tka raihan yusuflib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-ta-raihan... · berbagai macam...

49
UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS VIKTIMOLOGI KRITIS PADA PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI KORBAN TERORISME DI INDONESIA TUGAS KARYA AKHIR RAIHAN YUSUF 1406618530 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI SARJANA KRIMINOLOGI DEPOK 2018 Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Upload: others

Post on 25-Nov-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS VIKTIMOLOGI KRITIS PADA PEMBERIAN

KOMPENSASI DAN RESTITUSI KORBAN TERORISME

DI INDONESIA

TUGAS KARYA AKHIR

RAIHAN YUSUF

1406618530

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI SARJANA KRIMINOLOGI

DEPOK

2018

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 2: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS VIKTIMOLOGI KRITIS PADA PEMBERIAN

KOMPENSASI DAN RESTITUSI KORBAN TERORISME

DI INDONESIA

TUGAS KARYA AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial

RAIHAN YUSUF

1406618530

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI SARJANA KRIMINOLOGI

DEPOK

JANUARI 2018

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 3: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

HALAMAN PERNYATAAN ORISINAI,ITAS

Tugas Karya Akhir ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baikyang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.(

Nama

NPMTanda Tangan

Tanggal

Raihan Yusuf

1406618530

11 Januari 2018

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 4: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

Telah berhasit dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagianpersyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program StudiKriminologi, Fakultas IImu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

DEWAII PENGUJI

Tugas Karya Akhtu ini diajukan oleh

Nama

NPM

Program Studi

Judul Tugas Karya Akhir

Pembimbing

Penguji Ahli

Ketua Sidang

Sekretaris Sidang

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 1.1 Januari 2018

HALAMAN PENGESAHA}{

: Raihan Yusuf

: 1406618530

: Kriminologi'

: Analisis Viktimologi Kritis pada .PemberianKqmFensasi dan Restitusi Korban Terorisme diIndonesia

,MFerdinand T. AndiLolo, S.IL, LL.M., Ph.D

Herlina Permata Sari S.Sos., M.Crim

Yogo Tri Hendiarto, S.Sos., M.Si

Dr. Anggi Aulina Harahap Dipl.-Soz

lil

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 5: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

KATA PENGANTAR

puji dan syrkur saya panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, karunia

dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan Tugas Karya Akhir ini. Penulisan Tugas

Karya Akhir ini saya lakukan dalam rangka pemenuhan salah satu syarat untuk

menyelesaikan masa studi saya di Departemen Kriminologi Universitas Indonesia.

Tulisan ini tidak akan berhasil saya selesaikan tanpa adanya bantuan serta bimbingan dari

berbagai pihak, dari awal masa studi saya hingga saat saya menyelesaikan Tugas Karya

Akhir ini. Maka dari itu saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Ferdinand T. Andi Lolo, S.H., LL.M., Ph.D, selaku dosen pembimbing

yang telah mengerahkan waktu, tenaga serta pikirannya untuk membimbing saya

dalam penulisan Tugas Karya Akhir ini.

2. Dosen-dosen departemen iriminologi yang senantiasa memberi ilmu dan

perspektif baru serta para staff departemen Kriminologi yang tidak pernah

menolak membantu.

3. pihak LPSK khususnya Mas Andreas dan Mas Aat yang telah banyak membantu

dalam usaha memperoleh data yang saya butuhkan.

4. Orang tua dan keluarga saya yang selalu memberikan bantuan dalam bentuk

apapun yang mereka bisa.

5. Teman-teman seperjuatgal Ikatan Keluarga Kriminologi 2014 atas waktu

diskusi, bantuan, saran sefia dukungannya.

Akhir kata, saya berharap dapat membalas segala kebaikan kepada semua pihak yang

memberikan bantuannya dalam pembuatan tulisan ini. Semoga Tugas Karya Akhir saya

ini dapat bermanfaat bagi civitas akademik dan masyarakat'

Depok, 11 J-anuari 2018i1/

/,/,t/?V

Raihan Yusuf

IV

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 6: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASITUGAS AKIIIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama

NPMProgram Studi

Departemen

Fakultas

Jenis karya

Raihan Yusuf140661 8530

Kriminologi

Kriminologi u

Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikTugas Karya Akhir (TKA)

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free

Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Analisis Viktimisasi Kritis pada Pemberian Kompensasi dan Restitusi Korban

Terorisme di Indonesia

beserta perangkat yang ada (ika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif

ini, Universitas lndonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola

dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya

selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak

Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Padatanggal : 11 Januari2018

Yang menyatakant /// y,/

\l '{''(Raihan Yusuf)

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 7: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

vi Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Raihan Yusuf

Program Studi : Kriminologi

Judul : Analisis Viktimologi Kritis pada Pemberian Kompensasi dan Restitusi Korban Terorisme di Indonesia

Tugas Karya Akhir ini membahas tentang bagaimana pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban terorisme di Indonesia jika dilihat dari sudut pandang viktimologi kritis. Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain deskriptif serta menggunakan data yang bersifat sekunder dari literatur ilmiah, media online, dan laporan LPSK sebagai instansi pemerintah terkait. Hasil dari tulisan ini menjelaskan bahwa negara melakukan viktimisasi struktural kepada korban terorisme atas tidak diberikannya kompensasi dan restitusi yang merupakan hak korban terorisme. Melalui tulisan ini, penulis menyarankan agar pemerintah mempermudah birokrasi pemberian kompensasi dan restitusi serta menghapus syarat adanya putusan pengadilan agar korban mendapatkan apa yang menjadi haknya.

Kata Kunci: korban terorisme, kompensasi, restitusi, viktimologi kritis

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 8: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

vii Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Raihan Yusuf

Study Program : Criminology

Title : Critical Victimology Analysis on Compensation and Restitution Provision for Victim of Terrorism in Indonesia

This thesis discusses about how state provides compensation and restitution for the victims of terrorism in Indonesia from the point of view of Critical Victimology. The method used in this thesis is qualitative approach with descriptive design and using secondary data from the scientific literature, online media, and LPSK’s reports as the related government agency. The result of this paper explains that the state conducts structural victimization to the victims of terrorism for not providing compensation and restitution which is the right of victims of terrorism. As a recommendation, the author suggests that the government should simplify the bureaucracy of providing compensation and restitution, and also remove the court decision as a requirement in order for the victims to get their rights.

Key Words: victim of terrorism, compensation, restitution, critical victimology

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 9: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

viii Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………..i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS …………………………………….ii HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………………...iii KATA PENGANTAR ………………………………………………………………..iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……………………….v ABSTRAK ……………………………………………………………………………vi DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..viii DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………ix DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………….x 1. PENDAHULUAN ………………………………………………………………..1

2. KERANGKA PIKIR ……………………………………………………………..3 3. KERANGKA TEORI DAN KONSEP …………………………………….…4

4. HAK KOMPENSASI DAN RESTITUSI KORBAN TERORISME ….……10 5. FASILITASI PEMBERIAN KOMPENSASI KORBAN TERORISME

DI INDONESIA …………………………………………………………..……19

6. MEKANISME PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI DI INDONESIA ………………………………………………………………22

7. HAMBATAN DALAM PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI .........................................................................................................24

8. ANALISIS VIKTIMOLOGI KRITIS ………………………………………...26 9. KESIMPULAN ………………………………………………………………….29 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………..31 LAMPIRAN ………………………………………………………………………….36

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 10: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

ix Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Anggaran Bantuan Kompensasi, Restitusi LPSK 2010-2013 ……………..20

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 11: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

x Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.2 Skema Pemberian Kompensasi dan Restitusi ………………………….22

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 12: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

1

Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN

Polemik dalam permasalahan terorisme di dunia mungkin tidak akan menemukan

titik penghujung. Sejalan dengan hal tersebut, dinamika terorisme pun dapat

berkembang seiring dengan proses globalisasi yang kian meningkat, yang hingga saat

ini mencapai gelombang keempat perkembangan terorisme sebagaimana dijelaskan

oleh David Rapoport (1977). Secara umum, terorisme didefinisikan sebagai suatu

perbuatan yang salah, jahat, dan merupakan sebuah bentuk kejahatan. Conte (2010)

menjelaskan lebih lanjut bahwa perbuatan ini didasari oleh alasan kompleks serta

berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index

(2016), pada tahun 2015, terjadi peningkatan jumlah kejadian terorisme hingga 14

persen dari tahun sebelumnya di seluruh dunia. Bahkan Conte (2010), berdasarkan

data tersebut, jika dilihat sejak abad 21, sebanyak 23 negara di dunia mencatatkan

jumlah korban tewas tertinggi di negara masing-masing pada tahun yang sama.

Tren peningkatan terorisme di dunia tersebut berdampak pada Indonesia. Jika

dilihat melalui data yang dikutip dari kanal berita daring rappler.com (2016),

sepanjang tahun 2016, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah menangani 170

kasus terorisme. Secara statistik, jumlah kasus ini mengalami peningkatan yang cukup

signifikan dari tahun 2015 yang berjumlah 82 kasus. Aksi terorisme tidak terlepas pada

jatuhnya korban luka maupun korban jiwa, termasuk korban psikis. Berdasarkan data

yang dilansir dari perusahaan statistik daring internasional statista.com, jumlah korban

tewas akibat terorisme di dunia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mencapai angka

dua ratus ribu jiwa.

Banyaknya jumlah tersebut masih diluar angka korban luka-luka dan korban

trauma psikis. Akan tetapi, korban dalam terorisme seringkali dikesampingkan oleh

pemerintah, khususnya dalam konteks Indonesia. Setiap terjadi sebuah aksi terorisme,

pemerintah seolah terlalu berfokus pada bagaimana menangkap pelaku, bukan

bagaimana menangani para korban. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-undang

Negara Republik Indonesia no. 15 tahun 2003 yang membahas tentang pemberantasan

tindak pidana terorisme. Isi UU tersebut secara garis besar berfokus pada pembahasan

pelaku terorisme, tentang siapa yang disebut sebagai pelaku, dan tentang bagaimana

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 13: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

2

Universitas Indonesia

hukuman yang berlaku pada pelaku terorisme. Namun dari sisi korban, UU tersebut

hanya menjelaskan tentang korban pada Bab VI, yang terbatas pada pembahasan

mengenai kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi yang berhak diterima korban. Hal

inilah yang menjadi sorotan penulis yakni, minimnya bahasan tentang korban

terorisme dibandingkan dengan pelaku dalam UU no. 15 tahun 2003 tentang

pemberantasan tindak pidana terorisme. Sisi kebaruan pada tulisan ini adalah pada

pemberian kompensasi dan restitusi terhadap korban terorisme yang merupakan hak

korban terorisme jika dilihat dari perspektif viktimologi kritis.

Pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban terorisme di Indonesia masih

mengalami berbagai perdebatan. Perdebatan yang terjadi didasari oleh adanya

perbedaan pandangan terkait kompensasi dan restitusi sebagai hak korban terorisme.

Pemerintah dalam undang-undangnya menyatakan bahwa kompensasi dan restitusi

merupakan hak korban terorisme, namun hanya jika hal tersebut telah melalui putusan

pengadilan. Negara dalam hal ini tidak akan memberikan kompensasi dan restitusi jika

seseorang tidak dinyatakan berhak mendapatkannya didalam putusan pengadilan

meskipun orang tersebut memang benar-benar korban dari tindak pidana terorisme

yang terjadi. Namun disisi lain, pihak yang merasa menjadi korban terorisme merasa

bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi dari negara meskipun

pengadilan tidak menyatakan bahwa mereka adalah korban terorisme. Seiring dengan

proses perancangan UU pemberantasan tindak pidana terorisme baru yang sedang

dibuat, maka penulis merasa perlu memberikan analisis melalui perspektif viktimologi

kritis agar dapat dijadikan dasar untuk memuat hak korban terorisme berupa

kompensasi dan restitusi dengan lebih spesifik dan detil.

Berbagai media telah memuat informasi tentang bagaimana pemberian

kompensasi dan restitusi di Indonesia dilakukan. Tempo.co (2017) pada beritanya

menyatakan bahwa pemberian kompensasi dan restitusi pada korban terorisme tidak

maksimal karena terhambat putusan pengadilan. Selain itu, tribunnews (2017)

memberitakan tentang dikabulkannya permohonan kompensasi dari korban terorisme

gereja Oikumene di Samarinda pada 25 September 2017 lalu dan putusan terkait

pemberian kompensasi ini merupakan yang pertama kali dari serangkaian kasus

terorisme yang terjadi di Indonesia. Jika melihat dalam konteks undang-undang,

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 14: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

3

Universitas Indonesia

kompensasi dan restitusi bagi korban terorisme di Indonesia akan diberikan oleh

negara hanya jika pengadilan membuat putusan demikian. Namun, jika melihat dari

konteks hak korban menurut viktimologi, kompensasi dan restitusi merupakan hak dari

korban tindak kejahatan, termasuk kejahatan kemanusiaan seperti terorisme.

Berdasarkan pemaparan tersebut, thesis statement pada tulisan ini yakni jika

melihat dari perspektif viktimologi dan diperdalam dengan pandangan viktimologi

kritis, maka dalam pemberian kompensasi dan restitusi pada korban terorisme, negara

telah melakukan viktimisasi struktural, yang juga merupakan reviktimisasi pada

korban terorisme. Hal ini diawali dari pembuatan UU yang membatasi pemberian

kompensasi dan restitusi korban terorisme pada suatu putusan pengadilan.

2. KERANGKA PIKIR

Pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban terorisme di Indonesia masih

menjadi perdebatan. Secara hukum, negara tidak melakukan kejahatan karena pada

kenyataannya korban yang berhak mendapat kompensasi dan restitusi adalah korban

yang telah ditentukan dalam putusan pengadilan yang juga memuat tentang besaran

jumlah kompensasi dan restitusi yang harus diberikan negara pada para korban.

Namun, jika dilihat dari perspektif kriminologi, khususnya pada subkajian

viktimologi, maka hal ini dapat dilihat secara berbeda. Perbedaan ini akan dikaji secara

lebih mendalam dengan menggunakan viktimologi kritis sebagai landasan teori.

Dalam viktimologi kritis yang membahas secara fokus terkait hak,

kewarganegaraan dan negara tersebut kemudian mengerucut pada viktimisasi yang

dilakukan oleh negara pada pemberian kompensasi dan restitusi tersebut. Kemudian,

viktimisasi yang dilakukan negara jika dilihat dari perspektif viktimologi kritis

tersebut dikerucutkan lagi ke arah viktimisasi struktural yang dilakukan pemerintah

terhadap korban terorisme karena adanya pembatasan hak. Viktimisasi struktural yang

dilakukan oleh negara tersebut kemudian dikaitkan dengan viktimisasi sekunder yang

diterima korban terorisme, dimana selain menjadi korban terorisme, korban juga

mendapat viktimisasi untuk kedua kalinya yang dilakukan oleh negara.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 15: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

4

Universitas Indonesia

Jika disimpulkan, maka kerangka berpikir dalam tulisan ini diawali dengan

perdebatan terkait pemberian kompensasi dan restitusi pada korban terorisme yang

memiliki perbedaan antara pandangan hukum dengan pandangan viktimologi.

Kemudian dianalisis menggunakan viktimologi kritis sebagai landasan, lalu berakhir

pada negara yang melakukan viktimisasi struktural dan viktimisasi sekunder.

3. KERANGKA TEORI DAN KONSEP

Tulisan ini menggunakan beberapa konsep yang dianggap penting untuk

mendukung tulisan penulis dalam proses analisis. Salah satu konsep penting yang

digunakan penulis yaitu konsep korban dan secara spesifik korban tindak pidana

terorisme. Suatu tindak kejahatan tidak terlepas dari munculnya korban yang terkena

akibat dari kejahatan tersebut. Definisi tentang korban mengacu pada penjelasan

Karmen (2009) yang mengatakan bahwa korban secara umum adalah seseorang atau

sekelompok orang yang menderita cedera, kerugian, atau kesulitan dalam hal apapun.

Dalam hal korban tindak pidana terorisme, dapat diartikan sebagai seseorang atau

sekelompok orang yang menderita cedera, kerugian atau kesulitan dalam hal apapun

atas terjadinya suatu tindak pidana terorisme. Menurut Letschert (2010), para korban

dari tindak pidana terorisme biasanya tidak bersedia untuk disebut sebagai korban

karena mereka menganggap bahwa terminologi korban memiliki konotasi negatif.

Mereka biasanya menyebut diri mereka sebagai survivors atau pejuang.

Schmid dalam Letschert (2010) menjelaskan bahwa terdapat beberapa tipologi

dalam memahami korban tindak pidana terorisme. Schmid (2010) membagi tipologi

menjadi dua, yaitu korban primer dan korban sekunder. Korban primer yang dimaksud

memiliki empat kategori. Pertama, mereka yang tewas oleh teroris penyandera, teroris

bersenjata api, atau teroris pelaku pengeboman. Kedua, mereka yang terluka, atau

kehilangan sebagian tubuhnya, atau disiksa secara mental oleh teroris, namun telah

dibebaskan. Ketiga, mereka yang terluka atau tewas dalam penyergapan oleh operasi

aparat penegak hukum yang menangani teroris atau tim tanggap bersenjata. Keempat,

mereka yang secara mental atau fisik terluka permanen atau tewas (dalam kasus bunuh

diri) dalam suatu kejadian atau beberapa kejadian terorisme dimana mereka terlibat

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 16: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

5

Universitas Indonesia

atau menjadi saksi secara langsung. Kemudian, tipologi korban sekunder terorisme

yaitu pertama, mereka yang dekat dengan keempat kategori korban primer (keluarga,

tanggungan hidup, kerabat dan kolega). Kedua, mereka yang namanya muncul dalam

daftar orang tewas. Ketiga, mereka yang memiliki alasan jelas untuk merasa takut akan

menjadi korban di masa yang akan datang. Keempat, tim tanggap yang bertindak untuk

menanggulangi terorisme dan memiliki trauma karena hal tersebut. Kelima, mereka

yang mengalami kerugian pendapatan atau kerusakan properti akibat terorisme.

Keenam, mereka yang kehidupan normalnya berubah akibat adanya ancaman

terorisme dan pendekatan aparat penanggulangan terorisme.

Selain melihat definisi korban dari perspektif viktimologi, penulis merasa perlu

untuk memasukkan literatur pembanding tentang bagaimana dunia mendefinisikan

korban. Pertama kali korban kejahatan menerima perhatian dari hukum internasional

yaitu di dalam PBB. Hal ini melalui General Assembly Resolution 40/34 yang didasari

pada Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of

Power pada tanggal 29 November 1985. Namun, beberapa waktu lalu sebelum artikel

jurnal ini dibuat, norma internasional lain dari regional Eropa juga telah membahas

tentang korban.

Pada norma yang dijelaskan oleh PBB, terdapat dua poin dalam deklarasi tersebut.

Pertama, korban didefinisikan sebagai orang-orang yang, secara individu atau secara

kolektif, telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan

emosional, kerugian ekonomi, atau kerusakan substansial hak-hak dasar mereka,

melalui tindakan atau kelalaian yang melanggar undang-undang pidana yang

beroperasi di negara masing-masing, termasuk undang-undang yang melarang

penyalahgunaan kekuasaan secara kriminal. Kedua, seseorang dapat dianggap sebagai

korban, berdasarkan Deklarasi ini, terlepas dari apakah pelaku diidentifikasi,

ditangkap, dituntut atau dihukum dan terlepas dari hubungan keluarga antara pelaku

dan korban. Istilah "korban" juga mencakup, jika sesuai, keluarga dekat atau

tanggungan dari korban langsung dan orang-orang yang telah menderita kerugian

dalam intervensi untuk membantu korban yang dalam keadaan tertekan atau untuk

mencegah viktimisasi.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 17: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

6

Universitas Indonesia

Memang benar bahwa korban terorisme juga menjadi korban kejahatan dan pada

saat bersamaan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang serius karena

terorisme merupakan kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia. Namun, alasan

mengapa korban terorisme layak mendapat perlakuan berbeda juga karena sifatnya

terhadap tindakan teroris dan kebutuhan khusus korban terorisme. Sehubungan dengan

adanya kebutuhan spesifik korban terorisme, seperti yang disampaikan pada laporan

UNODC dalam Romani (2012) baru-baru ini, sebagian besar tindakan dianggap

sebagai terorisme jika "menimbulkan kerusakan manusiawi dan material yang sangat

besar". Selain itu, tindakan semacam itu "tidak hanya berdampak pada korban

langsung, yang dapat terluka atau terbunuh secara fisik, namun mungkin juga memiliki

efek jangka panjang pada korban tidak langsung, seperti tanggungan atau keluarga

mereka, serta korban pengganti, yang mungkin termasuk anggota yang lebih luas yakni

publik". Inilah sebabnya mengapa disimpulkan bahwa perbedaan dalam perlakuan

yang diberikan kepada korban tindakan terorisme, yang berbeda dengan korban

kejahatan lainnya, harus didasarkan pada kebutuhan spesifik mereka.

Setelah konsep korban, penulis merasa perlu mencantumkan konsep terorisme

yang dimaksud dalam tulisan ini. Terminologi terorisme pertama kali muncul pada

revolusi perancis tahun 1793 hingga kemudian David Rapoport (1977) pada usahanya

dalam menjelaskan sejarah dari terorisme internasional telah menggarisbawahi empat

gelombang utama dari terorisme internasional. Gelombang pertama dari terorisme

internasional disebut gelombang “anarchist” dimulai di Rusia tahun 1880an dan

bertahan hinggal 1920an. Gelombang kedua dikenal dengan gelombang “anticolonial”

yang dimulai pada tahun 1920an dan berakhir tahun 1960an. Kemudian, gelombang

ketiga yaitu gelombang “new left” dimulai tahun 1960an hingga tahun 1980an dan

gelombang terakhir yaitu gelombang “religious” yang dimulai tahun 1979 hingga saat

ini.

Konsep terorisme hingga saat ini menimbulkan banyak perdebatan. Kompleksitas

dalam mendefinisikan terorisme memiliki berbagai aspek. Fenomena terorisme

memiliki banyak variasi dari mulai penggunaan kekerasan hingga penyebaran rasa

takut melalui pikian. Hingga saat ini sudah lebih dari seratus definisi terorisme yang

diungkapkan para ahli dan masing-masing memiliki sudut pandangnya sendiri.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 18: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

7

Universitas Indonesia

Menurut Jeffrey Simon dalam Matuzits (2012), terdapat setidaknya 212 definisi

berbeda dari terorisme. Konsep terorisme diambil dari bahasa latin “terrere” yang

berarti memberikan rasa takut, yang pertama kali dikenal pada revolusi perancis tahun

1793-1794. Negara dan lembaga-lembaga bukan negara sudah sejak lama dan sudah

menjadi bagian dari sejarah, penggunaan “rasa takut” sudah memiliki dinamikanya

sendiri. Menurut Attan dalam Davis (2007) terorisme adalah suatu tindakan kekerasan

yang terencana dan bermotif politik yang dilakukan terhadap non-kombatan oleh suatu

kelompok, seseorang atau operasi rahasia untuk mempengaruhi masyarakat. Dimana

terorisme dan kejahatan dapat dibedakan secara khas dalam konteks motivasi pelaku

(Reichel, 2014).

Namun dalam tulisan ini, definisi terorisme yang secara spesifik digunakan adalah

menurut Golose (2014), yaitu setiap tindakan yang melawan hukum dengan cara

menebarkan teror secara meluas kepada masyarakat dengan ancaman atau kekerasan,

baik yang diorganisir maupun tidak, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan

fisik dan/atau psikologis dalam waktu berkepanjangan sehingga dikategorikan sebagai

tindak kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) dan kejahatan terhadap

kemanusiaan (crime against humanity).

Kemudian, pemahaman terkait implementasi dari kompensasi dan restitusi,

penulis rasa perlu untuk dijabarkan lebih dalam. Implementasi erat kaitannya dengan

proses atau siklus dari suatu kebijakan publik. Konsep kebijakan publik mengacu pada

aksi dari pemerintah dan intensi yang menentukan aksi tersebut. Pembuatan kebijakan

dilakukan dengan memilih antara tujuan dari kebijakan, alternatifnya, dan juga intensi

dari pembuatan kebijakan tersebut. Kebijakan publik juga diartikan sebagai sebuah

tindakan yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau pejabat untuk menyelesaikan

masalah yang menjadi perhatian publik.

Karena kebijakan publik ini dilakukan dengan sengaja, yaitu, sebuah upaya untuk

mencapai tujuan tertentu, maka sebuah kebijakan publik bisa dikelompokkan

berdasarkan tujuannya. Jika dilihat dari makna konsep kebijakan publik, maka dapat

juga dijelaskan mengenai konsep kebijakan kriminal, yaitu sebuah tindakan yang

dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah kriminal yang menjadi perhatian

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 19: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

8

Universitas Indonesia

publik. Artinya, kebijakan kriminal adalah sebuah kebijakan publik yang spesifik

mengarah ke isu kriminal dan juga dikelompokkan berdasarkan tujuannya, yaitu untuk

mereduksi kejahatan. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut harus

dituangkan dalam bentuk hukum, pernyataan publik, peraturan resmi, atau diterima

secara luas dan pola perilaku yang terlihat publik. Kebijakan publik berakar dalam

hukum dan dalam otoritas serta pemaksaan yang terkait dengan hukum. Jika dilihat

dari pengertian kebijakan publik dan kebijakan kriminal diatas, maka UU no. 15 tahun

2003 tentang penanggulangan tindak pidana terorisme merupakan salah satu kebijakan

publik dan juga kebijakan kriminal.

Menurut Lester (2000), suatu kebijakan publik dalam prosesnya memiliki 6

tahapan. Titik awalnya adalah agenda setting, kemudian formulasi kebijakan,

implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan, perubahan kebijakan, dan terakhir

penghentian kebijakan hingga kembali ke titik awal siklus. Dalam siklus kebijakan

publik tersebut, proses implementasi kebijakan dapat diartikan sebagai serangkaian

keputusan dan tindakan pemerintah yang diarahkan untuk menerapkan sebuah mandat

yang telah diputuskan. Artinya, dalam konteks implementasi kompensasi dan restitusi

UU no. 15 tahun 2003, proses implementasi kebijakan diartikan sebagai serangkaian

upaya pemerintah dalam bentuk keputusan maupun tindakan yang ditujukan untuk

melakukan pemberian kompensasi dan restitusi kepada korban.

Konsep berikutnya yang coba penulis jabarkan dalam tulisan ini adalah konsep

kompensasi dan restitusi. Konsep kompensasi dan restitusi memiliki makna yang

berbeda-beda di setiap negara. Biasanya, konsep ini dijelaskan pada sebuah peraturan

seperti undang-undang atau peraturan pemerintah. Dalam konteks Indonesia, terdapat

beberapa UU yang menjelaskan tentang definisi dari kompensasi dan restitusi. Namun

dalam tulisan ini, peneliti mencoba menyajikan konsep kompensasi menurut

viktimologi. Kompensasi menurut Dussich (2006) adalah prosedur administratif

formal yang diberikan oleh undang-undang yang memberikan sejumlah uang kepada

korban untuk kerugian yang tidak dikehendakinya secara langsung akibat viktimisasi

yang harus dibayar oleh negara setelah korban dinyatakan memenuhi syarat sesuai

dengan kriteria spesifik yang ditentukan oleh negara masing-masing atau hukum

federal. Kemudian, Dussich (2006) juga menjelaskan terkait dengan restitusi di

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 20: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

9

Universitas Indonesia

dalamnya. Menurutnya, restitusi adalah prosedur peradilan formal yang digunakan

oleh hakim setelah rasa bersalah ditentukan sebagai bagian dari hukuman yang dapat

memberikan uang dan/atau layanan kepada korban atas kerusakan atau penderitaan

yang diakibatkan oleh viktimisasi yang harus dibayar atau dilakukan oleh pelaku.

Kemudian, sebagai acuan dari landasan teori dalam tulisan ini, penulis

menggunakan sudut pandang viktimologi kritis. Viktimologi kritis yang digunakan

dalam tulisan ini didasari pada tulisan dari Sandra Walklate (2003) yang menjelaskan

tentang viktimologi sebagai bagian dari kriminologi. Viktimologi yang dianggap

sebagai sub-disiplin kriminologi mencakup tiga kelompok orang dan kepentingan

masing-masing. Lingkup ini telah menjadi subyek perdebatan dan analisis yang sering

terjadi yang telah mempertemukan para intelektual, aktivis dari banyak organisasi non-

pemerintah dan juga otoritas pembuat undang-undang, yang menghasilkan banyak

ketegangan dalam boiling pot ini dengan beragam kepentingan. Beberapa penulis telah

menjelaskan bahwa viktimologi adalah disiplin akademis dan ilmiah yang spesifik dan

terhormat, yang merupakan cabang baru dalam studi ilmiah tentang korban, yang dapat

dibedakan dengan spektrum transparan dan oleh metodologi penelitian yang

komprehensif dan interdisipliner. Istilah sederhana, seperti Šeparović dalam Kostic

(2010) menyatakan yaitu, "studi ilmiah tentang korban”. Moriarty (2003) dalam

bukunya menjelaskan, beberapa viktimolog masa kini lebih memusatkan fokus

kajiannya pada pemulihan korban atau segala sesuatu yang membuat korban kembali

menjadi “utuh” dengan tujuan mengembalikan korban kepada keadaan sebelum ia

menjadi korban dengan memperbaiki penderitaan fisik, emosional, dan keuangan

mereka.

Namun, terlepas dari tujuan utamanya untuk mempelajari kepribadian korban dan

tindakannya dalam interaksi korban-pelaku dalam mekanisme menjadi korban

kejahatan. Terlepas juga dari karakteristik fenomenologis dan etiologis kepribadian

korban dan prosesnya saat menjadi korban, adalah juga perlu mempelajari korban

kolektif dan abstrak, termasuk korban kolektif yang mengikuti pelanggaran norma-

norma Hukum Humaniter Internasional atau korban bentuk perilaku menyimpang

tertentu, seperti pelacuran atau penyalahgunaan narkoba.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 21: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

10

Universitas Indonesia

Beberapa viktimolog yang terkenal, seperti Andzenge dalam Karmen (2009)

misalnya, mendefinisikan viktimologi sebagai "persepsi", cara seseorang atau

sekelompok individu memandang dirinya sebagai korban, yang merupakan persepsi

subjektif yang secara signifikan mempengaruhi tingkat viktimisasi mereka. Meskipun

demikian, Andzenge dalam Karmen (2009) juga menekankan pentingnya persepsi

subjektif peserta lain dalam proses viktimisasi, yang juga memiliki dampak signifikan

dalam membentuk pengalaman dan perilaku korban. Jika dalam terorisme, partisipan

lain dapat berwujud pelaku teror.

Walklate (2003) dalam tulisan lainnya menjelaskan bahwa viktimologi memiliki

tiga perspektif berbeda dalam pembahasannya, yaitu viktimologi positivis, viktimologi

radikal, dan viktimologi kritis. Viktimologi kritis yang diambil menjadi landasan

dalam tulisan ini mengacu pada critical victimology atau viktimologi kritis dalam

tulisan Walklate (2003) dan yang dalam tulisannya menjelaskan bahwa viktimologi

kritis sebagai perspektif viktimologi yang mencoba melihat korban kejahatan dari tiga

kunci penting teoritis terkait dengan konsep kebijakan, yaitu: rights, citizenship, dan

state. Bentuk dari viktimologi kritis ini berpusat pada kebutuhan terhadap agenda

kebijakan yang diinformasikan secara empirik. Serta menurut Mawby dan Walklate

dalam Wilson (2009), viktimologi kritis adalah upaya untuk memahami konteks sosial

yang lebih luas di mana beberapa versi viktimologi terjalin dengan pertanyaan tentang

respon kebijakan dan pemberian layanan kepada korban kejahatan.

4. HAK KOMPENSASI DAN RESTITUSI KORBAN TERORISME

Sampai munculnya gerakan korban sekitar tahun 1970, kejahatan pada umumnya

dianalisis dari sudut pandang tersangka dan tindakannya. Gerakan hak korban

hanyalah salah satu alasan pergeseran fokus dari tersangka ke korban. Menurut

Kennedy dan Sacco dalam Dietrich (2008), pertumbuhan dan penyempitan metodologi

survei korban dan data yang dikumpulkan darinya, yang paling penting berkenaan

dengan karakteristik korban, memungkinkan "pengembangan penjelasan yang

menempatkan korban di pusat teoretis".

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 22: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

11

Universitas Indonesia

Ketidakpuasan beberapa ahli kriminologi yang merasa bahwa teori dan penelitian

sebelumnya tidak menghasilkan pemahaman yang lebih baik mengapa tingkat

kejahatan berfluktuasi adalah alasan lain mengapa kejahatan mulai dianalisis dari

perspektif korban. Dalam artikel jurnal yang ditulis oleh Davis dan Mulford (2008)

dijelaskan tentang hak-hak korban kejahatan dan termasuk didalamnya terdapat

pembahasan tentang kompensasi dan restitusi. Pada dua dekade terakhir, legislasi

negara-negara telah memiliki perkembangan besar terhadap hak-hak korban kejahatan.

Korban kejahatan telah memiliki beberapa hak dalam hukum di berbagai negara mulai

dari hak untuk diberi tahu tentang persidangan di pengadilan, hak untuk hadir dan

mengungkapkan pendapat pada saat penghakiman, hak untuk berkonsultasi mengenai

kesepakatan pembelaan, hak untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi, dan hak

untuk menjalani persidangan yang cepat. Namun, para peneliti dan auditor telah

menunjukkan bahwa banyak korban tidak diberi kesempatan untuk menggunakan hak

mereka.

Korban kejahatan dapat dikenai biaya medis yang terkait dengan trauma fisik,

trauma, perbaikan, dan penggantian biaya yang terkait dengan kejahatan properti, dan

biaya kesempatan pendapatan, diukur dalam pendapatan yang hilang. Secara teori,

korban dapat memulihkan biaya ini baik dari pelanggar yang diharuskan membayar

ganti rugi atau melalui kompensasi publik. Hampir semua negara memberi wewenang

kepada pejabat hukum untuk meminta restitusi dari pelanggar sebagai syarat

pembebasan bersyarat. Selain itu, pejabat di sebagian besar negara bagian memiliki

wewenang untuk memerintahkan pelanggar untuk membayar restitusi sebagai bagian

dari hukuman atau pembebasan pekerjaan yang ditangguhkan. Demikian juga,

program kompensasi korban publik di sebagian besar negara bagian didanai oleh biaya

atau biaya yang harus dibayar oleh pelaku.

Dalam praktiknya, sebagian kecil korban tampaknya menerima kompensasi atau

restitusi. Sebuah studi tahun 1991 di Amerika Serikat menemukan bahwa kurang dari

sepertiga korban kejahatan kekerasan didorong oleh pejabat peradilan pidana untuk

mengajukan kompensasi oleh McCormack dalam Mulford (2008). Survei Kilpatrick

dalam Mulford (2008) menemukan bahwa kurang dari 20% orang yang memenuhi

syarat untuk mendapatkan restitusi menerimanya. Selain itu, bertentangan dengan

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 23: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

12

Universitas Indonesia

harapan, hakim di negara-negara dengan perlindungan korban yang lebih kuat secara

signifikan cenderung tidak memerintahkan restitusi korban untuk kerugian ekonomi

daripada hakim dari negara-negara yang memiliki perlindungan hak korban yang lebih

lemah. Dalam literature Mulford (2008) selain pembahasan tentang kompensasi dan

restitusi yang menjadi hak dari korban kejahatan, beberapa hak lain dari korban

kejahatan dibawah hukum negara yaitu, pemberitahuan tentang persidangan, hak

partisipasi dan mendapat konsultasi, hak untuk mendapat perlindungan, hak mendapat

percepatan persidangan atau didahulukan dalam persidangan.

Salah satu kesimpulan paling sering dari penelitian empiris tentang hak korban

menurut Mulford (2008) adalah bahwa meskipun ruang telah menjadi lingkup undang-

undang federal dan negara bagian, sistem peradilan pidana tidak menghormati hak-

hak ini. Akibatnya, beberapa negara mulai mengembangkan kantor dinas korban

tingkat negara bagian yang berfungsi sebagai agen pengawasan untuk memantau

kepatuhan dan pusat rujukan dan keterkaitan dengan organisasi layanan korban. Pada

awal 1990-an, para pembuat kebijakan di Wisconsin menciptakan Pusat Sumber Daya

Viktim Wisconsin, sebuah badan yang berfungsi untuk menegakkan undang-undang

hak korban baru (Office for Victims of Crime, 1998). Namun, seperti yang diamati

Kilpatrick dan rekan-rekannya setelah survei 1998 mereka, bahkan di negara bagian

yang memiliki undang-undang hak korban yang kuat, banyak korban tidak diberi tahu

tentang pemeriksaan dan proses persidangan, banyak yang tidak diberi kesempatan

untuk didengar, dan hanya sedikit yang menerima restitusi. Meskipun korban di

negara-negara bagian ini pada umumnya bernasib lebih baik daripada di negara-negara

yang memiliki undang-undang hak korban yang lemah, sebanyak sepertiga korban di

negara-negara yang berproteksi kuat tidak diberi kesempatan untuk menjalankan hak-

hak tertentu.

Pemberian kompensasi kepada korban merupakan satu dari beberapa tujuan akhir

adanya advokasi terhadap korban kejahatan. Advokasi ini dapat dilakukan mengacu

pada legislasi yang mengatur tentang hal tersebut. Dalam tulisan ini, legislasi yang

menjadi dasar pemberian kompensasi pada korban tindak pidana terorisme adalah UU

no. 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme. Menurut Siegel (2010) dalam

bukunya menjelaskan bahwa sebagai hasil dari adanya sebuah legislasi tentang

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 24: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

13

Universitas Indonesia

kompensasi, korban kejahatan biasanya menerima kompensasi tersebut dari negara

sebagai bentuk penggantian atas kerugian yang diterima atas kaitannya dengan suatu

tindak kejahatan. Siegel (2010) dalam bukunya mengacu pada legislasi atau peraturan

yang ada di Amerika Serikat yang mengatur tentang kompensasi yang diberikan

negara pada korban kejahatan dan salah satu permasalahan yang dibahas yaitu

seringkali negara tidak memiliki sumber dana yang memadai atau memiliki instansi

yang tepat dalam proses pemberian kompensasi terhadap korban.

Kompensasi dapat berupa pembiayaan medis, penanggungan kehilangan

pendapatan, kehilangan pendapatan di masa yang akan datang dan berupa konseling.

Dalam konteks korban tewas, keluarga atau kerabat korban tersebut dapat menerima

penanggungan proses pemakaman dan bantuan atas kehilangan support. Di Amerika

Serikat, nilai dari kompensasi dapat berkisar antara 100 hingga 15.000 US dollar.

Terkadang dalam sebuah program pemerintah, terdapat bantuan darurat kepada korban

sampai kompensasi dapat diberikan. Bantuan darurat dapat berupa voucher makanan

atau penggantian resep obat. Jika di Inggris, dijelaskan dalam Greer (2007) bahwa

kompensasi diberikan negara melalui lembaga bernama Criminal Injuries

Compensation Schemes atau CICS. Di Inggris dan Wales, Doak (2008) dalam bukunya

menjelaskan bahwa pengadilan sejak tahun 1973 telah diberikan wewenang untuk

memberikan kompensasi atas sebuah kerugian, cidera personal akibat suatu tindak

kejahatan.

Dari sudut pandang negara, alasan rasional dibalik negara memberikan

kompensasi pada korban adalah menurut Goodey (2004) adalah karena 4 alasan yaitu

pertama alasan legal duty, dimana negara memberikan kompensasi karena

kegagalannya dalam mencegah terjadinya kejahatan. Kedua, moral duty, dimana

negara memberikan kompensasi atas dasar kemanusiaan dan bentuk pendampingan

terhadap korban dengan dalih kesehjateraan masyarakat. Ketiga, loss distribution,

dimana negara memberikan kompensasi sebagai bentuk distribusi kerugian karena

korban merupakan bagian dari masyarakat dan merupakan pembayar pajak. Terakhir

yaitu, a benefit to state, dimana negara memberikan kompensasi kepada korban karena

alasan meningkatkan kredibilitas politik di mata masyarakat.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 25: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

14

Universitas Indonesia

Mengacu pada hukum internasional yang menjelaskan kompensasi dan restitusi

bagi korban terorisme yang dalam berbagai hukum internasional diatur secara umum

pada korban kejahatan. Kembali pada Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power A/RES /40/34 PBB pada 29 November 1985

dibahas pada poin ke 12 terkait kompensasi pada korban kejahatan yaitu:

“When compensation is not fully available from the offender or other

sources, States should endeavour to provide financial compensation to: (a)

Victims who have sustained significant bodily injury or impairment of

physical or mental health as a result of serious crimes;(b) The family, in

particular dependants of persons who have died or become physically or

mentally incapacitated as a result of such victimization.”

Terjemahan bebas poin 12: “Ketika pelaku kejahatan dan sumber daya

lainnya tidak dapat memberikan kompensasi, negara harus berusaha keras

untuk menyediakan kompensasi finansial kepada: (a) Korban yang

mengalami cidera pada tubuh sebagian baik sementara maupun permanen dan

kesehatan mental akibat adanya kejahatan yang serius; (b) Keluarga dari

orang yang telah tewas atau lumpuh secara fisik dan psikis akibat dari

viktimisasi yang dialami.”

Lalu pada poin 13:

“The establishment, strengthening and expansion of national funds for

compensation to victims should be encouraged. Where appropriate, other

funds may also be established for this purpose, including in those cases where

the State of which the victim is a national is not in a position to compensate

the victim for the harm.”

Terjemahan bebas poin 13: “Pembentukan, penguatan dan perluasan dana

nasional untuk kompensasi kepada korban harus didorong. Bila perlu, dana

lain juga dapat ditetapkan untuk tujuan ini, termasuk dalam kasus di mana

negara yang menjadi korbannya adalah warga negara tidak berada dalam

posisi untuk mengkompensasi korban atas kerugian tersebut.”

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 26: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

15

Universitas Indonesia

Kemudian, dalam Rome Statute of the International Criminal Court 17

Juli 1998 dokumen A/CONF.183/9 pada artikel 75 tentang Reparations to

Victims poin 1:

“The Court shall establish principles relating to reparation to, or in

respect of, victims, including restitution, compensation and rehabilitation.

On this basis, in it’s decision the Court may, either upon request or on its

own motion in exceptional circumstances, determine the scope and extent of

any damage, loss and injury to, or respect of, victims and will state the

principles on which it is acting…”

Lalu pada poin 2:

“The Court may make an order directly against convicted person

specifying appropriate reparations to, or in respect of, victims, including

restitution, compensation and rehabilitation…..”

Terjemahan bebas poin 1:

“Pengadilan harus menetapkan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan

reparasi terhadap, atau sehubungan dengan, korban, termasuk restitusi,

kompensasi dan rehabilitasi. Atas dasar ini, dalam keputusannya pengadilan

dapat, baik atas permintaan atau atas mosi sendiri dalam keadaan luar biasa,

menentukan cakupan dan tingkat kerusakan, kerugian dan kerugian, atau

penghormatan, korban dan akan menyatakan asas-asas yang dengannya

bertindak….”

Terjemahan bebas poin 2:

“Pengadilan dapat membuat perintah langsung terhadap terpidana yang

menentukan reparasi yang sesuai dengan, atau sehubungan dengan, korban,

termasuk restitusi, kompensasi dan rehabilitasi…”

Jika melihat konteks Indonesia, legislasi yang mengatur tentang

pemberian kompensasi khususnya yang dapat dikaitkan dengan kompensasi

kepada korban tindak pidana terorisme yaitu PP No. 44 Tahun 2008 tentang

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 27: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

16

Universitas Indonesia

pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan terhadap Saksi dan Korban

dimana pada Pasal 1:

(4): Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena

pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang

menjadi tanggung jawabnya.

(5): Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau

keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian

harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau

penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Pasal 20:

(1) Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi

(2) Permohonan untuk memperoleh restitusi sebagaimana dimaksud pada

ayat 1 diajukan oleh korban, keluarga atau kuasanya dengan surat kuasa

khusus.

(3) Permohonan untuk memperoleh restitusi sebagaimana dimaksud pada

ayat 2 diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas

bermeterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.

Kemudian, legislasi lain yang mengatur tentang kompensasi dan restitutsi

berikutnya adalah PP No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan

Rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat pada pasal 1

menjelaskan poin pengertian kompensasi dan restitusi yang sama dengan PP

No. 4 tahun 2008.

Kemudian UU no. 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada

pasal 7:

(1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan korban

tindak pidana terorisme selain mendapatkan hak sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5 dan Pasal 6, juga berhak atas kompensasi.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 28: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

17

Universitas Indonesia

(2) Kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat

diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan Hak

Asasi Manusia melalui LPSK.

(3) Pelaksanaan pembayaran Kompensasi sebagaimana dimaksud pada

ayat 2 diberikan oleh LPSK berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

(4) Pemberian Kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang mengatur

mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme.

Jika dilihat dari poin-poin dalam pasal 7 diatas, secara jelas digambarkan

bahwa kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme diberikan oleh LPSK

melalui anggarannya.

Terakhir, UU yang membahas secara spesifik tentang kompensasi korban

tindak pidana terorisme yaitu pada PP no. 1 tahun 2002 yang kemudian

ditetapkan sebagai UU no. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan tindak

Pidana Terorisme. Pada Bab VI dijelaskan pada pasal 36:

(1) Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak

mendapatkan kompensasi atau restitusi.

(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannya

dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah.

(3) Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti

kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya.

(4) Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan

sekaligus dalam amar putusan pengadilan.

Kemudian pada pasal 38:

(1) Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada

Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 29: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

18

Universitas Indonesia

(2) Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada

pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan.

(3) Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Lalu pada pasal 39: Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 38 ayat (1) dan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat

(2) memberikan kompensasi dan/atau restitusi, paling lambat 60 (enam

puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan.

Terkait mekanisme pelaksanaan pemberian kompensasi kemudian

dijelaskan dalam UU yang sama pada pasal 40:

(1) Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkan oleh

Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan

yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan

pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut.

(2) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/atau

restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada

korban atau ahli warisnya.

(3) Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan

tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.

Lalu Pasal 41:

(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi

kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut

kepada pengadilan.

(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera

memerintahkan Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga untuk

melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja

terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 30: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

19

Universitas Indonesia

Serta pasal 42 yang menyatakan bahwa dalam hal pemberian kompensasi

dan/atau restitusi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan

pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan dilaporkan kepada

pengadilan.

Poin-poin peraturan hukum tersebut merupakan serangkaian aturan yang

membahas tentang kompensasi dan restitusi. Aturan-aturan tersebut memiliki

kesamaan tentang kompensasi dan restitusi sebagai hak atau sesuatu yang harus

diberikan oleh negara sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Namun, yang

menjadi permasalahan adalah bahwa pada UU yang secara spesifik membahas

terorisme yakni UU no. 15 tahun 2003 menjelaskan bahwa pemberian kompensasi

dan restitusi di Indonesia diberikan oleh Kementerian Keuangan sedangkan pada

UU no. 31 tahun 2014 dijelaskan bahwa pemberian kompensasi dan restitusi

dibebankan kepada anggaran LPSK.

5. FASILITASI PEMBERIAN KOMPENSASI KORBAN TERORISME DI INDONESIA

Di Indonesia, lembaga yang menjadi lembaga terdepan dalam mengusung

perlindungan saksi dan korban yakni Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah

lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak

lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 31

tahun 2014 yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban tersebut. LPSK

bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi

dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-

undang ini. Sebagaimana diatur dalam UU tersebut, telah disebutkan bahwa LPSK

memiliki kewajiban untuk menyusun laporan tahunan terkait perlindungan saksi dan

korban di Indonesia serta tentang berbagai bentuk permohonan masyarakat terhadap

LPSK terkait kebutuhan perlindungan dan pemenuhan hak.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 31: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

20

Universitas Indonesia

Berdasarkan laporan tahunan LPSK tahun 2016, terdapat 335 kasus permohonan

terkait dengan kompensasi dan restitusi secara keseluruhan hanya sejumlah 3

permohonan yang dijadikan putusan pengadilan setelah melalui proses fasilitasi. Jika

dikaitkan dengan korban terorisme, total sebanyak 16 permohonan terkait terorisme

pada tahun 2016 dan sebanyak 3 korban terorisme yang mengajukan kompensasi dan

restitusi. Kemudian, berdasarkan data yang didapat oleh penulis melalui permohonan

data Informasi Publik, didapat data bahwa dalam bahwa dalam 3 tahun terakhir saja

hingga tahun 2017 terdapat 12 korban terorisme yang mengajukan permohonan terkait

kompensasi dan restitusi dan tidak satupun yang mendapat hak kompensasi dan

restitusinya.

Namun, beberapa waktu lalu untuk pertama kalinya, dilansir dari laman

tribunnews.com (2017), pada kasus Bom Gereja di Samarinda, Majelis Hakim

membuat putusan terkait pemberian kompensasi dan restitusi sebesar Rp 237.871,152

dari yang semula diajukan sebesar Rp1.479.535,400. Hal ini merupakan gebrakan baru

yang pertama kali terjadi di Indonesia dan diharapkan LPSK dapat menjadi rujukan

bagi pengadilan terorisme kedepannya.

Kemudian, Mengacu pada UU no. 31 tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan

korban, LPSK telah ditetapkan sebagai lembaga yang berwenang untuk memberikan

kompensasi dan restitusi berdasarkan suatu putusan pengadilan dimana kompensasi

dan restitusi ini telah dianggarkan dalam Anggaran Bantuan, Kompensasi dan Restitusi

yang kemudian hanya berhasil didapat penulis dari laporan Institute of Criminal

Justice Reform dari tahun 2010 hingga 2013 dijelaskan melalui tabel sebagai berikut:

Tahun Jumlah (Rupiah)

2010 4.120.569.500

2011 2.890.543.000

2012 3.294.809.000

2013 2.852.680.000

Tabel 1.1 Anggaran Bantuan Kompensasi, Restitusi LPSK 2010-2013 (diolah oleh penulis)

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 32: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

21

Universitas Indonesia

Anggaran tersebut merupakan anggaran yang diberikan negara untuk LPSK

dalam pemberian kompensasi dan restitusi untuk korban secara keseluruhan, dimana

artinya dana tersebut adalah dana yang digunakan untuk pemberian kompensasi dan

restitusi bagi korban terorisme. Jika dilihat dari perkembangannya, besaran anggaran

LPSK pada tiap tahunnya hingga tahun 2013 mengalami fluktuasi. Namun, untuk

anggaran LPSK dari tahun 2014 hingga 2017 mengenai besaran jumlah yang

dianggarkan untuk bantuan kompensasi dan restitusi hingga saat ini tidak

dipublikasikan secara rinci. Berdasarkan UU no. 31 tahun 2014 juga dijelaskan bahwa

LPSK memiliki wewenang untuk memberikan bantuan berupa bantuan dana medis dan

bantuan psikososial.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 33: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

22

Universitas Indonesia

6. MEKANISME PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI DI INDONESIA

Gambar 1.2 Skema Pemberian Kompensasi dan Restitusi (diolah penulis)

Berdasarkan data yang didapat dari UU no. 31 tahun 2014 tentang perlindungan

saksi dan korban, dapat disimpulkan dalam bentuk sebuah siklus dan dapat dilihat

dalam gambar 1.2 diatas. Berdasarkan UU tersebut dan ditambah dengan yang diatur

pada Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme dijelaskan bahwa pengajuan kompensasi dan restitusi yang ingin dilakukan

oleh korban terorisme dapat melalui LPSK dalam proses pengajuannya.

Diawali dengan proses pengajuan permohonan kepada LPSK yakni dalam bentuk

permohonan Fasilitasi Kompensasi dan Restitusi yang kemudian jika mengacu pada

Laporan Tahunan LPSK 2016 bahwa pengajuan permohonan kepada LPSK akan

dirapatkan terlebih dahulu dan dilihat terkait kesiapan berkasnya. Setelah dirapatkan

oleh LPSK dan kemudian disetujui untuk diregister dan difasilitasi oleh LPSK barulah

LPSK kemudian membantu proses fasilitasi kompensasi dan restitusi korban terorisme

LPSK(Fasilitasi

Permohonan)

Jaksa(membuattuntutan)

KorbanTerorisme

(MengajukanPermohonan)

LPSK(MengeluarkanKompensasidanRestitusi)

Jaksa(menjalankanputusan)

MajelisHakim

(membuatputusan)

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 34: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

23

Universitas Indonesia

dengan cara mengajukan permohonan kepada Jaksa Penuntut Umum yang ditugaskan

dalam pengadilan terkait kasus terorisme yang dialami oleh korban tersebut dan terkait

besaran jumlahnya ditentukan melalui rapat yang dilakukan LPSK selaku fasilitator

untuk menentukan besaran yang layak diterima oleh korban sebagai bentuk ganti rugi.

Kemudian peran implementasi pemberian kompensasi dan restitusi dilanjutkan

kepada Jaksa Penuntut Umum yang kemudian mencantumkan permohonan

kompensasi dan restitusi yang diajukan oleh LPSK kepada tuntutan yang diserahkan

kepada Hakim dalam Persidangan. Kemudian Hakim yang ditugaskan dalam

persidangan terorisme tersebut menentukan apakah tuntutan Jaksa Penuntut Umum

terkait dengan kompensasi dan restitusi yang diminta oleh korban terorisme melalui

LPSK sebagai fasilitator tersebut dikabulkan atau tidak. Setelah Hakim menyetujui

permohonan kompensasi dan restitusi yang diminta dan juga menyetujui terkait

besaran jumlah kompensasi dan restitusi yang diberikan kemudian Hakim memuat hal

tersebut didalam putusan pengadilan dan kemudian putusan pengadilan tersebut

dikembalikan ke Jaksa dan kemudian Jaksa memberikan putusan tersebut kepada

LPSK untuk dijadikan dasar pemberian kompensasi dan restitusi yang akan diberikan

melalui anggaran LPSK yang telah ditetapkan kepada korban yang mengajukan

tuntutan.

Namun, mekanisme pemberian kompensasi dan restitusi tersebut memiliki sedikit

perbedaan yang signifikan pada bagian terakhir dan diawal jika mengacu pada undang-

undang terorisme yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan UU no. 15 tahun 2003 pada

Bab VI, pemberian dana kompensasi diberikan melalui Kementerian Keuangan yang

tidak disebutkan secara jelas bagian dalam Kemenkeu yang memberikan kompensasi

dan restitusi bagi korban terorisme. Kemudian pada bagian awal yakni dimana melalui

UU tersebut tidak mencantumkan lembaga yang berwenang untuk memfasilitasi

pengajuan kompensasi dan restitusi korban sehingga korban harus mengajukan sendiri

didalam persidangan kasus terorisme.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 35: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

24

Universitas Indonesia

7. HAMBATAN DALAM PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI

Setelah memahami bagaimana ekspektasi atau mekanisme dari pemberian

kompensasi dan restitusi kepada korban terorisme di atas, maka penulis merasa perlu

menyajikan beberapa hambatan yang dapat ditemui ketika proses implementasi

pemberian kompensasi dan restitusi tersebut. Hambatan pertama berasal dari sisi

korban. Berdasarkan data yang dimiliki LPSK tersebut hanya terdapat 16 permohonan

pada tahun 2016 terkait terorisme. Hal ini berbanding cukup jauh dibandingkan dengan

tindak pidana lain dimana tindak pidana terorisme merupakan yang hampir menjadi

yang paling sedikit dibandingkan dengan yang lain. Berdasarkan data LPSK tahun

2016, Terdapat 796 kasus pelanggaran HAM, diurutan kedua yaitu kasus pidana umum

sebanyak 564 Permohonan, kemudian kasus perdagangan orang sebanyak 140 kasus,

lalu kasus korupsi sebanyak 109 permohonan, kasus kekerasan seksual terhadap anak

sebanyak 66 permohonan, kasus penyiksaan sebanyak 28 kasus, dan kasus terorisme

hanya unggul dari kasus narkotika sebanyak 6 kasus.

Selain hambatan karena minimnya pemohon, kemudian hambatan dapat terjadi di

tingkat LPSK. Hambatan yang dapat memberikan dampak cukup signifikan terhadap

jumlah permohonan adalah proses merapatkan dan merundingkan kasus-kasus yang

akan diregister dan yang ditolak karena alasan tertentu. Berdasarkan data, terdapat

sebanyak 660 kasus yang ditolak karena satu dan lain hal atas pertimbangan LPSK dan

hal ini dapat menyebabkan permohonan terkait korban terorisme dapat terhenti pada

proses rapat internal LPSK. Hal ini menunjukkan bahwa LPSK sebagai lembaga yang

seharusnya berada pada sisi korban untuk memfasilitasi korban menuntut haknya

seolah hanya memfasilitasi korban yang diinginkan LPSK tanpa indikator yang

bahkan tidak diketahui oleh korbannya. Dalam rangkaian pemberian kompensasi dan

restitusi bagi korban terorisme, hal ini menunjukkan LPSK menjadi bagian dari

pemerintah yang membatasi korban terorisme untuk mendapatkan haknya.

Hambatan selanjutnya ditemukan dalam tingkat Jaksa Penuntut Umum dan

Hakim dalam persidangan. Berdasarkan Laporan Tahunan 2016, LPSK tersebut pada

kasus terakhir di 2016 yakni pada kasus Bom Thamrin, pada persidangan terhadap

terdakwa Fahrudin pada 1 November 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, LPSK

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 36: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

25

Universitas Indonesia

mencoba memfasilitasi 9 orang korban kasus tersebut dengan permohonan sejumlah

1,3 Milyar Rupiah secara total dan hal tersebut sudah dibaca oleh Jaksa Penuntut

Umum yang bersangkutan. Namun, meskipun permohonan tersebut dibacakan oleh

jaksa, jaksa tersebut tidak mencantumkan permohonan tersebut kedalam tuntutan

kepada hakim sehingga oleh majelis hakim tidak dimasukkan ke dalam putusan

pengadilan. Mengenai hal ini, LPSK sempat mengirimkan surat kepada Kejaksaan

Agung terkait hal ini. Hal-hal seperti ini yang dapat menghambat proses pengajuan

kompensasi dan restitusi di tingkat Jaksa dan Hakim. Proses peradilan dilihat

menghambat pemberian hak dari korban terorisme yang membuat korban tidak

mendapatkan apa yang menjadi haknya dimana hal ini juga menjadi sebuah viktimisasi

yang dilakukan oleh negara.

Saat putusan hakim diberikan kembali ke jaksa dan kemudian diserahkan lagi

kepada LPSK untuk memberikan kompensasi dan restitusi yang ditentukan, hambatan

yang dapat terjadi adalah terbatasnya anggaran yang dimiliki LPSK dan minimnya

anggaran LPSK yang dialokasikan untuk dimasukan ke dalam anggaran bantuan

kompensasi dan restitusi. Institute of Criminal Justice Reform dalam laporannya

mengkritisi terkait minimnya alokasi anggaran yang diberikan negara terhadap LPSK.

Karena berdasarkan data anggaran LPSK, hanya sekitar 7% yang dialokasikan khusus

untuk anggaran perlindungan serta anggaran bantuan kompensasi dan restitusi. Jika

dikaitkan dengan satu-satunya kasus yang berhasil mendapatkan putusan untuk

mendapat kompensasi dan restitusi maka besaran jumlah kompensasi dan restitusi

yang menjadi putusan sudah mengambil sekitar 10% dari keseluruhan anggaran dan

bahkan anggaran tersebut tidak hanya diperuntukan untuk korban terorisme saja.

Dalam tulisan ini, penulis tidak mencoba menjelaskan bahwa hal-hal tersebut

yang menyebabkan terhambatnya pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban

terorisme. Namun, hal tersebut dapat menjadi satu dari sekian pemicu yang membuat

pengimplementasian pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban terorisme di

Indonesia tidak sesuai dengan hak yang dimiliki para korban.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 37: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

26

Universitas Indonesia

8. ANALISIS VIKTIMOLOGI KRITIS

Kajian tentang korban kejahatan dalam perspektif kriminologi dibahas dalam

lingkup yang lebih spesifik yaitu viktimologi. Sebelum membahas tentang viktimologi

perlu juga dipahami tentang ilmu yang mendasari kajian ini, yaitu kriminologi yang

menurut Bonger dalam Santoso (2001) yakni sebagai ilmu pengetahuan yang

bertujuan untuk menyelidiki kejahatan seluas-luasnya, atau menurut Walklate (2005)

menjelaskan secara sederhana bahwa kriminologi merupakan disiplin ilmu yang

mempelajari kejahatan secara spesifik dan viktimologi sebagai bagian yang erat

didalamnya.

Walklate (2005) menyatakan bahwa viktimologi adalah studi ilmiah tentang

kerugian fisik, emosional, dan finansial yang dialami seseorang karena aktivitas ilegal.

Karmen (2009) dalam bukunya yang membahas tentang viktimologi menjelaskan

bahwa definisi korban secara umum mengacu pada seseorang atau sekelompok orang

yang menderita cidera, kerugian, atau kesulitan dalam hal apapun. Seseorang dapat

menjadi korban kecelakaan, bencana alam, penyakit, atau permasalahan sosial seperti

peperangan, diskriminasi, dan ketidakadilan lainnya.

Karmen menambahkan bahwa korban kejahatan merupakan pihak yang dirugikan

atas suatu tindakan ilegal. Dalam konteks kejahatan, tindakan ilegal yang dimaksud

adalah dalam bentuk tindak pidana. Kasus tindak pidana yang menciptakan korban

kejahatan dalam beberapa kasus tidak ditujukan pada target perorangan atau kelompok

tertentu. Misalnya dalam kasus terorisme, jumlah korban yang berjatuhan dalam

sebuah aksi ledakan bom oleh teroris biasanya berjumlah lebih dari satu orang dan

tidak menuju pada target tertentu, melainkan secara acak sehingga seringkali terdapat

kesulitan dalam melakukan identifikasi jumlah korban dalam kasus terorisme.

Dalam tulisan ini akan mencoba menganalisis pemberian kompensasi dan restitusi

yang merupakan hak korban terorisme melalui sudut pandang viktimologi kritis.

Pemahaman mengenai hubungan antara warga negara dengan negara dapat didasarkan

pada adanya perbedaan asumsi. Dalam konteks viktimologi kritis, menurut analisis

dari Barbelet dalam Walklate (2003) menunjukkan bahwa hubungan antara warga

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 38: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

27

Universitas Indonesia

negara dengan negara tidak mudah. Maksudnya adalah negara seringkali pada

akhirnya meghibahkan atau menolak hak bagi warga negaranya.

Menurut Offe dan Ronge dalam Walklate (2003), kontradiksi antara kesehjateraan

dengan kapitalisme negara telah meningkat menjadi semakin parah, stabilitas negara

hanya dapat dipertahankan dengan menciptakan legal dan didasari pada persoalan

ekonomi yang terkontrol. Hal ini dapat dilihat dari anggaran Bantuan Kompensasi dan

Restitusi milik LPSK yang cenderung menurun. Viktimologi kritis adalah bahasan

dalam viktimologi yang berfokus dalam memahami mekanisme apa yang mematenkan

kebijakan, keadaan ekonomi dengan tujuan untuk memahami kolektivitas dengan hak.

Tulisan ini mencoba melihat implementasi pemberian kompensasi dan restitusi

tersebut sebagai hubungan antara state atau yang diartikan sebagai pemerintah yang

dalam konteks kompensasi dan restitusi dikaitkan dengan seluruh elemen

pemerintahan terkait, dengan keadaan ekonomi negara tersebut dan kaitannya dengan

hak-hak warga negara yang dalam hal ini merupakan warga negara yang menjadi

korban terorisme.

Fokus dari viktimologi kritis yaitu untuk menantang penggunaan konsep korban

dan lingkungan dimana konsep tersebut dapat diaplikasikan. Dimana makna critical

yang dimaksud oleh Walklate (2003) yaitu mempertanyakan secara kritis tentang

bagaimana pelabelan korban ditentukan oleh siapa yang memiliki kekuasaan untuk

menerapkan label tersebut. Atau dalam tulisan ini jika dilihat dari pandangan

viktimologi kritis maka seseorang dapat dikatakan sebagai korban terorisme dan

berhak mendapatkan kompensasi dan restitusi jika negara sebagai sang pemilik

kekuasaan telah memberikannya label sebagai korban. Pelabelan korban ini dilakukan

negara melalui undang-undangnya yang menjadi alat atau media negara dalam

mendefinisikan dan menerapkan label “korban”.

Jika dikaitkan dengan data yang ada, ketiga konsep yang dijabarkan oleh

viktimologi kritis berbanding lurus dengan realita yang ada. Viktimologi kritis

mencoba memberikan penggambaran antara hubungan state, rights dan citizenship

dalam menjelaskan suatu fenomena korban. Viktimologi kritis menurut Walklate

(2003) melihat munculnya korban disebabkan adanya kesalahan interpretasi yang

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 39: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

28

Universitas Indonesia

membuat terjadinya suatu viktimisasi oleh negara kepada warga negaranya atau

rakyatnya. Jika dikaitkan dari konsep rights atau hak, korban terorisme menurut warga

dunia yang dituangkan dalam Rome Statute of the International Criminal Court 17 Juli

1998 dokumen A/CONF.183/9 pada artikel 75 tentang Reparations to Victims dan

Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power

A/RES /40/34 PBB pada 29 November 1985, dinyatakan bahwa korban kejahatan

apapun (termasuk kejahatan terorisme) memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi

dan restitusi yang diberikan oleh pelaku yang berkaitan atau jika pelaku tidak

menyanggupi karena alasan tertentu, maka negara atau pemerintah yang wajib untuk

memberikannya pada korban. Konsep hak ini kemudian menurut paradigm

viktimologi kritis disalahartikan oleh state atau negara (dalam konteks pemerintah)

yang kemudian misinterpretasi tersebut ditunjukkan dengan adanya perbedaan poin

dalam penerapan hak korban sebagai warga dunia dan sebagai Warga Negara

Indonesia. Jika dilihat dari aturan yang ada di Indonesia terkait pemberian kompensasi

dan restitusi, di Indonesia memiliki kesamaan dengan UU no. 31 tahun 2014 tentang

lembaga perlindungan saksi dan korban dan UU no. 15 tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme secara lingkup dasar kompensasi namun

berbeda pada poin terakhir yang menyatakan “pemberian kompensasi dilakukan

melalui amar putusan pengadilan”.

Hal ini yang dilihat oleh paradigma viktimologi kritis sebagai kesalahan

interpretasi karena hal ini membuat proses implementasi dari pemberian kompensasi

dan restitusi yang menurut warga dunia sebagai sebuah hak yang tidak memiliki syarat

namun di Indonesia memiliki syarat yaitu melalui amar putusan pengadilan. Kemudian

kesalahan interpretasi ini membuat korban-korban terorisme di Indonesia tidak

mendapatkan apa yang menjadi haknya sebagai warga dunia karena secara yuridis

mereka adalah warga negara (citizen) Indonesia yang harus mengikuti aturan yang ada

di Indonesia.

Indonesia memang sebuah negara yang sudah berdaulat dan memiliki kekuasaan

untuk menciptakan undang-undangnya sendiri namun didalam membuat Undang-

undangnya pemerintah Indonesia harus mengikuti dasar-dasar internasional seperti

General Assembly PBB bahkan Statuta Roma dalam membuat kebijakan karena

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 40: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

29

Universitas Indonesia

Indonesia merupakan anggota dari persatuan negara-negara di dunia termasuk PBB itu

sendiri terkhusus sejak General Assembly PBB tahun 1985, Indonesia merupakan

salah satu negara yang telah menjadi anggota PBB.

9. KESIMPULAN

Dari penjabaran pada awal tulisan ini, yakni permasalahan terkait pemberian

kompensasi dan restitusi pada korban terorisme di Indonesia dapat disimpulkan bahwa

permasalahan yang ada memang merupakan suatu permasalahan yang nyata dimana

berdasarkan data yang ada, bahwa dari sekian banyak kasus terorisme di Indonesia

hanya satu kasus yang pernah membuat putusan pengadilan terkait pemberian

kompensasi dan restitusi pada korban terorisme. Banyak diantara yang lainnya para

korban tidak mendapat kompensasi dan restitusi sesuai haknya yang tercantum pada

Rome Statute of the International Criminal Court 17 Juli 1998 dokumen

A/CONF.183/9 pada artikel 75 tentang Reparations to Victims dan Declaration of

Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power A/RES /40/34

PBB pada 29 November 1985 dinyatakan bahwa korban kejahatan apapun (termasuk

kejahatan terorisme) memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi yang

diberikan oleh pelaku yang berkaitan atau jika pelaku tidak menyanggupi karena

alasan tertentu maka negara atau pemerintah yang wajib untuk memberikannya pada

korban.

Disisi lain, di Indonesia menerapkan peraturan yang memiliki sedikit perbedaan

pada poin “pemberian kompensasi diberikan melalui amar putusan pengadilan” jika

mengacu pada UU no. 13 tahun 2006 dan UU no. 15 tahun 2003. Hal ini seolah

menjadi polemik permasalahan hak kompensasi dan restitusi di Indonesia yang seakan

memiliki syarat dimana jika mengacu pada Deklarasi PBB dan Statuta Roma

kompensasi merupakan mutlak hak korban tanpa syarat apapun. Kemudian, setelah

dilihat melalui Paradigma Viktimologi Kritis oleh Walklate (2003), maka terdapat

penggambaran yang seirama dengan konsep yang dijelaskan Walklate (2003), yaitu

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 41: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

30

Universitas Indonesia

rights, state dan citizenship dimana ketiganya memiliki kaitannya dan dapat

memberikan gambaran dari sudut pandang viktimologi.

Kemudian, melalui paradigma viktimologi kritis tersebut dan berdasarkan data

dan fakta yang ada maka dapat disimpulkan bahwa negara telah melakukan viktimisasi

kepada korban terorisme yang merupakan warga negaranya. Hal ini kemudian dapat

dilihat sebagai sebuah viktimisasi struktural yang dilakukan oleh negara terhadap

warga negaranya melalui undang-undang yang berlaku di Indonesia sebagai instrumen

yang menunjukkan adanya perbedaan struktur sosial. Lalu, hal ini memiliki kaitan

dengan konsep viktimisasi sekunder dalam viktimologi yang dilihat karena adanya

viktimisasi untuk kedua kalinya (setelah menjadi korban terorisme) yaitu dari aparat

hukum dan sistem peradilan yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 42: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

31

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Davis, R. C. dan Lurigio, A. J. (2007). Victim of Crime: 3rd Edition. California: Sage

Publication hal 142

Doak, J. (2008). Victim’s Rights, Human Rights and Criminal Justice. Portland: Hart

Publishing

Fattah, E. A. (1991). Understanding criminal victimization: an introduction to theoretical

victimology. Canada: Prentice-Hall

Golose, P. (2014). Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh

Akar Rumput. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

Goodey, J. (2004). Victims and Victimology: Research, Policy and Practice. Harlow:

Longman Criminology Series

Gosita, A. (2004). Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan). Jakarta ; PT.

Bhuana Ilmu Populer.

Greer, C. dan Davies, P. (2007). Victims, Crime and Society. London: Sage Publication

Karmen, A. (2009). Crime Victims: An Introduction to Victimology. Seventh Edition.

Wadsworth Cengage Learning. Hal 1-3

Letschert, R., Staiger, I., dan Pemberton, A. (2010). Assisting Victim of Terrorism:

Towards European Standard of Justice. Leuven Institute of Criminology: Belgium

Lester, J., Stewart J., dan Hedge, D. (2000). Public Policy: an Evolutionary Approach,

Third edition. Thomson Wadsworth Publication.

Mawby, R. I. dan Walklate, S. (1994). Critical Victimology: International Perspectives.

London: Sage Publication

Moriarty, L. J. (2008). Controversies Victimology 2nd Edition. Virginia: Virginia

Commonwealth University

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 43: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

32

Universitas Indonesia

Reichel, P. L. dan Albanese, J. (2014). Handbook of Transnational Crime and Justice

Second Edition. London: Sage Publication

Santoso, T. dan Zulfa, E. A. (2001). Kriminologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal 7

Siegel, L. J. (2010). Criminology: Theories, Patterns, and Typologies, Tenth Edition.

Massachusettes: University of Massachusetts.

Walklate, S. (2003). Understanding Criminology: Current Theoretical Debate. Open

University Press.

Walklate, S. (2005). Criminology: The Basics. New York: Taylor and Franciss Group.

hal 2

Walklate, S. (2007). Imagining the Victim of Crime. Berkshire: Open University Press.

Wilson, J.K. (2009). The Praeger Handbook of Victimology. United States of America:

Praeger.

Wolhuter, L., Olley, N., dan Denham, D. (2009) .Victimology: Victimisasion and

Victim’s Rights. New York: Routledge-Cavendish. Chapter 7.

Jurnal Ilmiah

Albert, J.W. The Secondary Victimization of Crime Victims: The Impact of Seeking

Justice System, diakses melalui laman https://justiceclearinghouse.com/wp-

content/uploads/2016/03/Secondary-Victimization.pdf

Andari, A.J. (2011). “Analisis Viktimisasi Struktural terhadap Tiga Korban Perdagangan

Perempuan dan Anak Perempuan”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 7, No. 3.

Conte. A. (2010). Human Rights in the Prevention and Punishment of Terrorism, New

York: Springer, hal 7

Romani, C. F. (2012). “International Categories of Victims”, International Law of

Victims, pp. 39-61. Springer.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 44: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

33

Universitas Indonesia

Davis C. dan Mulford, C. (2008). “Victim Rights and New Remedies: Finally Getting

Victims Their Due”. Journal of Contemporary Criminal Justice Vol. 24 No. 2. Sage

publication.

Dietrich, H. L. (2008). Victimology: An Emphasis on the Lifestyle-Exposure Theory and

the Victim Precipitation Theory as it Applies to Violent Crime.

Dussich, J. P. (2006). Victimology–past, present and future. In 131st International Senior

Seminar.

Eddyono, S. W. (2016). Memastikan Pemenuhan Hak Atas Reparasi Korban Pelanggaran

HAM Berat. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform. Hal 34

Kostic, M. (2010). Victimology: A Contemporary Theoretical Approach to Crime and its

Victim. Law and Politics Vol. 8. No. 1 pp 65-78.

Matuzits, J. (2012). Terrorism and Communication: What is terrorism?. Sage

Publication.

Rapoport, D. C. (1977). “The Government Is Up in the Air over Combating Terrorism”.

National Journal, 9, pp. 1853–1856.

Zeoli, M. A., Echo, R., dan Chris, S. (2012). Secondary Victimization of Abused Mothers

by Family Court Mediators. Volume 7. Michigan State University: Sage Publication

Media Online

Budiman, A. “LPSK: Kompensasi bagi para korban terorisme tak maksimal” diakses

pada 3 Oktober 2017 pukul 00.53 melalui

https://nasional.tempo.co/read/860919/lpsk-kompensasi-bagi-para-korban-

terorisme-tak-maksimal

Amriyono. (2017). “Kompensasi Korban Terorisme Samarinda Dikabulkan, LPSK Minta

Putusan Ini Jadi Rujukan” diakses melalui laman

http://www.tribunnews.com/nasional/2017/09/25/kompensasi-korban-terorisme-

samarinda-dikabulkan-lpsk-minta-putusan-ini-jadi-rujukan

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 45: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

34

Universitas Indonesia

Rappler. (2016). “Daftar aksi dan rencana teror di Indonesia sepanjang 2016”. Diakses

melalui http://www.rappler.com/indonesia/data-dan-fakta/156900-daftar-aksi-

rencana-teror-indonesia-2016 pada 18 Juli 2017

Undang-Undang dan Peraturan

Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power

A/RES /40/34 PBB pada 29 November 1985

PP No. 44 Tahun 2008 tentang pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan terhadap

Saksi dan Korban

PP No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap korban

pelanggaran HAM berat

Rome Statute of the International Criminal Court 17 Juli 1998 dokumen A/CONF.183/9

pada artikel 75 tentang Reparations to Victims

Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme

Undang-Undang no. 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13

tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang Negara

Republik Indonesia No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban

Data Instansi

Institute for Economic and Piece. (2016). Global Terrorism Index 2016. Diakses melalui

laman http://economicsandpeace.org/wp-content/uploads/2016/11/Global-

Terrorism-Index-2016.2.pdf

Laporan Keuangan Kementerian Keuangan 2012-2016 diakses melalui www.

kemenkeu.go.id

Laporan Tahunan LPSK 2016

Laporan Informasi Publik atas permohonan data LPSK terkait Jumlah Korban Terorisme

yang mengajukan Kompensasi dan Restitusi

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 46: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

35

Universitas Indonesia

Skripsi, Tesis dan Disertasi

Munir, A. (2013). Viktimisasi Struktural terhadap Buruh Melalui Sistem Outsourcing

(Studi Kasus Buruh Outsourcing PT X , yang Dipekerjakan pada PT Y Di Kabupaten

Serang. Tesis Program Sarjana Kriminologi Universitas Indonesia, Depok.

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 47: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

36

Universitas Indonesia

Lampiran: Laporan Tahunan LPSK 2016

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 48: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

37

Universitas Indonesia

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017

Page 49: TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index (2016), pada tahun

38

Universitas Indonesia

Laporan informasi Publik atas Permohonan Data

Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017