plagiat merupakan tindakan tidak terpuji kajian ... · dengan cerminan kebudayaan, tradisi lisan...

307
KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TRADISI LISAN DÉRÉ SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI MASYARAKAT MANGGARAI TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN YOGYAKARTA 2020 Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister Oleh: KRISTIANA JAYANTI ANDANG NIM: 181232001 UNIVERSITAS SANATA DHARMA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM MAGISTER JURUSAN BAHASA DAN SENI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upload: others

Post on 31-Jan-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS NILAI-NILAI KEARIFAN

    LOKAL TRADISI LISAN DÉRÉ SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI

    MASYARAKAT MANGGARAI

    TESIS

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

    FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

    YOGYAKARTA

    2020

    Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister

    Oleh:

    KRISTIANA JAYANTI ANDANG

    NIM: 181232001

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM MAGISTER

    JURUSAN BAHASA DAN SENI

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • i

    KAJIAN EKOLINGUISTIK METAFORIS NILAI-NILAI KEARIFAN

    LOKAL TRADISI LISAN DÉRÉ SEBAGAI MANIFESTASI JATI DIRI

    MASYARAKAT MANGGARAI

    TESIS

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

    FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    YOGYAKARTA

    2020

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM MAGISTER

    JURUSAN BAHASA DAN SENI

    Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Magister

    Oleh:

    KRISTIANA JAYANTI ANDANG

    NIM: 181232001

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • iv

    MOTO

    “Rahasia kesuksesan adalah mengetahui yang orang lain tidak tahu.”

    (Aristotle Onassis)

    “Hiduplah seolah engkau mati besok. Belajarlah seolah engkau hidup selamanya."

    (Mahatma Gandhi)

    HALAMAN PERSEMBAHAN

    Seiring dengan ucapan syukur ke hadirat TYME yang telah memberikan berkat dan

    restunya hingga saat ini saya dapat menyelesaikan Tesis ini, karya ini saya

    persembahkan bagi bagi kedua orang tua, Bapak Hendrikus Andang dan Ibu Yofita

    Setia yang senantiasa setia memberikan dukungan baik secara moril maupun materi

    selama proses belajar dan penyelesaian Tesis.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • vii

    Andang, K., J., 2020. Kajian Ekolinguistik Metaforis Nilai-Nilai Kearifan Lokal

    Tradisi Lisan Déré sebagai Manifestasi Jati Diri Masyarakat Manggarai.

    Tesis. Yogyakarta: Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Magister,

    Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

    Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendeskripsikan wujud nilai-nilai kearifan

    lokal, 2) mendeskripsikan makna simbolik nilai-nilai kearifan lokal, 3)

    Mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal Déré yang menunjukan manifestasi jati diri

    mamasyarakat Manggarai, 4) Mendeskripsikan strategi preservasi. Jenis penelitian

    adalah penelitian kualitatif yang dengan pendekatan ekolinguistik metaforis. Objek

    dalam penelitian ini adalah wujud kearifan lokal, makna simbolik wujud kearifan

    lokal, nilai kearifan lokal yang menunjukan manifestasi jati diri masyarakat

    Manggarai dalam tradisi lisan Déré. Data dalam penelitian ini berupa bagian-bagian

    tradisi lisan Déré. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode

    simak dengan teknik dasar dan teknik lanjutan serta metode etnografi.

    Metode simak dan teknik ini disejajarkan dengan metode observasi dalam

    penelitian sosial sedangkan metode etnografi digunakan untuk melakukan wawancara

    mendalam. Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti yang didukung dengan

    pedoman wawancara dan alat bantu rekam. Penelitian ini menggunakan metode

    analisis ektralingual dan kontekstual yang disejajarkan dengan metode deskripsi

    kebudayaan dalam etnografi. Prosedur analisis data dalam penelitian ini meliputi

    proses identifikasi data yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,

    klasifikasi data, interpretasi, triangulasi, konfirmasi, dan penulisan laporan hasil

    penelitian.

    Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama dalam tradisi lisan Déré

    terdapat kearifan lokal tidak berwujud nyata (intangible) berupa 1) ungkapan, 2)

    bidal, 3) metafora, 4) petuah, 5) kepercayaan dan 6) kebiasaan dan kearifan lokal

    berwujud nyata (tangible) berupa 1) air (Waé) dan 2) altar (compang). Kedua, makna

    simbolik wujud kearifan lokal tradisi lisan Déré yaitu, 1) raja, 2) pohon, 3) altar

    (compang), 4) Ndéréng, dan 5) air (Waé), 6) bulan (Wulang) dan bintang (Ntala), dan

    6) pisang (Muku). Ketiga, nilai yang terkandung dalam tradisi lisan Déré yaitu, 1)

    nilai solidaritas, 2) nilai penghormatan, 3) Nilai religius, 4) nilai syukur dan 5) nilai

    ketaatan yang menunjukkan manifestasi jati diri masyarakat Manggarai berupa, 1)

    masyarakat yang solider dan 2) masyarakat Manggarai sebagai masyarakat yang

    religius dan 3) masyarakat Manggarai sebagai masyarakat pekerja keras. Keempat,

    strategi preservasi tradisi lisan Déré dilakukan dengan bekerjasama dengan 1)

    lembaga keagamaan dan 2) lembaga pendidikan.

    Kata Kunci: ekolinguistik metaforis, tradisi lisan Déré, wujud kearifan lokal, nilai

    kearifan lokal, makna simbolik, jati diri dan preservasi tradisi lisan.

    ABSTRAK

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • viii

    ABSTRACT

    Andang, K., J., 2020. Metaphorical Ecolinguistic Study of Local Wisdom Values

    Déré Oral Traditions as Manifestations of Manggarai People's Identity.

    Thesis. Yogyakarta: Indonesian Language Education, Masters Program,

    Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University.

    This research aims to 1) describe the form of local wisdom values, 2)

    describe the symbolic meaning of local wisdom values, 3) describe the values of local

    wisdom Déré which shows the manifestation of the identity of the Manggarai

    community 4) describe the preservation strategy values. This type of research is

    qualitative research with a metaphorical ecolinguistic approach. The object of this

    research is the form of local wisdom, the symbolic meaning of the form of local

    wisdom, the value of local wisdom that shows the manifestation of the identity of the

    Manggarai community in the oral tradition of Déré. The data in this study are in the

    parts of Déré's oral tradition. The method of data collection is done by using the

    method of referring to basic and advanced techniques as well as ethnographic

    methods.

    The listening method and this technique are paralleled by the observation

    method in social research while the ethnographic method is used to conduct in-depth

    interviews. The instruments in this study were researchers who were supported by

    interview guidelines and recording aids. This research uses the extralingaling and

    contextual analysis method which is paralleled by the method of cultural description

    in ethnography. Data analysis procedures in this study include the process of

    identifying data that has been translated into Indonesian, data classification,

    interpretation, triangulation, confirmation, and writing a research report.

    The results of this study indicate that, first in Déré's oral tradition there is

    intangible local wisdom in the form of expressions, 2) thimbles, 3) metaphors, 4)

    advice, 5) beliefs and 6) habits and local wisdom tangible tangible (tangible) ) in the

    form of 1) water (Waé) and 2) altar (tattered). Second, the symbolic meaning of local

    wisdom is the oral tradition of Déré, namely, 1) the king, 2) the tree, 3) the altar

    (compang), 4) Ndéréng, and 5) water (Waé), 6) month (Wulang) and star (Ntala) ,

    and 6) bananas (Muku). Third, the values contained in Déré's oral tradition are, 1)

    the value of solidarity, 2) the value of respect, 3) the religious value, 4) the value of

    gratitude and 5) the value of obedience that shows the manifestation of Manggarai

    community identity in the form of, 1) solider society and 2) the Manggarai community

    is a religious society and 3) Manggarai community as a hard-working community.

    Fourth, Déré's oral tradition preservation strategy is carried out in collaboration

    with 1) religious institutions and 2) educational institutions.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • ix

    Keywords: metaphorical ecolinguistics, Déré oral traditions, forms of local wisdom,

    local wisdom values, symbolic meaning, identity and preservation of oral

    traditions

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ............................................................................. i

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................. ii

    HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... iii

    HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN .................................... iv

    HALAMAN KEASLIAN KARYA ...................................................... v

    HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................................... vi

    ABSTRAK ............................................................................................. vii

    ABSTRACT ............................................................................................ viii

    KATA PENGANTAR ........................................................................... x

    DAFTAR ISI ........................................................................................ xii

    BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 8

    1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 8

    1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 9

    1.5 Sistematika Penelitian ....................................................................... 10

    1.6 Batasan Istilah ................................................................................... 11

    BAB II KAJIAN TEORI ...................................................................... 14

    2.1 Ekolinguistik dan Ekolinguistik Metaforis ....................................... 14

    2.2 Bahasa, Kebudayaan dan Masyarakat ............................................... 21

    2.3 Tradisi Lisan Déré............................................................................. 26

    2.4 Konsep Identitas Masyarakat ............................................................ 33

    2.5 Kearifan Lokal .................................................................................. 36

    2.6 Pelestarian Tradisi Lisan ………………………………………... 40

    2.7 Kerangka Berpikir…………………………………………………. 44

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xiii

    BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................... 46

    3.1 Jenis Penelitian .................................................................................. 46

    3.2 Sumber Data, Data dan Objek Penelitian .......................................... 47

    3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ............................................ 48

    3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Bahasa ...................... 48

    3.3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Etnografi ................... 50

    3.4 Instrumen Penelitian.......................................................................... 54

    3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ..................................................... 54

    3.6 Triangulasi......................................................................................... 57

    BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ........................... 59

    4.1 Deskripsi Data ................................................................................... 59

    4.2 Hasil Analisis .................................................................................... 64

    4.2.1 Wujud Kearifan Lokal Tradisi Lisan Déré .................................. 64

    4.2.2 Makna Simbolik Nilai Kearifan Lokal Déré ................................ 95

    4.2.3 Nilai Kearifan Lokal yang Memanifestasi Jati Diri Mayarakat

    Manggarai .................................................................................... 112

    4.2.4 Upaya Preservasi Tradisi Lisan Déré ........................................... 158

    4.3 Pembahasan ....................................................................................... 164

    4.3.1 Wujud Kearifan Lokal Tradisi Lisan Déré .................................. 164

    4.3.2 Makna Simbolik Nilai Kearifan Lokal Déré ................................ 168

    4.3.3 Nilai Kearifan Lokal yang Memanifestasi Jati Diri Mayarakat

    Manggarai .................................................................................... 172

    4.3.4 Upaya Preservasi Tradisi Lisan Déré ........................................... 175

    BAB V PENUTUP ................................................................................ 179

    5.1 Simpulan ........................................................................................... 179

    5.2 Saran .................................................................................................. 183

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xiv

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 186

    LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................... 192

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Pada pendahuluan, peneliti akan menguraikan enam hal yaitu, latar belakang,

    rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penyajian, dan

    batasan istilah. Hal-hal tersebut diuraikan dalam subbab berikut.

    1.1 Latar Belakang

    Indonesia merupakan salah satu negara yang dikenal melalui keadaan masyakrat

    yang multikulur. Keadaan masyarakat Indonesia yang seperti demikian ditandai

    dengan adanya suku, ras, religi dan adat istiadat yang beragam, namun tetap dalam

    kesatuan yang utuh. Salah satu hal yang perlu disoroti adalah keragaman kebudayaan

    yang tercermin dalam adat istiadat yang terdapat disetiap daerah. Dalam kaitannya

    dengan cerminan kebudayaan, tradisi lisan menjadi salah satu hal yang perlu dikaji

    secara ilmiah, mengingat bahwa tradisi lisan merupakan suatu sistem yang selaras

    antara manusia, lingkungan dan penciptanya.

    Tradisi lisan menjadi salah satu bagian adat istiadat yang melekat dalam sebuah

    kebudayaan tertentu. Tradisi lisan adalah sejarah itu sendiri. Di antara berbagai jenis

    sumber sejarah, tradisi menduduki sebuah tempat yang istimewa. Tradisi adalah

    pesan, tetapi bukanlah pesan yang tertulis (Vansia, 2014: xiv). Pandangan terkait

    tradisi lisan tersebut menunjukan bahwa tradisi lisan dijadikan sebagai bentuk

    ataupun cara masyarakat suatu kebudayaan tertentu dalam menyampaikan sesuatu.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 2

    Konsep “tradisi lisan” mengacu pada tradisi yang disampaikan secara turun-temurun

    dari satu generasi ke generasi lain dengan media lisan melalui “mulut ke telinga”

    (Sibarani, 2015:4). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tradisi lisan adalah

    proses penyampaian tradisi yang dalam hal ini adalah pesan dilakukan secara lisan

    dan turun-temurun dalam satu komunitas masyarakat.

    Tradisi lisan sebagai tradisi yang menduduki sebuah tempat yang istimewah

    hendaknya dapat dijaga dan dilestarikan, namun nyatanya kini telah mengalami

    kemerosotan dalam melawan kemajuan zaman. Tim Peneliti Nilai-nilai Pendidikan

    Agama dalam Tradisi Lisan dari Balai Litbang Agama Jakarta menemukan lima

    tradisi lisan yang mengalami kepunahan dan menutut adanya penggalian dan

    pengkajian. Terdapat indikator dalam melakukan kajian tradisi yaitu, tradisi lisan

    merupakan sesuatu yang unik dan hampir punah (Republika, 2018). Kepunahan

    tradisi lisan khas nusantara dipengaruhi oleh banyak hal salah satunya adalah

    kurangnya perhatian terhadap pendidikan multikulturalisme. Kurangnya pendidikan

    multikulturalisme menyebabkan pendidikan dan penelitian terhadap budaya dan

    bahasa makin tidak popular (Berita satu, 2011).

    Hal ini didasari oleh keadaan bangsa Indonesia yang kaya akan budaya. Perlu

    memberi porsi terhadap pendidikan multikultur, selain sebagai identitas komunitas

    tradisi lisan juga menjadi sumber penting dalam pembentukkan karakter bangsa.

    Hilangnya tradisi bisa menghilangkan struktur sosial dan sifat keturunan dari bangsa,

    pandangan filosofis, pola pikir dan nilai-nilai kehidupan serta menghilangkan

    ekspresi linguistik (Berita satu, 2011). Hal ini menunjukkan betapa penting menjaga

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 3

    kelestarian tradisi yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan masyaraka,

    pola pikir bahkan identitas pemilik tradisi. Tradisi lisan dapat menjadi gerbang masuk

    dalam mengenal keadaan hingga persmasalahan suatu masyarakat.

    Selain itu memasuki era baru yaitu, Revolusi 4.0 yang menimbulkan kemajuan di

    bidang IPTEK yang telah memeberikan pengaruh terhadap perkembangan kearifan

    lokal. Dalam dunia pendidikan, dengan adanya revolusi industri 4.0 memberikan

    dampak positif dengan semakin maju dan berkembangnya sistem pembelajaran kita,

    akan tetapi juga memberikan dampak negatif bagi dunia pendidikan kita apabila tidak

    mampu menjawab tantangan yang muncul di era sekarang. Dampak negatif yang

    ditimbulkan dan dapat kita lihat sekarang ini adalah kurangnya pemahaman mengenai

    pendidikan multikultural bagi generasi muda kita dalam hal ini anak usia sekolah

    (Rohman & Ningsih, 2018: 44). Besarnya pengaruh negatif revolusi 4.0 yang dialami

    ini menyebabkan kekhawatiran akan pudarnya nilai-nilai luhur budaya yang ada

    dalam kebudayaan lokal. Dengan demikian, dibutuhkan pemahaman mendalam

    mengenai nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi yang dapat dijadikan sebagai dasar

    ketahanan nasional. Brata (2016: 9) menyebutkan bahwa kearifan lokal merupakan

    elemen budaya yang harus digali, dikaji, dan direvitalisasikan karena esensinya

    begitu penting dalam penguatan fondasi jati diri bangsa dalam menghadapi tantangan

    globalisasi.

    Berdasarkan bukti di atas, peneliti menyadari bahwa mencari, menjaga dan

    mempertahankan nilai-nilai wujud dan makna simbolik nilai kearifan lokal yang

    terkandung dalam tradisi lisan merupakan tindakan yang tepat dalam menjaga

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 4

    eksistensi tradisi lisan. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengkaji

    nilai-nilai kearifan lokal dalam sebuah tadisi lisan yang mampu mencerminkan

    identitas masyarakat pemiliknya serta merancang strategi preservasi tradisi lisan.

    Warisan budaya dan kearifan lokal, dalam hal ini budaya, menjadi bagian penting

    dalam menumbuhkan dan membangun jati diri (Yulianti, 2015).

    Sejalan dengan itu, salah satu masyarakat di wilayah NTT, yaitu masyarakat

    Manggarai memiliki adat kebiasaan tradisi lisan berupa Déré. Daerah Manggarai

    pada dasarnya telah terbagi dalam tiga wilayah yang berbeda, yaitu Manggarai Barat,

    Manggarai Timur dan Manggarai Tengah. Namun pembahasan dalam penelitian ini

    tidak akan memisahkan antara ketiga wilayah Manggarai tersebut. Manggarai

    digunakan sebagai wilayah kultural juga mengikutsertakan Manggarai Barat dan

    Manggarai Timur hanya sebagai wilayah administratif (Deki, 2011: 40).

    Masyarakat Manggarai memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap dunia seni dan

    bentuk kesenian masyarakat Manggarai tersebut diklasifikasi dalam dua jenis yaitu

    seni sastra dan seni pertunjukan (Deki, 2011: 87). Sebagai sebuah kajian dalam dunia

    linguistik, maka fokus dalam penelitian ini adalah seni sastra karena mengandung

    unsur verbal. Salah satu bentuk kesusastraan yang terdapat dalam kebudaya

    Manggarai adalah Déré. Déré merupakan salah satu bentuk kesenian yang

    menyampaikan maksud dalam syair-syair dengan iringan nada-nada tertentu yang

    membantuk suatu kesatuan bunyi. Déré memiliki ciri khas dalam alunan nada yang

    diciptakan untuk mengiringi syair-syair (Deki, 2011: 171). Déré dalam Bahasa

    Indonesia diartikan sebagai syair lagu yang dilantunkan dengan beragam alunan nada.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 5

    Hampir di setiap ucapara adat yang diselenggarakan oleh masyarakat Manggarai

    pada umumnya diwarnai dengan tradisi lisan Déré. Hal ini secara tidak langsung

    ingin menunjukan adanya hubungan antara ungkapan dalam tradisi lisan mayarakat

    Manggarai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya baik nilai sosial, religi,

    budaya dan histori. Pemaparan tersebut sejalan dengan teori Linguistic Antropology

    yang disampaikan oleh (Duranti, 1997: 25) bahwa melalui bahasa tercermin seluk

    beluk kebudayaan tertentu dan sebagai bentuk performansi aktivitas sosial dan

    budaya. Melalui tradisi lisan Déré, masyarakat Manggarai juga dapat menunjukan

    identitas sosial dan budayanya yang tentu saja berbeda dengan masyarakat lain yang

    terdapat di wilayah Indonesia.

    Supriatin (2012:407) menyatakan bahwa tradisi lisan Tradisi lisan adalah warisan

    leluhur yang banyak menyimpan kearifan lokal, kebijakan, dan filosofi hidup yang

    terekspresikan dalam bentuk mantera, pepatah-petitih, pertunjukan, dan upacara adat.

    Tradisi lisan sebagai warisan leluhur yang mengandung banyak hal penting di

    dalamnya sehingga penting untuk suatu masyarakat tertentu untuk tetap menjaga

    kelestarian tradisi lisan. Lebih lanjut, Supriatin (2012: 408) yang mengatakan bahwa

    tradisi lisan yang terdapat di Nusantara, sekaligus juga menyimpan identitas bangsa

    karena pada tradisi lisan terletak akar budaya dan akar tradisi sebagai subkultur atau

    kultur Indonesia. Melalui hal-hal tersebut dapat terlihat dengan jelas bahwa tradisi

    lisan Déré yang terdapat dalam budaya Manggarai terkandung nilai-nilai kearifan

    lokal yang mampu memanifestasi jati diri masyarakat Manggarai. Mengingat bahwa,

    tradisi lisan menjadi bagian dari kebudayaan yang patut dijaga, maka masing-masing

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 6

    masyarakat yang menjadi bagian dari kebudayaan diharapkan mampu menjaga dan

    mempertahankan kelestariannya. Dengan demikian, salah satu hal utama yang hendak

    dikaji oleh peneliti dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan manifestasi jati diri

    masyarakat Manggarai yang terdapat dalam tradisi lisan Déré.

    Tradisi lisan Déré sebagai bagian dari budaya masyarakat Manggarai tentu

    mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang patut dilestarikan. Kearifan lokal adalah

    tatanan sosial budaya dalam bentuk pengetahuan, norma, peraturan dan keterampilan

    masyarakat di suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan (hidup) bersama yang

    diwariskan secara turun temurun (Duranti, 1997: 25; Hidayati, 2017: 40). Dalam

    mengkaji hal tersebut, peneliti menggunakan prespektif ekolinguistik untuk mengkaji

    hubungan antara bahasa dan ekologi. Pada perkembangnya, konsep ekologi

    dibedakan menjadi dua yaitu, ekologi metaforis dan ekologi biologis.

    Tradisi lisan Déré yang dikaji dalam penelitian ini dianggap sangat relevan

    prespektif ekolinguistik metaforis. Hal ini didasari oleh beberapa alasan, seperti

    yang dikemukakan oleh (A. Fill & Muhlhausler, 2006), yaitu (1) perbedaan

    kerangka kerja yang berbeda antara ekologi metaforis dan ekologi biologis. (2)

    fokus penelitian yang dikaji dalam penelitian ini melibatkan konteks sosial dan

    budaya masyarakat budaya Manggarai, yaitu untuk melihat hubungan antara

    penggunaan bahasa di dalam tradisi lisan Déré dengan lingkungan sosial dan budaya

    masyarakat Manggarai. Ekolinguistik metaforis melihat hubungan antara penggunaan

    bahasa Manggarai dalam tradisi lisan Déré menunjukkan bahwa penggunaan

    bahasa berupa kata-kata maupun kalimat merupakan bagian yang tak terpisahkan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 7

    dari sebuah kebudayaan. Pola pikir, cara berprilaku dan kebiasaan suatu

    masyarakat dapat tercermin dalam bahasa yang digunakan. Melalui hal ini dapat

    terlihat adanya keterlibatkan antara lingkungan sosial dan budaya masyarakat

    Manggarai.

    Dengan demikian terdapat beberapa identifikasi masalah diantaranya adalah (1)

    tradisi lisan Déré menjadi salah satu tradisi lisan yang tidak dapat dipisahkan dari

    kebudayaan masyarakat Manggarai dan hingga saat ini masih melekat dengan

    kehidupan masyarakat Manggarai sehingga sangat penting untuk diteliti secara

    mendalam. (2) Terdapat wujud nilai-nilai kearifan lokal serta makna simbolik dalam

    kearifan lokal tradisi lisan Déré masyarakat Manggarai yang belum diteliti secara

    baik dan lengkap. (3) Tradisi lisan dari waktu ke waktu semakin dilupakan, sehingga

    besar kemungkinan mengalami kepunahan. Untuk itu perlu dilakukan preservasi

    tradisi lisan agar tetap ada dan menjadi kekhasan dari masing-masing kebudayaan.

    Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa kajian ekolinguistik

    metaforis nilai-nilai kearifan lokal tradisi lisan Déré sebagai manifestasi jati diri

    masyarakat Manggarai relevan dan penting untuk dilakukan. Peneliti merumusakan

    judul penelitian yaitu, kajian ekolinguistik metaforis nilai-nilai kearifan lokal tradisi

    lisan Déré sebagai manifestasi jati diri masyarakat Manggarai.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat rumusan masalah utama dalam

    penelitian ini adalah “Bagaimanakah manifestasi jati diri masyarakat Manggarai yang

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 8

    terdapat dalam tradisi lisan Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis?”

    Rumusan masalah utama tersebut dijabarkan dalam empat sub masalah, yaitu:

    1. Apa sajakah wujud nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam tuturan Déré

    berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis?

    2. Apa sajakah makna simbolik nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam

    tuturan Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis?

    3. Bagaimanakah nilai-nilai kearifan lokal Déré menunjukan manifestasi jati diri

    masyarakat Manggarai berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis?

    4. Bagaimanakah strategi preservasi nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam

    tuturan Déré agar tetap lestari?

    1.3 Tujuan Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan umum dari penelitian ini adalah

    “Mendeskripsikan jati diri masyarakat Manggarai yang termanifestasi dalam tradisi

    lisan Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis”. Tujuan umum tersebut

    diperinci dalam tujuan khusus sebagai berikut:

    1. Mendeskripsikan wujud nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam tuturan

    Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis.

    2. Mendeskripsikan makna simbolik nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam

    tuturan Déré berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 9

    3. Mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal Déré yang menunjukan manifestasi jati

    diri masyarakat Manggarai berdasarkan kajian ekolinguistik metaforis.

    4. Merumuskan strategi preservasi nilai-nilai kearifan lokal yang tercermin dalam

    tuturan Déré agar tetap lestari.

    1.4 Manfaat Penelitian

    Berdasarkan tujuan tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

    bagi khalayak baik manfaat teoritis dan praktis. Pada penelitian ini, manfaat teoretis

    dan manfaat praktis tersebut dijelaskan sebagai berikut:

    1.4.1 Manfaat Teoretis

    Manfaat teoretis dari penelitian ini dijabarkan sebagai berikut;

    1. Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk pengembangan teori dalam

    hubungannya antara lingkungan ekonomi, sosial dan budaya (ekolinguistik

    metaforis).

    2. Hasil penelitian ini dapat memberi sumbangsih teori nilai kearifan lokal dan

    makna simbolik tradisi lisan Déré masyarakat Manggarai.

    3. Hasil penelitian ini dapat memberi sumbangsih teori tentang jati diri serta tradisi

    lisan Déré masyarakat Manggarai.

    4. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih teori preservasi tradisi lisan,

    khususnya tradisi lisan Déré masyarakat Manggarai.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 10

    1.4.2 Manfaat Praktis

    Manfaat praktis dari penelitian ini dijabarkan sebagai berikut;

    1. Hasil penelitian ini dapat membantu para tenaga pengajar untuk memanfaatkan

    hasil penelitian sebagai bahan ajar kontekstual terkait pelajaran muatan lokal.

    2. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pemerintah Manggarai dalam

    merancang program pembangunan masyarakat Manggarai berbasis kearifan

    lokal.

    3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai upaya memelihara dan

    mempertahankan tradisi lisan Déré masyarakat Manggarai dari ancaman

    kepunahan.

    1.5 Sistematika Penyajian

    Penelitian ini terdiri dari lima bab, berikut ini adalah uraian sistematis penelitian

    ini. Bab I berisi tentang pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,

    tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah dan sistematika penelitian. Bab II

    berisi tentang landasan teori yang memuat teori- teori yang relevan dengan topik

    penelitian. Sub-subtopik dalam landasan teori ini berupa integrasikan penelitian-

    penelitian terdahulu yang relevan dengan teori-teori ekolinguistik dan ekolinguistik

    metaforis, kebudayaan, masyarakat dan bahasa, tradisi lisan Déré, konsep jati diri

    masyarakat, konsep kearifan lokal, preservasi tradisi lisan, dan kerangka berpikir.

    Bab III berisi tentang metodologi penelitian. Metode penelitian ini menjabarkan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 11

    tentang jenis penelitian, sumber data, data, dan objek penelitian, teknik pengumpulan

    data, instrumen pengumpulan data, teknik analisis data dan triangulasi.

    1.6 Batasan Istilah

    Ada beberapa istilah penting yang digunakan dalam penelitian ini. Beberapa

    istilah tersebut kemudian dibatasi oleh peneliti. Adapun pembatasan istilah tersebut

    dijelaskan sebagai berikut:

    1. Ekolinguistik Metaforis

    Ekolinguistik metaforis merupakan studi interdisipliner yang mengkaji hubungan

    antara bahasa dengan lingkungan sosial dan budaya (Haugen, 1972: 325).

    Hubungan antara bahasa dan lingkungan sekitar (sosial, politik dan budaya) di

    mana sebuah bahasa digunakan dapat bersifat timbal balik.

    2. Tradisi Lisan

    Konsep “tradisi lisan” mengacu pada tradisi yang disampaikan secara turun-

    temurun dari satu generasi ke generasi lain dengan media lisan melalui “mulut ke

    telinga” (Sibarani, 2015: 4). Tradisi lisan diartikan sebagai tradisi dalam bentuk

    lisan atau verba dan penyampaiannya diwariskan turun-temurun secara lisan.

    3. Tradisi Lisan Déré

    Déré merupakan salah satu bentuk kesenian yang menyampaikan maksud dalam

    syair-syair dengan iringan nada-nada tertentu yang membantuk suatu kesauan

    bunyi. Déré memiliki ciri khas dalam alunan nada yang diciptakan untuk

    mengiringi syair-syair (Deki, 2011: 171). Hal ini mengimplikasikan bahwa tradisi

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 12

    lisan Déré memiliki makna kontinuitas (keberlanjutan), adat kebiasaan yang

    dalam hal ini merupakan ungkapan verbal sebagai milik bersama yang diteruskan

    untuk dipraktikkan dalam kelompok masyarakat tertentu yaitu, masyarakat

    Manggarai.

    4. Kearifan Lokal

    Kearifan lokal adalah tatanan sosial budaya dalam bentuk pengetahuan, norma,

    peraturan dan keterampilan masyarakat di suatu wilayah untuk memenuhi

    kebutuhan (hidup) bersama yang diwariskan secara turun temurun (Duranti, 1997:

    25; Hidayati, 2017: 40). Dalam praktiknya, kearifan lokal semacam itu dihayati,

    diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain, yang sekaligus

    membentuk pola perilaku manusia dalam masyarakat.

    5. Jati Diri

    ‘Jati diri’ merujuk pada dua pengertian, yakni (1) ‘ciri-ciri, gambaran, atau

    keadaan suatu benda; identitas’; dan (2) ‘inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari

    dalam; spiritualitas’ (KBBI, 2016). Istilah ‘jati diri' merujuk pada konsep jati diri

    kolektif masyarakat tertentu yang terwujud di dalam tradisi lisan dapat berupa

    biologis, sosiologis, psikologis, dan ideologis suatu masyarakat tertentu.

    6. Preservasi Tradisi Lisan

    Preservasi adalah semua hal yang merujuk pada proses pengawetan,

    pemeliharaan, penjagaan, perlindungan (KBBI, 2016). Berdasarkan pengertian

    tersebut maka preservasi tradisi lisan merujuk pada segala macam bentuk upaya

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 13

    pemeliharaan, penjagaan dan perlindungan agar tradisi lisan tetap bertahan

    sebagaimana adanya. Preservasi dilakukan pada bahasa yang terancam punah,

    maupun yang telah mengalami kepunahan dengan fokus penelitiannya yaitu,

    menyelidiki, mendokumentasikan dan menyelamatkannya.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 14

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    Pada bab ini peneliti menguraikan tujuh kajian teori yang diintegrasikan dengan

    penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini yaitu, ekolinguistik

    dan ekolinguistik metaforis, kebudayaan, masyarakat dan bahasa, tradisi lisan Déré,

    konsep identitas masyarakat, konsep kearifan lokal, pelestarian tradisi lisan, dan

    kerangka berpikir. Hal-hal tersebut dipaparkan sebagai berikut.

    2.1 Ekolinguistik dan Ekolinguistik Metaforis

    Kajian ekolinguistik mengangkat persoalan terkait hubungan antara bahasa dan

    lingkungan di mana suatu bahasa dipergunakan. Hubungan bahasa dan lingkungan

    dibedakan menjadi ekolinguistik metaforis dan ekolinguistik alamiah. Fokus kajian

    dalam penelitian ini adalah ekolinguistik metaforis. Berikut dijelaskan secara

    mendalam terkait pendekatan ekolinguistik metaforis yang dijadikan sebagai

    kerangka teori sekaligus pisau analisis dalam mendeskripsikan wujud nilai kearifan

    lokal, makna simbolik keraifan lokal, nilai keraifan lokal yang menunjukan

    manifestasi jati diri masyarakat Manggarai dalam tradisi lisan Déré serta strategi

    preservasi tradisi lisan Déré.

    2.1.1 Ekolinguistik

    Kajian ekolinguistik sebagai bidang ilmu interdisipliner yang mengkaitkan

    ekologi dan linguistik pertama kali dipelopori Haugen (1972:35) yang lebih dikenal

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 15

    dengan “ekologi bahasa”. Haugen memandang bahwa ekologi bahasa adalah kajian

    tentang hubungan bahasa dan lingkungannya. Hal yang paling mendekati dengan

    konteks ini adalah konsep ekolinguistik metafosir yang disampaikan oleh Haugen,

    yaitu terdapat hubungan tali temali dengan dimensi-dimensi non alamiah yang dapat

    berupa dimensi sosial, kultural dan historis. Bahasa terdapat dalam pikiran

    penuturnya, bahasa dapat memiliki fungsi apabila digunakan untuk menghubungkan

    antarpenutur, dan penutur dengan lingkungannya, baik itu dalam lingkungan alamiah

    maupun yang non alamiah (Haugen, 1972:35; Fill & Penz, 2018). Bidang kajian

    ekolinguistik, yaitu suatu disiplin ilmu yang mengkaji bahasa dan lingkungannya dan

    menyandingkan ekologi dengan linguistik (Mbete, 2009: 1). Sejalan dengan itu,

    prespektif ekolinguistik disebut sebagai muara natural dari berbagai interdisipliner

    linguistik yang bertugas mengupas masalah-masalah di dalam lingkungan budaya,

    sosial, politik, bahkan hukum (Rahardi et al., 2016:1-2). Dalam pembahasannya,

    ekolinguistik mencoba mengangkat persoalan-persoalan terkait bahasa berserta

    lingkungan di mana bahasa itu digunakan. Baik itu lingkungan sosial, ekonomi,

    politik dan budaya.

    Beberapa konsep ekolinguistik yang digunakan untuk mengupas tuntas

    perubahan timbal balik antara lingkungan dan bahasanya bisa menjelaskan bahwa

    pergeseran nilai, norma-norma dan kultur yang ada dalam masyarakat bisa

    menyebabkan perubahan dan tekanan dalam bahasa sebagai akibat dari tekanan

    terhadap lingkungan yang turut terjadi sebelumnya (Umiyati, 2011). Konsep

    dimaksud meliputi konsep ekolinguistik kritis, keberlanjutan, konsep masyarakat

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 16

    berisiko, parameter ekolinguistik, leksikon, serta konsep ideologi. Konsep

    ekolinguistik hadir sebagai bentuk respon terhadap perubahan yang dipengarhi oleh

    perubahan lingkungan alam, sosial, dan budaya yang melanda lingkungan bahasa

    tersebut. Perubahan yang melanda aspek-aspek sosial dan budaya pendukungnya juga

    berpengaruh terhadap penggunaan bahasa.

    Haugen (1972) berupaya menggunakan analogi dari ekologi dan lingkungan

    dalam menciptakan metafora berupa metafora ekosistem yang ditujukan untuk

    menjelaskan hubungan dan interaksi bermacam-macam bentuk bahasa yang ada di

    dunia. Dalam bentuk metafora tersebut, Haugen membuat perbandingan antara

    ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora, serta seluruh

    kandungan mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut. Haugen (1972: 325)

    menggambarkan bahwa bahasa sesungguhnya hanya ada di dalam otak penggunanya

    dan hanya berfungsi menghubungkan penggunanya dengan sesama dan kepada alam

    yaitu, lingkungan sosial, lingkungan buatan dan lingkungan alam. Haugen

    menunjukan bahwa antara bahasa dijadikan sebagai penyokong dalam proses

    interaksi antara pengguna bahasa dan lingkungan sekitarnya.

    Selanjutnya A. Fill & Muhlhausler (2006) menjelaskan bahwa Haugen berupaya

    menciptakan suatu studi ekologi dan bahasa dalam hubungannya dengan kognitif

    manusia pada komunitas multilingual dengan keberagaman bahasa yang mereka

    miliki. “The ecology of language meant the study of the interrelations between

    languages in the human mind and in the multilingual community”. Peneliti bahasa

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 17

    hanya memiliki kecendrungan untuk meneliti permasalahan-permasalahan bahasa

    yang bersifat internal yaitu, persoalan bahasa yang berkaitan dengan fonologi,

    kaidah-kaidah bahasa dan leksikon. Pembicaraan yang mengarah kepada ekologi

    bahasa dianggap masih sangat kurang, padahal menurut Haugen (1972: 325),

    penelitian ekologi bahasa atau ekolinguistik dapat merambah luas dan bekerjasama

    dengan antropologi, sosiologi, psikologi dan ilmu politik. Hal ini disebabkan kajian

    ekolinguistik sejatinya merupakan kajian interaksi antara bahasa apa saja dengan

    lingkungannya. Definisi lingkungan merujuk pada pikiran seseorang kepada dunia

    nyata tempat bahasa itu digunakan karena lingkungan alam dari sebuah bahasa adalah

    masyarakat pengguna bahasa itu sendiri.

    Ekolinguistik adalah kajian yang menyandingkan kajian bahasa dan ekologis

    (Nuzwaty et al., 2014). Bahasa terdapat dalam pikiran penuturnya, bahasa dapat

    memiliki fungsi apabila digunakan untuk menghubungkan antarpenutur, dan penutur

    dengan lingkungannya, baik itu dalam lingkungan alamiah maupun yang non

    alamiah. Proses interaksi yang terjadi di lingkungan di mana seseorang tinggal,

    menuntut adanya kemampuan mempergunakan bahasa sebagai media berinteraksi.

    Kemampuan seseorang dalam menggunakan sistem bahasa dianggap sebagai hasil

    interaksi seseorang terhadap lingkungannya. Individu yang lahir dan bertumbuh

    dalam suatu lingkungan tertentu membiasakan diri untuk belajar dan mengadaptasi

    sistem yang ada di lingkungan tersebut. Istilah Ekolinguistik (ekologi bahasa)

    berhubungan dengan kata ‘ekologi’ yaitu ilmu yang mempelajari interaksi antara

    organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Lingkungan dalam hal ini

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 18

    merujuk pada pikiran seseorang terhadap dunia nyata tempat bahasa itu digunakan

    karena lingkungan alam dari sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa

    tersebut. Kajian ekologi mencakup ketergantungan dalam suatu sistem, sedangkan

    dalam kajian ekologi bahasa yang dilihat adalah konsep ekologi memadukan

    lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa (A. Fill & Muhlhausler,

    2006).

    Ekologi bahasa bermetamorfosis menjadi ekolinguistik yang tidak hanya

    mencakup pengertian alamiah (natural ecolinguistics) maupun ekolinguistik dalam

    pengertian metaforis (metaphoric ecolinguistics). Ekolinguistik natural banyak

    disebut envirolinguistik (envirolinguistics), sedangkan sedangkan ekolinguistik

    metaforis lazim diterminologikan ekolinguistik (Rahardi et al., 2016:1). Ekolinguistik

    mataforis menjadi prespektif teori yang paling relevan dengan persoalan yang dibahas

    dalam penelitian ini. (Rahardi et al., 2016) menegaskan bahwa dalam ekolinguistik

    metaforis sebagai bentuk preservasi nilai-nilai kearifan lokal dan sangat erat

    kaitannya dengan pembelajaran, termasuk di dalamnya adalah wujud kearifan lokal

    dengan latar belakang kultur yang berbeda. Ekolinguistik metaforis tidak hanya

    berfokus pada persoalan-persoalan lingkungan melainkan mencoba menampilkan

    nilai-nilai kearifan lokal yang bersifat khas dalam budaya tertentu serta berusaha

    mengusung berbagai strategi pelestarian yang diharapkan mampu mengatasi

    persoalan kepunahan suatu bahasa.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 19

    2.1.2 Ekolinguistik Metaforis

    Ekolinguistik sebagai sebuah kajian baru dalam dunia linguistik ini muncul

    pertama-tama karena keprihatinan terhadap hilangnya keanekaragaman linguistik

    (Pupavac, 2012: 198; Fill & Penz, 2018: i). Salah satu bentuk ‘hilangnya linguistik’

    ini bukan semata-mata hilangnya bahasa ataupun dialek, tetapi termasuk juga

    hilangnya tradisi- tradisi yang mengikutsertakan bahasa di dalamnya. Dalam hal ini,

    lingkungan bahasa adalah hubungan antartempat di mana proses interaksi antara

    bahasa dan lingkungan ini berlangsung. Sehingga pada gilirannya terminologi

    ekolinguistik bermetamorfosis menjadi ekolingustik, baik ekolinguistik dalam

    pengertian alamiah (natural ecolinguistics) maupun ekolinguistik dalam pengertian

    metaforis (metaphoric ecolinguistics). Ekolinguistik natural banyak disebut

    envirolinguistik (envirolinguistics), sedangkan ekolinguistik metaforis lazim

    diterminologikan ekolinguistik (Rahardi et al., 2016:1). Di dalam penelitian ini,

    peneliti tetap menggunakan istilah ekolinguistik metaforis sebagai bentuk penegasan

    bahwa penelitian ini bukanlah penelitian ekolinguistik natural atau envirolinguistik.

    Ekolinguistik metaforis terkandung nilai-nilai mendasar yakni preservasi nilai-nilai

    kearifan lokal (local values) yang mustahil dilepaskan dari praksis pembelajaran

    bahasa. Ketika peneliti telah sampai pada pembahasan mengenai hubungan tersebut

    maka nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat juga akan tampak (Rahardi et al.,

    2016: 1-2). Ekolinguistik metaforis tidak hanya mengangkat persoalan lingkungan

    dan bahasa, namun secara tidak langsung memerihkan nilai-nilai keraifan lokal secara

    eksplisit dari masyarakat tersebut.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 20

    Nash (2019: 243) mengemukakan bahwa ekolinguistik atau bidang ekologi

    bahasa terutama berkaitan dengan dua bidang penelitian utama. Pertama, analisis

    wacana lingkungan, sering disebut analisis wacana ekologis atau bahasa ekologi dan

    lingkungan. Kedua, ekologi bahasa sebagai interaksi antara manusia, pikiran, dan

    lingkungan yang sering diungkapkan melalui studi leksiko-gramatika, tentang

    bagaimana manusia berbicara dan beradaptasi secara linguistik dengan lingkungan

    baru dan juga asing. Berdasarkan kedua bidang penelitian tersebut, sebenarnya

    ekologi merupakan studi tentang saling keterkaitan dan interaksi spesies dan entitas

    lainnya. Ekolinguistik didefinisikan sebagai studi tentang interaksi timbal balik antara

    bahasa dan antara bahasa dan lingkungannya. Setiap komponen bahasa, pengguna

    serta lingkungan di mana bahasa digunakan menjadi satu kesatuan yang memberikan

    pengaruh antara satu komponen dengan komponen lainnya.

    Terdapat penelitian terdahulu yang membahas tentang kajian ekolinguistik

    metaforis yang dianggap masih relevan dengan penelitian ini yaitu, “Tradisi Lisan

    Takanab sebagai Wujud Identitas Masyarakat Dawan: Kajian Ekolinguistik

    Metaforis” oleh Antonius Nesi (2018). Penelitian yang dilakukan oleh peneliti

    tersebut menggunakan kajian ekolinguistik metaforis sebagai pisau pembedah

    persoalan yang dibahas dalam penelitian untuk mendeskripsikan wujud jati diri dan

    kearifan lokal dari tradisi lisan Takanab. Pendekatan ekolinguistik metaforis pada

    penelitian tersebut melihat bahwa bahasa dalam tradisi lisan Takanab tidak dapat

    terlepas dari konteks lingkungan sosial dan budaya masyarakat Dawan. Penelitian

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 21

    yang dilakukan oleh Antonius Nesi (2018) menjawab tiga rumusan masalah yaitu, jati

    diri, wujud kearifan lokal dan strategi preservasi tradisi lisan Takanab.

    Selain penelitian yang dilakukan Nesi (2018) terdapat penelitian lain yang

    membahas tentang tradisi lisan dengan menggunakan pendekatan ekolinguistik.

    Penelitian yang dilakukan oleh (Helmon, 2020) tentang “Tradisi Lisan Torok sebagai

    Manifestasi Jati Diri Masyarakat Manggarai”. Penelitian ini menggunakan kajian

    ekolinguistik metaforis dalam memaknai persoalan yang dibahas dalam penelitian

    untuk mendeskripsikan wujud kearifan lokal, nilai kearifan lokal dan jati Mayarakat

    Manggarai melalui tradisi lisan Torok. Terdapat beberapa perbedaan dan persamaan

    antara penelitian ini dengan kedua penelitian terdahulu. Perbedaan antara penelitian

    terdahulu dan penelitian yang dilakukan ini adalah bentuk tradisi lisan yang diteliti

    dan hal yang hendak dikaji. Sedangkan persamaannya terletak pada penggunaan

    metodologi etnografi sebagai metode penelitian serta pemecahan persoalan terkait

    tradisi lisan menggunakan pendekatan ekolinguiatik metaforis.

    2.2 Bahasa, Kebudayaan dan Masyarakat

    Terdapat beberapa teori yang dapat mengambarkan hubungan antara bahasa,

    kebudayaan dan masyarakat. Berikut dijelaskan ketiga hal tersebut.

    2.2.1 Bahasa dan Kebudayaan

    Salah satu konsep yang paling melekat dalam ekolinguistik bahwa bahasa

    memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Lingkungan

    ini dapat merujuk pada, lingkungan sosial maupun lingkungan budaya. Sejalan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 22

    dengan itu, Haugen (1972:325) berpendapat bahwa bahasa adalah bagian dari

    lingkungan yang lebih besar yang bersifat fisik (pengguna bahasa hanya ada di

    lingkungan fisik), psikologis (bahasa berinteraksi dengan bahasa lain di benak

    bilingual dan multibahasa penutur), dan sosiologis (bahasa berinteraksi dengan

    masyarakat di yang berfungsi sebagai media komunikasi). Hal itu didukung oleh

    pendapat bahwa setiap bahasa memiliki perangkat kata tertentu sebagai petunjuk

    bahwa kata-kata itu menjadi bagian yang penting dalam sebuah kebudayaan

    (Mulyadi, 2014:93). Hal ini nampak dalam pola pikir dan tingkahlaku yang

    diwujudkan menggunakan kata-kata dalam bahasa kebudyaaan tertentu.

    Suatu bahasa tidak bisa dipahami hanya sebagai sistem struktural yang tidak

    tergantung pada penutur dan budaya mereka (Garner, 2014:112). Dalam kaitannya

    dengan ekolinguistik, perlu dibahasa secara khusus terkait hubungan antara bahasa

    dan kebudayaan. Lebih lanjut, Sitompul & Simaremare (2017:26) menyatakan bahwa

    dalam kebudayaan bahasa menduduki tempat yang unik dan terhormat. Selain sebagai

    unsur kebudayaan, bahasa juga berfungsi sebagai sarana terpenting dalam pewarisan,

    pengembangan, dan penyebarluasan kebudayaan.

    Foley (1997:3) mendefenisikan bahwa “Antropological linguistics views

    language through the prism of the core anthropological concept, culture, and such,

    seeks to uncover the meaning behind the use, misuse, or non-use of language, its

    different forms, registers and style. It is an interpretive discipline peeling away at

    language to find cultural understandings”. Linguistik antropologi sebagai subdisiplin

    linguistik, berkaitan dengan tempat bahasa dalam konteks budaya maupun sosial dan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 23

    memiliki peran menyokong dan menempa praktek-praktek kultural dan struktur

    sosial. Melalui pengertian ini diketahui bahwa antropolinguistik mencoba mengkaji

    bahasa, budaya dan aspek lain yang ada di dalamnya memiliki peranan yang tidak

    terpisahkan satu dengan yang lainnya. Pemahaman bahasa membantu memahami

    suatu budaya.

    Sibarani (2004: 51) dalam (Sitompul & Simaremare, 2017:27) menyatakan

    terdapat tiga relasi yang perlu diperhatikan. Pertama, hubungan antara satu bahasa

    dengan satu budaya yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa ketika mempelajari suatu

    budaya, kita juga harus mempelajari bahasanya, dan ketika kita mempelajari bahasanya

    kita juga harus mempelajari budayanya. Kedua, hubungan bahasa dengan budaya secara

    umum yang mengartikan bahwa setiap ada satu bahasa dalam suatu masyarakat, maka ada

    satu budaya dalam masyarakat itu. Bahasa meng- indikasikan budaya, perbedaan bahasa

    berarti perbedaan budaya atau sebaliknya. Ketiga, hubungan antara linguistik sebagai

    ilmu bahasa dengan antropologi sebagai ilmu budaya. Ketiga relasi penting dalam

    ilmu antropolinguistik ini menunjukkan bahwa budaya dan bahasa memiliki

    keterkaitan yang sangat erat, sehingga bahasa juga turut memberi penanda dalam

    perkembangan masyarakat itu sendiri dalam berbagai aspek kehidupan.

    Sejalan dengan itu, ilmu kebudayaan yang dimaksud dalam penelitian ini dikaji

    atau menjadi fokus utama dalam bidang antropologi. Duranti (1997:2) mengatakan

    bahwa antropologi linguistik “the study of language as a cultural resource and

    speaking as a cultural practice” mengkaji studi bahasa sebagai sumber daya budaya

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 24

    dan berbicara sebagai praktik budaya. Duranti juga menegaskan bahwa linguistik

    antropologi ‘tidak bersinonim’ dengan studi bahasa yang dilakukan oleh ilmuwan

    antropologi. Meskipun difokuskan pada telaah bahasa, namun Duranti menempatkan

    antropologi linguistik sebagai bagian dari antropologi. Lebih lanjut, Duranti

    (1997:27) dalam bukunya Linguistic Anthropology mempertegas “To know a culture

    is like know- ing a language. They are both mental realities. Furthermore, to describe

    a culture is like describing a language”. Mengenal budaya sama seperti mengenal

    bahasa. Keduanya adalah realitas mental. Lebih jauh, mendeskripsikan suatu budaya

    sama seperti mendeskripsikan suatu bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa

    mendeskripsikan suatu budaya sama halnya dengan mendeskripsikan bahasa.

    Dengan kata lain, dalam antropolinguistik terapat tiga kajian yaitu, studi

    budaya, bahasa dan aspek kehidupan manusia. Asumsi ini mendorong para peneliti

    untuk mengkaji tradisi lisan khususnya yang memiliki unsur-unsur verbal yang

    terkandung di dalamnya. Terdapat hipotesis dari dua pakar linguistik ternama,

    Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf yang telah disintesiskan oleh Yunhadi

    (2016:171). Dalam tulisannya, Yunhadi (2016:171) menjelakan pokok pikiran Sapir-

    Whorf bahwa pola-pola bahasa yang terungkap dalam analisis bahasa mencerminkan

    pola yang ada dalam pikiran penuturnya. Lebih lanjut, Yunhadi (2016:171)

    menjelaskan bahwa Sapir dan Worf menguraikan hipotesis mengenai keterkaitan

    antara bahasa dan pikiran yang dikenal dengan nama hipotesis linguistic relativity,

    yaitu perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non

    bahasa.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 25

    Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa bahasa dijadikan sebagai media bagi

    masyarakat pengguna dalam menyalurkan ide, gagasan maupun perasaan yang

    dimiliki. Pemikiran manusia tak dapat lepas dari realitas lingkungan alam, sosial, dan

    budayanya, sehingga lingkungan alam, budaya dan lingkup sosial dapat

    mempengaruhi pola pikirnya. Secara pasti dapat dikatakan bahwa dengan korelasi itu

    ekspresi pemikiran manusia tidak dapat lepas dari praktik komunikasi. Di sinilah

    konsep etnografi komunikasi dipandang relevan dan bertali-temali dengan

    ekolinguistik metaforis sebagai sebagai perspektif penelitian ini.

    2.2.2 Bahasa dan Masyarakat

    Hubungan antara bahasa dan masyarakat, dapat menunjukan pula hubungan

    antara bahasa dan pikiran masyarakat. Hubungan antara bahasa dan masyarakat ini,

    telah menarik perhatian para ahli bahasa dengan berbagai macam latar belakang yang

    berbeda. Pada saat kita menyebut masyarakat dan bahasa, tidak dapat dipungkiri

    bahwa kedua hal tersebut tidak dapat memisahkannya dari budaya. Goodenough

    ([1957] 1964: 36) dalam (Duranti, 1997:27) “a society’s culture consists of whatever

    it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its

    members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture,

    being what people have to learn as distinct from their biological heritage, must

    consist of the end product of learning: knowledge, in a most general, if relative, sense

    of the term. By this definition, we should note that culture is not a material

    phenomenon; it does not consist of things, people, behavior, or emotions. It is rather

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 26

    an organization of these things. It is the forms of things that people have in mind,

    their models for perceiving, relating, and otherwise interpreting them”. Masyarakat

    dalam suatu kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui dan

    dipercaya oleh seseorang agar dapat diterima dalam suatu masyarakatnya. Sekali lagi

    pada saat membahas atau mencari pengaruh bahasa terhadap masayarakat, kita tidak

    bisa memisahkan antara masyarakat dengan budayanya.

    Hal ini sejalan dengan pandangan yang menyatakan bahwa struktur sebuah

    bahasa berpengaruh pada cara pandang penutur terhadap dunia. Yunhadi (2016:171)

    menjelaskan pokok pikiran Sapir-Whorf tentang linguistic determinism, yaitu struktur

    bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual.

    Struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam

    bahasa. Jadi, pikiran manusia mengikuti struktur dan kosa kata yang digunakan dalam

    bahasa yang dituturkan. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya berpengaruh

    pada masyarakat tetapi menentukan masyarakat. Misalnya; struktur bahasa yang

    digunakan mampu menunjukkan masyarakat sebagai penggunanya. Penutur dari

    bahasa yang berbeda memiliki cara pandang yang berbeda pula terhadap dunianya.

    Bahasa mencerminkan pengalaman yang dialami oleh penuturnya, bahasa tidak

    digunakan hanya semata-mata untuk melaporkan pengalaman kita tentang dunia

    disekitar kita.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 27

    2.3 Tradisi Lisan Déré

    Terdapat tiga karakteristik tradisi menurut (Sibarani, 2015:4). Pertama, tradisi itu

    merupakan kebiasaan (lore) dan sekaligus proses (process) kegiatan yang dimiliki

    bersama suatu komunitas yang mengimplikasikan bahwa tradisi itu memiliki makna

    kontinuitas (keberlanjutan), materi, adat, dan ungkapan verbal sebagai milik bersama

    yang diteruskan untuk dipraktikkan dalam kelompok masyarakat tertentu. Kedua,

    tradisi itu merupakan sesuatu yang menciptakan dan mengukuhkan identitas.

    Kepemilikan tradisi secara langsung dapat memperkuat dan mengukuhkan

    mengukuhkan identitas kelompok masyarakat tertentu. Ketiga, tradisi itu merupakan

    sesuatu yang dikenal dan diakui oleh kelompok itu sebagai tradisinya. Suatu tradisi

    dapat dikenal dan diakui melalui partisipasi kelompok masyarakatnya sendiri.

    Tradisi lisan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 2016) dibedakan

    menjadi dua makna, yakni (1) adat kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang

    masih dijalankan dalam masyarakat dan (2) penilaian atau anggapan bahwa caracara

    yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Makna kata tradisi dalam

    Kamus Besar Bahasa Indonesia masih dapat diterima tentang tradisi yang

    disampaikan secara turun-temurun dan makna kedua yang menyatakan bahwa di

    dalam tradisi mengandung kebaikan dan kebenaran meskipun baik dan benar di sini

    bersifat lokalitas. Arti kedua tentang tradisi berdasarkan KBBI tersebut minimal dapat

    menepis mitos yang sudah beredar dalam masyarakat bahwa tradisi senantiasa

    dimaknai sebagai segala sesuatu yang berasal dari masa lampau. Padahal, realitasnya

    tidaklah demikian, sebagaimana dinyatakan oleh Baso (2003) dalam Supriatin (2012:

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 28

    409) bahwa tradisi tidak hadir sebagaimana adanya pada masa lalu, tetapi pasti telah

    mengalami proses seleksi atau bongkar ulang sehingga ada yang dipopulerkan atau

    dipinggirkan bergantung pada relasi kekuasaan yang bermain di sekitarnya. Baso

    menambahkan bahwa tradisi lisan tidak hanya terpaku pada kejadian masa lampu

    saja, melainkan mengalami pula proses perbenahan menjadi sebuah tradisi yang dapat

    diterima dan dijaga kelestariannya hingga kini.

    Dalam bukunya yang berjudul De la Tradition Orale: esai de method historique,

    menjelaskan bahwa tradisi lisan sebagai sumber sejarah yang mampu menghadirkan

    fakta-fakta yang kredibel, hingga mengansumsikan tradisi lisan sebagai sejarah itu

    sendiri (Vansia, 2014: xxiv-xxv). Hal inilah yang disebut oleh (Vansia, 2014) sebagai

    proses transmisi yaitu proses pemindahan tradisi secara turun-temurun. Dalam

    kaitannya dengan tradisi lisan, Déré merupakan salah satu bentuk kesenian yang

    menyampaikan maksud dalam syair-syair dengan iringan nada-nada tertentu yang

    membentuk suatu kesatuan bunyi dan dilakukan turun secara lisan. Déré memiliki ciri

    khas dalam alunan nada yang diciptakan untuk mengiringi syair-syair (Deki, 2011:

    171). Tradisi lisan dianggap selalu berjalan beriringan dengan sejarah bahkan dapat

    dikatakan sebagai saksi peradaban manusia. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan

    Supriatin (2012: 407) yang mengatakan bahwa tradisi lisan merupakan warisan

    leluhur yang banyak menyimpan kearifan lokal, kebijakan, dan filosofi hidup yang

    terekspresikan dalam bentuk mantera, pepatah-petitih, pertunjukan, dan upacara adat.

    Tradisi lisan merupakan cultural heritage atau warisan budaya yang mengandung

    berbagai kearifan lokal (local wisdom), nilai-nilai budaya, dan kebijakan yang

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 29

    terekspresikan dalam cerita rakyat, seni pertunjukan rakyat, dan berbagai ritual dalam

    upacara adat. Cultural heritage atau warisan budaya ini merupakan kekayaan bangsa

    Indonesia yang harus kita pelihara dan kita lestarikan karena di dalamnya menyimpan

    identitas budaya sekaligus sebagai akar budaya yang merupakan subkultur atau kultur

    Indonesia.

    Tradisi lisan adalah sebuah kebudayaan yang diwariskan terutama melalui aspek

    kelisanan (oral tradition) (Takari, 2013: 2). Berdasarkan pendapat tersebut, tradisi

    lisan bukan berarti tradisi itu terdiri atas unsur- unsur verbal saja, melainkan

    penyampaian tradisi itu secara turun-temurun dan secara lisan secara lisan. Tradisi

    lisan terdiri atas tradisi yang mengandung unsur-unsur verbal, sebagian verbal (partly

    verbal), atau nonverbal (nonverbal) (Takari, 2013:2). Hal ini juga sejalan dengan

    yang disampaikan Danandjaja yang mengatakan bahwa secara garis besar bentuk-

    bentuk folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yakni folklor lisan (verbal

    folklore), folklor sebagian lisan (partly verbal), dan folklor bukan lisan (non verbal

    folklore) (Danandjaja, 2015: 64). Selanjutnya Danandjaja juga mengatakan bahwa

    istilah folklor lisan di dalam tulisannya tersebut bersinonim dengan istilah tradisi

    lisan (oral tradition). Hal ini menunjukkan bahwa ‘tradisi lisan’ mengacu pada proses

    penyampaian tradisi dan hasil dari proses penyampian dalam bentuk lisan. Sejalan

    dengan itu, konsep “tradisi lisan” mengacu pada tradisi yang disampaikan secara

    turun-temurun dari satu generasi ke generasi lain dengan media lisan melalui “mulut

    ke telinga” (Sibarani, 2015:4). Tradisi lisan, terutama tradisi yang memiliki unsur-

    unsur verbal seperti tradisi bermantra, bercerita rakyat, berteka-teki, berpidato adat,

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 30

    berpantun, berdoa, dan permainan rakyat yang disertai nyanyian dapat dikaji dari

    sudut pandang bahasa, khususnya yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan

    kebudayaan.

    Saat ini tradisi lisan telah menjadi domain yang sangat menarik bagi para peneliti

    dari berbagai disiplin ilmu. Dengan tidak adanya naskah, penelitian mengenai tradisi

    ini menjadi proses rumit khususnya untuk menyampaikan informasi tentang budaya,

    kebiasaan, dan perilaku masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui

    mulut ke mulut melalui cerita. Kemampuan manusia untuk berbicara dan

    berkomunikasi pada akhirnya membedakan manusia itu sendiri dari makhluk hidup

    lain. Aktivitas manusia untuk berkomunikasi melalui ucapan dan kecerdasannya,

    kemampuan kognitif untuk menyadari lingkungannya dan memvisualisasikan apa

    yang ada di dalam pikiran merupakan dua faktor penting dalam perkembangan

    masyarakat, sehingga tidak heran apabila Wilson mengatakan bahwa tradisi lisan

    merupakan aspek evolusi masyarakat manusia (Wilson, 2015: 118). Tradisi lisan

    menjadi penanda perkembangan yang terjadi di dalam lingkup masyarakat itu sendiri.

    Tradisi lisan (oral tradition) di berbagai daerah muncul dalam banyak bentuk dan

    dengan istilah yang berbeda-beda. Masyarakat Manggarai memiliki interese yang

    tinggi terhadap dunia seni (Deki, 2011: 87). Ketertarikan akan kesenian mendorong

    mayarakat Manggarai dalam menciptakan beragam kesenian. Bentuk kesenian orang

    Manggarai dapat diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu seni sastra dan seni

    pertunjukan. Kajian dalam penelitian ini merupakan salah satu bentuk kajian bahasa,

    maka fokus kajiannya adalah seni sastra. Bentuk kesusastraan tersebut diungkapkan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 31

    dalam pelbagai bentuk, seperti prosa (tombo nunduk, tombo turuk, tombo rapang,

    mantra, bidal, dan puisi yang berupa pepatah, peribahasa (go’et), syair (Déré) dan

    lagu (Déré,). Pada penelitian ini, fokus peneliti adalah Déré.

    Déré merupakan salah satu bentuk kesenian yang menyampaikan maksud dalam

    syair-syair dengan iringan nada-nada tertentu yang membentuk suatu kesatuan bunyi

    dan dilakukan turun secara lisan. Déré memiliki ciri khas dalam alunan nada yang

    diciptakan untuk mengiringi syair-syair (Deki, 2011:171). Syair-syair yang terdapat

    dalam Déré pada umumnya mengandung kata-kata puitis dalam menyampaikan

    maksud Déré yang dibuat. Déré yang diciptakan pada umumnya disebarkan turun-

    temurun secara lisan. Déré pada awal mulanya merupakan nyanyian rakyat, sampai

    pada akhirnya mucul gereja katolik dan berkeinginan mentrasliterasikan syair lagu

    yang mulanya berbentuk lisan menjadi tulisan dan diberi not.

    Bagi masyarakat Manggarai, Déré menempati posisi penting karena dijadikan

    sebagai media mengekspresikan jiwa seni yang dapat ditampikan dalam situsi dan

    kondisi tertentu (Deki, 2011:173). Déré kerapkali dijumpai dalam upacara adat baik

    komunal maupun privat. Upacara komunal misalnya upacara atau ritus adat yang

    merupakan upacara dari masyarakat satu kampung. Beberapa ritus adat dalam sistem

    lingko atau komunal tersebut antara lain upacara adat resmi, yaitu pentas caci, sanda

    dan mbata. Sedangkan pada upacara privat atau upacara keluarga (kilo) salah satunya

    adalah upacara kematian (lorang). Hadirnya Déré dalam upacara komunal maupun

    privat seperti yang telah disebutkan pada dasarnya mengandung maksud yang sama

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 32

    yaitu sebagai media mengekspresikan diri sesuai dengan konteks masyarakat

    Manggarai.

    Penelitian tentang tradisi lisan yang relevan dengan penelitaian ini adalah

    penelitian yang berjudul Tradisi Lisan Male-Male: Nyanyian Kematian dalam

    Masyarakat Ciacia oleh (Asrif, 2017). Tradisi lisan male-male itu menggambarkan

    penghargaan masyarakat terhadap sosok sempurna melalui ungkapan kesedihan,

    kerinduan, ketabahan, dan puji-pujian. Pelaksanaan male-male memiliki sejumlah

    fungsi, baik fungsi pribadi (penutur dan tuan rumah) maupun fungsi bagi masyarakat

    (warga yang melayat). Bagi penutur dan tuan rumah, tradisi itu berfungsi untuk

    menghibur, memberikan kepedulian sesama, menyebarkan nilai sosial, agama, dan

    prestise, serta mewariskan tradisi. Bagi masyarakat, male-male berfungsi sebagai

    sarana mengingatkan diri akan kematian, memperkukuh keimanan, serta

    meningkatkan empati, dan solidaritas sesama. Untuk itu diperlukan upaya pewarisan

    dalam menjaga keberlanjutan tradisi itu. Pewarisan formal dilakukan melalui sekolah,

    sedangkan pewarisan informal melalui penguatan lembaga adat.

    Penelitian lain yang relevan dengan penelitian penelitian ini adalah, penelitian

    tentang “Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti sebagai Media Komunikasi Kultural dalam

    Masyarakat Wakatobi” yang dilakukan oleh Udu (2015). Tradisi lisan Bhati-bhati

    merupakan nyanyian rakyat yang selama ini tumbuh dan berkembang dalam

    masyarakat Wakatobi. Pementasan tradisi lisan bhanti-bhanti merupakan media

    komunikasi kultural masyarakat Wakatobi untuk menyampaikan berbagai hal yang

    menyangkut berbagai nilai budaya, sejarah, adat istiadat, hubungan manusia dengan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 33

    lingkungan, yang berhubungan dengan Tuhannya. Mereka juga bebas

    mengungkapkan pikiran, perasaannya terhadap seseorang, kampung, ataupun masalah

    sosial lainnya, dan pendengar tidak bisa tersinggung karena kritik itu disampaikan

    dengan bahasa halus dan penuh dengan canda.

    Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Asrif (2017) yang hanya

    memeraikan fungsi tradisi lisan Male-male dan penelitian yang dilakukan oleh Udu

    (2015) yang memeraikan fungsi dan nilai tradisi lisan Bhati-bhati. Penelitian ini akan

    mencoba mempergunakan tradisi lisan Déré dalam memeraikan wujud nilai-nilai

    kerarifan lokal, makna simbolik nilai kearifan lokal serta nilai kearifan lokal tradisi

    lisan Déré yang menunjukan menifestasi jati diri masyarakat Manggarai dengan

    menggunakan pendekatan ekolinguistik metaforis sebagai pisau analisis.

    2.4 Konsep Identitas Masyarakat

    Tradisi lisan yang terdapat dalam budaya masyarakat tertentu secara tidak

    langsung memberikan gambaran identitas masyarakat itu sendiri, salah satunya

    adalah identitas diri masyarakat Manggarai yang tercermin dalam tardisi lisan Déré.

    Hal ini menunjukan bahwa penelitian terkait identitas masyarakat Manggarai penting

    untuk dikaji. Dalam KBBI (2016) identitas diartikan sebagai ‘jati diri’. Dalam kamus

    itu, ‘jati diri’ merujuk pada dua pengertian, yakni (1) ‘ciri-ciri, gambaran, atau

    keadaan suatu benda; identitas’; dan (2) ‘inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari

    dalam; spiritualitas’. Ciri-ciri, gambaran atau keadaan dari sesuatu yang dalam hal ini

    adalah kebudayaan yang satu dengan kebudayaan lainnya. Ciri, dan keadaan dari

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 34

    masing-masing kebudaayan di wujudkan dalam semangat spiritualitas yang mereka

    miliki.

    Erikson (2002: 21) menjelaskan bahwa identitas adalah konfigurasi integratif dari

    masa lampau dengan masa sekarang dan dari yang di dalam dan yang di luar, ke

    dalam suatu keseluruhan yang baru dan secara kodrati proses identitas ini proses

    identitas ini bersifat psikososial. Pembentukan ientitas pribadi dilakukan bersamaan

    dengan kelompok sosial masyaarakatnya. Apabila kata identitas dalam kaitannya

    dengan masyarakat maka, identitas digunakan untuk menyatakan ciri golongan suatu

    kelompok masyarakat tertentu. Digunakan untuk menunjukkan ciri yang berbeda

    dengan kelompok masyarakat lainnya pada suatu daerah tertentu dan sifatnya

    kompleks. Konsep identitas atau jati diri apabila dikaitkan dengan keadaan

    masyarakat manggarai artinya menunjukan ciri-ciri, keadaan maupun gambaran

    kebudayaan masyarakat Manggarai yang berbeda dengan budaya masyarakat lain.

    Identitas masyarakat Manggarai secara tidak langsung dapat tercermin melalaui

    tradisi lisan Déré yang ada dalam kebudayaan tersebut.

    Penelitian terkait identitas suatu masyarakat sebelumnya dilakukan oleh (Tube,

    2017) terkait “Tradisi Lisan Liâ Asa Usu sebagai Potret Jati Diri Masyarakat

    Lamalera: Sebuah Kajian Etnopragmatik”. Dalam penelitiannya, Tube

    mendeskripsikan identitas masyarakat Lamaera, NTT, melalui tradisi lisan Liâ Asa

    Usu yang ada di daerah tersebut. Tube (2017) mempergunakan perspektif

    etnopragmatik dalam mengkaji penelitiannya. Metode etnografi digunakan dalam

    pengumpulan dan analisis data. Tube menjelaskan bahwa jati diri masyarakat

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 35

    Lamalera tergambar melalui sistem peralatan hidup, sistem mata pencaharian, sistem

    kepercayaan, dan bahasa. Apabila Tube yang menempatkan jati diri masyarakat

    Lamalera pada kerangka unsur-unsur universal kebudayaan, maka beda halnya

    dengan penelitian ini yang mengungkap identitas masyarakat Manggarai dengan

    melakukan pemaknaan tradisi lisan Déré melalui sudut pandang ekolinguistik

    metaforis dan dikaitkan dengan konteks sosial dan budaya masyarakat Manggarai.

    Penelitian selanjutnya mengkaji tentang Tradisi Tunggul Wulung Sebagai Sarana

    Penguat Jati Diri Bangsa oleh (Susanti et al., 2018). Penelitian ini dilakukan pada

    saat perayaan Tradisi Tunggul Wulung untuk melihat nilai-nilai yang terkandung

    dalam tradisi tersebut yang dapat memperkuat Jati Diri Bangsa. Berdasarkan hasil

    penelitian, diperoleh hasil bahwa dalam Tradisi Tunggul Wulung banyak nilai-nilai

    sosial sebagai penguat jati diri bangsa berupa kekeluargaan, gotong royong, dan

    toleransi. Penelitian ini hanya menunjukkan jati diri melalui Tradisi Tunggul Wulung

    dengan memeraikan beragam nilai yang terkandung di dalamnya tanpa menggunakan

    pendekatan secara khusus. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Susanti et

    al., 2018), penelitian ini hendak memeraikan wujud kearifan lokal, makna simbolik

    dan nilai kearifan lokal yang menunjukan jati diri masyarakat Manggarai melalui

    tradisi lisan Déré dengan menggunakan ekolinguistik metaforis sebagai pisau

    analisis.

    Dengan demikian, istilah ‘identitas’ dalam penelitian ini merujuk pada konsep

    jati diri kolektif masyarakat yang terwujud di dalam tradisi lisan Déré berupa jati diri

    yang tercermin dalam pola pikir, pola hidup dan juga pola budaya masyarakat

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 36

    Manggarai. Aspek-aspek jati diri tersebut menjadi hal yang tidak terpisahkan dari

    aspek lingkungan sosial, biologi, ekonomi dan budaya masyarakat Manggarai. Semua

    hal terkait jati diri yang tercermin dalam tradisi lisan Déré Masyarakat Manggarai

    dikaitkan dengan berbagai konteks lingkungan yang ada dalam kebudayaan tersebut.

    2.5 Kearifan Lokal

    Secara etimologis, kearifan lokal berasal dari kosakata bahasa Inggris, local

    ‘ruang, tempat’, dan wisdom ‘kearifan, kebijaksanaan’. Kosa kata local secara

    spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas

    pula. Dalam konteks penelitian ini, local dapat dimaknai sebagai lingkungan

    interaksi, yang di dalamnya ditunjukkan pola hubungan antara manusia, sesama, dan

    lingkungan sosial budayanya. Sementara itu, wisdom dapat dimaknai sebagai

    perwujudan pola pikir, sikap, dan tindakan yang merujuk pada nilai-nilai luhur.

    Dengan demikian, kearifan lokal dapat dipahami sebagai wujud akal, sikap, dan

    tindakan manusia pada suatu lingkungan dalam menghayati nilai-nilai luhur atau

    kebijaksanaan itu.

    Menurut Hidayati (2016: 40) kearifan lokal adalah tatanan sosial budaya dalam

    bentuk pengetahuan, norma, peraturan dan keterampilan masyarakat di suatu wilayah

    untuk memenuhi kebutuhan (hidup) bersama yang diwariskan secara turun temurun.

    Lebih lanjut, kearifan lokal bervariasi menurut referensi dan cakupannya, namun dari

    definisi-definisi tersebut terdapat beberapa kata kunci, yaitu: pengetahuan, gagasan,

    nilai, keterampilan, pengalaman, tingkah laku, dan kebiasaan adat yang dilakukan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 37

    oleh masyarakat di wilayah tertentu (Hidayati, 2016). Secara substansial, kearifan

    lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini

    kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari- hari masyarakat

    setempat (Widyanti, 2015:161). Jadi, kearifan lokal sebagai bentuk cermin realitas

    masyarakat pemilik budaya tersebut mencakup pengetahuan, gagasan, nilai,

    keterampilan, pengalaman, tingkah laku, kebiasaan adat yang dijadikan sebagai acuan

    dan diwariskan secara turun-temurun.

    Wujud kearifan lokal selanjutnya dikategorikan menjadi (1) kearifan lokal

    berwujud nyata (tangible) dan kearifan lokal tidak berwujud nyata (intangible).

    Kearifan lokal tangible meliputi teks yang termanifestasi di dalam sistem nilai, tata-

    cara, ketentuan khusus yang dituangkan dalam bentuk catatan tertulis seperti kitab

    tradisional, kalender, prasasti, dan lain-lain; dan arsitektur serta benda cagar budaya.

    Kearifan lokal intangible berupa nasehat-nasehat lisan yang disampaikan secara

    verbal dan turun-temurun seperti peribahasa, petuah, dan lagu, yang di dalamnya

    terdapat ajaran-ajaran tradisional (Dokhi, dkk., 2016:9). Jadi, kearifan lokal sebagai

    bentuk cermin realitas masyarakat pemilik budaya tersebut mencakup pengetahuan,

    gagasan, nilai, keterampilan, pengalaman, tingkah laku, dan kebiasaan adat yang

    diwariskan secara turun temurun dan dapat berbentuk sesuatu yang berwujud nyata

    dan ada yang tak nyata. Sibarani (2012:133) dalam Sitompul & Simaremare

    (2017:29) menjelaskan bahwa kearifan lokal mengandung nilai-nilai budaya,

    diantaranya adalah: (1) kesejahteraan, (2) kerja keras, (3) disiplin, (4) pendidikan, (5)

    kesehatan, (6) gotong royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 38

    budaya, (9) peduli lingkungan, (10) kedamaian, (11) kesopansantunan, (12)

    kejujuran, (13) kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15)

    komitmet dan (16) pikiran positif dan rasa syukur. Lebih lanjut, dalam kaitannnya

    dengan nilai kearifan lokal, Prosser (1978:303) dalam Sitompul & Simaremare

    (2017:29) menjelaskan bahwa nilai adalah aspek budaya yang paling dalam tertanam

    dalam suatu masyarakat. Prosser (1978:303) dalam Sitompul & Simaremare

    (2017:29) membagi nilai menjadi lima, yaitu: (1) nilai yang berhubungan dengan

    Tuhan, (2) nilai yang berhubungan dan berorientasi dengan alam, (3) nilai yang

    berhubungan dan berorientasi dengan waktu, (4) nilai yang berhubungan dan

    berorientasi pada kegiatan, dan (5) nilai berhubungan dan berorientasi pada hubungan

    antar manusia.

    Kearifan lokal pada berbagai pembahasannya memiliki beberapa istilah yang pada

    dasarnya mengandung pengertian yang sama. Kearifan lokal juga dikenal dengan

    beragam istilah yaitu, kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat

    (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genius). Berbagai istilah-istilah

    tersebut merujuk pada pengertian bahwa kearifan lokal merupakan pandangan hidup

    dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktifitas yang

    dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam memenuhi

    kebutuhan mereka yang meliputi seluruh aspek kehidupan seperti agama, ilmu

    pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa, serta kesenian (Alfian,

    2013: 424). Hal yang ingin ditujukan dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 39

    pemaparan yang disampaikan sebelumnya yaitu, mampu menunjukan jati diri atau

    identitas dari masyarakat budaya Manggarai melalui tradisi lisan Déré.

    Penelitian tentang kearifan lokal sebelumnya pernah dilakukan oleh Rahardi et

    al., (2016) yang berjudul “Kefatisan Berbahasa dalam Perspektif Linguistik Ekologi

    Metaforis”. Penelitian yang dilakukan Rahardi et al., (2016), Menggunakan

    pendekatan deskriptif kualiatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode

    simak khususnya simak bebas libat cakap. Penelitian ini berada dalam salah satu

    wilayah kajian ekolinguistik metaforis berancangan pragmatik. Hasil penelitian yang

    dilakukan Rahardi, dkk. adalah sebagai berikut; dalam menangkap maksud kefatisan

    berbahasa secara benar dan tepat diperlukan pemahaman akan konteks pragmatik.

    Konteks yang diperantikan untuk menangkap maksud kefatisan itu bukan saja

    konteks dalam pengertian temporal dan spasial, atau konteks dalam pengertian sosial

    dan sosietal, serta konteks dalam pegertian situasional, tetapi haruslah konteks yang

    berhakikat asumsi-asumsi penutrn dan mifa tutur yang sifatnya personal maupun

    komunal. Manifestasi kefatisan berbahasa dalam kaian dengan studi ekolinguistik

    metaforis memang masih sangat perlu untuk digelorakan dan digalakkan dalam studi

    linguistik dan pragmatik di Indonesia. Masih relatif langkanya kajian-kajian kefatisan

    berahasa dalam perspektif ekolinguistik metaforis yang demikian ini mengesankan

    bahwa studi linguistik dan pragmatik di Indonesia memang masih berjalan cukup

    lamban dan kurang inovatif hingga sekarang ini.

    Penelitian yang dilakukan (Rahardi et al., 2016) berbeda dengan penelitian ini.

    Apabila (Rahardi et al., 2016) dalam penelitiannya menganalisis nilai-nilai kearifan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 40

    dengan menggunakan pargmatik, penelitian ini mencoba memerihkan nilai-nilai

    keraifan lokal yang ada dalam tradisi lisan Déré dengan melihat falsafah kehidupan

    masyarakat Manggarai dengan memperhatikan konteks sosial, ekonomi dan budaya

    masyarakat Manggarai. Penelitian ini juga tidak berfokus pada ranah pendidikan

    melainkan berfokus pada suatu kebudayaan tertentu yaitu, kebudayaan Manggarai.

    Dengan demikian, metode pengumpulan dan analisis data dalam penelitian ini

    menggunakan metode kualitatif etnogarfi.

    Penelitian relevan selanjutnya dilakukan oleh Parmono (2013) tentang “Nilai

    Kearifan Lokal dalam Batik Tradisional Kawung”. Nilai-nilai dalam batik tradisional

    di angkat dari proses akulturasi budaya Jawa, Hindu, dan Islam serta pengaruh

    budaya pendatang. Salah satu motif batik tradisional adalah batik Kawung. Batik

    tradisional Kawung mengandung nilai kearifan lokal yang dilukiskan dalam

    motif/corak, warna, nama, dan fungsinya. Motif batik Kawung ini menggambarkan

    tatanan kehidupan masyarakat yang ideal. Motif Kawung ini mengandung pesan agar

    seseorang menjadi manusia yang unggul, baik, dan bermanfaat bagi sesama manusia.

    Penelitian relevan yang dilakukan oleh (Parmono, 2013) memiliki kesamaan dengan

    penelitian ini yaitu, sama-sama mendeskripsikan nilai kearifan lokal namun tidak

    membahasa sampai pada tingkat wujud kearifan lokal, makna wujud kearifan lokal

    dan jati diri masyarakat pemilik tradisi seperti dalam penelitian ini.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 41

    2.6 Pelestarian Tradisi Lisan

    Pergeseran eksistensi tradisi lisan menjadi salah satu persoalan yang semakin

    disorot dalam kehidupan masa kini. Hal ini dipertegas oleh pedapat (Haugen,

    1972:326) bahasa lahir dan mati bak organisme hidup. Bahasa memiliki rentang

    kehidupannya, tumbuh dan berubah seperti halnya manusia dan hewan, memiliki

    sedikit penyakit yang hanya dapat disembuhkan menggunakan obat yang tepat oleh

    para pakar bahasa. Inti dari pandangan haugen ini adalah persoalan terkait

    kebertahanan bahasa yang semakin mengalami kepunahan. Pada kenyataannya,

    bahasa tidak terus-menerus ada, ada saatnya suatu bahasa hilang seiring berkurangnya

    perhatian untuk terus menjaga kealamian dan kelestariannya. Salah satu fokus kajian

    ekolinguistik metaforis mengkaji tradisi lisan sebagai salah bentuk eksplorasi

    masalah-masalah lingkungan biologis, sosial, ekonomi dan budaya yang dijadikan

    sebagai strategi mempertahankan kelestarian suatu bahasa yang ada dalam

    lingkungan tertentu.

    Persoalan terkait kemungkinan kepunahan bahasa, mendorong para peneliti

    untuk mecoba memecahkan persoalan-persoalan tersebut dengan mulai mengkaji

    nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi lisan kebudayaan tertentu

    beserta upaya pelestraiannya. Penelitian terkait pelestarian tradisi lisan sebelumnya

    pernah dilakukan oleh (Yanzi, 2017) dengan judul “Penguatan Tradisi Lisan Sebagai

    Upaya Eksistensi Nilai-Nilai Multikutur”. Yanzi mencoba menjabarkan upaya

    pelestarian tradisi lisan Hahiwang yang ada di Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi

    Lampung dengan menggunakan pendekatan studi etnografi, dengan teknik

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 42

    pengumpulan data menggunakan wawancara, dokumentasi dan observasi. Yanzi

    (2017) menyampaikan bahwa upaya pelestrarian tradisi lisan Hahiwang yang ada di

    Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, dapat dilakukan oleh kepala pekon

    sebagai wakil dari masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat adat

    terhadap penguatan tradisi lisan di Kecamatan Krui Selatan KabupetenPesisir Barat,

    antara lain pemerintah ataupun lembaga terkait dapat melaksanakan programprogram

    yang berkaitan dengan pembinaan masyarakat, karena program pengenalan tradisi

    lisan sebagai upaya ketahanan sosial budaya. Upaya mengaktualisasi nilai-nilai

    multikultural yang berwujud pada aktivitas penggalian, pelestarian, dan

    pengembangan.

    Sejalan dengan hasil penelitian Yanzi, upaya pelestarian tradisi lisan juga termuat

    dalam Permendikbud No.10 pasal 5 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelestarian Tradisi

    (Kemendikbud, 2014). Peraturan tersebut berbunyi bentuk Pelestarian Tradisi

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliput; pelindungan, pengembangan dan

    pemanfaatan. Hal ini menunjukan bahwa pelestarian tradisi lisan pada dasarnya

    dikembangkan berdasarkan tiga bentuk tindakan pelesatraian yang telah termuat

    dalam Permendikbud No.10 pasal 5 ayat (2) dan dilakukan oleh semua masyarakat

    budaya tertentu sebagai pemilik, pelaksana dan pengembang tradisi lisan secara

    turun-temurun. Hal yang termuat dalam Permendikbud No.10 pasal 5 Tahun 2014

    tentang Pedoman Pelestarian Tradisi dipertegas dengan hasil konvensi yang

    dilakukan oleh UNESCO pada tanggal 17 Oktober 2003 di Paris (Kemenkumham,

    2007). Dalam konvensi tersebut, disampaikan bahwa tradisi lisan menjadi salah satu

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 43

    Intangible Cultural Heritage yang harus dilindungi. Tradisi lisan menjadi salah satu

    kekayaan masyarakat Indonesia, dengan demikian harus dijaga agar tetap lestari.

    Apabila dikaitkan dengan konteks penelitian ini, peneliti mencoba membangun upaya

    preservasi tradisi lisan Déré pada kebudayaan masyarakat Manggarai, NTT.

    Upaya preservasi dilakukan agar dapat mempertahankan tradisi lisan yang

    semakin terabaikan, sejalan dengan pendapat yang dikutip dari (Republika, 2018)

    bahwa semakin banyak tradisi lisan di Nusantara yang keberadaanya terabaikan

    sehingga mengakibatkan banyak tradisi lisan yang akhirnya mati. Berangkat dari

    persoalan terkait kepunahan tradisi lisan ini, peneliti mencoba mengkaji nilai-nilai

    kearifan lokal dalam tradisi lisan Déré berserta upaya preservasi dari nilai kearifan

    lokal baik meliputi; perlindungan, pengembangan dan pemanfaatannya.

    Sumitri, Ni Wayan dan Arka (2016:4-5) mengusulkan upaya pelestarian tradisi

    lisan melal