delik aduan vs ultimum remidium dalam perspektif aliran …

24
Page 1 of 24 DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran Hukum POSITIVISME(Romawi), dan REALISME, dan SOSIOLOGIS, dan UTILITARISME dan FREIE RECHT SLEHRE(Anglo-Amerika) Oleh: Asisten Profesor / Lektor Madya Nama : Dr(hukum) Youngky Fernando, S.H.,M.H. Jenis kelamin : Laki-laki. Tempat kelahiran di : Jakarta, 27 Pebruari 1963. Kewarganegaraan : Indonesia. Agama : Islam. Pekerjaan : Dosen S1 dan S2 dan S3 Ilmu Hukum Pidana. Home Base : Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang. Mutasi : Universitas Krisnadwipayana(UNKRIS). Dosen Luarbiasa : Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya. Dosen Luarbiasa : Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Esa Unggul Mutasi Home Base : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum S-1, S-2, S-3. Proses Mutasi : STIH Painan Tangerang - Banten. Jabatan Struktural : Sekretaris PRODI S3 Ilmu Hukum. Dosen Pembimbing : Skripsi(S1) dan Tesis(S2) dan Disertasi(S3). Dosen Penguji : Skripsi(S1) dan Tesis(S2) dan Disertasi(S3). Penguji Disertasi : Doktor Ilmu Kepolisian(PTIK / STIK) 2020. Jabatan Fungsional : Asisten Profesor / Lektor Madya. Pangkat 2018 Gol: IIIc : Penata Tk-I/Gol: IIIdPembina/Gol: IVa. Inpassing / Penyesuaian : SK-MENRISTEKDIKTI No:1693/L4/KP/2019. Nomor Register Dosen : 0427026301(Nomor Induk Dosen Nasional). Alamat Domisili Kini : Perumahan Bogor Nirwana Residence(BNR). Harmony-2. Blok-2/26. RT:02. RW:15. Desa Sukamantri. Kecamatan Tamansari. Kota Kabupaten Bogor Selatan. Provinsi Jawa Barat. HP&WA&Email : 08129523212. [email protected]

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 1 of 24

DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM

Dalam Perspektif Aliran Hukum

POSITIVISME(Romawi), dan REALISME, dan SOSIOLOGIS, dan UTILITARISME dan

FREIE RECHT SLEHRE(Anglo-Amerika)

Oleh:

Asisten Profesor / Lektor Madya

Nama : Dr(hukum) Youngky Fernando, S.H.,M.H. Jenis kelamin : Laki-laki.

Tempat kelahiran di : Jakarta, 27 Pebruari 1963.

Kewarganegaraan : Indonesia.

Agama : Islam.

Pekerjaan : Dosen S1 dan S2 dan S3 Ilmu Hukum Pidana.

Home Base : Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang.

Mutasi : Universitas Krisnadwipayana(UNKRIS).

Dosen Luarbiasa : Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya.

Dosen Luarbiasa : Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Esa Unggul

Mutasi Home Base : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum S-1, S-2, S-3.

Proses Mutasi : STIH Painan Tangerang - Banten.

Jabatan Struktural : Sekretaris PRODI S3 Ilmu Hukum.

Dosen Pembimbing : Skripsi(S1) dan Tesis(S2) dan Disertasi(S3).

Dosen Penguji : Skripsi(S1) dan Tesis(S2) dan Disertasi(S3).

Penguji Disertasi : Doktor Ilmu Kepolisian(PTIK / STIK) 2020.

Jabatan Fungsional : Asisten Profesor / Lektor Madya.

Pangkat 2018 Gol: IIIc : Penata Tk-I/Gol: IIId–Pembina/Gol: IVa.

Inpassing / Penyesuaian : SK-MENRISTEKDIKTI No:1693/L4/KP/2019.

Nomor Register Dosen : 0427026301(Nomor Induk Dosen Nasional).

Alamat Domisili Kini : Perumahan Bogor Nirwana Residence(BNR).

Harmony-2. Blok-2/26. RT:02. RW:15.

Desa Sukamantri. Kecamatan Tamansari.

Kota Kabupaten Bogor Selatan.

Provinsi Jawa Barat.

HP&WA&Email : 08129523212. [email protected]

Page 2: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 2 of 24

I. PENDAHULUAN. 1. DELIK ADUAN / TINDAK PIDANA ADUAN.

a. Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie atau Wetboek

van Strafrecht atau Kitab Undang Undang Hukuman atau

Kitab Undang Undang Hukum Pidana atau KUHP terdiri atas

Buku Kesatu/Pertama(Pasal 1 s/d Pasal 103. Tentang

Peraturan Umum) dan Buku Kedua(Pasal 104 s/d Pasal 488.

Tentang Kejahatan) dan Buku Ketiga(Pasal 489 s/d Pasal 569.

Tentang Pelanggaran).

b. Pada mulanya Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland

(WvS) dibuat pada tahun 1795 dan diberlakukan pada tahun 1809.

Selanjutnya Perancis menjajah Belanda dan lahirlah Code Penal

pada tahun 1811 s/d tahun 1813. Selanjutnya Belanda merdeka,

lahirlah Wetboek van Strafrecht pada tahun 1881 di berlakukan

pada tahun 1886, dan lahirlah Wetboek van Strafrecht voor

Nederlandsch-Indie berdasarkan Koninklijk Betsuit(titah raja)

10 Pebruari 1866. Tentang Kejahatan Untuk Bangsa Eropa

Juncto Algemeene Politie Strafreglement berdasarkan

Ordonnantie 15 Juni 1872. Tentang Pelanggaran Untuk Bangsa

Eropa. Juncto Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie

berdasarkan Ordonnantie 05 Mei 1872. Tentang Kejahatan Untuk

Pribumi Indonesia dan Penduduk Indonesia Bangsa Timur Asing

Juncto Algemeene Politie Strafreglement berdasarkan

Ordonnantie 15 Juni 1872. Tentang Pelanggaran Untuk Pribumi

Indonesia dan Penduduk Indonesia Bangsa Timur Asing. Juncto

Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie berdasarkan

Ordonnantie 1915 Nomor 33 pada tanggal 15 Oktober 1915.

Juncto Staatblad 1915 Nomor 723, di berlakukan di seluruh

Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918. Kini Wetboek van

Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetboek van

Strafrecht menjadi Kitab Undang Undang Hukum Pidana

(KUHP) diberlakukan di seluruh negara R-I berdasarkan

Staatsbladen 1915 Nomor 723. Juncto Staatsbladen 1945 Nomor

135. Juncto Staatsbladen 1946 Nomor 76. Juncto Staatsbladen

1947. Juncto Pasal-II-Peralihan UUD 1945 pada tanggal 17

Agustus 1945. Juncto UU-RI Nomor: 1 tahun 1946. Tanggal

26 Pebruari 1946. Tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1. Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2, menetapkan, bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku, ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. Pasal 2. Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi balatentara Hindia-Belanda dulu (Verordeningen van het Militair

Page 3: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 3 of 24

Gezag) dicabut. Pasal 3. Jikalau di dalam sesuatu peraturan hukum pidana ditulis dengan perkataan "Nederlandsch-Indie" atau "NederlandschIndisch (e) (en)", maka perkataan-perkataan itu harus dibaca "Indonesie" atau "Indonesishc(e) (en)". Pasal 4. Jikalau di dalam sesuatu peraturan hukum pidana suatu hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan diberikan atau suatu larangan ditujukan kepada sesuatu pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang sekarang tidak ada lagi, maka hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan itu harus dianggap diberikan dan larangan tersebut ditujukan kepada pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang harus dianggap menggantinya. Pasal 5. Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruh atau sebagian sementara tidak berlaku. Pasal 6. Ayat(1) Nama Undang-undang hukum pidana "Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh-Indie" dirobah menjadi "Wetboek van Strafrecht". Ayat(2) Undang-undang tersebut dapat disebut : Kitab Undang-undang hukum pidana". Pasal 7. Dengan tidak mengurangi apa yang ditetapkan dalam pasal 3, maka semua perkataan "Nederlandsch-onderdaan" dalam Kitab Undang-undang hukum pidana diganti dengan "Warga Negara Indonesia". Pasal 8. Kitab Undang-undang hukum pidana dirobah sebagai berikut: 1. Dalam pasal 4, ayat 1, ke 1e angka-angka "104-108" harus dibaca "104, 106, 107 en 108" dan angka-angka "130-133" dibaca "131" 2. Perkataan "Directeur van Justitie" dalam pasal 15b diganti dengan "Minister van Justitie". 3. Pasal 16 dirobah sebagai berikut : a. perkataan "Directeur van Justitie" harus dibaca "Minister van Justitie" b. bagian kalimat : "voorzopver betreft de Gouvern- ementslanden van Java en Madoera, van den assitent- resident en elders van het hoofd van plaatselijk bestuur" diganti dengan "van den jaksa" dan perkataan "Gouverneur-Generaal" diganti dengan "Minister van Justitie". c. bagian kalimat : "in de Gouvernementslanden van Java en Madoera ob bevel van den assitent-resident en elders van het hoofd van plaatselijk bestuur" dalam ayat 3 diganti dengan "op bevel van den Jaksa" 4. Dalam pasal 20 perkataan "het hoofd van plaatselijk bestuur (den assistent-resident) diganti dengan "den jaksa". 5. Dalam pasal 21, perkataan "Directeur van Justitie" diganti dengan "Minister van Justitie". 6. Dalam Pasal 29, ayat (2)m perkataan "Directeur van Justitie" diganti dengan Minister van Justitie". 7. Dalam pasal 33a, perkataan "Gouverneur-Generaal", diganti dengan "President". 8. Dalam pasal 44, ayat 3, perkataan "de Europeesche rechtbanken", diganti dengan "Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi". 9. Pasal 76 dirobah sebagai berikut: a. bagian kalimat "of van den rechter in Nederland of in Suriname of in Curacao", dihapuskan. b. perkataan "inheemsche" dan "Inlandsche" dihapuskan. 10. Dalam pasal 92, bagian kalimat "den Volksraad, van den provinciale raden en van de raden ingesteld ingevolge artikel 121, tweede lid en artikel 124, tweede lid der Indische Staatsregeling" diganti dengan "een door of namens de regering ingesteld wetgeven, besturend of volksvertegenwooedigend lichaam". 11. Pasal 94 dihapuskan. 12. Dalam pasal 104 perkataan-

Page 4: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 4 of 24

perkataan "den Koning, de regeerende koningin of den Regent" diganti dengan "den Presiden of den Vice-President". 13. Pasal 105 dihapuskan. 14. Dalam pasal 110 ayat (1) dan ayat (2) angka-angka "104-108" harus dibaca "104,106, 107 en 108". 15. Dalam pasal 111 perkataan "hetzij" dan bagian kalimat "hetzij met een Indische vorst of volk" dihapuskan. 16. Dalam pasal 112 dan 121 bagian kalimat "een Indishce vorst of volk" dihapuskan. 17. Dalam pasal 117 no. 3 perkataan "Gouverneur-General van Nederlandsch-Indie harus dibaca "President". 18. Dalam pasal 122 dan 123 perkataan "Nederland" harus dibaca "Indonesie". 19. Dalam pasal 128 bagian kalimat: "een der in de artikelen 104 en 105 omschreven misdreijven" diganti dengan "het in artikel 104 omshcreven misdrijf". 20. Kepala Bab II diganti sebagai berikut : "Misdrijven tegen de waardigheid van den President en van den Vice-President". 21. Pasal 130 dihapuskan. 22. Dalam pasal 131 perkataan "des konings of der Koningin" diganti dengan "van den President of van den Vice President" 23. Pasal 135 dan 136 dihapuskan. 24. Dalam pasal 134 perkataan-perkataan "Koning of der Koningin" diganti dengan "President of den Vice-President" 25. Pasal-pasal 135 dan 136 dihapuskan. 26. Dalam pasal 136 bis bagian kalimat : "de artikelen 134, 135 en 136" harus dibaca "artikel 134". 27. Dalam pasal 137 bagian kalimat "de Koning, de Koningin, den gemaal der regeerende Koningin, den troonopvolger, een lid van het Konniklijke Huis of den Regent" harus dibaca "den President of den Vice-President". 28. Pasal 138 dihapuskan. 29. Pasal 239 dirobah sebagai berikut: a. ayat (1) dihapuskan. b. dalam ayat (2) bagian kalimat "een der in artikelen 131-133 omschreven misdrijven" harus dibaca "het in artikel 131 omschreven misdrifjf". c. dalam ayat (3) bagian kalimat "een der artikelen 134-136 omschreven misdrijf" harus dibaca "de artikel 134 omscht ven misdrijf". 30. Perkataan "Nederlandsche" dalam pasal 143 dan 144 harus dibaca "Indonesische". 31. Dalam pasal 146 dan 147 bagian-bagian kalimat: "den Volksraad, van een provincialen raad of van een raad ingesteld ingevolge artikel 121 tweede lid, dan wel ingevolge artikel 124 tweede lid der Indische Staatsregeling" harus dibaca "een door or namens de Regeering ingesteld wetgevend, besturend of volksvertegenwoordigend lichaam". 32. Pasal 153 bis dan pasal 153 ter hapuskan. 33. Dalam pasal 154 dan 155 bagian kalimat "Nederland of van Nederlandsch-Indie" harus dibaca "Indonesie". 34. Pasal 161 bis dihapuskan. 35. Dalam pasal 164 angka-angka "104-108" harus dibaca "104, 106, 107 en 108". 36. Dalam pasal 165 angka-angka "104-108" dan 115-133" masing-masing harus dibaca "104, 106, 107 en 108" dan 115-129 en 131". 37. Pasal 171 dihapuskan. 38. Dalam pasal 207 dan 208 bagian kalimat : "Nederlan of in Nederlandch-Indie" harus dibaca "Indonesie". 39. Dalam pasal 210 ayat (1) ke-2 bagian kalimat "dan wel'aan een inlandschen officier van Justitie" dihapuskan. 40. Dalam pasal 228 bagian kalimat "vier maanden en twee weken" diganti dengan "twee jaren". 41. Pasal 230, dihapuskan. 42. Dalam pasal 234 dibelakang perkataan-perkataan "in een postbus gestoken" ditambah dengan perkataan "dan wel aan een koerier toevertrouwd". 43. Dalam pasal 238 perkataan "Gouverneur-General" harus dibaca "President". 44. Pasal 239 dirobah

Page 5: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 5 of 24

sebagai berikut: a. bagian kalimat "buiten de gevallen waarin het krachtens algemeence verordening veroorloofds is, zonder toestemming van den Vouverneur-Generaal" dihapuskan. b. perkataan "Inlander" diganti dengan "Warga Negara Indonesia". 45. Dalam pasal 240 ayat (1) No. 1 bagian kalimat "167 der Indische Staatsregeling" harus dibaca "30 der Undangundang Dasar". 46. Dalam pasal-pasal 253 dan 260 perkataan-perkataan "van rijkswege of" dihapuskan. 47. Dalam pasal 260 bis bagian-bagian kalimat "hetzij van Suriname of Curacao" dan "hetzij voorzoover merken betreft, van Nederland" dihapuskan. 48. Dalam pasal 274 perkataan "Inlandsch" dihapuskan. 49. Dalam pasal 420 ayat (1) No. 2 bagian kalimat "dan wel de Inlandsch Officier van Justitie die" dihapuskan. 50. Dalam pasal 447, 448 dan 449 perkataan "Nederlansch of" dihapuskan. 51. Dalam pasal 450 dan 451 perkataan "Nederlandsche Regeering" diganti dengan "Indonesische Regeering". 52. Dalam pasal-pasal 453, 454, 455 dan 458 ayat (1) perkataan "Nederlandsch of" dihapuskan. 53. Dalam pasal 458 ayat (2) perkataan "Nederlandschen" diganti dengan "Indonesischen". 54. Dalam pasal 459 ayat (1), 461, 464 ayat (1), 466, 467, 468, 469 ayat (1), 470 dan 471 perkataan "Nederlandschen of" dihapuskan. 55. Dalam pasal 173 dan 474 perkataa perkataan-perkataan "Nederlandsch (e)" diganti dengan "Indonesisch (e)". 56. Dalam pasal-pasal 475, 476 dan 477 perkataan-perkataan "Nederlandsch of" dihapuskan. 57. Pasal 587 dirobah sebagai berikut : a. angka-angka dan perkataan-perkataan "130, eerste lid" dan "105" dihapuskan. b. angka-angka "131-133" harus dibaca "131" 58. Dalam pasal 490 No. 4 bagian kalimat "aan het hoofd van plaatselijk bestuur" den assistent-resident diganti dengan "een het Hoofd van de politie". 59. Dalam pasal 495, ayat (1) bagian kalimat "het hoofd van plaatselijk bestuur" (den regent) diganti dengan "het hoofd van de politie". 60. Dalam pasal 496 bagian kalimat "het hoofd van plaatselijk, bestuur" (den assitent-resident), diganti dengan "het hoofd van de politie". 61. Dalam pasal 500 bagian kalimat "het hoofd plaatselijk bestuur" (de resident), diganti dengan "het hoofd van de politie". 62. Dalam pasal 501 ayat (1) no. 2 bagian kalimat: "het hoofd van plaatselijk bestuur (de assistent-resident) diganti dengan "het hoofd van de politie". 63. Pasal 507 dirobah sebagai berikut: a. bagian "le" dibaca demikian : hij, die zonder daartoe gerechtigd te zijn, een Indonesischen adelijken titel voert, of een Indonesischen ordeteeken draagt" b. perkataan-perkataan "s'Konings verlof" harus dibaca "verlof van den President". 64. Dalam pasal 508 bis bagian kalimat: "van een zelfstandige gemeenschap als bedoeld in artikel 121 eerste lid of artikel 123 tweede lid der Indische Staatsregeling dan wel van een waterschap" harus dibaca "van een bij de wet ingetstelde of eerkende zelfstandige gemeenschap". 65. Dalam pasal 510 bagian kalimat: "het hoofd van plaatselijk bestuur" (den resident) harus dibaca "het hoofd van de politie". 66. Dalam pasal 516 bagian kalimat : "het hoofd van plaatselijk bestuur of aan den door dezen aangewezen" harus dibaca "het hoofd van de politie of aan den door dezen aangewezen". 67. Dalam pasal 524 bagian kalimat "het hoofd van plaatselijk bestuur" (den assistent-resident) harus dibaca "den daartoe aangewezen ambtenaar". 68. Dalam

Page 6: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 6 of 24

pasal 544 ayat (1) bagian kalimat "het hoofd van plaatselijk bestuur" (den regent) harus dibaca "het hoofd van den politie". Pasal 9. Barang siapa membikin benda semacam mata uang atau uang kertas dengan maksud untuk menjalankannya atau menyuruh menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima belas tahun. Pasal 10. Barang siapa dengan sengaja menjalankan sebagai alat pembayaran yang sah mata uang kertas, sedang ia sewaktu menerimanya mengetahui atau setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa benda-benda itu oleh pihak Pemerintah tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, atau, dengan maksud untuk menjalankannya atau menyuruh menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah, menyediakannya atau memasukkannya ke dalam Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya lima belas tahun. Pasal 11. Barang siapa dengan sengaja menjalankan sebagai alat pembayaran yang sah mata uang atau uang kertas yang dari pihak Pemerintah tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, dalam hal di luar keadaan sebagai yang tersebut dalam pasal yang baru lalu, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya lima belas tahun. Pasal 12. Barang siapa menerima sebagai alat pembayaran atau penukaran atau sebagai hadiah atau penyimpan atau mengangkut mata uang atau uang kertas, sedangkan ia mengetahui, bahwa benda-benda itu oleh pihak Pemerintah tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima tahun. Pasal 13. Kalau orang dihukum karena melakukan salah satu kejahatan seperti tersebut dalam pasal-pasal 9, 10, 11 dan 12 maka mata uang atau uang kertas serta benda lain yang dipergunakan untuk melakukan salah satu kejahatan itu dirampas, juga kalau benda-benda itu bukan kepunyaan terhukum. Pasal 14 ayat(1): Barang siapa, menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh(10) tahun. Ayat(2): Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga(3) tahun. Pasal 15: Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua(2)tahun. Pasal 16. Barang siapa terhadap bendera kebangsaan Indonesia dengan sengaja menjalankan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan perasaan penghinaan kebangsaan, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya satu tahun enam bulan. Pasal 17. Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden. Agar Undang-undang ini diketahui oleh umum, maka diperintahkan supaya diumumkan sebagai biasa. Menteri Kehakiman Ditetapkan di Yogyakarta Ttd pada

Page 7: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 7 of 24

tanggal 26 Pebruari 1946. Diumumkan pada tanggal 26 Pebruari 1946. PENJELASAN UMUM. I. Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar berhubung dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2, maka sekarang berlaku semua peraturan hukum pidana, yang ada pada tanggal 17 Agustus 1945, baik yang asalnya dari pemerintah Hindia-Belanda, maupun yang ditetapkan oleh Pemerintah balatentara Jepang. Hal ini sekarang ternyata menimbulkan kesukaran yang dengan singkat akan diuraikan dibawah ini : Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada umumnya berlaku buat seluruh Indonesia, sedangkan Peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah balatentara Jepang hanya berlaku buat sebagian dari Indonesia saja, oleh karena Indonesia pada jaman Jepang dibagi menjadi beberapa daerah (Jawa, Sumatera, Borneo dll), yang masing-masing mempunyai Pemerintah dan Peraturan-peraturan sendiri. Dari sebab itu maka mungkin suatu Peraturan Hindia Belanda, yang dulu berlaku buat seluruh Indonesia, oleh Pemerintah Jepang di Jawa dan Madura diganti seluruhnya dengan peraturan baru, di Sumatera hanya sebagian diganti, dan di Borneo sama sekali tidak diganti. Mungkin pula buat tiap-tiap daerah tentang suatu hal oleh Pemerintah daerah Jepang diadakan suatu peraturan baru yang satu sama lain tidak sama isinya. Selain dari pada itu peraturan hukum-pidana Hindia Belanda dan Jepang tidak sama sisteem-nya. Sedangkan peraturan hukum pidana Hindia-Belanda berdasarkan azas: Nullum delictum, nullapuna sine praevia lege punali (tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman jikalau tidak lebih dulu ada suatu aturan hukum pidana) (pasal 1 Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie), maka peraturan hukum pidana Jepang berazas luas (lihatlah misalnya pasal 14 dan pasal 35 No. 8 Gunsei Keizirei). Disini tidak akan dirundingkan sisteem manakah sebagai sisteem terlebih baik, akan tetapi sudah barang tentu, bahwa tidak baik menggunakan dua sisteem itu dalam peraturan-peraturan hukum pidana, yang bersama-sama berlaku dalam sesuatu daerah. Lagi pula peraturan tentang bagian umum (algemeene leerstukken) dari hukum pidana Hindia-Belanda dan Jepang tidak sama. Di dalam praktek peraturan bagian umum dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie harus dipakai jikalau pelanggaran mengenai peraturan Hindia-Belanda, sedang peraturan bagian umum dari Gunsel Keizirei harus dipergunakan, jikalau peraturan Jepang yang dilanggar. Dirasa tak perlu memberi keterangan panjang lebar, bahwa menyempurnakan peraturan-peraturan hukum Pidana Hindia Belanda dan Jepang itu tidak memuaskan dan menimbulkan kesulitan bagi mereka yang harus menjalankan hukum pidana itu, lebih-lebih pegawai polisi yang bukan ahli hukum. Dari sebab itu tidak mengherankan, bahwa dari beberapa tempat dan pihak diusulkan supaya satu peraturan kriminil sajalah dipakai. Lebih tegas diusulkan oleh mereka supaya peraturan-peraturan hukum pidana Jepang dihapuskan. Memang tidak dapat disangkal, bahwa peraturan-peraturan hukum pidana Jepang, yang berlaku ditanah kita, bersifat fascistisch, lagi pula tidak merupakan peraturan yang bulat, kerap kali tidak jelas dan mengandung banyak bukti, bahwa peraturan-peraturan itu disusun dengan tergesa-gesa pada masa

Page 8: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 8 of 24

yang tak tenang, sedang Gunsei Keizirei - kadang-kadang memaksa hakim menjatuhkan hukuman yang tidak seimbang dengan kesalahan pesakitan, oleh karena beberapa pasal tak memberi kesempatan kepada hakim memberi hukuman lebih enteng dari pada batas terlukis dalam pasal-pasal itu. Sebaliknya boleh dikatakan, bahwa peraturan kriminil Hindia-Belanda walaupun tidak sempurna, cukup lengkap dan pada umumnya tidan mengandung cacat-cacat seperti dimaksud diatas, sehingga peraturan-peraturan ini, sebelum dapat diselesaikan peraturan-peraturan hukum pidana nasional, boleh dipakai buat sementara waktu, sesudah peraturan-peraturan itu dirobah dan ditambah seperlunya. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas dirasa perlu melenyapkan peraturan-peraturan kriminil Jepang, sehingga buat sementara waktu berlaku lagi peraturan-peraturan hukum pidana Hindia-Belanda yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. Perlu kiranya diterangkan disini, bahwa yang akan tidak berlaku lagi itu, ialah peraturan-peraturan hukum pidana sahaja, yaitu Gunsei Keizirei dan peraturan-peraturan Jepang lain yang memuat "matereel stafrecht". Peraturan-peraturan Jepang yang bersifat lain terus berlaku. II. Oleh karena Negara Republik Indonesia sekarang tidak dalam keadaan perang dengan Negara manapun, dan keadaan bahaya tidak dinyatakan oleh Presiden (pasal 12 Undang-Undang Dasar), maka dianggap kurang tepat mengadakan peraturan-peraturan sebagai "Verordeningen van het Militair Gezag" yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi balatentara Hindia-Belanda. Dari sebab di dalam praktek disangsikan, apakah peraturan-peraturan itu masih berlaku atau tidak, maka sebaiknya dinyatakan, bahwa undang-undang itu dicabut. (pasal 2 dari rencana). III. Tidak perlu diterangkan, bahwa semua peraturan yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942, mestinya satu demi satu sedapat-dapat harus disesuaikan dengan keadaan sekarang. Hal ini sedapat-dapat dilaksanakan terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie). Tetapi pekerjaan itu tidak mungkin sekaligus diselenggarakan terhadap semua Peraturan. Berhubung dengan itu, maka dengan pasal III, IV dan V dari rencana diberi petunjuk walaupun jauh dari pada sempurna kepada mereka yang harus menjalankan peraturan hukum pidana sehari-hari, jalan manakah yang harus ditempuh untuk menyesuaikan peraturan-peraturan lama dengan keadaan sekarang, sebelum peraturan-peraturan itu dapat dirobah atau diganti. IV. Tentang bahasa, yang dipakai dalam perobahan-perobahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, baik kiranya diberi keterangan sekedarnya. Karena kitab tersebut ditulis dalam bahasa Belanda, maka agar supaya tidak menimbulkan kekacauan dalam membacanya perobahan-perobahan itu, yang hanya mengenai satu atau dua perkataan atau sebagian dari pasal atau ayat, ditulis pula dalam bahasa Belanda. V. Selain dari pada perobahan kecil-kecil ini, dirasa perlu juga merobah pasal 171 Kitab undang-undang hukum pidana seanteronya serta mengadakan beberapa aturan-aturan baru antara lain guna melindungi masyarakat kita pada zaman pancaroba ini. Oleh karena perobahan-perobahan dan tambahan-tambahan yang dimaksud ini sangat dipengaruhi keadaan sekarang dan kini belum dapat

Page 9: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 9 of 24

ditetapkan dengan pasti, apakah peraturan-peraturan itu seperti yang diusulkan sekarang, akan tetap dibutuhkan, juga buat kemudian hari, maka dianggap lebih tepat memberi tempat kepada pasalpasal tersebut di luar badan Kitab undang-undang hukum pidana. Pasal-pasal ini ditulis dalam bahasa Indonesia (lihat pasal IX, X, XI, XII, XIII dan XV). VI. Hingga kini terjemahan nama: "Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie" dalam bahasa Indonesia tidak sama. Nama-nama yang dipakai ialah antara lain: Kitab Undang-undang Hukum Siksa", "Kitab Undang-undang Hukum", "Kitab Undang-undang Hukum Pidana", dsb. Untuk mencapai persamaan dalam terjemahan nama tersebut, dipandang perlu menetapkan terjemahan resmi dengan undang-undang (pasal 6). Istilah "hukum pidana" dalam arti "strafrecht" ialah istilah yang ditetapkan oleh Panitia istilah dari Panitia penyelenggara undang-undang di Departemen Kehakiman pada zaman Jepang. Pasal I sampai VI. Penjelasan telah diberikan dibagian penjelasan umum. Petunjuk-petunjuk dalam pasal I sampai V diatas dirasa perlu terhadap peraturan-peraturan hukum pidana yang belum dapat dirobah atau diganti sesuai dengan keadaan sekarang. Pasal VII. Tidak perlu diterangkan lagi. Pasal VIII. No. 1 Pasal 105, 130, 132 dan 133 dihapuskan, (No. 13, 19 dan 21). No. 2 dan 3a tidak membutuhkan penjelasan. No. 3b, dan No. 4 berhubung dengan kedudukan jaksa sekarang, maka pegawai inilah yang harus diberi kekuasaan yang dimaksud dalam pasal ini, sedangkan kewajiban Gouverneur-Generaal dulu patut diserahkan kepada Menteri Kehakiman. No. 5, No. 6, No. 7, No. 8, tidak membutuhkan penjelasan No. 9 Negeri Belanda, Suriname dan Curacao tidak masuk daerah Negara Indonesia. No. 10 Namanya badan-badan politik yang dimaksud dalam pasal ini belum dapat disebut. Komite Nasional Indonesia antara lainnya juga masuk dalam pasal ini. No. 11, No. 12, No. 13 tidak membutuhkan penjelasan. No. 14 Pasal 105 dihapuskan, (No. 13). No. 15, No. 16 tidak membutuhkan penjelasan. No. 17 Pasal 105 dihapuskan (No. 13). No. 18 tidak membutuhkan penjelasan. No. 19 Pasal ini tidak sesuai dengan bentuk Negara kita sebagai Republik. No. 20 tidak membutuhkan penjelasan. No. 21 penjelasan penjelasan 19. No. 22 tidak membutuhkan penjelasan. No. 23 penjelasan No. 19 dan perobahan pasal 134(No. 22). No. 24 Pasal-pasal 135 dan 136 dihapuskan (No. 23) No. 25, No. 26 tidak membutuhkan penjelasan. No. 27 a. pasal 130 dihapuskan (No. 19) b. pasal-pasal 132 dan 133 dihapuskan (No. 21). c. pasal-pasal 135 dan 136 dihapuskan (No. 23). No. 28 tidak membutuhkan penjelasan. No. 29 penjelasan No. 10. No. 30 Pasal-pasal ini dianggap tidak sesuai dengan azas Negara kita sebagai negara yang demicratis. No. 31 tidak membutuhkan penjelasan. No. 32 penjelasan No. 30. No. 33 Pasal 105 dihapuskan. No. 34 Pasal-pasal 105, 130, 132 dan 133 dihapuskan. No. 35 dirobah dan jadi pasal XIV dan XV dari rancangan ini. No. 36 tidak membutuhkan penjelasan. No. 37 berhubung dengan kedudukan jaksa sekarang yang sama dengan (Eur) Officier van Justitie dulu. No. 38 Pasal ini tidak sesuai dengan keadaan sekarang. No. 39 Tambahan dalam pasal 234 dianggap perlu oleh karena sekarang banyak surat-surat dikirimkan dengan perantaraan orang. No. 40 tidak

Page 10: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 10 of 24

membutuhkan penjelasan. No. 41 Sekarang belum terang kepada siapa kekuasaan Gubernur Jenderal yang dimaksud dalam pasal 239 Kitab Undang-undang hukum pidana akan diberikan. No. 42, No. 43 tidak perlu diberikan penjelasan. No. 44 Suriname, Curacao dan Nederland telah masuk perkataan-perkataan "buitenlandsche mogendheid". No. 45 Perkataan "Inlandsch" tidak ada artinya lagi. No. 46 Penghapusan ini adalah sesuai dengan kedudukan Jaksa sekarang. No. 47, No. 48, No. 49, No. 50, No. 51, No. 52, No. 53, tidak membutuhkan penjelasan. No. 55, No. 56, No. 57, No. 58, No. 59 Dirasa tepat bahwa laporan yang dimaksud harus disampaikan Kepala Polisi. No. 60, No. 61, No. 62, No. 63 tidak perlu dijelaskan. No. 64 Pegawai yang dimaksud dalam pasal ini harus ditunjuk antara lain dalam pasal-pasal 41 dan 333 dari Burgerlijk Wetboek. No. 65 Kepala Polisi ditunjuk dalam pasal ini berhubung dengan kedudukannya sekarang. Pasal IX sampai XIII Pasal-pasal ini dibutuhkan buat menindas usaha untuk mengacaukan peradaran uang di negeri kita dengan menyebarkan mata uang atau uang kertas yang oleh pihak Pemerintah kita tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Mata uang atau uang kertas yang tidak disebut dalam Maklumat Presiden Republik Indonesia tertanggal 3 Oktober 1945 No. 1/10 sebagai alat pembayaran yang sah, adalah buat daerah Jawa dan Madura alat pembayaran yang tidak sah. Pasal IX. Mengancam hukuman terhadap barang siapa membikin benda semacam mata uang atau uang kertas dengan maksud seperti diterangkan dalam pasal itu. Pasal X dan pasal XI. Disusun hampir sama dengan susunan pasal 245 dan pasal 249 Kitab undang-undang hukum pidana. Bedanya disebabkan oleh hal yang pasal X dan XI mengenai mata uang atau uang kertas yang tidak sah, sedangkan pasal 245 dan 249 Kitab undang-undang hukum pidana mengenai mata uang atau uang kertas palsu atau yang dipalsukan. Penjelasan dalam kitab-kitab tafsir tentang pasal 245 dan 249 Kitab undang-undang hukum pidana dapat dipergunakan untuk menafsirkan pasal X dan XI dari rancangan ini, dengan mengingat akan bedanya. Pasal XIII. Merupakan pasangannya pasal 250 bis Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal XIV dan pasal XV. Menggantikan pasal 171 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang pada masa pancaroba ini perlu diperluas. Pasal XIV. Ialah sama dengan "Verordening No. 18 van het Militair Gezag". Keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Kekacauan meuat juga keonaran. Menyiarkan artinya sama dengan "verspreiden" dalam pasal 171 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal XV. Disusun tidak begitu luas sebagai "verordening No. 19 van het Militair Gezag". Pasal ini mengenai "kabar angin" (kabar yang tidak pasti) dan kabar yang disiarkan dengan tambahan atau dikurangi. Menyiarkan kabar benar secara yang benar tidak dihukum. Arti perkataan "keonaran" telah dijelaskan dalam penjelasan pasal XIV. Pasal terachir. Oleh karena berhubung dengan sukarnya perhubungan antara pulau Jawa dan daerah Negara Indonesia yang lain, sekarang belum dapat ditetapkan bilamana Undang-undang ini akan berlaku buat daerah di luar pulau Jawa dan Madura, maka sebaiknya diserahkan kepada Presiden untuk menentukan

Page 11: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 11 of 24

saat itu. Juncto UU-RI Nomor: 73 tahun 1958. Memutuskan: Menetapkan: Undang-undang Tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal I. Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang peraturan hukum pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Pasal II. Pasal XVI Undang-undang No. I tahun 1946 Republik Indonesia tentang peraturan hukum pidana dicabut. Pasal III. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Staatsblad 1915 No. 732) seperti beberapa kali diubah, dan terakhir oleh Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia, diubah lagi sebagai berikut: 1. Sesudah pasal 52 ditambahkan pasal 52a sebagai berikut: "Pasal 52a. Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, maka hukuman untuk kejahatan tersebut dapat ditambah dengan sepertiga." 2. Sesudah pasal 142 ditambahkan pasal 142a sebagai berikut: Pasal 142a. Barangsiapa menodai Bendera Kebangsaan Negara sahabat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda setinggi-tingginya tiga ribu rupiah." 3. Sesudah pasal 154 ditambahkan pasal 154a sebagai berikut: Pasal 154a: Barangsiapa menodai Bendera Kebangsaan Republik Indonesia dan Lambang Negara Republik Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda setinggi-tingginya tiga ribu rupiah." Pasal IV. Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 20 September 1958. Diundangkan pada tanggal 29 September 1958. MEMORI PENJELASAN UMUM. Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana yakni: 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia; 2. "Wetboek van Strafrecht voor Indonesia" (Staatsblad 1915 No. 732) seperti beberapa kali diubah; yang sama sekali tidak beralasan. Dengan adanya Undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam pasal I ditentukan bahwa Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Kesempatan ini dipergunakan pula untuk mengadakan perubahan/penambahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut berhubung dengan ditetapkan Peraturan-peraturan Pemerintah tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, tentang Penggunaan Bendera Asing di Indonesia dan tentang Penggunaan Lambang-Negara Republik Indonesia (Lembaran-Negara tahun 1958 No. 68, No. 69 dan No. 71). Sebagaimana telah dimaklumi, maka sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Bendera Kebangsaan Asing, Lambang Negara dan Penggunaan Bendera Kebangsaan Asing, telah ada Undangundang No. 1 tahun 1946 dari Republik Indonesia bentuk lama (Undang undang tentang Peraturan Hukum Pidana) yang dalam pasal XVI mengatur ancaman hukuman terhadap penghinaan Bendera Kebangsaan

Page 12: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 12 of 24

yang berbunyi sebagai berikut: "Barangsiapa terhadap Bendera Kebangsaan Indonesia dengan sengaja menjalankan sesuatu perbuatan yang dapat menimbulkan perasaan penghindaan kebangsaan, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya satu tahun enam bulan". Ketentuan ini menurut pasal terakhir Undang-undang tadi hanya berlaku bagi Jawa dan Madura, sedang dengan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1946 Undang-undang ini berlaku pula bagi seluruh Sumatera (Propinsi Sumatera). Dengan lain perkataan, ketentuan dalam pasal XVI tadi hingga sekarang hanya berlaku bagi Jawa (dan Madura) dan Sumatera. Sekarang setelah Peraturan-peraturan Pemerintah tersebut diundangkan, maka perlulah menetapkan aturan-aturan hukuman yang berhubungan dengan Bendera Kebangsaan untuk seluruh Indonesia. Lain dari pada itu perlu pula diadakan aturan hukuman yang berhubungan dengan Bendera Kebangsaan Asing dan Lambang-Negara. Penjelasan lebih lanjut dapat dibaca dalam penjelasan pasal-pasal baru yang diusulkan, yaitu pasal-pasal 52a. 142a dan 154a Kitab Undang undang Hukum Pidana. Pasal I. Cukup jelas. Pasal II. Pasal XVI Undang-undang No. 1 tahun 1946 perlu dicabut, karena halnya telah diatur lebih lengkap dalam pasal III sub 2 dan 3 Undangundang ini, yaitu pasal 142a dan pasal 154a. Pasal III. Pasal 52a Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 1. Bendera Kebangsaan dapat dipergunakan untuk melancarkan atau mempermudah terlaksananya sesuatu kejahatan. Orang-orang yang menderita kejahatan itu dipengaruhi oleh bendera tersebut dan memperoleh kesan, bahwa yang melakukan kejahatan bertindak secara resmi. 2. Dalam pasal ini tak ditentukan cara menggunakan Bendera Kebangsaan; hal ini diserahkan kepada praktek; hanya harus diingat, bahwa antara penggunaan bendera dan kejahatan harus tampak hubungan kausal. 3. Tempat pasal tambahan ini dalam titel III, buku I Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan No. 52a dianggap selayaknya. Pasal 142a dan pasal 154a Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 1. Karena dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana belum ada ketentuan seperti tersebut dalam pasal-pasal ini, maka dengan adanya Peraturan-peraturan Pemerintah mengenai Bendera Kebangsaan, Lambang-Negara Indonesia dan Bendera Kebangsaan Asing, perlu mengadakan ketentuan termaksud. Betul dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara terdapat pasal 136 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: 2e. "hij die het wapen van Indonesie, de Indonesische vlag enz, beschimpt enz." akan tetapi berdasarkan pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara, pasal 136 tersebut hanya berlaku terhadap orang-orang militer dan orang-orang yang tunduk kepada peradilan militer. 2. Menodai ialah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghina. 3. Susunan kata yang dipakai dalam pasal XVI Undang-undang No. 1 tahun 1946 tidak dipergunakan dalam pasal 142a dan pasal 154a Kitab Undang-undang Hukum Pidana, karena penghinaan terhadap perasaan kebangsaan dimaksud dalam pasal XVI itu sukar ditetapkan, sedang menurut redaksi pasal 142a dan pasal 154a, obyek yang dihina ialah suatu benda tertentu: yaitu Bendera Kebangsaan. Pun redaksi pasal-pasal tersebut sesuai dengan redaksi pasal 136 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara. 4. Hukuman disesuaikan dengan hukuman dalam

Page 13: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 13 of 24

pasal 136 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara. Termasuk

Lembaran-Negara No. 127 tahun 1958. Pendapat Andi Hamzah:

Pasal 14 dan Pasal 15 bermasalah dikarenakan tidak disebutkan

di dalam UU-RI No: 73 tahun 1958. Untuk dapat dinyatakan

berlakunya Pasal 14 dan Pasal 15 tersebut harusnya dimasukan

kedalam KUHP versi UU-RI No: 1 tahun 1946 atau disebutkan

masih berlaku melalui UU-RI No: 73 tahun 1958. Sebagaimana

halnya Pasal 156a KUHP yang berasal dari Penetapan Presiden

Nomor 1/PNPS tahun 1965. Tentang Pencegahan dan

Penyalahgunaan atau Penodaan Agama. KUHP mengalami

Perubahan dan Penambahan selain yang telah tersebut:

1. UU-Darurat-RI Nomor 8 tahun 1948. Tertanggal 31 Maret

1948; 2. UU-Darurat-RI Nomor 8 tahun 1955. Tertanggal 02 Juni

1955. Tentang Delik Imigrasi dan Penghapusan Pasal 241 Sub-1

dan Pasal 257; 3. UU-RI Nomor 1 tahun 1960. Tertanggal 05

Januari 1960. Tentang Perubahan & Memperberat Ancaman

Pidana Pasal 359, Pasal 360, Pasal 188; 4. PERPU-RI Nomor 16

tahun 1960. Tentang Perubahan dan Pembatasan Nilai Harga

Barang Dalam Pasal 363, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal

407 ayat(1) dari Vijf entwinting gulden menjadi Rp. 250;

5. PERPU-RI Nomor 18 tahun 1960. Tentang Perubahan Jumlah

Ancaman Hukuman Denda dan Dikeluarkannya Delik Ekonomi

dan Mata Uang Rupiah Besarannya Dilipatgandakan Menjadi 15

Kali Besarannya; 6. PERPU-RI Nomor 1 tahun 1960.

Tertanggal14 April 1960; 7. UU-RI Nomor 1 tahun 1961.

Tertanggal 04 Pebruari 1961; 8. PENPRES-RI Nomor 11 tahun

1963. Tertanggal 16 Oktober 1963. Tentang Kegiatan dan Delik

Subversi; 9. PENPRES-RI Nomor 2 tahun 1964. Tertanggal

17 April 1964. Tentang Pelaksanaan Putusan Peradilan

Umum dan Militer Pidana Mati Ditembak; 10. PENPRES-

RI Nomor 1 tahun 1965. Tertanggal 27 Januari 1965. Tentang

Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama;

11. UU-RI Nomor 15 tahun 1969. Tertanggal 17 Desember 1969;

12. UU-RI Nomor 3 tahun 1971. Tertanggal 29 Maret 1971.

Tentang Kualifikasi Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal

388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419,

Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, Pasal 435 Menjadi Delik

Korupsi; 13. UU-RI Nomor 7 Tahun 1974. Tertanggal 06

Nopember 1974. Tentang Penertiban Perjudian; 14. UU-RI

Nomor 4 tahun 1975. Tertanggal 24 Nopember 1975; 15. UU-RI

Nomor 4 tahun 1976. Tertanggal 27 April 1976. Tentang

Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal yang Bertalian

Dengan Perluasan Berlakunya Kejahatan Penerbangan dan

Page 14: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 14 of 24

Kejahatan Sarana / Prasarana Penerbangan; 16. UU-RI Nomor 2

tahun 1980. Tertanggal 20 Maret 1980; 17. UU-RI Nomor 11

tahun 1980. Tertanggal 27 Oktober 1980. Tentang Delik Suap;

18. UU-RI Nomor 15 tahun 1969. Juncto UU-RI Nomor 4 tahun

1975. Juncto UU-RI Nomor 2 tahun 1980. Juncto UU-RI

Nomor 1 tahun 1985. Tertanggal 07 Januari 1985.Tentang

Penambahan Delik PEMILU; 19. UU-RI Nomor 27 tahun

1999. Tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara; 20. RUU-

KUHP-Nasional. Juncto Undang-Undang No.19 Tahun 2016.

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008.

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selanjutnya

TINDAK PIDANA ADUAN / DELIK ADUAN terdapat di

dalam Buku Kesatu/Pertama. Peraturan Umum(Pasal: 72 s/d

Pasal 75 KUHP) Juncto Buku Kedua. Kejahatan(Pasal 134

dan Pasal 137 KUHP. Delik Penghinaan Presiden/Wakil

Presiden. Pasal 142 KUHP. Delik Penghinaan Negara Tetangga.

Pasal 143 KUHP. Delik Penghinaan Duta Asing. Pasal 284

KUHP. Delik Zina(Delik Aduan Absolut). Pasal 310 KUHP.

Delik Penghinaan. Pasal 311 dan Pasal 316 KUHP. Delik

Penistaan. Pasal 322 dan Pasal 323 KUHP. Delik Membuka

Rahasia Perusahaan. Pasal 335 KUHP. Delik Perbuatan Tidak

Menyenangkan. Pasal 362. Delik Pencurian. Pasal 372. Delik

Penggelapan Benda. Pasal 378 dan Pasal 379a. Delik Penipuan

Benda(Delik Aduan Relatif).

2. ASAS ULTIMUM REMIDIUM.

Van Bemmelen. Penerapan Ultimum Remedium harus diartikan

“upaya”, bukanlah sebagai alat untuk memulihkan ketidak-adilan

atau untuk memulihkan kerugian, melainkan upaya untuk

memulihkan keadaan yang tidak tenteram di dalam masyarakat, yang

apabila tidak dilakukan sesuatu terhadap ketidak-adilan itu, dapat

menyebabkan orang main hakim sendiri. Pemikiran Hoenagels:

Pentingnya mempertimbangkan berbagai faktor untuk melakukan

kriminalisasi agar tetap menjaga dalil Ultimum Remedium dan tidak

terjadi Over Criminalization antara lain: a. Jangan menggunakan

hukum pidana dengan cara emosional; b. Jangan menggunakan

hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban

atau kerugiannya; c. Jangan menggunakan hukum pidana, apabila

kerugian yang ditimbulkan dengan pemidanaan akan lebih besar

daripada kerugian oleh tindak pidana yang akan dirumuskan;

d. Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh

masyarakat secara kuat; e. Jangan menggunakan hukum pidana

apabila penggunaannya diperkirakan tidak akan efektif; f. Hukum

Page 15: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 15 of 24

pidana dalam hal-hal tertentu harus mempertimbangkan secara

khusus skala prioritas kepentingan pengaturan; g. Hukum pidana

sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak

dengan sarana pencegahan. Hukum pidana sebagai Ultimum

Remedium hendaknya bukan hanya sebagai teori. Namun

semestinya menjadi pemahaman mengenai maksud dari asas

tersebut serta implementasinya dalam kehidupan nyata.

3. ALIRAN HUKUM POSITIVISME.

Paham Positivisme Logis: Istilah positivisme berasal dari kata

“ponere” yang berarti meletakkan, kemudian menjadi bentuk pasif

“pusitus-a-um” yang berarti “diletakkan”. Dengan demikian,

Positivisme menunjukan pada sebuah sikap atau pemikiran yang

meletakan pandangan dan pendekatannya pada sesuatu. Positivisme

melihat hukum sebagai “law on books”. Positivisme Hukum

(aliran hukum positif) memandang perlu memisahkan antara

hukum dan moral antara hukum yang berlaku(das sein) dan hukum

yang akan datang (das sollen). Dalam kacamata Positivism. Tidak

ada hukum lain kecuali perintah penguasa. Hukum merupakan

perintah penguasa dan kehendak dari negara. Sumber pemikirannya

adalah logika, yaitu suatu cara berfikir manusia yang didasarkan

pada teori kemungkinan (ke arah kebenaran) Legisme(sub-hukum

positif): Hukum Penalaran Positivisme Logis Metode Induksi

Pengetahuan (ilmu) harus bersifat empiris. Hanya kenyataan yang

menjadi objek ilmu Asas verifikasi pengujian terhadap realitas

hukum itu identik dengan undang-undang. Aliran ini berpandangan

hukum identik dengan undang-undang, yaitu aturan yang berlaku.

Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. John Austin.

Konsep Hukum adalah Perintah Negara. Bahwa hukum adalah

perintah dari penguasa negara (state order), bahwa, hakekat hukum

terletak pada unsur perintah, bahwa hukum dipandang suatu sistem

yang tetap, logis dan tertutup, bahwa pihak superior itulah yang

menentukan apa yang diperbolehkan dan kekuasaan superior itu

memaksa orang lain untuk taat dan mematuhinya. Bahwa hukum

adalah perintah yang memaksa, (force order) yang dapat saja

bijaksana (wise) dan adil (fair) ataupun sebaliknya. Bahwa, hukum

dibedakan antara hukum Tuhan dan hukum yang dibuat oleh

manusia, bahwa, hukum yang dibuat oleh manusia, yaitu hukum yang

sebenarnya yang di dalamnya meliputi; perintah, sanksi, kewajiban

dan kedaulatan.

Page 16: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 16 of 24

4. ALIRAN HUKUM REALISME.

Realisme secara Etimologi berasal dari bahasa Latin “res” yang

artinya “benda atau sesuatu”. Realisme dapat diartikan sebagai

“upaya melihat segala sesuatu sebagaimana adanya tanpa adanya

idealisasi, spekulasi atau idealisasi”. Aliran Realisme(Pecahan

Positivisme) Realisme berupaya untuk menerima fakta-fakta apa

adanya, betapapun tidak menyenangkan. Aliran Realism dalam

konteks hukum, melihat bahwa hukum itu dipandang dan diterima

sebagaimana adanya, tanpa identitas dan spekulasi atas hukum yang

bekerja dan berlaku. Charles Sander Pierce(1839 - 1914).

Pragmatism and Pragmaticim. Pemikiran yang menyangkal

kemungkinan bagi manusia untuk mendapat suatu pengetahuan

teoritis yang benar, oleh karena itu ide-ide perlu diselidiki dalam

praktek hidup. Bahwa, ide-ide harus diterangkan dengan jalan

analitis, bahwa metode analitis ini harus digunakan secara funcsional,

yakni dengan menyelidiki seluruh kontek suatu pengertian dalam

praktek hidup, bagaimana pengertian tertentu ditanggapi dalam

situasi tertentu, maka kebenaran merupakan hasil penyelidikan

situasi secara empirik. John Chipman Gray(1839 - 1915) The

Nature and Sources of the law. Hakim sebagai pusat perhatiannya,

semboyannya yang terkenal adalah “all the law is judge-made law”.

Bahwa logika sebagai faktor penting dalam pembentukan perundang-

undangan, unsur kepribadian, prasangka, dan faktor lain yang tidak

logis memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan hukum,

bahwa sejarah hukum Inggris dan Amerika yang menunjukan factor-

faktor politik, ekonomi dan sifat-sifat pribadi yang lain dari hakim-

hakim tertentu, telah menyelesaikan soal-soal yang penting untuk

jutaan orang selama ratusan tahun. Oliver Wendel Holmes, Jr (1841

- 1935) The Common Law. Filsuf Amerika yang lahir di Boston

Massachussets. Anggota Mahkamah Agung Amerika Serikat(30

tahun) Bahwa jiwa dari hukum adalah bukanlah logika tetapi

pengalaman, bahwa pengadilan seharusnya melihat fakta-fakta di

tengah masyarakat yang terus berubah, dari pada hanya sekedar

menerapkan Slogan-slogan hukum dan formula hukum, bahwa

hukum harus berkembang dan melayani masyarakat, bahwa hukum

itu halnya sama dengan pengalaman, seperti halnya juga dengan

logika, oleh sebab itu menurutnya hukum hanyalah sebatas Prediksi-

prediksi terhadap keputusan apa yang akan dibuat oleh peradilan.

Benjamin Nathan Cardozo(1870 - 1938) The Nature of The

Judicial Process. Filsuf Amerika yang lahir di New York. Bahwa

hukum sama dengan pengadilan, bahwa, perkembangan hukum

terikat pada tujuan hukum yakni kepentingan umum, karena itu

kegiatan para hakim dituntun oleh norma-norma kepentingan umum.

Page 17: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 17 of 24

Tokoh ini beranggapan hukum mengikuti perangkat aturan umum

dan yakin bahwa penganutan terhadap preseden seharusnya

merupakan aturannya dan bukan merupakan pengecualian dalam

pelaksanaan peradilan. Namun adanya kelonggaran atau keluwesan

pelaksanaan aturan ketat itu apabila penganutan terhadap preseden

tidak konsisten dengan rasa keadilan dan kesejahteraan sosial. Axel

Hagerstorm(1868 - 1939) Inquiries into the Natural of Law and

Morals. Sarjana Swedia. Penyelidik Azas - azas hukum yang

berlaku pada zaman Romawi. Bahwa rakyat Romawi menaati

hukum secara irasionil, berdasarkan bayangan yang bersifat magis

atau ketakutan pada tahayul (meta-fisika) hukum seharusnya

diselidiki dengan bertolak pada empiris yang dapat ditemukan dalam

perasaan psikologi bahwa, perasaan psikologis adalah rasa wajib,

rasa kuasa dalam mendapatkan untung, rasa takut akan reaksi dari

lingkungan. Karl Oliverna Karl Olivecrona(1897 - 1980) Law as

Fact, Legal Language and Reality dan The Imperative Element

in Law. Ahli Hukum Swedia. Menyamakan hukum dengan perintah

yang bebas (independent imperatives), dan kemudian menyangkal

keberadaan yang normatif. Bahwa, hukum bukan sebagai perintah

dari seorang manusia, sebab tidak mungkin ada manusia yang dapat

memberikan semua perintah yang terkandung dalam hukum itu,

bahwa, pemberi perintah dari hukum itu tidak identik dengan negara

atau rakyat, identifikasi demikian merupakan abstrak dan tidak

realistik, bahwa, ketentuan hukum selalu mempunyai dua unsur,

yaitu; suatu gagasan untuk berbuat dan beberapa simbul imperatif

(ought, duty, offence) bahwa, ketentuan undang-undang itu sendiri

hanyalah kata-kata di atas kertas, kenyataan yang berkenaan dengan

pembicaraan ilmiah tentang hukum haruslah berkenaan dengan

reaksi psikologis dari para individu, yakni ide tentang tindakan apa

dan perasaan yang timbul apabila mereka mendengar atau melihat

suatu ketentuan. Alf Ross(1899 - 1979) Berkebangsaan Denmark.

Theorie Rechts quellen, Kritik der Sogenanten Praktischen

Erkentis. Towards A Realistic Jurisprudence and On Law and

Justice. Bahwa hukum adalah realitas soaial, bahwa, berusaha

membentuk teori hukum yang empirik belaka, tetapi yang dapat

mempertanggungjawabkan keharusan normative sebagai unsur

mutlak dari gejala hukum, bahwa, kalau berlakunya normatif dari

peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau

mungkin simbol-simbol dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis, maka

dalam realitas terdapat hanya kenyataan-kenyataan saja, bahwa

keharusan normatif yang berupa rasionalisasi dan simbol, itu bukan

realitas, bahwa, perkembangan hukum melewati empat(4) tahap:

1. hukum adalah suatu sistem paksaan aktual; 2. hukum adalah suatu

Page 18: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 18 of 24

cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota

komunitas; 3. hukum adalah sesuatu yang berlaku dan kewajiban

dalam arti yuridis yang benar; 4. supaya hukum berlaku, harus ada

kompetensi pada orang-orang yang membentuknya.

5. ALIRAN HUKUM SOSIOLOGIS.

Satjipto Rahardjo. Teori Hukum Progresif: Satjipto Rahardjo

yang galau dengan cara penyelenggaraan hukum di Indonesia. Meski

setiap kali persoalan-persoalan hukum muncul dalam nuansa transisi,

namun penyelenggaraan hukum terus saja dijalankan layaknya

kondisi normal. Hampir tidak ada terobosan yang cerdas menghadapi

kemelut transisi pasca orde baru. Yang lebih memprihatinkan, hukum

tidak saja dijalankan sebagai rutinitas biasa, tetapi juga dipermainkan

sebagai barang dagangan. Akibatnya, hukum terdorong ke jalur

lambat dan mengalami kemacetan yang cukup serius. Pemikiran

hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya: “Hukum untuk

manusia”. Manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum.

Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena

itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan

manusia. Mutu hukum, ditentukan oleh kemampuannya untuk

mengabdi pada kesejahteraan manusia”. Sosiologis melihat hukum

sebagai “law in action”. Prof. Lili Rasyidi: Sosiologi Hukum

cabang dari sosiologi. Objeknya tentang pengaruh timbal balik

antara hukum dan masyarakat. Sosiological Jurisprudence

pendekatan hukum ke masyarakat. Sosiologi hukum pendekatan

dari masyarakat ke hukum. Sociological Jurisprudence memberikan

perhatian sama pentingnya kepada faktor-faktor penciptaan dan

pemberlakuan hukum, yaitu masyarakat dan hukum. Pokok pikiran

aliran ini memiliki perbedaan yang tajam dengan aliran positivisme,

hukum historis (evolustis) dan naturalis dalam hal menempatkan

masyarakat dan hukum. Sociological Jurisprudence lebih mengarah

kepada kenyataan daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam

masyarakat. Eugen Erhlich(1862–1922) Grundlegung der

Sosiologie des Rechts. Tokoh Sosiological Jurisprudence Ahli

Hukum Austria- Eropa. “Hukum yang baik adalah hukum yang

sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Hukum

sebagai kenyataan sosial. Hukum yang baik adalah hukum yang

sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Hukum itu harus

merupakan pencerminan nilai-nilai yang hidup dan berkembang

masyarakat”. Roscoe Pound(1870 - 1964) The history and system

of commons law. The social control through law and justice

according to law: “Hukum adalah alat untuk memperbaharui

Page 19: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 19 of 24

(rekayasa) masyarakat (law as a tools of social engineering)”.

Golongan-golongan yang harus dilindungi oleh hukum. Kesatu:

kepentingan umum yang di dalamnya meliputi kepentingan negara

sebagai badan hukum, kepentingan negara sebagai penjaga

kepentingan masyarakat, Kedua: kepentingan masyarakat yang

didalamnya meliputi kepentingan kedamaian dan ketertiban,

perlindungan lembaga-lembaga sosial, pencegahan kemerosotan

akhlak, pencegahan kemerosotan hak, kesejahteraan sosial, Ketiga:

kepentingan pribadi yang meliputi kepentingan individu,

kepentingan keluarga dan kepentingan hak milik.

6. ALIRAN HUKUM UTILITARISME.

Utilisme: “Kemanfaatan sebagai tujuan hukum. Baik buruk atau adil

tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu

memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak ?...............

Jeremy Bentham (1748 - 1832) dan John Stuart Mill (1806 - 1873)

dan Rudolf von Jhering(1818 - 1892) tokoh radikal di Inggris.

“Tujuan hukum menciptakan ketertiban masyarakat, di samping

untuk memberikan manfaat kepada jumlah orang yang terbanyak.

Agar hukum mampu memberikan kemanfaatan kepada masyarakat

yang pada akhirnya menciptakan negara dan rakyat yang sejahtera”.

Gosta Esping-Andersen: negara kesejahteraan menjadi tiga(3):

1. Anglo Saxon Welfare States(Amerika Serikat, Inggris, Selandia

Baru, Australia) mencerminkan komitmen politik untuk memperkecil

peran negara, mengindividualisasikan resiko dan memajukan

penyelesaian melalui mekanisme pasar terhadap masalah

kesejahteraan warga. 2. Scandinavian. Wefare States(Swedia,

Norwegia, Denmark) memiliki komitmen kuat melakukan cakupan

kesejahteraan warga secara menyeluruh. 3. Conservative Regime

Welfare States(Jerman, Belanda, Perancis, Italia, Belgia, Spanyol)

percampuran segmentasi status serta peran gereja dan keluarga dalam

memajukan kesejahteraan. Seorang hakim dapat menentukan

putusannya dengan tidak terikat pada undang-undang.

7. ALIRAN HUKUM FREIE RECHT SLEHRE.

Ajaran Hukum Bebas merupakan ajaran sosiologis radikal,

dikemukakan oleh mazhab Realisme Amerika. Teori membela

kebebasan hakim. Hakim dapat menentukan putusan dengan

tidak terikat pada undang-undang. “Hakim mempunyai tugas

menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah

menerapkan undang undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang

tepat untuk peristiwa konkrit, sehingga peristiwa peristiawa

berikutnya menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim”.

Page 20: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 20 of 24

Aliran hukum bebas: “hakim mempunyai tugas menciptakan

hukum. Penemuan hukum yang bebas tugasnya bukanlah

menerapkan undang-undang, melainkan menciptakan penyelesaian

yang tepat untuk peristiawa yang konkrit, sehingga peristiwa-

peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah

diciptakan oleh hakim”. Oliver Wendell Holmes (1841 - 1935)

Eksponen Realisme Amerika: seorang pelaksana hukum (hakim)

sesungguhnya menghadapi gejala-gejala hidup secara realitas. Sering

ia menghadapi dua(2) bahkan lebih “kebenaran” yang seolah

meminta kepastian mana yang “lebih unggul” dalam konteks tertentu.

Salahsatu di antaranya, adalah kebenaran versi hukum. Tidak jarang,

bahkan amat sering, kebenaran-kebenaran lain lebih unggul dari yang

disodorkan atau formal. Mereka lebih relevan, lebih tepat dan bahkan

lebih bermanfaat untuk suatu konteks reel, ketimbang kebenaran

yang ditawarkan aturan legal. Dalam hal inilah, seorang hakim

mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya. Ia harus memenangkan

kebenaran yang menurutnya lebih unggul, meski dengan resiko

mengalahkan aturan resmi. Aturan-aturan hukum hanya menjadi

salahsatu faktor yang patut dipertimbangkan dalam keputusan yang

berbobot. Faktor moral, soal kemanfaatan, dan kesamaan

kepentingan sosial, menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam

mengambil keputusan. Jadi bukan sebuah pantangan, jika demi

putusan yang fungsional dan kontektual, aturan resmi terpaksa

disingkirkan(lebih-lebih jika menggunakan aturan itu justru

berakibat buruk).

Page 21: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 21 of 24

II. PEMBAHASAN.

1. DELIK ADUAN / TINDAK PIDANA ADUAN.

a. Buku Kesatu/Pertama. Peraturan Umum(Pasal: 72 s/d Pasal

75 KUHP)

b. Buku Kedua. Kejahatan(Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP.

Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden. Pasal 142 KUHP.

Delik Penghinaan Negara Tetangga. Pasal 143 KUHP. Delik

Penghinaan Duta Asing. Pasal 284 KUHP. Delik Zina(Delik

Aduan Absolut). Pasal 310 KUHP. Delik Penghinaan. Pasal

311 dan Pasal 316 KUHP. Delik Penistaan. Pasal 322 dan Pasal

323 KUHP. Delik Membuka Rahasia Perusahaan. Pasal 335

KUHP. Delik Perbuatan Tidak Menyenangkan. Pasal 362. Delik

Pencurian. Pasal 372. Delik Penggelapan Benda. Pasal 378 dan

Pasal 379a. Delik Penipuan Benda(Delik Aduan Relatif).

2. ULTIMUM REMIDIUM.

a. Filosofi Hukum: Asas Nemo Prudens Punit, Quia Peccatum,

Sed Ne Peccetur: Seorang bijak tidak menghukum karena

dilakukannya dosa, melainkan agar tidak lagi terjadi dosa.

b. Asas Punier Non Necesse Est: Menghukum tidak selamanya

perlu.

c. FRANCIS BACON. Asas Moneat Lex, Piusquam Feriat:

Undang undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu

sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di

dalamnya(pidananya).

d. Restoracy Justice System: “Pemulihan Keadaan Semula Vs

Kompensasi(ganti-rugi) Pemulihan Keadaan Semula Vs

Restitusi (pengembalian) Kepastian Hukum & Keadilan &

Kemanfaatan”. Definisi Keadilan Restoratif: “Penyelesaian

perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,

keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk

bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan

menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan

pembalasan. "Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan

restoratif dilaksanakan dengan asas: keadilan; kepentingan

umum; proporsionalitas; pidana sebagai jalan terakhir; dan cepat,

sederhana, dan biaya ringan". Penyelesaian perkara di luar

pengadilan dengan pendekatan Keadilan Restoratif inilah yang

Page 22: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 22 of 24

bisa menghentikan penuntutan. Penghentian penuntutan

berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan oleh Penuntut Umum

secara bertanggungjawab dan diajukan secara berjenjang.

e. Restorative Justice System By Penyidik: Surat Edaran

KAPOLRI Nomor 8 Tahun 2018, tentang Pedoman Penanganan

Penyelesaian Perkara Dengan Pendekatan Restorative Justice.

f. Restorative Justice System By Jaksa Penuntut Umum: Asas

Oportunitas (Kepentingan Umum) Dalam KUHAP. Jaksa

bertindak selaku hakim semu(Quasi Judical Service). Juncto

Peraturan Jaksa Agung-RI Nomor 15 Tahun 2020, tentang

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Syarat dalam menerapkan asas keadilan restoratif dalam suatu

kasus pidana umum, diantaranya tersangka baru pertama kali

melakukan tindak pidana, ancaman pidana denda atau penjara

tidak lebih dari lima tahun dan serta barang bukti atau nilai

kerugian perkara tidak lebih dari Rp2,5 juta sebagaimana

tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan

para pihak yang beperkara bersedia untuk menyelesaikan secara

damai kekeluargaan.

g. Restorative Justice System By Judical Service(peradilan)

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004, tentang Penghapusan

KDRT Juncto PERMA-RI Nomor 3 tahun 2017, tentang

Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan

Hukum. PERMA-RI Nomor 2 Tahun 2012, tentang

Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring Rp.

2.5 juta) dan Jumlah Denda dalam KUHP. Juncto Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012, tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, berlaku Juli 2014. Juncto PERMA-RI Nomor 4

Tahun 2014, tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam

Sistem Peradilan Pidana Anak. Pra Yudisial (Pre Judicieele

Geschil) PERMA-RI Nomor: 1 tahun 1956. Tanggal 18 Maret

1956. Pasal 1: pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal

adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu

hubungan hukun antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan

perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu

putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang

adanya atau tidak adanya hak perdata. Pasal 2: Pertangguhan

pemeriksaan perkara pidana ini dapat sewaktu-waktu dihentikan,

apabila dianggap tidak perlu lagi. Pasal 3: Pengadilan dalam

pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan

Page 23: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 23 of 24

Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya

atau tidak adanya suatu hak perdata. SEMA Nomor 4 tahun

1980, tentang “Question Pre Judicielle a I’ Action” and

“Question Pre Judicielle au Jugement”. “Question Pre

Judicielle a I’ Action”: mengenai perbuatan-perbuatan pidana

tertentu yang disebut dalam KUHP (antara lain Pasal 284

KUHP) Dalam hal ini diputuskan ketentuan perdata dulu

sebelum di pertimbangkan penuntutan pidana. Question Pre

Judicielle au Jugement: menyangkut permasalahan yang diatur

dalam Pasal 81 KUHP. memberi kewenangan bukan kewajiban,

kepada Hakim Pidana untuk menangguhkan pemeriksaan,

menunggu putusan Hakim Perdata mengenai persengketaannya.

Diminta perhatian, bahwa andaikan Hakim hendak

mempergunakan lembaga hukum ini, Hakim Pidana ini tidak

terikat pada putusan Hakim Perdata yang bersangkutan seperti

dinyatakan dalam PERMA Nomor 1 tahun 1956. Yurisprudensi

Pra Yudisial (Pre Judicieele Geschil): Putusan MA-RI Nomor

413 K/Kr/1980. Tertanggal 26 Agustus 1980. Pertimbangan

Hakim: Apabila yang dimaksud penuntut kasasi / terdakwa

adalah “Question Pre Judicielle au Jugement” seperti

dinyatakan dalam Pasal 81 KUHP, maka hal tersebut sekedar

memberi kewenangan dalam perkara pidana ini, kewenangan

tersebut tidak dipergunakan oleh Hakim dan bukan kewajiban

hakim untuk menunggu putusan perdata mengenai

persengketaan, menangguhkan penuntutan yang sedang

diperiksa sambil menunggu putusan perdata;

Page 24: DELIK ADUAN Vs ULTIMUM REMIDIUM Dalam Perspektif Aliran …

Page 24 of 24

III. PENUTUP. 1. Sejalan sejarah perkembangan hukum di dunia sejak Aliran Hukum

Alam hingga Aliran Hukum Positif sampai kepada Aliran Hukum

Realisme dan kepada Aliran Hukum Sosiologi dan kepada Aliran

Hukum Utility dan terakhir hingga Aliran Hukum Bebas.

2. Peradilan Indonesia kini penganut berbagai macam aliran (campuran)

baik aliran Sistem Hukum Eropa Kontinental maupun aliran Sistem

Hukum Anglo-Amerika dan aliran Sistem Hukum Adat maupun

aliran Sistem Hukum Agama.