transplantasi organ menurut islam

Upload: ficha-fione-zowan

Post on 09-Mar-2016

26 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ficaa

TRANSCRIPT

TRANSPLANTASI ORGAN MENURUT ISLAM

Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh dari orang sehat atau mayat yang organ tubuhnya mempunyai daya hidup dan sehat kepada tubuh orang lain yang memiliki organ tubuh yang tidak berfungsi lagi sehingga resipien (penerima organ tubuh) dapat bertahan hidup secara sehat. Dalam islam transplantasi bisa dikategorikan urusan duniawi. Karena jika kita amati, tidak ada dalil baik dari Al Quran ataupun hadits.Lalu bagaimana hukum mendonorkan organ tubuh untuk di transplantasi?Allah berfirman:Dan tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. Al-Maidah 5 :2)Dari firman tersebut maka mendonorkan organ tubuh untuk ditransplantasi itu boleh. Namun perlu diperhatikan,dalam mendonorkan organ,organ tersebut bukanlah organ vital,yang jika organ tersebut di ambil maka akan menimbulkan kematian bagi pendonor.Ada dua jenis donor organ:A. Donor organ ketika pendonor masih hidupDonor seperti ini dibolehkan dengan syarat. Yaitu, donor tersebut tidak mengakibatkan kematian si pendonor. Misalnya, dia mendonorkan jantung, limpha atau paru-parunya. Hal ini akan mengakibatkan kematian pada diri si pendonor. Padahal manusia tidak boleh membunuh dirinya, atau membiarkan orang lain membunuh dirinya; meski dengan kerelaannya.Allah Swt berfirman:Dan janganlah kamu membunuh dirimu. (QS an-Nisa [4]: 29).Selanjutnya Allah Swt berfirman:Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-Anam [6]: 151)Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :Siapa saja yang menjatuhkan diri dari sebuah gunung dan membunuh dirinya sendiri, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. (QS. Al-Baqarah 2: 195)B. Donor organ ketika pendonor telah meninggalDalam hal ini terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh. Sebagian ulama madzhab Maliki dan Adz-Dzahiri yang berpendapat bahwa npemanfaatan organ tubuh mayat tidak boleh didilakukan dengan landasan sabda Rosulullah Rasulullah saw., Memotong tulang mayat sama dengan memotong tulang manusia ketika masih hidup. (HR. Abu Daud). Jadi, mayat harus dihormati sebagaimana ia dihormati semasa hidupnya.Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari sebagian ulama Madzhab Hanafi,Maliki,Syafli dan Hambali berpendapat bahwa memanfaatkan organ tubuh manusia sebagai pengobatan dibolehkan dalam keadaan darurat. Menurut mereka hadits riwayat Abu Dawud tersebut berlaku jika dolakukan semena-mena tapa manfaat. Apabila dilakukan untuk pengobatan itu tidak dilarang karena hadits yang memerintahkan seseorang untuk mengobati penyakitnya lebih banyak dan lebih meyakinkan daripada hadits Abu Daud tersebut.Transplantasi ini dapat di lakukan dengan syarat si pendonor telah mewariskan sebelum ia meninggal atau dari ahli warisnya(jika sudah wafat).Namun ada pula yang berpendapat bahwa hukum pemilikan terhadap tubuh manusia setelah dia mati. Merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa setelah kematiannya, manusia telah keluar dari kepemilikan serta kekuasaannya terhadap semua hal; baik harta, tubuh, maupun istrinya. Dengan demikian, dia tidak lagi memiliki hak terhadap tubuhnya.memang di bolehkan untuk harta namun itu di khususkan hanya untuk harta bukan untuk anggota badan.Menurut saya, daam keadaan darurat diperbolehkan,dengan asar:Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [2:173]Hal ini di karenakan demi menyembuhkan penyakit,kerena Allah menurunkan suatu penyakit beserta obatnya. Dan dalam syariat islam menuntut umatnya agarseluruh penyakit harus di obati,angan membiarkan penyakit bersarang di tubuh kita yang dapat berakibat fatal,yaitu kematian. Sesuai dengan firman Allah SWT:Dan janganlah kamu membunuh dirimu.sesungguhnya Allah sangat belas kasihan padamu. (QS an-Nisa [4]: 29).

A. Pengertian Transplantasi atau pencangkokan organ tubuh adalah pemindahan organ tubuh tertentu yang mempunyai daya hidup yang sehat, dari seseorang untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik milik orang lain. Orang yang anggota tubuhnya dipindahkan disebut donor (pen-donor), sedang yang menerima disebut repisien. Cara ini merupakan solusi bagi penyembuhan organ tubuh tersebut karena penyembuhan/pengobatan dengan prosedur medis biasa tidak ada harapan kesembuhannya. Ditinjau dari segi kondisi donor (pendonor)-nya maka ada tiga keadaan donor: 1. donor dalam keadaan hidup sehat;2. donor dalam kedaan sakit (koma) yang diduga kuat akan meninggal segera;3. donor dalam keadaan meninggal.Organ tubuh yang banyak didonorkan adalah mata, ginjal dan jantung. Namun sejalan dengan perkembangan iptek modern, transplantasi pada masa yang akan datang tidak terbatas pada ketiga organ tubuh tersebut saja. Tapi bisa berkembang pada organ tubuh-tubuh lainnya. B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Transplantasi Organ Tubuh Bagaimana hukum transplantasi tersebut menurut hukum Islam? Dibolehkan ataukah diharamkan? Untuk menentukan hukum boleh tidaknya transplantasi organ tubuh, perlu dilihat kapan pelakasanaannya. Sebagaimana dijelaskan ada tiga keadaan transplantasi dilakukan, yaitu pada saat donor masih hidup sehat, donor ketika sakit (koma) dan didiuga kuat akan meninggal dan donor dalam keadaan sudah meninggal. Berikut hukum transplantasi sesuai keadaannya masing-masing. Pertama, apabila pencangkokan tersebut dilakukan, di mana donor dalam keadaan sehat wal afiat, maka hukumnya menurut Prof Drs. Masyfuk Zuhdi, dilarang (haram) berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Firman Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195 Artinya:Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu hke dalam kebinasaan Dalam kasus ini, orang yang menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak mempunyai ginjal ia (mungkin) akan menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak normalnya atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu (Ibid, 88). 2. Kaidah hukum Islam: Artinya:Menolak kerusakan harus didahulukan atas meraih kemaslahatan Dalam kasus ini, pendonor mengorbankan dirinya dengan cara melepas organ tubuhnya untuk diberikan kepada dan demi kemaslahatan orang lain, yakni resipien. 3. Kaidah Hukum Islam: Artinya Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya. Dalam kasus ini bahaya yang mengancam seorang resipien tidak boleh diatasi dengan cara membuat bahaya dari orang lain, yakni pendonor. Kedua, apabila transplantasi dilakukan terhadap donor yang dalam keadaan sakit (koma) atau hampir meninggal, maka hukum Islam pun tidak membolehkan (Ibid, 89), berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Hadits Rasulullah:Artinya:Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri orang lain. (HR. Ibnu Majah). Dalam kasus ini adalah membuat madaharat pada diri orang lain, yakni pendonor yang dalam keadaan sakit (koma). 2. Orang tidak boleh menyebabkan matinya orang lain. Dalam kasus ini orang yang sedang sakit (koma) akan meninggal dengan diambil organ tubuhnya tersebut. Sekalipun tujuan dari pencangkokan tersebut adalah mulia, yakni untuk menyembuhkan sakitnya orang lain (resipien). Ketiga, apabila pencangkokan dilakukan ketika pendonor telah meninggal, baik secara medis maupun yuridis, maka menurut hukum Islam ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan. Yang membolehkan menggantungkan pada dua syarat sebagai berikut: 1. Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam jiwanya dan ia sudah menempuh pengobatan secara medis dan non medis, tapi tidak berhasil. (ibi, 89). 2. Pencangkokan tidak menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih berat bagi repisien dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan. Adapun alasan membolehkannya adalah sebagai berikut: 1. Al-Quran Surat Al-Baqarah 195 di atas.Ayat tersebut secara analogis dapat difahami, bahwa Islam tidak membenarkan pula orang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya atau tidak berfungsi organ tubuhnya yang sangat vital, tanpa ausaha-usaha penyembuhan termasuk pencangkokan di dalamnya. 1. Surat Al-Maidah: 32. Artinya;Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Ayat ini sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelematkan jiwa manusia. Dalam kasus ini seseorang yang dengan ikhlas menyumbangkan organ tubuhnya setelah meninggal, maka Islam membolehkan. Bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan kemanusiaan yang tinggi nilainya, lantaran menolong jiwa sesama manuysia atau membanatu berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi. (Keputusan Fatwa MUI tentang wasiat menghibahkan kornea mata). 1. Hadits Artinya:Berobatlah wahai hamba Allah, karen sesungguhnya Allah tidak meletakkan penyakit kecuali Dia meletakkan jua obatnya, kecuali satu penyakit yang tidak ada obatnya, yaitu penyakit tua. Dalam kasus ini, pengobatannya adalah dengan cara transplantasi organ tubuh. 1. Kaidah hukum Islam Artinya:Kemadharatan harus dihilangkan Dalam kasus ini bahaya (penyakit) harus dihilangkan dengan cara transplantasi. 2. Menurut hukum wasiat, keluarga atau ahli waris harus melaksanakan wasiat orang yang meninggal.Dalam kasus ini adalah wasiat untuk donor organ tubuh. Sebaliknya, apabila tidak ada wasiat, maka ahli waris tidak boleh melaksanakan transplantasi organ tubuh mayat tersebut. Pendapat yang tidak membolehkan kornea mata adalah seperti Keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Masalah Apabila transplantasi organ tubuh diperbolehkan, lalu bagaimana apabila organ tubuh tersebut dipakai oleh resipien melakukan tindakan dosa atau tindakan yang berpahala? Dengan kata lain, apakah pemilik organ tubuh asal akan mendapat pahala, jika organ tubuh tersebut dipakai repisien untuk melakukan perbuatan yang baik. Sebaliknya, apakah pendonor akan mendapat dosa apabila organ tubuh tersebut dipakai repisien melakukan dosa? Pendonor tidak akan mendapat pahala dan dosa akibat perbuatan repisien, berdasarkn dalil-dalil berikut ini: 1. Firman Allah: Artinya:Dan sesungguhnya, tidaklah bagi manusia itu kecuali berdasarkan perbuatannya. Dan perbuatannya itu akan dilihat. Kemudian akan dibalas dengan balasan yang sempurna. 1. Firman Allah: Artinya:Tidaklah seseorang disiksa karena dosa orang lain. 1. Hadits Rasulullah: Artinya:Apabila seseorang meninggal, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara, yaitu: shadaqah jariyah, ilmu yang berguna dan anak yang shaleh yang mendoakan kepadanya. C. Kesimpulan Dari uaraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Transplantasi organ taubuh yang dilakukan ketika pendonor hidup sehat maka hukumnya haram. 2. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor sakit (koma), hukumnya haram. 3. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan ketika pendonor telah meninggal, ada yang berpendapat boleh dan ada yang berpendapat haram.

Di antara banyak pertanyaan etis terkait dengan pencangkokan organ seperti yang sedang hangat hangat saat ini, ada penekanan yang berbeda di antara komunitas yang berbeda-beda dari sisi sosial-ekonomi maupun keagamaan. Di AS, misalnya, isu-isu utama yang dibahas terutama berkisar pada kelompok pertanyaan kedua, mengenai perolehan dan distribusi organ. Di negara berkembang, sementara penggunaan teknologi ini jauh di belakang negara maju, banyak isu muncul terkait dengan organ trafficking , sementara distribusi organ tak menjadi isu.Pada bagian ini akan dibahas satu contoh respon terhadap pencangkokan organ dari para pemikir Muslim. Terkait dengan karakter agama Islam maupun konteks sosial Muslim, tak mengherankan jika tak semua pertanyaan di atas tidak mendapatkan penekanan yang sama. Secara umum, kelompok-kelompok kegamaan, khususnya Islam, memberikan soratan cukup mendasar pada persoalan boleh tidaknyadari sudut pandang nilai-nilai keagamaanmelakukan pencangkokan organ.Literatur Islam mengenai isu ini didominasi oleh pendekatan fikih (hukum/ jurisprudensi). Dan persoalan utama yang mendominasi fikih biasanya terbatas pada masalah halal-haram , meskipun tidak selalu demikian. Dalam Islam, pertanyaan penting mengenai apakah pencangkokan organ diperbolehkan oleh agama dijawab dengan merujuk pada sumber tekstual utama (Quran dan hadis) maupun kitab-kitab hukum fikih.Dari segi metodologi, untuk menjawab masalah-masalah kontemporer ulama mencari kasus-kasus yang dibahas dalam kitab-kitab lama itu, atau kasus-kasus yang analog dengannya. Pengambilan keputusan seperti ini dibimbing oleh seperangkat prinsip umum, yang disebut usul fikih (prinsip-prinsip fikih). Di antaranya, ada prinsip pertimbangan manfaat dan mudarat (keburukan) dari suatu keputusan; prinsip mendahulukan menghindari keburukan; prinsip bahwa manfaat yang amat besar dapat mengatasi keburukan-keburukan inheren yang lebih kecil; prinsip darurat (sesuatu yang dalam keadaan normal tak diperbolehkan, tapi dalam keadaan darurat diperbolehkan); prinsip maslahah atau kesejahteraan publik; dan sebagainya.Dalam hal pencangkokan organ, keputusan-keputusan legal-etis bisa dicari dengan melihat bagaimana kitab-kitab klasik itu memandang penggunaan bagian-bagian tubuh manusia untuk tujuan penyembuhan. Kadang-kadang, seperti akan ditunjukkan contohnya di bawah, upaya ini dilakukan dengan tak memperhatikan konteksnya dengan baik, tapi hanya melihat kasus dimana organ tubuh manusia diperlakukan meski dalam konteks yang amat jauh berbeda dengan konteks pencangkokan. Meskipun pendekatan ahistoris semacam ini telah sering dikritik, tapi masih juga kerap digunakan.Sebagaimana halnya dalam kasus-kasus lain, karena karakter fikih dalam Islam, pendapat yang muncul tak hanya satu, tapi beragam, dan satu dengan lainnya bahkan terkadang saling bertolak belakang, meski menggunakan sumber-sumber yang identik. Di sini akan disampaikan beberapa pandangan yang cukup populer mengenai isu ini.Pandangan yang menentang pencangkokan organ diajukan atas dasar setidaknya tiga alasan:1. Kesucian hidup/tubuh manusia : setiap bentuk agresi terhadap tubuh manusia dilarang, karena ada beberapa perintah yang jelas mengenai ini dalam Al-Quran. Dalam kaitan ini ada satu hadis (ucapan) Nabi Muhammad yang terkenal yang sering dikutip untuk menunjukkan dilarangnya manipulasi atas tubuh manusia, meskipun sudah menjadi mayat: Mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan melanggarnya dengan mematahkan tulang orang itu ketika ia masih hidup.2. Tubuh manusia adalah amanah : hidup, diri, dan tubuh manusia pada dasarnya adalah bukan miliknya sendiri, tapi pinjaman dari Tuhan dengan syarat untuk dijaga, karena itu manusia tak memiliki hak mendonorkannya pada orang lain.3. Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata: pencangkokan dilakukan dengan mengerat organ tubuh seseorang untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain; di sini tubuh dianggap sebagai benda material semata yang bagian-bagiannya bisa dipindah-pindah tanpa mengurangi ke-tubuh-an seseorang.Sedangkan pandangan yang mendukung pencangkokan organ memiliki beberapa dasar, sebagai berikut1. Kesejahteraan publik (maslahah) : pada dasarnya manipulasi organ memang tak diperkenankan, meski demikian ada beberapa pertimbangan lain yang bisa mengalahkan larangan itu, yaitu potensinya untuk menyelamatkan hidup manusia, yang mendapat bobot amat tinggi dalam hukum Islam. Dengan alasan ini pun, ada beberapa kualifikasi yang mesti diperhatikan: Pencangkokan organ boleh dilakukan jika tak ada alternatif lain untuk menyelamatkan nyawa; derajat keberhasilannya cukup tinggi ada persetujuan dari pemilik organ asli (atau ahli warisnya); penerima organ sudah tahu persis segala implikasi pencangkokan ( informed consent )2. Altruisme : ada kewajiban yang amat kuat bagi Muslim untuk membantu manusia lain, khususnya sesama Muslim; pendonoran organ secara sukarela merupakan bentuk altruisme yang amat tinggi (tentu ini dengan anggapan bahwa si donor tak menerima uang untuk tindakannya), dan karenanya dianjurkan. Sekali lagi, untuk ini pun ada beberapa syarat: Ada persetujuan dari donor; Nyawa donor tak terancam dengan pengambilan organ dari tubuhnya; Pencangkokan yang akan dilakukan berpeluang berhasil amat tinggi. organ tak diperoleh melalui transaksi jual-beli,Ada satu implikasi yang menarik dari sini. Jika syarat ini dikombinasikan dengan kebolehan (dan dalam kasus tertentu kewajiban) melakukan pencangkokan organ, maka mendonorkan organ bagi Muslim hukumnya adalah wajib-sosial ( fardh kifayah ), yaitu, dalam suatu komunitas Muslim, adalah kewajiban bagi salah seorang Muslim untuk mendonorkan organnya jika ada orang lain yang membutuhkan! (Sekali lagi, tentu dengan memenuhi pembatasan-pembatasan di atas.)Belakangan ini, di antara lembaga-lembaga pemberi fatwa di dunia Muslim, pandangan yang dominan adalah pandangan yang mendukung bolehnya pencangkokan organ. Di antara lembaga semacam itu yang mendukung pencangkokan organ adalah Akademi Fikih Islam (lembaga di bawah Liga Muslim Se-Dunia, yang berpusat di Arab Saudi) pada fatwa-fatwanya pada tahun 1985 dan 1988; Akademi Fikih Islam India (1989); dan Dar al-Ifta (lembaga otonom semcam MUI, di bawah Departemen Agama, Mesir, yang biasanya diketuai oleh ulama dari Universitas al-Azhar). Pencangkokan yang diperbolehkan mencakup autotransplantasi, allotransplantasi, dan juga heterotransplantasidalam urutan keterdesakan (situasi darurat) yang lebih tinggi. Meski demikian, diperbolehkannya pencangkokan organ ini selalu diikuti syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas.Kasus pencangkokan organ ini termasuk kasus yang agak langka, dimana ada konsensus yang cukup luas. Meski demikian, ada dua catatan lain yang perlu diberikan. Pertama , di samping konsensus umum itu, ada beberapa variasi mengenai beberapa hal yang lebih terinci dan mengenai tingkat keterdesakan (yang paling tinggi menyatakan bahwa prosedur ini boleh dilakukan hanya dalam kondisi dimana nyawa seseorang benar-benar terancam dan tak ada jalan lain sama sekali kalau ia masih mau dipertahankan tetap hidup). Satu contoh dari hal yang spesifik itu adalah adanya fatwa yang menyatakan bahwa pencangkokan organ hanya boleh diambil dari donor hidup, dan tak boleh membahayakan nyawa donorartinya, donor ginjal diperbolehkan, sementara jantung tidak.Kedua, perlu dicatat bahwa tetap saja ada fatwa-fatwa yang berbeda, meski tak sepopuler fatwa-fatwa di atas.Yang cukup terkenal di antara penentang pencangkokan organ adalah mazhab Deoband di Pakistan (dengan ulamanya yang terkenal cukup konservatif, Mufti Muhammad Syafi).Dalam pandangan yang lebih moderat/liberal, keberatan ulama konservatif itu tak terlalu sulit dijawab. Keberatan utama mereka terkait dengan status tubuh manusia: bahwa tubuh adalah suci dan tak boleh dihinakan; dan bahwa tubuh bukanlah milik manusia (lihat tiga alasan yang dibahas di atas). Mengenai yang pertama, argumen yang diambil dari hadis mengenai larangan mematahkan tulang dapat segera ditolak setelah kita melihat konteks ucapan Nabi Muhammad itu. Konteksnya adalah peristiwa di mana seorang penggali kubur yang kasar mematahkan tulang mayat karena kuburan yang sudah digali ternyata terlalu sempit. Ini jelas perbuatan yang tak menghormati mayat. Sementara dalam pencangkokan organ, ada tujuan yang jelas, dan tujuan itu amat mulia. Demikian pula, mengambil organ dengan alasan mulia yang jelas bukanlah tindakan yang melanggar amanah, tapi justru upaya memenuhi perintah lain Tuhan untuk menyelamatkan hidup sesama manusia.Tiga catatan kritis atas wacana fikih yang dominan:Pembahasan terakhir membawa kita ke persoalan yang lebih jauh mengenai apa yang disebut oleh Moosa (2002) sebagai kosmologi tubuh. Moosa menganalisis bahwa perbedaan-perbedaan fatwa tersebut bersumber dari pandangan mengenai tubuh yang berbeda. Kosmologi tubuh konservatif nyaris menutup hak manusia untuk memperlakukan tubuhnya sendiri untuk tujuan apapun. Ujung-ujungnya adalah pandangan mengenai takdir yang deterministik. Dalam konteks lain, kosmologi tubuh ini juga mempengaruhi, misalnya, pandangan negatif terhadap perempuan, karena, di antaranya, darah menstruasi dipandang sebagai sesuatu yang najis. Padahal, darah menstruasi dapat sepenuhnya dijelaskan sebagai peristiwa biologis/alamiah sepenuhnya, tanpa perlu diberi signifikansi spiritual. Dalam kasus yang kedua ini lebih tampak jelas adanya inkoherensi antara pandangan konservatif atas tubuh dengan pandangan mengenai tubuh yang disampaikan sains. Inilah yang dikeluhkan oleh Moosa: tak adanya koherensi epistemik antara fikih dengan sains di masa ini, sementara di masa yang lebih awal, pemahaman fikih selalu dilandasi oleh pemahaman ilmiah yang up to date .Ditarik lebih jauh, jika kosmologi tubuh modern diterima, maka mungkin tak perlu ada pembedaan sama sekali antara organ yang diperoleh dari manusia hidup, manusia mati, atau bahkan dari binatang, kecuali pembedaan yang sifatnya biologis semata. Demikian pula, pembedaan antara tubuh Muslim dengan non-muslim juga menjadi sesuatu yang tak relevan.Sebagai catatan terakhir, bisa kita lihat bahwa di antara tiga kelompok persoalan etis menyangkut pencangkokan organ (yang dibahas pada bagian I di atas), fikih Islam terlalu condong pada kelompok pertama, mengenai kebolehan prosedur ini dari sudut pandang pemahaman keagamaan yang kurang luas. Kelompok masalah etis kedua (perolehan dan distribusi organ) hanya sedikit tersentuh, itu pun sejauh ada hubungannya dengan kelompok masalah pertama. Benar bahwa, seperti diungkapkan di atas, kelompok masalah kedua memang terasa jauh lebih urgen di tempat-tempat dimana pencangkokan organ menjadi prosedur yang amat sering dilakukan, seperti di AS. Meski demikian, jenis-jenis pencangkokan organ tertentu, khususnya ginjal, sudah cukup lazim pula dilakukan dalam komunitas Muslim; namun persoalan etika perolehan dan distribusi organ belum cukup mendapat perhatian.Demikian pula, ketakbolehan memperjualbelikan organ diajukan semata-mata dengan alasan bahwa tubuh seseorang bukan miliknya sendiri. Di luar alasan teologis itu, sebenarnya ada alasan sosial-ekonomis yang pada saat ini terasa jauh lebih mendesak menyangkut terjadinya organ trafficking yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga. Yang nyaris absen dari literatur Islam adalah pembahasan mengenai isu keadilan distributif. Memandang bahwa keadilan adalah salah satu nilai etis terpenting Islam, nyaris tak adanya pembahasan ini tentu patut disesalkan. Perhatian yang lebih serius pada aspek keadilan sosial-ekonomi kiranya akan mengubah wacana pemfatwaan masalah pencangkokan organ.Situasi ini terjadi kemungkinan besar karena secara umum tradisi etika dalam Islam kontemporer tak cukup berkembang, terdominasi oleh wacana fikih yang mau tak mau lebih berkutat pada persoalan-persoalan legal mengenai halal-haram secara intrinsik. Di sisi lain, jika dalam kasus pelarangan jual beli organ yang muncul terutama adalah alasan teologis, ini karena pembuat fatwa pada masa kini pun terlalu terpaku pada wacana di masa yang lebih awal dan kurang memberikan perhatian pada konteks sosial-ekonomi saat ini. Upaya-upaya me(re-) konstruksi suatu sistem etika Islam telah dilakukan, namun kita belum melihat munculnya ragam mazhab-mazhab etika yang cukup kuat untuk mendukung perdebatan etis mengenai masalah-masalah kontemporer. Ini adalah suatu kelemahan yang banyak dikeluhkan pemikir Muslim, dan sedang diperbaiki, namun kiranya masih membutuhkan waktu yang cukup lama.

HUKUM TRANSPLANTASI ORGANJajaran penerangan maupun media massa di Mesir saat ini tengah memperbincangkan masalah transplantasi organ; hal tersebut dilakukan sebagai pengantar untuk sosialisasi undang-undang khusus yang mengatur transpalantasi ini; baik yang didapatkan dari donor yang masih hidup maupun yang sudah mati. Tentu, sesuai dengan wasiat si mati atau dengan persetujuan ahli warisnya. Aparatur negara maupun institusinya mengatur masalah ini berdasarkan asas manfa'at dan maslahat. Pemerintah mencoba mempengaruhi perasaan masyarakat, serta menyentuh emosi mereka terhadap masalah ini, dengan menekankan bahwa perkara ini adalah perkara kemanusiaan. Untuk mengokohkan upayanya, mereka menelikung Islam serta hukum syara' untuk meloloskan undang-undang tersebut: undang-undang yang mengatur aktifitas transplantasi anggota tubuh manusia. Maka, merupakan keharusan adanya penjelasan hukum syara' terhadap masalah ini,Akan tetapi sebelum melangkah lebih jauh dalam perkara tersebut, adalah merupakan keharusan pula bahwa setiap pembahasan masalah yang didasarkan pada asas Islam, harus tunduk pada sudut pandang Islam. Artinya menurut Islam hendaknya manusia melaksanakan seluruh aktifitasnya di dalam kehidupan sejalan dengan perintah-perintah Allah maupun larangan-larangan-Nya. Bahwa standar Islam adalah halal dan haram saja dan tidak ada yang lain. Sedangkan yang dimaksud halal itu adalah apa yang dihalalkan Allah, dan haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah. Hukum halal dan haram tersebut diperoleh dari nash-nash syara' yang diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah, dan hal-hal yang ditunjuk oleh keduanya: (yaitu) ijma' sahabat dan qiyas. Selanjutnya, yang halal diambil dan yang haram ditinggalkan. Sikap tersebut diambil tanpa memperhatikan lagi maslahat, atau mafsadat, juga tanpa memperhatikan lagi manfaat yang didapatkan maupun madzarat yang mungkin menimpa. Sungguh, pandangan Islam terhadap suatu masalah adalah pandangan pada manusia yang menghendaki hukum Allah--atau dengan kata lain sesuai dengan kehendak Allahterhadap masalah tersebut. Juga dengan adanya pemahaman bahwa cita-cita kemanusiaan, sosial, ekonomi pasti akan terealisir, terlepas apakah hal tersebut diketahui maupun tidak.Allah Swt berfirman:Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (TQS Thaha [20]: 124)Namun, apabila pandangan terhadap suatu masalah didominasi oleh sudut pandang yang bersifat manusiawi, sosial maupun ekonomi, maka berarti pemberlakuan hukum didasarkan pada akal, atau paling tidak hukum yang ditetapkan sesuai dengan visi akal. Sedangkan dalam Islam, yang dimaksud dengan membangun Islam berdasarkan akal adalah bahwa akidah Islam dibangun berdasarkan akal; ketika dalam proses memahami keberadaan Maha Pencipta yang Maha Pengatur. Juga dalam memahami bahwa al-Quran adalah datang dari sisi Allah Swt, dan bahwa Muhamad saw adalah Rasul Allah yang benar dan hak. Demikian pula yang dimaksud oleh Islam bahwa aktifitas akal manusia adalah untuk memahami nash-nash dari dalil-dalil yang bersifat syar'i. Bukan untuk membuat syariat maupun hukum. Adapun keterbatasan akal untuk menjangkau hal-hal yang bermanfaat bagi manusia adalah hal yang tidak lagi perlu dijelaskan. Bukankah adanya perbedaan sikap manusia terhadap satu kemaslahatan pada satu tempat (tertentu) apabila dibandingkan dengan (tempat) yang lain, atau dari satu masa dengan masa yang lain menunjukkan hal itu?. Oleh karena itu benarlah pernyataan dimana ada (pemberlakukan) syara' disitu pasti ada maslahat.Berdasarkan ini pula, para ulama kaum Muslim meletakkan kaedah-kaedah usul dalam mengistimbathkan hukum syara' yang didasarkan pada tahqiq al-manath. Sedangkan yang dimaksud dengan tahqih al-manath tidak lain adalah pengkajian terhadap realita masalah, maupun kajian terhadap nash-nash syara' yang berkaitan dengan perkara tadi. Selanjutnya dilakukan aktifitas istimbath hukum syara' untuk memberikan solusi terhadap masalah tersebut. Adapun arahan terhadap sudut pandang maupun terpengaruhnya perasaan yang dilandaskan pada manfaat maupun maslahat, hal itu bukanlah bertahkim pada syariat Allah, tetapi bertahkim pada akal.Berdasarkan asumsi inilah pembahasan hukum transplantasi organ dilakukan sebagaimana berikut ini:Transplantasi organ ketika masih hidup,Yang dimaksud disini adalah donor anggota tubuh bagi siapa saja yang memerlukan pada saat si donor masih hidup. Donor semacam ini hukumnya boleh. Karena Allah Swt memperbolehkan memberikan pengampunan terhadap qisash maupun diyat.Allah Swt berfirman:Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (TQS al-Baqarah [2]: 178)Namun, donor seperti ini dibolehkan dengan syarat. Yaitu, donor tersebut tidak mengakibatkan kematian si pendonor. Misalnya, dia mendonorkan jantung, limpha atau paru-parunya. Hal ini akan mengakibatkan kematian pada diri si pendonor. Padahal manusia tidak boleh membunuh dirinya, atau membiarkan orang lain membunuh dirinya; meski dengan kerelaannya.Allah Swt berfirman:Dan janganlah kamu membunuh dirimu. (TQS an-Nisa [4]: 29).Selanjutnya Allah Swt berfirman:Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-An'am [6]: 151)Sebagaimana tidak bolehnya manusia mendonorkan anggota tubuhnya yang dapat mengakibatkan terjadinya pencampur-adukan nasab atau keturunan. Misalnya, donor testis bagi pria atau donor indung telur bagi perempuan. Sungguh Islam telah melarang untuk menisbahkan dirinya pada selain bapak maupun ibunya.Allah Swt berfirman:Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. (TQS al-Mujadilah [58]: 2)Selanjutnya Rasulullah saw bersabda:Barang siapa yang menasabkan dirinya pada selain bapaknya, atau mengurus sesuatu yang bukan urusannya maka atas orang tersebut adalah laknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia.Sebagaiman sabda Nabi saw:Barang siapa yang dipanggil dengan (nama) selain bapaknya maka surga haram atasnyaBegitu pula dinyatakan oleh beliau saw:Wanita manapun yang telah mamasukkan nasabnya pada suatu kaum padahal bukan bagian dari kaum tersebut maka dia terputus dari Allah, dia tidak akan masuk surga; dan laki-laki manapun yang menolak anaknya padahal dia mengetahui (bahwa anak tersebut anaknya) maka Allah menghijab Diri-Nya dari laki-laki tersebut, dan Allah akan menelanjangi (aibnya) dihadapan orang-orang yang terdahulu maupun yang kemudian.Adapun donor kedua testis maupun kedua indung telur, hal tersebut akan mengakibatkan kemandulan; tentu hal ini bertentangan dengan perintah Islam untuk memelihara keturunan.Transplantasi Organ yang dilakukan setelah matiAdapun transplantasi setelah berakhirnya kehidupan; hukumnya berbeda dengan donor ketika (si pendonor) masih hidup. Dengan asumsi bahwa disini diperlukan adanya penjelasan tentang hukum pemilikan terhadap tubuh manusia setelah dia mati. Merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa setelah kematiannya, manusia telah keluar dari kepemilikan serta kekuasaannya terhadap semua hal; baik harta, tubuh, maupun istrinya. Dengan demikian, dia tidak lagi memiliki hak terhadap tubuhnya. Maka ketika dia memberikan wasiat untuk mendonorkan sebagian anggota tubuhnya, berarti dia telah mengatur sesuatu yang bukan haknya. Jadi dia tidak lagi diperbolehkan untuk mendonorkan tubuhnya. Dengan sendirinya wasiatnya dalam hal itu juga tidak sah. Memang dibolehkan untuk memberikan sebagian hartanya, walaupunl harta tersebut akan keluar dari kepemilikannya ketika hidupnya berakhir. Tetapi itu disebabkan karena syara' memberikan izin pada manusia tentang perkara tersebut. Dan itu merupakan izin khusus pada harta, tentu tidak dapat diberlakukan terhadap yang lain. Dengan demikian manusia tidak diperbolehkan memberikan wasiat dengan mendonorkan sebagian anggota tubuhnya setelah dia mati.Adapun bagi ahli waris; sesungguhnya syara' mewariskan pada mereka harta yang diwariskan (oleh si mati). Namun syara' tidak mewariskan jasadnya kepada mereka, sehingga mereka tidak berhak untuk mendonorkan apapun dari si mati. Kalau terhadap ahli waris saja demikian, apalagi dokter atau penguasa, mereka sama sekali tidak berhak untuk mentransplantasikan organ orang setelah mati pada orang lain yang membutuhkan.Terlebih lagi terdapat keharusan untuk menjaga kehormatan si mati serta adanya larangan untuk menyakitinya sebagaimana larangan pada orang yang hidup. Rasulullah saw bersabda:Mematahkan tulang orang yang telah mati sama hukumnya dengan memotong tulangnya ketika ia masih hidup.Dengan demikian Rasulullah saw melarang untuk merampas dan menyakiti (si mati). Memang benar bahwa melampaui batas terhadap orang mati dengan melukai atau memotong atau bahkan memecahkan (tulang) tidak ada jaminan (diyat) sebagaimana ketika dia masih hidup. Akan tetapi jelas bahwa melampaui batas terhadap jasad si mati atau menyakitinya dengan cara mengambil anggota tubuhnya adalah haram; dan haramnya bersifat pasti (qath'i).Mengenai keadaan darurat yang telah dijadikan alasan oleh aparat negara, jajaran humas serta muftinyayang membolehkan transplantasi; hal tersebut membutuhkan kajian tentang keadaan darurat serta penerapannya pada masalah transplantasi organ.Sesungguhnya Allah Swt telah membolehkan orang dalam keadaan darurat hingga kehabisan bekal dan hidupnya terancam kematian untuk makan apa saja yang dijumpainya. Meski makanan tersebut diharamkan oleh Allah, namun (dalam kondisi darurat boleh-peny) dimakan sekedar untuk memulihkan tenaganya serta agar tetap hidup. Maka illat bolehnya makan makanan haram adalah untuk menjaga (eksistensi) kehidupan manusia. Dengan mengkaji anggota tubuh yang akan ditransplantasikan, maupun maksud transplantasi maka adakalanya penyelamatan hidup manusia tergantung pada tranplantasi (tentu berdasarkan dugaan kuat) seperti jantung, hati maupun kedua ginjal. Atau ada kalanya tranplantasi anggota tubuh yang tidak berhubungan langsung dengan penyelamatan hidup. Misalnya tranplantasi kornea, atau pupil atau mata secara keseluruhan dari orang yang telah mati.Adapun anggota tubuh -yang diduga kuat- dapat menyelamatkan kehidupan manusia maka illat-nya dalam hal ini tidak sempurna. Karena kadang-kadang berhasil, kadang-kadang juga tidak. Hal ini berbeda dengan illat memakan bangkai; yang secara pasti mampu menyelamatkan hidup manusia. Terlebih lagi bahwa sebagian dari illah cabang ('illat al-far'u)dalam hal ini transplantasiadalah terbebas dari pertentangan (dalil) yang lebih kuat, yang mengharuskan kebalikan dari perkara yang telah ditetapkan oleh 'illat qiyas. 'Illat qiyas dalam transplantasi organ adalah untuk memelihara kehidupan manusiasebagaimana pada kasus makan bangkai. Padahal illat tersebut masih berupa 'diduga kuat'. Ini bertentangan dengan (dalil) yang lebih kuat yaitu kehormatan jenazah serta larangan menyakiti atau merusaknya. Berdasarkan hal ini tidak diperbolehkan (baca: haram) melakukan transplantasi organ; yang dengan transplantasi tersebut kehidupan seseorang tergantung padanya.Sedangkan transplantasi organ yang penyelamatan kehidupan orang tidak tergantung padanya; atau dengan kata lain kegagalan transplantasi tersebut tidak mengakibatkan kematian, maka illat yang ada pada pokok ('illah al-ashl) pemeliharaan terhadap kehidupan manusiatidak ada. Dengan begitu hukum darurat tidak berlaku disini.Dengan demikian maka tidak diperbolehkan melakukan tranplantasi organ dari seseorang yang telah mati; sementara dia terpelihara darahnya--baik muslim, kafir dzimmi, mu'ahid maupun musta'minpada orang lain yang kehidupannya tergantung pada (keberhasilan) tranplantasi organ tersebut.Wahai kaum MuslimInilah hukum syara' tentang transplantasi organ; selanjutnya muncul pertanyaan: mengapa pembicaran saat ini (difokuskan) terhadap masalah ini juga adanya upaya pemaksaan adanya undang-undang maupun aturan khusus tentang hal itu?!. Sesungguhnya kasus-kasus yang menuntut adanya penyelamatan maupun solusi di Mesir, melalui transplantasi organberdasarkan data negaraada sekitar 50.000 kasus per tahun. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan kasus kematian maupun kecelakaan melaui gangguan kesehatan maupun luka pada kecelakaan lalu lintas yang terjadi setiap tahun. Disamping itu buruknya pelayanan kesehatan oleh negara maupun institusi kesehatan merupakan salah satu faktor yang sangat dominan, yang memberikan kontribusi pada buruknya tingkat kesehatan sebagian besar anggota masyarakat. Terlebih lagi bahwa pelayanan kesehatan maupun pengobatan yang layak, hanya dapat dijangkau oleh orang-orang yang mampu atau orang kaya saja. Jadi, walaupun tersedia anggota tubuh yang diperlukan oleh si sakit, tidak akan pernah tersedia dana yang diperlukan untuk mentranplantasikan sekaligus mencangkokkan (organ) tersebut.Dengan begitu kita dapat melihat bahwa pemberlakuan aturan-aturan tersebut untuk mentransplantasikan anggota tubuh adalah untuk membantu orang-orang kaya serta orang-orang yang berpengaruh di masyarakat. Sebagaimana kita juga menyaksikan bahwa Barat yang kafir itu, telah menguras kekayaan serta sumber alam negeri kalian melalui agen mereka: para penguasa penghianat. Mereka ingin menjual serta memanfaatkan anggota tubuh kalian ketika masih hidup maupun setelah mati. Lalu siapa yang dapat mencegah industri kesehatan raksasa Amerika maupun Eropa dalam mengatur jual-beli anggota (tubuh) di Mesir dan juga aktifitas bank-bank khusus untuk itu?!.Wahai kaum MuslimSungguh kami menyeru kalian untuk bertahkim pada syariat Allah dalam seluruh urusan kehidupan, serta melakukan aktifitas untuk memenangkan agama-Nya dan meninggikan panji Islam. Hal itu dilakukan dengan menegakkan negara IslamDaulah al-Khilafahyang Allah wajibkan atas pemimpinnyaKhalifah kaum Muslimuntuk mengatur urusan masyarakat serta mengatur urusan mereka berdasarkan Islam. Disamping bekerja keras untuk merampas (mengambil alih) harta rakyat dan kekayaan negeri yang dikangkangi oleh Barat kafir dan agen-agennya.Allah Swt berfirman:Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (TQS. Al-Anfal [8]: 24)Hizbut Tahrir Wilayah Mesir 6 Rabi'ul Akhir 1422 27 juni 2001

Bottom of Form