toleransi agama pada lembaga kesejahteraan sosial anak

33
Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Widhya Asih Badung di Tinjau Dalam Perspektif Paul F. Knitter TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si.Teol) Oleh : I Made Andika Adi Putra 712015020 FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2019

Upload: others

Post on 27-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

(LKSA) Widhya Asih Badung di Tinjau Dalam Perspektif Paul F.

Knitter

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi

Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sains Teologi

(S.Si.Teol)

Oleh :

I Made Andika Adi Putra

712015020

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2019

Page 2: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

i

Page 3: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

ii

Page 4: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

iii

Page 5: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

iv

Page 6: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

v

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur saya haturkan ke hadirat Tuhan atas segala penyertaannya

dalam hidup saya. Terkhusus karena Tuhan sudah memberikan kesempatan bagi

saya untuk menyelesaikan Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk mencapai

gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si. Teol). Saya menyadari bahwa

dalam pembuatan Tugas akhir ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan

serta arahan dari pihak-pihak lain. Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya

ingin menyampaikan ungkapan rassa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Pdt. Izak Y.M. Lattu, Ph.D dan Pdt. Gunawan Y. A. Suprabowo,

D.Th selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak waktu,

bantuan, arahan dan sabar dalam membimbing dalam proses pembuatan

Tugas Akhir.

2. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Teologi yang sudah memberikan ilmu

sebagai bekal bagi hidup saya.

3. Bapak Pdt. Agus Supratikno, M.Th selaku dosen wali studi yang

membantu saya dalam memenuhi administrasi selama perkuliahan.

4. Buat keluarga yang selama ini sudah mendukung saya, memberi semangat

serta doa, sehingga saya dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini. Terlebih

kepada kedua orang tua saya Bapak ( I Nyoman Sukarta) dan Ibu ( Ni Luh

Kusuma Wardani) , kakak saya Putu Yuliana Kusuma Dewi beserta semua

keluarga besar yang bersedia memberi waktu untuk selalu mengingatkan

saya dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.

5. Anak kos Kemiri Sari no 7a (Opung Squad), terkhusus Albert Gultom,

Julian dan Ardam yang selalu memberi dukungan, semangat dalam

pengerjaan Tugas Akhir ini.

6. Teman angkatan Teologi 2015 khusunya Bang Swanto Simamora,

Krisostemus Marpaung, Yuli Munthe, Yemiko Happy, Wahyu

Simanjuntak yang sudah menjadi teman baik saya selama berkuliah di

UKSW

7. Tehilla Voice yang sudah menjadi keluarga sekaligus wadah untuk belajar.

8. Kepada saudara-saudara yang mendukung penulisan tugas akhir ini

terkhusus : Pdt. Requel Nababan, Pdt. Rai Saul Suryadi, Pdt. Purnomo sidi

Page 7: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ------------------------------------------------------ i

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ------------------------------------------- ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ----------------------------------- iii

PERNYATAAN PUBLIKASI --------------------------------------------------- iv

KATA PENGANTAR ------------------------------------------------------------- v

DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------ vi

MOTTO ------------------------------------------------------------------------------ vii

ABSTRAK --------------------------------------------------------------------------- vii

PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------------ 1

LANDASAN TEORI

Dialog dan Teologi Agama-agama Secara Umum ------------------------- 4

Dialog Malam Model Mutualitas ------------------------------------------------ 10

TEOLOGI AGAMA-AGAMA DI LKSA WIDHYA ASIH BADUNG

Sejarah Yayasan Widhya Asih Bali ------------------------------------------- 12

Toleransi Agama di LKSA Widhya Asih Badung ------------------------- 14

Dialog di LKSA Widhya Asih Badung ------------------------------------- 16

ANALISA

Dialog dan Toleransi di Kalangan Anak-anak LKSA Widhya Asih Badung

Dalam Kerangka Teologi Agama-agama Paul F. Knitter ------------------------- 17

KESIMPULAN -------------------------------------------------------------------- 21

DAFTAR PUSTAKA -------------------------------------------------------------- 23

Page 8: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

vii

“Saat dihadapkan dengan tugas yang sulit, satu hal

yang harus kau lakukan SELESAIKAN!!”

-Albert Gultom-

Page 9: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

viii

ABSTRAK

Toleransi merupakan suatu hal yang sangat penting harus dipahami oleh

setiap orang terkhusus bagi anak-anak. Pendidikan toleransi harusnya tidak

mengenal batasan usia baik itu anak-anak atau orang dewasa. Pendidikan tolerasi

merupakan hal yang harus diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. hal ini

di karenakan anak-anak harus di persiapkan untuk menghadapi dunia yang

semakin plural ke depannya, agar mereka dapat menjalani hidupnya dengan baik.

Pendidikan toleransi juga harus didapatkan oleh anak-anak yang tinggal tidak

bersama dengan orang tuanya atau anak anak yang tinggal di Lembaga

Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA)

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa toleransi yang di ajarkan oleh

staf Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Widhya Asih Badung. Metode

apa yang dilakukan untuk mengajarkan toleransi diantara anak-anak yang ada di

LKSA. Penulis ingin melihat dan menganalisa bagaimana pendidikan toleransi

yang telah dilakukan oleh staf LKSA Widhya Asih Badung berdasarkan model

teologi agama-agama Paul F. Knitter. Metode penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif, karena menonjolkan pandangan yang bersifat subjektif,

dengan instrumen pengumpulan data melalui observasi dan wawancara mendalam

(in depth-interview). Melalui hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan

oleh penulis. Toleransi yang di ajarkan oleh LKSA Widhya Asih badung sudah

sangat baik sehingga bila di tinjau dari model teologi agama-agama Paul F.

Knitter model teologi agama-agama Knitter sudah dapat dilakukan di LKSA

Widhya Asih Badung.

Kata Kunci : Dialog , Toleransi, Teologi Agama-Agama.

Page 10: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

1

Pendahuluan

Bali adalah sebuah provinsi di Indonesia. Ibu kota provinsi ini adalah

Denpasar. Bali juga merupakan nama dari pulau utama di wilayah ini, Bali

memiliki luas wilayah 2.232 mi² menurut data pada tahun 2014 jumlah penduduk

di bali mencapai 4.225 juta orang1. Bali merupakan pulau yang sangat identik

dengan satu etnik dan satu agama, yakni etnik Bali yang identik dengan budaya

Bali dan agama Hindu. Kenyataannya tidaklah demikian, sejak masa lampau

Pulau Bali telah dihuni beberapa etnik dan agama berbeda. Selain masyarakat

Bali yang beragama Hindu, juga bermukim etniketnik lain seperti Etnik

Tionghoa yang menganut Agama Budha dan Kong Fu Tse (Konghuchu), Etnik

Bugis dan jawa yang beragama Islam, serta Etnik Eropa dan Bali beragama

Kristen (Katolik dan Protestan)2. Oleh karena itu kita tidak bisa mengambil suatu

kesimpulan bahwa Bali merupakan daerah yang identik dengan satu agama saja.

Sebab di Bali terdapat berbagai agama dan berbagai jenis etnik yang sudah ada

sejak lama yang keberadaannya patut di perhitungkan juga. Realitas plural

tersebut menjadi sebuah keunikan dan aset kebangsaan yang harus dijaga dan

dirawat bersama oleh setiap orang.3

Pluralitas agama dan etnik yang ada adalah realitas sosial yang ada dalam

kehidupan masyarakat. Agama-agama yang berbeda berjumpa dalam konteks

yang sama. Selanjutnya pluralitas dalam konteks kehidupan beragama tidak hanya

ditandai oleh kehadiran berbagai agama yang secara eksistensial memiliki tradisi

yang berbeda satu dengan yang lain, akan tetapi juga ditandai oleh pluralitas

penafsiran yang tidak hanya melahirkan berbagai aliran dan sekte keagamaan,

akan tetapi juga melahirkan perbedaan pandangan dan sikap.4

Oleh karena itu pengajaran tentang toleransi dan pluralisme merupakan hal

yang harus mulai diajarkan sejak dini kepada anak-anak, karena selama hidupnya

mereka akan berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya dengan berbagai

1 Gde Aryatha Soethama, Menitip Mayat di Bali, (Jakarta : Kompas, 2016), 2.

2 I Gusti Ayu Armini, toleransi masyarakat multi etnis dan multigama dalam organisasi

subak di , (Vol. 5 No. 1, Maret 2013), 39-53.

3 Nur achmad (ed). Pluralitas Agama; Kerukunan dalam Keragaman. (Jakarta: Kompas,

2001) 13.

4 Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 34.

Page 11: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

2

macam realitas manusia.5 Begitu juga bagi anak-anak yang tidak tinggal bersama

orang tua ( anak-anak Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak ) terkhusus lagi di

LKSA Widhya Asih Badung mereka juga akan mengahadapi hal yang sama.

Lembaga Kesejahteraan Sosal Anak Widhya Asih (LKSA) merupakan

lembaga yang berada di bawah departemen kesaksian dan pengembangan GKPB

yang bergerak di bidang kemasyarakatan. Lembaga kesejahteraan sosial anak atau

yang lebih dikenal dengan panti asuhan juga menjangkau anak-anak yang tidak

hanya berasal dari daerah Bali saja namun juga beberapa di antaranya anak-anak

yang berasal dari luar Bali, dengan latar belakang yang berbeda-beda juga.

Terkhusus di LKSA Widya Asih Badung yang berdiri sejak 15 juli 1981

yang sudah memiliki jumlah anak asuh sebanyak empat puluh tiga (43) orang

anak yang berasal dari latar belakang suku, agama yang berbeda-beda. Dari ke

empat puluh tiga anak yang di asuh di LKSA Widhya Asih Badung tersebut,

tercatat 23 orang anak yang beragama Kristen Protestan, 3 orang anak yang

beragama Katolik dan 17 orang anak yang beragama Hindu. Mereka semua di

asuh di LKSA Widya Asih Badung. Usia anak-anak yang di asuh di LKSA adalah

usia 0 – 17 tahun, anak-anak yang di asuh di LKSA juga bukan semua anak-anak

yang berasal dari Bali. Ada beberapa anak yang berasal dari luar pulau Bali.

Anak-anak yang tinggal di LKSA merupakan anak yang berasal dari latar

belakang keluarga yang berbeda-beda sehingga dalam proses pendidikanya pun

juga harus menggunakan metode yang berbeda-beda untuk mengajarkan

bagaimana cara bergaul dan menjaga kerukunan antara anak-anak yang ada di

LKSA Widhya Asih Badung6.

Berdasarkan permasalahan tersebut artikel ini akan membahas tentang

toleransi agama yanga da di LKSA Widhya Asih Badung dengan menggunakan

pemahaman Paul F. Knitter tentang model teologi agama-agama Dalam bukunya,

Pengantar Teologi Agama-Agama, Paul F. Knitter membagi teologi agama-agama

menjadi empat model-model yaitu: (1) Model Replacement, Penggantian, (2)

Model Fulfillment, Pemenuhan, (3) Model Mutuality, (4) Model Acceptance,

5 Martin Van Bruinessen, Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto Indonesia,

(Southeast Asia Research, No.2, 2002), 117.

6 Wawancara dengan staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya Asih

Badung) 18 maret 2019.

Page 12: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

3

Penerimaan.7 Berdasarkan latar belakang tersebut maka masalah pokok dalam

penelitan ini adalah: Bagaimana Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA)

Widhya Asih Badung Memahami toleransi agama dalam pendampingan terhadap

anak-anak LKSA ditinjau berdasarkan pendekatan model multualitas teologi

agama-agama Paul F. Knitter. Tujuan diadakannya penelitian ini adalah

mendeskripsikan Bagaimana Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA)

Widhya Asih Badung memahami toleransi agama dalam pendampingan terhadap

anak-anak LKSA ditinjau berdasarkan pendekatan model multualitas teologi

agama-agama Paul F.Knitter?

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah manusia atau segala sesuatu

yang dipengaruhi manusia, termasuk tindakan dan perkataan manusia secara

alamiah8. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang menggunakan cara

berpikir dari gejala umum ke gejala khusus9. Hal tersebut dapat dilakukan melalui

wawacara langsung dengan narasumber. Metode inilah sangat memungkinkan

peneliti untuk mengkaji suatu masalah/gejala dalam masyarakat dan dapat

melakukan proses sosialisasi langsung kepada masyarakat atau komunitas

tertentu, sehingga peneliti dapat mempermudah pengambilan data dan dapat

mudah memperoleh informasi di lapangan. Teknik pengumpulan datanya adalah

observasi, teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mengamati. Sebab

dengan teknik observasi secara langsung nantinya kita dapat memperhatikan

tingkah laku manusia yang beragam,10

sehingga penulis nantinya akan melakukan

observasi langsung ke LKSA Widhya Asih Badung. Selanjutnya tulisan ini akan

dibagi menjadi 5 Bagian, pertama sebagai pendahuluan berisi latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan tehnik

pengumpulan data, tempat penelitian, manfaat penelitian dan sistematika

penulisan, bagian ini merupakan bagian yang berisi latar belakang mengenal

7 Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, terj. Nico A. Likumahua

(Yogyakarta: Kanisius, 2008), 21.

8 J.D Engel. Metodologi Penelitian Sosial & Teologi Kristen ( Salatiga: Widya Sari,

2005), 21

9 David Samiyono. Pengantar kedalam Matakuliah Metode Penelitian Sosial ( UKSW,

Salatiga, 2004), 9.

10

Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2007), 31.

Page 13: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

4

permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan judul yang dipilih, yaitu

menyangkut bagaimana toleransi agama yang ada pada anak-anak Lembaga

Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Widhya Asih Badung dalam Persfektif

PaulF.Knitter. Bagian kedua, akan membicarakan tinjauan teoritis dasar-dasar

pemikiran Paul F. Knitter tentang model teologi agama-agama. Teori-teori ini

merupakan kumpulan pendapat para ahli dibidang pendidikan dan toleransi atau

merupakan bahan dari hasil penelitian sebelumnya. Bagian ketiga, membicarakan

data hasil penelitian yang diperoleh ketika melakukan penelitian di lapangan.

Bagian keempat, berisi tentang pembahasan dan analisis hasil penelitian. Bagian

ini tersusun atas hasil-hasil penelitian yang merupakan kumpulan data yang

penulis peroleh di lapangan dan analisis penulis terhadap permasalahan yang

dihadapi dan dikaitkan dengan landasan teori untuk menjawab permasalahan yang

dirumuskan dalam penelitian ini. Bagian kelima, penutup merupakan bagian yang

berisi kesimpulan.

Dialog dan Teologi Agama-Agama secara Umum

Dialog merupakan suatu metode yang baik untuk menemukan suatu

makna yang baik dalam hubungan antara agama-agama. Untuk mencapai

perdamaian agama-agama dan untuk menjaga kesetabilan untuk lebih baik. Hans

Kung mengatakan tidak ada perdamaian di anatara bangsa-bangsa tanpa adanya

perdamaian diantara agama-agama. Tidak ada perdamaian diantara agama-agama

tanpa hubungan dialog diantara agama.11

Selanjutnya Paul Tillich mengatakan

bahwa substansi dari peradaban dan budaya adalah agama, tidak akan ada dialog

peradaban jika tidak didahului oleh dialog agama. Tetapi jika dialog merupakan

cara baru dalam keberadaan gereja maka harus ada cara baru dalam berteologi,

sehingga dalam hal ini agama-agama memaikan peran penting.12

Dialog agama adalah kesediaan agama-agama untuk saling mendengarkan,

belajar dan menerima persamaan dan perbedaan. Oleh sebab itu dialog antar-

agama tidaklah di letakan dalam ruang hampa namun terarah pada dunia yang

dipenuhi dengan ketidakadilan, kemiskinan, penderitaan, dan kerusakan ekologi.13

11 Hans Kung, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Cross

Publisher, 1991), 75.

12

Knitter, Doing Theology Interrelegiously. Cross Curents 61, Issue I (March 2011), 125.

13

Stella Pattipeilohy, Keselamatan menurut Paul F Knitter: Suatu Tinjauan Psiko-Sosial

(Yogyakarta: Kanisius 2015),14.

Page 14: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

5

Dalam Pontifical Council for Interreligious Dialogue dialog di bagi menjadi 4

bagian yaitu: Pertama, dialog kehidupan merupakan dialog yang terjadi saat

manusia dimotivasi untuk hidup dalam semangat keterbukaan dan dapat

bertetangga dengan baik. Berbagi dalam hal suka dan duka, persoalan kehidupan

dan persoalan kemanusiaan. Kedua, Dialog aksi merupakan dialog ini terjadi

ketika penganut agama Kristen dan agama-agama yang lainnya dapat berkerja

sama untuk membangun kebebasan dan kemanusiaan secara seutuhnya. Ketiga,

dialog teologi, dialog ini terjadi ketika para ahli agama berusaha mempelajari dan

memahami serta memperdalam pemahaman tentang agama lain dan menghargai

nilai spiritual masing-masing. Keempat, dialog pengalaman beragama dialog ini

terjadi ketika orang-orang yang beragama berbagi pengalaman spiritual, iman dan

cara mereka memaknai hubungan mereka dengan Tuhan atau yang maha kuasa.14

Dialog inter-religius tidak pernah terlepas dari persoalan teologi, karena

persoalan teologis merupakan persoalan manusia yang mendorong manusia untuk

dapat berefleksi dan beraksi di dalam menjalani kehidupannya. Hal ini menjadi

suatu hal yang niscaya dan imperatif bila kita memulainya dalam teologi agama-

agama.15

Paul F. Knitter mengajak kita untuk sadar akan keberadaan kita yang

bertujuan pada kesadaran bersama yakni kesadaran akan yang lain. Kesadaran

akan sejarah, kesadaran imperatif dialog dan kesadaran akan tanggung jawab bagi

dunia. Kesadaran akan adanya yang lain juga sangat dibutuhkan dalam

mewujudkan realitas pluralisme yang ada melalui mata, suara serta sentuhan

kepada mereka yang berkeyakinan lain.16

Kesadaran akan sejarah terbingkai pada

kesadaran personal bahwa ada banyak agama membawa orang pada kesadaran

historis bahwa semua agama terbatas.17

Dengan demikian teologi agama-agama akan sangat dibutuhkan sebagai

landasan teologis dalam kehidupan yang plural.18

Dalam membangun pondasi

14 Izak Lattu, Beyond Tolerance: Memahami Hubungan Lintas Agama dalam Konteks

Polidoksi dan Poliponik dalam Buku Ajar Pendidikan Agama Kristen, editor. Retnowati dkk

(Salatiga: Satya Wacana University Press, 2015), 170.

15

Th Sumartana, Theologia Religionum,dalam Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di

Indonesia, Ed. Tim Balitbang PGI (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 19.

16

Paul F Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan (Jakarta: BPK Gunung Mulia 2005),

69.

17

Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, 71.

18

Sulaiman Manguling, “Identitas, Pluralisme dan Kemiskinan”, dalam Panitia Penerbitan

Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Balitbang PGI (Peny.), Agama dalam

Page 15: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

6

teologi agama-agama, pluralitas haruslah menjadi dasar untuk berpijak. Hal itulah

yang dapat melahirkan suatu teologi agama-agama yang berujung pada suatu

pemikiran yang menempatkan posisi agama-agama sama sederajat. Selanjutnya

menjadi suatu teologi yang dapat mengajarkan kepada setiap agama bahwa

mereka hidup dalam kenyataan dunia yang majemuk. Menjadikan konteks realitas

ini sebagai landasan dalam berteologi akan melahirkan suatu teologi agama-

agama. Teologi bertitik tolak dari kesamaan dan kesederajatan manusia sebagai

anak-anak Tuhan.19

Dengan perkataan lain, suatu teologi yang menghargai

sesamanya yang berlainan keyakinannya. Suatu cara pandang yang

memungkinkan manusia memandang sesamanya dengan lebih baik. Dalam ilmu

teologi, cara pandang itu adalah suatu teologi tentang agama-agama lain. Dalam

suatu teologi agama-agama ada dua pokok utama yang selalu menjadi pusat

perhatian, yaitu pandangan tentang Tuhan dan pandangan tentang manusia.20

Pandangan inilah yang akan menentukan bagaimana kelompok agama tertentu

berperilaku terhadap yang lain.

Dalam bukunya, Pengantar Teologi Agama-Agama Paul F. Knitter

membagi penilaian orang Kristen terhadap orang beragama lain dalam model-

model yaitu: (1) Model Replacement, Penggantian, Model penggantian adalah

model yang menghormati perbedaan yang ditemui dalam agama-agama lain.

Tujuan untuk menghilangkan dan menggantikannya dengan tradisi Kristen

(eksklusivisme). Dalam model ini, Allah hanya menghendaki hanya satu agama,

yaitu agama Kristen. Kasih Allah adalah kasih yang universal untuk semua orang,

namun kasih itu diwujudkan melalui Yesus Kristus. Model ini dianut oleh

komunitas Kristen beraliran fundamentalisme atau evangelikalisme.21

Dalam

menganalisis model penggantian, Knitter membaginya ke dalam dua bagian yaitu:

penggantian total dan parsial. Dalam pergantian total menganggap bahwa dalam

dilaog: Pencerahan Pendamaian dan Masa Depan, Buku Pujung Tulis 60 Tahun Prof. Dr. Olaf

Herbert Schumann, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, 367.

19

William Chang, “Dari Sara” Menuju Teologi Agama-agama”, dalam Th. Sumartana

dkk, (ed.), Pluralisme, Konflik,dan Pendidikan Agama Di Indonesia, Yogyakarta: Istitut

DIAN/Interfidei, 2001, 127.

20

John A. Titaley, Menuju Teologi Agama-agama yang Kontekstual: Dalam Rangka

Pidato Pengukuhan Jabatan Fungsional Akademik Guru Besar Ilmu Teologi di Universitas Kristen

Satya Wacana, Salatiga [Tidak diterbitkan, 29 Nopember, 2002], 2. 21 Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, terj. Nico A. Likumahua (Yogyakarta:

Kanisius, 2008). 21.

Page 16: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

7

agama lain ada sesuatu yang kurang atau menyimpang dengan kata lain tidak ada

nilai kebenaran. Pemahaman semacam ini banyak dianut oleh gereja-gereja

fundamentalis.22

Salah satu tokoh dalam model ini adalah Karl Barth23

(1889-

1968). Selanjutnya adalah model pergantian parsial, berbeda dengan model

sebelumnya, model ini lebih halus dalam memandang agama-agama lain,

perbedaannya dengan pergantian total terletak pada masalah wahyu. Menurut

mereka yang beraliran penggantian parsial bahwa wahyu Allah ada dan tersebar

dalam agama-agama lain yang disebut sebagai “wahyu/ rahmat penciptaan” atau

“wahyu umum”. Jadi dalam model ini, agama-agama lain bukan “buatan

manusia”, seperti yang dikatakan Barth, namun agama-agama lain itu dikehendaki

oleh Allah, mereka adalah “wakil” Allah, “alat” Allah untuk menjalankan rencana

ilahinya. Dengan kata lain, Allah berbicara kepada umat beragama lain melalui

agama mereka masing-masing.24

(2) Model Fulfillment (pemenuhan) model

pemenuhan merupakan suatu model yang membangun pemahaman tentang

agama-agama lain, model ini memberikan suatu teologi yang dapat memberi nilai

kepada keyakinan dasar Kristen yaitu: Allah yang universal yang diberikan

kepada semua bangsa namun kasih adalah ajaran yang hanya ada dalam Yesus

Kristus Model ini mewakili gereja-gereja aliran utama seperti: Lutheran,

Reformasi, Methodis Katolik Ortodoks Yunani. Mereka percaya bahwa dalam

agama lain terdapat ajaran tentang Allah namun umat Kristen perlu berdialog

dengan agama-agama lain bukan hanya sekedar memberitakan injil pada agama-

agama lain. Jadi model ini mengakui adanya keselamatan dalam agama-agama

lain namun agama-agama tersebut memiliki keterarahan kepada Kristus melalui

gereja.25

22 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 25. 23 Dasar pemikiran Barth tertuang dalam perkataannya “Biarlah Tuhan menjadi Tuhan- di dalam

Yesus Kristus”. ia berpendapat bahwa berdasarkan surat-surat Paulus manusia tidak sanggup bertindak

sendiri tanpa Allah. Agar itu memungkinkan manusia harus tetaplah membuiarkan Allah bertindak sebagai

Allah. Bagi Barth, hal tersebut terkandung dalam Perjanjian Baru, khususnya yang diberitakan Santo Paulus dan para Revormator yang dijelaskan dalam empat “hanya”, yaitu: pertama, “Kita diselamatkan hanya oleh

rahmat”. Menurut Barth, ketika kejatuhan manusia (dosa asal), manusia akan selamanya menderita kecuali ia

mengakui adanya satu “Kekuasaan yang Lebih Tinggi”, disebut rahmat; kedua “Kita diselamatkan hanya oleh

iman”, agar bias menerima rahmat, kita harus mundur, keluar dari jalan yang salah, dan mengakui ketidakmampuan kita menuntun kehidupan kita sendiri. Namun, hal ini bisa dilakukan hanya kalau percaya;

ketiga,“Kitadiselamatkan hanya oleh Kristus”, dan keempat, “Kita diselamatkan hanya oleh firmanTuhan”.

Dengan begitu, hanya umat Kristen lah yang selamat dari penderitaan karena telah memenuhi syarat empat“hanya” di atas. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 26-27.

24 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 37-40.

25 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 73.

Page 17: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

8

Model pemenuhan setiap umat yang beragama lain bisa merasakan dan

mengalami rahmat Allah didalam kepercayaan mereka masing-masing dan Yesus

merupakan perwujudan kasih Allah yang sempurna. Oleh karena itu komunitas

yang memberitakan kabar baik Yesus yang dianugerahi sudah terlihat pada gereja-

gereja Kristen, sehingga komunitas itu dapat dikatakan sudah menjadi Kristen

anonym atau Kristen tanpa nama26

. Model pemenuhan beranggapan berbagai

perbedaan yang diterima oleh penganut agama Kristen yang terdapat pada agama-

agama lain harus dihargai, dihormati dan diberi nilai, yang terpenting dalam

model ini ada persamaan dan perbandingan yang dapat dijumpai dalam agama

Kristen dan agama- agama lainnya. (3) Model Mutuality, (mutualitas) adalah

model yang beranggapan bahwa kehadian dan kasih Allah dapat dirasakan dalam

agama-agama lain (kehadiran dan kasih Allah yang universal) komunitas Kristen

yang menganut model ini menganggap bahwa pemahaman teologi tradisional

yang menganggap bahwa agama-agama lain adalah agama yang harus digantikan

(model pergantian) dan agama-agama lain harus di sempurnakan (model

pemenuhan) merupakan sesuatu yang sama sekali tidak menunjukan apa yang

terjadi pada agama-agama lain ataupun pada agama Kristen. Oleh karena itu

komunitas yang menganut model ini menolak dua model sebelumnya dan mereka

sedang mencari jalan untuk menghindarkan pemahaman umat Kristen tentang

Kristus dan agama Kristen adalah agama yang paling benar dan Yesus merupakan

satu-satunya juruslamat sehingga pemahaman ini dapat membawa penganutnya

kepada sifat yang di sebut “rendah hati”.27

(4) Model Acceptance (penerimaan)

Model ini merupakan model yang melengkapi kekurangan–kekurangan dari

model-model sebelumnya (model pergantian dan pemenuhan) yang lebih

mengutamakan satu agama dari agama lainnya yang menyebabkan hancurnya

validitas agama-agama lainnya. Model ini lebih mengutamakan universalitas dari

semua agama sehingga menutupi perbedaan dan kepentingan pibadi yang ada.28

26 Menurut Knitter bahwa pandangan Rahner tentang Kristen anonim hanya ditujukan untuk

kalangan Kristen dengan tujuan agar umat Kristen terbebas dari pandangan negatif tentang mereka yang

berada di luar gereja dan memampukan umat Kristiani untuk menyadari bahwa Tuhan bisa memanggil siapa

pun untuk mengikuti Kristus, di mana pun dan kapan pun Ia kehendaki. Jadi Rahner tidak menghendaki umat

Kriatiani mengatakan kepada mereka yang beragama Buddha atau Islam telah berada di dalam lingkungan

Kristen. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 85-86.

27 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 129.

28 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 205.

Page 18: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

9

Bagi model ini, perbedaan antar agama bukan hanya pada bahasa,

melainkan,jauh lagi, menyangkut tujuan terakhir dan “pemenuhan” dalam setiap

agama. Agama-agama bukan hanya berbeda dalam bentuk, tetapi juga berbeda

dalam tujuan dan keselamatan. Sebagai contoh, apa yang diartikan oleh umat

Buddha dengan pencerahan dalam tingkat kebahagiaan yang non-persona jelas-

jelas berbeda dengan apa yang umat Kristen artikan dengan persekutuan dengan

Tuhan yang penuh kasih, keduanya merupakan titik-tujuan yang berbeda, dua

“pemenuhan” yang berbeda, karena hal tersebut merupakan dua realitas yang

berbeda.29

Umat Buddha tiba di Nirwana, umat Kristen tiba dalam persekutuan

dengan Tuhan, mereka semua bahagia. Oleh karena itu, perbedaan bukan hanya

sesuatu yang bisa diterima secara temporer, tetapi sesuatu yang ingin diterima

secara permanen.

Salah satu tokoh dari pendekatan ini adalah S. Mark Heim. Ia

mengusulkan satu konsep bahwa semua agama yang berbeda-beda memimpikan

dan berusaha mencapai salvations, bahwa ada lebih dari satu keselamatan di

antara berbagai agama.30

Jadi, usaha yang dilakukan teolog penganut model

mutualitas untuk mencari persamaan atau satu tujuan yang sama di antara

berbagai agama, bahwa walaupun agama agama berbeda, semua agama memiliki

satu tujuan yang sama (Yang Nyata) harus dihindari.

Selain mengakui bahwa tujuan akhir (eskatologis) tiap agama berbeda

beda, Heim menambahkan bahwa mungkin saja ada lebih dari satu Wujud Ilahi

(Divine Being) atau Tuhan. Perbedaan agama terjadi karena adanya perbedaan

Tuhan. Untuk menjelaskan maksud tersebut kepada umat Kristen, Heim

menggunakan kerangka teologi tradisional Kristen, bahwa Tuhan berbentuk

Tritunggal.31

Hal ini berarti bahwa semua umat beragama harus menggali

keberadaan dan kehidupan mereka dalam perbedaan yang memunculkan

hubungan antar agama, yaitu melalui dialog.

Dialog di Dalam Model Mutualistas

Dalam pandangan Knitter salah satu model yang membahas tentang

benearan yang dimiliki oleh tiap-tiap agama adalah model Mutualitas. Dalam

29 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 227-228.

30 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 228.

31 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 230.

Page 19: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

10

model mutualitas, semua agama memilik kebenarannya sendiri-sendiri oleh

karena itu agama dipanggil untuk berdialog. Model ini lebih mengutamakan pada

kasih dan kehadiran Allah yang universal di dalam agama-agama yang lain dalam

model ini hubungan sangatlah penting dalam artian hubungan yang harus saling

memperkaya artinya adalah hubungan atau percakapan dua arah yang

memungkinkan kedua pihak untuk berbicara dan saling mendengarkan serta

terbuka untuk belajar sehingga hal itu dapat menjad sebuah dialog.32

Dalam

hubungan berdialog antar agama, dalam dialog agama tidak perlu untuk menjadi

serupa dengan agama lain atau hanya berfokus pada permasalahan internal suatu

agama saja, melainkan mencari suatu hal yang positif pada agama lain dan

berfokus pada permasalahan global. Agar terjadinya suatu dialog yang berfokus

pada itu haruslah didasari oleh kesadaran bahwa pertemuan antar agama tidak

akan lengkap jika tidak memperhatikan masalah keprihatinan secara global secara

bersama juga dilanjutkan dengan mencari upaya untuk mengatasi keprihatinan

tersebut.33

Dalam memulai dialog agama yang bertanggung jawab secara global,

Knitter menyarankan untuk memulainya dengan dialog non-agama maksudnya

adalah kita harus memulai dialog dengan berbicara tentang permasalahan yang

tidak ada tidak berhubungan dengan agama.34

Ada tiga jembatan yang di tawarkan oleh Knitter untuk melakukan model

mutualitas yaitu: Jembatan Filosofis Historis. Jembatan ini bertumpu pada dua

pilar: keterbatasan historis dari semua agama35

dan kemungkinan filosofis bahwa

ada satu Kenyataan Ilahi di balik dan di dalam semua agama. Tokoh yang terkenal

dengan perspektif ini adalah John Hick dengan teori “revolusi Kopernikus”.

Singkatnya, menurut Hick bahwa pusat religius semua agama yang

memungkinkan terciptanya dialog yang setara bukanlah gereja (eklesiosentris),

bukan pula pada Kristus (kristosentris), melainkan pada Allah (teosentris). Sadar

bahwa citra Allah sering kali diartikan “buatan agama Kristen”, dan juga Islam,

serta agama-agama seperti Buddha tidak berbicara tentang Allah atau suatu

Makhluk Ilahi, Hick kemudian memakai istilah “yang nyata” atau yang “benar-

32 Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, 130.

33

Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, 21.

34

Paul F Knitter, Global Responsibility and Interreligious Dialogue: Searching for

Common Ground,‖ Journal Studi Agama dan Masyarakat Waskita II, no 1 (April 2005),‖12.

35

Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 135-139.

Page 20: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

11

benar nyata” sebagai pusat semua agama.36

Jembatan Religius-Mistik Berbeda

dengan jembatan filosofis-historis, pendekatan religious-mistik menekankan

bahwa apa yang terdapat di pusat tiap agama (Yang Ilahi) adalah sesuatu yang

jauh melampaui semua yang dirasakan atau dinyatakan manusia baik individu

maupun kelompok. Yang Ilahi lebih dari pada apa yang diketahui agama namun

justru hadir dalam pengalaman mistik semua agama. Oleh karena itu, Yang Ilahi

tidak boleh dibatasi oleh perspektif manusia, biarkanlah Yang Ilahi beragam

seperti halnya agama.37

Jembatan Etis-Praktis banyak agama yang dapat

membangun jembatan ini dengan menyadari bahwa penderitaan dan kemiskinan

merupakan sesuatu yang dapat merusak kemasnusiaan dan bumi hal ini yang

menjadi keprihatinian semua agama. sehingga semua agama terpanggil untuk

menyelesaikan masalah ini dan bila itu dilakukan dengan benar dan serius akan

menyadarkan mereka bahwa dialog di antara agama-agama merupakan suatu hal

yang harus dilakukan untuk menghasilkan jalan keluar bersama. Salah satu tokoh

yang memercayai ini adalah Thomas Berry, ia berpendapat bahwa kepedulian bagi

kesejahteraan bumi adalah hal yang dapat membawa berbagai bangsa dan agama

dapat berkumpul dalam suatu komunitas antara bangsa dan antara agama.38

Dengan adanya tanggung jawab terhadap dunia dan penderitaan manusia

memampukan agama-agama untuk saling memahami satu sama lain dan saling

mengenal dirinya ataupun sesamanya .oleh karena itu masalah penderitaan dan

kemiskinan merupakan suatu masalah yang memerlukan dialog bersama antar-

agama-agama untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut.39

Semua agama

terpanggil untuk mengatasi penderitaan ini secara serius, hal ini akan

mengharuskan agama-agama untuk berdialog lebih efektif. Menurut Rut Langer

dialog dan pendidikan merupakan suatu kunci dalam membangun hubungan yang

bermutu.40

36 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 134-135.

37

Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 149-150.

38

Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 160-164.

39

Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 165.

40

Rut Langer, The Blessings and Challenges of Interreligious Prayer,‖ (January 2015): 6,

diakses 10 juli 2019.

Page 21: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

12

Keterbukaan menjadi hal yang sangat penting dan harus dilakukan dalam

hal ini, keterbukaan lebih diutamakan daripada komitmen agama41

jika umat

Kristen bersedia untuk terbuka terhadap agama-agama lain mereka juga harus

bersedia untuk merasa di kecewa mungkin juga dipusingkan dan mungkin di

tantang untuk mengganti keyakinan yang sebelumnya tidak pernah mereka

persoalkan.42

Hal itu karena disatu sisi ada orang-orang yang menganggap dialog

sebagai potensi untuk melestarikan dan meningkatkan perbedaan, ada juga yang

menganggap dialog sebagai suatu transformasi yang kreatif, disisi lain ada yang

beranggapan bahwa sesama anggota komunitas agama mereka tidak hanya ingin

menjadi toleran terhadap agama lain tetapi mereka juga ingin untuk saling belajar

satu sama lain yang mengharuskan mereka berdialog satu sama lain.43

Dua hal

tersebut di sebut sebagai “dialog tetangga dengan baik” dan “ dialog sesama

pencari”. 44

Teologi Agama-Agama di LKSA Widhya Asih Badung

Sejarah Yayasan Widhya Asih Bali

Yayasan Widhya Asih Bali adalah organisasi nirlaba yang didirikan oleh

Gereja Kristen Protestan (GKPB) di Bali pada tanggal 31 Desember 1975.

Yayasan ini awalnya bernama Yayasan Widhya Asih, yang berarti "Pengetahuan

dengan Cinta", yang sesuai dengan Widhya Asih. visi sebagaimana dinyatakan di

bawah ini. Pada 2014, Yayasan Widhya Asih berganti nama menjadi Yayasan

Widhya Asih Bali atau Widhya Asih Bali Fondation (WABF) berdasarkan Akta

Notaris I Gusti Ayu Made Susianingsih, SH., M.KM No. 13 tanggal 27 Agustus

2014, dan telah didaftarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

No. AHU-05097,50.10,2014 tanggal 28 Agustus 2014. Misi WABF ialah untuk

membantu orang miskin sehingga untuk selanjutnya mereka dapat membantu

orang lain dan mematahkan siklus kemiskinan dengan cara, menyediakan ruang

41 Paul F Knitter, Christian Theologies of Religions: Searching for Comitment and

Openess,‖ Jurnal Waskita Vol I No. 2 (November 2004): 98. 42

Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, 284.

43

Paul F Knitter. Comparative Theology Is Not ―Business-as-Usual Theology: Personal

Witness from a Buddhist Christian,‖ Journal BUDDHIST-CHRISTIAN STUDIES Issue. 35

(January 2015): 183.

44

Paul F Knitter, Good Neighbors or Fellow Seekers?dealing with the plurality of

religions in the twenty-first century,‖Journal Interreligious Insight 12, no. 1 (June 2014): 11.

Page 22: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

13

hidup yang aman dan higienis, makanan bergizi, pendidikan formal, kesehatan

fisik dan spiritual, dan pelatihan keterampilan hidup. untuk mencapai misi ini,

Widhya Asih menyediakan dana dan fasilitas penunjang lainnya untuk

memastikan kehidupan yang lebih baik bagi anak yang hidup di bawah garis

kemiskinan, anak terlantar dan mereka yang mengalami masalah sosial.45

Sebagai sebuah organisasi yang bekerja atas nama anak, Widhya Asih

Foundation menyadari bahwa anak-anak ini rentan terhadap korban pelecehan,

pengabaian dan eksploitasi. Widhya Asih juga menyadari bahwa setiap pihak, dari

latar belakang apapun, termasuk pekerja sosial dan relawan yang aktif terlibat dan

bekerja dengan anak, memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelecehan,

pengabaian atau eksploitasi. Oleh karena itu, Widhya Asih berkomitmen untuk

menegakkan prinsip perlindungan anak juga untuk melindungi anak dan hak

mereka untuk hidup, tumbuh, berkembang sesuai dengan Piagam PBB tentang

hak anak. Kesejahteraan anak di Widhya Asih merupakan prioritas utama dan

merupakan tanggung jawab semua orang di Widhya Asih untuk memastikan

bahwa mereka terlindungi. WABF berusaha untuk menciptakan suatu lingkungan

yang meminimalkan risiko penyalahgunaan, pengabaian dan eksploitasi. Dengan

memiliki kebijakan perlindungan anak tertulis yang dipantau dan dipatuti oleh

semua staf yang bekerja dengan anak di bawah asuhan Widhya asih. Visi dari

LKSA Widhya Asih adalah "Widhya Asih untuk menjadi agen layanan sosial

terkemuka di Bali yang bekerja untuk mengurangi kemiskinan di antara orang-

orang kami" dan misinya adalah “Dengan menyediakan ruang hidup yang aman

dan higienis, perawatan anak dan tindakan perlindungan di rumah anak-anak dan

perawatan berbasis keluarga, makanan bergizi, akses ke pendidikan formal,

perawatan kesehatan berkualitas, dan pelatihan tambahan dalam nilai-nilai sehat

dan keterampilan hidup produktif, kami membantu orang miskin membantu diri

mereka sendiri untuk memutus siklus kemiskinan mereka “.46

Toleransi Agama di LKSA Widhya Asih Badung

45 Widhya Asih Fondation, http://widhyaasihfoundation.com/index.php/about-us/our-history

diakses pada 27 juni 2019. 46

Wawancara dengan kepala staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya Asih

Badung) 27 juni 2019.

Page 23: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

14

Toleransi merupakan hal sangat diutamakan di Lembaga Kesejahteraan

Sosial Anak Widhya Asih Badung, karena di LKSA anak-anak tidak hanya

bertemu dengan ruang lingkup baru bertemu dengan banyak orang-orang yang

memiliki latar belakang tidak sama dengan dirinya serta bertemu dengan orang

orang yang berasal dari dareah yang berbeda-beda ang memiliki adat istiadat dan

kebiasaan yang berbeda-beda juga. Dalam LKSA mereka di pertemukan dengan

orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dengan dirinya.

Karena LKSA menerima semua anak-anak yang berasal dari mana saja yang

membutuhkan bantuan atau tempat bernaung apapun agama, suku, ras dan

budayanya semuanya di terima di LKSA. Karena tujuan LKSA adalah

memberikan kesejahteraan sosial tanpa melihat apa latar belakang anak-anak

tersebut. Semuanya menjadi satu keluara besar di LKSA Widhya Asih Badung.47

Menurut kepala LKSA Widhya Asih Badung, toleransi merupakan hal

yang sangat penting yang harus diajaarkan sejak dari anak-anak masuk ke dalam

LKSA. Di situ mereka juga belajar tentang menjaga pluralitas yang ada di LKSA

Widhya Asih juga di luar LKSA. Hal ini penting karena dalam LKSA sendiri

mengharuskan anak-anak untuk saling menghormati dan menghargai satu sama

lain. Tidak ada perbedaan di antara mereka. staf sendiri menegaskan bahwa anak-

anak harus belajar menerima perbedaan yang ada. Perbedaan bukan untuk

dijadikan sebagai suatu perpecahan melainkan untuk menjaga persatuan. Hal ini

diibaratkan sebagai sebuah taman bunga yang indah jika ditumuhi berbagai jenis

bunga.48

Inilah yang menjadi fondasi pemikiran di LKSA Widhya Asih Badung.

Namun dari perbedaan tersebut anak-anak bisa saling belajar satu sama lain

belajar tentang hal-hal positif yang dapat mereka temui dari orang lain baik itu

pelajaran dalam bidang agama, budaya dan lainnya. Selama itu masih dalam hal

positif staf LKSA tetap mendukung dan menyarankan untuk dilakukan.

Pluralitas yang ada di LKSA Widhya Asih Badung bukan hanya

keberagaman agama tetapi juga suku dan sifat anak-anak. Oleh karena itu, semua

staf tetap berusaha untuk mendidik anak-anak untuk menganggap pluraitas

47 Wawancara dengan kepala staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya

Asih Badung) 27 juni 2019.

48

Wawancara dengan kepala staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya

Asih Badung) 27 juni 2019.

Page 24: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

15

merupakan hal yang baik. Hal ini sudah ditekankan oleh staf sebelum anak-anak

masuk di LKSA. dengan cara menjelaskan realitas itu kepada orang tua anak.

Namun, meskipun LKSA merupakan lembaga di bawah naungan GKPB yang

notabenenya adalah organsasi gereja, tetapi LKSA tidak pernah memaksa anak-

anak yang dititipkan untuk menjadi Kristen. Namun demikian LKSA memiliki

peraturan yang harus diikuti. Peraturan yang ada di LKSA juga merupakan aturan

yang membangun sikap bagi anak untuk mandiri ke depannya.49

Peraturan yang harus diikuti oleh anak-anak LKSA setiap hari dan di hari

khusus adalah: ibadah buka/tutup hari dan saat hari raya kristen seperti natal,

paskah dan lain-lain anak-anak LKSA mengisi pujian dihotel yang bekerja sama

dengan LKSA. Anak-anak juga di wajibkan untuk ikut mengisi pujian dalam

ibadah-ibadah atau kegiatan gerejawi yang mengundang LKSA dengan tujuan

untuk mengasah talenta bermusik dan bernyanyi yang dimiliki oleh anak-anak.50

Namun meskipun anak-anak diwajibkan untuk mengikuti semua kegiatan

tersebut. Staf mengatakan bahwa mereka tidak pernah melakukan praktik

pengkristenan kepada anak-anak yang beragama lain. sebaliknya staf LKSA

memberikan kebebasan kepada anak-anak yang beragama diluar Kristen.

Contohnya, saat ada kegiatan keagamaan di luar kristen yang harus di ikuti oleh

anak-anak yang bertepatan dengan kegiatan LKSA. Maka anak tidak diwajibkan

untuk ikut kegiatan LKSA.51

Dengan adanya upaya membangun sikap toleransi dikalangan anak-anak

di LKSA Widhya Asih Badung. Yang tidak membedakan perlakuan antara anak

yang beragama Kristen dan lainnya. Staf berharap dapat menciptakan rasa

toleransi antara anak-anak yang ada di LKSA. Begitu juga saat mereka sudah

keluar dari LKSA.52

Dialog di LKSA Widhya Asih Badung

49 Wawancara dengan Ibu Ni Ketut Purniati (Staff LKSA Widhya Asih Badung) 27 juni

2019.

50

Wawancara dengan Niluh Eka Wahyuni (anak asuh di LKSA Widhya Asih Badung) 28

juni 2019.

51

Wawancara dengan Ibu Ni Ketut Purniati (Staff LKSA Widhya Asih Badung) 28 juni

2019.

52

Wawancara dengan kepala staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya

Asih Badung) 28 juni 2019.

Page 25: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

16

Sebelum menjadi anak binaan LKSA Widhya Asih Badung. Terlebih

dahulu taf dan orang tua anak beserta keluarga melakukan sebuah pertemuan.

Staff dan keluarga anak yang akan diasuh melakukan suatu percakapan untuk

mencapai suatu kesepakatan bersama. Staf akan menjelaskan tentang profil dari

LKSA yang notabenenya naungan organisasi gereja. Untuk memberikan

pemahaman kepada orang tua anak bahwa adanya aturan yang berlaku untuk anak

yang tinggal di LKSA juga aturan bagi orang tua anak. Aturan tersebut mengikat

anak-anak dan orang tua selama mereka tinggal di LKSA.53

Hal ini di anggap

penting karena dengan berdialog dan menjelaskan kepada orang tua tentang

tentang peraturan yang ada. Itu akan menjadi pertimbangan bagi orang tua

sebelum menitipkan anak di LKSA Widhya Asih Badung. Agar orang tua juga

lebih memahami tentang aturan-aturan yang ada di dalam LKSA. Sehingga hal itu

bisa meminimalisir salahnya penafsiran dari orang tua dengan pola pendidikan

anak di LKSA.54

Selanjutnya pertemuan dengan orang tua juga dilakukan setiap sester

(enam bulan). Hal ini bertujuan untuk menjelaskan tentang perkembangan anak-

anak yang ada di LKSA. Dalam pertemuan ini staf akan menjelaskan tentang

perkembangan anak selama satu semester. Selanjutnya orang tua dan staf anak

berdialog untuk menemukan metode baru dalam mendidik anak yang ada di

LKSA. Dalam kegiatan ini, tidak jarang ada perbedaan antara orang tua dengan

orang tua lainya ataupun orang tua dan para staf. Dalam dialog ini staf tidak

pernah menonjolkan satu salah satu orang tua dari anak yang beragama apapun.

Namun semua orang tua memiliki kesempatan untuk memberikan penjelasan

mengenai metode pendidikan yang dapat ditiru oleh staf LKSA. Juga batasan-

batasan yang harus diperhatikan oleh staf dalam mendidik anak-anak di LKSA.55

Staf LKSA juga tidak hanya melakukan dialog formal dengan orang tua tetapi staf

juga melakukan dialog non formal. Hal ini bertujuan untuk tetap membangun

relasi dengan orang tua anak.

53 Wawancara dengan kepala staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya

Asih Badung) 28 juni 2019.

54

Wawancara dengan kepala staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya

Asih Badung) 28 juni 2019.

55

Wawancara dengan kepala staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya

Asih Badung) 28 juni 2019.

Page 26: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

17

Untuk anak-anak di LKSA staf kebihh banyak melakukan dialog yang

bersifat non formal. Seperti saat selesai makan ataupun selesai ibadah tutup hari

para staf dan anak-anak LKSA akan sharing tentang pengalaman-pengalaman.

Baik itu pengalaman hidup maupun pengalaman spiritual yang mereka alami.56

Pada saat anak bercerita tentang keluhannya disekolah. Staf dan anak-anak yang

lain akan berusaha untuk mencari cara agar permasalahan yang dihadapi oleh si

anak dapat terselesaikan dengan baik. Dalam hal ini relasi staf dan anak yang di

bangun staf adalah relasi keluarga. Dalam hal ini adalah dialog non formal.57

Dialog dan Toleransi di Kalangan Anak LKSA Widhya Asih Badung Dalam

Kerangka Teologi Agama-Agama Paul F. Knitter

Toleransi merupakan hal yang sangat penting untuk ajarkan oleh orang tua

kepada anak-anaknya. Begitu pula staf LKSA kepada anak-anak asuh di LKSA,

pendidikan toleransi di LKSA bukanlah pendidikan tentang toleransi yang bersifat

formal layaknya seperti di dalam kelas. Namun pendidikakan tentang toleransi

yang dilakukan di LKSA merupakan pendidikan yang bersifat non formal. Hal

tersebut karena pendidikan itu ditanamkan dalam kehidupan anak-anak setiap

hari58

. Karena itulah model pendidikan yang sesuai untuk anak-anak. Dengan

demikian anak-anak akan terbiasa melakukan hal-hal yang bersifat toleransi di

luar LKSA. Dikarenakan mereka sudah terbiasa melakukannya di dalam LKSA.

Tidak hanya memberikan pemahaman tentang toleransi. Staf juga memberi

pemahaman tentang apa itu pluralisme atau keberagaman engan menggunakan

metode yang sama. Penjelasan ini selalu diberikan oleh staf setiap hari entah itu

secara formal maupun secara non formal dengan tujuan untuk memberikan

pemahaman kepada anak tentang apa itu pluralitas dan bagaimana kita harus

menanggapi pluralitas yang ada. Agar anak tidak salah dalam penafsiran tentang

Pluralitas yang ada saat ini. Staf juga berusaha menanamkan pemikiran kepada

bahwa pluralitas itu sangat indah di ibaratkan sebuah taman bunga. Intinya staf

56 Wawancara dengan I Ketut Arhy Mathea, (anak asuh di LKSA Widhya Asih Badung)

28 juni 2019.

57

Wawancara dengan Ibu Ni Ketut Purniati (Staff LKSA Widhya Asih Badung) 28 juni

2019. 58

Hasyim, Umar. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar

Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama. (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), 37.

Page 27: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

18

berusaha menanamkan pemikiran bahwa pluralitas atau keberagaman itu

merupakan sesuatu yang indah. Hal inilah yang berusaha ditanamkan oleh staf

kepada anak-anak LKSA Widhya Asih Badung.

Metode pendidikan toleransi yang ada di LKSA Widhya Asih Badung

tidaklah metode pendidikan yang monoton layaknya di dalam kelas. Melainkan

metode pendidikan yang tidak formal seperti dalam kehidupan sehari-hari. Baik

itu saat cerita setelah makan atau saat istirahat. Staf berusaha menyelipkan

pelajaran tentang pluralisme dan pentingnya bersifat toleransi selama hidup.

Contohnya, Pada saat sesudah makan staf akan bercerita tentang indahnya kalau

kita bekerja sama meskipun di tengah perbedaan. Begitu juga pada saat membuat

sebuah karya seni seperti gantungan kunci. Staf akan memberikan penjelasan

tentang indahnya keberagaman yang bisa menciptakan sesuatu yang indah. Seperti

gantungan kunci yang ada banyak bagiannya di dalamnya. Hal inilah yang

memunculkan sikap toleransi dikalangan anak-anak LKSA Widhya Asih Gadung.

Hal itu di buktikan pada saat anak-anak yang beragama lain sedang melakukan

kegiatan agamanya. akan muncul di pikiran anak-anak bahwa mereka harus

menghargai apa yang dilakukan oleh teman yang memiliki kepercayaan yang

berbeda dengan dirinya.

Menurut penjelasan Staf LKSA pada dasarnya di LKSA Widhya Asih

Badung sangat menjunjung tinggi sikap toleransi. Baik itu di dalam atau di luar

LKSA. Staf LKSA terbuka untuk belajar kepada orang-orang yang beragama lain.

Mereka tidak membeda-bedakan anak-anak yang ada di dalam LKSA. LKSA

Widhya Asih Badung memiliki pandangan bahwa semua agama itu sama.

Mengajarkan kebaikan tetapi caranya saja yang berbeda-beda pada hakikatnya

sama. Yaitu mengajarkan etika berbuat baik. Sehingga setiap orang harus belajar

dari agama-agama lainnya agar tidak muncul anggapan bahwa agama saya yang

paling benar. Hal ini sesuai dengan model teologi agama-agama model mutualitas.

Oleh sebab itu maka di butuhkan dialog untuk memberi ruang belajar dan saling

memperkaya pemahaman bagi agama untuk dapat mempelajari agama-agama

yang lainnya tanpa menjadi serupa dengan agama yang lain.59

Dalam hal dialog

antar staf dan orang tua anak yang ada di LKSA. Dialog diawali dengan sesuatu

59 Knitter, Global Responsibility, 113.

Page 28: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

19

yang tidak bersifat agama artinya dialog diawali dengan sesuatu yang bersifat

umum.

Sesuai dengan apa yang tulis Paul knitter tentang model multualitas.

Dialog multualitas mengispirasi LKSA Widhya Asih untuk belajar dan berbagi

dengan yang lainnya. Karena dengan belajar dan berbagi akan membantu orang

lain untuk lebih merasakan kebaikan Allah dalam dimensi yang berbeda dari

dirinya. Untuk mempermudah itu Paul Knitter sendiri memberikan tiga jembatan

untuk memulai dialog yang baik yaitu: jembatan Filosofis-Historis, Jembatan

yang bertumpu pada dua pilar yaitu: keterbatasan historis dari semua agama dan

kemungkinan filosofis adanya kenyataan yang Ilahi di balik dan di dalam semua

agama.60

Dalam penelitian ini LKSA Widhya Asih Badung memahami betul

tentang hal ini. Karena menurut Staf LKSA pada dasarnya mereka berpendapat

bahwa semua agama itu diawali oleh sesuatu yang transenden yang di sebut Allah.

Manusia sendirilah yang menciptakan cara-cara untuk memuji yang transenden

tersebut. Sehingga semua agama memiliki misi yang di dalamnya sudah ada

campur tangan yang Ilahi untuk menyelesaikan misi tersebut. Sehingga dalam

praktik dialog dengan orang-orang yang memiliki kepercayaan lain LKSA

Widhya Asih Badung selelu mengutamakan tentang presamaan historis yang ada.

Jembatan yang kedua adalah : jembatan religious mistik, jembatan

religious-mistik menekankan bahwa apa yang terdapat dipusat tiap agama (Yang

Ilahi) adalah sesuatu yang jauh melampaui semua yang dirasakan atau dinyatakan

manusia baik individu maupun kelompok.61

LKSA Widhya Asih Badung juga

memahami dengan jelas Ilahi berada di atas jangkauan manusia atau yang Ilahi itu

tidak dapat di jangkau oleh pengetahuan manusia. Sehingga dalam praktik dialog

dengan orang-orang di sekitarnya LKSA Widhya Asih Badung selalu

mengutamakan ada yang lebih tinggi derajatnya dari pada kita manusia. LKSA

Widhya Asih Badung hanya sebagai perwujudan kuasa tangan kasih yang Ilahi

tersebut. Sehingga hal itu dapat menghasilkan kesatuan pemahaman di antara

orang tua anak dengan staf. Yang bertujuan untuk saling bekerja sama untuk

60 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 137. 61 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 139.

Page 29: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

20

melanjutkan karya sang ilahi di dalam kehidupan anak-anak LKSA Widhya Asih

Badung.

Jembatan yang ketiga adalah: jembatan Etis-Praktis jembatan ini

berdasarkan bahwa penderitaan dan kemiskinan merupakan sesuatu yang dapat

merusak kemanusiaan dan bumi. Hal ini merupakan sesuatu yang menjadi

keprihatinian semua agama dan agama mencari cara untuk berusaha mengurangi

realita tersebut. Oleh karena itu dialog merupakan salah satu cara untuk dapat

mencari jalan keluar menyelesaikan maslah tersebut.62

Dalam pelaksanaan LKSA

juga sudah melakukannya. Dikarenakan adanya kesadaran akan kemiskinan yang

dapat memperburuk kualitas kemanusiaan. LKSA Widhya Asih Badung berusaha

untuk berdialog bersama dengan pemerintah setempat. Bertujuan untuk mencari

cara mengurangi kemiskinan yang ada. Dengan cara membiarkan anak-anak untuk

dididik di LKSA Widhya Asih Badung. Sehingga saat keluar dari LKSA Widhya

Asih Badung anak bisa memutus tali kemiskinan dan dapat memberdayakan

orang-orang yang ada di lingkungan sekitarnya.

Namun penulis beranggapan bahwa pada dasarnya model teologi agama-

agama yang di sampaikan oleh Paul Knitter terkhusus model mutualitas dapat di

terapkan di LKSA Widhya Asih Badung, tetapi tidak sepenuhnya. Hal ini karena

pada dasarnya model mutualitas merupakan model yang lebih mendukung untuk

dialog formal. Konteks model teologi agama-agama yang di sampaikan Knitter

merupakan konteks untuk orang dewasa. Oleh sebeb itu anak-anak yang ada di

LKSA tidak dapat menerapkan dengan model teologi agama-agama knitter dalam

kehidupannya sehari-hari dengan maksimal. Hal itu karena di LKSA mereka lebih

mengutamakan dialog non formal atau dialog yang di lakukan dalam kehidupan

sehari-hari. Hal ini juga yang menjadi kritik terhadap pemikiran knitter dimana

pemikiran knitter hanya menjangkau kalangan akanemis dan pemuka-pemuka

agama yang pada dasarnya sudah dewasa. Namun pemikiran knitter ini tidak

menjangkau untuk kalangan anak-anak yang pada dasarnya belum bisa melakukan

dialog formal dengan baik.

Dengan demikian dapat dikatakana bahwa model teologi agama-agama

Paul Knitter sudah tepat untuk untuk diterapkan di LKSA Widhya Asih Badung

62 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 137.

Page 30: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

21

namun dalam penerapannya memerlukan sedikit modefikasi agar dapat di terima

di kalangan anak-anak. Hal ini karena konteks yang ada di dalam teologi agama-

agama Knitter merupakan konteks teologi agama-agama yang berbicara

bagaimana membangun relasi dengan orang-orang sekitar kita yang sudah

dewasa. Teologi agama-agama Paul Knitter belum menjangkau semua aspek usia

yang ada. Namun pada dasarnya teologi agama-agama Paul Knitter merupakan hal

yang baik yang harus dikembangkan lagi untuk menjangkau semua aspek

kehidupan yang ada mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Hal ini tidak

dapat dipungkiri bahwa toleransi merupakan hal yang harus diajarkan sejak usia

dini dan pluralitas tidak hanya ada pada orang dewasa melainkan juga pada anak-

anak. Oleh karena itu dalam menghadapi hal tersebut dibutuhkan teologi agama-

agama.

Kesimpulan

Toleransi yang ada dan dilakukan di LKSA Widhya Asih Badung

memiliki beberapa tema besar yaitu toleransi di antara sesama anak-anak yang

tinggal di LKSA Widhya Asih Badung dan Toleransi antara staf LKSA dan anak-

anak yang tinggal di LKSA Widhya Asih Badung. Hal ini dibuktikan dengan

adanya pendidikan dan pemahaman yang ditanamkan pada anak sejak awal dia

masuk di LKSA dingga akhirnya dia keluar dari LKSA anak sudah ditempa untuk

menjadi pribadi yang dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Anak-anak

juga dapat mengajarkan pentingnya bersikap toleransi kepada orang-orang sekitar.

Toleransi yang diajarkan oleh LKSA Widhya Asih Badung bukan hanya toleransi

mayoritas memberikan kebebasan untuk minoritas dapat mengekspresikan

dirinya. Contohnya seperti anak yang beragama Kristen memberikan izin kepada

anak yang beragama Hindu untuk melakukan sembahyang di kamar mereka,

melainkan tolerasi yang menghilangkan kata “aku mayoritas dan kau minoritas”.

Toleransi yang ditanamkan kepada anak-anak adalah toleransi yang dapat

menciptakan semua orang dapat duduk bersama. makan dan minum bersama dan

belajar bersama tanpa memikirkan perbedaan yang ada. Dialog merupakan hal

yang lakukan di LKSA Widhya Asih badung. Terkhusus dialog non formal.

Karena dengan berdialog kita dapat menemukan jalan keluar dari masalah yang

kita hadapi. Hal tersebut juga yang di tekankan di LKSA Widhya Asih Badung.

Page 31: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

22

Model-model Teologi Agama-agama yang di sampaikan Paul Knitter

merupakan gambaran yang baik untuk digunakan oleh masyarakat kedepannya.

Untuk menghadapi situasi yang semakin hari semakin plural. Model teologi

agama-agama ini juga dapat menjadi acuan untuk kita dapat memahami apa yang

harus kita lakukan untuk berinteraksi dengan sesama kita yang memiliki

kepercayaan yang berbeda. Agar suatu hari nanti kita dapat duduk, makan dan

belajar bersama di meja yang disebut meja kehidupan bersama.

Page 32: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

23

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Nur (ed). Pluralitas Agama; Kerukunan dalam Keragaman: Jakarta:

Kompas, 2001.

Bruinessen, Martin Van, “Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto

Indonesia”, Southeast Asia Research, No. 2, 2002

Chang, William, “Dari Sara” Menuju Teologi Agama-agama”, dalam Th.

Sumartana dkk, (ed.), Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama Di

Indonesia: Yogyakarta: Istitut DIAN/Interfidei, 2001

Darmaputera, Eka, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia: Teks-teks

terpilih Eka Darmaputera, Disunting oleh: Martin L. Sinaga dkk, Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2001

Danang Kristiawan, “Mempertimbangkan Kembali Klaim Absolut Kebenaran

Agama: Theologia Religionum dan Dialog Antaragama Non-

fondasional”, dalam Wacana Teologi, Vol.1, (2009), No.1

Dosen Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan UIN Sunan Ampel Surabaya

“MODEL PENDIDIKAN TOLERANSI DIPESANTREN MODERN

DAN SALAF Ali Maksum”,Volume 03, Nomor 01, Mei 2015

Gerald O‟ Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta, 1996

Hasyim, Umar. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam

Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat

Beragama. Surabaya: Bina Ilmu.

I Gusti Ayu Armini, TOLERANSI MASYARAKAT MULTI ETNIS DAN

MULTIAGAMA DALAM ORGANISASI SUBAK DI BALI, Vol. 5 No.

1, Maret 2013: 39-53

Imron, Ali. Proses Manajemen Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Bumi

Aksara. 2013.

Knitter, F Paul. Christian Theologies of Religions: Searching for Comitment and

Openess,‖ Jurnal Studi Agama dan Masyarakat Waskita I, no. 2

(November 2004)

Knitter, F Paul Comparative Theology Is Not ―Business-as-Usual Theology:

Personal Witness from a Buddhist Christian,‖Buddhist-Christian

StudiesIssue. 35 (January 2015) :181-192.

Knitter, F Paul, Good Neighbors or Fellow Seekers?dealing with the plurality of

wenty-first century,‖Journal INTERRELIGIOUS Insight 12, no. 1

(June 2014):10-26.

Knitter, Paul F, Menggugat Arogansi Kekristenan: Yogyakarta: Kanisius, 2005

Knitter, Paul F,“Introducing to Theologies of Religions”, New York: Orbis Book

2005, diterjemahkan oleh Nico A. Likumahua, Pengantar Teologi

Agama-Agama.Yogyakarta: Kanisius, 2008

Knitter, Paul F, Global Responsibility and Interreligious Dialogue: Searching

for Common Ground,‖ Journal Studi Agama dan Masyarakat Wasikita

II, no 1 (April 2005): 1-16.

Knitter, Paul F, Doing Theology Interreligiously. Issue 1(2011).117-132, diakses

January 31, 2016. http: // web . a. ebscohost. Com / ehost / pdfviewer /

pdfviewer ?sid

Page 33: Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak

24

Kung, Hans. Global Responsibility: In Search of a New World Ethic, New York:

Cross Publisher, 1991.

Langer, Rut. The Blessings and Challenges of Interreligious Prayer,‖ (January

2015): 27-36. Diakses 10 juli 2019.http: // web. b. ebscohost. Com /ehost

/detail /detail?vid = 5&sid = c81e1080-8baa-4d83 -a516 - 70bca8d05775

% 40sessionmgr 113 & hid = 107 & bdata = JnNpd GU9ZW hvc3Qtb

Gl2ZQ % 3d % 3d.)

Lattu, Izak. Beyond Tolerance: Memahami Hubungan Lintas Agama dalam

Konteks Polidoksi dan Poliponik dalam Buku Ajar Pendidikan Agama

Kristen, editor. Retnowati dkk,Salatiga: Satya Wacana University,

Press, 2015. 170.)

Moeliono, Anton M, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta,1990

Moleong, Lexy J,. Metodologi Penelitian Kualitatif , Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2007

Manguling, Sulaiman, “Identitas, Pluralisme dan Kemiskinan”, dalam Panitia

Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Balitbang

PGI (Peny.), Agama Dalam Dilaog: Pencerahan Pendamaian dan Masa

Depan, Buku Pujung Tulis 60Tahun Prof. Dr.Olaf Herbert Schumann, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003

Samiyono, Daid. Pengantar ke dalam Matakuliah Metode Penelitian Sosial,

Salatiga: Satya Wacana University Press 2004

Titaley, John A, Menuju Teologi Agama-agama yang Kontekstual: Dalam

Rangka Pidato Pengukuhan Jabatan Fungsional Akademik Guru Besar

Ilmu Teologi di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga [Tidak

diterbitkan, 29 Nopember,2002]

Th Sumartana., Theologia Religionum,dalamMeretas Jalan Teologi Agama-

Agama di Indonesia, Ed. Tim Balitbang PGI (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 2000)

Widhya Asih Fondation, http://widhyaasihfoundation.com/index.php/about-

us/our-history