analisa kebijakan pengurangan emisi co2

21
analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 ANALISA KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI CO2 Tugas Pengantar Ilmu Lingkungan (PIL) TPB-14 SELPHA YULIDA 2409 100 008

Upload: selphay

Post on 01-Jul-2015

349 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan pengurangan emisi co2 analisa kebijakan

ANALISA KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI CO2

Tugas Pengantar Ilmu Lingkungan (PIL)

TPB-14

SELPHA YULIDA 2409 100 008

Page 2: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

ANALISA KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI CO2

PENDAHULUAN

Pencemaran udara saat ini sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan.

Isu ini menjadi hangat dibicarakan mengingat pengaruh buruknya terhadap lingkungan

hidup secara luas, termasuk manusia di dalamnya. Banyak sekali efek yang terjadi

akibat pencemaran udara ini. Diantaranya ada deposisi asam, kabut asap,

pemanasan global dan deplesi ozon di Stratosfer.

Deposisi asam adalah turunnya pH air hujan akibat tercemarnya air hujan

dengan asam – asam kuat. Istilah ini digaungkan pada tahun 1872 oleh Robert Angus

Smith. Akibat besar yang terjadi akibat hujan asam ini adalah efek yang terjadi pada

pH air permukaan. pH air akan turun sehingga meningkatkan konsentrasi ion Al

sehingga mengakibatkan menurunnya organism akuatik, dan dapat mengurangi

keanekaragaman hayati. Efisiensi energy menjadi hal yang penting dilakukan untuk

mengurangi hujan asam. Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil harus diganti

penggunaannya. Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm yang dilaksanakan oleh

PBB pada tahun 1972 juga menghasilkan penetapan baku mutu emisi serta kajian

tentang hujan asam ini.

Fenomena yang paling krusial adalah deplesi ozon di Stratosfer. Pengurangan

kadar ozon Stratosfer oleh reaksi kimiawi yang terjadi akibat adanya zat-zat yang

sebagian besar berasal dari aktivitas manusia sehingga menyebabkan menipisnya

lapisan ozon. Dampak dari hal ini berpangkal pada meningkatnya radiasi sinar

ultraviolet-B (panjang gelombang 280 – 320 nm) ke bumi karena berkurangnya lapisan

ozon yang menyaringnya di Stratosfer. Dan dampak yang dihasilkan adalah:

Meningkatnya kasus kanker kulit melanoma

Meningkatnya kasus katarak, kanker mata dan kerusakan mata

Menurunkan daya kekebalan tubuh manusia sehingga mudah sakit

Menurunkan laju pertumbuhan daun dan batang pada tumbuhan

Merusak bahan plastic dan polimer

Efek lain adalah terjadinya Efek Rumah Kaca. Pada prinsipnya, gas C02 sangat

bermanfaat dalam menopang kehidupan bumi. Di atmosfer, keberadaan gas CO2

merupakan bahan fotosintesis tumbuhan hijau dan sifat rumah kacanya menjaga

kesetimbangan suhu bumi. Banyak proses industri dalam ruang tertutup menggunakan

gas CO2. Konsentrasi yang semakin meningkat di atmosfer menyebabkan

kekhawatiran akan pemanasan global yang semakin tinggi. Dalam proses

Page 3: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

pembentukan CO2, banyak senyawa lain yang ikut dihasilkan dan perubahan fisik yang

terjadi. Senyawa selain CO2 dan perubahan fisik inilah sebenarnya yang berpotensi

lebih berbahaya dibandingkan dengan CO2-nya sendiri.

Pemanasan global yakni meningkatnya kadar gas karbon dioksida (CO2) di

atmosfer yang merupakan masalah lingkungan dunia yang saat ini marak dibicarakan.

Pemanasan global menyebabkan udara yang terik akibat meningkatnya suhu bumi

yang pada akhirnya berdampak pada perubahan iklim global. Perubahan iklim global

ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan dunia.

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya

keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan tersebut dipengaruhi

antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbondioksida (CO2), metana

(CH4) dan nitrous oksida (N2O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK).

Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan

keseimbangan ekosistem

BERBAGAI UPAYA YANG DILAKUKAN

INTERNASIONAL

1. KONVENSI WINA

Konvensi Wina (22Maret1985) : komitmen para pihak (parties) untuk melindungi

kesehatan manusia dan lingkungan dari pengaruh penipisan lapisan ozon dan

bagaimana negara-negara harus bekerjasama dalam penelitian, pengamatan kondisi

ozon dan pertukaran informasi.

2. KTT BUMI

Sesungguhnya, sejak Konferensi Stockholm, polarisasi di antara kaum

developmentalist dan environmentalist  semakin menajam. Konferensi Tingkat Tinggi

(KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brazil, pada 1992, merupakan upaya

global untuk  mengkompromikan kepentingan pembangunan dan lingkungan.  Dalam

perjalanannya, komitmen global, yang mengikat (legally binding) maupun tidak (non-

legally binding),  belum terimplementasi pada tingkat yang menggembirakan.  Oleh

sebab itu – sepuluh tahun kemudian, penyelenggaraan KTT Pembangunan

Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) pada 2002 di

Johannesburg, Afrika Selatan, ditekankan pada plan of implementation, yang

Page 4: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

mengintegrasikan elemen ekonomi, ekologi, dan sosial yang didasarkan pada tata

penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).

Tonggak penting perhatian masyarakat dunia terhadap isu-isu kehutanan

terjadi pada  KTT Bumi. Pada konferensi ini untuk pertamakalinya dilahirkan

kesepakatan komprehensif bidang kehutanan, yaitu, dokumen Forest Principles (Non-

Legally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on

Management, Conservation and Sustainable Development of all Types of Forests).

Kendatipun bukan merupakan komitmen yang mengikat, dalam proses-proses

internasional bidang kehutanan, dokumen Forest Principles merupakan referensi

utama serta jiwa bagi kerjasama antar bangsa.

Kulminasi pengakuan isu kehutanan secara global termaknai dari lahirnya 

forum kehutanan tertinggi yang dibentuk oleh PBB pada 2000, yaitu United Nations

Forum on Forest (UNFF) yang berfungsi memfasilitasi dialog mengenai pengelolaan

hutan secara komprehensif di tingkat dunia dan implementasi hasil-hasil KTT Bumi. 

Sejak UNFF menjalankan fungsinya, isu-isu kehutanan global bergulir dengan sangat

cepat.  Sehingga, setiap negara dituntut untuk senantiasa siap menghadapi setiap

perubahan. Oleh sebab itu di masa sekarang lebih dikenal istilah the survival of the

fastest dan bukan the survival of the fittest.  Bukan lagi siapa yang kuat, tetapi siapa

yang lebih cepat.

Keterlibatan Indonesia dalam dialog global yang membahas masalah 

kehutanan telah memposisikan sumberdaya hutan nasional sebagai global ownership,

sehingga memberikan positive-feedback bagi keberlanjutan pembangunan kehutanan

kita. Pengalaman dalam mengikuti proses internasional tersebut selanjutnya harus

diteruskan dengan penyusunan kebijakan pembangunan kehutanan yang senantiasa

ber-etika, yakni hutan tidak semata-mata untuk: kepentingan manusia (antroposentrik),

dikonsumsi dengan boros (konsumtif), dan obyek yang boleh dieksploitasi sesuai

dengan keinginan (deterministik). Dalam konteks pergaulan internasional, isu

kehutanan global yang disarikan dalam tulisan ini merupakan isu-isu kunci yang perlu

diikuti perkembangannya karena memberikan implikasi terhadap kebijakan

pembangunan kehutanan nasional.

3. UNITED NATION FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE

CHANGE (UNFCCC)

Pembentukan United Nation Framework Convention on Climate Change

(UNFCCC) diawali dari pertemuan KTT Bumi (Earth Summit) pada tanggal 3 – 14 Juni

Page 5: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

1992 di Rio de Jeneiro, Brazil yang dihadiri oleh perwakilan 172 negara. Konferensi

tersebut dihadiri tidak kurang dari 35.000 peserta yang terdiri dari kepala negara,

peneliti, LSM, wartawan, akademisi, dan pihak terkait lainnya. Adapun isu utama yang

didiskusikan yaitu isu lingkungan, termasuk di dalamnya pemanasan global, kerusakan

hutan dan spesies langka, serta pengembangan industri yang ramah lingkungan. Salah

satu hasil konferensi (disamping Agenda 21, CBD, dan rencana lainnya) yang

fenomenal adalah dirumuskannya kerangka kerja internasional mengenai perubahan

iklim atau lebih dikenal dengan United Nation Framework Convention on Climate

Change (UNFCCC). Setelah Konvensi Kerangka Kerjasama Persatuan Bangsa-

Bangsa mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on

Climate Change – UNFCCC) disetujui pada KTT Bumi (Earth Summit) tahun 1992 di

Rio de Janeiro, Brazil, negara-negara peserta konvensi mulai melakukan negosiasi-

negosiasi untuk membentuk suatu aturan yang lebih detil dalam mengurangi emisi gas

rumah kaca.

UNFCCC memiliki tujuan yaitu untuk meningkatkan kerjasama secara

berkesinambungan dengan mengadakan konferensi-konferensi yang dibuat melalui

pertemuan atau forum-forum bilateral, regional dan multilateral seperti G8, G20, dan

MEF (Major Economic Forum), dan juga dengan sejumlah organisasi LSM tingkat

internasional, perwakilan-perwakilan antar negara dan organisasi kemasyaraktan

dalam upaya mengatasi perubahan iklim.

Komitmen di bawah UNFCCC :

Kerangka kerja umum - UNFCCC membuat kerangka kerja keseluruhan dalam upaya

memenuhi tantangan perubahan iklim. Pada dasarnya target dari konvensi adalah

menstabilkan konsentrasi GRK pada level yang dapat menghindari kerusakan pada

sistem iklim. Konvensi mempunyai anggota mendekati jumlah negara di dunia pada

Juni 2007, yaitu 191 negara yang meratifikasi emisinya. Negara-negara ini kemudian

menjadi anggota dari Konvensi.

Pelaporan Emisi - Seluruh anggota dari Konvensi setuju berkomitmen pada point-

point perihal perubahan iklim. Seluruh anggota harus membuat dan secara periode

memberikan laporan khusus yang disebut dengan National Communication (NC). NC

ini harus berisi informasi emisi GRK masing-masing dan menjelaskan langkah-langkah

yang telah dilakukan untuk menerapkan komitmen dari Konvensi.

Program Nasional - Konvensi mengharuskan seluruh anggotanya menerapkan

program secara nasional dan langkah-langkah dalam mengkontrol emisi GRK dan

mengatasi pengaruh dari perubahan iklim. Anggota juga harus setuju untuk mendorong

Page 6: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

pengembangan dan penggunaan teknologi ramah-iklim, mendorong pendidikan dan

kesadaran publik pada perubahan iklim serta dampaknya, manajemen berkelanjutan

pada sektor kehutanan dan ekositemnya yang dapat menyerap CO2 di atmosfer, dan

bekerjasama antara seluruh anggotan dalam masalah ini.

Komitmen negara-negara industri – Negara – negara industri, yang disebut sebagai

anggota Annex I mempunyai komitmen-komitmen tambahan. Seluruh anggotanya

setuju untuk membuat kebijakan dan langkah-langkah untuk mencapai tujuan

mengembalikan emisi GRK mereka ke kondisi pada tahun 1990 pada tahun 2000.

Anggota Annex I juga harus memberikan NC secara berkala dan memberikan laporan

tahunan terpisah mengenai emisi GRK mereka.

Penggunaan teknologi bersama – Negara-negara maju (disebut sebagai Annex II)

juga harus mendorong dan menfasilitasi transfer teknologi yang ramah iklim kepada

negara-negara berkembang dan negara yang mengalami transisi ekonomi. Mereka

juga harus memberikan pendanaan untuk membantu negara-negara berkembang

menerapkan komitmen mereka melalu Global Environment Facility yang melayani

mekanisme pendanaan dan kerjasama biateral maupun multilateral.

4. Protokol Montreal

Protokol Montreal (lengkapnya: Protokol Montreal atas Zat-Zat yang

mengurangi Lapisan Ozon) adalah sebuah traktat internasional yang dirancang untuk

melindungi lapisan ozon dengan meniadakan produksi sejumlah zat yang diyakini

bertanggung jawab atas berkurangnya lapisan ozon. Traktat ini terbuka untuk

ditandatangani pada 16 September 1987 dan berlaku sejak 1 Januari 1989. Sejak itu,

traktat ini telah mengalami lima kali revisi yaitu pada 1990 di London, 1992 di

Kopenhagen, 1995 di Vienna, 1997 di Montreal dan 1999 di Beijing. Dikarenakan

tingkat penerapan dan implementasinya yang luas, traktat ini dianggap sebagai contoh

kesuksesan kerjasama internasional. Kofi Annan pernah menyebutnya sebagai

"Kemungkinan merupakan persetujuan internasional tersukses sampai hari ini..".

Traktat ini difokuskan pada beberapa kelompok senyawa hidrokarbon halogen

yang diyakini memainkan peranan penting dalam pengikisan lapisan ozon. Semua zat

tersebut memiliki klorin atau bromin (zat yang hanya memiliki fluorin saja tidak

berbahaya bagi lapisan ozon).

Page 7: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

5. Protokol Kyoto

Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja

PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai

pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk

mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau

bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah

emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.

Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata

cuaca global antara 0,02 °C dan 0,28 °C pada tahun 2050. (sumber: Nature, Oktober

2003). Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations

Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi

Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Ia dinegosiasikan di Kyoto pada

Desember 1997, dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup

pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah

ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.

Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB:

"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian

akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2%

dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika

dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target

ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata

emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur

heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima

tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa,

7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan

sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia."

Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang

Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro

pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi

Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi

pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang.

Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang

disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC.

Page 8: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

6. WORKSHOP “BENTUK KAWASAN PERMUKIMAN PERKOTAAN RENDAH

EMISI CO2”

(1). Singapura

Upaya untuk mengurangi emisi CO2:

Konsep Garden City berubah menjadi Konsep City in the Garden

Dilaksanakannya program penurunan emisi CO2 oleh pemerintah, dan diharapkan

terjadi efisiensi emisi CO2 menjadi 15%.

Penanaman roof garden

Pembangunan gedung-gedung yang menerapkan prinsip efisiensi energi

(2). Malaysia (Johor Baru)

Kontribusi terbesar penghasil CO2 adalah dari sektor industri, yaitu 70.5 juta ton/th

Upaya yang dilakukan untuk mengurangi emisi CO2, antara lain:

- Penanaman hutan konservasi; luas hutan konservasi pada tahun 1990 seluas

12,74 juta ha dan terjadi penambahan luas pada tahun 2003 seluas 14,39 juta

ha.

- Pemerintah memberlakukan sanksi yang berat bagi penebang pohon di tempat,

yaitu berupa denda sebesar 150 RM untuk setiap pohonnya, dan 250000 RM

untuk yang membakar sampah di area terbuka.

NASIONAL

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina, Protokol Montreal dan

Amandemen London melalui ketetapan Keppres No. 23 Tahun 1992. Pelaksanaan

program perlindungan lapisan ozon di Indonesia difasilitasi oleh Kementerian

Lingkungan Hidup sebagai instansi yang bertanggung jawab terhadap pelestarian

lingkungan. Dalam mendukung pelaksanaan program perlindungan lapisan ozon,

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan perangkat hukum yang mengatur

perdagangan dan penggunaan Bahan Perusak Ozon (BPO). Sampai tahun 2002,

perangkat hukum yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia adalah sebagai

berikut :

Keputusan Presiden RI No. 23 Tahun 1992.

Ratifikasi KonvensiWina, Protokol Montreal dan Amandemen London

Page 9: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

Keputusan Presiden RI No. 92 Tahun 1998, tentang pengesahan Montreal

Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer, Copenhagen 1992 Protocol

Montreal tentang zat-zat yang merusak lapisan ozon, Copenhagen 1992.

Peraturan Pemerintah RI, No. 74 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Bahan

Berbahaya dan Beracun.

Pengelolaan B3 adalah kegiatan yang menghasilkan, mengangkut,

mengedarkan, menyimpan, menggunakandan atau membuangB3

Bahan perusak ozon (ozon)merupakan salah satu B3 dengan klasifikasi

berbahaya bagi lingkungan

BPO tercantum dalam daftar B3 pada tabel 1 (yang dipergunakan) dan tabel 2

(yang terbatas dipergunakan)

Pokok-pokok ketentuan:

Kewajiban registrasi BPO bagi penghasil / pengimpor kepada instansi yang

bertanggung jawab.

Kewajiban notifikasi bagi impor B3 yang terbatas dipergunakan

Kewajiban pemberian simbol dan label B3 pada kemasan dan tempat

penyimpanan B3

Pengawasan B3

Kewajiban penyampaian laporan tertulis tentang pengelolaan B3 oleh setiap

orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.

110/MPP/Kep/1/1998, tentang larangan memproduksi dan memperdagangkan

bahan perusak lapisan ozon serta memproduksi dan memperdagangkan bahan

perusak lapisan ozon (Ozone Depleting Substances).

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.

111/MPP/Kep/1/1998, tentang perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan RI No. 230/MPP/Kep/7/97, tentang barang yang diatur Tata Niaga

Impornya.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.

410/MPP/Kep/9/1998, tentang perubahan Kepmen Perindustrian dan

Perdagangan RI No. 111/MPP/Kep/1/1998, tentang perubahan Kepmen dan

Perdagangan RI No. 230/MPP/Kep/7/97, tentang barang yang diatur Tata Niaga

Impornya.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.

411/MPP/Kep/9/1998, tentang tentang perubahan Kepmen Perindustrian dan

Page 10: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

Perdagangan RI No. 111/MPP/Kep/1/1998, tentang perubahan Kepmen dan

Perdagangan RI No. 230/MPP/Kep/7/97, tentang barang yang diatur Tata Niaga

Impornya.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.

789/MPP/Kep/12/2002, tentang perubahan Kepmen Perindustrian dan

Perdagangan RI No. 111/MPP/Kep/1/1998, tentang perubahan Keputusan Menteri

Perindustrian dan Perdagangan RI No. 230/MPP/Kep/7/97, tentang barang yang

diatur Tata Niaga Impornya sebagaimana telah diubah dengan Kepmen

Perindustrian dan Perdagangan RI No. 411/MPP/Kep/9/1998.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.

790/MPP/Kep/12/2002, tentang perubahan Kepmen perubahan Keputusan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 110/MPP/Kep/1/1998 tentang

tentang larangan memproduksi dan memperdagangkan bahan perusak lapisan

ozon serta memproduksi dan memperdagangkan bahan perusak lapisan ozon

(Ozone Depleting Substances) sebagaimana telah diubah dengan Kepmen

Perindustrian dan Perdagangan RI No. 410/MPP/Kep/9/1998.

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 376/Menkes/PER/VIII/1990, tentang

bahan, zat warna, zat pengawet dan tabir surya pada kosmetika.

UU 32 Tahun 2009

Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

a. Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim

b. Upaya perlindungan lapisan ozon, dan

c. Upaya perlindungan terhadap hujan asam

Peraturan Menteri Perdagangan No.24/M-Dag/Per/06/2006

Tentang Ketentuan Impor BPO

1.Larangan impor BPO jenis:

o Carbon Tetraklorida

o Methyl Chloroform

o Halon

o CFC (termasuk R-500 dan R-502)

o MBr

2.Pengaturan impor HCFC

o Impor Hanya boleh dilakukan oleh Importir Terdaftar dan/atau Importir

Produsen

Page 11: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

o Pengakuan IT / Penunjukan IP diberikan Departemen Perdagangan atas

rekomendasi instansi terkait, termasuk KLH

3.Pembatasan pintu masuk BPO:

o Belawan, Merak, Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, Sukarno

Hatta (Makasar)

Peraturan Mendag No.51/M-Dag/Per/12/2007

Metil Bromida (No.HS2903.39.00.00 dan No.CAS74-83-9) hanya dapat diimpor

untuk keperluan fumigasi dalam rangka perlakuan karantina dan

prapengapalan

Definisi:

o Perlakuan karantina dengan metilbromida adalah perlakuan untuk

mencegah masuk, menetap dan atau menyebarnya hama karantina

(Quarantine Pests) yang dilakukan oleh instansi yang berwenang atau

pihak yang ditunjuk.

o Perlakuan pra pengapalan dengan metil bromida adalah tindakan fumigasi

untuk produk yang diekspor yang dilaksanakan dalam jangka waktu paling

lama 1hari sebelum diekspor untuk memenuhi ketentuan dan atau

pemintaan resmi dari negara pengimpor.

Peraturan Menteri Perindustrian No.33/M-Ind/Per/4/2007

Larangan memproduksi BPO

Dilarang menggunakan BPO yang telah dihentikan impornya pada produksi:

o Air Conditioning yang digunakan dalam ruangan dan kendaraan bermotor,

o lemari es rumah tangga,

o pemadam api

o Foam

o Mesin pendingin

o Aerosol

Mulai 1 Juli 2008, BPO hanya boleh untuk kegiatan pemeliharaan dan

perawatan (servicing)

CFC dan Halon yang didaur ulang boleh dipergunakan untuk pemeliharaan

barang yang sistem kerjanya menggunakan CFC atau Halon

Barang baru yang menggunakan bahan non-BPO wajib menggunakan logo

o Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 86/M-IND/PER/11/2008

Page 12: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

Peraturan Menteri Negara LH No.02 tahun 2007

Tentang Pedoman Teknis dan Persyaratan Kompetensi Pelakanaan Retrofit

dan Recycle pada Sistem Refrigerasi

o Teknisi yang akan melakukan retrofit dan recycle wajib memiliki sertifikat

kompetensi

o Bengkel yang mempunyai teknisi bersertifikat wajib registrasi ke KLH

o Sertifikat Kompetensi diperoleh setelah mengikuti Uji Kompetensi

o Lembaga Pelatihan harus memenuhi persyaratan mutu

Peraturan MENLH No. 35/2009 Tentang Pengelolaan Halon

Ruang lingkup pengaturan:

o Pengelolaan Halon

Pemilik Halon wajib melaporkan Halon yang dimilikinya kepada BLHD

setempat -KLH

o Penggunaan Kritis

Penggunaan kritis Halon harus mendapat ijin dari Menteri LH

o Bahan Alternatif Pengganti Halon

Hal lain yang diatur:

o Pembinaan dan pengawasan

Pengawasan Halon dilakukan oleh BLHD bersama-sama dengan instansi

Pemadam Kebakaran

Jadwal penghentian impor BPO (Bahan Perusak Ozon) yang berlaku di Indonesia

sebagai berikut:

Kepedulian masyarakat terhadap perlindungan lapisan ozon dapat diwujudkan dengan

cara memilih produk yang tidak menggunakan BPO.

Page 13: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

MANFAAT BESAR PENGURANGAN EMISI GAS CO2

(Artikel)

Pada prinsipnya, gas C02 sangat bermanfaat dalam menopang kehidupan

bumi. Di atmosfer, keberadaan gas CO2 merupakan bahan fotosintesis tumbuhan hijau

dan sifat rumah kacanya menjaga kesetimbangan suhu bumi. Banyak proses industri

dalam ruang tertutup menggunakan gas CO2. Konsentrasi yang semakin meningkat di

atmosfer menyebabkan kekhawatiran akan pemanasan global yang semakin tinggi.

Dalam proses pembentukan CO2, banyak senyawa lain yang ikut dihasilkan dan

perubahan fisik yang terjadi. Senyawa selain CO2 dan perubahan fisik inilah

sebenarnya yang berpotensi lebih berbahaya dibandingkan dengan C02-nya sendiri.

Senyawa dan perubahan fisik apa saja yang menyertai pelepasan CO2 ke

atmosfer tergantung pada sumber dan prosesnya. Untuk mengetahui hal itu harus

dikaji setiap sumber atau aktivitas yang menghasilkan CO2. Sumber utama CO2

adalah pembakaran bahan bakar fosil yang menyumbang sekitar 74 persen dari emisi

total. Sumber CO2 kedua adalah deforestasi, baik melalui proses pembusukan

maupun pembakaran menyumbang 23 persen. Sisanya, kurang dari 4 persen berasal

dari industri, terutama industri semen, oksidasi CO di troposfer, dan proses alamiah

lainnya.

Proses pembakaran bahan bakar fosil dan pembakaran biomasa hutan hampir

sama. Unsur utama bahan bakar, baik bahan bakar fosil maupun biomasa adalah

karbon. Ketika terbakar sempurna, unsur karbon tersebut menjadi CO2. Besarnya

tingkat kesempurnaan pembakaran biasa disebut combustion efficiency (efisiensi

pembakaran). Pada intinya, combustion efficiency meningkat jika pasokan oksigen

selama proses pembakaran berlangsung tercukupi.Combustion efficiency bahan bakar

fase gas paling tinggi, dan fasepadat paling rendah. Efisiensi pembakaran bahan bakar

gas rata-rata 99.5 persen, bahan bakar minyak paling tinggi 99 persen jika kondisi

pembakaran bagus. Batu bara dan biomasa dalam kondisi kering paling tinggi 98

persen, jika kayu dalam kondisi basah atau tidak ada aliran udara ke dalam sistem

pembakaran yang memadai maka koefisien pembakaran hanya 85 persen.

Unsur karbon yang terbakar tidak sempurna terbentuk menjadi senyawa gas

monoksida (CO), hidrokarbon (HC), terutama metan (CH4), dan partikulat (asap, abu,

jelaga). Gas CO2 adalah produk pembakaran yang paling kecil dampak-negatifnya

terhadap lingkungan. Gas CO2 hanya bersifat rumah kaca dengan nilai GWP sangat

kecil dibandingkan dengan CH4 yang merupakan produk lain dari pembakaran karbon.

Gas CO bersifat polutan yang membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan

Page 14: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

kematian, demikian juga hidrokarbon. Partikulat karbon merupakan polutan yang

berdampak buruk pada kesehatan mata dan pernapasan, terutama jika ukurannya

kurang dari 10 m karena partikulat berpotensi masuk ke sistem peredaran darah.

Di troposfer, hidrokarbon melalui rekasi yang rumit akan terbentuk menjadi CH4

dan CH4 menjadi CO dan selanjutnya menjadi CO2. Jadi untuk meminimalkan dampak

negatif di udara, karbon dalam bahan bakar terbakar menjadi CO2. Oleh karena itu,

diantara bahan bakar yang paling kecil dampak negatifnya terhadap lingkungan

atmosfer adalah bahan bakar gas. Semakin ke bentuk padat, semakin banyak unsur

karbon yang terbentuk menjadi selain CO2 yang jauh lebih berbahaya dibandingkan

dengan CO2.

Pengalihan penggunaan minyak tanah ke gas sangat baik untuk memperbaiki

lingkungan udara karena gas memiliki efisiensi pembakaran paling tinggi, hampir 100

persen, maka hanya sedikit sekali unsur karbon yang terbentuk menjadi CO ataupun

hidrokarbon dan partikulat. Gas juga tidak ada unsur sulfur yang akan membentuk

polutan SO2.

Akibat pembakaran bahan bakar, bukan hanya senyawa CO, hidrokarbon, dan

partikulat karbon saja yang menyertainya. Pada pembakaran bensin untuk kendaraan

bermotor ada partikulat timbal. Unsur sulfur dalam solar, batu bara, dan biota menjadi

sumber SO2 yang mengganggu sistem pernapasan dan iritasi mata, dan juga sistem

transportasi karena berkurang jarak pandang.

Panas yang tinggi pada proses pembakaran menjadi sumber NOx (NO dan

NO2). Unsur nitrogen dalam biomasa terbakar menjadi senyawa nitrogen yang

berbahaya juga seperti NOx, NH3, dan N2O. Bahan bakar solar, batu bara, dan

biomasa mengandung sulfur yang apabila dibakar membentuk senyawa SO2.Dampak

senyawa selain CO2 sangat kompleks dibandingkan dengan CO2. NOx dan karbon

monoksida (CO) merupakan precursor ozon (O3) di atmosfer bawah. Ozon pada

atmosfer bawah, selain bersifat polutan juga merupakan gas rumah kaca. SO2, NH3,

dan NOx berdampak pada pembentukan hujan asam.

Debu partikel selain menyebabkan iritasi mata dan gangguan penglihatan

karena berkurang jarak pandang, partikulat dengan ukuran kurang dari 10 m dapat

masuk ke dalam sistem pernapasan dan akhirnya ikut dalam peredaran darah.

Tentunya hal itu sangat berbahaya. Jika partikulat itu timbal yang masih ada dalam

bensin kita, maka akan menyebabkan gangguan ginjal dan menurunkan kecerdasan

anak. Bahkan timbal ini terakumulasi dalam darah sehingga anak yang dikandung atau

disusui oleh ibu yang tercemar timbal akan berisiko ber-IQ rendah.

Page 15: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

Deforestasi yang dituding menyumbang 23 persen emisi CO2, memiliki dampak

negatif lain yang seharusnya mendapat perhatian. Dampak pertama dari deforestasi

adalah berkurangnya keanekaragaman hayati, berkurangnya kesuburan tanah, siklus

hidrologi terganggu sehingga berdampak pada bencana banjir dan tanah longsor saat

musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau. Perubahan lahan akibat deforestasi

juga berdampak pada kenaikan suhu udara yang dikenal sebagai urban heat island.

Oleh karena itu, kegiatan reduksi emisi CO2 dalam tujuan menekan pemanasan global

mempunyai tujuan ekologis lain yang lebih besar nilainya. Kalau penanganan

pemanasan global hanya sekadar menekan CO2, sebenarnya masalah pemanasan

global bukan hanya CO2 saja yang menjadi penyebabnya tetapi senyawa lain yang

menyertai terbentuknya CO2, dan dampaknya sudah sangat terasakan dalam merusak

lingkungan serta mengganggu kesehatan. (Sumaryati, peneliti Pusat Pemanfaatan

Sains Atmosfer dan Iklim, Lapan Bandung.)

PENUTUP

Kembali lagi pada penyikapan kita sebagai Khalifah di muka bumi ini. Masalah

politik dan kajiannya terhadap lingkungan sudah diusahakan dan dikerjakan. Tinggal

masalah moral kita dalam bertindak. Penggunaan energy yang berlebihan dalam

kehidupan sehari – hari juga menjadi sumbangan terbesar kerusakan alam ini.

Penyikapan positif harus kita lakukan dari sekarang. Karena nantinya alam ini akan kita

wariskan pada anak cucu kita. Apakah kita mau mewariskan alam yang

memprihatinkan ini kepada anak cucu kita kelak? Tentu saja tidak. Keberlangsungan

ekosistem dan populasi makhlik hidup semuanya bergantung di tangan kita.

Permasalahan inilah yang belum ada bentuk tertulisnya, namun harus dituliskan dalam

hati untuk kemudian dilakukan secara berkesinambungan dan konsisten.

Page 16: Analisa Kebijakan Pengurangan Emisi CO2

15

SUMBER

Text Book Pengantar Ilmu Lingkungan

Konvensi Wina

http://bplhd.jakarta.go.id/filing/1&2%20DKI%20Jakarta_%20Kebijakan.pdf

KTT Bumi

http://www.dephut.go.id/Halaman/Buku-buku/2004/KLN/Milestone.htm

UNFCCC

http://aadrean.wordpress.com/2010/06/10/united-nation-framework-convention-on-

climate-change-unfccc/

Protokol Montreal

http://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Montreal

Protokol Kyoto

http://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto

Workshop “bentuk kawasan permukiman perkotaan rendah emisi co2”

http://sim.nilim.go.jp/GE/SEMI8/Record/Notulensi%20-%20syarif.doc

NASIONAL

http://alwaysbeon.wordpress.com/2009/05/25/program-perlindungan-lapisan-ozon-dan-

bahan-bahan-perusak-lapisan-ozon/

http://bplhd.jakarta.go.id/filing/1&2%20DKI%20Jakarta_%20Kebijakan.pdf

Artikel “Manfaat Besar Pengurangan Emisi Gas CO2

http://bataviase.co.id/node/101440