tokoh-tokoh penyebar agama islam di indonesia

27
TOKOH-TOKOH YANG MENYEBARKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA DITUJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA PELAJARAN SEJARAH Disusun Oleh : 1. Alifia Lulu Salsabilla 2. Hapsah Aulia Azzahra 3. Siti Nurqoriah Habibah 4. Yusgiani Putri Habibah Kelas : X MIA 1 SMA NEGERI 1 MAJALENGKA Jl. K.H. Abdul Halim No. 113 Telp. (0233) 281220 Majalengka 45418 2014/2015

Upload: hapsah-aulia-azzahra

Post on 15-Nov-2015

146 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Laporan tentang tokoh-tokoh yang menyebarkan Islam di Indonesia

TRANSCRIPT

  • TOKOH-TOKOH YANG MENYEBARKAN

    AGAMA ISLAM DI INDONESIA

    DITUJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA PELAJARAN

    SEJARAH

    Disusun Oleh :

    1. Alifia Lulu Salsabilla

    2. Hapsah Aulia Azzahra

    3. Siti Nurqoriah Habibah

    4. Yusgiani Putri Habibah

    Kelas : X MIA 1

    SMA NEGERI 1 MAJALENGKA

    Jl. K.H. Abdul Halim No. 113 Telp. (0233) 281220 Majalengka 45418

    2014/2015

  • KATA PENGANTAR

    Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur kepada yang Maha Kuasa, karena dengan

    karunianya kami dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi yang bertajuk Tokoh-Tokoh

    yang Menyebarkan Agama Islam di Indonesia ini dengan baik.

    Adapun laporan hasil diskusi tentang Tokoh-Tokoh yang Menyebarkan Agama Islam di

    Indonesia ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan

    berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan laporan ini. Untuk itu kami tidak

    lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami

    dalam pembuatan laporan ini.

    Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari laporan hasil diskusi tentang Tokoh-

    Tokoh yang Menyebarkan Agama Islam di Indonesia ini dapat diambil hikmah dan

    manfaatnya.

    Majalengka, Maret 2015

  • DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i

    DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii

    BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

    1. Latar Belakang ............................................................................................................. 1

    2. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2

    3. Tujuan ......................................................................................................................... 2

    4. Manfaat ....................................................................................................................... 2

    BAB II : PEMBAHASAN ................................................................................................... 3

    1. Penyebaran Islam di Jawa ............................................................................................ 3

    2. Penyebaran Islam di Sumatra ..................................................................................... 19

    3. Penyebaran Islam di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku ............................................ 21

    BAB III : PENUTUPAN ................................................................................................... 23

    1. Kesimpulan ................................................................................................................ 23

    2. Saran ......................................................................................................................... 23

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 24

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

    Islam adalah salah satu agama yang memiliki penganut terbesar di dunia. Selain itu,

    penganutnya juga terus-menerus mengalami peningkatan dan perkembangan yang sangat

    signifikan setiap tahunnya. Perkembangan tersebut terjadi di seluruh dunia, tanpa terikat oleh

    geografis, etnis, kasta dan lain sebagainya. Islam diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi

    Muhammad Saw dari golongan kaum Quraisy. Padahal, agama-agama sebelumnya banyak

    diturunkan kepada bangsa Israil, bukan kaum Quraisy yang tidak memiliki akar sejarah yang

    kuat ketimbang bangsa Israil. Respon masyarakat terhadap agama Islam sangat menakjubkan

    sekali. Sebab Islam yang tergolong agama baru dibandingkan agama lainnya, bisa mendapat

    respon positif dari masyarakt yang mengitarinya, bahkan memiliki penganut yang besar

    hingga saat ini.

    Negara Indonesia merupakana negara yang memiliki penganut Islam terbesar di jagad

    raya ini. Dalam sejarahnya, Islam pertama kali turun dan berkembang di Jazirah Arab, bukan

    di Indonesia. Lantas, mengapa yang memiliki penganut Islam terbesar di dunia adalah bangsa

    Indonesia? Tidakkah terlalu jauh antara Arab-Indonesia? Kenapa tidak Negara tetangganya

    saja yang memiliki mayoritas penganut agama Islam, misalnya Tajikistan, Palestina, Turki,

    Uzbekistan, dan lain-lain? Dan bagaimana perkembangan Islam pada awal masuknya ke

    Nusantara?

    Ketika Islam datang di Indonesia, berbagai agama dan kepercayaan seperti animisme,

    dinamisme, Hindu dan Budha, sudah banyak dianut oleh bangsa Indonesia. Bahkan

    dibeberapa wilayah kepulauan Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu

    dan Budha. Misalnya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, kerajaan Taruma Negara di Jawa

    Barat, kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan sebagainya. Namun Islam datang ke wilayah-

    wilayah tersebut dapat diterima dengan baik, karena Islam datang dengan membawa prinsip-

    prinsip perdamaian, persamaan antara manusia (tidak ada kasta), menghilangkan perbudakan

    dan yang paling penting juga adalah masuk kedalam Islam sangat mudah hanya dengan

    membaca dua kalimah syahadat dan tidak ada paksaan.

    Menurut kesimpulan seminar masuknya Islam di Indonesia pada tanggal 17 s.d 20

    Maret 1963 di Medan, Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau pada

    abad ke-7 M. Menurut sumber lain menyebutkan bahwa Islam sudah mulai ekspedisinya ke

  • Nusantara pada masa Khulafaur Rasyidin (masa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq, Umar bin

    Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib), disebarkan langsung dari Madinah.

    Pada abad ke-7 M, bangsa Indonesia kedatangan para pedagang Islam dari Arab, Persia,

    dan India. Mereka telah ambil bagian dalam kegiatan perdagangan di Indonesia. Hal ini

    konsekuensi logisnya menimbulkan jalinan hubungan dagang antara masyarakat Indonesia

    dan para pedagang Islam. Di samping berdagang, sebagai seorang muslim juga mempunyai

    kewajiban berdakwah maka para pedagang Islam juga menyampaikan dan mengajarkan

    agama dan kebudayaan Islam kepada orang lain. Dengan cara tersebut, banyak pedagang

    Indonesia memeluk agama Islam dan mereka pun menyebarkan agama Islam dan budaya

    Islam yang baru dianutnya kepada orang lain. Dengan demikian, secara bertahap agama dan

    budaya Islam tersebar dari pedagang Arab, Persia, India kepada bangsa Indonesia.

    Proses penyebaran Islam melalui perdagangan sangat menguntungkan dan lebih efektif

    dibandingkan dengan cara lainnya.

    2. Rumusan Masalah

    a. Siapa sajakah Tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran Islam di Indonesia ?

    3. Tujuan Penulisan

    Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran islam di Indonesia.

    4. Manfaat Penulisan

    Melalui laporan ini kami berharap agar makalah ini dapat menambah ilmu dan wawasan

    para pembaca mengenai tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran agama Islam di

    Indonesia.

  • BAB II

    PEMBAHASAN

    1. Pernyebaran Islam di Jawa

    "Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan

    Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan

    Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan.

    Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam

    hubungan guru-murid.

    Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan

    Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel.

    Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan

    sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus

    murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana

    Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

    Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di

    tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-

    Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang

    menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk

    peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian,

    kemasyarakatan hingga pemerintahan.

    Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa

    itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri

    dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan

    Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa

    hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

    Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara

    untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di

    Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan

  • mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya

    terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat

    "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

    Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam.

    Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan

    Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga

    Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat

    dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.

    Berikut adalah biografi para walisongo :

    1. Sunan Gresik

    Agama Islam menyebar di bumi nusantara dikabarkan dilakukan oleh para ulama yang

    kemudian dianugrahi gelar Wali Songo. Dan Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim

    adalah sosok ulama pertama yang diberi gelar sebagai Wali Songo. Sunan Gresik atau

    Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang

    dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa

    Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.

    Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik

    Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan

    Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal

    keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.

    Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-

    Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi.

    Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada

    paruh awal abad 14.

    Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan

    perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal,

    Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin,

    dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para

    Mahomedans lainnya di Desa Leran di Janggala.

  • Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan

    J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan,

    Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.

    Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya

    dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali

    Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Jafar ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib,

    Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah,

    Alwi ats-Tsani, Ali Khali Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul

    Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar

    al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.

    Penyebaran Agama

    Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama

    menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para

    Walisongo lainnya.

    Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah

    yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan

    Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam

    di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.

    Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi

    bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia

    tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan

    hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat

    keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.

    Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan

    Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang

    sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.

    Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja

    dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai

    pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.

  • Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan

    kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam

    tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota

    Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat

    tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada

    saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk

    dari Asia Barat.

    Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan

    menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren

    yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini

    makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama

    Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai

    berkunjung untuk berziarah.

    Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabiul Awwal, sesuai

    tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran,

    mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur

    harisah.

    Legenda Rakyat

    Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia.

    Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana

    Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama

    terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil

    Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah;

    Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam

    Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.

    Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai

    negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang

    memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau

    Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa

  • dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya

    menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.

    Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek

    Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan

    berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah

    dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.

    Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib,

    diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa.

    Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

    Wafat

    Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun

    1419 Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik,

    Jawa Timur. Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.

    2. Sunan Ampel

    Sunan Ampel merupakan salah seorang anggota Walisanga yang sangat besar jasanya

    dalam perkembangan Islam di Pulau Jawa. Sunan Ampel adalah bapak para wali.Dari

    tangannya lahir para pendakwah Islam kelas satu di bumi tanah jawa. Nama asli Sunan

    Ampel adalah Raden Rahmat. Sedangkan sebutan sunan merupakan gelar kewaliannya, dan

    nama Ampel atau Ampel Denta itu dinisbatkan kepada tempat tinggalnya, sebuah tempat

    dekat Surabaya.

    Ia dilahirkan tahun 1401 Masehi di Champa.Para ahli kesulitan untuk menentukan

    Champa disini, sebab belum ada pernyataan tertulis maupun prasasti yang menunjukkan

    Champa di Malaka atau kerajaan Jawa. Saifuddin Zuhri (1979) berkeyakinan bahwa Champa

    adalah sebutan lain dari Jeumpa dalam bahasa Aceh, oleh karena itu Champa berada dalam

    wilayah kerejaan Aceh. Hamka (1981) berpendapat sama, kalau benar bahwa Champa itu

    bukan yang di Annam Indo Cina, sesuai Enscyclopaedia Van Nederlandsch Indie, tetapi di

    Aceh.

  • Ayah Sunan Ampel atau Raden Rahmat bernama Maulana Malik Ibrahim atau Maulana

    Maghribi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Ibunya bernama Dewi

    Chandrawulan, saudara kandung Putri Dwarawati Murdiningrum, ibu Raden Fatah, istri raja

    Majapahit Prabu Brawijaya V. Istri Sunan Ampel ada dua yaitu: Dewi Karimah dan Dewi

    Chandrawati. Dengan istri pertamanya, Dewi Karimah, dikaruniai dua orang anak yaitu:

    Dewi Murtasih yang menjadi istri Raden Fatah (sultan pertama kerajaan Islam Demak

    Bintoro) dan Dewi Murtasimah yang menjadi permaisuri Raden Paku atau Sunan Giri.

    Dengan Istri keduanya, Dewi Chandrawati, Sunan Ampel memperoleh lima orang anak,

    yaitu: Siti Syareat, Siti Mutmainah, Siti Sofiah, Raden Maulana Makdum, Ibrahim atau

    Sunan Bonang, serta Syarifuddin atau Raden Kosim yang kemudian dikenal dengan sebutan

    Sunan Drajat atau kadang-kadang disebut Sunan Sedayu.

    Sunan Ampel dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan alim, sangat terpelajar dan

    mendapat pendidikan yang mendalam tentang agama Islam. Sunan Ampel juga dikenal

    mempunyai akhlak yang mulia, suka menolong dan mempunyai keprihatinan sosial yang

    tinggi terhadap masalah-masalah.

    3. Sunan Giri

    Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton,

    yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan

    Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul

    Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas,

    Gresik.

    Silsilah

    Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri.

    Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang

    datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu

    putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan

    Majapahit.

    Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan

    Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin,

  • Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi,

    Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani,

    Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad

    Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin

    Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri).

    Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur,

    dan catatan nasab Saadah Ba Alawi Hadramaut.

    Kisah

    Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari

    Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan

    pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan

    berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi

    Sekardadu menghanyutkannya ke laut.

    Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke

    Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede

    Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.

    Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar

    agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel

    mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel

    mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di

    Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di

    sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan

    alasan mengapa dia dulu dibuang.

    Dakwah dan Kesenian

    Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden

    'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah

    perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak

    itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.

  • Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama

    Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan

    Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri

    Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya

    ditumbangkan oleh Sultan Agung.

    Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan

    dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir

    dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana

    dan Pucung.

    4. Sunan Bonang

    Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya

    adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama

    Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.

    Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup

    dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia

    berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan

    Masjid Sangkal Daha.

    Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer

    timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus

    pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai

    imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi.

    Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana

    ke daerah-daerah yang sangat sulit.

    Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau

    Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di

    sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan

    Tuban.

    Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran

    ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin,

  • tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai

    seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.

    Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan

    kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan

    intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut

    disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal

    ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.

    Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah

    satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al

    Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung

    laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta

    Hamzah Fansuri.

    Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu,

    dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang,

    dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir

    yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo

    Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang.

    Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius

    penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas

    Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan

    antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).

    5. Sunan Drajat

    Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama

    lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang

    Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran

    Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari

    perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel

    lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng

  • Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan

    halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.

    Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung

    halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan

    Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan

    sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.

    Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di

    tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan,

    sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu.

    Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang ada juga yang menyebut ikan cakalang.

    Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat

    yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini

    terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung

    bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.

    Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga

    terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan

    menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan

    sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.

    Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi

    kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun,

    Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi

    dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.

    Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih

    menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin

    oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah

    perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah

    angker.

    Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu.

    Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat

  • kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan

    Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan

    hektare.

    Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan,

    yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan

    masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah

    menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.

    Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di

    tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan

    Sunan Drajat termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan

    lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.

    Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para

    pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. Bapang

    den simpangi, ana catur mungkur, demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan

    pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.

    Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara

    bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara.

    Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui

    penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam

    menyelesaikan suatu masalah.

    Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat

    tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama

    melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

    Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta;

    paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung

    kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang

    kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang

    kehujanan.

  • Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari

    perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan

    makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar,

    Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk

    melaksanakan salat magrib.

    Berhentilah bekerja, jangan lupa salat, katanya dengan nada membujuk. Ia selalu

    menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan

    doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur

    Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan

    dalam suatu perjalanan.

    Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika

    Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening

    yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut

    menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa

    Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.

    Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri

    pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum

    sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan

    Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.

    Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi saling

    memuridkan. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden

    Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau

    Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.

    Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan

    cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana

    dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan

    Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat

    dikaruniai tiga putra.

  • Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran

    Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan

    Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun,

    kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.

    Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun,

    kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: Duk samana anglaksanani, mangkat

    sakulawarga. Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik

    sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli

    sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.

    Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan

    Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa

    peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.

    6. Sunan Kalijaga

    Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar

    tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh

    pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut

    Islam.

    Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama

    panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden

    Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang

    disandangnya.

    Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon.

    Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan

    Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam

    ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal

    dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan.

    Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan

    demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak,

    Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta

  • awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula

    merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal"

    (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan

    Kalijaga.

    Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya,

    Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi

    panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk

    berdakwah.

    Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika

    diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil

    mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya

    kebiasaan lama hilang.

    Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia

    menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.

    Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon

    wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin

    serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

    Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam

    melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,

    Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di

    Kadilangu -selatan Demak.

    7. Sunan Muria

    Ia putra Dewi Sarohadik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak,

    dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari

    tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.

    Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda

    dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari

    pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil

  • mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah

    kesukaannya.

    Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di

    Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan

    berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat

    diterima oleh semua pihak yang berseteru.

    Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah

    satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

    8. Sunan Kudus

    Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik

    Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah

    seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun

    diangkat menjadi Panglima Perang.

    Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai

    daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara

    berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat.

    Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang kesulitan mencari

    pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

    Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-

    simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara,

    gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah

    wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

    Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya.

    Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman

    masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah

    mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi

    betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk

    menyembelih sapi.

  • Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara

    berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan

    yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan

    begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

    Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya,

    ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak,

    di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya

    Penangsang.

    9. Sunan Gunung Jati

    Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya

    adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu

    Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad

    Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).

    Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung

    Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M.

    Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan

    ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani

    Hasyim dari Palestina.

    Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir.

    Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak,

    dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal

    sebagai Kasultanan Pakungwati.

    Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin

    pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran

    untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

    Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga

    mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan

    antar wilayah.

  • Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi

    ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah

    Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

    Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni

    dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan

    Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah

    Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

    2. Penyebaran Islam di Sumatra

    Agama Islam masuk ke wilayah Indonesia dibawa oleh para pedagang dari Arab dan

    Gujarat. Mula-mula Islam dikenal dan berkembang di daerah Sumatra Utara, tepatnya di

    Pasai dan Peurlak. Dari daerah tersebut, Agama Islam terus menyebar ke hampir seluruh

    wilayah Nusantara. Agama Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia

    waktu itu.

    Di Sumatra pernah berdiri kerajaan-kerajaan Islam, yaitu Samudra Pasai dan Kerajaan

    Aceh. Beberapa tokohnya sebagai berikut.

    1. Abdurrauf Singkil

    Syekh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105

    H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar

    dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya

    yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).

    Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-

    Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang

    datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-

    mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan

    Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya

    ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.

    Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta

    mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya

    banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama

  • terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul

    Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).

    Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia

    dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya

    Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.

    2. Sultan Malik al-Saleh

    Sultan Malik Al-Saleh adalah pendiri dan raja pertama Kerajaan Samudera Pasai.

    Sebelum menjadi raja beliau bergelar Merah Sile atau Merah Selu. Beliau adalah putera

    Merah Gajah. Diceritakan Merah Selu mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Akhirnya,

    beliau berhasil diangkat menjadi raja di suatu daerah, yaitu Samudra Pasai.

    Merah Selu masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang Syarif

    Mekah. Setelah masuk Islam, Merah Selu diberi gelar Sultan Malik Al-Saleh atau Sultan

    Malikus Saleh. Sultan Malik Al-Saleh wafat pada tahun 1297 M.

    3. Sultan Ahmad

    Sultan Ahmad adalah sultan Samudera Pasai yang ketiga. Beliau bergelar Sultan Malik

    Al-Tahir II. Pada masa pemerintahan beliau, Samudera Pasai dikunjungi oleh seorang ulama

    Maroko, yaitu Ibnu Battutah. Ulama ini mendapat tugas dari Sultan Delhi, India untuk

    berkunjung ke Cina. Dalam perjalanan ke Cina Ibnu Battutah singgah di Samudera Pasai.

    Ibnu Battutah menceritakan bahwa Sultan Ahmad sangat memperhatikan perkembangan

    Islam. Sultan Ahmad selalu berusaha menyebarkan Islam ke wilayah-wilayah yang

    berdekatan dengan Samudera Pasai. Beliau juga memperhatikan kemajuan kerajaannya.

    4. Alauddin Riyat Syah

    Sultan Alauddin Riyat Syah adalah sultan Aceh ketiga. Beliau memerintah tahun 1538-

    1571. Sultan Alauddin Riyat Syah meletakan dasardasar kebesaran Kesultanan Aceh. Untuk

    menghadapi ancaman Portugis, beliau menjalin kerja sama dengan Kerajaan Turki Usmani

    dan kerajaankerajaan Islam lainnya. Dengan bantuan Kerajaan Turki Usmani, Aceh dapat

    membangun angkatan perang yang baik.

    Sultan Alauddin Riyat Syah mendatangkan ulama-ulama dari India dan Persia. Ulama-

    ulama tersebut mengajarkan agama Islam di Kesultanan Aceh. Selain itu, beliau juga

  • mengirim pendakwah-pendakwah masuk ke pedalaman Sumatera, mendirikan pusat Islam di

    Ulakan, dan membawa ajaran Islam ke Minang Kabau dan Indrapura. Sultan Alauddin Riyat

    Syah wafat pada tanggal 28 September 1571.

    5. Sultan Iskandar Muda

    Sultan Iskandar Muda adalah sultan Aceh yang ke-12. Beliau memerintah tahun 1606-

    1637. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh mengalami puncak kemakmuran

    dan kejayaan. Aceh memperluas wilayahnya ke selatan dan memperoleh kemajuan ekonomi

    melalui perdagangan di pesisir Sumatera Barat sampai Indrapura. Aceh meneruskan

    perlawanan terhadap Portugis dan Johor untuk merebut Selat Malaka.

    Sultan Iskandar Muda menaruh perhatian dalam bidang agama. Beliau mendirikan sebuah

    masjid yang megah, yaitu Masjid Baiturrahman. Beliau juga mendirikan pusat pendidikan

    Islam atau dayah. Pada masa inilah, di Aceh hidup seorang ulama yang sangat terkenal, yaitu

    Hamzah Fansuri.

    Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, disusun sistem perundang-undangan

    yang disebut Adat Mahkota Alam. Sultan Iskandar Muda juga menerapkan hukum Islam

    dengan tegas. Bahkan beliau menghukum rajam puteranya sendiri. Ketika dicegah melakukan

    hal tersebut, beliau mengatakan, Mati anak ada makamnya, mati hukum ke mana lagi akan

    dicari keadilan. Setelah beliau wafat, Aceh mengalami kemunduran.

    3. Penyebaran Agama Islam di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku

    Perkembangan Islam di wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku juga terjadi melalui

    jalur perdagangan. Perkembangan Islam di daerah ini semakin cepat karena peran putra-putra

    daerah ini menuntut ilmu agama Islam ke Jawa. Ketika pulang mereka menjadi ulama yang

    menyebarkan agama di daerahnya. Perkembangan Islam di wilayah ini ditandai dengan

    berdirinya kerajaan Islam seperti Kesultanan Kutai Kertanegara, Ternate, dan Kerajaan

    Gowa-Tallo. Beberapa tokoh dari sejarah perkembangan Islam di Kalimantan, Sulawesi, dan

    Maluku antara lain sebagai berikut.

    1. Sultan Alauddin

    Sultan Alauddin adalah raja Gowa ke-14. Beliau adalah raja Gowa pertama yang

    memeluk agama Islam. Beliau masuk Islam bersamaan dengan raja Tallo. Raja Tallo tersebut

  • sekaligus menjadi Mangkubumi Kerajaan Gowa. Setelah masuk Islam, raja Tallo itu dinamai

    Sultan Abdullah Awwal al-Islam.

    SetelahSultan Alauddin dan Mangkubuminya Sultan Abdullah Awwal al-Islam masuk

    Islam, berangsur-angsur rakyat Gowa-Tallo juga di-islamkan. Sultan Alauddin juga berusaha

    menyebarkan Islam ke kerajaan tetangganya. Kerajaan-kerajaan yang berhasil di-islam-kan

    antara lain Kerajaan Soppeng (1607), Wajo (1610), dan Bone (1611). Beliau masih

    melanjutkan penyebaran Islam ke Buton, Dompu (Sumbawa), dan Kengkelu (Tambora,

    Sumbawa).

    2. Tuan Tunggang Parangan

    Tuan Tunggang Parangan adalah ulama yang menyebarkan agama Islam di Kerajaan

    Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur. Awalnya di kerajaan ini ada dua ulama yang

    melakukan siar agama Islam yaitu Tuan Tunggang Parangan dan Dato ri Bandang. Namun

    setelah beberapa lama, Dato ri Bandang kembali ke Makasar (Kerajaan Gowa- Tallo)

    melanjutkan siar yang telah beliau rintis di sana. Tuan Tunggang Parangan tetap tinggal di

    Kutai.

    Berkat ajaran Tuan Tunggang Parangan, Raja Aji Mahkota memeluk Islam. Hal itu

    diikuti oleh putranya, Ai Di Langgar, yang menggantikan kedudukannya. Keislaman Raja

    Mahkota diikuti juga oleh pangeran, hulubalang, dan seluruh rakyat Kutai. Penduduk yang

    enggan masuk Islam semakin terdesak masuk ke pedalaman.

    Kerajaan Kutai Kertanegara berganti nama menjadi Kesultanan Kutai Kertanegara.

    Ajaran Islam berkembang pesat di kesultanan ini. Raja memberlakukan undang-undang

    kesultanan yang berpedoman pada ajaran Islam.

    3. Sultan Zainal Abidin

    Zainal Abidin adalah raja Kerajaan Ternate (1486-1500). Beliau pernah pergi ke Giri,

    untuk belajar agama Islam. Ketika kembali dari Giri, beliau berusaha memasukkan ajaran

    Islam dalam pemerintahannya. Beliau juga berusaha memperluas pengajaran Islam untuk

    rakyat. Beliau mendirikan pesantren dan mendatangkan guru-guru (ulama) dari Jawa. Selain

    itu, Zainal Abidin juga berusaha menyebarkan Islam lewat ekspansi kekuasaannya.

  • BAB III

    PENUTUP

    1. Kesimpulan

    Negara Indonesia merupakana negara yang memiliki penganut Islam terbesar di dunia. Islam

    masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M. Perkembangan agama Indonesia di Indonesia sangat

    pesat. Hal ini atas berkat para tokoh yang berjuang dalam menyebarkan agama Islam, sehingga

    mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Penyebaran agama Islam dilakukan di berbagai

    daerah yang berbeda dan penyebarannya dilakukan oleh tokoh yang berbeda pula. Diantaranya :

    di Pulau Jawa penyebaran agama Islam dilakukan oleh walisonga atau para wali (Sunan Gresik,

    Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan

    Kudus, dan Sunan Gunung Jati), di Pulau Sumatera penyebaran agama Islam dilakukan oleh

    Abdurrauf Singkil, Sultan Malik al-Saleh, Sultan Ahmad, Alauddin Riyat Syah, dan Sultan

    Iskandar Muda. Di Pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku penyebaran agama Islam

    dilakukan oleh Sultan Alauddin, Tuan Tunggang Parangan, dan Sultan Zainal Abidin.

    2. Saran

    Kita harus menghargai jasa perjuangan para tokoh penyebar agama Islam ini dalam

    menyebarkan agama Islam di Indonesia. Kita juga harus melanjutkan perjuangan para tokoh

    untuk menyebarkan agama Islam. Dari kisah para tokoh, kita pun harus mengikuti sifat-sifat

    teladannya.

  • DAFTAR PUSTAKA

    http://postinganpuput.blogspot.com/2013/12/makalah-perkembangan-islam-di-

    indonesia.html

    http://tigapuluh-tujuh.blogspot.com/

    http://sajadahmuslimku.blogspot.com/2014/03/tokoh-tokoh-penyebar-agama-islam-di.html