tradisi martahi karejo masyarakat angkola: kajian

29
99 Kajian Linguistik, Februari 2015, 99-127 Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660 TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN SEMIOTIK SOSIAL Ilham Sahdi Lubis [email protected] Amrin Saragih Universitas Negeri Medan Mhd. Takari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstrak Penelitian ini mengkaji tradisi lisan yang digunakan pada acara martahi karejo masyarakat Angkola. Penelitian ini mengungkapkan tiga permasalahan yang dianalisis secara ilmiah, pertama, realisasi makna interpersonal dalam bahasa Angkola, kedua pengkodean makna dalam teks makkobar, dan ketiga makna yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bagaimana makna interpersonal direalisasikan dalam bahasa Angkola, pengodean makna kedalam teks makkobar, dan menjelaskan makna yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola. Penelitian ini menggunakan teori semiotik sosial dengan metode pendekatan deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berupateks hobar dalam bentuk transkrip yang diperoleh dari sumber data berupa rekaman video serta data hasil wawancara dari sumber informan. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa realisasi makna interpersonal dalam bahasa Angkola meliputi subjek, predikator, dan keterangan yang terdapat pada teks makkobar. Pengkodean makna dalam teks makkobar meliputi konteks situasi yang terdapat dalam teks makkobar yaitu medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Makna yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola terdapat pada nilai-nilai kearifan lokal yang terkadung dalam teks makkobar yaitu nilai kearifan gotong-royong, nilai kearifan dalam bermusyawarah, nilai kearifan kehormatan, dan nilai kearifan kekerabatan. Kata kunci: martahi karejo, semiotik sosial, realisasi interpersonal, nilai- nilai ORAL TRADITION MARTAHI KAREJO OF ANGKOLA SOCIETY: SEMIOTIC SOCIAL STUDY Abstract This research focuses the oral tradition used to show martahikarejo of Angkola society. This study discussed three problems analyzed, first, the realization of interpersonal meaning in Angkola language, second encoding the meaning in text makkobar, and the third to contained meaning in the traditions of the martahi karejo of Angkola society. The purpose of this study is to described how interpersonal meaning is realized in Angkola language, Tahun ke-12, No 1

Upload: buikhanh

Post on 23-Jan-2017

294 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

99

Kajian Linguistik, Februari 2015, 99-127

Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660

TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA:

KAJIAN SEMIOTIK SOSIAL

Ilham Sahdi Lubis [email protected]

Amrin Saragih

Universitas Negeri Medan

Mhd. Takari

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Penelitian ini mengkaji tradisi lisan yang digunakan pada acara martahi

karejo masyarakat Angkola. Penelitian ini mengungkapkan tiga

permasalahan yang dianalisis secara ilmiah, pertama, realisasi makna

interpersonal dalam bahasa Angkola, kedua pengkodean makna dalam teks

makkobar, dan ketiga makna yang terkandung dalam tradisi martahi karejo

masyarakat Angkola. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan

bagaimana makna interpersonal direalisasikan dalam bahasa Angkola,

pengodean makna kedalam teks makkobar, dan menjelaskan makna yang

terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola. Penelitian ini

menggunakan teori semiotik sosial dengan metode pendekatan deskriptif

kualitatif. Data dalam penelitian ini berupateks hobar dalam bentuk transkrip

yang diperoleh dari sumber data berupa rekaman video serta data hasil

wawancara dari sumber informan. Temuan dalam penelitian ini

menunjukkan bahwa realisasi makna interpersonal dalam bahasa Angkola

meliputi subjek, predikator, dan keterangan yang terdapat pada teks

makkobar. Pengkodean makna dalam teks makkobar meliputi konteks situasi

yang terdapat dalam teks makkobar yaitu medan wacana, pelibat wacana,

dan sarana wacana. Makna yang terkandung dalam tradisi martahi karejo

masyarakat Angkola terdapat pada nilai-nilai kearifan lokal yang terkadung

dalam teks makkobar yaitu nilai kearifan gotong-royong, nilai kearifan

dalam bermusyawarah, nilai kearifan kehormatan, dan nilai kearifan

kekerabatan.

Kata kunci: martahi karejo, semiotik sosial, realisasi interpersonal, nilai-

nilai

ORAL TRADITION MARTAHI KAREJO OF ANGKOLA SOCIETY:

SEMIOTIC SOCIAL STUDY

Abstract

This research focuses the oral tradition used to show martahikarejo of

Angkola society. This study discussed three problems analyzed, first, the

realization of interpersonal meaning in Angkola language, second encoding

the meaning in text makkobar, and the third to contained meaning in the

traditions of the martahi karejo of Angkola society. The purpose of this study

is to described how interpersonal meaning is realized in Angkola language,

Tahun ke-12, No 1

Page 2: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

100

encoding meaning in makkobar text, and explained the meaning contained in

the traditions of the martahikarejo of Angkola society. This study used a

social semiotic theory with qualitative descriptive approach. The data in this

research is transcripts text makkobar from a data source of video recordings

and interview data from informant. The findings in this research indicated

that the realization of interpersonal meaning in Angkola language that are

subjects, predikators, and the adjuncts which contained in the makkobar

text. Makkobar text encoding the meaning in the context of the situation

included the makkobar text contained of field of discourse, tenor of

discourse, and mode of discourse. Meaning contained in oral traditions

martahikarejo of Angkola society contained in the values of local wisdom

within the makkobar text that are moral values of mutual assistance, the

value of wisdom in deliberation, moral values of honor, and the moral

values of kinship.

Keywords: martahi karejo, semiotics social, the realization of interpersonal,

values

LATAR BELAKANG

Masyarakat Angkola sampai saat ini masih menjalankan upacara adat untuk

berbagai keperluan. Upacara adat adalah suatu hal yang penting bagi masyarakat

Angkola. Pada masyarakat Angkola sering terdengar ungkapan-ungkapan yang

mengatakan adat adalah adik dari ibadah ”Anggi ni ibadat do adat” agar dilaksanakan

ibadah dan adatnya “aso dilaksana on ima ibadat dohot adat na”, dimana kedua

ungkapan tersebut merupakan gambaran kedekatan adat dengan sebagian besar

masyarakat Angkola. Siregar (2012: 4) mengatakan acara adat istiadat dalam etnis

Angkola terdiri atas duka cita “siluluton” dan suka cita “siriaon”. Upacara perkawinan

adalah horja (pesta) adat suka cita. Prosesi upacara perkawinan Angkola dimulai dari

musyawarah adat makkobar/makkatai, yakni berbicara dalam tutur sapa yang sangat

khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalam dalian na tolu, harajaon, dan

hatobangon. Begitu juga halnya dalam adat martahi yang dilaksanakan dalam masyarakat

Angkola, unsur-unsur tersebut juga ikut melaksanakan dan memberikan hobar dalam adat

martahi.

Martahi dalam adat Angkola terdiri dari beberapa jenis yaitu tahi ungut-ungut, tahi

sabagas, tahi godang parsahutaon, tahi godang Haruaya mardomu bulung (maralok-

alok) dan martahi karejo. Tahi ungut-ungut, tahi sabagas, tahi godang parsahutaon, tahi

godang Haruaya mardomu bulung (maralok-alok) merupakan bentuk martahi yang

diadakan di horja haroan boru (pengantin laki-laki), sedangkan martahi karejo adalah

bentuk martahi yang dilaksanakan di horja pabuat boru (pengantin perempuan) (Siregar,

1977: 4). Martahi karejo adalah musyawarah yang dilaksanakan oleh masyarakat

Angkola untuk menitipkan kerja kepada kerabat dan masyarakat setempat (Nasution,

2012: 1).

Penelitian ini membahas tentang Martahi karejo yaitu berupa musyawarah yang

diadakan di lingkungan masyarakat Angkola. Dalam musyawarah ini dihadiri koum

sisolkot (kerabat dekat), hatobangon (yang dituakan), harajaron (raja) dan orang kaya

(juru bicara). Musyawarah ini bertujuan untuk menyerahkan pelaksanaan kerja pesta

Ilham Sahdi Lubis

Page 3: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

101

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

kepada anak boru, ina-ina (ibu-ibu), ama-ama (bapak-bapak) dan naposo nauli bulung

(muda-mudi) (Siregar,1977: 4).

Nasution (2012: 1) menyatakan dalam Martahi Sahuta itulah suhut menjelaskan

bahwa ia bermaksud melaksanakan horja godang (pesta besar) dan mengharapkan

bantuan dari semua pihak agar horja dapat kiranya berlangsug dengan baik. Dalam

mufakat inilah terperinci siapa yang ikut rombongan mangalap boru, siapa yang

menerima, siapa yang bertanggung jawab terhadap urusan konsumsi, kesenian,

undangan, dan lain-lain yang menyangkut pelaksanaan horja. Martahi karejo merupakan

salah satu tradisi lisan dalam masyarakat Angkola yang digunakan pada upacara

perkawinan. Menurut Roger Tol dan Prudentia dalam Hoed (2008: 184) tradisi lisan

merupakan berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun

disampaikan secara lisan.

Menurut Sibarani (2012: 112) kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau

pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk

mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Jika kearifan lokal itu difokuskan pada nilai

budaya, maka dapat juga didefinisi dengan cara lain yakni kearifan lokal adalah nilai

budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat

secara arif atau bijaksana. Kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat Angkola sangat

dijunjung tinggi oleh masyarakatnya karena adanya kearifan lokal tersebut sudah menjadi

suatu tradisi.Kearifan lokal yang ada dalam tradisi tersebut yakni, seperti gotong royong

yang terdapat dalam adat perkawinan masyarakat Angkola terutama pada adat martahi

karejo.

Pada penelitian ini akan menggunakan kajian teori semiotiksosial yang

dikembangkan oleh Halliday (1978) karena tepat untuk mengkaji makna yang terkandung

pada hobar dan makna semiotik simbol-simbol adat pada martahi karejo, serta

menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lisan martahi tersebut. Dari paparan

yang telah disebutkan diatas bahwa pelaksanaan tradisi lisan pada upacara adat martahi

karejo di Angkola dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan. Oleh karena itu, peneliti

menganggap perlu untuk memaknai tradisi lisan yang terdapat dalam martahi karejo

dengan menggunakan kajian semiotik sosial sebagai pisau bedah dan makna semiotik

pada perangkat adat serta melihat nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalamnya.

Penelitian ini berfokus pada kajian semiotik sosial untuk mengungkapkan semua

tanda dan simbol yang terdapat pada teks hobar baik dari segi media yang digunakan

selama prosesi dan mengungkapkan makna yang terkandung dalam teks tradisi lisan

Martahi Karejo pada upacara perkawinan masyarakat Angkola yang direalisasikan

terhadap makna interpersonal. Berkaitan dengan latar belakang masalah penelitian

dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah makna interpersonal direalisasikan dalam bahasa Angkola?

2. Bagaimanakah makna konteks situasi dikodekan ke dalam teks hobar?

3. Apakah makna semiotik yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat

Angkola?

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

1. Konsep tradisi martahi karejo

Pada bab ini dideskripsikan hasil penelitian tentang martahi pada upacara adat

masyarakat Angkola dan menjelaskan bentuk-bentuk martahi yang dilaksanakan sebelum

Page 4: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

102

acara pernikahan. Serta menjelaskan hubungan konteks budaya dan konteks situasi pada

acara martahi karejo. Beberapa proses upacara martahi karejo pada masyarakat Angkola.

2. Jenis-jenis Martahi

a. Tahi ungut-ungut atau tahi ulu ni tot

Tahi ini disebut sebagai martahi ungut-ungut, pada tahap ini biasanya terjadi

musyawarah antara suami istri yang dilakukan di dapur pada saat istri sedang memasak

dan suami sedang minum kopi duduk disebelahnya, kemudian istrinya menceritakan

tentang anak perempuan mereka. Tahi ini dilaksanakan antara suami dan istri di dalam

rumah, mereka ingin menyampaikan kepada kahanggi dan anak boru bahwasanya anak

perempuan mereka telah dilamar, oleh karena itu suami istri tersebut ingin meminta

pendapat kepada kahanggi dan anak borunya mengenai calon menantu dan keluarganya.

b. Tahi unung-unung sibahue atau unung-unung bodat

Pada tahap berikutnya Tahi dilakukan di sebuah gubuk pada waktu menjelang

siang hari yang di hadiri oleh orangtua, kahanggi, dan anak boru untuk menceritakan

bahwasanya anak mereka ingin menikah. Orangtua si anak menceritakan bahwa anaknya

ingin menikah dan meminta pendapat kepada kahanggi, anak boru dan kerabat yang lain

apakah mereka kenal dengan calon menantu tersebut, dan kesimpulannya adalah anak

boru pergi untuk menyelidiki keluarga calon menantu, melihat bagaimana keadaan

rumah, keadaan saudara dan kaum kerabatnya dan disini juga anak boru disuruh untuk

bertanya kepada keluarga calon menantu tersebut. Dalam hal ini anak boru akan

menyampaikan bahwa kedua anak ini sudah menjalin hubungan yang baik dan memiliki

niat yang baik untuk menikah. Disini anak boru akan menceritakan keadaan keluarga

mereka agar calon mertua atau pihak laki-laki ini mengetahuinya juga. Setelah anak boru

mendapat kesimpulan dari pihak keluarga tersebut maka anak boru ini pulang dan

menyampaikan kepada keluarganya bahwasanya pihak dari keluarga laki-laki telah

menerimanya.

c. Tahi sabagas atau tahi dalihan natolu

Tahi ini dilaksanakan oleh mora, kahanggi, dan anakboru dari pihak perempuan,

tahi ini dilaksanakan dirumah anak dari perempuan bahwasanya ingin menceritakan

kepada mora, kahanggi dan anakboru bahwa telah diselidiki keadaan keluarga dari pihak

laki-laki. Orangtua ini akan meminta pendapat kepada moranya bagaimana selanjutnya

dari keinginan dari anak tersebut, disamping itu orangtua perempuan ini akan

menceritakan keadaan keluarganya bahwa pada saat itu keadaan keluarga masih belum

cukup untuk membiayai pesta anak tersebut, kemudian dari salah satu pihak antara mora,

kahanggi dan anak boru akan menawarkan apa yang bisa dia kasih untuk acara tersebut

misalnya seperti kambing atau kerbau. Dalam hal ini semua anggota keluarga akan

bermusyawarah untuk menngadakan suatu adat yaitu marpege-pege yaitu musyawarah

anatara keluarga dan tetangga yang diadakan pada malam hari untuk membantu keluarga

yang ingin mengadakan pesta, disini akan dikumpul biaya dari keluarga, kaum kerabat

dan tetangga yang ada di kampung tersebut.

d. Tahi sahuta pasahat karejo

Tahi ini dihadiri oleh hatobangan dan harajaon, dan dalihan natolu, di dalam tahi

ini disediakanlah sirih untuk dipersembahkan kepada harajaon agar bisa terlaksanakan

tahi ini, dan pada tahi sahuta pasahat karejo ini disediakan makanan karena kaum

Ilham Sahdi Lubis

Page 5: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

103

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

kerabat akan berkumpul drumah pihak yang ingin melaksanakan pesta ini. Dalam hal ini

makanan yang disediakan oleh keluarga tersbut adalah pulut dan inti, dan tahiini

dilaksanakan sehabis sholat isya, disini bertanyalah anak boru kepada orang kaya

bagaimana pelaksanaan acara yang akan diadakan dilaksanakan nanti, dan harajaon pun

akan menjawab setelah kita selesai makan pulut dan inti baru kita bicarakan nanti, setelah

selesai makan maka anakboru akan bertanya lagi bagaimana untuk kelanjutannya. Maka

raja akan menjawab karena kita ingin martahi ini disini maka dalam hal ini harus

sidorkon terlebih dahulu sirih untuk melaksanakan tahi tersebut. Salah satu pihak

keluarga akan mengambil perangkat adat ini yang di dalamnya termasuk sirih dan

menyodorkannya kepada harajaon dan mora dan kemudian akan disodorkan juga kepada

semua yang hadir dirumah itu. Kemudian suhut atau keluarga yang ingin mengadakan

pesta ini akan menyampaikan keluh kesahnya kepada harajaon dan suhut ini akan

menyampaikan akan melaksanakan pesta. Dalam hal inilah musyawarah untuk

menitipkan pekerjaan kepada para keluarga, dan tetangga yang ada dikampung itu.

e. Tahi godang

Dalam hal ini hadirlah koum sisolkot, hatobangan,harajaon, orang kaya luat dan

raja panusunan bulung, dalam tahi ini juga dilaksanakan dengan menggunakan burangir

atau sirih dan dalam tahi ini disediakan makanan untuk memotong kambing karena akan

melaksanakan tahi godang. Setujulah semuanya agar dilaksanakan pesta ini termasuk

harajaon dan kaum kerabat kemudian akan menentukan waktu dan siapa saja yang akan

di undang yang dikatakan oleh raja panusunan bulung, kemudian raja panusunan bulung

akan menyampaikan bahwa alat untuk mengundang ini adalah haronduk panyurduan

dibalut dengan abit godang, disini akan disuruh muda-mudi membawa burangir

panyurduon atau yang disebut juga dengan burangir pudun-pudun untuk menjemput raja-

raja agar datang melaksanakan kerja yang sudah di musyawarahkan.

f. Tahi haruaya mardomu bulung atau maralok-alok haruaya bulung

Setelah selesai dilaksanakan kerja tersebut datanglah semua para raja ke pesta ini,

dalam hal ini semua sudah dipersiapkan yakni sudah menaikkan gondang, disini hanya

melaksanakan pesta di kedatangan raja-raja, tahi ini disebut tahi haruaya mardomu

bulung atau maralok-alok haruaya bulung karena di tahi ini semua raja-raja hadir dari

semua kampung.

3. Bahasa Sebagai Semiotik Sosial

Menurut Halliday (1978: 108) bahasa adalah suatu sistem semiotik sosial.Sistem

semiotik bahasa tersebut meliputi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur

konteks yang berada diluar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks

sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya

bahasa.Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk juga merupakan

semiotik. Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Seorang

anak yang belajar bahasa dalam waktu yang sama belajar sesuatu yang lain melalui

bahasa, yakni membangun gambaran realitas di sekitar dan di dalamnya. Tidak ada

fenomena bahasa yang vakum sosial, tetapi ia selalu berhubungan erat dengan aspek-

aspek sosial. Dalam proses sosial itu, menurut Halliday, konstruk realitas tidak dapat

dipisahkan dari konstruk sistem semantis tempat realitas itu dikodekan. Selanjutnya,

Halliday (1978: 1) merumuskan bahwa language is a shared meaning potential, at once

both a part of experience and an intersubjective interpretation of experience. Dalam

komunikasi, berdasarkan pengalaman yang dimilikinya yang bersifat intersubjektif itu,

Page 6: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

104

masing-masing partisipan akan menafsirkan teks yang ada. Dengan demikian, makna

akan selalu bersifat ganda.

Bahasa sebagai semiotik sosial memiliki ciri khusus yang berbeda dengan semiotik

umum. Bahasa terbentuk di dalam masyarakat sebagai hasil interaksi manusia dengan

alam semesta. Dengan situasi dan kondisi ini, bahasa tidak langsung berhubungan dengan

alam. Dengan kata lain, tidak ada hubungan langsung antara aspek bahasa, seperti

kosakata, teks, atau tata bahasa bahasa manusia dengan alam semesta (Saragih, 2012: 35).

Formulasi bahasa sebagai semiotik sosial berarti menafsirkan bahasa dalam

konteks sosiokultural tempat kebudayaan itu ditafsirkan dalam terminologis semiotis

sebagai sebuahsistem informasi. Dalam level yang amat konkret, bahasa itu tidak berisi

kalimat-kalimat, tetapi bahasa itu berisi teks atau wacana, yakni pertukaran makna

(exchange of meaning) dalam konteks interpersonal. Mengkaji bahasa hakikatnya

mengkaji teks atau wacana. Konteks tuturan itu sebuah konstruk semiotis yang memiliki

sebuah bentuk yang memungkinkan partisipan memprediksikan fitur-fitur register yang

berlaku untuk memahami orang lain. Melalui tindakan pemaknaan (act of meaning)

sehari-hari, masyarakat memerankan struktur sosial, menegaskan status dan peran yang

dimilikinya, serta menetapkan dan mentransmisikan sistem nilai dan pengetahuan yang

dibagi. Kajian bahasa sebagai semiotik sosial dalam pandangan Halliday (1978108-113)

mencakup sub-subkajian: (1) teks, (2) trilogi konteks situasi (medan wacana, pelibat

wacana, dan modus wacana), (3) register, (4) kode, (5) sistem lingual, yang mencakup

komponen ideasional, interpersonal, dan tekstual, serta (6) struktur sosial.

Dalam pandangan Halliday, teks dimaknai secara dinamis.Teks adalah bahasa yang

sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday & Hasan, 1992: 13).

Teks adalah contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual menggunakan

bahasa, apa saja yang dikatakan atau ditulis, dalam konteks yang operasional (operational

context) yang dibedakan dari konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata

yang didaftar dalam kamus (Halliday, 1978: 109). Teks berkaitan dengan apa yang secara

aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh masyarakat dalam situasi yang nyata.

a. Konteks Situasi

Konteks situasi adalah lingkungan sosial di mana wacana itu berada.Konteks

situasi merupakan kerangka sosial yang digunakan untuk membuat dan memahami

wacana dengan tepat, dalam pengertian sesuai dengan konteksnya (Eggins, 1994: 45-50).

Medan wacana (field of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk kepada

aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusi tempat satuan- satuan bahasa itu

muncul. Dalam menganalisis medan wacana terdapat tiga hal yang perlu diungkap; ranah

pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang. Ranah pengalaman

merujuk kepada ketransitifan yang mempertanyakan apa yang terjadi dengan seluruh

“proses”, “partisipan”, dan “keadaan”. Field, bidang, atau isi, apa yang dibicarakan

direpresentasikan pada makna pengalaman yang direalisasikan dalam klausa yang terdiri

dari tiga unsur berupa; proses, partisipan, dan sirkumstan.

b. Metafungsi Bahasa

Makna metafungsional adalah makna yang secara simultan terbangun dari tiga

fungsi bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi

ideasional mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan dengan interpretasi

dan representasi pengalaman. Fungsi interpersonal mengungkapkan realitas sosial dan

berkenaan dengan interaksi antara penutur/penulis dengan pendengar/pembaca.

Sementara itu, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotik dan berkenaan dengan

Ilham Sahdi Lubis

Page 7: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

105

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

cara penciptaan teks dalam konteks. Dalam setiap interaksi menurut Halliday dan Martin

(1992: 30) bahwa antara pemakai bahasa, penutur menggunakan bahasa untuk memapar,

mempertukarkan dan merangkai atau mengorganisasikan pengalaman. Ketiga fungsi

bahasa dalam kehidupan manusia menurut Eggins (1994: 3) sekaligus disebut berfungsi

tiga dalam komunikasi yaitu memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman

yang secara teknis masing-masing disebut ideasional, antarpersona, dan tekstual.

c. Fungsi Interpersonal

Fungsi interpersonal merupakan tindakan yang dilakukan terhadap pengalaman

dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, fungsi interpersonal merupakan aksi yang

dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik yang

terpresentasikan dalam fungsi pengalaman (experential meaning). Fungsi interpersonal

membentuk hubungan sosial, termasuk penafsiran probabilitas oleh penutur serta

relevansi pesan. Fungsi interpersonal ini merepresentasikan potensi makna penutur

sebagai pelibat dalam proses interaksi atau sebagai pembicara dan pendengar atau antara

penulis dengan pembaca. Pada tingkat interpretasi gramatika fungsi klausa

diinterpretasikan bahwa klausa dibentuk dari interaksi dalam suatu kejadian yang

melibatkan penutur atau penulis dan pendengar atau pembaca.

d. Tradisi Lisan

Tradisi lisan merupakan sebagai sesuatu yang disampaikan dalam masyarakat dari

generasi ke generasi berikutnya. Menurut Hoed (2008: 184), tradisi lisan adalah sebagai

pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan.

Masyarakat Angkola juga mempunyai sebuah tradisi dalam kehidupan bermasyarakat

terutama dalam acara perkawinan. Adat perkawinan tidak terlepas dari tradisi lisan yang

di dalamnya ada sebuah tradisi seperti martahi karejo. Martahi karejo merupakan salah

satu tradisi lisan masyarakat Angkola yang hampir hilang akibat era globalisasi yang

lebih mengutamakan manfaat praktis. Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu

peristiwa budaya atau sebagai suatu kebudayaan yang harus dilestarikan karena suatu

alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya serta menggali dan mengembangkan

potensi tradisi lisan.

e. Kearifan Lokal

Pengertian dari kearifan lokal bila dilihat dari kamus Inggris-Indonesia, John M.

Echols danHassan Syadilyterdiri dari 2 kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local).

Lokal yang berarti setempat, sementara wisdom sama dengan kebijaksanaan.Dengan

demikian, dapat dipahami bahwa pengertian kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan

atau nilai-nilai, pandangan-padangan setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh

kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

4. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian Tradisi Lisan Baralek Gadang pada Upacara Perkawinan Adat Sumando

Masyarakat Pesisir Sibolga dengan Pendekatan Semiotik Sosial oleh Harbi (2013)

mendeskripsikan makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi lisan baralek

gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga dan kearifan

lokal yang terkandung pada proses baralek gadang pada upacara perkawinan adat

sumando masyarakat Pesisir Sibolga.

Page 8: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

106

Kontribusi yang diperoleh dari penelitian di atas masih relevan dengan penelitian

yang dilakukan oleh peneliti, seputar analisis semiotika mendeskripsikan makna semiotik

sosial yang terkandung pada tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat

sumando masyarakat pesisir Sibolga dan kearifan lokal yang terkandung pada proses

baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga,

sementara penelitian ini mengkaji tentang tradisi martahi karejo masyarakat Angkola dan

merealisasikannya ke dalam makna interpersonal.

Dari keseluruhan sudut data hasil pada penelitian terdahuluumumnya membahas

tentang upacara adat di Nusantara yang mempunyai makna-makna dan nilai-nilai kearifan

lokal yang terkandung dalam upacara adat dan perangkat adat yang masih dipakai dalam

upacara perkawinan. Hal tersebut memberikan kontribusi yang relevan dengan penelitian

ini yaitu, upacara adat martahi karejo dalam masyarakat Angkola. Penelitian-penelitian di

atas memberikan kontribusi dari beberapa hal yaitu pada teori yang digunakan yaitu

makna-makna semiotik yang terkandung pada teks lisan, dan bagaimana teks tersebut

disampaikan berdasarkan konteks sosial yang meliputi konteks situasi dan konteks

budaya. Pada penelitian di atas, data penelitian yang digunakan yakni sama-sama

memanfaatkan sumber data lisan. Selanjutnya pada tataran metode penelitian

inimemanfaatkan metode kualitatif dan metode tradisi lisan. Metode kualitatif digunakan

sebagai metode penelitian untuk memperoleh pemahaman tentang tradisi lisan upacara

adat martahi karejo dalam masyarakat Angkola.

METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif

dengan tujuan untuk memperoleh pengertian dan pemahaman umum tentang kehidupan

sosial budaya mayarakat Angkola mengenai tradisi lisan martahi karejo. Pada penelitian

dengan metode kualitatif, pendekatan yang sering digunakan adalah dengan pendekatan

deskriptitf untuk menghasilkan serta menggambarkan data tertulis atau lisan di

masyarakat bahasa.

Dengan demikian dalam metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif,

peneliti mampu memberi gambaran yang jelas tentang tradisi lisan martahi karejo pada

upacara adat masyarakat Angkola. Metode ini pada akhirnya akan menggambarkan

dengan jelas tentang objek yang diteliti secara alamiah dan menjelaskan realita yang

sebenarnya serta makna yang terkandung didalam tradisi lisan martahi karejo tersebut.

1. Lokasi dan waktu Penelitian

Mahsun (2011: 72) menjelaskan penelitian yang dilakukan harus mencakup bahan

atau materi penelitian, alat, jalan penelitian, variable dan data yang hendak disediakan

dan analisis data. Bahan atau materi penelitian dapat berupa uraian tentang populasi dan

sampel penelitian, serta informan, sampel penelitian dapat berupa lokasi atau daerah

pemakaian bahasa tertentu. Menentukan lokasi merupakan salah satu tahapan penting

dalam penelitian dan biasanya melibatkan para tokoh adat dan pamong karena banyak

menyita waktu. Berdasarkan uraian tersebut, maka lokasi penelitian ini telah ditentukan

di Kota Padangsidimpuan.

Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2014 sampai dengan Mei 2014.

Pada waktu penelitian ini, peneliti akan mengumpulkan data dan sumber data yang

diperlukan dengan menghadiri upacara adat perkawinan masyarakat yang masih

melakukan tradisi martahi karejo dan mengumpulkan tokoh-tokoh adat serta perangkat

adat yang dianggap penting pada penelitian ini.

Ilham Sahdi Lubis

Page 9: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

107

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

2. Sumber Data dan Data Penelitian

a. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks hobar dalam bentuk

transkrip yang diperoleh dari sumber data berupa rekaman video serta data hasil

wawancara dari sumber informan. Moleong (2009: 132) menjelaskan, informan penelitian

adalah sumber informasi utama yaitu orang yang benar-benar tahu atau pelaku yang

terlibat langsung dengan permasalahan penelitian. Dalam hal ini besaran informan tidak

menentukan, tetapi yang penting adalah kedalaman informasi yang diperoleh oleh

peneliti. Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang

situasi dan kondisi latar penelitian. Jadi informan harus mempunyai banyak pengalaman

tentang latar penelitian.

Pada penelitian ini Bapak St. Tinggi Barani menjadi sumber informan kunci pada

penelitian ini, dengan melihat dan mempertimbangkan latar belakang beliau yang

memang sangat mengetahui secara mendalam tentang segala kebudayaan serta tradisi

adat istiadat masyarakat Angkola khususnya yang tinggal di daerah Tapanuli Selatan.

b. Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks hobardalam bentuk transkrip

yang diperoleh dari sumber data berupa rekaman video serta data hasil wawancara dari

sumber informan. Moleong (2009: 132) menjelaskan, informan penelitian adalah sumber

informasi utama yaitu orang yang benar-benar tahu atau pelaku yang terlibat langsung

dengan permasalahan penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif peneliti sekaligus berperan sebagai instrumen

penelitian. Berlangsungnya proses pengumpulan data, peneliti benar-benar diharapkan

mampu berinteraksi langsung dengan objek (masyarakat) yang dijadikan sasaran

penelitian. Dengan arti kata, peneliti menggunakan pendekatan alamiah dan peka

terhadap gejala-gejala yang dilihat, dirasakan serta dipikirkan (Salim dan Syahrum,

2007: 113). Dalam metode penelitian kualitatif, data dikumpulkan dengan beberapa

teknik data sebagai berikut: Observasi atau pengamatan,Wawancara, Dokumentasi dan

Kepustakaan

a. Teknik Analisis data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis

data kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (1992: 429) mengemukakan analisis data

merupakan proses penyusunan atau pengolahan data agar dapat ditafsirkan lebih lanjut.

Data yang baru di dapat terdiri dari catatan lapangan yang diperoleh melalui observasi,

wawancara dan studi dokumen harus dianalisis terlebih dahulu agar dapat diketahui

maknanya dengan cara menyusun data, menghubungkan data, penyajian data dan menarik

kesimpulan.

Untuk menganalisis data di mulai dengan reduksi data yang didapat dan

mengklasifikasikan data yang telah dikumpulkan. Peneliti juga mentranskrip data martahi

karejo yang telah terkumpul lalu menterjemahkan teks ke dalam bahasa Indonesia.

Setelah data diterjemahkan lalu dimaknai sesuai dengan teori yang digunakan dan

Page 10: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

108

kemudia melihat kearifan lokal yang ada di dalam tradisi martahi karejo pada masyarakat

Angkola.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Realisasi Makna Interpersonal Tradisi Martahi Karejo Dalam Masyarakat

Angkola

Bagian ini membahas tentang realisasi makna interpersonal yang terdapat pada teks

hobar tradisi martahi karejo pada masyarakat Angkola yang meliputi Subjek yakni

pelaku, Predikator yakni apa yang disampaikan dan Keterangan yakni bagaimana sesuatu

disampaikan dan untuk apa sesuatu disampaikan.

Langkah selanjutnya menentukan makna teks Hobar dan makna konteks sosial dari

masing-masing situasi dan budaya Martahi Karejo pada upacara pernikahan adat

masyarakat Angkola. Bentuk teks bahasa dalam tradisi Martahi Karejo, meliputi

berpidato, dan berperibahasa. Pemaknaan teks dilakukan terhadap masing-masing baris

teks pidato dan peribahasa yang diujarkan mengandung nilai budaya masyarakat Angkola

dan makna semiotiknya. Teks hobar pada dialog pertama acara adat perkawinan

masyarakat Angkola yang direalisasikan terhadap Makna Interpersonal diantaranya

adalah sebagai berikut:

Teks 1: Hata ni Suhut

Santabi sampulu, sampulu noli marsantabi. Di langit na hu jujung, di tano hu

jojahi. Parjolo au marsantabi, ompot adong na hurang lobi. Taradop tua sahala

ni anak ni raja-raja dohot anak ni na mora-mora. Sumurung lobi di Raja

Panusunan Bulung, haruaya parsilaungan, banjir paronding-ondingan, na malo

sumambut lidung, patama na di angan-angan.

Dison sumurdu burangir nami, ima:

Burangir si rara huduk

Sibontar adop-adop

Dalan margalas bisuk

Paboahon na dung dapot

Ima burangir na hombang

Dua sarangkap

Anso hombang tahi

Mardomu pokat

Pangitean ni andung dohot lidung taradop anak raja-raja dohot anak na mora-

mora di parsidangan na mulia on. Ia anggo dalan ni sinta-sinta na palalu si

godang di roha ima salaho di langka-langka ni boru si nuan tunas na giot

manopotkon anak namburana.

Dari teks di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek,

Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah

Raja Panusunan Bulung, anak raja-raja, mora-mora, nami, anak raja, anak mora,

boru, anak namboru. Subjek yang terdapat pada teks di atas mengacu kepada keluarga

yang akan mengadakan pesta adat masyarakat Angkola. Selanjutnya yang termasuk

Predikatordari teks di atas adalah Jujung, marsantabi, taradop, sumurdu, margalas,

mardome pokat, na palalu, giot manopotkon yang mengacu kepada perbuatan dan

tingkah laku yang diperankan oleh pihak yang akan meminta pertolongan kepadaraja

Panusunan Bulung untuk melaksanakan pesta adat pada masyarakat Angkola. Sementara

Ilham Sahdi Lubis

Page 11: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

109

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

yang menjadi Keterangan dari teks di atas adalah di langit, di tano, dison, huduk, adop-

adop, di parsidangan. Teks di atas digunakan pada saat pihak yang ingin mengadakan

pesta akan meminta pertolongan kepada ketua adat untuk membantu kelangsungan pesta

agar dapat terlaksana dengan baik, di mana dalam teks tersebut disampaikan oleh pihak

yang ingin melaksanakan pesta yaitu Suhut yang diartikan sebagai “tuan rumah”. Teks

di atas bila dikaitkan dengan konteks masyarakat yang menunjukkan bahwa masyarakat

Angkola memiliki sikap menghormati dan menghargai para ketua adat, sehingga

hubungan kekerabatan masih terjalin dengan baik.

Teks 2: Hata ni Kahanggi

Ia bo ale tutu, santabi sampulu noli marsantabi, hu jujung do jari sampulu

pajongjong adat dohot ugari na tutu madai andung dohot holos ni suhut si

habolonan, taringot di langka-langka ni boru si nuan tunas.

Songon on ma ibana, na paihut-ihut dalan, , na paihut padan ni ompunta na

hinanan, manjalahi dongan matobang. Ia anggo hami kahanggina, laing songon

pandokkon ni umpama do da.

Muda dapot di tikkina sangape di masona, anso nian martoruk ni abara sude

anak ni raja dohot anak ni namora. Pasaut patuluskon, ja na pasahat

pasanggalkon tu tondi dohot badan ni si godang di roha. Tar botimada sahat ni

hata sian hami kahanggina.

Dari teks pidato di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek,

Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah

Suhut Si Habolonan, Boru Si Nuan Tunas, Hami, anak ni Raja, ni namora. Subjek

pada teks pidato di atas mengacu pada Kahanggiyaitu saudara laki-laki

dari Suhut beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif para istri

mereka, namora yaitusaudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari Suhut, serta seluruh

keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif istri-istri mereka. Selanjutnya yang

termasuk Predikatordari teks di atas adalahmarsantabi, jujung, pajongjong, taringot,

palagut, paihut, manjalahi, paihut, manjalajahi, padokkon, pasaut patuluskon, pasahat

pasanggalkonyang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh

pihak keluarga yang akan melaksanakan pesta adat.Sementara yang menjadi keterangan

dari teks di atas adalah di langka-langka, dohot simbora, songon on ma ibana, di kayu

laut, di tarlola, di tikkina.

Teks 3: Hata ni Hombar Suhut

Sauduran do da hata ni suhut si habolonan. Taradop sude anak ni raja na di

parsangapan. Mangkoloskon lidung ni suhut si habolonan maradopkon anak ni

raja dohot ni na mora, dalan pasaut baga-baga nadung honok di angan-angan.

Maradu solkot ni na markoum, boti muse dongan sahuta.

Songon pandokkon ni umpama:

Baen ampagaga hurlang do da ampagaga dolok baen hita do na haduan, hita

muse do na ancogot. Hita do artina naudut mar sipanginjangan, tempel

marsipagodangan. Tarlobi songon on, payahan ni sigodang ni roha. Hami peda,

hombar suhut laing na dohot ma, pasahat pasanggalkon taradop anak ni raja

songon I anak ni na mora, botima.

Dari teks peribahasa di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi

Subjek, Predikator dan Keterangan. Subjek pada pribahasa di atas adalah au, Suhut si

habolonan, anak ni raja, na mora,hita, hami. Subjek pada pribahasa di atas mengacu

pada Suhut (yang mempunyai hajat pesta). Dalam hal ini yang termasuk Predikatordari

Page 12: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

110

teks pribahasa di atas adalah marsantabi, mangido, mangkoloskon, maradopkon,

marsipagodangan, yang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan

oleh pihak dari yang akan melaksanakan pesta adat. Sementara yang menjadi Keterangan

dari teks di atas adalah parjolo dohot sombangku, di parsangapan, songon on. Teks di

atas bila dikaitkan dengan konteks masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat Angkola

memiliki tata cara yang sopan untuk meminta tolong kepada para ketua adat dan hal

tersebut dapat menjalin kekerabatan yang baik serta tradisi pada masyarakat Angkola

dapat diwariskan secara turun temurununtuk memupuk rasa persaudaraan antara

masyarakat dengan warga sekampungnya. Selain itu, masyarakat Angkola memiliki sikap

saling menghormati dan meninggikan kepada para ketua adat dan warga sekampungnya.

Teks 4: Hata ni Anak Boru

Santabi sampulu, sampulu noli santabi, parjolo do sumbangku, ampot adong

hata na hurang lobi. Tarlobi di morangku, ima suhut sihabolonan di bagas na

godang on. Songon I di raja Panusunan Bulung na manjadi uluan di parsidangan

on maradu sude anak ni raja dohot namora.

Ia anggo hata ni andung dohot holos ni suhut sihabolonan maradopkon anak ni

raja dohot na mora, hatobangon, songon i dohot orang kaya. Na tama, na tupa

madai. Laing na pastak pago-pago mada on, adat pangalaho ni ompunta na

robian.

Ia hami barisan anak boru, na torjak tu pudi do, jul-jul tu jolo. Anggo hami do

laing na manjuljulkon morana do. Laing sapangido do hami sanga bia do dalan

so tulus na tarsarkap di roha ni suhut sihabolonan. Boti mada hata name barisan

anak boru.

Dari teks di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek,

Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah

Suhut Sihabolonan, raja Panusunan Bulung, ni raja, namora, hami. Subjek pada teks

pidato di atas mengacu pada pihak keluarga Suhut yang memiliki keinginan untuk

mengadakan acara pesta adat yaitu anak boru yang dalam hal ini adalah saudara

perempuan dari Suhut, inklusif para suami mereka, beserta seluruh keturunannya

menurut garis laki-laki. Selanjutnya yang termasuk Predikatordari teks di atas adalah

manjadi, na torjak, manjuljulkon, tarsarkap, yang mengacu kepada perbuatan dan

tingkah laku yang diperankan oleh pihak keluarga dari Suhut. Sementara yang menjadi

keterangan dari teks peribahasa di atas adalah di bagas na godang on, di parsidangan

on, na hinan, saonnari, di roha ni suhut sihabolonan. Teks pidato di atas bila dikaitkan

dengan konteks masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola selalu

diadakan musyawarah adat untuk membicarakan masalah hajatan yang akan dilaksanakan

oleh salah satu warga masyarakat Angkola untuk melestarikan tradisi.

Teks 5: Hata ni Pisang Raut

Hami sian anak boru Pisang Rahut na sauduran do hata nami mangihutkon hata

ni na mora songoni dohot hata ni mo ni morangku, maradopkon anak ni raja

dohot na mora. Anso dipasaut dipatulus aha na tarsangkap di roha ni suhut

sihabolonan di bagas na godang on. Baen dison do raja panusunan Bulung

songoni hatobangon maraut di orang kaya baen iba na do na pataya-taya adat

dohot nampuna uhum ja na paganagana ugari. Dapot jolo nian marlapang ni

pangarohai patuluskon baga-baga ni suhut sihabolonan di bagas na godang on.

Ima taringot di na pajong-jong siualaon na patidahon godang ni roha taradop

parumaen nagiot langka matobang.

Ilham Sahdi Lubis

Page 13: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

111

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Dari teks pidato di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek,

Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah

au, anak ni raja, anak nimora, hami, Suhut Sihabolonan, raja panusunan Bulung,

pataya-taya adat, nampuna uhum. Subjek pada teks pidato di atas mengacu pada Pisang

Raut (ipar dari anak boru) yakni pihak keluarga Suhut yang memiliki keinginan untuk

mengadakan hajat pesta. Selanjutnya yang termasuk Predikator dari teks di atas adalah

mangihutkon, maradopkon, tarsangkap, marlapang, taringot yang mengacu kepada

perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh pihak keluarga dari Suhut. Sementara

yang menjadi Keterangan dari teks peribahasa di atas adalah di roha ni suhut

sihabolonan, di bagas na godang on, songoni. Teks pidato di atas bila dikaitkan dengan

konteks masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola selalu memiliki tata

cara peradaban yang menjadi tradisi secara turun temurun. Selain itu, masyarakat

Angkola selalu berlapang hati dalam meyampaikan keinginannya kepada para ketua adat

untuk melaksanakan hajatan atau acara adat.

Teks 6: Hata ni Mora

Ompui na diparsanggapi di sidang na mulia on, songoni hatobangon, harajaon,

maraut di orang kaya, sitiop adat pangalaho di banuaon. Parjolo au marsantabi

sampulu tu adopan ni sude koumku. Songon na mandondoni hata ni suhut

sihabolonan ima anak borungku dibagasan bagas on anso dapot artina dipasut

dipatulus laing songon hata umpama do:

Muda udur dipardalanan

Udur doi diparusahoan

Muda udut marsipaginjangan

Temple mai marsipagodangan

Onpe ampapaga ni aek Malakut

Di napa-napa ni lubukraya

Dapot nian baga-baga dipasaut

Na di pasaut ni anak di raja

Dari teks pidato di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek,

Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah

Ompui, harajaon, orang kaya, au, suhut sihabolonan, anak boruku. Subjek pada teks

pidato di atas mengacu pada Mora yaitu saudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari

Suhut, serta seluruh keturunannya. Selanjutnya yang termasuk Predikator dari teks di atas

adalah marsantabi, mandondoni, udur, marsipaginjangan, marsipagodangan yang

mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh pihak keluarga dari

Suhut. Sementara yang menjadi Keterangan dari teks peribahasa di atas adalah di sidang

na mulia on, di bagas na godang on, di banuaon, tu adopan, dipardalanan,

diparusahoan. Teks pidato di atas bila dikaitkan dengan konteks masyarakat

menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola memiliki tata cara peradaban yang

menjadi tradisi secara turun temurun. Selain itu, masyarakat Angkola sangat menjunjung

tinggi dan menghormati para ketua adat yang sejak dahulu adat istiadat pada masyarakat

Angkola dilaksanakan oleh para ketua adat dengan warga sekampung untuk melestarikan

tradisi agar dapat diwariskan secara turun temurun.

Dalam hal ini, martahi karejo merupakan acara adat yang dilakukan sebelum

prosesi upacara perkawinan pada masyarakat Angkola yang dimulai dari musyawarah

adatseperti yang sudah dianalisis di atasyakni berbicara dalam bertutur sapa yang sangat

khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalamdalian na tolu yaitu Kahanggi, Anak

Boru dan Mora. Setiap anggota berbalas tutur yang teratur seperti berbalas pantun atau

Page 14: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

112

peribahasa secara bergiliran dengan pembicara yaitu juru bicara yakni Suhut (yang punya

hajat pesta), Anak Boru suhut (menantu ya’ng punya hajat), Pisang Raut (ipar dari anak

boru), Hatobangan (raja adat di kampung), Raja panusunan bulung (raja diraja adat atau

pimpinan sidang).

Para anggota keluarga di atas yaitu Kahanggi, Anak Boru, Mora, Suhut, anak boru

Suhut, Pisang Raut, Parolok-olok, Hatobangon, Raja torbing balok, Raja Panusunan

Bulung direalisasikan sebagai subjek untuk mengkaitkannya dengan Makna Interpersonal.

Teks 1: Hata mangalusi ni Hatobangon

Santabi sampulu di sude hamu suhut sihabolonan, anak boru dohot pisang

rahutna tarlobi-lobi di morana, nadung marlindung di sidang na mulia on.

Sumurung lobi di ompui raja Panusunan Bulung, maraud harajaon, hatobangon

situan natorop anak ni raja dohot na mora, sumambut lidung di hamu sidongkon

hata. Nadung mangundang dohot mangkoloskon sinta-sinta dibagasan roha.

Tarigot di boru sinuan tunas, boru lomo-lomo hasayangan na giot langka

matobang manotopkon anak namboruna.

Ale, hamu suhut sihabolonan, na markoum markahanggi, namarboru marpisang

rahut, anggo hami da hatobangon di huta on, laing na manjagit. Dohot

patuluskon mada aha na tarsarkap di bagasan roha munu. Nian jarupe songon I,

baen dison dope dongan na dua tolu, hatobangon dohot harajaon songon I di

orang kaya, tarlobi-lobi di Ompui Raja-raja Panusunan Bulung, ibana do na

padomu pangalaho. Dohot ibana do: Na mamudun songon tali na mambobok

songon soban. Na malo padomu tahi dohot palaluna di angan-angan.

Dari teks pidatodi atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek,

Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah

Suhut sihabolonan, anak boru, raja Panusunan Bulung, hatobangon, anak ni raja, na

mora.Subjek pada teks pidato di atas mengacu pada hatobangon yaitu raja adat di

kampung tersebut. Selanjutnya yang termasuk Predikatordari teks di atas adalah

marlindung, mangundang, mangkoloskon, taringot, manotopkon, manjagit,

mambobok yang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh raja

adat di kampung tersebut yaitu hatobangon. Sementara yang menjadi Keterangan dari

teks peribahasa di atas adalah di sidang na mulia on, di bagas roha. Teks pidato di atas

bila dikaitkan dengan konteks masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola

memiliki tata cara peradaban yang menjadi tradisi secara turun temurun. Selain itu,

masyarakat Angkola sangat menjunjung tinggi dan menghormati para ketua adat.

Teks 2: Hata pangalusi ni Harajaon

Santabi sampulu di sidang na mulia on, hormat tu anak ni raja songoni dohot

anak ni na mora. Tutu nangkin di arian I, ro ontang munu tu hami, ima hamu

suhut si habolonan, anggiat anso marlagut di bagas na mulia on. Ima pado ari

borngin on. Dung tolap hami tu son jana di patating munu do sipulut mardongan

inti songon dalan na palagut roha nami. baen madung salose na markopi sagiro

do anak boru munu ima goruk-goruk ni hapinis jonjong manyurduon burangir

dalan patipal na puran di jolo ni anak raja dohot anak ni na mora.

Mangandungkon holos dohot lidung na mandokkon boru na giot langka

matobang.

Onpe dison dope orang kaya songoni dohot raja panusunan bulung. Baen ibana

do na malo sumambut lidung tu ibana doma ta soraho, botima.

Ilham Sahdi Lubis

Page 15: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

113

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Dari teks pidato di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek,

Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah

Suhut sihabolonan, anak boru, anak ni mora, hami, hita, raja panusunan bulung,

orang kaya, ibana. Subjek pada teks pidato di atas mengacu pada harajaon yaitu raja

adat di kampung tersebut. Selanjutnya yang termasuk Predikatordari teks di atas adalah

marlagut, mardongan, markopi, jonjong, manyurduon, na giot langka matobang,

mandokkon, maroban, sumambut, soraho yang mengacu kepada perbuatan dan tingkah

laku yang diperankan oleh raja adat di kampung tersebut yaitu harajaon. Sementara yang

menjadi Keterangan dari teks peribahasa di atas adalah di sidang na mulia on, di bagas

roha, di patali tali, baen ihat, songoni. Teks pidato di atas bila dikaitkan dengan konteks

masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola memiliki tata cara peradaban

yang menjadi tradisi secara turun temurun. Selain itu, masyarakat Angkola sangat

menjunjung tinggi dan menghormati para ketua adat.

Teks 3: Hata pangalusi ni orang kaya

Hormat dohot tabi tu adopan ni raja dohot namora, napatidahon lan ni bohi,

dohot na padomu roha.

Ompu I na diparsangapi dohot koum sisolkot sasudena, baen na madung totor

rap ta bege andung dohot holos ni suhut sihabolonan, nadung dipajojor ni suhut

kahanggi maraud di anak boru na. Nangkan patolkas sinta-sinta, ima sigodang

ni roha nangkan pajuguk boru sinuan tunas dohot anak namboruna, Ulang be

nian adong janggal bingkolangna.

Ia anggo orang kaya na manjagit dohot patuluskon mada jarupe songon I dison

do ompui, na malo sumambut lidung, dohot na padomu tahi, tu ibana ma ta

sorahon botima.

Dari teks pidato di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek,

Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah

ni raja, namora, ompui, anak boru, anaka namboru,boru si nuan tunas, Suhut

Sihabolonan, Kahanggi, orang kaya. Selanjutnya yang termasuk Predikator dari teks di

atas adalah maraud, napatidahon, pajuguk, manjagit, sumambut, sorahon yang

mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh para warga yang hadir

dalam musyawarah tersebut. Sementara yang menjadi Keterangan dari teks peribahasa di

atas adalah dipajojor, diparsangapi, tu ibana, dison. Teks pidato di atas bila dikaitkan

dengan konteks masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola memiliki tata

cara peradaban yang menjadi tradisi secara turun temurun. Selain itu, masyarakat

Angkola sangat menjunjung tinggi dan menghormati para ketua adat.

Teks 4: Hata pangalusi ni Raja (Pimpinan Adat)

Antong songoni mada hamu suhut sihabolonana, kahanggi, anak boruna, pisang

rahut, tarlobi-lobi di hamu bagian morana. Bahat mauli ate di sude di

panyambut ni haroro nami manopoti undangan munu tu bagas na martua on. Ia

marbinege di andung dohot holos munu, dalan padomu tahi dohot sude anak ni

raja dohot morana, madung suang songon hata ni umpama: “Marsusun songon

eme, marbanjaran songon jagung dohot isina pe madung torang”.

On pe sudena di parsinta ni roha munu, suada ambat bingkolang, na tama pasaut

patuluson mada i. Antong sude di anak ni raja dohot na mora di sidang na mulia

on bege mahita, muda dapot di tingkina, mar rim ni tahi hita

mangalaksanahonna.

Page 16: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

114

Buat hamu ma burangir taon-taon, anso ta pataon tondi dohot badan ni halahi

nangkan payahan ni sigodang ni roha. Muda dapot di tingkina anso ulang bagi

mahua. Dison do orang kaya na malo mangunting dohot na malo mangalipat

mangatur sanga bia dalan satulus sude nadung dipudun di partahian on. Orang

kaya doma pasahat harejo on tu

Inanta parina-inaan

Parama-amaan

Naposo bulung

Nauli bulung

Atur ma orang kaya botima

Dari teks pidato di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek,

Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah

Suhut sihabolonan, anak boru, pisang rohut, anak raja, anak mora, sarudung, imbo,

hamu, hita, orang kaya.Subjek pada teks pidato di atas mengacu pada harajaon yaitu

raja adat di kampung tersebut. Selanjutnya yang termasuk Predikator dari teks di atas

adalah panyambut, mambanjaran, marbinege, marsusun, marsijagitan, marpangolting,

mardongan, marsagu, marsanggap, maroban, parsinggulu, pio-pio, martimus,

masonang, on bege, mangalaksanakan, manggunting, mangatur yang mengacu kepada

perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh raja adat yaitu harajaon. Sementara

yang menjadi Keterangan dari teks peribahasa di atas adalah di sude, tu bagas, di dolok,

di parsiraisan, di angkola, di mandailing, di toru pisang, di laung-laung, di roha, di

parsinta ni roha, di partahian on. Teks pidato di atas bila dikaitkan dengan konteks

masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola memiliki tata cara peradaban

yang menjadi tradisi secara turun temurun. Selain itu, masyarakat Angkola sangat

menjunjung tinggi dan menghormati para ketua adat dan hal tersebut menunjukkan bahwa

sudah sejak dahulu adat istiadat pada masyarakat Angkola dilaksanakan oleh para ketua

adat dengan warga sekampung untuk melestarikan tradisi agar dapat diwariskan secara

turun temurun.

Teks 5: Hatani Pasahat BurangirTaon-Taon

Antong songon I mada, hamu payahan ni sigodang ni roha, suada ambat

bingkolangna, madung satumtum satahi inanta, amanta, maraud koum sisolkot.

Baen madung hamu, madung dipatobang adat. Nangkan baenon do tu hamu

sigodang ni roha na di pasahat nisi matobang, hatobangon dohot harajaon ima

diari sinayan, onpe dison disurduhon ma burangir taon-taon anso taon tondi

badan munu tu ari natupa na tumbuk, nangkan surduon muse do hamu burangir

sampe-sampe na pasampeon ni sigodang roha. botima.

Dari teks pidato di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek,

Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas

adalahinanta, amanta, koum sisolkot, hamu. Subjek pada teks pidato di atas mengacu

pada harajaon yaitu raja adat di kampung tersebut. Selanjutnya yang termasuk

Predikatordari teks di atas adalah panyambut, mambanjaran, marbinege, marsusun

yang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh raja adat di

kampung tersebut yaitu harajaon. Sementara yang menjadi Keterangan dari teks

peribahasa di atas adalah on pe dison, sigodang roha. Teks pidato di atas bila dikaitkan

dengan konteks masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola memiliki tata

cara peradaban yang menjadi tradisi secara turun temurun. Selain itu, masyarakat

Angkola sangat menjunjung tinggi dan menghormati para ketua adat.

Ilham Sahdi Lubis

Page 17: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

115

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Dari keseluruhan isi teks pidato dan peribahasa pada bagian kedua di atas dapat

disimpulkan bahwa pada dasarnya masyarakat Angkola sangat menjunjung tinggi adat

pada setiap kali ingin melaksanakan hajatan atau acara adat, di mana apabila ada salah

satu dari warga yang ingin melaksanakan horja atau pesta dalam hal ini adalah Suhut,

maka seluruh anggota keluarga akan bermusyawarah kepada para pataya-pataya adat

atau ketua adat untuk menyampaikan keinginan atau keluhan untuk meminta bantuan

kepada ketua adat tersebut agar kiranya disampaikan kepada para warga sekampung.

Dalam hal ini, martahi karejo merupakan acara adat yang dilakukan sebelum prosesi

upacara perkawinan pada masyarakat Angkola yang dimulai dari musyawarah seperti

yang sudah dianalisis di atasyakni berbicara dalam bertutur sapa yang sangat khusus dan

unik, antara barisan yang terdapat dalam dalian na toluyaitu Kahanggi, Anak Boru dan

Mora. Para anggota keluarga di atas yaitu Kahanggi, Anak Boru, Mora, Suhut, anak boru

Suhut, Pisang Raut, Parolok-olok, Hatobangon, Raja torbing balok, Raja Panusunan

Bulung direalisasikan sebagai Subjek untuk mengkaitkannya dengan Makna

Interpersonal. Seluruh anggota keluarga Suhut menyampaikan keinginan dan keluhannya

terhadap ketua adat dan para pembicara akan bersahut-sahutan yaitu juru bicara Suhut

akan mengutarakan ucapan terima kasih dan permohonan mengadakan sidang pesta adat

Diharoro ni anak ni rajasongonianak ni namoranadung martoru abaranamarnayang ni

lakka.

2. Pengodean Makna ke dalam teks makkobar

a. Konteks Situasi Martahi Karejo Pada Masyarakat Angkola

Secara konteks situasi, tradisi Martahi Karejo pada adat masyarakat Angkola

memiliki tiga peran penting yakni medan wacana (field of discourse), pelibat wacana

(tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse). pada penelitian ini, sarana

wacana pada tradisi martahi karejo adalah teks hobar.

Dibawah ini dapat dilihat konteks situasi dari acara adat martahi karejopada

masyarakat Angkola.

Tabel 5.1 Konteks situasi dari acara adat martahi karejo pada masyarakat Angkola

Medan Wacana Pelibat Wacana Sarana Wacana

Hata ni Suhut Suhut Si Habolonan Lisan: Monolog, berpidato dan

berpantun

Hata ni Kahanggi Kahanggi Lisan: Monolog, berpidato dan

berpantun

Hata ni Hombar Suhut Suhut Si Habolonan Lisan: Monolog, berpidato

Hata ni Anak Boru Anak Boru Lisan: Monolog, berpidato dan

berpantun

Hata ni Pisang raut Pisang Raut Lisan: Monolog, berpidato dan

berpantun

Hata ni mora Na Mora Lisan: Monolog, berpidato dan

berpantun

Hata mangalusi ni

Hatobangon

Hatobangon Lisan: Monolog, berpidato

Hata pangalusi ni

Harajaon

Harajaon Lisan: Monolog, berpidato dan

berpantun

Hata pangalusi ni orang

kaya

orang kaya Lisan: Monolog, berpidato dan

berpantun

Page 18: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

116

Hata pangalusi ni Raja Harajaon Lisan: Monolog, berpidato dan

berpantun

Hatani Pasahat Burangir

Taon-Taon

Raja panusunan

bulung

Lisan: Monolog, berpidato

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa medan wacana dari teks hobar pada tradisi

martahi karejo adalah Hata ni Suhut, Hata ni Kahanggi, Hata ni Hombar Suhut, Hata ni

Anak Boru, Hata ni Pisang raut, Hata ni mora, Hata mangalusi ni Hatobangon, Hata

pangalusi ni Harajaon, Hata pangalusi ni orang kaya, Hata pangalusi ni Raja, dan

Hatani Pasahat Burangir Taon-Taon. Sementara itu, yang dikategorikan sebagai pelibat

wacana dari teks hobar pada tradisi martahi karejo adalah Suhut Si Habolonan,

Kahanggi, Anak Boru, Pisang Raut, Na Mora , Hatobangon, Hatarajaon, OrangKaya,

dan Raja Pasunan Bulung. Sedangkan yang dikategorikan sebagai sarana wacana dari

teks hobar pada tradisi martahi karejo adalahpesan disampaikan secara lisan yaitu

dengan cara monolog, berpidato dan berpantun.

b. Konteks Situasi Martahi Karejo pada Teks Hobar

Pada tradisi martahi karejo terdapat tutur yang diucapkan oleh Suhut yakni yang

memiliki keinginan untuk melaksanakan hajat atau pesta adat dan harajaon yakni para

ketua adat. Kedudukan dari kedua belah pihak pada bagian ini dianggap sebagai pelibat.

Sementara itu, teks hobar dianggap sebagai medan pada saat martahi karejo, dan sarana

yakni tradisi lisan, berpidato dan berpantun. Dibawah ini dijelaskan lebih rinci kedudukan

masing-masing dalam konteks situai yang dimulai dari teks hobar bagian pertama dan

dilanjutkan ke bagian kedua.

Teks 1: Hata ni Suhut

Santabi sampulu, sampulu noli marsantabi. Di langit nah u jujung, di tano hu

jojahi. Parjolo au marsantabi, ompot adong na hurang lobi. Taradop tua sahala

ni anak ni raja-raja dohot anak ni na mora-mora. Sumurung lobi di Raja

Panusunan Bulung, haruaya parsilaungan, banjir par onding-ondingan, na malo

sumambut lidung, patama na di angan-angan.

Dison sumurdu burangir nami, ima:

Burangir si rara huduk

Sibontar adop-adop

Dalan margalas bisuk

Paboahon na dung dapot

Ima burangir na hombang

Dua sarangkap

Anso hombang tahi

Mardomu pokat

Pangitean ni andung dohot lidung taradop anak raja-raja dohot anak na mora-

mora di parsidangan na mulia on. Ia anggo dalan ni sinta-sinta na palalu si

godang di roha ima salaho di langka-langka ni boru si nuan tunas na giot

manopotkon anak namburana.

Teks diatas disampaikan oleh yang punya hajat pesta yakni dikodekan sebagai

Suhut Si Habolonan di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang

dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata ni

Ilham Sahdi Lubis

Page 19: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

117

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Suhut. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, berpidato, dan

berpantun untuk menyatakan maksud dan tujuan.

Teks 2: Hata ni Kahanggi

Ia bo ale tutu, santabi sampulu noli marsantabi, hu jujung do jari sampulu

pajongjong adat dohot ugari na tutu madai andung dohot holos ni suhut si

habolonan, taringot di langka-langka ni boru si nuan tunas.

Songon on ma ibana, na paihut-ihut dalan, , na paihut padan ni ompunta na

hinanan, manjalahi dongan matobang. Ia anggo hami kahanggina, laing songon

pandokkon ni umpama do da.

Muda dapot di tikkina sang ape di masona, anso nian martoruk ni abara sude

anak ni raja dohot anak ni namora. Pasaut patuluskon, ja na pasahat

pasanggalkon tu tondi dohot badan ni si godang di roha. Tar botimada sahat ni

hata sian hami kahanggina.

Teks diatas disampaikan oleh saudara laki-laki dari Suhut Si Habolonan beserta

seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif para istri merekayakni dikodekan

sebagai Kahanggi di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang

dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata ni

Kahanggi. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, berpidato, dan

berpantun untuk menyatakan maksud dan tujuan.

Teks 3: Hata ni Hombar Suhut

Sauduran do da hata ni suhut si habolonan. Taradop sude anak ni raja na di

parsangapan. Mangkoloskon lidung ni suhut si habolonan maradopkon anak ni

raja dohot ni na mora, dalan pasaut baga-baga nadung honok di angan-angan.

Maradu solkot ni na markoum, boti muse dongan sahuta.

Songon pandokkon ni umpama:

Baen ampagaga hurlang do da ampagaga dolok baen hita do na haduan, hita

muse do na ancogot. Hita do artina naudut mar sipanginjangan, tempel

marsipagodangan. Tarlobi songon on, payahan ni sigodang ni roha. Hami peda,

hombar suhut laing na dohot ma, pasahat pasanggalkon taradop anak ni raja

songon I anak ni na mora, botima.

Teks diatas disampaikan oleh yang punya hajat pestayakni yang dikodekan sebagai

Suhut si habolonan di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang

dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata

ni Hombar Suhut. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, berpidato,

dan berpantununtuk menyatakan maksud dan tujuan.

Teks 4: Hata ni Anak Boru

Bahasa Mandailing:

Santabi sampulu, sampulu noli santabi, parjolo do sumbangku, ampot adong

hata na hurang lobi. Tarlobi di morangku, ima suhut sihabolonan di bagas na

godang on. Songon I di raja Panusunan Bulung na manjadi uluan di parsidangan

on maradu sude anak ni raja dohot namora.

Page 20: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

118

Ia anggo hata ni andung dohot holos ni suhut sihabolonan maradopkon anak ni

raja dohot na mora, hatobangon, songon i dohot orang kaya. Na tama, na tupa

madai. Laing na pastak pago-pago mada on, adat pangalaho ni ompunta na

robian.

Ia hami barisan anak boru, na torjak tu pudi do, jul-jul tu jolo. Anggo hami do

laing na manjuljulkon morana do. Laing sapangido do hami sanga bia do dalan

so tulus na tarsarkap di roha ni suhut sihabolonan. Boti mada hata name barisan

anak boru.

Teks diatas disampaikan oleh saudara perempuan dari suhut, inklusif para suami

mereka, beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki yakni yang dikodekan

sebagai Anak Boru di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang

dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata ni

Anak Boru. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, berpidato, dan

berpantun untuk menyatakan maksud dan tujuan.

Teks 5: Hata ni Pisang Raut

Hami sian anak boru Pisang Rahut na sauduran do hata nami mangihutkon hata

ni na mora songoni dohot hata ni mo ni morangku, maradopkon anak ni raja

dohot na mora. Anso dipasaut dipatulus aha na tarsangkap di roha ni suhut

sihabolonan di bagas na godang on. Baen dison do raja panusunan Bulung

songoni hatobangon maraud di orang kaya baen iba na do na pataya-taya adat

dohot nampuna uhum ja na paganagana ugari. Dapot jolo nian marlapang ni

pangarohai patuluskon baga-baga ni suhut sihabolonan di bagas na godang on.

Ima taringot di na pajong-jong siualaon na patidahon godang ni roha taradop

parumaen nagiot langka matobang.

Teks diatas disampaikan oleh ipar dari anak boru yakni yang dikodekan sebagai

Pisang Raut di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang dianggap

medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata ni Pisang

Raut. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, dan berpidato untuk

menyatakan maksud dan tujuan.

Teks 6: Hata ni Mora

Ompui na diparsanggapi di sidingna mulia on, songoni hatobangon, harajaon,

maraud di orang kaya, sitiop adat pangalaho di banuaon. Parjolo au marsantabi

sampulu tu adopan ni sude koumku. Songon na mandondoni hata ni suhut

sihabolonan ima anak borungku dibagasan bagas on anso dapot artina dipasut

dipatulus laing songon hata umpama do:

Muda udur dipardalanan

Udur doi diparusahoan

Muda udut marsipaginjangan

Temple mai marsipagodangan

Onpe ampapaga ni aek Malakut

Di napa-napa ni lubukraya

Dapot nian baga-baga dipasaut

Na di pasaut ni anak di raja

Teks diatas disampaikan oleh saudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari suhut,

serta seluruh keturunannya yakni yang dikodekan sebagai Mora di dalam teks tersebut

dianggap sebagai pelibat. Sementara yang dianggap medan adalah keseluruhan isi teks

Ilham Sahdi Lubis

Page 21: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

119

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata ni mora. Kemudian yang dianggap sebagai

sarana adalah monolog, berpidato, berpantununtuk menyatakan maksud dan tujuan.

Teks 1: Hata mangalusi ni Hatobangon

Santabi sampulu di sude hamu suhut sihabolonan, anak boru dohot pisang

rahutna tarlobi-lobi di morana, nadung marlindung di sidang na mulia on.

Sumurung lobi di ompui raja Panusunan Bulung, maraud harajaon, hatobangon

situan natorop anak ni raja dohot na mora, sumambut lidung di hamu sidongkon

hata. Nadung mangundang dohot mangkoloskon sinta-sinta dibagasan roha.

Tarigot di boru sinuan tunas, boru lomo-lomo hasayangan na giot langka

matobang manotopkon anak namboruna.

Ale, hamu suhut sihabolonan, na markoum markahanggi, namarboru marpisang

rahut, anggo hami da hatobangon di huta on, laing na manjagit. Dohot

patuluskon mada aha na tarsarkap di bagasan roha munu. Nian jarupe songon I,

baen dison dope dongan na dua tolu, hatobangon dohot harajaon songon I di

orang kaya, tarlobi-lobi di Ompui Raja-raja Panusunan Bulung, ibana do na

padomu pangalaho. Dohot ibana do: Na mamudun songon tali na mambobok

songon soban. Na malo padomu tahi dohot palaluna di angan-angan.

Teks diatas disampaikan oleh raja adat di kampung tersebutyakni yang dikodekan

sebagai Hatobangon di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang

dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata

mangalusi ni Hatobangon. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog,

berpidato. Dan berpantununtuk menyatakan maksud dan tujuan.

Teks 2: Hata pangalusi ni Harajaon:

Santabi sampulu di sidang na mulia on, hormat tu anak ni raja songoni dohot

anak ni na mora. Tutu nangkin di arian I, ro ontang munu tu hami, ima hamu

suhut si habolonan, anggiat anso marlagut di bagas na mulia on. Ima pado ari

borngin on. Dung tolap hami tu son jana di patating munu do sipulut mardongan

inti songon dalan na palagut roha nami. baen madung salose na markopi sagiro

do anak boru munu ima goruk-goruk ni hapinis jonjong manyurduon burangir

dalan patipal na puran di jolo ni anak raja dohot anak ni na mora.

Mangandungkon holos dohot lidung na mandokkon boru na giot langka

matobang.

Onpe dison dope orang kaya songoni dohot raja panusunan bulung. Baen ibana

do na malo sumambut lidung tu ibana doma ta soraho, botima.

Teks diatas disampaikan oleh raja adat di kampung tersebut yakni yang dikodekan

sebagai Harajaon di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang

dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata

pangalusi ni Harajaon. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog,

berpidato, dan berpantununtuk menyatakan maksud dan tujuan.

Teks 3: Hata pangalusi ni orang kaya

Hormat dohot tabi tu adopan ni raja dohot namora, napatidahon lan ni bohi,

dohot na padomu roha.

Page 22: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

120

Ompu I na diparsangapi dohot koum sisolkot sasudena, baen na madung totor

rap ta bege andung dohot holos ni suhut sihabolonan, nadung dipajojor ni suhut

kahanggi maraud di anak boru na. Nangkan patolkas sinta-sinta, ima sigodang

ni roha nangkan pajuguk boru sinuan tunas dohot anak namboruna, Ulang be

nian adong janggal bingkolangna.

Ia anggo orang kaya na manjagit dohot patuluskon mada jarupe songon I dison

do ompui, na malo sumambut lidung, dohot na padomu tahi, tu ibana ma ta

sorahon botima.

Teks diatas disampaikan oleh orang kaya di dalam teks tersebut dianggap sebagai

pelibat. Sementara yang dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang

diklasifikasikan sebagai Hata pangalusi ni orang kaya. Kemudian yang dianggap

sebagai sarana adalah monolog, berpidato, dan berpantun untuk menyatakan maksud dan

tujuan.

Teks 4: Hata pangalusi ni Raja (Pimpinan Adat)

Antong songoni mada hamu suhut sihabolonana, kahanggi, anak boruna, pisang

rahut, tarlobi-lobi di hamu bagian morana. Bahat mauli ate di sude di

panyambut ni haroro nami manopoti undangan munu tu bagas na martua on. Ia

marbinege di andung dohot holos munu, dalan padomu tahi dohot sude anak ni

raja dohot morana, madung suang songon hata ni umpama: “Marsusun songon

eme, marbanjaran songon jagung dohot isina pe madung torang”.

On pe sudena di parsinta ni roha munu, suada ambat bingkolang, na tama pasaut

patuluson mada i. Antong sude di anak ni raja dohot na mora di sidang na mulia

on bege mahita, muda dapot di tingkina, mar rim ni tahi hita

mangalaksanahonna.

Buat hamu ma burangir taon-taon, anso ta pataon tondi dohot badan ni halahi

nangkan payahan ni sigodang ni roha. Muda dapot di tingkina anso ulang bagi

mahua. Dison do orang kaya na malo mangunting dohot na malo mangalipat

mangatur sanga bia dalan satulus sude nadung dipudun di partahian on. Orang

kaya doma pasahat harejo on tu:

Inanta parina-inaan

Parama-amaan

Naposo bulung

Nauli bulung

Atur ma orang kaya botima

Teks diatas disampaikan oleh raja di kampung tersebut yakni yang dikodekan

sebagai Harajaon di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang

dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata

pangalusi ni Raja. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, berpidato.

Dan berpantununtuk menyatakan maksud dan tujuan.

Teks 5: Hatani Pasahat BurangirTaon-Taon.

Antong songon I mada, hamu payahan ni sigodang ni roha, suada ambat

bingkolangna, madung satumtum satahi inanta, amanta, maraud koum sisolkot.

Baen madung hamu, madung dipatobang adat. Nangkan baenon do tu hamu

sigodang ni roha na di pasahat nisi matobang, hatobangon dohot harajaon ima

Ilham Sahdi Lubis

Page 23: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

121

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

diari sinayan, onpe dison disurduhon ma burangir taon-taon anso taon tondi

badan munu tu ari natupa na tumbuk, nangkan surduon muse do hamu burangir

sampe-sampe na pasampeon ni sigodang roha. botima.

Teks diatas disampaikan oleh raja diraja adat atau pimpinan sidang yakni yang

dikodekan sebagai Raja panusunan bulungdi dalam teks tersebut dianggap sebagai

pelibat. Sementara yang dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang

diklasifikasikan sebagai Hatani Pasahat BurangirTaon-Taon. Kemudian yang dianggap

sebagai sarana adalah monolog, dan berpidato untuk menyatakan maksud dan tujuan

3. Makna Martahi Karejo

1. Makna Perangkat Adat Martahi Karejo

Bab ini membahas tentang perangkat adat yang dilaksanakan pada upacara adat

martahi karejo pada masyarakat angkola. Ada beberapa perangkat adat yang mempunyai

arti luas dan mempunyai filsafat bagi masyarakat angkola khususnya, yakni Makna dan

Filsafat perangkat adat martahi karejo pada masyarakat Angkola, yaitu:

a. Burangir (sirih)

Burangir atau sirih ini sebagai penanda dari hasuhuton ataupun kahanggi karena

jika sirih ini dimakan akan mengeluarkan warna merah yang menandakan bahwa antara

suhut dan kahanggi ini adalah sedarah. Burangir merupakan simbol dari hasuhutan atau

kahanggi.

b. Gambir

Gambir ini sebagai penanda kepada anak boru karena rasa dari gambir tersebut ada

manis dan pahit, kemudian gambir ini diibarakan kepada kerja dari anak boru karena

pekerjaan itu adat yang berat dan ada juga yang ringan, disamping itu keuntungan dari

anak boru ini adalah diberi kebebasan melakukan apa saja yang ada di dalam pelaksanaan

horja (pesta), sehingga anak boru ini juga dikatakan dalam istilah masyarakat angkola,

yakni si horus nalobi sitamba na urang, artinya bila dalam pelaksanaan itu ada yang lebih

maka semuanya akan diberikan kepada anak boru dan apabila ada yang kurang maka

terpaksa anak boru ini mencukupi atau menambah kekurangan tersebut agar pihak suhut

atau mora tidak merasa malu dalam melaksanakan acara horja (pesta) tersebut.

c. Soda

Pengertian dari soda pada masyarakat Angkola yang mempunyai warna putih tetapi

memiliki rasa yang pedas seperti terbakar. Soda tersebut sebagai penanda kepada mora

karena apapun yang disampaikan mora sebagai orang yang dihormati dan yang mengatur

pelaksanaan horja (pesta) adalah benar mora sebagai penyampai segala sesuatu pesan

yang diamanatkan, walaupun terkadang pahit dirasakan oleh pihak yang medengarkan,

dalalm hal ini mora tidak akan salah karena seperti soda yaitu setiap yang putih itu

menyampaikan yang jernih, walaupun yang menerimanya merasa pahit atau sakit harus

selalu diterima.

d. Pining (pinang)

Pining sebagai penanda keapda mora. Makna dari pining atau pinang adalah jika

pinang tersebut dibelah menjadi dua akan terlihat garis-garis berwarna merah dan juga

berwarna putih. Pinang ini dilambangkan kepada harajaon dan hatobangon karena apa

saja yang disampaikan oleh mereka walaupun itu manis atau pahit harus benar-benar

Page 24: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

122

ikhlas menerimanya dan apapun yang diberikan oleh harajaon dan hatobangon harus

diterima apa adanya sekalipun tidak suka. Pengertiannya adalah kalau kita lakukan dan

laksanakan dengan benar apa yang disampaikan oleh harajaon dan hatobangon maka

pinang ini akan menjadi obat yang artinya apa yang kita kerjakan pada saat melaksanakan

horja (pesta) dengan mendengarkan saran dari mereka pasti akan menjadi baik.

e. Timbako (tembakau)

Tembakau sebagai penanda kepada orang kaya. Dalam hal ini yang pertama dibahas

mengenai timbako (tembakau) adalah asap karena apabila tembakau ini di hisap

(merokok) maka asapnya akan pergi ke atas dan menyebar, tembakau ini dilambangkan

kepada orang kaya.Orang kaya disini adalah yang memberikan rang-rangan, artinya

kemanapun diletakkan orang kaya ini yang mengarahkan dan orang kayalah yang

memberikan gambaran menegenai apa yang harus dikerjakan dan dilaksanakan pada

horja (pesta) tersebut. Segala sesuatu kegiatan yang terjadi pada saat pelaksanaan horja

(pesta) orang kaya mengatur kapan fase-fase pelaksanaannya dan mengatur waktu, yakni

bulan, minggu, hari dan jam berapa yang tepat untuk dilaksanakan.

f. Pinggan (piring)

Pinggan (piring) disebut juga dengan pinggan parsadaan, pada zaman dahulu

piring ini terbuat dari kayu, tetapi setelah datang barang-barang dari luar negeri terutama

dari cina ada yang disebut dengan pahar yang terbuat dari kuningan. Kemudian terakhir

ada pinggan godangdari negeri cina juga tetapi tebuat dari porselen. Pinggan (piring)

memiliki arti parsadaan (kesatuan) dan masyarakat Angkola memiliki istilah untuk piring

tersebut yakni sapinggan sapangananyang artinya adalah adat batak adalah satu dan

masyarakat batak adalah satu. Kemudian perangkat adat sirih, gambir, soda, pinang, dan

tembakau diletakkan diatas piring ini agar bias melaksanakan yang sudah diamanatkan

dan bias dikerjakan bersama-sama.

g. Abitbugis (kain)

Abit dilihat dengan secara umum digunakan untuk menutupi bagian yang perlu

ditutup. Bagian yang perlu ditutup dalam pelaksanaan adat ini adalah permohonan dari

suhut. pada saat melaksanakan martahi karejo suhut ini mengajukan beberapa

permohonan atau permintaan agar terlaksana horja (pesta) yang akan dilaksanakan

dengan ulasan agar bisa lebih baik lagi maka di tutupilah dengan abit ini yang artinya

permohonan dari suhut tersebut bias dipenuhi.

h. Hadangan

Ada aturan untuk meletakkan hadangan ini yaitu mulut dari hadangan ini

dihadapkan di depan harajaon di persidangan yang artinya agar pihak dari suhut atau

yang melaksanakan adat tersebut dari atas sampai bawah agar di isi hadangan tersebut

dengan memenuhi keinginan dari suhut untuk dapat diberkatu dan apa yang diinginkan

oleh suhut dapat terlaksana dengan baik.

Ada beberapa perbedaan perangkat adat dalam melaksanakan horja godang yaitu

pada abit dan hadangan. Pada pelaksanaan horja kecil biasanya memakai abit bugis dan

hadangantetapi pada pelaksanaan horja godang abit yang dipakai adalah abit

godangkarena permintaan atau permohonan dari yang melaksanakan horja godang atau

suhutlebih besar dan lebih banyak dan abit ini juga menunjukkan marsabe-sabe untuk

manortor. Sedangkan untuk hadangan juga diganti dengan talam karena permintaan dari

suhut bukan sedikit yang ingin dilaksanakan dan dipatuhi sesuai dengan pengertian abit

godang tersebut.

Ilham Sahdi Lubis

Page 25: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

123

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Gambar 5.1 Perangkat adat martahi karejo

4. Kearifan Lokal Pada Tradisi Martahi Karejo

Dalam bab ini peneliti dideskripsikan mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang

terdapat pada upacara adat martahi karejo masyarakat Angkola.

a. Nilai Kearifan Bergotong-Royong

Dalam proses martahi karejo pada upacara adat masyarakat Angkola tidak

mungkin mampu dikerjakan sendiri oleh keluarga yang ingin melaksanakan hajatan.

Semua keluarga dekat dan tetangga mempunyai kebersamaan untuk membantu hajatan

tersebut, dalam hal ini yang ikut membantu baik muda maupun tua. Menantu lelaki,

menantu perempuan bahkan pejabat pemerintahpun mempunyai kedudukan tertentu

dalam suku, maka tidak segan-segan turun tangan dalam membantu pesta pernikahan itu.

Begitu juga dalam pendanaan, masyarakat juga ikut dalam membantu memberikan

bantuan untuk meringankan beban kepada pihak yang menyelenggarakan pesta

pernikahan. Ketika musyawarah seluruh keluarga dan orang yang mempunyai ikatan dan

suku dan keluarga diawal sudah membantu berdasarkan kemampuannya masing-masing.

Dalam hajatan tersebut, nampak sekali nilai gotong-royongnya, ibu-ibu sudah bergabung

menyiapkan bumbu-bumbu masakannya, generasi muda memasak nasi, mengangkat

piring dan mencucinya, memasang hiasan. Membantu keluarga yang sedang

melaksanakan hajatan merupakan sebuah kebanggaan bagi masyarakat Angkola dan yang

ikut membantu secara gotong-royong begitu banyak, begitu juga tamu yang hadir.

Semakin tinggi status sosial masyarakatnya semakin tinggi pula partisipasi masyarakat

membantunya baik bantuan tenaga maupun materinya.

b. Nilai Kearifan Musyawarah

Dalam data teks kedua dari Hata pangalusi ni Harajaon dapat dilihat bahwa makna

martahi karejo yang sebenarnya yaitu musyawarah yang dilaksanakan oleh masyarakat

Angkola untuk menitipkan kerja kepada kerabat dan masyarakat setempat, dimana

masyarakat setempat yang dianggap sebagai pemuka-pemuka adat yang sering disebut

masyarakat angkola sebagi harajaon atau hatobangon dan semua keluarga dari pihak yang

ingin melakukan suatu hajatan dikumpulkan dalam suatu waktu yang bersamaan hanya

untuk menjelaskan maksud dan tujuan untuk melakukan hajatan, serta untuk

memusyawarahkan segala permasalahan yang dianggap penting dalam pelaksanaan

hajatan tersebut. Pada akhirnya musyawarah ini nanti akan menghasilkan suatu

kesepakatan tentang bagaimana hajatan ini akan dilaksanakan.

Dapat kita simpulkan bahwa masyarakat Angkola mempunyai salah satu sifat yakni

selalu musyawarahkan segala hal yang sudah menjadi tradisi untuk memperoleh

kesepakatan serta keputusan bersama dalam melaksanakan suatu hajatan khususnya yang

Page 26: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

124

berhubungan dengan tradisi dan masyarakat Angkola adalah masyarakat yang

menjunjung tinggi nilai musyawarah baik itu dalam pelaksanaan tradisi ataupun dalam

kehidupan sehari-hari, karena sifat musyawarah ini telah dibentuk sejak dahulu dalam

lingkungan masyarakat Angkola.

c. Nilai Kearifan Kehormatan

Nilai-nilai kearifan kehormatan dapat dilihat dalam teks Hata ni Suhut yang

mengatakan bahwa Masyarakat Angkola adalah masyarakat yang sangat menjunjung

tinggi sebuah nilai kehormatan. Tidak semua orang mendapat tempat spesial sebagai

seseorang yang harus dihormati, oleh karena itu hanya orang–orang terpilihlah yang

ditentukan secara adat yang akan mendapat tempat kehormatan tersebut dan masyarakat

angkola sering menyebutnya dengan hatobangon dan harajaon, begitu juga nilai

kehormatan yang terdapat dalam Dalihan natolu, dimana seseorang yang disebut anak

boru harus selalu hormat kepada seseorang yang disebut mora karena di dalam adat

masyarakat angkola kedudukan mora lenih tinggi dari kedudukan anakboru.

Dalam berkomunikasi misalnya pada acara adat martahi karejo, semua perkataan

yang akan disampaikan harus diawali dengan kata-kata meminta maaf terlebih dahulu

kepada hatobangon maupun harajaon, serta selalu menggunakan kata- kata yang

dirangkai sedemikian indah menjadi suatu pantunyang akan mewakili maksud serta

tujuan yang akan disampaikan, hal ini dilakukan agar seseorang yang dihormati ini

merasa tersanjung serta tidak merasa tersinggung apabila terdapat kata-kata yang kurang

berkenan dalam penyampaian maksud dan tujuan yang ingin disampaikan

nantinya.Sehingga terlihat jelas bahwa dalam bertindak serta bertutur katapun masyarakat

angkola sangat berhati-hati terutama pada orang-orang tertentu khususnya yang dianggap

sebagai pemuka-pemuka adat, dan pada akhirnya hal inilah yang akan menjadikan

masyarakat angkola sebagai masyarakat yang sopan dan santun dalam bertindak maupun

berkata-kata baik dalam pelaksanaan tradisi maupun dalam kehidupan sehari-hari, baik

dalam lingkungan masyarakat angkola ataupun lingkungan masyarakat lainnya.

d. Nilai Kearifan Kekerabatan

Nilai kekerabatan atau keakraban merupakan nilai kearifan lokal yang sangat

penting dalam suatu tradisi. Hal ini terlihat pada upacara adat martahi karejo, di mana

suatu keluarga yang ingin melaksanakan suatu hajatan, meminta bantuan kepada para

ketua adat untuk membantu meringankan pekerjaan mereka dalam melaksanakan hajatan

agar para ketua adat tersebut kiranya dapat mengabarkan kepada para warga sekampung

bahwasanya akan dilaksanakan suatu hajatan. Hunbungan kekerabatan dalam hal ini

terlihat pada tutur sapa yang baik karena pertautan darah ataupun pertalian pernikahan.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

ada enam proses upacara martahi karejo pada masyarakat Angkola yakni (1) tahi

ungut-ungut atau tahi ulu ni tot, (2) tahi unung-unung sibahue atau unung-unung bodat,

(3) tahi sabagas atau tahi dalihan na tolu,(4) tahi sahuta pasahat karejo, (5) tahi godang

dan (6) tahi haruaya mardomu bulung atau maralok-alok haruaya bulung. Pada dasarnya

masyarakat Angkola sangat menjunjung tinggi adat pada setiap kali ingin melaksanakan

hajatan atau acara adat, di mana apabila ada salah satu dari warga yang ingin

melaksanakan horja atau pesta dalam hal ini adalah Suhut, maka seluruh anggota

keluarga akan bermusyawarah kepada para pataya-pataya adat atau ketua adat untuk

Ilham Sahdi Lubis

Page 27: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

125

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

menyampaikan keinginan atau keluhan untuk meminta bantuan kepada ketua adat

tersebut agar kiranya disampaikan kepada para warga sekampung. Dalam hal ini, martahi

karejo merupakan acara adat yang dilakukan sebelum prosesi upacara perkawinan pada

masyarakat Angkola yang dimulai dari musyawarah seperti yang sudah dianalisis di

atasyakni berbicara dalam bertutur sapa yang sangat khusus dan unik, antara barisan yang

terdapat dalamdalian na toluyaitu Kahanggi, Anak Boru dan Mora. Setiap anggota

berbalas tutur yang teratur seperti berbalas pantun atau peribahasa secara bergiliran

dengan pembicara yaitu juru bicara yang punya hajat pesta (Suhut), Suhut (yang punya

hajat pesta), Anak Boru suhut (menantu yang punya hajat), Pisang Raut (ipar dari anak

boru), Hatobangan (raja adat di kampung), Raja panusunan bulung (raja diraja adat atau

pimpinan sidang). Para anggota keluarga di atas yaitu Kahanggi, Anak Boru, Mora,

Suhut, anak boru Suhut, Pisang Raut, Parolok-olok, Hatobangon, Raja torbing balok,

Raja Panusunan Bulung direalisasikan sebagai Subjek untuk mengkaitkannya dengan

makna interpersonal.

Makna perangkat adat yang mempunyai arti luas dan mempunyai filsafat bagi

masyarakat Angkola khususnya, Perangkat adat satu sampai lima dikatakan juga pada

istilah masyarakat Angkola, yakni empat ganjil lima gonop yang artinya emapat masih

terasa ganjil atau janggal maka harus dibuat 5 agar menjadi genap ataupun lengkap. Nilai-

nilai kearifan lokal pada tradisi martahi karejo merupakan unsur nilai yang memiliki nilai

kearifan gotong-royong, nilai kearifan dalam bermusyawarah, nilai kearifan kehormatan,

dan nilai kearifan kekerabatan. Keseluruhan nilai kearifan di atas dilakukan dengan usaha

yang maksimal antara masyarakat Angkola dengan para ketua adat dalam melaksanakan

tradisi martahi karejo yang bertujuan untuk melestarikan dan mewariskan pengetahuan

tentang adat dan peradatan kepada generasi muda, serta memupuk rasa persaudaraan

antara sesama pada masyarakat Angkola.

2. Saran

Diperlukan usaha yang maksimal melalui pemahaman budaya yang sengaja dibuat

oleh para pendiri adat, sehingga budaya adat dapat diwariskan kepada generasi muda

melalui pelestarian tradisi budaya adat tersebut. Para tokoh adat hendaknya memberikan

kesempatan kepada para remaja untuk dapat berpartisipasi yang sebesar-besarnya di

dalam pelaksanaan adat yang sesungguhnya.

Tesis ini memperlihatkan adanya realisasi makna interpersonal yang terdapat pada

teks hobar di dalam tradisi martahi karejoyang dikaji lebih lanjut untuk kajian linguistik

dan semiotik sehingga terjadi akulturasi budaya etnik, asimilasi dengan kajian yang

beragam, sehingga tesis ini diharapkan menjadi penggerak yang berkelanjutan terhadap

penelitian yang berhubungan dengan budaya. Pada bidang linguistik, diharapkan tesis ini

dapat memberikan motivasi bagi peneliti berikutnya untuk mengkaji lebih dalam hal-hal

yang belum selesai dikaji pada penelitian ini, apalagi perlunya melihat hubungan timbal-

balik antara tradisi masyarakat dengan linguistik yang secara implisit dipengaruhi oleh

alam dan lingkungan, sehingga hubungan manusia dengan alam dan linguistik tidak dapat

dipisahkan.

Page 28: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

126

DAFTAR PUSTAKA

Amri, Yusni khairul. (2011). Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan:

Pemahaman Leksikon remaja Di Padangsidimpuan: Universitas Sumatera Utara.

Arikunto, Suharsini. (1999). Prosedur Penilaian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

Rineka Cipta.

Bogdan dan Biklen, (1982). Ciri-ciri penelitian kualitatif. Jatinagor: Fitkom Unpad.

Bogdan, R. and Taylor, S.J. (1975). Introduction to Qualitative Research Methode. New

York: John Willey and Sons.

Bungin, Burhan. (2011). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.

Halliday, M. A. K. (1978). Language As A Social Semiotics. London: Edward Arnold.

________. M.A.K. Hasan R. (1985). Language, Context, and Text: Aspect of Language

in A Social Semaiotic Perspective. London: Oxford University Press.

________. (1994). An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold.

Halliday, M.A.K. & Hasan, R. (1992). Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa

dalam Pandangan Semiotik Sosial: Gajah Mada University Press.

Hoed, B.H. (2008). Komunikasi Lisan sebagai dasar Tradisi lisan dalam Metodologi

Kajian Tradisi Lisan Editor Pudentia. Jakarta: Asosisasi Tadisi Lisan.

Mahsun, M.S. (2011). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan

Tekniknya. Jakarta: Rajawali Pers.

Miles Mathew. B. & Huberman Michhael. (1992). Data Management and Analysis

Methods, (terjemahan Affandi). Jakarta: UI. Press.

Moleong, lexy J. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja

Rosda Karya.

Nasution H. Pandapotan, (2012). Horja Haroan Boru: Yayasan Pencerahan Mandailing.

________________. (2012). Horja Pabuat Boru: Yayasan Pencerahan Mandailing.

________________. (2012). Manulak Sere: Yayasan Pencerahan Mandailing.

Ogden dan Richard. (1923). The Meaning of Meaning. London. Routledge & Kegan Paul

Ltd.

Peirce, Charles Sanders, (1970), La Theorie des Sifnes et la Pragmatisme. Dalam

epitimologi sosiologi 10.

Pudentia, MPSS. (2008). Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi

Lisan (ATL).

Saragih Amrin. (2006). Bahasa dalam Konteks Sosial. Medan: Program Pasca Sarjana

Unimed.

________. (2011). Semiotik Bahasa: Tanda, Penanda dan Petanda Dalam Bahasa.

Bahan Ajar Perkuliahan Semiotik Program Studi Linguistik USU. Medan.

Saussure, Ferdinand. (1988). Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Universitas Gajah

Mada Press.

Saussure, Ferdinad. (1959). Course in General Linguistics. Phiolosopical Library: New

York.

Ilham Sahdi Lubis

Page 29: TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN

127

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Sibarani, Robert. (2012). Kearifan Lokal “Hakekat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan”.

Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropology Linguistik-Linguistik

Antropology, Medan: Penerbit Poda (ISBN 979-3150-02-5).

Sinar, Tengku Silvana (2003). Teori dan Analisis Wacana. Pendekatan Sistemik

Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.

__________. (2008). Teori dan Analisis Wacana. Pendekatan Sistemik Fungsional.

Medan: Pustaka Bangsa Press.

_______. (2010). Teori & Analisis Wacana, Pendekatan Linguistik Sistemik-Fungsional.

Medan: Pustaka Bangsa Press.

Siregar Baumi, G. Gelar H. Sutan Tinggi Barani (1977). Burangir Na Hombang: Partama

Mitra Sari

____________ G. Gelar H. Sutan Tinggi Barani (1977). mangupa di na haraon boru:

Partama Mitra Sari.

____________ G. Gelar H. Sutan Tinggi Barani (1990), Partuturon: Partama Mitra sari

____________ G. Gelar H. Sutan Tinggi Barani (1996). Ruhut-ruhut ni Adat Paris-Paris

ni Paradaton: Pedoman Memimpin Sidang Adat. Partama Mitra Sari

____________ G. Gelar H. Sutan Tinggi Barani (1984). Seni Budaya Tradisional Daerah

Tapanuli Selatan : Partama Mitra Sari.