tradisi mappatabe dalam masyarakat bugis di …

85
TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI KECAMATAN TANRALILI KABUPATEN MAROS (ANALISIS IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TERHADAP PENGAMALAN SILA KEDUA PANCASILA) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pen didikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Oleh : Hasmawati 105431101316 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDIPENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN 2020

Upload: others

Post on 17-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

1

TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI KECAMATAN

TANRALILI KABUPATEN MAROS (ANALISIS IMPLEMENTASI

NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TERHADAP

PENGAMALAN SILA KEDUA PANCASILA)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan pada Jurusan Pen didikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Oleh :

Hasmawati

105431101316

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN

DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDIPENDIDIKAN

PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

2020

Page 2: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

2

ii

Page 3: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

3

iii

Page 4: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

4

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Hasmawati

Stambuk : 105431101316

Jurusan : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Fakultas : Keguruan Dan Ilmu Pendidikan

Judul Skripsi : Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di

Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros (Analisis

Implementasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Terhadap

Sila Kedua Pancasila)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya ajukan di depan tim

penguji adalah hasil karya saya sendiri dan bukan hasil ciptaan orang lain atau

dibuatkan oleh siapapun.

Demikian pernyataan ini saya buat dan saya bersedia menerima sanksi

apabila pernyataan ini tidak benar.

Makassar, Agustus 2020

Yang Membuat Pernyataan

Hasmawati

iv

Page 5: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

5

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

SURAT PERJANJIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Hasmawati

Stambuk : 105431101316

Jurusan : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:

1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai penyusunan skripsi ini, saya

akan menyusun sendiri skripsi saya (tidak dibuatkan oleh siapapun).

2. Dalam menyusun skripsi, saya akan selalu melakukan konsultasi dengan

pembimbing yang telah ditetapkan oleh pemimpin fakultas.

3. Saya tidak akan melakukan penjiplakan (Plagiat) dalam penyusunan skripsi.

4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti pada butir 1, 2, dan 3 saya bersedia

menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Demikian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.

Makassar, Agustus 2020

Yang Membuat Perjanjian

Hasmawati

v

Page 6: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

6

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Teruslah Berusaha Berikan Usaha Sekuat Kemampuan

Biarkan Allah Yang Meneruskan Dan Menyempurnakan Setiap Usaha

Yang Kita LAKUKAN

Saya persembahkan karya ini untuk:

Orang tua saya tercinta Bapak Jamaluddin dan Ibu

Sania, ke lima saudara saya yang tersayang, serta

keluarga saya yang tiada hentinya selalu

mendoakan, memotivasi dan membimbing dengan

penuh kasih saying sampai terselesainya

penyusunan skripsi ini.

vi

Page 7: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

7

ABSTRAK

Hasmawati 2020. Tradisi Mappatabe Dalam Masyarakat Bugis Di

Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros (Analisis Implementasi Nilai-Nilai Kearifan

Lokal Terhadap Pengamalan Sila Kedua Pancasila) Mahasiswa Jurusan PPKn,

Fakultas keguruan dan ilmu pendidika, Universitas Muhammadiyah Makassar.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesadaran masyarakat

Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros terhadap tradisi mappatabe terhadap

pengamalan sila kedua pancasila untuk mengetahui faktor-faktor yang

menyebabkan masyarakat di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros tidak

mengimplementasikan tradisi mappatabe.Jenis Penelitian ini yaitu penelitian

deskriptif kualitatif. Informan dalam penelitian ini adalah Mayarakat yang ada

dikecamatan tanralili, guru sekolah, tokoh masyarakat dan tokoh agama yang

berjumlah 34 Informan, yang dilakukan secara sengaja dengan kriteria tertentu

dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan

dengan cara wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian kesadaran

masyarakat dalam mengimplementasikan tradisi mappatabe di Kecamatan

Tanralili Kabupaten Maros perlahan-lahan mulai hilang di kalangan masyarakat.

Hal ini terbukti dari tingkah laku dan sopan santun seorang saat berinteraksi

dengan kedua orang tuanya dan orang-orang di sekitarnya, dapat dilihat lebih

banyak anak usia dini yang tidak mengimplementasikan tradisi mappatabe

ketimbang orang tua saat ini yang sudah menjadi tradisi sejak dulu. Faktor-faktor

yang menyebabkan masyarakat di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros

meninggalkan tradisi mappatabe karena kurangnya didikan dari orang tua, akibat

pergaulan, dan lebih banyak anak-anak sekarang ini yang lebih sering

meggunakan sapaan gaul.

Kata Kunci : Tradisi Mappatabe, Kearifan Lokal, Sila Kedua Pancasila.

vii

Page 8: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

8

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini

dengan baik, sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana

pendidikan. Sholawat serta salam tetap tercurah kepada keharibaan pemimpin

sang Ilahi Rabbi Nabi Besar Muhammad SAW, Sang revolusioner sejati, Sosok

pemimpin yang terpercaya, jujur, dan berakhlak karimah yang telah bersusah

payah mengeluarkan manusia dari kungkungan kebiadaban, sehingga sampai saat

ini manusia mampu memposisikan diri sebagai warga negara yang senantiasa

beriman dan bertaqwa dijalan Allah SWT.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah melibatkan berbagai pihak

sehingga skripsi ini dapat tersusun dengan baik, meskipun terdapat hambatan dan

kesulitan yang dihadapi dalam penyusunan skripsi ini, namun atas dorongan dan

bimbingan dari berbagai pihak sehingga semua dapat terselesikan dengan baik.

Untuk itu dengan hati yang tulus penulis menyampaikan terima kasih dan

penghargaan tak terhingga kepada kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda

Jamaluddin dan Ibunda Sania yang telah mengasuh dan membesarkan dengan

penuh kasih sayang, serta memberikan bantuan moril dan materil. Beliau telah

banyak memberikan doa, nasehat, dorongan dan semangat, begitupun dengan

kakak kakakku dan adikku ST. Nurhalisa yang selalu menjadi penyemangat dan

menjadi motivasi tersendiri buat penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ini.

viii

Page 9: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

9

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada

kita semua.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud

tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Begitu pula penghargaan

yang setinggi-tingginya dan terima kasih banyak disampaikan dengan hormat

kepada :

1. Ucapan terima kasih pula yang tak terhingga kepada kedua orangtua saya

yang sangat banyak memberikan bantuan moril, material, arahan, dan

selalu mendoakan keberhasilan dan keselamatan selama menempuh

pendidikan.

2. Prof. Dr. H. Abd Rahman Rahim, SE.,MM., Rektor Universitas

Muhammadiyah Makassar.

3. Dr. Erwin Akib, M.Pd., Ph.D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

4. Dr. Muhajir M.Pd., Ketua Prodi Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan

5. Dr. Muhajir M.Pd., dan Dra. Jumiati Nur. M.Pd ,dosen pembimbing 1 Dan

dosen pembimbing 2 yang telah memberikan kritik dan saran yang

senantiasa menjadi arah dan dorongan dalam penyelesaian skripsi ini

6. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan khususnya kelas PPKn 16A yang telah banyak

memberikan masukan kepada penulis baik selama dalam mengikuti

perkuliahan maupun dalam penulisan proposal ini.

Page 10: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

10

7. Para dosen pengajar Program Studi Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan yang tidak bisa saya sebut satu persatu, terima kasih

atas didikan dan ilmu yang diberikan selama perkuliahan.

8. Seluruh staf tata usaha pada lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

9. Seluruh informasn masyarakat di Kecamatan Tanralili yang bersedia

meluangkan waktunya untuk memberikan banyak informasi yang sangat

bermanfaat kepada penulis.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.

Akhir kata, penulis mengucapkan permohonan maaf atas segala

kekurangan dan kekhilafan. Terima kasih, Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi

Wabaraktuh.

Makassar, Agustus 2020

Hasmawati

Page 11: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

11

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................... iii

SURAT PERNYATAAN .................................................................................... iv

SURAT PERJANJIAN ....................................................................................... v

MOTTO ............................................................................................................... vi

ABSTRAK............................................................................................................vii

KATA PENGANTAR.........................................................................................viii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ .ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................. ............ 1

B. Rumusan Masalah.............................................................................. ....... 5

C. Tujuan Penulisan.............................................................................. ......... 5

D. Manfaat Penulisan.............................................................................. ....... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori .......................................................................................... 7

1. Tradisi Mappatabe .............................................................................. 7

2. Kerifan Lokal ...................................................................................... 12

3. Sila Kedua Pancasila ........................................................................... 17

B. Kerangka Pikir .......................................................................................... 25

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian .......................................................................................... 26

B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 26

C. Data dan Sumber Data .............................................................................. 27

D. Instrumen Penelitian.................................................................................. 27

E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 28

F. Teknik Analisis Data ................................................................................. 29

Page 12: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

12

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian....................................................................... 33

B. Deskripsi Informan.................................................................................... 44

C. Hasil Penelitian ......................................................................................... 46

D. Pembahasan ............................................................................................... 57

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................... 64

B. Saran .......................................................................................................... 65

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii

Page 13: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang memiliki beragam

budaya atau tradisi. Indonesia memiliki letak sangat trategis dan tanah dengan

kekayaan alam yang melimpah. Pengalaman masa lampau menempatkan

Indonesia sebagai wilayah yang menjadi sumber perekonomian yang ada di Asia

Tenggara dan dunia yang menyebabkan banyak penduduk dari Negara lain yang

datang ke Indonesia (Sutardi, 2016: 9).

Salah satu keunikan Indonesia yang tidak dimiliki negara lain adalah

keanekaragaman suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Badan Pusat

Statistik (BPS) mencatat sedikitnya terdapat 633 kelompok suku besar di

Indonesia pada tahun 2013, jika diperinci hingga tingkat subsuku, angka ini

membesar menjadi 1331 kelompok. Setiap kelompok suku memiliki

kebudayaannya masing-masing sehingga kondisi ini berdampak pada keragaman

budaya yang tersebar di seluruh Indonesia. Jika tidak dikelola dengan baik,

kekayaan budaya Indonesia ini berpotensi hilang tergerus zaman. Ancaman

pengklaiman aset budaya oleh pihak lain pun kerap mengintai (Kartini, 2016).

Budaya merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi tindakan,

perbuatan, tingkah laku dan hasil karyanya yang dapat dipelajari, kebudayaan

merupakan hal yang kompleks yang mencakup pengetahuan, moral, hukum adat

istiadat, dan kemampuan lainnya serta kebiasaan yang dapat dilakukan oleh

manusia sebagai anggota masyarakat (Pongsibanne, 2017: 8. Istilah kebudayaan

yang banyak dipakai saat ini yang pertama mengenai perkembangan intelektual,

1

1

Page 14: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

14

spiritual, dan estetika individu, kelompok atau masyarakat. Kedua menangkap

sejumlah aktivitas intelektual dan artistik serta produk-produknya seperti film,

kesenian, dan teater. Ketiga mengenai seluruh cara hidup, aktivitas, kepercayaan,

dan kebiasaan seseorang (Sutrisno, 2014: 258).

Sulawesi Selatan terdapat beberapa etnik yakni Bugis, Makassar, Toraja,

dan Mandar. Setiap kelompok etnik tersebut memiliki ragam budaya dan tradisi

berbeda, meskipun cenderung memiliki kesamaan tertentu. Suku Bugis-Makassar,

yang memiliki berbagai suku dan bahasa, Masyarakat Bugis merupakan salah satu

suku yang masih mempertahankan budaya dan adat istiadatnya di Indonesia. Suku

Bugis yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Proto, berasal dari kata To Ugi,

yang berarti orang Bugis. Penamaan ugi merujuk pada raja pertama kerajaan Cina

Kebudayaan Bugis Makassar yang mendiami bagian terbesar dari jazirah

selatan dari pulau Sulawesi. Jazirah itu merupakan suatu provinsi Sulawesi

Selatan yang sekarang terdiri dari 23 kabupaten. Secara garis besar penduduk

provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari empat suku bangsa yaitu, Bugis, Makassar,

Toraja dan Mandar. Bugis Makassar mengenal dua Sistem kategori

kemasyarakatan yang pertama, Ana‟Karaeng yaitu lapisan masyarakat yang

berasal dari kaum raja-raja. Kedua, Tu-mara-deka, yaitu lapisan masyarakat yang

terdiri dari orang-orang merdeka, yang sebagian besar dari Sulawesi Selatan

(Pongsibanne, 2017: 32).

Banyak kebudayaan Sulawesi Selatan yang kini mulai hilang dalam

masyarakat Bugis, khususnya Kota Makassar. Pengetahuan mendalam tentang

prinsip-prinsip kekerabatan sangat penting bagi orang Bugis untuk membentuk

tatanan sosial seperti tradisi budaya Tabe‟. Tabe (permisi) merupakan budaya

2

Page 15: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

15

yang sangat indah yang ditinggalkan oleh leluhur, yang mewariskan sopan santun

yang tidak hanya melalui ucapan tetapi juga dengan gerak, budaya gotong royong

dan saling menghargai juga sudah mulai hilang dikalangan masyarakat. Tabe‟

salah satu bentuk komunikasi non verbal yang biasa dilakukan orang bugis dalam

menunjukkan rasa hormatnya ketika mereka berjalan dihadapan orang tua,

maupun ketika mereka ingin meminta bantuan dan hal lainnya yang menyangkut

tentang perilaku ataupun sopan santun manusia. Sikap itu perlu dijaga karena

tidak hanya diperuntukkan kepada yang muda melakukan pada yang lebih tua

tetapi juga sebaliknya (Jamaluddin, 2016).

Realita budaya tabe‟ perlahan-lahan telah luntur dalam masyarakat,

khususnya pada kalangan anak-anak dan remaja. Mereka tidak lagi memiliki sikap

tabe‟ dalam dirinya. Mungkin karena orangtua mereka tidak mengajarkannya atau

memang karena kontaminasi budaya Barat yang menghilangkan budaya tabe‟ ini.

Mereka tidak lagi menghargai orang yang lebih tua dari mereka. Sopan santun itu

jika digunakan akan mempererat rasa persaudaraan dan mencegah banyak

keributan serta pertengkaran. Budaya pakkaraengan atau budaya tabe kini

perlahan-lahan mulai hilang ditimbulkan dari kurangnya pengenalan.

Tata krama ataupun sopan santun hendaknya tidak hilang dalam diri

manusia.Orang yang sopan akan disenangi oleh orang lain. Oleh karena itu, sangat

penting mengajarkan budaya tabe melalui pola asuhan keluarga, sekolah dan

lingkungan bermain. Karena sopan santun itu tidak mahal, tidak mengeluarkan

banyak biaya. Misal seorang kakak, ajarkan kepada adiknya untuk berbuat sopan

santun kepada kedua orang tua maupun kerabatnya. Selain itu, tabe juga

merupakan salah satu bentuk komunikasi non verbal yang biasa dilakukan orang

3

Page 16: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

16

bugis dalam menunjukkan rasa hormatnya ketika mereka berjalan dihadapan

orang tua, maupun ketika mereka ingin meminta bantuan dan hal lainnya yang

menyangkut tentang hal perilaku ataupun sopan santun manusia.

Puluhan bahkan ratusan budaya terdapat dalam satu negara Indonesia, dan

salah satunya, yaitu buday sulawesi selatan dan terkhusus budaya yang ada di

Kabupaten Maros. Kabupaten Maros selain menjadi perlintasan dari Makassar ke

Toraja, juga merupakan daerah peralihan dan pertemuan dari dua kebudayaan dari

wtnis bugis dan Makassar. Budaya masyarakat maros diwarnai oleh budaya bugis

dan Makssar itu sendiri, yang saling isi mengisi dan akhirnya menjadi tipikal

perpaduan atau akulturasi yang memunculkan kekhasan budaya baru. Di desa

kurusumange kecamatan Tanralili Kabupaten Maros terdapat penggunaan tutur

bahasa yang mana begitu berbeda dengan bahasa bugis, dan baghasa Makassar.

Kabupaten Maros melahirkan unsur-unsur budaya yang berupa perpaduan

antara nilai-nilai agama dan lingkungan alamnya yang dilatarbelakangi dan

diwarnai dua etnis besar Makassar dan bugis. Kedua etnis ini telah membentuk

watak dan karakteristik masyarakat kabupaten Maros yang mudah berinteraksi

terhadap masyarkat pada umumnya di Sulawesi Selatan. Kekayaan budaya

kabupaten Maros juga memiliki potensi dan bahkan menjadi bagian dari

kekegiatan parawisa karena buday dan pariwisata adalah suatu bagian yang tidak

tidak dapat di pisahkan.

Salah satu desa yang ada di Kabupaten Maros adalah Kecamatan

Tanralili adalah nama sebuah kecamatan yang berada di wilayah kabupaten

Maros, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibukota kecamatan ini berada di

Ammarang dengan jarak 10 km dari kota Turikale yang merupakan ibu kota dan

4

Page 17: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

17

pusat pemerintahan Kabupaten Maros. Kecamatan Tanralili kala itu dibentuk

berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 1992 Pasal 7 dari hasil

pemekaran wilayah Kecamatan Mandai. Pembentukan wilayah Kecamatan

Tanralili dimulai pada tanggal 23 Mei 1992 dengan membawahi 8 desa.

Masyarakat Kecamatan Tanralili hubungan kekerabatan merupakan aspek

utama, baik dinilai penting oleh anggotanya maupun fungsinya sebagai suatu

struktur dasar dalam suatu tatanan masyarakat. Pengetahuan mendalam tentang

prinsipprinsip kekerabatan sangat penting bagi orang Bugis untuk membentuk

tatanan sosial mereka. Seperti tradisi budaya Tabe. Tabe merupakan budaya yang

sangat indah yang ditinggalkan oleh leluhur di Kecamatan Tanralili, yang

mewariskansopan santun yang tidak hanya melalui ucapan tetapi juga dengan

gerak. Bagaimanapun itu, hal ini perlu tetap dijaga karena tidak hanya

diperuntukkan kepada yang muda melakukan ke yang lebih tua tetapi juga

sebaliknya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah dari

penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimana Gambaran Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di

Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros ?

2. Bagaimana Kehidupan Sosial Masyarakat Mengenai Tradisi Mappatabe

dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan dari penelitian ini

sebagai berikut.

5

Page 18: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

18

1. Untuk mengetahui Gambaran Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di

Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros ?

2. Untuk mengetahui Kehidupan Sosial Masyarakat Mengenai Tradisi Mappatabe

dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros ?

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai barikut.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil dai penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi tentang Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan

Tanralili Kabupaten Maros

2. Manfaat Praktis

a. Penulis

Hasil penelitan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman langsung mengenai Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat

Bugis di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

b. Masyarakat dan pembaca

Hasil dari penelitian ini diharapkan masyarakat dan pembaca

mendapatkan informasi serta pengetahuan tentang Tradisi Mappatabe

dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

c. Pemerintah

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

masukan mengenai Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di

Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

6

Page 19: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Tradisi Mappatabe

a. Pengertian Tradisi Mappatabe

Menurut Aab, 2018 Tradisi atau kebiasaan merupakan sesuatu yang telah

dijalank an untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok

atau masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang

sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang

diteruskan dari generasi kegenerasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena

tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Tradisi berasal dari kata traditium

pada dasarnya berarti semua sesuatu yang di warisi dari masa lalu. Tradisi adalah

hasil cipta serta karya manusia objek material, keyakinan, imajinasi, insiden, atau

lembaga yang di wariskan dari sesuatu generasi ke generasi selanjutnya. Seperti

contohnya adat-istiadat, kesenian dan properti yang dipakai. Sesuatu yang di

wariskan tidak berarti harus diterima, dihargai, diasimilasi atau disimpan sampai

mati.

(Rahayu, 2018). Menjelaskan bahwa mappatabe merupakan suatu adat

yang dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat Suku

Bugis. Adat ini merupakan suatu perilaku yang menunjukkan sikap penghormatan

kita kepada orang yang lebih tua. Jika dilihat dari segi pelaksanaannya, adat ini

memang cukup sederhana dan terlihat sepele karena kita cukup mengucapkan kata

Tabe sambil diikuti oleh gerakan tangan kanan yang mengarah ke tanah. Akan

7

1

Page 20: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

20

tetapi, jika dilihat dari segi maknanya, adat Mappatabe ini memiliki makna yang

cukup mendalam. Pertama, kata Tabe merupakan simbol dari upaya menghargai

dan menghormati siapapun orang yang ada dihadapan kita, kita tidak boleh

berbuat sekehendak hati. Kedua, adat Mappatabe' merupakan perwujudan dari

sikap Taro Ada Taro Gau, yaitu keselarasan antara perkataan dan perbuatan.

Keselarasan antara kata Tabe yang diucapkan dan gerakan tubuh (tangan kanan)

yang dilakukan.

Tradisi mappatabe biasanya dikenal dengan kata permisi seperti yang di

uangkapkan oleh (Pratiwi 2017). Mengatakan bahwah Trasisi mappatabe

merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat bugis yang

menggambarkan adat sopan santun atau tingkah laku yang berarti “permisi”.

Sebagai gambaran, tradisi ini dilakukan untuk memberikan rasa hormat terhadap

orang yang lebih tua, misalnya ketika berjalan di depan orang tua, maka

diucapkanlah kata “tabe” sebagai permintaan maaf dibarengi dengan sikap tunduk

dan menggerakkan tangan ke bawah bahkan hingga badan membungkuk. Perilaku

seperti itulah yang dijadikan sebagai salah satu indikator oleh masyarakat Bugis

sehingga seorang anak dikatakan memiliki sopan santun.

Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Tradisi Mappatabe Pembangunan

insan yang berbudaya dan bermoral dapat dikembangkan melalui pelestarian nilai-

nilai luhur dalam budaya tabe. Adapun nilai-nilai luhuryang terkandung dalam

budaya tabe adalah yang dikenal dengan falsafah 3-S sebagai berikut :

1. Sipakatau: mengakui segala hak tanpa memandang status social Ini bisa juga

diartikan sebagai rasa kepedulian sesame.

2. Sipakalebbi: sikap hormat terhadap sesama, senantiasa memperlakukan orang

dengan baik. Budaya tabe menunjukkan bahwa yang ditabe‟ki dan yang

men‟tabe adalah sama-sama tau (orang) yang dipakalebbi.

3. Sipakainge: tuntunan bagi masyarakat bugis untuk saling mengingatkan.

8

Page 21: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

21

Demikianlah kearifan lokal masyarakat masyarakat bugis, Sangat

sederhana memang, namun memiliki makna yang mendalam agar kita saling

menghormati dan tidak mengganggu satu sama lainnya. Daerah-daerah lainnya di

Indonesia juga memiliki budaya yang serupa. Budaya luhur dan kearifan lokal

seperti ini sangat perlu dilestarikan baik dengan mengajarkannya kepada anak-

anak dan generasi muda. Kearifan lokal yang terus dipertahankan akan menjadi

jati diri kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki budaya dan nilai-nilai luhur

(Rahim, 2010: 21).

Merosotnya suatu budaya lokal ditentukan oleh bagaimana intensitas

budaya tersebut dalam penerapannya di setiap perkembangan zaman. Tradisi

mappatabe ini merupakan tradisi yang cukup fleksibel, artinya dalam

pengimplementasiannya bersifat bebas karena menyangkut tentang tata krama,

sehingga dapat dikatakanm bahwa kemerosotan yang mulai terjadi

tradisi mappatabe‟ merupakan salah satu efek dari pengaruh modernisasi.

Pengaruh tersebut memberi dampak terhadap penurunan kesadaran masyarakat

dalam membudayakan tradisinya sendiri. Kepunahan yang mulai terjadi pada

tradisi mappatabe ini sangat mudah diamati dengan melihat kebiasaan anak dalam

berbicara dan bertingkah laku. Beberapa di antara masyarakat bugis telah banyak

yang meremehkan budaya tersebut dan tanpa mereka sadari budaya tersebut

mengandung banyak nilai positif jika diajarkan pada anak-anak yang kelak akan

menjadi generasi pelanjut.

Sikap tabe dilakukan dengan melihat pada orang-orang yang dilewati lalu

memberikan senyuman, setelah itu mulai berjalan sambil sedikit menundukkan

badan dan meluruskan tangan disamping lutut. Sikap tabe dimaksudkan sebagai

9

Page 22: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

22

penghormatan kepada orang lain yang mungkin saja akan terganggu akibat

perbuatan kita meskipun kita tidak bermaksud demikian. Mereka yang mengerti

tentang nilai luhur dalam budaya tabe ini biasanya juga akan langsung merespon

dengan memberikan ruang seperti menarik kaki yang bisa saja akan menghalangi

atau bahkan terinjak orang yang lewat, membalas senyuman, memberikan

anggukan hingga memberikan jawaban “ye, de‟ megaga” (bahasa bugis) atau

dapat diartikan sebagai “iya tidak apa-apa” atau “silahkan lewat”.Sekilas sikap

tabe terlihat sepele, namun hal ini sangat penting dalam tata krama masyarakat di

daerah Sulawesi Selatan khususnya pada Suku Bugis. Sikap tabe dapat

memunculkan rasa keakraban meskipun sebelumnya tidak pernah bertemu atau

tidak saling kenal. Apabila ada yang melewati orang lain yang sedang duduk

sejajar tanpa sikap tabe maka yang bersangkutan akan dianggap tidak mengerti

adat sopan santun atau tata krama (Mattulad, 2009: 21).

b. Implementasi Tabe Sebagai Tata Krama Masyarakat Bugis

Menerapkan budaya tabe dengan implementasi makna konseptual yaitu,

tidak menyeret sandal atau menghentakkan kaki, tetapi dengan mengucapkan

salam atau menyapa dengan sopan, juga bahwa sikap tabe adalah permohonan

untuk melintas. Tabe mengoptimasi untuk tidak berkacak pinggang, dan tidak usil

mengganggu orang lain. Tabe berakar sangat kuat sebagai etika dalam tradisi atau

sama halnya seperti pelajaran dalam hidup yang didasarkan pada akal sehat dan

rasa hormaat terhadap sesama.

Tradisi tabe adalah bahasa adat kesopanan/perilaku yang berarti permisi,

yakni kata sapaan yang sifatnya lebih halus umumnya diucapkan ketika lewat di

depan orang, khususnya orang yang kita hormati, teman, sahabat, orang tua, atau

10

Page 23: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

23

siapa saja yang kita hormati. Mengucapkannya sambil menatap dengan ramah

kepada orang di depan kita, menundukkan kepala sedikit dan menurunkan tangan

kanan. Memperlihatkan Budaya tabe‟ sesunggunya sangat tepat diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari, terutama dalam mendidik anak dengan cara mengajarkan

hal–hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan

tabe‟(permisi) sambil

c. Tradisi Tabe’dalam konteks Islam

Tabe yang artinyaa meminta permisi kepada orang lain, atau yang dikenal

dengan tradisi kesopanana dalam masyarakat bugis. Dalam pandangan Islam

kesopanan adalah slah satu perbuatan yang mulian dimata Allah dan manusia

dalam berinteraksi pada lingkungan, seperti etika berbicar berjalan, etika meminta

izin, etika berkumpul.

Berbicara dengan seseorang yang telah mengajarkan kebaikan haruslah

lebih baik dibandingkan jika berbicara kepada orang lain. Imam Abu Hanifah pun

jika berada depan Imam Malik layaknya seorang anak di hadapan ayahnya. Para

Sahabat Nabi shallahu „alaihi wa sallam, muridnya Rasulullah, tidak pernah kita

dapati mereka beradab buruk kepada gurunya tersebut, mereka tidak pernah

memotog ucapannya atau mengeraskan suara di hadapannya, bahkan Umar bin

khattab yang terkenal keras wataknya tak pernah menarik suaranya di depan

Rasulullah, bahkan di beberapa riwayat, Rasulullah sampai kesulitan mendengar

suara Umar jika berbicara. Di hadist Abi Said al Khudry radhiallahu „anhu.

d. Tabe Sebagai Pola Asuhan

Pola berarti corak, model, atau cara kerja, sedangkan asuh berarti menjaga,

mendidik, membimbing dan memimpin. Jadi pola asuhan dalam budaya tabe

11

Page 24: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

24

adalah pengasuhan dengan menampilkan orang tua sebagai model yang

menghargai, menghormati, dan mengingatkakan, memimpin sesuai dengan

budaya tabe yaitu sopan mendidik anak, sehingga mencertak anak yang

berkarakter sopan pula. Sebenarnya, budaya tabe‟ berperan besar dalam

pembentukan karakter anak dalam perkembangan sifat santun dan hormat. Oleh

karena mangaktualkan sikap tabe‟ ini dalam menghormati orang yang lebih tua

demi nilai etika dan budaya yang harus diingat. Sebab tabe‟ merupakan sejenis

kecerdasan sikap yang memungkinkan terbentuknya nilai-nilai luhur bangsa atas

anak didik atau generasi muda (Rahim, 2010).

2. Kearifan Lokal

a. Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan lokal secara epistemologi terdiri dari dua kata yaitu kearifan

(wisdom) yang berarti kebijaksanaan dan lokal (local) berarti

setempat. Local wisdom dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai,

pandanganpandangan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai

baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Menurut Rosidi (2011 hlm 29) Istilah kearifan lokal adalah terjemahan dari “local

genius” yang pertama kali diperkenalkan Quaritch Wales tahun 1948-1949 yang

mengandung arti “kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh

kebudayaan asing pada waktu kebudayaan itu berhubungan.

Budaya lokal biasa pula diistilahkan sebagai kearifan lokal, sebuah istilah

yang sudah lama, namun istilah kearifan lokal dalam dekade belakangan ini

sangat banyak didiskusikan, baik dikalangan akademisi maupun dikalangan

birokrasi. Istilah ini menjadi lebih populer kembali bersamaan dengan penerapan

12

Page 25: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

25

otonomi daerah di era reformasi yang ingin mengangkat kembali prinsip-prinsip

hidup, nasihat, tatanan sosial dan norma-norma sosial budaya/adat serta prilaku

sosial yang ada atau berlaku disetiap daerah masing-masing di Indonesia pada

umumnya khusunya dikalangan masyarakat muslim (Permana, 2002: 1).

Kearifan lokal adalah segala bentuk kebijaksanaan yang didasari oleh

nilai-nilai kebaikan yang dipercaya, diterapkan dan senantiasa dijaga

keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama (secara turun temurun)

oleh sekelompok orang dalam lingkungan atau wilayah tertentu yang menjadi

tempat tinggal mereka. Hal tersebut dapat terwujud dalam bentuk seperti pola

pikir masyarakat yang berbudi pekerti baik, perasaan mendalam tanah kelahiran,

bentuk peragai atau tabiat msyarakat kebanyakan pada daerah tertentu yang akan

tetap melekat dan dibawa saat berbaur dengan kelompok masyarakat yang

berbeda dan keinginan besar untuk tetap menjalankan adat atau tradisi yang telah

lama diikuti secara turun menurun. Kearifan lokal tumbuh dan menjadi bagian

dari kebudayaan masyarakat itu sendiri, dimana beberapa hal akan berperan

penting dalam perkembangannya, diantaranya bahasa, agama, kesenian, taraf

pendidikan masyarat dan perkembangan teknologi (Akbar, 2017).

Kearifan lokal mrupakan suatau bentuk warisan budaya indonesia yang

telah berkembang sejak lama. Keraifan lokal dari pemikiran dan nilai yang

diyakini suatu masyarat terhadap alam dan lingkungannya. Didalam kearifan lokal

terkandung nilai-nilai, norma-norma, sistem kepercayaan dan ide-ide masyarakat

setempat. Kearifan Lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarat

setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal disetiap daerah

berbeda-beda berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.

13

Page 26: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

26

Masyarakat memiliki sudut pandang tersendiri terhadap alam lingkungannya

masyarakat mengembangkan cara-cara tesendiri untuk memelihara keseimbangan

alam dan lingkungan. Dewasa ini kearifan lokal menghadapi tantangan-tantangan

yang mengancam keberadaan dan kelestariannya yang telah terbentuk sejak lama

kini mulai terkikis seiring berkembangnya teknologi (Rapanna, 2016: 5-6).

Kearifan Lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan

menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap

sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Bentuk-bentuk

Kearifan Lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa : nilai, norma,

kepercayaan dan aturan aturan khusus dapat dipahami sebagai pengetahuan

kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu yang mencakup di dalamnya

sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkaitan dengan model-model

pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam secara lestari (Purwanto, 2017).

Kearifan lokal masyarakat Bugis-Makassard iadopsi dari Lontara yang

memuat berbagai nasihat, prinsip, aturan/norma dan pedoman hidup dalam

bermasyarakat yang mengandung nilai-nilai pendidikan, kepemimpinan, kejujuran

dan etoskerja. Kearifan lokal terdapat wasiat orang terdahulu khusunya orang

yang dituankanyang dapat dijadikan sarana untuk betingkah laku dalam

kehidupan. Di dalamnya banyak terkandung falsafah hidup untuk dipatuhi agar

manusia terhindar dari kebodohan, keserakahan, kemiskinan, dan keburukan.

Selain dari itu budaya dapat bersinergi dan relevan dengan ajaran Islam (Sapri,

2016).

Terbentuknya keraifan lokal dimulai sejak masyarakat belum mengenal

tulisan dan sejak manusia mulai melakukan interaksi dengan sesamanya atau

14

Page 27: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

27

dengan lingkungan alam. Wujud kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat pada

suatu daerah atau komunitas dapat berwujud suatu perkataan pesan dan nasehat,

tindakan perbuatan dan perilaku, tulisan dan benda buatan manusia. Kearifan

lokal memiliki banyak fungsi yaitu: 1. Berfungsi untuk konservasi dan

peningkatan sumber daya alam, 2. Berfungsi untuk pengembangan dan

peningkatan sumber daya manusia 3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan

dan ilmu pengetahuan 4. Bermakna etika, moral dan politik (Martawijaya, 2016:

72).

b. Ciri-ciri Kearifan Lokal

Adapun ciri-ciri kearifan lokal adalah sebagai berikut:

1. mampu bertahan terhadap budaya luar,

2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,

3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya

asli,

4. mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah pada

perkembangan budaya.

Kearifan lokal suatu pengetahuan yang secara eksplisit muncul dari

periode panjang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam

sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu

panjang dan melekat dalam masyarakat dapat dijadikan kearifan lokal sebagai

sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup

bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak

sekedar sebagai acuan tingkah laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu

mendominasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.

15

Page 28: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

28

c. Nilai-Nilai Kearifan Lokal

Dalam kearifan lokal memiliki berbagai nilai yang terkandung di

dalammya menurut (Widyanti, 2015). Nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku

dalam masyarakat adalah nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi

acuan dalam bertingkah laku seharihari masyarakat setempat. Karena itu, sangat

beralasan jika dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat

menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti

kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan

pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan

dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.

Masyarakat pada dasarnya tidak dapatdilepaskan dari nilai-nilai tradisi

danbudaya yang turun dari generasi satu kegenarasi seterusnya. Menurut

(Yustisia, 2013). Mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yangsangat

menentukan harkat dan martabatmanusia dalam komunitasnya. Oleh karena itu

nilai-nilai tradisi yang adapada masyarakat terserabut dari akar budaya lokal,

maka masyarakat tersebutakan kehilangan identitas dan jati dirinya, sekaligus

kehilangan pula rasa kebanggaandan rasa memilikinya. Betapa

besarnyakedudukan dari nilai-nilai kearifan lokal, peran dan fungsi kearifan lokal

adalah: (1) untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam, (2)

pengembangan sumber daya manusia, (3) pengembangan kebudayaan dan ilmu

pengetahuan, (4) sebagai kepercayaan dan pantangan,(5) sebagai sarana mebentuk

membangunintregrasi komunal, (6) sebagai landasaanetika dan moral, (7) fungsi

politik.

16

Page 29: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

29

d. Kearifan Lokal Dalam Konteks Pembentukan Karakter Bangsa

Dalam pembentukan karakter bangsa dapat melalui dengan kearifan lokal

menurut (Marpaun, 2013). kearifan lokal yang ada di Indonesia dalam konteks

pembentukan karakter bangsa. Kearifan lokal di Indoensia ini sangat kaya,

beragam, dan menyebar di keseluruhan kawasan di Indonesia. Kearifan lokal ini

umumnya dapat dijumpai dalam adat Istilah inilah yang menjadi dasar dari

kearifan lokal bangsa Indonesia. Adat dijumpai dalam kebudayaan etnik di

seluruh Indonesia. Adat masyarakat Nusantara ini, memiliki konsep sendiri pula.

Aceh adatnya disebut dengan adat bak petumeuruhom hukom bak syiah kuala.

Dalam kebudayaan Minangkabau adat dikonsepkan sebagai adat basandikan

syarak, syarak basandikan kitabullah, syarak mangato, adat mamakai. Berikut

dideskripsikan konsep kearifan lokal sebagai berikut:

1. Adat yang diadatkan adalah adat itu bekerja pada suatu landasan tertentu,

menurut mufakat dari penduduk daerah tersebut-kemudian pelaksanaannya

diserahkan oleh rakyat kepada yang dipercayai mereka.

2. Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan yang secara berangsur-angsur

atau cepat menjadi adat.

3. Adat istiadat adalah kumpulan dari berbagai kebiasaan, yang lebih banyak

diartikan tertuju kepada upacara khusus seperti adat: perkawinan, penobatan

raja, dan pemakaman raja.

3. Sila Kedua Pancasila

Pengertian sila kedua Pancasila dijelaskan oleh (Setiawan, 2019). ialah

sebagai dasar negara sering juga disebut dengan dasar falsafah negara (dasar

filsafat negara atau philosophische grondslag) dari negara, ideologi negara

17

Page 30: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

30

(staatsidee). Dalam hal tersebut Pancasila dipergunakan sebagai dasar untuk

mengatur pemerintahan negara. Sejak kelahirannya 01 Juni 1945 Pancasila adalah

Dasar Falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau lebih dikenal sebagai

Dasar Negara (Philosofische groundslag). Hal ini, dapat diketahui pada saat

Soekarno diminta ketua Dokuritsu zyunbi Tyoosakai untuk berbicara didepan

sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 1 Juni

1945, menegaskan bahwa beliau akan memaparkan dasar negara merdeka, sesuai

dengan permintaan ketua. Menurut Soekarno, pembicaraan-pembicaraan

terdahulu belum menyampaikan dasar Indonesia Merdeka.

Pancasila sebagai ideologi membangkitkan keyakinan ideologis dan

sebagai dasar negara membangun keyakinan konstitusi. Seperti yang dijelaskan

oleh (Dieben, 2019). Pancasila harus dikembangkan sebagai ideologi terapan

karena pada hakikatnya Pancasila merupakan ideologi terbuka. Sebagai ideologi

terbuka, Pancasila harus senantiasa mampu berinteraksi secara dinamis. Nilai-nilai

Pancasila tidak boleh berubah, namun pelaksanaannya harus kita sesuaikan

dengan kebutuhan dan tantangan nyata yang selalu akan kita hadapi dalam setiap

kurun waktu. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia haruslah menjadi sebuah

acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, berbagai tantangan

dan ancaman dalam menjalankan ideologi Pancasila juga tidak mampu untuk

menggantikan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.

Menurut (Dewantara, 2017: 10-11). Filsafat Pancasila merupakan bagian

dari Filsafat Timur (karena Indonesia kerap digolongkan sebagai Negara yang ada

di belahan dunia bagian timur). Sebenarnya, ada banyak nilai ketimuran yang

termuat dalam Pancasila, misalnya soal pengakuan akan adanya Tuhan,

18

Page 31: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

31

kerakyatan, keadilan yang diidentikkan dengan paham mengenai „ratu adil‟ dan

seterusnya. Pancasila juga memuat paham-paham Barat, seperti: kemanusiaan,

demokrasi, dan seterusnya. Sebagai sistem filsafat, Pancasila ternyata juga harus

tunduk pada formulasi Barat yang sudah mapan sejak dulu. Jika Pancasila mau

dipertanggungjawabkan secara sahih, logis, koheren, dan sistematis, maka di

dalamnya harus memuat kaidah-kaidah filosofis. Pancasila harus memuat juga

dimensi metafisis (ontologis), epistemologis, dan aksiologis.

1. Secara Ontologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai

upaya untuk mengetahui hakikat dasar sila-sila Pancasila. Menurut

Notonagoro, hakikat dasar antologi Pancasila adalah manusia, karena

manusia ini yang merupakan subjek hukum pokok sila-sila Pancasila.

Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan

lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat

dasar kesatuan yang mutlak, yang berupa sifat kodrat monodualis yaitu

sebagai makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial, serta

kedudukannya sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri dan sekaligus

juga sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensinya, Pancasila dijadikan dasar

negara Indonesia adalah segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi

oleh nilai-nilai Pancasila yang merupakan kodrat manusia yang monodualis

tersebut.

2. Kajian Epistemologi Filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk

mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini

dimungkinkan adanya karena epistemologi merupakan bidang filsafat yang

membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian

19

Page 32: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

32

epistemologi Pancasila ini tidak bisa dipisahkan dengan dasar ontologisnya.

Oleh karena itu, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan dengan

konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Sebagai suatu paham epistemologi,

Pancasila mendasarkan pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada

hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas

kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan

suatu tingkatan pengetahuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu,

Pancasila secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam

membangun perkembangan sains dan teknologi pada saat ini.

3. Ketiga, kajian aksiologis Filsafat Pancasila pada hakikatnya membahas

tentang nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan mengenai Pancasila. Hal

ini disebabkan karena sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat

memiliki satu kesatuan dasar aksiologi, nilai-nilai dasar yang terkandung di

dalam Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang utuh.

Aksiologi Pancasila ini mengandung arti bahwa kita membahas tentang

filsafat nilai Pancasila. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan

pendukung nilai-nilai Pancasila. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia

itulah yang mengakui, menghargai, menerima Pancasila sebagai sesuatu yang

bernilai. Pengakuan, penerimaan dan penghargaan Pancasila sebagai sesuatu

yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam dalam sikap, tingkah laku

dan perbuatan bangsa Indonesia.

Sila kedua adalah kemanusian yang adil dan beradap artinya

hubungan manusia dengan manusia. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan

yang paling sempurna, lebih sempurna dari ciptaan Tuhan lainnya di muka

20

Page 33: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

33

bumi. Terdapat empat tingkatan ciptaan Tuhan yang memperlihatkan

keberadaan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Pada tingkat

pertama, Tuhan menciptakan benda mati (tanah, batu, pasir, air dll), yang

hanya mempunyai wujud. Tingkat kedua, diciptakannya tumbuhan (flora)

yang memiliki wujud dan kehidupan. Tingkat ketiga, diciptakannya hewan

yang memiliki wujud, kehidupan dan insting. Pada tingkat keempat, tuhan

menciptakan manusia dari tanah yang memiliki wujud, kehidupan, insting

dan akal (Roza, dkk, 2016: 12).

Adapun makna dari pancasila sila kedua adalah Mengakui dan

memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Mengakui persamaan derajat, persamaan

hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku,

keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit

dan sebagainya. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.

Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira. Mengembangkan

sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. Menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. Berani membela

kebenaran dan keadilan. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari

seluruh umat manusia. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan

bekerjasama dengan bangsa lain.

Adapun hubungan butir kedua pancasila dengan kebudayaan masyarakat di

Indonesia menurut (Puspita, 2017). Pengamalan dari sila kedua pancasila adalah

sebagai berikut:

1. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara

sesama manusia. Butir ini menghendaki bahwa setiap manusia mempunyai

21

Page 34: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

34

martabat, sehingga tidak boleh melecehkan manusia yang lain, atau

menghalangi manusia lain untuk hidup secara layak, serta menghormati

kepunyaan atau milik (harta, sifat dan karakter) orang lain.

2. Saling mencintai sesama manusia. Kata cinta menghendaki adanya suatu

keinginan yang sangat besar untuk memperoleh sesuatu dan rasa untuk

memiliki dan kalau perlu pengorbanan untuk mempertahankannya. Dengan

perasaan cinta pula manusia dapat mempergiat hubungan social seperti

kerjasama, gotong royong, dan solidaritas. Dengan rasa cinta kasih itu pula

orang akan berbuat ikhlas, saling membesarkan hati, saling berlaku setia dan

jujur, saling menghargai harkat dan derajat satu sama lain.

3. Mengembangkan sikap tenggang rasa. Sikap ini menghendaki adanya usaha

dan kemauan dari setiap manusia Indonesia untuk menghargai dan

menghormati perasaan orang lain. Harusnya dalam bertingkah laku baik lisan

maupun perbuatan kepada orang lain, hendaknya diukur dengan diri kita

sendiri.

4. Tidak semena-mena terhadap orang lain. Semena-mena berarti sewenang-

wenang, berat sebelah, dan tidak berimbang. Oleh sebab itu butir ini

menghendaki, perilaku setiap manusia terhadap orang tidak boleh sewenang-

wenang, harus menjunjung tinggi hak dan kewajiban.

5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Setiap warga Negara harus menjunjung

tinggi dan melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan dengan baik, seperti:

Mengakui adanya masyarakat yang bersifat majemuk. Melakukan

musyawarah dengan dasar kesadaran dan melakukan sesuatu dengan

pertimbangan moral dan ketentuan agama. Melakukan sesuatu dengan jujur

dan kompetisi yang sehat.

4. Kajian Pustaka (Penelitian Terdahulu)

Pada beberapa karya ilmiah maupun skripsi yang terkait dengan judul

penelitian ini akan menjadi referensi antara lain :

1. Hendra, mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Fakultas

Dakwah dan Komunikasi Jurusan Ilmu Komunikasi dengan judul penelitian.

‟Badik/Kawali dalam Budaya Bugis (Analisis Semiotika terhadap Budaya

Masyarakat Desa Watang Padacenga Kecamatan Dua Boccoe Kabupaten

Bone).

2. Asri Maulida, judul penelitian „‟Tradisi Beteken dalam Acara Molong

Malik”. Penelitian ini menganalisis makna dan fungsi yang terkandung di

dalam tradisi tersebut, jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif

22

Page 35: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

35

kualitatif dengan proses analisis data menggunakan pendekatan fenomenologi

yang memfokuskan untuk menganalisis suatu konsep.

3. Ervina, judul penelitian “Pola Pewarisan Nilai Budaya Lokal dalam

Pembentukan Anak di Desa Madello, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru‟.

Penelitian ini menganalisis tentang pola-pola pewarisan nilai budaya local

pada masyarakat bugis dalam membentuk karakter anak. Jenis penelitian

yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan proses analisis data

menggunakan pendekatan fenomenologi yang memfokuskan untuk

menganalisis suatu konsep.

Penelitian yang berjudul „‟Tradisi tabe‟dalam Komunikasi Non verbal

(dalam Budaya Bugis) sebagai pembeda dari penelitian diatas dengan

menganalisis makna tradisi tabe, tentang bagaimana filosofi budaya tabe dan nilai

– nilai yang terkandung dalam budaya tabe.

Tabel. Perbandingan Penelitian Terdahulu

No Nama

Peneliti

Judul

Penelitian

Perbedaan Persamaan

1. Hendra,

2010

Badik/Kawali

dalam Budaya

Bugis

1. Menganalis

makna dengan

menggunakan

konsep semiotika

Umberto Eco

2. Mengkaji Nilai

Perilaku

Penelitian

Kualitatif

2. Asri Tradisi 1. Menganalisis 1. Menggunakan

23

Page 36: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

36

Maulinda,

2011

Beteken dalam

Upacara

Molang Malik

makna dengan

menggunakan

konsep Mitologi

2. Mengkaji Nilai

Tradis

pendekatan

Fenomenologi

2. Penelitian

Kualitatif

3. Ervina,

2010

Pola Pewarisa

Nilai Budaya

Lokal dalam

Pembentukan

Anak di Desa

Madello,

Kecamatan

Balusu,

Menganalisis pola-

pola pewarisan

nilai budaya lokal

pada masyarakat

Bugis dalam

membentuk

karakter anak.

1. Menggunaka

n pendekatan

Fenomenolo

gi

2. Deskriptif

Kualitatif.

4. Jamaluddin,

2016

Tradisi

Mappatabe

dalam

Masyarakat

Bugis di Kab

Sinjai

Menganalilis

Tradisi Mappatabe

pada Masyarakat

Penelitian

Kualitatif

5. Nining

Kurniati

Akhmad,

2019

Tradisi

Mappatabe

dalam Nilai-

Nilai

Pendidikan

1. Menganilis

tardisi

mappatabe

dalam

lingkungan

Metode

penelitian

kualitatif dengan

pendekatan

deskriptif

24

Page 37: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

37

Sumber: Data Olahan Peneliti, 2019

B. Kerangka Pikir

Untuk mempermudah sesuatu penelitian perlu dibut kerangka pikir

atau konsep dengan tujuan membuat arah penelitian lebih jelas. Tradisi

budaya Mappatabe‟. Tabe (permisi) merupakan budaya yang sangat indah

yang ditinggalkan oleh leluhur, yang mewariskan sopan santun yang tidak

hanya melalui ucapan tetapi juga dengan gerak, budaya gotong royong dan

saling menghargai juga sudah mulai hilang dikalangan masyarakat. Tabe‟

salah satu bentuk komunikasi non verbal yang biasa dilakukan orang bugis

dalam menunjukkan rasa hormatnya ketika mereka berjalan dihadapan orang

Islam Pada

Masyarakat

Bugis

pendidikan

2. Mengkaji Nilai

Tradis dalam

pendidikan

Islam

6. Husnawati,

2018

Makna

Simbolik

tradisi

mappatabe

masyarakat

bugis

dikecamatan

kejuara kab.

Bone

Menganalisis

Makna simbolik

Tradisi

Mappatabe

Deskriptif

Kualitatif

25

Page 38: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

38

tua, maupun ketika mereka ingin meminta bantuan dan hal lainnya yang

menyangkut tentang perilaku ataupun sopan santun manusia. Sikap itu perlu

dijaga karena tidak hanya diperuntukkan kepada yang muda melakukan pada

yang lebih tua tetapi juga sebaliknya.

Realita budaya tabe‟ perlahan-lahan telah luntur dalam masyarakat,

khususnya pada kalangan anak-anak dan remaja. Mereka tidak lagi memiliki

sikap tabe‟ dalam dirinya. Mungkin karena orangtua mereka tidak

mengajarkannya atau memang karena kontaminasi budaya Barat yang

menghilangkan budaya tabe‟ ini. Mereka tidak lagi menghargai orang yang

lebih tua dari mereka. Adapun nilai-nilai luhuryang terkandung dalam budaya

tabe adalah yang dikenal dengan falsafah 3-S sebagai berikut : Sipakatau

mengakui segala hak tanpa memandang status social Ini bisa juga diartikan

sebagai rasa kepedulian sesama, Sipakalebbi sikap hormat terhadap sesama,

senantiasa memperlakukan orang dengan baik.

Bangan 1. Kerangka Pikir

Tradisi Mappatabe

Gambaran Tradisi

Mappatabe di

Kabupaten Maros

Kehidupan sosial

masyarakat di

Kabupaten Maros

Masyarakat dapat

menerapkan tradisi

mappatabe

26

Page 39: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

39

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. (Sugiarto

2015: 8) menyatakan, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-

temuannya tidak diperbolehkan melalului prosedur statistik atau bentuk hitungan

lainnya dan bertujuan mengungkapkan gejala holistik-kontekstual melalui

pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai

instrumen kunci. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan cenderung

menggunakan analisis, dengan pendekatan induktif.

Penelitian kualitatif biasanya difokuskan pada kata-kata, tindakan-

tindakanorang yang terjadi pada konteks tertentu. Konteks tersebut dapat dilihat

sebagai aspek relevan segera dari situasi yang bersangkutan, maupun sebagai

aspek relevan dari sistem social. Penelitian ini merupakan bentuk penelitian sosial

yang menggunakan format deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan

untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, sebagai situasi atau berbagai

fenomena realita yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian dan

berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, model,

tanda atau gambaran tentang kodisi, situasi ataupun fenomena tertentu.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini yang akan dilaksanakan di kecamatan Tanralili

Kabupaten Maros yang berada provinsi sulawesi selatan. Alasan memilih

tempat penelitian ini karena dilihat dari realita yang terjadi di kecamatan

26

1

Page 40: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

40

Tanralili bahwa kurangnya penerapan tradisi budaya tabe pada saat lewat

dihadapan orang yang lebih tua. Penelitian ini direncanakan berlangsung

selama kurang lebih 2 bulan dari bulan Mei sampai bulan Juni 2020.

C. Data dan Sumber Data

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer yaitu data yang diperoleh langsung oleh penulis

dilapangan, cara mengumpulkan data primer yaitu dengan melakukan

observasi,dokumentasi, dan hasil wawancara oleh informan yang telah

penulis tetapkan.Informan yang penulis tetapkan sebagai sumber data primer

adalah dari Tokoh Adatdan orang ysng menggunakan Tabe‟ tersebut.

2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yaitu data yang dikumpulkan untuk melengkapi

data primer yang diperoleh dari dokumentasi atau studi kepustakaan yang terkait

dalam permasalahan yang diteliti.

D. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian yaitu informan penelitian yang memahami

informasi tentang objek penelitian. Informan yang dipilih harus memiliki kriteria

agar informasi yang didapatkan bermanfaat untuk penelitian yang dilakukan.

Terdapat kriteria-kriteria untuk menentukan informan penelitian. informan harus

memiliki beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan, yaitu:

1. Informan kunci yaitu yang intensif menyatu dengan suatu kegiatan atau

aktivitas yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian dan ini biasanya

ditandai oleh kemampuan memberikan informasi diluar kepala tentang

sesuatu yang ditanyakan dan yang mengetahui berbagai informasi pokok yang

27

Page 41: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

41

diperlukan dalam penelitian. Dalam hal ini 3 orang dari pemuka agama dan guru

sekolah di kecamatan Tanralili.

2. Informan utama yaitu terlibat secara penuh serta aktif pada lingkungan dan

kegiatan yang menjadi sasaran penelitian. Dan mereka yang terlibat secara

langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Dalam hal ini 15 orang dari

masyarakat untuk memberikan informasi di lingkungan sosial.

3. Informan tambahan yaitu dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah

atau dikemas terlebih dahulu dan dapat memberikan informasi walaupun tidak

langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti. Dalam hal ini 3 orang dari

tokoh masyarakat di kecamatan tanralili.

Berdasarkan uraian diatas, maka Informan ditentukan dengan teknik

pourposive (memilih ahli yang berkomponen), artinya menentukan infornam

sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian.

E. Instrumen Penelitian

Adapun cara untuk memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan

penelitian, maka dalam hal ini peneliti berperan aktif dalam instrumen penelitian.

Hal tersebut disebabkan karena dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai

perencana dan sekaligus sebagai pelaksanan darai rancangan penelitian yang

sudah disusun. Diharapkan proses pengambilan data tetap sesuai dengan

perencanaan yang telah dibuat dan mendapatkan hasil seperti tujuan yang telah

ditetapkan. Adapun yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Lembar Observasi

Lembar observasi adalah pedoman terperinci yang berisi langkah-

langkah melakukan observasi mulai dari merumuskan masalah, kerangka

28

Page 42: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

42

teori untuk menjabarkan perilaku yang akan diobservasi,prosedur dan teknik

perekaman, kriteria analisis hinggainterpretasi.

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara adalah dapat digunakan sebagai panduan

melakukan wawancara penelitian baik penelitian kualitatif maupun

kuantitatif. Pedoman wawancara secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga

tahap, yaitu tahap persiapan wawancara, proses wawancara, dan evaluasi

wawancara, termasuk permasalahan yang kerap muncul pada penelitian yang

menggunakan teknik wawancara.

3. Alat / Bahan Dokumentasi

Alat / Bahan Dokumentasi yang digunakan saat melakukan penelitian

adalah tape recorder sebagai alat perekam wawancara, serta kamera digital

untuk mengambil gambar pada proses penelitian.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan peneliti

untuk mengumpulkan data yang bersumber dari penelitian lapangan. Maka teknik

pengumpulan data yang dilakukan sebagai berikut:

a. Teknik Observasi

Peneliti akan mengobservasi keadaan yang ada di Kecamatan Tanralili

tentang budaya tradisi tabe‟ mulai dari gambarannya, sampai kepada kehidupan

sosial. Apakah tradisi budaya tabe‟ ini masih dipergunakan secara sakral atau ada

pergeseran dan perubahan yang terjadi dalam tradisi tabe‟ karena faktor-faktor

tertentu, atau secara perlahan bergeser karena sudah dianggap biasa saja tidak

29

Page 43: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

43

seperti pada masa nenek moyang masyarakat kabupaten Maros yang mempercayai

adanya mitos yang terkandung di dalamnya.

b. Teknik Wawancara

Peneliti akan mewawancarai beberapa masyarakat setempat, tentang

bagaimana gambaran tradisi budaya tabe‟, dan bagaimana kehidupan sosial

mengenai tradisi budaya tabe‟ itu sendiri. Beberapa pertanyaan yang akan

diajukan peneliti kepada informan, diantaranya bagaimana gambaran tradisi

mappatabe dalam masyarakat bugis di kecamatan tanralili kab upaten Maros?,

dan bagaimana bapak/ibu melihat kehidupan sosial masyarakat mengenai tradisi

budaya mappatabe?. Adapun informan yang akan di wawancarai pada penelitian

tersebuat diantaranya: tokoh masyarakat dengan inisial (T) untuk mampu

memberikan gambaran mengenai tradisi mappatabe, pemuka agama dengan

inisial (B) untuk mampu memberikan bagaimana tradisi mappatabe dengan nilai

agama, masyarkat dengan inisial (J) untuk memberikan informasi tradisi

mappatabe dalam kehidupan sosial dan guru dengan inisial (F) mampu

memerikan informasi bagaimana mempertahankan tradisi budaya mappatabe

dengan pengamalan sila kedua pancasila.

c. Dokumentasi

Tahap dokumentasi dilakukan untuk dapat memperkuat data hasil dari

wawancara dan observasi. Dokumen-dokumen yang berisi data-data yang

dibutuhkan meliputi buku-buku yang relevan, serta foto-foto atau gambar dalam

proses wawancara.

30

Page 44: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

44

G. Teknik Analisis Data

Teknik Analisis dan dalam sebuah penelitian sangat dibutuhkan

bahkan merupakan bagian yang sangat menentukan dari beberapa langkah

penelitian sebelumnya. Dalam penelitian kualitatif, analisi data harus seiring

dengan pengalaman fakta-fakta dilapangan. Dengan demikian analisis data

dapat dilakukan sempanjang proses proses penelitian dengan menggunakan

teknik analisi sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. (Sugiyono,

2015:247). Data yang telah direduksi akan memberikan gambarang yang

lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data

selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang disusun, sehingga

memberikan kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan.

3. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini merupakan data-data dari

teknik analisis data deskriptif kualitatif. Data-data yang telah terkumpul

dianalisis, diklarifikasi, diinterpretasi, dan ditelaah lebih lanjut. Sehingga

kesimpulan adalah hasil analisis yang dapat digunakan untuk memperoleh

suatu tindakan. Upaya penarikan kesimpulan atau verifikasi dilakukan

peneliti secara terus menerus selama berada dilapangan. Dari permulaan

pengumpulan data, mulai mencatat keteraturan pola-pola (dalam catatan

31

Page 45: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

45

teori), penjelasan-penjelasan, konfiguran-konfiguransi yang mungkin, alur

sebab akibat, dan proposal. Berdasarkan penjelasan tentang penarikan

kesimpulan di atas, dapat dipahami bahwa penarikan kesimpulan adalah

menyederhanakan kalimat, alur sebab-akibat yang menjadi inti pembahasa

dalam penelitian berdasarkan data yang diperoleh selama berada di lapangan.

32

Page 46: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

46

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

Sebelum masuk kehasil penelitian dan pembahasan maka terlebih

dahulu peneliti akan memberikan gambaran umum kondisi Kecamatan

tanralili kabupaten maros yang diteliti. Pada bagian ini akan dipaparkan

mengenai gambaran umum Kabupaten Maros, profil Kecamatan Tanralili,

sosial budaya Kabupaten Maros.

1. Gambaran Umum Kabupaten Maros

Sebelum membahas lebih jauh mengemukakan profil kemacatan

Tanralili maka terlebih dahulu di kemukakan tentantang gambaran umum

Kabupaten Maros.

Kabupaten Maros merupakan wilayah yang berbatasan langsung

dengan ibukota propinsi Sulawesi Selatan, dalam hal ini adalah Kota

Makassar dengan jarak kedua kota tersebut berkisar 30 km dan sekaligus

terintegrasi dalam pengembangan Kawasan Metropolitan Mamminasata.

Dalam kedudukannya, Kabupaten Maros memegang peranan penting

terhadap pembangunan Kota Makassar karena sebagai daerah perlintasan

yang sekaligus sebagai pintu gerbang Kawasan Mamminasata bagian utara

yang dengan sendirinya memberikan peluang yang sangat besar terhadap

pembangunan. Luas Wilayah kabupaten Maros 1.619,11 KM2 yang terdiri

dari 14 ( empat belas) kecamatan yang membawahi 103 Desa/kelurahan.

Kabupaten Maros dengan luas wilayah 1.619,12 km2 dan terbagi dalam 14

33

1

1

Page 47: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

47

wilayah kecamatan. yaitu : Purna Karya, Lekopancing, Kurusumange,

Sudirman, Damai Alleare, Borong, Toddo Pulia.

Kabupaten Maros secara administrasi wilayah berbatasan dengan

Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, Sebelah Timur

berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan Bone, sebelah Selatan berbatasan

dengan Kabupaten Gowa dan Kota Makassar, sebelah Barat berbatasan

dengan Selat Makassar.

Penduduk kabupaten Maros berdasarkan sensus penduduk tahun 2019

berjumlah 341,355 jiwa, yang tersebar di 14 kecamatan, dengan jumlah

penduduk terbesar yakni 42,390 jiwa yang mendiami Kecamatan Turikale.

Secara keseluruhan, jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan lebih

banyak dari penduduk yang berjenis kelamin laki-laki, namun di Kecamatan

Tanralili, rasio jenis kelamin laki-laki lebih besar, hal ini menunjukkan

jumlah penduduk di dua kecamtan tersebut lebih besar dari penduduk

perempuan.

Tingkat perkembangan jumlah penduduk yang ada di 14 wilayah

kecamatan Kabupaten Maros turut mempengaruhi struktur kehidupan

masyarakat secara umum. Jika pertumbuhan jumlah penduduk dalam keadaan

konstan akan mengakibatkan berlakunya hukum ekonomi terutama yang

tergolong dalam usia kerja. Jenis kelamin Kabupaten maros dapat dilihat pada

tabel berikut.

34

1

Page 48: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

48

Tabel 4.1

Jumlah penduduk Kabupaten Maros berdasarkan jumlah Kecamatan

Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah

Mandai 19,296 19,310 38,606

Moncongloe 9,827 9,867 19,694

Maros Baru 12,300 12,650 24,950

Marusu 13,674 14,068 27,742

Turikale 20,497 21,893 42,390

Lau 13,114 13,608 26,722

Bontoa 13,110 13,670 26,780

Bantimurung 13,560 15,111 28,671

Simbang 11,766 12,634 24,400

Tanralili 14,313 13,741 28,054

Tompobulu 8,052 8,269 16,321

Camba 7,106 6,500 13,606

Cenrana 6,700 7,250 13,950

Mallawa 5,309 5,701 11,010

Jumlah 168,624 174,272 342,896

Dari hasil catatan registrasi yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa

tingkat kepadata penduduk Kabupaten Maros berdasarkan klasifikasinya

dibedakan atas 3 (tiga) bagian yaitu: kepadatan tinggi, sedang dan rendah.

Kepadatan tinggi berada diwilayah Kecamatan Turikale dengan jumlah

penduduk tebesar, kepadatan penduduk terendah berada di Kecamatan

35

1

Page 49: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

49

Mallawa. Demikian pula halnya dengan pola penyebaran penduduk terjadi

secara tidak merata. Data yang diperoleh menunjukkan pola penyebaran

penduduk Kabupaten Maros terukumulasi di daerah pusat kota.

Demikian pula sarana transportasi udara terbesar di kawasan timur

Indonesia berada di Kabupaten Maros sehingga Kabupaten ini menjadi

tempat masuk dan keluar dari dan ke Sulawesi Selatan. Tentu saja kondisi ini

sangat menguntungkan perekonomian Maros secara keseluruhan.

Keadaan topografi wilayah sangat bervariasi mulai dari wilayah datar

sampai bergunung-gunung. Hampir semua kecamatan terdapat daerah dataran

dengan luas keseluruhan 70.822 ha atau 43% dari luas wilayah Kabupaten

Maros. Sedangkan daerah yang mempunyai kemiringan lereng di atas 40%

atau wilayah yang bergunung- gunung mempunyai luas 49.869 ha atau 30,8

% dan sisanya sebesar 26,2% merupakan wilayah pantai. Klasifikasi batuan

terbagi dalam 4 kelompok besar yaitu batuan permukaan, batuan sedimen,

batuan gunung api dan batuan terobosan.

Jenis air permukaan berasal dari sungai-sungai yang berjumlah 12

sungai, yaitu sungai Maros, Parang Pakku, Marusu, Puse, Borongkaluku,

Batu Pute, Matturunge, Marana, Campaya, Pattumanagasae, Bontotenga dan

Tanralili. Wilayah kabupaten Maros meliputi pantai yang terbentang

sepanjang 30 km di Selat Makassar. Maros mempunyai curah hujan yang

cukup, sehingga kondisi pertanian subur. Curah hujan tertinggi dalam satu

tahun terjadi di bulan Pebruari (839 mm) dan curah hujan terendah terjadi di

bulan Juni dan Agustus. Rata-rata suhu udara di Kabupaten Maros berkisar

antara 210-240C. Suhu terendah di Maros biasanya terjadi di bulan Mei

36

1

Page 50: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

50

(210C). Kondisi suhu tersebut di Indonesia termasuk rendah, mengingat suhu

di kota lain di Indonesia dapat mencapai 300C, terutama kota-kota yang

terletak di dekat pantai.

Aspek geologi merupakan aspek yang mempunyai kaitan yang erat

hubungannya dengan potensi sumberdaya tanah. Struktur geologi tertentu

berasosiasi dengan ketersediaan air tanah, minyak bumi dan lain-lain. Selain

itu struktur geologi selalu dijadikan dasar pertimbangan dalam

pengembangan suatu wilayah misal pengembangan daerah dengan

pembangunan jalan, permukiman, bendungan, selalu menghindari daerah

yang berstruktur sesar, kekar, struktur yang miring dengan lapisan yang

kedap air dan tidak kedap air. Di Kabupaten Maros terdapat beberapa jenis

batuan seperti batu pasir, batu bara, lava, breksi, batu gamping, batu sedimen.

Keadaan geologi secara umum menggambarkan jenis, kedudukan, sebaran,

proses dan waktu pembentukan batuan induk, serta kemampuan morfologi

tanah seperti sesar tebing kaldera dan lain-lain.

2. Sosial dan Budaya Masyarakat Kabupaten Maros

Faktor penyebab perubahan sosial ini bisa terjadi akibat adanya

sesuatu yang dianggap sudah tidak memuaskan lagi bagi masyarakat. Atau

disebabkan adanya faktor-faktor baru yang oleh masyarakat dianggap

memiliki manfaat yang lebih besar. Terjadinya perubahan kultur dan sosial

budaya masyarakat merupakan proses tranformasi global akibat tidak

homogenisitasnya kultur budaya pada suatu daerah. Terjadinya dinamika

perkembangan perkotaan tidak lagi memandang kultur budaya dan adat

37

1

Page 51: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

51

istiadat sebagai hukum masyarakat yang berlaku, akan tetapi tergantika oleh

sifat individualistis dan kepentingan sosial ekonomi akan menjadi dominan.

Perubahan proses tersebut sulit dihindari karena dipengaruhi oleh

masuknya budaya lain dan perkembangan teknologi menjadi orientasi

masyarakat untuk mengaktualisasikan diri. Perubahan karakter dan kultur

budaya sebagai ciri khas suatau komunitas tidak perlu terjadi, jika masyarakat

memegang teguh dan menjunjung tinggi nilai budaya yang secara turun-

menurun dianutnya. Salah satu kekuatan masyarakat di Kabupaten Maros

adalah pembaruan nilai religius keagamaan dalam suatu kebudayaan yang

masih melekat hingga kini.

Kabupaten Maros selain menjadi perlintasan dari Makassar ke Toraja,

juga merupakan daerah peralihan dan pertemuan dari dua kebudayaan dari

etnis Bugis dan Makassar. Budaya masyarakat Maros diwarnai oleh budaya

Bugis dan Makassar itu sendiri, yang saling isi mengisi dan akhirnya menjadi

tipikal perpaduan atau akulturasi yang memunculkan kekhasan budaya baru.

Nuansa budaya Bugis dapat ditemukan di bagian timur, utara, dan tengah dari

wilayah Maros, sedangkan nuansa budaya Makassar dapat ditemukan di

bagian selatan dan barat dari wilayah Maros. Di desa Labuaja, kecamatan

Cenrana, Maros, terdapat penggunaan tutur bahasa Dentong yang mana

begitu berbeda dengan bahasa Bugis dan bahasa Makassar.

Kabupaten Maros melahirkan unsur-unsur budaya yang berupa

perpaduan antara nilai-nilai agama dan lingkungan alamnya yang

dilatarbelakangi dan diwarnai dua etnis besar Makassar dan Bugis. Kedua

etnis ini telah membentuk watak dan karakteristik masyarakat Kabupaten

38

1

Page 52: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

52

Maros yang mudah berinteraksi terhadap masyarakat pada umumnya di

Sulawesi Selatan. Jika dilihat dari sejarah Kabupaten Maros yang termasuk

keturunan dari kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar melalui suatu kaitan

perkawinan. Hal inilah yang melahirkan suatu nilai-nilai budaya dan tradisi

yang sampai saat ini masih dijunjung tinggi oleh kalangan masyarakatnya.

Sebagai tanda-tanda tersebut dapat dilihat dari nama-nama kegiatan budaya

yang pada dasarnya berasal dari bahasa Makassar dan/atau Bugis. Kekayaan

budaya Kabupaten Maros juga memiliki potensi dan bahkan menjadi bagian

dari kegiatan pariwisata karena budaya dan pariwisata adalah suatu bagian

yang tidak dapat terpisahkan. Beberapa ekspresi budaya yang dituangkan

dalam suatu bentuk kegiatan-kegiatan yang mencerminkan kehidupan

manusia masa lampau di Kabupaten Maros.

Budaya Siri' Na Pacce atau Siri' Sibawang Pesse adalah salah satu

filosofi budaya Masyarakat Bugis-Makassar yang harus dijunjung tinggi.

Bagi masyarakat Bugis-Makassar di Kabupaten Maros, siri' mengajarkan

moralitas dalam bentuk nasihat kesusilaan, pelarangan, hak dan kewajiban

yang mendominasi tindakan manusia untuk melestarikan dan membela diri

dan kehormatannya. Siri' adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi

martabat manusia, siri' adalah sesuatu yang „tabu‟ bagi orang-orang Bugis-

Makassar dalam berinteraksi dengan orang lain. Sementara itu, Pacce/Pesse

mengajarkan solidaritas dan kepedulian sosial secara tidak egois dan ini

adalah salah satu konsep yang membuat orang Bugis-Makassar mampu

bertahan dan dihormati diperantauan, pasrah dengan welas asih dan

merasakan beban dan penderitaan orang lain.

39

1

Page 53: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

53

Faktor lain yang mempengaruhi adalah komunitas masyarakatdi

Kabupaten Maros sebagian masyarakat asli masih dalam satu ikatan rumpun

keluarga, sehingga konflik sosial tidak menjasi pemisah, tetapi dapat

terselesaikan secara kebersamaan dan kekeluargaan. Berdasarkan hasil

pengamatan diperoleh gambarang tentang terjadinya pembauran suku dan

kultur di Kabupaten Maros, yang secara umum dipengaruhi oleh etnis suku

bugis dengan bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa bahasa

makassar.

3. Profil Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros

Tanralili adalah nama sebuah kecamatan yang berada di wilayah

kabupaten maros, provinsi Sulawesi Selatan. Ibu kota kecamatan ini berada di

Ammarang dengan jarak 10 km dari kota Turikale yang merupakan ibu kota

dan pusat pemerintahan kabupaten Maros. Daerah ini merupakan wilayah

bekas kerajaan Tanralili yang diperintah oleh seorang raja bergelar Karaeng

Tanralili.

Keadaan geografi Kecamatan Tanralili merupakan daerah bukan

pantai yang sebagian besar berbentuk dataran. Dari delapan daerah wilayah

administrasi yang ada, mempunyai topografi dataran rendah dengan

ketinggian rata-rata lima ratus meter diatas permukaan laut. Luas Kecamatan

Tanralili sekitar 89,45 Km. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan

Mandai, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bantimurung, sebelah

utara berbatasan dengan Kecamatan Simbang dan sebelah selatan berbatasan

dengan Kecamatan Tompobulu. Jarak antara desa dengan pusat pemerintahan

kabupaten cukup dekat yaitu rata-rata 8 Km.

40

1

Page 54: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

54

Penduduk Kecamatan Tanralili sebanyak 28,054 jiwa. Yaitu laki-laki

sebanyak 14.313 jiwa dan perempuan 13.741 jiwa. Penduduk terbanyak

berada pada desa Lekopancing sebanyak 5.190 jiwa dan terkecil sebanyak

1.781 jiwa berada pada kelurahan Borong.

Tabel 4.2

Jumlah penduduk kecamatan Tanralili berdasarkan jumlah Desa/Kelurahan

Desa Laki-laki Perempuan Jumlah

Purna Karya 975 990 1.956

Lekopancing 2.573 2.617 5.190

Kurusumange 1.992 1.992 3.984

Sudirman 2.871 1.866 4.737

Damai 2.396 2.501 4.897

Allaere 1.105 1.250 2.355

Borong 878 903 1.781

Taddo Polia 1.523 1.622 3.145

Jumlah 14.313 13.741 28.054

Berdasarkan tabel di atas, maka terlihat bahwa penyebaran penduduk

di kecamatan Tanralili yakni desa Purna Karya 1.965 terdiri dari laki-laki 975

jiwa perempuan 990 jiwa, desa Lekopancing sebanyak 5.190 terdiri dari laki-

laki 2.573 jiwa perempuan 2.617 jiwa, desa Kurusumange sebanyak 3.984

terdiri laki-laki 1.992 jiwa perempuan 1.992 jiwa, desa Sudirman sebanyak

41

1

Page 55: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

55

4.737 terdiri dari laki-laki 1.871 jiwa perempuan 1.866 jiwa, desa Damai

sebanyak 4.897 terdiri dari laki-laki 2.396 jiwa perempuan 2.501 jiwa, desa

Allaere sebanyak 2.355 terdiri dari laki-laki 1.105 jiwa perempuan 1.250

jiwa, desa Borong sebanyak 1.781 terdiri dari laki-laki 878 jiwa perempuan

903 jiwa, desa Taddo Polia sebanyak 3.145 terdiri dari laki-laki 1.523 jiwa

perempuan 1.622.

Dari total jumlah penduduk yang telah dijabarkan di atas maka bisa

diambil kesimpulan bahwa jumlah laki-laki di kecamatan Tanralili lebih

banyak daripada jumlah laki-laki. Kecamtan tanralili terdiri dari 9 desa yakni:

desa Purna Karya, desa Lekopancing, desa Sudirman, desa Damai, desa

Allaere, desa Borong dan desa Toddo Polia.

Secara demografis membicarakantentng dinamika penduduk,

demografi meliputi ukuran struktur dan distribusi penduduk. Yang

dimaksudkan dalam uraian ini adalah jumlah penduduk Kecamatan Tanralili

diperinci menurut kelompok umur. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel

berikut ini.

Tabel 4.3

Jumlah penduduk kecamatan Tanralili berdasarkan jumlah kelompok umur

Kelompok umur Laki-laki Perempuan Jumlah

0 – 4 1.561 1.481 3.042

5 – 9 1.356 1.308 2.664

10 – 14 1.207 1.074 2.281

15 – 19 1.145 1.176 2.321

20 – 24 1.642 1.164 2.806

42

1

Page 56: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

56

25 – 29 1.409 1.374 2.784

30 – 34 1.319 1.081 2.400

35 – 39 1,040 972 2.012

40 – 44 819 892 1.711

45 – 49 741 794 1.535

50 – 54 602 625 1.227

55 – 59 450 551 1,001

60 – 64 348 379 727

65 + 674 869 1.543

Jumlah 14.313 13.741 28.054

Berdasarkan tabel di atas, maka terlihat bahwa jumlah kelahiran dan

pertumbuhan anak di kecamtan tanralili yakni umur 00 - 04 sebanyak 3.042

terdiri dari laki-laki 1.561 perempuan 1.481, umur 05 - 09 sebanyak 2.664

terdiri dari laki-laki 1.356 perempuan 1.308, umur 20 - 24 sebanyak 2.806

terdiri dari laki-laki 1.642 perempuan 1.164, umur 60 - 64 sebanyak 727

terdiri dari laki-laki 348 perempuan 379 sedangkan umur 65 keatas sebanyak

1.543 terdiri dari laki-laki 674 perempuan 869. Jadi dapat disimpulkan bahwa

angka kelahiran lebih besar dibandingkan dengan angka kematian.

B. Deskripsi Informan

Informan (subjek) dalam penelitian ini terdiri 13 orang. Jumlah

informan (subjek) terdiri dari 13 masyarakat dari berbagai macam profesi dan

kalangan yang berinisial H, S, M, S, N, FW, N, SA, N, MN, M, Y, N. Berikut

ini profil dari masing-masing responden.

43

1

Page 57: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

57

1. Informan V, dengan inisial M 35 Tahun Selaku masyarakat desa

Sudirman. Wawancara dilakukan pada tanggal 07 Juli 2020 Pada pukul

14:15 WITA sampai dengan 14:35 WITA.

2. Informan XI, dengan inisial N 45 Tahun Selaku masyarakat di desa Purna

Karya. Wawancara dilakukan pada tanggal 30 Juli 2020 Pada pukul 10:00

WITA sampai dengan 10:20 WITA.

3. Informan XII, dengan inisial H 40 Tahun Selaku masyarakat di desa Purna

Karya. Wawancara dilakukan pada tanggal 06 Juli 2020 Pada pukul 11:00

WITA sampai dengan 11:15 WITA.

4. Informan XIII, dengan inisial S 37 Tahun Selaku masyarakat di desa

Lekopancing. Wawancara dilakukan pada tanggal 17 Juli 2020 Pada pukul

09:30 WITA sampai dengan 09:45 WITA.

5. Informan XIV dengan inisial S 45 Tahun Selaku masyarakat di desa

Lekopancing . Wawancara dilakukan pada tanggal 22 Juli 2020 Pada

pukul 10:00 WITA sampai dengan 10:15 WITA.

6. Informan XV dengan inisial FW 55 Tahun Selaku masyarakat di desa

Lekopancing. Wawancara dilakukan pada tanggal 31 Juli 2020 Pada pukul

11:00 WITA sampai dengan 11:20 WITA.

7. Informan XVI dengan inisial N 55 Tahun Selaku masyarakat di desa

Lekopancing. Wawancara dilakukan pada tanggal 22 Juli 2020 Pada pukul

09:30 WITA sampai dengan 09:45 WITA.

8. Informan XVII dengan inisial SA 50 Tahun Selaku masyarakat di desa

Damai. Wawancara dilakukan pada tanggal 20 Juli 2020 Pada pukul 09:30

WITA sampai dengan 09:45 WITA.

44

1

Page 58: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

58

9. Informan XVIII dengan inisial N 57 Tahun Selaku masyarakat di desa

Damai. Wawancara dilakukan pada tanggal 13 Juli 2020 Pada pukul 13:30

WITA sampai dengan 13:45 WITA.

10. Informan XIX dengan inisial MN 64 Tahun Selaku masyarakat di desa

Damai. Wawancara dilakukan pada tanggal 31 Juli 2020 Pada pukul 14:30

WITA sampai dengan 14:45 WITA.

11. Informan XX dengan inisial M 33 Tahun Selaku masyarakat di desa

Damai. Wawancara dilakukan pada tanggal 13 Juli 2020 Pada pukul 09:30

WITA sampai dengan 09:45 WITA.

12. Informan XXI dengan inisial Y 59 Tahun Selaku masyarakat di desa

Borong. Wawancara dilakukan pada tanggal 17 Juli 2020 Pada pukul

10:00 WITA sampai dengan 10:15 WITA.

13. Informan XXII dengan inisial N 33 Tahun Selaku masyarakat di desa

Borong. Wawancara dilakukan pada tanggal 31 Juli 2020 Pada pukul

11:30 WITA sampai dengan 11:45 WITA.

45

1

Page 59: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

59

C. Hasil Penelitian

1. Gambaran Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di

Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros

Arti dan tingkatan nilai mappatabe‟ dalam masyarakat Kabupaten

Maros terkhusus masyrakat Kecamatan Tanralili dapat dilihat secara jelas

melalui pengamatan tingkah laku mereka. Adakalanya tampak dan

muncul secara spontan, yang dapat menunjukan melalui perilakunya

dalam kehidupan sehari-harinya. Dapat dilihat juga memelalui interaksi

kepada keluarga, teman, kerabat dan lingkungannya. Di kalangan

masyarakat, di antara mereka banyak yang meremehkan budaya dari

mappatabe‟ itu sendiri, tanpa mereka sadari bahwa dalam mappatabe‟

mengandung nilai positif yang dapat mempererat persaudaraan, harga

diri, dan etika seseorang. Berbicara mengenai nilai mappatabe dalam

budaya Kabupaten Maros ada beberapa unsur nilai yang terkandung di

dalamnya seperti: saling menghargai, membudayakan mappatabe‟dan,

menjaga nilai siri‟.

Berdasarkan wawancara dengan H (Wawancara, 06 Juli 2020), sebagai

berikut :

“Tradisi mappatabe salah bentuk penghargaan sesama manusia

untuk saling menghargai dalam berkomunikasi, tetapi seiring

berkembangnya zaman tradisi itu lama kelamaan hilang di lingkungan

masyarakat khususnya di Kecamatan Tanralili”.

Hal serupa yang dituturkan oleh S (Wawancara, 17 Juli 2020), sebagai

berikut:

“Punna accarita ki di kanayya tradisi Mappatabe anjo

merupakan tradisi anu sallomo niaka punna lapala ki bantuan appala

tabe ki rong supaya sikatutui ki siparanta tau tapi anak-anak ka

46

1

Page 60: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

60

sekarang tena mo na terapkanki anjo tradisi mappatabe. Yang artinya

(Kalau membahas mengenai tradisi mappatabe merupakan tradisi yang

sudah lama ada misalkan ingin meminta bantuan kita harus minta permisi

terlebih dahulu agar saling menghargai sesama manusia, tetapi anak-anak

sekarang tidak lagi menerapkan tradisi mappatabe)”.

Berdasarkan wawancara di atas maka dapat dikatakan tradisi

mappatabe perlahan-lahan luntur dikalangan masyarakat khususnya di

Kecamatan Tanralili dapat diketahui dari tingkah laku anak tersebut.

a. Makna tradisi mappatabe

1. Saling menghargai

Proses komunikasi mappatabe memiliki nilai mappatabe‟ adalah

saling menghargai. Hidup ini secara bersosial bukan individu, untuk itu

mewujudkan silahturahmi yang erat haruslah saling menghargai, salah

satu budaya adat Maros yang dapat melestarikan keakraban dan saling

menghargai satu sama lain yaitu tradisi mappatabe‟ yang mana dapat

kita lihat pada perilaku seseorang baik bertutur kata secara verbal

maupun secara non verbal.

Masyarakat Kecamatan Tanralili mengenal atau menyebut saling

menghargai dengan sebutan sipakatau yang berarti memanusiakan

manusia. Dalam interaksi sosial masyarakat Kecamatan Tanralili, baik

berinteraksi dengan etnis yang sama maupun bukan, nilai sipakatau,

sipakalebi dan sipakainge ini harus mengharuskan seseorang

memperlakuakan orang lain layaknya manusia dan menghargai hak-

haknya sebagai manusia.

47

1

Page 61: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

61

Berdasarkan wawancara yang diungkapkan oleh M (Wawancara, 07

Juli 2020), sebagai berikut :

“Sekarang ketika ada seorang anak yang berbicara kepada orang

yang lebih tua kadang menjawab dengan tidak sopan. Dan ketika anak

tersebut lewat di hadapan orang yang lebih tua langsung saja lewat

tanpa minta permisi”.

Sama halnya yang dikatakan oleh S (Wawancara, 22 Juli 2020) sebagai

berikut :

“Anak-anak ka kamma-kamma anne jai mi tena ampakei tradisi

mappatabe punna eroki abbicara silangsungan ji, biasa tong

ammentengi punna accaritai sigang tau toaya sikamma kana si umuru

ji, punna tau rioloa punna eroki accarita mempoi ri ampina tau toaya.

Yang artinya (Anak-anak zaman sekarang banyak yang tidak

menggunakan lagi tradisi mappatabe‟ seperti ketika mereka berbicara,

mereka berdiri seolah-olah mereka sederajat, padahal orangtua dahulu

ketika mereka ingin bercerita dia duduk disamping orang yang lebih

tua)”.

Hal ini sesuai dengan sila kedua pancasila pada butir yang 10

yang menyatakan bahwa Mengembangkan sikap hormat menghormati

dan bekerja sama dengan orang lain. Tapi jika di lihat dari hasil

wawancara di atas sila kedua pancasila pada butir ke 10 perlahan-lahan

tidak diamalkan lagi.

Hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa tradisi

mappatabe ini telah hilang dan ini sebagai bentuk peranan penting

orang tua dalam mendidik dan mengayomi anak-anaknya agar mereka

punya perilak baik dan sopan santu. Bukan hanya pada tradisi

mappatabe ini juga sangat berkaitan dengan nilai-nilai pancasila pada

butir ke 10.

48

1

Page 62: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

62

2. Membungkuk (badan sedikit condong ke depan)

Simbolik Mappatabe yang dilakukan dengan cara sedikit

membungkuk sebagai bentuk simbol merendahkan diri dihadapan

orang lain.

Berdasarkan wawancara yang diungkapkan oleh N (Wawancara, 30 Juli

2020), sebagai berikut :

“Apabila ada ditemui masyarakat di Kecamatan Tanralili yang

tidak tau lagi merendahkan diri di hadapan orang lain, maka dia akan

dinilai jelek oleh orang lain karena tidak taat terhadap tradisi yang sudah

turun-temurun. Tetapi masih banyak masyarakat di Kecamatan Tanralili

yang tidak lagi membungkukkan saat lewat di hadapan orang yang lebih

tua”.

Sama halnya yang dikatakan oleh FW (Wawancara, 31 Juli 2020) sebagai

berikut :

“Tradisi Mappatabe Bukan hanya dilingkungan masyarakat,

dilingkungan sekolah anak-anak juga diajarkan untuk mappatabe

terhadap guru-gurunya sebagai bentuk interaksi sopan santunnya, hal ini

sangat perlu dilakukan terutama di daerah Kecamatan Tanralili”.

Hal ini juga terdapat dalam sila kedua pancasila pada butir yang

pertama yang menyatakan bahwa Mengakui dan memperlakukan

manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan

yang Maha Esa. Jadi tradisi mappatabe sangat berkaitan dengan sila

kedua pancasila pada butir pertama.

Hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi

mappatabe dengan gerakan sedikit membungkuk ini sebagai acuan agar

seseorang tidak congkak terhadap orang lain, tidak merasa lebih tinggi

dari orang yang ingin dilaluinya saat berjalan. Mengayungkan tangan

dengan sedikit membungkuk sambil mengucapkan tabe la maloa atau

49

1

Page 63: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

63

tabe sikedde (permisi, saya mau lewat). Namun ada juga orang yang

hanya melakukan gerakan tanpa harus mengucapkan kata tabe. Dan ini

juga dijelaskan dalam sila kedua pancasila pada butir pertama.

3. Mengayungkan Tangan Kebawa

Tradisi mappatabe yang dilakukan dengan cara mengayungkan

tangan ke bawah sebagai bentuk simbol menghormati orang yang akan

dilalui. Makna dari mengayungkan tangan ke bawah ini yaitu sipakatau

(saling menghargai). Dalam suatu kehidupan, apabila seseorang ingin

hidup bahagia dengan masyarakat di lingkungan tempat mereka

tinggal, mereka harus menghargai suatu tradisi yang dijunjung tinggi

daerah tersebut.

Berdasar dari mappatabe dalam ruang lingkup sosial

kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan umumnya apabila

kita berpijak dalam suatu keramaian kita harus menghormati orang

yang dilalui agar seseorang juga terketuk hatinya merasakan

kenyamanan, bukan cuma hal tersebut, dalam ruang lingkup sosial

yang lain kita juga harus menghormati orang yang lebih tua, maka

orang lain akan lebih dekat. Makna ini berkenan dengan sikap dan unsur

kesopanan dengan istilah mappatabeki, utamanya ketika kita berada

dilingkungan sosial dan orang banyak.

b. Membudayakan Mappatabe

Bagi Masyarakat Kabupaten Maros orang yang membudayakan

mappatabe dinilai sebagai orang yang baik dan berakhlaq mulia, akan

tetapi bagi yang tidak tahu permisi kesan ironisnya ialah akan merujuk

50

1

Page 64: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

64

pada dirinya sendiri, karena di angkap dia adalah pembuat keresahan

dalam masyarakat, dalam komunikasi sosial etika tidak terlepas dari cara

pandang seseorang sebagai bentuk interaksi, dalam berinteraksi manusia

pada umumnya menggunakan nilai etika. Peneliti mengamati anak-anak

sampai orang dewasa saat ini, sudah jarang menggunakan tradisi tabe,

karena mereka merasa bahwa mappatabe sudah kuno tidak gaul jika

menggunakan kata tabe. Bentuk sapaan seperti permisi, halo, hai,

menjadi sapaan yang biasa terjadi dalam membentuk keakraban mereka.

Berdasarkan wawancara dengan N (Wawancara, 22 Juli 2019),

sebagai berikut :

“Sekarang itu budaya mappatabe tidak mi lagi diindahkan di sini

padahal itu kebiasaan mappatabe tidak boleh kita ditinggalkan”.

Sama halnya yang dikemukakan oleh SA ( Wawancara, 20 Juli 2020)

bahwa :

“Budaya mappatabe tidak lagi di temukan pada sekarang ini

kebanyakan anak-anak saat ini mengikuti era moderen seorang anak

lebih memilih gaya bahasa yang menurut mereka itu lebih moderen.”

Hasil wawanacara di atas, peneliti mengemukakan adanya sebuah

pergeseran yang terjadi pada saat ini di masyarakat Kecamatan Tanaralili

hal ini dikarenakan oleh sapaan-sapaan yang dibudayakan seperti, hai,

sambil mengangkat tangan, yang dimana masyarakat Kecamatan

Tanralili sebelumnya menggunakan kata tabe dengan menurunkan tangan

kanan kebawah sambil membungkukkan badan. Inilah salah satu bentuk

komunikasi dalam berinteraksi yang perlu kita dipertahankan.

Merosotnya suatu budaya lokal ditentukan oleh bagaimana intensitas

budaya tersebut dalam penerapannya di setiap perkembamgan di setiap

51

1

Page 65: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

65

perkembangan zaman, dan perkembangan teknologi juga sangat

berpengaruh dalam kehidupan masyarakat bukan hanya perkembangan

memberikan banyak manfaatnya dalam memudahkan masyarakat untuk

menjalankan aktivitas sehari-hari bukan hanya itu teknologi juga

berkembang bersama dampak negatif yang dihasilkannya, yang di mana

salah satu dampak tersebut yaitu menjadi pemicu anak dalam mengalami

krisis atau kemunduran moral.

Sebagaimana para leluhur kita telah mengajarkan tata cara dalam

berinteraksi kepada sesama makhluk sosial. Sehubung dengan

bergesernya nilai mappatabe dalam masyarakat bugis terkhusus di

Kecamatan Tanralili ini dikarenakan adanya pengaruh dunia barat yang

kemudian mendoktrin otak mereka untuk membudayakan bahasa tersebut

2. Kehidupan Sosial Masyarakat Mengenai Tradisi Mappatabe dalam

Masyarakat Bugis di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros

Tradisi mappatabe pada awalnya dilakukan dikalangan raja-raja,

seperti di Jawa cara menghormati Sultan yaitu berjalanan sambil jongkok

begitupun di Bugis dimulai dari adanya strata sosial. Dengan adanya

pepatah sipakallebbi ri paddanta tau (saling menghargai sesama manusia).

Mappatabe ini digunakan masyarakat Kecamatan Tanralili sebagai bentuk

interaksi satu sama lain. Masyarakat Bugis biasanya menggunakan kata tabe

ini sebagai bahasa sehari-hari baik verbal maupun nonverbal.

Komunikasi verbal yang dimaksud adalah penggunaan kata tabe

sebgaimana sudah dijelaskan dalam hasil penelitian bahwa anak siapapun

harus mappatabe jika hendak melewati orang lain, dan sudah sepantasnya

52

1

Page 66: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

66

dia mengucapkan tabe ero ka ammalo (permisi, saya mau lewat) atau

cukup mengucapkan kata tabe maka orang akan paham bahwa si anak

meminta izin. Sedangkan komunikasi non verbal yaitu dengan

membungkukkan badan dengan mengulurkan tangan ke arah bawah

sesuai dengan penjelasan proses komunikasi simbolik di atas. Hal ini

sejalan dengan teori Mead. Mead mengemukakan dalam teorinya bahwa

kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial

yang sama dengan tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka

dengan berinteraksi dengan individu lain.

Adapun beberapa makna tradisi mappatabe bagi masyarakat

Kecamatan Tanralili yaitu sebagai berikut:

a. Menjaga Nilai Kesopanan Kepada Sesama Manusia

Nilai kesopanan dalam tradisi mappatabe sangat berkaitan dengan

sila kedua pancasila terkhusus pada masyarakat bugis yang berarti saling

menjaga harga diri serta menaruh hormat terhadap orang lain. Apabila

ada masyarakat yang tidak lagi menggunakan kata tabe dan tidak

mengamalkam sila kedua pacasila maka dia telah melupakan tradisi

mappatabe yang telah diwariskan oleh para leluhur.

Berdasarkan wawancara yang diungkapkan oleh N (Wawancara, 13 Juli

2020), sebagai berikut :

“Mappatabe merupakan suatu simbol penghormatan kepada

orang lain, bahkan orang dulu melakukan mappatabe sebagai

bentuk penghormatan kepada semua orang begitu juga dengan

pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam sila kedua pancasila yang

berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradap maka dari itu sangat

penting di amalkan dalam masyarakat khususnya di Kecamatan

Tanralili”.

53

1

Page 67: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

67

Sama halnya yang dikatakan oleh MN (wawancara 31 Juli 2020), sebagai

berikut:

“Tradisi Mappatabe sebagai bentuk kesopanan kepada raja,

betapa pentingnya tardisi Mappatabe bahkan seseorang tidak boleh

membelakangi raja saat ingin pulang, namun harus berjalan mundur. Dan

pada saat orang berbicara kita tidak boleh berdiri apa lagi berbicara

dengan orang yang lebih tua”.

Hal ini sangat jelas terlihat dalam sila kedua pancasila pada butir

ke 3 yang berbunyi Mengembangkan sikap saling mencintai sesama

manusia dan juga terdapat pada butir ke 4 yang berbunyi

mengembangkan sikap saling senggang rasa. Mappatabe dan nilai

pancasila sila kedua bagian dari nilai kesopanan.

Hasil wawancara di atas peneliti berpendapat bahwa dengan

mappatabe dan mengamalkan nilai-nilai pancasila sila kedua seseorang

akan merasa dihargai. Tradisi yang diberikan oleh leluhur ini bersifat

sakral yang memang sudah melekat pada diri masyarakat Bugis

Kecamatan Tanralili, bukan hanya untuk pencitraan agar dinilai baik oleh

masyarakat akan tetapi hal ini dilakukan untuk mempertahankan diri di

lingkungan yang menjunjung tinggi sebuah tradisi. Mappatabe dan nilai

pancasila sila kedua bagian dari nilai kesopanan, jika tidak mengetahui

nilai kesopanan berarti dia tidak tahu cara menghargai sebuah tradisi.

b. Sikap Saat Melewati Orang Lain

Tradisi mapptabe ini muncul pertama kali saat seseorang ingin

melewati sang raja, namun seiring berjalannya waktu tradisi ini dilakukan

oleh masyarakat Kecamatan Tanralili. Saat ingin melewati seseorang

yang lebih tua seseorang harus mappatabe sebagai bentuk kesopanannya.

54

1

Page 68: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

68

Seperti halnya saat seorang anak ingin lewat di depan orang tua dengan

satu tangan itu artinya orang yang dilalui hanya satu baris saja, namun

ketika dua baris maka dia harus mengulurkan kedua tangannya.

Berdasarkan wawancara yang diungkapkan oleh M (Wawancara, 13 Juli

2020), sebagai berikut :

“Mappatabe dapat dilakukan ketika ada seseorang yang sedang

duduk-duduk atau berada di tempat keramaian dan kalau ingin lewat di

hadapan mereka, maka ucapkanlah kata tabe (permisi). Tetapi yang

terjadi sekarang saat cerita dengan banyak orang, anak-anak langsung lari

saja tanpa mengucapkan kata permisi”.

Sama halnya yang dikatakan oleh Y (wawancara 17 Juli 2020), sebagai

berikut:

“Anak-anak kamma-kamma anne tena mo mallana punna

naciniki agompo-gompo tena mo na tabe-tabe punna ammaloi langung

ji mange lari. Gagana tong antu punna na caniki jai ammempo

langsungki atabe-tabe. Yang artinya (anak zaman sekarang sudah tidak

memiliki rasa takut lagi saat melihat orang yang sedang berkumpul tidak

lagi meminta permisi mereka langsung saja lari. Padahal angat bagus

kalau saat melihat banyak orang duduk langsung meminta permisi”.

Dalam sikap menghargai sesama manusia pada tradisi mappatabe

sama halnya dalam sila kedua pancasila pada butir ke 2 yang menyatakan

bahwah: Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban

asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama

kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan warna kulit.

Jadi berdasarkan wawancara tersebut, peneliti menyimpulkan

bahwa mappatabe dalam hal meminta izin memang sudah mengalami

pergeseran seiring berkembangnya zaman, anak-anak juga mulai

melupakan tradisi ini. Dan tidak lagi mengalkan sila kedua pancasila.

55

1

Page 69: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

69

c. Meminta Pertolongan

Manusia hidup di dunia ini sebagai makhluk sosial (butuh

bantuan orang lain), maka dari itu setiap manusia pasti akan meminta

tolong kepada orang lain.

Berdasarkan wawancara yang diungkapkan oleh N (Wawancara, 31 Juli

2020), sebagai berikut :

“Seseorang jika ingin meminta tolong harus mengucapkan kata

tabe, jika zaman dahulu jika tidak mengucapkan kata tabe maka

terkadang tidak digubris karena orang akan berpikir bahwa dia memiliki

kepribadian yang angkuh. Mappatabe saat ingin meminta tolong kepada

orang lain juga berguna agar orang lain merasa tidak diperintah, hal ini

sebagai bentuk ungkapan halus. Namun tradisi itu tidak lagi ditemui

karena berbagai macam faktor yang menyebabkan tidak di lakukan lagi”.

d. Meminta Maaf

Dalam kehidupan sehari-hari adakalanya seseorang tidak

sengaja melakukan kesalahan terhadap orang lain. Contohnya saat

berpapasan dengan orang lain di tengah jalan, seseorang tanpa sengaja

menyenggol bahu, maka orang tersebut akan lantas meminta maaf

sambil mengucpakan (maaf, saya tidak sengaja). Seseorang pasti akan

mengucapkan (tidak jadi masalah). Contoh dari penggunaan kata tabe

dalam hal meminta maaf yaitu pada saat Rudi sedang berjalan di depan

orang tuanya, kemudian tidak sengaja menabrak kaki mamanya, Rudi

akan memegang apa yang dia rasa terkena dengan kakinya sambil

mengucapkan kata tabe puang. Berbeda halnya jika seseorang

menabrak orang lain, namun lantas pergi begitu saja. Orang akan

memberikan penilaian buruk terhadapnya (dia siapa, kenapa tidak tahu

meminta maaf).

56

1

Page 70: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

70

Budaya mappatabe dalam era pergaulan sekarang sudah

mulai mengalami pergeseran. Oleh karena itu, sangat penting

mempertahankan budaya mappatabe sebagai salah satu nilai lokalitas

khusunya pada masyarakat Bugis Kecamatan Kajuara.

D. PEMBAHASAN

Peneliti memberikan pengertian mappatabe dalam Budaya Bugis

dan bentuk intraksi antara sesama di Kecamatan Tanralili .Mappatabe adalah

prilaku sopan santun atau adat kesopanan yang disakralkan sebagai kearifan

lokal di bugis, terkhusus di Kecamatan Tanralili. Akan tetapi mappatabe

secara umum yang dikenal sebagai perilaku atau adat sopan santun.

Sama halnya pengamalan nilai-nilai sila kedua pancasila Manusia

yang mempunyai sikap adil dan beradap berarti mereka menjunjung tinggi

Nilai-nilai kemanusiaan dan mengerjakan untuk saling menghormati harkat

dan martabat manusia, dan menjamin hak-hak asasi manusia.

1. Gambaran Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di Kecamatan

Tanralili Kabupaten Maros

Gaya hidup dan kehidupan dewasa ini merupakan suatu gambaran

dan pola pikir yang tercermin dalam pola tingkah laku yang teratur, konsep

pola kelakuan manusia di dalam suatu masyarakat, adalah perwujudan

salah satu aspek dalam system budaya mereka. Hal itu tumbuh dari ide dan

konsep sebagai satu kesatuan gejala dalam system budaya masyarakat

tersebut.Salah satu aspek dalam budaya yang menjelmakan sosial adalah

sistem sosial pembuluan. Pembuluan berasal dari kata asal

bulu yang berarti warna, ia merupakan symbol atau tanda dari tugas yang

59

1

57

1

Page 71: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

71

harus di emban oleh seseorang tanda itu berupa darah yang mengalir yang

menandai posisi seseorang dalam masyarakat., khususnya mereka yang

disapa dengan sapaan puang.

Ia muncul dan keteraturan hubungan antara individu dalam

masyarakat yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan arti dan nilai

tertentu. Interaksi hubungan-hubungan yang berlangsung dalam

masyarakat adalah hakikat kehidupan sosial budaya ia tumbuh dan

berkembang sebagai ineraksi simbolik dalam kehidupan. Salah satu wujud

yang ingin diungkapkan sehubungan dengan pengertian puang dalam

pembuluan, dapat dilihat pada tigkah laku yang muncul dalam proses

sosialisasi, partisipasi, dan gaya hidup dalam kehidupan kemasyarakatan.

Salah satu hal yang menonjol adalah pengaruh yang nampak oleh

adanya kenyataan tentang kedudukan seseorang dalam masyarakat. Hal itu

menjadi salah satu unsur terjadinya dengan orang lain yang ada

disekitarnya, hal itu member arti penting bagi orang yang ada di sekitarnya

yang memilih adanya berbagai perilaku atau ikhwal yang memberikan

nilai dan penghargaan kepada orang-orang tertentu. Keadaan itu dapat

terjadi bila sesorang dipandang dan dinilai mampu mencapai suatu

presentasi tertentu yang berulang, berpola dalam waktu kedudukan

tersebut, yang member arti dan makna bagi diri sendiri, keluarga dan

kelompoknya, sebagai kedudukan atau jenjang di dalam masyrakat

tertentu.

Pada mulanya, waktu manusia berhubungan atau berinteraksi di

lingkungannya ada hal-hal yang mengatur yaitu tata karma. Arti tata karma

58

1

Page 72: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

72

yaitu ada sopan santun pada dasarnya ialah segala tindak, tanduk, perilaku,

adat istiadat, tegur sapa, ucapan dan cakap sesuai kaidah dan norma

tertentu. Tata karma yang dikenal di Maros yaitu mappatabe‟.Dalam

praktik tradisi mappatabe‟ yang ada di masyarakat Kab Maros khusus di

Kecamatan Tanralili ini, peneliti mengamati sudah tidak banyak yang

melakukan adat ini, baik dari kalangan anak-anak maupun orang dewasa,

masih ada yang mempertahankan adat ini, akan tetapi banyak perbedaan-

perbedaan yang terjadi sekalipun itu adalah bentuk kesopanan dan sebagai

penghargaan diri terhadap orang lain. Mappatabe‟ atau sikap seseorang

untuk menghormati orang lain, punya arti luas. Mappatabe‟ dalam arti

sempit yaitu menundukkan kepal serta membungkukkan badan dan

menurunkan tangan kanan ke bawah sambil mengucapkan tabe. Bukan

hanya tradisi mappatabe saja yang harus di laksanakan akan tetapi

pengamalan pancasila pada sila sangat berperang pinting bagi kehidupan

sosial.

2. Kehidupan Sosial Masyarakat Mengenai Tradisi Mappatabe dalam

Masyarakat Bugis di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros

Tradisi mappatabe‟ pada awalnya dilakukan dikalangan Raja,

seperti di Jawa cara menghomati sultan yaitu berjalan sambil jongkok

begitpun di bugis dimulai dari adanya strata sosial. Rajalah yang

menanamkan kepada masyarakatnya dan lingkungan keluarganya tentang

rasa hormat-menghormati dan sikap saling menghargai. Dengan adanya

pepatah Sipakalebbi ri fadatta‟ rupa tau, ini menguatkan statme yang lain.

59

1

Page 73: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

73

Narekko Punna Eroki Ammalo Ridallekangna Taua Tabeki.( jika hendak

melangkah di depan orang, minta permisilah ).

Mappatabe‟ bagi masyarakat bugis adalah bentuk komunikasi

sosial, di mana kata ini biasanya digunakan dalam berinteraksi, masyarakat

bugis biasanya menggunakan kata tabe ini sebagai bahasa sehari-hari, baik

itu secara verbal maupun secara nonverbal. Komunikasi verbal yang

dimaksud adalah penggunakan kata tabe sebagai mana yang telah di

jelaskan dalam hasil penelitian bahwa seorang anak atau siapa pun itu

ketika ingin lewat atau berjalan di depan orang tua atau orang yang di

tuakan maka sepantasnya dia mengucapkan kata tabe, saya mau lewat atau

cukup mengucapkan kata tabe. Sedakangkan komunikasi nonverbal yang

dimaksud adalah dengan cara tangan kebawah dan badan dibungkukkan.

Hal ini sejalan dengan teori yang telah dijelaskan oleh mead. Mead

mengemukakan dalam teorinya bahwa kemampuan untuk menggunakan

simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu

harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan

individu lain.

Pancasila yang kedua yaitu berbunyi: “Kemanusiaan yang Adil

dan Beradab” yang memiliki arti bahwa bangsa Indonesia sebagaimana

yang memeluk Ciptaan Tuhan yang maha Esa dan yang harus di junjung

tinggi harkat serta martabanya tanpa membeda-bedakan agama, suku dan

budaya keturunan.

Dengan berlandaskan Nila tersebut dan dikembangkan dengan

sikap saling mencintai antara sesama manusia, mempunyai sikap segang

60

1

Page 74: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

74

rasa dan sikap tidak semaunya terhadap orang lain apa lagi terhadap

sesama manusia yang memeluk agama islam. Manusia yang mempunyai

sikap adil dan beradap berarti mereka menjunjung tinggi Nilai-nilai

kemanusiaan dan mengerjakan untuk saling menghormati harkat dan

martabat manusia, dan menjamin hak-hak asasi manusia.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti di kecamatan

Tanralili, dapat diketahui bahwa pengamalan sila kedua Pancasila

khususnya pada tradisi mudaya mappatabe yaitu berkaitan dengan

kesadaran setiap masyarakat untuk lebih mengamalkan kembali nilai-

nilai positif tersebut, kecintaan terhadap tanah air, keyakinan pada

Pancasila, kerelaan berkorban untuk kemakmuran masyarakat agar tidak

ada lagi perpecahan setiap masyarakat dengan mengamalkan nilai-nilai

pancasila.

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi perkataan dan

perilaku seseorang diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah pengaruh pengaruh yang beradda pada

orang-orang terdekat kita dalam lingkungan hidup seperti, keluarga

seperti di bawah ini :

a. Didikan Orang Tua

Orang tua sangat berperan penting dalam tumbuh kembangnya

seorang anak, karena saat anak akan melakukan interaksi dengan

lingkungannya, saat anak bergaul dengan orang lain tentu yang paling

utama dilihat dan dinilai yaitu perilakunya baik dalam perilaku positif

61

1

Page 75: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

75

maupun perilaku negative, seorang anak yang berperilaku baik

maupun buruk tentunya yang tidak tahu bersopan santun dalam

berperilaku akan dikatakan tau malu.

2. Faktor Eskternal

Faktor eksternal adalah pengaruh pengaruh yang beradda pada

orang-orang terdekat kita dalam lingkungan hidup seperti, teman-

teman, dan lingkungan sekitar seperti di bawah ini :

a. Lingkungan Sekolah

Lingkungan sekolah adalah lingkungan formal atau tempat

kedua seorang anak untuk mendapatkan pelajaran serta didikan dari

guru, mulai dari anak usia dini sampai dewasa, guru sangat berperan

penting dalam atas perilaku anak didiknya, yang utama dan yang

wajib dilakuakan oleh guru ialah memprioritaskan pelajaran yang

tentang akhlak baik dalam metode pelajaran terlebih dalam

prakteknya.

b. Lingkungan Sekitar

Lingkungan sekitar tempat nonformal yang sering ditempati

seorang anak dalam bergaul dan berinteraksi, dengan siapa seorang

anak berinteraksi maka itu yang akan mempengaruhi perilakunya, jika

anak tersebut bergaul dan sering bersama-sama dengan anak sholeh

maka perilakunya pun menjadi anak sholeh, akan tetapi jika anak

tersebut berada di lingkungan orang –orang yang kurang baik

akhlaknya maka anak tersebut pun perilakunya menjadi tidak

bermoral.

62

1

Page 76: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

76

c. Penggunaan Media Massa

Penggunaaan media massa seperti TV, Gadget, dan Internet

dapat memberikan pengaruh yang baik juga pengaruh yang negative

terhadap penggunnya, sebagai contoh maanfaat baiknya adalah dapat

memberikan informasi setiap waktu, baik dalam negeri maupun di luar

negeri,dan sisi positif lain dari media massa adalah sebagai media

hiburan, dan pendidikan. sedangkan pengaruh negatifnya adalah ia

kemudian meniru apa yang dilihatnya, baik dari cara bergaulnya

kepada orang lain, cara berbicara, dan berpakaiannya.

Pengaruh inilah yang terdapat dalam masyarakat zaman

sekarang terkhusus masyarakat pulau Sembilan, anak-anak sampai

orang dewasa telah terkontaminasi dengan adanya media yang

membuat dirinya berprilaku seperti apa yang mereka lihat. Inilah salah

satu contoh yang peneliti lihat di lapangan, anak-anak sekarang

berbicara kepada orang tua tidak sopan, karena mereka memotong

pembicaraan orangtua tanpa adanya permisi terlebih dahulu.Serta

peneliti juga melihat pakaian yang kurang sopan, cara berpakaian

mereka kini mengikuti trend fashion tidak mau dibilang ketinggalan

zaman.

63

1

Page 77: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

77

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian, maka peneliti berkesimpulan bahwa

mappatabe adalah sikap seseorang saat melewati orang lain dan sopan

santunnya ketika berkomunikasi. Di Kecamatan Tanralili tradisi mappatabe

ini sebagai bentuk kesopanan seseorang saat ingin meminta izin, dia akan

dipandang baik jika mengetahui tradisi mappatabe. Gambaran mappatabe di

Kecamatan Tanralili sudah banyak yang tidak menerapkan karena sudah

banyak anak- anak yang tidak lagi menghiraukan tradisi ini.

Gambaran sesuai hasil atau pembahasan dan tujuan penelitian

Bahwa gambaran tradisi mappatabe di Kecamatan Tanralili cenderung

mengalami pergeseran Karena di pengaruhi oleh penggunaan teknologi yang

mengdoktrin pemikiran mereka supaya lebih memilih trend budaya zaman

sekarang. Serta pengaruh dari lingkugan. Begitu pula dengan pengamalan sila

kedua pancasila sudah banyak anak sekarang ini yang tidak mengamalkan

nilai-nilai yang terkandung dalam sila pancasila.

Kehidupan Sosial Masyarakat Mengenai Tradisi Mappatabe dalam

Masyarakat Bugis di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros pada komunikasi

masyarakat Bugis Maros di kecamatan Tanralili merupakan komunikasi

verbal dan nonverbal dalam konteks apapun sebagai bentuk dasar adaptasi

lingkungan dan telah mengalami pergeseran. Mappatabe‟ juga bermakna

saling menghargai, beretika, adab kesopanan, dan suatu perilaku yang sakral.

1

64

1

Page 78: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

78

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti

memberikan beberapa saran kepada:

1. Masyarakat Bugis Masyarakat Bugis

Tetap mempertahankan kebudayaannya yang telah diwariskan

budaya leluhur dan diharapkan para generasi muda dapat

melestarikan kebudayaannya, khususnya mappatabe. Mappatabe ini

mengandung nilai-nilai kesopanan yang sangat penting diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari. Sebagai wariasn budaya sudah menjadi kewajiban

untuk merawat dan melestarikan kebudayaan suku Bugis Kecamatan

Tanralili.

2. Pihak Pemerintah

Agar tetap mendukung serta mengawasi segala ketentuan adat

mappatabe dan berperan aktif menjaga, memelihara, mengembangkan

adat tersebut. Selain itu pemerintah dan masyarakat diharapkan untuk

saling menjaga hubungan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga interaksi

antar beberapa pihak dapat berjalan dengan baik.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan referensi untuk mengadakan

penelitian yang sejenis tentang tradisi masyarakat Kecamatan Kajuara

dalam pembahasan yang lebih luas.

65

1

Page 79: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

79

DAFTAR PUSTAKA

Aab, 2018. Pengertian dan contoh Tradisi Mappatabe. Online dari

https://majalahpendidikan.com/tradisi-pengertian-manfaat-dan-contoh-

dari-tradisimappatabe. Diakses 23 September 2019

Akbar Firman, 2017 Pengertian Dan Contoh Kearifan Lokal. Online dari

https://www.infokekinian.com/pengertian-dan-contoh-kearifan-lokal.

Diakses pada tanggal 05 Oktober 2019.

Dieben Antonius, 2019. Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara. Online

dari https://www.kompasiana.com pancasila-sebagai-ideologi-dan-dasar-

negara. Diakses Pada Tanggal 10 Oktober 2019.

Gunawan, 2016. Metodologi Studi Agraria. Bogor: Pusat Kajian Agraria

Jamaluddin, Samsidar. 2014. Tradisi Mappatabe dalam Masyarakat Bugis di

Kecamatan Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai. Online dari

https://repositori.uin-alauddin.ac.id. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2019

Kartini. 2016. Data Statistik Kebudayaan. Online dari

https://www.Puplikasi.data.kemdikbud.go.id Diakses pada tanggal 06

Oktober 2019).

Marpaun, 2013. Urgensi Kearifan Lokal Membentuk Karakter Bangsa Dalam

Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah. Vol 2 No 2. Diakses pada tanggal

26 November 2019.

Martawijaya Agus, 2016 Model Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal untuk

Meningkatkan Karakter dan Ketuntasan Belajar. Jakarta: CV. Masagena.

Mattulada. H.A, 2009 Demokrasi dalam Perspektif Budaya Bugis-Makassa

Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara LKPSM Yogyakart: PT.

Bumu Aksara.

Pongsibanne, L. K. 2017. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta. Kaukaba

Dipantara.

Permana Cecep Eka, 2002. Kearifan Lokal Masyarakat Budaya Dalam Mitigasi

Bencana. Jakarta: Wedatama.

Pratiwi, 2017 Fenomena Kemerosotan Tradisi Mappatabe pada Generasi

Millenial. Online dari https://secangkirliterasikpi.wordpress.com.fenomen.

tradisi-mappatabe-pada-generasi-millenial. Diakses pada tanggal 30

Sepetember 2019.

Purwanto Waid Agus, 2017. Kearifan Likal Masyarakat Desa Segoromulyo

Kecamatan Pamotan Kabupaten Rembang dalam Menghadapi Bencana

66

1

Page 80: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

80

Keleringan. Online dari https://repositori.lib-unnes.ac.id. Diakses pada

tanggal 30 September 2019

Puspita, 2017. Implementasi Nilai-Nilai Sila Kedua Pancasila. Online dari

http://puspita.implementasi-nilai-nilai-sila-kedua-co.id. Diakses pada

tanggal 26 November 2019.

Rahayu Rifka, 2017. Budaya Indonesia Tentang Adat

Mappatabe. Online dari https://budaya-indonesia.org/Adat-Mappatabe-

Terlihat-Sepele-tetapi Sarat-Akan-Makna. Diakses pada tanggal 30

September 2019

Rahim, R, 2010 Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang:

Hasanuddin University

Rapanna Patta, 2016 Membumikan Kearifan Lokal Menuju Kemandirian

Ekonomi. Jakarta: PT. Sah Media

Rosidi, Ajip.2011. Kearifan Lokal Dalam perspektif Budaya Sunda. Bandung:

Kiblat Buku Utama

Sugiarto Eko, 2015. Proposal Penelotian Kualitatif Kuantitatif Skripsi dan Tesis.

Yogyakarta: Suaka Media

Sugiono, 2015. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Sutardi, T. 2016. Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung. PT. Setia Purna

Inves

Sutrisno, M. 2014. Teori-teori kebudayaan. Yogyakarta.

Kanisius

Sapri, 2016. Kearifan Lokal Adat Sampulo Rua Buluttana Kecamatan

Tinggimoncong Kabupaten Gowa. Online dari https://repositori.uin-

alauddin.ac.id. Diakses pada tanggal 30 September 2019.

Setiawan Perta, 2019. Pancasila Sebagai Dasar Negara. Online dari

https://www.gurupendidikan.co.id/pancasila-sebagai-dasar-negara.

Diakses pada tanggal 05 Oktober 2019.

Yustisia, 2013. Nilai-Nilai Kearifan Lokal. Online dari

https://media.neliti.com/media/publications/271651-nilai-nilai-kearifan-

lokal-local-wisdom.pdf. Diakses pada tanggal 26 November 2019.

Widyanti Triani, 2015. Penerapan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Budaya Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Sebagai Sumber Pembelajaran

IPS. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. Vol 24 No 2. Diakses pada tanggal 26

November 2019.

67

1

Page 81: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

81

LAMPIRAN

1

Page 82: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

82

LAMPIRAN NAMA-NAMA INFORMAN

NO

NAMA

PEKERJAAN

LAMA

DOMISILI

1 H Pemuka Agama 40 Tahun

2 S Masyarakat 33 Tahun

3 M Guru Sekolah 35 Tahun

4 S Masyarakat 40 Tahun

5 N Tokoh

Masyarakat

57 Tahun

6 FW Guru Sekolah 54 Tahun

7 N Masyarakat 60 Tahun

8 SA Masyarakat 27 Tahun

9 N Masyarakat 35 Tahun

10 MN Masyarakat 30 Tahun

11 M Masyarakat 60 Tahun

12 Y Masyarakat 35 Tahun

13 N Masyarakat 40 Tahun

1

Page 83: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

83

Lampiran

PEDOMAN WAWANCARA

(INFORMAN)

TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI KECAMATAN

TANRALILI KABUPATEN MAROS (ANALISIS IMPLEMENTASI

NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TERHADAP

PENGAMALAN SILA KEDUA PANCASILA)

Narasumber : Tokoh Masyarakat Kecamatan Tanralili

Nama :

Usia :

Jenis Kelamin :

Alamat :

Tanggal Wawancara :

1. Apa yang anda pahami tentang tradisi budaya mappatabe sebagai masyarakat

di kecamatan Tanralili ?

2. Apakah Budaya tradisi budaya mappatabe termasuk budaya yang dijunjung

tinggi oleh masyarakat di kecamatan Tanralili ?

3. Apakah ada perbedaan pada masyarakat kecamatan Tanralili antara tradisi

budaya Mappatabe yang dahulu dengan yang sekarang ?

4. Apakah budaya tradisi budaya Mappatabe dapat mempererat tali

persaudaraan bagi masyarkat di kecamatan Tanralili

5. Apakah tradisi budaya mappatabe berperang penting dalam kemandirian

masyarakat di kecamatan Tanralili ?

6. Perubahan-perubahan apa sja yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi budaya

mappatabe ?

7. Sejak kapan terjadi adanya perubahan-perubagan tersebut ?

8. Adakah dampak dari perubahan ini bagi masyarakat ?

1

Page 84: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

84

Narasumber : Masyarakat Kecamatan Tanralili

Nama :

Usia :

Jenis Kelamin :

Alamat :

Tanggal Wawancara :

1. Bagaimana pemahaman tentang tradisi Budaya Mappatabe ?

2. Bagaimanba penerapan traisi budaya mappatabe pada zaman dahulu ?

3. Bagaimanba penerapan traisi budaya mappatabe pada pasa sekarang ?

4. Bagi anak zaman sekarang apakah masih menerapkan tradisi budaya

mappatabe ?

5. Apakah ada pergeseran yang terjadi tentang tradisi budaya mappatabe

khususnya dikecamatan Tanralili ?

6. Apa harapan dan keinginan terhadap tradisi budaya mappatabe ?

7. Perubahan-perubahan apa sja yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi budaya

mappatabe ?

8. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perubahan tradisi budaya

mappatabe di kecamatan tanralili ?

Narasumber : Pemuka Agama Kecamatan Tanralili

Nama :

Usia :

Jenis Kelamin :

Alamat :

Tanggal Wawancara :

1. Apa yang anda pahami tentang tradisi budaya mappatabe sebagai masyarakat

di kecamatan Tanralili ?

2. Apakah tradisi budaya mappatabe bertentangan dengan nilai agama ?

3. Apakah dampak positif saat menerapkan tradisi budaya mappatabe ?

4. Apakah dampak negatif saat tradisi budaya mappatabe tidak di terapkan lagi di

kecamatan tanralili ?

1

Page 85: TRADISI MAPPATABE DALAM MASYARAKAT BUGIS DI …

85

5. Apakah semua kalangan masyarakat masih mempercayai dan melakukan

tradisi budaya mappatabe ?

Narasumber : Guru sekolah di Kecamatan Tanralili

Nama :

Usia :

Jenis Kelamin :

Alamat :

Tanggal Wawancara :

1. Apa yang anda pahami tentang tradisi budaya mappatabe sebagai masyarakat

di kecamatan Tanralili ?

2. Bagaiman upaya mempertahankan tradisi mappatabe dan makna yang

terkandung dalam nilai-nilai sila kedua pancasila ?

3. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam mempertahankan tradisi budaya

mappatabe ini seiring dengan perkembangan zaman ?

4. Menenurut bapak/ibu apa yang harus dilakukan agar tradisi budaya mappatabe

masih di terapkan hingga saat ini ?

5. Apakah alasan nilai-nilai kearifan lokal di kecamatan Tanralili yang telah

disebutkan patut untu diangkat dalam pengamalan sila kedua pancasila ?

1