tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

42
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan manusia lain, hal ini sudah sepantasnya karena manusia pada kodratnya adalah mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka masing-masing sehingga selalu dan akan memerlukan bantuan dari orang lain. Dalam interaksi tersebut, akan banyak menimbulkan perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan antara masing-masing individu. Perbedaan yang semakin meruncing antar individu dapat memicu timbulnya konflik individu ataupun pertengkaran. Perbedaan-perbedaan ini sebenarnya dapat dipahami karena pada hakekatnya manusia antara satu dengan yang lain tidak memiliki persamaan, yang menjadi masalah adalah bagaimana individu-individu itu menanggapinya, karena terkadang individu-individu tersebut melibatkan emosi dalam menyelesaikan masalahnya. Pihak-pihak yang

Upload: ngokiet

Post on 14-Jan-2017

231 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan

Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas

dari interaksi dengan manusia lain, hal ini sudah sepantasnya

karena manusia pada kodratnya adalah mahluk sosial. Manusia

sebagai mahluk sosial tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka

masing-masing sehingga selalu dan akan memerlukan bantuan

dari orang lain. Dalam interaksi tersebut, akan banyak

menimbulkan perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan

antara masing-masing individu. Perbedaan yang semakin

meruncing antar individu dapat memicu timbulnya konflik

individu ataupun pertengkaran.

Perbedaan-perbedaan ini sebenarnya dapat dipahami

karena pada hakekatnya manusia antara satu dengan yang lain

tidak memiliki persamaan, yang menjadi masalah adalah

bagaimana individu-individu itu menanggapinya, karena

terkadang individu-individu tersebut melibatkan emosi dalam

menyelesaikan masalahnya. Pihak-pihak yang terlibat dalam

konflik seringkali tidak dapat menahan diri sehingga melakukan

perbuatan-perbuatan yang melawan hukum baik yang bersifat

pidana maupun perdata dan aspek hukum lainnya. Sebagai

contoh misalnya perbuatan tidak menyenangkan yang diatur

Page 2: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

2

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Sebagai contoh

memaksa penumpang naik kedalam bus atau angkutannya.

Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk

menciptakan tata tertib, keamanan dan ketenteraman dalam

masyarakat, baik sebagai usaha pencegahan maupun

pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran

hukum. Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP telah jelas

ditentukan tujuan dari penegakan hukum pidana adalah untuk

mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-

lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan

ketentuan hukum acara pidana yang diatur secara jujur dan

tepat.

Dalam rangka penegakan hukum, apabila terjadi suatu

peristiwa yang diduga atau patut diduga merupakan tindak

pidana, maka aparat hukum wajib melakukan berbagai tindakan

sesuai dengan kewenangan masing-masing sebagaimana yang

ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tindakan yang dimaksud adalah melakukan penyelidikan oleh

penyelidik dan kemudian diteruskan dengan penyidikan sebagai

suatu tindakan untuk mencari dan mengumpulkan bukti supaya

tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta dapat

menemukan dan menentukan pelakunya.

Page 3: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

3

Upaya untuk menemukan dan menentukan pelaku dalam

suatu peristiwa pidana sangat penting untuk menentukan siapa

yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana atas peristiwa

pidana tersebut. Mengenai pertanggungjawaban pidana, E. Y.

Kanter dan S. R. Sianturi mengemukakan pendapatnya bahwa :

Pertanggungjawaban (pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam dalam Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tiada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtvaardigingsgrond atau alasan pembenar).1

Penyidikan sebagai upaya untuk menemukan dan

menentukan pelaku dalam suatu peristiwa pidana dilaksanakan

oleh Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya disebut Polri).

Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, Polri menduduki posisi

sebagai aparat penegak hukum, sesuai dengan prinsip

diferensiasi fungsional yang digariskan KUHAP. Polri diberikan

peran berupa kekuasaan umum menangani kriminal (general

policing authority in criminal matter) di seluruh wilayah negara

Indonesia. Lebih lanjut kewenangan penyidik diatur dalam pasal

6 KUHAP.

1E. Y. Kanter, dan S. R. Sianturi,2002, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, Halaman. 106

Page 4: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

4

Kewenangan Penyidik yang diatur dalam Pasal 6 KUHAP

adalah kewenangan dari penyidik Polri. Kewenangan penyidik

pembantu serupa dengan kewenangan penyidik Polri, kecuali

dalam hal penahanan. Mengenai kewenangan penyidik

pembantu telah ditentukan dalam Pasal 11 KUHAP, yaitu:

‘Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut

dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib

diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik”. Hal ini

berarti bahwa untuk melakukan penahanan, seorang penyidik

pembantu harus memperoleh pelimpahan wewenang dari

penyidik.

Mengenai peran Polri berupa kekuasaan umum menangani

kriminal (general policing authority in criminal matter) di seluruh

wilayah negara Indonesia, M. Yahya Harahap mengemukakan

pendapatnya sebagai berikut :

“Dalam melaksanakan kewenangan tersebut, Polri berperan melakukan kontrol kriminal (crime control) dalam bentuk: investigasi-penangkapan-penahanan-penggeledahan-penyitaan. Sesuai dengan otoritas kepolisian itu, semestinya Polri harus mengembangkan peran pelayanan (civil service).”Diantara fungsi pelayanan polisi yang harus dikembangkan pada saat sekarang, antara lain: mengatur lalu lintas, mengontrol keributan, memberi pertolongan darurat (emergency medical care) dan pengaturan jam malam.2

2 M.Yahya Harahap, 2004, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Sinar Grafika, Jakarta). Halaman. 101.

Page 5: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

5

Dalam melaksanakan fungsi penyidikan, Polri harus taat

dan tunduk kepada prinsip the right of due process. Setiap

tersangka berhak disidik di atas landasan sesuai dengan hukum

acara, tidak boleh secara undue process. Hak due process dalam

melaksanakan tindakan penegakan hukum bersumber dari cita-

cita negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum

yang menegaskan “kita diperintah oleh hukum” dan bukan “oleh

orang” (government of law and not of men). Bertitik tolak dari

asas ini, Polri dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan

penyidikan harus berpatokan dan berpedoman pada ketentuan

khusus yang diatur dalam KUHAP.

Polri sebagai ujung tombak penegak hukum di lapangan

tidak mungkin diharapkan dapat melakukan patroli secara terus

menerus sehingga setiap kali tindak pidana terjadi mereka

dapat langsung mengetahuinya. Polri sering mengeluhkan bahwa

jumlah rasio Polisi di Indonesia dengan jumlah penduduk sangat

tidak seimbang. Hal ini mengakibatkan pelayanan yang dapat

diberikan oleh Polri kepada masyarakat menjadi tidak atau

kurang maksimal. Oleh karena itu Polri selalu meminta agar

masyarakat selalu membantu Polri untuk menjaga dan

menciptakan ketertiban dan ketenteraman umum.

Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya

Page 6: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

6

disebut UU Polri) yang isinya dinyatakan Keamanan dan

ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat

sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses

pembangunan Nasional dalam rangka tercapainya tujuan

Nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban

dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman yang

mengandung kemampuan membina serta mengembangkan

potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah

dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan

bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan

masyarakat. Pada prinsipnya, jika terjadi suatu peristiwa pidana

maka Polri sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum dapat

segera mengambil tindakan. Akan tetapi dari banyak peristiwa

pidana itu ada beberapa jenis yang hanya dapat dituntut atas

pengaduan dari orang yang dirugikan akibat terjadinya peristiwa

pidana tersebut. Peristiwa pidana tersebut biasanya disebut delik

aduan.

Menurut R. Soesilo:

Alasan dari adanya delik aduan ini adalah bahwa dalam beberapa hal bagi orang yang bersangkutan lebih menguntungkan untuk tidak menuntut perkara itu daripada keuntungan bagi pemerintah (masyarakat) jika dilakukan penuntutan. Adanya delik aduan ini tidak mengurangi prinsip oppurtuniteit dalam hukum penuntutan pidana dari negara kita, bahwa penuntut umum (Kejaksaan) senantiasa

Page 7: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

7

mempunyai kekuasaan untuk menyimpan (mendeponir) perkara bagi kepentingan umum.3

Kitab Undang- Undang Hukum Pidana telah mengatur

secara tegas mengenai jenis-jenis tindak pidana yang termasuk

dalam tindak pidana (delik) aduan. Salah tindak pidana yang

termasuk delik aduan adalah perbuatan tidak menyenangkan

yang diatur dalam pasal 335 Kitan Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP). Perbuatan tidak menyenangkan dapat berakibat

fatal bagi pelakunya, jika perbuatan tersebut tidak disukai atau

tidak dapat diterima oleh pihak yang menjadi korban dari

perbuatan yang tidak menyenangkan tersebut. Memang akibat

perbuatannya tidak membahayakan jiwa korban atau penderita,

akan tetapi ada perasaan yang sungguh tidak enak dirasakan

oleh korban, atau korban mengalami sakit hati (perasaan).

Berarti dari sudut pandang hukum positif, perbuatan yang tidak

menyenangkan sebagai ancaman terhadap kemerdekaan orang

perorang,oleh karena itu hukum positif perlu berperan aktif dan

mengambil langkah-langkah penyelamatan, perlindungan,

pemulihan atas kejahatan dan pelanggaran terhadap

“kemerdekaan orang”.

Dalam hukum pidana, perbuatan tidak menyenangkan

diatur dalam Bab. XVIII Tentang Kejahatan Terhadap

Kemerdekaan Orang. Perbuatan tidak menyenangkan ini 3http://legal-community.blogspot.com , 11 Juni 2015, Surabaya.

Page 8: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

8

haruslah dilakukan dengan kesengajaan, sehingga orang yang

melakukan perbuatan pidana itu dapat dihukum karena

mempunyai sikap bathin yang berupa kesengajaan.4

Aturan yang mengatur tentang tindak pidana perbuatan

tidak menyenangkan adalah Pasal 335 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) yang menentukan sebagai berikut:

a. Diancam dengan pidana penjara paling lama satu

tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah;

Ke-1 : Barangsiapa secara melawan hukum memaksa

orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau

membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu

perbuatan lain maupun perlakuan yang tak

menyenangkan, atau dengan memakai ancaman

kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang

tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri

maupun orang lain.

Ke-2 : Barangsiapa memaksa orang lain supaya

melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu

dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.

4Masruchin Ruba’i, dkk, 2014, Buku Ajar Hukum Pidana, Bayumedia Publishing, Malang, Halaman. 103.

Page 9: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

9

b. Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2,

kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang

terkena.

Terkait dengan tindak pidana perbuatan tidak

menyenangkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 335 KUHP,

Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 1/PUU-XI/2013

tertanggal 16 Januari 2014 dalam amar putusannya

menyebutkan bahwa;

a. Menyatakan frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun

perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat

(1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang

Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 73 Tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia

tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh Wilayah

Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Menyatakan frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun

perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat

Page 10: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

10

(1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang

Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia

tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah

Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958)

tidak mempunyai kekuatan mengikat;

c. Menyatakan Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana

atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang

menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana

untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara

Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 1660 Tahun 1958) menjadi: “Barang siapa secara

melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan,

tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan

memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman

Page 11: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

11

kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang

lain”.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak menghapus

ketentuan Pasal 335 ayat (1) KUHP secara keseluruhan, tetapi

yang dihapus pada rumusan ketentuan Pasal 335 ayat (1) KUHP

adalah frasa: “perbuatan tidak menyenangkan” dan frasa:

“perbuatan lain”, frasa tersebut dianggap oleh Mahkamah

Konstitusi telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

1945 karena Pasal tersebut tidak memberi kepastian pada tindak

pidana mana yang harus diterapkan oleh Pasal 335 ayat (1)

KUHP sehingga penerapan frasa perbuatan tidak akan terlepas

dari penafsiran yang beragam.

Dalam hal terjadinya suatu delik aduan, sumber informasi

yang diterima oleh Polri adalah pengaduan. Oleh karena itu

dapat dikatakan bahwa pengaduan merupakan dasar untuk

melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu delik

aduan. Hal ini membuat terjadinya perbedaan dalam

penanganan peristiwa yang termasuk delik aduan dengan

peristiwa pidana yang merupakan delik biasa.

Berdasarkan pada uraian tersebut diatas, maka Penulis

dalam tulisan ini akan mengkaji mengenai “Tinjauan Yuridis

Kedudukan Penyidik Atas Pengaduan Delik Perbuatan Tidak

Page 12: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

12

Menyenangkan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

1/PUU-XI/2013”.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka

dapat ditentukan rumusan masalahnya yaitu:

a. Bagaimana proses pelaksanaan penyidikan terhadap delik

aduan di Indonesia ?

b. Apa akibat hukum bagi kedudukan penyidik atas

pengaduan delik perbuatan tidak menyenangkan pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi 1/PUU-XI/2013 tentang Uji

Undang-Undang pasal 335 KUHP dalam delik aduan

perbuatan tidak menyenangkan ?

3. Tujuan dan Mnfaat Penelitian

3.1. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

3.1.1.Untuk menganalisis proses pelaksanaan penyidikan

dalam suatu peristiwa yang termasuk dalam

kualifikasi delik aduan .

3.1.2.Untuk menganalisis tentang kedudukan penyidik

Polri terhadap delik perbuatan tidak menyenangkan

pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-

Page 13: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

13

XI/2013 Tentang Perubahan atas redaksi Pasal 335

ayat (1) KUHP.

3.2. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

3.2.1. Manfaat teoritis dari penelitian ini agar dapat memberikan

pemahaman di bidang akademik maupun non akademik terkait

dengan proses pelaksanan penyelidikan terhadap delik aduan

maupun akibat hukum terhadap kedudukan Penyidik Polri atas

pengaduan delik perbuatan tidak menyenangkan pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 Tentang

Perubahan atas redaksi Pasal 335 ayat (1) KUHP.

3.2.2. Manfaat praktis dari hasil penelitian ini di harapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dalam hal

ini Kepolisian, kejaksanaan maupun masyarakat luas dalam

kaitannya dengan pelaksanaan penyidikan terhadap delik aduan.

Page 14: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Penyidik dan Penyidikan

Pasal 1 butir 2 KUHAP isinya dinyatakan bahwa:”Penyidik adalah pejabat

Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang

diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.

Mengenai pengertian penyidikan dapat diketahui dari isi Pasal 1 butir 2 KUHAP

yang menetukan bahwa: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam

hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”Penyidikan dilakukan segera

Page 15: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

15

setelah laporan atau pengaduan adanya tindak pidana. Penyidik yang mengetahui,

menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut

diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan

yang diperlukan.5

Menurut Lilik Mulyadi, dari batasan pengertian (begrips bepaling) sesuai

tersebut dengan konteks Pasal 1 angka 2 KUHAP, dengan kongkret dan factual

dimensi penyidikan tersebut dimulai ketika terjadinya tindak pidana sehingga

melalui proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang aspek-aspek

sebagai berikut:

a. Tindak pidana yang telah dilakukan.b. Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti).c. Cara tindak pidana dilakukan.d. Dengan alat apa tindak pidana dilakukan.e. Latar belakang sampai tindak pidana tersebut dilakukan.f. Siapa pelakunya6

Memperhatikan ketentuan dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 mengenai

pengertian penyidik dan penyidikan, dapat diketahui bahwa penyidik itu bukan

hanya penyidik Polri, melainkan juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu. Tugas

dari penyidik adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti

itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. Dari pengertian penyidik

dan penyidikan, dapat diketahui pula perbedaan antara penyelidik dengan

penyidik dan penyelidikan dengan penyidikan. Penyidikan adalah tindakan yang

dilakukan setelah penyelidikan selesai.

5Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2010, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, (Ghalia Indonesia, Bogor), Halaman. 24

6 Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahnya, (Alumni, Bandung), Halaman. 55

Page 16: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

16

Menurut M. Yahya Harahap:

Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” sesuatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Dari penjelasan dimaksud hampir tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya bersifat gradual saja.7

Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud

satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi-mengisi guna dapat diselesaikan

pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian, ditinjau dari beberapa segi,

terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut:

a. Dari segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari “semua

anggota” Polri, dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di

bawah pengawasan penyidik.

b. Wewenang sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan

menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindak pidana.

Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah

penyelidik melakukan tindakan yang disebut Pasal 5 ayat (1) huruf b

(penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan, dan

sebagainya).

Memperhatikan ketentuan Pasal 7 ayat (1), apalagi jika dihubungkan dengan

beberapa bab KUHAP, seperti Bab V (penangkapan, penahanan, penggeledahan,

penyitaan, dan pemeriksaan surat) serta Bab XIV (penyidikan), ruang lingkup

wewenang dan kewajiban penyidik adalah amat luas jika dibanding dengan

7M.Yahya Harahap, 2004, Op.Cit, (Sinar Grafika, Jakarta), Halaman.109

Page 17: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

17

penyelidikan. Akan tetapi, cara penguraiannya dalam KUHAP agak berserakan

dalam beberapa bab. Wewenang dan kewajiban penyidik serta ruang lingkup

fungsi penyidikan secara sempurna, tidak dapat melihatnya, hanya pada Bab XIV

saja, tetapi harus melihat dan mengumpulkannya dari bab dan pasal-pasal lain di

luar kedua bab yang disebutkan.

Mengenai siapa saja yang disebut sebagai penyidik ditentukan dalam Pasal 6

KUHAP sebagai berikut:

a. Penyidik adalah:

1) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

2) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh Undang-Undang.

b. Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a

akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 KUHAP diketahui bahwa yang disebut

penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari para pejabat

seperti yang dijelaskan pada Pasal 1 butir 1 KUHAP. Kemudian dipertegas dan

diperinci lagi dalam pasal 6 KUHAP. Akan tetapi, di samping apa yang diatur

dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6 KUHAP, terdapat lagi Pasal 10 KUHAP yang

mengatur tentang adanya penyidik pembantu di samping penyidik.

Apabila penyidik menerima laporan dari penyelidik atau korban maka

penyidik wajib dengan segera melakukan penyidikan terhadap tersangka. Sebelum

melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik wajib memberitahukan

kepada tersangka. Jika penyidikan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil

Page 18: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

18

maka mereka diberi petunjuk dan bantuan oleh penyidik Polri. Berkas Acara

Penyidikan (BAP) disampaikan oleh penyidik pegawai negeri sipil yang

bersangkutan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri.Pasal 106 KUHAP

menentukan bahwa penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan

tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana

wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Lebih lanjut Pasal

108 KUHAP menentukan:

a. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi

korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan

laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan

maupun tertulis.

b. Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak

pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau

terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada

penyelidik atau penyidik.

c. Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang

mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib

segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.

d. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani

oleh pelapor atau pengadu.

e. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh

penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.

Page 19: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

19

f. Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus

memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang

bersangkutan.

Pelaksanaan penyidikan oleh kepolisian dilakukan dalam rangka menjalankan

tugas utama kepolisian yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Polri yang diantaranya :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.8

2. Pengertian Delik

Delik berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam bahasa Jerman

disebut delict, dalam bahasa Perancis disebut delit, dan dalam bahasa Belanda

disebut delic yang artinya perbuatan yang dapat dihukum.

Menurut Moeljatno dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana,

menerjemahkan delik dengan istilah perbuatan pidana adalah:

“ Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman ( sanksi ) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan terssebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditentukan oleh kelakuan orang.Sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.”9

8

Sadjijojno,2006, Hukum Kepolisian dalam perspektif kedudukan dan hubungannya dalam hukum administrasi,laksbang pressindo, yokyakarta, Halaman.117

9Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Halaman.54.

Page 20: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

20

Adapun unsur-unsur delik Menurut VOS sebagai berikut :

a. Suatu kelakuan manusia.

b. Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan

dilarang umum dan diancam dengan hukuman.10

Dalam hukum pidana dikenal dua macam delik yaitu : delik aduan dan delik biasa.

Delik biasa diartikan suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang

penaganananya tanpa memerlukan pelaporan dari orang yang dirugikan.

Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hal ini berarti

bahwa kepentingan umum lebih diutamakan. Oleh karena itu penuntutan suatu

delik pada dasarnya dibebankan kepada penguasa karena jabatannya, tidak

bergantung kepada orang yang menderita sebagai akibat dari suatu delik, bahkan

juga andaikan ada keberatan dari penderita tidak merupakan penghalang bagi

usaha penuntutan.

Delik aduan (klacht delict) pada hakikatnya juga mengandung unsur-unsur

yang lazim dimiliki oleh setiap delik. Pada lazimnya, setiap delik terjadi

menghendaki adanya penuntutan dari Penuntut Umum tanpa ada permintaan yang

tegas dari orang yang menjadi korban atau mereka yang dirugikan. Delik aduan

mempunyai ciri khusus dan kekhususan itu terletak pada penuntutannya.

Penuntutan suatu delik aduan hanya dapat diterima apabila telah masuk

pengaduan dari penderita atau seseorang yang berhak mengadu. Mengenai

penyimpangan penuntutan terhadap delik aduan, E. Y Kanter dan S. R. Sianturi

berpendapat:

10E. Utrecht, 2000, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, Halaman 252.

Page 21: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

21

Penyimpangan penuntutan terhadap delik aduan adalah karena kepentingan pribadi dari yang dirugikan/penderita/yang berhak mengadu dipandang perlu mengutamakan perlindungannya. Dalam hal ini, yang dijadikan alasan untuk menjadikan suatu delik menjadi delik aduan ialah bahwa dalam hal-hal tertentu, kepentingan seseorang yang mengadu akan lebih dirugikan apabila perkara itu disidangkan dibandingkan dengan kepentingan umum jika perkar itu tidak dituntut karena jabatan.11

Menurut R. Soesilo:

Alasan dari adanya delik aduan ini adalah bahwa dalam beberapa hal bagi orang yang bersangkutan lebih menguntungkan untuk tidak menuntut perkara itu daripada keuntungan bagi pemerintah (masyarakat) jika dilakukan penuntutan. Adanya delik aduan ini tidak mengurangi prinsip oppurtuniteit dalam hukum penuntutan pidana dari negara kita, bahwa penuntut umum (Kejaksaan) senantiasa mempunyai kekuasaan untuk menyimpan (mendeponir) perkara bagi kepentingan umum. Dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan.

3. Perbuatan Tidak Menyenangkan.

Dalam kaitannya dengan delik aduan, salah satu acuan yang menjadi objek

pembahasan dalam tulisan ini adalah Tindak Pidana Perbuatan Tidak

Menyenangkan yang diatur dalam Pasal 335 KUHP menentukan

bahwa:

Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

a. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang

lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan

sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan

11E. Y. Kanter, dan S. R. Sianturi, 2002, Op.Cit, Storia Grafika, Jakarta, Halaman. 1012http://legal-community.blogspot.com,, Juni 2015

Page 22: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

22

lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau

dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan

lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik

terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;

b. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan,

tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan

ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.

Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan

hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.

Pembuktian dalam pasal tersebut diatas ialah: bahwa ada

orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan

sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu;

dan Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu

ancaman ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain, atau

ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan, baik terhadap

orang itu, maupun terhadap orang lain.

“Memaksa”, menyuruh orang melakukan sesuatu demikian

rupa,sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan

kehendak sendiri. Paksaan dalam sub 1 harus melawan hak,

sedangkan dalam sub 2 tidak perlu. Kejahatan tersebut sub 2

adalah suatu delik aduan.

Yang dapat dikenakan pasal tersebut adalah rupa-rupa

misalnya memaksa dengan cara dalam pasal ini. Tentang

Page 23: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

23

kekerasan dapat dilihat pada Pasal 89 KUHP dan tentang menista

dapat dilihat pada Pasal 310 KUHP.

Pasal 89 KUHP menentukan: “Membuat orang pingsan atau tidak

berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”.

Pasal 310 KUHP menentukan:

a. Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau

nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal,

yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum,

diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling

lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak

empat ribu lima ratus rupiah.

b. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran

yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka

umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan

pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

c. Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran

tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan

umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

d. Di tuntut atas pengaduan orang yang terkena.

Sebagai suatu rumusan delik, kualifikasi, “Sesuatu

perbuatan lain maupun perlakuan yang tak

menyenangkan” tidak dapat diukur secara objektif. Seandainya

Page 24: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

24

pun dapat diukur, ukuran tersebut sangatlah subjektif dan hanya

berdasarkan atas penilaian korban, para penyidik, dan penuntut

umum semata.

“Sebagai akibat dari adanya rumusan delik yang demikian itu,

dapat juga menjadi peluang bagi penyidik dan penuntut umum

untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain

berdasarkan suatu laporan. Namun, apabila laporan tidak

terbukti di pengadilan, pihak yang dilaporkan jelas telah

menderita kerugian karena harus berurusan dengan penyidik dan

penuntut umum. Terlebih, lagi apabila yang bersangkutan

ditahan yang berarti seseorang telah kehilangan kemerdekaan

sebagai hak asasinya.12

Rasa tidak menyenangkan dapat berbagai macam; ada

rasa cemas, takut, dongkol, malu, dan lain-lain rasa yang

menyeruak dalam hati. Berbagai perasaan timbul bergejolak,

emosi meninggi, ada rasa ingin membalas akan tetapi dengan

berbagai kendala dan keterbatasan membuat si penderita atau

korban tidak dapat melakukan pembalasan; kendala takut

menghadapi ancaman hukuman, malu dengan masyarakat, dan

keterbatasan karena lemahnya phisik, kurangnnya kekuatan,

1213Hukumonline.com, diakses tanggal 08 Juli 2015

Page 25: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

25

membuat si penderita atau korban menahan gejolak emosinya

untuk membalas seketika.13

4. Kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Terkait dengan tindak pidana perbuatan tidak

menyenangkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 335 KUHP,

Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 1/PUU-XI/2013

tertanggal 16 Januari 2014 dalam amar putusannya

menyebutkan bahwa;

Menyatakan frasa, “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660 Tahun 1958) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan uji

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 terdapat

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pasal 10 ayat (1) huruf

a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 1314ibid

Page 26: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

26

Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(selanjutnya disebut UU MK) menegaskan hal yang sama, yakni

menyebutkan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili

pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final, antara lain “menguji Undang-Undang terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”,

memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus

pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang

hasil pemilihan umum.

Page 27: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

27

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Tipe Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan tipe penelitian hukum

normatif,14 yakni berusaha memberikan gambaran terhadap

fenomena hukum dengan cara mengungkapkan hubungan

antara peristiwa hukum, perbuatan hukum dengan akibat hukum

dalam rangka keberlakuan suatu norma. Dalam hal ini peneliti

akan mengungkapkan kedudukan penyidik terhadap pengaduan

delik perbuatan tidak menyenangkan pasca putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor .1/PUU-XI/2013 tentang perubahan atas redaksi

kalimat pasal 335 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP).

2. Pendekatan Penelitian

1415Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, Halaman. 60.

Page 28: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

28

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan

pendekatan konseptual (conceptual approach).

2.1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

Adalah penelitian yang dilakukan dengan menelaah

semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut

paut dengan isu hukum yang sedang ditangani”.15

Pendekatan ini dimaksudkan untuk menelusuri seluruh

ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hukum

pidana khususnya pada perbuatan yang tidak

menyenangkan dan kepolisian.

2.2. Pendekatan konseptual (conceptual approach)

Adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di

dalam ilmu hukum.Pemahaman akan pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan

sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu

argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang

dihadapi”.16 Pendekatan ini dimaksudkan untuk

menelusuri doktrin-doktrin hukum pidana yang relevan

dengan isu hukum yang sedang dikaji.

1516Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Halaman. 93.

1617Ibid., h. 95.

Page 29: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

29

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.17

3.1. Bahan hukum primer meliputi:

3.1.1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

3.1.2.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

3.1.3.Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP);

3.1.4.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

3.1.5.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

3.1.6.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian.

3.1.7.Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

1/PUU-XI/2013 tertanggal 16 Januari 2014.

3.2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan yaitu, buku-

buku hukum yang berkaitan dengan buku-buku hukum

acara pidana, jurnal, tesis, disertasi, dan artikel serta

1718Ibid.,h. 95-96.

Page 30: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

30

internet yang berkaitan dengan pokok permasalahan

dalam penelitian ini.

3.3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan

cara mengumpulkan bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder yaitu buku-buku hukum yang berisikan

doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran hukum dan konsep-

konsep hukum serta putusan-putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap mengenai perbuatan yang

tidak menenangkan dan mengenai kedudukan penyidik

dalam proses penanganan delik aduan. Selanjutnya

pengolahan dilakukan dengan cara melakukan

klasifikasi terhadap bahan hukum primer yang

terkumpul dan mengkaitkan kesesuaian pasal-pasal

perundang-undangan yang ada dalam bahan hukum

primer dengan pokok permasalahan yang diteliti,

setelah itu dicari untuk ditemukan asas-asasnya dalam

doktrin-doktrin hukum yang terdapat dalam buku-buku

hukum atau bahan hukum sekunder kemudian

dilakukan analisis dan penyimpulan terhadap hasil

pengolahan bahan hukum.

3.4. Analisis Bahan Hukum

Page 31: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

31

Kegiatan penelaahan dan interpretasi atas fakta-fakta

hukum yang telah dikemukakan, dikaitkan dengan

bahan-bahan hukum yang relevan.18 Analisis hukum

dalam penelitian ini, dimulai dari peneliti melakukan

telaah atas isu hukum dengan cara mengemukakan

fakta-fakta hukum yang menimbulkan isu hukum,

selanjutnya isu hukum itu dicocokkan atau ditelaah

menurut bahan hukum primer sehingga dapat

ditentukan: aturan mana yang digunakan, selanjutnya

dilakukan interpretasi melalui doktrin-doktrin para ahli

hukum yang terdapat dalam bahan hukum sekunder,

dengan demikian peneliti dapat menjawab isu hukum

yang dikemukakan.

B. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan hukum ini, maka

penyusunan dalam penelitian dibagi menjadi 4 (empat) Bab, dan

tiap-tiap Bab dibagi dalam sub-bab yang disesuaikan dengan

luas pembahasan. Adapun sistematika penulisan hukum ini

adalah sebagai berikut:

1819M. Syamsudin, 2008, Mahir Menulis Legal Memorandum, Kencana Prenada Media, Jakarta, Halaman. 45.

Page 32: tinjauan yuridis kedudukan penyidik atas delik aduan perbuatan

32

BAB IV

SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I pendahuluaan yang mengemukakan tentang latar

belakang,rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab II akan diuraikan analisis tentang proses pelaksanaan

penanganan delik aduan yang terjadi di Indoensia.

Bab III akan diuraikan analisis kedudukan Penyidik terhadap

pengaduan delik perbuatan tidak menyenangkan pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 tertanggal 16 Januari

2014 tentang perubahan atas redaksi kalimat pasal 335 KUHP.

Bab IV berupa bab Penutup yang berisikan kesimpulan dan

saran.