trauma

35
Trauma (Or) Written by Henny Friday, 16 September 2011 10:39 PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi yang sangat pesat pada saat ini dan tingkat pertumbuhan penduduk yang terus bertambah pula populasinya, maka diperlukan adanya sarana dan prasarana transportasi yang memadai dari segi kualitas maupun kuantitas. Berbagai merek kendaraan bermotor telah merambah di berbagai wilayah di Indonesia, tidak hanya di daerah perkotaan saja namun juga di wilayah pelosok negeri ini, bahkan di daerah pegunungan tidak mau ketinggalan untuk memiliki kendaraan bermotor. Tentu saja tidak hanya jenis kendaraan bermotor roda dua (sepeda motor) melainkan kendaraan beroda empat (mobil), kendaraan transportasi umum sampai kendaraan transportasi beroda enam. Baik kendaraan pribadi maupun milik perusahaan maupun milik kelembagaan sudah tidak asing lagi bagi penduduk di Indonesia. Begitu juga halnya dengan kota Mataram. Sebagai ibu kota Propinsi NTB, kota Mataram mengalami perubahan yang pesat beberapa tahun terakhir terutama dari segi pembangunan infrastruktur baik jalan, gedung maupun fasilitas umum lainnya. Fasilitas jalan di kota Mataram juga telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga dibeberapa ruas jalan tertentu di dalam kota telah dilakukan pelebaran jalan dan jalan-jalan yang mengalami kerusakan juga telah dilakukan perbaikan. Sementara itu perilaku orang dalam penggunaan jalan pada saat ini mengalami hal-hal yang sangat kompleks, karena dengan semakin banyaknya kendaraan bermotor yang ada di jalan tidak disertai dengan bertambahnya panjang jalan. Sehingga masalah yang timbul di jalan pun semakin banyak, kepadatan lalu lintas di berbagai tempat yang disebabkan oleh banyaknya pengguna jalan terutama kendaraan bermotor menyebabkan kemacetan jalan serta kerawanan kecelakaan lalu lintas. Setiap orang bebas untuk dapat memiliki kendaraan sesuai dengan kemampuan ekonomi, maka tidak tanggung-tanggung bagi orang yang memiliki ekonomi yang lebih dapat memiliki kendaraan lebih dari satu. Kondisi ini tampak jelas bagi pengalaman penulis dalam 5 tahun terakhir. Saat penulis dulu masih bersekolah di salah satu SMA di pusat kota Mataram jumlah siswa yang membawa kendaraan motor beroda dua masih bisa tertanggulangi dengan lokasi lapangan parkir yang disediakan pihak sekolah. Namun saat ini lokasi parkir yang disediakan sekolah sudah mencukupi lagi untuk lahan parkir motor

Upload: sukmaadityaputra

Post on 05-Aug-2015

214 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Trauma

Trauma (Or)Written by HennyFriday, 16 September 2011 10:39

PENDAHULUANI.1. Latar Belakang

Perkembangan teknologi yang sangat pesat pada saat ini dan tingkat pertumbuhan penduduk yang terus bertambah pula populasinya, maka diperlukan adanya sarana dan prasarana transportasi yang memadai dari segi kualitas maupun kuantitas. Berbagai merek kendaraan bermotor telah merambah di berbagai wilayah di Indonesia, tidak hanya di daerah perkotaan saja namun juga di wilayah pelosok negeri ini, bahkan di daerah pegunungan tidak mau ketinggalan untuk memiliki kendaraan bermotor. Tentu saja tidak hanya jenis kendaraan bermotor roda dua (sepeda motor) melainkan kendaraan beroda empat (mobil), kendaraan transportasi umum sampai kendaraan transportasi beroda enam. Baik kendaraan pribadi maupun milik perusahaan maupun milik kelembagaan sudah tidak asing lagi bagi penduduk di Indonesia. Begitu juga halnya dengan kota Mataram. Sebagai ibu kota Propinsi NTB, kota Mataram mengalami perubahan yang pesat beberapa tahun terakhir terutama dari segi pembangunan infrastruktur baik jalan, gedung maupun fasilitas umum lainnya. Fasilitas jalan di kota Mataram juga telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga dibeberapa ruas jalan tertentu di dalam kota telah dilakukan pelebaran jalan dan jalan-jalan yang mengalami kerusakan juga telah dilakukan perbaikan.

Sementara itu perilaku orang dalam penggunaan jalan pada saat ini mengalami hal-hal yang sangat kompleks, karena dengan semakin banyaknya kendaraan bermotor yang ada di jalan tidak disertai dengan bertambahnya panjang jalan. Sehingga masalah yang timbul di jalan pun semakin banyak, kepadatan lalu lintas di berbagai tempat yang disebabkan oleh banyaknya pengguna jalan terutama kendaraan bermotor menyebabkan kemacetan jalan serta kerawanan kecelakaan lalu lintas. Setiap orang bebas untuk dapat memiliki kendaraan sesuai dengan kemampuan ekonomi, maka tidak tanggung-tanggung bagi orang yang memiliki ekonomi yang lebih dapat memiliki kendaraan lebih dari satu. Kondisi ini tampak jelas bagi pengalaman penulis dalam 5 tahun terakhir. Saat penulis dulu masih bersekolah di salah satu SMA di pusat kota Mataram jumlah siswa yang membawa kendaraan motor beroda dua masih bisa tertanggulangi dengan lokasi lapangan parkir yang disediakan pihak sekolah. Namun saat ini lokasi parkir yang disediakan sekolah sudah mencukupi lagi untuk lahan parkir motor siswa karena membludaknya jumlah siswa yang membawa motor sehingga halaman sekolah terpaksa dialihfungsikan menjadi lahan parkir sepeda motor.

Perubahan kondisi ini menunjukkan semakin membaiknya tingkat perekonomian masyarakat Mataram. Namun, hal ini juga menambah konsekuensi baru yaitu semakin banyak pengguna jalan maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya pelanggaran lalu lintas dijalan. Dan hal ini berujung pada semakin besarnya jumlah korban yang akan menderita karena kecelakaan yang terjadi di jalan. Dengan keadaan tersebut berarti terdapat sesuatu perubahan dari kondisi sebelumnya yang tidak dibarengi dengan kesadaran dari pengguna jalan untuk tertib dalam berlalu lintas, sehingga dengan hal itu memerlukan perencanaan yang matang dan terarah, sehingga tujuan yang diinginkan oleh masyarakat luas dapat tercapai. Jalan dalam bentuk apapun terbuka untuk lalu lintas, sebagai sarana dan prasarana perhubungan yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Setiap pengguna jalan wajib turut serta terlibat dalam menciptakan situasi yang kondusif dan lalu lintas yang tertib dan lancar. Ketertiban lalu lintas merupakan keadaan dimana manusia dalam mempergunakan jalan

Page 2: Trauma

secara teratur, tertib dan lancar atau bebas dari kejadian kecelakaan lalu lintas. Maka dalam hal ini diperlukan aturan hukum yang dapat mengatur lalu lintas untuk mewujudkan ketertiban dalam berlalu lintas.

Oleh karena itu perlu adanya riset dan prevensi untuk masalah trauma dan perlu adanyapenyedian sarana-prasarana yang memadai yang meliputi Ambulans Gawat Darurat dan Rumah Sakit Rujukan. Selain itu perlu adanya suatu sistem yang terintegrasi antara fase pra rumah sakit-rumah sakit-paska rumah sakit.

I.2. Rumusan masalahDalam penelitian ini perumusan masalahnya ialah : Bagaimanakah gambaran kasus trauma

yang ditangani oleh RSUP NTB selama periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009?I.3. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk : Mendapatkan gambaran mengenai kasus trauma yang ditangani oleh RSUP NTB baik trauma akibat kecelakaan lalulintas, kecelakaan kerja, kecelakaan dalam rumah tangga atau kecelakaan karena sebab eksternal yang lain yang menjalani rawat jalan maupun rawat inap di RSUP NTB selama periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009.

I.4. Manfaat penelitianManfaat yang dapat diperoleh dengan dilakukannya penelitian antara lain :

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi gambaran mengenai kasus trauma yang ditangani oleh RSUP NTB.

2. Penelitian ini secara akademik diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan rotasi klinik di Staf Fungsional Medik Bedah pada RSUP NTB/Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.

TINJAUAN PUSTAKA2.1. Gambaran umum kasus trauma

Di Amerika Serikat, jumlah dollar yang dikeluarkan setiap tahun yang berkaitan dengan traumamelampaui $400 milyar dollar. Biaya ini meliputi hilangnya pemasukan, pengeluaran medis, biaya administrasi asuransi, kerugian material, kerugian yang dikeluarkan majikan/perusahaan, dan biaya tidak langsung yang berkaitan dengan cedera karena pekerjaan. Dari dana sebesar itu hanya sedikit saja yang disisihkan untuk melakukan riset hal-hal yang berkaitan dengan trauma. Padahal kematian tragis akibat trauma sebagian besar terjadi pada usia muda yang masih produktif.

Pada tahun 1990, cedera akibat trauma menyebabkan 3.2 juta kematian dan 312 juta penderita diseluruh dunia yang memerlukan perhatian. Pada tahun 2000, kematian mencapai 3.8 juta dan pada tahun 2020 cedera/trauma akan merupakan penyebab kematian tertinggi kedua atau ketiga untuk semua kelompok umur. Keadaan ini merupakan penyebab kematian pada setiap manusia umur 1-44 tahun dinegara maju dan berkembang, dan akan menjadi masalah kesehatan setelah penyakit menular dapat dihapus.

Di 39 negara yang mempunyai data lengkap, didapat bahwa 70% kematian dan cedera disebabkan oleh kecelakaan lalulintas. Diantara 10 negara tersebut, KLL merupakan penyebab kematian dan cedera nomor 2. Kecacatan Akibat cedera/trauma di Amerika Serikat dan Portugal mencapai 3 : 1 dibanding dengan kematian. Di Amerika Serikat tiap tahun terdapat 60 juta cedera/trauma yang menyebabkan adanya 36.8 juta kunjungan ke Unit Gawat Darurat (UGD). Ini merupakan 40% dari semua kunjungan ke UGD. 54% daripadanya adalah anak-anak berumur antara 5-14 tahun. Untuk setiap kematian ada 19 penderita dirawat, 233 kunjungan ke

Page 3: Trauma

UGD dan 450 kunjungan ke dokter yang berkaitan dengan trauma.Data tersebut diatas menunjukan bahwa penanggulangan cedera akibat trauma

mengkonsumsi secara signifikan sarana kesehatan dari setiap negara. Cedera/trauma merupakan suatu penyakit. Ada Host-nya (penderita) dan ada Vektor-nya (kendaraan, senjata api, mesin dll). Banyak usaha yang telah dilakukan untuk menghapus penyakit menular, penyakit jantung dan kanker. Tetapi hanya sedikit perhatian masalah penanggulangan cedera/trauma. Padahal sebagian besar yang mengalami trauma adalah generasi muda yang masih produktif.

2.2. Gambaran umum kasus trauma akibat kecelakaan lalu lintasKorban yang dirawat di rumah sakit karena cedera sekitar 60% karena kecelakaan lalu lintas.

Data kecelakaan lalu lintas dari tahun 1988-1993 dan 1994-1996 menunjukkan bahwa jumlah kecelakaan lalu lintas menurun, tetapi jumlah korban meninggal masih tetap tinggi yaitu di atas 10.000 per tahun untuk tahun 1988-1993, dan meningkat menjadi 11.000 pada tahun 1994-1996.

Kalau dihitung rata-rata per harinya, pada tahun 1993 jumlah kecelakaan lalu lintas di Indonesia adalah 48 kali, dengan jumlah korban meninggal dunia 28 luka berat 32 dan luka ringan 35 orang. Rata-rata yang meninggal naik menjadi 30 per hari untuk tahun 1994 dan meningkat lagi menjadi 34 per hari untuk Semester 1 1997. Kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk maka rasio penderita meninggal untuk korban tahun 1988-1993 berkisar antara 5,19-5,98 per 100.000 penduduk.

Angka Kecelakaan Lalu Lintas diwilayah Nusa Tenggara Barat relatif masih tinggi sehinggamenyebabkan banyak korban meninggal dunia dan luka-luka. Korban meninggal dunia dan luka luka akibat kelalaian berlalu lintas di wilayah NTB masih mendominasi pemberian klaim santunan asuransi Jasa Raharja di Daerah ini hingga akhir Juli 2009 sudah mencapai 12 Milyar 892 Juta Lebih sementara dibanding dengan Periode yang sama tahun 2008 hanya berkisar 8 Milyard 132 juta Rupiah.

Jumlah kecelakan lalu lintas dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal ini disebabkan olehketidakseimbangan antara pertambahan jumlah kendaraan (14-15% per tahun) dengan pertambahan prasarana jalan hanya sebesar 4% per tahun. Lebih dari 80% pasien yang masuk ke ruang gawat darurat adalah disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda, dan penyeberang jalan yang ditabrak. Sisanya merupakan kecelakaan yang disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda, olah raga, dan korban kekerasan.

2.3. Definisi2.3.1. Definisi Kecelakaan

Beberapa definisi dari kecelakaan yaitu :1. Suatu rentetan kejadian yang biasanya mengakibatkan kematian, luka atau kerusakan harta

benda yang tidak disengaja dan terjadi di jalan atau tempat yang terbuka untuk umum dan digunakan untuk lalulintas kendaraan (National Safety Council, 1996)

2. Suatu peristiwa di jalan raya yang tidak disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda. Korban kecelakaan lalulintas dapat berupa korban mati, luka berat dan luka ringan dan diperhitungkan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan terjadi (PP No. 43 Tahun 1993 ttg Prasarana dan Lalulintas Jalan)

3. Suatu peristiwa yang terjadi akibat kesalahan fasilitas jalan dan lingkungan, kendaraan serta pengemudi sebagai bagian dari sistem lalulintas, baik berdiri sendiri maupun saling terkait ( Carter, 1978)

Penggolongan kecelakaan lalu lintas

Page 4: Trauma

1. Kecelakaan lalu lintas ringan merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan /atau barang

2. Kecelakaan lalu lintas sedang merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang

3. Kecelakaan lalu lintas berat merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat (UU No 22 tahun 2009)

2.3.2. Definisi JalanJalan adalah seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau serta di atas permukaan air kecuali jalan rel dan jalan kabel (UU No 22 Tahun 2009).Bagian-bagian jalan1. RUMAJA (Ruang Manfaat Jalan) : ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi dan

kedalaman tertentu yg ditetapkan oleh penyelenggara jalan yg bersangkutan berdasarkan pedoman yg ditetapkan oleh Menteri. Yang hanya diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan dan bangunan pelengkap lainnya.

2. RUMIJA (Ruang Milik Jalan) : terdiri dari ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yg diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan dan pelebaran jalan maupun penambahan jalur lalulintas di kemudian hari serta kebutuhan ruangan utk pengamanan jalan.

3. RUWASJA (Ruang Pengawasan Jalan) : ruang tertentu di luar ruang milik jalan yg penggunaannya ada di bawah pengawasan penyelenggaran jalan. Ruang ini diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan.

Klasifikasi jalan :1. Segmen : jalan perkotaan, jalan luar kota, simpang, ruas, dll (MKJI 1997)2. Fungsi Jalan : arteri, kolektor, lokal, lingkungan (UU 38 Th 2004)3. Peranan Jalan : arteri primer, sekunder, dll (PP 26 Th 1985)4. Kelas Jalan : Kelas I, II, III (PP 43 Th 1993)5. Wewenang Pembinaan Jalan : nasional, provinsi, kota/kabupaten, desa6. Medan Jalan : datar, pegunungan (geometri)

2.3.3. Definisi Data Kecelakaan1. Data Utama (Primary Base Data) : jumlah kecelakaan, waktu, lokasi, klasifikasi jalan, kondisi

jalan (kering, basah, berlumpur, pasir), keparahan, jenis kendaraan yg terlibat, umur dan jenis kelamin pengemudi, uraian singkat gerakan pemakai jalan.

2. Data Tambahan (Supplementary Base Data) : kondisi APILL atau Non APILL, objek benturan, kerusakan jalan, cuaca, kondisi penerangan jalan (bila kecelakaan terjadi malam hari).

3. Data Pelengkap (Complementary Data) : gerakan kendaraan atau pengemudi (menyiap, lurus, belok, dll), gerakan pejalan kaki (menyeberang, berjalan di pinggir, dll), kondisi fisik, penggunaan alat2 keselamatan (safety belt, helm, dll), kerusakan kendaraan (lampu berfungsi atau tidak, rem, dll)

4. Data Administrasi : nama jalan, nama kantor polisi terdekat yg melapor, nama petugas pencatat kecelakaan, nama alamat no sim pengemudi, pemilik kendaraan, nomor

Page 5: Trauma

kendaraan (plat), nama dan alamat saksi, pernyataan pengemudi korban saksi, perkiraan kerusakan kendaraan

2.3.4. Definisi Korban TraumaYang dimaksud dengan korban trauma adalah korban yang mengalami gangguan fisik, yaitu berupa benturan dengan benda keras. Penyebab terjadinya benturan bisa bermacam-macam, seperti jatuh, kejatuhan benda, atau kecelakaan lalu lintas.Berdasarkan tingkat cideranya, korban trauma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu trauma ringan (non significant) dan berat (significant). Korban dikatakan trauma ringan bila mengalami cidera yang kemungkinan kematian dan cacatnya kecil, seperti terkilir, luka bakar ringan, terpeleset, dan lain-lain. Korban dikatakan trauma berat jika kemungkinan kematian atau cacat permanennya besar. Cidera yang dikelompokkan dalam trauma berat antara lain:1. terlempar dari kendaraan bermotor yang melaju kencang2. kecelakaan mobil hingga terbalik3. jatuh dari ketinggian lebih dari 2 meter4. kecelakaan dengan patah tulang besar (seperti tulang paha)5. kecelakaan banyak penumpang, seorang penumpang meninggal, maka orang di sebelah

orang tersebut dikategorikan trauma berat6. korban yang tidak sadar dan tidak diketahui mekanisme kejadiannya dianggap trauma berat

2.4. Faktor yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan lalu lintasAda tiga faktor utama yang menyebabkan terjadikanya kecelakaan, pertama adalah faktor

manusia, kedua adalah faktor kendaraan dan yang terakhir adalah faktor jalan. Kombinasi dari ketiga faktor itu bisa saja terjadi, antara manusia dengan kendaraan misalnya berjalan melebihi batas kecepatan yang ditetapkan kemudian ban pecah yang mengakibatkan kendaraan mengalami kecelakaan. Disamping itu masih ada faktor lingkungan, cuaca yang juga bisa berkontribusi terhadap kecelakaan.

1. Faktor manusiaFaktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam kecelakaan. Hampir semua kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran rambu-rambu lalu lintas. Pelanggaran dapat terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan terhadap arti aturan yang berlaku ataupun tidak melihat ketentuan yang diberlakukan atau pula pura-pura tidak tahu. Selain itu manusia sebagai pengguna jalan raya sering sekali lalai bahkan ugal ugalan dalam mengendarai kendaraan, tidak sedikit angka kecelakaan lalu lintas diakibatkan karena membawa kendaraan dalam keadaan mabuk, mengantuk, dan mudah terpancing oleh ulah pengguna jalan lainnya yang mungkin dapat memancing gairah untuk balapan.

1. Faktor kendaraanFaktor kendaraan yang paling sering terjadi adalah ban pecah, rem tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, kelelahan logam yang mengakibatkan bagian kendaraan patah, peralatan yang sudah aus tidak diganti dan berbagai penyebab lainnya. Keseluruhan faktor kendaraan sangat terkait dengan technologi yang digunakan, perawatan yang dilakukan terhadap kendaraan.Untuk mengurangi faktor kendaraan perawatan dan perbaikan kendaraan diperlukan, disamping itu adanya kewajiban untuk melakukan pengujian kendaraan bermotor secara reguler.

1. Faktor jalanFaktor jalan terkait dengan kecepatan rencana jalan, geometrik jalan, pagar pengaman di daerah pegunungan, ada tidaknya median jalan, jarak pandang dan kondisi permukaan jalan. Jalan yang rusak/berlobang sangat membahayakan pemakai jalan terutama bagi pemakai sepeda motor.

Page 6: Trauma

1. Faktor CuacaHari hujan juga mempengaruhi unjuk kerja kendaraan seperti jarak pengereman menjadi lebih jauh, jalan menjadi lebih licin, jarak pandang juga terpengaruh karena penghapus kaca tidak bisa bekerja secara sempurna atau lebatnya hujan mengakibatkan jarak pandang menjadi lebih pendek. Asap dan kabut juga bisa mengganggu jarak pandang, terutama di daerah pegunungan.

2.5. Klasifikasi ICD 10 WHO ( International Classification of Disease revisi 10)Berdasarkan Klasifikasi S00-99 yaitu trauma yang disebabkan oleh penyebab eksternal.

Tabel 1. Klasifikasi kasus trauma berdasarkan ICD 10No Kode ICD 10 Keterangan1 S00-S09 trauma pada kepala2 S10-S19 trauma pada leher3 S20-S29 trauma pada thorak4 S30-S39 trauma pada abdomen, punggung bawah,

tulang belakang lumbar dan pelvis5 S40-S49 bahu dan lengan atas6 S50-S59 bahu dan lengan atas7 S60-S69 pergelangan tangan dan tangan8 S70-S79 punggung dan tungkai atas9 S80-S89 lutut dan tungkai bawah10 S90-S99 pergelangan kaki dan kaki11 T00-T07 melibatkan regio tubuh multipel12 T08-T14 regio tubuh tidak spesifik

Sumber: www.who.com2.6. Injury scale (skor trauma)

1. AISAbbreviated Injury Scale (AIS) adalah sistem skoring anatomis yang pertama kali

diperkenalkan pada tahun 1969. sejak itu, skor ini telah mengalami revisi dan update sehingga cukup akurat untuk menilai tingkat keparahan trauma. Revisi terbaru skor AIS adalah pada tahun 1990.

Trauma diurutkan dalam skala 1 sampai 6, dimana 1 adalah trauma minor, 5 adalah trauma berat/parah, dan 6 adalah unsurvival. Skala ini menunjukkan bahaya trauma terhadap kehidupan dan tidak menunjukkan keparahan kasus secara keseluruhan. AIS bukan merupakan skala trauma, dimana perbandingan antara skor AIS1 dan AIS 2 tidak sama dengan perbandingan antara skor AIS 4 dan AIS 5.AIS Score Injury1 Minor2 Moderate3 Serious4 Severe

5 Critical6 Unsurvivable

2. ISSInjury Severity Score (ISS) adalah sistem skoring anatomis yang dapat digunakan untuk

mengevaluasi traua secara keseluruhan pada korban dengan trauma multipel. Masing-masing

Page 7: Trauma

trauma dideskripsikan dalam skor AIS berdasarkan 6 regio tubuh utama yaitu kepala, wajah, dada, perut, ekstremitas (termasuk pelvis) dan ekstenal. Hanya skor tertinggi AIS yang digunakan untuk mesing-masing regio tubuh. 3 regio tubuh dengan tingkat keparahan terbesar skor AISnya di kuadratkan 3 dan dinilai bersamaan dalam skor ISS.

Contoh kalkulasi skor ISS:Region Injury Description AIS Square Top ThreeHead & Neck Cerebral Contusion 3 9Face No Injury 0Chest Flail Chest 4 16Abdomen Minor Contusion of Liver 2

Complex Rupture Spleen 5 25Extremity Fractured femur 3External No Injury 0Injury Severity Score: 50

Nilai ISS berkisar antara 0-75. jika suatu trauma dinilai mmiliki skor AIS 6 (trauma unsurvival) maka skor ISS otomatis bernilai 75. skala ISS berbanding lurus dengan tingkat mortalitas, morbiditas, lama tinggal di RS dan tingkat keparahan trauma.

Kelemahan penngunaan skala ini adalah jika terjadi eror dalm penilaian skor AIS maka hasil evaluasi ISS juga akan eror. Juga, deskripsi trauma secara keseluruhan tidak diketahui sebelum dilakukan investigasi lengakp dan tindakan operasi. Dalam hal ini ISS (begitu juga AIS) tidak dapat digunakan sebagai perangkat triase.

3. RTSRevised Trauma Score (RTS) adalah sistem skoring fisiologis, dengan tingkat reliabilitas yang

tinggi dan tingkat akurasi yang cukup tinggi untuk memprediksi kematian. Data yang diambil dari pesien yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), Systolic Blood Pressure (tekanan darah sistolik) and Respiratory Rate (frekuensi nafas).Glasgow Coma Scale Systolic Blood Pressure Respiratory Rate Coded Value(GCS) (SBP) (RR)13-15 >89 10-29 49-12 76-89 >29 36-8 50-75 6-9 24-5 1-49 1-5 13 0 0 0RTS = 0.9368 GCS + 0.7326 SBP + 0.2908 RR

Nilai RTS berkisar antara 0-7.8408. Nilai RTS sangat bergantung pada hasil evaluasi GCS untuk menilai trauma kepala mayor tanpa trauma multisistem atau perubahan fisiologis mayor. Nilai RTS <4 menunjukkan bahwa pasien seharusnya mendapat penanganan di trauma center. Skala RTS berkorelasi baik dengan kemungkinan survival pasien.

4. TRISSTrauma injury severity score untuk menilai kemungkinan survival (ps) pasien dari skor ISS

dan RTS dengan rumus dibawah ini.

Dimana nilai ‘b’ didapat dari :

Page 8: Trauma

Koefisien nilai b0 - b3 didapat dari analisa regresi multipel dari Major Trauma Outcome Study (MTOS). AgeIndex adalah 0 jika pasien berumur dibawah 54 tahun dan bernilai 1 jika samadengan atau diatas 55 tahun. Koefisien b0 – b3 dibedakan untuk kasus trauam tajam atau trauma tumpul.

Blunt Penetratingb0 -0.4499 -2.5355b1 0.8085 0.9934b2 -0.0835 -0.0651b3 -1.7430 -1.1360

2.7. Trauma kapitisCedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada

kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.

Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis bergantung pada :1. Besar dan kekuatan benturan2. Arah dan tempat benturan3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan

Sehubungan dengan pelbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak berupa :

1. Lesi bentur (Coup)2. Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak,

peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi media)3. Lesi kontra (counter coup)

Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa :1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada sistem ARAS (Ascending

Reticular Activating System yang bermula dari brain stem)2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri)4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan peregangan ataupun

sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa meluas secara difus ke hemisfer sampai ke batang otak

6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan komplikasi sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosis

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasiyaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas:1. Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan benda

tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak

Page 9: Trauma

2. Cedera tembus, biasanya disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukanBerdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi:

1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. Fraktur dapat berupa garis/linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak

2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan

Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15.

Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi:1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepala berat2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15

Transportasi penderita cedera kepala terutama penderita dengan cedera kepala sedang dan berat harus cepat dilakukan untuk mendapatkan tindakan medis yang cepat, tepat dan aman. Karena keterlambatan sampai di rumah sakit, 10 % dari total penderita cedera kepala di Amerika Serikat meninggal. Pada penderita cedera kepala berat sering menderita gangguan pernafasan, syok hipovolemik, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, tekanan intrakranial meninggi, kejang-kejang, gangguan kardiovaskuler, karena itu perlu penanganan yang cepat. Tindakan gawat darurat yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan penderita yaitu; menjaga kelancaran jalan nafas (air way), oksigenasi yang adekuat, resusitasi cairan, melindungi vertebra servikalis dan torakolumbal, identifikasi dan stabilisasi perdarahan ekstrakranial, dan menilai tingkat kesadaran penderita.

Dalam penganan pasien dengan cedera kepala berat transportasi sangat penting, karena berhubungan dengan cedera kepala sekunder. Cedera kepala sekunder yang sering terjadi dan menyebabkan kematian adalah hipoksia dan hipotensi. Waktu tunggu penderita dirumah sakit untuk penanganan penderita cedera kepala untuk cedera kepala berat. Pada penderita cedera kepala berat dengan perdarahan subdural sebaiknya interval waktu kejadian trauma dan tindakan yang dilakukan kurang dari 4 jam, sedangkan pada penderita dengan interval waktu lebih dari 12 jam prognosis buruk. Seelig et al telah melakukan penelitian tentang pentingnya penanganan dan transportasi yang cepat pada penderita dengan cedera kepala berat tertutup dan perdarahan subdural akut. Penderita dengan hematoma yang dievakuasi lebih kurang 4 jam, angka kematiannya 30% dan 65% dengan keluaran baik. Sedangkan penderita yang dioperasi diatas 4 jam, angka kematiannya 90% dan kurang dari 10 % dengan keluaran baik.

Faktor-faktor yang memperburuk prognosis pada penderita cedera kepala yaitu; terlambatnyapenanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya delakukan tindakan bedah dan adanya cedera multipel yang lain.

BAHAN DAN CARA PENELITIANPenelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang bersifat retrospektif pada

penderita trauma di RSUP NTB. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dengan mendata jumlah kasus trauma baik kunjungan IGD maupun rawat inap di RSUP NTB selama periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009.

Page 10: Trauma

Subjek penelitian adalah semua pasien yang mengalami trauma yang datang berobat ke IRD maupun pasien yang dirawat di RSUP NTB selama periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009.

Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik subjek/demografi (umur, jenis kelamin, akibat trauma sesuai regio tubuh) dan jumlah kematian. Sumber data berasal dari catatan medis pasien trauma baik dalam masa observasi di IRD maupun di rawat inap di RSUP NTB. Data akan diolah secara statistik deskriptif. Data akan ditampilkan dalam bentuk tabel frekuensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN4.1. Karakteristik Kota MataramSecara geografis wilayah Kota Mataram mempunyai luas wilayah 61,30 km2 dengan batas-batas sebagai berikut :Batas Utara : Kabupaten Lombok BaratBatas Selatan : Kabupaten Lombok BaratBatas Timur : Kabupaten Lombok BaratBatas Barat : Selat LombokKota Mataram terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan yaitu Kecamatan Mataram, Ampenan dan Cakranegara dengan 23 kelurahan dan 247 Lingkungan. Jumlah penduduk Kota Mataram adalah 315.738 jiwa menurut Sensus Penduduk 2000.4.2. Data Kecelakaan Direktorat Lalu Lintas Polres MataramBanyaknya pelanggaran lalu lintas di kota Mataram tahun 2008 sebanyak 11.145 pelanggaran. Sementara banyaknya kecelakaan lalu lintas yang terjadi sepanjang tahun 2008 yaitu 95 kasus dengan rincian meninggal dunia sebanyak 48 jiwa, luka berat 44 jiwa dan luka ringan 53 jiwa. Sedangkan tahun 2009 sebanyak 59 kasus dengan 48 jiwa meninggal dunia, 11 jiwa luka berat dan 11 jiwa luka ringan. Dan kerugian material yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas sepanjang tahun 2008 yaitu Rp. 156.050.000 dan tahun 2009 yaitu Rp. 79.875.000.Jumlah pelanggaran lalu lintas tahun 2008 berdasarkan jenis kelamin pelaku yaitu pelaku laki-laki sebanyak 8.719 jiwa dan perempuan 1.226 jiwa dari total 9.945 pelaku pelanggaran. Sementara jumlah pelanggaran lalu lintas tahun 2008 menurut kelompok umur yaitu terbanyak dari keompok umur 22-30 tahun sebanyak 4.312 pelanggaran, disusul umur 16-21 tahun sebanyak 3.022 pelanggaran. Dan urutan ketiga yaitu umur 31-40 tahun sebanyak 1.627 pelanggaran dari total 10.545 pelanggaran.

Jumlah pelanggaran lalu lintas berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2008 sebagian besar yaitu 7.076 pelaku berpendidikan SMA kemudian disusul pelaku berpendidikan SMP sebanyak 1.310 pelaku dan sekitar 890 pelaku berpendidikan PT, dan sebanyak 676 oleh anak dengan pendidikan SD dari total 9.945 pelanggaran.

Jumlah pelanggaran lalu lintas menurut profesi pelaku sepanjang tahun 2008 yaitu didominasi oleh pegawai swasta sebanyak 6.001 pelanggaran dan kalangan mahasiswa dan pelajar dengan masing-masing 2.136 pelanggaran dan 1.646 pelanggaran.

Jumlah pelaku kecelakaan lalu lintas berdasarkan kelompok umur yaitu terbanyak dari kelompok umur 16-21 tahun yaitu 39 jiwa, kedua yaitu umur 22-30 tahun sebanyak 23 jiwa dan ketiga umur 31-40 tahun sebanyak 9 jiwa dari total 85 jiwa pelaku kecelakaan.4.3. Data perkembangan fasilitas jalan dan kendaraan di Kota Mataram

Perkembangan jalan di kota Mataram tahun 2003 yaitu panjang jalan efektif 20,46 km dan seluruhnya merupakan jalan dengan permukaan hotmix. 15,17 km kondisi jalan dalam kondisi baik dan kondisi ringan sepanjang 5,29 km.

Jumlah kendaraan bermotor di kota Mataram tahun 2008 yaitu 264.734 unit kendaraan. Terdiri

Page 11: Trauma

dari mobil penumpang sebanyak 18.252 unit, mobil barang 12.450 unit, bus 2.548 unit dan sepeda motor 231.484 unit.4.4. Data kasus trauma di RSUP NTB

4.4.1. Kasus Trauma di IRDKejadian trauma merupakan suatu hal yang dinggap membahayakan dan membutuhkan pertolongan segera bagi masyarakat, sehingga mereka langsung mencari pertolongan ke fasilitas kegawadaruratan. Selama periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2009, IRD RSUP NTB menerima sekitar 77.363 kunjungan, dimana terbagi menjadi kunjungan bedah dan non bedah. Kunjungan non bedah merupakan sebagian besar kasus yang ditangani yaitu sekitar 61.303 kasus yang didalamnya termasuk juga kasus anak dan kasus obstetri dan ginekologi.Tabel 2. Data kunjungan kasus Bedah IRD RSUP NTB tahun 2008-2009

Tahun MRS

Dirujuk

Pulang

Mati

Rujukan Non Rujuka

nJumla

hPKM

RSU

Lain2

2008157

8 0 6048 90 170130 6 7410 7716

2009164

5 2 6578 119 162 75 12 8095 8344

Total322

3 2 12626 209 332205 18 15505 16060

Sumber: Rekam medik RSUP NTBData pada tabel diatas menunjukkan bahwa dari total 16.060 kunjungan bedah, sekitar 3.223 (20%) kasus di MRS kan dan sebagian besar dipulangkan yaitu 12.626 (80%) kasus. Hanya 2 kasus saja yang dirujuk ke Rumah Sakit luar daerah. Dan sekitar 209 (1,3%) kasus yang meninggal di IRD dari keseluruhan kunjungan kasus bedah. Namun kasus meninggal ini tidak dapat dideskripsikan lebih lanjut berapa jumlah kasus DOA maupun kasus meninggal yang sudah ditangani di IRD karena keterbatasan dalam pengumpulan data.Sebagian besar kunjungan IRD adalah non rujukan sebanyak 15.505 kasus dan sisanya adalah kasus rujukan yaitu dari Puskesmas (PKM) sebanyak 332 kasus, dari RSU lainnya sebanyak 205 kasus, dan dari rujukan lain-lain, misalnya rujukan dari praktek dokter umum maupun dokter spesialis sebanyak 18 kasus. Dari keseluruhan kunjungan kasus bedah tahun 2008 sampai tahun 2009 sekitar 89,4% merupakan kasus trauma yaitu sebanyak 14.352 kasus.

4.4.2. Kasus trauma di Rawat InapJumlah seluruh pasien yang dirawat inap di RSUP NTB sepanjang tahun 2008 sampai tahun 2009 adalah sekitar 39.042 pasien. Sementara dari keseluruhan pasien ini yang merupakan kasus bedah adalah sekitar 10,1% yaitu sebanyak 3.955 pasien, sebanyak 3.223 kasus bedah adalah pasien kunjungan IRD yang di MRSkan dan sebanyak 732 pasien adalah pasien yang di MRSkan dari poliklinik bedah umum, poliklinik bedah tulang dan poliklinik urologi. Dan sekitar 66,7% dari total kasus bedah adalah pasien dengan kasus trauma yaitu sebanyak 2.639 pasien. Jika dibandingkan dengan total keseluruhan kasus yang ditangani di rawat inap RSUP NTB maka kasus trauma ini mencapai hampir 6,8% kasus.4.4.2.1. Distribusi kasus berdasarkan jenis kelaminTabel 3. Distribusi korban trauma berdasarkan jenis kelamin

TahunJumlah kasus (%)

Totallaki-laki Perempuan

Page 12: Trauma

2008 889 (70%) 380 (30%) 12692009 957 (69,9%) 413 (30,1%) 1370Total 1846 (69,95%) 793 (30,05%) 2639

Sumber: Rekam medik RSUP NTBDari tabel diatas tampak bahwa terjadi peningkatan kasus trauma dari tahun 2008 sampai 2009 walaupun tidak terlalu signifikan yaitu sebesar 101 kasus. Sebagian besar korban trauma berjenis kelamin laki-laki yaitu sekitar 1.846 jiwa (69,95%) dan korban berjenis kelamin perempuan sebesar 793 jiwa (30,05%). Persentase ini juga tidak jauh berbeda dengan persentase korban berdasarkan jenis kelamin pada masing-masing tahun 2008 dan tahun 2009. Penelitian oleh Probowati, 2004 di Semarang juga mendapatkan data bahwa sekitar 80,5% pengedara sepeda motor yang terlibat kecelakaan lalu lintas berjenis kelamin laki-laki.4.4.2.2 Distribusi kasus berdasarkan kelompok umurTabel 4. Distribusi korban trauma berdasarkan kelompok umur

kelompok umur jumlah kasus %

<1 tahun 9 0,341-4 tahun 69 2,61

5-14 tahun 339 12,8415-24 tahun 924 35,0125-44 tahun 840 31,8345-64 tahun 367 13,9>64 tahun 91 3,45

Total 2639 100Sumber: Rekam medik RSUP NTBData pada table diatas menunjukkan bahwa korban trauma terbanyak yaitu dari kelompok umur 15-24 tahun sebesar 924 jiwa (35,01%) diikuti oleh kelompok umur 25-44 tahun yaitu sekitar 840 jiwa (31,83) dan terbesar ketiga yaitu dari kelompok umur 45-64 tahun sebesar 367 jiwa (13,9%). Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar korban trauma adalah mereka dengan kelompok umur produktif yaitu usia 15-44 tahun yaitu 66,84%.Hasil penelitian tahun 1987 oleh Suparnadi di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar separuh dari para korban berumur antara 20-39 tahun (47%), suatu golongan umur yang paling aktif dan produktif. Tujuh puluh empat persen dari korban sebagian besar adalah pria. Sejalan dengan ini, hasil penelitian tahun 2004 di Semarangoleh Probowati menunjukkan bahwa 91% pengendara sepeda motor yang terlibat KLL

berada pada kelompok umur 15-44 tahun.4.4.2.3   Distribusi   kasus   berdasarkan   akibat trauma sesuai regio tubuhTable 5. Distribusi kasus berdasarkan akibat trauma sesuai regio tubuh

Sumber : Rekam medik RSUP NTBDari table diatas menunjukkan bahwa sebagian besar kasus yaitu sebesar 1881 jiwa atau sekitar 71,27% merupakan kasus trauma pada kepala. Urutan kedua yaitu trauma pada ekstremitas bawah sebanyak 268 jiwa atau 10,15% dari total

Akibat traumaJumlah kasus %

Trauma pada kepala 1881 71,27Trauma pada leher 7 0,26Trauma pada thorak 24 0,9Trauma pada abdomen atau pelvis 77 2,91Trauma pada eks. Atas 168 6,36Trauma pada eks. Bawah 268 10,15Trauma regio multiple 19 0,71Trauma regio lain-lain 195 7,38Total 2639 100

Page 13: Trauma

kasus trauma. Selanjutnya yaitu trauma regio lain-lain sebesar 195 jiwa atau sekitar 7,38% yang meliputi akibat trauma yang melibatkan regio tidak spesifik dari batang tubuh, ekstremitas dan regio tubuh lain (termasuk trauma regio genitalia eksterna).Trauma pada leher meliputi 3 kasus fraktur cervical dan 4 kasus trauma tajam pada trakea. Trauma pada thorak dibagi lagi menjadi trauma tumpul thorak sebanyak 5 kasus, 1 kasus akibat trauma oleh peluru, 6 kasus fraktur costa, 8 kasus hematothorak. Trauma pada regio abdomen yaitu 26 kasus trauma tumpul abdomen, 7 kasus trauma tajam abdomen, 7 kasus trauma ginjal, 2 kasus rupture uretra, 9 kasus dislokasi panggul, dan 4 kasus fraktur pelvis.Trauma pada ekstremitas meliputi trauma pada ekstremitas atas dan trauma pada ekstremitas bawah. Trauma pada ekstremitas atas meliputi 46 kasus fraktur humeri, 28 kasus fraktur clavikula, 63 kasus fraktur antebrachii, 6 kasus fraktur metacarpal, dan 5 kasus amputasi digiti manus. Sedangkan trauma pada ekstremitas bawah meliputi 96 kasus fraktur femur, 3 kasus dislokasi panggul, 131 kasus fraktur cruris, 8 kasus dislokasi lutut, dan 27 kasus fraktur pedis. Trauma pada regio tubuh multiple yaitu 19 kasus fraktur multipel yang melibatkan lebih dari satu regio tubuh. Dan trauma medulla spinalis sebanyak 1 kasus.4.4.2.4 Trauma pada kepalaTrauma pada kepala dibedakan atas trauma intracranial dan trauma lainnya. Trauma lainnya meliputi luka terbuka pada kepala (13 kasus), fraktur tulang kepala dan wajah (52 kasus), trauma pada mata dan orbita (84 kasus) dan trauma lainnya (5 kasus).Tabel 6. Trauma intrakranial

Akibat traumajumlah kasus %

Cedera kepala ringan 1403 81,23Cedera kepala sedang dan berat 270 15,63Perdarahan epidural 15 0,86Perdarahan subdural 5 0,28Perdarahan subarahnoid 10 0,57Lain-lain 24 1,38Total 1727 100

Sumber : Rekam medik RSUP NTBDari seluruh kasus trauma yang melibatkan organ intracranial, paling banyak disebabkan oleh cedera kepala ringan yaitu 1.403 jiwa atau sebesar 81,23%. Selanjutnya diikuti oleh cedera kepala sedang dan berat sebesar 270 jiwa atau sekitar 15,63% dan selanjutnya trauma yang melibatkan regio lainnya (termasuk organ genital) yaitu sebanyak 24 jiwa yaitu sebesar 1,38%. Namun karena keterbatasan data di rekam medis sehingga tidak dapat diklasifikasikan korban dengan cedera kepala sedang dan cedera kepala berat.Berdasarkan pengukuran GCS di Amerika mayoritas (75-80%) penderita cedera kepala adalah cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan berat yang masing-masingnya antara 10% dan 20%. Sebagian besar penderita dengan cedera otak ringan pulih sempurna, tapi terkadang ada gejala sisa yang sangat ringan. Penurunan kondisi yang tidak terduga pada penderita cedera kepala ringan lebih kurang 3% yang mengakibatkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal. Sekitar 10-20% dari penderita cedera kepala sedang mengalami penurunan kondisi dan jatuh dalam koma. Pada penderita dengan cedera kepala berat sering diperberat dengan cedera sekunder.Penelitian di Jakarta oleh Suparnadi, 1987 mengungkapkan kenyataan bahwa 25% dari korban adalah

Page 14: Trauma

pengendara atau penumpang sepeda motor dan bahwa 88% dari para korban menderita cedera kepala dapat dipakai sebagai dasar untuk lebih memberi penekanan pada pentingnya pemakaian helm pengaman untuk pengendara sepeda motor guna melindungi kepala mereka.Table 7. Kasus trauma kepala berdasarkan kelompok umur

kelompok umur

Jumlah kasus %

<1 tahun 5 0,261-4 tahun 48 2,55

5-14 tahun 231 12,2815-24 tahun 707 37,5825-44 tahun 571 30,3545-64 tahun 256 13,6>64 tahun 63 3,35

Total 1881 100Sumber : Rekam medik RSUP NTBGambaran distribusi data yang didapat hampir sama dengan distribusi korban trauma secara keseluruhan yaitu terbanyak dari kelompok umur 15-24 tahun sebesar 707 kasus atau 37,58%, diikuti oleh kelompok umur 25-44 tahun sebesar 571 kasus atau 30,35%. Urutan ketiga dari kelompok umur 5-14 tahun sebesar 231 kasus atau 12,28%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar kasus cedera kepala akibat trauma didominasi oleh korban dengan usia produktif.Sebagai perbandingan data, kasus cedera kepala yang dirawat di bangsal saraf RS Cipto Mangunkusumo selama tahun 1981-1982 adalah sebesar 1850 orang, 1642 orang (88,75%) di antaranya adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Sedangkan kasus cedera kepala yang ke unit gawat darurat RS Cipto Mangunkusumo pada tahun 1982 adalah 4146 orang, 4056 dewasa dan 90 anak-anak. Di antara 1642 kasus yang dirawat tersebut 137 meninggal dunia. Dengan makin banyaknya kendaraan di jalan-jalan dan meningkatnya mobilitas penduduk, maka kasus cedera kepala terutama akibat kecelakaan lalu lintas akan makin bertambah pula.4.4.2.5 Korban meninggal akibat traumaBerdasarkan SKRT tahun 1995 di Indonesia didapatkan data bahwa kecelakaan lalu lintas (KLL) merupakan penyebab kematian utama pada usia produktif muda serta 18% lebih besar dibandingkan seluruh penyebab kematian pada usia tersebut.Tabel 8. Jumlah korban meninggal akibat trauma

TahunJumlah kematian (%)

Totallaki-laki Perempuan2008 35 (81,39%) 8 (18,6%) 432009 25 (71,42%) 10 (28,57%) 35Total 60 (76,92%) 18 (23,07%) 78

Sumber: Rekam medik RSUP NTBJumlah korban meninggal berdasarkan table diatas yaitu sebanyak 78 orang. Pada tahun 2008 kasus trauma menyebabkan 43 orang meninggal dimana 35 orang atau 81,39% berjenis kelamin laki-laki. Tahun 2009 terjadi penurunan jumlah korban meninggal yang dirawat inap yaitu 35 orang meninggal. Namun dominasi korban masih dari jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 25 orang atau sekitar 71,42%.Tabel 9. Penyebab korban meninggal

penyebab kematian

jumlah kematian %

Page 15: Trauma

Trauma kepala 77 98,7Trauma pelvis 1 1,3

Total 78 100Sumber: Rekam medik RSUP NTBHampir seluruh korban trauma yang meninggal di ruang rawat inap akibat cedera kepala berat yaitu 77 orang meninggal (98,7%) dan 1 orang meninggal akibat trauma pelvis.Table 10. Distribusi korban meninggal berdasarkan kelompok umur

kelompok umur jumlah kasus %

<1 tahun 1 1,281-4 tahun 1 1,28

5-14 tahun 5 6,4115-24 tahun 28 35,8925-44 tahun 20 25,6445-64 tahun 19 24,35>64 tahun 4 5,12

Total 78 100Sumber: Rekam medik RSUP NTBDari 78 korban meninggal akibat trauma, 28 orang meninggal (35,89%) berumur antara 15-24 tahun, umur 25-44 tahun sebesar 20 orang meninggal (25,64%), dan umur 45-64 tahun sebanyak 19 orang meninggal (24,35%). Kondisi ini hampir sama dengan hasil penelitian Suparnadi, 1987 di Jakarta dimana penyebab kematian utama korban trauma adalah disebabkan oleh cedera kepala yang sebagian besar diderita oleh usia produktif (15-44 tahun).

KESIMPULAN DAN SARAN5.1. Kesimpulan

1. Sekitar 89,4% kunjungan kasus bedah di IRD RSUP NTB merupakan kasus trauma2. Hampir 70% korban trauma adalah berjenis kelamin laki-laki3. Kelompok umur yang paling banyak menderita akibat kasus trauma yaitu usia 15-44 tahun sebanyak66,84%4. Sekitar 71,27% trauma yang diderita korban adalah akibat trauma pada regio kepala5. Kasus kematian akibat trauma disebabkan terutama oleh cedera kepala (98,7%)

5.2. Saran1. Perlu dilakukan evaluasi dalam system pencatatan Rekam Medis RSUP NTB baik Instalasi Gawat

Darurat maupun Rawat Inap2. Agar semua pihak yang terkait dibawah koordinasi POLRI menggiatkan upaya kampanye

keselamatan jalan raya3. Untuk jangka panjang, penelitian ini sebaiknya terus dilanjutkan dan diperluas cakupannya sebagai

salah satu sumber informasi kejadian trauma di wilayah kota Mataram baik bagi kalangan intelektual maupun masyarakat umum

DAFTAR PUSTAKABrohi, Karim. 2007.TRISS. Available from: www.trauma.orgBrohi, Karim. 2007. ISS. Available from: www.trauma.orgBrohi, Karim. 2007. RSS. Available from: www.trauma.orgBrohi, Karim. 2007. AIS. Available from: www.trauma.org

Page 16: Trauma

BPS. 2009. NTB Dalam Angka 2009. Mataram : BPS.Didik, 2008. Pertolongan Pertama Pada Korban Trauma. Available from: www.index.phpDitlantas Babinkam POLRI, 2009. Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 2009 Tentang Lalu

Lintas Dan Angkutan Jalan. Jakarta : Ditlantas Babinkam POLRIHetti, 2009. Trauma Kapitis. Available from: http://dokmud.wordpress.comIndoskripsi, 2009. Peran POLRI Dalam Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas Tabrak Lari Do Wilayah Hokum

Poltabes Yogyakarta. Available from: http://www.w3.org/1999/xhtmlMappiwali,A. 2009. Cedera Kepala (Trauma Kapitis). Available

from:http://asramamedicafkunhas.blogspot.com.Muharsanto, 2008. Gambaran Hasil Pemeriksaan Luar Jenazah Pada Korban Kecelakaan Lalu Lintas Di

Rsud Arifin Achmad Pekanbaru Periode 1 Januari 2005 – 31 Desember 2007. Available from:http://yayanakhyar.wordpress.com

Probowati, 2003. Studi Epidemiologi Kecelakaan Lalu Lintas Pada Pengendara Sepeda Motor Di Wilayah Kerja Kepolisian Kota Besar Semarang (2001). Available from: http://index.php

Proemergency. 2008. Trauma : Angka, Biaya dan Upaya. Available from: http://proemergency-ems.blogspot.com

Profil Kota Mataram, 2000. Available from: http://ciptakarya.pu.go.id/profil/profil/timur/ntb/mataram.pdf.

Rizki, 2008. Perencanaan Survey Dan Analisis Data Kecelakaan Lalu Lintas Di Jalan. Available from:http://rizkibeo.wordpress.com

RRI Mataram, 2009. Angka Kecelakaan NTB Masih Tinggi. Available from: http://rrimataram.wordpress.com

Sastromihardjo,R. 1997. Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Raya Penyebab Kematian Utama Usia Produktif, Suatu Tantangan Dalam Pencegahannya. Available from: http://www.w3.com

Suparnadi, 2001. Kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Available from:http://www.w3.org/TR/xhtml11/DTD/xhtml11.dtd

Wikipedia, 2010. Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas.

Emergensi OrtopediFiled under: Bedah,med papers — ningrum @ 5:45 am 

PENDAHULUAN

Emergensi ortopedi merupakan keluhan yang sering disampaikan sekitar 20% dari jumlah

kunjungan pasien. Pengetahuan dasar mengenai cedera ortopedi, pola fraktur, dislokasi,

teknik reduksi, dan teknik bidai, dibutuhkan untuk mengelola cedera. Pemahaman radiologi

– membuat dan menginterpretasi sebuah film radiologi – juga dibutuhkan.(1)

Page 17: Trauma

          Memperoleh riwayat yang seksama tentang mekanisme cedera bisa membantu

mengidentifikasi cedera ortopedi. Misalnya, riwayat medis yang telah lalu, medikasi, dan

cedera sebelumnya.(1)

          Pemeriksaan fisik cedera ortopedi pada departemen emergensi berdasarkan pada

proses 4 langkah sederhana :(1)

1. Palpasi cedera untuk deformitas dan kerapuhan

2. Menilai ROM/range of motion (aktif dan pasif) tulang yang terkena, juga

mempertimbangkan sendi diatas dan dibawah tulang yang cedera

3. Inspeksi (deformitas, pembengkakan, diskolorasi)

4. Pemeriksaan neurovaskular

Cedera < 24 jam harus diberikan kompres es atau kompres dingin yang diaplikasikan

sebelum pemasangan belat. Terapi dingin mengeraskan kolagen dan mengurangi

kecenderungan ligamen dan tendon untuk berdeformitas. Dan juga mengurangi spasme

otot, aliran darah (membatasi perdarahan dan edema), meningkatkan ambang nyeri dan

mengurangi inflamasi. Kompres es harus diaplikasikan dalam 30 menit sekaligus (mencegah

cedera frostbite), dan terbatas pada 24-48 jam pertama; setelahnya, dingin dapat

bertentangan dengan penyembuhan jangka-panjang.(1)

 MENJELASKAN GAMBARAN RADIOLOGI

          Tipe fraktur, apakah transversum, oblique, spiral, segmental, dan kominutif. Pada

pediatri, tipe fraktur ada: Salter-Harris, torus/buckle, greenstick. Jelaskan lokasi fraktur dan

juga dislokasi berupa penyusutan, angulasi dan rotasi.(1)

          Fraktur tulang panjang dibagi atas 3: proksimal, medial dan distal.

 FRAKTUR PEDIATRI

          Fraktur Salter-Harris melibatkan epifisis, atau lempeng pertumbuhan epifisis

kartilagenus, dekat ujung tulang panjang pada anak-anak. Dinamakan Salter-Harris, setelah

dua dokter yang menyusun sistem klasifikasi untuk memberi nama fraktur-fraktur tersebut.

Materi tulang baru dibutuhkan untuk elongasi tulang selama masa pertumbuhan yang

Page 18: Trauma

disediakan oleh sel khusus dalam epifisis. Ketika pertumbuhan lengkap, transformasi fisis

menjadi tulang pun terjadi, akhirnya menyatukan tulang di sekitarnya. Fraktur Salter-Harris

tidak bisa terjadi pada orang dewasa.(1)

          Kerusakan lempeng epifisis selama pertumbuhan tulang dapat merusak semua atau

sebagian kemampuan lempeng tersebut untuk membentuk tulang baru. Hal ini

mengakibatkan pemberhentian atau deformasi pertumbuhan tulang tersebut. Semakin dini

fraktur Salter- Harris muncul semakin mungkin kesempatan deformitas muncul. Kira-kira

15% fraktur lempeng pertumbuhan akan mengalami gangguan pertumbuhan tulang jangka

panjang. Pola fraktur juga merupakan faktor penting dalam perkembangan sebuah

deformitas.(1)

 PATOFISIOLOGI FRAKTUR

          Penyembuhan fraktur memiliki 3 fase berbeda: (1)

Inflamasi (1)

o Setelah fraktur awal, pembuluh darah mikro yang melewati garis fraktur

terputus; hal ini menyebabkan iskemia sampai kehancuran ujung tulang.

o Ujung tulang yang mengalami kerusakan menjadi nekrosis, yang kemudian

memicu respon inflamasi.

o Fase inflamasi ini singkat, namun menciptakan respon inflamasi.

Reparatif (1)

o Fase reparasi dimulai dengan jaringan ganulasi yang menginfiltrasi daerah

fraktur.

o Jaringan granulasi berisi sel-sel yang mensekresikan dan membentuk kolagen,

kartilago dan tulang; jaringan ini membentuk callus, yang dengan cepat

mengelilingi ujung fraktur tulang.

o Callus bertanggungjawab untuk menstabilkan ujung tulang yang fraktur.

o Seiring menyembuhnya fraktur, callus mengalami mineralisasi dan sangat

padat.

o Batas nekrotik fragmen fraktur diserang oleh osteoklas, yang menyerap

tulang.

Page 19: Trauma

Remodelling (1) 

o Remodelling merupakan fase akhir penyembuhan tulang.

o Tulang perlahan-lahan memperoleh kembali bentuk, kontur dan kekuatan

aslinya.

o Remodelling memakan waktu bertahun-tahun.

o Callus diserap, tulang baru muncul oleh osteoblas.

o Trabekula, densitas linear mudah terlihat pada tulang normal, merupakan

hasil akhir proses fisiologis yang membentuk kembali tulang dan memberi

kekuatan maksimum sehubungan dengan jumlah tulang yang digunakan.

o Keberhasilan remodelling tulang bergantung pada beberapa faktor:

Anak-anak memiliki kapasitas remodelling lebih besar dibandingkan

dengan orang dewasa.

Besar dan arah angulasi yang tidak direduksi, dan lokasi fraktur pada

tulang.

Keremajaan.

Dekatnya fraktur pada ujung tulang.

Arah angulasi ketika dibandingkan dengan taraf gerakan sendi alami.

Keputusan mengenai reduksi fraktur membutuhkan pengetahuan

fisiologi penyembuhan tulang dan hubungannya dengan usia pasien.

 PEMBELATAN (SPLINTING)

          Pengobatan awal adalah pembelatan. Fungsinya: mengontrol nyeri dan

pembengkakan, mengurangi deformitas/dislokasi, dan imobilisasi fraktur, keseleo atau

cedera. Tujuan pembelatan dan imobilisasi adalah: membebaskan nyeri, meningkatkan

penyembuhan, stabilisasi fraktur, mencegah cedera lebih lanjut. (1)

          Pembebatan dan imobilisasi fraktur merupakan andalan pada emergensi ortopedi.

Kebanyakan fraktur dapat diimobilisasi dengan belat sederhana. Tujuan imobilisasi fraktur

adalah melindungi kerusakan tulang, dengan menjaganya pada posisi anatomi; hal ini akan

memfasilitasi penyembuhan tanpa defek anatomi. (1)

Page 20: Trauma

          Imobilisasi memfasilitasi proses penyembuhan dengan mengurangi nyeri dan

melindungi ekstremitas dari cedera berikutnya. Belat mempertahankan garis arah tulang.

Belat juga mengurangi gerakan; dengan membatasi mobilitas dini, edema dapat

dikurangi. (1)

          Keuntungan belat dibanding gips: mudah diaplikasikan, imobilisasi jangka pendek,

memungkinkan pembengkakan berlanjut untuk mencegah komplikasi pada pemindahan

pasien. (1)

          Indikasi pembelatan : fraktur, laserasi dalam/aberasi luas, laserasi tendon, penyakit

inflamasi (gout, tenosinovitis), infeksi ruang dalam (tangan, kaki, sendi), trauma multipel.

Kebanyakan cedera ekstremitas atas dapat ditangani dengan menggunakan belat

posterior long arm. Cedera pada jari ditangani dengan belat jari busa atau belat plastik

kaku. Cedera bahu dapat ditangani dengan sebuah selempang/balutan gendong, atau

imobiliser bahu. Cedera ekstremitas bawah dapat ditangani dengan imobiliser lutut atau

belat cetak posterior. (1)

 Prinsip pembelatan (1)

Pertama, nilai ABC dan situasi yang membahayakan jiwa

Identifikasi dan nilai struktur neurovaskular yang memiliki resiko

Konsultasi ortopedi awal untuk fraktur terbuka atau dislokasi fraktur

Pilih teknik imobilisasi yang tepat

Buktikan dan balut luka terbuka

Lepaskan semua pakaian dan perangkat sempit dari ekstremitas (berlian, cincin)

Luruskan fraktur angulasi berat

Lindungi bagian menonjol dari tulang

Nilai status neurovaskular dengan segera sebelum dan sesudah pembelatan

Jika dibutuhkan perawatan luka perodik, perhatikan belat yang mudah dilepaskan

 Komplikasi (1)

Iskemia

Luka bakar plaster

Page 21: Trauma

Luka tekanan

Infeksi

Dermatitis

Kaku sendi

 DISRUPSI CINCIN PELVIS

          Disrupsi cincin pelvis merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada

pasien cedera multipel. Dimana kefatalannya disebabkan oleh perdarahan retroperitoneal

dan cedera-cedera lain sehubungan dengannya. Fraktur bisa jadi sangat mematikan jika

muncul dalam kombinasinya bersama dengan cedera penting pada sistem organ mayor.

Karena daya yang tinggi penting untuk disrupsi cincin pelvis pada pasien dewasa muda,

tidaklah mengejutkan kalau sampai 80% pasien ini juga mendapat cedera muskuloskeletal.

Angka mortalitas pada pasien cedera cincin pelvis berkekuatan-tinggi rata-rata 15-20%.

Kematian ini umumnya disebabkan oleh cedera yang umumnya sehubungan dengan pola

cedera. Mortalitas meningkat hampir 13 kali jika pasien mengalami hipotensi. Ketika

berkombinasi dengan cedera kepala atau cedera abdomen yang membutuhkan intervensi

bedah, mortalitas meningkat sampai 50%. Jika kedua prosedur diperlukan, mortalitas

meningkat sampai 90%.(2)

 Klasifikasi

          Ahli bedah ortopedi dan ahli traumatologi secara luas mengklasifikasikan disrupsi

cincin pelvis kedalam dua kelompok mayor : stabil dan tidak stabil. Pelvis yang stabil

didefenisikan sebagai sesuatu yang dapat tetap bertahan dari gaya fisiologis tanpa

dislokasi. Stabilitas ini bergantung pada integritas struktur ligamen dan tulang (Gambar 1).

Instabilitas umumnya dibagi atas komponen rotasional dan vertikal (Gambar 2). Dislokasi ini

dapat dinilai pada screening radiografi AP awal. Cedera stabil termasuk fraktur non-dislokasi

cincin pelvis dan dislokasi anterior < 2,5 cm. Instabilitas rotasional ditandai dengan

melebarnya simfisis pubis atau dislokasi fraktur rami pubis > 2,5 cm. Dasar instabilitas

vertikal adalah pemindahan superior hemipelvis melalui fraktur sacrum atau ilium dan

disrupsi sendi sacroiliaca > 1 cm. Karena pelvis merupakan struktur cincin sebenarnya,

Page 22: Trauma

dislokasi anterior penting harus dibarengi dengan disrupsi posterior yang bersesuaian.

Disrupsi cincin pelvis biasanya merupakan sebuah kombinasi fraktur dan cedera ligamen. (2)

 Perdarahan pada Fraktur Pelvis

          Biasanya penyebab perdarahan pada fraktur pelvis adalah dari pleksus vena pelvis

posterior dan perdarahan yang menghapus permukaan tulang. Sekitar < 10% kasus

perdarahan, disebabkan dari perdarahan arteri yang cukup dikenal (Gambar 3). Pengobatan

awal harus berfokus pada kontrol perdarahan vena. Reduksi dan stabilisasi pada dislokasi

cincin pelvis membantu mencapai pengontrolan tersebut. Reduksi akan mengurangi volume

pelvis dan lakukan tampon pembuluh darah yang mengalami perdarahan dengan cara

kompresi viscera dan hematom pelvis. Stabilisasi mempertahankan reduksi dan mencegah

pergerakan hemipelvis, mengurangi nyeri dan membatasi disrupsi gumpalan terorganisir.

Reduksi dan stabilisasi saja biasanya mengontrol perdarahan vena, maka pasien yang tidak

merespon manuver ini lebih mungkin mendapat perdarahan arteri. (2)

SINDROMA KOMPARTEMEN

          Pengenalan dan pengobatan dini sindroma kompartemen penting pada pasien trauma

untuk mencegah kematian, amputasi dini, dan disfungsi tungkai. Volkmann adalah orang

pertama yang menguraikan tentang akibat kontraktur paska-iskemik pada lebih dari 1 abad

yang lalu. Dia menghubungkan kontraktur otot permanen dengan trauma, pembengkakan,

dan perban yang ketat. Seddon dan rekan meninjau ulang komplikasi akhir sindroma

kompartemen ekstremitas superior dan inferior dan menekankan pentingnya pengenalan

awal dan fasciotomi. Kegagalan mendiagnosa dan menangani sindroma kompartemen pada

pasien trauma mengakibatkan sejumlah kasus morbiditas yang sebenarnya dapat

dicegah. (2)

          Berbagai sindroma kompartemen telah diuraikan untuk kedua ekstremitas atas dan

bawah. Uraian tersebut termasuk sindroma kompartemen pada bahu, lengan atas, lengan

bawah, tangan, bokong, paha, tungkai bawah, dan kaki. Penyebab sindroma kompartemen

beragam dan termasuk, jika tidak dibatasi, fraktur terbuka dan fraktur tertutup, cedera

arteri, luka tembak, gigitan ular, kompresi tungkai, dan luka bakar. (2)

Page 23: Trauma

 Patofisiologi

          Meningkatnya tekanan pada ruang fascia tertutup menyebabkan menurunnya

tekanan perfusi dan pada akhirnya cedera sel dan kematian neuron dan jaringan otot.

Mekanismenya sebagai berikut: hipoksia menyebabkan cedera sel, melepaskan mediator,

dan meningkatkan permeabilitas endotel yang menyebabkan oedem, selanjutnya

meningkatkan tekanan kompartemen, pH jaringan menurun, lalu terjadi nekrosis, dan

terlepasnya mioglobin. Tekanan jaringan lebih besar dari tekanan kapiler; biasanya terlihat

pada > 30 mmHg tekanan intra-kompartemen. Waktu iskemik: nervus < 4 jam, otot < 4

jam; beberapa mengatakan sampai 6 jam. (3)

 Gambaran Klinis (3)

Nyeri yang melebihi kapasitas cedera

Pemeriksaan fisik: bukti ketegangan kompartemen, menurunnya perfusi (pengisian

kembali kapiler, nyeri) dan kehilangan fungsi jaringan (mati rasa dan lemah; nervus

dan otot terlibat pada kompartemen yang terinfeksi)

 Diagnosa (1,3)

Sindroma kompartemen klasik:

o Misal : sekunder akibat luka bakar, pembengkakan jaringan lunak, balutan

ketat, iskemis reperfusi, kompresi berkepanjangan, infiltrasi intravena,

perdarahan, cedera vaskuler, kejang, dan trauma.

o Kenali 6 P: Pain (nyeri), Pallor (pucat), Pulselessness (tidak ada pulsasi),

Parasthesia (tidak ada rasa), Paralysis (lumpuh) dan Poikilothermic (1)

o Iskemia dan nekrosis dapat muncul bahkan jika masih terdapat pulsasi.

o Nervus sensorik yang lebih dulu terkena, diikuti oleh motorik.

o Waktu: gejala dapat muncul dalam beberapa jam sampai beberapa hari

setelah cedera.

Diagnosa pasti dengan mengukur tekanan kompartemen.

 Penatalaksanaan (3)

Page 24: Trauma

Singkirkan penyebab kompresi

O2

Pertahankan ekstremitas setinggi jantung

Konsultasi ortopedi atau bedah darurat

Fasciotomi: (2,3)

o Indikasi sindroma kompartemen akut: tekanan kompartemen > 30 mmHg (3)

o Ahli bedah harus melakukan fasciotomi; bagaimanapun, pada tungkai yang

tekanannya meningkat atau terdapat penundaan pembedahan, fasciotomi

emergensi mungkin perlu dilakukan di departemen emergensi (3)

o Pendekatan dua-insisi fasciotomi (Gambar 4) pada tungkai bawah merupakan

prosedur langsung dan dapat dipercaya, mengingat bahwa anatominya

mudah dipahami (Tabel 1)(2)

 Komplikasi

Kerusakan nervus permanen, mionekrosis, deformitas, infeksi, kehilangan tungkai,

rabdomiolisis, kontraktur iskemik Volkmann, dan kematian. (3)

 FRAKTUR TERBUKA

          Fraktur terbuka merupakan emergensi bedah. Komplikasi jangka panjang adalah

terancamnya tungkai, dan dalam kasus infeksi sistemik, mengancam jiwa. Tantangan

penatalaksanaan yang sulit pada fraktur terbuka telah dikenal selama berabad-abad.

Amputasi telah menjadi pengobatan menetap sampai pertengahan abad ke 18, dimana

teknik antiseptik mulai digunakan. Antiseptik, bersama dengan debridement semua jaringan

yang terkontaminasi dan devitalisasi, membuktikan reduksi pertama pada mortalitas.

Kemajuan serentak pada profilaksis antibiotik, debridement agresif dan manajemen luka

terbuka, flap otot rotasional, transfer jaringan bebas, dan teknik cangkok tulang

memperlihatkan peningkatan yang dramatis pada kemampuan kita untuk menangani fraktur

terbuka berat sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor dan luka tembak. (2)

 Klasifikasi (2) 

Tipe Fraktur Deskripsi

Page 25: Trauma

I Kulit terbuka < 1 cm, bersih; paling mungkin lesi dalam daripada

luar; kontusio otot minimal, fraktur transversum atau oblique yang

sederhana

II Laserasi > 1 cm dengan kerusakan jaringan lunak luas, flap, atau

avulsi; kehancuran minimal sampai sedang; fraktur transversum atau

oblique pendek yang sederhana dengan kominutif minimal

III Kerusakan jaringan lunak luas, termasuk otot, kulit dan struktur

neurovaskular; seringnya cedera kecepatan-tinggi dengan komponen

kehancuran yang berat

III A Laserasi luas, mencakup tulang adekuat; fraktur segmental, cedera

tembak

III B Kerusakan jaringan lunak luas dengan terkupasnya periosteal dan

ekspos tulang, biasanya berhubungan dengan kontaminasi luas

III C Cedera vaskular membutuhkan perbaikan

 Manajemen

          Irigasi dini dan debridement adalah penatalaksanaan tetap. Sekali pasien berada di

ruang operasi, balutan dapat diangkat bersama dengan semua debris yang

lepas. Debridement merupakan pengangkatan dan reseksi yang sangat teliti terhadap

seluruh material asing dan tidak dapat terus hidup dari sebuah luka. Tujuannya adalah

untuk mengurangi jumlah bakteri dengan hanya menyisakan jaringan yang dapat terus

hidup yang bersih pada luka. Luka dieksplorasi secara agresif karena zona cedera selalu

lebih besar dibandingkan yang tampak pada awalnya. Kompartemen fascial tidak selalu

dihilangkan sepenuhnya oleh fraktur terbuka. Karenanya, fasciotomi secara bebas dilakukan

selamadebridement. Kemudian dilakukan irigasi dengan

larutan saline berlimpah. Debridement ulangan dilakukan dalam 48-72 jam berikutnya,

sebagaimana jaringan mungkin terbatas dan nekrose. Insisi bedah yang digunakan untuk

memperbesar luka ketika eksplorasi kemudian ditutup. Bekas luka sebenarnya yang

diakibatkan cedera biasanya dibiarkan terbuka. Larutan saline – balutan yang tergenang

diaplikasikan dan diganti sekurangnya setiap hari. Berlawanan dengan balutan sementara

yang diaplikasikan pada pemindahan dari departemen emergensi, balutan manajemen luka

Page 26: Trauma

yang pasti seharusnya tidak digenangi dalam povidone-iodine karena hal ini bisa

menyebabkan destruksi jaringan.(2)

          Perencanaan penanganan luka dimulai pada awal debridement. Konsultasi bedah

plastik awal akan membantu dan memainkan peran kuci dalam menetapkan waktu dan

metode rekonstruksi jaringan lunak. Jika pencangkokan kulit atau coverage flap otot

diperlukan, maka seharusnya dilakukan dalam minggu pertama sebelum kolonisasi

sekunder dan fibrosis luka sempat terbentuk. Keinginan untuk mencegah infeksi nosokomial

telah mendorong kebiasaan baru penanganan segera luka fraktur terbuka. (2)

 Penatalaksanaan

          Stabilisasi skeletal terlihat penting pada penyembuhan jaringan lunak. Jika

dibandingkan dengan gips dan belat, fiksasi internal atau eksternal memberi akses lebih

besar pada perawatan luka dan lebih efektif dalam mengontrol nyeri selama mobilisasi.

Pada tingkat seluler, respon inflamasi diperpendek dan penyebaran bakteri dikurangi.

Keputusan mengerjakan suatu model fiksasi bergantung pada pola fraktur, derajat

kontaminasi, dan pilihan ahli bedah sendiri. (2)

          Metode fiksasi yang secara luas diterima adalah fiksasi eksternal. Kemajuan dalam

disain telah membuat alat-alat ini, lebih stabil, dan lebih mudah untuk diaplikasikan. Fiksasi

eksternal meminimalisir diseksi tambahan dan mencegah penyisipan implan metalik besar

dengan memanfaatkan pin yang disisipkan perkutan yang saling terhubung dengan alat

stabilisasi eksternal. Fiksasi ekternal mudah dilepaskan, diganti, dan disesuaikan, dan dapat

dikombinasikan dengan fiksasi jenis lainnya. (2)

          Fiksator eksternal bukannya tidak bermasalah. Osteomielitis pin tract mulai jarang

dengan perubahan pada disain dan teknik penyisipan pin. Namun, infeksi superfisial dengan

drainase muncul kira-kira 30% dari keseluruhan pasien. Karena ukuran dan

lokasinya, debridement dan penanganan berikutnya menjadi sulit. Pada tibia, misalnya,

penyisipan pin melalui batas anteromedial subkutan mengurangi infeksi pin tract namun

sering menyebabkan obstruksi terhadap akses bedah plastik dan rekonstruktif. Pada kasus

lainnya, pola fraktur yang lebih luas mungkin membutuhkan kerangka lebih kompleks

dengan gagasan akses terbatas berikutnya. Meskipun efektif dalam memberikan stabilisasi

Page 27: Trauma

skeletal selama rekonstruksi jaringan lunak, fiksasi eksternal tidak ideal untuk

mencapaiunion/penyatuan fraktur. Pembedahan tambahan, termasuk pencangkokan tulang

atau konversi menjadi fiksasi internal, biasanya penting. (2)

 DISLOKASI        

          Dislokasi sendi didefinisikan sebagai dislokasi permukaan artikular tulang yang

normalnya bertemu pada sendi. Subluksasi sendi, sebagai perbandingan, adalah ketika

permukaan artikular tidak-saling berdekatan, pada derajat manapun. Dislokasi merupakan

bentuk paling ekstrim dari subluksasi.(1)

          Dislokasi sendi besar (misal, bahu, siku, panggul, lutut, mata kaki) dianggap sebagai

emergensi ortopedi. Dislokasi berkepanjangan membawa perkembangan pada kematian sel

kartilago, artritis paska trauma, cedera neurovaskular, ankylosis, dan nekrosis avaskular.

Cedera-cedera ini, yang lebih mungkin muncul pada pasien muda dan aktif, bisa memiliki

akibat mematikan. (2)

          Kebanyakan dislokasi memiliki temuan fisik khusus. Setelah terjadi dislokasi, otot-otot

di sekitar sendi secara khas menjadi spasme, terbatasnya range of motion. Hal ini sering

menyebabkan tungkai mengambil posisi berbeda. Pada dislokasi panggul posterior, paha

dipertahankan pada posisi fleksi dan berotasi secara internal. Tungkai yang terkena

biasanya memendek dan tidak dapat diulurkan secara pasif. Dislokasi bahu anterior

menyebabkan rotasi dan aduksi ektsternal posisi lengan. Dislokasi siku dan lutut (paling

sering posterior) mengakibatkan ekstermitas terkunci pada ekstensi. Sebagaimana halnya

semua cedera ekstermitas, pemeriksaan neurovaskular yang teliti harus dilakukan dan

dicatat sebelum dan sesudah melakukan manipulasi. (2)

          Dislokasi paha membutuhkan diskusi khusus karena akibat ekstrim dari kegagalan

mengenali dan mengalamatkan mereka tepat waktu. Cedera nervus panggul, kematian sel

kartilago, dan nekrosis avaskular merupakan akibat dari tertundanya pengobatan terhadap

jenis cedera ini. Dari semua ini, nekrosis avaskular merupakan yang paling berbahaya

karena kecenderungannya menyebabkan kolapsnya caput femoris dan perkembangan

penyakit sendi degenaratif berikutnya. Masalah ini menggiring pada penggantian panggul

Page 28: Trauma

total atau fusi panggul pada usia muda. Setelah menjalani prosedur ini, operasi rekonstruktif

mayor multipel menjadi umum selama masa hidup pasien. (2)

          Nekrosis avaskular biasanya berkembang dalam bentuk tergantung waktu. Pada

posisi dislokasi, ketegangan pada pembuluh darah kapsular membatasi aliran darah ke

caput femoris. Jika pinggul tetap berdislokasi selama 24 jam, nekrosis avaskular akan

berakibat pada 100% kasus. Terdapat sebuah aksioma bahwa: “semakin lama sebuah sendi

mengalami dislokasi, makin sulit melakukan reduksi nantinya”. (2)

          Reduksi dislokasi selalu membutuhkan sedasi intravena untuk mengurangi spasme

otot pada sendi. Jika sebuah sendi tidak dapat direduksi oleh metode tertutup dengan sedasi

yang cukup, maka anestesi umum dibutuhkan. Berbagai usaha dilakukan untuk mereduksi

sendi dengan teknik tertutup di dalam ruang operasi dengan staf yang siap sedia melakukan

reduksi terbuka jika prosedur teknik tertutup ini gagal.(2)

          Tujuan jangka panjang reduksi adalah untuk mengembalikan posisi anatomi dan

fungsi normal. Reduksi juga meringankan nyeri akut, membebaskan pembuluh darah dan

ketegangan nervus, dan bisa mengembalikan sirkulasi pada ekstremitas yang tidak terdapat

pulsasi. (1)