih menggali kearifan budaya lokal untuk menambah
referensi konsep yang bisa dijadikan pertimbangan untuk proses
penciptaan karya seni lukis. Di samping itu diharapkan terus
meningkatkan kecerdasan yang salah satunya dengan memanfaatkan
pendidikan kampus sebagai sarana pembelajaran untuk memperluas
wawasan kesenian dan wacana yang berkembang.
5.2.3 Untuk masyarakat luas sekiranya mesti kembali memahami esensi nilai
kehidupan yang diterapkan kepada setiap bentuk hubungan dalam hal
berketuhanan, alam lingkungan dan interaksi antar manusia sehingga
keharmonisan pada setiap unsur kehidupan dapat terlaksana dengan baik.
61
DAFTAR PUSTAKA
Artadi, I Ketut. 2003. Batas Kebudayaan Religi dan Kebajikan, Sinay, Denpasar.
Arwati, Ni Made. 2006. Membangun Perumahan Umat Hindu, Paramita,
Surabaya. Bangun, Sem. C. 2000. Kritik Seni Rupa, ITB, Bandung
Bentara Budaya Bali. 2010. Integritas Jiwa Tampak, Katalog, Bentara Budaya
Bali. Byrne, Rhonda. 2010. Secret The Power, terj. Rani Moediarta, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Capra, Fritjof. 2001. Tao Of Physics : Menyingkap Paralelisme Fisika Modern dan Mistisme Timur, terj. Pipit Maizier, Edisi Pertama, Jalasutra Offset. Yogyakarta.
Djelantik, A. A. M. 1999. Estetika Sebuah Pengantar, Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia, Bandung. Gie, The Liang. 1999. Filsafat Seni, Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB),
Yogyakarta.
Jana, I Made. 2005. Dasar-Dasar Keindahan Desain Dalam Seni Rupa, Buku Ajar, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar, Denpasar.
Kartika, Dharsono Sony. 2004. Seni Rupa Modern, Rekayasa Sains, Bandung.
Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mantra, I.B. 1987. Bhagawadgita : Naskah Sanskerta, Pemda Tingkat I Bali.
Marhiyanto, Bambang. 2000. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Media Centre,
Surabaya.
Pendit, Nyoman S. 1996. Hindu Dharma Abad XXI : Kesejahteraan Global Bagi
Umat Manusia, Cetakan Pertama, Yayasan Dharma Naradha, Denpasar. Plekhanov, G. 2006. Seni dan Kehidupan Sosial terj. Samanjaya, Ultimus,
Bandung.
62
Pollock-Krasner Foundation / Artists Rights Society, New York, www.google.com
Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia : Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suryahadi. 1994. Pengembangan Kreativitas Melalui Karya Seni Rupa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Susanto, Mikke. 2002. Diksi Rupa : Kumpulan Istilah Seni Rupa, Kanisius,
Yogyakarta.
____________. 2003. Membongkar Seni Rupa, Jendela, Yogyakarta. Suwantana, I Gede. 2011. Upacara Persembahan dan Tendensi Perubahannya,
Media Hindu, Edisi 84 Halaman 8, Bekasi.
Suwarjono, Dan. 1985. Seni Rakyat Yang Kreatif, Apresiasi Seni, PT. Pembangunan Jaya, Jakarta.
Tim. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.
Yudha, I Made Bendi. 2005. Skrip, Program Pascasarjana Penciptaan Seni, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Wiana, I Ketut. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu, Paramita, Surabaya.
Willem de Kooning Foundation / Artists Rights Society, New York,
www.google.com
63
GLOSSARIUM
Brahma : Manifestasi Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi yang menciptakan
alam semesta.
Gamelan : Seperangkat alat musik tradisional yang dimainkan pada saat tertentu, misalnya untuk mengiringi prosesi upacara keagamaan dan pelaksanaan kegiatan lain.
Kekawin : Karya sastra yang merupakan gubahan yang berbentuk puisi
yang struktur pembentukannya berpedoman pada guru lagu. Niskala : Alam gaib. Keberadaan alam yang tidak bisa dilihat melalui
penglihatan kasat mata.
Palemahan : Lingkungan atau wilayah territorial dari suatu tempat yang telah ditentukan secara definitif.
Parhyangan : Tempat atau kawasan yang disucikan (pura) untuk pemujaan Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi.
Pawongan : Manusia yang bermasyarakat dan bertempat tinggal pada
satu wilayah tertentu.
Pengasapan : Alat yang dipakai tempat dupa atau kemenyan yang telah
dibakar untuk melengkapi sarana ritual persembahan atau upacara keagamaan.
Rerajahan : Gambar atau lukisan yang diwujudkan pada media tembaga, perak, emas, kertas, kain dan media lain yang mengandung
kekuatan gaib/magis. Pada rerajahan bisa juga dikombinasikan dengan aksara Bali.
Rwa Bhineda : Dua hal yang berbeda, mengandung arti yang berlawanan yang selalu ada pada kehidupan, misalnya atas bawah, baik
buruk, sekala niskala dan lain- lain. Sekala : Alam nyata. Lingkungan yang bisa dilihat melalui indera
mata.
Siwa : Tuhan/Sang Hyang Widhi yang diyakini bertugas dalam proses peleburan alam beserta isinya.
64
Tapak Dara : Tanda yang dibentuk dari garis vertikal dan horisontal yang
dikomposisikan membentuk tanda tambah (+) yang dalam ajaran Hindu sebagai simbol keselamatan.
Tri Datu : Warna merah, putih dan hitam, simbol Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Iswara) sebagai lambang kekuatan dan kesehatan.
Tri Hita Karana : Tiga penyebab kebahagiaan, yaitu keharmonisan hubungan
ketuhanan (parhyangan), antar manusia (pawongan) dan
lingkungan (palemahan).
Tri Murti : Tiga kekuatan Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi yang menjadi satu kesatuan; Brahma sebagai pencipta yang dilambangkan dengan warna merah, Wisnu sebagai pemeliharaan yang
dilambangkan dengan warna hitam dan Siwa sebagai pelebur yang dilambangkan dengan warna putih.
Tumpek Uduh : Salah satu hari raya dalam ajaran Hindu di Bali sebagai
upacara penghormatan terhadap keberadaan pepohonan atau
tumbuhan (lingkungan) untuk terciptanya keseimbangan alam.
Wisnu : Manifestasi Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi yang memelihara
alam beserta isinya.