trading emisi co2

Upload: fajar-sidiq

Post on 10-Jul-2015

127 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SUARA PEMBARUAN DAILY

Negara Maju Beli Emisi Karbon dari IndonesiaJAKARTA - Beberapa negara maju sudah melakukan pendekatan kepada pemerintah Indonesia untuk membeli emisi karbon yang terkait Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM). Perjanjian yang baru-baru ini dilakukan adalah dengan pemerintah Belanda senilai US$ 10 juta untuk dua metrik ton emisi karbon, sedangkan dengan pemerintah Jerman perdagangan emisi karbon itu sudah dilakukan sejak tahun lalu. Menurut Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, sejumlah negara lainnya, seperti Swedia, Norwegia, dan Denmark sudah melakukan penawaran pembelian emisi karbon dari Indonesia. "Sebenarnya ada tujuh negara yang datang, tetapi yang sepertinya positif adalah mereka itu," jelasnya saat ditemui di kantornya, Senin (28/2). Kesepakatan dengan pemerintah Belanda itu merupakan tahap pertama. Rencananya setelah tahap pertama ini selesai pemerintah Belanda dan Indonesia akan melakukan kesepakatan jual beli emisi karbon lagi. Dalam program CDM ini pemerintah Indonesia harus membangun proyek CDM yang menghasilkan penurunan emisi karbon. Menurut Rachmat proyek yang akan dibangun dalam kesepakatan dengan Belanda ini bisa dilakukan dengan berbagai cara dan harus bekerja sama dengan beberapa menteri lainnya. CDM adalah salah satu mekanisme dalam Protokol Kyoto yang mencoba melakukan upaya penanggulangan masalah iklim global dengan industri. Sejumlah negara maju yang memiliki pembuangan emisi karbon cukup tinggi diharuskan untuk menurunkan emisi karbonnya. Namun kemudian, negara maju sendiri memiliki banyak kendala untuk menurunkan emisi karbon. Sebagai gantinya, negara-negara maju akan membeli emisi karbon yang berhasil diturunkan oleh negara-negara berkembang. Padahal negara-negara berkembang tidak terkena keharusan untuk menurunkan emisi karbonnya. Nilai emisi karbon yang berhasil diturunkan oleh negara berkembang itu akan menjadi kredit bagi negara pembeli. Mekanisme ini memang membantu negara maju dalam memenuhi target penurunan emisi dan membantu negara berkembang untuk memperoleh dana pembangunannya, dengan sistem jual beli emisi karbon itu. Namun hal ini juga mengundang efek negatif jika negara-negara maju yang memiliki modal cukup besar melupakan keharusan penurunan emisi karbon di industri negara mereka. Penurunan emisi karbon ini banyak dilakukan pada industri-industri yang menghasilkan tenaga, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan lainnya. Di Indonesia beberapa kegiatan CDM yang sedang dipersiapkan adalah proyek mengganti rencana pembangunan pembangkit listrik batu bara dengan geotermal yang dilakukan Unocal Indonesia dan Amoseas Indonesia. (K11)

Sumber : http://greenmap.or.id/ragam-artikel-relevan/85-pasar-emisi-karbon-dan-menjadinetral-karbon.html Ditulis oleh Rohman H. Yuliawan

PASAR EMISI KARBON2 Komentar dan 0 Tanggapan Secara sederhana, siklus karbon di atmosfer Bumi terdiri dari dua buah reaksi:

Senyawa karbon + oksigen -> karbondioksida + energi. Ini terjadi misalnya pada pernafasan makhluk hidup atau hampir segala hal yang berhubungan dengan pembakaran.

Karbondioksida + energi -> senyawa karbon + oksigen. Ini terjadi pada tanaman di siang hari, tanaman menangkap karbon dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbohidrat. Sebelumnya ini adalah reaksi yang bersifat ekuilibrium. Karena kedua reaksi tersebut seimbang, maka kuantitas karbondioksida di atmosfer relatif konstan. Masalah baru timbul setelah revolusi industri dimana penggunaan bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi, gas alam) semakin meluas. Penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan bermilyar-milyar ton senyawa karbon yang sebelumnya tersimpan selama jutaan tahun di perut bumi dilepaskan ke atmosfer. Akibatnya konsentrasi karbondioksida di atmosfer semakin bertambah, dan inilah yang menyebabkan temperatur bumi semakin meningkat.

Untuk mengatasi hal ini, negara-negara yang tergabung dalam United Nations Framework Convention on Climate Change merancang yang dinamakan Protokol Kyoto. Salah satu yang diatur oleh protokol ini adalah kuota emisi. Setiap negara maju yang tergabung dalam Protokol Kyoto memiliki batasan jumlah maksimum karbondioksida yang diperbolehkan dibuang ke atmosfer. Negara-negara maju yang memiliki kebutuhan emisi yang lebih tinggi daripada kuota tersebut dapat memperbesar kuota dengan cara:

Mengerjakan proyek untuk mengurangi emisi pada negara-negara berkembang, Membeli kuota tambahan dari negara maju lain; atau Membeli kuota tambahan dari pasar emisi. Sebagai contoh, Belanda mengerjakan proyek untuk mengurangi emisi di Indonesia

dengan tujuan untuk meningkatkan kuota emisi negara tersebut. Walaupun penerapan kuota ini dilakukan per negara, tetapi pada praktiknya setiap negara akan membagi-bagi jatah mereka kepada masing-masing industri di dalam negara tersebut. Akibatnya, bisa jadi perusahaan pembangkit listrik atau pabrik mobil memiliki kuota masing-masing. Entitas-entitas ini nantinya akan dapat melakukan transaksi kuota emisi sesuai kebutuhan masing-masing pada pasar emisi. Salah satu pasar emisi yang dimaksud adalah European Climate Exchange. Ini adalah pasar komoditas dimana berbagai pihak dapat melakukan jual beli kuota emisi karbon. Walaupun Amerika Serikat masih saja menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto, beberapa negara bagiannya membuat Regional Greenhouse Gas Initiative, sebuah perjanjian yang mirip dengan Protokol Kyoto, tetapi pada tingkat negara bagian. Salah satu pasarnya adalah Chicago Climate Exchange yang mewakili paling tidak sekitar 4% dari total emisi gas rumah kaca di Amerika Serikat. Selain itu sejak 1990, Amerika Serikat menerapkan Clean Air Act, yaitu sistem yang mirip tetapi untuk gas belerang oksida. Dengan adanya pasar-pasar ini, pihak-pihak dapat melakukan transaksi jual b el i kuota emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya sebagaimana jual beli komoditas lainnya. Pihak yang memerlukan kuota tambahan dapat membelinya, dan yang memiliki kuota yang menganggur dapat menjualnya. Saat ini, dua pasar emisi terbesar tersebut belum tersambung, akibatnya perbedaan harga terlihat sangat mencolok. Walaupun demikian seharusnya tidak ada hambatan yang berarti di masa yang akan datang bagi kedua pasar ini dan pasar-pasar emisi lainnya untuk dapat bergabung, atau dengan kata lain emisi yang dibeli pada satu pasar dapat dijual pada pasar emisi yang lain. Bagaimana skema seperti ini dapat meringankan dampak emisi pada lingkungan? Melalui kerangka ini, pihak-pihak yang pro lingkungan dapat membeli kuota emisi dan membuangnya. Sebagai contoh, Acme Corporation memiliki kuota emisi sebesar 1000 ton karbondioksida per tahun. Artinya, Acme Corporation hanya diperbolehkan untuk membuang karbondioksida ke atmosfer maksimal sebanyak 1000 ton setiap tahunnya. Jika ada pihak yang membeli kuota sebesar 100 ton dari Acme, maka kuota Acme menjadi 900 ton dan kini dia hanya diperbolehkan untuk membuang karbondioksida maksimal sebanyak 900 ton/tahun. Bagaimana jika yang membeli adalah agen pro lingkungan? Dia akan membeli tetapi tidak menggunakan kuota yang dibeli. Akibatnya emisi karbondioksida ke atmosfer bumi berkurang sebesar 100 ton/tahun. Ini adalah kompromi yang adil bagi kedua pihak. Di satu sisi kaum pro lingkungan berhasil mencapai tujuannya untuk menurunkan emisi karbondioksida. Sedangkan di sisi lain industri mendapatkan dana yang dapat digunakan misalnya untuk beradaptasi dengan menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Tentunya itu kondisi idealnya. Masalah utamanya, baru sedikit industri dan negara yang melakukannya. Tetapi ini adalah permulaan yang baik. Dengan semakin tingginya kesadaran lingkungan, diharapkan makin banyak pihak yang bergabung dengan sistem seperti ini. Apa efeknya bagi individu seperti kita? Pasar emisi adalah peluang yang baik bagi

individu seperti kita untuk dengan mudah menjadi netral karbon . Seperti kita ketahui, aktivitas kita akan melepaskan sejumlah karbon ke atmosfer. Menyalakan lampu, bepergian, menggunakan komputer semuanya akan melepaskan karbon ke atmosfer. Untuk menjadi netral karbon , kita dapat menghitung emisi karbondioksida akibat aktivitas kita, dan kemudian melakukan aktivitas untuk menyerap karbon sebanyak yang telah kita buang tersebut. Bentuk paling tradisional untuk menyerap karbon adalah dengan menanam pohon, tetapi ini akan sangat sulit misalnya karena keterbatasan lahan. Aktivitas yang mulai populer adalah dengan melakukan pembayaran ke penyedia layanan netral karbon sesuai dengan jumlah karbondioksida yang kita buang. Nantinya mereka yang akan melakukan aktivitas penyerapan karbon untuk kita. Akibatnya, emisi karbondioksida akibat aktivitas kita sehari-hari akan diimbangi oleh usaha penyerapan karbon dari atmosfer yang dilakukan oleh penyedia layanan netral karbon ini. Cara-cara yang dilakukan oleh penyedia layanan netral karbon ini adalah dengan melakukan penghijauan hutan, melakukan investasi pada jenis sumber energi yang ramah lingkungan, dan kini mereka dapat memborong kuota emisi melalui pasar emisi. Dengan menjadi netral karbon , aktivitas yang kita lakukan tidak akan menambah jumlah karbondioksida di atmosfer. Setelah An Inconvenient Truth , lawan-lawan politik Al Gore dengan cepat menunjukkan fakta bahwa Al Gore memiliki kontribusi besar pada pemanasan global karena sering bepergian dengan menggunakan pesawat. Te tapi kenyataannya, Al Gore mengkompensasi emisi karbondioksid a dari aktivitas nya ini dengan menggunakan layanan netral karbon . Nantinya penyedia layanan netral karbon ini yang akan menangkap karbon sejumlah yang dibuang akibat aktivitas tersebut. Dengan demikian, aktivitas Al Gore untuk mempromosikan gerakan pro lingkungan praktis tidak menambah jumlah karbon di atmosfer. Contoh-contoh penyedia layanan netral karbon adalah Carbon Funds di Amerika Serikat, Climate Friendly di Australia atau Carbon Clear di Kerajaan Bersatu. Masih banyak lagi penyedia layanan netral karbon di Internet, salah satu daftarnya dapat dilihat di Ecobusinesslink.com. Semua penyedia layanan netral karbon ini memiliki kalkulator yang dapat digunakan untuk menghitung emisi karbon dari aktivitas seperti penggunaan listrik, mengendarai mobil atau bepergian dengan pesawat. Tetapi harus diperhatikan juga bahwa bisa saja asumsi yang digunakan oleh kalkulator-kalkulator ini berbeda dengan kondisi di Indonesia. Pertanyaannya, apa ada penyedia layanan netral karbon di Indonesia? Daripada menanam pohon pinus di Taman Nasional Gallatin, Montana, US, saya lebih suka uang saya digunakan untuk menanam pohon jati di Kalimantan Selatan. Priyadi Iman Nurcahyo (priyadi.net)

Setuju Banget Dislike

CommunityDisqus

2 people liked this.

Login About

DisqusGlad you liked it. Would you like to share?Facebook

Twitter Share No thanks

Sharing this page Thanks! Close

Tambahkan Komentar Baru

Sumber : http://m.korankaltim.co.id/read/m/4138 Perdagangan Emisi karbon Ancam Potensi Hutan Polusi Disana, Diserap Disini Masyarakat umum mungkin masih awam terhadap perdagangan emisi karbon. Padahal perdagangan emisi ini adalah salah satu sebab yang membuat industri perkayuan banyak tutup dan kayu-kayu makin susah didapat, bahkan untuk membuat daun jendela rumah sekalipun. Berdasarkan Protokol Kyoto tahun 1997 yang ditandatangani oleh 119 negara dan mulai diberlakukan pada 2005, memerintahkan kepada 37 negara industri besar di dunia yang dikelompokkan dalam Annex I, untuk menurunkan kadar emisi karbondioksida mereka menjadi 5,2% pada 2012. Ini karena 37 negara tersebut menjadi pemain utama penyumbang polusi di dunia. Norwegia adalah salah satu dari negara Annex I. Nah, mari kita anggap Anda memiliki sebuah perusahaan industri besar di Norwegia yang menghasilkan polusi emisi karbondioksida 100 ribu ton per tahun. Pemerintah setempat memerintahkan Anda menurunkan emisi 5,2% berdasarkan Protokol Kyoto tersebut menjadi (anggaplah) 95 ribu ton. Menurunkan emisi bukan hal gampang dan murah. Perusahaan Anda harus alih teknologi yang ramah lingkungan, mengganti mesin-mesin, membayar SDM baru dan bisa berakibat pada stabilitas produksi. Anggap saja biaya untuk mereduksi emisi bila Anda mengganti mesin-mesin adalah USD20 per ton. Artinya, untuk mengurangi 5 ribu ton emisi diperlukan biaya USD100 ribu. Untungnya, Protokol Kyoto juga memperbolehkan jual-beli emisi. Harga pasar hak emisi adalah USD10 per ton. Perusahaan Anda boleh membayar pihak atau negara lain untuk menyerap

polusi atau emisi karbon perusahaan Anda dengan membayar hanya USD50 ribu untuk 5 ribu ton emisi karbon. Ini jauh lebih murah dan efisien ketimbang perusahaan Anda melakukan revolusi teknologi. Luas hutan tropis Indonesia sekitar 123 juta hektare mampu menyerap potensi karbon mencapai 25,7 miliar ton per tahun termasuk hutan lahan gambut. Artinya Indonesia adalah surga penyerapan emisi. Lalu dilakukanlah Pollution Trading atau Perdagangan Polusi antara Pemerintah Norwegia (yang mewakili industrinya) dan Pemerintah Indonesia sebagai pengelola hutan. Metode kerjasama ini direstui oleh Protokol Kyoto. Dengan cara grandfathering, Norwegia sebagai negara pencemar bebas saja melanjutkan industrinya yang penuh polusi itu sementara Indonesia tetap menjaga hutannya agar bisa menyerap polusi di atmosfer yang salah satunya dari Norwegia. Kerjasama Pollution Trading ini dituangkan dalam bentuk program-program pelestarian hutan berlabel Clean Development Mechanisme (CDM), Overseas Development Aid (ODA) dan Joint Implementation (JI). Dengan program-program ini negara pencemar tidak memberi uang kepada negara penyerap polusi untuk program pembangunan jalan, mendirikan apartemen dll, melainkan program pelestarian hutan, pengawasan industri kehutanan, termasuk memaksa Presiden RI mengeluarkan moratorium hutan atau jeda tebang hutan. Jadi jangan heran apabila izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) makin sulit didapat, pohon kian sulit ditebang, dan hutan konservasi tidak bisa dialihstatuskan jadi hutan lindung atau hutan industri (bahkan untuk jalan tol). Ini karena Pemerintah RI punya utang kepada negara lain untuk memenuhi target penyerapan polusi yang mereka lakukan di negaranya. Tentu ini bukan satu-satunya sebab, karena melestarikan hutan juga adalah kewajiban. Tapi celakanya, utang penyerapan polusi ini membuat target pengurangan emisi Indonesia kian buruk. Selain ditarget harus menutup polusi dari negara lain, Indonesia sendiri ternyata juga masuk dalam lima besar negara penyumbang emisi karbon di dunia menurut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Urutannya adalah China (17%), Amerika Serikat (16%), Uni Eropa (11%), Indonesia (6%), India (5%). Tambah celakanya lagi, Norwegia hanyalah salah satu negara yang melakukan kerjasama Pollution Trading dengan Indonesia. Tercatat bahwa Indonesia juga melakukan hal yang sama dengan Amerika Serikat, Jepang, Prancis, Australia, Uni Eropa dan Kanada. Artinya, negara lain dapat meneruskan industri mereka yang polutif mencetak barang dan menjualnya ke negara lain lalu dapat untung, sementara Indonesia sekedar menjadi penjaga hutan supaya bisa menyerap polusi dari pihak pembeli. Padahal potensi hutan kita sangat besar nilainya apabila diberdayakan sebagai industri. DITENTANG INDUSTRI Rencana moratorium hutan mendapat tanggapan negatif dari kalangan dunia usaha. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) melihat moratorium hutan tersebut akan menghambat tujuan pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen pada 2014. Wakil Ketua Umum Kadin bidang Kelautan, Perikanan dan Peternakan, Juan Permata Adoe menyatakan pemberlakuan PP nomor 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan

merupakan bentuk implementasi moratorium sebagai tindak lanjut kesepakatan Oslo. Juan melihat hendaknya pemerintah membuat petunjuk pelaksanaan yang jelas dari peraturanperaturan tersebut. Harus tegas, mana lahan yang hutan, mana yang bukan dan mana yang lahan terlantar, katanya. Sedangkan Ketua Umum Pergantian Antar Waktu (PAW) Kadin, Adi Putra Tahir mengatakan, pemberlakuan PP nomor 10/2010 membuat investor tidak tertarik menanamkan modal. Adi juga mempertanyakan kelanjutan penetapan tata ruang nasional, terutama inventarisasi faktual atas lahan yang ada, seperti misalnya sebuah persil yang menurut Kementerian Kehutanan merupakan lahan hutan, dalam kondisi aslinya merupakan padang ilalang dan tandus. Tata ruang kita belum beres, kalau begini terus posisi kita sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia jadi terancam. Kita (Kadin) mendukung arah kebijakan pemerintah tapi harus jelas, katanya. Aktivis peduli lingkungan hidup juga menolak penjualan karbon hutan Aceh di tiga kawasan hutan sebagai lokasi penerapan Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD). Areal hutan yang disiapkan oleh Pemerintah Aceh untuk penerapan REDD tersebut adalah kawasan Ulu Maseen, kawasan Lauser dan kawasan Eawa Tripa dengan luas keseluruhan 3,3 juta hektare atau sekitar 62,7% dari total luas wilayah Aceh. Menurut Effendi, salah satu aktivis peduli lingkungan Aceh, penjualan karbon dari hutan Aceh merupakan bentuk penindasan baru yang dilakukan oleh Gubernur Aceh terhadap rakyatnya. Analisis dari tim teknis mitigasi dampak perubahan iklim melalui skenario REDD itu ada sejumlah uang yang dijanjikan dari bisnis yang akan mengalir kepada masyarakat di pinggiran hutan. Janji itu pembohongan besar yang dilontarkan Gubernur Aceh kepada masyarakat, Mereka sama sekali tidak mengerti REDD. Mereka sama sekali tidak tahu apa itu penjualan karbon, hutan adalah peninggalan nenek moyang kami, untuk anak cucu kami, bukan untuk dijual, tegas Effendi. Sejumlah perwakilan gubernur di 14 negara yang tergabung dalam Governors Climate and Forest (GCF) sedang membahas kembali kebijakan hak-hak masyarakat lokal atas hutan untuk diakui oleh nasional dan dunia internasional di Provinsi Aceh. Tema yang sama sebelumnya dibahas di AS pada 2009. Komunikasi Manager Flora dan Fauna Internasional Dewa Gumai menyebutkan berbagai lembaga peduli lingkungan mendorong delegasi gubernur yang tergabung dalam CGF, tentang pentingnya membahas keadilan, perubahan iklim dan kewenangan masyarakat. Kami terus mendorong dua poin itu yang sampai saat ini masih alot dibahas. Saat ini belum ada rekomendasi yang formal. Poin ini harus dimasukkan sehingga tidak ada kebocoran dalam REDD nantinya,kata Dewa. Julie Teel, Project Manager Research dari Universitas Colorado menegaskan skenario REDD bisa membatalkan proyek penjualan karbon dari hutan jika hak dan kewenangan masyarakat di wilayah hutan tidak diatur dengan baik. REDD tidak mau meneruskan proyek ini apabila tidak melibatkan masyarakat, ujarnya. Dari proyek penjualan korbon ini Indonesia disebutkan mendapatkan miliaran rupiah setiap tahun dari negara penghasil polusi yang membayar negara berkembang agar tidak menebang pohon.

Bank investasi asal Inggris sepakat membayar sekitar Rp94 miliar lebih untuk membeli potensi karbon yang ada di hutan Ulu Maseeni. (berbagai sumber/hil)