emisi karbon dioksida (co2) dari beberapa tipe … · jurnal ilmu tanah dan lingkungan vol. 9 no. 2...

8
Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 2 (2009) p: 95-102 EMISI KARBON DIOKSIDA (CO 2 ) DARI BEBERAPA TIPE PENGGUNAAN LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN Nyahu Rumbang 1) , Bostang Radjagukguk 2) dan Djoko Prajitno 2) 1) Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya 2) Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta e-mail: [email protected] Abstract The study was conducted in the peatland in Central Kalimantan and West Kalimantan taken as representing tropical peatland with several different types of land use as treatmeant. The measurement of CO 2 emission and peat sampling were conducted in three periods of time: 2005, 2006 and 2007. The study sites in Central Kalimantan numbered four types of land use: Chinesse cabbage (1-5 years of cultivate), Chinesse cabbage (6-10 years of cultivate), Corn (1-5 years of cultivate), and Corn (6-10 years cultivate). Whereas the study sites in West Kalimantan numbered four types land use: Corn, Aloe vera, Oil palm and Rubber. Carbon dioxide emission were measured with a portable infrared gas analyser (PP System, EGM-4). The research result shows the average of CO 2 emissions released of peatland in West Kalimantan ranged from 0.35 to 1.19 g CO 2 .m -2 .h -1 , higher than the emissions released in the peatland in Central Kalimantan, whereas ranged 0.35 to 0.67 g CO 2 .m -2 .h -1 . CO 2 emission released by land of annual plant higher than the seasonal crops. The amount of CO 2 released is influenced by water level from the peat surface, pH of peatland and duration of peatland clearing period. The lower the water level from the surface of peat land soil, the higher the CO 2 emission from the soil. The increasi pH of peatland is followed by an increasing amount of CO 2 emissions released. The longer the peatland is cleared, more CO 2 emissions occurs. In order to reduce the amount of CO 2 emissions released by the peat soil, the ground water level of the peatland utilized for cropping must be managed accordingly. Keywords: emission, carbon dioxide, land use type Pendahuluan Lahan gambut tropika di dunia mencapai luas 37,8 juta ha, dan seluas 25,3 juta ha (67,1 %) diantaranya berada di kawasan Asia Tenggara. Luas gambut Indonesia mencapai 20,69 juta ha (81,7%), tersebar di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya, Sulawesi, Halmahera dan Seram. Sebagian besar gambut di Kalimantan tersebar di Kalimantan Barat (4,5 juta ha) dan Kalimantan Tengah (2,25 juta ha) (Rieley et al., 1996; Page et al., 2008, Radjagukguk, 1997). Salah satu fungsi ekologi lahan gambut adalah sebagai gudang karbon. Total karbon pada lahan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 44,5 Gt (Rieley et al., 2008). Konversi hutan rawa gambut merupakan sumber emisi CO 2 (Hooijer et al., 2006 dalam Verwer et al., 2008). Pengertian gas rumah kaca dalam kaitannya dengan pemanasan global meliputi karbon dioksida (CO 2 ), dinitrogen oksida (N 2 O), metan (NH 4 ) dan hidrokarbon seperti (CFC). Temperatur permukaan bumi meningkat disebabkan karena konsentrasi gas rumah kaca dalam atmosfir khususnya karbondioksida, metan, dan nitro oksida mengalami peningkatan (Jauhiainen et al., 2004). Menurut laporan IPPC (2001) bahwa selama abad 20, terjadi peningkatan rata-rata suhu permukaan bumi sebesar 0,6±0,2 o C. Kontribusi emisi karbon dioksida terhadap efek rumah kaca sebesar 48%, yang diikuti oleh sumber emisi lain seperti freon (26%), ozon (10%), metan (8%) dinitrogen oksida (6%), dan gas lain (2%) (Pirkko, 1990). IPCC (2001) juga melaporkan bahwa kontribusi karbon dioksida terhadap pemanasan global sebesar 60%, metan (20%) dan nitro oksida (6%). Sejak tahun 1980, konsentrasi CO 2 di atmosfir meningkat sekitar 0,4 % setiap tahun, sekarang konsentrasi CO 2 di atmosfir diperkirakan sebesar 367 ppm.

Upload: hoangliem

Post on 25-Apr-2018

239 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 2 (2009) p: 95-102

EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2) DARI BEBERAPA TIPE PENGGUNAAN LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN

Nyahu Rumbang 1), Bostang Radjagukguk 2) dan Djoko Prajitno 2)

1) Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya 2) Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

e-mail: [email protected]

Abstract

The study was conducted in the peatland in Central Kalimantan and West Kalimantan taken as representing tropical peatland with several different types of land use as treatmeant. The measurement of CO2 emission and peat sampling were conducted in three periods of time: 2005, 2006 and 2007. The study sites in Central Kalimantan numbered four types of land use: Chinesse cabbage (1-5 years of cultivate), Chinesse cabbage (6-10 years of cultivate), Corn (1-5 years of cultivate), and Corn (6-10 years cultivate). Whereas the study sites in West Kalimantan numbered four types land use: Corn, Aloe vera, Oil palm and Rubber. Carbon dioxide emission were measured with a portable infrared gas analyser (PP System, EGM-4).

The research result shows the average of CO2 emissions released of peatland in West Kalimantan ranged from 0.35 to 1.19 g CO2.m-2.h-1, higher than the emissions released in the peatland in Central Kalimantan, whereas ranged 0.35 to 0.67 g CO2.m-2.h-1. CO2 emission released by land of annual plant higher than the seasonal crops. The amount of CO2 released is influenced by water level from the peat surface, pH of peatland and duration of peatland clearing period. The lower the water level from the surface of peat land soil, the higher the CO2 emission from the soil. The increasi pH of peatland is followed by an increasing amount of CO2 emissions released. The longer the peatland is cleared, more CO2 emissions occurs. In order to reduce the amount of CO2 emissions released by the peat soil, the ground water level of the peatland utilized for cropping must be managed accordingly. Keywords: emission, carbon dioxide, land use type Pendahuluan

Lahan gambut tropika di dunia mencapai luas 37,8 juta ha, dan seluas 25,3 juta ha (67,1 %) diantaranya berada di kawasan Asia Tenggara. Luas gambut Indonesia mencapai 20,69 juta ha (81,7%), tersebar di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya, Sulawesi, Halmahera dan Seram. Sebagian besar gambut di Kalimantan tersebar di Kalimantan Barat (4,5 juta ha) dan Kalimantan Tengah (2,25 juta ha) (Rieley et al., 1996; Page et al., 2008, Radjagukguk, 1997).

Salah satu fungsi ekologi lahan gambut adalah sebagai gudang karbon. Total karbon pada lahan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 44,5 Gt (Rieley et al., 2008). Konversi hutan rawa gambut merupakan sumber emisi CO2 (Hooijer et al., 2006 dalam Verwer et al., 2008).

Pengertian gas rumah kaca dalam kaitannya dengan pemanasan global meliputi karbon dioksida (CO2), dinitrogen oksida

(N2O), metan (NH4) dan hidrokarbon seperti (CFC). Temperatur permukaan bumi meningkat disebabkan karena konsentrasi gas rumah kaca dalam atmosfir khususnya karbondioksida, metan, dan nitro oksida mengalami peningkatan (Jauhiainen et al., 2004). Menurut laporan IPPC (2001) bahwa selama abad 20, terjadi peningkatan rata-rata suhu permukaan bumi sebesar 0,6±0,2 oC.

Kontribusi emisi karbon dioksida terhadap efek rumah kaca sebesar 48%, yang diikuti oleh sumber emisi lain seperti freon (26%), ozon (10%), metan (8%) dinitrogen oksida (6%), dan gas lain (2%) (Pirkko, 1990). IPCC (2001) juga melaporkan bahwa kontribusi karbon dioksida terhadap pemanasan global sebesar 60%, metan (20%) dan nitro oksida (6%). Sejak tahun 1980, konsentrasi CO2 di atmosfir meningkat sekitar 0,4 % setiap tahun, sekarang konsentrasi CO2 di atmosfir diperkirakan sebesar 367 ppm.

96 Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 2 (2009) p: 95-102

Hasil penelitian Jauhiainen et al. (2008) di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa emisi CO2 pada hutan gambut tebang pilih yang tidak didrainase pada berbagai kondisi hidrologi berkisar 953±86 - 1061±83 g C/m2/tahun. Pada hutan gambut sekunder di Kalimantan Selatan, emisi CO2 pada kisaran 1200±430 g C/m2/tahun (Inubushi et al,. 2003). Terjadi perbedaan yang sangat besar dibandingkan dengan hasil penelitian Melling (2005) di Sarawak (Malaysia), dimana ekosistem hutan gambut mengeluarkan emisi sebesar 2130 g C/m2/tahun, lebih besar dibandingkan dengan emisi dari lahan perkebunan kelapa sawit (1540g C/m2/tahun) dan emisi dari lahan sagu (1110 g C/m2/tahun).

Tujuan penelitian ini untuk (i) mengukur besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut dengan beberapa tipe penggunaan lahan, (ii) membandingkan besarnya emisi CO2 dari lahan tanaman tahunan dengan emisi CO2 dari lahan tanaman semusim, (iii) mengetahui hubungan antara tinggi permukaan air tanah dan pH gambut terhadap pelepasan emisi CO2.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilakukan di lahan gambut di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, selama 3 tahun (2005, 2006 dan 2007). Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok, dengan 4 perlakuan, masing-masing dengan 3 ulangan. Lahan petani yang dijadikan sebagai ulangan berukuran 20 x 30 m. Lahan gambut yang digunakan diusahakan mempunyai beberapa sifat yang relatif sama yaitu merupakan gambut pedalaman, dengan ketebalan sedang (1-2 m) dengan tingkat kematangan hemik.

Penelitian di Kalimantan Tengah

Pada penelitian di Kalimantan Tengah, tipe penggunaan lahan yang dijadikan perlakuan berasal dari kombinasi faktor lamanya (durasi) lahan dibuka dan jenis tanaman. Lamanya (durasi) lahan dibuka dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu (i) kelompok lahan yang dibuka 1-5 tahun dan (ii) kelompok lahan yang dibuka 6-10 tahun. Pada masing-masing kelompok lahan tersebut ditentukan dua jenis tanaman yaitu (i) sawi dan (ii) jagung. Kombinasi dari durasi lahan dibuka dan jenis tanaman maka diperoleh 4

tipe penggunaan lahan yang dijadikan perlakuan (Tabel 1).

Lokasi penelitian merupakan lokasi transmigrasi yang berada pada hamparan gambut pedalaman dengan ketebalan sedang (1-2 m). Berat volume gambut berkisar antara 0,133-0,167 g/cm2, dan berdasarkan tingkat kematangannya, dikelompokkan kedalam gambut dengan tingkat kematangan hemik.

Lahan gambut merupakan lahan yang tidak subur dan disertai dengan tingkat kemasaman yang tinggi maka pada prakteknya petani selalu menambahkan abu hasil pembakaran dari sisa tanaman, rumput-rumputan dan seresah gambut. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan tanaman akan unsur hara dilakukan penambahan pupuk organik dan anorganik baik merupa pupuk tunggal maupun pupuk majemuk. Namun dalam penelitian ini tidak ada perlakuan tambahan terhadap lahan petani selain yang umum dilakukan oleh petani.

Penelitian di Kalimantan Barat

Tipe penggunaan lahan gambut sebagai perlakuan dalam penelitian di Kalimantan Barat yaitu lahan jagung, lahan lidah buaya, lahan kelapa sawit, lahan karet, masing-masing dengan tiga ulangan. Lahan petani yang dijadikan sebagai ulangan berukuran 20 x 30 m. Khusus untuk perlakuan lahan kelapa sawit, maka blok kebun dijadikan sebagai ulangan. Lahan gambut yang dijadikan lokasi penelitian di Kalbar merupakan lahan gambut pedalaman dengan kedalaman sedang (1-2 m) dengan berat volume antara 0,130-0,163 g/cm2 dan berdasarkan tingkat kematangannya dikelompokan kedalam gambut dengan tingkat kematangan hemik. Lahan jagung, lidah buaya dan kelapa sawit merupakan lahan gambut yang relatif lebih subur dibandingkan dengan lahan karet, karena lahan tersebut sudah menjadi lahan pertanian dalam waktu sekitar 15 tahun dan selama itu pemberian kapur dan pupuk secara intensif dilakukan. Sementara lahan karet hanya dengan pembuatan saluran drainase tanpa diikuti dengan pengapuran dan pemupukan.

Ringkasan dari lokasi penelitian, perlakuan dan periode pengukuran yang dilakukan baik di Kalimantan Tengah maupun di Kalimantan Barat disajikan pada Tabel 1.

Rumbang. Emisi karbon dioksida 97

Tabel 1. Ringkasan lokasi penelitian, perlakuan dan periode pengukuran

Lokasi Tipe Penggunaan Lahan 2005 2006 2007

Kalteng: Kalampangan Kalampangan Kalampangan Kalampangan

Perlakuan: 1.Sawi (1-5 thn) 2.Sawi (6-10 thn) 3.Jagung (1-5 thn) 4.Jagung (6-10 thn

29 Jan-10 Feb + + + +

29 Mar-19 April + + + +

12 Feb-7 Mar + + + +

Kalbar: Rasau Jaya Siantan Hulu S.Ambawang S.Ambawang

Perlakuan: 1.Jagung 2.Lidah buaya 3.Kelapa sawit 4.Karet

- - - -

10-25 Juni + + + +

13-28 Maret + + + +

Keterangan: Dilakukan pengukuran emisi CO2, tinggi permukaan air tanah dan analisis pH tanah. Tidak dilakukan pengukuran CO2, tinggi permukaan air tanah dan analisis pH tanah.

Pengukuran emisi CO2 dengan

menggunakan analisis gas infrared (PP system, model EGM-4). Sebuah chamber silinder terbuat dari aluminium (diameter 30 cm, tinggi 10 cm) dihubungkan dengan CO2 analyser dengan selang kecil yang terbuat dari karet sintetik sehingga bersifat elastis. Agar terjadi sirkulasi udara dalam chamber maka dalam chamber dipasang kipas angin kecil (diameter 3 cm). Emisi CO2 yang dilepas oleh gambut masuk kedalam chamber, kemudian direkam oleh analyser. Data emisi CO2 yang terekam dalam gas EGM-4 kemudian ditransfer ke komputer, kemudian data diolah dan tingkat keakuratan data dilihat dari besarnya nilai r2 untuk setiap emisi CO2 yang terekam pada setiap titik pengukuran. Batas toleransi dalam penelitian ini dengan nilai r2 terendah sebesar 0,98.

Pada setiap kali pengukuran emisi CO2, dilakukan juga pengukuran tinggi permukaan air tanah dengan menggunakan stik water table, yang dilengkapi sensor pada bagian ujung stik. Jika ujung stik terkena air maka sensor akan berbunyi. Terlebih dahulu disiapkan sebuah paralon diameter 2,5 cm dan panjang 2 meter dan diberi lubang dengan jarak 15 cm agar air dapat masuk. Paralon tersebut ditancapkan kedalam tanah sedalam 1,5 meter. Stik water table dimasukan kedalam pipa secara pelan-pelan hingga sensor mengeluarkan bunyi. Tinggi permukaan air dihitung dengan cara mengukur batas panjang

stik saat berbunyi dikurangi dengan tinggi paralon dari atas permukaan tanah.

Pengambilan contoh gambut yang terusik pada kedalaman 0-15, 15-45 dan 45-100 cm dengan menggunakan bor Edjelkamp, contoh yang terambil merupakan contoh komposit. Contoh gambut dikering anginkan, kemudian diukur pH (H2O) menggunakan pH meter dengan perbandingan 1:2,5. Walaupun pH gambut dianalisis atas dasar kedalamannya, namun pH gambut yang disajikan merupakan nilai rata-rata dari 3 kedalaman. Untuk mengetahui tingkat kematangan gambut maka dilakukan analisis berat volume gambut. Pengambilan contoh gambut untuk analisis berat volume menggunakan cincin (ring) logam (tinggi cincin 5,0 cm dengan diameter 5,0 cm), contoh gambut diambil pada kedalaman 40 cm.

Hasil dan Pembahasan

Hasil pengukuran terhadap rata-rata emisi CO2, tinggi permukaan air tanah dan pH gambut dari 4 tipe penggunaan lahan gambut di Kalimantan Tengah pada periode pengukuran 2005, 2006 dan 2007 disajikan pada Tabel 2.

Sedangkan hasil pengukuran terhadap emisi CO2, tinggi permukaan air tanah dan pH gambut dari 4 tipe penggunaan lahan gambut di Kalimantan Barat pada periode pengukuran 2006 dan 2007 disajikan pada Tabel 3.

98 Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 2 (2009) p: 95-102

Tabel 2. Rata-rata emisi CO2 (g CO2/m2/jam), tinggi permukaan air (m) dan pH gambut (pH H2O) pada 4 tipe penggunaan lahan gambut di Kalimantan Tengah periode pengukuran tahun 2005, 2006 dan 2007.

Tipe Penggunaan Lahan

Emisi CO2 (g CO2/m2/jam)

Tinggi Permukaan Air (m) pH (pH H2O)

2005 2006 2007 2005 2006 2007 2005 2006 2007 Sawi, 1-5 thn Sawi, 6-10 thn Jagung, 1-5 thn Jagung, 6-10 thn

0,29 0,42 0,24 0,43

0,74 ab 0,82 a 0,53 b 0,81 a

0,72 a 0,52 ab 0,29 b 0,77 a

0,21 0,34 0,18 0,31

0,51 0,55 0,30 0,51

0,27 0,31 0,18 0,41

3,24 3,31 3,21 3,27

3,27 ab 3,36 a 3,18 b 3,30 a

3,32 a 3,04 c 3,21 b 3,36 a

Keterangan: Rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan

uji LSD 0.05 Rata-rata yang dicetak miring menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Fα=0.05 Tinggi permukaan air tidak dianalisis secara statistik.

Tabel 3. Rata-rata emisi CO2 (g CO2/m2/jam), tinggi permukaan air (m) dan pH gambut (pH H2O)

pada 4 tipe penggunaan lahan gambut di Kalimantan Barat periode pengukuran tahun 2006 dan 2007.

Tipe Penggunaan

Lahan

Emisi CO2 (g CO2/m2/jam

Tinggi Permukaan Air

(m) pH (pH H2O)

2006 2007 2006 2007 2006 2007 Jagung Lidah buaya Kelapa sawit Karet

0,31 c 0,66 b 0,82 b 1,20 a

0,39 b 0,72 b 1,15 a 1,18 b

0,24 0,54 0,52 0,87

0,19 0,54 0,76 0,69

3,10 3,38 3,44 3,10

3,20 b 3,42 a 3,52 a 3,54 a

Keterangan: Rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan

uji LSD 0.05 Rata-rata yang dicetak miring menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Fα=0.05 Tinggi permukaan air tidak dianalisis secara statistik.

Ada hubungan yang linier antara tinggi permukaan air tanah dengan besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh 4 tipe penggunaan lahan gambut di Kalimantan Tengah pada periode pengukuran 2005, 2006 dan 2007, seperti disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Korelasi antara emisi CO2 dengan tinggi permukaan air tanah pada lahan gambut Kalteng, periode pengukuran tahun 2005, 2006 dan 2007.

Demikian juga hasil pengukuran dari lahan gambut Kalbar tahun 2006 dan 2007 memperlihatkan adanya pola yang sama, dimana terdapat hubungan yang linier antara tinggi permukaan air tanah dengan besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh 4 tipe penggunaan lahan gambut (Gambar 2).

Gambar 2. Korelasi antara emisi CO2 dengan tinggi permukaan air tanah pada lahan gambut Kalbar, periode pengukuran tahun 2006 dan 2007.

Rumbang. Emisi karbon dioksida 99

Gambar 3 menunjukkan bahwa ada hubungan yang linier antara rata-rata pH gambut dengan emisi CO2 yang dilepas dari berbagai tipe penggunaan lahan gambut di Kalteng, baik pada periode pengukuran tahun 2005, 2006 dan 2007.

Gambar 3. Korelasi antara emisi CO2 dengan pH gambut (pH H2O) pada lahan gambut Kalteng, periode pengukuran tahun 2005, 2006 dan 2007.

Hubungan yang linier juga terjadi antara rata-rata pH gambut dengan emisi CO2 yang dilepas dari berbagai tipe penggunaan lahan di Kalbar pada periode pengukuran 2006 dan 2007, seperti disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Korelasi antara emisi CO2 dengan pH gambut (pH H2O) pada lahan gambut Kalbar, periode pengukuran tahun 2006 dan 2007.

Pola besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh 4 tipe penggunaan lahan gambut di Kalimantan Tengah pada saat pengukuran yakni periode pengukuran 2005, 2006 dan 2007 disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Pola pelepasan emisi CO2 dari 4 tipe lahan gambut Kalteng, periode pengukuran tahun 2005, 2006 dan 2007.

Sedangkan Gambar 6 menunjukkan besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh 4 tipe penggunaan lahan gambut di Kalimantan Barat pada saat pengukuran yakni periode pengukuran 2006 dan 2007.

Gambar 6. Pola pelepasan emisi CO2 dari 4 tipe lahan gambut di Kalbar, periode pengukuran tahun 2006 dan 2007

Rata-rata emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut di Kalbar berkisar antara 0,35-1,19 CO2/m2/jam, lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CO2 dari lahan gambut Kalimantan Tengah yang hanya berkisar antara 0,35-0,67 g CO2/m2/jam. Pada tipe penggunaan lahan yang sama (lahan ditanam dengan tanaman semusim), rata-rata emisi CO2 yang dilepas oleh 4 tipe lahan gambut Kalteng berkisar 0,35 – 0,67 g CO2/m2/jam, tidak jauh berbeda dengan rata-rata emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut di Kalbar yang 0,35 – 0, 69 g CO2/m2/jam. Pada lahan gambut di Kalbar, emisi CO2 yang dilepas oleh lahan karet dan kelapa sawit (kelompok tanaman tahunan) lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata emisi CO2 yang dilepas oleh lahan jagung dan lidah buaya.

100 Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 2 (2009) p: 95-102

Tingginya emisi CO2 yang dilepas oleh lahan karet dan lahan kelapa sawit disebabkan karena perbedaan tinggi permukaan air tanah, dimana permukaan air tanah tanaman karet dan tanaman kelapa sawit jauh lebih rendah dibandingkan tanaman jagung dan lidah buaya. Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa ada hubungan linier antara emisi CO2 yang dilepas dengan tinggi permukaan air tanah dari berbagai tipe penggunaan lahan gambut di Kalteng dan Kalbar pada semua periode pengukuran kecuali pada periode pengukuran 2007 di Kalteng. Semakin jauh air tanah turun permukaan tanah maka emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut semakin besar. Perubahan kondisi anaerob menjadi aerob akibat menurunnya permukaan air tanah memicu meningkatnya emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Jauhiainen et al. (2001), dimana laju emisi CO2 pada hutan yang tidak tergenang berkisar 0,486-0,610 g CO2/m2/jam, sementara pada kondisi hutan yang tergenang laju emisi CO2 berkisar 0,236-605 g CO2/m2/jam. Menurut Vasander et al. 2007 bahwa salah satu faktor yang mengontrol emisi CO2 adalah tinggi permukaan air.

Rata-rata tinggi permukaan air untuk tanaman kelapa sawit 0,64 m, karet 0,78 m, lidah buaya 0,54 m dan jagung 0,22 m. Rata-rata tinggi permukaan air tersebut berada pada kisaran tinggi permukaan air optimum seperti yang dilaporkan oleh Ritzema dan Jaya (2007) bahwa tanaman mempunyai kisaran optimum tinggi permukaan air yang berbeda, dimana tinggi permukan air untuk kelapa sawit berkisar 0,60-0,75 m, karet 0,75-1,0 m, dan tanaman hortikultura 0,3-0,6 m.

Ada hubungan yang linier antara pH gambut dengan emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut. Hal ini terjadi baik pada lahan gambut Kalteng maupun lahan gambut Kalbar pada semua periode pengukuran (Gambar 3 dan 4). Semakin meningkat pH gambut maka emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut juga semakin meningkat. Peningkatan pH gambut berkaitan dengan lamanya lahan dikelola untuk lahan pertanian, pemberian amelioran dan pemupukan serta tingginya permukaan air tanah. Semakin lama lahan dikelola untuk lahan pertanian maka semakin banyak amelioran dan pupuk yang sudah diberikan ke dalam tanah sehingga pH gambut semakin meningkat, karena tanpa adanya amelioran dan pemberian pupuk maka tanaman yang ditanam pada lahan gambut tidak mampu tumbuh dan menghasilkan.

Pada lahan karet di Kalbar, dimana pH gambut cukup tinggi walaupun tanpa adanya pemberian amelioran dan pemupukan, namun drainase sangat bagus, sehingga tinggi permukaan air tanah lebih turun dibandingkan lahan kelapa sawit, lidah buaya dan jagung. Adanya perbedaan pH gambut dari berbagai tipe penggunaan lahan baik yang di Kalteng maupun yang di Kalbar disebabkan karena perbedaan perlakuan yang dilakukan oleh petani atas dasar perbedaan jenis tanaman yang diusahakan. Menurut Vasander et al, 2007 bahwa selain tinggi permukaan air dan temperatur maka emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut dikontrol oleh pH gambut.

Jika dilihat dari pola pelepasan emisi CO2 pada 4 tipe lahan gambut di Kalteng relatif sama baik pada periode pengukuran tahun 2005, 2006 maupun 2007. Terlihat pada Gambar 5 bahwa emisi CO2 dari semua tipe penggunaan lahan pada periode pengukuran 2006 meningkat dibandingkan periode pengukuran 2005, namun terjadi penurunan lagi pada periode pengukuran 2007. Gambar 6 menunjukkan pelepasan emisi CO2 dari lahan jagung, lidah buaya dan lahan karet pada periode pengukuran tahun 2007 hampir sama dengan pelepasan emisi CO2 periode pengukuran tahun 2006, kecuali pada lahan kelapa sawit, dimana terjadi peningkatan emisi yang cukup tinggi pada periode pengukuran tahun 2007.

Kesimpulan

1. Rata-rata emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut Kalimantan Barat berkisar antara 0,35-1,19 CO2/m2/jam, lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CO2 dari lahan gambut Kalimantan Tengah, yang hanya berkisar antara 0,35-0,67 g CO2/m2/jam.

2. Emisi CO2 yang dilepas dari lahan gambut yang dimanfaatkan untuk tanaman tahunan lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut yang dimanfaatkan untuk tanaman semusim.

3. Besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut dipengaruhi tinggi permukaan air tanah, pH gambut dan lamanya lahan gambut dikelola.

4. Untuk mengurangi besarnya emisi CO2 yang dilepas oleh lahan gambut maka

Rumbang. Emisi karbon dioksida 101

pengelolaan tinggi permukaan air tanah mutlak dilakukan.

Ucapan Terima Kasih

Kepada European Union (Prof. Dr. Jack Rieley), Strapeat Research Project (Prof. Dr. Bostang Radjagukguk, dan Keytrop Project (Prof. Dr. Harry Vasander dan Dr. Jyrki Jauhiainen, University of Helsinki, Finland). Kepada Dr. Jyrki Jauhianinen, terima kasih atas peminjaman EGM-4 dan konsultasi data.

Daftar Pustaka

IPPC-Intergovernmental Panel on Climate Change (2001) Climate Change 2001. The Scientific basis. Contribution of Working Group 1 to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Houghton, J.T., Ding, Y., Griggs, D.J., Noguer, M., van der linden, P.J., Xiaosu, D. Cambridge University Press Cambridge.

Inubushi, K., Y. Furakawa, A. Hadi, E. Purnomo, and H. Tsuruta (2003) Seasonal change of CO2, CH4 and N2O fluxes in relation to land-use change in tropical peatlands located in coastal area of South Kalimantan, Chemosphere. 52:603-608.

Jauhiainen, J., J. Heikkinen, P.J. Martikainen and H. Vasander (2001) CO2 and CH4 fluxes in pristine peat swamp forest and peatland converted to agriculture in Central Kalimantan. International Peat Journal 11. 43-49. International Peat Society.

Jauhiainen, J., H. Vasander, A. Jaya, T. Inoue, J. Heikkinen, and P. Martikainen (2004) Carbon balance in managed tropical peat in Central Kalimantan, Indonesia. Dalam: Päivänen, J. (ed.). Wise Use of Peatlands. Proceeding of the 12th International Peat Congress. Tampere, Finland. Publisher International Peat Society, Vapaudenkatu, Jyväskylä, Finland. 653-658.

Jauhiainen, J., S. Limin, H. Silvennoinen, and H. Vasander (2008) Carbon dioxide and methane fluxes in drained tropical peat before and after hydrological restoration: Ecology, 89(12):3503-3514.

Melling, L. (2005) Greenhouse gas fluxes from tropical peatland of Sarawak, Malaysia. Ph.D Thesis. Soil Science Laboratory. Division of Environmental Resources.

Graduate School of Agriculture. Hokkaido University. Japan. 2005.

Page, S.E., C.J. Banks, J.O. Rieley, and R. Wűst (2008) Extent, significance and vulnerability of the tropical peatland carbon pool: past, present and future prospects. Dalam: C. Farrel., and J. Feehan (eds.). After Wise Use-The Future of Peatlands. Proceeding of the 13th International Peat Congress. Tullamore, Ireland. 1:233-236.

Pirkko, S., and T. Nyronen (1990) The carbon dioxide emissions and peat production. International Conference on Peat Production and Use. Jiväskylä. Finland. 1:150-157.

Radjagukguk, B. (1997) Peat soil of Indonesia: location, classification and problems for sustainability. In: J.O. Rieley and S.E. Page, Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Proceeding of the International Symposium and Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands. Palangkaraya, Indonesia, 4-8 September 1995. Samara Publishing Limited, Cardigan, UK, 45-54.

Rieley, J.O., S.E. Page, and B. Setiadi. (1996) Distribution of peatlands in Indonesia. Dalam: E. Lappalainen (ed.). Global Peat Resources. Publisher International Peat Society, Jyskä, Finland. 169-178.

Rieley, J.O., R.A.J. Wüst, J. Jauhiainen, S.E. Page, H. Wösten, A.Hoijer, F. Siegert, S. Limin, H. Vasander, and M. Stahlhut (2008) Tropical peatlands: carbon store, carbon gas emissions and contribution to climate change processes. Dalam: M. Strack (ed.), Peatlands and Climate Change. Publisher International Peat Society, Vapaudenkatu, Jyväskilä, Finland. 149-181.

Ritzema, H. and Adi Jaya (2007) Water management for sustainable wise use of tropical peatlands. In:J.O. Rieley, Limin, S.H. and Jaya, A. Restoration and Wise use of Tropical Peatland: Problem of Biodiversity, Fire, Poverty and Water Management. Proceeding of International Symposium and Workshop on Tropical peatland. Palangkaraya, 20-24 September 2005. EU RESTORPEAT Partnership, University of Palangka Raya, Indonesia and Wageningen University and Research Institute, The Netherlands. 41-51.

Vasander, H., S. Limin and J. Jauhiainen (2007) Carbon storage in tropical peatland

102 Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 2 (2009) p: 95-102

and losses resulting from fire and land use change. In:J.O. Rieley, Limin, S.H. and Jaya, A. Restoration and Wise use of Tropical Peatland: Problem of Biodiversity, Fire, Poverty and Water Management. Proceeding of International Symposium and Workshop on Tropical Peatland. Palangka Raya, 20-24 September 2005. EU RESTORPEAT Partnership, University of

Palangka Raya, Indonesia and Wageningen University and Research Institute, The Netherlands. 52-59.

Verwer, C., P. van der Meer, G-J. Nabuurs (2008) Review of carbon flux estimates and other greenhouse gas emissions from oil palm cultivation on tropical peatlands-Identifying the gaps in knowledge. Alterra-rapport 1731. Alterra, Wageningen. 44.